Akar Masalah
Arus utama (paradigma) berpikir masyarakat saat ini memang sangat terpengaruh oleh
Kapitalisme; paham yang menganggap bahwa kehidupan tidak perlu diatur oleh agama, namun
cukup ditentukan oleh asas manfaat. Faktanya, apa yang dianggap bermanfaat ini ditentukan secara
sangat egoistik dan berwawasan pendek oleh para pelaku yang kebetulan mendominasi arena.
Dalam Kapitalisme, apa saja yang bisa dijadikan komoditas/barang dagangan akan
diperlakukan sebagai komoditas/barang dagangan. Andaikata air ludah itu bisa dijual, tentu akan
ada bisnis di sana.
Wanita sudah dianggap sebagai "barang dagangan" sejak lama, bahkan eksploitasi wanita
dalam berbagai bentuknya (dari pamer aurat hingga pelacuran) sering disebut sebagai bisnis "tertua"
di dunia. Sebutan ini dijadikan alasan seakan-akan mustahil memberantas pornografi dan pornoaksi,
karena hal itu sudah menyatu dengan sejarah manusia.
Bahkan sejumlah teori ilmiah dicoba dibuat oleh para psikolog Barat. Sigmund Freud,
misalnya, mengatakan bahwa aktivitas seks (tanpa peduli segi halal-haramnya) adalah sumber
1
energi, yang tanpa itu manusia tidak bisa hidup normal.
Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan berekspresi dan berperilaku. Dalam demokrasi
yang diyakini Barat (dan juga dijajakan sebagai "kebenaran universal" ke negeri-negeri Islam),
seseorang seharusnya bebas berekspresi dan berperilaku apa saja. Batasnya hanyalah kebebasan
orang lain. Kalau tidak mengganggu orang lain, mengapa harus dibatasi? Kalau ada yang keberatan
dengan tayangan (porno) di TV, ya tidak usah nonton, pindah saluran saja, atau matikan saja TV-
nya. Begitu kilah mereka.
Pandangan-pandangan di atas bertemu dengan alasan ekonomi. Realitasnya, sebagian wanita
"memilih" bidang "bisnis" ini karena tekanan atau tarikan ekonomi. Ketika pendidikan mahal dan
lapangan kerja susah, maka eksploitasi aurat dan seks adalah jalan pintas untuk meraih uang dan
materi. Aksi anti pornografi dan pornoaksi pun sering ditolak dengan alasan ekonomi, "Kalau
mereka dilarang, terus siapa yang kasih makan?"
Memang, ditemukan sejumlah pemain dangdut pengumbar aurat atau pelacur pengobral
syahwat yang melakukan pekerjaannya ini demi sekolah adik atau anaknya, atau demi orangtuanya
yang renta, setelah suaminya tiada atau tidak berdaya; sementara penguasa yang semestinya
melindungi mereka, juga tidak melakukan apa-apa.
Sepintas memang aktivitas pornografi/pornoaksi itu tidak merugikan yang tidak
berkepentingan. Mereka yang bertransaksi juga melakukannya suka sama suka. Namun, ada yang
dilupakan: masa depan!
Di Barat, pornografi/pornoaksi baru menjadi sangat liberal sejak ditemukan alat pencegah
kehamilan pada akhir tahun 60-an. Sejak itulah orang bisa memisahkan antara tanggung jawab
kehamilan dengan kenikmatan seksual. Sejak itu pula "bisnis" ini menjadi fenomena global.
Namun, kini dampaknya mulai terasakan. Anak-anak, remaja, dan pemuda yang lahir di Barat pada
era 70-an ke atas memiliki semangat juang atau motivasi yang lebih rendah daripada orangtua atau
moyang mereka. Ada kecenderungan mereka menghindari persoalan-persoalan yang lebih rumit,
semacam sains dan teknologi. Mereka juga tidak lagi begitu peduli pada persoalan politik. Dunia
mereka kini adalah 3F—football, fashion, & fun—(permainan, penampilan, dan bersenang-senang).
Karena itu, generasi Jena Bush (anak George W. Bush) tidak lagi setangguh generasi George
Washington. Sebenarnya tinggal menunggu waktu saja, sampai akhirnya tiba generasi terakhir
dalam sejarah mereka.
Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, fenomena 3F—yang antara lain tampak dari
pornografi/pornoaksi—selalu merupakan gejala kehancuran bangsa itu.
Serangan Barat
Jika dicermati, munculnya pro kontra pada pembahasan RUU APP hingga kini setelah
disahkannya menjadi UU Pornografi, bisa jadi adalah bagian dari serangan budaya Barat yang
sedang dilancarkan oleh ideologi Kapitalisme Sekuler terhadap Islam dan kaum muslimin. Entah
disengaja atau tidak setelah Islam dicap oleh Barat sebagai “ideologi setan”, setelah Khilafah Islam
dipandang sebagai ancaman, setelah jihad disamakan dengan aksi teror, setelah kurikulum madrasah
dan pesantren dipandang sebagai lembaga yang berpotensi mengajarkan terorisme, setelah para
khotib dicurigai sebagai penebar kebencian, dan setelah kaum muslim diidentikkan dengan kaum
teroris, kini kaum muslimin di Indonesia dihadapkan pada berbagai serangan budaya Barat yang
semakin gencar.
Belum reda umat dibombardir oleh rencana di seputar legalisasi aborsi dan pendirian ATM
kondom yang secara tidak langsung akan mendorong tumbuh suburnya budaya seks bebas khas
Barat, kini umat Islam dibuat gerah dengan munculnya majalah yang telah menjadi ikon majalah
porno dunia, majalah Playboy. Dari sini, akhirnya muncullah RUU APP yang dibuat untuk
membendung semua itu. Namun, perjalanan RUU ini tak mulus, karena kubu penentangnya sangat
getol mengupayakan agar RUU ini kehilangan arah dari tujuan awalnya dan pada akhirnya kalaulah
bisa menjadi UU, akan menjadi UU yang mandul. (Sebagaimana yang terlihat dari perubahan
draft II RUU APP, baca juga Waspadai Pembelokan RUU APP! –Pen.-)
Tampaknya, Indonesia memang menjadi sasaran utama dari serangan budaya Barat sekuler
melalui pornografi, pornoaksi dan seks bebas ini. Barat menyadari bahwa Indonesia sebagai negeri
Islam dengan jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia, berpotensi menjadi salah satu
ancaman bagi mereka. Karena itu untuk melemahkan moral generasi muda muslim dan melenakan
mereka dalam kubangan hedonisme tanpa disadari oleh mereka sendiri, Barat melancarkan serangan
budaya permissive (serba boleh) seperti pornografi, pornoaksi dan seks bebas. Tujuan akhirnya
2
adalah semakin menjauhkan kaum muslim dari ideologi Islam. Dan pada akhirnya akan
menghancurkan ideologi Islam itu sendiri.
3
dibuka di sembarang tempat dan sembarang orang. Dalam Islam, batas aurat wanita bagi laki-laki
asing adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Suatu saat Asma’ binti Abu
Bakar masuk ke dalam ruangan Rasulullah saw. Dia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah saw pun
berpaling, kemudian bersabda:
4
karena itu, untuk menyelesaikan masalah pornografi ini, mengapa tidak ‘melirik’ pada Islam?
Agenda Bersama
Yang ironis, aparat di negeri ini seringkali lebih senang bersikap reaktif menunggu
masyarakat marah dan kemudian merusak sarana-sarana maksiat (termasuk arena pornoaksi atau
lapak-lapak penjualan pornografi). Padahal, seharusnya aparatlah yang proaktif melakukan
pencegahan. Bukankah mereka yang mempunyai kekuatan? Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan
(kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan kalbunya. Namun,
itulah selemah-lemah iman. (HR Muslim).
Karena itu, kita menyerukan kepada seluruh aparat negeri ini, agar kekuasaan yang
diamanahkan kepada mereka digunakan untuk mencegah kemungkaran ini terus berlanjut. Mereka
tidak boleh ada dalam posisi hanya sekadar bicara atau membuat wacana.
Sementara itu, tugas para ulama adalah senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak
lalai dalam menjalankan amanah di atas. Mereka berkewajiban untuk mencerdaskan umatnya, agar
umat juga berani mengingatkan pemimpinnya, dan secara pribadi juga tidak justru menikmati
keberadaan pornografi itu.
Walhasil, tugas kita bersama untuk mencegah pornografi. Bukan sekedar terjebak pada
aksi mendukung atau menolak UU Pornografi- saja, karena hakekatnya –sebagaimana keyakinan
kita sebagai seorang muslim- UU Pornografi tersebut tidak akan bisa menjadi solusi kecuali bila
disandarkan pada tuntunan syariah-Nya. Dan tugas kita bersamalah untuk membangun satu barisan
perjuangan yang rapi dan kokoh demi tegaknya syariat Islam dan institusi yang akan menjadi
pelindung dan penjaga umat ini, termasuk masa depan kita dan anak-cucu kita.
Wallâh a’lam bi al-shawâb.