Anda di halaman 1dari 84

1

v
2
3
@2019, Febriawan Jauhari

Seni Menyiksa Diri

Oleh: Febriawan Jauhari

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mereproduksi atau memperbanyak


seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam
bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari
penulis

Desain sampul: lebahbertakwa

v
Tentang
Febriawan Jauhari terlahir di Lombok, tiga
Ramadhan. Biasa dipanggil ‘Jauh’. Sekarang
sedang melanjutkan studi di kampus Ibukota.

v5
Daftar Isi

Seorang Pesakitan .................................... 7


Kita yang Kotor …. .................................. 18
Kaum Rebahan ........................................ 25
Dekat yang Jauh ....................................... 38
Membanding-bandingkan ......................... 43
Terlalu Keras Kepala. ............................... 54
Sebelum Meminta .................................... 60
Hanya Karena Kamu Gagal ...................... 67
Tidak Baik-Baik Saja ............................... 41

6
Seorang
Pesakitan
Berbisik pada diri, "Kira-kira siapa
orang yang paling banyak aku
kecewakan?"

Sebagian diri menjawab, "Aku rasa


pasangan hidupmu. Kamu seringkali
bersikap egois, emosi berubah-ubah
semaumu. Tak terhitung berapa kali ia
terluka oleh ketidakperhatianmu
tentangnya?"

7
Sebagian diri yang lain menjawab,
"Aku rasa orang tuamu. Jika dihitung-
hitung banyak sekali yang mereka
korbankan untuk pertumbuhan dan
sekolahmu. Parahnya, kamu sering kali
meninggikan nada, berat hati jika
diminta melakukan sesuatu, dan lusinan
hal-hal yang membuat mereka terluka."

Sebagian diri yang lain menjawab,


"Aku rasa teman-temanmu. Mereka ada
saat bahagia juga sedihmu. Dengan
ringan hati meneguhkanmu saat jatuh.
Tapi kamu sendiri? Seringkali acuh saat
mereka butuh. Kamu tak membersamai
saat mereka dihempas badai
kehidupan."

8
Aku menunduk, mulai memaki-maki
diri, "Dasar tidak tahu terima kasih!
Padahal mereka telah memberikan
semua, tapi balasanmu sangat tidak
manusia!"

Tiba-tiba hati nurani terdalam berbisik,


"Memang benar kamu membuat
mereka kecewa, tapi aku rasa orang
yang paling banyak kamu kecewakan,
orang yang paling berhak kamu
memohon maaf padanya, adalah dirimu
sendiri.

Lihatlah, dirimu sedang terluka


mendapati kenyataan bahwa kamu
mengecewakan banyak orang, alih-alih

9
memeluk dan merangkul, kamu malah
memaki-makinya. Alih-alih mem-
perbaiki, kamu malah memperkeruh
keadaan!"

Aku tertegun, apa yang dikatakan oleh


hati nurani benar adanya. Hal ini
membawaku pada sebuah analogi
kejam seorang orang tua dan anaknya.

Bayangkan saja, setelah si anak belajar


mati-matian, ikut les sana-sini,
berangkat pagi pulang malam, saat
ujian datang, ia pun berusaha menjawab
sebenar dan sebaik mungkin.

Akhirnya tak berselang lama keluar


juga nilai ujian si anak dan aduhai!

10
ternyata nilainya biasa-biasa saja,
bahkan ada yang merah di beberapa
mata pelajaran. Serta merta si orang tua
tadi marah. Murka semurka-murkanya.

"Dasar goblok! Dasar anak tidak


berguna!" Teriaknya. Bahkan hampir-
hampir ia melayangkan tangan
menampar si anak.

Si anak hanya bisa menangis terluka.


Alih-alih merangkul memeluk si anak,
si orang tua malah pergi begitu saja,
meninggalkan si anak dengan hati yang
hancur berkeping-keping.

Aku seringkali bertindak seperti orang


tua itu, bayangkan setelah diri berjuang

11
mati-matian menjalani kehidupan ini
dengan sebaik mungkin, tapi masih
juga gagal, bukannya merangkul
memeluk, aku malah memaki diri
sendiri. Membiarkannya tidur di luar
rumah, berselimut dingin malam. Wal
hasil seringkali diriku menjadi frustasi
dan stres. Rasa-rasanya tidak sanggup
untuk menjalani hidup lagi.

Sungguh, orang yang paling


kukecewakan bukanlah pasangan
hidup, orang tua atau teman-temanku,
tapi yang paling sering kukecewakan
adalah diriku sendiri. Sering kali
melukainya.

12
Tak terhitung berapa kali kutikam
diriku dengan kekhawatiran akan masa
depan yang berlebihan.

Tak terhitung berapa kali kuhancurkan


diriku dengan ketakutan masa lalu yang
terus membayangi.

Belum lagi keragu-raguan saat akan


memulai sesuatu baru. Belum lagi iri
terhadap orang-orang.

Aku membiarkan diriku hancur. Aku


menghancurkan diriku sendiri.

Maka kepada diri, kepada hati, kepada


aku, dengarlah,

13
"Aku minta maaf padamu. Maaf yang
semaaf-maafnya. Betapa aku seringkali
membunuh dan menyiksamu. Sehingga
pernah beberapa kali kamu ingin
menyerah hidup. Kamu ingin
mengakhiri saja semua ini.

Maaf.

Padahal akulah benteng terakhirmu.


Orang-orang seantero galaksi boleh
saja memakimu, tapi selama aku tidak
ikut-ikutan memaki, aku yakin kamu
pasti bisa bersabar dan teguh. Tapi
naasnya, aku malah seringkali menjadi
yang terdepan, ikut memaki-maki,

14
sehingga tak terhitung berapa kali kamu
ingin mati saja.

Maaf.

Mulai hari ini aku berjanji untuk lebih


menyayangimu. Menjadi tameng-
tameng atas kekejaman manusia dan
dunia. Menjadi penyangga saat kamu
terpuruk jatuh. Aku berjanji.

Maka mulai sekarang, berlarilah kejar


mimpi-mimpimu, berjuanglah seserius
mungkin, terbang dan melesatlah!
Jangan takut jatuh, karena ada aku yang
siap untuk menangkapmu.

15
Kepada diri, mari berdamai. Mari
menjadi utuh."

16
“Tak terhitung berapa kali
kutikam diriku dengan
kekhawatiran akan masa depan
yang berlebihan.

Tak terhitung berapa kali


kuhancurkan diriku dengan
ketakutan masa lalu yang terus
membayangi. “

17
Kita yang
Kotor
Ini cerita lama, izinkanku
menceritakannya kembali.

Sepasang suami-istri baru saja pindah


rumah. Setiap pagi sembari
bersenandung ria si istri memasak
sarapan untuk sang suami,
menghidangkannya di atas meja makan
dekat jendela. Mengawali hari dengan
duduk berdua, duh romantis nian.

18
Sementara menyantap makanan,
pandangan si istri menatap menembus
jendela, menemukan tetangga yang
sedang menjemur pakaiannya.

"Ih jorok banget sih. Pakaiannya masih


kotor." Komentar si istri. "Lihat deh,
Pa. Masih banyak nodanya."

Sang suami melihat sekilas, kemudian


kembali membaca koran. Tidak
berkomentar apa-apa.

Keesokannya harinya, ritual yang sama


terulang kembali. Setelah memasak,
duduk berdua, melihat dari balik kaca
jendela si istri kembali mengomentari

19
cucian si tetangga, betapa tidak
becusnya ia.

Seperti hari kemarin, sang suami hanya


diam.

Di hari ketiga, dari balik kaca jendela


lagi-lagi si istri berkomentar pedas
tentang si tetangga. "Jangan nyuci aja
sekalian." Ucapnya ketus. "Pakaian
masih kotor gitu kok dijemur!"

Karena sudah tak tahan lagi sang suami


mengambil beberapa helai tisu, lantas
mengusap kaca jendela, seketika
berubah bening.

20
"Duhai!" Si istri berseru kaget, "Kok
jadi bersih gitu jemurannya?"

Iapun tepuk jidat, sadar ternyata selama


ini jendelanyalah yang kotor bukan
cucian si tetangga.

Dalam kehidupan sehari-hari kita


sering terjebak seperti si istri.

Orang-orang yang memposting


kebahagiaannya di sosial media,
menceritakan momen kebersamaannya,
prestasi yang diraihnya, perjalanan
liburannya, boleh jadi mereka hanya
sekedar ingin berbagi kebahagiaan, tak
ada niat sombong sedikitpun.

21
Kitanya saja yang terlalu kotor, hati
dipenuhi iri, sehingga setiap yang
dilihat selalu digelayuti nuansa curiga.

"Sombong banget sih! Kenapa harus


diposting.

Kan bisa dinikmati sendiri? Dasar


tukang pamer!"

Bukan, bukan mereka yang kotor, tapi


kitalah yang kotor. Bahkan jika ia tidak
menceritakan apapun, akan selalu ada
celah untuk mengomentarinya,
'Ngilang, gak ada kabarlah' atau 'Buat
apa main medsos kalau tidak ada
postingan' dan selusin komentar
lainnya.

22
Karena jendela kita yang kotor maka
tak peduli seindah apapun
pemandangan di luar, ia tetaplah jelek,
bikin kesal dan sakit hati.

23
“Orang-orang yang menceritakan
momen kebersamaannya, prestasi
yang diraihnya, perjalanan
liburannya, boleh jadi mereka
hanya sekedar ingin berbagi
kebahagiaan, tak ada niat
sombong sedikitpun.

Kitanya saja yang terlalu kotor,


hati dipenuhi iri, sehingga setiap
yang dilihat selalu digelayuti
nuansa curiga.”

24
Kaum
Rebahan
Bagi orang-orang malas seperti kita,
ujian adalah berkah, mungkin jika
tanpanya, kita tidak akan pernah
bersungguh-sungguh belajar.

Maka walaupun benci sekali ketika


musim ujian datang, bahkan benci
sebenci-bencinya, aku tetap bersyukur,
aku tetap belajar, mempersiapkan diri,
membaca buku bahkan begadang
sampai malam. Anehnya, ketika musim

25
ujian usai, ada perasaan sedih, sedih
karena berpisah dari versi diriku yang
rajin, kembali ke rutinitas para pemalas.
Maka jika boleh berdoa, Ya Allah
jadikanlah semua masa belajarku ujian.

***

Bagi orang-orang pendosa seperti kita,


masalah hidup adalah berkah, mungkin
jika tanpanya, kita tidak pernah kembali
merukuk-sujudkan jiwa dan raga untuk
Sang Pencipta.

Walaupun aku sangat benci masalah,


pusing bahkan hampir-hampir kepala
meledak dibuatnya, bahkan hati hampir

26
putus asa karenanya, aku sangat
bersyukur dengan kehadirannya.

Aku bisa merasakan shalat yang luar


biasa khusuk, tenggelam dalam doa-doa
syahdu, bahkan tak terasa rinai hangat
air mata mulai menetes basahi pipi.

Layaknya seorang anak yang sedang


bermimpi buruk, ketika dibangunkan
oleh ibunya dengan cara halus, ternyata
ia tidak bangun-bangun, tapi ketika
pintu digedor keras atau disiramkan air
kepadanya, ia langsung tersentak lantas
terbangun.

Akupun sama, mungkin selama ini aku


tertidur, terlelap dalam kemaksiatan,

27
terlalaikan oleh hiruk-pikuk dunia,
semua ini adalah mimpi buruk.

Lantas Allah datangkan peringatan-


peringatan lembut dari orang-orang
terdekat, tapi dasar aku! tak jua kunjung
terbangun. Akhirnya Allah timpakan
masalah yang begitu berat, serta merta
membuat terbangun.

Alih-alih melihat sebuah masalah


sebagai kutukan hidup aku lebih
memilih mendefinisikannya sebagai
tanda kasih Allah kepadaku.

Karena Allah ingin memuliakanku


maka Allahpun mengujiku.

28
Karena Allah ingin memperbaiki
kualitas hidupku maka Allahpun
menimpakan masalah padaku.

Pada akhirnya semua ini adalah hal


baik. Lantas kenapa begitu stres dan
frustasi?

***

Bagi orang kekanak-kanakan seperti


kita, kegagalan adalah berkah, mungkin
jika tanpanya, kita tidak akan pernah
dewasa-dewasa.

Hal ini mengingatkanku tentang


percakapan imajiner dengan gelas
keramik di dalam kamar. Motif bunga-

29
bunga menghiasinya, aduhai cantik
nian.

“Suka sekali melihat keindahan


sepertimu. Enak ya menjadi hal yang
indah. Dipuji-puji oleh banyak orang.”
Bisikku padanya.

“Andai saja kamu tahu perjalanan


hidupku tentulah kamu akan berpikir
sebelum berkata seperti itu.” Jawabnya.

“Ceritakanlah. Aku adalah seorang


pendengar yang baik.” Aku
memperbaiki posisi duduku, siap-siap
menyimak.

30
“Dulunya aku hanyalah tanah liat biasa,
sampai kemudian seorang pengrajin
dengan tangan kotornya mengambilku
lantas mencampakkanku ke sebuah
roda berputar. Ia mulai memutar-
mutarkan aku, membuat pusing tiada
tara. Akupun berteriak padanya,
“Hentikan! Kasihanilah aku! Aku tak
tahan!”

“Masih belum.” Kata pengrajin itu.

Lantas ia mulai menghantam dan


meninju-ninjuku berulang-ulang. Aku
berteriak kesakitan. “Kumohon
hentikanlah! Sakit!”

31
“Masih belum.” Si pengrajin tak
sedikitpun menghiraukan tangisanku.

Bahkan setelahnya ia melakukan hal


yang lebih buruk lagi, ia
memasukkanku ke dalam tungku
perapian, kemudian mulai
membakarku.

Aku menjerit sesakit-sakitnya,


menangis pilu, “Kumohon hentikanlah!
Kasihanilah aku! Kumohon!”

Si pengrajin kemudian mengangkatku


lantas membiarkanku menjadi dingin
selama beberapa waktu. Aku mulai
lega, berpikir bahwa mungkin
penederitaan telah usai.

32
Tapi tak berselang lama, si pengrajin
membawaku kepada seorang wanita
muda.

Ia mulai mewarnaiku, asap-asapnya


membuat mual tiada tara. Aku lagi-lagi
berteriak kesakitan, “Kumohon
hentikanlah!”

“Masih belum.” Bisik wanita itu.

Kemudian ia memasukkanku ke tungku


perapian. Untuk kedua kalinya aku
dibakar. Akupun berteriak kesakitan,
menjerit menangis, “Kumohon
hentikanlah! Hentikanlah! Aku tak
tahan lagi! Bunuh saja aku!”

33
“Masih belum.” Acuh wanita muda itu.

Tak beberapa lama kemudian ia


mengangkatku kemudian menaruhku di
samping cermin.

Saat membuka mata menatap cermin


aku menejrit terkejut sekaligus
terkagum-kagum, lihatlah!

Lihatlah!

Cermin itu memantulkan sebuah gelas


keramik yang sangat indah.” Si gelas
keramik menarik napas dalam-dalam,
ceritanya selesai sampai disini.

“Betapa hebatnya dirimu!” Bisikku


kepadanya.

34
***

Sungguh, bagi kaum rebahan seperti


kita, yang hatinya lebih condong
kepada kemalasan daripada kerajinan,
hal-hal berat yang datang dalam hidup
adalah berkah.

Lebih baik dipaksa berubah menjadi


orang hebat daripada dipersilakan
berleha-leha menjadi seorang
pecundang.

Aku selalu percaya bahwa what doesn’t


kill you makes you stronger. Jika
sesuatu itu tidak cukup kuat untuk
membunuhmu, maka hanya akan

35
membuatmu bertumbuh menjadi lebih
kuat dan hebat.

Maka disinilah aku berteriak,

“Wahai kesulitan, wahai kegagalan,


wahai keterlukaan,

Burulah aku!

Sungguh aku disini menunggu kalian.


Aku akan menyantap kalian sebelum
kalian menyantapku.

Aku akan menundukkan kalian,


sebelum kalian menundukkanku.

Mari bertarung!”

36
“Alih-alih melihat sebuah
masalah sebagai kutukan hidup
aku lebih memilih
mendefinisikannya sebagai tanda
kasih Allah kepadaku.

Karena Allah ingin


memuliakanku maka Allahpun
mengujiku.

Karena Allah ingin memperbaiki


kualitas hidupku maka Allahpun
menimpakan masalah padaku.”

37
Dekat yang
Jauh
Ada yang salah, jika waktu bersama
teman-teman lebih menenangkan
daripada waktu bersama dengan bunda.

Ada yang harus diperbaiki, jika obrolan


dengan bibi, bu guru, ibunya teman
lebih mengasyikkan daripada obrolan
dengan bunda.

Bagaimana mungkin orang jauh lebih


dekat daripada orang paling dekat?

38
Bagaimana mungkin orang paling dekat
lebih jauh daripada orang jauh?

Keluh kesah kita kepada teman


memang baik, tapi bantuannya hanya
sebatas menepuk pundak sembari
berkata, "Bersabarlah."

Tapi keluh kesah kita kepada bunda


jauh lebih baik dan indah akibatnya,
dipeluknya dirimu erat, dielus-elusnya
kepalamu penuh kasih sayang, tak
cukup dengan kata, bahkan jika harus
menempuh tujuh samudera, pasti bunda
akan melakukannya. Karena kamu
adalah dirinya yang kedua.

39
Tidak adil sekali kita, sering
sesenggukan menonton film tentang
pengorbanan orang tua, tersentuh
sembari menyeka ujung mata membaca
cerita pengorbanan ibu, bersungut-
sungut geram melihat berita tentang
anak yang melukai ibu-bapaknya.

Tapi, sesunggukan dan air mata itu,


tidak pernah sampai ke bunda. Tapi
kegeraman itu tidak pernah sampai
kepada diri sendiri yang sering melukai
bunda. Kenapa kita lebih memelih
tersentuh oleh kebohongan daripada
kenyataan di depan mata?

40
Aneh sekali cara kita menjalani hidup,
berjam-jam telponan dengan sang
kekasih, bangun tidur - makan bahkan
di kamar mandipun masih saling
berbalas pesan, tapi tentang bunda,
hanya dihubungi sekali seminggu.

Apa arti mencintai bunda? Jika tahun


kemarin dan tahun ini bakti kita sama
saja kepada bunda, sama-sama tidak
ada peningkatan, sama-sama masih
sering melukai perasaannya, sama-
sama masih hanya sekedar
mengucapkan di lisan.

Menjilid kenangan buruk, itulah yang


harus kita lakukan sekarang. Kenangan-

41
kenangan buruk saat kita menyakiti
bunda, mengabaikan perintahnya,
marah-marahan karena hal sepele,
semua itu haruslah dijilid rapi lantas
disimpan di hati, sebagai pengingat
bahwa mulai hari ini tak boleh lagi hal
yang sama terjadi.

Tidak boleh!

42
“Bagaimana mungkin orang jauh
lebih dekat daripada orang paling
dekat?

Bagaimana mungkin orang paling


dekat lebih jauh daripada orang
jauh?”

43
Membanding
Bandingkan
Hidup kita bahagia sampai kemudian
kita membandingkannya dengan orang
lain.

Wajah kita indah sampai kemudian kita


membandingkannya dengan orang lain.

Harta kita cukup sampai kemudian kita


membandingkannya dengan orang lain.

44
Maka benar sekali kata pepatah lama
itu, “Rumput tetangga selalu terlihat
lebih hijau.”

Bagaimana tidak hijau? Sedangkan kita


memandangnya dari kejauhan satu
kilometer.

Seperti gunung, jika kamu adalah


seorang pendaki pasti tahu betul bahwa
tidak semua bagian gunung ditutupi
pohon, bahkan ada yang kering
kerontang, tapi kenapa dari jarak
serratus kilo ia terlihat begitu hijau dan
mempesona?

Karena kita melihatnya dari kejauhan!

45
Begitupun dengan orang yang kita
jadikan pembanding hidup kita, semisal
seorang teman yang memenangkan
berbagai macam perlombaan.

Ia terlihat begitu mempesona karena


kita hanya melihatnya dari kejauhan.
Kita tidak tahu berapa kali ia
membenturkan kepalanya ke tembok
tersebab stres mempersiapkan diri, tak
terhitung berapa kali ia berniat
menyerah tersebab kerasnya latihan.
Kita tidak tahu apa yang sudah ia
korbankan sehingga ia bisa mencapai
prestasinya yang sekarang.

46
Lantas dengan mudah dan seenak
hatinya kita iri kepadanya, berharap
bahwa bukan dia yang berdiri disana,
tapi kitalah yang mengangkat piala-
piala.

Sungguh, kita adalah makhluk yang


sangat pandai merasakan sesuatu yang
tidak ada, dan lupa dengan sesuatu yang
ada.

Kita pandai sekali merasakan


kesuksesan orang-orang terdekat,
membuat dada kembang kempis marah
menahan iri, tapi kita sangat tidak
pandai merasakan kesuksesan sendiri.
Mensyukuri apa yang kita miliki.

47
Kita benar-benar payah dalam hal ini.

Maka bab syukur adalah salah satu bab


terbesar dalam pelajaran kehidupan.
Tak terhitung berapa hari kita yang
hancur tersebab dihabiskan dengan iri
hati.

Seorang teman terlibat percakapan unik


dengan adiknya. Si adik ingin sekali
mengganti hape. “Sudah butut”,
ketusnya.

Wal hasil ia uring-uringan selama


beberapa hari, tidak konsentrasi sekolah
dan merengek-rengek ke orang tua.

48
Maka teman ini berkata kepadanya,
“Kenapa tak mensyukuri hapemu yang
sekarang saja?”

“Bagaimana akan bersyukur jika


hapenya jelek seperti ini? Aku cukup
yakin dengan hape baru akan bisa
bahagia.”

“Belum tentu. Sebelum kamu


memilikinya saja sudah membuatmu
gelisah selama berhari-hari, terlebih
jika nanti kamu memilikinya.” Sergah
si teman.

Kita seringkali mendefinisikan


kebahagiaan itu adalah tentang

49
mencari, padahal kebahagiaan adalah
tentang menemukan.

Kita seringkali mendefinisikan


kebahagiaan itu adalah tentang dia,
padahal kebahagiaan adalah tentang
kita.

Daripada bersusah-susah mencari dia,


kenapa kita tidak berusaha menemukan
kita saja?

Mencari belum tentu menemukan, tapi


menemukan sudah tentu mendapatkan.

Mencari kebahagiaan pada barang ini


atau itu, orang ini atau itu, tempat ini
atau itu, belum tentu kita menemukan

50
kebahagiaan itu. Tapi ketika kita
melihat ke diri sendiri, menghitung-
hitung yang kita punyai,

tentang mata, telinga, juga lisan yang


masih baik-baik saja,

tentang orang tua, kerabat juga teman-


teman yang selalu peduli,

tentang hal-hal sederhana lainnya,


masih bisa menghirup udara,
merasakan hangat mentari, juga
teduhnya hujan,

maka sungguh kita akan menemukan


diri tertakjub-takjub, ternyata apa yang

51
kita miliki jauh lebih banyak daripada
yang belum kita memiliki.

Perasaan ini membuat kita bersyukur.


Rasa syukur ini terus-terusan
membesar, kemudian membesar dan
terus membesar, sampai-sampai tidak
ada waktu lagi untuk membandingkan
diri dengan orang lain.

Karena tidak ada waktu untuk


membandingkan diri dengan orang lain,
kitapun bisa lebih fokus dengan
pekerjaan kita. Wal hasil pekerjaan
menjadi cepat tuntas dan kualitasnya
sangat memuaskan. Perlahan tapi pasti,
kehidupan kita mulai melesat.

52
Kehidupan kita baik-baik saja sampai
kemudian kita membanding-
bandingkannya dengan orang lain.
Mengcopy-paste standar kesuksesan
mereka. Wal hasil kita tidak puas diri!

Dan diantara ribuan cara untuk


menikmati hidup kita malah memilih
untuk menikmatinya dengan cara
menyiksa diri!

53
“Kita pandai sekali merasakan
kesuksesan orang-orang terdekat,
membuat dada kembang kempis
marah menahan iri,

tapi kita sangat tidak pandai


merasakan kesuksesan sendiri.
Mensyukuri apa yang kita miliki.”

54
Terlalu
Keras Kepala
Jika kamu menatap laki-laki muda itu
belakangan ini, kamu akan dapati
pelangi membentang di matanya.
Senyum selalu merekah di bibir.
Bawaannya selalu bahagia. Coba tebak
kenapa?

Akhir-akhir ini ia sedang dekat dengan


seorang mahasiswi sekampus tapi beda
fakultas. Lima hal yang membuat
hatinya kesemsem tidak karuan,

55
pertama, dia begitu cantik. Kedua, ia
cerdas, saat diajak diskusi bahkan
tentang politik masyarakat planet
plutopun bakal nyambung. Ketiga,
solehah, agamanya bagus sekali.
Keempat, alhamdulillah belum ada
yang mengkhitbah. Kelima, dan ini
yang paling penting, sepertinya dia juga
memiliki rasa yang sama. Tolong garis
bawahi kata "sepertinya".

Siang-malam, pagi-petang pikiran


lelaki muda itu dipenuhi tentang sang
mahasiswi. Perlahan tanpa disadari,
mulai tumbuh keyakinan bahwa dialah
jodohnya, bahkan sangat pasti dialah
jodohnya. Dibayangkannya sebuah

56
rumah sederhana, tempat mereka
tinggal bersama, melarungi bahtera
rumah tangga.

Setelah mengumpulkan semua keping


keberanian, akhirnya lelaki muda itu
mengungkapkan semuanya, dari Alif
sampai Ya'. Sebuah iktikad baik untuk
menjejaki jenjang keseriusan.

Seperti ini kurang-lebih jawaban sang


perempuan, " Maaf, saya masih ingin
sendiri."

Bagai meteor yang menghujam bumi,


luluh lantah hati lelaki muda itu. Ia
lebur selebur-leburnya, hancur
berkeping-keping. Bagai tenggelam

57
jauh ke dasar samudera, tiba-tiba dunia
begitu gelap. Sungguh menyedihkan.

Jadinya, apa yang salah dari kisah ini?


Jawabannya mudah, lelaki muda ini
tidak menyertakan Allah dalam
harapannya. Seolah-olah dia memiliki
kuasa mutlak untuk menentukan
jodohnya. Sehingga ketika tidak
berjalan sesuai yang diharapkan, iapun
melebur hancur.

Parahnya, dalam banyak episode


kehidupan, kita sering berlaku seperti
lelaki muda diatas. Seolah-olah
memiliki kekuasaan untuk menentukan
akhir sebuah cerita. Menjadi saingan

58
dari tuhan. Betapa congkak dan
sombong.

Maka bijak sekali apa yang Rasulullah


ajarkan kepada kita dalam doa
istikharoh, "Jika ia baik maka
mudahkanlah, jika ia buruk maka
jauhkanlah."

Terjawab sudah, kenapa kita kecewa?


Bukan karena berharap agar sesuatu itu
terjadi tapi meyakini bahwa harapan
itu pasti terjadi

59
“Parahnya, dalam banyak episode
kehidupan, kita sering berlaku
seperti lelaki muda diatas. Seolah-
olah memiliki kekuasaan untuk
menentukan akhir sebuah cerita.
Menjadi saingan dari tuhan.
Betapa congkak dan sombong.”

60
Sebelum-
Meminta
Teduh laki-laki itu berbisik kepada
perempaun yang paling ia sayangi itu,
“Sebelum kamu memintaku untuk
menerima masa lalumu, bersediakan
kamu terlebih dahulu menerima masa
lalumu?

Sebelum kamu memintaku untuk


menerima lebih dan kurangmu,
bersediakan kamu terlebih dahulu
menerima lebih dan kurangmu?

61
Sebelum kamu memintaku untuk
memahamimu, maukah kamu terlebih
dahulu untuk memahami dirimu
sendiri?

Sungguh, mudah bagiku untuk


menerima masa lalumu, juga kurang
dan lebihmu, apalagi memahamimu,

tapi

selama kamu sendiri tidak berdamai


dengan masa lalumu, juga kurang dan
lebihmu, serta memahami dirimu
sendiri, maka setulus dan seteguh
apapun cinta dan penerimaanku tidak
akan memberi manfaat apa-apa, hanya
menjadi sia-sia.

62
Sungguh, cintaku bisa membuatku
ikhlas menerimamu, tapi apakah
cintamu pada dirimu sendiri cukup
mampu membuatmu mau menerima
dirimu?”

***

Benar sekali apa yang dibisikkan laki-


laki ini, dalam banyak kasus kita sering
meminta untuk dipahami, nyatanya kita
sendiri tidak memahami diri sendiri.

Dalam banyak kasus kita menuntut


orang-orang sekitar untuk mau ikhlas
menerima kegagalan kita, tapi di satu
sisi kita sendiri masih stres karenanya,
kepikiran terus menerus.

63
Dalam banyak momen kita menuntut
orang-orang untuk tidak terlalu
mempedulikan masa lalu kita, update
quote-quote bijak di sosial media,
nyatanya kita sendiri masih
menangisinya, masih trauma, masih
berkabung kesedihan.

Sungguh, orang-orang terdekat kita


sangat menyayangi kita. Sangat bisa
menerima apa adanya kita.

Tapi apakah kita juga seperti mereka?

Cobalah curhat kepada ayah dan ibu


tentang betapa kamu sangat tidak bisa
menjadi manusia yang membanggakan,
maka serta merta mereka akan

64
menjawab seperti ini, “Mungkin kamu
memang tidak cukup membanggakan
bagi semua orang, tapi percayalah di
hati kami kamulah yang paling
membanggakan.”

Cobalah curhat kepada sahabat


terbaikmu, tentang betapa gagalnya
dirimu, maka serta merta ia akan
berbisik seperti ini, “Mungkin kamu
tidak cukup hebat untuk semua orang,
tapi percayalah di hatiku kamulah
sehabat terhebatku.”

Cobalah curhat kepada pasangan


hidupmu tentang betapa tidak percaya
dirinya kamu dengan wajah

65
sederhanamu, maka serta merta ia akan
berbisik lembut seperti ini, “mungkin
kamu tidak cukup cantik bagi semua
orang, tapi percayalah, di mataku
kamulah yang tercantik.”

Akhirnya kamupun tersadar bahwa


selama ini, kitalah yang telah
menistakan diri kita sendiri, kitalah
yang terlalu takut dengan perkataan
orang-orang. Padahal mereka fine-fine
saja.

Maka sebelum menuntut orang-orang


untuk berdamai dengan kita, mari
terlebih dahulu berdamai dengan diri
sendiri.

66
“Dalam banyak momen kita
menuntut orang-orang untuk tidak
terlalu mempedulikan masa lalu
kita, update quote-quote bijak di
sosial media, nyatanya kitas
sendiri masih menangisinya,
masih trauma, masih berkabung
kesedihan.”

67
Hanya Karena
Kamu Gagal
Hanya karena kamu gagal pada
tanggung jawab itu, bukan berarti kamu
pasti akan gagal pada tanggung jawab
kali ini.

Hanya karena masa lalumu gelap,


bukan berarti masa sekarangmu juga
pasti gelap. Lebih-lebih takut
berlebihan bahwa masa depanmu juga
akan tak kalah pekatnya.

68
Jangan biarkan hal-hal yang tidak bisa
kamu ubah mempengaruhi hal-hal yang
bisa kamu ubah.

Bukankah kemarin hari yang berdiri


sendiri, dan hari ini juga hari yang
berdiri sendiri?

Kenapa bersikeras menggabungkan dua


hari yang memang terpisah, yang
memang berdiri sendiri?

Bukankah ini tindakan konyol?!

Seperti seseorang yang pergi ke teater


kemudian membeli dua tiket dengan
jam tayang yang sama. Apakah
mungkin baginya untuk menonton

69
kedua pertunjukan dalam waktu
bersamaan?

Mustahil!

Semustahil kita yang berusaha untuk


hidup di dalam dua masa: masa
sekarang dan masa lalu?

Apapun yang terjadi di masa lalu,


sudahlah, jangan terlalu dipikirkan,
jangan sampai kegagalan di masa lalu
terbawa-bawa di masa sekarang, wal
hasil kita tidak berani untuk melangkah,
merasa berat untuk mengambil
tanggung jawab.

70
Memang ada trauma yang masih
membekas, membuat ragu, tapi
keraguan dan kekhawatiran ini bukan
malah menjadi sebab kita tidak berani
mengambil kesempatan itu. Justru ini
menjadi senjata terkuat kita.

Seorang teman tiga kali mendaftar


untuk masuk ke kampus yang sama,
tapi ia tak kunjung-kunjung jua lulus.

Bukannya melemah, ia malah


bertambah semangat, karena pada
percobaan yang keempat kali ia
memiliki apa yang tidak dimiliki oleh
pendaftar lain, pertama, ia paham seluk-
beluk soal. Kedua, ia tidak grogi karena

71
sudah terbiasa tiga kali di posisi dan
momen yang sama. Ketiga, ia memiliki
persiapan yang jauh lebih matang
daripada yang lain.

Dan benar saja, pada percobaan


keempat kali ini iapun berhasil lulus.
Kini wajahnya berbinar-binar
menikmati menjadi mahasiswa di
kampus favoritnya itu.

Kita juga sama, kegagalan kita


bukanlah sebuah kejatuhan, tapi
pembelajaran, membuat kita sadar
kekurangan-kekurangan yang kita
miliki.

72
Trauma yang membekas, yang
menciptakan kekhawatiran bukan agar
kita berhenti melangkah, melainkan
agar kita bisa berhati-hati melangkah.

Kehati-hatian yang tidak dipunyai oleh


pesaing kita, wal hasil kita bisa melesat
jauh lebih cepat dan jauh lebih jauh.

Atau semisal seorang teman yang stres


melihat nilai ujiannya yang sangat tidak
memuaskan. Bukannya malah
menyerah, ia bertambah gila dalam
belajar.

Inilah yang membedakan orang besar


dengan orang kerdil, orang besar
melihat sebuah kegagalan sebagai

73
dorongan untuk memecut diri agar
maju, sedangkan orang kerdil melihat
sebuah kegagalan sebagai siksaan
untuk memcut dirinya agar mati.

Maka seperti kuda, semakin kencang


pecutannya semakin cepat ia berlari,
maka bagi orang berjiwa besar semakin
besar sebuah kegagalan semakin ia
bersemangat untuk bangkit dan
mencoba lagi.

Bukankah kamu sendiri sering


melihatnya, di televisi-televisi atau
kanal-kanal youtube tentang orang-
orang terkaya di dunia yang bercerita

74
sejarah hidup mereka, hampir tak ada
satupun yang tak pernah gagal.

Bahkan sebagian mereka bangkrut,


dililit hutang milyaran. Tapi alih-alih
menyerah, mereka memilih berdiri
tegar melawan. Mencoba membalikkan
keadaan, berjuang memenangkan
pertandingan.

Ketika kita sukses besok lusa,


kegagalan kita bukan lagi kegagalan,
tapi sebuah proses yang akan
menginspirasi jutaan manusia.

Tapi coba bayangkan jika mereka


memilih untuk berhenti, menyerah
karena trauma, akankah mereka bisa

75
sampai di posisi mereka yang
sekarang?!

Maka lepaskanlah!

Lepaskanlah dirimu. Biarakan hal-hal


yang bisa kamu lakukan menghapus
hal-hal yang tidak bisa kamu lakukan.

Biarkan suksesmu memenangkan


kegagalanmu.

Biarkan masa sekarangmu memenang-


kan masa lalumu!

76
“Lepaskanlah dirimu. Biarakan
hal-hal yang bisa kamu lakukan
menghapus hal-hal yang tidak
bisa kamu lakukan.

Biarkan suksesmu memenangkan


kegagalanmu.

Biarkan masa sekarangmu


memenangkan masa lalumu!”

77
Tidak Baik-
Baik Saja
Kapan aku tahu kehidupanku tidak
sedang baik-baik saja?

Pertama, saat aku iri terhadap


seseorang. Kita tak pernah iri dengan
seseorang yang mendapatkan bagian
lebih sedikit dari kita. Kita selalu iri
kepada yang lebih hebat, lebih cerdas
dan lebih maju. Dari sini aku belajar,
sejatinya aku jauh tertinggal, aku lebih
bodoh dan payah darinya. Dan ini

78
sangat tidak baik-baik saja. Ada
kualitas yang harus diperbaiki.

Maka daripada menyibukkan diri


menjatuhkannya, aku lebih memilih
untuk belajar darinya, memintanya jika
berkenan mengajarkan prinsip dan
gagasan yang ia terapkan. Aku harus
lebih baik darinya.

Kedua, saat aku dikritik oleh orang-


orang. Sekotor-kotornya mulut
pengkritik pasti ada satu-dua yang
benar. Karena jika tidak benar,
mengapa kita berlelah-lelah marah
meladeninya? Bukankah kita
tersinggung karena ada bagian dari

79
kritiknya yang seolah melukai harga
diri kita? Dan ini berarti ada yang
kurang dari pekerjaan atau sikapku. Ini
tidak baik-baik saja.

Maka daripada menyibukkan diri


membalas dan berdebat, walau perih
aku lebih memilih mengambil
kritiknya, mengevaluasi diri. Bukankah
di luar sana ada orang yang membayar
mahal untuk mengevaluasi
perusahaannya, syukur-syukur disini
ada yang mau bermurah hati
melakukannya.

Ketiga, saat aku jatuh dan gagal. Aku


tak pernah menyalahkan keadaan atau

80
kesempatan yang kurang bersahabat.
Aku gagal karena usahaku yang kurang
maksimal. Aku jatuh karena ketidak
hati-hatian dalam melangkah.
Bukankah anak panah harus ditarik ke
belakang baru ia bisa melesat menuju
papan bidikan? Begitupun filosofi
kegagalan.

Maka daripada menyibukkan diri


dengan mengutuki pribadi, aku lebih
memilih untuk mengobarkan semangat,
mengaung sekali lagi. Bukankah singa
yang terluka lebih dahsyat terkemannya
daripada yang santai-santai saja?
Bukankah potensi kita akan maksimal
saat kita di ambang batas kehancuran?

81
Bukankah setiap kebangkitan superhero
terjadi justru ketika sangat terpuruk?

Kapan aku tahu kehidupanku tidak


sedang baik-baik saja? Saat momen
terburuk dan terberat dalam hidup. Aku
selalu yakin mereka datang bukan
untuk melemahkanku, tapi untuk
melecut lantas kembali bergerak
menuju kejayaan.

82
“Kapan aku tahu kehidupanku
tidak sedang baik-baik saja? Saat
momen terburuk dan terberat
dalam hidup.

Aku selalu yakin mereka datang


bukan untuk melemahkanku, tapi
untuk melecut lantas kembali
bergerak menuju kejayaan.”

83
84

Anda mungkin juga menyukai