Anda di halaman 1dari 5

Buletin Kaffah No.

196 – 30 Syawal 1442 H/11 Juni 2021 M


Pelayanan Ibadah Haji Sepenuh Hati
Jamaah haji Indonesia tahun ini kembali gagal berangkat. Pemerintah melalui Kemenag membatalkan
pemberangkatan calon jamaah haji. Alasannya, masih pandemi.
Pembatalan ini menimbulkan persoalan lain, yakni menambah panjang daftar antrian keberangkatan calon
jamaah haji di Tanah Air. Sampai tahun ini, antrian terlama di Indonesia adalah pada tahun 2055.
Haji: Kewajiban Agung
Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam dan kewajiban agung dalam Islam. Sabda Nabi saw.:
‫ َوإِيتَا ِء‬،‫صالَ ِة‬ ُ ‫ش َها َد ِة أَنْ الَ إِلَهَ إِالَّ هَّللا ُ َوأَنَّ ُم َح َّم ًدا َر‬
َّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬،ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ٍ ‫سالَ ُم َعلَى َخ ْم‬
َ ‫س‬ ْ ‫بُنِ َى ا ِإل‬
‫ان‬
َ ‫ض‬َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ َ ‫ َو‬،‫ َوا ْل َح ِّج‬،‫ال َّز َكا ِة‬
Islam dibangun atas lima perkara; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad
adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; haji dan shaum Ramadhan (HR al-Bukhari).
Ibadah haji merupakan kewajiban dari Allah SWT atas kaum Muslim:
َ ‫سبِياًل َو َمنْ َكفَ َر فَإِنَّ هَّللا َ َغنِ ٌّي َع ِن ا ْل َعالَ ِم‬
‫ين‬ َ ‫ستَطَا َع إِلَ ْي ِه‬ ِ ‫س ِح ُّج ا ْلبَ ْي‬
ْ ‫ت َم ِن ا‬ ِ ‫َوهَّلِل ِ َعلَى النَّا‬
Ibadah haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melakukan perjalanan ke
Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam (TQS Ali Imran [3]: 97).
Imam Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid dan yang lainnya, tentang firman Allah, “Siapa
saja yang mengingkari (kewajiban haji), sungguh Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam,”  maknanya, “Siapa saja yang mengingkari kewajiban haji sungguh telah kafir dan Allah tidak
memerlukan dirinya.” (Tafsir Ibnu Katsîr, 2/84).
Ibn Abbas ra. berkata:
)ُ‫ (ال َّزا ُد َوال َّرا ِحلَة‬:‫ قَا َل‬،‫سبِ ْي ُل‬
َّ ‫ فَ َما ال‬:‫ (الَ بَ ْل َح َّجةً)؟ قِ ْي َل‬:‫س ْو َل هللاِ ا ْل َح ُّج ُك َّل َع ٍام؟ قَا َل‬
ُ ‫قِ ْي َل يَا َر‬.
Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah haji wajib setiap tahun?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi
sekali (seumur hidup).” Ada yang bertanya, “Lalu, apa yang dimaksud dengan jalan (ke Baitullah)” Beliau
menjawab, “Bekal dan kendaraan.” (HR ad-Daruquthni).
Prof. DR. Wahbah Zuhaili merangkum keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa yang dimaksud batas
kemampuan di sini adalah mampu badaniyah, maliyah dan amaniyah (Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa
Adilatuhu, 3/25).
Mampu secara badaniyah adalah sehat sehingga mampu menempuh perjalanan dan bisa melaksanakan semua
rukun haji dengan sempurna.
Mampu secara maliyah adalah adanya kecukupan harta untuk berangkat ke Tanah Suci dan kembali ke negeri
asalnya, untuk bekal perjalanan serta untuk keluarga yang wajib dinafkahi. Kewajiban haji tidak berlaku bagi
Muslim yang tidak mampu sampai ia punya harta yang mencukupi.
Selain itu, juga ada istitha’ah dalam keamanan (amaniyah). Artinya, keamanan calon jamaah haji terjamin baik
dari gangguan penjahat seperti perampok, begal, ataupun peperangan. Termasuk aman dari gangguan alam
seperti badai di lautan, juga wabah penyakit yang berbahaya.
Karena itu jika ada kondisi yang merintangi dan mengancam keselamatan kaum Muslim dalam perjalanan haji,
sementara halangan tersebut tidak bisa dihilangkan, maka hal demikian jadi pembatal syarat istitha’ah dalam
berhaji. Dalam sejarah, beberapa kali memang terjadi pembatalan ibadah haji, misalnya karena wabah pada
tahun 1814, juga pada tahun 1837 dan kolera tahun 1846.
Khilafah Pelayan Tamu Allah
Ibadah haji sejatinya adalah fardhu bagi setiap Muslim yang mampu atau istitha’ah. Namun demikian, syariah
Islam juga menetapkan Imam/Khalifah untuk mengurus pelaksanaan haji dan keperluan para jamaah haji.
Sebabnya, Imam/Khalifah adalah ra’in (pengurus rakyat). Sabda Nabi saw.:
‫سئُو ٌل عَنْ َر ِعيَّتِ ِه‬
ْ ‫اع َو َم‬
ٍ ‫ا ِإل َما ُم َر‬
Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-
Bukhari).
Catatan sejarah menunjukkan betapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jamaah
haji dari berbagai negara. Mereka dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan itu
dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan dari pelaksanaan ibadah haji. Semua
merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Khilafah dalam melayani para jamaah haji ini. Pertama: Khalifah
menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka
dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan cakap memimpin. Rasulullah saw. pernah menunjuk ‘Utab bin
Asad, juga Abu Bakar ash-Shiddiq ra., untuk mengurus dan memimpin jamaah haji. Rasulullah saw. juga
pernah memimpin langsung pelaksanaan ibadah haji pada saat Haji Wada’. Pada masa Kekhilafahan Umar ra.,
pelaksanaan ibadah haji pernah diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf ra. Ibadah haji juga pernah dipimpin
oleh Khalifah Umar ra. hingga masa akhir Kekhilafahannya. Pada masa Khalifah Utsman ra., pelaksanaan haji
juga pernah dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf ra.
Kedua: Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan
biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-
Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH
ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji
dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan
udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.
Ketiga: Khalifah berhak untuk mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu keterbatasan tempat tidak menjadi
kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: (1) Kewajiban
haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (2) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat
dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan
berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan begitu antrian panjang haji akan bisa dipangkas
karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.
Keempat: Khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Pasalnya, di dalam sistem Khilafah, kaum Muslim
hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara,
sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru Dunia Islam bisa bebas keluar
masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor.
Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun
fi’l[an].
Kelima: Khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan
kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi
pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha’ah amaniyah dapat tercapai.
Pembangunan sarana-prasarana haji mencakup sarana transportasi menuju Tanah Suci hingga tempat-tempat
pelaksanaan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Mina, Arafah, dsb. Semua itu dimaksudkan agar bisa
menampung banyak jamaah serta dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan beribadah.
Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Sultan ‘Abdul Hamid II membangun sarana transportasi massal dari Istanbul,
Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Jauh sebelum
Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz
(Makkah-Madinah), termasuk membangun saluran air yang menjamin jamaah haji tidak kekurangan air
sepanjang perjalanan. Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik,
termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal. Pembangunan saluran air bagi jemaah haji itu diinisiasi oleh
istri Khalifah Harun ar-Rasyid yang bernama Zubayda. Diriwayatkan untuk proyek itu ia mengeluarkan uang
hingga 1,7 juta dinar atau setara dengan tujuh triliun dua ratus dua puluh lima miliar rupiah!
Keenam: Pada masa pandemi atau wabah, Khilafah akan berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan
melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan
selama pelaksanaan haji, pemberian vaksin bagi para jamaah haji, sarana kesehatan yang memadai, serta tenaga
medis yang memadai.
Khilafah tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji, tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing,
treatment/pengetesan, pelacakan dan perlakuan) sesuai protokol kesehatan pada warga. Mereka yang terbukti
sakit akan dirawat sampai sembuh. Mereka yang sehat tetap diizinkan beribadah haji. Menutup pelaksanaan haji
dan umrah adalah tindakan yang keliru karena menghalangi orang yang akan beribadah ke Baitullah.
Semua aktivitas Khilafah dalam pengurusan haji itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan
bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini. Pengurusan haji diurus oleh
negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering
muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan semisal pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering,
dsb.
Demikianlah keagungan pelayanan haji yang dilakukan oleh para khalifah. Mereka benar-benar berkhidmat
melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan syariah Islam. Tanpa pelayanan dari pemimpin yang bertumpu pada
syariah, pelaksanaan ibadah haji sering terkendala, dan bukan tidak mungkin menjadi ajang mencari
keuntungan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.[]
—*—
HIKMAH:
Rasulullah saw. bersabda:
ُ‫الجنَّة‬
َ ‫ليس له َج َزا ٌء إاَّل‬
َ ‫والح ُّج ال َم ْب ُرو ُر‬
َ
Tidak ada balasan bagi haji mabrur, kecuali surga. (HR al-Bukhari dan Muslim). []

***********************************************************
Buletin Kaffah No. 196 – 30 Syawal 1442 H/11 Juni 2021 M
Haram Menzalimi Harta Rakyat
Harta adalah salah satu bagian dari kehidupan manusia yang mendapat perlindungan Islam. Tidak boleh ada
yang mengganggu dan merampas harta seseorang. Tidak boleh juga memungut harta seseorang tanpa izin
syariah. Bahkan negara sekalipun haram melakukan pemaksaan pungutan apapun dari rakyatnya, kecuali
pungutan yang memang telah diakui dan dibenarkan oleh syariah.
Namun, di dalam sistem Kapitalisme sekular seperti saat ini, berbagai macam pungutan (pajak) justru menjadi
sumber utama pendapatan negara. Pajak dan berbagai pungutan lainnya tentu menambah beban kehidupan
masyarakat. Ironisnya, pada saat kondisi kehidupan yang sedang sulit sekalipun seperti saat ini, pungutan pajak
bukannya dikurangi atau dihilangkan, malah makin ditambah. Padahal, di sisi lain, negara tidak menjamin
kesejahteraan bagi seluruh warganya.
Islam Melindungi Harta
Di dalam al-Quran telah terdapat larangan mengganggu dan merampas harta manusia tanpa alasan yang haq.
Firman Allah SWT:
‫ض ِم ْن ُك ْم‬
ٍ ‫ارةً عَنْ تَ َرا‬ َ ‫ين آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا ِط ِل إِاَّل أَنْ تَ ُك‬
َ ‫ون تِ َج‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (tidak
benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian (TQS an-Nisa’ [4]:
29).
Dalam ayat ini terkandung pemahaman bahwa harta sesama manusia boleh diambil dan dimanfaatkan jika
pemiliknya ridha dan tentu harus sesuai dengan ketentuan syariah Islam, seperti melalui jual-beli, hibah,
sedekah, dsb.
Larangan mengganggu dan merampas harta juga disampaikan oleh Rasulullah saw. dalam Khutbah al-Wada’.:
 ‫ش ْه ِر ُك ْم ه َذا فِي بَلَ ِد ُك ْم ه َذا‬ َ ‫إِنَّ ِد َما َء ُك ْم َوأَ ْم َوالَ ُك ْم َوأَع َْر‬
َ ‫اض ُك ْم َح َرا ٌم َعلَ ْي ُك ْم َك ُح ْر َم ِة يَ ْو ِم ُك ْم ه َذا فِي‬
Sungguh darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari
kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini (HR al-Bukhari dan Muslim).
Demikian pentingnya menjaga harta sesama Muslim, bahkan sejengkal tanah mereka pun tak boleh dirampas.
Rasulullah saw. mengingatkan:
‫ين‬
َ ‫ض‬ِ ‫س ْب ِع أَ َر‬ ِ ‫ش ْب ٍر ِمنْ اأْل َ ْر‬
َ ْ‫ض طُ ِّوقَهُ ِمن‬ ِ ‫َمنْ ظَلَ َم ِقي َد‬
Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah (orang lain) secara zalim, Allah akan menghimpit dirinya dengan
tujuh lapis tanah (bumi) (HR Muslim).
Rasulullah saw. pun bersabda:
َ ‫الَ يَأْ ُخ َذنَّ أَ َح ُد ُك ْم َمتَا َع أَ ِخي ِه الَ ِعبًا َوالَ َجا ًّدا َو َمنْ أَ َخ َذ َع‬
‫صا أَ ِخي ِه فَ ْليَ ُر َّد َها‬
Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya, baik dengan main-main ataupun
sungguh-sungguh. Siapa saja yang mengambil tongkat saudaranya, hendaklah ia mengembalikannya (HR Abu
Dawud).
Ghashab dan Kezaliman
Terkait dengan QS an-Nisa’ ayat 29 di atas, As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan, “Allah SWT telah melarang
hamba-hamba-Nya yang Mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil. Ini mencakup
ghashab (perampasan), pencurian serta memperoleh harta melalui judi dan perolehan-perolehan yang tercela.”
(Tafsir as-Sa’di, hlm. 300).
Ghashab, menurut kitab Al-Muhith fi al-Lughah, adalah mengambil sesuatu secara zalim dan memaksa.
Menurut Dr. Khalid al-Musyaiqih, ghashab adalah menguasai hak orang lain, baik hartanya atau hak gunanya,
secara paksa, tanpa alasan yang benar.
Ghashab bukan saja terjadi antar individu, tetapi juga bisa dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Berbagai
pungutan yang ada di luar syariah Islam seperti pajak atas penghasilan, kendaraan, tanah, rumah, barang
belanjaan, dsb adalah kezaliman karena tidak didasarkan pada ketentuan syariah. Inilah yang dimaksud Allah
SWT dengan firman-Nya (yang artinya): memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.
Melakukan berbagai pungutan/pajak terhadap rakyat adalah kebiasaan para raja, kaisar dan para pemimpin di
luar Islam. Dulu para raja biasa memungut pajak dan upeti dari rakyat mereka. Ada pajak atas emas, hewan
ternak, juga budak. Pada era modern, negara-negara yang menganut ideologi kapitalis juga memungut pajak
dari rakyat dengan lebih banyak lagi jenisnya; pajak kendaraan, rumah, tanah, dll. Sekarang direncanakan pula
ada pungutan/pajak atas sembako, sekolah bahkan pajak dari para ibu yang melahirkan. Kebijakan inilah yang
telah diperingatkan keras oleh Islam.
Abu Khair ra. berkata: Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan
pajak kepada Ruwafi bin Tsabit ra. Ia berkata: Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
ِ ‫ب ا ْل َم ْك‬
‫س فِ ْي النَّا ِر‬ َ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ َّ‫إِن‬
Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka (HR Ahmad).
Inilah realita kehidupan umat hari ini. Mereka dihadapkan pada kondisi hajat hidup yang ditelantarkan,
sementara beban hidup semakin berat. Bahkan penguasa justru menambah berat beban kehidupan mereka
dengan berbagai pungutan/pajak.
Berbeda dengan para khalifah yang menjalankan syariah Islam, mereka berusaha sekuat tenaga melayani
kebutuhan rakyat dan meringankan beban mereka. Pasalnya, mereka paham bahwa jabatan dan kekuasaan
semestinya dijalankan untuk melayani rakyat sesuai dengan ketentuan syariah Islam.
Pajak Bukan Sumber Utama Pendapatan Negara
Dalam sistem ekonomi selain Islam, pajak dan berbagai pungutan memang menjadi salah satu urat nadi
pendapatan negara. Seorang ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt, mengatakan, “Pajak adalah urat nadi
(lifeblood) pemerintah.” Sebab itulah dalam sistem ekonomi mereka, berbagai pungutan/pajak digencarkan.
Bahkan warga miskin juga dikejar berbagai pungutan/pajak.
Berbeda dengan Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Islam telah
menetapkan bahwa sumber utama pendapatan negara bukan pajak. Pasalnya, Kas Negara atau Baitul Mal dalam
sistem pemerintahan Islam (Khilafah) memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj,
‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan
sedekah, dsb. Sumber pemasukan ini amat besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat. Tak perlu ada
pungutan batil di luar ketentuan syariah.
Memang adakalanya negara dibolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Namun demikian, konsep dan
pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem pajak hari ini. Pajak (dharibah) dalam Islam hanya diberlakukan
saat negara benar-benar krisis keuangan, sementara negara tentu membutuhkan dana segar untuk membiayai
berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka. Misalnya untuk keperluan jihad fi
sabilillah, membayar gaji (pegawai, tentara, juga biaya hidup pejabat), memenuhi kebutuhan fakir miskin, juga
penanganan bencana alam dan wabah.
Pungutan itu bersifat temporer. Bukan pemasukan rutin dan permanen. Apalagi menjadi sumber pendapatan
utama negara. Ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitul Mal) telah aman, maka pungutan itu akan
dihentikan. Jadi pajak (dharibah) dalam Islam bukan merupakan pendapatan rutin dan utama negara seperti
dalam sistem kapitalisme.
Obyek pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Non-Muslim
(ahludz-dzimmah) tidak dikenai pajak. Mereka hanya dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan
mereka. Pajak dalam Islam hanya dibebankan atas warga Muslim yang kaya saja. Sabda Nabi saw.:
‫ان عَنْ ظَ ْه ِر ِغنًى‬
َ ‫ص َدقَ ِة َما َك‬
َّ ‫َخ ْي ُر ال‬
Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya (HR al-Bukhari).
Dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara.
Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan.
Para penguasa pun akan legowo ketika diingatkan akan kewajiban mereka untuk bekerja keras dan bersungguh-
sungguh memenuhi hajat rakyat. Mereka takut jika sikap melalaikan kewajiban tersebut akan berbuah siksa
pada Hari Akhir. Suatu ketika Abu Maryam al-’Azdy ra. menasihati Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia
berkata kepada Muawiyah: Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
ُ ‫ب هَّللا‬ ْ ‫اجتِ ِه ْم َو َخلَّتِ ِه ْم َوفَ ْق ِر ِه ْم‬
َ ‫احت ََج‬ َ ‫ُون َح‬
َ ‫بد‬ ْ َ‫ين ف‬
َ ‫احت ََج‬ َ ‫سلِ ِم‬ ْ ‫ش ْيئًا ِمنْ أَ ْم ِر ا ْل ُم‬َ ‫َمنْ َواَّل هُ هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل‬
ِ ‫ج النَّا‬
‫س‬ ِ ِ‫اجتِ ِه َو َخلَّتِ ِه َوفَ ْق ِر ِه قَا َل فَ َج َع َل َر ُجاًل َعلَى َح َوائ‬
َ ‫ُون َح‬ َ ‫َع ْنهُ د‬
“Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum Muslim, kemudian ia tidak memenuhi hajat,
kepentingan dan kebutuhan mereka, maka Allah akan menolak hajat, kepentingan dan kebutuhannya pada Hari
Kiamat.” Mendengar nasihat itu, Muawiyah segera mengangkat seorang untuk melayani segala kebutuhan
orang-orang (rakyat) (HR Abu Dawud).
Berkebalikan dengan hari ini, banyak orang kaya menikmati berbagai fasilitas kemudahan hidup dari negara
semisal pengampunan pajak (tax amnesty). Sebaliknya, rakyat kebanyakan kian ditekan dan diburu hartanya.
Apakah para pemimpin itu tidak takut dengan doa keburukan yang dipanjatkan Baginda Nabi saw. untuk para
penguasa yang zalim, yang mempersulit kehidupan rakyatnya:
َ َ‫ َو َمن َولِ َي ِمن أَ ْم ِر أُ َّمتي شيئًا فَ َرف‬،‫ق عليه‬
‫ق‬ ْ ُ‫شق‬ْ ‫ فَا‬،‫ق عليهم‬ َ َ‫اللَّ ُه َّم َمن َولِ َي ِمن أَ ْم ِر أُ َّمتي شيئًا ف‬
َّ ‫ش‬
‫ق ب ِه‬ْ ُ‫ارف‬
ْ َ‫ ف‬،‫ب ِه ْم‬
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.
Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR Muslim). []
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
‫ فَ َمنْ أَد َْر َك ِم ْن ُك ْم‬،ٌ‫ َوفُقَ َها ُء َك َذبَة‬،ٌ‫ضاةٌ َخ َونَة‬ َ ُ‫ َوق‬،ٌ‫سقَة‬ َ َ‫ َو ُو َز َرا ُء ف‬،ٌ‫آخ ِر ال َّز َما ِن أُ َم َرا ُء ظَلَ َمة‬
ِ ‫يَ ُكونُ فِي‬
‫ًّا‬¤ّ‫َذلِ َك ال َّز َم َن فَال يَ ُكونَنَّ لَ ُه ْم َجابِيًا َوال َع ِريفًا َوال ش ُْر ِطًي‬
Akan ada pada akhir zaman para penguasa zalim, para pembantu (pejabat pemerintah) fasik, para hakim
pengkhianat dan para ahli hukum Islam pendusta. Siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu,
janganlah kalian menjadi pemungut cukai, tangan kanan penguasa dan polisi. (HR ath-Thabrani). []

Anda mungkin juga menyukai