Anda di halaman 1dari 141

BAHAYA LIBERALISASI KELUARGA

Posted on March 11, 2008 by farid1924

Kebebasan yang kebablasan, mungkin ungkapan ini tepat untuk melukiskan betapa mengerikannya
kondisi pergaulan generasi muda kita (remaja). Kisah cinta model Siti Nurbaya sudah tidak laku lagi untuk
masa sekarang. Bahkan kalau dulu seorang remaja putri sebagai pihak yang ”menunggu” cintanya, maka
sekarang sudah biasa kalau seorang remaja putri ”menyatakan cintanya” terlebih dahulu. Inilah
sepenggal kisah cinta anak sekarang. Akan tetapi dampak pergaulan remaja sekarang tidak hanya ’cerita
sepenggal’,tetapi menjadi kisah yang global, bahkan meresahkan.

Berdasarkan penelitian di berbagai kota besar di Indonesia, sekitar 20 hingga 30 persen remaja mengaku
pernah melakukan hubungan seks. Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Boyke Dian
Nugraha di Jakarta mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan seks
bebas semakin meningkat. Dari sekitar lima persen pada tahun 1980-an, menjadi duapuluh persen pada
tahun 2000. Kisaran angka tersebut, kata Boyke, dikumpulkan dari berbagai penelitian di beberapa kota
besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Palu dan Banjarmasin. Bahkan di pulau Palu, Sulawesi
Tenggara, pada tahun 2000 lalu tercatat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah
mencapai 29,9 persen.

“Sementara penelitian yang saya lakukan pada tahun 1999 lalu terhadap pasien yang datang ke Klinik
Pasutri, tercatat sekitar 18 persen remaja pernah melakukan hubungan seksual pranikah,” kata pemilik
Klinik Pasutri ini.

Kelompok remaja yang masuk ke dalam penelitian tersebut rata-rata berusia 17-21 tahun, dan umumnya
masih bersekolah di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau mahasiswa. Namun dalam
beberapa kasus juga terjadi pada anak-anak yang duduk di tingkat Sekolah Menengah Pertama
(SMP).SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?

Yang bertanggung jawab dalam hal ini Pertama adalah keluarga. Pola relasi yang dibentuk dalam keluarga
akan menentukan pola komunikasi. Komunikasi adalah penting untuk diperhatikan, karena tanpa
komunikasi akan membuat pola pendidikan orang tua terhadap anaknya akan terhambat. Seringkali pola
hubungan yang dibentuk orang tua terhadap anaknya adalah pola otoriterian. Ini biasanya apabila orang
tua memposisikan sebagai ”majikan” dengan ”bawahan” terhadap anak-anaknya. Hubungan semacam
ini akan membentuk kekakuan yang mengarah kepada kebekuan komunikasi. Komunikasi terjadi hanya
apabila dimintai ”pertanggung jawaban” layaknya kerja kantoran. Dan pola semacam ini terjadi biasanya
orang tua ”hanya” meneruskan pola hubungannya dengan orang tua mereka dahulunya. Dan tentu akan
lebih berbahaya apabila disertai dengan kekerasan fisik dan mental. Ditambah lagi dengan
bertambahnya beban ekonomi, maka sang ibu harus ikut aktif di luar rumah dari pagi hingga sore hari,
hingga yang tersisa hanyalah rasa lelah dan emosi akan gampang tersulut.Ini harus sedemikan rupa
dirobah dan dihindarkan oleh para orang tua.

Selain pola relasi, keluarga juga diikat dengan kesamaan persepsi terhadap kehidupan. Orang tua yang
mempunyai persepsi (pandangan) hidup yang liberal, akan mengintensifkan perilaku liberal pada
anaknya. Lihatlah bagaimana orang tua sekarang yang merasa tidak keberatan apabila anaknya pergi
berduaan dengan pacaranya, hingga berperilaku layaknya suami-istri. Bahkan ini dianggap sebagai
”tuntutan jaman”. Anak sekarang sudah berbeda dengan dulu, lebih modern. Akan tetapi orang tua tetap
tidak bisa menerima akibat pergaulan bebas itu, hamil diluar pernikahan, napza (narkotika, psikotropika,
dan zat aditif lainnya), bahkan hingga terinfeksi HIV.

Yang Kedua adalah masyarakat.Ibarat dua sisi mata uang, lingkungan masyarakat dan manusia tidak bisa
dipisahkan. Sebaik apapun keluarga dibina dan mendidik anak-anaknya, apabila masyarakatnya jelek,
maka akan mengancam seluruh keluarga itu. Masyarakat Indonesia sangat rentan dengan pornografi dan
porno aksi. Ingatkah akan sulitnya menetapkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, beserta ganjalan
yang diupayakan oleh para aktivis yang liberal didukung oleh para artis yang memang ”hidup” di bawah
payung pornografi dan pornoaksi? Sementara itu belum pupus dari ingatan bagaimana akhirnya sekitar
april 2007 majalah Play Boy dapat payung hukum di Indonesia. Hasilnya, Indonesia adalah negara
peringkat ke-7 di dunia dengan pencarian kata kunci ”sex” terbanyak di dunia . Inilah kondisi masyarakat
kita. Bebas mengakses apapun yang mereka kehendaki. Dan generasi kita menjadi korban pergaulan
bebas.

Ketiga adalah agen pro liberal. Merekalah yang memantapkan langkah siapapun yang menginginkan
berprilaku bebas. Mulai dari kebebasan beragama hingga bebas bertingkah laku. ”Semua agama sama,
semua menuju pada jalan kebenaran. Jadi Islam bukan agama yang paling benar.” tegas Ulil Abshar
Abdalla, Koordinator JIL . ”Seorang muslim ”berhak” menjadi pencuri, bahkan seorang muslimah berhak
menjadi pelacur,”tulis Muhidin M. Dahlan dari IAIN Yogyakarta, lewat bukunya Tuhan Izinkan Aku
Menjadi Pencuri dan Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Bahkn dalam kumpulan Artikel di Jurnal Justisia
Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25 tahun 2004, ia menghina institusi perkawinan, dengan
mengatakan bahwa perkawinan hanyalah sebagai lembaga pembirokrasian seks, lembaga tong sampah
penampung sperma, yang akhirnya karena adanya perkawinan ditetapkanlah klaim bahwa pelacuran itu
salah. Bahkan ia tega manyamakan status istri dengan pelacur, karena sama-sama penikmat dan pelayan
seks bagi laki-laki. Zainun Kamal, seorang dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
menyatakan bahwa pindah-pindah agama tidak masalah. Mereka para ”cendikiawan” kebablasan inilah
yang mempunyai kontribusi besar terhadap kebebasan berprilaku yang diusung generasi muda sekarang,
karena mereka sudah berhasil melemahkan aqidah dan keimanan yang merupakan pondasi seorang
Muslim.
SOLUSI

Bagaimana solusi yang harus dilakukan? Pertama, dekatkan dan pahamkan Islam dalam keluarga.
Dakwah di tengah keluarga wajib digencarkan. Sebagaimana kewajiban dakwah kepada masyarakat
secara umum, maka begitu pula terhadap keluarga. Apalagi Allah SWT secara khusus memerintahkan
untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka (QS At-Tahrim:6). Sudah barang tentu agar dakwah dapat
berjalan di tengah keluarga, maka keharmonisan komunikasi harus pula dijaga. Pola relasi orang tua dan
anak yang benar adalah pola persahabatan. Dimana orang tua memposisikan dirinya sebagai sahabat
bagi anaknya. Dengan komunikasi yang lancar, akan menjadikan anak selalu membutuhkan kehadiran
orang tuanya, layaknya seorang sahabat. Dalam keluarga pula ditanamkan aqidah Islam yang kokoh dan
memahamkan perbedaan aqidah Islam dan aqidah Sekuler Liberal sebagai dua aqidah yang berbeda.
Sekulerisme akan menafikkan peran Syariah Islam dalam kehidupan manusia, sedangkan Islam akan
menghasilkan komitmen yang besar (keterikatan) terhadap Syariah Islam. Insya Allah ini akan membuat
anak-anak kita tak akan pernah ragu memeluk Islam dimana pun ia berada. Bahkan ia akan turut serta
mendakwahkannya ke tengah teman-temannya.

Kedua, gencarkan dakwah Islam di tengah masyarakat, dengan cara memahamkan masyarakat akan arti
penting syariat Islam yang akan menyelamatkan generasi. Islam merupakan aturan yang komprehensif.
Meninggalkan sebagian aturan Islam akan mengundang malapetaka. Misalnya kaum muslimah sekarang
mulai cenderung berpakaian tutup aurat. Akan tetapi mereka tidak memahami aturan Islam dalam
mengatur pergaulan. Ini akan membuat mereka tetap akan terjebak dalam perilaku hewani yang bebas
dan kebablasan seperti saat ini.

Sama halnya aturan Islam yang dilakukan secara individual, tidak akan sempurna apabila tanpa
penerapan syariat Islam secara Kafah oleh pemerintah. Contohnya dalam masalah kebebasan di kalangan
remaja ini, tidak cukup hanya sekadar memperbaiki keluarga, atau merehabilitasi pelaku-pelaku seks
bebasnya, akan tetapi perlu ketegasan pemerintah dalam meberlakukan UU anti liberalisme, baik anti
liberal dalam bidang media massa, ekonomi, maupun politik.Tanpa ini, maka generasi dan bangsa ini,
nyawanya ini akan menjadi taruhan. Jadi tunggu apa lagi, mari tegakkan Syariah Islam dalam bingkai
Khilafah Islamiyyah. Allahu Akbar!!!(Ummu Salamah)

Ada upaya sistematis untuk meliberalkan hukum Islam khususnya terkait keluarga dan perkawinan. Hal
ini dipaparkan Ibu Neng Djubaedah, SH. MH dari Wanita Islam dalam acara Forum Kajian Tokoh
Muslimah (FORUM KITA) Ke-9 bertajuk “Dibalik Perdebatan Nikah Sirri’, Selasa (24/3) di Jakarta. Acara ini
diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (DPP-MHTI).

“Definisi perkawinan saat ini mengalami perubahan, sebelumnya dalam UU Perkawinan no 1 tahun
1974, landasan perkawinan adalah untuk ibadah dan dalam rangka mentaati perintah Allah. Demikian
pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pernikahan didefinisikan sebaga mitsaqon gholidzo dalam
rangka beribadah kepada Allah. Namun dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA), tidak
ada lagi kata-kata ibadah dan dalam rangka mentaati perintah Allah.,” papar Ibu Neng Djubaedah.

Dalam RUU ini perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan
sebagai suami istri berdasarkan akad nikah dan bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah, keluarga
bahagia sesesuai hukum Islam.

Beliau mempertanyakan kata-kata hukum Islam dalam RUU HMPA, karena membuka celah penafsiran
secara liberal oleh kalangan gender. Sedangkan dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
(CLDKHI) yang telah digagas kaum gender, pernikahan didefinisikan sebagai kesepakatan antara laki-laki
dan perempuan. Dalam CLDKHI pencatatan dimasukkan sebagai rukun nikah.

”Berkaitan dengan nikah sirri, RUU HMPA yang memuat pasal tentang nikah sirri sebagai perbuatan
illegal yang pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta
rupiah,” tambah Ibu Neng.

Hal senada disampaikan Ibu Ir. Najmah Saidah dari DPP MHTI. Ibu Najmah menyampaikan keluarnya
HMPA bukan tanpa sebab. Didalamnya terdapat ruh dan nuansa liberalisasi yaitu CLDKHI.

” Ini merupakan upaya terselubung liberalisasi keluarga. Tatanan keluarga terus digoyang merupakan
bagian dari penjajahan global oleh musuh-musuh Islam (AS) yang menginginkan hancurnya tatanan
kehidupan keluarga muslim,” ujar Ibu Najmah. Skenario global ini secara sistematis dan struktural masuk
melalui lembaga internasional (PBB) yang menekan negeri-negeri muslim jajahan untuk meratifikasi
konvensi-konvensi yang sarat agenda liberal seperti CEDAW dll.

Selanjutnya negara menekan masyarakat dengan UU liberal yang dibuat dan diimplementasikan dalam
bentuk program melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) hingga level masyarakat
bawah yaitu posyandu. ”Liberalisasi keluarga pun dilakukan secara kultural melalui program aksi LSM
gender yang menggiring masyarakat seolah mereka menginginkan perubahan-perubahan hukum,”
tandas Ibu Najmah. Kalangan LSM pun saat ini gencar melakukan liberalisasi kepada para para ulama.
Karena posisi strategis ulama di tengah masyarakat. Beliau pun menambahkan bahaya upaya liberalisasi
keluarga berujung pada liberalisasi bangsa.

Ibu Nurni Akma dari Aisiyah membuktikan bahwa liberalisasi keluarga merupakan proyek global kaum
liberal. Baru-baru ini, tepatnya tanggal 13-17 Februari 2009, beliau diundang oleh kalangan gender untuk
menghadiri pertemuan Musawah di Malaysia. Agenda utama Musawah adalah menuntut keadilan dan
kesetaraan dalam keluarga muslim. Kaum gender yang hadir adalah perwakilan dari 48 negara, termasuk
Indonesia yang diwakili Musdah Mulia, Husein Muhammad, dan Nur Rofiah. Mereka menggugat hukum-
hukum Allah, terutama hukum tentang keluarga diantaranya waris, poligami, izin perkawinan. Beliau
menambahkan bahwa kaum muslimin harus dicerdaskan agar faham hukum Islam sehingga tidak
terpengaruh oleh pemikiran liberal.

Ibu Ratu Erma dari DPP MHTI menyampaikan kritiknya bahwa menjadikan pencatatan sebagai suatu
kewajiban merupakan upaya merubah hukum Allah. Karena hukum pencatatan di dalam Islam adalah
mubah termasuk aspek administratif saja. ”Ketika kaum liberal mewajibkan pencatatan, mereka telah
menjadikan fakta sebagai sumber hukum. Fakta dan alasan kaum liberal memasukkan pencatatan
sebagai rukun nikah yaitu banyaknya pernikahan yang tidak tercatat. Pada saat ada masalah malah
merugikan perempuan, karena perempuan menjadi terkatung-katung dan tidak ternafkahi,” kata Ibu
Erma. Islam memiliki solusi masalah berkaitan hal ini. Hukum Islam menetapkan rukun nikah hanya ada 4
yaitu; ijab qabul, suami-isteri, wali dan dua orang saksi.

Beliau melanjutkan cara berfikir dan metodologi ijtihad liberal atau kaidah liberal sangat keliru, karena
menjadikan akal sebagai landasan bukan nash syar’i. Demikian pula alur penafsiran Islam versi liberal
yaitu menjadikan kemaslahatan, maqashid syar’i, akal publik, dan kearifan lokal sebagai landasan untuk
menganalisa Al Quran dan Al Hadits, alur penafsiran ini sangat terlihat jelas termasuk ketika mereka
menggugat poligami dan nikah sirri.

Arus liberalisasi masuk secara struktural dan kultural maka upaya membendungnya pun harus dilakukan
secara struktural dan kultural tentunya hanya mampu dilakukan oleh negara adidaya kaum muslimin
yaitu Khilafah Islamiyah. Demikian Ibu Ratu Erma menutup sesi talkshow.
Acara dilanjutkan dengan diskusi dengan peserta yang berlangsung hangat, para tokoh sangat antusias
menyampaikan pertanyaan dan tanggapan diantaranya Ustadzah Latuconsina dan Ustadzah Syahrajjad
Syaukat Al Bahry, keduanya merupakan tokoh pimpinan ormas muslimah. Acara yang dihadiri sekitar
seratus tokoh muslimah berbagai ormas Islam ini dipandu oleh Ibu Ir. Eni Dwiningsih, S.TP, M.Si dari
Lajnah Faaliyah DPP MHTI.

Fokus Al-Waie Edisi 54

Di Balik Penghancuran Keluarga Muslim

Oleh: Latifah Musa

Ketika persekongkolan besar musuh-musuh Islam berhasil meruntuhkan bangunan Khilafah Islamiyah
tahun 1924, yang masih tersisa di tengah-tengah umat Islam adalah tata kehidupan sosial di antara
mereka, beserta hukum-hukum yang bersifat individual seperti ibadah shalat, puasa, zakat, haji.
Walaupun sistem pemerintahan Islam sudah hancur dengan runtuhnya Khilafah Islam, sisa-sisa kultur
keislaman masih terpelihara baik di dalam rumahtangga-rumahtangga kaum Muslim.

Saat ini keluarga-keluarga Muslim menjadi harapan tempat bersemainya kembali ideologi Islam.
Keluarga¡Xdengan ayah sebagai pemimpin dan pengayom seluruh anggota dan ibu sebagai poros
aktivitas dalam rumah tangga¡Xmenjadi tumpuan lahirnya generasi-generasi yang kelak akan menata
kembali peradaban dunia dengan Islam.

Sejalan dengan waktu, serangan musuh-musuh Islam yang dipelopori oleh AS mengalir makin kuat.
Mereka berobsesi untuk menjebol benteng terakhir pertahanan umat Islam, yakni keluarga-keluarga
Muslim. Skenario telah disusun dan agen-agen pun mulai digerakkan. Di bawah bendera PBB, agen-agen
ini menggelar aksi-aksi tingkat internasional untuk menjustifikasi langkah-langkah penghancuran
keluarga Muslim.
Dari Kairo ke Beijing

Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference Population and


development-ICPD) di Kairo, September 1994, menjadi batu loncatan penting untuk mencetuskan ide
bahwa ¡¥perempuan¡¦ adalah kata kunci bagi penyelesaian masalah ledakan penduduk.1 Pesatnya
peningkatan jumlah penduduk dunia ini dianggap akan membawa persoalan besar bagi peradaban
dunia, khususnya dalam hal pangan dan kemiskinan. Konferensi Kairo menghasilkan program aksi
bertema, ¡§Empowerment of Women¡¨, atau yang lebih populer di Indonesia dengan istilah,
¡§Pemberdayaan Perempuan¡¨, yang menjadi ¡¥kunci¡¦ pembangunan berkelanjutan. Dengan alasan
bahwa perempuan adalah sumberdaya potensial untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas
keluarga, dan mengendalikan jumlah penduduk, maka perempuan harus mendapatkan peluang
berkiprah lebih besar di pelbagai bidang.

Jika Konferensi Kairo menjadi momentum yang mendorong penyetaraan pria dan wanita di pelbagai
bidang, Konferensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) yang digelar di Beijing, Cina
September 1995, telah menetapkan rencana aksi yang lebih luas lagi. Komisi PBB tentang status wanita
telah mencanangkan program aksi yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dalam peran serta
mereka di segala bidang.

Tahun 1997, isu ¡§Wanita dalam Kekuasaan dan Penentu Kebijakan¡¨ menjadi tema prioritas. Pemerintah
di setiap negara di bawah badan dunia PBB diharapkan (baca: ditekan) untuk melaksanakan rencana
tersebut dalam skala kebijakan nasional masing-masing. Indonesia sebagai bagian dari Gerakan Negara
Non Blok (GNB) turut pula menyepakati ¡§Beijing Message¡¨ dalam kesempatan tersebut. Pesan Beijing
ini merupakan political will dari negara-negara GNB untuk mengimplementasikan platform action dalam
lima tahun mendatang. GNB menyatakan akan melakukan berbagai aksi yang menyetarakan pria dan
wanita dalam kerangka hak asasi dan menghapus segala bentuk diskriminasi, memperbaiki kondisi
ekonomi dan keadilan sosial, serta membuka kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam setiap
kegiatan masyarakat. 2

Sejak awal digulirkan, banyak negara¡Xterutama yang berlatar belakang keagamaan¡Xmemandang


rencana aksi Beijing sebagai pemaksaan ide dan keyakinan liberal negara Barat terhadap negara-negara
lainnya.
Negara-negara liberal, yang mengklaim dirinya sebagai negara maju, demikian gigihnya memperjuangkan
cara hidup bebas yang lebih individualistis, padahal pada saat yang sama, The Economist justru
mengungkapkan masalah besar yang melanda negara-negara maju ini berkaitan dengan kaum
wanitanya. Negara-negara itu dilukiskan sedang menghadapi ancaman keambrukan sosial.

Di banyak negara maju, khususnya Inggris dan Amerika, perceraian keluarga menjadi obsesi. Statistik
menunjukkan kondisi perkawinan yang ¡¥di ujung tanduk¡¦. Mayoritas anak dibesarkan oleh orangtua
tunggal. Akibat akhir dari perceraian adalah masyarakat yang tercerai-berai.

Kebijakan tentang keluarga di Amerika dan Eropa luar biasa kacau. Swedia, misalnya, satu contoh negara
yang mendefinisikan diri sebagai bangsa individual, kebijakannya sangat mencerminkan pandangan itu.
Sejak reformasi tahun 1970, secara besar-besaran kaum wanita didorong memasuki dunia kerja. Setiap
orang diharapkan memiliki pekerjaan, bahkan para ibu dengan anak-anak yang masih kecil. Data
menunjukkan bahwa 50% bayi-bayi Swedia lahir dari ibu yang tidak menikah. Lebih dari 50% perkawinan
di Swedia berakhir dengan berceraian.3

Jika demikian kenyataannya, memaksakan konsep ¡¥Keluarga Barat¡¦ dalam rencana aksi yang
diistilahkan sebagai ¡§Gender And Development (GAD)¡¨ ini bagi negara-negara berpenduduk Muslim
hanya akan mengubah para Muslimah mereka menjadi individualistis, liberalis, dan materialis; tak
ubahnya langkah untuk menggerogoti bahkan menghancurkan bangunan keluarga.

LSM-LSM ¡¥Jender¡¦ Sebagai Agen

Sejalan dengan pelaksanaan Program Aksi Beijing, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM, dikenal di dunia
luas sebagai Non Governmental Organization/NGO) mulai menjalankan fungsinya, yakni mendorong,
mendampingi, mengarahkan, dan mengontrol pemerintah agar aksi tersebut benar-benar dijalankan.

Forum LSM di Huairo, Cina, yang digelar hampir bersamaan dengan Konferensi Beijing, sangat
memberikan warna pada program-program aksi.4 Tidak dipungkiri, beberapa program aksi merupakan
hasil ¡¥tekanan¡¦ dari Forum LSM ini. Secara bertahap, LSM-LSM inilah yang bertugas memasyarakatkan
Program-program Aksi Beijing.

Di negara masing-masing mereka menyodorkan draft-draft UU, melakukan aksi agar dilegalisasi sebagai
UU, serta menekan dan mengontrol pemerintah agar merealisasikan dalam kebijakan-kebijakannya.
LSM-LSM ini juga menggelar berbagai pelatihan dan seminar pemberdayaan perempuan perspektif
jender serta membentuk opini umum melalui media massa, dengan harapan, implementasi gender akan
segera terwujud di masyarakat.

Di Indonesia, beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan LSM-LSM yang aktif bergerak
memasyarakatkan isu jender sampai tingkat akar rumput (grassroot). Lembaga-lembaga feminis seperti
Kalyanamitra, Rifka Annisa, Yasanti dan LSPPA (Lembaga Studi dan pengembangan Perempuan dan
Anak) termasuk yang terbilang aktif mengusung isu jender. Koalisi Perempuan dan Pattiro adalah dua
dari LSM-LSM yang banyak melakukan pelatihan mengenai anggaran berperspektif jender di berbagai
wilayah di Indonesia.

Agen-agen perubahan sosial ini tersebar di berbagai kalangan. Ormas besar seperti NU, memiliki
komunitas seperti P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) pimpinan Masdar F. Mas¡¦udi
yang sangat intensif melakukan pelatihan jender di kalangan pesantren. Training diberikan kepada kyai-
kyai, nyai-nyai, ustadz, dan kaum perempuan di lingkungan kecamatan yang jauh di pelosok. Mereka
menjalankan proses liberalisasi masyarakat secara berkesinambungan dengan melakukan pelatihan-
pelatihan jender.

Lembaga-lembaga donor semacam Asia Foundation membantu menyuburkan program liberalisasi ini
melalui aliran dananya. Budhy Munawar Rahman menyebutkan adanya misi yang sejalan, yakni
liberalisasi.5 Liberalisasi sendiri adalah bagian dari Kapitalisme. Bagi para penyandang dana, liberalisasi
akan membuka kesempatan luas untuk perdagangan bebas. Liberalisme menjadi titik temu isu-isu
jender, pluralisme, dan dialog antaragama. Wajar saja jika ide-ide ini tampak selalu ¡¥setali tiga uang¡¦.

Aksi Lanjutan: Kompilasi Hukum Islam


Perkembangan mutakhir dari upaya liberalisasi keluarga-keluarga Muslim Indonesia adalah diajukannya
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum (ingkar) Islam (CLD-KHI).

Jauh sebelumnya, para aktivis feminis, dimotori oleh Farha Ciciek, pernah bekerjasama dengan UII
Yogyakarta untuk menggelar kajian serupa sebagai upaya menyemai isu-isu kontroversial ini ke tengah
masyarakat. Saat itu isu jender dalam ibadah banyak menuai kecaman dari kalangan Muslim sendiri.
Selanjutnya isu tersebut tidak dibicarakan secara publik, namun hanya dalam kelas-kelas, kelompok-
kelompok diskusi tertentu, dan pelatihan-pelatihan jender.6

Kini, langkah memasyarakatkannya dipelopori oleh Siti Musdah Mulia, sebagai ketua tim pengajuan CLD-
KHI. Musdah mengklaim bahwa CLD-KHI ¡§sudah menjadi milik publik¡¨.

Menanggapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membantah, dengan menyebut CLD-KHI bukan
sekadar menafsirkan al-Quran, namun sudah menyalahartikannya. Bagaimana tidak? CLD-KHI memuat
pasal-pasal yang bisa disebut memanipulasi nash-nash al-Quran. Disebutkan dalam CLD-KHI, bahwa
pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, pencatatan
nikah merupakan rukun nikah, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, dan ijab kabul bukan
rukun nikah Walhasil, nikah diserupakan dengan transaksi bisnis, artinya dengan siapa dan caranya
bagaimana tergantung kesepakatan. Jika demikian, apa bedanya dengan perzinaan? Bahkan sama saja
dengan melegalkan perzinaan atas nama Departemen Agama dan Islam.

CLD-KHI tidak sekadar memanipulasi nash-nash al-Quran, namun juga mengingkari Allah, Rasul-Nya, dan
al-Quran.7

Motif Ideologis Di Balik Aksi

Merunut perjalanan panjang proses liberalisasi keluarga-keluarga Muslim di dunia, termasuk di


Indonesia, kita akan menemukan suatu strategi politik yang sangat terencana. Amerika dan sekutunya
sesama negara Barat berperan sebagai dalang di balik strategi ini. PBB dan lembaga-lembaga dunia
menjadi semacam ¡¥event organizer¡¦ perpanjangan tangan untuk mengglobalkannya, agar segera
diratifikasi (untuk dilaksanakan) oleh negara-negara di dunia. LSM-LSM menjadi agen pelaksana di
tingkat negara (sampai tataran akar rumputnya).

Bagaimanapun musuh-musuh Islam telah menyadari bahwa jika mereka ingin menyempurnakan
penghancuran umat Islam, maka mereka harus menghancurkan model ¡§Keluarga Muslim¡¨ dan
menggantinya dengan model ¡§Keluarga Barat¡¨.

Penghancuran keluarga Muslim dimulai dari upaya menggeser orientasi para perempuan Muslim
terhadap peran keibuan. Perempuan Muslim diarahkan menjadi individualis, liberalis, dan meterialistis;
yang selanjutnya mereka akan meninggalkan keluarga dan anak-anaknya untuk mengejar karir, materi,
dan status sosial.

Penghancuran disempurnakan dengan merobohkan pola interaksi dalam keluarga yang selama ini masih
tertata dengan nilai-nilai Islam. Langkah melegalkan CLD-KHI tidak sekadar meletakkan batu sandungan
bagi perjuangan penerapan syariat Islam, namun menggerogoti keterikatan umat dengan syariat Islam
yang masih tersisa.ƒÔ

Penulis, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, tinggal di Magelang.

Catatan kaki:

1. Laporan Konferensi Dunia ke-4 tentang Wanita tahun 1995. Dikeluarkan oleh Kantor Menteri
Negara Urusan peranan Wanita Republik Indonesia (1996).

2. Kompas, 4/9/1995, ¡§Pesan Beijing dari GNB¡¨.


3. Kompas, 4/9/1995, ¡§Pertanyaan Yang Luput dari Agenda Beijing¡¨

4. Kompas, 7/9/1995, ¡§Masalah Wanita Telah Jadi Isu Global¡¨.

5. Wawancara dengan Budhy Munawar Rahman.

6. Laporan Simposium Nasional. Konstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat


Kontemporer. Lembaga Penelitian UII. Yogyakarta. 9-11/12/1995.

7. Koran Tempo, 27/10/2004.

http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=385

HTI: Keadilan dan Kesetaraan Gender Misi Liberalisasi Global yang Harus Diwaspada

Oleh : Republika

Medan-RoL-- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai isu keadilan dan kesetaraan gender (KKG) yang santer
didengung-dengungkan sebagian kalangan wanita di Indonesia tidak lebih dari sebuah misi liberilisasi
global yang diusung barat dan dicoba untuk terus ditanamkan agar menjadi konsep hidup masyarakat.

"Kesetaraan gender merupakan bagian dari misi liberalisasi yang hendak disebarkan kepada muslimah di
seluruh dunia termasuk di Indonesia," ujar Koordinator Aksi HTI Kota Medan, Hj. Aminah Yunus Rasyid,
ketika berorasi di halaman Kantor Walikota Medan, Selasa.
Lebih seratusan massa HTI Kota Medan menggelar unjukrasa dalam rangka menyongsong peringatan
Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember. Pada kesempatan itu mereka mengusung sejumlah spanduk dan
poster-poster yang berisi penolakan mereka atas konsep kesetaraan gender.

Diantara spanduk dan poster-poster yang mereka bawa bertuliskan "Awas KKG! KKG = Kerusakan dan
Kehancuran Generasi", "Poligami Halal Vs Free Sex Haram", UU PKDRT = UU Penghancuran Keluarga dan
Rumah Tangga", "Mengharamkan Poligami = Menentang Hukum Allah", dan "Kami Bangga Menjadi Ibu
Generasi Muslim".

Pada kesempatan itu mereka juga menggelar aksi teatrikal yang diberi judul "Legalisasi Aborsi, Khitan
Melanggar HAM". Aksi tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat yang kini cenderung menerima
praktik aborsi yang dilarang agama, sementara khitan yang jelas-jelas perintah agama justru disebut
melanggar HAM.

Menurut Hj. Aminah Yunus Rasyid, upaya menanamkan kebebasan pada perempuan oleh para
pengusung isu KKG dengan mengeluarkan jargon-jargon persamaan hak laki-laki dan perempuan harus
diwaspadi oleh umat Islam terutama para muslimah.

"Mereka berusaha sekuat tenaga dengan mengadakan seminar-seminar, diskusi-diskusi dan sosialisasi
melalui media massa dan bahkan melakukan transformasi sosial melalui institusi sosial yang ada, seperti
menganjukan RUU berbasis KKG yang mendukung kondisi lingkungan yang mampu menghilangkan bias
gender dan kemudian melahirkan UU legalisasi aborsi serta legalisasi prilaku seks bebas dengan
mengatasnamakan HAM dan KKG," ujarnya.

Semua itu, katanya, harus benar-benar diwaspadi oleh kaum muslim terutama muslimah, karena tujuan
pastinya adalah untuk menjauhkan umat Islam dari ketaatan kepada Allah SWT. "Kita bisa
membayangkan apa yang akan terjadi bila sisi kefeminiman kita dihilangkan dari diri kita, sehingga kita
tidak mau lagi mengurusi rumah tangga dan meninggalkan anak-anak kita hanya karena sibuk dengan
urusan agar kita merasa setara dengan laki-laki," katanya.

Pada kesempatan itu HTI mengeluarkan pernyataan sikap antara lain bahwa liberalisasi keluarga yang kini
tengah dilakukan bukanlah jalan yang tepat untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa keluarga
Indonesia. Kemiskinan lebih dinilai sebagai akibat dari sistem kapitalis yang dibiarkan terus bekerja di
Indonesia, sehingga menimbulkan dampak buruk terhadap keluarga Indonesia termasuk kaum ibu.
HTI menilai kekerasan pada perempuan terjadi karena lemahnya kesadaran para suami terhadap peran
dan tanggung jawab yang semestinya diemban dalam keluarga, disamping budaya kekerasan yang masuk
ke tengah keluarga melalui media massa.

Menurut HTI, penyelesaian menyeluruh dan mendasar dari persoalan itu adalah dengan menghentikan
sistem kapitalis yang memang bersifat destruktif, menyetop budaya hedonis yang telah mendorong
kekerasan dan merusak tatan keluarga.

HTI juga menilai penghormatan terhadap kaum ibu tidak cukup hanya sekedar secara seremonial dengan
memperingati Hari Ibu, tetapi harus dilakukan secara makruf dan menempatkan peran ibu secara benar.

Kabag Pemberdayaan Perempuan Kota Medan S. Harahap, SH, ketika menerima massa HTI mengajak
para ibu agar memulai penerapan syariat Islam mulai dari rumah tangga dan secara bertahap
menularkannya kepada lingkungan masing-masing.

Ia mengaku setuju bahwa poligami halal dan seks bebas haram. "Poligami adalah hukum Allah dan
menentangnya berarti menentang hukum Allah. Namun penerapannya tentu juga harus sesuai dengan
konsep Islam sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah," katanya.

Ada Upaya Sistemastis Untuk Meliberalkan UU Perkawinan

Ada upaya sistematis untuk meliberalkan hukum Islam khususnya terkait keluarga dan perkawinan. Hal
ini dipaparkan Ibu Neng Djubaedah, SH. MH dari Wanita Islam dalam acara Forum Kajian Tokoh
Muslimah (FORUM KITA) Ke-9 bertajuk “Dibalik Perdebatan Nikah Sirri’, Selasa (24/3) di Jakarta. Acara ini
diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (DPP-MHTI).

“Definisi perkawinan saat ini mengalami perubahan, sebelumnya dalam UU Perkawinan no 1 tahun
1974, landasan perkawinan adalah untuk ibadah dan dalam rangka mentaati perintah Allah. Demikian
pula dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pernikahan didefinisikan sebaga mitsaqon gholidzo dalam
rangka beribadah kepada Allah. Namun dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA), tidak
ada lagi kata-kata ibadah dan dalam rangka mentaati perintah Allah.,” papar Ibu Neng Djubaedah.
Dalam RUU ini perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan
sebagai suami istri berdasarkan akad nikah dan bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah, keluarga
bahagia sesesuai hukum Islam.

Beliau mempertanyakan kata-kata hukum Islam dalam RUU HMPA, karena membuka celah penafsiran
secara liberal oleh kalangan gender. Sedangkan dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
(CLDKHI) yang telah digagas kaum gender, pernikahan didefinisikan sebagai kesepakatan antara laki-laki
dan perempuan. Dalam CLDKHI pencatatan dimasukkan sebagai rukun nikah.

”Berkaitan dengan nikah sirri, RUU HMPA yang memuat pasal tentang nikah sirri sebagai perbuatan
illegal yang pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta
rupiah,” tambah Ibu Neng.

Hal senada disampaikan Ibu Ir. Najmah Saidah dari DPP MHTI. Ibu Najmah menyampaikan keluarnya
HMPA bukan tanpa sebab. Didalamnya terdapat ruh dan nuansa liberalisasi yaitu CLDKHI.

” Ini merupakan upaya terselubung liberalisasi keluarga. Tatanan keluarga terus digoyang merupakan
bagian dari penjajahan global oleh musuh-musuh Islam (AS) yang menginginkan hancurnya tatanan
kehidupan keluarga muslim,” ujar Ibu Najmah. Skenario global ini secara sistematis dan struktural masuk
melalui lembaga internasional (PBB) yang menekan negeri-negeri muslim jajahan untuk meratifikasi
konvensi-konvensi yang sarat agenda liberal seperti CEDAW dll.

Selanjutnya negara menekan masyarakat dengan UU liberal yang dibuat dan diimplementasikan dalam
bentuk program melalui Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) hingga level masyarakat
bawah yaitu posyandu. ”Liberalisasi keluarga pun dilakukan secara kultural melalui program aksi LSM
gender yang menggiring masyarakat seolah mereka menginginkan perubahan-perubahan hukum,”
tandas Ibu Najmah. Kalangan LSM pun saat ini gencar melakukan liberalisasi kepada para para ulama.
Karena posisi strategis ulama di tengah masyarakat. Beliau pun menambahkan bahaya upaya liberalisasi
keluarga berujung pada liberalisasi bangsa.

Ibu Nurni Akma dari Aisiyah membuktikan bahwa liberalisasi keluarga merupakan proyek global kaum
liberal. Baru-baru ini, tepatnya tanggal 13-17 Februari 2009, beliau diundang oleh kalangan gender untuk
menghadiri pertemuan Musawah di Malaysia. Agenda utama Musawah adalah menuntut keadilan dan
kesetaraan dalam keluarga muslim. Kaum gender yang hadir adalah perwakilan dari 48 negara, termasuk
Indonesia yang diwakili Musdah Mulia, Husein Muhammad, dan Nur Rofiah. Mereka menggugat hukum-
hukum Allah, terutama hukum tentang keluarga diantaranya waris, poligami, izin perkawinan. Beliau
menambahkan bahwa kaum muslimin harus dicerdaskan agar faham hukum Islam sehingga tidak
terpengaruh oleh pemikiran liberal.

Ibu Ratu Erma dari DPP MHTI menyampaikan kritiknya bahwa menjadikan pencatatan sebagai suatu
kewajiban merupakan upaya merubah hukum Allah. Karena hukum pencatatan di dalam Islam adalah
mubah termasuk aspek administratif saja. ”Ketika kaum liberal mewajibkan pencatatan, mereka telah
menjadikan fakta sebagai sumber hukum. Fakta dan alasan kaum liberal memasukkan pencatatan
sebagai rukun nikah yaitu banyaknya pernikahan yang tidak tercatat. Pada saat ada masalah malah
merugikan perempuan, karena perempuan menjadi terkatung-katung dan tidak ternafkahi,” kata Ibu
Erma. Islam memiliki solusi masalah berkaitan hal ini. Hukum Islam menetapkan rukun nikah hanya ada 4
yaitu; ijab qabul, suami-isteri, wali dan dua orang saksi.

Beliau melanjutkan cara berfikir dan metodologi ijtihad liberal atau kaidah liberal sangat keliru, karena
menjadikan akal sebagai landasan bukan nash syar’i. Demikian pula alur penafsiran Islam versi liberal
yaitu menjadikan kemaslahatan, maqashid syar’i, akal publik, dan kearifan lokal sebagai landasan untuk
menganalisa Al Quran dan Al Hadits, alur penafsiran ini sangat terlihat jelas termasuk ketika mereka
menggugat poligami dan nikah sirri.

Arus liberalisasi masuk secara struktural dan kultural maka upaya membendungnya pun harus dilakukan
secara struktural dan kultural tentunya hanya mampu dilakukan oleh negara adidaya kaum muslimin
yaitu Khilafah Islamiyah. Demikian Ibu Ratu Erma menutup sesi talkshow.

Acara dilanjutkan dengan diskusi dengan peserta yang berlangsung hangat, para tokoh sangat antusias
menyampaikan pertanyaan dan tanggapan diantaranya Ustadzah Latuconsina dan Ustadzah Syahrajjad
Syaukat Al Bahry, keduanya merupakan tokoh pimpinan ormas muslimah. Acara yang dihadiri sekitar
seratus tokoh muslimah berbagai ormas Islam ini dipandu oleh Ibu Ir. Eni Dwiningsih, S.TP, M.Si dari
Lajnah Faaliyah DPP MHTI.

Ormas Perempuan Tolak Liberalisasi Keluarga

CIANJUR, (PR).-
Beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam beberapa ormas

perempuan di Kab. Cianjur, di antaranya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Cabang Cianjur, BKMM, BKSWI, PBB dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),

menentang keras adanya liberalisasi dalam keluarga. Mereka menilai

liberalisasi keluarga salah satu dampak negatifnya membuat banyak

kasus dan masalah keluarga bermunculan.

Demikian pula dengan upaya beberapa kelompok mengedepankan kesetaraan

dan keadilan gender, ternyata dampaknya justru semakin menjauhkan

perempuan dari peran utamanya sebagai seorang ibu dan pengatur rumah

tangga. Ironisnya lagi, saat ini banyak keluarga Muslim tidak

menerapkan syariat Islam dalam mendidik keluarganya.

Hal itu diungkapkan Yunita Valerigina dari HTI. Dia mengatakan peran

seorang ibu dalam mendidik dan melahirkan generasi penerus bangsa

sangat penting. Namun kini ada indikasi berbagai upaya dari beberapa

kelompok dengan dalih mengedepankan kesetaraan dan keadilan gender.

Ternyata upaya tersebut dampaknya justu semakin menjauhkan peran

perempuan dari tugas utamanya sebagai seorang ibu dan pengatur rumah

tangga. "Kami ingin menyelamatkan perempuan dari liberalisasi

keluarga. Memfungsikan kedudukan dan status perempuan dalam keluarga,

sesuai peran utamanya," jelasnya.

Diungkapkannya, sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib perempuan

Indonesia yang saat ini sering menjadi objek diskriminasi, pihaknya


bersama beberapa elemen masyarakat perempuan seperti HTI Cabang

Cianjur, BKMM, BKSWI, PBB dan HMI, sepakat menentang keras adanya

liberalisasi dalam keluarga.

Dikatakan Yunita, liberalisasi saat ini telah melanda ke berbagai

sektor. Bukan hanya terjadi bidang ekonomi tetapi sudah masuk bidang

budaya maupun keluarga.

Liberalisasi keluarga dinilai akan mendiskriminasikan kaum perempuan.

Karenanya liberalisasi keluarga bukanlah jalan yang tepat dalam

menyelesaikan persoalan yang kini tengah menimpa keluarga di

Indonesia. Terjadinya kekerasan terhadap kaum perempuan merupakan

suatu aspek masih lemahnya kesadaran suami terhadap peran dan tanggung

jawabnya dalam keluarga.

"Kami mengharapkan memperingati Hari Ibu, beberapa waktu lalu tidak

hanya seremonial. Tapi lebih konkret bisa menempatkan seorang ibu

sesuai dengan kedudukan dan statusnya dalam keluarga," ungkapnya.

(A-116)***

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia*

Mukadimah

Munculnya gagasan liberalisasi Islam akhir-akhir ini telah begitu meresahkan masyarakat Islam. Hal itu
karena ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan
syariat Islam. Di antara wacana yang mereka sebarkan ialah mempertanyakan kesucian Al-Qur’an,
mengkritik otoritas Nabi, dan menghujat para ulama.

Pemikiran yang merusak seperti ini sudah seharusnya dibendung dan dilawan dengan pemikiran yang
benar. Karena membiarkannya berarti hanya akan membuat virus tersebut leluasa bergerak dalam
merusak dan mencari mangsa. Di sinilah umat Islam memiliki kewajiban untuk membentengi dirinya dari
arus liberalisasi Islam.

Arti Liberalisme

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, liberal berarti bersifat bebas dan berpandangan bebas (luas
dan terbuka). Sedangkan liberalisme artinya ialah aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki
demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur)
atau usaha perjuangan menuju kebebasan.

Dalam fatwa MUI tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama disebutkan bahwa liberalisme
adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang
bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

Kata-kata liberal sulit dicari dalam kamus bahasa Arab karena ia berasal dari barat yang kemudian
diserap ke bahasa lain. Menurut Abdurrahim bin Shamayil As-Silmi, memang sulit mendefinisikan
liberalisme secara singkat dan padat. Tetapi, ada pemikiran mendasar yang disepakati oleh orang-orang
liberal. Yakni gerakan yang menjadikan kebebasan sebagai landasan, tujuan, motivasi, dan target yang
hendak digulirkan dalam kehidupan manusia.

Asal Mula Liberalisasi Islam di Indonesia

Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis dimulai pada awal tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970,
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara
resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, peristiwa-peristiwa tragis susul-
menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.

Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox –melalui bukunya The Secular City – Nurcholish Madjid
membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam
tradisi Yahudi dan Kristen. Menurut buku tersebut, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan
agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. Karena sudah
menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab
sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah
menyokong dan memelihara sekularisasi.

Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid secara resmi
meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jakarta.
Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat”. Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan
pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa
Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”.

Seperti kita ketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras dalam berbagai sisi
kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini, setelah 30 tahun
berlangsung, arus besar itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham
"pluralisme agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi Kitab Suci” dan sebagainya, kini justru berpusat
di kampus-kampus dan organisasi Islam–sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini
menusuk jantung Islam dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Program Liberalisasi Islam

Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an,
dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang akidah dengan
penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan
metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.

Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program
Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap
rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d)
Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.

Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis
dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama – yang jelas-
jelas merupakan paham syirik modern –dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai
saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang
sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.
1. Liberalisasi akidah Islam

Liberalisasi akidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada
dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama.
Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang
sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak,
sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini,
bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya
agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah
agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.7

Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan
para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini di antara pernyataan mereka:

“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah
GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan,
semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua
agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda
dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu
keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam
artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Ulil Abshar Abdalla).

2. Relativisme kebenaran

Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak
cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme
ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN
Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:

“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu
tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian
pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.”

3. Liberalisasi Al-Qur’an

Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah
tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat.
Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di
Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni
studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New
Testatement”.

Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan
mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen
asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya
sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab
suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.

Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan
bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi,
anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk
yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada
posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar
sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang
mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

4. Liberalisasi Syariat Islam

Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi
Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang
dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu
program liberalisasi Islam di Indonesia adalah ‘’kontekstualisasi ijtihad’’. Para tokoh liberal biasanya
memang menggunakan metode ‘kontekstualisasi’ sebagai salah satu mekanisme dalam merombak
hukum Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah
hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara
Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh
gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid:

“Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh
puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai
analisis yang kritis dan sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk
melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu
penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan
konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.”
Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, bahwa al-Quran menunjukkan
bahwa risalah Islam – disebabkan universalitasnya – adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa
pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan
semenanjung Arab. Karena itu, al-Quran harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya
penganutnya, di mana dan kapan saja.”

Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh Nurcholish
Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah
menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam
yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan
metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran.

5. Faktor Asing

Karena Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam dipandang sebagai isu politik
potensial untuk meraih kekuasaan di Barat, maka berbagai daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’
dan melemahkan Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan melakukan proyek
liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu
saja masih menjadi bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu melalui
program Kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.

David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka
kampenye untuk – bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu
sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS
memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24
negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di
sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan
Islam moderat (versi AS).

6. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam

Jika Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya menjadi pelopor liberalisasi Islam di
organisasi Islam dan masyarakat, maka Prof. Dr. Harun Nasution melakukan liberalisasi Islam dari dalam
kampus-kampus Islam. Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Harun mulai melakukan gerakan yang serius
dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.
Berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen
Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya Prof. Dr. Harun
Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam – mata
kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.

Harun Nasution sendiri mengakui ketika itu tidak semua rektor menyetujuinya. Sejumlah rektor senior
mentang keputusan tersebut. Tapi, entah kenapa, keputusan itu tetap dijalankan oleh pemerintah. Buku
IDBA dijadikan buku rujukan dalam studi Islam. Karena ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang
menjadi panaung dan penanggung jawab IAIN-IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun
dijadikan bahan kuliah dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen
Agama.

Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan
rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi
terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan
isi suratnya:

“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa
gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian
Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat
Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”

Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya mengambil jalan lain
untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak
diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977, lahirlah buku
Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.

Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan tentang agama-
agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya sama dengan agama-agama
lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama
wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya
(historical dan cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga
sebagai ‘agama tauhid’ — ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama,
kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun
menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Tetapi kemurnian
tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama,
sudah tidak terpelihara lagi.”
Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana Islam? Jelas
pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa
dalam al-Quran dia dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-
ada.

Penutup

Sebagai penduduk sebuah negeri Muslim terbesar, umat Islam Indonesia saat ini benar-benar sedang
menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai krisis dan keterpurukan, umat Islam
Indonesia direkayasa, dirusak, dan diserbu besar-besaran dengan paham-paham syirik modern dan
berbagai pemikiran liberal yang membongkar habis-habisan sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat
Islam.

Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham ini adalah para individu, tokoh, cendekiawan, ulama,
dan lembaga yang secara formal menyandang nama Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat.
Sebab, para ulama dan cendekiawan yang seharusnya diamanahkan untuk menjaga agama, justru
banyak yang berbalik menjadi perusak agama. Inilah zaman fitnah, zaman edan, zaman di mana yang
haq dan yang bathil sudah bercampur aduk.

Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan, “Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan
ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik
manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).

Juga sabda beliau,

“Termasuk di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam
kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa, mudah-mudahan
tidak banyak kyai, ulama, cendekiawan, atau mahasiswa, yang tergoda oleh berbagai bujukan dan tipuan
duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Pemikiran-pemikiran yang
destruktif terhadap Islam, saat ini sering dikemas dengan bungkusan yang menarik dan dijajakan oleh
pengasong-pengasong yang piawai dalam bersilat-lidah dan tak jarang juga berhujjah dengan al-Quran.

Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini, adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi
semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga
ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang
sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari asasnya, baik akidah Islam, al-Quran, maupun syariat
Islam.
Tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita, kecuali dengan
meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah. “Ya Allah,
tunjukkanlah yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya; dan
tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya.

Security Code: Liberalisasi Global Menjerat Ibu dan Anak

Ditulis oleh alasyjaaripb di/pada 14 Mei 2008

oleh : Eko Yuniarsih, S.TP (Pemerhati Masalah Sosial)

Ibu adalah sosok yang sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang. Pola ibu dalam mendidik anak-
anaknya memiliki andil yang sangat besar terhadap kepribadian sang anak. Sangat tepat ungkapan yang
menyatakan bahwa ibu adalah guru yang pertama dan utama. Bagaimana tidak, interaksi seorang ibu
kepada anaknya jauh lebih banyak dari sang ayah, yaitu dimulai sejak dalam kandungan sampai
kemudian lahir bayi, tumbuh menjadi anak-anak, remaja dan dewasa..

Dengan kata lain peran ibu tidak sebatas sebagai ibu biologis yang hanya bertugas melahirkan saja tetapi
juga berperan sebagai pendidik anak-anaknya. Ketika peran pendidik ini dijalankan dengan benar maka
diharapkan lahirlah anak-anak yang siap menjadi generasi penerus yang tangguh.

Namun saat ini, peran ibu sebagai pendidik yang baik bagi anak-anaknya menjadi sesuatu yang sangat
sulit dijalankan. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan peran ibu sebagai pendidik yang baik ini
semakin berat dijalankan. Pertama adalah globalisasi kapitalisme yang membentuk atmosfer kapitaklistik
bagi kehidupan, dan yang kedua adalah tekanan liberalisme melalui undang-undang.Globalisasi
Kapitalistik dan Pemaksaan Nilai Liberal

Globalisasi kapitalisme telah menimbulkan berbagai permasalahan bahkan membuat negara-negara


berkembang mengalami krisis multidimensi. Gaya hidup kapitalis ini telah menimbulkan tekanan
ekonomi dan menumbuhsuburkan penindasan pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah termasuk
kaum perempuan dan para ibu. Terlebih setelah krisis ekonomi yang menimbulkan tekanan ekonomi
semakin parah, sehingga acapkali berujung pada perceraian suami istri, konflik dalam keluarga hingga
terjadinya penganiayaan terhadap istri maupun anak-anak. Semua ini merupakan hasil dari globalisasi
idiologi kapitalisme, idiologi yang menihilkan peran Tuhan dalam pengaturan urusan hidup di dunia dan
mengusung kebebasan. Salah satu ide buah kapitalisme adalah ide kesetaraan gender (Gender Equality.
Konsep kesetaraan gender ini langsung membawa dampak buruk pada kaum perempuan, termasuk ibu,
dan anak-anak.

Ide gender yang saat ini sedang gencar digembar-gemborkan oleh para feminis di negeri ini, ternyata
telah membawa kaum perempuan di barat menderita. Konsep kesetaraan gender, Equal Rights
Amandement (ERA), telah menyebabkan peningkatan angka perceraian di AS. Data terakhir 50%
pernikahan berakhir pada perceraian, bahkan di New York mencapai 70%. Konsep ERA ini juga secara
langsung berdampak pada penghapusan undang-undang yang memberi perlindungan kepada kaum
perempuan, cuti hamil, jam kerja malam dan lain sebagainya. Dalam tuntutan ERA, UU ini dianggap
merendahkan perempuan. Keberhasilan kaum feminis AS lainnya adalah meloloskan UU Perceraian (No
Fault Diforce), dimana setiap pasangan boleh menceraikan suami atau istrinya tanpa melihat siapa yang
salah dan negara tidak turut campur dalam urusan perceraian.. UU Perceraian ini telah menghapuskan
alimoni, yaitu hukum sebelumnya yang mengharuskan suami yang menceraikan istri memberi tunjangan
kepada istri sampai istri menikah lagi. Maka kaum perempuan di barat sendiri menolak keras ide
kesetaraan gender ini karena justru ide kesetaraan 50/50 telah membuat mereka tertindas dan
menderita.

Di Indonesia, kondisi ekonomi yang lemah memaksa ibu-ibu keluar rumah untuk bekerja, akibatnya
pendidikan anak-anak di rumah diserahkan kepada pembantu yang hanya lulus SMP dan sekolah yang
hanya memperhatikan aspek kognitif, dengan sederet tugas, dan hanya sedikit memperhatikan aspek
moral. Di dalam rumah anak-anak disuguhi tontonan-tontonan tidak mendidik berisi kekerasan, gaya
hidup materialistik, hedonis dan hanya memuja kesenangan-kesenangan sesaat. Di luar rumah pun
pengaruh yang sama diterima anak-anak, VCD, majalah dan koran yang memuat pornografi dan
pornoaksi dapat dengan mudah diakses. Food, fun, dan fashion yang menjadi tren di barat diboyong ke
Indonesia tanpa memperhatikan bahwa di barat sendiri gaya hidup seperti itu telah mengakibatkan
kerusakan masyarakat secara meluas. Ujungnya anak-anak hidup dengan atmosfer masyarakat yang
serba permisif dan liberal. Akibatnya materi dianggap sebagai Tuhan, narkoba adalah solusi untuk lari
dari persoalan, dugem menjadi gaya hidup, penyakit kelamin menyebar luas dan kekerasan merajalela.

Globalisasi kapitalistik ini semakin tumbuh subur karena didukung oleh undang-undang yang mengusung
nilai-nilai liberal. Berkaitan dengan ibu dan anak, nilai-nilai liberal yang diusung adalah ide kesetaraan
gender. Ada beberapa undang-undang yang telah disahkan dan sedang dalam proses pengesahan yang
apabila dicermati secara mendalam berusaha untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, mengkampanyekan
nilai-nilai liberal dan gender yang berujung pada hancurnya tatanan keluarga. UU PKDRT telah menjamah
ranah keluarga, dimana UU ini telah menggunting ketaatan istri kepada suami, sehingga solusi-solusi
yang ditawarkan adalah selalu berujung pada perceraian. Tatanan masyarakat juga dihancurkan melalui
legalisasi aborsi melalui rancangan amandemen Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992, legalisasi
seks bebas dengan program kondomisasi dengan dalih mencegah penularan HIV/AIDS, program
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang mengarahkan remaja untuk melakukan hubungan seks tanpa
harus menikah serta kuota 30 % perempuan dalam partai politik yang akan mengeluarkan ibu-ibu dari
tugasnya mendidik anak-anak yang berkualitas. Belum lagi fakta terbaru tentang rencana pemerintah
untuk merevisi PP Perkawinan. Kesemuanya berujung pada penghancuran dan peniadaan lembaga
perkawinan.

Korban dari globalisasi kapitalisme dan undang-undang yang mengusung nilai liberal dan gender itu tak
lain dan tak bukan adalah ibu dan anak. Seorang ibu dibebankan tugas ganda, mendidik anak dan pada
saat yang sama mencari nafkah yang seharusnya merupakan tugas suami. Dalam konflik rumah tangga,
seorang istri dipaksa menjanda melalui solusi perceraian. Korban anak-anak juga telah jelas terlihat.
Kasus banyaknya korban smackdown adalah salah satu cermin kurangnya kontrol orang tua terutama ibu
terhadap konsumsi tontonan anak. Belum lagi terjadinya pelecehan seksual, pemerkosaan, dan aborsi
yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Semua ini yang paling dirugikan adalah kaum
perempuan termasuk ibu dan anak-anak.

Menangkal Globalisasi dan Liberalisasi

Sekelumit paparan di atas setidaknya dapat menggambarkan betapa rusaknya masyarakat yang telah
terpengaruh globalisasi kapitalisme dan liberalisme. Apakah kita masih berharap kebaikan dari ideologi
kapitalis dan gaya hidup liberalis tersebut ? Sementara di barat, negara asalnya, ide ini telah
membuahkan kerusakan masyarakat. Selayaknya kita segera menolak produk-produk pemikiran dan gaya
hidup sekularis yang jelas-jelas membuat hidup menjadi tidak tenang dan selalui dilingkupi rasa khawatir.

Apa yang harus kita lakukan untuk menangkalnya ? Sikap yang harus kita ambil untuk menangkalnya
adalah dengan, pertama, menyadari bahwa saat ini sedang berlangsung globalisasi dengan misi
westernisasi (pembaratan); kedua, mengokohkan keluarga dengan memberikan pendidikan agama yang
baik terhadap seluruh anggota keluarga serta menciptakan suasana keluarga yang harmonis; ketiga, tidak
serta merta menerima apa-apa yang berasal dari barat khususnya berkaitan dengan gaya hidup; dan
terakhir adalah menumbuhkan sikap peduli terhadap seluruh anggota masyarakat.

GERAKAN FEMINISME, MASIHKAH DIPERLUKAN?

(Tulisan ini telah dimuat/dipublikasikan di Radar Kepri Edisi 42 Tahun I)


Permasalahan gender merupakan wacana yang telah banyak dibicarakan dan dibahas oleh banyak pihak
terutama kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah perempuan (Dulu
diistilahkan dengan wanita, tapi dengan adanya wacana gender makna wanita dianggap terlalu dangkal
untuk menggambarkan peran wanita yang dianggap penting dan terhormat). Diskursus tentang masalah
gender ini dimulai sejak diperkenalkannya konsep feminisme yang notabene merupakan pemikiran yang
berasal dari dunia barat. Konsep feminisme ini pada awalnya menyerukan adanya kebebasan (freedom)
dan persamaan (equality) antara dua makhluk berbeda jenis yang diciptakan oleh Tuhan yaitu laki-laki
dan perempuan.

Bagaimana feminisme dalam makna gender berkembang di dunia dan bagaimana kita menyikapinya
sebagai suatu konsep kontekstual yang berkembang di tengah masyarakat. Melalui tulisan ini diharapkan
pembaca memahami makna feminisme, ideology yang mendasarinya, perkembangan-perkembangan
mutakhir menyangkut makna feminisme, bagaimana kita menyikapi konsep ini serta bagaimana
penerapan konsep ini di lingkungan masyarakat Indonesia dengan budaya paternalistik yang dominan.

GERAKAN FEMINISME DAN PERKEMBANGANNYA

Gerakan feminisme dimulai pada abad ke-19 di Amerika Serikat dengan focus gerakan pada satu isyu
yaitu untuk mendapatkan hak memilih (The Right to vote). Pada saat itu, kaum perempuan dianggap
sebagai warga Negara kelas dua yang disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak boleh ikut
pemilihan umum.

Pada Tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Falls, New York untuk menuntut hak-hak
mereka sebagai reaksi terhadap pelarangan pada wanita untuk bicara di depan umum. Pada pertemuan
ini ada 4 hal yang menjadi tuntutan para wanita tersebut, yaitu : (1) mengubah Undang-undang
perkawinan , yang menjadikan wanita dan hartanya mutlak berada di bawah kekuasaan suaminya, (2)
memberi jalan untuk meningkatkan pendidikan wanita, (3) menuntut hak-hak wanita untuk bekerja, dan
(4) memberikan hak penuh untuk berpolitik.

Pada tahun 1963, Betty Friedan menerbitkan buku yang berjudul The Feminine Mystique, yang
menyebabkan isyu dan gerakan feminisme muncul kembali ke permukaan. Dalam bukunya Friedan
mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu dan subjek yang mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, adalah faktor penyebab utama wanita tidak dapat mengembangkan kepribadiannya. Selanjutnya
dikatakan bahwa wanita tidak selalu harus kawin dan mempunyai anak. Wanita dapat mengembangkan
dirinya untuk menjadi apa saja, seperti yang dilakukan oleh kaum pria.

Gerakan feminisme menjadi suatu kejutan besar bagi masyarakat AS, karena gerakan ini memberikan
kesadaran baru terutama bagi kaum perempuan, bahwa peran tradisional perempuan ternyata
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan , yaitu sub ordinasi perempuan.
Kondisi ini terus berkembang karena ditunjang oleh keadaan social budaya melalui buadaya
materialisme, liberalisme dan invidualisme.

Kalau kita perhatikan ternyata feminisme yang berkembang di AS pada tahun 1960-an adalah usaha
untuk menyadarkan kaum perempuan bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang
dilakukan perempuan di sector domestik (rumah tangga) dikampanyekan sebagai hal yang tidak
produktif. Institusi keluarga dituding sebagai sebagai lembaga “old-age evil”, sehingga gerakan ini
berkembang menjadi perempuan untuk dibebaskan dari penjara rumah tangga dan membenci pria. Pria
dianggap sebagai sosok figure yang menindas, dan figure yang takut disaingi oleh perempuan. Oleh
karena itu ada sekelompok feminisme yang menjadi lesbian dengan mottonya “ heterosexsual is rape”.

Usaha kaum feminisme yang m,engecilkan arti peran domestic perempuan, awalnya realtif berhasil
dalam mengubah persepsi sebagian besar masyarakat AS terhadap keluarga konvensional. Ada beberapa
faktor yang mendukung keberhasilan ini, yaitu : pertama, berkembangnya budaya materialisme yang
mengukur segala bentuk keberhasilan dengan materi. Perempuan yang tidak meghasilkan uang dianggap
lebih rendah powernya di dalam keluarga. Kedua, berkembangnya faham individualisme yang
menempatkan individu sebagai figure yang lebih penting daripada kelompok. Pekerjaan domestic (rumah
tangga) dalam persfektif individualisme dianggap sebagai pekerjaan “pengorbanan”. Ketiga, teori
neoclassical economics gagal memasukkan nilai pekerjaan domestik (rumah tangga) ke dalam
perhitungan GNP.

Gerakan feminisme yang begitu gencar dilakukan oleh kaum feminis tentu saja juga mendapat banyak
tantangan bahkan di Negara liberal seperti halnya AS dimana sesungguhnya ide dan gerakan apa saja
bebas berkembang di sana. Golongan yang paling menentang adalah kalangan konservatif ekstrim (ultra-
right). Gerakan feminisme dicap sebagai gerakan yang dapat menggoncang kestabilan institusi keluarga,
karena gerakan ini dituding sebagai gerakan yang ‘anti-family, anti-children, anti future. Gerakan
konservatif yang menentang ini tergabung dalam berbagai organisasi yang disebut ‘New Right
Movement’ sepeti The National Right to Life Committee’, Feminine-Anti Feminist League’, The League of
Housewife’, dan sebagainya.

Diakui atau tidak, gerakan feminisme telah membawa banyak perubahan. Perempuan telah masuk ke
segala sektor yang tadinya dimonopoli oleh kaum pria, tidak hanya di AS tetapi juga di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Di Indonesia kita lihat perempuan aktif diberbagai sektor kehidupan seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan dan sebagainya.
Namun demikian kita tidak menutup mata bahwa ternyata di Negara asalnya yaitu AS, feminisme
ternyata telah menimbulkan krisis identitas terhadap feminisme itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari
adanya antagonisme yang terjadi pada pemikiran-pemikiran feminisme, diantaranya yaitu : pertama,
adanya tuntutan feminisme terhadap adanya kesejajaran antara pria dan perempuan, dimana sifat
kewanitaan menurut feminisme dibentuk karena culture bukan nature sehingga untuk menghilangkan
stereotif gender, pendidikan androgini harus diterapkan agar perempuan dan pria memiliki sifat yang
sama ( ambisius dan agresif). Padahal kenyataannya perempuan yang aktif di sector public pun ternyata
masih mendambakan perkawinan dan mempunyai anak untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya.
Kedua, adanya faham feminisme yang mendasarkan kebebasan wanita pada konsep individualisme,
padahal konsep ini dalam diskursus filosofis telah direkonstruksi karena adalah tidak mungkin manusia
itu bebas seratus persen dari lingkungannya. Kenyataan menunjukkan bahwa konsep kebebasan
perempuan yang diperjuangkan tidak sesuai dengan sifat kodrati perempuan. Kaum perempuan yang
ingin bebas ternyata masih saja mendambakan perlindungan dan komitmen dari pria. Hal ini disebut
sebagai “Cinderella complex”, yaitu kaum perempuan yang ingin bebas justru tidak bebas karena
merindukan perlindungan dari ‘sang pangeran’. Di lain pihak sang pangeran tidak mau memberikan
komitmen lagi kepada para perempuan. Perempuan di mata pria sudah dianggap sebagai super woman.
Seharusnya tidak ada lagi kata-kata seperti ‘ladies first’ dan sebagainya karena perempuan telah
dianggap mampu melindungi dirinya sendiri.

Ketiga, tentang tuntutan feminisme agar adanya persamaan hak dalam undang-undang ternyata
perempuan sendiri banyak menuntut kemudahan dan adanya perbedaan dalam perlakuan antara pria
dengan perempuan, seperti adanya tuntutan perempuan untuk mendapat hak atas cuti hamil,
menstruasi, atau shift malam dan sebagainya.

KESIMPULAN

Jika kita lihat fakta yang dialami oleh gerakan feminimisme di dunia terutama di Negara asalnya yaitu AS
maka dapat disimpulkan bahwa saat ini telah terjadi perubahan arah gerakan femininisme dari gerakan
feminisme modern yang sama sekali menghilangkan sifat kodrati perempuan yang terbentuk karena
nature-nya menuju ke feminisme post-modern, dimana gerakan feminisme disesuaikan dengan sifat
kodrati wanita dan bentukan budaya yang melingkupinya. Jadi perkembangan gerakan feminisme tidak
dapat dilepaskan dari culture masyarakat dimana perempuan tersebut berada.

Di Indonesia sendiri termasuk di lingkungan budaya melayu, budaya paternalistic yang melingkupi
merupakan faktor yang sangat diperhatikan. Budaya paternalistic menempatkan suami sebagai kepala
keluarga/pemimpin di dalam keluarga. Hal ini merupakan landasan yang perlu diperhatikan oleh setiap
perempuan dalam segala aktivitasnya baik domestic (rumah tangga) maupun non-domestik (sector
public). Dari sudut pandang agama islam pun diakui pula bahwa suami adalah pemimpin bagi
keluarganya dan perempuan merupakan kepala rumah tangga.

Hal utama yang perlu diperhatikan oleh kaum feminimisme adalah usaha untuk menyadarkan
masyarakat bahwa peran domestic perempuan di dalam rumah tangganya diantaranya peran reproduksi,
mengasuh dan mendidik anak-anaknya dalam rangka mencetak tenaga kerja yang berkualitas dan
bermoral, perannya sebagai pengatur rumah yang memberikan kesempatan kepada anggota keluarganya
untuk bekerja lebih baik, secara tidak langsung telah memberikan kontribusi yang besar pada
pembangunan ekonomi. Hal ini yang seharusnya dilakukan agar posisi perempuan tetap mendapat
tempat terhormat sekalipun ia tidak berkerja di sector public. Akhirnya, perempuan baik sebagai ibu
rumah tangga saja atau pun berperan ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus pekerja professional,
mendapat tempat yang sama di masyarakat tergantung bagaimana dia menjalankan perannya tersebut.
Semua aktivitas itu akan bernilai kalau aktivitas itu mampu memberikan manfaat kepada siapa pun baik
langsung atau pun tidak langsung.
SKENARIO

PENGHANCURAN UMAT ISLAM

MELALUI LIBERALISASI KELUARGA

Mencuatnya penolakan poligami yang dipicu oleh pernikahan kedua dai kondang KH Abdullah
Gymnastiar, atau yang akrab disapa Aa’ Gym, oleh kalangan tertentu yang selama ini dikenal anti-syariah
sepertinya semakin kencang. Doktrin yang mereka telan selama ini adalah, bahwa poligami merupakan
kekerasan terhadap perempuan; sebagai korban kekerasan, maka perempuan harus mendapatkan
perlindungan negara. Karena itu, negara harus melarang poligami. Begitu kira-kira logika doktriner yang
mereka terima dan mereka kembangkan.

Konon Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan istri, Ani Yudhoyono, kebanjiran sms dari masyarakat
yang mengeluhkan sikap Aa’ Gym. Seolah merespon dengan cepat keluhan masyarakat, Presiden SBY
secara khusus memanggil Menneg Pemberdayaan Perempuan (MPP), Meutia Hatta, Sekretaris Kabinet
Sudi Silalahi dan Dirjen Binmas Islam, Nazzarudin Umar.

Pada kesempatan itu, Yudhoyono meminta agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun
1983 yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami diperluas tidak hanya
berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil), tetapi juga para pejabat negara dan pemerintahan. “Presiden
mempunyai kepedulian besar terhadap kaum perempuan dan ia menginginkan ketentraman dalam
masyarakat,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, usai pemanggilan itu.

Bagai gayung bersambut, para aktivis perempuan pun segera mengajukan amandemen UU Perkawinan.
Upaya untuk memperjuangkan amandemen UU Perkawinan ini sebenarnya telah berulangkali diajukan,
namun sampai saat ini belum berhasil. Bahkan amandemen UU Perkawinan versi pemerintah telah
berada di tangan tim asistensi DPR. Advokasi atas UU ini telah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga
seperti yang dilakukan oleh LBH-APIK dan Kowani.

Penegasan bahwa Amandemen UU Perkawinan menjadi sasaran bidik sejak lama seperti yang ditegaskan
oleh Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia yang menyatakan, “Walaupun UU PKDRT telah ada, jika tidak
dibarengi adanya amandemen UU perkawinan no. 1 Tahun 1974 sama halnya kekerasan akan tetap
banyak terjadi dalam rumah tangga. Karena UU perkawinan dan kompilasi hukum Islam (KHI) yang ada
masih sarat dengan bias gender dan memihak kepentingan suami (laki-laki). Dalam hal ini, penyelenggara
negara dan pengambil kebijakan, penting sekali untuk segera memikirkan terjadinya amandemen UU
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang berkeadilan bagi semua.”
Skenario Amandemen UU Perkawinan dan KHI

Selain UU Perkawinan, tuntutan perubahan juga ditujukan terhadap Kompilasi Hukum Islam. Adalah Siti
Musdah Mulia, Tim Pengarus Utamaan Gender Depag yang pernah mengajukan Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Sekalipun berkilah, bahwa CLD-KHI juga membawa prinsip dasar Islam
–paling tidak menurut versi Tim Penyusun— seperti persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-Ikha’),
keadilan (al-adl), kemaslahatan (al-mashlahah), penegakan HAM, pluralisme (al-ta’addudiyah) dan
kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyyah), namun para Ulama di Indonesia menuduh adanya upaya
menciptakan syariat baru.

Maka, tidak kurang dari 39 kesalahan (sebagian mengkalkulasi 19 kesalahan) dalam CLD-KHI telah
dibongkar. Hingga pada tanggal 12 Oktober 2004, Menteri Agama saat itu, Prof. DR. H. Said Agiel Al
Munawar, menyampaikan teguran keras kepada Tim Penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya
tanggal 12 Oktober 2004, No.: MA/271/2004, untuk tidak lagi mengulangi mengadakan seminar atau
kegiatan serupa dengan mengatasnamakan tim Departemen Agama dan semua Draft CLD-KHI agar
diserahkan kepada Menteri Agama RI.

Hal-hal mendasar yang menjadikan buku tersebut kontroversial adalah adanya bid’ah (penyimpangan)
dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah menyebut CLD-
KHI sebagai upaya memanipulasi nash-nash Al-Qur’an. Hal ini karena di dalam CLD-KHI disebutkan
bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh
nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah dan anak kecil bebas memilih
agamanya sendiri. Pendekatan gender, pluralisme, HAM dan demokrasi bukanlah pendekatan hukum
Islam. Selanjutnya, Menteri Agama RI yang baru, Maftuh Basyuni membatalkan langsung CLD-KHI pada
tanggal 14 Februari 2005. Siti Musdah Mulia sebagai Ketua Tim Penyusun CLD-KHI dilarang pemerintah
menyebarluaskan gagasannya.

Gagal dengan CLD-KHI, para aktivis gender menebar strategi untuk membidik UU lain dalam rangka
menggolkan dua UU yang masih sarat dengan nilai-nilai Islam (UU Perkawinan dan KHI) ini. Disahkannya
UU No.23 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dipandang sebagai
angin segar perjuangan kesetaraan dan keadilan gender (KKG). Kantor Meneg PP telah melakukan
kegiatan sosialisasi UU PKDRT dan meluncurkan buku mengenai telaah kritis potret perempuan di media
massa. Meneg PP menyatakan bahwa “budaya patriarki” ternyata menciptakan peluang terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga. Kata “patriarki” saat ini mengacu pada sistem yang menekan dan
mengsubordinasikan perempuan baik di bidang khusus maupun umum. Dengan demikian Meneg PP pun
berasumsi, bahwa penyebab terjadinya KDRT adalah sikap laki-laki yang superior terhadap perempuan.
Dalam UU PKDRT ini terkandung pasal-pasal yang menggugat pelaksanaan hukum-hukum syariat.
Sebagai realisasi dari Konferensi Beijing (4/9/1995), definisi kekerasan, cara pandang dan pengaturan
kehidupan berumah tangga didasarkan pada Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women
[CEDAW]) serta mengacu pada Langkah Tindak yang telah ditetapkan dalam Konferensi Perempuan
Sedunia ke-IV (Beijing Platform Action [BPFA]). Definisi kekerasan beranjak dari sudut pandang Barat
(Liberal). Akibatnya banyak hal yang termasuk pelaksanaan hukum syara’ seperti mahar, sunat
perempuan dan poligami dipandang sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Langkah lain adalah menggulirkan UU Perlindungan Anak (UU PA). Sekalipun terkesan melindungi hak-
hak anak, namun dalam UU PA ini terselip upaya membenturkannya dengan UU Perkawinan. Antara lain
pada BAB I (Ketentuan Umum), Pasal 1: Point (1), yang menyatakan bahwa anak adalah seorang yang
belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan. Selanjutnya dalam Pasal 26, dinyatakan
bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak. Kedua pasal ini dapat digunakan untuk menggugat UU Perkawinan yang membolehkan
menikah pada usia 16 tahun. Dalam Pasal 17, anak memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan. Setiap
anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

(a) Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dengan orang dewasa;

(b) Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum
yang berlaku;

(c) Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum.

Berdasarkan pasal ini anak memiliki kebebasan untuk memilih agamanya sendiri. Artinya, bila menganut
Islam, anak tersebut berhak untuk murtad.

Disahkannya UU Kewarganegaraan, juga memudahkan terjadinya perkawinan antarbangsa dan agama.


Anak yang dilahirkan dapat memiliki kewarganegaraan ibunya. Ini berarti akan terjadi pengakuan
terhadap para Muslimah yang menikah dengan WNA non-Muslim. Status anak diakui sebagai anak
keduanya. Tentu ini bertentangan dengan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, yang tidak
mengakui perkawinan seorang Muslimah dengan non-Muslim. Perbenturan UU ini meliputi aspek
pengakuan status pernikahan, nasab anak dan hak warisnya.

Demikianlah, pasal-pasal dalam berbagai UU yang belum lama ini disahkan akan bertentangan dengan
UU Perkawinan dan KHI. Langkah selanjutnya yang bisa diduga adalah tuntutan yang semakin kuat untuk
merevisi UU Perkawinan dan KHI karena bertentangan dengan berbagai UU ini. Saat ini, isu poligami juga
dijadikan alasan kuat untuk merevisi UU Perkawinan. Dengan demikian, bisa disimpulkan mengapa Siti
Musdah Mulia begitu gigih menentang poligami dan menuntut amandemen UU perkawinan. Tentu
karena salah satu pasal dalam CLD-KHI menyebutkan, bahwa poligami haram. Upaya menggolkan CLD-
KHI yang sempat terjegal keras beberapa waktu yang lalu kini mulai terbuka.

Perubahan Menuju Budaya Liberal

CLD-KHI pernah mendapat benturan keras dari kalangan Muslim, khususnya para ulama, karena jelas-
jelas bertujuan meliberalkan kehidupan umat Islam. Upaya liberalisasi dalam masalah seks, misalnya,
antara lain tampak pada pembatasan minimal usia menikah suami-istri, yakni 19 tahun. Padahal usia
anak-anak menyelesaikan pendidikan SMA saat ini berkisar antara 16-18 tahun. Di sisi lain, ada peraturan
yang tidak membolehkan hamil pada masa sekolah (SMA). Namun anehnya, solusi yang ditempuh justru
mengarahkan remaja untuk melakukan seks bebas. BKKBN meluncurkan buku sosialisasi kesehatan
reproduksi yang menyebutkan, bahwa kehamilan remaja (Usia SMP-SMU) sangat beresiko dan
berbahaya.

Bersamaan dengan peluncuran buku tersebut disosialisasikan pula pemahaman, bahwa remaja harus
memenuhi kebutuhan seksnya dengan cara yang aman dan bertanggung jawab. Dikatakan dalam
panduan kespro remaja, bahwa seks yang bertanggung jawab adalah ketika dilakukan suka sama suka
serta mengetahui dan bertanggung jawab terhadap resiko hubungan tersebut. Sementara dalam UU
PKDRT Pasal 8 yang dimaksud dengan kekerasan seksual salah satunya adalah pemaksaan hubungan seks
dengan cara yang tidak disukai. Tentu berbeda halnya dengan suka sama suka; yang ini menurut mereka
tidak terkategori bentuk kekerasan.

Begitu derasnya keinginan para aktivis kesetaraan gender untuk menetapkan berbagai UU yang
mendukung kebebasan hak perempuan dan anak menunjukkan adanya upaya sistematis untuk
menghancurkan bangsa dan negeri yang mayoritas Muslim ini melalui liberalisasi keluarga. Tepatnya,
penghancuran keluarga. Ini tampak dari silih bergantinya RUU digulirkan atau disahkannya berbagai UU
dengan konsep dasar yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan gender (KKG). Ketika umat Islam
menolak liberalisasi yang terkandung dalam CLD-KHI, tanpa disadari mereka digiring untuk menerima
secara bertahap proses liberalisasi ini melalui berbagai UU yang berwajah liberal. Ini jelas merupakan
langkah penuh tipu daya yang bertujuan merusak Islam dan kaum Muslim di tengah keluarga dan
masyarakat.

Ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) telah mengglobal di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai perpanjangan tangan negara-negara Kafir Imperialis. Lembaga-lembaga dunia yang diluncurkan
melalui wadah PBB menjadi payung yang memaksa setiap negara untuk menjalankan proses perubahan
budaya ini. Melalui program-program lembaga-lembaga PBB, mengalirlah isu-isu diskriminasi
perempuan, kekerasan terhadap perempuan, marjinalisasi, kemiskinan perempuan, eksploitasi
perempuan, hingga beban ganda yang harus ditanggung perempuan.

KKG sebagai turunan dari ideologi Sekular sebenarnya menjadi alat yang ampuh untuk menghancurkan
keluarga dan masyarakat Muslim. Amandemen terhadap UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
akan menghapus sisa-sisa hukum Islam yang masih diterapkan dalam ranah keluarga. Tatanan keluarga
menurut Islam yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga (pengambil kebijakan
utama) dan perempuan sebagai ibu serta pengelola rumah tangga akan rusak dengan diterapkannya UU
yang berpijak pada mainfream liberal ini. Ketika suami memiliki hak menjadi pemimpin keluarga, maka
ini dianggap bertentangan dengan keadilan dan kesetaraan gender (KKG). Ketika seorang ibu memiliki
tanggungjawab utama dalam pengasuhan, perawatan dan pendidikan anak usia dini, sehingga membuat
sang ibu kehilangan peluang bekerja di luar rumah atau mengeksiskan karir publiknya, maka peran ibu ini
dianggap bertentangan dengan KKG. Karena itu, Poligami dipandang sebagai bentuk kekerasan psikis
terhadap kaum perempuan.

Munarman, mantan ketua YLBHI, dalam diskusi Topik Minggu Ini yang ditayangkan oleh SCTV
(13/12/2006) menekankan, bahwa sebenarnya yang dituju dari pelarangan poligami akhir-akhir ini oleh
para aktivis liberal hanyalah bertujuan menggugat syariat Islam, sebagaimana ketika mereka menolak
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dan itu, lanjutnya, “bagian dari protokol Yahudi, yang bertujuan
memisahkan umat dari agamanya.”

Maka, penghancuran institusi keluarga, melemahkan generasi Muslim dan merusak perilaku masyarakat
adalah langkah jitu untuk menjajah umat Islam, termasuk bangsa dan negeri ini. Liberalisasi di tengah
masyarakat akan memperkokoh hegemoni kaum Kafir Imperialis di negeri ini. Langkah liberalisasi ini
dilakukan oleh para pendukung liberal, mulai dari kalangan birokrat, intelektual hingga aktivis-aktivis
LSM komprador.

Untuk itu, ada dua hal yang mereka lakukan dalam rangka menanamkan nilai-nilai liberal di tengah
masyarakat, Pertama, membangun dukungan masyarakat terhadap nilai-nilai liberal melalui proses
penyadaran yang terus menerus. Upaya ini dilakukan dengan pelatihan-pelatihan berbasis liberal,
khususnya yang marak saat ini adalah KKG, training, diskusi-diskusi, sosialisasi melalui berbagai media
baik cetak maupun elektronik, dengan tujuan terjadi perubahan pada level individu. Dalam isu poligami,
mereka membangun image adanya kekerasan yang bersifat psikis terhadap perempuan yang dipoligami,
sekaligus menempatkan posisi sebagai korban dalam rangka membangun simpati publik serta
membangkitkan sinisme terhadap kaum laki-laki yang berpoligami. Bila sentimen masyarakat terhadap
Islam (bahwa hukum-hukum Islam melegalisasi kekerasan terhadap perempuan) tidak berhasil
ditumbuhkan, maka tak jarang mereka memanipulasi hukum-hukum Islam untuk menguatkan
kepentingannya. Langkah kedua, dilakukan dengan transformasi sosial melalui UU. Cara kedua ini seperti
larangan poligami, legalisasi perilaku seks bebas (atas nama HAM dan KKG), kondomisasi, dukungan
terhadap retaknya keluarga melalui isu kekerasan dalam rumah tangga, hingga menghapus UU yang
masih mengandung ajaran Islam. Dua hal inilah yang dilakukan oleh para pejuang dan pendukung jargon
gender saat ini.

Hanya dengan Islam, Bangsa dan Negeri Ini Akan Selamat!

Diakui atau tidak, serangan massif kelompok anti-syariah, yang jelas-jelas anti-Islam itu sebenaranya
adalah bagian dari upaya negara-negara Kafir Imperialis untuk memerangi Islam dan kaum Muslim.
Melalui para komprador yang bercokol di negeri ini, mereka menebarkan racun yang dikemas dengan
indah. Dengan klaim, membela perempuan, HAM, kesetaraan gender, dan istilah-istilah simpatik lainnya,
mereka terus membombardir Islam. Maka, umat Islam yang menjadi sasaran tembak hendaknya sadar
terhadap penyesatan intelektual (tadhlil fikri) ini. Karena ini merupakan racun yang sangat berbahaya;
bukan hanya bahaya bagi pribadi mereka, tetapi keluarga, masyarakat, bangsa dan negeri kaum Muslim.
Maka, saat ini diperlukan upaya bersama umat Islam untuk menyelamatkan bangsa dan negeri ini dari
kehancuran. Liberalisasi pasti akan berujung pada kehancuran generasi.

Wahai kaum Muslim:

Persoalan yang menimpa masyarakat saat ini adalah akibat meninggalkan penerapan Islam dan beralih
kepada Kapitalisme Sekular. Ini pula yang telah memunculkan banyak kasus kekerasan. Kekerasan dan
penderitaan ini justru muncul karena kelemahan dan kebodohan umat Islam sendiri yang telah
meninggalkan hukum-hukum Islam. Pengabaian hak dan kewajiban antar suami-istri seringkali
menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Praktek-praktek sunat bayi perempuan yang keliru, baik
karena faktor ketidakpahaman ataupun telah bercampur dengan tradisi turun-temurun yang bukan
berasal dari Islam, membuka peluang untuk memojokkan Islam mengenai hukum tersebut. Seluruh
kenyataan ini menjadi cara yang ampuh untuk memojokkan Islam dan membuat fitnah, bahwa seolah-
olah hukum-hukum Islamlah penyebab ketertindasan perempuan.

Fenomena ketertindasan perempuan yang sebenarnya bermula dari masyarakat Kapitalis,


diputarbalikkan seolah itu terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslim. Padahal para Muslimah baru
merasakan ketertindasan, ketika kaum Muslim mengadopsi sistem Kapitalisme yang bertentangan
dengan Islam dalam kehidupan mereka.

Untuk itu diperlukan upaya yang serius dan sungguh-sungguh menyadarkan sebagian kaum muslimin
yang telah “termakan” propaganda kaum liberal. Jargon gender selama ini terjajakan dalam kemasan
indah dan menipu pandangan mayoritas umat. Tak jarang umat Islam sendiri yang mengagung-agungkan
keadilan dan kesetaraan gender (KKG) dan ketika ide ini dibenturkan dengan hukum-hukum Islam,
mereka terjebak untuk memposisikan Islam sebagai tertuduh. Melalui jargon gender —perlu
diperhatikan bahwa, dalam mengajukan RUU mereka tidak menggunakan kata liberal— berhasil
digulirkan UU berbasis gender yang sesungguhnya memiliki substansi meliberalkan umat Islam.
Dengan demikian, langkah utama yang harus dilakukan adalah merombak cara berfikir umat, agar tidak
tersusupi nilai-nilai yang menyesatkan. Memurnikan pemikiran umat dilakukan dengan dakwah Islam
secara terus menerus, menyampaikan Islam dan hukum-hukumnya yang bersumber pada Al Qur’an,
Hadits, Ijma shahabat dan Qiyas. Kemudian membongkar pemikiran-pemikiran yang menyesatkan umat
seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, HAM, demokrasi, Gender dan menjelaskan pertentangannya
dengan Islam. Selanjutnya menjelaskan kepada umat bagaimana Islam memandang persoalan yang
diangkat oleh pemikiran-pemikiran rusak tadi, menjelaskan hukum Islam terkait dengan persoalan
tersebut dan bahwa Islam adalah solusi yang bersifat menyeluruh terhadap setiap persoalan manusia.

Dorongan umat untuk menjalankan solusi yang telah ditetapkan Islam, semata-mata berdasarkan
keyakinan (akidah) mereka bahwa hanya Allah SWT, Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan
yang memiliki aturan terbaik bagi seluruh ciptaan-Nya serta memberikan akhir kehidupan terbaik (surga)
bagi siapapun yang mentaati-Nya. Umat Islam harus berhati-hati terhadap pilihan hidup mereka, jangan
sampai tergelincir kepada kesesatan dan kemaksiatan. Murka Allah SWT atas pelanggaran manusia
terhadap perintah dan laranganNya adalah berupa sanksi yang pedih di akhirat kelak. Kami berlindung
kepada Allah dari ketergelinciran ke dalam api neraka.

Wahai kaum Muslimin!!

Untuk menangkal bahaya Liberalisasi yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam secara sistemik dan
terpadu, kaum Muslim harus:

Menguatkan kerjasama antar elemen masyarakat yang lebih terarah dan berkesinambungan dalam
memberantas Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme

Menyerukan kepada para ulama, tokoh masyarakat Muslim, pemimpin komunitas umat Islam untuk
bersama-sama menjelas kerusakan dan bahaya ide kesetaraan gender, mengungkap konspirasi di
baliknya yang bertujuan menghapus UU yang masih mengandung nilai-nilai Islam. Selama ini bergulirnya
UU yang merusak nilai-nilai Islam dalam keluarga senantiasa berlindung di balik manisnya jargon gender.
Padahal, ide ini adalah derivat dari Sekularisme Liberal. Amandemen UU perkawinan dan pengajuan
kembali CLD-KHI adalah sasaran bidik utama para pejuang gender melakukan liberalisasi umat Islam di
negeri ini.

Menyerukan kepada kalangan Muslim yang masih mendukung bahkan memperjuangkan ide-ide KKG,
baik dengan dalih mengambil sebagian manfaat dan meninggalkan sebagian yang lain, agar mereka
segera mencampakkan seluruh pemikiran tersebut, karena asas yang dibangun jelas-jelas telah
bertentangan dengan Islam. Jangan sampai kalangan Muslim mengambil sesuatu yang akan membuat
keyakinan mereka terhadap Islam (akidah) dan hukum-hukumnya tergerogoti.
Menyerukan kepada kalangan birokrat, intelektual dan mereka yang bekerja di lembaga-lembaga
swadaya masyarakat (LSM) berbasis KKG untuk tidak mengorbankan umat Islam dan akidah mereka
sendiri hanya untuk membela kepentingan negara-negara Kafir Imperialis dan sekutunya yang senantiasa
berupaya menghancurkan Islam dan kaum Muslim. Sangat rendah materi, prestise dan pujian yang
didapatkan dari para penjajah, dibandingkan dengan ancaman Allah SWT bagi mereka yang memusuhi
agama-Nya. Janganlah takut kepada tekanan dan ancaman musuh-musuh Islam, karena pengorbanan
dan pembelaan terhadap Islam akan berbalaskan kemuliaan yang abadi di sisi Allah SWT.

Menggelorakan semangat untuk memperjuangkan syariah dan khilafah. Hanya khilafah yang akan
menyelamatkan umat Islam dan mengangkatnya dari jurang kehinaan dan kehancuran.

Wahai kaum Muslimin!!

Sesungguhnya skenario dan makar mereka telah dibongkar oleh Allah. Dalam firman-Nya Allah
mengatakan:

Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah
tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (Q.s. as-Shaff [61]: 08)

LOGIKA PENDUKUNG LIBERALISASI SEKSUAL ITU MENGADA-ADA November 13, 2008

Posted by gusuwik in Afkar Politik.

trackback

Munculnya UU yang mengatur Pornografi dan Pornoaksi mendapat penentangan sengit dari kalangan
liberal dan feminis. Entah ada apa dengan mereka. Seperti orang ‘kalap’ mereka pun menggunakan
logika ‘sekenanya’ yang kadang-kadang justru terlihat ‘mengada-ada’. Bagaimana sebenarnya bangunan
logika mereka? Dimana letak ‘mengada-adanya’? Apakah RUU Pornografi yang akan disahkan sudah
sesuai dengan harapan? Adakah ‘catatan kritis’ terhadap RUU Pornografi? Apakah RUU Pornografi justru
menjadi ‘pengatur kebolehan’ bukan bersifat melarang? Dan sebenarnya, apa yang melatarbelakangi
munculnya RUU Pornografi? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, redaksi al-Waie (gus uwik)
mewawancara Ust. Muhammad Rochmat S Labib (Ketua DPP HTI). Berikut petikannya:

Ada yang berpandangan, RUU pornografi tidak diperlukan. Alasannya, lebih baik persoalan itu
diserahkan saja kepada keluarga untuk melakukan pendidikan. Toh semua orang juga tahu, pornografi itu
buruk. Bagaimana menyikapi pandangan tersebut?
Pandangan itu jelas salah besar. Sebab, tidak ada satu pun kejahatan di dunia ini yang pemberantasannya
diserahkan kepada keluarga. Untuk bisa memberantas kejahatan apa pun, pasti dibutuhkan tangan
negara untuk melakukannya. Caranya adalah dengan menjatuhkan sanksi tegas kepada semua pelaku
yang terlibat. Ini berlaku untuk kejahatan apa saja. Termasuk dalam soal pornografi. Semua yang terlibat,
mulai dari produsen, pelaku, penyebar, pengguna, dan sebagainya harus dihukum. Dengan begitu, mata
rantai pornografi dan pornoaksi dapat diputus.

Tindakan tegas itu jelas tidak mungkin oleh keluarga. Yang bisa dilakukan keluarga hanya sebatas
menghimbau anggota keluarganya agar tidak terlibat dalam pornografi. Itu pun tidak ada jaminan setiap
keluarga melakukan pendidikan yang sama.

Pemberantasan pornografi lewat keluarga kian mustahil jika melihat pornografi yang telah
bergentayangan sedimikain rupa. Hampir tidak ada ruang tanpa dihadiri pornografi. Bagaimana mungkin
orang tua bisa memberikan pendidikan secara optimal, jika anak-anak dikepung oleh pornografi di
sekitarnya? Tidak terperngaruh saja sudah untung. Oleh karena itu, membebankan pemberantasan
pornografi kepada keluarga bukan hanya salah, namun juga berbahaya.

Ada juga yang mengatakan bahwa ‘klausul’ tentang asusila sudah diatur dalam KUHP sehingga tidak
perlu diundangkan secara khusus. Bagaimana Ust memandang masalah ini?

Dalam KUHP tidak satu pun yang secara khusus mengatur pornografi. Yang ada hanya pelanggaran susila.
Itu pun sangat global dan multitafsir. Masing-masing hakim bisa memberikan penafsirannya sendiri-
sendiri. Sehingga UU tersebut tidak bisa menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi.

Bukti jelas akan hal itu adalah majalah Playboy Indonesia, yang jelas-jelas mengusung pronografi,
diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Itu menunjukkan, KUHP tidak bisa berbuat
banyak menghadapi serbuan pornografi dan pornoaksi. Peredaran pornografi yang kini demikian bebas
beredara di masyarakat juga menjadi bukti lainnya. Sampai-sampai Indonesia dimasukkan sebagai negara
paling bebas dalam pornografi nomor dua setelah Rusia. Oleh karena itu, menolak RUU Pornografi
sembari mencukupkan diri dengan KUHP sama halnya berharap pornografi dan pornoaksi tetap
merajalela dalam kehidupan.
Jadi, kita apakah sangat membutuhkan undang-undang yang melarang pornografi dan pornoaksi?

Ya, benar. Sebab, membanjirnya pornografi dan pornoaksi hanya bisa dihadang oleh undang-undang
yang tegas melarang dan memberantasnya. Ada undang-undang yang tegas melarang saja, suatu
kejahatan masih dimungkinkan terjadi, apalagi tidak ada.

Tapi ada yang bilang bahwa undang-undang itu mendiskriminasi wanita dan ancaman bagi non-Muslim,
benarkah demikian?

Apakah yang dimaksud dengan mendiskriminasi wanita? Apakah karena bagian tubuh wanita lebih
banyak tidak boleh dipertontonkan sebagaimana laki-laki? Kalau itu yang dimaksud dengan
mendiskriminasi, itu jelas kesimpulan yang salah. Sebab, memang terdapat perbedaan fisik antara tubuh
laki-laki dan perempuan. Bagian tubuh jauh lebih menarik. Oleh karena itu, dalam kasus pornografi,
tubuh wanitalah yang lebih banyak dipertontonkan. Karena faktanya berbeda, maka solusi yang
diberikan terhadapnya pun harus berbeda. Tak mengherankan jika dalam Islam dibedakan batas aurat
antara keduanya. Ibarat penyakit, ketika penyakitnya berbeda, tentulah obat yang diberikan berbeda.

Bisa jadi jadi ada yang beralasan, apa salahnya wanita mempertontonkan keindahan tubuhnya. Tapi
harus diingat, wanita pula yang akan jadi korban jika pameran aurat itu dibebaskan. Berbagai kasus
pemerkosaan akibat pornografi, wanitalah menjadi korbannya. Di Amerika misalnya, pada 1995 terjadi
kasus pemerkosaan sebanyak 683.280. Setiap 1 dari 3 wanita pasti mengalami kekerasan seksual seumur
hidupnya. Setiap 1 dari 4 mahasiswi perguruan tinggi pasti pernah diperkosa/mengalami percobaan
perkosaan. (sumber: United States Department of Justice-Violence Against Women Office).

Sementara pemerkosaan bisa menimbulkan dampak-dampak emosional, mental, dan psikologis bagi
korban dan keluarganya. Sensus di AS menunjukkan bahwa 1,3 juta perempuan sedang mengidap suatu
penyakit akibat pemerkosaan yang dikenal dengan rape related post traumatic disorder (RR-PTSD); 3,8
juta perempuan pernah mengidap RR-PTSD; diperkirakan 211.000 perempuan akan mengidap RR-PTSD
setiap tahunnya.
Oleh karena itu, pelarangan pornografi justru melindungi wanita. Demikian juga non-Muslim. Mereka
juga ikut terlindungi.

Para penentang itu beralasan bahwa salah satu kekhawatiran mereka adalah terjadinya Arabisasi atau
Islamisasi, benarkah demikian?

Kita juga patut heran kepada mereka, mengapa kalau sesuatu yang datangnya dari Islam dan Arab mesti
dicurigai dan ditentang? Pertanyaannya, apakah yang berasal dari Islam dan Arab pasti buruk sehingga
layak untuk ditolak? Jika tidak, mengapa kita tidak bersikap lebih objektif sehingga mau menerima
kebaikan dan kebenaran dari mana pun, termasuk dari Islam dan Arab.

Jika penolakan itu didasarkan kepada nasionalisme, mengapa sikap yang sama tidak diberlakukan
terhadap Barat? Dalam soal berpakaian, misalnya pakaian ala Barat lah yang wajib dikenakan. Lihat saja
bagaimana seluruh siswa sekolah, birokrat, atau tentara dipaksa untuk mengenakan celana, rok, dasi,
atau topi yang notabene pakaian ala Barat. Mengapa tidak ada yang protes dan menentang? Apakah
karena berasal dari Barat sehingga pasti baik dan layak diterima?

Oleh karena itu, menolak larangan pornografi dengan alasan Arabisasi atau Islamisasi adalah alasan yang
mengada-ada. Seharusnya, bisa bersikap lebih objektif. Dari mana pun datangnya, jika benar dan
membawa kebaikan bagi kita, harus diterima. Sebaliknya, jika salah dan membawa kehancuran,
sekalipun itu tradisi sendiri yang telah berurat berakar, harus ditinggalkan. Kalau Arabisasi barangkali
masih harus diteliti ulang. Namun kalau dari Islam semestinya justru harus diterima. Sebab Islam sudah
pasti benar karena datang dari Dzat Yang Maha Benar.

Ada juga yang menolak RUU Pornografi karena khawatir akan menghancurkan budaya dan akan terjadi
penyeragaman budaya?

Alasan ini juga mengada-ada. Kalau itu alasannya, mengapa tidak ada yang menentang ketika semua
pakaian tradisional, termasuk koteka, tidak boleh digunakan dalam berbagai kegiatan resmi tersebut?
Mengapa tidak ada yang berteriak bahwa kebijakan itu bisa melenyapkan kekayaan budaya Indonesia?
Demikian juga ketika ada keharus mengenakan helm bagi pengendara sepeda motor. Mengapa kebijakan
itu tidak dianggap telah memberangus budaya lokal yang mengenakan blangkon (penutup kepala khas
Jawa)? Barangkali saja karena semua menyadari betapa betapa bahayanya mengendarai sepeda motor
tanpa helm yang melindungi kepala mereka sehingga harus merelakan meninggalkan blangkon-nya.

Kasus pornografi pun tidak jauh berbeda. Ketika aurat dipamerkan dalam ruang publik dipandang
membahayakan bagi kehidupan, harus dilarang. Termasuk pakaian adat itu sudah jelas terkatagori porno
dan membahayakan. Harus direlakan untuk ditinggalkan. Bukan malah dilestarikan, apalagi
dikembangkan. Atau dijadikan sebagai alasan menolak pelarangan pornografi dan pornoaksi.

Lalu bagaimana isi draft terakhir RUU Pornografi menurut Ustadz, apa sudah memenuhi harapan?

Itu yang kita prihatinkan. Dalam draft terakhir yang saya baca, ada perubahan cukup mendasar pada
RUU ini. Jika draft sebelumnya bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, kini kata Anti dan Pornoaksi
dihilangkan. Sehingga menjadi RUU Pornografi. Penghilangan dua kata tersebut sangat berarti.
Dihilangkannya kata ’Anti’ mengesankan bahwa yang diinginkan oleh RUU ini hanyalah mengatur atau
meregulasi pornografi. Bukan melarang atau memberantasnya. Kesan ini kian menemukan buktinya jika
kita menelaah beberapa pasal-pasal di dalamnya.

Demikian juga penghilangan kata ’Pornoaksi’. Itu menunjukkan bahwa pornoaksi tidak termasuk dalam
perkara yang diatur dalam RUU ini. Berbeda dengan draft RUU APP yang secara tegas menjelaskan
perkara pornoaksi, di dalam RUU pornografi ini tidak ditemukan sama sekali kata ’pornoaksi’. Jika
dicermati, memang ada upaya untuk memperluas makna pornografi sehingga mencakup pornoaksi juga.
Akan tetapi, cakupannya tidak menyeluruh sehingga banyak tindakan pornoaksi yang tidak tercakup
dalam RUU ini. Padahal, pornoaksi tidak kalah bahayanya bagi kehidupan dibandingkan pornografi.

Bisa diberikan penjelasan lebih detail yang menunjukkan bahwa RUU ini hanya sekadar regulasi, dan
bukan memberantasnya?
Dalam draft RUU ini, pornografi dikelompokkan menjadi dua macam. Ada pornografi yang dilarang dan
ada yang diperbolehkan. Dalam pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa pornografi yang dilarang itu berupa
lima materi, yakni: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual;
masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; dan alat kelamin.

Jika dicermati, kelima materi pornografi itu, hanya berkisar kepada kalamin. Persenggamaan, kekerasan
seksual, masturbasi, dan alat kelamin jelas menunjukkan pornografi yang dilarang hanya berkisar kepada
kelamin. Mungkin hanya kata ‘ketelanjangan atau yang mengesankan ketelanjangan’ yang bisa
memberikan pengertian lebih luas. Namun jika ketelanjangan diartikan sebagai ‘tanpa busana’, berarti
juga terlihat kelaminnya.

Karena pornografi yang dilarang hanya mencakup lima materi itu, berarti materi pornografi selainnya
diperbolehkan. Dengan demikian, mempertontonkan beberapa anggota tubuh lainnya, sekalipun juga
dapat membangkitkan hasrat seksual dan melanggar kesusilaan, seperti paha, pinggul, pantat,
punggung, pusar, perut, dan payudara tidak termasuk dalam pornografi yang dilarang.

Bertolak dari pasal itu, berarti banyak aksi porno yang tidak dikatagorikan sebagai pornografi terlarang,
seperti tarian atau goyangan erotis. Demikian juga berbagai aktivitas yang mengarah kepada hubungan
seks, seperti berciuman, berpelukan antara laki-laki dan perempuan, dsb.

Selain kesimpulan itu, apakah ada pasal-pasal yang secara tegas memperbolehkan materi pornografi
yang dilarang itu?

Ya, ada. Dalam pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa pornografi selain yang dimaksudkan dalam pasal 4 ayat
1 wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undang. Pasal ini secara jelas menunjukkan bahwa
selain pornografi yang dilarang, ada juga materi pornografi yang diperbolehkan. Kendati harus mengikuti
peraturan perundang-undangan, namun jelas tidak ada larangan terhadapnya.

Dalam ayat 2 juga dijelaskan bahwa jenis pornografi tersebut harus dilakukan di tempat dan dengan cara
khusus. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘di tempat dan dengan cara
khusus’ misalnya penempatan yang tidak dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak
menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Berdasarkan pasal ini, pornografi justru mendapatkan legalisasi untuk berkembang tanpa takut diusik jika
sudah memenuhi kriteria ‘dilakukan di tempat dan cara khusus’.

Kalau hanya regulasi, berarti belum sesuai dengan harapan masyarakat dong?

Ya, masih jauh. Bahkan sangat naif. Undang-undang yang diharapkan dapat melindungi rakyat dari
bahaya pornografi justru malah melindungi dan melegalisasi pornografi. Majalah Playboy Indonesia dan
semacamnya yang tidak menampakkan alat kelamin justru menjadi legal menurut pasal ini asalkan
dalam peredarannya dijauhkan dari jangkauan anak-anak.

Patut ditegaskan, pornografi bukan hanya berbahaya bagi anak-anak. Berbagai tindak kejahatan yang
diakibatkan pornografi, seperti seks bebas, pemerkosaan, dan sebagainya kebanyakan dilakukan oleh
orang dewasa.

Apa kira-kira yang melatar belakangi munculnya RUU Pornografi itu?

Sebagaimana layaknya undang-undang lainnya, RUU ini hasil kompromi berbagai pihak dan kepentingan.
Termasuk intervensi asing. Ini diakui sendiri oleh Ketua Pansus Balkan Kaplale ketika menemui delegasi
dari Hizbut Tahrir. Dia juga menyebut, ada dua negara yang paling kuat menekan, yakni Inggris dan
Australia. Maka jadilah RUU yang tidak tegas melarang pornografi. Namun anehnya, masih saja ada saja
yang menentang RUU ini disahkan dengan berbagai dalih.

Kalau begitu, kira-kira undang-undang seperti apa yang dibutuhkan masyarakat?


Kembalikan saja Kepada Islam. Islam memiliki kondep jauh lebih sopan dan beradab berkaiatan dengan
masalah ini. Konsep itu adalah mengenai aurat dan tata aturannya. Batas aurat dalam Islam itu amat
jelas dan baku.

Aurat laki-laki, baik terhadap sesama laki-laki maupun terhadap wanita adalah antara pusar dan lutut.
Sementara aurat wanita terhadap laki-laki asing (bukan suami dan mahramnya) adalah seluruh tubuh
kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Di samping itu, pakaian yang dikenakannya sudah ditentukan
yakni: jilbab dan kerudung—adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Aurat tersebut wajib ditutup dan tidak boleh dilihat kecuali orang yang berhak, terlepas terlihatnya aurat
itu dapat membangkitkan birahi atau tidak. Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai
pornografi.

Islam juga melarang beberapa tindak yang berkaitan dengan tata pergaulan pria dan wanita. Di
antaranya Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan di ruang publik), berciuman, berpelukan,
bercampur-baur antara pria-wanita, berkhalwat dengan wanita bukan mahram, dan segala perbuatan
yang dapat mengantarkan perzinaan. Konsep ini jauh bermartabat daripada konsep mengenai pornoaksi.

Singkat kata, terapkan syariah secara kaffah, niscaya pornografi akan tersingkir dari kehidupan.

KEBOBROKAN DAN KEHANCURAN LIBERALISME BARAT November 18, 2008

Posted by gusuwik in Afkar Politik.

trackback

Barat, oleh Barat sendiri dicitrakan sebagai negara penuh dengan peradaban dan makmur. Keberhasilan
pencitraan inilah menjadikan sebagain kecil dari kaum muslimin terkagum-kagum bahkan memuja-
mujanya. Seolah-olah, Barat lebih ’Islami’ dari Islam itu sendiri. Benarkah demikian? Benarkah
liberalisme (sebagai paham dasar mereka) memberikan kejayaan? Bagaimana sebenarnya wajah negara-
negara Barat? Benarkah liberalisme justru menjadi mesin penghancur bagi peradaban Barat sendiri? Apa
sebenarnya ide-ide palsu liberalisme? Siapa sebenarnya target dibalik promosi ide liberalisme? Sehingga
bagaimana kita membendungnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, wartawan al waie
(gus uwik) di bantu oleh Reza Aulia mewawancara secara eksklusif Dr. Imran Wahid (Mantan
Representatif Media HT Inggris) dari London-Inggris langsung. Berikut petikannya:

Sebagaimana kita tahu kelahiran liberalisme adalah di Barat, dan Barat memberikan kesan bahwa
mereka memiliki kejayaan karena liberalisme. Apakah hal ini benar?

Kejayaan apa? Yang ada justru sebaliknya. Keterpurukan. Nilai-nilai liberal Barat memiliki keterkaitan
yang erat dengan mentalitas pemuasan sensual secara instan. Hal ini tercermin dalam suatu ungkapan
Latin yang terkenal ‘Carpe Diem’, yang diterjemahkan kurang lebih ‘nikmatilah hari ini’. Falsafah ini
mempengaruhi cara pandangan masyarakat Barat sehingga sedikit sekali ada kekhawatiran atas masa
depan atau memikirkan konsekuensi atas tindakan seseorang. Ujungnya liberalisme menuntun orang
untuk meyakini bahwa pemuasan sensual secara instan adalah memenuhi apa yang dibutuhkan dengan
sebanyak mungkin. Ini adalah liberalisme yang telah menyebabkan negara-negara kapitalis berada dalam
hutan belantara hewan-hewan liar yang menelan yang lemah dan manusia turun derajatnya seperti
hewan sebagai akibat diumbarnya nafsu dan kebutuhan-kebutuhannya. Pada level internasional, ide-ide
itulah yang secara langsung telah menyebabkan kematian dari jutaan orang di Irak dan Afghanistan.

Apa fakta yang menunjukkan bahwa liberalisme telah menjadi ‘mesin penghancur’ bagi Kebudayaan
Barat?

Siapapun yang mengetahui benar situasi dari masyarakat Barat akan melihat kehancuran yang telah
ditimbulkan oleh nilai-nilai liberalisme. Di Inggris, contohnya, nilai-nilai itu (liberalisme-red) telah
menyebabkan kejahatan yang mewabah pada kaum muda yang seringkali melakukan pembunuhan
hanya karena korbannya menatapnya dengan pandangan yang aneh. Di Inggris, setiap hari ada 175
perampokan dengan memakai pisau. Ada 2 orang wanita yang dibunuh setiap harinya sebagai akibat dari
kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, menurut survei yang ada telah menunjukkan bahwa 1 dari 5
kaum muda Inggris percaya bahwa kekerasan terhadap wanita adalah bisa diterima. Lebih
mengerikannya lagi, ada 1 dari 20 wanita yang diperkosa. Di negeri itu juga ada lebih dari 10 orang
dibunuh dan terluka dikarenakan senjata setiap harinya. Angka kriminalitas yang paling mutakhir
menunjukkan bahwa tahun lalu ada lebih dari satu juta kasus pencurian mobil. Pencurian ini ternyata
menyumbang hampir tiga perempat dari keseluruhan kasus kriminal yang dilakukan dengan kekerasan.
Di tingkat yang lebih tinggi lagi, ada skandal keuangan yang melibatkan Enron dan Worldcom yang telah
menggoyang ekonomi Barat.
Pendekatan masyarakat liberal atas banyak masalah-masalah ini adalah dikarenakan berlanjutnya
kebebasan. Jadi mewabahnya kecanduan alkohol dipenuhi dengan dibukanya pub-pub dan kelab-kelab
malam selama 24 jam. Problem perjudian dipenuhi dengan diajukannya proposal untuk membangun
banyaknya “super casino”. Penyelesaian yang diajukan oleh Barat untuk menyelesaikan permasalahan
yang telah menyebabkan adanya nilai-nilai liberal itu adalah suatu hal yang dangkal dan tidak efektif.
Ujungnya bukan menyelesaikan masalah namun justru memperkeruh permasalahan yang ada.

Dalam kenyataanya, apakah ide-ide palsu dari liberalisme?

Liberalisme muncul menyusul adanya konflik diantara para ahli flsafat Eropa dan Gereja pada saat
Renaissance. Hasil dari konflik ini adalah bahwa agama harus dipisahkan dari urusan kehidupan yakni
apa yang disebut sekularisme. Oleh karena itu, para penyokong nilai-nilai ini menegaskan juga bahwa
peran Islam dalam masyarakat haruslah dibatasi hanya pada urusan peribadatan personal sedangkan
keputusan-keputusan politik mengenai cara mengurus masyarakat diberikan kepada manusia. Hal ini
jelas bertentangan dengan akidah kaum Muslim, yang menganggap bahwa politik adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari Islam. Karena bagi Muslim, Islam adalah mencakup segala hal. Karena ini
bertentangan dengan Akidah itulah, kaum Muslim harus menolak liberalisme.

Kenyataannya adalah bahwa nilai-nilai ini terungkap oleh tindakan-tindakan Barat itu sendiri khususnya
setelah terjadinya Peristiwa 11 September. Kita telah melihat legitimasi atas pembantaian, tindakan
penahan yang sangat semena-mena yang dilakukan tanpa sidang pengadilan – ini adalah suatu bukti
yang terjadi di depan mata kita di Abu Ghraib, Bagram dan Guantanamo. Nilai-nilai liberal seperti
kebebasan dan HAM mendapat pukulan yang amat keras, bukan dari kaum Muslim, melainkan oleh
Amerika itu sendiri! Kemunafikan dan kontradiksi hal ini adalah begitu mengguncang sehingga banya
non-muslim yang mulai mempertanyakan validitas ide-ide liberal itu sendiri dan kebijakan luar negeri
kaum penjajah dari pemerintahan mereka atas Dunia Islam.

Siapakah target sebenarnya dari kebebasan ini?

Pemerintahan Barat mengetahui bahwa ideology Kapitalis, termasuk liberalisme, tidak mendapatkan
perlawanan selain dari Dunia Islam. Karena mereka sadar bahwa ummat Islam memiliki sebuah ideology,
yang mereka emban. Maka pemerintahan Barat menyadari bahwa hal ini bisa merupakan ancaman laten
walaupun pada saat ini Umat Islam tidak memiliki sebuah negara dan seorang pemimpin yang
menyatukan. Karena alasan itulah, pemerintahan Barat bekerja siang malam untuk menyebarkan
ideology yang merusak itu kepada Dunia Islam melalui berbagai cara termasuk lewat media dan para
penguasa kaki tangan mereka. Sebuah contoh yang baik atas hal ini adalah British Council yang
memberikan kesan luar atas pengajaran Bahasa Inggris, tapi juga mempromosikan nilai-nilai Barat,
termasuk ide-ide kebebasan pribadi, kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi. Sementara
sebagian kaum Muslim tertarik atas ide-ide ini, karena mereka hidup dibawah pemerintahan yang brutal,
ide-ide ini ditolak sepenuhnya oleh Islam.

Kendatipun kampanye ini dilakukan, kaum muslim yang tinggal di Barat mencela liberalisme sekuler ini.
Sebuah polling yang dilakukan baru-baru ini oleh ICM atas sikap kaum muslim di Inggris menerbitkan
hasil berikut: 81% memandang kebebasan berbicara sebagai sebuah cara untuk menghina Islam, 61%
mendukung syariah, 88% ingin Islam diajarkan disekolah-sekolah, dan 60% tidak menganggap perlu
untuk berintegrasi. Jika hal ini merupakan sebuah pandangan kaum Muslim yang hidup di bawah
bendera pembawa liberalisme, maka seseorang dapat memperkirakan pendirian Dunia Islam atas nilai-
nilai liberal sekuler. Cukup untuk mengatakan bahwa Barat telah gagal untuk meyakinkan massa kaum
Musliim bahwa liberalisme Barat adalah lebih baik daripada Islam.

Dengan cara apa liberalisme ditegakkan oleh Barat?

Liberalisme ditegakkan ketika mereka menggambar kartun yang menghina Utusan Allah SAW, ketika
mereka membuat film semacam “Fitna” yang menggambarkan Islam sebagai sebuah agama yang penuh
kekerasan dan ketika mereka menerbitkan buku-buku semacam Ayat-Ayat Setan yang menghina para
istri dari Nabi SAW. Di bawah bendera “liberalisme”, kaum Muslim harus bertoleransi atas semua bentuk
propanda melawan Islam.

Namun, pada saat yang sama mereka mengungkap kemunafikan “liberalisme” ketika mereka
menegakkan hukum untuk membungkam orang-orang yang menentang imperialisme Barat, dengan
menuduh mereka “memuja terorisme”, dan menyerukan pelarangan partai-partai politik Islam seperti
Hizbut Tahrir. Di Perancis, para wanita muslimah dilarang memakai jilbab dan Pengadilan HAM Eropa
menguatkan larangan yang dilakukan oleh Turki untuk melarang jilbab di universitas-universitas Turki.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh Umat Muslim atas masalah ini?

Pertama, kaum muslim harus memahami bahwa motif dari kampanye semacam ini –untuk menyebarkan
nilai-nilai liberal kepada Dunia Islam– adalah untuk membuat ideology kapitalis menjadi nilai-nilai yang
universal dan melemahkan keterikatan Muslim atas Dien-nya. Jika mereka memahami motif-motif ini
maka Umat Muslim akan bersatu menentang ide-ide semacam ini.

Kedua, selain kesadaran akan posisi Islam dalam kaitannya dengan nilai-nilai ini, kaum Muslim harus juga
mengetahui atas realitas yang menakutkan dari nilai-nilai ini (liberalisme-red) yang telah membentuk
masyarakat Barat menjadi ’bangsa hewan’, seperti keluarga yang berantakan, hubungan seksual dengan
siapa saja, epidemi kecanduan alkohol dan obat-obatan, melalaikan anak-anak dan orang jompo dan
tumbuhnya kriminalitas.

Ketiga, Umat Muslim harus mengungkap kemunafikan pemerintahan Barat ini dengan melemahkan nilai-
nilai liberal mereka sendiri. Umat Islam harus mengkritik tajam atas inkonsistensi Barat. Kenapa
pemerintah Barat melarang jilbab dan membungkam kaum Muslim di Barat yang menentang
ketidakadilan, padahal ini adalah bagian dari pelaksanaan HAM? Umat Islam juga dapat menyoroti
konsekuensi yang sesungguhnya yang telah menciptakan masyarakat seperti ini.

Keempat, Umat Muslim harus bekerja bagi tegaknya Khilafah karena inilah alternatif satu-satunya atas
kegelapan yang diderita oleh masyarakat dibawah liberalisme. Dibawah Khilafah lah, hak-hak manusia
ditentukan oleh Sang Pencipta manusia dimana pasti terpenuhi secara adil, bukan oleh manusia itu
sendiri. Tidak ada seorangpun yang dipaksa untuk menjadi Muslim, kaum wanita akan diberikan hak-hak
mereka yang sesungguhnya, penduduk bisa meminta tanggung jawab penguasa dan tidak ada ruang bagi
para diktator brutal yang mengotori Dunia Islam pada hari ini.

Akhirnya, adalah perlu untuk mengingat kata-kata seorang ahli politik Amerika,Samuel Huntington, yang
mengatakan “Barat menguasai dunia bukan karena Superioritas ide-ide atau nilai-nilainya atau agamanya
melainkan karena superioritasnya dalam menerapkan kekerasan yang terorganisir. Orang Barat seringkali
lupa akan fakta ini, tapi orang Non-Barat tidak pernah melupakannya.”

10 Langkah Mengisi Ramadhan Bersama Anak September 13, 2007

Posted by gusuwik in Keluarga SAMARA.

trackback

Shaum (puasa) Ramadhan adalah salah satu pilar dari Rukun Islam. Maka mendidik anak untuk berpuasa
Ramadhan menjadi kewajiban keislaman yang integral bagi para orang tua. Para sahabat Rasul telah
mendidik putra-putri mereka yang masih kecil untuk berpuasa. Seperti yang dituturkan shahabiyah
Rubayyi binti Muawwiz tentang bagaimana cara mereka mendidik anak-anak mereka berpuasa Asyura
(sebelum diwajibkan puasa Romadhon): …dan kami melatih anak-anak kami yang masih kecil untuk
berpuasa. Kami bawa mereka ke masjid dan kami buatkan mereka mainan dari bulu. Apabila diantara
mereka ada yang merengek minta makan, maka kami bujuk dengan mainan itu terus hingga tiba waktu
berbuka. (HR. Bukhari Muslim).
Shaum (puasa) Ramadhan adalah salah satu pilar dari Rukun Islam. Maka mendidik anak untuk berpuasa
Ramadhan menjadi kewajiban keislaman yang integral bagi para orang tua. Para sahabat Rasul telah
mendidik putra-putri mereka yang masih kecil untuk berpuasa. Seperti yang dituturkan shahabiyah
Rubayyi’ binti Mu’awwiz tentang bagaimana cara mereka mendidik anak-anak mereka berpuasa Asyura
(sebelum diwajibkan puasa Romadhon): “…dan kami melatih anak-anak kami yang masih kecil untuk
berpuasa. Kami bawa mereka ke masjid dan kami buatkan mereka mainan dari bulu. Apabila diantara
mereka ada yang merengek minta makan, maka kami bujuk dengan mainan itu terus hingga tiba waktu
berbuka.” (HR. Bukhari Muslim).

Dari riwayat diatas, kita dapat mengetahui bahwa para sahabat memberikan perhatian yang serius dalam
melatih putra-putri mereka untuk membiasakan berpuasa. Lantas apa yang dapat kita lakukan saat ini
untuk meneladani tradisi sahabat tadi? Ada 10 panduan yang perlu kita perhatikan :

1. Melakukan pengkondisian menyambut Ramadhan dengan memberi bekalan pemahaman yang


memadai tentang keutamaan Ramadhan. Jika pengkondisian ini dilakukan berulang-ulang sejak sebelum
Ramadhan tiba, sangat mungkin akan tumbuh niat yang kuat pada anak untuk berpuasa Ramadhan.

2. Menyambut Ramadhan dengan keriangan dan keceriaan. Rasulullah telah menasehati Abdullah bin
Mas’ud untuk menyambut Ramadhan dengan wajah yang berseri tidak cemberut. Jika kita perluas
keceriaan tadi, dapat juga dengan cara memberi dekorasi yang khas pada kondisi rumah, sehingga anak
semakin menyadari akan keistimewaan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya. Hal ini akan menstimulus
mereka untuk berpuasa. Dibuat sedemikian rupa sehingga bulan Ramadhan adalah hari-hari yang paling
indah untuk dikenang sang anak hingga mereka remaja dan dewasa. Ini tentu akan lebih mudah tercapai
jika ada peran serta masyarakat umum dan pemerintah dengan menghidupkan syiar-syiar Ramadhan di
jalan raya, perkantoran, pabrik, media masa dan lain-lain.

3. Menata jam tidur anak-anak sehingga akan mudah bergairah saat bangun sahur. Waktu sahur
sebaiknya diakhirkan (kira-kira satu atau setengah jam menjelang salat subuh) sebagaimana anjuran
Rasulullah. Hikmahnya antara lain agar setelah sahur tidak terlalu lama menunggu waktu subuh.

4. Tidak meletakkan makanan, minuman dan buah-buahan secara terbuka, sehingga akan menggoda
mereka untuk segera membatalkan puasanya. Makanan diletakkan pada tempat yang jauh dari perhatian
mereka. Hal ini juga sepatutnya diperhatikan oleh restoran dan penjaja makanan dipinggir jalan.
5. Terhadap anak yang baru berlatih puasa (belum kuat dan gampang terpengaruh), sebaiknya mereka
dijauhkan bermain dari anak-anak yang malas berpuasa. Dan didekatkan dengan anak-anak lainanya
yang juga tekun berlatih. Ini perlu dilakukan agar mereka memperoleh rasa kebersamaan, bukan
keterasingan karena puasanya.

6. Melatih berpuasa dengan bertahap dan menjanjikan hadiah sebagai rangsangan. Misalnya di awali
dengan izin berbuka sampai jam 10, lalu jam 12 dan seterusnya sampai akhirnya penuh sampai waktu
berbuka. Hadiahnya disamping penghargaan dan pujian sebagai anak yang sabar, juga dapat diberikan
hadian lain yang beraspek mendidik berupa alat-alat belajar.

7. Stimulus dengan pahala dan surga dari Allah. Jadi hadiah materi diatas tak menutupi stimulus ganjaran
Allah. “Jika kamu berpuasa, maka kamu ikut membuka pintu pahala dari Allah bagi orangtuamu yang
telah mendidikmu untuk berpuasa”. Anak akan senang karena sekaligus dapat berbuat sesuatu kebaikan
untuk orangtuanya.

8. Memberi alternatif pengisian waktu yang tepat dan positif. Baik dengan istirahat tidur di siang panas,
maupun dengan alternatif permainan yang mendidik untuk melupakan mereka dengan rasa haus dan
lapar yang menyengat. Sebagaimana yang telah dilakukan shahabiyah di masa Rasul. Saat ini sudah ada
pesantren Ramadhan untuk anak-anak dan remaja, ini juga alternatif kegiatan yang menyenangkan bagi
mereka. Atau orangtua dapat juga bersepakat dengan anak-anaknya untuk memasang target, bahwa
seusai bulan Ramadhan kemampuan mereka mengaji Al Quran harus lancar dan lebih baik. Perhatian
kepada Al Quran memang harus lebih besar di bulan Ramadhan, karena Al Quran diturunkan pertama
kali pada bulan ini. Dapat pula orang tua membacakan kisah-kisah keteladanan Islami, atau
mendengarkan kaset-kaset cerita Islami.

9. Mengajak anak-anak untuk meramaikan syiar Ramadhan, seperti sholat tarawih berjamaah di masjid,
mengaji dan mengkaji Quran, menyimak ceramah-ceramah agama, menyuruh mereka mengantar
makanan ke masjid untuk orang yang berbuka puasa, lebih menggemarkan berinfak, shadaqah dan
lainnya.

10. Khusus untuk para orang tua, jika mereka menyepelekan pendidikan puasa Ramadhan bagi anak-
anaknya, maka mereka harus siap bertanggung jawab kepada Allah kelak di akhirat, jika putra-putrinya
kemudian melalaikan kewajiban puasa Ramadhan. Oleh karena itu mereka harus memanfaatkan
semaksimal mungkin pembiasaan puasa Ramadhan bagi anak-anaknya sejak dini. Dengan perhatian yang
intens dan cara-cara yang bijak, niscaya dapat menggugah kesadaran anak-anak untuk berpuasa.
Kesadaran itu tentu akan merupakan tabungan ibadah bagi para orang tua yang telah mendidik mereka.

Jika hal-hal di atas kita lakukan, maka Insya Allah keberkahan Romadhon akan turun ke setiap keluarga
muslim.[]

Depresi? Perlu Penyelesaian Yang Menyeluruh

by:archirevo

Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa seseorang disebut stressor psikososial, yang dapat
mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) dinamakan stress. Manakala fungsi
organ-organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan
(psikis) seseorang terhadap stressor yang dialami. Singkatnya, depresi adalah gangguan kejiwaan dalam
menanggapi berbagai permasalahan hidup yang menimpanya dalam bentuk kecemasan atau
kegundahan.

Dalam realitas, depresi adalah wabah yang berbahaya bahkan lebih berbahaya dibandingkan penyakit flu
burung, kanker dan semacamnya. Sebab, penyakit depresi tidak dapat atau sulit dideteksi dengan alat-
alat kedokteran. Hal ini terbukti dengan data studi World Bank tahun 1993 di beberapa negara, 8,1
persen dari global burden disease (penyakit akibat beban globalisasi) disebabkan oleh masalah
kesehatan jiwa, yang menunjukkan dampak yang lebih besar daripada penyakit TBC (7,2 persen), kanker
(5,8 persen), jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen). Hasil survei Prof. Ernaldi Bahar tahun 1995
dan Direktorat Kesehatan Jiwa tahun 1996 menyatakan, bahwa di Indonesia, 1-3 dari setiap 10 orang
mengalami gangguan jiwa. Gangguan di sini tentu saja yang dimaksud adalah depresi.

Mengenai jumlah individu yang mengalami ini tidak diketahui secara pasti – karena memang sulit
dideteksi seperti yang dinyatakan tadi. Namun, peningkatan yang mengalami ini dapat diketahui dari
semakin banyaknya pasien yang berobat di klinik psikiatri di rumah sakit, meningkatnya pemakaian obat-
obat anti depresi, dan semakin meningkatnya kasus bunuh diri.

Depresi penyebab utama bunuh diri. Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia selama 6 bulan terakhir pada
tahun 2004 sudah mencapai 92 kasus. Hampir menyamai jumlah seluruh korban tahun 2003 yang
tercatat 112 kasus. Di AS, setiap tahun sekitar 1,3 juta orang mencoba bunuh diri dan lebih kurang
400.000 orang di antaranya tewas. Angka ini 1,5 kali lebih banyak daripada angka kematian akibat tindak
kriminal. Walhasil, angka bunuh diri di AS menempati urutan ketiga terbesar penyebab kematian
penduduk usia 15-24 tahun. Salah satu tempat favorit untuk bunuh diri adalah jembatan terkenal Golden
Gate Bridge di San Fransisco. Lebih kurang 850 orang di laporkan telah tewas bunuh diri di jembatan
berwarna merah yang sangat terkenal itu (Kompas, 17/7/2004).

Faktor Penyebab

Ada empat faktor penyebab depresi menjadi mewabah.

1.

Individu. Maksud individu di sini bukan pada bentuk fisiknya melainkan pada paradigma berpikir.
Mengapa? Hal inilah yang akan menentukan bagaimana mereka berpikir terhadap permasalahan yang
mereka hadapi. Ketika cara berpikirnya materialis maka ia akan memandang problematika dari sudut
pandang materilais yakni untung dan rugi. Akibatnya, ketika ia kehilangan sesuatu yang berharga apalagi
yang mampu menghasilkan uang jutaan hingga milyaran, ia akan mengalami depresi berat hingga ia
merasa kehilangan kehidupannya.

2.

Keluarga. Keluarga adalah lingkungan awal tempat dia tinggal dan berinteraksi dengan orang
terdekatnya. Dalam dunia kapitalis, keluarga berjalan berdasarkan paham materialisme. Sang ibu merasa
mengasuh, mendidik anak tidak lebih berharga dibandingkan bekerja, belanja atau bersolek. Akibatnya,
ibu sering mengabaikan fungsinya sebagai guru pertama dan terawal bagi anaknya. Sang ayah pun
merasa mendidik anak bukan tanggung jawabnya dan juga tidak lebih berharga dibandingkan bekerja.
Sebab, menurut pandangan materialis, bekerja menghasilkan uang sedangkan mendidik dan
memperhatikan anak tidak menghasilkan uang. Akibatnya, sang ayah lebih condong pada bekerja dan
bekerja serta merasa sudah menyelesaikan tanggung jawab dengan memberikan uang saku yang besar
pada anaknya. Padahal, seorang anak tidak hanya butuh pakaian, celana, makanan, minuman dan
kebutuhan fisik semacamnya tapi juga kasih saying, pendidikan dari orang tua. Tentu saja hal ini akan
berakibat pada gangguan kejiwaan sang anak. Apalagi, sang ayah dan ibu sering bertengkar karena
urusan-urusan sepele dan merasa saling direndahkan. Hal ini akan menjadi puncak gangguan kejiwaan
yang berujung pada broken home dan serentetan dampak yang mengikutinya seperti anti sosial.

3.

Masyarakat. Masyarakat adalah lingkungan berikutnya yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap
seseorang sebab mau tidak mau setiap diri kita berinteraksi dengan masyarakat. Pada masyarakat
materialis, segalanya dipandang dari sudut pandang materi dan cenderung individualis. Kepekaan
terhadap lingkungan sosialnya sangat rendah. Orang akan bersaing untuk untuk dirinya sendiri dengan
berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Hubungan interpersonal semakin fungsional
dan cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti keramahan, perhatian, toleransi, dan
tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di
tengah keramaian. Inilah yang disebut lonely crowded (sendiri di tengah keramaian), gejala mencolok
dari masyarakat kapitalis di mana-mana termasuk Indonesia dan dunia Its ini.

4.

Pemerintah. Pemerintah pun juga ikut andil dalam mewabahnya penyakit depresi ini. Dengan system
kapitalis, segala hal pun juga dipandang secara materi. Penguasa dan rakyat bagaikan penjual dengan
pembeli bahkan yang lebih parah bagaikan tuan rumah dengan budak. Akibatnya, pendidikan,
kesehatan, SDA seperti bensin dijadikan komoditas jual beli antara penguasa dan rakyat. Tekanan
ekonimi yang menghimpit dengan sedikitnya lapangan pekerjaan, penghasilan yang pas-pasan dan harga
barang-barang yang kian melangit terutama barang-barang poko semacam beras, kesemuanya
menjadikan banyak orang mudah depresi. Menurut E. Kristi Purwandari, pengajar Fak. Psikologi UI,
faktor penyelenggaraan kehidupan bernegara yang carut-marut menjadi penyebab depresi terbesar bagi
masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah. Keadaan seperti ini menyebabkan orang
frustasi dan putus harapan karena merasa tidak memiliki masa depan. Belum lagi tayangan televise yang
lebih condong pada kekerasan diberi lampu hijau oleh pemerintah menjadikan masyarakat lebih suka
mengambil solusi dengkul alias kekerasan kebanding dengan otak alias berpikir dalam menyelesaikan
setiap problematika. Sehingga, banyak sekali kriminalitas kekerasan fisik hingga pembunuhan hanya
karena alasan sepele.

Penyelesaian menyeluruh dan tepat


Dengan analisa di atas, jelas sekali kalau kita ingin menyelesaikan permasalahan depresi yang
berkepanjangan kita harus menyelesaikan semua factor di atas sebab satu factor dengan factor lain
saling mempengaruhi. Tidak bisa kita katakan cukup dengan dzikir, sholat dan ibadah ritual lainnya
mampu menghilangkan depresi sebab hal itu bersifat individual saja dan dampaknya pun hanya sesaat.
Padahal, kita ingin menyelesaikan depresi sosial bukan hanya depresi individual dan dampaknya itu
tahan lama bukan hanya sesaat. Seseorang bisa saja merasakan ketenangan ketika sholat dan berdzikir
dalam masjid, tapi kegoncangan jiwa kembali merasuk hati ketika ia keluar dari masjid dan kembali lagi
dalam aktivitas keduniaan dalam lingkungan yang carut marut seperti yang digambarkan di atas. Maka
dari itu penyelesaiannya pun ada empat yang kesemuanya berasaskan Islam yang diturunkan oleh Allah
yang Maha Tahu akan karakteristik manusia

Kami tidak menurunkan al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah.

(QS Thaha [20]: 2).

1.

individu. Karena pandangan materialis ini yang menjadikan seseorang mengejar-ngejar dunia sehingga
depresi ketika gagal mencapainya atau kehilangan sesuatu yang berharga secara materi, maka
pandangan materialis ini mestilah diubah menjadi padangan Islam. Rasulullah senantiasa
menghancurkan pandangan materialisme ini dengan berbagai peringatan. Contohnya

Bermegah-megahan telah melalaikan kalian sampai kalian masuk ke dalam kubur.

(QS at Takatsur [102]: 1-8).

Rasulullah senantiasa merubah paradigma materialistik menjadi paradigma akhirat dengan tanpa
meninggalkan dunia

Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan
janganlah kalian melupakan bagian kalian dari (kenikmatan) duniawi,
(QS al-Qashash [28]: 77).

Walhasil, Rasulullah saw. selalu menanamkan pandangan hidup yang sahih dan lurus, yakni pandangan
hidup Islam yang didasarkan pada akidah Islam; menanamkan bahwa kebahagian hidup adalah
diperolehnya ridha Allah, bukan dicapainya hal-hal yang bersifat duniawi dan material, karena semua itu
bersifat sementara. Penanaman pikiran dan pemahaman seperti ini dilakukan melalui pembinaan baik di
rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Oleh sebab itu, setiap orang harus ‘memaksa’ dirinya
untuk terus mengkaji Islam secara tepat; bukan untuk kepuasaan intelektual, melainkan untuk diyakini,
dihayati, dan diamalkan. Dengan pengamalan tersebut ia akan menjadi orang yang memiliki keyakinan
teguh, cita-cita kuat, tawakal hebat, dan optimisme tinggi. Ia akan berbuat di dunia dengan keyakinan
Allah Swt. akan menolongnya, kesulitan dipandang sebagai ujian hidupnya, dan pandangannya jauh
tertuju ke depan, ke akhirat. Dia berbuat di dunia untuk mencapai kebahagiaan hakiki, yaitu ridha Allah
al-Khaliq. Jika ini dilakukan niscaya seseorang akan terhindar dari depresi.

2.

Keluarga. Keluarga juga harus diciptakan suasana yang kondusif untuk meredam depresi dengan
menegakkan pilar-pilar Islam di dalam. Kehidupan suami istri layaknya para sahabat yang saling
melengkapi dan saling mendukung

Mereka itu (istri) adalah pakaian bagi kalian (suami) dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.

(QS al-Baqarah [2]: 187).

Dengan kehidupan yang bersahabat ini, sang ibu tidak merasa rugi harus senantiasa mengurus rumah
tangga karena itulah tanggung jawabnya serta tidak merasa rendah karena yang mencari nafkah adalah
suami. Suami pun tidak merasa tinggi hanya karena ialah yang mencari nafkah. Selain itu, keduanya
saling membantu satu sama lin berikut anak-anaknya dalam melangkah di dunia dengan menjalin
komunikasi yang baik, saling menasihati, kumpul-kumpul bersama untuk menambah keakraban

Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.
(QS at-Tahrim [66]: 6).

Dan yang terakhir menjadikan keluarga sebagai tempat madrasah bagi para penghuninya dengan
menjadikan suasana rumah islami seperti lagu-lagu islami, pigora-pigora kaligrafi, pembacaan Al Quran,
pengajian sekeluarga dan sebagainya. Pada zaman Nabi, rumah Arqam dijadikan pusat pembinaan; di
rumah Fatimah adiknya Umar bin Khathab ada kajian; begitu pula di rumah sahabat lainnya. Dengan hal
ini seseorang merasa terus-menerus merasa meningkat keimanan dan ketaqwaannnya sehingga semakin
tegar menghadapi problematika dunia

3.

Masyarakat. Kehidupan masyarakat, kata Nabi, seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan
dengan kapal. Jika ada seseorang yang hendak mengambil air dengan melobangi kapal dan tidak ada
orang lain yang mencegahnya, niscaya yang tenggelam adalah seluruh penumpang kapal. Hal ini
menunjukkan betapa besarnya pengaruh anggota masyarakat terhadap kehidupan masyarakat secara
umum. Masyarakat yang para anggotanya mengembangkan bibit-bibit depresi, jika dibiarkan, akan
melahirkan masyarakat yang depresi. Sebaliknya, warga masyarakat yang menumbuhsuburkan kebaikan
akan mewujudkan masyarakat yang juga baik. Oleh sebab itu, agar masyarakat memiliki daya tahan
dalam menghadapi depresi/stress sosial harus ada upaya untuk menumbuhkan solidaritas dan
kepedulian sosial; menciptakan atmosfir keimanan; serta mengembangkan dakwah dan amar makruf
nahi mungkar. Masyarakat Madinah pada zaman Nabi saw. merupakan contoh ideal untuk hal ini. Para
penduduk Anshar (penduduk Madinah) dengan penduduk Muhajirin (penduduk mekkah yang hijrah ke
madinah) disaudarakan oleh Rasulullah. Mereka saling nasihat-menasihati, saling tolong-menolong
dalam kebaikan, saling memberi, dan semacamnya hingga menciptakan solidaritas yang mulia yang tidak
memberikan sedikit pun peluang munculnya penyakit depresi.

4.

Pemerintah. Sebagai penentu sistem yang diterapkan masyarakat, sistem kapitalis yang kini diemban
pemerintah – yang telah nyata menyengsarakan masyarakat dengan berbagai carut marutnya tatanan
sosial, perekonomian dan politik – haruslah dirubah menjadi sistem Islam. Dengan sistem Islam
pemerintah diposisikan sebagai pengurus kehidupan masyarakat.
Pemimpin manusia (kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan diminta
pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya

(HR al-Bukhari dan Muslim).

Dengan dasar seperti itu, pemerintah berfungsi untuk mengurus masyarakat hingga urusan masyarakat
mudah diselesaikan oleh individu masyarakat. Dengan begitu, tidak lagi masyarakat yang kesulitan
mencari lapangan kerja karena pemerintahlah yang kan membukanya, tidak lagi masyarakat kebingungan
harus mencari dana kemana untuk menyekolahkan anaknya karena pendidikan digratiskan, tidak ada lagi
masyarakat khawatir akan urusan kesehatan karena layanan kesehatan pemerintah siap melayani dengan
gratis pula, dan berbagai kemudaha-kemudahan lainnya.

Khatimah

Telah nampak jelas bagi kita bahwa depresi sosial yang kini sedang akut di Indonesia dan dunia pada
umumnya adalah dampak dari carut marutnya 4 faktor di atas sehingga keempat-empatnya mesti
diselesaikan dengan solusi Islam. Sebagai gambaran singkat dari paparan di atas, amat jelas bahwa
depresi seseorang itu muncul dari paradigma seseorang yang materialistic sehingga sangat mudah
depresi ketika kehilangan sesuatu yang berharga atau gagal total mencapai cita-citanya yang tinggi, hal
ini diperkuat ketika personal keluarganya juga sibuk dengan dirinya sendiri tanpa mempedulikan
urusannya, apalagi masyarakat yang materialistic-individualistik menjadikan ia tak lagi tempat untuk
mengadu problematikanya, ditambah dengan carut marutnya pemerintah dengan berbagai tekanan-
tekanan ekonomi, politik dan sosial menjadi pelengkap yang sempurna bagi seseorang untuk mengakhiri
dunia ini dengan bunuh diri.

Berbeda, ketika ia memiliki paradigma Islam yang kuat dan kokoh, akan menjadikan ia senantiasa sabar
dan tawakal kepada Allah, menganggap problematikanya adalah ujian dari Allah, hal ini diperkuat dengan
kondisi keluarga yang senantiasa membantu dan memberi semangat untuk senantiasa optimis dan
berjuang, apalagi masyarakat Islami yang solidaritasnya berdasarkan Islam bukan materilistik membuat
ia tidak merasa sendiri di dunia ini karena banyak sekali yang mau membantunya, ditambah lagi
pemerintah yang terus-menerus memudahkan urusan masyarakat hingga menjadikan ia benar-benar
senang menjalani aktivitas keduniaan dan akhirat. Dengan gambaran seperti ini, masihkah banyak
individu masyarakat yang depresi karena tekanan ekonomi dan lainnya hingga berujung pada bunuh diri
sebagaimana kondisi masyarakat sekarang?

Dengan penjelasan ini, masihkah kita tidak mau juga kembali pada Islam? Masihkah kita tidak lagi
kembali pada fitrah kita dengan menekuini Islam sebagi pandangan hidup? Masihkah kita
membanggakan pandangan materialistik dengan berbagai konsekuensi buruknya? Gunakanlah akal kita
untuk memikirkannya? Gunakanlah hati kita untuk merasakan betapa indah hidup dalam suasana Islam?
Gunakanlah… karena itulah karunia Allah yang membedakan antara kita dengan hewan. Gunakanlah
dengan sungguh-sungguh maka kita akan benar-benar berada dalam satu keputusan bahwa Islamlah
solusi problematika manusia seutuhnya dan alam seluruhnya .

Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

(QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Bahaya Liberalisasi Keluarga

Redaksi, Yth.

LIBERALISASI yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bermula dari sebuah keluarga, sehingga
terwujudlah masyarakat liberal. Dalam perjalanan panjang proses liberalisasi keluarga-keluarga muslim di
dunia, termasuk di Indonesia, kita akan menemukan suatu strategi politik yang sangat terencana.

Bagi para penyandang dana, liberalisasi akan membuka kesempatan luas untuk perdagangan bebas.
Liberalisasi menjadi titik temu isu-isu gender, pluralisme, dan dialog antaragama. Wajar saja jika ide-ide
ini tampak selalu setali tiga uang.

Penghancuran keluarga muslim dimulai dari upaya menggeser orientasi para muslimah terhadap peran
keibuan. Para muslimah diarahkan menjadi individualis, liberalis, dan materialistis. Selanjutnya mereka
akan meninggalkan keluarga dan anak-anaknya untuk mengejar karier, materi, dan status sosial.
Penghancuran disempurnakan dengan merobohkan pola interaksi dalam keluarga yang selama ini masih
tertata dengan nilai-nilai Islam. Perkembangan mutakhir dari upaya liberalisasi keluarga-keluarga muslim
Indonesia adalah diajukannya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum (ingkar) Islam (CLD-KHI). Langkah
melegalkan CLD-KHI tidak sekadar meletakkan batu sandungan bagi perjuangan penerapan syariat Islam,
namun menggerogoti keterikatan umat dengan syariat Islam yang masih tersisa.

Kepada redaksi, terima kasih.

Cinta dan Tanggung Jawab Keluarga

Oleh: O. Solihin

Meskipun untuk jatuh cinta orang tidak perlu belajar, tapi kita harus belajar cara mencintai orang dengan
sehat. Itulah sebabnya cinta membutuhkan aturan. Even love needs rules. Cinta juga adalah sebentuk
tanggung jawab. Ya, cinta adalah tanggung jawab. Ketika kita berani mencintai seseorang atau sesuatu,
maka kita sudah harus mendampinginya dengan tanggung jawab.

Kecintaan seseorang kepada dirinya sendiri, akan memberikan rasa tanggung jawab bahwa ia harus
menjaga dan merawat dirinya sendiri. Baik secara fisik maupun mental. Ketika kita mencintai harta yang
kita miliki, maka kita akan punya tanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Begitu pun ketika kita
mencintai seseorang; mencintai calon istri atau calon suami, mencintai anak kita, mencintai istri atau
suami kita, mencintai orangtua, maka semua itu pasti melahirkan tanggung jawab. Kita akan merawatnya
agar cinta yang kita taburkan bersih, suci, dan kita berkomitmen sebagai bentuk dari tanggung jawab
bahwa kita berusaha untuk tak akan pernah mencederainya atau menodainya.

Cinta mulai tumbuh pertama kali di saat pubertas

Dalam perkembangan fisik dan jiwa manusia, para pakar psikologi mengenalkan istilah “masa pubertas”
atau puber. Menurut para ahli perkembangan jiwa, usia remaja mengalami pubertas adalah pada usia 14
- 16 tahun. Masa ini disebut juga “masa remaja awal”, dimana perkembangan fisik mereka begitu
menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya, sekaligus bangga bahwa hal itu
menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi.

Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan hormon-hormon seksualnya
yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai
dengan datangnya menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan datangnya
‘mimpi basah’ yang pertama.

Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orangtua harus mendampinginya serta
memberikan pengertian yang baik dan benar tentang seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik,
perkembangan psikis mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan
terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan remaja pada tahap
ini. Termasuk pendidikan seks yang beradab sangat dibutuhkan bagi remaja agar mereka tidak
terjerumus ke dalam pergaulan bebas hingga melakukan seks pranikah. Ketidaktahuan dalam masalah
seks juga bisa berakibat fatal dalam menyikapi akibat-akibat setelah melakukan seks bebas. Kasus aborsi
dan penyakit menular seksual misalnya, adalah satu contoh betapa remaja banyak yang awam dengan
masalah ini. Padahal bahaya secara medis sangat mengancam dirinya, belum lagi jika kita bicara tentang
dosa.

Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya tarik seksual. Karena
kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh perkembangan seksualitasnya, remaja
sukar diselami perasaannya. Kadang mereka bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di
lain waktu dia begitu ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung
dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan pikirannya sendiri.

Pentingnya para orangtua memperhatikan perkembangan anak-anaknya ini agar mereka tak salah jalan
dalam menjalani kehidupannya, sehingga mereka bisa mengekspresikan cintanya di jalur yang benar
sesuai syariat Islam. Tidak ‘masa bodoh’ dengan urusan cinta dan seks. Tapi mereka tumbuh menjadi
generasi yang sehat, cerdas, peduli dan taat syariat.

Mengajarkan tanggung jawab kepada remaja

Saat ini, paham hedonisme sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Dalam Kamus Inggris-Indonesia
karangan John M. Echols & Hassan Shadily, “hedonism” diartikan sebagai “Paham yang dianut orang-
orang yang mencari kesenangan semata-mata”. Suatu way of life alias jalan hidup yang mengedepankan
kesenangan itu, meliputi pola pikir dan perasaan, penampilan lahiriah dan perilaku.

Hedonisme yang muncul dalam masyarakat kita saat ini memang bukan hanya pemilikan dan pemakaian
barang mewah tapi juga penyalahgunaan narkoba (narkotika dan zat berbahaya lainnya), cara bergaul,
hubungan seks bebas, biseks dan homoseks seperti kecenderungan sebagian dari masyarakat kita yang
mengaku modern ini.

Mencari kesenangan tak dilarang, asalkan itu halal. Tapi jika haram, meski yang melakukan adalah diri
kita sendiri, dan mungkin saja yang akan rusak adalah kesehatan kita sendiri, tapi bukan berarti hal itu
boleh kita lakukan. Karena kita sendiri adalah milik Allah Swt. Dialah yang berhak atas tubuh kita
sepenuhnya. Itu sebabnya, bunuh diri diharamkan, meminum miras dan mengkonsumsi narkoba
diharamkan, berzina diharamkan, aborsi diharamkan. Padahal, kesemua itu adalah berkaitan dengan kita
sendiri, tubuh kita sendiri. Tapi Allah Swt. melarang perbuatan yang seperti itu. Karena kita dinilai tidak
amanah dalam menjaga dan merawat diri kita. Kita tak punya tanggung jawab jika berani menelantarkan
diri kita sendiri.

Memberikan pemahaman kepada remaja agar mereka mengerti tentang tanggung jawab dalam
kehidupannya adalah bagian dari tanggung jawab para orangtua (di rumah, di masyarakat dan juga
negara) untuk menghasilkan generasi unggulan. Baik unggul secara kognitif (ilmu pengetahuan-umum
dan agama), afektif (emosi/perasaan), psikomotorik (keterampilan), maupun perkembangan fisiknya
yang sehat.

Dan khusus untuk cinta, remaja harus diajarkan tentang bagaimana menyikapi dan mengekspresikan
cinta (termasuk pengetahuannya tentang seks) menurut tuntunan syariat Islam. Jangan memberi
kesempatan kepada remaja untuk belajar tentang seks berdasarkan keinginannya sendiri. Tetapi harus
dipantau dan diarahkan oleh para orangtua dan sebisa mungkin memberikan jalur yang benar berkaitan
dengan informasi seputar pendidikan seks yang beradab. Termasuk harus dipahamkan bahwa cinta tak
sama dengan seks. Ini untuk memberikan bimbingan bahwa, ketika merasakan jatuh cinta kepada lawan
jenis, bukan berarti harus dilampiaskan dengan melakukan hubungan seksual pranikah. Karena rasa cinta
dengan mengekspresikan cinta adalah sesuatu yang berbeda. Rasa cinta adalah bagian dari penampakan
naluri mempertahankan jenis, sementara mengekspresikan cinta adalah upaya pemenuhan dari naluri
mempertahankan jenis/melestarikan keturunan.

Sebagai orangtua tentu kita sangat mendambakan anak-anak kita tumbuh sehat, kuat, cerdas, shaleh,
dan berbakti kepada orangtuanya. Itu tanggung jawab kita untuk mewujudkannya. Tentu saja, agar
keinginan kita semua bisa terwujud nyata dan nampak manfaatnya, dibutuhkan kerjasama semua pihak;
keluarga, masyarakat, dan juga negara.
Semoga kita bisa mengelola rasa cinta ini dengan penuh tanggung jawab. Baik sebagai individu maupun
keluarga. Semoga kasus seks bebas dan aborsi yang bermula dari kesalahan memahami cinta tak
terulang kembali. Sebaliknya, kita semua menjadi hamba-hamba Allah yang berserah diri kepadaNya
dengan penuh cinta. Wallahu’alam[]

Menulis Kreatif

siapapun bisa menjadi penulis

Comments

Entries

Home

Inilah Kami

Profil Mentor

O. Solihin

Nafiisah FB

Ria Fariana

Kontak Kami

Buku Tamu

FAQ

Kursus Menulis Online

Apa Itu KMO?

Program Reguler KMO

Cara Pendaftaran

Menulis Kreatifartikel, menulisTeknik Menulis Artikel

Teknik Menulis Artikel

Oleh: O. Solihin
Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Itu sebabnya, jika Anda tertarik untuk terjun ke dunia
kepenulisan, syarat utamanya adalah harus merajinkan dan membiasakan diri untuk membaca.
Membaca apa saja yang bisa dibaca. Insya Allah, dengan banyak membaca akan sangat menumpuk ide
yang bisa dijadikan sebagai bahan tulisan. Khusus dalam pembahasan ini (dan yang paling sering ditulis)
adalah menulis artikel.

Artikel sendiri bisa berarti karya tulis seperti berita atau esai. Esai adalah karangan prosa (bukan
menggunakan kaidah puisi) yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang
pribadi penulisnya. Itu sebabnya, artikel di media massa itu bertaburan data-data teknis, tapi lebih ke
arah pemaparan sepintas lalu dan itu murni pendapat pribadi penulisnya setelah membaca pendapat
lain dari begitu banyak karya yang telah dibacanya. Nah, bagaimana memulainya? Ada beberapa tips
sederhana yang bisa dicoba:

Memilih topik

Memilih topik sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Hanya saja, bagi penulis pemula memilih topik sama
beratnya dengan membuat judul atau isi tulisan. Padahal, tema atau topik yang bisa diangkat menjadi
tulisan begitu banyak dan mudah kita dapatnya. Coba cari yang dekat dengan kita deh. Tanya teman
kanan-kiri, nguping dari sana-sini. Atau bisa juga baca koran pagi ini, cari berita yang menarik. Setelah
dapat, Anda bisa menulis ulang dengan sudut pandang Anda. Misalnya, judul berita yang Anda ambil
adalah perilaku seks bebas remaja. Setelah baca berita itu, dari mulai fakta dan arahnya ke mana, Anda
bisa bikin ulang dengan pengembangan yang Anda suka, dengan cara Anda sendiri. Anggap saja misalnya
Anda sebagai wartawan yang menyelidiki kasus itu. Andi bisa ubah dengan versi baru tentang
penyelidikan kasus seks bebas di kalangan remaja. Sebagai latihan aja kan? Mungkin kok. Coba deh!

Meski demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih topik:

Cari yang sedang menjadi tren.

Atau bisa juga kita menciptakan tren.

Pilih yang dekat dengan kebanyakan sasaran pembaca kita.

Hindari topik yang tidak kita kuasai atau menimbulkan polemik yang tak perlu.

Biasakan berlatih mengikuti peristiwa yang berkembang untuk bahan tulisan.


Membuat kerangka tulisan

Ada baiknya memang membuat kerangka tulisan. Dalam bahasa kerennya, Anda perlu membuat outline.
Alasannya, kerangka tulisan berguna untuk membatasi apa yang harus kita tulis. Ibarat Pak Tani yang
akan menggarap sawah, ia harus menentukan batas garapannya. Supaya tak melebar kemana-mana,
apalagi sampe ngambil jatah orang.

Dengan membuat kerangka tulisan, kita akan mudah untuk menentukan maksud dan arah tulisan.
Bahkan kita juga bisa berhemat dengan kata-kata, termasuk pandai memilih kosa kata yang pas untuk
alur tulisan kita. Beberapa panduan untuk membuat kerangka tulisan:

Paparkan fakta-fakta seputar tema yang akan kita bahas.

Lakukan penilaian atas fakta-fakta itu. Sudut pandang rasional dan syariat.

Kumpulkan bahan-bahan pendukung argumentasi kita.

Kesimpulan.

Menabung kosa kata

Untuk menjadi penulis, bolehlah kita mencoba untuk menabung kosa kata. Mengumpulkan setiap hari
lima saja. Maka dalam sebulan kita punya tabungan kosa kata sekitar 150 buah. Banyak bukan? Kosa kata
itu cukup untuk memoles tulisan yang kita buat. Sebab, menulis adalah keterampilan mengolah data-
data dalam suatu rangkaian kata. Ibarat kita mau membangun rumah, batu-bata sudah siap, semen dan
pasir udah banyak, batu untuk pondasi udah menumpuk. Begitupun dengan kayu, bambu, cat, keramik
dan genteng, sampe yang pernik-pernik seperti paku dan instalasi listrik semua udah lengkap.

Perlu keahlian khusus tentunya untuk merangkai semua itu jadi sebuah rumah. Menata batu untuk
pondasi, memasang batu-bata dan merekatkannya dengan campuran semen, kapur, dan pasir.
Memasang kayu-kayu untuk jendela dan pintu. Tembok yang sudah jadi, perlu dilapisi dempul sebelum
akhirnya dicat dengan warna kesukaan kita. Menyusun genteng untuk menutupi atap rumah kita. Sampe
rumah itu jadi dan enak dipandang mata. Mengasyikan tentunya.
Buatlah judul yang menarik

Pembaca akan mudah tertarik untuk membaca sebuah tulisan, jika judulnya juga menarik. Anggap saja
judul itu sebagai pancingan. Itu sebabnya, boleh dibilang membuat judul perlu ‘keterampilan’ khusus.
Tapi jangan kaget dulu, kita bisa belajar untuk membuatnya. Hanya perlu waktu dan sedikit kerja keras
dan kerja cerdas untuk terus berlatih. Yakin bisa deh.

Sebagai latihan awal, cobalah Anda sering membaca tulisan orang lain. Kalau Anda mau, coba baca
majalah-majalah ibu kota yang oke mengolah kata dalam membuat judul (misalnya TEMPO, GATRA,
GAMMA, dan KONTAN). Perhatikan judul-judul tulisannya. Makin banyak Anda membaca judul tulisan-
tulisan tersebut, kian terasah imajinasi Anda untuk membuat judul yang menarik hasil kreasi Anda
sendiri. Terus terang saya juga banyak menggali ide untuk membuat judul dari majalah-majalah tersebut
(selain banyak juga dari buku-buku dan majalah lainnya).

Untuk jenis tulisan yang ngepop, buatlah judul yang pendek. Paling tidak dua sampai empat kata. Jangan
sampe panjang seperti rangkaian kereta api (ini cocoknya untuk skripsi). Sebab, jika judul yang kita buat
panjang–padahal tulisan ngepop–membuat orang tak tertarik untuk membacanya. Mungkin akan
dilewati aja tulisan Anda tersebut. Padahal, boleh jadi isinya sangat menarik.

Judul yang menarik, tidak saja membuat orang penasaran untuk membaca tulisan Anda, tapi juga
menunjukkan kelihaian kamu dalam mengolah kata-kata.

Pastikan membuat subjudul

Subjudul amat menolong kita untuk menggolongkan dan membatasi pembahasan dalam sebuah tulisan
jenis artikel dan berita. Pembaca pun dibuat mudah membaca alur tulisan yang kita rangkai. Sehingga
mereka terus bertahan untuk mengikuti tulisan kita sampai habis. Mereka juga akan sangat terbantu
memahami apa yang kita tulis. Itu sebabnya, sub-judul menjadi begitu penting dalam sebuah tulisan.

Subjudul dalam sebuah tulisan, juga berfungsi untuk menghilangkan kejenuhan dalam membaca. Kita
juga jadi ada nafas baru untuk menyegarkan kembali tulisan yang akan kita buat. Jadi, berlatihlah untuk
membagi alur dengan tanpa memenggal rangkaian dari inti tulisan kita. Itu sebabnya, membuat subjudul
adalah solusi paling jitu untuk membagi alur.
Lead menggoda

Lead, alias teras berita adalah sebuah tulisan pembuka yang menjadi titik penting bagi pembaca. Lead
yang menarik, sangat boleh jadi akan merangsang pembaca untuk terus membaca isi berita atau artikel
yang kita buat. Jika lead-nya kurang menarik, pembaca akan mengucapkan “wassalam” saja. Mereka
merasa cukup membaca sebatas judul, atau satu kalimat atau alinea di depan yang tak menarik itu. Jadi,
perlu mendapat perhatian juga supaya tulisan yang kita buat mampu menggoda pembaca untuk
melanjutkan bacaannya. Boleh dibilang selain judul, lead adalah jajanan yang ‘wajib’ memikat hati
pembaca. Itu sebabnya, lead menjadi begitu penting, meski tidak pokok tentunya.

Nah, sekarang, cobalah berlatih menulis artikel ini. Oke?[]

Menulis Kreatifmenulis, Opini, tipsTips Menulis Opini

Tips Menulis Opini

Oleh: Radinal Mukhtar Harahap

Menulis opini, bagi sebagian orang, merupakan pekerjaan yang susah-susah gampang. Banyak tips yang
diberikan dalam menulis opini. Baik itu dengan mengenal ciri khas koran tersebut, ataupun dengan
mengenal langsung redaksinya.

Walaupun begitu, dalam tulisan singkat ini, saya tidak akan membahas mengenai cara mengenal ciri khas
koran ataupun cara mengirim tulisan tersebut. Dalam tulisan ini, saya akan membahas cara-cara
menghasilkan sebuah opini yang akan dituangkan kepada publik. Terlepas dari definisi pasti mengenai
opini, secara garis besar opini dapat diartikan dengan sebuah pendapat yang bersifat argumentatif atau
mempunyai landasan. Setidaknya, ada tiga hal yang harus kita lakukan untuk menulis sebuah opini.

Mencari Permasalahan
Yang dimaksud dengan permasalahan di sini adalah hal yang akan kita bahas. Bisa melalui berita-berita di
koran, bisa juga melalui peringatan-peringatan hari besar, maupun musibah ataupun kejadian-kejadian
penting.Sebagai contoh, permasalahan yang akan kita bahas adalah mengenai KORUPSI.

Menentukan Sikap

Untuk mengemukakan pendapat berupa opini, tentulah kita harus menentukan terlebih dahulu sikap
terhadap permasalahan yang ada. Kita mendengar berita mengenai deklarasi calon presiden A dan B,
tentulah setelah itu kita harus menentukan sikap. Apakah kita pro terhadap deklarasi tersebut, atau kita
kontra. Atau ada hal lain yang ingin kita sampaikan! Yang terpenting, tentukanlah sikap yang harus kita
ambil. Karena permasalahan yang kita bahas tadi adalah korupsi, dalam hal ini kita menentukan sikap
untuk MENOLAKNYA.

Titik Permasalahan

Dalam sebuah permasalahan, tentulah banyak titik poin yang bisa kita bahas. Jika misalnya kita
membahas mengenai pendidikan di Indonesia, kita bisa membahas mengenai pendidikan gratis, juga
bisa mengenai kualitas guru, bisa membahas fasilitas pendidikan dan lain sebagainya. Titik permasalahan
ini harus sesuai dengan permasalahan yang kita bahas dan sikap yang kita pegang.Dalam permasalahan
korupsi yang akan kita bahas, kita akan mempersoalkan mengenai MOTIVASI KORUPSI.

Mencari Data

Nah, setelah kita menentukan titik permasalahan yang akan kita bahas, kita tinggal mencari data-data
yang sesuai dengan pembahasan kita. Cara memperoleh data tidak akan saya bahas dalam tulisan ini,
toh data dapat kita peroleh dari manapun, media massa ataupun elektronik. Data untuk opini korupsi
yang kita kumpulkan adalah mengenai PEJABAT PEMERINTAH YANG KORUPSI. Selanjutnya data mengenai
MOTIVASI.

Mengolah data

Tahap ini adalah tahap untuk mempelajari data-data yang kita peroleh dan kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas. Disinilah perlu latihan ekstra dan berulang-ulang agar kita dapat
menafsirkan data yang diperoleh agar sesuai dengan fakta yang ada.

Setelah mengolah data berikut permasalahannya, kita tinggal menuliskannya. Teknik menuliskannya
dapat dengan mempelajari opini-opini yang ada. Ingatlah APA YANG DIBACA AKAN SANGAT
MEMPENGARUHI TULISAN. Bila sering membaca opini, tulisan-tulisanpun akan cenderung serius. Begitu
pula bila sering membaca novel dan cerpen, bahasa sastra akan menjadi ciri khas tulisan.

Berikut opini saya mengenai MOTIVASI BERPOLITIK POLITIKUS yang dimuat di HARIAN SURABAYA PAGI
edisi sabtu 16 MEI 2009

Motivasi Berpolitik Politikus

Berita korupsi para anggota dewan di Jawa Timur tidak pernah menghilang. Dari DPRD Surabaya,
Sidoarjo, Probolinggo hingga malang. Disurabaya, kasus gratifikasi yang dilakukan Ketua DPRD Surabaya
merupakan salah satu contohnya. Dimalang, Zaenuri menjadi terdakwa kasus korupsi tunjangan DPRD
Kota Malang. Belum lagi yang di Sidoarjo, berpuluh-puluh anggota maupun mantan anggota DPRD yang
dijebloskan Kejaksaan Negeri (Kejari) ke Lembaga Pemasyarakatan Delta Sidoarjo. Terakhir, wakil ketua
DPRD Sidoarjo Sumi Harsono menyerahkan diri kepada kejari setelah beberapa hari menghilang dengan
dalih menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai anggota partai politik tertentu.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar dalam benak kita masing-masing yang penting untuk
dijawab dan diselesaikan bersama. Apa motivasi berpolitik para anggota DPRD secara khusus dan
politikus ‘nakal’ secara umumnya? Apakah mereka memang ‘bercita-cita’ untuk melakukan ini sebelum
memegang amanah rakyat?

Secara garis besar, Toto Suparto mengatakan bahwa ada dua motivasi besar dalam kiprah para politisi di
Indonesia saat ini. Pertama adalah kebutuhan biologis. Mengutip pendapat filosof politik Arendt, Toto
Suparto mengatakan bahwa berpolitik dengan mengedepankan kebutuhan biologis akan menjadikan
politikus seperti binatang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja. Secara singkat ia
mengistilahkan sebagai politikus yang bekerja.

Sedangkan motivasi kedua adalah motivasi berkarya. Yaitu motivasi yang berlandaskan nilai guna.
Ukuran yang berlaku disini adalah kegunaan seorang politisi bagi rakyat luas. Inilah yang membedakan
manusia dan binatang. Manusia dapat berkarya dengan memperlihatkan karyanya pada rakyat banyak.
(Toto Suparto:2009)

Motivasi
Dalam kajian pengembangan diri, ada dua faktor yang mendorong manusia melakukan sesuatu. Yang
pertama untuk mendapatkan kenikmatan (gaining pleasure) dan kedua untuk menghindari
ketidaknyamanan (avoiding pain). Yang pertama dilihat dari prestasi, penghasilan yang layak, kebaikan
materi lahir maupun batin dan lain sebagainya. Sedangkan yang kedua dapat dilihat melalui terhindarnya
dari rasa malu, rasa takut, lingkungan yang buruk, kekhawatiran, atau jauh dari kesengsaraan dan
penderitaan.

Akan tetapi, pada tahun 1959, melalui kajian dan penelitian terhadap para manajer perusahaan,
Frederick Herzberg menyimpulkan bahwa “menghindari ketidaknyamanan” tidak bisa dijadikan dasar
motivasi seseorang. Walaupun menghindari ketidaknyamanan dapat mendorong seseorang melakukan
sesuatu, namun dorongan tersebut lebih berjangka pendek. Artinya, dorongan tersebut akan hilang
seiring hilangnya ketidaknyamanan.

Farid Poniman, Indra Nugroho dan Jamil Azzaini, master trainer pada sebuah lembaga konsultan
pengembangan SDM di Jakarta, mengelompokkan motivasi dalam tiga kategori dasar, yaitu to be, to
have, dan valency.

To be adalah keinginan untuk menjadi. Dalam hal ini dikaitkan pada proses pengejaran prestasi pada
tahap akhir. To have adalah keinginan untuk memiliki sesuatu. Dalam hal ini dikaitkan pada hasil akhir
yang berupa materi. Sedangkan valency adalah tingkat kualitas diri seseorang dalam mengarahkan
hidupnya. Dalam hal ini berkaitan dengan kapasitas yang ada dalam manusia itu sendiri.

Dari ketiga motivasi tersebut, motivasi to have adalah satu-satunya motivasi yang menjadi parasit bagi
kedua motivasi lainnya. Ketika to have lebih tinggi, ia cenderung akan membatasi to be dan valency. Ia
akan membuka pintu menghalalkan segala cara atau kesesatan untuk memperoleh hasil akhir yang ia
inginkan, dan secara tidak langsung ia akan merusak proses menuju prestasi (to be) dan pengembangan
kapasitas diri (valency).

Akan tetapi jika to have dapat direndahkan dibandingkan to be dan valency, kesuksesan jangka
panjanglah yang akan diraih. Karena prioritas yang dimiliki adalah prestasi dan kapasitas diri. To have,
dalam hal ini cenderung menjadi efek samping dari prestasi yang terus melejit dan kapasitas diri yang
terus bertambah. (Kubik leadership).

Motivasi Berpolitik
Sekarang, saatnya kita melihat dan memahami motivasi para politikus negeri ini. Apakah motivasi
mereka untuk terjun kedunia politik? Menyejahterakan rakyatkah? Atau mencari fasilitas mewah?
Menyuarakan aspirasi rakyatkah? Atau menyuarakan aspirasi kelompok atau partai?

Hal ini dapat dilihat juga dari partai politik yang mengusungnya. Iming-iming bonus bagi para caleg yang
menang adalah sebuah motivasi to have yang membahayakan. Walhasil, tidak heran jika banyak caleg
yang gila karena tidak mendapatkan bonus tersebut. Jangankan bonus, modal yang digunakan untuk
mendapatkan bonus tersebut saja tidak kembali.

Dalam bahasa Toto Suparto, politisi seperti ini tak ubahnya seperti binatang yang bekerja demi
menghidupi dirinya saja. Demi kelayakan kehidupannya saja. Politisi yang baik adalah politisi yang
mengedepankan prestasi dan kapasitas dirinya agar terus bertambah demi kesejahteraan rakyat.

Tidak usah ditanya kepada politisi apa motivasi mereka, karena telah jelas terpampang dalam baliho-
baliho politik. Sekarang, rakyatlah yang mengambil peran memantau prestasi-prestasi para politisi.
Apakah politisi kita cenderung seperti binatang atau manusia yang mulia? Wallahu a’lam bis Shawab.

Mengirimkannya

Salah satu tujuan menulis adalah agar dibaca. Dan salah satu cara agar tulisan dapat dibaca orang banyak
adalah dengan mengirimkannya ke media. Kirimkanlah, baik menurut email ataupun pos. Untuk hal ini,
bisa diketahui dari media itu sendiri. Karena ada media yang maunya dikirimi melalui email, dan ada juga
melalui pos.

Selamat mencoba tips menulis opini ini. Sekali lagi saya mengingatkan bahwa tips ini hanyalah sekedar
ALAT BANTU. Jika tidak membantu, silahkan berpaling kepada tips-tips lain. Semoga bermanfaat.[]

Penulis adalah alumnus Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan. Kini nyantri di Pesantren Mahasiswa
IAIN Sunan Ampel Surabaya

Menulis KreatifDiary, korespondensiJurus-Jurus Pemula


Jurus-Jurus Pemula

Sebelum memilih topik, sebelum mencari bahan, sebelum menuangkannya dalam tulisan, setiap
pengarang (calon penulis) perlu latihan. Seperti pelari ia membutuhkan jogging harian, maka pengarang
pun membutuhkan buku harian. Dengan buku hariannya, pengarang berlatih menyusun kalimat bagus
setiap hari. Meskipun setiap hari kita melihat langit, belum tentu bisa melukiskan sebagus-bagusnya
dengan kata.
Untuk memulai, Anda boleh membuat buku harian. Dalam buku harian, kita bukan hanya belajar
mencatat pengalaman dan pengetahuan, tapi juga menggunakan perasaan.

Buku Harian

Dari ranjang ke ranjang adalah bahan terbaik untuk buku harian. Artinya mulai dari kita bangun tidur,
sampai nanti kembali tidur. Cerita itu bisa jadi novel. Bisa cerpen, puisi atau laporan ilmiah. Banyak gadis
jadi tersohor karena buku-buku harian mereka. Misalnya Kartini dari Jepara, dan Anne Frank di
Amsterdam. Buku harian kedua gadis itu membuka mata dunia, bahwa hidup terlalu berharga untuk
lewat dalam pikiran.

Kecil atau besar hati manusia memang tercermin dalam buku hariannya. Kebesaran jiwa, keagungan
cinta dan kemuliaan persahabatan hati juga tergambar jelas dalam buku harian kita. Tapi itu tidak berarti
buku harian merugikan kita. Menulis buku harian, bukan berarti bunuh diri. Justru dengan menulis, kita
membangun kepribadian, mengasah keterampilan menulis dan melatih kepekaan kepada kata-kata.

Korespondensi

Kalau mau lebih bagus lagi korespondensi adalah jawabannya. Menulis surat adalah latihan
berkomunikasi, sekaligus membentuk kepribadian. Dalam menulis surat kita berlatih memilih dan
memilah kata-kata yang pantas untuk pembaca. Dalam hal ini, pembaca bisa berarti teman dekat, ortu,
guru, murid, kakek, pejabat maupun orang asing sekalipun yang belum pernah kita kenal di tempat yang
jauh.

Tapi bagaimana caranya menulis surat? Langsung saja bicara. Siapa tahu surat Anda bisa menggagalkan
rencana teman yang ingin bunuh diri. Siapa tahu pula surat Anda mendorong seorang lelaki yang patah
hati jadi pemain bola sekelas Michael owen. Jadi, untuk bikin surat, langsung saja Anda menuliskan apa
yang ada di benak. Jangan takut salah, dan pandai-pandailah memilih kata-kata yang cocok.

H.B. Jassin menulis ribuan surat untuk pengarang-pengaran Indonesia. Dengan surat ia membesarkan
hati dan memberi semangat kepada penulis di negeri ini. Kumpulan suratnya bisa Anda beli di toko-toko
buku terkemuka. Jassin seorang di antara penulis surat terbaik selain Iwan Simatupang dengan surat-
surat politiknya, dan Leila Budiman dengan surat-surat psikologisnya. Ia mengasuh ruang konsultasi
pribadi di harian KOMPAS setiap hari minggu.

Surat-surat Roosevelt kepada istrinya, Nehru kepada putrinya, Indira, termasuk kumpulan surat terlaris di
dunia. Atau surat-surat Mariam Jamilah kepada Al Maududi itu juga merupakan surat yang mampu
memberikan nuansa tersendiri kepada pembaca lainnya. Mengapa mereka bisa? Karena mereka
mencintai bahasa.

Hobi Meneliti

Rasa ingin tahu yang melejit-lejit di masa kanak-kanak sebaiknya jangan sampai padam. Tragedi yang
sering menimpa rakyat adalah terbunuhnya rasa ingin tahu. Seolah-olah kita bisa hidup tanpa informasi.
Dalam lingkungan seperti itu, buku paling bagus pun tak ada gunanya.
Hobi meneliti bisa dikembangkan sejak kecil. Mengenal nama-nama pohon di sekitar rumah, misalnya.
Juga menghitung anak tangga, tiang listrik, maupun jumlah jendela kamar di rumah sendiri. Perhatian
pada hal-hal praktis sangat penting bagi pencinta ilmu pengetahuan. Dan apabila Anda ingin jadi
pengarang, itulah langkah panjang untuk memulai.

Tanpa datang ke rumah dan membuka almari pakaian, seorang pengarang muda bisa tahu jumlah baju
temannya. Coba saja diingat warnanya, dicatat dalam hati, dan diperhitungkan dengan diam-diam. Kalau
dalam tempo tiga bulan Anda bisa mengenali warna-warna dan hari pemakaiannya, bagus. Bukan saja
Anda betul-betul pemerhati yang agung, tapi juga calon peneliti dan pengarang unggulan.

Minat meneliti menentukan kedalaman dan luasnya jangkauan karangan kita. Sebelum menulis Ikan-ikan
Hiu, Ido, Homa, Y.B. Mangunwijaya mendalami masyarakat Maluku dan pola hidup maritim di sana.
Begitu juga novel Para Priyayi Umar Kayam, yang ditulis dengan mengadakan berbagai penelitian dan
dukungan perguruan tinggi di Amerika Serikat. Juga Ernest Hemingway yang rela mengarungi lautan,
berminggu-minggu hanya untuk mengetahui secara jelas kehidupan di tengah laut sebelum menulis
sebuah novel berjudul The Old Man on The Sea.

Investigasi, penyidikan, penelitian, barangkali dapat menjadi penyaluran positif bagi para pengintip.
Tetapi jangan lupa, minat ini baru modal awal seorang penulis (pengarang). Masih perlu dilatih pula,
bagaimana mengobral hasil temuan dengan sebaik-baiknya. Selamat mencoba![]

Keluarga Muslim Dalam Ancaman Liberalisasi

Posted by nocompromisegirl under Dakwah, Renungan, Siyasah, Tsaqofah, Uncategorized

Leave a Comment

Pada tanggal 12-17 februari lalu, FWM* (Frame Work Musawah) menggelar sosialisasi ide-ide liberal
mereka di Modern Prince Hotel, Kuala Lumpur-Malaysia dan dihadiri oleh 250 orang dari 48 negara,
mereka adalah ulama dan pemikir muslim dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, pembuat
kebujakan dan praktisi. Fokus yang dituntut adalah pembaruan hukum Islam dengan keluarga muslim,
terkait: umur perkawinan; izin perkawinan; wali perkawinan; saksi untuk perkawinan;poligami; nusyuz;
perceraian; dan kawin mut’ah. FWM juga menggagas 3 prinsip tentang kesetaraan dan keadilan dalam
keluarga, yaitu:

Prinsip 1: Nilai-nilai Islam yang universal tentang kesetaraan, keadilan, kemuliaan dan tanpa diskriminasi
adalah asas hubungan manusia. Dari prinsip ini kemudian mereka menolak perlakuan Islam atas orang
yang dipimpin dalam keluarga, hak yang di nomorduakan dalam perkawinan, juga bagian waris
perempuan yang lebih sedikit;

Prinsip 2: Kewarganegaraan yang setara dan penuh, termasuk penglibatan sepenuhnya dalam semua
aspek kemasyarakatan adalah hak setiap individu. Dari prinsip ini kemudian mereka berusaha
meminimalisasi peran seorang perempuan sebagai ummun wa robbatul bait, yangmerupakan fungsi
utama seorang wanita dalam islam, dan mendorong kaum muslimah untuk mengoptimalisasikan
perannya di sektor publik sampai mencapai derajat adil 50:50;

Prinsip 3: Kesetaraan diantara lelaki dan wanita memerlukan kesetaraan dalam keluarga

Untuk pencapaian 3 prinsip ini FWM memobilisasi ulama, cendikiawan dan tokoh masyarakat untuk
melancarkan undang-undang dan tindakan yang mengharuskan terwujudnya:

1. keluarga sebagai tempat yang selamat, harmoni, yang mendukung perkembangan diri semua
anggotanya (seirama dengan UU KDRT, UU HPA)

2. perkawinan sebagai suatu kesepakatan antara individu yang dianggap sama rata, berlandaskan
perasaan hormat-menghormati, kasih sayang, berkomunikasi dan mempunyai wewenang yang sama rata
dalam membuat keputusan (senada dengan UU CLD-KHI, UU Kespro)

3. hak dan tanggungjawab sama rata dala memilih pasangan hidup atau memilih untuk tidak
menikah/kawin, dan memasuki lembaga perkawinan dengan bebas dan penuh rela, dengan hak sama
rata untuk melakukan perceraian dan setelah perceraian tersebut. (Intisari dari CLD-KHI)

4. hak dan tanggungjawab yang sama rata berkaitan dengan harta, termasuk perolehan, pemilikan
penggunaan, pengurusan dan pewarisan, serta perlunya memastikan jaminan keuangan untuk semua
ahli keluarga ( hal yang juga disosialisasikan oleh Meneg PP)

5. hak dan tanggungjawab suami istri sama rata dalam hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka. (hal
yang juga disosialisasikan oleh Meneg PP).

Ini adalah salah satu cara yang dilakukan oleh para aktifis liberal untuk melakukan penanaman ide-
idenya dengan jalur kultural, yakni dengan melakukan program langsung melalui ormas-ormas dan tokoh
masyarakat….

*Cat: FWM adalah sebuah gerakan global untuk menuntut kesamaan dan keadilan dalam keluarga Islam.
Dibentuk oleh 12 orang aktifis dan intelektual Islam dari 11 negara…

Kolonialisme lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan.”
(Vandana Shiva)

Berbeda dengan kolonialisme Eropa sebelum Perang Dunia I yang hanya merampas tanah dan bahan
baku industri, kolonialisme gaya baru yang dipromotori para kapitalis neoliberal merampas seluruh
kehidupan umat manusia.
Di Indonesia liberalisasi masuk ke seluruh aspek kehidupan melalui pintu-pintu sistem politik dan
pemerintahan, perundang-undangan, pendidikan serta media massa.

Politik dan Pemerintahan

Demokratisasi di Indonesia bermula dari melemahnya legitimasi rejim otoriter yang berkuasa mulai awal
1990-an (Orde Baru). Perkembangan di sektor ekonomi, yaitu kegagalan mengatasi krisis ekonomi tahun
1997, menjadi puncak dari perlemahan legitimasi tersebut.

Bersamaan itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF)
mempopulerkan konsep ‘good governance’ (GG) sebagai dasar kriteria negara-negara “yang baik” dan
“berhasil dalam pembangunan”. Konsep GG menjadi semacam kriteria untuk memperoleh bantuan
optimal (baca: hibah, utang). Konsep good governance sebenarnya masih samar.

Bank Dunia mendefinisikan GG sebagai: the way state power is used in managing economic and social
resources for development of society (kekuatan negara digunakan untuk mengelola sumberdaya
ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat).

World Bank menambahkan karakteristik normatif good governance, yaitu: “Pelayanan publik yang efisen,
sistem hukum independen bebas intervensi kekuasaan, kerangka kerja legal untuk mendorong kontrak
(perlindungan hak milik pribadi), administrasi akuntabel dari pembiayaan publik (transparasi), auditor
publik yang independen, bertanggungjawab kepada lembaga perwakilan legislatif, respek terhadap
hukum dan hak asasi manusia pada semua level pemerintahan (pencegahan diskriminasi terhadap kaum
minoritas), struktur institusi yang pluralistik, dan kebebasan pers (hak kebebasan berbicara).”

Istilah-istilah kenegaraan ini sering dipakai untuk membungkus substansi dan maksud tersembunyi di
dalamnya. Negara-negara seluruh dunia lalu mengadopsi konsep Good Governance ini. Harapannya,
dengan pelaksanaan konsep GG ini, pemerintah, badan usaha dan lembaga nirlaba dikelola dengan
profesional-komersil layaknya perusahaan.
Dari standar inilah, Indonesia melakukan reformasi dan penataan ulang struktur pemerintahan,
kebijakan publik, sistem politik (desentralisasi atau otonomi daerah) serta partai politik (multi partai).
Otonomi daerah (otda) adalah salah satu strategi untuk mengokohkan hegemoni sistem sekular-
kapitalisme melalui upaya demokratisasi. Demokratisasi menerobos tak terbendung hingga ke pelosok-
pelosok daerah. Pemerintah daerah dengan mudah menjalin kerjasama internasional dengan asing untuk
mengangkut sumberdaya alam secara legal, tanpa perlu izin pemerintah pusat.

Tentu ini atas arahan IMF dan World Bank untuk mendapatkan bantuan optimal (utang baru). Walhasil
atas saran kedua lembaga internasional tersebut, Indonesia juga menerapkan Washington Consensus
yang berisi ’resep’ kebijakan liberalisasi semua sektor publik.

Salah satu contoh perubahan struktur pemerintahan Indonesia, Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) tidak
lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukan MPR sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Struktur ini mirip dengan struktur pemerintah Amerika Serikat.

Demi akuntabilitas publik, Pemerintah membentuk lembaga audit publik independen seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi pengaduan seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas
HAM), Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Pemilihan Umum dan sebagainya yang
fungsinya mengkontrol pelanggaran hak azasi manusia. Komisi-komisi tersebut kadang memiliki fungsi
semi legislatif, regulatif, semi yudikatif. Seluruh struktur baru ini malah membatasi peran Pemerintah
hanya sebagai regulator atau wasit saja.

Perundang-undangan

Saat ini Indonesia telah menerapkan sebanyak 19 perundang-undangan bernuansa kapitalistik


neoliberal. Perundangan-undangan tersebut di antaranya: Undang -Undang Badan Usaha Milik Negara
(Nomor 19 tahun 2003), Undang-Undang Penanaman Modal Asing (Nomor 25 tahun 2007), Undang-
Undang Minyak dan gas (Nomor 22 Tahun 2001), Undang-Undang Sumber Daya Air (Nomor 7 tahun
2004), Undang-Undang Perikanan (Nomor 31 tahun 2003), Undang-Undang Pelayaran (Nomor 17 tahun
2008), Undang-Undang Tenaga Kerja (Nomor 13 tahun 2003), Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Nomor 20 tahun 2003), Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman (Nomor 12 Tahun 1992),
Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman (Nomor 29 Tahun 2000), Undang-Undang Hutan
Lindung menjadi Pertambangan (Nomor 19 Tahun 2004), Undang-Undang Kelistrikan (Nomor 20 tahun
2002), Undang-Undang Perkebunan (Nomor 18 tahun 2003), Undang-undang Pemerintah Daerah
(Nomor 32 tahun 2004), dan Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( Nomor
17 tahun 2007).

Ini belum termasuk undang-undang terkait liberalisasi di bidang sosial, kesehatan, keluarga, perkawinan,
kewarganegaraan yang meruntuhkan institusi keluarga dan sosial masyarakat Indonesia. Beberapa
rancangan undang-undang lain yang bernuansa liberalisasi saat ini sedang digodok Dewan Perwakilan
Rakyat.

Melalui perundang-undangan, perampasan kekayaan alam dan intelektual rakyat Indonesia bersifat
legal, tak kentara. Setiap undang-undang tersebut, bila dianalisis, akan menimbulkan kehancuran
dahsyat bagi perekonomian nasional dan lingkungan; di samping meningkatkan jumlah kemiskinan
struktural, pengangguran, keegoisan, kebodohan, kematian, kelaparan dan chaos. Djuyoto Suntani,
President The World Peace Committe bahkan memprediksikan tahun 2015 Indonesia bakal terpecah
menjadi 17 negara. Bukan tidak mungkin jika ini dibiarkan saja.

Pendidikan

Sejarahwan Australia, Mc Rieckleafs, mengatakan bahwa asas, kurikulum dan metode pendidikan di
sekolah serta perguruan-perguruan tinggi Indonesia adalah warisan Belanda melalui Politik Etis.
Kurikulum ini meletakkan tsaqafah Islam terpisah dengan kehidupan.

Pasca kemerdekaan tahun 1945, Eropa, Rusia, Cina dan Amerika memberikan beasiswa sekolah keluar
negeri bagi putra-putri terbaik Indonesia. Kalangan intelektual ini belajar ilmu sosial, pendidikan, politik,
sejarah, teologi, ekonomi dan psikologi. Semua pengetahuan ini mengandung tsaqafah asing.

Ketika kembali ke negeri asal, mereka menjadi arsitek sistem ekonomi, politik, sosial, seni dan budaya
negeri ini sesuai arahan penjajah. Mereka juga menjadi tempat rujukan berbagai masalah pemerintahan.
Khusus kalangan intelektual yang mendalami ilmu sains, diarahkan berpikir apolitis, sempit dan kurang
peka terhadap persoalan umat. Para kapitalis sering memanfaatkan kecerdasan dan keahlian kalangan
intelektual ini untuk melayani kepentingan mereka melalui kerjasama penelitian dan multidisiplin ilmu.

Pemerintah menargetkan pada tahun 2020 sekolah dan peguruan tinggi berstatus Badan Hukum
Pendidikan (UU No 23 tahun 2000). Ini menunjukkan adanya kepentingan neoliberal di bidang
pendidikan. Aliansi Global Education For All yang diprakarsai UNESCO, pada tahun 2000 menelurkan
Komitmen Dakkar. Komitmen ini berisi di antaranya perubahan kurikulum berbasis kompetensi,
penetapan standarisasi pengajar, kelulusan, kualitas sekolah dan perluasan otonomi manajemen sekolah.
Pendidikan Indonesia bukan lagi bertujuan mencetak generasi pemimpin di masa depan, namun
penyedia tenaga kerja terampil yang berdaya saing internasional bagi para kapitalis. Selain itu,
pendidikan akhirnya menciptakan generasi split personality, kehilangan identitas kemuslimannya, tidak
mandiri dan bermental lemah sehingga mudah dijajah.

Media Massa

Sejak ditetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kebebasan pers Indonesia terbuka
lebar. Dalam perjalannya media massa dalam negeri cenderung lebih beroreintasi meraup keuntungan
materi. Tayangan media massa televisi akhir-akhir ini makin mempercepat proses kerusakan pola pikir
umat Islam dengan menyuguhkan program-program sarat nilai-nilai kekerasan, hedonistik, pornografi
dan budaya liberalisme. Media massa menyiarkan berita yang kurang berimbang (cover both side) dan
sering menyudutkan aktivis Islam pro syariah.

Standar jurnalisme Indonesia berkiblat pada pakar etika jurnalistik seperti Bill Kovach, yang
mengedepankan prinsip-prinsip nilai kebenaran humanis, pluralisme, dan pemberitaan netral. Kadang
kalangan media massa tidak menyadari dampak buruk pemberitaan yang disiarkan.

Beberapa Upaya

Mengutip laporan utama majalah terkemuka di Kanada, The Maclean, berjudul, “Why The Future
Belongs to Islam” (Mengapa Masa Depan Milik Islam), sesungguhnya demikianlah fakta-fakta di sekitar
kita berbicara. Ketakutan luar biasa melanda pemerintah Amerika dan dunia Eropa. Berulang-ulang
pejabat teras Amerika, didukung media massa asuhannya, menyebarkan propaganda hitam untuk
membendung kebangkitan Islam.

Lihatlah apa yang dikatakan Presiden AS dalam Diskusi Perang Global Melawan Terror, 5 September 2006
di Hotel Hilton Washington, D.C: “These al-Qaeda terrorists and those who share their ideology are
violent Sunni extremists. They’re driven by a radical and perverted vision of Islam that rejects tolerance,
crushes all dissent, and justifies the murder of innocent men, women and children in the pursuit of
political power. They hope to establish a violent political utopia across the Middle East, which they call a
“Caliphate”. This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former
Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East, and Southeast Asia.”

Departemen Pertahanan Amerika pun sudah mempersiapkan senjata biologis untuk melenyapkan kaum
Muslim yang menghalangi kepentingan mereka.

Peluang dan tantangan dakwah ini kiranya perlu segera ditindaklanjuti para aktivis dakwah untuk
menyongsong kemenangan di depan mata.

1. Pencerdasan dan Perubahan Pemikiran.

Pencerdasan ini menggabungkan sentuhan pemikiran sekaligus perasaan dengan metode berpikir Islam
cemerlang sehingga menimbulkan pengaruh yang kuat. Kesadaran masyarakat yang telah tercerahkan
oleh ideologi Islam akan mendorong mereka melakukan gerakan massa menuntut perubahan sistem
secara revolusioner (inqilabi).

Pemikiran cemerlang yang mengkristal dalam jiwa pengemban dakwah merupakan satu-satunya senjata
ampuh untuk mengubah masyarakat. Tanpa ini, kegagalan dakwah tinggal menunggu waktu.

2. Performa Pengemban Dakwah.


Sebelum mengubah pemikiran masyarakat, pengemban dakwah terlebih dulu harus meng-up grade
dirinya agar memiliki pemikiran cemerlang. Pengemban dakwah harus menjadi garda terdepan
pengamalan syariah Islam pada skala individu, masyarakat dan warga negara. Kepribadian dan akhlak
pengemban dakwah menjadi contoh miniatur ideologi Islam yang ia dakwahkan.

Pengemban dakwah harus senantiasa menelaah fakta, mendiskusikan masalah umat dan berusaha
memahami solusi setiap persoalan umat baik di tataran mikro, makro dan global; misalnya masalah
kenaikan bahan bakar minyak. Pengemban dakwah harus bisa menyampaikan solusi mikro kepada
individu berupa energi alternatif yang bisa dipilih perseorangan atau masyarakat tertentu. Pada tataran
makro pengemban dakwah harus mampu secara brilian menguraikan fakta-fakta kebijakan liberalisasi
migas nasional serta bagaimana syariah Islam menjawab krisis energi dalam negeri.

Pada tataran global, pengemban dakwah cerdas menjelaskan makar dan latar belakang para kapitalis
neoliberal mempermainkan harga minyak dunia. Permasalahan global dijawab dengan solusi global.
Pengemban dakwah harus mampu menjelaskan kebijakan luar negeri Khilafah menjawab krisis energi
dunia.

Ketika menghadapi sasaran dakwah hendaknya pengemban dakwah menghindari penggunaan label atau
sterotipe—misalnya orang liberal, kapitalis, sipilis, ahli neraka, kafir dan sebagainya—sebelum benar-
benar mengenal obyek dakwah. Patut disadari pula oleh para pengemban dakwah, bahwa kita hidup
dalam lingkungan sistem kapitalis liberal yang sudah mapan. Sasaran dakwah malah menganggap
ideologi Islam sebagai pemahaman asing yang merusak pemikiran mereka. Perlu kesabaran, keteguhan,
keikhlasan dan cara-cara simpatik untuk mengambil hati dan pikiran obyek dakwah.

Di samping itu, para pengemban dakwah hendaknya menghindari hal-hal yang mengarah pada bahaya
kelas, merasa lebih tinggi, unggul dibandingkan dengan umat. Bahaya kelas ini menimbulkan jarak lebar
antara umat dan pengemban dakwah; selain memunculkan sikap ujub, takabur dan sulit menerima
kebenaran pada pengemban dakwah. Hendaknya pengemban dakwah bersikap seperti individu-individu
umat kebanyakan. Pengemban dakwah menyadari bahwa mereka adalah pelayan umat, dan tugas
mereka dalam partai untuk melayani umat.

3. Memetakan Sasaran Dakwah.


Dalam meraih kepemimpinan umat, kita memerlukan pendekatan sesuai dengan sasaran dakwah
masing-masing. Pendekatan ini bukan berarti mengurangi subtansi, tujuan dan target dakwah.
Berdasarkan karakter dan tingkat pengaruhnya, sasaran dakwah bisa dibagi menjadi beberapa kelompok,
yakni: tokoh atau public figure masyarakat (ulama, pemimpin organisasi massa); kalangan intelektual
(kampus, cendekiawan, aktivis lembaga swadaya masyarakat/LSM, pemikir dan perumus kebijakan
negara); militer; kalangan media massa; dan masyarakat umumnya.

Pengemban dakwah perlu membekali diri dengan tsaqafah Islam, ketajaman menganalisis persoalan
masalah dan nafsiyah Islam yang mumpuni. Selain itu, mereka perlu memahami teori, filosofi, landasan
ilmiah dan konsep dasar pemikiran kufur. Disarankan untuk membaca dan menelaah referensi-referensi
yang menjadi landasan berpikir kalangan kapitalis, liberalis dan sosialis; apalagi jika sasaran dakwah kita
para intelektual yang menggunakan teori maupun landasan ilmiah. Dengan memahami konsepsi dasar
maka kita mampu membongkar kebrobrokan sebuah pemikiran secara fundamental, lalu
mendekonstruksinya dengan syariah Islam.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.

Aris Solikhah: Pegiat Aliansi Penulis Pro Syariah (AlPen ProSa); anggota tim Kantor Berita Muslimah
Hizbut Tahrir Indonesia.

Dilematisnya Ibu di Kancah Kehidupan?

Dalam sebuah seminar perempuan di Bogor beberapa waktu lalu nih, seorang ibu muda duduk
sambil mengelus-elus lembut perutnya yang buncit. Mata ibu muda ini berkaca-kaca. Sebuah gumam
lirih keluar dari bibirnya,” Nak maafkan ibu, jika kelak ibu tak bisa mendidikmu dengan baik.” Ibu muda
ini terbilang baru ikut mengkaji Islam. Ada rasa cemas menghiasi matanya.

Sementara di sebuah forum seorang Ibu sebut saja Ani (nama samaran) menceritakan, betapa
menyesal hatinya telah memarahi putra semata wayang. Ibu Ani punya segudang aktivitas, melanjutkan
sekolah pascasarjana, sebagai ibu rumah tangga, bekerja dan aktif sebuah organisasi. Mungkin akibat
lelah, dia out of control memarahi putranya yang hiperaktif. Menyadari kesalahannya itu, Ibu Ani insyaf,.
Dengan berurai air mata ia meminta maaf pada putranya itu. Jadilah si ibu dan sang anak bertangis-
tangisan ria. Sang anak nangis karena dimarahi ibunya. Si ibu nangis penuh sesal atas kekhilafan yang
dilakukan.
Ehm…sosok-sosok ibu yang oke punya bukan? Girls pengen kayak gitu juga kan. Ngaku aja. Jujur aja,
secara pribadi , aku anggap kedua ibu diatas adalah potret ibu yang baik. Sadar bahwa tanggung jawab
pengasuhan dan pendidikan juga tugas seorang ibu. Btw, girls boleh ko, nganti prosa ibu apa aja, mom ,
mama, bunda, simbok, mimih, yah whatever lhah . Intinya mah idem.

Girls, tahu nggak sih, jadi seorang ibu di abad ini tuh berat banget. Bukan berarti zaman baheula
nggak sulit juga. Cuman belitan kesulitan hidup di era persaingan global, kapitalis dan liberalisme lebih
menuntut ibu menjadi superwomen dan serba bisa. Klo tempoe doeloe, banyak ibu bisa bahagia cukup
tinggal di rumah saja mendidik anak dan ngatur rumah tangga. Sebab, kebutuhan rumah tangga sudah
cukup terpenuhi dari nafkah ayah. Sekarang, ibu dituntut lebih dari itu.

Klo ternyata ibu dari kalian ibu rumah tangga saja, bersujud syukur deh. Kalian bisa sepuas-puasnya
dapet the touching of fulling in love. Tapi sebenarnya, mo ibu rumah tangga thok atau superwomen kek.
Pokoknya (ihh.. maksa) jadi orangtua di masa kini tuh tetap saja banyak nggak uenaknya. Penuh beban,
tertekan, dan stress . Bukan nakuti-nakutin lho, agar kamu-kamu bersiap-siap diri sejak dini. Jangan
mikirin yang indah-indah doang ntar klo jadi ibu rumah tangga.

Banyak ibu zaman kini terpaksa keluar rumah ikut serta bekerja mencari nafkah, karena mahalnya
kebutuhan hidup. Sungguh non, jauh dalam relung hati ibu, berat banget ninggalin anak tuk kerja.
Beneran lho. Coba deh tanya ke ibu kita. Tapi mau gimana lagi. Maunya tinggal di rumah saja mengasuh
anak dan mengatur urusan rumah tangga. Yup, memang itulah kewajiban utama dan fitrah seorang ibu .
Ummul warabatul ba’it (ibu pengatur rumah tangga).

Jadi klo dulu sobat waktu kecilnya suka ditinggal ibu bekerja dan terkena sindrom KKS (kurang kasih
sayang). Just remember it, kerjanya ibu juga merupakan bagian dari bentuk kasih sayang terhadap kita.
Apalagi jika abis kerja pun ibu masih tampil prima and fresh mengasuh dan ngurus rumah tangga. Pagi-
pagi bangun, nyiapin sarapan, nyuci, ngatur rumah tangga, ngajari pe-er sekolah, ngaji and ditambah
kerja lagi. Ini benar-benar ratu rumah tangga hebat. Bersyukur deh punya ibu yang peduli ama kita.
Seperti pameo, aktivitas ibu itu sejak bangunnya ayam jago hingga terbenamnya mata bapak. He he he
just kidding. Tapi tul kan...

Sungguh barat nian, beban yang musti dipikul kedua ortu kita terutama ibu, sehingga banyak kita
jumpai kasus ibu bunuh diri. Mereka nggak kuat lagi nanggung beban hidup. Pernah denger kisah Jasih
warga Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, melakukan aksi bunuh diri dengan membakar
diri bersama dua anaknya Desember 2004. Ibu ini stress berat akibat kemiskinan yang menghimpit.
Suaminya hanya kuli bangunan tak mampu untuk menghidupi keperluan sehari-hari ditambah lagi
anaknya yang kecil, Galuh Permana berusia 4 bulan terkena kanker otak. Masih di tahun sama
sebelumnya bulan Agustus, Suwarni (34), ibu rumah tangga yang tengah hamil empat bulan, tewas
setelah menelan racun serangga di kamar mandi rumah kontrakannya di Bekasi Timur. Kepada suaminya
pelaku sempat mengeluhkan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Sehingga mereka tak mampu
membiayai sekolah anak perempuan mereka yang baru lulus sekolah dasar (SD). (Kompas, 17/12/2004)

Sobat tahu nggak di dunia belahan sana tuh, kayak di Amerika, dan negara Eropa banyak anak yang
tak hanya terjangkit sindrom KKS tapi juga mengalami child abuse (kekerasan terhadap anak).
Diantaranya yang lakuin child abuse ibu kandungnya sendiri. Uh.. tega bin sadis banget. Sekejam-
kejamnya induk Harimau, kagak ada yang nyakitin anak sendiri. Di bumi Indonesia ini, ada juga sih.
Cuman agak lebih mendingan daripada di sono.

Dave Pelzer dalam buku A Child Called It dan The Lost Boy mengisahkan pengalaman pahitnya, hingga
di hari-hari tuanya, David biasa dipanggil, tak pernah tahu pasti kenapa ibunya dulu begitu menyayangi,
mencintai dan lemah lembut berubah seperti monster. Anehnya child abuse hanya terjadi padanya, tidak
pada ketiga saudara laki-lakinya lain. Tiap hari untuk menyambung hidupnya David makan dari sisa-sisa
makanan suadaranya di piring-piring kotor yang ia cuci. Sering malah ibunya membuang sisa makanan itu
ke tempat sampah. Walhasil sehari itu David tak makan sama sekali. Klo David ngelakuin kesalahan,
alamat berbagai pukulan, cubitan keras, cekikan, dan cambukan mendarat di tubuh kurusnya. Pernah
hingga lengan David patah. Setiap hari David berangkat sekolah dengan pakaian yang sama hingga
kumal, bau lagi, karena tak pernah diizinkan mandi. Kebayang nggak sih penderitaan David ini. Akhirnya
David terselamatkan oleh guru-gurunya dan seorang polisi. Masa remaja dan dewasa, David diasuh
Parent foster (orang tua asuh) gonta-ganti. Kasus David adalah kasus child abuse terberat yang pernah
ditemukan.

Nasib Sheila juga tak jauh berbeda. Suatu hari bapak ibunya bertengkar. Ibu Sheila membawa anak-
anaknya pergi. Namun ditengah jalan, Sheila didorong ibunya, keluar dari mobil. Sheila nggak tahu
kenapa ibunya tega meninggalkan seorang diri di pinggir jalan sendirian dalam keadaan terluka. Sheila
begitu dendam. Kenapa adik laki-lakinya yang lebih dipilih ibunya bukan diri Sheila, itu selalu pertanyaan
yang membuntuti Sheila. Ketika usia Sheila lima tahun, Sheila pernah menculik bayi laki-laki dan
membakarnya di bawah pohon. Kisah lanjutnya lebih memilukan. Sobat bisa baca kisahnya di Sheila :
Kenangan yang Hilang karya Torey Heyden.
Semua itu patut jadi renungan yang bikin kita lebih bersyukur deh. Mumpung ada kesempatan
buruan peluk bunda, cium tangan beliau dengan kasih dan bisikkan kata I love mom, So much.
Selanjutnya, isi hari-hari dengan berbakti untuknya. Jadi anak sholihah kebanggaan keluarga gitu lho....
Are you ready kan girls?

Nur Aulia S

Bahaya, Zone Aman Jan 2, '07 2:23 AM

for everyone

Bahaya, Zone Aman

Berada di zone aman adalah pilihan. Banyak orang berlomba-lomba menginginkan dalam zone ini. Bagi
perubah (Revolter) dan pejuang, zone ini justru dihindari.

Kutuliskan ini, karena akhir-akhir ini aku berada dalam zone aman.

Apakah zone aman itu? Zone ini adalah istilah yang entah dimana aku lupa mengambilnya. Sebuah zone
kehidupan sosok manusia dimana perasaan hampir semua kebutuhan materi (dan mungkin immateri)
juga terpenuhi. Ukuran kecukupan materi masing-masing individu tentu saja berbeda. Misalnya,
ukuranku adalah tidak punya hutang memberatkan, makan (nasi, plus lauk dan sayur seadanya ), minum,
papan (walau cuma ngekos) dan sandang tercukupi. Atau setidaknya sudah ada gambaran solusi dari
masalah materi tersebut. Tidak memiliki masalah krusial yang membuat kita dilanda beban berat yang
mendesak. Manusia merasa puas, cukup, aman, tentram dan diam tak bergerak menuju kemajuan pesat.

Keadaan ini membuat orang stagnan. Satu sisi aku bersyukur walau gaji pas-pasan ukuran orang biasa,
aku merasa nyaman saja kerja di kantorku. Kenapa demikian? Kadang karena aku berpikir bekerja bagi
perempuan bukan kewajiban, jadi simple, gaji berapa pun tak begitu menjadi beban. Kestabilan ekonomi
ini membuat aku lengah untuk memperbaiki diri, untuk menambah skill dan sebagainya. Atau mungkin
aku kurang neko-neko kali ya.

Hanya saja, sejak bapak mengutarakan keinginannya agar aku menjadi PNS, aku masygul. Bukankah jadi
PNS berarti makin membuat zone aman yang luas untukku? Mbak Theresa, wartawan The Jakarta Post,
mengatakan menjadi PNS kurang tantangan dan membuat orang terlalu nyaman. Kenyataannya, Aku
melihat hal tersebut pada teman-teman PNS- di kantor. Semangat untuk berkarya optimal masih kurang.

Bapak, selalu berhujah, karena aku perempuan, pekerjaan jadi PNS adalah pilihan terbaik katanya. Aku
ingin menyenangkan hati beliau dengan memenuhinya. Sisi lain bagiku karena bekerja adalah mubah
bagi perempuan, maka bekerja bukanlah sekedar mendapatkan materi. Itulah kenapa, aku betah di
kantor ini. Aku ingin mewarnainya berupa nilai lebih. Ketika nilai lebih itu telah teraih, sudah dirasa
cukup untukku, semua tantangan itu sudah menjadi zone aman. Ini bahaya untukku. Aku stagnan,
merasa cukup walau aku tahu aku belum apa-apa. Lalu PNS? Entahlah.. bukankah malah memerosokkan
daku lebih di zone aman.

Zone aman kalau tak disikapi arif membuat orang lain berhenti berkarya, berpuas diri, mendangkalkan
target atau cita, berkhayal, dan berpotensi melakukan perbuatan bermaksiat.

Coba bayangkan, kenapa orang-orang berduit tebal menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak
merubah kualitas sejati hidupnya . Misalnya, uang banyak untuk pergi dugem, pergi ke konser, ke
lokasisasi, berbelanja ke luar negri, menyelanggarakan pesta hura-hura dan sebagainya. Adalah wajar, di
balik zona aman kita merasakan seolah-olah aman untuk menentramkan diri atau melarikan diri dari
perjuangan atau ketakutan tantangan baru. Mencukupkan diri, seolah-olah kita sudah cukup aman.

Aku iri pada orang-orang bernama besar yang meraih prestasi puncak. Mereka kebanyakan adalah orang
yang sejak kecil terbiasa dan dibiasakan hidup di zone tidak aman. Kondisi aman pun mereka merasa
tidak aman, sehingga selalu berkarya dan mencapai prestasi dunia serta ukhrawi setinggi-tingginya.

Lalu bagaimana mengubah zone aman ini menjadi peluang bintang ? Tunggu lanjutannya..

Pengaruh Liberalisme dalam Kehidupan

Penulis: Dwi Septina Rahayu SPi

edisi: 28/Dec/2007 wib

Bom’ liberalisasi adalah ‘bom’ yang bisa menghancurkan masa depan umat manusia. Konspirasi Barat
dalam mempropagandakan liberalisme sudah masuk pada tataran individu dan keluarga. Waspada!
yudhi

Pengaruh Liberalisme dalam Kehidupan

LIBERALISME pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial-politis yang mengajarkan kebebasan
masyarakat dalam berpendapat, berserikat, dan berkumpul serta menentukan nasib sendiri. Saat ini,
proses liberalisasi sosial-politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak.

Liberalisasi sosial-politik ini kemudian disusul dengan liberalisasi di bidang ekonomi. Setelah menyentuh
wilayah ekonomi, politik, dan sosial maka wilayah agama pun pada gilirannya dipaksa harus membuka
diri untuk diliberalisasikan.

Dengan prinsip menjunjung tinggi kebebasan individual, liberalisme memperbolehkan setiap orang
melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya. Manusia tidak lagi harus memegang kuat aturan-
aturan agama. Bahkan, kalau memang aturan agama yang ada tidak sesuai dengan kehendak manusia,
maka yang dilakukan kemudian adalah menafsir ulang ayat-ayat Tuhan agar tidak bertabrakan dengan
prinsip-prinsip dasar liberalisme.

Wajar jika kemudian, berbagai tindakan amoral pun --sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus
homoseksual, seks bebas, dan aborsi-- bisa dianggap legal karena telah mendapatkan justifikasi ayat-ayat
Tuhan yang telah ditafsir ulang itu.

1. Homoseksual

Semua ajaran yang dibawa para nabi kepada umat manusia melarang secara tegas perbuatan
homoseksual. Homoseksual adalah perbuatan yang kejam dan termasuk dosa besar. Kaum Nabi Luth as.
dihukum dengan hujan batu oleh Allah karena suka melakukan tindakan homoseksual. (QS al-A’raf [7]:
80-84).

Dalam Injil Kitab Kejadian 19: 4-11 juga diceritakan hukuman Tuhan terhadap kaum Sodom dan
Gomorah. Orang-orang Nasrani juga paham bahwa homoseksual adalah penyebab kehancuran manusia.

2. Seks Bebas dan Aborsi.


Kebebasan melakukan hubungan seks dengan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan (freeseks) saat ini
menjadi tren baru pergaulan remaja dan pria-wanita dewasa. Hubungan seks yang dianggap sebagai
privasi individu tidak boleh dicampuri oleh aturan agama atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Selama individu tersebut senang, sukarela, dan suka sama suka, maka masyarakat dan agama tidak patut
menghukumi mereka. Tentu pendapat di atas tidak bisa dibenarkan dalam pandangan agama.

Dampak terkejam dari perilaku seks bebas adalah kecenderungan manusia untuk lari dari tanggung
jawab. Pelaku seks bebas pada umumnya tidak menginginkan dari hubungan yang mereka lakukan lahir
seorang anak. Mereka melakukannya dengan tujuan untuk memuaskan kebutuhan nafsu seksualnya saja.
Karena itu, kejahatan yang mereka lakukan, jika kemudian terjadi kehamilan, adalah aborsi. Esensi
perbuatan tersebut adalah membunuh manusia, calon generasi penerus manusia!

Sangatlah tepat ketika agama mensyariatkan pernikahan dengan maksud untuk menjaga kelestarian
manusia yang mengemban kekhalifahan di muka bumi. Hanya dari sebuah pernikahan akan lahir sebuah
keluarga yang normal, yang siap mengasuh dan mencetak anak-anak sebagai penerus generasi umat
manusia.

Memang, bisa saja dari hubungan seks tanpa ikatan pernikahan akan lahir anak-anak, tetapi bagaimana
dengan proses tumbuh-kembang mereka secara psikologis? Anak-anak yang tidak tumbuh dalam sebuah
keluarga normal tentu akan mengalami guncangan psikologis yang sangat dahsyat.

3. Single Parent

Pada tataran keluarga, jargon kebebasan (liberty) dan persamaan (egality) yang didengungkan kaum
feminis secara ekstrem telah memunculkan semangat melawan dominasi laki-laki sebagai pemimpin
keluarga. Padahal, dalam Islam secara lugas telah ditetapkan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin
atas wanita (istri) (QS an-Nisa’ [4]: 34). Akibatnya, timbul konflik apakah wanita atau laki-laki yang lebih
tepat mengemudikan sebuah keluarga di tengah banyaknya wanita saat ini yang memiliki kemampuan
finansial maupun manajerial. Konflik-konflik tersebut antara lain kemudian berujung pada single parent,
freeseks, aborsi, atau adopsi. Banyak wanita/pria lebih memilih hidup sendiri.

Kebutuhan akan anak mereka penuhi dengan adopsi. Kebutuhan seksual mereka penuhi dengan
melakukan hubungan bebas. Kalau tidak mau direpotkan dengan anak, mereka tinggal mencari dokter
atau tenaga medis lain untuk melakukan aborsi. Sungguh, ini merupakan kenyataan keji yang terjadi di
tengah umat manusia saat ini, yang katanya punya akal dan mengaku bertuhan (religius). Padahal
faktanya, kelakuan mereka lebih rendah daripada binatang dan banyak bertentangan dengan norma-
norma yang ditetapkan Allah dalam agama.
Jika kita meneliti lebih jauh ide-ide liberalisme yang mewabah saat ini, tampak dengan jelas kehancuran
yang ditimbulkannya. Bagaimana jika seks bebas, homoseksualitas/lesbianisme, aborsi, dan single parent
telah menjadi budaya modern yang diadopsi oleh banyak manusia? Apa bukan bencana dahsyat? Dapat
kita bayangkan, ‘bom’ liberalisasi adalah ‘bom’ yang bisa menghancurkan masa depan umat manusia.

Konspirasi Barat dalam mempropagandakan liberalisme sudah masuk pada tataran individu dan
keluarga. Ini berarti, individu dan keluarga, sadar atau tidak, telah dengan mudah bisa mengakses dan
mengadopsi pemikiran-pemikiran liberal. Tanpa dipaksa, mereka menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari sebagai gaya hidup modern. Lihatlah bagaimana media cetak, elektronik, dan maupun audio
visual yang dengan efektif dimanfaatkan untuk mempromosikan budaya liberal kepada masyarakat.

Negara-negara Barat tentu tidak merasa perlu menyeru masyarakat Muslim untuk murtad dari Islam,
karena ini pasti akan ditentang habis-habisan oleh umat Islam. Cukuplah mereka mengajak kaum
Muslim untuk mengikuti budaya yang mereka produksi, semisal pergaulan bebas, eksploitasi tubuh
wanita, aborsi, single parent, homoseksual, dan lain-lainnya. Lalu sejengkal demi sejengkal umat Muslim
meninggalkan aturan agamanya dengan suka rela.

Ini adalah bahaya yang harus segera disadari dan dilawan oleh seluruh umat Islam. Sebab, kerusakan
liberalisme telah demikian nyata sehingga tidak boleh diberi tempat sedikitpun dalam tubuh umat Islam.

Justru yang harus terus digencarkan adalah memulihkan kesadaran kaum Muslim untuk senantiasa
terikat dengan syariat Islam. Hanya syariat Islamlah yang berlandaskan pada petunjuk Allah yang akan
mampu mengembalikan umat manusia ke derajat kemuliaannya. Wallahu alam bi ash-shawab. (*)

(* Penulis Adalah Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Babel)

!! Jun 1, '09 7:45 AM

for everyone

Detik. Jakarta - Drama Manohara Odelia Pinot tidak boleh dibiarkan menguap begitu saja. Kasus ini harus
menjadi pembelajaran bagi pemerintah dalam upaya pengajuan revisi UU Perkawinan yang dinilai
diskriminatif terhadap perempuan.
"Ini harus jadi pembelajaran untuk merevisi UU Perkawinan yang memberikan

batasan usia perkawinan seorang perempuan 16 tahun," kata Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)
Masruchah.

Hal itu disampaikan Masruchah di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jl Imam Bonjol, Menteng,
Jakarta Pusat, Senin (1/6/2009).

Menurutnya, aturan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan itu banyak yang diskriminatif terhadap perempuan. Selain soal

batas minimal usia kawin bagi perempuan yang dinilai terlalu rendah, UU itu juga tidak sensitif jender
dalam banyak hal.

"Misalnya undang-undang itu mengatakan kepala keluarga harus laki-laki. Padahal prakteknya banyak
sekali ibu yang menjadi kepala keluarga," terang

Masruchah.

Dia mengatakan, pihaknya telah mengajukan permintaan revisi UU Perkawinan

tersebut ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun hingga kini belum ada respon dari Senayan.

"Tampaknya belum menjadi prioritas di periode 2004-2009 ini. Mudah-mudahan di 2009-2014," kata
Masrucah.

Dalam permintaan revisi itu, di antaranya mereka meminta agar batasan usia

minimal seorang perempuan untuk menikah dinaikkan jadi 18. Sebab perempuan

di usia 16 meski telah matang secara biologis namun belum matang secara

psikologis.
Manohara menikah dengan Tengku Fakhry dalam usia masih sangat muda, 16 tahun. Mantan model
cantik kelahiran 28 Februari 1992 itu menikah dengan Fakhry yang berusia 14 tahun di atasnya pada
Agustus 2008.

------------------------------

TARGET REVISI UU Perkawinan

1. Meliberalkan pemahaman tentang GENDER, KEPALA KELUARGA, BATAS USIA PERKAWINAN,


MEMUDAHKAN PERCERAIAN dan MEMPERSULIT POLIGAMI. Tapi diam terhadap perzinahan??!!!

2. Merubah UU Perkawinan menjadi lebih liberal. Terdapat Draft RUU Perkawinan yang direvisi dan
Counter Legal Kompilasi Hukum Islam

3. DL
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan
penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan
peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda
dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat
tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proses-proses pemberdayaannya. Secra ekstrim bahkan dapat
dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan
ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.

Dalam konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu
tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi yang dicapai
bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini, telah merupakan akses produk suatu pendidikan, sekalipun
diketahui bahwa kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu di bawah kemajuan yang dicapai dunia
industri yang memakai produk lembaga pendidikan.

Pergeseran drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan
pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang
memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran
paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total
diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk
pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat
konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan
masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum,
menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia.

Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari “percepatan aliran ilmu
pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu
pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal (SD,SMP,SMA,PT) yang konvensional.
Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar di mana-mana dan setiap orang akan dengan mudah
memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan. Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence
[distributed knowledge]”. Kondisi ini, akan berpengaruh pada fungsi tenaga pendidik (guru dan dosen)
dan lembaga pendidikan “akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi “mediator”
dari ilmu pengetahuan tersebut. Proses long life learning dalam dunia pendidikan informal yang sifatnya
lebih learning based dari pada teaching based akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia.
Peranan web, homepage, cd-rom merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses
distributed knowledge semakin berkembang. Hal ini, secara langsung akan menan.tang sistem kurikulum
yang rigid dan sifatnya terpusat dan mapan

Melihat pergeseran paradigma pendidikan di atas, menurut Hujair Ah. Sanaky pendidikan Islam harus
mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab
tantangan perubahan tersebut, apabila tidak, maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan
global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak
harus memperhatikan beberapa ciri, antara lain: (a). Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan
atau “lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching)”. (b).
Pendidikan Islam dapat “diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel”. (c). Pendidikan
Islam dapat “memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan
mandiri dan berpotensi”, dan (d) Pendidikan Islam, “merupakan proses yang berkesinambungan dan
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan” (Zamroni, 2000:9). Keempat ciri ini, dapat disebut dengan
paradigma pendidikan sistematik-organik yang “menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya
pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika
masyarakat”.

Dalam “pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan kebutuhan


masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki arti,
bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah,
melainkan peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat
pada umumnya” . Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan
pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia
kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga “sistem pendidikan akan mampu
menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan
dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat”

Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup
menggembirakan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan
lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta
keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tambal
sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan
umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban
kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum (non-agama) dari
kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama,
sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak bisa dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produk
(hasil) serba setengah-tengah atau tidak maksimal baik pada ilmu umum maupun pada ilmu agama.
Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali desain program
pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau
kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju “masyarakat madani”, lembaga-lembaga
pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah mendesain model pendidikan
umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum
atau mengkhususkan pada desain pendidikan keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara
kompetitif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan
dunia.

Empat tahun terakhir ini, di Indonesia hadir model perguruan tinggi Islam yang berusaha
mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum untuk secara bersamaan dipelajari, dihayati, difahami, lalu
diamalkan. Yakni dengan hadirnya Universitas Islam Negeri (UIN), seperti UIN Jakarta, UIN Yogyakarta,
UIN Malang, UIN Pekanbaru, UIN Bandung, dan UIN Makasar. Dalam jargonnya kehadiran UIN adalah
ingin mencetak sarjana-sarjana yang tidak hanya unggul di bidang ilmu agama, melainkan juga
menguasai bidang-bidang ilmu umum atau dengan kata lain ingin melahirkan lulusan yang menyandang
gelar ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama’. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan di hati penulis
adalah, Mampukah UIN-UIN tersebut untuk berkompetisi dengan perguruan tinggi umum yang telah
mapan jauh lebih dahulu? Jangan-jangan yang dilakukan UIN tersebut hanyalah merupakan wacana atau
gagasan konseptual yang sulit untuk direalisasikan. Buktinya sampai sekarang keinginan UIN untuk
memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum masih sebatas jargon idealitas, karena kurikulum yang
dipakai pun masih terlihat adanya dikotomi ilmu. Walaupun ada integrasi itu hanyalah baru sebagian
kecil saja.

Melihat fenomena ini, maka menurut hemat penulis. Lembaga pendidikan Islam harus bersikap inklusif,
artinya untuk mengembangkan pendidikan Islam harus mau membuka diri kepada pihak manapun,
termasuk pihak non muslim. Hal ini didasari oleh keadaan realita yang ada dalam pendidikan Islam saat
ini. Jika pendidikan Islam masih bersikap eksklusif/menutup diri dengan dalih umat Islam sudah memiliki
banyak pedoman/pegangan/SDM yang handal maka jangan berharap pendidikan Islam dapat
berkembang cepat di dunia ini. Dengan demikian maka perdaban Islam semakin lama akan semakin
terpuruk. Dan menurut Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang) menggambarkan lembaga pendidikan
Islam itu sebagai “lembaga pendidikan yang tahan hidup, tetapi sukar maju (stagnan)
Pendidikan Murah, Berkualitas Hak Masyarakat Indonesia(Artikel)

21 January 2009 No Comment

Judul Artikel: Pendidikan Murah, Berkualitas Hak Masyarakat Indonesia

Dunia pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Polemik demi polemik silih berganti muncul dan
saling terkait. Awalnya muncul masalah nasib guru, kemudian muncul soal gedung sekolah yang rusak,
dan akhirnya masalah kemampuan biaya sekolah menjadi persoalan serius di dunia pendidikan. Bahkan
boleh dikata, soal biaya bisa menjadi persoalan utama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Memang,
permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah biaya pendidikan yang mahal dan sangat mempengaruhi
mutu pendidikan. Akibat biaya pendidikan yang mahal, membuat masyarakat di bawah garis kemiskinan
tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Padahal, pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar
atau wajar sembilan tahun.

Jika masalah pendanaan itu tidak mendapat perhatian maka program wajar yang telah ditetapkan
dipastikan tidak akan terealisasi. Banyak anak putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu
membiayai sekolah mereka. Kecenderunganya, pemerintah kita dewasa ini kesulitan memberikan
perhatian kepada masalah pendidikan. Apalagi banyaknya bencana alam dan musibah yang menimpa
negeri ini membuat pemerintah harus mengencangkan ikat pinggang mengatur anggaran keuangannya.
Sehingga harus ada yang menjadi korban dan salah satunya anggaran pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari
anggaran pendidikan nasional yang masih berada di bawah nilai anggaran yang diperlukan. Meski dalam
UU Sistem Pendidikan Nasional telah ditetapkan untuk anggaran pendidikan harus sebesar 20 persen
dari total APBN.

Namun, saat ini alokasi anggaran pendirikan nasional baru direalisasi sekitar 14 persen dari nilai total
APBN. Memang kondisi alokasi anggaran pendidikan nasional kita masih dalam taraf memprihatinkan. Ini
dikarenakan adanya kenyataan anggaran yang seharusnya disalurkan ke sektor pendidikan namun justru
diperuntukkan bagi sektor politik.

Kita memang sadar, masih banyak sektor-sektor lain yang harus diperhatikan oleh negara untuk diberi
anggaran melalui kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meski demikian, kebijakan yang dapat mendorong
majunya dunia pendidikan seharusnya tetap diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia
pendidikan akan terus berada dalam krisis mutu dan jauh tertinggal dari negara-negara berkembang
lainnya. Mutu pendidikan di Indonesia harus ditingkatkan seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Indonesia sudah tertinggal jauh dengan negara-negara tetangga dalam peningkatan mutu
pendidikan dan harus bisa diatasi. Salah satu cara yang harus dilakukan oleh pemerintah tidak ada jalan
lain hanya dengan meningkat anggaran belanja bagi pendidikan dalam APBN/APBD (berdasarkan UUD 45
dan UU No.20/2003) sebesar 20 persen. Sebetulnya prosentasi anggaran pendidikan tersebut masih jauh
tertinggal dari anggaran pendidikan di luar negeri yang mencapai sebesar 40 persen. Dana pendidikan di
negara asing itupun di luar gaji dan pendidikan kedinasan dan sumbangan dari pengusaha terutama
untuk membiayai penelitian. Kalau demikian, alangkah kecilnya anggaran pendidikan kita.

Pendidikan yang baik, berkualitas dan murah menjadi salah satu dambaan masyarakat Indonesia di
tengah dunia pendidikan kita yang tengah dalam krisis kepercayaan. Meski kini pemerintah mempunyai
kebijakan dalam â?omenggratiskanâ? kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah negeri, namun pada
kenyataannya masih banyak sekolah yang memungut uang kepada siswa dengan beragam alasan. Salah
satu cara yang sering dilakukan adalah membuat program study tour, menarik uang bimbingan tes, dan
uang terkait dengan ujian akhir nasional.

Peningkatan mutu pendidikan sebetulnya hanya akan berhasil jika ditekankan adanya kemandirian dan
kreativitas anak didik di sekolah bukanya dengan membuat segudang program ekstrakurikuler super
ketat diluar tujuan pendidikan dengan biaya â?owahâ?. Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur
dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Pendidikan dikatakan berhasil bila mampu membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter,
bermoral dan berkepribadian sesuai dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UUD 45. Untuk
itu, perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang mampu menciptakan suasana dan proses
pembelajaran yang menyenangkan, merangsang dan menantang peserta didik untuk mengembangkan
diri secara optimal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Memberikan kesempatan kepada setiap
peserta didik berkembang secara optimal. Mutu pendidikan akan lebih berhasil jika ditunjang fasilitas-
fasilitas yang memadai dan peralatan yang lengkap untuk memudahkan dalam proses belajar mengajar.
Disinilah yang paling layak dikatakan biaya sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Bukannya
biaya mahal untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui berbagai program diluar sekolah yang
diandalkan.

Moh. Syahidul Haq

Mahasiswa Jurusan Administrasi Pendidikan

Universitas Negeri Malang

Peran Generasi Muda Dalam Keberlangsungan Pendidikan Islam Juli 2, 2007


Posted by darunnajah in Seputar Kampus.

trackback

Pendahuluan

Tanpa kemampuan dan kesediaan membuka diri untuk berdialog dengan dunia ilmiah, pemikiran
pendidikan Islam akan terus berhadapan dengan dilema berkepanjangan. Bagaimanapun, pemikiran
pendidikan Islam adalah wilayah murni ilmiah sekaligus kultural. Ketertutupan pemikiran akan
menimbulkan anomali-anomali yang datang sahut-menyahut dengan setiap dinamika yang berkembang.
Jika demikian halnya, maka pendidikan Islam yang secara ideologis sebenarnya mengajak kepada
pengenalan terhadap diri sendiri, kemudian menempatkan teori pendidikan yang lahir dari kawasan
Barat sebagai referensi utama. Mengambil referensi dari Barat tidak berarti salah, tetapi apabila
menjadikannya utama itu yang tidak benar. Padahal nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam
sangat luar biasa karena didalamnya mencangkup pembahasan yang melangit sekaligus membumi.

Saat ini dunia pendidikan Islam sedang menghadapi situasi yang dilematis, yang melahirkan sikap
ambivalensi dalam menyusun konsep mengenai berbagai aspek pendidikan Islam, khususnya dasar
kefilsafatan, tujuan, metode, dan kurikulum. Pendidikan Islam yang ada terkesan kurang memberi
peluang pengembangan daya kritis dan kreativatas sebagai sikap ilmiah. Pendidikan Islam dipandang
hanya sebagai penataran utamanya menerangkan tentang teori, tetapi miskin nyata.

Oleh karena itu, pemberdayaan dunia pendidikan islam saat ini merupakan perihal yang niscaya adanya.
Ditengah arus globalisasi yang semakin trengginas ini, pendidikan islam diharapkan mampu menjadi
jalan alternatif. Disamping pendidikan Islam adalah sebagai bagian manusia dalam menemukan siapa
sesungguhnya diri atau pribadinya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan intelektual dan ulama dari mesir,
Mohammad al-Ghazali, Pendidikan Islam diharapkan mampu melaksanakan transformasi nilai dalam
rangka persosialisasi dalam masyarakat dan lingkungan. Dengan pemberdayaan pendidikan Islam, umat
Islam akan mampu menjadikannya bekal untuk terus menuju kepada penyampurnaan dirinya, yang
darinya akan mampu digunakan untuk mengaruih kehidupan dengan segala pernik dan dinamikanya.
Disamping itu, pendidikan Islam ini nantinya akan mampu berperan besar ketika berhadapan dengan
masyarakat yang majemuk, termasuk di Indonesia.

Untuk bahasa lebih jauh tentang pendidikan Isalam, ada baiknya kita mencoba melayani apa pendidikan
itu. Pendidikan Islam sendiri mempunyai banyak penafsiran, diantaranya diungkapkan Ahmad D.
Marimba. Dia menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan
hukum agama Islam menuju pada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Sementara
itu, Syahminan Zaini dalam bukunya, prinsip-prinsip dasar konsepsi pendidikan Islam, menyatakan bahwa
definisi pendidikan Isalam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam agar
terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia. Muhammad Athiyah al-Abrasyi juga
memberikan pengertian yang berbeda terkait dengan pendidikan Islam. Menurutnya, pendidikan Isalam
(al-tarbiyah al-Islamiyah) adalah untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan
bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur
pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, dan manis tutur katanya, baik dengan lisan
maupun tulisan.

Sikap terhsdap Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakan pranata dalam kehidupan manusia untuk menemukan siapa dirinya atau
eksistensinya. Dengan pendidikan ini, diharapkan ada kemajuan yang di capai manusia pada
kelangsungan kehidupannya. Kemudian, untuk salah satu fenomenanya yang seharusnya di jawab dalam
keberlangsungan ini adalah dengan mencoba menghapus dinamika perkembangannya. Sudah jadi
wacana umum bahwa dinamika pendidikan kita telah menjadi sesuatu yang menarik untuk selalu dikaji
dan ditelaah terus-menerus.

Melihat fenomena diatas, tidak cukup hanya dengan retorika, harus ada yang dijadikan patokan untuk
mewujudkan Indonesia menjadi negara yang rakyatnya cerdas dan makmur. Adapun untuk
mewujudkannya, bisa dengan menggunakan pendekatan yang berbeda, termasuk bagaimana proses
atau penangananny. Proses ini akan memakan waktu yang tidak sebentar. Hal ini dikarenakan pergerakan
manusia Indonesia yang sangat beragam, ditambah dengan perkembangan dunia dewasa ini.

Arah baru pendidikan untuk Indonesia diharapkan mampu menjawab setiap persoalan yang menghimpit.
Arah ini adalah semacam cermin atau harapan terhadap pendidikan yang berkembang di Indonesia,
termasuk pendidikan Islam. Pendidikan Islam sendiri merupakan pendidikan yang menitikberatkan
kepada pembentukan moral yang mewujud prilaku dalam keseharian denagan dampaknya yang baik.

Para pemerhati pendidikan Islam saat ini sedang berfikir keras agar Pendidikan Islam di Indonesia
mampu menjadikan pendidikan sebagai salah satu solusi dari kemelut yang di hadapi bangsa ini. Mereka
banyak melakukan eksperimen untuk mengimplementasikan berbagai gagasan tersebut. Dari hasil
perenungan dan eksperimen mereka, Lahirlah gagasan untuk melakukan reformasi sekaligys reformulasi
terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia. Gagasan tersebut adalahdengan mengintegrasiakan
semua nilai-nilai keilmuan dalam pendidikan, dan diharapkan output-nya nanti berupa generasi yang
selalu tanggap terhadap persoalan dan fenomena yang sedang di hadapi bangsa ini.

Harapan terhadap Pendidikan Islam datang dari para pemerhati dan intelektual muslim. Seperti Seyyed
Hossein Nasr yang meyakini keharusan adanya sistem pendidikan yng melahirkan filsuf, ulama, dan
intelektual sebagaimana pada abad-abadpertama sesudah masa kenabian Muhammad SAW. Fazlur
Rahman juga secara lebih eksplisit menjelaskan perkembangan praktek pendidikan berpola di kalangan
komunitas pemeluk Islam hingga pada masa dikalangan pemeluk Islam dikenal sebagai jaman keemasan.
Namun demikaian, baik Nasr atau Rahman tidak menyinggung perkembangan konseptual pendidikan
bagi pemeluk, khususnya elite muslim. Akan tetapi, harapan yang tergambar dalam argumentasi dua
tokoh diatas perlu diapresiasi sebagai bahan untuk membuat formula baru pendidikan Islam.

Secara teriotik suatu tindakan soaial yang terlembaga seperti halnya pendidikan bisa di cari dasar-dasar
pemikiran teoretik dibelakangnya. Sayang, dunia akademik di lingkungan Islam, seperti IAIN atau UIN,
dan fakultas Tarbiyah belum menjadikan sejarah sebagai bahan dasar untuk menemukan data praktik
dan dasar pemikiran kegiatan pendidikan Islam di masa awal perkembangan dan masa-masa modern.
Dari sejarah ini akan terlihat bagaimana pendidikan dikalangan Islam terus di harapkan pada pilihan-
pilihan prgmatis, teoretik, dan teologis yang tidak mudah.

Selanjutnya, dunia pendidikan Islam terus-menerus mengkritik pendidikan model lain sebagai sekular.
Pada saat yang sama dunia pendidikan Islam tidak berdaya, kecuali harus menjadikan kerangka teoretik
dan filosofi pendidikan sekular itu sebagai alasan pembenar berbagai pemikiran dan pratik pendidikan
bagi pemeluk Islam. Studi Islam (Islamik Studies) dan pemikiran Islam pun bersikap kurang lebih serupa
ketika menyatakan diri sebagai disiplin bebas dari intervensi pemikiran sekular, pada saat yang sama juga
tidak berdaya kecuali memakai tesis-tesis bahkan juga pola pemikiran yang di cap sekular, helenis, dan
tidak Islami itu sendiri.

Tentang Pendidikan Model Madrasah

Kata “Madrasah” berasal dari bahasa Arab, yang dalam kata Indonesia diterjemahkan “Sekolah”.
Madrasah mengandung arti tempat atau wahana anak mengenyam proses pembelajaran. Maksudnya,
anak menjalani proses belajar secara terarah, terpimpin dan terkendali dilembaga yang bernama
Madrasah. Oleh karena itu, secara teknis digambarkan bahwa proses pembelajaran secara formal tidak
berbeda dengan sekolah umum. Hanya secara kultural, terhadap konotasi spesifik yang dimiliki madrasah
dan tidak dimiliki oleh sekolah umum. Oleh karena itu, dalam lembaga ini peserta didik memperoleh
pengajaran tentang agama dan keagamaan sehingga dalam konteks ke-Indonesia madrasah di identikan
dengan sekolah agama. Pengertian madrasah ini juga disebutkan dalam Undang-Undang sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 Tahun 1989, yakni madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas
Islam.

Pada dasarnya, sistem pendidikan madrasah merupakan produk kreativitas intelektual muslim dan
agamawan sebagai bentuk pembaharuan atas lembaga pendidikan Islam yang ada sebelumnya. Tujuan
agar dapat menjawab tantangan dan tuntutan yang makin kompleks, mendesak dan tidak dapat
dihindari lagi. Era globalisaasi menuntut “Kemampuan Bersaing” dari Sumber DAya Manusia (SDM, yang
dalam hal ini output madrasah. Oleh karena itu, perlu untuk dirumuskan visi madrash,yakni madrasah
sebagai “sekolah plus” yang berkualitas, berkarakter, dan mandiri. Madrash plus adalah madrasah yang
menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun tetap dengan identitas keIslamannya.

A. Malik Fadjar mengungkapkan, apapun perubahan-perubahan yang di inginkan adalahkebijakan-


kebijakan yang mengembangkan madrash dengan mengakomodasi tiga kepentingan, yakni; Pertama,
bagaimana kebijakan itu pada dasarnya harus memberi peluang ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi
utama umat Islam. Dalam hal ini madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup secara
Islami. Madrasah diharapakn dapat melahirkan generasi pelajar yang tafaqquh fi al-din dengan makna
yang sebenarnya. Kedua, bagaimana kebijakan itu memperjelas dan memperkokoh keberadaan
madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta
produktif, sederajat dengan sistim sekolah yang lain. Ketiga, bagaimana itu bisa menjadikan madrasah
dapat merespon tuntutan masa depan agar output-nya mampu melahirknan SDM yang memiliki
kemampuan berkarya secar kreatif dalam memasuki era globalisasi, industrialisasi dan informasi.

Pertimbangan dalam pengembangan madrash tentu ada dua hal vital yang harus di pegang oleh sistem
pendidikan madrash. Pertama, madrasah sebagai institusi pendidikan harus dikembalikan kepada dan
untuk kepentinagn masyarakat. Interaksi-produktif madrasah dan masyarakat harus dibinasecara baik
dan berkesinambungan ke arah tujuan yang disepakati bersama, yaitu mewujudkan diri sebagai School
Based Community (Sekolah Berbasis Masyarakat). kedua, madrasah sebagai institusi pendidikan yang
berprestasi sebagai pengawal jalannay integrasi keilmuandi dalam Islam. Arah akomodas-integratif
antara ilmu agama dan umum, kemudian menjadikan pendidikan Islam, meminjam istilah Azyumardi
Azra, sebagai Academic Excellene, yakni keunggulan bidang keilmuan. Pendidikan madrasah yang
memiliki kompetensi Academic Excellene sedikitnya bisa dilihat dari kaidah bahwa semakin besar
kemungkinan madrasah untuk menyampaikan lulusnya pada posisi-posisi strategis dalam masyarakat.,
maka semakin besar arus peserta didik untuk masuk ke madrasah itu.
hal terpenting dalam pembangunan Academic Excellene (Sebagai Orintasi Pembangunan Madrasah)
didalam kepemimpinan dan proses pembelajaran adalah orientasi sistem layanan, pembangunan kultur
sebagai jiwa yang memberikan kesadaran dan makna pendidikan, pembelajaran kolaboratif yang
mendorong suasana kebersamaan dan saling mendukung serta dilakukan evaluasi berkesinambungan
sehingga mampu membentuk civic culture dan social lesrning seperti yang diharapkan.

Kecenderungan dewasa ini memberikan nuansa positif bagi madrasah, yakni dikalangan kelas menengah
muslim banyak yang memasukan anak-anaknya ke madrasah. Pilihan ini sungguh rasional karena sekolah
ummum dinilai kurang memenuhi keinginan mereka. Madrasah, dengan adanya kecenderungan
tersebut, harus mampu menawarkan diri, sebagai lembaga pendidikan alternatif sesuai dengan tuntutan
dan kebutuhan masyarakat dengan pembenahan diri dealam kualitas secara internal. Hal itu untuk
mewujudkan Academic Excellence dengan madrasah sebagai sekolah umum, plus ciri khas keislamannya.
Oleh karena itu, semakin besar tuntutan akan mutu pendidikan, madrasah yang hanya berjalan ditempat
dan denagan apa adanya serta tanpa disertaikomitmen dari elemen yang ada didalamnya terhadap mutu
dan keunggulan, setahap demi setahap akan ditinggalkan orang. Dinamika ini bukan bertujuan untuk
menyingkirkan salah satu instansi pendidikan, melainkan sebuah ajang kompetensi.

Tentang Pendidikan Model Asrama

Selanjutnya, untuk menciptakan pendidikan yang bertujuan membangun karakter anak bangsa yang
tangguh, program membangun asrama siswa atau mahasiswa, setidaknya perlu untuk mendapat
tanggapan. Dengan adanya asrama tersebut, para pencari ilmu ini akan memperoleh bimbingan dan
pengawasan lebih intensif. ini bukan pengekangan, tetapi sebagai salah satu usaha membangun karakter
manusia. Mengingat para siswa, khususnya mahasiswa sangat menjunjung tinggi apa yang mereka sebut
idealisme.

Sebagaimana dikemukakan oleh pimpinan pondok putri Gontor beberapa waktu lalu ketika menjadi
panelis pada diskusi ilmiah tentang pendidikan bersama dengan pakar pendidikan Prof. Dr. Djohar Effendi
dan pemerhati pendidikan yang sekaligus sebagai penulis buku laris, Hernowo di University Center (UC)
UGM. Menurutnya, dengan pembentukan asrama ini, bakat mereka juga akan terasa maksimal, serta
diimbangi dengan nuansa yang lebih harmonis. Oleh karena itu, salah satu kelebihan asrama adalah
terorganisasinya setiap kegiatan, dan ini sangat membantu anak didik dalam masa pancarobayan.
Disamping itu, mereka akan lebih peka terhadap setiap pergerakan manusia disekitarnya karena mereka
seolah mendapatkan keluarga batu. para pencari ilmu yang datang dari jauh atau bahkan dari luar
daerah ternyata ada yang senasib sepenanggungan seperti mereka.
Semua sepakat bahwa sekarang merupakan arena kompetiei yang sangat keras, di samping itu karena
memang sedang tumbuh-suburnya paham modernisasi, yang tidak hanya dalam pemikiran, tetapi juga
dalam sikap dan perilaku. Fenomena ini tentunya akan berdampak terhadap pendidikan Islam. Dengan
demikian, urgensi pembentukan asrama sangat menemukan tempatnya disini. Peta arah perkembangan
pendidikan Islam pun akan bisa bermula dari sini pula.

Sekaligus dengan modernisasi, A. Qodry Azizy yang mengutip pendapat akbar S. Ahmed mengatakan,
istilah modernisme ini biasanya diberi definisi dengan fase sejarah dunia yang paling akhir, yang di tandai
dengan kepercayaan terhadap sains, perencanaan, sekularisme, dan kemajuan. Sementara itu,
modernisasi merupakan suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu menjadi modern. Menurut inkeles
dan smith bahwa secara elemen esensial merupakan industrialisasi yang selalu dirasakan sebagai model
kapitalis.

Dengan sedikit gambaran diatas, ternyata modernisasi yang berkembang sekarang sangat perlu untuk
dibangun benteng agar peserta didik, baik siswa maupun mahasiswa tidak mudah terjebak dan masuk
kedalamnya dengan tanda bekal, yang nantinya mereka akan terombang-ambing karenanya. Dengan
demikian, pengoptimalan peran asrama, juja berfungsi sebagai salah satu cara membendung dampak
negatif modernisasi itu agar tercipta generasi yang mampu memberi warna terhadap setiap perubahan
jaman dan yang lebih penting mampu berperan untuk menjadi tumpuan kemajuan.

Saat ini masyarakat sedang mengalami perubahan dalam cara mereka memendang kehidupan.
masyarakat sekarang berada dalam proses yang sekarang secara simultan ada pada mereka, yaitu
globalisasi, indiviualisme,revolusi gender, pengangguran dan resiko global karena krisis lingkungan dan
krisis moneter seperti yang bermula pada tahun 1997 kemarin, sebagaimana dikatakan H.A.R. Tillar.
Dengan demikian, peran asrama juga bisa dijadikan salah satu pranata untuk menghalau dampak-
dampak negatif tersebut.

Arah pendidikan Islam di Indonesia saat ini telah mengalami beberapa kemajuan, diantaranya dengan di
berlakukannya UU Guru dan Dosen mulai 6 desember yang lalu. Hal ini menandakan diakuinya peranan
pendidik, atau pendidikan pada umumnya. Diharapkan dengan ini mampu memajukan dunia pendidikan
yang saat ini semakin banyak tantangannya. Pendidikan ditantang untuk mampu mengembangkan
potensi anak didiknya agar mampu memberi manfaat lebih banyak kepada masyarakat.

Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan potensi individu menuju kebehagiaan
masyarakat ataupun sebagai pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, tetapi
pendidikan juga berpotensi untuk mendidik kedua aspek dalam diri manusia, yaitu jasmani dan ruhani.
Dengan pendidikan jugalah manusia dibedakan dengan hewan. Hewan juga belajar, tetapi didasarkan
pada insting, sedangkan bagi manusia, belajar merupakan rangkaian kegiatan pendewasaan guna
menuju kehidupan yang lebih berarti.

Fenomena Sekolah “Plus”

Sekolah plus merupakan program pembelajaran yang bertujuan memberikan alternatif terhadap
dinamika kependidikan di Indonesia pada umumnya. Pada bagian ini, sekolah-sekolah Islam juga ikut
berperan dalam p0embangunannya. Justru, sekarang banyak sekolah Islam Plus yang lebih maju dari
pada sekolah negeri.

Dinamika semacam ini sangat menarik untuk dijadikan telaah. Kelihatannya masyarakat sudah makin
menganggap penting terhadap dunia pendidikan. Ada pola pikir dan pola sikap yang saat ini merasuk ke
dada para orang tua. mereka sudah sampai pada keyakinan bahwa pendidikan harus di beriakn pada
anak cucu mereka agar kelak menjadi lebih pandai dan lebih bahagia dari pada orang tua mereka.
Setidaknya demikian yang ingin dicapai masyarakat indonesis saat ini, khusus untuk pendidikan Islam
yang menggunakan label Plus. mereka sengaja memasukan beberapa materi tambahan terhadap
kurikulumnya, diantaranya dengan program mengaji rutin, kenal alam, jalan-jalan wisata, dan diskusi
terbuka.

Hal yang demikian ternyata sangat digemari anak didik sehingga perkembangan model pendidikan ini
bukan tidak mungkin akan menjadi favorit di kemudian hari. Dengan demikian, dapat dibuat sedikit
kesimpulan bahwa arah pendidikan sekarang sedang mengalami kemajuan di berbagai bidang karena
tidak hanya berkecimpung pada wacana formalistik, tetapi juga membawa sugesti terhadap yang
substantivistik. Hal ini tentunya sangat menggembirakan sebab di saat pergerakan dunia kearah
kemajuan dan globalisasi yang tidak dapat di bendung arus pengaruhnya, negatif dan positif, ternyata
pendidikan memberikan sumbangan yang sangat di perlukan.

Makin kuatnya budaya untuk mendapatkan pendidikan yang layak, patut mendapatkan dukungan dari
banyak pihak, seperti masyarakat, orangtua dan peran pemerintah. Supaya kinerja yang ada dalam
pendidikan ini tidak di monopoli oleh segelintir oknum, tetapi dirasakan oleh banyak kalangan,
khususnya kalangan miskin yang selama ini didiskreditkan keberadaan mereka.
Dalam rangka mewujudkan Sekolah Plus, Humanisasi pendidikan merupakan hal yang niscaya untuk di
aktualisasikan. Hingga kini konsepsi dasar pendidikan masih berkisar pada faktor mana yang paling
signifikan bagi tumbuhnya kepribadian ideal diantara kondisi asli yang dibawa siswa sejak lahir dan
lingkunga, dimana siswa itu tumbuh menjadi manusia dewasa. Sebagian pendapat menyatakan fokus
pertama yang lebih menentukan sehingga paling berhasil pendidikan hanyalah mengembangkan
lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadian asli siswa yang memang mempunyai potensi
ideal. Sebagian lain berpendapat sebaliknya bahwa pendidikan merupakan faktor utama pengembangan
lingkungan kemana perkembangan kepribadian siswa diarahkan.

Walaupun terdapat sintesis dari kedua pandanga tersebut, namun masalah pokoknya tetap berada
diantara kedua faktor, yaitu bawaan dan lingkungan. Tanpa harus mementingkan salah satu dari kedua
faktor tersebut adalah penting bagi pendidikan dikembangkan sebagai sebuah proyeksi kemanusiaan
karena pada akhirnya siswa harus mempertanggungjawabkan segala tindakanya di dalam kehidupan
sosialnya. kekurang cermatan kebijakan pendidikan dalam memahami siswa sebagai manusia yang unik
dan mandiri, serta harus secara pribadi mempertanggungjawabkan tindakannya, pendidikan akan
berubah menjadi “Pemasungan” daya kreatif setiap individu.

Islam dan Semangat Berkarya

Seluruh agama dapat dikatakan sangat menekankan sikap disiplin, prestasi, dan jiwa karsa setiap
penganutnya. Bahkan, sikap disiplin, misalnya, menjadi bagian integral dari keabsahaan ibadah-ibadah
keagamaan yang pada gilirannya merupakan pilar dari agama itu sendiri. Dengan kata lain, tanpa
pemenuhan disiplin yang telah ditetapkan dan hukum-hukum agama, maka ibadah yang dikerjakan
setiap pemeluk agama menjadi tidak sah bahkan sia-sia. Dalam Islam, masalah disiplin, etos kerja,
motivasi, dan prestasi menduduki peranan yang sangat penting.

Sebagaimana dikemukakan di atas, disiplin sangat di tekankan dalam ajaran Islam. Dapat dikatakan
bahwa Islam adalah agama disiplin. Hampir seluruh ibadah dalam ajaran Islam mengandung unsur
pengajaran dan latihan disiplin. Begitu juga dengan disiplin spiritual yang mendidik dan melatih batin
(innerself) merupakan salah satu inti dari Islam. Disiplin ruhani ini membebaskan manusia dari
penghambaan kepada dirinya sendiri yang bersumber dari hawa nafsu yang cenderung tidak
terkendalikan terhadap godaan kehidupan manusia. Sebaliknya, ia menamakan dalam dirinya hasrat dan
cinta hanya kepada Tuhannya. Sebagaimana firman Alloh SWT dalam al-Quran [6]: 162, “Katakanlah:
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, dan matiku hanya untuk Alloh Tuhan semesta alam”.
S elanjutnya adalah disiplin moral. Konsep Islam tentang moralitas berdasarkan pada konsep tauhid.
Dalam konsepsi dan ajaran tauhid, Alloh Yang Mahatunggal adalah Pencipta, Tuhan sekalian alam. Tuhan
adalah sumber sekaligus tujuan kehidupan karena prinsip moral Islam berdasarkan pada wahyu Alloh,
maka mereka bersifat permanen. Oleh karena itu, Islam memilikik standar moralitas dengan karekternya
yang khas. Islam tidak hanya mengajarkan ukuran moral, tetapi juga memberikan kesempatan kepada
potensi yang dimiliki manusia untuk itu menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Potensi yang
dimiliki manusia, yang dapat membantunya dalam memahami dan membenarkan norma moral Islam
yang bersumbar dari wahyu Alloh itu termasuk akal dan kalbu (hati nurani).

Islam juga memberikan perhatian dan penekanan yang kuat kepada etos kerja (work ethics). Bahkan,
dapat dikatakan Islam adalah agama yang menjunjung tinggi semangat bekerja keras. Dalam Islam setiap
manusia di berikan kebebasan berusaha dan bekerja untuk kepentingan hidupnya dengan sebaik-
baiknya. Akan tetapi, disamping menekankan hak dan kebebasan individ, Islam juga sangat menjunjung
tinggi semangat kebersamaan (jamaah). Inilah kelebihan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam.

kekuatan Pemuda: Kesediaan untuk Belajar

Pemuda adalah aset bangsa yang tidak tergantikan. Keberadaannya indikasinya adanya penerus terhadap
keberlangsungan kehidupan selanjutnya. Akan tetapi, apakah semua pemuda dapat di jadikan tumpuan
dalam mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat dan bangsa? Tentu kita akan menjawab tidak
sebab ada juga pemuda yang justru menjadi duri dalam daging perjuangan menegakkan keadilan dan
kedamaian.

Untuk menemukan pemuda yang bisa diandalkan, elemen yang bisa digunakan adalah melalui media
pendidikan. Melalui pendidikan yang benar akan lahir generasi muda yan bisa menjadi pahlawan bagi
rakyat dan bangsanya dikemudian hari. Akan tetapi, yang diperlukan oleh seorang pemuda adalah
kemauan untuk terus bel;ajar dan berkarya, bukan hanya menunggu, bersikap pasif, dan berkhayal.
Pemuda Islam yang berjiwa besar tidak pernah mempersoalkan secara berlebihan masalah peluang
sejarah. Bagi mereka, kematangan pribadi adalah seperti modal dalam investasi. Seperti apapun baiknya
peluang, hal itu tidak akan berguna kalau tidak memiliki modal. Peluang sejarah adalah ledakan
keharmonisan dari kematangan yang terabaika. Seperti keharmonisan antara pedang dan keberanian
dalam medan perang, antara kecerdasan dan pendidikan formal dalam dunia ilmu pengetahuan. Akan
tetapi, jika kita harus memilih salah satunya, maka yang harus kita pilih adalah keberanian tanpa pedang
dalam perang, atau kecerdasan tanpa pendidikan formal dalam wilayah ilmu.
Kesadaran semacam ini mempunyai dampak karakter yang sangat mendasar. Inilah yang harus dilakukan
oleh generasi muda Islam. Komitmen mereka untuk meniti jalan terjal perjuangan membebaskan
manusia dari keterbelakangan adalah syarat untuk menjadi seorang pahlawan. Oleh karena itu pahlawan
mukmin sejati bukanlah pemimpi disidang bolong atau orang brerdosa dalam kebohongan dan ketidak
berdayaan. Mereka adalah petani yang berdoa ditengah sawah, pedagang yang berdoa di pasar,
petarung yang berdoa ditengah pecamuk perang. Sekali-sekali mereka menatap langit untuk
menyegarkan ingatan pada misi mereka. Mereka menyeka keringat dan bekerja kembali.

Peran Pemuda dalam Mewujudkan Pendidikan Islam yang Revolusioner

Tantangan adalah stimulan kehidupan yang disediakan Alloh untuk merangsang munculnya semangat
perubahan sekaligus nurani kepahlawanan dalam diri manusia. Orang-orang yang tidak memiliki nurani
akan melihat tantangan sebagai beban berat, mereka menghindarinya dan dengan sukarela menerima
posisi kehidupan yang tidak terhormat. bagi orang yang mempunyai nurani kepahlawanan akan
mengatakan kepada tantangan tersebut: Ini untuk ku.

Pemuda Islam akan selalu berjuang untuk menjadikan tantangan sebagi motifasi demi kesejahteraan
umat manusia. Dalam beragama mereka tidak memahaminya sebagai ritual belaka, melainkan sebuah
kerja, sebuah aksi nyata. Tidak sedikit yang memahami agama merupakan ritual belaka, para digma
harus segera di ubah karena agama tidak seperti itu. Abdul Malik Utsman dari CRSe (community for
Religion and Social Engineering) Yogyakart, mengutip gagasan John D. Caputo, seorang intelektual yang
berusaha memaknai agama dan kereligiusan dengan cara yang baru. Menurutnya, agama adalah cinta-
kasih, dan kebijakan merupakan hal inti yang niscaya ada dalam agama sehingga seorang yang religius
adalah orang yang memiliki sekaligus mengamalkan sikap ini. Korupsi, illegal logging, penjualan manusia,
menaikan harga BBM, disaat banyak karya kecil terhimpit banyak kesusahan, merupakan beberapa ciri
tidak adanya cinta-kasih dan kebajikan.

Moral Force atu gerakan moral cenderung jalan di tempat dan kurang greget karena gerakan ini hamnya
berkutap pada permasalahan yang normatif. Dengan demikian, untuk menambah daya gedornya adalh
dengan membingkai gerakan moral dan gerakan spiritual atau spiritual force menjadi satu kesatuan yang
padu. Agama juga bukan dogma, lembaga, dan heararki kepemimpinan yang terkesan formal dan kaku.
Agama adalah formasi antara saleh indifidu dan saleh sosial. Formulasi dua sikap ini akan
mengejawantah dan menjadikan para pemeluk agama berpandangan sufistik-transformatif, yang
tercermin dalam perilakunya sehari-hari.
ketika agama hanya diprediksikan denganketaatan ritual-simbolis saja, implikasinya adalah moral,
mental, dan jiwa pemeluk agama akan beku dan kering. Agama harus di pahami dengan segala bentuk
keuniversalannya dan nilai yang dikandungnya. Manakala pemahaman terhadap agama seperti ini, jiwa
kemanisiaan pemeluknya akan berusaha memahami ajaran agamanya dan mengaktualisasikan dalam
alam nyata. Mereka tidak hanya mempraktikan ketaatan ritualistik, tetapi juga bersemangat untuk
melakukan transformasi kebaikan dalam kehidupannya.

Perlu diketahui bahwa berbagai konflik yang terjadi akhir-akhir ini, bukanlah karena faktor doktrinal
melainkan problem yang bersifat praksis, yaitu problem kemanusiaan, seperti konflik sosial, kekuasaan,
kemiskinan, ketidak adilan, perlakuan yang otoriter, pengekangan, dan diskriminasi. Pada konteks inni,
gerakan moral saja tidak cukup sehingga diperlukan gerakan spiritual. Oleh karena itu, berbagai sikap di
atas seoalh sudah menjadi kebiasaan dan menjadi idiologi kebanyakan masyarakat di negeri ini, baik
yang dilakukan oleh rakyat, ataupun yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan.

Agama merupakan pranata untuk menyempurnakan kemanusiaan manusia, dan pada waktu yang
bersamaan berfungsi untuk mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan demikian, pemahaman
yang komperhensif terhadap agama akan mampu membangun moral force yang tangguh dan
compatible, sebagai salah satu syarat membangun bangsa yang telah sekian lama di himpit dan
terjerumus dalam kemunduran.

Untuk membangun bangsa menuju kepada kemajuan dan kejayaan, tidak hanya menitik beratkan pada
pembangunan “fisik”, tetapi ada yang lebih penting untuk di bangun, yaitu pembangunan kristal nilai dan
rasa yang terdapat pada wilayah yang transenden. pendekatannya menggunakan pendekatan yang
berorientasi pada wilayah spiritual.

Moral force selama ini cenderung bergumel pada tataran wacana sehingga kekerasan erosentrisme-
imperialistik mulai mendapatkan tempatnya, meski dengan merambat namun pasti. Salah satu alat
pencegahan kekerasan tersebut adalah dengan pemahaman yang serta pengamalan terhadap ajaran
agama. Formulasi tersebut akan menjadikan agama sebagai barometer dalam berperilaku dan menjelma
menjadi kearifan intertekstual. Hal ini menjadikan para pemeluk agama mampu mengeksplorasi makna
transformatif dan universal yang terkandung dalam agama sebagai pijakan tidak dalam menjalani
kehidupan dinegara dengan multi-etnis, multi-agama, dan multi-kepentingan ini. kemudian, kita pun
menjadi salah satu aktor penting kemajuan negara ini, menjadi negara yang beradab, damai, dan
berbudaya.
Dengan peradigma seperti ini, kita (pemuda) akan bisa berperan aktif dalam menyusun kerangka terbaik
untuk dunia pendidikan Islam di negara ini, yang selama ini belum mampu mengentaskan rakyat dari
tabir keterbelakangan pemuda seperti ini akan mampu melakukan revormasi dan menciptakan formulasi
baru terhadap pendidikan Islam, dan menjadikannya sebagai jalan merengkuh pencerahan hidup dan
kehidupan.

Pendidikan yang kita terapkan belum memberikan tempat bagi terciptanya sinergi antara pendidikan
berbasis kognitif-psikomotorik dan pendidikanberbasis afektif ((Rektor Atma Jaya Jakarta FG Winarno)

Oleh : Didit Majalolo

Ribuan guru dan pegawai honorer berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, bertepatan dengan
peringatan Hari Pendidikan Nasional, Jumat (2/5), menuntut pemerintah menerbitkan peraturan
pemerintah yang mengatur pengangkatan menjadi CPNS/PNS. Mereka juga mengeluhkan penghasilan
yang sangat rendah.

[JAKARTA] Pendidikan nasional di Indonesia telah terjebak pada orientasi mengedepankan aspek
kecerdasan atau intelektual semata, sementara aspek etika dan moralitas cenderung terabaikan. Selain
itu, pendidikan nasional mulai kehilangan roh keindonesiaannya yang berfalsafah Pancasila.

Akibatnya, pembangunan pendidikan nasional yang sudah berjalan selama 63 tahun kemerdekaan, gagal
melahirkan manusia Indonesia yang bertanggung jawab, jujur, dan berintegritas tinggi. Tidak heran bila
kini Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi dan kriminalitas yang tinggi, perusak
lingkungan, serta sejumlah cap negatif lainnya.

Demikian benang merah pemikiran Rektor Atma Jaya Jakarta FG Winarno, guru besar Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Endang Sumantri, dosen FISIP Uncen Jayapura Beatus Tambaib,
Ketua Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman, serta pakar pendidikan HAR Tilaar, yang
dihubungi SP secara terpisah terkait peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2008.

“Selain tidak memiliki cetak biru yang jelas, benang kusut pendidikan nasional juga dikarenakan
pendidikan yang kita terapkan belum memberikan tempat bagi terciptanya sinergi antara pendidikan
berbasis kognitif-psikomotorik dan pendidikan berbasis afektif,” ujar Winarno.
Padahal, amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas sangat jelas, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang
dilandasi dengan falsafah Pancasila.

“Sesungguhnya, fondasi dasar pendidikan kita secara filosofi dan falsafah sudah sangat bagus,” tuturnya.

Untuk itu, kata Winarno, perlu ditemukan konsep pendidikan yang dapat memberikan gambaran
orientasi yang utuh sebagai jalan keluar dalam upaya memanusiakan manusia Indonesia yang kita idam-
idamkan.

Endang Sumantri mengatakan, paradigma pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah keseimbangan
antara pembinaan intelek, emosi, dan semangat. “Kesemuanya itu bakal berjalan baik apabila didasari
oleh Pancasila untuk tetap menjaga bangsa Indonesia dalam ideologinya sendiri,” ujarnya.

Endang merekomendasikan, untuk dapat melaksanakan paradigma pendidikan tersebut, generasi muda
harus mendapatkan pendidikan nilai yang di dalamnya ada agama, ideologi dan budaya bangsa, serta
pendidikan karakter dan politik.

“Pelaksanaannya dipercayakan kepada sekolah untuk mencoba setiap mata pelajaran berbasis karakter
kebangsaan,” ucapnya.

Pendidikan yang berkarakter ini, sambung Endang, menekankan pada tiga komponen karakter yang baik,
yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan bermoral.

“Ini diperlukan agar siswa mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai
kebajikan,” katanya.

Namun, dia mengingatkan, semua hal baik itu bakal sia-sia jika tidak dibarengi dengan pendidikan politik
bagi generasi muda. Menurutnya, dari pendidikan politik itu bisa didapatkan generasi yang
berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga memiliki kesadaran yang tinggi sebagai warga
negara.
Terjebak Liberalisasi

Senada dengan itu, Beatus Tambaib menilai arah kebijakan sistem pendidikan nasional mulai terjebak
dalam sistem pendidikan dengan modernisasi, liberalisasi ekonomi, politik, demokrasi, dan globalisasi
yang mengedepankan tawaran-tawaran yang bersifat individual, materialistis, dan konsumerisme.
Pendidikan lebih banyak mengejar aspek kecerdasan intelektual (kognitif), tanpa diimbangi dengan
pendidikan moral dan kebudayaan yang menjadi karakter Indonesia.

”Karena sistemnya diarahkan seperti itu, dapat dilihat bahwa banyak orang pintar dan cerdas, namun
banyak melakukan perbuatan tak beradab dan tidak punya rasa malu jika melakukan korupsi,” ujarnya.

Sementara Suparman berpendapat, ketidakmampuan pemerintah menyediakan anggaran pendidikan


yang tidak diikuti adanya cetak biru atau grand design merupakan penyebab makin terpuruknya kondisi
pendidikan nasional.

Konsep pendidikan yang dimiliki pemerintah saat ini belum mempunyai visi yang jelas. Akibatnya, baik
pelaku maupun penyelenggara pendidikan masih perlu meraba-raba arah dan tujuan pendidikan
nasional yang diinginkan.

“Seharusnya seluruh pemangku kepentingan pendidikan mulai dari Departemen Pendidikan, perguruan
tinggi dan lembaga pendidikan lainnya, serta pemerintah daerah, dapat bersama-sama merumuskan
cetak biru kebutuhan pendidikan nasional terkait pembangunan moral dan etika kebangsaan, di samping
mempersiapkan manusia Indonesia mandiri dan berjiwa kewirausahaan,” katanya.

HAR Tilaar menambahkan, perbaikan pendidikan yang selama ini dilakukan terasa hanya tambal sulam.
“Kita belum menyentuh masalah yang prinsip, yakni masalah-masalah yang harus diperbaharui. Kita
seakan-akan hanya jatuh cinta pada hal-hal baru, tetapi tidak membuat perbaikan, mulai dari masalah-
masalah yang mendasar,” ujarnya.

Manusia Seutuhnya
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengungkapkan, paradigma pendidikan
Indonesia saat ini adalah ingin membangun manusia seutuhnya, bukan lagi paradigma pendidikan yang
hendak membangun sumber daya manusia (SDM) yang lebih besar. Sebab, SDM dalam istilah sehari-
harinya adalah pekerja.

“Melalui pendidikan kita tidak hanya sekadar mencetak para pekerja, tapi kita ingin mencetak manusia
yang seutuh-utuhnya dari pendidikan kita, tidak hanya ingin menghasilkan pekerja. Kita ingin
menghasilkan politisi, cendekiawan, budayawan, sastrawan, olahragawan, alim ulama, dan sebagainya,”
ujarnya kepada SP se-usai memimpin upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional, di Jakarta, Jumat
(2/5).

“Mau mencari orang Indonesia yang bisa jadi bupati atau anggota DPR sangat sulit, Mentalnya adalah
mental pekerja yang menunggu perintah, tidak berani mengambil risiko, dan tidak berani mengambil
kebijakan. Ini sangat berisiko kalau kita hanya mencetak para pekerja saja,” ujarnya. [GAB/153/W-12/E-5]

Sumber : http://www.suarapembaruan.com

Sekolah Unggulan Jembatan Menuju PNS, Pengangguran Atau Wirausaha

Minggu, 12-04-2009 18:51:05 oleh: Marjohan M.Pd

Kanal: Opini

Sekolah-sekolah di negara maju seperti di Singapura, Jepang, Amerika, Australia, dan negara-negara
Eropa tidak memberi label terhadap anak didik dan lembaga pendidikan, “dia siswa unggul atau itu
sekolah unggul”. Ini terjadi karena program pendidikan mereka sudah terlaksana dengan profesional dan
accountable- teruji. Kesadaran warga terhadap kebutuhan pendidikan sudah tinggi. Pemberian label
terhadap anak didik dan sekolah, seperti Siswa Sekolah Unggul, Sekolah Perintis, Sekolah Bilingual,
Sekolah Akselerasi, Sekolah Plus, Sekolah SSN (Sekolah Standar Nasional), dan Sekolah SBI (Sekolah
Berstandar Internasional) mungkin hanya fenomena untuk pendidikan kita. Tujuannya bagus, yaitu untuk
meningkatkan mutu pendidikan yang mudah anjlok, untuk membuat warga sekolah yang mempunyai
label tersebut bisa termotivasi untuk berprestasi karena punya tanggung jawab menjaga harga diri
sekolah, atau untuk menjadi warga sekolah yang exclusive? Atau memang dasar orang kita demam label/
merek dari pada mencari kualitas ?
Paradigma kini sudah berubah, sekolah berlabel mungkin untuk sekolah swasta. Bagi sekolah pemerintah
cukup dengan sebutan “Sekolah Negeri- SMP Negeri dan SMA Negeri”.Kata kata label atau merek
digunakan untuk program pelayanan pendidikan, seperti SMA program akselerasi, SMA program
Unggulan, SMA program bilingual dan sebagainya. Lahirnya sekolah-sekolah berlabel- sekolah unggulan-
adalah sebagai respon dari kualitas pendidikan kita di level dunia yang sempat memprihatinkan.

Dalam buku L’etat du monde annuaire, annuaire economique geopolitique mondial, diedit oleh Didiot
Beatrice (2001) dilaporkan bahwa menjelang tahun 2000 posisi human indicator index atau tingkat
Sumber Daya Manusia Indonesia menempati peringkat 102, negara Vietnam yang merdeka lebih akhir
dibanding Indonesia satu digit lebih baik dari Indonesia, yaitu 101. Kemudian dalam buku The State of
The World Atlas, ditulis oleh Dan Smith (1999) memaparkan bahwa posisi SDM Indonesia menempati
peringkat 88 di dunia dan Negara Turkmenistan yang baru merdeka tahun 1991, lepas dari Uni Soviet,
posisi SDM nya juga lebih baik satu digit dibandingkan Indonesia, yaitu posisi 87.

Tulisan kedua penulis di atas mencerminkan bahwa kualitas SDM bangsa Indonesia sangat rendah dan
memalukan kita sebagai bangsa yang termasuk penduduk terbanyak dan ukuran negara terluas di dunia.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka pemerintah dan masyarakat merespon dengan cara melakukan
pembenahan dan perbaikan di sana-sini. Termasuk dengan cara melahirkan kebijakan pendidikan-
program unggulan. Kalau begitu di Indonesia ada beberapa model sekolah.

Ada sekolah negeri yang konvensional yang jumlahnya ribuan, terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Sekolah konvensional kualitasnya sangat bervariasi, mulai dari sekolah negeri dengan murid pemalas dan
motivasi belajar rendah sampai kepada sekolah negeri super berkualitas. Kemudian sekolah swasta yang
jumlahnya juga banyak dan tersebar di persada nusantara. Ada sekolah swasta yang hampir punah
karena kehabisan murid dan kekurangan dana sampai kepada sekolah swasta super modern di
metropolitan, dengan gedung megah dan uang sekolahnya sangat mahal yang dapat dijangkau oleh anak
anak cerdas dari keluarga kaya. Kemudian adalah sekolah negeri- sekolah milik pemerintah- yang
memperoleh keistimewaaan untuk menjalankan program keunggulan dalam bidang pendidikan. Jenis
sekolah yang terakhir ini disediakan untuk anak-anak cerdas dari semua tingkat lapisan ekonomi. Para
siswa yang belajar di sekolah-sekolah unggul pastilah anak-anak cerdas yang memiliki motivasi belajar
yang tinggi. Profesi orang tua mereka adalah ABRI, Polisi, PNS, BUMN, dan wiraswasta.

Tetapi bagaimana visi masa depan mereka setelah lulus dari sekolah unggul dan dari perguruan tinggi
favorit pilihan mereka ? Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi pada mereka yaitu menjadi PNS,
wirausaha, dan pengangguran. Para pelajar sekolah unggulan juga berkompetisi jadi PNS ? PNS adalah
profesi yang sudah dibisikkan oleh guru guru dan orang tua sejak kecil. Coba lihat ketika anak bersekolah
di TK dan SD, ada murid yang dikaderkan dalam program dokter kecil dan polisi kecil, tentu saja program
ini berguna. Kemudian bila anak-anak sudah bersekolah di tingkat SMP dan SMA, ditanya, maka mereka
ingin menjadi Dokter, Bidan, Guru, Staff di Departemen Pemerintah, pokoknya jadi PNS. Orang tua
banyak yang separoh memaksa agar kelak anak memilih profesi PNS. “Kalau hanya ingin menjadi PNS,
buat apa sih sekolah unggul segala, si Erni Juwita yang dulu hanya sekolah di SMA negeri di desa bisa
lulus PNS, sedangkan si Firdaus yang dulu sekolah di SMA unggulan tidak jebol PNS”.

Mengikuti seleksi PNS dan lulus, memang nasib-nasiban. Yang pintar dan rajin sekolah/ kuliah boleh jadi
tidak lulus dalam test PNS, sementara yang dulu senang hura-hura dan sekolah asal-asalan bisa lulus.
Apalagi sekarang peserta yang tidak pandai, tetapi pandai-pandai (smart street) bisa mencari buku
pintar, jurus ampuh untuk lulus test PNS, berisi resep resep soal test yang meliputi test potensi
akademik- verbal, numerikal dan spatial. Itulah mengapa kualitas PNS agak beda dengan kualitas kerja
mereka yang berada di perbankan, sebagai contoh. Seleksi PNS tidak begitu menjaring semua potensi
partisipan. Sementara test menjadi karyawan BUMN lebih ketat, lebih selektif dan banyak prosedurnya-
melibatkan psikolog dan proses seleksi yang lebih berkualitas dan sehingga lebih menjaring potensi, the
rightman on the right place..

Kalau dahulu orang memandang profesi PNS lebih rendah dari pada profesi berwirausaha, seperti
berdagang. Elly Kasim, penyanyi tempo dulu dari daerah Minang, menceritakan tentang hal ini dalam
lirik lagunya: “alah ka nasib laki den jadi pagawai, sa bulan gaji indak cukuik untuak sa pakan, tibo dek
urang hiduik sanang rasaki murah, tibo dek kito rasaki nan baagakkan”. Sekarang entah siapa yang
memulai sehingga kebanyakan masyarakat tetap mengagungkan PNS sebagai profesi impian. “Enak ya
jadi PNS, gaji mencukupi dan masa depan terjamin, sakit pun masih menerima gaji”. Doktrin PNS sebagai
pekerjaan yang paling menjamin dan pekerjaan dengan status tertinggi masih melekat kuat dalam diri
masyarakat.

Cukup lucu dan bisa menyedihkan kalau ternyata sekolah unggul hanya mampu membesarkan dan
memotivasi anak didiknya kelak menjadi PNS, dan menjadi pegawai swasta. Bagaimana nanti kalau ada
yang menjadi pengangguran. Ini terjadi bukan karena bodoh, tetapi karena kalah bersaing dari rekan-
rekan mereka yang lihai dan pandai-pandai membaca situasi. Sangat tepat kalau penyelenggara
pendidikan di daerah kita bisa belajar bagaimana pelaksanaan proses pendidikan di negara yang lebih
maju, misal dari negara tetangga, Singapura. Sarjana berusia muda di negara kecil ini tidak begitu tertarik
untuk menjadi pegawai pemerintah. Setiap hari banyak iklan dari departemen pemerintah yang muncul
berulang-ulang untuk mencari pegawai negeri. Kebanyakan generasi muda Singapura yang baru lulus
dari universitas lebih tertarik pada wirausaha dan kerja swasta. Generasi di sana memiliki sikap
berwiraswasta yang sudah mantap. Perwujudan sikap wirausaha yang sebenarnya merupakan
implementasi dari sikap budaya terhadap kerja, prestasi, dan kreatifitas.
Kemudian bagaimana dengan keberadaan karakter para pelajar di sekolah-sekolah unggul di negeri kita?
Kemungkinan para pelajar dari sekolah unggulan kelak juga tertarik menjadi PNS. Banyak generasi muda
mengidolakan PNS dan takut berwirausaha- menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan mengatasi
masalah sosial/ masalah pengangguran- terjadi karena mereka kurang mandiri dan berkarakter manja,
terbiasa serba banyak dibantu. Sejak Taman Kanak-Kanak mereka tidak diajar mandiri. Bagaimana
mereka menghabiskan hari-hari ? kebanyakan anak-anak kurang dilibatkan dalam kegiatan di rumah-
membersihkan dan merapikan rumah. Setelah agak besar tidak tahu cara memasak. Malah bagi orang
tua yang punya bisnis sampingan seperti berkebun, bertani, beternak, berdagang, ada kalanya anak-anak
tidak dilibatkan. Khawatir kalau sekolah mereka terganggu- pada hal alasan ini berpotensi mematikan
kreativitas dan life skill mereka. Maka rutinitas para pelajar sekarang cuma pergi sekolah, pergi les,
membuat PR, otak atik HP, bermain gitar, main game dan lalu tidur. Hari berikutnya kegiatan yang sama
berulang lagi. Ilustrasi di atas memperlihat bahwa kehidupan mereka sangat monoton tanpa ada
tantangan hidup. Apalagi orang tua sekarang banyak yang merasa serba khwatir- khawatir anak sakit,
terjatuh. Maka mereka cenderung menjadi serba melarang dan pribadi anak tumbuh kerdil karena serba
diatur, banyak dilarang dan serba diarahkan. Maka lengkap sudah mereka menjadi generasi manja.
Mereka cerdas tetapi, penakut dan miskin dengan pengalaman hidup.

Dewasa ini banyak mahasiswa yang cerdas, wisuda dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) hampir empat
(4.00) atau cum laude. Namun belum tentu ada jaminan untuk dapat pekerjaan. Cerdas saja, pernah
belajar di sekolah unggul, kemudian lulus dari universitas favorit juga belum tentu ada jaminan untuk
berhasil, apalagi kalau tidak mempunyai jiwa wirausaha. Sementara itu pintu PNS semakin sempit juga.
Maka kemungkinan bagi alumni dari sekolah unggul dan universitas favorit untuk menjadi pengangguran
intelektual semakin nyata. Perguruan tinggi seperti UI, IPB, ITB dan UGM adalah perguruan tinggi favorit
dan diidolakan oleh hampir semua siswa di Indonesia.

Tetapi tunggu dulu, apa semua yang kuliah di sana sudah dijamin untuk sukses ? Ada beberapa kenalan
penulis yang lulus dari sana sempat menganggur selama bertahun-tahun. Namun kini banyak universitas
menyadari hal-hal penyebab terjadinya penyakit pengangguran. Maka untuk mewanti-wanti kegagalan
mahasiswa, banyak perguruan tinggi membuat program wirausaha, menawarkan program
kewirausahaan, mencari kerja, dan membuka lapangan kerja secara mandiri. Sekali lagi, mengingat
lulusan perguruan tinggi apakah yang favorit atau non favorit, berpotensi untuk menambah jumlah
pengangguran setiap kali terlaksana wisuda. Maka mereka perlu menumbuhkan jiwa wira usaha bagi
lulusannya, sering mengadakan kerjasama dengan instansi dan perusahaan berskala nasional dan
internasonal, dan melaksanakan lomba-lomba wirausaha. Melakukan pembinaan wirausaha, ada yang
sebatas memberikan mata kuliah wirausaha dan, seperti yang dikatakan di atas, bekerja dengan berbagai
lembaga atau instansi pekerjaan.
Langkah yang dilakukan oleh berbagai perguruan inggi ini sudah bagus, paling tidak sudah
memperkenalkan dan mengajak mahasiswa untuk berwirausaha, bisa menciptakan lapangan kerja
sendiri. Namun memperkenalkan wirausaha saat mereka di perguruan tinggi, apalagi saat mereka selesai
wisuda, adakalanya sudah sangat terlambat dalam membentuk karakter berani dalam berwirausaha.
Karena karakter berani terbentuk paling bagus sejak anak-anak berusia muda, paling kurang pada saat
anak belajar di bangku SLTA (SMA, Madrasah dan SMK). Program wirausaha seperti yang dilakukan oleh
perguruan tinggi juga sangat tepat bila diperkenalkan di sekolah-sekolah unggulan. Selama ini kegiatan
kegiatan ekstra di sekolah unggulan cenderung banyak memompa siswa dengan rumus-rumus
olimpiade, pengembangan afektif dan skill hanya sebatas kegiatan otot dan seremonial; olah raga,
camping, pramuka, mengikuti lomba mata pelajaran namun tetap kurang terampil dalam mengurus diri,
dan masih serba dibantu di rumah. Kini sudah saatnya bagi pengelola sekolah unggulan untuk bisa
mengundang para alumni dan tokoh tokoh wirausaha di kabupaten, propinsi, nasional dan kalau perlu
dari level internasional untuk memperkenalkan apa dan bagaimana eksistensi wirausaha itu pada
pelajar-pelajar di sekolah unggulan. Kemudian sekolah-sekolah ini perlu pula untuk melaksanakan
kegiatan wirausaha dengan OSIS, atau sebagai kegiatan ekstra kurikuler; mengunjungi pusat-pusat
kegiatan wirausaha/ industri di tingkat kabupaten, priopinsi dan nasional atau internasional. Kembali ke
sekolah mereka melakukan presentasi dan bediskusi dan kalau boleh juga melakukan kegiatan wirausaha
kecl-kecilan dulu. Ini dalah salah satu strategi efektif untuk memotong wabah pengangguran.

Umumnya para pelajar di sekolah unggulan memiliki semangat belajar yang tinggi dan potensi yang amat
besar. Tentu sangat mudah untuk menumbuhkan jiwa berani dan jiwa berwirausaha sejak usia dini.
Silakankah mereka belajar sebanyak-banyaknya, kemudian pilihlah universitas favoritnya, selalu pelihara
keberanian dan jiwa wirausaha, maka insyaalah kelak mereka bisa dengan jiwa wirausaha bisa
menemukan bahan bakar non fosil dalam volume besar, menciptakan perangkat komputer dan laptop
murah tetapi berkualitas, mendirikan bengkel perabot berskala internasional hingga mampu menyerap
dan sekaligus mengatasi masalah pengangguran, mendirikan pabrik dan bengkel-bengkel kapal laut yang
digunakan untuk mengolah potensi laut di tiap propinsi sehingga kita tidak perlu lagi bergantung pada
orang lain atau negara lain. Kalau boleh orang lain dan negara lain lah yang bergantung pada kita. Amin.

Oleh: Marjohan, M.Pd SMA Negeri 3 Batusangkar

Keutamaan Kompetensi Dalam Era Globalisasi Dan Implikasinya Bagi Pendidikan Sekolah
Diposting oleh rulam Tanggal: July 16th, 2009 | Kategori: Artikel | dilihat 66 Kali |

Djoko Saryono (Dosen Universitas Negeri Malang)

Abstrak: Tulisan ini memaparkan kecenderungan-kecenderungan era globalisasi yang padat pengetahuan
atau berbasis pengetahuan. Dalam era globalisasi berbasis pengetahuan, keberadaan dan peranan
kompetensi sangat utama, penting, dan strategis; menggantikan utama dan pentingnya informasi atau
materi. Untuk itu, setiap manusia harus menguasai sejumlah kompetensi sebagai standar minimal agar
mampu berpikir dan bertindak dalam hidup dan kehidupan individual dan bersama. Pembentukan
standar minimal kompetensi itu dapat dilakukan melalui pendidikan terutama pendidikan sekolah. Pada
era globalisasi ini, proses pendidikan sekolah harus dipusatkan pada pembentukan kompetensi yang
dibutuhkan oleh pembelajar guna mengarungi hidup dan kehidupan mereka. Sebab itu, perlu
diwujudkan sekolah berorientasi kompetensi, kurikulum berbasis kompetensi, pembelajaran berfokus
kompetensi, dan asesmen berbasis kompetensi. Ini menuntut dilakukannya reformasi dan rekonstruksi
sekolah, kurikulum, dan pembelajaran serta penilaian sekalipun tanpa harus mengubah sistem
pendidikan nasional.

Kata kunci: globalisasi, pengetahuan, kompetensi, kurikulum, dan pendidikan sekolah.

Dua kekuatan utama yang berjalin berkelindan sekarang sedang melanda dunia manusia termasuk
manusia Indonesia, yaitu globalisasi dan pengetahuan. Tak dapat disangkal, globalisasi yang dilandasi
dan diprasyarati oleh pengetahuan telah menjadi kenyataan empiris-sosiologis bagi semua wilayah di
dunia, tak terkecuali Indonesia. Globalisasi berbasis pengetahuan itu telah menimbulkan sejumlah
kecenderungan utama yang harus ditanggapi oleh setiap individu, masyarakat, dan bangsa termasuk
berbagai negara. Guna menanggapi dan mengelola berbagai kecenderungan utama itu, keberadaan,
kedudukan, fungsi, dan peranan kompetensi demikian utama, penting, dan strategis. Karena itu, setiap
individu, masyarakat, dan bangsa perlu memiliki atau menguasai standar minimal kompetensi yang
secara efektif diharapkan dapat digunakan untuk menanggapi dan mengelola kecenderungan utama
globalisasi. Dalam rangka pengasaan standar minimal kompetensi itu, jelaslah pendidikan sekolah
berfungsi dan berperan sangat strategis selain ikut bertanggung jawab. Dimaksudkan untuk memberikan
gambaran ringkas ihwal hal tersebut, secara konseptual tulisan ini mencoba memaparkan ihwal (1)
kecenderungan-kecenderungan dalam era globalisasi, (2) keutamaan kompetensi, dan (3) tugas dan
tanggung jawab pendidikan sekolah.
KECENDERUNGAN DALAM ERA GLOBALISASI

Puluhan tahun lalu, para pakar sudah memaklumkan datangnya era globalisasi yang membuat dunia
menjadi sebuah dusun global (global village) karena antar bagian-bagian dunia ini, baik pelosok terpencil
maupun perkotaan sudah saling berhubungan dan berkaitan. Pada awal abad XXI sekarang, era
globalisasi sudah menjadi kenyataan tak terbantahkan. Era globalisasi ini disertai dengan makin penting
dan strateginya pengetahuan. Drucker (1999) dan Stewart (1997) telah mencatat bahwa pada masa
sekarang dan lebih-lebih pada masa depan keberadaan, kedudukan, dan peranan pengetahuan sangat
vital, strategis, dan utama. Masa depan manusia dikendalikan, malah ditentukan oleh pengetahuan
sehingga dunia bergantung pada sekaligus berpilar pengetahuan. Oleh karena itu, masa depan manusia
pada abad XXI merupakan abad pengetahuan yang mempersyaratkan kemampuan tertentu yang
canggih. Pada abad pengetahuan, semua hal akan bertumpu dan mempersyaratkan pengetahuan:
ekonomi berbasis pengetahuan, pemerintah berbasis pengetahuan, pekerja berpengetahuan, dan
masyarakat pun berpengetahuan. Implikasinya, modal pengetahuan menjadi sangat penting, aset paling
berharga, dan sekaligus dibutuhkan oleh semua orang selain modal alam dan modal sosial. Tanpa modal
pengetahuan, orang akan terpinggirkan dan menjadi pecundang. Dengan modal pengetahuan yang baik,
orang akan banyak berkiprah dan menjadi pemenang dalam berbagai aktivitas kehidupan. Ini
menunjukkan bahwa brainware sangat strategis dibandingkan hardware dan software. Pertanyaan kita
sekarang adalah: modal pengetahuan apakah yang sesuai (cocok) dengan dan dibutuhkan pada masa
depan? Jawaban pertanyaan ini dapat diketahui dengan melihat kecenderungan-kecenderungan pada
masa depan.

Dalam konteks terbentuknya abad pengetahuan, Dryden dan Vos (1999) melihat ada 16 kecenderungan
utama yang akan membentuk masa depan kita. Kecenderungan yang dimaksud adalah (a)
berkembangnya komunikasi serba instan, (b) timbulnya dunia tanpa batas-batas ekonomi, (c) terjadinya
empat lompatan besar menuju ekonomi dunia tunggal [menyatu], (d) berkembangnya perdagangan dan
pembelajaran melalui internet, (e) berkembangnya masyarakat layanan baru, (f) terjadinya penyatuan
antara yang besar [global] dan yang kecil [lokal], (g) makin kuatnya era baru kesenangan dan
kegembiraan, (h) terjadinya perubahan bentuk kerja secara mendasar, (i) makin tampilnya perempuan
sebagai pemimpin, (j) makin banyaknya penemuan terbaru tentang otak yang sangat mengagumkan, (k)
menguatnya nasionalisme budaya, (l) adanya kelas bawah yang makin besar, (m) semakin besarnya
jumlah manula atau lansia, (n) terjadinya ledakan praktik-mandiri-otonom, (o) berkembangnya
perusahaan kooperatif, dan (p) bangkitnya kekuatan dan tanggung jawab individu (kemenangan
individu). Kecenderungan ini dapat ditambah pula dengan kecenderungan makin pudarnya pamor dan
kejayaan kecerdasan kognitif (IQ) pada satu pihak dan pada pihak lain makin berkibarnya pamor dan
kejayaan kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan adversitas (AQ), kecerdasan
majemuk (MI), dan atau kecerdasan emosional-spiritual (ESQ). Sesungguhnya berbagai kecenderungan
utama tersebut sudah tampak kuat gejalanya sekarang.
Sementara itu, pada sisi lain sekarang kita melihat masa depan manusia makin dilanda sekaligus dibekap
atau digenggam oleh globalisasi yang makin bertubi-tubi. Anthony Giddens menengarai bahwa
globalisasi ini telah membawa dunia dan masa depan manusia berlari kencang tunggang langgang, lepas
kendali alias senantiasa merucut. Manusia diberbagai belahan dunia kini berada dalam runaway world,
kata Giddens. Di sini manusia termasuk bangsa di Indonesia akan dihadapkan pada empat kenyataan
atau kecenderungan pokok dalam kehidupan sehari-hari mereka, yaitu (a) kecepatan perubahan yang
demikian dahsyat dan susah diperkirakan jalan, proses, dan dampaknya termasuk kecepatan perubahan
informasi dan isi pengatahuan, (b) kebaruan segala sesuatu yang berlangsung sedemikian cepat dan kilat
[termasuk kebaruan informasi dan isi pengetahuan], (c) keusangan segala sesuatu yang sedemikian cepat
dan kuat [termasuk keusangan informasi dan isi pengetahuan], dan (d) kesesaatan segala sesuatu dalam
kehidupan manusia sehari-hari [termasuk kesesaatan informasi dan isi pengetahuan]. Kecendrungan ini
jelas merombak kehidupan secara mendasar pada masa sekarang, lebih-lebih pada masa depan. Jika
memiliki kemampuan memadai, maka manusia akan dapat mengurangi globalisasi dengan baik jika tidak
memiliki kemampuan yang tidak memadai, maka manusia akan terserang gegar budaya dan atau gegar
masa depan (future shock).

Selain itu harus disadari bahwa globalisasi telah menyorongkan masa dunia manusia yang mungkin kecil,
lokal, dan terbatas ke dalam sistem-sistem dunia yang besar dan tidak terbatas. Karena globalisasi yang
mengandalkan integrasi dan jaringan sistem memang benar-benar memadatkan dunia ke dalam satu
ruang tunggal dan mengintensifkan kesadaran dunia sebagai kesatuan. Siapapun dituntut sadar dan
ikhlas memasuki berbagai jaringan sistem dunia, misalnya jaringan sistem budaya, sistem ekonomi,
sistem bisnis-moneter atau sistem pasar, sistem politik, sistem komunikasi dan transportasi, dan sistem
pengetahuan. Kecuali itu, siapa pun dituntut lapang dada menerima kenyataan pudarnya berbagai
sistem lokal dan nasional, misalnya sistem negara-bangsa dan kedaulatan politik dan ekonomi suatu
bangsa. Hal ini mengakibatkan (a) hal-hal pribadi dan lokal dapat menjadi urusan umum dan global dan
(b) hal-hal umum dan global juga menjadi urusan pribadi dan lokal. Sebagai contoh, soal orang tua
mencubit anak sendiri bisa menjadi urusan global [karena dianggap pelanggaran hak anak] dan
sebaliknya soal gaya makan di Mc. Donalds menjadi urusan lokal [karena dianggap bagian dari gaya
hidup siapa saja]. Ini menunjukkan bahwa globalisasi demikian rumit dalam kenyataan hidup sehari-hari
manusia termasuk di Indonesia.

Keutamaan [Sentralitas] Kompetensi

Paparan tersebut di atas mengimplikasikan lima hal pokok berikut.


Pertama, dunia kehidupan sangat terbuka dan membentuk jaringan-jaringan kerja sedemikian kompleks
dalam sistem dunia. Ini membuat seseorang tidak cukup hanya berkompetisi (bersaing), tetapi juga perlu
berkooperasi dan bersinergi (bekerja satu sama lain). Dengan kata lain, dituntut untuk mampu
berkompetisi atau bersaing sekaligus bersanding atau berteman. Hal ini mengharuskan seseorang
memiliki keunggulan kompetitif sekaligus kemampuan bersanding atau bekerja sama. Konsekuensi
logisnya, kompetensi-kompetensi baru abad pengetahuan perlu dikuasai. Selain itu, pola hubungan-
hubungan lama menjadi usang sehingga perlu diganti dengan pola hubungan-hubungan baru. Ini semua
perlu diantisipasi.

Kedua, mutu kompetensi yang berisi pengetahuan, kecakapan hidup, keyakinan dan nilai menjadi sangat
penting dan utama dalam era globalisasi yang hanya salah satu kecenderungan era sekarang dan masa
depan. Tanpa kompetensi tertentu yang tinggi dan memadai bagi kehidupan global niscaya seseorang
akan menjadi pecundang. Jumlah dan banyaknya informasi dan materi yang dimiliki oleh seseorang tidak
memadai lagi untuk dapat berkiprah dalam kehidupan global (sistem dunia) yang telah bersimbiose atau
bersinergi dengan kecenderungan lain. Informasi dan materi tidak banyak berguna kalau manusia tidak
mampu manganalisis, mengolah, memaknai, memberi arti, dan memberi konteks sehingga menjadi
sehimpunan pengetahuan, kecakapan, keyakinan, dan nilai. Ini menunjukkan bahwa informasi dan
materi hanya bahan dasar bagi kompetensi, sedang kompetensi merupakan wujud dan hasil daya
manusia “menggarap” informasi dan materi. Setiap orang dituntut memiliki daya membentuk
kompetensi tersebut! Dengan daya membentuk kompetensi itulah manusia dapat eksis dengan baik
dalam era globalisasi. Dalam era globalisasi ini, sekarang memang sudah diambang pintu besar bernama
era kompetensi, dan meninggalkan rumah besar bernama era reformasi.

Ketiga, kompetensi holistis, utuh, dan general atau lintas-disipliner dibutuhkan atau diutamakan untuk
sukses berkiprah dalam kegiatan dan kehidupan global karena terdapat kecenderungan konvergensi
berbagai bidang kehidupan sehari-hari dan ilmiah. Kompetensi fragmentatif, terpisah-pisah, dan
spesialistis tidak memadai dan andal lagi untuk bekal berkiprah dalam kegiatan dan kehiduapan global
yang berlari tunggang langgang. Tak heran, Kiyosaki (2002) berseru: Jadilah generalis kalau ingin sukses,
jangan hanya jadi spesialis! Ini pernyataan keras atau radikal. Kalau dilunakkan mungkin pernyataannya
bisa begini: Jadilah orang yang berkembang minat dan keahliannya, jangan hanya “itu-itu melulu” karena
dunia terus berubah dengan sangat cepat!. Ini menuntut setiap orang untuk terus menerus dan
berkelanjutan merencanakan dan merencanakan ulang minat, karir, profesi, dan kompetensi. Orang yang
tidak mau berpikir ulang dan merencanakan ulang apa yang akan dijalaninya akan menjadi “penonton
pasif” dari dunia yang kencang berlari. Mengutip judul sebuah novel dan film: orang tersebut bakal
selalu ketinggalan kereta! Jadi, persyaratan kompetensi senantiasa berubah sehingga orang harus selalu
memperbaharui kompetensinya.
Keempat, sebagai konsekuensi logis implikasi tiga, belajar secara berkelanjutan, terus menerus, dan
sepanjang hayat sangat diperlukan sehingga kemampuan belajar menjadi conditio sine qua non dalam
diri setiap orang. Setiap orang harus menjadi manusia pembelajar agar kompetensi yang dimiliki tetap
mutakhir, cocok, fungsional, dan aktual dengan kebutuhan dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Demikian
juga setiap lembaga, baik lembaga bisnis, lembaga keluarga, lembaga sosial maupun lembaga-lembaga
lain harus menjadi organisasi pembelajaran sehingga lembaga-lembaga tersebut tetap dapat bertahan
dan berfungsi dengan baik. Dengan demikian, diharapkan keusangan sekaligus ketakcocokan kompetensi
dapat dihindarkan pada satu sisi dan pada sisi lain kebaruan sekaligus kemutakhiran kompetensi dapat
diraih dan dikembangkan. Sekarang semangat dan tekad menjadi manusia pembelajar(an) dan organisasi
pembelajaran harus dipacu lebih keras lagi kompetensi yang mutakhir, baru, cocok, dan fungsional
dimiliki oleh setiap orang dan organisasi sehingga mereka mampu eksis di tengah kecamuk perubahan
yang tidak beraturan (turbulensi perubahan).

Kelima, sekarang kompetensi-kompetensi baru dibutuhkan oleh setiap orang dan organisasi di Indonesia
karena kini sedang terjadi berbagai perubahan secara mendasar dan besar-besaran di Indonesia dan di
dunia. Perubahan yang secara mendasar besar-besaran di Indonesia dan di dunia. Perubahan yang
dimaksud antara lain (i) peruabahan jenis dan sifat pekerjaan, (ii) perubahan ekonomi-bisnis-moneter,
(iii) perubahan sosial budaya, (iv) perubahan sosial pilitik, dan (v) perubahan ekonomi dan transportasi
selain (vi) perubahan ekologis dan klimatologis dan (vii) peruabahan pola-pola hubungan dan
komunikasi. Sebagai contoh, dalam bidang sosial politik terjadi perubahan berupa makin melemahnya
peranan negara dalam satu sisi dan makin menguatnya masyarakat sipil pada sisi lain. Demikian juga di
bidang ekonomi sedang terjadi perubahan berupa makin kuatnya sektor swasta pada satu sisi dan pada
sisi lain makin menurunya peran negara. Selanjutnya, di bidang hubungan dan komunikasi sekarang
terjadi perubahan ke arah hubungan dan komunikasi berbentuk jaringan, bukan lagi sekuensial. Ini
semua membuat setiap orang dan organisasi tidak bisa lagi bergantung pada peran negara (misalnya:
berkarir menjadi pegawai negeri), melainkan mereka harus bergantung pada peran sektor swasta
(misalnya: berkarir menjadi pekerja independen). Dalam cashflow quadrant, Kiyosaki (2000) sampai-
sampai menyebut karir sebagai pegawai negeri (employee) tidak berpeluang maju, kurang sejahtera, dan
merupakan pilihan terburuk dibandingkan karir sebagai pekerja mandiri atau profesional (self-
employed), wirausaha mandiri (bussiness owner), dan investor. Ini mengimplikasikan, berbagai
kompetensi baru dibutuhkan dan perlu dikuasai oleh banyak orang dan organisasi agar mampu
merespon, mengantisipasi, dan menindak lanjuti perubahan yang terjadi.

Paparan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan kompetensi sangat utama atau sentral pada era
globalisasi dan abad pengetahuan. Tegasnya, dalam era globalisasi berbasis pengetahuan, kompetensi
lebih utama dan penting dari pada materi atau informasi. Dikatakan demikian karena kompetensi disini
merupakan paduan dan keutuhan antara pengetahuan, kecakapan, keyakinan. Dan nilai-nilai fungsional
untuk berpikir, bernalar, bertindak, dan berbuat dalam hidup dan kehidupan sehari-hari secara luas yang
“bahan dasar”nya informasi atau materi. Keutamaan atau sentralitas kompetensi tersebut membuat
semua orang mengubah orientasi hidup, yaitu dari mengandalkan meteri dan isi informasi ke arah
mengandalkan kompetensi.

Agar mampu hidup dengan baik, bermakna, dan mulia pada era globalisasi, setiap oarang perlu memiliki
standar minimal kompetensi. Pertanyaan kita bagaimanakah standar (minimal) kompetensi yang
dibutuhkan pada era globalisasi tersebut? Hal ini sesungguhnya susah dijawab karena perlu dilakukan
kajian komprehensif dan empiris. Bahkan idealnya perlu dilaksanakan kajian kebutuhan (need
assesment) masyarakat akan kompetensi yang secara minimal perlu dikuasai. Namun, sebagai kira-kira
dapat dikemukakan di sini bahwa standar minimal kompetensi pada era globalisasi terdiri atas (1)
kompetensi intelektual, (2) kompetensi [intra] personal, (3) kompetensi komunikatif, (4) kompetensi
sosial-budaya, (5) kompetensi kinestetis-vokasional, dan (6) kompetensi hidup secara multi kultural.

1) Kompetensi intelektual antara lain berupa kemampuan berpikir dan bernalar, kemampuan kreatif
dan inovatif (memperbaharui, meneliti, dan menemukan), kemampuan memecahkan masalah, dan
kemampuan mengambil keputusan strategis yang mendukung kehidupan global.

2) Kompetensi (intra) personal atara lain berupa kemandirian, ketahan bantingan, keindependenan,
kreativitas dan produktivitas, kejujuran, keberanian, keadilan, keterbukaan, mengelola diri sendiri, dan
menempatkat diri sendiri secara bermakna serta orientasi pada keunggulan yang sesuai dengan
kehidupan global.

3) Kompetensi komunikatif antara lain berupa kemahir wacanaan, kemampuan sarana komunikasi
mutahir, kemampuan menguasai suatu bahasa, kemampuan bekerja sama, dan kemampuan
membangun hubungan-hubungan dengan pihak lain yang mendukung kehidupan global dalam satu
sistem dunia.

4) Kompetensi sosial-budaya antara lain berupa kemampuan hidup bersama orang lain, kemampuan
memahami dan menyelami keberadaan orang / pihak lain, kemampuan dan memahami kebiasaan orang
lain, kemampuan berhubungan atau berinteraksi dengan pihak lain, dan kemampuan bekerja sama
secara multikultural.

5) Kompetensi kinestetis-vokasional antara lain berupa kecakapan mengoperasihkan sarana-sarana


komunikasi mutahir, kecakapan melakukan pekerjaan mutahir, dan kecakapan menggunakan alat-alat
mutahir yang mendukung suksesnya berkiprah di dunia global.
6) Kompetensi hidup bersama secara multikultural antara lain berupa kemampuan bermasyarakat
secara mulitikultural, kecakapan bekerja secara multikultural, kecakapan bertingkah laku secara
multikultural, dan kemahiran bersopan santun lintas kultural serta menyesuaikan di tempat-tempat yang
berbeda.

Tugas Dan Tanggung Jawab Pendidikan Sekolah

Pendidikan sekolah, keluarga, dan perusahaan memiliki tugas, fungsi, dan tanggung jawab utama dalam
membentuk dan menguatkan kompetensi-kompetensi tersebut. Dalam hubungan ini keberadaan,
kedudukan, dan fungsi pendidikan sekolah sangat strategis dan utama dibandingkan pendidikan keluarga
dan perusahaan. Ini berarti, lembaga-lembaga pendidikan sekolah bertugas dan bertanggung jawab
utama dalam melaksanakan pembentukan kompetensi-kompetensi tersebut, bukan melakukan
penerusan materi. Semua lembaga pendidikan sekolah seyogyanya sadar akan tugas dan tanggung jawab
pembentukan kompetensi. Sudah bukan masanya lagi lembaga pendidikan sekolah hanya melakukan
penerusan materi. Sekolah yang semata-mata berorientasi pada penerusan materi adalah sekolah yang
ketinggalan zaman, sebaliknya sekolah yang berwawasan dan berorientasi pada pembentukan
kompetensi adalah sekolah yang akan eksis dan relevan bagi masa depan. Atau aspek yang terkait
dengan pembelajaran. Untuk itu, perlu dikembangkan kurikulum berbasis kompetensi yang kemudian
ditopang oleh pembelajaran berbasis kompetensi dan asesmen berbasis kompetensi. Dalam hubungan
ini pendidikan (pembelajaran) sekolah memiliki tempat dan peranan strategis dan taktis untuk
mengembangkan sekaligus melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis
kompetensi dan asesmen berbasis kompetensi. Struktur program, sistematika program, isi program, dan
materi program dalam kurikulum berbasis kompetensi perlu lentur, berarti, dan cocok dengan kebutuhan
kehidupan globalisasi selanjutnya, pembelajaran berbasis kompetensi perlu berlangsung secara nyaman,
menyenangkan, multisensori, kompetensi masing-masing orang dapat berbentuk dan berkembang
optimal. Adapun asesmen berbasis kompetensi perlu dilakukan secara otentik, beragam, dan
komprehensif; tidak terbatas tes di dalam kelas saja, tetapi bisa tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas lain di
luar kelas.

Penutup

Seluruh uraian di atas mengisyaratkan bahwa kompetensi harus dikuasai oleh tiap-tiap individu,
masyarakat, dan bangsa agar mampu hidup, berkiprah, dan bertindak sebaik-baiknya dalam era
globalisasi berbasis pengetahuan. Penguasaan kompetensi yang dibutuhkan dalam era globalisasi
tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan sekolah, masyarakat, dan keluarga. Dalam hubungan ini,
pendidikan sekolah memiliki tugas dan tanggung jawab besar dalam membentuk kompetensi yang
dibutuhkan. Hal ini menuntut adanya reformasi dan rekonstruksi sekolah, kurikulum, pembelajaran, dan
penilaian. Reformasi dan rekonstruksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dengan merombak
sistem pendidikan yang ada, dan (2) dengan tanpa merombak sistem pendidikan yang telah ada. Cara
pertama membutuhkan ongkos intelektual, sosial pedagogis, dan finansial yang relatif besar. Sedangkan
cara yang kedua lebih menghemat ongkos intelektual, sosial, pedagogis, dan finansial. Adapun cara yang
akan ditempuh, reformasi dan rekonstruksi tersebut membutuhkan uluran tangan dan sekaligus
partisipasi proaktif jajaran birokrasi pendidikan, tenaga kependidikan, dan pakar-pakar pendidikan,
bahkan juga berbagai pihak yang terkait dengan pendidikan sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Dryden, G. Dan Jeanette, 2001. Revolusi Cara Belajar. Suntingan Ahmad Baiquni. Bandung: Penerbit
KAIFA.

Drucker, P. 1999. New Realities. Jakarta: Penerbit Elex Komputindo.

Kiyosaki, R. T. 2000. Cashflow Quadrant. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Kiyosaki. R. T. 2000. Rich Kid, Smart Kid: Memberi Anak Anda Start Awal Meraih Kebebasan Finansial.
Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Penulis

DJOKO SARYONO, Staf Pengajar Fakultas Sastra dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang
(UNM).

Sumber
Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Nomer/Tahun : 1/17, Februari 2004, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Islam Malang (UNISMA).

Kontributor

Identitas Kontributor

M. Anas Mahmudi, Jurusan Bahasa Inggris, Fkip Universitas Islam Malang (UNISMA).

SLAMIC HOME-SCHOOLING

Posted on Juli 6, 2007 by learningathome

” Upaya mengembalikan fungsi rumah sebagai wahana tarbiyah Islamiyyah sebagaimana diamalkan
Salaful Ummah”

Oleh : Abu Muhammad Ade Abdurrahman

Home-Schooling secara harfiah berarti : bersekolah di rumah.

Home-Schooling diselenggarakan ketika orangtua berkeberatan atau merasa kesulitan menyekolahkan


anaknya, baik karena alasan jarak (karena tinggal di pedalaman, misalnya) ataupun karena alasan-alasan
tertentu lainnya.

Mengapa disebut Home-Schooling (bersekolah di rumah), bukan Home-Learning (belajar di rumah) ?


Padahal istilah yang kedua sebenarnya lebih tepat. Barangkali ini adalah bias budaya. Kita maklum, saat
ini bersekolah merupakan tradisi yang sudah sedemikian merata. Hingga kemudian dianggap suatu
kelaziman, atau bahkan keharusan bagi anak-anak.

Karena itu, ketika seseorang mencoba untuk tidak menyekolahkan anaknya maka dia khawatir akan
dianggap telah melakukan ‘pelanggaran terhadap hak asasi anak’.
Untuk itulah, barangkali, para orangtua yang menyelenggarakan pembelajaran anak-anak mereka di
rumah seakan hendak ‘membela diri’, bahwa merekapun sebenarnya menyekolahkan anak-anak mereka
juga. Hanya berbeda lingkungan dan metodenya. Itulah, mengapa kemudian disebut Home-Schooling.
Untungnya, dalam hal ini pemerintah tidak salah kaprah sehingga menetapkan kebijakan : wajib belajar.
Dan tidak menetapkan wajib bersekolah.

Substansi dari bersekolah (schooling) sebenarnya adalah belajar (learning). Belajar dapat dilakukan di
manapun. Bersekolah hanyalah salah satu cara untuk belajar. Jadi, para orangtua tak perlu merasa
bersalah atau rendah diri dengan menjalankan Home-Schooling. Juga, mereka yang menyekolahkan
anaknya ke sekolah massal pun jangan dulu berbangga hati.

Sebab, kalau kita mau lebih menukik pada kedalaman realitas, kita patut mempertanyakan : Apakah
benar bersekolah itu otomatis sama dengan belajar ? Jawabannya : Belum tentu !

Mari kita pelajari faktanya ! Saat ini, berapa puluh juta lulusan sekolah menengah atas dan perguruan
tinggi ? Di sisi lain, berapa puluh juta pula yang berstatus pengangguran ? Padahal, betapa besar karunia
Allah berupa kekayaan alam di negeri ini. [1] Apa yang mereka pelajari di sekolah ? Inilah salah satu fakta
bahwa belajar di sekolah belum tentu efektif. Dengan kata lain bersekolah belum tentu berarti belajar.

Dalam banyak kasus, bersekolah bahkan menjadi penyebab kegagalan hidup seorang anak. Tidak sedikit
anak yang terjerumus kepada hal-hal negatif yang menghancurkan hidup mereka, justeru mereka
dapatkan lewat pergaulan di sekolah, baik dari (oknum) guru-guru mereka atau dari (oknum) kawan-
kawan mereka.

Tanpa perlu penelitian mendalam, banyak yang menilai bahwa metode pembelajaran dan sistem
evaluasi yang sekarang berjalan pun cenderung menciptakan mental-block (hambatan mental) yang
menghambat laju kreatifitas anak, padahal justeru hal itu amat dibutuhkan di era informasi global saat
ini.

Sekiranya otak anak terus menerus hanya dijadikan keranjang informasi iptek (itupun hanya sebatas
untuk keperluan menyelesaikan soal-soal ujian). Maka dapat dibayangkan, betapa akan kesusahannya
dia mengejar laju pertambahan informasi iptek yang terus berkembang dalam hitungan jam, atau
bahkan menit.

Mengapa tidak terpikirkan oleh kita – para orangtua – untuk melatih dan mengasah otak mereka yang
ajaib itu agar mampu memola ulang informasi tersebut, sehingga akhirnya mereka mampu menciptakan
informasi baru ?

Merangsang anak untuk bertanya ‘Apa .?’ , ‘Mengapa . ?’ dan ‘Bagaimana. ?’ adalah hal yang penting
sekali. Keingintahuan adalah tabiat dasar mereka.

Namun di samping itu, kita pun perlu merangsang anak untuk bertanya : ‘Mengapa tidak .?’ dan
‘Bagaimana jika .?’. Agar mereka menjadi insan-insan kreatif. Jangan keliru, kreatifitas pun sebenarnya
adalah bakat alamiah setiap anak, jika saja para orangtua tidak malas mengasahnya. Atau, malah menyia-
siakannya.

Sayang sekali, keingintahuan (curiosity) dan kreatifitas (creativity) – dua mutiara terpendam dalam jiwa
anak – saat ini justeru banyak ditelantarkan di sekolah massal (formal). Wajar kalau Robert T. Kiyosaki
berteriak lantang : “If You Want To Be Rich And Happy, Don’t Go To School !”.

Ada alasan lain : “Keunikan”. Anak itu unik! Cara belajar mereka juga unik, seunik sidik jari mereka; yakni
masing-masing anak secara individual memiliki pembawaan dan cara yang khas dalam menyerap serta
menggali pengetahuan. Jadi, bagaimana mungkin anak-anak dapat menemukan cara belajar mereka
yang unik, jika mereka dituntut harus “berseragam” di sekolah ?

Berdasarkan penelitian [2] bahwa seseorang menjadi jenius adalah pada saat dia mampu menemukan
sendiri cara belajarnya yang unik dan orisinil. [3] Seperti dikatakan Enstein : “Saya tidak memiliki bakat-
bakat khusus, tetapi hanya memiliki rasa keingintahuan yang besar sekali.”.

Keingintahuan yang sangat besar – dilandasi keikhlasan – jugalah nampaknya yang membuat Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mampu bersabar duduk berjam-jam lamanya di sudut
sepi perpustakaan. Beliau lakukan itu berpuluh-puluh tahun lamanya hingga akhirnya menjadi jenius di
bidang hadits dan ilmu-ilmu syar’i lainnya. Menjadi mujaddid abad ini sebagaimana diakui ulama besar
yang sezaman dengan beliau, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah.
Namun, agar tidak memunculkan kontroversi yang sia-sia, perlu ditegaskan di sini bahwa :

· Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat profesi


keguruan.

· Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat peran sekolah
formal yang sudah ada dan banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat.

· Kami pun tidak mengklaim bahwa : Home-schooling adalah satu-satunya cara untuk mendidik Anak.

Tetapi . yang kami yakini :

- Home-Schooling adalah : Sarana paling efektif dalam upaya membangun hubungan baik dan hangat
dengan Anak. Mendampinginya saat ia menjalani hari-harinya untuk terus tumbuh dan berkembang
menjadi manusia dewasa.

- Home-Schooling adalah : Alternatif terbaik dalam mendidik Anak, memelihara fithrahnya serta
mengembangkan potensinya yang unik. Karena berpijak pada orisinalitas dan individualitasnya sebagai
hamba Allah.

- Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk menunaikan secara
optimal peran dan tugas keorangtuaan yang nanti akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan
Allah.

- Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk mengembangkan


potensi orangtua dan anak dalam hal penguasaan ilmu syar’i, memperbaiki akhlaq diri, membina
keluarga sakinah, mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisai, bahkan
mengembangkan potensi ekonomi.
ISLAMIC HOME-SCHOOLING

Islamic Home-Schooling (Selanjutnya akan disingkat IHS) adalah Home-Schooling yang diselenggarakan
bertitik tolak dari pertimbangan syar’i, yakni kewajiban orangtua untuk mengasuh dan mendidik anak,
serta dijalankan dengan mengikuti tuntunan AlQuran dan AsSunnah sebagaimana dipahami dan
diamalkan para pendahulu ummat ini yang shalih (AsSalafush Sholih).

Tujuannya adalah :

1. Terciptanya keluarga sakinah; yang di dalamnya semua hak dan kewajiban tertunaikan dengan sebaik-
baiknya

2. Terbentuknya generasi penerus yang bertauhid, berpegang kepada sunnah, berakhlaq mulia,
berbadan sehat, multi-cerdas, kreatif dan mandiri serta memiliki semangat untuk membela Islam dan
kaum muslimin

SUBYEK IHS

IHS PERMATA HATI dimaksudkan bagi anak usia 0 – 13 tahun secara umum. Atau sampai anak berusia 16
tahun bagi orangtua yang memiliki kemampuan mengajarkan gramatika Bahasa Arab (kitab gundul) dan
ilmu-ilmu syar’i tingkat menengah. Adapun setelah anak memasuki usia baligh maka anak harus
diarahkan untuk melakukan rihlah ilmiyyah guna menimba ilmu dari para ulama, jika hal itu
memungkinkan (dan memang harus diupayakan).

MENGAPA “ISLAMIC HOME-SCHOOLING” ?

Menyelenggarakan IHS membutuhkan motivasi yang luar biasa besar dari pihak orangtua. Motivasi akan
muncul ketika seseorang dengan sadar dan yakin memahami alasan mengapa dia melakukan sesuatu.
Maka kita dituntut untuk memiliki prinsip.
Ada beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan prinsip dalam menyelenggarakan IHS :

1. Pertimbangan syar’i. Dalam syari’at, kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab orangtua.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At Tahrim : 6)

“Setiap anak yang dilahirkan berada di atas fithroh (Islam), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan
dia yahudi atau nasrani atau majusi.” (HSR. Malik, Ahmad, AlBukhori, Muslim, Abu Daud, AtTirmidzi)

2. Pertimbangan fakta sejarah. Banyak kisah dalam AlQuran yang menggambarkan peran orangtua dalam
mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. (Baca : Qs. Maryam 54-55, QS. Luqman : 13) Interaksi
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cucu beliau, Hasan dan Husain, atau dengan sepupu
beliau, Ibnu Abbas, atau dengan putera asuhnya yang berkhidmat kepada beliau, Anas bin Malik juga
dapat kita jadikan referensi. Dari kalangan ulama Islam, tercatat misalnya Ibnul jauzi yang menulis kitab
khusus untuk puteranya yang berisi petunjuk menuntut ilmu secara lengkap, Laftatul kabid fi nashihatil
walad (Kitab ini patut menjadi rujukan dalam IHS).

3. Pertimbangan naturalitas. Perhatikanlah, anak ayam belajar tentang hidup kepada induknya. Anak
kucing belajar tentang hidup kepada induknya. Bayi ikan paus belajar tentang hidup berpuluh tahun pada
induknya. Tapi lihatlah si ujang dan si nyai. Kepada siapa mereka belajar tentang hidup ? Ah kasihan
sekali, mereka belajar tentang hidup kepada orang lain yang tidak benar-benar mengenalnya !

4. Pertimbangan orisinalitas dan individualitas anak. Orisinalitas (keaslian) seorang anak adalah : fithroh,
keingintahuan dan kreatifitasnya. Sedangkan individualitas (ke-diri-an), meliputi qolb dan jasad (contoh
yang jelas : sidik jari, suara dan DNA). Orisinalitas dan individualitas menyebabkan tiap anak unik dalam
segala hal, termasuk cara belajar mereka. Agar mereka dapat menemukan cara belajar mereka yang unik,
anak wajib mendapatkan kebebasan. [4]

DARI MANA KITA MEMULAI ?


a. Tash-hihun Niyyah (memperbaiki niat)

Mendidik diri dan keluarga adalah ibadah. Ada dua rukun ibadah, salah satunya adalah niat yang ikhlash.
Rukun yang lain : muwaafaqotusy-syar’i, yakni cocok dengan aturan syari’at. Jika salah satu rukunnya
rusak maka amal akan menjadi sia-sia.

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia, Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami
kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan
memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (terjauhkan dari rahmat Allah) QS. AlIsra: 18

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang
telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud : 15-16)

Niatkan ber-IHS dalam rangka menjalankan kewajiban syar’i dengan mengharap keridhoan Allah dan
jannah-Nya.

b. Bagi yang masih lajang dan berniat ber-IHS, maka berhati-hatilah memilih calon ibu/ayah dari anak
anda. Tetapkan pilihan Anda itu di atas dasar Din. Jangan silau dengan penampilan zhahir.

c. Keluarga sakinah sebagai prasyarat

Salah satu keuntungan ber-IHS adalah kita memiliki kemauan kuat dan terprogram untuk mewujudkan
Keluarga Sakinah. Hal yang mungkin terabaikan jika kita melempar tanggung jawab mendidik anak (usia
0-13 thn) kepada orang lain. Alasannya sederhana. Saat kita memutuskan ber-IHS, kita ingin suasana
lingkungan rumah tertata se-Islami mungkin. Kita takut anak kita mendapat pengaruh buruk dari
kebiasaan buruk kita selaku orang tua. Maka selalu ada upaya untuk memperbaiki diri dan keluarga.
Apa itu Keluarga Sakinah ? Definisi yang paling teknis adalah : Keluarga yang di dalamnya, semua hak dan
kewajiban tertunaikan dengan baik. Syaikh Muhammad Bin Sholih Al-Utsaimin dalam kitabnya,
“Huququn da’at ilaihal fithroh wa qorrorot-hasy syari’ah”, menerangkan 10 hak yang wajib ditunaikan,
yakni : Hak-hak Allah, hak-hak Nabi, hak-hak orangtua, hak-hak anak, hak-hak kerabat, hak-hak suami-
istri, hak-hak pemimpin dan rakyat, hak-hak tetangga, hak-hak kaum muslim secara umum, hak-hak non
muslim.

Semua hak ini wajib dipelajari secara rinci agar bisa ditunaikan dengan benar dan sempurna. Langkah
pertama adalah mempelajari. Langkah kedua menerapkannya. Langkah ketiga terus-menerus
mengevaluasi sisi mana yang belum tertunaikan. Mewujudkan keluarga sakinah menjadi bukan khayalan
lagi, melainkan kesungguh-sungguhan yang berkesinambungan.

d. Dengan sepenuh hati menyukai anak anda. Senang bersamanya, sedih berpisah darinya. IHS menuntut
komitmen total dari orangtua, khususnya ibu. IHS bukan sekedar memindahkan belajar dari sekolah ke
rumah melainkan sebuah pola interaksi ideal orangtua-anak yang dibalut kehangatan dan kelembutan.

e. Menjaga rumah dari syetan

Kita adalah ‘keluarga besar’ Nabi Adam ‘alaihis salam. Apa yang menimpa beliau bersama isterinya,
Hawa, adalah bagian dari sejarah dan hidup kita hari ini. Adam adalah bapak kita dan Hawa adalah ibu
kita, dan kita mengetahui apa yang telah menimpa mereka diakibatkan kedengkian iblis. Membaca ulang
kisah awal penciptaan manusia akan membantu kita memahami – atau tepatnya : selalu tersadarkan –
tentang asas pendidikan Islami yang sebenarnya. Maka kenalilah iblis dan tipu dayanya lalu jadikanlah
dia musuh untuk diperangi.

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka jadikalah ia musuh(mu), Karena Sesungguhnya
syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-
nyala.” (QS. Fathir : 6)

Beberapa kiat menjaga rumah dari syetan :


1. Perbanyak melakukan sholat di rumah [5] , 2. Perbanyak membaca Al Quran di rumah, 3. Biasakan
dzikir pagi dan sore, 4. Jaga adab-adab di rumah yang di dalamnya ada bacaan-bacaan yang disyari’atkan,
5. Bersihkan rumah dari gambar atau bentuk-bentuk salib, 6. Bersihkan rumah dari gambar-gambar
hewan dan manusia, 7. Bersihkan rumah dari patung hewan dan manusia, 8. Bersihkan rumah dari suara
lonceng, 9. Bersihkan rumah dari suara musik, 10. Jangan biarkan anjing berkeliaran di sekitar rumah. 11.
Bersihkan rumah dari kemungkaran.

f. Menciptakan lingkungan rumah yang kondusif : aman, sehat serta penuh daya-rangsang terhadap
kreatifitasnya

Tentang kriteria aman, sehat dan penuh daya rangsang dapat dipelajari lebih lanjut dari beragai
referensi. Hanya saja ada 2 prinsip yang perlu dicatat :

Pertama, lebih baik membatasi lingkungan daripada membatasi anak. Kedua, kurangi aturan (omelan-
omelan) dengan cara menetapkan tempat tertentu untuk barang tertentu kemudian beri label dan
tempel aturan singkat yang jelas dan dapat dibaca anak.

g. Memiliki kemauan keras untuk mempelajari baca tulis AlQuran dan ilmu-ilmu syar’i tingkat dasar

Dapat dikatakan bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13 tahun (usia
ibtida-iyyah) adalah apa yang juga wajib diketahui semua muslim dan muslimah. Maka tidak ada alasan
untuk menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak memiliki anak. Apalagi jika
kita memiliki anak. Jelaslah ber-IHS merupakan peluang emas bagi kita untuk meningkatkan kwalitas
keislaman kita.

h. Mempelajari keterampilan mendidik dengan cinta

Peran orangtua dalam mendidik anak persis seperti petani yang menanam padi di sawah. Yang harus
dikerjakan dan selalu diperhatikan ada 5 hal :

1. Mempelajari ilmu tentang bercocok tanam (poin g dan h)


2. Memilih benih yang unggul (poin b)

3. Mempersiapkan lahan dengan mencangkul dan membajak (a, d, c dan f)

4. Memberikan nutrisi yang cukup : air dan pupuk

5. Menjaga dari hama (poin e)

Selanjutnya petani tidak ikut campur lagi. Bagaimana benih padi itu akan tumbuh, berapa lama berbiji
dan menghasilkan biji seberapa banyak adalah merupakan ketentuan Allah. Petani tidak boleh dan
memang tidak bisa intervensi. Petani sudah berusaha maksimal. Dia akan mendapatkan pahala di sisi
Allah, jika amalnya itu ikhlash dan sesuai dengan syari’at.

Semuanya sudah dijelaskan kecuali nomor 4, memberikan nutrisi. Nutrisi dalam mendidik adalah : Rasa
hormat yang tulus pada anak, Penuh pengertian, Peka terhadap masalah dan kebutuhannya, Menerima
apa adanya dengan lapang dada. Jika menggunakan kosakata populer : Respek, Empati, Sensitif dan
Penerimaan (dapat disingkat RESeP).

APA YANG HARUS DIAJARKAN ?

Untuk matapelajaran umum dapat mengacu pada kurikulum Diknas. Bisa juga menetapkan sendiri.
Menjadikan hidup sebagai kurikulum, tidak ada yang melarang.

Penting untuk selalu diingat : bahwa cara dan pola pendekatan Home-Schooling dalam menyampaikan
materi pelajaran murni berbeda dengan di sekolah. Dalam Home-Schooling yang ditekankan adalah
memilih cara berinteraksi dan berkomunikasi yang tepat serta khas antara orangtua dan anak.
Orangtua dituntut kreatif dalam memilih metode dan media yang membuat interaksi menjadi hangat
dan akrab. Jadikan proses belajar sebagai proses alamiah hubungan orangtua-anak (seperti halnya
melahirkan, menyusui dan memberi makan). Semua momen interaksi orangtua-anak adalah belajar. Jadi
dalam Home-Schooling anda bisa gunakan waktu kapanpun – jika dianggap tepat – untuk memberikan
penguatan-penguatan pada salah satu materi yang menurut anda perlu diperkuat.

Materi Diniyyah yang diajarkan di IHS PERMATA HATI, secara garis besar meliputi :

A. Tarbiyah Syakhshiyyah (Pembinaan Karakter)

B. Tahfizhul Quran

C. Tahfizhul Ahaadits

B. ‘Ulum Syar’iyyah (Ilmu-ilmu Syar’i) : Aqidah, Manhaj, Fiqh, Tafsir, Akhlaq, Tarikh

C. Bahasa Arab

MENEPIS KERAGUAN

· Keraguan Pertama : “Aku tidak bisa menghadapi anak !”

Jawaban : Kala anda memutuskan untuk menikah, apakah tidak terpikirkan bakal memiliki anak ?
Mempelajari keterampilan mengasuh dan mendidik anak adalah konsekwensi yang harus anda pikul dari
keputusan yang anda ambil itu. Kecuali anda seorang egois yang hanya memikirkan kesenangan pribadi
dari sebuah pernikahan ! Perhatikanlah, banyak orang yang mempelajari keterampilan seksual dengan
cara membeli banyak buku referensi atau berkonsultasi kepada pakar seks, meski keterampilan tersebut
amat sangat bersifat primitif dan – maaf – menjijikan kala dibuka di depan publik. Mengapa anda kalah
oleh mereka. Anda bisa bersaing dengan mereka dengan mempelajari keterampilan yang jauh lebih
penting, yakni keterampilan mendidik anak. Banyak wanita khawatir penampilannya tidak lagi menarik di
hadapan suami lalu berusaha keras dengan berbagai cara. Tapi amat sedikit yang khawatir kalau
penampilannya tidak lagi menarik di hadapan anak-anaknya sehingga tidak melakukan apapun untuk
mereka. Ah, tragis sekali !

· Keraguan kedua : “Aku bukan ustadz !”

Jawaban : Ini sudah dijelaskan, bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13
tahun (usia ibtidaiyyah) adalah apa yang juga wajib (fardhu ‘ain) diketahui setiap muslim dan muslimah.
Maka tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak
memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Anda bisa bertanya pada diri sendiri : “Apakah kalau aku
tidak ber-IHS, aku bebas dari kewajiban mempelajarinya ?”.

· Keraguan ketiga : Seorang ibu barangkali berkata : “Kalau aku secara total harus mengurus anak,
bagaimana aku bisa mengembangkan diri ?”

Jawaban : Saya ingin menepis keraguan ini dengan menukil beberapa kalimat yang ditulis seorang wanita
barat yang beragama nasrani, agar kaum muslimat – yang telah dijaga kehormatan dirinya oleh Allah
dengan hijab – dapat merenungkannya (semoga kesimpulan mereka sama dengan saya, bahwa kalimat-
kalimat ini lebih layak diucapkan oleh seorang muslimah yang berhijab) :

“Dalam budaya Barat, terbebas dari tanggung jawab mengasuh anak seringkali dipandang sebagai cara
terbaik dan satu-satunya cara bagi seorang ibu untuk mengembangkan diri. Saya tidak setuju sama sekali
dengan pandangan seperti itu. Waktu yang saya habiskan di rumah, bermain dan belajar bersama anak-
anak, adalah masa paling produktif dalam hidup saya. Saya serius!”. (Marty Layne, Ibuku Guruku, hal. 26)
Selanjutnya dia berkata di hal. 364 : “Sebenarnya hanya dengan benar-benar merawat dan mengasuh
anaklah kita belajar bagaimana menjadi ibu.” . Lanjutnya lagi, masih di hal. 364 : “Mari kita lihat sebagian
cara untuk mengembangkan kehidupan yang tidak mengharuskan pemisahan dari anak-anak kita.”

Kemudian dia memberikan contoh : membaca, merajut, membuat karya tulis atau berolah raga ringan !

MEMETIK MANFAAT
Apa manfaat menjalankan IHS ? Kalau saja tidak ada manfaat lain dari IHS selain pahala dari sisi Allah
atas upaya kita menunaikan peran dan kewajiban selaku suami/istri dan atau ayah/ibu secara maksimal
dan optimal, maka bagi seorang mukmin hal itu sudah cukup. Tapi ada banyak manfaat lain yang
semuanya sudah disinggung pada penjelasan yang terdahulu. Semoga bermanfaat.

Karawang, 28 Shafar 1428 H/18 Maret 2007

———————————————————-

[1] Contoh kecil : Menurut keterangan Direktur Bank Mu’amalat Indonesia, bahwa panjang pantai
Indonesia adalah 88.000 km sehingga menempatkan Indonesia termasuk 10 negara berpantai terpanjang
di dunia. Ironisnya, kita masih mengimpor 1,5 juta ton garam per tahun !

[2] “Your child can think like a genius, How to unlock the gifts in every child”, karya Bernadette Tynan,
presiden Beautiful Minds, sebuah lembaga amal yang didirikan untuk mendanai penelitian-penelitian
yang bertujuan mengembangkan bakat alami anak-anak, mantan dosen senior pada Research Centre for
Able Children di Oxford. (Diterjemahkan dengan judul : “Melatih anak berpikir seperti jenius,
Menemukan dan mengembangkan bakat yang ada pada setiap anak”, Penerbit Gramedia). Inti buku itu
adalah memperkenalkan : Thumb Print Learning, yakni : cara belajar seunik sidik jari.

[3] Belajar secara mulaazamah kepada masyayikh, sebagaimana dijalankan para salafus sholih berabad-
abad lamanya, memberikan banyak kebebasan kepada siswa untuk menentukan matapelajaran apa yang
akan dipelajari dan bagaimana dia mengembangkannya. Sehingga para siswa memiliki kesempatan yang
luas untuk menemukan sendiri cara belajarnya yang unik. Allaahu a’lam.

[4] Bebas adalah keadaan seseorang ketika melakukan sesuatu dengan senang hati dan atas pilihannya
sendiri. Mukmin, ketika melakukan ketaatan (menunaikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya)
melakukannya dengan senang hati dan berdasarkan pilihannya sendiri, bukan karena tekanan. Maka
mukmin adalah orang yang sungguh-sungguh bebas dalam makna yang hakiki. Munafiq adalah orang
yang sungguh-sungguh terbelenggu jiwanya. Kafir juga bebas, tetapi kebebasannya bersifat maya (semu),
karena secara internal dia sedang berperang dengan fithrohnya dan terbelenggu oleh hawa-nafsunya,
serta berada di bawah ancaman azab. Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa peran orangtua adalah
‘menanamkan’ pemahaman yang benar tentang kebaikan dan keburukan ke dalam pikiran anak,
sehingga nanti anak bertindak berdasarkan pemahaman, bukan karena paksaan dari luar. Proses
menanam ini harus dilakukan dengan dengan : ikhlash, berkesinambungan, multi-metode serta
pendekatan lembut dan penuh kesabaran. Tidak ada batasan waktu tertentu yang diperlukan untuk
proses ini. Nabi Nuh ‘alaihi salam tinggal bersama kaumnya selama 950 th, berdakwah siang malam
(kesinambungan), dengan i’lan dan isror (multi-metode). Tidak dapat dikatakan gagal, hanya karena
sedikit yang mengikutinya. Tidak ada kata GAGAL dalam kamus mendidik, jika sudah dilakukan dengan
benar. Kita bertanggung jawab pada proses bukan pada hasil ! Menemukan cara yang pas untuk
menanamkan pemahaman yang benar pada pikiran anak adalah sebuah seni mendidik yang amat indah!
Selebihnya adalah kesiapan kita untuk memberi tempo yang cukup kepadanya untuk tumbuh dan
berkembang.

[5] Pria dewasa wajib sholat fardhu di masjid. Jadi yang dimaksud bagi mereka adalah memperbanyak
sholat-sholat sunnah di rumah.

—————————————————–

Dari makalah yang diposting Bapak Fatkhurohman di milis asahpenaindonesia. Sangat memberi
pencerahan buat saya pribadi.

DIarsipkan di bawah: Article

« Belajar Membaca Launching asahpena.com »

11 Tanggapan

ummu hamzah, di/pada Juli 9th, 2007 pada 5:48 am Dikatakan:

Assalaamu’alaikum wa rohmatullahi wa brokaatuh,

ana adalah akhowat (belum berkeluarga) yang sangat tertarik dengan HS untuk anak-anak ana kelak.
beberapa teman ada pula yang menunjukkan ketertarikannya, namun masih terhalang sesuatu hal
hingga belum bisa banyak mendapatkan keterangan banyak ttg HS. ana meminta ijin untuk menukil
artikel ini untuk artikel yang akan tulis bagi mereka. Jazaakallah khoiron

Rita Rosalia, di/pada Juli 13th, 2007 pada 5:53 am Dikatakan:


Saya Punya anak 2 yang pertama 3 th dan yang kedua 6 Bln. Saya tertarik dengan progra Islamic home-
scholling. dan saat ini sayapun selalu mengajarkan dan menerapkan agama islam pada anak2 saya,
terutama hapalan doa-doa, surat-surat pendek dan memberi pengetahun pada anak saya sedikit demi
sedikit tentang Tuhan kita (ALLAH), agama islam dan surga-neraka. yang saya ingin tanyakan dimana
tempat program Islamic Home-Schooling?? dan berapa biayanya??

umminya zahrul, di/pada Juli 13th, 2007 pada 12:06 pm Dikatakan:

Kebetulan makalah yang saya kutip di atas milik komunitas Permata Hati di Karawang. Saya belum
pernah menanyakan secara rinci letak komunitas tersebut, hanya sempat dikatakan bahwa lokasi mereka
sangat mudah dijangkau dekat dengan jalan tol. Sampai saat ini komunitas yang spesifik mengusung
Islamic Homeschooling ini yang saya tahu baru Permata Hati. Yang lain mungkin lebih banyak pelaku HS
tunggal.

Mohon maaf jika tidak banyak membantu.

Dian Karyasari, di/pada Juli 31st, 2007 pada 6:30 am Dikatakan:

assalamua’alaikum

saya tertarik dengan home schooling…

di tempat saya ada taman pendidikan alqur’an (TPA) yang baru menyusun kurikulum. Sekarang saya dan
temen2 br menyusunnya, kami ingin membuat kurikulum dengan home schooling. Dimana ya saya bisa
mendapatkan kurikulum tsb? tolong di e-mail ke saya di prue_d_angel@yahoo.com

terima kasih

wassalamua’alaikum wr. wb.

dian, solo

Aninta, di/pada Nopember 10th, 2007 pada 5:05 am Dikatakan:


Assalamualaikum,

saya ibu bekerja (dan single parent) dengan 1 anak laki2 umur 3.5thn. anak saya sudah sekolah mulai
umur 2 thn (toddler), namun karna keterbatasan dana, saat ini anak saya hanya saya sekolahkan TPA
(taman Pendidikan Al Quran) 4 hari per minggunya. Saya sangat tertarik dengan konsep IHS..

Bagaimana menerapkannya dengan kondisi saya sbg single parent dan harus bekerja setiap harinya.

mohon penjelasannya.

terimakasih. Wassalamualaikum.

Aninta

ikhwan, di/pada Januari 13th, 2008 pada 1:44 pm Dikatakan:

Saya tertarik dengan progra Islamic home-scholling. dan saat ini sayapun selalu mengajarkan dan
menerapkan agama islam pada anak2 saya, terutama hapalan doa-doa, surat-surat pendek dan memberi
pengetahun pada anak saya sedikit demi sedikit tentang Tuhan kita (ALLAH), agama islam dan surga-
neraka. yang saya ingin tanyakan dimana tempat program Islamic Home-Schooling?? dan berapa
biayanya??

Wedya Nefiani, di/pada Februari 15th, 2008 pada 7:39 am Dikatakan:

Ass wr wb …

Mohon infonya, mungkin saya dpt mengetahui lebih banyak ttg Islamic Home Schooling (IHS). Apakah
IHS ini bisa juga menerima anak “special need”, Anak saya semenjak setahun terakhir ini mengalami
depresi yg mgkn disebabkan karena tekanan2 dalam pelajaran. Apakah IHS dapat membantu
memberikan solusi utk kasus ini ? terima kasih

Wass
ummi aisha, di/pada Mei 29th, 2008 pada 4:18 am Dikatakan:

Assalamualaikum war.wab

we interesting a lot about this idea.Would u improve in pontianak,kalimantan barat.we still have many
difficulties in here.No cummunity,no support from society,n many more.We need some group to begin.

ISLAMIC HOME-SCHOOLING « My Reflection, di/pada Juli 14th, 2008 pada 9:34 am Dikatakan:

[...] DARI MANA KITA MEMULAI ? Klik yang ini ya: Islamic homeschooling ,how to begin [...]

Ummi Chikasha, di/pada Januari 10th, 2009 pada 8:01 pm Dikatakan:

Assalamualaikum war.wab

Saya single parent anak saya 2,umur 4th n 7th.saya berencana untuk menjadi tkw untuk membiayai
mereka dan karena saya tidak bisa memonitor anak saya langsung apakah homescholling bisa jadi pilihan
terbaik.dan paling penting berapa biayanya?saat ini mereka bersekolah di TK islam dan SD negri.Terima
kasih

Wassalam

Renata Marelene, di/pada Maret 13th, 2009 pada 3:13 am Dikatakan:

Sekedar informasi untuk para orang tua home schooler dan rekan-rekan lainnya,

kami memiliki produk CD interaktif (e-learning) untuk membantu siswa SMP dan SMA

dalam mempelajari Biologi, khususnya tentang Sistem Tubuh Manusia dan

Keanekaragaman Hayati. CD ini sudah bilingual (bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris), sangat kaya akan fitur animasi, ilustrasi, latihan, dan games-games
yang dapat meningkatkan kualitas belajar anak secara mandiri. Jika putra-putri

Anda masih duduk di Bangku SD, maka CD ini dapat juga Anda pergunakan sebagai

alat bantu dalam mendampingi anak-anak belajar di rumah. Info lebih lanjut,

kunjungi website kami: http://www.centrinova.com. Untuk CD pembelajaran human

Body Systems, terdiri dari 3 disk, harga Rp. 140.000,-, dapat dibeli di

toko-toko Gramedia terdekat di kota Anda (cari di bagian CD ROM komputer). CD

juga dapat dipesan melalui 021-53150501

Tinggalkan Balasan

Anda mungkin juga menyukai