1
Kunto, Keluarga, Sahabat, dan Pemikirannya
Masa kecil Kunto di lingkungan surau sangat membekas dalam pembentukan
kepribadiannya. Mengalami hubungan yang harmonis dengan kalangan Islam
tradisionalis (NU), kalangan abangan yang biasanya akrab dengan jawaisme, serta biasa
bermain di halaman gereja yang katanya berhalaman luas dan rimbun dengan pepohonan
besar. Dengan latar belakang demikian tidak heran kalau ada teman londonya yang
memberinya komentar sebagai sangat islami dan njawani (very Islamic and very
Javanese). Komentar temannya tersebut kemudian memang tercermin dalam kehidupan
pribadi dan intelektualnya. Walaupun dia sangat islami Kunto masih dengan jernih
membedakan antara esensi Islam dengan masalah budaya. Sebagai seorang jawa dia tidak
perlu tercerabut dari akarnya. Baginya budaya adalah simbol. Salah satu yang nampaknya
dipegangnya adalah dalam memberi nama anak maupun keponakannya. Hampir
seluruhnya menggunakan nama jawa. Kebetulan dia selalu diminta sarannya dalam
memberi nama keponakannya yang akan lahir.
Dalam kehidupan rumah tangga Kunto ditemani istri setianya yang berasal dari
Karanganyar, Solo. Saat ini Bu Kunto atau Bu Susi sehari-hari adalah dosen Fakultas
Tarbiyah UIN Suka. Adalah Bu Susi yang dengan kasih sayang merawatnya terutama
setelah sakit dari miningitis yang cukup parah yang hampir merenggut jiwanya. Kunto
adalah seorang yang disiplin. Untuk menjaga kesehatannya setelah sakit ia rajin jalan
kaki setiap pagi ditemani perawatnya mengitari tempat tinggalnya sejauh 5 km. Setelah
sakit ia memang kesulitan berkomunikasi lisan, namun bagi keluarga dan teman dekatnya
suaranya masih bisa dipahami. Namun tulisan-tulisannya yang jernih dan inspiratif
tentang masalah umat Islam dan bangsa masih sering nampak di media massa. Begitu
pula cerpen dan novelnya. Ia mengetik di komputer, sedangkan untuk hal yang lebih
rumit seperti menyimpan file atau mencetak ia dibantu oleh puteranya. Mereka
dikaruniawi dua putera Punang Amaripuja, MSc saat ini menjadi dosen di FE UMY dan
sudah berkeluarga serta Alun Paradibta, mahasiswa jurusan teknik elektro UGM. Berasal
dari keluarga pegawai negeri (ayahnya pak Sosro pernah bekerja sebagai pegawai PN
Garam, kedua ayah ibunya hingga sekarang masih sugeng). Beliau dikenal sangat sopan
kepada siapapun. Pernah menjabat sebagai sekretaris Pusat Studi Kawasan dan Pedesaan.
Ketika sakit dan sempat koma selama beberapa minggu, rasanya semua sudah akan
berakhir. Namun Allah masih memberinya umur yang cukup hingga dapat menyelesaikan
beberapa obsesinya. Untuk UGM dan keluarga akhirnya beliau dapat meraih posisi paling
terhormat di dunia akademis yaitu guru besar sejarah. Konon naskah pidato guru
besarnya termasuk yang sangat baik. Memang untuk minat utamanya pada sejarah beliau
pernah menyampaikan bahwa untuk urusan sejarah dia harus serius. Karena itu setiap
kali ada seminar sejarah dia akan menyiapkan paper dengan sangat serius. Pernah dalam
suatu obrolan saya bertanya : Mas jadi presiden itu sukar ya. Banyak urusan yang harus
ditangani. Dia dengan enteng mengatakan tidak. Presiden mempunyai pembantu yang
banyak untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Kesenimanannya tercermin dari cerpen, puisi dan novelnya. Ia sangat berterima
kasih pada Ayip Rosyidi seniman dan pemimpin penerbitan buku dan majalah sastera
Pustaka Jaya yang telah menerbitkan beberapa karyanya. Seperti yang pernah
disampaikannya dengan terbitnya tulisannya dia merasa pantas kalau orang menyebutnya
sebagai sastrawan. Dalam sebuah kesempatan pernah menyampaikan pada M.Amien
2
Rais (MAR) salah seorang sahabat dekatnya untuk mendalami bahasa Arab. Dia sudah
mengumpulkan beberapa buku, hanya kesempatan tersebut belum kesampaian. Mungkin
dalam benaknya Kunto merasa belum mantap sebagai seorang Islam sekaligus pemikir
Islam namun tidak menguasahi bahasa Arab.
Pada awal tahun 1980án ketika kekuatan Soeharto berada di puncak dan semua
orang tiarap, sekelompok cendekiawan muslim Yogya membentuk komunitas yang
diwadahi dalam suatu yayasan bernama Yayasan Shalahuddin. Ketuanya adalah M.
Amien Rais dan Kuntowijoyo sebagai salah satu staf ketua. Dengan dana yang diperoleh
MAR dari zakat seseorang, dibelilah sebidang tanah di jalan Kaliurang. Di tanah tersebut
kemudian didirikan masjid atau ruang serba guna dan beberapa bangunan lain untuk
kantor dan asrama mahasiswa. Jadilah kemudian sebuah pesantren mahasiswa. Kawasan
itu kemudian menjadi tempat rendevouz bagi para cendekiawan muslim Yogya dan
Indonesia. Biasanya sepulang dari memberi kuliah mereka diskusi tentang berbagai hal
utamanya dalam melihat Indonesia ke depan serta bagaimana peran umat Islam. Pernah
suatu saat mereka memberikan apresiasi tinggi bagi Kunto yang pertama kali dan
mungkin juga yang terakhir karena berhasil mengendarai sepeda motor dari kampus
UGM ke pesantren yang berjarak sekitar 4 km. Kunto sangat tidak nyaman dengan
kondisi lalu lintas ketika itu. Adalah kemewahan bagi para dosen zaman itu mengendarai
sepeda motor. Sangat sulit untuk memiliki mobil dengan ukuran gaji PNS, bahkan untuk
seorang doktor lulusan Universitas Columbia, AS. Kunto dan MAR memiliki kesamaan
dalam hal kesenangannya pada banyolan atau dagelan khas Yogya dengan tokohnya
Basiyo. Pernah MAR menirukan salah satu dagelan Basiyo ketika menjenguk Kunto saat
sakit di RS Sarjito, dan Kunto terkekeh.
Tempat yang cukup produktif itu kemudian berkembang menjadi dua. Trikhotomi
yang berkembang saat itu adalah Islam (golongan ekstrim kanan), komunis (golongan
ekstrim kiri) dan kebangsaan (tengah atau serba mencakup). Agar tidak berada dalam
stigma semacam itu (Islam berbeda dari kebangsaan) kemudian MAR, Ahmad Watik
Pratiknya, Kunto dll membentuk sebuah pusat kajian yang diberi nama Pusat Pengkajian
Strategi dan Kebijakan (PPSK). Lembaga ini menjadi semacam oase bagi para
cendekiawan yang tidak dapat mengekspresikan secara bebas berbagai idenya terutama
yang terkait dengan masalah nasib bangsanya. Di lembaga ini Kunto sering
menyampaikan ide-ide cemerlangnya. MAR sering menyampaikan dalam banyak
kesempatan bahwa Kunto adalah seorang great thinker. Dan sebaliknya Kunto di
samping banyak memberikan masukan pada MAR juga sekaligus menjadi pengamatnya.
Pada beberapa tahun terakhir pada setiap peringatan 17 Agustus menyampaikan pidato
kebudayaan yang dibacakan istri tercintanya di halaman kantor PPSK di Blimbingsari.
PPSK termasuk salah satu lembaga yang membidani lahirnya Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) serta Partai Amanat Nasional (PAN). Tulisannya yang bertajuk
Tjokroaminoto, Natsir, dan Habibie : Tiga tonggak sejarah Umat. Mencoba
membandingkan ketika tokoh sesuai zamannya. Tjokroaminoto mewakili umat sebagai
wong cilik, Natsir menyimbolkan umat sebagai warga Negara, sementara Habibie
sebagai representasi umat sebagai warga dunia. Dari berbagai tulisannya Kunto kemudian
banyak memberikan sumbang saran yang sangat positip terhadap ICMI. Bagi Kunto yang
paling penting dari umat Islam adalah terjadinya mobilitas sosial umat. ICMI yang
memakai Pancasila sebagai ideologi menekankan tentang pentingnya iptek. Karena itu
pendidikan SDM adalah metoda yang akan mengangkat umat sesuai semangat zaman.
3
Bagi Kunto, Habibie bisa pergi, ICMI boleh diganti, namun kenyataan yang tidak
terelakkan ialah munculnya kelas menengah Muslim. Sebagai cendekiawan Kunto juga
mengingatkan pada setiap pemimpin termasuk Habibie ketika itu, bahwa biasanya
pemimpin mempunyai cacat bawaan yaitu terlalu percaya diri
Sebagai sejarawan ia ibarat seorang fotografer yang mencoba memotret fenomena
sosial dengan bidikan yang tajam, menarik dan jelas. Menjelang akhir hayatnya seperti
yang disampaikan oleh istri tercintanya, beliau mengamati sahabatnya Amien Rais.
Beliau nampak kecewa karena MAR yang telah berusaha maksimal dengan memasuki
berbagai kelompok masyarakat (ke pasar, kelompok seniman rakyat, pesantren, nelayan,
petani, buruh, professional, pegawai negeri, guru, dll) akhirnya gagal menjadi RI I.
Beliau sempat membuat satu tulisan khusus di Kompas tentang posisi MAR sebagai
capres dan konteks kemasyarakatannya. Kunto adalah salah satu pemikir terbaik umat
dari sedikit pemikir yang dimiliki umat Islam. Dia secara konsisten mengangkat berbagai
persoalan umat, dan berupaya memberikan jalan keluar. Dalam era reformasi ia
mengingatkan agar umat tidak terlalu dalam memasuki dunia politik. Bahkan ia
menyarankan agar untuk tidak membuat parpol yang berasaskan Islam. Tulisan yang
dibuatnya berjudul enam alasan untuk tidak mendirikan parpol Islam. Keenam alasan
tersebut adalah terhentinya mobilitas sosial, disintegrasi umat, umat menjadi miopis,
pemiskinan, runtuhnya proliferasi, dan alienasi generasi muda. Tulisan itu dibuat bulan
Juli 1998, awal dari reformasi. Katup kebebasan politik yang dibuka Presiden Habibie
dimanfaatkan oleh banyak pihak terutama umat Islam untuk membuat parpol. Seperti
yang dikatakan Kunto, zaman telah berubah. Tak ada lagi pemimpin tunggal bagi umat
yang ada adalah pemimpin-pemimpin. Bila dalam pilpres 2004 yang lalu ada 5 pasangan
yang tampil (Wiranto- Salahuddin Wahid, Mega-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono,
Susilo B.Y- Jusuf Kalla, Hamzah Haz- Agum Gumelar) siapakah yang paling pantas
disebut mewakili umat Islam ? Tidak mudah untuk menjawabnya. Ada banyak parpol
berbasis Islam. Manakah yang paling mewakili aspirasi umat Islam. Proliferasi atau
penyebaran kepemimpinan ke berbagai jejaring sosial yang terjadi sejak tahun 1970 akan
menyempit kembali. Pemimpin hanyalah pemimpin politik yaitu mereka yang berhasil
memobilisasi massa. Itulah kekhawatiran Kunto. Kita akan melihatnya di tahun tahun
mendatang. Kunto sendiri mempunyai keyakinan bahwa investasi umat dalam bidang
pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan investasi dalam bidang
politik. Dia memberi ilustrasi tentang kekuasaan Belanda selama lebih dari 300 tahun
menjajah Indonesia. Apa yang tersisa ? Bahkan bahasa Belandapun mayoritas rakyat
Indonesia tidak bisa.
Obsesinya yang menginginkan agar umat Islam tampil sebagai produsen ilmu.
Kritiknya yang terus menerus terhadap mistifikasi ajaran Islam. Ia menghendaki agar
Islam mensejarah. Idenya sangat orisinal. Bacaannya yang luas namun kemudian
dibahasakannya sendiri sehingga menjadi lebih mudah dipahami dan orisinal. Karena itu
berbagai idenya dapat dikembangkan menjadi banyak buku bahkan mungkin disertasi.
Ide subyektif-obyektif dalam beragama dia praktekkan dengan sangat baik. Agama harus
diobyektifkan agar dapat berkomunikasi dengan penganut agama lain. Keyakinan suatu
agama adalah subyektif dan tidak perlu dipaksakan. Dengan ilmu umat dapat
mengobyektifikasikan agama. Banyak sahabatnya yang berbeda keyakinan. Senior beliau
Prof. Sartono Kartodirjo adalah guru sejarahnya yang beragama Katolik, kemudian
menjadi kolega dan teman baik yang sangat dihormatinya. Penguasaan ilmu sejarah
4
adalah contoh obyektifikasi baginya. Begitu pula untuk kalangan penyair beliau sangat
respek pada Bung Emha. Kalaupun seniman seringkali mempunyai kultur sendiri namun
Kunto dapat memahaminya. Ketika beliau mantu, Emha dan mbak Fia hadir, begitu juga
saat perpisahan terakhir pemberangkatan jenasah bung Emha memberikan sambutan
bersama-sama dengan pak Amien Rais.
Kunto juga seorang aktivis. Pada masa remaja ia aktif di PII (Pelajar Islam
Indonesia). Sepertinya hampir seluruh saudara-saudaranya juga aktif di PII. Bahkan dua
orang adiknya sempat memimpin PII DIY. Saat mahasiswa aktif di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti), kemudian di Muhammadiyah.
Kenapa aktip di Perti? Kemudian dijawabnya karena Perti itu kecil dan dia ingin
membesarkan yang kecil. Sempat pula diinterogasi di zaman Orba terutama dalam kasus
Masjid Jenderal Sudirman, karena dianggap melindungi aktivis Islam garis keras. Para
aktivis masjid yang dianggap makar oleh rezim orba dikatakannya bahwa mereka
hanyalah anak muda nakal yang lazim untuk anak seusia mereka. Kalau mereka itu ibarat
kucing janganlah disebut harimau yang seakan menakutkan. Beliau sering menjadi
keranjang sampah yaitu tempat penampungan keluh kesah para aktivis. Terutama ketika
ormas pemuda Islam banyak mengalami ancaman. Di samping itu beliau sering menjadi
bapak spiritual dari gerakan mahasiswa. Tafsir beliau yang terkenal terhadap ayat tentang
amar makruf atau mengajak pada kebaikan disebutnya sebagai humanisme, nahi
mungkar sebagai liberalisme, dan tukminuna billah sebagai transenden. Dia mencoba
merumuskan ilmu sosial profetik seperti yang tampak dalam dua bukunya yang banyak
mendapat sambutan masyarakat yaitu Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1991)
dan Muslim tanpa Masjid (2001), keduanya terbitan Mizan. Untuk Paradigma yang diedit
oleh A.E.Priyono dia menyampaikan pujiannya pada mas A.E. Priyono karena dianggap
bisa memahami dan menuliskan sesuai dengan yang diinginkannya.
Hari-hari Terakhirnya
Menjelang akhir hayatnya Kunto masih menyiapkan beberapa tulisan baik yang
bersifat sastra maupun ilmiah. Kedisiplinannya menjaga kesehatan dan nasehat dokter
menyebabkan ia cukup sehat dan produktif walaupun secara fisik nampak sakit. Namun
beberapa hari sebelum dirawat di rumah sakit hingga meninggalnya masih sempat
melaksanakan salat Jumat di masjid dekat rumahnya. Ia menjalankan salat dengan duduk
di kursi. Keluhan terakhir yang dialaminya adalah sesak nafas. Dalam waktu yang cukup
lama pak Kunto memang bergantung pada obat penurun tekanan darah tinggi. Seperti
yang disampaikan oleh bu Kunto, saat terakhir sebelum koma dan dibawa ke ruang ICU
beliau masih tersenyum walaupun susah bernafas. Seorang hambaNya yang saleh dengan
pengabdiannnya pada ilmu dan umat yang sangat tinggi telah meninggalkan kita pada
usia 62 tahun. Usia yang belum terlalu tua untuk ukuran orang Indonesia saat ini.
Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Insya Allah khusnul khatimah telah disandangnya. Moga
kami yang ditinggalkan dapat meneladaninya, dan kita dapat mengupayakan agar
sebagian dari obsesinya dapat terwujud yaitu masyarakat Islam yang menghargai ilmu
dan umat yang bisa setara dengan umat serta bangsa maju. Pada tanggal 29 Mei 2005
selama sehari penuh beberapa sahabatnya melalui Pusat Studi Agama dan Antar Budaya
UGM akan merekam perjalanan hidup almarhum beserta prestasi yang telah dibuatnya.
Kemudian tanggal 24 September 2013, rekan almarhum memperingati usia 70 tahunnya
dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, UMY. Semoga
5
beberapa pemikiran almarhum yang belum sempat terpublikasi dapat disingkap dalam
seminar tersebut, untuk melengkapi buku terakhirnya Islam sebagai Ilmu : Epistemologi,
Metodologi, dan Etika yang diterbitkan Tiara Wacana 2006. Walaupun almarhum
menyebutnya sebagai nonbuku, buku tersebut sangat inspiratif untuk dikembangkan
menjadi buku yang lebih tebal seperti yang almarhum harapkan.
(ditulis oleh Chairil Anwar, teman karib dan tetangganya di Condong Catur)