Latar Belakang
Di zaman globalisasi ini pergaulan antara lelaki dan perempuan sudah tidak
ada batasnya lagi sehingga banyak para remaja yang melakukan hal-hal yang
negatif yang biasa di sebut dengan pergaulan bebas.Banyak factor yang
menyebakan seseorang terjerumus kedalam pergaulan bebas antara lain social,
budaya, ekonomi serta factor - facktor lain yang menyebakan seseorang dapat
tejerumus ke dalam pergaualn bebas. Di dalam makalah ini kami akan menjelaskan
apa itu pergaulan bebas, manfaat dan bahaya pergaulan bebas, jenis-jenis
pergaulan bebas serta larangan agama islam tentang pergaulan bebas.
Pendahuluan
Gaul, campur, kenal kata gaul verba intransitifnya adalah bergaul berarti
hidup berteman dalam masyarakat atau berkawan akrab. Saya sudah dua tahun
bergaul dengan orang itu. Bercampur berarti berkumpulnya orang-orang menjadi
satu seperti, Tua muda, besar kecil, laki-laki wanita bercampur menjadi satu dalam
pesta itu. Kenal berarti mengerti dan pernah mengetahui seseorang. Sudah berapa
lama kamu mengenal dia?.
Sebenarnya dalam Islam tidak ada istilah "pergaulan bebas", sebab secara
fitrah manusia memiliki keharusan untuk bergaul dalam interaksi sosial yang
merupakan sunah sosial dan kehidupan itu sendiri. Namun setelah masuknya
budaya asing -ke dalam pergaulan masyarakat muslim- yang dibentuk oleh
kecenderungan material semata-mata dan falsafah hidup yang lahir dari bumi dan
hawa nafsu, maka Islam menamakannya sebagai pergaulan bebas, bebas dari
tuntunan wahyu, moral dan fitrah.
Jika kita berbicara masalah pergaulan pada era globalisasi saat ini memang
sangat rumit. Dalam erti yang lain, kita hidup dengan manusia yang mempunyai
prinsip dan pandangan hidup yang berbeda, bahkan masyarakat di kota-kota besar
dapat dikatakan memiliki kecenderungan hidup bebas. Terkadang dengan kondisi
seperti itu, kita menghadapi sebuah dilema bagaimana menempatkan diri dalam
dunia pergaulan agar kita sebagai muslim dapat diterima oleh lingkungan, tetapi
keyakinan atau syariat Islam pun tetap terjaga.
(19
: )
Dia (Allah) Mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati. QS. 40:19
Semua tergantung pada niat kita. Contohnya, dalam suasana kerja atau
organisasi di mana kita dituntut untuk berinteraksi dengan orang banyak, baik lakilaki atau wanita, kita tentu saja diperbolehkan mengadakan kontak dengan lawan
jenis (berbeza jantina, lelaki dengan perempuan). Pada prinsipnya, jika maksud kita
untuk kebaikan dan batasan-batasan syariat tetap dijaga, semuanya dibolehkan
dalam Islam. Islam tidaklah pernah bertujuan untuk mempersulitkan sesuatu, tapi
justru mempermudahkan hidup kita. Segala yang disyariatkan sudah barang tentu
demi kebaikan umat manusia.
Pergaulan Bebas
A. Pengertian Pergaulan Bebas
Kita tentu tahu bahwa pergaulan bebas itu adalah salah satu bentuk
perilaku menyimpang, yang mana bebas yang dimaksud adalah melewati batasbatas norma ketimuran yang ada. Masalah pergaulan bebas ini sering kita dengar
baik di lingkungan maupun dari media massa.
Remaja adalah individu labil yang emosinya rentan tidak terkontrol oleh
pengendalian diri yang benar. Masalah keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang
minim, dan ajakan teman-teman yang bergaul bebas membuat makin berkurangnya
potensi generasi muda Indonesia dalam kemajuan bangsa.
gemerlap). Yang sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalamnya marak sekali
pemakaian narkoba. Ini identik sekali dengan adanya seks bebas. Yang akhirnya
berujung kepada HIV/AIDS. Dan pastinya setelah terkena virus ini kehidupan remaja
akan menjadi sangat timpang dari segala segi.
Tingginya kasus penyakit Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur remaja, salah
satu penyebabnya akibat pergaulan bebas.Hasil penelitian di 12 kota di Indonesia
termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah
pernah melakukan hubungan seksual.
Di kota Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA)
yang baru duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4% mempunyai pengalaman
hubungan seksual. Mereka terdiri atas putra 27% dan putri 18%. Data statistik
nasional mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar
75% terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada usia remaja.
Demikian pula masalah remaja terhadap penyalahgunaan narkoba semakin
memprihatinkan. Berdasarkan data penderita HIV/AIDS di Bali hingga Pebruari 2005
tercatat 623 orang, sebagian besar menyerang usia produktif. Penderita tersebut
terdiri atas usia 5-14 tahun satu orang, usia 15-19 tahun 21 orang, usia 20-29 tahun
352 orang, usia 30-39 tahun 185 orang, usia 40-49 tahun 52 orang dan 50 tahun ke
atas satu orang. semakin memprihatinkan penderita HIV/AIDS memberikan
gambaran bahwa, cukup banyak permasalahan kesehatan reproduksi yang timbul
diantara remaja. Oleh sebab itu mengembangan model pusat informasi dan
konsultasi kesehatan reproduksi remaja melalui pendidik (konselor) sebaya menjadi
sangat penting. Pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja
menjadi model pemberdayaan masyarakat yang bertujuan menumbuhkan
kesadaran dan peranserta individu memberikan solusi kepada teman sebaya yang
mengalami masalah kesehatan reproduksi. Pelatihan Managemen tersebut diikuti
24 peserta utusan dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali berlangsung selama
empat hari.
Belum lama ini ada berita seputar tentang keinginan sekelompok masyarakat
agar aborsi dilegalkan, dengan dalih menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia. Ini
terjadi karena tiap tahunnya peningkatan kasus aborsi di Indonesia kian meningkat,
terbukti dengan pemberitaan di media massa atau TV setiap tayangan pasti ada
terungkap kasus aborsi. Jika hal ini di legalkan sebgaimana yang terjadi di negaranegara Barat akan berakibat rusaknya tatanan agama, budaya dan adat bangsa.
Berarti telah hilang nilai-nilai moral serta norma yang telah lama mendarah daging
dalam masyarakat. Jika hal ini dilegal kan akan mendorong terhadap pergaulan
bebas yang lebih jauh dalam masyarakat. Orang tidak perlu menikah untuk
melakukan hubungan seks. Sedangkan pelepasan tanggung jawab kehamilan bisa
1.
2.
Satu hal juga yang perlu diketahui adalah bahwa salah satu dampak buruk
narkoba adalah mengakibatkan pecandu memiliki suatu retardasi mental dan
emosional. Contoh seorang pecandu berusia 16 tahun saat ia pertama kali
menggunakan narkoba, dan saat ia berusia 26 tahun ia berhenti menggunakan
narkoba. Memang secara fisik ia berusia 26 tahun, tetapi sebenarnya usia mental
dan emosionalnya adalah 16 tahun. Ada 10 tahun yang hilang saat ia
menggunakan narkoba. Ini juga sebabnya mengapa ia tidak memiliki pola pikir dan
kestabilan emosi seperti layaknya orang-orang lain seusianya.
D. Upaya Pencegahan Pergaulan Bebas
a.Keluarga sebagai sekolah pertama
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para remaja ini
diperlukan kerjasama orang tua, sekolah, dan masyarakat. Keluarga, dalam hal ini
orang tua, merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi remaja
sebagai generasi penerus bangsa. Keluarga memiliki tanggung jawab yang besar
dalam mencetak pemimpin bangsa. Keluarga adalah institusi pertama yang
meletakkan informasi fondasi kepribdian yang kuat, dengan kata lain pendidikan di
keluarga seyogyanya dimulai sejak dini, atau pada saat anak masih di dalam rahim.
Pendidikan awal yang ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya ialah dasar
aqidah yang kuat. Pada saat anak masih dalam kandungan, ia terbiasa
mendengarkan kata-kata manis dan lembut dari ibunya dan lantunan ayat-ayat Alquran.
Ada tiga tahap perkembangan pendidikan anak (dalam keluarga) menurut
Islam. Tahap pertama, yaitu pada saat anak berusia 0-7 tahun adalah pertumbuhan
balita, dimana akan sangat membutuhkan pemeliharaan dan kash sayang seorang
ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara, peranan ibu sangat vital. Sebab bahasa
yang pertama kali dikenal oleh anak adalah bahasa ibu. Daam usia 6 tahun anak
harus diajarkan adab sopan santun untuk membentuk akhlaqul karimah sang anak.
Pada tahap kedua, usia 7 sampai 10 tahun adalah adalah tahap pemeliharaan
anak, menyampaikan nasehat-nasehat Islami, dikenalkan kewajiban-kewajibannya
sebagai muslim. Tahap tadib (pengawasan) adalah tahap pada saat anak
menjelang akil baligh (7-15 tahun). Tahap ini merupakan masa yang penting karena
merupakan saat anak mengalami pubertas/perubahan. Oleh karena itu anak harus
dikenakan hukuman bila melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Suruhlah anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10
tahun bila mereka tidak shalat, pisahkanlah tempat tidur mereka (HR. Al Hakim
dan Abu Daud)
Tahap ketiga, jika anak telah mencapai usia baligh (lebih kurang ), dapat
dikatakan anak memasuki tahap penyempurnaan kepribadian (dewasa) dan mulai
dibebankan kepada tanggung jawab. Dalam hal ini anak mulai dikenalkan cara
mandiri untuk mencari nafkah dan lebih bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.
b. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
Setelah anak memasuki usia 5 tahun, peran keluarga dan masyarakat
(lingkungan) tidak lagi mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Pada usia ini anak
perlu mendapatkan proses yang terstruktur dalam suatu kurikulum. Satu-satunya
lembaga yang mampu menyelenggarakan fungsi in adalah sekolah. Pendidikan di
sekolah dilakukan berjenjang : tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi.
Proses pendidikan di suatu jenjang seharusnya dikembangkan serta dikokohkan di
jenjang berikutnya
Sekolah melaksanakan peran pendidikan ini melalui tiga perangkat, yaitu:
kurikulum berlandaskan aqidah Islam, guru/tenaga pendidikan yang profesional
serta berkepribadian Islam, serta sarana dan prasarana yang kondusif untuk
melakukan proses pembentukan sifat adil dan kapabilitas kepemimpinan pada anak.
Pendidikan kepribadian Islam di sekolah harus dilakukan pada semua jenjang
pendidikan sesuai dengan proporsinya, dengan berbagai pendekatan.
Kurikulum di sekolah harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan
sesuai dengan Islam, tentunya. Pada tingkat TK sampai SD, matri kepribadian Islam
yang diajarkan adalah materi-materi dasar. Hal ini mengingat anak didik berada
pada usia menuju baligh, sehingga lebih banyak materi yang bersifat pengenalan
guna menumbuhkan keimanan. Setelah mencapai usia baligh (SMP, SMU, dan
Perguruan Tinggi), materi yang diberikan bersifat lanjutan : pembentukan,
peningkatan, dan pematangan. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara dan
sekaligus meningkatkan keimanan serta keterikatan terhadap syariat Islam.
Selain kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam, guru dan pengelola
pendidikan juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian siswa. Untuk
bisa memberikan materi secara forma struktural dan nonstruktural guru harus
menguasai materi dan mampu menyajikannya dengan baik. Guru tidak hanya
berperan sebagai penyampai materi semata, akan tetapi lebih jauh lagi berperan
sebagai tauladan (uswah) yang baik. Tanpa teladan dari guru sulit diharapkan
tertanamnya kepribadian Islam pada anak didik.
Budaya sekolah merupakan proses yang tidak dapat diabaikan begitu saja
dalam proses pendidikan. Contohnya: mengingatkan teman (sesama siswa) yang
berbuat tidak baik, dengan cara yang maruf. Atau pihak sekolah memberikan
sanksi yang tegas bagi mereka yang tidak menutup aurat (menojolkan aurat /
berpakaian tidak sopan), bergaul yang tidak Islami, membuang sampah
sembarangan, dan lain sebagainya.
c. Masyarakat sebagai polisi sosial
Kontrol dari masyarakat juga diperlukan guna mengatasi bahaya yang lebih
besar lagi, karena lingkungan masyarakat merupakan tempat remaja tersebut
hidup. Masyarakat merupakan lingkup pendidikan nonformal, dimana remaja belajar
bersosialisasi dan menerapkan apa yang ia dapatkan dari keluarga dan sekolah.
Selain itu, dengan besosialisasi dengan masyarakat dan lingkungannya, remaja juga
belajar tentang norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya norma
kesopanan, norma susila, norma hukum, dan lain sebagainya. Kontrol dari
masyarakat juga diperlukan untuk membentuk perilaku remaja itu. Masyarakatlah
yang mengingatkan para remaja yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak
terpuji, misalnya : drag race liar, remaja berlainan jenis yang berdua-duaan, dan
lain sebagainya. Namun, kondisi yang sekarang ini dalam masyarakat sudah mulai
terkesampingkan. Masyarakat tidak lagi menjadi polisi sosial.
d. Kesimpulan
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Diharapkan kerjasama dari ketiganya akan mampu mengatasi bahaya pergaulan
bebas di kalangan remaja. Keluarga bukan hanya tempat para remaja ini untuk
menumpang hidup, makan dan tidur semata, melainkan di dalam keluarga para
remaja akan memperoleh pendidikan informal sebagai bekal mereka hidup di luar
lingkungan keluarganya. Jangan sampai keluarga hanya tahu mereka baik di dalam
rumah, tetapi di luar rumah mereka lepas kendali. Jadi, harus ada komunikasi di
antara kedua belah pihak. Sekolah juga bukan hanya tempat ia mencari ilmu,
melainkan juga sebagai tempat ia untuk belajar mandiri dan bersosialisasi dengan
masyarakat. Masyarakat sebagai polisi sosial harus mampu mengontrol tingkah
laku para remaja. Masyarakat tidak boleh bertindak masa bodoh, acuh tak acuh
melihat pergaulan para remaja yang sudah melanggar norma-norma yang berlaku
di lingkungan masyarakatnya.