Anda di halaman 1dari 8

TUGAS FINAL FEMINISME SASTRA

ANALISIS CERPEN FEMINIS

“LELAKI KE-1000 DI RANJANGKU” KARYA EMHA AINUN NADJIB

DOSEN

DRA. HJ. MUSLIMAT, M.HUM.

DISUSUN OLEH

AGNES PARAMITHA GOSALI (F011181327)

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
ANALISIS KETIDAKADILAN GENDER DALAM CERPEN
“LELAKI KE-1000 DI RANJANGKU” KARYA EMHA AINUN NADJIB

KETIDAKADILAN gender bukanlah persoalan baru dalam masyarakat, baik masyarakat


tradisional maupun masyarakat modern. Ketidakadilan gender adalah kondisi adanya
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara (Kemdikbud), yang umumnya merugikan pihak perempuan.
Ketidaksetaraan ini menghambat pemerolehan hak-hak perempuan sebagai manusia dan
menimbulkan banyak ketertinggalan bagi pihak perempuan. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
ialah (1) subordinasi, yakni penomorduaan salah satu gender; (2) stereotipe, yakni pelabelan atau
penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang cenderung negatif; (3) kekerasan, yakni
serangan atau invasi terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang; (4) beban kerja yang
berat sebelah, yakni beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak
dibandingkan jenis kelamin lainnya; dan (5) marginalisasi, yakni suatu proses peminggiran
akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Permasalahan gender yang diangkat dalam cerpen Lelaki ke-1000 di Ranjangku ialah bentuk
ketidakadilan gender kekerasan dan subordinasi. Bentuk kekerasan yang dialami tokoh utama
Nia ialah kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Hal ini dibuktikan melalui beberapa
kutipan cerpen berikut.
(1) “Seorang perempuan, dari hari ke hari, dari jam ke jam, harus mengangkang…”
Mengangkang memiliki asosiasi perihal seks. Kata harus pada frasa harus mengangkang
menunjukkan keadaan terpaksa atau dipaksa melalukan hal tersebut demi memenuhi
tunjangan yang dituntutkan pada yang bersangkutan. Dalam hal ini, Nia, dalam
filsafatnya sebagai seorang perempuan mempertanyakan jalan hidupnya yang hanya diisi
sebagai penyedia nikmat (mengangkang) bagi para lelaki.
(2) “Datanglah besok, pada jam kerja, semaumu. Nikmati tubuh dan senyumanku, kapan saja
kau bernafsu.” Frasa pada jam kerja meneguhkan pernyataan sebelumnya. Tuntutan yang
harus dipenuhi oleh Nia merupakan bagian dari pekerjaannya, yakni memuaskan birahi
pelanggannya.
(3) “Karena itu, sebagai primadona di salah satu wisma “Pasar Daging” ini, rata-rata aku
menerima 8 lelaki.” Pasar Daging tidaklah bermakna harafiah, melainkan menandai
suatu hal yang lain. Daging merujuk pada tubuh perempuan yang dijadikan objek pemuas
nafsu. Lebih spesifik pada daging payudara dan vagina; dua objek yang menjadi fokus
birahi laki-laki. Pasar Daging bisa merupakan nama tempat pelacuran Nia bekerja, atau
sebutan yang Nia buat sendiri bagi tempat kerjanya.
(4) “Kubuka pintu dan tersenyum. Lihat, aku tersenyum–inilah kemampuan dahsyat yang
membuatku laris. Kulirik jam: 8.35 WIB. Gusti Allah, siapa gerangan lelaki yang di pagi
buta begini sudah hendak beli sarapan?” Frasa membuatku laris juga menunjukkan
bahwa bidang pekerjaan yang digeluti Nia merupakan bentuk jual diri. Kata sarapan
merujuk pada tubuh Nia yang dijadikan menu santapan nafsu oleh lelaki yang
mencarinya.
(5) “Padahal, aku sesungguhnya tak punya keramahan lagi. Coba, siapa yang lebih bijak dari
pelacur? Tersenyum terus menerus kepada setiap lelaki, meladeninya seperti seorang
permaisuri yang terbaik atau setidaknya seorang istri teladan, melakukan segala
kemauannya tanpa boleh menolaknya kecuali aku kehilangan kemungkinan di hari-hari
berikutnya.”
(6) “Ah, kenapa mengeluh! Pelacur yang baik tak pernah mengeluh. Sekarang, ‘Tidur,
tidur…’”
Pada monolog (5) dan (6) tersebut, Nia sendiri mengakui bahwa dirinya memang seorang
pelacur. Secara miris Nia berusaha meningkatkan derajat pelacur dalam masyarakat.

Prostitusi dianggap sebagai bentuk kekerasan karena pekerjaan demikian dianggap rendah
oleh masyarakat, namun selalu ramai dikunjungi. Artinya, perempuan-perempuan yang bekerja
sebagai pelacur dianggap rendah dan hina, namun tetap dipaksa eksistensinya sebab disukai dan
dicari oleh para lelaki hidung belang yang membutuhkan tempat pelampiasan nafsu. Kontradiksi
ini menyebabkan pihak pekerja mengalami tekanan batin dan mental, dan hal ini juga dialami
oleh Nia. Ia menjadi putus asa dengan hidupnya. Pada percakapan dengan salah satu kliennya,
Nia mengaku sendiri bahwa ia memang putus asa. Kata-katanya kemudian terbukti melalui cara
atau jalan pikirannya yang tidak lagi merasa tenang dan bahagia, seperti dalam kutipan-kutipan
berikutnya.
(1) “Ia (Ron) tersenyum, dan memandangku dengan mripat burung hantu. ‘Kau putus asa,
Nia…’
‘Aku (Nia) memang putus asa. Bukan kau. Jadi, pergilah!’”
(2) “Tubuhku tergolek dan semuanya lemas. Kuhembuskan nafas panjang. Tapi, tak cukup
panjang. Dadaku selalu sesak. Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno, handuk-
handuk — sebenarnya ini semua kehidupan macam apa?”
(3) “Apa yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang
berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan,
kejenuhan dan rasa perih lahir batin.”
(4) “Tetapi, tak lama. Setidaknya begitu kurasakan. Dalam remang sakit batinku terdengar
ketukan di pintu.”
(5) “Semoga aku mati sebelum hancur sama sekali. Semoga ada yang menulari Herpes ke
tubuhku supaya kusebarkan ke seluruh lelaki yang datang dan meluas ke seantero kota
dan seluruh negeri. Aku toh bisa menikamkan pisau ke perutku sewaktu-waktu….”
Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan keputusasaan Nia dalam hidupnya. Pemikiran-pemikiran
bunuh diri (suicidal thoughts) seperti ini sering dialami orang-orang yang merasa tidak memiliki
tujuan atau makna lagi dalam hidupnya. Penderitaan yang digambarkan Nia tentang
kehidupannya menunjukkan sisi lain dari pora-pora prostitusi. Masyarakat seringkali
memandang prostitusi tempat bersenang-senang tanpa aturan dan norma sehingga perlu diblokir
aksesnya.
Pelacuran yang digeluti Nia pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh suaminya sendiri,
seperti dalam kutipan ini, “Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiri dan lelaki
yang mencampakkanku ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri”. Suaminya menjual dirinya
untuk dipakai oleh laki-laki lain setelah sebelumnya berselingkuh darinya. Kejadian tersebut
tidak hanya terjadi pada Nia, namun bahkan pada beberapa rekan kerjanya.
(1) “Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya terhadapku singkat umurnya dan makin
surut. Dan, sederhana saja, belakangan bahwa ia mulai bermain dengan sekian
perempuan lagi, dan ia tampak bergembira karena itu.”
(2) “Di halaman pertama pojok bawah, terpancang fotoku serta segala cerita tentang diriku:
korban lelaki binal, kini meladeni 8 orang tiap hari…”
(3) “Bahkan di sini banyak kawan-kawanku yang memang sengaja dijual oleh suaminya,
serta banyak contoh lain di antara puluhan ribu sahabat-sahabatku di kota ini.”
Pelacuran oleh suami seperti inilah yang dimaksud sebagai bentuk ketidakadilan gender
subordinasi yang telah disinggung sebelumnya. Subordinasi yang terjadi berupa derajat
perempuan (istri) dipandang lebih rendah sehingga secara sepihak diperjualbelikan oleh laki-laki
(suami).
Lika-liku penderitaan yang dialami oleh tokoh Nia bermula pada ketidaktaatannya pada
kedua orang tuanya. Ia bertemu dengan suaminya, muda, tampan, dan kaya, kemudian
mengabaikan nasihat kedua orang tuanya yang sudah menaruh cemas terhadap lelaki pilihan Nia.
Nia, yang sudah dimabuk asmara, lebih memilih kawin lari dibanding berunding dan
merenungkan pendapat orang tuanya. Tindakan gegabahnya kemudian menemui ujung pahit
ketika suaminya memutuskan untuk berselingkuh dan menjualnya menjadi pelacur, seperti yang
dikisahkan Nia pada kutipan berikut:
“Suamiku dulu kurang apa? Anak muda yang manis, pengusaha swasta yang berhasil,
caranya berjalan seperti pendekar dan mulutnya seperti pujangga. Segala mimpi dan
bayangan tentang hari depan ada dalam genggamannya. Namun, alasan terkuat sehingga
aku menjadi istrinya adalah karena aku mencintainya, tanpa aku pernah mencintai lelaki
mana pun sebelumnya. Apa yang kurang? Orang tuaku melarang kehendakku karena
mempertimbangkan latar belakang lelaki itu: perbedaan agama, lingkungan
pergaulannya, serta, kata ibu: ‘Cahaya matanya.’
Akan tetapi, kata orang, ‘lni zaman perubahan, anak dan orang tua tak akan bisa
dipertemukan.’ Maka akhirnya kutempuhlah riwayat paling buruk dengan orangtuaku.
Kami lari. Aku berbahagia sebentar, sampai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan
ini menunjukkan kuku-kukunya yang asli. Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya
terhadapku singkat umurnya dan makin surut. Dan, sederhana saja, belakangan bahwa ia
mulai bermain dengan sekian perempuan lagi, dan ia tampak bergembira karena itu.
Teranglah sudah. Tak bisa kukuasai lukaku, tak bisa kurumuskan semua itu dengan
pikiranku, dan untuk kembali ke orang tua aku amat sangat merasa dosa dan malu.”
Inilah yang dikritisi feminisme liberal. Feminisme liberal dalam mendefinisikan masalah
kaum perempuan tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Feminisme liberal
memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan berdasarkan rasionalitas kedua
gender. Pembedaan antara keduanya dianggap tidak perlu, karena baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama merupakan makhluk rasional, sehingga jika salah satu gender (dalam hal
ini merujuk pada perempuan sebagai pihak yang paling sering didiskriminasi) tidak mampu
bersaing dan kalah, yang salah adalah kaum gender itu sendiri.
Cerpen ini jelas menunjukkan bahwa ketidakadilan gender yang dialami Nia berakar dari
kesalahannya sendiri. Nia membiarkan emosi dan perasaan menguasai dirinya dan
mengesampingkan rasio dan logika yang menyediakan pertimbangan. Apabila Nia menggunakan
akal sehatnya dengan baik, dengan merenungkan pendapat kedua orang tuanya mengenai
kekasihnya, maka rentetan kejadian pahit dalam hidupnya dapat dicegah. Ia bisa saja
menggunakan metode konfrontasi pada kekasihnya dengan menanyakan beberapa hal yang
memicu sifat asli kekasihnya, namun hal itu tidak dipikirkannya hanya karena cinta. Pada
akhirnya, cinta mengkhianati dirinya, dan ia berhenti percaya pada cinta, seperti dalam kutipan
ini, “Cinta itu tak ada. Karena itu, ia terlalu banyak dibicarakan.”
Melalui data-data yang telah diidentifikasi di atas, dapat dilihat ketimpangan gender yang
terjadi dalam cerpen tersebut juga terjadi dalam realitas. Masalah-masalah tersebut merupakan
hal yang umum terjadi dalam lingkungan sekitar kita. Banyak anak-anak muda yang sudah
merasa lebih pintar dari kedua orang tuanya sehingga menganggap diri paling benar, “Akan
tetapi, kata orang, ‘lni zaman perubahan, anak dan orang tua tak akan bisa dipertemukan’”.
Pola pikir seperti ini menyebabkan kaum muda tidak lagi mengindahkan wejengan dan nasihat
kedua orang tuanya. Pada dasarnya pintar tidak sama dengan bijak. Meski lebih pintar, bukan
berarti lebih bijak. Hal ini seringkali luput dipahami oleh kaum muda yang lebih memilih
melangkah dalam jalannya sendiri. Tindakan-tindakan gegabah selalui menuai konsekuensi yang
tidak menyenangkan, seperti pada kasus yang dialami Nia.
Pelacuran yang dilakukan oleh suami sendiri juga terjadi dalam kehidupan nyata. Seperti
kasus AEM yang menjual istrinya sendiri dengan tarif Rp 1.500.000 per orang (dilansir dari
TribunJateng.com). Kejadian ini diungkap polisi di sebuah hotel di Tuban, Jawa Timur, Maret
2020 lalu. Prostitusi tersebut sudah dilakukan AEM terhadap istrinya sejak setahun lalu.
Motifnya ialah masalah keuangan dan fantasi karena sering menonton film biru. Kejadian serupa
dilakukan SS kepada istrinya di Pasuruan, Jawa Timur. SS menjual istrinya pada rekan-rekan
kerjanya seharga Rp 25.000, dan dikali dua apabila pembeli ingin merekam peristiwa mesum
tersebut.
Bentuk subordinasi perempuan oleh pihak laki-laki merupakan hal yang umum ditemui
dalam masyarakat, terutama dalam hubungan suami istri. Setelah menikah, suami seringkali
mencabut hak-hak istri sebagai manusia dan membuat istri harus turut sepenuhnya pada suami.
Itulah mengapa pemilihan pasangan hidup harus dilakukan dengan sangat hati-hati, terutama
bagi pihak perempuan. Dalam hal ini, perempuan harus mampu menggunakan nalar dan rasionya
dengan baik agar tidak terlena dengan pujangga-pujangga manis laki-laki yang seringkali hanya
digunakan untuk menggoda, tapi jarang dipertanggungjawabkan. Rasionalitas dalam kehidupan
sehari-hari sangat penting dalam mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
REFERENSI

Nadjib, Emha Ainun. [2019, 8 Januari]. Lelaki ke-1000 di Ranjangku. Caknun.com. Diperoleh
dari https://www.caknun.com/2019/lelaki-ke-1000-di-ranjangku/ (Diakses pada Senin, 11
Mei 2020 pukul 14.45)
Istri Dijual Suami Melalui Twitter, Layani 4 Pria Sekaligus di Ranjang, Tarif Perorang Rp 1,5
Juta. [2020, 22 Maret]. TribunJateng.com. Diperoleh dari
https://jateng.tribunnews.com/2020/03/22/istri-dijual-suami-melalui-twitterlayani-4-pria-
sekaligus-di-ranjang-tarif-perorang-rp-15-juta?page=1 (Diakses pada Selasa, 12 Mei
2020 pukul 17.11)
Lesmana, Agung Sandy. [2020, 10 Februari]. Dijual Suami Rp 25 Ribu, Pelanggan Pertama 5
Kali Setubuhi Istri Depan SS. Suarajatim.id. Diperoleh dari
https://jatim.suara.com/read/2020/02/10/190623/dijual-suami-rp-25-ribu-pelanggan-
pertama-5-kali-setubuhi-istri-depan-ss (Diakses pada Selasa, 12 Mei 2020 pukul 17.45)

Anda mungkin juga menyukai