Anda di halaman 1dari 5

Tiga bulan lamanya Cung Bun dan Go Hong di Pulau Langkasuka.

Dengan teliti dan


hati-hati Cung Bun melakukan penyelidikan tentang segala macam racun yang terdapat
di pulau itu. Kemudian dia mencarikan obat penawarnya dan menulis serta melukiskan
nama dan bentuk daun, akar, bunga, atau buah yang berkhasiat sebagai penawar racun-
racun itu. Sibuklah ketua Pulau Langkasuka, dan para pembantunya mencarikan bahan-
bahan obat itu dan setelah tiga bulan, barulah lengkap catatan Cung Bun.

Gu Ek Tong dan semua penghuni Pulau Langkasuka merasa berterima kasih sekali kepada
Cung Bun, apa lagi setelah terbukti banyak penghuni yang sembuh dari penderitaan
penyakit akibat keracunan setelah menggunakan obat-obat seperti yang ditunjuk oleh
pemuda itu. Dia dianggap sebagai seorang dewa penolong mereka dan diperlakukan
dengan sikap penuh hormat.

Setelah terpaksa tinggal di Pulau Langkasuka selama tiga bulan, akhirnya Go Hong
mendapatkan kenyataan bahwa A Cu adalah seorang remaja yang benar-benar tulus,
jujur dan wajar sehingga mudah saja di antara mereka terjalin persahabatan yang
akrab. Bahkan karena dara Pulau Langkasuka itu dengan terang-terangan tanpa dibuat-
buat dan tanpa usaha menarik hati Cung Bun menyatakan suka dan cintanya kepada Cung
Bun, Go Hong menyambut pernyataan itu dengan hati terharu.

Diam-diam Go Hong menaruh hati kasihan kepada dara Pulau Langkasuka ini karena dia
tahu bahwa hati senior-nya itu jauh dari cinta! Senior-nya belum pernah mengacuhkan
tentang hubungan di antara mereka, juga senior-nya sama sekali tidak kelihatan
menaruh hati kepada A Cu. Dianggapnya senior-nya itu terlalu dingin dan sudah
sering-kali dia sendiri merasa kecewa melihat senior-nya sebagai seorang pemuda
yang tidak ada semangat!

Padahal dia sendiri belum yakin apakah dia mencintai senior-nya. Sungguh pun dia
merasa suka sekali kepada pemuda itu, namun sebagai seorang dara remaja tentu saja
dia merasa tidak puas menyaksikan sikap pemuda yang dingin saja terhadapnya.
Sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal, tentu saja Go Hong juga ingin
agar semua orang, terutama kaum pria, memandangnya dengan kagum dan suka. Bahkan
dia pun seperti semua wanita di dunia ini, agaknya akan merasa bangga kalau semua
orang laki-laki jatuh cinta kepadanya!

Hari keberangkatan mereka meninggalkan Pulau Langkasuka pun tibalah. Cung Bun dan
Go Hong diantar oleh semua penghuni Pulau Langkasuka sampai ke pantai, di mana
telah tersedia sebuah perahu yang lengkap dengan layar, dayung, dan bekal makanan.
A Cu mengantar dengan berlinang air mata. Semenjak tadi dara ini menangis, bahkan
rewel kepada kakeknya hendak ikut pergi bersama Cung Bun dan Go Hong.

"Hushhh, apakah kau gila?" demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut ke Pulau
Salju Abadi? Tidak tahukah kau bahwa semua penghuni Pulau Langkasuka dilarang
menginjakkan kaki ke Pulau Salju Abadi? Begitu kau tiba di sana, kau akan dijatuhi
hukuman sebagai seorang pelanggar hukum!"

Cung Bun dan Go Hong juga melarang dengan alasan bahwa Go Hong sendiri sedang
menghadapi mala-petaka, bahkan dia bersama senior-nya sedang berusaha mencari
ibunya. Selama tiga bulan ini, Gu Ek Tong sudah mengerahkan pembantunya untuk
mencari A Mei, bekas istri Kaisar Go Tong, ke pulau-pulau kosong di sekitar Pulau
Langkasuka, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau
Langkasuka yang mencari itu tidak berani terlalu mendekat Pulau Salju Abadi.

Setelah perahu yang ditumpangi Cung Bun dan Go Hong pergi jauh, A Cu menjatuhkan
dirinya menangis. "Kakek, aku pun mau pergi dari sini. Aku tidak tahan lagi tinggal
lebih lama di Pulau Langkasuka tanpa adanya mereka berdua! Aku harus pergi, aku
harus pergi mencari ayahku, seperti Go Hong yang pergi mencari ibunya!"

Kakek-nya hanya menggeleng kepala, menghela napas dan menggandeng cucunya yang
tercinta itu kembali ke tengah pulau. Hati orang tua ini khawatir sekali karena dia
tahu, bahwa cucunya telah mulai dewasa dan telah tergoda oleh cinta sehingga merasa
tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Langkasuka. Dia maklum bahwa agaknya
takan lama lagi cucunya itu tentu akan nekat meninggalkan pulau dan kalau hal yang
dikhawatirkan itu terjadi, apa lagi artinya hidup baginya di pulau itu? Puteranya
telah lenyap dan satu-satunya orang yang selama ini membuat hidupnya berarti
hanyalah A Cu.

Ketika perahu mereka mendarat di Pulau Salju Abadi, Cung Bun dan Go Hong saling
pandang dengan hati yang berdebar. Mereka sudah menjelajahi seluruh pulau di
sekitar Pulau Salju Abadi untuk mencari ibu Go Hong, namun sia-sia belaka. Akhirnya
mereka mengambil keputusan untuk kembali ke Pulau Salju Abadi, dengan harapan
mudah-mudahan ibu dara itu sudah kembali ke Pulau Salju Abadi.

"Bagaimana kalau ibu tidak berada di sana? Bukankah berarti bahwa aku telah
melanggar janjiku untuk mewakili ibu yang dibuang ke Pulau Langkasuka?" Go Hong
bertanya ketika perahu mereka tadi sudah mendekati Pulau Salju Abadi.

"Jangan khawatir, Junior wanita. Guru adalah ayahmu sendiri, dan betapa pun
marahnya, aku percaya bahwa Guru akan dapat memaafkanmu. Aku percaya akan
kebijaksanan Guru, dia bukanlah seorang yang berbudi rendah...."

"Tapi dia telah terkena racun yang hebat, racun yang seratus kali lebih kejam dari-
pada racun yang paling jahat di Pulau Langkasuka! Dia telah terkena hasutan mulut
wanita jahat itu..."

"Ssttt, Junior Hong, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka yang bukan-bukan.
Sudahlah, kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran yang membayangkan hal yang
belum terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran kosong itu dan mari kita hadapi
kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan membiarkan engkau
terancam bencana. Mari kita hadapi apa saja yang menimpa kita berdua."

"Senior... betulkah? Betulkah kau akan membela dan melindungi aku?"

"Tentu saja."

"Menghadapi Ayah sekali pun?"

"Menghadapi siapa saja, karena aku yakin bahwa engkau tidak mempunyai kesalahan apa
pun."

"Kalau begitu, aku menjadi besar hati, Senior. Mari kita mendarat."

Hati Go Hong makin tegang dan juga terheran-heran ketika dia melihat betapa
beberapa orang penghuni Pulau Salju Abadi yang kebetulan berada di situ segera
berlari pergi menuju ke tengah pulau, bahkan tidak berhenti ketika dia dan senior-
nya memanggil mereka. Makin tidak enak perasaan mereka, namun dengan tenang Cung
Bun mengajak Junior wanita-nya untuk menuju ke Istana Pulau Salju Abadi di tengah
pulau itu, menemui Kaisar Go Tong dan bertanya tentang A Mei.

Tak lama kemudian, keduanya berhenti tiba-tiba ketika melihat Kaisar itu sendiri
berlari-lari datang bersama permaisuri dan pembantu-pembantu yang terpercaya.
Tadinya Go Hong merasa girang, wajahnya berseri karena dia mengira bahwa ayahnya
datang menyambutnya dengan girang melihat dia pulang. Akan tetapi betapa kagetnya
ketika ayahnya sudah tiba di depan mereka, langsung Kaisar Go Tong menudingkan
telujuknya ke arah mereka sambil membentak, "Manusia-manusia rendah! Kalian masih
berani menginjakkan kaki di Pulau Salju Abadi? Membikin kotor pulau ini? Keparat!"
"Ayah...!!"

�Guru...!!"

"Plak! Plak!!" tubuh Cung Bun dan Go Hong terguling ketika tangan Kaisar itu dengan
kecepatan kilat telah menampar mereka.

Dengan alis berdiri Kaisar Go Tong menudingkan telunjuknya bergantian ke arah muka
dua orang muda yang menjadi kaget setengah mati dan merangkak bangun itu. "Jangan
sebut aku Ayah dan Guru! Kalian berdua telah minggat dengan diam-diam, perbuatan
yang tak tahu malu dan mengotorkan nama keluarga Han! Masih berani datang dan
menyebut Ayah dan Guru kepadaku? Huh!!"

"Ayahhh... apa... apa yang terjadi...? Mana Ibuku...?"

"Ibumu seorang yang hina, dan engkau anaknya pun tidak berbeda banyak!"

"Ayah...!"

"Diam! Dan minggat engkau dari sini sebelum kubunuh!"

"Ayah, kalau begitu bunuh saja aku! Aku tidak berdosa...!" Go Hong yang berlutut
itu menangis sesenggukan.

"Bagus! Kau minta mati?"

"Guru...!" suara Cung Bun ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya sehingga Go
Tong sendiri sampai terkejut dan menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri
puterinya.

Sepasang mata Cung Bun mengeluarkan sinar yang luar biasa dan sejenak Go Tong ragu-
ragu. Teringatlah dia akan keadaan dahulu ketika Anak Jenius ini menyuruhnya
menolong Sia Li, menyuruhnya berhenti untuk menguburkan mayat-mayat. Seperti itu
pula kekuatan mukjijat yang keluar dari sepasang mata itu. Sepasang mata yang
sedikit pun tidak membayangkan takut, atau marah, atau kekerasan, hanya
membayangkan kelembutan yang mengharukan.

"Guru, harap Guru bersabar dulu. Sungguh tidak adil sekali menjatuhkan hukuman
tanpa memberi-tahu kesalahan orang, sungguh pun Junior wanita adalah puteri Guru
sendiri."

Bangkit kembali marah Go Tong. "Cung Bun, bagus perbuatanmu, ya? Kau masih berpura-
pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum apa-apa. Akan tetapi dia
pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai berbulan-bulan, pantaskah itu? Kalian
tidak tahu malu dan menodakan nama baik keluarga Kerajaan!"

Diam-diam Cung Bun terheran, mengapa Guru-nya berubah seperti ini? Tentu saja dia
tidak tahu betapa para keluarga yang membenci A Mei telah menggunakan kesempatan
selagi terjadi peristiwa penghukuman atas diri A Mei itu untuk membakar hati Kaisar
ini, terutama sekali melalui mulut permaisuri!

"Ayah, jangan menuduh yang bukan-bukan. Aku memang pergi dan bertemu dengan Senior,
akan tetapi apakah salahnya dengan itu?"

"Hemm, apa, salahnya, ya? Tidak salahkah kalau seorang pemuda dan seorang dara
berdua saja sampai hampir setengah tahun lamanya? Mungkinkah tidak akan terjadi
apa-apa antara kalian di tempat sunyi dan hanya berdua saja?! Hem... hemmm... siapa
percaya tidak akan terjadi apa-apa yang kotor?" ucapan ini keluar dari mulut
permaisuri Sia Li yang tersenyum mengejek.
"Ibu, kalau Kakak Hong dan Senior melakukan hubungan gelap, kawinkan saja mereka.
Mengapa ributribut?" tiba-tiba Go Kong, putera raja yang baru berusia kurang lebih
delapan tahun itu berkata dengan suara nyaring.

"Hussshhh! Tutup mulutmu!" Sia Li membentak puteranya yang segera cemberut, tapi
memandang kepada Go Hong dan Cung Bun dengan pandang mata mengejek.

Hampir saja Go Hong tak dapat percaya akan apa yang didengarnya. Ayah dan ibu
tirinya menuduh dia berjinah dengan Cung Bun! Dengan dada sesak dan kemarahan yang
meluap-luap, Go Hong lupa diri dan meloncat bangun, menjerit dengan kata-kata yang
seperti dilontarkan kepada ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji ini? Ayah,
insyaflah. Ayah telah dikelabui, Ayah telah mabuk oleh rayuan...."

"Plak! Desss!!" tubuh Go Hong terlempar dan terguling-guling ketika terkena


tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri.

"Guru, ini tidak adil sama sekali!"

"Plak! Desss!!!" tubuh Cung Bun juga terjungkal.

Akan teapi pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun tidak merasa
takut, bahkan kini dia memandang tajam kepada Go Tong. "Guru, andai kata Guru
memukul murid sampai mati sekali pun, sudah sepatutnya karena murid hanyalah
seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan dari Guru dan murid rela
membalasnya dengan nyawa. Akan tetapi, Junior wanita adalah puteri Guru sendiri,
darah daging Guru sendiri! Mengapa Guru begitu tega? Di manakah rasa kasih di hati
Guru?"

"Keparat!" Go Tong memaki dengan suara gemetar saking marahnya. Melihat betapa Cung
Bun berani menentangnya untuk membela Go Hong, makin besar pula kepercayaannya akan
desas-desus bahwa puterinya main gila dengan muridnya ini. "Kau mau memberi kuliah
kepadaku? Kalau dia orang lain, aku tidak akan peduli apa yang dilakukannya. Justru
karena dia anaku dan aku cinta kepada anakku, maka aku perlu menghajarnya!"

"Hemmm, begitukah cinta di hati Guru? Cinta Guru siap untuk berubah menjadi
kemarahan, kebencian yang meluap karena Guru merasa bahwa puteri Guru tidak
menyenangkan hati Guru? Itu bukan cinta, Guru! Guru hanya mementingkan diri
sendiri. Kalau disenangkan hati Guru, biar orang lain sekali pun akan Guru
perlakukan dengan baik. Akan tetapi kalau hati Guru dikecewakan, biar anak sendiri
akan dibunuh!"

"Plak-plak! Dess...!" kembali tubuh Cung Bun terjungkal dan kini darah mengucur
dari mulut dan hidungnya.

"Senior...! Ahhh, Ayah... Jangan...!" Go Hong sudah meloncat ke depan dan menubruk
senior-nya.

"Anak durhaka, murid murtad!�

�Dess!" kini Go Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena tendangan ayahnya yang
sedang marah itu.

Masih untung bagi mereka berdua bahwa Go Tong hanya berniat menghajar dan
menghukum, kalau berniat membunuh, tentu mereka sudah tak benyawa lagi. Saking
marahnya, biar pun melihat murid dan puterinya sudah beberapa kali dihantam dan
ditendangnya sampai mulut dan hidung mengeluarkan darah serta muka mereka bengkak-
bengkak, Go Tong masih saja menghajar mereka.
"Paduka, harap ampunkan mereka...." Tiba-tiba beberapa orang pembantu utama
berlutut di depan Kaisar yang marah ini dan menyabarkan hatinya.

Go Tong berdiri dengan napas terengah-engah, mata terbelalak dan muka merah sekali.
Dia menjadi hampir putus napas saking marahnya. "Hemmm, mereka ini bocah-bocah
kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya.

"Paduka, sejak dahulu belum pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili lebih
dulu. Harap Paduka ingat akan keadilan Kerajaan Pulau Salju Abadi yang sudah
terkenal semenjak ratusan tahun," kata seorang pembantu yang sudah berusia lanjut.

Go Tong menghela napas panjang dan dia teringat. Sebetulnya dia sedang berada dalam
keadaan duka dan kecewa. Duka mengingat akan istrinya, A Mei, yang kini menimbulkan
penyesalan di dalam hatinya karena dia pun mulai meragukan kesalahan istrinya itu.
Kecewa karena serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya, mengganggu
ketenteraman hidupnya di Pulau Salju Abadi.

"Anak durhaka, untung engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang
masih ada yang akan kau katakan!"

Dengan tubuh sakit-sakit dan hampir pingsan, Cung Bun masih dapat membantu Junior
wanita-nya bangkit duduk. Bahkan tanpa mempedulikan keadaan dirinya sendiri, dia
menyusuti peluh, air mata dan darah dari muka Junior wanita-nya, kemudian menarik
Junior wanita-nya untuk berlutut di depan Kaisar yang sedang marah itu.

"Junior Hong, laporkanlah semuanya kepada Guru...," bisiknya.

"Apa gunanya? Biarlah aku dibunuh! Biarlah Ibu lenyap tak berbekas dan akan
dibunuhnya... tentu akan puas hatinya... hu-hi-huuukkk...." Go Hong menangis
terisak-isak.

Melihat keadaan puterinya ini, tersentuh juga rasa hati Kaisar Go Tong. "Cung Bun,
hayo ceritakan apa yang terjadi! Kami semua menuduh kalian berdua selama berbulan-
bulan dan tentu kalian telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Mengakulah!
Awas, kalau kau membohong, akan kubunuh kau sekarang juga!"

Anda mungkin juga menyukai