Anda di halaman 1dari 4

Resensi Buku Adrian Vickers( Peradaban

Pesisir, Menuju Sejarah Asia Tenggara)


judul Buku : Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara
Pengarang : Adrian Vickers
Penerbit : Pustaka Larasan
Halaman : xx.220 hlm. 16×24 cm
Percetakan : Udayana University Press
Cetakan : Pertama, 2009

Pada umumnya, sebagian orang beranggapan bahwa Asia Tenggara merupakan cabang dari
India atau Cina. Menurut pendapat Anthony Reid, masyarakat Asia Tenggara dibentuk oleh
perdagangan pada masa lampau. Pada kenyataannya ditemukan bahwa bukan hanya
perdagangan saja yang memberi pengaruh persamaan dan hubungan budaya antar
masyarakat. Budaya yang dimiliki Cina dan India, dalam unsur adat keseharian dan kebiasaan
yang ada memiliki perbedaan dengan Asia Tenggara.
Unsur budaya Asia Tenggara yang paling khas, yaitu cerita Panji atau biasa disebut Inau di
Muang Thai. Salah satu cerita Panji yang masih bisa kita saksikan di Nusantara yaitu di Bali
ada cerita Panji Malat Rasmi, di tempat-tempat lain juga ditemukan banyak cerita Panji yang
menyebar di Asia Tenggara. Melalui cerita-cerita tersebut kita bisa mempelajari proses
persebaran norma-norma antara golongan kelas yang berkuasa, juga norma yang disampaikan
dari pusat yang berprestasi sampai tingkat bawahan.
Buku ini merupakan sebuah eksplorasi mengenai persebaran unsur budaya Panji, serta
tanggapan tentang meninjau hubungan budaya melalui sumber-sumber pertunjukan,
gambaran, dan teks-teks yang pernah menjadi persamaan unsur budaya antara negara-negara
yang bertetangga. Sumber-sumber ini merupakan bayangan kolektif dari masyarakat Asia
Tenggara. Cerita Panji merupakan salah satu sumber dalam suatu peradaban. Peradaban ini
disebut juga peradaban Panji, akan tetapi lebih tepat jika diberi nama peradabanm Pesisir,
karena banyak unsur di samping cerita Panji yang juga menyebar melalui hubungan maritim
di Asia Tenggara.

Buku ini dengan menarik mengarahkan pembaca untuk mendapat penjelasan jaring budaya
tentang peradaban pesisir sebagai bagian penting di Asia Tenggara. Peradaban pesisir yang
dimaksudkan di sini adalah kehidupan pinggiran pantai atau kompleks masyarakat pantai,
yang secara khusus berada dalam kronik antara abad ke-15 hingga ke-20.Begitu menariknya
kehidupan di pantai, hingga Vicker menyebutnya sebagai sebuah entitas yang menyediakan
wawasan tentang peradaban khas Asia Tenggara Dalam buku ini penulis berangkat dari karya
sastra yang dipresentasikan oleh cerita-cerita Panji atau Inau di Thailand. Panji merupakan
cerita tentang norma-norma kalangan elite priyayi Jawa, yang sangat dipercaya sebagai
sebuah realitas yang ditampilkan dalam bentuk sastra.

 
Sehingga penulis buku ini menganggap bahwa cerita Panji merupakan salah satu sumber
dalam sebuah peradaban. Peradaban ini bisa dinamakan peradaban Pesisir yang menyebar
melalui hubungan maritim Asia Tenggara.Dalam buku ini istilah peradaban digunakan
dengan sangat longgar. Bisa menunjuku suatu komunitas: “negara” atau “kerajaan: yang amat
kuat mengusung kesadaran akan tatanan politik yang terikat pada sekelompok penguasa
tunggal atau sentral; “masyarakat” dengan berbagai implikasinya.Mulai dari struktur-struktur
relasi yang dipegang oleh kelompok tertetnu dalam interaksi konstran; “agama’ dengan
berbagai doktrin dan definisi keanggotaannya yang spesifik; “budaya” dengan berbagai
bentuk artistik dan struktur maknanya yang mencirikan kelompok-kelompok yang unik; dan
“bangsa” dengan kegandrungannya kepada basis solidaritas linguistic dan rasial yang dapat
memicu perang antar kelompok.

Vikers mengatakan bahwa “peradaban” dengan demikian bermanfaat karena kekaburan


maknanya cukup memadai, namun “peradaban” juga bisa menerabas definisi-definisi
religius. “Peradaban” memberikan kesadaran tentang sebuah dunia berwawasan budi-daya
dan tatanan yang merangkul beragam corak.Dalam buku ini penulis mendefinisikan istilah
“pesisir” terinspirasi dari berbagai khasanah budaya. Ia merujuk pada tesis yang
dikemukakan oleh Th. Pigeaud, filolog Belanda yang sering menyebut sastra Pesisir atau
sastra pantai. Aslinya istilah ini digunakan untuk menyebut sastra berbahasa Jawa dari Pantai
Utara Jawa.

Namun para sarjana kemudian menemukan bahwa banyak sastra Melayu yang juga
merupakan bagian dari kompleks kesusatraan Pesisir yang sama. Dan dalam bermacam-
macam konteks dan bahasa satu jenis narasi tertetnu terus-menerus muncul sebagai contoh
sastra Pesisir yakni cerita Panji, Pangeran Jawa dari Kahuripan.,.Dalam mengkaji masalah
budaya Jawa, penulis buku ini menggunakan konsep R. Redfield mengenai perbedaan antara
little tradition (kebudayaan tradisioal petani) dan great tradition (perdaban tradisional kota)
dalam suatu kebudayaan.Dengan memakai asumsi semacam ini penulis buku ini akhirnya
data  menelaah secara detail mengeai sosialisasi organisasi  sosial, sistem ekonomi, pekerjaan
dan gaya hidup serta kesenian orang Jawa.

Menariknya buku ini juga dilampiri dengan istilah-istilah kekerabatan orang Jawa. Seperti
yang tertera dalam buku ini sediktinya ada 71 istilah kekerabatan. Ada 21 istilah dasar dan 5
istilah derivative, yang pada umumnya memiliki bentuk krama dan beberapa diantaranya
malah ada yang memiliki bentuk karma inggil.

Kelompok-kelompok istilah kekerabatan yang dimunculkan seperti kelompok A terdiri dari


kakang, kamas, raka, mbakyu, rayi, naksanak, misanan, dan lain-lain. Kelompok B seperti
kakang ipe, raka ipe dan sebagainya hingga diakhiri dengan kelompok N seperti gantur
siwung.

 
Seakan-akan buku ini menjadi acuhan baru untuk menelaah mengenai budaya Jawa, setelah
buku babon yang ditulis pertama kali oleh Raffles, History of Java pada 1817.

Karena itulah buku karya Koentjaraningrat telah melalui serangkaian pembabakan yang
didapatkan dari rangkuman ratusan buku-buku maupun artikel-artikel yang membahas Jawa
secara parsial.

Beberapa buku dan artiekl penting yang dipakai dalam buku ini misalnya karya Zoetmulder
yang berjudul Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek Lotteratur yang diterbitkan
Universitas Leiden (1935), buku karya H. Ubricht, Wayang Purwa: Shadows of the Past
(1970) hingga artikel Snouck Hugronje, “Komedi Djawa in Banten” dalam Notulen B.G. 46
(1893).

Dalam mendeskripsikan sastra pesisir, Pigeaut menghubungkan penyebaran sastra ini dengan
kebangkitan negara-negara Islam yang kuat di Jawa. Pada abad ke-16, pusat budaya Pesisir di
Jawa adalah Surabaya-Gresik, Demak-Jepara dan Cirebon-Banten.

Dari pusat-pusat ini sastra Pesisir menyebar ke Lombok dan Palembang, ke Lampung dank e
Banjarmasin. Di sini terjadi interaksi dengan sastra Melayu, Arab, dan Persia. Teks ini juga
menyebar ke Aceh, Makasar dan bugis, versi Campa dari Kamboja dan versi Filipina dari
Maranaw dan Mangindanai di Pulau Mindano.

Namun Denis Lombard mengajukan usul yang menurut Vikers lebih jelas. Ia melihat budaya
Pesisir lebih terkait dengan proses politik. Lombard mengemukakan contoh-contoh
pergerakan arsitokratis di seantero Nusantara, misalnya kasus seorang pangeran legendaries
yang dilahirkan di Kalimantan dan menjabat residen di Malaka, tetapi menjadi penguasa
Jepara.

Catatan yang menurut saya menarik dari buku ini, seperti yang dikutip dari pernyataan
pengatar buku ini oleh Bambang Purwanto adalah bahwa Asia Tenggara merupakan “sebuah
entitas karena beraneka macam orang memiliki pengalaman historis bersama”.

Dalam hal ini cerita Panji merupakan produk dari relasi budaya dan kekuasaan para elite di
kawasan ini. Hal ini nampaknya dapat dihubungkan dengan apa yang disebut Kuntowijoyo
sebagai “hakikat kekuasaan dimana budaya itu beroperasi yaitu sistem politis” yang berlaku
dimasing-masing tempat.Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa mengkaji cerita-cerita Panji
sebenarnya membahas budaya elite priyayi Jawa, bangsawan Melayu, saktina Thai atau
mungkin juga mandarin Vietnam dan masyarakatnya sebagai sebuah representasi kenyataan
sejarah Asia Tenggara.

Anda mungkin juga menyukai