Anda di halaman 1dari 46

BATU NONG

Di Desa Lekong, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa terdapat sebuah batu besar, tinggi, bundar
bagian atasnya datar. Batu itu menggantung pada tebing bukit yang tinggi dekat sungai Lekong. Dari atas
batu itu orang dengan leluasa dapat melihat ke bawah. Itulah sebabnya disebut batu nong. Kata
nong dalam bahasa Sumbawa berarti melihat ke bawah dari atas. Jika batu nong itu dilihat dari
kejauhan, kedudukannya sangat genting. Kalau ada getaran sedikit saja, rasa-rasanya batu itu pasti akan
runtuh. Dalam kenyataan, telah beratus-ratus tahun batu itu tetap tidak bergeming. Bagaimana batu itu
bisa berada di tempat tersebut, inilah ceritanya.

Tersebutlah sebuah negeri di zaman dahulu kala. Negeri itu terkenal makmur, aman, dan damai. Tidak
pernah terdengar perselisihan di antara penduduknya. Laki-laki dan perempuan kedudukannya sama,
kecuali dalam satu hal, yaitu laki-laki tabu mencuci pantat anaknya yang habis buang air besar. Hal yang
demikian diyakini benar oleh penduduk di situ.

Pada suatu hari terdengar berita, di negeri tetangga akan diadakan keramaian besar. Sudah barang
tentu semua orang menyambut dengan gembira berita besar itu.

Tersebutlah sebuah keluarga yang mempunyai anak masih kecil. Sang istri merengek kepada suaminya
untuk diizinkan pergi menonton.

Pak, anak kita sudah besar dan tidak menyusu lagi. Sejak kawin, saya tidak pernah mendapat
kesempatan nonton keramaian.

Maksudmu kamu ingin pergi nonton? tanya suaminya.

Ya, jawab sang istri.

Kalau anak kita nanti buang air besar bagaimana lanjut sang suami.

Saya kan hanya sehari, nanti tunggu saja saya datang, lanjutnya.
Singkat cerita, karena sang suami sangat sayang kepada sang istri, sang suami mengizinkan sang istri
pergi. Ternyata negeri yang dituju cukup jauh. Tidak cukup sehari perjalanan. Sang istri dengan gembira
larut dalam keramaian di situ. Ia lupa pada lainnya. Telah tiga hari ia pergi meninggalkan anak dan
suaminya. Sementara itu sang suami tidak tahan mencium bau busuk pantat anaknya yang telah buang
kotoran. Maka dicucilah pantat anaknya. Pada malam harinya, datanglah kutukan itu. Kulit sang ayah
menjadi bersisik. Tangan dan kakinya mengerut, dan akhirnya berubahlah badannya menjadi seekor
naga yang berkepala manusia.

Alkisah sang istri setelah puas menonton keramaian, pulanglah ia bersama teman-teman
sekampungnya. Setibanya di rumah, ia terkejut dan menierit karena melihat suaminya telah berubah
menjadi seekor naga. Berita itu telah menyebar di seluruh negeri.

Untuk menghindari rasa malu, suaminya berkata, Istriku, janganlah engkau bersedih. Ini akibat
perbuatan saya membasuh pantat anak kita yang habis buang air besar, karena saya sudah tidak tahan
mencium bau busuknya. Seharusnya saya mengatakan tidak pada saat kamu minta izin, tetapi karena
sayangku kepadamu saya bilang ya. Jadi, inilah akibatnya. Oleh karena itu, belilah kamu tempayan
yang besar, masukkanlah saya ke dalamnya, dan bawalah saya ke sungai, kata suaminya.

Mendengar kata-kata suaminya itu, sang istri pun menyesal. Namun, apa hendak dikata, nasi telah
menjadi bubur. Suaminya kini telah berubah menjadi ular akibat melanggar aturan.

Selanjutnya antarkan makanan setiap harl untuk saya, lanjut suaminya. Demikianlah, sejak itu sang
istri setiap hari mengantarkan makanan dan minuman kepada suaminya yang telah berubah menjadi
ular naga. Hal yang demikian berlangsung bertahun-tahun. Sampai pada suatu hari ketika terjadi
peperangan antar negeri. Seluruh desa porak-poranda. Banyak penduduk yang tewas, namun sebagian
bisa melarikan diri dan mengungsi. Di antara mereka terdapat istri sang ular. Mereka berlayar dengan
perahu tak tentu arah. Perahu berlayar sesuai dengan arah angin. Ketika mereka telah berhari-hari
berlayar, pada suatu hari para pengungsi melihat tempayan besar mengikutinya. Ternyata tempayan itu
adalah tempayan yang berisi ular. Tempayan itu mengikuti terus ke mana perahu itu pergi. Akhirnya,
perahu itu berhenti di suatu tempat di muara sungai Lekong, di Sumbawa bagian barat. Anehnya,
tempayan itu pun ikut berlabuh di dekat perahu mereka.
Para pengungsi kemudian membuat pemukiman di darat. Di tempat itu banyak pohon kemiri. Mereka
membuat gubug-gubug sederhana sebagai tempat berlindung sementara.

Pada suatu malam, ketika juragan perahu pergi ke sungai ingin buang air besar, ia terkejut karena di tepi
sungai itu terdapat sebuah batu besar yang menghalangi aliran air sungai. Setelah diamati ternyata itu
adalah tempayan yang berisi ular tadi. Dari dalam tempayan terdengar suara, Saya tidak cocok di sini,
pindahkanlah saya ke tebing di bukit itu.

Tak lama kemudian, tempayan itu terangkat ke atas dan menempel pada tebing di bukit dekat
pemukiman para pengungsi tersebut. Juragan terheran-heran melihat peristiwa tersebut. Ia semakin
heran ketika melihat tempayan itu kini telah berubah menjadi sebuah batu yang besar.

Pada pagi harinya, juragan menceritakan pengalamannya yang luar biasa itu. Kemudian para pengungsi
itu beramai-ramai naik ke atas bukit dan berdiri di atas batu besar itu. Mereka dapat melihat ke bawah
dengan leluasa. Lalu, batu itu dinamakan batu nong.

Desa yang mereka bangun diberi nama desa Lekong karena di situ banyak pohon kemiri. Dalam bahasa
Sumbawa, buah kemiri yang sudah digoreng sangan untuk bumbu masak dinamakan lekong.

Sampai sekarang, para suami orang Lekong tidak berani mencuci pantat anaknya yang buang air besar.
Di samping itu, mereka menganggap batu nong itu keramat. Sampai sekarang pun batu nong masih
tetap bertengger di bukit sebelah utara desa Lekong, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa
LA GOLO

Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Pulau Sumbawa. Di suatu desa, tinggallah
sepasang suami istri yang kaya. Akan tetapi, sudah lama mereka menikah belum dikaruniai anak. Oleh
karena itu, mereka sangat sedih.

Pada suatu hari, sang suami berkata kepada istrinya, Sayang kekayaan kita yang begini banyak, tak ada
yang mewarisinya, kalau kita sudah tiada.

Mendengar kata-kata suaminya, hati sang istri sangat sedih. Saya pun sudah lama memikirkan hal itu.
Hanya saya tidak berani menyampaikan kepada kakak, saya takut kakak tersinggung, kata istrinya.

Sejak itu, mereka selalu berdoa bersama memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar diberikan
seorang anak. Akhirnya, doa itu pun dikabulkan. Sang istri melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi
nama La Golo. Sejak kecil, La Golo selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Akibatnya, La Golo
tumbuh menjadi anak yang malas, tahunya hanya makan saja. Semua keinginannya harus dipenuhi.
Hampir setiap hari La Golo berkelahi dengan teman-temannya. La Golo pun melawan orang tuanya. Hal
yang demikian membuat kedua orang tuanya sedih.

Pada suatu hari, saat suami istri itu sedang memperbincangkan anaknya, sang suami berkata, Dulu aku
menamakan anak kita La Golo, terkandung maksud agar setelah besar dengan bersenjatakan golo
(golok), ia dapat membuka lahan baru sehingga kebun kita bertambah banyak. Kenyataannya justru
sebaliknya.

Mendengar hal itu, istrinya juga sedih. Akhirnya, mereka bersepakat untuk membuang anaknya.

Pada suatu hari, dipersiapkanlah bekal yang cukup banyak dengan lauk yang enak-enak. Melihat ibunya
memasak, La Golo bertanya kepada ibunya, Ada acara apa sehingga ibu memasak makanan yang lezat-
lezat? Ibunya menjawab bahwa ayahnya akan pergi ke hutan mencari kayu bakar bersama La Golo.
Sepertiga makanan yang telah dimasak boleh dimakan La Golo sebelum berangkat, sedangkan sisanya
dipakai sebagai bekal. Hati La Golo sangat senang mendengar jawaban ibunya. Dalam waktu singkat,
makanan yang disiapkan untuknya dihabiskannya. Kemudian, dengan membawa parang, ia berangkat
bersama ayahnya ke hutan belantara.
Akhirnya, sampailah mereka di tengah hutan. Pepohonan di hutan itu sangat lebat dan besar-besar.
Tibalah mereka pada sebuah pohon yang paling besar. Ayahnya berhenti dan berkata kepada La Golo,
Anakku, kita berhenti di sini. Inilah pohon yang kita cari. Inilah kayu wuwu yang banyak cabangnya.
Kalau kita tebang satu pohon ini, kita akan banyak mendapatkan kayu bakar. Agar tidak rusak, ketika
pohon kayu ini akan tumbang, engkau harus menahannya.

Ya Ayah, jawab La Golo.

Begitulah ketika pohon itu tumbang, La Golo menahannya dengan tubuhnya yang besar. Namun, karena
pohon itu terlalu besar, tubuh La Golo hancur tertindih oleh pohon itu.

Setelah beberapa saat, ayahnya menunggu dan tidak ada tanda-tanda lagi La Golo hidup, senanglah
hatinya. Sesampainya di rumah, diceritakan kepada istrinya semua peristiwa yang terjadi. Keesokan
harinya, disiapkan doa rowa (doa arwah) atas kematian anaknya. Seekor kambing jantan yang besar
disembelih karena para tetangga akan diundang.

Begitu tamu akan diundang secara lisan, ayah dan ibu La Golo sangat terkejut. Tiba-tiba La Golo telah
berdiri di depannya. Akhirnya, semua makanan yang telah disiapkan dimakan La Golo dengan lahapnya.

Setelah peristiwa itu, La Golo tidak berubah perangainya. Bahkan, kenakalannya semakin menjadi-jadi.
Oleh karena itu, orang tuanya semakin sedih. Mereka merencanakan membawa dia ke hutan yang jauh
sekali. Seperti biasanya, ibunya memasak nasi dan lauk-pauk yang banyak sekali dan lezat. Selain itu,
ayahnya membawa ponda (labu air) yang sudah kering. Ponda ini bisa menimbulkan suara Hoooo,
seperti suara orang menjawab panggilan jika ditiup atau tertiup angin.

Setelah berjalan tujuh hari tujuh malam, sampailah mereka di hutan yang dituju. Di situ terdapat pohon
duet yang sedang masak. La Golo sudah tidak tahan melihat buah duet yang ranum-ranum itu. Segera ia
memanjatnya. Sementara itu, ayahnya meninggalkannya. Pada saat La Golo memanggil, ayahnya
menjawab Hoooo. Tenanglah hati La Golo.

Setelah puas memakan buah duet, La Golo turun mencari ayahnya. Dicarinya ayahnya ke arah suara
Hooo tadi. Namun, yang dijumpainya adalah buah ponda. Sekarang, sadarlah La Golo bahwa orang
tuanya sengaja membuangnya karena tabiatnya yang buruk. Dia berusaha kembali ke rumahnya, namun
tidak bisa.

Pada suatu hari, di tengah hutan itu, La Golo melihat seseorang sedang berjalan seperti dia. Pada
mulanya, ia takut. Ia memberanikan diri menyapa orang itu. Mereka saling berkenalan. Nama orang itu
adalah Sandari. Tidak lama kemudian, dari kejauhan mereka mendengar suara orang sedang bercakap-
cakap. Makin lama makin jelas. Mereka akhirnya berpapasan dan saling berkenalan. Mereka bercerita
mengapa sampai di tempat itu. Temyata mereka adalah anak-anak nakal yang tidak dikehendaki orang
tuanya. Namanya La Ngepe dan La Bonggo.

Empat orang itu akhirnya menjadi sahabat. Mereka sepakat mengangkat La Golo sebagai ketuanya.
Mereka sekarang harus bekerja keras mencari buah-buahan dan umbi-umbian untuk dimakan.

Pada suatu hari, mereka bertemu dengan seekor rusa. La Golo ingin memiliki kepandaian berlari seperti
seekor rusa. Setelah berunding dengan teman-temannya, akhimya ia berkata kepada rusa tersebut, Hai
rusa, maukah engkau mengajarkan ilmu larimu kepada kami?

Dengan senang hati, jawab rusa itu. Mereka berempat kini telah memiliki ilmu berlari secepat rusa.
Kemudian, mereka bertemu pula dengan seekor beruk yang sangat besar. Beruk itu pun diminta
mengajarkan ilmu memanjatnya. Beberapa waktu kemudian, mereka bertemu dengan seekor kerbau
liar yang tanduknya sangat kuat. Mereka merasa belum lengkap kalau belum memiliki ilmu ntumbu
(tumbuk kepala) yang dimiliki kerbau liar itu. Akhirnya, kerbau itu pun mengajarkan ilmu tumbuk
kepalanya.

Pada suatu hari, La Golo punya usul untuk mencari ikan di laut. Teman-temannya yang lain
menyetujuinya. Lalu, mereka berjalan menuju teluk kecil yang tenang airnya. Tugas pertama adalah
membendung teluk itu.

Tugas ini jatuh pada Sandari karena sandari berarti pagar pembatas air. Setelah air laut itu dibendung,
selanjutnya adalah tugas La Bonggo untuk mengeringkan airnya karena bonggo berarti mengeringkan
air. Dalam sekejap, air laut itu sudah kering dan tampak ikan-ikan menggelepar. Setelah itu La Ngepe
menpunyai tugas menangkap ikan-ikan itu. Ngepe dalam bahasa Bima berarti menangkap ikan. Setelah
ikan ditangkap, La Gololah yang mengumpulkan ikan-ikan itu.

Ketika mereka sedang beristirahat sambil memikirkan bagaimana cara memperoleh api untuk
membakar ikan-ikan itu, tampaklah asap api di kejauhan. La Golo meminta agar salah satu temannya
pergi ke tempat itu untuk membakar ikan. Tugas pertama jatuh pada Sandari. Asap yang mengepul itu
ternyata datang dari satu-satunya rumah di situ. Rumah itu milik sepasang raksasa, yaitu Ompu dan Wai
Ranggasasa (kakek dan nenek Raksasa).

Ketika sampai di situ, Sandari segera meminta izin untuk membakar ikannya. Jika diizinkan, sebagian
ikannya akan diberikan sebagai ucapan terima kasih. Dari dalam rumah terdengar jawaban yang
menakutkan, Bukan saja ikan yang akan aku makan, bahkan orangnya Pun akan aku lahap sampai
habis. Tunggu! Mendengar suara itu, Sandari lari tunggang langgang dan meninggalkan seluruh
ikannya. Sandari melaporkan kejadian itu kepada teman-temannya.

Sekarang, yang mendapat giliran pergi adalah La Ngepe dan La Bonggo. Pergilah kalian berdua cepati
Aku sudah lapar sekaiii perintah La Golo.

Keduanya pergi, masing-masing memikul ikan yang cukup banyak jumlahnya. Namun, mereka
mengalami nasib yang sama seperti Sandari. Masih terengah-engah mereka melaporkan kejadiannya
kepada La Golo. Akhirnya, La Golo pergi ke rumah Ompu dan Wai Ranggasasa, diikuti teman-temannya
yang lain.

La Golo pun mendapat jawaban yang sama dari kedua raksasa itu. Namun, La Golo tidak gentar
menghadapi Ompu Ranggasasa. Dengan suara yang lantang ia menantang Ompu Ranggasasa.

Ketika Ompu Ranggasasa siap menyerang, La Golo pun sudah bersiap-siap dengan ilmu ntumbu-nya.
Begitu raksasa itu menyerang, La Golo pun maju menyerudukkan kepalanya. Terjadilah benturan kepala
yang sangat keras. Raksasa itu menjerit kesakitan. Ompu Ranggasasa mati seketika. Demi keamanan,
Wai Ranggasasa pun dibunuhnya.

Mereka berempat kini menempati rumah raksasa itu. Dengan bebas, mereka membakar ikan di situ.
Ketika persediaan makanan telah habis, akhirnya mereka mengembara lagi. Sampailah mereka di
sebuah desa yang tidak terlalu ramai. Dari penduduk desa itu mereka mendengar bahwa di istana
sedang ada keramaian. Benar juga, orang di istana sedang bersenang-senang mengikuti berbagai
permainan.

La Golo pun ikut bertanding. Dengan ilmu lari yang diperoleh dari sang rusa, ia menjadi juara lari.
Dengan ilmu memanjat yang diajarkan oleh sang beruk, ia menjadi juara memanjat pohon pinang yang
telah dilumuri lemak. Cukup banyak hadiah yang diperolehnya.

Sekarang, tibalah gilirannya mengikuti sayembara ntumbu melawan jagoan istana. Dengan dukungan
teman-temannya dan dengan tekad yang bulat, akhimya La Golo maju. Ia duduk bersila dengan penuh
hormat di depan sang Raja menyatakan kesediaannya mengikuti ntumbu melawan jagoan istana.

Sebentar lagi perlombaan akan dimulai. Raja sendiri Yang akan memimpin jalannya perlombaan. Kepala
peserta lomba diikat dengan pita berwana kuning. Raja mempersilakan kedua pemain maju ke depan
berdiri berhadap-hadapan dalam jarak lima depa. Raja memberikan petunjuk tentang jalannya lomba.

Aba-aba sudah dimulai dan kedua pemain telah bersiap untuk berlaga. Bunyi arubana (rebana) yang
mengiringi pertarungan itu sudah sejak tadi bergema. Kepala mereka telah siap menyeruduk laksana
seekor kerbau liar. Ketika terdengar aba-aba dan bendera kuning telah dijatuhkan, La Golo lari dan
meloncat ke arah lawannya bak seekor kerbau liar, dan caaaaaaak! Kepala mereka telah beradu,
terdengarlah benturan yang amat keras. Jagoan istana itu tergeletak tak sadarkan diri. La Golo menjadi
pemenang pertandingan itu. Para penonton bersorak-sorai dan mengelu-elukan La Golo sang juara.

Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar kita tidak menjadi anak yang manja. Jika kita ingin pandai,
kita harus belajar/berguru kepada siapa pun. Keberhasilan seseorang diperoleh dari kerja keras, dan
selalu berdoa memohon hidayah dari Tuhan.
TAMPE RUMA SANI

Pendongeng | June 26, 2012 | Cerita Rakyat, Nusantara | 37 Comments

Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.

Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang
di kampungnya mengenal dia, sebab setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya
sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya yang masih kecil. Ia
memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.

Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari saya
lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?

Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya harus segera pulang menanak
nasi untuk ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan, jawab
Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.

Siapa nama adikmu?

Mahama Laga Ligo, jawab Tampe Rurna Sani. Mengapa bukan adikmu yang memasak?

Adikku masih kecil, belum bisa memasak. Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe
Ruma Sani.

Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku
mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu, kata janda itu
dengan manis.
Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah. Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah
mereka, dan menjadi ibu tirinya.

Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut
menumbuk padi. Setiap menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan
dengan yang hancur.

Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan
sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik,
lebih-lebih kalau ayahnya tidak berada di rumah.

Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan yang
enak-enak untuknya. Sedang untuk anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-
kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, Ayah dan ibu makan
nasi yang bagus dan ikannya yang enak-enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada
ikannya. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan
makanan kita Bu?

Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di kepala Mahama Laga Ligo,
jawab istrinya.

Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang
ayahnya datang. Hal yang demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe
Ruma Sani yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar
Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya
dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.

Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian! ancamnya.

Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak berani melaporkan kejadian itu
kepada ayahnya, karena takut ancaman ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi
meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu
tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi
mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan Mahama Laga Ligo pergi.

Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi. kafa
ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama
adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi. Ibu tirinya memang
sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat mengganggu.

Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya yang terus-menerus.

Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi
dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.

Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya
yang kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian
berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.

Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak, katanya dengan nada menghimbau.

Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang diberikan ibu tadi, kata
kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.

Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu
berada. Namun, di sekitar tempat itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang
dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu.
Bau itu temyata berasal dari bekal yang dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai
hati memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan
perasaan marah dan sedih.

Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan.
Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa
senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tidak
terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah
itu sedikit demi sedikit. Ternyata pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh
penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah
karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia
makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah dijamah manusia
maupun binatang.

Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.

Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka tertidur. Pada saat terbangun hari
telah pagi. Penghuni rumah itu belum juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka
heran, makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka makan sampai habis.

Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah
tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.

Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah
dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, Kak,
biarlah saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara saya pergi, kakak
di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu.

Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama, jawab kakaknya.

Tersebutlah hulubalang raja yang sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka sangat
heran di tengah hutan itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu tidak pernah ada seorang pun
berani tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu menaiki tangga rumah itu dan mengetuk pintunya.
Tampe Ruma Sani tidak berani menjawab, apalagi membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja
dengan sangat ketakutan. Dalam hati berdoa semoga adiknya cepat datang.

Karena ketukan pintunya tidak terjawab, maka hulubalang raja itu turun, dan memeriksa kolong rumah
itu. Ia melihat rambut yang terjurai di bawah kolong. Lalu, ia pun menarik rambut itu. Rambut itu adalah
rambut Tampe Ruma Sani. Ketika ditarik, ia merasa kesakitan dan berteriak. Hulubalang itu terkejut. Ia
lidak mengira, rambut itu rambut manusia. Ia segera kembali meminta agar pintu dibuka. Namun,
Tampe Ruma Sani tetap tidak mau membuka.

Hulubalang itu segera kembali ke kerajaan melaporkan peristiwa itu kepada raja.

Mendapat laporan yang demikian, raja bersama beberapa hulubalang yang lain segera menuju hutan di
mana rumah itu berada.

Raja meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak berani membukanya. Akhirnya,
pintu itu pun didobrak beramai-ramai. Tampe Ruma Sani berteriak ketakutan.

Jangan takut! Aku raja di negeri ini.

Pada saat itu, Mahama Laga Ligo datang. Saya datang, Kak. Bukalah pintu!

Tampe Ruma Sani membukakan pintu dan memperkenalkan sang raja dan para hulubalang. Dan mereka
pun dibawa ke istana dan Tampe Rurna Sani dijadikan permaisurinya.
erita Legenda Kalimantan

Legenda Batu Menangis


Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin
dan seorang anak gadisnya.

Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat
buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-
pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.

Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti.
Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan
keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar
desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak
gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar
orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya
berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena
mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan
yang berjalan itu adalah ibu dan anak.

Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka
begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak
puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan
dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.

Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada
gadis itu, "Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati
lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?"
"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan
perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau
budaknya.

Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih
dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang
amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu
berdoa.

"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya
memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini !
Hukumlah dia...."
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah
menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai
setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.

" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini.


Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.." Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon
kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya
berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua
matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang
berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut " Batu Menangis ".

Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa
kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang
telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat
hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
dan Kunjungi Kumpulan Cerita Rakyat yang lainnya..
Dongeng dari Jawa Tengah - Cerita Rakyat Joko Kendil

Pada zaman dahulu kala, di suatu desa terpencil di Jawa Tengah ada seorang janda miskin. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang bentuknya menyerupai periuk untuk menanak nasi. Di Jawa
Tengah, periuk untuk menanak nasi itu disebut kendil. Karena anak laki-laki itu menyerupai kendil maka
Ia dikenal dengan nama Joko Kendil.

Meskipun anaknya seperti kendil, namun sang ibu tidak merasa malu maupun menyesali, bahkan
sebaliknya Ia sangat menyayanginya dengan tulus.

Ketika masih kecil, Joko Kendil seperti anak-anak seusianya. Ia sangat jenaka sehingga disenangi teman-
temannya. Pada suatu hari ada pesta perkawinan di dekat desanya. Diam-diam Joko Kendil menyelinap
ke dapur.

"Aduh, ada kendil bagus sekali. Lebih baik untuk tempat kue dan buah-buahan," kata seorang ibu sambil
memasukkan bermacam-macam kue dan buah ke dalam kendil itu. Ia tidak tahu bahwa kendil itu
sebenarnya adalah manusia. Setelah terisi penuh, Joko Kendil perlahan-lahan menggelinding keluar.

"Kendil ajaib! Kendil ajaib! Teriak orang-orang yang melihat kejadian itu. Mereka berebutan memiliki
kendil ajaib itu. Joko Kendil pun semakin cepat menggelinding pulang ke rumah.

Setibanya di rumah, Joko Kendil Iangsung menemui ibunya. "Dari mana kau mendapat kue dan buah-
buahan sebanyak ini?" tanya ibunya penuh keheranan. Joko Kendil dengan jujur menceritakan apa yang
dialaminya. Semuanya itu bukan hasil curian melainkan pemberian ibu-ibu di dapur suatu pesta
perkawinan. Menurut mereka kendil yang indah itu Iebih tepat untuk menyimpan kue dan buah-buahan
daripada digunakan untuk menanak nasi.

Tahun demi tahun Joko Kendil bertambah umur dan semakin dewasa. Namun tubuhnya tidak berubah,
tetap seperti kendil. Pada suatu hari Joko Kendil menyampaikan keinginannya untuk segera menikah.
Tentu saja ibunya bingung, siapa yang mau menikah dengan anaknya yang berbentuk kendil. Ibunya
semakin bingung lagi ketika Joko Kendil menyatakan hanya mau menikah dengan puteri raja.
"Apa keinginanmu tidak keliru, anakku? Engkau anak orang miskin, bentuk tubuhmu seperti kendil.
Mana mungkin puteri raja mau menikah denganmu?"

kata ibunya. Tapi Joko Kendil tetap mendesak untuk segera melamarkan puteri raja untuknya. Akhirnya
pada hari yang ditentukan Joko Kendil dan ibunya menghadap raja.

Sang raja mempunyai tiga orang puteri yang cantik jelita. Ibu Joko Kendil dengah hati-hati
menyampaikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk melamar salah seorang puteri raja. Sang
raja sangat terkejut tetapi dengan bijaksana Ia menanyakan jawabannya kepada ketiga puterinya itu.

"Puteriku, Dewi Kantil, Dewi Mawar, dan Dewi Melati, adakah di antara kalian yang bersedia menerima
lamaran Joko Kendil?"

"Ayahanda, saya tidak sudi menikah dengan anak desa yang miskin itu," jawab Dewi Kantil ketus.

"Saya pun tidak mau menikah dengan makhluk aneh itu. Saya hanya mau menikah dengan putera
mahkota yang tampan dan kaya raya," jawab Dewi Mawar dengan nada sombong. Sang raja pun
mengalihkan pandangannya kepada Dewi Melati.

"Ayahanda, mohon restui saya. Lamarannya saya terima dengan sepenuh hati," jawab Dewi Melati.

Mendengar jawaban Dewi Melati mengagetkan itu, sang raja pun sejenak. Ia tidak mengerti apa yang
mendorong Dewi Melati bersedia menjadi istri Joko Kendil. Namun sebagai raja yang bijaksana Ia harus
menepati janjinya.
Cerita Rakyat Joko Kendil Dongeng Jawa Tengah

"Aku merestuimu, anakku," kata raja. Keputusan Dewi Melati ini Iangsung disampaikan kepada ibu Joko
Kendil. Akhirnya perkawinan Dewi Melati dan Joko Kendil pun dilangsungkan dengan meriah.

Mendengar jawaban Dewi Melati yang mengagetkan itu, sang raja pun tertegun sejenak. Ia tidak
mengerti apa yang mendorong Dewi Melati bersedia menjadi istri Joko Kendil. Namun sebagai raja yang
bijaksana Ia harus menepatijanjinya.

"Aku merestuimu, anakku," kata raja. Keputusan Dewi Melati ini langsung disampaikan kepada ibu Joko
Kendil. Akhirnya perkawinan Dewi Melati dan Joko Kendil pun dilangsungkan dengan meriah.

Joko Kendil pun resmi menjadi suami Dewi Melati dan mereka hidup berbahagia. Namun
kebahagiaannya selalu terganggu dengan ejekan dan cemoohan kedua kakaknya.

"Lihat, suami Dewi Melati jalannya menggelinding seperti bola," kata Dewi Kantil yang sengaja bicara
dengan keras agar terdengar oleh adiknya.

"Wajahnya jelek, tubuhnya aneh, Iebih tepat untuk tempat buang sampah saja," sambung Dewi Mawar.
Semua ejekan itu diterima dengan tabah dan penuh kesabaran oleh Dewi Melati.

Pada suatu hari, raja mengadakan perlombaan ketangkasan dan keterampilan menggunakan senjata
sambil berkuda. Seluruh keluarga kerajaan menyaksikan lomba itu. Akan tetapi Joko Kendil tidak terlihat
di arena perlombaan karena sakit. Dewi Melati pun duduk sendirian.
"Hore! Hore!" teriak para penonton membahana saat melihat para panglima dan pangeran dari berbagai
negeri memperlihatkan keahliannya.

Di tengah-tengah kemeriahan lomba ketangkasan, tiba-tiba penonton terpesona melihat kedatangan


seorang ksatria tampan dan gagah perkasa yang sedang memasuki arena. Ia mengenakan pakaian
kerajaan yang gemerlapan dan naik kuda tunggangan yang gagah perkasa pula. Dewi Kantil dan Dewi
Mawar Iangsung terpesona hatinya dan berusaha menarik perhatian pangeran itu. Mata mereka melirik
Dewi Melati yang duduk termangu sendirian.

Dongeng dari Jawa Tengah - Cerita Rakyat Joko Kendil

"Hanya kita yang pantas bersanding dengan Pangeran tampan itu. Lihat, adik kita sedang termenung
memikirkan kendil pujaannya," ejek Dewi Mawar sambil mencibir ke arah Dewi Melati. Karena tak tahan
menerima ejekan kedua kakaknya maka Dewi Melati pun meninggalkan arena perlombaan dan lari
kekamarnya.

Ketika masuk kamar, Dewi Melati tidak melihat suaminya yang terbaring sakit, melainkan hanya melihat
sebuah kendil yang kosong. "Kendil ini yang membuatku selalu dihina sehingga membuatku sedih. Lebih
baik kuhancurkan saja!" teriak Dewi Melati sambil menghempaskan kendil itu ke Iantai sampai hancur
berkeping-keping. Seketika itu juga tiba-tiba di hadapannya muncul seorang ksatria yang sangat tampan
dan gagah perkasa persis pangeran berkuda yang mempesona di arena lomba.

"Siapa kamu, mengapa ada di kamarku?" tanya Dewi Melati terkejut. "Akulah Joko Kendil suamimu,"
ucap sang Pangeran. Sang Pangeran pun menceritakan bahwa tubuhnya yang berbentuk kendil itu
adalah kehendak Dewata. Tubuhnya akan kembali seperti semula apabila ada seorang puteri raja yang
tulus bersedia menikah dengannya. Dewi Melati begitu takjub mendengar cerita itu dan Iangsung
memeluk suaminya dengan bahagia. Kejadian itu membuat Dewi Kantil dan Dewi Mawar malu sekaligus
iri atas keberuntungan adiknya.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Joko Kendil Dongeng Jawa Tengah adalah Kita tidak boleh menghina
orang yang nasibnya kurang beruntung. Seharusnya kita menolongnya dengan tulus dan ikhlas. Kita
harus menghargai sesama tanpa berprasangka buruk.
Temukan Cerita Rakyat Jawa Tengah terbaik lainnya pada artikel kami berikut ini Cerita Dongeng Anak :
Ande-Ande Lumut

Kumpulan-Kumpulan Cerita Rakyat : Legenda Pulau Nusa

Kumpulan Cerita Rakyat Legenda Nusantara Pulau Nusa

Tersebutlah seorang lelaki bernama Nusa. Ia tinggal di pinggir Sungai Kahayan bersama istri dan adik
iparnya. Nusa setiap hari menggarap sawah dan juga menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.

Suatu ketika terjadi musim kemarau yang terus berkepanjangan. Sungai dan mata air mengering. Aneka
tanaman merenggas dan layu. Seperti halnya warga lainnya, Nusa merasakan kesulitan yang sangat
dalam musim kemarau yang berkepanjangan itu. Tanaman di sawahnya layu dan mati, diapun kesulitan
untuk mencari ikan di sungai yang surut airnya itu. Nusa pun berkehendak untuk pindah ke daerah lain
yang masih mempunyai sumber air untuk mendapatkan kehidupan yang lebih balk. Setelah menyiapkan
bekal secukupnya, Nusa mengajak istri dan adik iparnya untuk berangkat. Dengan menaiki sebuah
perahu kecil, mereka menuju hilir Sungai Rungan.

Perjalanan mereka menuju hilir Sungai Rungan itu tidak dapat lancar mereka lakukan. Sebatang pohon
besar yang tumbang menghalangi laju perahu mereka. Satu-satunya cara agar mereka dapat
meneruskan perjalanan adalah memotong batang pohon besar itu. Nusa dan adik iparnya segera
bekerja memotong batang pohon itu dengan kapak. Sangat besar batang pohon itu hingga Nusa dan
adik iparnya harus bekerja keras selama berjam-jam. Akibatnya, Nusa merasa lapar yang sangat. Nusa
berkehendak mencari makanan di hutan untuk menghemat bekal mereka yang tidak seberapa. Nusa lalu
mengajak adik iparnya menuju hutan.

Nusa menemukan telur yang cukup besar. Sekitar dua kali ukuran telur angsa. Nusa tidak mengetahui
telur apa yang ditemukannya itu. Ia kemudian merebus telur itu dan memakannya sendirian karena istri
dan adik iparnya tidak mau memakannya. Istrinya bahkan menyarankan agar Nusa tidak memakan telur
itu. Namun, Nusa tetap bersikeras untuk memakannya.

Di tengah malam, Nusa terbangun dari tidurnya. Ia merasakan tubuhnya gatal luar biasa. Di sekujur
tubuhnya juga terlihat bintik- bintik kemerah-merahan. Nusa telah menggaruk bagian-bagian tubuhnya,
namun tidak juga mereda rasa gatal yang dirasakannya. Segera dibangunkannya istri dan adik iparnya
untuk membantunya menggaruk. Namun demikian, Nusa tetap merasa gatal. Berbagai cara telah
dilakukan, tetap juga rasa gatal yang dirasakan Nusa itu tidak juga berkurang. Adik ipar Nusa yang
kebingungan lantas mencari bantuan ke perkampungan terdekat.

Keesokan paginya tubuh Nusa mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Bintik-bintik berwarna
kemerah-merahan di sekujur tubuh Nusa telah berubah menjadi sisik-sisik. Tubuh Nusa dari bagian
perut hingga kaki telah juga memanjang hingga menyerupai bentuk naga. Hanya bagian wajah hingga
dadanya saja yang masih menyerupai manusia. Dalam keadaan seperti itu Nusa pun berujar pada
istrinya, "Aku rasa, semua yang terjadi pada diriku ini bermula dari telur yang kumakan. Telur itu tentu
telur naga. Sungguh, aku menyesal karena tidak mendengarkan nasihatmu. Namun, bagaimanapun
halnya, penyesalanku tidak lagi berguna. Tuhan telah menakdirkan aku menjadi naga. Aku harus
menerima takdirku ini"

Istri Nusa hanya bisa bersedih hati mendapati kejadian yang menimpa suaminya. Sementara warga yang
dimintai tolong adik ipar Nusa akhirnya berdatangan. Mereka terheran-heran mendapati wujud Nusa
tanpa bisa melakukan suatu tindakan apapun untuk menolong Nusa.

Di hadapan semuanya, Nusa berpesan, malam nanti akan turun hujan yang sangat lebat disertai angin
badai yang dahsyat. Guntur dan petir akan sambar-menyambar: Air sungai Rungan akan meluap hingga
membanjiri daerah-daerah di sekitar sungai Rungan itu. Nusa juga berpecan agar istrinya, adik iparnya,
dan juga segenap warga mengungsi ke daerah yang aman. Nusa lantas meminta agar tubuhnya yang
telah berubah menjadi naga dengan panjang lebih dari tiga kali pohon kelapa itu digulingkan ke sungai.
Ia tidak tahan dengan terik panas sinar matahari. Naga jelmaan Nusa itu lantas berenang menuju muara
Sungai Kahayan.

Pesan Nusa terbukti benar. Pada malam harinya keadaan di daerah itu persis seperti yang dipesankan
Nusa. Hujan turun sangat deras, angin badai dahsyat menerjang, diiringi guntur dan petir yang sambung-
menyambung. Permukaan Sungai Rungan terus meninggi dengan cepat. Banjir pun terjadi. Ketinggian air
di daerah itu bahkan melebihi tingginya pepohonan. Istri Nusa, adik ipar Nusa, dan warga yang
mendengarkan pesan Nusa dapat selamat setelah mengungsi di tempat yang aman.

Banjir besar di Sungai Rungan menyebabkan tubuh Nusa terbawa arus hingga akhirnya ia tiba di Sungai
Kahayan. Sebelum menuju lautan luas, Nusa berkehendak berdiam di sebuah teluk yang dalam. Ia pun
memangsa ikan-ikan yang berada di teluk itu. Ikan-ikan yang berdiam di muara Sungai Kahayan itu
menjadi cemas dengan kehadiran Nusa. Dengan nafsu makannya yang luar biasa, para ikan khawatir,
Nusa akan memangsa mereka semua. Para ikan lantas bertemu dan berunding untuk mencari cara agar
terbebas dari malapetaka yang diakibatkan Nusa itu. Ikan saluang tampil dengan rencananya yang
akhirnya disetujui oleh para ikan.

Ikan saluang lalu menghampiri Nusa untuk mewujudkan rencananya. Ia sebutkan kepada Nusa, bahwa di
laut luas ada seekor naga besar yang hendak menantang Nusa. Katanya, "Tuan Naga, naga di laut itu
ingin mengadu kesaktian dengan Tuan untuk membuktikan siapa naga terkuat."

Nusa sangat geram mendengar laporan ikan saluang. "Seberapa besar naga di taut itu?" tanyanya.

"Sesungguhnya naga itu tidak sebesar Tuan Naga," jawab ikan saluang. "Namun keberaniannya sungguh
luar biasa tinggi. Ia sangat terusik dengan kehadiran Tuan Naga di muara Sungai Kahayan ini. Menurut
kabar yang saya dengar, naga itu tengah menuju ke muara Sugai Kahayan ini untuk menyerang Tuan
Naga!"

Bertambah-tambah kegeraman Nusa. Ingin segera didatanginya naga itu dan mengadu kekuatan
dengannya. Namun, ikan saluang menyarankan agar Nusa menunggu saja di muara Sungai Kahayan itu.
"Hendaklah Tuan Naga menyimpan tenaga untuk menghadapi naga besar itu di tempat ini. Jika Tuan
Naga mencarinya di Laut luas, bisa jadi Tuan Naga akan ketelahan. Bukankah naga itu bisa

mengalahkan Tuan Naga jika Tuan Naga ketelahan?"

Nusa setuju dengan saran ikan saluang. Berhari-hari Nusa terus menunggu kedatangan naga besar dari
taut dengan sikap waspada. Selama menunggu itu ia tidak berani tidur. Ia khawatir naga di laut itu akan
menyerangnya ketika ia tengah tertidur. Karena telah berhari-hari tidak tidur, Nusa menjadi sangat
mengantuk. Tertidurlah ia tak lama kemudian.

Ketika mengetahui Nusa tertidur, ikan saluang mendekati ekor Nusa. Berteriaklah ia sekeraskerasnya,
"Bangun Tuan Naga! Musuhmu telah datang! Musuhmu telah datang!"
Nusa terperanjat mendengar teriakan ikan saluang. Cepat ia memutarkan kepalanya. Gerakannya yang
tiba-tiba itu membuat air sungai bergolak-golak. Ia menyangka bergolaknya air sungai itu disebabkan
kedatangan musuhnya yang akan menyerangnya. Padahal, bergolaknya air itu disebabkan oleh gerakan
ekornya sendiri. Nusa langsung menyerang. Digigitnya ekornya sendiri yang disangkanya musuhnya itu
hingga ekornya terputus!

Nusa menjerit kesakitan ketika ekornya putus. Ikan saluang segera memanggil ikan-ikan lainnya untuk
menggigiti luka pada tubuh Nusa. Nusa yang tidak berdaya kian kesakitan akibat gigitan ikan-ikan itu.
Kekuatan tubuhnya terus melemah dan ia pun akhirnya tewas setelah kehabisan darah. Seluruh ikan
terus memangsa dagingnya hingga hanya tersisa tulang-belulang Nusa.

Tulang-belulang Nusa akhirnya tertimbun oleh lumpur dan tanah. Aneka pepohonan kemudian tumbuh
di tempat itu hingga akhirnya terbentuk sebuah pulau. Warga menyebut pulau di muara Sungai Kahayan
itu dengan nama Pulau Nusa.

Pesan Moral dari Kumpulan-Kumpulan Cerita Rakyat : Legenda Pulau Nusa adalah kita hendaklah
mendengarkan saran dan nasihat orang lain demi kebaikan diri kita sendiri. Orang yang keras kepala
dengan mengabaikan saran kebaikan akan merasakan kerugian sendiri di kemudian hari.

3. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara


Indonesia : Legenda Batu Menangis

Cerita Rakyat Legenda Nusantara Batu Menangis


Syahdan hiduplah seorang janda miskin pada masa lampau, Mak Dasah namanya.
Ia tinggal

di sebuah gubug reyot di pinggir hutan. Mata pencahariannya sehari-hari adalah


bekerja di ladang sempit peninggalan mendiang suaminya. Sepulang dari
berladang, Mak Dasah biasa mencari kayu bakar di hutan. Kayu-kayu bakar itu
lantas dijualnya di perkampungan penduduk yang jauh letaknya dari tempat
tinggalnya.

Mak Dasah mempunyai seorang anak gadis. Jelita namanya. Sesuai namanya,
wajah Jelita amatlah cantik. Sayang, Jelita sangat pemalas. Hari-harinya
dihabiskannya untuk berdandan dan bercermin. Ia sangat mengagumi kecantikan
dirinya. Meski berulangu kali Mak Dasah mengingatkan agar dia merubah
kelakuannya itu, namun Jelita

enggan menuruti nasihat ibunya. Ia tetap sangat malas, enggan membantu


kerepotan ibunya.

Selain pemalas, Jelita juga sangat manja. Apapun yang dikehendakinya harus
dituruti ibunya. Jika tidak dituruti, Jelita akan marahmarah. Meski begitu buruk
kelakuan anaknya, Mak Dasah tetap sayang dengan anak perempuannya itu. Meski
sangat kerepotan, namun Mak Dasah akan berusaha sekuat tenaga untuk
memenuhi setiap permintaan Jelita. Namun, Jelita senantiasa meminta dan terus
meminta, dia tidak peduli dengan keadaan ibunya.

Pada suatu hari Mak Dasah mengajak Jelita ke pasar. Jelita mau diajak ke pasar
dengan memberikan syarat, "Aku tidak mau berjalan bersama dengan Ibu. Ibu
harus berjalan di belakangku." Mak Dasah terpaksa menuruti permintaan

anak gadisnya itu.

Jelita berangkat ke pasar dengan mengenakan pakaian terbaru sekaligus terbaik


yang dimilikinya. Ia juga berdandan secantik-cantiknya seperti jika ia hendak
menghadiri sebuah pesta. Ia lantas berjalan di depan ibunya yang mengenakan
pakaian lusuh. Ibu dan anak itu begitu jauh berbeda dalam penampilan hingga
orang yang tidak mengenal mereka tentu tidak akan menyangka jika mereka
sesungguhnya ibu dan anak.

Tersebutlah seorang pemuda yang bertanya pada Jelita, "Wahai gadis cantik,
apakah wanita berbaju lusuh yang berjalan di belakangmu itu ibumu?"

Jelita sejenak memandang pemuda yang bertanya padanya Tampan wajah pemuda
itu. Melihat ketampanan pemuda itu, Jelita tiba-tiba merasa sangat malu mengakui
Mak Dasah selaku ibu kandungnya. "Bukan!" katanya. "Ia bukan ibuku, melainkan
pembantuku."

Betapa sedih dan sakit hati Mak Dasah ketika mendengar jawaban anak
perempuannya. Dinasihatinya agar Jelita tidak berani lagi berkata seperti itu. "Jelita,
anakku. Aku ini ibumu, orang yang melahirkanmu. Sungguh, sangat durhaka
kelakuanmu jika engkau berani menganggapku sebagai pembantumu! Sadarlah
engkau, wahai anakku."

Namun, Jelita tak menganggap nasihat ibunya. Ia bahkan kian menjadi-jadi.


Kepada orang-orang yang bertanya padanya selama dalam perjalanan itu, Jelita
senantiasa tegas menjawab jika perempuan tua yang berjalan di belakangnya itu
adalah pembantunya.

Hati dan perasaan Mak Dasah sangat seperti teriris sembilu. Ketika ia tidak lagi
dapat menahan kesakitan hatinya, berdoalah Mak Dasah, kepada Tuhan, "Ya
Tuhan, hamba tidak lagi menahan penghinaan anak harnba ini! benar telah
membatu hati anak hamba ini, karena itu, Ya Tuhan, hukumlah anak hamba
durhaka itu menjadi batu!"

Doa Mak Dasah dikabulkan.


Tak berapa lama kemudian kedua kaki Jelita berubah menjadi batu. Jelita sangat
takut. Betapa mengerikannya perasaan yang dialaminya ketika mendapati kedua
kaki berubah menjadi batu. la kian ketakutan mendapati pinggangnya pun berubah
membatu. Sadarlah ia, semua itu terjadi karena kedurhakaan besarnya kepada
ibunya. Maka dia pun berteriak-teriak, "Mak, ampuni aku! Ampuni aku! Ampuni
kedurhakaan anakmu ini, Mak"

Namun, semuanya telah terlambat bagi Jelita. Mak Dasah hanya terdiam. Sama
sekali Mak Dasah tidak berusaha mengabulkan permohonan anaknya yang telah
berbuat durhaka terhadapnya. Ia merasa telah cukup mengalami penderitaan yang
diakibatkan anaknya itu. Hingga akhirnya seluruh tubuh Jelita berubah menjadi batu.

Batu jelmaan Jelita itu terus meneteskan air seperti air mata penyesalan yang
menetes dari mata Jelita. Orang-orang yang mengetahtui adanya air yang terus
menetes dari batu itu kemudian menyebutnya Batu Menangis

Pesan Moral Dari Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Indonesia Batu Menangis
adalah Durhaka terhadap kedua orang tua akan berbuah kemurkaan Tuhan kepada
pelakunya. Kita hendaknya senantiasa menghormati orangtua dan patuh terhadap
nasihat mereka.

Batu Batangkup

Pada zaman dahulu, di sebuah desa. Tinggallah seorang Janda yang bernama Mbok Minah. Ia tinggal
dengan kedua anaknya. Anak yang pertama seorang Laki-laki dan anak Mbok Minah yang ke dua
seorang perempuan.

Contoh Cerita Rakyat Indonesia Legenda Batu Batangkup

Mbok Minah selalu bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya. Ia selalu pergi ke hutan untuk
mencari kayu bakar dan di jual ke pasar. Hasil dari penjualannya tersebut di gunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Kedua anaknya sangat nakal dan pemalas. Kerjaannya hanya main-main saja. Mereka tidak pernah
membantu Mbok Minah. Mereka selalu membantah perkataan emaknya dan membuat Mbok Minah
sedih dan menangis.

Mbok Minah sudah tua dan sakit-sakitan. Namun, kedua anaknya selalu bermain tanpa mengenal waktu
dan kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.

"Yaaa Tuhan, hamba. Sadarkanlah anak hamba yang tidak pernah ingin menghormati ibunya," Mbok
Minah berdoa di antara tangisnya.

Pada suatu hari. Mbok Minah memanggil kedua anaknya. Namun, Kedua anaknya tidak menghiraukan
panggilan ibunya tersebut malah asik bermain. Mbok Minah pun terus memanggil kedua anaknya. Dan
tetap sama, mereka sama sekali tidak menghiraukan panggilannya. Akhirnya, mbok Minah pergi ke
dapur untuk membuatkan makanan, meskipun badannya terasa sangat lemas.

Tidak lama kemudian, makanan sudah siap. Mbok Minah segera memanggil kedua anaknya. Anak-
anakku ayo pulang. Makanan sudah siap. Ujar Mbok Minah. Mendengar makanan sudah siap, mereka
langsung berlari menuju dapur. Mereka makan dengan sangat lahap dan menghabiskan semua makanan
tanpa menyisakan sedikitpun untuk emaknya. Mbok Minah menahan rasa laparnya. Kedua anaknya
kembali bermain dan sama sekali tidak membantu Mbok Minah mencuci piring.

Ketika malam semakin larut. Sakitnya Mbok Minah semakin parah. Namun, anaknya sama sekali tidak
mempedulikannya sampai Mbok Minah tertidur sangat lelap.

Suatu hari. Mbok Minah menyiapkan makanan yang sangat banyak untuk kedua anaknya. Setelah itu,
Mbok Minah langsung pergi ke tepi sungai mendekati sebuah batu. Aneh.nya batu tersebut dapat
berbicara. Batu tersebut juga bisa membuka lalu menutup kembali seperti karang. Orang-orang di desa
tersebut menyebutnya Batu Batangkup
Mbok Minah mendatangi Batu Batangkup dengan perasaan sangat sedih.

Wahai Batu yang dapat bicara. Saya sudah tidak sanggup hidup dengan kedua anak yang sudah
durhaka kepada orang tuanya. Kedua anak yang tidak pernah mempedulikan keberadaanku dan tidak
pernah menghormati orang tuanya. Aku mohon. Tolong telanlah aku sekarang juga. Kata Mbok Minah
menangis.

Apakah engkau tidak menyesal dengan permintaan mu ini Mbok Minah? Bagaimana nasib kedua
anakmu nanti? jawab Batu Batangkup.

Aku tidak akan pernah menyesal. Mereka bisa hidup sendiri. Mereka juga tidak pernah menganggapku
dan peduli pada emaknya. Kata Mbok Minah.

Baiklah Mbok Minah. Jika itu mau mu. Akan aku kabulkan.

Dalam sekejap, Batu Batangkup langsung menelan Mbok Minah, dan meninggalkan rambut panjangnya.

Kedua anaknya pun merasa heran. Karena tidak bertemu dengan emaknya dari pagi. Namun, mereka
tetap tidak mempedulikan emaknya. Karena makanan yang lumayan banyak. Mereka hanya makan dan
kembali bermain. Namun, setelah dua hari makanan pun habis. Mereka mulai kebingungan dan mulai
merasa lapar. Sudah dua hari berlalu. Namun, emaknya belum juga kembali

Keesokkan harinya, mereka mencari Mbok Minah sampai menjelang malam. Namun, tidak bisa
menemuka emaknya. Keesokkan harinya lagi. Mereka mencari di sekita sungai. Mereka melihat Batu
Batangkup dan melihat ujung rambut Mbok Minah yang terurai. Mereka segera berlari menghampiri
Batu Batangkup tersebut.
Wahai Batu Batangkup. Tolong keluarkan emak kami. Kami sangat membutuhkan emak kami. Ratap
mereka sedih.

Tidak!! Aku tidak akan mengeluarkan Mbok Minah keluar dari perutku. Kalian membutuhkannya
karena lapar. Kalian tidak menyayangi dan menghormati emak kalian. Jawab Batu Batankup.

Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak, janji mereka.

Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup. Namun, tindakan mereka hanya sebentar.
Setelah itu mereka kembali pada kebiasaan lamanya, pemalas, tidak mau membantu emaknya, tidak
menghargai dan menghormati orang tua. Dan kerjaannya hanya bermain dan bermain.

Mbok Minah merasa sangat sedih karena kejadian sebelumnya terulang kembali. Ia pun memutuskan
kembali untuk di telan oleh Batu Batangkup. Namun, kedua anaknya asik bermain dari pagi sampai
menjelang sore. Mereka pun menyadari dan tidak melihat emaknya.

Keesokan harinya, mereka mendatangi Batu Batangkup dan kembali menangis dan memohon agar
emaknya di keluarkan kembali. Namun, Batu Batangkup sangat marah.

Kalian anak-anak yang tidak tahu di untung. Kalian hanya anak nakal yang bisanya Cuma main dan
main. Sekarang penyesalan kalian tidak aka nada gunanya. Kata Batu Batangkup dengan nada tinggi.

Batu Batangkup pun langsung menelan kedua anak nakal tersebut masuk kedalam tanah. Mereka pun
sampai sekarang tidak pernah kembali.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Indonesia : Batu Batangkup adalah hormati dan sayangi kedua orang
tuamu karena kesuksesan dan kebahagianmu dimasa depan akan sangat tergantung dari doa mereka.

Cerita Rakyat Indonesia : Menak Jingga dan


Damar Wulan

damar wulan dan menak jingga

Menakjingga adalah seorang adipati di daerah Blambangan. Terkenal sakti


mandraguna dirinya. Ia mempunyai pusaka yang luar biasa ampuh lagi bertuah.
Gada Wesi Kuning namanya. Merasa dirinya sakti dan juga mempunyai senjata
yang luar biasa ampuh, Menakjingga menjadi sosok yang angkuh, kejam, lagi
sewenang-wenang. Apapun juga yang dikehendakinya harus terwujud dalam
kenyataan. Ia akan mengamuk sejadi jadinya jika keinginannya tidak dituruti.

Suatu hari Adipati Menakjingga mengirimkan utusan ke Kerajaan Majapahit. Adipati


Menakjingga hendak melamar penguasa Majapahit, Ratu Ayu Kencana Wungu,
yang belum bersuami itu. Ratu Ayu Wungu Wungu menolak pinangan Adipati
Menakjingga itu. Sang ratu tak ingin diperistri adipati yang congkak, kejam, lagi telah
banyak mempunyai istri itu.

Tak terkirakan kemarahan Adipati Menakjingga ketika utusannya kembali ke


Kadipaten Blambangan dan menyatakan lamaran sang adipati ditolak Ratu
Majapahit. Tanpa berpikir panjang, Adipati Menakjingga segera memerintahkan
segenap prajurit Blambangan untuk bersiap-siap guna menyerang Majapahit.
Adipati Menakjingga Iangsung memimpin penyerangan tersebut.

Perang dahsyat segera meletus setelah kekuatan Majapahit dikerahkan untuk


menghadapi kekuatan Blambangan. Adipati Menakjingga mengamuk dalam
peperangan dahsyat itu. Dengan senjata Gada Wesi Kuning saktinya, ia
menghadapi ratusan prajurit Majapahit yang ditugaskan untuk meringkusnya. Benar-
benar menggetarkan kesaktian Adipati Menakjingga, karena dengan sekali tebasan
Gada Wesi Kuning-nya, belasan hingga puluhan prajurit Majapahit tewas
karenanya.

Para prajurit Majapahit akhirnya mundur karena tidak sanggup menghadapi amukan
Adipati Menakjingga dan juga keperkasaan para prajurit Blambangan. Ratu Ayu
Kencana Wungu sangat bersedih mendapati kekalahan para prajuritnya. Ia pun
lantas bersemedi, memohon petunjuk dari Dewa untuk mengatasi masalah besar
yang tengah dihadapinya tersebut. Petunjuk itu pun didapatkan sang ratu.
`Menakjingga akan binasa jika berhadapan dengan pemuda bernama Damar
Wulan!"

Ratu Ayu Kencana Wungu lantas memerinhkan Patih Logender untuk mencari
pemuda bernama Damar Wulan. Sosok pemuda yang dimaksud akhirnya
diketemukan. la tinggal jauh di luar kotaraja Majapahit. Dia segera diiringkan untuk
menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu di istana kerajaan Majapahit.

"Damar Wulan," kata Ratu Ayu Kencana wungu setelah Damar Wulan duduk
bersimpuh di hadapannya, "kuperintahkan engkau untuk melenyapkan Adipati
Menakjingga yang telah merusuh dan menyebabkan kerusakan di Majapahit. Bawa
kepala Menakjingga di hadapanku sebagai wujud rasa baktimu pada Majapahit dan
juga diriku!"

"Hamba, Gusti Prabu."


Setelah menghaturkan sembahnya, Damar Wulan segera menuju Blambangan
seorang diri. Seketika tiba di alun-alun Kadipaten Blambangan, Damar Wulan lalu
menantang bertarung Adipati Menakjingga. Tak terkirakan kemarahan Adipati
Menakjingga. Segera dilayaninya tantangan Damar Wulan. Setelah melalui
pertarungan yang sengit, Adipati Menakjingga mampu mengalahkan Damar Wulan.
Damar Wulan pingsan terkena hantaman Gada Wesi Kuning. Para prajurit
Blambangan lantas menangkap dan memenjarakan Damar Wutan di penjara
Kadipaten Blambangan. Pertolongan akhirnya tiba bagi Damar Wulan. Tanpa
diduganya, dua selir Adipati Menakjingga memberikan bantuannya. Dewi Wahita
dan Dewi Puyengan nama kedua selir tersebut. Keduanya sesungguhnya sangat
membenci Adipati Menakjingga. Mereka sangat berharap Damar Wulan mampu
membunuh Adipati Menakjingga agar diri mereka terbebas dari penguasa Kadipaten
Blambangan yang kejam lagi sewenang-wenang itu.

Dewi Wahita dan Dewi Puyengan membuka rahasia kesaktian Adipati Menakjingga.
"Rahasia kesaktian Adipati Menakjingga berada pada Gada Wesi Kuningnya," kata
mereka. "Tanpa senjata sakti andalannya itu, niscaya engkau akan dapat
mengalahkannya."

Damar Wulan meminta tolong kepada Dewi Wahita dan Dewi Puyengan untuk
mengambil senjata andalan Adipati Menakjingga tersebut. Dengan diam-diam, Gada
Wesi Kuning itu akhirnya berhasil diambil dua selir Adipati Menakjingga tersebut.
Gada Wesi Kuning lantas diserahkan kepada Damar Wulan. Dengan bersenjatakan
Gada Wesi Kuning, Damar Wulan pun kembali menantang Adipati Menakjingga.

Pertarungan antara Adipati Menakjingga dan Damar Wulan kembali terjadi. Sangat
seru pertarungan mereka. Akhirnya Adipati Blambangan yang terkenal sombong,
kejam, lagi sewenang-wenang itu menemui kematiannya setelah tubuhnya terkena
hantaman Gada Wesi Kuning. Kepalanya dipenggal. Damar Wulan lantas
membawa potongan kepala Adipati Menakjingga kembali ke Majapahit.
Sesungguhnya perjalanan Damar Wulan ke Blambangan itu diikuti oleh dua anak
Patih Logender yang bernama Layang Seta dan Layang Kumitir. Keduanya
mengetahui keberhasilan Damar Wulan menjalankan titah Ratu Ayu Kencana
Wungu. Keduanya lantas merencanakan siasat licik untuk merebut potongan kepala
Adipati Menakjingga dan mengakui sebagai pembunuh Adipati Menakjingga di
hadapan Ratu Ayu Kencana Wungu. Dengan demikian mereka berharap akan
mendapatkan hadiah yang sangat besar dari penguasa takhta Majapahit itu.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Majapahit, Damar Wulan dicegat Layang Seta
dan Layang Kumitir. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Damar Wulan
dikeroyok dua saudara kandung anak Patih Logender tersebut. Pada suatu
kesempatan, mereka berhasil merebut kepala Adipati Menakjingga dan bergegas
meninggalkan Damar Wulan. Setibanya di istana Majapahit, Layang Seta dan
Layang Kumitir segera menghadap Ratu Ayu Kencana Wungu. Mereka menyatakan
bahwa mereka telah berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga. Mereka lantas
menyerahkan potongan kepala Adipati Menakjingga kepada Ratu Ayu Kencana
Wungu.

Sebelum Ratu Ayu Kencana Wungu berujar; datanglah Damar Wulan. Damar Wulan
menyatakan keberhasilannya mengalahkan Adipati Menakjingga dan memenggal
kepalanya. "Ampun Gusti Prabu, di tengah jalan hamba dihadang dua orang dan
potongan kepala Adipati Menakjingga itu berhasil mereka rebut."

Ucapan Damar Wulan segera disanggah Layang Seta dan Layang Kumitir yang
menyatakan jika mereka itulah yang berhasil mengalahkan Adipati Menakjingga.
Damar Wulan akhirnya mengetahui jika dua orang itulah yang menghadangnya dan
merebut potongan kepala Adipati Menakjingga.

Perselisihan antara Damar Wulan dan dua anak Patih Logender itu purl kian
memanas. Ratu Ayu Kencana Wungu menengahi perselisihan itu. Katanya, "Untuk
membuktikan pengakuan siapakah di antara kalian yang benar, maka selesaikan
secara jantan. Bertarunglah kalian. Siapa yang menang di antara kalian, maka
dialah yang benar."

Pertarungan antara Damar Wulan melawan Layang Seta dan Layang Kumitir
kembali terjadi. Kebenaran itu akhirnya terbuka setelah Damar Wulan berhasil
mengalahkan kakak beradik anak Patih Logender tersebut. Layang Seta dan
Layang Kumitir akhirnya mengaku bahwa yang mengalahkan Adipati Menakjingga
sesungguhnya Damar Wulan. Meski mereka telah mengakui, namun tak lepas pula
mereka dari hukuman. Ratu Ayu Kencana Wungu memerintahkan prajurit untuk
memenjarakan Layang Seta dan Layang Kumitir karena telah berani berdusta
kepadanya.

Ratu Ayu Kencana Wungu kemudian memberikan hadiah yang luar biasa bagi
Damar Wulan. Damar Wulan diperkenankan Ratu Ayu Kencana Wungu untuk
menikahinya. Pesta pernikahan antara Ratu Ayu Kencana Wungu dan Damar
Wulan pun dilangsungkan secara besar-besaran. Segenap rakyat Majapahit
bergembira karena ratu mereka akhirnya bersuami. Suami sang ratu adalah sosok
yang terbukti besar rasa baktinya kepada Majapahit karena berhasil mengalahkan
Adipati Menakjingga yang telah memporak-porandakan kedamaian dan
ketenteraman Majapahit.

Pesan Moral Cari Cerita Rakyat Indonesia Damar Wulan dan Menak Jingga adalah
Kebenaran pada akhirnya akan terbuka meski berusaha untuk ditutup-tutupi. Begitu
pula dengan kejahatan akan tersingkap pula meski berusaha ditutupi serapat
mungkin. Kebenaran akan mendapatkan kebaikan di kemudian hari.
Cerita Rakyat Indonesia : Joko Dolog
Tersebutlah seorang pangeran dari Madura Situbondo namanya. Ia putra Adipati
Cakraningrat. Pada suatu hari Pangeran Situbondo berlayar ke Kadipaten Surabaya
dengan diiringi Gajah Seta dan Gajah Menggala. Ia disambut dengan ramah oleh
Adipati Jayengrana, sang Adipati Surabaya.
Maksud kedatangan Pangeran Situbondo ketika itu adalah untuk melamar
Purbawati, putri Adipati Jayengrana.

Adipati Jayengrana mempersilakan putrinya untuk menjawab sendiri lamaran yang


ditujukan kepadanya itu. Purbawati sesungguhnya tidak mencintai Pangeran
Situbondo. Cintanya hanya pada Pangeran Jaka Taruna dari Kadipaten Kediri.
Namun, untuk menolak lamaran Pangeran Situbondo, Purbawati merasa tidak enak
hati. Masalahnya, ayahandanya dan ayahanda Pangeran Situbondo sangat karib
persahabatannya. Jika ia langsung menyatakan penolakannya, ia khawatir
persahabatan antara ayahandanya dan ayahanda Pangeran Situbondo akan putus.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi peperangan antara Surabaya dan
Madura itu!

Purbawati lantas menolak secara halus. Katanya kepada Pangeran Situbondo, "Aku
bersedia diperistri Kanda Pangeran Situbondo, asalkan Kanda Pangeran Situbondo
dapat membuka hutan di wilayah Kadipaten Surabaya ini. Hutan yang dibuka itu
kelak akan menjadi tempat hunian anak keturunan kami."

Syarat Purbawati itu, meski sesungguhnya sangat berat karena hutan itu terkenal
angker dan berbahaya, disanggupi Pangeran Situbondo. Dengan kesaktiannya,
Pangeran Situbondo sangat yakin mampu melaksanakan syarat yang diajukan putri
Adipati Jayengrana yang sangat dicintainya itu, Pangeran Situbondo lantas
membuka hutan seperti yang dikehendaki Purbawati. Ketika Pangeran Situbondo
tengah membuka hutan, datanglah Pangeran Jaka Taruna ke Kadipaten Surabaya.
Sangat terperanjat ia ketika mengetahui Pangeran Situbondo tengah membuka
hutan sebagai syarat sebelum memperistri kekasih hatinya. Ia lantas memberanikan
diri menghadap Adipati Jayengrana untuk melamar Purbawati. Kepada Adipati
Jayengrana, Pangeran Jaka Taruna menyatakan jika ia dan Purbawati telah lama
menjalin hubungan kasih.
Adipati Jayengrana tampak kebingungan. Agak menyesal ia mengapa Pangeran
Jaka Taruna terlambat datang sehingga Pangeran Situbondo telah tertebih dahulu
melaksanakan sayembara yang diminta Purbawati. Adipati Jayengrana kembali
menyerahkan sepenuhnya masalah itu kepada putrinya mengingat hubungan
baiknya dengan Adipati Kediri dan juga dengan ayahanda Pangeran Situbondo.

Purbawati lantas meminta Pangeran Jaka Taruna yang dicintainya itu untuk turut
membuka hutan. Pangeran Jaka Taruna lalu turut membuka hutan di dekat tempat
Pangeran Situbondo tengah membuka hutan. Tak terkirakan kemarahan Pangeran
Situbondo ketika mendapati Pangeran Jaka Taruna turut membuka hutan.
Perselisihan antara dua putra Adipati itu pun tak terelakkan lagi disusul dengan
pertarungan yang sengit. Kedua pangeran itu saling menumpahkan kesaktiannya
untuk sating mengalahkan demi mendapatkan Purbawati. Kesaktian Pangeran
Situbondo masih di atas Pangeran Jaka Taruna. Pangeran Situbondo mampu
memukul putra Adipati Kediri itu hingga tubuh Pangeran Jaka Taruna terpental jauh
membumbung hingga tersangkut pada dahan pohon yang sangat tinggi. Pangeran
Situbondo lantas meninggalkan tempat itu begitu saja.

Pangeran Jaka Taruna berteriak-teriak meminta tolong karena tidak mampu


melepaskan diri dari kondisi yang menjeratnya. Suara teriakannya keras menggema
di hutan belantara itu. Namun, tidak ada yang datang menolongnya mengingat
hutan belantara tersebut jarang dilewati orang. Pangeran Jaka Taruna terus
berteriak-teriak meminta tolong. Syandan, lewatlah seorang pemuda di hutan
belantara itu. Jaka Jumput namanya. Ia tengah mencari bahan-bahan untuk racikan
obat-obatannya. Mendengar teriakan Pangeran Jaka Taruna, Jaka Jumput segera
memberikan pertolongannya. Dengan kesaktiannya, Jaka Jumput berhasil
melepaskan dan menurunkan Pangeran Jaka Taruna.

Pangeran Jaka Taruna lalu menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia juga


meminta agar Jaka Jumput membantunya untuk mengalahkan Pangeran Situbondo.
"Jika hamba bisa mengalahkan Pangeran Situbondo," kata Jaka Jumput, "apa
imbalan yang akan hamba dapatkan?"

"Apapun juga yang engkau kehendaki, niscaya aku akan memberikannya," jawab
Pangeran Jaka Taruna.

"Baiklah," kata Jaka Jumput.

Jaka Jumput lantas mencari Pangeran Situbondo. Seketika ditemukannya, Jaka


Jumput lalu menantang Pangeran Situbondo. Tak terkirakan kemarahan Pangeran
Situbondo mendapat tantangan Jaka Jumput. Keduanya segera terlibat dalam
pertarungan yang sangat seru, sementara Pangeran Jaka Taruna hanya menonton
dari kejauhan. Jaka Jumput ternyata benar-benar tangguh. Amat tinggi
kesaktiannya. Meski Pangeran Situbondo mengerahkan segenap kemampuan dan
kesaktiannya, tak berdaya pula pada akhirnya menghadapi Jaka Jumput. Pangeran
Situbondo lantas melarikan diri setelah merasa kalah. Ia terus berlari, tidak kembali
ke Madura melainkan ke sebuah wilayah di sebelah timur dari Kadipaten Surabaya.
Wilayah itu di kemudian hari disebut sesuai dengan nama pangeran dari Madura
tersebut, Situbondo.

Ketika mendapati Pangeran Situbondo telah kalah dan melarikan diri, Pangeran
Jaka Taruna bergegas kembali ke Kadipaten Surabaya. Segera ia menghadap
Adipati Jayengrana dan menyatakan jika ia telah mengalahkan Pangeran
Situbondo.

"Benar engkau mengalahkan Pangaeran Situbondo?" tanya Adipati Jayengrana.

"Benar, Paman Adipati," sahut Pangeran Jaka Taruna. "Setelah kami bertarung,
Pangeran Situbondo dapat hamba kalahkan. Ia terus berlari ke arah timur tanpa
berani lagi menghadapi hamha. Dengan ini hamba mohon perkenan Paman Adipati
untuk memberikan restu kepada hamba yang ingin menyunting putri Paman."
Namun, kebohongan Pangeran Jaka Taruna seketika itu terbongkar ketika Jaka
Jumput juga datang di Kadipaten Surabaya dan menyergah, "Bohong! Pangeran
Jaka Taruna telah berbohong kepada Paduka, Kanjeng Adipati!"

Adipati Jayengrana terperanjat mendengar sergahan Jaka Jumput. Tanyanya,


"Bagaimana maksudmu dengan menyebut Pangeran Jaka Taruna berbohong?"

"Hamba yang mengalahkan Pangeran Situbondo, Kanjeng Adipati," jawab Jaka


Jumput. Ia lantas menceritakan kejadian yang dialaminya sejak ia bertemu dengan
Pangeran Jaka Taruna yang tersangkut di dahan pohon tinggi hingga akhirnya
mengalahkan Pangeran Situbondo.

Pangeran Jaka Taruna mati-matian menyanggah ucapan Jaka Jumput. Ia terus


mengemukakan kebohongan demi kehohongan untuk menutupi kebohongan yang
diucapkannya sebelumnya.

Adipati Jayengrana segera menengahi perselisihan pendapat antara Pangeran Jaka


Taruna dan Jaka Jumput. "Apa bukti yang kalian miliki jika kalian sama-sama
mengaku mengalahkan Pangeran Situbondo?"

Pangeran Jaka Taruna tidak mempunyai bukti. Ia hanya meminta agar Adipati
Jayengrana memercayai penjelasannya. Berbeda dengan Pangeran Jaka Taruna,
Jaka Jumput mempunyai bukti berupa keris milik Pangeran Situbondo. Bukti itu pun
diserahkan Jaka Jumput kepada Adipati Jayengrana.

Adipati Jayengrana memeriksa keris itu. Katanya kemudian, "Benar, keris ini milik
Pangeran Situbondo."

Pangeran Jaka Taruna amat malu karena kebohongannya telah terbongkar. Namun,
dia tetap bersikeras menyatakan jika dirinyalah yang mengalahkan Pangeran
Situbondo. Bahkan, untuk membuktikan kesaktiannya, dia menantang Jaka Jumput
untuk bertarung.
"Baiklah," kata Adipati Jayengrana. "Siapa di antara kalian yang menang, maka
berhak is menyunting putriku."

Pangeran Jaka Taruna dan Jaka Jumput segera terlibat dalam pertarungan yang
seru. Pangeran Jaka Taruna bersenjatakan keris pusakanya, sementara Jaka
Jumput menghadapinya dengan senjata andalannya berupa cambuk yang diberinya
Hama Kyai Gembolo Geni. Beberapa saat terlibat dalam pertarungan, Pangeran
Jaka Taruna tak mampu menandingi kesaktian Jaka Jumput. Tubuh Pangeran Jaka
Taruna tergeletak di atas tanah setelah terkena cambuk sakti Kyai Gembolo Geni.
Pangeran Jaka Taruna kalah.

"Hei Pangeran Jaka Taruna!" seru Adipati Jayengrana, "Telah terbukti engkau
membohongiku! Betapa beraninya engkau berbohong kepadaku dengan mengaku
mampu mengalahkan Pangeran Situbondo!"

Pangeran Jaka Taruna hanya terdiam. Ia benar-benar malu. "Mengapa engkau


hanya terdiam saja, hei Pangeran Jaka Taruna?" tanya Adipati Jayengrana dengan
perasaan jengkel. "Mengapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?"

Pangeran Jaka Taruna tetap terdiam. Adipati Jayengrana kian jengkel mendapati
Pangeran Jaka Taruna tetap terdiam. "Jaka Taruna!" seru Adipati Jayengrana,
"Mengapa engkau hanya diam seperti patung?"

Keajaiban pun terjadi. Ucapan Adipati Jayengrana menjadi kenyataan. Tubuh


Pangeran Jaka Taruna seketika itu berubah menjadi patung yang di kemudian hari
dinamakan patung Joko Dolog.

PESAN MORAL CERITA RAKYAT INDONESIA JOKO DOLOG ADALAH


JANGANLAH KITA MEMBIASAKAN DIRI UNTUK BERBOHONG KARENA JIKA
KITA BERBOHONG KITA AKAN KEMBALI BERBOHONG UNTUK MENUTUIPI
KEBOHONGAN KITA SEBELUMNYA. BAGAIMANAPUN JUGA, KEBOHONGAN
ITU AKAN TERBONGKAR KARENA SERAPAT-RAPATNYA BANGKAI ITU
DITUTUPI, NISCAYA BAU BUSUKNYA AKAN TERCIUM PULA.

Cerita Rakyat Indonesia : Legenda Candi Prambanan (Lara Jongrang)

Prabu Baka adalah Raja Prambanan yang terkenal sakti. Sosoknya berupa raksasa yang mengerikan.
Meski sosoknya berupa raksasa, dia mempunyai anak perempuan yang sangat cantik wajahnya. Rara
Jonggrang nama anak perempuan Prabu Baka itu.

Cerita Rakyat Indonesia Asal Mula Candi Prambanan - Lara Jongrang

Syandan, Kerajaan Prambanan diserang oleh Kerajaan Pengging yang dibantu Bandung Bondowoso yang
terkenal sakti. Bandung Bondowoso mampu mengalahkan Prabu Baka dalam pertarungan yang sangat
seru. Prabu Baka tewas terkena senjata Bandung Bondowoso. Kerajaan Prambanan dikuasai Bandung
Bondowoso.

Ketika Bandung Bondowoso melihat Rara Jonggrang, dia langsung jatuh hati. Ia pun melamar Rara
Jonggrang untuk diperistrinya. Rara Jonggrang sesungguhnya tidak bersedia diperistri oleh Bandung
bondowoso yang telah membunuh ayah kandung tercintanya. Namun, untuk Iangsung menolaknya,
Rara Jonggrang tidak berani. Ia mengetahui kesaktian Bandung Bondowoso. Dia bisa celaka jika menolak
lamaran Bandung Bondowoso yang pemarah itu. Ia lantas mencari cara agar urung diperistri Bandung
Bondowoso. Katanya, "Aku bersedia engkau peristri, namun aku mempunyai syarat untuk itu."

"Apa syarat yang engkau kehendaki?"

"Aku ingin engkau membuatkan seribu candi dan dua sumur yang sangat dalam," jawab Rara Jonggrang.
"Semua itu harus engkau selesaikan dalam semalam. Jika engkau dapat melakukannya, aku bersedia
engkau peristri."
Baik" Bandung Bondowoso menyanggupi permintaan Rara Jonggrang. "Aku akan memenuhinya.'

Bandung Bondowoso mengerahkan kesaktiannya. Dipanggilnya seluruh bala tentara makhluk gaib yang
pernah ditaklukkannya. Bandung Bondowoso meminta makhluk-makhluk gaib itu membantunya
membuat seribu candi dan dua sumur yang sangat dalam waktu semalam.

Bala tentara makhluk gaib menyatakan kesediaannya. Mereka lantas bekerja keras. Sangat luar biasa
cara kerja mereka, amat cepat. Candi-candi terwujud dalam waktu singkat. Jumlahnya terus meningkat.
Begitu pula dengan dua sumur yang sangat dalam itu. Melewati tengah malam, ratusan candi telah
berdiri. Dua sumur itu juga telah dalam. Mereka terus bekerja keras untuk mewujudkan permintaan
Rara Jonggrang.

Rara Jonggrang sangat khawatir mendapati kenyataan itu. Menurut perkiraannya, Bandung Bondowoso
akan mampu mewujudkan kehendaknya. Candi-candi terus dibuat dalam kecepatan yang menakjubkan.
Dua sumur yang sangat dalam itu juga hampir selesai. Bergulirnya sang waktu menuju fajar masih
terbilang cukup bagi Bandung Bondowoso untuk merampungkan pembuatan seribu candi dan dua
sumur yang sangat dalam itu. Kian khawatir Rara Jonggrang ketika mendapati jumlah candi yang dibuat
telah melebihi sembilan ratus sembilan puluh candi. Lantas, apa yang harus dilakukannya untuk
menggagalkan usaha Bandung Bondowoso?

Setelah sejenak memikirkan cara, Rara Jonggrang lantas membangunkan gadis-gadis Prambanan. Rara
Jonggrang meminta gadis-gadis to untuk membakar jerami di wilayah Prambanan sebelah timur.
Sebagian gadis-gadis itu dimintanya pula untuk menumbuk padi dan juga menaburkan berbagai jenis
bunga yang harum baunya.

Bala tentara makhluk gaib sangat terperanjat mendapati cahaya menyemburat berwarna kemerah-
merahan di sebelah timur. Mereka juga mencium harum aneka bunga. Kian kaget pula mereka saat
mendengar bunyi lesung dipukul, Semua ciri-ciri itu menunjukkan jika waktu pagi telah tiba. Mereka pun
bergegas pergi karena takut. Padahal, sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi telah selesai, hanya
tinggal satu candi lagi untuk mewujudkan permintaan Rara Jonggrang. Meski hanya tinggal satu candi
lagi, namun Bandung Bondowoso tidak mungkin dapat membuatnya tanpa bantuan hantuan bala
tentara makhluk gaib.

lara jonggrang dikutuk menjadi arca ke 1000

Tak terkirakan kemarahan Bandung Bondowoso. Ia tahu, hari masih terhitung malam. Waktu pagi belum
datang. la juga mengetahui, semua itu dilakukan Rara Jonggrang untuk menggagalkan usahanya. Jelas
dia menangkap keengganan Rara Jonggrang untuk diperistrinya. Dengan kemarahan yang meluap,
Bandung Bondowoso pun mengeluarkan kutukannya. Gadis-gadis Prambanan yang membantu Rara
Jonggrang untuk menggagalkan usahanya dikutuknya menjadi perawan-perawan tua. Kepada Rara
Jonggrang, Bandung Bondowoso berujar, "Hei Rara Jonggrang! Seribu candi yang engkau minta hampir
selesai, hanya tinggal satu candi lagi, Karena engkau telah melakukan kecurangan untuk menggagalkan
usahaku, maka jadilah engkau arca dalam candi ke seribu!"

Seketika itu tubuh Rara Jonggrang membatu menjadi arca. Arca tersebut lantas diletakkan di dalam
ruang candi besar yang hingga kini disebut candi Lara Jonggrang,

Pesan Moral dari cerita adalah memaksakan kehendak dan juga kecurangan akan membuahkan kerugian
di kemudian hari, kita hendaklah berani mengungkapkan kebenaran meski sangat pahit sekalipun.

Kumpulan Cerita Anak Indonesia : Asal Muasal Selat Nasi

Cerita Anak Indonesia Asal Muasal Selat Nasi

Datuk Kaya dan istrinya, Cik Wan, adalah keluarga yang menguasai sebuah pulau yang bernama Pulau
Subi. Mereka mempunyai seorang putri yang cantik dan balk hati bernama Nilam Sari.

Kecantikan dan budi pekerti halus Nilam Sari tersiar ke negeri-negeri tetangga. Permaisuri Kerajaan
Palembang ingin meminang Nilam sari untuk putranya. Ia mengirimkan utusan untuk menyampaikan
pinangan kepada keluarga Datuk Kaya.
Pinangan Kerajaan Palembang diterima dengan baik oleh Datuk Kaya dan Cik Wan. Oleh karena itu,
ditetapkanlah tanggal pernikahan, yaitu tanggal 10 Safar, tak jauh setelah waktu pinangan.

Menjelang tanggal pernikahan, Cik Wan mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan putrinya.
Rakyat saling bahu-membahu membantu. Pada hari pernikahan, semuanya sudah lengkap. Semua
hiasan dan makanan sudah tersedia. Berdandang-dandang nasi sudah siap untuk disajikan.

Namun, menjelang sore bahkan sampai malam, rombongan mempelai laki-laki tak kunjung datang. Cik
Wan menenangkan suaminya agar tidak marah.

"Sabarlah, Pak. Siapa tahu mereka ada halangan di jalan," kata Cik Wan.

Rombongan pengantin laki-laki baru datang pada tanggal 13 Safar. Kedua mempelai segera dinikahkan
saat itu juga. Cik Wan kebingungan, karena semua makanan sudah basi. Ia tidak tahu harus
menghidangkan apa.

"Biarkan saja mereka makan nasi basi itu!""kata Datuk Kaya marah.

"Jangan Pak, tidak baik. Lebih balk kita buat hidangan baru saja ya untuk mereka;" bujuk Cik Wan.

Datuk Kaya tetap bersikeras agar para tamu diberi makanan basi saja. Cik Wan diberitahu oleh salah
seorang anggota keluarga mempelai laki-laki bahwa kapal mereka diterjang badai, sehingga mereka
terpaksa berlindung selama beberapa hari di sebuah pulau sampai badai reda. Namun, informasi itu
tidak diterima oleh Datuk Kaya, dan ia juga tidak mau mendengar alasan apa pun.

Akhirnya Cik Wan mulai marah dengan sikap suaminya.


"Jika masih berkeras juga, berarti talak satu untukku!" kata Cik Wan pada suaminya.

Datuk Raya murka, "Kuberikan tiga talak untukmu sekaligus!" Lalu ia menghamburkan nasi basi itu
memanjang menyerupai sebuah selat.

"Kita bercerai sebatas nasi basi ini!" teriak Datuk Kayo.

Tiba-tiba badai datang. Air laut setinggi gunung menghantam Pulau Subi sehingga terbelah menjadi dua.
Bagian yang kecil merupakan milik Cik Wan dan bagian yang lebih besar merupakan bagian Datuk Kaya.
Sementara itu, selat yang membelah keduanya kemudian disebut Selat Nasi.

Cerita Rakyat Singkat dari Sumatera Barat : Kisah Malim Deman

Syahdan hiduplah seorang pemuda yatim piatu pada zaman dahulu kala. Malim Deman namanya. Dia
pemuda yang rajin giat bekerja dan baik budinya. Setiap hari dia mengerjakan sawah dan ladang milik
ibunya yang berada dipinggir hutan. Dia bekerja membantu pamannya.

Di sekitar sawah milik ibu Malim Deman itu tinggal seorang janda tua. Mandeh Rubiah namanya. Malim
Deman sangat akrab dengan janda tua itu. Bahkan, Mandeh Rubiah telah mengaggap Malim Deman
sebagai anaknya sendiri. Mandeh Rubiah kerap mengirimkan makanan kepada Malim Deman ketika
Malim Deman tengah menjaga tanaman padinya pada malam hari.

Pada suatu malam Malim Deman kembali menjaga tanaman padinya. Dia hanya seorang diri ditengah
sawah. Dia merasa sangat haus. Malim Deman segera ke pondok Mandeh Rubiah untuk meminta air
minum. Belum juga Malim Deman tiba di pondok Madeh Rubiah, Malim Deman mendengar suara
beberapa perempuan di belakang pondok Mandeh Rubiah. Dengan berjalan berjingkat-jingkat, Malim
Deman segera menuju sumber suara yang sangat mencurigakan tersebut.

Cerita Rakyat Singkat Hikayat Malim Deman


Terperanjatlah Malim Deman ketika melihat tujuh bidadari tengah mandi di kolam yang terletak di
belakang pondok Mandeh Rubiah. Malim Deman sangat terpesona melihat kecantikan tujuh bidadari itu
ketika wajah mereka terkena sinar rembulan yang tengah purnama. Malim Deman juga melihat tujuh
selendang tergeletak di dekat kolam itu. Malim Deman menerka, tujuh selendang itu digunakan para
bidadari untuk terbang dari khayangan ke kolam itu. Maka, dengan berjalan mengendap-endap dia
mendekati tujuh selendang itu dan mengambil salah satu selendang. Segera disembunyikan selendang
itu dan dia kembali mengintip tujuh bidadari yang tetap mandi tersebut.

Menjelang waktu pagi datang, tujuh bidadari itu berniat kembali ke khayangan. Salah satu bidadari,
yakni bidadari bungsu, tidak dapat menemukan selendangnya. Enam kakaknya telah berusaha turut
membantu mencari selendang itu, namun hingga menjelang fajar selendang milik bidadari bungsu tetap
tidak ditemukan. Karena matahari sebentar lagi terbit, enam bidadari yang telah mendapatkan
selendang dengan terpaksa meninggalkan adik bungsu mereka. Keenamnya menggunakan selendang
mereka masing-masing untuk terbang kembali ke Khayangan.

Sepeninggalan kakak-kakaknya, si bungsu menangis. Dia ketakutan untuk tinggal dibumi Malim Deman
lantas mendekati dan menghibur si bidadari bungsu. Malim Deman kemudian mengajak bidadari itu
kerumah Mandeh Rabiah. Dengan hati gembira Mandeh Rabiah menerima bidadari bernama Putri
Bungsu itu dan mengakuinya sebagai anak.

Malim Deman kembali ke rumahnya setelah mengantarkan bidadari bernama Putri Bungsu ke rumah
Mandeh Rabiah. Sesampainya di rumah, Malim Deman menceritakan kejadian yang dialaminya kepada
ibundanya. Dijelaskannya pula adanya bidadari yang tinggal bersama Mandeh Rabiah. Malim Deman lalu
memberikan selendang bidadari itu kepada ibunya untuk disimpan. Malim Deman meminta ibunya
untuk menyembunyikan selendang itu selamanya.

Sejak saat itu Malim Deman kian rajin berkunjung ke rumah Mandeh Rabiah untuk menemui Putri
Bungsu. Malim Deman dan Putri Bungsu tampaknya saling jatuh cinta. Keduanya lantas menikah. Tidak
beberapa lama mereka dikarunia seorang anak laki-laki. Malim Deman memberi nama Sutan Duano
untuk nama anak lelakinya itu.
Putri Bungsu semula sangat berbahagia bersuamikan Malim Deman. Namun sejak Sutan Duano lahir,
perangai Malim Deman menjadi berubah. Malim Deman malah lebih banyak menghabiskan waktunya di
arena perjudian. Dia sangat senang menyabung ayam dengan menggunakan taruhan. Begitu senangnya
dia dengan perjudian hingga seringkali dia tidak pulang berhari-hari lamanya.

Putri Bungsu menjadi sangat bersedih melihat perangai buruk suaminya. Dia kadang menangis sendiri
meratapi nasibnya. Kerinduannya untuk pulang kembali ke kahyangan kembali muncul. Semakin lama
rasa itu semakin besar. Hingga pada suatu saat dia menemukan selendang miliknya di rumah ibu Malim
Deman. Dia berpura-pura hendak menjemur selendang itu. Seketika dia membawa selendang itu
kerumahnya. Putri Bungsu kemudian menemui Bujang Karim pegawai Malim Deman. Tolong kau
sampaikan kepada Malim Deman, aku akan kembali ke Kahyangan dengan membawa Sutan Duano.

Bujang Karim segera cepat mencari Malim Deman ke arena perjudian. setelah bertemu diceritakannya
pesan dari Putri bungsu kepada Malim Deman.

Malim Deman panik dengan terburu-buru dia segera kembali ke rumah untuk menemui istri dan
anaknya. Namun terlambat. Sesampainya dirumah, istri dan anaknya sudah tidak ada. Istrinya telah
membawa anak kesayangannya kembali ke Kahyangan. Malim Deman hanya dapat menyesali kepergian
anak dan istrinya. Benar-benar dia sangat menyesal. Namun penyesalan hanya penyesalan, apa yang
telah terjadi tidak dapat diulang lagi. Akibat sikap buruknya dia harus kehilangan keluarga yang
dicintainya.

Pesan Moral dari Cerita Rakyat Singkat Hikayat Malim Deman adalah berjudi hanyalah akan merugikan
diri sendiri dan keluarga di kemudian hari. Hendaknya kita menghidari perbuatan buruk tersebut agar
tidak mengalami kerugian di kemudian hari. Kita juga harus berhati-hati dalam bertindak karena
penyesalan dikemudian hari tidak ada gunanya.

Anda mungkin juga menyukai