Anda di halaman 1dari 54

MENULIS

KRITIK DAN ESAI SASTRA


MENULIS
KRITIK DAN ESAI SASTRA

Almas Bilah Izzah Nafisah


Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Heri Suwignyo, M.Pd

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


Jl. Semarang 5, Sumbersari, Kec.Lowokwaru, Kota Malang, Jawa
Timur 65145
Kotak Pos 13, MLG/IKIP Telepon (0341)551312

iii
KATA PENGANTAR

Buku ini ditulis berdasarkan hasil kajian terhadap karya sastra prosa fiksi
dan puisi berupa kritik dan esai sastra. Kajian ini penting dilakukan karena kritik
dan esai sastra dapat bermanfaat sebagai panduan yang dapat digunakan oleh
pembaca untuk mengetahui kualitas sebuah karya. Selain itu, kritik dan esai sastra
juga berfungsi sebagai alat untuk mengapresiasi dan mengevaluasi agar karya
sastra penulis selanjutnya dapat berkembang menjadi lebih baik.

Penulisan kritik dan esai sastra pada prosa fiksi dan puisi sebenarnya
sudah banyak dilakukan oleh para kritikus dan esais. Mereka menyampaikan
kritik dan apresiasi terhadap sebuah karya sastra dari berbagai sudut pandang yang
sudah barang tentu akan diperoleh hasil kajian yang berbeda-beda. Hal ini tentu
harus disikapi sebagai wujud keragaman yang memperkaya khazanah
pengetahuan tentang kritik dan esai sastra.

Buku kritik dan esai sastra ini disusun dengan pertimbangan sebagai
berikut. Pertama, masih banyak masyarakat umum yang tidak mengetahui tentang
teori sastra sehingga penulis berharap buku ini akan dapat menjembatani antara
pembaca dengan karya sastra. Kedua, terdapat kerumitan dan kegelapan makna
yang ada dalam karya sastra sehingga sebuah karya membutuhkan kritik untuk
dapat ditafsirkan dan dievaluasi kekurangannya. Ketiga, karya sastra memerlukan
penilaian dari berbagai sudut pandang agar dapat berkembang secara signifikan
sehingga esai diperlukan sebagai penunjang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Heri Suwignyo selaku


dosen pengampu mata kuliah Menulis Kritik & Esai Sastra serta Ibu Lini Larasati
P. yang telah bersedia membimbing dan memberi catatan-catatan kritis sehingga
buku ini dapat selesai dengan baik. Penulis menyadari bahwa isi uraian dalam
buku ini masih banyak kekurangan sehingga saran dari pembaca sangat kami
harapkan demi penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu bahasa.

Malang, 03 Desember 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................. iii


Kata Pengantar ............................................................................................................. iv
Daftar Isi ....................................................................................................................... v
Kritik Sastra.................................................................................................................. 1
A. Menyibak Realita Dalam Kata ............................................................................. 1
B. Sebuah Jaket Berlumur Darah: Balada Suara Rakyat Kala Orba .......................... 11
Esai Sastra ..................................................................................................................... 19
A. Realisasi Cinta Dalam Rectoverso ....................................................................... 19
B. Menelisik Intuisi Penyair Dalam Puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu” karya
W.S. Rendra ........................................................................................................ 32
Lampiran....................................................................................................................... 39
A. Kerangka Kritik Sastra Prosa Fiksi ...................................................................... 39
B. Kerangka Kritik Sastra Puisi................................................................................ 42
C. Kerangka Esai Sastra Prosa Fiksi ......................................................................... 44
D. Kerangka Esai Sastra Puisi .................................................................................. 45
Riwayat Hidup Penulis ................................................................................................. 47
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 48

v
KRITIK SASTRA

MENYIBAK REALITA DALAM KATA


Oleh : Almas Bilah Izzah Nafisah
200211605281 – B
almasbilah06@gmail.com

*
Takjub. Begitu kira-kira perasaan yang bisa digambarkan selepas
membaca novel ketiga karya Nadhifa Allya Tsana, penulis dengan nama pena
rintik sedu berjudul “KATA: Tentang Senja Yang Kehilangan Langitnya” (Gagas
Media, 2018). Kisah percintaan remaja sebagai salah satu hal yang tidak dapat
terelakkan lagi di kehidupan sehari-hari dipersembahkan dengan elegan oleh
Tsana lewat karya sastra novelnya tersebut. Gaya bahasa yang santai dan
sederhana serta jauh dari diksi-diksi pelik menghipnotis alam bawah sadar
pembaca seakan-akan larut dalam ceritanya.

Ada beberapa tokoh yang dibentuk oleh si penulis, tiga tokoh utama, tokoh
pembantu dan tokoh figuran. Tokoh utama menjadi yang paling sering dibahas
dan mendominasi seluruh alur daalam cerita. Tokoh utama tersebut antara lain
Binta, Nugraha, dan Biru. Tokoh pembantu menjadi tokoh yang kehadirannya
selalu mengikuti tokoh utama, antara lain Mamah Binta, Bi Suti, Riza, Cahyo,
Sinta, dan anak-anak pinggiran rel kereta. Sedangkan tokoh figuran menjadi tokoh
pengisi dalam beberapa alur cerita. Tokoh-tokoh figuran itu antara lain dokter
mamah binta, kurir pos, Pak Misnan, Mang Ujang, Pak Joko, Bu Iis, Bunda
Nugraha, Ayah Nugraha, mas Joko, dan istri mang Ujang.

Novel ini begitu dikagumi karena sangat relevan dengan realitas dalam
kehidupan nyata. Karena mudah dimengerti dan punya keterkaitan yang kuat

1
dengan realita kehidupan , novel ini berhasil diadopsi dalam bentuk film oleh
rumah produksi Falcon Pictures dan disutradai langsung oleh Herwin Novianto.
Dengan pernyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi betapa bagusnya novel
“KATA” ini.

Cerita alakadarnya kisah remaja dapat dikemas sedemikian oleh tangan


terampil Tsana sehingga menjadi sebuah mahakarya yang sukses memanjakan
ribuan penikmat novel milenial. Meski berkisah mengenai romance, banyak
amanat yang dapat dipetik lewat novel-novel Tsana utamanya pada novel
“KATA: Tentang Senja Yang Kehilangan Langitnya” ini. Penulis menggunakan
teori dan pendekatan mimetic untuk mengkaji beberapa hal yang ada dalam novel
guna mengetahui keterkaitan isi novel dengan kejadian-kejadian di dunia nyata.
Penilaian didasarkan pada kesesuaian kisah tokoh dengan realitas kehidupan
manusia yang dapat dianalisis lewat latar dalam novel.

**

Kisah-kisah dalam novel “KATA : Tentang Senja Yang Kehilangan


Langitnya” dibagi menjadi beberapa babak. Dimulai dari babak pertama dengan
judul pengantar “Di Ambang Pintu” . Dalam paragraf pertama diceritakan bahwa
tokoh utama bernama Binta memiliki ibu yang mengidap penyakit Skizofrenia
sejak Binta berumur lima tahun.

“Binta Dineshcara. Perempuan biasa yang kuliah di jurusan komunikasi semester tiga.
Hidup berdua dengan sang mama yang mengidap penyakit skizofrenia. Itulah kenapa
ayahnya pergi, meninggalkan mereka menjadi keluarga yang rapuh. Skizofrenia adalah
penyakit kejiwaan yang membuat si penderita tidak bisa membedakan mana yang nyata
dan mana yang ada di dalam pikirannya. Penderita skizofrenia mengalami delusi,
halusinasi, banyak diam dan melamun, dan juga sering bicara aneh” (Kata, 2018:2)

Dari kutipan di atas, penulis langsung menyuguhkan kisah yang realistis


mengenai seorang ibu yang mengidap penyakit skizofrenia dan harus hidup
bersama anak semata wayangnya selama bertahun-tahun akibat ditinggal pergi
oleh suaminya. Berbicara tentang penyakit skizofrenia, penyakit ini memang ada

2
di dunia nyata. Dalam dunia medis, penyakit skizofrenia adalah penyakit yang
ditandai dengan pemikiran atau pengalaman yang nampak tidak berhubungan
dengan kenyataan, ucapan, atau perilaku yang tidak teratur, dan penurunan
partisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Serta adanya kecenderungan kesulitan
dalam berkonsentrasi dan mengingat.

Namun apabila menilik kembali pada kutipan kalimat dalam novel di atas,
ada yang janggal. Satu pertanyaan besar muncul dalam benak tentang bagaimana
bisa seorang anak kecil bertahan hidup dengan ibunya yang mengidap penyakit
mental seperti skizofrenia? Sangat tidak masuk akal, seorang anak berumur lima
tahun bisa bertahan hidup dan mengurus ibunya sendiri bertahun-tahun tanpa
bantuan orang lain. Lalu siapa yang bekerja mencari nafkah untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari? Apakah bisa seorang anak kecil bekerja dan menghasilkan
uang yang cukup untuk membeli kebutuhan sandang, pangan, papan, dan
sekolahnya? Jika pun dalam novel disebutkan bahwa ada tokoh ‘Bi Suti’ sebagai
pembantu yang ikut merawat dan menjaga Binta serta mamanya, lantas siapakah
yang menggaji Bi Suti? Bukankah tokoh Bi Suti hanyalah berperan sebagai
pembantu, bukan sebagai relawan?

Binta benar-benar mencoba untuk berpikir. Ia memang tidak pernah menyukai sesuatu.
Sekalipun binatang yang menggemaskan.
“Mungkin kura-kura,” jawabnya tiba-tiba.
Nug menoleh penasaran. “Kura-kura?”
“Kura-kura bisa bawa rumahnya kemana-mana, bisa hidup sendirian. kura-kura itu
makhluk paling beruntung yang hidup di muka bumi. Jalan mereka yang lambat, seakan
lebih banyak mencuri kenangan ketimbang manusia, mereka bisa merasakan apapun
dengan waktu yang lebih lama. mereka nggak pernah berlomba jadi juara. Mungkin kura-
kura adalah binatang paling bahagia. Enak kali ya, kalau semua manusia di dunia berjalan
selayaknya kura-kura, mungkin takkan ada yang namanya juara, mereka sudah cukup
bahagia dengan langkah lambat yang mereka punya.” (Kata, 2018:19 )

Pada babak kedua, dijelaskan mengenai Binta dan seorang laki-laki yang
baru saja ia kenal bernama Nugraha sedang sibuk memperumpamakan diri mereka
masing-masing sebagai hewan. Tokoh Binta memperumpamakan dirinya sebagai
kura-kura. Dalam realitanya, manusia memang jarang menghargai waktu, mereka

3
hanya terus menjadi budak obsesi mereka sendiri. Sehingga dalam novel, Binta
ingin menjadi kura-kura demi untuk menghindari menjadi manusia bumi yang
menyebalkan seperti itu. Ia ingin hidup untuk menikmati setiap waktu sebelum
menjadi kenangan, tak banyak menuruti obsesi seperti manusia-manusia yang
lain.

Dijelaskan juga mengenai kehidupan anak-anak pinggiran rel kereta api


yang hidup dalam keterbatasan tetapi masih bisa mencari cara untuk
membahagiakan diri. Mereka selalu menunggu Nug datang mengunjungi untuk
sekedar menggambar dan mewarnai bersama.

“Langkahnya berhenti di sebuah lahan kecil. Masih di sepnajnag pinggir rel kereta. Ada
papan tulis, spidol, dan pensil warna, juga beberapa hasil karya mereka yang diletakkan
di tumpukan kertas, yang apabila kereta lewat, semua akan berhamburan kemana-mana.”
(Kata, 2018:21)

Yang menjadi kejanggalan kedua, adalah mengenai ‘apakah mungkin


papan tulis, spidol, pensil warna, dan tumpukan kertas tiba-tiba ada di sebuah
lahan kecil pinggiran rel?’. Jikalau memang mungkin, siapakah yang menatanya
disitu? Kalimat dalam novel itu rupanya akan lebih logis apabila berbunyi
“Langkahnya berhenti di sebuah gubuk kecil. Masih disepanjang rel kereta. Di
dalam gubuk itu ada papan tulis, spidol, dan pensil warna, juga beberapa hasil
karya mereka yang diletakkan di tumpukan kertas. Mereka menyebutnya rumah
kreasi, Nug yang membuatkan gubuk sederhana itu. Biar anak-anak punya tempat
untuk hiburan, katanya.” Meskipun pemilihan latar tempat pada kutipan di atas
belum sepenuhnya sesuai, namun Tsana berusaha untuk menggambarkan latar
suasana dengan baik. Tsana menggambarkan sebuah keadaan dimana kondisi
permukiman sepanjang rel kereta api yang pelik dengan segala aktivitas warganya
sangat nyata adanya dalam kehidupan sehari-hari di perkotaan.

“sesekali ada orang yang lewat dengan membawa karung di punggungnya, juga ibu-ibu
yang membakar sampah sehingga membuat rambut Binta jadi bau asap.” (Kata, 2018:21)

4
Hanya terdapat sedikit kesalahan pada babak tiga, yaitu ketika Nug
menjelaskan kepada Binta bahwa burung dara dan merpati itu mirip, karena
mereka sama-sama masuk ke dalam famili Columbidae. Padahal setelah dicari
informasi dalam beberapa buku dan jurnal, burung dara dan merpati adalah dua
burung yang bukan lagi mirip tetapi memang dua burung yang sama. Tidak
terdapat perbedaan ciri yang menonjol antara kedua burung ini. Sehingga
perbedaan yang ada hanya sebatas perbedaan penyebutan saja yang mana itu
terjadi karena seseorang punya penyebutan sendiri di daerahnya masing-masing.

Dalam babak empat berjudul pengantar “Kaca dan Mata”, Tsana


mengisahkan mengenai cinta bertepuk sebelah tangan yang sedang dialami oleh
Nugraha.

“kamu beneran nggak masuk kelas?”


“udah telat setengah jam, Ta.”
“siapa tau masih boleh masuk.”
“percuma kalau di kelas tapi pikiranku di kantin. Kasihan ada princess sendirian” (Kata,
2018:44)

Awal kisah diceritakan tentang Binta yang telat masuk kelas sehingga
diusir oleh dosennya dan memutuskan untuk duduk di depan pintu kelas. Tiba-tiba
saja Nug hadir menyodorkan air mineral kepada Binta. Setelah itu mereka
memutuskan untuk pergi ke kantin dan ngobrol disana. Sekelebat seperti kegiatan
biasa yang dilakukan oleh anak-anak kuliah pada umumnya. Tetapi apakah
memang sebebas itu peraturan di kampus dalam kehidupan nyata? Dalam
beberapa babak yang lalu Binta juga sering dikisahkan suka sekali telat masuk
kelas. Lalu apakah tidak ada batas minimal berapa kali mahasiswa telat masuk
kelas seperti pada peraturan-peraturan mata kuliah di universitas biasanya?
Apakah juga memang diperbolehkan, mahasiswa bolos hanya demi kepentingan
pacaran?

Keteledoran yang sama ditunjukkan oleh penulis beberapa kali, mengenai


alur cerita yang selalu saja berujung sama. Dimana setiap Binta dan Nugraha
menghabiskan waktu berdua, selalu setelahnya mereka dikisahkan pulang. Entah
itu dalam latar waktu yang masih sore ataupun sudah malam. Sehingga dalam

5
cerita tidak terlihat kejelasan apakah mereka sebenarnya mahasiswa yang sedang
kuliah atau hanya remaja jatuh cinta yang sedang main-main di kampus
menciptakan kisah cinta yang terasa dunia hanya milik berdua di dalamnya.
Entahlah, setiap pembaca punya sudut pandang sendiri-sendiri dalam
menginterpretasikan apa yang telah dibaca dalam novel.

“Keresahannya itu membuatnya berdiri dari bangku tempat ia duduk, membuat seisi kelas
langsung melihat ke arahnya. Awalnya, ia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan, tapi kemudian
ia bilang. “Maaf, Pak. Saya harus keluar sebentar,”katanya kepada dosen yang sedang ada di
depan lalu ia keluar kelas” (Kata, 2018:65)

Kesalahan yang sama terus terulang. Kali ini Nugraha dikisahkan sedang
khawatir-khawatirnya kepada Binta sampai pikiran itu membuatnya tidak
konsentrasi mengikuti mata kuliah ‘Struktur dan Konstruksi Bangunan Bertingkat
Tinggi’. Nugraha memutuskan untuk izin keluar memeriksa keberadaan Binta di
kelasnya dan segera bergegas menuju gedung Fakultas Ilmu Komunikasi. Setelah
mengetahui Binta tidak ada di dalam kelas, Nugraha memutuskan untuk bergegas
ke parkiran motor dan menuju rumah Binta. Bisakah mahasiswa dalam kehidupan
nyata seenaknya sendiri seperti ini? meninggalkan kelas demi untuk menemui
seseorang. Pada kenyataannya universitas menciptakan peraturan disiplin dan tata
tertib mahasiswa sebagai giat kode etik mahasiswa. Tujuannya? Tujuannya adalah
agar tidak ada mahasiswa seperti Nugraha dan Binta dalam kehidupan nyata.

“Kamu tahu cinta pertama seorang perempuan yang didapat dari laki-laki adalah dari
ayahnya? Dan cinta pertama itu mematahkan hatiku, Nug. Ayahku sendiri membuatku berhenti
percaya dengan yang namanya cinta. Dia pergi meninggalkan aku dan mama, dia pergi
menyisakan luka paling dalam. Aku takut, aku takut kalau semua laki-laki itu sama, aku takut
percaya lagi sama yang namanya cinta, aku takut kalau …” (Kata, 2018:104)

Beranjak pada babak kedelapan berjudul pengantar “mesin waktu”, Binta


mengingat kembali betapa ia sangat trauma dengan masa lalunya. Masa lalu yang
kelam tentang ayahnya yang meninggalkan Binta serta mamanya hidup sendirian.
ayahnya meninggalkan Binta saat ia masih berusia lima tahun karena ibunyaa
mengidap penyakit skizofrenia seperti yang telah diceritakan pada babak pertama
dalam novel ini. Yang menjadi pertanyaan adalah sejak kapan ibu Binta mengidap

6
penyakit skizofrenia? apa alasan yang melatarbelakangi ibunya sampai harus
menderita penyakit mental tersebut? Lalu apabila boleh jadi dikisahkan ayahnya
pergi meninggalkan Binta karena mamanya mengidap penyakit tersebut sudah
sejak lama, kenapa ayahnya menikahi mama Binta? Dari pertanyaan tersebut
dapat disimpulkan bahwa masih ada bahasa yang ambigu sehingga menuntut
pembaca untuk membaca berulang-ulang agar paham maksud yang ingin
disampaikan oleh si penulis.

“Binta spontan menoleh. Ia lihat Nug datang, memakai kaus putih bertuliskan “Anak
Arsi”, celana jeans biru, dan dengan infus yang masih menempel di tangannya. Wajahnya
masih penuh luka dan lecet bekas tabrakan juga belum hilang.”
Nug meilhat Binta, tersenyum lebar dan menghampirinya.
“Nugraha, kamu ngapain?”
“Kabur dari rumah sakit” (Kata, 2018:126)

Tidak berhenti sampai di kampus, rupanya pada babak sembilan ini


Nugraha yang sempat dirawat di rumah sakit memutuskan untuk kabur dari rumah
sakit karena rasa rindunya kepada Binta sudah terlalu penuh. Pada kenyataannya,
orang yang mengalami kecelakaan dengan patah tangan dan luka lecet akan susah
untuk kabur dari rumah sakit. Jangankan untuk kabur, berdiri saja rasanya sudah
sakit sekali. Tetapi betapa sakti, Tsana, mencoba menggambarkan Nugraha
sebagai laki-laki paling tangguh dan rela menabung nyawanya hanya demi
seorang Binta. Kejanggalan yang lain adalah saat momen dimana Nugraha yang
kabur dari rumah sakit menghampiri Binta di caffe nya. Sungguh luar biasa sakti.
Padahal tidak dikisahkan sama sekali Binta ataupun Riza mengabari Nugraha
untuk sekedar memberitahu bahwa Binta sedang ada di caffe miliknya. Rupanya
selain sakti, Nugraha juga seorang peramal yang bisa meramalkan keberadaan
Binta.

Melompat pada babak ke lima belas, muncul sosok baru dalam perjalanan
cinta seorang Binta. Biru adalah teman masa kecil Binta yang tinggal di Banda.
Cahyo membuat mereka berdua bertemu kembali. Masa lalu Binta kini hadir
didepan matanya dan itu membuatnya bahagia- melupakan Nugraha yang tidak
pernah diharapkan sama sekali olehnya. Binta yang merasa kecewa karena merasa

7
cinta nya tidak dibalas oleh Biru memutuskan untuk keluar malam buta
mengelilingi daerah sekitaran tempat tinggal Bu Lis. Binta yang tak tau arah
akhirnya tersesat dijalanan gelap, syukurlah Biru menemukannya.

“Biru aku tersesat. Biru kamu dimana? Di sini gelap, aku takut. Jemput aku, Biru. Aku
mau pulang, tapi aku lupa jalan mana yang aku lalui tadi. Biru!”
“Di sini gelap, Jani, kamu sedang apa?” tanya Biru sambil memakaikan jaket untuknya.
(Kata, 2018:172)

Dari kutipan novel di atas, tentunya ada keanehan yang langsung dapat
disadari manakali seseorang mencoba membacanya. Bagaimana bisa Binta yang
pergi ke arah sembarang di malam buta dengan keadaan sekitar yang gelap gulita
bisa ditemukan dengan mudahnya oleh Biru, diwaktu yang tepat pula. Keadaan ini
mungkin tidak akan terjadi di dunia nyata, realitanya orang yang tersesat di jalan
gelap pada malam hari pasti akan sulit ditemukan. Sehingga hanya ada dua
kemungkinan yang akan terjadi, antara orang tersebut harus bisa memberanikan
diri terjaga sampai esok atau mati karena dibegal.

“Mereka sedang di Pantai Ancol, tepatnya beberapa tahun lalu ketika keduanya masih
duduk di kelas dua SMA. Dengan seragam yang masih ia kenakan, Biru menculik Jani dari kelas
matematika yang begitu ia benci.” (Kata, 2018:218)

Tsana menulis flashback di babak-babak terakhir. Cerita tentang Binta dan


Biru ketika masih duduk di bangku SMA. Tsana lagi dan lagi seperti terus ingin
mengulang kesalahan yang sama, mencoba memfokuskan kepada kisah cinta
Binta dan Biru sampai mengesampingkan kenyataan bahwa mereka sebagai
seorang siswa SMA. Pasalnya walaupun sudah disebut beberapa kali bahwa Binta
dan Biru kala itu adalah siswa SMA, Tsana tetap hanya ingin menunjukkan betapa
kisah cinta remaja memang sampai harus menyita waktu mereka untuk
bersekolah. Tsana tidak lagi fokus pada fungsi mereka sebagai sseorang siswa
SMA dan malah lebih fokus kepada kisah cinta mereka saja, sehingga sangat
disayangkan apabila gara-gara kisah pada babak ini boleh jadi menggiring asumsi
pembaca jika memang benar bahwasannya kisah cinta para remaja selalu buruk.

8
Apalagi Tsana menggunakan Pantai Ancol sebagai latar tempat dalam kisah cinta
putih abu-abu Binta dan Biru yang pada kenyataannya di tempat itu sudah
terdapat kebijakan mengenai aturan masuk kawasan Ancol yang melarang
pengunjungnya memakai seragam sekolah atau masuk Pantai Ancol pada saat
masih jam sekolah.

“Kok dua? Satunya buatmu?” tanya Binta sambil memulai gigitan pertamanya.
“Sekarang, kan, sudah pukul satu pagi. Siapa tau satu jam lagi kamu laper lagi.”
“Enak aja! Emangnya aku serakus itu?!” seru Binta sambil membuka bungkusan cheese
burger yang satunya lagi dan memberikannya kepada Nug. (Kata, 2018:301)

Entah sudah babak ke berapakah kutipan dialog antara Binta dan Nugraha
di atas ini, dialog ini adalah dialog setelah Binta dan Nugraha mengantarkan Sinta
pulang ke apartemen karena kelihatan mabuk di klub malam. Mungkin kejadian
semacam ini terjadi pada beberapa anak muda, keluyuran hingga larut malam.
Bukan larut malam, pagi-pagi buta maksudnya. Tapi apakah pantas, Binta yang
diceritakan sering marah kepada Nugraha hanya karena tak cepat diantar pulang
ke rumah dan selalu berjaga dua puluh empat jam untuk mamanya itu, pagi-pagi
buta seperti ini masih ada di luar dengan seorang laki-laki? Apakah sikap Binta
setiap babak bisa berubah-ubah? Apakah sekarang Binta tidak lagi khawatir
dengan mamanya?
Alur cerita dalam novel “Kata: Tentang Senja Yang Kehilangan
Langitnya” sungguh dramatis dan dirangkai dengan baik. Setiap pembaca sukses
dibuat larut bersama cerita Binta, Nugraha dan Biru yang sedang
memperjuangkan perasaan mereka masing-masing. Namun ada beberapa cerita
yang seharusnya tak perlu dilakukan sampai malam suntuk apalagi dilakukan oleh
seorang remaja. Meski sudah bukan kebiasaan yang asing di ibu kota, namun
justru masih kelihatan aneh bagi beberapa pembaca yang tinggal di daerah lain.
Hal ini dirasa kurang baik karena seakan-akan mereka tidak punya waktu tidur
lagi. Seharian penuh selalu berdua sampai-sampai kegiatan perkuliahannya pun
hanya sedikit disinggung. Sungguh kisah cinta yang toxic.

9
Kisah-kisah pada babak berikutnya berakhir dengan Binta dan Nugraha
yang akhirnya bersama. Namun, Biru mengorbankan perasaanya dan kembali
pulang ke Banda Neira. Akhir yang sudah terbaca sejak babak terakhir dalam
novel ini dibaca. Yang masih sulit untuk dipahami adalah ketika Tsana membuat
Biru kembali ke Banda Neira dengan dalih membawa Binta dan mamanya ikut ke
bandara. Bukankah itu sesuatu yang tidak perlu? Apabila itu terjadi di dunia
nyata, mungkin tidak akan semudah itu untuk mengisahkan kerelaan seseorang.
Namun Tsana punya dunia imaji-nya sendiri, maksud Tsana mungkin adalah
mengajak pembacanya untuk ikut main teka-teki yang diciptakan oleh tokoh Biru.
***
Novel “KATA: Tentang Senja Yang Kehilangan Langitnya” menutup
kisah cinta segitiga dengan apik. Tsana menutup novel “KATA” dengan akhir
yang bahagia meski harus mengorbankan salah satu perasaan, yaitu perasaan Biru.
Yang sulit adalah memahami watak tokoh dalam novel ini, apabila pembaca tidak
menuntaskannya sampai tamat, rasanya pembaca akan secara mentah-mentah
menyimpulkan watak para tokoh. Tetapi tetap, tanpa berniat untuk merendahkan,
dengan penuh rasa hormat, kami memberi penghargaan yang setinggi-tingginya
atas karya Tsana yang tertuang dalam novel ini. Tidak ada manusia yang
sempurna, kami rasa. Penulis pun demikian, semoga dalam novel berikutnya
Tsana lebih teliti dan dapat mengisahkan kisah-kisah lain yang menarik. Lewat
novel ini amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca adalah bahwa untuk
mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, perlu perjuangan yang butuh banyak
pengorbanan.

10
SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH: BALADA SUARA
RAKYAT KALA ORBA

Oleh : Almas Bilah Izzah Nafisah


200211605281 – B
almasbilah06@gmail.com

Siapa yang tak kenal dengan Taufik Ismail. Namanya begitu besar melejit
dan telah menjadi idola banyak orang terkhusus para pecinta karya sastra. Penyair
sekaligus sastrawan Indonesia era 60-an ini tidak pernah gagal dalam membuat
sebuah karya. Puisi ciptaannya sarat dengan makna dan selalu apik terkemas
dalam rangkaian kata demi kata yang cantik. Beberapa ungkapannya dikenai
simbol untuk mempertajam makna yang sekiranya tersirat. Dalam membuat karya
sastra, Taufik Ismail terbilang merupakan penyair yang perfeksionis karena beliau
merasa risau jika ternyata karyanya tidak memuaskan atau mengecewakan.

Dalam bidang sastra, puisi dijadikan sebagai sarana untuk menyadarkan


kembali manusia akan posisinya sebagai subjek dalam kehidupan. Dapat
dikatakan bahwa puisi adalah alat untuk menyampaikan ide atau gagasan-gagasan
penyair dalam bentuk tulisan agar nantinya dapat dibaca serta dideklamasikan
secara lisan. Berkenaan dengan tujuan puisi, Taufik Ismail rupanya benar-benar
lihai bermain kata melalui puisi. Kritik-kritik sosial disampaikannya dengan
berani lewat beberapa karya puisinya. Taufik Ismail juga menyinggung tentang
kebijakan orde baru dimana kebobrokan akhlak lebih luas daripada sekedar
kekuasaan politik; imaji yang suram apalagi untuk generasi muda terkait
pragmatisme; dan penolakan atas korupsi, suap, keserakahan penguasa, maupun
kecurangan pemilu yang menjadi kegelisahan masyarakat dituangkan dalam
sejumlah kalimat bermajas alegori, ironi, dan satire. Tidak hanya Taufik Ismail
beberapa penyair lain juga menciptakan karya puisi berisi kritik sosial. Seperti
W.S Rendra yang mengungkapkan kegelisahannya dengan menulis banyak puisi
yang mengkritisi kehidupan masyarakat di Indonesia. Dan Wiji Thukul yang
menyuarakan protes terhadap kekalutan masa orde baru lewat puisinya. Puisi

11
protes yang dituangkan dalam baris-baris sajak pada dasarnya merupakan
ungkapan kejujuran, ketulusan dan sesuatu yang memang dirasakan penyair apa
adanya, setiap kata-kata yang dirangkainya merupakan bentuk ketidaksetujuannya
kepada proses penundukan masyarakat terhadap penguasa. Memang kebanyakan
puisi yang mengandung kritik sosial berisi sindiran kepada pemerintah terjadi
pada masa orde baru. Dimana memang pada masa itu terjadi banyak penentangan
dari hampir seluruh masyarakat Indonesia atas kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah.

Tidak hanya popular dalam dunia sastra, Taufik Ismail juga popular dalam
bidang musik. sehingga karya-karyanya banyak mendominasi dan paling banyak
digemari di era tersebut. Beliau bergabung dengan Himpunan Musik Bimbo,
Chrisye dan lan Antonio guna menyuarakan karya-karyanya agar tidak hanya
dapat dinikmati oleh pecinta sastra saja tetapi juga dapat dinikmati oleh khalayak
umum. Sembari menggugah semangat demkorasi dan nasionalisme, mewakilkan
suara-suara rakyat kecil yang terlanjur jauh bahkan untuk sekedar didengar. Dapat
dikatakan Taufik Ismail ikut menjembatani aspirasi hampir seluruh masyarakat
Indonesia lewat karya-karyanya. Segala penjelasan diatas mungkin sudah cukup
untuk membuktikan betapa nama Taufik Ismail memiliki kebesaran luar biasa dan
punya kedudukan penting dalam sejarah sastra Indonesia.

Meski begitu sastrawan tetaplah manusia yang tidak pernah bisa


menyaingi kesempurnaan Yang Maha Kuasa. Sebesar apapun namanya dikenal,
setinggi apapun jabatan atau kedudukannya, dan sepenting apapun pengaruhnya
dalam dunia sastra, pastilah seorang Taufik Ismail punya beberapa kekurangan.
Namun kali ini, kritik sastra ini dibuat bukan untuk memaparkan beberapa
kekurangan diri yang dimiliki oleh Taufik Ismail tetapi untuk memberi koreksi
mengenai beberapa kekurangan dalam karya puisi Taufik Ismail tanpa
mengurangi rasa hormat sedikitpun.

Salah satu puisi terbaik yang berhasil diciptakan oleh Taufik Ismail adalah
puisi berjudul ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’. Dimana puisi ini merupakan

12
cerminan dari peristiwa nyata yang berhasil menciptakan kemurkaan Taufik
Ismail. Dengan dingin dan penuh amarah, Taufik Ismail memberi bumbu-bumbu
satire dalam karya puisinya ini. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1966 saat
pemerintahan orde baru, dimana kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh penguasa
memicu keributan dan kemarahan masyarakat. Berikut isi puisi ‘Sebuah Jaket
Berlumur Darah’ yang terdapat pada buku Tirani dan Benteng karya Taufik
Ismail.

Sebuah jaket berlumur darah


Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita


Dibawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang


Seraya mengucapkan ‘selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu


Kami semua telah menatapmu
Dan diatas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana


Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!

Melihat begitu banyak diksi-diksi yang digunakan dalam puisi “Sebuah


Jaket Berlumur Darah” boleh jadi masih banyak pembaca yang tidak bisa
memaknai puisi Taufik Ismail tersebut. Apalagi jika puisi ini dibaca oleh orang
awam, maka pastilah akan diterima mentah-mentah seluruh kalimat yang coba
dilagukan oleh Taufik Ismail ini. Untuk mengetahui makna yang terkandung

13
dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” perlu adanya pemahaman dalam tiap-
tiap kalimat sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh beliau dapat dipahami
dengan baik oleh pembaca.

Sebuah Jaket berlumur darah


Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun
(Taufik Ismail, 1966)

Pada bait pertama, Taufik Ismail menggambarkan tokoh ‘kami’ sebagai


sekelompok masa yang sedang berjuang menyuarakan aspirasi masyarakat.
Penyair memilih kata ‘jaket’ pada penginterpretasiannya mengenai sebuah
identitas atau almamater dari mahasiswa. Darah diartikannya sebagai penanda
bahwasannya telah terjadi perjuangan yang sangat besar untuk mempertahankan
tanah air hingga menyebabkan adanya pertumpahan darah. Pada sajak /telah pergi
duka yang agung/ dan /dalam kepedihan bertahun-tahun/, Taufik Ismail mengajak
pembaca ikut merasakan betapa besar kesedihan dan rasa sakit mendalam yang
sudah dirasakan masyarakat bertahun-tahun. Meski akhirnya perasaan yang kalut
itu masih harus berlapang dada kalah telak sekali lagi atas penguasa yang tidak
punya hati nurani.

Sebuah sungai membatasi kita


Dibawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
(Taufik Ismail,1966)

Pada bait kedua, kata ‘sungai’ menjadi suatu perumpamaan untuk


hambatan yang datang tidak terkira dengan tujuan ingin membungkam dan
menghalangi perjuangan masyarakat menyuarakan suara hatinya. Larik /dibawah
terik matahari Jakarta/ mejelaskan bahwa kejadian tersebut telah terjadi di ibukota
negara Jakarta pada siang hari dimana matahari sangat terik. ‘Kebebasan’ dan
‘penindasan’ sebagai dua kata yang berlawanan disuguhkan penyair untuk
menyatakan adanya perjuangan, dimana hasil akhir perjuangan ini nantinya
berada diantara dua pilihan yaitu kebebasan atau bisa jadi penindasan yang tak
sudah. Sedangkan larik /berlapis senjata dan sangkur baja/ sebagai penjelas bahwa

14
‘sungai’ sebagai hambatan yang dimaksud adalah orang-orang yang bersenjata
dan bersangkur baja yaitu aparat keamanan dan kepolisian.

Akan mundurkah kita sekarang


Seraya mengucapkan ‘selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
(Taufik Ismail,1966)

Pada bait ketiga, Taufik Ismail mulai mengimplikasi hegemoni pada


pembaca dengan tujuan memberi pemahaman bahwasannya yang akan terjadi jika
tokoh ‘kami’ mundur atau menyerah pada perjuangan ini, maka sama artinya
dengan menjadi pengecut karena selamanya akan dijajah oleh tirani dan
ketidakadilan kekuasaan. Larik /dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan/
adalah gambaran atas tunduknya para orang lemah dibawah kuasa pemerintahan
yang serakah dan sewenang-wenang.

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu


Kami semua telah menatapmu
Dan diatas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
(Taufik Ismail, 1966)

Bait keempat menjelaskan tentang kata ‘spanduk kumal’ yang menjadi


gambaran beberapa slogan serta spanduk berisi kritik politik kekuasaan dan
ketidakadilan yang menjadi saksi betapa keras tokoh ‘kami’ memperjuangkan
hak-hak mereka sebagai warga negara. Sedangkan /menunduk bendera setengah
tiang/ berarti adanya penghormatan tertinggi atas pejuang yang telah gugur dalam
perjuangan mencari keadilan serta penggambaran atas duka yang sedalam-
dalamnya.

Pesan itu telah sampai kemana-mana


Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
(Taufik Ismail, 1966)

Bait terakhir menjadi bait penutup sekaligus menjadi bait yang paling
panjang diantara bait-bait lainnya. Dalam bait ini disuguhkan mengenai begitu
keras tokoh ‘kami’ berjuang menyuarakan rintihan-rintihan rakyat kecil yang
tidak bisa berkutik melawan tiran. Seluruh daya dan upaya telah dikerahkan
hingga titik darah penghabisan sampai-sampai banyak korban berjatuhan demi

15
menanyakan ‘dimanakah sebenarnya keadilan untuk rakyat?’. Dalam bait ini
digambarkan keadaan tentang rakyat-rakyat kecil yang telah mengetahui kabar
matinya mahasiswa dalam aksi meruntuhkan tiran. Larik /LANJUTKAN
PERJUANGAN/ sengaja ditulis menggunakan huruf kapital sebagai penegasan
atas perjuangan yang masih harus diwujudkan. Meski akan ada banyak halangan
dan juga resiko yang akan dihadapi, tetapi keadilan masihlah harus ditegakkan.
Selanjutnya penokohan ‘kami’ dan ‘mereka’ dalam puisi merupakan gambaran
masyarakat secara universal dari berbagai lapisan. Karena Taufik Ismail mungkin
beranggapan bahwa perjuangan merupakan milik dan hak semua orang.

Kesimpulan dari isi puisi Taufik Ismail ini adalah menceritakan mengenai
penggambaran potret pengorbanan yang dilakukan oleh sekelompok massa dalam
memperjuangkan kebebasan dan melepaskan rakyat dari belenggu-belenggu kaum
penguasa tiran. Potret pengorbanan dan perjuangan tersebut digambarkan dengan
jelas melalui struktur fisik hingga struktur batin puisi. Keseluruhan unsur-unsur
dalam struktur puisi mendukung adanya sebuah gambaran akan pengorbanan yang
sampai menumpahkan darah demi menolak penindasan cuma-Cuma.
**
Setelah membaca dan memaknai isi yang terkandung dalam puisi Taufik
Ismail, mayoritas orang akan setuju dengan pernyataan bahwa ungkapan Taufik
Ismail dalam puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” mewakili seluruh perasaan
masyarakat pada masa itu, yaitu masa orde baru sekitar tahun 60-an.
Namun, beberapa lagi menyimpan tanda tanya besar mengenai mengapa
isi puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” ini seperti mengandung sedikit dengki
dan dendam lama di dalamnya?. Seperti yang sudah diketahui bersama, Taufik
Ismail merupakan salah satu punggawa dari kelompok Manifestasi Kebudayaan
(Manikebu), yang pasca G30S dinilai cukup vokal menyerang Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai basis kesenian dan onderbouw Partai
Komunis Indonesia (PKI). Mungkinkah puisi-puisi bermuatan kritik sosial ini
merupakan penyuaraan Taufik Ismail atas ketidaksenangannya dengan PKI? .

16
Dalam menentukan judul, Taufik Ismail lebih memilih menggunakan
kalimat yang frontal dengan menyisipkan kata /berlumur darah/ yang berarti
‘sekujur tubuh penuh dengan darah’ atau dengan kata lain ‘sedang terjadi
pertumpahan darah yang hebat’ sehingga memunculkan gambaran seakan perang
besar menyusul perang tahun 45 kembali terjadi di Indonesia. Padahal isi dari
puisi Taufik Ismail tersebut hanyalah menceritakan sebuah kejadian atau peristiwa
demo mahasiswa yang terjadi di Jakarta pada masa itu. Alangkah lebih elok
apabila Taufik Ismail memilih kalimat /terpercik darah/ sehingga judulnya
menjadi “Sebuah Jaket Terpercik Darah”, karena walaupun banyak mahasiswa
yang gugur saat melaksanakan demo tetapi tidak mungkin sebanyak saat tejadi
perang. Sehingga kalimat ‘terpercik darah’ saja sudah cukup untuk
menggambarkan sesuatu yang terjadi dalam demo itu sehingga tidak dirasa
berlebihan dan menimbulkan kebencian.
Bukannya ingin mencari-cari kesalahan, sama sekali bukan. Apalagi
merasa berhak untuk mengubah-ubah atau mengotak-atik isi puisi yang telah
diciptakan sedemikian indah oleh Taufik Ismail. Tetapi sekali lagi pemilihan kata
atau diksi adalah hal fatal yang sering dilupakan oleh para penyair. Dalam larik
ketiga bait pertama yang bertuliskan /telah pergi duka yang agung/ terdapat kata
/agung/ yang disini dimaksudkan oleh penyair sebagai sesuatu yang luas atau
sesuatu yang besar. Namun, sepertinya kata ‘agung’ tidak begitu cocok
disandingkan dengan kata ‘duka’ yang notabene adalah sebuah perasaan yang
sedih. Karena lagi-lagi terlalu berlebihan rasanya jika sebuah perasaan sedih
melebihi segalanya sampai-sampai harus digunakan kata ‘agung’ untuk
mengekspresikannya.
Lalu penokohan dalam puisi juga menjadi hal yang tidak kalah penting.
Hal ini karena penokohan akan memudahkan pembaca untuk memahami puisi
menggunakan sudut pandang. Sudut pandang pembaca nantinya akan membuat
pembaca merasa ikut masuk kedalam puisi tersebut. Pada puisi “Sebuah Jaket
Berlumur Darah”, ada tiga penokohan yaitu tokoh kami, kita, dan kamu. Jika
tokoh ‘kami’ direpresentasikan sebagai sekelompok massa yang ikut andil dalam
menyampaikan aspirasinya dengan kata lain adalah peserta demo itu sendiri,

17
sedangkan tokoh ‘kamu’ adalah bentuk representasi dari sebuah kata benda yang
mana merujuk pada seorang mahasiswa yang menjadi korban gugur dalam
peristiwa demo dan sebuah spanduk kumal bertuliskan kritik sosial serta suara
penegasan keadilan oleh rakyat, maka siapakah sebenarnya tokoh ‘kita’? ini
menjadi sebuah kerancuan yang sebenarnya tidak terlalu nampak sebagai
kesalahan apabila hanya terbaca satu dua kali oleh pembaca. Namun akan menjadi
sebuah tanda tanya apabila pembaca mengulang puisi berkali-kali.
***
Beberapa karya puisi dari penyair ternama pun masih ada celah
kekurangan yang dapat ditemukan didalamnya. Puisi “Sebuah Jaket Berlumur
Darah” lahir dengan kelebihan dan kekurangannya pula. Tidak masalah, selagi
penyair dapat mendengar serta menerima kritik dan saran dari berbagai cuitan
kritikus atau bahkan para pembaca yang awam. Bukankah itu sudah menjadi
konsekuensi?
Taufik Ismail adalah penyair kebanggaan Indonesia, semua karya puisinya
banyak mendapat penghargaan bergengsi didalam dan diluar negeri. Namun
Taufik Ismail tetaplah manusia yang dapat melakukan kesalahan barang sedikit
saja. Apabila penyair hadir sebagai pencipta karya puisi maka sudah tugas kritikus
hadir sebagai korektor dalam karya puisi penyair. Bukan tentu ingin mencoreng
nama baik atau merendahkan popularitas, namun sudah tentu untuk membantu
penyair agar jauh lebih baik dalam menciptakan puisi-puisi mereka selanjutnya.
Paada akhirnya kritik sastra ini dibuat dengan penuh rasa hormat kepada para
penyair terkhusus Taufik Ismail, tanpa bermaksud menjelekkan ataupun tidak
menghargai karya puisinya.

18
ESAI SASTRA

REALISASI CINTA DALAM RECTOVERSO


Oleh: Almas Bilah Izzah Nafisah
200211605281-B
almasbilah06@gmail.com

Novel Rectoverso adalah sebuah novel antologi yang berisi sebelas cerpen
tentang pengungkapan cinta dari berbagai sudut pandang. Sebelas cerpen tersebut
diantaranya adalah Curhat Buat Sahabat, Malaikat Juga Tahu, Selamat Ulang
Tahun, Aku Ada, Hanya Isyarat, Peluk, Grow a Day Older, Cicak di Dinding,
Firasat, Tidur,dan Back to Heaven’s Light. Novel ini merupakan novel antologi
pertama karya Dewi Lestari atau biasa dipanggil dengan nama penanya Dee yang
berhasil diterbitkan pada tahun 2013. Novel rectoverso menyajikan sesuatu yang
unik dan berbeda dari novel-novel yang lain, pasalnya novel rectoverso dikemas
menggunakan konsep albuk sehingga dalam novel disertakan pula sebuah album.
Dalam albumnya terdapat sebelas lagu yang saling berkaitan dengan kisah yang
ada dalam sebelas cerita pendek yang dirangkum dalam buku novel sehingga
novel rectoverso memberikan sajian lengkap dalam dua sisi yaitu visualisasi dan
auditori.
Dewi lestari menginterpretasikan arti cinta lewat kisah-kisah dari setiap
cerpen dalam latar dan sudut pandang yang berbeda-beda. Cinta diartikan dengan
epik lewat beberapa peran yang tidak hanya melulu soal sepasang kekasih seperti
novel-novel pada umumnya. Pengungkapan arti cinta itu dituangkan dalam gaya
bahasa khas Dewi Lestari. Secara singkat, penggunaan gaya bahasa tertentu dapat
mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Gaya bahasa merupakan bentuk
retorik yang dalam berbicara dan menulis menggunakan kata-kata yang bersifat
meyakinkan atau mempengaruhi pembaca. Dewi Lestari menyampaikan realisasi
cinta secara universal lewat gaya bahasa dalam sebelas cerpennya dengan tujuan

19
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa
dan kepribadian Dee agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.
Novel rectoverso dianalisis menggunakan pendekatan struktural dengan
melihat keharmonisan gaya bahasa ketika membentuk keseluruhan makna dalam
karya sastra. Metode yang digunakan dalam analisis novel adalah metode
deskriptif dengan menjelaskan secara spesifik isi dari kesebelas cerita pendek.
Teknik yang menyertai metode deskriptif adalah teknik analisis kronologis yang
dilakukan dengan memilah isi cerita menjadi tiga bagian terdiri atas awal, tengah,
dan akhir. Analisis didasarkan pada akurasi keterlibatan gaya bahasa dalam
membentuk relevansi makna antar cerpen pada novel antologi rectoverso.
**
Cerita pendek yang pertama berjudul Curhat Buat Sahabat. Pada bagian
awal dikisahkan tentang seorang laki-laki yang berbincang di restoran bersama
dengan sahabat perempuannya. Mereka bertemu untuk merayakan kebebasan
sahabat perempuannya itu. Lalu pada bagian tengah diceritakan tentang
pengorbanan seorang laki-laki itu kepada sahabat perempuannya ketika ia sakit.
Sebab laki-laki itu lebih peduli dengan keadaan sahabat perempuannya daripada
pacar sahabatnya sendiri. Sedangkan pada bagian akhir ditutup dengan kisah yang
menyedihkan dari pengorbanan cinta laki-laki itu yang ternyata bertepuk sebelah
tangan.
Jadi, jika disimpulkan, cerita pendek Curhat Buat Sahabat ini
menceritakan tentang kisah dua orang yang menjalin hubungan persahabatan
selama bertahun-tahun. Namun, dalam waktu yang tidak sebentar itu salah
seorang dari mereka menginginkan hubungan persahabatan yang telah dijalin
menjadi lebih dari sekedar hubungan persahabatan.
Cerita pendek kedua berjudul Malaikat Juga Tahu. Awal kisah diceritakan
mengenai hubungan persahabatan yang terjalin antara anak ibu kos dan penghuni
kos Bunda. Lalu pada bagian tengah dijelaskan bahwa anak ibu kos itu jatuh cinta
pada wanita yang dengan sudi menjadi sahabatnya. Namun akhirnya wanita
penghuni kos itu memilih beranjak dari sana dan meninggalkan sahabatnya.

20
Keseluruhan cerita pendek Malaikat Juga Tahu mengisahkan tentang
abang. Abang adalah anak kedua Bunda-panggilan untuk ibu kos. Bunda memiliki
tiga anak. Anak sulungnya perempuan meninggal saat masih kecil karena sakit.
Anak kedua adalah seorang laki-laki yang memiliki keterbelakangan mental,
itulah abang. Hanya si bungsu yang normal, laki-laki sehat yang memiliki
perawakan bagus, wajah tampan dan kerja mapan. Wanita itu adalah penghuni kos
yang sudah lama menyewa kamar di tempat bunda. Dengan abang, wanita itu
sering menghabiskan malam minggu berdua hanya untuk sejenak bercerita keluh
dan kesah. Abang diam-diam menyimpan perasaan kepada wanita itu, perasaan itu
disadari oleh bunda ketika bunda tidak sengaja menemukan surat cinta abang.
Bunda bimbang karena sebenarnya wanita itu adalah kekasih dari si bungsu yang
mana juga masih merupakan adik kandung abang. Setelah bunda mencoba
berbicara dengan wanita itu, si bungsu dan wanita itu memilih tetap melanjutkan
hubungan mereka hingga ke pelaminan. Setelahnya, mereka hidup terpisah dari
bunda untuk menghindar dari abang agar tidak ada kecemburuan dalam diri
abang.
Cerita pendek ketiga berjudul Selamat Ulang Tahun. Cerpen ini diawali
dengan kisah seseorang yang sedang menunggu kejutan dari sang kekasih. Pada
bagian tengah terlihat bahwa seseorang itu tampak kalut dan cemas karena sang
kekasih belum saja memberinya kejutan ulang tahun padahal sudah lewat dini
hari. Pada bagian akhir, diceritakan bahwa seseorang itu masih tetap bersikukuh
menunggu dan berharap kejutan itu akan segera datang.
Cerita pendek Selamat Ulang Tahun menceritakan tentang seseorang yang
dengan sabar menunggu ucapan selamat ulang tahun yang mungkin memang tidak
akan pernah ia dapatkan. Sebab kekasihnya itu belum juga terbangun dari tidur
panjangnya, ia koma. Meski sangat ingin merutuk dan marah namun seseorang itu
tidak berdaya. Tidak ada alasan untuknya punya rasa marah terhadap seseorang
yang juga mungkin sedang berjuang bangun agar bisa mengucapkan selamat
ulang tahun untuknya tepat waktu, meski tidak pernah berhasil melakukannya.
Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya menunggu.

21
Cerita pendek keempat berjudul Aku Ada. Pada bagian awal terdapat
sebuah monolog tentang tokoh aku yang sedang berusaha berbicara dengan
batinnya sendiri. Di bagian tengah seseorang itu tetap menanti kedatangan pujaan
hati. Lalu diakhir ditunjukkanlah bahwa tidak ada yang bisa menandingi kekuatan
cinta.
Cerita pendek Aku Ada berkisah mengenai seseorang yang dengan setia
menanti kehadiran kembali kekasihnya yang pergi meski ia telah memiliki
penggantinya. Ritual penantian ini dilakukan setiap hari di tepi pantai menjelang
matahari terbenam. Namun tanpa ia sadari, kekasih yang dinantinya itu masih
juga selalu mengawasinya. Meskipun dari dunia yang berbeda. Kekuatan cinta
mereka bahkan mampu menang meski sudah dalam dimensi yang berbeda.
Cerita pendek kelima berjudul Hanya Isyarat. Awal kisah dibuka dengan
penggambaran seorang laki-laki jatuh cinta kepada perempuan yang baru
dikenalnya. Di tengah cerita laki-laki itu mengisahkan tentang sebuah pengalaman
mengikhlaskan. Pada bagian akhir, laki-laki itu memilih untuk mengikhlaskan lagi
sesuatu yang memang tidak akan pernah bisa dimilikinya.
Cerita pendek Hanya Isyarat bercerita tentang seorang laki-laki yang
mendambakan perempuan yang baru ia kenal. Ini bukan jatuh cinta pada
pandangan pertama, karena warna bola matanya saja ia tidak tahu. Ini tentang
perasaan yang entah mengapa tiba-tiba muncul dalam dirinya. Laki-laki itu tidak
begitu berani seperti laki-laki lainnya, apalagi dalam soal mengungkapkan isi
hatinya. Ia hanya menunggu ada balasan yang sama dari perempuan itu. Tapi ia
sadar bahwa bukan haknya untuk memilikinya. Ia hanya diciptakan untuk sebatas
mengenal dan mengaguminya saja. Setelah bersikeras melapangkan hatinya ia
kembali mengikhlaskan apa yang memang pantas untuk diikhlaskan. Laki-laki itu
sudah cukup meski hanya bisa memandangnya satu kali saja, ia sudah tau warna
bola matanya. Begitu indah dan teduh. Namun tidak akan pernah cukup untuk ia
miliki. Perasaan cintanya itu hanya sampai sebatas isyarat.
Cerita pendek keenam berjudul Peluk. Pada bagian awal dikisahkan
tentang sepasang kekasih yang menemukan keasingan dalam diri mereka masing-

22
masing. Pada bagian tengah, sepasang kekasih itu akhirnya saling beradu
argumen. Akhirnya, peluk mengantar mereka berpisah.
Cerita pendek Peluk mengisahkan sepasang kekasih yang sudah menjalani
hubungan selama bertahun-tahun, tiba-tiba saja merasa asing. Mereka enggan
untuk saling merangkul. Ada perasaan yang mereka pendam sendiri-sendiri,
enggan untuk berbagi seperti biasa lagi. Perasaan cinta itu sudah tidak lagi cukup
kuat untuk mempertahankan hubungan yang berada di ujung jalan. Enam tahun
sudah mereka menjalani hubungan yang terasa sia-sia. Waktu pelan-pelan
menghapus debaran perasaan yang pernah dengan hebat membuat keduanya
bertahan. Kini semua kisah bahagia sudah berlalu, setiap waktu yang dihabiskan
berdua hanya akan dikenang sebatas kisah masa lalu yang mungkin menyakitkan.
Akhirnya peluk menjadi ungkapan cinta, kecemasan, kerelaan yang mengantar
mereka berdua menuju perpisahan.
Cerita pendek ketujuh berjudul Grow a Day Older. Pada bagian awal
diceritakan sepasang kekasih yang saling mencintai dan bahagia. Pada bagian
tengah ternyata barulah diketahui bahwa hubungan yang mereka jalin adalah
hubungan terlarang. Pada bagian akhir, perempuan itu memilih pergi
meninggalkan laki-laki yang ia cintai.
Cerita pendek Grow a Day Older bercerita tentang sepasang kekasih yang
menjalin hubungan terlarang. Mereka telah dibutakan oleh cinta sehingga tidak
mampu lagi memikirkan betapa kelirunya berada di posisi mereka saat ini. Meski
perjalanan cinta mereka begitu bahagia, namun tidak ada yang akan membenarkan
adanya hubungan terlarang seperti apa yang sudah mereka jalin. Ketika tepat dua
hari sebelum hari ulang tahun kekasihnya tiba, perempuan itu mulai menyadari
kekeliruannya selama ini. Ia tidak ingin terus-terusan berada disini, menanbung
rasa sakit yang sewaktu-waktu bisa menjadi bom atom dan siap meledakkan seisi
hatinya. Dengannya, perempuan itu merasa menjadi perempuan paling bahagia.
Namun kenyataannya, kebahagiaan itu semu. Karma menunggunya membalas apa
yang sudah dilakukannya dengan sadar. Sementara laki-laki itu masih tidak
mengetahui apa yang ingin dilakukan oleh kekasihnya. Perempuan itu sudah
sepenuhnya yakin akan menanggalkan segala perasaannya. Ia sengaja

23
menciptakan lagu sebagai salam perpisahan untuk laki-laki itu. Dengan berat hati
ia benar-benar sudah mantap untuk pergi. Pilihan yang tepat sebelum rentetan
tragedy cinta mereka terjadi. Perempuan itu beranjak dari ruang gelap itu, memilih
untuk mempertahankan harga dirinya.
Cerita pendek kedelapan berjudul Cicak di Dinding. Pada bagian awal
menceritakan tentang seorang laki-laki yang merasa enggan memenuhi
permintaan kliennya untuk melukis. Di tengah, laki-laki itu ternyata diketahui
menyimpan rasa kepada kekasih temannya sendiri yang sebentar lagi akan
menjadi istri temanya. Akhirnya, laki-laki ini berpamitan kepada si perempuan
dan melukiskan gambar cicak di dinding sebagai penggantinya untuk menjaga
perempuan itu.
Cerita pendek Cicak di Dinding berkisah tentang seorang pelukis yang
memiliki sahabat. Sahabatnya ini akan segera menikah sehingga ia meminta
tolong kepada si pelukis untuk melukis di sebuah dinding sebagai kado untuk
kekasih sahabatnya. Tak disangka ternyata calon istri sahabatnya itu adalah
seorang perempuan yang dicintainya pada pandangan pertama. Dengan perasaan
masygul, pelukis itu tetap memenuhi permintaan sahabatnya itu. Akhirnya,
pelukis itu melukiskan ratusan cicak di dinding studio baru milik sahabatnya yang
hanya bisa dilihat ketika lampu ruangan dimatikan. Cicak-cicak itu menjadi
penggantinya untuk menjaga perempuan pujaannya yang sebentar lagi akan
menjadi istri sahabatnya sendiri.
Cerita pendek kesembilan berjudul Firasat. Pada bagian awal diceritakan
sebuah perkumpulan aneh berjuluk firasat yang mewadahi orang-orang untuk
sekedar sharing perasaan-perasaan yang tidak pernah bisa mereka ungkapkan.
Pada bagian tengah, seorang perempuan jatuh cinta kepada pendiri organisasi
tersebut. Akhirnya perempuan itu kehilangan seseorang yang ia dambakan.
Cerita pendek Firasat bercerita tentang perempuan yang dengan terpaksa
ikut ke dalam organisasi aneh bernama ‘firasat’ hanya agar dapat melihat laki-laki
yang ia sukai setiap hari. Dalam organisasi tersebut ia tidak pernah bersuara, sejak
awal hanya menjadi pendengar saja. Memang ia tidak begitu tertarik dengan apa
yang dibahas dalam organisasi, ia hanya mengincar laki-laki itu saja. Laki-laki itu

24
adalah pendiri organisasi ini, itu alasan mengapa perempuan itu tidak pernah
absen mengikuti perkumpulan barang sekali saja. Suatu ketika perempuan itu
punya sedikit waktu untuk berbicara dengan laki-laki yang ia sukai. Tidak
disangka, laki-laki itu mengajaknya berkunjung ke rumahnya serta
memperkenalkannya kepada orang-orang terdekatnya. Baru juga merasa dekat,
perempuan ini merasakan kegelisahan yang begitu mengurat dalam hatinya.
Setiap kali bertatapan dengan laki-laki ini rasanya ingin sekali mendekapnya erat.
Laki-laki itu pamit pergi pulang kampung sepekan, mengunjungi orang tuanya di
kampung halaman. Tapi setelah kepulangannya itu ia tidak pernah kembali. Ia
pergi untuk tujuan menghilang. Entah berada di antah berantah atau berada di
langit sana.
Cerita pendek kesepuluh berjudul Tidur. Pada bagian awal diceritakan
bahwa seseorang tampak senang karena akan segera pulang kampung besok pagi.
Pada bagian tengah, seseorang itu memaksakan diri untuk tetap terjaga selama
perjalanan pulang ke kampung halaman. Akhirnya, perempuan itu tiba di
rumahnya ketika sudah malam. Perasaannya sangat bahagia.
Cerita pendek Tidur mengisahkan tentang perempuan yang merantau demi
karirnya selama dua tahun lamanya di luar negeri. Ketika tiba masanya pulang ke
kampung halaman, perasaan bahagianya tak terbendung lagi. Ia merasa telah
bebas dari penjara, menghirup udara segar yang sudah lama tak bisa ia nikmati
sebagai manusia. Tepat pada hari kepulangannya, ia berusaha untuk tetap terjaga.
Ia tidak ingin kepulangannya ini hanya terasa seperti mimpi, ia ingin merasakan
betapa ini adalah sebuah kejadian yang nyata. Ia pulang dengan setumpuk kabr
gembira dan juga luapan rindu yang sedikit lagi akan terbayar. Rasa lelahnya
menjadi sebuah rasa senang ketika ia sampai di rumah. Namun sayang, seluruh
penghuni rumah telah tertidur lelap ketika ia datang, rindunya harus menunggu
terbayar besok pagi. Namun ia bersyukur bisa kembali ke rumah yang nyaman
dengan orang-orang yang dicintainya.
Cerita pendek yang terakhir berjudul Back to Heaven’s Light. Pada bagian
awal merupakan penggambaran tokoh yang sedang mengalami dejavu. Pada

25
bagian tengah, diceritakan tentang keadaan seseorang yang sedang sekarat.
Akhirnya, seseorang itu pergi setelah menatap lama mata istrinya.
Cerita pendek Back to Heaven’s Light menceritakan tentang kepiluan hati
seorang istri yang ditinggal suaminya pergi untuk selama-lamanya. Ketika detik-
detik menjelang kematian suaminya, dia seperti merasakan dejavu. Dulu, sesaat
setelah menikah, sang suami pernah bermimpi. Di dalam mimpinya, sang suami
berada di tengah laut gelap, sendirian di sebuah kapal. Lautan itu sangat luas dan
gelap. Tiba-tiba ia melihat ada cahaya yang sangat indah lalu menghampirinya.
Seketika suaminya berhenti bercerita dan menangis. Istrinya bertany mengapa ia
menangis, karena ternyata pada cahaya yang ia lihat itu ada istrinya. Sekarang
ketika suaminya sekarat, ia bercerita kembali bahwa ia sedang berada di lautan
luas nan gelap itu lagi. Setelahnya, setelah puas menatap mata istrinya untuk
waktu yang cukup lama, ia meninggalkan dunia ini.
Demikianlah analisis singkat dari kesebelas cerpen yang terkumpul dalam
novel rectoverso. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, keseluruhan isi
dalam kesebelas cerpen memiliki kecenderungan yang sama tentang sebuah cerita
berbau cinta.
Pada cerpen Curhat Buat Sahabat pengungkapan cinta diungkapkan pada
kalimat terakhir penutup cerpen. Kalimat itu merupakan kalimat yang merangkum
keseluruhan isi yang ada dalam cerpen.

“Sebotol mahal anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak pernah tau. Kamu terus menanti
segelas air putih.” (Rectoverso, 2013:9)

Gaya bahasa metafora digunakan Dewi Lestari untuk mengungkapkan


betapa cinta yang tulus telah lama ada didepan matanya, tetapi seseorang itu
masih mengharapkan hati yang tidak pernah mencintainya sedalam laki-laki itu
mencintainya. Pengungkapan cinta tulus yang pekat diibaratkan seperti anggur
putih sedangkan hati yang tak punya cinta sama sekali diibaratkan seperti air
putih.

26
Cerpen kedua Hanya Isyarat merupakan cerpen Dewi Lestari yang
berhasil diangkat menjadi film omnibus bersama dengan keempat cerpen yang
lain karena memang alur ceritanya yang bagus. Cerpen ini diakhiri dengan kalimat
berbunyi:

“Tidak perlu ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya”
(Rectoverso, 2013:21)

Gaya bahasa hiperbola menjadi gaya bahasa yang digunakan untuk


merangkai kalimat penutup dalam cerpen Malaikat Juga Tahu. Pasalnya, untuk
membuktikan sekuat apa cinta yang dimiliki abang terhadap perempuan penghuni
kos itu, sampai-sampai Dewi Lestari menantang pembacanya untuk sama-sama
menyimpulkan. Bahwa saking kuatnya cinta itu, malaikat pun tahu bahwa yang
menjadi juara tetaplah cinta abang tanpa ia perlu berkompetisi dengan adiknya
yang notabene telah memiliki cinta perempuan penghuni kos itu sepenuhnya.
Cerpen ketiga Selamat Ulang Tahun menjadi cerpen Dewi Lestari paling
sukar untuk dipahami, apalagi untuk seseorang yang sebelumnya belum pernah
belajar sastra. Bahasa-bahasa yang digunakan tidaklah mudah untuk langsung
dicerna. Butuh beberapa kali membaca untuk memahami penuh cerita yang
dimaksud dalam cerpennya. Cerpen ini memiliki kesimpulan yang tersirat sehigga
sukar dipahami jika hanya membaca satu kali.

“satu waktu nanti, saat kamu berhenti percaya manusia bisa punya sayap selain lempeng
besi yang didorong mesin jet, saat kamu berhenti percaya hidup lebih bermakna bila ada wasit
menyalakkan aba-aba “1,2,3”, kamu boleh terus percaya bahwa kemarin… besok… lusa… dan
hari-hari sesudah itu… aku masih disini. Menunggu kamu mengucapkan apa yang harusnya kamu
ucapkan… berjam-jam yang lalu: selamat ulang tahun.” (Rectoverso, 2013:27)

Gaya bahasa yang dipakai dalam kalimat panjang itu adalah gaya bahasa
penegasan klimaks. Dewi Lestari mengurutkan sesuatu dari tingkat rendah ke
tingkat yang lebih tinggi. Dibuktikan pada kalimat “bahwa kemarin… besok…
lusa… dan hari-hari sesudah itu”, yang sekaligus menjadi gambaran tentang

27
perasaan cinta yang tidak meminta balas budi karena telah menunggu beberapa
lama untuk terbalas. Harapan-harapan yang dibawa dengan segenap cinta itu
masih terus ditunggu dengan sabar karena cinta yang ditunggunya itu juga sedang
berusaha keras untuk bangun dari tidur panjangnya.
Cerpen Aku Ada merupakan cerpen kedua dalam novel rectoverso yang
juga sedikit sulit untuk dipahami jika hanya dibaca satu kali saja. Dalam cerpen
ini seakan-akan tokoh aku sedang mengungkapkan isi hatinya kepada tokoh kamu
yang berperan sebagai pujaan hatinya. Padahal apabila ditelisik lebih dalam lagi,
tokoh kamu merupakan gambaran batin dari tokoh aku itu sendiri.

“kali ini kau tidak mengucapkannya seperti perpisahan, bukan juga perjumpaan, melainkan sebuah
kesadaran. Rahasia kecil kita berdua: aku tahu engkau tahu aku ada.” (Rectoverso, 2013:36)

Gaya bahasa yang terkandung dalam kalimat ini adalah gaya bahasa
paradoks. Terbukti dengan adanya kalimat “kali ini kau tidak mengucapkannya
seperti perpisahan, bukan juga perjumpaan, melainkan sebuah kesadaran”.
Kalimat penutup cerpen ini membuktikan adanya cinta yang telah menang
bertahan meski dalam dua dunia yang berbeda.
Cerpen Hanya Isyarat memiliki susunan bahasa yang mudah dipahami.
Mengisahkan kekaguman yang berhasil dibalut dalam kisah sederhana yang epik.
Penggambaran tentang sebuah kisah jatuh cinta yang antimainstream menjadi
daya tarik tersendiri dalam cerpen ini.

“Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu aku nikmati bayangannya saja tanpa
bisa aku miliki. Seseorang yang bagaikan bintang jatuh, datang sekelebat lalu hilang sebelum
tangan ini menggapainya. Seseorang yang hanya mampu aku kirimi isyarat, sehalus udara, awan,
langit, atau hujan.” (Rectoverso, 2013)

Gaya bahasa yang terkandung dalam kalimat indah diatas merupakan gaya
bahasa asosiasi. Dua objek yang dibandingkan yaitu manusia dan bintang
sebenarnya berbeda, tetapi dianggap sama. Keduanya dihubungkan dengan
“bagaikan”. Kalimat ini mengungkapkan kebesaran cinta yang ditunujukkan

28
dengan kelapangan hati untuk mengikhlaskan sebuah keharusan. Bahwasannya
mencintai tak harus memiliki, mendambakan dan menjaganya dari jauh saja sudah
cukup.
Cerpen Peluk adalah cerpen Dewi Lestari yang punya cerita pelik.
Mengisahkan tentang hubungan diambang pilu karena waktu telah menghapus
rasa cinta di hati keduanya.

“Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tak kembali” (Rectoverso,
2013:59)

Gaya bahasa yang ada dalam kalimat singkat ini adalah gaya bahasa
personifikasi. Seolah-olah benda tersebut bersikap selayaknya manusia.
dibuktikan dengan adanya kalimat “aliran ini memecah”. Kalimat singkat ini
merupakan penggambaran dari perasaan cinta yang tetap mengalir meski
perpisahan adalah keputusan terakhir yang mereka pilih.
cerpen Cicak di Dinding merupakan cerpen yang bercerita tentang kisah
cinta segitiga. Namun salah satu diantaranya memilih menyerah dan kalah tanpa
perlawanan.

“Jarinya masih bergetar tatkala mematikan sakelar. Ingin ia nikmati lagi, decak-decak
kagum yang menghujaninya dari berbagai sudut. Hanya dalam gelap mereka beroleh kejelasan.
Cicak-cicak di dinding. Diam-diam merayap. Hatinyalah seekor nyamuk, yang… hap! Selamanya
tertangkap.” (Rectoverso, 2013:88)

Gaya bahasa yang terkandung dalam kalimat diatas adalah gaya bahasa
hiperbola karena kalimatnya dibuat sedikit berlebihan dari makna aslinya.
Dibuktikan pada kalimat “jarinya masih bergetar tatkala mematikan sakelar. Ingin
ia nikmati lagi, decak-decak kagum yang menghujaninya dari berbagai sudut”.
Seperti perasaan kagum dan cinta yang menggelora kian dirasakan oleh tokoh
yang terkait. Sehingga seperti kekaguman itu menghujaninya dari berbagai sudut.

29
Cerpen Firasat merupakan cerpen yang mengisahkan tentang bentuk
kehilangan yang pahit. Namun tetap ada amanat yang dapat diambil dari cerpen
karya Dewi lestari ini.

“’Ibu tahu kemana air hujan ini pergi?’, tanyaku setengah berbisik”
“Ibuku mengangguk. ‘Ke laut, Nak.’”
“Dan sesudah itu, terdengar suara guruh dari kejauhan” (Rectoverso, 2013:115-118)

Gaya bahasa yang ada dalam kalimat penutup cerpen tersebut adalah gaya
bahasa personifikasi. Lagi-lagi Dewi Lestari membuat seolah-olah air hujan
bersikap selayaknya manusia, ia bisa pergi. kalimat ini merupakan bentuk
pengekspresian cinta yang sedih. Karena cinta bisa tiba-tiba hilang dan pergi
bahkan ketika kita sedang pasang-pasangnya menikmati cinta itu.
Cerpen Tidur merupakan salah satu cerpen Dewi Lestari yang berkisah
tentang keluarga. Dalam cerpen ini Dewi Lestari menggambarkan rumah sebagai
tempat paling nyaman untuk membebaskan diri dari penjara dunia.

“Sudah cukup lama aku tertidur, memejamkan mata demi melewatkan mimpi demi
mimpi bersama kalian. Sekarang, biarkan aku yang terjaga.” (Rectoverso, 2013:131)

Gaya bahasa yang terkandung dalam kalimat diatas adalah gaya bahasa
pleonasme. Dewi Lestari ingin pembaca tahu bahwa seseorang itu telah begitu
menyesal melewatkan banyak momen bersama keluarganya. Tetapi karena ia
sangat menyayangi keluarganya, ia kembali pulang dan memutuskan untuk terjaga
satu malam. Mengobati rindu yang ingin dipuaskan.
Gaya bahasa yang digunakan oleh Dewi Lestari dalam kesebelasan cerpen,
utamanya sembilan cerpen yang telah dianalisis diatas sama-sama bermuara pada
satu tujuan. Disini pembaca dapat menyimpulkan bahwa Dewi Lestari ingin
menunjukkan realisasi cinta melalui banyak kisah. Cinta-cinta yang ditunjukkan
oleh Dee ini merupakan sebuah cinta yang sangat kuat. Cinta diartikan sebagai
tempat pulang, pengorbanan, kerelaan dan pengikhlasan, dan lain sebagainya.
Cinta diartikan secara universal dalam berbagai lingkup yang ternyata cukup luas.

30
Cinta bukan hanya cerita sepasang kekasih yang sedang kasmaran duduk
di taman atau sepasang kekasih yang berperan sebagai budak cinta seperti pada
kisah novel kebanyakan. Ternyata, bentuk cinta bisa lahir dari seorang sahabat
yang peduli. Cinta yang kuat datang dari insting seorang ibu kepada anak-
anaknya. Cinta memudahkan dan merumitkan keadaan, namun karena cinta
seseorang memiliki kekuatan untuk bertahan.
***
Sayangnya, dalam penggambaran cinta yang universal itu, Dewi Lestari
menggunakan bahasa yang terlalu sulit dimengerti. Pada beberapa cerpen malah
isinya bisa jadi gagal dipahami apabila hanya dibaca sekali dua kali. Belum lagi
terdapat banyak gaya bahasa yang cukup rumit dalam cerpennya sehingga
pembaca masih perlu menafsir atau barangkali meraba-raba sebelum membaca
bab atau bahkan kalimat selanjutnya. Penyelipan cerita pendek berbahasa Inggris
juga menjadi salah satu hal yang sebenarnya perlu dipertanyakan kembali.
Masalahnya adalah bisakah pembaca memahami secara utuh isi yang ada dalam
cerpen Grow a Day Older dan Back to Heaven’s Light? Sedangkan bahasa yang
digunakan Dewi Lestari dalam kedua cerpen itu bukanlah bahasa Inggris seperti
biasanya. Di dalamnya juga memuat bahasa sastra, dimana yang pasti artinya
tidak mesti sama dengan bahasa Inggris pada umumnya.

Meski begitu, secara keseluruhan novel rectoverso merupakan novel


rekomendasi yang sangat bagus. Ceritanya menarik dan sudah sepantasnya
mendapat apresiasi setinggi-tingginya. Dewi Lestari selalu punya cara sendiri
untuk menyenangkan hati para penikmat novelnya. Dalam kehidupan ternyata
cinta bisa berbentuk apa saja. Dewi Lestari menyadarkan para pembacanya bahwa
bentuk cinta tak selalu indah namun cinta dapat menghidupkan dunia.

31
MENELISIK INTUISI PENYAIR DALAM PUISI “TUHAN
AKU CINTA PADAMU” KARYA W.S. RENDRA
Oleh : Almas Bilah Izzah Nafisah
200211605281-B
almasbilah06@gmail.com

*
Puisi merupakan salah satu karya sastra berbentuk tulisan yang terikat oleh
(a)banyak baris dalam tiap bait, (b)banyak kata dalam baris, (c)banyak suku kata
dalam tiap baris, (d)rima, dan (e)irama. Penggunaan diksi dan gaya bahasa dalam
puisi juga menjadi ciri khas yang kerap membedakan antara puisi dengan karya
sastra lainnya. Para penulis puisi yang disebut dengan penyair atau pujangga
adalah orang-orang yang memilih untuk merepresentasikan segala sesuatu dalam
sendi-sendi kehidupan ataupun gagasan-gagasan serta keadaan batin yang
dimilikinya lewat untaian kalimat yang indah. Karya sastra puisi W.S. Rendra
merupakan salah satu karya puisi yang melegenda di Indonesia. Dalam karya-
karya puisinya, W.S. Rendra menggunakan bahasa yang sederhana namun sarat
akan makna. Sajak-sajak yang mengalir lahir dari suara hati sebagai bagian dari
proses kejiwaannya.
Salah satu karya sastra puisi W.S. Rendra yang menyorot perhatian dan
berhasil mendapat tempat di hati para pecinta sastra adalah puisi “Tuhan Aku
Cinta Padamu”. Puisi tersebut ditulis oleh W.S. Rendra beberapa hari sebelum
hari kematiannya tiba tepatnya pada tanggal 31 Juli 2009. Beliau menulis puisi
tersebut ketika berada di rumah sakit Mitra Keluarga setelah dinyatakan mengidap
penyakit jantung koroner. Dalam puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu”, beliau
mencoba menggambarkan keadaan jiwanya yang sedang merasakan rindu teramat
besar kepada Tuhannya. Puisi ini sekaligus menjadi luapan firasat W.S. Rendra
menjelang kematiannya dimana ia menceritakan kondisinya ketika sedang sakit
hingga mengingatkannya kepada Tuhan di sisa waktu hidupnya.
Puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu” dianalisis menggunakan teori psikologi
sastra dan pendekatan ekspresif karena mempunyai keterkaitan dengan aktivitas
kejiwaan penyair. Metode dan teknik yang digunakan dalam analisis puisi adalah
deskriptif analisis. Puisi akan dianalisis berdasarkan tiap-tiap baris untuk

32
kemudian diberikan penjelasan tentang maksud yang ingin disampaikan oleh
penyair. Penilaian analisis didasarkan pada keakuratan relevansi isi puisi dengan
aktivitas kejiwaan penyair.
**
Puisi W.S. Rendra yang berjudul “Tuhan Aku Cinta Padamu” merupakan
puisi religius yang pertama dan terakhir diciptakan oleh beliau. Pasalnya,
sebelumnya W.S. Rendra tidak pernah membuat puisi-puisi berbau religi.
Umumnya beliau selalu menciptakan puisi yang mengangkat fenomena politik,
pemerintah dan sosial budaya. Puisi religius ini tiba-tiba saja diciptakan ketika
W.S. Rendra terbaring di rumah sakit, menghabiskan sisa waktu sebelum beliau
menuju alam keabadiannya di akhirat pada tanggal 6 Agustus 2009.
Puisi terakhir W.S. Rendra ini adalah salah satu dari banyak puisi yang
terkumpul dalam kumpulan puisi berjudul “Doa Untuk Anak Cucu”. Meski kerap
kali dibacakan beliau di berbagai kesempatan, kumpulan puisi ini tidak pernah
diterbitkan. Puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu” terdiri atas empat bait. Pada bait
pertama dan kedua masing-masing terdiri dari empat baris, bait ketiga terdiri dari
lima baris, dan bait terakhir hanya terdiri dari satu baris. Berikut karya sastra puisi
“Tuhan Aku Cinta Padamu” karya W.S. Rendra.
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin


Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku


dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
Kepada Allah

Tuhan, aku cinta padaMu


(W.S. Rendra, 2009)

Bait terakhir menjadi ciri khas dari puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu”
karena memang benar hanya terdapat satu baris saja. Kalimat Tuhan, aku cinta

33
padamu ini menjadi penggarisbawahan betapa W.S. Rendra telah memasrahkan
diri atas seluruhnya dan menyerukan ketulusan hati sebagai tanda bukti betapa
beliau sangat taat kepada Tuhannya. Dalam puisi tersebut, para penikmat sastra
tentu tidak cukup sulit untuk mampu memahami atau mengetahui maksud yang
ingin disampaikan oleh W.S. Rendra. Sebab kalimat-kalimat yang digunakan
dalam puisi religiusnya itu adalah kalimat-kalimat sederhana Tidak terdapat
pemilihan diksi ataupun gaya bahasa yang sulit sehingga sukar untuk dimengerti.
Meskipun terangkum dalam kalimat-kalimat yang begitu sederhana, namun
makna tersirat yang ada dalam puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu” sangat dalam.
Jika diartikan satu per satu maka akan terlihat dengan jelas apa yang ingin
disampaikan oleh W.S. Rendra. Pada bait pertama, kalimat /Aku lemas/Tapi
berdaya/, penyair berusaha untuk mengungkapkan rasa emosional tentang apa
yang dirasakannya. Walaupun beliau merasakan lemas pada sekujur tubuhnya
namun beliau menolak untuk lemah. Beliau tetap berusaha kuat dan semangat
berjuang menghadapi apapun yang sedang beliau rasakan, barangkali yang
dirasakannya itu adalah penyakitnya.
Masih pada bait pertama tepatnya pada baris ketiga dan keempat tertulis
kalimat /Aku tidak sambat rasa sakit/atau gatal/, beliau ingin menujukkan bahwa
pantang baginya untuk merasakan apapun dalam dirinya, bahkan walau hanya rasa
gatal. Rasa sakit yang sejatinya kian melemahkannya tidak pernah mau beliau
keluhkan. Kalimat ini sekaligus menjadi kalimat penutup dalam bait pertama.
Pada bait kedua, baris pertama tertulis kalimat /Aku pengin makan tajin/,
tajin adalah sari beras yang keluar saat beras direbus. Dalam puisi W.S. Rendra ini
kemungkinan makna yang dapat ditebak adalah bahwa beliau ingin meresapi
kehidupannya dengan baik. Kehidupannya selama ini yang penuh dengan suka
duka, amal dan dosa yang secara bergantian dilakukannya. Apapun tentang
hidupnya yang beliau sesali. Beliau ingin meresapinya sebagai sesuatu yang
sepanjang hidupnya telah menjadi pelajaran yang berharga. Baris kedua berisi
kalimat /Aku tidak pernah sesak nafas/, merupakan refleksi dari apa yang sudah
diresapinya sejak tadi. Bahwa dalam kehidupannya ketika beliau melibatkan
Tuhan maka sebenarnya beliau menyadari akan perjalanan panjang dalam

34
hidupnya yang tidak pernah terhimpit masalah. Seluruh masalah menjadi jalan
untuknya belajar dan melanjutkan hidup.
Kalimat terakhir yang menutup bait kedua ada pada baris ketiga dan
keempat yaitu pada kalimat /Tapi tubuhku tidak memuaskan/untuk punya posisi
ideal dan wajar/. Kalimat tersebut merupakan representasi dari rasa cemas dan
takut yang dirasakan oleh penyair. Mengingat beliau belum sepenuhnya puas akan
ibadah-ibadah yang kerap dilakukannya, merasa tidak cukup baik untuk bisa
mendapat tempat terbaik di sisi Tuhannya. Perasaan yang tergambar dalam
kalimat itu merupakan bentuk kegelisahan yang dirasakan oleh W.S. Rendra.
Pada bait ketiga, kalimat pertama tertulis /Aku pengin membersihkan
tubuhku/, diartikan sebagai upaya penyair untuk bertaubat dan mendekatkan diri,
lebih dekat lagi kepada Tuhannya. Beliau ingin menghapus dosa-dosa yang beliau
lakukan selama hidupnya. Pernyataan ini diperkuat dengan kalimat pada baris
selanjutnya yaitu /dari racun kimiawi/ yang artinya segala dosa dunia. Maka dapat
disimpulkan bahwa beliau ingin memohon pengampunan kepada Allah karena
sempat mengikuti keyakinan agama lain sebelum akhirnya memilih agama Islam.
Kalimat selanjutnya yang bertulis /Aku ingin kembali pada jalan alam/
menggambarkan tentang keinginan W.S. Rendra untuk kembali ke jalan yang
benar, yaitu jalan yang dirahmati oleh Allah. Jalan yang akan membawanya
kembali kepada sang pencipta dalam keadaan yang baik. Diikuti dengan kalimat
/Aku ingin meningkatkan pengabdian/kepada Allah/ yang berarti beliau ingin
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhannya. Beliau ingin menyempurnakan
ibadah dan amalan-amalan yang diajarkan dalam agamanya sebagai upaya
menjadi hamba yang baik. Beliau ingin sisa hidupnya menjadi momen untuk
menyucikan diri. Penyair mengungkapkan bahwa sudah seharusnya ketika
seseorang sudah merasa dekat dengan ajalnya maka mendekatkan diri kepada
Tuhan adalah bekal terakhir. Dalam bait ini W.S. Rendra meluapkan segala
keikhlasan dan kepasrahannya menghadapi hari-hari terakhirnya.
Pada bait terakhir yang hanya berisi satu kalimat yaitu /Tuhan, aku cinta
padamu/ akhirnya W.S. Rendra menutup puisinya dengan seruan atas
kecintaannya pada Allah. Ini sekaligus menjadi gambaran kerinduan mendalam

35
kepada sang khaliq. W.S. Rendra memilih kata “cinta” untuk menunjukkan bahwa
beliau sangat ingin menjadi hamba yang disayang oleh Allah dan itu merupakan
sesuatu yang tidak lagi bisa ditawar.

Setelah membaca dan memaknai isi yang terkandung dalam puisi “Tuhan
Aku Cinta Padamu” karya W.S. Rendra kesimpulan yang dapat diambil yaitu
perasaan seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhannya ketika ia
sedang sakit. Dia tidak pernah putus asa dan memilih menyerahkan semuanya
kepada Tuhan. Puisi tersebut ditulis berdasarkan cipta, rasa, dan karsa yang
dibangun sedemikian oleh W.S. Rendra. Dalam hal ini tokoh aku yang disebutkan
beberapa kali dalam puisi merupakan perwujudan dari penyair itu sendiri. Segala
bentuk perasaan dan kondisi itu dialami oleh W.S. Rendra. Sehingga dapat
diartikan bahwa sebuah puisi merupakan suatu hasil dari intuisi atau imajinasi
penyair yang menggambarkan refleksi atas peristiwa ataupun kehidupan yang
dialami oleh penyair itu sendiri. Dalam hal ini, puisi berusaha mengungkapkan
aspek-aspek kejiwaan lewat larik-larik dan pilihan kata yang khas.
Apabila telah ditegaskan berulang-ulang bahwa karya sastra puisi
merupakan suatu produk dari proses kejiwaan dan pemikiran penyair yang berada
pada situasi setengah sadar (subconcius) lalu dituangkan ke dalam bentuk tulisan
secara sadar (conscius) maka puisi “Tuhan Aku Cinta Kepadamu” menjadi salah
satu bukti bahwa W.S. Rendra mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang
tidak sadar itu ke dalam bentuk puisi.
Beliau mengungkapkan kegelisahan dan kerinduannya kepada Tuhan
lewat hasil renungan sesaat ketika beliau berada di rumah sakit. Secara sekilas
ketika membaca puisi tersebut, untaian kalimat-kalimat yang tertulis dalam puisi
“Tuhan Aku Cinta Padamu” terlihat hanya seperti cerita orang yang sedang dalam
keadaan sakit. Tubuhnya lemas tetapi ia tidak mau menampakkan rasa sakit dan
gatal yang dialaminya. Ia berusaha tidak merasakan apa-apa meski tubuhnya tidak
terasa nyaman pula ketika berbaring di tempat tidur. Kalimat /Aku pengin
membersihkan tubuhku/dari racun kimiawi/ seolah menceritakan seseorang yang
lelah dengan penyakitnya hingga tidak mau lagi mengkonsumsi atau

36
menggunakan berbagai obat untuknya sembuh. Padahal apabila ditelisik lebih
dalam lagi dengan melihat latar belakang dan kondisi yang dialami W.S. Rendra
saat itu, ada banyak pesan tersirat yang ingin beliau sampaikan. Bahkan siapa
menyangka bahwa seluruh kalimat-kalimat yang terdapat dalam puisi itu
menggambarkan ketakutan W.S. Rendra sesaat sebelum mengalami kematian.
Sejalan dengan W.S. Rendra, Taufik Ismail juga menginterpretasikan
keadaan batinnya yang mengalami gejolak sehingga membuatnya teringat pada
kuasa Tuhan. Luapan batin Taufik Ismail ini tergambar pada puisinya yang
berjudul “Sajadah Panjang”.
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati

Ada sajadah panjang terbentang


Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini

Diselingi sekedar interupsi


Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba

Ada sajadah panjang terbentang


Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
(Taufik Ismail, 1984)

Taufik Ismail menggambarkan dirinya sebagai hamba yang patuh dan


pasrah pada penciptanya. Meskipun urusan duniawi menyita banyak waktu namun
beliau tetap pada keteguhannya dalam beribadah kepada Tuhan demi menebus
segala dosa-dosa yang dilakukannya sepanjang hidupnya.

37
***
Dengan demikian, akurasi relevansi antara isi puisi dengan aktivitas
kejiwaan penyair sangat tepat. Kondisi kejiwaan penyair mempengaruhi
keseluruhan isi puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu” sebab memang ditulis
berdasarkan kisah nyata pengalaman W.S. Rendra. Amanat yang terkandung
dalam puisi ini adalah bahwa manusia memiliki banyak keterbatasan sehingga
alangkah lebih baik jika manusia mampu memperbaiki diri selagi masih diberi
waktu untuk hidup.
Amanat tersirat yang disampaikan oleh penyair ini sangat berkaitan
dengan kehidupan saat ini. Mengingat diri sendiri pun memiliki keterbatasan yang
mana keterbatasan itu terkadang dapat membuat manusia kufur nikmat. Kufur
nikmat inilah yang akan menambah dosa-dosa. W.S. Rendra mengajak para
penikmat puisinya untuk sama-sama meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.

38
Lampiran

KERANGKA KRITIK SASTRA ESAI “KATA: TENTANG SENJA YANG


KEHILANGAN LANGITNYA” KARYA RINTIK SEDU
Almas Bilah Izzah Nafisah
200211605281
almasbilah06@gmail.com

Almas Bilah Izzah Nafisah: realitas kehidupan dan kisah percintaan remaja dalam
novel ‘Kata’ karya Nadhifa Allya Tsana [Rintik Sedu] (kritik mimetik)

RANCANGAN KARYA KRITIK NOVEL ‘KATA’ OLEH RINTIK SEDU

1. Keterangan novel
a. Judul Buku : Kata ‘Tentang Senja yang Kehilangan Langitnya’
b. Penulis : Nadhifa Allya Tsana
c. Tahun Terbit : 2018 (cetakan pertama)
d. Penerbit : Gagas Media
e. Jumlah : 389 halaman
f. ISBN : 978-979-780-932-4
2. Sinopsis

Perempuan kuat bernama Binta Dineschara Prandipta, Masalah


hidup selalu datang menghampiri Binta . Ketika usia ia 5 tahun, ayah nya
meninggalkan Binta dan ibunya. Sehingga ibunya mengidap penyakit
Skizofrenia, yaitu penyakit kejiwaan yang membuat si penderita tidak bisa
membedakan mana yang nyata dan mana yang ada didalam pikirannya.
Selama 15 tahun berlalu, ibu Binta hanya diam dan mengamuk ketika
perasaannya sedang tidak baik. Binta adalah seorang yang sangat sulit
untuk diajak bergaul, ia berfikir lebih baik mengurus ibunya dirumah
daripada bergaul bersama teman-temannya. Ia hanya memiliki satu teman,
Cahyo. Bahkan Cahyo saja membutuhkan waktu yang sangat lama agar ia
bisa menjadi sahabat Binta. Cahyo sudah tau sifat Binta, ia juga sudah
akrab dengan ibunya Binta dan ia sudah tau masalah hidup apa saja yang
sedang dihadapi oleh Binta.

Binta adalah mahasiswi dari jurusan Ilmu Komunikasi tetapi Binta


sama sekali tidak menikmati masa kuliahnya dalam jurusan tersebut. Binta
sering sekali dikeluarkan dari kelas oleh dosen , bagi Binta itu adalah hal

39
yang biasa. Untung saja setiap Binta sedang merasa bosan dan jenuh,
Cahyo selalu ada untuknya, Cahyo sangat sabar menghadapi Binta. Cahyo
sudah sering menasihati Binta tetapi tetap saja Binta keras kepala.
Kehidupan Binta di kampus pun tak begitu menyenangkan, ia lebih senang
menghabiskan waktunya dengan kesendirian yang ia buat. Sampai suatu
ketika ada seorang Nugraha yang muncul mengusik kehidupannya,
termasuk perasaan Binta.

Nug atau Nugraha digambarkan sebagai seseorang yang memiliki


seribu kotak kesabaran terlebih dalam menghadapi Binta yang begitu cuek.
Selama pendekatan dengan Binta, hanya ada penolakan dan juga usiran
untuknya agar menyerah saja, itu yang hanya Nug terima, namun karena
itulah Nug masih bertahan dan terus saja memperjuangkan Binta, bahkan
hampir saja Binta luluh dengan kegigihan Nug. Bukan Nugraha jika
akhirnya memilih menyerah dan pergi. Sementara Binta, seolah menyerah
dengan masa lalu yang kian membelenggunya.

Di pertengahan muncul satu nama yang hadirnya begitu jarang


diungkap namun inilah yang menjadi latar belakang Binta. Laki-laki itu
bernama Biru. Laki-laki yang selalu ada di hatinya Binta, laki-laki yang
selalu ada dimimpi Binta. Biru datang kembali ke Jakarta dan kembali
menemui Binta setelah menghilang selama 2 tahun. Perasaan Binta saat itu
senang dan sedih. Karna Biru adalah satu-satunya alasan Binta untuk
melanjutkan hidupnya. Berpisah selama beberapa tahun, hingga pada suatu
ketika semesta menyetujui mereka untuk bertemu di suatu tempat bernama
Banda Neira. Alih-alih mendapat kepastian akan kisahnya bersama Biru
yang selama ini menggantung, Binta justru dihadapkan pada kenyataan
yang membuat hidupnya semakin pahit. Sementara di Jakarta, makhluk
aneh yang tak kenal menyerah masih selalu ada untuk Binta, dan menjadi
penawar sakit yang Binta rasakan.

Nug, Biru, serta Binta sama-sama membelakangi serta sama-sama


pergi. Mereka perlu beberapa kata untuk menuturkan perasaan. Binta yang
marah melihat Nug bersama masa lalunya, dan juga dikejutkan dengan
kedatangan Biru yang tiba-tiba yang tidak lain ingin mengajak Binta untuk
hidup bersamanya dan meninggalkan Jakarta menuju Banda Neira.
Nugraha mengetahui kabar tersebut dari Cahyo dan berusaha
mencegahnya, sayang keputusan Binta sudah bulat. Hidup bersama Biru
adalah tujuan hidupnya. Sementara itu Nugraha medapat beasiswa ke

40
Australia. Nug bisa saja membatalkan keberangkatannya asal Binta
meminta, namun Binta tak mau melakukan itu.

3. Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam kritik sastra ini adalah pendekatan
mimetik, hal ini karena cerita yang dibahas dalam novel adalah hasil dari
tiruan mengenai kisah-kisah yang ada pada kehidupan nyata atau berdasar
pada realita yang terjadi di masyarakat khususnya anak muda.

4. Metode
Metode yang digunakan dalam kritik sastra mengenai novel Kata karya
Tsana ini adalah metode sosiologis. Metode ini erat kaitannya dengan
pendekatan mimetic, hal ini karena memiliki kesamaan acuan yang
menyetujui adanya keterkaitan antara karya sastra dengan imitasi dari
realitas yang ada. Dengan kata lain, metode sosiologi sastra berdasar pada
prinsip bahwa sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya
sastra itu ditulis, yaitu masyarakat yang melingkupi penulis sebab sebagai
anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya. Seperti pada proses
pembuatan novel ini, penulis mendapat ide mengenai kisah dalam novel
dari kisah percintaan teman-temannya sendiri.

5. Teknik Analisis
Teknik analisis menggunakan deskriptif analisis dimana fakta-fakta yang
dituliskan dalam cerita dideskripsikan untuk selanjutnya dianalisis dengan
tujuan memberi pemahaman dan penjelasan yang cukup.

6. Kualitas Karya
Kualitas karya sastra novel ‘Kata’ oleh Tsana sebagai rintik sedu sudah
tidak diragukan lagi. Karya-karya nya terdahulu seperti novel Gezz dan
Ann adalah novel best seller sampai akhirnya berhasil di film kan.
menyusul kesuksesan novel Gezz dan Ann, novel Kata juga menjadi
novel best seller dan diangkat menjadi film oleh Falcon Pictures dengan
judul film yang sama dengan novelnya yaitu ‘Kata’ tahun ini.

41
KERANGKA KRITIK SASTRA PUISI “SEBUAH JAKET BERLUMUR
DARAH” KARYA TAUFIK ISMAIL
Almas Bilah Izzah Nafisah
200211605281
almasbilah06@gmail.com

Pembuka
1. Taufik Ismail sebagai penyair sekaligus sastrawan Indonesia era 60-an
yang tidak pernah gagal dalam membuat sebuah karya
2. Puisi ciptaan Taufik Ismail sarat akan makna dan teruntai dalam kalimat-
kalimat yang indah
3. Kritik sosial sebagai karakteristik karya sastra puisi Taufik Ismail
4. Penyair lain yang mempunyai karya puisi memuat kritik sosial selain
Taufik Ismail
5. Teori Sosiologi sastra; pendekatan mimetic; metode-teknik analisis kutip-
analisis rujuk; kriteria penilaian objektif (merujuk pada penggunaan diksi)
Inti
1. Masuknya Taufik Ismail kedalam dunia permusikan
2. Kritik sosial banyak ditemukan pada saat pemerintahan orde baru
3. Penyair sebagai jembatan yang mewakili suara rakyat
4. Analisis puisi Taufik Ismail berjudul “Sebuah Jaket Berlumur Darah”

Sebuah jaket berlumur darah


Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita


Dibawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang


Seraya mengucapkan ‘selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu


Kami semua telah menatapmu
Dan diatas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana


Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

42
Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
5. Kritik sastra diksi dalam puisi

Penutup
1. Penegasan ulang penjelasan dalam bagian inti mengenai kritik sosial
dalam puisi Taufik Ismail
2. Puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” karya Taufik Ismail mengajarkan
tentang bagaimana keadilan harus ditegakkan. Siapapun yang berusaha
keras menyuarakan kebaikan akan menuai apa yang diinginkan.

43
KERANGKA KARYA ESAI PROSA FIKSI “RECTOVERSO” KARYA
DEWI LESTARI
Almas Bilah Izzah Nafisah
200211605281
almasbilah06@gmail.com

Realisasi Cinta dalam Rectoverso

Pembuka
1. Novel Rectoverso adalah novel karya Dewi Lestari (Dee) yang terbit pada
tahun 2013. Merupakan novel antologi yang didalamnya berisi sebelas
cerita pendek dengan berbagai latar dan sudut pandang yang berbeda.
2. Novel ini merupakan sebuah albuk (album buku).
3. Dewi Lestari merangkum berbagai kisah kehidupan yang secara relevan
memuat mengenai realisasi cinta secara universal.
4. Akurasi gaya bahasa Dewi Lestari terhadap penyampaian makna/pesan
dalam prosa fiksi.
5. Pendekatan struktural, metode-teknik deskriptif-analisis kronologis, dasar
penilaian gaya bahasa.

Inti
1. Cerpen pertama berjudul “curhat buat sahabat” mengisahkan tentang cinta
yang bertepuk sebelah tangan. Dimulai dengan sepasang sahabat sedang
berbincang. Lalu wanita itu mulai bercerita mengenai kabar perpisahannya
dengan sang kekasih. Berakhir dengan kisah cinta bertepuk sebelah tangan
yang dialami oleh sahabat laki-lakinya.
“Sebotol mahal anggur putih ada di depan matamu, tapi kamu tak pernah
tau. Kamu terus menanti. Segelas air putih.”
2. Analisis kesepuluh cerpen lainnya sama dengan contoh analisis cerpen
pertama di atas.
3. Gaya bahasa Dewi Lestari menggunakan banyak bahasa kiasan sehingga
sedikit sukar dimengerti oleh orang yang awam sastra.

Penutup
1. Dewi Lestari menggunakan banyak bahasa kiasan dalam novelnya
sehingga orang awam sastra sukar mengerti.
2. Novel rectoverso merupakan novel rekomendasi yang kisahnya akan tetap
menjadi kesayangan penikmat karya sastra.

44
KERANGKA KARYA ESAI SASTRA PUISI “TUHAN AKU CINTA
PADAMU” KARYA W.S. RENDRA: KETERKAITAN AKTIVITAS
KEJIWAAN PENYAIR DAN ISI PUISI
Almas Bilah Izzah Nafisah
200211605281
almasbilah06@gmail.com
Menelisik Intuisi Penyair dalam Puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu” karya
W.S. Rendra.

Pembuka
1. Gambaran umum mengenai puisi
2. Latar belakang puisi W.S. Rendra “Tuhan Aku Cinta Padamu”.
3. Analisis makna yang terkandung dalam puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu”
karya W.S. Rendra.
4. Teori Psikologi Sastra, Pendekatan ekspresif, metode-teknik deskriptif-
analisis, relevansi makna dalam puisi dengan aktivitas kejiwaan penyair..

Inti
1. Latar belakang yang memicu diciptakannya puisi bertema religious oleh
W.S. Rendra.
2. Puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu” tergabung dengan beberapa puisi
lainnya yang berada dalam kumpulan puisi “Doa Untuk Anak Cucu”.
3. Penulisan isi puisi W.S Rendra yang selanjutnya akan dianalisis oleh
penulis yang berperan sebagai esais.
4. Analisis isi puisi dikaitkan dengan keadaan penyair ketika menulis puisi
dan kondisi kejiwaan penyair.
5. Membandingkan puisi W.S. Rendra dengan puisi “Sajadah Panjang” karya
Taufik Ismail.
6. Hasil mengenai analisis perbandingan antara kedua puisi mulai dari
kesamaan mengenai jenis puisi dan keterkaitannya dengan aktivitas
kejiwaan penyair.

Penutup
.
1. Kesimpulan mengenai kebenaran tentang adanya keterkaitan antara isi
puisi, amanat tersurat dan tersirat yang terkandung dalam puisi serta
kondisi kejiwaan penyair yang dilatarbelakangi oleh keadaan penyair pada
saat menulis atau menciptakan puisi tersebut.
2. Menjelaskan amanat yang terkandung dalam puisi “Tuhan Aku Cinta
Padamu” yang secara garis besar menitahkan kepada manusia untuk selalu
mendekat kepada Tuhannya.

46
3. Refleksi diri yang dapat diambil dari amanat yang disampaikan oleh W.S.
Rendra pada puisi “Tuhan Aku Cinta Padamu”.

46
Tentang Penulis
Almas Bilah Izzah Nafisah lahir pada tanggal 6 Maret
2002 di Pasuruan Propinsi Jawa Timur. Merupakan
anak tunggal dari pasangan Nur Hakim dan Esti Dwi
Utami. Latar belakang pendidikannya adalah sebagai
berikut: TK Tunas Mekar (2006-2008), SD Negeri
Nongkojajar 1(2008-2014), SMP Negeri 1 Tutur (2014-
2017) , SMA Negeri 1 Purwosari (2017-2020), dan sekarang menjadi mahasiswa
aktif di Universitas Negeri Malang. Di luar kesibukannya menjadi mahasiswa, ia
memilih untuk mengembangkan hobinya di dunia seni musik dan berbisnis florist.

47
DAFTAR PUSTAKA
Asriningsari, Ambarini & Nazla Maharani. 2016. Jendela Kritik Sastra: Menjadi
Kritikus Akademika Melalui Jendela Kritik Sastra Indonesia. hlm 76-78.
Universitas PGRI Semarang.
Baihaqi, Imam. 2015. Nasionalisme: Sebuah Resistensi Runag Dalam Puisi
“Sebuah Jaket Berlumur Darah”. hlm 133-134. ISBN 978 602 361 004 4.
Universitas Tidar Magelang.
Indijati, Harlina dan A. Murad. 1996. Biografi Pengarang Rendra dan Karyanya.
hlm . Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Lestari, Dewi. 2008. Rectoverso. hlm 1-143. Jakarta: Bentang Pustaka.
Muntazir. 2017. Struktur Fisik dan Struktur Batin Pada Puisi ‘Tuhan Aku Cinta
Padamu’ Karya WS Rendra. Vol.3, No.2. hlm 214-223. Jurnal Pesona.
Nurhasanah, dkk. 203. Analisis Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen
Rectoverso Karya Dewi Lestari. hlm 2. Universitas Tanjungpura.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengertian, Hakikat, dan Fungsi Puisi. hlm 6.
Pratiwi, Debby Alya. dkk. 2019. Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi W.S
Rendra: Kehidupan Masyarakat di Indonesia. hlm 60. e-ISSN 2597 9779, p-ISSN
2597 9787. Cakrawala Linguista: Kalimantan Barat.
Revita, Bella. 2020. Analisis Mimetik Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya
Agnes Davonar. hlm 26-29. Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Suprapto, Lina dkk. 2014. Kajian Psikologi Sastra dan Nilai Karakter Novel 9 dari
Nadira Karya Laila S. Chudori. Vol.2, No.3. hlm 2. Basastra: Jurnal Penelitian
Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya.
Susiati. 2020. Gaya Bahasa Secara Umum dan Gaya Bahasa Pembungkus
Pikiran. hlm 6. Universitas Iqra Buru.
Ulfa, Yulia. dkk. 2019. Analisis Nilai Pendidikan Karakter pada Novel “Berjuang
di Tanah Rantau” Karya A. Fuadi: Tinjauan Mimetik. hlm 38-39. Universitas
Negeri Medan.
Yogacakti, Gibran. 2019. Pikiran Bawah Sadar Taufik Ismail Dala Puisi “Sebuah
Jaket Berlumur Darah”. Vol.21, No.1. hlm 120-122. P-ISSN 0853 6075.
Universitas Sebelas Maret.

48
49

Anda mungkin juga menyukai