Anda di halaman 1dari 13

Novel yang hampir keseluruhan menceritakan kehidupan selama berbulan-bulan di kapal untuk

berangkat haji. Di dalam novel ini terdapat beberapa sosok yang cukup mencolok. Sosok utama
tentu ulama dari Sulawesi yang bernama Ahmad Karaeng, sosok yang dipanggil dengan sebutan
Gurutta (Guru kita). Sosok yang disegani seluruh masyakarat Makasar, dan hampir sebagian
besar penumpang kapal. Selain itu juga tersemat sosok saudagar kaya yang bernama Daeng
Andipati, seorang pengusaha kaya yang mempunyai dua anak perempuan kecil; Elsa dan Anna.
Tentu saja ditambah dengan sosok pelaut nan tangguh Ambo Uleng.

Alur cerita sangat menarik. Dimulai dari permasalahan Gurutta yang tidak diperbolehkan
menaiki kapal oleh serdadu Belanda, dibatasi saat mengajar ngaji di atas kapal, dan masih
permasalahan yang kompleks dengan serdadu Belanda. Ada sosok-sosok yang tidak boleh
dilupakan dalam kapal. Antara lain; Kapten Phillips (Kapten Kapal), Ruben (Kelasi), Chef Lars
(Koki), Pak Mangoenkoesoemo (guru selama di kapal), Bonda Upe (Guru ngaji anak-anak
selama di kapal). Selain itu, masih banyak sosok yang diceritakan dengan permasalahan masing-
masing.

Pada perjalanan menuju Mekah ini, ada lima pertanyaan mendasar yang ditanyakan oleh para
penumpang. Keempat pertanyaan itu dijawab dengan baik oleh Gurutta. Keempat pertanyaan
tersebut ; “Aku adalah mantan Cabo (pelacur), apa mungkin Allah mengijinkan aku untuk
menginjakkan kaki di Tanah Suci” (Pertanyaan dari Bonda Upe). “Apa itu kebahagiaan
sejati?” (Pertanyaan dari Ruben). “Bagaimana caranya agar aku bisa menghapus kebencian
yang sudah bertahun-tahun ada dalam diriku?” (Pertanyaan dari Daeng Andipati). “Kami
saling mencintai, namun orangtuanya malah menjodohkan dengan orang lain. Menganggap
aku tidak punya derajat yang sama, aku yang menolong dia saat kapal kami tenggelam. Aku
yang tahu semua tentang dia, kenapa harus seperti ini? Kenapa kami tidak bisa bersatu?”
(Pertanyaan dari Ambo Uleng). Pertanyaan terakhir adalah tentang rasa takut dan cemas,
tentang sebuah trauma yang tidak berujung. Pertanyaan ini dilontarkan oleh Gurutta; dan
pada saat itu, orang yang bisa menjawab dengan mantap adalah Ambo Uleng.

Aroma konflik juga tersaji di dalam cerita ini, konflik yang mendasar adalah saat Serdadu
Belanda membongkar kamar Gurutta dan menyita sebuah buku hasil tulisannya yang berjudul
“KEMERDEKAAN ADALAH HAK SEGALA BANGSA”. Kemudian dipadukan dengan
sebuah percintaan sejati antara Mbah Kakung & Mbah Putri; yang sama-sama meninggal di atas
kapal, dan disemayamkan di tengah-tengah samudra Hindia. Ada juga konflik saat kapal ini
berusaha diambil alih perompak Somalia.

si Cerita

Tanggal 1 Desember 1938 merapatlah sebuah kapal besar milik perusahaan Belanda di
Pelabuhan Makasar, sebuah kapal penumpang yang bisa memuat ribuan orang yang berazzam
untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci. Kapal tersebut bernama Kapal Blitar Holland yang
dikomandoi oleh Kapten Phillips.
Di antara banyaknya penumpang kapal yang berangkat dari Pelabuhan Makasar tersebut naiklah
seorang tua, alim ulama yang terkenal di Makasar bernama Ahmad Karaeng yang biasa dipanggil
Gurutta, lalu naik juga keluarga Daeng Andipati yang terdiri dari Daeng, istri dan kedua
putrinya, Anna dan Elsa, serta seorang anak muda pendiam dan berwajah suram bernama Ambo
Uleng.

Sergeant Lucas, pemimpin pasukan militer Belanda yang ditugasi untuk mengawal kapal
tersebut, dari awal memang sudah membenci Gurutta sehingga kerap mencari-cari kesalahan
ulama tersebut selama perjalanan kapal, padahal Gurutta sudah berupaya untuk menghindari
perselisihan sedapat mungkin. Kebencian Lucas yang membabi buta sangat tidak disukai seisi
penumpang kapal, termasuk kru kapal dan kapten Phillips sendiri. Larangan Sergeant Lucas
terhadap ide Gurutta untuk menyelenggarakan kegiatan belajar di kapal untuk anak-anak, serta
pengajian rutin selepas shubuh sempat membuat suasana memanas.

Sementara intrik terus berlanjut dalam perjalanan berhari-hari menuju tanah suci, terjalinlah
persahabatan antara Ambo Uleng dengan putri kecil Daeng Andipati. Bahkan Ambo Uleng tak
pernah menyangka hidupnya bisa bertakdirkan dengan anak sekecil Anna. Semua karena suatu
kejadian dimana Anna menghilang di sebuah pasar di Surabaya yang tiba-tiba rusuh karena
serangan bom.

Tidak seperti yang lain, Ambo Uleng naik kapal Blitar Holland bukan untuk pergi haji,
melainkan pergi dari kenyataan hidupnya yang pahit. Sakit hatinya yang dalam membuatnya
ingin lari sejauh mungkin dari Makasar. Ambo melamar pekerjaan di kapal pada Kapten Phillips
yang menerimanya lebih kepada karena rasa kasihan dan empati. Apa artinya cinta sejati jika tak
dapat bersatu? Maka Ambo memilih menyerah dalam hidupnya. Namun di kapal inilah justru
Tuhan mempertemukannya dengan takdir yang pada akhirnya mengubah jalan hidupnya 180
derajat.

Daeng Andipati yang kehidupannya dipandang orang begitu sempurna, ternyata pada
kenyataannya jauh dari sempurna. Hidupnya dihantui rasa benci pada seseorang yang seharusnya
disayangi, padahal saat itu ia sekeluarga sedang menempuh perjalanan suci. Apakah Allah akan
menerima haji orang yang membenci sepertinya? Benarkah kehidupanku bahagia? Demikian
pertanyaan yang menghantui Daeng selama ini.
Tuan Ahmad Karaeng, alim ulama yang terhormat, pandai menasehati orang lain. Pandai dalam
wawasan agama. Pandai segala-galanya. Namun sebenarnya ia pun mempertanyakan keberanian
dirinya sendiri dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan bangsa. Begitu tak inginnya ia
menyakiti orang lain hingga dirinya selalu dalam keragu-raguan dalam mengambil tindakan. Ia
mempertanyakan kebijakan kata-kata yang sering ia ucapkan. Sesungguhnya ia merasa khawatir
dirinya adalah munafik. Tak diduga dalam perjalanan kapal menuju tanah suci inilah ia
mendapatkan jawaban atas pertanyaan besar tersebut, justru dari orang yang tak disangka.

Pasangan mbah kakung dan mbah putri yang naik Kapal Blitar Holland dari Pelabuhan
Semarang adalah pasangan paling romantis di kapal. Mereka berjalan bersisian, bergandengan
tangan, bahkan memandang mesra satu sama lain. Tapi Tuhan menakdirkan mbah putri
berpulang kesisiNya di tengah perjalanan. Jenazahnya dimakamkan di lautan. Sirna sudah
cahaya kehidupan mbah kakung. Berhari-hari ia mengurung diri dan hanya makan sedikit.
Mengapa Tuhan memanggil mbah putri di saat mereka belum tiba di tanah suci? Mengapa tidak
menunggu sebentar lagi saja. Mbah kakung sudah memimpikan ibadah ini bersama-sama dengan
istrinya sekian lama, bahkan berencana untuk dimakamkan berdekatan jika mereka sudah tiada.
Siapa kah yang bisa membantu menjawabkan pertanyaan besar mbah kakung ini sementara
kondisi kesehatan mbah makin menurun. Benarkan takdir Tuhan itu kejam?

Guru cantik yang mengajar mengaji anak-anak di kapal itu sungguh pendiam dan selalu
memisahkan diri dari rombongan, ia dan suaminya tak pernah makan bersama penumpang
lainnya di ruang makan yang besar itu. Tak heran orang-orang jadi bertanya-tanya. Bonda Upe
menyimpan masa lalu yang kelam dan memalukan sehingga ia selalu mengindari kebersamaan
dengan orang lain. Tapi ajakan Gurutta dan semua penumpang yang terus menyemangatinya
akhirnya meluluhkan hatinya. Bersama suami dan rombongan Gurutta mereka pergi makan
bersama di restoran Batavia. Namun justru saat itulah identitas masa lalunya terbongkar.
Siapakah Bonda Upe di masa lalunya? Dapatkan ia berhasil keluar dari bayang-bayang masa
lalunya yang kelam?

Badai besar datang beberapa kali membuat penumpang kapal khawatir, mesin rusak sehingga
mereka berada dalam ancaman terkatung-katung di lautan, juga adanya penumpang ilegal yang
bermaksud jahat telah menunggu di kegelapan koridor-koridor kapal yang gelap di malam hari.

Lalu puncak dari segala peristiwa yang ada, perompak pun datang, membunuh beberapa kelasi
kapal, menyandera seluruh penumpang dan kapten Philliips, bahkan tentara Belanda yang
dipimpin oleh Sergeant Lucas diikat dan dianiaya perompak. Hanya Ambo Uleng, Gurutta, Chef
Lars kepala koki kapal, dan beberapa orang yang berhasil menyembunyikan diri. Tuan Gurutta
sendiri bisa lolos karena ia saat itu sedang berada dalam penjara kapal, dipenjarakan oleh
Sergeant Lucas gara-gara sebuah buku yang ia tulis selama perjalanan di kapal. Apa ide mereka
untuk bisa mengalahkan perompak?

Pesan Moral

Buku Rindu karangan Tere Liye memang sepenuhnya mengisahkan sebuah kerinduan yang
pekat pada makna kehidupan yang sejati, bahagia, cinta, perjuangan hidup, dan keberanian.

Melalui kisah Ambo Uleng, kita belajar bahwa masa lalu yang menyakitkan bisa kita kenang
dengan cara yang baik tanpa perlu merusak masa depan kita. Takdir di masa depan dapat
berubah selama kita menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, dengan penuh rasa syukur, dan
mendekatkan diri pada Tuhan.

“Lepaskanlah, Ambo. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti kembali dengan
cara yang mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali,
maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.” (Halaman 492)

“... maka tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis
tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri.
Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas,
tidak melewati kaidah agama.” (Halaman 493)

“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah
memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar,” ... ,”Maka teruslah menjadi orang baik
seperti itu. Insya Allah, besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirnya.”
(Halaman 493)

“Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apa pun wujud
kehilangan, kau akan siap menghadapi, Ambo. Kau siap menghadapi kenyataan apa pun. Jikapun
kau akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang lebih
baik.” (Halaman 493)

Kisah Daeng Andipati mengajarkan kita untuk memaafkan masa lalu, berdamai dengannya, serta
memulai kehidupan yang baru.

“Kenapa kita tetap memutuskan untuk membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang
lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri.” (Halaman 373)
“Kenapa kau memilih benci, sedangkan orang lain memilih berdamai dengan situasi di
sekitarnya?”... “Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di
dalam hati.” (Halaman 375)

“Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi”.
(Halaman 376)

Dari cerita kehidupan Bonda Upe kita belajar untuk tidak lari dari kenyataan hidup betapapun
nista dan menyakitkan, hidup dengan tegar, fokus pada masa depan, jalani hidup dengan selalu
berbuat baik, serta tak pernah putus asa pada kasih sayang Tuhan.

“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan
damai menerima masa lalumu,” ... ,”Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan
memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.”
(Halaman 312)

“Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama
sekali tidak perlu. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya
tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.” (Halaman 314)

“Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan takut. Senantiasa berharap atas
ampunannya. Selalu takut atas azabnya. Selalulah berbuat baik. Maka semoga besok lusa, ada
satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni”. (Halaman 314)

Kisah Mbah Kakung yang ditinggal Mbah Putri hingga membuatnya hilang semangat hidup
mengajarkan pada kita tentang hakikat takdir Tuhan.

“... Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu
yang kita anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita.” (Halaman 470)

“... biarkan waktu mengobati seluruh kehidupan....” (Halaman 472)

“... mulailah memahami kejadian ini dari kacamata yang berbeda, agar lengkap...” (Halaman
472)

Dan yang terakhir kisah sang ulama besar Makasar, Ahmad Karaeng atau yang biasa dipanggil
Gurutta. Dari kisahnya kita belajar tentang keberanian hidup dan perjuangan melawan kebatilan,
juga kebijakan dan kesederhanaan hidup.
“Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah
berani. Dengan lisanmu, sampaikan dengan perkasa. Atau dengan benci di dalam hati, tapi itu
sungguh selemah-lemahnya iman.” (Halaman 532)

“Tapi malam ini kita tidak bisa melawan kemungkaran dengan benci dalam hati atau lisan. Kita
tidak bisa menasehati perompak itu dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa membebaskan
Anna, Elsa, Bonda Upe, Bapak Soerjaningrat, dan seluruh penumpang dengan benci di dalam
hati. Malam ini kita harus menebaskan pedang.” (Halaman 533)

“Gurutta menyeka pipinya yang basah, menatap kelasi yang bahkan baru beberapa hari lalu bisa
shalat dengan genap. Saatnya ia menunaikan tugasnya sebagai ulama, yang memimpin di garis
terdepan melawan kezaliman dan kemungkaran.” (Halaman 533)

Ide dalam Cerita

Saya sepenuhnya menyukai semua ide cerita yang Tere Liye tuangkan dalam buku Rindu.
Pemecahan-pemecahan masalah yang diberikan dapat diselesaikan dengan baik, klimaks dan
antiklimaks yang sempurna, memuaskan dan tak tertebak. Atau mungkin juga saya malas
menebaknya karena begitu tenggelam dalam cerita.

Sesungguhnya buku Rindu adalah bacaan yang memikat dari awal cerita sampai akhir.
Kecerdasannya dalam menggiring pembaca pada beragam konflik dalam cerita begitu elegan.
Apalagi jika mengingat dalam buku ini bukan cuma menceritakan satu atau dua kisah tokoh,
melainkan beberapa orang tokoh utama, belum lagi ditambah beberapa tokoh pelengkap cerita.
Kalau bukan karena kemampuan menulis yang begitu hebat, saya hampir yakin banyak penulis
yang kerap gagal membangun ide cerita yang begitu kompleks namun tertata rapih.

Yang paling memukau dari cerita pada akhirnya adalah penutup yang tak terduga. Seakan-akan
setelah dikenyangkan oleh beragam cerita yang apik dari awal sampai akhir, kita masih pula
dibonusi dengan hidangan penutup yang manis. Yang pasti, saya jelas mengakhiri membaca
halaman terakhir dari buku ini sambil berseru, “Buku ini memang pantas mendapatkan pujian
dan apreasiasi sebagai Buku Islam Terbaik Islamic Book Award 2015”.

Kekuatan Bahasa

Seperti biasa buku Tere Liye populer juga karena banyaknya kalimat dalam buku yang bisa
dijadikan quote. Demikian pula dengan buku Rindu. Tampaknya kemampuan berbahasa adalah
salah satu kekuatan yang dimiliki penulis ini.
Tidak cuma pandai merangkai kata bijak, ia pun cerdas membahasakan beragam situasi yang ada
dalam cerita. Simak saja narasi Tere Liye di bawah ini yang menggambarkan situasi mencekam
di kapal, sebuah teka-teki bayangan dan suara-suara misterius.

“Suara ketukan itu semakin dekat. Untuk kemudian terhenti sebentar. Kemudian muncul lagi.
Kali ini ketukan itu berputar-putar di tempat, lantas menjauh. Hilang. Daeng Andipati menahan
napas. Seperti ada sesuatu yang berjalan mondari-mandir di ujung lorong yang gelap.” (Halaman
270)

“Daeng Andipati merapat di belakang punggung Gurutta, bersiap. Apapun itu yang keluar dari
sudut gelap, Gurutta adalah pertahanan terbaiknya. Suara gemerisik terdengar. Dari balik kotak-
kotak peralatan, terlihat keluar sesuatu. Perlahan. Membuat langit-langit lorong terasa pekat,
menegangkan.” (Halaman 276)

Demikian pula kepiawaian Tere Liye membangun suasana tegang menuju klimaks, suatu
kejadian tergambar jelas dalam rangkaian kalimatnya yang cerdas.

“Petir menyambar membuat terang semuanya. Pisau itu berkilauan, memperlihatkan


pemegangnya yang memakai kedok kain di wajah. Sosok pembawa pisau itu mengendap-endap
di belakang, siap menghujamkan pisau itu ke punggung Daeng Andipati.” (Halaman 353)

“Dua kelasi tewas seketika terkena peluru. Perwira senior masih sempat lari ke lorong, lantas
dengan cepat memukul kenop tanda bahaya. Suara sirine segera meraung ke seluruh kapal.
Membuat Kapten Philliips terlonjak di ruang kemudi. Ada apa?” (Halaman 519).

Suasana kegembiraan perjalanan kapal pun tak lupa turut ternarasikan dengan baik.

“Empat puluh meter di samping kapal, berenang cepat puluhan lumba-lumba, seperti mngikuti
laju kapal. Tubuh ikan itu timbul tenggelam di bawah permukaan laut. Mengkilat tertimpa
cahaya matahari senja.” Halaman337

Karakter Tokoh

Tokoh-tokoh utama cerita yang terdiri dari Daeng Andipati, Ambo Uleng, Bonda Upe, Gurutta
Ahmad Karaeng, Anna, Elsa, Mbah Putri dan Mbah Kakung mengambil porsi cerita yang
berimbang, bergantian, dan bersinergi satu sama lain. Novel berhalaman 544 ini sukses
membangun karakter tiap tokoh, yang sebenarnya jumlahnya tidak sedikit ya. Bukan saja
jumlahnya tidak sedikit, namun juga tiap tokohnya berbeda latar belakang satu sama lain. Ada
yang perempuan dan laki-laki tua, ada juga yang muda, bahkan masih anak-anak. Ada yang
saudagar kaya, pelaut miskin, anak-anak yang ceria, ulama yang bijak, dan seterusnya.

Kerumitan ditambah pula dengan hadirnya tokoh-tokoh pelengkap yang perlu dibangun
penggambaran karakternya agar bisa mendukung keseluruhan cerita dengan baik. Namun
nyatanya Tere Liye berhasil melakukan itu semua dengan baik.

Latar

Berlatar belakang tahun 1938 saat Belanda masih menjajah Indonesia, novel ditulis dengan
manis. Suasana pelabuhan, latar kapal secara keseluruhan, maupun tempat-tempat dan kota-kota
transit kapal pun dinarasikan dengan baik. Simak narasi dalam buku Rindu yang
mendeskripsikan ruang makan di bawah ini.

“Kantin itu ada di geladak tengah, berbeda satu lantai dengan masjid. Perusahaan dari Rotterdam
itu tahu kantin adalah bagian penting dari kapal setelah masjid sehingga juga diletakkan di
bagian strategis yang memudahkan penumpang dari sisi kapal mana pun. Tidak susah
menemukannya, karena itulah satu-satunya ruang paling luas di kapal. Ada puluhan meja dan
kursi panjang tersusun rapi di sana. Dapur langsung menghadap meja-meja dan kursi itu, hanya
dipisahkan oleh meja-meja tempat meletakkan makanan. Belasan kelasi sedang sibuk bekerja,
mengirim nampan makanan ke bagian kantin.” (Halaman 61)

Rekomendasi

Kedalaman dan kekayaan makna yang ada dalam buku Rindu membuat saya ingin
merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh semua orang. Ya, semua orang. Tua muda, suku
apapun, latar belakang bagaimanapun, bahkan agama dan keyakinan yang beragam, meskipun
sudut pandang penceritaan buku Rindu memang sarat dengan ajaran dan nilai-nilai agama Islam.

Buku ini tidak cuma menghibur tapi juga mengedukasi kehidupan manusia karena mengangkat
topik-topik yang menurut saya menjadi pertanyaan hidup sebagian besar dari kita. Hidup yang
bahagia, masa lalu, cinta, takdir, kematian, kehidupan, keberanian, perjuangan, persahabatan,
dan masih banyak lagi.

Hits: 2886
powered by social2s
Comments

0 #1 Mutiara 2017-10-01 00:11


Tiap ke toko buku emang novel ini kaya menggoda gitu sih. Cuma karena sekarang aku udah
jarang bgt baca novel jadi takut kalo ga kebaca gitu. Aku aja masih ada novel yang belum
kebaca, masa mau beli-beli lagi huhuhu. Walaupun hawa nafsu buat beli novel ini selalu ada, tapi
sekarang aku lebih bisa menahan diri wkwk

REPLY
Jadi inget dulu waktu sibuk dengan kerjaan dan kuliah, sampe ga bisa baca buku. Beli sih tetap
beli... tapi trus bukunya nangkring di rak bahkan kadang segelnya belum dibuka hahaha.
Quote
Refresh comments list
RSS feed for comments to this post

Add comment

Name (required)

E-mail (required, but will not display)

Website (required)

1000 symbols left

Notify me of follow-up comments

Refresh

Send
JComments
Tulisan Terbaru

 Toko Buku Online Dipidiff - Jual Buku Diskon dan Buku Impor
 Yuk Yoga dan ngeGym biar "Kencang"
 Review Buku Finding Audrey - Sophie Kinsella
 Suatu Siang di Wendy's bersama Sahabat
 Meraih Kebahagiaan Sejati dengan Jalani Nikmati dan Syukuri - Review Buku Dwi
Suwiknyo
 Review Buku First They Killed My Father - Loung Ung
 Review Buku Lincoln in The Bardo - George Saunders
 Review Buku Revan & Reina - Christa Bella
 Review Buku Rumah Tanpa Jendela - Asma Nadia + GIVE AWAY
 Review Buku Puisi : The Princess Saves Herself in This One - Amanda Lovelace

Recently Hit

 Dipi 4 minutes ago


 Review Buku Asrama - Muhammad Fatrim (Give Away) 14 minutes ago
 Yuk Yoga dan ngeGym biar "Kencang" 25 minutes ago
 Review Buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck - Mark Manson 27 minutes ago
 Panahan di Range Batununggal Bandung Archery 40 minutes ago

Review Novel RINDU – Tere Liye


Desember 26, 2015

Hello from the other side!

Saya masih di sini. Masih jadi mahasiswa semester akhir. Ternyata jadi tua itu rasanya seperti ini
ya? (*yang lebih tua siapin golok*) 😀 . Update dulu tentang perjalanan pendidikan daku yang
berliku ini. Saya semester 9 (enggak perlu malu). Udah enggak kuliah. Kerjaannya ya revisi.
Tanggal 4 Januari 2016 saya mau ujian seminar hasil penelitian kimia saya. Itu belum ujian
akhir/pendadaran. Masih on going pendadarannya. Pengennya sih ikut wisuda bulan Maret 2016.
Semoga, ya. Doakan dong. (Btw, hampir 5 tahun saya kuliah S1 ini. Kalo ibarat anak SD kelas 1,
sekarang mau naik kelas 6. Yang dulu ingusan sekarang udah cinta-cintaan)

By the way, this time I’ll tell you about a book from Tere Liye, judulnya Rindu.

Pertama kali melihat judul novel ini, saya menduga novel ini mungkin novel percintaan yang
mana isinya tidak jauh-jauh dari kehidupan pasangan yang terpaut jarak dan saling memendam
kerinduan di hati masing-masing. Tetapi dugaan saya meleset, bahkan hampir tidak ada
gambaran rindu seperti yang saya pikirkan tertera didalamnya. Lalu seperti apa sosok "Rindu"
yang disebut-sebut dalam novel ini? Saya akan mencoba mengulas filosofi rindu yang disiratkan
Tere Liye dalam novel setebal 544 halaman ini.
"Rindu" mengisahkan perjalanan panjang para tokoh utama mengarungi lautan dengan kapal uap
Blitar Holland menuju tanah suci Mekkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Para tokoh itu
adalah Daeng Adipati, Gurutta Ahmad Karaeng, Ambo Uleng dan Bunda Upe. Mengambil latar
waktu tahun 1938 (zaman kolonial Belanda) novel ini dimulai dengan cuplikan sejarah dan
keadaan masyarakat kala itu, perjalanan dimulai dari pelabuhan Makassar, juga kisah para tokoh
yang datang membawa pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidupnya.

Adalah Anna dan Elsa, duo kakak beradik yang suka ribut namun ceria anak dari Daeng Adipati,
seorang terpelajar dan saudagar ternama dari tanah Makassar. Daeng Adipati digambarkan
sebagai sosok sempurna dengan keluarga kecilnya, kaya, taat beragama, pintar, Istri cantik dan
anak-anak cantik dan periang. Lalu Tokoh Ahmad Karaeng atau biasa disapa Gurutta (guru),
seorang ulama dan tokoh masyarakat yang terkenal dengan kearifannya dan dekat anak-anak,
terutama anna dan elsa yang sering bermain dan membaca di kabin gurutta. Hadir pula tokoh
Ambo Uleng, pemuda pendiam yang masuk ke kapal Blitar Holland tanpa tujuan pasti, hanya
meninggalkan kampung halaman sejauh mungkin, dilanjut oleh Bunda Upe, muslimah keturunan
cina yang menjadi guru mengaji Anna dan Elsa selama perjalanan haji berlansung. Sepanjang
novel ini dapat dikatakan Anna dan Elsa lah yang memberikan nuansa ringan terhadap jalan
cerita, kekonyolan dan keceriaan kakak beradik ini layak mengundang senyum pembaca, seperti
kisah dengan kakek nenek tetangga kabin mereka. Juga persahabatan Anna dengan Ambo Uleng
yang tidak disangka-sangka.

Masing-masing tokoh di novel ini disajikan menarik, setiap karakter memiliki sekelumit kisah
mengenai kehidupannya dan perjalanan ke tanah suci ini pun pertanyaan-pertanyaan besar dalam
hidupnya. Seperti Ambo Uleng yang berusaha berlayar sejauh mungkin meninggalkan makassar
untuk dapat melupakan kenangan dengan kekasihnya yang akan dipinang oleh orang lain, Daeng
Adipati juga Bunda yang berusaha mengubur kisah pahit yang dialami di masa muda mereka.
Namun masih menyisakan keraguan apakah perjalanan mereka akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang selama ini tak mereka temukan jawabannya.
Dari petuah-petuah gurutta lah yang akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan besar yang
menghantui setiap batin setiap tokoh dalam novel ini. Namun siapa sangka, sosok terbaik yang
menjadi panutan dalam novel ini - Gurutta- pun tak luput dari kegelisahan, perasaan takut dan
membawa pertanyaan besar yang tidak mampu dijawabnya selama hidupnya.
Sajian buku ini, seperti yang saya sampaikan pertama bahwa kesan rindu yang tampak di novel
ini jauh dari presepsi sederhana saya. “Rindu” dalam novel ini lebih tersirat pada kerinduan-
kerinduan batin akan jawaban dari kegelisahan yang dibawa oleh setiap karakter. Rindu akan
sang pencipta, rindu akan kedamaian hati, rindu pada kekuatan hati untuk keputusan-keputusan
terbaik, rindu pada kebaikan, juga bagaimana menyikapi kerinduan itu dengan cara terbaik.
Acungan jempol untuk Tere Liye – penulis – yang telah menuangkan bentuk “Rindu” itu
kedalam karya terbaiknya. Saya pribadi sangat mengagumi gagasan penulis tentang filosofi rindu
itu sendiri. Tema novel ini dapat dikatakan cukup berat, terutama bagi yang tidak menyukai
bacaan berat. Namun, gaya bahasa dan alur maju dari novel ini membuat penyampaian isi-pesan-
nasehat dalam novel ini dapat dicerna dengan mudah, membuat novel ini menjadi bacaan yang
sangat layak untuk dibaca.
RINDU – Tere Liye

Judul: Rindu
Penulis: Tere Liye
Tebal: 544 halaman (51 bab)
Penerbit: Republika, Cetakan V November 2014
Tema: Cinta, Keluarga, Perjuangan.
Setting: 1930-an
Ratings: Me 3 of 5. Average on goodreads 4.16 (Wow).

Ada yang sudah baca? Atau ada yang sedang baca?

Novel ini bercerita tentang perjalanan rombongan haji pada zaman Hindia Belanda, berangkat
dari Makassar menuju Jeddah (Arab) dengan transit di beberapa pelabuhan. Dalam perjalanan
itulah Tere Liye menyusun potongan cerita dari beberapa tokoh yang masing-masing memiliki
konflik pribadi. Daeng Andipati, saudagar dengan keluarga paling bahagia yang belum bisa
memaafkan dirinya sendiri. Gurutta, ulama besar dari Gowa yang selalu percaya ada jalan lain
yang lebih baik sehingga seringnya malah menghindar dari masalahnya, yang membuat
posisinya seakan orang munafik. Mbah Kakung yang teramat mencintai istrinya dan sangat
takut kehilangan. Ambo Uleng, pelaut tangguh yang patah hati. Dan Bonda Upe, bekas
‘perempuan bayaran’ yang sudah tobat namun sulit memaafkan dirinya sendiri.

Di dalam novel ini Tere Liye menantang pembaca untuk kembali ke tahun 1938 bulan
Desember. (Rasanya pas sekali waktu saya memutuskan membaca novel ini dan akhirnya selesai
di tanggal 26 Desember, persis seperti di akhir novelnya. It’s such a kind of amazing timing.)
Setting-nya di kapal Belanda, Blitar Holland. Sedikit banyak, novel ini memberikan gambaran
tentang kondisi Indonesia waktu itu. Tentang peran tentara Belanda dan posisi orang Indonesia.
Orang Belanda tidak semengerikan yang saya bayangkan selama ini. Sebab yang ada di pikiran
saya dari dulu seperti itu. Barangkali karena terlalu sering membaca sejarah yang bercerita lebih
banyak tentang kejinya bangsa penjajah. Nyatanya di sisi lain masih ada beberapa kelompok
orang Belanda yang tidak berpihak pada serdadu. Mereka berada di Indonesia hanya untuk
bekerja atau menjadi pegawai pada perusahaan ‘sehat’ seperti kapal Belanda ini.

Bagi saya novel ini terlalu tebal di bagian awal. Perjalanan menuju konflik sangat panjang.
Hampir setengah dari novel ini menonjolkan kekuatan karakter tokoh, pengenalan, dan
penguatan setting. Konflik baru dimunculkan di akhir–sebagaimana novel Tere Liye yang lain.
Tetapi saya merasa bahwa pembawaan menuju konflik terlalu diulur. Dan di bab-bab akhir, tentu
Tere Liye habis-habisan mempersulit posisi tokohnya. Itu sudah merupakan ciri khas atau
bagaimana, I don’t even know.

Novel ini buat saya lebih menjual di bagian pertanyaan-pertanyaan terbesar dari masing-masing
tokoh. Sisanya hanya pendukung semata. Pertanyaan besar itu adalah tentang masa lalu tokoh
yang selalu menghantui mereka setiap saat. Namun dapat dijawab begitu mudah oleh Gurutta
sang ulama besar. FYI, novel ini memang menonjolkan sisi islami-nya tapi bukan novel islami
kayak AAC atau lainnya. Yah, meskipun setelah selesai baca novel ini saya belum bisa
menerjemahkan apa korelasi antara Rindu (judul novel) dengan jalan cerita dalam novel, saya
tetap kagum dengan Tere Liye. Dia adalah salah satu penulis novel yang tak pernah terlewat
menyisipkan pesan moral lewat karya-karyanya. Entah itu pesan untuk menjaga alam, mencintai
kekasih, atau pesan agama.

Tahu Anna dan Elsa? Di novel ini ada karakter anak-anak dengan dua nama itu, kakak beradik.
Merekalah anak Daeng Andipati sang saudagar. Mirip Frozen kah namanya? Entah bagaimana
bisa mirip, mungkin Tere Liye terinspirasi dari film itu atau bagaimana, I don’t even know.
Karakter mereka yang membuka cerita di novel ini. Saya favoritkan Anna di novel ini. Tapi di
bagian epilog, sayangnya Anna dan Elsa tidak menjadi penutup cerita. Yah, meski tas Anna
sudah ambil bagian di epilog sebagai penutup cerita yang epik, Anna dan Elsa mestinya akan
menjadi penutup yang lebih sempurna.

Syukurlah, ini buku ke 15 yang saya baca di tahun ini. Bagaimana? Berani baca?

Anda mungkin juga menyukai