Anda di halaman 1dari 15

RESENSI NOVEL RINDU

ANGGOTA KELOMPOK :
1. BERLIANO REGA P. Y. (03)
2. M. FAJAR MAHARDIKA (12)
3. M. FARID AL-MUQSITH (13)
4. RAHMAWATI ISTIANING R. (25)
5. ROOSITA NOOR (27)
6. SA’DIYATUL RIZQIE A. F. (33)

KELAS XII MIA 3


SMA NEGERI 2 JOMBANG
TAHUN PELAJARAN 2016/2017
IDENTITAS

Judul Novel : Rindu


Penulis : Tere Liye
Editor : Andriyati
Cover : EMTE
Lay out : Alfian
Penerbit : Republika Penerbit, 2014
Halaman : ii + 544 hal; 13.5x20.5 cm
ISBN : 978-602-8997-90-4

BLURB

Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan benyak saat kehilangan, dan
sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?
Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas perasaan yang seharusnya suci dan tidak
menuntut apapun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang
keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya hanya
setipis benang saja.
Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian pada seseorang yang
seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang
kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
KEPENGARANGAN
Tere Liye merupakan nama pena seorang penulis Indonesia. Dari beberapa informasi
di internet, nama aslinya adalah Darwis. Ia merupakan salah satu penulis yang karyanya banyak
menjadi best seller, bahkan beberapa karyanya diangkat ke layar lebar.

Novel Rindu adalah salah satu novelnya yang menjadi best seller. Terbit di tahun 2014,
dan sudah dibuat hingga cetakan ke-20. Novel ini bercerita tentang perjalanan panjang ke
Tanah Suci dengan beragam tragedi, konflik dan serangkaian peristiwa yang menyertainya
dengan disertai cuplikan sejarah di beberapa daerah. Ada lima tokoh utama yang menjadi fokus
pada alur cerita, dengan cerita masa lalu dari masing-masing tokoh yang menjadi warna
tersendiri bagi novel ini.

UNSUR INTRINSIK

Alur : Maju
Sudut Pandang : Orang ketiga serba tahu
Tema : Kerinduan
Penokohan :
1. Gurutta (Ahmad Karaeng) : Bijaksana, Sabar
2. Daeng Andipati : Tegas, Emosional,
3. Ambo Uleng : Pemberani, Rela berkorban,
4. Bonda Upe : Tegar, Lemah Lembut, Penakut
5. Eyang Kakung dan Eyang Putri : Setia, Lemah Lembut, Lucu, Penyayang
6. Anna : Lucu, Lugu, Ceria
7. Elsa : Ceria, Riang, Usil
8. Sergeant Lucas : Pemarah, Jahat,
9. Kapten Philips : Bijaksana, Lemah Lembut,
10. Ruben : Humoris, Setia,
11. Chef Lars : Humoris, Pemberani
Setting :
1) Tempat
a. Kapal Uap Blitar Holland :
“Anna dan Elsa, dua gadis kecil itu ikut berdiri di dek terbuka bersama orangtua dan
puluhan penumpang lainnya saat kapal mulai beringsut meninggalkan pelabuhan.”
(halaman 43)

b. Makassar
“Demi melihat anak tangga sudah terjulur, dermaga Pelabuhan Makassar semakin
dipenuhi oleh antusiasme calon penumpang dan para penonton.” (halaman 4)

c. Surabaya
“Pagi itu, Pasar Turi ramai, pengunjung lokal dengan pakaian setempat berbaur dengan
orang Belanda.” (halaman 127)

d. Semarang
“Kapal masih tertambat di Pelabuhan Semarang beberapa jam kedepan.” (halaman 175)

e. Batavia
“Mereka kembali asyik menyimak perjalanan. Di jalanan Kota Batavia lebih banyak
mobil dengan model-model terbaru melintas.” (halaman 215)

f. Lautan
Saat kembali ke tanah air, Mbah Kakung meninggal persis diatas lautan tempat Mbah
Putri meninggal. Jasadnya juga dilemparkan ke laut. (halaman 542)

g. Makkah
Rombongan masih melanjutkan perjalanan darat sejauh lima puluh kilometer, hingga
tibalah mereka di Tanah Suci. Masjidil Haram terlihat didepan mata. Bonda Upe terisak
menatapnya. Lihatlah, semua kerinduan ini telah genap. Juga ribuan jamaah lainnya,
terharu menatap selubung Ka’bah. (halaman 542)

2) Waktu
- Tahun 1938
“Cerita ini bermula di suatu pagi di penghujung tahun 1938. Tepatnya 1 Desember 1938,
bertepatan dengan 9 Syawal 1357 H.”
3) Suasana
- Menyedihkan
Terdengar suara berdebam saat jasad Mbah Putri mengenai permukaan air. Lantas
dengan cepat, bandul logam membawanya ke dasar laut. Tidak lagi terlihat oleh mata.
Pemakaman telah selesai.Menyisakan Anna dan Elsa yang mnatap sedih—dipeluk
ibunya. Menyisakan Mbah Kakung yang menatap kosong—dipeluk putri sulungnya.
(halaman 433)

- Menegangkan
“PAPAAA!!” Suara Anna semakin parau. Ia panik, takut sekali. Ia membawa kantong
besar, jadi ia tidak bisa bergerak cepat ditengah lautan manusia. Semakin tertinggal
jauh. Elsa juga berteriak belasan meter dari Anna. Tubuh remaja tanggung itu terjepit
diantara puluhan orang dewasa. Situasi semakin runyam. Daeng Andipati harus
memilih, kearah suara Elsa atau ke suara Anna. (halaman 130)

UNSUR EKSTRINSIK
Nilai Agama :

 Kita harus percaya pada takdir Tuhan yang akan selalu indah karena Dia lebih
mengetahui dibanding hambaNya

“Lepaskanlah, Ambo. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan
kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita.
Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.” (hal. 492)

 Perilaku, tindakan dan perkataan harus sesuai dengan kesungguhan hati

“Kau memang membaca surah Al Fatihah dengan lancar. Tapi tidak muncul di mata
kau, tidak nampak di wajah kau bacaan tersebut. Hanya di bibir saja” (hal. 404)
Nilai Budaya :

 Makanan khas dari Kota Semarang

“Gurutta mengangguk menatap anak-anak. “Apakah kalian sudah diceritakan tentang makanan
lezat kota Semarang?” Anna menggeleng. “Makanan apa, Kakek Gurutta?” Anna bertanya
penasaran. “Banyak Anna, sayangnya kita hanya berlabuh enam jam, jika sepanjang hari aku
bisa mengajak kau makan siang diluar. Ada lumpia, wingko, dan hei, jangan lupakan tahu pong.
Lezat sekali” (halaman 171-172)

Nilai Humanistik :

 Sesama manusia harus saling tolong menolong

“Tanpa berpikir dua kali, ketika Anna terguling jatuh di jalan, Ambo bagai seekor induk singa,
langsung lompat, memeluknya erat-erat. Membiarkan tubuhnya menjadi tameng. Kaki-kaki
orang ramai menghantam tubuhnya. Tidak hanya sekali, berkali-kali punggungnya terinjak,
betisnya ditendang, bahkan tengkuknya terkena sepatu. Ambo Uleng menggigit bibir, menahan
sakit. Tapi demi mendengar Anna yang ada dalam pelukannya menangis terisak, ketakutan,
Ambo Uleng bersumpah ia tidak akan menyerah. Ia tidak akan menghindar. Ia tetap memeluk
Anna.” (halaman 134)

Nilai Edukatif : Pembelajaran dapat dilakukan oleh siapa saja.

“Terus terang, jika guru-guru di sekolah kalian seperti Anda, besok lusa bangsa kalian akan
menjadi bangsa yang besar dan kuat.” (hal. 348).

Nilai Moral : Saling menghormati walapun berbeda usia.

Perkenalkan aku Andipati, Gurutta hampir semua penumpang kapal tahu siapa kakek tua
dengan surban putih ini daritadi banyak jamaah yang mendekati mengajak salaman Gurutta
tersenyum menerima jabatan tangan Daeng Andipati

“Apa kabar Nak?”

“Baik Gurutta” Daeng Andipati balas tersenyum

Nilai Psikologi

“Lantas. . . lantas . . .” Dengan suara tergagap karena gemetar


“Aku seorang Cabo, Guruta. Apakah Allah . . . Apakah Allah akan menerimaku di tanah suci?
Apakah hina sepertiku berhak menginjak tanah suci? Atau cambuk menghantam punggungku
lututku terhumaj ke bumi. Apakah Allah menerimaku? Atau mengabaikan perempuan pendosa
sepertiku? Membiarkan semua kenangan itu terus menghujam kepalaku membuatku bermimpi
buruk setiap malam, membuatku malu dengan siapapun.” (halaman 310)

SINOPSIS

Ini adalah kisah tentang perjalanan, dibumbui dengan pertanyaan-pertanyaan besar yang
dilontarkan para tokohnya, konflik yang mengiringi, serta solusi yang ditawarkan. Sebuah
novel yang merangkum lima kisah besar tokoh-tokohnya dalam sebuah perjalanan panjang
kerinduan. Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada
seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati.
Tentang kemunafikan

Cerita ini bermula di suatu pagi di pengujung tahun 1938, tepatnya 1 Desember 1938. Perlu
diketahui, tahun 1938 adalah salah satu tahun bersejarah. Bagi Indonesia—yang kala itu masih
bernama Hindia Belanda—itu merupakan tahun keikutsertaan dalam Piala Dunia di Perancis
pertama kali dan sekali-sekalinya. Selain itu, berarti masih tujuh tahun lagi dari tahun
kemerdekaan 1945. Di Eropa, Hitler menyerang Austria, yang menjadi benih-benih Perang
Dunia II. Di kawasan Asia Pasifik, Jepang dan China terlibat perang besar memperebutkan
Kanton dan Shanghai.

Sebuah kapal uap penumpang raksasa bernama BLITAR HOLLAND berlabuh di Pelabuhan
Makassar untuk mengangkut calon jama’ah haji dari Indonesia (Hindia Belanda), sepekan
sesudah hari raya idul Fitri. Perjalanan yang pada masa sekarang bisa ditempuh dalam hitungan
jam menggunakan pesawat terbang, pada masa itu harus ditempuh selama beberapa bulan lewat
jalur laut. Di Makassar inilah empat tokoh utama dalam cerita naik. Mereka adalah Gurutta
Ahmad Karaeng, Daeng Andipati, Ambo Uleng, dan Bonda Upe. Dapat dikatakan, perhentian
di Makassar merupakan titik tolak kisah dalam novel ini.

Gurutta yang merupakan tokoh ulama terkemuka dari Makassar, dari garis keturunan terpuji
para ulama Nusantara memerankan tokoh sentral yang disegani oleh para penumpang sekaligus
nahkoda kapal, Kapten Phillips. Permasalahan justru timbul dari Sergeant Lucas yang memiliki
prasangka buruk terhadap Gurutta semenjak awal. Kemahsyuran nama Gurutta sebagai ulama
yang disegani, dengan pengajian rutin yang senantiasa diminati masyarakat, membawa pesan
agama yang kuat, menjadi alasan yang tepat bagi serdadu Belanda tersebut untuk menaruh
curiga. Kecurigaan akan rencana untuk menghasut para penumpang agar memberikan
perlawanan atas penjajahan Belanda.

Ulama yang bijak ini memilih mengesampingkan perlakuan penuh intimidasi dan
kesewenangan Sergeant Lucas padanya dan fokus menebarkan kebaikan, bahkan selama dalam
perjalanan panjang menuju Tanah Suci. Berkat kepemimpinan Gurutta dan inisiatif bijaknya,
berbagai program pengajian, pembelajaran di kapal bagi para penumpang digiatkan. Tak
terkecuali bagi penumpang kanak-kanak yang cukup banyak jumlahnya. Meski sempat
mengalami penolakan di awalnya, berbagai program tersebut dapat berjalan baik sebagaimana
mestinya berkat bantuan Daeng Andipati, Kapten Phillips, Bapak Guru Soerjaningrat, dan
Bapak Guru Mangoenkoesoemo—kedua guru ini penumpang yang naik dari pelabuhan
Surabaya.

Di Pelabuhan Semarang, naiklah pasangan penumpang lanjut usia, Mbah Kakung Slamet dan
istrinya yang sangat mesra. Pasangan yang telah menikah berpuluh tahun itu hendak
menunaikan ibadah haji ditemani sang putri sulung. Kisah hidup dan pernikahan mereka
menjadi salah satu topik perbincangan yang dinikmati di kapal. Dari pasangan ini pula para
penumpang belajar banyak hal tentang kasih sayang dengan pasangan hidup.

Ambo Uleng, pemuda pelaut yang profesi terakhirnya adalah juru mudi kapal Pinisi menjadi
salah seorang karakter yang misterius. Kemunculannya di kapal lewat pengajuan diri sebagai
awak kapal bahkan telah menarik rasa ingin tahu Kapten Phillips. Pembawaaannya yang pelit
bicara, kaku, nyaris tidak pernah tersenyum menambah kemisteriusan tersebut. Namun berkat
kebijaksanaan dan rasa ibanya, Kapten Phillips memutuskan menerima meskipun Ambo tak
memiliki pengalaman berkaitan dengan pengoperasian kapal uap. Jadilah Ambo diterima
sebagai kelasi bagian dapur, dan sekamar dengan Ruben Boatswain.

Tokoh misterius lain adalah Bonda Upe, perempuan bernama asli Ling Ling keturunan
Tionghoa yang menyimpan kelamnya masa lalu. Bonda Upe ini tertutup, nyaris tak mau
berinteraksi dengan penumpang lain—kecuali dalam rangka mengajar mengaji anak-anak. Di
dalam perjalanan ini nantinya misteri masa lalu yang tragis itu terkuak, akibat sebuah insiden
tak terduga ketika mereka turun berjalan-jalan sejenak di Batavia.

Daeng Andipati, seorang pedagang sukses Makasar yang naik beserta dua putri dan istrinya
juga menjadi tokoh sentral dengan rahasia pribadi. Sebuah insiden mematikan di atas kapallah
yang akhirnya menguak tabir rahasia itu. Dari dua insiden besar di atas kapal dan satu insiden
di luar kapal, Ambo Uleng berperan besar sebagai penyelamat. Dari sinilah hubungan itu
terjalin antar tokohnya. Gurutta sebagai tempat bertanya dan mencari petuah atau solusi,
dengan tokoh-tokoh lain yang hendak mempertanyakan dilema hati mereka. Hanya saja, ada
satu hal yang tidak diketahui para penumpang lain, terkait masalah Gurutta sendiri, yang
baginya terbilang pelik dan mendesak untuk dipecahkan.Kapal haji ini menaikkan penumpang
dari sejumlah pelabuhan, sehingga tokoh-tokoh baru bermunculan dari tiap pelabuhan ini.

Kisah perjalanan kapal uap besar ini, dengan kehidupan ‘kecil’ yang berlangsung di dalamnya,
konflik yang timbul satu per satu, dan akhir yang sedemikian rupalah yang dituturkan oleh
novelis Tere Liye di sini.

RESENSI NOVEL

Novel yang terbilang tebal—terutama dibandingkan novel-novel Tere Liye


sebelumnya—ini berdesain sampul sederhana namun dalam maknanya. Simbol ‘R’ yang
artistik melambangkan kerinduan itu sendiri, dengan latar belakang warna putih yang jika
diamati secara cermat merupakan sehelai kertas surat dengan tulisan tangan kumal yang nyaris
luntur. Surat ini merupakan bagian dari kisah seorang tokoh dalam novel. Blurb yang disajikan
di bagian belakang sampul juga amat menarik.

Nama besar Tere Liye sendiri yang telah melahirkan banyak karya novel yang
berkualitas dan telah menempati ruang tersendiri di hati pembaca setianya menjadi salah satu
pemikat dan ‘jaminan’ akan keindahan dan kedalaman jalinan cerita Rindu ini. Diksi
pilihannya relatif sederhana, namun dengan sudut pandang pemikiran yang matang, sehingga
apa pun tema dan konflik yang diciptakan akan terasa berjiwa dan membekas di hati. Selain
itu, penambahan beberapa kosakata bahasa Belanda cukup membuat novel ini makin menarik
pembaca merasakan tiap-tiap kejadian yang ada pada cerita.

 “Wat zit daar in?” Elsa penasaran, ada apa disana. Memutuskan mendekat, bertanya
dalam bahasa belanda.
“Walvis.” Ruben si Boatswain menunjuk kedepan. (hal. 412)
 “Openmaken!” Pimpinan serdadu itu berseru.
“Alleen de kleding en boeken.” Gurutta tersenyum, menjelaskan—bahasa Belandanya
fasih. Maksud Gurutta, isi tas besar itu hanya pakaian dan buku-buku. (Percakapan
Gurutta dan Pimpinan Serdadu hal. 36)

Menggunakan sudut pandang penceritaan orang ketiga, ‘yang mahatahu segala” dan
alur maju, di novel terbarunya ini, Tere Liye kembali mengangkat romansa percintaan dan
kehidupan, dengan level yang lebih tinggi. Ini bukan lagi kisah sederhana sepasang kekasih
dengan cinta terlarangnya dan akhir yang bahagia. Kali ini sang novelis piawai
menggabungkan setting unik, kapal uap raksasa di zaman penjajahan Belanda, lebih spesifik
lagi di masa keberangkatan jamaah haji. Bisa dibayangkan betapa rumit detail setting dan
penokohan yang harus dikaji dan dipersiapkan melalui riset oleh Tere Liye demi kematangan
konsep cerita dan eksekusi yang sempurna. Mengutip perkataan salah seorang tokoh cerita,
Gurutta Ahmad Karaeng, “Jika kau ingin menulis satu paragraf yang baik, kau harus
membaca satu buku. Maka jika di dalam tulisan itu ada beratus-ratus paragraf, sebanyak
itulah buku yang harus kau baca.” (halaman 196-197). Agaknya cuplikan dialog dalam novel
ini cukup menjelaskan opini sang novelis sendiri mengenai sebuah karya yang baik dan ditulis
dengan totalitas.

Potongan-potongan percakapan atau narasi beraroma sejarah nasional maupun


internasional di masa perjuangan dapat dibaca di banyak halaman. Penulis dengan piawai
menyelipkannya lewat narasi deskripsi maupun dialog antar karakter. Sebagai contoh:
• “Pemuda ini memang gagal membendung tentara Kompeni berkuasa di Tanah Bugis. Tapi
sejarah mencatat, dialah panglima perang paling mahsyur di wilayah timur. Kompeni
menjulukinya De Haav van de Oesten, Ayam Jantan dari Timur. Yang kokok suaranya
membangunkan seluruh rakyat untuk bersatu melawan penjajah. Yang kokok suaranya mampu
menggetarkan serdadu Belanda hingga Eropa sana. Pemuda itu adalah Sultan Hasanuddin.
Makamnya ada di Karangka, di dekat masjidku.” (halaman 101—percakapan Gurutta dengan
Ambo Uleng dan Ruben Boatswain)

• “Bergeser lagi ke selatan, terdapat bangunan paling indah di masa itu (sekarang dikenal
dengan nama Lawang Sewu yang berarti seribu pintu). Bangunan ini merupakan kantor pusat
perusahaan kereta api Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Sesuai
namanya, bangunan itu memiliki lebih banyak pintu dan jendela dibandingkan lima puluh
rumah dijadikan satu.” (halaman 171—deskripsi kota Semarang saat kapal berlabuh)

Setting perjalanan selama di atas kapal uap dan mengarungi selat, teluk, dan samudera,
Tere Liye memang menekankan kelogisan dengan deskripsi yang barangkali bagi pembaca
penyuka setting alam yang dinamis akan merasa bosan. Simak saja kutipan deskripsi berikut:

• ”Senja pertama di atas kapal. Langit bersih tanpa awan membuat pemandangan saat
matahari bundar merah perlahan masuk ke dalam permukaan laut di kaki langit barat nampak
menakjubkan.” (halaman 47)

• “Pukul tujuh tepat, peluit kapal berbunyi nyaring dua kali. Tanda jadwal sarapan telah
tiba. Penumpang beranjak keluar dari kabin masing-masing. Memenuhi lorong-lorong kapal,
sambil bercakap santai menuju kantin.”(halaman 73)

• “Pagi itu cerah. Langit biru sejauh mata memandang. Cerobong tinggi kapal mengepul.
Bendera di tiang-tiang layar berkelepakan. Satu-dua burung camar terbang rendah. Suara
mereka melengking nyaring.” (halaman 103)

Deskripsi ini beberapa kali berulang dengan detail yang agak mirip. Rutinitas yang
dilakoni awak kapal dan penumpang yang nyaris sama. Pemandangan sekitar lautan dan
langitnya yang bersiklus tak jauh beda. Namun itulah logisnya perjalanan di sebuah kapal besar
dalam waktu berminggu-minggu. Namun pembaca tetap dapat menjumpai dinamika di saat-
saat kapal berlabuh cukup lama di beberapa pelabuhan dan beberapa penumpang memutuskan
rehat berplesiran sejenak. Seperti ketika di Surabaya atau di Batavia.

“Daeng Andipati segera tahu apa yang sedang terjadi. Itu suara granat...”(halaman 129—
adegan ketika Daeng Andipati dan dua putri kecilnya turun untuk berbelanja di Surabaya).

“Rombongan turun dari kereta. Daeng Andipati berpesan ke saisnya, agar mereka menunggu.
Anna sudah loncat sejak tadi, mendongak menatap papan nama, “Kedai Soto
Betawi”...” (halaman 217—adegan plesir di Batavia)

Selain itu, dinamika cerita yang ditata apik sepanjang alur-plot kisah. Untuk hal ini,
Tere Liye—seperti yang biasa dilakukan di novel-novelnya yang lain—menyisipkan semacam
trik. Di beberapa pergantian bab (akhir bab atau awal bab), penulis ini sengaja menyuguhkan
sebuah kalimat beraroma teka-teki, petunjuk yang mengundang rasa penasaran tentang konflik
menarik apa yang bakal terjadi selanjutnya. Coba simak sekelumit contoh penggalan berikut:

• “Sayangnya, bukan pengalaman naik trem yang paling diingat oleh Anna hari itu. Juga
bukan saat mereka belanja pakaian baru.” (halaman 127—awal bab empat belas)

• “Di tengah ramai percakapan pagi itu, orang-orang lalai memerhatikan kalau wajah
Bonda Upe cemas. Ia beberapa kali memegang lengan suaminya, berbisik sesuatu. Suaminya
balas berbisik, samar terdengar tentang, “Tidak akan ada yang tahu tentang Batavia, Bou.
Tidak ada.” (halaman 186) dan masih sederet kutipan menantang serupa.

Kepiawaian Tere Liye dalam menciptakan koneksi, rasa saling terhubung, antara
pembaca dengan karakter-karakter dalam cerita novel Rindu ini juga terbilang sukses. Aneka
adegan yang menyulut senyum, tawa, kesedihan, kekhawatiran, ketakutan, bahkan amarah
antar tokohnya sangat terasa selama pengalaman membaca seluruh halamannya. Sebagai
contoh, adegan-adegan berikut:

“Tanpa berpikir dua kali, ketika Anna terguling jatuh di jalan, Ambo bagai seekor induk
singa, langsung lompat, memeluknya erat-erat. Membiarkan tubuhnya menjadi tameng. Kaki-
kaki orang ramai menghantam tubuhnya. Tidak hanya sekali, berkali-kali punggungnya
terinjak, betisnya ditendang, bahkan tengkuknya terkena sepatu. Ambo Uleng menggigit bibir,
menahan sakit. Tapi demi mendengar Anna yang ada dalam pelukannya menangis terisak,
ketakutan, Ambo Uleng bersumpah ia tidak akan menyerah. Ia tidak akan menghindar. Ia tetap
memeluk Anna.” (halaman 134)

“Nah, yang satu ini siapa namanya?” “Elsa, Mbah Kakung.” Elsa berseru kencang. “Oh,
Entah. Mbah Kakung seolah yakin sekali dengan pendengarannya, “Namamu kenapa aneh
begitu, Nak?” (hal. 181)

• “Seumur-umur menjadi koki, aku tidak pernah bisa mengandalkan kalian. Lebih baik
mengandalkan wajan dan kuali. Mereka tidak pernah terlambat saat dibutuhkan. Tidak pernah
mengeluh meski dibakar di nyala api. Dan tidak pernah mengecewakan. Tahan banting itu
wajan. Sementara kalian? Kelasi tidak berguna!...”Ambo Uleng menunduk semakin dalam.
Beruntung Kepala Koki itu bekerja di dapur, jadi meski mulutnya tajam, perumpamaaan yang
ia pakai hanya sayur-mayur, kuali, wajan, dan sejenisnya. Celaka sekali kalau ia bekerja di
kebun binatang, kosa kata makiannya bisa mengerikan. (halaman 167-168)

Dialog-dialog dalam kisah Rindu ini pun menarik, kaya hikmah kehidupan. Petuah-
petuah, filosofi hidup, sindiran halus bertebaran di sepanjang halaman, dan meski mayoritas
dituturkan lewat sosok Gurutta yang memang digambarkan berilmu agama paling tinggi, usia
matang, dan bijaksana, namun tak sedikit pula yang terlontar dari bibir tokoh seperti Ambo
Uleng yang bahkan baru mulai kembali belajar shalat dan mengaji di atas kapal BLITAR
HOLLAND, atau dari bibir mungil Anna.

• “Anna tidak banyak cakap lagi, mengambil handuk. Orang dewasa itu kenapa rumit sekali,
pikirnya. Kenapa mereka mencemaskan banyak hal. Gurutta senang, kok, mereka
menghabiskan sore di kabinnya. Malah ia dipinjami buku.”(halaman 199)

• “Bagaimana ia menulis sebuah buku yang membuat jutaan pembaca tergerak hatinya, jika
ia sendiri tidak tergerak? Bagaimana ia bicara tentang perlawanan, tapi ia sendiri adalah
pelaku paling pengecut? Saat pikiran-pikiran itu melintas, Gurutta gemetar meletakkan
pena.” (hal. 232)
• “Pahami tiga hal itu, Nak, semoga hati kau menjadi lebih tenang. Berhenti lari dari
kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik
sebanyak mungkin.” (hal. 315)

• “Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita... Takdir bahkan basa-basi menyapa pun
tidak. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi
makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana
menyikapinya.” (hal. 471)

• “Ilmu agamaku masih dangkal, Gurutta. Tapi malam ini, kita tidak bisa melawan
kemungkaran dengan benci di dalam hati atau lisan. Kita tidak bisa menasihati perompak itu
dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa membebaskan Anna, Elsa, Bonda Upe, Bapak
Soerjaningrat, dan seluruh penumpang dengan benci di dalam hati. Malam ini kita harus
menebaskan pedang.” (hal. 533)

Novel ini juga cukup kompleks merangkum gambaran kehidupan, pemahaman yang
ingin disampaikan penulis. Sebagaimana dikatakan lewat sebuah penuturan di
dalamnya, “Menulis adalah salah satu cara terbaik menyebarkan pemahaman, Ruben.” (hal.
501), maka dalam novel panjang ini Tere Liye benar-benar menghidangkan menu komplit itu.
Di dalam kisah ini terdapat romansa cinta anak muda, kisah sejati pasangan lanjut usia,
berdamai dengan masa lalu, memaafkan, dan dakwah yang sejati.

Tere Liye tak lupa juga menyisipkan pentingnya dakwah dan pendidikan semenjak usia
belia. Tergambar dari sejumlah besar adegan belajar-mengajar di kelas Anna dan Elsa di atas
kapal, dengan metode pengajaran yang fleksibel, bahkan dipuji oleh sang kapten kapal.

“Terus terang, jika guru-guru di sekolah kalian seperti Anda, besok lusa bangsa kalian akan
menjadi bangsa yang besar dan kuat.” (hal. 348).

Kehadiran dua tokoh utama anak-anak di dalam novel ini pun disengaja untuk
melukiskan betapa menimba ilmu itu bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dengan cara
apa saja. Kehadiran dua gadis cilik tersebut juga sekaligus memberikan teguran-teguran halus
bagi tokoh-tokoh dewasa melalui celoteh polos mereka.
Tiap karya penulis—tak terlepas dari kelemahan sebagai manusia—selalu memiliki
celah kekurangan. Demikian pula novel ini, yang sayangnya ‘membiarkan’ masih adanya typo
atau kesalahan pengetikan, kesalahan pemisahan imbuhan menjadi kata sambung, yang bagi
penulis sekelas Tere Liye barangkali cukup aneh masih bisa juga terjadi. Namun ‘kesalahan’
kecil ini masih bisa diperbaiki di cetakan selanjutnya. Selain itu, untuk beberapa pembaca yang
mudah bosan, tokoh-tokoh yang disajikan dalam cerita terhitung terlalu banyak, dengan
beragam persoalan didalamnya dan juga dengan beberapa detail deskripsi yang mirip. Adapula,
hal-hal semacam sub. Bab yang tidak diberi judul, sehingga bila pembaca ingin mengulang
bagian cerita favoritnya, ia harus mengurutkan kembali cerita dalam novel ini untuk
menemukannya.

Anda mungkin juga menyukai