Anda di halaman 1dari 3

TRIYANTO TRIWIKROMO adalah pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk

buku kumpulan cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Surga Sungsang, buku cerita terbitan Gramedia
Pustaka Utama, 2014) masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2014. Buku terbarunya,
Kematian Kecil Kartosoewirjo memperoleh sambutan positif. Hampir semua media –termasuk
Majalah Tempo, Kompas, Jawa Pos, Republika, dan Suara Merdeka—membahas panjang lebar
buku itu dan dipamerkan.
Selain Kematian Kecil Kartosoewirjo, kumpulan cerita pendeknya terbaru A Conspiracy
of God-killers (Lontar, 2015) dan The Serpent in The Holy Grail (Gramedian Pustaka Utama,
2015) dan buku cerita Upside-Down Heaven (Gramedia Pustaka Utama, 2015) adalah kisah-
kisah yang dipamerkan di Frankfurt Boof Fair (2015), Jerman. Pada Juni 2015 ia dikirim
pemerintah ke Berlin dan Koln (Jerman) untuk membacakan cerpen tentang Berlin (“Dalam
Hujan Hijau Fridenau’’) dan petikan novel Surga Sungsang tentang pergolakan Islam di
Indonesia (“Wali Kesebelas”). Kegiatan itu merupakan rangkaian acara Pra-Guest of Honour
(GoH) Indonesia dalam Frankfrut Book Fair 2015.
Sepuluh cerpennya yang masuk Cerpen Pilihan Kompas sepanjang 2003-2012 dibukukan dalam
Celeng Satu Celeng Semua (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Cerpennya,“Dongeng New York
Miring untuk Aimée Roux”, dimuat dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013. Cerpennya, “Cahaya
Sunyi Ibu”, termuat dalam 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana.
Cerpennya “Lembah Kematian Ibu” juga masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2009 Anugerah
Sastra Pena Kencana.
Pada 2012-2013 dia terlibat dalam penggarapan program citybooks yang diproduksi oleh
deBuren (rumah produksi dari Belgia). Proyek ini memungkinkan 10 puisi panjangnya tentang
Semarang diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis. Cerpen-cerpennya juga
diterjemahkan dalah bahasa Swedia dan Inggris.
Pria kelahiran Salatiga, 15 September 1964 ini lulus Magister Ilmu Susastra Universitas
Diponegoro, Semarang. Ia bekerja sebagai dosen Penulisan Kreatif, Jurnalisme Sastrawi, Sastra
Siber, Sejarah Sastra, dan Kebudayaan Populer di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Diponegoro. Ia juga mengajar Jurnalisme Sastrawi dan Kajian Kebudayaan
di Magister Ilmu Komunikasi Undip. Selain itu, kini ia jadi Redaktur Pelaksana Harian Suara
Merdeka.
Selain menganggit puisi (antara lain terbit dwibahasa di Australia dalam Mud Purgatory, 2008),
ia menulis kumpulan cerita pendek Rezim Seks (Aini, 2002), Ragaula (Aini, 2002), Sayap
Anjing (Penerbit Buku Kompas, 2003), Anak-anak Mengasah Pisau (Children Sharpening the
Knives) (Masscom Media, 2003), dan Malam Sepasang Lampion (Penerbit Buku Kompas,
2004).
Pada 2005 dan 2007 mengikuti Utan Kayu International Literary Bienale. Setelah itu, 2005, ia
menjadi peserta Wordstorm: Northern Territory Writer Festival di Darwin dan Januari-Februari
2008 menjadi peserta Gang Festival dan residensi sastra di Sydney, Australia. Pada tahun sama
ia juga menjadi pembicara dalam Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali. Bersama
Budi Darma, Eka Kurniawan, Nugroho Suksmanto, dan Chavchay Saifullah, ia menulis L.A.
Underlover (Katakita, 2008), kumpulan cerpen tentang persentuhan orang-orang Indonesia
dengan manusia-manusia Los Angeles. Pada 2013 ia bersama Agus Noor mendapat semacam
grant untuk menulis novel di New York, Amerika Serikat dari pendiri Anugerah Sastra Pena
Kencana, Nugroho Suksmanto.
Pada 2010, buku kumpulan puisinya Pertempuran Rahasia (2010) dan Kematian Kecil
Kartosoewirjo (2015) diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Kini dalam waktu
dekat Triyanto akan menerbitkan Selir Musim Panas (kumpulan puisi tentang Tiongkok),
Berjalan-jalan ke Kuburan Massal (kumpulan 100 cerita singkat), dan Bolonggrowong
(kumpulan cerita pendek).
Karya-karya Triyanto juga dialihwahanakan dalam berbagai bentuk kesenian. Cerpen “Anak-
anak Mengasah Pisau” telah dijadikan film televisi oleh sutradara Dedi Setiadi, dijadikan karya
seni rupa (Yuswantoro Adi dan A.S. Kurnia), dan jadi lagu oleh pemusik Seno. Karyanya yang
lain, “Sayap Kabut Sultan Ngamid” dialihwahanakan jadi lukisan oleh S. Teddy D dan jadi
pertunjukan teater oleh Iman Soleh. Bukunya, Celeng Satu Celeng Semua dijadikan sebagai
pancatan untuk sebuah film pendek berjudul sama. Cerpennya yang lain, “Seperti Gerimis yang
Meruncing Merah” juga dialihwahanakan menjadi sebuah film pendek bertajuk sama. Fim-film
itu bisa diunduh di Youtube. Beberapa puisinya, antara lain “Tersina Pembakaran Sinta”,
“Sahal”, dan “John Woo” di-film-musik-kan dengan judul sama oleh berbagai komunitas
kebudayaan dan pembuat film.
Bukunya, Ular di Mangkuk Nabi telah dijadikan karya seni rupa oleh 21 perupa Indonesia dan
dipamerkan oleh Galeri Semarang di Jakarta Art District, Grand Indonesia, Jakarta, 27 April-2
Mei 2010. Mereka yang terlibat antara lain Arie Dyanto, Bambang “Toko” Witjaksono, Bobo
Yudhita Agung, Dipo Andy, Eddie Hara, Gusmen Heriadi, Ugo Untoro, Hayatuddin, Jumaldi
Alfi, Pande Ketut Taman, Robi Fathoni, Sigit Santosa, Hardiman Radjab dan Saftari.
Triyanto sudah sejak lama berkecimpung di dunia penerbitan dan sastra. Pada saat belajar di
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Salatiga ia telah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Bahana.
Kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni (FPBS) IKIP Semarang, dia turut melahirkan Koran Kampus Nuansa dan aktif di
Komunitas Pecinta Sastra Cakra.
Ia juga menjadi pendiri gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman. Gerakan ini waktu itu mencoba
mewartakan betapa aktivitas sastra itu jangan sampai hanya dibatasi di media massa. Siapa pun
berhak bersastra di berbagai tempat.
Begitu bekerja di Harian Umum Suara Merdeka, ia berturut-turut menjadi wartawan budaya,
Redaktur Sastra, Kepala Desk Wacana, Kepala Desk Edisi Mingu, Kepala Desk Utama, dan
yang terkini dipercaya sebagai Redaktur Pelaksana.
Ia juga berturut-turut pernah jadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Tengah, Ketua
Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Tengah, dan Ketua I Dewan Kesenian Jawa Tengah.
Bertolak dari aneka kegiatan di bidang sastra dan kebudayaan itu, Triyanto berkali-kali ditunjuk
menjadi kurator pameran seni rupa dan kurator sastra (antara lain untuk memilih peserta Ubud
Writers and Readers di Ubud Bali). Juga menjadi juri di aneka kegiatan yang berkait dengan
sastra dan seni rupa. Berkali-kali pula ia menjadi pembicara yang berkait dengan bidang sastra,
bahasa, jurnalistik, seni rupa, teater dan bidang-bidang kebudayaan lain di dalam dan luar negeri.
Triyanto juga kerap diminta menjadi penceramah dalam pelatihan jurnalistik, penulisan ilmiah
populer, esai dan cerita pendek serta puisi. Selama dua tahun terakhir menjadi narasumber rutin
untuk bincang-bincang Tajuk Rencana Suara Merdeka di TV-KU.
Yang tidak terduga, ia pernah dipercaya menjadi sutradara dan penganggit cerita selama
berbulan-bulan untuk pertunjukan ketoprak komedi yang dimainkan oleh komunitas Atlas
Budaya. Atlas Budaya adalah komunitas yang beranggotakan para pelawak Srimulat dan para
pemusik Semarang. Ia meninggalkan komunitas itu karena lebih memilih aktif dalam bidang
kesusastraan dan jurnalistik.

Anda mungkin juga menyukai