Karya :
Kelompok Al-Bayyinah
-Zahier Aufa Nurhafy
-Nesha Callysta Andrya
-Naura Hasna Zahira
-Nayaka Fakhri Ali
-Aghniya Suci Ramadhani
-Asyifa Putri Latifah
-Aira Putri Pratiwi
-Rubby Rizandhy Shaumy Gunawan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan naskah
drama ini dengan baik. Naskah drama ini berjudul “Kerusuhan Mei 1998” yang
mengisahkan tentang Kerusuhan Mei 1998 yang bersudut pandang dari,Soeharto
dan Bj.Habibie,Kelompok Pemuda,Jurnalis,Aktifis Masyarakat,Manager
Alfamart,dan Orang Tianghoa.
Naskah drama ini kami susun sebagai salah satu tugasPendidikan Agama Islam.
Kami berharap naskah drama ini dapat memberikan pesan moral tentang
pentingnya kejujuran dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Kami juga
ingin menghormati para korban dan keluarga mereka yang telah menderita akibat
kerusuhan Mei 1998, yang merupakan salah satu lembaran hitam sejarah
Indonesia.
Kami menyadari bahwa naskah drama ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca dan
penonton. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung kami dalam menyelesaikan naskah drama ini. Semoga naskah drama
ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Sinopsis :
Pada bulan Mei 1998, Indonesia dilanda kekacauan sosial yang melumpuhkan
Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Di tengah kerusuhan yang memicu ketegangan
antar etnis, Soeharto, yang saat itu masih berkuasa, gagal mengendalikan
ketegangan yang terus meningkat. Sementara itu, B.J. Habibie, yang ditunjuk
sebagai pengganti Soeharto, dihadapkan pada beban berat untuk memulihkan
ketertiban dan meredakan ketegangan antar kelompok.
Pada Maret 1998, Soeharto dan Habibie dilantik sebagai Presiden dan Wakil
Presiden RI. Namun, situasi politik saat itu sangat tidak stabil akibat krisis
ekonomi dan tuntutan reformasi dari rakyat. Kerusuhan pecah di berbagai kota,
terutama Jakarta pada 12 Mei 1998
BJ.Habibie : Jika seperti itu siapa yang akan duduk di kursi kepresidenan?
Soeharto : Kau,Habibie!
Suasana kota Jakarta pada tahun 1998. Kekerasan dan kerusuhan terjadi di mana-
mana, terutama terhadap etnik Tionghoa yang menjadi sasaran amarah massa. Di
tengah kekacauan itu, ada sekelompok pemuda yang berusaha untuk melindungi
orang-orang yang beretnis Tionghoa dari ancaman para penjarah dan preman.
Mereka bersatu padu dan berani menghadapi bahaya demi menjaga Persatuan dan
solidaritas mereka.Mereka bersama remaja Tionghoa berlari ke sebuah gang
menyelamatkan dan bersembunyi di gang tersebut.
Pemuda berani 1 : Tenang, kawan. Kami tidak akan membiarkan kalian disakiti
oleh mereka. Kami adalah saudara, tidak peduli apa agama atau
etnis kalian.
Pemuda berani 2 : Iya, betul. Kami harus saling bantu dan lindungi di saat-saat
sulit seperti ini. Jangan takut, kami akan menjaga kalian sampai
situasi aman. (menepuk bahu orang Tionghoa)
Orang Tionghoa : Kalian sungguh luar biasa. Saya sangat berterima kasih
kepada kalian. Saya harap suatu hari nanti kita bisa hidup damai
dan harmonis tanpa ada kebencian dan diskriminasi.
(tersenyum)
Pemuda berani 1 : Amin. Kami juga berharap hal yang sama. Semoga Tuhan
melindungi kita semua. (mengangkat tangan)
Pemuda berani 2 : Ayo, kita harus tetap waspada. Siapa tahu ada yang mencari-
cari kita. Mari kita berdoa bersama agar kita bisa selamat dari
bencana ini. (menggenggam tangan orang Tionghoa dan
pemuda berani 1)
Adegan 3 : Perjuangan kejujuran Jurnalis
Jakarta, 15 Mei 1998. Kota yang biasanya ramai dan penuh warna kini menjadi
lautan api dan asap. Kerusuhan rasial yang meletus sejak dua hari lalu telah
mengubah wajah ibu kota menjadi neraka di bumi. Ribuan orang tak berdosa
menjadi korban kekerasan, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Di
tengah kekacauan itu, ada jurnalis yang tidak mau diam. Mereka adalah saksi mata
sejarah yang bertekad untuk menyuarakan kebenaran. Dengan kamera, pena, dan
nyali, mereka menyusuri jalanan yang berbahaya, mengabadikan adegan-adegan
mengerikan, dan mewawancarai para korban dan pelaku. Mereka tahu, apa yang
mereka lakukan sangat berisiko. Namun, mereka juga tahu, dunia harus tahu apa
yang terjadi di Indonesia. Ini adalah kisah mereka. Kisah para jurnalis yang
berjuang melawan pembungkaman pers.
Jurnalis : Selamat siang, Pak, saya dari majalah Tempo. Bolehkah saya
bertanya beberapa hal tentang kerusuhan yang terjadi di sini?
Jurnalis : Saya turut prihatin, Pak. Semoga istri Anda lekas sembuh.
Apakah Anda tahu apa penyebab kerusuhan ini?
Warga : Saya tidak tahu pasti, Mbak. Tapi saya dengar, ini karena
ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan Pak Harto. Banyak
orang yang menderita karena krisis ekonomi, harga-harga
melambung, dan pengangguran. Mereka menyalahkan Pak
Harto dan kroni-kroninya, termasuk orang-orang Cina yang
dianggap kaya dan rakus.
Warga : Saya tidak setuju, Mbak. Saya kira, ini semua adalah akal-
akalan dari orang-orang yang ingin menggulingkan Pak Harto
dengan cara yang tidak demokratis. Mereka memanfaatkan
situasi yang kacau untuk menyulut amarah rakyat dan
menyerang orang-orang yang tidak bersalah. Saya sendiri
punya tetangga yang Cina, mereka baik-baik saja. Mereka juga
ikut merasakan dampak dari krisis ini.
Warga : Saya tidak tahu, Mbak. Tapi saya harap, polisi dan tentara bisa
segera mengusut dan menangkap para provokator dan pelaku
kekerasan ini. Saya juga harap, Pak Harto bisa mendengar suara
rakyat dan melakukan reformasi yang dibutuhkan. Saya masih
percaya, Pak Harto adalah pemimpin yang bijaksana dan
bertanggung jawab.
Jurnalis : Terima kasih atas waktunya, Pak. Saya akan mencatat semua
yang Anda katakan dan melaporkannya ke redaksi. Semoga
situasi di sini bisa segera pulih dan damai.
Rina tidak bisa tinggal diam melihat negaranya terpuruk dalam korupsi. Ia telah
menyaksikan sendiri bagaimana rakyat menderita akibat kebijakan yang tidak adil
dan tidak transparan dari pemerintah. Ia ingin berbuat sesuatu untuk mengubah
situasi ini, untuk memberikan harapan kepada generasi mendatang. Ia bergabung
dengan kelompok aktivis masyarakat yang berani menantang penguasa. Ia bersiap
untuk mengikuti protes damai yang akan digelar besok, meskipun ia tahu risikonya
sangat besar. Ia bertekad untuk berjuang demi kebenaran dan keadilan, demi masa
depan yang lebih baik bagi negaranya.
Rina : Ayo, kita harus segera berangkat. Protes akan dimulai dalam
setengah jam lagi.
Teman : Iya, aku siap. Tapi, aku khawatir ada yang tidak beres. Apa kamu
tidak takut?
Rina : Tentu saja aku takut. Tapi, aku lebih takut jika kita diam saja dan
biarkan korupsi terus merajalela. Kita harus berani bersuara, menuntut
pemerintah untuk bertanggung jawab.
Teman : Aku setuju denganmu. Tapi, aku juga khawatir ada provokator yang
akan mengacaukan protes kita. Apa kita punya rencana jika ada hal-
hal yang tidak diinginkan terjadi?
Rina : Tenang saja, kita sudah berkoordinasi dengan kelompok lain. Kita
akan menjaga ketertiban dan keselamatan bersama. Jika ada yang
mencoba mengganggu, kita akan segera melapor ke polisi.
Teman : Oke, semoga saja semuanya berjalan lancar. Aku berharap protes ini
bisa membawa perubahan positif bagi negara kita.
Rina : Amin. Ayo, kita berangkat sekarang. Kita tidak sendirian, kita punya
banyak teman yang mendukung kita. Kita harus percaya bahwa kita
bisa membuat perbedaan.
Adegan 5 : Manager Alfamart menyediakan pasokan dan
perlindungan
Kota yang biasanya ramai dan damai kini berubah menjadi lautan api dan darah.
Kerusuhan yang dipicu oleh ketidakpuasan politik telah merenggut banyak nyawa
dan harta benda. Di tengah kekacauan itu, ada seorang manager Alfamart yang
tidak kehilangan hati nurani dan kemanusiaan. Dia berusaha membantu warga
sekitar yang terkena dampak terburuk dari kerusuhan dengan menyediakan
perlindungan dan pasokan.
Manager Alfamart : Selamat siang, Bu. Apa kabar? Saya lihat rumah Anda rusak
parah akibat kerusuhan kemarin.
Warga : Ya, saya sedih sekali. Saya kehilangan suami dan anak saya
dalam kebakaran. Saya tidak tahu harus berbuat apa sekarang.
Manager Alfamart : Saya turut berduka cita, Bu. Saya sangat menghargai
keberanian dan ketabahan Anda. Saya ingin menawarkan
bantuan kepada Anda dan warga lain yang terdampak. Saya
punya tempat perlindungan di belakang toko saya. Saya juga
punya persediaan makanan, air, obat-obatan, dan barang-barang
kebutuhan lainnya. Saya tidak meminta bayaran apa pun. Saya
hanya ingin membantu sesama manusia yang sedang
mengalami kesulitan.
Warga : Terima kasih banyak, Bu. Saya sangat berterima kasih atas
kebaikan hati Anda. Saya tidak menyangka masih ada orang seperti
Anda di tengah keadaan yang mengerikan ini. Saya akan mengajak
warga lain yang membutuhkan untuk ikut bersama saya ke tempat
Anda. Semoga Tuhan memberkati Anda, Bu.
Manager Alfamart : Sama-sama, Bu. Saya senang bisa berbagi dengan Anda. Saya
berharap situasi ini segera membaik dan kita semua bisa hidup
damai lagi. Ayo, Bu. Mari kita pergi ke tempat perlindungan
sekarang. Saya akan menyiapkan segala sesuatunya untuk Anda
dan warga lain.
21 Mei 1998 adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Setelah 32 tahun
berkuasa, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden
di tengah gelombang demonstrasi dan kerusuhan yang menuntut reformasi. Pidato
terakhirnya disiarkan secara langsung oleh televisi dan radio nasional, dan
disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia.
Dengan demikian, berakhirlah era Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Pengunduran diri Soeharto membuka jalan bagi era Reformasi yang diharapkan
dapat membawa perubahan positif bagi Indonesia. Namun, perjuangan rakyat
Indonesia untuk mewujudkan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan masih
panjang dan penuh tantangan.