Anda di halaman 1dari 5

Perumpamaan tentang Anak yang Hilang

Luk. 15:11-32

Teks Drama Kitab Suci

Tokoh:
Melky : Ayah
Andreas : Si Sulung
Juan : Si Bungsu
Patris : Teman
Marianus : Teman
Valentino : Teman
Sinta : Hamba
Fidelia, dkk : Pelayan

Narator: Alkisah, di sebuah desa hiduplah seorang ayah dengan kedua anak laki-lakinya
yaitu si Sulung dan si Bungsu. Mereka hidup berkelimpahan harta. Sifat kedua anaknya
ini berbeda. Yang sulung adalah anak yang rajin dan patuh pada orang tua, sedangkan
yang bungsu adalah anak yang suka hidup berfoya-foya. Suatu ketika, si bungsu
meminta kepada ayahnya untuk membagikan harta warisannya.
Juan: “Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku.”
Melky: “Untuk apa engkau meminta bagian warisanmu anakku? Bapak masih ada di
sampingmu. Lagipula bapak selalu memenuhi kebutuhanmu setiap hari.”
Juan: “Bapa, Juan ingin merantau. Juan ingin hidup bahagia dan mandiri.”
Melky: (Berpikir sejenak). “Oke baiklah anakku. Bapak akan memenuhi keinginanmu.”
(Melky mengambil uang di dompet dan memberikannya kepada Juan).
Juan: “Terima kasih bapak. Sekarang saya pamit dulu.”
Melky: “Anakku.... sebenarnya bapa terlalu menyayangimu. Demi kebahagiaanmu, bapa akan
tetap mendukung apa pun keputusan yang kamu ambil. Ingat...pergunakanlah harta itu secara
bijak supaya kelak kamu bisa hidup bahagia. Bapak akan tetap mendokanmu. Jika suatu saat
kamu ingin kembali. Bapak akan dengan senang hati menerima kamu di rumah ini.”

Narator: Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu
pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup
berfoya-foya.
Valentino: “Hey Marianus, Patris!! Lihat...Bukankah itu si Bungsu, Juan?”
Marianus: Kayaknya ia. Tapi, untuk apa ia berani merantau jauh-jauh kemari? Dia kan anak
orang kaya di kampung kita?
Patris: Aha....dia pasti punya banyak uang. Mumpung masih banyak uangnya, bagaimana
kalau kita manfaatkan dia?
Juan : Hey teman-teman. Apa kabar? Lama tak jumpa.
Valentino: Juan, mengapa kau merantau jauh-jauh ke sini? Lagipula, di kampung kamu sudah
punya segalanya.
Juan: Saya sudah bosan hidup di kampung. Saya mau cari suasana baru. Saya ingin hidup
bebas dan jauh dari orang tua.
Patris: “Benarkah?”
Marianus: Hey Juan... kalau kau ingin hidup free dan bersenang-senang, disinilah tempatnya,
Mau apa saja, semuanya tersedia. Kalau mau service, itu juga ada. Intinya....ada money....
Juan: Benarkah? Itu yang saya cari. Kalau soal uang, jangan ragu. Mau Berapa pun saya
banting. Anak orang kaya, kok takut?
Marianus: Ok, kalau begitu... bagaimana kalau malam ini kita ke diskotik. Di sana ada banyak
pelayan yang cantik dan seksi. Kita juga bisa pesta bir sampai pagi .
Juan: Ok malam ini kita ke diskotik...Intinya kita happy.

Adegan di Diskotik
Fidelia: “Mau pesan apa mas?”
Juan: “Saya pesan bir hitam 1 dos. Jangan lupa atur musik yang enak untuk karaoke.”
Fidelia: “Ok ...mas ganteng...pesanannya ditunggu yah.”
Marianus: “Sambil tunggu pesanan...ayo kita karaoke” (semua yang dipanggung berjoget
sesuai dengan iringan musik)
Fidelia: “Ini pesanannya mas.”
Juan: “Inikah yang namanya dunia malam di diskotik? Sungguh nikmat. Ayo kita minum
sampai sepuas-puasnya.”
Adegan pembayaran
Juan: “Hey pelayan....berapa semuanya”
Fidelia: “Semuanya, Rp. 600.000.”
Juan: “Ini uangnya” (Juan membanting Rp. 1000.000)
Fidelia: “Ini terlalu banyak, mas.”
Juan: “Ambil saja kembaliannya, cantik?”
Fidelia: “Wah, kaya benar orang ini. Ia pasti orang sukses atau pejabat yang kaya raya.”
(Lalu semuanya kembali ke rumah dalam keadaan mabok dan jalan sempoyongan).
Narator: Si bungsu ternyata tidak bisa memanfaatkan harta warisannya secara bijak. Ia
malah menggunakan harta warisannya untuk berfoya-foya. Satu bulan kemudian,
terjadilah kelaparan hebat yang menimpa negeri itu. Si bungsu pun jatuh miskin dan
mulai melarat. Uang yang diberikan oleh ayahnya, sudah habis. Ia sudah tidak punya
apa-apa lagi. Ia kemudian meminta pekerjaan seorang majikan, dan ia disuruh untuk
menjaga babi di kandang. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi
makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya.

Juan: “Halo Tuan.”


Lukas: “Hey siapa kamu? Dan mau apa kamu kemari?”
Juan: “Tuan, izinkan saya bekerja di sini. Saya mau bekerja apa saja. Intinya saya bisa makan.”
Lukas: “Dasar orang miskin. Kalau kau mau kerja di sini, pekerjaanmu Cuma di kandang babi.
Jaga babi saya di kandang dengan baik. Beri makan babi-babi saya setiap pagi dan sore hari.
Saya tidak mau dengar babi-babi saya berteriak karena kelaparan. Apakah kamu paham?”
Juan: “Iya tuan. Terima kasih.”
Adegan di kandang babi....
Juan: “Aduhuuuhhh...saya lapar sekali. Dari tadi pagi saya belum makan.”
Lukas: “Hey hamba pemalas.... Ayo kerja.”
Juan: “Tuan, saya lapar sekali...bolehkah saya makan makanan babi ini? Biar sedikit saja.”
Lukas: “Kamu ini babi atau manusia. Itu adalah makanan untuk babi-babi saya.”
Juan: “Tuan, saya cuma minta sedit saja.
Lukas: “Saya bilang tidak. Makanan itu untuk babi-babi saya.”
Narator: Si bungsu pun mulai menyesali perbuatannya karena tidak mendengarkan
nasehat ayahnya. Ia mulai menyadari keadaannya dan bertekad untuk pulang dan
meminta maaf kepada ayahnya karena ia telah berdosa terhadap surga dan terhadap
Bapaknya.
Juan: “Ahh..... kenapa semuanya harus terjadi seperti. Betapa bodohnya aku. Betapa
banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati
kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah
berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa;
jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.”

Narator: Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya
telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari
mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

Melky: “Anakku....(melky merangkul anaknya penuh kasih). “Kemana saja kamu”. “Sudah
lama bapak menunggu kamu di sini. Bapak sangat merindukanmu, nak.”
Juan: (bertekuk lutut di hadapan ayah).... “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap
bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.
Melky: “Hey Hamba, kemari!”
Sinta: “Ia tuan.”
Melky: “Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan
kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun
itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan
menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. “
Sinta: “Ia Tuan.” (Hamba membawa pakaian yang terbaik dan mengenakannya pada Juan)

Narator: Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di
ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan
nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya
apa arti semuanya itu.

Andreas: “Hey Hamba...kemari....Ada apa ini? Kenapa rame sekali?”


Sinta: Tuan...Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun,
karena ia mendapatnya kembali dengan sehat.
Andreas: (sambil marah). Ahh, ini sangat keterlaluan. Saya tidak terima.....Hey
hamba....panggil Bapa sekarang juga. Saya mau berbicara dengannya.
Sinta: “Ia tuan”
Melky: (Keluar dan berbicara dengan anaknya yang sulung). “Anakku...kenapa kamu tidak
mau masuk?”
Andreas: (Dengan ekspresi marah)... “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum
pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor
anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak
bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur,
maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.”

Melky: “Anakku...kenapa kamu omong seperti itu kepada bapak? “Engkau selalu bersama-
sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan
bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat
kembali.” (Lalu semuanya menari dolo-dolo sebagai ungkapan syukur)
Narator: Akhirnya mereka bersukacita dan bersyukur atas kembalinya si bungsu ke
pangkuan Bapa yang Maharahim.

Saudara-saudara terkasih, perumpamaan tentang kiranya mengajarkan kepada kita beberapa


hal penting:

Pertama, sering kali kita juga menjadi si bungsu yang jauh dari Allah, Bapa yang
Maharahim Tetapi pintu kerahiman Bapa tetap terbuka untuk kita, jika kita mau kembali
pada-Nya. Titik balik si anak bungsu adalah saat ia menyadari keadaannya. Ia teringat akan
bapanya yang begitu baik dan murah hati.

Kedua, begitu banyak orang yang hidup dengan Allah, merasa diri paling suci dan paling
benar. Di sini kita sebenarnya kita berperan si Sulung. Menyadari kesalahan dan kembali
pulang dengan pertobatan adalah sikap si bungsu yang dinanti-nantikan Allah.

Dan pada akhirnya, melalui perumpamaan ini, kita ingin dihantarkan pada suatu pengertian
bahwa Allah adalah kasih. Tuhan tidak ingin bahwa segala yang diciptakan–Nya itu hilang.
Allah akan senantiasa menantikan anak yang hilang itu untuk kembali kepada-Nya, sejauh
manapun kita pergi meninggalkan Tuhan, namun Ia akan senantiasa menantikan kepulangan
kita, itulah kasih setia Tuhan (Mazmur 139:7).

Anda mungkin juga menyukai