Anda di halaman 1dari 6

UNSUR EKSTRINSIK

CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI

1. Nilai sosial
Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut karena
pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.
2. Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain tetapi
harus saling menghormati.
3. Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya
seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
4. Nilai Pendidikan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan sekuat
tenaga dan selalu berdoa.
5. Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai- nilai dalam masyarakat.
Hikayat
Pulau Kapal dari Bangka Belitung

Alkisah, pada zaman dahulu, ada sebuah keluarga yang sangat miskin bertempat tinggal di dekat
Sungai Cerucuk, Bangka Belitung. Keluarga itu terdiri dari ayah dan ibu yang sudah tua renta serta
seorang pemuda.
Pemuda itu bernama Kulup. Ia dan kedua orang tuanya memang hidup sangat miskin. Tapi,
mereka tak pernah merasa menderita. Sang ayah bekerja sebagai pencari kayu bakar, sementara ibunya
bekerja di ladang.
Kulup setiap hari membantu pekerjaan ayah dan ibunya. Ia membantu dengan sangat rajin agar
sang ayah dan ibu tak merasa kelelahan. Mereka hidup bahagia di tengah kondisi keuangan yang jauh
dari kata cukup.
Pada suatu pagi, seperti biasa sang ayah pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ia juga ingin
mencari rebung untuk dimasak. Saat menebang rebung, ia menemukan sebatang tongkat yang berada di
rumpun bambu.
Ia mengamati tongkat itu, tapi tampaknya tak ada yang spesial. Lalu, ia pun mencoba
membersihkan tongkat itu. Setelah dibersihkan, rupanya tongkat itu berhiaskan intan permata yang
mengkilau dan sangat mwah.
“Wah, tongkat siapa ini? Kenapa tampak sangat indah sekali dengan hiasan intan permata,” ucap
pria tua itu.
Ia merasa bingung dengan apa yang harus dilakukannya dengan tongkat itu. Pada akhirnya, ia pun
memutuskan tuk membawanya pulang saja. “Ah, lebih baik aku membawanya pulang dulu. Aku kan
menanyakan pada Kulup dan istriku,” ucapnya dalam hati.
Setibanya di rumah, pria tua itu semakin bingung karena rumahnya sepi. Istrinya dan Kulup masih
di ladang untuk bekerja. Ia lalu bergegas pergi ke ladang yang letaknya tak jauh dari rumah.
Saat sudah dekat, sang ayah berteriak memanggil istrinya. “Istriku! Istriku! Kemarilah, aku punya
sesuatu,” teriaknya.
“Kulup, ada apa dengan ayahmu? Kenapa ia berteriak?” tanya sang ibu pada Kulup.
“Entahlah, Bu. Sepertinya ayah membawa sesuatu,” jawab Kulup sambil melihat sang ayah.
“Istriku, Kulup, lihatlah, Ayah menemukan sesuatu saat mencari rebung,” ucap sang ayah sambil
menunjukkan tongkat itu.
“Betapa cantiknya tongkat ini, Suamiku. Siapa pemiliknya?” ucap sang istri.
“Bagaimana kalau kita kembalikan saja ke pemiliknya?” imbuhnya.
“Aku pun tak tahu siapa pemiliknya. Aku menemukannya di antara pohon bambu,” ucap sang
suami.
“Bagaimana kalau kita simpan saja tongkat ini? Barangkali pemiliknya merasa kehilangan dan
mencarinya?” imbuhnya.
“Tapi, mau disimpan di mana tongkat berharga ini, Pak? Kita tidak punya lemari yang cukup aman
untuk menyimpan benda ini. Sayang sekali bila tongkat ini dicuri oleh orang lain,” jelas Kulup.
Mereka pun terdiam sejenak di pinggir ladang sambil memikirkan apa yang harus diperbuat
dengan tongkat itu. Tak lama kemudian, Kulup mendapatkan ide.
“Bagaimana kalau kita menjualnya saja, Yah? Barangkali ada orang yang mau membelinya dengan
harga tinggi. Dengan begitu, kita bisa memperbaiki gubuk kita,” ucap Kulup.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya mereka sepakat untuk menjual tongkat temuan itu. “Aku
akan pergi ke kota  di negeri seberang besok untuk menjual tongkat ini,” ucap Kulup pada kedua orang
tuanya.
Keesokan harinya, Kulup berpamitan pada ayah dan ibunya untuk pergi ke kota. “Ayah, Ibu, aku
pergi dulu ke kota untuk mencari saudagar kaya yang mau membeli tongkat ini. Jika sudah menemukan
pembelinya, aku akan segera pulang,” ucap Kulup yang kemudian mencium tangan kedua orang
tuanya.
“Berhati-hatilah, Nak. Jangan sampai kau kenapa-kenapa. Pulanglah dengan selamat,” ucap sang
ibu sambil membawakan bekal untuk Kulup.
Lalu, berangkatlah Kulup ke kota dengan tongkat yang telah ia simpan rapat-rapat di dalam
karung. Ia menaiki perahu dan melewati Sungai Cerucuk agar tiba di negeri seberang. Setibanya di
kota, ia menemukan sebuah toko yang menjual barang-barang antik.
Ia pun memasuki toko itu dan menunjukkan tongkatnya pada sang penjual. “Tuan, aku ingin
menjual tongkat ini. Kira-kira berapa uang yang bisa kudapatkan?” tanya Kulup sambil mengeluarkan
tongkatnya.
Ada saudagar kaya yang berada di toko itu tak sengaja melihat tongkat milik Kulup. “Wah, bagus
sekali tongkat milikmu, aku tertarik untuk membelinya,” ucap sang saudagar.
Kulup menerima uang yang sangat banyak atas penjualan tongkat itu. Namun, bukannya pulang ke
rumah, ia malah tetap tinggal di kota itu. Ia membeli rumah mewah dan berteman dengan para saudagar
di sana.
Bahkan, ia menjadi menantu dari saudagar paling kaya raya di kota tersebut. Maka, kekayaan
Kulup pun semakin bertambah. Kepada sang istri dan mertuanya, Kulup mengaku bila ia adalah anak
dari saudagar kaya di negeri yang jauh.
Sementara itu, orang tua Kulup sepanjang hari mendambakan kepulangan sang anak. Bukan karena
uang, tapi mereka mencemaskan kondisi anaknya yang tak kunjung ada kabar.
“Sudah hampir 1 tahun anak kita tak pulang. Apakah ada hal buruk yang menimpanya?” tanya
sang istri pada suaminya.
“Tak usah berpikir yang tidak-tidak, Istriku. Mari berdoa saja agar anak kita Kulup senantiasa
sehat dan segera pulang,” jawab sang suami.
“Baiklah, Suamiku,” ucap sang istri dengan raut wajah bersedih.
Setelah bertahun-tahun lamanya, mertua Kulup memintanya tuk berlayar ke Negeri lain di dekat
Sungai Cerucuk, yang mana itu adalah kampung halaman Kulup. “Menantuku, berlayarlah ke negeri di
Sungai Cerucuk. Bawalah binatang ternak untuk perbekalan. Lalu, dapatkanlah sumber daya alam di
sana yang bisa kita jual di sini,” ucap mertua Kulup.
Kulup terdiam sesaat. Ia tak sanggup bila identitas aslinya terkuak saat kembali ke kampung
halaman. Namun, ia tak dapat menolak permintaan sang mertua.  Ditambah lagi, sang istri ingin ikut
berlayar.
“Izinkan aku ikut Suamiku ke negeri seberang ya, Yah. Aku tak sanggup bila harus berjauhan
dengan Suamiku,” ucap sang istri.
Tentu saja sang mertua tak bisa menolak. Begitu pula si Kulup yang hanya bisa menuruti perkataan
istri dan mertuanya.
Keesokan harinya, berangkatlah Kulup ditemani istri dan para pengawal menggunakan kapal yang
sangat mewah ke Sungai Cerucuk. Sepanjang perjalanan, Kulup hanya terdiam. Ia kalut memikirkan
nasibnya ketika sampai di kampung halaman.
“Suamiku, ada apa denganmu? Kenapa kau tampak gundah gulana?” tanya sang istri.
“Tak mengapa, Istriku. Aku hanya sedang tak enak badan,” ucapnya berbohong.
Setelah sehari semalam perjalanan, tibalah rombongan kapal itu di muara Sungai Cerucuk. Di atas
kapal, Kulup melihat keadaan sekitar. “Rupanya desa dekat sungai ini sudah banyak berubah,”
gumamnya.
“Apa katamu, Suamiku? Aku tak mendengarnya,” tanya sang istri.
“Ah, tidak apa-apa, Istriku. Aku hanya mengagumi pemandangan di sini,” ucap Kulup.
Para warga desa terkesima dengan kemegahan kapal itu. Lalu, salah satu penduduk ada yang
mengenali Kulup.
“Bukankah itu Kulup? Anak dari pasangan tua yang setiap hari mengharapkan kepulangannya?”
tanya penduduk itu pada temannya.
“Benar. Wah, dia sekarang sudah menjadi kaya raya. Kita harus segera mengatakan berita baik ini
pada ayah dan ibunya,” ucap kedua warga itu.
Mereka lalu bergegas menemui ayah dan ibu Kulup. Betapa bahagianya mereka mendapati
anaknya masih hidup. “Oh, Anakku. Akhirnya kau pulang juga, Ibu sangat rindu,” ucapnya usai
mendengar kabar baik itu sambil meneteskan iar mata.
Pasangan tua renta itu pun bergegas pergi ke muara sungai Cerucuk. Mereka juga membawa
makanan kesukaan sang anak.
Setibanya di muara, sang ibu menangis dan bersujud syukur. “Syukurlah anakku Kulup masih
hidup. Terima kasih, Tuhan,” ucapnya sambil menangis.
Ayah Kulup lalu memanggil-manggil anaknya dari bawah perahu. “Anakku, Kulup, kemarilah,
Nak, kami merindukanmu,” teriak sang ayah.
Namun, Kulup tampak mengabaikan suara itu. Ia berpura-pura tak mendengar panggilan sang
ayah.
Lalu, gantian sang ibu yang meneriakkan namanya. “Kulup! Kulup! Ini Ibu dan Ayahmu, Nak.
Kamu senang karena akhirnya kau pulang,” ucap sang ibu.
Kali ini, Kulup tak bisa mengabaikan suara ibunya yang lantang itu. Ia lalu menoleh ke arah ibu
dan ayahnya. “Apakah mereka benar ayah dan ibumu?” ucap sang istri.
“Tapi kenapa penampilan mereka compang-camping? Katamu, kau anak saudagar kaya?” ucap
sang istri lagi.
“Bukan! Aku tak punya orang tua sekumuh itu! Mereka hanya mengaku-ngaku saja,” jawab
Kulup.
“Kulup, Anakku. Sayangku. Ibu membawakan lempah kuning, makanan kesukaanmu,” teriak sang
ibu.
“Tampaknya ia benar ibumu. Kau tak perlu berbohong padaku, Suamiku. Jujurlah. Jangan jadi
anak durhaka,” ucap sang istri.
Mendengar ucapan istrinya, Kulup malah semakin marah. “Akan aku buktikan kalau mereka bukan
orang tuaku!” ucap Kulup.
Ia lalu turun ke kapal untuk menemui orang tuanya. Namun, bukannya menyambut dan memeluk
hangat kedua orang tuanya, ia malah memarahi mereka. “Akhirnya kau pulang juga anakku. Kami
merindukanmu,” ucap sang Ibu yang hampir memeluknya.
Belum sempat ia memeluk sang anak, Kulup langsung menepis tangan sang ibu. “Jangan berani-
beraninya kau menyentuh bajuku dengan tanganmu yang kotor itu! Kalian bukan orang tuaku! Cepat
pergi dari sini!” ujar Kulup.
“Nak, kami orang tuamu! Ini ibumu dan aku ayahmu! Tega sekali kau berkata seperti itu pada
orang yang telah membesarkanmu,” ucap sang ayah geram.
“Kalian bukan siapa-siapaku! Orang tuaku itu saudagar kaya, bukan kalian!” ucap Kulup sambil
mendorong kedua orang tuanya hingga terjatuh. Ia lalu naik ke kapal dan memutuskan tuk pergi.
“Kita pergi saja dari sini. Aku muak dengan orang-orang kampung ini!” ucap Kulup pada awak
kapal. Sang istri terdiam. Ia tak bisa berkata apa-apa melihat sikap suaminya yang berubah menjadi
penuh kebencian.
Di muara Sungai Cerucuk, ayah dan ibu Kulup masih tersungkur. Mereka menangisi anak yang tak
mengakui mereka.
“Kenapa ia berbuat sejahat itu pada kita, Suamiku? Apa salah kita?” tanya sang istri. “Jika
memang ia tak mengakuiku sebagai ibunya, biarkan kapal itu karam bersamanya!” ucap sang ibu penuh
sakit hati.
Di saat yang bersamaan, tiba-tiba saja badai datang dengan kerasnya. Gelombang laut setinggi
gunung tiba-tiba muncul dan menerjang kapal mewah milik Kulup. Akhirnya, kapal itu pun terombang-
ambilng dan terbalik di tengah Sungai Cerucuk.
Semua penumpang, termasuk Kulup dan istrinya tewas seketika. Beberapa hari kemudian, di
tempat karamnya kapal besar Kulup, muncullah sebuah pulau berbentuk seperti kapal terbalik. Orang-
orang memercayai pulau itu terbentuk dari kapal Kulup yang terbalik. Mereka lalu menyebut pulau itu
sebagai Pulau Kapal.
Unsur Intrinsik

Setelah membaca kisah seru legenda terbentuknya Pulau Kapal yang berada di Bangka Belitung,
tambah pengetahuanmu dengan membaca unsur intrinsiknya, yuk! Berikut ulasannya;
1. Tema
Tema atau inti cerita hikayat dari Bangka Belitung tentang legenda Pulau Kapal ini adalah
tentang anak durhaka yang tak mengakui kedua orang tuanya. Awalnya ia adalah anak yang
miskin.
Lalu, berkat menjual tongkat berhiaskan intan permata, ia menjadi kaya raya. Namun, ia
malah jadi lupa akan janjinya kepada kedua orang tuanya.

2. Tokoh dan Perwatakan


 Kulup awalnya digambarkan sebagai pemuda yang rajin bekerja dan meyayangi orang tuanya.
Namun, kekayaan membuatnya gelap mata. Setelah mendapatkan uang yang berlimpah,
bukannya membahagiakan orang tua, ia malah memakainya untuk hidup bermewahan seorang
diri.
 kedua orang tua Kulup digambarkan sebagai sosok yang pekerja keras dan selalu bersyukur
atas nikmat yang Tuhan beri. Meski hidup miskin, mereka tak pernah mengeluh atau pun
merasa menderita.
 Selain tokoh utama, legenda Pulau Kapal dari Bangka Belitung ini juga memiliki beberapa
tokoh pendukung. Mereka adalah saudagar kaya yang membeli tongkat Kulup, istri Kulup, dan
mertuanya.

3. Latar
Karena merupakan legenda asal usul sebuah tempat, tentu saja cerita ini memiliki latar yang
spesifik, yaitu di Pulau Kapal di tengah Sungai Cerucuk, Bangka Belitung. Secara detail, legenda
ini juga mengisahka di beberapa latar tempat, seperti muara Sungai Cerucuk, rumah Kulup, sebuah
hutan bambu, toko antik, dan kapal besar milik Kulup.

4. Alur Cerita Legenda Pulau Kapal dari Bangka Belitung


Alur cerita dari legenda Pulau Kapal dari Bangka Belitung ini adalah maju alias progresif.
Cerita bermula dari pemuda bernama Kulup yang menjual tongkat berharga yang ditemukan oleh
ayahnya. Seorang saudagar kaya membeli tongkat itu dengan harga yang sangat tinggi.
Namun, setelah mendapatkan uang, bukannya kembali ke rumah, Kulup justru tinggal di
perantauan tanpa memberi kabar kedua orang tuanya. Ia bahkan menikah dengan anak saudagar
paling kaya raya di kota itu.
Setelah bertahun-tahun lamanya, kembalilah Kulup ke kampung halaman demi memenuhi
perintah mertuanya. Ia bersama sang istri menaiki kapal megah menuju muara Sungai Cerucuk
yang mana berada di kampung halamannya.
Setibanya di muara, beberapa orang mengenali Kulup. Mereka lalu memberi kabar pada ayah
dan ibu pemuda itu. Kedua orang tuanya merasa bahagia karena anak mereka masih hidup.
Namun, Kulup tak mengakui ayah dan ibunya. Kepada sang istri, ia mengatakan bila orang tua
itu bukanlah ayah dan ibunya. Sebab, kedua orangtuanya adalah saudagar kaya.
Bahkan, Kulup tega mendorong kedua orang tuanya hingga jatuh tersungkur. Ia lantas pergi
dari Sungai Cecuruk. Karena sakit hati, sang ibu pun berdoa agar Kulup dan kapalnya karam di
tengah sungai.
Di waktu yang hampir bersamaan, besar pun datang. Gelombang setinggi gunung tiba-tiba
muncul dan menghantam kapal Kulup. Kapal pun terbalik dan seluruh penumpang tewas.
Beberapa hari setelahnya, tiba-tiba saja muncul pulau di tegah Sungai Cerucuk yang bentuknya
menyerupai kapal terbalik. Orang-orang lantas menyebutnya Pulau Kapal.

5. Pesan Moral
Pesan moral utama yang terkandung dalam cerita legenda Pulau Kapal dari Bangka Belitung
ini adalah jangan menjadi anak yang durhaka. Apa pun kondisi orang tuamu. Jangan lupakan
ketulusan hati orang tua hatimu yang telah membesarkanmu dengan sepenuh hati.
Tuhan sangat membenci umat-Nya yang durhaka kepada kedua orang tuanya. Perbuatan
durhaka akan mendapatkan balasan setimpal seperti Kulup yang menerima karma atas
perbuatannya.

Unsur Ekstrinsik

1. Nilai sosial
Kita sebagai anak jangan pernah melupakan kebaikan orangtua yang telah mengasuh dan merawat
kita sejak lahir dan durhaka kepada orangtua dengan tidak mengakuinya hanya karena malu.
2. Nilai Moral :
Jangan malu dengan bagaimana pun kondisi kedua orang tuamu. Apalagi dihadapan pasanganmu.
Hanya karena gengsi, jangan sampai kamu berdusta pada pasanganmu mengenai kondisi
keluargamu yang sebenarnya.
3. Nilai Agama :
Kita harus selalu malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-Nya
seperti durhaka kepada orangtua.
4. Nilai Adat :
Kita harus menyayangi orangtua sebagaimana mereka telah menyayangi dan mengasuh kita dari
kecil.

Anda mungkin juga menyukai