Anda di halaman 1dari 5

Memerangi Pornografi dan Pornoaksi

(Perspektif Islam Sebagai Solusi)

Oleh: Dr. Faizatul Rosyidah

Pornografi, Masalah Bersama


Pornografi tidak akan menjadi masalah bila ia tidak membawa dampak negatif bagi
masyarakat. Terlebih bagi masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dan
moral agama seperti Indonesia. Faktanya pornografi telah berpengaruh secara signifikan terhadap
rusaknya moral masyarakat, khususnya generasi muda. Bahkan, pornografi dianggap sebagai salah
satu pemicu berkembangnya perilaku seks yang menyimpang.
Pornografi yang merajalela membuahkan berbagai problema sosial. Di Inggris, setiap 1 jam
rata-rata terdapat seorang perempuan diperkosa, 18 pasangan suami-isteri bercerai, 20 orang
melakukan aborsi, dan 24 bayi lahir dari perempuan tidak bersuami. Kejadian-kejadian semacam ini
terus terulang lagi pada jam-jam berikutnya, dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Amerika Serikat merupakan negara yang paling parah. Negara kampiun demokrasi itu
menempati urutan pertama di dunia dalam hal angka pemerkosaan. Angka pemerkosaan di AS
mencapai 4 kali lipat angka pemerkosaan di Jerman, 18 kali lebih besar dari angka pemerkosaan di
di Inggris, dan hampir 20 kali lipat lebih besar dari angka pemerkosaan di Jepang.
Di negara bagian Utah saja, angka pemerkosaan mencapai 44,6 per 100.000 jiwa penduduk.
Pada tahun 1995, 2.071 anak-anak di Utah yang berusia kurang dari 18 tahun menjadi korban
pemerkosaan, 633 di antaranya adalah anak-anak di bawah umur 6 tahun. Angka statistik nasional
menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap jamnya, atau 1.872 pemerkosaan setiap harinya, atau
683.280 pemerkosaan setiap tahunnya.
Berikutnya, tindak pemerkosaan bisa menimbulkan dampak-dampak emosional, mental, dan
psikologi bagi korban dan keluarganya. Sensus di AS mengatakan, 1,3 juta penduduk AS sekarang
mengidap suatu penyakit akibat pemerkosaan yang dikenal dengan nama Rape Related Post
Traumatic Disorder (RR-PTSD), 3,8 juta pernah mengidap RR-PTSD, dan diperkirakan 211.000
perempuan akan mengidap RR-PTSD setiap tahunnya.
Perilaku seks bebas yang dipicu oleh maraknya pornografi juga telah mengakibatkan
berbagai masalah kehidupan. Tingginya angka aborsi, single parents (tepatnya single mother),
perceraian, dan AIDS termasuk di dalamnya. Di Inggris, pada tahun 1991 aborsi mencapai 180.000.
Dari angka tersebut, 110.000 di antaranya terjadi pada perempuan yang tidak menikah. Hanya 1% di
antaranya yang dilakukan karena alasan medis. Dua tahun kemudian, tahun 1993 aborsi meningkat
pesat, hingga mencapai 819.000 aborsi. Lebih dari 3.000 aborsi dilakukan pada gadis berusia 15
tahun ke bawah (di Inggris, remaja usia 16 tahun dianggap sudah dewasa, sehingga boleh
‘menentukan sendiri’ sesuatu yang dianggapnya baik); dan lebih dari 31.000 aborsi dilakukan pada
gadis 19 tahun ke bawah (Ismail Ada Patel, Perempuan, Feminisme, dan Islam, 33).
Gambaran di atas menunjukkan betapa besar harga yang harus dibayar akibat merajalelanya
pornografi. Jadi, jika tak rela mengalami nasib yang sama dengan negara-negara kapitalis itu,
sudah seharusnya kita mengatakan ‘stop’ terhadap pornografi dan pornoaksi.

Akar Masalah
Arus utama (paradigma) berpikir masyarakat saat ini memang sangat terpengaruh oleh
Kapitalisme; paham yang menganggap bahwa kehidupan tidak perlu diatur oleh agama, namun
cukup ditentukan oleh asas manfaat. Faktanya, apa yang dianggap bermanfaat ini ditentukan secara
sangat egoistik dan berwawasan pendek oleh para pelaku yang kebetulan mendominasi arena.
Dalam Kapitalisme, apa saja yang bisa dijadikan komoditas/barang dagangan akan
diperlakukan sebagai komoditas/barang dagangan. Andaikata air ludah itu bisa dijual, tentu akan
ada bisnis di sana.
Wanita sudah dianggap sebagai "barang dagangan" sejak lama, bahkan eksploitasi wanita
dalam berbagai bentuknya (dari pamer aurat hingga pelacuran) sering disebut sebagai bisnis "tertua"
di dunia. Sebutan ini dijadikan alasan seakan-akan mustahil memberantas pornografi dan pornoaksi,
karena hal itu sudah menyatu dengan sejarah manusia.
Bahkan sejumlah teori ilmiah dicoba dibuat oleh para psikolog Barat. Sigmund Freud,
misalnya, mengatakan bahwa aktivitas seks (tanpa peduli segi halal-haramnya) adalah sumber

1
energi, yang tanpa itu manusia tidak bisa hidup normal.
Salah satu pilar demokrasi adalah kebebasan berekspresi dan berperilaku. Dalam demokrasi
yang diyakini Barat (dan juga dijajakan sebagai "kebenaran universal" ke negeri-negeri Islam),
seseorang seharusnya bebas berekspresi dan berperilaku apa saja. Batasnya hanyalah kebebasan
orang lain. Kalau tidak mengganggu orang lain, mengapa harus dibatasi? Kalau ada yang keberatan
dengan tayangan (porno) di TV, ya tidak usah nonton, pindah saluran saja, atau matikan saja TV-
nya. Begitu kilah mereka.
Pandangan-pandangan di atas bertemu dengan alasan ekonomi. Realitasnya, sebagian wanita
"memilih" bidang "bisnis" ini karena tekanan atau tarikan ekonomi. Ketika pendidikan mahal dan
lapangan kerja susah, maka eksploitasi aurat dan seks adalah jalan pintas untuk meraih uang dan
materi. Aksi anti pornografi dan pornoaksi pun sering ditolak dengan alasan ekonomi, "Kalau
mereka dilarang, terus siapa yang kasih makan?"
Memang, ditemukan sejumlah pemain dangdut pengumbar aurat atau pelacur pengobral
syahwat yang melakukan pekerjaannya ini demi sekolah adik atau anaknya, atau demi orangtuanya
yang renta, setelah suaminya tiada atau tidak berdaya; sementara penguasa yang semestinya
melindungi mereka, juga tidak melakukan apa-apa.
Sepintas memang aktivitas pornografi/pornoaksi itu tidak merugikan yang tidak
berkepentingan. Mereka yang bertransaksi juga melakukannya suka sama suka. Namun, ada yang
dilupakan: masa depan!
Di Barat, pornografi/pornoaksi baru menjadi sangat liberal sejak ditemukan alat pencegah
kehamilan pada akhir tahun 60-an. Sejak itulah orang bisa memisahkan antara tanggung jawab
kehamilan dengan kenikmatan seksual. Sejak itu pula "bisnis" ini menjadi fenomena global.
Namun, kini dampaknya mulai terasakan. Anak-anak, remaja, dan pemuda yang lahir di Barat pada
era 70-an ke atas memiliki semangat juang atau motivasi yang lebih rendah daripada orangtua atau
moyang mereka. Ada kecenderungan mereka menghindari persoalan-persoalan yang lebih rumit,
semacam sains dan teknologi. Mereka juga tidak lagi begitu peduli pada persoalan politik. Dunia
mereka kini adalah 3F—football, fashion, & fun—(permainan, penampilan, dan bersenang-senang).
Karena itu, generasi Jena Bush (anak George W. Bush) tidak lagi setangguh generasi George
Washington. Sebenarnya tinggal menunggu waktu saja, sampai akhirnya tiba generasi terakhir
dalam sejarah mereka.
Dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, fenomena 3F—yang antara lain tampak dari
pornografi/pornoaksi—selalu merupakan gejala kehancuran bangsa itu.

Serangan Barat
Jika dicermati, munculnya pro kontra pada pembahasan RUU APP hingga kini setelah
disahkannya menjadi UU Pornografi, bisa jadi adalah bagian dari serangan budaya Barat yang
sedang dilancarkan oleh ideologi Kapitalisme Sekuler terhadap Islam dan kaum muslimin. Entah
disengaja atau tidak setelah Islam dicap oleh Barat sebagai “ideologi setan”, setelah Khilafah Islam
dipandang sebagai ancaman, setelah jihad disamakan dengan aksi teror, setelah kurikulum madrasah
dan pesantren dipandang sebagai lembaga yang berpotensi mengajarkan terorisme, setelah para
khotib dicurigai sebagai penebar kebencian, dan setelah kaum muslim diidentikkan dengan kaum
teroris, kini kaum muslimin di Indonesia dihadapkan pada berbagai serangan budaya Barat yang
semakin gencar.
Belum reda umat dibombardir oleh rencana di seputar legalisasi aborsi dan pendirian ATM
kondom yang secara tidak langsung akan mendorong tumbuh suburnya budaya seks bebas khas
Barat, kini umat Islam dibuat gerah dengan munculnya majalah yang telah menjadi ikon majalah
porno dunia, majalah Playboy. Dari sini, akhirnya muncullah RUU APP yang dibuat untuk
membendung semua itu. Namun, perjalanan RUU ini tak mulus, karena kubu penentangnya sangat
getol mengupayakan agar RUU ini kehilangan arah dari tujuan awalnya dan pada akhirnya kalaulah
bisa menjadi UU, akan menjadi UU yang mandul. (Sebagaimana yang terlihat dari perubahan
draft II RUU APP, baca juga Waspadai Pembelokan RUU APP! –Pen.-)
Tampaknya, Indonesia memang menjadi sasaran utama dari serangan budaya Barat sekuler
melalui pornografi, pornoaksi dan seks bebas ini. Barat menyadari bahwa Indonesia sebagai negeri
Islam dengan jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia, berpotensi menjadi salah satu
ancaman bagi mereka. Karena itu untuk melemahkan moral generasi muda muslim dan melenakan
mereka dalam kubangan hedonisme tanpa disadari oleh mereka sendiri, Barat melancarkan serangan
budaya permissive (serba boleh) seperti pornografi, pornoaksi dan seks bebas. Tujuan akhirnya

2
adalah semakin menjauhkan kaum muslim dari ideologi Islam. Dan pada akhirnya akan
menghancurkan ideologi Islam itu sendiri.

Islam Menjawab dengan Kâffah


Berlarut-larutnya pembahasan pornografi dan pornoaksi saat ini adalah akibat ketidakjelasan
standar pijakan untuk menilai pornonografi dan pornoaksi. Standar porno diserahkan kepada akal
dan hawa nafsu manusia. Akibatnya, kesimpulan yang dihasilkan berbeda-beda. Bergantung dengan
kebiasaan, pengalaman, selera, budaya, dan pikiran masing-masing.
Jika sejak awal pornografi dikembalikan kepada Islam, persoalan pornografi tidak akan
berlarut-larut seperti saat ini. Sebab, Islam memiliki konsep jelas mengenai definisi pornografi dan
bagaimana cara mencegahnya dalam kehidupan bermasyarakat dengan basis teologis yang jelas
pula.
Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia tak pernah terlepas dari kehidupan di akhirat
kelak. Sebab kelak manusia akan diminta pertanggungan jawab dari semua perbuatannya di dunia.
Karena itu, perbuatan manusia di dunia pun memiliki aturan tertentu. Bukan aturan hidup yang
dibuat oleh manusia sendiri, tapi aturan yang berasal dari Allah swt sebagai pencipta manusia,
sehingga aturan itu pasti bisa dijamin kebenarannya dan kemampuannya dalam menyelesaikan
segala problema kehidupan manusia.
Sebagai ajaran yang diturunkan oleh Sang Pencipta Yang Mahabijaksana , Islam
memberikan syariat yang sangat lengkap. Wanita dipandang sebagai sosok yang diberi
kehormatan dan tugas yang mulia, yakni sebagai "madrasah/sekolah" pertama bagi generasi baru
dan mitra bagi suaminya; bukan sebagai komoditas ataupun lawan bagi para lelaki.
Hasrat seksual ataupun pamer aurat dipenuhi di dalam pernikahan, yakni antara suami-istri.
Kaum wanita tidak perlu menjual dirinya karena alasan ekonomi, karena sistem nafkah dalam
Islam membentuk jaringan yang rapi, sehingga tidak perlu seorang wanita menjadi terlunta-lunta.
Setiap wanita akan dinafkahi oleh ayahnya, suaminya, saudara laki-lakinya, pamannya, atau bahkan
anak laki-lakinya. Jika tidak ada kerabatnya ini yang mau menafkahi, negara wajib campur tangan,
dan ini tidak dianggap sebagai intervensi negara ke ruang privat. Jika dia tidak memiliki kerabat,
atau ada tetapi juga tidak mampu, negara membantunya secara langsung dengan menunjuk hakim
yang adil untuk menjadi wali bagi wanita itu.
Tentu saja negara juga menyelenggarakan sistem pendidikan dengan kurikulum yang
islami. Bahan ajar yang mendewakan kebebasan berekspresi atau berperilaku, atau teori Freud,
tentu saja harus dibongkar kepalsuannya, dan digantikan dengan ajaran-ajaran Islam yang
menyejukkan kalbu, memuaskan akal, dan menenangkan jiwa.
Negara juga menegakkan syariat tentang aurat dalam Islam. Islam telah memberikan
definisi yang jelas tentang pornografi dan pornoaksi. Pornografi adalah segala jenis produk grafis
(tulisan, gambar, film) –baik dalm bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV,
situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya - yang mengumbar aurat (baik
aurat laki-laki maupun perempuan) yang dipertontonkan dan dijual ke tengah-tengah masyarakat
(ke public) atau kepada orang yang tidak berhak.
Adapun pornoaksi adalah perbuatan memamerkan aurat yang digelar dan ditonton secara
langsung dari mulai aksi yang biasa-biasa saja seperti aksi para artis di panggung-panggung hiburan
umum hingga yang luar biasa dan atraktif seperti tarian telanjang atau setengah telanjang di tempat-
tempat hiburan khusus (diskotek, klub malam, dan sebagainya)
Pornografi dan pornoaksi ini hukumnya haram dalam Islam, karena mempertontonkan aurat
di muka umum (selain kepada yang berhak, dengan alasan yang dibenarkan syariat) adalah haram.
Tentu saja, dalam konteks ini yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam.
Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Hendaklah mereka menutupkan
kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka; kecuali kepada suami
mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka,
saudara-saudara mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai hasrat (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita." (QS an-Nur [24]: 31).
Islam telah menetapkan batas-batas aurat, baik laki-laki maupun perempun, yang tidak boleh

3
dibuka di sembarang tempat dan sembarang orang. Dalam Islam, batas aurat wanita bagi laki-laki
asing adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Suatu saat Asma’ binti Abu
Bakar masuk ke dalam ruangan Rasulullah saw. Dia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah saw pun
berpaling, kemudian bersabda:

ِ‫جهه وَكَفَّيْه‬ ْ َ‫شاَر إِلَى و‬ َ َ ‫منْهَا إَِّل هَذ َا وَهَذ َا وَأ‬


ِ ‫ن يَُرى‬
َ ُ ‫حيض ل َم تصل‬
ْ ‫حأ‬ْ ْ َ ْ َ َ ْ ‫ت ال‬
ِ ‫م‬ َ ْ ‫ن ال‬
ْ َ‫مْرأةَ إِذ َا بَلَغ‬
َ َّ ِ ‫ماءُ إ‬
َ ‫س‬
َ
ْ ‫يَا أ‬
Wahai Asma’, sesungguhnya wanita apabila telah sampai pada usia baligh, tidak diperkenankan
terlihat darinya kecuali ini dan ini, seraya menunjuk wajah dan telapak tangannya (HR Abu
Dawud).
Itulah batas aurat yang harus ditutup ketika wanita keluar rumah. Lebih dari itu, mereka
diperintahkan mengenakan pakaian khusus yang ditentukan oleh Allah Swt. Pakaian tersebut adalah
al-khimâr (kerudung) yang harus menutupi seluruh kepala (kecuali wajah) hingga dada (QS al-Nur:
31) dan al-jilbâb (QS al-Ahzab: 59). Jilbab adalah baju kurung atau terusan yang longgar, dan
menutupi seluruh bagian tubuh hingga kaki.
Allah SWT berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka." (QS al-Ahzab [33]: 59).
Demikian juga dengan laki-laki. Meski batas auratnya tidak seperti perempuan, laki-laki pun
memiliki batas aurat yang tidak boleh diperlihatkan di depan umum. Batas auratnya adalah antara
pusar dan lutut. Dari Muhammad bin Jahsy, suatu saat Rasulullah saw melewati Ma’mar yang kedua
pahanya tersingkap, beliau bersabda kepadanya:
ٌ‫ن ع َوَْرة‬ ِ َ‫ن الْف‬
ِ ْ ‫خذ َي‬ َّ ِ ‫ك فَإ‬َ ْ ‫خذَي‬ ِّ َ ‫مُر غ‬
ِ َ‫ط ف‬ َ ْ‫مع‬َ ‫يَا‬
Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu, karena sesungguhnya kedua paha itu aurat (HR Ahmad).
Dalam berpakaian dan berperilaku, diharamkan pula tabarruj (berhias berlebihan di ruang
publik), yang memungkinkan munculnya hajat seksual lawan jenisnya. Islam juga melarang wanita
berduaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya (khalwat).
Di sisi lain, negara justru harus mengupayakan agar wanita-wanita yang diperlukan
keahliannya dan akan bekerja tetap dapat melakukan aktivitasnya sekalipun berjilbab. Tidak
seperti sekarang, wanita yang berusaha menutup auratnya malah dipersulit, sekalipun mereka
profesional.
Mereka yang harus mengajar ilmu di depan majelis yang juga dihadiri laki-laki juga tetap
diberi hak untuk itu, karena suara bukanlah aurat.
Kalau satu pihak (wanita) diperintahkan menutup aurat, maka pihak yang lain (laki-laki)
diperintahkan menundukkan pandangan. Demikian Allah SWT berfirman:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya
dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka." (QS an-Nur
[24]: 30).
Laki-laki yang "ingin segera melihat aurat wanita" dibantu dengan jalan dipermudah
menikah. Syariat mendorong masyarakat dan negara untuk menjadi fasilitator bagi mereka yang
ingin menikah, bahkan sebagian harta Baitul Mal bisa dipakai untuk mensponsori pernikahan ini,
sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Allah SWT berfirman:
Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian dan orang-orang yang patut
(kawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memberi mereka kecukupan dengan karunia-Nya. (QS an-Nur [24]: 32).
Untuk mencegah masuknya pornografi dari luar negeri, negara menerapkan syariat
hubungan luar negeri yang berbasis pada dakwah dan jihad. Perdagangan luar negeri
dipandang dalam kerangka yang akan menguatkan Khilafah Islam dan kaum Muslim. Segala
komoditas yang berpotensi melemahkan—termasuk melemahkan akidah dan kepribadian kaum
Muslim—harus dicegah.
Agar semua hukum itu berjalan, negara menerapkan sanksi tegas kepada siapa pun bagi
pelanggarnya. Dalam syariah, sanksi itu tercakup dalam hukum ta’zir, yang jenis sanksinya
diserahkan kepada qadhi (hakim). Yang terpenting, sanksi hukum itu dapat memberikan efek jera
kepada pelanggarnya dan mencegah bagi yang belum melaksanakan.
Itulah ketetapan Islam. Jelas dan baku sepanjang zaman. Dalam Daulah Islam, ketetapan itu
tidak hanya diberlakukan terhadap rakyat yang muslim, tetapi juga non muslim yang menjadi kafir
dzimmi. Dengan aturan yang jelas itu, masyarakat akan bersih dari pornografi dan pornoaksi.
Walhasil, hanya dengan Islam masyarakat yang tenteram, adil, dan sejahtera akan terwujud. Oleh

4
karena itu, untuk menyelesaikan masalah pornografi ini, mengapa tidak ‘melirik’ pada Islam?

Agenda Bersama
Yang ironis, aparat di negeri ini seringkali lebih senang bersikap reaktif menunggu
masyarakat marah dan kemudian merusak sarana-sarana maksiat (termasuk arena pornoaksi atau
lapak-lapak penjualan pornografi). Padahal, seharusnya aparatlah yang proaktif melakukan
pencegahan. Bukankah mereka yang mempunyai kekuatan? Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangan
(kekuasaan)-nya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tidak mampu, dengan kalbunya. Namun,
itulah selemah-lemah iman. (HR Muslim).
Karena itu, kita menyerukan kepada seluruh aparat negeri ini, agar kekuasaan yang
diamanahkan kepada mereka digunakan untuk mencegah kemungkaran ini terus berlanjut. Mereka
tidak boleh ada dalam posisi hanya sekadar bicara atau membuat wacana.
Sementara itu, tugas para ulama adalah senantiasa mengingatkan, agar para penguasa tidak
lalai dalam menjalankan amanah di atas. Mereka berkewajiban untuk mencerdaskan umatnya, agar
umat juga berani mengingatkan pemimpinnya, dan secara pribadi juga tidak justru menikmati
keberadaan pornografi itu.
Walhasil, tugas kita bersama untuk mencegah pornografi. Bukan sekedar terjebak pada
aksi mendukung atau menolak UU Pornografi- saja, karena hakekatnya –sebagaimana keyakinan
kita sebagai seorang muslim- UU Pornografi tersebut tidak akan bisa menjadi solusi kecuali bila
disandarkan pada tuntunan syariah-Nya. Dan tugas kita bersamalah untuk membangun satu barisan
perjuangan yang rapi dan kokoh demi tegaknya syariat Islam dan institusi yang akan menjadi
pelindung dan penjaga umat ini, termasuk masa depan kita dan anak-cucu kita.
Wallâh a’lam bi al-shawâb.

Anda mungkin juga menyukai