Anda di halaman 1dari 13

Gus Jakfar

Oleh A. Mustofa Bisri


Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqin" dan sesepuh di
daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus
Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan
yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat tinggi
dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata
Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan
anaknya yang satu itu.
"Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solikin suatu hari
kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. "Saya
sendiri tidak paham apa maksudnya."
"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering
mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. "Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat
kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat,
Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum
dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat
keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?' Tak lama kemudian orang sabrang
itu datang melamarnya."
"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet. "Kalian kan mendengar sendiri
ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung
sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?' Lho, ternyata besoknya
Kang Kandar meninggal."
"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "Nggak
tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."
"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah
kepingin ikut bicara.
"Waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah, saku
sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?' Padahal saat itu saku saya justru
sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang
diselenggarakan Pemda tingkat propinsi."
"Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik
mendengarkan.
"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil. "Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar.
Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para
santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren
seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar
menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah
menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda.
Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-
benar kehilangan keistimewaannya.
"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru
Slamet penuh penyesalan. "Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?"
"Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun. "Kalau saja
kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau
dan mengapa beliau kemudian berubah."
"Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil. "Paling tidak, kini kita bisa
setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti
pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang
terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita
langsung saja menemui beliau."
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum'at sehabis wiridan salat Isya, saat
mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi
rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar,
jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa
segan, was-was dan takut.
Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan
maksud utama kedatangan rombongan: "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam
ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan
sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."
"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. "Sikap yang mana?
Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah."
"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet,
"kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak
mau."
"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan
bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan,
"Ceritanya panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
"Kalian ingat, saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin
bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. "Suatu
malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang
tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km ke arah
selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang
tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada
beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."
"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk
berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan
tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi
dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir
semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah
seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk."
'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu' katanya. 'Nanti nakmas akan berjumpa
dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang,
nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang
nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah
tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo.
Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?'
'Kiai Tawakkal.'
'Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'
"Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan
sekelompok rumah gubuk dari bambu."
"Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai
Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.
Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari
mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak
mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri.
Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua
kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya
ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau
yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf
yang cukup besar dan berbunyi 'Ahli Neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini
saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya
lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani
banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-
yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening
beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis
berwudhu. Gila!"
"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang
saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki
dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya
tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu
berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat
sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab
besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau
keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali-
mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu;
tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani
Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka."
"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat kesempatan
atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah
kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu
saya."
"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi.
Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi
undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak
terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus
berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang
disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati
mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang."
"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut
belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung
yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya
mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu
masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk
melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai
mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang
suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
'Mas Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya,
memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai
pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal
melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya
pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh
dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai
Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat
sedikit!' Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya.
Katanya, 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman
katanya'. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan
saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan".
"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba
saya dengar Kiai menawari, 'Minum kopi ya?!' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi
satu lagi, Yu!' kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat
saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya
hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."
"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'-nya dan membiarkan saya
bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang
terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-
orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata?
Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-
tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan
karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat
tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah."
'Mas, sudah larut malam,' tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. 'Kita
pulang, yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan
kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung,
saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak
menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!'
katanya."
"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai.
Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan
di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang,
beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. 'Ayo!'
teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai
yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di
bawah pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya
yang sibuk berpakaian. 'Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah
sampai pondok.'
Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata
mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah
menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih
terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu
sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau
yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus
berbicara.
'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda "Ahli
Neraka" di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang
menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau
lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan
tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya,
apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke
sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau
berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani
mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti
masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin
berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita.
Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?'
Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-
nepuk punggung saya. 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa
anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang
berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah.
Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang
cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai
kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat.
Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak'
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa
yang selama ini sudah saya ketahui.
'Ayo kita pulang!' tiba-tiba Kiai bangkit. 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh
nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat
banyak dari kiai luar biasa ini."
"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan
bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi
bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa
ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal,
orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu
yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. 'Apakah
sampeyan Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah
bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo,
katanya milik sampeyan.'
'Beliau di mana?' tanya saya buru-buru.
'Mana saya tahu?' jawabnya. 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun
yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.'
Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah
sikap saya itu tetap merupakan misteri."
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan
masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.

Rembang, Mei 2002


A. MUSTOFA BISRI adalah Wakil Rais Aam PBNU. Lahir di Rembang, Jawa Tengah,
10 Agustus 1944. Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini adalah pengasuh Pondok Pesantren
Raudlatuh Tholibin. Dikenal sebagai penyair, pelukis, cerpenis dan kolumnis.
“Gus Jakfar” adalah cerpen terbaik harian Kompas tahun 2004.

ANALISIS CERPEN
“GUS JAKFAR”
Karya A. Mustofa Bisri
dengan Pendekatan Sosiologi Sastra

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sastra


Dosen Pengampu: Retno Purnama Irawati, S.S, M.A
Disusun oleh :
ROZAENAH
NIM : 2303412012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫ اشهدأن ال اله إال هللا و اشهد أن محمدا رسول هللا والصالة والسالم على أشرق األنبياء والمرسلين‬،‫الحمدهلل رب العلمين‬
‫ اما بعد‬،‫محمدوعلى آله و أصحابه أجمعين‬.
Puji syukur Alhamdulillah kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
atas segala curahan rahmat dan inayah-Nya akhirnya penuis berhasil menyelesaikan
penulisan analis ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada sang
revolusioner penakluk kebodohan dan kezaliman, beliau Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada umatnya cahaya kegemerlapan menuju kebenaran hakiki.
Analisis dengan judul “Analisis Cerpen “Gus Jakfar” Karya A. Mustofa Bisri
dengan Pendekatan Sosiologi Sastra” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas
akhir mata kuliah Pengantar Ilmu Sastra. Namun lebih dari itu analisis ini merupakan
sebuah titik kulminasi atas pembacaan penulis terhadap karya sastra, dalam hal ini
dikhususkan pada cerpen “Gus Jakfar” karya A. Mustofa Bisri. Dalam proses analisis ini
penulis tidak terlepas dari berbagai hambatan dan kendala, namun berkat pertolongan Allah
SWT serta dukungan dan motivasi dari berbagai pihak, teman, sahabat, saudara dan orang-
orang yang penuh cinta kasih akhirnya analisis ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang terikat selama proses studi dan penulisan
analisis ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan
analisis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat menerima kritik
dan saran yang konstruktif, bagi kesempurnaanya analisis ini.

Semarang, 15 Desember 2012


Penyusun

ROZAENAH
NIM : 2303412012
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 3
1. 1. LATAR BELAKANG............................................................................... 3
1. 2. LANDASAN TEORI................................................................................. 4
1. 3. RUMUSAN MASALAH............................................................................ 5
1. 4. TUJUAN...................................................................................................... 5
1. 5. MANFAAT.................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 6
2. 1. Mengungkap Faktor-faktor Sosial yang Terkandung dalam Cerpen
“Gus Jakfar”.......................................................................................... 6
2. 2 Realitas sosial Masyarakat Pesantren.................................................... 7
2. 3. Hubungan antara Faktor-faktor Sosial yang Terkandung dalam
Cerpen dan Realitas Sosial Masyarakat................................................ 8
BAB III PENUTUP............................................................................................. 12
4. 1. KESIMPULAN............................................................................................ 12
4. 1. SARAN......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 13
LAMPIRAN.......................................................................................................... 14

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. LATAR BELAKANG
Proses kreatif yang dilakukan pengarang melalui karya sastra sangat mungkin
berasal dari kehidupan sosial yang dekat dengan kehidupan si pengarang. Kehidupan sosial
biasanya diatur oleh institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Meminjam istilah Wellek
dan Warren (1977:109), sastra adalah “institusi sosial yang memakai medium bahasa.”
Wellek dan Warren juga menyatakan karya sastra sebagai suatu yang “menyajikan
kehidupan” dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya
sastra juga meniru “alam” dan dunia subjektif manusia. Kenyataan sosial yang disajikan
dalam karya sastra biasanya mengambarkan kondisi sosial suatu masyarakat dengan jelas.
Pengarang dalam mengungkapkan ide-idenya memilih sastra sebagai medianya.
Karya sastra tersebut dapat berupa prosa, drama, atau puisi. Pengungkapan ide pengarang
lewat puisi tentu akan berbeda dengan pengungkapan lewat drama. Demikian juga halnya
pengungkapan dengan cerita pendek atau cerpen. Tarigan (1984:176-177), yang mengutip
pendapat Ajip Rosidi, mendefinisikan cerpen sebagai “Kebetulan ide .... Dalam kesingkatan
dan kepadatannya itu, sebuah cerpen adalah lengkap, bulat,dan singkat. Semua bagian dari
sebuah cerpen meski terikat pada suatu kesatuan jiwa : padat, pendek, dan lengkap. Tak ada
bgaian-bagian yang boleh dikatakan ‘lebih’ dan bisa dibuang.”
Cerpen “Gus Jakfar” karya A. Mustofa Bisri merupakan cerpen yang bernafaskan
Islam dengan latar budaya pesantren Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut dapat
dilihat melalui tokoh-tokoh dan latar yang mewakili dunia pesantren. Utomo (2006) juga
mengemukaan adanya indikasi budaya pesantren dalam cerpen-cerpen Gus Mus.
Melalui tokoh Gus Jakfar yang menjadi judul cerpen dalam Lukisan Kaligrafi dan
tema religiusitas masyarakat pesantren Jawa yang diangkat Gus Mus dalam cerpennya,
telah menghadirkan karakteristik atau warna yang berbeda dalam kesusastraan Indonesia
modern. Hal ini yang mendasari penulis untuk mengambil cerpen “Gus Jakfar” sebagai
bahan untuk analisis cerpen dengan pendekatan sosiologi. Selain itu masalah sosial umat
Islam yang dihadirkan Gus Mus melalui cerpen “Gus Jakfar” ternyata menjadi kritik sosial
terhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di Indonesia. Kritik sosial yang
disampaikan Gus Mus dalam cerpen ini ditujukan kepada masyarakat pesantren Jawa dan
masyarakat Islam Indonesia.

1. 2. LANDASAN TEORI
Analisi ini berlandaskan pada teori sosial sastra yang menyatakan adanya
hubungan antara karya sastra dengan masyarakat. Teori ini menyebutkan bahwa sastra
merupakan cermin masyarakat. Hal ini dapat dikatakan demikian karena pengarang karya
tersebut merupakan anggota atau bagian dari masyarakat. Selain itu, karya sastra yang
dihasilkannya menampikan kondisi masyarakatnya.
Wellek dan Warren (dalam Damono, 2002:3) telah membuat klasifikasi sosiologi
sastra. Klasifikasi pertama adalah sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang pangarang sebagai penghasil
sastra. Klasifikasi kedua adalh sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu
sendiri; yang menjadipokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastradan apa
yang menjadi tujuannya. Klasifikasi ini mengajukan pertanyaan mengenai tujuan
penulisannya seperti yang tersurat di dalam karya-karya itu dalam kaitannya dengan
lingkungan sosial budaya yang telah menghasilkannya (dalam Damono, 2002:3).
Sementara itu, Ian Watt dalam sebuah artikelnya (dalam Damono, 2002:4)
membicarakan hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Watt juga
menyebutkan klasifikasi sosiologi sastra yang tidak banyak berbeda dengan Wellek dan
Warren. Lebih lanjut, Watt menjelaskan klasifikasi “sastra sebagai sermin masyarakat.”
Namun, pengertian sastra sebagai cermin masyarakat tidak selalu tepat untuk membedah
sebuah karya sastra karena bisa jadi masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra
tersebut tidak disuguhkan dengan teliti. Pandangan sosial pengarang tetunya masih harus
diperhitungkan untuk menilai karya sastra. Akan tetapi, konsep sastra sebgai cermin atau
refleksi masyarakat dapat digunakan untuk mengetahui masyarakat apa yang ditampilkan
dalam sebuah karya sastra. Selain itu, mengutip pendapat Grebstein (dalam Damono,
2002:6), karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan
dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan.

1. 3. RUMUSAN MASALAH
Beberapa masalah yang penulis kaji dalam analisis cerpen “Gus Jakfar” adalah sebagai
berikut :
1) Apa saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Gus Jakfar” ?
2) Bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat pesantren ?
3) Bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen dan
realitas sosial masyarakat pesantren ?

1. 4. TUJUAN
Adapun tujuan dari analisis cerpen ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen “Gus
Jakfar” .
2) Untuk mengetahui bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat pesantren.
3) Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung dalam
cerpen dan realitas sosial masyarakat pesantren.

1. 5. MANFAAT
Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1) Untuk memberikan informasi apa saja faktor-faktor sosial yang terkandung dalam cerpen
“Gus Jakfar”.
2) Untuk memberikan informasi bagaimana realitas sosial yang ada dalam masyarakat
pesantren.
3) Untuk memberikan informasi bagaimana hubungan antara faktor-faktor sosial yang
terkandung dalam cerpen dan realitas sosial masyarakat pesantren.

BAB II
PEMBAHASAN

2. 1. Mengungkap Faktor-faktor Sosial yang Terkandung dalam Cerpen “Gus


Jakfar”
Dalam cerpen “Gus Jakfar” dikisahkan bahwa tokoh Gus Jakfar adalah kyai yang pandai
membaca tanda-tanda seseorang. Kepandaian yang dimaksud di sini bukanlah kepandaian yang
diidentifikasikan sebagai peramal, dukun, atau cenayang. Ia kyai yang mempunyai kelebihan
tertentu. Dikisahkan pula bahwa pada suatu hari ia pergi selama beberapa minggu, setelah ia
kembali, orang-orang disekelilingnya merasa heran karena ia bersikap berubah seolah ia tidak
punya keistimewaan lagi. Ia tidak lagi membaca tanda-tanda seseorang meski disuruh sekalipun.
Hal ini menimbulkan rasa penasaran dan akhirnya datanglah beberapa orang kerumahnya untuk
menyanyakan apa penyebab dari perubahan sikapnya itu. Kyai itu pun kemudian bercerita :
Bermula dari mimpi berjumpa dengan ayahnya. Sang ayah, Kyai Saleh, menyuruhnya untuk
mencari Kyai Tawakkal. Ia lalu berkelana. Dan akhirnya bertemulah ia dengan Kyai Tawakkal atau
Mbah Jogo. Hal ini masih bisa disebut sebagai realitas atau lebih tepatnya relitas lain yang terjadi
daam kehidupan para kyai. Di sini penulis, Gus Mus, bermaksud mengungkap “potret” komunitas
persekitaran, yakni kehidupan pesantren. Cerpen ini memang menampakkan karya sastra yang
cenderung menganut pendekatan tradisi budaya yang berupa bentuk-bentuk spiritualitas dan
agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk
berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam. (Abdul Hadi WM :
1999).
Dalam cerpen ini diceritakan pula peristiwa tentang tanda pada kening kyai Tawakkal
yang bertuliskan “ahli neraka”; sang kyai yang datang ke warung remang-remang; berjalan di atas
permukaan air sungai; dan bisa menghilang secara tiba-tiba entah kemana. Sosok Kyai Tawakkal
yang diceritakan dalam cerpen ini terkesan misterius dan menyimpan misteri. Peristiwa-peristiwa itu
sepintas terlihat irasional dan sulit diterima dalam logika. Namun bagi kyai, santri atau kalangan
pesantren, kisah sejenis itu kerap diyakini sebagai kebenaran yang hanya dapat dialami oleh
orang-orang tertentu yang dianggap pantas mengalaminya. Kisah seperti itu berada dalam garis
tipis peristiwa faktual bagi mereka yang mempercayainya, dan peristiwa irasional bagi mereka yang
tidak mempercayainya. Tetapi ia tetap hidup dan diyakini sebagai fakta sosiologis dalam komunitas
pesantren.
Terlepas dari kemistisan tema cerpen “Gus Jakfar” tersebut, penulis berusaha
menyampaikan pesan secara langsung melalui pernyataan Kyai Tawakkal kepada Gus Jakfar.
Berikut ini adalah salah saru bentuk kritik terhadap posisi kyai yang belum tentu masuk ke daalm
surga.
Sebagai kyai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke surga
kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang yang di warung yang tadi kau pandang
sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya,
tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karenakebaikan kita pun berasal
dari-Nya. Bukan begitu?
Kutipan di atas memberitahukan bahwa posisi kyai sebagai orang yang alim dan dekat
dengan Allah belum menjamin untuk selamt masuk surga. Begitu pun sebaliknya, orang-orang yang
berada di warung mesum tersebut belum tentu pasti masuk neraka.

2. 2 Realitas sosial Masyarakat Pesantren


Masyarakat Jawa ke dalam tiga lingkungan sosial, yaitu desa, pasar, dan birokrasi
pemerintahan. Lingkungan tersebut akan memunculkan varian struktur sosial, yaitu santri,
abangan, dan priyayi (Geertz, 1983:6-7). Santri yang berada di lingkungan pasar merupakan
kalangan muslim ortodoks; priyayi yang berada di lingkungan birokrasi pemerintah adalah kalangan
bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi Hindu-Jawa; dan abangan, masyarakat desa
pemeluk animisme. Kaum santri inilah yang merupakan tipe masyarakat yang dekat dengan tradisi
Islam tradisional dan lingkungan pesantren.
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali bahkan
merupakan pendirinya. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk
tiga jenis gelar (Dhofier, 1982:55). Gelar pertama sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang
yang dianggap keramat; gelar kedua merupakan gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada
umumnya; dan gelar terakhir adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli
agama yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik
kepada para santrinya (Dhofier, 1982:55). Dalam masyarakat tradisional, kyai memiliki kesan
sebagai orang yang luar biasa yang memiliki kelebihan-kelebihan spiritual seperti karamah (orang
yang memiliki keutamaan budi dan kharisma) dari Allah untuk para pengikutnya.
Dalam istilah kekerabatan kyai di daerah Jawa Timur, istri-istri kyai diberi gelar ‘nyai,’
sedangkan putra-putra kyai diberi gelar ‘gus,’ yang berasal dari kata “si bagus”. Seorang kyai
selalu mengharapkan ‘gus-gus’ tersebut menggantikan peran ayahnya sebagai pimpinan pesantren
di masa mendatang.
Mitisme islam atau sufisme merupakan hal yang berhubungan dengan pesantren. Tradisi
pesantren adalah tradisi yanga bernafaskan sufistik dan ubudiyah (Bruinessen, 1995:20). Banyak
kyai yang berafiliasi dengan tarekat dan mengajarkan kepada pengikutnya ibadah dan amalan
sufistik yang khas.

2. 3. Hubungan antara Faktor-faktor Sosial yang Terkandung dalam Cerpen dan


Realitas Sosial Masyarakat
Kehadiran Gus Mus lewat cerpen-cerpennya itu sesungguhnya makin menegaskan,
bahwa realitas spiritual masyarakat kita memang bergerak di antara rasionalitas dan irasionalitas;
antara logika formal dan logika spiritual; antara dunia yang kasat mata dan dunia
gaib. Dalam cerpen-cerpen Gus Mus itu, yang terungkapkan adalah “potret” komunitaspersekitaran.
Jadi, begitulah, hakikatnya, cerpen-cerpen Gus Mus merepresentasikan realitas masyarakat (Islam
—pesantren) yang hidup dengan segala sistem kepercayaannya. Di luar perkara itu, suasana
kehidupan kiai dengan berbagai persoalannya, setelah sekian lama tak terdengar kini seolah-olah
sengaja dihadirkan kembali dengan pertanyaan besar: di manakah peranan para kiai hendak
ditempatkan ketika zaman telah berubah dan kehidupan politik ikut mempengaruhi perilaku
masyarakat. Dengan begitu, dilihat dari perjalanan cerpen Indonesia, kehadiran cerpen-cerpen Gus
Mus, tentu saja tidak sekadar memperkaya tema cerpen kita, tetapi juga seperti menawarkan
pandangan baru tentang terjadinya pergeseran peran kiai.
Gus Mus boleh jadi sekadar berpretensi menggambarkan terjadinya pergeseran peran
kiai. Atau, sangat mungkin ia sekadar menulis cerpen sambil menyentil ke sana ke mari.
Tetapi di situlah fungsi sastra. Ia mengungkapkan problem individual yang maknanya sering kali
bersifat universal. Faktor kebetulan yang dalam pemikiran strukturalisme kerap
dimasalahkan ketika hubungan kausalitas terkesan dipaksakan, dalam cerpen-cerpen Gus Mus
justru menjadi bagian penting jika dikaitkan dengan perkara keyakinan. Maka, faktor kebetulan
yang dalam pemikiran strukturalisme ditempatkan sebagai bagian dari rangkaian peristiwa,
dalam cerpen-cerpen Gus Mus malah menjadi bagian dari tema cerita. Di sinilah pentingnya teks
tidak dilepaskan dari konteksnya, dari kultur yang mendekam di belakang yang tersurat dalam teks.
Dengan pemahaman itu, faktor kebetulan punya dasar kultural, bahkan ideologis. Bukankah faktor
kebetulan itu diyakini masih berada dalam lingkaran campur tangan Tuhan?
Dalam kehidupan masyarakat biasa atau masyarakat yang belum paham dengan
masyarakat pesantren tentu kisah “Gus Jakfar” terkesan mustahil atau irasional, namun dalam
kehidupan para aulia, perkara itu bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan pula kisah supernatural,
tetapi sesuatu yang niscaya ketika dikaitkan dengan kehendak Tuhan. Inilah yang disebut dengan
ajaran-ajaran mistisme Islam (sufisme). Selain itu, jama’ah yang dipimpin Kyai Tawakkal dalam
cerpen “Gus Jakfar” juga mencerminkan sebuah kelompok tarekat. Mitisme Islam (sufisme)
merupakan hal yang menjadi ciri khas dari cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, salah satunya yaitu
cerpen “Gus Jakfar”. Perilaku mitisme Islam (tasawuf) dalam cerpen A. Mustofa Bisri memang
menghadirkan kisah-kisah yang irasional atau hal yang gaib. Hal ini sesuai dengan kutipan sebagai
berikut.
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan,
“Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau
yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang
cukup besar berbunyi ‘Ahli neraka’. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda
yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak
seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli
neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin- yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak
bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin
jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila.”
“Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampaidi sebuah sungai.
Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas
permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke
arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai, ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa
berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar.
Salah satu bentuk kritik terhadap perilaku mistisme Islam (sufisme) dapat ditemukan
dalam cerepen “Gus Jakfar”. Kyai Tawakkal memberikan petunjuknya kepada Gus Jakfar entang
hakikat ilmu kasyaf. Hakikat tentang ilmu kasyaf yang diberikan Kyai Tawakkal telah membuat Gus
Jakfar mencapai atau menemukan kebenaran.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli
neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan
bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu
merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka
dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan
diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu
pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung
tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin
dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut
balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Petunjuk yang diberian Kyai Tawakkal merupakan bentuk kritik ilmu kasyaf yang
merupakan bagian dari perilaku mitisme Islam (sufisme). Kritikan tersebut menyampaikan bahwa
kebenaran tentang surga dan nerakan merupakan milik Tuhan, bukan milik manusia.
Gus Jakafar yang memiliki ilmu kasyaf telah membuat jamaah pengajiannya resah. Para
jamaah yang mengaji takut kalau tanda pada tubuh mereka akan dibacaoleg Gus Jakfar pada saat
pengajian. Kritikan lain terhadap ilmu kasyaf yang dimiliki Gus Jakfar dapat dilihat melalui
percakapan Ustadz Kamil dan Pak Carik setelah Gus Jakfar kembali dari pengembaraannya.
“Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil, “paling tidak kini, kita
bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti
pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi
dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja
menemui beliau.”
Kutipan di atas merupakan reaksi atas ilmu kasyaf yang dimiliki Gus Jakfar. Para
jamaahnya bisa dengan tenang mengikuti pegajian etelah Gus Jakfar tidak memakai ilmu
kasyafnya lagi. Kritik terhadap ilmu kasyaf ini dapat dikatakan sebagai bentuk kesalehan spiritual
yang tidak boleh dipamerkan kepada orang lain. Apabila dipamerkan, maka akan ada rasa takabur
dan sombong di hati orang yang memiliki ilmu tersebut –seperti pesan Kyai Tawakkal kepada Gus
Jakfar-. Setidaknya, itulah yang ingin disampaikan Gus Mus dalam cerpen “Gus Jakfar” ini.
BAB III
PENUTUP

4. 1. KESIMPUAN
Cerpen “Gus Jakfar” ini bisa jadi merupakan sebuah sarana untuk berdakwah karena
posisi A. Ustofa Bisri yang juga merupakan seorang kyai. Hal ini dapat diketahui melalui kritik yang
paling dominan ditemukan dalam cerpen ini, yaitu kritik terhadap perilaku umat Islam. Dalam
cerpen ini A. Mustofa Bisri seakan menyampaikan dan mengingatkan umat Islam di pesantren agar
berperilaku sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Kritik sosial yang disampaikan A. Mustofa Bisri dalam cerpen-cerpennya mungkin
hanyalah seperti “lebah tanpa sengat” seperti yang diungkapkan Sapardi Djoko Damono. Atau
seperti “balsem”, masyarakat yang membaca cerpen ini akan “panas”, kemudian “panas” tersebut
hilang perlahan-lahan. Walau demikian, kritik-kritik tersebut tetap merupakan usaha sastrawan
untuk sastrawan untuk menegur dan “menyentil” ketidakberesan yang sedang terjadi di
masyarakat.

4. 2. SARAN
Dalam penulisan analisis ini, penulis beranggapan bahwa untuk menganalisis
sebuah karya, dalam hal ini penulis khususkan cerpen perlu dilakukan pengkajian karya
tersebut dengan lebih dalam agar analisis selanjutnya dapat lebih baik.
Menurut penulis, perlu ditelusuri lebih lanjut mengenai mitisme islam (sufisme),
dan kritik sosial dalam cerpen ini. Selain itu cerpen ini perlu juga dikaji melalui metode dan
pendekatan yang lain.
Dengan saran ini, penulis harapkan semoga penulisan analisis selanjutnya dapat
lebih baik ataupun melengkapi kekurangan penulisan analisis sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18


November.
Akhyadi, Moh. 2001. “Pesantren, Kyai, dan Tarekat: Studi tentang Peranan Kyai di
Pesantren dan Tarekat” dalam Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Abuddin Naata, ed. Jakarta:
Grasindo.
Bisri, A. Mustofa. 2003. Lukisan Kaligrafi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan.
Damono, Sapardi Djoko. 1983. “Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia: Lebah Tanpa
Sengat” dalam Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan. Jakarta: PT
Gramedia.
. 2002. Pedoman Penelitian
Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai.
Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. terj.
Aswab Mahasin. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Wafi, Nasrul. “Biografi KH Achmad Mustofa Bisri”http://lococopyright.blogspot.com/tokoh.
Cahyawati, Rosia Ria. “Analisis Novel” http://rosya-cahya.blogspot.com/2011/02/analisis-novel
diakses 11 November 2011

Anda mungkin juga menyukai