Anda di halaman 1dari 1188

Seri ke 2 Thiansan

(PENG TJONG HIAP ENG)


Karya : Liang Ie Shen
Saduran : OKT
Sumber txt otoy
Edit dan Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://ebook-dewikz.com/

Jilid 1

CERITERA PENDAHULUAN
Di luar kota Ganboenkwan, daerah yang luasnya seratus lie
adalah daerah kosong, atau no man's land. Di dalam kota
Ganboenkwan berdiam pasukan perang Kerajaan Beng, dan di pihak
sana, di luar kota, ada tentara bangsa Mongolia, ialah rombongan
suku bangsa Watzu.
Selama tahun-tahun permulaan dari Kaisar Eng Tjong dari
Kerajaan Beng — belum lewat empat puluh tahun dari wafatnya
Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang, kaizar pendiri dari Ahala Beng itu
— bangsa Mongolia di Barat utara mulai bangkit bangun pula, dan
rombongan suku Watzu adalah yang terkuat. Rombongan ini setiap
tahun maju dengan perlahan-lahan, sampai ditahun Tjongtong ke-3
— tahun Kaisar Eng Tjong itu — tentaranya telah mendekati kota
Ganboenkwan. Demikian terjadilah daerah yang kosong itu.
Pada, suatu magrib, selagi angin Barat meniup dengan kerasnya,
hingga pasir kuning dan daun-daun rontok berterbangan,
sedangnya kelenengankelenengan kuda bersuara bercampur baur
dengan suaranya terompet huchia dari orang Mongolia, maka di
daerah kosong itu, ialah di jalan pegunungan di dalam selat, sebuah
kereta keledai asyik lewat dengan kencangnya.
Kereta itu diiringi satu penunggang kuda — seorang usia
pertengahan yang menggendong kantong busur pada
bebokongnya dan pada pingangnya tergantung sebatang pedang.
Sering sekali pengiring ini berpaling ke belakang.
Selagi angin bertiup keras, bercampur dengan suara ringkikan
kuda yang tak hentinya dan suara beradunya senjata-senjata tajam,
tiba-tiba terdengar satu seruan panjang dan hebat, lalu setelah itu
— dengan laratnya sang kereta keledai — suara berisik itu perlahan-
lahan berubah menjadi kesunyian.
Dari dalam kereta, seorang tua menyingkap tenda,
memperlihatkan kepalanya dengan rambut ubanan semua.
"Apakah Teng-djie memanggil aku?" tanya dia. "Apakah dia telah
menemui kecelakaannya? Tjia Hiapsoe, tak usah kau pedulikan lagi
padaku, pergi kau sambut mereka itu! Setelah sampai di sini, mati
pun aku akan meram..."
Pengiringnya itu perdengarkan jawabannya. Ia menunjuk jauh ke
belakang.
"Selamat, loopeh” kata dia. "Loopeh dengar suara kalutnya
tindakan kaki kuda itu. Itulah pasti tanda yang tentera Tartar sudah
mundur! Nah, lihat di sana, bukankah itu mereka yang
tengah mendatangi?"
Habis berkata, pengiring ini memutar kudanya, yang terus ia
larikan, guna memapaki "mereka" yang katanya tengah mendatangi
mereka.
Si orang tua di dalam kereta menghela napas, menyusul itu air
matanya berlinang linang, menetes turun.
Di dalam kereta itu, yang larinya tak tetap, ada satu bocah
wanita. Dia bermuka merah karena hawa yang dingin sekali, warna
merah itu mirip dengan buah apel yang telah matang dalu. Dikucak-
kucaknya matanya seperti dia baharu terjaga dari tidurnya.
"Yaya, adakah ini wilayah Tionggoan?" dia tanya.
Orang tua yang dipanggil "yaya" (engkong) itu menahan
keretanya. Ia menyingkap pula tenda, untuk melihat ke tanah,
tempat di sekitarnya.
"Ya, inilah tanah daerah Tionggoan," sahutnya, dengan suara
dalam. "A Loei, coba kau turun, kau tolongi yaya-mu menjemput
segumpal tanah!"
Ketika itu dari mulut selat terlihat tiga ekor kuda kabur
mendatangi, salah satu penunggangnya, rebah tengkurap
dengan pakaian murat-marit, robek di sana-sini. Yang terdepan
adalah satu hweeshio atau pendeta.
Pengiring usia pertengahan yang dipanggil Tjia Hiapsoe oleh
yaya-nya si bocah tadi memapaki hweeshio itu.
"Tiauw Im Soeheng, bagaimana dengan In Teng soetee?" dia
tanya.
Hweeshio itu menahan kudanya.
"Dia telah menemui kematiannya," ia menyahut, wajahnya
muram. "Tidak kusangka, setelah melalui laksaan lie air dan ribuan
lie gunung, setelah bisa menyingkir sampai di sini, selagi kota
Ganboenkwan sudah terpandang di depan mata, dia masih tak
dapat lolos dari tangannya orang Tartar! Akan tetapi, tak kecewa dia
menjadi satu laki-laki, dalam keadaan luka parah dia masih dapat
membinasakan beberapa orang musuh, selagi menghadapi
kematiannya, dia telah berhasil membunuh Tartar yang memimpin
pasukannya, hingga dia membuatnya tentara Mongolia menjadi
ketakutan dan kabur, sampai mereka itu tak berani mengejar
terlebih jauh! Manusia siapakah yang tidak mati? Orang yang mati
seperti dia, matinya berharga! Muridmu juga tidak dapat dicela, dia
pun berhasil membinasakan beberapa musuh, dengan paman
gurunya dia mati bersama!... Orang usia pertengahan itu
membelalakan matanya, dengan mata bersorot kegusaran, ia
dongak memandang udara, habis itu mendadak ia berseru panjang.
"Kota Ganboenkwan telah berada di depan mata, kita achir-
achirnya tidak mensia-siakan pesan Soetee In Teng!" katanya. "Kita
telah antar ayahnya pulang, didunia baka, In soetee bolehlah
meramkan mata. Cuma In Thaydjin pasti sangat berduka, hal ini
untuk sementara harus disembunyikan baginya"
Lantas ia larikan kembali kudanya, ke arah kereta keledai.
Si orang tua telah duduk di depan kereta sekarang, tangannya
memegang segumpal tanah. Nampaknya ia bersikap luar biasa
sekali.
Si bocah wanita, yang berdiri diam di tanah, matanya mengawasi
engkongnya saja.
"In Thaydjin, kita telah kembali," berkata Tiauw Im Hweeshio,
yang turut si pengiring usia pertengahan itu.
"Mana anakku si Teng?" tanya si orang tua.
"Tentara Tartar telah kita pukul mundur," sahut Tiauw Im. "Dia
telah mendapat sedikit luka, dia ada di belakang bersama muridnya
Soetee Thian Hoa."
Hweeshio ini telah kuatkan hatinya, ia mencoba berlaku tenang,
tapi tak sanggup ia menahan kedukaannya yang hebat, ini terutama
tampak pada wajahnya yang suram dan suaranya yang sedikit
gemetar.
Wajah si orang tua berubah dengan segera.
Tiauw Im dan Tjia Thian Hoa — demikian si hiapsoe, orang
gagah bangsa hiapkek — orang-orang kosen, akan tetapi
tak sanggup mereka awasi sinar mata tajam dari orang tua itu,
tanpa merasa mereka mundur dua tiga tindak.
Orang tua itu sudah lantas tertawa bergelak-gelak.
"Ayah adalah tiongsin dan anaknya hauwtjoe." mendadak ia
berkata dengan nyaring. "Tiongsin dan hauwtjoe hidup berkumpul
dalam satu keluarga, maka aku, In Tjeng, apalagi yang aku rasakan
kurang? Hahaha!"
Itulah tertawa yang mengandung kedukaan hebat sekali.
Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio berdiam. Keduanya
kagum berbareng terharu. Mereka telah saksikan apa yang
dinamakan tiongsin — menteri setia, dan hauwtjoe — anak
berbakti.
Si bocah dongak, mengawasi engkong-nya itu.
"Yaya, kau tertawakan apa?" dia tanya. "Aku takut, yaya, jangan
kau tertawa seperti itu...Yaya, kenapa ayah masih belum datang?"
Orang tua itu berhenti tertawa dengan tiba-tiba, lantas ia
berdiam. Tapi ia berdiam sebentar saja.
"Apakah besok pagi-pagi kita bisa sampai di kota Ganboenkwan?"
dia tanya, suaranya perlahan.
"Ya," sahut Thian Hoa. "Malam ini adalah malam-an Capgwee
Capgouw, di waktu malam sang rembulan terang sekali cahayanya.
Besok pagi pastilah kita akan tiba di sana."
Orang tua itu masih menggenggam tanah, agaknya ia pandang
tanah itu bagaikan mestika, ia bawa itu kehidungnya, untuk disedot
beberapa kali.
Tanah itu berbau daun-daun busuk. Akan tetapi si orang tua
merasakannya itu harum sekali.
"Dua puluh tahun sudah!" katanya pula, tetap perlahan, tetapi
suaranya itu tetap. "Baharu sekarang aku dapat mencium lagi
baunya tanah tumpah darahku..."
"Loopeh telah tinggal di negara asing, ke-hormatanmu dan
kesetiaanmu telah dapat dilindungi," berkata Tjia Thian Hoa, malah
dibanding dengan Souw Boe, loopeh tinggal di sana satu tahun lebih
lama. Maka itu, orang sebagai loopeh, siapa pun pasti
menjunjungnya!"
Tetapi orang tua itu sendiri mengkerutkan alisnya. Ia ulurkan
kedua tangannya, untuk membantu menarik si bocah naik ke kereta.
"A Loei, tahun ini kau telah berumur tujuh tahun," katanya
dengan perlahan, "maka itu sudah seharusnya kau mulai mengerti
urusan. Malam ini yaya-mu akan ceritakan kau sebuah dongeng,
kau mesti ingat itu baik-baik dalam kalbumu."
"Apa? Mesti diingat dalam kalbuku?" si bocah membaliki. "Aku
tahu sudah, yaya hendak menutur tentang cerita yang mengenai diri
yaya sendiri!"
Orang tua itu heran ia awasi cucunya itu. "Kau sungguh cerdik!"
kata dia. "Dibanding dengan masa kecilku, kau jauh terlebih
cerdik!"
Tak ingat engkong ini bahwa bocah itu, sejak dilahirkannya,
baharu satu bulan berselang bertemu dengannya. Waktu baru
bertemu sama sang engkong, bocah ini telah menanya pada
ayahnya kenapa bolehnya mendadak muncul satu engkong
untuknya, atas mana, sang ayah menjawab: "Bukankah telah
sering aku ceritakan kepadamu tentang hal ichwalnya Souw Boe?
Ceritera tentang yaya-mu ini ada jauh lebih menarik
daripada lelakonnya Souw Boe itu. Tunggu saja nanti, biar yaya-mu
sendiri yang menuturkannya, tapi kau harus ingat itu baik-baik
dalam kalbumu."
Karena kata-katanya ayah ini, maka bocah itu dapat menduga
dongengnya si engkong. Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im Hweeshio
seperti kitarkan kereta keledai itu, mereka berdiam, tetapi dengan
penuh perhatian, seperti si bocah perempuan sendiri.
Orang tua itu jumput sebatang tongkat bambu, di kepala itu ada
beberapa lembar bulunya yang jarang.
"Bulu dari tongkat ini, yang menjadi barang perhiasan, telah
rusak karena salju yang beku bagaikan es dari tanah Utara,"
katanya. "Inilah tongkat yang dinamakan soetjiat. A Loei, tahukah
kau artinya soetjiat? Nanti aku jelaskan."
"Soetjiat" adalah tongkat kehormatan, tongkat kepercayaan.
Bocah itu awasi engkong-nya.
"Pada dua puluh tahun yang lampau, engkong-mu ini adalah satu
utusan dari Kerajaan Beng yang besar," yaya itu mulai dengan
ceriteranya. "Engkongmu telah diutus ke Mongolia, yaitu negara dari
suku bangsa Watzu, untuk mengikat persahabatan. Tongkat ini
adalah pemberian dari Sri Baginda kepadaku, namanya ialah
soetjiat. Dan soetjiat ini mewakilkan Raja, maka itu, jiwa boleh
terhilang, tongkat ini tak dapat termusnah. Ketika itu Mongolia
terbagi dalam dua rombongan suku bangsa, ialah Watzu dan Tartar.
Bangsa itu masih lemah. Menurut aturan, utusan Kerajaan Beng
mesti disambut secara hormat, akan tetapi di luar dugaan, di saat
penyerahan surat-surat kepercayaan negara, telah terjadi satu
perubahan. Mulanya, raja Watzu tetap berlaku hormat seperti biasa,
sampai tiba-tiba muncul seorang Han dalam pakaian bangsa Tartar.
Dia datang ke istana dengan membawa pedang dipinggangnya, dia
lantas tarik raja Watzu ke samping, untuk diajak berbisik, sambil
bicara matanya melirik padaku. Orang Han itu berumur kurang lebih
dua puluh tahun akan tetapi matanya memperlihatkan sinar
kebencian hebat, dia seperti bermusuh denganku."
"Apakah orang itu kenal loopeh?" Tjia Thian Hoa tanya.
"Tidak," sahut In Tjeng. "Aku pun tidak kenal dia.
Aku percaya, aku sebagai satu pembesar yang bersih, seumurku,
aku tidak punya musuh, lebihlebih tak mungkin terjadi ada musuh di
antara bangsa Tartar. Tak tahu aku, mengapa dia agaknya sangat
membenci aku. Ketika itu, melihat dia dandan sebagai orang Tartar,
tak ingin aku bicara dengannya. Setelah bicara sekian lama dengan
raja Watzu itu, mendadak dia keluarkan perintah untuk menahan
aku, malah dia hendak rampas juga soetjiatku. Aku menjadi gusar,
aku membuat perlawanan. Aku sudah pikir, jiwaku boleh hilang
tetapi tongkat kepercayaan dari Sri Baginda ini tidak. Aku benci dia
bila aku ingat dia adalah orang Han."
Keras suaranya orang tua ini sewaktu dia mengatakan demikian.
"Ketika dia dengar aku menyebut-nyebut Sri Baginda, dia tertawa
besar," dia melanjutkan. Kaisar Beng, Kaisar Beng!" katanya
mengejek. "Haha! Apakah kau telah siap sedia untuk menjadi
menteri setia dari Kaisar Beng? Baik! Akan aku bikin kau puas! Kau
bakal jadi Souw Boe kedua! Souw Boe menggembala kambing, kau
sendiri boleh mengangon kuda!" Dan sejak itu, aku hidup di tanah
Utara yang hawanya sangat dingin, aku tungkuli kuda sampai
lamanya dua puluh tahun... Mulanya aku masih mengharap
pemerintah nanti mengirim angkatan perang guna menolong aku,
akan tetapi bertahun-tahun telah lalu, tetap tidak ada kabar
beritanya. Adalah kemudian aku dengar cerita bahwa Kaisar Tay
Heng, yaitu Baginda Seng Touw, telah mangkat, ia digantikan
Baginda Djin Tjong. Habis itu, belum satu tahun, Kaisar Djin Tjong
juga wafat, ia lantas digantikan oleh satu Kaisar muda, hingga
negara seperti tidak ada rajanya. Sampai di situ, habislah
keangkaraan dari Thay Tjouw dan Seng Tjouw. Karena itu, habis
juga pengharapanku untuk dapat pulang kembali, dan aku percaya,
pasti aku akan mati di negara asing. Putus harapanku akan dapat
kembali ke tanah daerah Han! Siapa sangka, telah dating hari
seperti ini!"
Thian Hoa dan Tiauw Im saling memandang, mereka bungkam,
akan tetapi wajah mereka menunjukkan bahwa mereka kagum
sekali.
In Tjeng lihat sikapnya dua orang itu, ia tidak ambil tahu, cuma
sikapnya sendiri yang nampak makin pendiam. Ia tekuk-tekuk
sepuluh jari tangannya, hingga berbunyi.
"Selama dua puluh tahun itu, bukan main kesengsaraan yang
kuderita," ia menyambungi ceritanya. "Di laut pasir tidak ada air
minum, sukar untuk mendapatnya, maka juga, ada kalanya aku
menghilangkan dahaga dengan minum air kencing kuda, sedang di
musim rontok dan dingin, aku minum air salju. Itulah hal biasa,
itulah masih tidak berarti. Yang paling menjemukan adalah itu
jahanam, dia sering kirim utusan menemui aku dan di depanku dia
caci maki kaisar Beng. Selama dua puluh tahun itu, tidak ada saat
yang aku tidak bersedia untuk mati, tetapi menjemukan, dia justeru
tidak hendak membunuh aku, dia cuma menyiksa bathinku!"
In Loei — ialah si A Loei, sebagaimana ia dipanggil engkong-nya
— jadi sangat gusar.
"Siapa namanya manusia busuk itu?" dia tanya. "Katakan
padaku, yaya. Nanti, setelah Loei dewasa, Loei gantikan yaya
menuntut balas!"
"Lama kelamaan, tahulah aku siapa dia," In Tjeng meneruskan
lagi. Dengan begitu ia pun jawab cucunya itu. "Dia she Thio,
namanya Tjong Tjioe. Tentu saja, tak pantas dia menjadi manusia
Han. Kenapa dia mencaci raja kita? Djiewie Hiapsoe, coba katakan
pantas atau tidak kalau jahanam itu dibinasakan?"
"Memang dia harus dibinasakan!" sahut Tiauw Im dan Thian Hoa
berdua, malah si hweeshio sambil gedruk tanah dengan tongkatnya
yang panjang seperti toya.
Baharu sekarang In Tjeng tersenyum. Ia mengusap-usap kepala,
cucunya.
"Kemudian ternyata, Thio Tjong Tjioe itu adalah dari keluarga
dorna, " ia melanjutkan "Ayahnya sejak lama telah memangku
pangkat di Mongolia, sampai kepadanya, dia semakin terpakai. Dia
baharu berumur dua puluh lebih, dia sudah menjadi yoe sinsiang,
menteri muda. Bersama-sama Tjio sinsiang Toat Hoan dia menjadi
orang kepercayaan dari raja Watzu, Toto Puhwa Khan. Dia bertubuh
sehat, mungkin dia masih dapat hidup lagi dua atau tiga puluh
tahun. Siang dan malam selama aku mengembala kuda di tanah
yang berlangit es dan berbumi salju itu, selalu aku mengharap-
harapkan dia tidak mati siang-siang!"
"Kenapa begitu, thaydjin?" tanya Tiauw Im. In Tjeng tertawa
dingin. Sudah lama sekali ia berdendam, sekarang ingin ia
melampiaskannya.
In Loei bergidik mendengar tertawa yang menyeramkan itu.
Engkong itu merogo sakunya dari mana ia keluarkan sepotong
kulit kambing, di atas itu ada tertulis beberapa huruf warna coklat.
Dengan samar sekali, kulit itu menyiarkan bau bacin.
Tjia Thian Hoa terperanjat melihat surat kulit kambing itu.
"In Loopeh, adakah ini surat darahmu?" dia tanya.
"Inilah yang kedua," sahut In Tjeng. "Seperti aku katakan tadi,
mulanya aku mengharap Pemerintah Agung mengerahkan angkatan
perang untuk menegur dan menghukum raja Watzu, supaya
jahanam itu dibekuk dan dihukum menurut undang-undang negara,
kemudian aku dapat kenyataan, aku tidak mempunyai harapan lagi.
Aku lalu memikir untuk membunuh jahanam itu dengan tanganku
sendiri, hanya sayang bagiku, aku hanya satu sasterawan yang tidak
punya tenaga sekalipun untuk menyembelih ayam. Setelah berpikir
pulang pergi, aku jadi mengharap biarlah anak cucuku semua
meninggalkan pelajaran surat, buat pelajari ilmu silat, guna mereka
membalas sakit hatiku. Kemudian ternyata pengharapanku itu telah
terkabul. Selang sepuluh tahun sejak aku menggembala kuda,
anakku si Teng telah datang ke perbatasan, masuk ke dalam
negeri Watzu itu.
Tentu saja dia telah sembunyikan she dan namanya. Dengan
susah payah dia cari aku. Ketika aku diutus ke Mongolia, si Teng
baharu saja lulus sebagai sioetjay. Dia adalah satu mahasiswa yang
lemah tubuhnya, akan tetapi di tanah asing ini, aku dapatkan ia
sebagai satu orang yang gagah. Nyatalah dia, oleh karena
pemerintah agung tidak berminat menegur raja Watzu, sudah lantas
meninggalkan ilmu suratnya, dia sengaja belajar silat, setelah mana
dia nyelundup masuk ke Mongolia. Dia datang seorang diri. Katanya
dia belajar silat pada Hian Kie Itsoe, ahli pedang nomor satu. Dia
baharu belajar tujuh tahun, dia belum lulus, akan tetapi kendati
begitu, tiga sampai lima puluh orang biasa saja tidak nanti mampu
dekati padanya. Demikian keras niatnya menolongi ayahnya, hingga
tanpa menunggu sampai lulus dari perguruan, dia sudah mencari
aku."
In Loei mendengarkan dengan kedua matanya memain, tak
hentinya. Ia sangat tertarik tetapi ada sesuatu yang membuatnya ia
tidak mengerti.
"Yaya," tanyanya, "ayah mempunyai kepandaian silat itu, kenapa
aku sedikit juga tidak tahu? Aku lihat setiap hari ayah dan mama
pergi bersamasama untuk menggembala kambing, mereka tidak
mempunyai pekerjaan lain. Satu hari ada seorang Tartar yang
hinakan ayah, yang hendak merampas kambingnya, meskipun ia
dipukul, sama sekali ia tidak membalas menyerang..."
Engkong itu menghela napas.
"A Loei kau masih kecil," katanya. "Ada banyak hal, kalau itu
diberitahukan kepadamu, kau tidak akan mengerti. Dikemudian hari,
umpama kata aku menutup mata, hingga tidak dapat aku menanti
sampai kau dewasa, itu waktu kedua mamakmu yang akan
memberikan keterangannya."
Thian Hoa tahu bahwa ceritanya In Tjeng ini, meski dikatakan
kepada cucunya, sebenarnya ditujukan terhadap ia dan Tiauw Im
Hweeshio. Cerita orang tua ini mengandung arti dalam. Ia dapat
lihat pada tubuhnya yang bergetar dan napasnya memburu, maka
itu ia lekas menghampiri, untuk memegang padanya.
"Mengasolah, loopeh," katanya. "Masih banyak waktu untuk kau
bercerita, maka tunggulah sampai kita tiba di Ganboenkwan, baharu
kau lanjutkan pula. Loopeh, andaikata di kemudian hari kau hendak
menitahkan sesuatu padaku, pasti aku akan melakukannya."
Orang tua itu batuk-batuk, ia menghela napas. "Tidak, aku
hendak melanjutkan," katanya, suaranya tetap. "Sudah terlalu lama,
urusan ini tersimpan dalam hatiku, jikalau tidak sekarang aku
keluarkan, hatiku belum merasa lega..." Ia berhenti sebentar,
kemudian ia lanjutkan: "Anakku Teng telah memandang urusan ini
terlalu gampang. Dia percaya, dengan mengandalkan
kegagahannya, dia sanggup menolongi aku menyingkir dari
Mongolia. Dia tidak tahu, di luar langit ada langit lainnya, di atas
manusia, ada manusia lainnya lagi. Artinya, orang gagah ada lagi
yang terlebih gagah pula. Demikian di Mongolia, ada banyak orang
kosen. Di bawahannya Thio Tjong Tjioe tak sedikit orang yang
pandai silat. Selama aku menggembala, diam-diam telah ada orang
yang mengintai aku. Dengan susah payah si Teng telah dapat cari
aku, akan tetapi belum sempat dia mendamaikan daya untuk ajak
aku menyingkirkan diri, dia sudah dipergoki musuh. Coba aku tidak
suruh dia segera angkat kaki, mungkin dia sudah kena terbekuk
lebih dulu. Habis itu secara diam-diam pernah dia tempur orang-
orang sebawahannya Thio Tjong Tjioe itu, sekian lama tidak pernah
dia peroleh hasil. Sejak itu baharulah dia lepaskan rencananya akan
seorang diri saja menolongi aku. Selanjutnya dia bekerja menurut
nasihatku. Dia lantas berdiam di Mongolia dengan bawa diri seperti
orang yang tidak mengerti ilmu silat, dia lewatkan waktunya sambil
memikirkan daya yang sempurna. Dengan aku ia selalu mengadakan
hubungan secara rahasia."
Ia berhenti sejenak sebelum ia melanjutkan lagi.
"Telah aku nasihatkan supaya dia tinggal menetap di Barat utara,
berbareng dengan itu, aku pun anjurkan dia menikah dengan satu
nona Mongolia," orang tua ini bercerita terlebih jauh. "Tindakanku
ini maksudnya agar ia tidak sampai putus turunannya, supaya dia
toh dapat menuntut balas. Aku teringat kepada dongeng dari Gie
Kong yang mencoba memindahkan gunung. Andaikata anakku tidak
dapat membalas sakit hati, nanti masih ada cucuku, nanti masih ada
buyutku, demikian seterusnya, asal keluargaku masih punya
turunan. Aku percaya, satu kali, sakit hatiku mesti terbalas juga!
Mengenai keluarga Thio itu, umpamanya Thio Tjong Tjioe sendiri
mati, dia juga ada turunannya, dan turunan itu mesti menggantikan
dia menerima pembalasan. Pada tujuh tahun yang lalu, aku dengar
dia telah mendapatkan satu anak lelaki, waktu itu aku sudah lantas
menulis surat darahku yang pertama, sebagai pesan untuk cucuku,
supaya kalau nanti cucuku sudah dewasa, dia mesti membinasakan
anak lelaki itu atau turunannya, tidak peduli lelaki atau perempuan,
semua mesti dihabiskan!"
Orang tua ini menjadi sengit, sampai Thian Hoa yang kosen
merasa bergidik. Hebat pesan itu. Hendak ia bicara, atau ia
membatalkannya. Cuma di dalam hatinya, ia berpikir: "Beginilah
dendam yang hebat! Tidakkah pembalasan ini ada lebih hebat
daripada pembalasan dalam kalangan kaum kangouw? Rupanya
setelah terbenam dalam pengembalaan kuda dua puluh tahun di
antara es dan salju, saking sengsaranya, orang tua ini telah
berputus asa, sampai dia kehilangan sifatnya yang umum. Biarlah,
setelah nanti dia tiba di tanah daerah Tionggoan, sesudah
kesehatannya pulih kembali, dia diberi hiburan dan nasihat secara
perlahan-lahan."
In Tjeng tunjuk surat darah itu, napasnya sedikit memburu.
"Si Teng dengar nasihatku itu, dia simpan surat darah itu dengan
dijahit dibaju anaknya, lalu anak itu di kirim pada satu soeheng-nya
untuk diambil sebagai murid," kembali ia melanjutkan. "Setelah itu,
aku berpindah tempat menggembala, hingga putuslah
perhubunganku dengan anakku itu. Baharu pada tiga bulan yang
lalu, berhasillah dia mencari aku, hingga kita dapat bertemu pula.
Dia menemui aku secara rahasia. Dia beritahukan aku bahwa dia
sudah bermupakat dengan saudara seperguruannya untuk datang
menolongi aku. Itu waktu, mengingat aku telah berusia lanjut, aku
sudah tidak memikir lagi untuk menyingkirkan diri, maka apa yang
dia katakan itu, tidak begitu kuperhatikan. Aku cuma tanya dia,
selama berpisah tujuh tahun dariku, apakah dia telah mendapat lagi
anak atau belum. Dia jawab bahwa dia telah memperoleh satu anak
perempuan, ialah kau, A Loei. Aku lantas tulis pula surat darahku
yang kedua, untuk cucu perempuanku menuntut balas. Maka itu,
Loei, kau mesti ingat, jikalau kau bertemu dengan turunannya Thio
Tjong Tjioe nanti, kau mesti wakilkan aku membunuh mereka dan
bakar mereka hingga tulangtulangnya menjadi abu!".
In Loei mendengarkan dengan penuh perhatian, mendengar
pesan yang terachir ini pada wajahnya yang merah bagaikan apel
terlihat roman ketakutan, dengan tiba-tiba ia menjerit, menangis.
"Yaya, apa begitu banyak orang mesti dibunuh?" katanya. "Oh,
Loei Loei takut. Mama pun pesan supaya aku jangan sembarang
membunuh orang, malah kambing yang baharu diberanakkan juga
mesti disayangi, dilindungi. Oh, mama! Kata ayah, mama hendak
datang, kenapa sekarang mama masih belum kelihatan juga? Ya,
kenapa ayah pun tidak kelihatan?"
Nona cilik ini tidak ketahui, sekalipun mamanya tidak tahu siapa
sebenarnya ayahnya, yang tinggal sembunyikan she dan namanya.
Dan pada satu bulan yang lalu, di luar tahu isterinya, ayah itu sudah
tinggalkan rumahnya dengan bawa anaknya minggat...
In Tjeng singkap kumisnya yang putih, dengan mendadak
nampaknya ia gusar.
"Loei Loei, apakah kau tidak dengar perkataanku?" dia tanya,
suaranya bengis. "Aku beritahu padamu, ayahmu, ayahmu itu,
sudah..."
Bocah itu kaget, ia berhenti menangis.
Engkong itu awasi cucunya, ia menghela napas. Tidak ia
lanjutkan perkataannya. Tidak tega ia memberitahukan sang cucu
bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi didunia...
Tjia Thian Hoa menggeleng-gelengkan kepalanya, diam-diam ia
menghela napas. In Loei tunduk.
"Akan aku dengar perkataan yaya," katanya perlahan.
In Tjeng masukkan surat darahnya itu, yang ia baharu tulis tiga
bulan yang lalu, ke dalam sakunya si bocah, terus ia dongak dan
tertawa.
Tidak kusangka bahwa aku, In Tjeng, masih dapat menyingkir
dari Negara asing dan dapat kembali ke negara sendiri," katanya.
"Aku harap semoga Thio Tjong Tjioe si jahanam tidak mati siang-
siang, supaya dia sendirilah terima pembalasan sakit hati dari
cucuku! Tjia Hiapsoe, aku minta sukalah kau memandang mukanya
anakku si Teng dengan terima bocah ini sebagai muridmu."
Thian Hoa ragu-ragu, maka itu, ketika ia menjawab, ia menjawab
dengan perlahan.
"Hal ini baik nanti saja dibicarakan lagi," demikian jawabnya.
"Oh, loopeh, aku minta jangan kau salah mengerti! Sama sekali
bukannya aku menampik tetapi aku sedang berpikir untuk carikan
dia guru yang cakap."
Thian Hoa dan Tiauw Im, bersama-sama In Teng, ada saudara
seperguruan, guru mereka adalah Hian Kie Itsoe yang bergelar
Thianhee Teeit Kiamkek, "ahli pedang nomor satu di kolong langit".
Guru itu bukan melainkan pandai ilmu pedang, dia mahir juga lain-
lain kepandaian, yang semua bercampur menjadi satu. Dan dia pun
mempunyai tabeat yang aneh. Ialah: Dia mempunyai lima murid,
setiap murid diwariskan semacam ilmu kepandaian. Umpama Tjia
Thian Hoa, ia utamakan ilmu pedang, tetapi ilmu pedang itu
diturunkan hanya separuh! Kenapa separuh-separuh. Dia
sebenarnya punya dua rupa ilmu pedang, yang dua ini bertentangan
satu sama lain. Perbedaan juga terdapat pada pedangnya. Dia telah
bikin sepasang pedang terpisah antara pedang lelaki dan pedang
perempuan, hiongkiam dan tjikiam. Pedang yang perempuan,
tjiekiam, diberi nama "Tjengbeng" (Awan Hijau), dan yang lelaki,
hiongkiam, diberi nama "Pekin" (Awan Putih). Pekin Kiam
diserahkan pada Thian Hoa, dan Tjengbeng Kiam kepada satu
muridnya yang lain, murid wanita. Ilmu silat pedang itu diciptakan
Hian Kie Itsoe sesudah ia memikirkannya dalam-dalam dan lama.
Jikalau ilmu itu dipakai bertempur berendeng, dapat dibilang "tidak
ada tandingannya di kolong langit ini". Maka itu, di antara murid-
muridnya, adalah Thian Hoa dan si murid wanita itu yang paling
liehay, dan di antara mereka berdua, sukar dibedakan, yang mana
yang terlebih mahir. In Teng adalah murid yang belum lulus, maka
ia dapat dibilang masih lemah. Tiauw Im Hweesnio ada murid yang
kedua, dia diwariskan ilmu tongkat panjang Hokmo thung, "Tongkat
Menakluki Iblis". Kepandaian ini termasuk gwakee, pihak "luar".
Thian Hoa dan Tiauw Im telah memenuhi permintaan In Teng
datang ke Mongolia dengan mengajak masing-masing muridnya,
maksudnya untuk menolong In Tjeng, ayahnya itu, yang hendak
dibawa buron kembali ke Tionggoan.
Hari yang dipilih kebetulan ada harian raja Watzu mendapat satu
putera, diseluruh negeri diadakan pesta besar, maka itu, penjagaan
atas diri In Tjeng menjadi longgar sendirinya. Tiga saudara itu
sergap penjaga-penjaga, beberapa di antaranya dapat dibunuh. In
Tjeng dibawa minggat. Hanya di luar dugaan, sesudah lari begitu
jauh, selagi mendekati kota Ganboenkwan, mereka kena disusul
tentara pengejar, hingga terjadilah satu pertempuran mati-matian
dengan kesudahannya In Tjeng menemui ajalnya dan murid satu-
satunya dari Thian Hoa turut terbinasa juga. Masih syukur In Tjeng
telah kabur terus, hingga ia dapat lolos.
Habis bercerita, orang tua itu menjadi letih sekali, maka begitu ia
rebahkan dirinya, ia lantas tidur pulas.
In Loei dengan menjublak mengawasi engkong-nya.
Menampak demikian, Tjia Thian Hoa ulapkan tangannya, atas
mana kereta lantas di jalankan, guna melalui perjalanan sulit
dilembah itu.
Sekarang bulan yang terang sudah muncul, suasana tenang.
Thian Hoa berikan dengdeng pada In Loei, dia dahar itu dan lalu
minum, habis itu, setelah ditepuk-tepuk, dia tidur pulas...
Kereta lari terus, rodanya tak rata jalannya.
Berselang sekian lama, mendadak terdengar In Tjeng mengigo:
"Dingin! Dingin!... Ada srigala!"
Tiauw Im Hweeshio tertawa.
"Orang tua ini menyangka ia masih ada di tempat
pengembalaannya di Mongolia..." katanya perlahan.
In Loei pun ngigo seperti engkong-nya itu: "Mama, Loei Loei
tidak bunuh orang, Loei Loei takut..."
Mendengar itu, Thian Hoa melengak, lalu ia goyangkan
kepalanya.
Hampir berbareng dengan itu, sekonyong-konyong terdengar
suara anak panah mengaung, melintasi selat itu.
Justeru itu, dalam mimpinya, In Tjeng lompat bangun.
"Ada srigala!" dia berseru dalam ngigonya. Tapi, ketika, dia
membuka matanya, dia lihat segumpal api biru melayang turun.
Menyusul itu, Tiauw Im Hweeshio lompat maju, untuk
menyambut musuh.
"Jangan kuatir, loopeh, cuma beberapa orang!" Thian Hoa
hiburkan si orang tua.
In Tjeng telah sadar betul-betul dari tidurnya.
"Celaka, inilah berbahaya!" kata dia. "Yang datang itu adalah
pahlawan nomor satu dari Thio Tjong Tjioe, shenya Tantai,
namanya Mie Ming. Nama itu adalah nama Mongolia, tetapi
sebenarnya dia orang Han asli. Pernah si Teng tempur pahlawan itu,
ia kena dikalahkan. Dia memang sangat lihay."
Orang tua itu kenali panah api musuh.
Tjia Thian Hoa tertawa.
"Sepasang kepalan dan tongkatnya soeheng-ku itu telah
menggetarkan Tionggoan," dia berkata, "maka itu belum ada artinya
bagi orang kosen nomor satu dari Mongolia. Asal mereka itu tidak
berjumlah banyak, aku tanggung dia bisa datang tetapi tidak bisa
pulang. Biarlah kita tangkap padanya, untuk dibawa pulang oleh
loopeh ke kota raja dan dipersembahkan sebagai jasa! Ingin aku
melihat, musuh itu masih berani memusnahkan Kerajaan Beng atau
tidak..."
Nama "Mie Ming" dari pahlawan Mongolia itu bisa berarti
"memusnahkan kerajaan Beng." Inilah kata-kata yang dibenci Thian
Hoa, yang paling dibenci ialah pengchianat penjual negara. Maka
itu, habis berkata, dia hunus pedangnya, dia pun lari ke mulut
lembah untuk membantu Tiauw Im menghajar musuh.
Segera terlihat satu punggawa bangsa Mongolia dengan seragam
perangnya yang bersalutkan emas, senjatanya ialah sepasang
gaetan Hoktjioe kauw, dan punggawa itu tengah bertempur dengan
seru dengan Tiauw Im Hweeshio. Pendeta itu memainkan
tongkatnya hingga mengeluarkan angin menderuderu, tanda
hebatnya serangan, meskipun demikian, Tantai Mie Ming, punggawa
Mongolia yang kosen itu, tidak sudi mundur, dia melawannya
dengan gaetannya yang sama dahsyatnya. Hingga beberapa kali
tongkat panjang kena disampok terpental.
Menampak demikian, baharulah Thian Hoa terperanjat. Inilah
tidak disangka olehnya.
"Benar binatang itu liehay," pikirnya. "Pantas In Teng tidak
nempil terhadapnya. Mungkin sekali, soeheng juga bukan
tandingannya."
Karena ini, dengan lantas ia maju, untuk bantui saudara
seperguruannya itu. Ia menyerang dengan jurus "Hoetlioe
tjoanhoa," atau "Mengebut cabang yanglioe, mencari bunga," ujung
pedangnya mencari sasaran uluhati.
Pedang pun merupakan senjata yang diperantikan melawan
gaetan dan sebangsanya.
Biasanya sulit untuk satu lawan lolos dari serangan semacam
serangan Thian Hoa ini, akan tetapi kesudahannya, Thian Hoa
adalah yang terkejut sendirinya. Waktu pedangnya tiba, sekalipun
dia lagi desak Tiauw Im, Mie Ming dapat menangkis dengan tepat,
lalu berbalik menggaet pedangnya sendiri. Hampir terlepas pedang
orang she Tjia itu, karena ia terkejut, ia segera berbalik kena
diserang. Sebab Mie Ming segera melakukan serangan pembalasan.
Dengan terpaksa Thian Hoa mesti empos semangatnya, untuk
melayani musuhnya dengan sungguh-sungguh. Ia menyerang
dengan tidak kurang hebatnya, akan tetapi di samping itu, sekarang
ia mesti waspada, agar pedangnya tak lagi tergaet seperti tadi.
Celaka umpama kata pedangnya kena dibikin terlepas dari
cekalannya. Maka ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya.
Dalam sekejap saja dapatlah Thian Hoa mendesak lawannya itu.
"Ilmu pedang yang bagus!" memuji Tantai Mie Ming walaupun ia
terancam bahaya desakan. Kemudian, setelah tiga serangan yang
berbahaya dapat dielakkan, ia berteriak pula. Kali ini: "Tahan!"
Thian Hoa tidak mau mengerti, ia lanjutkan serangannya.
Orang Mongolia itu menjadi gusar, romannya berubah.
"Apakah kau sangka aku jerih terhadapmu?" dia berseru. Dan dia
menyerang hebat, hingga pembalasan ini membuat Thian Hoa jadi
seperti kecandak.
Tiauw Im Hweeshio berseru keras, kalau tadi ia berhenti, akan
tonton saudaranya, sekarang ia maju, guna membantui.
Punggawa Mongolia itu tertawa.
Melihat ilmu silatmu, mestinya kamu ada ahli-ahli silat
kenamaan," berkata dia. "Menurut apa yang aku dengar, orang-
orang kenamaan dari Rimba Persilatan dari Tionggoan sangat
menghormati aturan bertarung satu lawan satu, maka itu heran
aku! Apakah kamu memikir untuk rebut kemenangan dengan
andalkan jumlah yang banyak?"
"Hai, binatang, apakah kau bukannya Tantai Mie Ming?" Tiauw
Im balik menegur.
Orang Mongolia itu menangkis pedangnya Thian Hoa, lalu ia
mendesak, setelah mana, ia pandang si pendeta. Ia tertawa.
"Eh, hweeshio, kau juga tahu namaku?" tanya dia.
"Kau ada orang Han, tapi kau menjadi panglima Mongolia!
Apakah kau tidak malu?" Tiauw Im menegur. "Terhadap kau,
bangsat pengchianat bangsa, siapa kesudian bicara tentang aturan
kaum Boeiim dari Tionggoan? Lebih baik kau makan tongkatku ini!"
Benar-benar pendeta ini menyerang pula.
Mie Ming menangkis, wajahnya padam. Tapi sebentar saja, atau
ia tertawa terbahak-bahak. Panjang tertawanya itu.
"Telah aku kaburkan kudaku malang melintang di laut pasir
Utara, hatiku ini dapat dihadapkan kepada Thian! Maka itu, siapakah
si pengchianat?" dia, berseru-seru. "Terhadap negara siapa aku
berchianat? Tjoe Goan Tjiang telah merampas Negara dengan
gunakan kelicikannya, tetapi cuma kamu saja, orangorang yang
tidak bersemangat, yang kesudian manggut-manggut menjadi
hamba-hamba dari anak cucunya!"
Sambil mengucap demikian, ia berkelit dari serangan tongkatnya
si hweeshio, setelah itu, ia tutup dirinya dengan putar sepasang
gaetannya. Ketika ini digunakan olehnya untuk berkata-kata pula
dengan nyaring: "Hweeshio sembrono, rupa rupanya percuma
bicara dengan kau! Baiklah, jikalau benarbenar kau hendak
bertempur! Nanti aku titahkan dua orang muda melayani kau!"
Di belakang Mie Ming ini memang ada dua punggawa muda.
Mereka ini segera maju ketika punggawa itu mendesak lawannya.
Benar mereka masih muda tetapi mereka pun bukan orang
sembarang, maka itu, dapat mereka kepung Tiauw Im.
Pendeta ini tidak usah kalah, akan tetapi, untuk mencari
kemenangan, itulah sulit untuknya, dengan begitu, maksudnya
membantui Thian Hoa jadi tidak tercapai.
Thian Hoa sendiri heran mendengar kata-katanya Tantai Mie
Ming itu.
Kalau begitu, punggawa ini bukan sembarang orang," pikirnya.
"Tapi dia asal orang Han, sekarang dia bantui bangsa asing
menindas orang Han, biar bagaimana, itulah perbuatan tidak
selayaknya!"
Karena ini, ia lantas maju pula, akan serang pahlawan nomor
satu dari Mongolia itu.
Mie Ming melayani bertempur.
"Apakah kau bukan muridnya Hian Kie Itsoe?" tanya dia
berselang beberapa jurus.
Thian Hoa heran, sampai ia melengak.
Mie Ming lihat orang heran, ia tertawa riang. "Dahulu gurumu
telah mengeluarkan semua kepandaiannya untuk
mengalahkan guruku, dia tetap tidak berhasil!" demikian dia kata.
"Maka itu sekarang kau hendak menandingi aku, mana bisa? Oleh
karena kau tidak kenal aturan, baiklah! Hari ini kita bekerja untuk
tuan masing-masing, mari kita bertempur pula sampai tiga atau lima
ratus jurus!"
Kembali Thian Hoa tercengang. Sekarang ingat ia kepada
omongan gurunya dahulu. Guru itu pernah menceritakan bahwa
pada dua puluh tahun yang lalu dia pernah bertarung dengan satu
"kepala iblis" untuk merebutkan kedudukan Boeiim Bengtjoe, kepala
dari kaum Rimba Persilatan, bahwa pertempuran dilakukan di atas
gunung Ngo San, selama tiga hari tiga malam, tetapi selama itu,
mereka tak ada yang menang atau yang kalah. Menurut gurunya
itu, iblis itu ada seorang she Siangkoan bernama Thian Ya, seorang
penjahat besar dari kalangan Rimba Hijau. Hanya sejak
pertempuran dahsyat itu, Siangkoan Thian Ya lantas sembunyikan
diri, entah di mana. Sekarang, mendengar kata-kata Mie Ming ini,
terang sudah, iblis itu telah menyingkir ke Mongolia, dan punggawa
Mongolia ini mesti ada muridnya.
Tadinya Thian Hoa berniat menunda pertempuran itu, guna
mendapat penjelasan dahulu, akan tetapi mendengar kata-katanya
Tantai Mie Ming bahwa mereka berkelahi "untuk tuan masing-
masing", dia menjadi murka, terus saja dia perhebat serangannya.
Tantai Mie Ming benar-benar liehay, ia mainkan sepasang
gaetannya dengan hebat, yang berkredepan bagaikan dua
bianglala emas. Ia menutup diri dari pelbagai serangan dahsyat,
dipihak lain, ia pun membalas menyerang, maka di samping
membela dirinya, ia membuat lawannya repot juga.
Pertempuran berjalan jurus lewat jurus, dari belasan menjadi
puluhan, lalu seratus jurus, masih tidak ada yang kalah atau
menang. Hal ini membuat Thian Hoa heran bukan main.
"Sayang tak ada soemoay di sini," pikir hiapsoe ini, "jikalau
tidak, kita berdua bisa mainkan jurus-jurus dari dua pedang
digabung menjadi satu, dengan begitu, walaupun ada tiga Mie Ming,
dia akan terbinasa ditangan kita..."
Dengan "soemoay", Thian Hoa maksudkan adik seperguruannya
yang wanita, yang ke empat.
Dalam pertarungan selanjutnya, Mie Ming mencoba melakukan
penyerangan membalas, beruntun tiga kali ia kirim kedua gaetannya
bergantian, tapi kontan ia dibalas hingga empat kali oleh lawannya.
Setelah itu dengan sekonyongkonyong ia lompat mundur sambil
tertawa berkakakan.
"Bagaimana?" tegurnya. "Bukankah kau telah kerahkan seluruh
tenagamu? Tapi kau tidak mampu rebut kemenangan! Maka itu
baiklah kau hentikan saja pertempuran ini!..."
"Jangan banyak omong, pengchianat bangsa!" damprat Thian
Hoa. "Tak dapat kita hidup bersama! Hari ini, tak dapat tidak, kau
mesti binasa!"
Dan ia menusuk dengan pedangnya.
Tantai Mie Ming tangkis serangan itu, dia tidak melakukan
pembalasan, dia hanya buka mulutnya.
"Inilah yang dibilang tak tahu kebaikan hati orang!" demikian
katanya. "Kau tahu, aku justeru hendak tolong padamu?!"
Thian Hoa tak mau berhenti, ia tarik pedangnya, untuk dipakai
menyampok gaetan lawannya itu, hingga kedua gaetan itu
terpental.
"Jarak ribuan lie telah kami lintasi, setelah sampai di sini,
bencana apa lagi mengancam kami?" dia bentak. "Untuk apa kau
tolongi aku? Jikalau benar kau insaf akan kesesatanmu dan hendak
kembali kejalan yang terang, lekas kau lepaskan sepasang
gaetanmu, mari kau turut kami!"
Punggawa Mongolia itu tertawa dingin.
"Benar-benar kau tidak tahu gelagat!" katanya dengan nyaring.
"Kau tahu, aku sedang menjalani titah dari Thio Sinsiang untuk
menasehati kamu kembali pulang! Apabila kamu berkeras hendak
pulang ke Tionggoan, maka aku kuatir, belum lagi kamu memasuki
kota Ganboenkwan, kamu akan mengalami bencana besar yang tak
kamu harap-harapkan!" Bukan kepalang murkanya Thian Hoa, ia
sangat mendongkol.
"Penghianat, kau berani mempermainkan aku?" dia mendamprat
sambil terus menikam pula.
Sampai di situ, Mie Ming pun menjadi gusar.
"Oleh karena kau sendiri mencari mampus, jangan kau sesalkan
aku!" katanya dengan sengit. Ia tangkis tikaman itu.
Thian Hoa kertak giginya, tanpa membuka mulut lagi, ia ulangi
serangannya, kali ini dengan bertubi-tubi.
Tidak berani Mie Ming mengalihkan perhatiannya, dengan
waspada ia layani pelbagai serangan itu, yang setiap kalinya ia
halau atau pecahkan. Ia pun kembali perlihatkan permainan
sepasang gaetannya.
Maka pertarungan jadi berjalan lebih seru daripada tadi.
Jurus-jurus telah berlalu dengan cepat, tetapi masih saja mereka
tak menemui keputusan, keduanya tetap sama tanggunya.
Pada saat hebatnya pertarungan, dengan mendadak Mie Ming
perdengarkan seruan keras, menyusul mana, dia tangkis satu
serangan, terus dia berkelit, untuk angkat kaki.
Melihat sikapnya pemimpin ini, kedua punggawa muda turut
menyingkir juga, mereka kabur bersama-sama.
Thian Hoa, dan Tiauw Im Hweeshio, sedang murka, mereka tidak
mau memberi hati, maka bersama-sama, mereka lari mengejar.
Adalah setelah sampai disatu tikungan bukit, Thian Hoa yang teliti
tiba-tiba dapat satu pikiran:
"Pengchianat itu belum kalah, kenapa mereka angkat kaki?"
demikian pikirnya. "Mungkinkah dia sedang menggunakan tipu
daya? Kita tinggalkan In
Thaydjin, dia tidak ada yang melindunginya..... Ah, jangan-
jangan aku telah terkena akalnya itu!"
Tengah Thian Hoa bersangsi secara demikian, ia lihat Tantai Mie
Ming berlompat turun ke dalam lembah. Ia jadi kaget dan heran.
Itulah lembah yang dalam dan tidak rata. Itu adalah perbuatan
mencari kematian sendiri.....
Baru Thian Hoa berpikir begitu, atau segera ia tampak tangannya
Mie Ming — yang sedang berlompat itu — terayun ke arah
seberang, menyusul mana seutas tambang menyambar dan terus
berpegang keras pada sebuah pohon cemara. Nyata tambang itu
adalah gaetannya, karena mana, tubuhnya punggawa itu —
bagaikan ayunan — telah berayun ke lain tepi dari lembah itu di
mana dia sampai dengan tidak kurang suatu apa!
Thian Hoa melengak. Tidak ia sangka, Mie Ming punyakan
semacam daya, pantas dia berani lakukan perbuatan nekat itu. Tapi
tak lama, ia menjadi terperanjat sendirinya. Karena tahulah ia, dari
lembah di tepi seberang itu, ada satu jalan yang membawa orang
tepat ke tempat di mana In Tjeng berada bersama kereta
keledainya. Ia jadi kaget dan berkuatir. Ia sendiri tidak bisa lompat
ke seberang untuk menyusul Mie Ming. Untuk lari kembali, ia mesti
ambil tempo lebih lama. Tapi terpaksa, ia lari kembali juga. Ia
terbenam dalam kekuatiran In Tjeng telah jatuh ke dalam tangan
lawan yang licin itu.....
Akhir-akhirnya, Thian Hoa mengeluarkan keringat dingin. Ketika
ia kembali, ke tempatnya In Thaydjin, di sana ia dapatkan Tantai
Mie Ming berada di depan kereta keledai, In Thaydjin sendiri duduk
di depan kereta, di tempatnya kusir, kedua orang itu tengah
berhadapan satu dengan lain. Hanya yang aneh, tangan Mie Ming
tidak bersenjata sama sekali, sepasang gaetannya tergantung
dipinggangnya, dan dia sedang menghadapi In Tjeng dengan air
muka berseri-seri, agaknya dia sedang bicara. Sebaliknya, In
Thaydjin tengah memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.
"Ngaco belo!" demikian suara nyaring yang Thian Hoa dengar
tegas setelah ia datang mendekati mereka itu. "Dengan Thio Tjong
Tjioe itu permusuhanku ada permusuhan sangat hebat, maka jikalau
kau hendak membunuhnya, bunuhlah, tetapi untuk kembali, untuk
mengharap perlindungan dia, tidak nanti!"
Thian Hoa tidak mengerti ia jadi heran. Mie Ming tidak gusar
walaupun dia telah dibentak, malah ketika dia berpaling kepada si
orang she Tjia, dia bersenyum.
"Kau telah saksikan sekarang," demikian katanya, dengan sabar,
"jikalau aku hendak ambil jiwa orang tua she In ini, dapat aku
lakukan itu dengan gampang, seperti membalikkan telapakan
tangan saja, tak usah aku menanti sampai kau tiba." Ia menoleh
pula pada In Thaydjin, untuk menambahkan: "In Loodjie, telah aku
berikan nasehat kepada kau, maka sekarang, tentang hidup atau
matimu, tentang bencana atau keberuntungan kau, semua itu
terserah kepada kau sendiri!"
In Thaydjin gusar tak kepalang, hingga alisnya bangkit, kumisnya
berdiri, tetapi masih dapat ia kendalikan diri.
"Jadi kau inginkan aku kembali menolongi Thio Thaydjin-mu
menggembala kuda untuk dua puluh tahun di antara tempat yang
ber-es dan bersalju?" demikian dia tegaskan.
Sebagai jawaban, Mie Ming tertawa berkakakan, nyaring dan
panjang. Tetapi mendadak saja, ia perlihatkan wajah sungguh-
sungguh.
"Justeru karena kau telah menjalankan tugasmu menggembala
kuda dengan baik, hingga Thio Thaydjin menghargai kau dan
menghendaki kau kembali!" demikian katanya.
"Thio Tjong Tjioe adalah penghianat penjual negara, dia satu
manusia sangat rendah martabatnya, tak perlu aku dengan
penghargaannya itu !" bentak In Tjeng. "Kau sangka aku orang
macam apa?"
Tantai Mie Ming tertawa mengejek.
"Dengan pengutaraan kau ini, orang tua, nyata tepat apa yang
dikatakan Thio Thaydjin1." katanya. "Menurut Thio Thaydjin kau ada
satu orang tiong yang tolol, maka kau tidak dapat diajak
merundingkan urusan negara yang besar! Kau tahu, Thio Thaydjin
telah mengatakan padaku bahwa tidak nanti kau sudi kembali,
sekarang kata-katanya itu benar adanya! Walaupun demikian, Thio
Thaydjin bilang kau adalah satu laki-laki, karenanya dia tidak tega
tidak menolongi melihat kau terancam bahaya kebinasaan,
karenanya dia tugaskan aku menyusul kau sampai ribuan lie ini,
untuk ajak kau kembali. Sayang kau telah mensia-siakan, maksud
hati yang baik dari Thio Thaydjin itu....."
Saking murkanya, In Tjeng sampai berpegangan keras ke pada
keretanya.
"Hm, kau katakan dia niat menolong aku?" dia berteriak. "Sudah
dua puluh tahun aku si orang she In menggembala kuda, sekarang
aku telah sampai di tempat tumpah darahku sendiri, jikalau di sini
aku dapat kubur diriku, aku akan mati dengan mata meram, tetapi
kau telah dapat candak aku, jikalau kau hendak membunuhnya,
bunuhlah! Ini adalah tanah Tionggoan, dengan darahku aku siram
tanah daerahku, tidak nanti aku menyesal!"
Akhir-akhirnya, Tantai Mie Ming menjadi gusar.
"Siapa hendak membunuh kau?" dia berseru. "Bukannya kami
yang hendak membunuh padamu!"
In Tjeng juga kertak gigi.
"Kau telah bunuh anakku, si Teng!" dia menjerit. "Kau hendak
sangkal? Kau masih hendak permainkan aku?" gemetar tubuhnya
orang tua ini, hamper dia rubuh dari atas kereta, baiknya Mie Ming
keburu pegangi tubuhnya.
"Bukan kami yang membunuh anakmu itu," kata Mie Ming. "Kau
tentu tidak mengerti apabila aku menjelaskannya. Marilah kita
kembali, untuk menghadap Thio Thaydjin, di sana nanti kau ketahui
jelas."
In Tjeng meludah dengan reaknya, atas mana, punggawa bangsa
Mongolia itu berkelit.
"Bukankah kamu yang membunuh anakku itu?" dia berteriak
pula. "Apakah tentera itu ada tentera Beng?"
Tantai Mie Ming menyeringai.
"Mereka itu adalah tenteranya Tjo sinsiang kami," ia beritahu.
"Tjo sinsiang" ialah "perdana menteri."
"Apakah bedanya Tjo sinsiang dan Yoe sinsiang." masih In Tjeng
berteriak.
"Mereka semua adalah Tartar rase! Sekarang aku telah berada
dalam tanganmu, lekas kau bunuh, jangan kau banyak omong
pula!"
Tjia Thian Hoa juga anggap Tantai Mie Ming omong dengan
diputar balik. Dia adalah punggawa dari negeri Watzu, tentera
Watzu sudah membinasakan anak orang, sekarang dia masih
hendak perhina dan permainkan orang tua ini, malah orang tua
yang sudah menderita selama dua puluh tahun, dengan banyak
sengsara.....
Bukan main tegangnya kedua orang itu.
Akhirnya, Tantai Mie Ming rangkapkan kedua tangannya, untuk
memberi hormat kepada In Thaydjin. Ia berkata dengan suara
keras dan tedas: "In Thaydjin, telah aku bicara, kau sudi dengar
atau tidak, sekarang terserah kepada kau!"
Dalam murkanya itu, In Tjeng tak dapat bilang suatu apa.
Tjia Thian Hoa jadi sangat murka, ia membentak.
"Apakah artinya perbuatanmu ini mempermainkan seorang tua
yang umpama kata tidak punya tenaga untuk hanya menyembelih
ayam? Jika kau berani, mari kita bertempur pula tiga atau lima ratus
jurus!"
Tantai Mie Ming tidak melayani tantangan itu, ia bicara pula
dengan In Thaydjin, suaranya sangat perlahan.
"Jikalau begini sikapmu, apa boleh buat, hendak aku pergi,"
demikian katanya. "Thio Sinsiang bilang, ia telah membuat kau
bercape lelah menggembala kuda selama dua puluh tahun, ia
merasa tak enak hati, ia menyesal. Memang telah ia menduganya,
kau tidak bakal kembali, maka itu ia telah bekalkan aku tiga buah
kimlong. Sinsiang bilang, dengan turuti bunyinya kimlong itu jiwamu
masih dapat ditolong, Thio Sinsiang juga mengatakan, tiga kimlong
itu anggap saja sebagai pembalasan budi yang kau telah gembalai
kudanya selama dua puluh tahun."
Lantas punggawa ini mengibaskan tangannya, setelah mana
terus ia putar tubuhnya untuk berjalan pergi.
Thian Hoa heran, hingga ia tercengang, di saat mana, Mie Ming
lewat di sampingnya.
Berbareng dengan itu, terdengar suara tubuh terbanting keras,
terlihat In Thaydjin rubuh di atas keretanya, rupanya disebabkan
karena meluap hawa amarahnya dan lelah.
Dalam murkanya, Thian Hoa melakukan gerakan menimpuk ke
arah Tantai
Mie Ming, atas mana lima batang Tjoengo Toathoen teng —
"paku merampas roh" — menyambar ke arah punggawa Mongolia
itu.
Tanpa berpaling pula, Mie Ming menangkis ke belakang dengan
dua batang gaetannya, maka beruntun lima kali terdengar suara
tang-ting-tong, lantas ke lima batang senjata rahasia itu terlempar
jatuh ke tanah. Ia tertawa mengejek, tubuhnya melesat pergi, lalu
tubuh itu lenyap di antara pohon-pohon cemara yang lebat yang
bercampur batu-batu besar, yang merupakan tikungan bukit.
Thian Hoa terkejut. Bukan maksudnya akan membunuh mati Mie
Ming dengan timpukannya itu, itulah bukan tujuannya, tetapi yang
heran adalah caranya punggawa itu menghalau ke lima paku untuk
menyelamatkan dirinya. Itulah suatu kepandaian luar biasa. Ia tidak
mengejar, ia hanya lantas lompat ke kereta.
In Tjeng tidak kurang suatu apa, ia cuma bernapas tersengal-
sengal. Ia lantas diusap-usap dadanya, setelah mana, ia muntahkan
reak yang menggumpal, habis itu, ia berseru yang membuat
napasnya lega. Ia lantas dapat duduk pula.
Hatinya Thian Hoa pun lega. Tadinya ia hendak hiburkan thaydjin
ini atau mendadak ia dengar suara berisik dari Tiauw Im Hweeshio,
yang muncul sambil berlari-lari keras dan menengteng tongkatnya.
Mau atau tidak, ia menjadi heran dan kaget.
"Kau kenapa, soeheng ?" ia tanya saudara seperguruan itu.
"Djietee aku telah membuat soehoe malu!" sahut pendeta itu.
Selama hidupku ini, jikalau aku tak hajar Tantai Mie Ming dengan
tiga ratus kali tongkatku, tak bisa aku lampiaskan penasaranku!.....
"Mari duduk, soeheng," kata Thian Hoa, yang tahu tabeat dari
saudaranya itu, tangan siapa ia tarik dan tubuhnya ia tekan. "Mari
minum!"
Ia pun lantas menyuguhkan air.
"Sabar, soeheng, mari kita omong dengan perlahan-lahan," ia
tambahkan kemudian. "Dengan mengandal kepada kita, empat
saudara, sekalipun si kepala iblis Siangkoan sendiri yang datang
kemari, pasti dapat kita balas sakit hati ini, apa pula baru satu
Tantai Mie Ming!"
Dengan bergerugukan, Tiauw Im hirup airnya.
"Aku duga jahanam itu hendak mencelakai thaydjin, maka keras
niatku untuk kembali guna mencegah dia," katanya kemudian, "apa
celaka itu dua bangsat cilik libat aku, tak mau mereka melepaskan
aku. Coba pada hari-hari biasa, dua bangsat itu tidak aku ambil
mumat, sayang sekarang, setelah bertempur dua gebrakan,
tenagaku telah berkurang. Terpaksa aku berkelahi sambil mundur,
sambil berlari, meski begitu, selang dua ratus jurus, di saat aku
mulai menang di atas angin, — sungguh celaka! — Mie Ming telah
muncul di antara kita! Aku menyangka dia telah berhasil mencelakai
thaydjin, aku lantas caci padanya, aku terus serang dengan hebat,
tapi apa lacur, dengan dua gaetannya, ia sampok tongkatku hingga
mental, menyusul mana, dengan akalnya, dia membuatnya aku
rubuh terpelanting. Tapi itu belum semua! Dia masih rangsak aku,
untuk menggampar kupingku seraya mencaci aku sebagai si
hweeshio gerubukan. Dia kata aku sudah ngaco belo tidak keruan,
bahwa aku telah memutar lidah, karenanya dia gaplok aku, untuk
ajar adat padaku! Habis mencaci aku, dia ajak kedua bangsat cilik
angkat kaki... Sudah beberapa puluh tahun aku merantau, belum
pernah aku dihina sedemikian rupa, coba kau pikir, masa aku tidak
jadi mendongkol?"
Dia berhenti sebentar, dia memandang ke sekitarnya.
"Eh, eh!" katanya kemudian, suaranya berisik, "bagaimana
sebenarnya telah terjadi? Dia telah bertempur dengan kau atau
tidak? Syukur thaydjin tidak kurang suatu apa! Eh, apa artinya
tiga kimlong ini?"
Ia lihat tiga buah kimlong — surat yang berisikan rahasia —
menggeletak di atas tanah, yang ia segera hampiri, untuk dijumput.
"Ah, indah benar sulamannya!" katanya, memuji. "Di sini ada
gambar sulaman unta-untaan. Bukankah ini sulaman bangsa
Mongolia? Kimlong siapa ini?"
In Tjeng dengar kata-katanya pendeta ini, ia lihat tiga kimlong
itu, ia menjadi murka pula.
"Segala barangnya si Tartar busuk!" serunya. "Bikin hancur
sudah! Lemparkan kelumpur!"
Tiauw Im melengak, tapi ia gunakan tenaganya, untuk merobek
kimlong itu, atas mana, ia rasakan tangannya sakit. Sebab sebat
luar biasa Thian Hoa ketok lengannya untuk merampas kimlong itu,
guna mencegah kimlong itu dirobek.
"Soetee, kau....." ia berseru, kaget dan heran.
"Sabar," kata soetee itu. "Bukankah tidak ada halangannya untuk
In Thaydjin melihat dulu kimlong ini, untuk diketahui apa bunyinya?
Masih ada ketikanya untuk kita merobek-robeknya apabila bunyinya
ada ocehan belaka!"
Tjia Thian Hoa heran atas sikapnya Tantai Mie Ming. Punggawa
itu lihay, jikalau dia tidak niat membinasakan In Tjeng, habis apa,
maksudnya perbuatan ini — mengejar-ngejar sampai sekian jauh?
Mereka sudah menghadapi kota Ganboenkwan, mereka boleh
dibilang telah menginjak tanah daerah Tiongoan, maka di dalam
daerah ini, ada siapa lagi yang hendak mencelakai orang she In itu?
Apakah itu bukan obrolan belaka, untuk memperdayakan orang?
Tapi, apakah masuk diakal yang Mie Ming melakukan perjalanan
demikian jauh cuma untuk menyampaikan kata-katanya? —
nasehatnya? — kimlongnya? Pun aneh, walau dia kosen dan galak
— agak jumawa juga — tapi dia bisa berlaku demikian baik budi?
Kalau tidak, mana dapat Tiauw Im Hweeshio bisa lolos dari
kematian?
Thian Hoa benar-benar sangat tidak mengerti! Selagi orang she
Tjia ini terbenam dalam keragu-raguannya, In Tjeng telah
menyambuti kimlong itu dan dia pandang dengan sikap yang sangat
membenci.
Kimlong yang pertama diberi tanda dengan kata-kata: "Buka
dengan lantas." Tanpa bilang suatu apa, In Tjeng merobeknya
dengan segera, hingga ia dapatkan sehelai kertas, atau sepucuk
surat, di dalamnya. Di situ tertulis:
"Sekarang lekas balik kembali ke Mongolia, dengan lantas
kembali, bakal tidak ada urusan apa-apa. Tantai Tjiangkoen menanti
bersama pasukan tenteranya di Tjoin, dia dapat menyambut."
In Tjeng mendongkol, habis membaca, ia robek surat itu dan
melemparnya.
Thian Hoa lihat kumisnya yang ubanan bergerak-gerak dan air
mukanya berubah menjadi kuning pucat, meskipun demikian, ia
tidak berani menanyakan.
"Kimlong apa! Tak lain daripada ocehan belaka!" kata orang tua
ini sambil mengawasi robekan kertas terbang melayang jatuh ke
tanah.
Tapi, kendati ia mengucap demikian, ia toh baca tulisan di atas
kimlong yang kedua. Di situ, dengan mendongkol, ia baca: "Buka
kimlong ini setibanya di tempat sejauh tujuh lie dari kota
Ganboenkwan."
"Tak sudi aku mendengarnya!" kata In Thaydjin dengan sengit.
Tapi ia toh robek kimlong itu, untuk membaca surat di dalamnya.
Kali ini bunyi surat rahasia itu begini:
"Keadaan berbahaya sudah sangat mengancam. Ketika ini
tentulah di kota Ganboenkwan ada orang yang datang menyambut.
Jikalau pemimpin pasukan terdepan bukannya Tjongpeng Tjioe
Kian, mesti kau segera kaburkan kudamu sebagai terbang untuk
menyingkirkan diri. Suruhlah Tjia Thian Hoa dan Tiauw Im menjaga
di belakang, untuk cegat tentera itu, mungkin masih dapat kau
lindungi kepalamu."
Tjongpeng, atau brigadir jenderal, dari kota Ganboenkwan, benar
bernama Tjioe Kian. Dia dengan In Tjeng adalah orang-orang asal
satu kampung dan bersahabat, cuma bedanya, yang satu
mempelajari ilmu surat, yang lain meyakinkan ilmu silat, malah
ketika membuat ujian, mereka sama-sama lulus sebagai tjinsoe —
boen tjinsoe dan boe tjinsoe. Persahabatan itu berlangsung sampai
In Tjeng diutus ke Mongolia, sampai In Thaydjin ini menderita,
maka juga ketika In Teng — sang putera — berangkat untuk
menolongi ayahnya, diam-diam dia peroleh bantuan dari Tjioe
Tjongpeng, ialah daya-daya pertolongan diatur bersama. In Teng
telah mengirim kabar lebih dahulu kepada Tjioe Kian tentang ia
sudah berhasil kabur bersama ayahnya, ia minta tjongpeng itu
memberi kabar terlebih jauh kepada pemerintah agung, supaya
pemerintah dapat mengetahuinya. Meskipun selama dalam
perjalanan, perhubungan dengan Tjioe Tjongpeng masih disambung
terus. Maka itu, heran In Tjeng membaca kimlong yang kedua itu.
"Kalau Tjioe Kian lihat aku datang, mustahil dia tidak sambut
aku?" berkata dia dalam hatinya. "Dalam halnya kehormatan, aku
dapat dibandingkan dengan Souw Boe, maka itu, setelah sekarang
aku kembali dari negara asing, andaikata Sri Baginda tidak
mendirikan patung peringatan untuk aku, sedikitnya dia menghargai
aku dengan memberi pangkat besar padaku. Tapi gilanya orang
Tartar itu, dia mencoba merenggangkan aku dari Tjioe
Tjongpeng!..."
Karenanya, kimlong kedua ini pun dirobek dan dibuang.
Waktu In Thaydjin membaca, Thian Hoa berada di sampingnya,
dari itu ia turut melihat kimlong itu. Ia menjadi heran mengetahui
namanya disebutsebut dalam surat rahasia itu. Sayangnya, ia tak
sempat membaca sampai habis.
"Apa yang tertulis dalam kimlong itu?" dia tanya.
"Masih sama saja, ocehan belaka!" sahut In Thaydjin. "Tapi
pengchianat itu benar-benar lihay! Dia seperti sudah ketahui lebih
dahulu yang kamu berdua telah turut memasuki Mongolia untuk
menolongi aku. Hanya anehnya mengapa dia tidak membuat
persiapan untuk mencegah aku kabur?"
Thian Hoa kerutkan alis, dia tunduk. Dia jadi semangkin heran
dan curiga.
In Tjeng sudah lantas periksa kimlong ketiga. Ia sebenarnya
berniat segera merobek itu, untuk membaca isinya, tapi tiba-tiba ia
batalkan niatnya itu.
Tjia Thian Hoa juga lihat tulisan di atas kimlong itu, yang mana
membuatnya heran bukan kepalang. Tulisan itu ada berupa alamat,
bunyinya ialah: "Surat ini harus disampaikan kepada Tjia Thian Hoa
untuk dibuka dan dibaca."
In Thaydjin segera melirik pada hiapsoe itu, ia agaknya heran. Ia
memang terbenam dalam kesangsian.
Thian Hoa adalah seorang kangouw ulung, ia pun teliti, maka
itu, menampak roman thaydjin itu, ia tersenyum.
"Dorna itu sangat banyak akalnya," kata ia, "silakan In Thaydjin
buka kimlong itu dan baca, untuk mengetahui apa yang ditulis."
Mula-mula In Tjeng ragu-ragu kemudian dengan tak ayal ia
robek sampul kimlong, dengan perlahan ia tarik keluar suratnya, lalu
ia baca:
"Pada saat ini maka pastilah In Thaydjin sudah kena tertawan. Di
dalam sampul masih ada isinya, sebuah obat pulung, obat itu mesti
disimpan rahasia, jangan lantas dibuka. Habis itu, segera kau
berangkat ke kota raja, untuk menghadap sendiri pada Ie Kiam,
guna mendakwa Ong Tjin.
Apa In Thaydjin akan tertolong atau tidak, itu tergantung pada
tindakan kau ini."
"Hm!" In Tjeng perdengarkan ejekannya. Karena ia sangat
murka, maka surat itu ia lantas robek-robek, sampulnya pun
dibuang sambil terus ia berseru: "Benar-benar ngaco belo! Aku
adalah satu tiongsin terbesar, mustahil aku bakal ditangkap?"
Thian Hoa lompat, untuk menyambar sampul itu, dan ia dapatkan
di dalamnya benar ada satu obat pulung, ialah yang terbungkus
dengan lilin bunder sebesar gundu. Ia lantas simpan itu dalam
sakunya.
Wajah In Tjeng berubah melihat sikapnya hiapsoe itu.
"Hendak aku simpan ini seperti barang mainan saja kata Thian
Hoa. "Untuk menyimpannya pun tidak memakai banyak tempat.....”
"Hm!" seru pula In Thaydjin. Lalu ia kata dengan perlahan:
"Barang itu pun dikirim untukmu jikalau kau hendak simpan,
simpanlah. Aku bermusuh besar dengan penghianat itu, sekalipun
tubuhku bakal hancur lebur, tidak sudi aku ditolongi olehnya!"
Sampai di situ, perjalanan lantas dilanjutkan, sampai rembulan
muncul di antara jagat yang gelap. Semangatnya In Tjeng
terbangun selagi mendekati tembok kota kupingnya mendengar
suara terompet dan tentara penjaga kota tapal batas, hilang
letihnya bekas perjalanan jauh dan lenyap rasa ngantuknya, lalu
dengan tiba-tiba ia bersenanjung sambil mendongakkan kepalanya:
"Girang aku dengan sisa hidupku ini dapat pulung pula ke tempat
tumpah darahku,
Di kota yang kokoh-kuat yang memisahkan negeri Tartar dengan
Negara Tionghoa.
Maka aku si orang she In, besok akan memakai pula juba dan
kopiah,
Untuk sambil memegang tanda-kehormatan memberi hormat
pada junjunganku yang bijaksana."
Thian Hoa timpali menteri setia itu dengan berkata: "Thaydjin
sangat setia, di dalam seratus abad jarang didapat seorang sebagai
thaydjin, maka sudah pasti Sri Baginda akan memberi anugerah
terhadap thaydjin. Semua itu sebenarnya masih belum cukup
dikatakan sebagai hadiah..."
Mendengar itu, In Tjeng tersenyum.
"Apa yang aku lakukan adalah kewajiban satu menteri, dari itu
aku tidak mengharap hadiah kerajaan untuk membalas budiku."
Tiba-tiba saja ia berhenti, akan kemudian meneruskan berkata:
"Ketika aku meninggalkan negara, waktu itu adalah ditahun
kerajaan Eng Lok ke sepuluh, maka sekarang, sesudah berselang
dua puluh tahun dan kerajaan berganti tiga kaisar, mengenai urusan
pemerintah, sama sekali aku tak tahu suatu apa.
Sebenarnya, sekarang ini siapakah yang memegang pucuk
pimpinan pemerintahan?"
"Sekarang adalah Ong Tjin yang berkuasa," sahut Thian Hoa.
In Tjeng segera ingat bunyinya kimlong yang ketiga.
"Semoga Thian melindungi pemerintah kita," memuji dia.
"Ong Tjin itu pasti ada satu tiongsin terbesar dan Ie Kiam adalah
satu dorna!"
Justeru itu Tiauw Im sedang mengendarai kudanya di samping
kereta, ketika ia dengar perkataannya menteri setia ini, dia hajarkan
tongkatnya ke tanah sambil berkata dengan keras : "Thaydjin, aku
keliru! Ong Tjin itu djustru satu dorna terbesar! Jikalau dia sampai
bersomplokan dengan aku si orang beribadat, nanti aku beri dia
pelajaran dengan tongkatku ini!"
In Tjeng melengak bahna herannya.
"Apa? Dia satu dorna?" tanyanya. "Aku rasa tak bisa! Kalau dia
benar dorna, mengapa orang Tartar menganjurkan untuk Ie Kiam
mendakwa terhadapnya?"
Tjia Thian Hoa tahu kekeliruannya menteri itu, ia campur omong.
"Dengan sebenarnya, thaydjin," kata dia, "Ong Tjin itu adalah
satu dorna, ya dorna kebiri!"
"Apa? Apakah dia satu thaykam?" kembali In Tjeng menegaskan.
(Thaykam= orang kebiri)
"Benar," Thian Hoa pastikan. "Turut apa yang didengar, dia asal
kecamatan Oettjioe, setelah bersekolah, dia turut dalam ujian dan
berhasil mendapat pangkat tiekoan, tetapi belakangan dia berbuat
salah, dia dihukum buang, hanya belum sampai dia menjalankan
hukumannya, raja membutuhkan sejumlah thaykam, dia serahkan
dirinya, dan diterima. Dalam istana dia diberi tugas melayani putera
mahkota, ialah kaisar yang sekarang ini, yang waktu itu masih
bersekolah. Ketika kemudian kaisar wafat, putera mahkota
menggantikannya. Dengan sendirinya Ong Tjin diangkat menjadi
Soeiee thaykam, hingga dia berkuasa untuk mengurus surat surat
negara, bagian luar dan dalam istana, dengan berserikat sama
menteri menteri dorna, dengan cepat dia peroleh kekuasaan besar,
hingga beranilah dia berbuat sewenang-wenang. Belum tiga tahun,
dia telah dibenci juga oleh rakyat negeri. Maka itu, thaydjin, kalau
nanti thaydjin pulang ke istana, baiklah thaydjin berhati-hati
daripadanya itu."
Masih In Tjeng melengak, karena ia ragu-ragu.
"Ie Kiam itu adalah Pengpou Sielong," Tjia Thian Hoa memberi
keterangan lebih jauh, mengenai Ie Kiam, Menteri Perang (Pengpou
Sielong). "Turut pendengaran, Ie Pengpou adalah satu menteri yang
jujur dan setia."
Mendengar itu, In Thaydjin berdiam. Ia hanya menutup mulut,
tapi hatinya berpikir. Di dalam hatinya, ia kata: "Dua orang ini
adalah orang-orang kangouw yang kasar, kata-kata mereka tak
dapat lantas dipercaya penuh. Baiklah nanti saja, sepulangnya ke
istana, aku coba membuktikannya."
Ia baru berpikir demikian, atau ia telah memikir pula: "Menurut
ilmu perang, yang kosong itu berisi, yang berisi itu kosong, demikian
juga kedua orang ini, andaikata benar perkataan mereka, mestinya
semua itu berdasarkan siasatnya Thio Tjong Tjioe, untuk membantu
aku menaruh kepercayaan, maka di dalamnya mesti ada
tersembunyi sesuatu.....
Dalam kereta, In Loei tidur nyenyak. Terharu engkong ini
mengawasi kedua pipi cucunya yang merah jambu itu, wajah yang
menunjukkan kejujuran, kepolosan. Anak itu memang belum
mengerti apa-apa. Tapi kepada cucu ini, engkong ini meletakkan
harapannya. Ia telah mengharap, bila In Loei telah berusia dewasa,
mesti dia pergi jauh ke negerinya bangsa Tartar, untuk menerjang
es dan menjelajah salju, guna menuntut balas untuknya. Maka pada
akhirnya, ia menghela napas. Teringat ia pada kesengsaraannya
selama dua puluh tahun, mesti minum air dengan mengunyah salju
dan es, mesti menderita kedinginan hebat. Ingat semua itu, panas
hatinya. Tapi ia telah berusia lanjut, disebabkan terlalu banyak
berpikir, ia menjadi letih sendirinya, hingga tanpa merasa, ia pun
jatuh pules seperti cucunya itu.....
Pada hari kedua, pagi-pagi, In Tjeng mendusi. Sekarang dapat ia
saksikan samara samar bendera berkibar-kibar di atas tembok kota
Ganboenkwan.
"Inilah Tjitliepouw," berkata Tiauw Im Hweeshio. "Kita terpisah
dari kota hanya tujuh lie lagi. Di sebelah depan sana ada pos
tentara penjagaan di luar kota Ganboenkwan, untuk
memeriksa lalu lintas."
In Thaydjin dengar itu, ia berbangkit dengan mencelat. Ia
singkap tenda kereta, untuk melongok keluar.
"Apakah Tjioe Tjongpeng telah datang?" dia tanya.
"Soetee Thian Hoa sudah pergi untuk memberi laporan akan
tetapi belum terdengar kedatangannya tentara Tjioe Tjongpeng,"
jawab Tiauw Im.
In Tjeng melengak, lalu ia tertawa sendirinya.
"Ah, aku juga telah dibikin pusing oleh kimlong itu!" katanya
seorang diri. "Mana Tjioe Tjongpeng bisa mengetahui yang hari ini
aku bakal sampai di sini? Sebentar kemudian, sesudahnya ia
diberitahukan, barulah dia pasti akan datang sendiri."
Lantas ia perintahkan kereta dihentikan di muka pos penjagaan
tentara, sedang tentaranya, sejumlah serdadu, mengawasi dari
dalam tembok kota tanpa mereka membuat sesuatu gerakan.
Tjia Thian Hoa ada seorang yang teliti, dia pergi lebih dahulu ke
kota untuk melaporkan. Dengan Tjioe Tjongpeng pernah beberapa
kali dia bertemu, dia ketahui baik punggawa penjaga kota
Ganboenkwan itu di samping sebagai sahabatnya In Tjeng, ia pun
jujur dan laki-laki, ia mirip dengan orang bangsa kangouw, maka dia
mempercayainya dan suka membuat laporan itu. Sebentar saja dia
telah sampai di kota di mana tak tampak apa-apa yang
mencurigakan, maka tanpa ragu-ragu dia ikut kiepaykhoa, yang
menyambut padanya masuk ke dalam kantoran.
"Lucu juga," kata ia dalam hatinya, hingga ia tersenyum
sendirinya, "sampaipun aku, kena dipermainkan akal muslihatnya
Tantai Mie Ming. Asal Tjioe Tjongpeng yang tetap membelai kota ini,
siapakah yang berani mencelakai In Thaydjin?"
Setelah dipersilakan duduk, Thian Hoa disuguhkan air teh.
"Tjioe Tjongpeng akan segera keluar," berkata kiepaykhoa itu,
maka silakan Tjia Hiapsoe beristirahat dulu." Thian Hoa hirup air
teh, setelah mana, ia loloskan pakaian luarnya, pakaian untuk
berperang. Ia tengah duduk menanti ketika dengan sekonyong-
konyong ia rasakan kepalanya pusing dan matanya kabur.
"Celaka!" dia menjerit. Dia lompat untuk sambar pedangnya,
tetapi kiepaykhoa tadi mendahului jumput pedangnya itu, menyusul
mana dari luar terlempar dua lembar tambang, maka di lain saat,
orang she Tjia ini sudah kena teringkus rubuh.
Thian Hoa telah sempurna latihan iweekang-nya, ilmu dalam,
walaupun dia telah diperdayakan ingatannya masih belum kusut,
dari itu, dia coba kerahkan tenaganya, untuk berontak, akan tetapi
sangat menyesal, nyata dia telah kehilangan seantero tenaganya,
hingga tidak berhasil dia dengan percobaannya itu, malah
sebaliknya, dia merasakan kepalanya semakin pusing. Lantas dia
ingin tidur saja. Celakanya, kedua matanya pun lantas tertutup
rapat, walaupun dia ingin membukanya, tetapi dia tidak
mampu. Berkat keulatan iweekang-nya, dia masih kuatkan hati, dia
tetap membuat perlawanan bathin, maka terasalah olehnya, bahwa
orang telah menggotong padanya, untuk dibawa di suatu tempat. Ia
dengar suara pintu dikunci, maka ia menduga bahwa ia tengah
dikuncikan di sebuah kamar gelap.....
Memang, teh yang diminum Thian Hoa telah dicampuri bonghan
yoh, obat pulas, saking ulatnya ia, ia tak rubuh tanpa sadarkan diri
lagi seperti korbankorban lainnya, masih terang ingatannya, cuma
sia-sia saja perlawanannya untuk menjadi sadar, akan pulihkan
tenaganya, yang habis seketika.
Berapa lama sang waktu sudah lewat, inilah Thian Hoa tidak
ketahui, tetapi ia masih tetap sadar ketika ia dengar suara daun
pintu ditolak terbuka, lalu seorang melongok masuk. Sekarang Thian
Hoa dapat buka kedua matanya, segera ia kenali Tjioe Kian,
tjongpeng dari Ganboenkwan. Dengan tiba-tiba saja meluap hawa
amarahnya, dengan sekuat tenaganya ia coba lompat bangun,
untuk menyambar dengan tangannya pada muka orang.
"Inilah aku!" beritahu Tjioe Tjongpeng sambil menangkis.
Masih belum pulih tenaganya Thian Hoa, atas tangkisan itu,
tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak, sampai ia membentur
tembok. Tentu saja murkanya bertambah.
"Bagus!" serunya. "Ini dia yang dibilang, kenal manusia, kenal
cecongornya, tak kenal hatinya! Oh, Tjongpeng Thaydjin, kau telah
gunakan siasat rendah yang hina dina, sungguh kau pandai!"
Tapi tjongpeng itu maju menghampiri, untuk cekal lengan orang.
"Diam, keadaan sangat berbahaya!" katanya seperti berbisik.
"Lekas makan ini obat pemunah! Mari kita pergi bersama untuk
menolongi In Thaydjin1. Ini pedangmu, yang telah aku ambilkan.
Lekas!"
Thian Hoa tercengang.
"Apa ?" tanyanya "Kau? Apakah artinya ini?"
Di dalam kamar tahanan yang gelap itu hanya terlihat sinar
kedua mata bergemerlapan dari Tjioe Tjongpeng, sinar mata yang
berpengaruh.
"Tjioe Kian ada orang macam apa, mustahil kau masih belum
ketahui?" katanya dengan perlahan. "Keadaan sekarang sangat
genting, baiklah kita bicara nanti saja! Lekas kau turut aku!"
Mau atau tidak, Thian Hoa buka mulutnya untuk telan obat
pemunah. Ia memang sadar, maka setelah makan obat itu,
lenyaplah keinginannya untuk tidur saja. Ia terima pedang yang
disodorkan si tjongpeng itu, lantas ia lompat keluar kamarnya akan
ikuti punggawa perang itu.
Di luar kota Ganboenkwan terdengar su- ara terompet yang
panjang.
Sesampainya mereka di luar kamar, mereka dihalangi kiepaykhoa
yang menyuguhkan teh yang tercampur obat pulas.
"Tjioe Thaydjin, kau mesti berpikir masak-masak berulang-
ulang!" kata hamba pelayan ini. "Jangan thaydjin sampai merusak
hari depanmu!"
"Tjioe Tjongpeng tidak menjawab nasehat itu, dia melainkan
lompat kepada si kiepaykhoa sambil menyabet dengan goloknya,
atas mana tubuh hamba itu kutung menjadi dua potong!
Sebagai tindakan terlebih jauh, Tjioe Tjongpeng rampas dua ekor
kuda dengan apa ia bersama Thian Hoa lantas kabur ke depan
kantor, untuk nerobos keluar kota.
Tidak ada opsir lainnya atau serdadu-serdadu, yang berani
merintangi tjongpeng itu serta kawannya.
Tjioe Kian memang tampak sangat keren. Di atas kudanya,
dengan cambuknya, dia menuding ke arah Tjitliepouw.
"Di luar Tjitliepouw sana, mereka asik bertempur!" katanya
dengan nyaring. "Mari kita ambil jalan memotong!"
Dan ia kaburkan kudanya di sebelah depan, menuju kesebuah
jalan kecil, dari mana mereka lantas dengar suara berisik dari
bergeraknya pasukan tentera di jalan besar, antaranya terdengar
teriakan-teriakan: "Tjioe Tjongpeng kembali! Tjioe Tjongpeng
kembali!"
Akan tetapi tjongpeng itu tidak mempedulikan-nya.
Di Tjitliepouw, setelah dengar keterangannya Tiauw Im, In Tjeng
nantikan kembalinya Tjia Thian Hoa. Ia masih saja mendongkol,
kegusarannya tak dapat segera dilenyapkan. Ia pun mesti
menantikan lama. Justeru begitu, mendadak terlihat mengepulnya
debu yang diakibatkan oleh berlari-larinya belasan penunggang
kuda mendatangi, menyusul mana pintu pos penjagaan segera
dipentang lebar, perwira penjaga pos itu segera keluar untuk
membikin penyambutan, suaranya yang nyaring pun terdengar
mengundang masuk belasan penunggang kuda yang baru tiba itu.
In Tjeng dari keretanya dapat melihat dengan nyata, hingga ia
tahu, di antara belasan penunggang kuda itu, tidak ada Tjongpeng
Tjioe Kian, hingga ia jadi tidak puas. Walaupun demikian, ia berlaku
tenang, ia bawa sikap agung. Ketika ia sampai di muka pos, ia
bertindak masuk dengan pegangi soetjiatnya, tanda kebesarannya.
Di dalam pos tentera tapal batas itu ada ruang untuk duduk,
dikedua tepi berdiri berbaris enam belas serdadu Gielimkoen,
pengawal atau pahlawan raja. Mereka berada diundakan bawah.
Dua kimtjee, atau utusan raja, dengan pakaian resminya
menyambut In Thaydjin.
Melihat penyambutan itu In Tjeng girang. Di dalam hatinya, ia
berkata: "Nyata Sri Baginda Raja telah memberi berkahnya, ingat
dia akan kesetiaanku selama dua puluh tahun, hari ini dia telah utus
wakilnya ketapal batas ini untuk memapak aku!" Maka itu, ia bilang
kepada kedua kimtjee itu: "Apakah karena jasaku, si orang she In,
hingga kedua kimtjee menyambutnya di tempat yang sejauh ini..."
Baharu In Thaydjin mengucap demikian, atau tiba-tiba, kedua
kimtjee itu perlihatkan wajah keren dan bengis, keduanya segera
perdengarkan seruan:
"In Tjeng, menteri pengchianat, berlututlah kau untuk
menyambut firman Sri Baginda Raja!"
In Thaydjin kaget bukan main, ia heran tak kepalang, sampai
ketika ia angkat soetjiatnya, tangannya bergetar.
"Tidak berani aku menyambut firman ini!" katanya, untuk
melawan. "Aku si orang she In telah diutus ke negara asing, selama
dua puluh tahun aku hidup menggembala kuda di daerah bangsa
Tartar, selama itu aku tetap bersetia, aku tahu diriku tidak bersalah
dan berdosa!.....
Belum sampai menteri setia ini menutup mulutnya atau dua
pahlawan sudah menyambar ia, untuk dibikin rubuh, sedang satu di
antara kedua kimtjee segera beber firman raja, untuk dibacakan
dengan nyaring:
"Menteri yang berdosa, In Tjeng, oleh mendiang Sri Baginda
telah diberi kepercayaan, diutus ke negeri Watzu, tetapi bukannya
dia bekerja dengan setia, dan membalas budi negara, dia justeru
memusuhinya, hingga dia melupakan negeri dari ayah bundanya.
Begitulah hari ini In Tjeng pulang secara diamdiam, untuk maksud
yang berbahaya guna menjadi penyambut di sebelah dalam.
Sebenarnya, mengingat dosanya, In Tjeng tak mestinya mendapat
ampun, akan tetapi karena mengingat ia adalah menteri dari
mendiang Sri Baginda Raja, ia diberi kecualian, ialah ia diberi
kemerdekaan untuk minum obat guna menghabiskan jiwanya
sendiri, supaya dengan begitu tubuhnya utuh. Sekian!"
In Tjeng kaget bukan kepalang, tubuhnya sampai gemetar keras.
Inilah hal yang ia tidak pernah duga. Sampai saat terachir, ia masih
percaya rajanya menghargai jasanya.....
Satu pahlawan, dengan gelas perak ditangan-nya, menghampiri
menteri yang bercelaka ini. Gelas itu berisi air obat yang merah
warnanya. Dia berkata dengan nyaring: "Menteri In Tjeng yang
berdosa, apakah kau masih tidak mau menghaturkan terima
kasihmu untuk mentaati bunyinya firman Sri Baginda?"
In Tjeng rasakan kepalanya hendak meledak. Mendongkol dan
gusar tercampur jadi satu. Bukan main panas hatinya. Tapi ia mesti
kendalikan diri. Ia sambar gelas racun sambil berseru: "Kasi aku
lihat firman itu! Aku tidak percaya!"
Kimtjee yang membacakan firman tertawa dingin.
"Sungguh besar nyalimu!" kata dia dengan nyaring. "Apakah kau
kira kau berhak melihat firman?"
Menyusul kata-katanya kimtjee ini, terdengar suara kedua daun
pintu kantor menjeblak, setelah mana terlihat masuk satu pendeta
dengan tongkatnya ditangan, dengan tongkat itu ia telah hajar
pintu.
"Jangan pedulikan firman tulen atau palsu, mereka semua mesti
dibikin mampus!" dia berteriak laksana guntur sambil terus
menerjang.
Ke enam belas pahlawan segera turun tangan, guna melabrak
pendeta ini, ialah Tiauw Im Hweeshio. Maka itu, mereka jadi
bertarung dengan hebat sekali.
Tiauw Im mengamuk ke kiri dan kanan, tongkatnya yang besar
dan berat tiap-tiap kali meminta korban.
Kedua kimtjee menjadi ketakutan, muka mereka pucat, kaki
mereka lemas.
Tiauw Im berhasil dengan serbuannya itu, ia mendesak sampai di
ruang sekali, dengan sebelah tangannya ia cekuk kimtjee yang
membacakan firman tadi.
"Dengan susah payah In Thaydjin kabur dari tempat
pembuangannya, dia berhasil pulang kemari, kenapa sekarang kamu
justeru hendak membinasakan dia?" dia berteriak. "Aturan dari
mana ini?"
Dan dengan satu gerakan tongkat, di antara suara nyaring,
hancurlah kepala si kimtjee yang galak, setelah mana sambil
tertawa, pendeta itu cekuk kimtjee yang kedua.
"Lepas! Lepas!" kimtjee ini berteriak-teriak. "Kau berani melawan
kimtjee, kau tahu apa hukumanmu?"
Tiauw Im tancap tongkatnya di lantai, dengan dibantu tangannya
yang lain, ia angkat tinggi tubuh kimtjee itu.
"Jahanam!" dampratnya. "Berapa sih harga sekatinya satu
kimtjee?"
Ia pegang kedua kakinya kimtjee itu yang ia lantas beset!
Semua serdadu gielimkoen terkesiap, tidak ragu-ragu lagi,
mereka lari keluar. Mereka memang sudah jeri terhadap pendeta ini,
yang tadi memberikan labrakan pada mereka. Mereka lari untuk
bunyikan trompet, mereka tidak pedulikan lagi kawan-kawan yang
telah menjadi mayat.
In Tjeng berdiri tercengang, ia terpagut. Di situ, kecuali beberapa
mayat, tinggal ia bersama Tiauw Im. Ia berdiri diam seperti sedang
bermimpi. Ketika Tiauw Im bertindak menghampirkan, baharu ia
sadar.
"Mari firman itu, hendak aku melihatnya!" dia berseru. Dia
baharu ingat kepada firman yang mengharuskan menceguk racun,
untuk menghabiskan nyawanya.
"Peduli apa segala firman begituan!" sahut si pendeta. "Mari turut
aku menyingkir!"
In Tjeng duduk numprah.
"Mari firman itu, kasi aku lihat!" dia kata pula, suaranya tetap.
Tiauw Im mendelik terhadap orang bandel itu tetapi ia mengalah,
ia ulurkan tangannya ke meja, untuk mengambil firman tadi, terus ia
lemparkan.
"Nah, lihatlah!" katanya sengit. "Lekas baca! Lekas!"
Berbareng dengan itu, ia tak mengerti atas kebandelan orang itu.
In Tjeng pungut firman itu, untuk dibuka dan dibaca, setelah
mana, mukanya menjadi pucat seperti mayat.
Dengan tertera cap kerajaan, firman itu memang firman tulen.
Masih ingat ia dahulu, ketika Kaisar Seng Tjouw merampas
mahkota, pernah ia rampas cap kerajaan dari tangan thaykam, lalu
dibuangnya cap itu ke lantai hingga pecah ujungnya, kemudian ia
menyuruh tukang menambal cacat itu. Sekarang ia dapat
kenyataan, itulah cap yang ia kenal.
"Apakah kau telah melihat cukup?" tegur Tiauw Im menampak
orang diam saja.
Masih In Tjeng mengawasi firman itu, ia seperti tak dengar
teguran itu. Dalam sekejap, ingat ia pada penderitaannya di tanah
asing, tapi penderitaan itu kalah hebatnya dengan penderitaan
sekarang. Sekarang habislah harapannya, lamunan sekian lama
bahwa ia bakal dihargai rajanya. Ia dapat bertahan dua puluh tahun
karena kesetiaannya, siapa sangka, bukan kenaikan pangkat yang ia
peroleh, rajanya justeru menghendaki jiwanya!
Tiauw Im ulangi tegurannya, ia masih tidak dengar jawaban,
hingga ia jadi sangat heran, selagi ia awasi menteri itu, mendadak ia
tampak orang membanting soetjiat yang selama dua puluh tahun
tidak pernah terpisah daripadanya. Maka, karena terbanting keras,
soetjiat itu patah menjadi dua potong!
Pada saat itu, kosonglah hatinya In Tjeng, lenyap keinginannya
untuk hidup terus, maka dengan tiba-tiba saja ia angkat gelas
racun, untuk tenggak isinya!
"Hai, kau berbuat apa?" teriak Tiauw Im, yang terus lompat
maju.
Akan tetapi orang kosen ini sudah terlambat, tubuh In Tjeng
rubuh seketika, dari hidungnya, mulutnya, matanya, kupingnya, dan
setiap lobang keringatnya, darah mengucur keluar. Menteri setia ini
telah menemui ajalnya dalam tempo yang cepat sekali, saking
kerasnya racun raja, arak beracun yang dinamakan "Hoo teng ang,"
apapula racun itu sampai satu gelas!
Tiauw Im melengak menyaksikan kejadian itu, ia baharu sadar
ketika ia dengar suara ribut-ribut dari arah luar, ialah suaranya
senjata beradu bercampur dengan tangisan In Loei.
Sebab di luar, kereta In Tjeng sudah dikurung sisa pahlawan
serta tentera pos penjaga, hingga mereka jadi bentrok dengan dua
muridnya si pendeta.
Tidak tempo lagi, sambil berseru, Tiauw Im lari keluar, untuk
menyerbu ke depan. Sejumlah serdadu maju, untuk mencegat,
merintangi, tetapi ia serang mereka, hingga mereka menjadi
bertempur, tetapi tidak lama, ia berhasil merangsak sampai kekereta
di mana segera ia sambar In Loei, untuk ditolongi.
"Jangan takut! Jangan takut!" ia hibur bocah itu sambil menepuk-
nepuk, kemudian dengan sebelah tangan ia pondong bocah itu, lalu
ia berkelahi pula, guna menoblos kurungan.
In Loei mendekam dibebokong si hweeshio, ia diam saja, tidak
menangis atau menjerit, malah dengan mata bercelingukan, ia
memandang kesekitarnya. Rupanya, ditangannya si pendeta,
hatinya jadi tenang.
Bersama dua muridnya, Tiauw Im pecahkan kurungan, lantas
mereka merampas kuda dengan apa mereka kabur bersama.
Tentera Beng mengejar, malah mereka lantas melepaskan anak
panah.
Tiauw Im dan dua muridnya repot juga membuat penangkisan,
kaburnya mereka jadi terhalang, dengan begitu, tentera pengejar
jadi datang semakin dekat.
"Hebat!" keluh Tiauw Im dalam hatinya. Ia lihat bahaya
mengancam. Sulitnya bagi dia, ia mesti lindungi In Loei, hingga
sebelah tangannya tak dapat digunakan.
Sekonyong-konyong dua anak panah menyambar dan kedua
muridnya si pendeta rubuh terguling, karena anak panah itu nancap
ditenggorokan mereka!
Tiauw Im murka hingga ia menjerit. Ia putar tongkatnya untuk
balik menerjang.
"Daripada mesti binasa, lebih baik aku binasakan dulu beberapa
dari mereka!" demikian ia pikir. Tapi, belum sempat ia mengamuk,
ketika ia menoleh ke belakang, ia tampak mata jeli dari si bocah,
mata itu hidup, tidak bersinar takut. Melihat ini, ia menghela napas.
Justeru itu, sebatang anak panah menyambar kepadanya, ia
menangkis. Ia rasakan serangan panah yang hebat, maka ia
menduga, penyerangnya pasti bukan orang sembarang.
Di saat tentera pengejar hampir sampai, Tiauw Im lihat bagian
belakang pasukan itu kalut dengan tiba-tiba, hingga hujan anak
panah pun jadi berhenti sendirinya, lalu dari dalam barisan itu
keluarlah dua orang yang ia kenali adalah Tjia Thian Hoa dan Tjioe
Kian. Karena girangnya hampir ia tak mau percaya kepada matanya
sendiri.
Mendadak satu punggawa musuh mencegat Thian Hoa, dia
mainkan goloknya, atas mana, Thian Hoa desak dia dengan tikaman
pedang berulangulang, hingga dia menjadi repot.
Selagi dua orang itu bertempur hebat, Tjioe Kian berseru kepada
punggawa itu: "Ouw Tjiangkoen, aku telah perlakukan baik padamu,
sekarang aku mohon kebaikan kau!"
Punggawa itu tidak berkata suatu apa, ia cuma putar kudanya,
untuk meninggalkan musuhnya, hingga semua serdadu, meskipun
mereka berteriakteriak, tidak lagi ada yang menyerang, mencegat
atau mengejar.
Tjioe Kian pandang tenteranya itu dengan siapa ia telah hidup
bersamasama bertahun-tahun, habis itu bersama Thian Hoa ia
gabungi diri untuk angkat kaki menuju ke utara. Diam-diam ia
mencucurkan air mata...
Di Utara, musim ada lebih dingin, maka juga sampai tengah hari,
sang Batara Surya masih belum muncul, dari itu, di bawah udara
bagaikan mendung, bertiga mereka larikan kuda mereka.
Thian Hoa telah mengucurkan air mata, dari soeheng-nya telah ia
ketahui nasibnya In Tjeng. Dengan susah payah mereka kabur dari
negara asing, siapa sangka, sesudah sampai di tanah tumpah darah
sendiri, menteri itu mesti menemui ajalnya secara demikian kecewa
dan mengenaskan.
Di pihak lain, ia menyesal untuk Tjioe Tjongpeng, yang guna
membelai sahabat, sudah tinggalkan jabatannya, pangkatnya.
Malah dengan perbuatannya itu, Tjioe Kian telah memberontak
terhadap peme-rintahnya.....
"Sudah, Tjioe Tjongpeng," kata dia kemudian, suaranya
perlahan, "setelah kejadian ini, biar kita nanti berdaya perlahan-
lahan saja untuk hidup kita. Aku menyesal yang aku telah membikin
kau celaka..."
Tapi tjongpeng itu tertawa, tertawanya sedih.
"Aku bukannya tjongpeng lagi!" demikian katanya. "Sudah sejak
setengah bulan yang lalu, aku dipindahkan tempat jabatan,
cuma karena tjongpeng yang baharu masih belum sampai, untuk
sementara aku masih tetap mewakilkannya. Ouw Tjiangkoen itu
adalah tjongpeng yang tulen."
"Tjioe Tjongpeng," katanya, "kau telah berulang kali mendirikan
pahala, mengapa kau dipindahkan? Anehnya, In Thaydjin ada
demikian, setia, kenapa dia bolehnya diberi hadiah kematian?"
Bekas brigadir jenderal itu menggeleng-geleng kepala.
"Urusan pemerintah baiklah kita jangan pedulikan pula.....”
katanya. Tapi ia berhenti sebentar, lantas
ia melanjutkan: "Sekarang ini dorna yang berkuasa, melainkan
orang-orang kepercayaannya yang menjabat pangkat. Aku bukan
kepercayaannya Ong Tjin, pasti sekali dia berdaya untuk pindahkan
aku. Tentang sebabnya mengapa pemerintah membinasakan In
Thaydjin, inilah aku tidak mengerti, cuma karena raja yang sekarang
masih berusia sangat muda, sedang kekuasaan besar berada
ditangan Ong Tjin, kebinasaannya In Thaydjin tentulah atas
kehendak Ong Tjin itu....."
Thian Hoa tutup mulutnya, ia bungkam. Tapi kemudian.
"Apa pernah tjongpeng bertempur sama Thio Tjong Tjioe dari
negeri Watzu?" dia tanya.
"Apakah kau maksudkan itu pengchianat she Thio?" Tjioe Kian
tegaskan. "Pada sepuluh tahun yang lalu, pernah dia datang kemari
bersama tentaranya, sampai dua kali kita bertempur, kemudian
diadakan perdamaian, sejak itu tidak pernah dia datang pula."
"Satu hal membuat aku heran," kata Thian Hoa. "Dia tahu betul
tentang tindak tanduknya pemerintah kita, seperti ia mengetahui
jari-jari tangannya sendiri, apa tak mungkin dia mempunyai
perhubungan rahasia dengan salah satu menteri atau panglima
kita?"
Tjioe Kian awasi Thian Hoa dengan mendelong. "Bagaimana
dapat kau menerka demikian?" katanya. "Coba kau tidak
mengatakannya, pastilah aku lupa! Ong Tjin dan Tjo sinsiang To
Huan dari negeri Watzu adalah sahabat kekal, malah kabarnya, dia
juga mempunyai hubungan dengan Thio Tjong Tjioe."
Thian Hoa jadi tambah curiga. Lantas ia ingat pada obat pulung
dari Thio Tjong Tjioe, yang dibawa Tantai Mie Ming. Ia keluarkan
obat itu, ia gigit pecah lilinnya, untuk keluarkan obatnya, ialah
secarik kertas yang dipulungpulung. Bersama-sama Tjioe Kian, ia
baca kertas itu yang tertuliskan hurufhuruf yang menjadi buah
kalamnya Ong Tjin sendiri.
Nyata surat itu berasal dari Ong Tjin untuk To Hoan berdua
Tjong Tjioe, bunyinya adalah mendamaikan urusan menukar
barang-barang besi Tionggoan, buat ditukar dengan kuda Mongolia.
Thian Hoa menghela napas.
"Mongolia kekurangan besi, tanpa besi dari Tionggoan,
sampaipun busur mereka tidak sanggup bikin," katanya. "Bukankah
ini terang-terang ada satu jalan untuk membantu musuh?"
"Benar," sahut Tjioe Kian. "Aku pun lupa satu hal. Kedua kimtjee
tadi, mereka tiba beberapa hari yang lalu, selama itu ada utusan
Mongolia yang telah mengadakan perhubungan dengan mereka,
entah apa yang mereka bicarakan tetapi aku curigai sekongkolan
untuk membikin celaka pada In Thaydjin. Mungkin itu ada dayanya
To Hoan atau Tjong Tjioe."
"Kalau begitu," tanya Thian Hoa, heran, "habis apa artinya Tjong
Tjioe utus Tantai Mie Ming menyampaikan suratnya dalam obat
pulung ini?"
Dan ia tuturkan halnya kimlong yang dibawa Mie Ming, yang
tadinya mengejar ngejar mereka yang lagi buron.
Tjioe Kian dan Tiauw Im, turut menerka-nerka tetapi mereka tak
peroleh pemecahannya.
"Jahanam Tjong Tjioe itu mana punya maksud baik?" kata Tjioe
Kian kemudian. "Dari perbuatannya saja menyiksa In Thaydjin
selama dua puluh tahun, aku penasaran sudah tidak dapat
membinasakan dia!"
Justru itu, In Loei angkat kepalanya.
"Yaya? Mana yaya?" tanyanya. "Yaya suruh aku binasakan orang,
kamu juga hendak binasakan orang, aku takut, takut.....”
Thian Hoa usap-usap rambut orang.
"Membunuh orang jahat tak usah dibuat takut." katanya
perlahan.
Habis mengucap demikian, tiba-tiba saja orang she Tjia ini
lompat turun dari kudanya, untuk segera menghampiri Tiauw Im.
"Pergi kau bahwa nona cilik ini kepada soemoay." katanya. "Aku
sendiri hendak kembali ke Mongolia.....”
"Untuk apa kau kembali ke sana?" dia tanya.
"Untuk bunuh Thio Tjong Tjioe!" sahut sang soetee.
Tiauw Im angkat tongkatnya.
"Itu benar!" ucapnya. "Dengan binasakan Tjong Tjioe, di
belakang hari tak usah lagi nona cilik ini membinasakan dia! Baiklah,
kita masing-masing, yang satu merawat anak yatim piatu, yang lain
membuat pembalasan! Nanti, lagi sepuluh tahun, kita boleh saling
bertemu pula di kota Ganboenkwan!" Maka itu berpisahlah mereka
berdua, juga dari Tjioe Kian.....
-oood00w00ooo-

BAB I
Bagaikan melesatnya anak panah, demikian sang waktu. Sepuluh
tahun telah berlalu, atau orang berada dalam tahun Tjeng Tong ke-
XIII dari ahala Beng. Maka itu berubahlah berbagai peristiwa dari
sepuluh tahun yang telah selam itu, pasti orang telah lupa akan
perbuatannya Tjongpeng Tjioe Kian dari kota Ganboenkwan, tentu
orang tak ingat lagi riwayat sedih dari Thaydji In Tjeng di daerah
perbatasan itu. Meskipun demikian, di luar kota Ganboenkwan, di
daerah seratus lie yang kosong, yang dinamakan no man's
land itu, suasana bukannya tak tetap ramai..... Keramaian itu terjadi
sejak beberapa tahun yang lampau.
Apa yang dinamakan "keramaian" itu adalah aksinya
segerombolan kawanan Loklim atau Rimba Hijau, karena sikap
mereka ini yang istimewa.
Jumlah mereka tidak besar akan tetapi mereka tidak takut
terhadap tentara Beng, mereka tak jeri terhadap pasukan bangsa
Mongolia, tentara Watzu. Mereka jarang keluar membegal atau
merampok orang pelancongan, mereka cari mangsa di antara
rombongan pembesar rakus, terutama mereka tak mau ganggu
tentara kota Ganboenkwan. Rombongan ini terkenal dari
benderanya, "Djitgoat Siangkie", atau sepasang Matahari dan
Rembulan. Dan yang luar biasa, umum tidak ketahui siapa nama
pemimpin mereka, apa yang diketahui, pemimpin itu ada seorang
tua dengan potongan
"kepala macan tutul" dan "mata harimau". Sebab selagi
menyerbu, di dalam pertempuran, dia selalu memakai topeng. Maka
dia dikenal hanya dari goloknya, golok Kimtoo, hingga dia peroleh
gelarnya: "Kimtoo Lootjat" — si bangsat tua bergolok emas.
Anehnya, apabila dia benterok dengan pasukan tentara, apabila dia
peroleh kemenangan, tidak pernah dia kejar tentara pecundangnya
itu.
Begitu terkenal rombongan berandal ini tetapi satu punggawa
yang bernama Poei Keng belum pernah mendengarnya, hingga ia
tak tahu keamanan yang terganggu di daerah tanah kosong itu.
Itulah terjadi pada musim semi ketika serombongan tentara yang
mengiring angkutan mahal menuju kota Ganboenkwan. Yang jadi
pemimpin tentara itu adalah Poei Keng tersebut, satu punggawa
asal Boekiedjin, yang menyebut dirinya "Sintjia Poei Keng" atau Poei
Keng Malaikat Panah sebab liehaynya ia mainkan busur melepaskan
anak panah, hingga ia berjumawa karenanya.
Pada musim itu Poei Keng dapat tugas mengiring uang negara
sebanyak empat puluh laksa tail, uang terdiri dari uang goanpo,
setiap petinya berjumlah lima ratus tail. Seratus keledai dipakai
guna menggendol harta besar itu.
Tapi si Malaikat Panah tidak hanya membawa uang negara saja.
Berbareng dengan seratus keledai itu, ada lagi empat belas ekor,
yang bebokongnya dimuatkan dengan barang-barang
kepunyaan pribadi dari Teng Toa Ko, tjongpeng dari Ganboenkwan.
Sama sekali Poei Keng cuma pimpin seratus serdadu, inilah
sebabnya sampai sebegitu jauh, belum pernah ia mengalami
kegagalan.
Dibulan ketiga, daerah Kanglam mempunyai banyak rumput
panjang, tapi di luar kota Kieyongkwan, salju masih belum cair,
maka hawa udara jadi dingin sekali. Tapi melalui perjalanan yang
jauh, hari itu, keseratus serdadu itu merasa gerah karena hawa
yang panas, sedang mereka pun sudah letih, apa pula ketika itu
adalah tengah hari, matahari sedang memancarkan sinarnya.
Di atas kudanya, sambil menunjuk dengan cambuknya, Poei Keng
berkata: "Besok tengah hari, kita akan sampai di kota
Ganboenkwan! Kita berangkat cuma dengan seratus orang,
angkutan kita banyak dan berat, kita juga mesti lintasi gunung
melalui bukit-bukit, kita mesti melakoni perjalanan ribuan lie, maka
syukur sekali, kita tak nampak sesuatu! Sesunguhnya, kita harus
memuji diri!"
Poei Keng didampingi dua hoekhoa, pembantunya, mereka ini
lantas berkata: "Thaydjin kesohor dengan panahnya, di kolong
langit ini siapakah yang tidak mengetahuinya? Umpama kata di
tengah jalan ada rombongan bangsat kurcaci, dengan mendengar
nama thaydjin saja, angkat kepala pun mereka tidak berani!.....”
Poei Keng tertawa bergelak-gelak. "Kamu memuji! Kamu
memuji!" katanya riang gembira.
Tapi, mendengar itu, serdadu-serdadu tertawa di dalam hati,
sebab mereka tahu, hoekhoa hanya tengah mengangkat-angkat
saja.
Segera mereka berada di jalan di tepi mana ada sebuah warung
arak, tempat untuk orang-orang pelancong singgah untuk
membasahkan tenggorokan, melihat itu, Poei Keng girang.
"Kali ini kita melakukan perjalanan selamat tidak kurang suatu
apa, ini bukan melulu karena tenagaku satu orang," berkata dia,
yang ingat kepada pahalanya semua serdadu, "ini adalah jasa kita
beramai! Ganboenkwan sudah ada di depan mata, tidak usah kita
terlalu terburu-buru, mari kita singgah di sini! Aku undang hoekhoa
berdua minum arak!"
Lantas dia lompat turun dari kudanya, untuk masuk ke dalam
warung arak itu, di ikuti kedua pembantunya yang pandai sekali
mengangkat-angkat.
Setelah menenggak beberapa cawan, penyakit jumawa dari Poei
Keng kumat, terus ia bicara banyak, akan kepulkan kekonsenannya.
Ia berceritera ketika dulu ia masih menjadi polisi di kota Tongpeng,
dengan panahnya, ia telah takluki serombongan orang jahat.
"Sayang sekarang thaydjin sedang menjabat pangkat," kata
satu hoe-khoa, "kalau tidak, tahun ini thaydjin boleh turut ujian
militer, niscaya sekali thaydjin tidak akan lulus sebagai Boe
tjonggoan1."
"Boe tjonggoan" atau "tjonggoan militer" adalah gelar tertinggi di
dalam ujian yang dibikin di kota raja. Gelar kedua adalah "ponggan"
dan gelar ketiga "tamhoa."
Hoekhoa yang kedua pun berkata: "Hari ini udara terang, dengan
memberanikan diri aku mohon thaydjin mencoba memperlihatkan
kepandaian memanah supaya kami dapat lihat!"
Poei Keng tenggak kering satu cawan besar, ia tertawa, habis
mana ia turunkan busurnya.
"Mari semua kamu turut aku!" katanya, mengajak orang
kelataran. Ia segera siapkan dua batang anak panah.
"Kamu semua lihat biar tegas!" katanya pula, lalu dengan cepat
dan lincah, ia memanah.
Dengan menerbitkan suara mengaung, sebatang anak panah
melesat ke udara, kemudian, selagi anak panah itu mulai turun, dia
disambar oleh yang kedua, yang dilepas hampir menyusul, dan
tepat sekali, anak panah pertama itu menjadi sasaran yang kedua,
lantas keduanya jatuh bersama.
Kedua hoekhoa berseru dengan pujiannya, dituruti oleh pujian
sekalian serdadu. Di dalam hatinya, kedua hoekhoa tukang
mengumpak itu berkata: "Benar-benar dia liehay, dia bukan cuma
ngoceh saja..."
Selagi serdadu-serdadu itu memuji, di antara suara derapnya
kaki, kuda, tampak satu penunggang asyik mendatangi, dari
mulutnya itu juga terdengar pujian: "Panah yang bagus! Panah yang
bagus!"
Poei Keng menoleh dengar segera. Ia lihat seorang dengan
dandanan sebagai sioetjay, ikat kepalanya hijau, romannya lemah
lembut, akan tetapi dibebokongnya tergemblok sebuah busur hitam.
Kudanya pun kecil dan kurus. Malah busur itu lebih kecil dari busur
yang umum, apabila itu disbanding dengan busur punggawa ini,
besar bedanya.
"Mestinya anak sekolah kuatirkan jalanan yang tidak aman!" Poei
Keng tertawa dalam hati. "Dia menggendol-gendol biang panah
untuk membesarbesarkan nyalinya! Sebenarnya percuma saja dia
bawa biang panah itu! Umpama kata benar ada begal, pasti begal
itu siang-siang ketahui dia adalah satu mahasiswa yang lemah dan
tak berguna.....“
Orang macam sioetjay itu sudah lantas tambat kudanya di
sebuah pohon di tepi jalan, ia terus bertindak masuk ke dalam
warung arak.
Poei Keng menduga orang ini ternama juga, ia memberi hormat
sambil mengangkat tangannya.
"Kau she apa, hengtay" tanyanya. "Kenapa kau jalan sendirian?
Apa kau tidak takut kepada orang jahat?"
"Siauwtee she Beng nama Kie," sahut sioetjay itu, yang
bahasakan dirinya, "adik kecil" (siauwtee). "Tjongpeng dari
Ganboenkwan ada sanak jauh dari siauwtee. Dalam ujian tahun ini,
siauwtee gagal, tetapi siauwtee tak ingin berdiam di rumah saja,
maka itu siauwtee pergi jauh ketapal batas ini dengan mengharap
pertolongan dari sanakku itu, supaya ia beri sesuatu jabatan kecil
di dalam kantornya."
Mendengar begitu, Poei Keng mengawasi.
"Oh, kiranya kau sioetjay melarat yang mengharap pertolongan
orang.....” pikirnya. Lantas ia
berkata: "Inilah bagus! Tjongpeng yang menjadi sanak jauhmu
itu adalah besan dari Pengpou Siangsie kami dan dalam
perjalananku ini mengangkut uang tentara, aku sekalian membawa
sesuatu untuk sanakmu itu."
Sioetjay Beng Kie itu pun lantas berkata: "Sungguh kebetulan!
Nyata aku telah bertemu dengan satu tuan penolong! Aku dengar
dibilangan sini ada ancaman kawanan penjahat, aku memang takut.
Aku.....aku.....”
Poei Keng tahu hati orang, dia justeru sudah mulai terpengaruh
susu macan, maka lantas ia tepuk dadanya.
"Kau telah bertemu dengan aku, hengtay, tak usah kau takut
lagi!" katanya dengan jumawa. "Dengan andalkan busur ini, selama
perjalanan yang jauh, kawanan penjahat bagaikan menghadap
angin dan menyingkir. Hengtay hendak pergi ke Ganboenkwan
kepada sanakmu, mari kita jalan bersama!" Mahasiswa itu
perlihatkan air muka terang.
"Terima kasih, terima kasih!" ucapnya berulang-ulang. Dengan
matanya, tak henti-hentinya ia awasi busur besi itu.
Kembali Poei Keng tertawa.
"Busur ini istimewa buatannya!" katanya, tetap terkebur.
"Siapa tidak punya tenaga dari lima ratus kati, jangan harap dia
sanggup pentang busur ini!"
"Hebat, hebat!" Beng Kie memuji. "Mari minum!" Poei Keng
mengajak dalam ke-gembiraanya, dan ia tenggak pula araknya
hingga kering beberapa cawan besar. Dan kemudian, sambil
berbangkit ia berseru: "Mari kita lanjutkan perjalanan kita!"
Mereka lantas berlerot pergi.
Angin dingin membuatnya Poei Keng merasa kepalanya rada
berat, tanda dari terlalu banyaknya ia menenggak air kata-kata.
Tidak lama, kemudian mereka telah berada di lamping gunung
arah barat, jalanan di situ sukar, dari atas gunung terdengar
pekiknya sang kera dan burungburung belibis, dan binatang-
binatang itu, yang berada dipohon-pohon dekat, lari menyingkir dan
terbang pergi.
"Tempat ini agak berbahaya, aku kuatir ada penjahat di sini,"
kata Beng Kie.
Poei Keng sebaliknya tertawa besar.
"Kalau penjahat muncul, itu artinya mereka cari mampus sendiri!"
katanya.
Dengan cepat Beng Kie turunkan busurnya, wajahnya pucat.
Lagi-lagi Poei Keng tertawa.
"Kau takut, hengtay?" tanyanya.
"Sebenarnya aku agak jeri," Beng Kie akui. "Di luar keinginanku,
aku turunkan busurku, untuk bersiap sedia, guna menjaga diri.....
Ah, sungguh satu perbuatan gila, membikin thaydjin tertawa saja!"
Poei Keng tertawa terbahak-bahak.
"Kau lupa bahwa kau tengah berjalan bersama-sama aku!"
katanya. "Hahahaha! Kalau benar penjahat muncul, apa gunanya
busurmu itu?" Dan, terbenam dalam pengaruhnya susu macan, dia
ulur sebelah tangannya. "Coba kau perlihatkan permainanmu itu!" ia
menambahkan.
Beng Kie tersenyum.
"Aku bikin thaydjin ketawa saja!" katanya. Tapi ia tidak menolak,
ia turunkan busurnya untuk dihaturkan.
Poei Keng menyambutnya, ketika ia telah pegang busur hitam
legam itu, ia terperanjat sendirinya. Di luar dugaannya, biang panah
yang ia pandang enteng itu sebenarnya berat.
"Dari apa terbuatnya ini?" tanyanya, separuh mengoceh. Lantas
ia menarik, tetapi ia tak kuat menariknya hingga busur terpentang,
sedang ia tahu, ia mempunyai tenaga kekuatan lima ratus kati.
Dengan sendirinya, wajahnya menjadi berubah merah, ia kaget
berbareng malu, hingga mulai sadar ia dari pusingnya akibat
pengaruh arak.
"Kau..... kau.....” katanya suaranya terputus-putus.
Beng Kie ambil kembali busurnya itu, ia tertawa.
"Rupanya thaydjin telah minum arak terlalu banyak hingga kau
tak dapat gunakan tenagamu," kata dia. "Siauwtee membesarkan
nyali, siauwtee juga ingin mohon diberi ketika melihat busur
thaydjin."
Dalam keragu-raguan, Poei Kei serahkan busurnya yang beratnya
lima ratus kati.
Si sioetjay kurus itu menyekal dengan kedua tangannya, tangan
kirinya menahan bagaikan "menahan gunung Tay San," tangan
kanannya ditarik melengkung bagaikan "mengempo baji," maka
sekejab saja, busur itu telah terpentang bundar bagaikan "bulan
penuh" — bulan purnama.
"Sungguh bagus busur ini katanya sambil memuji. Tapi ia memuji
keenakan, ia menarik terus, atau tahu-tahu: "Trak!" busur itu patah
menjadi dua potong!
Hilanglah pengaruh arak diotaknya Poei Keng.
"Siapa kau?" dia tanya dengan bentakannya, dengan bengis.
Si mahasiswa melemparkan busur rusak itu ke tanah, habis itu ia
berdongak ke arah langit sambil tertawa berkakakakan sama sekali
ia tidak jawab teguran itu, sebaliknya, ia lari kepada kudanya yang
kecil kurus, dengan sebat ia melepaskan tambatan, terus ia lompat
naik kebebokong binatang itu, yang terus kabur laksana terbang,
meninggalkan debu di belakangnya.
"Panah!" teriak Poei Keng dengan titahnya. Sejumlah serdadu
taati titah itu, akan tetapi sudah kasip, orang sudah pergi terlalu
jauh, anak panah-anak panah menyambar tanpa mengenai
sasarannya. Sebaliknya serangan anak panah itu seperti undangan
belaka, sebab dari sana sini di mana terdapat semak-semak, segera
muncul sejumlah orang jahat, menyusul manah, Beng Kie juga
kembali bersama kudanya.
"Busur liehay cuma sebegitu saja!" kata si mahasiswa sambil
tertawa di atas bebokong kudanya, tertawanya nyaring. "Kita
justeru adalah orang-orang jahat yang hendak merampas uang
angkutanmu! Beranikah kau bertanding denganku?"
Poei Keng bungkam. Ia telah jumput busurnya, tetapi busur itu
telah patah dan tidak ada gunanya lagi. Tapi ia mesti lindungi
angkutannya, maka ia beri tanda kepada orang-orangnya untuk
siap.
Tiba-tiba terdengar tertawa nyaring dari Beng Kie, lalu panahnya
mengaung.
"Biar kamu tahu bahaya!" katanya dengan jumawa.
Tiba-tiba satu hoekhoa menjerit keras, jeritan dari kesakitan, lalu
tubuhnya rubuh, karena sebatang panah menancap
ditenggorokannya sekali, jiwanya melayang segera.
Kembali si mahasiswa kurus berseru, lagi sekali panahnya
mengaung, lantas hoekhoa yang kedua rubuh menjerit seperti
rekannya tadi, tubuhnya terguling dan binasa, sebab anak panah
nancap didadanya tembus kebebokongnya!
Semua serdadu menjadi kaget, dengan satu teriakan, mereka lari
kabur!
"Kau juga, mari rasakan sebatang panah!" seru Beng Kie
akhirnya kepada punggawa pengantar harta besar itu.
Dan sret!
Beng Kie menyekal busurnya ia menangkis, hingga terdengar
satu suara nyaring dibarengi dengan meletiknya lelatu api.
Menyusul itu kembali terdengar suara mengaung yang kedua
kali!
Bukan main kagetnya Poei Keng, ia berkelit begitu rupa hingga ia
terguling dari atas kudanya. Anak panah lewat sedikit di atasan
kepalanya!
"Habislah aku!..." dia mengeluh.
Tapi anak panah yang ketiga, yang dikuatirkan, tidak datang
menyerang apa yang terdengar adalah gelak tertawanya si orang
she Beng itu.
"Dua kali dapat kau kelit panahku, kau boleh dibilang kosen
juga!" demikian katanya. "Sekarang aku suka memberi ampun
padamu!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu seruan nyaring, atas mana di
jalanan di muka kereta segera meluruk jatuh banyak batu besar,
batu-batu yang digulingkan dari atas gunung, mencegat jalanan itu.
Menyusul itu muncul lagi satu rombongan begal.
Poei Keng kaget dan takut, ia gulingkan tubuhnya, untuk terus
lari. Ia masih dengar panah mengaung di kupingnya, ia bersyukur,
tubuhnya tidak menjadi sasaran. Dengan terpaksa ia nelusup dalam
semak-semak di dalam lembah, dari situ ia dengar suara berisik dan
kalut, sampai sekian lama sesudah mana, baharulah ia dengar
merata dari tindakannya lerotan kuda.
Akhirnya, ketika Poei Keng muncul dari tempat sembunyinya, ia
lihat sang rembulan memancar di atas langit, di sekitarnya tidak ada
orang lainnya, Cuma kupingnya dengar suaranya kutu-kutu malam
saling sahut. Dengan gunakan kaki dan tangannya, ia merayap naik,
sampai di tempat tadi di mana ia tampak mayatnya kedua hoekhoa,
tidak ada lain orang lagi.
Masih ia takut, hatinya masih goncang.
"Rupa-rupanya semua serdadu kena ditawan musuh..." pikirnya.
Tapi di situ, disekelilingnya, tidak ada musuh juga.
Sekarang hatinya punggawa ini mulai tetap, a-kan tetapi, setelah
itu, kedukaan datang berganti. Empat puluh laksa tail telah lenyap!
Itulah tanggung jawab yang berat. Hukuman yang berat sekali akan
menimpah padanya. Ia usap-usap kepalanya, ia menjadi bingung.
Mau menangis ia, tapi air matanya tidak ada.
"Sebenarnya lebih baik berandal panah saja aku hingga mati..."
pikirnya kemudian, karena pepatnya. Ia duduk menjublak, akan
awasi sang rembulan naik makin tinggi, makin tinggi.
"Tak dapat aku lolos dari kematian," katanya pula di dalam hati
sesudah ia piker dalam-dalam. Maka ia ambil suatu putusan,
sesudah mana, ia menghela napas. Ia lantas cari selembar
tambang, ia membuat buntalan, sesudah ikat itu kepada cabang
pohon, ia kalak lehernya sendiri, lalu ia lepaskan cekalannya kepada
tambang itu.....
Menggantung diri adalah suatu siksaan hebat, inilah Poei Keng
rasakan ketika tenggorokannya terjirat dan napasnya mulai susah
jalannya. Untuk sedetik masih ia ingat, kenapa ia tidak terjun keair
saja, akan lelapkan diri.....
Dalam keadaan itu, habis sudah dayanya Poei Keng, malah untuk
menjerit saja, ia sudah tidak punya kemampuan. Di lain detik, ia
rasakan kedua matanya gelap, segera ia tak ingat suatu apa lagi.
Tapi tidak lama, ia rasakan tubuhnya enteng, samar-samar ia
rasakan ada orang memeluk tubuhnya, yang diangkat turun, lalu di
lain saat, napasnya berjalan pula.
Akhirnya dapatlah Poei Keng membuka matanya, hingga ia
tampak satu pemuda, yang pakaiannya terdiri atas kain kasar,
sedang berdiri di sampingnya, mengawasi dia sambil tersenyum. Ia
menjadi heran. Ia menghela napas, ia merasa lega.
"Kenapa kau tolongi aku?1 ia tanya ketika ia sadar dari
pingsannya.
"Adakah aturan untuk menyaksikan kematian orang, tapinya
tidak menolongi?" tanya si anak muda sambil tertawa.
Masih Poei Keng mengawasi. Setelah sadar, ia ingat kepada
urusannya, kepada tanggung jawabnya. Ia menjadi bingung pula. Ia
tahu, ia mesti menghadapi hukuman berat, mungkin hukuman mati.
Bukankah ia telah dibegal habis-habisan?
"Percuma kau tolongi aku!" katanya kemudian. Dan ia lompat
bangun. Ia berniat melanjutkan membunuh diri.
"Sabar," kata si anak muda. "Kenapa kau bunuh diri? Katakanlah
padaku."
Anak muda ini cekal lengan orang, sampai Poei Keng, yang
hendak berontak, tidak sanggup mewujudkan niatnya itu. Ia jadi
semakin bingung, ia menjadi gelisah.
"Lepaskan aku!" ia berteriak. Ia pun berjingkrak. "Jangan kau
ganggu aku! Percuma diceritakan juga..."
Anak muda itu tertawa, ia lepaskan cekalannya.
"Melihat romanmu, kau adalah satu punggawa negeri," katanya.
"Ah, tahulah aku! Kau tentu sedang mengangkut rangsum tentara,
lalu kau kena dibegal! Lantas kau cari matimu sendiri! Benarkah?"
Poei Keng heran, ia melengak.
"Kenapa kau ketahui itu?" tanyanya sambil berjingkrak.
"Kamu tentara negeri, setiap tahun sedikitnya dua kali kamu
angkut rangsum," sahut si anak muda. "Dan setiap kali kamu lewat
angkut rangsum, tentu kamu membuatnya ayam terbang anjing
kabur, maka siapakah yang tidak tahu?"
Poei Keng meringis.
Karena kau sudah tahu, sudahlah, jangan kau halangi aku," kata
dia.
Si anak muda tidak menggubrisnya, hanya, seorang diri, dia
berkata: "Meskipun kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur,
hingga rakyat menjadi tidak aman, sedikitnya kamu telah
mengangkut rangsum tentara pelindung perbatasan, tanpa tentara
tapal batas, mungkin bangsa Tartar sudah datang menyerang, maka
itu, pikirku, masih lebih baik untuk kau jangan cari mampusmu
sendiri.....”
Heran Poei Keng, dari mengawasi, ia sambar lengan orang. Akan
tetapi ia menyambar sasaran kosong.
"Kau bikin apa?" tanya si anak muda.
"Kau siapa?" bentak punggawa itu. "Darimana kau ketahui
barangku dirampas begal?"
Anak muda itu tersenyum.
"Aku adalah penduduk tani di tanah pegunungan ini," dia,
menyahut. "Tadi malam aku saksikan lewatnya serombongan
berandal. Mereka itu menggiring banyak kereta serta sejumlah
serdadu tawanan, mereka lewat di depan rumahku, mereka menuju
ke arah gunung. Aku bukannya si tolol, menampak keadaan,
mustahil aku tidak dapat menerka?"
Poei Keng anggap benar juga.
"Apakah kau tahu di mana sarangnya kawanan berandal itu?" dia
tanya.
"Aku bukannya koncoh berandal, mana aku tahu?"
Poei Keng melengak.
"Ya, taruh kata aku tahu sarang berandal itu, apa yang aku dapat
berbuat?" pikirnya kemudian. Karena ini, timbul pula kenekatannya.
"Biarkan aku cari kematianku!" ia berseru.
Si anak muda mengawasi.
"Jikalau barangmu didapat kembali, kau tentu tidak akan mencari
mati, bukankah begitu?" tanya dia. "Mencari barangmu ada lebih
berharga daripada cari mati, maka baiklah kau cari barangmu itu!
Bukankah itu uang?"
Dengan tiba-tiba saja, Poei Keng ingat suatu apa. Ia sadar.
"Aku kuat pentang busur seberat lima ratus kati, itu artinya
tenagaku ada di atas tenaga sembarang orang," demikian ia
berpikir, "akan tetapi barusan dia cekal aku, aku tidak mampu
berontak, sebaliknya dia, tak dapat aku sambar tangannya. Mestinya
dia bukan sembarang orang.....
Kalau tadi dia sangat jumawa, sekarang dia insaf. Tanpa merasa,
dia beri hormat sambil menjura pada anak muda itu.
"Aku Poei Keng, insaf bahwa kepandaianku tidak berarti," dia
akui. "Memang aku tidak sanggup melawan kawanan berandal itu.
Hiapsoe, sukakah kau menolong jiwaku?....."
Tanpa ragu-ragu lagi, ia memanggil "hiapsoe" — "orang gagah"
— terhadap pemuda itu.
Si anak muda tertawa terbahak-bahak.
"Siapa kata aku satu hiapsoe?" katanya. "Aku adalah orang
gunung biasa saja. Jikalau kata-katamu ini terdengar oleh orang
sesama kampungku, mereka bisa tertawa terpingkal-pingkal hingga
sakit perutnya.....”
Poei Keng menjadi putus asa. Tapi, masih ia mengharap.
"Melihat kau, yang harus kasihani," kata si anak muda kemudian,
sebelum orang sempat bicara, "aku suka memberi petunjuk pada
jalan yang terang padamu.....”
Mendengar ini, terbangun harapan si punggawa.
"Silakan, tunjukkan jalan, hengtay," katanya. Sekarang ia ubah
bahasa panggilannya. (Hengtay = kakak yang mulia.)
"Sabar," kata si anak muda "Aku sendiri tak dapat menolong kau,
aku cuma ingin memberi petunjuk. Tidak jauh dari sini ada seorang
luar biasa, apabila kau mohon pertolongannya dan dia suka
membantu, tentu sekali kau akan mendapatkan barangmu kembali."
"Siapa she dan namanya orang luar biasa itu, hengtay?" tanya
Poei Keng. "Di manakah tinggalnya? Maukah hengtay
memberitahukan kepadaku?"
"Tentu sekali," sahut si anak muda. "Hanya ingin aku beritahu
juga, karena dia ada seorang luar biasa, luar biasa juga
perangainya. Kau tahu, bila dia mengetahui bahwa kau menanyakan
she dan namanya, pasti kau bakal kehilangan jiwamu.....”
Kaget Poei Keng hingga ia melongo.
"Sulit kalau begitu," katanya. "Baiklah, nanti aku tidak cari tahu
tentang dia. Aku minta hengtay saja yang perkenalkan aku
dengannya."
"Apakah kau sangka urusan sedemikian gampang?" si pemuda
tegaskan.
Kembali Poei Keng melengak.
"Habis bagaimana?" dia tanya.
Anak muda itu tersenyum. Dia pungut tambang di tanah, yang
tadi Poei Keng pakai untuk gantung diri.
Poei Keng tidak mengerti, dia mengawasi. "Kau mesti sekali lagi
mencari mati!" kata si anak muda.
"Apa?" Poei Keng terkejut.
"Begini," kata si anak muda. "Besok pagi-pagi, kau berangkat dari
sini, pergi kau ke lembah sebelah barat sana sampai jauhnya tujuh
atau delapan lie, sampai kau lihat sebuah rimba pohon toh yang
bercampur pohon bunga lainnya. Itulah Ouwtiap Kok, lembah Kupu-
kupu. Kira-kira seratus tindak di muka hutan pohon toh itu ada
sebuah batu besar, yang warnanya merah hingga mudah dikenal.
Kau mesti sembunyi di batu itu sebelumnya matahari terbit. Orang
luar biasa itu tinggal di sebuah rumah kecil di belakang hutan toh
itu, tidak dapat kau lantas menemui dia untuk mohon pertolongan.
Biar kau lihat orang, tidak boleh kau keluar dari tempatmu
sembunyi, kecuali bila sinar matahari sudah keluar dicelah-celah
tempat kau sembunyi itu sambil kau memasang mata. Kau mesti
cari sebuah pohon toh, di situ kau mesti berpurapura menggantung
diri. Namanya berpura-pura, sebenarnya kau mesti gantung dirimu
seperti barusan kau telah melakukannya. Nanti orang luar biasa itu
akan menolongi kau. Ingat, jangan kau kalak diri tanggung-
tanggung, mesti secara sungguh-sungguh. Aku pesan, kalau orang
itu bertanya, jangan sekali-sekali kau menyebut-nyebut aku yang
memberi petunjuk kepadamu!"
Poei Keng bersangsi.
Si anak muda mengawasi, dia tertawa.
"Bisa atau tidaknya kau menolong jiwamu, itu bergantung pada
untungmu kali ini", katanya. "Sekarang kau tidurlah, aku hendak
pergi."
"Eh, hengtay, tunggu sebentar," kata Poei Keng setelah
bersangsi sesaat. Dia sambar tangan orang, untuk ditarik, akan
tetapi dia telah kehilangan pemuda itu, yang menyingkir dengan
sangat cepat.
Segera punggawa ini berpikir.
"Kata-katanya si anak muda ini aneh," demikian pikirnya.
"Daripada mesti mati terhukum, lebih baik aku turut nasehatnya itu,
aku coba.....”
Dengan lantas ia ambil putusan. Untuk mentaati nasehat itu,
supaya bisa menjaga waktu, ia tidak berani tidur. Ia lewatkan
malam dengan gadangi sang rembulan. Begitu Puteri Malam mulai
condong, ia lantas berangkat ke arah barat. Beberapa lie ia telah
jalan, rembulan mulai sirna, tinggal bintang-bintang yang berkelap-
kelip, tetapi di samping itu, samar-samar sang fajar mulai muncul.
Lagi dua lie, cuaca sudah mulai agak terang.
Sekarang Poei Keng dapat mencium harumnya bunga, hingga
pikirannya jadi terbuka. Benar-benar ia lihat banyak pohon toh di
sebelah depan, di antaranya ada banyak macam pohon bunga,
merah dan putih campur aduk. Dan benar, di depan rimba toh itu,
ada sebuah batu besar, yang berwarna merah darah, tingginya kira
kira tiga orang berdiri. Batu besar itu bercelah, yang muat satu
tubuh manusia. Tanpa sangsi lagi, Poei Keng hampiri batu itu, terus
ia sembunyikan diri, tetapi matanya dibuka lebar, dipakai mengintip.
Hatinya bekerja, berdebar-debar. Sambil menanti ia pikirkan kata-
kata si anak muda, benar atau tidak, terbukti atau tidak.....”
Sekian lama waktu telah lewat, tidak ada gerakan apa-apa di
situ. Poei Keng sabarkan diri, ia menanti terus. Cuaca telah menjadi
semakin terang. Masih ia menanti, sampai ia tampak sinar matahari
mulai muncul, dari remangremang merah menjadi merah, memberi
pemandangan dari keindahan alam. Tanpa merasa, banyak kupu-
kupu muncul dan terbang berseliweran, seperti memain di antara
bunga bunga.
Biar ia seorang militer, yang umumnya dianggap kasar, Poei Keng
tertarik pada keindahan itu, hingga ia mengawasi dengan
tersengsam.
Sebentar lagi, cahaya matahari mulai menembus hutan toh itu.
Matanya Poei Keng seperti terang, ketika mendadak, ia tampak
satu orang di antara bunga-bunga itu, ialah satu nona muda dengan
baju dan koen-nya berwarna putih, hingga si nona mirip satu dewi.
Tak tahu ia, dari mana munculnya anak dara itu.
Selagi mengawasi, Poei Keng heran atas kelakuan si nona. Nona
itu menggerak gerakkan tangannya, lalu pinggangnya habis itu ia
lari mengitari pohon-pohonan, terus dia berlari-lari, makin lama
makin keras, hingga akhirnya, punggawa itu seperti kabur
penglihatannya. Karena ia mengawasi terus, ia seperti merasa
tubuhnya turut lari berputar-putar. Benar di saat ia mulai pusing,
nona itu berhenti berlari, tetapi dia bukan berhenti untuk
beristirahat, perlahan-lahan dia hampirkan sebuah pohon, dan
dengan sekonyong-konyong lompat mencelat naik ke atas, guna
berlompatan pula, dari pohon yang satu kepohon yang lain,
gerakannya cepat bagaikan burung terbang, gesit seperti kera.
Karena kagumnya, Poei Keng mengawasi dengan mulut
ternganga.
"Benarkah dia ini si orang luar biasa seperti dikatakan si
pemuda?" akhirnya dia menduga-duga.
Selagi mengawasi terus, Poei Keng lihat si nona lompat turun,
selagi turun, tangan bajunya melayang, tertiup angin, hingga nona
itu bagaikan dewi tengah menari.
Berbareng dengan turunnya si nona, bagaikan tertiup angin
musim semi, bunga bunga toh itu pada rontok, melihat mana, si
nona tertawa panjang, dengan tangan bajunya ia mengebut ke arah
rontokan bunga, hingga banyak bunga yang teraup masuk ke dalam
tangan bajunya itu!
Poei Keng menjadi menjublak.
"Apakah benar di kolong langit ini ada nona begini elok?" dia
tanya dirinya sendiri.
Rombongan kupu-kupu, yang tadi terbang pergi karena aksinya
si nona, sekarang datang pula, akan bermain di antara pohon-pohon
bunga itu, menampak demikian, si nona mengebut dengan tangan
bajunya dan rontokan bunga tadi terbang berhamburan, mengenai
banyak kupu-kupu, yang menerbitkan suara dan rubuh.
Poei Keng heran dan kagum. Ia tidak sangka, rontokan bunga
bisa dipakai sebagai senjata rahasia. Ia pun berkasihan terhadap
kupu-kupu itu, yang ia sangka rubuh binasa, tidak tahunya, selang
beberapa saat, semua kupu-kupu itu menggerakkan tubuhnya dan
terbang pula!
"Oh, kupu-kupu!" kata si nona. "Kasihan, aku menyebabkan
kamu kaget, aku telah mengganggu padamu.....” Dan dia tertawa
merdu. Habis itu, dia bertindak pergi, akan masuk ke dalam rumah
kecil.
Berbareng dengan itu, Poei Keng terperanjat. Kalau tadinya ia
berhati lega, sekarang hatinya menjadi tegang. Sebab berbareng
dengan itu, sinar matahari pun menyerang kecelah-celah batu
tempat ia mengintai!
"Tepat benar dugaan si anak muda," pikir ia. "Baharu si nona
masuk atau matahari menyerbu kecelah-celah ini....."
Sekalipun ia masih ragu-ragu, Poei Keng toh keluar dari tempat
sembunyinya. Ia tahu benar, inilah saatnya ia mati atau hidup. Ia
berlaku hebat, ia hampirkan sebuah pohon, untuk naik ke atasnya,
guna mengikat tambang, buat mengalak lehernya, setelah mana ia
gantung diri!
Lagi sekali punggawa yang bercelaka ini rasakan lehernya sakit
dan terkancing, ia mulai susah bernapas. Selagi berbuat begitu, ia
mengawasi ke arah rumah, ia harap si nona muncul, untuk
menolongi padanya. Celakanya, untuk menjerit, ia sudah tak
punyakan kemampuan.
"Mati aku sekarang!.....” keluhnya, matanya berkunang-kunang.
Maka ia menyesal bukan main, ia antarkan jiwa percuma. Dalam
keadaan seperti itu masih sempat ia menduga apa bukannya si anak
muda telah permainkan padanya...
Lalu kedua kakinya seperti berjingkrakan, sampai bunga-bunga
pada rontok.
Karena ia bergerak,lehernya terjerat semangkin keras, hingga
matanya gelap, pikirannya lenyap. Di saat itu, ia masih merasa
seperti ada angin meniup tubuhnya, lalu ia rasakan lehernya lega,
sampai ia sanggup bernapas pula. Kemudian, ia buka mulutnya
tetapi belum dapat ia berbicara.
Berbareng dengan pulihnya napasnya, Poei Keng buka kedua
matanya, maka di depannya ia tampak si nona cantik tadi, yang
sedang mengawasi padanya.
"Terima kasih," ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu,
pasti si nona yang telah menolongi padanya.
Dengan sinar mata yang tajam, nona itu masih mengawasi.
"Eh, punggawa perang, mengapa kau nekat?" tanyanya sambil
menatap terus.
Poei Keng memberi hormat sambil paykoei.
"Aku sedang dalam kesulitan besar," sahutnya. Dan ia tuturkan
pembegalan harta antaran yang besar sekali itu. "Menurut undang-
undang tentara, aku dapat dihukum picis.....”
Nona itu kerutkan alisnya. Tiba-tiba ia kibaskan tangannya.
"Itulah urusan yang tak dapat aku mengurusnya!" katanya.
Poei Keng kaget, hatinya tegang. Ia sambar ko-en si nona.
"Tolong aku, nona," katanya, terus ia menangis, "aku masih
mempunyai ibu yang sudah tua serta anak yang masih kecil, jikalau
kau tidak menolongi aku, tiga jiwa yang penasaran akan melayang
bersama..."
Nona itu berpaling.
"Benarkah itu?" dia tanya.
"Jikalau aku mendusta, biarlah aku digantung pula," sahut Poei
Keng.
Air mukanya si nona berubah menjadi keren.
"Kebetulan aku niat cari mereka, baiklah, aku nanti coba
mencampuri urusanmu ini!" katanya kemudian.
Poei Keng girang tak kepalang.
"Terima kasih, nona, terima kasih!" katanya sambil manggut-
manggut.
"Eh, kau bikin apa?" nona itu menegur. "Aku bukannya orang
mati, mau apa kau manggut-manggut tak hentinya? Ah, apakah kau
ingin merasai pula enaknya orang gantung diri? Ya, siapakah yang
menganjurkan kau dating minta bantuanku?"
"Tidak, tidak ada yang menganjurkan," Poei Keng menyangkal. Ia
ingat baik pesan orang.
"Berapa kali sudah kau mencoba menggantung diri?" si nona
tanya.
"Baharu ini kali," punggawa itu menyangkal pula.
Si nona berdiam, tiba-tiba ia tertawa.
"Memang sebenarnya, aku peduli apa kau sudah gantung dirimu
berapa kali!" katanya pula.
Mendengar ini, bercekat hatinya Poei Keng. Baiknya si nona
segera tambahkan kata-katanya itu: "Telah aku katakan, aku
hendak menolongi kau," katanya, "tidak perduli ada orang
telah tunjukkan kau jalan, aku toh akan menolong kamu.
Menggantung diri itu tidak enak, lain kali jangan kau mencoba
pula..."
Lantas dia tertawa dengan manis, sampai dua kondenya memain.
Menurut Poei Keng, nona ini baharu berumur enam atau tujuh
belas tahun, yang tampak dari wajahnya yang masih kekanak-
kanakan, tanpa merasa, ia jadi berkuatir. Ia sangsi: "Dapatkah nona
muda belia ini, seorang diri melawan kawanan berandal yang besar
jumlahnya?"
Tapi si nona tak beri kesempatan akan dia berpikir banyak.
"Nah, mari kau turut aku!" dia mengajak.
Poet Keng berbangkit, dia ikut memasuki rumah kecil.
"Kau tentu telah lapar, mari dahar dulu daging harimau," kata
nona itu.
Belum Poei Keng menyahuti, atau ia sudah terperanjat. Dipojok
ia tampak seekor harimau besar sedang rebah.
Si nona lihat orang kaget.
"Itulah bangkai harimau!" katanya sambil tertawa. "Mengapa kau
takut! Apa kau dapat keset kulit harimau?"
"Pernah aku lihat pemburu melakukannya," ja* wab Poei Keng.
"Kalau begitu, coba kau tolong kesetkan," kata si nona. "Tapi aku
lihat tendangan kau kepada pohon toh, kau tentu kuat angkat
harimau ini yang beratnya tiga ratus kati."
Poei Keng heran. Tidak aneh si nona bisa rubuhkan harimau, tapi
ia tidakmengerti si nona dapat menerka kekuatan tendangannya
tadi cuma dengan melihat saja.
"Benar, dia satu ahli silat," pikirnya.
Tidak lama, sehabis dahar daging harimau, Poei Keng lihat sang
waktu sudah tengah hari.
Dari tembok, si nona turunkan sebatang pedang. "Mari turut aku,
kita pergi cari si orang jahat," dia kata. "Kita minta kembali uangmu
itu."
Poei Keng menurut.
Mereka mendaki gunung sampai di tempat yang rimbanya lebat
dan di kedua pihak terdapat puncak-puncak yang tinggi. Di situ ada
sebuah gua, yang menghadapi tanah datar lebar.
"Mungkin ini ada tempat di mana penjahat menyimpan harta itu,"
kata si nona. "Mari!"
Dan ia maju terus.
Poei Keng pun ikut nona itu.
Belum jauh mereka maju, atau tiba-tiba:
"Tahan!"
Dan menyusul itu, dari antara semak-semak, lompat keluar dua
orang dengan masing-masing memegang sebatang toya
ditangannya, malah dengan senjata panjang itu, mereka sudah
lantas mengemplang! Hebat serangan itu.
Nona itu lompat ke samping, kedua pentungan itu menyerang
tempat yang kosong. Sambil lompat, nona itu gerakkan tangannya,
atas mana, dua orang itu nyelonong ngusruk, pertama karena
serangan mereka hebat, kedua toya mereka kena ditarik. Keduanya
rubuh terbanting dan terus terjengkang, ke empat, kaki mereka
menjulang ke atas! "
"Hm!" si nona mengejek, ia tertawa dingin. Lalu, tanpa menoleh
lagi, ia maju terus, dengan berlari-lari.
Di depan gua, terdapat banyak batu-batu besar yang malang
melintang, dengan tongkrongannya agak mirip dengan singa atau
harimau atau kuda atau kerbau, yang mengitari sebuah tanah
lapang dan rata.
Tanpa ragu-ragu, nona itu lari masuk ke dalam tanah lapang itu,
yang mirip dengan barisan batu rahasia.
"Tahan!" mendadak terdengar pula bentakan nyaring.
Itulah bentakannya dua orang, sebab dari belakang batu-batu
besar, muncul dua orang dengan serangan golok dan tombak
mereka kepada dada dan lutut.
Dengan berlompatan, si nona mengelak, kedua tangannya pun
dikibaskan.
"Tak dapat kamu mencegat aku!" katanya dengan tawar. Ia
tertawa.
Dua penyerang itu tidak rubuh ngusruk seperti dua kawannya
tadi, tapi mereka tercengang, hingga mereka diam menatap.
"Mari!" si nona menggape kepada Poei Keng. "Kau adalah pemilik
harta, tanpa kau datang, kepada siapa harus aku kembalikan uang
itu?"
Poei Keng belum masuk ke dalam lapangan itu, mendengar suara
si nona, ia besarkan hati, ia bertindak maju.
Justeru itu waktu, si nona sudah tempur dua penyerang yang
pertama, yang dibantu dua kawannya, yang muncul belakangan,
yang bersenjatakan golok dan tombak. Si nona tidak hunus
pedangnya, ia hanya berkelahi dengan tangan kosong, karenanya,
ia banyak berkelit atau lompat menyingkir, tubuhnya lincah sekali
hingga ia mirip kupu-kupu di antara bunga-bunga atau capung
bermain di air.
Poei Keng mengerti silat tetapi mengawasi gerakan si nona, ia
tidak berani mengawasi terus-menerus. Dengan cepat matanya
berkunang-kunang dan kabur..... Ia mesti mengaso sebentar,
baharu ia berani mengawasi pula.
Setelah bertempur sekian lama, si nona berseru, tangannya
menyambar lawannya yang kiri, yang bersenjatakan tombak. Lawan
itu berada di sebelah depan kawannya.
Melihat itu, tiga kawannya yang lain segera datang. Yang maju
terdepan adalah kawannya yang kanan, yang menyekal golok,
disusul yang kiri, yang menggenggam tombak, lalu yang memegang
toya.
Orang yang diserang itu kaget, untuk membela dirinya, dia
jatuhkan dirinya bergulingan. Si nona tidak dapat menyusul, sebab
tiga senjata datang saling susul, maka ia menyambut dengan
mendahului kakinya. Penyerang itu terpaksa lompat mundur.
Kembali si nona kena dikurung, tapi ia tidak berada dalam
bahaya. Ia malah waspada, hingga ia lihat satu orang berdiri di
antara batu sedang menarik busur mengarah padanya.
Poei Keng pun lihat orang itu, ialah Beng Kie yang kemarin ini
mematahkan busurnya, karena kagetnya, ia berteriak: "Awas panah
gelap!" Tapi belum sampai ia menutup mulutnya, atau busurnya si
mahasiswa kurus sudah menjepret dan anak panahnya melesat!
Seperti juga ia tidak melihat bokongan, si nona tetap melayani
musuhmusuhnya, akan tetapi ketika panah itu sampai, dengan
tenang ia menyambuti dengan tangannya.
Panah Beng Kie yang kedua sudah segera menyambar pula!
Gentar hatinya Poei Keng, ia sangat berkuatir pada si nona dalam
kurungan musuh, ia insyaf si kurus, sebagai ahli panah, pandai
melepaskan panah beruntun. Itulah berbahaya.
Tapi si nona walaupun sedang repot, ia masih dapat tanggapi
panah yang kedua ini, tapi ia bukan tanggapi dengan tangan, hanya
dengan panah ditangannya, yang ia pakai menimpuk, hingga dua
anak panah bentrok satu pada lain, lalu mental dan jatuh ke tanah!
"Bagus!" teriak Poei Keng, yang lupa pada kagetnya.
Panah yang ketiga yang sudah melesat pula, sasarannya adalah
tenggorokan si nona, hingga punggawa itu menjadi terkejut pula.
Kali ini si nona tidak gunakan tangannya, ia hanya sambuti anak
panah itu sambil membuka mulutnya, guna menggigit panah itu.
Sebab ia gunakan kepandaiannya yang paling liehay dalam hal
mentanggapi panah!
Baharu sekarang, setelah dibokong beruntun, si nona perlihatkan
roman murka.
"Kehormatan tidak dibalas kehormatan adalah terlalu!" katanya
nyaring, lalu tangan kirinya dipakai menyambit dengan enam batang
senjata rahasia yang romannya mirip dengan bunga bwee.....
-ooo00dw00ooo-

BAB II
Poei Keng belum melihat nyata akan tetapi kupingnya telah
mendengar jeritan saling susul, sesudah mana ia dapat kenyataan,
kecuali Beng Kie si kurus itu, empat lawannya si nona telah rubuh
semua. Beng Kie sendiri dapat mengelakkan diri dua kali dari dua
batang senjata rahasianya si nona itu.
"Sanhoa Liehiap, namamu masyhur tidak kecewa!" demikian dia
berseru setelah dia mendapat serangan pembalasan.
Menyusul pujiannya Beng Kie itu, empat lawan yang tadi menjerit
dan rubuh, telah lompat bangun pula dengan masing-masing
tangannya menggenggam senjata rahasia yang dipakai menyerang
mereka, sambil bangkit berdiri hampir berbareng mereka berkata:
"Kami menghaturkan terima kasih untuk kebaikan liehiap1. Kami
semua takluk!"
Nyata mereka telah terserang senjata rahasia yang digunakan
dengan ilmu "Thianlie sanhoa" atau "Puteri kayangan menyebar
bunga", mereka terkena jalan darah begitu rupa, hingga setelah
rubuh dan "beristirahat" sebentar, lantas mereka sadar pula akan
dirinya, karena mana mereka jadi insyaf bahwa si nona telah
berlaku murah hati terhadap mereka. Maka mereka mengucap
terima kasih.
Nona berbaju putih itu tersenyum.
"Kiranya kamu sedang mencoba-coba aku, untuk mengetahui
aku siapa!" berkata dia. "Sekarang
tentunya kamu suka mengembalikan hartanya sahabat ini,
bukan?" tanyanya sambil menunjuk Poei Keng.
Beng Kie menunjuk ke arah gua.
"Sayang kamu datang terlambat!" katanya. "Sekarang harta itu
sudah dibawa pindah!"
Padam wajahnya si nona. Baharu ia hendak menanya atau si
kurus telah dului dia.
"Kamu mesti melakukan perjalanan lebih jauh!" katanya. "Untuk
itu kami telah menyediakan kudanya. Poei Thaydjin, tadi malam kau
telah merasakan kaget.....”
Merah mukanya Poei Keng.
"Kalau begitu, hendak aku mengunjungi tjeetjoe kamu," kata si
nona, yang menyebut-nyebut nama pemimpinnya (tjeetjoe). "Nah,
mari, kita berangkat sekarang!"
Beng Kie perdengarkan suitan mulut yang nyaring, atas mana
dari belakang batu keluar seorang dengan menuntun empat ekor
kuda.
Tanpa berkata suatu apa, si nona lompat naik ke atas seekor
kuda, dan segera pula ia ikuti pengantarnya, yang pun telah naik
kudanya seperti ia, begitupun Poei Keng.
Mereka lakukan perjalanan di gunung yang sukar, kuda mereka
dilarikan keras, hingga si punggawa, sekalipun dia seorang
peperangan, hatinya goncang juga. Syukur baginya, ke empat ekor
kuda itu sudah biasa dengan jalanan itu, mereka lari tetap di tanah
datar.
Mereka berlari-lari sampai matahari sudah berada
di atas kepala mereka, lalu Beng Kie, sambil mengayun
cambuknya, menunjuk dan berkata: "Di bawah ini ada kota
Ganboenkwan. Teng Tjongpeng telah bersiap-siap untuk besok
membayar gaji, karena uangnya tidak ada, sekarang entah
bagaimana sibuknya dia.....”
Poei Keng heran.
"Apakah kita sudah melalui Ganboenkwan?" tanyanya "Apakah
kamu bukannya orang-orangnya Kimtoo Tjeetjoe dari rombongan
Djitgoat Kie?"
"Kau cuma tahu uangmu apa, tak usah kau banyak tanya!" Beng
Kie senggapi.
Poei Keng berdiam, hatinya memukul. Di dalam hatinya, dia
berpikir: "Si bangsat tua Kimtoo itu tidak biasanya merampas
angkutan negara, kenapa kali ini dia tentangi kebiasaan itu? Inilah
hebat sebab sebegitu jauh aku tahu, Kimtoo ada bangsat tak takut
langit tak jeri bumi, sampaikan tentara Beng dan Pasukan Tartar
juga tidak berani mengganggu padanya. Jikalau dia kehendaki harta
besar itu, pastilah aku tidak akan mendapat kembali
angkutanku itu..... Jangan-jangan kepergian ini
lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya..."
Kuda berlari-lari terus sampai mereka tiba di suatu tempat
terbuka yang merupakan tanah subur — di sana ada sawah-sawah
di mana terdapat sejumlah orang tani yang tengah bekerja. Dilihat
sepintas lalu, tempat itu mirip dengan apa yang disebut dongeng To
Hoa Goan — Sumber Bunga Toh.
"Di sini tentu ada sarangnya kawanan Kimtoo
itu.....” Poei Keng mendugaduga.
Masih kuda dilarikan terus, sekarang di jalan pegunungan, sebab
dikedua tepi ada lamping gunung di mana sering-sering terlihat
bayangan orang berkelebat begitupun berkibarnya bendera-
bendera.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka di muka pesanggrahan.
Benteng berandal itu, dengan didampingi gunung, nampaknya
bagus dan kuat. Di situ ada sarang berandal tapi suasananya
tenang.
Dengan pikiran ragu-ragu Poei Keng, yang telah turun dari
kudanya, ikut si nona berjalan kaki. Si nona telah mendahului dia
turun dari kuda, ia menelad perbuatannya pengantar mereka.
Segera juga ada orang yang papak mereka, untuk memimpin,
masuk ke dalam pesanggrahan di mana lantas terdengar suara
genta yang nyaring serta ramainya bunyi tambur dan terompet
tanda penyambutan. Pintu pesanggrahan sudah lantas dipentang
lebar-lebar, di situ lantas tampak dua baris serdadu berandal
lengkap dengan alat-senjata mereka — golok dan tombak yang
berkilau-kilauan, sedang seragam mereka mentereng.
Disambut secara demikian garang si nona berbaju putih
perlihatkan wajah berseri seri, seperti juga bukan menghadapi
ancaman, ia bertindak dengan tenang. Poei Keng sebaliknya beda
dari si nona, walaupun ia seorang peperangan, cuma dengan
tabahkan hati seberapa bisa, bisalah ia ikuti teladan si nona,
mengikuti nona itu terus sampai di
tiongtong, ruang tengah, dari sarang berandal itu.
Di dalam ruang telah diatur rapi meja serta kursi-kursinya yang
terlapis kulit harimau, tetapi di situ tidak ada orang yang
menyambut atau menantikan. Artinya ruang itu adalah ruang
kosong.
Menampak demikian, si nona memperlihatkan roman tak puas.
"Mana tjeetjoe kamu" tanyanya, dengan suara tak senang.
Beng Kie tersenyum. Dia tidak menjawab, hanya dua orang, yang
tubuhnya tegap, lantas menyingkap tirai untuk bertindak keluar
sambil membawa satu guci arak yang besar serta nenampan terisi
makanan.
Guci itu bersinar kuning keemas-emasan rupanya terbuat dari
tembaga, dan beratnya mungkin ada lima sampai tujuh puluh kati.
Sedang barang hidangannya, asapnya masih mengepul-ngepul, tapi
pada tiap dagingnya ada ditancapkan pisau belati yang tajam
mengkilap.
Kedua orang itu segera membuka mulutnya, sambil menjura,
yang satu berkata dengan nyaring: "Tamu agung datang dari
tempat yang jauh, menyesal kami tidak dapat menyuguhkan apa-
apa, maka itu silakanlah minum barang satu cawan arak!.....”
Kata-kata itu belum diucapkan habis atau orang itu sudah
melemparkan guci araknya, dilemparkan kepada tetamunya yang
agung itu...
Si nona tidak jadi gentar hatinya, wajahnya pun tak berubah.
"Jangan sungkan!" sahutnya sambil mengangkat tangannya,
sedang tubuhnya digeser ke samping. Dengan cara itu dia sambuti
guci arak, gucinya tidak miring, isi araknya, tidak tumpah. Sedang
menurut perkiraan, timpukan orang itu ditaksir ada dua tiga ratus
kati beratnya.
Si nona tersenyum, dia tundukkan kepalanya, akan irup arak dari
guci itu.
"Sungguh arak yang wangi, arak yang wangi!" dia memuji.
Kedua orang itu menjadi kaget, tapi yang di belakang yang
membawa barang hidangan, menjadi penasaran.
"Nah inilah temannya arak!" dia berseru, menyusul mana,
sebatang pisau belati melayang, menyambar si nona.
Si nona tersenyum. Dia tidak berkelit atau menangkis, hanya,
membuka mulutnya, dia tanggapi pisau belati itu, untuk digigit,
setelah mana, dia buka pula mulutnya, akan semburkan pisau itu,
yang terus melesat ke atas, nancap di penglari.
Kedua orang itu heran dan kaget, muka mereka menjadi pucat.
Mereka saling memandang dengan menjublak.
"Nah ini aku balas arak satu cawan pada kamu!" kata si nona,
suaranya keras, tangannya yang memegang guci segera digerakkan.
Maka guci itu lantas melayang ke arah kedua orang itu, hingga
mereka terkejut dan ketakutan bukan main. Mereka terpagut untuk
berkelit atau menyingkir.....
Di saat yang sehebat itu, mendadak satu anak
muda lompat keluar, sebelah tangannya digerakkan, guna
menyambut guci yang dibantu dengan gerakan sebelah kakinya, lalu
diturunkan dengan perlahan-lahan, hingga guci tidak terbalik,
araknya tidak tumpah.
"Hai, dua kutu!" bentak anak muda itu. "Untuk melayani tetamu
saja kamu tidak becus, tapi masih kamu berani lama-lama berdiam
di sini!" Habis berkata, terus dia hadapi si nona, untuk memberi
hormat, untuk terus berkata: "Maaf, maaf, nona!"
Ketika Poei Keng lihat si anak muda, dia terkejut, hatinya
bercekat. Dia kenali si anak muda yang telah menolongi jiwanya tadi
malam, yang menasehati dan menganjurkan dia mohon bantuannya
si nona, si orang luar biasa, Cuma kalau tadi malam orang dandan
sebagai orang tani, sekarang ia dandan sebagai satu pemuda
hartawan atau terpelajar, sikapnya halus.
"Kau liehay, kongtjoe1." kata si nona, yang membalas hormat.
Kedua orang itu, dengan tangan mereka diturunkan, menyapa
pemuda itu dengan berkata: "Siauwtjeetjoe1." Itulah tandanya
pemuda itu adalah tjeetjoe, atau ketua mereka, yang muda.
Setelah hunjuk hormatnya itu, sambil tertawa, si nona
tambahkan: "Nah sekarang baharulah aku ketemu orang yang
tepat! Aku mohon sukalah siauwtjeetjoe mengembalikan harta
angkutan sahabat ini!"
"Uang sejumlah itu, tak usahlah dibuat pikiran," sahut si anak
muda. "Nona, silakan duduk!" Terus ia
memanggil: "Mana orang?" Segera ia melirik pada Poei Keng,
yang ia silakan duduk juga, hanya selagi melirik, matanya memain,
mata itu mengandung arti. Ia seperti hendak berkata: "Kau lihat,
petunjukku toh tidak keliru!"
Poei Keng duduk menjublak, ia benar-benar tidak mengerti.
"Kalau si anak muda ada pemimpin berandal yang muda, kenapa
dia begal angkutanku dan berbareng juga menolong padaku?
Kenapa anak muda itu membuatnya hingga si nona baju putih
datang ke sarang berandal ini? Adakah itu tipu daya belaka dari si
anak muda?" demikian ia berragu-ragu. Ia pun kuatir sekali, karena
mereka berada dalam sarang harimau, di dalam dan di luar ada
banyak musuh.
Punggawa ini tidak usah menantikan lama atau datang orang-
orang yang mengangkut harta yang menjadi tanggung jawabnya
itu, hingga harta itu bertumpuk dilorak.
"Sungguh kau baik, siauwtjeetjoe1." memuji si nona. "Terima
kasih!"
Anak muda itu tertawa.
"Eh, tunggu dulu!" katanya.
Si nona tercengang.
Satu berandal sudah lantas tancapkan bendera pada tumpukan
harta, itulah benda dengan matahari merah serta bulan sabit. Itulah
Djitgoat Kie, bendera Matahari dan Rembulan, tanda dari kawanan
di atas gunung itu.
Si anak muda tersenyum, lalu dari atas meja ia
angkat poci arak yang kecil, ia tuang isinya ke dalam dua cawan,
sesudah mana, cawan yang satu segera ia tenggak. Habis minum, ia
tertawa.
"Jumlah uang empat puluh laksa tail ini benar tak usah dibuat
pikiran, tetapi benderanya Djitgoat Kie berharga mahal bagaikan
harga sebuah kota!" katanya.
Kedua mata si nona menyapu kesekitarnya hingga ia tampak
banyaknya kawanan berandal di dalam ruang itu mereka itu tenang
tetapi terang sekali mereka semua memperhatikan padanya. Tentu
saja ia merasa heran hingga rasa heran itu tertera pada wajahnya.
"Apakah artinya kata-katamu ini, siauwtjeetjoe?" dia tanya.
Pemuda itu tidak lantas menyahuti, ia hanya tersenyum pula.
Si nona berpikir, ia seperti ingat suatu apa.
"Oh, ya, bendera ini adalah bendera rombonganmu," katanya.
"Memang bendera ini mahal yang tak dapat ditukar dengan uang
puluhan ribu tail! Tapi, apakah hubungannya bendera ini dengan
urusan kita?" Anak muda itu tidak menjawab, dia hanya tertawa.
Sebaliknya hampir semua berandal telah perlihatkan roman dari
kemurkaan.
Poei Keng dengar semua pembicaraan ini, ia saksikan sikapnya si
anak muda dan romannya kawanan berandal itu, ia berkuatir bukan
main, hingga di dalam hatinya, ia mengeluh.
"Nona ini benar liehay ilmu silatnya," ia berpikir,
"tapi ia adalah satu anak dara yang mirip dengan anak pitik,
buktinya, tanda-tanda dari kaum kangouw, ia tidak mengerti sama
sekali! Bendera ditancap berarti: "Jikalau kau mempunyai
kepandaian untuk mencabutnya, baharu harta itu kau boleh ambil,
jikalau tidak, baiklah kau mundur!" Terang inilah satu tantangan,
maka kali ini, bahaya
sungguh mengancam!.....”
Si nona ulangi pertanyaannya, ia tetap tidak peroleh jawaban,
karena mana, wajahnya berubah menjadi merah, suatu tanda
bahwa ia sudah mulai habis sabar. Begitulah, dengan alis berdiri, ia
berbangkit.
"Harta telah ada di sini, masihkah kau tidak hendak
menghitungnya?" dia berkata pada Poei Keng sambil melambaikan
tangannya. "Bendera itu adalah kepunyaan mereka jangan kau
ambil, kau biarkan saja!"
Habis berkata, si nona putar tubuhnya, untuk bertindak, atau
segera ia dengar tertawanya si anak muda, siapa dengan
menenteng poci arak, dengan gerakan tubuhnya yang gesit, sudah
maju menghalang dihadapannya.
"Nona, baiklah kau duduk dulu untuk minum arak!" katanya, jelas
dan terang.
Si nona menjadi gusar.
"Tak sudi aku minum arak! Siapa dapat memaksa aku?" dia kata.
Dan dia bertindak terus, maju.
Si anak muda menolak poci arak ke depan, tangan kirinya
mengangkat cawan arak.
"Apakah muka terang ini tak hendak diberikan
padaku?" ia tanya.
Poci dan cawan segera juga mendesak dada dan muka si nona.
Itulah semacam serangan yang liehay sekali.
Akan tetapi, begitu si nona berkelit, si anak muda telah
menubruk tempat kosong, maka juga cawan lantas jatuh dan pecah
hancur berserakan, araknya berhamburan. Si nona, dengan
kegesitannya, telah membentur tangannya.
Si anak muda nyata liehay, setelah cawannya terlepas dan jatuh,
ia tidak mundur, sebaliknya, ia maju terus menghalang dengan
pocinya, mulut poci diarahkan ke buah dada si nona.
Masih si nona dapat berkelit, berbareng dengan itu dia
mendorong dengan kedua jari tangannya, hingga poci arak tertolak
miring, araknya tumpah di lantai, baunya tersiar memenuhi
ruangan.
Hal itu membuatnya semua orang heran dan kaget, tetapi poci
arak tetap dicekal oleh si anak muda.
Dua kali mereka mengadu kepandaian, nyatanya si nona masih
menang satu tingkat.
Si anak muda, yang ilmu silatnya tidak lemah, tidak berhenti
sampai di situ. Dengan teruskan menindak satu kaki, ia putar
tubuhnya, hingga tetap ia berada di muka si nona.
"Biar bagaimana, arak ini mesti kau minum!" katanya tegas. Kali
ini ia majukan pocinya dengan gerakan "Lioeseng kangoat", atau
"Bintang meteor menguber". "Kau harus memberi muka padaku!"
Si nona mundur dua tindak, untuk berkelit.
Sepasang alisnya berdiri, romannya berubah. Berbareng dengan
itu, ia hunus pedang dipinggangnya, hingga sinarnya berkilauan.
Mau atau tidak, anak muda itu pun mundur dua tindak, poci
araknya dipakai melindungi dadanya. Dengan cara itu, ia menutup
dirinya.
Nona dengan baju putih ini segera menuding.
"Kau sangat tidak tahu aturan!" serunya. "Mari kita main-main!"
Semua berandal segera mundur sampai empat tindak, untuk
membikin ruangan jadi terbuka lebar. Tapi berbareng dengan itu,
mereka pererat kurungan mereka, supaya mereka bisa meluruk
begitu lekas si anak muda keteter.
Hatinya Poei Keng menggetar, mukanya pucat. Ia jadi sangat
berkuatir.
"Biar ia liehay, mana dapat si nona lolos dari kedung naga dan
gua harimau ini?" pikirnya. Ia merasa, kalau nanti mereka berdua
diserbu tentara berandal, tubuh mereka mesti dicingcang habis.
Sementara itu, ruang jadi sangat sunyi, tapi suasana
menyeramkan. Si pemuda dan pemudi tetap berdiam, karena
pemuda itu tetap bersiap diri saja.
Di luar, dari kejauhan, terdengar suara terompet.
Si anak muda segera lompat mundur.
Itu waktu juga dari luar terlihat masuknya serombongan orang,
yang jalan di muka adalah seorang tua dengan kumis jenggot
panjang, usianya sudah enam puluh lebih akan tetapi tubuhnya,
romannya masib gagah.
Si nona mengawasi, lalu ia memberi hormat. "Apakah aku
berhadapan dengan /ootjeetjoe?" dia tanya.
Si orang tua tersenyum.
"Telah kudengar nona datang, menyesal, aku terlambat
menyambut" sahutnya. Sambil mengucap, ia tatap si nona, sikapnya
agak luar biasa memperhatikannya.
Tak enak hati si nona ditatap secara demikian. Tapi tak apa ia
dengan pedangnya.
"Telah lama aku dengar nama masyhur dari tjeetjoe." katanya,
tjeetjoe yang mulia tak timpalan, maka itu hari ini beruntung
aku telah datang berkunjung. Adalah maksudku untuk sekalian
memohon sesuatu dari tjeetjoe."
"Kau memuji, nona," kata si orang tua dengan jawabannya. Lalu
dengan tiba-tiba ia menanya: "Berapa usia nona tahun ini? Apakah
kau shio Yo?"
Si nona tidak sangka ia bakal ditanya begitu rupa, tidak heran ia
jadi melengak. Berbareng dengan itu, ia pun merasa kurang enak.
"Apakah lootjeetjoe maksudkan usiaku masih terlalu muda dan
pengetahuanku cetek sekali hingga tak pantas aku mendaki gunung
ini?" dia tanya. "Apakah tak pantas aku memohon sesuatu?"
Ditanya begitu, orang tua itu usap-usap kumisnya, ia tertawa
terbahakbahak.
"Harap kau tidak mengatakan demikian, nona," sahutnya.
Tapi si nona mendesak, dia menuding kepada harta yang
bertumpuk.
"Harta empat puluh laksa tail perak ini ada uang tentara kota
Ganboenkwan," katanya, "dengan turun tangannya lootjeetjoe,
bukan saja mencelakakan jiwa tuan punggawa ini kau pun membuat
beberapa laksa jiwa serdadu di dalam kota, hanya minum angin
barat daya!"
Kembali si orang tua tertawa terbahak-bahak.
"Mustahil aku tak ketahui itu, nona?" sahutnya pula, ringkas.
Masib si nona mendesak: "Jikalau lootjeetjoe telah ketahui
bahayanya, sudah selayaknya kau kembalikan harta itu," kata dia.
Si orang tua urut-urut kumis jenggotnya. "Ah, nona, ada
sesuatu yang kau belum ketahui.....” katanya.
"Kalau begitu, tolong tjeetjoe beri penjelasan kepadaku"
Si orang tua tunjuk benderanya. "Menurut aturan kaum Rimba
Hijau," katanya menjelaskan. "Jikalau perampasan telah dilakukan,
apa yang dirampas itu tak dapat dikembalikan cuma dengan kata-
kata saja. Harta adalah urusan kecil, adalah keangkeran bendera
yang harus dilindungi. Nona, karena kau hendak membelai tuan
punggawa ini, untuk itu silakan kau berikan beberapa jurus dari
kepandaianmu guna membuka mata saudara saudara di sini. Kalau
tidak, andai kata harta itu aku kembalikan, mereka tentu tidak
puas.....”
Kembali nona itu perlihatkan kemurkaannya. "Aku melainkan
tahu, mendengar nama kalah dengan bertemu muka," katanya
kaku, "siapa tahu
ternyata sekali bertemu muka kalah dengan mendengar
nama! Baiklah, sekarang silakan lootjeetjoe menyebutkannya!"
Lagi-lagi si orang tua tertawa.
"Oh, nona kecil," katanya. "Memang di dalam dunia ini lebih
banyak bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Demikian
juga dengan aku si tua bangka ini! Bukankah kau sesalkan aku yang
tidak lekas-lekas dan dengan rela menyerahkan kembali harta ini?"
Nona itu mengawasi, ia tidak berikan penyahutannya. Ia benar-
benar seperti membawa perangai satu bocah cilik.
Untuk kesekian kalinya, orang tua itu, si kepala berandal,
tertawa.
"Akan aku berikan keterangan yang jelas kepadamu!" katanya
kemudian. "Kau mendaki gunungku dengan membawa-bawa
pedang, tentunya dalam hal ilmu pedang kau telah berlatih dengan
seksama, maka sekarang, baiklah dengan golok Kimtooku ini, aku
layani pedangmu untuk beberapa jurus. Di dalam ilmu silat, tidak
ada orang yang terlebih dahulu belajar atau belakangan, hanya
siapa yang tekun dan sungguh-sungguh, dialah yang berhasil,
karena itu, aku minta, janganlah karena kau pandang usiaku yang
lanjut, nanti kau menaruh belas kasihan atas diriku. Nona, jikalau
kau yang menang, harta empat puluh laksa tail ini akan aku
kembalikan dan aku yang akan mengantarkan sendiri, aku tanggung
satu tail juga tidak kurang!"
Aneh nampaknya orang tua ini, sambil bicara, ia minta arak,
ketika ia habis bicara, dua cawan telah ditenggak kering, ia
menantang tetapi suaranya tetap hormat dan manis, cuma sikapnya
tegas. Habis minum, ia lemparkan cawannya ke arah penglari,
hingga ia lihat pisau belati nancap di situ, segera ia menanya
dengan bengis: "Penglari yang tidak kurang suatu apa, siapakah
yang tancapkan pisau di atasnya?" Hampir berbareng dengan
hancurnya cawan, yang jatuh meluruk ke tanah, pisau belati itu pun
turut jatuh.
Mau atau tidak, si nona terkejut juga. Si orang tua telah
perlihatkan tenaga dalamnya. Tanpa latihan yang sempurna, tidak
nanti pisau itu kena dilempar jatuh. Karena ini, ia ubah maksudnya
untuk melayani si orang tua dengan tangan kosong, tanpa ragu-
ragu lagi, ia hunus pedangnya terus lompat ketengah ruangan di
mana ia berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Silakan tjeetjoe beri ajaran padaku!" ia mengundang.
Orang tua itu awasi senjatanya si nona.
"Pedang yang bagus!" ia memuji. Terus ia lambaikan tangannya,
atas mana muncul dua serdadunya, yang datang membawa golok
Kimtoo yang besar dan cahayanya bersinar berkeredepan. Setelah ia
terima, ia lonjorkan golok itu, yang ia cekal dengan kedua
tangannya.
"Kimtoo, kali ini kau bertemu tandinganmu!" ia kata. Terus ia
tertawa. Setelah orang tua ini bersiap, keduanya sudah lantas
berhadapan.
Si nona tahu ia menghadapi seorang tua, tidak mau ia turun
tangan terlebih dahulu, malah ujung pedangnya diturunkan, sebagai
tanda menghormat dari si muda terhadap si tua yang ia hendak
lawan.
Orang tua itu mundur satu tindak.
Menampak orang mundur, si nona gerakkan pedangnya, dengan
gerakan "Tjaytiap tjoanhoa", atau "Kupu-kupu belang tembusi
bunga", melihat mana si orang tua berseru dengan pujiannya:
"Bagus!" Lantas ia maju dengan gerakan "Honghong toatho", atau
"Burung hong merampas sarang", hingga ia rampas tempatnya si
nona.
Si nona kaget dan heran. Ia tidak sangka, orang tua itu sangat
gesit, tak kalah dengan orang muda. Secara begitu, ia dapat
dipengaruhi.
Semua rakyat berandal lantas bertepuk tangan.
Tapi dalam sekejap saja, kesunyian datang pula. Karena tubuh si
nona mencelat tinggi, pedangnya berkelebat, dengan kesudahannya
terdengar satu suara nyaring dari bentroknya dua macam senjata,
lelatu apinya pun muncrat berhamburan, suara nyaring itu seperti
memekakkan telinga.
Segera orang tampak si nona mundur kira-kira satu tombak, dan
si orang tua berdiri sambil melintangkan goloknya di depan
dadanya.
"Pedang yang bagus! Ilmu pedang yang sempurna!" memuji
orang tua itu. "Tidak ada yang kalah di antara kita, maka itu, mari
kita mencoba pula!"
Poei Keng masih rendah ilmu silatnya, ia tidak melihat tegas,
tidak dapat ia membuat perbedaan, ia cuma tetap berkuatir, akan
tetapi, di antara
berandal-berandal, ada yang hatinya gelisah. Walaupun si nona
nampaknya kalah desak, tapi tampak golok besar dan berat dari
ketua mereka telah sempoak sedikit!
Si Nona berdiri diam dengan napasnya sedikit memburu, benar ia
telah "lukai" golok orang tua itu tetapi ia sendiri telah tertolak
mundur satu tombak, hampir tak sanggup ia pertahankan tubuhnya.
Ia insaf, dalam hal tenaga dalam, Iweekang, ia telah kalah dari jago
tua itu.
Oleh karena ini, ketika kedua pihak sama-sama maju, untuk
melanjutkan pertempuran, mereka sama-sama waspada. Si nona
berkelahi dengan lincah, tubuhnya melesat ke kiri dan kanan, cepat
seperti sang kupu-kupu beterbangan di antara bunga-bunga,
pedangnya berkilauan tak hentinya. Terang ia berkelahi dengan
andalkan keentengan tubuhnya. Di samping dia, Kimtoo Tjeetjoe
berdiri tegak bagaikan gunung, ia tidak membiarkan dirinya
dipengaruhi, ia cuma memutar tubuh seperlunya, guna lindungi diri.
Beberapa kali si nona berseru, pedangnya menikam, setiap kali si
raja gunung dapat hindarkan diri dari bahaya, ia bisa menghalau
sesuatu ancaman bahaya. Maka itu, hebat dan luar biasa caranya
mereka bertarung.
Lima puluh jurus sudah berlalu, si nona tidak peroleh hasil
dengan berbagai serangannya itu, ia cuma membuatnya kawanan
berandal menahan napas. Tadinya mereka menyangka, pemimpin
mereka dapat segera peroleh kemenangan, tidak
tahunya, banyak waktu telah dilewatkan tanpa sesuatu hasil.
Poei Keng pun berkuatir sangat, hingga ia dipengaruhi rasa
tegang di antara kawanan penjahat itu.
"Pergi!" sekonyong-konyong si orang tua berteriak nyaring,
dibarengi dengan berkilaunya goloknya, atas mana tubuh si nona
mencelat mundur kirakira satu tombak. Semua berandal pun
berseru riuh.
Si nona mundur beberapa tindak, ia berdiri tenang, melihat
mana, si orang tua heran dan kagum, karena tadinya dia percaya
dia dapat membikin si nona terpental dan rubuh.
Tanpa berkata suatu apa, nona itu maju pula. Sekarang
berubahlah caranya ia bersilat. Ia masih berlompatan, akan tetapi
serangannya bertambah gencar, ia bagaikan "angin badai
menggempur daun" atau "topan hujan merusak bunga", hingga di
empat penjuru seperti terlihat ia sendiri beserta berkeredepnya
cahaya pedangnya. Kali ini si nona membuat mata penonton-
penonton
berkunang-kunang.
Menampak demikian, gentar juga hatinya Kimtoo Tjeetjoe. Ia
kagum melihat ilmu pedang yang luar biasa itu. Untuk mencari
keselamatan, terpaksa ia tutup dirinya seperti tadi, dengan
memasang mata dan berlaku waspada. Ia melayani kegesitan
dengan ketenangan.

Lagi lima puluh jurus telah berlalu, setelah itu, si orang tua
merasa bahwa ia mulai kena terdesak
pengaruh pedang lawan. Tentu saja, ia menjadi penasaran. Maka
kali ini, dengan hebat, ia kirim satu bacokan, guna membalas "budi"
si nona yang menyerang tak hentinya. Justeru itu, si nona
menggunakan pedangnya, untuk mendampingi golok orang tua itu,
hingga ia menyerang tempat kosong, dan tubuhnya condong ke
depan. Ia menjadi kaget. Itu berarti ia telah membuka pembelaan
dirinya.
Si nona tidak dapat pengaruhi terus golok si orang tua, ia tidak
dapat gunakan ketika yang baik itu, sebab si orang tua dengan lekas
telah perbaiki diri, malah setelah itu, kembali ia didesak, hingga ia
main mundur. Tidak mau ia sembarang membentrok golok besar
dan berat itu.
Lagi-lagi Poei Keng jadi berkuatir. Terang ia tampak si nona
terdesak mundur, itu artinya ancaman bencana. Ia berdiam, ia
mencoba menenangkan diri. Semua berandal pun bungkam. Maka
itu, ruang jadi sunyi senyap. Bungkamnya kawanan berandal itu
menandakan si orang tua bukannya telah menang di atas angin.....
Herannya pihak berandal, setelah mereka saksikan ilmu pedang
dari si nona seperti banyak macamnya, yang mirip ilmu pedang
Boetong Pay, yang mirip ilmu pedang Tatmo Kiam, yang mirip
Thaykek Kiam dan juga Samyang Kiam.
Si orang tua masih mendesak, si nona terus main mundur.
"Tjeetjoe, hati-hati!" teriak seorang berandal waktu ia lihat si
nona membuat gerakan ke belakang, tetapi hampir berbareng
dengan itu, si
nona sudah apungkan diri, untuk dari atas menikam kebawah.
Kimtoo Tjeetjoe lihat gerakan lawannya, ia dengar teriakan
peringatan itu, meski begitu, ia justeru tertawa berkakakan sambil
terus berseru: "Lepas tanganmu!" Karena sambil mendadak, ia
membalas membacok kepinggang si nona. Ia dapat berkelit, tapi
goloknya hendak meminta korban.
"Bagus!" teriak pula pihak berandal, lenyaplah kaget mereka.
Selagi mereka itu berteriak-teriak, suasana telah berganti rupa
dengan cepat.
Si nona tidak lompat mundur, ia tidak lepaskan pedangnya, tidak
peduli ancaman bahaya sangat hebat, sebaliknya, ia juga berteriak
"Lepas tangan!" Nyata ia sangat celi matanya dan sangat sebat
gerakan tangannya. Ia tampak ancaman bahaya itu, tapi ia tidak
jadi gentar. Dengan kesehatannya, ia tekan ujung golok itu, setelah
mana, dengan jalan di atasan golok, ia serosotkan pedangnya akan
membabat jeriji tangan orang tua yang menyekal golok. Itu waktu,
ia barengi perdengarkan teriakannya. Tentu saja Kimtoo Tjeetjoe
menjadi kaget hingga dia, yang mengerti bahaya, jadi "dengar
kata," dengan lantas dia lemparkan goloknya, karena kalau tidak
jadi tangannya bisa kutung!
Begitu rupa kepala berandal ini membuang goloknya, hingga
golok itu terlempar ke atas, nancap di penglari rumah. Kejadian ini
di luar duga si nona demikian liehay, ancaman bahaya dapat
diubah jadi keselamatan, jadi kemenangan. Maka itu, ia jadi
berdiri menjublak.
Habis itu, si nona tidak ulangi serangannya, malah ia hadapi tuan
rumahnya, untuk memberi hormat, dengan niatnya mengucapkan
"Terima kasih, tjeetjoe, kau telah mengalah!" Akan tetapi, ketika ia
tampak wajah kepala berandal itu, ia tertegun, hingga batal ia
membuka mulutnya.
Kimtoo Tjeetjoe perlihatkan tertawa meringis, air matanya
berlinang.
"Heran," pikir si nona. "Ia ada satu jago, mustahil karena kalah
bertanding, dia menangis?" Karena ini, ia jadi mengawasi saja.
Kimtoo Tjeetjoe juga awasi si nona, ia menyeringai, kemudian ia
merogo sakunya dari mana ia keluarkan sebatang bambu pendek
mirip sebuah tongkat, yang ujung bawahnya bercacat, rupanya
seperti sisa tongkat bekas terbabat kutung.
Waktu si nona lihat bambu pendek itu, air mukanya berubah
menjadi pucat dengan tiba-tiba, ia menjerit menangis, terus ia jatuh
berlutut di tanah!
Itulah kejadian sangat aneh, maka semua orang menjadi
tercengang.
Dengan tangan kirinya menyekal bambu itu, Kimtoo Tjeetjoe
gunakan tangan kanannya mengangkat si nona berdiri, setelah
mana dengan tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.
"In Tjeng punyakan cucu perempuan semacam ini, di tempat
baka niscaya ia meramkan mata!" katanya dengan puas.
Si nona menangis tersedu-sedu, air matanya bercucuran deras.
Karena, melihat tongkat itu, teringatlah ia akan kejadian pada
sepuluh tahun yang lalu, yang menjadi pengalaman hebat baginya.
Ketika itu ia baharu berumur tujuh tahun, bersama engkong-nya, In
Tjeng, ia buron dari Mongolia, selama di atas kereta, ia telah lihat
soetjiat, tanda kehormatan dari engkong-nya itu. Ia pun teringat
cerita dari engkong-nya bagaimana si engkong menderita sebagai
pengangon kuda di Negara asing. Kejadian itu membuat ia berduka
dan sedih. Dan sekarang ia lihat sisanya soetjiat itu, ialah potongan
"tongkat" ditangan si kepala kampak.
Kimtoo Tjeetjoe susut kering air matanya yang berlinang itu,
habis itu ia tertawa berkakakan.
"Sekarang ini kau bukan lagi satu bocah!" ia kata dengan
gembira. "Ini hari kau adalah satu wanita gagah yang mendaki
gunung untuk minta kembali harta besar! Maka tak perlu kau
menangis! Lekas seka air matamu! Kau tahu, urusan kita masih
belum selesai.....”
Nona itu menyeka air matanya, mendadak saja ia putar
tubuhnya, untuk terus lompat mencelat, ke atas penglari, dari mana
ia cabut golok orang tua itu, lalu ia bawa kehadapan si kepala
kampak. Ia berlutut pula. Ia persembahkan golok dengan bawa itu
ke atasan kepalanya.
"Segala apa terserah kepada putusan soe-sioktjouw," ia kata.
Mendengar perkataan si nona Poei Keng menjadi kaget sampai
semangatnya seolah-olah pergi
terbang.
"Celaka, celaka!" ia mengeluh. "Aku andalkan si nona, siapa tahu
mereka adalah orang-orang sendiri!.....”
Si orang tua terima goloknya.
"Kau bangun," katanya. "Sepotong bambu ini kau boleh simpan.
Memang bamboo ini membuatnya orang berduka tetapi ini adalah
warisan yaya-mu."
Si nona terima warisan itu, ia seka air matanya.
"Poei Keng, kemari kau!" si kepala berandal memanggil.
Gemetar tubuhnya punggawa itu, kedua kakinya lemas.
Kimtoo Tjeetjoe tertawa.
"Coba bantu dia," ia titahkan dua serdadu gunung.
"Inilah angkutanmu seharga empat puluh laksa tail perak,
sekarang kau boleh bawa pergi!" kata pula si kepala berandal.
Inilah di luar dugaan, Poei Keng jadi girang bukan kepalang.
"Terima kasih, terima kasih," ia mengucap sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Baharu setelah itu, ia menjadi bingung. Ia
berada sendirian, mana bisa ia angkut harta besar itu?
Kimtoo Tjeetjoe bisa terka hati orang, ia bicara berbisik pada satu
orangnya, atas mana pintu pesanggrahan dipentang, kemudian di
muka pesanggrahan itu muncul sebarisan keledai bersama serdadu
pengiringnya.
"Semua harta dan orang-orangmu aku kembali-
kan," berkata Kimtoo Tjeetjoe sambil tertawa pada punggawa itu.
"Sekarang hitung dulu uangmu, supaya tidak ada yang kurang."
Kembali Poei Keng mengucap terima kasih. Kejadian itu
membikin ia sangat bergirang. Tapi mendadak, ia ingat sesuatu.
Sekarang ia jadi bernyali besar, hingga ia berani menanya kepala
kampak itu.
"Di samping uang empat puluh laksa tail ini masih ada lagi empat
belas kereta keledai," kata dia. "Itulah barang-barangnya Teng
Tjongpeng. Aku mohon sukalah tjeetjoe mengembalikan sekalian
barang-barang itu."
Sang tjeetjoe tertawa bergelak-gelak.
"Barang pribadi dari Teng Tjongpeng?" kata dia, menegaskan.
"Itulah barangbarang yang cocok sekali untuk keperluan
pesanggrahanku ini, hendak aku menahannya!"
Poei Keng kaget. Uang negara didapat kembali, tapi barangnya
Teng Tjongpeng lenyap, itu masih berarti kesulitan baginya.
Mungkin itu tetap berarti hukuman mati. Maka ia lantas tekuk lutut
di depan raja gunung itu, ia manggut-manggut.
"Aku mohon belas kasihan tjeetjoe, sukalah tjeetjoe tolong
jiwaku," ia mohon. Kimtoo Tjeetjoe tertawa pula.
"Teng Tjongpeng sendiri rela menyerahkannya padaku, kenapa
kau tidak?" katanya. Ia terus rogo sakunya, akan keluarkan satu
sampul, dari dalam mana ia keluarkan pula sepucuk surat warna
merah. Poei Keng lihat surat itu, ia baca, bunyinya:
"Dengan hormat aku persembahkan barang-barang tidak berarti
ini, aku mohon sudilah Tjioe Thaydjin menerimanya. Dari Teng Tay
Ko."
Pasti sekali Poei Keng menjadi kaget, heran dan bingung.
Mustahil satu tjongpeng, tjongpeng dari Ganboenkwan, satu
panglima kerajaan, yang dipercayakan keselamatan tapal
batas negara, boleh mempersembahkan sesuatu kepada kepala
berandal? Inilah benar-benar tak dapat dimengerti. Tentu saja tidak
dapat ia memikirnya, karena kepala berandal ini, yaitu Kimtoo
Tjeetjoe, ada bekas Tjongpeng Tjioe Kian dari kota Ganboenkwan,
tjongpeng dari sepuluh tahun yang lampau, dan Tjongpeng Teng
Tay Ko yang sekarang ini adalah bekas hoetjiang sebawahannya!
Melihat orang mendelong, Tjioe Kian tertawa.
"Rupa-rupanya kau masih kurang percaya," ia
kata. "Baik, aku nanti suruh satu orang keluar.....”
dan ia beri titahnya.
Tidak lama diantaranya dari dalam muncul satu opsir, ialah
pembesar tentara yang diwajibkan oleh Teng Tjongpeng untuk nanti
menerima harta angkutannya punggawa she Poei itu.
Tjioe Kian tertawa pula dan berkata: "Ini uang empat puluh laksa
tail sudah diperiksa betul oleh perwira ini, sama sekali tidak kurang,
maka bolehlah kau tetapkan hatimu."
Baharu sekarang lega hatinya Poei Keng. Ia kenal baik opsir itu.
Dengan demikian ia tidak usah berkuatir lagi.
Sampai di situ, Tjioe Kian silakan kedua punggawa itu berangkat,
dan ia wajibkan beberapa orangnya pergi mengantarkan.
Poei Keng dan si opsir menghaturkan terima kasih.
Selagi orang hendak berangkat, Tjioe Kian pesan si opsir:
"Tolong kau sampaikan kepada Teng Tjongpeng, karena musuh luar
ada dihadapan kita, kita seharusnya tetap bekerja sama untuk
menghadapinya! Tentang perjanjian kemarin, harap kau tidak
melupakannya."

Opsir itu menyahuti bahwa ia mengerti.


"Beng Kie, kau wakilkan aku mengantar mereka turun gunung,"
kata Tjioe Kian pada si orang she Beng. "Bendera Djitgoat Kie kita
itu biarlah ditancap terus sampai di kota Ganboenkwan."
Poei Keng tahu, bendera itu ada suatu tanggungan, adanya
bendera itu, sama saja seperti Kimtoo Tjeetjoe yang
mengantarkannya sendiri. Maka lagi sekali ia haturkan terima
kasihnya.
Tjioe Kian tertawa.
Beng Kie pun tertawa, lantas ia jalan berendeng dengan Poei
Keng untuk bertindak keluar, sedang harta besar itu lantas diangkut
oleh serdadu-serdadu dan ditilik oleh si opsir.
"Poei Thaydjin, kalau nanti kau sudah pulang, perlu kau yakinkan
pula ilmu panahmu dan menunggang kuda!" kata Beng Kie sambil
jalan.
Poei Keng merah mukanya, sebab ia ingat itu hari ia pentang
mulut besar tapi akhirnya ia dirubuhkan si kurus kering ini.....
Tjioe Kian tunggu sampai orang sudah pergi semua, lalu ia
menoleh pada si nona baju putih.
"Bagus kau datang, In Loei!" katanya.
Biar bagaimana, si nona masih ragu-ragu, hatinya belum tenang
betul. Ketika sepuluh tahun yang lampau ia bertemu bekas
tjongpeng ini di muka kota Ganboenkwan, ia masih kecil dan itu
waktu pun sedang terbit pertempuran, ia tidak ingat betul akan
roman orang itu. Ia heran yang Tjioe Kian masih kenali padanya.
Rupanya orang she Tjioe itu bisa terka hati orang, ia tertawa.
"Jikalau hari ini aku tidak pancing kau mendaki gunung dan
paksa kau keluarkan ilmu pedang istimewa ajaran Hian Kie Itsoe,
aku pun tidak nanti berani sembarang akui padamu!" katanya.
In Loei bisa mengerti keterangan itu, tapi ia tetap heran.
"Untuk memancing aku, dia berlaku begini hebat dan Jenaka,
soesioktjouw ini agak keterlaluan," pikirnya. "Terang sudah bahwa
ia bertabeat aneh.....”
Karena ini, meski di mulut ia tidak berkata suatu apa, dihati ia
merasa kurang puas. Ia ada satu pemudi yang baharu muncul
dalam dunia kangouw, liehay ilmu silatnya tapi masih
hijau pengalamannya.....
Tjioe Kian tertawa nyaring.
"Cucu keponakan yang baik, tahukah kau kenapa aku coba
merampas uang negara itu?" tanya dia kemudian.
"Bukankah, seperti kata soesioktjouw, kau hendak pancing aku
mendaki gunung?" si nona baliki. "Sebenarnya, sekalipun kau tidak
memancing, hendak aku dating kemari."
"Kenapa begitu?" Tjioe Kian tegaskan.
"Kita harus kembali pada sepuluh tahun yang lampau," sahut si
nona. "Pada waktu itu Tiauw Im Taysoe telah menolongi aku
menyingkir dari Ganboenkwan dia sudah bawa aku ke gunung
Siauwtjee San di Soetjoan Utara di mana aku diserahkan pada
guruku untuk dirawat dan dididik.....”
"Bukankah gurumu itu Yap Eng Eng, yang bergelar Hoeithian
Lionglie?" Tjioe Kian memotong.
"Benar," In Loei manggut. Lalu ia meneruskan keterangannya:
"Sepuluh tahun aku t elah belajar silat lantas soehoe titahkan aku
turun gunung. Lebih dahulu dia telah serahkan padaku surat darah
dari yaya. Soehoe kata, orang yang yaya paling bencikan adalah
Thio Tjong Tjioe yang membikin yaya menderita dua puluh tahun
mengangon kuda, akan tetapi yang mencelakai hingga ayah
menutup mata adalah Ong Tjin, itu hamba pemerintah, hanya
duduknya perkara yang benar, soehoe tidak ketahui jelas. Soehoe
kata, soesioktjouw adalah sahabat paling kekal dari yaya, katanya
justeru disebabkan kematian menyedihkan dari yaya, soesioktjouw
jadi meninggalkan pangkatnya di kota Ganboenkwan. Belakangan,
soehoe kata lebih jauh, soehoe dengar soesioktjouw telah tuntut
penghidupan sebagai berandal, Cuma ia tidak tahu pasti
kebenarannya
itu, maka soehoe titahkan aku turun gunung dengan tugas paling
pertama pergi cari kau."
Mendengar itu, Tjioe Kian menggeleng-gelengkan kepala, ia
menyeringai. In Loei heran.
"Sudah sepuluh tahun sejak yaya-mu menutup mata, perkaranya
itu masih perkara gantung," kata si orang tua. Ia tuturkan kejadian
sepuluh tahun yang lampau itu, lalu ia meneruskan: "Thio Tjong
Tjioe dengan Ong Tjin itu memang mempunyai hubungan satu
sama lain, akan tetapi, apabila dilihat duduknya perkara ketika itu,
soal masih gelap, maka itu sampai sekarang juga masih belum
diketahui, di antara mereka berdua, siapa sebenarnya penjahat
asli.....”
"Sekarang ini aku anggap mereka berdua adalah musuh-
musuhku!" kata In Loei. "Dan di antara mereka, aku anggap Thio
Tjong Tjioe sebagai musuh nomor satu!"
Tjioe Kian manggut.
"Memang, sakit hati itu tak dapat tidak dibalas!" katanya.
"Aku dibebankan permusuhan dua turunan, aku nanti habiskan
tenagaku untuk itu!" berkata pula In Loei. "Sampai mati baharu aku
mau berhenti."
Si orang tua menghela napas.
"Ketika pertama aku sampai di Ganboenkwan," In Loei
meneruskan pula, "segera aku dengar nama besar dari Kimtoo
Tjeetjoe beserta benderanya Matahari dan Rembulan. Lantas aku
menduga pada soesioktjouw yang telah mendirikan pesanggrahan di
atas gunung, tetapi karena aku belum peroleh
kepastian, aku sengaja membuat gubuk di selat Ouwtiap Kok.
Adalah maksudku untuk perlahan lahan membuat penyelidikan."
Tjioe Kian tertawa.
"Itulah hal yang aku ketahui," katanya. "Masih ingatkah kau,
begitu lekas kau turun gunung kau lantas sudah melabrak beberapa
rombongan berandal dengan menggunakan senjata rahasiamu yang
mirip bunga bwee? Karena itu dalam dunia kangouw kau peroleh
julukan Sanhoa Liehiap, si Wanita Gagah Penyebar Bunga."
"Julukan itu enak juga didengarnya," kata In Loei, "hanya aku
tidak dapat mengetahuinya."
"Ketika kau bertempat tinggal di Ouwtiap Kok, orang-orangku
sudah dari siang-siang memasang mata. Cuma, berikut aku di
dalamnya, kita masih belum ketahui jelas tentang dirimu. Begitulah
aku gunakan akal untuk pancing kau mendaki gunungku ini,
maksudku adalah untuk mencoba ilmu silatmu guna memastikan,
siapakah engkau."
"Justeru karena pancingan soesioktjouw ini, dugaanku semula
jadi meleset," berkata si nona. "Aku pikir, kalau kau benar ada
soesioktjouw, tidak nanti kau rampas uang tentara kota
Ganboenkwan. Inilah sebabnya kenapa aku jadi berani melayani
soesioktjouw bertanding....."
Tjioe Kian tertawa terbahak-bahak.
"Sejak dulu tidak pernah aku merampas uang tentera kota
Ganboenkwan," ia berikan keterangan, "kalau kali ini aku
membuatnya meski barusan aku berkata untuk pancing kau,
sebenarnya itu tidak
betul seluruhnya. Dalam pada ini masih ada hubungan yang
sangat besar!"
In Loei tidak mengerti.
"Apakah itu, soesioktjouw?" dia tanya.
"Soalnya adalah," sahut si orang tua, "kecilnya mengenai hidup
matinya kota Ganboenkwan dan pesanggrahanku ini, besarnya
mengenai keselamatannya kerajaan Beng serta tanah daerahnya
yang besar dan luas!"
Kaget si nona, hingga ia mengawasi dengan mendelong.
"Apakah itu, soesioktjouw?" dia tegaskan.
Tjioe Kian tidak lantas menjawab, ia hanya dongak akan melihat
langit.
"Sekarang sudah malam," katanya perlahan, romannya berduka.
"Pergi kau tidur, untuk pelihara dirimu. Sebentar malam hendak aku
mohon bantuan kau untuk satu urusan besar."
Ia lantas beri tanda dengan tangannya. Berbareng dengan, itu
terdengarlah sambutan suara tambur dan gembreng, setelah mana
si anak muda yang bermula tempur In Loei serta satu tauwbak,
maju menghadap, untuk berkata: "Silakan tjeetjoe berikan titahmu!"
Tjioe Kian manggut.
"Dia Tjioe San Bin," katanya pada In Loei sambil menunjuk si
anak muda. "Dia adalah pamanmu. Umurnya tidak berbeda jauh
dengan kau." In Loei beri hormat pada anak muda itu. "Maaf," ia
menghaturkan. Tjioe San Bin tertawa.
"Di dalam kalangan wanita muncul orang gagah, si orang gagah
masih sangat muda," katanya, "oh, keponakanku, kau jauh terlebih
kosen daripada pamanmu!.....”
In Loei tersenyum.
"Sekarang silakan kau beristirahat," kata San Bin, yang terus
titahkan satu iiauwio — serdadu gunung — antar nona itu ke kamar
yang sudah disediakan untuknya.
In Loei menurut, ia undurkan diri, akan tetapi tak dapat ia tidur
pulas. Ia terganggu berisiknya gerakan-gerakan tentera gunung.
Habis bersantap malam, pesanggrahan seperti kosong dari
tenteranya, yang ada hanya beberapa orang saja yang menjadi
penjaga.
"Apakah kita akan berperang dengan tentera negeri?" tanya In
Loei.
"Bukan," Tjioe Kian menjawab.
"Apakah dengan bangsa Tartar?" si nona tanya pula.
"Masih belum pasti," jawab si orang tua. Heran anak dara ini.
"Habis untuk apa soesioktjouw berikan titah pada tenteramu?" ia
masih menanya.
"Baik kau jangan tanya-tanya dulu," jawab Tjioe Kian sambil
tertawa. "Lebih baik mari kau turut aku pergi ke suatu tempat!"
In Loei bersedia, segera ia salin pakaian dengan yaheng ie —
pakaian untuk jalan malam.
Berdua mereka keluar dari pesanggrahan, di luar mereka
saksikan langit penuh bintang, jam pada
waktu itu menunjukkan kira-kira pukul tiga.
Kimtoo Tjeetjoe ajak cucu keponakannya itu berlari-lari di jalanan
gunung untuk mendaki puncak sebelah timur yang lebat dengan
pohon-pohon dan pohon-pohon oyot, makin dalam makin lebat,
makin jauh keadaannya makin berbahaya. In Loei mengikuti terus
dengan ragu-ragu, ia berpikir keras dengan sia-sia, tak dapat ia
terka maksud bekas tjongpeng ini. Iapun heran: "Soesioktjouw
adalah kepala sebuah gunung, dia telah atur tenteranya keluar,
kenapa tangsinya dikosongkan dan dia sendiri tidak menjaganya?
Kenapa dia keluar malam-malam seorang diri?"
Nona ini terbenam dalam keanehan.
Pada malam yang sunyi itu, tiba-tiba terdengar suara air, makin
lama makin tegas suaranya. Lalu terdengar juga suara bagaikan
orang berseru panjang atau bagaikan suara terompet huchia.
Mendengar itu, si orang tua tarik tangannya si nona, untuk diajak
bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Dalam keheranannya itu, In Loei menurut saja, ia melainkan
memasang mata.
Di antara sinar rembulan layu dan bintang-bintang, In Loei lihat
wajahnya si orang tua. Itulah roman tenang tetapi tegang. Jago tua
ini pun lantas mendekam di tanah, untuk pasang kupingnya.
"Ah!" tiba-tiba ia bersuara seorang diri, "Mustahil aku menduga
keliru?"
In Loei pasang kupingnya, ia tidak dengar suatu apa.
"Kau dengar apa, soesioktjouw?" tanyanya heran.
Tjioe Kian tidak segera menjawab, ia hanya menunjuk.
"Lihat!" katanya kemudian. Ia menunjuk ke arah bawah, ke
lembah, di sana tampak sawah ladang yang luas dam gemuk yang
dibuka oleh tentera gunung, di samping itu, bagaikan rintangan, ada
gili-gili atau bendungan air yang tinggi dan besar buatan manusia.
Gili-gili itu terbuat dari batu, tingginya mungkin sama dengan dua
buah loteng. Di sebelah sana terdapat telaga, luasnya tidak terlalu
besar, mungkin beberapa ratus bahu. Air telaga itu menggenang
dan hitam berkilauan.
"Sawah ladang itu mendapat air dari telaga yang terbendung itu,"
kata siraja gunung kemudian. "Telaga itu menyebabkan kami dapat
hidup bertani di sini, maka telaga itu adalah jiwa kami."
Ia lantas tuturkan bagaimana selama sepuluh tahun ia
bangunkan bendungan dan kerjakan sawah ladang itu. Menutur itu,
ia nampaknya gembira dan puas. Tapi, ia lantas menghela napas.
"Akan tetapi bangsa Tartar dan tentera negeri tidak mengijinkan
kita tinggal di sini," ia tambahkan. "Baharu kemarin dulu aku terima
laporan bahwa bangsa Tartar hendak mengirim orang-orangnya
yang liehay mencuri masuk kemari untuk merusak bendungan ini."
"Kelihatannya bendungan ini tak dapat dirusak tenaga manusia,"
kata In Loei. "Baharu beberapa orang saja tidak nanti dapat berbuat
apa-apa."
"Kau tidak tahu," Tjioe Kian terangkan. "Sekarang adalah musim
semi dan biasanya, setiap musim semi, air bisa melanda secara
hebat."
Di sebelah atas kita masih membuat beberapa bendungan, untuk
menjaga gempuran, sebab satu kali bendungan hancur, telaga ini
akan meluap airnya, dan begitu air telaga meluap, celakalah kita
yang berada di dalam lembah terutama sawah ladang kita musnah
tergenang air."
"Sungguh hebat, menjemukan!" kata In Loei, yang menjadi
sengit. "Jikalau mereka itu datang, nanti kuberi pelajaran dengan
pedangku!"
"Tetapi kejahatan mereka tak sampai di sini saja," kata pula Tjoe
Kian. Mendadak ia berhenti. Tiba-tiba, ia dengar suara yang
mengherankan padanya.
"Aneh!" katanya.
"Apakah yang aneh, soesioktjouw?"
Tjioe Kian pasang pula kupingnya. "Turut pendengaranku seperti
ada belasan penunggang kuda yang mengejar satu orang buronan,"
dia menerangkan, "tadi mereka menuju ke arah barat akan tetapi
sekarang mereka menuju arah kita! Ah, mereka itu tidak kenal
jalanan, mereka tengah berputaran. Suaranya pun menjadi terlebih
perlahan. Kau dengar tidak?"
In Loei menggelengkan kepala.
Orang tua itu tertawa.
"Selanjutnya kau akan hidup di kalangan kangouw, kepandaian
mendengar suara ini harus kau yakinkan," ia kata. Ia terus
tambahkan: "Aku taksir
pasti malam ini mereka akan datang merusak gili-gili tetapi
mendengar suara itu, mereka tengah mengepung orang.
Mungkinkah di antara mereka itu telah terbit perubahan?"
Baharu In Loei mau menanya kenapa jago tua itu ketahui
demikian pasti tentang sepak terjang musuh, atau mendadak Tjioe
Kian memberi isyarat supaya ia menutup mulut, hingga ia batalkan
niatnya. Tjioe Kian juga sudah lantas menunjuk dengan jari
tangannya.
Di atas puncak kira-kira tujuh atau delapan tumbak terpisah dari
mereka muncul dua orang yang merupakan bayangan hitam. Pasti
mereka itu ada orang-orang liehay, sebat demikian terang
kupingnya Tjioe Kian, sesudah orang datang dekat baharu dia
mengetahuinya.
Dua orang itu berdiri berendeng.
"Besok tengah hari," kata yang seorang, sambil tangannya
menunjuk ke arah lembah, "maka pasanggrahan itu yang luasnya
seratus lie lebih akan tergenang air hingga merupakan suatu tanah
datar! Haha! Tuhan memberkahi negara kita, apa mau tjongpeng
dari Ganboenkwan telah memohon bantuan kita. Sesudah kita
tumpas sibangsat tua Kimtoo, untuk merampas kota Ganboenkwan
mudah saja, seperti orang membalikkan telapak tangan. Satu kali
Ganboenkwan sudah rubuh, jalanan untuk ke kota raja sudah tidak
ada rintangannya lagi, hingga negara seluas sembilan laksa lie dari
kerajaan Beng akan menjadi kepunyaan kita. Tantai Tjiangkoen,
jasamu kali ini bukan main besarnya!"
Terus orang itu tertawa terbahak-bahak, suaranya mendengung
di lembah.
Mendengar itu, In Loei terkejut.
"Tepat sekali taksiran Paduka," berkata orang yang satunya.
"Paduka tak ada bandingannya! Meski demikian adanya, tak dapat
kita tidak berlaku waspada. Jikalau besok tentera kota
Ganboenkwan tidak dapat dating menyambut, apakah tentera kita
yang terpecah di empat penjuru tidak akan menghadapi ancaman
bahaya? Aku anggap adalah terlebih sempurna jikalau empat
pasukan itu diperkecil menjadi dua barisan.....”
Orang yang pertama tertawa pula.
"Raja Beng ingin sangat menindas bangsat tua Kimtoo itu," dia
kata, "untuk itu tenaganya tentera di Ganboenkwan tidak cukup, dia
jadi tidak berdaya, karenanya dia bertindak memohon kita bekerja
sama, maka itu, aku tak kuatir dia nanti melanggar janji. Ini adalah
ketika yang paling baik! Satu kepala perang mengatur tentera,
apakah perlu dia memandang ke kepala dan ke ekor?"
Dan lagi-lagi dia tertawa, tertawa besar.
In Loei ingat suatu apa, ia jadi berpikir.
"Bukankah Tantai Tjiangkoen ini yang disebut Tantai Mie Ming
oleh djiesoepeh?" dia menduga-duga. "Jikalau benar dia adanya,
dialah musuhku yang telah membinasakan ayahku, malam ini tak
dapat dia dibiarkan lolos!"
Orang yang dipanggil Tantai Tjiangkoen itu berbicara pula.
"Lebih baik Paduka berlaku hati-hati," demikian
katanya. "Tempat ini masuk lingkungan bangsat tua Kimtoo itu."
Si "paduka" itu — ongya — yang terang ada orang bangsa Ouw
atau Tartar, kembali tertawa besar.
"Aku justeru kuatirkan mereka tidak muncul!" ujarnya. "Kita
sedang bersiap menggempur gili-gili, kita hendak serang tempat
yang mereka harus tolongi itu, maka jikalau mereka datang
mengurung kita, kita yang berjumlah belasan dapat menarik
perhatian mereka itu, dengan begitu pasukan-pasukan kita yang
menerjang di empat penjuru di luar akan masuk di tempat yang
seperti tidak ada orangnya. Dengan punyakan kepandaian, mana
bisa mereka membekuk kita? Paling juga kita kurbankan jiwanya
belasan serdadu yang menggempur gili-gili.....”
"Sungguh busuk!" In Loei mendamprat dalam hatinya,
mendengar tipu daya yang licik itu. Karena ini mengertilah ia akan
sepak terjangnya Tjioe Kian malam ini.
"Kiranya soesioktjouw mengatur tenteranya untuk menghadapi
empat pasukan musuh di luar itu," pikirnya. "Soesioktjouw ajak aku
datang kemari dengan maksud menghadapi musuh-musuh gelap
yang hendak menggempur gili-gili ini. Sungguh tak tercela
soesioktjouw menjadi satu panglima perang! Tadinya aku
menyangka dia keluar seorang diri untuk menempuh ancaman
bencana, tidak tahunya, tindakan ini ada tindakan yang wajar!"
Lantas nona ini cekal keras gagang pedangnya,
ia segera bersiap sedia.
Tjioe Kian juga tampaknya tegang akan tetapi dia masih
menggelenggelengkan kepala mengisyaratkan agar kawannya
sabarkan diri, supaya si nona jangan sembrono turun tangan. Maka
In Loei berdiam, terus ia pasang kupingnya.
"Eh," terdengar Tantai Tjiangkoen, "kenapa mereka masih belum
datang?"
Si paduka, atau ongya, juga berjalan mundar-mandir, dia pun
nampaknya sibuk tidak keruan.
"Eh!" seru Tantai Tjiangkoen itu kemudian. "Lihat, mereka itu
tengah mengepung siapa nah?"
Segera terdengar tindakan laratnya kuda yang mendatangi,
lantas tampak satu penunggang kuda kabur di dalam lembah yang
sempit, di belakangnya mengejar belasan penunggang kuda lainnya.
Mereka itu merantau ke sawah ladang.
"Segala bantong!" si ongya mencaci, terus dia siapkan busurnya.
"Jangan binasakan dia, paduka!" Tantai Tjiangkoen mencegah.
Tapi baharu dia buka mulutnya atau busurnya sudah menjepret,
anak panahnya melesat menyambar!
Justeru itu, berbareng dengan bekerjanya panah, Tjioe Kian
tepuk pundaknya In Loei sambil berseru: "Serang raja muda Tartar
itu!" In Loei memang sudah siap, maka itu, dapat ia dengan
berbareng lompat bersama si orang tua, untuk menghampirkan
Tantai Tjiangkoen dan ongyanya itu.
Si nona enteng tubuhnya, pesat gerakannya, ia dapat
mendahului, malah sambil memburu, ia pun
sudah lantas lepaskan enam buah senjata rahasianya
yang diberi nama Bweehoa Ouwtiap piauw, atau piauw Kupu-
kupu, menyerang ketiga arah, atas, tengah dan bawah dari si ongya
dan si tjiangkoen.
Tjiangkoen, atau jenderal itu, memang Tantai Mie Ming adanya.
Dia adalah orang yang sangat dibenci In Loei, tidak heran kalau si
nona menyerang dengan luar biasa ganas. Dengan menggunakan
piauw-nya, dia sampai tak minta perkenan lagi dari si orang tua.
Mendapat serangan bokongan itu, Tantai Mie Ming tertawa
berkakakan. Ia seperti dapat lihat tegas ketiga batang piauw itu, ia
sampok tiga-tiganya hingga terlempar mental.
Sebaliknya, si ongya telah perdengarkan jeritan "Aduh!" dan
busurnya terlepas, jatuh di tanah, tubuhnya pun terhuyung dua
tindak, hampir dia rubuh terguling, lalu dapat dia pertahankan diri.
Piauw si nona adalah piauw yang ia terima dari gurunya,
Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, piauw itu dapat dipakai menyerang
jalan darah. Si ongya benar liehay tetapi ketika dibokong, ia pun
sedang membokong lain orang dengan panahnya, maka datangnya
serangan gelap membuat ia terperanjat. Masih dapat ia tangkis satu
piauw dan berkelit dari yang kedua tetapi yang ketiga mengenai
dengkulnya. Syukur untuknya, ia punyakan tenaga dalam yang
liehay, ia tidak sampai terhuyung rubuh. Untung tidak enam panah
dipakai menyerang, kalau tidak, tentu jiwanya tak dapat
dihindarkan dari
bahaya maut.
In Loei terkejut mendapatkan ke enam piauw-nya tidak
memberikan hasil yang memuaskan, malah menyusul herannya,
tahu-tahu Tantai Mie Ming, yang berseru keras, telah lompat
melesat kehadapannya. Kembali ia terkejut. Dari gerakan tjiangkoen
ini, ia ketahui, orang ada terlebih liehay daripadanya. Akan tetapi, ia
kertak giginya, tak gentar ia menghadapi musuh tanggu. Maka juga,
"Sret!" pedangnya segera dihunus guna memapaki lawan itu!
-ooo0dw0ooo-

BAB III
Tantai Mie Ming bersenjatakan sepasang gaetan. Ia lihat
penyerangnya ada satu nona, ia memandang enteng.
"Suruhlah orang tuamu yang keluar!" ia menantang. "Gaetanku
tidak biasa membinasakan segala orang tidak ternama!"
In Loei tidak gubris kata-kata jumawa itu, ia menerjang, terus
sampai dua kali ketika tikamannya yang pertama ditangkis lawan
itu. Tentu saja ia menjadi tambah gusar dan sengit.
"Hai, budak, apakah kau cari mampus?" bentak jenderal itu
setelah ia sampok mental pedangnya. Kedua tikaman itu dapat ia
elakkan. In Loei tidak mundur, dia malah maju mendesak. Dia
membungkam ketika dia menyerang pula dengan "Pekhong koatdjit"
atau "Bianglala menutupi matahari."
Mie Ming melayani dengan sungguh-sungguh, dengan sepasang
gaetannya ia coba mengurung pedang si nona, tetapi In Loei tidak
mau mengerti, ia bebaskan diri, ia menyerang pula, demikian hebat,
hingga lawannya berseru: "Eh!"
Orang Mongolia yang tanggu ini heran, mau atau tidak, ia mesti
bekerja keras, setelah kedua gaetannya membuka ke kiri dan
kanan, lantas ia desak si nona hingga orang mundur tiga tindak,
tindakannya hampir kacau.
Gadisnya In Tjeng menjadi penasaran sekali,
tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara
hebat.
Tantai Mie Ming kerutkan alis.
"Siapa yang mengajarkan kau ilmu menyerang?" dia tanya. "Kau
berkelahi secara nekat begini, mana kau bisa layani musuh yang
tanggu?"
"Memang aku niat adu jiwa denganmu!" jawab si nona dengan
kaku. Dan ia perhebat serangannya.
Mie Ming menyeringai.
"Nanti aku desak dia, supaya aku bisa tegaskan kenapa dia nekat
begini," dia pikir. Terus ia mainkan sepasang gaetannya, untuk
mengurung pula pedang si nona.
In Loei licin. Satu kali ia telah dipedayakan, ia jadi waspada.
Nampaknya ia sembrono, sebenarnya ia dapat berlaku hati-hati dan
cerdik. Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia gerak-gerakkan
pedangnya untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia
cari ketika yang baik. Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia
menyontek ke atas, akan membentur langsung gaetannya!
Satu suara nyaring dari bentroknya senjata segera terdengar.
"Pedang yang bagus!" seru Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi
kaget meski ujung gaetannya kena dipapas sempoak pedang si
nona. Ia malah mendesak pula dengan dorongannya.
In Loei terkejut. Ia merasakan telapakan tangannya kaku, ia lihat
ujung gaetan menyambar ke dadanya. Tidak sempat ia memutar
pedangnya untuk menangkis.
Tapi Tantai Mie Ming tidak meneruskan menyerang.
"Hian Kee Itsoe itu pernah apa denganmu?" dia tanya.
Justeru orang berseru, In Loei gunakan ketikanya akan lepaskan
diri dari ancaman bahaya. Tentu saja ia jadi semakin mendongkol.
"Apakah pantas kau menyebut namanya tjouwsoe-ku?" dia
menghina.
"Haha-haha!" Tantai Mie Ming tertawa, dan kembali dia ulangi
desakannya.
In Loei mundur, dia sangat terdesak, repot dia membela diri.
Pernah ia mendesak dengan nekat, tapi ia tidak peroleh hasil.
"Sekalipun gurumu, dia bukannya tandinganku, kau tahu?" kata
Mie Ming.
In Loei tidak pedulikan orang berjumawa, ia tetap berikan
perlawanannya, beberapa kali ia membuat penyerangan pembalasan
yang tak kurang hebatnya, walaupun ia mesti menempuh bahaya.
Mendongkol juga Mie Ming karena si nona terus mendesak
padanya. Selang dua puluh jurus, In Loei mati daya, tak sanggup
dia menangkis terlebih jauh. Ketika gaetan kiri musuh menyantel
pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok
kepadanya, ia berseru dengan keluhannya: "Ayah,
tak dapat anakmu membalas sakit hatimu!.....”
Sambil mengucap demikian, ia tarik pedangnya sekuat tenaga,
karena ia masih mencoba untuk menangkis.
"He, budak cilik, apakah kau cucunya In Tjeng?"
tiba-tiba Tantai Mie Ming tanya. Karena ini, tertundalah turunnya
gaetan dari kematian itu.
In Loei lolos dari bahaya, segera ia menikam.
"Pemberontak, kau masih punyakan muka menyebut nama yaya-
ku?" dia mengejek.
Mie Ming gusar mendengar hinaan itu.
"Memang telah cukup aku Tantai Mie Ming dicaci orang-orang
sebangsamu yang anggap dirinya kosen, setia dan mulia hati.
Baiklah, mari aku binasakan kau turunan orang-orang kosen, setia
dan mulia itu!"
Jenderal ini menyerang dengan hebat, maka itu, baharu
beberapa jurus, kembali In Loei telah mati kutunya.
Selagi dua orang ini bertempur hebat, dipihak sana terdengar
jeritan-jeritan hebat, sebab Tjioe Kian, yang melawan belasan
musuh, telah peroleh hasil. Lega hatinya In Loei mendengar
kemenangan soesioktjouw itu.
Segera setelah itu terdengar seruan si ongya: "Tantai Tjiangkoen,
jangan perlambat waktu! Si bangsat tua Kimtoo sedang
mendatangi!"

02
Dan benar-benar Tjioe Kian tahu-tahu sudah sampai di kalangan
dan sudah lantas menyerang dengan golok besarnya.
Tantai Mie Ming tinggalkan si nona, ia tangkis bacokan bekas
tjongpeng itu, hingga berdua mereka jadi bertempur.
"Jikalau hari ini tidak dapat aku bunuh mampus padamu,
percuma aku punyakan golok Kimtoo ini!" berseru Kimtoo
Tjeetjoe sambil mengulangi
serangannya yang berbahaya.
Mie Ming berkelit, ia tertawa mengejek.
"Baiklah, aku ingin saksikan golok emasmu!" katanya. Ia
menyerang, ia berkelit, ia menyerang pula, lalu ia tertawa kembali.
Lalu ia berkata: "Adakah ini yang disebut golok emas atau golok
perak? Hm! Di mataku inilah tak lebih daripada tembaga rosokan!"
Ia gerakkan gaetannya, ia ketok belakang golok musuh itu.
Tjioe Kian jadi murka, benar ia diam saja, tapi ia balas
menyerang.
Sampai di situ, In Loei maju pula, untuk membantu kawannya.
Tidak sibuk Tantai Mie Ming ketika ia tangkis dua senjata dari
dua musuhnya itu, tidak peduli In Loei gesit dan golok emas berat,
dapat ia melayani dengan leluasa, malah kemudian ialah yang lebih
banyak menyerang.
Tjioe Kian dan In Loei bingung juga, meskipun mengepung
berdua mereka tak dapat hasil. Tjioe Kian berkata dalam hatinya:
"Sudah lama aku dengar Negara Watzu mempunyai panglima kosen
ini, dia benar-benar gagah perkasa. Orang liehay semacam dia kena
dipakai oleh bangsa Tartar, sungguh sayang.....”
Ketika itu terdengar pula suara si ongya: "Tantai Tjiangkoen,
ketika yang baik sudah tiba, jangan kau berkelahi lama-lama!"
Mendengar suaranya si ongya, Tjioe Kian dapat daya.
"Menawan bangsat menawan rajanya!" demikian pikiran yang
menyandingi. "Apa perlunya aku berkelahi mati-matian dengan dia
ini?"
Maka dia menangkis dengan keras, akan pecahkan kurungan
gaetan, di saat Tantai Mie Ming mundur tiga tindak, dia teriaki In
Loei: "In Loei, layani terus padanya, berlakulah hati-hati!" Habis
mengucap demikian, ia lompat mundur, akan tinggalkan lawan,
untuk sebaliknya lompat lebih jauh kepada si ongya.
In Loei sangat cerdas, segera ia mengerti maksudnya
soesioktjouw itu, maka lantas ia desak Tantai Mie Ming, hingga tidak
peduli orang Mongolia ini terlebih liehay, dia toh repot juga.
Si ongya sudah lantas diserang Tjioe Kian. Ia lihat datangnya
musuh, dengan pertahankan tubuh sebisa-bisanya, ia tangkis
bacokan itu. Kedua senjata beradu dengan keras, suaranya sangat
nyaring.
Tjioe Kian heran akan dapatkan orang bertenaga besar ia kagum.
Ia tahu, ongya itu sedang terluka, coba dia segar bugar, entah
bagaimana besar tambahan tenaganya.
Si ongya juga tidak kurang kagetnya, telapakan tangannya
sampai pecah dan mengeluarkan darah, karena ia telah menangkis
dengan sekuat tenaganya untuk selamatkan diri. Celakanya baginya,
ia tidak sanggup berlompatan.
Kimtoo Tjeetju penasaran ia ulangi serangannya, terus sampai
tiga kali, serangan yang ketiga itu tak sanggup ditangkis lagi oleh si
ongya, goloknya
terpukul keras, terlepas dari cekalannya dan terlempar, maka
dengan leluasa Tjioe Kian kirim bacokan susulannya, yang ke
empat.
"Habis aku!" teriak si ongya. Kendati demikian, dengan lawan
sakit di kakinya yang terhajar piauw, ia buang dirinya untuk
bergulingan!
Tjioe Kian membacok tempat kosong, ia jadi semakin penasaran,
maka ia maju terus, akan susul ongya itu, guna mengirim
bacokannya terlebih jauh. Justeru itu ia dengar sambaran
angin di belakangnya, hampir tanpa menoleh, ia menangkis.
"Trang!"
Kepala berandal ini merasakan getaran keras pada tangannya,
ketika ia berpaling, ia tampak Tantai Mie Ming yang membokong
padanya. Ia belum sempat bersiap, atau Mie Ming sudah simpan
sepasang gaetannya, buru-buru dia lompat pada ongya nya, untuk
sambar tubuh si ongya, untuk segera dibawa kabur.
Tjioe Kian tidak mau mengerti, dia lantas lompat, guna mengejar,
goloknya dipakai membabat.
Mie Ming tidak bersenjata, ia pun sedang pondong ongyanya,
tidak ada jalan lain, ia berkelit sambil mendak rendah, sedang
sebelah tangannya dipakai membarengi menyerang lengan lawan.
Tjioe Kian menyerang dengan hebat, serangannya tidak
mengenai sasarannya, goloknya jadi terulur ke depan, karena itu,
tidak keburu ia menarik kembali tangannya atau lengannya itu telah
dihajar lawannya, begitu rupa, sampai ia merasakan sakit sekali,
hingga goloknya terlepas jatuh.
Tantai juga tidak luput dari serangan, ialah dadanya terkena
tangannya Kimtoo Tjeetjoe, hingga ia pun merasakan sakit, akan
tetapi, dengan kuatkan diri, dengan menutup rapat mulutnya, ia
terus lari dengan bawa kabur tjoekongnya itu.
In Loei lompat mengejar. Ia menjadi gusar dan penasaran. Tadi
ia telah didesak mundur jauh, karena itu, Mie Ming keburu
menolongi ongya-nya dari tangannya Tjioe Kian. Dalam murkanya,
ia ayunkan tangannya, akan menimpuk dengan tiga batang piauw.
Orang Mongolia itu benar liehay. Ia tidak berkelit, sambil lari, ia
putar tangannya ke belakang, satu demi satu, ia sambuti ketiga
piauw itu, untuk diteruskan dipakai menyerang kembali. Nyata ia
bertenaga besar, timpukannya pun hebat.
In Loei dengar suara angin, tidak berani ia menanggapi piauwnya
itu, yang ia lewatkan sambil berkelit, hingga piauw mengenai satu
batu besar di sebelah belakang sambil perdengarkan suara nyaring
dan muncratkan lelatu api.
"Hebat!" seru si nona di dalam hati. Ia lihat ketiga piauwnya
nancap dibatu, tidak jatuh.
Itu waktu Tantai Mie Ming sudah lari terus.
Masih In Loei hendak mengejar tatkala di timur lembah terdengar
suara letusan, hingga gunung bagaikan tergetar, menyusul mana,
Tjioe Kian berteriak: "A Loei, jangan kejar musuh yang sudah
mogok!"
Si nona batal mengejar, sedang itu waktu, di selatan, dibarat
dan utara lembah saling susul
terdengar letusan nyaring seperti yang pertama tadi, begitupun
terdengar suara riuh dari pertempuran-pertempuran yang mestinya
dahsyat.
Tjioe Kian jumput goloknya, ia tertawa besar.
"Tidak peduli bangsa Tartar itu putar otaknya, mereka toh
menjadi kurakura dalam kerajaanku!" ia berkata dengan puas.
In Loei tidak mengerti, ia hendak bertanya pada si orang tua itu,
akan tetapi belum lagi ia membuka mulutnya, Kimtoo Tjeetjoe
sudah mendahului lari pergi, sambil lari dia menggape dan berseru:
"Mari lekas, bantui aku menolong orang!"
Dengan masih tidak mengerti, si nona lari menyusul.
Di bawah gunung, mayat-mayat bergeletakan di sana sini, darah
berlimpahan. Itulah korban-korbannya Tjioe Kian tadi. Tak tega In
Loei menyaksikan itu, ia lari sambil menutupi muka.
"A Loei, apakah kau bawa obat luka pemunah racun?" begitu
terdengar pertanyaannya si orang she Tjioe. ""Eh, A Loei kau
kenapa? Kau takut? Bagaimana nanti kau dapat membalas
dendam?"
"Tak takut aku bertempur sama segala bangsat," sahut si nona,
"tetapi tak tega aku menyaksikan mayat-mayat itu....."
Tjioe Kian tertawa.
"Sungguh kau satu pemudi gagah yang pemurah hati.....” ia
kata. "Di medan perang, dimana pemandangan lebih mengerikan
daripada ini masih dapat disaksikan! Mari, mari, kau tengok, kalau
nanti kau sudah biasa, hatimu tidak akan goncang lagi.....”
In Loei lari terus kepada jago tua itu, ketika sudah datang dekat,
ia lihat sijago tua sedang pondong satu orang dengan dandanan
sebagai boesoe — orang yang mengerti ilmu silat, — dibebokong
siapa nancap sebatang panah yang masuk hampir separuhnya.
"Apakah dia masih dapat ditolong?" nona ini tanya.
"Dia masih bernapas, kita coba saja," jawab Tjioe Kian.
"Aku membekal obat luka pemunah racun, hanya entah tepat
atau tidak," kata si nona, yang terus berikan obat itu.
Tjioe Kian terima obat itu. Ia cabut panah dibebokong orang itu
yang terluka, yang tubuhnya diletakkan di tanah. Dari lobang luka
terus keluar darah hitam.
"Benar-benar panah beracun," kata orang tua ini sambil
mengobati luka itu, kemudian ia urut-urut tubuhnya.
Tidak lama antaranya, si luka itu membuka kedua matanya,
cuma napasnya masih lemah, belum dapat ia membuka mulutnya.
Tjioe Kian mengawasi, ia geleng-gelengkan kepalanya.
"Bagaimana1" tanya In Loei.
"Inilah racun Mongolia yang hebat sekali, tanpa obat pemunah
dari si pemilik panah, tak dapat kita menolongnya," sahut si orang
tua. "Syukur orang ini mempunyai tenaga dalam yang tanggu,
karenanya
ia masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Obatmu dan
urutanku cuma bisa menolong ia untuk sementara waktu, untuk
membuatnya sadar, akan tetapi jiwanya tidak dapat bertahan
sampai besok.....”
In Loei jadi sangat berduka. "Kalau begitu lebih baik kita tidak
tolong dia, supaya lantas mati dan tak usah menderita terlebih
lama," ia kata.
"Dia buron dari tanah daerah Tartar, dia dikepung sampai di sini
mungkin dia mempunyai rahasia penting," Tjioe Kian utarakan
sangkaannya.
"Maka kalau dia tidak dapat berbicara sebelum dia menutup
mata, mungkin dia mati tak puas.....”
Dari sakunya, Tjioe Kian keluarkan sepotong jinsom Korea, lalu
dipotongnya, kemudian dimasukkan ke dalam mulut orang itu. Obat
ini (koleesom) mempunyai khasiat manjur rupanya ia mengharap
orang itu dapat ditolong.
Di empat penjuru lembah masih terdengar riuhnya suara
pertempuran, juga ringkikkan dari banyak kuda, terutama letusan-
letusan yang memekakan kuping. Mendengar itu semua, Tjioe Kian,
ketok-ketok goloknya sambil tertawa.
"Tidak sampai terang tanah, tentera Tartar akan musnah
semuanya," kata dia. "In Loei, sekarang tahulah kau sebabnya
kenapa aku rampas angkutan harta tentera kota Ganboenkwan."
In Loei cerdik, ia cuma berpikir sebentar atau ia tertawa sambil
tepuktepuk tangan.
"Sungguh tipu dayamu yang bagus, soesiok-
tjouwl" dia memuji. "Kau rampas uang negara, itu artinya kau
hendak bikin tjongpeng dari Ganboenkwan dengar perkataanmu.
Begitulah ketika bangsa Tartar menjanjikan dia untuk bekerja sama,
kau suruh dia diam saja, jangan gerakkan tentera. Demikian, kau
berada di tempat terang, musuh berada di tempat gelap. Semua kau
atur sempurna, pasti sekali kau menang perang!"
Tjioe Kian puas, ia tertawa pula.
"Teng Tay Ko itu bukannya seorang yang buruk," ia kata.
"Pemerintah titahkan dia membasmi berandal, dia insaf bahwa
tenaganya tidak cukup, dia membuat perhubungan dengan bangsa
Tartar. Lebih dahulu aku rampas hartanya, setelah itu seorang diri
aku pergi padanya. Aku tegaskan padanya apakah dia ingin mampus
dicingcang tenteranya yang kelaparan atau hendak bermusuh
dengan bangsa Tartar. Nyata dia masih sayangi jiwa dan
pangkatnya, dia dengar perkataanku. Sekarang nampaklah
buktinya."
Tak tahan jago tua ini kembali dia tertawa.
"Kenapa kau tertawa soesioktjouw?" tanya In Loei heran.
"Aku tertawa karena Teng Tjongpeng itu Jenaka," sahut si orang
tua. Di dalam surat-surat resminya dia namakan aku "Kimtoo si
bangsat tua" akan tetapi bila berhadapan dengan aku sendiri, dia
berulangkah memanggil thaydjin, tandanya ia tetap akui aku
sebagai atasannya.....”
Mau atau tidak In Loei juga tertawa.
"Apakah sebelum dia berada di sini, dia tahu
Kimtoo si bangsat tua ada seatasannya?" dia tegaskan sambil
berkelakar.
"Dia adalah orang angkatanku," Tjioe Kian beri keterangan.
"Begitu dia saksikan golokku, dia mesti dapat menduga aku siapa.
Cuma tadinya dia berpura-pura tidak tahu. Pun biasanya, setiap kali
aku tempur tentera negeri, aku selalu pakai topeng, maksudku ialah
agar mereka tidak mengenali aku."
"Kenapa begitu, soesioktjouw?"
"Jikalau tenteranya mengetahui aku adalah bekas tjongpeng dari
kota Ganboenkwan." sahut si orang tua, "ada kemungkinan
sebagian dari tenteranya itu akan lari ke pihakku. Ganboenkwan
adalah kota perbatasan, sudah semestinya kota itu mempunyai
pasukan penjaga yang kuat, karena ini aku cuma terima orang-
orang melarat, aku tolak tentera negeri."
In Loei masih muda sekali, tidak pernah ia pikirkan siasat
semacam itu, karenanya ia melengak mendengar pembicaraan
Kimtoo Tjeetjoe, yang dalam maksudnya itu.
"Bagus, dia telah mendusin" tiba-tiba Tjioe Kian berseru.
Memang benar si orang luka itu membalikkan tubuhnya.
"Kamu siapa" tanya dia pertama kali dia membuka mulutnya,
suaranya serak. "Lekas pimpin aku, aku hendak bertemu dengan
Kimtoo Tjeetjoe!....."
Tjioe Kian girang.
"Akulah Kimtoo Tjeetjoe," ia perkenalkan dirinya. Orang itu
segera menanya: "Apakah kau tahu
cucu perempuan dari In Tjeng yang bernama Loei? Tahukah kau
di mana dia berada?" In Loei terkejut.
"Aku adalah In Loei!" ia segera menjawab. Dengan mendadak
orang itu pentang lebar matanya.
"Kau In Loei?" katanya. "Bagus! Bagus! Mati pun aku meram!
Kakakmu masih hidup, sekarang dia telah pergi ke kota raja untuk
turut dalam ujian, maka lekaslah kau pergi susul dia!" Kembali si
nona terkejut. Memang ia tahu yang ia masih mempunyai satu
saudara lelaki, dan usianya lebih tua, namanya In Tiong, akan tetapi
waktu kakaknya itu berumur lima tahun, ayahnya telah mengirimkan
dia pada satu soehengnya, kakak seperguruan, untuk dijadikan
muridnya. Hal ini ia baharu tahu kemudian, sesudah ia dengar
keterangan gurunya.
Sama sekali Hian Kee Itsoe, gurunya In Teng, mempunyai lima
murid. In Teng keluar dari perguruan sebelumnya tamat, dia pergi
ke negeri asing untuk menolongi ayahnya, In Tjeng. Empat murid
lainnya, masing-masing mendapat serupa kepandaian istimewa.
Tiauw Im adalah murid yang kedua, dia mendapat ilmu tongkat
Hokmo thung serta gwakang, ilmu tenaga luar. Tjia Thian Hoa yang
ketiga, bersama Hoeithian Lionglie yang ke empat, berdua mereka
peroleh ilmu pedang. Murid kesatu adalah Tang Gak, dia diberi
pelajaran Taylek Engdjiauw kong, Tenaga Cengkraman Garuda, dan
ilmu silat Kimkong tjioe, Tangan Arhat. In Tiong telah dikirim
kepada Tang Gak ini. Sejak Tang Gak
tiba di Mongolia, dari mana ia berpesiar keperbatasan Thibet,
untuk selama sepuluh tahun, selama itu tidak pernah ada kabar
ceritanya, maka itu apakah In Tiong sudah mati atau masih hidup,
orang tidak mengetahuinya. Siapa tahu sekarang mendadak datang
kabar dari orang yang tidak dikenal ini.
In Loei menjadi girang berbareng heran.
"Kau siapa?" ia tanya.
"Aku adalah soeheng dari kakakmu," ia berikan jawaban.
"Ah! Kalau begitu, kau juga ada soeheng-ku.....”
ia beritahu. Tadinya ia niat menanyakan lebih jelas, tiba-tiba ia
tampak matanya menjadi putih mencilak, lalu dengan lebih serak,
soeheng itu berkata: "Masih ada kabarku yang lebih pentang pula.
Bangsa Tartar berniat mengurung gunungmu, untuk merusak
bendungan air.....”
"Tentang itu, aku telah ketahui dari siang-siang," Tjioe Kian beri
keterangan. "Dapatkah kau dengar suara ledakan? Itu tandanya
pihakku telah peroleh kemenangan."
Orang itu tersenyum, ia perlihatkan roman girang.
"Musuh juga akan mengerahkan angkatan perangnya untuk
menggempur kerajaan Beng," dia
masih menerangkan lebih jauh. "Kau..... kau mesti
berdaya untuk memberi kisikan kepada Sri Baginda.
Di..... di..... dihadapanku ada sepucuk surat
untukmu..... Bagus, aku telah bertemu dengan
kamu, bolehlah aku pergi.....”
Suaranya semakin perlahan, begitu ia berhenti
bicara, ia tersenyum pula, habis itu, kedua matanya dimeramkan
kembali.....”
Secara demikian dia berpulang ke alam baka.
Tjioe Kian terharu, ia menghela napas. Ia ambil surat yang
dimaksudkan, ia menekes batu untuk menyalakan api.
"Inilah suratnya toasoepeh-mu." ia kata.
Surat itu ditulis dengan huruf "Tjodjie", suatu tanda ditulisnya
lekas-lekas. Tjioe Kian lantas sobek sampulnya, untuk membaca
suratnya. Mula-mula ia baca:
"Gak adalah seorang gunung, ia titipkan dirinya di padang pasir,
citacitanya besar, akan tetapi akhirnya, dengan arak ia membuat
dirinya sinting selalu. Seumurnya tidak ada yang Gak buat menyesal
kecuali belum pernah berkenalan dengan tuan....."
Di dalam hatinya, Tjioe Kian berpikir: "Tang Gak ini mempunyai
cita-cita luhur." Ia membaca terus: "Walaupun tuan dengan aku
belum pernah bertemu, akan tetapi dari saudara Thian Hoa, tahulah
aku tentang kegagahan tuan yang kaum kangouw mengaguminya.
Benar tuan telah berdiri sendiri dengan menduduki sebuah gunung,
dengan menolak bangsa Han dan menentang bangsa asing, akan
tetapi aku tahu pasti tuan tak sudi melihat bangsa asing meluruk ke
Selatan untuk menggembala kuda hingga kesudahannya Tionggoan
nanti berubah Han menjadi asing.....”
Tjioe Kian menghela napas.
"Sungguh orang ini mengenal diriku," ia kata. Ia membaca pula:
"Di negara Watzu setelah perdana menteri To Hoan menutup
mata, puteranya yang bernama Ya Sian telah menggantikannya,
mulanya sebagai menteri, belakangan dia angkat dirinya guru
negara, hingga dia pegang kekuasaan atas pemerintahan dan
tentera. Dia telah menyiapkan angkatan perangnya dengan maksud
menyerbu Tionggoan. Sekarang dia mengumpulkan rangsum dan
lain lainnya, hingga rasanya tak lama lagi ia akan mulai
menggerakkan tenteranya itu. Musuh tangguh sudah seperti di
depan pintu kota perbatasan akan tetapi di dalam pemerintahan,
menteri-menteri tengah bermabuk-mabukan, mereka seperti tengah
bermimpi adakah itu bagus?.....”
Jago tua itu berpikir keras. Memang kelihatan, kaum dorna
tengah main gila. Ia membaca lebih jauh:
"Muridku In Tiong berniat keras membalas dendam, dia telah
berangkat pulang ke dalam negeri, tetapi dia masih muda dan
pengalamannya kurang, dia tak tahu bahwa yang berkuasa adalah
kaum dorna, aku kuatir dia nampak kegagalan. Maka itu, semoga
tuan ingat kepada sahabat lama, sukalah kau mendidik dia. Gak pun
dengar saudara In Tjeng masih mempunyai satu anak perempuan
bernama
Loei, andaikata tuan ketahui di mana adanya anak itu, tolong
beritahukan padanya tentang kakaknya ini. Aku menyesal mengenai
soetee Thian Hoa, sejak pertemuan kita di perbatasan pada sepuluh
tahun yang lalu, sampai sekarang ini terputuslah perhubungan kita.
Ceritera di luaran mengatakan dia telah terbinasa ditangan
penghianat she Thio atau ia telah tertawan dan terkurung di dalam
istana bangsa asing. Gak sekarang bersendirian saja, aku tidak
sanggup berbuat suatu apa, dari itu Gak mohon sukalah tuan
mengabarkan kepada soetee Tiauw Im dan soemoay Eng Eng agar
mereka lekas berangkat ke negara asing. Semua ini, aku mohon
bantuan tuan, untuk itu, tak berani aku menghaturkannya terima
kasih."
Habis membaca, Tjioe Kian menghela napas.
"Jikalau demikian adanya," kata In Loei, "baiklah aku pergi dulu
ke kota raja untuk mencari kakakku."
Orang tua itu lirik si nona, ia berpikir.
"Begitupun baik," sahutnya, setelah lama berpikir.
In Loei heran melihat wajah orang tua itu.
"Rasanya aku dapat menduga niatan kakakmu itu," kata Tjioe
Kian kemudian. "Kabarnya raja yang sekarang sedang mencari
orang-orang pintar dan gagah, untuk itu ia berminat memberi
hadiah yang istimewa pada mereka yang tahun ini turut ujian, ialah
setelah ujian umum, ia lantas mengadakan ujian tjonggoan. Pastilah
kakakmu hendak ambil jalan ujian itu guna memajukan dirinya,
supaya kemudian dapat ia pinjam tenaga pemerintah untuk
mewujudkan pembalasan bagi engkong nya itu. Maksud ini baik,
saying kawanan dorna tengah berkuasa, dari itu aku kuatir, dia tidak
akan mendapat hasil.....”
Orang tua ini dongak, akan melihat bintang-bintang. Tiba-tiba ia
memandang In Loei.
"A Loei, pernahkah kau baca surat balasannya Lie Leng kepada
Souw Boe?" tiba tiba ia tanya.
Si nona manggut. Memang ia pernah baca surat itu. Inilah
disebabkan karena engkong-nya membandingkan dirinya
dengan Souw Boe, maka ia telah minta engkong itu
mengajarkannya.
"Masa dahulu Lie Leng, dengan tenteranya telah melawan
bangsa Ouw," berkata Tjioe Kian. "Serdadunya cuma lima ribu jiwa
tapi dia lawan musuh dengan tentera sepuluh laksa jiwa, bisa
dimengerti kelemahannya, walaupun demikian, masih bisa ia
membinasakan panglima dan merebut benderanya, mengejar sana
mengejar sini, hanya pada akhirnya, karena yang sedikit tidak dapat
melawan yang banyak, ia kehabisan tenaga dan kena ditawan juga.
Kalau diingat, besar jasanya Lie Leng, tetapi pemerintah tidak
menghargainya, malah dia dihukum mati serumah tangganya, maka
itu, ia jadi putus asa, tak ada ingatannya lagi untuk pulang ke
negerinya. Dalam suratnya pada Souw Boe itu, ia teringat kepada
ibunya, kepada anak isterinya, ia sesalkan nasibnya yang buruk.
Maka itu, Lie Leng itu sungguh harus dibuat menyesal.....”
Ia dongak pula, ia menghela napas.
"Soesioktjouw," berkata In Loei, "kau tetap
menentangi tentara bangsa Ouw, mana bisa kau dipadu dengan
Lie Leng?"
"Kau belum tahu tentang aku, anak," kata Tjioe Kian. "Dalam
usiamu tujuh tahun, kau telah dengar riwayatnya engkong-mu,
maka sekarang, akan aku tuturkan kau hal diriku. Dahulu dimasa
aku menguasai kota Ganboenkwan, pernah aku melakukan
peperangan besar dan kecil sampai beberapa puluh kali, setiap kali
berperang, tentu aku peroleh kemenangan, maka sungguh tak
diduga, oleh karena dengar hasutan, raja telah memecat aku.
Untukku, kejadian itu tidak berarti suatu apa. Tapi engkong-mu? Dia
bandingkan dirinya dengan Souw Boe tapi dia mengalami lebih
hebat, dia dihadiahkan kematian! Adakah ini adil? Karena itu, aku
lantas tinggalkan Ganboenkwan. Mulanya aku tak mempunyai
pikiran untuk menduduki gunung, siapa tahu, raja Beng berbuat
sama seperti raja Han terhadap Lie Leng. Keluargaku semua telah
dihukum mati! Syukur satu bujangku yang setia berhasil menolongi
puteraku. Dialah orang yang pancing kau mendaki gunung."
In Loei terharu hingga ia mengalirkan air mata. Ketika ia pandang
jago tua itu, wajahnya Tjioe Kian muram, jago itu membungkam.
Tapi kemudian, dengan goloknya, Tjioe Kian tunjuk benderanya
yang melambai-lambai ditiup angin malam yang dingin: "Lihat di
sana, benderaku tetap bendera Djitgoat Kie!"
In Loei angkat kepalanya, ia turut memandang bendera itu
dengan matahari dan bulan sabitnya.
Yang luar biasa adalah huruf "djit" — "matahari" dan huruf "goat"
— "rembulan," apabila keduanya direndengkan, digabung menjadi
satu, kedua huruf itu menjadi huruf "Beng" — "terang," tetapi di sini
diartikan "beng" dari kerajaan Beng.
"Kiranya sekalipun soesioktjouw menjadi berandal, masih kau tak
melupakan kerajaan kita!" ia kata.
Tjioe Kian tidak menjawab, ia hanya berkata: "Kalau nanti kau
dapat cari kakakmu itu, katakan padanya supaya dia jangan turut
dalam ujian boe tjonggoan, tapi lebih baik dia kembali, untuk
datang padaku di sini. Pemerintah sangat tidak berbudi, buktinya,
lihat yaya-mu itu! Apakah itu tak cukup dijadikan contoh untuk hati
menjadi ciut?"
Si nona mengangguk.
"Soesioktjouw benar," sahutnya.
Tjioe Kian lipat suratnya, ia masukkan itu ke dalam sakunya.
"Samsoesiok Tjia Thian Hoa mu gagal, dia juga orang yang aku
kagumi," dia berkata pula. "Aku ingat pada sepuluh tahun yang
lampau, bersama-sama Tiauw Im Taysoe dia telah membuat janji,
yang satu memelihara anak tunggal, yang lain menuntut balas.
Sekarang ini Tiauw Im Taysoe sudah menitipkan kau kepada adik
seperguruannya yang perempuan untuk merawat kamu, akan tetapi
tentang pembalasan dari Thian Hoa, entahlah! Tidakkah ini
membuatnya orang berduka?"
"Nanti aku beritahukan guruku," kata In Loei, "biar ia bersama
djiesoepee pergi ke perbatasan
untuk mencari samsoepee."
"Kau, sendirian saja, mana dapat kau bekerja untuk dua
jurusan?" kata Tjioe Kian. "Begini saja. Pergi kau cari kakakmu, aku
yang akan memberitahukan kepada gurumu."
"Itulah lebih baik. Baiklah besok akan aku berangkat."
Tjioe Kian tertawa.
"Kau masih mempunyai waktu beberapa hari," katanya. "Dalam
hal ilmu silat, kau lebih pandai, tapi tentang pengalaman, kau perlu
belajar dari aku.....”
Waktu cuaca makin terang dan dentuman sudah mulai sepi, Tjioe
Kian dan In Loei kembali ke pesanggrahan.
Tepat tengah hari, tentara yang bersembunyi di empat penjuru
sudah kembali dengan warta kemenangannya yang besar, tentera
Mongol dihajar kucar-kacir dan banyak yang tertawan berikut
kudanya. Karena itu, Tjioe Kian menitahkan untuk memberi hadiah,
hingga ia menjadi repot untuk beberapa saat.
"Kau benar gagah, tetapi mengenai seluk-beluk kaum kangouw,
kau masih kurang," berkata pula Tjioe Kian sambil tertawa. "Nanti
aku suruh, San Bin mengajarkan padamu."
In Loei cerdas, dengan gampang ia dapat mengerti, maka baharu
tiga hari, ia sudah tahu baik segala apa mengenai kaum kangouw.
Tjioe Kian masih kuatirkan orang kurang pengalaman, kenalan
pun ia tak mempunyai banyak, dari itu ia serahkan sebuah
benderanya, bendera
Djitgoat kie.
"Semua orang kaum kita di lima propinsi Utara, baik dari
kalangan darat maupun sungai, apabila mereka lihat bendera ini,
pasti mereka akan suka mengalah," ia beri keterangan. "Umpama
kata kau menghadapi ancaman bahaya, kau keluarkan saja bendera
ini. Cuma ingat, tidak dapat kau keluarkan secara sembarangan."
In Loei terima bendera itu, ia haturkan terima kasihnya, akan
tetapi, di dalam hatinya, ia berpikir: "Aku hendak merantau, aku
membutuhkan pengalaman, perlu apa aku dengan perlindungan
bendera ini?.....” Tapi tidak ia utarakan pikirannya
ini.
Tjioe Kian juga keluarkan beberapa potong pakaian orang lelaki,
emas dan perak serta permata. Sambil tertawa, ia kata: "Satu nona
tunggal membuat perjalanan ke kota raja, kau mudah
membangkitkan perhatian orang, maka itu perlulah kau salin
pakaian, untuk menyamar sebagai satu pemuda. Uang dan permata
ini, kau boleh simpan untuk dipakai di tengah perjalanan."
In Loei anggap salin pakaian adalah benar, maka ia tidak
membantah. Ia dandan dengan lantas. Ia terima bekalan itu. Segera
ia memberi hormat, untuk pamitan.
"San Bin, pergi kau antar serintasan!" Tjioe Kian titahkan.
Demikian In Loei keluar dari pesanggrahan, ia menunggang kuda
pilihannya, maka itu, pada waktu tengah hari ia sudah melintasi
Ganboenkwan.
"Siokhoe silakan kau kembali!" ia minta pada pengantarnya.
San Bin mengawasi dengan tajam.
"Kau harus lekas kembali," katanya, suaranya dalam. Ia tidak
lantas putar kudanya, sebaliknya, ia jalan terus berendeng dengan
si nona, agaknya ia berat untuk berpisah.
"Siokhoe, terima kasih untuk kebaikanmu," kata In Loei. "Silakan
kembali!"
Tiba-tiba wajahnya San Bin bersemu merah, lalu ia tertawa
sendirinya.
"Sebenarnya perbedaan usia kita berdua tidak seberapa," berkata
dia. "Di antara kita ada tingkat, karenanya kita bukan lagi saudara.
Coba kita bicara hanya hal umur, lebih tepat kita menjadi kakak dan
adik."
In Loei menjadi heran. Tiba-tiba ia ingat, selama beberapa hari,
San Bin berlaku luar biasa baik terhadapnya. Di dalam hatinya, ia
kata: "Paman ini seorang yang baik, sayang cara bicaranya tidak
ada batasnya.....”
Muda usianya si nona, ia tidak dapat berpikir lebih dalam.
"Siokhoe, adakah kau cela aku memanggil paman padamu?"
tanya dia sambil tertawa. "Baiklah kalau lain hari aku kembali, aku
nanti bicara dengan soesioktjouw supaya kita ubah cara panggilan
kita"
Kembali mukanya San Bin merah.
In Loei tertawa pula, terus ia pecut kudanya untuk dilarikan.
Ketika ia berpaling, ia tampak Tjioe San Bin masih duduk diam
di atas kudanya
mengawasi padanya.
Tiga hari In Loei lakukan perjalanannya, pada hari ketiga itu ia
tiba di Yangkiok yang ramai, sesampainya di dalam kota, ia tampak
banyak rumah makan. Ia lantas merasa lapar.
"Sudah lama aku dengar, arak hoentjioe dari Shoasay kesohor,
hari ini baik aku mencobanya," pikir nona ini. Lantas ia hampirkan
sebuah rumah makan di depan mana ia tampak ditambat seekor
kuda putih, putih juga ke empat kakinya, roman kuda pun bagus. Ia
menghampiri lebih dekat. Justeru itu matanya berbentrok dengan
satu tanda rahasia orang kangouw di pojok tembok, ia jadi heran.
Dengan tenang ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan di pojok
selatan, dekat pada jendela, duduk satu anak sekolah yang sedang
minum seorang diri, sedang di sebelah timur duduk dua orang laki-
laki yang tubuh dan romannya kasar, yang satu kurus, yang lain
gemuk, keduanya minum dengan asyik. Tetapi di mata si nona,
mereka itu ternyata sering-sering melirik pada si mahasiswa.
Anak sekolah itu indah pakaiannya, dia mirip dengan seorang
putera hartawan. Dia juga minum seorang diri, secawan demi
secawan, sampai tubuhnya nampak sedikit limbung, suatu tanda
bahwa ia telah menenggak terlalu banyak.
Tiba-tiba saja anak muda ini menyanyi:
"Tuhan wariskan kita kepandaian, itu mesti ada gunanya. Kalau
seribu emas dihabiskan, itu mesti dapat balik kembali.
Memasak kambing,
menyembelih kerbau, untuk berpesta bersenang-senang, maka
itu haruslah diminum habis tiga ratus cangkir.....”
Ia lantas goyang-goyangkan kepalanya, nampaknya ia tolol.
Kembali ia ceguk satu cawan, hingga tenggorokannya berbunyi.
Di dalam hatinya, In Loei berkata: "Sioetjay ini benar-benar
tolol ia tidak insaf bahwa ini membahayakan
perjalanannya. Dua penjahat sedang pasang mata
terhadapnya, tapi ia masih tungkuli araknya saja.....”
Si kurus di timur itu terdengar berseru: "Minum habis tiga ratus
cangkir! — bagus! Hai, saudara, lain orang minum tiga ratus
cangkir, kau sendiri, tiga cangkir kau masih belum tenggak!"
Sang kawan, si gemuk, berjingkrak.
"Kau ngaco!" tegurnya. "Kau cuma minum satu cawan, kau suruh
aku habiskan tiga!"
"Tapi kau harus ingat, kau lebih besar tiga kali lipat daripadaku!"
kata si kurus. "Aku minum satu cawan, kau sendiri mesti tiga, tak
boleh kurang!"
"Angin busuk ! Angin busuk!" si terokmok mendongkol.
"Tidak, aku tidak mau minum!"
"Eh kau tidak mau minum?" tanya si kurus. Dia angkat poci arak
itu, untuk digelukgukkan.
Gusar si terokmok, ia menolak dengan keras, maka arak tumpah
menyiram tubuhnya.
Si kurus melawan, mereka berdua jadi bergumul, keduanya
terhuyung hingga melanggar si mahasiswa.
"Kurang ajar!" anak sekolah itu membentak. Ia gusar, ia
berbangkit.
Berbareng dengan itu terdengar suara barang jatuh, itulah
kantong sulam si anak muda dari mana meletik keluar sepotong
emas serta serenceng mutiara. Emas masih bagus tapi mutiara itu,
di antara sinar matahari, sudah bercahaya terang sekali.
Si anak muda angkat kakinya, untuk menginjak kantongnya, lalu
ia membungkuk untuk menjemput emas dan mutiara itu.
"Kamu hendak merampas?" ia berseru.
Dua orang itu berhenti bergumul.
"Siapa yang merampas barangmu?" bentak mereka. "Kau berani
tuduh orang? Nanti aku hajar padamu!"
Beberapa tetamu lain lantas maju, untuk memisahkan.
In Loei tertawa menyaksikan pertunjukan itu. Di matanya, sudah
terang si gemuk dan si kurus itu ada dua penjahat, mereka sengaja
bergumul untuk menjatuhkan kantong uang orang untuk dirampas,
sedikitnya untuk mengetahui lebih dulu, kantong itu kosong atau
berisi, akan tetapi tak kesampaian maksud mereka. Di dalam
hatinya, ia pun berkata: "Di sini ada aku, tidak nanti aku biarkan
kamu mencapai maksudmu.....”
Nona ini berbangkit, untuk menghampiri. Dengan kedua
tangannya, ia tolak si gemuk dan si kurus itu.
"Kamu mabuk arak, kenapa kamu bergumul hingga ke tempat
lain orang?" ia tegur mereka. Sambil
berkata begitu, dengan sebat tangannya meraba sakunya kedua
orang itu, akan rampas uangnya. Tidak ada orang yang lihat
perbuatannya ini.
Ditolaknya dada kedua orang itu, mereka merasa sakit, hingga
mereka jadi kaget, karena mana, tidak berani mereka beraksi
terlebih jauh.
"Siapa suruh dia menuduh kita merampas.....”
mereka mendumal.
"Sudah, sudahlah!" kata seorang tetamu. "Kamu telah menubruk
orang, kamu yang bersalah. Baiklah kamu pulang, untuk minum
arak di rumah saja."
Si mahasiswa angkat cawannya.
"Saudara, mari minum!" ia mengundang, suaranya menyiarkan
bau arak yang keras.
"Terima kasih," sahut In Loei. Ia duduk pula di kursinya, dari situ
ia awasi kedua orang itu.
Kedua orang ini terang masih mendongkol, mereka memandang
orang dengan sorot mata tajam. Lalu satu di antaranya teriaki tuan
rumah untuk membuat perhitungan.
Orang yang kedua, si kurus, meraba sakunya. Rupanya ia hendak
mengeluarkan uang. Tiba-tiba ia melengak, wajahnya menjadi
pucat.
Si gemuk lihat roman orang, ia terkejut. Ia lantas raba sakunya.
Ia pun melongo dengan mendadak. Sebab ia pun dapatkan sakunya
kosong. Keduanya lantas saling mengawasi, mulut mereka
bungkam.
"Sama sekali satu tail tiga tjhie," kata tuan rumah, yang
menghampiri kedua tetamunya itu.
Kedua orang itu menyeringai, tangan mereka masih belum ditarik
keluar dari saku mereka.
"Tuan-tuan, semua menjadi satu tail tiga tjhie," kata pula si tuan
rumah.
"Apakah boleh kami membayar lain hari saja?" tanya si kurus
akhirnya.
Tuan rumah memperlihatkan roman heran, habis itu ia tertawa
dingin.
"Kalau setiap tetamu berhutang, tidakkah kami bakal makan
angin?" kata dia.
Jongos, yang tidak senang turut bicara: "Apakah kamu berdua
bukannya sengaja hendak mengganggu kita? Kamu sudah minum
dengan puas, lalu berkelahi, menubruk orang sekarang kamu juga
hendak menganglap! Jikalau kamu tidak punya uang, buka saja
bajumu!"
Kasar suaranya jongos ini tetapi ia membuatnya lain-lain tetamu
tertawa, hingga ruangan menjadi riuh ramai.
"Memang mereka berdua yang salah.....” ada
orang yang turut bicara.
Melihat suasana buruk, kedua orang itu membuka bajunya.
"Dua potong baju saja belum cukup!" kata si jongos yang tahu-
tahu sudah menyambar kopiah orang, lalu dia menambahkan:
"Dasar kita yang lagi sial! — Nah, sudah pergilah kamu!"
Merah mukanya kedua orang itu, terpaksa mereka ngeloyor
pergi.
Puas In Loei menyaksikan kejadian itu, ia keringkan lagi dua
cawan. Ketika ia menoleh pada si anak sekolah, dia itu masih duduk
minum. Tiba-tiba ia ingat suatu apa: "Terang sudah kedua orang itu
adalah orang-orang jahat, mereka mesti orang orang sebawahan,
kena dihina mereka tidak bisa berbuat suatu apa, tetapi
sepulangnya mereka mungkin mereka mengadu kepada kepalanya.
Aku sendiri tidak takut tapi bagaimana dengan anak sekolah itu? Ia
terancam bahaya.....”
Karenanya ia berbangkit, ia teriaki tuan rumah: "Berapa aku telah
minum?" Ia sudah ambil putusan akan susul kedua orang itu.
Tuan rumah menghampir dengan wajah berseri-seri. Ia telah
lihat pakaian orang yang indah.
"Semuanya satu tail dua tjhie," ia jawab.
In Loei merogo sakunya. Di situ ia taruh uang dari Tjioe Kian.
Tiba-tiba ia bercekat. Sakunya itu kosong. Maka lekas ia rogo saku
kiri. Di sini ia taruh uangnya dua orang tadi. Kembali ia terkejut.
Juga uang copetannya itu lenyap. Tanpa merasa, ia keluarkan
keringat dingin.
Tuan rumah mengawasi orang merogo dan merogo lagi kedua
sakunya. Dari dandanannya, ia tidak percaya bahwa ia sedang
menghadapi seorang tukang anglap lain.
"Apakah tuan tidak punya uang kecil?" dia tanya. "Uang goanpo
juga boleh, dapat aku menukarnya."
Bingung In Loei. Takut ia nanti disuruh buka pakaian! Itulah
hebat.
Tuan rumah mengawasi, orang merogo dan merogo lagi ke
kedua sakunya, akhirnya ia menjadi curiga.
"Kau kenapa, tuan?" dia tanya, suaranya tawar.
Justeru itu si mahasiswa menghampiri, sambil tertawa ia berkata:
"Di empat penjuru lautan semua
orang bersaudara..... Uang seribu tail dibuyarkan
pun bisa dapat kembali..... Biarlah aku yang tolong
bayarkan uang araknya engko kecil ini."
Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak berat kira-kira
sepuluh tail. Ia lemparkan perak itu pada tuan rumah.
"Ini uangnya," katanya. "Lebihnya kau boleh ambil."
Luar biasa girangnya si tuan rumah.
"Terima kasih! Terima kasih!" ia mengucap berulang-ulang.
Merah mukanya In Loei.
"Terima kasih," ia pun menghaturkan.
"Tak usah." kata si anak muda, tenang. "Aku hendak
mengajarkan kau satu rahasia. Yaitu lain kali kalau pergi minum
arak, harus kau pakai baju dua rangkap, dengan begitu, jangan
kuatir apa-apa lagi di waktu hendak membayar uang arak."
Di waktu bicara, kembali mulutnya berbau arak keras. Ia tetap
berlaku tenang, habis berkata, tanpa pedulikan lagi si anak muda, ia
ngeloyor pergi.
In Loei mendongkol bukan main, ia jengah.
"Satu anak sekolah tidak tahu aturan.....”
pikirnya. "Coba tadi aku tidak tolong padamu, pasti
uangmu telah orang rampas.....” Kemudian ia
mengawasi kesekitarnya, ia tidak lihat satu tetamu jua yang
mencurigakan. Ia jadi putus asa. Dengan masih mendongkol dan
masgul, ia pun lantas angkat kaki, dengan menunggang kudanya,
ia lanjutkan
perjalanannya. Bingung juga ia, karena sekarang ia tidak punya
uang.
Setibanya di luar kota, In Loei lihat si anak muda, yang bersama
kudanya yang putih, berada di sebelah depan.
"Bukankah dia yang telah main gila?" tiba-tiba ia
bercuriga. "Tapi dia tak mirip sama sekali.....”
Ia larikan kudanya, untuk menyandak mahasiswa itu, lalu dengan
menyambuk seperti juga ia ingin kaburkan kudanya, ujung
cambuknya ia arahkan keiganya si anak sekolah.
Inilah satu ujian. Kalau si anak muda seorang lihay, ia mesti
dapat egoskan tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman bencana.
Sekonyong-konyong si anak muda menjerit, ia tidak berkelit dari
cambuk itu, tubuhnya lantas saja terhuyung, hampir ia jatuh dari
atas kudanya.
"Maaf, aku kesalahan!" berkata In Loei. "Aku tidak sengaja."
Mahasiswa itu menoleh.
"Ah, orang yang hendak menganglap....." katanya, "Jangan kau
arah aku karena aku mempunyai uang, dengan uangku aku
hanya hendak ikat
persahabatan..... Orang semacam kau, yang sudah
menganglap dan sekarang juga memukul orang, denganmu tak
suka aku bersahabat!"
In Loei mendongkol berbareng merasa lucu.
"Apakah kau masih sinting ?" ia tanya.
Si mahasiswa tidak menyahuti, ia hanya ngoceh seorang diri:
"Dengan golok membacok air, air tak terputus hanya mengalir
terus. Angkat cawan
meminum arak, untuk melenyapkan kedukaan, tapi kedukaan
tambah kedukaan. Memang hidup di dalam dunia sukar
mendapatkan kepuasan maka
lebih baik besok pergi main perahu!..... Eh, eh, tak
sudi aku minum arak bersama kau, tak sudi aku!"
Kelihatan nyata sintingnya mahasiswa ini.
Bingung juga In Loei. Ia maju, ia ingin pegang tubuhnya yang
limbung di atas kuda itu. Atau mendadak si mahasiswa jepit perut
kudanya hingga kuda itu lompat kabur.
Kudanya In Loei adalah kuda Mongolia pilihan, akan tetapi ketika
ia kaburkan kudanya, untuk menyusul, tidak dapat ia candak si anak
muda.
"Dia tidak mengerti silat tetapi kudanya jempol sekali..." pikirnya.
Terpaksa ia jalan terus seorang diri, pikirannya pepat.
Lama In Loei lanjutkan perjalanannya, sampai ia lihat matahari
merah mulai condong ke arah barat dan dari sana-sini mulai terlihat
asap mengepul, tandanya orang sudah mulai menyalakan api. Ia
memikir untuk singgah pada seorang tani. Tapi ia bersangsi.
Bukankah ia sudah tidak punya uang?
Ia masih jalan terus, sampai mendadak ia dengar kuda
meringkik.
Nyata di sebelah depannya ada pohon-pohon yang lebat, di situ
ada sebuah kuil, dan di muka kuil itu seekor kuda putih sedang
makan rumput. Ia segera kenali kuda itu.
"Eh, ia pun ada di sini?" pikirnya, heran. "Orang-orang beribadat
adalah orang-orang yang
murah hati, baik aku singgah di sini saja.....”
Ia tambat kudanya di luar, ia bertindak masuk ke dalam kuil
setelah menolak daun pintunya yang tertutup rapat. Segera ia
tampak mahasiswa lagi nongkrong di depan tabunan, dia sedang
menambus ubi.
Melihat si nona, atau lebih benar si anak muda, anak sekolah itu
perdengarkan suaranya: "Di mana hidup bisa tak bertemu
denganmu? Ah, ah, kembali kita bertemu pula!"
In Loei awasi.
"Apakah kau telah sadar dari sintingmu?" dia tanya.
"Eh, kapan aku sinting?" si anak sekolah mem-baliki. "Aku tahu
kau adalah si orang yang menganglap.....”
In Loei mendongkol.
"Kau tahu apa?" katanya nyaring. "Ada orang jahat mencopet
uangku!"
Berjingkrak si mahasiswa, dia lompat bangun.
"Apa?" serunya. "Ada orang jahat? Dikuil ini tidak ada
pendetanya, kalau penjahat datang, sungguh hebat! Tidak, aku
tidak mau berdiam di sini.....”
In Loei mendongkol berbareng geli dalam hatinya.
"Kau hendak pergi ke mana?" dia tanya. "Begitu kau keluar dari
sini, penjahat akan membegal padamu! Tidak ada orang yang dapat
menolongi kau! Dengan ada aku di sini, seratus penjahat pun aku
tidak takuti."
Si mahasiswa pentang matanya lebar-lebar.
Sekonyong-konyong ia tertawa.
"Jikalau kau mempunyai kegagahan seperti itu, kenapa kau
anglap barang makanan orang?" dia tanya.
"Sebab ada copet yang mencuri uangku," In Loei akui.
Mahasiswa itu tertawa terpingkal-pingkal, lantas dia tunjuk orang
dihadapannya ini.
"Kau tidak takuti seratus penjahat, tetapi uangmu dicopet orang!"
katanya. "Hahahaha! Nyata kepandaianmu mendusta ada terlebih
esay daripada kepandaianmu menganglap...!" Nampaknya dia
hendak berlalu, tetapi dia batal sendirinya. Dia tambahkan: "Tak
sudi aku dengar kau! Dunia begini aman, di mana ada segala tukang
copet?"
Dan dia balik-balikkan ubi bakarnya.
Bukan kepalang mendongkolnya In Loei. Tak dapat ia gusar
karena katakata orang itu beralasan. Tapi tak dapat ia diam saja
menahan kemendongkolannya.
"Kau tidak percaya, ya sudahlah!" katanya. "Aku pun tak perlu
kau mempercayainya!"
Ubi bakar itu harum sekali, terseranglah napsu daharnya In Loei.
Ia memang telah melarikan kudanya lama dan telah datang rasa
laparnya, harum ubi itu menambah hebatnya napsu daharnya. Ia
menelan ludah tetapi tidak berani ia membuka mulutnya. Orang
sudah mengatakan ia si tukang anglap. Tapi itu ada satu kuil
kosong, tidak ada pendetanya, di mana di situ ia bisa cari barang
makanan untuk tangsel perutnya?
In Loei menderita, apapula ketika ia tampak orang mulai
menggayem ubinya yang harum itu. Sambil makan, mahasiswa itu
ngoceh seorang diri:
"Arak memang dapat membuat orang sinting.....
Ikan dan daging memang lezad, tetapi ubi juga enak..... Sungguh
wangi, sungguh wangi!"
In Loei deliki orang itu, lantas ia melengos.
Tiba-tiba si mahasiswa berkata: "Eh, tukang anglap, aku bagi kau
ubi ini!" Dan lantas ia lemparkan sepotong ubi yang masih panas.
"Siapa kesudian makan ubimu?" bentak In Loei. Ia tidak sambuti
ubi itu, hanya sambil telan ludah, ia duduk bersila, matanya melihat
hidung, hidungnya "melihat" hati. Dengan begitu, sambil
bersamedhi, dapat ia kuasai rasa laparnya. Ia malah cepat merasa
lega hati, hingga ia bisa buka kedua matanya. Sekarang ia dapatkan
si mahasiswa sedang rebah tidur, ubinya terletak di sampingnya.
Menampak demikian, In Loei ulur lidahnya. Ia juga hendak ulur
tangannya ketika ia tampak si anak sekolah membalikkan tubuhnya.
Dia tidak bangun, tapi dia tidur pula.
"Setan alas!" kata In Loei dalam hatinya. "Biar aku kelaparan
satu malaman, toh tidak jadi apa!.....”
Si mahasiswa tidur dengan menggeros, suaranya sangat berisik.
In Loei ingin tidur tetapi tidak bisa. Ia awasi tubuh orang itu.
"Tetapi dia ini aneh," ia pikir tentang anak sekolah itu. "Dia
berpakaian indah, uangnya pun nampaknya banyak. Kenapa dia
membuat perjalanan tanpa ada pengantarnya? Kenapa dia
berani mondok di kuil ini, di tempat begini sepi? Kenapa dia
justeru makan ubi yang tidak ada harganya? Apa mungkin dia
mengerti silat tetapi dia sengaja berpura-pura? Melihat romannya,
tak mestinya dia mengerti ilmu silat.....”
In Loei berbangkit. Timbul di otaknya pikiran untuk menggeledah
anak sekolah itu. Justeru itu, kembali si anak muda membalikkan
tubuhnya.
"Jikalau ia mendusi, bukankah ia akan sangka aku hendak
mencuri uangnya?" ia ragu-ragu. Ia sudah maju tiga tindak, atau ia
mundur lagi dua tindak.
Tiba-tiba terdengar satu suara keras dari luar kuil, entah suara
apa itu.
In Loei menoleh, ia tidak lihat suatu apa, ketika ia berpaling
kepada si mahasiswa, dia ini tetap tidur mendengkur bagaikan
babi.....
"Sebenarnya aku tak mau ambil mumat padamu," pikirnya
kemudian, "akan tetapi aku kasihan
padamu..... Hitung saja untungmu bagus, baiklah,
akan nonamu talangi kau menangkis si orang jahat!"
Tanpa ragu-ragu, In Loei lari keluar, kemudian ia lompat naik ke
atas sebuah pohon, di atas itu ia sembunyikan diri sambil
memasang mata. Ia curigai suara itu.
Ketika itu cahaya rembulan tampak remang-remang dibantu sinar
bintang, In Loei segera tampak datangnya dua orang, muka siapa
ditutupi topeng.
"Dengan melihat kuda putih itu, terang sudah dia ada di sini,"
begitu terdengar seorang berkata.
"Bagaimana andaikata dia tidak suka menurut?"
tanya yang lain.
"Jikalau tak dapat dengan cara baik, terpaksa kita mesti ambil
batok kepalanya!" menyatakan orang yang pertama bicara.
"Bagaimana dapat kita berbuat begitu?" berkata pula kawannya.
"Apakah tak cukup kita lukai saja padanya?"
In Loei gusar mendengar pembicaraan itu.
"Sungguh jahat kamu!" pikirnya. "Sudah hendak merampas harta
orang juga kamu menghendaki jiwanya!..."
Tiba-tiba salah satu di antaranya berseru: "Awas! Di atas pohon
itu ada orang!"
In Loei berlaku sebat, dua batang piauw-nya — Ouwtiap piauw,
atau piauw Kupu-kupu — telah dilepaskan.
Dua orang bertopeng itu gesit, mereka berhasil berkelit.
In Loei penasaran, sambil hunus pedangnya, ia lompat turun,
untuk serang dua orang yang ia percaya ada orang-orang jahat itu.
Dua orang itu, yang satu menyekal tongkat besi, yang lain
sepasang gaetan, menangkis serangan itu. Maka bentroklah
pelbagai senjata itu. Mereka lantas saja menjadi kaget. Sebab yang
bersenjatakan tongkat, tongkatnya sempoak, yang menggenggam
gaetan, gaetannya tersampok mental, sukur tidak sampai terlepas
dari cekalan.
"Mereka lihay juga," begitu pikir In Loei, yang merasakan
tangkisan keras.
Kedua orang itu kaget, mereka hendak tanya
lawannya ini, tetapi mereka tidak punyakan kesempatan. In Loei
sudah lantas menyerang pula, dengan gencar.
Pedang In Loei adalah pedang Tjengbeng, salah satu dari
sepasang pedangnya Hian Kee Itsoe, pedang ini tajam dan biasanya
dapat membabat kutung genggaman biasa, tetapi karena tongkat
itu besi belongkotan, tongkatnya si orang bertopeng tak kena
dibabat kutung, sedang sepasang gaetannya hanya kena
tersampok.
Orang yang bersenjatakan gaetan itu sebat sekali, bagus juga
permainan gaetannya, karena mengetahui pedang lawan tajam, ia
tidak mau membuat gaetannya kena ditabas. Ia membalas
menyerang, ia lebih banyak berkelit daripada menangkis.
In Loei berkelahi dengan gunakan ilmu silat "Hoeihoa poktiap",
atau "Bunga terbang menyambar kupu-kupu." Ia pun senantiasa
menyingkir dari kedua macam senjata lawan itu, yang mencoba
mendesak padanya.
Belum lama atau kedua orang bertopeng itu sudah kewalahan,
tidak peduli mereka ada berdua dan mendapat ketika baik untuk
mengepung, terpaksa mereka main mundur, akan tetapi karena
mereka licin, tidak lantas mereka kena dipecundangkan.
In Loei menjadi penasaran, hingga ia kertak giginya. Kalau
tadinya ia tidak memikir untuk ambil jiwa orang, sekarang ia tak
gentar untuk melakukan itu. Begitulah, satu kali ia serang orang
yang menggenggam sepasang gaetan dengan tipu silat
"Toatbeng sin" atau ""Malaikat menyabut jiwa," yang ia peroleh
dari Hoeithian Lionglie. Ia ingin rubuhkan lawan yang satu dulu,
baharu nanti yang kedua.
Di luar dugaan nona ini, orang bertopeng itu perlihatkan
kelicinannya. Dia loloskan diri dari tikaman, berbareng dengan itu,
dia membalas dengan gaetannya — gaetan yang kanan. Yaitu selagi
pedang lewat, tidak mengenai gaetan kiri, gaetan kanan dipakai
menggaet menarik dengan keras.
Si nona kaget, hampir saja pedangnya terlepas dari
pegangannya. Ia kenali tipu silat gaetan itu adalah salah satu dari
tipunya Tantai Mie Ming.
"Hai, apakah kamu murid-muridnya Tantai Mie Ming?" ia tegur
mereka. Ia desak yang memegang tongkat sambil menyingkir dari
orang yang menggenggam gaetan itu.
Orang yang pegang gaetan itu menyahut dengan seruannya:
"Nyata kau ketahui kita siapa! Karena itu, lain tahun pada hari ini
adalah hari peringatanmu mampus satu tahun!"
Dan seruan itu disusul dengan serangan hebat.
Merah matanya In Loei, ia jadi sangat gusar.
"Orang Tartar bernyali besar! Cara bagaimana kamu berani
nyelundup masuk ke Tionggoan? Apakah kamu sangka Tionggoan
sudah tidak ada manusianya?" dia berteriak. Dia pun balas
menyerang dengan dahsyat.
Pertempuran berjalan seru, akan tetapi selang sekian lama, In
Loei jeri sendirinya. Ia lapar dan kurang tidur, selang seratus jurus,
ia menjadi lelah.
Keringatnya pun mulai keluar. Di luar sangkaannya, kedua musuh
ada tangguh, rapi kepungan mereka. Dengan sendirinya, ia jadi
kena dikurung, percuma agaknya ia mempunyai pedang yang tajam
itu.
"Pedang bocah ini bagus," kata lawan yang pegang tongkat,
"bolehkah sebentar pedang itu diberikan padaku?"
"Boleh, boleh sekali!" sahut kawannya. "Aku suka mengalah,
suka aku berikan pedang itu kepada kau, akan tetapi kau mesti
berjanji, kalau sebentar kita bekuk dia, dia mesti diserahkan padaku,
kau mesti dengar perkataanku!"
In Loei mendongkol mendengar ocehan itu, lebih-lebih
perkataannya orang yang bersenjata gaetan itu. Kata-kata itu bisa
bermaksud busuk. Karenanya, ia ulangi serangannya yang dahsyat,
ia desak lawan yang bersenjatakan tongkat itu.
"Aduh!" teriak lawan ini ketika satu kali ia tangkis serangan-
serangan dari tipu silat "Hoeipauw lioetjoan" — "Air tumpah terbang
mengalir jadi solokan," dan tangannya pun diturunkan.
In Loei gunakan ketikanya yang paling baik, ia tunjuk
kesehatannya, ialah menyusul itu, pedangnya menyambar ke
tenggorokan.
Tak sampai menjerit lagi, lawan itu rubuh binasa.
Kaget lawan yang menggenggam gaetan itu. Inilah hebat
untuknya, sebab selagi ia berdiri ternganga, pedang sudah
menyambar pula, hingga gaetannya yang kiri kena terbabat kutung.
Kali ini ia
tidak tercengang pula, lantas ia lompat mundur, untuk putar diri,
buat angkat langkah panjang.
In Loei sedang murka, ia menyerang dengan tiga batang
Bweehoa Ouwtiap piauw, ia arah bebokongnya akan tetapi
terdengarlah suara nyaring beruntun, lantas ketiga piauw runtuh
sendirinya, entah kena terhajar apa. Maka dalam sekejap saja,
musuh sudah lenyap di tempat gelap.
Nona ini tak mengerti sendirinya. Tak mengerti ia kenapa lawan
yang bersenjata tongkat itu begitu gampang menurunkan
tangannya mestinya dia masih sanggup berdaya.
"Apakah ada orang yang membantu aku secara diam-diam ia
berpikir. Ia juga heran atas runtuhnya piauw-nya barusan. Apa
benar ada orang yang bantui dan berbareng menolongi juga
lawannya itu? Tapi itu nampaknya sangat tak beralasan —
dugaannya ini bertentangan dengan kenyataan.....
Lantas In Loei hampirkan korbannya, topeng siapa ia singkap
dengan pedangnya. Ia lihat benar, orang itu adalah orang Tartar.
Maka terang sudah, orang ini bukan sembarang penjahat. Siapa dia?
Apa maksud mereka berdua?
Dengan tidak pikir-pikir lagi, In Loei geladah tubuhnya. Tapinya
ia tidak dapatkan apa-apa kecuali beberapa tail perak hancur serta
rangsum kering.
"Inilah kebetulan untukku!" kata si nona, yang jadi tertawa
sendirinya. Maka ia simpan uang dan makanan rangsum kering itu.
Tidak lama, dari tempat pohon-pohon lebat
terdengar pula suara aneh seperti tadi, lalu muncul lagi dua
orang bertopeng, yang berlari-lari ke arah kuil.
"Sahahat sekawan, air semangkok mesti di minum bersama!"
demikian suara yang terdengar dari satu di antara dua orang itu. Itu
artinya, kedua orang itu mau minta bagian.
In Loei jadi mendongkol.
"Baik!" jawabnya. "Kamu berjumlah berapa orang? Mari semua
samasama minum!" Sebenarnya niat ia mengatakan: "Mari rasakan
pedangnya nonamu!" Tapi mendadak ia sadar bahwa ia sedang
menyamar maka ia mengubahnya.
Kedua orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
"Haha-haha! Ini barulah sahabat baik! Kita harus sama-sama
kalau punya makanan!"
Orang yang berkata-kata itu, yang sudah lantas datang dekat,
segera mengulurkan tangannya, untuk dipakai menanggapi
bagiannya.
In Loei tertawa dingin, ia menyabet dengan pedangnya.
Orang bertopeng itu terkejut, ia tarik kembali tangannya sambil
lompat mundur. Tapi begitu ia lolos dari bahaya, mendadak ia maju
menyerang, tangannya merupakan bacokan. Sebab yang ia gunakan
adalah tipu silat "Toakim natjioe" — "Tangkapan Tangan." Ia
bertangan kosong, lain dari kawannya, yang menyekal sebilah
golok.
In Loei terkejut, ia sodorkan pedangnya guna menangkis
sambaran itu.
"Awas, dia liehay!" beseru orang yang pegang golok, yang terus
membacok.
In Loei bela dirinya dengan tipu silat "Tjoanhoa djiauwsie" atau
"Menembusi bunga dengan mengitari pohon", dengan begitu ia
dapat jauhkan diri dari lawannya yang pertama itu.
Nyata kedua lawan itu bukan lawan-lawan yang ringan, syukur
pedangnya In Loei liehay, hingga mereka itu kewalahan.
"Baiklah!" berseru lawan yang bertangan kosong sesudah melalui
lima puluh jurus. "Biarlah kau yang menelannya sendiri! Tapi kau
mesti beritahukan she dan namamu agar kemudian kita bisa
menjadi sahabat!"
"Siapa kesudian bersahabat dengan kamu?" bentak In Loei.
"Kejahatanmu hendak merampas barang dapat dimaafkan, tetapi
yang hebat adalah kamu telah berkongkol dengan musuh untuk
mencelakai negara!"
Kata-kata ini dibarengi dengan serangan "Hoen-hoa hoetlioe"
atau "Memecah bunga, mengebut pohon", ujung pedangnya
menyambar ke kiri tetapi agaknya seperti menikam ke kanan. Tipu
ini membuatnya musuh bingung, hingga orang yang menyekal golok
lantas saja berkaok keras, karena lengannya kena tertikam, sampai
goloknya jatuh terlempar.
Lawan yang bertangan kosong itu licin, dengan ciutkan diri, ia
lolos dari serangan yang saling susul, tapi ia masih diserang
berulang-ulang.
In Loei membuat orang tidak berdaya, di saat
ujung pedangnya hendak menusuk bebokongnya, tiba-tiba ia
rasakan lengannya seperti digigit semut besar, karena mana, tak
lurus lagi serangannya, maka lawannya itu dapat berkelit pula, kali
ini dia berkelit untuk terus kabur, disusul kawannya yang terluka itu.
Keduanya terus lenyap di antara pohon-pohonan yang lebat.
"Bangsat tukang bokong, keluar kamu!" berteriak In Loei, yang
tidak niat mengejar musuh-musuhnya itu. Tahulah ia sekarang
bahwa ia telah dibokong orang yang tidak dikenal.
Tidak ada jawaban untuk cacian itu, di sekitarnya keadaan sunyi.
Masih In Loei menanti sebentar, apabila tetap tidak ada yang
menyahuti, ia lihat lengannya yang terasa digigit semut itu. Di situ
ada sekelumit daging munjul, bengkak sebesar kacang kedele.
Teranglah, itu adalah hasil serangan gelap dari semacam senjata
rahasia, hanya, entah siapa penyerang yang bersembunyi itu, dia
terus tidak sudi perlihatkan diri.
Tidak puas In Loei sekalipun ia peroleh dua kali kemenangan,
karena orang telah membokong padanya, maka itu ia kembali ke
dalam kuil dengan perasaan mendongkol berbareng lesu. Tiba di
dalam, ia dapatkan si mahasiswa masih rebah tidur, napasnya masih
menggeros keras.
"Hai, orang mampus!" ia menegur. "Sungguh senang kau tidur!"
Mahasiswa itu membalikkan tubuhnya, ia perdengarkan dua kali
suara ngulet.
"Ada penjahat!!" In Loei teriaki pula.
Si anak sekolah membuka kedua matanya, ia berkesap-kesip.
Dengan malas ia bangkit duduk.
"Impian sedap, siapakah yang lebih dahulu merasai?" katanya
seperti orang ngigo. "Itulah aku, aku yang mengetahui.....”
"Kau ketahui apa?" kata In Loei, dengan dingin, sambil tertawa
tawar. "Ada penjahat datang kemari!"
Mahasiswa itu kucak-kucak matanya.
"Tengah malam buta kau ganggu orang sedang mimpi," katanya.
"He, engko kecil, mengapa sih kau selalu ganggu aku?" Sama sekali
ia tidak percaya In Loei, bukan saja ia tidak menyatakan terima
kasih, malahan ia menyesalinya.
"Jikalau kau tidak percaya, kau keluar melihatnya," kata In Loei.
Anak sekolah itu ngulet pula.
"Umpama kata benar ada penjahat datang, toh buktinya tidak
terjadi apaapa" katanya kemudian, sambil tertawa. "Buat apa kau
bangunkan aku?"
In Loei mendongkol berbareng merasa lucu.
"Akulah yang pukul mundur mereka itu!" katanya, sengit.
"Apakah itu benar?" tanya si mahasiswa. "Sungguh bagus!
Sungguh bagus! Kau makan sepotong ubi, kali ini kau bukannya
menerima upah tanpa jasa, tidak mau aku mengatakan kau
menganglap lagi!"
Dan "Plok" ia lemparkan sepotong ubi pada si pemuda tetiron,
yang menyampok dengan mendongkol.
"Siapa yang main-main denganmu?" dia menegur. "Eh, aku tanya
kau, kau she apa dan namamu siapa? Kau datang dari mana?"
Mahasiswa itu mainkan kedua biji matanya. Tiba-tiba ia ikuti
teladan orang, sebelah tangannya dipakai menuding.
"Eh, aku tanya kau, kau she apa, namamu siapa? Kau datang
dari mana?" demikian pertanyaannya.
In Loei jadi sangat mendongkol, ia gusar.
"Apa? "katanya.
Tapi si anak muda tertawa tawar.
"Kau tanya aku seperti kau memeriksa, mustahil akupun tak
dapat menanya padamu?" ia jawab. "Apakah kau hakim tukang
periksa orang?"
In Loei mendongkol tetapi ia bungkam. Anak muda itu berkepala
batu tapi dia benar juga.
"Mana dapat aku beritahukan tentang diriku?" In Loei berpikir.
Mahasiswa itu melirik, sikapnya sungguh membuat In Loei sangat
mendelu. Meski demikian, nona ini masih dapat memikir: "Tentang
diriku tidak dapat aku beritahukan dia, tentang dirinya mungkin juga
tak dapat diberitahukan padaku! Kalau sendiri tak suka, kenapa
mesti paksa lain orang? Tentang dua orang Tartar itu, mereka
datang dari tempat ribuan lie, bukankah mereka sedang mencari
orang seperti yaya-ku, yang kabur dari Mongolia? — Ialah anak
sekolah ini!"
Menerka demikian, tiba-tiba In Loei jadi ingin menghargai
mahasiswa itu, cuma ketika ia lirik orang itu, kembali ia merasa
jemu. Tetap tingkah
polanya si mahasiswa itu sangat menjemukan dia mengawasi
dengan wajah tertawa bukanya tertawa, matanya dikecilkan.....
Masih In Loei berpikir. Akhirnya ia keluarkan bendera Djitgoat kie
dari Tjioe Kian, ia lemparkan itu pada si mahasiswa.
"Ni, aku berikan kau ini!" katanya. "Tak mau aku jalan sama-
sama kau!"
Mahasiswa itu melirik.
"Aku toh bukannya anak wayang!" katanya. "Perlu apa aku
dengan benderamu ini yang dua mukanya?"
"Kau berjalan sendirian, kau terancam bahaya," berkata In Loei.
Terpaksa ia berikan keterangan. "Dengan adanya bendera ini, orang
jahat nanti tak berani ganggu padamu."
"Apa?" tanya si mahasiswa. "Apakah bendera itu ada suatu
firman?"
Mau tak mau, In Loei tertawa.
"Mungkin ini lebih berpengaruh daripada firman raja! ia jawab.
"Ini adalah bendera Djitgoat kie dari Kimtoo Tjeetjoe. Kau datang
dari Utara, mustahil kau tidak pernah dengar namanya tjeetjoe itu?
Kimtoo Teetjoe mirip dengan kepala penjahat di Utara, di kalangan
Rimba Hijau, semua orang menghormati dia."
Maksud In Loei baik-baik menyerahkan bendera bulan sabit itu.
Tetapi si anak muda, wajahnya berubah dengan tiba-tiba.
Ia jemput bendera itu, mendadak ia tertawa
dingin.
"Satu laki-laki, yang hendak bangkit berdiri, mana dapat ia
mengharap perlindungan orang lain?" katanya, jumawa. "Apakah
kau pernah baca Khong Tjoe atau Beng Tjoe?"
Mendadak ia gunakan tangannya, di antara suara memberebet,
bendera Djitgoat kie itu robek menjadi empat helai!
-ooo0dw0ooo-

BAB IV
Merah padam wajahnya In Loei, kegusarannya bukan alang
kepalang besarnya.
"Kimtoo Tjeetjoe sangat terkenal, dia ada satu laki-laki sejati, kau
berani menghina terhadapnya?" dia berteriak, lain sebelah
tangannya melayang ke arah kuping orang. Justeru itu ia lihat kulit
muka orang yang putih dan halus, bagaikan kulit telur, ia ingat:
"Tidakkah tanganku akan membuat mukanya balan? Tidakkah itu
hebat?" Karenanya, ia segera tahan tangannya itu. Lantas ia berkata
dengan sengit: "Aku tidak mau berlaku sebagai kau, anak sekolah
busuk! Baik, baiklah, suka aku memberi ampun padamu kali ini!
Kalau besok lusa kau dibegal dan dibunuh orang jahat, bukankah itu
karena kau mencari mampus sendiri? Baiklah, aku tak mau
pedulikan lagi padamu!"
Lantas ia putar tubuhnya, dengan cepat dia lari keluar. Ia sangat
menyesal karena maksud hatinya yang baik tidak diterima orang. Ia
jadi merasa tak enak sendirinya.
Si mahasiswa mengawasi orang dengan sepasang matanya yang
tajam, ketika ia tampak orang sudah keluar dari pintu, ia berbangkit
dengan perlahanlahan. Nampaknya ia hendak memanggil tetapi ia
batal sendirinya, sebaliknya, ia tertawa dingin.
Sekeluarnya dari kuil, In Loei lompat naik ke atas kudanya yang
ia terus larikan. Ia baharu sampai di
tempat yang lebat dengan pohon-pohonan tatkala ia dengar satu
suara menyambar di atasan kepalanya. Ia lantas tahan kudanya.
"Bangsat tukang membokong, jikalau ada nyalimu, mari keluar!"
ia berseru.
Kembali terdengar satu suara seperti tadi, atas itu, In Loei tarik
kepala kudanya, untuk berkelit. Menyusul itu sebatang pohon jatuh
di depannya, pada cabang itu diikatkan satu bungkusan dari
saputangan sulam. Ia lantas menjadi kaget. Ia kenali, itulah
bungkusannya yang lenyap. Ia segera menjemput, untuk membuka
bungkusannya, maka di situ ia dapatkan uang dan permata bekalan
Tjioe Kian berikut uangnya boleh mencopet!
Heran dan penasaran, dari atas kudanya, In Loei lompat
menyambar pohon untuk naik ke atasnya, lalu ia melihat
kesekitarnya. Tidak ada orang di dekat situ, ada juga sinar bintang-
bintang yang sudah guram dan angin bersiursiur.
""Sudahlah.....” akhirnya ia menghela napas.
"Benarlah kata-kata, di luar langit ada lagi langit
lainnya..... Siapa sangka di sini aku bertemu dengan
orang lihay.....”
Ia lantas larikan kudanya, sampai di luar rimba, fajar sedang
mendatangi. Menggunakan ketika pagi, ia larikan kudanya maju
terus ke barat. Segera ia melihat ada orang-orang yang
menunggang kuda, yang romannya gagah. Ia percaya, mereka itu
adalah orang-orang kangouw. Ia teringat akan ajaran Tjioe Kian
tentang kaum kangouw itu.
"Kelihatannya mereka ini hendak menghadiri su-
atu upacara besar atau sedikitnya pertemuan kaum Rimba
Persilatan," ia menduga-duga.
Mereka itu melewati nona ini, sama sekali mereka tidak menaruh
perhatian. Mungkin mereka anggap mereka hanya bertemu satu
pemuda biasa saja.
Setelah jalan serintasan, In Loei merasa lapar. Ia segera mampir
pada tukang bubur di tepi jalan yang juga menjual teh. Ia lantas
tangsel perutnya.
"Hari ini perdagangan ramai," kata ia pada tukang teh, yang
tengah memasak dua panci teh.
"Tuan, apakah tuan hendak pergi ke Hektjio tjhoeng?" tanya
tukang the itu sambil tertawa.
"Apa itu Hektjio tjhoeng?" In Loei balik menanya.
"Kalau begitu, tuan ada orang luar," sahut tukang teh itu. "Hari
ini Tjio Toaya dari Heksek tjhoeng merayakan ulang tahunnya,
banyak sekali sahabat kenalannya yang datang untuk memberi
selamat."
In Loei ingat suatu apa.
"Apakah kau maksudkan Hongthianloei Tjio Eng Tjio
looenghiong?" ia tegaskan.
Segera tukang teh itu perlihatkan sikap menghormat.
"Oh, kiranya tuan sahabatnya Tjio Toaya," katanya.
"Siapakah yang tidak tahu Tjio looenghiong?" kata In Loei. "Aku
memang berasal dari lain propinsi tapi pernah aku dengar namanya
Tjio looenghiong itu."
Tukang teh itu manggut.
"Benar! Tjio Toaya itu luas pergaulannya, semua
orang dari pelbagai kalangan, kenal atau tidak, asal datang ke
rumahnya, tidak ada yang tidak disambut secara baik."
In Loei pun manggut. Tentang Tjio Eng itu, ia dengar dari Tjioe
Kian. Katanya Tjio Eng terkenal dengan pedangnya, pedang Liapin
kiam, dan senjata rahasianya, batu Hoeihong sek. Adalah karena
senjata rahasia ini, Tjio Eng peroleh julukan itu, Hongthianloei —
Geledek menggetarkan langit. Sebab bila mengenai tubuh orang,
senjata rahasia itu perdengarkan suara nyaring. Tjio Eng gagah dan
gemar bergaul, akan tetapi toh tabeatnya aneh.
"Siapa tahu dia tinggal di luar kota Yangkiok ini," pikir In Loei.
"Baiklah aku pun pergi memberi salamat padanya. Di sana ada
banyak orang, mungkin juga ada si orang lihay yang telah
permainkan aku."
Karena ini, ia pinjam pit dan minta kertas dari tukang teh, untuk
menuliskan karcis pemberian selamatnya.
"Aku tidak tahu looenghiong merayakan ulang tahunnya, inilah
kebetulan" katanya sambil tertawa. Terus ia tanyakan letaknya
Hektjio tjhoeng, setelah membayar uang teh, ia naik ke atas
kudanya, akan menuju ke rumahnya Hongthianloei.
Sudah banyak tetamu di rumahnya Tjio Eng. Setelah In Loei
serahkan karcis namanya, ia diterima dengan tak ditanya ini dan itu,
terus ia diantar ke taman bunga di mana pesta diadakan, justeru
perjamuan hendak dimulai. Ia dipersilakan duduk di meja pojok,
kawan-kawan semejanya adalah orang yang ia tidak kenal, hingga
ia mesti
dengarkan saja mereka itu berbicara.
"Hari ini Tjio looenghiong tidak saja merayakan ulang tahunnya,
kabarnya, ia hendak memilih juga babah mantu," kata seorang
antaranya.
"Bisa pusing kepalanya orang tua itu," kata seorang yang lain.
"Aku dengar See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe
berbareng memajukan lamaran! Bagaimana mereka hendak
dilayani?"
Orang yang ketiga tertawa.
"Mau apa kau pusingkan kepala?" ujarnya. "Pasti sekali
Hongthianloei mempunyai dayanya sendiri!" ia lantas menunjuk.
"Kau lihat!"
In Loei berpaling ke arah yang ditunjuk orang itu, maka ia
tampak sebuah loeitay — panggung untuk pertempuran yang besar
dan tingginya dua tombak lebih.
Orang itu tertawa, ia menambahkan: "Hongthianloei telah
berlaku terus terang, dia adakan pertandingan untuk pilih menantu,
siapa yang menang, dialah babah mantunya itu, untuk ini, ia tidak
pandang sanak atau sahabat, karenanya, ketiga pelamar itu, tak
dapat berkata suatu apa."
"Kalau begitu, pasti bakal ramai!" kata yang lain.
In Loei tertawa di dalam hatinya.
"Inilah cara aneh!" demikian ia pikir. "Kalau yang menang
seorang yang jelek, apa tidak kasihan anak
gadisnya.....?"
Selagi matahari condong ke barat, lantas terdengar ucapan-
ucapan selamat yang riuh, di sana-sini orang pada berbangkit. In
Loei pun bangun, sambil berdjingke, ia mengawasi ke arah di
mana suara ucapan itu terdengar.
Seorang tua, yang mukanya merah, kelihatan muncul, ia
menuntun satu nona. Ia minta jalan di antara orang banyak, terus
dia lompat naik ke atas loeitay, perbuatannya ditelad si nona.
In Loei lihat satu nona yang cantik, wajahnya seperti tersungging
senyuman, alisnya lentik dan panjang hampir melekat pada ujung
rambutnya. Untuk melihat lebih nyata, ia maju mendekati. Ia
dapatkan nona itu polos, tidak pemaluan, tidak jengah dia
berhadapan dengan banyak tetamunya.
Dari pembicaraan orang banyak, In Loei tahu orang tua muka
merah itu adalah tuan rumah, ialah Hongthianloei Tjio Eng, dan
nona adalah puterinya, yang bernama Tjoei Hong.
"Heran juga," pikir pemuda tetiron ini, "Tjio Eng bermuka
bagaikan Loei Kong tetapi ia punyakan
anak dara begini elok.....”
"Loei Kong" yaitu Malaikat Geledek.
Tidak sempat In Loei berpikir lebih jauh, atau ia tampak Tjio Eng
tengah memberi selamat pada para tetamunya, kemudian
terdengarlah suaranya yang keras: "Hari ini adalah hari ulang
tahunku, aku berterima kasih pada saudara-saudara yang telah
datang mengunjungi. Sebagai hormatku, marilah minum dahulu tiga
cangkir!"
"Bagus!" seru sekalian tetamunya, terus mereka keringkan cawan
mereka masing-masing.
Tjio Eng, urut-urut kumis jenggotnya, ia tertawa.
"Hektjio tjhoeng adalah satu desa yang sepi,
tidak ada keramaian apa-apa di sini, tetapi saudara-saudara telah
datang kemari, harap saudara-saudara jangan tertawakan!" kata
pula tuan rumah, melanjutkan. "Anakku ini mengerti ilmu silat kasar,
baiklah dia pertunjukkan beberapa jurus, sebagai hidangan saudara-
saudara minum arak!"
Kembali orang-orang berseru. "Bagus! Bagus" suatu tanda
persetujuan.
Tjio Eng tertawa pula.
"Akan tetapi, bersilat seorang diri saja tidak menarik hati," ia
menambahkan, "maka itu aku persilakan putera-putera dari See
Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe untuk naik ke panggung
untuk memberi pengajaran pada anakku itu. Aku ingin lihat, siapa di
antaranya yang permainannya paling bagus, kepadanya hendak aku
hadiahkan sesuatu yang tidak berarti. Samwie sieheng, bagaimana
pikiranmu?"
Dengan "samwie sieheng" — "tiga kekanda", tuan rumah
maksudkan ketiga tetamunya yang disebutkan itu See Tjeetjoe,
Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe.
Tuan rumah ini tidak mengatakan terang-terang bahwa
pertandingan itu untuk memilih menantu, akan tetapi semua
tetamunya sudah mengerti maksudnya itu.
"Bagus, bagus!" Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe menyatakan
akur. Lalu keduanya, dengan masing-masing mengajak
anaknya, minta jalan di antara para tetamu, sesampainya di
depan panggung, dengan saling susul mereka lompat naik.
Tampak nyata kegesitan mereka itu.
See Tjeetjoe bersangsi sedetik saja, ia pun ajak puteranya
lompat naik. Ia dapat melompat dengan sempurna, tapi puteranya,
ujung kakinya kena membentur pinggiran panggung, hampir saja ia
tergelincir. Menampak ini, semua tetamu heran.
Untuk kalangan "Hektoo" — "Jalan Hitam" — See Tjeetjoe
terkenal terutama tentang ilmu silatnya, orang percaya puteranya
telah mewariskan kepandaiannya itu, karena putera ini pun sudah
tersohor menyandak nama ayahnya, maka ada yang menduga, anak
itu pasti akan peroleh kemenangan, siapa tahu, dalam hal
melompat, dia kalah dengan putera-puteranya Han Totjoe dan Lim
Tjhoengtjoe. See Tjeetjoe kerutkan alis, dia hendak bicara tapinya
batal, cuma mulutnya kemak kemik.
Putera dari Han Totjoe, yaitu Han Toa Hay, sudah lantas maju ke
tengah, untuk memberi hormat pada tuan rumah.
"Tjio Laopee berlaku baik sekali, aku pun tak sungkan-sungkan
lagi," berkata anak muda ini. "Baiklah, aku ingin menerima pelajaran
beberapa jurus dari Tjio Siemoay, asal siemoay suka berlaku murah
hati....."
"Bagus, bagus!" tertawa Tjio Eng. "Memang aku senang pada
orang yang berlaku terus terang! Sekarang ini siapa juga tak usah
sungkan-sungkan, silakan keluarkan semua kepandaianmu, siapa
yang terluka, aku sedia obatnya." "Baik, laopee," kata Toa Hay,
yang terus rangkapkan kedua tangan-
nya, untuk memberi hormat dengan sikap "Tongtjoe pay Koan
Im" atau "Kacung suci menghormat Dewi Koan Im."
"Bagus!" Tjio Eng memuji.
See Tjeetjoe lihat itu, ia menoleh pada puteranya, yang pun
berpaling kepadanya, keduanya lantas menyeringai. Ayah ini hendak
bicara, kembali ia batalkan.
Segera pertandingan dimulai, Toa Hay menyerang lebih dulu.
Tjoei Hong berlaku tenang tetapi gesit, waktu diserang, ia tidak
menangkis, ia hanya berkelit ke samping, terus ia lompat ke
belakang penyerang itu. Lincah sekali tubuhnya itu.
Toa Hay segera putar tubuhnya, ia menyerang pula, apabila ini
pun gagal, terus ia merabah, menyerang ke depan, ke kiri dan
kanan, akan tetapi, sebegitu jauh, tidak ia peroleh hasil, malah
melanggar baju orang pun tidak.
"Eh, pelajaran dia sama dengan pelajaranku.....”
kata In Loei dalam hatinya apabila ia lihat gerak-geriknya Nona
Tjio. Itulah ilmu silat "Patkwa Yoesintjiang" yang bergerak ke
delapan penjuru. "Tjoanhoa djiauwsie" yang ia pelajari adalah salah
satu tipu silat dari Patkwa Yoesintjiang itu.
Toa Hay lantas juga merasakan matanya kunang-kunang, karena
ia seperti dilibat si nona, yang seperti berada di "empat muka dan
delapan penjuru," melainkan bayangannya saja yang nampak
berkelebatan.
Diam-diam In Loei tertawa di dalam hatinya.
Masih Toa Hay berputaran, masih ia menyerang, walaupun tiap-
tiap kali ia serang sasaran kosong, tak sudi ia berhenti.
Han Totjoe kerutkan alisnya.
"Anak tolol!" akhirnya dia berseru. "Kau bukannya tandingan dari
Nona Tjio! Apakah kau tidak hendak undurkan diri?"
Mendengar suaranya Han Totjoe itu, Tjio Tjoei Hong segera
perlambat gerakannya, tapi justeru itu, Toa Hay lompat menyerang,
kedua kepalannya menyambar saling susul.
In Loei lihat serangan itu, ia tertawa dalam hati, pikirnya: "Orang
tolol yang tidak tahu mundur atau maju! Orang sudah mengalah,
dia masih belum tahu.....”
Atas desakan itu, Tjoei Hong melejit ke samping, sikut kirinya
dilonjorkan untuk dipakai membentur tubuh Toa Hay, atas mana
tubuh besar dari putera Han Totjoe segera terhuyung, rubuh
terbanting.
Tjio Eng lompat maju, guna membangunkan pemuda itu.
"Hong-djie, lekas haturkan maaf!" kata tuan rumah ini.
"Tidak apa," kata Toa Hay. "Nona Tjio, kau liehay sekali, aku.....
aku.....”
Nyata pemuda ini tolol dan polos, hampir ia
mengatakan “.....aku tidak berani ambil kau sebagai
isteriku.....” Baiknya Han Totjoe awasi dia dengan
mata melotot dan ia melihatnya, hingga tak jadi ia berbicara
terus.
Begitu Toa Hay mundur, ia digantikan oleh Too
An, puteranya Lim Tjhoengtjoe. Pemuda ini maju dengan
perlahan, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya.
"Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus, harap kau
suka mengalah, siemoay," kata dia, suaranya seram dan luar biasa.
Nampaknya ia, halus bagaikan wanita, demikian juga lagu suaranya.
Tapi ia mengerti Tiamhiat hoat, ilmu menotok jalan darah, maka
setelah dilipat kipasnya, tahu-tahu kipas itu dipakai menyodok iga si
nona.
Tjoei Hong berkelit, terus saja ia bersilat pula dengan "Patkwa
Yoesintjiang," untuk membuat lawan itu lelah dan kabur matanya,
seperti tadi ia berbuat terhadap Toa Hay.
Too An cerdik, tidak mau ia menyerang sembrono, sebaliknya,
dengan tenang ia lindungi dirinya. Ia pun tidak gencar putar
tubuhnya seperti Toa Hay tadi, ia Cuma memasang mata, maka
juga, sewaktu-waktu dapat ia balas menyerang dengan
totokkannya.
Nona Tjio menjadi hilang sabar.
"Dia pasti bukan orang benar," ia pun berpikir. "Lihat matanya
yang demikian lihay! Dia menjemukan, tidak boleh dia dibiarkan
mencapai maksudnya.....”
Nona ini tak sudi menikah dengan pemuda lawannya itu, ia pun
lantas perhebat serangannya, tubuhnya bergerak sangat lincah
mengitari si anak muda.
Too An benar-benar liehay, ia tabah dan teliti, dengan sabar ia
jaga dirinya.
Lima puluh jurus sudah lewat, Tjoei Hong tetap belum berhasil
menjatuhkan lawan ini, siapa dalam ketenangannya itu, telah
berpikir: "Aku, hendak lihat, berapa banyak kau punya tenaga untuk
melayani aku." Dan ia terus berlaku sabar.
Mereka bertempur terus sampai, tiba-tiba, selagi ia merangsak,
Tjoei Hong tersenyum, hingga tampak kedua baris giginya yang
putih halus dan sepasang sujennya yang manis. Sebagai orang
cantik, dengan senyumnya, tentu sekali nona ini kelihatan sangat
menggiurkan.
Hatinya Too An goncang, ia sangat tertarik, hingga ia berpikir.
"Orang sebagai aku, yang berkepandaian silat tinggi, pasti aku
membuat
hatinya kagum....." Maka ia anggap nona itu tentu
menaruh hati padanya, nona itu mungkin suka mengalah,
karenanya, di waktu ia menutup diri, ia pun tersenyum.
Sekonyong-konyong saja Tjoei Hong berseru: "Maaf!" Lalu
dengan mendadak kedua tangannya dimajukan kemuka Too An,
tangan yang satu menyusul yang lain, hingga si anak muda
terperanjat. Ia kaget waktu pempilingannya, kena ditekan si nona,
sampai ia berkaok, matanya pun kabur, tidak tempo lagi, ia rubuh di
lantai panggung.
Lim Tjhoengtjoe mendongkol bukan main menyaksikan
puteranya, yang tinggal menangnya saja, dengan mendadak kena
dikalahkan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa.
Pertandingan telah dilakukan secara terang.
"Tidak apa, tidak apa!" Tjio Eng cepat berkata.
"Eh, anak Hong, kenapa kau gerakkan tanganmu secara
sembrono sekali?"
Justeru itu Too An berbangkit.
"Nona Tjio, aku terima pengajaranmu!" katanya sambil tertawa
dingin. Lalu, tanpa berkata suatu apa, berbareng dengan ayahnya,
ia lompat turun dari panggung.
Menampak itu, Tjio Eng menggeleng-gelengkan kepala. Tapi
kemudian, sambil mengurut-urut kumisnya dan tertawa, ia kata:
"Anakku telah beruntung menangkan dua pertandingan, maka
sekarang ada gilirannya Boe Kie Sieheng yang memberikan
pengajaran padanya, supaya dia jangan jadi terlalu berkepala
besar.....”
Boe Kie adalah nama putera See Tjeetjoe. Tjio Eng kenal baik
sekali anak muda itu, baik kepandaiannya maupun tabeatnya.
Pemuda itu telengas, di dalam Rimba Hijau, dia terkenal tanpa
kebijaksanaan. Meski demikian, jago tua ini insaf, manusia tak ada
yang seratus bahagian sempurna, maka ia anggap, tidak terlalu
kecewa ia dapatkan Boe Kie sebagai babah mantunya.
Tjio Eng juga pikir, pastilah Boe Kie senang sekali dengan
pertandingan ini, karena anak muda itu pasti berada di atas angin,
akan tetapi kesudahannya ia menjadi heran sekali.
Tiba-tiba saja Boe Kie kerutkan alisnya dan berkata: "Sudahlah,
tak usah aku turut bertanding lagi, karena akhirnya aku mesti
kalah!.....”
Semua tetamu terkejut bahna herannya, mereka melongo.
Tjio Eng menjadi tidak puas.
"Tjio Hiantit, mengapa kau mengatakannya demikian?" ia tegur.
"Mungkinkah anakku tak dapat diajar?"
Boe Kie tertawa meringis, dengan perlahan ia angkat lengannya,
lalu ia gulung tangan bajunya, maka tampaklah tanda luka yang
panjang dan dalam pada lengannya, sampai tulangnya kelihatan.
"Kau kenapa, hiantit?" tanya Tjio Eng terperanjat.
Boe Kie memandang sekelebatan ke bawah panggung.
"Kemarin ini perahuku karam di dalam sungai," ia menjawab,
suaranya menyatakan penasarannya. "Hm! Aku telah dicurangi satu
bangsat tidak dikenal!.....”
See Tjeetjoe, yang bernama To, melanjutkan puteranya itu:
"Kemarin aku titahkan Ouw Loodjie bersama dia pergi mengejar
seekor kambing dari Utara. Tapi tak disangka, kambing itu dengan
diam-diam dilindungi satu piauwsoe yang lihay sekali dan Boo Kie
kena dilukai.....”
Dengan "kambing," See To maksudkan orang yang ia hendak
jadikan kurban pembegalan.
Tjio Eng terperanjat, ia heran sekali. Ia tahu, Ouw Loodjie itu
adalah seorang Hoetjeetjoe, sebawahannya See Tjeetjoe, dan
kepandaiannya adalah lebih tinggi daripada See Boe Kie. Ini adalah
luar biasa yang mereka berdua kena dikalahkan satu piauwsoe.
"Nah, Tjio Toako, bagaimana pendapatmu?"
tiba-tiba See To menanya.
Tjio Eng berdiam sebentar, kemudian ia tertawa.
"Nyatalah piauwsoe itu seorang pandai!" katanya. "Entah siapa
dia itu dan di mana adanya dia sekarang? Ingin sekali aku menemui
dia itu, supaya dapat aku mengadakan perdamaian di antara kamu
kedua pihak."
Wajah See Boe Kie berubah padam.
"Belum pernah aku diperhina secara begini, di sini tidak ada
perdamaian!" katanya nyaring. Terang ia sangat sengit. Tiba-tiba ia
memandang ke bawah panggung, tangannya segera menuding,
dengan keras, ia menambahkan: "Binatang itu nyata telah gegares
jantung srigala dan nyali macan tutul, dia sangat berani, dia
sekarang ada di sini!"
See To sudah lantas berseru: "Kami ayah dan anak ingin
menemui kau, orang pandai! Ke mana kau hendak pergi?"
Bagaikan bayangan, kedua orang segera lompat turun dari
panggung.
Semua hadirin heran dan kaget.
"Di mana dia?" terdengar orang bertanya. Dia adalah sahabatnya
See To dan karenanya niat membantu tjeetjoe itu.
Waktu itu juga, See To telah lompat ke depannya In Loei,
dengan sebelah tangannya, yang semua jerijinya terbuka, ia
menyambar kepala orang.
In Loei sudah lantas berkelit, tapi justeru ia berkelit, tikaman
pisau belati dari See Boe Kie telah sampai kepadanya. Ia tidak kaget
atau takut, malah sambil menangkis, ia kata sambil tertawa:
"Oh, kiranya kamu penjahat yang bertopeng itu?"
Di antara satu suara nyaring, pisau belatinya Boe Kie terlepas
dan jatuh.
Hampir berbareng dengan itu, dengan gerakan susul menyusul
dengan sikut dan dupakannya, nona dalam penyamaran ini sudah
merubuhkan dua penyerang lain, yang menjadi sahabat kedua
orang she See itu, habis mana dia lompat naik ke atas sebuah meja.
See To hunus goloknya, dia lompat untuk menyerang.
"Orang tidak tahu malu, kamu main kerubut!" teriak In Loei. Ia
lompat turun, untuk terbalikkan meja, hingga piring mangkoknya
jatuh pecah berhamburan.
See To tidak dapat berkelit, ia tersiram kuwa, bajunya basah.
Tentu saja ia menjadi bertambah gusar, maka ia ulangi
serangannya. Ia sangat sebat.
In Loei terpaksa cabut pedangnya dengan apa ia tangkis bacokan
itu.
See To tarik kembali goloknya, lalu ia mendak, untuk membabat
ke bawah.
"Orang kejam!" teriak In Loei sambil lompat dengan tipu "Yantjoe
Siahoei," — "Burung walet terbang nyamping." Dengan begitu ia
lolos dari bahaya, setelah mana, pedangnya menikam dada lawan.
See To terperanjat, ia menangkis sambil berkelit, maka kedua
senjata jadi bentrok, dengan keras, dengan kesudahannya golok
kena terpapas kutung! In Loei tidak niat melakukan pembunuhan,
tidak
demikian dengan See To, walaupun dia terperanjat, dia tidak
mundur, sebaliknya, dia menyerang pula dengan sambarannya.
Maka si nona sambut tangannya dengan satu babatan, hingga dia
menjadi kaget, terpaksa dia tarik kembali tangannya itu. Dia jeri
terhadap pedang orang yang tajam, karenanya, dia siap sedia.
Masih dia tidak mau menyingkir, dia melawan terus dengan lincah,
hingga sukar bagi In Loei untuk memukul mundur tjeetjoe ini, yang
sementara itu telah dibantu pula oleh beberapa sahabatnya.
"Kau rasakan!" seru See To ketika ia kirim serangannya yang
berbahaya.
In Loei awas, ia terkejut menampak tangannya merah. Tahulah
ia yang tjeetjoe itu pernah meyakinkan Toksee tjiang — Tangan
Pasir Beracun. Pantas dia berani sekali dengan tangannya itu.
Celaka siapa terkena tangan jahat itu. Maka untuk menolong
dirinya, ia tarik satu musuh di sampingnya, guna dipakai menalangi
ianya.
See To batalkan serangannya itu, untuk tidak mencelakai
kawannya. Kesempatan ini dipakai In Loei untuk melompati sebuah
meja, lalu dari lain sebelah meja itu, ia sambar mangkok dengan
apa ia lempar kalang kabutan hingga ada beberapa sahabatnya See
To yang matang biru mukanya, yang pun tersiram sajur.
"Hebat! hebat!" lalu terdengar beberapa seruan.
Memang, keadaan sangat kacau.
See Boe Kie sambar sebuah kursi, dengan itu ia merangsak,
berulang kali ia menyerang, tapi In Loei
telah membabat kutung kursi itu.
Pada waktu itu, See To menyerang pula.
Di saat In Loei hendak melayani tjeetjoe itu, satu bayangan
berkelebat di antara mereka berdua, dengan pentang kedua
tangannya, bayangan itu membuatnya kedua musuh mundur dua
tiga tindak.
"See Toako, coba pandang padaku!" demikian suara bayangan
itu — ialah Tjio Eng si tuan rumah. "Dan kau, engko kecil, coba kau
berhenti dulu!"
"Toako, aku mohon keadilan kau!" kata See To. "Muka kami ayah
dan anak bergantung pada sepatah katamu!"
Tjio Eng pandang In Loei, ia heran dan kagum.
"Apa benar ada pemuda begini cakap?" katanya di dalam hati.
"Jikalau bukannya aku telah saksikan sendiri, sungguh aku tidak
percaya dia dapat mengalahkan Boe Kie dan membuat ayah dan
anak kewalahan."
"Tjio Tjhoengtjoe, maafkan aku," berkata In Loei. "Aku telah
bentrok dengan tetamumu yang mulia. Aku sebenarnya datang
untuk memberi selamat, tidak kusangka sekarang terjadi perkara ini.
Tentu saja aku tidak berani turun tangan kalau tidak terpaksa.
Sekarang terserah pada tjhoengtjoe, kau hendak hukum aku atau
bagaimana.....”
Menurut aturan kaum kangouw, In Loei adalah tetamunya Tjio
Eng, maka dalam segala hal, Tjio Eng sebagai tuan rumah harus
memegang semua tanggung jawab. Maka itu, mendengar perkataan
orang itu, See To mendongkol bukan kepalang.
"Manusia licin!" ia mendamprat dalam hatinya,
matanya pun mendelik. Tapi tiba-tiba ia dapat daya. Ia lantas
hadapkan tuan rumahnya.
"Toako, apakah she dan nama engko kecil ini" demikian ia tanya.
"Siapakah gurunya?"
Tjio Eng melengak ditanya begitu.
"Aku tidak tahu," sahutnya, terpaksa.
Maka tertawalah See To berkakakan.
"Kiranya toako tidak kenal dia siapa!" katanya, puas. "Saudara-
saudara hadirin, siapakah yang kenal engko kecil ini?" dia tanya
semua tetamutetamunya.
Semua orang datang berkerumun, tidak satu di antara mereka
yang kenal anak muda ini, mereka itu membungkam atau
menggelengkan kepala.
Kembali See Tjeetjoe tertawa sekarang ia tertawa dingin.
"Baiklah toako ketahui," kata ia pada tuan rumah, "jahanam ini
sudah sengaja mengaku jadi tetamu, namanya saja dia datang
untuk memberi selamat, sebenarnya dia hendak menyingkirkan diri!
Tidak apa dia datang makan di sini, makan tanpa membayar, tetapi
perbuatannya ini merusak kaum Hektoo di Shoasay ini!"
Tjio Eng menjadi bingung, ia pun tidak senang.
"Habis, apakah See Toako pikir?" dia tanya.
"Mesti diminta supaya dia keluarkan semua barang berharga dari
orang yang dia lindungi!" jawab See Tjeetjoe. "Suruh dia serahkan
itu kuda Tjiauwya saytjoe ma! Habis itu, dia mesti dipaksa
menyerah untuk Boe Kie tikam lengannya seperti dia tikam lengan
Boe Kie! Dengan begitu baharulah
urusan dapat diselesaikan.
Bercekat In Loei mendengar orang menyebut nama kuda
Tjiauwya saytjoe ma. Memang sejak lama ia sudah dengar nama
kuda jempolan asal Mongolia itu, yang tak dapat dibeli dengan uang
seribu tail emas. Maka tidak ia sangka, kuda si mahasiswa adalah
kuda jempolan itu. Lantas saja, di depan matanya, terbayang
tampangnya si mahasiswa yang cakap dan sikapnya yang sangat
polos. Ia pun jadi semakin curigai mahasiswa itu.
Menampak orang diam saja, Tjio Eng sangka si anak muda kaget,
maka ia tepuk pundaknya.
"Eh, engko kecil, apa kau kata?" dia tanya.
In Loei bukannya tidak sadar.
"Dia begal orang, aku tolongi orang itu, demikian duduknya hal"
sahut ia dengan tenang. "Apa lagi yang hendak dikatakan? Jikalau
mereka tidak puas, silakan mereka maju! Asal mereka, ayah dan
anak, dapat mengalahkan aku, jangan kata baharu dibacok satu kali
lenganku, enam kali mereka tikam tubuhku, masih boleh, tidak nanti
aku lari!"
Hati tuan rumah itu menggetar.
"Nyatalah dia anak ayam yang baharu menetas," pikirnya. "Dia
tidak ketahui, dalam urusannya seperti ini, akulah yang berkuasa
atas dirinya. Dia menantang mereka, bukankah itu sama artinya
dengan menantang aku?"
See To pun tertawa berkakakan mendengar perkataan orang itu.
In Loei mendelik.
"Kau tertawakan apa?" dia tegur. "Kamu ayah
dan anak, silakan kamu maju! Apakah kamu sangka aku jeri
terhadap kamu? Hm!"
Dengan mengucap demikian, In Loei ingat pesannya Tjioe Kian,
yaitu kalau menghadapi musuh banyak, terutama musuh kesohor,
mesti dijaga supaya musuh itu sendirilah yang mesti ditantang,
untuk bertempur satu sama satu. Ia pun merasa, ayah dan anak itu
pasti bukan tandingannya, jadi ia tidak perlu takut, ia jadi senang
dapat menantang ayah dan anak itu. Ia hanya tidak tahu, pesan
Tjioe Kian tidak mengenai urusan seperti kali ini.
"Tjio Toako, kau dengar tidak?" tanya See To pada Tjio Eng. "Di
mata bocah ini tidak saja tidak ada aku juga tidak ada kau!"
Wajah tuan rumah kembali berubah. "Aku tahu!" ia menjawab.
Terus ia hadapi si anak muda. "Eh, engko kecil, kau mau adu
pedang atau adu kepalan?" dia tanya.
"Apa? Bertanding dengan kau?" In Loei tegaskan. "Tjhoengtjoe,
Lianin kiam-mu kesohor di kolong langit, cara bagaimana aku yang
muda berani melawan kau? Aku hanya hendak main-main dengan
mereka berdua!"
"Tutup mulutmu!" tiba-tiba Tjio Eng membentak. "Siapa yang
ingin bertempur di tempatku ini? Kau lihat!" Dan sinar matanya
menyapu.
Kata-kata ini dikeluarkan di depan In Loei tapi sebenarnya
ditujukan kepada See To ayah dan anak.
Kembali In Loei melengak, tak tahu ia bagaimana harus
menjawab.
Tjio Eng tidak gubris orang berdiam.
"Jikalau kau jeri terhadap pedangku, nah mari kita bertanding
dengan tangan kosong saja!" Tjio Eng berkata pula.
"Aku yang rendah tidak berani," In Loei menyahuti.
Wajah tuan rumah ini berubah pula.
"Tidak bertanding, itulah tidak bisa!" dia kata. "Tapi mengingat
kau satu anak muda, baik, aku memberi ketika, aku tidak melayani
kau. — Eh, anak Hong, mari! Coba kau wakilkan aku melayani dia
beberapa jurus! Anak, lekas kau naik ke panggung!"
Sikapnya Tjio Eng membuatnya semua hadirin heran, malah See
To dan anaknya jadi mendongkol, hingga wajah mereka merah
padam. Tahulah semua orang, mengapa Tjio Eng menyuruh
gadisnya melawan anak muda itu. Itu — terangnya — ada
pertandingan untuk memilih jodo untuk gadisnya itu.
Tjio Eng melirik, ia tetap bersikap tak mem-pedulikannya. Ia,
hanya desak si anak muda.
"Eh, bocah bila kau punya nyali untuk menyelundup ke dalam
Hektjio tjhoeng ini, kau juga harus punya nyali untuk naik ke
panggung!" demikian katanya. "Eh, apakah kau masih tidak mau
naik? Apakah kau ingin paksa aku nanti melemparkan tubuhmu?"
Desakkan orang tua ini, membuat romannya jadi bengis sekali.
Tapi di dalam hatinya semua tetamu tertawa. Semakin terang saja,
tuan rumah ini penuju anak muda itu.
In Loei berpaling ke atas panggung, di sana ia lihat wajahnya
Tjio Tjoei Hong, dengan muka merah dadu, matanya mengawasi ke
bawah panggung loeitay, hingga mata mereka berdua jadi bentrok.
Tiba-tiba saja ia dapat satu pikiran. Maka lekas lekas ia angkat
bajunya.
"Baiklah aku turut perintah, aku nanti naik ke panggung untuk
terima pengajaran dari siotjia," ia kata. Habis itu, orang banyak
sudah membuka jalan, ia bertindak ke arah loeitay ke atas mana
lantas ia lompat naik.
Tjio Eng segera bicara dengan beberapa pembantunya, kemudian
ia duduk menemani See To.
"See Toako," katanya sambil tertawa dan mengurut-urut
kumisnya, kita bersahabat sudah bertahun-tahun tidak nanti aku
membuatnya kau malu."
Tjeetjoe itu berdiam ia sedang mendongkol, tak dapat dia bicara,
dia pun tak dapat mengutarakan kegusarannya.
Tjio Eng tersenyum.
"Biar bagaimana, anak-anak muda tak dapat tidak dipupuk,"
katanya pula. "Jikalau anak muda mesti dibunuh, sungguh, kita jadi
menunjukkan pandangan yang cupat.....”
Tjio Eng adalah pemimpin Rimba Persilatan di dua propinsi
Shoasay , dan Siamsay, karenanya See To mesti menahan sabar.
"Toako benar," ia kata. "Aku telah terima pengajaran dari kau.
Sekarang ingin aku pamitan."
Baru ia hendak berbangkit tapi Tjio Eng telah
menekannya.
"Kita saksikan dulu pertandingan ini, masih ada tempo," katanya.
"Lihat, mereka sedang serunya!"
Memang di atas panggung, "pemuda" dan pemudi itu tengah
bertempur, tubuh mereka berkelebatan bagaikan bayangan, karena
pesatnya mereka bergerak-gerak. Pakaian mereka sangat menarik,
yaitu In Loei berbaju putih, dan Tjio Tjoei Hong berbaju hijau dan
celana merah, hingga nampaknya bagaikan awan putih yang
terseling sinar layung merah di antara laut hijau.
Dengan kepandaiannya, In Loei dapat rubuhkan si nona dalam
tempo tiga puluh jurus, akan tetapi ia ingin saksikan ilmu silat
"Liapin pouw-nya", dari itu ia tidak segera berlaku keras. Liapin
pouw ada bertangan kosong, sedang Liapin kiam memakai pedang.
"Baik permainannya, sayang belum sempurna," pikir In Loei
kemudian. Itu waktu mereka sudah melalui seratus jurus.
Tjoei Hong sementara itu telah berpikir juga. Ia lihat bagaimana
si "anak muda" melayani ia seperti sedang bermain-main.
"Aku mesti perlihatkan kepandaianku, kalau tidak, setelah
menikah nanti, ia bisa pandang enteng padaku," berpikir ia lebih
jauh. Ia lantas tertarik pada anak muda itu, sedang maksud
ayahnya, dapat ia duga. Benar saja, habis berpikir demikian, nona
ini menyerang dengan dahsyat. Ia telah keluarkan kepandaiannya,
yaitu ilmu silat Liapin pouw —Tindakan Mengejar Mega. Gesit
gerakannya, berat tangannya — baik bacokannya, maupun
totokannya.
In Loei gentar juga menyaksikan perubahan itu, ia lantas
melayani dengan ilmu silat Pekpian Hiankee — ilmu pedang yang ia
ubah menjadi bertangan kosong. Maka ia pun jadi bergerak sangat
lincah.
Sebentar saja, pemuda ini telah menguasai pula pertempuran,
akan tetapi, ketika si pemudi melihatnya, hatinya menjadi rawan.
"Akhirnya dapat juga aku paksa kau keluarkan kepandaianmu,"
pikirnya.
Lalu si nona paksakan berkelahi terus, ia seperti berlaku nekat, ia
merangsak, begitu rupa, sampai akhirnya ia masuk ke dalam
pelukan orang. Dipihak lain, ia mencoba memegang lengan In Loei.
Kaget juga pemuda tetiron itu, sampai ia menjadi bingung. Mau
atau tidak, ia terpaksa merangkul dengan tangan kiri, lalu dengan
jari tangannya ia pegang iganya, hingga Tjoei Hong rasakan
tubuhnya menggetar.
Karena jengah, In Loei keluarkan seruan tertahan. Tapi dengan
kemalumaluan, di bawah panggung, penonton telah bertampik
sorak. Maka lekaslekas ia totok pula si nona, untuk menghidupkan
pula jalan darahnya, habis mana ia tolak tubuh nona itu, ia sendiri
lompat mundur.
"Maaf, nona!" katanya sambil memberi hormat.
Tjio Eng perlihatkan wajah berseri-seri, ia urut-urut kumisnya.
Tapi sahabatnya, See Tjeetjoe, padam mukanya.
"Kionghie, toako, kau telah pilih menantumu!"
katanya sambil memberi hormat. "Nah, ijinkanlah aku pulang!"
Tjio Eng panggil pembantunya yang tadi.
"See Hiantee, toako-mu memohon maaf," ia kata. "Di sini ada
sebungkus mutiara, hitunglah sebagai penggantian kerugian.
Tentang kuda Tjiauwya saytjoe ma, harap kau tidak buat pikiran
pula, karenanya silakan kau pergi ke istalku, akan pilih sepuluh ekor
yang paling baik untuk dijadikan gantinya. Hiantee, aku minta
sukalah kau berlaku murah hati, untuk membebaskan piauw yang ia
lindungi itu."
Tuan rumah mengatakan demikian karena ia percaya
perkataannya See To bahwa In Loei telah menjadi "piauwsoe
diam-diam." See Tjeetjoe tertawa tawar.
"Terima kasih, toako," katanya. "Aku masih punyakan hartaku,
tidak berani aku memiliki kepunyaan kau. Aku melainkan minta kau
suka mentaati undang-undang Golongan Hitam. Dalam hal ini, aku
minta toako memberi maaf padaku."
Habis berkata, tjeetjoe ini menjura dalam pada tuan rumahnya,
lalu ia tarik tangannya Boe Kie untuk diajak berlalu.
Tjio Eng menjadi sangat tidak puas, tetapi ia tidak bisa berbuat
lain, maka setelah menyuruh pembantunya antar tetamunya, ia
sendiri lantas lompat naik ke atas panggung.
Tjoei Hong merah wajahnya, melihat ayahnya naik, ia tunduk,
tangannya membuat main ujung bajunya.
In Loei pun menyeringai, ia jengah.
Orang tua itu tertawa berkakakan.
"Inilah yang dikata, gelombang sungai Tiangkang yang
belakangan menolak gelombang yang terdepan, atau orang yang
baharu menggantikan orang yang lama!" katanya. "Kau adalah satu
pemuda gagah, kau adalah seorang yang sukar dicari
bangsanya.....”
Sekarang Tjio Eng sudah ketahui she dan nama orang ini. Tadi ia
telah titahkan pembantunya memeriksa karcis namanya. Maka
sambil tertawa ia meneruskan berkata: "In Siangkong, kau
mempunyai kepandaian, buat apa kau menjadi piauwsoe?"
"Sama sekali aku tidak menjadi piauwsoe," In Loei menyangkal.
"Kemarin ini di tengah perjalanan aku berkenalan dengan satu
sahabat, aku tolongi dia menolak penjahat, aku tidak tahu
karenanya aku jadi bentrok dengan See Tjeetjoe ayah dan anak."
Lega hatinya Tjio Eng mendengar keterangan ini.
"Oh, begitu," katanya. "Di rumah kau masih ada siapa lagi?
Apakah kau sudah mengikat jodoh?"
In Loei bersangsi sedetik ketika ia menjawab.
"Aku punya satu kakak," sahutnya. "Aku belum mengikat
jodoh....."
Tuan rumah itu tertawa.
"Biasanya anak muda, bila ditanya hal jodohnya, dia jengah!"
katanya.
"Kau telah peroleh kemenangan, hendak aku berikan hadiah
padamu!" berkata pula Tjio Eng. Ia keluarkan sebuah cincin
batu giok hijau yang
ditaburkan dengan dua butir permata "mata kucing," yang
cahayanya berkilauan. "Ini adalah peninggalan ibunya Tjoei Hong
yang diberikannya di waktu ia hendak menutup mata, sekarang aku
haturkan ini padamu."
"Karena itu barangnya si nona, tidak berani aku terima," In Loei
menampik dengan merendah. Tjio Eng tertawa bergelak.
"Ini adalah tanda mata untuk pertunangan kamu, mengapa kau
tidak mau terima?" ia kata.
"Sebenarnya aku tidak berani terima kehormatan itu." In Loei
menolak pula.
Mendadak saja wajahnya tuan rumah itu menjadi padam.
"Apakah kau cela anakku?" tanyanya, tetapi dengan perlahan.
"Mana berani aku mencela," sahut si anak muda. "Aku hanya tak
dapat menuruti kehendak loopeh."
Tjioe Eng menjadi tidak senang.
"Mengapa?" ia tanya, mendesak.
In Loei melirik kepada Tjoei Hong, ia lihat si nona, yang pegangi
ujung celananya, merah mukanya, kedua matanya yang besar dan
bunder diarahkan kepadanya, pada matanya tampak air mata yang
berlinang. Tiba-tiba saja ia mendapat satu pikiran.
"Baiklah, aku terima dia sampai nanti datang ketikanya aku
menggeser." Demikian pikirnya. Ia menyahuti, tapi ia masih
berpura-pura. Ia kata: "Aku belum dapat izin dari orang yang lebih
tua, cara bagaimana aku dapat dengan diam-diam
mengikat jodoh?"
"Di manakah kakakmu sekarang?" tanya Tjio Eng.
"Aku tak tahu ia berada di mana," jawab In Loei. "Dengan
saudaraku, aku berpisah sewaktu kami masih kecil.....”
Tjio Eng kerutkan alisnya.
"Habis, pada siapa kau hendak beritahukan hal ini, untuk
memohon perkenan?" dia tanya pula.
"Ayah dan ibuku telah menutup mata, yang masih ada hanya
tjeekong," sahut In Loei. "Tjeekong perlakukan aku sebagai cucunya
sendiri, maka ingin aku beritahukan padanya urusan perjodohanku
ini."
"Siapakah nama tjeekong-mu itu?"
"Tak dapat aku menyebutkan nama tjeekong di sini," jawab In
Loei. "Dia seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan."
Tjio Eng heran, ia tertawa.
"Kalau dia seorang kenamaan, mesti dia tahu namaku!" katanya
dengan gembira. "Atau sedikitnya dia kenal aku. Maka baiklah kau
jangan kuatir suatu apa."
In Loei kena terdesak, ia lantas memberi hormat sambil berlutut
pada "bakal mertua" yang ia panggil "gakhoe", habis mana dari
sakunya ia keluarkan sepotong batu permata, untuk diserahkan.
Tjio Eng terima tanda mata itu, yang ia terus serahkan pada anak
daranya, setelah mana ia pimpin bangun babah mantunya, untuk
disuruh berdiri di tengah panggung.
"Sejak ini, In Siangkong ini adalah bagaikan setengah anakku," ia
kata pada tetamu-tetamunya,
maka itu aku mengharap, kalau nanti dia membuat perjalanan,
sukalah saudara-saudara membantu melihat-lihat padanya."
Riuh suara para tetamu menyambut pernyataan itu, mereka pun
memberi selamat.
Tjio Eng tunggu sampai reda, lalu ia berkata pula: "Aku telah
berusia lanjut, dan justeru saudara-saudara berada di sini, baiklah
sekarang saja pernikahan dirayakan! Secara begini dikemudian hari
tidak usah aku mengundang pula saudara-saudara, yang mana
membikin berabe saja!"
Orang banyak lantas bertepuk tangan.
"Bagus! Bagus!" mereka berseru. Malah seorang lantas
menghampiri In Loei dengan arak di tangan, untuk memberi
selamat.
"Usiaku masih terlalu muda, baiklah pernikahan
ditunda dulu.....” kata In Loei. Ia terdesak, ingin ia
mengelakkannya.
"Aku ingin dapat mendampingi kau, maka itu perlu pernikahanmu
dirayakan siang-siang", Tjio Eng mendesak. "Aku Hongthianloei
seorang sederhana, aku mengadakan loeitay untuk memilih mantu,
sekarang mantu telah aku dapatkan, baik sekarang juga pernikahan
dilangsungkan! Dengan begini kita tak usah dipersulit segala adapt
istiadat.....”
Semua tetamu tertawa, mereka puji cara sederhana ini. Maka In
Loei dipaksa menjalankan upacara yang sederhana, yaitu berdua
Tjoei Hong ia memberi hormat pada langit dan bumi, lalu pada Tjio
Eng, habis mana banyak orang memberi selamat dengan arak!
Bukan main masgulnya In Loei, ia mengeluh dalam hatinya. Tak
dapat ia meloloskan diri. Inilah main-main menjadi sungguhan. Ia
pun tak dapat menolak pemberian selamat dengan arak itu. Ketika
ia telah tenggak belasan cawan arak, ia gunakan tenaga dalamnya,
lalu dengan suara keras, ia muntahkan itu. Tubuhnya pun lantas
limbung. Maka kupingnya lantas dengar teriakan orang banyak: "In
Siangkong mabuk!"
Memang In Loei tidak kuat minum, sedikitnya susu macan telah
mempengaruhi dia, maka selagi berpura-pura sinting, yang orang
percaya, sengaja ia, terhuyung kepada Tjoei Hong!
"Anak muda tidak biasa minum, dia pun tidak tahu aturan,"
berkata Tjio Eng, yang juga kena dikelabui babah mantunya itu.
"Anak Tjoei, pergi kau bawa dia ke dalam." Lalu pada orang banyak,
ia tambahkan: "Aku girang, aku tidak pakai aturan lagi! Saudara-
saudara, mari, mari kita minum!"
In Loei pejamkan kedua matanya, ia letakkan kepalanya di
pundak Tjoei Hong, ia biarkan dirinya dipayang ke dalam, terus ke
kamar di mana ia rebahkan diri tanpa salin pakaian lagi. Mulanya ia
berpura-pura mabuk, tapi karena pusing dan lelah, ia tertidur
sendirinya. Ketika ia mendusin, ia lihat kamar sudah terang dengan
cahaya api, tandanya sudah malam. Ia lihat Tjoei Hong duduk di
tepi pembaringan, si nona tidak salin pakaiannya, rupanya dia terus
menemani.
Menampak orang membuka matanya, nona ini tertawa.
"Kau mabuk, siangkong?" dia tanya. Lantas dia suguhkan
secangkir the tua, katanya: "Inilah teh Sinkiok untuk menghilangkan
rasa mabuk. Tidak usah siangkong bangun, aku nanti
meminumkan....."
Benar-benar, ia angkat sedikit tubuhnya In Loei, ke mulut siapa
ia bawakan cangkir tehnya itu.
In Loei merasa segar sehabisnya minum air teh itu yang harum.
Sekarang ia dapat lihat tegas, kamar yang dihias rapi. Dupa
mengepulkan asap di atas sebuah meja kecil, pendupaannya berkaki
tiga dan bagus sekali.
Menampak perhatian orang itu, Tjoei Hong tertawa.
"Turut katanya ayah, inilah pendupaan jaman Tjioe," katanya.
"Tapi di mataku, aku tidak melihat perbedaannya. Pun meja kecil
itu, katanya terbuat dari kayu wangi asal Lamhay"
Heran In Loei. Pendupaan tua dari jaman Tjioe dan meja kayu
wangi dari Lamhay? Sungguh itu barang-barang yang mahal sekali
harganya. Tapi si nona pandang barang itu sebagai barang biasa
saja! Di situ pun kedapatan lain-lain barang berharga, seperti batu
giok, mutiara dan lainnya, yang indah adalah pohon karang.
"Tjio Eng satu jago silat, siapa tahu, iapun hartawan besar," pikir
babah mantu ini.
Tjoei Hong dampingi "suaminya" ini.
"Siangkong, kau sebenarnya dari keluarga mana?" dia tanya.
"Ayah dan ibu menutup mata waktu aku masih kecil sekali,"
jawab In Loei. "Menurut keterangan,
kita adalah dari keturunan keluarga berpangkat."
Nona itu mengawasi, alisnya agak mengkerut.
"Siangkong, apa benar kau menyintai aku?", ia tanya, perlahan.
"Kau cantik sekali, kau juga gagah, bukan cuma aku, setiap
pemuda yang melihat kau pasti menyintai kau," jawab In Loei.
"Ah, apakah kau kata?"
"Aku punya satu saudara angkat, baik roman maupun
kepandaiannya, dia melebihi aku," In Loei sahuti.
Heran si nona, alisnya sampai bangun.
"Saudara angkatmu itu mempunyai hubungan apa dengan
aku?" dia tanya. "Ah, aku tahu
sekarang..... Tadi kau berulang-ulang menampik,
kau sebenarnya tak suka menikah dengan aku.....”
In Loei pandang nona itu.
"Bukannya aku tidak suka....." katanya. "Kau
dengar dulu omonganku. Saudara angkatku itu.....”
Mendadak saja Tjoei Hong menangis.
"Bagaimana pandanganmu terhadapku?" dia tanya, gusar. "Kalau
kau sebutsebut pula tentang saudara angkatmu itu, nanti aku bunuh
diri dihadapanmu! Jikalau kau tidak suka padaku, katakanlah terus
terang! Memang aku tahu kamu bangsa pembesar negeri, kamu
pandang rendah orang sebangsa kami.....”
"Ah, mengapa kau ngaco?" berkata In Loei. "Sebenarnya kau
bangsa apa? Aku tidak tahu.....”
Si nona mengawasi.
"Apa benar-benar kau tidak tahu?" tanyanya.
"Aku adalah anak tunggal dari satu penjahat besar!" In Loei
tersenyum.
"Itulah tidak berarti apa-apa!" dia kata. "Saudara angkatku itu
juga ada satu penjahat besar.....”
Bukan main mendongkolnya Tjio Tjoei Hong.
"Kau selalu sebut saudara angkatmu itu, sebenarnya, apakah
maksudmu?" dia tanya.
Melihat orang murka, In Loei berpikir. Memang tak tepat pada
malaman pengantin berbicara tentang seorang lelaki lain.
"Aku hendak jodohkan paman San Bin, tidak dapat aku terburu
napsu," ia berpikir pula.
"Kau belum kenal aku!" kata si nona. "Sejak kecil aku telah ikuti
ayah merantau, selama itu entah berapa banyak orang yang telah
melamar aku, akan tetapi aku sendiri telah bersumpah, tidak mau
aku menikah kecuali pada orang yang aku penuju! Kalau ada orang
yang aku penuju tetapi dia tidak suka padaku, tidak ada lain jalan
daripada mengorbankan jiwaku! Tadi di atas loeitay, kau telah
berlaku ceriwis terhadapku, dan sekarang, setelah kita menikah,
kenapa kau tidak pandang aku sebagai isterimu? Apakah memang
kau sengaja hendak perhina aku?"
In Loei tidak sangka orang berhati demikian keras. Maka kembali
ia berpikir.
"Dia belum pernah lihat paman San Bin, apakah dia penuju pada
paman itu?" demikian ia beragu-ragu. "Kalau begini, tidak boleh aku
sembarang timbulkan niatku menggeser pernikahanku ini.....”
"Katakan!" Tjoei Hong mendesak, "sudikah kau mengambil aku
sebagai isterimu?" lantas saja dia menangis.
Kewalahan juga In Loei didesak secara demikian.
"Siapa kata aku tidak sudi mengambil kau sebagai isteriku?" dia
membaliki. "Jangan kau menangis. Kau ingin aku berbuat
bagaimana supaya aku membikin kau puas?"
Tjoei Hong hendak mengatakannya tetapi batal, ia malu
sendirinya. Cuma air matanya yang mengalir.
In Loei cekal tangan orang, untuk ditarik. Ia tersenyum.
"Entjie, berapa usiamu?" ia tanya.
"Delapan belas tahun," sahut Tjoei Hong dengan ringkas.
"Kalau begitu, kau lebih tua satu tahun dari-padaku,"
menerangkan nona In. "Benar-benar aku mesti panggil entjie
padamu. Entjie, adikmu.....”
Dengan kata "adik" itu ia maksudkan "moay-moay"-"adik
perempuan."
Tjoei Hong heran, hingga ia mengawasi.
"Apakah kau belum sadar betul dari mabukmu?" dia tanya.
"Bukankah tadi telah aku terangkan bahwa aku tidak punya adik
perempuan?.....”
In Loei melengak. Untuk sedetik, ia lupa bahwa ia tengah
menyamar. Lalu ia tertawa sendirinya.
"Benar gila!" katanya. "Entjie, bolehkah aku jadi adikmu yang
lelaki? Entjie, adikmu ini tidak pandai bicara, aku minta kau tidak
persalahkan dia.....”
Dengan perlahan ia usap-usap tangannya.
Tjoei Hong tertawa.
"Benar-benar kau anak tolol!" katanya. "Baiklah! Sekarang kau
mesti dengar perkataan ent}ie-mu\ Lekas kau salin pakaianmu,
baharu kau tidur pula! Kau lihat, kau tidak loloskan sepatumu! Ah,
ini sepre mesti ditukar.....”
Kalau tadi si nona masih malu, sekarang ia menjadi berani.
Melihat orang tidak mau berbangkit, ia kata: "Apakah kau
inginkan entjie-mu yang
menukarkan pakaianmu"..... Ia lantas tertawa,
mukanya menjadi merah. Ia merasa bahwa ia telah kelepasan
berbicara.
In Loei berdiam. Ia benar-benar sangsi.
Tiba-tiba ada pertanyaan dari luar, dari budak perempuan: "Apa
babah mantu sudah sadar dari mabuknya?"
"Sudah," sahut Tjoei Hong.
"Looya minta nona dan babah mantu menemuinya," kata pula
budak itu.
"Oh, ya, aku sampai lupa!" kata si nona. Terus ia menambahkan
dengan perlahan: "Adikku, mari bangun. Tak usah kau salin pakaian
dulu.....”
Lega hatinya In Loei. Ia singkap selimutnya lalu lompat turun.
Tjoei Hong membuka pintu kamar.
"Kau tukar seprenya!" ia perintahkan budaknya.
Budak itu lihat sepre bertapakkan sepatu kotor, ia tertawa sambil
menutup mulutnya.
Tjoei Hong ambil lentera, sambil bawa itu, ia tarik tangannya In
Loei, untuk diajak keluar. Mereka mesti melewati beberapa ruangan,
untuk sampai di sebuah loteng besar, yang tingginya lima tingkat.
Tingkat ke lima itu merupakan satu ruangan, ada meja, dan
kursinya. Di atas meja, In Loei lihat, banyak barang permata. Tjio
Eng duduk dengan ditemani empat orang di kiri dan kanannya.
Menampak babah mantunya, Tjio Eng tertawa.
"Anak Tjoei! Anak Loei!" katanya. "Mari kamu pilih ini, masing-
masing ambil satu rupa, yang selebihnya adalah untuk sahabat-
sahabatku ini!"
In Loei heran, ia berdiam.
"Inilah aturan kami yang tertentu," Tjoei Hong beritahu. "Kau
turut perkataan ayah. Kau pilih satu rupa!"
In Loei ambil satu singa-singaan dari batu giok, dan Tjoei Hong
mengambil sebatang tusuk konde dari giok juga. Habis itu In Loei
pandang ruang itu, yang sangat sederhana, sebab kecuali sebuah
lemari besi, perabotan lainnya tidak ada, melainkan di tembok
tergantung sebuah gambar yang besar di mana terlukis sebuah kota
yang dikitari air, kota itu ada pesebannya, ranggonnya, tamannya,
dan penduduknya. Dilihat dari romannya, itu adalah sebuah kota di
Kanglam.
"Apakah kau suka pada gambar itu?" tanya Tjio Eng sambil
tertawa. "Besok akan aku tuturkan kau tentang kota itu. Sekarang
kembalilah kamu."
Tjoei Hong ajak suaminya undurkan diri, selagi keluar dari kamar,
ia masih dengar kata-katanya salah satu tetamu: "Harus sangat
disayangkan, ini adalah perdagangan kita yang terakhir.....”
Tjio Eng tertawa, ia kata: "Di dalam dunia di mana ada bunga
yang tak rontok dalam seratus
tahun? Usiaku telah, lanjut, aku pun tidak ingin melakukan
perdagangan semacam ini. Baiklah kita pakai cara lama, kamu boleh
taksir harganya."
In Loei heran, ia ingin mendengar lebih jauh tapi Tjoei Hong
sudah menarik tangannya, mengajak ia turun dari loteng.
Setibanya di kamar, mereka tampak sepre sudah ditukar dengan
yang baru, hingga pembaringan itu nampaknya lebih indah. Pada
saat itu dari kejauhan terdengar suara kentongan.
"Ah, sudah jam tiga!....." kata Tjoei Hong.
"Sekarang ini aku tidak ingin tidur," kata In Loei. "Baik kau
beritahukan aku, urusan apakah sebenarnya urusan ayahmu tadi?"
"Ayah adalah satu penjahat tunggal," Tjoei Hong menjawab
dengan terus terang, "setiap tahun ia cuma bekerja satu kali.
Penduduk sini tidak ketahui perbuatan ayah itu. Sudah menjadi
kebiasaan, setiap habis bekerja, ayah menyuruh aku memilih salah
satu barang hasil kerjanya, yang lainnya lantas dijual habis."
"Barang boleh merampas bagaimana dapat dijual?" tanya In Loei.
"Sudah tentu dapat, untuk itu ada pembelinya. Begitulah ke
empat orang tadi, mereka biasa membeli barang dari ayah. Mereka
itu liehay, barang asal utara mereka jual di selatan demikian
sebaliknya. Belum pernah mereka itu gagal. Uang yang ayah
dapatkan dari penjualan itu, yang sebagian kecil ia tahan untuk
dijadikan harta benda, selebihnya ia pakai menolongi
sahabatsahabat
kangouw yang kesusahan." In Loei heran dan kagum.
"Begitu?" katanya. "Pantas ayahmu diberi gelar Say Beng Siang."
"Say Beng Siang" berarti "Melebihi Beng Siang", dan "Beng
Siang" itu adalah Beng Siang Koen, seorang kenamaan yang biasa
mengumpulkan banyak tetamu, dermawan dan berharta besar.
Tjoei Hong tersenyum pada "suaminya" itu.
Tidak lama terdengar pula suara kentongan satu
kali.
"Apakah kau ingin aku bicara terus sepanjang malam?" sang
isteri Tanya "suaminya" itu sambil melirik dengan tajam dan manis.
"Hendak aku menanyakan lagi," In Loei jawab. "Tentang gambar
lukisan tadi. Adakah ceritanya mengenai gambar itu?"
"Aku tidak tahu. Tentang itu, belum pernah ayah berkata
padaku." Ia berdiam sebentar. "Aku pun merasa aneh. Segala apa
ayah beritahukan padaku, Cuma gambar itu belum pernah ia
menyebutkannya."
Tak lama, kembali terdengar kentongan.
"Nah, apa lagi kau hendak tanya?" tanya Tjoei Hong sambil
tertawa.
In Loei berpikir, tidak ia dapatkan daya untuk memperlambat
waktu. Tanpa alasan, tentu tak dapat ia bicara terus dengan
"isterinya" itu. Maka ia jadi sibuk sendirinya.
"In Siangkong," akhirnya Tjoei Hong tanya, perlahan, "apakah
benarbenar kau tidak cela aku?"
"Untuk selamanya kau akan menjadi entjie-ku,
bagaimana dapat aku cela padamu?" In Loei baliki.
"Baik!" kata si nona, suaranya halus. "Besok saja kita bicara pula,
sekarang kau perlu beristirahat."
In Loei raba kancing bajunya.
"Benar, sekarang sudah waktunya tidur," katanya. Tapi
tangannya Cuma meraba kancing, tidak ia membukanya. Justeru itu,
di luar terdengar berisiknya suara banyak orang, antaranya ada
yang berteriak-teriak: "Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!"
Di rumah Hongthianloei ada penjahat, itulah lucu.
Di antara tetamu-tetamunya Tjio Eng ada yang numpang
bermalam di rumahnya, mereka ini terkejut mendengar teriakan itu,
lantas mereka memburu keluar, guna mencari penjahat itu.
In Loei tidak kaget, sebaliknya, ia tertawa.
"Kita bakalan tak dapat tidur!" katanya. "Penjahat itu tentu
datang sebab ayahmu mempunyai banyak barang permata."
Tjoei Hong tidak menjawab, dia hanya lari keluar, untuk kabur ke
loteng tempat menyimpan permata itu. In Loei ikuti "isterinya" itu.
In Loei sempurna ilmu enteng tubuhnya, ia berada di atas
kebanyakan orang lain, maka itu kecuali ia telah lombai bujang-
bujang dan tetamu-tetamu, ia pun telah tinggalkan Tjoei Hong jauh
di sebelah belakang. Hal ini membuat "isteri" itu girang berbareng
mendongkol. Girang sebab "suami" ini lihay dan kelihatannya
membela betul keluarga Tjio, dan mendongkol karena
dipanggilpanggil, dia tidak mau kembali atau menunggu.
Luas pekarangan Tjiokee tjhoeng itu, letak loteng tempat
menyimpan barang berharga ada di pojok timur, di sana In Loei
sampai dalam tempo yang cepat sekali, ketika ia menoleh, ia lihat
Tjoei Hong baharu tiba di atas genteng dari rumah besar. Ia tidak
mau menantikan, sambil hunus pedangnya, ia lompat untuk sambar
payon di mana terus ia cantelkan kakinya, akan ayunkan tubuhnya
dengan dibantu oleh tekanan sebelah tangannya, dengan begitu ia
sampai di loteng kedua. Di sini ia pasang kuping, hingga ia dengar
suara seperti suara setan.....
"Bangsat, kau mainkan lelakon iblismu untuk menakut-nakuti
aku!" In Loei kata di dalam hatinya. Ia dengar suara dari dalam
loteng, untuk masuk ke dalamnya, terlebih dahulu ia nyalakan
sumbu bekalannya, yang ia sulut dengan api tekesan. Sebentar
kemudian ia sudah berada di dalam, terus ke tangga dari loteng
ketiga. Ketika ia angkat kepalanya melihat ke atas, ia tampak
bayangan dari empat orang yang tubuhnya besar, mereka itu berdiri
dengan sebelah kaki masing-masing, agaknya mereka sedang
bertindak untuk lari turun, hanya, seperti dipengaruhi dengan
"Tengsin hoat," yaitu ilmu "mendiamkan diri," mereka jadi berdiri
diam, cuma mata mereka mendelong dan tenggorokan mereka
perdengarkan suara tak nyata. Yang hebat adalah wajah mereka,
daging muka mereka pada mengkerut, hingga mereka mirip iblis-
iblis bengis dan jahat.....
Terkejut juga In Loei setelah dia melihat dengan
tegas, tapi dia hunus pedangnya, dia lari naik di tangga, niatnya
menyerang mereka itu, yang dia duga adalah si orang-orang jahat.
Dia baharu hendak menikam, atau dia batalkan maksudnya. Tiba-
tiba saja dia menduga, ke empat orang itu tentu telah jadi korban
totokan, sedang dia belum mendapat kepastian mereka itu ada
"lawan atau
kawan"..... Maka dia lantas suluhi mereka, dia
mengawasi. Tidak peduli wajah orang itu jelek, tapi dia kenali,
mereka itu adalah orang-orang yang tadi siang menjadi pembeli-
pembeli dari
barang-barangnya Tjio Eng. Dia menjadi heran, sebab dia
percaya, walaupun mereka saudagar, mereka tentunya pandai silat.
Kenapa mereka kena ditotok? Siapakah yang menotoknya?
"Belum pernah aku saksikan ilmu totokan lihay seperti ini?" In
Loei berpikir pula, "Jikalau aku gunakan kepandaianku, dapatkah
aku membebaskan mereka ini?"
Ia awasi mereka terlebih jauh, ia selidiki dengan teliti. Ia duga
orang telah ditotok urat "moa Nafnya atau "ah hiat." Totokan di urat
itu bisa menyebabkan tubuh orang seperti mati atau gagu. Ia masih
mengawasi sekian lama, baharu ia mencobanya menotok mereka.
"Aduh!" mereka itu menjerit setelah kena ditotok, terus mereka
rubuh.
In Loei lompat minggir.
Menyusul itu terdengar suara berisik, dari batu-batu permata
yang jatuh dari kantung ke empat orang itu, yang berhamburan di
lantai. Itulah
harta yang berharga lebih dari sepuluh laksa tail.
In Loei melengak. Terang baginya sekarang, penyerang ke empat
orang ini bukannya hendak mengambil harta itu. Kalau tidak, harta
itu pasti sudah dirampas.
"Apakah penyerangmu sudah pergi?" ia tanya ke empat saudagar
itu.
Ke empat orang itu masing-masing menekan dadanya, dengan
sebelah tangan yang lain, mereka menunjuk ke atas. Tidak dapat
mereka bicara, napas mereka sesak.
Dengan berani In Loei lompat keluar jendela, untuk naik ke
loteng ke empat, setibanya di payon, dari atas wuwungan ia dengar
suara nyaring dari Tjio Eng: "Kami dua turunan sudah menantikan
enam puluh tahun. Apakah benar kau tidak sudi perlihatkan
wajahmu terhadap kami?"
In Loei naik terus, ia segera nampak bayangan orang, yang telah
perdengarkan suaranya "Mari!" Itulah suara yang ia pernah dengar,
entah di mana, ia lupa.
Tjio Eng ambil gambarnyaij, ia gulung itu, atas mana si bayangan
ulurkan kedua tangannya, ia menyambut dengan tangan yang satu,
sedang tangan yang lain, agaknya menepuk ke arah kepala tuan
rumah.
Menampak demikian, In Loei membentak, tubuhnya naik ke
genteng, tapi berbareng dengan itu, ia diserang senjata rahasia. Ia
menyampok dengan pedangnya, lantas ia rasakan satu dorongan
tenaga yang kuat sekali. Benar senjata rahasia itu hancur
dan menyemburkan lelatu, tapi nona ini tak dapat pertahankan
diri, tubuhnya terhuyung jatuh. Syukur ia masih dapat
menyantelkan kakinya ke payon, dengan begitu ia tidak jatuh terus
kebawah loteng. Malam itu gelap.
Kembali datang senjata rahasia yang kedua, yang perdengarkan
sambaran angina seperti yang pertama.
Dengan pedangnya, In Loei tangkis pula senjata rahasia itu, yang
kembali hancur dan lelatunya meletik berhamburan. Sekarang
ternyata, senjata rahasia itu adalah sepotong batu.
Pada saat itu, Tjio Eng tongolkan kepalanya.
"Siapa?" dia menegur.
Belum In Loei menjawab, atau ia dengar suara yang berubah -
suara yang agak terkejut: "Anak Loei di situ? Ini bukan urusanmu,
lekas kau menyingkir!"
Itulah suara Tjio Eng. Mendengar itu, In Loei heran. Sudah
terang "penjahat" itu hendak merampas barangnya, kenapa Tjio
Eng — si "mertua" — membantu pencuri itu? Kenapa Tjio Eng
menyerang dengan batu hoeihongsek untuk mencegah dia
membantui?
Waktu itu di bawah loteng terlihat beberapa tetamu yang datang
untuk memberikan bantuan mereka. Tjio Eng lihat mereka itu, tidak
tunggu sampai In Loei menyingkir, ia sudah lompat keluar, sambil
berkata dengan nyaring: "Penjahat telah aku usir sudah tidak ada
apa-apa lagi! Saudara-saudara, silakan kembali!"
Tapi In Loei bermata awas, ia lihat si pencuri lompat keluar dari
belakang jendela, pesat sekali gerakannya. Tanpa sangsi lagi, ia pun
lompat ke lain arah. Dengan sebat si penjahat sudah sampai di
tembok pekarangan. Masih In Loei menyusul, ia juga tunjukkan
kesehatannya.
Selagi hendak lompat dari tembok, orang yang disangka penjahat
itu berpaling, tangannya dilambaikan pada si nona. Nyata ia
memakai topeng, sepasang matanya bersinar tajam. Tanpa melihat
tegas, In Loei lompat mengejar terus.
Di luar tembok pekarangan ada pohon-pohonan lebat, dari sana
terdengar suara kuda berbenger, lalu di antara cahaya rembulan,
tampak muncul seekor kuda putih.
Melihat kuda itu, In Loei terkejut. Ia kenali itu adalah kuda putih
dari si mahasiswa. Ia jadi menjublak, ia tak mengerti. Bukankah ia
telah uji dan si anak sekolah tidak mengerti silat? Kenapa sekarang
dia datang mencuri? Adakah benar orang bertopeng itu si
mahasiswa adanya dan dia datang bukan untuk mencuri? Kalau dia
benar mencuri, kenapa dia biarkan harta besar di tangan ke empat
saudagar itu dan dia cuma ambil gambar lukisan saja, meskipun
gambar itu berharga besar sekali. Tapi anehnya, kalau benar si
pencuri adalah si mahasiswa, dia baharu berumur dua puluh lebih,
kenapa Tjio Eng mengatakan sudah menantikan enam puluh tahun?
In Loei masih tercengang terus kalau ia tidak diganggu suara
berisik diarah belakangnya, disusul
dengan suaranya Tjio Eng yang nyaring: "Jangan kejar penjahat
yang sudah kabur! Anak Loei, lekas kembali!"
Masih In Loei terbenam dalam keheranan, sebab sikap aneh dari
"mertuanya" ini. Terang sudah, Tjio Eng tengah melindungi si
penjahat — si orang bertopeng. Karena ini, ia tidak pedulikan
panggilannya orang tua itu, ia justeru terus lompat keluar tembok,
ke arah pohon-pohonan lebat. Tapi di sini lagi-lagi ia hadapi
kejadian yang membuatnya sangat heran.
Suara seekor kuda lain terdengar pula, apabila In Loei sudah
melihat, ia tercengang. Itulah kuda berbulu merah, kudanya sendiri!
Kuda itu, ia tahu benar, ditambatkan di depan kampung. Kenapa
kuda itu sekarang berada di dalam rimba?
Ketika itu si orang bertopeng sudah duduk di atas kudanya. Ia
tidak segera lari, hanya kembali ia menoleh, tangannya menggape
kepada si nona. Sekarang In Loei merasa pasti, orang itu adalah si
mahasiswa. Tiba-tiba saja ia jadi tidak senang.
"Hai, binatang, kenapa kau berulang kali mempermainkan aku?"
bentaknya. Terus ia lompat naik ke atas kudanya, ia jepit perut
kudanya, untuk mengejar. Kuda putih telah kabur pesat di sebelah
depan.
Dari suara banyak kuda di sebelah belakang, In Loei percaya Tjio
Eng beramai juga mengejar, akan tetapi mereka ini juga ketinggalan
jauh.
Kuda putih kabur terus, kuda merah tetap menyusul, maka itu,
dari Yangkiok, tak lama
kemudian, keduanya mengambil jalan besar ke kota raja.....
Jarak antara kedua kuda ada kira-kira setengah lie, sampai di
situ, kuda putih dikendorkan larinya.
In Loei mendongkol berbareng heran, ia penasaran, dari itu, ia
keprak kudanya untuk mengejar terus. Malam itu diterangi hanya
oleh sisa rembulan.
Tanpa diketahui lima puluh lie lebih telah dilalui, dan tanpa
merasa sang fajar telah mendatangi. Entah di mana mereka berada,
cuma tahu-tahu di depan mereka ada sebuah rimba.
"Maaf, tak dapat aku menemani lebih lama!" terdengar suara si
orang bertopeng, habis berkata dia larikan kudanya masuk antara
pohon-pohonan yang lebat.
"Walaupun kau lari keujung langit, akan aku menyusulnya!"
teriak In Loei dalam murkanya. Benar saja, ia kaburkan terus
kudanya untuk memasuki rimba. Akan tetapi baharu ia sampai di
tepian atau ia dengar kuda putih berbunyi nyaring, disusul dengan
seruan orang. Ia terkejut dan heran, dengan tiba-tiba ia tahan
kudanya. Berbareng dengan itu, tampaklah kuda putih lari keluar
tanpa penunggangnya dibebokongnya.
In Loei terkejut. Si orang bertopeng mestinya liehay, apa
mungkin orang telah mencelakai dia — dengan membokong —
hingga tinggal kudanya saja yang lari keluar?
Setelah seruan itu, di dalam rimba itu menyusul terdengar
teriakan-teriakan. Cuma sedetik In Loei bersangsi, atau ia sudah
lompat turun dari kudanya,
untuk lari masuk ke dalam rimba itu, untuk lompat naik ke atas
sebuah pohon.
Segera juga tertampak beberapa orang memburu keluar rimba.
"Sayang, sayang!" kata mereka. "Kuda putih itu
lolos!..... Eh, eh, ada kuda merah!..... Ah, ah,
sayang, dia juga kabur!.....”
In Loei tidak kuatirkan kudanya itu, yang jinak dan mengerti. Ia
tahu, kudanya telah lari menyingkir. Ia percaya, bila sebentar ia
panggil, kuda itu akan kembali. Karena ini, dengan gunakan ilmu
enteng tubuhnya, ia melapai dan berlompatan dipohon-pohon itu,
dari yang satu kepada yang lain, hingga di lain saat ia telah sampai
di dalam rimba.
Di sana terdengar suara berisik sekali.
Dengan hati-hati In Loei maju terus, lalu ia umpetkan diri, untuk
mengintai. Ia lantas saksikan satu pemandangan yang membuatnya
heran, yang kesudahannya memberikan penerangan padanya.
Di atas sebuah batu besar tampak si mahasiswa berdiri, dia telah
melucuti topengnya. Di sekitarnya, di bawah batu, mengurung
delapan orang, tubuh siapa tinggi dan rendah tak rata. Dua orang
segera In Loei kenali, ialah See To dan puteranya. Yang menjolok
mata adalah dua orang lain, ialah satu tauwto yang rambutnya
terurai, dan satu imam berjuba hijau. (Tauwto adalah pendeta yang
piara rambut).
Terdengarlah suara Tjeetjoe See To, suara yang dingin:
"Meskipun kau sangat licin, binatang,
tidak nanti kau lolos dari tanganku! Apakah kau masih
mengharap jiwamu?"
Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala.
"Sekalipun semut masih menyayangi jiwanya, apapula manusia?"
katanya dengan sabar.
"Jikalau begitu," kata See Tjeetjoe, "lekas kau panggil kembali
kuda Tjiauwya saytjoe ma-mu! Tentang barang-barang permata,
biarlah, tak aku inginkan itu, tidak demikian dengan kudamu!"
Mahasiswa itu tetap menggelengkan kepalanya.
"Kuda itu ada kuda jempolan, dia tidak mudah berpindah
tangan?" dia kata.
See To tertawa dingin.
"Pembelamu telah menjadi tamu agung di Heksek tjhoeng, di sini
siapa yang akan menolong kamu?" katanya mengejek.
Anak muda itu tiba-tiba menunjuk.
"Kau mana tahu, orang sasterawan!" katanya: "Pembelaku itu
telah datang!" Lalu dengan tiba-tiba, ia perdengarkan seruan
nyaring: "Pembelaku, kenapa kau tidak lekas, turun untuk
menolongi tuanmu!"
-ooo0dw0ooo-

BAB V
In Loei mendongkol bukan main. Tidak ia sangka, tibanya di situ
telah diketahui si mahasiswa. Mau atau tidak, terpaksa ia lompat
turun dari tempatnya sembunyi di atas pohon itu.
Si tauwto kaget, tapi dia tabah, dengan lantas dia menyerang
memakai senjata rahasia, ialah tiga batang piauw, yang menyambar
dengan beruntun.
In Loei terkejut. Ia tengah lompat turun, waktu itu ia belum
hunus pedangnya, ia jadi serba salah. Tidak bisa ia menangkis, tak
mampu ia berkelit.
Justeru itu dengan perdengarkan suara nyaring, ketiga piauw
dari si tauwto jatuh ke tanah saling susul, hingga si tauwto jadi
kaget. Dengan cepat dia merogo pula sakunya.
"Tunggu dulu!" berseru See To. "Biar dia punya sayap, bocah ini
tidak nanti mampu terbang?" Terus dia memberi tanda dengan
gerakan tangannya, maka In Loei lantas dikurung delapan orang itu.
Merah matanya See To Boe Kie menyaksikan si anak muda yang
ia pandang bagaikan jarum di biji matanya. Ia jelus dan
mendongkol. Dengan tertawa aneh, dia membentak: "Binatang,
bukannya kau berdiam di Heksek tjhoeng sebagai tamu, apa
perlunya kau datang kemari? Kau tahu, meski tangan Hongthianloei
panjang, tangan itu tidak nanti dapat diulur sampai di sini untuk
melindungi kamu!"
Lantas dia angkat goloknya, hendak dia maju.
See To tarik puteranya itu.
"Apakah Tjio Eng yang menitahkan kau datang kemari?" tjeetjoe
itu tanya. Dia jeri terhadap tuan dari Heksek tjhoeng, tanpa
penjelasan, tak berani dia berlaku lancang.
Mendahului In Loei, si mahasiswa, yang bercokol di atas batu
besar, perdengarkan tertawanya yang nyaring. Dia menggantikan
menjawab: "Apakah kamu tidak dengar perkataanku barusan?
Akulah yang panggil dia dating kemari! Dialah piauwsoe,
pembelaku! Kamu hendak merampas uangku, kamu juga hendak
ambil jiwaku, cara bagaimana dia bisa tidak datang? Eh,
pembelaku!" dia teruskan berkata kepada In Loei, "kau makan
dariku, kau minum dari aku juga, sekarang aku mendapat susah
kenapa kau masih tidak hendak turun tangan?"
"Apakah benar-benar kamu tidak mempunyai hubungan dengan
Hongthianloei?" tanya See To dengan bentakannya.
In Loei mendongkol bukan main terhadap mahasiswa itu, akan
tetapi, dalam keadaan seperti itu, tidak dapat ia tidak turun tangan
untuk orang yang ia pernah lindungi itu, maka ia hunus pedangnya
sambil terus membentak: "Perlu apa kau sebut-sebut Hongthianloei?
Aku cuma andalkan pedangku ini untuk pergi ke mana aku suka,
pergi sendirian saja, tanpa main gila, liciklicikan, cuma bisa
menyuruh lain orang turun tangan!"
Dengan kata-kata ini, dengan menyindir In Loei tegur si
mahasiswa. Si mahasiswa tertawa terbahak-bahak.
"Bagus! Bagus!" serunya. "Inilah piauwsoe yang tak kecewa
untuk diundangnya! Dia benar-benar satu piauwsoe laki-laki!"
"Binatang!" See To menjerit. "Karena kau tidak punya hubungan
dengan Hongthianloei, tibalah saatnya kau mampus!" Lalu dengan
menggerakkan sepasang tangannya, dia lompat maju.
Si tauwto dan si imam, juga turut maju, untuk mengepung.
Dengan berani In Loei layani tiga lawan, ketika ia lompat, ia
barengi menikam pundaknya See To, tapi si tauwto menalangi
kawannya menangkis, dengan goloknya, golok kaytoo, dia bentur
pedang orang hingga si nona terperanjat. Keras sekali benturan itu,
sampai ia rasakan tangannya gemetar. Justeru itu, si imam
menusuk dengan pedangnya, hingga ia mesti berkelit, sebab buat
menangkis, ia tak punya kesempatan.
"Bret!" demikian terdengar suara yang menyusuli tusukan si
imam, ujung pedang siapa mengenai bajunya si pemuda tetiron.
Sementara itu si tauwto serukan kawan-kawannya: "Awas
pedangnya, itulah pedang mustika!" Sebab ia dapat kenyataan,
goloknya kena terpapas sedikit.
Si imam tidak takut, dia malah tertawa besar.
"Bagus!" dia berseru. "Pedang mustika, kuda pilihan, itulah
kepunyaan kita!" Terus saja dia menyerang pula.
In Loei menangkis.
Licin imam ini, ketika ia ditangkis, mendadak saja
ia tarik kembali pedangnya, untuk dibalikkan, dipakai menikam
terus. Dia pun berseru: "Kena!"
In Loei tidak jadi kaget. Melihat orang demikian gesit, ia pun
berlaku tak kurang sehatnya. Ia teruskan menikam perut orang
sambil berseru pula: "Kena!"
Itulah serangan "Tengto imyang", atau "Memutar balikkan im dan
yang". Itulah satu nama lain dari ilmu pedang Hian Kee Itsoe yang
nama lengkapnya "Pekpian Imyang Hiankee kiam" yang banyak
perubahannya, yang diciptakan berbareng dengan satu ilmu pedang
lainnya "Banlioe Tiauwhay Goangoan kiam."
Kaget si imam, kesatu, sebab tikamannya gagal, kedua karena
datangnya serangan membalas itu. Ia sebenarnya gesit, ia sudah
lantas berkelit, tapi tidak urung, ikat jubanya kena disambar juga
hingga putus, hingga ia mandi keringat dingin.
In Loei kecewa karena gagalnya serangan itu, apapula di lain
pihak ia mesti tangkis goloknya si tauwto, yang sudah merangsak
pula, sedang dari sambarannya See To, yang tangannya lihay, ia
mesti egoskan tubuhnya. Si imam juga sangat bengis, habis itu, dia
maju pula.
Selagi orang dikeroyok, See Boe Kie berteriak: "Jikalau dia tidak
dapat dibekuk hidup-hidup, mati pun boleh! Mari maju, kita cincang
tubuhnya!"
Benar-benar In Loei segera dikurung dengan rapat.
See To dan puteranya tak dapat dipandang ringan. Si tauwto dan
si iman juga lihay, malah si
tauwto menggunakan sepasang golok, maka itu In Loei menjadi
repot, dia mesti berlaku sangat gesit dan sebat untuk menangkis
sesuatu serangan. Boe Kie merangsak dengan hebat rupanya ia
sangat penasaran karena tidak dapat memiliki Nona Tjio.
Begitulah kejadian, selagi banyak alat meluruk, Boe Kie
membacok dengan golok Kwietauw too-nya. Ia kertek giginya, ia
gunakan seluruh tenaganya. Tapi, tiba-tiba ia menjerit keras sekali
dan goloknya pun terlepas, terlempar karena ia merasakan sikutnya
sakit sekali seperti tertusuk jarum.
In Loei terperanjat menampak golok melayang ke arah
kepalanya, dengan sebat ia berkelit.
Berbareng dengan itu satu penyerang, yang bersenjatakan
tombak gaetan seperti arit, juga menjerit seperti Boe Kie, malah dia
terus rubuh tanpa bangun lagi, karena dia juga merasa dirinya
tertusuk jarum, sampai gaetannya, yang terlepas, menyambar
dadanya sendiri.
"Bagus! Bagus!" si mahasiswa berseru dengan pujiannya sambil
tertawa, apabila dia saksikan "piauwsoenya" lolos dari bahaya dan
dua lawannya terluka. "Hai, piauwsoe-ku yang baik, senjata
rahasiamu bagus sekali!"
Mendengar teriakan itu, In Loei sadar dengan mendadak.
"Musuh banyak, aku sendirian, tidak dapat tidak, mesti aku
gunakan senjata rahasia!" demikian ia pikir. Maka ketika ia sedang
bebas, tangan kirinya merogo kesakunya, untuk meraup piauw
Bweehoa Ouwtiap piauw-nya. Dengan itu segera ia
menyerang.
Belum lama In Loei muncul di dunia kangouw, ia sudah
mendapat julukan "Sanhoa Liehiap," itulah karena pandainya ia
menggunakan piauw-nya, ini kali ia gunakan senjata rahasia itu,
dalam sekejap saja ia membuat musuhmusuhnya kaget dan repot.
Berulang kali terdengar suara nyaring dari bentroknya pelbagai
piauw dengan senjata-senjata lawan, yang mengadakan
penangkisan, sebagai kesudahannya, kecuali See To, si imam dan
tauwto, yang lainnya rubuh sebagai korban.
Tauwto dan imam itu adalah orang-orang lihay undangannya See
To untuk membantu tjeetjoe ini, mereka heran melihat senjata-
senjata rahasia. Mereka insaf bedanya senjata rahasia In Loei dari
senjata rahasia yang bermula. Mereka tiba-tiba mengerti, selagi
dikepung rapat, bagaimana In Loei dapat kesempatan akan
menggunakan senjata rahasianya itu. Tapi, kalau senjata itu bukan
dilepaskan In Loei, mesti di situ bersembunyi seorang liehay lain
yang membantu pemuda ini.
Akhirnya si tauwto berseru: "Siong Sek Tooheng, kau
tahan dia, libat padanya! See Tjeetjoe, kau rampas
pedangnya! Hendak aku melihat-lihat!"
Dan "Sret!" terdengar suara halus atau lengan si tauwto kena
tertusuk!
Si imam berbaju hijau adalah orang terlihay di antara tiga orang
ini, ia telah memasang mata sejak tadi, maka kali ini ia dapat lihat si
mahasiswa yang sedang bercokol di atas batu telah
bergerak
tubuhnya. Tidak tempo lagi, ia berseru: "Soeheng, itu kambing
yang main gila!" Lalu ia lompat melewati In Loei, guna menyerang
anak sekolah itu.
"Tolong! Tolong!" si mahasiswa menjerit-jerit, tubuhnya gemetar.
Siong Sek Toodjin ada satu murid tingkatan kedua dari Boetong
pay, partai yang kesohor dengan ilmu pedang Tjicapdjietjioe
Lianhoan Toatbeng kiam, maka itu bisa dimengerti bagaimana
hebatnya ketika ia tikam si mahasiswa, akan tetapi kali ini, ujung
pedangnya lewat di dekat iga, sama sekali tidak mengenai atau,
menyinggung bajunya. Karena itu, ia lantas ulangi serangannya,
beruntun sampai empat kali!
Bukan main repotnya si mahasiswa, dia berteriak-teriak, dia
berlompatan, untuk menyingkir dari ancaman sasarannya,
kelihatannya dia seperti sedang bermain-main.
In Loei terkejut mendengar jeritan si mahasiswa. Ia sekarang
menjadi ringan karena Siong Sek Toodjin meninggalkan padanya,
akan tetapi, meski demikian, ia mesti berkelahi secara sungguh-
sungguh, sebab si tauwto lihay dengan goloknya, dan See Tjeetjoe
berbahaya dengan tangannya.
"Apakah aku keliru melihat orang?" nona ini berpikir. "Benar-
benarkan si mahasiswa tidak mengerti silat?"
Karena ia berpikir, ia jadi alpa, maka satu kali, hampir ia kena
dibacok si tauwto. Ia jadi sangat mendongkol terhadap si
mahasiswa itu, maka juga
di dalam hatinya ia berkata pula: "Menjemukan mahasiswa itu!
Aku tolongi dia, dia sebaliknya permainkan aku! Biar habis ini tak
akan aku pedulikan lagi padanya1.....”
Nona ini mendelu, ia tak tahu, Siong Sek terlebih mendelu pula
menghadapi mahasiswa itu, hingga dia seperti kalap. Sebab setiap
kali dia menikam, setiap kali juga dia gagal, sasarannya senantiasa
meleset. Dan si mahasiswa sendiri, masih saja ia berteriak-teriak:
"Tolong! Tolong!"
Kemudian dengan mendadak si mahasiswa tertawa terbahak-
bahak.
"Ha, kiranya kau sedang permainkan aku?" dia berseru. Terus
saja dia menghitung "Satu! Dua! Tiga!" terus sampai "Dua puluh!"
Dia menghitung setiap kali dia ditikam.
Di saat dia menghitung sampai dua puluh. Boe Kie yang terkena
jarum tetapi tidak parah lukanya, sudah merayap bangun, terus ia
ambil goloknya, lantas ia menghampiri dengan diam-diam pada si
anak sekolah.
Anak sekolah ini berkelahi sambil tiap-tiap kali kelitkan diri. Ia
tidak melihat ke kiri dan kanannya. Maka leluasa Boe Kie
mendekatinya, untuk lantas lompat dibarengi dengan bacokannya.
Tapi mendahului itu, tangan si mahasiswa melayang ke belakang,
tepat mengenai hidung orang, hingga hidung itu menyemburkan
darah hidup!
"Manusia tolol!" bentak si mahasiswa. "Telah aku tolongi kau, kau
sebaliknya menghendaki jiwaku, jikalau aku tidak hajar padamu, kau
tidak akan
insaf! Apakah kau tidak diajar aturan? Apakah si bangsat tua she
See mengajar kau membalas kebaikan dengan kejahatan?"
Boe Kie kelabakan karena hidungnya bercucuran darah, ia mesti
bekap hidungnya itu. Gagalah bokongannya. Tapi kata-kata si
mahasiswa membuat See To, Boe Kie dan In Loei menjadi sadar.
Ketika malam itu Boe Kie bersama hoetjeetjoe membokong di kuil
tua, dia mestinya terbinasa diujung pedang In Loei, akan tetapi
secara menggelap ada orang menolongnya, tangan In Loei kena
dihajar senjata rahasia, hingga ujung pedangnya nyasar, dan Boe
Kie lolos dari bencana. Tentang kejadian itu, Boe Kie telah katakan
pada ayahnya, mereka menduga-duga, sama sekali mereka tidak
menyangka si mahasiswalah yang menolongnya. Karena ini, See To
jadi melengak. Tapi justeru itu, In Loei menyerang, ia kena dibacok
kopiahnya hingga rusak. Ia jadi sangat gusar. Di dalam hatinya,
tjeetjoe ini berpikir: "Aku hendak mencuri permata dan kudanya, dia
sebaliknya diam-diam membantu aku! Tidakkah ini aneh?" Ia tidak
berpikir lama, ia sudah lantas sambar muka In Loei. Juga si tauwto
turut menyerang, sebab tauwto ini panas hatinya. Dia satu jago di
Jalan Hitam tetapi hampir dia celaka ditangan "pemuda" ini. Tauwto
ini telah berpikir, In Loei mesti dirubuhkan dulu, baharu nanti
mereka kepung si mahasiswa.
Repot In Loei didesak secara hebat, sampai tak sempat ia
memperhatikan si anak sekolah,
lebih-lebih ketika See To menyambar dadanya dan si tauwto
membacok mukanya. Tapi justeru itu, bentrokan senjata terdengar
keras dan lelatu api muncrat, dibarengi dengan jeritan si tauwto
yang kemudian disusul dengan teriakannya si mahasiswa: "Hai,
pendeta, kaulah yang paling menjemukan, hendak aku berikan
tanda mata padamu!" Setelah ini tidak ayal lagi, si tauwto lari kabur,
diikuti oleh See To.
Pada saat si "pemuda" itu terancam bahaya, si mahasiswa sudah
tunjukkan kesehatannya yang luar biasa, ia lompat ke arah si
tauwto, golok siapa ia tangkis dengan pedang Siong Sek Toodjin
yang ia rampas. Hebat tangkisan itu, golok kaytoo menjadi kutung
karenanya. Tauwto itu kaget dan jeri, begitu juga See Tjeetjoe,
maka keduanya segera angkat kaki.
Si mahasiswa lantas tertawa berkakakan, lalu sambil
melemparkan pedangnya kepada Siong Sek Toodjin, dia berkata
dengan logat anak sekolah: "Menipu uang dan merampas jiwa,
itulah perbuatan tak berprikemanusiaan, dan tidak tahu tenaga diri
sendiri, itu namanya tolol. Manusia tak berprikemanusiaan dan tolol,
bukankah perbuatannya onar belaka? Ini, aku kembalikan
pedangmu, supaya kau belajar lebih jauh lagi sepuluh tahun!.....”
Imam itu menjadi sangat lesu.
"Tolong kau sebutkan namamu," ia minta.
Si mahasiswa tertawa. "Apakah kau berniat membalas dendam
kepadaku?" dia tanya.
"Tidak," sahut si imam.
"Jikalau tidak, untuk apa kau tanya namaku? Aku tidak berani
bermusuh dengan kau, aku juga tidak ingin bersahabat denganmu,
karena kita bukannya musuh dan bukannya sahabat, buat apa kita
saling berkenalan?"
Siong Sek Toodjin membungkam, ia menghela napas, tapi karena
ia sangat mendongkol, ia patahkan pedangnya itu, sesudah mana ia
ngeloyor pergi. Seorang diri ia bersumpah untuk selanjutnya tidak
lagi menggunakan pedang!
Kembali si mahasiswa tertawa besar.
"Baik, pergilah kamu semua!" katanya sambil terus mendekati
sekalian lawannya, untuk mendupak pergi.
Orang-orang yang diserang senjata rahasia In Loei terkena urat-
uratnya hingga mereka tak dapat bergerak, sekarang setelak
didupaki si mahasiswa, darahnya jalan pula, hingga mereka dapat
bergerak lagi.
In Loei heran yang si anak muda dapat menyadarkan orang-
orang itu sedang ia tahu, totokan piauw-nya adalah totokan
istimewa.
Si mahasiswa rupanya dapat melihat keheranan orang, sambil
tertawa, dia kata: "Kemarin ini kau pecahkan totokanku, sekarang
aku pecahkan kepunyaanmu, tidakkah itu sama saja?"
Tapi tetap In Loei heran.
See Boe Kie telah saksikan perbuatannya si anak sekolah, seperti
lupa pada hajarannya si anak sekolah tadi, ia lantas menghampiri,
untuk memberi
hormat sambil menjura. Ia pun berkata: "Kau telah menolongi
jiwaku, kau telah hajar aku dengan tanganmu, maka itu di belakang
hari, aku pun hendak memberi ampun satu kali pada jiwamu dan
menghajar kau satu kali juga!.....”
Mendengar itu dan melihat kelakuan orang, si anak sekolah
tertawa.
"Aku tolong kau karena aku pandang muka si bangsat tua she
See, dari itu tidak usah kau ingat budi," ia kata. "Kau hendak
memberi ampun satu kali pada jiwaku, itulah tidak usah, tetapi
bahwa kau hendak membayar satu tanganmu, untuk itu aku
menanti. Kau kalah dari Siong Sek Toodjin, kau mestinya pulang
dulu untuk belajar lagi dua puluh tahun! Nah, pergilah lekas!"
See Boe Kie itu cupat pandangannya, bisa dimengerti bagaimana
ia mendongkolnya. Ia pandang si mahasiswa dan In Loei dengan
mata mendelik, lalu ia ajak kawan-kawannya berlalu.
Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala, ia tertawa
melenggak.
"Orang she See itu mempunyai nama kosong belaka di Jalan
Hitam," katanya, "maka aku tidak sangka dia demikian tak
berguna!"
Ia nampaknya jadi sangat kecele.
In Loei sebenarnya niat berlalu, akan tetapi mendengar
perkataan orang itu, ia menoleh. Ia anggap orang telah menghina
golongan Jalan Hitam itu.
"Bagaimana dengan Kimtoo Tjeetjoe dari Ganboenkwan luar?"
dia tanya. "Apakah dia tak
dapat dihitung sebagai satu orang gagah?"
Berubah wajahnya si mahasiswa, tetapi cepat sekali, ia
bersenyum. Ia menggoyang-goyangkan kepala pula.
"Kimtoo Tjeetjoe dan See Boe Kie, ayah dan anak, tak dapat
dipandang sama," sahutnya. "Mengenai mereka itu ada perbedaan
waktunya. Untuk menyebut dia sebagai seorang gagah, itulah belum
dapat!"
Mendongkol In Loei.
"Baiklah!" serunya, "di kolong langit ini rupanya cuma kau saja
seorang yang gagah!"
Karena tetap masih mendongkol, ia lantas bertindak pergi, akan
berlalu dari rimba itu. Belum jauh ia berlalu atau satu bayangan
orang berkelebat dihadapannya.
"Saudara kecil, perlahan sedikit!" demikian suara bayangan itu —
ialah si mahasiswa. "Menurut aku, kaulah si orang gagah!"
In Loei melengak tapi segera ia angkat kakinya, untuk pergi
terus. Ia bertindak ke kiri, si mahasiswa cegat ia, ia bertindak ke
kanan, masih ia dihalangi. Ia bertindak pula ke kiri dan ke kanan,
tetap ia dirintangi. Si mahasiswa bergerak dengan sebat sekali.
"Kenapa kau cegat aku?" bentak si "pemuda," hatinya panas
sekali. Kali ini ia terus lompat, untuk dengan mendadak melewati si
mahasiswa itu.
Si mahasiswa ulur tangannya, ke arah dada orang, maksudnya
untuk mencegah pula.
Maka gusarlah si "pemuda", hingga ia mendelik.
"Kau..... kau berani menghina.....” bentaknya.
Hampir ia mengatakan “.....nonamu!" Syukur dapat
ia cegah itu ditenggorokannya, habis mana terus saja dengan
pedangnya ia tikam tenggorokannya si mahasiswa, hingga orang
menjadi kaget, baiknya dia dapat lompat mundur.
Menyusul tikamannya itu, si "pemuda" perdengarkan seruan
kaget, terus ia meringis. Tangan kanannya, yang menyekal pedang,
telah turun sendirinya. Begitu hebat tikamannya itu, ketika tikaman
itu tidak mengenai sasarannya, tangannya terlonjorkan kaget sekali,
sedang tubuhnya tertahan kuda-kudanya.
Tiba-tiba saja ia merasakan sakit karena lengannya bagaikan
copot dari pundaknya.
Si mahasiswa lihat itu.
"Mari aku tolong sambung lenganmu," katanya, sambil maju,
dengan niat memberikan pertolongannya.
"Jangan kau pedulikan aku!" bentak si "pemuda." Ia cekal lengan
kanannya itu dengan tangan kiri, ia mendorong dengan dikagetkan,
dengan begitu, ia sambung pula lengan itu, kemudian dengan
membalik tubuh, membelakangi si mahasiswa, ia buka tangan
bajunya, terus ia obati lengan yang seperti copot itu. Sebenarnya ia
ingin lantas berlalu dari situ, baharu ia berniat angkat kaki, untuk
berlari pergi, atau sekonyong-konyong ia rasakan tubuhnya lemah.
Segera ia insaf, karena telah bertempur terlalu lama, tenaganya
menjadi habis sendirinya.....
Si mahasiswa mendekati, ia menjura.
"Aku mohon maaf," katanya, perlahan. "Saudara kecil, hatimu
polos dan baik, kau dapat menolong sesamanya, ingin aku
bersahabat denganmu. Sekian lama, baharu aku ketemukan orang
dengan pribadi, sepertimu ini. Aku biasa beradat tinggi, andaikata
aku telah berbuat salah terhadapmu, sukalah kau memaafkannya."
Dengan matanya yang bersinar hidup, ia awasi wajah orang.
Mukanya In Loei bersemu dadu. Di matanya, di dalam hatinya, ia
merasa si mahasiswa ini luhur budi pekertinya, kelakuannya dapat
membuat orang kagum, "Kenapa kau mencaci Kimtoo Tjeetjoe?"
akhirnya ia tanya, sambil tunduk.
Tertawa anak sekolah itu.
"Orang yang kau kagumi belum tentu dikagumi juga olehku,"
katanya. "Kenapa kau seperti hendak memaksakan supaya orang
turut padamu? Lagi pula, aku tidak mencaci dia. Mungkin dia
mempunyai bahagian-bahagian yang membuatnya orang kagum,
akan tetapi..... sudahlah, terlalu panjang untuk diuraikan, lebih
baik aku tidak mengatakannya." Tergerak hatinya In Loei.
"Apakah kau datang dari luar Ganboenkwan?" dia tanya.
Si mahasiswa mendongak, ia tertawa.
"Sang kupu-kapu terumbang-ambing karena tak ada gunanya,
dia terhanyut sampai di sungai dan telaga, tak usahlah tuan
menanyakan sebabnya," ia bersenandung seorang diri. Lalu ia
tertawa pula,
suaranya mengharukan.
"Mestinya dia punyakan riwayat sedih," pikir In Loei, "riwayat
yang sama dengan lelakon hidupku. Aku tak sudi orang mengetahui
tentang diriku, maka buat apa aku menanyakan tentang dia?"
Oleh karena ini, dengan tiba-tiba nona ini menaruh rasa simpati
terhadap si anak sekolah.
"Baik," katanya kemudian, tak nanti aku ganggu pula padamu. Di
sini kita berpisah!"
Si mahasiswa tertawa pula.
"Saudara kecil," katanya, "hari ini kau telah menjadi piauwsoe-ku,
sudah seharusnya aku undang kau minum arak. Kali ini kau telah
berjasa, wajib kau menerima hadiah, dan tidak lagi aku mengatakan
kau penganglap!"
In Loei tidak menjadi gusar. Ia anggap biasa saja seperti orang
sedang bersenda gurau. Ia lantas memandang ke sekitarnya.
"Di hutan sebagai ini di mana ada arak?" tanyanya kemudian.
Si anak muda tidak menjawab, dia hanya perdengarkan suitan
nyaring dan panjang, setelah itu terdengar jawaban yang berupa
bengernya kuda, habis mana, dalam sekejap saja, tampak dua ekor,
kuda lari muncul dari dalam rimba. Itulah kuda putih dari si
mahasiswa disusul kuda merah si nona.
"Lihat, mereka telah mendahului bersahabat!" kata si anak
sekolah sambil tertawa.
Kuda putih itu menghampiri majikannya, dan si mahasiswa lantas
mengulurkan tangannya, guna menurunkan satu kantong kulit dari
bebokongnya,
dari dalam kantong itu ia keluarkan satu gendul arak warna
merah.
"Kau telah lelah, silakan kau minum lebih dahulu," katanya
seraya mengangsurkan gendul itu kepada si nona.
In Loei sambuti gendul itu, ia irup araknya. Tiba-tiba ia kerutkan
alisnya.
"Ah, kiranya benar kau datang dari Mongolia!" ia kata.
Arak itu ada arak susu dari Mongolia — arak yang keras sifatnya
dan sarinya agak asam. In Loei kenali arak ini, karena semasa
kecilnya pernah ia turut ayahnya meminumnya. Ia tidak suka arak
yang keras, karenanya, tak dapat ia melupakan arak ini.
Dengan sepasang matanya yang jeli, si mahasiswa mengawasi.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?" ia tanya. "Melihat kau
begini lemah lembut, mestinya kau kelahiran daerah Kanglam yang
indah."
Tersenyum In Loei karena pujian itu.
Tiba-tiba si mahasiswa bertepuk tangan hingga menerbitkan
suara nyaring. Terus ia tertawa.
"Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa menanyakan tentang
sumber asalnya?" katanya. "Bukankah air mengalir dan mega yang
melayang harus dibiarkan sekehendak hatinya? Kau tak usah
bertanya aku, aku juga tak usah bertanya perihalmu. Dalam halku
ini, keliru aku sudah menanyakan kau berasal darimana....."zj
In Loei heran, hingga tak dapat ia kendalikan
hatinya.
"Pada malam itu, apakah kedua orang Tartar itu hendak paksa
kau pulang?" dia tanya tanpa merasa.
Si anak muda tenggak araknya, ia bersenyum, tidak ia
menjawab.
In Loei tidak mendesak, hanya seorang diri, ia berkata: "Di
antara Watzu dan Tiongkok akan terbit perang, karena kau satu
putera Tiongkok, kau telah lari dari wilayah Tartar itu, bukankah
begitu?"
Si mahasiswa tertawa meringis. Ia tenggak pula araknya, ia tidak
menjawab, ia seperti membiarkan si "pemuda" menduga-duga.
In Loei angkat mukanya, ia tatap wajah orang.
"Dua orang Tartar itu mengejar kau untuk ditawannya, kenapa
kau bantui aku membunuh yang satu dan sebaliknya kau tolongi
yang lainnya?" tanyanya.
Lagi-lagi si mahasiswa tenggak araknya. Tiba-tiba saja ia
tertawa.
"Saudara kecil, sungguh kau gemar menanya!" katanya.
"Tahukah kau, orang macam apa yang telah aku tolongi?"
"Dialah muridnya Tantai Mie Ming!" sahut In Loei cepat. Dia
seperti keterlepasan buka mulut.
Si mahasiswa melirik orang dihadapannya, nampaknya ia merasa
aneh. Ia lalu tertawa tawar.
"Yang terbinasa adalah salah satu pahlawannya To Hoan,"
katanya, perlahan. Dan begitu ia berkata, terus ia tutup mulutnya.
In Loei heran. Ia berpikir: "Tantai Mie Ming adalah pahlawan
paling tanggu dan paling dipercaya
dari Thio Tjong Tjioe dan yang mati itu adalah
pahlawan To Hoan..... Thio Tjong Tjioe dan To
Hoan adalah menteri-menteri dari Watzu, apakah bedanya antara
kedua menteri itu? Kenapa sekarang, pahlawan To Hoan
dibinasakan dan pahlawan Thio Tjong Tjioe dilepaskan?"
Benar-benar si nona tidak mengerti, hingga ia ingin
menanyakannya. Akan tetapi ketika ia nampak orang repot
menenggak susu macannya, ia batalkan niatnya itu, ia anggap
percuma saja untuk menanyakannya pula.
Masih si mahasiswa menenggak araknya, lalu ia goyang-
goyangkan gendulnya, nampaknya ia terkejut.
"Ah, tinggal separuh lagi.....” katanya. Ia
nampaknya menyesal.
"Apa sih lezatnya arak itu?" kata In Loei tertawa. Di mana-mana
di Tiongkok ada orang yang menjual arak! Apakah itu semua tak
cukup banyak untuk kau minum?"
Berduka nampaknya si anak sekolah, ia kata: "Orang
meninggalkan kampong halamannya, rendah terpandangnya,
barang-barang meninggalkan tempat asalnya, mahal harganya,
itulah sebabnya kenapa aku hargakan arak ini"
Ia bawa gendulnya ke hidungnya dan menciumnya.
Melihat kelakuan orang itu, In Loei ingat halnya semasa kecil —
selagi berumur tujuh tahun. Itu waktu bersama engkong-nya, ia
baharu balik ke Tionggoan. Setibanya di luar kota Ganboenkwan,
engkong-nya meraup tanah, berulang kali tanah itu diciumnya,
romannya sangat bersungguh-sungguh. Ingat ini, tiba-tiba ia tanya
si mahasiswa: "Apakah kau orang Han?"
Agaknya heran anak sekolah itu. "Kau lihat aku — apakah aku
tak mirip orang Han?" dia balik menanya.
In Loei menatap muka orang. Ia dapatkan orang beralis kereng
dan mata jeli, romannya sangat ganteng, jangan kata di Mongolia,
sekalipun di Kanglam, sukar untuk mencari orang secakap dia.
Menatap wajah orang, mukanya menjadi dadu sendirinya.
"Biar kau telah menutup mata dan menjadi abu, kau tetap orang
Han!" ia kata. Tiba ia menjadi jengah sendirinya, ia insyaf bahwa ia
telah kelepasan berbicara.
Kedua mata si mahasiswa bersinar.
"Benar, benar sekali!" katanya. "Meski aku mati menjadi abu,
tetap aku seorang Han! Mari minum!"
Ia buka tutup gendulnya itu, kembali ia menenggak.
In Loei tertawa menampak kelakuan orang itu.
"Kau minum bagaikan ikan lodan atau kerbau, dengan beberapa
ceguk saja, arakmu kering, apakah tidak sayang?" dia tanya.
Memain mata si anak muda, terus ia tertawa bergelak.
"Hari ini adalah hari yang paling menyenangkan bagiku, sudah
seharusnya aku minum sampai puas!" katanya.
"Apakah itu yang paling menyenangkan kau?" Si mahasiswa
tertawa.
"Pertama-tama aku dapat bersahabat dengan orang semacam
kau, dan kedua karena aku peroleh mustika yang langka!" sahutnya.
"Mari, mari, saudara kecil! Aku undang kau minum arak sambil
memandang gambar yang indah!"
Ia rogo kantong kulitnya, akan keluarkan se-gulung kertas, yang
mana, ia beber di antara sampokan angin, terus ia gantung
dicabang sebuah pohon.
"Kau lihat!" katanya pula. "Bukankah ini mustika yang langka?"
Dengan "mustika" ia maksudkan gambar yang ia anggap berharga
itu.
In Loei ada turunan orang berpangkat, engkong-nya pernah
menjadi hamba negeri kelas satu dan bertanggung jawab sebagai
satu utusan, sedang ayahnya, mulanya satu pembesar sipil
kemudian menjadi seorang peperangan, maka ayah itu pandai ilmu
surat. Demikian In Loei, sejak ia masih kecil, sudah ia belajar surat,
sudah ia mengenal gambar-gambar lukisan, maka tahulah ia gambar
mana yang berharga dan mana yang tidak. Sedang gambar ini
adalah gambar yang Tjio Eng gantung di Engtjhong lauw, loteng
tempat menyimpan barangbarang berharga. Tadi malam ia tak lihat
nyata gambar itu, sekarang dapat ia memandangnya dengan tegas.
Itu ada pemandangan alam di dalam kota, ada airnya, pepohonan,
dan ada juga orangnya, lukisannya bagus, mirip karyanya satu
pelukis pandai, hanya bila dipandang terlebih lama, masih ada
kekurangannya. Maka itu, ia tertawa di dalam hatinya.
"Mahasiswa ini masih kurang pemandangannya tentang seni
lukis," pikirnya.
Si mahasiswa tenggak habis araknya yang terakhir, ia tertawa.
"Apakah kau tak tampak keindahan pada gambar ini?" dia tanya.
In Loei belum menyahuti atau si mahasiswa sudah menghampiri
gambar itu, untuk terus diusap-usap, untuk dipandang dan
dipandang pula, kemudian ia bernyanyi dengan nada tinggi:
"Siapakah yang menyanyikan lagu 'Souwtjioe dan Hangtjioe1?
Bunga teratai menyiarkan harumnya sepuluh lie dan kembang
koeihoa tiga musim, tetapi rumput dan pohon kayu tidak kekal,
mereka mengenangkan penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa
tahun! Ya, ya, penderitaan sungai Tiangkang dari berlaksa
tahun.....”
Kata-kata yang terakhir itu diucapkan secara bersenandung.
In Loei berpikir: "Orang-orang tua dahulu mengatakan, bernyanyi
keterlaluan menyebabkan tangisan, sekarang mendengar nyanyian
ini, itu sama hebatnya seperti mendengar tangisan.....”
Ia tengah berpikir begitu atau di luar dugaannya, benar-benar si
mahasiswa menangis, tangisannya keras dan menyedihkan sekali,
hingga
umpama kata menyebabkan "daun-daun rontok dan burung-
burung terbang pergi"
Bingung In Loei, tak tahu ia, kenapa si mahasiswa berduka,
kenapa dia menangis, begitu sedih.....
Hebatnya, lama anak sekolah ini menangis, hingga si nona
menjadi tambah bingung. Bukankah anak sekolah ini orang asing
baginya? Bukankah dia satu anak muda? Cara bagaimana ia dapat
menghiburnya? Ia pun tidak dapat meninggalkannya, itulah
perbuatan tidak pantas. Habis, apa yang mesti dilakukan?
Masih si mahasiswa menangis, makin lama makin sedih,
mengenaskan mendengarnya, hingga tanpa merasa, si nona turut
mengucurkan air mata di luar keinginannya.....
Si mahasiswa lihat orang menangis, ia lantas seka air matanya,
dengan tibatiba ia berhenti menangis, ketika ia angkat kepalanya,
mendongak, dengan tiba-tiba pula ia tertawa terbahak-bahak.
"Foei!" In Loei berseru. "Apakah kau telah mabuk?" tegurnya.
"Kenapa kau tertawa dan menangis tidak keruan? Apakah
sebabnya?"
Si mahasiswa mengawasi orang, ia menunjuk. "Kau juga sudah
mabuk!" katanya. "Toh sama saja, bukan?"
In Loei tunduk, ia lihat bajunya, yang pun basah dengan air
mata. Ya, tanpa alasan, ia turut orang menangis. Ia jengah
sendirinya, tetapi segera ia tertawa.
Si mahasiswa tertawa pula, bergerak-gerak, lalu
ia bersenandung pula: "Makin kalap, makin gagah, itu baharulah
orang kenamaan sejati — Bisa menangis, bisa tertawa, itulah
bukannya orang
yang biasa..... Kalau mestinya menangis,
menangislah kalau mestinya tertawa, tertawalah! Kenapa mesti
malu-malu tak ada perlunya? Kita adalah orang-orang dari satu
golongan, kita menangis, kita tertawa, apakah anehnya?"
Dengan kedua tangannya, ia gulung gambarnya itu, kembali ia
bersenandung:
"Sungai Tiangkang terus-menerus mengalir ke
timur..... menaruh kaki di tanah daerah asing tetapi
cita-cita belum tercapai..... Bila memandang
kembali kepada enam puluh tahun yang lampau, di sungai di
Selatan, di padang pasir di Utara, tidakkah itu sangat mendukakan
orang?"
Tergerak hatinya In Loei mendengar itu. Ia berpikir pula: "Ketika
tadi malam si mahasiswa ini pergi ke Heksek tjhoeng mengambil
gambar, Tjio Eng mengatakan sudah menanti enam puluh tahun,
sekarang dia menyebut-nyebut juga hal enam puluh tahun. Kenapa
jumlah tahun itu akur satu dengan lain? Teka-teki apakah
tersembunyi di dalam ini? Si mahasiswa baharu berumur dua puluh
lebih, dan usianya Tjio Eng belum lewat enam puluh, maka apakah
yang diartikan dengan enam puluh tahun itu?"
Ia pikirkan, ia pikirkan pula, masih ia tidak mengerti, sampai ia
dengar pula kata kata perlahan
dari si mahasiswa.
"Hari ini aku tertawa puas, menangis pun puas,
sayang sekali, araknya sudah habis.....” demikian
katanya. Rupanya dia sangat menyesal atau sengit, dia banting
gendul araknya ke tanah hingga gendul itu pecah hancur.
Aneh kelakuan si mahasiswa ini, tetapi pada itu In Loei lihat
suatu tenaga menarik yang luar biasa.
Waktu itu, matahari sudah menunjukkan lewat tengah hari.
"Ah, sudah waktunya kita berpisah.....” kata si
nona. Tapi ia mengatakan ini dengan agak sedih. Ia seperti
merasa berat untuk berpisahan.....
"Kau hendak pergi ke mana?" tanya si mahasiswa. "Apa kau
hendak kembali ke Heksek tjhoeng?"
"Tak perlu kau ketahui itu," jawab In Loei.
Si mahasiswa tertawa.
"Apa yang kau perbuat tadi malam, semua telah aku, lihat!"
katanya.
Teringat pada kejadian di dalam kamar, muka In Loei menjadi
merah.
"Nona Tjio itu cantik luar biasa," kata si mahasiswa, "dia juga
mengerti ilmu silat. Saudara kecil, mengapa kau menampik, tak mau
kau menikah dengannya?"
"Aku mau atau tidak, apa sangkutannya dengan kau?" In Loei
balik menjawab.
Mahasiswa itu tertawa pula.
"Jikalau malam itu aku tidak mengacau, tidak nanti kau dapat
lolos dari Heksek tjhoeng", dia kata. "Kenapa kau tidak
menghaturkan terima kasih
terhadapku?"
Mau atau tidak, In Loei tersenyum.
"Kita bangsa orang gagah, kita memang tak boleh terjeblos
dalam jebakan sang cinta," berkata si mahasiswa. "Imanmu teguh,
saudara kecil, aku kagum terhadapmu."
Kembali merah wajah In Loei. Ia jadi jeri untuk bicara lebih lama
dengan anak muda ini, ia kuatir rahasianya nanti terbuka, maka
tanpa berkata suatu apa lagi, ia lompat ke atas kudanya, yang terus
dikaburkan.
Baharu ia keluar dari rimba, atau di belakangnya, ia dengar suara
kelenengan kuda, hingga ia mesti berpaling, rupanya kuda putih si
mahasiswa telah menyandak padanya.
"Saudara kecil, aku ingin bicara denganmu!" kata si mahasiswa
itu.
In Loei tahan kudanya.
"Bicaralah!" katanya.
Si mahasiswa perlambat jalan kudanya, hingga berendeng
dengan kuda si "pemuda".
"Di dalam wilayah Shoasay ini, Tjio Eng dan See To sangat
berpengaruh," kata si mahasiswa sambil bersenyum, "maka bila kau
berjalan seorang diri saja, pada akhirnya kau bukannya dicandak
Tjio Eng, untuk dibawa pulang untuk dijadikan babah mantunya,
melainkan kau akan dibekuk si orang she See ayah dan anak itu,
untuk disiksa mereka. Karenanya, baiklah kau berjalan bersama-
sama aku, aku akan menjadi piauwsoe-mu, pembelamu....."
In Loei anggap, berjalan bersama itu ada
alasannya, akan tetapi, belum sempat ia menjawab, si anak
muda sudah menanya pula kepadanya: "Sebenarnya ke mana kau
hendak pergi?" "Ke Pakkhia," jawab In Loei.
"Sungguh kebetulan!" seru si anak sekolah. "Aku juga hendak
pergi ke kota Pakkhia. Baiklah kita mengaku engko dan adik satu
sama lain."
In Loei tertawa, ia anggap orang lucu.
"Aku belum tahu she dan namamu, mana dapat kita berbasa
secara demikian?" katanya. "Apa aku mesti selalu panggil engko
saja padamu?"
Anak sekolah itu tersenyum.
"Aku she Thio, namaku Tan Hong," jawabnya. "Tan dari tansim
— putih bersih dan Hong dari pohon hong."
In Loei tertawa.
"Satu nama yang bagus!" pujinya. Akan tetapi di Mongolia tidak
ada pohon hong, maka itu, dari mana kau ambil namamu ini?"
"Hiantee, namamu?" tanya si anak sekolah, yang tidak
menjawab. Ia pun sudah lantas berbasa "hiantee" — adik.
"Aku orang she In dan namaku cuma satu, Loei," sahut si
"pemuda". "Loei dari pweeloei — pusuh bunga."
"Sungguh satu nama yang indah!" tertawa si mahasiswa. Ia pun
balik memuji. "Cuma nama itu sedikit berbau nama wanita. Di
perbatasan tanah asing di mana ada es dan salju jarang tertampak
pusu bunga, dari itu, dari arti apa namamu diambil?"
Wajah In Loei berubah.
"Cara bagaimana kau ketahui aku menjadi besar di perbatasan
tanah asing yang ber-es dan bersalju itu?" dia tanya.
Si anak sekolah tertawa.
"Dari arakku!" sahutnya. "Begitu kau ceguk arakku, aku
mengetahuinya. Bukankah caramu tadi membeber sendiri tentang
asal-usulmu?"
In Loei berpikir, lantas ia tertawa sendirinya. Tapi, biar
bagaimana, ia merasa kurang tenang hatinya. Dilihat dari sikap anak
sekolah itu, mungkin dia masih mengetahui terlebih banyak tentang
dirinya.....
Dengan berbicara terlebih jauh maka tahulah In Loei bahwa Thio
Tan Hong ini luas pengetahuannya, tentang ilmu bumi, perihal ilmu
alam begitupun pengetahuan ilmu surat, syair dan ilmu silatnya.
Dengan sendirinya ia jadi merasa sangat tertarik, hingga tanpa
merasa, ia kurang akan penjagaan atas dirinya. Selama berjalan,
asyik sekali mereka pasang omong.
Tanpa merasa, sang sore telah datang pula.
Thio Tan Hong menunjuk dengan cambuknya.
"Di depan sana ada sebuah dusun," katanya, "sudah tiba saatnya
untuk kita bermalam."
Ia bunyikan cambuknya untuk melarikan kudanya.
In Loei telad anak sekolah itu, maka kaburlah kuda mereka,
hingga sebentar kemudian tibalah mereka di tempat yang ditunjuk
anak sekolah itu. Dengan lantas mereka cari rumah penginapan.
"Berikan kami sebuah kamar besar yang meng-
hadap ke selatan," Tan Hong minta.
"Kita inginkan dua kamar!" In Loei campur bicara.
Kuasa hotel menggeleng-gelengkan kepala.
"Yang betul, satu atau dua?" ia tegaskan.
"Dua kamar!" sahut In Loei, cepat dan keras. "Dua kamar!"
Kuasa hotel itu mengawasi si mahasiswa.
Thio Tan Hong mengawasi juga, ia tertawa.
"Baiklah, dua kamar!" sahutnya.
"Apakah tuan-tuan cuma berdua saja?" masih pengurus hotel itu
menanya.
"Ya, cuma kita berdua," jawab si anak sekolah.
Pengurus itu heran, ini tampak pada wajahnya. Akan tetapi dua
kamar ada terlebih banyak daripada satu kamar, sewanya jadi
bertambah, maka ia tidak menegaskan terlebih jauh. Ia lantas ajak
kedua tetamunya untuk periksa kamarnya, habis mana, ia undurkan
diri untuk menyediakan barang santapan bagi mereka.
Di dalam kamarnya, Thio Tan Hong tertawa.
"Hiantee, bukannya aku pelit mengeluarkan lagi beberapa potong
perak," kata dia. "Dengan berada berdua kita dapat pasang omong.
Tidakkah itu lebih baik? Kenapa kau menghendaki dua buah
kamar?"
"Kau tidak tahu, hianheng," sahut In Loei, yang pun berbasa
"kakak" — hianheng. "Seumurku paling takut aku tidur bersama-
sama orang lain."
Tan Hong tertawa pula.
"Pantas di Heksek tjhoeng kau tak mau tidur sama-sama Tjio
Siotjia1." katanya.
Merah wajahnya In Loei, lantas ia alihkan
pembicaraannya.
Si anak sekolah juga tidak menanyakan lebih jauh.
Habis bersantap malam, dua sahabat ini tidur dalam kamarnya
masing-masing.
In Loei tidak tenang hatinya, ia palang pintu kamarnya, ia tutup
jendelanya, malah di waktu merebahkan diri, ia tidak salin pakaian.
Tidak dapat ia lantas tidur nyenyak, masih ia pikirkan si anak
sekolah — ia ingat akan katakatanya dan tertawanya. Ia malah tidak
rapatkan matanya.
Ketika terdengar kentongan tiga kali, hotel sudah sangat sunyi.
Sampai saat itu, baharu In Loei merasakan hatinya tak terlalu
tegang lagi, ia merasa lega, ia malah tertawa sendirinya.
"Tampaknya anak sekolah itu, walaupun ia
berandalan, ia bukannya seorang ceriwis.....” ia
berpikir.
Oleh karena hatinya lega dan merasa ngantuk, In Loei lantas saja
tidur pulas. Tidak tahu ia, berapa lama ia sudah tidur, tiba-tiba
secara layap-layap ia tampak si anak sekolah mendatangi,
mendekati pembaringannya, sambil membungkuk, dia bersenyum.
Ia kaget, ia hunus pedangnya, berbareng mana, si anak sekolah
menjerit, lalu dalam sekejap saja, dia bermandikan darah seluruh
tubuhnya. In Loei kaget sekali, hingga ia berseru. Adalah pada
waktu itu, ia dengar ketokan pada jendela.
"Hiantee, lekas kemari!" demikian suaranya Thio Tan Hong.
In Loei berbangkit, ia kucek-kucek matanya. Insyaflah ia bahwa
ia sedang bermimpi. Ia dengar suranya Tan Hong, ia kenali. Ia
menjadi heran, hingga ia ragu-ragu, ia tengah bermimpi atau
bukan.
Kembali terdengar suara Tan Hong, kali ini disusul dengan
ringkikan kuda yang berirama sedih. Maka tak ayal lagi, ia lompat
turun. Syukur untuknya, ia tidur tanpa salin pakaian. Dengan lantas
ia dapat buka pintu, untuk lari keluar.
Dari wuwungan rumah, terdengar Thio Tan Hong berseru:
"Orang telah mencuri kuda kita! Mari lekas, kita kejar! Lekas!"
Kuda Tjiauwya saytjoe ma dan kuda merah dari Thio Tan Hong
dan In Loei ada kuda-kuda pilihan, tidak sembarang orang dapat
mendekati kedua binatang itu, malah kuda Tan Hong bengis sekali
dan mengerti, kecuali tuannya, lain orang tidak dapat
mengendalikannya. Karena itu, Tan Hong sangat percaya kudanya
itu, barangnya yang berharga pun ia biarkan dibebokong kuda,
sama sekali ia tidak kuatirkan apa-apa, maka itu adalah di luar
sangkaan, kali ini ada orang mencuri kedua kuda itu. Pastilah
pencurinya seorang yang sangat cerdik atau suatu ahli. Tidak peduli
ia bernyali besar dan tabah, Tan Hong toh gentar juga.
In Loei lompat naik ke atas genteng.
"Dapatkah kita susul mereka?" ia tanya.
"Kuda kita tentu tak sudi turut lain orang, mesti dapat kita susul,"
jawab Tan Hong. Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak,
yang mana ia lemparkan ke dalam rumah. Sampai
pengurus hotel itu mendusi, mendengar suara yang berisik.
"Uang sewa kamarmu di lantai!" teriak Tan Hong, habis mana, ia
lompatpergi.
In Loei segera ikuti kawan ini.
Di sebelah depan mereka masih terdengar ringkiknya kuda.
Pengejaran dilakukan terus sampai di sebuah tegalan. Di bawah
rembulan yang remang-remang, dibantu dengan cahaya bintang-
bintang, segera tertampak kedua kuda-kuda itu, — kuda merah di
sebelah depan, kuda putih di sebelah belakang. Kedua kuda itu lari
dengan berjingkrakan, terang keduanya tak sudi lari, keduanya
berontak.
Pun si pencuri kuda tampak juga. Mereka mengenakan pakaian
biru, muka mereka ditutupi topeng. Masing-masing memegang
sebatang hio, yang apinya menyala, hingga sinar api itu mirip
dengan cahaya bintang, terutama di tempat yang gelap tampak
tegas. Dan dengan hio itu, tiap kali mereka suluti tubuh kuda. Itulah
cara paksaan untuk membikin kuda lari, tidak peduli kuda itu
meringkik kesakitan dan terus berjingkrakan. Kedua pencuri itu
menjepitkan kaki mereka dengan keras, hingga kuda jadi tidak
berdaya, saking sakitnya, mau juga kuda itu lari. Disebabkan sering
berjingkrak, kedua kuda itu tak dapat lari jauh, atau segera Tan
Hong dan In Loei dapat menyusul.
Sakit hati Tan Hong dan In Loei mendengar suara kuda mereka
yang tersiksa itu, sambil mengejar, mereka memanggil-manggil.
Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas dengar suara majikannya, dia
berjingkrak keras, karena mana, si penjahat lagi-lagi menyulut
tubuhnya.
Selagi mengejar terus, Thio Tan Hong perdengarkan seruannya
yang nyaring, menyusul mana tangannya terayun, hingga belasan
sinar perak menyambar ke arah kedua pencuri kuda itu. Tapi
mereka seperti punya mata dibatok kepala mereka, atas datangnya
serangan itu mereka jatuhkan diri, akan sembunyi diperut kuda.
Thio Tan Hong sayangi kudanya, ia tidak mau serang kudanya itu, ia
cuma serang si pencuri, karenanya, serangan senjata rahasia itu jadi
gagal, tidak ada sebuah jua dari jarumnya yang mengenai
sasarannya.

Oleh karena sakitnya, kedua kuda itu kabur keras, ke arah


gunung.
Berdua In Loei, Tan Hong mengejar terus, sampai tiba-tiba
terdengar kedua pencuri kuda itu tertawa berkakakan, iramanya
seperti tertawa wanita. Tentu saja, In Loei jadi terperanjat bahna
herannya.
Di atas tanjakan pun segera terlihat cahaya api berkelap-kelip
bagaikan kunang kunang bermain di antara gombolan rumput.
Tanjakan itu sunyi dan seram nampaknya, sampai In Loei bergidik
sendirinya.
Tiba-tiba saja Tan Hong tertawa nyaring.
"Apakah benar ada si cantik manis yang menjadi pencuri dan di
tengah malam buta berkawan dengan iblis?" katanya, nyaring.
"Kembalikan kudaku! Tidak sudi aku bertempur dengan wanita!"
Ia lantas lompat, untuk mendaki tanjakan itu, In Loei ikuti
padanya.
Sementara itu terdengar suara nyaring dari wanita "Eh, besar
juga nyali si pencuri mustika!"
In Loei lantas lihat dua ekor kuda, yang mengangkat tinggi kaki
depannya, hingga kedua binatang itu bagaikan orang tengah berdiri
ditanjakan yang satu di depan, yang lain di belakang. Kedua kuda
itu tidak berbunyi juga tidak bergerak, maka di bawah sinar
rembulan yang suram, nampaknya aneh dan luar biasa. Tanpa
merasa, In Loei perdengarkan seruan tertahan.
Thin Tan Hong, sebaliknya, tertawa dingin, "Oh, kiranya kamu
yang main gila!" demikian si mahasiswa.
In Loei tenangkan dirinya, ia pasang matanya. Kali ini ia dapat
melihat lebih tegas. Ia tampak empat orang tengah berdiri
ditanjakan, masing-masing mengangkat sebelah kakinya, sebagi
orang sedang menindak turun ditangga loteng, akan tetapi wajah
mereka "diam," mereka bagaikan patung-patung saja. Mereka
adalah empat saudagar barang permata yang sedang berurusan
dagang dengan Tjio Eng, keadaan mereka sekarang ini mirip benar
dengan keadaan mereka tadi malam setelah mereka ditotok Tan
Hong.
Meiihat keadaan orang itu, In Loei menghela napas lega. Ia
kagum untuk orang yang pandai menotok itu, yang dapat menotok
orang-orang ini tanpa mereka ini bisa berdaya. Ia menduga, mereka
ini adalah pencuri-pencuri kuda, rupanya mereka
mencuri untuk membalas dendam yang kemarin mereka telah
ditotok.
Tanpa kuatir suatu apa, In Loei segera hampir-kan ke empat
saudagar itu.
"Tadi malam aku telah membebaskan kamu dari totokan, kenapa
sekarang kamu berbalik mengganggu kuda kami?" ia tegur mereka
itu.
Empat saudagar itu tidak menjawab, mereka tetap diam sebagai
patung.
Tiba-tiba dari atas tanjakan terdengar suara: "Apakah tetamu
sudah datang? Bawa mereka ke dalam kuburan!" Meneliti suara itu,
seolah-olah datangnya dari dalam tanah, seperti jauh, seperti dekat.
Mendengar itu, In Loei terperanjat. Itulah suara yang menandakan
bahwa orang yang berkata-kata itu mempunyai Iweekang — ilmu
dalam — yang sempurna. Menduga orang itu tentulah musuh, In
Loei lantas bayangkan ia tengah menghadapi lawan yang
merupakan memedi.....”
Menyusul suara dalam itu, dari antara tumpukan batu-batu
gunung segera tampak munculnya dua tubuh bagaikan bayangan.
Mereka ini mengenakan baju hijau, mata mereka masing-masing
mencorot tajam. Karena muka mereka ditutupi topeng, mata
mereka pun mirip dengan kunang-kunang, yang bercahaya di
tempat gelap. Mereka tak mirip wanita Tionghoa. Tapi keduanya
terus menekuk lutut mereka, untuk memberi hormat.
"Silakan!" demikian mereka mengundang.
"Lebih dulu tolongi kuda kita, baharu kita bicara!" kata Tan Hong.
"Tuan kami pesan supaya tuan jangan berkecil hati," kata salah
satu penyambut ini. "Katanya, tanpa diambilnya tindakan ini, tidak
nanti kita dapat pimpin tuan dan kawanmu datang kemari."
"Siapa tuan kamu itu?" tanya In Loei karena ia lihat, orang
bersikap hormat.
Salah satu penyambut itu tertawa, ia menoleh pada kawannya.
"Ya, aku sampai lupa pada aturan kamu kaum Rimba Hijau dari
Tionggoan." katanya. "Djieso, tolong serahkan karcis undangan
kita!"
Penyambut yang kedua itu, yang berada di sebelah belakang,
sudah lantas putar tubuhnya, kemudian setelah berbalik pula, ia
serahkan apa yang dinamakan karcis undangan, ialah dua potong
tulang kepala manusia.
Melihat kartu nama semacam itu, wajah Tan Hong berubah.
In Loei juga terperanjat akan tetapi ia kuasai dirinya.
"Kartu undangan ini istimewa sekali!" katanya.
Kedua penyambut itu tidak menjawab, mereka cuma bersenyum.
"Mari!" mereka mengundang, terus mereka jalan di sebelah
depan.
Tan Hong dekati In Loei di kuping siapa ia segera berbisik:
"Lekas kau singkirkan diri! Majikan mereka
adalah Hek Pek Moko!.....”
"Hek Pek Moko.....” In Loei ulangi, lalu dalam
sekejap saja, ia sadar. Ia segera ingat keterangannya Tjioe San
Bin tentang dua orang
aneh dari kaum kangouw pada jaman itu, dua "manusia aneh"
yang paling ditakuti.
Hek Pek Moko itu katanya berayah orang India, yang datang ke
Seetjhong atau Thibet, untuk berniaga, lalu dia masuk kebangsaan
Thibet, dia menikah dengan satu nona Thibet dari siapa dia peroleh
sepasang anak kembar, yang masing-masing berkulit putih dan
hitam, yang romannya luar biasa. Menurut bahasa Hindu tua, iblis
jahat dipanggil "moko" karenanya orang memanggil kedua anak itu,
sang kakak Hek Moko, dan sang adik, Pek Moko. Ayah mereka
pandai ilmu silat India, mereka dapat mewariskan kepandaian ayah
mereka itu, yang dicampur dengan ilmu silat Thibet dan Mongolia
juga, maka mereka mempunyai rupa-rupa ilmu silat, hingga
kesudahannya mereka jadi lihay sekali. Katanya, setelah memasuki
umur belasan tahun, Hek Moko dan Pek Moko pergi berpesiar,
sampai di Tionggoan di mana kabarnya, di Kwietjioe (Canton)
mereka telah menikah dengan anak seorang saudagar hartawan
bangsa Iran. Untungnya untuk kedua saudara ini, mereka juga
pandai bahasa Tionghoa, Iran, Thibet dan Mongolia di samping
bahasanya sendiri, bahasa India. Mereka seperti dapat "keluar dan
masuk" tanpa ketentuan.
Di beberapa tempat mereka mempunyai rumah, hingga mereka
bisa tinggal dan berdiam di mana mereka suka. Mereka mempunyai
banyak harta dan barang permata, umpama kata ada pembesar
Rimba Hijau rakus yang menginginkan permata mereka, pasti
mereka akan mendapat bagian, setelah
disiksa, dia baharu dibinasakan. Maka kaum Jalan Putih dan Jalan
Hitam pandang mereka ini sebagai bintang bencana. Apa sebabnya
mereka suka membawa-bawa barang permata, tidak ada orang
yang ketahui jelas, orang cuma bisa duga, permata itu berasal
curian atau memangnya barang dagangan. Tidak ada orang yang
berani menanyakannya. Sedang sebenarnya, mereka adalah tukang-
tukang tadah, mereka bisa beli permata dari begal tunggal, yang
mereka biasa jual ke India atau Iran, hingga mereka menjadi aman.
Maka itu, mereka kenal baik banyak begal atau penjahat tunggal.
Demikian Hongthianloei Tjio Eng adalah langganan mereka. Empat
saudagar, yang malam itu In Loei lihat, ada pembelinya. Tentu
sekali In Loei, juga Thio Tan Hong tidak ketahui rahasianya Tjio Eng
serta tukang tadah itu. Walaupun demikian, Tan Hong tahu tanda
rahasia dari Hek Pek Moko, ialah tengkorak manusia, karena mana,
ia kisiki In Loei untuk lari menyingkir.
Tapi In Loei berpikir lain, bukan dia kabur, dia justeru
bersenyum.
"Bukankah tadi kau menyuruh aku menjadi piauwsoe?" katanya.
"Maka sekarang, tak dapat tidak, aku mesti menyertai kau!"
Tan Hong percaya orang tak tahu lihaynya Hek Pek Moko, ia
memikir untuk menjelaskannya, akan tetapi, untuk itu, ketikanya
tidak ada. Untuk itu, ia mesti bicara banyak. Ia lihat tegas, kedua
wanita Iran itu tiap-tiap kali berpaling ke arahnya. Karenanya, ia jadi
mengeluh sendirinya.
"Ah, kau belum tahu lihaynya kedua hantu itu.....” demikian
keluhnya dalam hati.
Tan Hong keliru apabila ia menduga In Loei tidak tahu ancaman
bahaya, In Loei justeru tak hendak meninggalkan dia pada saat
seperti itu. Ia ingin turut bersama.
Kedua wanita Iran itu jalan di muka untuk memimpin mereka
melalui jalan belukar yang banyak batunya, di antara pelbagai
kuburan, sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah kuburan
besar luar biasa.
Segera terdengar suara nyaring dari dalam kuburan itu: "Apakah
yang datang itu dua bocah cilik?"
Kedua wanita itu tertawa.
"Benar!" sahut satu di antaranya. "Tapi kedua bocah ini besar
sekali nyalinya!"
"Baik!" terdengar pula suara dari dalam kuburan itu. "Bawa
mereka masuk!"
Satu wanita mendekati pintu kuburan, ia gunakan sebelah
tangannya untuk menekan, atas itu terdengarlah suara berisik pada
daun pintu.
Justeru itu, dengan mendadak Thio Tan Hong menyerang daun
pintu.
"Brak!" demikian terdengar suara nyaring dan berisik, karena
daun pintu itu segera rubuh menggabruk. Dia terus tertawa, dia pun
berkata: "Tidak usah kau nengundang lagi, aku sendiri dapat
datang!"
Kuburan itu mempunyai thia yaitu ruang muka, yang indah
perabotannya, yang mirip dengan ruang
suatu istana. Di sini dipasang dua puluh empat lilin yang besar,
yang membuat ruangan menjadi sangat terang. Rupanya itu adalah
suatu istana di dalam tanah, yang ada hubungannya dengan dunia
luar, karena dengan berada di dalam ruang itu orang tidak bernapas
sesak.
In Loei segera lihat sebuah meja besar di tengah ruangan itu.
Meja itu adalah meja marmer. Di tengah meja duduk dua orang,
yang romannya benarbenar luar biasa. Rambut mereka bergelintir,
hidung mereka bengkung, muka mereka, yang satu putih meletak,
yang lain hitam legam, hingga perbedaan antara kedua orang itu
sangat tegas. Di kedua sisi mereka duduk masingmasing dua orang
Han, yaitu ke empat saudagar barang permata itu. Maka, mengenal
mereka itu, In Loei berkata dalam hatinya: "Terang sudah, kuburan
ini mempunyai pintu belakang.....”
"Apakah mereka berdua ini yang mencuri permata?" tanya Hek
Pek Moko, kedua orang dengan roman luar biasa itu.
"Itulah yang usianya terlebih tua," sahut satu saudagar. "Yang
lebih muda itu ada babah mantunya Tjio Eng, dia tidak turut
mencuri, dia malah telah menolongi kami dengan membebaskan
kami dari bekas totokan."
Hek Moko manggut.
"Kau berdiri dipinggir!" kata dia pada In Loei, tangannya
menunjuk.
Tapi In Loei membangkang. "Aku datang bersama-sama dia,"
katanya.
"Kenapa aku mesti berdiri di pinggir?"
Pek Moko kerutkan alisnya.
"Bocah cilik, kau tidak tahu apa-apa!" katanya.
Hek Moko menuding Tan Hong.
"Eh, bocah gede, besar nyalimu!" katanya. "Kenapa kau berani
datangdatang ke Heksek tjhoeng untuk mencuri permata dan
melukai orang? Kenapa kau pun berani menghajar rubuh pintuku
ini? Apakah kau anggap kami dapat dibuat permainan?"
Thio Tan Hong tidak menjawab, dia hanya balik menanya.
"Berapa lama sudah kamu sampai di Tionggoan?" demikian
pertanyaannya.
"Apakah maksudmu?" tanya kedua hantu ini, dengan murka.
"Pernahkah kamu dengar, satu pepatah Tionghoa yang
mengatakan
"Dendam ada kepalanya, hutang ada tuannya?" Tan Hong tanya
pula. "Jangan kata aku memang tidak pergi ke Heksek tjhoeng
untuk mencuri, taruh kata benar apa hubungannya dengan kamu
berdua? Tjio Eng toh tidak menginginkan kamu yang campur tahu
perkara itu?"
Muka kedua hantu itu mendadak berobah.
Thio Tan Hong tak menggubris, ia hanya menambahkan: "Adalah
kamu yang mencuri kuda kami, kenapa sekarang kamu herankan
yang aku hajar rusak daun pintumu? Lagi pula tempat ini bukannya
tempatmu, tempat ini adalah tempat orang mati!"
"Bagus, kau pandai memutar lidahmu!" bentak Hek Moko. "Kau
sekarang hendak menguasai kami!"
"Apakah kamu kira cuma kamu sendiri yang boleh
menguasai lain orang?" Tan Hong tertawa. "Aku lihat, lebih baik
kau tutup rapat pintu kuburanmu ini, jangan kau pergi keluar lagi!"
"Apa katamu?" tegaskan Pek Moko, si Hantu Putih.
"Ini adalah kuburan suatu pangeran!" kata Tan Hong.
"Ia ada Pangeran dari kerajaan Tjhin. Habis kau hendak apa?"
tanya Pek Moko.
"Ada pepatah yang mengatakan, — Menutup pintu besar untuk
menjadi raja" sahut Thio Tan Hong, "maka itu, jikalau sekarang
kamu tutup kuburan ini, bukankah kamu pun boleh menjadi raja di
sini? Atau, andaikata kamu batal menjadi raja, sedikitnya kamu bisa
menjadi pangeran Tjhin! Sebenarnya, untuk menjadi raja tidak ada
artinya....."
Murka kedua hantu itu dipermainkan secara demikian. Tanpa
terlihat gerakan mereka, tahu-tahu mereka sudah mencelat dari
kursi mereka masing-masing sampai kepada Tan Hong, empat
tangan mereka menyambar ke arah batok kepala orang!
In Loei terkejut hingga ia keluarkan seruan tertahan.
Menyusul sambaran empat tangan itu, terlihatlah berkelebatnya
satu sinar putih bagaikan rantai. Sebab Thio Tan Hong, dengan
kesebatannya, telah hunus pedangnya, yang berkelebat mirip
bianglala.
Kedua hantu Hitam dan Putih ini perdengarkan seruan: "Pedang
yang bagus!" Di antara satu suara
"Bret!" terlihat tubuh mereka bergerak-gerak bagaikan bayangan.
Pada saat itu juga terdengar tertawanya Thio Tan Hong, yang
menyambungi: "Bagus, bagus! Hek Moko dan Pek Moko
mengerubuti satu bocah!"
Mendengar ejekan itu, kedua hantu itu sudah lantas jumpalitan
mundur, hingga di lain saat keduanya sudah duduk bercokol pula
dikursi mereka masingmasing, muka mereka menyeringai. Mereka
ini tidak pandang Thio Tan Hong sebagai tandingan mereka,
barusan mereka menyerang disebabkan hawa amarah mereka yang
meluap dengan tiba-tiba, hingga mereka melakukan sesuatu yang
melanggar hukum Rimba Persilatan. Mereka percaya, dengan satu
kali turun tangan, mereka dapat mencekik si bocah gede itu. Tidak
tahunya, meleset dugaan mereka, hingga mereka jadi malu
sendirinya, mereka jadi jengah.
Luar biasa sebat Tan Hong menghunus pedang, cepat sekali ia
gerakkan pedangnya itu, meskipun selagi berkelit, bajunya kena
disambar hingga baju itu kena disambar hingga baju itu robek, di
lain pihak, pedangnya sudah memapas kopiah orang sampai
rambutnya ikut terpapas pula. Dan hebatnya, karena perbuatannya
itu, Hek Pek Moko pun akan tercela karena mereka telah menghina
orang yang terlebih muda.....
Hek Moko, si Hantu Hitam, lantas mengawasi Tan Hong.
"Bagus ilmu pedangmu!" katanya. "Mari, mari kita mencoba-
coba!....."
Kali ini hantu itu tidak lagi memandang orang sebagai "bocah", ia
anggap sekarang bocah itu adalah pantarannya, maka itu, ia telah
ubah sikapnya, ia sudah lantas menantang.
Thio Tan Hong bersenyum, ia awasi kedua hantu itu.
"Bagaimana kehendakmu?" ia tanya. "Kamu berdua hendak maju
berbareng atau melayani satu dengan satu". Bagaimana kalau
menang. Bagaimana kalau kalah? Dalam hal ini, perlu kamu
mengatur terlebih dahulu!"
Hek Moko gusar sekali.
"Kamu berdua, kita juga berdua, tidakkah itu berimbang?"
katanya.
Hek Moko kesohor, sekarang ia ingin bertanding satu sama satu,
itu artinya ia sudah lantas merasa agak jeri.
Akan tetapi Thio Tan Hong kata: "Urusanku ini tidak ada
hubungannya dengan saudaraku ini! Adalah aku seorang diri yang
akan melayani kamu.....”
"Jikalau demikian," kata Hek Moko, "baik aku sendiri yang
melayani kau."
Tapi In Loei campur bicara.
"Kita datang berdua, maka itu aku juga hendak melayani kamu!"
demikian katanya.
"Bagus, bagus!" Pek Moko, turut berbicara. "Jikalau kamu turun
tangan berbareng, aku suka turut menemani kamu!"
"Sudahlah, jangan terlalu banyak omong!" Hek Moko menjadi
tidak sabaran. "Aku akan layani kau
seorang!" — ia maksudkan Thio Tan Hong. "Jikalau saudaramu
tidak turun tangan, saudaraku juga tidak akan turun tangan!
Tidakkah ini jelas?"
In Loei masih hendak bicara tetapi Tan Hong cegah dia.
"Sudahlah, saudara yang baik! Kau biarkan aku yang mencoba-
coba dulu. Umpama kata aku tidak berdaya, baharulah kau turun
tangan. Apakah itu tak terlambat?"
Hek Moko tidak pedulikan kedua saudara itu sedang berebut
omong, ia ulurkan sebelah tangannya ke arah tembok, dari situ ia
menarik sebatang tongkat kemala, yang mengeluarkan sinar terang
bercahaya hijau, setelah itu ia berbangkit dari kursinya, ia bertindak
ke ruang yang lega.
"Mari, mari!" ia menantang. "Jikalau aku menang maka kuda dan
permatamu, semua itu akan menjadi kepunyaanku!"
"Jikalau kau yang kalah, bagaimana?" tanya Tan Hong.
"Jikalau aku yang kalah, maka tempat ini akan menjadi
kepunyaanmu!" hantu itu berjanji.
Kuburan itu adalah tempat Hek Pek Moko menyimpan harta
besar mereka, di antaranya ada barang berharga yang hampir
semahal sebuah kota. Hek Moko anggap, taruhan ini adalah taruhan
yang pantas sekali.
Akan tetapi Thio Tan Hong berpikir lain. Dia tertawa.
"Siapa kesudian menjadi tuan dari guha hantu ini?" katanya
mengejek.
"Habis, apa yang kau kehendaki?" tanya si Hantu Hitam.
"Kau mesti obati kuda kami hingga sembuh!" dia menjawab. Hek
Moko juga tertawa bergelak.
"Inilah gampang!" jawabnya. Aku biasa berdagang, aku hargakan
perkataanku. Baik kita omong secara pantas. Aku pun tidak
menginginkan bandamu. Di antara banda kita, sukar untuk
menetapkan harganya. Sekarang terserah kepadamu! Nah,
majulah!"
Thio Tan Hong lantas rapikan dandanannya. Ia loloskan baju
panjangnya, yang kena dirobek kedua hantu itu.
"Dengan dandananku ini, aku mirip dengan satu
pengemis.....” katanya, yang terus merobek baju
panjangnya itu. Ia sekarang dandan dengan singset, nyata ia
telah pakai baju kutang yang tersulamkan dua ekor naga emas
tengah bertarung di tengah laut yang bergelombang. Di antara
cahaya lilin, baju kutang itu nampaknya indah.
In Loei lihat baju kutang itu, ia heran. "Apakah benar di Mongolia
juga ada sulaman Souwtjioe?" tanya ia pada dirinya sendiri. Tapi ia
tidak sempat berpikir lama, atau pertandingan sudah lantas
dimulai.
"Kau yang mulai!" Tan Hong tantang lawannya, setelah ia selesai
dandan dan beri hormat sambil menjura.
Hek Moko dapat kesan baik untuk kelakuan dan kesopanan orang
itu, ia merasa puas hingga ia bersenyum, akan tetapi meskipun
demikian, dengan
tiba-tiba saja ia mulai dengan serangannya, tongkatnya
menyambar ke arah muka.
Thio Tan Hong tidak menjadi kaget karena serangan mendadak
itu, malah dengan gesit ia telah angkat pedangnya, untuk
menangkis, hingga tidak ampun lagi, kedua senjata telah beradu
satu sama lain hingga terdengar suara yang keras dan nyaring.
Sinar pedang pun menyilaukan mata.
-ooo0dw0ooo-

BAB VI
In Loei terperanjat melihat bentroknya kedua senjata itu.
"Aku tidak sangka, tongkat kemala itu ada barang mustika juga,"
pikirnya.
Kedua senjata seperti menempel satu dengan lain, karena
masing-masing tidak menarik kembali tangan mereka, sebaliknya,
mereka saling menekan.
Kedua pihak berdiri tegak dengan kuda-kuda mereka, keduanya
samasama empos semangat, untuk mengerahkan tenaga mereka.
Karena ini, dalam sekejap saja, keduanya mulai mengalirkan
keringat di jidat mereka.
Tegang hati In Loei menyaksikan pertempuran adu tenaga dan
keuletan itu.
"Secara begini, tidakkah keduanya akan sama-sama bercelaka?"
demikian ia piker pula. Ia jadi berkuatir.
Tak lama kemudian terdengar seruan Hek Moko, tubuh siapa
terus mencelat. Menyusul itu terdengar pula suara kedua senjata.
Dipihak lain Thio Tan Hong pun mencelat mundur, dengan begitu
senjata mereka jadi terlepas dan terpisah. Selagi lompat, Tan Hong
perdengarkan seruan: "Celaka!"
In Loei terkejut hingga hendak ia hunus pedangnya, cuma
sebelum ia sampai berbuat begitu, ia segera dengar tertawanya Tan
Hong.
"Tidak apa, tidak apa!" demikian Tan Hong buka mulutnya.
"Kiranya kau adalah seekor keledai tua! Sekian lama senjata kita
sudah bentrok tapi kau tidak mampu berbuat suatu apa! Haha haha!
Namamu kosong belaka! Nyata kau tidak sanggup memukul mundur
satu bocah! Haha-haha! Haha-haha!"
Suara tawa itu belum berhenti atau Hek Moko, dalam murkanya
yang hebat, sudah berseru nyaring sekali: "Bocah, kau tidak tahu
mampus!" Lalu tubuhnya mencelat maju, sinar hijau dari tongkatnya
pun berkelebat, sinar itu menyambar ke arah jidat orang she Thio.
Sebenarnya In Loei ingin tertawa mendengar kata-katanya Tan
Hong, tapi ia terhenti di tengah jalan, sebaliknya, ia menjerit, "Oh!"
disebabkan serangan si hantu yang sangat dahsyat itu.
Tiba-tiba terdengar pula tertawa nyaring dari Tan Hong, yang
terus berkata dengan keras: "Lihat, lihat! Si bocah akan kemplang
kepala si keledai tua!"
Atas datangnya serangan dahsyat itu, Tan Hong menyamping
satu tindak, sambil mundur ia angkat pedangnya, dengan itu ia
membalas menabas ke arah lengan orang.
Hek Moko pun sangat awas dan gesit sekali, lekas-lekas ia tarik
kembali tangannya.
Tan Hong tahu orang liehay, sengaja ia mainkan lidahnya, guna
membikin orang mendelu. Ia dapat menduga, Hek Moko mulanya
tidak pandang mata padanya, maka ia dipanggil bocah, dari itu,
sengaja ia gunakan perkataan bocah itu untuk membuat orang
panas hati. Dalam hal ini, ia berhasil membakar hatinya si Hantu
Hitam.
Menuruti hawa amarahnya, Hek Moko menyerang pula, secara
kalap. Bukan main gencarnya serangan itu. Terang ia lupa
pantangan bergusar untuk orang yang tengah berkelahi, nyata ia
sudah kena terjebak lawannya itu.
Satu kali Tan Hong menabas lengan orang, untuk herannya,
pedangnya merosot di antara lengan itu. Ia tidak tahu, lawannya
mempunyai ilmu silat India yang dinamakan "djiekee", yang
membuat tangannya jadi kuat dan licin.
Gusar Hek Moko karena serangan itu, hingga dia berteriak:
"Bocah, akan aku adu jiwaku dengan jiwamu!" Terus saja dia
lompat sambil menyerang dengan tongkatnya.
Dengan berani Tan Hong tangkis serangan itu, lalu ia membalas.
Hek Moko berlaku cerdik, ia berkelit sambil lompat jumpalitan,
waktu ia menaruh kakinya di lantai, ia barengi dengan merubuhkan
diri, kemudian menyusul itu — dengan kesebatannya — ia balas
menyerang, ujung tongkatnya menyambar lawannya, yang ia sodok
hebat sekali.
Untung bagi Tan Hong, ia telah berlaku waspada, celi matanya,
lincah gerakannya maka itu ketika serangan sampai, ia sempat
egoskan tubuhnya. Tentu saja, ia pun tidak mau diam — habis
berkelit, ia maju menyerang.
In Loei telah saksikan satu pertarungan yang dahsyat sekali.
Kedua belah pihak tidak mau menyerah satu pada lain, itulah yang
hebat. Sinar
hijau dari tongkat kemala seperti bersaing dengan sinar putih
dari pedang. Kalau si Hantu Hitam nampaknya ganas, lawannya
berlaku tenang, sekarang ini tidak lagi si orang she Thio bersenyum,
sebaliknya, ia berlaku sungguh-sungguh.
Sebenarnya Hek Moko telah bersilat dengan ilmu tongkat
"Thianmo thung" — "Tongkat Iblis," ia andalkan ilmu tongkatnya itu,
akan tetapi kali ini, ia kecele. Sudah seratus jurus lebih ia layani Tan
Hong, sama sekali ia tidak peroleh hasil, maka akhirnya, ia sedot
hawa dingin.
Pek Moko, si Hantu Putih, telah saksikan pertempuran itu, ia lihat
saudaranya berkecil hati, tetapi karena di antara mereka sudah ada
janji, tidak bisa ia nyerbu ke dalam kalangan, untuk membantu
saudara itu. Maka ia Cuma bisa menonton saja.
Selagi pertempuran berjalan terus, tiba-tiba terdengar suara
ayam berkokok dan burung-burung berkicau di luar kuburan. Itulah
tanda bahwa sang malam sudah lewat dan sang fajar telah datang
menggantikan tugas alam.
Hek Moko menjadi tegang sendirinya karena ia tidak dapat
peroleh hasil, saking penasaran, ia coba menyerang dengan terlebih
dahsyat pula, hingga pertarungan menjadi lebih hebat.
Thio Tan Hong berlaku tenang, ia tidak biarkan dirinya
dipengaruhi kekalapan orang. Ia berlaku waspada, matanya awas,
gerakannya sebat. Ia menangkis dan berkelit dengan beraturan, ia
membalas menyerang setiap ada ketikanya.
In Loei terus menonton dengan hati tertarik. Sejak masih kecil ia
telah belajar silat kepada Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, karena
sekarang ia telah berusia tujuh belas tahun, tepat lamanya sepuluh
tahun ia menuntut ilmunya itu. Di samping itu, berkat didikan
gurunya, ia juga kenal pelbagai ilmu silat pedang dari lain kaum,
hingga ia bisa dianggap sudah ulung juga. Hanya kali ini, heran ia
atas ilmu pedangnya Thio Tan Hong. Ia sudah mengawasi begitu
lama, ia telah memperhatikannya dengan seksama, tapi tidak juga
ia ketahui, dari golongan mana ilmu silat pedang itu. Ia merasa ada
persamaannya dengan ilmu pedangnya sendiri ia pun merasakan
ada perbedaannya. Ia merasa ia seperti pernah lihat ilmu silat itu
akan tetapi tak pernah ia dengar gurunya menceritakannya.
Karenanya, ia jadi bersangsi, ia jadi heran.
"Ah, mesti ada hubungannya antara ilmu pedang itu dengan ilmu
pedangku," akhirnya In Loei ambil kesimpulan sesudah ia
mengawasi pula sekian lama. Karena ini, ia seperti tenggelam dalam
pikirannya sendiri, hingga ia tidak perhatikan jalannya pertempuran.
Tiba-tiba saja ia ingat kata-kata gurunya pada malam sebelumnya ia
turun gunung.
Hari itu, adalah malam Tiesek, satu malam sebelumnya tahun
baru, di puncak bukit Siauwhan San di Soetjoan Utara, di dalam
sebuah guha batu, dinyalakan dua belas batang lilin besar. Dan lilin
itu sama rupanya dengan lilin yang ia saksikan sekarang. Ketika itu
di antara cahaya lilin, yang mengitarinya, ada duduk seorang wanita
dari usia pertengahan serta satu nona yang cantik sekali bagaikan
bunga. Mereka itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dan murid
satu-satunya yang dia sayangi, ialah In Loei. Di dalam guha itu telah
disediakan barang makanan, tetapi bukan untuk pesta menyambut
tahun baru, hanya guna perjamuan perpisahan antara guru dan
muridnya itu. Pelajaran si nona dianggap sudah sampai pada
batasnya dan sang guru menitahkan muridnya turun gunung, untuk
mencari pengalaman. In Loei terima titah itu, besoknya hendak ia
meninggalkan rumah perguruan.
Dari gurunya itu, In Loei telah ketahui asal-usulnya, tentang sakit
hati keluarganya. Itu adalah sakit hati yang hebat sekali, bagaikan
"laut yang berdarah." Ia senantiasa memikirkannya, ia selalu
memikir untuk melampiaskanya. Untuk itu, ia mesti turun gunung.
Untuk itu, perlu ia sempurnakan dahulu ilmu silatnya. Adalah di luar
sangkaannya, sang guru menjamu ia malam itu dan ia diharuskan
turun gunung besok paginya. Kenapa guru itu tidak
menyebutkannya, menerangkannya, sejak siang-siang? Kenapa
demikian mendadak?
Maka itu, selagi menerima titah, In Loei berpikir, pada wajahnya
tampak roman heran.
Yap Eng Eng telah lihat tegas roman muridnya itu, ia diam saja,
cawan demi cawan ia keringkan dan setelah menghabiskan yang
ketiga, tiba-tiba ia menghela napas.
"Satu tahun akan dilewatkan dalam satu malam," katanya,
perlahan. "Pada dua belas tahun yang lampau telah aku antarkan
satu orang — bukan, hanya telah aku usir, — dan pada malam ini,
kembali hendak aku mengantar kau pergi.....”
In Loei berdiam. Tak mengerti ia akan kata-kata gurunya itu,
kata-kata yang ia anggap tidak keruan juntrungannya. Ia melainkan
awasi gurunya itu.
Habis mengucap, Hoeithian Lionglie menghela napas pula, terus
ia tatap muridnya. Dengan sekonyong-konyong, ia berkata kepada
muridnya itu: "Setelah kau turun gunung, kalau nanti kau tiba di
Mongolia, apabila kau menemui seseorang, kau katakan padanya
bahwa aku menyuruh dia pulang.....”
"Siapakah orang itu, Soehoe?" tanya In Loei, setelah ia berdiam
sekian lama.
Ditanya muridnya, tiba-tiba Hoeithian Lionglie tertawa. Setelah
itu, segera wajahnya menjadi merah.
"Itulah Samsoepee Tjhia Thian Hoa-mu," katanya, dengan
perlahan. (Samsoepee ialah paman guru lebih tua yang ketiga.)
"Samsoepee Tjhia Thian Hoa?" In Loei ulangi. "Bukankah
samsoepee telah pergi ke Mongolia, untuk menolongi aku
membalas dendam kakekku, ialah guna membinasakan Thio Tjong
Tjioe?"
"Benar!" sahut sang guru. "Ketika dia pergi ke Mongolia, itu
adalah kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi waktu dia
berpisah dari aku, itu ada pada malam seperti ini pada dua belas
tahun yang lampau..... Ilmu silatnya sudah sempurna, diapun
pendiam tetapi cerdas. Dia mengatakan dia hendak membalas sakit
hati kakekmu, pasti dia telah mewujudkan maksud hatinya itu,
malah untuk itu, tak usah dia tunggu sampai sepuluh tahun.....”
"Kalau begitu, kenapa setelah pergi sepuluh tahun lamanya, dari
dia tidak ada kabar ceritanya?" tanya In Loei.
Sang guru menghela napas pula.
"Aku duga dia memang tidak berniat kembali," sahutnya.
"Kenapa begitu, soehoe?"
Sang murid benar-benar tidak mengerti.
Hoeithian Lionglie tidak menjawab, ia hanya menyimpang.
"Semua ilmu silat pedang dari pelbagai partai telah aku ketahui,"
berkata guru ini. "Partai banyak sekali jumlahnya. Melainkan satu
macam ilmu pedang dari suatu partai, belum pernah aku
melihatnya. Kau katakan, tidakkah ini aneh?"
In Loei berdiam, akan tetapi hatinya berpikir. Memang jumlah
partai ada sangat banyak, dari itu apa yang dibuat heran kalau ada
ilmu silat suatu partai yang belum diketahui. Akan tetapi, setelah ia
dengar lebih jauh perkataan gurunya, ia menjadi heran sekali,
hingga ia terkejut.
Dengan sungguh-sungguh, guru itu menambahkan: "Itu adalah
ilmu silat pedang dari kaum kita sendiri.....”
Karena herannya, In Loei jadi melongo.
Ketika itu, api lilin di dalam ruangan tengah memain, dalam
keadaan seperti itu, teringat In Loei pada gurunya, pada kata-kata
gurunya itu. Ia seperti nampak pula wajah menyesal dari gurunya.
Ketika itu, ia telah minta penjelasan pada gurunya. Dan gurunya itu
menjawab: "Kau tidak tahu, pelajaranmu sekarang ini memang ada
dari partai kita, akan tetapi sebenarnya, apa yang kau dapatkan
baharu saja sebagian, separuhnya."
"Bagaimana, soehoe?" In Loei ingat ia telah menanya gurunya,
karena benar-benar ia sangat tidak mengerti. Bukankah aneh yang
ia baharu dapat kepandaian separuhnya saja?
Hoeithian Lionglie telah memberikan keterangan terlebih jauh
kepada muridnya itu.
Duduknya hal adalah disebabkan tabeat dari Hian Kee Itsoe,
yaitu tjouwsoe atau kakek guru In Loei. Kakek guru ini di antaranya
mempunyai dua macam ilmu pedang "Banlioe Tiauwhay Goangoan
Kiamhoat" atau ringkasnya "Goangoan Kiamhoat," dan "Pekpian
Imyang Hian Kee Kiamhoat." Dan kedua ilmu pedang itu diturunkan
masing-masing kepada guru dan paman guru yang ketiga dari In
Loei. Namanya saja mereka telah mewariskan penuh, sebenarnya
baharu separuh kakek guru itu memberi penjelasan bahwa dengan
susah payah ia telah meyakinkan kedua ilmu pedang itu, yang tidak
dapat berbareng diwariskan kedua-duanya kepada satu murid saja.
Menurut kakek itu, bila kedua ilmu pedang dipadu satu dengan
lain, maka Goangoan Kiamhoat dapat diumpamakan sebagai "naga
tidur" dan Hian Kee Kiamhoat bagaikan "burung hong." Katanya,
kalau kedua ilmu pedang diyakinkan oleh satu orang akibatnya
adalah ancaman marah bahaya. Maka itu kedua muridnya dilarang
saling mengajarkan satu kepada lain.
Selagi pikiran In Loei melayang kepada hal kedua ilmu pedang
itu, tiba-tiba ia dengar Thio Tan Hong tertawa bekakakan, yang
mana disusul dengan seruannya Pek Moko. Ia terkejut, segera ia
awasi kedua orang yang tengah bertempur itu. Nyata tertawa dan
seruan itu disebabkan mereka menghadapi saat yang berbahaya.
Pek Moko telah menyerang secara dahsyat, tongkatnya menyambar
melintang, tapi serangan itu tak memberi hasil, sebaliknya, ia kena
ditikam pada iganya oleh Thio Tan Hong. Maka Tan Hong tertawa
dan ia berseru. Karena ini, tidak berani Pek Moko berlaku
sembarangan lagi.
Mengawasi gerak-geriknya Thio Tan Hong, tiba-tiba In Loei
sadar: "Bukankah ilmu pedang Tan Hong ini ada ilmu pedang yang
guruku belum pernah lihat dan pelajarkan? Mungkinkah selama di
Mongolia, samsoepee telah mendapatkan satu murid? Inilah
kepandaian yang tak nanti bisa didapatkan kecuali dengan
meyakinkan belasan tahun. Samsoepee bertujuan mewakilkan
kakekku membalas dendam, tidak mungkin begitu ia tiba di
Mongolia lantas ia terima murid....."
Lantas In Loei ingat juga surat dari paman gurunya yang kesatu,
yaitu Toasoepee Tang Gak, surat yang di kirim kepada Kimtoo
Tjeetjoe Tjioe Kian. Maka berpikirlah ia terlebih jauh: "Kabarnya
samsoepee telah ditawan musuh dan telah dipenjarakan di dalam
istana bangsa Tartar, maka itu mana bisa jadi dalam tempo yang
pendek ia telah menerima murid dalam istana Mongol itu? Dan
umpama kata benar ia terima murid, pastilah bukan bangsa Han
yang ia terima. Sebenarnya, bagaimanakah duduknya hal?"
Maka ia menjadi sangat bingung. "Guruku sangat puji kepandaian
samsoepee dan katanya samsoepee bertabeat sangat keras, apa
yang dia katakan mesti dia jalankan, maka itu setelah ia berjanji
akan mencari balas untuk kakekku, pastilah sakit hati itu sudah
terbalaskan, malah tentu telah dijalankan sebelum sampai sepuluh
tahun....."
In Loei berpikir demikian, ia tidak tahu, sampai pada saat itu,
Thio Tjong Tjioe masih ada di Mongolia, musuh itu masih hidup dan
berkuasa besar, sedang samsoepee-nya, paman guru yang ketiga
itu, entah bagaimana nasibnya.
Di kepala In Loei segera terbayang keadaan pada malam
perpisahan itu. Ia bayangkan gurunya minum puas-puasan, dengan
memakai cawan yang besar pula, sampai tanpa merasa, guru itu
sinting. Adalah pada waktu itu, sang guru telah menggulung tangan
bajunya hingga pada lengannya tampak tapak luka bekas guratan
pedang, yang merupakan setangkai bunga merah. Dengan sedih,
guru itu berkata pada muridnya: "Anak Loei, satu manusia tak dapat
dia umbar adatnya. Siapa yang umbar adatnya, satu kali dia
berbuat salah, dia akan menyesal sesudah kasip. Pada dua belas
tahun yang lampau, aku telah mengusir samsoepee-mu, setelah itu
setiap malam Tiesek, aku jadi menyesal dan berduka sekali, sakit
hatiku bagaikan disayat-sayat, sampai tak dapat aku bertahan, aku
hunus pedang Tjengbeng kiam dan mengguratnya di lenganku ini.
Hahaha! Nyata itu adalah obat yang mujarab sekali! Begitu aku
merasa kesakitan, begitu juga kedukaanku menjadi berkurang,
lalu aku gurat-gurat menjadi rangkaian bunga ini..... Kau lihat!
Tidakkah bunga merah ini, bunga darah, ada indah?"
Ketika itu In Loei coba menghitung guratan bunga itu, benar
jumlahnya ada dua belas, tanpa merasa, ia bergidik. Selagi ia
tercengang, ia dengar gurunya melanjutkan kata-katanya: "Sudah
sepuluh tahun kau ikuti aku, untuk belajar silat, selama itu, belum
pernah kau dengar aku tuturkan kau lelakon ini. Kau tahu, pada tiga
belas tahun yang lampau, aku mirip dengan kau — aku adalah satu
nona yang bergembira, malah aku ada terlebih bebas, hingga
dengan merdeka dapat aku turuti adatku. Umpama ada sesuatu
yang aku tidak ketahui, mesti aku gunakan segala daya untuk
mencari tahu. Soehoe melarang kita saling mengajari ilmu
kepandaian, sampai di waktu berlatih, kita dipisahkan, tetapi
semakin keras larangan guru, semakin keras juga niatku untuk
mengetahui keanehan itu.
Thian Hoa dan aku ada bagaikan saudara kandung, maka
dapatlah kau mengerti adanya persahabatan kita. Kakek
gurumu mempunyai lima murid, kecuali ayahmu, In Teng, yang
keluar dari perguruan sebelum tamat dan pergi ke Mongolia, kita
berempat telah mendapatkan masing-masing satu macam ilmu
kepandaian. Maka itu, sekeluarnya kita dari rumah perguruan, kita
seolah-olah mempunyai satu partai tersendiri. Sudah kukatakan,
pergaulanku dengan Thian Hoa adalah yang paling rapat, maka
selama beberapa hari telah aku desak ia, supaya ia perlihatkan ilmu
kepandaiannya itu, tapi ia selalu menampik.
Sebetulnya tidak ada niatku akan pelajari kepandaiannya itu, aku
melainkan ingin melihatnya, guna menambah pengetahuan.
Biasanya Thian Hoa selalu menuruti kehendakku, tapi bila kita bicara
tentang ilmu kepandaian, lantas ia bungkam. Pernah pada malaman
tahun baru ia dating padaku di gunungku ini, Siauwhan san, selagi
pasang omong, aku kembali minta ia mempertunjukkan ilmu
silatnya itu, aku malah mendesak. Atas desakan itu, ia tetap pada
sikapnya seperti dahulu, ia cuma tertawa, tak mau ia menjawabnya.
Aku menjadi tidak senang, hingga aku tegur padanya. Aku katakan
padanya: "Kau mengatakan bahwa kau sangat sayangi aku, nyata
semua itu palsu belaka!" Ditegur begitu, pucat mukanya, beberapa
kali bibirnya bergerak, tetapi akhirnya, tetap ia membungkam.
Dalam sengitku, aku cabut pedangku, aku tikam dia pada
dadanya. Adalah maksudku mengancam dia, supaya dia menangkis
dengan ilmu silatnya yang aku ingin lihat itu, tapi dugaanku
meleset. Dia nyata tidak menangkis, dan tidak berkelit juga. Maka
pedang, yang tak sempat aku tarik kembali, sudah mengenai
lengannya, hingga darahnya menetes jatuh ke salju yang putih
meletak, hingga salju itu jadi bercacat dengan titik-titik merah, mirip
dengan permata mulus bertotolkan merah sebesar kacang kedele.
Aku melengak.
Selagi aku berdiam, tiba-tiba dia tutup mukanya, dan menjerit
satu kali, habis itu, tanpa pedulikan lukanya, dia lari turun gunung.
Beberapa hari sejak itu, kakek gurumu datang padaku, dia umbar
hawa amarahnya terhadapku, hampir saja dia hajar mati padaku,
sukur toasoeheng, yaitu toasoepee mu, yang datang bersama,
dapat mencegah dan membujuk padanya, dengan begitu baharulah
aku bebas dari kematian. Meski begitu, aku telah dihukum bathin,
yaitu selama lima belas tahun, aku dimestikan bertapa menghadapi
tembok, selama lima belas tahun itu, aku dilarang turun gunung, tak
boleh sekalipun dengan mencuri berlalu. Selama lima belas tahun
itu, aku diperintahkan melakukan dua hal. Kesatu aku dimestikan
mempelajari dua rupa ilmu silat yang paling sulit untuk diyakinkan.
Kedua aku dimestikan mendidik satu murid yang mesti pandai ilmu
silat pedang Pekpian Imyang Hian Kee Kiamhoat. Untuk
mendapatkan murid itu, soehoe titahkan orang-orang kaum kita
tolong mencarikannya. Padaku diberitahukan, apabila aku telah
selesai melakukan dua hal itu, muridku akan diberikan pedang
Tjengbeng kiam. Sekarang sudah dua belas tahun, belum dapat aku
selesaikan dua rupa iimu silat itu. Adalah murid yang mengerti ilmu
pedang Hian Kee Kiamhoat telah aku berhasil mendidiknya.....”
Adalah setelah mendengar keterangan itu, In Loei baharu
mengerti kenapa Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya itu, telah
mengambil ia sebagai muridnya.
Waktu itu, gurunya masih menerangkan lebih jauh: "Kau tahu,
pergaulanku dengan Toasoeheng Tang Gak juga ada baik sekali.
Tiga tahun setelah perkaraku itu, pada suatu waktu atas titahnya
kakek gurumu, dia pergi ke perbatasan Mongolia dan Thibet untuk
suatu tugas. Belum lama sekembalinya dia dari Thibet, kembali dia
lakukan perjalanannya yang kedua kali. Kali ini, sebelumnya dia
berangkat, dia ambil tempo untuk sambangi aku. Dia nasehati aku
untuk bersabar, akan meyakinkan ilmu silat di atas Siauwhan san.
Dia kata, mungkin karena kesabaranku, aku peroleh keberuntungan.
Dia tanya aku: "Tahukah kau kenapa soehoe melarang demikian
keras kau dan soetee Thian Hoa saling menukar kepandaian?
Tahukah kau kenapa soehoe jadi demikian gusar?" Atas itu, aku
jawab: "Mana aku tahu? Apa yang aku ketahui, adalah kebiasaan
soehoe yang ia suka melakukan sesuatu yang berada di luar
sangkaan. Hanya pernah satu kali aku dengar soehoe berkata,
kedua ilmu silat pedang itu ada bagaikan "naga tidur" dan "burung
hong," bahwa naga dan burung hong tak dapat berada bersama-
sama pada satu majikan, bahwa bila berada bersama mereka
berdua dapat mendatangkan bencana. Rupa-rupanya itu adalah
suatu ramalan dari soehoe, kata-kata itu aku tidak mengerti."
Mendengar keteranganku, toasoeheng tertawa. Dia tanya aku:
"Tahukah kau bahwa pada dua puluh tahun yang lalu, soehoe
pernah berebut kedudukan kepala Rimba Persilatan dengan satu
hantu? Bahwa karena itu, soehoe dan hantu itu sudah bertempur di
puncak gunung Ngobie san selama tiga hari dan tiga malam tanpa
ada keputusan siapa menang dan siapa kalah?"
Aku jawab, "Aku tahu." Memang aku ketahui tentang
pertempuran soehoe itu.
Toasoeheng lantas menjelaskan pula: "Hantu itu adalah seorang
she rangkap Siangkoan, namanya Thian Va. Dia adalah satu begal
besar dari Rimba Hijau. Setelah pertempuran itu, Siangkoan Thian
Ya lantas menghilang, orang tak tahu di mana dia sembunyikan diri.
Sejak itu, selama dua puluh tahun, soehoe tak pernah berhati
tenang mengenai hantu itu. Begitulah aku pergi ke perbatasan
Mongolia dan Thibet atas titah soehoe, tugasku itu tak lain tak
bukan untuk mencari tahu tentang Siangkoan Thian Ya."
Kataku setelah aku dengar, penjelasan toasoeheng itu: "Hantu itu
demikian liehay, setelah kau pergi selidiki dia, umpama kata dia
pergoki kau, bagaimana nanti jadinya?"
Kembali toasoeheng tertawa. Dia jawab: "Hantu itu sederajat
dengan soehoe, dia juga sangat jumawa, maka itu, andaikata
benar dia ketahui sepak terjangku, aku percaya tidak nanti dia sudi
melayani aku, orang dari golongan muda."
Keterangan ini membuat hatiku tetap. Sampai ketika itu, masih
belum jelas, bagiku apa hubungannya urusan soehoe itu dengan si
hantu dengan soal larangan kita saling menukar kepandaian, maka
karena ingin mengetahui, aku Tanya toasoeheng.
Toasoeheng tertawa, lalu dia menjawab: "Menurut sangkaanku,
mungkin soehoe menghendaki kau dan soetee Thian Hoa nanti pergi
menghadapi hantu itu, supaya si hantu kena dikalahkan kamu
berdua, supaya kekalahannya itu diketahui oleh orang-orang
gagah dari seluruh negara. Rupanya soehoe hendak perlihatkan,
tidak usah soehoe turun tangan sendiri, cukup dengan
muridmuridnya saja yang mempunyai kepandaian liehay."
Terperanjat aku dengan keterangan itu. "Bagaimana itu bisa
terjadi, toasoeheng?" aku kata. "Kalau kepandaian kita dipadu
dengan kepandaian soehoe, itu adalah seumpama terangnya
kunang-kunang dengan sinarnya matahari atau rembulan! Mana
dapat kita dibandingkan dengan soehoe? Soehoe sendiri tidak
sanggup mengalahkan hantu itu, sekarang kita yang dititahkan
mewakilkan soehoe, apa itu tak sama saja dengan mengantarkan
jiwa? Ah, toasoeheng, tidakkah kau tengah bergurau?"
Toasoeheng tertawa berkakakkan. Ia kata: "Jikalau soehoe tidak
punya kepercayaan, mustahil dia nanti biarkan kamu pergi untuk
mengantarkan jiwa secara cuma-cuma? Kau cerdik sekali, akan
tetapi kau tak nanti ketahui maksud soehoe1."
Waktu itu aku benar-benar tidak mengerti. Toasoeheng rupanya
dapat melihatnya, maka toasoeheng berkata pula: "Goangoan
Kiamhoat itu, bersamasama Hian Kee Kiamhoat, adalah ilmu silat
yang soehoe ciptakan dan yakinkan dengan susah payah sesudah ia
perhatikan ilmu silat pelbagai partai lainnya, yang semuanya ia
gabung menjadi satu. Dari kedua ilmu silat itu, bila satu saja orang
dapat menguasainya, dia sudah menjagoi dalam dunia kangouw,
apalagi kalau orang pandai dua-duanya, maka tak akan ada
tandingannya di kolong langit ini. Apa yang luar biasa dari kedua
ilmu pedang itu, bertentangan nampaknya, sebenarnya ada bersatu.
Dua orang tak usah melatih diri lagi, bila menggunakan dengan
berbareng, asal menggunakannya dengan cocok dan tepat. Maka
aku percaya, inilah sebabnya mengapa soehoe melarang kamu
berdua saling menukarnya. Soehoe tentunya kuatir, bila kamu sudah
saling mengetahui, pemusatan pikiranmu bisa terpecah. Tidakkah
kemampuan sesuatu orang ada batasnya masing-masing? Kedua
ilmu silat itu sangat sulit, untuk mempelajari yang satu saja, orang
harus memusatkan seluruh pikirannya, atau orang akan gagal.
Orang pun membutuhkan tempo lebih daripada sepuluh tahun. Dari
itu, bila mempelajari kedua-duanya dengan berbareng, kesukaran
tentu sampai di puncaknya. Lagi pula harus diingat, kedua ilmu
pedang itu diperuntukkan dua orang, maka itu, tak usah orang
mendapatkan dua-duanya. Masih ada satu soal lain. Siangkoan
Thian Va itu sangat liehay, pasti sekali soehoe kuatir dia mengetahui
lebih dahulu yang soehoe telah meyakinkan suatu ilmu kepandaian
untuk mengalahkan dia."
Baharu sekarang dapat aku menginsafinya. Terang sudah,
soehoe kuatirkan kita yang masih berusia muda, menuruti nafsu hati
kita yang muda itu. Umpama kalau kita tahu kita bisa menjagoi,
mungkin kita dapat menerbitkan onar. Atau nanti rahasia bocor dan
Siangkoan Thian Ya mengetahuinya, hingga dia dapat bersiap-siap
untuk membuat perlawanan. Sampai di situ, aku tidak menanyakan
terlebih jauh lagi.
"Pada esok harinya, toasoeheng lantas berangkat jauh
keperbatasan Mongolia dan Thibet itu. Lalu selang dua tahun lagi,
Thian Hoa juga pergi ke Mongolia. Aku tahu sekarang, kedua ilmu
pedang itu dapat dipakai bersamasama, akan tetapi belum pernah
aku mencobanya. Malah pedang dari Thian Hoa itu, satu jurus pun
aku tak mengerti."
Itulah semua yang terbayang di kepalanya In Loei selagi ia awasi
kedua orang bertempur dengan seru dan ulet. Karena ia sangat
cerdas, tiba-tiba ia ingat suatu hal. Ia pikir: "Kalau anak muda ini
benar-benar sedang menggunakan Goangoan Kiamhoat, bila aku
turut turun tangan, tidakkah musuh dapat segera dikalahkan?"
Tengah In Loei berpikir demikian, ia dengar seruan Hek Moko,
disusul dengan suaranya Thio Tan Hong, maka ia lantas awasi pula
mereka itu. Sekarang ia tampak, suatu perubahan. Hek Moko tidak
lagi bergerak dengan lincah dan hebat seperti tadi, sebaliknya, dia
ayal bagaikan dia sedang menarik suatu benda berat seribu kati,
tongkatnya bergerak-gerak ke timur dan barat dengan lambat,
seolah-olah ia harus menggunakan sangat banyak tenaga. Di
samping si hantu itu, Thio Tan Hong sudah lintangkan pedangnya di
depan dadanya, wajahnya bersungguh-sungguh, terang dia tengah
memusatkan semangatnya kepada tongkat lawan.
Kedua lawan itu masih saling menyerang, tapi sekarang
serangannya sama ayalnya. Mereka bagaikan tengah menghadapi
hujan angin hebat yang baharu saja menjadi reda. Sedang
sebenarnya, mereka benar-benar sedang adu kepandaian, mereka
tengah memperlihatkan keliehayan mereka masing-masing. Setiap
serangan merupakan serangan dari bahaya maut.
Ilmu pedangnya Thio Tan Hong liehay tapi dia tak dapat
menembusi pembelaan tongkat kemala. Menampak itu, In Loei
insaf, orang she Thio itu masih kalah dalam hal Iweekang atau ilmu
dalam dibanding dengan si hantu, hingga dia agaknya Cuma bisa
melindungi diri saja.
Ketika itu matahari dari musim semi sudah mulai naik, cahayanya
menembus, masuk dari pintu kuburan yang digempur Thio Tan
Hong, yang belum sempat ditutup pula, maka itu, cahayanya jadi
mengganggu mata, lebih-lebih Thio Tan Hong, yang matanya
tersorot sinar tepat sekali.
Hek Moko dengan tongkatnya mendesak lawannya, serangan
tongkat itu tiap-tiap kali perdengarkan suara angin. Dipihak sana,
cahaya pedang dari Tan Hong jadi semakin kecil, sampai cahaya itu
seperti berputaran di atas kepalanya saja. Adalah setelah itu, sambil
berseru keras, si hantu hitam segera turunkan tangan jahatnya ke
arah batok kepala orang!
In Loei kaget, sampai ia menjerit, "Celaka!" Tanpa berpikir
panjang lagi, ia menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap
piauw.
Justeru itu, Tan Hong pun berteriak: "Hiantee, lekas lari!"
Ketiga batang piauw menyambar dengan hebat, akan tetapi
kesudahannya, tidak ada hasilnya. Ketiga piauw itu terpental ke lain
arah, terkena sampokannya pedang dan tongkat yang sedang
bergumul.
Adalah pada waktu itu Pek Moko, si Hantu Putih, yang sedari tadi
diam saja, sudah perdengarkan tertawa yang nyaring, berbareng
dengan mana tubuhnya mencelat bagaikan terbang, menyambar ke
arah In Loei — kedua tangannya yang panjang menyengkeram
kepala orang!
In Loei tangkis serangan itu, atau segera ia rasakan pinggangnya
kaku, maka dengan gesit ia lompat sejauh setombak lebih. Ia
keluarkan napas lega, dengan lintangkan pedangnya, ia memasang
mata.
Cepat luar biasa, pada tangan Pek Moko sudah tercekal sebatang
Pekgiok thung, tongkat putih, dengan itu ia ulangi serangannya
pada si orang she In ini. Maka itu, berdua mereka jadi bertempur.
Pek Moko tidak tahu bahwa lawannya menyekal pedang mustika,
ia baharu terkejut ketika ujung pedangnya menyambar pundaknya,
hingga bajunya pecah, daging pundaknya turut terluka. Hasil In Loei
ini didapat karena ilmu enteng tubuhnya, yang dapat bergerak
dengan gesit dan lincah. Meski begitu, ia juga tak luput dari tangan
si hantu putih, urat tjeksim hiat dibebokongnya telah tersapu.
Syukur, karena keduanya sama-sama liehay, luka-luka mereka tidak
berarti, mereka lanjutkan terus pertempuran mereka.
Tongkat Pekgiok thung dari Pek Moko sama tanggunya seperti
tongkat Lekgiok thung dari Hek Moko, asalnya adalah dari batu-batu
kemala dari India, di samping itu, tenaga dalam dari si Hantu Putih
ini ada terlebih kuat daripada In Loei, maka itu, mengetahui tenaga
besar dari lawannya tak mau si nona melayani keras dengan keras.
Begitu, waktu ia diserang hebat, ia kelitkan diri.
Pek Moko liehay, ia pun penasaran, ia perhebat serangannya. Ia
desak lawannya hingga In Loei seperti terkurung cahaya putih dari
tongkatnya itu. Tongkat itu panjangnya tujuh kaki, tetapi waktu
digunakan, nampaknya seperti bertambah panjang satu tombak.
Dengan tubuhnya yang enteng, In Loei berkelit dan mengegos
tak hentinya dari hujan serangan, tetapi lama-lama, ia kewalahan
juga.
Adalah di luar dugaan Thio Tan Hong yang In
Loei turun tangan, ia menjadi berkuatir untuk si nona. Itu pun
sebabnya mengapa berulang kali ia anjurkan "pemuda" itu untuk
lekas angkat kaki. Melayani Hek Moko, ia kalah tenaga dalam, ia jadi
andalkan ilmu pedangnya yang liehay, dengan itu, dapat ia bela
dirinya. Tadi kalangan pedangnya menjadi ciut, itulah daya
pembelaannya yang istimewa, dengan begitu ia membuatnya Hek
Moko, si lawan, jadi kewalahan mendesak padanya. Dalam keadaan
itu, ia mesti saksikan In Loei, kawannya, yang juga terdesak musuh.
Bagaimana ia tak jadi kuatir? Maka ia lantas kuatkan hatinya,
dengan tiba, ia balas menyerang si Hantu Hitam dengan hebat
sekali. Dari terdesak, ia berbalik mendesak. Ia berpendirian:
"Untukku, In Loei menghadapi bencana, karenanya, tak dapat aku
membiarkan dia terancam, mana boleh aku hidup sendiri?.....”
Hek Moko tertawa terbahak-bahak.
"Apakah kamu berdua, bocah-bocah, berniat angkat kaki?"
katanya secara mengejek. Lalu ia mencoba mendesak pula. Ia telah
lihat In Loei berkelahi, ia percaya Pek Moko, saudaranya, tidak bakal
kalah, dari itu, tabah hatinya untuk kedua pihak bertempur satu
lawan satu.
Selagi ia sendiri didesak, mendadak Thio Tan Hong dengar
teriakan gembira dari In Loei. Nyata nona itu, setelah dia mendesak
dengan dua serangannya, berhasil menikam kaki kiri dan kaki kanan
dari si Hantu Putih, tidak peduli tikaman itu tidak membuatnya
orang rubuh.
Hek Moko pun mendesak, ia menyerang hebat, tapi tongkatnya
kena disampok terpental, hingga ia jadi terkejut. Dalam sekejap itu,
Tan Hong dan In Loei telah bekerja sama seperti juga mereka sudah
berjanji.
"Kurung mereka!" Hek Moko berteriak, sambil menganjurkan
saudaranya: "Ambil jalan lie, injak jalan soen!"
"Lie" dan "soen" adalah garis Patkwa, Delapan Segi, garis-garis
mana sudah dicangkok ilmu silat untuk tindakan kaki.
Ilmu silat tongkat dari Hek Pek Moko, yang dinamakan "Thianmo
Thung" atau tongkat "Hantu Langit" juga bisa dipakai bersilat secara
bergabung, jadi mirip dengan ilmu pedangnya Tan Hong dan In Loei
itu. Ilmu silat ini berpokok pada garis-garis dari Patkwa, maka juga
Hek Moko perdengarkan anjurannya itu kepada saudaranya.
Biasanya dengan kurungan ini, kedua hantu itu sukar membuatnya
musuh lolos, tidak peduli lawan ada tangguh. Mereka berdua ada
saudara-saudara kembar, yang hatinya atau firasatnya sama.
Pek Moko tahan rasa sakitnya, ia turut anjuran saudaranya, ia
maju untuk mengurung, malah ia berlaku bengis dengan serangan-
serangannya.
Pertempuran ini membikin mata ke empat saudagar permata
menjadi seperti kabur, mereka ini menonton dengan tubuh seperti
terpaku.
Hek Moko menyontek dengan tongkatnya ke arah tenggorokan In
Loei. Ia gunakan tipu silat tongkatnya yang bernama "Thianmo
hiantjioe" atau "Hantu Langit menyuguhkan arak," habis mana ia
meneruskan tusukannya ke lain arah.
In Loei mainkan tipu-tipu silat dari Pekpian Hian Kee Kiamhoat
untuk menghindarkan diri dari mara bahaya, mula-mula dengan
"Totjoan imyang" atau "Memutar balikan imyang," ia tangkis
sontekan itu, lalu ia balas mendesak penyerangnya itu. Tapi Hek
Moko dapat selamatkan diri berkat pengalamannya.
Di pihak lain, Pek Moko telah menghajar Thio Tan Hong dengan
tongkatnya, apamau, Tan Hong menangkis, demikian keras, hingga
kedua senjata beradu sambil perdengarkan suara nyaring. Begitu
rupa bergeraknya pedang orang she Thio ini, hingga terus
menyambar ke arah lehernya Hek Moko!
Si Hantu Hitam terkejut terpaksa ia biarkan In Loei, ia segera
tangkis pedang ke arah lehernya itu. Ia ada cukup sebat untuk
menghindarkan diri dari serangan yang tidak disangka-sangka itu.
Setelah ini, ia geser tubuhnya ke garis "kian," sedang Pek Moko
menyamping ke garis "twee". Secara begini, kedua saudara ini bisa
berbareng menyerang Thio Tan Hong.
"Celaka !" teriak Thio Tan Hong, yang belum sempat perbaiki
dirinya.
Akan tetapi berbareng dengan itu, In Loei telah siap, dengan
tangkisannya, hingga dapat ia talangi kawannya itu, hingga Tan
Hong jadi bebas dari ancaman. Malah setelah itu, dengan
bergeraknya kedua pedang, adalah Hek Pek Moko yang menjadi
repot.
"Bagus!" teriak In Loei, air muka siapa menjadi bercahaya
terang. "Sepasang pedang telah bergabung, benar liehay!" Dan
kembali ia menyerang, ditimpali serangannya Tan Hong, hingga
kedua pedang bergerak-gerak bagaikan "naga lincah," sampai kedua
hantu itu mesti berulang-ulang mundur!
Thio Tan Hong merasa sangat heran, ia menjadi bercuriga, ketika
ia mengawasi si nona, yang ia lirik, In Loei tertawa.
"Lihat!" kata "pemuda" itu. "Bukankah tidak kecewa aku menjadi
pelindungmu? Tak dapat kita memberi ampun, mari kita maju
bersama!"
Luar biasa gembiranya nona ini, hingga ia ucapkan kata-kata
"maju bersama" dalam arti "pundak rata," ialah kata-kata kaum
kangouw yang ia perolehnya dari Tjioe San Bin.
Tan Hong kaget dan heran, ia juga merasa lucu. Tapi ia turut
anjuran orang, ia ulangi desakannya, karena mana, Hek Pek Moko
mesti keluarkan seluruh kepandaiannya guna membela diri mereka,
walaupun demikian, tetap mereka kena dibikin repot.
"Bagus, bagus!" berkata Tan Hong kemudian. "Dengan kita
bekerja sama, benar-benar kita ada bagaikan batu permata yang
digabung menjadi satu!"
Mendengar kata-kata orang itu, In Loei terkejut hingga tanpa
merasa, wajahnya menjadi merah. Tapi ketika ia tampak Tan Hong
tertawa bergelakgelak dan pedangnya dimainkan hebat sekali, ia
tidak dapat anggapan jelek mengenai kawan ini, sebab nyata si
kawan bukannya hendak berlaku ceriwis menggoda ia. Sambil
tertawa, Tan
Hong terus mengawasi Hek Pek Moko, yang ia rangsek.
Kedua hantu berkelahi dengan ambil kedudukan Patkwa, kalau
tadinya mereka menang di atas angin, sekarang setelah kedua
pedang "bergabung menjadi satu," mereka terus terdesak, mereka
jadi repot sekali, hingga mereka kewalahan melayani runtunan
serangan lawan.
Sangat rapi desakan In Loei dan Tan Hong, ke kiri dan ke kanan,
ke atas dan kebawah, semua serangan mereka ada hubungannya
satu dengan lain, pedang mereka bergerak-gerak bergelombang,
saling susul, naik dan turun.
Heran Hek Pek Moko, tidak peduli mereka telah luas
pengalamannya, mereka umpama kata menjadi bengong dengan
mulut ternganga. Maka itu tidak heran kalau Pek Moko kembali
terkena satu tusukan, dan Hek Moko kena dipapas gelang emasnya
untuk menggelung rambutnya.
Akhir-akhirnya Hek Moko menghela napas panjang, ia kata: "Ini
dia yang dikatakan tua bangka umur delapan puluh tahun kena
dipermainkan bocah cilik..... Sudah, sudahlah!" Lantas saja,
dengan mendadak, ia tarik Pek Moko, untuk diajak lompat keluar
kalangan, sedang tongkatnya, ia lintangkan. Ia pun terus berseru:
"Kamu menang! Tempat ini dapat kamu kuasai!"
Kata-kata ini disambung dengan seruan yang panjang, sesudah
mana mereka, berikut kedua wanita Iran dan tukang belinya, begitu
juga si empat saudagar permata, yang mukanya pucat pasi, tanpa
berkata suatu apa, terus saja ngeloyor keluar dari kuburan itu. Thio
Tan Hong tertawa.
"Dua saudara itu benar-benar ada orang-orang aneh!" katanya.
"Sayang mereka tak dapat dihitung sebagai orang-orang gagah! Eh,
saudara kecil.....”
Baharu ia hendak tanya In Loei, atau ia terhenti karena
kupingnya segera mendengar suara meringkiknya kuda di luar pintu
kuburan, menyusul mana kedua kuda mereka, bergantian lari masuk
ke dalam kuburan. Sebab Hek Pek Moko menepati janji, mereka
sudah mengobati kedua kuda itu, yang terus mereka lepas untuk
dikembalikan kepada pemilik-pemiliknya. Kuda putih yang masuk
terlebih dahulu, berjingkrakan, dia jilati majikannya.
In Loei segera hampiri kudanya, untuk diusap-usap lehernya.
"Kudaku yang baik, kau disiksa makhluk aneh itu!..... katanya.
"Eh, toako....."
Ia berhenti dengan tiba-tiba, sedang sebenarnya hendak ia tanya
Thio Tan Hong dari mana dia dapatkan ilmu silat pedangnya itu. Ia
berhenti karena tibatiba saja ia rasakan dadanya sesak.
Thio Tan Hong berpaling dengan segera, hingga ia tampak muka
orang. Ia kaget.
"Eh, saudara kecil, apakah tadi kau kena terpukul tangannya Pek
Moko?" ia tanya. "Jangan, jangan kau bicara.....”
In Loei mengerti, ia manggut.
"Lekas empos napasmu!" Tan Hong berkata pula. "Nanti aku
obati kau! Kau telah terluka di dalam.....”
Ia lantas ulur tangannya.
Dengan tiba-tiba, In Loei geser tubuhnya, ia berbalik, ia
menggeleng-gelengkan kepala, habis itu, ia terjatuh duduk, terus ia
muntahkan darah.
"Tak usah!" katanya. "Aku dapat mengobati diriku."
Thio Tan Hong tercengang, tapi segera ia tertawa.
"Saudara kecil, sampai saat ini apa kau masih hendak kukuhi
pantanganmu?" katanya. "Kau tahu, sejak siang-siang aku telah
melihatnya!.....”
Merah mukanya In Loei, akan tetapi segera ia singkap kopiahnya,
hingga terlihat rambutnya yang panjang dan gompiok.
"Sebenarnya tak selayaknya aku mendustai kau, toako," katanya,
malu. "Memang aku ada seorang perempuan....."
Tan Hong bersenyum, tapi ketika ia berkata, ia bersungguh-
sungguh.
"Kita cocok satu dengan lain, kita dapat bersahabat, karenanya
untuk apa kita ambil mumat bahwa kita ada pria atau wanita?"
katanya. "Saudara kecil, apakah benar kau masih tetap
berpandangan cupat sebagai mereka yang kebanyakan?" Melihat
sikap orang itu, In Loei bersenyum. Tan Hong itu tidak ceriwis.
Walaupun demikian, di dalam hatinya, masih hendak ia katakan:
"Bukankah kita masih belum kenal baik riwayat masing-masing?"
Tan Hong awasi nona itu, ia bersenyum. Kemudian ia goyangkan
tangannya.
"Saudara kecil," katanya, "aku tahu dalam kalbumu masih ada
kesangsian, seperti aku. Aku berniat untuk menanyakan kau
beberapa hal. Tapi sekarang kau tengah terluka, tidak selayaknya
kau banyak bicara. Biarlah nanti kita bicara pula, lagi tiga atau lima
hari. Kau setuju, bukan?"
In Loei manggut, tapi tidak membuka mulut.
Kembali Tan Hong bersenyum. Ia terus awasi si nona.
"Saudara kecil," katanya pula, "bagaimana lukamu? Bagaiman itu
harus disembuhkannya? Seharusnya aku mesti omong terus terang
padamu."
In Loei tersenyum, kembali ia manggut. Ia bungkam akan
tetapi di dalam hatinya, ia pikir: "Ini engko polos sekali, aku cocok
dengannya. Cuma, mengapa ia selalu bersenyum?"
Tan Hong tidak tunggu orang membuka mulutnya, ia berkata
pula: "Aku lihat lukamu ini disebabkan Pek Moko telah berhasil
menggempur urat tjeksim hiat di bebokongmu, karenanya napasmu
jadi tak jalan lancar, hatimu terasa panas, muka dan matamu
merah, nadimu berdenyut keras. Inilah luka di dalam, yang dilihat
dari luar nampaknya enteng tetapi sebenarnya berbahaya, jikalau
tidak lekas disembuhkan, jalan napasmu bisa terganggu untuk
selamanya, hingga akhirnya, jikalau orang tidak menemui ajalnya
pasti ia akan bercacat seluruhnya. Sukur untukmu, kau mempunyai
dasar Iweekang yang baik, dapat kau bantu dirimu dengan
menyalurkan napasmu perlahan-lahan dan beraturan. Saudara kecil,
akan aku bantu kau dengan samim dan samyang."
"Engko ini ada luar biasa," pikir In Loei, tanpa menjawab
perkataan orang. "Kemarin ini dia menangis dan tertawa tidak
keruan juntrungannya, aku sangka dia orang aneh yang tengah
menjelajah di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi sekarang dia
bicara perihal luka di dalam, nampaknya ia kenal baik ilmu
kethabiban. Apakah benar ia pandai segala apa?"
Habis bicara, Tan Hong berhenti sebentar, terus ia tertawa.
"Aku hendak mohon sesuatu dari kau!" katanya kemudian.
"Silakan, toako," sahut In Loei dengan perlahan. Kembali Tan
Hong tertawa.
"Saudara kecil, permintaanku adalah ini," ia kata, "Waktu aku
mengobati kau, kau mesti melupakannya bahwa aku adalah pria,
begitu juga kau, kau mesti melupakan dirimu adalah wanita!
Sanggupkah kau berjanji?"
In Loei berpikir: "Dia hendak bantu aku dengan samim dan
samyang, itu artinya tak dapat tidak, ia mesti meraba-raba
tubuhku..... Tapi kita telah "angkat saudara," apakah halangannya
untuk itu?
Kenapa dia masih mengatakan demikian?"..... Lantas ia
bersenyum ia awasi pemuda itu.
Thio Tan Hong pun awasi si nona, kedua matanya bersinar jeli,
wajahnya tersungging senyuman. Menampak itu, malu In Loei,
hingga air mukanya menjadi merah dadu.....
Tan Hong segera menoleh kesekitarnya.
"Suasana di dalam lobang kubur ini mirip dengan Taman Bunga
Toh," berkata dia, "tempat ini cocok untuk kau berobat dan
beristirahat, cuma kedua kuda itu tak dapat berdiam bersama.....”
Ia lantas perdengarkan satu seruan panjang, tangannya pun
ditepuk. Menyusul itu kuda Tjiauwya Saytjoe ma, yang telah
mengerti benar majikannya sudah lantas lari keluar.
Kuda merahnya In Loei, yang sudah jadi sahabatnya kuda putih
itu, sudah lantas turut lari keluar juga.
Tan Hong melongok keluar kuburan, akan perhatikan letaknya
pekuburan itu, habis itu ia masuk pula ke dalam, untuk menutup
rapat pintunya. Sekarang ia perhatikan keadaan di dalam kuburan di
mana terdapat ruangan tengah dan juga kamar. Pantas kuburan itu
jadi kuburan raja-raja muda dari jaman Ahala Tjhin. Kemudian ia
raba-raba sekitar tembok, ia ketok-ketok itu. Akhirnya, ia tertawa.
"Ada kamar rahasia di sini!" katanya. Ia dongko, untuk
menjemput sepotong batu panjang, dengan itu ia menekan pada
tembok di mana ada ceglokan, terus ia memutar, ke kiri dan ke
kanan. Sebentar saja, tembok itu bergerak, hingga di lain saat
terbentanglah satu pintu rahasia, hingga sekarang tertampak
sebuah ruangan dalam.
Tanpa mensia-siakan tempo, Thio Tan Hong payang In Loei
masuk ke dalam kamar rahasia itu di mana terdapat sinar terang
bergemerlapan dari barang-barang permata, malah meja dan
kursi terbuat dari batu kemala di atas mana tertumpuk barang-
barang permata itu.
Tan Hong tidak pedulikan barang berharga itu, ia sampok hingga
jatuh ke tanah, lalu dengan kakinya, ia kumpulkan di pojok tembok.
Sebaliknya, ia dudukkan In Loei di meja itu.
"Meja ini hawanya adem, inilah baik untuk membantu menghisap
hawa panas dari dalam tubuhmu," kata si anak muda, yang segera
mulai dengan pengobatannya, bukan dengan makan obat, hanya
dengan menguruti tangannya, dari lengan sampai ke jari-jari. Ia
mulai dengan tangan kanan si nona.
In Loei merasa aneh, belum lama ia diuruti, ia rasakan hawa
panas mendesak ulu hatinya, setelah itu, hawa panas itu mereda
dengan perlahan dan akhirnya lenyap, diganti dengan hawa dingin
di seluruh tubuhnya.
"Sekarang jalan darahmu telah kembali semua," kata Tan Hong,
yang segera melepaskan tangannya, akan tunda urutannya. "Baiklah
kau beristirahat supaya kembali kesehatanmu. Nanti aku mulai lagi."
Dalam ruang itu ada tersedia pelbagai macam barang makanan,
yang ditinggalkan pergi oleh Hek Pek Moko, maka Tan Hong dengan
merdeka dapat mendahar apa yang ia suka. Ia pun minum banyak,
habis mana, tanpa merasa, ia bernyanyi seorang diri. Ia nyanyi
tentang peperangan, perihal manusia tak dapat hidup untuk selama-
lamanya.
"Ya, kalau nanti bangsa Mongolia menerjang masuk, kita semua
baik pria maupun wanita, anak-anak, semua mesti angkat senjata,"
In Loei perdengarkan suaranya. "Kalau kita berkorban untuk negara,
biar kita mati, tidaklah nama kita hidup untuk selama-lamanya?....."
Menggetar tubuh Tan Hong mendengar pengutaraan itu, tanpa
merasa, isi cawan di tangannya tumpah. Lekas-lekas ia berpaling.
"Saudara kecil kau beristirahat, jangan kau bicara!" ia kata. "Aku
telah minum sampai aku lupa akan diriku, hingga aku mengganggu
kau. Saudara, terus kau tenangkan dirimu."
"Tetapi, toako, katakanlah, benar atau tidak kata-kataku itu?" In
Loei tanya.
Tan Hong ceguk araknya.
"Benar, benar," sahutnya. "Sudah saudara kecil, kita bicara lagi
nanti saja. Teruskan istirahatmu."
In Loei berdiam, tetapi hatinya berpikir. Ia dapat kesan yang baik
terhadap mahasiswa ini. Ia hanya merasa aneh, agaknya orang
berduka mendengar disebutnya Mongolia, kalau bangsa Mongolia
menerjang Tionggoan. Maka itu, ia terus awasi anak muda ini.
Tan Hong lihat sikap orang, ia menghampiri.
"Saudara kecil," katanya, sebenarnya ingin aku bicara dengan
kau nanti sesudah kau sembuh, akan tetapi nampaknya kau kurang
puas, kau rupanya masih tidak mengerti. Kau tahu, dengan banyak
berpikir, istirahatmu bisa terganggu.
In Loei tunduk. "Kau benar," sahutnya, perlahan.
"Tetapi lukamu melarang kau banyak bicara,"
Tan Hong menyatakan pula. "Kau harus mengerti, soal-soal yang
akan kita perbincangkan tak dapat diakhiri dalam tempo pendek.
Sekarang begini saja. Sekarang kau lanjutkan istirahatmu, sebentar
waktu kita bersantap malam, nanti aku ceritakan sebuah dongeng
padamu. Kau tahu, dalam satu hari, kau mesti dahar satu kali saja,
di waktu malam. Menurut dugaanku, setelah tiga hari kau akan
sembuh seluruhnya. Maka itu, dengan setiap hari aku dongeng satu
kali, di hari ke empat, kau akan sudah sehat kembali seperti
sediakala. Sampai waktu itu, saudara kecil, nanti kita saling
menuturkan riwayat kita masing-masing. Saudara, jikalau kau tidak
dengar kata-kataku ini, maka dongeng pun tak nanti aku tuturkan
kepadamu. Nah, cukup sudah, sekarang aku larang kau bicara lagi!
Lekas kau bersemedhi!"
Di mata In Loei, sinar matanya Thio Tan Hong seperti
mempunyai pengaruhapa apa. Ia ingat, semasa kecilnya, setiap
malam, waktu ia mau tidur, ibunya selalu mengeloni ia di
pembaringan, ibu itu menyanyikan sebuah lagu Mongolia, untuk
menidurkan ia. Tak dapat ia lupakan sinar mata halus dan menyinta
dari ibunya itu. Dan sekarang, mata Tan Hong itu bersinar bagaikan
mata ibunya itu. Ia juga ingat sinar mata kakeknya setiap kali kakek
itu memberi pengajaran kepadanya, sekarang sinar matanya Tan
Hong mengingatkan ia kepada sinar mata kakek itu. Sinar mata Tan
Hong ini menjadi halus dan keren, keren tak dapat ditentang. Dan
In Loei, tanpa ia merasa, ia bagaikan kena terpengaruh, hingga
hatinya menjadi tenang dan lantas saja ia beristirahat.
Sudah diketahui, kuburan itu "menyender" pada gunung, maka
juga samping lainnya dari kamar rahasia itu adalah lamping gunung,
lamping yang batunya licin dan mengkilap bagaikan kaca. Di sebelah
atas, atau bagian wuwungan ruang rahasia itu, ada dua lobang yang
merupakan lobang angin, dari situ hawa udara menerabus masuk.
Sedang di tembok, yang menghadapi pintu, ada dipayang sebuah
kaca kecil dari kuningan. Dari kaca ini orang di dalam dapat
memandang keluar, sebaliknya, dari luar, orang tak dapat
melihatnya.
Ketika itu sinar matahari sudah menebus lobang di wuwungan
itu, melihat bayangannya, bisa diduga sang waktu sudah lewat
tengah hari. Adalah waktu itu dengan tiba-tiba terdengar satu suara
dari luar, suara seperti orang membongkar pintu. Karena pintu
bekas digempur, dengan hanya membongkar landasannya saja,
pintu itu dengan mudah dapat dibuka.
In Loei dengar tegas suara itu, ia memasang mata kepada kaca.
Ia tampak satu bayangan orang, samar-samar ia seperti kenal
bayangan itu, bayangan dari satu nona. Segera tergeraklah hatinya.
Dengan tangan bajunya, ia gosok kaca itu, hingga di lain saat,
dapatlah ia melihat lebih jelas. Hampir saja ia menjerit keras. Nona
itu tidak lain daripada Tjio Tjoei Hong gadisnya Hongthianloei Tjio
Eng.
Bagaikan orang meraba-raba, Tjoei Hong bertindak masuk.
"In Siangkong1. In Siangkong1." ia memanggil-manggil.
In Loei tertawa di dalam hati.
"Kita bersuami isteri hanya setengah malaman, siapa sangka ia
pikirkan aku begini rupa," demikian pikirnya. Ia terus memasang
mata.
Ruang kuburan itu guram, tiba-tiba berbareng dengan suara
tekesan, api telah menyala. Tjoei Hong, yang menyalakan api.
Ketika ia tampak dua belas batang lilin, segera ia sulut itu semua,
hingga di lain saat, ruangan jadi terang bagaikan siang. Karena ini,
pada kaca di dalam kamar rahasia, terlihat tegas wajahnya Nona
Tjio. Menampak roman orang, In Loei terkejut. Beberapa hari saja ia
berpisah dari nona itu, atau sekarang si nona telah menjadi sangat
perok dan kumal.
Masih In Loei mengawasi kepada kacanya. Ia lihat Tjoei Hong
jalan mondarmandir di ruang besar, rupanya si nona tengah mencari
dia. Tiba-tiba nona itu berjongkok, lalu menyusul tangisnya.
Tjoei Hong telah mendapatkan tanda darah di tanah. Itulah
tanda darah dari Pek Moko, yang terluka kena pedang. Rupanya si
nona sangka, itu adalah darahnya In Loei, "suaminya." Ia tahu Hek
Pek Moko ada langganan dari ayahnya, ia tahu juga liehaynya kedua
hantu itu, maka ia menyangka, "suaminya" sudah terluka ditangan
kedua langganan itu. Mungkin, kalau tidak terbinasa, suami itu
terluka parah atau bercacat. Maka itu, ia jadi sangat berduka.
Tak tega In Loei menyaksikan orang berduka, ia mau lompat
turun, untuk membukakan pintu kamar rahasia, guna menemui.
Tapi Tan Hong di sisinya menekan padanya.
"Tidak peduli apa akan terjadi di luar, tak dapat kau
perdengarkan suara!" si mahasiswa bisiki. Lalu dia tekan telapak
tangan orang, untuk membantu si nona mengempos semangatnya,
untuk membikin darahnya tetap berjalan dengan sempurna.
Tjoei Hong menangis sekian lama, lantas dari sakunya ia
keluarkan sepotong batu sanhu, terus ia letakkan di atas meja.
Itulah batu yang merupakan tanda mata dari In Loei. Berulang kali
ia raba batu itu, setiap kali ia menangis pula.
"Adik, adik, aku sangat bersengsara.....” keluh si nona kemudian.
In Loei dengar itu, ia merasa kasihan. "Entjie, aku belum mati,
aku belum mati," ia menjawab dalam hatinya.
Tentu sekali Tjoei Hong tidak dengar itu, ia masih menangis pula.
Habis menangis, tiba-tiba Nona Tjio hunus golok yang tergantung
dipinggangnya, dengan itu ia mengancam ke udara.
"Adik Loei!" ia berseru, "tidak peduli bagaimana lihaynya kedua
hantu itu, akan aku minta ayah membalaskan sakit hatimu ini!"
Ia jalan beberapa tindak, mendadak ia berjongkok pula. Dari
tanah ia pungut dua buah gelang emas. Itulah gelang rambut Hek
Moko, yang kena dipapas Thio Tan Hong. Ia awasi gelang itu
dengan mendelong. "Ah, apakah benar hantu itu tidak mendustai
aku?" katanya seorang diri. Gelang itu ia balikbalikkan, terus ia
awasi. Kembali ia bengong.
Malam itu seberlalunya In Loei, Tjoei Hong menyusulnya dengan
menunggang kuda, di tengah jalan, ia berpapasan dengan Hek Pek
Moko, ia tanya kedua hantu itu apa mereka melihat satu anak
muda, roman siapa ia petakan. Ia lukiskan potongan tubuh In Loei
serta wajahnya.
"Siapa dia itu?" tanya kedua hantu itu sambil tertawa dingin.
Tjoei Hong berikan keterangannya, atas mana, Hek Moko
perdengarkan suara dihidung: "Hm!" Terus dia berkata: "Bagus,
keponakanku yang baik, kau telah mendapatkan pasangan yang
bagus sekali, ilmu silatnya pun tak ada celanya!"
Nona Tjio heran, ia terkejut.
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.
Kembali Hek Moko tertawa dingin.
"Dia telah menalangi kau memenangkan sejumlah harta besar!"
sahutnya, tetap dingin. "Semua bandaku di sini telah terkalahkan
olehnya! Hongthianloei telah mendapatkan baba mantu semacam
dia itu, sungguh, bolehlah dia mencuci tangan, tidak usah dia
teruskan pekerjaannya!"
Tjoei Hong bertambah kaget.
"Apa? Dia berani tempur kamu?" ia tanya, menegaskan.
Hek Moko mengawasi dengan sinar mata bengis. Ia menyangka
si nona hendak mempermainkan dia. Tapi ia tidak gubris pertanyaan
itu, dengan tetap masih mendongkol, ia ajak Pek Moko melanjutkan
perjalanan mereka.
Tjoei Hong tahu kuburan yang menjadi istana kedua hantu itu, ia
langsung menuju ke sarang orang itu. Tidak pernah ia bermimpikan
bahwa In Loei dapat mengalahkan Hek Pek Moko. Maka itu,
mendapatkan gelang kepala itu, ia menjadi bersangsi.
Hek Pek Moko ada sangat liehay, tidak bisa jadi mereka
terkalahkan In Loei.....” katanya di dalam hatinya. "Akan tetapi Hek
Pek Moko ada orangorang kenamaan yang jujur, tidak nanti mereka
mendustai Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Mungkinkah ada lain
orang yang mencelakai adik Loei?.....”
Ia bersangsi pula, kekuatirannya tak segera lenyap. Ia menduga,
darah itu ada darahnya In Loei. Tengah ia berpikir keras, ia dengar
meringkiknya kuda di luar kuburan, menyusul mana ia tampak satu
anak muda bertindak masuk dengan sebelah tangannya menuntun
seekor kuda merah. Ia kenali, itulah kuda In Loei. Bahna kaget dan
heran, hampir ia berseru.
Anak muda itu tidak lain daripada Tjioe San Bin puteranya Kimtoo
Tjeetjoe, dia tengah menerima titah ayahnya untuk suatu tugas,
kebetulan dia dapat endus halnya In Loei, selagi lewat di tempat itu,
dia tampak kuda orang — yang asalnya adalah kuda tunggangnya
sendiri — maka dia lantas tuntun kuda itu. Dan kuda itu lantas
perdengarkan suaranya, seperti juga ia hendak memberitahukan
bekas majikannya ini bahwa majikannya yang baharu berada di
lobang kubur itu.
San Bin heran, apabila ia ingat pekuburan itu adalah sarangnya
Hek Pek Moko, kedua hantu yang aneh itu. Tanpa merasa ia
keluarkan keringat dingin. Tapi ia tidak takut, maka sambil
menuntun kuda merah itu, ia bertindak masuk ke dalam pekuburan.
Ia tampak sinar terang dari api, ia tidak lihat seorang juga, ia
menjadi heran dan ragu-ragu. Ia maju terus. Di saat ia pikir untuk
buka suara, untuk memanggil-manggil, tiba-tiba ia tampak satu
nona dengan rambut terurai muncul dari pojok yang gelap, dan
dengan goloknya, mendadak nona itu lompat membacok padanya.
Tjoei Hong menjadi sangat bingung dan ber-kuatir, ia tengah
bersedih, pikirannya jadi seperti waswas, maka itu, begitu melihat
kuda In Loei, ia sangka San Bin ada seorang penjahat, tanpa sangsi
lagi, ia lompat menerjang.
San Bin terkejut, dia lompat berkelit.
Tjoei Hong bagaikan kalap, gagal dalam ba-cokannya yang
pertama, ia susul itu dengan yang kedua.
San Bin menjadi berkuatir, terpaksa ia hunus goloknya, untuk
menangkis.
Tjoei Hong membacok untuk ketiga kalinya, lalu untuk ke empat
kalinya.
"Hai, tahan!" seru San Bin. "Kita tidak bermusuh, kenapa kau
bokong aku?"
Setelah serangannya yang ke empat kali itu, Tjoei Hong mulai
heran, di dalam hatinya, dia kata: "Kelihatannya kepandaian
orang ini berimbang dengan kepandaianku, mana pantas dia jadi
lawannya In Loei?" Tapi ia masih membacok lagi dua kali,
membacok dengan sia-sia, setelah itu, ia menegur: "Binatang, lekas
kau bicara! Dari mana kau dapatkan kuda merah ini?"
Ditanya begitu, San Bin mendadak tertawa. Ia lompat kepada
kudanya, yang tadi ia lepaskan dari tuntunannya, ia usap-usap kuda
itu.
"Kuda ini asalnya kudaku, untuk apa kau tanyakan?" ia balik
menanya.
Kuda merah itu diam saja diusap-usap, ia tunjukkan kejinakannya
terhadap bekas majikannya itu, ia seperti mau hunjuk, San Bin tidak
bicara dusta.
Tjoei Hong telah perdengarkan suara "Hm!" dan pedangnya
sudah digerakkan pula, baharu ia mau lompat, atau ia
membatalkannya. Ia dengar pertanyaan orang, ia saksikan kelakuan
kuda itu, ia heran.
"Aku tahu kuda merah ini binal, kenapa dia sekarang jadi begini
jinak?" demikian ia berpikir.
Selagi orang berdiam, San Bin mengawasi ke sekitarnya. Ia
lantas lihat sepotong sanhu di atas meja, ia terkejut, hingga
wajahnya berubah, dengan cepat ia lompat maju, untuk mengambil
batu permata itu.
Tjoei Hong lihat gerak-gerik orang, dia lompat, untuk mencegah.
"Kau hendak bikin apa?" dia tegur dengan bengis.
"Hai, kau sendiri hendak bikin apa?" San Bin baliki.
Si nona tertawa dingin.
"Adakah sanhu itu kepunyaanmu?" dia tanya.
San Bin tertawa, dia melengak.
"Bicara terus terang, sanhu ini ada kepunyaanku!" ia jawab. Lalu
dengan bengis, dia membentak: "Orang perempuan, lekas kau
bicara terus terang! Dari mana kau peroleh batu ini? — kau mencuri
atau merampas?"
Memang sanhu itu adalah tanda mata dari San Bin kepada In
Loei, dan In Loei telah memberikannya kepada Tjoei Hong.
Menampak batu itu, pasti sekali San Bin heran dan bercuriga.
Tjoei Hong murka sekali, ia merasa diperhina. Ia lompat dan
membacok tanpa mengucap sepatah kata juga.
Kali ini San Bin menangkis tanpa segan-segan lagi, dia telah
menggunakan tenaga besar, hingga golok Tjoei Hong tertangkis
hampir terpental. Dalam sengitnya si nona bergerak dengan lincah,
sesaat saja, ia telah berada di belakang si anak muda.
San Bin ketahui gerakan orang, ia mendahului membacok ke
belakang sambil ia putar dirinya, atas mana, Tjoei Hong menangkis.
Maka di situ, mereka jadi bergebrak, sekarang secara sungguh-
sungguh, sebab mereka saling membalas, bukan seperti tadi, San
Bin hanya, menangkis dan main berkelit.
In Loei dari tempat sembunyinya menyasikan pertempuran itu, ia
menjad gelisah sendirinya, hingga tidak dapat ia tenangkan diri,
untuk bersemedhi terus.
Thio Tan Hong gunakan kedua tangannya, guna
menekan telapakan tangan si nona, sambil berbuat begitu, ia
bisiki: "Jangan kau sibuk tidak keruan! Mereka berdua tidak akan
dapat menangkan satu dari lain. Apakah kau kenal anak muda itu?"
In Loei manggut. Tiba-tiba ia ingat halnya Tan Hong merobek
bendera Djitgoat Kie, maka ia awasi pemuda itu sambil mendelik.
Sikapnya membikin pemuda itu heran.
Pertempuran antara Tjoei Hong dan San Bin berjalan terus,
sebentar saja sudah melalui tiga puluh jurus lebih. Benar seperti
dugaannya Thio Tan Hong, tidak ada satu yang kalah atau menang.
Kalau si anak muda kuat tenaganya, adalah si nona lincah tubuhnya.
Tjoei Hong telah membacok pula, habis mana, dia tanya: "Kau
kata sanhu itu ada kepunyaanmu, dapatkah kau membuktikan?" San
Bin tertawa terbahak pula.
"Kiranya pembegal, kau pun tidak tahu apa-apa" katanya. "Coba
kau periksa itu, lihat di bawah daun yang ketiga. Tidakkah di situ
ada ukiran satu huruf Tjioe?"
Tjoei Hong menyayangi sanhu itu, ia bulak balikan entah berapa
ratus kali, tidak heran kalau ia tahu benar adanya ukiran huruf itu ia
menjadi heran atas pertanyaan si anak muda, ia tanya dalam
hatinya, kenapa In Loei memberikan ia tanda mata yang berukiran
huruf "Tjioe" itu? Tapi ia cerdas, dengan lekas ia sadar. Maka ia
lompat keluar kalangan.
"Eh, bukankah kau ada saudara angkat dari In Loei?" ia tanya.
San Bin terkejut saking heran ia pun mundur.
"Jikalau kau tahu aku ada saudara angkat dari In Loei," dia
tanya, "kenapa kau tidak tahu bahwa sanhu ini akulah yang
memberikannya kepadanya?"
Teringatlah Tjoei Hong pada saat-saat malam pengantin, waktu
itu In Loei seperti tak henti-hentinya menyebut nama saudara
angkatnya itu. Maka itu, tanpa merasa, ia lirik anak muda ini.
San Bin kalah cakap dari In Loei, tapi romannya gagah, ini dapat
lantas dilihat oleh nona Tjio. Selagi orang lirik padanya, ia pun
melihat si nona, maka sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Ia
tampak wajah si nona bersemu dadu.
"Foei!" berseru si nona dalam hatinya, menyusul mana, ia
mendongkol terhadap In Loei. Tentu sekali, San Bin tidak ketahui
apa yang si nona pikirkan itu.
"Aku adalah saudara angkat dari In Loei, habis kau mau apa?"
tanya pemuda ini kemudian. "Lekas kembalikan sanhu itu
kepadaku!"
"Tidak!" teriak Tjoei Hong.
"Ah, bangsat perempuan," kata San Bin, "Kau sendirian saja,
berani kau memikirkan untuk membegal barangku?"
"Apa, barangmu?" bentak Nona Tjio. "Sanhu ini ada tanda mata
dari In Loei untukku! Jikalau aku tidak pandang saudara In Loei,
tentu aku sudah bacok belah tubuhmu!"
Untuk sesaat, San Bin melengak.
"Tanda mata?" dia ulangi. "Pernah apakah kau dengan In Loei?"
"Ia adalah suamiku!" sahut Tjoei Hong. "Tak takut aku
mengatakannya ini kepadamu"
Dengan sekonyong-konyong San Bin tertawa terbahak-bahak.
Dengan lantas, ia ingat yang In Loei tengah menyamar, sebab
sendirian dia mesti pergi ke kota raja. Tentu sekali, nona itu mesti
merahasiakan dirinya. Rupanya, sampaipun terhadap nona ini, dia
tidak membuka rahasia.
"Maka aku, baiklah aku juga tidak membuka rahasianya itu,
segera ia dapat pikiran. Maka itu, sehabis berpikir demikian, ia
berhenti tertawa. Ia pun lantas tanya: "Nona, kau she apa dan
namamu siapa? Kapan kau menikah dengan saudara In Loei?"
Tjoei Hong tidak jengah, dia malah mendongkol. Dengan cekal
keras goloknya, dia mengawasi dengan bengis.
"Hongthianloei Tjio Eng adalah ayahku!" sahutnya denga nyaring.
"Kami menikah tiga hari yang baru lalu. Kenapa, apakah putrinya
Tjio Eng tidak sepadan untuk adik angkatmu itu?"
Di luar dugaan si nona. San Bin masukkan goloknya ke dalam
sarungnya, ia lantas angkat kedua tangannya, untuk memberi
hormat.
"Teehoe, harap kau tidak gusar," dia berkata. "Sebenarnya tidak
ada maksudku untuk mempermainkan kau! Apakah Tjio looenghiong
baik?"
"Baik" sahut si nona dengan suara yang menyatakan ia masih
mendongkol.
"Kamu telah menikah tiga hari, adakah selama itu kamu berdiam
di Tjio keetjhoeng?" San Bin tanya pula. Dia tidak mau tanya
langsung tentang malam pengantin, dia gunakan kata-kata kiasan.
"Malam itu dia kejar seorang penjahat berkuda putih, sejak itu
tidak ada kabar kabarnya lagi." sahut Tjoei Hong.
Terkejut San Bin mendengar keterangan ini. Dia membuat
perjalanan justeru karena penjahat berkuda putih itu.
"Apakah penjahat itu satu pemuda berkuda putih yang romannya
sebagai mahasiswa?" dia tanya, menegaskan.
"Belum pernah aku lihat romannya." jawah Tjoei Hong.
"Kuda putihnya hebat sekali bukan?" San Bin masih menanya.
"Betul." si nona sahuti. "Kuda pilihan dari Tjio keetjhoeng tidak
sanggup mengejar kuda putih itu....."
"Kalau begitu, mari lekas antar aku kepada Tjio looenghiong,'1
kata San Bin. "Hendak aku lepaskan panah Loklim tjian untuk
membekuk penjahat berkuda putih itu! Ah, jangan-jangan In Loei
telah kena dicelakai pengkhianat itu!.....”
Tjoei Hong terkejut, juga In Loei yang berada di dalam kamar.
Nona Tjio kuatirkan dugaan San Bin itu benar, sedang In Loei kuatir
anak muda ini benarbenar melepaskan Loklim tjian, ialah "panah
Rimba Persilatan" suatu cara paling cepat untuk menyampaikan
berita. Ia pun kuatir si mahasiswa benarbenar ada satu
pengkhianat.
"Pengkhianat?" kata Tjoei Hong. "Yang aku ketahui dia adalah
satu penjahat tukang rampas di antara penjahat, cuma ayah
menyangkalnya. Pernah aku Tanya ayah, siapa dia, tetapi ayah tidak
hendak menerangkannya, malah sebaliknya, ayah seperti
menghormati dia. Betul-betul aku heran.....”
San Bin tertawa dingin.
"Tentang dia? Hm!"
Tapi orang she Tjioe ini tidak dapat melanjutkan perkataannya.
Bayangan tampak berkelebat di pintu kuburan, lalu terlihat
bertindak masuknya satu orang.
In Loei terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang
baharu datang ini. Ia kenali orang, itu adalah si orang Tartar, si
bangsat dengan siapa ia pernah bertempur di luar kuil tua pada
malam itu. Dia itu adalah muridnya Tantai Mie Ming.
Ketika Tjioe San Bin sudah melihat tegas, ia lompat sambil
membacok, mulutnya pun mengucapkan: "Orang Tartar bernyali
besar! Kau telah nyelundup ke Tionggoan, kau hendak berbuat
apa?"
San Bin segera kenali musuh negaranya, sebab Tantai Mie Ming
bersama muridnya itu pernah membawa pasukan tentara
menyerang Tjioe Kian dan dia pernah bertempur dengan musuh ini.
Murid Tantai Mie Ming itu, yang bernama Katalai, begitu dia
masuk ke dalam pekuburan, lantas dia memanggil dengan suara
keras: "Thio Siangkong1." Dia kaget apabila tiba-tiba dia dibentak
dan diserang. Akan tetapi dia tabah dan sebat, maka dia sempat
mencabut sepasang gaetannya, untuk dipakai menangkis, hingga
kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring.
"Apakah kau telah membunuh Thio Siangkong?" tanya Katalai
dengan bentakannya.
"Sekalipun kau, hendak aku mencingcangnya!" jawab San Bin,
sengit, kembali dia membacok.
Katalai menangkis, lalu ia balas menyerang, maka dengan begitu,
mereka jadi bertempur. Tapi orang Tartar itu menyerang hebat, ia
sudah lantas mendesak, dari itu tidak lama, ia telah membikin San
Bin kewalahan, sampai orang she
Tjioe ini cuma bisa menangkis, tidak mampu ia membalas
menyerang. Hingga pertempuran jadi tidak seimbang. Tjoei Hong
berkuatir melihat pemuda itu bakal kena dikalahkan, di dalam
hatinya, dia kata: "Toapeh ini kurang ajar akan tetapi mesti aku
bantu dia!" Dengan sendirinya, ia akui orang sebagai toapeh-nya —
paman dari pihak "suaminya." Maka lantas ia hunus goloknya, terus
ia maju menerjang, hingga orang Tartar itu kena dikepung berdua.
Dibanding dengan Katalai, Tjoei Hong kalah tenaga, akan tetapi
dia menang enteng tubuh, dia jauh terlebih gesit, maka dengan
andalkan kegesitannya itu, dapat ia berikan bantuan berharga pada
San Bin, hingga San Bin tidak lagi terdesak, malah sesaat kemudian,
keadaan jadi berbalik, Katalai adalah yang kena didesak mereka itu.
Katalai tahu diri, selagi berkelahi, dia berseru keras, sepasang
gaetannya juga bekerja, untuk menyerang dengan hebat kedua
lawannya. Nyata ia telah gunakan siasat. Sebab begitu mendesak,
dia lantas lompat mundur, dia putar tubuhnya, untuk segera lari
keluar kuburan.
San Bin lompat untuk mengejar, di belakang dia, Tjoei Hong
menyusul, dari itu, sebentar saja, ketiga orang itu sudah lenyap dari
kuburan.
In Loei, yang menyaksikan pertempuran itu, goncang hatinya. Ia
lantas angkat kepalanya, untuk memandang Thio Tan Hong. Justeru
itu, si anak muda pun memandang padanya sambil bersenyum,
agaknya dia hendak bertanya: "Kau lihat, adakah aku satu
penghianat atau bukan?"
In Loei sangat percaya Tjioe Kian dan putera-nya, coba ia tidak
berada bersama Tan Hong selama beberapa hari, hingga ia dapat
menyaksikan kelakuan orang, begitu mendengar ucapan
"penghianat" dari San Bin, tentu ia sudah tikam pemuda di sisinya
ini. Akan tetapi sekarang, pikirannya jadi berlawanan satu dengan
lain. Tidak nanti San Bin lancang menuduh, tapi juga Tan Hong,
tidak pantas dia menjadi penghianat bangsa. Selama bergaul rapat
beberapa hari, dari "jemu", ia menjadi gemar bergaul dengan orang
she Thio ini, malah agaknya ia menaruh penghargaan.
"Dia baharu kembali dari Mongolia," demikian ia berpikir lebih
jauh, "mungkin dia mirip dengan engkong-ku yang telah
menyingkirkan diri dari negara asing, karena mana bangsa
Mongolia jadi hendak membekuk dia kembali..... Mungkin karena
itu, San Bin menyangka dia ada satu penghianat."
Tidak lama In Loei berada dalam kesangsian, atau lantas ia dapat
tenangkan diri. Begitulah ia bersenyum sendirinya.
"Toako, aku percaya kau," katanya kemudian dengan perlahan.
Wajah Tan Hong pun menjadi terang, nyata sekali ia gembira.
"Hiantee," katanya, dengan perlahan, "seumurku, kau adalah
sahabatku satu-satunya yang mengenal diriku. Sekarang lanjutkan
semedimu. Malam ini hendak aku perdengarkan kau dongeng yang
kesatu."
Tan Hong bertindak keluar dari kamar rahasia, ia pergi menutup
pintu depan, yang ia ganjal dengan dua potong batu besar yang
panjang, hingga, tanpa tenaga seribu kati, sulit untuk orang
membuka pintu kuburan itu.
In Loei melanjutkan istirahatnya, semedinya. Ia rasakan
darahnya mengalir dengan sempurna, ia merasa tubuhnya jadi
sehat sekali.
Waktu telah berlalu, tidak ada sinar terang lagi yang molos
masuk dari sela-sela di atas wuwungan, itu tandanya bahwa sang
magrib telah datang.
Hek Pek Moko mempunyai persediaan barang makanan di dalam
istananya itu, maka Thio Tan Hong bisa menyalakan api, untuk
masak bubur, untuk memanaskan daging dan ayam. Lalu ia
suguhkan makanan itu pada In Loei, hingga si nona menjadi
bersukur sekali.
Tan Hong mengawasi sambil bersenyum ketika ia berkata:
"Kesehatanmu telah maju baik akan tetapi kau masih belum boleh
bicara banyak. Kau Cuma harus dengarkan aku, tidak boleh kau
banyak menanya. Sekarang hendak aku mulai dengan dongengku
yang pertama. Nanti, setelah selesai aku ceritakan tiga dongengan,
baharu aku tuturkan jelas tentang diriku kepadamu."
-ooo0dw0ooo-

BAB VII
In Loei angkat kepalanya, akan pandang anak muda di depannya
itu.
Thio Tan Hong sudah lantas mulai dengan dongengnya:
"Pada jaman dahulu maka adalah dua orang bersengsara yang
bekerja sebagai tukang meluku sawah dari satu tuan tanah.
Belakangan, karena malapetaka alam, hidup mereka jadi semakin
sukar, hingga kesudahannya, yang satu menukar penghidupannya
sebagai pengemis, yang satu lagi menjadi tukang selundup garam
gelap. Kedua orang ini hidup sangat akur satu pada lain, hingga
mereka mengangkat saudara.
"Pada waktu itu, Tionggoan telah diduduki oleh bangsa asing.
Karena ini penyinta-penyinta negara, yang hidupnya terpencar,
bercita-cita membuat perlawanan. Juga kedua saudara itu
berangan-angan besar, mereka mirip dengan Tan Sa dan Gouw
Kong di jaman Liat Kok yang hendak merubuhkan kerajaan Tjin.
Mereka angkat saudara dengan bertepuk tangan, mereka saling
berjanji, apabila mereka berhasil dan menjadi orang besar, mereka
tak akan melupai satu pada lain.
"Berbareng dengan itu, bersama dua saudara angkat itu ada satu
hweeshio. Dia berusia jauh terlebih tua daripada dua saudara itu,
dia ajarkan mereka ilmu silat, maka itu, ia dipanggil guru.
"Garam itu ada usaha negara, maka kalau rakyat membikin dan
menjualnya dengan diam-diam, dia bakal ditangkap pembesar
negeri dan dihukum mati. Apa mau si pengemis, si saudara muda,
tidak berani bekerja sebagai kakak angkatnya itu, sebaliknya, dia
pergi ke sebuah kuil di mana ia sucikan diri sebagai hweeshio. Apa
celaka, datanglah musim paceklik, tidak ada dermawan yang
menunjang kuil, telah kejadian, dari sepuluh hweeshio, tujuh atau
delapan di antaranya mati kelaparan. Dalam kesukaran itu, si kakak,
yang jadi penjual garam gelap, menunjang adik angkatnya ini.
Karena sisa-sisa hweeshio bubar, si pengemis juga ikut merantau, ia
pergi ke mana saja untuk hidup sambil menerima amal.
"Belakangan, guru dari kedua saudara itu telah berhasil angkat
senjata. Si adik, si hweeshio asal pengemis, turut mereka, gurunya
itu, dia ikut dalam pasukan tentera. Dalam satu pertempuran besar
si hweeshio guru lenyap tidak keruan paran, ada yang mengatakan
dia terbinasa, ada yang mengatakan dia lolos dan kembali
menuntut penghidupan sebagai hweeshio. Bagaimana sebenarnya,
dengan hweeshio guru ini, pada akhirnya tak ada yang
mengetahuinya.
"Sekarang diceritakan tentang si tukang garam. Dia telah
berusaha jauh sampai di Kangpak Utara, di sana dia dapat
kemajuan hingga dia dapat mengumpulkan beberapa ratus pegawai.
Dia pun lantas berontak, dia angkat dirinya sebagai raja. Selama
beberapa tahun, dia terus berhasil, hingga pengaruhnya jadi tambah
besar. Begitulah ia angkat dirinya jadi kaisar di kota Souwtjioe.
"Beberapa propinsi di sepanjang sungai Tiangkang adalah
wilayahnya raja bekas penyelundup garam ini, maka itu, ia gunakan
pengaruhnya untuk mencari adik angkatnya. Sekian lama, tidak
pernah ia peroleh hasil.
"Sementara itu, kaum pergerakan muncul di sana-sini, di
antaranya rombongan Pelangi Merah. Dia pun pengaruhnya besar.
Dua tahun kemudian, Pemimpin Pelangi Merah itu telah menutup
mata, dia digantikan oleh satu pemuda yang kosen, yang berhasil
merampas pelbagai kota hingga daerahnya meluas di Tiangkang
Selatan.
"Kaisar di Souwtjioe itu terus mencari keterangan perihal
adiknya, ia lantas dapat dengar, pemimpin Pelangi Merah itu
sebenarnya berasal satu hweeshio. Ketika ia selidiki lebih jauh, ia
dapat tahu, pemimpin itu benarlah ada adiknya, si pengemis yang
masuk menjadi hweeshio. Tapi berbareng dengan itu, ia dengar
juga lelakonnya adik ini. Katanya, ketika adik ini turut gurunya
memberontak dan guru itu kalah, diam-diam dia telah jual gurunya
pada pemerintah musuh, dia sendiri berpura-pura menjadi orang
baik-baik, dia melanjutkan memimpin pasukan gurunya itu, yang dia
robah menjadi pasukan Pelangi Merah. Dia berjasa dalam pasukan
Pelangi Merah itu, sampai akhirnya ia diangkat menjadi pemimpin
utama. Lelakon ini tidak dipercaya si kakak angkat, tapi dia kirim
utusan, untuk mengajak bekerja sama, yang mana diterima baik.
Adalah setelah ini, ia dapat kepastian pemimpin Pelangi Merah
benarbenar ada adik angkatnya itu.
"Segera juga ada pertentangan pengaruh di wilayah Tiangkang
antara kedua saudara ini. Si kakak mengirim utusan menyeberangi
sungai, ia kirim surat yang berbunyi: "Kita berdua bersaudara, siapa
pun yang menjadi kaisar, sama saja. Mari kau seberangi sungai,
untuk kita bertemu, lebih dahulu kita bicara sebagai saudara,
kemudian kita rundingkan dan tetapkan rencana bekerja untuk
bersama-sama melawan musuh asing. Di luar dugaan, adik itu
merobek surat itu, dia tidak mau menyeberang, malah dia
sebaliknya memotong kuping si pembawa surat, siapa disuruh
pulang sambil memberikan pesan: "Di atas langit tidak ada dua
matahari, di muka bumi tidak ada dua raja, maka itu, sama-sama
kita adalah orang-orang gagah dari jaman ini, baiklah jikalau bukan
kau yang mati, akulah yang binasa!"
"Kakak itu jadi sangat gusar, maka terjadilah peperangan antara
mereka berdua. Selama beberapa tahun, mereka bergantian
menang dan kalah. Pertempuran terakhir terjadi di Tiangkang.
Kesudahannya, sang adik yang menang, si kakak kena ditawan, dia
dipaksa untuk menyerah, supaya dia suka jadi hamba dan akui si
adik sebagai junjungannya. Si kakak tidak sudi tunduk, sambil
tertawa berkakakan, dia kata: "Pengemis, jikalau kau, dapat
menurunkan tanganmu, kau bunuh saja aku! Adik itu tidak
menyahuti kakaknya, dia hanya perintahkan orang mengemplangi
kakaknya hingga binasa, lalu mayatnya ditenggelamkan di dalam
sungai Tiangkang. Habis memusnakan kakaknya, adik ini angkat
dirinya menjadi kaisar. Beberapa tahun kemudian, raja ini berhasil
mengusir bangsa asing dari Tionggoan, dia dapat membasmi lain-
lain jago, hingga dia berhasil juga mempersatukan negara. Dengan
begitu, jadilah dia satu kaisar yang membuka satu jaman baru. —
Nah, adikku, coba kau katakan, kaisar ini jahat atau tidak?"
Demikian Tan Hong akhiri dongengnya yang pertama itu.
"Adik itu tidak ingat saudara, pasti dia jahat," sahut In Loei, yang
mendengarkan dengan perhatian. "Tetapi dia dapat mengusir
bangsa asing, dia dapat merampas kembali negara, dia dapat
dikatakan satu orang gagah — enghiong atau hookiat."
Mendengar itu, air muka Tan Hong sedikit berubah.
"Hiantee, kau juga mempunyai pemandangan begini?" kata dia
dengan tawar. "Pengemis itu, setelah dia menjadi kaisar, dia bunuh
menteri-menteri yang berjasa, dan terhadap turunan kakaknya, dia
tak sudi berlaku murah hati dia sudah kirim orang ke empat penjuru
untuk mencarinya, turunan si kakak itu hendak dihabiskan. Maka
juga, turunan si kakak itu, bersama-sama turunan beberapa menteri
berjasa, sudah kabur jauh sekali, mereka telah berpencaran. Eh,
adikku, kau telah dahar habis buburmu, bagus! Dongengku juga
telah tamat."
In Loei angkat kepalanya akan pandang kawannya itu.
"Toako," katanya, "tentang dongengmu ini, dapat aku
menduganya. Kau bicara tentang permulaan berdirinya kerajaan
kita. Si pengemis itu adalah Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang, dan
si kakak penjual garam gelap itu adalah orang yang menamakan
dirinya Thio Soe Seng, kaisar dari Kerajaan Tjioe. Hanya belum
pernah aku mendengarnya yang mereka itu berdua telah angkat
saudara satu sama lain. Dalam buku hikayat juga tidak ditulis
demikian, sebaliknya ada dicatat bahwa Thio Soe Seng itu asalnya
seorang yang rendah martabatnya dan Thaytjouw membunuh dia
adalah untuk membantu rakyat menghukum pemberontak."
Tan Hong tertawa dingin.
"Siapa berhasil, dia menjadi raja siapa gagal, dia jadi berandal,
demikian bunyi sebuah pepatah," dia kata. "Inilah pepatah yang dari
jaman purba sampai sekarang ini tetap menjadi kenyataan.
Mengenai mereka mengangkat saudara, jangan kata hikayat tidak
berani menuliskan Tjoe Goan Tjiang asal pengemis, asal hweeshio
perantauan, malah dalam hikayat buatan negara tak disebutnya
sama sekali. Sebenarnya, orang menjadi pengemis, orang jadi
hweeshio melarat, bukankah itu tidak menghina leluhur mereka?
Hm!"
Halnya Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang pernah menjadi
pengemis dan di kuil Hongkak sie menjadi hweeshio, di kolong langit
ini tidak ada orang yang tidak mengetahuinya. Tapi setelah Tjoe
Goan Tjiang menjadi kaisar, hal ihwalnya itu ia jadikan pantangan
untuk diceritakan orang, karena pantangannya itu, hingga ia telah
menghukum mati beberapa orang yang dianggap sudah melanggar
larangannya itu. Tentang ini, In Loei pernah dengar engkong-nya
bercerita, ia pun ketahui itu. Sekarang, mendengar ceritanya Thio
Tan Hong, ia jadi ingat kepada bencana yang dialami engkong-nya
itu sendiri, yang teraniaya dan terbinasa secara kecewa. Maka di
dalam hatinya, ia berkata: "Dasar mereka yang menjadi raja semua
bukan orang baik-baik, peduli apa kau dengan Tjoe Goan Tjiang
atau Thio Soe Seng itu? Cuma, apa maksud toako menceritakan
dongeng ini? Kenapa dia kelihatannya membenci kepada Beng
Thaytjouw pendiri dari kerajaan kita ini?"
"Sudah, jangan kau bicara banyak," kata Tan Hong, melarang
orang banyak omong, dan ia teruskan menguruti "pemuda" itu.
In Loei berdiam, ia berdiam terus, karena ia tertidur. Ketika
besok pagi ia mendusi, ia dapatkan Thio Tan Hong tengah berduduk
di sisinya, apabila ia lihat tubuh orang, ia dapatkan orang belum
merapikan pakaian. Yang membuatnya ia heran, ialah mata si
mahasiswa tampak bengkak, suatu tanda bahwa tadi malam
kawannya ini banyak menangis. Ia terharu, ia merasa berkasihan.
"Pasti dia berduka, sebentar setelah ia selesai menutur padaku,
mesti aku hibur dia," ia ambil putusan.
Ketika Thio Tan Hong lihat kawannya itu telah bangun dari
tidurnya, ia bersenyum.
"Adakah kau merasa baikan?" dia tanya.
"Banyak baik," sahut In Loei cepat. "Tentunya semalam toako
tidak tidur?....."
Tan Hong tertawa.
"Bagiku tidak tidur beberapa hari atau sekalipun tidur hingga
beberapa hari ada sama saja, biasa saja," sahutnya. "Tak usah kau
pikirkan aku. Sekarang mari lonjorkan kakimu."
In Loei menurut, ia majukan kaki kanannya itu.
Tan Hong loloskan sepatu orang, habis itu ia mulai menguruti
kaki itu, dari ujung sampai ke mata kaki, ke seputarnya, lalu naik
hingga ke betis. Selama itu, In Loei merasakan sedikit sakit. Itulah
tanda bahwa urutan itu tepat sekali. Lalu, setelah itu, ia merasakan
hatinya lega.
"Sekarang, cukup sampai di sini!" kata Tan Hong, yang
menghentikan urutannya pada apa yang dia namakan "samyang".
"Besok akan kuurut pula, supaya pulih kesehatanmu. Sekarang kau
boleh beristirahat pula, kau bersemedi."
Habis, berkata, ia geser tubuhnya, un- tuk kemudian keluarkan
gambarnya. Ia gunakan terang api lilin untuk memandang gambar
itu. Lama ia mengawasi, ia meneliti, seperti ia tengah mencari
sesuatu dalam gambar itu. Begitu lama In Loei beristirahat, begitu
lama juga ia memandangi gambar itu. Sampai tiba-tiba terdengar
tindakan kaki di luar pekuburan. Baharu setelah itu, pemuda ini
menghela napas, lantas ia gulung pula gambar itu.
"Kenapa sih ada orang yang sangat menyukai tempat hantu ini?"
katanya perlahan, setelah mana, ia pesan kawannya: "Tidak peduli
apa yang kau saksikan, jangan kau buka suara!"
Rupanya di luar kubur itu bukan berada cuma satu orang, itulah
ternyata dari suara dan caranya tanah di gali, dibongkar. Tidak lama
kemudian terdengar suara menggabruk keras, dari terbukanya daun
pintu. Ini juga menandakan usahanya suatu tenaga yang besar
sekali.
Segera ternyata, mereka itu berjumlah lima orang. Mereka
membawa obor. Dengan berlerot, mereka masuk ke dalam kuburan.
In Loei pasang matanya. Ia kenali, yang empat adalah si
saudagar-saudagar barang permata. Mereka ini, dua jalan di depan,
dua lagi di sebelah belakang. Yang jalan di tengah adalah Heksek
tjhoeng Tjhoengtjoe, atau tuan rumah dari Heksek tjhoeng atau Tjio
keetjhoeng, ialah Hongthianloei Tjio Eng. Ia terkejut.
"Empat saudagar itu mestinya ketahui kamar rahasia ini," ia
berpikir. "Jikalau Tjio Eng menitahkan aku pulang, bagaimana?"
Ia menjadi bingung.
"Mereka berdua mesti masih berada di dalam sini," terdengar
satu saudagar berkata. "Tjio lootjhoengtjoe, kami mohon
pertimbanganmu."
Menuruti hawa amarahnya, Hek Pek Moko sudah lantas menuju
pulang ke Thibet, karena kepergiannya itu, mereka titahkan ke
empat saudagar pergi berusaha ke Selatan, untuk menyelesaikan
usaha mereka. Dua hantu ini, dengan sudah menyerahkan harta
bendanya, tidak ingin melanjutkan pekerjaannya itu. Tidak demikian
dengan ke empat saudagar ini, mereka ini tidak puas, maka
kebetulan sekali untuk mereka, di tengah jalan mereka bertemu
dengan Tjio Eng yang tengah menyusul gadisnya. Mereka tuturkan
pada Tjio Eng apa yang mereka alami, tentang Hek Pek Moko juga,
setelah mana mereka minta jago tua ini membantu mereka. Mereka
pun sebut nama Thio Tan Hong, yang mereka tunjuk adalah pencuri
di rumah Tjio Eng pada malam itu. Mereka tahu, Tjio Eng kalah
liehay daripada Hek Pek Moko, akan tetapi tjhoengtjoe ini besar
pengaruhnya, kalau "Loklim tjian" diumumkan, mereka percaya,
Thio Tan Hong, tidak akan dapat terbang lolos.
Tjio Eng memang ingin menemui Thio Tan Hong, dengan
menemui Tan Hong, ia percaya, ia harap, nanti ia ketahui juga
tentang In Loei, maka itu, ia berpura-pura menerima baik
permintaannya ke empat saudagar itu, yang ia terus minta menjadi
juru pengantarnya. Demikian, mereka itu telah memasuki lobang
kubur.
Setelah memutari ruang besar dengan sia-sia, karena mereka
tidak dapatkan orang yang mereka cari, ke empat saudagar itu
sudah lantas pentang mulut mereka lebar-lebar, mereka berteriak-
teriak: "Bocah cilik yang berani lekas kau keluar!"
Akan tetapi Tjio Eng segera cegah perbuatan orang itu.
"Jangan!" kata tjhoengtjoe itu, yang sebaliknya, sudah lantas
mengangkat kedua tangannya, untuk menjura ke arah udara sambil
berkata: "Thio Kongtjoe, silakan keluar. Aku si orang tua berdahaga
sangat untuk bertemu denganmu. Dengan ada aku di sini, dapat
aku damaikan kamu kedua pihak untuk menyelesaikan perselisihan
kamu."
Tercengang ke empat saudagar itu menampak sikapnya jago dari
Tjio keethjung ini. Inilah mereka tidak sangka. Satu di antaranya,
yang menjadi kepala, lantas kisiki jago itu: "Lootjhoengtjoe, jangan
kau kuatir. Jikalau mereka itu berdua tidak kurang suatu apa,
dengan mereka bekerja sama walaupun kita ada berlima, kita
memang bukan tandingan mereka, akan tetapi baba mantumu itu
telah dilukai Pek Moko, maka itu dengan dia bersendirian saja, pasti
dapat kita lawan padanya. Mana bisa dia jadi tandingan kita?
Looenghiong, jangan kau kuatirkan lukanya menantumu itu, kami
tanggung kami dapat mengobati dia hingga sembuh. Untuk kami,
sudah cukup asal bocah berkuda putih mengembalikan barang-
barang permata kami.....”
Mulanya ke empat saudagar ini tidak mau menyebutkan hal In
Loei telah terluka, akan tetapi sekarang, melihat sikapnya Tjio Eng,
mereka sangka orang she Tjio ini jeri terhadap Thio Tan Hong,
terpaksa mereka buka rahasia, supaya orang menjadi murka.
Berkuatir Tjio Eng mendengar baba mantunya terluka akan tetapi
meleset dari terkaan ke empat saudagar, ia tak ubah sikapnya.
Malah dengan lantas ia sudah berkata pula: "Thio Kongtjoe, aku
minta sukalah kau keluar! Menantuku itu tidak tahu suatu apa,
untuk perbuatannya yang sembrono, sudilah kau memaafkannya."
Di dalam kamar rahasia, Thio Tan Hong tetap tidak perdengarkan
suaranya.
"Baiklah!" kata ke empat saudagar dengan nyaring, "jikalau tetap
kau tidak mau keluar, nanti kami menerjang masuk, nanti kami
gusur padamu!"
Mereka ini tidak hanya mengancam, mereka sudah lantas
mengambil batu potongan dengan apa mereka coba membuka pintu
rahasia.
Sampai di situ Thio Tan Hong sudah lantas ambil putusannya. Ia
berbisik di kuping In Loei, untuk memberikan pesannya, habis mana
ia geser kunci rahasia, hingga pintu rahasia itu terpentang
sendirinya, menyusul mana ia lompat keluar. Akan tetapi, begitu
lekas ia berada di luar, ia segera tutup pula pintu itu.
Ke empat saudagar itu tengah berdegingan mengeluarkan tenaga
mereka, dengan pintu rahasia terbuka sendiri, habis keseimbangan
tubuh mereka, tidak ampun lagi, mereka rubuh dengan sendirinya.
Kemudian, ketika mereka telah berbangkit pula, mereka tampak
Thio Tan Hong tengah mengipasi diri, dandanannya adalah
dandanan seperti dia melayani Hek Pek Moko bertempur, bajunya
makwa yaitu baju yang bersulam sepasang naga asyik
memperebutkan mutiara di tengah laut. Segera mereka lompat ke
empat penjuru, untuk mengambil sikap mengurung, setelah mereka
mengepung dengan lekas Tjio Eng mulai menyerang.....
Cahaya api menyinari wajah Thio Tan Hong, dia tampaknya
sangat tenang. Ia masih mengipas dirinya ketika ia bersenyum
menghadapi Tjio Eng. "Tjio Tjhoengtjoe," katanya dengan sabar,
sikapnya halus, "mengingat kepada budimu beberapa puluh tahun
yang lampau, dengan aku mewakilkan marhum orang tuaku,
dengan ini terimalah hormat dan ucapan terima kasihku."
Tjio Eng awasi anak muda itu, ia rupanya telah dapat melihat
dengan tegas, dengan tiba-tiba saja ia menangis, lalu ia jatuhkan
dirinya berlutut di depan anak muda itu, akan manggut-manggut
hingga empat kali.
"Siauw..... siauw....." katanya, suaranya tertahan. Sebab Thio
Tan Hong sudah lantas goyangkan tangannya berulang-ulang
terhadapnya, mencegah dia bicara terus. Sesudah itu. Tan Hong
maju menghampiri, akan pimpin bangun jago itu, dan ia, sebaliknya,
menjura dengan hormatnya, untuk membalas menghormat. Ia
bersikap sangat hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, maka biar
bagaimana, nyata itu ada suatu pemberian hormat dari yang atasan
kepada yang bawahan. Sikap Tjio Eng ini membuat heran dan kaget
orang-orang yang berada di dalam ruang, ialah ke empat saudagar
itu, tidak terkecuali dia yang sedang bersembunyi di dalam kamar
rahasia. Cuma In Loei, sehabis itu, hatinya menjadi lega sekali,
hingga di dalam hatinya berkata: "Nyatalah toako bukan orang
jahat. Melihat Tjio looenghiong bersikap demikian hormat
kepadanya, caranya ia membalasnya ada kurang pantas. Dia masih
sangat muda, masa dia berani terima hormat orang sambil
berlutut?"
Ke empat saudagar itu, bahna kaget dan herannya, menjadi
berkuatir. Adalah di luar sangkaan mereka, orang yang mereka buat
andalan untuk menghadapi musuh, sekarang ternyata adalah
sahabatnya musuh itu. Thio Tan Hong seorang diri, mereka sudah
tidak sanggup lawan, apa pula dia dibantu Tjio Eng.
Tapi Thio Tan Hong tetap bawa sikap tenang dan sabar.
"Tjio Tjhoengtjoe ada di sini," kata dia pada saudagar-saudagar
itu, ia bersenyum, "coba kamu tanya dia, benar atau tidak aku ada
seorang yang serakah akan harta permata hingga aku mencurinya?"
Empat saudagar itu bisa bawa diri, dengan lekas mereka ubah
sikapnya. Demikian, dengan tersipu-sipu, mereka menjura, untuk
memberi hormat.
"Kamu tunggu!" dia kata. "Segala harta Hek Pek Moko itu, sama
sekali tidak aku taruh dalam hatiku!"
Dia lantas membalik tubuhnya, sebelah tangannya diulur. Dia
buka pintu rahasia, tetapi dia pentang sedikit saja, hanya muat
tubuhnya, untuk dia bertindak masuk.
Kamar rahasia itu besar, In Loei duduk di pojok, ia tidak terlihat
oleh orang-orang di sebelah luar, sedang ke empat saudagar,
berikut Tjio Eng, tidak berani melongok. Mereka ini cuma lihat Tan
Hong menjemput sebatang sapu dengan apa si anak muda lantas
menyapu di satu pojokan di mana tertumpuk rupa-rupa barang
berharga dari Hek Pek Moko, semua itu disapu bagaikan kotoran
keluar kamar.
Setelah berada pula di luar, Tan Hong ber-dongak, ia tertawa
besar.
"Umumnya manusia didunia gemar akan permata atau mustika,
aku sebaliknya menyukai kepintaran atau pengetahuan!" katanya
dengan nyaring. "Mari, mari maju, kamu boleh hitung barang-
barang ini, ada yang kurang atau tidak!"
Bukan kepalang girangnya ke empat saudagar itu, mereka sudah
lantas maju, untuk turun tangan, akan punguti setiap permata dan
barang kuno itu, untuk dimasukkan ke dalam kantong mereka yang
besar, yang terus mereka gendol di bebokong mereka.
"Sekarang pergilah kamu!" Thio Tan Hong membentak. "Pergi
kamu beritahukan kepada Hek Pek Moko supaya mereka berusaha
dengan baikbaik, jangan lagi mereka main paksa dengan andalkan
ketangguan mereka!"
Ke empat saudagar itu manggut-manggut.
"Ya, Ya," sahut mereka. Lalu mereka mengambil hati:
"Bagaimana dengan lukanya sahabatmu itu? Dapatkah kami obati
dia.....”
"Kamu dapat mengobati dia?" tanya Tan Hong, mengulangi.
"Itulah tidak perlu! Siang-siang sudah aku mengobatinya! Sudah,
jangan kamu banyak omong lagi, lekas kamu angkat kaki!"
"Ya, ya....." sahut ke empat saudagar itu, yang benar-benar tidak
berani banyak bicara pula, mereka lantas undurkan diri sambil
membungkuk-bungkuk hingga di luar.
Thio Tan Hong awasi orang pergi, lalu ia tertawa.
"Telah aku sapu bersih semua kotoran ini, sangat lega hatiku!"
kata dia. "Barang barang tak halal, sebenarnya, tak usah ditakuti
untuk memakainya, cuma haruslah dipakai menurut jalan yang
tepat. Tidakkah demikian, Tjio looenghiong?"
"Benar apa yang siauwtjoe katakan," jawab Tjio Eng sambil
menjura.
Sekarang, dengan tidak adanya orang luar, berani ia
mengatakannya "siauwtjoe," yang berarti "tuan" atau "majikan
muda."
"Baiklah," kata Tan Hong. "Kau telah menemui aku, sekarang
boleh kau pergi."
"Aku minta siauwtjoe suka mengembalikan menantuku," Tjio Eng
mohon.
"Tentang jodohnya puterimu, kau serahkan saja itu pada In Loei
dan aku," jawab Tan Hong. "Jangan kau kuatirkan, tak usah kau
pikirkan. Kita pasti akan berikan kau satu baba mantu yang jempol.
Aku tidak ingin kau berdiam lama di sini, kau boleh lekas pergi!"
Kata-kata "pergi" itu diucapkan dengan keras hingga berupa
titah. Tjio Eng menjura.
"Kalau begitu, baiklah siauwdjin pergi," kata dia. "Siauwtjoe, kau
masih hendak menitahkan apa lagi?" Kata-kata "siauwdjin" itu
artinya "hamba yang rendah." Mendengar bahasa merendah dan
menampak sikap orang yang sangat hormat itu, In Loei heran.
"Tjio Eng ada pemimpin kaum Rimba Hijau di dua propinsi
Shoasay dan Siamsay, kegagahannya juga tidak ada di bawahan
Thio Tan Hong, kenapa dia nampaknya begini sangat hormat dan
takut?" ia pikir. "Kenapa dia memanggilnya siauwtjoe dan
membahasakan diri siauwdjin? Mungkinkah dahulu dia ada
pegawainya toako?"
"Tidak apa-apa lagi," begitu ia dengar Tan Hong menyahuti.
Masih Tjio Eng bicara, katanya: "Jikalau siauwtjoe membutuhkan
sesuatu, nanti siauwdjin kirim Loklim tjian, biar bagaimana juga
saudara-saudara di Jalan Hitam tentulah suka memberi muka
padaku."
Mendadak, Thio Tan Hong tertawa besar.
"Di dalam dunia ini kadang-kadang terjadi apa yang di luar
sangkaan kita," katanya. "Maka itu aku kuatir, kalau nanti tiba
waktunya, siapa juga tidak akan dapat membantu aku!"
Air mukanya Tjio Eng berubah dengan tiba-tiba, ia menjadi
jengah.
"Walaupun siauwdjin tidak berguna," ia kata, "kalau nanti
siauwtjoe menitahkan aku, meski mesti menyerbu api, tidak nanti
aku menampiknya!"
Thio Tan Hong kibaskan tangannya, ia nampaknya lesu.
"Aku terima kebaikanmu ini," ia kata. "Nah, pergilah!"
Tjio Eng memberi hormat, lantas ia memutar tubuh dan pergi.
Hati In Loei bergoncang, ia merasa tidak tenang. Begitu Tan
Hong masuk ke dalam kamar rahasia, kembali ia berkata: "Toako,
Tjio Eng tanyakan padamu, kau hendak menitah apa lagi, kenapa
kau tidak gunakan ketikamu untuk minta suatu apa daripadanya?"
"Apakah itu?" Tan Hong balik menanya.
"Kemarin ini, anak muda yang datang bersama Tjoei Hong,
bukankah dia pernah menyebutkan tentang Loklim tjian?" tanya In
Loei.
Thio Tan Hong mengawasi, ia tertawa.
"Apakah kau maksudkan itu tjeetjoe muda dari luar kota
Ganboenkwan?" ia menanya pula. "Dia dan ayahnya terhitung
orang-orang kenamaan juga, jikalau dia bekerja sama dengan Tjio
Eng menyiarkan Loklim tjian, akibatnya itu tidak baik bagiku. Aku
telah ambil putusan, selama hidupku, tidak sudi aku memohon
sesuatu dari lain orang. Lagi pula, menindih orang dengan kekuatan
pengaruh, itu membuat mukaku tidak terang. Bicara terus terang,
jikalau aku takut orang menyiarkan Loklim tjian, tadi begitu aku
keluar, begitu lekas juga dapat aku menghabiskan jiwa kakak
angkatmu itu. Aku justeru hendak membiarkan orang mencobanya.
— Ya, Tjio Tjoei Hong dengan Tjioe San Bin itu memang setimpal
sekali, pantas kau di dalam kamar kemantin selalu menyebut-nyebut
kakak angkatmu itu!"
Tan Hong ucapkan kata-katanya yang terbelakang ini secara
wajar.
Biar bagaimana, In Loei toh berduka, ia ber-kuatir. Tidak tahu ia,
di antara
Tan Hong dan Tjioe Kian ada urusan apa, mungkin antara
mereka itu ada ganjalan.....”
Thio Tan Hong awasi si nona, ia bersenyum.
"Melihat wajahmu, kau maju banyak," ia kata "Sekarang
lanjutkanlah istirahatmu. Sebentar, selagi bersantap malam, akan
aku ceritakan kau dongeng yang kedua."
In Loei turut nasehat itu, karena ia berbakat baik, pada waktu
hendak bersantap malam, kesehatannya telah pulih tujuh atau
delapan bagian, hingga dapat ia makan rangsum kering.
Thio Tan Hong layani orang dahar, sambil melayani, ia
ceriterakan dongengnya.
"Pada jaman dahulu kala, ada sebuah negara," demikian ia
memulai. "Di dalam negara itu ada seorang menteri yang setia. Apa
she dan nama menteri itu tidak usah aku menyebutkannya. Sebab
tidak peduli di jaman atau kerajaan apa, mesti ada saja semacam
menteri setia itu. Mungkin dia she Thio, mungkin dia she Lie, bisa
jadi juga dia she Ong atau she In.....”
"Di samping negara itu, ada sebuah negara lain yang
bertetangga dengannya. Kedua negara itu sering berperang satu
pada lain. Suatu waktu, negara yang satu yang menyerbu, ada
kalanya, negara yang lain yang menerjang, tapi tidak peduli negara
yang mana yang menerjang masuk, kesudahannya yang celaka
adalah si rakyat jelata.
"Ketika terjadinya dongengku ini, kebetulan negara dari si
menteri besar yang setia dan berpengaruh itu, menghendaki negara
yang lain itu membayar upeti setiap tahun dan setiap tahun harus
mengirim utusan selaku tanda hormat dan setia. Negara ini, yang
kalah pengaruh, menjadi sangat tidak puas, maka itu ia
mengumpulkan orang-orang cerdik pandai, hingga dengan
perlahan-lahan ia pun menjadi kuat. Negara si menteri besar dan
setia itu tak senang melihat tetangganya menjadi kuat, dia
berkuatir, segera dia kirim si menteri besar dan setia selaku utusan
dengan tugas, disatu pihak untuk mempererat persahabatan
katanya, di lain pihak untuk dengan cara diam-diam menyelidiki
keadaan yang benar dari Negara taklukkannya ini. Di luar sangkaan,
menteri besar dan setia itu telah pergi dua puluh tahun lamanya.....
Eh, saudara kecil, kau kenapa?..... Kau tahu, kenapa dia pergi
sampai lamanya dua puluh tahun itu? Kiranya..... Eh, adik Loei, adik
Loei!.....”
Thio Tan Hong dongeng sambil mengawasi sahabatnya itu,
selama itu hamper setiap detik, ia tampak air muka orang berubah
sedikit demi sedikit, sampai waktunya ia menyebutkan "dua puluh
tahun," wajah In Loei menjadi pucat sekali dan tubuhnya pun
bergoyang, bagaikan hendak rubuh. Ia menjadi kaget, maka dengan
lantas ia ulur tangannya, untuk pegang tubuh orang untuk cegah
dia jatuh.
Walaupun keadaannya sedemikian rupa, bagaikan kesehatannya
sangat terganggu dengan tiba-tiba, In Loei masih dapat bicara,
malah ketika ia buka mulutnya, ia seperti menyambungi
dongengnya Tan Hong itu. Ia kata: "Kau tahu, kenapa menteri
besar dan setia itu pergi sampai lamanya dua puluh tahun? Kiranya
orang telah menahan dia, dia dipaksa menggembala kuda di tempat
di mana ada banyak es dan salju! Sudah, toako, tak usah kau
lanjutkan dongengmu ini, tak suka aku mendengarnya.....”
Wajah Tan Hong juga lantas berubah menjadi pucat, sepasang
alisnya dikerutkan. Agaknya dongengnya ini, dongeng yang tua,
sekarang telah berubah menjadi kenyataan. Nampaknya, ia seperti
telah sadar dengan tiba-tiba dari mimpinya. Dengan tajam ia terus
awasi In Loei.
"Saudara kecil," katanya kemudian, "kiranya kau telah ketahui
dongeng ini. Kalau begitu, baiklah, besok malam aku akan ceritakan
dongeng yang ketiga, nanti kau dapat mengerti semuanya. Saudara
kecil, sekarang apapun kau tidak usah tanyakan, apa juga tidak
usah kau mengatakannya. Kau harus beristirahat, tak dapat kau
banyak bergerak dan banyak berpikir, nanti kau gagal memulihkan
kembali kesehatanmu. Saudara kecil, mari aku bantu pula padamu."
Ia cekal kedua telapak tangan In Loei, tangan itu, ia rasakan,
berhawa panas. Ia juga lihat bahwa sinar mata si nona guram.
"Saudara kecil, hatimu sedang pepat" ia kata. "Baiklah kau
menunda sebentar untuk bersemedi."
Ia lepaskan cekalannya, lantas ia jalan mondar-mandir di dalam
kamar rahasia itu, atau ia jalan mengitari ruangan.
In Loei mesti tenangkan hati, kalau tidak kesehatannya tak akan
pulih. Ia lihat kelakuan orang itu, ia insyaf Tan Hong sedang
mendukakan ianya. Beberapa kali hendak ia menanya, ia batal,
masih dapat ia kendalikan diri. Akhirnya, ia singkap rambutnya, ia
bersenyum.
"Toako, perlu kau tidur siang-siang," ia kata. "Akan aku sabarkan
diri, untuk menanti sampai besok, guna mendengarkan dongengmu
yang ketiga."
Setelah mengucap demikian, hati si nona benar-benar menjadi
tenang.
Thio Tan Hong pun bersenyum, ia angkat ouwkim-nya dari atas
meja kemala, lantas ia akurkan talinya, terus ia menabuh, yang
mana ia iringi dengan nyanyiannya sendiri. Ia nyanyikan sebuah
syair pujian untuk kota Hangtjioe yang indah, syair dari jaman
Kerajaan Song. Pandai ia menabuh, merdu ia bernyanyi.
Mendengar itu, lega hati In Loei, lenyap kedukaannya.
Habis memainkan lagu dan bernyanyi. Tan Hong letakkan
ouwkim-nya di atas meja, terus ia hampirkan si nona. Ia usap-usap
rambut orang.
"Adik kecil, kau tidur, tidurlah," katanya, perlahan.
Bagaikan terkena pengaruh sihir, In Loei meram-kan matanya,
tidak lama, ia tertidur.
Besok, pagi-pagi, apabila ia mendusi, In Loei merasakan
tubuhnya segar. Semalam ia tidur nyenyak, tanpa gangguan. Girang
Tan Hong menampak keadaan In Loei.
"Adik kecil, hari ini kau beristirahat pula," katanya. "Habis ini,
kesehatanmu akan kembali seluruhnya, malah tenaga dalammu
bukannya berkurang tapi bertambah!"
In Loei menurut, ia terus beristirahat, ia terus bersemedi. Tan
Hong pun tak bosan-bosan selang setiap satu jam, dengan tetap ia
berikan bantuannya, untuk mengempos semangat si nona.
Demikian, selewatnya tengah hari, selesailah ia dengan cara
pengobatan samyang dan samim-nya. Wajah In Loei telah bersemu
merah sekarang.
"Saudara kecil," kata Tan Hong dengan girang, "lewat lagi dua
jam, kau akan pulih seanteronya!"
In Loei girang, ia bersenyum. Selagi ia terus bersemedi, Tan
Hong duduk sendirian di sisinya memandangi gambarnya.
Berselang setengah jam, tiba-tiba Tan Hong kerutkan alis.
Dengan kupingnya yang tajam sekali, ia dengar suara orang di luar
pekuburan itu.
"Kenapa ada lagi orang datang mengacau?" ia berpikir.
Dengan sekonyong-konyong terdengarlah kuda Tjiauwya saytjoe
ma berbenger, lalu disusul dengan satu suara sangat keras dan
nyaring, yang mengakibatkan gempurnya pintu pekuburan, hingga
debu pun mengepul. Lalu menyusul itu terlihatlah seekor kuda putih
lari masuk, dibebokongnya ada seorang dengan pakaian hitam.
Tanah di mana nancap tiang pintu memang telah lenyap
kekuatannya, akan tetapi walaupun demikian, tidak sembarang
orang dapat menggempurnya, sekarang orang berpakaian hitam itu
dapat melakukannya, itulah suatu tanda bahwa tenaganya besar
sekali. Dan yang lainnya yang mendatangkan keheranan adalah si
kuda putih, — kuda Tjiauwya saytjoe ma — kuda yang istimewa
karena binalnya. Kuda ini tidak akan menurut kecuali pada
majikannya, akan tetapi aneh, sekarang dia dapat dikendalikan
orang lain.
Maka itu, di dalam kamar rahasia, In Loei dan Tan Hong terkejut.
Di ruang dalam, kuda putih itu berbenger pula dengan keras,
berulang kali. Mulai dari pintu, dia sudah lari keras, sampai di dalam
dia lari berputaran.
Di ruang dalam itu, si penunggang kuda lompat turun dari
bebokongnya, begitu dia injak tanah, dia berulang kali perdengarkan
panggilannya: "Tan Hong! Tan Hong!"
Sekarang, di antara kaca rahasia, Tan Hong kenali orang itu,
ialah Tantai Mie Ming, panglima dari negara Watzu.
In Loei kaget sekali, sampai ia menjerit, lalu ia gerakkan
tubuhnya, untuk lompat turun, tetapi, belum sampai ia bergerak, ia
segera rasakan pinggangnya lemah, kaku, hingga tak dapat ia
bergerak.
Dengan sebat luar biasa, Thio Tan Hong totok kawan ini
menyusul mana dia berbisik di kuping si nona: "Saudara kecil,
jangan bergerak, kau lanjutkan semedimu! Aku hendak keluar,
segera aku kembali. Kau sabar, kau tunggu, nanti aku tuturkan kau
dongeng yang ketiga itu.....”
"Tan Hong, kau ada bersama siapa di dalam?"
In Loei, yang terus memandangi kaca, dapat melihat dengan
tegas. Kuda putih berdiri di dampingnya Tantai Mie Ming, kuda itu
seperti telah kenal baik pahlawan asing itu.
Tan Hong sudah lantas membuka pintu rahasia, dia lompat
keluar. "St!" katanya
Melihat si anak muda, Tantai Mie Ming berkata pula: "Tan Hong,
Siangya....." Lalu mendadak, ia berhenti.
"St!" demikian suara Tan Hong pula.
"Tan Hong, ayahmu menyuruh kau pulang!" terdengar Tantai Mie
Ming berkata. Tidak lagi ia menyebutnya "Siangya" — "Sri paduka,"
panggilan untuk perdana menteri.
"Tantai Tjiangkoen," Tan Hong menyahut, "tolong kau sampaikan
kepada orang tuaku, setelah aku meninggalkan Mongolia, untuk
selanjutnya hidupku adalah sebagai bangsa Tionghoa, dan aku tidak
akan kembali lagi!"
Tantai Mie Ming tidak segera undurkan diri.
"Kau ingat, Tan Hong," katanya, "sekalipun kau tidak memikirkan
lagi ayahmu, kau toh mesti pikirkan dirimu sendiri. Seorang diri kau
memasuki Tionggoan, di antara orang-orang gagah dari Tionggoan
itu, siapakah yang ketahui dirimu, siapa yang tahu hatimu?"
Tapi Tan Hong menjawab dengan suara dalam:
"Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi laksaan keping,
akhirnya, tubuhku mesti dikubur di tanah Tionggoan! Inilah terlebih
baik daripada mayatku dipendam di negara asing, hingga aku
meninggalkan bau busuk di negara lain! Aku minta tolong kau
sampaikan kepada orang tuaku, pesanlah agar dia rawat dirinya
baik-baik.....”
Mendengar sampai di situ, bukan main herannya In Loei.
"Kalau Tan Hong ada orang Tionghoa yang bertempat di
Mongolia, kenapa Tantai Mie Ming berlaku begini baik padanya?" ia
berpikir. "Tantai menyebutnya Siangya..... Siangya..... Mungkinkan
Tan Hong ada?....."
Tak dapat nona ini berpikir, terus, pikirannya itu terganggu oleh
seruan Tantai Mie Ming. Panglima Watzu ini mengayunkan
tangannya ketika ia menegaskan: "Apakah benar-benar kau tidak
hendak turut aku pulang"
"Tantai Tjiangkoen," katanya dengan sangat masgul, "kenapa
kau begini mendesak aku?"
Kembali tangannya Tantai melayang, kali ini ke arah dada.
Tan Hong tidak berkelit pula, ia menangkis, tapi karena ini, ia
diserang pula, terus menerus, setiap serangan panglima Watzu itu
mendatangkan suara angin, satu kali dia menyambar batang leher
orang, secara hebat sekali!
Kalut pikirannya In Loei. Ia heran, ia kaget, ia pun girang. Ia
kaget karena serangan dahsyat dari Tantai Mie Ming, serangan
yang jauh melebihi
hebatnya serangan dari Hek Pek Moko. Ia girang karena akhirnya
Tan Hong membuat perlawanan, hingga teranglah sudah Tan Hong
itu bukan orang segolongan Mie Ming. Yang membikin ia heran dan
curiga, adalah kata-kata "Siangya" — "Sri paduka perdana menteri."
ia sampai merasa uluhatinya bagaikan ditikam pisau tajam. Ia jadi
ragu-ragu untuk dirinya orang she Thio ini.....
Oleh karena perlawanan Tan Hong itu, pertempuran jadi
berlangsung hebat, tubuh mereka berdua melesat pergi datang,
mendatangkan sambaran angin tak putusnya. Tubuh mereka
bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak cepat tak
hentinya.
Tantai Mie Ming gesit bagaikan kera, kepalannya berat bagaikan
tubrukan harimau. Nyata ia sangat kuat dan lincah. Dengan
serbuannya itu ia membuatnya Tan Hong tiap-tiap kali mundur.
In Loei bertegang hati, ia sangat berkuatir. Mau ia lompat, tapi
tak dapat ia berbuat. Ia coba empos dirinya, akan bebaskan diri dari
totokan Tan Hong, ini pun tidak berhasil. Ia jadi mengawasi dengan
mendelong, hatinya berdenyut keras.
Tiba-tiba Tantai Mie Ming ulur sebelah tangannya, menyambar
tubuh Tan Hong, sambil menyambar ia berseru nyaring: "Pergilah
kau!"
Tan Hong kena disambar, lalu tubuhnya dilemparkan ke atas,
dilepaskan dari cekalan!
In Loei kaget hingga ia meramkan matanya dan berseru
tertahan. Tapi begitu ia buka pula matanya, hatinya menjadi lega.
Tubuh Tan Hong terlempar, ketika ia jatuh ke tanah, ia
perdengarkan suara, tetapi In Loei dapatkan ia tengah berdiri
dengan tidak kurang suatu apa. Benar Tan Hong telah dilemparkan,
tetapi ia dilemparkan hingga tubuhnya jumpalitan, maka itu, waktu
tubuh itu turun, kakinya yang tiba lebih dahulu di tanah.
Sampai di situ, Tantai Mie Ming maju dua tindak kepada si anak
muda. Ia tampak bersenyum.
"Tan Hong, tidak kecewa gurumu mengajari kau dengan susah
payah!" katanya, dengan kagum. "Kau benar-benar liehay! Karena
kau sanggup melayani aku selama lima puluh jurus, kau boleh
menjagoi di kalangan kangouw. Baiklah, kau boleh bawa dirimu,
berlakulah hati-hati! Di depan ayahmu nanti, akan aku talangi kau
bicara, kau jangan kuatir."
Baharu sekarang Tan Hong ketahui orang sebenarnya mencoba
padanya, orang bermaksud baik. Karenanya, ia lantas menjura.
"Tantai Tjiangkoen, dalam segala hal, aku mengandal pada kau!"
ia kata.
Tantai manggut, atau mendadak ia tanya: "Siapa itu di dalam
kamar?"
"Dia adalah satu sahabatku," Tan Hong beritahu. "Dia tidak ingin
bertemu denganmu, dari itu aku mohon, dengan memandang aku,
jangan kau membuatnya dia kaget."
"Jikalau dia tidak sudi menemui, tak usah dia dipaksa," kata
Tantai. "Kau tahu, adalah maksud Thaysoe bahwa pada bulan
sepuluh.....”
"St!" Tan Hong perdengarkan pula cegahannya. Tantai berhenti
dengan tiba-tiba, lalu ia tertawa.
"Setelah sekarang ini, tak dapat diketahui di belakang hari kita
akan bertemu pula atau tidak," kata dia, menyambungi, "maka
marilah kau keluar, untuk kita bicara sebentar."
Tanpa tunggu jawaban, Tantai sambar tubuh T an Hong, untuk
dibawa lompat naik ke atas kuda, kuda mana segera dikeprak untuk
dilarikan keluar kuburan.
In Loei bernapas lega, atau segera ia merasa tertekan pula,
seolah-olah jantungnya ditindih batu seberat seribu kati. Bukankah
Tan Hong diajak keluar dengan paksa? Tapi karena ia tidak
berkuatir, cuma hatinya yang tidak tenteram, lekas-lekas ia
bersemedi, untuk tenangkan diri. Ia empos semangatnya, ia
mencoba kerahkan tenaga dalamnya. Kali ini, di luar dugaannya, ia
berhasil. Ia bebas dari totokan! Maka lantas saja ia lompat turun.
"Kau tunggu, akan aku pecahkan rahasia dirimu!" ia kata di
dalam hatinya. Ia melihat kesekitarnya. Ia dapatkan pedangnya Tan
Hong masih tergantung di tembok. Ia hampirkan pedang itu dan
menurunkannya. Ia periksa gagangnya, ia dapatkan ukiran dua
huruf "Pekin" — "Mega Putih". Lantas hatinya memukul.
"Pekin" beserta "Tjengbeng" adalah dua pedang — atau pedang
sepasang — yang menjadi peryakinannya Hian Kee Itsoe.
Tjengbeng kiam telah diwariskan kepada Tjia Thian Hoa, pedang
Pekin kiam kepada Yap Eng Eng. Inilah sebab yang
menggoncangkan hati si nona.
Dari mana Tan Hong peroleh pedang ini?" dia tanya dirinya
sendiri. "Apa mungkin dia muridnya samsoepeh?"
Ia awasi pula pedang itu, yang bergantungkan sepotong batu
kemala dan berukirkan naga-nagaan. Ia meneliti batu itu, yang pun
ada ukiran huruf-huruf "Yoe Sinsiang hoe" — artinya: "Istana
perdana menteri muda." Di samping ukiran itu masih ada lain ukiran
huruf-huruf yang halus sekali, yang menjelaskan dari mana asal
pedang itu. Huruf-huruf halus itu berbunyi: "Hadiah dari Raja ketika
anak Hong dilahirkan."
Kaget In Loei, lemas kaki tangannya, hingga dengan menerbitkan
suara nyaring, pedang Pekin kiam itu terlepas dari cekalannya dan
jatuh ke lantai.
Terang sudah sekarang bagi In Loei, pemuda itu dengan siapa ia
berada sekian lama adalah puteranya Thio Tjong Tjioe yang
dipandang sebagai "penghianat besar," dan menjadi musuh besar
dari kaum keluarga In. Maka itu, untuk sejenak, kosonglah hatinya,
tak sanggup ia berpikir — ia seperti bukan lagi berada di dalam
dunia.....
Tiba-tiba In Loei, dengan membawakan tangannya ke dada,
tanpa merasa, telah membentur suatu barang yang kecil tapi keras.
Ia ingat, itu adalah warisan dari kakeknya — yaitu yangpie hiatsie
surat darah kulit kambing. Selama sepuluh tahun, selalu ia bawa-
bawa warisan istimewa itu, yang bunyinya:
"Turunan keluarga In, di mana saja dia bertemu dengan turunan
keluarga Thio Tjong Tjioe, tak perduli lelaki atau perempuan,
turunan keluarga Tjioe itu mesti dibinasakan."
Sudah sepuluh tahun surat wasiat itu disimpan, rasanya masih
saja ada bau bacinnya.....
In Loei rasakan tubuhnya dan hatinya gemetar. Ia menjadi ngeri
tidak keruan. Surat wasiat berdarah itu bagaikan es yang sangat
dingin, yang mengurung dirinya. Ia pun merasakan bagaikan ada
tenaga yang tak dapat ia melawannya, yang menitahkan ia
membunuh Thio Tan Hong dengan tangannya sendiri!
Tiba-tiba terdengar suara kuda dari luar liang kubur, itulah tanda
bahwa Thio Tan Hong telah kembali. In Loei segera tetapkan hati, ia
sampai kertek gigi, ia menggigitnya dengan keras. Dengan cepat ia
kembali ke tempatnya beristirahat, ia duduk sambil tunduk,
bagaikan ia tengah bersemedi, padahal ia sedang umpetkan
mukanya yang pucat pasi itu, supaya Tan Hong tidak dapat
melihatnya. Hatinya memukul keras, ia coba menenangkannya.
Thio Tan Hong menolak pintu dengan perlahan-lahan, ia
bertindak masuk.
"Dongengku yang ketiga, segera akan aku tuturkan," katanya,
sambil tertawa. "Kali ini aku mempercepat waktunya. Eh, saudara
kecil, kau kenapa?"
Kendati ia menanya demikian, Tan Hong sebaliknya hampirkan
kaca, di depan mana ia rapikan rambutnya yang kusut. Tiba-tiba
saja pada kaca itu terlihat bayangan In Loei, kedua mata siapa
mendelik berapi, tangannya tengah menikam dengan pedang!
Bergetar tangan In Loei itu, tapi hebat serangannya, hingga kaca
perunggu itu pecah karenanya. Tan Hong lolos dari ancaman
bencana, pedang itu lewat di samping lehernya, di atas pundak,
langsung mengenai kaca itu.
"Saudara kecil, saudara kecil, kau dengar aku....." kata Tan Hong
sambil berpaling.
In Loei tidak mempedulikannya, ia menikam pula, kali ini sambil
meramkan mata, ketika ternyata ia kembali gagal, terus ia
mengulanginya hingga tiga kali!
Tan Hong masih berkelit, yang terakhir ia lompat melewati meja.
Segera juga terdengar tangisnya In Loei.
"Aku sudah tahu semua!" teriaknya. "Tak usah lagi kau tuturkan
dongengmu yang ketiga! Ia lompat maju, lagi-lagi ia menyerang.
Tan Hong egoskan tubuhnya, ia menghela napas.
"Kau toh cucu perempuan dari In Tjeng?" dia tanya.
"Dan kaulah anaknya musuh keluargaku!" teriak si nona, seraya
menikamkan pedangnya ke arah uluhati.
Dengan sekonyong-konyong saja Tan Hong pasang dadanya.
"Baiklah, saudara kecil, tikamlah!" berkata dia. "Tak mau aku
minta maaf padamu!"
Pedang menyambar, tetapi menyimpang ke kanannya Tan Hong
dengan begitu bahu pemuda itu lantas saja mengeluarkan darah.
Pemuda ini benarbenar tidak berkelit dari tikaman itu, adalah si
nona, yang tak dapat menarik pula pedangnya, telah menggeser
incarannya. Masih Tan Hong tidak menyingkir.
"Adik kecil," berkata pula si anak muda, "kalau sebentar kau telah
binasakan aku, kau jangan terus turuti hawa amarahmu, jangan
gusar, hanya duduklah diam-diam kira-kira satu jam. Di atas meja
kemala itu ada satu botol kecil dari perak, yang berisikan obat,
itulah obat yang sengaja aku sediakan untukmu, guna menguatkan
tubuhmu. Nah, sudah, adik kecil, tak mau aku mohon maafmu, kau
tikam pula padaku!"
Kedua mata In Loei lantas mencucurkan air mata, tangannya
gemetar, hatinya dirasakan sakit, hampir saja terlepas pedang
Tjengbeng kiam dari cekalannya. Berbareng dengan itu, ia juga
merasakan seperti surat wasiat darah di dadanya menjadi besar
bagaikan bukit, seperti menindih sangat berat kepada hatinya,
sebagai juga ia dipaksa untuk melakukan pembalasan sakit hati.....
Sesaat saja Nona In berdiam, lantas ia acungkan pedangnya.
"Ambillah pedangmu!" ia kata kepada anak muda di depannya.
"Aku tidak hendak membinasakan seorang yang tidak memegang
senjata di tangannya!"
Nona ini tahu baik Tan Hong ada terlebih kosen daripadanya,
jikalau mereka berdua bertanding, yang akan terbinasa bukannya si
anak muda tapi dia sendiri, setahu kenapa, dia menghendakinya
Tan Hong tempur padanya, dia seperti ingin terbunuh Tan Hong.
Dia seperti percaya, dengan binasanya dia di tangan Tan Hong,
tidak nanti dia merasa kecewa terhadap kakeknya.....
Tan Hong berdiri di tempatnya, tanpa bergerak, cuma wajahnya
yang berubah daripada biasanya. Ia kelihatan nangis bukan, tertawa
bukan. In Loei tak berani mengawasinya air muka orang itu.
Melihat orang terus berdiam, si nona kertek giginya. Ia jemput
Pekin kiam yang terletak di tanah, terus ia lemparkan itu kepada si
anak muda.
"Permusuhan kita kedua keluarga ada permusuhan sangat besar
bagaikan langit!" ia kata. "Maka itu, jikalau bukannya kau yang mati,
tentulah aku! Lekas kau hunus pedangmu!"
Thio Tan Hong sambuti pedangnya itu.
"Adik kecil," berkata dia, dengan suara duka, "aku telah angkat
sumpah, selama hidupku ini, tidak hendak aku bertempur dengan
kau, maka itu jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah! Saudara
kecil, jikalau kau tidak hendak turun tangan, aku akan pergi dari
sini!"
In Loei membabat ke arah muka Tan Hong, akan tetapi pedang
Cuma berkelebat di depan muka, lalu ditarik kembali.
Menampak demikian, Tan Hong menghela napas, lantas ia
lompat keluar dari kamar rahasia itu, setibanya di luar segera ia
lompat naik atas kuda putih.
"Adik kecil, rawatlah dirimu baik-baik!" terdengar ia berkata
dengan nyaring. "Saudara, aku pergi!"
Dengan bengernya kuda satu kali, sunyilah istana Hek Pek Moko
itu, malah sedetik kemudian, Tan Hong sudah berada jauhnya
beberapa lie. Di lain pihak, In Loei berdiri menjublak, pedangnya
telah jatuh ke lantai. Dihadapan nona ini, segala apa ada suram,
gelap.....

-ooo0dw0ooo-
BAB VIII
Di luar pekuburan terdengar kuda berbenger, lalu keadaan
menjadi sunyi dan Thio Tan Hong telah lenyap!
Biarlah Thio Tan Hong lenyap untuk selama-lamanya! Misalkan
saja di dunia ini belum pernah ada Thio Tan Hong itu!
Demikian pikiran aneh yang melayang di kepala In Loei. Tapi
Thio Tan Hong yang berdarah daging, yang telah berdiam bersama
ia di dalam kamar rahasia, bagaimana bisa dia tidak ada di dunia?
Tiga hari mereka berada bersama!
Ya, Thio Tan Hong telah pergi jauh, Thio Tan Hong tak
tertampak pula. Benarkah dia telah menghilang? Oh, tidak, tidak!
Lihat! Kau lihat, dia telah kembali, dia kembali, dia kembali!
Bayangannya, secara sangat samar, secara perlahan sekali, telah
nelusup masuk ke dalam hati In Loei, dan surat wasiat berdarah itu,
telah hilang dialingi bayangan Thio Tan Hong itu.....
In Loei berada dalam kegelapan, ia bagaikan meraba-raba.
Membencikah ia? Menyintakah ia? Girangkah ia? Atau, berdukakah
ia? Inilah ia tidak ketahui, tak dapat ia membeda-bedakannya.
Kebaikan budi dan permusuhan sudah melibat menjadi satu,
begitupun sang cinta dan kebencian, tak dapat itu diputuskan
dengan gunting, hendak dibereskannya, tetap kusut.
Pada saat itu, tak dapat In Loei memikir apa jua, otaknya
bagaikan kosong, tak suatu apa ketinggalan di kepalanya. Tapi
dalam keadaannya seperti itu, dengan lapat-lapat, ia seperti tampak
Thio Tan Hong tengah mendatangi ke arahnya, dan akhirnya
pemuda itu berbisik di telinganya: "Adik kecil, adik kecil.....”
In Loei seperti mendengar kebengisan yang agung dari
kakeknya, ia seperti melihat mata yang menyinta dari ibunya..... Ia
mendengar satu suara yang halus sekali, yang memanggil-manggil
padanya. Di dunia, di mana ada suara si lemah itu? Di mana ada
sinar mata sehalus itu?
Itulah suara Tan Hong tadi. Itulah sinar matanya Tan Hong
tadi.....
Kedua mata In Loei, dengan perlahan-lahan, menggeser,
berpindah ke arah meja berbatu kemala, di atas mana Tan Hong
telah meletakkan botol peraknya yang kecil. Itulah botol yang
berisikan obat yang Tan Hong sediakan untuknya. "Bukankah itu
ada barang musuh? Tidak, tidak, tak dapat aku memakannya!.....
Tetapi ini ada barang yang menandakan kebaikan terakhir dari Tan
Hong..... Tidak, tidak selayaknya aku menolaknya.....
Kembali dua macam pikiran bertentangan satu pada lain. Kembali
dengan sayup-sayup, si nona seperti melihat sinar mata menyinta
dari Tan Hong tengah mengawasi ia, lalu di kupingnya terdengar
suara yang halus dan merdu: "Adik kecil, meski benar lukamu telah
sembuh akan tetapi tenaga dalammu belum pulih seanteronya,
maka, adikku, makan, makanlah obat itu.....”
Itulah sinar mata yang tak dapat ditentang, itulah suara halus
yang tak dapat dibangkang. Tanpa merasa, In Loei ulur tangannya,
menjemput botol itu, dari dalamnya ia keluarkan tiga butir obat
warna merah terus ia masukkan ke dalam mulutnya.....
Tidak tahu In Loei, berapa lama sudah ia duduk menjublak, ia
hanya tampak cahaya matahari di luar pekuburan sudah condong ke
arah barat, rupanya hari sudah mulai magrib.
Sekonyong-konyong, dari luar kuburan terdengar kuda meringkik.
In Loei terperanjat, hatinya goncang. Dengan gesit dia lompat
bangun, hatinya pun berpikir: "Mustahilkah dia kembali?"
Tiba-tiba terdengar satu seruan dari kegirangan yang meluap-
luap, lalu di sana, di lorong kuburan, tampak Tjioe San Bin lari
mendatangi dengan keras sekali.
"Adik In! Oh, sungguh benar kau berada di sini?" demikian seru
pemuda she Tjioe itu. Tapi segera suara itu disusul dengan suara
kaget dan sangat berkuatir: "Eh, eh, adik In, apakah kau terkena
tangan jahatnya binatang itu?"
In Loei perlihatkan senyuman tawar, ia menggeleng- gelengkan
kepalanya.
San Bin sudah lantas sampai pada si nona, malah segera ia
duduk di sampingnya, terus ia tatap muka orang. Ia tampak satu
wajah yang kumal, roman yang lesu, seperti orang kehilangan
semangat, maka itu, ia merasa kuatir untuk nona itu.
In Loei berdiam, ia coba tenangkan diri.
"Kiranya kau dan dia bersembunyi di dalam kuburan," kata
San Bin. "Apakah dia tidak menganggu padamu? Tahukah kau,
siapa dia? Dia adalah puteranya penghianat besar Thio Tjong
Tjioe! Ya, dia adalah musuh besar dari kakekmu!"
San Bin menyangka, mendengar perkataannya itu, si nona akan
kaget, tapi sangkaannya itu meleset.
"Ya, aku sudah tahu," sahut si nona, perlahan sekali.
Maka itu, adalah San Bin yang terperanjat bahna herannya,
hingga dia lompat berjingkrak.
"Apa?" tanyanya separuh berteriak. "Kau telah ketahui? Bila kau
ketahui itu?"
Tubuh In Loei tetap tidak bergerak.
"Baharu saja aku mengetahuinya," ia menyahut, tetap dengan
perlahan. "Tantai Mie Ming barusan datang kemari.....”
San Bin keluarkan napas lega.
"Begitu?" katanya. "Aku heran, kalau kau tahu dia ada musuhmu,
kenapa kau ada bersama dia. Apakah kau telah bertempur
dengannya? Apakah kau tidak terluka?"
"Aku terluka ditangan Pek Moko," In Loei beri-tahu. Dia justeru
yang mengobati aku.....”
San Bin heran.
"Dia?" ia ulangi. "Dia siapa?"
"Ialah dia musuhnya kakekku."
San Bin melengak.
"Apakah dia tidak tahu bahwa kau cucu perempuannya In
Tjeng?" tanyanya.
"Aku telah menikam dia dengan pedang. Dia telah mendapat
tahu."
Kembali San Bin melengak. Tapi kali ini segera ia sadar.
"Oh, aku tahu sudah!" ia kata. "Mulanya anak penghianat itu
tidak tahu bahwa kau adalah musuhnya, maka itu ia berdaya
mengambil hatimu, supaya kau dapat digunakan untuk keuntungan
dia, kemudian setelah kau tikam padanya, dan ia tahu bukannya
tandinganmu, ia lari kabur! Sayang kau tengah terluka, tenagamu
belum pulih, jikalau tidak, pasti kau dapat membunuhnya. Coba aku
ketahui, tidak usah kau berdaya demikian keras.....”
In Loei tunduk, ia tidak berkata suatu apa.
Tapi San Bin, sambil tertawa, berkata pula: "Jikalau aku tahu
ilmu silatnya tidak liehay, tidak nanti aku berdaya keras, hingga aku
minta Hongthianloei Tjio Eng mengirimkan panah Loklim tjian....."
In Loei terkejut.
"Apa? Loklim tjian?" dia tanya.
San Bin tertawa.
"Pengalamanmu mengenal kaum kangouw masih belum banyak,"
ia berikan keterangannya. "Apakah benar kau masih belum tahu apa
itu Loklim tjian? Itulah panah titahan yang di kirim pemimpin kaum
loklim kepada jago-jago loklim, siapa yang melihat itu, dia tentu
akan datang untuk memberikan bantuannya walaupun dia mesti
terjang api. Adik In, inilah pengaruhnya malaikat atau iblis yang
membuatnya anak Thio Tjong Tjioe berani seorang diri saja masuk
ke Tionggoan. Adik, pastilah sakit hatimu akan dapat dibalas,
dilampiaskan."
Pada matanya In Loei, surat wasiat berdarah itu tampaknya
seperti melar semakin besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San
Bin ini harus diterima dengan kegirangan atau kedukaan. Ia tahu,
pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut balas, tidak dapat
diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun.
Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain
orang? Pantaskah kalau ia tidak turun tangan sendiri?
Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti
tercingcang goloknya kaum Rimba Hijau, tidak berani ia
membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia memikirkannya.....
"Adik In," terdengar pula San Bin berkata, "sejak kau
meninggalkan gunung, aku selalu pikirkan kau.....”
Suara ini sangat perlahan, manis terdengarnya.
"Banyak terima kasih untuk perhatianmu," katanya, lemah.
Kecewa San Bin melihat orang lesu.
"Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan
kau," berkata pula pemuda she Tjioe itu, "sayang, aku senantiasa
repot. Mana bisa aku segera cari kau? Baharu satu bulan yang lalu
mata-mataku di perbatasan dapat mengendus bahwa putera Thio
Tjong Tjioe sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah
menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor
kuda putih, kuda jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-
orang kita. Rata-rata orang anggap kedatangannya Thio Tjong Tjioe
ke Tionggoan, tidak nanti dia mengandung maksud baik, pasti dia
bertujuan untuk mengacau balau Tiongkok, maka itu ayah
menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan
supaya bekerja sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk
bersama membekuk dia. Begitulah, loklim tjian telah disiarkan.
Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin Rimba Hijau dari
kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Tjio Eng, dari itu aku
sudah lantas cari ketua she Tjio itu. Sayang, ketika aku sampai di
rumahnya, Tjio looenghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku
cuma dapat bertemu dengan puterinya. Dari Nona Tjio aku
mendapat keterangan, kau telah menjadi baba mantunya Tjio
looenghiong itu. Selagi aku cari Tjio looenghiong, dia sendiri sedang
mencari kau. Haha, adik In, sandiwaramu ini membikin aku tertawa
geli sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Tjio itu sungguh-
sungguh menyintai kau!" In Loei bersenyum.
"Bagaimana kau lihat Nona Tjio itu?" ia tanya. "Ilmu silatnya
cukup baik," sahut San Bin. "Yang lainnya lagi?" tanya pula In Loei.
"Aku kenal dia sebentar saja, mana aku ketahui sifatnya yang lain
lagi?" San Bin membaliki.
In Loei bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia
tercegah halnya loklim tjian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung. Tjio
Eng begitu menghormati Thio Tan Hong, kenapa dia bekerja sama
dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu? Inilah satu soal,
yang perlu ia ketahui jelas.
San Bin tidak tahu apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun
tidak. Ia bicara terus.
"Itu hari bersama-sama nona Tjio aku telah kejar muridnya
Tantai Mie Ming," kata dia. "Murid Mie Ming itu menunggang seekor
kuda pilihan, kita kejar dia sampai kira kira empat puluh lie, tapi tak
dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua telah kehabisan tenaga.
Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul terus.....”
"Bagaimana dengan nona Tjio?" tanya In Loei.
San Bin tertawa.
"Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu
maksud!" katanya. "Terus menerus kau angkat aku, dari suaramu,
agaknya kau merasa kurang puas terhadap kakak angkatmu ini,
hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh kakak
angkatmu? Ada hubungan apa antara nona Tjio itu dengan aku?"
Di dalam hatinya, In Loei tertawa. Ia ingat halnya sendiri pada
malam pengantin, terhadap Tjoei Hong berulang kali ia menyebut-
nyebut San Bin.
San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula: "Oleh karena kita
gagal mengejar musuh itu, Tjoei Hong dan aku berselisih mulut
sebentar, katanya dia hendak pulang sendirian saja, tidak ingin dia
mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia pun membikin banyak
ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya, seperti juga
dia anggap sanhu itu bagaikan jiwanya.....”
Tanpa merasa, In Loei tertawa.
San Bin berkata pula: "Aku tahu, batu itu engkaulah yang
memberikan padanya selaku tanda mata, terhadapmu, dia sangat
menyinta, pantas ia sangat menyayangi batu itu."
In Loei tertawa.
"Tetapi kali ini adalah kau yang memberikan dia tanda mata,
bukannya aku yang memberikannya!" katanya.
San Bin tercengang, wajahnya segera berubah menjadi merah.
"Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti aku robek
mulutmu!.....” Dan ia ulur tangannya.
In Loei palingkan mukanya, masih ia tertawa.
"Mari kita bicara dari hal urusan yang benar," ia kata kemudian.
"Nona Tjio tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari
manakah kau dapatkan panah Loklim tjian itu?"
"Itu adalah kejadian yang kebetulan saja," jawab San Bin.
"Sesudah nona Tjio tidak mau mengajak aku, dia berangkat,
kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke barat. Tidak lama
kemudian, aku bertemu dengan Hongthianloei Tjio Eng, ayahnya
itu. Tjio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama
gadisnya. Rupanya ayah dan anak itu mengambil jalan yang
berlainan, hingga mereka tak bertemu satu dengan lain."
"Bukankah Tjio looenghiong itu ada bersama empat saudagar
barang permata?" In Loei tanya.
"Benar! Dia jalan terburu-buru seperti mempunyai urusan sangat
penting, hingga dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta
Loklim tjian padanya. Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak
padanya, untuk menceritakan gadisnya, tapi dia sudah mendahului
menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata: "Nama Kimtoo
Tjeetjoe sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui? Kau hendak
bekuk seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak
berampun, maka tentang dia, tak usah kau menjelaskannya. Kau
perlu Loklim tjian, kau boleh dapatkan itu. Aku mempunyai urusan
penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau.
Siauwtjeetjoe, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau
datang ke Heksek tjhoeng, nanti kita pasang omong dengan
asyik..... Tanpa tanya apa-apa lagi, ia serahkan Loklim tjian padaku,
terus ia ajak ke empat saudagar itu melanjutkan perjalanannya."
"Oh, demikian duduknya hal.....” In Loei berpikir.
"Coba Tjio Eng menanyakannya dan ia ketahui siapa yang
hendak dibekuk orang she Tjioe ini, tidak nanti akan terjadi
kekeliruan semacam ini.....”
"Aku bertemu dengan Tjio looenghiong di dekat tanjakan
Bengliangkong," berkata pula San Bin, "tempat itu adalah daerah
pengaruhnya Tjeetjoe Na Thian Sek. Aku lantas pergi menemui
Thian Sek, aku serahkan Loklim tjian kepadanya sambil menitahkan
dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada
seluruh kaum Rimba Hijau.
Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar
dengar kabar. Lancar jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama
antara Tjio Eng dan ayahku, ada beberapa orang yang tadinya tidak
sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di tempatnya masing-
masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In,
kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa?
Kenapa kau kelihatannya tidak gembira?"
San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini
karena tiba-tiba saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan
tetapi nona itu, begitu ditegur, dia telah paksakan diri untuk
tertawa.
"Sebenarnya aku merasa kurang sehat," ia kata. "Tapi sekarang
aku sudah sehat, aku, aku girang sekali."
"Tentang Loklim tjian itu, tidak usah aku memperhatikannya
terlebih jauh," San Bin menerangkan pula. "Satu kali panah telah di
kirimkan, orang-orang loklim sendiri masing-masing tahu bagaimana
harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di tempat ini aku bertemu
dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari kau.
Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!"
In Loei berdiam.
San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar
suatu apa, lantas ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya
memasang kupingnya.
"Apakah ada orang tengah mendatangi?" tanya
In Loei menyaksikan kelakuan orang itu. "Kenapa aku tidak
dengar apa-apa?.....”
San Bin lantas berbangkit pula.
"Ada orang datang, tapi masih jauh," sahutnya. Lantas ia lari
keluar, untuk coba menutup pintu, kemudian ia kembali. Itulah
"Hoktee tengseng" atau ilmu memasang kuping sambil mendekam
di tanah yang San Bin gunakan, itu adalah suatu ilmu istimewa.
Pernah In Loei pelajari ilmu itu tetapi belum sempurna.
San Bin awasi si nona, lalu ia bersenyum.
"Bukankah baik kau salin pakaian?" katanya.
Merah wajahnya In Loei. Kata-katanya San Bin seolah-olah
merupakan teguran untuknya. Sambil tunduk, ia bertindak masuk ke
dalam kamar rahasia, yang pintunya terus ia tutup.
Di tinggal seorang diri, San Bin berpikir keras. Ia sangsikan nona
ini, ia bercuriga. Bukankah, selama ia belum ketahui Thio Tan Hong
ada musuhnya, In Loei telah bergaul rapat sekali dengan Tan Hong?
Sampai di mana pergaulan mereka?
In Loei sendiri, selagi ia buka bungkusan pakaiannya, di
kepalanya seperti terbayang wajah Thio Tan Hong yang seolah-olah
sedang tertawa, kupingnya seperti berulangkah mendengar,
"Adik kecil, adik kecil....." suara itu halus dan manis yang
menggoncangkan semangat. Ia menjadi tidak keruan rasa, hingga
ketika ia angkat bajunya, baju untuk wanita, ia merobeknya! Kenapa
ia jadi sengit? Bencikah ia pada bajunya itu? Tidak! Tak tahu ia
kenapa dengan mendadak ia jadi sengit. Lalu timbul keinginan
untuk menjadi seorang lelaki! Ia percaya, kalau ia menjadi seorang
pria, mungkin tak akan dialaminya segala kesukaran ini.....
Tengah memeriksa pakaiannya, nona ini lihat sepotong baju
merah tua. Ia ingat, inilah baju yang pertama kali ia pakai setelah
Tan Hong ketahui bahwa dia adalah satu nona. Ketika itu, Tan
Hong, yang mengawasi dengan tajam padanya, sangat mengagumi
dan memuji kecantikannya. Ia lantas menghela napas. Ia terus
pandang bajunya itu. Ya, tidak salah, itulah baju yang dipuji Tan
Hong. Ia lantas usap-usap baju itu, lalu disimpan secara hati-hati
juga.
Di luar kamar rahasia, terdengar tindakan kaki San Bin, yang
rupanya sedang jalan mondar-mandir. Mendengar itu, mendadak In
Loei sadar dari lamunannya.
"Pastilah tak sabaran Tjioe Toako menantikan aku!.....” pikirnya.
Maka ia lantas pilih seperangkat pakaian pria dan segera dipakainya
dengan cepat, lalu dengan cepat juga ia bertindak keluar.
San Bin tengah sandarkan tubuh di pintu batu.
"Kau dengar tidak tindakan kaki kuda itu?" dia berkata. "Orang
telah dating semakin dekat. Orang yang datang ke tempat
pekuburan ini, mestinya bukan sembarang orang. Bagaimana
dengan kesehatanmu? Dapatkah kau menggunakan pedangmu?"
"Rasanya aku dapat," jawab In Loei. "Tjioe Toako, coba kau
tuturkan pula padaku tentang Loklim tjian."
Itulah pertanyaan yang San Bin tidak sangka, ia menjadi heran.
Bagaimana dalam keadaan demikian si nona masih sempat
menanyakan urusan panah kaum Rimba Hijau itu?
"Aku percaya sekarang ini, panah itu sudah tersiar luas," ia
menjawab. "Apa lagi yang hendak dibicarakan mengenal panah itu?"
"Di dalam propinsi Shoasay ini, siapakah jagonya loklim?" In Loei
tanya.
San Bin mengawasi, ia tertawa.
"Ah, apakah kau sangsi tak akan dapat menuntut balas?" dia
balik menanya. "Di dalam propinsi ini, ada banyak jago loklim1. Ya,
aku sampai lupa memberitahukan kau satu hal. Kau tahu,
djiesoepeh Tiauw Im Taysoe-mu, yang belum lama ini baharu
kembali dari Mongolia, sekarang berada di dalam daerah ini.
Jangan-jangan dia pun telah mendapat tahu tentang panah kita itu."
In Loei heran.
"Adakah itu benar?" dia tanya. "Kapan djiesoepeh pergi ke
Mongolia? Apakah kau telah bertemu kepadanya?"
"Aku sendiri tidak menemuinya, aku dengar pembicaraan orang,"
sahut San Bin. "St, jangan kau bicara pula. Dengar, di luar ada
suara orang memanggil kau!"
Memang benar kata-kata orang she Tjioe ini.
"In Loei! In Loei!" demikian suara panggilan di luar pekuburan.
Itulah suaranya Tjoei Hong!
In Loei heran hingga ia tercengang. Baharu ia hendak berkata,
"Jangan bukakan pintu," atau San Bin sudah pentang pintu kuburan,
hingga nona Tjio bisa lari masuk, larinya keras sekali.
Begitu ia lihat In Loei, Tjoei Hong girang bukan kepalang.
"In Siangkong, kau benar ada di sini!" dia berseru. Cuma itu yang
ia dapat katakan, lantas saja ia menangis tersedu-sedu, menangis
karena girangnya.
"Lukanya In Siangkong baharu baikan, kau jangan ganggu dia,"
San Bin peringatkan.
Baharu sekarang Tjoei Hong lihat pemuda she Tjioe itu, untuk
sedetik ia tercengang, habis itu, sepasang alisnya berdiri, wajahnya
menunjukkan kegusaran.
"Kita ada suami isteri, kenapa kau usilan?" dia bentak. Tapi terus
dia hampirkan In Loei.
"In Siangkong, adakah kau terkena tangan jahatnya Hek Pek
Moko?" dia tanya, dengan perlahan sekali.
In Loei manggut.
"Kau jangan kuatir, sekarang ini aku sudah sembuh," ia jawab. Ia
pegang tangan si nona, untuk ditarik. "Benar apa yang dikatakan
Tjioe Toako , perlu aku beristirahat. Kau lihat, hari sudah sore."
Mukanya Tjoei Hong menjadi bersemu merah.
"Kau bantu kakak angkatmu, kau tidak perhatikan aku.....”
katanya dalam hati, saking mendongkol. Ia cuma bisa berpikir,
tidak berani ia utarakan kemendongkolannya itu.
San Bin di samping mereka tertawa tertahan.
"Eh, kau tertawakan apa?" tegur Tjoei Hong, matanya mendelik.
In Loei menyelak tanpa tunggu jawaban San Bin, yang
bersenyum.
"Aku sudah lapar, Nona Tjio, tolong kau masakkan aku
makanan," demikian katanya. "Di sini ada beras, ada daging. Ingin
aku beristirahat, maka kalau nanti makanan itu sudah sedia, baharu
kau panggil aku.....”
Habis berkata terus ia masuk ke dalam kamar rahasia.
San Bin hendak ikuti si nona, baharu ia jalan dua tindak, Tjoei
Hong sudah perdengarkan suaranya yang kaku: "Eh, mari kau
bantui aku ambil air untuk cuci beras!"
Biar bagaimana, pemuda ini jengah, urung ia masuk ke dalam
kamar rahasia.
In Loei menoleh, ia bersenyum kepada pemuda itu. Ia bagaikan
anak nakal yang merasa sangat puas karena berhasil menggodai
orang.....
San Bin masgul sekali, dengan mulut membungkam ia bantui
Tjoei Hong mengambil air untuk cuci beras, lalu menyalakan api,
untuk memasak nasi.
Tjoei Hong juga bungkam terus, tidak ia pedulikan anak muda
itu, suatu tanda ia murka.
Adalah In Loei, yang katanya hendak beristirahat, di dalam
kamar rahasia sudah mengasah otaknya. Ia pikirkan, dengan cara
bagaimana dapat ia menjodohkan kedua pemuda dan pemudi itu. Ia
bersenyum bila ia dengar orang tidak perdengarkan suara satu pada
lain.
"Tjoei Hong sangat membenci dia, itulah tentu disebabkan
karena ia menyangka akan sangat berpihak pada toako San Bin," ia
pikir. "Tapi, kalau nanti ia ketahui aku pun seorang wanita sebagai
dia, pastilah dia akan tertawa! Adakah ini yang dikatakan, kalau
bukan musuh tidak berkumpul menjadi satu?"
Selagi memikir demikian, Nona In ini jengah sendiri. Tidakkah ia
pun demikian ketika pertama kali ia bertemu dengan Tan Hong?
Tidakkah ia juga semula mempunyai perasaan jemu? Karena ini, ia
menghela napas sendirinya.
In Loei tidak tahu berapa lama ia telah melamun, tahu-tahu ia
dengar Tjoei Hong mengetok pintu kamar.
"In Siangkong, nasi sudah matang!" kata "isteri" itu.
Bagaikan baharu sadar dari mimpinya, dengan gugup In Loei
buka pintu. Ia lantas dapat tenangkan diri. Tapi, begitu lekas ia
tampak sikapnya San Bin dan Tjoei Hong berdua, yang tetap masih
saling membungkam dan tak pedulikan satu dengan lain, tak
tertahan lagi, ia tertawa.
Tjoei Hong dan San Bin itu berebut hendak menyajikan nasi
untuk In Loei, karenanya, nona itu kembali deliki si anak muda,
hingga dia ini dengan jengah mesti mengalah.
In Loei bersenyum, ia sambuti nasi dari Nona Tjio.
San Bin jengah, kuatir ia nanti ditertawakan In
Loei, ia diam dengan muka yang merah.
"Tjoei Hong," berkata In Loei kemudian, "Tjioe Toako ini adalah
Djitgoat Siangkie Kimtoo Siauwtjeetjoe. Ia ada seorang yang banyak
pemandangannya, luas pengetahuannya, maka itu pantaslah kalau
kau meminta pengajaran daripadanya."
Dengan sengaja In Loei menyebutkan lengkap "Djitgoat
Siangkie Kimtoo Siauwtjeetjoe" atau "tjeetjoe muda terjuluk
Kimtoo, si Golok Emas, dari pesanggrahan yang berbendera Djitgoat
Siangkie, bendera sepasang matahari dan rembulan."
Mendengar itu Tjoei Hong perdengarkan suara dihidung, "Hm!"
"Memang telah aku ketahui, kakak angkatmu itu ada seorang
gagah yang luar biasa," demikian katanya secara memandang
enteng. "Jikalau bukannya begitu, cara bagaimana kau begini
mendengar kata terhadapnya?"
Mendengar demikian, San Bin menjadi sangat jengah. Tidak
demikian dengan si Nona In, yang tak pedulikan ejekan itu. Ia telah
menduga yang ia akan mendapat sambutan demikian. Sambil
tertawa, ia berkata pada si nona: "Turut katanya Tjioe Toako, itu
hari kau terburu-buru pulang, kenapa sekarang kau keluar pula?"
"Memang," jawab Tjoei Hong. "Tidak lama setibanya aku di
rumah, ayah pun pulang. Wajah ayah muram sekali, ia seperti
tengah menghadapi soal sangat sulit. Aku tanya ayah apa ia dapat
menemui kau, ayah jawab tidak. Ayah tahu betul
kau masih berada di dalam kuburannya Hek Pek Moko, tetapi ada
orang yang mencegah dia menemui kau. Hal itu membuatnya aku
heran sekali."
San Bin pun heran, hingga ia campur bicara.
"Ayahmu ada seorang gagah, ia disegani kaum Rimba Hijau,
siapa yang berani merintangi dia?" demikian ia tanya.
Mendengar orang memuji ayahnya, kesan jelek Tjoei Hong
terhadap pemuda itu berkurang dengan segera. Tapi masih ia tidak
mau melayani orang berbicara, ia hanya memandang In Loei.
"Berulangkah aku tanya ayah, siapa itu orang yang mencegah
dia, ayah tetap tidak hendak mengatakannya," kata Tjoei Hong.
Ayah katakan ia tidak takuti siapa pun jua, melainkan perkataan
orang itu tak dapat ia tidak mendengarnya. Ayah pun berkata,
tentang jodohmu, itu ditanggung olehnya serta In Siangkong. Ia
kata tidak usah aku pusingkan kepala lagi.
Berkata sampai di situ, merah mukanya Tjoei Hong, hingga tidak
berani ia bertemu mata dengan In Loei, tangannya pun membuat
main ujung bajunya saja.
In Loei tertawa di dalam hati. Ia girang, ia pun berduka. Ia
girang menyaksikan kemalu-maluan Tjoei Hong dan Tjio Eng yang
demikian menghargai Thio Tan Hong. Tapi ia berduka untuk
nasibnya sendiri, yang belum tahu bagaimana jadinya nanti.
Bukankah Tan Hong itu musuhnya? Ia tahu benar, orang yang
dimaksudkan Tjio Eng itu adalah Thio Tan Hong, tapi tentang
pemuda she Thio itu, tidak hendak ia menyebutkannya.
"Selama belasan hari ini, sikap ayah menjadi luar biasa sekali,"
Tjoei Hong menambahkan. "Biasanya, dalam hal apa juga, ayah
selalu bicara denganku, hanya selama ini, semua gerak-geriknya ia
rahasiakan. Tentang siapa adanya si bangsat cilik berkuda putih itu,
perihal selembar gambar lukisan, juga mengenai orang yang
mencegah padanya, semua itu ayah tak hendak beritahukan sedikit
jua padaku. Ayah sampai tidak mempedulikannya yang aku menjadi
gusar. Sebaliknya ayah menghendaki aku segera mengantarkan
surat.....”
"Mengantarkan surat?" tanya In Loei. "Mengantarkan surat untuk
siapa?" ia perlihatkan roman heran dan sangat ingin mengetahui.
Tjoei Hong sebaliknya bersenyum.
"Surat itu mesti disampaikan kepada seorang kangouw yang
kenamaan, yang aneh," ia beri tahu. Tapi cuma sampai di situ ia
memberitahukannya, lalu ia tambahkan: "Sekarang ini tidak hendak
aku beritahukan dulu kepadamu. Jikalau kau ingin bertemu dengan
orang aneh itu, besok kau boleh turut aku pergi bersama!"
"Di propinsi Shoasay ini di mana ada orang kenamaan yang aneh
seperti yang kau maksudkan itu?" San Bin campur bicara pula.
"Apakah dia itu Na Tayhiap? Ataukah Tjek Tjhoengtjoe? Atau?"
"Hm!" Tjoei Hong memotong. "Tak usah kau menduga-duga
tidak keruan! Kau memang ada Kimtoo Siauwtjeetjoe yang
kenamaan akan tetapi tidak nanti kau ketahui orang kangouw
kenamaan yang aneh itu!"
San Bin ketemu batunya, ia bungkam pula. In Loei tertawa.
"Sudahlah, jangan kau main sandiwara!" kata dia. "Akan aku
turut perkataanmu. Besok bersama-sama Tjioe Toako, aku akan
turut kau! Sekarang sudah malam, hendak aku tidur!"
Dia tolak pintu kamar rahasia ke dalam mana ia bertindak masuk.
Tjoei Hong cuma bersangsi sebentar, ia turut masuk juga ke
dalam kamar itu.
"Entjie Hong, di sana masih ada sebuah kamar," berkata In Loei
dengan perlahan pada nona ini.
Tjoei Hong jengah dan mendongkol, hingga ia berhenti
bertindak. Ketika ia hendak buka mulutnya, dari luar ia dengar suara
San Bin berkata-kata seorang diri: "Hebat kuburan ini, bagaikan satu
dunia baru saja! Ruang di dalam tanah ini bagaikan istana, sudah
ada ruang besar, masih ada beberapa kamar lainnya, sungguh
bagus! Kamu berdua boleh tidur masing-masing di kamar, aku
sendiri, aku tidur di ruang besar ini, untuk berjaga malam. Hiantee,
kau baharu sembuh, perlu kau beristirahat, mesti kau tidur siang-
siang, jangan kau terlalu banyak bicara.....”
Mukanya Tjoei Hong merah hingga kekupingnya, ia lompat keluar
kamar rahasia. Di ruang tengah itu ia tampak San Bin mengawasi ia,
wajahnya tampak seolah-olah bersenyum..... San Bin menutup
mulut.
Mendongkol Nona Tjio, hingga ingin ia bacok pemuda itu sampai
tubuhnya kutung. Dengan mendongkol, ia tolak keras daun pintu
dari kamar yang ditunjukkan In Loei, ke dalam mana ia bertindak
masuk. Karena terus mendongkol, sampai jauh malam belum dapat
ia tidur pules.....
Besoknya, pagi-pagi, bertiga mereka itu telah mendusi dari
tidurnya. Mereka berkumpul di ruang tengah. In Loei bicara dengan
San Bin, tapi San Bin dan Tjoei Hong tak bicara satu pada lain.
Tidak lama, mereka duduk bersantap bersama-sama. Habis dahar,
ketika mereka mau keluar dari kuburan itu, tibatiba terdengar di
kejauhan suara kuda berbunyi.
San Bin lompat bangun.
"Cepat sekali datangnya kuda itu!" kata dia. Ia bicara seperti
tanpa juntrungan.
Baharu ia tutup mulutnya, atau suara kuda terdengar makin
dekat. Dua kali binatang itu berbenger.
"Eh!" Tjoei Hong berseru, tanpa ia merasa. "Suara kuda itu
seperti suaranya Si kuda putih!.....”
Mendadak wajah In Loei menjadi pucat, tubuhnya pun limbung
bagaikan hendak jatuh.
Tjioe San Bin sudah lantas cabut goloknya.
"Bagus! Dia telah mendahului datang mencari kita!" ia kata. "Mari
kita gabung tenaga kita untuk tempur dia!"
In Loei raba pedangnya, tangannya gemetar. Belum lagi ia hunus
pedangnya itu, terdengarlah suara berisik dari rubuhnya pintu
depan, menyusul mana seekor kuda putih menyerbu masuk!
San Bin berseru, kaget tercampur girang, terus dia lompat
menyambut sambil memberi hormat kepada orang yang
menunggang kuda putih itu.
In Loei pasang matanya, ia dapatkan orang itu bukannya Thio
Tan Hong yang ia harap-harap, hanya, di luar sangkaannya, orang
itu adalah Tiauw Im Hweeshio1. Ia menjadi girang berbareng
kecewa, hingga ia berdiri menjublak dihadapannya pendeta itu, tak
dapat ia bicara.
Si pendeta pun heran menampak orang dandan bagaikan satu
pemuda, hingga ia keluarkan seruan tertahan: "Ah!" Kemudian,
selagi ia hendak minta keterangan, Tjioe San Bin telah menarik
ujung bajunya, mengajak ia ke pinggir, untuk dibisiki. Akhirnya, ia
tertawa berkakakan.
"Anak Loei, mari!" ia memanggil sambil melambaikan tangannya.
"Baharu beberapa tahun aku tidak lihat kau, sekarang kau telah
menjadi demikian rupa."
"Soesiok." In Loei memanggil, yang maju seraya memberi
hormat.
Tjoei Hong turut di belakang In Loei, ia pun memberikan
hormatnya.
Tiauw Im melirik kepada nona Tjio, lalu ia tertawa berkakakan
pula.
"Sungguh cantik!" katanya, gembira. "Anak Loei, jangan kau sia-
siakan padanya!"
"Apa soesiok ada baik?" tanya Tjoei Hong. Ia agak malu.
Tiauw Im mengawasi, ia tertawa pula.
"Kau begini cantik, apakah kau juga bisa masak nasi?" dia tanya.
Melengak Nona Tjio ditanya begitu.
"Teehoe sangat cerdik!" San Bin menyelak, untuk mewakilkan si
nona menjawab paman guru yang Jenaka itu. "Ia bukan cuma
pandai masak nasi ia pun pandai masak sayur!"
"Bagus, bagus!" seru pendeta itu. "Selama dua hari aku telah
melakukan perjalanan tujuh atau delapan ratus lie, sekarang
perutku lapar sekali, maka itu, lekas kau matangkan aku nasi dan
sayurnya!"
Tjoei Hong melengak, di dalam hatinya, ia kata: "Walaupun kau
lapar, tidak selayaknya kau berlaku demikian terhadapku! Ayahku
sendiri belum pernah menitahkan aku begini rupa.....”
Tiauw Im sudah lantas cangcang kudanya, habis itu ia jatuhkan
diri untuk duduk.
"San Bin Hiantit," kata dia pada pemuda she Tjioe itu, yang ia
panggil
"hiantit" atau keponakan, "kau juga pergi bantui iparmu masak
nasi! Kau masak kira-kira tiga kati beras. Sayurnya tak usah banyak,
cukup dengan enam atau tujuh rupa!"
Tanpa ragu-ragu lagi Tiauw Im berikan titahnya itu, ia
membuatnya Tjoei Hong tak dapat menangis dan tertawa. Di dalam
hatinya, ia mengeluh: "Kenapa paman gurunya In Loei begini
keterlaluan?" Akan tetapi ia mesti pandang In Loei, walaupun sambil
jebikan bibir, ia toh pergi ke belakang.
San Bin sudah lantas susul nona itu.
"Tak mau aku dibantui kau!" kata Tjoei Hong dengan bengis. Ia
tengah mendongkol, tak dapat ia sabarkan diri lagi.
"St, perlahan sedikit....." San Bin berbisik. "Kau tidak tahu,
paman gurunya In Loei ada seorang sembrono. Jikalau kau berbisik
dan ia mendengarnya, nanti di depan In Loei dia ceritakan tentang
dirimu!....."
Benar-benar Tjoei Hong membungkam.
San Bin tidak pedulikan orang gusari dia sambil dideliki, malah
sambil tertawa, ia berkata pada nona itu: "Kau dengar apa kata
pendeta itu, bukan? Dia berperut besar sekali, dia mengatakannya
tujuh macam sayur masih belum banyak. Coba kau pikir, seorang
diri saja, dapatkah kau matangkan semua sayur itu?"
Tjoei Hong mendongkol tetapi kata-kata pemuda itu benar. Ia
menoleh ke arah si pendeta. "Cis" ia meludah.
"St!" San Bin mencegah pula. "Paman guru dan keponakan
muridnya itu asyik pasang omong, jangan kau ganggu mereka.
Pendeta sembrono itu beradat aneh sekali, terhadap dia kau mesti
berhati-hati....."
Tjoei Hong mendongkol, hingga ia ingin menangis.
"Bagus, ya, kamu paman dan keponakan!" katanya, sengit. "Kau
perhina aku sebagai orang luar! Nanti aku tegur In Loei!"
Justeru itu, dari dalam ruang, terdengar Tiauw Im batuk-batuk.
Mendengar suara orang, Tjoei Hong berdiam, dengan masih
mendongkol, ia lantas bekerja bersama-sama San Bin.....
San Bin geli di dalam hati, ia "layani" si nona, supaya dengan
begitu In Loei dapat kesempatan untuk pasang omong dengan
paman gurunya itu. Ia berbuat demikian, tak tahu ia, bahwa ia juga
tengah dipermainkan In Loei. Karena Nona In bermaksud supaya
mereka berada berdua agak lamaan.
Selagi pemuda dan pemudi itu berada di dapur, In Loei tuturkan
Tiauw Im bagaimana caranya ia "menikah" di Heksek tjhoeng,
hingga, mendengar kejadian lucu itu, paman guru itu tertawa tak
hentinya. Tapi, setelah ia berhenti tertawa, mendadak ia perlihatkan
roman sungguh-sungguh!
"Kau berjenaka di sini!" katanya nyaring. "Kau tak tahu,
untukmu, aku telah berusaha di Mongolia setengah mati setengah
hidup!.....”
In Loei terkejut. Mendelong ia mengawasi paman guru itu.
"Anak Loei," kata si pendeta kemudian, dengan samar, "masih
ingatkah kau ketika itu tahun kau bersama kakekmu kembali ke
Tionggoan?"
"Aku masih ingat," sahut keponakan murid itu. "Ketika itu ada
tahun Tjengtong ketiga."
"Dan sekarang?" Tiauw Im tanya, sambil mengawasi.
"Sekarang tahun Tjengtong ke- tiga belas."
Pendeta itu menghela napas. "Pesat sekali jalannya sang waktu!"
dia mengucap. "Sekejap saja sudah sepuluh tahun! Pada sepuluh
tahun yang lampau, aku ada bersama samsoepeh Tjia Thian Hoa-
mu, kita berada di luar kota Ganboenkwan di mana kita bersumpah
sambil menepuk tangan! Kita telah bersumpah, yang satu
melindungi si anak tunggal, yang lain harus menuntut
balas. Akulah yang bertugas membawa kau ke gunung Siauwhan
san untuk diserahkan pada soesoemoay untuk dirawat dan dididik,
dan samsoepeh-mu itu bertugas pergi jauh ke Mongolia untuk
membunuh Thio Tjong Tjioe si penghianat! Tentang sakit hatimu
ini dan tindakan untuk membuat pembalasan, mestinya
gurumu telah menuturkan kepadamu, bukan?"
In Loei segera mencucurkan air mata.
"Ya, soehoe telah menuturkannya," sahutnya, dengan perlahan.
"Aku berterima kasih sangat yang soepeh telah bekerja banyak
sekali untukku.....”
Tiauw Im Hweeshio menghela napas pula.
"Terlalu siang kau ucapkan terima kasihmu ini," ia berkata. Ia
berhenti sebentar, lalu ia teruskan: "Dengan soetee Thian Hoa itu
aku telah membikin perjanjian, setelah sepuluh tahun, kita harus
membuat pertemuan di suatu tempat di luar kota Ganboenkwan. Di
luar dugaanku, dia tidak datang untuk memenuhi janji kita itu.
Menurut kabar angin, tidak dapat dipastikan apakah dia masih hidup
atau telah meninggal dunia. Ada yang mengatakan dia telah kena
ditawan Thio Tjong Tjioe. Untuk memperoleh kepastian, dengan
menunggang kuda, aku berangkat seorang diri jauh ke tanah Ouw,
masuk ke dalam wilayah Watzu. Aku telah mengambil keputusan,
jikalau benar soetee Thian
Hoa nampak bahaya, akulah yang mesti mewakili dia, guna
membalaskan juga sakit hatinya.....”
"Soehoe katakan, Tjia Soepeh liehay ilmu silatnya, dia gagah dan
cerdik," berkata In Loei, "maka itu, aku sangsikan jikalau dia
terbinasa di tangan musuh! Mungkinkah itu?"
Tiauw Im tertawa dingin.
"Memang benar ilmu silatnya Tjia Thian Hoa ada liehay sekali,
jikalau tidak demikian, sudah pasti aku telah membalaskan
dendammu!" katanya dengan sengit.
In Loei heran, hingga ia mendelong mengawasi soepeh itu.
"Djisoepeh, aku tidak mengerti," katanya. "Apakah yang soepeh
maksudkan?"
Tiauw Im menepuk meja, hingga ujungnya gempur.
"Aku juga sangat tidak mengerti!" dia berseru. Maka, heranlah In
Loei.
Paman guru itu menghela napas panjang-panjang.
"Setelah aku tiba di Watzu, segera aku mengadakan
penyelidikan," ia melanjutkan. "Sekian lama aku telah bekerja, tidak
aku peroleh hasil, tidak aku ketahui di mana adanya soetee Thian
Hoa atau apa yang telah terjadi atas dirinya. Aku lantas pikir untuk
membalasnya seorang diri. Dalam hal ini, aku pun terhalang. Thio
Tjong Tjioe terlindung kuat oleh Tantai Mie Ming, sedang
gedungnya ada tanggu dan rapat penjagaannya. Tidak bisa aku
sembarang turun tangan. Aku menjadi tidak sabaran, hingga
aku rasa, satu hari sama lamanya dengan satu tahun."
"Akhirnya, datang juga hari yang aku tunggu-tunggu. Aku dapat
mengendus bahwa Tantai Mie Ming tidak berada di dampingnya
Thio Tjong Tjioe. Mungkin dia dititahkan si penghianat pergi kesuatu
tempat jauh untuk suatu tugas penting. Segera aku selidiki
kebenaran itu, sesudah mana aku ambil kepastian untuk memasuki
gedung si penghianat itu. Aku lakukan ini pada suatu malam yang
gelap dan angin tengah menderu keras. Aku datang sendirian, tentu
saja, aku juga bekerja seorang diri.
Besar sekali gedung si penghianat itu, yang menjadi Yoe
sinsiang, perdana menteri muda. Luas sekali pekarangan gedung
itu. Melihat gedung itu nyatalah dia hidup mewah dan mulia. Negara
asing di utara gobi itu adalah tempat yang dingin dan sulit, tetapi di
sana telah dibangun suatu gedung mirip gedung-gedung di
Kanglam, ada lotengnya, ada ranggonnya, yang mengambil contoh
dari Hangtjioe dan Souwtjioe. Boleh dikatakan setengah malaman
aku berkeliaran di luar gedung itu, aku baharu berhasil mempergoki
dan mencekik satu kacung dari siapa aku ketahui, tempat
kediamannya si penghianat, yaitu di loteng di pojok timur taman.
Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul lima, akan tetapi
sangatlah aneh, sampai pada saat itu si penghianat masih belum
tidur. Aku dapatkan dia berada seorang diri, tengah duduk menulis
di dalam kamarnya itu. Ia terus tunduk dan menulis, tidak ia
menyangka bahwa di luar jendela kamarnya ada orang yang sedang
menghadang jiwanya.
Aku menggenggam tiga batang kimtjhie piauw. Aku pun tidak
hendak mensia-siakan ketika yang baik ini. Begitulah, melalui
jendela, aku lakukan penyeranganku, penyerangan yang saling susul
terhadap tiga jalan darah tjiangtay hiat, soankee hiat dan kimtjoan
hiat. Biasanya, dalam jarak tiga tombak, tidak pernah aku gagal
dengan piauw-ku itu. Dan biasanya, jangan kata orang yang tengah
duduk menulis dan lengah, walaupun orang yang pandai silat dan
siap sedia, sukar dapat meloloskan diri dari serangan ketiga piauw-
ku itu. Akan tetapi kali ini, kesudahannya membuat aku melengak.
Begitu piauw-ku menyambar, begitu juga aku dengar suara trang-
trang tiga kali, lalu ketiga piauw itu jatuh di atas lantai. Di dalam
kamar itu ada kamar rahasianya, aku lihat si penghianat lari minggir
ketembok, ketika aku menyambar, tubuhnya nyeplos lenyap ke
dalam tembok rahasia itu, aku melainkan dapat menjambret ujung
bajunya, yang menjadi robek. Selagi aku menyambar, tiba tiba ada
orang yang lompat kepadaku dan menolak tubuhku hingga aku
jatuh ke atas meja! — Anak Loei, dapatkah kau menerka, siapa
orang itu?"
"Mungkinkah Tantai Mie Ming tidak pergi ke mana-mana dan ia
hanya menggunakan tipu daya untuk mendustai orang?" In Loei
balik menanya. Tapi baharu selesai ia menjawab demikian, tiba-tiba
ia sadar sendirinya. Bukankah pada permulaan bulan yang lampau
ia bersama Kimtoo Tjioe Kian, di luar kota Ganboenkwan, telah
mengerubuti Tantai Mie Ming itu? Karenanya, ia lantas
menambahkan: "Mungkinkah Tantai Mie Ming mempunyai ilmu
memecah tubuhnya? Tapi jikalau bukan Tantai Mie Ming, siapakah
yang ilmu silatnya demikian liehay?"
Tiauw Im Hweeshio tertawa dingin.
"Jikalau dia ada Tantai Mie Ming, itulah tidak aneh!" katanya,
dengan keras. "Dia adalah orang yang perhubungannya dengan aku
bagaikan kaki dengan tangan! Dia adalah saudara seperguruanku —
Tjia Thian Hoa!"
In Loei heran bukan kepalang, hingga ia menjerit.
"Samsoepeh?" dia tegaskan.
Tidak salah! Dialah Tjia Thian Hoa!" Tiauw Im pastikan. "Dia
membuat aku mendongkol sekali. Segera aku tegur padanya:
Apakah kau telah melupakan janji kita sepuluh tahun yang lalu? Kau
hendak menuntut balas atau bekerja untuk musuh? Dia mendelik
terhadapku, terus dia menyerang, beruntun tiga kali. Dia telah
gunakan pedangnya. Dia mendesak aku mundur hingga keluar. Aku
lari, dia mengejar. Di antara saudara-saudara seperguruanku, dialah
yang paling liehay, aku tahu aku bukannya tandingannya, akan
tetapi aku ada demikian gusar, akhirnya aku berhenti berlari, aku
putar tubuhku, hendak aku tempur dia!
Aneh sekali sikapnya waktu itu. Di dalam kamar, dia sangat
bengis terhadapku, setelah berada di luar, dia sebaliknya tidak
gunakan kepandaiannya. Dia Cuma berkelit dari serangan-
seranganku. Malah dengan perlahan, dia berkata padaku: Kau tahu,
Thio Tjong Tjioe itu orang macam apa?
Aku sedang murka, aku damprat dia. "Bagaimana kau dapat
bicara begini?" aku tegur dia. Tidak nanti penghianat she Thio itu
seorang baik-baik. Kembali aku bacok dia. Aku melakukannya pada
malam hari, karenanya tidak dapat aku bawa tongkat sianthung-ku,
maka itu aku bawa golok pendek. Senjata itu kurang tepat untukku.
Dengan senjata itu, mana dapat aku bacok jitu kepadanya? Baharu
aku ulangi bacokanku dua kali, dari yang mana ia selalu egoskan
diri, ia berkata dengan perlahan: "Hai, soeheng yang tolol! Dengan
mendadak dan sebat sekali, dia desak aku, sebelah tangannya
menyambar, hingga aku tertotok, lalu dia panggul tubuhku, untuk
dibawa pergi.
Waktu itu, aku dengar suara mulai gempar. Terang sudah bahwa
pengawal-pengawal telah sadar dan mengendus adanya bahaya.
Tapi dia telah membawa lari aku berlompatan, berputaran, hingga
tak lama kemudian kita sudah berada di dalam taman bunga, di
suatu pojok yang semak, gelap dan sunyi. Di situ pun ada sebuah
kandang kuda yang bagus, dari dalam kandang itu dia tuntun keluar
seekor kuda putih, yang ia serahkan padaku.
Sambil membebaskan aku dari totokannya yang berbahaya, dia
bisiki aku: "Kita ada saudara-saudara angkat dari banyak tahun,
mustahil kau tidak ketahui aku ada orang macam apa?" — Lekas
kau pergi, lekas!
Aku tidak mau naiki kuda itu. Aku katakan padanya: Jikalau kau
tidak berikan aku keterangan yang jelas, tidak mau aku pergi dari
sini! Wajahnya menjadi berubah pucat, lalu merah. Dia bentak aku:
"Jikalau kau tidak pergi, jangan sesalkan aku berlaku kejam! Bukan
cuma aku inginkan kau berlalu dari gedung ini, aku juga berikan kau
tempo tiga hari untuk meninggalkan Mongolia! Atau aku nanti ambil
jiwamu!"
Aku menjadi sangat gusar, aku sambar dia dengan golokku. Tapi
dia pampas golokku itu, di depanku, dia membuatnya patah dua.
Belum sempat aku mengatakan sesuatu, dia sudah angkat tubuhku,
untuk digabrukkan ke atas kuda. Dia pun membentak pula: "Apakah
benar kau tidak menghendaki lagi jiwamu!"
Benar-benar, aku tidak sangka dia menjadi demikian rupa. Maka
aku pun pikir: "Dia ada begini tidak berbudi, apabila aku korbankan
jiwaku, siapa nanti ketahui dia adalah satu murid yang murtad?
Baiklah aku menyingkir dulu, biar di belakang hari aku cari pula dia
untuk membuat perhitungan. Karena ini, aku lantas angkat kaki.
Kuda putih itu benar-benar satu kuda jempolan, tanpa
dikendalikan, dia telah bawa aku kabur. Syukur aku pandai juga
menunggang kuda. Sia-sia saja aku mencoba kendalikan dia. Dia
telah membawa aku menyingkir dari kalangan gedung perdana
menteri itu. Di belakangku ada ratusan penunggang kuda yang
mengejar aku, mereka pun berteriak-teriak, di antaranya aku dengar
ada yang mengatakan: "Besar nyalinya penjahat itu, dia berani curi
kuda Yang Mulia Perdana Menteri!"
Hai! Kiranya kuda itu ada kuda pilihan kepunyaannya si
penghianat she Thio! Besar hatiku. Aku lari terus. Sampai dapat aku
mengendalikannya. Kuda itu kabur bagaikan terbang, hingga dalam
sekejap saja semua pengejar tertinggal jauh di belakang, tidak
dapat mereka mengejar terus kepadaku. Malam itu aku mendongkol
bukan main, tetapi di luar dugaanku, aku mendapatkan kuda yang
jempolan....."
Kuda putih itu ditambat di ruang itu, dia seperti mengerti
perkataannya si pendeta, dia berbenger.
In Loei pandang kuda itu, ia dapatkan, itulah kuda yang mirip
betul dengan kuda Tjiauwya saytjoe ma kepunyaan Thio Tan Hong.
Cuma pada leher kuda ini ada tumbuh segumpal bulu kuning.
Teranglah, kedua kuda itu ada sebangsa.
"Anak Loei, kau diam memikirkan apa?" Tiauw Im tegur si nona.
"Aku pikirkan sikap aneh dari samsoepeh," sahut keponakan
murid ini. "Jikalau benar samsoepeh kesudian menjadi hambanya
musuh kita, kenapa dia serahkan kuda Thio Tjong Tjioe ini?"
"Maka itu, aku pun sangat tidak mengerti!" sahut si pendeta.
"Tanpa kuda ini, tidak nanti aku lolos dari Mongolia.....”
In Loei menggelengkan kepala.
"Benar-benar ruwet....." katanya. "Sebenarnya
Thio Tjong Tjioe itu orang macam apa? Mustahil dia....."
"Plok!" demikian suara yang diterbitkan Tiauw Im, yang kembali
mengeprak gempur ujung media kemala. Dia gusar, dia berkata
dengan nyaring: "Thio Tjong Tjioe itu ada dari keluarga penghianat,
turun menurun dia menghamba pada negeri Watzu, dia yang
mengatur tentara Watzu itu. Watzu bercita-cita menelan Tionggoan!
Penghianat besar yang diketahui umum oleh dunia adakah dia satu
manusia baik-baik?"
In Loei teringat pada kakeknya yang tersiksa, yang mesti
menggembala kuda dua puluh tahun lamanya di ladang yang ber-es
dan bersalju, hatinya menjadi sakit. Maka menggetarlah suaranya
ketika ia memberikan jawabannya.
"Dia ada satu penghianat besar yang sangat jahat dan tak
berampun! Dialah musuh besar keluargaku! — Tapi, soepeh, kau
lihat, apakah dia mempunyai suatu maksud lain?"
Kedua biji matanya Tiauw Im berputar. Tiba-tiba saja ia ingat
suatu apa. Maka lantas ia merogo ke dalam sakunya dari mana ia
keluarkan segumpal kertas. Ia buka itu sambil berkata: "Ketika
malam itu aku serang si penghianat she Thio dan aku dijoroki Thian
Hoa hingga menubruk meja, tanganku kena pegang surat ini yang
terus aku tak lepaskan lagi. Inilah surat yang sedang ditulis si
penghianat itu. Dia menulis tengah malam, aku duga urusan sangat
penting, maka itu, aku bawa surat itu. Sayang dia menulis dalam
huruf Tjodjie, yang aku tidak mengerti. Inilah suratnya, coba kau
lihat. Setiap barisnya terdiri dari tujuh huruf, tidak kurang tidak
lebih, maka itu, semua huruf ada dua puluh delapan. Apakah ini
surat biasa atau syair?"
In Loei anggap paman guru itu lucu, tak tahan dia tidak tertawa.
Tapi dia terima surat itu, untuk dibaca. Sekian lama, dia diam saja.
"Apakah yang kura-kura itu tulis?" tanya Tiauw Im.
"Syair," sahut In Loei. Terus dia bacakan:
"Siapakah yang menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe dan Hangtjioe?
Bunga teratai harum sepuluh lie, bunga koei dimusim Tjioe. Siapa
tahu, rumput dan kayu dasarnya tidak berperasaan! Menyebabkan
sungai Tiangkang jadi laksaan tahun kedukaan."
Itulah syair yang diucapkan Thio Tan Hong ketika Tan Hong
menggelar gambarnya, memandang itu ia rupanya telah mendapat
suatu perasaan.
Tiauw Im kerutkan alisnya.
"Sampai jauh malam penghianat itu tidak tidur, adakah syair
semacam ini saja yang dia tulis?" ia kata. "Ia menyebut-nyebut
kedukaan — kedukaan apakah itu? Kenapa sungai Tiangkang dapat
menerbitkan kedukaan? — Hm, aku tak mengerti, tak mengerti!"
In Loei merasa geli hingga tak dapat ia tidak tertawa pula. Ia
tertawa tertahan.
"Inilah syairnya satu penyair di jaman Song," ia kata. "Sungai
Tiangkang itu sejak jaman dulu adalah daerah peperangan antara
pihak Selatan dan Utara. Menurut penglihatanku, syair ini
bermaksud dalam sekali.....”
Tiauw Im jengah, ia tertawa menyeringai.
"Kalau begitu, dasar aku yang tak mengerti apa-apa!" katanya.
"Coba kau jelaskan padaku, apa maksud dia menulis syair ini?"
In Loei berpikir sekian lama.
"Syair ini adalah karyanya penyair Tjia Tjie Houw di jaman Song
itu," katanya kemudian. "Ada bagian depan dan belakang yang
Tjong Tjioe robah. Syair yang asli menyebut-nyebut lagu Hangtjioe
tetapi dia ubah dan tambah menjadi Hangtjioe dan Souwtjioe. Pada
akhirnya ia tulis laksaan tahun kedukaan sedang aslinya adalah
kedukaan dari laksaan lie. Jadi jarak jauh, lie, ia ubah menjadi
waktu, tahun. Terang sudah, itu adalah lamunan dari suatu orang
yang tengah terluka hatinya. Tetapi Hangtjioe, kenapa itu ditambah
dengan Souwtjioe? Apakab artinya? Ah, ya, Tjong Tjioe Tjong Tjioe,
Tjong Tjioe....."
"Eh, mengapa kau sebut-sebut nama penghianat itu?" tanya si
pendeta heran. In Loei tiba-tiba seperti teringat suatu apa, ia tidak
menjawab paman guru ini, sebaliknya, dia tanya: "Bukankah
djiesoepeh mengatakan bahwa gedungnya Thio Tjong Tjioe itu
dibangun mirip dengan gedung-gedung di Kanglam? Belum pernah
aku pergi ke Souwtjioe akan tetapi aku tahu, gedung-gedung
berikut tamannya di sana ada kesohor sekali. Apakah gedung Tjong
Tjioe itu dibuat mirip dengan gedung-gedung di Souwtjioe?"
"Memang sama," sahut Tiauw Im. "Nampaknya penghianat itu
suka sekali akan kota Souwtjioe."
In Loei berpikir pula, ia berdiam sekian lama. Kemudian, sambil
tunduk, dengan perlahan, ia menyebut pula "Tjong Tjioe, Tjong
Tjioe, Tjong Tjioe....."
Tiauw Im terperanjat, ia heran.
"Eh, anak Loei, apakah kau kemasukan iblis?" dia tegur.
In Loei sebenarnya sedang teringat akan dongengnya Tan Hong,
pada otaknya berkelebat suatu ingatan. Ia lantas angkat kepalanya.
"Aku mengerti sekarang!" katanya, tiba-tiba. "Thio Tjong Tjioe
adalah turunan Thio Soe Seng!....."
Pada ketika itu sang waktu belum lewat tujuh atau delapan puluh
tahun dari mulainya Tjoe Goan Tjiang membangun kerajaan Beng,
lelakon Thio Soe Seng itu masih tersiar di antara rakyat jelata.
Tiauw Im Hweeshio melengak.
"Thio Soe Seng?" katanya. "Apakah kau maksudkan Thio Soe
Seng, yang dengan Beng Thaytjouw telah memperebutkan negara?"
"Thio Soe Seng mengangkat dirinya menjadi raja , di Souwtjioe
dan dia pakai nama kerajaan Tay Tjioe — Tjioe yang besar!" kata In
Loei. "Dan Thio Tjong Tjioe itu, bukankah terang-terang berarti, apa
yang dia junjung adalah kerajaan Tjioe yang besar itu dari
leluhurnya? Sama sekali dia bukannya menjunjung kerajaan Beng
yang besar dari Tjoe Goan Tjiang!"
Dengan "tjong" dari "Tjong Tjioe" itu, In Loei artikan "leluhur."
"Hai, budak cilik!" seru paman guru yang kedua itu. "Kenapa kau
bicara putar balik hingga pengertianmu itu, seperti teka-teki saja?"
In Loei tunduk, kata-kata paman guru itu seolah-olah ia tidak
mendengarnya.
Sang pendeta nampaknya habis sabar.
"Aku tidak peduli dia turunan Thio Soe Seng atau bukan!" dia
kata dengan nyaring. "Dia membantu bangsa Watzu, dia pasti
bukan manusia baik-baik!"
In Loei merasakan ruwetnya soal.
"Soepeh benar juga," katanya. Tapi, meski mulutnya mengucap
demikian, dihatinya, ia kenangkan segala apa selama ia berada
bersama-sama Tan Hong beberapa hari.
"Pastilah Thio Tan Hong telah sengaja menyingkir dari
Mongolia.....” demikian ia berpikir. "Karena dia pasti bukannya
sebangsa ayahnya itu..... Akan tetapi soepeh Thian Hoa, dia
kesohor gagah.....
Jikalau Thio Tjong Tjioe benar ada satu penghianat yang terkutuk
dan tak berampun, kenapa dia tidak membunuhnya? Kenapa
sebaliknya dia melindunginya?"
Soal ada demikian sulit, pada saat itu, tak dapat si nona
memecahkannya. Kemudian ia pikir pula, tidak peduli Thio Tjong
Tjioe dan Thio Tan Hong buruk atau baik, mereka adalah musuh-
musuh besar dari keluarga In, mereka adalah yang kakeknya pesan
dalam surat wasiatnya yang berdarah untuk dibasmi habis.....
Tiauw Im Hweeshio menghela napas.
"Aku tidak dapat memikirnya yang soetee Thian
Hoa telah tergoda iblis," katanya. "Karena sudah terang dia telah
membantu penghianat, sekarang ini habis sudah persaudaraan
antara dia dan aku. Sekarang aku berniat pergi kepada soehoe,
untuk minta soehoe mempersingkat waktu dengan tiga tahun,
supaya dia ijinkan gurumu segera turun gunung. Kepandaian
gurumu itu, dibandingkan dengan kepandaian Thian Hoa, ada
berimbang, maka aku percaya, jikalau dia bekerja dengan aku
mengepung Thian Hoa, pasti kita dapat menyingkirkan Thian Hoa
itu."
Mendengar perkataan djiesoepeh ini, tiba-tiba In Loei ingat
kejadian itu malam sebelum ia turun gunung. Ketika itu gurunya
telah mengadakan perjamuan perpisahan, di waktu sinting, guru itu
menuturkan tentang penderitaannya selama sepuluh tahun
meyakinkan ilmunya, guru itu tak dapat melupakan Thian Hoa,
suatu bukti dia sangat menyayangi saudara seperguruan itu. Maka
sekarang, kalau gurunya itu ketahui hal ikhwalnya Thian Hoa, yang
"tersesat" itu, tidak tahu berapa besar kedukaannya.....
Sementara itu, Tiauw Im tertawa sendirinya.
"Thian Hoa memberikan aku kuda ini, inilah kuda yang berguna!"
katanya. "Jikalau aku pakai ini untuk pergi ke Siauwhan san, tak
sampai satu bulan, aku akan sudah tiba di sana! Sungguh, ini seekor
kuda jempolan! Ha-ha-ha!"
Selagi paman guru dan keponakannya berbicara, San Bin dan
Tjoei Hong telah selesai dengan makanan mereka, yang terus
mereka sajikan, sesudah mana, San Bin pergi memandangi kuda si
pendeta, kuda mana ia puji tak hentinya, ia sangat mengaguminya.
Tiauw Im Hweeshio dahar secara rakus sekali, itulah tanda
bahwa ia sangat lapar. Ia hajar daging, ia tenggak arak, ia sapu nasi
hingga habis.
Akhirnya, ia usap-usap perutnya.
"Hai, cucu mantu yang baik!" ia memuji. "Tak tercela masakanmu
ini! Nasinya harum, sayurnya lezat!"
Kemendongkolan Tjoei Hong belum lenyap, ia cuma bersenyum
tawar. Ia berpaling, untuk memandang kuda putih, yang juga ia
kagumi. Kembali terdengar si pendeta tertawa. "Kuda ini kuda
jempolan," ia kata, "akan tetapi masih ada lain kuda yang terlebih
jempolan pula, aku si hweeshio sungguh harus mengaku kalah
terhadapnya!"
San Bin pandai melihat kuda, ia heran. "Apa?" katanya. "Ada
kuda lainnya yang melebihi ini?"
Tiauw Im pandang keponakan murid itu.
"Benar!" sahutnya. "Memang di kolong langit ini ada seekor kuda
lainnya yang melebihi kejempolannya! Keponakan San Bin, kau telah
memakai nama Kimtoo Tjeetjoe yang kesohor, dan menggabung itu
dengan nama Tjio Eng, untuk menyiarkan panah Loklim tjian. Hal ini
baharu saja kemarin dahulu aku mengetahuinya. Di dalam propinsi
Shoasay ini, aku kenal semua orang kenamaan dari Jalan Hitam,
maka itu menuruti
kegemaranku, dengan menunggang kuda putih ini, aku pergi
mengunjungi mereka. Nyatalah, orang yang hendak kau bekuk itu
adalah satu mahasiswa yang menunggang kuda putih. Dia sungguh
seorang yang nyalinya sangat besar, dia sudah membuatnya dunia
Rimba Hijau menjadi gempar!"
"Apakah yang dia lakukan?" tanya mereka berbareng. Wajah
mereka pun menunjukkan bagaimana tergeraknya hati mereka.
Tiauw Im adukan jeriji tengahnya dengan jeriji manisnya, hingga
perdengarkan suatu suara, habis itu, ia menghela napas. Itu
bukanlah helaan napas dari kedukaan atau kemasgulan, hanya dari
kekaguman.
"Tjioe Hiantit, tahukah kau, orang macam apa si mahasiswa
berkuda putih yang kamu sedang cari itu?" dia tanya. "Menurut
penglihatanku, dia adalah satu enghiong, seorang gagah!" Kalau
orang lain, apabila terhadapnya disiarkan panah Loklim tjian, hingga
karenanya ia mesti menghadapi jago-jago Rimba Hijau, sebenarnya,
untuknya, untuk menyingkirkan diri saja sudah sulit, akan tetapi lain
halnya dengan dia. Dia bukannya pergi bersembunyi, dia justeru
pergi menyatroni jago-jago Rimba Hijau itu!"
San Bin heran bukan kepalang.
"Dia datang menyatroni?" dia ulangi. "Siapa-siapakah yang dia
telah satroni itu?"
"Mungkin dia sudah satroni semua orang yang telah kau kirimkan
panah Loklim tjian itu!" sahut Tiauw Im. "Kemarin dulu aku pergi
pada Na Tayhiap, dia baharu saja terima surat golok yang
ditinggalkan mahasiswa berkuda putih itu, dia telah ditantang untuk
tujuh hari kemudian pergi ke rumah Tjinsamkay Pit To Hoan untuk
membuat pertemuan....."
San Bin dan Tjoei Hong terperanjat.
"Tjinsamkay Pit To Hoan?" mereka ulangi.
In Loei tidak tahu siapa itu Pit To Hoan yang berjulukan
Tjinsamkay — "orang yang menggetarkan tiga dunia," akan tetapi
dari sikapnya San Bin dan Tjoei Hong itu, tahulah dia bahwa orang
itu mestinya sangat terkenal.
"Benar, Tjinsamkay Pit To Hoan!" Tiauw Im jawab. "Bukankah itu
berarti si mahasiswa berkuda putih telah gegaras hati srigala dan
jantung macan tutul? — Setelah pamitan dari Na Tayhiap, lohornya
aku pergi pada Liong Tjeetjoe. Dia juga baharu saja menerima surat
goloknya si mahasiswa berkuda putih, yang pun menjanjikan dia
untuk tujuh hari kemudian pergi berkumpul di rumahnya Tjinsamkay
Pit To Hoan. Na Tayhiap dan Liong Tjeetjoe ada orang-orang
kenamaan kaum Rimba Persilatan, tapi toh si mahasiswa berani
masuk ke dalam rumah mereka itu untuk meninggalkan suratnya
yang tertusukkan golok itu. Dan itu baharu diketahui sesudah golok
ditimpukkan. Maka itu, benar liehay si mahasiswa itu!"
Mendengar perkataan soepeh ini, In Loei tidak heran. Beberapa
kali ia telah dipermainkan Tan Hong, keentengan tubuh siapa ia
telah saksikan. Tidak demikian adalah San Bin dan Tjoei Hong, yang
menjadi heran dan kagum.
"Karena aku merasa sangat heran, ingin aku cari si mahasiswa,"
Tiauw Im meneruskan, "Aku percaya betul pada kudaku. Begitulah
aku pergi. Aku girang ketika sampai diutara kecamatan Kokkoan, di
satu tegalan, aku telah melihat dia. Aku menduga dia, karena
dandanan dan kudanya itu. Lantas aku bedal kudaku, untuk susul
dia, guna menyandaknya. Dia melihat aku, rupanya dia dapat
menerka aku hendak menyusul dia, berulangkah dia berpaling,
tiaptiapkali aku dengar suaranya tertawa. Dari kejauhan, dia pun
teriaki aku : "Apakah kau juga menerima panah Loklim tjian dari
Hongthianloei? Maafkan aku, aku belum tahu di mana letak
pesanggrahanmu, hingga belum aku kunjungi padamu! Baiklah, lagi
tujuh hari, silakan kau pergi ke rumah Tjinsamkay Pit To Hoan!"
Rupanya dia menyangka aku adalah salah seorang yang hendak
membekuk dia. Kudaku lari keras, kudanya lari lebih keras lagi, tidak
dapat aku menyandaknya. Tak ada makanan di tanah datar itu, dia
telah jauh meninggalkan aku, hingga aku dapat melihat hanya titik-
titik putih. Sorenya tibalah aku di barat kecamatan Taykoan, di
rumahnya Tjek Tjhoengtjoe. Nyata Tjek Tjhoengtjoe, pada tadi
magrib, telah juga menerima surat dari si mahasiswa berkuda putih
itu. Jadi teranglah, kudanya dapat lari setengah hari lebih cepat
daripada kudaku."
San Bin heran.
"Tjinsamkay Pit To Hoan ada seorang kenamaan di Jalan Hitam
dan Jalan Putih," kata dia, "dia biasanya tak ketentuan sepak
terjangnya, maka itu, si mahasiswa berkuda putih yang baharu saja
sampai dari Mongolia, cara bagaimana dia bisa ketahui tempat
tinggal orang itu?"
Inilah benar, maka itu, Tiauw Im dan Tjoei Hong turut merasa
heran, mereka terperanjat, wajah mereka berubah. Tiauw Im pun
heran mendengar disebutnya Mongolia. Tjoei Hong juga merasa
heran terhadap San Bin, yang ketahui jelas tentang Pit To Hoan.
"Pit To Hoan tinggal di sebuah desa kecil yang dinamakan Hoklok
antara perbatasan kedua propinsi Hoopak dan Shoasay," kata Tiauw
Im. "Aku pun baharu mengetahuinya setelah aku pergi ke rumahnya
Na Tayhiap. Si mahasiswa berkuda putih baharu saja datang dari
Mongolia, kenapa dia ketahui jelas tentang orang orang kenamaan
dari Tionggoan? Hal ini aneh sekali dan mencurigakan..... Ah,
bukankah?.....”
Pendeta ini berhenti dengan tiba-tiba, ketika ia hendak
melanjutkan, In Loei mendahului dia.
"Kamu menyebut Tjinsamkay Pit To Hoan berulang-ulang, dia
sebenarnya orang macam apa?" tanya nona ini.

-ooo0dw0ooo-

BAB IX
"Walaupun kau tidak menanyakannya, hendak aku
menuturkannya," berkata Tiauw Im. "Keluarga Tjinsamkay Pit To
Hoan adalah suatu keluarga paling aneh dalam kalangan Rimba
Persilatan. Keluarga itu, turun temurun, memegang kukuh semacam
aturan rumah tangga yang aneh sekali untuk kita semua. Setiap
anak lelaki she Pit, setelah dia masuk usia enam belas tahun, dia
harus mencukur rambutnya untuk menjadi pendeta, dia mesti hidup
merantau. Setelah hidup suci sepuluh tahun, anak itu diijinkan
memelihara rambut pula. Sampai waktu itu, ia tidak diperkenankan
mendirikan rumah tangga, sebaliknya, dia mesti menuntut lain
macam penghidupan selama sepuluh tahun. Kali ini dia mesti
menderita sebagai pengemis. Adalah sesudah selesai menjalankan
tugas sepuluh tahun sebagai tukang minta-minta itu, baharu dia
merdeka untuk menikah, untuk berumah tangga, memelihara anak.
Oleh karena ini, seorang putera keluarga itu, untuk menikah, dia
mesti lebih dahulu berusia tiga puluh enam tahun. Mungkin juga
disebabkan kelambatan pernikahan ini, keluarga itu jadi tak banyak
jumlah anggauta-anggauta keluarganya. Pit To Hoan sendiri liehay,
sepuluh tahun ia jadi pendeta, sepuluh tahun ia jadi pengemis,
setelah kembali jadi manusia biasa, banyak penderitaaannya, luas
pengalamannya, itulah sebahnya kenapa ia diberi gelar
Tjinsamkay,
Menggetarkan Tiga Dunia. Dengan dunia diartikan juga kalangan
atau golongan, yaitu dunia pendeta, dunia pengemis, dan dunia
manusia biasa. Maka itu, orang semacam dia, setelah menerima
panah Loklim tjian, dapatkah dia campur tangan?"
"Mana aku berani mengirim panah Loklim tjian kepada jago itu?"
sahut San Bin. "Hanya, kalau Pit Lootjianpwee sudi membantu,
itulah pengharapanku."
"Kau minta ayahku turut bersama mengirim panah Loklim tjian,
untuk apakah itu?" Tjoei Hong tanya si pemuda she Tjioe. "Dan itu
bangsat cilik berkuda putih, dia sebenarnya orang macam apa?"
Ditanya begitu, San Bin bersenyum. "Untuk membalaskan
dendam suamimu," ia jawab. "Bangsat cilik berkuda putih itu adalah
putera tunggal dari penghianat besar Thio Tjong Tjioe, dia adalah
musuh besar dari saudara In Loei ini." Ia berhenti sebentar, segera
ia menambahkan: "Turut penglihatanku, kebanyakan Pit
Lootjianpwee dapat turun tangan untuk memberikan
bantuannya, sayang tadinya aku tidak tahu dia tinggal di Hoklok,
jikalau tidak sudah tentu aku sudah minta Tjio looenghiong turut
mengundang dia."
Tjoei Hong segera menoleh kepada "suaminya".
"In Siangkong, benarkah bangsat cilik berkuda putih itu musuh
besarmu?" dia tegaskan.
"Oh, ya....." sahut In Loei, yang mukanya pucat.
"Benar, dia adalah musuh keluargaku.....”
Sepasang alisnya Nona Tjio berdiri dengan tiba-tiba. Ia tertawa.
"Kalau begitu, haruslah kau mengucap terima kasih padaku!"
katanya. Ia rogo sakunya, ia keluarkan sesampul surat. Terus ia
berkata pula: "Nyata ayahku telah dapat memikirnya! Kamu tidak
berani mengundang Pit Lootjianpwee itu, bolehlah aku yang
menalanginya!"
San Bin lihat alamat surat itu, benar itu adalah untuk Pit To
Hoan. Saking girang, ia tertawa sambil menepuk tangan.
"Sempurna sekali apa yang Tjio Lootjianpwee pikir!" ia memuji.
"Ah, bangsat cilik itu bagaikan melemparkan dirinya ke dalam jala!
Hiantee, segera kau dapat lampiaskan dendammu dengan
tanganmu sendiri!"
Tjoei Hong sangat puas, ia gembira sekali. "Begitu lekas aku
pulang, ayah sudah lantas menulis surat ini dan menitahkan aku
segera mengirimkannya," ia terangkan lebih jauh. "Sebenarnya aku
heran kenapa ayah menjadi demikian tak sabaran, kiranya bangsat
cilik itu menjadi satu musuh besar kita. Sebentar kita pergi bersama,
akan aku perkenalkan kamu dengan Tjinsamkay Pit To Hoan yang
kenamaan itu!"
In Loei terkejut di dalam hatinya.
"Pernahkah kau baca surat ini?" dia tanya "isterinya".
"Eh, apa kau tidak dengar perkataanku barusan?" Tjoei Hong
baliki. "Bukankah ayah telah permainkan aku? Apabila aku telah
baca surat ini, mustahil sekarang aku masih belum tahu akan
duduknya hal? Tapi sekarang ini, dengan tidak usah membaca lagi
surat ini, sudah tahu aku akan isinya. Pastilah itu ada permintaan
bantuannya Tjinsamkay!"
In Loei penuh dengan keragu-raguan. Tjio Eng tidak tahu Thio
Tan Hong itu musuhnya. Dan ia telah menyaksikan dengan mata
sendiri, terhadap Tan Hong, Tjio Eng bersikap bagaikan pegawai
terhadap majikannya. Mustahil sekali, Tjio Eng nanti menulis surat
kepada Pit To Hoan, guna meminta bantuan untuk menghadapi Thio
Tan Hong, guna membinasakan Tan Hong itu! Habis, apa isi surat
itu? Sungguh sukar untuk menerkanya.
"Eh, In Siangkong, kau sedang memikirkan apa?" Tjoei Hong
menegur. Ia heran. "Ayahku telah menolongi kau membalas
dendam, apakah benar kau masih tidak gembira?"
In Loei paksakan diri untuk tertawa.
"Aku merasa girang luar biasa!" ia jawab. "Nona Tjio, apakah
ayahmu serta Tjinsamkay Pit To Hoan itu bersahabat erat sekali?"
"Bukan!" sahut Tjoei Hong. "Dia justeru lawan dari ayahku! Dia
berlaku sewenang wenang. Belum pernah aku saksikan ada orang
yang berani menghina ayahku seperti yang diperbuatnya itu!"
"Siapa kata Pit To Hoan berlaku sewenang-wenang?" tanya
Tiauw Im.
"Eh, ya, cara bagaimana dia menghina ayahmu?" In Loei pun
tanya.
San Bin pun kurang mengertinya.
"Jikalau demikian adanya, mengapa ayahmu menulis surat
kepadanya?" dia tanya.
"Dikepung" tiga orang, Tjoei Hong tertawa geli.
"Memang dia telah menghina ayahku akan tetapi ayahku sangat
mengagumi dia!" jawabnya, masih ia tertawa. "Kamu menanya
bagaimana caranya dia menghina ayahku? Untuk menutur itu, aku
mesti kembali pada kejadian pada sepuluh tahun yang lampau!"
Semua orang lantas awasi nona ini.
Tjoei Hong tidak berayal untuk memberikan keterangannya.
"Ketika itu aku baharu berumur tujuh atau delapan tahun," ia
mulai. "Benar usiaku masih sangat muda akan tetapi peristiwa itu
aku ingat baik-baik. Pada suatu hari kami kedatangan satu
pengemis busuk. Orangku memberikan dia nasi, tapi dia tolak. Dia
diberi uang, dia menampik. Dia minta ayah menghadiahkan dia
semacam barang permata. Siapa yang tidak tahu ayah adalah
seorang saudagar barang permata di kalangan Jalan Hitam? Orang-
orangku anggap dia hendak memeras, dia segera diserang.
Kesudahannya aneh. Tidak kelihatan dia menggerakkan tubuhnya,
tetapi orang-orangku, penyerangnya, terpental sendirinya setombak
lebih. Baharulah kemudian aku ketahui dia telah gunakan ilmu silat
Tjiamie Sippattiat yang sempurna sekali."
Waktu itu ayah tengah mengajarkan aku membaca buku dan
menulis surat. Seorang bujang datang masuk, memberitahukan
ayah tentang perbuatan dan tingkah laku si pengemis jahat itu.
Ayah kaget dan heran, mukanya menjadi pucat.
"Baik, silakan dia masuk!" ia titahkan. Sesudah dia masuk, siapa
juga tak boleh turut masuk! Umpama kata aku akan dihajar mati
olehnya, jika aku masuk! Ayah pun menitahkan aku
menyembunyikan diri di kamar tidur, aku dilarang keluar. Aku
menjadi takut sekali, tetapi aku masih tidak gubris larangannya itu.
Ketika si pengemis masuk, aku sembunyikan diri di satu pojok di
luar kamar, untuk mengintai.
Luar biasa roman sipengemis itu. Rambutnya kusut kulit
mukanya hitam seperti pantat kwali. Dia membawa-bawa sebatang
tongkat panjang. Dipandang seluruhnya, dia mirip dengan satu
memedi. Begitu dia masuk, terus dia duduk di depan ayah. Dia
mengawasi dengan sepasang matanya yang bersinar tajam dan
bengis. Sampai sekian lama, keduanya tidak bicara satu dengan
lain.
Akhir-akhirnya ayah menghela napas, ia bertindak masuk ke
kamar dalam, untuk mengambil permata. Ayah tumpukkan barang
itu dihadapan si pengemis. "Tuan Pit, inilah semua apa yang aku
miliki," kata ayah.
Pengemis itu tertawa dingin, dia sampok semua barang permata
itu.
"Hongthianloei, untuk apa kau berpura-pura?" dia tegur ayah.
"Keluargaku telah mencari kau berulang-ulang, sampai beberapa
puluh tahun, baharu sekarang kau dapat dicari. Barang itu terang
ada padamu, apakah kau masih tidak hendak mengeluarkannya
untuk diserahkan kepadaku?"
"Barang itu juga bukan kepunyaanmu!" kata ayah. "Alasan apa
kau punyai untuk memaksa aku menyerahkannya?"
Pengemis itu tertawa dingin.
"Mungkinkah barang itu ada kepunyaanmu sendiri?" dia
membaliki. "Kau ketahui asal usulnya barang itu, cara bagaimana
kau berani mengatakan aku bukan pemiliknya?"
Belum pernah aku saksikan ada orang yang berani bicara
demikian rupa terhadap ayah. Ayah menjadi lain waktu itu.
Bagaikan orang yang memohon sesuatu, ayah katakan pada orang
itu: "Memang barang ini pernah kau memegangnya tetapi itu bukan
alasan untuk mengatakan kaulah pemilik seluruhnya. Aku mendapat
pesan dan pesan itu harus aku jalankan. Aku boleh tak
menghendaki rumah tanggaku, tetapi permata itu, Tuan Pit, aku
minta sudilah kau lepaskan dari tanganmu!.....”
Pengemis itu lantas menjadi gusar, dia lompat bangun.
"Rumah tanggamu! Rumah tanggamu!" dia berteriak-teriak.
"Siapakah yang kemaruk dengan rumah tanggamu? Katakanlah,
hendak kau serahkan atau tidak barang itu padaku?"
"Tidak!" sahut ayah dengan tetap.
Si pengemis tertawa pula, dengan tawar. Dia putar-putar
tongkatnya itu.
"Baik!" akhirnya dia berseru. "Karena kau tidak sudi memberikan,
sekarang ingin aku menerima pengajaran darimu — pelajaran ilmu
silat pedang Liapin Kiamhoat yang menjagoi sendirian di kolong
langit ini!"
Ayah terima tantangan itu. Dia kata: "Jikalau begitu, maafkan
aku untuk kelancanganku!" Ayah lantas hunus pedangnya, maka di
situ mereka berdua lantas bertempur, secara bengis sekali.
Ketika itu aku masih belum belajar ilmu silat pedang, aku
menonton saja dengan perhatian. Ayah bergerak bagaikan harimau
kalap, sinar pedangnya bergemerlapan. Terang ayah berkelahi
secara mati-matian. Tongkat panjang si pengemis telah terkurung
sinar pedang, tapi dia dapat bergerak dengan leluasa bagaikan
seekor ular besar. Mataku menjadi seperti kabur karenanya.
Sengit sekali mereka bertanding. Sampai sekian lama, masih
belum ada keputusannya. Lalu dengan mendadak terdengar
bentakan si pengemis: "Kau serahkan atau tidak?" Menyusul itu
ayah kena terpukul pundaknya. Ayah berteriak: "Tidak!" Segera
ayah pun membalas, hingga pundak pengemis itu mengeluarkan
darah. "Satu laki-laki!" seru si pengemis.
Masih mereka bertempur. Satu kali, kembali ayah kena terpukul,
sesaat kemudian, berhasil tongkat si pengemis yang ketiga kali. Kali
ini ayah kena tersampok hingga dia berjumpalitan. Tanpa mengeluh,
ayah merayap bangun, untuk menyerang pula. Lalu tidak lama
kemudian ayah dapat menikam pula pengemis itu. Seperti ayah, dia
juga tidak berteriak kesakitan.
"Pertempuran berjalan terus, tak kurang dahsyatnya. Darah telah
berceceran di tanah. Beruntun beberapa kali ayah kena dibikin
jumpalitan pula, malah jidatnya telah diserempet tongkat hingga
kulitnya pecah dan berlumuran darah. Berbareng dengan itu, si
pengemis juga tidak unggul banyak, rambutnya yang kusut kena
terpapas pendek, tubuhnya terluka beberapa lobang.
Setelah lama bertempur, kedua-duanya telah menjadi sangat
lelah. Masih ayah kena terpukul pula dan si pengemis kena tertikam
lagi. Habis itu keduanya terhuyung rubuh, tidak dapat mereka
merayap bangun. Tentu sekali aku menjadi sangat kaget dan
ketakutan. Kalau tadinya aku tidak berani muncul atau bersuara,
sekarang ini aku menjerit dan menangis.
Ayah bergulingan beberapa kali, lalu aku dengar ia paksakan
berkata: "Baik, tuan Pit, kau ambillah! Aku menyerah.....” Menggetar
suara ayah, suara itu seram, menakutkan.
"Tidak, kau tidak kalah," si pengemis pun berkata. "Kau setia
kepada pesan yang menjadi tugasmu. Seumurku baharu kali ini aku
lihat kau sebagai satu laki-laki! Untuk sementara, permata itu boleh
kau simpan terus, tidak hendak aku mengambilnya secara paksa.
Sejak ini, apabila kau mendapatkan sesuatu kesukaran, yang
harganya seimbang kalau ditukar dengan permata itu, asal kau buka
mulutmu, tidak nanti aku tidak berbuat segala apa untukmu."
Habis berkata, dia merayap bangun, dia balut sendiri luka-
lukanya, dengan gunakan tongkatnya, untuk menahan tubuhnya,
dia bertindak keluar dengan limbung. Ayah tidak dapat bangun, aku
pergi panggil orang, untuk membantu mengangkat ayah naik
kepembaringan. Setengah bulan lebih ayah berobat, baharu dia
dapat turun dari pembaringannya, untuk berjalan.
Suatu hari dengan berpegangan tembok, seorang diri ayah naik
ke loteng tempat ia menyimpan barang-barang permata. Di sana
dihadapan sebuah gambar ia keluarkan air mata. Biasanya tidak
pernah aku berkisar dari samping ayah, tapi untuk naik ke loteng,
aku sembunyi-sembunyi. Aku lihat segala apa, aku tidak berani
menanyakannya. Aku tidak berani karena usiaku yang muda sekali.
Adalah kemudian, setelah banyak tahun, aku tanya ayah. Ayah tidak
mau memberikan keterangan."
Hati In Loei tergerak.
"Gambar apakah itu?" dia tanya.
"Itulah gambar lebar yang pada harian nikah kita kau melihatnya
di atas loteng," sahut Tjoei Hong.
"Oh....." kata In Loei, yang terus berdiam.
"Belakangan baharu ayah mengatakan padaku," Tjoei Hong
menambahkan. "Ayah katakan si pengemis jahat sebenarnya bukan
seorang jahat, dia malah seorang luar biasa. Dari lagu dan
suaranya, nyata ayah sangat kagumi pengemis itu. Tak mau aku
percaya ayah. Hari itu aku saksikan sendiri dia sangat menghina
ayah, dia berbuat terlalu sewenang-wenang. Orang semacam dia
bagaimana bukannya orang jahat? Ayah menjadi saudagar permata
di Jalan Hitam, ancaman bahaya terhadapnya banyak dan besar
sekali, beberapa kali ia menghadapi bahaya maut. Akhirnya ayah
beritahukan padaku bahwa si pengemis jahat dahulu kala adalah
Tjinsamkay Pit To Hoan yang sekarang ini. Ayah katakan juga, di
dalam segala hal, kalau kita minta bantuan tuan Pit itu, ancaman
bahaya bisa berubah menjadi keselamatan. Ayah mengatakan
demikian, tetapi sebegitu jauh, belum pernah ayah mohon
bantuannya Pit To Hoan. Tapi In Siangkong, kali ini untuk urusan
kau, ayah telah menulis suratnya ini. Ini membuktikan bahwa ia
menyayangi kau melebihi dirinya sendiri, malah melebihi daripada
aku juga. Maka itu, sekarang, tidak peduli dia orang jahat atau
bukan, orang luar biasa atau siluman, asal dia suka bantu kau, aku
merasa girang sekali, selanjutnya tidak lagi aku mengingat-ingat
kejahatannya dahulu itu!"
In Loei tengah berpikir keras, perkataan Tjoei Hong itu seolah-
olah tidak ia mendengarnya!
"Tentang Tjinsamkay Pit To Hoan itu," berkata Tiauw Im, "jikalau
kau katakan dia jahat, dia memang jahat sekali, tetapi jikalau kau
katankan dia orang baik, dia memang sangat baik." Pada dua puluh
tahun yang lalu, pernah aku bertemu dengan dia itu. Ketika itu, ia
ada bersamaku, dia ada satu hweeshio, dia belum menjadi
pengemis.
Pada waktu itu aku baharu keluar dari rumah perguruan, aku
telah pergi merantau ke segala penjuru, aku selalu hidup di luaran.
Pada suatu hari sampailah aku di Hongyang, dalam propinsi
Shoatang. Itulah tempat yang menjadi kampung asalnya kaisar
Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang. Mengenai kota Hongyang ini,
ada ceritera burung yang bunyinya demikian: "Bicara tentang kota
Hongyang, mengatakan perihal kota Hongyang, kota Hongyang
asalnya ada suatu tempat yang baik, tetapi sejak munculnya kaisar
she Tjoe, dalam sepuluh tahun, kota Hongyang mengalami sembilan
tahun paceklik, kalau si orang hartawan menjuali barang
makanannya, si orang melarat menjuali anakanaknya, dan siapa
yang tidak mempunyai anak, pasti dia menggondol tamburnya pergi
merantau ke empat penjuru. Maka itu meskipun Hongyang
merupakan kota tempat kelahirannya satu raja, kotanya sendiri
sedikit juga tak dapat kebaikannya raja itu, sebaliknya raja telah
mengadakan berbagai macam pajak yang berat-berat, hingga rakyat
hidupnya bersengsara dan celaka, satu kali datang musim kemarau,
rakyat kabur terlunta-lunta ke segala jurusan. Demikian tahun itu,
kota Hongyang kebetulan sedang menderita musim kering, dari
sepuluh rumah, sembilan yang kosong. Bahaya paceklik mengancam
demikian hebat tetapi ada sebuah tempat yang indah luar biasa.
Kamu tahu, tempat apakah itu? Itu adalah sebuah biara!"
In Loei heran sekali hingga ia segera buka mulutnya.
"Biara?" katanya. "Bukankah biara itu tempat kediamannya
hweeshio?"
"Tidak salah, biara itu adalah tempat kediaman hweeshio," jawab
Tiauw Im. "Tapi hweeshio yang mendiami biara itu bukannya
hweeshio seperti aku ini. Dia adalah satu hweeshio besar yang
banyak uangnya, yang besar pengaruhnya. Di sini tidak usah aku
takut-takut mengatakannya. Kaisar kerajaan kita sekarang ini, Tjoe
Goan Tjiang, di masa mudanya adalah satu hweeshio, dan dia
masuk menjadi hweeshio dibiara tersebut. Mulanya biara itu ada
sebuah biara kecil, sesudahnya Tjoe Goan Tjiang menjadi kaisar,
biara itu dirombak, diperbaharui menjadi besar dan indah, yang
menjadi biara paling besar diseluruh negara. Oleh karena satu raja
pernah menyucikan dirinya di sana, maka nama biara itu memakai
nama Hongkak sie, artinya biara raja."
San Bin mendengarkan dengan perhatian.
"Bahwa hweeshio-hweeshio dari Hongkak sie menjadi galak dan
berbuat sewenang-wenang, tidak usahlah aku ceritakan lagi," Tiauw
Im lanjutkan. Mereka itu tidak pantang, mereka tidak hormati
aturan suci. Begitulah pada saat paceklik itu, mereka membeli
banyak anak-anak perempuan dari orang-orang yang bersengsara
dan hendak mengungsi, anak-anak itu dipelihara di dalam biara,
mereka dijadikan korban-korban perkosaan. Di sepanjang jalan telah
aku dengar orang banyak berbicara tentang anak-anak perempuan
yang dijual pada biara itu, ada yang menjualnya buat lima ratus
tjhie, ada yang Cuma tiga ratus tjhie. Dan uang sebanyak itu tidak
cukup untuk ongkos belanja sepuluh hari. Malah yang lebih hebat
lagi, yaitu tidak apa anaknya tidak dibeli, asal saja dapat
menumpang di dalam biara itu. Panas hatiku mendengar hal itu! Di
kolong langit ini ada semacam biara, ada semacam hweeshio, maka
hweeshio sebagai aku ini, yang makan daging, sungguh lenyap
muka terangku!"
Memang kejadian itu sangat memanaskan hati.
"Usiaku waktu itu belum cukup tiga puluh tahun," Tiauw Im
melanjutkan pula.
Waktu itu aku berdarah panas melebihi sekarang ini. Aku tidak
pedulikan lagi bahwa biara itu ada biara raja, dengan membawa
tongkatku, aku pergi ke biara itu, aku cari hweeshio kepalanya,
yang terus aku damprat habis-habisan. Di luar sangkaanku, rata-
rata hweeshio di situ mengerti ilmu silat, malah kepalanya ada satu
ahli. Semua hweeshio muncul hendak membekuk aku, untuk
menyiksa dan membinasakan aku. Aku layani mereka, hingga dapat
aku membinasakan beberapa di antaranya, akan tetapi lama
kelamaan aku kehabisan tenaga, ini berbahaya bagiku. Di saat aku
sangat terancam, datanglah satu hweeshio perantauan. Dia
menabuh bokhie, sambil membaca doa, lalu dia berkata dengan
nyaring: "Di waktu langit terang benderang ini, hai kamu kawanan
murid-murid murtad dari Sang Buddha, bagaimana kamu berani
menganiaya orang?" Habis itu, sambil tetap masih mendoa, ia turun
tangan, ia serang hweeshio dari biara itu, hingga banyak hweeshio
jahat yang terbinasa atau terluka.
Melihat perbuatan hweeshio itu, aku menjadi girang, aku jadi
mendapat hati, tetapi berbareng dengan itu hatiku menjadi lemah.
"Soeheng, ampunilah mereka itu!" aku teriaki hweeshio perantauan
yang kosen itu. Tapi dia menjawab: "Hweeshio dari lain-lain biara
boleh diberi ampun, hweeshiohweeshio di sini adalah yang aku
paling benci! Jikalau kau merasa kasihan, biarkan aku saja yang
turun tangan sendirian!" Dan ia lanjutkan terus serangannya.
Di dalam biara itu digantungkan gambarnya Beng Thaytjouw,
gambar itu lebih tinggi daripada orang biasa. Adalah lucu di dalam
sebuah biara dipajang gambar satu raja. Dan lebih lucu lagi, gambar
itu bukannya gambar hweeshio yang gundul kepalanya! Dihadapan
gambar itu, hweeshio pengembara itu tertawa tiga kali, lalu dia
meludah!
Terhadap raja, perbuatan itu merupakan perbuatan sangat
kurang ajar. Terhadap segala pembesar jahat dan okpa, yang biasa
menindas rakyat jelata, aku sangat membenci, akan tetapi melihat
dia demikian menghina raja, aku gentar juga.
"Jangan kau takut!" kata hweeshio itu padaku. Dahulu waktu
Tjoe Goan Tjiang belum menjadi raja, dia adalah sama sebagai kita.
Dia takut sekali orang mengatakannya dia pernah menjadi
hweeshio. Aku benci pada sikapnya itu, itulah penghinaan untuk kita
hweeshio seumumnya. Kau berani bunuh hweeshio murtad dan
cabul ini, kenapa kau tidak benci pada raja yang pernah jadi
hweeshio yang mengumbar hweeshio-hweeshio jahat dan busuk
melangsungkan kejahatan dan kebusukannya? Dia jadi sengit sekali,
akhirnya dia robek gambar raja itu, dihancurkan. Aku sendiri,
mendengar teguran itu, bagaikan mendengar pengajaran Sang
Buddha, aku jadi sadar dan tidak takut lagi. "Bagus Bagus!" aku
berteriak teriak sambil takepkan kedua tanganku. "Puas! Puas !"
"Membunuh orang memuaskan, tetapi menolong orang, banyak
kesulitannya, berkata pula hweeshio itu. Siapa menjadi manusia, dia
tidak boleh cuma merasa puas, tetapi jeri terhadap kesulitan.
Dengan berkata demikian, hweeshio itu maksudkan halnya banyak
wanita yang disembunyikan di dalam biara Hongkak sie itu. Ayah
bunda mereka itu sudah mengungsi, di mana mereka dapat dicari,
ke mana kaum wanita itu hendak diserahkan? Tentu saja tidak
dapat mereka dibiarkan pergi seorang diri.
"Menolong orang harus secara sungguh-sungguh sampai pada
akhirnya," berkata hweeshio itu pula. "Mari kita berdua bekerja
sama, untuk mengantar mereka, untuk menolongi mereka mencari
orang tuanya." Inilah benar. Membunuh orang gampang, tetapi
menolong orang sulit. Syukur untuk kami, setelah bersusah payah
dua bulan, berhasil juga kami menolong kaum wanita itu. Tentang
harta yang tersimpan di dalam Hongkak sie, kita amalkan itu kepada
rakyat yang bersengsara. Inilah jasaku yang pertama setelah aku
turun gunung, peristiwa itu tak nanti aku lupakan seumur hidupku.
"Dua bulan lamanya aku diam bersama hweeshio itu, kita sangat
cocok satu dengan lain. Dalam hal ilmu silat, kepandaian kita juga
berimbang. Kita lantas ikat persahabatan. Hweeshio itu adalah
Tjinsamkay Pit To Hoan yang sekarang ini. Dengan sesungguhnya,
aku kangen kepadanya. Sayang, sejak pertemuan yang pertama kali
itu, selanjutnya kita belum pernah bertemu pula satu pada lain."
Tergerak hatinya In Loei, ia berkesan sangat baik mengenai
peristiwa itu, mengenai sikapnya Pit To Hoan. Memikirkan
perbuatannya Pit To Hoan, ia bagaikan membayangkan pula waktu
To Hoan meludahi gambar Tjoe Goan Tjiang. Kenapa Pit To Hoan
begitu membenci kaisar pendiri dari kerajaan Beng itu? Inilah hal
yang harus dipikirkan masak-masak.
Tiba-tiba In Loe ingat Thio Tan Hong. Ia ingat, waktu berbicara
tentang Tjoe Goan Tjiang, Thio Tan Hong memperlihatkan sikap
sangat jemu. Kenapa? Ini juga hal yang memusingkan kepala
memikirnya.....
Tiba-tiba Tjioe San Bin tertawa.
"Taysoe, kali ini kau akan bertemu dengannya!" kata orang she
Tjioe ini. "Pit To Hoan sendiri sudah cukup untuk melayani bangsat
kecil itu, maka ditambah kau, biar dia punya tiga kepala dan enam
tangan, tidak nanti dapat dia terbang pergi! Ha-ha, hiantee, sakit
hatimu pasti akan terbalaskan!" dia tambahkan kepada In Loei.
"Kakekmu di tanah baka tentulah akan meramkan mata.....”
In Loei berdiam, matanya mendelong jauh ke depan. Ia tidak
menjawab perkataannya San Bin. Sikap ini membuatnya Tiauw Im
dan Tjoei Hong menjadi heran.
Ketika bayangan matahari menunjukkan sudah dekat tengah
hari, Tiauw Im lompat berjingkrak.
"Janji atau tantangan si mahasiswa berkuda putih itu tinggal
empat hari lagi," dia kata, "maka itu sekarang sudah seharusnya
kita cepat-cepat berangkat."
Pengutaraan ini dapat persetujuan, maka itu, berempat mereka
berlerot keluar dari dalam kuburan. In Loei dongak, ia memandang
ke langit, ia rasakan seperti baharu habis bermimpi.....
Tiauw Im Hweeshio dengan kuda putihnya adalah yang larinya
paling pesat, yang kedua ialah kuda merah dari In Loei, tetapi si
hweehsio tidak bedal kudanya itu, maka itu, dapat ia rendengkan
binatang itu dengan kuda In Loei. San Bin dan Tjoei Hong jauh
tertinggal di belakang, Tjoei Hong jadi sangat tidak puas. Akan
tetapi, ia tak dapat berbuat suatu apa.
Dekat magrib rombongan ini telah sampai di sebuah dusun kecil
ditimur kecamatan Himkoan, di sini mereka kebetulan bertemu
dengan dua rombongan lain, yaitu satu rombongan dari Hweesin
tan Tjek Tjhoengtjoe dari Thaykok, dan yang lainnya rombongan
dari Na Tjeetjoe dari Imma tjee. Tiauw Im dan San Bin kenal kedua
rombongan itu, kedua pihak lantas membuat pertemuan. Nyata
kedua rombongan itu juga tengah menuju ke rumah Pit To Hoan.
Tiauw Im segera mencari sebuah penginapan yang paling besar,
ia minta tiga kamar untuknya, yaitu ia bersama San Bin mengambil
sebuah kamar, In Loei dan Tjoei Hong ia berikan masing-masing
satu kamar. Tjoei Hong menjadi tidak puas, tetapi di situ banyak
orang lain, ia terpaksa bungkam. Malam itu In Loei tidak dapat
tidur, ia bergelisah di atas pembaringannya, sampai ia dengar
ketokan perlahan sekali pada pintu kamarnya.
"Siapa?" tanyanya.
"Aku.....”
Itulah suara Tjoei Hong, suaranya perlahan. Supaya tidak
menerbitkan peristiwa yang bisa jadi buah tertawaan, In Loei lantas
rapikan pakaiannya, ia pakai kopiahnya, habis mana ia buka pintu
untuk menemui "isterinya" itu.
Tjoei Hong bermandikan air mata pada mukanya, ia lantas tubruk
In Loei hingga nona In ini mesti peluk padanya, lantas ia dibawa
kepembaringan.
"Kau kenapa?" tanya In Loei.
Tjoei Hong mengawasi, sinar matanya mengandung sinar
penasaran.
"In Siangkong," ia jawab, "aku bukannya seorang hina, tak dapat
aku menahan sabar.....”
"Kau sebenarnya kenapa? Siapa yang menghina kau?" tanya pula
In Loei.
"Paman gurumu itu serta kakak angkatmu, kenapa seperti
hendak merenggangkan perhubungan kita?" kata Tjoei Hong.
"Mereka seperti tidak pandang aku adalah isterimu. Apakah mereka
anggap aku tidak pantas untuk jadi pasanganmu? Mungkinkah
mereka hendak mencarikan lain pasangan untukmu?"
Setelah ketahui urusan itu, In Loei tertawa cekikikan.
"Hai, kau memikirkan apa?" dia tanya. "Sebenarnya mereka
bermaksud baik!" Tjoei Hong mendongkol.
"Bagus betul!" katanya. "Mereka hendak mencarikan kau lain
jodoh, kau kata mereka bermaksud baik! Apakah salahku, hingga
kau hendak ceraikan aku?"
Ia lantas saja menangis. Sibuk juga In Loei.
"Apa? Apa katamu?" tanyanya. "Kapan aku hendak ceraikan
kau?"
"Habis, kau.....kau.....”
Tak dapat si nona mengatakan terus, agaknya ia malu.
In Loei berpikir keras.
"Bagaimana aku harus bersikap sekarang?" dia bingung.
"Kau dengar," ia kata. "Kakak angkatku itu.....”
"Foei!" Tjoei Hong memotong. "Kakak angkatmu itu! Jikalau kau
sebutsebut dia pula, nanti aku segera cari ayahku untuk minta
keputusannya! Kau nikah aku atau kakak angkatmu? Hm! Aku benci
dia!"
In Loei tetap bingung, hingga ia memikirkan untuk membuka
rahasia saja. Ia belum sempat membuka mulutnya, ketika ia dengar
suara berdehem di luar kamar.
"Hiantee, kau bicara dengan siapa?" terdengar San Bin menanya.
Hatinya menjadi lega. Ia segera tolak tubuhnya Tjoei Hong.
"Tjioe Toako di luar?" tegurnya. "Lekas kau keluar! Kau seka air
matamu, supaya dia tidak dapat melihat.....”
Tjoei Hong mendongkol bukan main, ia lantas lari keluar, tapi
apamau, ia justeru bersomplokan dengan San Bin, dalam sengitnya,
ia joroki anak muda itu sampai hampir jatuh. Ia lari terus ke dalam
kamarnya, ia tutupi kepalanya dengan selimut, ia menangis.....
In Loei heran yang San Bin datang malam-malam padanya.
"Hianmoay," ia dengar San Bin, "kita ada bagaikan orang sendiri,
tidak ada halangannya untuk kau bicara terus terang. Sebenarnya
kau mempunyai kesulitan apa?"
Sejenak, In Loei terperanjat. Tapi segera ia tertawa.
"Memang ada kesulitanku," ia jawab. "Apakah kau tidak lihat
nona Tjio gerembengi aku? Ini sulit, kesulitan ini tidak dapat aku
pecahkan. Aku lihat, toako, cuma kau yang dapat membantu
aku.....”
San Bin terperanjat, wajahnya berubah. "Tjoei Hong adalah satu
anak yang baik," berkata pula In Loei, "ia sesuai dengan kau Toako,
kau telah berjalan bersama-sama dia, apakah kau tidak pikir suatu
apa mengenai dia?"
Pemuda itu melengak, ia merasa tak enak.
"Adakah In Loei telah melihat lain orang maka hendak ia
serahkan Tjoei Hong padaku?" ia menduga-duga. Ia mulai cemburu.
In Loei polos, tidak ia menyangka akan kesangsiannya San Bin
itu, maka itu, heran ia menampak air muka orang menjadi pucat.
Ia tercengang.
"Adik In, jangan kau dustakan aku," San Bin berkata pula.
"Bukankah kau mempunyai pikiran lain?"
"Apa, toako?" In Loei tanya. San Bin menatap.
"Anaknya Thio Tjong Tjioe telah melakukan perjalanan bersama-
sama kau, bukankah ia baik sekali terhadapmu?" tanyanya, tiba-
tiba. Tubuh In Loei gemetar.
"Ya, baik sekali," ia menjawab.
"Tapi ia ada dari keluarga musuhmu!" San Bin peringatkan.
"Tentang itu tak usah kau memperingatkannya," sahut In Loei,
"surat wasiat kakekku telah menjelaskannya terang sekali."
"Apakah yang ditulisnya?"
"Surat wasiat itu menghendaki supaya aku membunuh habis
keluarga Thio, tidak peduli lelaki atau perempuan!"
"Tetapi dia berlaku baik sekali terhadapmu!" San Bin kata pula.
"Baik atau tidak sama saja. Aku..... aku..... aku tidak bisa
tentangi pesan kakekku!.....”
In Loei menangis tersedu-sedu, tak dapat ia bicara terus.
San Bin bingung, hatinya separuh lega. Ia awasi si nona,
pikirannya ruwet. Ia merasa tak tega, ia merasa kasihan terhadap
nona ini. Ia ulur tangannya, niatnya menghibur si nona, akan tetapi
ketika tangannya membentur lengan orang, segera ia menarik
kembali. Ia merasakan getaran.
Justeru itu di luar penginapan terdengar bentakan keras.
"Oh, bangsat!" demikian suara Tiauw Im Hweeshio. "Besar
nyalimu! Aku ada di sini, kau berani datang menyatroni!"
San Bin kaget, tapi segera ia lompat keluar, tangannya mencabut
goloknya. Ia terus lompat naik ke atas genteng.
Di bawah sinar rembulan yang permai, di sana tampak satu
mahasiswa yang putih bersih, seolah-olah ia sedang bersenyum,
dengan tegak ia berdiri di antara siuran angin halus. Ia adalah si
"bangsat kecil berkuda putih" untuk melayani siapa San Bin bersama
Tjio Eng sudah menyiarkan panah Loklim tjian!
Waktu itu Na Tjeetjoe dan Tjek Tjhoengtjoe pun telah muncul di
pojok payon.
Menampak San Bin, Tiauw Im berkata: "Aku tidak mau melayani
anak muda, akan aku gantikan kau mengurus kuda putih itu! Hati-
hatilah kamu, supaya dia tidak sampai lolos!"
San Bin tidak sahuti paman guru itu, ia hanya berkata: "Adik
Loei, lekas kemari!"
Tjek Tjhoengtjoe, yang bernama Po Tjiang dan bergelar Hweesin
tan, si Peluru Malaikat, sudah lantas menimpuk dengan tiga biji
hweetjoe, peluru api, mengarah muka orang.
Dengan mengegoskan tubuhnya si mahasiswa lolos dari sesaran
peluru liehay itu.
Na Tjeetjoe, yang bernama Thian Sek, sudah lantas maju
menyerang dengan sepasang Poankoan pit-nya, yaitu alat semacam
pit — alat tulis.
Si mahasiswa tidak hunus senjatanya, sambil menyamping
sedikit, dengan sebelah tangannya ia menangkis, tangan yang lain
dipakai membalas menyerang. Secara demikian ia membuat
serangan Na tjeetjoe gagal, yang terpaksa mundur dua tindak.
Waktu itu, San Bin lompat dengan bacokan goloknya.
Gesit sekali mahasiswa itu, ia tidak menangkis atau lari, hanya
selagi golok menyambar, ia berkelit sambil memutar diri, tangannya
yang sebelah diayunkan, hingga ketika ia berbalik pula, lengan San
Bin kena tersampok, sampai lengan itu bengkak dan terasa sakit.
In Loei sudah lantas muncul di atas genteng, pedang Pekin kiam
pun sudah dihunus, segera ia lihat si mahasiswa, mata siapa seperti
menyinarkan api. Ia kertek giginya, terus ia menikam.
Si mahasiswa kelitkan dirinya sambil berseru: "Telah aku dengar
semua pembicaraanmu! Kiranya kamu semua sangat membenci
aku!.....” Ia tidak membalas menyerang si nona.
"Tikam dia! Jangan kasi hati!" berseru San Bin.
Tjek Po Tjiang kembali menyerang dengan pelurunya, menyusul
mana, Tan Hong dikepung bertiga.
Dalam saat yang sangat mengancam itu, Thio Tan Hong masih
sempat bersenanjung: "Tubuh yang kecil boleh pulang ke dalam
tanah, akan tetapi bagaimana, budi permusuhan masih belum
jelas?.....”
Pemuda ini berkelit pula dari pedang In Loei, berbareng dengan
itu ia serang muka Na Thian Sek dengan tangan kosong. Na
Tjhoengtjoe berkelit sambil lompat nyamping, untuk membela
dirinya. Gerakan ini digunakan sebagai ketika oleh Tan Hong, yang
sudah lompat turun.
"Kejar dia!" berteriak San Bin.
Semua orang lantas mengejar, tidak terkecuali In Loei, tetapi
nona ini Cuma ikut ikutan saja, ia sebenarnya tidak punya tujuan.
Thio Tan Hong perdengarkan suara nyaring, ia rupanya
memanggil kudanya. Sebagai jawaban ia dapatkan kuda itu
berbenger, yang berada jauh daripadanya. Ia lari menghampiri.
Tiauw Im Hweeshio, di atas kuda putihnya, menghalang antara
Tan Hong dan Tjiauwya saytjoe ma. Kuda putih itu seperti kenal
baik satu pada lain, maka juga, meski dia dengar panggilan, kuda si
mahasiswa tidak mau menghampiri majikannya.
Tan Hong perdengarkan pula suara panggilannya, yang panjang.
Kali ini Tjiauwya saytjoe ma perdengarkan jawabannya sambil
berdiri pada kedua kaki belakangnya.
Tiauw Im lihat sikap kuda itu, ia serang batang lehernya. Atas
mana, kuda tersebut rubuh.
Sakit hati Tan Hong menyaksikan kudanya disakiti, ia menjadi
gusar sekali.
"Hweeshio bangsat, kau berani lukai kudaku?" dia berteriak.
Terus dia maju, menyerang si hweeshio itu, atau segera ia
tercandak Tjek Tjhoengtjoe, Na
Tjeetjoe, San Bin dan In Loei, yang terus mengurung padanya. Ia
menjadi mendongkol, tidak bisa ia lantas loloskan diri. Iapun tidak
sempat mencabut pedangnya.
Tiauw Im Hweeshio tertawa, dia berkata: "Tanpa kudamu, cara
bagaimana kau dapat meloloskan diri?....."
Belum pendeta ini menutup mulutnya, sekonyong-konyong
kudanya berbenger dan berjingkar, kedua kaki depannya diangkat
tinggi, hingga ia menjadi kaget, sebab hampir ia terpelanting dari
atas kudanya itu. Inilah ia tidak sangka, sebab setelah sekian lama,
dapat ia menjinakkan kuda itu.
Pendeta ini tidak tahu, kudanya dengan Tjiauwya saytjoe ma
mempunyai hubungan yang sangat erat. Tjiauwya saytjoe ma itu
adalah anaknya kuda putih itu! Thio Tjeng Tjioe sangat menyayangi
puteranya, ia berikan Tjiauwya saytjoe ma kepada sang putera.
Tiauw Im telah hajar kuda itu, tidak heran kudanya menjadi kaget
dan marah, setelah berjingkrak, kuda itu lari kabur. Ia mesti
mendekam dan pegangi keras kuda itu, yang tak dapat segera
dikendalikan. Ia dibawa kabur sampai beberapa lie!
Tjiauwya saytjoe ma berbenger pula, terus dia lompat bangun,
terus dia lari ke arah majikannya. "Bagus! Bagus!" seru Thio Tan
Hong.
Na Thian Sek maju dengan pit-nya, Tjek Po Tjiang dengan
cambuknya, dan Tjioe San Bin dengan goloknya, bertiga mereka
hendak rintangi si anak muda menghampiri kudanya itu.
Tan Hong lihat sikap orang, ia justeru lompat ke arah In Loei.
Nona In kertek giginya, ia segera serang anak muda itu, akan
tetapi dengan mengegoskan mukanya, Tan Hong dapat
mengelakkan pedang itu ke samping mukanya.
Adalah pada saat itu, Tjiauwya saytjoe ma telah datang dekat
pada majikannya.
San Bin tidak mau diterjang kuda, ia berkelit. Ketika ini
digunakan Tan Hong untuk lompat kebebokong kudanya itu.
Tjek Tjhoengtjoe menyerang dengan pelurunya, ia sebat, akan
tetapi Tjiauwya saytjoe ma sangat gesit, dia membuatnya peluru
lewat di belakangnya!
Sambil kaburkan terus kudanya, dari kejauhan, si mahasiswa
telah perdengarkan suaranya yang nyaring: "Maafkan aku, tidak
dapat aku menemani lebih lama! Nanti saja, lagi tiga hari, kami
bertemu pula!"
Kata-kata itu, yang seperti ejekan, diakhiri dengan suara tertawa,
yang segera lenyap di udara terbuka, di antara sampokannya angin,
yang kemudian disusul dengan menghilangnya si penunggang
kuda dan kudanya.....
In Loei berdiri menjublak, sedang Tjek Tjhoengtjoe, Na Tjeetjoe
dan San Bin lesu sekali, mereka menyesal sekali, mereka jengah
sendirinya. Beramai mereka tak sanggup membekuk satu orang.....
Tidak lama antaranya, tibalah Tiauw Im Hweeshio. Pendeta ini
kembali sesudah ia dapat kuasai kudanya, ia merasa kecele,
karenanya ia larikan kudanya perlahan lahan. Ketika ia saksikan
roman kawan-kawannya, sambil menyeringai, ia berkata: "Malam ini
kita rubuh! Nanti, setelah tiga hari, terpaksa aku mesti turun,
tangan.....”
Besok paginya, perjalanan dilanjutkan.
Tjoei Hong mendongkol berbareng berduka, karena kejadian
semalam itu. Tak mau ia bicara dengan In Loei.
San Bin pun berdiam, akan tetapi ia pikirkan pertempuran
semalam. Terang ia dapat melihat, sekalipun In Loei, dia masih
kalah terhadap Thio Tan Hong yang liehay itu. Ia juga dapat
melihat, Tan Hong tidak berniat mencelakai si nona walaupun nona
ini ada musuhnya. Bukankah itu tandanya bahwa antara mereka
berdua telah ada perhubungan yang erat? Maka akhirnya, ia
menjadi masgul sekali, pikirannya pepat. Ia tidak punya
kegembiraan untuk bicara dengan Nona In.
Nona ini lihat sikap pemuda she Tjioe itu, ini membuatnya ia
berlega hati. Meski demikian, teringat halnya Tan Hong, ia berduka
juga.
Perjalanan dilanjutkan terus, sesudah tiga hari, sampailah
mereka di Hoklok.
Perkampungan tempat kediamannya Tjinsamkay Pit To Hoan
dikitari air dan bukit, bagus letaknya.
Tiauw Im Hweeshio maju di depan, ia temui pengawal pintu,
untuk perkenalkan diri dan utarakan maksud kedatangannya,
setelah mana, mereka dipersilakan masuk.
Nyata di dalam telah ada lain tetamu, roman mereka umumnya
tegang.
Sudah dua puluh tahun Pit To Hoan dan Tiauw Im tidak pernah
bertemu, pertemuan ini membuatnya mereka girang sekali, banyak
yang mereka omongkan, tentang kenang-kenangan mereka, perihal
kesehatan dan lainnya, hingga untuk sesaat itu, tak sempat Pit To
Hoan melayani lain tetamunya, yang semua dating karena
menerima panah Loklim tjian atau diundang langsung oleh Thio Tan
Hong.
Kemudian orang menanyakan Tjioe San Bin tentang Thio Tan
Hong, mereka ingin ketahui jelas perihal orang she Thio itu.
"Ayahmu, Kimtoo Tjeetjoe," berkata Pit To Hoan, "meskipun dia
belum pernah bertemu denganku akan tetapi telah lama aku dengar
tentang dia, aku tahu dia orang macam apa, maka aku percaya
orang yang dia ingin bekuk mesti ada seorang yang jahat sekali.
Sekarang pun terbukti, melihat sepak terjangnya, penjahat itu
sangat cerdik dan berbahaya. Maka itu, tidak usah kau menjelaskan
banyak, aku berniat turun tangan terhadapnya".
Kemudian, menampak Tjio Tjoei Hong, tuan rumah itu urut-urut
kumisnya.
"Maafkan aku, aku tak tahu sekarang telah muncul seorang
wanita gagah", ia kata.
Segera San Bin memperkenalkan.
"Nona ini puterinya Hongthianloei", katanya. Tjoei Hong
segera maju, untuk memberi hormatnya, seraya
memberitahukan yang ayahnya telah mengirim surat untuk
menanyakan kesehatannya tuan rumah itu.
Pit To Hoan girang sekali, ia tertawa. "Jikalau Hongthianloei
menitahkan sesuatu, walaupun harus menerjang api, tidak nanti
aku menolak!" dia kata. "Sudah belasan tahun aku nantikan
suratnya itu!"
Tjoei Hong serahkan surat ayahnya, tuan rumah menerimanya,
untuk terus dibuka dan dibaca, habis mana mendadak air mukanya
berubah menjadi pucat.
Hatinya In Loei goncang. Tak tahu ia, apa bunyi surat Tjio Eng
itu.
Pit To Hoan berlaku tenang, dengan perlahan ia lipat pula surat
itu, terus ia masukkan ke dalam sakunya.
San Bin mengawasi, ingin ia bicara, untuk menjelaskan perihal si
mahasiswa berkuda putih, atau To Hoan, yang memandang
padanya, mendahului dia.
"Tidak usah kau menjelaskannya, sudah aku ketahui," katanya.
Ia segera memandang kepada In Loei ke arah siapa ia berpaling.
"Tuan ini adalah keponakan murid dari Tiauw Im Taysoe, ia
juga menjadi menantu dari Tjio Looenghiong," San Bin cepat
memperkenalkan.
"Menantu Hongthianloei telah datang, sayang Hongthianloei
tidak." Kata To Hoan. "Aku kuatir urusan tidak akan dapat
diselesaikan.....”
Ia lantas angkat kepalanya, akan melihat ke atas, hinga tampak
sinar kedua matanya yang
hitam dan bengis. Habis itu terdengar tertawanya yang kering.
"Mari turut aku!" kata ia kemudian sambil melambaikan tangan
pada In Loei dan Tjoei Hong. Ia pun memesan: "Kalau si mahasiswa
berkuda putih datang dengan tiba-tiba, Tiauw Im Soeheng, tolong
kau wakilkan aku melayani dia."
Sudah lama To Hoan kembali menjadi orang biasa, bukan
hweeshio lagi, tapi kepada Tiauw Im tetap ia memanggil "soeheng"
— panggilan cara keagamaan.
In Loei dan Tjoei Hong turut tuan rumah itu. Mereka melewati
lorong dan naik ke atas sebuah loteng kecil, di situ kedapatan
sehelai gambar lukisan kota dan air, dengan pohon-pohon bunga.
Mestinya gambar ini dibuat oleh satu pelukis dengan gambar yang
ada di rumah Tjoei Hong, bedanya ialah gambar ini jauh terlebih
kecil.
Belum lagi tuan rumah dan tetamu-tetamunya duduk, atau satu
bocah telah datang berlarian, terus saja dia tunjuk gambar itu
sambil berseru: "Ayah, berikan padaku, berikan padaku buat main!"
Bocah itu baharu berumur kira-kira delapan tahun, gesit dan
manis, siapa saja tentu menyukai dia.
To Hoan urut-urut kumisnya, ia turunkan gambar itu, lalu ia
berikan pada bocah itu.
"Pergi ambil!" katanya: "Hari ini akan terlihat gambar aslinya,
maka barang tiruan ini tak usah aku menghargainya lagi!"
Mendapatkan gambar itu, bocah itu tertawa dan berjingkrakan,
lantas dia pergi. Kelihatannya dia seperti sudah sering minta gambar
itu kepada orang tuanya dan baharu kali ini diberikannya.
Dengan matanya, To Hoan antar bocah itu turun, dari loteng,
habis itu ia menoleh kepada Tjoei Hong. Ia tertawa.
"Nona Tjio," katanya, "ketika tahun itu aku pergi ke rumahmu,
kau masih sebesar dia. Masihkah kau ingat?"
"Dua bulan ayahku rebah di pembaringan, mana aku dapat
melupainya?" jawab nona Tjio. To Hoan menghela napas.
"Hari itu aku sangat ganas," katanya, "sampai pada hari ini,
apakah kau masih membenci aku? Apakah yang ayahmu katakan
padamu?"
"Sedikit juga ayah tidak membenci kau," sahut Tjoei Hong. "Kali
ini, apabila kau bisa membantu membalas sakit hati, ayah akan
sangat berterima kasih padamu."
"Membalas sakit hati?" To Hoan heran. "Sakit hati apakah itu?"
Tjoei Hong berbalik menjadi heran.
"Apakah ayah tidak menjelaskan dalam suratnya?" ia tanya.
"Bukankah si mahasiswa berkuda putih itu ada musuh besar dari In
Siangkong?"
To Hoan awasi nona itu.
"Begitu?" dia tegaskan.
Mukanya In Loei menjadi pucat sekali.
"Benar apa yang nona Tjio ini katakan," ia turut bicara. "Memang
itu ada urusan sakit hati. Hanya dalam hal itu, tidak mau aku pinjam
tangan lain orang!"
"Bagus, itulah bersemangat!" puji Pit To Hoan. "Tapi aku lihat, di
dalam urusan ini terlibat lain urusan lagi, yang menjadi sulit
bagiku.....”
"Apa?" tanya Tjoei Hong heran. "Inilah aku tidak pikir. Apakah
yang ayahku tulis dalam suratnya itu?"
To Hoan tertawa tawar, separuh berpaling, ia pandang nona itu.
"Sekarang aku undang kau kemari, ini adalah untuk menuturkan
kau sebuah dongeng," katanya kemudian. "Dongeng ini tentunya
ayahmu belum ketahui semuanya."
Dan ia lantas mulai dengan dongengnya itu.
Dahulu kala, ada satu hweeshio yang pandai ilmu silat, dan pintar
sekali dalam soal agama. Pada masa itu masuklah satu bangsa lain
ke Tionggoan dan memerintahnya. Karena itu negara menjadi kalut
sekali.
Waktu itu hidup dua saudara angkat, si kakak hidup sebagai
pedagang garam gelap, si adik menjadi pengemis. Kedua saudara
ini berangan-angan besar. Mereka bercita-cita mengumpulkan
tentara guna mengusir bangsa asing itu. Akan tetapi si hweeshio
telah mendahului mereka, di Hoaysee dia telah mengerek bendera
pemberontakan suci.
"Hweeshio tua itu mempunyai dua murid, ialah si penjual garam
gelap sebagai kakak dan si pengemis sebagai adiknya," In Loei
menyelak.
Bersinar mata To Hoan, dia pandang tetamu ini. Lantas ia
bersenyum.
"Kau juga masih belum mengetahui jelas," ia beritahu. "Hweeshio
itu bukan mempunyai cuma dua murid tetapi tiga. Siapa
menuturkan kau dongeng yang tidak lengkap itu?"
"Untuk bicara terus terang, yang mendongengkan ialah orang
yang hari ini kamu semua hendak menghadapinya," sahut In Loei.
"Dia sebenarnya hendak ceritakan aku tiga buah dongeng. Dongeng
yang pertama, ialah apa yang baru saja kau tuturkan. Dongeng
yang kedua aku pun sudah ketahui. Tinggal dongeng yang ketiga,
yang dia belum ceritakan padaku."
Tjoei Hong menjadi heran, hingga ia awasi "suaminya" itu serta
To Hoan dengan bergantian. To Hoan bersikap tenang, malah dia
seperti sudah ketahui atau telah menduganya.
"Benar," kata To Hoan kemudian. "Dibanding denganku, dia itu
mengetahui terlebih banyak. Dongengku ini mungkin ada dongeng
yang ketiga, tapi hanya sebagian saja."
Tjoei Hong bertambah heran, wajahnya padam. Ia melirik pada
In Loei, ia agaknya hendak sesalkan "suami" itu mengapa dia sekian
lama sudah bungkam saja terhadapnya.....
"Oleh karena dia telah menceritakan dongeng itu, baiklah akupun
tidak usah menyembunyikan lagi," berkata pula To Hoan kemudian.
"Penjual garam gelap itu adalah Thio Soe Seng, dan si pengemis
adalah Tjoe Goan Tjiang. Dan si hweeshio tua, yang menjadi guru
mereka, adalah Peng Eng Giok."
In Loei dan Tjoei Hong mengawasi, keduanya diam. Tjoei Hong
nyata masih bingung.
Pit To Hoan lanjutkan ceritanya.
Peng Eng Giok itu masih mempunyai satu murid lain yang
bernama Pit Leng Hie. Murid ini mengerti ilmu perang, dia cerdas
sekali. Dia pernah ikuti gurunya merantau, dia pandai menyamarkan
diri. Begitulah dia pernah menyamar sebagai hweeshio dan juga
sebagai pengemis.
"Tjoe Goan Tjiang itu, sebelumnya dia masuk ke dalam kalangan
Angkin Koen, — Tentara Pelangi Merah — pernah dia bekerja dalam
pasukan suka rela gurunya itu, yang menjabat sebagai satu
pemimpin kecil. Mungkin hal ini telah dituturkan orang itu
kepadamu, ia tambahkan pada In Loei.
Pada masa itu tentara kerajaan Goan ada tangguh. Sebaliknya di
antara kaum pemberontak, yang bergerak dengan berbareng,
jumlah tenaganya Peng Eng Giok tidak besar. Begitulah, beberapa
kali Peng Eng Giok kena dikalahkan pasukan perang Goan, hingga
keadaannya menjadi terancam bahaya besar. Tjoe Goan Tjiang
telah berpikir lain, untuk mewujudkan pikirannya itu, ia menanti
ketikanya. Kembali Peng Eng Giok mendapat pukulan yang hebat.
Inilah ketika yang baik bagi Tjoe Goan Tjiang. Dengan akal
muslihatnya, ia jual gurunya kepada musuh, ia sendiri, dengan air
mata bercucuran, memperlihatkan diri sebagai seorang baik. Habis
itu dengan membawa sisa tentara gurunya, ia pergi kepada pasukan
Angkin Koen yang paling kuat, dengan siasat ini ia gunakan tentara
itu sebagai modalnya untuk merebut negara.
Tjoe Goan Tjiang menduga gurunya mesti terbinasa. Dugaan ini
meleset. Gurunya itu diantar ke Pakkhia, kota raja bangsa Goan. Di
tengah jalan, guru itu disusul Pit Leng Hie. Murid yang setia ini
menggunakan segala macam akal, akhirnya berhasil juga dia
menolongi gurunya, yang dia ajak menyingkir. Tentang
pengalamannya Pit Leng Hie itu, yang sulit sekali, tidak usah aku
jelaskan di sini.
Keadaan negara telah menjadi kacau sekali ketika itu. Peng Eng
Giok dan muridnya tidak dapat kembali ke Kanglam, tapi mereka
masih dapat, mengumpulkan pengikut baru, untuk bangun pula. Di
Utara ada tempat kedudukan tentara Goan, begitu Peng Eng Giok
bergerak, begitu ia diserbu. Dalam satu pertempuran Peng Eng Giok
terluka parah. Selagi hendak menghembuskan napasnya yang
penghabisan, Peng Eng Giok berkata pada muridnya: "Seseorang
tak dapat lolos dari kematian, sekarang aku terbinasa di medan
perang, inilah kemenangan yang terhormat. Cuma ada satu hal
yang belum aku selesai lakukan, untuk itu aku minta kau yang
menggantikan mengurusnya. Melihat keadaan, aku percaya bangsa
Han akan bangun pula. Inilah sudah pasti. Di antara jago-jago yang
sekarang sedang bergulat, yang mempunyai harapan untuk naik di
tahta, menurut pandanganku, mesti kedua adik seperguruanmu,
kalau bukan si Tjoe, tentu si Thio. Yang lain-lainnya tidak ada yang
mempunyai ketika. Tjoe Goan Tjiang berambekan besar dan cerdik
sekali, tetapi dia bersifat buruk, dia tidak kenal budi kebaikan.
Bukannya aku benci padanya, yang telah menjual aku, tapi
sebenarnya aku tidak ingin dia yang menjadi raja. Dia dapat
mencelakai rakyat negeri. Sejak muda aku telah merantau,
mengembara di seluruh negeri, karenanya aku ketahui letaknya
tempat, yang mana yang baik untuk mengumpulkan tentara. Maka
itu aku telah menyiapkan sebuah peta bumi yang dibutuhkan oleh
pergerakan tentara. Aku percaya, siapa memperolehnya peta itu,
dialah yang akan berhasil dalam usahanya menjadi jago. Sekarang
aku minta kau serahkan peta itu kepada Thio Soe Seng." Pit Leng
Hie terima pesan itu, dengan menerjang bahaya, dia berangkat ke
Selatan. Sayang dia terlambat, waktu dia tiba di Selatan, perebutan
kekuasaan sudah memberikan roman baru. Yaitu Thio Soe Seng
telah terkurung di daerah Souwtjioe, dalam setiap saat dia dapat
dimusnakan. Tapi Thio Soe Seng tidak ingin mati terkurung, dia
hendak coba ketikanya yang terakhir. Dia telah tantang Tjoe Goan
Tjiang untuk melakukan pertempuran yang memutuskan di sungai
Tiangkang!
Pit Leng Hie menganjurkan Thio Soe Seng untuk menggunakan
seantero kekuatannya yang masih ada, untuk menerjang keluar dari
kurungan itu. Thio Soe Seng tertawa dan berkata: "Mana bisa aku
menghilangkan kepercayaanku terhadap si pengemis?" Dia lantas
perintahkan memanggil seorang pelukis yang kenamaan yang
disuruh melukis panorama kota Souwtjioe. Dia gemar main catur,
malam itu dengan sikap tenang seperti biasa, dia ajak Pit Leng Hie
main catur sambil menghadapi arak. Dia main terus sampai fajar
menyingsing, pada waktu itu, selesailah gambar itu. Gambar itu
dibuatnya indah dan jelas sekali, sampai bukit bukit dan menara
kota pun terlukis lengkap.
Sesudah itu Thio Soe Seng menyembunyikan semua sisa harta
bendanya, berikut pelbagai permata dan gambar-pesan dari
gurunya. Dia sembunyikan itu di suatu tempat yang dia rahasiakan.
Tempat itu cuma terlihat di dalam gambar panorama itu. Gambar itu
diserahkan pada seorang yang dipercaya, yang ia tugaskan untuk
mengajak puteranya menyingkir di waktu malam. Pit Leng Hie
berkesan sangat akan putusan dan perbuatannya Thio Soe Seng ini,
dari itu ia mengambil putusan untuk tidak meninggalkan kota.
Dalam pertempuran yang memutuskan di Tiangkang itu, Pit Leng
Hie mendahului Thio Soe Seng terbinasa. Pit Leng Hie mempunyai
satu putera, anak itu menyingkir di antara serdadu-serdadu yang lari
kalang-kabutan. Sukur untuknya, pada akhirnya dia sampai di
tempat yang selamat. Harta bendanya Thio Soe Seng itu ada satu
soal, akan tetapi yang sangat berharga adalah gambar panorama
itu. Umpama ada seseorang yang mendapatkan itu, dia dapat
bergerak dan nanti dapat perebutkan negara melawan anak cucu
Tjoe Goan Tjiang."
Tjoei Hong heran.
"Bagaimana dengan gambar itu?" dia tanya. Belum nona ini
menutup mulutnya, atau tiba-tiba, "sret!" lalu terlihat sebuah panah
api warna biru melayang naik ke udara, pertandaan itu disusul
dengan teriakan-teriakan: "Si mahasiswa berkuda putih telah
datang!" Suasana menjadi tegang, genting, akan tetapi Pit To Hoan
bersikap tenang sekali. Ia berbangkit dengan ayal-ayalan. Sambil
bersenyum, ia jawab si nona: "Gambar itu ada di rumahmu, nona
Tjio. Mungkin sekarang gambar itu sudah berada di tangannya si
mahasiswa berkuda putih itu!"
Tjoei Hong ternganga, matanya mendelong.
Pit To Hoan bersenyum, dia berkata pula: "Isi surat ayahmu itu
adalah menghendaki aku menemui si mahasiswa berkuda putih itu,
sama sekali ayahmu tidak memohon bantuanku, lebih-lebih tidak
untuk meminta aku membantui menuntut balas. Di dalam segala
hal, ayahmu serahkan segala apa kepada keputusanku. Sebenarnya
masih ada beberapa soal yang masih kurang jelas bagiku, sayang
ayahmu tidak mau datang sendiri menemui aku. Maka itu, hari ini ia
membuatnya aku sukar mengambil keputusan.....”
Tjoei Hong melengak, In Loei pun berdiam. Justeru itu lalu
terdengar suara tertawa dari Thio Tan Hong.
"Si mahasiswa berkuda putih itu sungguh seorang yang luar
biasa!" berkata Pit To Hoan. "Ada baiknya untuk menemui dia!.....”
Lantas dia gerakkan kedua tangannya, tangan kiri menarik Tjoei
Hong, untuk dengan perlahan-lahan mengajak mereka turun dari
loteng.
Hati In Loei gelisah, ia merasa sangat tegang, karena selagi
mendekati keluar, ia sudah mulai dengar riuhnya suara
pertempuran. Segera sesampainya di luar, ia tampak Tiauw Im
Hweeshio tengah bertarung dengan Thio Tan Hong.
Pendeta itu tersohor gwakee kanghoe-nya, ialah ilmu luar yang
telah sempurna, maka itu semua tetamunya Pit To Hoan berkumpul
untuk menyaksikan pertempuran itu, yang dahsyat sekali. Sianthung
dari si pendeta telah perdengarkan suara angina yang keras. Di
pihak sana, tubuh si mahasiswa berkuda putih telah bergerak
berkelebatan lincah sekali dan sinar pedangnya bergemerlapan
bagaikan bianglala.
Untuk sekian lama, tidak ada tanda-tandanya akan ada
keputusan siapa terlebih tangguh, siapa terlebih lemah. Tiauw Im
Hweeshio kemudian perdengarkan seruannya, menyusul mana, ia
perhebat gerakan tongkat panjangnya. Atas mana lawannya telah
mengubah sikapnya, pedangnya tidak lagi bergerak sama cepatnya,
kakinya juga mengambil kedudukan Ngoheng Patkwa — ialah ia
main mundur secara teratur.
Apabila ia telah menonton sekian lama, Pit To Hoan bersenyum.
"Ilmu tongkat Hokmo Thunghoat dari Tiauw Im Soeheng telah
maju pesat sekali," katanya. Ia memberi nilai. "Akan tetapi ilmu
pedang dari si mahasiswa berkuda putih, belun pernah aku
melihatnya!"
Pertempuran berlangsung terus, sampai dua puluh jurus, selagi
Tiauw Im tetap mendesak setindak demi setindak, sekonyong-
konyong terdengar suara "Trang!" dari beradunya senjata yang
disusul dengan meletiknya lelatu-lelatu api!
"Sungguh pedang yang bagus!" memuji orang banyak.
Kedua senjata, tongkat dan pedang, telah bentrok dengan keras,
sebagai kesudahan, tongkat si pendeta telah sempoak, hingga
semua penonton menjadi terperanjat dan kagum, hingga tanpa
merasa, mereka memberikan pujiannya.
Tiauw Im Hweeshio tampak lompat merangsak, tongkatnya
menyambar lurus ke depan. Serangan tiba-tiba ini adalah suatu ilmu
pukulan mematikan dari Hokmo Thunghoat, ilmu tongkat
"Menaklukkan Hantu." Itulah ilmu tongkat yang telah diyakinkan
selama beberapa puluh tahun. Maka segera juga si mahasiswa
berkuda putih seperti dikurung tongkat, di kiri kanan, di atas dan di
bawah, dia bagaikan tertutup.
In Loei berkuatir sekali, hingga tanpa disengaja ia perdengarkan
seruan.
Mengakhiri desakannya itu, sekonyong-konyong Tiauw Im
Hweeshio tertawa berkakakan. Sebab dengan tiba-tiba
pedangnya si mahasiswa telah terlepas dari tangannya dan mental
keudara!
Karena kagum dan girang, semua penonton, yang terdiri dari
jago-jago Rimba Hijau, telah perdengarkan seruan mereka yang
gemuruh.
Tiauw Im sudah lantas tarik kembali tongkatnya, ia lompat keluar
kalangan.
Thio Tan Hong juga lompat, akan tetapi dia mencelat tinggi,
untuk mengulur tangannya, guna menjemput pedangnya yang
tengah jatuh turun, dengan demikian ia dapat ambil kembali
pedangnya yang tajam itu.
Segera terdengar suara nyaring dari si pendeta: "Gurumu
menjemukan! Tapi kau adalah orang muda dari kaum kita, maka itu
tak dapat aku sebagai yang tua, menghina yang muda. Nah,
pergilah kau!"
Kata-kata itu membuatnya semua jago Rimba Hijau heran,
mereka saling mengawasi, sinar mata mereka semua merupakan
tanda tanya satu dengan lain. Mereka juga lantas berbisik, saling
menanya.
Cuma Pit To Hoan, yang nampak girang. Dia bersenyum. "Makin
lama soal menjadi makin aneh!" katanya. "Bagaimanakah maka
mahasiswa berkuda putih ini bisa menjadi orang yang terlebih muda
tingkatannya dalam kaum Tiauw Im Soeheng? Tongkat tercacatkan,
pedang telah terlempar, mereka ada paman guru dan keponakan
muridnya, tetapi mereka bertempur seri! Sungguh, sungguh
menarik!"
Thio Tan Hong sudah lantas masukkan pedangnya ke dalam
sarungnya, ia usap -usap gagang pedang itu. Dengan sikap yang
tenang sekali, ia berkata dengan nyaring: "Aku yang muda, Thio
Tan Hong, telah datang untuk memenuhi janji. Aku mohon bertemu
dengan Pit looenghiong1."
Tjek Tjhoengtjoe serta Kong Tjiong, yang menjadi begal tunggal
dari Taykoan, adalah orang-orang yang paling keras adatnya di
antara hadirin itu, mereka tidak tunggu tuan rumah memberikan
jawabannya, mereka sudah lantas mendahului muncul. Mereka ini
masing-masing menyekal cambuk dan tiatpay, dengan itu mereka
maju menyerang, yang satu seperti menggulung, yang lain dari,
atas turun menindih.
Thio Tan Hong sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi ia
tidak melakukan perlawanan atau balas menyerang, ia hanya
berkelit. Ia melejit di antara dua senjata jago-jago itu.
"Tahan!" Pit To Hoan segera perdengarkan suaranya. "Siapa pun
jangan turun tangan! Saudara Thio, silakan turut aku!"
Nyaring suara tuan rumah ini.
Semua jago Rimba Hijau menduga, Tjinsamkay hendak
menandingi si anak muda.
Pit To Hoan lantas bertindak, untuk memimpin Tan Hong ke
belakang, ke taman bunga. Di sini mereka jalan memutari gunung-
buatan, untuk menghampiri sebuah paseban di dalam mana ada
satu meja batu. Di atas meja itu ada sehelai papan catur serta biji—
bijinya yang letaknya tidak teratur, seolah-olah permainan yang
belum berakhir.
"Lekas ambil dua poci arak!" To Hoan titahkan hambanya,
kemudian dia tambahkan: "Panglima kenamaan gemar catur, ahli
surat menyintai gambar lukisan, kesukaan ini dahulu dan sekarang
sama saja. Saudara, punyakah kau kegembiraan untuk menemani
aku si orang tua main catur untuk satu rintasan? Sayang di sini aku
tidak mempunyai lukisan indah yang dapat dipandang.....”
Thio Tan Hong mengiringi tuan rumah itu, dia bersenyum, lalu
dia menjura dengan dalam.
"Boanseng adalah seorang bodoh," dia kata, dengan merendah.
Dia menggunakan kata-kata "boanseng" itu, yang berarti "orang
yang muda". Tapi dengan mendengarkan nyanyian, tahulah aku
maksudnya yang bagus itu. Boanseng membawa sehelai gambar,
walaupun itu bukannya karya dari satu pelukis yang kenamaan,
mungkin itu ada harganya juga untuk ditonton.....”
Lantas ia keluarkan gambar yang ia ambil dari rumahnya Tjio
Eng, ia pajang itu di paseban tersebut.
Ketika Pit To Hoan memandang gambar itu, ia menghela napas
panjang.
"Bila negara tak kurang suatu apa, aku akan kembali.....” katanya
dengan perlahan. Terus dia menambahkan. "Ketika dahulu gambar
ini dilukis, mungkin orang telah menemaninya sambil main catur dan
minum arak. Saudara Thio, kau ada dari keluarga terpelajar, silakan
kau pegang biji putih."
Tingkah polanya kedua orang ini membuat heran orang banyak.
Bagaimana penting artinya panah Loklim tjian yang disiarkan, akan
tetapi sekarang ini, mereka berdua bercokol memandangi gambar,
bermain catur.
Tiauw Im tak kurang herannya.
"Keponakan muridku ini sebenarnya belum pernah aku
melihatnya, kenapa Tjinsamkay ketahui dia ada dari keluarga
sasterawan?" ia berpikir. "Kenapa dia ketahui orang pandai main
catur?"
In Loei berada didampingnya pendeta itu, dia berpaling
kepadanya seraya berkata: "Pasti saja dia mengetahuinya, oleh
karena gambar itu ada gambar kota Souwtjioe!"
Tiauw Im menjadi terlebih heran.
"Kau belum pernah pergi ke Souwtjioe, kenapa kau pun ketahui
itu?" dia tanya.
Tjoei Hong ada bersama mereka ini, dengan dingin dia berkata:
"Pasti sekali dia ketahui!" Dengan "dia", dia maksudkan In Loei.
Tiauw Im berdiam, ia terbenam dalam kegelapan.
Dipaseban sebaliknya, kedua orang yang sedang main catur
dengan tenang, asyik menceguk arak mereka. Semua orang
mengawasi mereka dari kejauhan, semua terbenam dalam
keheranan, hingga mereka jadi masgul sendirinya.
Pit To Hoan dengan biji hitamnya telah mengatur siasat "Yan
siang hoei" — "Burung walet terbang berpasangan." Ia ambil
kedudukan di satu pojok.
Atas itu Tan Hong segera menyerang ke tengah, mengambil
kedudukan "Thiangoan" — "Asalnya langit"
"Ah, saudara, tak segan kau berebut sepotong daerah
denganku?" kata Pit To Hoan, yang kena terdesak. Ia berpikir lama,
baharu ia geser pula satu bijinya, akan tetapi Tan Hong bertindak
seperti tanpa berpikir pula. Kembali dia pengaruhi lawannya.
Pertandingan berjalan terus, sampai setengah jam, habis itu,
dengan keringatnya mengetel, Pit To Hoan berbangkit, dengan
tangannya, ia sampok biji caturnya. "Tak dapat aku lawan terus
padamu.....” katanya masgul.
Tan Hong berbangkit sambil tertawa.
"Terima kasih, kau mengalah!" katanya. Terus ia gulung gambar
yang dipajang itu.
Semua orang heran, tetapi mereka bergerak.
Pit To Hoan dapat melirik sikap tetamu-tetamu-nya itu.
"Saudara Thio, bukannya aku si orang tua tak tahu aturan," ia
lantas berkata, "karena kau telah mengundang begini banyak
sahabat, tidak dapat tidak, mesti aku bertindak dengan turuti
aturan. Saudara, ingin aku meminta pengajaran beberapa jurus ilmu
pedang darimu.....”
Sepasang matanya Tan Hong bercahaya. Baginya, permintaan To
Hoan ini seperti di luar sangkaannya. Tetapi tetap ia bersikap
tenang. Terus ia menjura.
"Jikalau begitu, baiklah," ia kata. "Aku minta lootjianpwee
menaruh belas kasihan terhadapku....."
Dari pojok tembok, To Hoan turunkan sepotong tongkat panjang.
"Tongkat pengemis ini dapat juga digunakan!" katanya.
Tan Hong sudah lantas ambil kedudukan di sebelah bawah.
To Hoan tahu orang tidak berani turun tangan terlebih dahulu,
maka ia tak mau buang tempo lagi.
"Awas!" ia peringatkan. Terus ia menyambar pinggangnya si anak
muda.
"Bagus!" seru Tan Hong sambil lompat, hingga tongkat Hanliong
pang, yang terbuat dari kayu
hangliong yang kuat, lewat di bawah kakinya. Habis itu, tidak
tunggu sampai tubuhnya turun menginjak tanah, pedangnya sudah
menggantikan menyambar, menikam ke arah jalan darah hoakhay
hiat. Itulah serangan "Pekhong koandjit" — "Bianglala putih
mengalingi matahari."
"Bagus!" berseru To Hoan, sambil mundur, seraya menarik
kembali tongkatnya, untuk dipakai menotok nadi orang.
Itulah serangan saling balas yang dahsyat sekali.
Tan Hong tarik kembali tangannya berikut tubuhnya, akan
menyingkir dari ancaman To Hoan. Ia telah gunakan tipu "Djitgoat
kengthian" — "Matahari dan rembulan melewati garis."
"Bagus, saudara Thio!" Pit To Hoan memuji pula. "Sungguh
liehay ilmu pedangmu!"
Selagi memberi pujian, jago tua ini ulangi serangannya yang tak
kurang berbahayanya dengan gerakannya yang cepat.
Nampaknya tidak ada jalan untuk Tan Hong berkelit atau
menangkis, ia sudah sangat terdesak, akan tetapi di saat ujung
tongkatnya mengancam, tahutahu! "Trang!" demikian terdengar.
Karena keberaniannya, si anak muda toh menangkis juga. Maka itu
lelatu api pun muncrat.
Pit To Hoan kaget, hingga ia mencelat mundur, kalau tidak,
ujung pedang yang menyambar terus, bisa mengenai tubuhnya.
Semua tetamu berseru kaget dalam hati mereka. Malah Tiauw Im
Hweeshio turut merasa heran juga. Mungkinkah Tan Hong tidak
dapat mempengaruhi pula pedangnya?
Melainkan To Hoan sendiri yang mengetahui bahwa anak muda
itu telah mengalah terhadapnya. Ia lantas periksa tongkatnya,
tongkat itu tidak gompal. Ia tertawa. "Pedangmu dan tongkatku
sama-sama tidak rusak, mari, tak usah kau sungkan sungkan!" ia
menantang. Malah ia yang mendahului menyerang pula. Kali ini, ia
berlaku terlebih bengis pula.
Dengan sebat tetapi tenang Thio Tan Hong mengadakan
perlawanan. Tongkat sangat mendesak, ia melayaninya dengan
kegesitan tubuhnya, yang enteng sekali.
Cepat jalannya pertempuran, sebentar saja sudah lima puluh
jurus.
Satu kali Tan Hong menyerang dengan tipu "Liongboen
kouwliong" — "Gelombang di Liongboen," di saat ujung pedang
hampir bentrok dengan tongkat, mendadak To Hoan menarik
kembali, akan berbalik menyambar ke arah pinggang.
Diserang secara demikian rupa, Tan Hong mendak, terus
ia mencelat ke samping.
"Sayang! Sayang!" mengeluh orang banyak dalam hatinya.
Tiauw Im kembali heran. Ia tahu, bila tongkat diturunkan sedikit
lagi, bebokong atau kempolan Tan Hong mesti kena tersapu.
Mungkinkah To Hoan juga tak dapat menguasai tongkatnya itu?
Cuma Tan Hong yang tahu, jago tua itu mengalah terhadapnya,
seperti tadi ia mengalah terhadap orang tua itu. Selagi ia belum
tahu pasti apa baik ia ulangi serangannya atau tidak, tiba-tiba ia
dengar tuan rumahnya tertawa terbahak-bahak.

-ooo0dw0ooo-

BAB X
"Saudara Thio, ilmu pedangmu liehay, tetaplah hatiku si orang
tua!" To Hoan mengucap habis tertawa. Terus ia menikam dengan
tongkatnya ke arah perutnya si anak muda, di depan mana ada
melintang pedangnya.
Tan Hong menolak dengan pedangnya, untuk mengelakkan diri,
dengan begitu kedua senjata jadi membentur satu dengan lain.
Tapi inilah gerakan untuk menyudahi pertempuran, untuk
mengubah permusuhan menjadi persahabatan.
Selagi orang banyak heran, Pit To Hoan telah berkata dengan
nyaring: "Saudara Thio, kau adalah sahabatku, maka itu, urusan
bagaimana besar juga, dengan memandang mukaku, sukalah kau
menghabiskannya!"
Terus ia lemparkan tongkatnya, lalu ia cekal tangannya Tan
Hong, untuk dituntun sampai di pintu luar, untuk mengantarkan
sendiri orang pergi.
Sepasang matanya Tjioe San Bin berputar, semua jago Rimba
Hijau pun menjadi tegang sendirinya.
Dengan sikapnya yang tenang tetapi angker, To Hoan jalan
berendeng dengan Thio Tan Hong. Ia tahu sikapnya San Bin dan
tetamu-tetamunya, seperti tidak mengambil mumat, ia jalan terus.
Ini ada cara agung dari orang kangouw mengantarkan tetamunya
pergi pulang. Biar mereka tidak puas,
San Bin dan tetamu-tetamunya membiarkan To Hoan mengantar
Thio Tan Hong berlalu.
Di luar, kuda putih berjingkrakan dan berbenger.
Tan Hong hampiri kudanya itu, dengan sebelah tangan
memegang gagang pedang, ia menjura kepada Pit To Hoan.
"Loopeh, terima kasih!" ia mengucap, menyusul mana tubuhnya
mencelat naik ke bebokong kudanya. Terus ia bersenanjung: "Di
saat terancam dari Tiongtjioe, akan aku kembali, semoga negara
nanti mengeluarkan jago yang pandai. Jikalau nanti datang hari dari
gelombang tenang, ingin aku bersama kau mendaki panggung
orang-orang cendekiawan."
Ketika itu, mata pemuda she Thio ini bentrok dengan sinar mata
In Loei, yang mengawasi kepadanya, tetapi terus ia keprak
kudanya, untuk dilarikan, hingga sejenak kemudian hilanglah ia dari
pandangan mata orang banyak, untuk melalui beberapa lie
jauhnya.....
Pit To Hoan terus mengawasi tetamunya yang muda dan gagah
itu, akhirnya dia tunjukkan jempolnya dan memuji: "Sungguh
agung! Dia dapat menangkan leluhurnya! Tidak kecewa Tjio Eng
mewakilkan dia menjaganya selama beberapa puluh tahun!"
Tjeetjoe Na Thian Sek lampaui orang banyak, akan menghampiri
tuan rumah.
"Siapakah sebenarnya anak muda berkuda putih itu?" dia tanya.
"Hongthianloei bersama Kimtoo Tjeetjoe telah mengirimkan panah
Loklim tjian, adakah itu diakhiri secara begini saja?"
To Hoan mengalihkan pandangannya ke arah Tjoei Hong, ia
tertawa.
"Nona Tjioe, mengertikah kau sekarang?" dia tanya. "Kakek
guruku itu, Peng Hweeshio, mempunyai tiga murid. Murid yang
kedua, Tjoe Goan Tjiang, mulia kedudukannya, dia menjadi kaisar
yang membangun Kerajaan Beng yang besar. Murid yang kesatu,
Thio Soe Seng, telah terbinasa dalam peperangan di Tiangkang,
tetapi si anak muda berkuda putih ini adalah turunannya. Di antara
tiga muridnya itu, akulah yang paling tidak berguna, turun temurun,
kami tetap hidup sebagai orang biasa saja.....”
Semua tetamu belum pernah mendengar riwayat keluarga she Pit
ini atau dongengnya itu, mereka semua tidak mengerti.
"Apa? Apa kau kata?" tanya mereka. "Jadi si mahasiswa berkuda
putih itu turunan Thio Soe Seng? Hubungan apakah yang ada
antara Hongthianloei Tjio Eng dengan dia itu?"
Tjoei Hong tidak pedulikan pertanyaan orang banyak itu, ia
menghela napas.
"Ya, mengertilah aku sekarang," ia sahuti tuan rumah itu.
"Rupanya leluhurku dulu adalah orang kepercayaan yang telah
menerima tugas dari Thio Soe Seng untuk menyimpan gambar itu.
Akan tetapi dia ini, dia adalah musuh besar dari In Siangkong....."
Pit To Hoan kerutkan alisnya.
"Maka itu telah kukatakan, masih ada sesuatu yang belum jelas
bagiku," ia berkata, "dan ini adalah satu di antaranya. Dalam surat
ayahmu itu tidak dituliskan sesuatu..... In Siangkong, bagaimana
caranya maka kau jadi bermusuhan dengan dia itu?" ia terus tanya
In Loei.
Pucat muka orang yang ditanya itu, air matanya berlinang.
Sekian lama, ia berdiam saja.
Semua orang makin heran, ada pula yang bertanya.
"Marilah, kita bicara di dalam," akhirnya To Hoan mengajak.
Mereka kembali ke ruang dalam, untuk duduk. Sekarang ia ingin
memberikan keterangannya.
"Pada waktu dahulu, tiga saudara angkat telah bersama-sama
mengangkat senjata," ia jelaskan, "lalu belakangan, cuma satu yang
berhasil membangun negara. Berbicara sebenarnya, aku pun tidak
puas. Adalah aturan dalam keluargaku, anak-anak kami mesti hidup
sepuluh tahun sebagai pendeta dan sepuluh tahun sebagai
pengemis. Inilah peringatan leluhur kami yang pertama, kedua kami
diberi ketika untuk merantau di seluruh negeri, guna mencari
gambar yang mempunyai hubungan dengan usaha pembangunan
negara, supaya setelah mendapat gambar itu, kami bisa berdaya
untuk dengan anak cucunya Tjoe Goan Tjiang memperebutkan
kegagahan. Sekarang ini tidak usah aku bersusah hati pula,
selanjutnya anakku tak usah lagi menjadi hweeshio, tak usah lagi
menjadi pengemis!"
"Apakah artinya kata-kata kau ini, Pit loo enghiong?" tegaskan Na
Tjeetjoe.
Pit To Hoan tertawa sedih, ia menyahut: "Pada jaman dahulu
Hong Djiam Kek bercita-cita mengendalikan negara, dia telah main
catur dengan Lie Sie Bin, belum sampai selesai satu rintasan, atau
dia telah mengaduk-aduk biji caturnya, dia kata, tak dapat lagi dia
memperebutkan negara. Nyata dia telah putus asa, kalah dari Lie
Sie Bin. Aku tidak berangan-angan besar sebagai Hong Djiam Kek
itu, sebab dahulunya aku tidak tahu diri, aku masih memikir, setelah
aku berhasil mendapatkan gambar itu, hendak aku bergerak, untuk
memburu menjangan di Tionggoan. Tapi sekarang ini, ikhlas aku,
aku menyerah kalah terhadap Thio Tan Hong. Gambar itu telah
bertemu dengan pemiliknya yang sah! Bukankah kamu telah
mendengar syairnya Thio Tan Hong itu, yang ia ucapkan tadi.
Bagaimana, besar cita-citanya! Dengan menuruti petunjuk dalam
gambar itu, Thio Tan Hong hendak menggali harta besar yang
dipendam leluhurnya dulu, dengan menggunakan peta buminya itu,
dia mencoba bergerak, untuk mendayakan usaha kerajaan, untuk
sekali lagi memperebutkan Negara dengan anak cucunya keluarga
Tjoe!"
San Bin habis sabar, dia berjingkrak.
"Hanya aku kuatir dia nanti persembahkan negara kepada
bangsa asing!" katanya dengan dingin.
"Apa kau kata?" tanya To Hoan, tenang.
"Pit Lootjianpwee, apakah kau masih belum ketahui?" San Bin
balik menanya, hatinya masih sangat mendongkol. "Ayah si pemuda
berkuda putih itu, Thio Tjong Tjioe, berada di negara Watzu di
mana dia menjadi perdana menteri muda! Sekarang ini usaha
negara Watzu untuk menerjang masuk ke negeri kita boleh
dikatakan sudah sampai di depan mata, dia telah dating seorang diri
kemari, jikalau dia bukannya mata-mata, habis apa? Malah aku
kuatirkan dia lebih berbahaya daripada mata-mata umumnya! Coba
pikir! Kalau dia berhasil mendapatkan peta negeri itu, mungkin
wilayah kita yang bagus letaknya, akan berada dalam telapakan
tangannya, dia dapat melihat dengan tegas, jikalau peta itu
diserahkan kepada bangsa Watzu dan bangsa itu mengerahkan
angkatan perangnya menuruti petunjuk peta itu, dapatkah
Tionggoan melakukan perlawanan?"
Wajah Pit To Hoan berubah menjadi pucat.
"Benarkah apa yang kau katakan ini?" tanyanya.
"Sedikitpun aku tak dusta!" sahut San Bin. "Kami ayah dan anak
telah mengerek bendera Djitgoat Kie, kami menentang bangsa
Tartar, umum telah ketahui, maka dalam urusan demikian besar
mana dapat aku omong kosong! Demikian sakit hati yang besar dari
In Siangkong ini, itupun disebabkan si penghianat besar Thio Tjong
Tjioe! Adik Loei, cobalah kau ceritakan semua kepada orang-orang
gagah ini?"
Tak tahan In Loei akan kedukaannya, mendengar perkataan San
Bin itu, ia menangis, hingga tak dapat ia bicara.
"Jangan berduka, adik Loei," San Bin menghibur. "Pit
Lootjianpwee dan semua orang gagah ini pastilah akan berbuat
sesuatu untukmu. Baiklah aku yang mewakilkan kau
menuturkannya."
Segera San Bin ceritakan halnya In Tjeng disiksa menggembala
kuda di Negara asing, bagaimana In Tjeng itu teraniaya dalam
perjalanan pulang, dan lainnya.
Mendengar semua itu, To Hoan rubuhkan diri dalam kursinya.
"Pantas keluargaku mencari turunan Thio Soe Seng dengan sia-
sia saja," katanya selang sekian lama, "sedikit juga kita tidak dapat
mengendus, kiranya dia telah pergi jauh kepadang pasir."
Tiba-tiba jago tua ini lompat bangun, nampaknya ia murka.
"Benarkah Thio Soe Seng mempunyai anak cucu demikian
buruk?" Tanya dia. "Melihat roman Thio Tan Hong, mana pantas dia
menjadi satu penghianat?"
"Ada bapaknya mesti ada anaknya!" kata San Bin. "Dengan
melihat tabeatnya saja mana bisa diputuskan dia sebenarnya
manusia macam apa?"
Muka To Hoan menjadi merah, matanya menyala, seolah-olah
hendak menyemburkan api.
"Jikalau demikian, akulah yang keliru!" akhirnya dia berseru.
Baharu San Bin hendak melanjutkan, atau Tiauw Im telah
menyambungi dia.
"Lootoako, aku katakan kau keliru," kata pendeta ini. "Thio
Tjong Tjioe itu memang benar satu penghianat besar! Pernah
aku mendatangi negara Watzu itu dan karenanya pernah aku
tercelakai dia!" Pit To Hoan tunduk, tapi masih ia mengatakan
dengan perlahan: "Aku salah! Apa benar aku salah?" Melihat sikap
orang, San Bin berkata pula.
"Pit Lootjianpwee," katanya, "mungkin karena kekeliruan kau,
dan kurang perhatian, kau kena dikelabui penghianat itu. Thio Tan
Hong telah mengundang semua orang gagah datang ke rumahmu,
ia tentunya telah perhitungkan masak-masak, mungkin ia
pergunakan kau sebagai tameng, supaya kau dapat menolongi dia
memberi keterangan, untuk memecahkan kesulitannya, supaya
selanjutnya kaum Rimba Hijau tidak lagi menyusahkan padanya."
"Hm!" jago tua itu perdengarkan suaranya, "apabila dia benar-
benar penghianat, pasti akan aku binasakan dia dengan tanganku
sendiri!"
Matanya lantas bersinar, tapi wajahnya tetap penuh keragu-
raguan.
San Bin tahu orang tentu belum percaya penuh padanya, masih
ia hendak meyakinkannya, tetapi selagi ia hendak buka mulutnya, ia
lihat tuan rumah itu pergi keluar sambil memanggil: "Mana orang!"
terus dia perintahkan satu pegawainya: "Lekas kau selidiki, apakah
orang yang aku titahkan sudah kembali atau belum?" Habis itu, ia
kembali ke dalam sambil mengatakan: "Kalau dilihat begini,
mungkin di depan mata kita ini akan terbit ancaman bahaya
besar!.....”
Semua hadirin menjadi heran.
"Ancaman bencana apakah?" tanya mereka yang tak mengerti.
"Kita berjumlah banyak di sini, bencana apakah itu? Mungkinkah kita
tidak dapat menentangnya?"
"Saudara-saudara, kamu masih belum mengetahui jelas," sahut
Pit To Hoan dengan penjelasannya. "Keluargaku adalah keluarga
yang menjadi musuh turunan besar dari kaisar kerajaan Beng.
Dimasa hidupnya Tjoe Goan Tjiang, pernah mengumumkan titah
rahasia untuk membasmi sampai diakarnya kedua keluarga Thio dan
Pit. Keluarga kami menjadi pendeta dan pengemis selama turun
temurun, sebabnya, kecuali alasan-alasan yang pernah aku
sebutkan, satu alasan lainnya ialah guna melindungi diri dari
ancaman bahaya itu. Bersukur kepada leluhurku, berkat
perlindungannya, beberapa turunan kami telah selamat tidak kurang
suatu apa dan belum pernah kami dapat diendus pemerintah. Atau
mungkin karena aku pernah merantau, nama kosongku telah
mengundang ancaman bahaya. Ialah sejak beberapa tahun yang
lalu, aku tahu ada "elang dan anjing" yang memperhatikan diriku.
Itulah sebabnya kenapa aku mengambil tempat yang sepi ini untuk
menyembunyikan diri. Tapi aku rasa aku belum bebas. Beberapa
hari yang lalu, telah datang beberapa orang asing yang tidak
dikenal. Menurut orang-orang kampung, mereka itu telah
menanyakan asalusulku. Aku percaya, mereka adalah kaki tangan
pemerintah. Baiklah aku bicara terus terang, beberapa hari yang
lalu, aku berniat untuk pindah dari sini, akan tetapi karena Thio Tan
Hong menjanjikan untuk membuat pertemuan di sini, aku telah
menunda kepindahanku itu. Umpama kata pemerintah mengetahui
kita akan berkumpul di sini, pasti kaisar she Tjoe itu mengirimkan
orang-orangnya yang pandai untuk membekuk kita! Bukankah
mereka dapat menggunakan jaring untuk meringkus kita semua?"
Mendengar ini, semua tetamu jago-jago Rimba Hijau, jadi
bimbang. Dugaan To Hoan masuk diakal.
Tjek Po Tjiang, yang pernah dikalahkan Thio Tan Hong, lantas
berkata: "Apakah betul urusan begini kebenaran? Va, aku percaya,
inilah jebakan yang diatur si bangsat kecil berkuda putih itu!"
To Hoan berpikir keras, tidak dapat ia bicara.
"Sungguh mencurigakan!" Na Tjeetjoe turut mengutarakan
pikirannya.
"Bagaimana anak cucunya Thio Soe Seng dapat bekerja sama
dengan pemerintah?" To Hoan kemukakan pula kesangsiannya.
"Jangan ragu-ragu, lootjianpwee1." kata Tjioe San Bin. "Thio
Tjong Tjioe ayah dan anak bisa menjadi mata-mata bangsa Watzu,
maka itu, mereka pasti juga bisa menjadi mata-mata pemerintah!
Orang sebangsa dia, apa yang dia tidak dapat lakukan?"
"Benar!" Tiauw Im campur bicara. "Thio Tjong Tjioe itu pernah
berhubungan surat menyurat dengan dorna kebiri Ong Tjin, inilah
aku ketahui."
Pit To Hoan buat main kumisnya, ia berpikir keras.
"Sebenarnya aku tidak menduga jelek terhadapnya," katanya
kemudian, "tapi sekarang, mendengar keteranganmu, Tjioe Hiantit,
benar-benar sulit untuk aku mengambil keputusan. Ah, urusan ada
begini suram, sulit untuk dipecahkannya. Mungkinkah Thio Tan
Hong menggunakan akal memperlambat gerakan pasukan guna
mencegah kepindahanku, supaya kaki tangan pemerintah keburu
datang untuk melakukan penangkapan? Ah, benar-benar, tahu
manusia, tahu mukanya, tak tahu hatinya! Apakah aku telah keliru
melihat orang?"
Pit To Hoan cerdas, ia pandai melihat segala apa, hari ini adalah
untuk pertama kalinya ia terbenam dalam kesangsian, hingga tak
dapat ia segera mengambil keputusan.
Tjioe San Bin telah mengumbar hawa amarahnya.
"Urusan ini jangan disangsikan pula!" katanya dengan nyaring.
"Pastilah sudah, ini ada jebakan yang dipasang Thio Tan Hong!
Maka sekarang marilah kita bicarakan daya untuk mengadakan
perlawanan terhadapnya!"
Riuh suara para tetamu itu, mereka masing-masing
mengutarakan pikiran mereka. Ada yang menghendaki menunggu
datangnya musuh, untuk memberikan perlawanan. Ada yang
menganggap, lebih baik menyingkir terlebih dahulu, supaya nanti
mereka dapat lantas menyiarkan panah Loklim tjian secara luas,
guna mengumpulkan semua anggauta Jalan Hitam di Selatan dan
Utara, guna bersama sama menghadapi Thio Tan Hong itu,
sedikitnya Thio Tan Hong harus dikurung, hingga sulit baginya
untuk angkat kaki satu tindak saja.
Pit To Hoan menjadi bergelisah, masih ia bersangsi, sedang suara
para hadirin itu, hampir semuanya menentang Thio Tan Hong. Di
antaranya Cuma In Loei seorang, yang duduk diam di atas kursinya.
Dia sangat berduka, air matanya masih berlinang. Menampak sikap
orang itu, ia menjadi curiga.
"Bicara tentang permusuhan, dialah yang bermusuh paling hebat
dengan Thio TanHong," ia berpikir. "Kenapa sekarang dia diam
saja? Apakah di sini terselip suatu urusan lain?"
Tiba-tiba ingin To Hoan menghampiri In Loei, untuk bicara
dengannya — bicara berdua saja, — tetapi waktu itu, orang ramai
berbicara, ruang menjadi berisik, tak ada kata-kata yang terdengar
nyata. Maka itu, tuan rumah ini kerutkan sepasang alisnya.
Dalam keriuhan itu, sekonyong-konyong orang mendengar kuda
berbenger.
"Si bangsat kecil berkuda putih datang pula!" tiba-tiba ada yang
bersuara.
Sekejap saja, ruang menjadi sunyi, ketegangan muncul sebagai
gantinya.
Suara kelenengan kuda pun lantas terdengar nyata, makin lama
makin dekat.
Pit To Hoan lompat bangun, dia lari keluar.
Satu penunggang kuda tengah mendatangi! Dialah Thio Tan
Hong! Mukanya pucat, penuh dengan keringat. Begitu sampai, ia
lompat turun dari kudanya, menghampiri tuan rumah.
"Siepeh, lekas lari!" katanya cepat, singkat.
To Hoan mengawasi dengan mata mendelik.
"Bagus!" ujarnya dingin. "Lelakon apa lagi kau mainkan?"
Tan Hong melengak, mukanya menjadi pucat, tapi segera ia
dongak, akan tertawa bergelak-gelak.
"Langit yang tinggi, siapakah yang kenal aku?" katanya, lalu ia
teruskan: "Tuan Pit, pada saat ini tak ingin aku memainkan lidah,
untuk kau mempercayai aku, aku cuma mohon, lekas kau pergi,
untuk menyingkirkan diri! Tentara negeri terpisah kurang lebih
sepuluh lie lagi dari sini!"
Inilah To Hoan tidak sangka, ia menjadi sangat gusar.
"Bagus!" serunya. "Aku akan adu jiwaku, akan aku siram tanah
dengan darah! Untuk membuat kau.....”
Dalam keadaan yang sangat murka, tak dapat To Hoan
melanjutkan katakatanya. Sebenarnya hendak ia mengucapkan,
.....berhasil!" Tapi berbareng dengan itu, sekarang ia dapat melihat
lebih nyata. Ia tampak pakaiannya kecipratan darah, mukanya
tegang. Maka itu, dapatkah pemuda ini mendusta?
Selagi orang berdiam, Tan Hong berkata pula: "Aku baharu
sampai belasan lie di luar kampung ini ketika aku berpapasan
dengan pasukan serdadu pemerintah. Kita bentrok. Aku rubuhkan
dua di antaranya! Mengandal kepada kudaku ini, yang larinya
keras, aku kembali kesini, untuk menyampaikan kabar.....”
"Sret!" demikian terdengar satu suara, yang disusul dengan suara
menghembus. Dan panah api sudah menyambar ke arah Thio Tan
Hong!
Hweesin tan Tjek Po Tjiang sangat gusar, maka itu, belum
sampai ia lompat maju, panah apinya, tjoayam tjian, telah ia
lepaskan.
Menyusul ini beberapa orang lompat maju, di antaranya Na
Tjeetjoe dari Imma tjoan.
"Bocah cilik!" dia mendamprat. "Apakah kau sangka kami bertiga
anakanak kecil, hingga dapat kau permainkan?" Dan tidak
memberikan ketika untuk orang membela diri ia maju terlebih jauh.
Empat lima orang lainnya juga merangsek maju.
"Binatang cilik, kau ngaco belo!" mereka itu mencaci. "Siapa yang
kau hendak dustai? Kau mesti dibunuh dulu, baharu kita labrak
tentera negeri! Jangan harap kau bisa jaring kita semua! Tak
gampang!"
Cacian ini membikin yang merangsek makin banyak, di lain saat,
Tan Hong telah dikurung, diserang pelbagai macam senjata.
Mau atau tidak, terpaksa pemuda itu harus menggunakan
pedangnya, untuk membela diri. Di antara suara "trang trang"
banyak kali, terlihatlah beberapa senjata terbabat kutung oleh
pedangnya pemuda itu, hingga kurungan itu nampak sia-sia saja.
Siapa tak bersenjata, ia terpaksa mesti mundur.
Menampak demikian, San Bin tolak tubuh In Loei.
"Lekas maju!" dia menganjurkan. "Gunakan pedangmu untuk
melawan dia!"
Tanpa merasa orang she In ini menghunus pedangnya, ia
menyerbu ke dalam kurungan.
Tan Hong berkelebatan di antara pengepung-pengepungnya,
baju putihnya pun beterbangan, sambil terus melindungi diri, ia
berteriak-teriak pula: "Kamu lihat kudaku! Jikalau benar aku
memihak tentera negeri, mana bisa kudaku terluka demikian?"
Orang-orang menoleh dan mereka dapatkan pada sebelah kaki
kuda itu tertancap dua batang anak panah. Itulah anak panah
tentera negeri.
Orang-orang kaum Rimba Persilatan sangat menyayangi kuda itu,
apapula pooma, kuda "mustika" atau jempolan sebagai Tjiauwya
saytjoe ma, maka itu, tertarik hati mereka. Mereka sayangi kuda itu,
yang anak panahnya belum sempat dicabut Tan Hong, sebab perlu
ia lekas-lekas memberi kabar.
"Siapa tahu jikalau ia tidak lagi menggunakan akal menyiksa
diri?" teriak Hweesin tan Tjek Poo Tjiang, yang ingat kepada
"Kouwdjiokkee" — tipudaya mempersakiti kulit-daging. Dan dengan
cambuknya, ia menyerang.
Tan Hong tangkis serangan itu, yang hebat, menyusul mana,
cambuk itu terpapas kutung ujungnya!
"Maju!" San Bin menganjurkan pula.
Adalah di saat itu, In Loei telah datang dekat si anak muda, yang
terus ia serang dengan pedangnya.
Tan Hong terkejut, mukanya menjadi pucat. Ia tidak mau
melayani berkelahi, malah menangkis pun tidak, dengan
kesebatannya, ia berkelit, terus ia menjauhkan diri.
Poo Tjiang lihat caranya orang berkelahi, ia menyangka orang
telah mulai jeri, dengan sengit, ia merangsek pula. Mulanya ia putar
cambuknya, habis itu, ia menyerang. Mulanya ia mengancam ke
atas, dengan tipu "Soathoa kayteng" — "Kembang salju menutupi
kepala," setelah itu, ia menyambar kebawah, dengan "Kouwsie
poankin" — "Pohon tua terbongkar akarnya."
Tan Hong tangkis serangan itu. Akibatnya adalah satu suara
nyaring terdengar dari terkutungnya cambuk itu menjadi dua
potong, hingga selanjutnya, senjata itu tidak dapat digunakan lagi.
In Loei menghampiri pula si anak muda, seperti orang tak sadar
akan dirinya, kembali ia menyerang, tapi pedangnya kali ini seperti
tertahan di udara, turun tidak, ditarik pun tidak.....
Thio Tan Hong berteriak pula: "Api sudah membakar alis, kenapa
kamu masih belum hendak angkat kaki? Kenapa kamu masih libat
aku?"
"Tjis, kau hendak gertak kita dengan tentera negeri?" Na tjeetjoe
mengejek. "Kita justeru ada orang-orang yang menjadi besar di
antara golok dan tombak tentera negeri itu! — Maju!"
Dan ia maju sambil anjurkan kawan-kawannya. Thio Tan Hong
memutar diri, pedangnya pun berputaran. Dengan cara itu hendak
dia mencegah serangan.
"Mereka yang datang itu adalah rombongan pahlawan Kimie wie
dari kota raja!" dia masih berteriak, memperingatkan. "Apa kamu
sangka mereka ada pasukan serdadu yang biasa? Mungkin juga
bersama mereka datang tiga ahli silat terbesar dari kota raja!"
Kimie wie adalah pasukan pahlawan berjuba sulam, dan tiga jago
yang Tan Hong maksudkan adalah Kimie wie Tjiehoei Thio Hong
Hoe, komandan barisan pahlawan berseragam sulam itu, Gietjian
Siewie Hoan Tiong, pahlawan pengiring raja dan Lweeteng Wiesoe
Khoan Tiong, pahlawan dari keraton. Mereka asalnya tiga jago
Rimba Persilatan, mereka kosen dan sangat terkenal, hingga mereka
disebut "Kengsoe Samtoa Khotjioe" yaitu tiga jago silat dari kota
raja.
Mendengar seruan orang yang terakhir ini, baharulah orang-
orang Rimba Hijau itu terperanjat. Memang berbahaya kalau dipihak
pahlawan-pahlawan Kimie wie, yang tidak boleh dipandang
ringan, terdapat juga tiga jago kenamaan itu. Mereka tercengang.
Waktu itu kudanya Thio Tan Hong, yang telah terluka itu,
memperdengarkan suara nyaring. Ia telah dirintangi Tiauw Im
Hweeshio, yang menghalang di depannya. Ia berbunyi karena
lukanya di kaki terasa sakit.
Melihat kuda itu terluka, Pit To Hoan berpikir.
"Kuda ini kuda pilihan, larinya pesat dan kencang sekali,
sekarang dia kena dipanah sampai dua kali, benar heran! Orang
yang sanggup memanah kuda ini, kalau bukan ketiga jago yang
barusan disebutkan itu, mesti ada orang gagah luar biasa lainnya!
Maka itu, apa yang dikatakan bocah ini, lebih baik dipercaya
daripada tidak!.....”
Dalam kesangsian itu, To Hoan masih dengar pula keterangannya
Tan Hong.
"Di belakang pasukan Kimie wie itu masih ada satu barisan besar
tentara Gielim koen!" demikian si mahasiswa. "Jikalau yang hendak
ditawan Cuma Tuan Pit seorang saja, untuk apa dikerahkan begitu
banyak tentara? Jikalau Gielim koen memecah kekuatannya, untuk
menyerbu pesanggrahan tuan masing-masing, bagaimana nanti
tuan-tuan melayani mereka?"
Besar pengaruhnya perkataan ini, lantas sebagian kecil tetamu
yang dengan tersipu-sipu pamitan dari Pit To Hoan, dengan naiki
kudanya masing-masing, mereka kabur pulang.
Tapi San Bin menjadi sangat mendongkol dan murka.
"Penghianat, kau main gertak!" dia berteriak. "Kau bukannya
pemimpin pasukan Gielim koen itu, cara bagaimana kau ketahui
siasat mereka mengatur tentera? Pastilah kau koncoh mereka!"
Thio Tan Hong melengak, dia tertawa terbahak-bahak. Lalu
dengan gerakan "Pathong hongie" — "Hujan angin di empat
penjuru" — ia halau senjata Na Thian Sek, Tjek Po Tjoen dan San
Bin sekaligus. Ia masih tertawa pula dan berkata: "Kecewa ayahmu
yang pernah menjadi panglima di perbatasan! Andaikata kau benar
belum pernah membaca kitab perang, mestinya kau mengerti ilmu
perang walaupun hanya sedikit! Siapa menjadi panglima perang, dia
harus dapat menerka peraturan musuh, dia mesti faham akan
pertahanan pihak sendiri, atau paling sedikit dia mesti melihat
gelagat. Kau menyebut aku penghianat, tapi sekarang kita
berhadapan dengan musuh yang berjumlah besar, apa tidak
bodoh kalau kamu mencelakai diri sendiri karena aku seorang?.....”
Belum sempat Tan Hong menutup mulutnya, sebahagian
pengurungnya telah mengundurkan diri, untuk angkat kaki.
Muka Tjioe San Bin menjadi merah, ia malu dan mendongkol.
"Pesanggrahanku bukan di sini, aku juga tidak takut tentara
negeri nanti mengurung aku!" ia berteriak dalam murkanya. "Masih
hendak aku mencoba ilmu pedangmu! Adik Loei, maju!"
In Loei tangkis pedang Tan Hong, untuk di-sampok, atas mana,
San Bin membacok.
Tan Hong bersenyum. Pedangnya tidak mental atas
sampokannya In Loei, sebaliknya, dengan dibantu gerakan tangan
kiri, ia sambarkan itu ke arah San Bin, dari bacokan siapa ia berkelit.
Suara "Trang!" segera terdengar, lalu tanpa dia merasa, orang she
Tjioe itu kehilangan goloknya, yang telah terlepas dari cekalannya
dan jatuh ke tanah!
Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia mengerti, maka diam-
diam ia angguk-anggukkan kepalanya.
"Jikalau Thio Tan Hong turun tangan sungguh-sungguh, San Bin
mesti terbinasa atau sedikitnya terluka, ia berpikir. "Semua orang
yang mengepung Tan Hong, tertabas senjatanya, dari sepuluh,
sembilan yang terkena.....”
Sementara itu si kuda putih masih terhalang Tiauw Im, tak henti-
hentinya dia perdengarkan suaranya. Menampak demikian, To Hoan
maju, mulutnya perdengarkan suara meniru benger kuda, kemudian
sambil menggerakkan tangan kirinya, ia lompat untuk mendekati
kuda itu.
Kuda putih itu cerdas sekali, dia seperti tahu orang bermaksud
baik, dia taruh ke empat kakinya di tanah, tidak lagi dia
berlompatan atau berjingkrakan, maka To Hoan dapat menghampiri
untuk segera mengusap-usap lehernya, setelah mana, dengan
tangan kanan, cepat bagaikan kilat, orang she Pit ini mencabut
kedua anak panah yang nancap dipahanya dan kemudian dengan
tak kurang sebatnya, ia obati luka itu.
Sebagai seorang kangouw ulung, Pit To Hoan mengerti segala
apa, sampai sifat kuda dan cara mengobatinya.
Tiauw Im tercengang bahna kagumnya.
San Bin di lain pihak sudah memungut pula goloknya, untuk
bersama Thian Sek mengepung pula lawannya. In Loei pun, dengan
bengis, melakukan serangannya berulang-ulang.
Tak tenang hati To Hoan menyaksikan pertempuran macam itu.
"Saudara Thio, ini kudamu!" akhirnya ia teriaki
Tan Hong. "Lekaslah kau berlalu!"
San Bin terkejut, ketika ia berpaling, ia lihat To Hoan tengah
menolak minggir pada Tiauw Im Hweeshio, akan membiarkan kuda
putih lari ke arah majikannya.
Tjek Po Tjiang menjadi gelisah.
"Pit looenghiong, harap kau pikir masak-masak!" ia serukan tuan
rumah itu. "Membekuk harimau mudah, melepaskannya berbahaya!"
ia peringatkan.
Pit To Hoan seperti tak mendengar perkataan orang.
"Saudara Thio, aku mengerti kau, aku terima kebaikanmu!"
masih ia berkata pada Tan Hong. "Luka kudamu tidak parah,
lekaslah kau pergi!"
Karena heran, Na Thian Sek mundur, untuk menghentikan
serangannya. Melihat demikian, In Loei pun lompat ke samping.
Karena ini, Tjioe San Bin turut mundur beberapa tindak.
Thio Tan Hong bersenyum, separuh ber-senanjung, ia berkata:
"Persahabatan dari beberapa turunan benar berharga, tapi
persahabatan pada suatu saat lebih berharga pula..... Pit Loopeh,
jangan kau pedulikan aku, lekas-lekas kau singkirkan dirimu!"
"Keluargaku besar, aku pun masih harus be-benah," sahut Pit To
Hoan. "Baiklah kau sendiri yang menyingkir terlebih dahulu! —
Eh, Na Tjeetjoe, Tjek Tjhoengtjoe, juga engkau Tjioe Hiantit,
lekas-lekas kamu angkat kaki! Tentang Thio Tan Hong, tak usah kau
pedulikan pula!"
Na Thian Sek bingung, akan tetapi tanpa mengucap sepatah
kata, ia naik ke atas kudanya, untuk segera berlalu.
Tjek Po Tjiang berdiri menjublak, masih ia belum mengerti.....
San Bin juga berdiri diam dengan goloknya ditangan, ia masih
memikir, kemudian, selagi ia berniat membuka mulutnya,
sekonyong-konyong ia dengar suara sangat riuh dari datangnya
pasukan tentera dan tindakan ratusan ekor kuda, menyusul mana,
anak-anak panah sudah lantas menyambar saling susul, suaranya
keras menderu-deru. Bagaikan bukit ambruk, demikian seruan tak
putusnya dari tentera negeri, yang mendatangi sangat pesat.
Wajah Pit To Hoan menjadi pucat pasi.
"Lekas!" ia teriaki pengurus rumah itu. Kemudian, dengan suara
sangat berduka, ia menambahkan: "Kamu semua tidak mau siang-
siang angkat kaki, sekarang sungguh sukar!.....”
Kampung-halaman si orang she Pit dikurung bukit-bukit, dari
suatu jalan bukit terlihat tiga orang mendatangi dengan cepat
seperti bayangan, di belakang mereka ada beberapa puluh
penunggang kuda yang muncul dari antara lembah. Lantas ketiga
penunggang kuda itu menghampiri mereka, untuk perlihatkan diri di
depan mereka. Habis itu, mereka semua lantas menuju ke arah
rumahnya Pit To Hoan.
Jauh di belakang seperti terdengar adanya banyak tentera
lainnya, yang tengah mendatangi.
Menampak datangnya musuh, Pit To Hoan tertawa berkakakan.
Segera ia maju, untuk memapak ketiga penunggang kuda itu serta
barisan mereka.
"Apakah harganya aku si orang tua she Pit dengan beberapa
potong tulang-tulangnya yang telah tua?" berkata ia. "Samwie
thaydjin, berhubung dengan kunjunganmu itu, aku merasa
beruntung!....."
Dari ketiga perwira itu, yang di tengah mempunyai "alis pedang"
dan "mata harimau" romannya bengis. Ia adalah Thio Hong Hoe,
tjiehoei atau komandan dari pasukan pahlawan bersulam Kimie wie.
Ia kesohor dengan ilmu golok Ngohouw Toanboen too-nya — "Lima
harimau mencegat pintu."
Orang yang berada di sebelah kiri komandan ini bermuka hitam
bagaikan pantat kwali, kumisnya pendek dan kaku. Dia adalah
Gietjian siewie Hoan Tiong, pahlawan kaisar. Sedang yang berada di
sebelah kanan, yang wajahnya kuning gelap dengan mata yang
belo, adalah ahli silat dari keraton ialah Khoan Tiong yang
kenamaan.
Hoan Tiong pada belasan tahun yang lampau pernah mengenal
Pit To Hoan, maka itu ialah yang mulai bicara.
"Pit Toaya, kami datang atas titahnya Sri Baginda," demikian
katanya, "maka itu, aku minta janganlah kau sesesalkan aku. Kami
minta sukalah kau turut berjalan bersama kami. Tidak nanti kami
membuatnya kau susah....." Pit To Hoan menyambut dengan
tertawa dingin, ia telah memikir untuk memberikan jawabannya
ketika ia dengar
Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak sendirinya, setelah mana,
dia berkata dengan jumawa: "Hoan Hiantee, bukankah sia-sia
belaka kata-katamu ini? Kau tahu macam apa Tjinsamkay yang
kenamaan itu? Mana dia mau menyerah begitu saja? Maka baiklah
kita bicara terus terang kepadanya!" Lalu dia pandang To Hoan dan
melanjutkan: "Pit Toaya, untuk urusan kita hari ini, tak dapat tidak
mesti kita turun tangan! Oleh karena itu, silakan kau hunus
senjatamu, mari kau berikan pengajaranmu beberapa jurus! Jikalau
kau dapat layani golokku ini, tak peduli urusan bagaimana besarpun,
aku berani bertanggung jawab, untuk membiarkan kau angkat kaki!
Tentang saudara-saudara kaum Rimba Hijau, yang kebetulan turut
hadir di sini, aku pun mengundangnya untuk mereka turun tangan
juga, sedang mereka yang termasuk bukan saudara-saudara Rimba
Hijau, aku persilakan mereka untuk lekas menyingkir. Kami datang
tidak untuk menawan mereka yang tidak bersalah dan berdosa!"
Habis mengucap demikian, tiba-tiba matanya tjiehoei dari Kimie
wie ini menyapu, sambil menggerakkan goloknya, dia menegur: "Eh,
tuan mahasiswa, kau sebenarnya ada hoohan dari golongan apa?"
Thio Tan Hong tertawa atas teguran itu.
"Kau adalah tjiehoei yang hendak melakukan penangkapan, aku
adalah tjinsoe yang hendak membekuk setan!" dia menjawab.
Thio Hong Hoe tertawa bergelak.
"Jikalau demikian adanya, kita juga harus mengadu kepandaian!"
ia kata. Ia sangat menantang.
Khoan Tiong adalah yang tadi mendahului rombongan, dialah
yang telah memanah kuda putih, maka itu, ia sudah lantas melirik
pada Thio Tan Hong.
"Ah, kiranya kau juga berada di sini!" kata dia dengan jumawa.
"Bagus, bagus! Sahabat, kuda putih itu mesti ditinggalkan di sini
untuk aku!"
Ia pun segera siapkan busur dan anak panahnya, untuk
memanah pula.
"Khoan Hiantee, tahan!" seru Hoan Tiong, yang suka sekali pada
kuda pilihan itu. "Jangan kau memanah pula, lebih baik kuda itu
ditangkap hiduphidup!"
Dan Gietjian siewie ini sudah lantas mengajak barisannya maju
untuk menangkap kuda putih yang dimaksudkan itu.
Tiba-tiba saja beberapa anggota Kimie wie perdengarkan jeritan
mereka, jeritan dari kesakitan. Tanpa mereka ketahui apa sebabnya,
bahu mereka itu telah diserang senjata bagaikan jarum halusnya,
yang membuatnya mereka merasa sangat sakit.
Khoan Tiong sudah lantas mengerti. "Ah, kiranya kau pandai
menggunakan jarum Bweehoa tjiam!" ia tegur Thio Tan Hong.
"Kalau ada kehormatan tetapi tidak dibalas, itu namanya tidak
hormat. Nah, kau lihat panahku!"
Busur segera ditarik dan anak panah melesat bagaikan bintang
jatuh, nyaring bunyinya "Sret!"
Thio Tan Hong tidak berani menyambuti anak panah itu, ia hanya
berkelit.
Anak panah itu melesat menjurus ke muka Tiauw Im Hweeshio.
Maka pendeta ini menggunakan tongkatnya, hingga kedua senjata
bentrok keras dan lelatu apinya muncrat. Karena serangan ini, dia
menjadi murka sekali.
"Tjioe Hiantit, mari maju!" dia berteriak dengan anjurannya, lalu
dengan memutar tongkatnya itu, dia menyerbu ke dalam pasukan
Kimie wie.
Hoan Tiong menggunakan sepasang gembolan, ia maju, untuk
cegat pendeta itu. Karena ini, senjata mereka berdua jadi bentrok
dengan menerbitkan suara keras.
Tongkat Tiauw Im kena tersampok hingga sedikit mental ke
samping, tetapi di lain pihak, telapak tangan Hoan Tiong terasa sakit
dan kesemutan, hampir saja ia lepaskan gembolannya. Tentu saja
pahlawan kaisar ini menjadi kaget sekali, sebab di dalam istana, di
antara kawannya, ialah yang tersohor sebagai toaieksoe, orang
terkuat. Tapi ia tidak menjadi jeri, dengan cepat ia maju pula, untuk
melawan pendeta itu.
Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia tertawa terbahak-
bahak. Ia lantas ambil toya Hangliong pang-nya.
"Thio Thaydjin, kau sangat memandang mata padaku, marilah
kita cobacoba!" ia tantang Thio Hong Hoe.
"Bagus, bagus!" Hong Hoe pun tertawa seraya memutar
goloknya. "Mari kita pakai aturan kaum kangouw, kita bertempur
satu lawan satu! Jikalau kau dapat lolos dari golokku ini, aku suka
menjelaskannya, di sini tidak akan ada orang yang nanti berani
menghalang-halangi pula padamu!"
Masih komandan Kimie wie itu memperlihatkan kejumawaannya.
Dalam murkanya, Pit To Hoan maju untuk segera menyerang.
Thio Hong Hoe bertindak ke samping, untuk melewatkan
serangan itu, berbareng dengan tindakannya, goloknya menyambar,
untuk membalas. Tanpa dapat dicegah, toya dan golok bentrok
keras, hingga mereka masing-masing mundur tiga tindak.
"Bagus!" seru Pit To Hoan. "Tak kecewa ahli silat nomor satu dari
kota raja!"
Sambil mengucap demikian, ia ulangi serangannya.
Dengan ujung goloknya, Hong Hoe menyambut toya secara
enteng, waktu goloknya mental ke atas, tiba-tiba saja ia membacok,
dari atas ke bawah, membabat batang leher!
Hebat serangan yang berbahaya itu, hingga To Hoan, untuk
menghindarkan diri, sudah menggunakan ilmu silat "Thiepoankioe"
atau "Jembatan papan besi". Ialah dengan kaki kiri menahan diri,
kaki kanannya diangkat lurus, tubuhnya berbareng melenggak ke
belakang, hingga ia jadi terlentang dengan bantuan kaki kirinya itu.
Dengan begitu, sambaran golok lewat tanpa mengenai sasarannya.
Habis itu, dengan lompatan "Leehie tateng" atau "Ikan gabus
meletik", ia bangkit bangun, hingga golok lawan hampir saja kena
didupak.
"Nama Tjinsamkay bukan nama kosong belaka!" Thio Hong Hoe
memuji, sambil maju menyerang pula, dengan desakan "Lianhoan
samtoo" atau "Bacokan tiga kali beruntun".
Didesak secara demikian, Pit To Hoan main mundur.
Dipihak lain, Khoan Tiong sudah bertempur dengan Thio Tan
Hong. Pahlawan dari keraton ini menggunakan samtjiat djoanpian,
karena ia mengandalkan kepandaiannya, sedang ia juga belum
kenal si mahasiswa, ia memandang enteng kepada musuh yang
menyerupai anak sekolah itu. Begitulah ia mulai, dengan menindak
maju, ia menyerang dengan "Ouwliong djiauwtjoe" atau "Naga
hitam melilit tiang", untuk melibat lengan orang dengan cambuknya
guna merampas pedangnya.
Thio Tan Hong perdengarkan tertawa menghina beberapa kali, ia
kumpulkan tenaganya di lengannya, berbareng dengan itu, ia
membabat berulang-ulang, tanpa mensia-siakan waktu.
Khoan Tiong terkejut, hingga dia mesti lompat mundur. Karena
dia seorang ahli, dengan cepat dia dapat perbaiki diri, hingga di saat
itu, dia lolos dari bahaya, malah dia dapat gunakan "Kimna host",
ilmu "Menangkap", untuk menjambak rambut orang.
Tan Hong mengelakkan diri dengan membabat tangan orang,
tetapi karena ini, samtjiat pian dari lawan itu menjadi bebas, hingga
kembali cambuk itu dapat dipakai menyerang pula. Kali ini sasaran
adalah pinggang si mahasiswa.
Thio Tan Hong tidak mau mengalah, setelah berkelit dari
jambakan itu, kembali ia mendesak, bacokannya menyambar
berulang kali, hingga Khoan Tiong mesti mundur.
Pahlawan dari keraton itu menggunakan senjata panjang akan
tetapi ia tidak mendapat kesempatan mengambil keuntungan dari
genggamannya itu.
Selagi begitu, sejumlah anggauta Kimie wie telah lari ke arah
rumahnya Pit To Hoan.
Sambil bertempur, Thio Tan Hong melirik ke arah kawan-
kawannya. Tiauw Im dan Hoan Tiong ada seimbang, tidak demikian
dengan Pit To Hoan, yang terdesak Thio Hong Hoe. Komandan itu
terutama menang di atas angin karena golok Biantoo-nya yang
tajam luar biasa dan ia ada terlebih muda dan sedang gagahnya. To
Hoan cuma dapat membela diri, maka itu, lama kelamaan ia bisa
menghadapi bencana.
Melirik ke pihak lain lagi, Tan Hong dapatkan In Loei dengan
pedangnya telah membabat kutung senjata pelbagai anggauta Kimie
wie, dengan cara itu si nona lindungi Tjioe San Bin dan Tjek Po
Tjiang. Tentu saja, mereka itu berkelahi sambil mundur. Hingga
akhirnya mereka mendekati Tiauw Im Hweeshio.
Hoan Tiong tengah melawan si pendeta dengan hebat, sampai ia
berulang kali berseru, tatkala tiba-tiba ia lihat sebatang pedang
berkilau menyambar ke arah dadanya. Ia lantas gunakan gembolan
kirinya, guna menjaga diri, dengan gembolan kanan, ia menangkis.
In Loei berlaku gesit dan cerdik, tidak sudi ia membentur senjata
berat dari lawannya itu, maka itu, kecewalah Hoan Tiong, yang
menyangka dapat membuat pedang musuh terpental. Selagi ia sibuk
mengawasi pedang berkelebatan, gembolannya yang kiri telah kena
"ditahan" tongkatnya Tiauw Im Hweeshio, hingga tak dapat ia
berbuat suatu apa. Maka pada akhirnya, pundaknya kena tertusuk
pedang, dalam murkanya, ia berteriak keras, terus ia menimpuk
dengan gembolan kirinya!
In Loei berlaku sangat sebat, begitu gembolan melayang, begitu
ia egoskan tubuhnya, maka gembolan itu melayang terus. Lalu
menyusul suatu suara sangat keras, batu gunung pecah
berhamburan. Sebab batu itu kena terhajar gembolan, yang
menyambar beberapa tombak jauhnya.
Ketika si penyerang berpedang itu berkelit, Hoan Tiong lompat
keluar kalangan, guna menyingkir dari kepungan.
In Loei tidak mau mengejar, hanya bersama Tiauw Im Hweeshio,
ia pun menerjang keluar kurungan, hingga di lain saat, ia telah
dihampirkan kudanya, ke atas mana ia lompat naik, hingga
seterusnya dapat ia membuka jalan.
Tan Hong lega menampak In Loei lolos dari kepungan, karenanya
dengan semangat bertambah-tambah, terus ia desak Khoan Tiong,
hingga Gietjian siewie itu mesti mundur pula beberapa tindak. Ia
segera gunakan ketikanya, akan teriaki Pit To Hoan tentang
ancaman bencana, supaya Tjinsamkay angkat kaki.
Pit To Hoan tengah berkelahi dengan hebat, ia berdiam, ia tidak
sahuti teriakan orang itu.
Tan Hong kerutkan alis. Ia tahu, orang tua itu sudah nekat,
peringatannya itu tidak digubris. Ketika ia memandang pula ke arah
In Loei, ia tampak si nona tetap membuka jalan, di kirinya ada
Tiauw Im Hweeshio, di kanannya ada Tjoei Hong bersama San Bin.
Tjek Po Tjiang bersama lain-lain orang Rimba Hijau mengikuti di
belakang pembuka jalan itu. Kelihatannya mereka segera akan lolos
dari kepungan.....
"Jikalau tidak sekarang aku menyingkir, aku hendak tunggu
kapan lagi?" pikir anak muda ini. Maka dengan nyaring ia teriaki
pula Pit To Hoan: "Biarkan gunung tetap hijau, jangan kuatirkan tak
ada kayu bakar! Pit looenghiong, mari kita bersama menerjang!"
Tjinsamkay tetap tidak menyahuti, hanya dengan Hangliong
pang-nya ia layani musuhnya bertarung. Nampaknya ia telah
menjadi nekat benar-benar.
Dalam masgulnya, tiba-tiba Thio Tan Hong ingat janji tadi di
antara Pit To Hoan dan Thio Hong Hoe. Yaitu apabila jago tua itu
tak dapat lolos dari golok musuh, atau tegasnya, tak dapat dia
kalahkan komandan Kimie wie itu, tidak mau dia angkat kaki,
karenanya, walaupun dia terdesak, masih dia ngotot melayani
musuh yang tangguh. Itulah berbahaya.
"Dalam keadaan seperti ini, mana dapat orang berkepala batu?"
pikir Tan Hong terlebih jauh. Tapi tetap ia tidak peroleh daya. Ia
tahu, umpama kata ia bantui To Hoan dan mereka menang, tentu
To Hoan tidak mau mengakhiri karena mereka itu telah berjanji satu
lawan satu.
Tiba-tiba terdengar satu suara keras: "Turunkan aku! Hendak aku
menghajar penjahat!"
Dengan segera tergeraklah hatinya Tan Hong. Orang yang bicara
itu adalah puteranya To Hoan. Putera itu tengah digendong
koartk.ee, kuasa rumah. Si koankee sendiri, bersama sejumlah
orangnya To Hoan, asyik melawan musuh, untuk menoblos
kurungan. Bocah itu belum tahu suatu apa, ia berani, maka itu ingin
ia turun dari gendongan untuk membantu melabrak musuh.....
Tanpa bersangsi pula, Tan Hong tinggalkan lawannya, dengan
berlompatan, ia menerjang ke arah rombongan Kimie wiesoe. Ia
putarkan pedangnya hingga tidak ada orang yang dapat merintangi
padanya. Pada lain saat sampailah kepada si koankee. Dengan tidak
berkata suatu apa, ia jambret anaknya To Hoan, hingga koankee itu
kaget dan berteriak.
"Lekas kamu menyerbu keluar!" Tan Hong serukan si koankee
dan kawan-kawannya. Sementara itu ia telah bunuh beberapa
musuh, yang mencoba menerjang kepadanya. Ia pun nerobos
keluar, akan akhirnya perdengarkan suitan mulut yang nyaring.
Kuda Tjiauwya saytjoe ma sedang dikurung, dia menerjang ke
sana-sini tanpa hasil, ketika dia dengar suitan tuannya dengan
tiba-tiba dia lompat, akan menerjang hebat sekali. Maka kali ini dia
berhasil, sebab dua musuh dihadapannya kena ditubruk rubuh dan
terinjak tubuhnya.
"Duduklah di atasnya!" seru Tan Hong kepada si bocah, tubuh
siapa ia naikkan ke atas bebokong kudanya itu, yang telah datang
padanya. "Pegang dengan keras!"
Bocah itu baharu berumur tujuh atau delapan tahun, dia benar
bernyali besar sekali, begitu duduk di bebokong kuda, dia
mendekam, dia pegangi suri kuda, yang membawa dia kabur!
Thio Tan Hong masih bekerja. Iapun tunjukkan kegesitannya.
Dengan berlompatan, dia hampiri Pit To Hoan.
Justeru itu beberapa wiesoe mencoba menahan kuda putih, atas
itu si bocah berteriak, kuda itu juga berbenger keras.
Tan Hong gunakan ketikanya.
"Pit Loopeh, kau dengar!" dia berseru. "Apakah masih tak hendak
lindungi puteramu itu?"
Sambil mengucap demikian, Tan Hong pakai pedangnya akan
membentur golok Biantoo dari Thio Hong Hoe yang dipakai
membacok si jago tua. To Hoan menghela napas, masih ia
menyerang musuhnya hingga dua kali, habis itu ia lari ke arah
tengah, ke arah kuda putih beserta kudanya. Karena ini, Tan Hong
kembali perdengarkan suitannya, yang ditujukan kepada kudanya,
hingga kuda itu tidak lagi menyerbu keras mendobrak rintangan.
Dengan cepat To Hoan menghampiri Tjiauwya saytjoe ma,
dengan tiga batang senjata rahasianya, ia rubuhkan tiga wiesoe
yang mengepung kuda, hingga ia dapat ketika akan datang dekat
sekali pada kuda itu, ke bebokong siapa ia segera lompat. Yang
paling dulu ia lakukan ialah memondong puteranya..
Kuda putih itu berbenger keras dan panjang, terus dia lompat,
untuk lari kabur, hingga sesaat kemudian keluarlah dari kepungan.
Thio Hong Hoe menjadi sangat gusar. Ia merasa orang telah
permainkan padanya. Maka dengan hebat ia serang Tan Hong, si
pengacau itu.
Tan Hong tangkis bacokan golok Toanboen too, ia merasakan
satu benturan keras sekali, hampir saja pedangnya terlepas dari
cekalannya. Ia segera insyaf akan ketangguannya komandan ini.
"Dia bukannya bernama kosong, dia benar liehay," demikian ia
pikir. "Tidak kecewa dia menjadi jago silat nomor satu dari kota
raja."
Tapi mahasiswa ini tidak jeri, waktu ia tangkis pula lain bacokan,
ia kerahkan tenaga ditangannya, hingga kedua senjata beradu
dengan keras. Tapi suara yang diperdengarkan tidak nyaring seperti
semula tadi. Kesudahannya pun membuat Hong Hoe kaget. Sebab
goloknya telah dibikin sempoak pedang lawannya itu.
"Tak takut aku dengan pedangmu!" dia berseru kemudian, sambil
tertawa. Lagi-lagi ia menyerang.
Tan Hong tangkis serangan itu, kali ini ia menjadi heran.
Begitu rupa lawan menggunakan goloknya, hingga golok,
Toanboen too itu seperti nempel dengan pedangnya, sulit pedang
itu ditarik kembali dan sukar untuk digerakkan terlebih jauh. Itulah
ilmu yang dinamakan ilmu "tempel"!
"Bagus! Mari kita adu kepandaian!"
Itulah suara nyaring dari Tan Hong, yang telah tertawa besar,
karena ia tidak menjadi jeri pedangnya hendak dibikin "mati".
Dengan satu gerakan lain, pedangnya lantas lolos dari tempelan. Ia
tahu tipunya bagaimana melepaskan diri.
Waktu itu terdengar suara mengaungnya anak panah, disusul
dengan berbengernya kuda putih dan pula dengan teriakan Khoan
Tiong: "Toako, lekas kejar! Si bangsat tua she Pit sudah kabur!"
Hong Hoe sadar dalam sekejap itu. Tahulah ia bahwa ia telah
diperdayai Thio Tan Hong, yang menggunakan akal "Wie Goei kioe
Tio" yaitu "mengurung negeri Goei untuk menolongi negeri Tio."
Mahasiswa itu melibat ia untuk memberi ketika supaya To Hoan
dapat menyingkirkan diri.
Meskipun ia sangat mendongkol, Hong Hoe toh lompat keluar
kalangan, akan tetapi di samping ia, Thio Tan Hong tidak diam saja,
mahasiswa ini pun lompat sambil menikam padanya. Ia putar
tubuhnya, ia tangkis pedang, di lain pihak, dengan tangan kiri ia
menyerang ke dada lawan.
Thio Tan Hong berkelit dengan cepat, tidak urung ia terkena juga
angina serangan itu, yang membuatnya ia merasa sakit, hingga ia
mesti empos semangatnya, menjalankan napasnya, guna
menghindarkan diri dari akibat serangan itu.
Thio Hong Hoe berlompat pula, malah segera ia dapat rampas
seekor kuda dengan apa ia terus kejar Pit To Hoan atau si kuda
putih Tjiauwya saytjoe ma.
Thio Tan Hong tertawa menampak musuh mengejar itu. Di dalam
hatinya, ia kata: "Walaupun kudaku telah terkena tiga batang anak
panah, tidak nanti kau sanggup kejar dan candak dia!"
Akan tetapi, ia sendiri pun tidak segera dapat lolos. Selagi ia
hendak toblos kepungan, ia menghadapi kepungan berlapis. Sebab
Hoan Tiong, sambil memutar gembolannya, menghalang di tengah
jalan, dia cegat orang, terus dia menyerang. Hingga Tan Hong
menghadapi kesukaran. Sepasang gembolan lawan sangat berat,
sulit untuk dilawan dengan pedang. Di samping orang she Hoan itu
ada lagi pelbagai pahlawan, anggauta-anggauta dari Kimie wie,
yang menerjang sambil mengurung. Hoan Tiong itu gagah, dia
berimbang dengan Tiauw Im, maka dia pun standing dengan Tan
Hong.
In Loei sudah lolos dari kepungan ketika ia dengar suara riuh di
belakangnya, ketika ia menoleh, ia tampak Tan Hong tengah
dikepung musuh yang berseruseru. Tanpa merasa, ia menjadi
berkuatir sekali, hingga untuk sesaat, ia berduduk diam di atas
kudanya. Justeru itu Khoan Tiong telah melepaskan anak panahnya
yang liehay. Dalam kagetnya, In Loei masih dapat berkelit, tapi
celaka, leher kudanya terkena anak panah musuh, hingga pada
ketika itu juga kuda rubuh terguling, dan penunggangnya pun turut
rubuh juga.
Belum sempat ia bangun, atau beberapa wiesoe sudah maju,
untuk menubruk, guna menyerbu musuh ini. In Loei masih sempat
membalikkan tubuh, begitu berbalik, begitu ia menyabet dengan
pedangnya. Hebat tangkisan ini, hingga banyak senjata lawan
terbabat kutung.
Sekalian musuh itu terkejut, selagi mereka tercengang, In Loei
lompat bangun untuk berdiri. Tapi begitu lekas ia bangun, begitu
lekas juga datang serangan Khoan Tiong, dengan samtjiat pian-nya,
yang mengarah pinggangnya. Dengan kesusu, ia menangkis.
Liehay cambuk sambung tiga dari Khoan Tiong, setelah
serangannya yang pertama itu gagal, ia mengulanginya, terus ia
mendesak.
In Loei repot juga, tidak dapat ia membabat kutung cambuk itu,
yang dimainkan dengan sempurna oleh pemiliknya. Ia jadi
penasaran, ia juga mencoba mendesak.
Satu kali, Khoan Tiong lompat mundur tiga tindak, begitu
mundur, ia kerahkan tenaganya, ia menyambuk pula.
In Loei lompat dari sambaran itu, ia lolos dari bahaya.
Keduanya lantas, bertarung dengan seru. Sayang bagi In Loei, ia
kalah tenaga, maka itu, berselang kira-kira tiga puluh jurus,
keringatnya lantas mengucur, karenanya, tenaganya menjadi
berkurang sendiri.
Khoan Tiong lihat keadaan musuhnya, ia tertawa besar, ia ulangi
desakannya. Ia mengharap segera dapat merubuhkan lawan itu.
Belasan anggauta Kimie wie sementara itu telah memecah diri di
sekitar kedua orang yang sedang bertanding itu, mereka menjaga
supaya In Loei tak dapat kabur dan lolos.
Di pihak lain, Thio Tan Hong telah berada dalam kepungan,
pedangnya yang tajam itu dibikin tak berdaya oleh sepasang
gembolan yang berat dari Hoan Tiong, di samping itu, ia pun harus
waspada terhadap senjata kawankawannya Hoan Tiong itu. Selagi ia
terkepung itu, Tan Hong lihat In Loei rubuh dari kudanya, hingga ia
menjadi kaget sekali. Karena ini, mendadak ia memutar tubuhnya
dan pedangnya dibabatkan dengan hebat kepada musuhnya,
dengan tangan kirinya ia sambar satu anggauta Kimie wie yang
dengan berani merangsak padanya. Ia menyambar leher bajunya, ia
tarik musuh itu, hingga tubuhnya terangkat. Ini ada baiknya
untuknya hingga musuh lainnya menjadi jeri karena takut menikam
kawan sendiri.
Hoan Tiong penasaran, dia membalas menyerang.
Tan Hong berlaku cerdik, bukannya ia menangkis, ia hanya
majukan tubuh musuh yang ia telah bekuk itu.
Hoan Tiong kaget, terpaksa, dengan cepat-cepat, ia tarik kembali
gembolannya. Ketika ini dipakai Tan Hong untuk menerjang keluar,
tubuh mangsanya itu tetap ia gunakan sebagai tameng.
Hoan Tiong penasaran sekali, ia mengejar.
Tan Hong lihat kelakuan musuh, ia tertawa berkakakan.
"Kau sambutlah!" ia berseru, terus ia lemparkan musuhnya ke
arah si orang she Hoan.
Hoan Tiong tidak dapat berbuat lain daripada menyambuti tubuh
anggauta Kimie wie itu. Tan Hong sebaliknya, sambil masih tertawa
sudah menyerbu ke dalam kepungan In Loei.
Nona In sedang terancam bahaya ketika ia tampak munculnya
Tan Hong. Tiba-tiba saja, hatinya bercekat. Dengan lantas ia ingat
surat wasiat kulit kambing yang berdarah. Siapa sangka,
"musuhnya" ini, yang ia benci, tapi yang ia sayangi, kembali datang
untuk menolongi padanya. Maka bimbanglah ia. Apakah orang mesti
dipandang sebagai sahabat atau tetap sebagai musuh besar Apakah
ia mesti terima bantuannya musuh ini?
Oleh karena ia sedang menggunakan otaknya, In Loei terperanjat
sekali ketika cambuk Khoan Tiong menyambar ke kepalanya, akan
tetapi sebelum ia menangkis atau berkelit, kupingnya mendengar
seruan yang ia kenal baik: "Adik kecil, lekas kau menangkis!" Atas
ini, benar-benar ia gerakkan pedangnya dan menangkis dengan
hebat. Satu suara nyaring terdengar atas tangkisan itu, yang
membuatnya Khoan Tiong kaget dan mendongkol tidak kepalang,
sebab samtjiat pian-nya kena terbabat kutung menjadi empat
potong!
Segera juga Tan Hong dan In Loei bertempur berdampingan,
pedang mereka dapat digunakan masing-masing, di kiri dan kanan.
Sekarang mereka dapat bergerak dengan leluasa.
Sebentar saja belasan anggauta Kimie wie rubuh terluka.
Hoan Tiong, dengan memutar sepasang gembolannya, datang
memburu.KhoanTiong lihat kawan itu, ia berteriak dengan
peringatannya: "Djieko, hati-hati!"
Dengan tetap berdampingan, Tan Hong dan In Loei berbareng
menyerang musuh kosen ini yang bersenjatakan gegaman berat itu.
Disambut secara demikian rupa, Hoan Tiong kaget, sampai ia
menjadi gugup, bukannya ia menangkis, ia hanya melempar kedua
gembolannya, ia sendiri lompat bergulingan, akan tetapi walaupun
demikian, meskipun jiwanya tertolong, rambutnya toh terbabat juga
hingga putus sebagian!
Belum pernah Hoan Tiong dikalahkan begini macam, ketika ia
lompat bangun, ia menjadi sangat gusar.
"Serbu mereka dengan pasukan, berkuda!" ia berteriak dengan
titahnya.
Beberapa puluh anggauta Kimie wie taati titah itu, mereka
mencari kuda mereka, untuk lompat naik ke atasnya, habis mana,
dengan mengatur diri menjadi empat baris, mereka maju untuk
menerjang.
"Lekas naik ke gunung!" berseru Tan Hong, yang melihat sikap
musuh. Kalau mereka sampai kena diterjang, pasti mereka tidak
berdaya.
In Loei turut nasihat itu, ia sudah lantas lompat mundur, akan
seterusnya lari ke arah gunung. Ia lari dengan cepat sekali. Di
depan rumah Pit To Hoan, kira-kira satu lie jauhnya, memang ada
sebuah bukit. Dengan cepat ia sudah sampai di kaki bukit itu.
Tan Hong terus dampingi si nona dengan siapa ia lari bersama.
Pasukan kuda musuh juga lari cepat, sebentar kemudian mereka
sudah mendatangi dekat. Satu penunggang kuda dapat melampaui
kawan-kawannya, ia telah datang dekat sekali.
Tan Hong lihat bahaya, ia sambar tubuhnya In Loei, terus ia
lemparkan ke arah gunung. Ia sendiri segera memutar tubuh, untuk
lompat minggir, hingga musuh melewati ia. Tapi, begitu musuh
lewat, begitu ia lompat mencelat, naik ke bebokong kuda di
belakang musuh, dan belum sempat musuh berdaya, ia sudah
menjambak, ia menarik dengan keras, ia melemparnya, hingga
tubuh musuh terpental beberapa tombak di sebelah belakang!
Masih sukur untuk anggauta Kimie wie ini, coba dia dilemparkan
ke depan kuda, pasti dia kena terinjak-injak kuda yang tengah
berlari-lari kencang itu.
Dengan kuda musuh itu, Tan Hong lari terus sampai di tepi
gunung. Di situ terdapat beberapa pohon kayu besar. Dari atas
kudanya, dengan berani Tan Hong lompat, untuk menyambar
secabang pohon. Oleh karena gerakannya itu, tubuhnya menjadi
terayun. Justeru ia sedang terayun, ia lepaskan cekalannya, maka di
lain saat, tubuhnya telah sampai di tanjakan bukit di mana ia bisa
menaruh kaki dengan tepat, hingga ia tidak kurang suatu apa.
Kemudian ia menoleh ke arah In Loei, si nona tengah berdiri
mengawasi padanya.
Nona In telah berada di tengah bukit.
Ketika itu hari sudah magrib, maka pasukan berkuda Kimie wie
tidak berani mencoba mengejar terus, hingga mereka cuma bisa
berteriak-teriak di kaki bukit.
Hoan Tiong masih penasaran, dia mendatangkan sejumlah
pasukan Gielimkoen, untuk membuat penjagaan di kaki bukit yang
bersiap sedia dengan panah mereka. Dia pun tertawa dan berkata
secara mengejek: "Hendak aku lihat, berapa lama kamu dapat
berdiam di atas bukit!"
Tan Hong telah menyusul In Loei, mereka naik ke atas, dari sana
mereka memandang kesekitarnya. Mereka tampak bukit itu telah
terkurung musuh. Yang paling nyata tertampak adalah bendera-
bendera Gielim koen, pasukan kaisar.
Sesudah bertempur mati-matian sekian lama, Tan Hong dan In
Loei merasakan sangat lelah dan juga lapar. Hal ini membuatnya
mereka berpikir.
Ketika itu adalah musim pertama, dan seperti biasanya dimusim
pertama itu, pada siang hari sang siang jadi terang benderang,
maka pada magrib atau selewatnya suka turun hujan. Demikian hari
itu, tiba-tiba air langit mulai turun.
"Adik kecil, mari kita cari tempat berlindung!" Tan Hong
mengajak. "Tentang barang makanan, kau jangan kuatir, aku masih
membekalnya sedikit ransum kering."
In Loei bungkam, ia cuma menoleh. Tak tahu ia, harus bicara
atau tidak dengan musuh turunan ini.....
"Di sana ada sebuah goa," Tan Hong berkata pula. "Mari kita
pergi kesana."
Mahasiswa ini bukan cuma mengajak, tapi tanpa menunggu
jawaban lagi, ia sambar sebelah tangan orang untuk dituntun.
Beradu tangan dengan si anak muda, In Loei merasakan
tubuhnya mengkirik, tangannya dingin.
Tan Hong merasakan tangan dingin itu, ia dapat menerka hati si
nona tentu sedang bimbang, pikirannya tidak tenteram.
Goa itu bukan goa sewajarnya, hanya tanah berlubang saja,
karena di atasnya terdapat dua potong batu besar yang ujungnya
lebih, yang tidak mengenai tanah atau batu karang, hingga di
bawahnya ada tempat yang luang, cukup untuk dua orang dan
mereka tak akan tertimpa air hujan.
Tan Hong tuntun kawannya memasuki goa itu, di situ mereka
berdiri berhadapan, hati mereka sama-sama memukul, di dalam
hati, mereka saling tanya, apa yang mereka harus lakukan.....
Adalah Tan Hong, yang hatinya terlebih tenang. "Adik kecil,"
berkata si anak muda kemudian, sesudah mereka sama-sama
bungkam sekian lama, "benarkah permusuhan kita kedua
keluarga tak dapat diselesaikan?"
Cuaca waktu itu suram, walaupun mereka berdekatan, Tan Hong
tak dapat melihat tegas air muka si nona. Meski begitu, kupingnya
dapat menangkap suara baju nona itu, yang disebabkan tangannya
telah merabah gagang pedangnya. Tan Hong menghela napas.
"Inilah yang dikatakan, kalau bukannya musuh, kita tak dapat
berkumpul bersama!" katanya dengan duka. "Adik kecil, baiklah kau
bunuh saja aku! Binasa ditanganmu, mati pun aku tak menyesal, tak
penasaran.....”
Justeru itu gledek menggelegar, kilat menyambar, dengan
terangnya cahaya kilat itu, Tan Hong tampak wajah In Loei pucat
pasi, sedang matanya berlinangkan air mata. Dengan menyender
pada batu, si nona pegangi tali bajunya, sedang pedangnya telah
tercabut separuh, suatu tanda ia ingin menghunusnya tetapi
tertunda.
Dengan lenyapnya cahaya kilat itu, goa pun menjadi gelap
kembali.
Dalam kegelapan itu, terdengarlah suara napasnya si nona In.
Sampai sekian lama, masih tidak terdengar jawabannya atas
perkataannya si anak muda.
Tan Hong keluarkan rangsum keringnya.
"Adik kecil, mari dahar," ia mengundang.
In Loei tetap menyender, sedikit jua tubuhnya tak bergeming.
Masgul Tan Hong menampak sikap orang itu, tetapi dengan
paksakan ia tertawa geli.
"Adik kecil, kali ini tidak akan aku katakan kau menganglap
makanan!" katanya bergurau. "Mari dahar!"
Pemuda ini mengharap si nona gembira, tidak tahunya, "Plok!"
tangannya kena disampok nona itu, rangsum keringnya jatuh ke
tanah. Ia jadi sangat menyesal, dengan tertawa meringis, ia punguti
rangsum kering itu, yang terus ia letakkan di atas batu.
In Loei sangat berduka, hatinya pepat sekali, hingga ingin ia
menangis, tetapi tidak dapat ia perdengarkan suaranya, air matanya
pun tidak mau mengucur keluar. Di dalam kegelapan itu, ia dengar
helaan napas dari anak muda di depannya.
"Pembalasan sakit hati..... pembalasan sakit hati.....” kata si anak
muda, suaranya perlahan.
"Sakit hati saling balas, bilakah itu akan berakhir? Leluhurku
dengan Tjoe Goan Tjiang telah memperebutkan negara, dia telah
mewariskan surat wasiat yang memesan supaya anak cucunya
mewakilkan dia menuntut balas..... Meskipun demikian, pesan
pembalasan keluargaku itu bukannya dimaksudkan menuruti hawa
napsu saja membunuh musuh tetapi yang paling utama adalah
berdaya untuk merampas kerajaan Beng"
In Loei dengar itu, tubuhnya bergidik. "Memang benar, saling
balas ini ada hebat sekali, begitu dahulu, begitu sekarang ia
berpikir. "Jikalau keluarga Thio dapat membalas sakit hatinya,
bukankah mereka akan membinasakan segenap orang kota, hingga
darah mengalir diseluruh tegalan.....”
"Jikalau Thio Tan Hong, untuk pembalasannya itu, bersekutu
dengan bangsa Watzu, tentera siapa ia bawa masuk ke Tionggoan
untuk menggempur kerajaan Beng, maka dia adalah satu manusia
yang paling berdosa.....” ia memikir pula. "Jikalau itu sampai terjadi,
aku pun tidak akan memberi ampun padanya!.....”
Hebat nona ini berpikir, tanpa merasa, tangannya telah meraba
pula gagang pedangnya. Tapi segera ia dengar pula suara orang.
"Leluhurku menyingkir ke negeri Watzu," demikian Tan Hong
berkata, seorang diri. "Ketika itu bangsa Mongolia sedang lemahnya,
di bahagian dalam, mereka terpecah belah. Ketika itu juga tentera
kerajaan Beng berulang kali datang menyerbu, melakukan
perampasan. Di samping itu, kerajaan Beng juga meminta bangsa
Mongolia setiap tahun mengantar upeti. Hal ini membuatnya bangsa
Mongolia menjadi sangat bersakit hati, merasa penasaran dan
bergusar sangat, hingga mereka memikir untuk mencari balas.....
Ha, manusia terhadap manusia, Negara terhadap negara, mengapa
di antara mereka ada demikian banyak dendaman? Mengapa
mereka hendak saling menuntut balas? Sungguh aku tidak
mengerti! Kenapa mereka tidak hendak saling memperlakukan sama
rata, sama derajat, untuk hidup damai satu dengan lain?"
Tertarik hati In Loei mendengar kata-kata itu.
"Leluhurku dan marhum raja Watzu sama-sama memikir untuk
mencari balas," Tan Hong berkata pula, "mereka hendak mencari
balas terhadap kerajaan Beng. Oleh karena minatnya itu, leluhurku
telah memangku pangkat di dalam negeri Watzu. Setiap hari bangsa
Watzu itu jadi semakin kuat.
Berbareng dengan itu, pangkat leluhurku juga setiap waktu
menjadi terlebih tinggi. Demikian, setelah turun sampai pada
ayahku, bukan saja ayah telah diwariskan pangkat leluhurku itu,
malah belakangan dia diangkat menjadi Yoe sinsiang, perdana
menteri muda."
Belum selesai Tan Hong dengan kata-katanya itu, tidak peduli
tidak ada orang yang melayani ia bicara, karena si nona tetap
bungkam, ia melanjutkan pula: "Ayahku ingat baik-baik sakit hati
itu, maka itu terhadap anak cucunya Tjoe Goan Tjiang, juga
terhadap mereka yang sangat menyintai kerajaan Beng, dia
mendendam hebat sekali, sampai meresap ke tulang-tulangnya!.....
Pada tiga puluh tahun yang lampau ketika engkong-mu diutus ke
negeri Watzu," ia menambahkan kepada In Loei, "di sana ia selalu
mengutarakan bahwa dia adalah menteri yang sangat setia dari
kerajaan Beng. Mendengar itu, ayahku menjadi naik darah, maka
ayah segera menahan engkong-mu itu, engkong-mu itu dipaksa
berdiam di daerah es dan salju, ia hidup dengan mengembala kuda
sampai dua puluh tahun lamanya!.....”
In Loei kertek giginya. Kata-kata Tan Hong membuat ia berpikir
keras.
"Engkong telah menderita selama dua puluh tahun," ia berpikir,
"karena sakit hati itu, engkong menginginkan supaya sekeluarga
Thio dibunuh semua. Tapi kerajaan Beng telah merampas negara
leluhurnya, tidak heran kalau keluarga Thio jadi sangat bersakit
hati, sampai karenanya, engkong-ku turut terlibat. Sungguh ini ada
dendaman turun temurun..... Dapatkah aku tak mempedulikan sakit
hati leluhurku itu? Engkong ingin turunannya membalas dendam,
bolehkah aku membiarkannya?"
In Loei cekal gagang pedangnya akan tetapi pikirannya sangat
ruwet.
"Engkong-mu itu mengembala kuda di antara es dan salju sampai
dua puluh tahun lamanya, selama itu tidak pernah dia hendak
tunduk," terdengar Tan Hong mulai berkata pula. "Oleh karena itu
kemudian ayahku pun tertarik hatinya dan mengagumi
kekerasan hati dari engkong-mu itu. Ayahku pernah berceritera
kepadaku tentang hikayat engkong-mu itu. Ayah katakan ketika
engkong-mu secara diam-diam minggat pulang ke
negerinya, sebelumnya ayahku telah mengetahui, sekalipun
demikian, ayah sengaja tidak mengirim pasukan tentera untuk
mencegah, engkong-mu dibiarkan dapat menyingkir. Malah ayahku
pun berkata, ketika itu ayah telah tugaskan Tantai
Tjiangkoen menyampaikan kepada ayahmu tiga pucuk surat
tertutup untuk menolong engkong-mu dari ancaman bahaya maut.
Hanya saying sekali, engkong-mu tidak sudi mempercayainya,
hingga dengan begitu engkong-mu telah mensiasiakan maksud hati
baik dari ayahku itu hingga ayah merasa kecewa."
In Loei mendengar, ia bersangsi. Benarkah cerita Tan Hong ini?
Masih ia membungkam. Masih ia pegangi gagang pedangnya.
Tan Hong menghela napas.
"Memang perbuatan ayahku terhadap engkong-mu ada
keterlaluan," ia berkata pula, "maka itu tidaklah heran kalau
engkong-mu tidak mempercayai maksud baik dari ayahku itu. Orang
tua marhum telah berhutang, sudah selayaknya turunannya
membayar hutang itu! Maka juga tidak mengherankan bahwa kau
jadi membenci sangat padaku! Ah.....”
In Loei tetap membungkam. Si anak muda melanjutkan pula:
"Negeri Watzu itu setiap hari bertambah kuat, karenanya kerajaan
Beng, selanjutnya tidak berani menghina pula. Malah
kemudian, keadaan menjadi berbalik.
"Pada sepuluh tahun yang lalu, guruku telah datang ke negeri
Watzu. Mulanya terdengar kabar, guruku itu datang hendak
melakukan pembalasan untuk engkong-mu itu, akan tetapi
kemudian, ia berbalik menjadi guruku. Dialah yang mengingatkan
aku bahwa aku adalah bangsa Tionghoa, bahwa karenanya tidak
dapat aku pandang Tionggoan sebagai musuh! Belakangan, setelah
datangnya guruku itu, perangi ayahku telah berubah. Sering aku
lihat ayahku di waktu malam, menumbuki dadanya sendiri, seorang
diri ia suka jalan mengitari kamarnya. Pernah ayahku mengoceh
seorang diri, katanya: "Membalas dendam! Membalas dendam!
Harus atau tidak aku membalasdendam?" Dalam keadaan itu, ayah
tampak beringas, sikapnya menakutkan. Pernah beberapa kali aku
hiburi ayah, tapi ia menjadi gusar, dia deliki aku! Dia kata, "anak,
kau mesti ingat sakit hati leluhurmu yang bagaikan gunung
besarnya!"
"Kau tahu dengan cara bagaimana sekarang aku pulang ke
Tionggoan? Sebenarnya aku telah membolos. Dari semua orang,
melainkan guruku seorang yang mengetahuinya. Guruku telah
menjelaskan segala apa mengenai kaum Rimba Persilatan di
Tionggoan. Kau harus ketahui, aku adalah bangsa Tionghoa, pasti
aku tidak akan membantu bangsa Watzu menyerbu Tionggoan!
Akan tetapi, aku juga hendak menuntut balas.....”
"Bagaimana kau hendak membalasnya?" In Loei tergerak
hatinya, hingga ia bertanya demikian.
"Setelah aku sampai di Tionggoan, yang pertama-tama aku
lakukan ialah membuat penyelidikan," sahut Tan Hong. "Aku telah
melihat jelas, pemerintahan kerajaan Beng sesungguhnya telah jadi
buruk sekali. Maka itu, untuk menuntut balas, nampaknya tidak ada
kesukarannya. Apa bila aku mendapatkan peta bumi serta harta
yang terpendam, maka dengan menggunakan pengaruh uang itu
aku kumpulkan kawan sekerja, untuk kemudian mengerek bendera,
dengan demikian tidaklah sukar untuk merampas kerajaan Beng!" In
Loei terperanjat.
"Apakah kau berniat menjadi kaisar?" dia tanya. Thio Tan Hong
tertawa.
"Kaisar pun asalnya rakyat jelata!" dia kata. "Negara dari satu
keluarga, dari satu she, dapatkah itu dipegang kekal untuk beratus
abad? Jikalau aku dapat merampas kerajaan Beng, bukan saja aku
hendak menjadi raja.....”
"Apakah itu untuk mencari balas?" In Loei tanya pula.
"Juga bukan hanya untuk membalas dendam!" jawab Tan Hong.
"Andaikata berlaksa negara di kolong langit ini tidak menggerakkan
senjata, bagaimana baiknya?....." Ia berhenti sebentar, ia tertawa
bergelak. Lalu ia bersenanjung: "Berapakah usianya manusia?
Negara aman, bagaimana dapat ditunggu? Coba muncul satu nabi,
bukankah persamaan kekal abadi untuk berlaksa abad? Haha!
Jikalau dapat aku mencapai keinginan hatiku, untuk apa aku mesti
menjadi kaisar?"
Di tempat gelap seperti itu, In Loei tidak tampak wajah orang,
akan tetapi dapat ia merasakan hati besar orang itu.
"Kau menjadi kaisar atau tidak, itulah tidak aneh!" ia campur
bicara. Tak sanggup dia untuk terus membungkam. "Hanya jikalau
kau bercita-cita merampas Negara yang luasnya sembilan laksa lie
dari kerajaan Beng, maka kau menghendakinya atau tidak, aku
kuatir kau toh akan membunuh seluruh orang kota hingga darah
mengalir seluas tegalan! Sekarang ini bangsa Mongolia hendak
menyerbu, jikalau kau memusuhi kerajaan Beng, bukankah kau jadi
membantu bangsa Watzu itu?"
Ditanya begitu, Tan Hong berdiam sebentar.
"Adik kecil, kata-katamu beralasan juga," ia menyahut dengan
perlahan. "Adik kecil, kakakmu suka mendengar perkataanmu.
Jikalau kau tidak mengijinkan aku menjadi kaisar, aku suka tidak
menjadi kaisar. Adik kecil, katakanlah, akan aku turut kau."
Halus suara pemuda ini, enak didengarnya. Maka merahlah muka
In Loei, ia jengah tetapi iapun girang. Tiba-tiba saja ia gerakkan
sebelah tangannya, akan tolak tubuh orang.
"Siapakah yang inginkan kau dengar perkataanku!" dia bentak,
suaranya gusar.....
"Bagaimana? Kembali kau gusar.....” kata Tan Hong.
Si nona diam, tidak ia menyahuti.
Tan Hong menghela napas, tangannya diulurkan ke batu di mana
ia taruh rangsum keringnya. Ia dapatkan batu telah kosong.
Rangsum itu telah dimakan si nona! Selama mendengarkan orang
berceritera, tanpa merasa, In Loei dahar rangsum itu. Pernah ia
insaf bahwa "tidak selayaknya" ia makan rangsum itu, tidak tahunya
ia telah dahar hingga potongan yang terakhir!
Diam-diam Tan Hong tertawa dalam hatinya. Ketika ia awasi si
nona, di tempat yang gelap itu ia hanya tampak sepasang matanya
yang bersinar hidup bagaikan bintang di malam gelap gulita.
"Adik kecil, sudah waktunya untuk kau tidur," Tan Hong kata
kemudian. Lalu, dengan perlahan, ia nyanyikan sebuah lagu halus.
In Loei lelah dan ngantuk, ia telah dahar cukup, mendengar lagu
itu, hatinya tertarik, di luar tahunya, ia meramkan matanya.....
Tan Hong, dengan pedang di tangan, bertindak ke mulut goa,
untuk menjadi centeng.....
Hujan sudah berhenti akan tetapi di malam buta, tentera
pahlawan tidak berani mendaki bukit untuk mengejar terus orang-
orang yang menyingkirkan diri itu. "
Pemuda itu pun lelah dan ngantuk, akan tetapi untuk menjaga In
Loei, ia kuatkan hati untuk tinggal melek. Tidak berani ia tidur.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan In Loei:
"Engko..engko.....Engkong, engkong......"
"Ya," sahut si anak muda. Habis itu, ia tidak dengar apa-apa lagi.
Ia berpaling ke dalam tapi In Loei diam terus, cuma suara napasnya
terdengar perlahan.
"Dia ngigo.....” kata si anak muda, yang terus bertindak ke
dalam, akan membuka baju luarnya, baju mana ia pakai
menyelimuti tubuh si nona, tanpa nona itu sadar. Kemudian ia
kembali ke mulut goa di mana ia duduk mendeprok.
In Loei tengah bermimpi. Ia lihat Thio Tan Hong melenggakkan
kepalanya dan tertawa panjang, tetapi ketika si anak muda
mengusap-usap gambar lukisannya, tiba-tiba dia menangis sedih
dan kemudian, dia bernyanyi dengan nada tinggi. Heran In Loei atas
tingkah laku orang, ia pun merasa kasihan. Maka ia
menghampirinya, ia pegang pundak orang. Di saat itu ia tampak
engkong-nya menghampiri dia, tangan engkong itu menyekal
tongkat bamboo yang ada bulunya. Bengis roman si engkong ketika
ia nyelak di antara kedua orang itu, terus dia angkat tongkatnya,
dipakai mengemplang!
"Engko, tolong!" teriak In Loei dalam mimpinya itu.
Segera nona ini lihat soetjiat, yaitu tanda kebesaran
ditangan engkong-nya, telah berubah menjadi surat wasiat kulit
kambing yang berdarah, dengan surat wasiat itu, sang engkong
tutupi kepala cucunya, sambil mendamprat: "Siapakah engko-mu?
Lekas kau bunuh dia?"
Waktu itu In Loei endus baunya darah yang berbau bacin, yang
berulang kali menyerang hidungnya, hingga hampir tak kuat ia
menahannya. Lebih celaka lagi, ia tidak dapat berteriak, maka
akhirnya, sadarlah ia dari tidurnya, dari mimpinya yang hebat itu.
Mengawasi ke mulut goa, si nona tampak sorot matahari yang
melusup disela sela. Ia mengawasi, ia tenteramkan hatinya, yang
berdenyut. Begitu ia merasa tenang, ia dapatkan tubuhnya
berkerudung baju Tan Hong. Segera ia rasakan pipinya panas,
hatinya pun memukul. Lantas ia turunkan baju itu, terus iajalan
perlahan, menuju ke mulut goa.
Tan Hong tengah duduk dibatu, ujung pedangnya menunjang
tanah, kepalanya ditundukkan. Karena ngantuknya anak muda ini
tidak sanggup bertahan lagi, ia ngelenggut, mendekati terang
tanah, ia tertidur juga.....
Kembali surat wasiat kulit kambing yang berdarah berkelebat di
mata In Loei, terus saja ia cekal keras gagang pedangnya. Di dalam
hatinya, nona ini berkata: "Jikalau aku hendak tikam dia, inilah
ketikanya yang baik. Ah, ah, mengapa aku berpikir begini macam?
Engkong, engkong," ia mengeluh, "engkong, jangan paksa aku,
jangan paksa aku!.....”
Samar-samar In Loei seperti lihat engkong-nya mendatangi
dengan tangannya masih memegang soetjiat, tepat seperti di
waktu ia bermimpi, mata engkong-nya itu bengis.
"Mustahilkah aku masih bermimpi?"
Sambil menanya begitu dalam hatinya, In Loei terus gigit jari
tangannya. Kontan ia merasakan sakit. Maka terang sudah, ia bukan
tengah bermimpi pula. Tapi, kalau itu bukannya impian, kenapa ia
seperti sedang bermimpi, ia bagaikan belum sadar? Kalau ia sadar,
sungguh hebat penderitaannya ini. Ia tengah menghadapi
musuhnya, yang engkong titahkan ia bunuh!
"Jikalau aku lepaskan ketika yang baik ini, aku tidak binasakan
orang keluarga Thio, apakah engkong di alam baka tidak
sesalkan aku?" demikian ia tanya dirinya.
Dengan tangan pada gagang pedang In Loei maju lagi dua
tindak, tiba-tiba ia masukkan satu jari tangannya ke dalam mulut, ia
menggigit, kembali ia merasakan sakit. Kali ini ia sadar benar-benar,
di depan matanya tidak lagi terbayang engkong nya. Maka pedang,
yang ia telah cabut, ia masukkan pula ke dalam sarungnya.
Sebaliknya daripada menikam pemuda itu, adalah baju orang yang
ia keredongkan kepada pemiliknya.....
Thio Tan Hong merasa tubuhnya tersentuh, ia segera
lempangkan tubuhnya, lantas ia lompat bangun. Segera ia tertawa.
"Eh, adik kecil, pagi-pagi begini kau sudah bangun?" dia tanya.
"Kenapa kau tidak tidur pula?"
In Loei gigit bibirnya, mukanya menjadi pucat.
Tan Hong awasi pemudi ini, matanya bersinar halus, ia
nampaknya sangat mengasihani si nona.
Nona In lihat sinar mata orang itu, ia tampak wajahnya yang
sangat simpati, luka hatinya, hingga hampir ia menangis. Lekas-
lekas ia putar tubuhnya, untuk tidak mengawasi lebih jauh pemuda
itu.
Tan Hong menghela napas, terus ia memandang ke arah bawah
bukit. Ia lihat beberapa puluh pahlawan Kimie wie, bersama-sama
dengan serdaduserdadu Gielim koen, mereka terpecah dalam
beberapa rombongan, mereka tengah mendaki bukit. Terang sekali
mereka hendak mencari terlebih jauh kedua orang yang mereka
sedang kepung-kepung.
Bingung juga si anak muda. Tidak sukar menggempur beberapa
puluh pahlawan. Tidak demikian dengan kurungan di bawah bukit
itu, di mana, tertampak bendera bendera, suatu tanda dari
pengurungan yang rapat. Car bagaimana kurungan itu dapat
ditoblos?
Selagi anak muda ini berpikir keras, ia lihat kawanan pahlawan
sudah sampai di tengah bukit. Ia lantas sambar tangannya In Loei,
untuk diajak lari ke belakang satu batu besar.
Makin lama rombongan pahlawan datang makin dekat.
Sekonyong-konyong terdengar seruannya Thio Hong Hoe: "Keluar!
Keluar kamu! Aku telah melihat padamu! Hendak aku bicara dengan
kamu!"
Hati Tan Hong bercekat. Thio Hong Hoe adalah satu jago dari
kota raja. Ia tidak sangka orang dapat datang demikian cepat,
malah dialah yang pimpin rombongan pahlawan dan serdadu istana
itu untuk menggeledah bukit.
Dengan golok Biantoo-nya, Thio Hong Hoe menuding ke atas
bukit, kembali ia perdengarkan suaranya yang nyaring: "Kenapa
kamu main sembunyi-sembunyian? Begitukah kelakuannya satu
hoohan?....."
Kali ini belum Hong Hoe menutup mulutnya atau satu orang,
bagaikan bayangan, telah lompat muncul, bajunya berkibar-kibar
ditiup angin. Di tangannya terhunus pedang.
"Thio Thaydjin gagah perkasa!" demikian orang itu — ialah Thio
Tan Hong — berkata sambil tertawa, "kau telah pimpin beribu-ribu
serdadu dan kuda, kau juga telah menyerang bukit ini, sungguh kau
satu hoohan1." Melengak Thio Hong Hoe, mukanya menjadi merah
secara mendadak. Itulah sindiran hebat.
"Jangan kau memancing kemurkaanku!" katanya kemudian.
Dapat ia tenangkan diri. "Meski benar di bawah gunung ini ada
pasukan perang yang berjumlah besar, kamu sebenarnya boleh
berurusan dengan aku si orang she Thio saja!"
Thio Tan Hong kibaskan pedangnya. Ia tertawa.
"Bagus, bagus!" katanya dengan gembira. "Kalau begitu, silakan
kau kemukakan syarat-syaratmu!" Thio Hong Hoe tidak lantas
sambut tantangan itu, ia hanya mengawasi dengan tajam kepada
dua orang itu. Waktu itu In Loei pun turut munculkan diri.
"Aku lihat kamu bukan orang-orang Jalan Hitam," katanya.
"Sebenarnya kamu mempunyai hubungan apa dengan Tjinsamkay
Pit To Hoan?"
"Tentang hubungan itu, tak usah kau mengetahuinya," jawab
Tan Hong. "Baik kita jangan ngobrol saja! Mari kita bertempur
sampai tiga atau lima ratus jurus! Bagaimana andaikata kau tidak
mampu mengalahkan aku?"
Tan Hong merasa, dalam tenaga dalam, ia kalah dari komandan
Kimie wie itu, akan tetapi dalam hal ilmu pedang, ia menang di atas
angin, maka ia percaya, dengan bertanding sekian banyak jurus,
mestinya mereka seri. Ini ada baiknya untuknya. Ia tahu Thio Hong
Hoe kagumi dirinya sendiri, sengaja ia gunakan kata kata itu untuk
membangkitkan kemendongkolan orang.
Kembali Thio Hong Hoe lirik kedua orang itu.
"Tidak usah kita bertanding satu lawan satu!" katanya dengan
jumawa. "Kamu boleh maju berdua berbareng!"
Tan Hong tertawa dingin.
"Kalau begitu maka sejak ini Kengsoe Samtoa Khotjioe akan
tinggal dua orang saja!" katanya secara menghina. (Kengsoe
Samtoa Khotjioe berarti "tiga jago terbesar dari kota raja.") Dengan
perkataan ini Tan Hong artikan, bahwa ia berdua In Loei
mengerubuti komandan Kimie wie itu, sudah pasti si komandan
akan terbinasa.
Thio Hong Hoe tidak kena dipancing, dia tertawa.
"Aku lihat itulah tidak mudah!" katanya. "Ilmu silat kamu berdua
telah aku lihat, jikalau kita bertanding satu lawan satu, mungkin kau
dapat bertahan sampai lima ratus jurus. Kau majukan tantanganmu
ini, mengerti aku maksudmu. Sudah tentu aku tidak sudi
dipedayakan!"
"Sungguh orang ini liehay!" kata Tan Hong dalam hatinya. Ia
bercekat. "Tahu pihak sana, tahu pihak sendiri, demikian pepatah.
Pikiran dia sama dengan pikiranku." Lantas dia menyahuti: "Kalau
begitu baiklah kita tidak mengadakan batas lima ratus jurus itu! Mari
kita bertempur satu lawan satu. Kau boleh utarakan syaratmu!"
Thio Hong Hoe sebutkan syaratnya, ia kata: "Tentang sahabatmu
ini, dengan ilmu silatnya, mungkin dia dapat bertahan sampai
seratus jurus, maka itu, baiklah kita atur begini: Kamu berdua maju
bersama, kita bertempur sebanyak lima puluh jurus. Jikalau kamu
yang peroleh kemenangan, nanti aku pujikan kamu supaya kamu
diangkat menjadi boe kiedjin tahun ini, untuk itu kamu tidak usah
diuji pula!"
Thio Tan Hong tertawa bergelak.
"Untuk kami berdua menangkan kau, itulah gampang, sama
seperti kita membalikkan tangan!" katanya. "Perlu apa menunggu
sampai lima puluh jurus? Malah dalam lima jurus, bila kami tidak
dapat mengalahkan kau, kau boleh perbuat sesukamu atas dari
kami! Jikalau dalam lima jurus kami menangkan kau, kami tidak
kemaruk dengan gelaran boe tjonggoan-mu, apapula boe tjinsoel
Untuk kami, air ada biru, gunung ada hijau, di belakang hari masih
dapat kita bertemu pula!"
Inilah ejekan untuk Hong Hoe, dia dipancing kegusarannya.
Dengan itupun Tan Hong maksudkan, andaikata mereka berdua
yang menang, maka Thio Hong Hoe mesti membiarkan mereka
angkat kaki tanpa gangguan. Sementara itu Hong Hoe mempunyai
maksud, ia berkeras hendak tempur kedua orang ini. Kemarin ia
tidak berhasil mengejar Pit To Hoan, ketika ia kembali, ia tampak
Hoan Tiong dan Khoan Tiong mendapat luka. Ia menjadi kaget.
"Apa yang telah terjadi?" ia tanya kedua kawan itu.
Hoan Tiong dan Khoan Tiong tuturkan pengepungannya terhadap
Tan Hong dan In Loei, mau atau tidak, mereka mesti puji ilmu silat
kedua orang yang hendak ditawan itu. Pada waktu berkatakata,
mereka ini nampaknya masih jeri.
Mendengar itu, Thio Hong Hoe menjadi sangat heran, hingga ia
berpikir.
"Dari mereka berdua, si mahasiswa berkuda putih nampaknya
yang lebih liehay, kelihatannya dia melebihi satu tingkat daripada
Hoan Tiong dan Khoan Tiong, tetapi, dengan berkelahi bersama,
dalam tujuh puluh jurus, tidak heran apabila mereka dapat
mengalahkan kedua sahabat ini. Yang aneh adalah mereka dapat
merebut kemenangan dalam beberapa jurus saja!"
Hong Hoe adalah ahli silat kenamaan, ia tahu bagaimana
peryakinan ilmu silatnya, maka, mendengar ada orang yang
demikian liehay, timbullah keinginannya untuk mencoba-coba
kepandaian orang itu. Demikian ia majukan tantangannya. Benar
benar ia tidak percaya, di dalam lima puluh jurus ia akan dapat
dikalahkan. Tapi sekarang ia dengar Tan Hong mengatakan lima
jurus, bukan main mendongkolnya ia. Meski demikian, ia tertawa
terbahak-bahak, goloknya diacungkan.
"Baiklah!" serunya. "Sekarang jurus yang pertama! Kamu
sambut!"
Segera golok berkelebat, kelihatannya seperti ke kiri dan ke
kanan. Hong Hoe telah menggunakan jurus "Lioeseng siantian" atau
"Bintang sapu menyambar, kilat berkelebat." Serangan itu ditujukan
ke arah kedua lawannya.
In Loei menyender di lamping batu, ia bagaikan orang tak sadar
akan dirinya, Tan Hong lihat keadaan orang, dia menyerukan: "Adik
kecil, lekas keluarkan kepandaianmu!"
Tan Hong tidak hanya berteriak, berbareng dengan kata-katanya
itu, tubuhnya mencelat ke depan In Loei, pedangnya digerakkan
dalam gerakan "Memotong sungai." Dengan itu ia tangkis serangan
pertama dari Hong Hoe.
Golok menyerang, pedang menangkis, maka itu, keduanya
bentrok keras, suaranya nyaring, tetapi golok Hong Hoe benar-
benar liehay, sekalipun ditangkis, sambarannya tak kehilangan
sasarannya, masih ujung golok bergerak ke arah In Loei.Nona In
sudah lantas menangkis, habis itu tubuhnya limbung, ia mundur dua
tindak. Tidak berhasil ia mencegah serangan Hong Hoe itu. Coba
Tan Hong tidak mendahului menangkis, mungkin pedangnya
terlepas dan terpental dari cekalannya.
Thio Hong Hoe lihat ia berhasil, ia tertawa berkakakan.
"Kiranya ilmu pedang kamu cuma sebegini!" katanya dengan
mengejek.
"Hati-hati, kamu sambut golokku! Inilah jurusku yang kedua,
namanya "Pathong hongie", yaitu "Angin dan hujan di delapan
penjuru"! Kamu mesti menyambutnya dengan pedang berbareng!
Aku memberitahukan ini supaya jangan nanti kamu sesalkan
aku!.....”
In Loei tidak sadar akan adanya bahaya meskipun ia telah dihajar
hingga sempoyongan dan mundur, sepasang matanya yang tadinya
hidup sekarang lenyap sinarnya.
Tan Hong lihat keadaan orang itu, ia segera membisiki: "Adik
kecil, meskipun kau membenci aku tapi sekarang mesti kita
mundurkan dulu musuh ini! Kau boleh sayangi jiwamu, agar di
belakang hari dapat kau mencari balas terhadapku! Oh, adik
tolol!....."
Adalah di saat itu, serangan yang kedua dari Hong Hoe telah
tiba, sinar golok itu berkelebatan menyilaukan mata. Serangan itu
ada jurus yang paling liehay dari ilmu silat "Ngohouw toanboen too"
atau "Lima ekor harimau mencegat pintu". Sudah tentu jurus ini ada
terlebih liehay daripada yang pertama.
Tergerak hati In Loei, tetapi air matanya segera mengembeng.
Tapi sekarang ia tidak lagi sedungu tadi. Ia angkat pedangnya,
dengan putarkan itu, ia menangkis. Perbuatannya ini diturut dengan
gerakan serupa dari Thio Tan Hong. Maka itu, berangkaplah pedang
mereka masing-masing. Dan gagallah serangan Hong Hoe yang
kedua kali itu.
"Bagus!" seru komandan Kimie wie itu, "Benar-benar bagus cara
kamu menangkis ini! Sekarang sambutlah lagi yang ketiga!"
Hong Hoe maju satu tindak, golok Biantoo dimajukan, bukan
sejurus, tapi kembali ke kiri dan ke kanan, cepatnya luar biasa. Itu
pun ada jurus "Hoenhoa hoetlioe" yaitu "Memisah bunga, mengebut
yanglioe". Halus mulanya, keras akibatnya. Dengan cara ini, ia
menyerang sambil membela diri. Serangan juga disusul dengan
tertawa nyaring dan panjang.
In Loei gerakkan tangannya, maka menyambarlah Tjengbeng
kiam, diikuti berbareng dengan pedangnya Tan Hong, hingga kedua
pedang kembali berangkap jadi satu dengan apa golok lawan dapat
ditutup!
Kali ini baharulah Thio Hong Hoe terkejut, hatinya bercekat.
Lekas-lekas ia tarik goloknya, untuk dipakai melindungi diri. Ia telah
kerahkan tenaganya, karena goloknya itu terjepit keras. Ia berhasil
juga menarik goloknya akan tetapi ia mesti mundur dengan
limbung, napasnya pun memburu. "Bagus, tak kecewa ia menjadi
orang kosen nomor satu di kota raja," Tan Hong memuji di dalam
hatinya. Sementara itu ia telah memasang mata tajam. Hong Hoe
telah memasang kuda-kuda "Poetteng poetpat," goloknya melintang
di depan dadanya, kedua matanya dibuka lebar-lebar, sinar matanya
masih menunjukkan kagetnya tadi.
Tan Hong kerutkan alisnya. Ia berpikir: "Orang ini luas
pengalamannya, sekarang ia ambil sikap membela diri, dengan lagi
satu jurus, belum tentu dia dapat dikalahkan.....”
Setelah memasang kuda-kudanya itu, tenang hatinya Thio Hong
Hoe. "Aku telah menyerang tiga kali, masih ada satu kali lagi!" ia
berseru dengan nyaring. "Habis itu, akan aku biarkan kamu berlalu
terlebih dahulu! — Kamu sudah siap? Bagus! Sambutlah!"
Thio Tan Hong melirik pada In Loei, kali ini ia tampak kedua
matanya bersinar tajam. Itulah sinar mata yang wajar, nyata
keadaan si nona telah pulih kembali. Dengan sinar mata demikian,
In Loei tengah mengawasi musuh.
Menampak demikian, Tan Hong dapat harapan. Tiba-tiba saja ia
berseru, terus ia maju menyerang. Perbuatan ini dengan serentak
diturut In Loei, hingga mereka jadi maju berbareng, kedua pedang
berkelebatan, ujungnya menikam.
Thio Hong Hoe mendak, goloknya dilintangkan, dipakai
menangkis kedua pedang lawan. Habis itu, ia putar tubuhnya,
goloknya tergerak pula, disusul dengan mencelatnya tubuhnya.
Tan Hong tak sangka orang ada demikian sebat, di dalam
hatinya, ia mengeluh: "Celaka..... kalau ini gagal, dia lolos, dengan
begitu lewatlah jurus ke empat, kita mesti mengaku kalah.....”
Maka itu, hendak ia lanjutkan serangan- nya. Untuk itu hendak ia
menangkis dulu, baharu ia menikam.
Selagi Tan Hong memikir demikian, In Loei telah bekerja.
Sekonyong-konyong Hong Hoe menjerit, disusul, dengan
rubuhnya tubuhnya.
In Loei telah berlaku sangat sebat, selagi pedang Tan Hong
melayani golok lawan, ia menyambar kaki orang, tepat ujung
pedang itu mengenai sasarannya, maka bahna kaget dan sakit, jago
dari kota raja itu tak dapat injak tanah lagi.
Tan Hong terkejut karena herannya. Ia menduga, dengan
mencelatnya Hong Hoe, pedang In Loei akan menemui tempat
kosong seperti pedangnya sendiri.
Dengan lompatan "Lehie tateng" atau "Ikan gabus meletik,"
Hong Hoe mencelat bangun, terus ia pandang kedua lawannya
dengan menyeringai. Ia mengibaskan sebelah tangannya, lalu ia
berkata: "Benar liehay sepasang pedang kamu! Sekarang kamu
boleh pergi!"
Khoan Tiong sudah mendampingi kawannya ini.
"Toako, secara demikian mudah kau membebaskan mereka?" ia
menegur.
"Ya," jawab Hong Hoe. "Koentjoe itgan, koayma itpian! Biarkan
mereka pergi!"
Khoan Tiong seperti menggerutu "Koentjoe itgan,
koayma itpian" — "Gentleman dengan sepatah kata, kuda
jempolan dengan satu cambukan," tapi ia berdiam tidak berani ia
mengucapkan kata-kata.
"Mereka bukannya orang-orang Jalan Hitam!" kata Hong Hoe
pula. "Dengan melepaskan mereka, kita tidak mendapat salah.
Kenapa kita mesti serakahkan jasa semacam ini?"
Merah wajahnya Khoan Tiong.
"Oleh karena kau yang menanggung jawab, toako, kita tidak
dapat berkata apa apa lagi" katanya.
Hong Hoe segera berikan titahnya untuk memberi jalan kepada
kedua anak muda itu.
Thio Tan Hong menghormat pada komandan Kimie wie itu.
"Dua kali kita telah bertempur, masih belum tahu aku she dan
namamu," berkata Hong Hoe. "Sebenarnya kau datang dari mana?"
Tan Hong bersikap lesu, ia menguap.
"Kau orang she Thio, aku juga orang she Thio," sahutnya. "Thio
kau tidak sama dengan Thio aku, akan tetapi pada lima ratus tahun
yang lalu, kita berasal dari satu keluarga. Maka itu, baiklah aku
panggil kau toako. "Toako," ia tambahkan, "adikmu telah lelah
sekali, di sini pun banyak orang dan berisik, tidak dapat aku tidur di
sini, karenanya, maafkan aku, tak dapat kami temani kau lebih lama
pula.....”
Wajah Khoan Tiong berubah pula menjadi merah, tidak demikian
dengan Thio Hong Hoe, dengan sikap wajar dia malah tertawa.
"Kau jumawa, kau juga gagah, tidak kecewa aku mendapatkan
saudara satu she sebagai kau!" ia kata. "Baiklah saudara, kau boleh
pergi!"
Tan Hong segera bersenanjung: "Jikalau masih ada sifat orang
kangouw, orang menjadi jenderal pun tidak kecewa..... Air biru,
gunung hijau, di belakang hari nanti kita bertemu pula, saudara, aku
pergi!" ia tambahkan. Terus ia tuntun tangan In Loei untuk diajak
turun gunung di mana tidak ada satu serdadu juga yang merintangi
mereka.
Di sepanjang jalan, In Loei terus bungkam. Setelah melalui kira-
kira tujuh lie, mereka tinggalkan tentera negeri jauh sekali di
belakang mereka. Di depan mereka terdapat jalan simpang tiga, di
situ Tan Hong menguap.
"Adik kecil, mari kita cari tempat untuk beristirahat dulu," ia kata
pada kawannya. "Jalan yang di tengah ini untuk ke kota Tjengteng,
yang di kiri untuk ke kota Loanshin. Aku pikir, baik kita menuju ke
Tjengteng saja."
In Loei kebutkan bajunya.
"Kau ambil jalanmu, aku ambil jalanku!" ia menyahut
dengan dingin. Tan Hong melengak.
"Demikian rupa kau benci aku?" dia tanya. In Loei menyingkir
dari pandangan orang, ia kerutkan alis.
"Aku haturkan terima kasih yang kau telah menolong aku," si
nona berkata pula, "akan tetapi permusuhan kita kedua keluarga,
tidak ada jalan untuk memecahkannya!..... Ah, siapa suruh
engkong menutup mata siang-siang, coba ia masih hidup, mungkin
aku dapat menasehati supaya dia mengubah pikirannya.....
Sekarang sudah tidak dapat lagi..... Pesan dari leluhur, cara
bagaimana
turunannya dapat menentangnya?..... Ah, ini dia takdir.....”
"Aku tidak percaya takdir!" kata Tan Hong, tegas.
"Kalau kau tidak percaya, habis kau mau apa?" si nona tanya.
"Baiklah, kau boleh pergi! Jikalau kau menuju ke timur, nanti aku
menuju ke barat!"
Wajah Tan Hong tampaknya muram.
"Jikalau sudah pasti kau hendak menuntut balas, kenapa kau
tidak lakukan itu sekarang saja?" dia tanya. Ia lesu sekali.
Merah mata In Loei, kakinya terus menindak. Ia berjalan dengan
sangat cepat, tidak ia menoleh.....
-ooo0dw0ooo-

BAB XI
Walaupun ia berlari-lari, In Loei toh dengar helaan napas panjang
di belakangnya, helaan mana disusul dengan kata-kata: "Melihat
kau menyebabkan kau berduka, tidak melihat kau maka akulah yang
bersusah hati..... Ah, daripada kau yang berduka, baiklah aku
saja..... Adik kecil, baik-baiklah kau jaga dirimu. Kau pergi adik,
kau pergi!.....”
Nona ini keras hati meskipun ia rasakan hatinya itu sakit. Ia
masih dapat kuatkan hati, untuk tidak menoleh. Akan tetapi air
matanya, tak dapat ditahan.
Dengan terbawa angin, In Loei masih dengar kata-kata orang:
"Saling melihat tetap tidak seperti saling melihat, merasa cinta toh
tidak merasa cinta....."
Dalam usianya tujuh belas tahun, belum pernah In Loei memikir
halnya kasih sayang antara pemudi dan pemuda, mendengar itu,
merah mukanya. Di dalam hatinya, ia jadi memikir: "Apakah benar
aku telah terjerumus ke dalam jala cinta?"
Lantas hatinya menjadi bimbang, mukanya merah sampai ke
kupingnya. Ia lari terus, setelah beberapa puluh tombak, baharu ia
berani berpaling ke belakang. Sekarang ini ia tidak lihat sekalipun
bayangan Thio Tan Hong!
Akhir-akhirnya tibalah In Loei di kota Tjengteng, sebelum
matahari terbenam. Ia langsung mencari sebuah hotel besar di
mana, dengan mengunci pintu rapat-rapat, ia segera rebahkan diri
di atas pembaringan.
Tak tahu nona ini, berapa lama ia telah pulas, waktu ia sadar, ia
dengar suara gembreng diiringi dengan kata-kata nyaring, seperti
orang tengah membentak bentak, suara mana disusul lagi dengan
suara jongos hotel, yang mengetuk pintu setiap kamar untuk
memberitahukan: "Hotelku telah disewa seluruhnya oleh pembesar
negeri, menyesal sekali aku mesti minta tuan meninggalkan hotelku
ini untuk mencari lain rumah penginapan. Tentang uang sewa, itu
akan aku kembalikan. Inilah terpaksa, harap tuan sudi
memaafkannya.....”
Seperti sudah menjadi kebiasaan, satu kali sebuah hotel diborong
oleh pembesar negeri, penumpang-penumpang itu puas atau tidak
mereka harus pindah. Demikianlah tindakan terpaksa dari pemilik
hotel.
Kamar In Loei diketok paling belakang, ia sudah dandan, sudah
siap sedia, begitu ia membuka pintu, ia katakan pada jongos yang
mengetoknya: "Kau tidak usah menjelaskan lagi, aku sudah tahu,
sekarang aku pergi!"
"Maaf," kata jongos itu, yang terus mengawasi tetamunya, dari
atas ke bawah, dari bawah ke atas.
In Loei heran atas sikap orang.
"Apakah yang kau awasi?" dia tanya.
"Aku lihat tuan bukan penduduk sini," sahut jongos itu, "maka
itu, dalam keadaan begini mungkin sulit bagi kau mencari lain
rumah penginapan."
In Loei makin heran.
"Apa?" dia tegaskan. "Kenapa jadi sulit?"
Jongos itu menutup pintu.
"Apakah tuan tahu kenapa pembesar negeri hendak pakai hotel
kami ini?" kata dia dengan perlahan sekali.
In Loei menggelengkan kepala.
"Suara tadi sangat berisik, aku tidak dapat dengar nyata," ia
kata.
"Apa yang aku ketahui, inilah persiapan untuk melayani utusan
dari Mongolia," terangkan jongos itu, suaranya tetap perlahan.
"Sampai Sri Baginda menugaskan pasukan Gielim koen guna
mengiringi utusan itu. Berhubung dengan itu, semua hotel di
Tjengteng, tengah hari telah mendapat pemberitahuan bahwa kalau
dihotelnya menumpang tetamu atau tetamu-tetamu yang dapat
menimbulkan kecurigaan, dia atau mereka itu mesti dilaporkan pada
polisi. Maka itu aku kuatir, dengan pindah ke lain hotel, tuan bisa
menemui kesulitan yang memusingkan kepala.....”
Mendengar itu, In Loei tertawa.
"Habis, cara bagaimana kau berani membiarkan aku tetap
menumpang di sini?" katanya. "Apakah aku tidak mendatangkan
kecurigaan itu?"
Jongos itu berdiam, tiba-tiba ia ingat suatu apa.
"Bukankah tuan she In?" tanyanya.
In Loei bercekat. Waktu mendaftarkan nama, ia memakai she
dan nama palsu. Ia heran kenapa jongos itu ketahui she-nya. Maka
segera ia sambar tangan orang, yang nadinya terus ia pegangi.
"Kau siapa?" dia tanya dengan bengis.
"Jangan kuatir, tuan," sahut jongos itu, agaknya ia tidak takut.
"Kita ada orang sendiri. Jikalau tuan tidak percaya padaku, aku
mempunyai suatu barang yang tuan telah tinggalkan di sini, kalau
tuan melihat itu, tuan akan segera ketahui duduknya hal"
In Loei tidak takut. Ia pikir, kalau toh mesti menggunakan
kekerasan, jongos ini tidak akan lolos dari tangannya. Karena itu ia
lepaskan cekalannya, ia biarkan jongos itu pergi mengambil barang
yang dia sebutkan itu.
Jongos itu ngeloyor pergi, tidak lama kemudian kembalilah ia
bersama kuasa hotel, siapa memegang satu bungkusan kecil yang
terbungkus oleh kain sutera, terus ia berikan kepada tetamunya.
"In Siangkong, inilah barang yang tetamuku tinggalkan
untukmu," ia kata.
In Loei terima bungkusan itu, dengan hati-hati ia membukanya.
Ia lantas lihat sepotong sanhoe biru hijau, yang mempunyai
sembilan tangkai. Ia menjadi tercengang. Karena itulah sanhoe
kepunyaannya sendiri yang ia berikan kepada Tjio Tjoei Hong selaku
tanda mata.
"Apakah dia juga datang kemari?" tanyanya. Dengan "dia" ia
maksudkan "dia" wanita. "Apakah dia juga berdiam di sini?"
"Nona Tjio sampai di sini kemarin," jawab kuasa hotel itu. "Dia
telah melukiskan jelas padaku tentang roman dan potongan In
Siangkong, dia minta kami memperhatikannya. Sungguh kebetulan,
benar-benar In Siangkong dating ke hotel kami!"
In Loei berdiam. Ia segera ingat cintanya Tjoei Hong
terhadapnya, yang nona itu tidak dapat lupakan. Karena ini, ia jadi
mengeluh sendirinya.
"Baiklah aku menjelaskan, tuan," si kuasa hotel berkata pula.
"Hotel kami ini adalah miliknya partai Hayyang Pang, dan usaha kita
adalah dengan cara diam-diam melayani keperluannya orang
kangouw yang menjadi kaum kita. Hongthianloei Tjio
Lootjianpwee itu adalah kenalan baik dari kami, dan Nona Tjio
datang kesusu kemarin malam, terus dia titipkan barangnya ini.
Nona itu juga memesan supaya kau besok pergi ke Tjengliong kiap,
untuk menantikan dia. Si nona pesan, bila siangkong sampai di sana
nanti ada orang yang menyambut padamu untuk diantarkan."
In Loei manggut.
"Habis, sekarang aku harus bermalam di mana?" dia tanya.
"Oleh karena siangkong ada orang kita sendiri," sahut si kuasa
hotel, "aku minta siangkong suka serahkan kamar itu, untuk
kami menggantinya dengan kamar kerjaku sendiri. Aku harap
siangkong suka memaafkan sikap kami ini."
Tetapi In Loei menunjukkan kegirangannya.
"Bagus, bagus!" katanya. "Sekalian aku hendak tengok
macamnya utusan dari Mongolia itu, bagaimana keangkerannya
hingga ia mesti dilayani secara begini!"
Maka malam itu, habis bersantap, In Loei berpura-pura tidur.
Dengan begitu, ia jadi dapat beristirahat.
Segera juga terdengar tindakannya kaki-kaki kuda dan suara
bengernya, pun suara manusia terdengar riuh menjadi satu. Dan
hamba-hamba hotel lantas berlari-lari keluar untuk mengadakan
penyambutan.
In Loei tidak berani munculkan diri, maka itu ia cuma mengintai
dari selasela pintu.
Segera juga tampak empat perwira mengantarkan delapan orang
Mongolia memasuki hotel, yang berjalan di tengah, diiring dikedua
sampingnya. Dengan segera In Loei kenali orang yang jalan di
tengah-tengah, yang istimewa menarik perhatiannya. Dia adalah si
pangeran asing yang pernah bertempur dengannya ketika terjadi
penyerbuan kepada Tjioe Kian.
Hotel itu adalah yang terbesar di kota Tjengteng, banyak
kamarnya, ke empat perwira Gielim koen memeriksai semua kamar,
habis itu mereka Tanya kuasa hotel: "Apakah di sini tak ada orang
lainnya lagi?"
"Paduka tuan telah sudi pakai hotel kita, mana kita berani
menerima lain penumpang," kuasa itu menjawab dengan hormat.
Tadinya masih hendak dilakukan pemeriksaan ke dalam, tempat
keluarga kuasa hotel dan orang-orangnya, tetapi si pangeran asing
mencegah.
"Tak usah tongnia demikian teliti," katanya sambil tertawa,
"Walaupun Tionggoan besar, mungkin belum ada orang yang berani
menjadi lawan kami! Atau andaikata ada juga yang berani, dia
tentunya ingin mencari mampusnya sendiri, untuk itu tak usah
tongnia beramai turun tangan, cukup asal kamu bertanggung jawab
atas penguburan mereka itu!.....”
"Benar, benar!" memuji ke empat perwira Gielim koen itu.
"Memang orang-orang gagah dari negeri Tuan, semua tak ada
tandingannya di kolong langit ini. Adalah kami yang terlalu berhati-
hati.....”
Mendongkol In Loei mendengar perkataan orang itu.
"Sebentar akan aku berikan kamu pengertian apa yang
dinamakan liehay!" pikirnya. Ia anggap orang menghina diri sendiri,
sedang di sini ada soal kebangsaan.
Sebentar kemudian, selesai sudah utusan itu mengambil kamar,
lalu dua orang Mongolia serta dua perwira Gielim koen ditugaskan
bergantian berjaga malam.
In Loei tunggu saatnya, untuk salin yaheng ie, pakaian untuk
keluar malam, begitu lekas ia dengar suara kentongan tiga kali,
dengan hati-hati ia keluar dari kamarnya, untuk mendekam dulu di
ujung payon. Tapi ia siap sedia dengan senjata rahasianya,
Bweehoa Ouwtiap piauw — "Kupu-kupu yang bermain di antara
bunga-bunga bwee." Ia tunggu waktu, bila kedua cinteng Mongolia
itu membalik belakang terhadapnya, hendak ia serang mereka itu.
Tiba-tiba di atas wuwungan berkelebat satu bayangan putih. In
Loei lihat itu, ia terkejut. Sekejap saja ia lihat berkelebatnya satu
tubuh manusia, orang itu memakai topeng, bajunya putih dan
panjang, maka di dalam gelap tampak tegas warna putih dari
pakaiannya itu. Segera juga hati In Loei berdenyut. Sekelebatan ia
ingat kejadian pada malam itu, waktu Thio Tan Hong nyelundup
masuk ke Tjiokee tjhoeng. Karena ini, ia lantas goyangkan
tangannya, untuk memberi tanda.
Orang bertopeng itu membalikkan tubuhnya, ia rupanya lihat
tanda yang diberikan, malah ia membalas menggerakkan kedua
tangannya, menunjuk ke arah luar, maksudnya menyuruh si nona
lekas berlalu.
Belum sempat In Loei berpikir, untuk mengambil keputusan, ia
tampak orang itu sudah lompat turun, menyusul mana ia dengar
dua jeritan dari kesakitan. Sebab dengan kesehatannya, orang
bertopeng itu sudah menyerang dan membinasakan kedua
pahlawan Mongolia itu.
"Itulah serangan Kimkong tjioe yang liehay!" memuji In Loei,
kagum. "Belum pernah aku tampak Tan Hong menggunakan
semacam pukulan. Apakah dia adanya atau lain orang?"
Tengah si nona berpikir, dari dalam telah lompat keluar kedua
cinteng Gielim koen, tetapi kembali dengan kesehatannya, bukan ia
menyingkir, si orang bertopeng justeru menerjang, ketika kedua
tangannya bergerak, tidak ampun lagi ia menotok urat lemah
dipinggangnya.
Itulah perwira Gielim koen yang di sebelah kiri, tetapi yang di
sebelah kanan, kepandaiannya tidak selemah kawannya, dengan
gerakan "Tjioehoei piepee," atau "Tangan mementil piepee," dapat
ia egoskan diri dari bahaya.
Si orang bertopeng segera berseru: "Kenapa anak cucunya Oey
Tee mesti jual jiwa untuk bangsa Tartar?"
Suara itu perlahan, In Loei tidak dapat mendengar dengan nyata.
Ia hanya heran kenapa dari pukulan kematian, orang itu
mengubahnya dengan totokan jalan darah, hingga orang Gielim
koen itu tidak dibinasakan.
Tidak lama mereka itu bertempur, lantas perwira Gielim koen itu
mundur, atas mana si orang bertopeng lompat ke dalam, ke arah
kamar dari si pangeran asing.
Belum sampai orang itu di muka pintu, dengan tiba-tiba daun
pintu terpentang lebar, disusul dengan suara tertawa yang nyaring,
dan munculnya satu bayangan, gerakan tubuh bayangan itu
mendatangkan siuran angin.
Mau atau tidak, si orang bertopeng mundur tiga tindak.
In Loei tidak pergi ketika diberi tanda oleh si orang bertopeng, ia
diam di tempatnya mendekam, dari situ ia dapat lihat siapa adanya
orang yang keluar dari dalam kamar itu, ialah Tantai Mie Ming.
Jago Mongolia itu telah memasuki Tionggoan, entah dengan cara
bagaimana, sekarang ia menemani si pangeran asing yang menjadi
utusan itu.
Segera In Loei lihat, setetah mundur, si orang bertopeng maju
pula, dia menyerang.
Tantai Mie Ming gerakkan tangannya berikut tubuhnya, atas
mana si orang bertopeng rubuh terjungkal, jumpalitan, tapi sekejap
saja, ia sudah berdiri pula.
Kaget sekali In Loei, hingga ia berteriak: "Lekas menyingkir!"
sedang tiga batang senjata rahasianya dengan saling susul
ditimpukkan kepada Tantai Mie Ming. Ia tujukan ke atas, ke tengah
dan ke bawah, untuk membuatnya orang repot.
Tantai Mie Ming kibaskan kedua tangannya, belum lagi senjata
rahasia tiba pada tubuhnya, tiga-tiganya sudah jatuh kelantai!
Selagi jago asing itu menangkis piauw, si orang bertopeng sudah
maju pula dengan serangan kedua tangannya. Masih sempat Tantai
Mie Ming menangkis, juga dengan kedua tangannya, maka itu ke
empat tangan jadi beradu dengan keras hingga terbit suara nyaring.
Sebagai akibatnya, si orang bertopeng mundur dengan tubuh
limbung, tapi tidak sampai rubuh.
"Bagus!" sera Tantai Mie Ming. "Siapa sanggup lawan tanganku,
dia terhitung satu hoohan juga!"
Setelah kegagalannya ini, si orang bertopeng lari keluar, berniat
lompat naik ke atas genteng.
Perwira Gielim koen yang tadi menyaksikan jalannya
pertempuran, ketika ia lihat orang hendak lari, dengan mendadak ia
membokong dengan djoanpiannya, cambuk yang lemas.
In Loei saksikan perbuatan orang itu, ia menjadi gusar, serta
merta tangannya terayun, sebatang piauw-nya terbang menyambar.
Perwira itu tidak sepandai Tantai Mie Ming, lengannya terkena
piauw, tak ampun lagi, ia rubuh dengan tak sadarkan diri,
cambuknya turut jatuh.
Pada saat itu si orang bertopeng pun sudah naik ke atas tembok
dari mana ia lompat terus ke atas genteng.
"Terima kasih!" ia mengucap dengan perlahan kepada nona kita,
ia tidak berhenti lari atau menghampiri, ia berlalu terus dengan
cepat sekali.
Karena In Loei tercengang menyaksikan kelakuan orang itu, ia
hanya melihat bahagian belakangnya saja. Ia jadi berpikir.
Mendengar suaranya dan melihat bebokongnya, seolah-olah ia
pernah kenal orang itu, orang itu tak mirip dengan Thio Tan
Hong.....
Sedang ia diam berpikir, beberapa pahlawan Mongolia serta
anggautaanggauta Gielim koen tampak mendatangi, malah Tantai
Mie Ming menjurus ke arah tempatnya sembunyi, hingga ia menjadi
terkejut. Lebih-lebih ketika Mie Ming, sambil memandang ke
arahnya, perdengarkan tertawanya.
"Mana si orang jahat?" pahlawan-pahlawan itu saling menanya.
Sekonyong-konyong Tantai Mie Ming putar tubuhnya dan ia
melepaskan panah ke lain arah daripada In Loei, habis mana ia
kata: "Orang-orang jahat banyak jumlahnya, di antara kamu, dua
orang melindungi ongya, yang lainnya semua turut aku!"
Inilah di luar sangkaan In Loei maka ia menjadi heran atas sikap
Tantai Mie Ming. Bukankah Mie Ming telah dapat mencari ia?
Kenapa dia justeru mengajak rombongannya pergi ke lain jurusan?
Sungguh ia tidak mengerti.
Setelah orang-orang pergi, In Loei turun dari tempatnya
sembunyi, dengan matanya yang awas ia segera tampak jongos
hotel, yang menyembunyikan diri dipojok yang gelap, melambaikan
tangannya. Ia lantas menghampiri.
"Mari turut aku!" kata jongos itu. "Selagi keadaan kalut, kita
mesti menyingkir."
In Loei ikut dengan tidak banyak omong. Ia percaya jongos itu.
Untung bagi mereka, mereka tidak menemui siapa juga.
Ketika itu pintu kota masih belum ditutup, si jongos mengajak
tetamunya sampai di suatu tanjakan di luar kota.
"Sebentar jam lima, ada orang yang akan menjemput
siangkong," kata jongos itu lega.
In Loei keluarkan napas. "Sungguh berbahaya!" ia kata.
Dalam cahaya rembulan dan bintang-bintang yang samar-samar,
si nona tampak wajah si jongos berseri-seri. Dia pun berkata: "Nona
Tjio memesan supaya siangkong ingat untuk membawa sanhoe.
Apakah siangkong telah sediakan itu?"
In Loei menjadi masgul, ruwet pikirannya. Baharu tenang satu
gelombang, sudah datang gelombang yang lain.
"Aku tahu sudah," katanya, dengan terpaksa.
Menampak wajah si "pemuda" berubah, jongos itu tidak berani
tertawa lagi.
Berselang kira-kira setengah jam, dua ekor kuda tampak
mendatangi, yang satu ada penunggangnya, yang lain kosong.
Setelah penunggang kuda itu dating dekat, ia kenali orang itu
adalah Tjek Po Tjiang.
Hweesin tan Tjek Po Tjiang itu sangat membenci Thio Tan Hong,
terhadap In Loei juga ia tidak berkesan terlalu baik, akan tetapi
bertemu kali ini, ia girang juga, maka sambil memberi hormat, ia
kata: "Kau juga dapat lolos? Bagaimana dengan si bangsat berkuda
putih itu? Bukankah itu hari dialah yang dating membawa pasukan
negeri?"
Orang she Tjek ini tetap menyangka Tan Hong mencelakai
mereka.
In Loei menyahut dengan dingin sekali: "Dia justeru
mengorbankan segala apa untuk menolongi Pit loo enghiong.
Apakah Pit loo enghiong tidak menceritakannya padamu?"
"Adakah itu benar?" ia menegaskan. "Aku belum bertemu dengan
Pit loo enghiong. Cuma Nona Tjio yang menyuruh aku menyambut
kau, supaya dengan menunggang kuda kita mencari dia."
Tanpa menjawab kata-kata orang, In Loei menanya.
"Di mana adanya Pit iooenghiong sekarang?" demikian
pertanyaannya.
"Menurut nona Tjio, setelah Pit iooenghiong lolos dari bahaya, dia
bernaung di tempatnya Na Thian Sek di Imma tjoan. Tempat itu
terpisah dari sini kirakira sepuluh lie. Ah, cahaya terang sudah
mendatangi, kita mesti lekas berangkat!"
Po Tjiang lantas serahkan kuda yang kosong, ia silakan In Loei
menaikinya, sesudah mana ia jalan di sebelah depan sebagai
pengantar. Mereka kaburkan kuda mereka dan pada waktu fajar
sampailah mereka di sebuah lembah.
"Inilah selat Tjengliong kiap," Tjek Po Tjiang memberitahukan.
Terus ia bersuit tiga kali beruntun.
Dengan lantas suitan itu mendapat sambutan.
"Itulah nona Tjio sedang mendatangi," kata Po Tjiang. "Pergi kau
masuk kelembah untuk papaki dia. Aku sendiri masih hendak
pergi kepada Pit Iooenghiong,"
In Loei menurut, ia turun dari kudanya, ia lantas bertindak ke
dalam lembah. Belum jauh ia jalan atau dari satu tikungan ia
tampak munculnya satu orang, ialah Tjio Tjoei Hong.
Nona itu mendatangi sambil berlari-lari, air matanya bercucuran,
begitu datang dekat In Loei, ia lompat menubruk, ia merangkul
dengan keras.
"Ah, akhirnya kita bertemu pula!....." serunya. In Loei pegangi
orang, untuk diajak duduk.
"Kau telah janjikan aku untuk bertemu dengan kau," katanya
tertawa, "tentunya itu bukan untuk bicara tentang cinta.....”
Tjoei Hong cemberut, matanya melotot, tapi ia seka air matanya.
"Thian telah melindungi hingga kita telah bertemu pula," katanya
dengan perasaan bersukur, "akan tetapi engko Tjioe.....engko
Tjioe....."
In Loei terkejut.
"Engko Tjioe kenapa?" dia tanya.
"Aku berkesan keliru terhadap kakak angkatmu itu, dia
sebenarnya orang baik hati....." Tjoei Hong jawab.
"Katakan lekas, engko Tjioe kenapa?" tegaskan In Loei tanpa
pedulikan pengutaraan orang.
"Ketika itu hari kau rubuh dari kuda hingga kau kena terkurung,"
sahut Tjoei Hong dengan ceritanya, "kami telah kembali dengan niat
menolongi kau. Tapi kami telah dipotong musuh. Belakangan
muncul Thio Hong Hoe. Dia gagal mengejar Pit iooenghiong, dia
rintangi aku dan Tjioe Toako. Kami berdua bukan tandingan dari
Hong Hoe, baharu belasan jurus, aku telah kena tersampok
belakang goloknya hingga aku rubuh dari kudaku, pada saat itu
hampir aku kena dibekuk musuh, Tjioe Toako telah berlaku mati-
matian menolongi aku. Ia lompat turun dari kudanya, dengan
menerjang bahaya terinjak-injak kaki kuda, ia sambar paha Thio
Hong Hoe, ia gigit. Karena ini, Thio Hong Hoe mengemplang dengan
goloknya, hingga ia pingsan, habis itu, dia naik ke kudanya untuk
lari pergi, mungkin untuk mengobati lukanya, hingga aku tidak
dikejarnya terlebih jauh."
Di antara In Loei dan Tjioe San Bin ada perasaan yang tak
menyenangkan mereka, akan tetapi meskipun demikian, mereka
menyayangi satu pada lain bagaikan saudara sendiri, maka itu,
mendengar keadaan San Bin itu, In Loei kaget dan kuatir.
"Kalau begitu, perlu kita lekas pergi menolongi," katanya.
"Aku minta kau datang kemari justeru untuk mencari daya buat
menolongi dia," kata Tjoei Hong.
"Dengar dulu perkataanku. Masih ada satu hal yang aneh sekali.
Setelah hari itu aku lolos dari bahaya, lalu kemarin dulu aku
bermalam di kecamatan Keekoan. Di situ, pada waktu tengah
malam, aku dibikin sadar karena kaget oleh seorang yang
bertopeng, yang memancing aku pergi keluar kota. Turut
penglihatanku, ilmu silat dia itu ada terlebih liehay daripada aku,
tetapi dia tidak mencelakai aku. Setibanya di luar kota, dia lantas
tinggalkan aku pergi. Perbuatannya itu membuat aku jadi heran dan
berpikir. Baharu besok siang, aku mengerti perbuatannya si orang
bertopeng itu. Kiranya malam itu, polisi di kota Keekoan telah
dikerahkan tenaganya untuk melakukan penggeledahan umum.
Hotel hotel diperiksa teliti, mereka yang berlalu lintas juga ditanyai
melit-melit. Menurut kabar, tindakan itu diambil untuk persiapan
menyambut seorang besar, untuk menjaga keamanan. Terang
sudah, si orang bertopeng itu memancing aku keluar kota karena ia
telah mengetahuinya terlebih dahulu tentang akan dilakukannya
penggeledahan itu. Dan tentu sekali, dia bermaksud baik."
In Loei menjadi heran sekali.
"Orang bertopeng..... orang bertopeng?....." katanya tak
tegas. "Bagaimana tentang potongan tubuhnya, dia mirip atau tidak
dengan orang yang telah nyelusup masuk ke rumahmu dahulu —
yaitu si mahasiswa berkuda putih?"
"Di waktu malam gelap seperti itu, aku tidak dapat melihat
dengan nyata," sahut Tjoei Hong.
"Lain dari itu, aku juga tidak memikir tentang mahasiswa berkuda
putih itu. Karenanya, tak dapat aku berkata suatu apa."
Dengan sendirinya, wajah In Loei menjadi ber-semu dadu.
"Aku tahu siapa si orang besar yang hendak disambut di Keekoan
itu," ia beritahu. "Mereka adalah utusan bangsa Mongolia serta
sekalian pengiringnya. Oleh karena Keekoan ada sebuah kota besar,
rupanya dipandang perlu untuk melakukan penggeledahan umum
itu." Tjoei Hong heran.
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.
"Tadi malam aku juga telah melihat orang bertopeng itu," jawab
In Loei. "Tentang ini, belakangan saja kita perbincangkan pula.
Baiklah kau bicara terlebih dahulu, tentang kau."
Tjoei Hong menurut.
"Kemarin malam aku telah bertemu dengan satu sahabat dari
ayahku," ia berceritera. "Dari sahabat itu, aku dapat tahu Pit
Iooenghiong sudah lolos dari ancaman marah bahaya. Lantas aku
cari Pit iooenghiong itu. Tidak tahunya, Pit iooenghiong juga telah
bertemu dengan si orang bertopeng dan si orang bertopeng itu
telah menitipkan sepucuk surat padanya. Pit Iooenghiong berkata, si
orang bertopeng itu mirip seperti Thio Tan Hong yang kedua.
Kemudian Pit iooenghiong tiba di rumah keluarga Na, di sana pun si
orang bertopeng telah meninggalkan suratnya. Oleh karena ia
baharu saja terlepas dari bahaya, Pit iooenghiong tidak berniat
untuk mencari tahu tentang orang bertopeng itu."
"Bagaimana bunyi surat si orang bertopeng itu?" tanya In Loei.
"Surat itu mengatakan bahwa si orang bertopeng ketahui
rombongan utusan bangsa Watzu itu pergi ke Pakkhia, yang
menjadi pemimpin adalah satu pangeran. Dia menduga bangsa
Watzu hendak mengajukan suatu permintaan. Benar perhubungan
antara Kerajaan Beng dan negara Watzu telah jadi buruk, tetapi
kaisar Beng berniat memperbaiki itu, maka juga terhadap utusan
Watzu itu, ia menyambutnya dengan gembira, dalam hal tindakan
memberi perlindungan. Ia sangat berhati-hati. Surat itu juga
mengatakan, si orang bertopeng ketahui Tjioe Toako berada di
tangan tentera negeri. Untuk menolongi Tjioe Toako, dia usulkan
supaya kita berkumpul, supaya kita cegat rombongan utusan
bangsa Watzu itu, untuk menawan si pangeran juga. Dengan
tindakan kita ini, jikalau kita berhasil, kesatu kita dapat menolongi
Tjioe Toako, dan kedua, pemerintah juga tak usah dengan
tundukkan kepala memohon perdamaian dari bangsa asing itu.
Lebih jauh surat itu menunjuk, selat Tjengliong Kiap bagus letaknya,
berbahaya, maka ia anggap, di sini dapat kita umpetkan diri, untuk
mencegat rombongan utusan itu. Si orang bertopeng berjanji, pada
saat pencegatan mungkin dia bisa datang untuk memberikan
bantuannya."
"Bagaimana pikiran Pit Iooenghiong?" In Loei tanya pula.
"Ketika Pit iooenghiong ketahui Tjioe Toako tertawan musuh, ia
kaget dan kuatir bukan main. Ia tahu, tidak ada waktu lagi untuk
mengirim panah loklim tjian, sebab air yang jauh tidak dapat dipakai
menolong kebakaran yang dekat. Maka itu ia setuju akan daya yang
disarankan si orang bertopeng, tidak peduli tindakan ini sangat
berbahaya. Baiklah kita mencobanya. Karena itu Pit iooenghiong
minta kita bergantian memasang mata di sini, untuk menunggu ia
datang bersama kawan kawannya."
In Loei berpikir, hingga tak dapat ia bicara. Ia tahu Tantai Mie
Ming gagah luar biasa, sungguh sulit merampas orang di bawah
perlindungan dia itu. Selagi ia masih berpikir, si nona tegur
padanya.
"Apakah jongos hotel telah menyerahkan sanhoe padamu?"
demikian tanyanya.
"Ya, sudah," jawab In Loei.
"Justeru sekarang masih ada tempo, ingin aku tanya kau suatu
hal," kata pula Nona Tjio. "Apakah itu?" In Loei balik menanya. Tjoei
Hong mengawasi.
"Sepanjang jalan ini, bagaimana sikapmu terhadapku, kau tahu
sendiri," ia kata. "Meskipun kita ada suami isteri, yang benar adalah
tak pernah kau perlakukan aku sebagai isterimu, bukan?"
"Ah, mengapa di waktu begini kau menanyakan urusan itu?"
tanya In Loei, romannya tidak wajar, agaknya dia bingung.
"Sudah sekian hari hatiku pepat," Tjoei Hong akui. "Aku adalah
seorang dengan perangai terburu napsu, maka urusan ini tidak bisa
aku tidak menanyakannya dengan jelas."
In Loei kewalahan.
Ketika itu matahari sudah mulai muncul, maka dapat dipercaya,
perutusan Watzu akan segera tiba di selat. Karena ini, In Loei jadi
bertambah tidak bernapsu akan bicara tentang perhubungan
mereka sebagai suami isteri. Tibatiba ia tertawa, kedua biji matanya
pun berputar.
"Entjie Hong!" katanya, riang gembira, "aku mengerti
maksudmu. Kau suruh si jongos menyampaikan sanhoe
padaku ialah agar.....” ia berhenti, agaknya ia tengah berpikir.
Tjoei Hong memotong: "Ialah untuk menanyakan pikiranmu.
Umpama kata kau tidak suka padaku, sanhoe itu kau simpan, untuk
diserahkan pada lain orang. Seandainya kau.....”
In Loei pun memotong: "Entjie Hong, sanhoe ini adalah
kepunyaanku untuk kau, selaku pesalin, cara bagaimana itu dapat
diserahkan kepada lain orang? Sekarang, dengan tanganku sendiri,
aku serahkan pula padamu."
Tjoei Hong terhibur, ia terima batu permata itu.
Tiba-tiba saja, In Loei berkata secara sembarangan: "Ah, Tjioe
Toako benar-benar seorang yang baik..... Bukankah aku tidak
mendustai kau?"
Tjoei Hong tercengang, lekas ia tunduk, hingga ia tampak pada
sanhoe itu, dilembaran bunga yang ketiga, ukiran huruf "Tjioe".
Lantas saja wajahnya berubah.
Tadinya nona Tjio ini hendak bicara, segera ia tercegah oleh
berisiknya suara serombongan kuda dan orang yang mendatangi di
luar selat, yang terus memasuki selat itu.
Dengan lantas In Loei dan Tjoei Hong sembunyikan diri di antara
batu besar yang berdiri tegak bagaikan rebung, dari situ mereka
tampak serombongan kecil barisan serdadu sebagai pembuka jalan.
Di sana terlihat si pangeran Mongolia berjalan dengan
merendengkan kudanya bersama Tantai Mie Ming.
"Celaka, mereka telah tiba!" berbisik Tjoei Hong pada In Loei,
agaknya ia terkejut.
"Pit To Hoan sendiri masih belum datang....."
Si pangeran mainkan cambuknya, di atas kudanya itu, ia tampak
bangga atas dirinya sendiri.
Selagi rombongan itu berjalan terus, tiba-tiba terdengar orang
menyanyikan satu lagu rakyat Mongolia — si penyanyi tengah
mendatangi dari arah depan, memapaki rombongan itu:
"Aku adalah garuda dari tanah datar berumput,
Sayapku terbuka membiak angin dan mega.....
Di waktu pagi, aku terbang kesungai Onan, Di waktu malam, aku
menginap di kota Karim. Tiga bulan telah aku terbang, Tak dapat
aku bebas dari tangan Khan Terbesar!"
Itulah nyanyian rakyat Mongolia yang memuji Khan mereka yang
terbesar yaitu Genghis Khan. Mendengar itu, si pangeran jadi
gembira bukan main. Tidak ia sangka, di tempat asing ini, dapat ia
menemui bangsanya sendiri dan mendengar nyanyian yang paling
dibanggakan. Maka segera ia tahan kudanya, ia lompat turun.
"Untuk membangun pula kebesaran Khan Terbesar, itu harus
dilihat dari kita!" kata ia pada Tantai Mie Ming. Kemudian ia berikan
titahnya: "Coba panggil orang Mongolia itu."
Masih orang tadi bernyanyi pula:
"Tangan Khan Terbesar menungkrap bumi, Di masa hidupnya dia
sangat kenamaan, Tetapi dia toh mati dan kembali ke tanah, Luas
tanahnya tak lebih daripada satu kuburan.....”
Lagu ini dinyanyikan dalam bahasa Mongolia, akan tetapi itu
bukannya nyanyian rakyat Mongolia seperti yang pertama itu. Inilah
lagu karya si penyanyi sendiri.
Mendengar itu, pucat muka si pangeran.
Sementara itu si penyanyi telah datang dekat.
"Apakah kau datang dari Mongolia?" tanya pangeran ini.
"Lagumu yang belakangan itu belum pernah aku mendengarnya.
Dari mana kau dapat nyanyian itu?"
Penyanyi itu memakai karpus Mongolia, yang pinggirannya
terbuat dari kulit kambing hingga menutupi mukanya dan yang
tampak hanya sepasang matanya yang tajam. Pakaiannya pun
pakaian rakyat Mongolia, hanya dipakainya di tanah daerah
Tionggoan hingga nampaknya asing dan, menyolok mata sekali.
Tapi ditanya demikian, dia menjura.
"Itulah lagu yang istimewa kubuat untuk kau mendengarnya,"
demikian jawabannya. Lalu habis berkata begitu, sebelah tangannya
bergerak bagaikan kilat, menyambar lengan bawah dari si pangeran,
bahagian nadinya!
Tantai Mie Ming telah siap sedia untuk segala kejadian, dia
sangat teliti dan cerdik, dia mempunyai mata yang tajam sekali,
begitu ia tampak orang bergerak, begitu dia bergerak juga dengan
sikutnya.
Si penyanyi itu rubuh sambil menarik si pangeran, demikian keras
cekalannya, sampai setelah jatuh bersama, masih ia tidak hendak
melepaskannya.
Tantai Mie Ming bergerak pula, pesat bagaikan angin kakinya
menendang, tangan kanannya menyambar.
Si penyanyi menggulingkan tubuhnya, untuk mengegoskan diri
dari dua serangan berbareng, akan tetapi dia kalah sebat, tangan
Mie Ming telah menyambar lehernya.
Si pangeran sendiri juga liehay, dengan gunakan ketika yang baik
itu, ia menyerang dengan tangan kirinya yang bebas dari cekalan,
sedang dengkulnya dipakai mendengkul perut orang.
Diserang secara demikian, terpaksa si penyanyi lepaskan
cekalannya, dia lompat, justeru untuk menyambut kepalan Mie
Ming, yang telah menyerang pula padanya. Ia berhasil meloloskan
lehernya dari jambakan. Waktu lompat dan menginjak tanah,
tubuhnya limbung, akan tetapi atas desakan, ia melawan terus
hingga dua tiga gebrak. Nyata ia pandai ilmu silat Mongolia, ilmu
Taylek Kimkong Tjioe!
In Loei kaget dan heran tidak terkira.
"Dialah si orang bertopeng!" serunya. Ia tidak lihat tegas roman
orang tapi ia seperti mengenalnya, cuma tak ingat ia, siapa orang
itu dan di mana mereka pernah bertemu.
Tantai Mie Ming bergerak lincah bagaikan kera, kepalannya
menyambarnyambar bagaikan tubrukan harimau, dengan cara itu
dia membuat si penyanyi tidak dikenal itu mesti senantiasa mundur
dengan terpaksa. Cuma kepalannya perdengarkan suara angin tak
kalah hebatnya, tak kalah berbahayanya, walaupun ia main mundur
ilmu silatnya tidak menjadi kacau.
In Loei menjadi gelisah memikirkan orang yang tak dikenal ini.
"Dia tak mirip dengan Thio Tan Hong....." katanya dalam hatinya.
"Dia dapat melayani Tantai Mie Ming secara begini gigih,
kepandaiannya tidak ada di bawahan Tan Hong....."
"Juga aneh," si nona berpikir terlebih jauh. "Bukankah kemarin
malam Tantai Mie Ming seperti memberi ketika untuk dia
menyingkirkan diri tapi kenapa sekarang Mie Ming membela mati-
matian pangeran Mongolia itu? Sungguh aneh.....”
Setelah dia menang di atas angin, Tantai Mie Ming lanjutkan
terus desakannya.
Pahlawan-pahlawan Mongolia ketahui baik lihay-nya Mie Ming
dan sifatnya juga, yaitu di waktu bertempur, tak sudi Mie Ming
dihantui, maka itu, mereka tonton pertempuran itu. Tidak demikian
dengan dua anggauta Gielim koen, mereka ini hendak mencari
muka, dengan lantas mereka maju dari kiri dan kanan, untuk
menyerang secara curang.
Dengan sekonyong-konyong Tantai Mie Ming berhenti
menyerang.
"Minggir!" dia berseru.
Akan tetapi selagi jago Mongolia ini membentak, si penyanyi
dengan tidak menyia-nyiakan sedetik juga ketikanya yang baik itu,
sudah bergerak pula dengan ilmu silat Thaylek Kimkong Tjioe. Maka
sekejap saja, kedua serdadu Gielimkoen itu kena disambar, untuk
terus dilemparkan ke lembah!
Habis itu, tak menunda pula, penyanyi ini kembali maju, untuk
tempur Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi jeri walaupun tadi ia kena
didesak hebat lawannya yang tangguh itu.
Setelah beberapa jurus, Tantai Mie Ming beseru dengan nyaring
sekali, seruan itu dibarengi dengan gerakan tangannya.
Dengan telak si penyanyi kena dihajar pundaknya, atas itu, dia
rubuh terguling, mental sampai sejauh satu tombak, ketika ia
lompat bangun pula, tubuhnya limbung dan terhuyung.
Tantai Mie Ming tidak maju pula untuk meneruskan serangannya,
dia Cuma tertawa riang. Adalah beberapa pahlawan Mongolia
lainnya, yang maju dengan berbareng untuk mencekuk si penyanyi
itu.
Adalah di saat itu, mendadak terdengar suara sangat riuh, dari
muncul dan merangsaknya, serombongan orang, hingga pasukan
depan si pangeran menjadi kacau dengan lantas. Itulah
rombongannya Pit To Hoan, yang telah dating dengan tepat dan
membuat tentera negeri tak dapat merintangi mereka.
Tantai Mie Ming lompat maju, segera ia cegat Pit To Hoan,
hingga mereka jadi bertempur satu sama satu. Dengan tipu silat
"Mega melintang, memotong puncak gunung," jago Mongolia ini
menurunkan tangan jahat.
Pit To Hoan yang bersenjatakan tongkat Hang-liong koen,
membebaskan diri, habis mana, ia pun membalas, dengan menotok
jalan darah tjiangboen hiat, mengarah kedua mata lawannya.
Gelaran Tjinsamkay tersohor selama beberapa puluh tahun
karena liehay ilmu silat tongkatnya.
"Bagus!" berseru Tantai Mie Ming. Dengan gerakan tubuhnya, ia
membuatnya tongkat To Hoan kehilangan sasarannya. Malah
sebaliknya, hampir Tjinsamkay kena dijambret, syukur dia keburu
tancap kaki dengan ilmunya "Tjinkin twie" — "Berat seribu kati,"
berbareng dengan mana, tongkatnya menyambar pula!
Mau atau tidak, Mie Ming terkejut juga. Selagi keadaan kacau itu,
si penyanyi dapat melabrak pengepungnya, hingga beberapa
orang kena dirubuhkan, hingga ia mendapat ketika untuk lolos dari
kepungan.
In Loei kerutkan alis, ia sangat tidak mengerti.
Penyanyi itu demikian bernyali besar, seorang diri dia serang si
pangeran, tapi sekarang, justeru datang bala bantuan, mengapa dia
singkirkan diri. Dan kaburnya pun sangat cepat seperti angina
menuju ke arah ia!
In Loei tak dapat menahan lagi hatinya, dia lompat keluar dari
tempatnya sembunyi.
"Kau siapa?" ia menegur selagi ia papaki penyanyi itu.
Orang itu tidak membuka mulutnya, ia justeru menyahuti dengan
satu kepalannya.
Dalam herannya, In Loei berkelit, sesudah mana, ia hunus
pedangnya.
"Tidak membantu kawan, itulah perbuatan tidak bejik!" kata In
Loei. "Mari kita maju untuk membasmi musuh!"
Melihat In Loei menghunus Tjengbeng kiam yang tajam luar
biasa, si penyanyi juga cabut goloknya, dengan sepasang mata
mencorong, ia terus saja membacok.
Kembali In Loei menjadi heran, akan tetapi ia menangkis.
Habis menyerang, si penyanyi memutar tubuhnya, untuk lari.
Tjoei Hong juga lompat keluar. "Sungguh seorang aneh!"
katanya. In Loei memandang kekalangan pertempuran. "Baik kita
jangan memperhatikan dia," kata nona In. "Mari kita bantui Pit
Iooenghiong1."
Waktu itu Tantai Mie Ming dan Pit To Hoan bertarung seru
selama beberapa puluh jurus, bedanya adalah Mie Ming
bertangan kosong, To Hoan bersenjatakan toya.
"Bagus!" seru Mie Ming selagi mereka bertempur terus. "Sejak
aku menginjak tanah daerah Tionggoan, kau adalah hohan yang
pertama-tama aku menemuinya. Sekarang hendak aku
menggunakan senjata!" Dan segera ia cabut sepasang gaetannya
dengan apa ia tangkis toya Pit To Hoan hingga terpental, setelah
itu, ia balas menyerang, terus ia mendesak.
Nampaknya To Hoan repot, hingga, melihat itu, In Loei berseru:
"Celaka!" Lantas ia maju menerjang. Apa mau ia telah dicegat
beberapa musuh, benar ia dapat menahas golok musuh, tapi ia toh
kena dilihat oleh dua pahlawan Mongolia, hingga ia mesti melayani
dulu mereka itu, yang dua-duanya bersenjatakan gegaman berat
yang sulit untuk ditabasnya kutung.
Na Thian Sek, Tjek Po Tjiang dan Tjio Tjoei Hong beramai juga
menemui tandingannya masing-masing, mereka telah dikurung
hingga tak dapat mereka rapatkan diri, untuk berkumpul menjadi
satu.
Pit To Hoan telah mengeluarkan seantero kepandaiannya, masih
ia tidak mampu undurkan Tantai Mie Ming, siangkauw-nya,
sepasang gaetan, bergerak-gerak cepat bagaikan ular naga keluar
dari laut atau burung garuda mengejar mega.....
Beberapa kali Hangliong pang hampir saja kena digaet terlepas.
"Aku tidak sangka aku akan terbinasa ditangan orang Ouw
ini....." kata To Hoan dalam hatinya, saking berduka.
Dalam saat sangat tegang itu bagi pihak penyerbu, mendadak
serdadu-serdadu pengiring pangeran berteriak-teriak, semua lari
berserabutan, di antara itu terdengar suara menggelugur berulang-
ulang, yang menggetarkan selat.
Ketika In Loei memandang ke atas bukit, ia tampak perbuatan
luar biasa dari si penyanyi yang dandan sebagai orang Mongolia itu,
siapa dengan tenaganya yang kuat, satu demi satu batu-batu yang
besar dia tolak hingga menggelinding jatuh kebawah bukit hingga
melanggar para tentara pengiring, yang menyebabkan mereka
berlarian menyingkirkan diri.
Selat Tjengliong Kiap terletak di antara kedua bukit yang tinggi,
selatnya sempit, dengan bergeluntungan batu-batu besar, maka
bahaya itu sangat mengancam, siapa kena dilanggar, tak dapat di
kira-kirakan bencana yang dia dapatkan, maka musuh semua buyar,
lari berserabutan.
Juga pahlawan-pahlawan Mongolia jadi kaget dan ketakutan.
In Loei gunakan ketikanya, ia rubuhkan satu di antara dua
lawannya, setelah yang kedua mundur, ia lari ke arah Tantai Mie
Ming, siapa terus ia serang, malah dengan cara mendesak.
"Ha, kembali kau, nona cilik!" seru Mie Ming, yang dengan
gaetan kirinya mencoba menempel Tjengbeng kiam.
"Mari kita mundur!" kata Pit To Hoan pada In
Loei. Sambil mengucap begitu, ia tangkis serangannya Mie Ming,
lalu ia mundur dengan cepat, sedang In Loei dapat ketika untuk
mundur bersama.
Tantai Mie Ming lompat untuk mengejar, tapi baharu ia lari dua
tindak, di sebelah depannya, sebuah batu besar menggelinding
turun, tepat menjurus padanya. Dalam keadaan seperti itu, ia
pasang kuda-kudanya, ketika batu sampai, ia menahan dengan
kedua tangannya, lalu dengan mengerahkan tenaganya ia tolak batu
itu, hingga batu itu terpental, menimpa batu lainnya yang
menerbitkan suara gemuruh, hancurannya terbang ke segala
penjuru.
Ketika ini digunakan oleh Pit To Hoan beramai akan singkirkan
diri ke atas bukit.
Tantai Mie Ming masih hendak mengejar, ia dicegah si pangeran.
"Tantai Tjiangkoen, sudahlah, jangan kejar mereka!" kata
pangeran ini, yang hatinya ciut. Ia juga kuatirkan musuhnya
mengatur barisan sembunyi.
Pit To Hoan beramai telah lari terus mendaki bukit.
"Hoohan, tunggu!" ia teriaki penolongnya. Si orang tidak dikenal
yang dandan sebagai orang Mongolia itu telah menantikan sampai
To Hoan semua tiba di tengah bukit, tiba-tiba ia perdengarkan
suitan panjang, habis mana, ia lari turun ke belakang bukit. Maka
ketika To Hoan sampai di atas, orang aneh itu sudah tak nampak
sekalipun bayangannya.
"Sungguh aneh!" kata Tjinsamkay. Karena terpaksa, ia ajak
kawan-kawannya turun gunung, akan kembali ke rumah keluarga
Na di mana mereka bicarakan hal si orang luar biasa itu. Mereka
menduga-duga. Cuma dalam satu hal mereka sependapat, bahwa
orang aneh itu adalah si orang bertopeng.....
"Bukan cuma dia yang aneh, juga si orang Ouw," kata To Hoan
kemudian. "Ketika kita mulai lari, Tjek Laotee sudah lari lebih
dahulu, apabila batu gunung itu jatuhnya ke belakang sedikit, sudah
pasti Tjek Laotee terancam bahaya besar."
"Mungkin, untuk menghindarkan tentera negeri bercelaka maka
dia berbuat demikian," kata Tjek Po Tjiang.
Mendengar semua pembicaraan itu, In Loei tertawa.
"Dia bukannya orang Ouw, dia adalah Tantai Mie Ming!" ia
beritahu. "Dia adalah orang Han yang menjadi besar di Mongolia."
Pit To Hoan kerutkan alis.
"Walaupun aku benci sangat turunannya Tjoe Goan Tjiang,"
berkata jago tua ini, "akan tetapi siapa membantu bangsa Ouw,
apapula dia bernama Mie Ming, dia sungguh menyebalkan! — Aku
benci padanya!"
"Mie Ming" itu, atau "Biat Beng," artinya: "Memusnakan ahala
Ming (Beng)."
In Loei juga tuturkan halnya Tantai Mie Ming yang sengaja
membiarkan dia dapat loloskan diri. Kembali orang ramai bicarakan
sikapnya Mie Ming itu.
"Tentang si orang aneh, lain kali saja kita selidiki asal usulnya,"
kata To Hoan kemudian. "Tentang sikap Tantai Mie Ming, kita juga
baik tunda dulu. Sekarang ini yang paling perlu adalah dengan cara
bagaimana kita dapat menolongi San Bin."
Mereka itu bungkam, tidak ada yang mendapat pikiran baik.
"Oleh karena kita tidak peroleh daya, terpaksa kita mesti
gunakan kekerasan!" kata In Loei akhirnya. Kita merampas kereta
persakitan di tengah jalan!"
"Jumlah tentera pengiring sangat besar," Tjek Po Tjiang
peringatan, "juga terdapat tiga pahlawan nomor satu dari kota raja,
aku kuatir bukan saja kita tidak akan berhasil, mungkin kita akan
nampak kerugian.....”
"Sekarang baiklah kita selidiki dahulu," To Hoan usulkan
kemudian.
Demikianlah mereka bekerja.
Pada waktu magrib, penyelidik telah kembali dengan warta yang
diperolehnya: Thio Hong Hoe telah menugaskan Khoan Tiong
mengepalai sebagian besar serdadu-serdadu Gielim koen serta
anggauta Kimie wie, untuk membantu menyapu pelbagai
pasanggrahan, sedang dia sendiri bersama Hoan Tiong, dengan
mengajak kira-kira tujuh puluh serdadu Gielim koen, sudah
berangkat mengiringi orang-orang tawanan pulang ke kota raja.
"Besok mereka akan lewat di sini," demikian mata-mata itu
mengakhiri laporannya.
"Bagus!" seru To Hoan dengan girang. "Biarlah besok kita ambil
sikap keras terhadap mereka itu!"

-ooo0dw0ooo-

BAB XII
Malam itu In Loei merasa gelisah, tak dapat ia tidur pules. Ia
sangat berduka mengingat San Bin berada dalam tangan musuh.
"Besok, sekalipun masti mengadu jiwa, aku mesti tolongi dia!" ia
berpikir.
Segera ia bayangkan bagaimana San Bin menghendakinya
supaya mereka berdua bersikap sebagai kakak beradik satu dengan
lain. Ia pun merasa tidak tenteram mengenai kesan San Bin
terhadap dirinya.
"Untukku berkorban guna menolongi dia, ada urusan gampang,"
ia berpikir lebih jauh, "akan tetapi untuk aku terima cintanya, itulah
tak dapat.....”
Waktu itu ia dengar suara batuk-batuk dari Tjoei Hong, yang
tidur di kamar sebelah. Ia duga, nona Tjio juga sedang berpikir
keras maka nona itu masih belum tidur pules.
Tertawalah In Loei seorang diri ketika ia ingat tingkah lakunya
Tjoei Hong yang sangat menyintai ia, yang "tergila-gila"
terhadapnya. Karena ini, terbayanglah Tjoei Hong dan San Bin di
depan matanya. Maka ia tertawa dalam hatinya dan berkata: "Baik,
begini harus aku bekerja! Mereka itu mesti dipadukan satu pada
lain, dengan begitu terhindarlah aku dari segala kesulitan!.....”
Baharu lenyap bayangan San Bin dan Tjoei Hong, atau sekarang
berpetalah bayangan dari Thio Tan Hong, si mahasiswa berkuda
putih. Ini bukan lagi satu kesulitan, ini adalah "hal yang sangat
hebat".....
Bimbang hati In Loei, sampai ia tak dapat memikir suatu apa, ia
rasakan otaknya seperti kosong. Tidak mau ia memikirkannya
terlebih jauh, tidak berani ia mengingat-ingat pula si anak muda.....
Di hari kedua pagi-pagi, Pit To Hoan sudah siap sedia. Ketika In
Loei muncul di thia, ruang luar, di sana telah berkumpul kawan-
kawan mereka.
"Kami telah mendapat keterangan jelas," berkata To Hoan, "Thio
Hong Hoe bersama Hoan Tiong telah pimpin lima puluh serdadu
Gielim koen, mereka mengiring enam buah kereta persakitan, di
antaranya ada sebuah yang besar istimewa, selama dalam
perjalanan, Hong Hoe di atas kudanya tak pernah berpisah jauh dari
kiri kanannya kereta istimewa itu, keras sekali penjagaannya. Maka
itu aku duga, tawanan dalam kereta itu mestinya keponakan San
Bin. Mengenai usaha kita ini, tak keburu kita mengirim pula berita
loklim tjian. Jumlah orang-orangnya saudara Na serta saudara-
saudara yang berada di dekat sini ada lebih daripada empat puluh
jiwa, aku anggap jumlah ini sudah cukup. Thio Hong Hoe memang
liehay, tetapi aku rasa, dengan aku berdua In Siangkong yang
melayani padanya, mungkin kita dapat mempertahankan diri.
Tjengliong Kiap ada selat berbahaya, maka kita pun dapat
menggunakan akalnya si orang aneh yang kemarin
menggelindingkan batu-batu dari atas bukit".
"Jika kita menyerang dengan batu besar, apa tak kuatir kita nanti
mengenai kereta-kereta persakitan?" tanya Na Thian Sek.
"Jangan kita pakai batu yang besar-besar," To Hoan beritahu.
"Kita pakai batu-batu koral sebesar telur ayam, dengan itu kita
melempari kalang-kabutan pada tentera negeri. Maksud kita adalah
untuk membuat mereka kalut, supaya perhatiannya menjadi kacau
balau. Na Tjeetjoe, nona Tjio, silakan kamu pimpin belasan saudara,
untuk mendaki bukit, guna mengacau musuh itu. Barangkali tentera
negeri itu akan sampai di lembah pada waktu tengah hari, maka
sekarang juga kita boleh bersiap sedia. Mari kita berangkat!"
Segera rombongan itu keluar dari thia, akan naiki kudanya
masing-masing dan mulai berangkat. In Loei larikan kudanya
berdampingan dengan Tjinsamkay Pit To Hoan.
"Pit Lootjianpwee, kenapa kau tidak pakai kuda putih" tanya nona
ini.
Memang To Hoan tidak pakai kuda putih itu. Ia tertawa.
"Telah aku kembalikan kuda itu pada pemiliknya!" ia jawab
sambil tertawa.
"Apa? Kapan Thio Tan Hong bertemu pula dengan iootjianpwee?"
tanya In Loei heran.
"Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda yang sangat luar biasa,"
jawab To Hoan. "Sifatnya cerdas sekali. Hari itu dia dititahkan
majikannya untuk membawa aku kabur, dia telah meloloskan aku
dari bahaya, habis itu dia berbenger tidak hentinya, tak mau dia
tunduk lagi terhadap aku. Tahulah aku, dia ingat pada majikannya,
maka aku lepaskan dia pergi sendirian."
"Bagaimana iootjianpwee bisa ketahui dia pasti akan dapat
mencari majikannya?" In Loei tanya pula. "Apakah tidak sayang
umpama kata dia dicegat orang jahat di tengah jalan?" To Hoan
kembali tertawa.
"Adalah biasanya kuda perang yang baik dapat mencari
majikannya sendiri," ia kata, "apapula Tjiauwya saytjoe ma ada
seekor kuda yang luar biasa sekali. Lagi pula, siapa yang tidak liehay
luar biasa, tidak nanti dia sanggup mencegat kuda jempolan itu!"
In Loei memang ketahui kecerdikan kuda itu, akan tetapi karena
ia pikirkan sangat Tan Hong, ia jadi berkuatir juga.
Habis berbicara, To Hoan tertawa pula.
"In Siangkong," kata dia, kalau nona Tjio tidak
memberitahukannya kepadaku, sungguh aku tidak ketahui Thio Tan
Hong itu adalah musuh besarmu turun temurun....."
Muka In Loei merah. Ia tidak menjawab. Untuk menyingkir dari
To Hoan, ia bunyikan cambuknya hingga kudanya lompat kabur.
Heran To Hoan menyaksikan kelakuan orang itu. Ia lantas
menduga pada sesuatu hal. Karena ini, ia tidak menanyakan terlebih
jauh.
Tidak lama berselang, sampailah mereka di selat, lantas mereka
masuk ke dalam lembah. Seperti telah direncanakan, To Hoan lantas
atur rombongan yang mesti sembunyikan diri, habis mana mereka
terus menantikan sang waktu.
Tepat selagi matahari mulai condong kebarat, dari arah depan
datang warta pemberitahuan dari juru pengintai:
"Sudah datang! Sudah datang!"
Semua orang segera menyiapkan senjatanya masing-masing,
tegang hati mereka selagi mereka memasang mata, menanti-nanti.
Mereka tidak usah menunggu lama atau mereka lantas nampak
lerotan dari enam buah kereta persakitan serta barisan serdadu
pengiringnya. Perlahan bergeraknya lerotan itu.
"Itulah kereta yang di tengah!" To Hoan kata pada In Loei sambil
menunjuk.
In Loei mengawasi dengan tajam.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe,
sambil berkata dengan keras: "Untuk merampas persakitan, inilah
saatnya!"
To Hoan dan In Loei jadi terperanjat. Nyata, dengan begitu,
komandan Kimie wie itu telah menduga maksud mereka dan telah
bersedia-sedia untuk menyerbu tukang cegat. Tapi anak panah telah
dipasang dibusurnya, tak dapat jikalau tidak terus dipanahkan. Maka
To Hoan memberikan isyaratnya.
Segera rombongan-rombongan yang bersembunyi munculkan
diri.
Thio Hong Hoe dengan sebat mengatur barisannya, untuk
melindungi kereta-kereta, guna menyambut serangan.
Dengan berani To Hoan maju di muka rombongannya, untuk
menyerbu.
Barisan Gielim koen adalah barisan yang terpilih, mereka sudah
terdidik, maka itu rapi perlawanan mereka, tidak peduli rombongan
dari Na keetjhoeng ada tangguh, mereka tidak dapat segera
digempur hancur, mereka dapat membuat perlawanan yang gigih.
Kembali terdengar tertawa nyaring dari Thio Hong Hoe.
"Tjinsamkay, orang tua she Pit!" demikian suaranya itu, yang
berupa ejekan. "Kemarin ini aku telah membiarkan kau lolos,
kenapa sekarang kau berani antarkan diri masuk ke dalam jaring?"
Pit To Hoan tahan kudanya. Ia pun bersikap dingin.
"Lihat saja siapa yang masuk ke dalam jaring!" sahutnya. Lalu
dengan mendadak ia perdengarkan suitan nyaring, yang
berkumandang di dalam lembah sampai umpama kata burung-
burung kaget dan pada terbang.....
Itulah tanda rahasia untuk rombongan tersembunyi di atas bukit,
tanda untuk mereka itu mulai turun tangan.
Menyambut tanda rahasia itu, Na Poo Tjiang segera perlihatkan
diri, di belakangnya ada rombongannya.
Belum lagi Poo Tjiang bergerak, atau sekonyong-konyong
terdengar suara dari sambar-menyambarnya pelbagai senjata
rahasia, hingga ia jadi kaget sekali.
"Celaka!" serunya.
Juga banyak batu-batu ditimpukkan ke arah rombongan Na
keetjhoeng ini.
Nyata pihak penyerang dipimpin Hoan Tiong,
Gietjian siewie yang menjadi salah satu dari tiga jago nomor satu
dari kota raja. Dia mempunyai senjata rahasia "bor terbang" —
hoeitjoei.
Tjek Poo Tjiang adalah ahli senjata rahasia, walaupun demikian,
tidak dapat ia tidak berlaku hati-hati untuk melayani musuh, sedang
orang-orangnya menjadi repot, karena mereka kalah desak.
Pertempuran dilakukan terutama dengan main saling timpuk
batu.
Oleh karena serangan di luar dugaan itu, barisan bersembunyi ini
jadi tidak mampu membantu kawannya di dalam lembah, untuk
membokong tentera negeri.
Thio Hong Hoe merasa sangat puas, hingga ia tertawa
berkakakan.
"Satu panglima, mana boleh tak memeriksa keletakan tempat!"
katanya, jumawa. "Satu panglima mesti senantiasa berjaga-jaga!
Tjinsamkay, dalam ilmu silat kau liehay tetapi kau kurang membaca
kitab perang!"
Pit To Hoan jadi sangat mendongkol, ia seperti ngamuk dengan
toya Hangliong pang-nya, setelah menyampok beberapa senjata
musuh, sambil maju, tangan kirinya menyambar satu musuh yang ia
cekuk, habis mana bagaikan entengnya rumput, tubuh itu
dilemparkan jauh.
In Loei di lain pihak juga sudah menerjang hebat, dengan dua
bacokan, ia rusakkan seragam besi orang, hingga musuh-musuh
yang berada di depannya terpaksa harus mundur. Dengan begitu,
dapat ia merangsak seperti Pit To Hoan.
Thio Hong Hoe memimpin dengan tabah, dengan memberikan
isyaratnya, barisannya terpecah dua, membiarkan To Hoan dan In
Loei menyerbu di antara mereka. Satu pasukan lainnya mencegat
majunya rombongan perampas persakitan itu.
(bersambung Jilid 2)
CATATAN
1) halaman 129--Tjio Eng adalah keturunan dari Tjio Thian Tok
(perwira bawahan Thio Soe Seng, leluhur Thio Tan Hong),
sedangkan lukisan yang berada di rumah Tjio Eng lalu diambil Thio
Tan Hong adalah peta harta peninggalan Thio Soe Seng. Lukisan itu
sebelumnya berada di rumah In Boe Yang, lalu oleh istri In Boe
Yang diserahkan kepada Tjioe Eng, kejadian ini diceritakan di Hoan
Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika). Lukisan itu adalah lukisan
yang dilihat In Loei dan Tjio Tjoei Hong sewaktu dipanggil Tjioe Eng
naik ke atas loteng.
2) halaman 142--"Kapu-kapu telah hanyut, untuk apa
menanyakan tentang sumber asalnya?" Thio Tan Hong adalah
turunan dari Thio Soe Seng, pada waktu Thio Soe Seng kalah
perang dan terbunuh, perwira bawahannya, Tjio Thian Tok (ayah
Hongthianloei Tjio Eng) berhasil melarikan anak Thio Soe Seng ke
luar perbatasan (Mongolia), anak itu adalah kakek Thio Tan Hong.
Baca Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika)
3) halaman 252 — Ternyata urusan peta bumi ini kembali muncul
di cerita berikutnya, Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita Penyebar
Bunga), kali ini turunan keluarga Pit yang tidak mau kalah dengan
keluarga Tjoe dan Thio untuk menjadi kaisar. Sebab dari tiga murid
Pheng Hweeshio, Tjoe Goan Tjiang dan Thio Soe Seng sudah
mencicipi tahta kerajaan, hanya keluarga Pit yang belum. Turunan
keluarga Pit itu juga merasa lebih berhak atas peta tsb, karena
leluhurnya ikut membuat.
-ooo00dw00ooo-
Seri ke 2 Thiansan

Karya : Liang Ie Shen


Saduran : OKT

Ebook oleh : Dewi KZ


http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/

Jilid 2

Bab XII (lanjutan)


Dengan membelakangi kereta persakitan, Hong Hoe menuding
To Hoan dengan golok Biantoo-nya, sambil tertawa, ia kata:
"Tjinsamkay mari kita bertempur pula tiga ratus jurus!" Kemudian ia
melirik pada In Loei sambil menambahkan: "Bagus, bagus, kau pun
datang bersama. Baiklah kamu boleh maju berbareng! Aku sendiri,
aku tidak membutuhkan lain pembantu!"
To Hoan rasakan mukanya menjadi panas sekali, ia gusar tak
kepalang.
"Hari ini kita bertempur untuk kawan masing-masing!" ia kata
dengan sengit. "Tidak peduli jumlah kamu jauh terlebih besar,
hendak aku adu jiwaku!"
Lalu dengan jurus "Honghouw inliong’ "Harimau di antara angin
dan naga di dalam mega," ia menyerang hebat sekali dengan toya-
nya, anginnya pun menyambar keras.
Dengan tubuh tidak bergerak dari tempatnya berdiri, Thio Hong
Hoe tangkis serangan toya Tjinsamkay, begitu pula ketika In Loei
menikam, ia halau ujung pedang Tjengbeng kiam itu, sesudah mana
dengan kegesitannya, ia balas menyerang, beruntun tiga kali.
Diam-diam Tjinsamkay mengeluh dalam hatinya. Serangan
dahsyatnya telah gagal. Siapa tahu, musuh ada terlebih hebat
daripadanya, tak peduli ia berdua. Terpaksa ia ubah caranya
bersilat, satu kali ia menyampok sambil memutar tubuhnya.
In Loei di lain pihak memperlihatkan kepesatan-nya bergerak, ia
menyerang seperti kawannya, sama sekali tak sudi ia kalah desak.
Hong Hoe tangguh, dibanding dengan To Hoan, ia menang satu
tingkat, maka itu dengan tambah lawan dalam dirinya nona In,
berselang tiga puluh jurus, repot juga ia, hingga ia terdesak
mundur. In Loei cerdik sekali, menggunakan ketikanya yang baik,
dengan kegesitannya, ia tinggalkan lawannya, yang ia biarkan
dilayani To Hoan, ia sendiri lompat melesat ke kereta persakitan.
Tegang hati si nona. Tidak ia sangka, Hong Hoe dapat dilewatkan
secara demikian mudah. Ia merasa curiga juga. Apakah benar Hong
Hoe demikian alpa? Akan tetapi, dalam keadaan itu, tak sempat In
Loei berpikir lama. Maka juga, dengan cepat ia singkap penutup
kereta persakitan itu!
Di dalam kereta terdapat satu tubuh orang yang merengket,
karena kereta ditutupi kain penutup, maka orang tak dapat melihat
dengan jelas. Walaupun begitu, In Loei menjadi sangat girang.
"Tjioe Toako." ia berseru. Dan ia pindahkan pedangnya dari
tangan kanan ke tangan kiri, lalu dengan tangan itu ia menyambar
tubuhnya San Bin.
Tiba-tiba tubuh yang merengket itu perdengarkan tertawa iblis
"Hm! Hm!" Tubuh itu pun berbangkit, sebelah tangannya
menyambar, menyekal keras lengannya In Loei di bahagian nadi.
Tidak terkira kagetnya si nona. Sungguh ia tidak menyangka.
"Silakan masuk!" terdengar tubuh merengket itu bersuara sambil
terus menarik dengan keras.
Tanpa ia berkuasa, tubuh In Loei tertarik masuk ke dalam
kerangkeng. Ketika ia terbetot pedangnya di tangan kiri itu
menyambar tenda hingga tenda itu robek dan mendatangkan
cahaya terang.
"Ah, kiranya kau?" seru orang yang merengket itu, agaknya ia
terkejut.
In Loei cerdik, ia tidak menjadi gugup, selagi orang tercengang,
pedangnya digerakkan, menikam tangan orang. Orang itu kaget, ia
lepaskan cekalannya, terus ia lompat keluar dari kerangkeng. Atas
itu, In Loei lompat keluar juga.
Sekarang, di udara terbuka In Loei dapat melihat dengan tegas
orang yang tubuhnya merengket itu yang memakai kopiah menutupi
mukanya, hingga tampak hanya sepasang matanya yang jelilatan
tajam. Nyata dia adalah si gembala bangsa Mongolia yang kemarin
ini — ialah orang yang menyerang si pangeran asing.
Tak berjauhan jaraknya ia berdiri berhadapan dengan orang itu,
masih nona In mengawasi dengan tajam. Ia melihat tegas sekali.
Maka tidak salah, orang ini, yang tubuhnya kurus, adalah si orang
bertopeng juga! Ia menjadi girang berbareng heran.
"Tahukah kau dikereta mana adanya Tjioe Toako?" ia tanya. Ia
pikir, orang ini mesti ada kawannya sendiri. Dia toh yang
mengusulkan tipu kepada To Hoan untuk mencegat si pangeran,
untuk membekuk pangeran itu. Dia pun secara diam-diam sudah
membantu padanya. Tapi, jawaban yang ia peroleh ada di luar
sangkaannya.
"Siapa tahu tentang Tjioe Toako kamu itu?" demikian jawaban
itu, tawar, ditambah dengan tertawa dingin. Lalu, dengan sebat
luar biasa, dengan gerakan Taylek Kimkong Tjioe — "Tangan Arhat
yang kuat", ia sambar pedangnya si nona, untuk dirampas.
In Loei terkejut, inilah tidak disangka, hingga ia tak berjaga-jaga.
Di saat tangan orang itu hampir menyambar pedang, mendadak
matanya bersorot tajam, tangannya seperti ditunda. Justeru itu, In
Loei sadar, untuk mengirim bacokannya. Orang itu pun terkejut,
ketika pedang datang, ia putar tangannya, sambil menyambuti, ia
sentil belakang pedang, hingga terbit suara nyaring.
Nona In menjadi sangat kaget, sentilan itu membuatnya
tangannya sakit, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalan.
Insaflah ia bahwa latihan Taylek Kimkong Tjioe orang ini mahir
sekali.
Pada saat itu, di pihak sana terdengar pula tertawanya Thio Hong
Hoe, tertawa bergelak-gelak, disusul dengan kata-katanya yang
mengandung ejekan: "Orang tua she Pit, kau lihat! Siapakah yang
mengantarkan diri ke dalam jebakan?"
"Trang!" demikian suara yang menyusuli ejekan itu. In Loei
menduga, saking mendongkol, To Hoan menghajar dengan keras,
dan tak kurang kerasnya Hong Hoe menangkis, hingga kedua
senjata bentrok hebat, sampai telinga bagaikan tuli.
Sementara itu, lolos serangannya yang pertama, In Loei telah
mengulangi untuk kedua kalinya. Kembali ia gagal. Sangat gesit
gerakan si kurus itu, keras sekali sampokannya setiap kali ia
menangkis, sampai pedang si nona setiap kali mental.
In Loei jadi sangat penasaran, ia menyerang terus. Ia perlihatkan
ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat" yang beraneka warna
gerakan dan perubahannya. Pedang itu membacok ke atas delapan
kali, kebawah delapan kali, juga masing-masing delapan kali
menikam ke kiri dan kanan, semuanya silih ganti.
Orang bertopeng itu liehay, akan tetapi atas desakan itu, ia repot
juga. Untung baginya, walaupun ia didesak hebat, pada saat yang
berbahaya, In Loei meneruskannya setengah hati, sebab si nona
masih ingat, ia seperti kenal orang ini. Entah kapan, entah di mana,
pernah rasanya ia menemui si kurus. Ia berkesan baik terhadap
orang asing ini, karenanya iapun ragu-ragu.....
Setelah serangannya tak hentinya selama tiga puluh dua jurus,
baharulah gerakan In Loei menjadi kendor. Dan lawannya yang
sejak tadi melawan dengan tangan kosong, telah menghunus
goloknya yang tersoreng di pinggangnya, untuk melakukan
penyerangan membalas, ia berbalik mendesak, makin lama makin
sebat, sinar goloknya bergemerlapan.
Kalau tadi ia menyerang, kini In Loei membela diri saja,
pedangnya dibuat tidak berdaya, beberapa kali pedang itu kena
dibikin terpental, syukur tak sampai lepas dari cekalannya. Nyata
sekali golok si penyerang tidak dapat berbuat banyak, adalah
tangan kirinya, yang tiap-tiap kali menyampok dengan hebat.
In Loei telah terdesak, beberapa kali ia mengalami saat-saat yang
berbahaya, akan tetapi sampai pada saat itu, ia bebas sendirinya,
golok dan tangan kosong dari lawannya tidak mengenai sasarannya.
Entah itu disengaja atu tidak, kejadiannya sama seperti In Loei tadi
— tadi In Loei seperti tidak hendak melukai lawannya itu.....
Dalam keadaan terdesak sebagai itu, In Loei empos
semangatnya, untuk membuat perlawanan dengan gigih, kalau
tidak, segera ia akan dirubuhkan. Sementara itu, ia lihat mata orang
yang bersinar tajam, yang terus dipakai menatap mukanya, seolah-
olah orang itu sangat memperhatikan padanya. Sikap lawan itu
membuatnya ia tertarik. Tiba-tiba saja ia menangkis, untuk
menahan golok yang dipakai membacok padanya.
"Kau siapa?" ia tanya.
Orang itu membalas menangkis.
"Kau siapa?" diapun tanya.
Dibaliki secara begitu, si nona melengak.
"Kau sebutkan lebih dulu!" ia bentak.
"Kau dulu!" orang itu mengulangi, sementara air mukanya sedikit
berubah.
In Loei bersangsi.
"Mana dapat aku perkenalkan diri padamu?" ia berpikir. Tapi
keras niatnya untuk mengetahui orang itu. Lagi-lagi ia menangkis,
sampai tiga kali.
"Kau bicara lebih dulu!" katanya pula. "Tidak, kau dulu!" orang
itu membandel. Dia mirip dengan satu bocah kepala batu, kedua
matanya berputar, wajahnya berubah pula.
Menyaksikan sikap orang itu, In Loei membayangkan satu
sahabatnya semasa mereka masih kecil. Ia mencoba mengingat-
ingat dengan terus tak henti-hentinya bersilat.
Lawan itu juga melakukan perlawanan, hanya sekarang ia
berlaku tak sesehat tadi. Masih ia senantiasa tatap wajah lawannya.
Dalam penasarannya, In Loei mendesak, dua kali ia menikam.
Kedua-duanya ditangkis oleh lawannya.
"Kau bicara lebih dulu!" katanya pula.
Selagi kedua orang itu berkutat, membentak satu pada lain,
supaya pihak sana yang membuka mulut lebih dahulu, tiba-tiba
terdengar seruannya Pit To Hoan, yang memberi peringatan kepada
kawan-kawannya bahwa keadaan bahaya mengancam pihaknya.
Mendengar suara itu, In Loei melirik kepada jago tua itu. Ia
dapat kenyataan, kawan itu telah terdesak, golok Thio Hong Hoe
seperti mengurung dia, hingga keadaannya jadi sangat berbahaya,
sedang kawan-kawan yang menjadi bala bantuan, kena dirintangi
tentera negeri, tak dapat mereka menerjang masuk.
Menampak demikian, In Loei menjadi tegang sendirinya. Ia
berkuatir untuk pihaknya itu. Maka ia mencoba melakukan
perlawanan pula dengan keras sekali, ingin ia menoblos musuhnya.
Pihak lawan itu, yang tidak sudi perkenalkan diri, tetapi
menghendaki lain orang berbicara terlebih dahulu, juga segera
perkeras perlawanannya, bagaikan tembok tanggu, dia menghalang
di depan si "anak muda." Hingga tak berhasil In Loei dengan
dayanya itu.
"Maukah kau bicara atau tidak?" lawan itu masih menanya.
In Loei mendongkol, tidak sudi ia menyahuti, dalam sengitnya, ia
menyerang dengan terlebih hebat pula.
Lima puluh jurus telah lewat, keduanya tetap dalam keadaan
seri. In Loei kalah tenaga, ia cuma menang gesit, tapi sekarang ia
berkuatir untuk Pit To Hoan, pemusatan pikirannya jadi terganggu,
maka itu, lagi beberapa jurus, ia kena didesak hingga ia mesti main
mundur.
Dalam keadaan yang segenting itu, sekonyong-konyong terlihat
debu mengepul di luar selat. Thio Hong Hoe lihat itu.
"Siapa berani menyerbu masuk?" katanya nyaring.
Pertanyaan itu dijawab dengan suara tertawa aneh yang seperti
menggetarkan lembah, lalu tampaklah orang-orang yang
menerbitkan debu itu, ialah delapan penunggang kuda yang tengah
mendatangi dengan pesat sekali, sedang dua penunggang yang
jalan paling depan, — agaknya mereka itu menjadi pemimpin, —
berpakaian secara aneh. Mereka itu yang satu putih mulus, yang
lain hitam legam.
Ketika In Loei melihat tegas kedua orang itu, tanpa merasa ia
perdengarkan seruan. Ia agaknya kaget dan heran. Karena ia kenali,
kedua orang itu adalah Hek Pek Moko. Empat orang lainnya adalah
si empat saudagar permata, yang pernah datang ke Tjio keetjhoeng.
Sedang kedua penunggang kuda lainnya, yang berada di belakang,
adalah isteri-isteri bangsa Persia dari Hek Moko dan Pek Moko itu.
Berdelapan mereka itu maju pesat, tanpa menghiraukan
pertempuran yang kalut dan dahsyat itu.
Hek Moko adalah yang datang paling dekat.
"Kau menggelinding dari, kudamu!" bentak Thio Hong Hoe yang
menjadi sangat murka. Dan dengan satu lompatan, ia segera
mendahului membacok.
Hek Moko perdengarkan tertawanya yang aneh, ia angkat
tongkat Lekgiok thung-nya, untuk menangkis bacokan, berbareng
dengan itu, ujung tongkatnya meluncur terus ke arah uluhati si
penyerang yang bersenjatakan golok itu.
Hong Hoe kaget dan heran. Tidak ia sangka orang ada demikian
liehay. Ia halau tusukan tongkat itu, habis mana, ia membalas,
dengan tak kurang hebatnya. Untuk dua jurus, ia mendesak hebat.
Hek Moko juga terkejut melihat ketangguan lawan, ia tidak
sangka di antara hamba negeri terdapat pahlawan demikian kosen.
Ia penasaran, kembali ia menusuk dada orang.
Hong Hoe kembali menangkis, ia tidak mau menyerah kalah.
Dalam penasarannya, Hek Moko menerjang berulang-ulang, yang
sama dahsyatnya.
Thio Hong Hoe tangkis serangan berbahaya itu, sambil
menangkis, ia angkat tubuhnya dari bebokong kuda, dengan
sebelah kaki, ia injak injakan kakinya, berbareng dengan mana,
dengan sebelah tangannya, ia sambar lawannya itu. Dengan jurus
Kimna tjioe ia gunakan tangan kirinya untuk mencekuk tangan
musuh. Ia berhasil, hingga ia menjadi sangat girang. Sekarang
tinggal mengerahkan tenaganya, untuk membetot lawannya itu.
Tapi tiba-tiba ia menjadi kaget, karena tangan yang dicekal itu licin
bagaikan lindung, yang terus dibalikkan untuk dipakai menampar
mukanya!
Dalam kagetnya, Thio Hong Hoe masih sempat berkelit, ialah
sambil berseru, sebelah kakinya menjejak, hingga tubuhnya
mencelat meninggalkan kudanya dan jatuh ke tanah sejauh satu
tombak lebih.
Hek Moko menjadi heran dan kagum, ia merasa pasti bahwa ia
akan dapat menghajar lawannya itu, siapa sangka, lawan itu pun
ada licin sekali.
Pit To Hoan saksikan pertempuran itu, ia heran, terutama karena
ia tidak kenal siapa si hitam ini yang seperti membantu padanya.
"Sahabat siapa di sana?" ia tanya. "Di sini Pit To Hoan
menghaturkan hormatnya." Ia kesohor dengan gelarannya,
Tjinsamkay, ia percaya, dengan menyebut namanya, setiap orang
kangouw pasti akan mengenal padanya. Tapi kali ini dugaannya
meleset.
Hek Moko tertawa pula, dengan suaranya yang aneh itu.
"Buka jalan! Buka jalan!" dia berseru-seru. "Menggelinding
pergi!"
To Hoan tidak mundur, dia malah menghalang di tengah jalan,
dengan lonjorkan toya-nya, ia mencegat.
Hek Moko biarkan kudanya lompat kabur, dengan tongkatnya ia
halau toya Tjinsamkay. Kedua senjata bentrok keras, suaranya
nyaring. Pit To Hoan miring tubuhnya karena bentrokan itu, sedang
si hitam hampir terguling dari kudanya.
"Bagus!" berseru si hitam ini. "Kau pun ada satu hoohanl Kau
minggir!"
Sekarang tidak lagi ia mengusir dengan kata-kata,
"Menggelinding pergi" hanya "minggir!" Ini menyatakan bahwa ia
telah menghargai lawannya.
Tapi Pit To Hoan tidak minggir, dalam keadaan seperti itu, tak
dapat ia menahan toya-nya, serangannya yang kedua telah
menyusul, kali ini ia mengarah kudanya.
Hek Moko menjadi gusar sekali, ia segera tekan keras toya
lawannya itu.
Pit To Hoan terperanjat, apapula ketika ia dilepaskan dari
tekanan, tubuhnya terjerunuk, hampir ia kena terinjak kudanya si
orang hitam itu. Dengan kegesitannya, ia lompat nyamping. Dan
kuda lawan dengan pesat luar biasa, sudah lompat di atasan
kepalanya!
Selagi Hek Moko dilayani Thio Hong Hoe dan Pit To Hoan
bergantian, Pek Moko pun telah tiba, ia hanya menyerbu kepada In
Loei dan si orang aneh.
In Loei segera lihat si putih ini, ia terperanjat, ia heran atas
kedatangan orang secara tiba-tiba. Ia ingat bagaimana ia bersama-
sama Thio Tan Hong telah menundukkan kedua Moko itu. Maka
kalau sekarang Pek Moko ingat sakit hatinya dan dia mencari balas,
celakalah ia. Untuk melayani si orang aneh saja, ia sudah repot.....
Ketika Pek Moko melihat In Loei, tiba-tiba ia tertawa — tertawa
aneh seperti Hek Moko. Kembali ia keprak kudanya, untuk
menerjang si orang aneh.
Gusar orang aneh itu, ia menyambut dengan kepalannya ke paha
kuda. Tepat sambutan itu, hingga kuda itu menekukkan kaki
depannya. Menyusul ini, si orang aneh membacok dengan goloknya.
Pek Moko menangkis dengan tongkat Pekgiok thung-nya. Itulah
tongkat terbuat dari baja tulen. Orang aneh itu tidak ketahui ini, ia
baharu terkejut apabila dua senjata telah beradu keras. Terpental
golok itu karena bentrokan keras itu, tetapi si orang aneh tangguh,
dengan belakang golok yang terayun, ia menyerang pula. Tapi juga
Pek Moko tidak kurang liehaynya, masih sempat ia menangkis pula,
hingga untuk kedua kalinya, tongkat dan golok bentrok, terus golok
terlempar ke udara!
"Jika kau sanggup melayani tongkatku, aku suka memberi ampun
padamu!" berseru Pek Moko. "Minggir!"
Setelah berkata begitu, ia menuding kepada In Loei.
"Kau bukannya tandingan orang ini! Kenapa kau tidak hendak
lekas menyingkir?"
Meskipun ia mengucap demikian, ia jepit perut kudanya, hingga
kuda itu lompat kabur.
Sebenarnya Hek Pek Moko telah tawar hatinya setelah mereka
dikalahkan In Loei berdua Tan Hong, karena kalah bertaruh, harta di
dalam kuburan bukan lagi miliknya, maka juga ia titahkan ke empat
saudagar menutup buku dan berlalu. Adalah niat mereka untuk
pulang ke kampung halaman mereka di Barat. Di luar dugaan
mereka, Tan Hong telah berlaku baik budi, harta mereka telah
dikembalikan. Kejadian ini membuat mereka sangat bersyukur.
Dengan modal itu, mereka lantas berdagang pula. Kali ini mereka
dalam perjalanan dari selatan ke utara, ke delapan kuda mereka
menggendol banyak barang permata mulia, niat mereka adalah
melintasi gunung Himalaya, untuk memasuki India, guna menjual
permata itu kepada pangeran-pangeran bangsa India. Adalah di luar
dugaan mereka, di situ mereka menghadapi kedua pihak tengah
bertempur, malah pihak yang satu adalah In Loei, yang mereka
kenal baik.
Hek Pek Moko tidak gubris orang dari Jalan Putih atau Jalan
Hitam, mereka bekerja dengan ambil jalan sendiri, karena ini,
bertemu dengan tentera negeri, mereka kuatir nanti dicegat dan
dirampas hartanya, maka ingin mereka nerobos pergi. Ketika,
mereka kenali In Loei, ingin mereka membalas budi kebaikannya
Tan Hong, dari itu mereka segera berikan bantuan mereka itu.
Tidak hanya Hek Moko dan Pek Moko yang liehay, juga isteri-
isteri mereka dan ke empat saudagar itu bukannya orang-orang
sembarangan, maka itu ketika mereka berdelapan menyerbu
dengan kuda mereka, tentera negeri menjadi kalut, lekas-lekas
mereka menyingkir. Pihak Pit To Hoan juga tidak terkecuali, hanya
To Hoan tidak mau mensia-siakan ketikanya yang baik, dengan
memberikan satu tanda, ia ajak rombongannya lari mendaki bukit.
Hek Moko tertawa berkakakan melihat "musuh" buyar dan lari
kalang kabutan, meski demikian, mereka tidak lantas angkat kaki,
masih mereka mondar-mandir di dalam lembah itu, untuk mencegah
In Loei beramai dikepung pula tentera negeri itu, adalah setelah In
Loei semua sudah tiba di tengah bukit, baharu mereka kabur, untuk
melanjutkan perjalanan mereka.....
Thio Hong Hoe mendongkol bukan main, ia lantas kumpulkan
tenteranya, ia ingin kejar musuh, akan tetapi ia tidak mempunyai
ketika lagi.
Dari kejauhan, Hek Pek Moko berpaling ke arah bukit.
"Hai, babah kecil!" teriak mereka berbareng terhadap In Loei,
"babah besar yang menjadi sahabatmu itu tengah menantikan kau
di sebelah depan sana! Kenapa kau tidak berada bersama dia?"
Tahulah In Loei, dengan "babah kecil" dimaksudkan ia, dan
dengan "babah besar" dimaksudkan Thio Tan Hong, karenanya,
hatinya bercekat. Jadi Tan Hong berada di sebelah depan.
Sebenarnya ingin ia menanyakan Hek Pek Moko, atau:
"Siapa kedua orang itu?" Pit To Hoan tanya dia. "Mereka adalah
Hek Moko dan Pek Moko dari
Tanah Barat," In Loei jawab. To Hoan terperanjat.
"Jadi mereka adalah kedua iblis itu!" serunya. "Memang, sudah
lama aku dengar nama mereka, baharu kali ini aku melihat mereka
itu. Tidak aku sangka, kita dapat lolos dari bahaya karena bantuan
mereka. Bagaimana sekarang? San Bin masih belum dapat
ditolong.....”
"Orang she Pit ini jadi sangat masgul. Tapi, dalam keadaan
seperti itu, ia tidak boleh membuang-buang waktu, lantas ia bantu
Tjek Poo Tjiang memukul mundur pasukan tersembunyi dari musuh,
habis mana mereka mundur dari belakang bukit, untuk pulang ke Na
keetjhoeng.
Hari sudah magrib ketika mereka tiba di rumah, semuanya lesu,
lelah dan masgul, karena sia-sia saja usaha mereka. Waktu mereka
asyik berbicara, mereka membicarakan halnya si orang tak dikenal
itu, yang menyamar sebagai pengembala bangsa Mongolia, yang
kali ini bersembunyi di dalam kereta persakitan tanpa diketahui apa
maksudnya. Mereka menduga-duga tanpa ada pemecahannya.
"Malam ini pasti Thio Hong Hoe bermalam di dalam kota." kata
Pit To Hoan seraya mendongak untuk melihat cuaca. "Aku pikir,
lebih baik kita pergi ke kota, untuk mengadakan penyelidikan. Mesti
kita ketahui bagaimana nasibnya keponakan San Bin, supaya kita
berdaya upaya menolongnya pula. Thio Hong Hoe sangat licin, dia
telah memperdayakan kita, maka itu, sulit bagi kita untuk
mengetahui, San Bin berada di dalam kerangkeng atau tidak.....”
Semua orang berdiam ketika mereka ingat akan keliehayannya
Thio Hong Hoe, yang gagah dan cerdik sekali.
"Di antara kita, In Siangkong, kaulah yang paling sempurna ilmu
entengkan tubuh," berkata pula To Hoan. "Di samping itu, di dalam
kota, adalah rumah penginapan kita yang paling besar.....”
Mendengar ini, In Loei yang cerdik, segera mengerti maksud
orang.
"Memang!" katanya. "Pada siang hari kita gagal menggunakan
golok dan tombak, tapi pada malam hari kita pasti dapat
membuatnya mereka kalut dan repot! Atau sedikitnya, kita
mungkin dapat mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya.....
Thio Hong Hoe gagah perkasa, aku sangsi dia pandai ilmu enteng
tubuh, maka andai kata aku gagal, dapat aku menyingkir
daripadanya, belum pasti dia dapat mengejar aku dan
menyandaknya....."
Maka diambillah keputusan, malam itu In Loei akan pergi
membuat penyelidikan dan Pit To Hoan turut sebagai kawan yang
mengintai di luar hotel.
Demikian sekira jam dua, kedua orang itu telah masuk secara
diam-diam ke dalam kota di mana mereka segera disambut oleh
pihaknya.
Benar saja, Thio Hong Hoe beramai telah mengambil tempat di
hotel kaumnya Tjinsamkay, dari itu In Loei, dengan mengandal
jongos hotel, dapat masuk ke dalam hotel dengan mengambil jalan
dari pintu belakang. Ia minta keterangan, kamar mana yang Hong
Hoe pakai, habis itu, ia beristirahat sebentar.
Kira-kira jam tiga, nona In sudah lantas salin pakaian, untuk
memakai yaheng ie, pakaian untuk bekerja malam, tetapi ketika
hendak lompat naik ke atas genteng, kupingnya mendengar
tindakan kaki kuda, yang dengan cepat sekali telah tiba di muka
hotel.
Dari dalam rumah penginapan pun sudah lantas keluar serdadu
Gielim koen, yang menyambut orang yang baharu tiba itu.
"In Siangkong, harap tunggu sebentar," pesan jongos yang
melayaninya.
Dengan bawa tahang air dan makanan kuda, jongos ini terus
pergi keluar. Sampai sekian lama, setelah suara di luar sunyi,
baharu ia kembali.
"Rupanya itu adalah kabar kilat," ia beritahu In Loei. "Entah
urusan apa yang demikian penting."
Di jaman itu, surat-surat di kirim dan dibawa bergantian oleh
pelbagai pesuruh, yang mempunyai pos-pos sendiri, untuk saling
menolong, secara demikian surat-surat dapat disampaikan kepada
alamatnya secara cepat sekali. Itulah cara yang dinamakan "Pat pek
lie koay ma kee kin" atau "Larinya kuda cepat delapan ratus lie."
Dalam satu hari orang dapat mencapai sepuluh pos dan menukar
sepuluh ekor kuda, kudanya adalah kuda pilihan, penunggang
kudanya jempolan. Maka dalam tempo dua belas jam, kuda itu
dapat menempuh jarak sejauh tujuh atau delapan ratus lie.
In Loei heran.
"Cara bagaimana kau ketahui itu?" ia tanya.
"Sebab, kuda pembawa surat itu telah lelah hingga rubuh," sahut
si jongos, "dengan pertolongan dua orang, baharu kepala kuda itu
dapat diangkat untuk diberi air minum.....”
In Loei berpikir.
"Baiklah," katanya. "Sekarang ingin aku ketahui, kabar penting
apakah yang dibawa itu."
Kamar Thio Hong Hoe berada di sebelah selatan, kamar itu
besar. Ke sana In Loei nelusup, terus saja ia gelantungkan diri di
payon kamar, untuk mengintai ke dalam.
Di dalam kamar itu tampak duduk seorang pesuruh, Hong Hoe
sendiri tengah menyekal sepucuk surat.
"Penjahat yang hari ini kami dapat tawan, satu pun belum
sempat kami periksa," berkata Hong Hoe, "karena itu, belum
diketahui apa di antaranya ada orang yang dimaksudkan, tetapi
umpama kata benar ada, pasti sekali akan aku turuti kehendak Kong
Tjongkoan. Kau tentunya letih sekali, pergi kau beristirahat, supaya
besok kau dapat segera kembali ke kota raja. Salinan surat dinas ini
nanti aku titahkan orang menyampaikannya kepada Khoan Tiong."
"Terima kasih, thaydjin1." mengucap pesuruh itu, yang terus
meminta diri untuk pergi.
Hong Hoe sudah lantas jalan mondar-mandir, kedua alisnya
dikerutkan. Terang ia tengah menghadapi urusan sangat penting.
"Mana orang!" tiba-tiba ia memanggil.
Segera setelah itu, satu serdadu yang menjaga di pintu luar
bertindak masuk. Dia ini diberi titah dengan suara hampir berbisik,
atas mana, dia keluar pula.
Masih Hong Hoe nampak tak tenang, ia garuk-garuk belakang
kupingnya. Ia beber kertas di tangannya itu, untuk diawasi.
Dari tempatnya mengintai, In Loei dapat lihat kertas itu. Itulah
bukan surat dinas, itu adalah lukisan satu orang. Melihat gambar itu,
hampir In Loei tak tahan untuk tidak perdengarkan jeritan. Itu
adalah gambarnya Tjioe San Bin, yang ia hendak tolongi.
Hong Hoe berkata seorang diri, suaranya tak tegas: "Lebih dulu
tusuk tulang piepee-nya, lalu kedua matanya dikorek keluar, setelah
itu dia masih hendak dipakai sebagai umpan untuk menagih
kepada Kim Too Tjeetjoe..... Ah, inilah sungguh kejam!"
In Loei terkejut.
"Jikalau benar mereka berbuat demikian macam terhadap
saudara San Bin, malam ini aku mesti adu jiwaku!" dia berpikir.
"Biarlah kita semua bersama binasa!.....”
Dan ia genggam Bweehoa Ouwtiap-nya. Hatinya tegang,
tubuhnya sampai bermandikan keringat dingin.
Tidak lama kemudian terdengar tindakan dari beberapa kaki.
"Inilah tentu saudara San Bin yang diiring," In Loei menduga-
duga. Ia lantas memasang mata, hatinya jadi bertambah tegang.
Tapi, ketika ia lihat dengan nyata, ia jadi melengak, hampir saja ia
keluarkan seruan tertahan.
Yang datang itu adalah satu perwira muda, dialah orang dengan
siapa tadi In Loei bertempur, dia juga si orang aneh yang malam itu
membokong si pangeran asing!
"Saudara Tjian-lie, urusan ini sangat sulit untuk diputuskan,"
berkata Thio Hong Hoe kepada anak muda itu.
"Apakah itu, Thio Thaydjin?" tanya si anak muda. Hong Hoe tidak
segera menjawab, ia hanya maju dua tindak, hingga ia berdiri
berhadapan dengan si anak muda. Ia bersenyum.
"Kau meninggalkan kota raja pada tanggal tujuh belas, kenapa
baru kemarin malam kau tiba di sini?" dia tanya.
Anak muda itu nampak kemalu-maluan, ia alihkan pandangan
matanya. Habis itu ia paksakan bersenyum.
"Di tengah jalan aku diganggu hujan, kudaku tak dapat jalan," ia
kata. "Karenanya aku terlambat."
Thio Hong Hoe tertawa.
"Benarkah itu?" dia tanya pula.
Wajah pemuda itu berubah, ia mundur satu tindak, tangannya
menekan meja.
"Apakah Thaydjin curigai aku?" dia tanya.
Thio Hong Hoe tertawa pula, bergelak.
"Mustahil aku curigai kau.....” sahutnya. Lalu,
dengan suara dalam, dia tambahkan: "Walaupun kau memakai
seragam Kimie wie belum cukup satu bulan, tapi aku rasa kita dapat
bicara dari hati ke hati bukan?"
Dengan bajunya, perwira muda itu menyeka keringat di jidatnya.
"Thaydjin setia dan jujur, aku kagum terhadapmu, " ia kata.
Thio Hong Hoe maju satu tindak.
"Jikalau kau tidak ingin dicurigai, hendaknya kau bicara terus
terang," ia kata. "Ketika kemarin ini di Tjengliong kiap terjadi
penyerangan kepada utusan bangsa Mongolia, bukankah kau telah
mengambil bagianmu?"
Perwira itu berdiri tegak.
"Baiklah thaydjin ketahui aku bukan cuma turut dalam sebagian,
aku malah orang yang memegang peranan!" sahutnya.
"Tahukah kau bahwa dia adalah utusan terhormat dari
pemerintah kita?" Hong Hoe tanya. "Tahukah kau, apabila terjadi
sesuatu atas diri utusan itu, di antara kedua negeri dapat terjadi
peperangan?"
Anak muda itu tidak terdesak.
"Thio Thaydjin, tahukah kau, apa maksud kedatangan utusan
itu?" ia balik menanya. "Tahukah thaydjin bahwa utusan itu hendak
meminta supaya pemerintah kita menyerahkan tanah daerah untuk
mengganti kerugian? Daripada bertekuk lutut terhina, lebih baik kita
berperang mati-matian!"
"Walaupun demikian," kata Hong Hoe, "kau adalah satu hamba
negeri, sebagai hamba negeri, kau serang utusan negara asing,
dosamu bukannya kecil!"
"Sehebat-hebatnya tidak melebihi hukum picis!" kata si anak
muda. "Thio Thaydjin, adakah ini urusan yang membuatnya kau
sulit? Siapa berani berbuat, dia mesti berani bertanggung jawab,
maka itu, tidak nanti aku bikin kau susah. Thio Thaydjin sekarang
juga aku bersedia ditawan, kau boleh legakan hatimu!"
Sekonyong-konyong Thio Hong Hoe tertawa bergelak-gelak.
"Saudara Tjian-lie, tak usah kau pancing ke-murkaanku!"
katanya. "Kesulitanku itu tidak ada sangkutannya dengan kau!"
Mendengar ini, tercengang si anak muda. Inilah di luar
dugaannya.
"Habis, urusan apakah itu?" tanyanya.
Dengan sabar Hong Hoe beber kertasnya tadi, dia tunjukkan
gambar yang terlukis di atas itu.
"Tahukah kau, siapa orang yang tertera di sini?" ia tanya.
Wajah si anak muda kembali berubah.
"Bukankah ia salah satu penjahat yang thaydjin telah tawan?"
tanyanya.
"Aku hanya ingin bertanya, kenalkah kau padanya atau tidak?"
kata komandan Kimie wie itu. "Tahukah kau tentang diri dia ini?"
Si anak muda bersangsi sebentar, lalu ia menghela napas.
"Dia adalah putera Kimtoo Tjeetjoe yang sangat disayang dari
Ganboenkwan," ia berikan penyahutan. "Aku dengar pada sepuluh
tahun yang
lampau, Tjioe Kian telah berontak dan kabur keluar perbatasan,
dia ditangkap serumah tangganya dan dihukum mati semua, kecuali
puteranya ini yang berhasil meloloskan diri.....”
Thio Hong Hoe melirik.
"Kau masih berusia sangat muda, tapi bukan sedikit hal yang kau
ketahui!" dia kata.
Tiba-tiba si anak muda berlinangkan air mata.
"Thio Thaydjin....." katanya perlahan, tertahan.
Hong Hoe memotong: "Sejak saat ini, kita ada seperti kakak dan
adik. Mulai sekarang aku minta kau panggil saja namaku!"
"Thio Toako," segera si anak muda berkata terus terang, "Kimtoo
Tjioe Kian itu adalah tuan penolongku yang besar. Hanya,
bagaimana duduknya hingga aku berhutang budi daripadanya,
maaf, tak dapat aku menjelaskannya."
"Aku pun dapat melihat kesukaranmu hingga kau tak dapat
bicara," kata Hong Hoe. "Baiklah, jangan kita bicarakan pula soal
itu. Puteranya Tjioe Kian telah kita tawan. Coba katakan, dengan
cara bagaimana dapat kita merdekakan dia?"
"Urusan ini sangat besar, tidak berani aku campur bicara," jawab
si anak muda. "Memang benar Kimtoo Tjeetjoe telah berontak
terhadap pemerintah, akan tetapi selama berdiam di Ganboenkwan,
berulangkah dia melabrak bangsa Ouw yang datang menerjang
daerah kita, jadi dengan sendirinya dia telah berjasa kepada negara!
Dia mempunyai hanya satu putera, jikalau putera itu dibawa ke kota
raja dan diperiksa, aku kuatir ia tak akan dapat lolos dari hukuman
mati. Apabila itu sampai terjadi, sungguh hebat!.....”
Pemuda ini berkata, ia tidak berani campur bicara tetapi ia telah
mengutarakan rasa hatinya itu! Dengan itu, ia hendak
menggerakkan hatinya Hong Hoe, supaya komandan itu suka
membebaskan San Bin.....
Thio Hong Hoe mengerti maksud orang, ia bersenyum.
"Tidak usah dia dibawa ke kota raja, tidak usah dia diperiksa
lagi," katanya. "Kong Tjongkoan telah ketahui hal ihwalnya putera
Tjioe Kian itu tetapi dia mungkin tak usah menemui ajalnya.....”
"Jadi warta kilat tadi ada mengenai urusan ini?" tanya si perwira
muda.
"Benar!" jawab Hong Hoe. "Itulah hal yang aku katakan sulit.
Sungguh lihay mata dan kuping Kong Tjongkoan, dia telah ketahui
puteranya Tjioe Kian sudah nelusup masuk ke Tionggoan, dia pun
ketahui bahwa kita telah membekuk banyak orang Rimba Hijau
kenamaan. Untungnya dia masih belum ketahui, apakah putera
Tjioe Kian itu ada di antara orang-orang tawanan kita atau tidak.
Maka itu dia telah mengirim warta kilatnya, untuk kita perdatakan
putera Tjioe Kian itu. Dia menitahkan, apabila kita berhasil
menawan putera pemberontak itu, supaya kita lantas mengalungi
tulang piepee-nya, mengorek matanya, untuk melenyapkan
kegagahannya, hingga orang tak dapat membawa dia minggat.
Setelah itu Kong Tjongkoan hendak menggunakan putera orang itu
sebagai barang berharga, sebagai tanggungan, guna memaksa
Kimtoo Tjeetjoe, supaya dia tidak menentangi lagi tentara
negeri.....”
"Sungguh daya yang kejam sekali!" seru si anak muda tanpa
merasa.
"Kita sama-sama makan gaji negara," kata Hong Hoe, "terhadap
penjahat biasa, bila dia kena ditawan, itu berarti pahala untuk kita,
dapat kita bertindak dengan hati adem. Akan tetapi Tjioe Kian dan
puteranya bukan penjahat biasa, tanpa mereka itu, sudah sejak
siang-siang pasukan perang Watzu menyerbu ke tanah daerah
kita.....”
Pemuda itu membuka dengan lebar kedua matanya, yang
bersinar terang.
"Thio Thaydjin," katanya, "eh, bukan, Thio Toako, baik kau
merdekakan saja dia! Coba siang-siang aku ketahui kau
mempunyai maksud begini.....”
Thio Hong Hoe tertawa, dia memotong: ".....kau sekarang tidak
usah menempuh bahaya dengan menyerang si pangeran asing,
bukan? Saudara Tjian-lie, siang-siang aku telah menduga, untuk
menyerang si pangeran, kau menggunakan akal dengan sebuah
batu mendapatkan dua ekor burung. Kau tidak ingin secara terang-
terangan menentang aku, tak ingin kau memerdekakan orang di
bawah perlindunganku, maka kau pinjam tangannya rombongan Pit
To Hoan. Kau ingin bekuk si pangeran asing, untuk dipakai menukar
orang. Bukankah begitu?"
"Toako, apa yang kau katakan itu semua benar," jawab
si perwira muda. Ia berlaku terus terang.
Dengan tiba-tiba saja, Hong Hoe berhenti bersenyum.
"Bagaimana gampang untuk memerdekakan orang itu!" katanya.
"Apakah kau tidak menginsyafi berbahayanya Kong Tjongkoan?
Sudah pasti jabatan komandan Kimie wie ini tak akan aku pangku
terlebih lama pula, juga kau sendiri, jangan kau mengharap untuk
menjadi boe tjonggoan tahun ini.....”
Si anak muda bungkam. Sampai sekian lama, baharu ia buka
mulutnya. Ia mendongkol sekali.
"Biarlah, tak apa aku tak turut ujian boe tjonggoan1." katanya,
sengit. "Tapi aku tak ingin kau mengorbankan pangkatmu!"
"Dengan perbuatanku itu," kata Thio Hong Hoe, "tidak saja
pangkatku yang akan hilang, juga jiwaku terancam
keselamatannya.....”
Perwira muda itu nampaknya menjadi sangat lesu.
"Sekarang ada titah apalagi dari Thaydjin?" dia tanya dengan
tawar.
"Kau pergi meronda di luar," kata Hong Hoe. "Kecuali Hoan
Tiong, yang lainnya siapa pun tak boleh keluar masuk di sini. Juga
kau, aku larang kau bertindak secara sembrono!"
"Di bawah perintah kau, toako, — oh, thaydjin," kata si anak
muda, "umpama kata aku berani bertindak sembrono, aku toh tidak
akan lolos dari golok Biantoo-mu. Thaydjin, legakanlah hatimu,
jangan kuatir!"
Thio Hong Hoe tertawa, ia kibaskan tangannya.
In Loei lihat tegas, anak muda itu mengundurkan diri dengan
lesu dan uring-uringan.
Seberlalunya si anak muda, Hong Hoe panggil pengawal
kepercayaannya yang ia bisiki pesannya, setelah mana, orang itu
mengundurkan diri, tetapi tidak lama kemudian ia sudah kembali
bersama satu orang.
Itulah Hoan Tiong, Gietjian siewie.
Kepada pahlawan istana ini, Hong Hoe perlihatkan surat dinas,
melihat mana, kedua matanya si orang she Hoan terbelalak,
sepasang alisnya berdiri.
"Toako." katanya dengan nyaring, "apakah kau masih ingat
sumpah kita baru-baru ini?"
"Sang waktu telah lewat lama sekali, aku sudah lupa.....” jawab
Hong Hoe.
Hoan Tiong nampak sangat gusar, ia gebrak meja.
"Apakah benar toako telah melupakannya?" dia tegaskan.
"Hiantee, cobalah kau katakan....." Hong Hoe minta, sikapnya
sabar.
"Dengan darah kita yang panas, hendak kita membela negara!"
kata Hoan Tiong, keras. "Kita juga tak sudi terima penghinaan dari
musuh! Itulah sebabnya kenapa kita masuk tentera! Sama sekali
kita tidak mengharapkan anak isteri berbahagia karena kemaruk
akan jasa atau pangkat!" ia berhenti sebentar, lalu ia
menambahkan. "Adalah maksud hatiku untuk pergi keperbatasan
guna dengan golok dan tombakku, mengadu jiwa dengan bangsa
Ouw, tetapi Sri Baginda justeru menghendaki aku menjadi pahlawan
di dalam istana! Maka dalam beberapa tahun ini, aku merasa seperti
tak dapat bernafas.....” Masih ia menambahkan setelah berhenti
sebentar: "Sudah tak dapat kita pergi keperbatasan untuk
bertempur dengan bangsa asing, guna membela negara, kita
sebaliknya telah mencelakai Kimtoo Tjeetjoe serta puteranya yang
justeru telah mengeluarkan tenaganya menentang bangsa Ouw itu!
Apakah artinya ini? Tidakkah ini memalukan?"
"Apa lagi sumpah kita itu?" Hong Hoe tanya pula. "Kita mesti
beruntung hidup bersama, celaka sama binasa" sahut Hoan Tiong.
"Bagus!" seru tjiehoei itu. "Sekarang ada satu bencana besar
yang mengancam kita, yang aku ingin kita menentangnya bersama!
Mari dekatkan kupingmu!"
Hoan Tiong mendekati, ia pasang kupingnya.
Hong Hoe segera berbisik, habis mana, orang she Hoan itu
menjura dalam.
"Toako, maafkan aku untuk kesembronoanku tadi!" ia mohon.
"Tindakanmu ini tidak keliru!"
Setelah itu, ia putar tubuhnya untuk berlalu.
Thio Hong Hoe mengawasi, ia menghela napas.
"Aku hanya kuatirkan djieko-mu tak sama pikirannya.....” ia kata.
"Tak usah kita memikir sampai begitu jauh!" Hoan Tiong masih
berkata. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan terus, ia buka tindakan
lebar. Menyaksikan semua itu, In Loei berpikir.
"Tidak kusangka mereka ini ada orang-orang gagah sejati,"
katanya dalam hati. Lantas ia dapat pikiran untuk menyusul Hoan
Tiong, guna melihat apa yang dia hendak lakukan. Atau tiba-tiba
Hong Hoe yang berpaling ke arahnya, sambil bersenyum lantas
melambaikan tangannya dan berkata: "Silakan turun kemari! Sekian
lama kau bergelantungan di payon, apakah kau tidak letih?"
In Loei berani, ia pun bersenyum. Ia lompat melayang turun,
akan hampirkan komandan Kimie wie itu. Segera ia angkat kedua
tangannya, memberi hormat.
"Thio Thaydjin, kita adalah sahabat-sahabat satu dengan lain!"
katanya tenang.
"Kau datang untuk menolongi San Bin, bukan?" tanya Hong Hoe.
"Tidak salah," In Loei akui terus terang. "Semua pembicaraanmu
telah aku dengar tegas. Sekarang ini aku minta sukalah kau
serahkan San Bin padaku."
Dengan langsung nona ini mengajukan permintaannya itu.
Hong Hoe tertawa.
"Dengan serahkan ia untuk dibawa pergi, tidakkah itu akan
menerbitkan kegemparan?" tanya komandan ini. "Bagaimana kalau
kau gagal? Apakah kau tidak memikir kepentingan di pihak kami?"
In Loei melengak. Ia lantas berpikir. Memang itu bukanlah cara
yang tepat. Tak seharusnya Hong Hoe dibikin repot atau
pusing. Ia jadi malu sendirinya.
Hong Hoe pandang muka orang, ia bersenyum.
"Kini Hoan Tiong telah bawa pergi Tjioe Toako-mu itu dengan
diam-diam," ia beritahu. "Aku titahkan mereka untuk tunggui
kau di luar pintu kota utara."
In Loei ada demikian girang, hingga — sret! — lantas saja ia
lompat naik ke atas payon.
"Tunggu!" tiba-tiba Hong Hoe mencegah.
"Ada apa lagi?" tanya si nona sambil berpaling.
"Mana sahabatmu yang menunggang kuda putih itu?" Hong Hoe
tanya.
Goncang hatinya si nona.
"Dia ambil jalannya sendiri, aku juga ambil jalanku sendiri," ia
jawab. "Aku tak tahu dia di mana."
Hong Hoe menjadi heran sekali.
"Kamu berdua merangkap sepasang pedang, kamu menjagoi,
mana dapat kamu hidup berpencaran?" dia bilang. "Sahabatmu itu
agung sekali, sekali saja orang lihat padanya, orang akan jatuh hati.
Kalau nanti kau bertemu pula dengan dia, tolong sampaikan
hormatku kepadanya."
"Belum tentu aku dapat bertemu pula dengannya," sahut In Loei.
"Baiklah, akan aku ingat pesanmu ini. Aku pergi!"
Ia hendak ambil langkahnya, atau:
"Tunggu dulu!" kembali Hong Hoe mencegah.
In Loei menoleh, ia menjadi tidak sabaran.
"Ada apa lagi?" tanyanya.
"Sekarang ini Tjinsamkay Pit To Hoan ada di mana?" Hong Hoe
tanya.
Kaget In Loei.
"Apakah ia telah ketahui sepak terjangnya Pit Looenghiong?"
ia menduga-duga. Karena kesangsiannya, ia tidak segera
memberi penyahutan.
Hong Hoe awasi kelakuan orang, ia tertawa.
"Kau tidak hendak menerangkannya, tidak apa," katanya.
"Sekarang aku hendak mohon perantaraanmu untuk menyampaikan
kepadanya, bahwa dia adalah beda daripada Kimtoo Tjeetjoe,
karena itu, sebab aku telah terima titah untuk membekuk dia,
andaikata dia kena tertawan, tidak dapat aku ambil sikap
perseorangan dan merdekakan dia. Dia ada seorang gagah, aku
hargai padanya, aku minta sukalah dia pergi jauh, supaya tak usah
dia bertemu muka dengan aku. Cukup sudah, untuk sahabat baik,
cuma sampai di sini saja dapat aku bertindak. Kau pergilah!"
In Loei lantas berlalu. Tak habisnya ia memikirkan sikap luar
biasa dari Thio Hong Hoe. Itulah sikap di luar dugaannya. Memikir
terlebih jauh, ia sayangi orang she Thio itu, yang demikian kosen
dan cerdik tapi telah sediakan tenaganya untuk satu kaisar Beng.
Itulah tujuan hidup yang tidak ada harganya di matanya. Karena ini
juga, ia menjadi ingat engkong-nya, yang disebabkan kesetiaannya
sebagai utusan kerajaan Beng, sudah mesti bersengsara puluhan
tahun di negara asing, akan akhirnya menghembus napas secara
kecewa.
"Itulah kesetiaan tolol!" kata si nona perlahan. "Entah berapa
banyak penyinta negara yang dikurbankan kesetiaan keliru ini.....”
Masih muda nona ini, tak memikir ia soal yang demikian berat
yang telah berabad-abad usianya. Ada sangat sulit untuk
membedakan kesetiaan terhadap negara dengan kesetiaan terhadap
raja. Di jaman feodal siapa tidak sangat cerdas dan tabah, tak dapat
dia membedakannya. Tapi ia telah kenal Tan Hong sekian lama,
tanpa merasa, ia kena juga terpengaruh anak muda itu, ia dapat
juga menganggap rendah sikap engkong-nya yang bersetia secara
membuta kepada kaisar Beng.
Walaupun hatinya tidak tenteram, In Loei tidak pernah hentikan
tindakannya, tidak ia berlambat sejenak jua. Sebentar saja sudah ia
berlalu dari hotel. Sampai di seberang, ia lompat naik ke atas
genteng dari rumah di sebelah depan. Ia awasi bintang-bintang, ia
menerka sudah jam empat. Ia tidak lihat Pit To Hoan, sekalipun ia
ketahui, jago tua itu bertugas memasang mata terhadapnya. Ia
lantas menepuk tangan tiga kali, perlahan tetapi terang. Ia percaya
To Hoan akan mendengarnya kalau kawan itu masih menantikan
padanya, karena sangat terang pendengarannya. Akan tetapi, ia
tidak peroleh jawaban tidak ada orang yang muncul. Sia-sia ia
menantikan sekian lama. Akhirnya, ia menyedot napas dingin.
"Ah ke mana perginya. Pit Looenghiong?" ia kata dalam hatinya.
"Dia seorang kangouw yang ulung, tidak nanti orang tipu padanya.
Apakah dia telah lihat San Bin? Kalau begitu, mestinya dia tunggu
atau cari aku, untuk bekerja sama..... Tak seharusnya dia
pergi seorang diri dengan diam-diam..... Ke mana dia pergi?"
Si nona mengawasi pula ke sekelilingnya, kembali ia menyedot
napas dingin. Karena penasaran, ia lantas mencari di sekitar tempat
itu sejauh satu lie persegi. Dua kali ia ulangi untuk mencari,
matanya dibuka lebar-lebar, kupingnya dipasang. Sia-sia saja, tetap
ia tak tampak bayangan si orang tua.
"Ah, apakah Hong Hoe telah lihat dia dan telah menjebaknya
sehingga kena ditawan?" nona ini mau menduga. "Tidak, itulah tak
mungkin! Sebegitu jauh Hong Hoe tetap berada di dalam kamarnya!
Kecuali Hong Hoe, tidak ada satu pahlawan lainnya yang sanggup
layani Pit Looenghiong1. Sekalipun Hong Hoe sendiri, sebelum lewat
lima ratus jurus, tidak nanti ia dapat peroleh kemenangan atasnya!
Kenapa dia tak nampak bayangannya? Mustahil dia benar-benar
kena tertawan musuh? Apakah ada lain orang gagah, yang telah
rubuhkan padanya — merubuhkannya secara curang? Tak bisa jadi
Pit Looenghiong dapat dirubuhkan tanpa suara apa-apa.....”
Tegang hatinya nona ini, ia berkuatir. Terpaksa ia lari ke pintu
kota utara. Dengan cepat ia telah sampai di luar kota, di tempat
yang Hong Hoe sebutkan. Di sana katanya Hoan Tiong dan San Bin
menantikan ia. Ia lantas pergi ke tempat yang tinggi, ia tepuk kedua
tangannya selaku tanda. Dengan mata dibuka lebar, ia tampak jagat
yang tertaburkan bintang-bintang dan cahayanya si Puteri Malam.
Malam yang tenang, kecuali suara kutu-kutu. Suasana sunyi senyap.
Di sana tak ada
Hoan Tiong dan San Bin.....
Sekian lama In Loei menanti, akhirnya ia jadi kuatir berbareng
mendongkol.
"Apakah Thio Hong Hoe sedang mainkan akal muslihatnya?" ia
jadi curigai pahlawan Kimie wie itu. Kenapa aku gampang
mempercayai dia? Mungkinkah dia tidak memerdekakan Tjioe
Toako? Tapi, untuk apa dia dustai dan memperdayai aku?"
Dalam keragu-raguannya yang sangat, akhirnya In Loei lari
kembali ke dalam kota. Dengan cepat ia tiba di muka hotel. Ia lihat
pintu besar cuma dirapatkan. Ia heran. Dengan berani ia menolak
pintu dan bertindak masuk. Di dalam pekarangan ada belasan ekor
kuda, tapi kuda-kuda itu berdiri diam bagaikan manusia, kedua kaki
depannya masing-masing terangkat naik. Kuda itu tidak bergerak,
tidak berbunyi, sekalipun mereka didupaki. Maka itu, di bawah sinar
rembulan, mereka tampaknya menyeramkan.
Sejenak In Loei berdiam, segera ia ingat kepandaiannya Hek Pek
Moko untuk menakluki kuda. Ia menjadi terperanjat. Ingat ia
kepada dua iblis istimewa itu. Kedua mereka itu, jikalau orang tidak
ganggu padanya, tidak akan mereka ganggu orang lain. Benar di
Tjengliong kiap mereka telah bantui ia secara diam-diam, tetapi itu
adalah bantuan sambil lalu, mereka itu tidak tempur terang-
terangan tentara negeri. Sekarang, kenapa malam-malam mereka
datang kemari dan mempermainkan belasan kuda itu? Itu tandanya
merekapun mempermainkan tentara negeri!.....
"Jikalau benar Hek Pek Moko yang datang kemari, urusan pasti
mesti ada ekornya," In Loei menduga kemudian. Karena ini ia
lompat naik ke atas rumah, ia pasang kupingnya.
Dalam hotel itu, berikut tentara negeri, penumpangnya berjumlah
kira-kira tujuh puluh orang, tetapi waktu itu, tak terdengar satupun
juga suara dari mereka, suasana sangat sunyi, sampaipun suara
dekur tidak terdengar, hingga kesunyian mirip seperti pekuburan.....
Dengan hati-hati, In Loei lompat masuk ke tjimtjhe dalam.
Adalah niatnya untuk cari si jongos. Ia tampak pintu besar terbuka
terpentang. Dan ia dapatkan, jongos yang pernah jadi penunjuk
jalannya, pengantarnya, sedang tidur nyenyak bagaikan mayat. Ia
tolak tubuh jongos itu, masih dia itu tak sadar dari tidurnya. Ia taruh
tangannya di depan hidung orang, ia merasai hembusan napas. Ia
mencoba menguruti jalan darahnya, akan tetapi nampaknya jongos
itu bukan bekas kena totokan tiamhiat hoat.
Heran dan penasaran, In Loei memeriksa terlebih jauh. ia jadi
semakin heran. Beberapa jongos lainnya, jongos dari lain-lain
kamar, rebah diam seperti jongos itu. Malah kuasa hotel, yang ia
tahu mengerti ilmu silat, tidak menjadi kecuali, rebah seperti semua
jongos itu.....
"Aku dengar dalam dunia kangouw ada satu penjahat tukang
petik bunga yang ada punya asap lupa istimewa," pikir si nona,
"siapa terkena asap itu, dia akan tak sadarkan diri sebagai orang
telah mati. Mungkinkah mereka ini telah terkena macam obat tidur
itu?"
Segera In Loei cari air, dengan itu ia sembur mukanya si kuasa
hotel. Cuma kedua lengannya si kuasa bergerak sedikit tapi dia
tetap tak sadar. Dia nampaknya bukan terkena obat tidur.
Walaupun ia bernyali besar menghadapi kejadian itu, si nona
bingung juga. Di akhirnya, ia lari keluar, akan periksa lain-lain
kamar. Semua pintu kamar terpentang lebar, semua penghuninya,
rombongan serdadu, pada tidur nyenyak sekali. Begitu juga serdadu
yang rebah menggelar di ruangan tengah. Malah ada yang tidur
dengan kaki tangan terpentang merupakan huruf "tay" — "besar."
Ada juga mereka yang nyender ngelehek di tembok, kepalanya
tunduk, pundaknya turun.
Yang paling lucu ialah mereka yang mulutnya mengangah.....
Seorang diri, In Loei bermandikan keringat dingin. Ia coba
berteriak. Tidak ada jawaban manusia hanya suara kumandang. Ia
merasa sangat tegang. Di situ, ia jadi seperti berada seorang diri
saja, ia bagaikan hidup sendirian.....
Dengan perlahan-lahan In Loei tenangkan dirinya. Ia mengingat-
ingatkan akan Thio Hong Hoe yang liehay, juga si perwira muda
yang tidak dapat dipandang enteng. Dua orang itu kosen, melayani
mereka, belum tentu Hek Moko dapat dengan mudah menang di
atas angin. Maka aneh sekali kenapa terjadi demikian rupa terhadap
seluruh hotel? Dengan penasaran In Loei lari ke belakang. Di sana ia
lihat enam buah kereta kerangkeng. Sekarang semua kerangkeng
itu telah terbongkar, jeruji besinya memberi tanda bekas dikutungi
senjata tajam. Kosong semua kereta itu, tak ada perantaiannya.
In Loei jadi semakin heran. Senjatanya Hek Moko bukan senjata
mustika. Siapakah yang telah melakukan semua ini?
Benarkah Hong Hoe ramai kena dikelecei secara demikian
gampang?
Dengan perasaan heran In Loei lari ke kamarnya Hong Hoe.
Kalau semua kamar lainnya pintunya terpentang lebar, adalah
kamarnya komandan Kimie wie ini, tertutup rapat. Untuk membuka
kamar itu, In Loei mendupak dengan kakinya. Begitu lekas daun
pintu menjeblak, kamar itu terlihat kosong — Thio Hong Hoe tak
nampak dalam kamarnya itu!
Memandang ke sekitar kamar, tembok tertampak lukisan dari dua
buah tengkorak manusia, yang dilukis dengan arang. Itulah
tandanya Hek Pek Moko!
Adakah Thio Hong Hoe tercelaka oleh kedua iblis dari Barat itu?
Tetapi tidak ada tanda darah di lantai kamar. Hong Hoe liehay,
umpama ia kalah terkepung Hek Pek Moko, itu baharu akan terjadi
sesudah satu pertempuran yang seru. Sekarang ini keadaan kamar
tak berubah sedikit jua, kursi tidak terbalik, meja tak terjungkal.
Tidakkah itu aneh?
Masih In Loei memandang seluruh kamar, hingga ia tampak, di
tembok berhadapan dengan gambar kedua buah tengkorak itu, ada
bertuliskan sesuatu yang lain. Yaitu yang satu adalah sebaris huruf,
dan yang lain, yang di tengah, ada lukisan seekor kera bertangan
panjang, mukanya bengis sekali. Di kiri ini ada lukisan sebatang
pedang panjang,yang ujungnya tertusukkan sekuntum bunga
merah, didampingi dikedua sampingnya dengan bunga putih.
Sebaris huruf itu yang besar-besar, berbunyi:
"Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam hendak memapas kepalanya Hek
Pek Moko! Siapa yang berlaku curang, dia bukannya satu enghiong!
Siapa bernyali besar, silahkan datang keselat Tjeng Liong Kiap."
In Loei ulangi itu tujuh huruf "Tiatpie Kimwan Hoasam Kiam,"
atau Hoa Sam Kiam si Kera Berlengan Besi. Ia lantas ingat
penuturan gurunya tentang orang-orang liehay dari Rimba
Persilatan jamannya itu. Ketua partai Thiamtjhong Pay, yang
bernama Leng Siauw Tjoe mempunyai dua murid terpandai, ialah
Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong dan Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe.
Kedua murid ini mempunyai masing-masing kepandaiannya yang
istimewa, tadinya hidup mereka ada di antara kalangan benar dan
sesat, akan tetapi sudah belasan tahun lamanya mereka berdiam
"bertapa" di atas gunung Thiamtjong San, untuk melatih lebih jauh
kepandaian mereka, hingga mereka tak tampak pula dalam dunia
kangouw. Maka adalah aneh, kenapa mereka berdua menantang
Hek Pek Moko? Ada perselisihan apakah di antara kedua pihak itu?
Memikirkan terlebih jauh, In Loei mau menduga,
Hek Pek Moko adalah yang sampai terlebih dahulu di rumah
penginapan itu, kemudian baharulah muncul Tiatpie Kimwan dan
Hoasam Kiam.....
In Loei menjadi terlebih bingung lagi. Kejadian yang satu disusul
kejadian yang lain. Yang satu aneh, yang lain terlebih aneh pula.
Tak tahu ia apa yang harus dilakukan. Maka ia tinggalkan kamar
dan pergi keluar, akan melihat-lihat. Ia seperti merondai hotel itu,
sampai setibanya ia di belakang, di pintu samping, ia tampak pula
satu hal aneh lainnya.
Di situ terlihat si perwira muda, goloknya melintang di depan
dada, kaki depannya terangkat naik, seperti tengah membuka
tindakan lebar. Dia seperti terkena Tengsin hoat, ilmu "Mendiamkan
tubuh", kedua matanya dipentang lebar. Dari tenggorokannya
terdengar suara gerogokan. Inilah pemandangan mirip dengan yang
In Loei tampak di rumah Tjio Eng, ketika Thio Tan Hong totok ke
empat saudagar barang permata.
"Apakah dia pun datang kemari?" In Loei tanya dirinya sendiri. Ia
ingat pada Tan Hong, si mahasiswa berkuda putih. Hatinya jadi
berdenyut. Ia berdiri menjublak.
Perwira itu tak dapat berkutik, kaki tangan dan tubuhnya juga,
akan tetapi kedua matanya bisa ditujukan kepada si nona.
Oleh karena ia ingat ilmu totoknya Tan Hong, yang ia mengerti
cara membebaskannya, dengan berani In Loei hampiri si anak
muda, dengan lantas ia tekan kedua jalan darahnya , ialah
"thiansoan" — "teeekie."
Sekejap saja perwira itu berseru, menyusul mana, kaki dan
tangannya dapat bergerak juga. Tapi, yang hebat, adalah ketika
dengan mendadak goloknya menyambar membacok kepada In Loei!
Tidak terkira kagetnya si nona, syukur ia tidak gugup, di saat
bahaya maut mengancam dirinya itu, dengan kesebetannya ia dapat
berkelit. Iapun segera hunus pedangnya, untuk menjaga diri.
Perwira muda itu menjadi gusar.
"Hai, binatang! Kiranya kau berkomplot dengan si penghianat!"
demikian dampratnya.
In Loei menjadi mendongkol.
"Kenapa kau balas kebaikan dengan kejahatan?" ia tegur.
"Sebab tangan jahat dari si penghianat adalah justeru kau yang
mengerti ilmu membebaskannya!" bentak pula si anak muda.
"Jikalau kau dan dia bukannya asal satu guru, kamu tentulah
bersahabat kekal satu pada lain, karenanya kau diajari ilmu
membebaskan totokan itu! Apakah kau masih hendak berlaku licik
dan menyangkalnya?"
In Loei menjadi gusar, hingga ia maju menyerang, beruntun tiga
kali.
"Kau kurang ajar!" ia membentak. "Jikalau aku kandung maksud
jahat, mustahil aku membebaskan kau?"
"Kalau bukan sahahat, ada hubungan apa di antara kau dan dia?"
membandel perwira muda itu. "Lekas kau bicara!"
In Loei tetap murka. "Kau siapa? Pernah apa aku terhadapmu
hingga aku mesti turut kata-katamu?" ia bentak pula.
Anak muda itu tetap gusar, malah ia balas membacok, dua kali.
"Kau tahu siapa yang telah membokong aku?" katanya sengit.
"Dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe si perdana menteri muda
dari negara Watzu! Aku lihat kau seorang gagah perkasa, maka itu,
setelah kau ketahui siapa dia itu, kau mesti bantu aku menuntut
balas!"
Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata: "Sejak siang-siang
telah aku ketahui puteranya Thio Tjong Tjioe itu. Untuk apa aku
tunggu sampai kau memberitahukannya?.....” Akan tetapi ia
merasa aneh, ingin ia mendapat tahu.
"Ada permusuhan apa di antara kau dan dia?" ia tanya.
"Panjang untuk menuturkan soal itu," jawab si anak muda. "Aku
dan dia bukan cuma bermusuh, aku malah hendak basmi semua
anggauta keluarganya, tak peduli tua dan muda! Dia adalah
puteranya Thio Tjong Tjioe si penghianat benar! Dia menyelusup
masuk ke Tionggoan, pastilah dia kandung maksud tidak baik!
Karena itu, sebab kau ada satu orang gagah perkasa, kau juga
mesti bermusuh dengannya!"
Diam-diam In Loei bergidik. Dari omongan orang ia dapat
membayangkan bunyi surat wasiat kulit kambing yang berbau bacin.
Dan, mengawasi si anak muda, rasanya ia makin kenal, makin
kenal.....
Dan di akhirnya, ia rasakan hatinya dingin, tubuhnya menggigil,
giginya bercatrukan.
"He, kau kenapa?" tanya si perwira, heran. Ia mengawasi dengan
tajam.
In Loei kuatkan hatinya untuk mencoba berlaku tenang.
"Tidak apa-apa," sahutnya perlahan.
"Syukur!" si anak muda kata. Lalu ia menambahkan: "Kita
bertempur, sekarang baiklah kita berdamai. Kau beritahukanlah
asal-usulmu, nanti aku beritahukan riwayatku kepadamu.....”
"Tentang dirimu, tak usah kau tuturkan padaku," In Loei kata.
"Aku tahu, kau datang dari Mongolia.....”
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanya si anak muda.
"Kemarin kau serang si pangeran asing, kau menyamar sebagai
pengembala bangsa Mongolia," sahut In Loei. "Dalam segala-
galanya, kau mirip sekali."
"Oh begitu?" si anak muda tertawa tawar. "Leluhurku, selama
dua turunan memang sebagai pengembala dari Mongolia.....”
Tiba saja In Loei rubuh sendirinya, ia bagaikan pingsan.
Kakeknya In Loei hidup mengembala kuda dua puluh tahun di
Mongolia, dan ayahnya, untuk menolongi kakek itu, tinggal di
Mongolia juga dengan sembunyikan she dan namanya, selama itu
hidupnya sebagai pengembala kambing. Memang, mereka itu adalah
pengembala-pengembala di Mongolia, namun mereka adalah
pengembala-pengembala yang terpaksa.....
Sejenak In Loei merasa bagaikan kontak seluruh tubuhnya,
hingga ia menggetar, menjadi seperti beku, habis tenaganya.
"Dia inilah kakakku," demikian pikirnya sesaat itu, begitu lekas ia
dengar jawaban si anak muda itu. "Tidak salah lagi, pasti dia
kakakku! Ah, apakah benar dia kakakku?.....”
In Loei datang ke kota raja untuk dengar-dengar perihal
kakaknya. Sekarang, setelah bertemu, tiba-tiba saja ia dapat
perasaan, ia mengharap, pemuda itu bukan kakaknya itu..... Ia
terbenam dalam keragu-raguan. Di waktu menyebut Thio Tjong
Tjioe ayah dan anak, nyata sekali kebencian pemuda itu terhadap
ayah dan anak itu. Bagaimana kalau pemuda ini benar kakaknya?
Bagaimana anggapan kakak ini apabila dia ketahui pergaulannya
dengan Thio Tan Hong? Apa akan terjadi kelak? Apakah memang In
Loei tidak berniat mencari balas? Bukan! Tak lenyap dari pandangan
matanya itu surat wasiat kulit kambing yang berdarah dan berbau
bacin. Tapi, ia benci Thio Tan Hong berbareng menyintainya
juga..... akan tetapi ia tak menginginkan lain orang membenci Tan
Hong itu.....
Inilah pertentangan hebat dalam hatinya itu. Inilah yang
membuatnya ia, tanpa merasa, rubuh sendirinya.
"Kau siapa?" tanya anak muda itu, keras.
Masih kalut pikirannya nona ini.
"Untuk sementara baiklah aku tidak segera perkenalkan diriku?"
ia bersangsi. "Jikalau dia bukan kakakku, tidakkah aku jadi buka
rahasiaku sendiri? Bukankah dia seorang perwira.....”
In Loei sambar sebatang rumput, lantas ia lompat bangun.
"Aku datang mencari Tjioe San Bin!" akhirnya ia jawab.
Agaknya pemuda itu heran.
"Aku tahu kau datang untuk menolongi Tjioe San Bin," ia bilang.
"Pada waktu pertama kali kau datang, kau mendekam di atas
gentengnya Thio Thaydjin. Ketika itu sekira jam tiga. Aku telah lihat
kau, tetapi aku membiarkannya, tak ingin aku pergoki kau. Yang
aku tanyakan bukannya urusan itu....."
"Jikalau kau tanya lainnya hal, tak sudi aku bicara," In Loei
bilang. "Apakah kau tidak ketahui, urusan ada yang penting dan
tidak penting? Kau lihat, cara bagaimana kau sudah mengacau!
Bagaimana kau masih hendak menanyakan sesuatu kepadaku? Aku
justeru hendak tanya kau, di mana Tjioe Toako itu? Kecuali kau,
siapa pernah datang kesini? Apa yang kau bicarakan dengan Thio
Hong Hoe, telah aku dengar semua, dari itu aku ketahui, kau juga
datang untuk menolongi Toako San Bin itu."
Nampaknya pemuda ini bagaikan ingat sesuatu, ia seperti sadar.
"Kau benar," ia akui kemudian. "Sekarang mari kita masuk ke
dalam untuk melihat-lihat. Mengapa Thio Thaydjin tidak muncul?"
Tiba-tiba ia berhenti, akan kemudian menambahkan: "Sebenarnya
apa yang kita bicarakan ini bukannya urusan tidak berarti..... Kau
mirip dengan itu orang yang aku sedang cari. Sayang kau adalah
seorang pria.....
Ah, panjang untuk menutur, tak dapat itu dijelaskan dalam
tempo satu hari satu malam. Baiklah lain waktu saja kita
membicarakannya pula.....”
In Loei telah menindakkan kakinya, ia jalan di sebelah depan. Ia
tak ingin pemuda itu melihat air mukanya.
"Apakah kau masih belum ketahui di dalam telah terjadi
kekacauan?" ia tanya, tawar. "Semua serdadumu telah orang
buatnya hingga bagaikan mayat-mayat hidup! Thio Thaydjin-mu
juga tak nampak.....”
Terkejut anak muda itu, hingga ia berseru, lantas ia lari
mendahului, hingga ia tampak kejadian di dalam, yang
membuatnya ia bergidik. Benar katanya anak muda ini yang ia
tidak kenal..... Dan ketika ia masuk ke dalam kamar Thio Hong Hoe,
di situ ia dapatkan lukisan tengkorak, kera dan pedang.
"Benar-benar mereka yang datang!" katanya seorang diri.
"Mereka? Mereka siapakah?" In Loei menegasi.
"Itulah Hek Pek Moko bersama kedua paman guru dari Kong
Tjongkoan dari keraton," sahut si anak muda.
"Oh, kiranya Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam
Hian Leng Tjoe adalah paman guru dari Tjongkoan1." In Loei bilang.
"Aku harus beri selamat kepadamu yang telah dapatkan lagi dua
orang kosen yang liehay!.....”
Tidak senang si anak muda mendengar perkataan itu.
"Kau tidak tahu keadaan di sebelah dalamnya" ia bilang. "Apabila
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam ketahui kita yang merdekakan
Tjioe San Bin, sudah pasti jiwanya Thio Thaydjin tidak akan
dapat dilindungi.....”
In Loei heran.
"Apakah benar-benar Tjioe San Bin telah dimerdekakan?"
tanyanya, menegaskan.
"Semula memang aku menyangka Thio Thaydjin tidak niat
melepaskannya," jawab si anak muda. "Tak disangkanya, dia telah
atur segala apa. Dia telah suruh membawa San Bin keluar
dengan diam-diam....."
"Tapi sekarang San Bin dan Hoan Tiong tak tahu ada di mana
dan entah bagaimana keselamatan mereka," In Loei
mengutarakannya. Ia unjuk apa yang ia telah alami.
Perwira muda itu menghela napas.
"Siapa juga tak dapat menyangka kejadian tak diduga-duga
ini.....” bilangnya.
Hendak In Loei menanya jelas, atau si anak muda telah
menambahkannya:
"Hoan Tiong dan Tjioe San Bin keluar secara diam-diam dari
pintu belakang," demikian katanya. "Selama mereka berlalu, akulah
yang memasang mata untuk berjaga-jaga. Tiba-tiba sang angin
berkesiur masuk dengan membawa suatu bau harum. Aku segera
menahan napas tetapi bau wangi itu sudah masuk juga sedikit ke
dalam hidungku, telah kena aku sedot. Hebat bau harum itu,
meskipun aku menyedotnya sedikit, segera aku merasakan tubuhku
menjadi lemas. Di saat itu aku tampak satu tubuh melayang turun
dari atas tembok. Aku kenali dialah si penghianat Thio Tan Hong
yang selama di Mongolia aku telah mengenalinya. Begitu dia turun
tangan, dia totok aku dengan ilmu totoknya yang liehay. Aku
menahan napas, untuk melawan, percuma saja, aku tak sanggup
bertahan, aku malah tak dapat berteriak. Dengan paksa aku lawan
padanya, tapi baharu enam jurus, segera aku terpengaruh bau
harum itu. Begitulah aku kena ditotok olehnya.....”
"Kiranya demikian duduknya hal, pantas dia dapat lekas
dirubuhkan Tan Hong," In Loei pikir. "Anehnya, apa perlunya Tan
Hong berlaku demikian rupa terhadap dia? Apakah maksudnya?.....”
"Setelah aku kena ditotok," si anak muda melanjutkan, "aku
lantas tidak ketahui apa juga yang terjadi di dalam hotel ini. Aku
juga tidak tahu berapa lama sudah berselang, tiba-tiba dari luar
datang masuk dua orang, datangnya pesat bagaikan terbang. Yang
satu adalah seorang tua dengan "pinggang biruang dan bermuka
kera" yang lainnya satu imam yang menyoreng pedang panjang di
pinggangnya. Mereka ini mencoba menotok aku, untuk bebaskan
aku dari totokannya Thio Tan Hong, mereka tidak berhasil. Mereka
jadi mendongkol, mereka tinggalkan aku masuk ke dalam sambil
mereka mengutuk. Sebenarnya kecewa mereka menjadi ketua-ketua
dari Thiamtjhong Pay, tak mampu mereka membebaskan
totokannya lain kaum, seharusnya mereka mengutuk diri sendiri.....
Tidak lama semasuknya mereka, keduanya segera keluar pula,
dengan sengit sekali mereka itu mencaci Hek Pek Moko, lalu
bagaikan terbang mereka melesat ke atas tembok dan pergi. Ah,
kalau saja mereka ketemu dua iblis itu, pasti akan terjadi satu
pertempuran dahsyat.....”
"Sekarang mari kita pergi ke Tjengliong Kiap untuk lihat mereka,"
In Loei mengajak.
"Baik!" jawab si perwira muda seraya ia terus bertindak keluar.
Ketika ia telah saksikan keadaan semua kuda-kuda itu, ia tertawa
sendirinya, ia menjadi mendelu.
"Lihat dua iblis itu!" katanya, sengit. "Mereka juga turunkan
tangan jahat mereka sebagai pencuri-pencuri kuda yang liehay!
Syukur aku telah tinggal buat banyak tahun di Mongolia, tahu aku
caranya menyembuhkan kuda-kuda yang diperlakukan demikian.....”
Sambil mengucap, anak muda ini hampirkan dua ekor kuda, yang
ia uruti bergantian, ditepuk-tepuk pulang pergi, hingga darahnya
kedua binatang itu berjalan pula seperti biasa, hingga di lain saat,
kedua kuda itu dapat pulih kebebasan mereka. Maka berdua mereka
naiki kuda itu, untuk kabur keluar kota.
Waktu itu sudah jam empat, sang fajar tengah mendatangi.
Kedua kuda dilarikan keras, tidak lama kemudian, mereka sudah
dapat memandang selat Tjengliong Kiap. Begitu tiba di sebuah
tikungan, dari kiri mereka dengar suara bentroknya alat senjata,
sedang di sebelah kanan, mereka tampak satu penunggang kuda
asik kabur.
"Mari kita melihat berpisahan," si anak muda usulkan. "Aku ke
kiri, kau ke kanan."
In Loei menurut tanpa banyak bicara, ia lari ke kanan. Tidak
lama, ia sudah mulai candak penunggang kuda yang satu itu. Ia
lantas perdengarkan suitan yang nyaring. Penunggang kuda itu
hentikan kudanya dengan tiba-tiba, dengan cepat dia membalik diri.
In Loei segera kenali penunggang kuda itu ialah komandan dari
Gielim koen atau ahli silat nomor satu dari kota raja yaitu Thio Hong
Hoe!
Segera In Loei menggape, kudanya dikasi dari terus untuk
menghampirkan. Karena Hong Hoe terus tahan kudanya, sebentar
saja mereka sudah datang dekat satu pada lain.
"Mana sahabatmu?" Hong Hoe mendahului menanya.
Si nona terkejut.
"Apakah kau telah ketemu dengan dia?" tanyanya, heran. "Aku
baharu saja pergi dari tempatmu di sana.....”
Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir keras.
"Kalau begitu, kejadian sungguh aneh!" ia bilang kemudian.
"Kenapa dia pancing aku keluar? Kenapa kita mesti main petak di
tegalan ini, main putar-putaran?"
Heran In Loei.
"Apa?" ia tanya. "Diakah yang pancing kau datang kemari?
Bagaimana dengan Hek Pek Moko?"
"Apakah kau maksudkan itu dua mahluk aneh yang kemarin kita
ketemukan di dalam lembah?" Hong Hoe menegaskan. "Aku tidak
bertemu dengan mereka. Sehabis aku antar kau, aku duduk diam di
dalam kamarku, selagi aku pikirkan daya untuk menghadapi segala
kemungkinan dari akibatnya tindakanku ini, aku dengar tiga kali
ketokan perlahan pada jendela kamarku. "Saudara, kau sudah
datang!" demikian aku dengar. Terang dia sangat enteng tubuhnya,
karena kedatangannya itu tak aku ketahui sama sekali. Aku lantas
lompat keluar. Dia telah lantas berada di atas genteng dari mana dia
gapekan aku. Diapun bersenyum berseri-seri....."
Ingin In Loei tanya, siapa orang itu, atau Hong Hoe potong
padanya: "Apa? Kau masih hendak menanyakannya? Pasti sekali dia
sahabatmu yang menunggang kuda putih itu! Apakah namanya dia?
Ya, Thio Tan Hong! Sungguh aneh gerak-geriknya itu, tak dapat aku
menerkanya. Sebenarnya aku sangat ingin berkenalan dengannya,
dari itu, aku segera hampirkan dia. Dalam sekelebatan saja, dia
telah melintasi dua wuwungan rumah. Tak dapat aku lukiskan
kegesitannya, aku hanya bisa memuji dia. Aku menduga-duga,
mungkin dia panggil aku keluar sebab tidak leluasa untuknya akan
bicara di dalam kamar. Aku susul dia sampai melewati dua jalan
besar, di pojok jalanan aku lihat dua ekor kuda.
"Naik kuda!" dia itu kata padaku. Lantas dia mendahului lompat
naik atas kudanya yang putih itu. Aku lompat atas kuda yang kedua.
Sama-sama kita kabur keluar kota. Semula aku menyangka dia akan
hentikan kudanya untuk bicara dengan aku, tetapi dia kabur terus.
Aku teriaki dia berulang-ulang, dia seperti tidak mendengarnya. Aku
coba menyusulnya, tapi tak berhasil aku menyandaknya. Ketika aku
tidak menyusul terlebih jauh, dia justeru perlahankan larinya
kudanya, hingga dia membikin aku sangat heran. Demikian di
tempat ini, dia pancing aku berlari-lari tidak keruan juntrungan.
Sungguh aku tidak mengerti.....”
"Sekarang?" In Loei tanya. Ia pun heran.
"Sekarang ini dia telah melintasi tepi bukit sana," sahut Hong Hoe
sambil menunjuk ke arah depan. "Karena aku dengar panggilan kau,
aku tidak susul dia lebih jauh. Ya, kau sendiri, dari mana kau
datang? Apakah ada orang yang ketahui perbuatan kita?"
In Loei tertawa.
"Orang yang mengetahuinya?" katanya. "Sebaliknya daripada
sadar, semua orangmu telah dibikin mampus oleh Hek Pek Moko!"
Hong Hoe berjingkrak.
"Apakah benar Hek Pek Moko ada punya nyali demikian besar?"
dia tanya.
In Loei bersenyum pula. Tapi ia bersungguh-sungguh.
"Bukan mampus benar-benar, tapi tak bedanya dengan
mampus," ia bilang.
Si nona tuturkan apa yang ia lihat di hotel.
Hong Hoe heran. Kenapa orang yang tak sadar tak dapat
disadarkan dengan semburan air?
Sungguh hebat bau harum itu! Tapi ia tidak berpikir lama, untuk
perbuatannya Hek Pek Moko! Di Barat ada semacam obat pingsan
itu, yang sangat liehay, biasanya disebut "asap mengembalikan
semangat waktu jam lima ayam berkokok." Rupa-rupanya Thio Tan
Hong bekerja sama Hek Pek Moko, yaitu Thio Tan Hong yang
pancing aku keluar, Hek Pek Moko yang melepaskan bau harum itu.
Aku tidak mengerti! Dengan Hek Pek Moko aku tidak bermusuhan,
dengan Thio Tan Hong pun aku hanya bentrok kecil sekali, mengapa
sekarang mereka berlelucon demikian hebat denganku?"
"Akupun sangat tidak mengerti," In Loei turut mengutarakan
perasaan hatinya.
Ia lantas jelaskan lebih jauh apa yang ia tampak di hotel.
Thio Hong Hoe terkejut mendengar Tiatpie Kimwan datang
bersama Hoasam Kiam.
"Apakah mereka bukan kawanmu?" In Loei tanya. "Kenapa kau
takut?"
Thio Hong Hoe menggeleng kepala, ia menyeringai.
"Jangan tanya dulu. Kau bicara terus," ia bilang. Nona In
lanjutkan keterangannya, ia menutur dengan jelas.
Mengetahui si anak muda juga rubuh di tangan "lawan", Hong
Hoe meringis.
"Aku tak mengerti kenapa perwira muda itu sangat benci dia?"
tanya In Loei. Dengan "dia" ia maksudkan Tan Hong, tetapi tidak
mau ia omong jelas, tentang puteranya Tjong Tjioe itu.
Hong Hoe berdiam, agaknya ia berpikir.
"Dilihat dari romannya, Thio Tan Hong itu mesti bukan seorang
busuk," kata ia kemudian. "Sebetulnya kenapa In Tongnia sangat
benci padanya, aku tidak tahu, mengenai ini, nanti aku tanyakan
keterangannya."
Baharu sekarang In Loei dengar si perwira muda dipanggil she
In. Karena mendengar ini, segera mukanya menjadi pucat,
tubuhnya limbung hampir rubuh. Inipun suatu keterangan
tambahan, yang menguatkan dugaannya mengenai perwira muda
itu.
Hong Hoe tidak mengerti kenapa orang jadi terhuyung, lekas-
lekas ia ulur tangannya, untuk menyambar.
"Kau kenapa?" ia tanya.
In Loei singkirkan dirinya.
"Tidak apa-apa," ia menjawab. "Apakah namanya perwira itu?"
"Ia she In, namanya Tjian Lie," Hong Hoe menerangkan.
"Kenapakah?"
Kembali wajahnya In Loei menjadi tambah pucat.
Sekarang ia peroleh kepastian.
Nama Tjian Lie itu pasti bukan nama benar, itulah nama bikinan,
pecahan dari huruf "Tiong"="berat" atau penghargaan atas diri
sendiri. Huruf "Tiong" ini, apabila dipecah, menjadi "tjian
lie"="seribu lie".
In Tiong itu adalah kakaknya In Loei akan tetapi dua saudara ini,
engko dan adik, telah terpisah sejak mereka masih kecil, namun In
Loei masih ingat kakaknya itu, malah ia mencarinya. Sekarang ia
merasa pasti atas kakak ini, hatinya goncang, saking girang dan
kuatir. Ia girang sebab akhirnya ia ketemu juga kakaknya itu. Yang
membikin ia kuatir adalah persahabatannya dengan Thio Tan Hong,
yang nampaknya dibenci sangat kakaknya itu. Soal ini bisa sangat
menyulitkan dia.....
"Apakah kau kenal In Tjian Lie?" Hong Hoe tanya.
"Dia mirip dengan sahabatku ketika kami masih sama kecil, " In
Loei jawab. "Eh, ya, kapankah dia kembali?"
"Kembali?" mengulangi Hong Hoe. "Ah, apakah kau juga ketahui
dia telah kembali dari Mongolia? Dia memasuki pasukan Gielim koen
belum ada satu bulan. Aku menjabat Tjiehoei dari Kimie wie
merangkap Tongnia dari Gielim koen, karenanya dengan sendirinya
aku menjadi pemimpinnya. Perkenalan kami berjalan belum lama
akan tetapi cita-cita kami sama, cocok satu pada lain. Turut saudara
In itu, leluhurnya selama dua turunan adalah orang-orang Han yang
tinggal di negeri Watzu di mana mereka sangat menderita
penghinaan dan kesengsaraan, karenanya dia buron ke Tionggoan,
niatnya untuk mencari kedudukan, umpama sebagai kepala perang,
menanti kelak tiba harinya memimpin suatu pasukan besar untuk
menyerbu dan memusnakan negeri Watzu itu. Demikian karenanya,
lebih dahulu ia ceburkan diri dalam pasukan Gielim koen. Sekarang
ia tengah bersiap-siap untuk turut dalam ujian umum militer tahun
ini, agar ia dapat lulus dan keluar sebagai
Boe tjonggoan. Kalau ia berhasil, pasti sekali ia akan dapat capai
cita-citanya itu."
Mendengar ini, In Loei menghelah napas.
"Dia bercita-cita mencari balas dengan jalan memangku pangkat,
aku kuatir dia tidak akan berhasil dengan pengharapannya itu," ia
bilang. "Thio Thaydjin, harap kau tidak berkecil hati jikalau aku
omong terus terang. Untuk melawan bangsa Ouw itu, pemerintah
Beng tak dapat dibuat harapan!"
Hong Hoe tidak mengerti maksud orang, dia bungkam.
"Mungkin sekali kata-katamu ini tak tepat," dia bilang kemudian.
"Di dalam pemerintahan kita ada menteri-menteri besar yang jujur
dan setia yang berangan-angan menentang bangsa Ouw itu,
umpamanya Kokioo Ie Kiam, dialah satu menteri setia yang pantas
dihormati."
In Loei tidak kenal keadaan pemerintah, tidak ingin ia berdebat.
Hong Hoe sementara itu heran juga yang In Loei sangat
perhatikan In Tjian Lie, tadinya hendak ia menanyakannya, ketika
tiba-tiba ia dengar ringkiknya kuda, menyusul mana ia tampak kuda
putih dari Thio Tan Hong telah lari balik, penunggangnya ada
bersama, ialah si mahasiswa.
"Hai, kau sedang bersandiwara apa?" tegur Hong Hoe.
"Sahabatmu ada di sini! Jangan kau main teka-teki pula!.....”
Kuda putih itu lari bagaikan terbang, sekejap saja dia telah tiba.
"Maaf!" kata penunggangnya kepada komandan Kimie wie itu,
lalu terus ia pandang In Loei, akan tanya: "Kau baik?"
In Loei pegangi pelana.
"Terima kasih untuk perhatianmu....." katanya, tawar.
Heran Hong Hoe akan saksikan kedua orang itu bersikap
bagaikan bukan sahabat-sahabat kekal, akan tetapi karena ia ingin
peroleh keterangan dari Tan Hong, tidak sempat ia untuk
menanyakan In Loei akan sikapnya itu.
"Saudara Thio," katanya pada mahasiswa itu, "kau dengan aku
dapat dikatakan bersahabat erat, kenapa kau sebaliknya telah ajak
Hek Pek Moko datang kepadaku untuk mengacau?"
Tan Hong melengak, ia tertawa nyaring.
"Inilah yang dikatakan, kesulitan orang, tuan tak mengetahuinya
dan sia-sia belaka di depan orang yang tersangkut sendiri untuk
bicara tentang hutang budi!" katanya. "Sekarang ingin aku tanya
kau, tahukah kau siapa yang telah datang menyelidiki kau?"
Wajah Hong Hoe menjadi pucat dengan tiba-tiba.
"Oh, kau juga ketahui halku itu?" tanyanya. "Memang Tiatpie
Kimwan Liong Tin Hong serta Hoasam Kiam Hian Leng Tjoe telah
datang kesini."
"Memang!" sahut Tan Hong. "Tahukah kau apa maksud
sebenarnya mereka datang kesini?"
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam adalah soesiok atau paman
guru dari Kong Tiauw Hay, tjongkoan atau kuasa besar dari keraton
kaisar dan Kong Tiauw Hay itu adalah murid kepala dari Leng Siauw
Tjoe ketua dari partai persilatan Thiamtjhong Pay, dia bertenaga
sangat besar, liehay ilmu silatnya bahagian luar, gwakang, tetapi
karena dia selalu berdiam di dalam keraton di mana dia in merawati
dan melindungi kaisar, dalam dunia kangouw namanya tak terkenal.
Dia tidak puas terhadap Thio Hong Hoe yang kesohor sebagai jago
silat nomor satu untuk kota raja, pernah tiga kali dia tantang Hong
Hoe adu silat, kesemuanya itu dia kena dirubuhkan, karenanya dia
menjadi jelus, di mulut dia mengatakan takluk terhadap Hong Hoe,
tapi di dalam hatinya dia berdendam, maka itu, dengan diam-diam
dia cari jalan untuk singkirkan tjiehoei dari Kimie wie dan Gielim
koen itu. Hong Hoe bukannya tidak tahu Tiauw Hay mendendam
terhadapnya, akan tetapi karena kedudukan tjongkoan itu ada
terlebih kuat daripada kedudukannya, ia hanya bisa berlaku hati-hati
saja untuk menjaga diri. Sekarang ia dengar keterangannya Tan
Hong itu, tidak heran ia jadi terkejut, hingga mukanya menjadi
pucat.
"Bukankah Kong Tiauw Hay yang secara diam-diam undang
kedua paman gurunya itu datang kemari untuk mencelakai aku?"
dia kata.
Thio Tan Hong tertawa.
"Untuk apa dia berlaku secara diam-diam?" katanya. "Sekarang
ini saja dia telah pegangi kakimu yang sakit.....”
Hong Hoe jadi semakin heran.
"Apa?" katanya. "Kau maksudkan apa?" Tan Hong bersenyum.
"Sebenarnya Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam keluar dari kota
raja bukan untuk urusanmu," ia bilang, "hanya kebetulan saja
mereka ketahui tentang halmu itu. Apakah kau ingin ketahui hal
ihwalnya?"
"Aku minta kau sudi menceriterakannya," Hong Hoe mohon.
"Hek Pek Moko telah menadah serupa barang curian yang
berharga besar," Tan Hong berikan keterangannya. "Itu adalah
pusakanya satu pangeran di kota raja, ialah sepasang singa-singaan
dari batu kumala. Cukup untuk menyebutkannya saja sepasang
matanya singa-singaan kumala itu. Sepasang mata singa-singaan itu
terbuat dari mutiara sejati, yang harganya ada seumpama harganya
sebuah kota. Pencurian itu sangat menghebohkan. Kong Tiauw Hay
insyaf dia bukanlah tandingannya dari Hep Pek Moko, karenanya dia
undang kedua paman gurunya itu, yang diminta bantuannya untuk
selidiki kedua Moko. Mereka menduga Hek Pek Moko menyingkir
pulang ke Barat, karenanya mereka menyusul. Kebetulan bagi
mereka, mereka lihat kau berada di sini, maka sekalian mereka
awasi kau juga. Lebih kebetulan lagi, kau justeru dapat menawan
puteranya Kimtoo Tjeetjoe, hal mana mereka dapat mengetahuinya.
Yang hebat adalah, selagi kau belum tahu jelas tentang siapa
adanya tawananmu itu, Kong Tiauw Hay sendiri sudah lebih dahulu
menerima laporan yang jelas. Harganya Tjioe San Bin itu ada di atas
harganya sepasang singa-singaan kumala itu, jikalau dia dapat
dibawa ke kota raja, itu artinya satu jasa sangat besar, maka itu
Kong Tjongkoan segera bertindak. Ia telah ke sampingkan dahulu
tentang barang curian itu. Begitulah disatu pihak dia kirim kabar
kilat, di lain pihak, dengan berbareng dia undang datang kedua
paman gurunya itu untuk menyusul kemari, untuk ambil alih orang
tawananmu itu. Kesudahannya, baharu saja kaki depan San Bin
menindak keluar dari pintu, atau kaki belakang dari mereka telah
tiba.....”
Thio Hong Hoe terkejut hingga ia berseru.
"Jikalau mereka dapat tahu aku sudah merdekakan Tjioe San Bin,
itu artinya bagiku hukuman mati seluruh keluargaku!" katanya.
Tan Hong kembali tertawa.
"Jangan kau takut!" katanya, tenang. "Aku telah gunai akal
memancing mereka ke lain jurusan. Tentang tindakanmu ini,
mereka tidak nanti ketahui untuk selama-lamanya!"
Hong Hoe bagaikan sadar.
"Jadinya kau sudah gunai Hek Pek Moko sebagai umpan untuk
pancing mereka itu menyingkir dari arahku?" katanya. "Kau bisa
pengaruhi kedua iblis itu, sungguh aku kagum! Tapi, apakah artinya
kau mengacau di rumah penginapan itu?"
"Sabar, sahabatku," sahut Tan Hong. "Walaupun benar mereka
tidak tahu kau telah merdekakan Tjioe San Bin, akan tetapi karena
kau telah loloskan seorang tawanan yang penting, dosamu
tetap bukannya kecil. Saudara Thio sahabatku, kau pernah baca
masak-masak kitab ilmu perang, kau tentunya ketahui kouw djiok
kee dari Oey Khay, itu akal mempersakiti diri sendiri.....”
Hong Hoe benar-benar sadar, segera ia rangkap kedua
tangannya, ia angkat, untuk memberi hormat kepada si mahasiswa
berkuda putih itu.
"Terima kasih untuk budimu yang besar ini, tak nanti aku
melupakannya." ia mengutarakan isi hatinya.
In Loei mendengari saja pembicaraan orang, ia tak mengerti.
"Hai, sebenarnya kamu tengah bersandiwara apa?" tanya dia, tak
sabaran.
"Mereka telah bongkar kerangkeng, mereka telah merdekakan
perantaian," jawah Hong Hoe. "Karena itu, tak dapat aku lolos dari
tanggung jawabku. Yang datang itu adalah musuh-musuh yang
liehay sekali, orang-orang kami telah dipengaruhinya, telah kami
keluarkan antero tenaga, masih kami tidak berdaya. Sama sekali
kami tidak berpura-pura kalah dan membiarkannya perantaian
kabur. Karena kami telah melakukan perlawanan, dosa kami bisa
menjadi entengan....."
"Tetapi itu belum semuanya," Tan Hong bilang. "Melihat nama
kamu, dengan nampak kekalahan saja, kamu sudah bersalah.
Andaikata musuh dapat mengalahkan orang yang terlebih liehay
daripada kamu, mungkin Kong Tjongkoan tak enak hatinya untuk
menghukum kau.....”
"Adakah ini sebabnya kata-katamu bahwa kau hendak mengasi
rasa kepada Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam?" Hong Hoe tanya.
"Sudah pastikah kau dapat mengalahkan orang-orang Thiamtjhong
Pay itu?"
Thio Tan Hong tertawa.
"Kau dengarlah dengan saksama!" ia kata.
Waktu itu juga dari kejauhan, dari tepi bukit, ada terdengar suara
riuh rendah dari pertempuran, agaknya orang tengah mendatangi
ke arah mereka.
"Masih ada seperjalanan tiga lie!" kata Tan Hong pula. "Thio
Thaydjin, hendak aku membingkiskan sesuatu yang tidak berharga
kepadamu.....”
Tangannya Tan Hong menyekal satu bungkusan merah yang
bundar, seperti bungkusannya sebuah semangka, bungkusan itu
diangsurkan kepada Hong Hoe yang segera menerimanya dan
dibukanya. Ia terkejut hingga wajahnya pucat apabila ia telah
saksikan isinya bungkusan itu, ialah sebuah kepala orang. Bahna
murkanya, dengan goloknya Hong Hoe segera tabas si mahasiswa
berkuda putih itu.
"Kenapakah kau bunuh adikku yang kedua?" teriaknya. "Adakah
ini yang kau namakan kouw djiok kee, tipu muslihat mempersakiti
diri itu?"
In Loei di samping mereka pun sudah lantas kenali kepala orang
itu, ialah kepalanya Khoan Tiong, Lweeteng Wiesoe yang menjadi
salah satu dari tiga jago silat nomor satu dari kota raja!
Serangannya Hong Hoe itu ada sangat tiba-tiba, hebat serangan
itu, atas itu Thio Tan Hong perdengarkan jeritan "Ayo!" dan
tubuhnya pun terhuyung!

-ooo0dw0ooo-

BAB XIII
Tapinya pemuda she Thio itu tidak menjadi kurban, dia pun
sangat gesit, dengan mendahului sambaran golok, tubuhnya
terhuyung ke arah tujuan serangan, berbareng dengan itu kaki dan
tangannya digerakkan bagaikan orang ketakutan sangat. Terang
sudah bahwa ia berpura-pura belaka, hingga Hong Hoe menjadi
bertambah-tambah murka.
"Sengaja kau permainkan aku, apakah maksudmu?" dia
membentak pula.
Tan Hong tertawa terbahak-bahak.
"Sudah bagus kau tidak menghaturkan terima kasih padaku,
kenapa kau sebaliknya menjadi demikian gusar" katanya. "Kau lihat,
apakah ini?"
Dan ia lemparkan sehelai kertas yang bersampul merah.
Surat itu adalah sepucuk surat dinas, karena hanya selembar,
enteng sekali sampul itu, akan tetapi ketika dilemparkan,
timpukannya sangat berat dan keras. Jarak di antara kedua orang
hanya setombak lebih, di waktu Hong Hoe menyambutinya,
walaupun ia salah satu jago nomor satu dari kota raja, ia pun
terperanjat. Lemparan itu bagaikan timpukan senjata rahasia.
Dengan sangat bernapsu Thio Hong Hoe beber surat dinas itu
untuk dibaca isinya, atas mana, kagetnya bukan kepalang.
Itu adalah sebuah surat rahasia Khoan Tiong
untuk Tjongkoan Kong Tiauw Hay, terang di situ Khoan Tiong
mencatat segala apa sejak dia ikut Hong Hoe keluar dari kota raja,
jelas dia menulis sesuatu sepak terjangnya Hong Hoe, sang sep
atau toako itu, sampai halnya Hong Hoe dikalahkan Tan Hong dan
In Loei dalam lima jurus, dalam mana Hong Hoe melarang orang
membantuinya, yang lebih hebat adalah catatan halnya San Bin
tertawan, bagaimana San Bin diiring, dicampur di antara orang-
orang tawanan lainnya.
Setelah Hong Hoe habis membaca, Tan Hong berkata: "Soalnya
sudah jelas, Khoan Tiong telah kenali San Bin akan tetapi dia tidak
memberitahukannya kepadamu. Waktu itu dia tidak keburu tulis
laporan rahasianya, sebaliknya, dia kirim orang kepercayaannya
untuk menyampaikan berita ke kota raja. Laporan orang itu tidak
lengkap, itulah tidak terlalu membahayakan, akan tetapi surat
rahasia ini, apabila ini sampai di tangan Kong Tjongkoan, celakalah
kau!"
Hong Hoe menjadi lesu sekali dia sampai lemparkan goloknya.
"Memang aku tahu saudaraku yang kedua ini sangat rakus dan
temaha akan pangkat besar, aku hanya tidak sangka bahwa dia ada
demikian hina dina.....!"
Bahwa dia ada sangat menyesal, itu terbukti dari air matanya
yang segera keluar bercucuran, sedangkan dia sangat percaya
saudara angkat yang kedua itu.
"Orang semacam dia, untuk apakah kau tangisi?" kata In Loei
apabila ia telah ketahui duduknya hal.
"Walau bagaimana, kami pernah menjadi saudara angkat," sahut
Hong Hoe lemah. "Sekarang tidak aku sesalkan kau bahwa kau telah
bunuh dia," ia tambahkan pada Tan Hong "Nah, kau pergilah!"
Suara riuh rendah terdengar semakin mendekati. Dengan sebat
Hong Hoe bungkus pula kepalanya Khoan Tiong, yang terus ia
gantung dipelananya. Selagi berbuat demikian, dia membalik
belakang terhadap Tan Hong dan In Loei.
Sekonyong-konyong Tan Hong hunus pedangnya yang terus
ditikamkan kepada komandan Kimie wie itu.
In Loei kaget bukan main
"Hai kau, bikin apa?" dia menegur.
Hong Hoe sementara itu telah perdengarkan jeritan keras, di
waktu In Loei lihat padanya, ia menjadi kaget. Hong Hoe berpaling
dengan mata dibuka lebar, romannya ketakutan.
Tapi In Loei menjadi lega juga hatinya apabila ia dapat
kenyataan orang cuma terluka sedikit bahu kirinya, luka itu tidak
berbahaya.
"Bagus!" teriak Hong Hoe, murka dan masih kaget.
Tapi Tan Hong, dengan suara perlahan, kata padanya:
"Lekas kau jumput golokmu, mari kau tempur aku!.....”
Kata-kata ini menyadarkan komandan itu, dia lompat kepada
goloknya, golok Bianto untuk dipungut, lalu dengan golok itu dia
terjang Thio Tan
Hong, siapa berikan perlawanan, maka mereka jadi bergumal
hebat.
Luka di bahu kiri Hong Hoe itu tidak sempat dibalut, luka itu
masih mengucurkan darah hidup.....
In Loei telah saksikan itu semua, akhirnya iapun insaf, maka
seorang diri ia tertawa geli.
"Thio Tan Hong ini benar-benar licin!" katanya di dalam hati.
"Tipu kouw djiok kee-nya membikin aku kaget sekali..... Kalau Hong
Hoe tidak "terlukakan" musuh, dan apabila dia tidak telah dibokong,
dosanya memang bukan kecil.....”
Tan Hong masih melakukan perlawanan karena Hong Hoe masih
terus serang ia secara hebat, walaupun demikian, sambil tertawa,
dengan perlahan, ia kata kepada lawannya itu: "Tadi kau bacok aku
tapi gagal, sekarang aku menikam kau, dapat aku melukai padamu,
maka sekarang baiklah kau menyerah kalah.....”
Hong Hoe mendongkol bukan main. Itulah godaan hebat
untuknya sekalipun ia tahu mereka sedang main sandiwara, karena
itu, permainan goloknya menjadi kalut. Tidak demikian dengan Tan
Hong, yang bersilat separuh main-main, separuh benar-benar,
hingga perlawanannya atau penyerangannya jadi berbahaya, hampir
saja muka si komandan kena tertikam pula. Sesudah ini baharu
Hong Hoe takluk benar-benar.....
Suara riuh yang mendatangi telah datang semakin dekat, di
tikungan sudah lantas tertampak terangnya api obor dan
serombongan orang telah memburu, dan di antara terangnya api itu
kelihatan yang terdepan adalah Hek Pek Moko, di belakang mereka
satu toodjin atau imam berserta seorang tua, ialah kedua paman-
paman guru dari Tjongkoan Kong Tiauw Hay.
Hek Moko dan Pek Moko berkelahi sambil lari, mereka
kelihatannya kalah, mereka terdesak sangat, akan tetapi sekalipun
demikian, permainan silat mereka tidak menjadi kalut.
Begitu sudah datang lebih dekat, Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe
telah dapat lihat Thio Hong Hoe repot melayani satu anak muda
dengan pakaian serba putih, ia jadi lebih kaget karena tampak
komandan Kimie wie itu sudah terluka, lengannya mandi darah.
"Ah, siapakah anak muda itu?" pikirnya. "Dia masih muda sekali
tetapi sangat gagah, hingga Thio Hong Hoe dapat dia buatnya
menjadi kacau balau? Mungkinkah Kong Tiauw Hay telah omong
dilebih-lebihkan tentang kegagahannya Thio Hong Hoe ini?....."
Walaupun dia berpikir demikian, Samhoa Kiam toh tinggalkan Pek
Moko yang "terdesak" itu untuk memburu kepada si orang she Thio,
malah sambil berseru dia berkata: "Thio Thaydjin, kau mundurlah,
nanti aku yang hajar padanya!"
Tidak kecewa Wan Leng Tjoe menjadi salah seorang kenamaan
dari Thiamtjhong Pay, permainan silatnya hebat sekali, begitu ia
dekati Thio Tan Hong, sinar pedangnya segera berkilau-kilau, ujung
pedangnya lantas menusuk ke kiri dan kanan dengan cahayanya
bergemerlapan. Rupanya itulah yang membuatnya ia peroleh
gelarannya, Samhoa Kiam — Pedang Berbunga Tiga.
Begitu lekas ia dikepung Hian Leng Tjoe, begitu lekas juga Thio
Tan Hong menjerit-jerit: "Celaka, celaka!"
"Kau tahu celaka, itulah bagus!" teriak Hian Leng Tjoe dengan
hinaannya. Dia tertawa dingin. Dan diapun perhebat serangannya.
Thio Tan Hong bagaikan terputar-putar, tubuhnya lincah
mendahului tikaman, walaupun ia terdesak tetapi ia tidak dapat
dilukai. Kejadian ini terulang sekian lama, hingga akhirnya Hian
Leng Tjoe menjadi heran.
"Hebat keentengan tubuhnya orang ini....." demikian dia
berpikir. Karena ini, ia jadi tidak berani lagi memandang enteng
seperti bermula tadi. Sebaliknya, ia gerakkan pedangnya lebih
gencar, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, karenanya, ia
membuat enam gerakan saling susul, sinar pedangnya berkilauan.
Di antara serbuan itu, tiba-tiba terdengar Thio Tan Hong tertawa
terbahak-bahak, menyusul mana, pedangnya juga bercahaya putih
mulus, memain di antara sinar pedang lawan yang liehay itu, tak
kalah gesitnya.
Baharu saja Hian Leng Tjoe terkejut, karena ia dapat lihat tegas
permainan pedang lawan, atau ia telah terlambat, cuma terdengar
saja jeritannya.
"Bagus!" teriak In Loei, yang masih saja menonton.....
Hian Leng Tjoe tidak berani tangkis bacokan Tan
Hong, tahu bahwa satu bentrokan antara kedua pedang,
pedangnya sendiri akan terpapas kutung, karenanya, ia unjuk
kesebetannya, dengan satu gerakan, ia tempel pedang lawan. Inilah
yang menyebabkan pujian dari si Nona In itu.
Tan Hong juga terperanjat dapatkan lawan sanggup elakkan
bahaya dan sebaliknya dapat menempel pedangnya itu, oleh karena
ini insaflah ia bahwa lawan ini berkepandaian terlebih tinggi
daripada Thio Hong Hoe. Karena ini, tidak sudi ia berlaku
sembarangan.
Bertempur terlebih jauh, Tan Hong unjuk kelonggaran, artinya, ia
mengalah terhadap desakan Sam Hoa Kiam, menggunai saatnya,
sekonyong-konyong ia membungkuk sedikit, ujung pedangnya
menyambar ke arah pinggang lawan.
Hian Leng Tjoe tengah membabat kepala musuhnya ketika ia
diserang di bahagian bawah itu, tapi masih ia dapat ketika untuk
berkelit dengan mundur satu tindak, namun masih ia kurang sebat
sedikit, walau pinggangnya terhindar sambaran pedang, ujung
bajunya kena terpapas kutung!
Bahaya pun sebenarnya mengancam Tan Hong, tapi karena ia
keburu membungkuk, ia lolos dari bencana, lalu sebaliknya, ia
ancam lawannya itu.
Hian Leng Tjoe kaget berbareng gusar. Beberara kali ia gagal, ia
menjadi mendongkol sekali. Maka itu ia menyerang pula, ia jadi
semakin sengit dan penasaran sekali. Dalam menghadapi lawan
biasa, cahaya pedangnya dapat membuat mata lawan silau dan
kabur.
"Dalam seratus jurus, masih aku bisa lawan seri padanya," Tan
Hong berpikir, "selewatnya itu, rahasiaku bisa bocor
dihadapannya..... Karena ini segera ia berseru nyaring: "Kita lawan
satu sama satu sampai kapan kita bisa selesaikan pertempuran ini?
Kau masih ada punya kawan, suruhlah dia maju berbareng untuk
kepung aku! — Eh, Hek Pek Moko, kamu biarkan tua bangka itu,
kamu tinggalkan dia pergi!"
Soeheng, atau kakak seperguruannya Samhoa Kiam Hian Leng
Tjoe, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tin Hong tengah dikepung Hek Pek
Moko, satu melawan dua, dia telah jadi sangat repot, napasnya
sampai sengal-sengal, tubuhnya pun bermandikan keringat dingin,
maka bagaimana lega hatinya ketika dia lolos dari kepungan hebat.
Hek Moko dan Pek Moko tertawa dengan berbareng.
"Orang tua, kau berumur panjang!" kata dua hantu ini dengan
riang gembira. "Kau dengarlah, di sana sahabatku yang muda telah
pertanggungkan jiwamu supaya jiwamu ini tak mampus di tangan
kami! Nah, kau pergilah, kami ijinkan padamu!"
Liong Tin Hong mendongkol bukan main, walaupun dia sudah
lelah, masih hendak dia maju menyerang. Akan tetapi dia didahului
Hek Moko, yang rabu dia dengan layangkan tongkatnya, hingga
mau atau tidak, mesti dia mundur dua tindak! Tetapi dia tak dapat
lolos dengan selamat!
Hek Pe Moko biasa bertempur berdua dengan teratur, sempurna
kerja sama mereka, demikian juga kali ini. Ketika Hek Moko
layangkan tongkatnya, Pek Moko tidak berdiam diri, bagaikan sudah
dijanji, dia membarengi merangsak, percuma Tiatpie Kimwan si Kera
Emas Berlengan Besi, selagi dia dapat berkelit ke kiri, tongkat
Pekgiok thung dari si Hantu Putih sudah mampir dibebokongnya!
"Hai, kera tak tahu diri, aku ajar adat padamu!" tertawa si iblis
putih itu. Hajaran itu tidak parah, tapi setelah itu, keduanya lantas
saja memutar tubuh, untuk berlalu sambil tertawa panjang.....
Tidak terhingga mendongkolnya Tiatpie Kimwan, hampir dia
rubuh pingsan, masih bagus, melainkan tubuhnya sedikit terhuyung.
Dia punyakan Iweekang yang terlatih baik, tidak urung dia
merasakan sakit bekas hajaran tongkat lawan itu, terpaksa dia
empos semangatnya, untuk bertahan diri.
Thio Tan Hong lihat orang terhajar, sambil berkelahi, masih
sempat ia memasang mata. Maka juga ia tertawa besar.
"Hai, kera bangkotan, apakah tulang punggungmu terhajar
patah?" demikian godaannya.
Tiatpie Kimwan adalah seorang kenamaan sejak puluhan tahun,
belum pernah dia terhina, sekarang dia dapat hinaan ini, sudah
tentu dia tidak mau mengerti. Maka juga dia berseru nyaring sekali.
"Bangsat kecil, kau sangat menghina?" teriaknya lalu dia
berlompat maju menghampirkan kawannya, untuk hajar anak muda
itu. Dan begitu dia sudah datang dekat, begitu juga dia menyerang,
dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu tongkat panjang berkepala
naga, sedang ujungnya lancip mirip telapak tangan yang
berjari lima, yang semuanya tajam bagaikan gaetan, sedang batang
tongkat penuh dengan cagak tajam seperti duri. Maka, kecuali
kepala naganya serta tempat pegangannya, bahagian-bahagian
lainnya tak kena tercekal atau terlanggar tangan kosong. Karena ini
juga, selagi digunakan, tongkat itu mirip dengan tangan-tangan
kera yang berbulu.
Melayani satu Samhoa Kiam, Tan Hong sudah kewalahan,
sekarang ditambah lagi satu musuh yang tidak kurang tanggunya,
segera dia menjadi repot. Tetapi dia tidak jeri, karena musuh ini
sengaja dia undang, hanya pada mulanya, hampir saja batok
kepalanya hancur luluh terkena kemplangan tongkat istimewa dari si
Kera Emas Bertangan Besi itu. Dalam kagetnya, dia lantas berkelit,
terus dia bersilat dengan jurus "Hoenhoa hoetlioe" — "Memecah
bunga mengebut yanglioe," untuk perlihatkan kegesitannya. Dia
melawan kedua musuh seperti tidak keruan juntrungannya tak tentu
arahnya.
Tiatpie Kimwan, yang sedang mendongkol jadi semakin
mendongkol, ia bersuit dengan pelahan ketika ia mulai pula dengan
serangannya. Dengan saling susul ia mendesak tiga kali dengan
gegamannya yang luar biasa itu.
"Tidak kecewa Tiatpie Kimwan peroleh nama besarnya." pikir Tan
Hong, yang harus memuji lawannya itu. "Dia telah berkutat dengan
Hek Pek Moko dan telah rasai juga senjata si iblis, sekarang dia
masih begini tanggu.....”
Pedang Samhoa Kiam dari Hian Leng Tjoe juga telah diperhebat,
ujung pedang itu selalu mencari tempat-tempat yang berbahaya,
hingga Tan Hong jadi repot. Tapi si mahasiswa ini tidak takut,
bahkan sebaliknya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!" serunya. "Dua tua bangka maju berbareng,
mereka boleh di kirim pulang sekalian saja! Eh, adik kecil, mari
maju!"
In Loei tahu bahwa ia dipanggil, akan tetapi ia masih diam
menonton.
Tiba-tiba Thio Tan Hong limbung hampir saja ujung pedang Hian
Leng Tjoe mengenai tubuhnya, sesudah mana dalam keadaan
berbahaya itu, iapun hampir saja tertotok toya-nya Tiatpie Kimwan,
syukur ia masih bisa berkelit, hingga tenggorokannya jadi bebas dari
totokan itu.
Hebat pemandangan itu.
Hong Hoe juga menonton, ia mundur kepinggiran.
In Loei tetap masih bersangsi, agaknya ia hendak membuka
mulut akan tetapi saban-saban urung. Tapi sekarang, mendadak
pedangnya yang bersinar hijau telah berkelebat, tubuhnya sudah
lompat maju.
"Bagus!" seru Tan Hong kegirangan, sesudah mana, pedangnya
yang bercahaya putih mengkilap turut bersinar pula. Maka sejenak
kemudian, kedua sinar hijau dan putih itu bergabung menjadi satu,
bergeraknya cepat, pengaruhnya tersebar.
Segera juga Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam merasai
pengaruhnya kedua pedang lawan itu, hingga tidak lama mereka
dapat desak Tan Hong, malah sebentar kemudian mereka mesti
terpaksa main mundur. Percuma Hian Leng Tjoe mencoba mengintai
lowongan, baginya kedua pedang hijau dan putih itu ada terlalu
kerap, tiada tempat lowong yang dapat ditoblos. Celakanya, asal ia
mencoba maju, kontan pedangnya kena terjepit. Demikian satu kali,
ketika ia terlambat, pedangnya kena tertabas pedang lawan hingga
kutung menjadi empat potong, hampir saja jari tangannya turut
terbabat juga!
Tiatpie Kimwan terkejut menyaksikan bahaya yang mengancam
kawannya itu, karena itu ia juga lengah, maka begitu terdengar
suara senjata-senjata beradu, ujung tongkatnya kena ditabas
kutung kedua pedang lawannya itu.
Syukur bagi Liong Tin Hong, walaupun ia terhuyung ke depan, ia
tidak disusuli tikaman oleh Thio Tan Hong, pemuda ini melainkan
mentertawai ia sambil mengejek: "Sungguh seekor kunyuk
bangkotan yang tidak tahu diri!"
Akan tetapi, sebaliknya daripada menikam atau menahas, Tan
Hong ulur sebelah kakinya, dupakannya itu tepat mengenai lutut
orang, karena mana tidak ampun lagi, tubuh si Kera Emas
Berlengan Besi lantas terpelanting jatuh jauhnya lima enam tindak!
Dengan mengeluarkan suara "Bruk!" ia jatuh terlentang, tubuh di
bawah, kaki di atas! Dan apes untuk dirinya, sudah bebas dari
senjata musuh, ia tidak lolos dari senjatanya sendiri, karena
tergulingnya itu, pahanya membentur tongkatnya hingga ia tertusuk
duri cagak beberapa lobang!
Keduanya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan telah tersohor kosen
untuk banyak waktu, sekarang mereka dipecundangi dalam tempo
belum ada sepuluh jurus, malah mereka rubuh di tangan dua anak
muda yang mereka anggap tidak ternama, bukan main mendongkol
dan malunya, karena ini, tidak tunggu sampai Tan Hong dan In Loei
terjang mereka lebih jauh, mereka segera ambil langkah panjang!
Thio Tan Hong tertawa hingga terlenggak.
"Adik kecil, lekas kejar!" dia serukan kawannya, tangannya pun
dikibaskan. "Kau bekuklah kedua kunyuk tua itu!.....”
Bukan kepalang takutnya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan,
mereka lari ngacir tanpa berani menoleh pula. Sebenarnya Thio Tan
Hong hanya menggertak mereka belaka, kalau mereka dikejar betul-
betul, dengan gampang mereka dapat dicandak, karena mereka
sedang terluka.
Hong Hoe tunggu sampai orang sudah kabur jauh, lalu ia tertawa
terpingkal-pingkal, begitu juga In Loei yang saksikan pemandangan
yang lucu itu.
"Aku harus haturkan terima kasih kepadamu," kata komandan
Kimie wie itu kemudian pada si pemuda she Thio. "Telah aku rasai
pedangmu tapi itu ada harganya. Kalau nanti kau datang ke kota
raja, aku undang kau untuk berkunjung ke gubukku." Dan ia
sebutkan alamatnya. Lalu ia menambahkan: "Saudara Thio! Saudara
In! Sungguh hebat ilmu pedangmu yang tergabung itu, di kolong
langit ini tidak ada tandingannya. Pedang kamu dapat berkumpul
tak dapat berpisah, maka di antara kamu, kedua sahabat, apabila
ada sesuatu pertentangan, haruslah dilenyapkan!"
Hong Hoe mengucap demikian tanpa ia ketahui di antara kedua
anak muda itu justeru ada "urusan hebat" yang mengganjali ia
cuma menyangka hanya bentrok kecil saja..... Iapun mengucap
kata-katanya yang belakangan ini hanya sambil mengawasi In Loei
seorang.
Merah mukanya In Loei, ia tunduk, ia bungkam.
"Aneh In Siangkong ini," pikir Hong Hoe menampak orang likat.
"Dia gagah, kenapa dia jengah tidak keruan? Dia mirip dengan satu
nona remaja....."
Sebenarnya komandan ini berniat memberi nasihat, atau "Lihat,
mereka tengah mendatangi!" seru Tan Hong, tangannya menunjuk.
Hong Hoe menoleh dengan segera, hingga ia tampak In Tiong
bersama Hoan Tiong, yang muncul dari tikungan bukit.
Tadi malam Hoan Tiong bawa San Bin pergi, baharu ia keluar
dari pintu belakang, di luar dugaannya, ia telah dibikin tak berdaya
oleh Thio Tan Hong dan Hek Pek Moko. Ketika Tan Hong pancing
Hong Hoe, kedua iblis Putih dan Hitam itu lantas gunakan obat pules
mereka yang mustajab membikin tentara Gielim koen mati kutunya,
kemudian, mereka umpetkan diri, untuk bekerja terlebih jauh.
Kebetulan bagi mereka berdua, mereka ketemu Tiatpie Kimwan dan
Hoasam Kiam, yang keluar dari hotel, maka mereka pancing dua
orang ini ke Tjeng Liong Kiap di mana mereka bertempur. Ketika itu
Hoan Tiong, yang kena mereka tawan, telah dibawa juga ke selat
itu di mana dia ditambat di atas sebuah pohon besar. Pertempuran
itu sangat seru, sehingga berlangsung sampai tengah malam,
kekuatan mereka berimbang.
In Loei bersama In Tiong berada dipersimpangan tiga di mana
mereka dengar suara pertempuran berisik di sebelah kiri, ketika In
Tiong menyusul kesana, hari sudah terang tanah, di sana segera ia
ketemukan Hoan Tiong yang masih, terikat tergantung, sedang Hek
Pek Moko bersama Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam tengah
bertanding hebat. Ia tidak mau sembarang nyebur dalam
pertempuran itu, ia hanya perlukan menolongi Hoan Tiong. Orang
she Hoan ini tidak terluka, dia cuma kaku kaki tangannya bekas
lama terikat dan tergantung, hingga In Tiong perlu menguruti dia
untuk membikin darahnya jalan kembali seperti biasa. Selama In
Tiong tolongi Gietjian siewie itu. Hek Pek Moko telah pancing Tiatpie
Kimwan dan Hoasam Kiam ke lain arah. Maka, ketika dua orang ini
muncul, Hian Leng Tjoe dan Liong Tin Hong telah dikalahkan Tan
Hong dan In Loei, mereka sudah lari kabur.
Atas datangnya kedua orang itu, Hong Hoe lantas menyambut.
Sebenarnya ia niat memberi keterangan, tetapi In Tiong sudah
lantas unjuk kemurkaannya yang sangat, dia berseru keras kedua
matanya bersinar bagaikan api marong itulah tanda kebencian
terhadap Tan Hong.
"Kau kenapa, In Tongnia?" Hong Hoe tanya "Kenapa kau sangat
benci dia?"
In Tiong tidak menjawab, ia hanya hunus goloknya dengan apa
ia terjang orang she Thio itu, yang lantas dihantui juga oleh Hoan
Tiong yang mainkan sepasang gembolannya.
Tan Hong melayani dengan kelincahan tubuhnya.
In Loei jadi sangat bersusah hati, hingga ia berdiri menyender
saja di lamping bukit, matanya mendelong mengawasi pertempuran.
Ia sangat berkuatir.
"Tahan!" teriak Hong Hoe akhirnya sesudah ia tak berdaya
menyabarkan In Tiong dan Hoan Tiong.
Hoan Tiong menurut, ia berhenti menyerang, tidak demikian
dengan In Tiong, masih dia menyerang dengan seru dengan golok
di tangan kiri dan tangan kanan yang tanpa senjata. Malah dia
mendesak hebat.
"Toako1." serunya sambil berkelahi. "Dia ini adalah puteranya
penghianat Thio Tjong Tjioe! Tak dapat dia dikasih lolos"
Mendengar itu, Hoan Tiong maju pula, untuk mulai lagi dengan
serangannya.
Thio Hong Hoe sudah lantas berlompat maju. "Shatee, jangan
sembrono!" dia berteriak. "Dalam kejadian tadi malam, dialah
penolong kita! Tunggu dulu, hendak aku tanyakan keterangannya!"
Dia lantas ulapkan goloknya.
"Thio Tan Hong, benar atau tidak apa yang dikatakan In
Tongnia?" dia tanya.
Thio Tan Hong melenggak, dia tertawa.
"Harus ditertawai yang manusia di dalam dunia banyak yang
matanya putih, sedang bunga teratai keluarnya dari dalam
lumpur!.....” dia bersenanjung.
"Kau telah saksikan sepak terjangku, apakah benar kau masih
belum bisa menginsafinya aku orang macam apa? Kenapa kau mesti
ngoce tak sudahnya? Perlu apa kau tanya lagi asal-usulku?"
Hong Hoe melengak.
"Inilah benar," pikirnya. "Meski benar dia puteranya Thio Tjong
Tjioe dengan dia pribadi ada apakah sangkut pautnya?" Maka
segera ia berseru pula: "In Tongnia tahan! Dia benar kandung
maksud baik terhadap kita! Jangan kita balas kebaikan dengan
kejahatan!"
Masih In Tiong menyerang dua kali.
"Toako, kau tidak tahu!" dia berseru. "Dia adalah musuh besar
dari keluargaku! Sakit hati tidak dibalas, adakah itu perbuatannya
satu taytianghoe?"
Dengan ilmu Taylek Kimkong Tjioe, In Tiong perhebat
serangannya.
Thio Hong Hoe menjadi tidak senang. "Baik" serunya. "Kau balas
sakit hatimu, aku tidak peduli!"
Mendadak terdengar satu suara nyaring, lalu tertampak goloknya
In Tiong kena dibabat kutung pedangnya Tan Hong!
In Loei kaget, dia lompat maju dengan pedangnya ia menghalau
di tengah-tengah kedua jago, ia halangi pedangnya si orang she
Thio.
Tan Hong tidak niat melukai In Tiong, ia berhenti menyerang,
malah lantas ia lompat mundur keluar kalangan.
Hong Hoe terperanjat ketika ia tampak In Loei lompat maju
dengan pedangnya, ia menyangka orang hendak gunakan ilmu
pedang gabungannya untuk kepung In Tiong, ia juga lompat maju
pula. Ia baharulah melengak tatkala ia dapati pemuda itu justeru
maju untuk memisahkan. Di akhirnya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!" katanya. "Memang, permusuhan harus dibikin
habis, tak mestinya diperhebat! Bagus kau maju disama tengah!" Ia
lantas tarik tangan In Tiong sambil berkata: "Kau telah
menyaksikannya, bukan? Apa masih kau tidak niat undurkan diri?"
In Tiong awasi Tan Hong dengan mata mendelik, nyata sekali
kebenciannya. Ia merasa sangat menyesal, sesudah belajar silat
sepuluh tahun, masih ia tidak mampu kalahkan anak musuhnya.
Karena Hong Hoe menariknya, terpaksa ia menurut diajak pergi.
Menampak kakaknya berlalu, mendadak In Loei menangis, iapun
jatuh di tanah.
In Tiong dengar suara itu, ia menoleh, ia menjadi heran.
Hong Hoe kuatir rekan ini kembali, ia mengajak terus.
"Untuk apa kau pedulikan urusan lain orang?" katanya, tertawa.
Dan ia menarik terus, membawa orang berlalu dari lembah.
Ketika kemudian In Loei angkat kepalanya, ia tak tampak
kakaknya, tapi ini membuatnya ia menangis terlebih sedih.
"Koko....." ia memanggil.
Tiba-tiba ia rasakan tangan yang halus mengusap-usap
rambutnya, lalu suara yang lemah lembut terdengar di kupingnya.
"Adik kecil, kau menangis, kau menangislah! Setelah menangis,
hatimu baharu lega.....”
Itulah suaranya Thio Tan Hong, yang telah menghampirinya.
In Loei berhenti menangis dan bangun berduduk. Ia tolak tangan
si anak muda dari rambutnya.
"Aku menangis sendiri, siapa ingin kau campur tahu?....."
katanya.
Tan Hong tertawa.
"Adik kecil, kenapa kau bersikap begini?" katanya, manis.
"Bukankah di kolong langit ini ada sangat banyak urusan yang dapat
membuat orang bersedih hati? Dan kau..... kau punyakan berapa
banyak air mata?"
In Loei menjadi terlebih sedih, air matanya bercucuran terlebih
deras.
"Sebenarnya manusia hidup tak sampai seratus tahun," Tan
Hong kata pula. "Urusan besar bagaimanapun yang tak dapat
dihabiskan? Apakah artinya budi dan permusuhan itu? Kenapa kau
memandangnya demikian hebat?"
Tiba-tiba In Loei mencelat bangun. Ia menjadi gusar.
"Enak benar kau bicara!" tegurnya, nyaring. Mendengar orang
bicara, hatinya Tan Hong sebaliknya menjadi lega.
"Ayahku memaksa engkong-mu mengembala kuda dua puluh
tahun, kejadian itu membuatnya aku menyesal," ia kata pula. "Akan
tetapi kejadian sudah terjadi, kejadian itu tak dapat ditarik
pulang..... Tentang meninggalnya engkong-mu itu, tiada sangkut
pautnya dengan keluargaku.....
Berulangkah aku telah menjelaskannya, apakah kau tetap tidak
percaya aku?"
In Loei ingat surat wasiat engkong-nya, itu surat kulit
kambing yang bertuliskan darah dan berbau bacin. Ingat itu ia
berpendapat, meski engkong-nya bukan terbinasa di tangan
musuh, untuk itu iapun harus menuntut balas..... Hal ini
membuatnya ia bertambah sedih.
Tan Hong menghela napas.
"Ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe kakakmu itu lihay," ia bilang,
untuk simpangi pembicaraan. "Pernah aku dengar guruku
mengatakan, di jaman ini, yang mengerti ilmu silat itu cuma ada
beberapa orang saja, di antaranya adalah Tang Soepee yang paling
lihay. Turut penglihatanku, kakakmu itu tentulah muridnya Tang
Soepee itu....."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, kembali Tan Hong menghela
napas.
"Memang ilmu silat kakakku itu ada ajarannya Tang Soepee,"
sahut In Loei, yang ketarik dengan pembicaraan itu. "Apakah itu
ada hubungannya dengan kau? Kenapa kau menghela napas?"
"Aku menyesal atas apa yang telah terjadi.....” sahut Tan Hong.
"Kita bertiga adalah saudara seperguruan, kita bagaikan satu
keluarga, tak disangka-sangkanya, orang yang telah meninggal
dunia telah membuatnya urusan bersangkut paut dengan mereka
yang masih hidup, hingga sekarang kita jadi berkedudukan sebagai
musuh satu dengan lain. Kita sekarang jadi tak dapat hidup damai,
apakah itu tidak menyedihkan?"
In Loei merasakan seperti terpukul, ia lekas-lekas menyingkir dari
pandangan matanya si anak muda, yang mengawasinya dengan
tajam. Pikirannya pun kusut, tidak dapat ia mengucap sesuatu.
Sekian lama si anak muda mengawasi, lalu ia menghela napas
pula.
"Oleh karena kau tidak dapat memaafkannya, baiklah kita
berpisahan saja.....” ia kata pula, suaranya perlahan. "Secara
begini maka tak usahlah kita saling berduka.....”
"Eh, tunggu dulu....." mendadak In Loei mencegah.
Tan Hong sudah membalik tubuh, mendengar mana ia berpaling
pula.
"Ah," katanya, "kau memangnya cerdas, otakmu bening bagaikan
es dan salju. Adakah kau telah dapat menginsyafinya?"
Kembali In Loei menyingkir dari mata orang yang tajam itu.
"Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi yang dapat
diperkatakannya," kata si pemuda tetiron kemudian. "Bagaimana
dengan Tjioe Toako? Ke mana kau buang dia? Bagaimana
dengan Pit Lootjianpwee? Apakah kau telah ketemu dia?"
Di dalam hatinya, Tan Hong tertawa. Adakah itu yang
dimaksudkan sudah "tidak ada apa-apa lagi yang dapat
diperkatakan"? Toh yang ditanyakan ada demikian banyak..... Ia
tertawa.
"Tjioe Toako itu sangat memusuhi aku, telah aku hajar rubuh
padanya," jawab Tan Hong.
"Apa katamu?" In Loei terkejut.
"Ketika dia dibawa keluar oleh Hoan Tiong, Tiatpie Kimwan dan
Hoasam Kiam juga hampir sampai kepadanya," si anak muda
terangkan. "Aku kuatir dia kepergok, itulah berbahaya, maka itu aku
telah beri nasehat pada Pit Lootjianpwee supaya dia ajak Tjioe
Toako lekas-lekas menyingkirkan diri. Untuk itu aku telah berikan
kuda putihku. Tjioe Toako tidak sudi turut nasehatku. Dalam
keadaan seperti itu, terpaksa aku totok padanya hingga dia tidak
berdaya. Selagi aku titahkan Hek Pek Moko rintangi Tiatpie Kimwan
dan Hoasam Kiam, aku ajak Pit Lootjianpwee membawa dia
menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Bertiga kami naik atas
kuda putihku. Sebentar saja, kami telah antar dia ke rumah keluarga
Na. Ilmu totokku ada yang berat, dan ada yang enteng, yang
enteng itu membutuhkan tempo hanya satu jam, orang akan sadar
sendirinya, karena itu sekarang ini mungkin Tjioe Toako sedang
menghadapi perjamuan arak untuk bikin lenyap kagetnya.....”
In Loei berdiam. Ia kagum berbareng heran.
"Sungguh hebat dalam satu malam saja kau telah lakukan
demikian banyak," ia kata, tawar.
"Kuda putihku bisa lari seribu lie dalam satu hari, apakah artinya
semua itu?" sahut si anak muda, sikapnya tetap tenang.
Kembali In Loei tutup mulut. Kembali ia menyingkir dari
pandangan matanya si anak muda.
Ketika itu sang matahari sudah berada di atas Tjengliong Kiap,
memberikan pemandangan pagi yang indah dari akhir musim ketiga,
pelbagai bunga hutan sedang mekar, segar dan indah, dan bunga
lay putih bagaikan salju. Suasana pun tenteram sekali.
Dalam keadaan sebagai itu, tiba-tiba Tan Hong keluarkan
sepucuk surat.
"Tolong kau sampaikan surat ini kepada Nona Tjoei Hong," ia
minta.
In Loei menyambutinya tanpa berpaling. Ia insyaf tak dapat
tidak, mesti ia berpisah dari si anak muda, akan tetapi ia coba atasi
diri, supaya tak usah ia tengok pula wajah orang, hal mana cuma-
cuma akan menambah kedukaannya.
Tan Hong menghela napas, suaranya terdengar si nona, terus ia
naik atas kudanya — si kuda putih — yang ia kasi jalan dengan ayal-
ayalan keluar dari selat, kaki kuda menginjak pelbagai lembaran
bunga yang rontok.....
Dengan perlahan Tan Hong bernyanyi, menyanyikan syairnya
Ong Pong Hoay di jaman Song ketika dia ini mengenangkan
isterinya yang telah menikah pula.
Berduka In Loei kapan ia dengar nyanyian itu, hingga ia kata di
dalam hatinya: "Walaupun aku jemu terhadapmu tetapi di jaman ini,
tidak nanti aku nikah lain orang!..... Oh, mengapakah Thian berlaku
begini kejam terhadap aku?.....”
Ketika kemudian suara nyanyian berhenti, maka lenyap juga Tan
Hong serta bayanganya, tinggal si nona seorang diri, matanya
mengembeng air — air matanya itu bersinar di antara sorotnya
matahari. Setelah ini, iapun berlalu dari lembah yang sunyi itu.
Tepat di waktu tengah hari In Loei sampai di Imma tjoan di
rumahnya Na Thian Sek, di mana ia dapatkan San Bin benar seperti
katanya Tan Hong, yaitu pemuda she Tjioe itu baharu saja dijamu,
diberi selamat yang dia telah lolos dari ancaman bahaya, dan waktu
itu dia tengah pasang omong bersama kawan-kawannya.
Melihat In Loei, Pit To Hoan tertawa besar. "Sebenarnya aku
kuatir ketika tadi malam aku tinggal pergi padamu seorang diri,"
berkata orang tua itu, "tetapi begitu aku ingat ada Thio Tan Hong
yang melindungi kau secara diam-diam, hatiku lantas menjadi lega,
aku tak berkuatir lagi."
Kata-kata itu membuktikan, jago tua ini percaya penuh pada Tan
Hong.
"Kami telah berpikir keras, kami telah bekerja hebat, namun kami
tak dapat tolong orang," Thian Sek turut bicara, "akan tetapi Thio
Tan Hong, begitu dia datang, pertolongan telah dapat dilakukan
secara sangat gampang. Sepak terjangnya dia itu sungguh hebat,
luar biasa, mengagumkan!"
"Teranglah dia satu laki-laki sejati," kata Tjek Po Tjiang, yang
tadinya berkesan jelek terhadap Tan Hong, malah memusuhinya.
"Nyatalah bahwa kita telah bersikap keliru terhadapnya."
San Bin dengar itu semua, ia lirik In Loei.
"Maka sayang sekali, dia adalah musuhnya In Siangkong," ia
bilang. "Kalau tidak demikian, sungguh harus sekali kita
bersahabat erat dengannya.....”
Bersemu dadu wajahnya In Loei, ia bungkam. "In Siangkong,"
kata Tjoei Hong, "dalam hal menolong toako San Bin, kau
juga berjasa, mengapa kau diam saja?"
"Apa jasaku?" In Loei sahuti. "Umpama permainan catur, aku
adalah satu serdadu yang menyerah untuk orang kendalikan
sesuka-sukanya saja.....”
Tjoei Hong nampaknya tidak senang.
"Siapakah yang berbuat sesukanya terhadap dirimu?" dia tanya.
Penyahutannya In Loei tadi hanya sekena-kenanya saja. Ditanya
begitu, ia insyaf, tapi lantas ia tertawa.
"Aku maksudkan aku dipermainkan nasib, tak lagi aku berkuasa
atas diriku," ia menambahkan kemudian.
Orang semua heran. Kenapa "pemuda" ini mengatakannya
demikian putar balik.
"Kau benar!" berkata San Bin, yang tak heran seperti yang lain.
"Mengenai permusuhanmu dengan Thio Tan Hong, itu memang ada
permainannya sang takdir!"
San Bin berduka kapan ia ingat permusuhan di antara dua orang
itu, karena terhadap Thio Tan
Hong, ia berkesan baik.
"Eh, mengapa kamu bicarakan urusan nasib saja?" Tjoei Hong
campur bicara. "In Siangkong, bukankah kau berniat pergi ke kota
raja?"
Sebenarnya nona ini hendak mengutarakan maksudnya untuk
turut serta tapi In Loei segera memotong pembicaraannya.
"Ah, hampir aku lupa!" kata "pemuda" ini. "Ada sepucuk surat
yang mesti disampaikan kepadamu! Surat dari Tan Hong....."
"Untuk apa ia menyampaikan surat padaku?" tanya Tjoei Hong,
heran. Terus ia menambahkan: "Kau dengan dia bermusuhan,
kenapa kamu nampaknya seperti sahabat-sahabat kekal? Tidakkah
ini aneh sekali?"
Sambil berkata begitu, Nona Tjio toh buka suratnya Tan Hong
itu.
"Kiranya surat dari ayahku!" katanya kemudian. "Ah, ada urusan
apakah maka ayah minta aku lekas-lekas pulang? Eh, In Siangkong,
dalam surat ini ada terlampirkan sepucuk surat lain untuk
disampaikan kepadamu..... bukan untuk kau sendiri.....
hanya ini diminta kau tolong sampaikan kepada Kokioo Ie Kiam. Ah,
inilah bukan tulisannya ayah!" Dan ia melihatnya dengan teliti. Lalu
ia menambahkan: "Nyata surat ini ditulis oleh lain orang.....
Kenapa orang main minta surat-surat saling disampaikan?.....”
In Loei menyambuti surat yang dikatakan untuknya. Ia tampak
tulisan yang sifatnya bagaikan "naga terbang atau burung hong
menari." Memang surat itu diminta disampaikan kepada Ie Kiam.
Berdenyut berulang kali hatinya In Loei apabila ia telah kenali siapa
yang membuat buah kalam itu. Itulah tulisan yang bagus dari Thio
Tan Hong. Mungkin Tan Hong kuatir orang menampik permintaan
tolongnya, atau dia ada kandung maksud lain.....
Tjoei Hong sendiri menjadi kecele apabila ia sudah baca habis
surat dari ayahnya itu.
"Dalam surat ayahku menyatakan ada urusan penting sekali
karena mana ia minta aku lekas pulang," ia bilang, "dan kau hendak
pergi ke kota raja. Entah kapan kita bisa bertemu pula.....”
In Loei sebaliknya girang bisa "lolos" dari Nona Tjio ini.
"Asal ada jodoh, dapat kita bertemu pula!" katanya sambil
tertawa.
San Bin semua tertawa, mereka menyangka itulah sepasang
suami isteri tengah bergurau, karenanya, merah mukanya Tjoei
Hong, yang menjadi likat sekali.
Pada keesokan harinya, orang semua ber-pisahan, masing-
masing menuju kepada arah tujuannya sendiri-sendiri. Pit To Hoan
pergi menyingkirkan diri ke Hoasan. San Bin tidak berani berdiam
lama di Kwanlwee, siap ia untuk kembali ke sarangnya. Dan In Loei,
dengan menunggang kuda, menuju ke kota raja. Tjoei Hong
bersama San Bin mengantar orang she In ini. Nampaknya berat
sekali "isteri" ini mesti berpisahan dari "suaminya" itu.....
Sekonyong-konyong, In Loei berkata: "Entjie
Hong, pergi kau pulang lebih dahulu, hendak aku bicara kepada
Tjioe Toako....."
Merah matanya Nona Tjioe itu. Seandainya In Loei berkata
demikian sebelum pengalaman mereka yang paling belakang ini,
tentu ia jadi tidak senang dan akan beranggapan bahwa di mata In
Loei cuma ada San Bin, tapi sekarang San Bin pernah berkorban
untuk menolong padanya, dapat ia bersabar, dengan terpaksa ia
pulang seorang diri.
"Tadinya aku pandang Tan Hong sebagai penghianat," kata San
Bin sesudah mereka berada berduaan, "sekarang aku anggap dia
sebagai satu pemuda gagah dan luar biasa. Maka kalau nanti kau
sampai di kota raja, kau selidikilah dengan seksama, apabila benar
engkong-mu bukan keluarga Thio yang menganiaya dan
menyiksanya hingga menderita selama dua puluh tahun, aku
anggap tak usah kau bunuh dia untuk menuntut balas."
Satu malam sudah San Bin telah berpikir keras, tentang takdir, ia
menjadi tawar hatinya. Setelah pengalamannya ini, ia menjadi lebih
terbuka pandangannya perihal penghidupan. Begitulah, maka bisa ia
mengucap demikian.
Tertarik hati In Loei mendengar perkataan orang itu.
"Baiklah hal ini kita bicarakan pula lain kali," ia bilang, "Aku
punyakan serupa barang untuk haturkan kepadamu.....
bukan! Barang ini sebenarnya memang kepunyaanmu!"
Ia lantas keluarkan permata sanhoe, sambil menyerahkan itu, ia
kata pula: "Sekarang sanhoe ini harus dipulangkan kepada
pemiliknya!"
Melihat batu itu, berubah parasnya San Bin.
"Kau..... kau maksudkan apakah?" dia tanya gugup.
-ooo00dw00ooo-

BAB XIV
Sanhoe itu adalah barang tanda mata, atau pesalin, dari In Loei
untuk Tjoei Hong, San Bin ketahui itu, maka cara bagaimana dapat
ia menerimanya. Tapi In Loei tertawa.
"Memang benar sanhoe ini berasal kepunyaanmu, yang aku
cuma pinjam," si "pemuda" terangkan lebih jauh. "Apakah bukan
selayaknya kalau barang kembali kepada pemiliknya?"
"Adik In," katanya dengan perlahan, "kita sekarang akan
berpisah, mengapa kau bergurau begini rupa terhadapku?" Dengan
"adik" ia menyebutnya adik perempuan. Iapun nampaknya sedikit
tak puas.
In Loei mengawasi, ia unjuk roman sungguh-sungguh.
"Toako, hendak aku mohon sesuatu kepadamu, kau sudi
meluluskannya atau tidak?" ia tanya.
"Kita adalah bagaikan kakak dan adik sejati," jawab San Bin,
"segala apa yang aku bisa pasti suka aku berbuat untukmu, tak
peduli mesti aku serbu api!"
In Loei tertawa.
"Tetapi permintaanku ini tidak meminta tenaga sedikitpun jua!" ia
bilang.
San Bin bukannya seorang tolol, dalam sejenak itu sudah ia
dapat menerka. Ia jadi agak mendongkol berbareng berduka. Maka,
di dalam hatinya ia kata: "Di dalam hatimu sudah ada lain orang
yang menempatinya, itulah tidak apa, kenapa sekarang kau hendak
menggunai akal memindahkan bunga ke lain pohon?.....”
Tadinya hendak ia unjuk tak puasnya itu, atau In Loei telah dului
ia.
"Nona Tjio menyintai aku secara membuta, ia harus dikasihani,"
demikian si nona. "Tak dapat aku dustakan ia untuk selama-
lamanya yang akan mensia-siakan usia mudanya."
"Itu ada sangkut paut apa dengan aku?" tanya San Bin,
mendongkol.
Matanya In Loei menjadi merah.
"Aku sudah tidak punya ayah dan ibu, di waktu aku nampak
kesulitan, jikalau aku bukan minta pertolonganmu, kepada siapa lagi
dapat aku memintanya?" dia tanya. "Begitulah kesulitanku ini,
melainkan kau yang dapat memecahkannya. Sioktjouw dengan
Hongthianloei Tjio Eng kenal baik satu pada lain, maka itu kaulah
orang yang paling tepat....."
"Apa? Bukankah dengan begini kau jadi memaksa aku?" San Bin
tanya. "Kau desakkan soal apa yang orang tak inginkan.....”
"Kau ketahui apa yang hendak aku minta dari-mu?" balik tanya
In Loei. "Aku juga tidak minta kau segera menikah! Kenapa kau
bimbang tidak keruan? Aku hanya minta kau terima sanhoe ini
untuk disimpan. Kau tunggu sampai nanti telah tiba ketikanya, akan
aku bicara kepada Nona Tjio untuk menjelaskan segala-galanya.
Apakah untuk ini kau tetap masih tak dapat menerimanya?"
San Bin berdiam, ia mengawasi. Ia merasa kasihan terhadap
nona ini. Bukankah permintaan itu tidak berat? Maka itu, dengan
terpaksa, akhirnya ia terima juga.
Sepasang alis In Loei segera terbuka, dari masgul, hatinya
menjadi rawan. Ia lantas bersenyum. Segera ia lompat naik atas
kudanya yang dilarikan pergi.....
Dengan mendelong San Bin awasi orang berlalu, pikirannya tidak
keruan rasa. Tak tahu ia mesti bersedih atau bagaimana.....
Tidak ada halangan bagi In Loei selama dalam perjalanannya itu,
lewat beberapa hari tibalah ia di kota raja, kota mana menjadi
tempat kedudukan kaisar sejak pertengahan kerajaan Kim. Dulu
memang kota itu sudah indah, setelah pindahnya Kaisar Beng
Sengtjouw dari Lamkhia, segala apa telah diperbaiki dan ditambah,
hingga sekarang Pakkhia menjadi kota besar dan indah tanpa
bandingan.
In Loei saksikan Tjiekim shia, Kota Terlarang, ia tampak jalan-
jalan besar yang lebar, ia lihat pelbagai toko yang besar-besar dan
beraneka warna. Tapi tak sempat ia menikmati keindahan kota,
yang paling dulu ia lakukan ialah mencari rumah penginapan.
"Di kota raja ini aku tidak kenal seorangpun jua," ia berpikir, "Ie
Kiam sebaliknya adalah seorang menteri besar. Sudikah dia
menemui aku? Aku juga belum tahu alamatnya.....”
Karena ini, ia jadi berpikir.
"Terang sudah si perwira muda adalah kakakku," pikir ia
kemudian, "ia sekarang berada di kota raja ini, mengapa aku tidak
hendak cari ia saja?.....”
Tiba-tiba berkelebat diotak In Loei halnya kakaknya itu bermusuh
dengan Thio Tan Hong. Ia jadi sangat mangui. Tanpa ia kehendaki
ia menghela napas.
"Sayang itu hari, saking kesusu, tak bisa aku memberi
keterangan kepada kakakku itu," ia sesalkan diri. "Di dalam dunia
ini, melainkan dia orang satu-satunya yang terdekat denganku.
Harus aku ketemui dia. Untuk ini aku tak hiraukan bahwa aku bakal
ditegur dan didamprat. Akan tetapi apabila kakakku itu mendesak
aku bantui ia mencari balas, bagaimana? Beberapa kali Thio Tan
Hong sudah tolongi aku dari marah bencana, cara
bagaimana aku bisa binasakan dia?..... Tidak bisa lain, aku mesti
bisa melihat gelagat.....”
Berupa-rupa perasaan memenuhi otak In Loei. Ia girang
mengetahui tentang kakaknya, ia berduka mengenai
permusuhannya dengan Tan Hong. Ia terbenam dalam keragu-
raguan. Sampai sekian lama ia berpikir, tidak juga ia dapatkan
pemecahannya.
"Di mana berdiamnya kakakku sekarang?" kemudian ia tanya
dirinya sendiri. "Tidak sukar! Lebih dahulu aku mesti cari Thio Hong
Hoe!"
Ia ingat perkataannya Hong Hoe baru-baru ini, yaitu kalau ia dan
Tan Hong datang ke kota raja, dia hendak undang mereka berdua
datang ke rumahnya sebagai tetamu. Ia ingat juga alamatnya Hong
Hoe, yang pernah memberitahukannya.
Tiga hari lamanya In Loei tinggal di hotel, selama itu ia sering
keluar seorang diri, hingga ia jadi kenal baik kota raja, di hari ke
empat, ia langsung menuju ke rumahnya Thio Hong Hoe.
Komandan Kimie wie itu bukannya seorang hartawan akan tetapi
karena kedudukannya baik, ia ada punya sebuah rumah yang besar
pekarangannya dan terkurung tembok, di dalamnya ditanami
banyak rupa pohon-pohonan. Hanya aneh, di samping pekarangan
lebar itu, rumahnya adalah rumah biasa saja yang terdiri dari empat
lima ruang. Apakah perlunya pekarangan lebar dan kosong itu?
"Ah, dia sebagai komandan Kimie wie, sudah tentu dia
membutuhkan lapangan luas untuk melatih barisannya.....” pikir si
nona kemudian. Lantas ia hampirkan pintu dan mengetoknya.
Satu hamba, yang membukakan pintu, mengawasi sekian lama.
"Maaf, engko kecil," dia kata kemudian, "hari ini thaydjin kami
tidak menerima tetamu....." Bicaranya tidak lancar.
In Loei lantas jadi mendongkol.
"Cara bagaimana kau bisa ketahui dia tidak akan menemui aku?"
dia tanya.
"Thio Thaydjin telah memerintahkannya, selama beberapa hari ini
kecuali rekannya dari Kimie wie, lain orang tak dapat ia
menerimanya," sahut hamba itu.
"Tetapi aku adalah orang undangan thaydjin-mu, bagaimana
dia tak terima aku?" In Loei membandel.
Hamba itu mengawasi pula tetamunya ini, ia menggelengkan
kepala.
"Aku tidak percaya!" ia kata. Ia nampaknya memandang enteng.
Di dalam hatinya seperti hendak ia mengatakan "Kau orang macam
apa sampai thaydjin-ku undang padamu?"
In Loei habis sabar.
"Jikalau kau tidak wartakan kedatanganku, nanti aku masuk
sendiri!" dia bilang, suaranya keras. Dia cekal loneng besi dan
menariknya, hingga jeruji sebesar jari tangan lantas jadi
melengkung.
Kaget juga si hamba.
"Harap jangan gusar, engko kecil," katanya kemudian. "Kau
tunggu, nanti aku laporkan kedatanganmu ini. Bahwa thaydjin sudi
terima kau atau tidak, itu terserah kepada thaydjin.....”
Ia lantas bertindak masuk. Ia keluar pula tak berselang lama.
"In Siangkong, thaydjin undang kau masuk," katanya sekarang
sikapnya berbeda. "Silakan kau ambil jalan sebelah kanan itu, lalu
memutar ke kiri, setelah kau tampak pintu batu yang hanya
dirapatkan, kau tolak saja. Thaydjin kami ada di lapangan di sana.
Aku sendiri mesti terus menjaga pintu ini, maafkan aku, tidak dapat
aku antar kau."
Sambil berkata demikian, ia membukakan pintu loneng.
In Loei bertindak masuk tanpa bilang suatu apa, masih ia
mendongkol.
"Banyak juga tingkahnya Hong Hoe!" ia pikir. "Selama di
Tjengliong Kiap, ia bersikap manis budi, kenapa sekarang, selagi
aku mengunjungi padanya, dia tidak sambut aku? Hm, dasar satu
orang berpangkat!"
Sebentar kemudian sampailah In Loei di sebelah luar apa yang si
hamba tadi sebutkan sebagai lapangan, segera ia memikirkan kata-
kata untuk diucapkan kepada tuan rumah yang ia anggap besar
kepala itu. Tiba-tiba ia dengan suara tertawa:
"Hihi! Haha! Hm! Awas!....."
Ia terkejut. Ia kenali, itulah suaranya Tantai Mie Ming! Tapi ingin
ia lekas mengetahuinya, maka tanpa berpikir lagi, ia tolak daun
pintu. Maka untuk herannya, ia tampak banyak anggota-anggota
Gielim koen dan Kimie wie, di depan mereka itu berdiri Thio Hong
Hoe, sang komandan. Begitu ia lihat In Loei, Hong Hoe lantas
manggut.
Di tengah lapangan tampak Tantai Mie Ming yang menghadapi
satu pahlawan, mereka saling lonjorkan tangan, yang menempel
satu dengan lain, tiba-tiba si pahlawan Mongolia itu tertawa, kaki
kirinya menyambar. Dan..... "Bruk!" tergulinglah si pahlawan.
Tantai Mie Ming tertawa pula.
"Mari, mari, lagi satu kali!" katanya.
Satu pahlawan lain lompat maju.
"Ingin aku mencoba-coba Tantai TjiangkoenV pahlawan itu
bilang. Ia membahasakan "Tjiangkoen" — "jenderal."
"Bagus, bagus!" ada jawabannya Mie Ming.
Pahlawan itu sudah lantas pasang kuda-kudanya, lalu ia kirim
serangannya yang berupa kepalannya. Itulah suatu pukulan dari
"Sippatlouw
Tiangkoen," atau "Kepalan Panjang Jurus Delapan belas."
Dengan kuda-kuda yang kokoh kuat, nampaknya hebat jurus ini.
Tantai Mie Ming menangkis dengan dua kali dorongan, ia cuma
bikin tubuh si pahlawan bergeming tetapi tidak rubuh.
In Loei jadi sangat heran. Bukankah Tantai Mie Ming
pengantarnya pangeran Watzu itu? Kenapa dia berada di rumahnya
Thio Hong Hoe? Kenapa dia uji diri dengan pahlawan-pahlawan
kaisar?
Heran juga sikapnya Hong Hoe, yang agaknya sangat ketarik
hati.
Karena ini In Loei tidak segera menghampirkan komandan itu, ia
hanya campurkan diri antara orang banyak, untuk menonton
terus.....
Pelbagai pahlawan Gielim koen dan Kimie wie itu bicara satu
dengan lain, tentang Tantai Mie Ming, perihal latihan itu, maka
kemudian, In Loei tahu juga duduknya hal. Ialah Mie Ming sudah
datang sekian lama di kota raja, dia sudah lantas bergaul rapat
dengan rombongan pahlawan, tidak heran apabila kedua pihak suka
bicara tentang ilmu silat. Karena Mie Ming adalah pahlawan nomor
satu dari Watzu, orang suka mencoba-coba dengannya. Mie Ming
sendiri, yang gemar bergaul dan manis budi, ingin juga ketahui
kegagahan pihak pahlawan, maka ia telah minta perantaraannya
Hong Hoe untuk cari kenalan, katanya untuk "melatih diri sambil
main-main," hanya ia tidak sangka, di antara pahlawan ada orang-
orang yang benar-benar berniat merubuhkan padanya.....
Selama itu, latihan persahabatan sudah berjalan tiga hari, hari ini
adalah hari terakhir. Selama tiga hari, Tantai Mie Ming telah
merubuhkan delapan pahlawan, dan pada hari penghabisan ini,
tetap ia menang terus. Karena pihak pahlawan nampak kekalahan,
akhirnya sikap mereka semua menjadi tegang sendirinya.
Lawan terakhir dari Tantai Mie Ming adalah Yo Wie, hoetongnia
atau komandan pembantu dari Gielim koen, dia kesohor dalam
kepandaian Tiatpou san-nya, yaitu ilmu "Baju Besi," yang termasuk
kalangan luar, Gwak.ee. Yo Wie percaya betul dia bakal sanggup
bertahan, maka itu, dia telah melayani dari sepuluh jurus hingga
jurus kedua puluh. Benar-benar pukulan-pukulan dari Sippatlouw
Tiangkoen ada hebat.
Untuk melayani musuh yang tanggu ini, Tantai Mie Ming gunakan
jurus-jurus dari "Tiat Piepee" atau "Piepee Besi" yang biasa saja,
meski begitu dengan leluasa ia dapat "temani" pahlawan dari kota
raja itu.
Adalah sesudah sampai pada jurus ke tiga puluh, Yo Wie mandi
keringat sendirinya.
"Yo Tongnia, silakan beristirahat!" kata Mie Ming sambil tertawa.
Walaupun ia mengucap demikian, ia bukannya mundur, sebaliknya,
ia lompat maju, ia menyerang beruntun tiga kali, ketika ia
menangkis kedua tangan lawannya, ia merangsak maju dan
membentur tubuh orang.
Dengan satu gebrakan saja, Yo Wie rubuh terguling.
"Maaf!" kata panglima Mongolia itu. Ia maju menghampiri, untuk
membangunkan, lalu sambil tertawa, ia menambahkan: "Ini adalah
giliran yang ke sepuluh! Apakah masih ada saudara lainnya yang
sudi beri pengajaran padaku?"
Sampai di situ, Hong Hoe habis sabar. Ia maju.
"Suka aku menerima pelajaran dari Tantai Tjiangkoen1." ia
kata sambil memberi hormat, suaranya manis.
Tantai Mie Ming tertawa lebar.
"Sudah lama aku dengar Thio Thaydjin adalah ahli nomor satu
dari kota raja ini," dia berkata, "sekarang thaydjin sudi majukan diri,
sungguh aku merasa sangat beruntung!"
Suara itu manis dan hormat tetapi nadanya agak tinggi, tanda
dari kejumawaan yang tak dapat dilenyapkan.
Kali ini benar-benar pertandingan adalah yang terakhir, umpama
kata Hong Hoe kalah, pahlawan lainnya tidak nanti ada yang berani
maju lagi.
"Suka aku menerima pengajaranmu," Hong Hoe ulangi, yang
terus berdiri berhadapan dengan panglima Mongolia itu, setelah
mana ia memberi hormat dengan tiatjoe, dengan tangan kiri
dikepal, tangan kanan dibuka, ditaruh di depan dadanya.
Sebenarnya itu bukan cuma tanda memberi hormat, berbareng
itu ada persiapan untuk mulai pertempuran.
Tantai Mie Ming tahu diri, dengan bersenyum ia membalas
hormat sambil merangkap kedua tangannya, tapi setelah itu, sebat
sekali, ia mulai dengan serangannya tanpa membuka lagi kedua
tangannya itu, karena ia menyerang dengan "Pekwan tamlouw"
atau "Lutung putih tanya jalan." Serangan dengan kedua tangan
dirangkapkan itu diarahkan ke atas, ke umbun-umbun, dari atas
turun ke bawah.
Thio Hong Hoe buka kedua tangannya, tubuhnya digeser
nyamping sedikit, tangan kanan dipakai menangkis, tangan kiri
membarengi menyabet, maka, sejenak saja, keduanya sudah saling
serang.
Tantai Mie Ming berlaku tenang. Ia tarik kembali kedua
tangannya, untuk menyingkir dari tangkisan, guna menangkis juga.
Tapi ia tidak cuma menangkis, dengan sebelah tangannya yang lain,
dengan dua jari, ia menotok ke tulang lemas di pinggang lawannya
itu!
Kalau totokan ini mengenai tepat, mestinya Hong Hoe rubuh
dengan segera, disebabkan tenaganya habis dengan tiba-tiba. Tapi
ia ada jago kenamaan, ia juga telah banyak pengalamannya, tak
dapat ia diperdayakan secara demikian gampang. Kelihatannya ia
majukan diri, tak tahunya, menyusuli serangan lawan yang
berbahaya itu, ia juga menyerang, sebelah kepalannya menuju ke
uluhati!
Itu artinya, apabila kedua pihak sama-sama mengenai
sasarannya, mereka bakal terluka dan celaka, sebab Mie Ming akan
muntahkan darah!
"Sungguh liehay!" berseru Tantai Mie Ming. "Inilah Toota
Kimtjiong!"
"Toota Kimtjiong" berarti "Menggempur rubuh genta emas"
Sama sekali Mie Ming tidak lompat mundur, hanya berbareng
dengan seruannya itu, tubuhnya menggeser sedikit, sebelah kakinya
menginjak "tiongkiong" (garis tengah), sebelah tangannya
"membacok" lengan Hong Hoe.
Semua pahlawan berseru bahkan kaget. Nyaring suaranya ketika
kedua tangan bentrok satu dengan lain, habis mana baharulah
keduanya lompat mundur dengan berbareng, sama-sama
memasang kuda-kuda, untuk bersiap sedia kembali.
Menampak demikian, semua, penonton bernapas lega. Tapi
mereka berlega hati tak lama, atau mendadak mereka lihat tubuh
besar dari Tantai Mie Ming merangsak ke depan, seperti rubuh
terpelanting, bagaikan runtuhnya sebuah balok besar, kedua
tangannya maju sambil menerbitkan angin. Sebab dengan cara luar
biasa itu, panglima Mongolia ini sudah mulai pula dengan
serangannya!
Beda daripada serangan yang datangnya ganas, Hong Hoe
sebaliknya berlaku ayal-ayalan, ia menangkis kedua tangan itu
bagaikan ia telah kehabisan tenaga.
Semua orang heran, tak terkecuali In Loei.
Tapi Mie Ming segera berseru: "Inilah Biantjiang Kanghoe yang
lihay!"
"Biantjiang Kanghoe" ialah ilmu silat "Tangan Kapas," yang
lemas.
Lalu, sambil tertawa, Mie Ming elakkan dirinya, hingga ia bebas
dari serangan membalas dari komandan Gielim koen itu. Hingga
kembali mereka lewatkan tiga jurus dengan keduanya tak kurang
suatu apa.
Hong Hoe tahu ia kalah tenaga akan tetapi ia adalah Lweek.ee,
ahli dalam, ia pandai "Biankoen," ilmu silat "Tangan Kapas", ia
lawan kekerasan dengan kelembekan. Namanya saja lembek,
sebenarnya bukan tangan yang lembek atau tenaga yang lemah,
melainkan macamnya, sedang sebenarnya, siapa terkena Biankoen,
tangannya bisa remuk seperti batu terpukul hancur. Mie Ming insyaf
akan ancaman bahaya itu, tak mau ia menerjangnya.
Semua pihak Gielim koen gembira menyaksikan kesudahan itu,
akan tetapi, setelak pertempuran dilanjutkan, In Loei tak tenang
hatinya. Ia telah tampak, makin lama pertandingan berjalan, Hong
Hoe makin tegang wajahnya, tidak demikian dengan jago Mongolia,
yang tenang sekali. Dia ini seolah-olah tidak menggunakan tenaga,
serangannya enteng, tapi cepat.
Pertandingan tidak segera memberikan kesudahan yang
memutuskan, cuma Hong Hoe mulai mandi keringat, suatu tanda
bahwa ia telah bekerja sungguh-sungguh untuk membela namanya.
Kalau lain-lain orang tidak melihatnya, In Loei ketahui itu dengan
baik, maka itu, nona ini menjadi berkuatir.
"Kepandaian Hong Hoe dibanding dengan kepandaian Tan Hong,
ada berimbang," nona ini berpikir. "Selama pertandingan di dalam
kuburan, Tan Hong cuma bisa melayani Mie Ming sampai lima puluh
jurus, maka itu, Hong Hoe pasti tidak dapat bertahan sampai tujuh
puluh jurus. Sekarang sudah lewat lima puluh jurus, mestinya tak
lama lagi, Hong Hoe bakal kena dikalahkan.....”
Benar, baharu lewat lagi tujuh atau delapan jurus, tampak Hong
Hoe sudah sulit bernapas.
"Jikalau aku kalah, tak apa untuk nama pribadiku," ia berpikir,
"yang celaka adalah nama Tionggoan runtuh karenanya....."
Karena ini, di saat terakhir itu, ia mencoba menggunakan
ketikanya. Ia empos semangatnya, ia kumpulkan tenaganya ke
tangan, waktu Tantai Mie Ming dengan dahsyat menyerang
padanya, mendadak ia berseru, ia menyambuti dengan sekuat
tenaganya.
Serangan membalas ini sangat berbahaya andaikata mengenai
sasaran kosong. Mie Ming adalah seorang yang cerdik, tak sudi ia
membiarkan dirinya dipedayakan. Maka walaupun ia sedang
terancam, dapat ia menghindarkan diri. Ia membalas dengan satu
tangan yang berat.
Hong Hoe tidak menduga sama sekali lawannya ada demikian
licin dan tanggu, ia kaget sekali merasakan dadanya seperti tertindih
keras, sampai napasnya sesak dan tubuhnya berhawa panas. Syukur
untuknya, ia masih dapat ketika akan mundur teratur, dengan
elakkan diri, ia membuatnya tenaga lawan tinggal separuh, hingga
ia tak terserang hebat.
Dalam keadaan seperti itu, kedua lawan seolah-olah tengah
menunggang harimau, duduk terus salah, turun berbahaya. Mie
Ming menang di atas angin, tapi ia kagum akan Tangan Kapas yang
liehay itu. Ia kaget ketika ia dapat kenyataan, tangannya seperti
dilihat, tak dapat segera ia loloskan tangannya itu.
"Inilah hebat.....” ia mengeluh. Ia tidak berniat melukai lawannya
itu, satu jago, akan tetapi ia terancam bahaya. Daripada bercelaka
sendiri, lebih baik ia cari keselamatan. Karena ini, ia mencoba
kerahkan tenaganya.
Semua penonton kembali menjadi tegang, semua berdiam
dengan menahan napas.
Kedua lawan memasang kuda-kudanya masing-masing, kedua
tangan mereka nempel satu pada lain.
Hong Hoe bertahan diri, walaupun napasnya terdengar nyata,
keringatnya ngucur dijidatnya. Sedapat-dapatnya ia terus
melindungi dirinya.
Dalam sibuknya, In Loei berpikir keras.
"Bagaimana aku bisa memisahkan mereka?" demikian otaknya
bekerja. Hong Hoe akan terbinasa atau terluka parah. Hong Hoe
adalah hamba negara tapi dia ada satu laki-laki, jiwanya harus
disayangi.
Sunyi sekali suasana waktu itu, hingga bila ada jarum jatuh,
dapat orang mendengarnya. Semua penonton mengawasi dengan
mendelong, hati mereka tegang sekali.
Dalam keadaan yang sunyi senyap itu, tiba-tiba terdengar satu
suara batuk yang perlahan sekali. Itulah tanda bahwa di situ telah
tambah satu orang lain. Kemudian ternyata, tambahan satu orang
itu adalah seorang yang mukanya kuning, kumis jenggotnya
panjang dan terpecah tiga, usianya lebih kurang lima puluh tahun,
bajunya panjang, tangannya menyekal sebuah kipas rusak.
Dari romannya dan dandanannya, teranglah ia adalah satu
petani, atau seorang yang baharu pulang dari ladang habis
meluku.....
Semua orang memusatkan perhatiannya pada pertandingan,
tidak ada yang lihat datangnya orang baru ini sampai orang
mendengar suara batuknya itu. Menyusul itu terjadilah satu kejadian
aneh, yang dilakukan orang asing ini. Dia sudah lantas datang
kepada kedua orang yang bertempur itu, untuk menyelak disama
tengah.
"Tuan-tuan, kamu telah lelah, pergilah beristirahat!" demikian
suaranya perlahan tetapi nyata. Itulah lagu suaranya Tantai Mie
Ming ketika tadi Mie Ming merubuhkan lawan-lawan yang terdahulu.
Heran Mie Ming, apa pula ketika orang itu ketengahkan kipas
rusaknya di antara mereka berdua, hingga kipas itu hancur dan
merosot turun bagaikan terikat sutera.....
Hong Hoe terperanjat, sambil berseru, dia lompat mundur.
Mie Ming pun terhuyung, lekas-lekas ia tarik kembali kedua
tangannya, ia heran sekali.
Hebat orang tua itu, yang mengerahkan tenaganya dengan
pinjam perantaraan kipas rusak itu, hingga kedua orang yang
tengah bertempur itu terpaksa memisahkan diri.
Begitu lekas ia telah sadar akan dirinya, Tantai
Mie Ming tertawa tergelak-gelak.
"Sungguh beruntung hari ini aku bertemu dengan orang pandai!"
kata orang Mongolia ini. "Aku Tantai Mie Ming, ingin menerima
pengajaranmu!"
Sambil pegangi kipas rusak itu, si orang tua perlihatkan roman
sibuk.
"Haraplah Tantai Tjiangkoen tidak berkelakar denganku,"
katanya, suaranya kurang nyata. "Aku adalah seorang desa yang
telah lanjut usianya, apakah yang aku mengerti tentang ilmu silat?"
Mie Ming sebaliknya perlihatkan roman sungguh-sungguh, roman
tak senang.
"Apakah benar-benar ioosianseng tidak suka memberi pengajaran
padaku?" dia tegaskan.
Lalu dengan satu gerakan tangannya, dia membuat kutung
tulang-tulang kipas rusak dari si orang tua itu, seperti terpapas
pisau tajam.
Semua orang menjadi kagum dan heran. Itu adalah kekuatan
jari-jari tangan yang istimewa. Orangpun heran, kenapa si orang tua
membiarkannya, sedang tadi ia yang memisahkan kedua lawan itu.
Ketika tadi ia memisahkan, orang tua itu menggunakan akal,
yaitu waktu Mie Ming dan Hong Hoe tidak bersiap sedia, dan
barusan, Mie Ming juga bergerak secara tiba-tiba, tak sempat si
orang tua menolong kipasnya itu, ia cuma dapat melindungi dirinya
sendiri.
Hong Hoe ketahui semua itu, ia menjadi kagum, di dalam
hatinya, ia berkata: "Benar-benar kepandaian manusia tak ada
batasnya. Sampai sebegitu jauh, aku merasa puas dengan
kepandaianku, sekarang terbukti, Mie Ming adalah terlebih liehay
daripadaku, siapa tahu, orang tua ini ada jauh terlebih liehay lagi.....
Mereka ini sama liehaynya, entah siapa yang terlebih liehay.....”
Karena memikir demikian, hati komandan Kimie wie ini menjadi
tidak tenteram. Ia pun berkuatir dalam pertempuran selanjutnya
akan meminta korban jiwa. Tidak apa untuk si orang tua, ia tak
dikenal, ia adalah rakyat jelata, tidak demikian dengan Tantai Mie
Ming. Umpama terbinasa, akibatnya bisa hebat, sebab dia adalah
utusan Watzu. Kalau si orang tua terbinasa, cuma Hong Hoe sendiri
yang merasa tidak enak, karena barusan ia berhutang budi, ia
merasa kasihan terhadap orang tua itu. Jikalau mereka bertempur,
siapa sanggup memisahkan mereka?"
Semua pahlawan juga merasa heran dan bingungnya seperti
Hong Hoe. Di satu pihak, mereka ingin menyaksikan pertempuran,
di lain pihak mereka kuatirkan akibatnya, hingga mereka berbareng
ingin pertempuran dibatalkan.....
Semua mata lantas diarahkan kepada Mie Ming dan si orang tua
itu.
"Jangan, jangan bertempur....." achirnya Hong Hoe berkata
dalam hati.
Tiba-tiba si orang tua mengangkat kipasnya.
"Kau telah rusakkan kipasku, tak ingin lagi aku akan kipasku ini!"
kata ia sambil mengangkat tangannya.
Kipas itu tinggal batangnya saja, ketika diangkat, gagangnya
menuju kepada jidat Tantai Mie Ming, pada jalan darah "thianleng
niat" Tantai Mie Ming terkejut.
"Sentilan yang liehay!" dia berseru, saking cepatnya tangan si
orang tua.
Selagi sekalian pahlawan kaget, Tantai Mie Ming mengangkat
tangannya, mengibaskan tangan bajanya, atas mana, tangan baju
itu berlubang terkena gagang kipas, dan gagangnya sendiri, yang
dilepaskan dari tangan si orang tua, melesat terus, mengenai
sebuah pohon hingga menerbitkan suara!
"Telah aku saksikan kepandaian jari tanganmu," kata Mie Ming.
"Sekarang ingin aku saksikan lebih jauh tanganmu!.....”
Menyusul itu, orang Mongolia ini lompat maju, beruntun ia
menyerang dengan kedua tangannya saling susul.
Orang tua itu menangkis, sambil berseru: "Oh, oh, kenapa kau
benar-benar hendak serang aku si orang dusun yang tua?" Kedua
tangannya dirapatkan, bagaikan ngempo bayi, sambil menangkis, ia
tambahkan: "Boleh, boleh kau patahkan tulang-tulangku yang tua
ini!.....”
Hong Hoe terkejut melihat bergeraknya tangan dari kedua orang
itu. Mie Ming ada bagaikan singa murka, si orang tua sebaliknya
seperti ular air yang lincah, tubuhnya setiap saat menyingkir dari
serangan si panglima Mongolia.
Setelah beberapa kali gagal, Mie Ming berseru, ia menyerang
pula berbareng dengan kedua tangannya.
"Ah!....." seru si orang tua, tubuhnya terhuyung tiga tindak.
Setelah itu, Tantai Mie Ming berseru: "Looenghiong, Taylek
Kimkong Tjioe-mu tak ada tandingannya di kolong langit
ini, suka aku bersahabat denganmu! Looenghiong, sudikah kau
memberitahukan she dan namamu?"
"Ehrn!" si orang tua bersuara pula, suaranya dingin. "Tidak
berani aku si orang dusun bersahabat dengan seorang
besar.....” Sambil mengucap demikian, tangan kirinya
menangkis, kaki kanannya menendang, ke arah jalan darah pekhay
hiat di betis lawannya.
Tiba-tiba Tantai Mie Ming menjadi gusar, hingga ia berseru:
"Apakah kau sangka aku benar-benar takut terhadapmu?" demikian
suaranya yang nyaring, lalu tangan kirinya dilonjorkan, tangan
kanannya menyambar.
Si orang tua loloskan diri, ia tertawa dingin.
"Telah aku saksikan dua macam kepandaian Thian Ya Lookoay si
orang tua aneh!" katanya. "Sungguh ilmu Tiat Piepie Tjioe dan
Loohan koen yang liehay!"
Mendengar itu, Tantai Mie Ming terkejut berbareng mendongkol.
Memang, gurunya adalah Siangkoan Thian Ya, dan guru itu liehay
dalam lima macam ilmu kepandaian, yaitu "tangan besi" Tiat Piepie
Tjioe, jurus Loohan koen, pedang Gouwkauw kiam, sentilan satu jari
Ittjie sian, dan lima batang jarum Hoeihong tjiam, yang di kalangan
Boeiim, Rimba Persilatan, kesohor sebagai Boeiim Ngotjiat — lima
macam ilmu kepandaian silat yang istimewa. Ia mendongkol karena
lagu suara orang, yang seperti memandang enteng kepada gurunya.
Maka juga, ia perhebat serangannya.
Nampaknya si orang tua jumawa akan tetapi selama berkelahi, ia
berlaku sangat hati-hati, tidak mau ia memandang enteng, semua
gerakannya adalah penting untuk pembelaan diri, dan dengan
Taylek Kimkong tjioe ia layani Loohan koen dan Tiat Piepee tjioe.
Makin lama makin seru jalannya pertempuran kedua orang itu.
sampai debu mengepul, sambaran-sambaran angin membuat
penonton terpaksa mundur sendirinya.
Loohan koen adalah ilmu silat biasa, Tiat Piepee tjioe juga tak
susah untuk dipelajarinya, hanya, di tangannya Tantai Mie Ming,
kedua ilmu silat itu jadi liehay luar biasa, dapat digabung jadi satu,
hebat serangannya, sempurna penjagaannya. Demikian juga
liehaynya si orang tua, tubuh siapa sangat lincah, hingga Tantai Mie
Ming tidak pernah mengenai tubuh orang itu, hingga keduanya
bagaikan air banjir menerjang gili-gili panjang, yang tak berhasil
merubuhkannya. Di pihak lain, si orang tua juga tidak sanggup
merubuhkan panglima Watzu itu.
Kalau tadi pertandingan antara Hong Hoe dan Tantai Mie Ming
membuatnya semua penonton kagum, sekarang mereka ini
menyaksikan sambil menjublak, saking kagum dan heran. Dua
lawan ini hebat tapi mereka nampaknya lucu, bagaikan dua bocah
tengah bermain-main.....
Sudah beberapa puluh jurus mereka itu mengadu kepandaian,
kelihatannya Tantai akan mengenai tubuh si orang tua, tahu-tahu
orang tua itu dapat membebaskan diri, atau nampaknya si orang tua
menang di atas angin, atau si panglima Mongolia mendadak bebas
dari ancaman bahaya. Maka semua penonton seperti menahan
napas.....
In Loei kagum seperti semua pahlawan lainnya.
"Hebat Taylek Kimkong tjioe si orang tua ini," demikian pikirnya.
"Katanya toasoepee liehay dalam ilmu silat itu, apakah orang tua ini
toasoepee adanya!.....”
Hian Kee Itsoe mempunyai lima murid, kecuali ayahnya In Loei,
yang telah menutup mata, ia masih punya empat murid yang
masing-masing dapat mewariskan satu kepandaian tersendiri.
Dalam ilmu pedang, yang terliehay adalah muridnya yang ketiga,
Tjia Thian Hoa. Mengenai tenaga dalam, yang paling tanggu adalah
murid kepalanya yaitu Tang Gak dengan Taylek Kimkong Tjioe.
Pikir In Loei terlebih jauh: "Aku dengar toasoepee dan
samsoepee pandai ilmu silat dan pintar ilmu suratnya, wajah mereka
luar biasa, kalau dia ini benar toasoepee, mengapa dia hanya
seorang desa yang tua? Pun katanya, untuk belasan tahun dia
pesiar di Mongolia dan Thibet, kenapa sekarang dia mendadak
muncul di kota raja ini?.....”
Tengah In Loei berpikir keras, pertandingan pun sudah berganti
rupa. Kalau tadi mereka itu saling serang dengan hebat,
sekarang gerakan kaki tangan mereka jadi lambat, malah ada
kalanya mereka seperti saling mengawasi saja, kaki tak bergerak,
tangan diam, cuma mata mereka memandang tajam. Mereka pun
berhadapan dekat.
Tak lama keadaan ini, atau mendadak mereka berubah pula,
keduanya lompat maju, lantas mereka memisah diri. Nampaknya tak
hebat serangan mereka, tetapi sebenarnya, mereka mencoba
mencari kemenangannya masing-masing.
Semua penonton tak tahu gerakan mereka itu, karena hebatnya
dan anehnya.
Tidak lama, juga Tantai Mie Ming telah mandi keringat.
Menampak itu, Hong Hoe terperanjat, ia berkuatir.
Kelihatannya mereka itu mesti kalah kedua-duanya, sama-
sama terluka..... Ia bingung sebab tak tahu ia, bagaimana harus
memisahkannya.
Seumurnya, Tantai Mie Ming belum pernah menghadapi lawan
setanggu ini, ia pun menjadi berkuatir sendirinya. Karena ini, ia
nampaknya menjadi nekat. Maka ia menyerang pula dengan sengit,
dengan cepat. Ia berseru.
Si orang tua melayani sambil mundur, dengan teratur. Ia
bertindak dengan gerakan "kioekiong patkwa," sebelah tangannya
menangkis, yang lain melindungi dadanya. Tampaknya ia seperti
tidak membalas menyerang, sedang sebenarnya, sambil menangkis,
ia pun membalas.
Dilihat dengan mata biasa, Tantai Mie Ming menyerang hebat
sekali, akan tetapi sebenarnya, setiap kali ia tertolak oleh tenaga
dorongan Kimkong tjioe dari lawannya itu.
"Sudah dua puluh tahun lebih aku malang melintang, kecuali Tjia
Thian Hoa, inilah tandinganku yang terkuat," pikir Mie Ming. "Tjia
Thian Hoa liehay ilmu pedangnya, tak ada tandingannya di kolong
langit ini tetapi bicara hal tenaga dalam, orang tua ini menang
daripadanya. Mungkinkah dia sama dengan Tjia Thian Hoa, ialah
salah satu murid lawannya guruku?"
Memang pada tiga puluh tahun yang lampau, gurunya Mie Ming
ini, yaitu Siangkoan Thian Ya, telah bentrok keras dengan Hian Kee
Itsoe, bentrok dalam perebutan kedudukan sebagai pemimpin kaum
Rimba Persilatan, selama tiga hari dan tiga malam, keduanya sudah
bertempur hebat di atas gunung Ngobie San, tanpa ada yang kalah
atau menang, hingga kesudahannya Siangkoan Thian Ya pergi
menyembunyikan diri di Mongolia, di mana dengan menerima
murid, ia mencoba mendirikan satu kaum persilatan tersendiri.
Walaupun ia bercuriga demikian rupa, dalam keadaan seperti itu,
di saat mati atau hidup, Tantai Mie Ming tidak sempat berpikir lama-
lama, ia harus terus melayani si orang tua, siapa meski usianya lebih
tua belasan tahun, nyata, tenaga dalamnya ada terlebih tanggu.
Orang tua ini tetap membela diri sambil balas menyerang, menyabet
atau mencengkram.
"Ah, hebat sekali....." Mie Ming menghela napas.
Ia menyedot hawa dingin. Diam-diam ia bergidik. Sia-sia belaka
ia menyerang, tangan kiri dengan
Lohan koen, tangan kanan dengan Piepee tjioe. Terpaksa ia
mesti jaga diri baik-baik, ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya
yang ia peroleh dari Siangkoan Thian Ya, yang telah mendidik ia
dengan sungguh-sungguh hati, dengan susah payah. Sekian lama ia
percaya, tidak nanti ada lain orang yang sanggup memecahkan
Loohan koen dan Piepee tjioe-nya, tidak tahunya kali ini ia menemui
lawannya.
"Biarlah, aku tidak akan serang hebat padamu, hendak aku lihat,
apa yang kau dapat berbuat terhadap diriku," pikir panglima
Mongolia ini kemudian. Dengan begitu ia telah mengambil
keputusannya.
Jurus-jurus telah lewat, masih mereka sama tanggunya, cuma
keringat yang membasahi jidat, mereka masing-masing.
Para penonton tetap dalam ketegangan. Biar bagaimana,
mereka, mengharapkan si orang tua yang keluar sebagai
pemenang, untuk nama baik persilatan Tionggoan. Tentu sekali,
mereka tidak tahu, Mie Ming pun asal orang Han sejati.
Tantai Mie Ming juga berkuatir akan akibatnya pertandingan ini.
Pihak luar niscaya tidak ketahui yang mereka bertanding hanya
untuk mencoba kepandaian. Akibat itu bisa mengenai urusan negara
dengan negara, sebab ia adalah pahlawan dari utusan Watzu,
sedang pihak lainnya adalah pahlawan-pahlawan Beng.
Selagi para penonton meragu-ragukan akhirnya pertandingan itu,
tiba-tiba si orang tua membuat lagi satu gerakan baru. Tubuhnya
tidak bergerak, adalah tangan kirinya dibikin melengkung bundar,
lalu tangan kanannya dikepal, dimajukan ke depan. Menyusul
tangan kanan itu baharulah tubuhnya turut maju sedikit, diturut
dengan tindakan kaki.
Dengan satu gerakan, Tantai Mie Ming tangkis serangan itu.
Tiba-tiba si orang tua menarik kembali tangan kanannya, untuk
dipakai melindungi dadanya, sebaliknya, kepalan kirinya berbalik
menyerang.
"Kena!" dia berteriak. Lalu tangan kanannya menyusul.
Itu adalah tiga serangan kepalan saling susul.
Tantai Mie Ming rasakan dorongan keras ketika ia tangkis
pukulan yang pertama, selagi ia hendak lawan dorongan itu,
mendadak dorongan pihak lawan itu menjadi kendor sendirinya,
selagi tubuhnya hampir terjerunuk, mendadak datang dorongan
yang lain. Ia segera menangkis pula. Lalu ia tangkis serangan yang
ketiga kali.
"Kecuali toasoepee, siapa lagi yang tenaga dalamnya begini
hebat?" pikir In Loei, yang menyaksikan sambil mendelong. Tanpa
merasa, ia berseru dengan kagumnya: "Bagus!"
Sekonyong-konyong terdengar satu suara "Duk!" yang keras.
Nyata pundak Mie Ming terkena jotosan yang ketiga kali itu.
"Celaka!" Thio Hong Hoe menjerit. Ia lantas lompat maju,
maksudnya untuk datang sama tengah. Bersama ia maju pula
beberapa pahlawan lain.
Serangan si orang tua itu membuatnya pundak Mie Ming turun
rendah, berbareng itu, kepalan si orang tua seperti terbetot tenaga
rahasia. Belum sempat orang tua itu menarik kembali kepalannya,
atau Mie Ming sudah membalas menyerang ke arah pinggang si
orang tua itu.
"Hm! Ha!" demikian terdengar si orang tua, yang tubuhnya
mencelat mundur, tinggi, sampai melewati kepalanya beberapa
pahlawan, hingga di lain saat ia telah lewati juga tembok
pekarangan!
In Loei tidak sempat berbuat apa-apa, ia cuma melihat, sinar
matanya si orang tua menatap dengan tajam ke arahnya.
Tubuh Hong Hoe masih lemah, walaupun ia lompat, ia dapat
disusul oleh dua pahlawan yang lompat berbareng dengannya.
Kedua pahlawan ini sudah lantas sampai kepada Mie Ming, siapa
hendak mereka tolongi. Karena serangannya itu, Mie Ming jatuh
duduk, tubuhnya tak lagi bergerak. Mereka ini cekal kedua
pundaknya, maksudnya untuk memimpin bangun, atau tiba-tiba di
antara jeritan "Ayo!" dua pahlawan itu mundur terhuyung, iga
mereka dirasakan sakit.
"Ha!" mereka itu berseru.
Hong Hoe segera mengerti duduknya hal. Ia halangi kedua
pahlawan itu, hingga mereka tak terhuyung terlebih jauh.
"Biarkan Tantai Tjiangkoen1." Hong Hoe teriaki kedua pahlawan
itu. "Dia tengah empos tenaga dalamnya!.....”
Hampir berbareng dengan itu, kelihatan Mie Ming bersenyum,
terus ia manggut-manggut kepada si komandan, seperti ia hendak
puji komandan itu.
Si orang tua turunkan tangannya yang terakhir, dia gunakan
Taylek Kimkong tjioe, untung tenaga dalam si panglima Watzu pun
liehay, ia pun luas pengalamannya, dari itu, dapat ia mengelakkan
diri. Ia turunkan pundaknya untuk menyambut serangan, kecuali
mendak, tidak ada lain jalan lagi baginya. Berbareng dengan itu, ia
juga coba menyerang, guna meringankan pukulan si orang tua.
Walaupun itu semua, pakaian perangnya — lapis baja — telah
menjadi korban, jikalau tidak, tentu rusaklah anggota-anggota
dalam tubuhnya.
Juga si orang tua tidak menyangka, dalam keadaan terancam
seperti itu, Mie Ming masih bisa mengelakkan diri, masih bisa
membalas menyerang, ia terkejut ketika ia merasa tubuhnya seperti
terbetot lawan itu. Ia mencoba pula mengelakkan diri. Syukur
untuknya, serangan Mie Ming tak sekuat tenaganya — tenaga Mie
Ming tengah terbagi — jadi serangan itu, dalam sepuluh cuma dua
tiga bagian saja. Jikalau tidak, juga si orang tua mesti rubuh seperti
lawannya ini, yang jatuh duduk numprah. Tapi tidak urung,
sekeluarnya dari rumah Hong Hoe, ia mesti juga muntahkan diri,
dan tempo ia kembali di pondoknya, ia mesti duduk bersemedhi
guna memulihkan kesehatannya.
Mie Ming tetap bercokol sekian lama. Ia lolos dari bahaya di
dalam, ia tidak bebas dari luka di luar. Tidak berani ia bicara. Ia
juga empos semangatnya, untuk mengalirkan jalan darahnya.
Hong Hoe mengawasi orang, terus ia berkata pada rekan-
rekannya: "Pertandingan sudah berakhir, sekarang silakan saudara-
saudara pulang saja!"
Semua pahlawan itu juga kuatir nanti terlibat, maka itu, dengan
segala senang hati mereka lantas pamitan dan pergi, kecuali dua
pahlawan, yang terus berdiri diam, wajah mereka beda dari
biasanya.
In Loei tak dapat berdiam lebih lama, hendak ia bicara kepada
tuan rumahnya, atau mendadak, dua pahlawan itu membuka
mulutnya.
"Sekarang ini masih pagi, Tantai Tjiangkoen pun belum pulih
kesehatannya, kami berdua hendak berdiam dulu di sini," demikian
kata mereka.
"Tidak berani aku mengganggu djiewie," kata Hong Hoe dengan
cepat.
"Kami dua saudara pertama-tama ingin menemani Tantai
Tjiangkoen, kedua kami hendak gunakan ketika ini untuk
melanjutkan pertandingan ini," kata pula mereka itu, yang bicaranya
mendesak, "ialah kami ingin belajar kenal sama ilmu golok dari Thio
Thaydjin. Karena ini ada latihan belaka, untuk kemajuan kedua
pihak, kami percaya Thio Thaydjin tentulah tak nanti sudi tak
memberi petunjuk kepada kami."
Hong Hoe jadi berpikir keras. Kedua pahlawan itu adalah orang-
orang kepercayaannya Soeiee Thaykam Ong Tjin, si orang kebiri
yang besar pengaruhnya. Semasa kaisar masih menjadi putera
mahkota, Ong Thaykam ini pernah mengajarkan ilmu silat padanya,
sekarang, sebagai Soeiee Thaykam, dia jadi sangat berkuasa,
dengan gampang dia dapat memfitnah menteri-menteri setia. Dua
pahlawan ini, yang bersaudara kandung, adalah Lou Beng dan Lou
Liang, kepandaian mereka yang utama adalah genggaman tameng
yang bernama ilmu silat Lakcapshalou Koengoanpay hoat, yang
terdiri dari enam puluh tiga jurus. Tameng itu istimewanya ialah
bukan dikawani dengan golok, hanya dengan pedang, dan kedua
saudara ini, yang satu menyekal pedang, yang lain memegang
tameng, biasa mereka bertempur bersama. Sebenarnya Hong Hoe
tidak mengundang mereka ini, adalah mereka yang datang sendiri.
Bingung juga Hong Hoe. Terang sudah, kedua saudara she Lou
ini tidak mempunyai maksud baik. Yang hebat baginya ialah selagi ia
masih lelah habis melayani Mie Ming, tak dapat ia menampik dengan
alasan masih letih itu. Akhirnya, terpaksa ia ambil putusannya.
"Oleh karena djiwie mempunyai kegembiraan itu, baiklah, suka
aku yang rendah menemaninya," demikianlah penyahutannya. "Tapi
karena kita cuma melatih diri, aku harap kita hanya saling
menyentuh saja, jangan kita bicarakan urusan kalah atau
menang....."
"Itulah pasti!" tertawa kedua saudara Lou itu. "Siapa kalah siapa
menang, kita sambut dengan tertawa saja!"
Lalu, dengan mengambil tempat di kiri dan kanan, kedua
pahlawan itu segera siap sedia dengan pedang dan tameng mereka.
In Loei menjadi tidak puas sekali.
"Tidak keruan-keruan, kembali orang hendak bertanding,"
pikirnya. Tapi ia ada orang luar, tidak dapat ia menyelak di tengah
untuk mencegah pertandingan itu, terpaksa ia berdiri tetap di
pinggiran.
Thio Hong Hoe hunus goloknya, golok Biantoo. "Silakan!" ia
undang.
"Thio Thaydjin saja yang mulai!" Lou Beng jawab.
Hong Hoe mengerti persiapan kedua saudara itu, tak sudi ia
hunjuk kelemahan dirinya.
"Baiklah!" ia jawab sambil tertawa. "Maaf!"
Dengan satu gerakan menyabet dari ilmu golok Ngohouw
Toanboen too, komandan Kimie wie sudah lantas menyerang
lengannya Lou Beng.
"Trang!" demikian satu suara, ketika pahlawan Ong Tjin
menangkis dengan tamengnya. Itulah Lou Liang, yang mendalangi
saudaranya.
Hong Hoe sudah menduga akan tangkisan itu, maka juga dengan
menggunakan ketika itu, ia luncurkan goloknya di antara tameng
itu, dengan menerbitkan sinar hijau yang menyilaukan mata,
dengan jurus "Anghee toatbak," "Sinar layung menyilaukan mata,"
ia menikam terus dengan ujung goloknya ke arah tenggorokan.
Justeru itu Lou Beng, dengan pedangnya yang tajam, majukan
diri sambil memapas, akan tabas kutung lengan si orang she Thio.
Dengan cara ini ia berbareng menolongi saudaranya.
Dengan cepat Hong Hoe tarik pulang goloknya, untuk menangkis
pedangnya.
Dalam tempo yang pendek itu Lou Liang dapat kenyataan,
tamengnya pada bagian yang terbacok lawan telah melesak,
memberi bekas bacokan golok, karena mana, ia terkejut.
"Kusangka dia sudah lelah, tidak tahunya dia masih tetap
tangguh," ia berpikir. Karena ini, segera ia maju pula, guna
membantu saudaranya. Ia mencoba mendesak. Dengan lantas ia
perlihatkan liehaynya ilmu silat tamengnya. Desakan ini ada baiknya
untuk Lou Beng, yang jadi leluasa dengan pedangnya, sebab dia
senantiasa terlindung tameng saudaranya itu.
Dalam keadaan biasa, dua saudara Lou itu bukan tandingannya
Thio Hong Hoe, sekarang ini komandan itu masih lelah hingga golok
yang tajam itu kurang lincah gerakkannya, dengan begitu, bertiga
mereka jadi berimbang.
Lou Beng dan Lou Liang mencoba mendesak, sebentar saja
mereka sudah bertempur kira-kira lima puluh jurus, bagus kerja
sama mereka berdua, sempurna serangan dan pembelaan diri
mereka, maka sulit bagi Hong Hoe untuk merubuhkan mereka, tidak
peduli goloknya itu istimewa tajamnya.
Dalam percobaannya mendesak itu Lou Liang kembali menyerang
dengan tamengnya, dengan jurus "Soenloei koanteng" atau
"Geledek menyambar." Ia arah batok kepalanya Thio Hong Hoe.
Komandan Kimie wie itu menginsyafi bahaya tameng itu, yang
beratnya sedikitnya seratus kati. Coba ia masih segar, tidak usah ia
pikirkan itu.
Sekarang adalah lain, tidak mau ia melayani keras dengan keras.
Maka itu dengan cepat ia berkelit. Karena ia mengalah, ia jadi
terdesak, hingga segera ia berada di bawah angin.
Dilindungi tameng saudaranya, pedang Lou Beng mendesak
berulang-ulang, bagaikan ular berbisa yang tak hentinya
menyemburkan bisanya.
In Loei lantas menginsyafi bahaya yang mengancam Thio Hong
Hoe itu, ia menjadi heran. "Ini bukan caranya orang berlatih,"
pikirnya.
Tiba-tiba tampak Lou Liang mendekam, tamengnya menutupi
seluruh tubuhnya, habis itu dengan cepat, ia lompat bangun,
tamengnya itu menyambar, dalam gerakan "Hengsaw tjiankoen" —
"melintang menyapu ribuan serdadu." Tameng itu mengarah
kepinggang.
Hong Hoe berkelit dengan gerakan "Liongheng hoeipou" atau
"Naga terbang," ia lolos di bawah tameng, sambil berkelit, ia
membalas menyerang dengan bacokan. "Tongleng tianpie" atau
"Cengcorang pentang sayap." Kalau ia barusan diarah pinggangnya,
ia mengarah sepasang kaki orang.
Inilah yang dikatakan "Tong long pok sian, oey tjiak tjay houw,"
yaitu, sang cengcorang menubruk sang tonggeret, sang burung
gereja mengintai di belakangnya. Selagi Hong Hoe membabat kaki
Lou Liang, Lou Beng di sampingnya pun menikam dengan
pedangnya. Sebab Lou Beng hendak menolongi Lou Liang, sang
saudara.
In Loei saksikan kejadian itu, ia kaget hingga ia menjerit. Tapi ia
tidak hanya menjerit, berbareng dengan itu, jari-jari tangannya
menyentilkan Bweehoa Ouwtiap piauw.
Lou Beng percaya betul, pedangnya akan mengenai sasarannya.
Ia tidak sangka, berbareng dengan satu suara "trang!" ujung
pedangnya telah meleset, karena piauw menyampoknya hingga
ujung pedang itu menggeser dari arahnya. Coba tidak demikian,
sudah tentu tubuh Hong Hoe bakal tertusuk bagaikan sate
dipanggang. Tak sempat berpaling lagi, untuk mencari tahu, siapa si
pelepas piauw itu, Lou Beng berlompat mundur, sesudah itu, baharu
ia pikir hendak menanya.
Berbareng dengan itu, juga In Loei hendak lompat maju, untuk
majukan diri, atau ia telah didahului Tantai Mie Ming. Panglima
Mongolia ini mencelat maju seraya perdengarkan suaranya: "Aku
hendak bertempur pula satu gebrakan! Djiewie, kamu suka berdiam
di sini, untuk temani aku, maka untuk membalas kebaikanmu ini,
suka aku mengorbankan diri untuk menemani kau! — Thio Thaydjin,
silakan kau undurkan diri!"
Mie Ming bergerak terus menyusuli kata-katanya itu, ia tak
tunggu lagi jawabannya kedua saudara Lou itu atau Hong Hoe,
tangan kirinya bekerja dibarengi dengan tangan kanan. Kalau
tangan kiri menyambar menangkap, tangan kanan menggempur
menyampok. Karena kagetnya, tameng Lou Liang sampai terlepas
dari cekalannya, terpental tinggi, dan pedangnya Lou Beng kena
dirampas, terus dibikin patah menjadi dua potong!
Maka melengaklah kedua saudara itu!
Tantai Mie Ming tidak berhenti sampai di situ. Dia bekerja terus,
kedua tangannya menyambar tubuh Lou Beng dan Lou Liang, yang
terus dia angkat sambil berseru "Pergi!"
Maka kedua tubuh itu yang bagaikan ditiup angin puyuh,
terapung kurang lebih satu tombak jauhnya, perdengarkan jeritan
dari kesakitan, mata mereka berkunang-kunang, sebab mereka
terbanting keras, sejenak itu juga mereka pingsan!
Tantai Mie Ming melenggak, ia tertawa ber-kakakan.
"Selama hidupku, inilah hari pertandinganku yang paling
memuaskan!" kata dia dengan nyaring. Terus dia manggut terhadap
Thio Hong Hoe, sedang terhadap In Loei, dia usapkan tangannya
dan berkata: "Aku hendak cari si orang tua tadi, maaf, tak dapat
aku temani kamu terlebih lama pula!.....”
Dan dia buka tindakan lebar untuk berlalu dari rumah Hong Hoe.
Tuan rumah she Thio itu segera lari menghampiri Lou Beng dan
Lou Liang, untuk memeriksa keadaannya. Ia dapat kenyataan,
tulang iga Lou Beng patah dua buah dan gigi Lou Liang copot dua
biji. Sama sekali mereka tidak peroleh luka di dalam tubuh, hingga
jiwa mereka tidak terancam bahaya. Maka dengan hati lega, Hong
Hoe lantas ambil obat dan obati mereka itu.
Habis itu, dengan keluarkan kata-kata tak tegas, dengan
tindakan tidak tetap, kedua pahlawan itu juga ngeloyor pergi.....
Akhir-akhirnya, Hong Hoe menghela napas.
"Sungguh aku tidak duga....." keluhnya.
"Apakah yang kau tidak duga?" In Loei tanya.
"Biasanya aku tidak pernah berhubungan dengan Ong Tjin,"
sahut komandan Kimie wie itu. "Dua orang ini adalah pahlawan-
pahlawan Ong Tjin, mereka rupanya mendapat titah dari Ong Tjin
untuk mencelakai aku. Mungkin ini disebabkan aku tak sudi
pernahkan diri di bawah pengaruh orang kebiri itu.....”
In Loei berdiam. Baharu sekarang ia tahu, di kota raja ini, juga
kaum pahlawan terdiri dari berbagai golongan, bahwa mereka saling
berdengki. Tentang ini, tidak sudi ia mencari tahu, ia tidak
menanyakannya lebih jauh.
"Eh, mana sahabatmu itu, Siangkong Thio Tan Hong?" tanya
Hong Hoe kemudian.
Wajah In Loei menjadi bersemu merah.
"Sejak di Tjengliong Kiap, kita telah berpisah," ia menyahut,
terpaksa.
"Sayang, sayang," mengeluh Hong Hoe. "Coba kamu berdua ada
di sini, dengan pedangmu bergabung menjadi satu, pasti sekali
kamu dapat mengalahkan Tantai Mie Ming itu! Selama tiga hari
beruntun, terus menerus Mie Ming menangkan belasan
pertandingan, beruntung datang orang tua tidak dikenal itu yang
membuatnya ia tahu rasa, sayang mereka bertanding seri, sama-
sama mereka memperoleh luka..... Ah, sungguh, kali ini runtuhlah
kaum pahlawan dari kota raja!.....”
In Loei mengerti orang sangat berduka dan menyesal. Tapi ia
tertawa.
"Sebenarnya kau belum terkalahkan Tantai Mie Ming!" ia kata.
"Syukur datang si orang tua, kalau tidak, tetap aku bakal kalah,"
Hong Hoe akui. "Malah mungkin jiwaku akan lenyap bersama! Tidak
tahu aku bagaimana cara datangnya orang tua itu, di sini banyak
pahlawan, tidak seorang jua yang mengetahuinya....." Ia
berhenti sebentar, untuk menambahkan: "Tantai Mie Ming juga
ada seorang aneh. Kalau tadi dia tidak turun tangan, mungkin aku
bercelaka juga. Biar bagaimana, aku mesti haturkan terima kasihku
untuk Bweehoa Ouwtiap piauw-mu!"
In Loei tak gubris pujian itu. Ia mempunyai urusan lain.
"Thio Thaydjin," katanya, "aku datang ke kota raja ini untuk satu
urusan penting. Hendak aku mohon bantuan kau!"
"Katakanlah," jawab Hong Hoe.
"Mana dia sebawahanmu, si perwira muda she In?" In Loei tanya.
"Aku minta supaya kau ajak dia menemui aku."
Hong Hoe mengawasi, nampaknya ia merasa heran.
"Adalah untuk ini saja kau datang ke kota raja ini?" dia tegaskan.
"Ya, untuk ini saja," In Loei pastikan. "Sebenarnya kau
menpunyai hubungan apa dengan In Tongnia itu?" Hong Hoe
tanya pula.
"Belum pernah aku dengar ia menyebut-nyebut kau.....”
"Kita adalah dari satu she, aku ingin berkenalan dengannya,"
sahut In Loei, yang masih belum ingin menerangkan jelas.
"Di kolong langit ini banyak orang yang sama she-nya," pikir
Hong Hoe, "maka itu alasanmu tidak masuk diakal.....”
In Loei tidak membiarkan orang bungkam.
"Jikalau Thaydjin ada punya urusan lain, tolong beritahukan saja
alamatnya In Tongnia itu," ia mendesak. "Aku sendiri dapat mencari
dia."
Tiba-tiba saja komandan itu bersenyum.
"Inilah urusan gampang," katanya. "Sekarang silakan kau masuk
dulu."
In Loei heran, di dalam hatinya, ia kata: "Kalau urusan ada
gampang, untuk apa kau undang aku masuk dulu? Tidakkah cukup
bila kau beri tahu aku alamatnya perwira muda itu?.....”
Tapi ia adalah tetamu, tidak berani ia terlalu mendesak.
Hong Hoe pimpin tetamunya berlalu dari tanah lapang, untuk
memasuki sebuah ruang tetamu di mana paling dulu ia titahkan
pelayannya menyiapkan dua cangkir terisi teh wangi.
"Maaf, ingin aku salin pakaian dulu," kata tuan rumah ini
kemudian, lalu ia terus masuk.
Memang, setelah pertempuran hebat melawan Tantai Mie Ming,
pakaian komandan Kimie wie itu telah robek dan kotor, begitupun
rambutnya. Mulanya In Loei, karena urusannya, tidak
memperhatikan, sesudah orang menyebutkannya, baharu ia melihat
terang. Benar-benar tidak pantas tuan rumah menemani tetamu
dengan pakaian tidak keruan macam itu. Maka ia jadi tertawa.
"Sungguh liehay Tantai Mie Ming itu!" ia kata. "Syukur kau yang
melayani dia, coba orang lain, sudah tentu dia tidak sanggup.....”
Hong Hoe bersenyum, ia jalan terus.
Sebenarnya tidak lama, tapi In Loei menantikan dengan tidak
sabaran, baharu hatinya lega apabila ia tampak tuan rumah itu
muncul pula.
"Thio Thaydjin, di mana tinggalnya In Tongnia itu?" ia tanya
tanpa menanti lagi. Ia seperti tak sanggup kuasai pula dirinya.
Hong Hoe berlaku ayal-ayalan, ia singkap bajunya untuk duduk
dengan tenang. Ia pun angkat dulu cawan tehnya, untuk menghirup
teh yang wangi itu.
"Sukar untuk menemui In Tongnia itu!" sahutnya kemudian, tapi
sambil bersenyum.
In Loei heran, hingga tak dapat ia tidak memperlihatkan roman
kaget.
"Apa katamu?" tanyanya cepat. "Dia kena-pakah?"
Hong Hoe lihat tegas kelakuan orang yang luar biasa itu. Itu
menyatakan bahwa di antara kedua anak muda itu terdapat suatu
hubungan yang erat, kembali ia bersenyum.
"Dia tengah menghadapi suatu kejadian di luar dugaan, hanya itu
adalah kejadian yang baik," jawabnya kemudian. "Dia telah disetujui
oleh Sri
Baginda, dia telah diangkat menjadi siewie di dalam keraton.
Karena ini dia tidak dapat sembarang keluar, jadi sulit untuk
menemui dia." In Loei jadi bingung.
"Apakah kau juga tak dapat memanggil dia keluar?" ia tanya.
"Sekarang ini dia bukan lagi sebawahanku, pasti tak dapat aku
memanggil dia keluar," sahut Hong Hoe.
In Loei jadi seperti putus asa.
"Habis bagaimana?" tanyanya, lenyap kegembiraannya.
"Jikalau kau berniat menemui dia, mungkin setengah bulan lagi
baharu ada ketikanya," Hong Hoe beritahu.
"Kenapa begitu?" In Loei tanya. "Apakah sebabnya?"
"Setengah bulan lagi tibalah waktunya Sri Baginda mengadakan
ujian militer tahun ini," komandan Kimie wie itu menerangkan.
"Dengan ujian militer" dia maksudkan ujian boe kiedjin. "Saudara
Tjian Lie sudah mendaftarkan namanya. Dia pandai ilmu silat, dia
paham membaca kitab perang, ada harapan baginya lulus sebagai
Boe tjonggoan. Umpama kata dia menjadi Boe tjonggoan, sudah
pasti Sri Baginda akan berikan dia pangkat besar dan mendapat
kedudukan lain hingga tak usah dia tinggal lebih lama di dalam
keraton sebagai pahlawan."
Benar-benar lenyap harapan In Loei. Ia jadi memikir untuk
pamitan saja. Akan tetapi Hong Hoe tanya ia ini dan itu, ia tetap
diajak bicara. Dan bicara tentang kejadian di Tjengliong Kiap, tuan
rumah ini kembali puji Thio Tan Hong, ia kata, karena tipu dayanya
Tan Hong itu, puteranya Tjioe Kian dan ia sendiri jadi dapat
kebaikan.
Hati In Loei berdenyut setiap kali ia dengar disebutnya nama Tan
Hong.
Hong Hoe lihat keadaan orang itu, ia menjadi heran sekali.
"Apakah benar Thio Tan Hong itu puteranya Thio Tjong Tjioe?"
tanyanya kemudian.
"Benar," jawab In Loei, terpaksa.
"Kalau benar begitu, benarlah, teratai keluar dari lumpur tetapi
tidak kotor!" kata Hong Hoe. "Melihat segala sepak terjangnya,
terang dia adalah satu pemuda penyinta negara, maka harus
ditertawai saudara Tjian Lie, dia baik dalam semua hal kecuali
terhadap Tan Hong, dia sangat berkukuh, dia sangat benci Tan
Hong itu." In Loei berdiam, ia rasakan hatinya sakit.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?" kembali Hong Hoe
menanya secara di luar dugaan.
"Di masa kecilku, pernah aku tinggal di Mongolia," In Loei akui.
"Kalau benar begitu, kau mirip dengan saudara Tjian Lie itu,"
kata Hong Hoe. "Tahukah kau orang macam apa pangeran asing
serta Tantai Mie Ming yang datang ke Tionggoan ini?"
"Aku meninggalkan Mongolia sebelum berumur tujuh tahun,"
sahut In Loei, "maka itu mengenai Mongolia, sedikit sekali
pengetahuanku. Kenapa
Thaydjin tanya tentang kedua orang asing itu?"
"Sekarang pemerintah kita menghadapi suatu urusan penting,"
jawab komandan itu. "Itu adalah satu urusan aneh."
In Loei tidak menegaskan. Ia anggap ia adalah seorang rakyat
jelata, tak ada pentingnya baginya untuk mengetahui urusan negara
itu.
Hong Hoe sebaliknya pandang "pemuda" ini sebagai sahabat
karib, bagaikan saudara kandung, tanpa kekuatiran, ia
membicarakannya terlebih jauh.
"Pangeran asing itu bernama Atzu," ia berikan keterangan, "di
negerinya dia menjabat pangkat tiwan, yang berarti pejabat
pemerintah, maka kekuasaannya berada di atasnya lain-lain
pangeran, dia cuma berada di bawahan thaysoe. Kali ini dia datang
ke negeri kita sebagai utusan, untuk membuat perundingan. Ada
tiga syarat yang telah dikemukakan. Pertama-tama dia minta supaya
daerah seratus lie di luar Ganboenkwan diserahkan pada negara
Watzu, dan kota Ganboenkwan menjadi tapal batas kedua negara
itu. Yang kedua dia minta diadakan penukaran antara barang-
barang besi kita dengan kuda Mongolia. Dan yang ketiga dia minta
supaya puteri raja kita dinikahkan dengan Toto Puhwa, putera raja
Watzu itu. Ketiga permintaan itu ditentang keras oleh Ie Kokioo,
yang tak dapat menerimanya. Ie Kokioo bilang, tanah daerah
Tionggoan, satu dim juga panjangnya tak dapat diserahkan pada
lain negara. Kalau besi kita diserahkan pada negara Watzu, itu ada
seumpama kita pelihara harimau untuk mendatangkan ancaman
bencana di belakang hari, sebab sekarang saja negeri Watzu
sudah kuat sekali. Tentang pernikahan, meskipun itu ada urusan
keraton, tetapi itu juga mengenai kehormatan kebangsaan, maka itu
pun tak dapat diterima."
"Ie Kiam adalah satu menteri besar yang jujur, dia sangat setia
kepada negara, sikapnya itu pasti tidak aneh," kata In Loei, yang
turut juga bicara.
"Ie Kiam menentang keras, ia memang tidak aneh," Hong Hoe
jawab, "yang aneh adalah sikapnya Ong Tjin. Dia juga menentang,
sedang dia secara diam-diam, telah sekongkol dengan negeri Watzu
itu, hal mana sudah dapat kita dengar semua. Pada sikap Ong Tjin
itu ada satu sebabnya. Daerah seratus lie di luar Ganboenkwan
berada dalam pengaruhnya Kimtoo Tjioe Kian, daerah itu tak lagi
dapat dikendalikan oleh pemerintah kita. Inilah sebabnya Ong Tjin
sangat benci pada Tjioe Kian, selama sepuluh tahun sudah sering
dia kirim surat-surat rahasia pada panglima kota Ganboenkwan,
mengijinkan panglima itu berserikat dengan tentara Watzu, untuk
bersama menghajar dan memusnahkan Tjioe Kian. Karena sebab
itu, kita percaya, Ong Tjin tentunya setuju untuk menyerahkan
daerah itu kepada bangsa Watzu. Di luar dugaan, dia justeru
menentangi! Tentang pertukaran besi Tionggoan dengan kuda
Mongolia, hal itu sudah berjalan selama sepuluh tahun, yang
melakukan itu, tentu saja secara diam-diam juga, adalah Ong Tjin
sendiri."
"Mungkin Ong Tjin mainkan siasat, supaya orang tidak tahu jelas
akal muslihatnya itu," kata In Loei. "Rupanya dia tidak mau main
terang-terangan." Thio Hong Hoe tertawa.
"Kenapa Ong Tjin tidak melakukan itu terang-terangan?"
katanya. "Ong Tjin itu sudah mempengaruhi Sri Baginda untuk
membikin tunduk semua menteri. Di dalam istana, dia telah
berkoncoh, mengumpulkan kawan sekongkol, karena itu, ada alasan
apa maka ia tidak berani berterus terang? Kau tahu, sekalipun Sri
Baginda selalu pandang mata padanya. Sri Baginda sendiri ada
seorang yang berhati kecil, bila Ong Tjin menganjurkan perdamaian,
tentu semua permintaan Watzu itu akan sudah diterima baik.....”
"Tentang keadaan pemerintah aku tidak tahu suatu apa," kata In
Loei.
"Masih ada yang lebih aneh lagi daripada sikap Ong Tjin itu,"
Hong Hoe tambahkan. "Sudah dia tentangi perdamaian, dia juga
menganjurkan supaya utusan Watzu itu ditahan. Mengenai ini, Ie
Kiam tidak mupakat. Ong Tjin biasa membantu Watzu, sekarang dia
menganjurkan untuk menahan utusan negara itu, semua menteri
tak ada yang tidak merasa heran....."
Mendengar ini, panas hati In Loei. Kembali ia teringat pada
urusan engkong-nya, yang diutus ke negeri Watzu, lalu ditahan,
disiksa sebagai pengembala kuda selama dua puluh tahun, hidup
menderita di tempat dingin, es dan salju.
"Walaupun kedua negara sedang berperang, tidak seharusnya
utusan salah satu negara dibunuh mati!" kata dia dengan sengit.
"Karena itu, tidak selayaknya utusan Watzu mesti ditahan!"
"Mengerti aku tentang kebiasaan antara negara itu, kata Hong
Hoe. "Tapi usul penahanan utusan Watzu itu keluar dari Ong Tjin
sendiri, itulah yang membuatnya semua orang tidak mengerti.....”
Tanpa merasa, mereka telah bicara banyak, tahu-tahu sang
magrib telah tiba, maka Thio Hong Hoe titahkan orangnya
menyiapkan barang santapan untuk menjamu tetamunya.
"Di manakah In Siangkong ambil kamar?" tanya tuan rumah.
"Jikalau kau tidak cela rumahku yang kecil dan buruk ini, aku minta
sukalah kau pindah saja pada aku di sini."
In Loei menampik dengan segera. Ia mengerti bahwa ia adalah
satu gadis dan ia tidak merdeka untuk menumpang di rumah
komandan ini. Untuk itu ia menghaturkan terima kasih.
"Kenapa ia pemaluan sekali, tingka polanya mirip dengan satu
nona remaja?" Hong Hoe berpikir. "Dia beda jauh sekali daripada
Thio Tan Hong."
Di waktu bersantap, In Loei tanyakan alamatnya Ie Kiam si
menteri besar.
"Apakah kau berniat menemui Ie Thaydjin?" Hong Hoe tegaskan.
"Dalam beberapa hari ini ia ada sangat repot dengan urusan
pemerintahan, umpama kata dia sendiri sudi menemui kau,
pengawal pintunya pasti akan tak mengijinkannya."
Walaupun ia menjawab demikian, Hong Hoe beritahukan juga
alamat menteri yang setia itu.
Habis bersantap malam, In Loei pamitan tanpa tuan rumah
mampu mencegah dia, maka itu Hong Hoe antar tetamunya sampai
di luar. Waktu hendak berpisah, sambil tertawa komandan Kimie wie
ini berkata: "Kalau nanti sahabatmu juga datang ke kota raja" — ia
maksudkan Thio Tan Hong — "dan bila saudara Tjian Lie, telah lulus
sebagai Boe tjonggoan, pasti aku akan jadi Lou Tiong Lian si juru
perantara, untuk menjamu saudara Tjian Lie itu pada waktu mana
kau harus menjadi tetamu yang mengawaninya....."
In Loei tertawa menyeringai, ia lihat sendirinya. "Kau baik sekali,
Thio Thaydjin," katanya. "Lebih dahulu aku haturkan terima kasih
untuk perjamuan itu."
Lalu pemudi ini pamitan, akan pulang ke hotelnya.
Malam itu In Loei tidur gelisah, tak dapat ia lantas pulas.
Sebentar ia ingat akan kakaknya, di lain detik ia ingat Thio Tan
Hong. Ia menyesal, begitu jauh ia telah susul kakaknya itu, yang
satu-satunya, siapa tahu, sesampainya di kota raja ini, masih ia tak
dapat segera menemuinya. Siapa nyana kakak itu telah berada di
dalam istana. Memang dapat ia menunggu kakaknya itu, sampai
selesai ujian militer, di waktu mana mungkin si kakak akan ke luar
sebagai pemenang, akan tetapi, sampai kapankah ia mesti menanti?
Pastikah si kakak bakal menang? Siapa tahu, sesudah itu, tidak
bakal menyusul lain urusan, yang dapat menghalangi pertemuan
mereka?
Maka pada akhirnya, ia menghela napas seorang diri.
"Dasar nasibku buruk....." katanya dalam hatinya: "Sampai
saudara sendiri, sulit aku menemuinya....."
Ingat saudara sendiri, In Loei kembali teringat pada Tan Hong.
Ada sesuatu yang membikin ia selalu ingat pemuda itu. Teringat
pula ia akan kata-katanya Thio Hong Hoe tentang si anak muda.
Dengan sendirinya, ia tertawa meringis.
"Mana kau ketahui keluargaku dengan keluarganya bermusuhan
hebat, laksana dalamnya lautan..." katanya di dalam hati. "Kau
berniat memberi nasehat kepada kakakku supaya dia akur dengan
Tan Hong, pastilah percobaanmu itu, akan sia-sia belaka
akhirnya.....”
Ingat Tan Hong, segera In Loei ingat Ie Kiam. Ia lantas rabah
sakunya. Ia keluarkan surat Tan Hong yang dititipkan padanya,
untuk disampaikan kepada Ie Kiam, menteri setia itu. Ia baca
alamat surat itu. Itulah tulisan tangan yang bagus, bagaikan "naga
terbang atau burung hong menari." Itulah tulisan si mahasiswa
berkuda putih..... Mengawasi tulisan itu, ia bagaikan melihat
wajahnya si penulis surat sendiri.
"Inilah untuk pertama Thio Tan Hong memasuki Tionggoan, cara
bagaimana ia kenal Ie Kiam?" ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ia
menulis surat kepada Ie Kiam untuk memperkenalkan aku?"
In Loei berpikir Tan Hong itu agak jumawa tetapi orangnya
sangat berhati-hati, hingga sebegitu jauh ia tahu, belum pernah Tan
Hong melakukan kekeliruan, dan diapun belum pernah mendusta.
"Dia menulis surat kepada Ie Kiam, mesti ada sebab yang kuat
alasannya," ia pikir lebih jauh. "Tidak ada jalan untukku akan
menghadap Ie Kiam, baiklah aku pakai surat Tan Hong ini selaku
pembuka jalan. Aku akan mencoba-coba saja! Ah, bagaimana
jikalau pengawal pintu tak sudi mengijinkan aku menghadap Ie
Kokioo? Apa aku mesti bertindak seperti di rumah keluarga Thio,
untuk menyerbu saja? Ie Kiam adalah menteri kelas satu, dialah
menteri tertua dan agung, yang dihormati di luar dan di dalam
negara, bagaimana dapat aku berlaku lancang? Aku mempunyai
kepandaian enteng tubuh, ah, baiklah aku datang saja pada
waktu malam, aku datang secara diam-diam....."
Setelah malamnya ia mengambil keputusan, besok paginya In
Loei sadar dengan segar, akan tetapi hari itu ia keram diri di dalam
kamar, untuk pelihara diri, guna sebentar malam bekerja. Begitulah,
kira-kira jam tiga, ia sudah lantas salin pakaian, dengan yaheng ie,
pakaian untuk keluar malam. Secara hati-hati ia keluar dari
hotelnya, lalu langsung mencari gedung Ie Kokioo.
Oleh karena Ie Kiam ada satu menteri, di mata In Loei,
gedungnya mesti merupakan sebuah istana, besar dan tinggi
lotengnya, indah dan agung pemandangannya, akan tetapi setelah
ia dapat mencarinya, ia tercengang. Ia dapatkan bukan istana yang
bagaikan ia impikan, hanya sebuah rumah besar yang biasa saja,
yang di belakangnya terdapat taman kecil. Itulah rumah mirip
dengan satu keluarga yang cukup saja.....
"Sungguh satu menteri setia," akhirnya si nona menghela napas.
"Dengan melihat tempat kediamannya ini dapatlah diduga dia orang
macam apa.....”
Dengan pesat In Loei lompat naik ke atas genteng, mulai dari
payon, ia naik ke atas. Benar-benar ia tampak sebuah rumah yang
biasa saja. Ia dapatkan sebuah kamar dengan taman, tiga penjuru
jendelanya ditutupi gorden yang berkembang, kembangnya kecil
dan besar, tak rata.
Setiap jendela ada kacanya. Manis hiasan jendela itu, dari mana
muncul sinar api yang terang, hingga di atas meja kelihatan pohon
bunga bwee, yang berbayang di jendela.
"Melihat cara menghiasnya, rumah ini tidak mirip dengan rumah
seorang hartawan," In Loei berpikir terlebih jauh. "Kamar ini pasti
kamar tulisnya Ie Kokioo. Karena api belum padam, mungkin Kokioo
belum tidur.....”
Dengan tindakan perlahan sekali, In Loei menuju ke kamar itu.
Begitu ia datang dekat, segera ia dengar suara orang bicara. Ia
lantas pasang kuping. Ia dapat mendengar dengan nyata, hatinya
lantas saja goncang. Ia kenali, itulah suaranya Thio Tan Hong.
"Bukankah aku tengah bermimpi?" ia tanya dirinya sendiri.
Hatinya menjadi bimbang. "Kenapa dia berada di sini? Kenapa dia
datang secara begini tiba-tiba?"
Baharu malam kemarin In Loei mimpikan si anak muda atau
sekarang ia dengar suaranya. Ia memikir untuk tidak menemui
pemuda itu..... Ia bersangsi.
Apakah benar ia tak hendak menemuinya? Tapi ia berdahaga
sekali untuk menemui si mahasiswa. Ah!.....
"Biarlah aku intip dia.....”
Dan In Loei bertindak lebih jauh, dengan tindakan sangat enteng
ia mendekati kamar tulisnya Ie Kokioo, untuk memasang mata. Dari
kain gorden, ia segera dapat melihat sepasang bayangan manusia.
Benar saja, satu di antaranya, adalah bayangannya Thio Tan Hong!
-ooo0dw00ooo-

Bab XV
Untuk sekian lama, In Loei berdiri tegak, tak bergeming. Ia
bagaikan terpaku. Syukur untuknya, berselang sesaat, ia sadar
kembali. Segera ia menghela napas, untuk melegakan hati. Ia hirup
hawa yang berbau harumnya bunga di dalam taman itu. Habis itu,
dengan bersemangat, ia mendekam di jendela, untuk memasang
kuping.
"Walaupun Toto Puhwa adalah raja Watzu, kekuasaan
pemerintah berada ditangan Yasian," demikian terdengar suaranya
Tan Hong. "Di samping Yasian ini, pangeran Atzu juga mempunyai
sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya, Watzu
adalah negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan
untuk menahan Pangeran Atzu, turut penglihatanku, inilah ada atas
usulnya Yasian."
"Habis, bagaimana sekarang?" terdengar Ie Kiam menanya.
"Meminjam golok untuk membunuh orang, itulah suatu siasat
untuk menyingkirkan lawan yang tanggu," Tan Hong berkata pula.
"Aku kenal baik, Yasian itu ada orang macam apa. Dia bercita-cita
sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti dari Djenghiz
Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta
kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di
antara raja Watzu dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya,
kalau dia sudah dapat menyingkirkan
Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta
kerajaan."
"Mendengar kau, terbukalah hatiku yang cupat," kata Ie Kiam
sambil menghela napas. "Harus disayangi bahwa pihak kita sama
sekali tak mengetahui keadaan dalam dari musuh sebagaimana
yang kau mengetahuinya.....”
"Walaupun demikian, apabila benar terjadi perang saudara di
dalam negara Watzu, itu pun berarti rejekinya kerajaan Beng," kata
Tan Hong.
Tiba-tiba anak muda ini tertawa menyeringai, matanya dialihkan
ke arah jendela.
In Loei terkejut, dengan cepat ia umpetkan diri di antara pohon
bunga. Ia berpikir keras, saking tak mengertinya.
"Thio Tan Hong anggap kaisar Beng sebagai musuh turunan,
kenapa sekarang dia agaknya tengah bekerja untuk kerajaan Beng
itu?" ia berpikir, heran.
Tidak sempat si nona berpikir lama, atau ia sudah dengar pula
suaranya pemuda she Thio itu, mengingat siapa senantiasa hatinya
goncang.
"Ingin aku menjelaskan tentang Tantai Mie Ming." demikian si
mahasiswa berkuda putih. "Dia sebenarnya ada orang bangsa Han
kelahiran negara Watzu. Dan dia bersahabat sangat erat dengan
tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan Tantai Mie Ming
dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri
nasihat dan anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar
gelombang, untuk menyulut api dari sebelah dalam, supaya dengan
begitu bisalah terjadi perang saudara di dalam negeri Watzu."
"Maukah ayahmu berbuat demikian?" Ie Kiam tanya.
"Untuk tidak mendusta." kata Tan Hong, "ayahku itu mempunyai
cita-cita untuk merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu,
ia tak lupa bahwa ia sendiri adalah putera Han, maka itu, di dalam
hal ini, sulit bagiku untuk mengatakan dari sekarang bagaimana
perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah atau berhasil?.....”
"Jikalau begitu, sieheng," tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan
Hong. "kenapa tidak kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu
itu?"
"Sekarang ini belum dapat aku lekas-lekas pulang ke Watzu," Tan
Hong akui terus terang. "Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah
untuk satu tugas yang sangat penting. Hendak aku mencari satu
benda berharga yang mengenai nasibnya negara."
Ie Kiam sibuk juga.
"Kekacauan di dalam negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan
boleh tidak," ia kata, "sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang
Tionggoan ada seumpama, alis akan segera terbakar..... Bagaimana
sekarang?"
"Sebenarnya tak usah kita berkuatir," Tan Hong jawab.
"Tionggoan besarnya berlipat puluh kali dibanding dengan negeri
Watzu itu, bila semua rakyat dapat bersatu hati, tak usah kita
kuatirkan musuh yang tanggu itu!"
"Yang dikuatirkan justeru tak adanya persatuan..." Ie Kiam
utarakan.
"Piauwkie Tjiangkoen Kwee Teng, Pengpou Tjoesoe Yo Hong,
begitu juga Gielim koen Toatongnia Thio Hong Hoe adalah penyinta
negara yang dapat diandalkan," kata Tan Hong, "maka berhubung
dengan ini, baiklah thaydjin lekas membuat persiapan. Ong Tjin itu
besar pengaruhnya, akan tetapi di antara menteri setia dan
pengkhianat ada perbedaannya yang nyata, maka bila tiba saatnya
negara terancam bahaya kemusnahan, asal thaydjin bergerak
secara tepat, mesti thaydjin dapat sambutan hangat dari empat
penjuru! Ong Tjin adalah satu hamba kebiri, dia dapat
diumpamakan dengan seekor cengcorang yang menerjang kereta,
mana dia dapat memusnahkan negara?"
Akan tetapi Ie Kiam menghela napas pula.
"Sungguh sukar untuk mengatakan, siapa yang akan berhasil dan
siapa yang akan runtuh," kata menteri setia ini, "tetapi aku, akan
aku habiskan semua tenagaku untuk mencoba melindungi negara!"
"Kesesatan tak dapat melawan kebenaran, hal ini harap thaydjin
jangan sangsikan!" Tan Hong menganjurkan.
"Siesieng, kau dapat melihat segala apa dengan tegas sekali, kau
juga berpemandangan luas dan jauh, kau adalah satu orang cerdik
pandai luar biasa untuk jaman ini," berkata Ie Kiam, "karenanya,
sieheng, kenapa kau tidak sudi bekerja untuk pemerintah?"
Thio Tan Hong tertawa.
"Seseorang mempunyai pendiriannya sendiri-sendiri!" ia kata.
"Lagi pula, untuk satu laki-laki membela negara, apakah dia mesti
selalu berdiri dipihak pemerintah?"
Ie Kiam diam, dia bungkam.
Tan Hong insyaf bahwa ia telah bicara terlalu tandas, maka ia
tertawa pula.
"Thaydjin adalah tiang negara, tentang thaydjin adalah lain," ia
tambahkan.
Bukan main tergeraknya hati In Loei mendengar pembicaraan
antara Tan Hong dan menteri setia itu, teranglah sudah, mereka itu
adalah penyinta-penyinta negara, hanya paham mereka itu yang
berlainan. Ia girang dan kagum untuk Tan Hong. Ia kagum karena
sepak terjang yang tak dapat diterka-terka dari anak muda itu. Ia
girang karena terbukti ia tak keliru mengenali orang — Tan Hong
benar-benar satu pemuda gagah dan jujur. Karena ini juga, dalam
sekejap itu ia anggap benar-benar "tidak ada faedahnya
permusuhan antara kedua keluarga mereka".....
Segera terdengar pula suaranya Tan Hong.
"Thaydjin, harap kau maafkan aku, sukalah kau percaya akan
janjiku," demikian pengutaraan si anak muda. "Aku telah nelusup
masuk ke kota raja ini, aku pun telah lancang menemui thaydjin,
tindakanku ini penuh dengan ancaman bahaya, akan tetapi, lega
hatiku, karena thaydjin telah mempercayai aku. Thaydjin, apabila di
belakang hari kau membutuhkan aku, walaupun tubuhku mesti
hancur lebur, masih itu tak cukup untuk aku membalas budi
kebaikanmu ini."
"Jangan kau mengucap demikian, sieheng," kata Ie Kiam
"Untukku adalah sama, kau membalas untuk negara, sama dengan
kau membalas untukku!"
"Satu laki-laki mesti membalas budi negara, tentang itu tak
usah orang sampai dipesan lagi," Tan Hong kata. "Sekarang sudah
jauh malam, thaydjin harus beristirahat, maka itu harap thaydjin
mengijinkan boanseng mengundurkan diri....."
Ie Kiam berdiam, ia bagaikan berbicara seorang diri.
"Bila kau akan datang pula padaku?" tanyanya kemudian.
"Kalau telah datang saatnya untuk bertemu pula, akan aku
datang sendiri," jawab Tan Hong.
"Pribahasa kuno mengatakan, "Kepala putih bagaikan baru,
membuka tenda bagaikan biasa," pribahasa itu cocok dengan kita,"
kata Ie Kiam. "Dalam usiaku yang lanjut ini, aku masih dapatkan
satu sahabat sebagai kau, sieheng, sungguh aku puas sekali.
Sieheng pandai main tabuhan, main catur, melukis gambar juga,
kebetulan baru-baru ini aku telah mendapatkan gambar lukisannya
Tio Yoe, 'Liang Hoe Gim Touw,1 aku harap sieheng sudi menuliskan
sebaris syair untuk gambar itu, untuk dijadikan peringatan di
kemudian hari. Sudikah kau menulisnya, sieheng?"
Dengan pribahasanya itu, "Kepala putih bagaikan baru, membuka
tenda bagaikan biasa," Ie Kiam maksudkan: Ada beberapa
orang yang telah bersahabat satu dengan lain, sampai rambut
mereka telah ubanan, persahabatan itu masih sama seperti sahabat-
sahabat baru, masing-masing tetap tak mengerti satu pada lain.
Atau, ada beberapa orang yang telah bertemu di tengah jalan,
mereka hentikan kereta mereka, mereka membuka tenda kereta
mereka, untuk pasang omong, asyik pembicaraan mereka, hingga
mereka jadi mirip dengan sahabat-sahabat lama. Dengan itu
diartikan, persahabatan itu, kekal atau tidak, tidak disebabkan
melulu dari waktunya bersahabat sudah lama atau masih baharu,
hanya dari mereka saling mengerti atau tidak.
Atas permintaan menteri itu, Tan Hong jawab: "yang terlebih tua
telah memintanya, mana berani aku menampik? Baiklah, akan aku
menuliskannya dengan syair The Soe Siauw,"
In Loei di luar jendela dengar semua pembicaraan itu, lalu ia
dengar juga suara goresan, dari jalannya pit di atas kertas, cepat
dan tetap, maka tahulah ia, Tan Hong tengah menulis syairnya itu di
atas gambar lukisan "Liang Hoe Gim Touw" — "Liang Hoe tengah
bersenanjung."
Lalu habis itu, terdengarlah Ie Kiam membacakan syair itu,
membacanya sambil bersenanjung.
"Sungguh indah! kata si menteri kemudian. "Entah bagaimana
sieheng telah terpengaruh syair ini.....”
Tiba-tiba saja Thio Tan Hong tertawa bergelak, menyusul mana,
ia pun bersenanjung: "Di dalam dadaku ada sumpah laksana
dalamnya lautan, yang dapat membuat negara bagaikan karam
terendam..... Boanseng tidak minum arak tetapi boanseng bagaikan
telah mabuk, maka haraplah, thaydjin sudi memaafkan
kelakuanku ini yang lancang! Di belakang hari masih ada waktu
untuk kita bertemu muka pula, dari itu tidak usahlah thaydjin
mengantar aku!"
Kata-kata itu disusul oleh Ie Kiam, yang membukakan pintu, atas
mana lalu terdengar tindakan kaki Tan Hong, yang pergi berlalu.
Sejenak itu, kusut pikirannya In Loei. Ia bimbang, baik ketemui
Tan Hong atau jangan. Tak dapat ia ambil putusan dalam sekejap.
Sementara itu, Tan Hong sendiri sudah keluar dari kamar tulis, dia
tengah memohon Ie Kiam tidak mengantar dia keluar.
Di saat tegang itu, mendadak In Loei ingat kata-katanya Tan
Hong: "Kalau mesti tertawa, tertawalah! Kalau mesti menangis,
menangislah!
Kenapa segala apa mesti dipaksakan?....." Karena ini, ia pikir:
"Kalau begitu aku pun mesti, kalau mesti bertemu, mesti aku
menemuinya, kenapa aku mesti kuatirkan ocehan orang luar?"
In Loei segera merasa darahnya berjalan cepat sekali, hatinya
menjadi goncang, tapi ia sudah lantas ambil putusannya. Hanya,
pada saat ia hendak lompat, untuk menyusul, sekonyong-konyong ia
merasa ada angin halus yang menyambar pada bebokongnya, lalu ia
merasa ada benturan perlahan pada pinggangnya. Ia kaget, segera
ia rabah pinggangnya.
Akhirnya ia menjadi kaget sekali. Pedang Tjengbeng kiam,
pemberian gurunya, telah dicabut orang, hingga di pinggangnya
tinggal sarungnya saja, yang kosong! Walaupun ia sangat kaget,
tidak berani ia menjerit, tapi ia teruskan berlompat, kedua
tangannya dibuka ke kiri dan kanan. Itulah sampokan untuk
menyusul tangan yang membuatnya pedang itu terbang. Tiba-tiba
saja, ia rasakan sebelah lengannya lemas bergemetar, lalu ia
tampak, di depan matanya, satu tubuh berkelebat bagaikan
bayangan. Kecewa dia, yang pandai ilmu silat, telah ditotok orang
tanpa dapat bersiap. Dalam keadaan lemah itu, ia merasa orang
telah menyambar tubuhnya, dikempit, terus dibawa pergi cepat
sekali bagaikan terbang, sampai tak dapat ia berteriak. Tapi selagi
dibawa kabur itu, di kupingnya, ia dengar suara Thio Tan Hong:
"Turunkan dia! Turunkan dia! — Eh, adik kecil, adik kecil! Benarkah
kau?"
In Loei merasa bahwa Tan Hong, yang berkata-kata itu, tengah
menyusul ia.
Larinya cepat luar biasa orang yang mengempit itu, In Loei
merasa seperti dibawa terbang di tengah udara. Ilmu enteng tubuh
Thio Tan Hong sudah liehay sekali, dalam dunia kangouw jarang
ada tandingannya, tetapi kali ini, orang itu seperti melebihinya
sebab di lain saat, dia telah membuatnya si mahasiswa berkuda
putih jauh tertinggal, di sebelah belakang.....
In Loei kaget dan gusar, ia mendongkol tanpa ada gunanya.
Sama sekali ia tidak mampu berontak, untuk membebaskan diri dari
kempitan.
Adalah tidak lama kemudian, si nona merasa ada orang menepuk
bebokongnya, menyusul mana dengan perlahan ia dilepaskan,
diturunkan ke tanah. Itu waktu, orang telah berhenti berlari-lari
yang pesatnya bagaikan terbang. Ia pun segera merasa, darahnya
telah mengalir seperti biasa. Sebenarnya, ketika ia menoleh, akan
pandang orang yang membawa ia kabur, ia kenali dia adalah si
orang tua yang lihay ilmu Taylek Kimkong Tjioe-nya dengan apa dia
dapat melukai Tantai Mie Ming! Sedetik saja, kata-kata ketus yang
sudah siap untuk dikeluarkan, ia batalkan mengucapkannya, ia tarik
kembali ke dalam perutnya.....
Si orang tua buat main pedang Tjengbeng kiam-nya, dibulak-
balik di tangannya, lalu dengan sepasang matanya yang bersinar
tajam, ia tatap si nona. Dengan tiba-tiba dia menanya: "Bukankah
gurumu Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng dari Siauwhan San di
Soetjoan Utara?"
Tanpa bersangsi, In Loei menjawab: "Ya." Orang tua itu lantas
menghela napas.
"Sudah belasan tahun aku tak pernah bertemu pula dengan dia,"
ia kata suaranya tak sekeras tadi, "walaupun demikian, dengan
melihat pedangnya, aku bagaikan melihat dia sendiri. Dia telah
serahkan Tjengbeng kiam kepadamu, rupa-rupanya dia sudah
berhasil mewujudkan dua tugas yang menjadi pesan kakek
gurunya"
Cepat-cepat In Loei manggut kepada orang tua itu. Ia tahu
tentang gurunya. Itulah kejadian pada dua belas tahun yang
lampau. Ketika itu Hoeithian Lionglie, si Puteri Naga Terbang, yaitu
Yap Eng Eng, telah melanggar pesan gurunya, ialah Hian Kee It
Soe. Kesalahan itu ialah: dia bersama Tjia Thian Hoa, secara diam-
diam telah saling menukar pelajaran ilmu silat pedang. Karena
kesalahan itu, Yap Eng Eng dihukum duduk bersemedhi menghadapi
tembok di gunung Siauwhan San selama lima belas tahun, dan
selama lima belas tahun itu, dia dimestikan menjelesaikan dua rupa
urusan, dua tugas. Yang kesatu dia mesti melatih sempurna dua
rupa ilmu silat yang paling sulit untuk dipelajarinya, dan yang
kedua, dia mesti berhasil mendidik satu murid yang pandai "Pekpian
Hian Kee Kiamhoat" yaitu ilmu silat pedang yang mempunyai
seratus jurus perubahannya.
"Loodjinkee, bukankah kau Kimkong Tjioe Tang Toasoepee?" dia
lantas tanya. Ia percaya betul, tidak ada lain orang lagi yang
mengetahui hal ikhwal gurunya itu.
Orang tua itu, yang benar ada Kimkong Tjioe Tang Gak, tertawa
bergelak.
"Hai, bocah, kau cerdik sekali!" katanya. "Kemarin malam di
rumah Thio Hong Hoe kau menggondol pedang ini dibebokongmu,
aku sudah lantas perhatikan padamu, cuma disebabkan kau
menyamar sebagai satu pemuda, aku tidak berani berlaku lancang.
Nyatalah kau benar ada keponakan muridku! Tahukah kau kenapa
aku melarang kau turun tangan?"
Heran In Loei
"Apa?" dia tanya. Di dalam hatinya sendiri, dia kata: "Aku toh
tidak memikir untuk turun tangan terhadap siapa juga.....?"
"Bukankah tadi kau berniat munculkan diri untuk membunuh Thio
Tan Hong?" Tang Gak tegaskan. "Jikalau kau bunuh dia kau lakukan
satu kekeliruan."
In Loei meringis. Nyata sudah paman guru itu telah keliru. Tapi ia
cerdik. Ingin ia ketahui, apa yang menyebabkan kekeliruan paman
guru itu.
"Kenapa keliru?" demikian ia tanya.
"Thio Tan Hong itu," sahut Tang Gak, menerangkan, "sekalipun
benar dia ada puteranya Thio Tjong Tjioe, akan tetapi mendengar
kata-katanya dan melihat sepak terjangnya, dia adalah satu
penyinta negara. Kemarin ini setelah aku tempur Tantai Mie Ming,
malamnya aku datangi tempat kediamannya si pangeran Mongolia,
untuk mendengar kabar. Di sana dapat aku dengar pembicaraan
antara Thio Tan Hong dengan Tantai Mie Ming itu. Mereka tengah
merundingkan suatu urusan rahasia yang maha penting. Tentang
itu, tak usah kau mengetahuinya jelas, tetapi itu ada sangat besar
faedahnya untuk Tionggoan. Oleh karena itu, meski aku berniat
memberi juga satu gaplokan lagi kepada Tantai Mie Ming,
kesudahannya aku beri ampun juga padanya."
Mendengar ini, In Loei tertawa di dalam hatinya.
"Halmu ini telah aku ketahui.....” demikian pikirnya.
Tang Gak tidak ketahui apa yang si nona pikir, ia bicara lebih
jauh.
"Coba kau pikir, jikalau sampai terjadi kau binasakan Thio Tan
Hong, tidakkah karenanya kau jadi melakukan satu kekeliruan
besar?" katanya. "Lagi pula, dalam hal ilmu silat, kau bukan
tandingannya Tan Hong..... Ah, apakah kau belum pernah
menyaksikan kepandaiannya yang asli?"
"Baharu sebagian saja," In Loei jawab paman guru itu.
Orang tua itu kerutkan alisnya.
"Nah, itulah tak tepat," katanya. "Satu anggota dari Rimba
Persilatan tidak seharusnya menuruti saja ambekannya tanpa
mengukur tenaga sendiri. Eh, ya, apakah namamu?"
"Aku bernama In Loei," si nona jawab.
"Ah!" seru si orang tua, agaknya ia terkejut sekali. "Inilah yang
pribahasa bilang, orang mencari sesuatu dengan memakai sepatu
besi, sampai sepatu itu rusak, yang dicarinya tetap tak dapat
diketemukan, sebaliknya, bila ada jodohnya, yang dicari itu dapat
diketemukan dalam tempo sedetik, tanpa susah payah. Kiranya kau
adalah adiknya In Tiong! Sungguh beruntung! Sekarang aku tak
merasa aneh lagi kenapa kau, sekalipun kau ketahui kau bukan
tandingan Tan Hong, tetap kau hendak mencoba membunuh
dia!.....”
In Loei meringis pula. Tak dapat ia menangis, tak dapat ia
tertawa.
"Kemarin malam aku dengar Thio Tan Hong bilang, malam ini
hendak dia menghadap Ie Kiam," Tang Gak bicara pula, "karena itu,
aku pun telah datang kemari. Di tengah jalan tadi, satu urusan telah
memhuatnya aku datang terlambat, maka itu, ketika aku tiba, Tan
Hong sudah pergi, hingga tak tahu aku apa yang telah mereka
bicarakan. Apakah kau dengar pembicaraan mereka itu?"
"Aku tak dapat mendengar nyata," sahut In Loei, yang tidak
gembira untuk omong banyak. "Aku cuma dengar mereka
menyebut-nyebut Watzu dan Tionggoan, mereka hendak
menerbitkan perang saudara di Watzu. Ya, tak ingat aku semua apa
yang mereka itu katakan."
"Itulah soalnya!" kata Tang Gak. "Aku dengar In Tiong juga
berada di sini. Pernahkah kamu bertemu satu dengan lain?"
In Loei menjawab dengan suara dalam, tanda ia berduka.
"Kakakku itu telah diangkat menjadi pahlawan dalam keraton," ia
beri tahu.
Mendengar itu, Kimkong Tjioe menghela napas.
"Bagus cita-cita bocah itu," ia kata, "hanya kali ini, tak tepat
tindakannya. Dia berpendapat, untuk dapat membalas sakit hati
kakeknya, guna menyuci malu negara, mesti dia menghamba
dahulu kepada pemerintah, untuk mendapat pangkat dan pengaruh
besar."
"Toasoepee benar," kata In Loei, "Di mana ada dorna yang
berkuasa dalam pemerintahan, sekalipun Lie Kong yang gagah tak
ada jasanya!" Itulah kata-katanya Tang Gak dalam suratnya
kepada Kimtoo Tjioe Kian.
Heran Tang Gak hingga ia mengawasi si nona. "Eh, apakah kau
pun melihat surat itu?" dia tanya. "Sayang si Tiong tak menginsyafi
dalil itu. Aku kuatir, karena sikapnya si Tiong itu, akan sukar untuk
kita menemui dia.....”
"Mungkin, lagi setengah bulan akan ada ketika-nya," In Loei
beritahu. Ia utarakan dugaannya Thio Hong Hoe mengenai In Tiong.
"Sekarang begini saja," kata Tang Gak kemudian. "Aku pulang
secara mendadak, untuk satu urusan sangat penting. Perlu aku
segera menemui kakek gurumu. Ini pun sebabnya, sampai aku tak
sempat mengunjungi pula Kimtoo Tjioe Kian yang namanya telah
lama aku kenangkan. Bahwa aku telah mampir di kota raja ini, itulah
untuk sekalian menengok si Tiong. Tidak dapat aku berdiam lama di
sini, maka itu, kalau kau bertemu dengan kakakmu, kau sampaikan
pesanku ini."
In Loei menyanggupi, ia manggut.
"Kamu berniat mencari balas untuk keluargamu terhadap
keluarga Thio," berkata pula Tang Gak. "Mengenai ini, jikalau kita
pakai aturan kaum Rimba Persilatan, tidak dapat aku
mencampurinya. Tapi satu hal hendak aku terangkan: Thio Tan
Hong itu adalah orang kaum kita dan dia tidak ada hubungannya
dengan perbuatan leluhurnya, yang bermusuhan dengan
keluargamu, maka itu aku harap, kalau bisa, bereskanlah
permusuhan itu. Kakakmu menjadi putera sulung, dalam hal
menuntut balas, kau mesti turut pendapat dia. Kau sampaikan kata-
kataku ini kepadanya, untuk dia pikirkan dan fahamkan."
Turut kebiasaan Rimba Persilatan, mengenai permusuhan ayah,
ibu dan leluhur, meskipun satu guru, dia cuma dapat menganjurkan
perdamaian, tak bisa dia memerintah atau melarang
pembalasannya. Demikian, Tang Gak berikan pesannya itu.
"Tentang Thio Tjong Tjioe itu, dia ada seorang baik atau seorang
busuk, aku masih belum tahu suatu apa," Tang Gak lanjutkan.
"Shatee Thian Hoa terkurung di dalam keraton bangsa Ouw, tentang
dia, tentang kejadian yang sebenarnya, aku pun tak mengetahuinya.
Karena itu, hendak aku menemui kakek gurumu, ingin aku minta
supaya kakek gurumu itu mengijinkan gurumu turun gunung.....”
"Mungkin sekarang ini djiesoepee sudah sampai di Siauwhan
San," In Loei utarakan dugaannya. Ia beritahukan warta perihal
Tiauw Im Hweeshio, djiesoepee-nya itu, paman guru yang kedua.
"Bagus, bagus!" tertawa Tang Gak. "Rupa-rupanya kita ke empat
saudara seperguruan akan melakukan suatu apa yang
menggemparkan di tapal batas bangsa Ouw, malah mungkin kakek
gurumu juga akan turut terlibat, hingga dia turut turun gunung!.....”
Hian Kee Itsoe telah sekap diri selama tiga puluh tahun lebih, In
Loei belum pernah bertemu dengan kakek gurunya itu, maka itu, di
dalam hatinya, ia kata: "Untuk melibat kakek gurumu turun gunung,
itulah pekerjaan sangat sulit.....”
Tentu saja, mengenai orang-orang pihak tertua, In Loei tidak
berani campur tahu, karenanya, ia tidak menanyakan terlebih jauh.
Tang Gak pun berdiam, ia cuma memandang langit.
"Jam sudah hampir pukul empat," ia kata, "karena sebentar pagi
aku mesti lantas meninggalkan kota raja ini, tak dapat aku antar kau
pulang. Di mana kau tinggal?"
"Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei. "Toasoepee,
silakan berangkat! Aku pun tak dapat mengantar kau."
Waktu itu mereka berdua berada di luar kota, di tempat di mana
mereka berdiri, terdapat sebuah empang kecil, maka itu, selagi
rembulan bersinar terang, tegas sekali bayangan mereka berpeta di
muka air itu.
Ketika Tang Gak berpaling ke muka air, tiba-tiba ia menghela
napas.
"Buat belasan tahun aku lewatkan waktuku di tanah yang ber-es
dan bersalju, tanpa merasa, rambut kepalaku pun telah berubah
menjadi putih," dia kata, menyesal. "Sungguh, sang waktu lewat
pesat sekali! Ketika dulu aku berpisah dari gurumu, gurumu itu mirip
dengan kau sekarang ini.....”
Diam-diam tergerak hatinya In Loei. Ia ingat lelakon asmara
antara gurunya itu dengan samsoepee-nya, paman guru yang
ketiga. Mengenai kata-katanya toasoepee ini, ia separuh mengerti
dan separuh tidak, ia diam saja, tunduk. Maka itu, ketika kemudian
ia angkat kepalanya, ia dapatkan paman guru itu sudah tidak
ada dihadapannya.....
Sampai di situ, In Loei segera putar tubuhnya. Ia tidak balik ke
hotelnya, ia hanya menuju kembali ke rumah Ie Kiam. Tepat ketika
ia sampai, ia dengar suara kentongan empat kali. Pada waktu itu, ia
dapat lihat kamar si menteri masih terang benderang seperti tadi.
Heran ia.
"Ah, apakah dia masih belum tidur?" dia tanya dirinya sendiri.
Dengan perlahan, ia menghampiri pintu. Tanpa sangsi-sangsi, ia
mengetok dengan perlahan, beberapa kali.
Ie Kiam belum tidur, lantas ia membukakan pintu. "Nona In,
silakan masuk!" menteri itu mengundang, sambil tertawa manis,
"sudah lama aku tunggui kau!" In Loei tercengang. Ia dandan
sebagai satu pemuda, ia anggap tidak ada orang yang ketahui atau
kenali padanya, siapa tahu, Ie Kiam sekarang buka rahasianya itu!
"Thio Tan Hong telah menuturkan halmu kepadaku," Ie Kokioo
kata pula, menambahkan. "Dia juga telah melukiskan potongan
tubuhmu dan wajahmu kepadaku. Apakah kau baharu sampai?"
Melihat sikap orang demikian ramah tamah, tanpa merasa In Loei
jadi sangat terharu, hingga air matanya mengucur. Ia lantas saja
berlutut, untuk memberi hormat.
Ie Kiam membungkuk, untuk memimpin bangun nona itu.
"Ketika dahulu aku diangkat menjadi Hanlim, adalah kakekmu
yang menjadi ketua ujian," Ie Kiam kata pula. "Maka itu, andaikata
aku tidak dipandang lancang, ingin aku panggil kau titlie saja."
Titlie ialah keponakan perempuan.
Mendengar disebutnya engkong-nya, In Loei menjadi terlebih
berduka.
"Bagaimana meninggalnya kakekku itu?" dia tanya sambil
menangis tersedu-sedu. "Benarkah dia diberikan kematian oleh raja?
Peehoe, tahukah kau keadaan yang sebenarnya?"
In Loei sudah lantas memanggil peehoe, paman, kepada menteri
itu.
"Kau duduk dulu," berkata Ie Kiam serta menuangkan orang
secangkir teh, yang masih panas. "Kau seka air matamu, nanti aku
jelaskan padamu."
In Loei mengucap terima kasih, ia seka air matanya. Ie Kiam
mengawasi, ia menghela napas pula.
"Ketika hari itu kakekmu menemui kecelakaannya, aku telah
menjadi Pengpou Sielong," menteri ini menutur. "Begitu kita dapat
kabar buruk dari kota Ganboenkwan, semua menteri, sipil dan
militer, menjadi kaget sekali, mereka berduka berbareng gusar.
Semua orang anggap kakekmu itu sudah meninggalkan nama baik
di negara asing. Selama dua puluh tahun kakekmu mengembala
kuda di daerah ber-es dan bersalju, tak sudi ia menyerah di bawah
tekanan musuh, sungguh dia mirip dengan Souw Boe yang setia dan
keras hati, dialah satu manusia yang langka! Kakekmu menemui
ajalnya secara demikian mengenaskan, manusia dan langit bergusar
bersama. Demikian satu giesoe yang tak takut mati sudah
memajukan surat kepada raja, untuk membalas kakekmu itu, ia
minta supaya raja mencuci penasaran itu, agar nama
kakekmu diperbaiki, untuk selanjutnya diberi pangkat mulia.
"Apa benar In Tjeng telah meninggal dunia?" tanya raja setelah
ia baca surat giesoe itu. "Aku masih belum tahu. Baiklah, nanti aku
cari keterangan. Suratmu ini akan ditangguhkan dulu."
"Lantas raja menitahkan membubarkan persidangan di
singgasana.
"Menteri besar yang bernama Lauw Tek Sin tidak puas dengan
sikap raja. Ia berbangkit, ia susul raja sampai di kamar tulis.
"Bukankah Sri Baginda yang membubuhi tanda tangan atas surat
titah yang menghadiahkan kematian kepada In Tjeng itu?" dia
tanya.
"Raja mencoba menyangkal tapi bicaranya tidak jelas.
"Mengetahui rajanya disusul Lauw Tek Sin, Soeiee Thaykam Ong
Tjin datang menyusul.
"Sri Baginda, apakah Baginda telah lupa menulis firman itu?" ia
tanya.
"Oh, ya, ya," kata raja itu gugup. "Memang benar, akulah yang
menulis firman itu. Ya, kenapakah dia diberi hadiah kematian?
Baiklah, nanti aku pikir-pikir....."
"Ong Tjin, yang mendampingi raja, lantas membantu mengingat.
Dia kata, In Tjeng menjadi utusan, dengan tidak tahu malu, dia
bekerja kepada musuh. Begitulah maka dia dihadiahkan
kematiannya.....”
"Benar, benar!" kata raja. "Karena itu dia dihukum mati"
"Lauw Tek Sin menjadi sangat murka.
"Teranglah kau yang membuat firman palsu, jahanam!" dia
damprat orang kebiri itu. "Kau telah memfitnah satu menteri setia
dan membinasakannya, kau pakai nama Sri Baginda, dengan begitu
kau membuatnya Sri Baginda tak disukai menteri-menterinya!"
"Akan tetapi Ong Tjin menjadi gusar sekali. Dia perintahkan
menawan Lauw Tek Sin, untuk dijebluskan ke dalam penjara istana,
habis mana, dengan mencari akal, menunjuk orang berdosa, dia
hendak hukum mati pada menteri itu. Hal ini membangkitkan
kegusarannya menteri-menteri sipil dan militer dalam istana, mereka
ini memprotes, mereka menuduh Ong Tjin. Karena protes ini, Lauw
Tek Sin bebas dari kematian, tetapi dia dipecat, dijadikan rakyat
jelata. Sedang giesoe yang setia itu, yang membelai kakekmu, juga
dihukum, yaitu dihukum buang ke Haylam. Tidak lama kemudian,
giesoe itu terbinasa di bawah tangan jahat dari Ong Tjin. Kemudian
lagi, satu demi satu, menteri-menteri yang protes dorna kebiri itu,
telah menerima bagiannya, pembalasannya Ong Tjin itu. Aku sendiri
tidak terkecuali, aku telah diturunkan pangkat, dipindah ke Kangsee
menjadi soenan."
Mendengar keterangan itu, bukan kepalang mendongkolnya In
Loei.
"Sungguh satu dorna kebiri yang sangat menjemukan!" dia
berseru. "Jadi dialah yang membinasakan kakekku itu? Kenapa dia
membinasakan kakekku?"
"Hal itu baharulah kita ketahui kemudian," sahut
Ie Kiam. "Sejak siang-siang Ong Tjin itu telah membuat
perhubungan rahasia dengan Yasian ayah dan anak, secara diam-
diam mereka itu menukar besi kita dengan kuda Mongolia.
Perdagangan tukar-menukar secara gelap ini dilakukan secara
besar-besaran, dengan begitu Yasian telah mengeruk uang dalam
jumlah yang besar sekali. Turut kabar, untuk Mongolia,
perdagangan semacam itu dilakukan secara terang-terangan.
Kakekmu adalah satu menteri besar, dia ternama baik, sudah
begitu, untuk dua puluh tahun dia telah melindungi kesetiaannya,
kesetiaan itu tak kalah dengan kesetiaan Souw Boe yang
mengembala kambing, umpama kata dia dapat kemerdekaannya,
pulang ke negeri, pasti sekali dia akan perbaiki tata tertib di dalam
istana, untuk mana tentulah dia akan singkirkan segala dorna.
Karena ini semua, pasti Ong Tjin jeri terhadap kakekmu itu, Ong
Tjin mestinya telah menerka yang kakekmu telah ketahui
rahasianya. Untuk menjaga bahaya di belakang hari, Ong Tjin telah
menggunakan firman palsu, untuk mendahului turun tangan
terhadap kakekmu itu. Dia berpangkat Soeiee Thaykam, cap
kerajaan berada di tangannya, karena semua surat-surat, dari luar
dan dari dalam, mesti terlebih dahulu lewat ditangannya, kecuali
jikalau yang dihaturkan pribadi oleh suatu menteri. Karena
kekuasaannya itu, gampang sekali baginya untuk memalsukan
firman."
Sampai di situ, In Loei teringat halnya Thio Tjong Tjioe telah
memesan Tantai Mie Ming untuk menyampaikan tiga buah kimlong
kepada kakeknya.
Memang kimlong itu — surat tertutup, yang untuk sementara
dirahasiakan dulu — ada luar biasa. Dulu, dimasa ia kecil, In Loei
tidak ketahui suatu apa tentang kimlong itu, adalah kemudian,
sesudah ia dewasa, ia dengar hal itu dari Tiauw Im Hweeshio, dari
Kimtoo Tjioe Kian juga, dan belakangan lagi, dari Thio Tan Hong.
Dari ketiga kimlong, yang ketiga memuat sebutir pil lahwan, dan di
dalam lahwan ini — lilin bundar — terdapat lagi sehelai surat. Itulah
suratnya Ong Tjin yang di alamatkan kepada To Huan (ayahnya
Yasian) serta Thio Tjong Tjioe, maksud yang tak adalah surat
urusan pertukaran besi Tionggoan dengan kuda Mongolia. Surat
rahasia itulah yang menyebabkan In Tjeng ditawan. Sebenarnya Tjia
Thian Hoa telah dititahkan pergi ke kota raja, untuk menyerahkan
lahwan kepada Ie Kiam, supaya Ong Tjin didakwa. Sayang telah
terjadi kegagalan. In Tjeng bukan melainkan kena ditawan, dia
malah segera dibinasakan. Meski begitu, terang sudah, itulah
maksud baik dari Thio Tjong Tjioe berdua. Surat itu kesampaian.
Ingat kebinasaan kakeknya "Apabila lahwan dapat diserahkan
kepada Ie Kiam, pasti sudah Ong Tjin dan kawan-kawannya serta
pengaruhnya tak jadi sehebat sekarang ini. Dengan bukti itu belum
tentu Ong Tjin tak dapat dirubuhkan....."
Setelah menutur, Ie Kiam menghela napas.
"Memang sakit hati In Thaydjin belum dapat dicuci bersih," kata
dia, "akan tetapi ia mempunyai satu cucu perempuan sebagai kau,
di alam baka, dia tentunya dapat meramkan mata."
Ingat itu, In Loei berpikir itu, hati In Loei panas dengan tiba-tiba.
Tiba-tiba saja ia tepuk kedua tangannya satu dengan lain, seraya
berseru: "Jikalau aku tidak berhasil mencingcang hancur tubuh
dorna kebiri itu, aku bersumpah tak sudi menjadi manusia!"
Tapi Ie Kiam menggeleng-gelengkan kepala.
"Nona In, sekarang ini, aku tidak setuju kau pergi menuntut
balas!" dia kata.
In Loei heran. Ia memang sedang murka.
"Loopee, apakah artinya perkataanmu ini?" ia tanya.
"Sekarang Ong Tjin sedang besar pengaruhnya dan orang-
orangnya pun banyak sekali," menteri itu berikan keterangan, "di
samping itu, di dalam angkatan perang, banyak panglima yang
menjadi anak pungutnya. Maka sekarang lebih baik kita pusatkan
seluruh tenaga kita untuk menghadapi penyerbuan bangsa Watzu.
Jikalau kita turuti hati saja, bisa-bisa kita mencelakai diri sendiri,
bisa kita merusak urusan besar. Tidakkah pepatah mengatakan,
'Kalau seribu orang menuding, tak sakit pun orang dapat mati?'
Jikalau orang telah penuh dengan kedosaan dan kejahatan, mana
dapat dia hidup senang untuk selama-lamanya? Pendeknya kalau
nanti telah tiba saatnya dari terbukanya kebusukan itu, taruh kata
kau tidak pergi membalasnya sendiri, mungkin ada lain orang yang
akan menyingkirkan dia! Kau pandai silat dan gagah, tapi kau harus
ingat, tangan sebelah tak dapat perdengarkan suara. Maka
sedikitnya kau mesti tunggu sampai kau bertemu dengan kakakmu,
baharu dapat kau berichtiar."
In Loei berdiam. Ia anggap pikiran menteri itu benar sekali. Tapi
ia jadi sangat bersedih, hingga air matanya membasahi ujung
bajunya.
Dengan perlahan-lahan, Ie Kiam berbangkit, akan bertindak ke
jendela, yang daunnya ia tolak.
"Ah, sudah hampir terang tanah!" katanya. "Keponakan Loei, kau
tinggal di mana?"
Nada suara itu seperti mengandung maksud.
"Aku tinggal di rumah penginapan," sahut In Loei.
"Di rumah penginapan terdapat orang dari segala macam, kau
bersendirian saja, kau pun menyamar, pastilah kau kurang
merdeka," berkata menteri itu.
"Bukankah ada terlebih baik untuk pindah saja kemari, untuk
tinggal bersama aku? Di sini juga kabar-kabar datangnya terlebih
cepat."
"Jikalau peehoe kehendaki itu, aku menurut saja" sahut si nona.
"Baik, akan aku pulang dulu ke pondokku, untuk mengambil barang-
barangku."
Justeru itu waktu, dari kamar sebelah, terdengar satu suara
bocah perempuan yang terang sekali: "Ayah, kembali untuk satu
malam kau tidak tidur....."
Bangun alisnya Ie Kiam, ia tertawa.
"Segera akan aku tidur," ia menyahuti. Ia terus berpaling pada In
Loei, untuk meneruskan: "Anakku meminta aku masuk tidur, maka
lekaslah kau pergi untuk lekas kembali. Seringkah, karena repot,
aku tidak tidur satu malaman, untukku tidak berarti apa-apa, cuma
kasihan bagi anak itu, dia jadi kesepian.....”
Itulah kecintaan antara ayah dan anaknya, mengetahui itu, In
Loei teringat pada kakek dan ayahnya. Ie Kiam ini, dalam hal
usianya, tak berbeda daripada kakeknya pada sepuluh tahun yang
lampau. Bedanya ialah, kakeknya tidak semanis budi seperti menteri
ini.
Segera nona ini memberi hormat, untuk berlalu, dan di lain saat,
ia telah kembali. Ia pun segera menjadi kawannya si nona tadi,
puterinya Ie Kiam.
Puterinya Ie Kiam bernama Sin Tjoe,4j usianya baharu sembilan
tahun, akan tetapi ia cerdik sekali dan gesit. Ia panggil entjie
kepada In Loei, yang sudah lantas dandan sebagai satu nona. In
Loei pun senang mendapat kawan yang manis ini.
Selama menumpang pada keluarga Ie, In Loei ada kandung
suatu maksud. Ialah, ia harap-harap datangnya Tan Hong kembali
untuk menemui Ie Kokioo. Akan tetapi, setengah bulan sudah lewat,
pemuda itu masih belum kelihatan juga.
Sementara itu si pangeran asing beserta Tantai Mie Ming, enam
hari sesudahnya In Loei pindah ke rumah Menteri Ie, telah
berangkat pulang ke negeri mereka, sebabnya ialah karena
pembicaraan mereka gagal.
Setelah lewat setengah bulan, tiba-tiba ingatlah In Loei akan
omongannya Thio Hong Hoe tentang ujian militer Boe kiedjin
istimewa untuk tahun yang sedang berjalan. Hal itu sangat menarik
perhatiannya, maka sering sekali ia tanyakan Ie Kokioo, bilamana
ujian itu akan diadakan.
"Keponakanku yang baik, kau sabarlah," kata Ie Kokioo sambil
tertawa ketika ia ditanyakan yang terakhir. "Kalau nanti kakakmu
turut ambil bagian, pasti sekali akan aku pertemukan kau
dengannya!"
"Apakah ujian sudah dimulai?" si nona tanya.
"Sekarang baharu permulaan saja. Banyak sekali jumlah mereka
yang mengambil bagian. Nanti aku pergi ke Kementerian Perang
untuk mencari tahu angka ujiannya kakakmu itu."
Lima hari telah lewat sejak pembicaraan itu, atau pada hari ke
enam, pagi-pagi sekali, Ie Kiam telah memanggil In Loei, dan
semunculnya si nona, ia tertawa dengan manis.
"Bukankah kau ingin menemui kakakmu?" ia tanya.
In Loei berjingkrak.
"Peehoe, apakah sekarang juga kau hendak ajak aku
menemuinya?" tanya ia, yang girangnya tak kepalang.
"Benar," jawab paman itu. "Hanya kau harus merendahkan
sedikit dirimu. Kau menyamar sebagai pengiringku, nanti aku ajak
kau ke lapangan pieboe untuk menyaksikan pertandingan."
In Loei girang bukan main, dengan lantas ia salin pakaian. Ia
sudah biasa menyamar sebagai priya, untuk jadi pengiring atau
kacung, iapun tak berkeberatan. Ia seperti tak pedulikan segala apa,
asal ia dapat bertemu dengan kakaknya.
Kiranya hari itu adalah hari terakhir, untuk memilih Boe
tjonggoan. Sudah dikatakan, ujian ada istimewa, maka itu, setelah
ujian main panah sambil menunggang kuda, ujian lisan ilmu perang,
datanglah ujian untuk pieboe, guna mengadu kepandaian silat.
Usul atau saran keluar dari otaknya Taylwee Tjongkoan Kong
Tiauw Hay. Dia ambil alasan, ilmu silat ada banyak macamnya, tak
berbatas cuma dengan ilmu panah di atas kuda, ada ilmu tombak
atau golok, juga dengan bertangan kosong, tanpa ini, ilmu silat itu
tidak lengkap.
Senantiasa berdiam di dalam keraton, atau istana, kaisar merasa
kesepian, maka itu satu kali ia dengar akan diadakan keramaian —
di antaranya termasuk pieboe — dengan segera dia terima baik usul
Kong Tjongkoan itu.
Demikian di tengah-tengah lapangan segera dibangun satu
ioeitay — panggung untuk adu silat itu — dengan di empat
penjurunya diberdirikan pula panggung-panggung untuk penonton.
Kaisar pun tidak datang menonton sendiri, ia diiring para pahlawan
dan thaykam, pun Menteri Perang dan semua menteri lainnya turut
mendampingi padanya.
Sebenarnya usul Kong Tiauw Hay ini disebabkan dia mempunyai
maksud sendiri — urusan pribadi. Dia mempunyai dua soehengtee,
saudara-saudara seperguruan yang liehay ilmu silatnya, dia ingin
kedua saudara itu memamerkan kepandaiannya, supaya mereka
peroleh nama dan kedudukan baik. Tapi kedua saudara itu terlalu
rendah pengetahuannya mengenai kitab ilmu perang, maka itu
diciptakan akal ini, ialah adu kepandaian silat.
Sekitar lapangan dijaga tentara Gielim koen, pasukan pribadi
kaisar. Kaisar sendiri, diiring oleh para pangeran dan orang kebiri,
mengambil tempat di panggung tengah, yang menghadapi langsung
panggung ioeitay. Ie Kiam beserta In Loei, bersama Menteri Perang
dan menteri lainnya, mengambil panggung timur, dari mana orang
pun dapat melihat tegas ke panggung raja.
"Kau lihat," kata Ie Kokioo pada pengiringnya sambil berbisik, "itu
orang dengan juba naga di belakang siapa berbaris pahlawan-
pahlawan adalah Sri Baginda raja. Di kiri raja, orang yang berdiri
mendampinginya adalah Thaykam Ong Tjin."
Dengan mata tajam, In Loei awasi orang kebiri itu, untuk
mengenali dengan baik roman orang dan potongan tubuhnya.
Semua boe kiedjin, yang berhak turut ujian, berkumpul di bawah
panggung di mana ada sebuah gubuk istimewa untuk mereka
menanti atau beristirahat, sebab sebelum tiba gilirannya, tak dapat
mereka sembarang menaiki panggung ioeitay.
"Ujian istimewa kali ini namanya saja boleh diikuti oleh siapa saja
asal berkepandaian silat dan telah terpilih," Ie Kiam terangkan pada
In Loei, "akan tetapi kenyataannya, kecuali mereka yang memang
sudah memangku pangkat dalam tentara, dia mesti diberi
pertanggungan oleh suatu orang berpangkat, yang pangkatnya
mesti sedikitnya sudah tingkat ketiga. Inilah sebabnya kenapa Sri
Baginda berani turut datang menonton."
Mendengar ini, di dalam hatinya, In Loei kata:
"Kalau begitu orang kangouw, yang benar-benar gagah, tak
dapat kesempatan untuk turut serta.....”
Tiba-tiba terdengarlah suara tambur nyaring, tiga kali. Itulah
tanda bahwa pieboe sudah akan dimulai. Mendengar suara tambur
itu, In Loei merasa tegang sendirinya, segera ia mengawasi ke arah
ioeitay.
Yang pertama kali maju adalah dua orang yang romannya kasar,
mereka masing-masing bersenjatakan golok tantoo dan sebuah
tombak. Sebentar saja, si pemegang golok peroleh kemenangan.
Menyusul itu adalah tiga pertandingan lagi. Siapa yang menang,
dia mesti bertanding terus. Siapa menang dua kali beruntun, dia
dapat hak untuk beristirahat, untuk nanti diadu pula dengan
pemenang lainnya. Begitu seterusnya.
Selama itu, In Loei belum lihat kakaknya.
Pertandingan, ke empat telah selesai, dan pemenangnya adalah
seorang yang tubuhnya tinggi tujuh kaki, besar dan tegap,
gegamannya adalah sepasang gembolan.
Selama itu, kuranglah perhatian In Loei. Sampai ia dengar
bicaranya Pengpou Siangsie, menteri perang, kepada Ie Kokioo.
Kata menteri itu: "Pemenang ini adalah Tjiangkoen Ouw Tay Keng,
panglima yang baru diangkat oleh Kementerian Perang, kedua
tangannya bertenaga seribu kati. Sebenarnya jumlah peserta ada
banyak sekali, semuanya sembilan puluh enam orang, tetapi Sri
Baginda hendak menyaksikan yang paling kosen saja, maka
kemarin diadakan ujian istimewa oleh Kementerian, hingga
kesudahannya, dari sembilan puluh enam peserta itu sekarang
tinggal dua puluh empat orang. Sri Baginda pun ingin supaya ujian
selesai dalam hari ini. Dalam ujian kemarin, Ouw Tjiangkoen ini
dapat angka baik sekali."
Ie Kiam sambut keterangan itu dengan senyuman. Ia tahu, Ouw
Tay Keng adalah sanaknya Pengpou Siangsie, sudah tentu
Siangsie itu, menteri, mengharap-harap si sanak keluar sebagai
pemenang.
Segera juga terdengar suaranya kiepaykhoa di muka panggung:
"Lim Too An, kiedjin nomor sembilan, naiklah ke atas panggung!
Penanggung jawabnya adalah Leepou Tjoesoe Lie Soen."
Pemberitahuan itu menunjukkan bahwa peserta Lim Too An
bukan perwira, maka ia memerlukan orang yang menanggung
dirinya.
Heran juga In Loei, maka perhatiannya jadi tertarik sekali. Ia
lantas lihat, Lim Too An lompat naik ke atas ioeitay dengan sebelah
tangannya menggoyangkan kipas, dandannya pun tidak keruan,
ialah sembarangan saja. Dia adalah puteranya Lim Tjhoengtjoe,
sahabatnya Hongthianloei Tjio Eng. Dia juga yang beberapa bulan
yang lalu telah melamar Nona Tjio Tjoei Hong akan tetapi dia kena
dikalahkan Nona Tjio.
Too An beri hormat pada Ouw Tjiangkoen sambil menjura seraya
pegangi terus kipasnya itu. Ia kata dengan lagu suaranya yang agak
seram: "Ouw Tjiangkoen, aku mengharap belas kasihanmu....."
"Sial!" keluh Ouw Tay Keng di dalam hatinya. "Dari mana
datangnya makhluk aneh ini, priya bukan wanita bukan?....." Tapi
waktu menjawab, sambil mengayunkan gembolannya, dia
membentak: "Belas kasihan apa! Ini ada tempat resmi! Apakah kau
anggap ini bagaikan sandiwara? Lekas kau keluarkan senjatamu!"
Jumawa panglima ini, tetapi Lim Too An tidak menghiraukannya.
"Boanseng empunya senjata ialah kipas ini," dia menyahut,
suaranya halus bagaikan suara wanita. Ia pun membahasakan diri
boanseng, artinya yang mudaan.
Ouw Tay Keng menjadi gusar sekali, segera ia menghajar dengan
sebelah gembolannya.
Lim Too An berkelit sambil mendak, berbareng dengan itu
kipasnya yang ia buat kuncup, diulurkan ke arah iga dari panglima
itu, untuk menotok jalan darah djoanmoa hiat. Lincah gerakannya,
tapi tidak segarang lawannya itu.
Ouw Tay Keng bertubuh besar, ia kurang gesit, tidak ampun lagi,
begitu kena ditotok, tubuhnya itu bergelimpang rubah jatuh di lantai
panggung dengan menerbitkan suara keras!
Lim Too An tidak berhenti sampai di situ, dengan sebat ia angkat
sebelah kakinya, untuk dipakai mendupak, maka tersapulah tubuh
besar dari panglima itu, jatuh terbanting ke bawah panggung.
"Maaf, boanseng terima kalah!" kata dia sambil tertawa. Masih
dia mengejek.
Gembira kaisar menampak pertempuran itu.
"Bagus!" serunya dengan pujiannya.
"Pertandingan yang menyusul akan lebih bagus lagi!" kata Ong
Tjin. "Lekas Baginda lihat!"
Kiepaykhoa segera perdengarkan pula suaranya: "Nomor 10!"
Kali ini yang lompat naik adalah seorang dengan sebelah
tangannya mengangkat tinggi sehelai tameng. Dia adalah Lou Liang,
adiknya Lou Beng. Lou Beng sendiri kemarin telah dijatuhkan oleh
satu anak muda, hingga Lou Liang mesti maju seorang diri. Dua
saudara Lou ini adalah orang-orang kepercayaannya Ong Tjin.
Lim Too An layani ilmu tameng Koengoan pay dari keluarga Lou
dengan tameng besinya, Lou Liang lindungi diri dari totokan ujung
kipas. Untuk sementara, Too An tidak bisa berbuat suatu apa, maka
itu dengan cepat pertandingan telah melalui kira-kira lima puluh
jurus.
Lou Liang tahu orang pandai tiamhiat hoat, ilmu totok jalan
darah, setelah bertanding sekian lama, ia menggunakan akal. Ialah
mengangkat tamengnya demikian rupa hingga ia membuatnya satu
lowongan.
Too An girang melihat ketika yang baik ini, ia tidak sia-siakan itu,
dengan memutar kipasnya, segera ia menotok jalan darah soankee
hiat pada dada lawan. Ia percaya, setelah lawan nampaknya lelah,
ia akan berhasil.
Tiba-tiba saja tameng bergerak sangat cepat. "Prak!" demikian
terdengar satu suara. Too An kaget bukan main, karena kipasnya
kena dihajar hingga patah seketika. Ia tahu selatan, segera saja ia
lompat turun dari panggung.
Ong Tjin lantas saja tertawa, wajahnya berseri-seri.
"Kongkong, pahlawanmu benar kosen!" kaisar memuji. Ia
membuatnya orang kebiri itu bergirang dan bersyukur.
"Kiedjin No. “, See Boe Kie, naik ke panggung! Penanggung
jawabnya Hoetongnia Yo Wie dari Gielim koen!" demikian suara
kiepaykhoa.
In Loei terkejut pula. Ia tidak sangka, juga penjahat besar ini,
yang telengas, turut serta dalam ujian, malah dengan ditunggui oleh
komandan muda dari tentara raja. Ia ingat benar, See Boe Kie
adalah orang yang lamarannya telah ditolak Tjoei Hong.
Begitu ia mencelat naik ke atas panggung, See Boe Kie tidak
berlaku sungkan lagi.
"Dengan kepalanku ini akan aku sambut tamengmu!" katanya
dengan jumawa.
Lou Liang gusar terhadap sikap kasar itu.
"Baik, kau sambutlah!" dia jawab, dan tamengnya segera
menyambar dari atas kebawah
Hebat serangan itu, sampai tameng itu mendatangkan siliran
angin.
See Boe Kie berkelit ke samping, dari situ ia membalas
menyerang dengan kepalannya dibuka, hingga lima jarinya jadi
berbaris rapat.
Lou Liang terkejut apabila ia tampak telapak tangan hitam dari
lawannya ini. Itulah Toksee tjiang — Tangan Pasir Beracun. Lekas-
lekas ia menangkis.
See Boe Kie sebat sekali, ketika serangan pembalasannya itu
gagal, ia menyusul dengan tangan yang lain, ia barengi selagi orang
menangkis. Kali ini ia berhasil menimpa pundak orang.
"Aduh!" teriak Lou Liang yang dibarengi dengan
menggelindingnya tubuhnya ke bawah panggung. Ia sebenarnya
kosen tetapi ia kalah sebat.
Wajah Ong Tjin menjadi matang biru, karena mendongkolnya,
sebab pahlawan yang ia banggakan itu, rubuh sebelum mencapai
tiga jurus.
Jangan gusar, kongkong1." tertawa Kong Tiauw Hay. "Pada
babak selanjutnya, binatang itu tak akan bertahan lama!.....”
Lalu terdengar suara kiepaykhoa'. "No. 12, Liok Thian Peng!
Penanggungnya, Tayiwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay!"
Segeralah lompat naik seorang yang tubuhnya tegap, di
pinggangnya terlibat cambuk lemas Kimsie Djoanpian. Dia tidak
loloskan senjata itu, hanya sambil tertawa ia kata pada See Boe Kie:
"Toksee tjiang-mu liehay sekali, tapi biarlah aku mengalah, kau
menyerang dulu dua kali! Bila aku berkelit, anggaplah, aku kalah!"
See Boe Kie melengak. Orang ada lebih terkebur daripadanya.
"Hayo mulai!" kata Liok Thian Peng. "Kenapa kau belum
menyerang juga? Di sini ada ioeitay tempat pieboe, jikalau kau tetap
tidak hendak menyerang, hendak kau menggelinding turun saja
dari atas panggung ini!.....”
See Boe Kie mendongkol, ia penasaran.
"Mungkinkah tubuhnya kebal hingga ia tidak mempan racun
tanganku yang liehay?" dia berpikir. "Belum pernah aku dengar
ilmu kebal semacam itu.....” Lantas ia kata dengan tawar:
"Tanganku beracun, Tuan Liok, harap kau berhati-hati!....."
Belum berhenti si jago tangan beracun ini berbicara, atau sebelah
tangannya sudah menyambar ke arah muka lawan. Sambil
menyerang, ia berpikir: "Pada tubuhnya ada bajunya, yang mungkin
menjadi alingan, maka akan aku hajar mukanya, yang kulitnya tipis!
Mungkinkah mukanya pun kebal?....."
Pada saat tangan lawan hampir sampai pada mukanya,
mendadak Liok Thian Peng mendak berkelit, menyusul mana,
tangannya diangkat, dipakai membentur sikut orang.
Hebat benturan ini, See Boe Kie merasakan sakitnya sampai di
jantungnya, lengannya yang dibentur pun lantas saja turun
tergantung, tetapi ia kuat, masih dapat ia bertahan, maka dengan
menuruti amarahnya, ia tidak mau menyerah kalah, lantas dengan
menggunakan tangannya yang lain, ia menyambar ke iga Liok Thian
Peng, mengarah jalan darah kematian.
In Loei saksikan pertempuran itu, ia tahu, kalau sambaran itu
tidak gagal, mesti celaka Liok Thian Peng. Tapi yang menjerit hebat
adalah See Boe Kie, tangannya semper, tubuhnya rubuh ke bawah
panggung.
"Hebat!" kata In Loei di dalam hatinya. Ia insyaf atas orang
punya ilmu "Tjiamie sippattiat" — "Membentur baju, delapan belas
kali terguling." Itulah ilmu tenaga dalam yang paling sempurna.
Sedikit benturan saja sudah cukup membuatnya orang kesakitan
dan rubuh. Maka berpikirlah ia lebih jauh: "Dalam ujian ini turut
ambil bagian orang kosen semacam ini, aku kuatir kakakku tidak
akan dapat merebut gelar Boe tjonggoan....."
Liok Thian Peng adalah soetee, adik seperguruan, dari Kong
Tiauw Hay, kepandaiannya berimbang dengan Tiauw Hay sendiri.
Tentu saja dia jadi sangat puas dengan kemenangannya itu, hingga
dia jadi bangga sekali. Kemudian terdengar pula seruannya
kiepaykhoa: "Kiedjin No. 14 naik ke panggung!"
Bukan kepalang girangnya In Loei apabila ia tampak, siapa calon
yang ke empat belas itu, dialah In Tiong, kakaknya.
"Ha, In Tongnia juga naik!" tertawa Liok Thin Peng. "Silakan
tongnia keluarkan senjatamu!"
Belum lama In Tiong masuk dalam kalangan Gielim koen akan
tetapi namanya menaik dengan cepat sekali, hingga hampir
menyamai kesohornya ketiga jago utama dari kota raja. Tentu saja,
terhadap tongnia ini, Liok Thian Peng tidak berani memandang
enteng, maka itu, ia sudah lantas loloskan cambuk lemasnya. Ia
malah segera rebut tempat di kepala di mana ia berdiri dengan siap
sedia.
Cambuk lemas itu terbuat dari rotan tua terlibat dengan urat
harimau, keuletannya istimewa, dapat melibat juga golok atau
pedang. Karena In Tiong bersenjatakan golok Angmo Pootoo, dalam
tandingan, ia kalah imbangan. Baharu ia hunus goloknya, atau Liok
Thian Peng sudah mulai menyerang padanya.
Dahsyat serangan cambuk itu, akan tetapi mengimbangi
kegesitan lawan, In Tiong kelitkan diri. Nampaknya ia akan
tercambuk, tapi kesudahannya, bajunya pun tidak tersentuh.
Sebaliknya ia, dari samping, segera membalas membacok.
Liok Thian Peng benar-benar liehay. Ia terancam bahaya tapi,
dengan mudah ia egoskan tubuhnya, untuk selanjutnya,
menyambuk pula berulang-ulang tiga kali, guna mendesak
lawannya, yang pun gesit sekali, hingga tiga cambukan itu tidak
memperoleh hasil. In Tiong tidak cuma berkelit, dia pun
berlompatan pesat, dan di bawah bayangan cambuk itu, ia
melakukan serangan pembalasannya.
Serangan tiga kali saling susul dari Liok Thian Peng itu adalah
serangan jurus-jurus "Kenghong sauwlioe" atau "Angin besar
menyapu pohon yanglioe," biasanya sulit untuk orang
menghindarkan diri dari bahaya itu, maka itu kagum Thian Peng,
terhadap lawannya. Ia pun mengelakkan diri dari pelbagai bacokan,
sesudah mana, lagi satu kali ia menyerang hebat, untuk melibat
lengan orang. Apabila ia berhasil, yang paling dulu akan terjadi
adalah golok In Tiong mesti terlepas dari cekalan dan terlempar.
In Tiong perdengarkan suara, bagaikan kaget, berbareng dengan
itu, tangan kirinya, yang hendak dilihat itu, dilonjorkan lempang dan
kaku, atas mana, dengan sendirinya, libatan cambuk lolos dan
cambuk lemas itu mental, tidak mendapatkan korbannya. Tapi itu
belum semua, selagi dilonjorkan, tangan In Tiong dan kepalannya,
berbareng dipakai menjotos dada lawannya!
"Bagus" teriak Liok Thian Peng, yang kaget dan kagum. Kakinya
tidak digerakkan, hanya tubuhnya digeser sedikit, untuk melewatkan
kepalan itu, menyusul mana tangan kirinya, dengan lima jarinya,
dipakai menunjuk, akan menyambuti kepalan lawan itu.
Kelihatannya kepalan dan jari-jari tangan akan bentrok satu
dengan lain, akan tetapi di saat yang berbahaya, keduanya mundur
sendirinya, diganti dengan gerakan cambuk dan golok — cambuk
bagaikan terbang, golok bagaikan menari.....
Kedua pihak nampak merenggangkan diri tetapi sebenarnya,
mereka asyik mengadu kepandaian mereka, hingga penonton rata-
rata menjadi kagum, ada yang menyaksikannya seperti matanya
kabur.
Ilmu silat "Tjiamie Sippattiat" dari Liok Thian Peng liehay, akan
tetapi, kali ini, menghadapi ilmu silat "Taylek Kimkong Tjioe" dari In
Tiong, dia repot juga. Kelihatannya dia cuma dapat bertahan. Maka
itu, dia lantas berlaku sangat hati-hati, dia keluarkan seluruh
kepandaiannya untuk dapat melayani terus.
"Bagus, bagus!" kaisar memuji berulang-ulang. Ia kagum dan
girang.
In Loei sebaliknya, berdebar-debar hatinya.
Pertempuran seru berjalan terus, sampai kemudian In Loei lihat,
gerakan kaki kedua pihak mulai ayal.
"Kali ini umpama kata kakak menang," pikir In Loei kemudian, "ia
pasti akan jadi sangat lelah, sedang menurut aturan pertandingan,
dia mesti melayani terus lawan-lawan baru hingga dua
pertandingan, baharu ia boleh beristirahat. Jikalau tandingan kakak
yang kedua ada sebangsa Liok Thian Peng kosennya, pasti
lenyaplah gelaran Boe tjonggoan1. Sekarang masih belum ada
kepastiannya.....”
Pertempuran berjalan untuk banyak jurus, kedua pihak masih
sama imbangannya, kejadian itu membuatnya kedua pihak tegang
sendirinya.
In Tiong berkemauan keras untuk menang, ia berani melakukan
penyerangan-penyerangan yang berbahaya sekalipun untuk dirinya
sendiri, setiap kalinya, pukulannya bertambah berat. Untuk ini ia
berlaku lambat dan sebat dengan tiba-tiba. Ia mainkan siasat, ia
mencari lowongan, sekalipun dengan memancing.
Liok Thian Peng lebih berpengalaman, dia tidak membiarkan
dirinya dipancing, dia berlaku tenang, matanya pun dipasang
dengan tajam.
Selagi pertandingan berjalan, tiba-tiba tubuh In Tiong terhuyung,
lalu lolos di antara cambuk, ia menyerang dengan kedua tangannya,
golok di tangan kanan, kepalan di sebelah kiri.
"Bagus!" seru Liok Thian Peng atas serangan tiba-tiba itu. Ia
berkelit dari kepalan dan menangkis golok, sesudah mana, ia pun
membalas, yaitu ia membarengi, meneruskan gerakan cambuknya,
yang ia pakai menyerang membalas.
Hampir In Loei keluarkan seruan karena menyaksikan saat yang
sangat berbahaya itu, atau segera ia dengar jeritan "aduh!" dari Liok
Thian Peng. Ia pun belum melihat nyata atau ia saksikan Thian Peng
rubuh, cambuknya terlempar, tubuhnya terguling di atas panggung.
Dengan tibanya serangan membalas itu, tiba-tiba Thian Peng
merasakan lengannya tertusuk jarum yang sakit rasanya. Tentu saja
ia menjadi sangat kaget, apapula pada saat itu, serangan In Tiong
datang menyusul. Tak ada jalan lain, sambil melepaskan
cambuknya, ia buang dirinya ke panggung, guna berkelit dari
serangan Kimkong tjioe yang dahsyat. Selagi bergulingan, di dalam
hatinya, ia kata: "Hm! Kiranya di tangan bocah ini masih ada senjata
rahasianya! Kecewa aku terpedaya!" Tapi ia bungkam. Di dalam
pieboe itu tidak disebutkan larangan menggunakan senjata rahasia.
Tentu saja, ia pun tidak ketahui, penyerang dengan jarum rahasia
itu bukannya In Tiong.
Di bawah panggung, In Loei heran. Di atas panggung, In Tiong
tidak kurang herannya kenapa lawannya itu rubuh sedang
serangannya belum lagi mengenal sasarannya.
Dengan begitu, selesailah sudah pertempuran itu, maka
kembalilah kiepaykhoa dengan tugasnya, memperdengarkan
suaranya seperti biasa: "Kiedjin ke lima belas, Thio Tan Hong, naik
ke panggung!
Penanggungnya Thio Hong Hoe, Tjongkauwtauw dari Gielim koen
merangkap Tjiehoei dari Kimie wie!"
In Loei mendengar nyata, ia menjadi kaget hingga semangatnya
bagaikan terbang pergi. Ia berdiri menjublak. Ia heran bukan main.
Kenapa Thio Tan Hong juga turut dalam ujian? Kenapa Thio Tan
Hong hendak perebutkan gelar Boe tjonggoan dengan kakaknya itu?
-ooo00dw00ooo-

Bab XVI
Thio Tan Hong lompat naik ke atas panggung dengan sikap yang
tenang dan wajah berseri-seri. Seperti biasanya, dia dandan dengan
pakaian putih, pun ikat kepalanya putih juga. Sepatunya adalah
sepatu yang enteng. Indah gerakannya ketika tubuhnya mencelat ke
atas panggung Ioeitay, bagaikan "pohon kemala ditiup angin" atau
"bunga lay beterbangan antara salju." Dia pun muda dan cakap
romannya, halus gerak-geriknya. Para kiedjin bersorak, waktu
mereka menyaksikan munculnya saingan ini.
"Sungguh satu pemuda yang cakap!" raja memuji setelah
menyaksikan kiedjin No. 15 ini. Hingga ia berkata kepada Kong
Tiauw Hay: "Orang ini sepantasnya turut dalam ujian Boen
tjonggoan....."
"Ya," sahut Kong Tiauw Hay, acuh tak acuh, sebab kedua
matanya sedang menatap Thio Tan Hong. Terang nampaknya, dia
heran atau curiga.....”
Sesampainya di atas panggung, Tan Hong tidak segera tantang
In Tiong, dia hanya memandang sekelebatan, menyapu dari kaisar
sampai kepada yang lainnya.
Terkejut Kaisar Kie Tin ketika sinar matanya bentrok dengan
sinar mata Tan Hong, tanpa merasa, ia bergidik sendirinya. Kaisar
ini heran sekali, orang ada demikian lemah lembut, kenapa matanya
tajam sekali, pada sinarnya seperti berbayang "hawa pembunuhan."
Tentu sekali raja ini tidak tahu, leluhur Thio Tan Hong adalah musuh
besar dari leluhurnya sendiri — musuh dalam perebutan negara.
Munculnya Tan Hong tidak hanya mengejutkan In Loei seorang.
Ie Kiam dan In Tiong juga tak menyangkanya sama sekali. Ie
Kokioo berpikir: "Tan Hong adalah seorang luar biasa, telah
berulang kali aku menganjurkan dia bekerja untuk pemerintah,
untuk itu bersedia aku menanggung dia dengan rumah tanggaku,
dengan jiwaku, dia senantiasa menampiknya, kenapa sekarang dia
muncul di sini hendak memperebutkan segala gelar Boe tjonggoan?"
In Tiong sebaliknya berpikir: "Binatang ini adalah pengchianat
yang bekerja untuk bangsa Watzu, kenapa dia datang untuk
perebutkan gelaran Boe tjonggoan denganku? Apa tidak baik jikalau
aku beber saja rahasianya? Tapi dia ditanggung oleh Thio Hong
Hoe, pemimpinku, bagaimana?" Karena ini, terpaksa ia bungkam, ia
cuma telan sendiri kemendeluannya.
Tak berayal lagi, Thio Tan Hong menghadap In Tiong. Ia
bersenyum lebar dengan tangannya di gagang pedang. Dengan
dalam ia menjura, terus ia berkata dengan hormat: "Saudara In, aku
mohon belas kasihanmu.....”
In Tiong gusar bukan kepalang, kedua matanya sampai bersinar
bagaikan api menyala, akan tetapi dia berada di atas panggung, dia
mesti kendalikan dirinya, dia harus mengindahkan adat istiadat,
maka itu, dia pun membalas menghormat sambil menjura, cuma
waktu dia buka suara, walaupun perlahan, dia kata: "Hari ini jikalau
bukannya kau yang mati, aku yang mampus!"
Akan tetapi Tan Hong tertawa.
"Itulah tak usah!.....” katanya, sabar.
Belum orang menutup mulutnya, In Tiong sudah mulai
menyerang. Setelah mereka satu pada lain memberi hormat, tak
perlu lagi mereka main hormat-hormatan terlebih jauh.
Gerakkannya adalah "Kwahouw tengsan," atau "Menunggang
harimau mendaki gunung."
In Loei telah menyaksikan itu, tanpa merasa, tubuhnya
mengeluarkan keringat dingin. Ia berkuatir tak terkira.
Di atas panggung, Tan Hong telah perdengarkan seruannya,
"Bagus!" lalu tubuhnya bergerak, mengegos dari bacokan In Tiong,
atas mana, In Tiong, menyusul dengan bacokan lagi dari samping.
Ia jadi penasaran karena bacokannya yang pertama itu dengan
mudah dapat dielakkan lawan.
Kali ini Tan Hong mencoba tenaga orang, ketika ia melewatkan
bacokan itu, ia bentur lengan pemuda she In itu, hingga terjadilah
satu peraduan tangan yang keras. Ia pakai tangan kanan, In Tiong
tangan kiri.
"Nyata Taylek Kimkong Tjioe dari Toasoepee bukan nama
belaka!" kata Tan Hong dalam hatinya setelah benturan itu, terus
saja ia balas menikam.
"Bagus!" seru In Tiong tanpa disengaja ketika ia berhasil
mengelakan diri dari tikaman yang berbahaya itu. Ia juga kagumi
liehaynya lawan ini.
Kedua pihak bertempur dengan hati-hati, apa-pula In Tiong, yang
tahu pedang lawan adalah pedang mustika dan goloknya, walaupun
tajam, tak akan sanggup melawan pedang itu. Ia tidak membiarkan
goloknya dipapas, sedang ia sendiri, ia selalu menahas pedang
lawan dari samping.
Kedua pihak, berlaku hati-hati, tapi kedua pihak pun saling
menyerang secara hebat.
Sesudah pertempuran berjalan sekian lama, tiba-tiba Tan Hong
merubah gerak-geriknya. Satu kali ia berseru panjang, lalu tubuhnya
berkelebat bagaikan bayangan, ke kiri dan kanan, hingga In Tiong
seperti dikurung musuh-musuh diempat penjuru.
Menghadapi musuh demikian gesit, In Tiong pernahkan diri di
tengah-tengah. Ia berputar ke mana lawan berkelebat, ia
menangkis sambil membalas membacok. Ia telah mencoba, akan
menahas kutung pedang lawan, tapi belum pernah ia berhasil. Ia
berlaku sangat cepat, tapi lawan lebih cepat pula. Bagaikan capung
menyambar air, demikian samberan Tan Hong dan lewatlah
tubuhnya pesat sekali.
Sepasang alis kaisar bangun ketika menyaksikan pertempuran
setelah tujuh puluh jurus.
"Bagus! Bagus!" pujinya berulang-ulang.
In Loei kagum, tetapi kekuatirannya menjadi lebih besar. Ia takut
kalau-kalau Tan Hong melukai In Tiong, ia kuatir saudaranya nanti
melukai mahasiswa itu.....
Di mata banyak penonton, kedua pemuda itu setanding, tetapi di
mata In Loei, keadaan ada sebaliknya. In Tiong gagah tetapi ia
tetap kalah gesit, kalah mantap daripada Tan Hong. Tubuh si
mahasiswa, juga pedangnya, bergerak dengan terlebih bebas. In
Loei sering bertempur melawan musuh bersama Tan Hong, ia tahu
baik tentang liehaynya pemuda ini. Adalah kemudian, lega juga hati
si nona. Ia merasa bahwa Tan Hong mempunyai belas kasihan
terhadap kakaknya itu.....
Ie Kiam pun berkuatir, hingga membuka mulutnya. Ia seperti
berbicara sendiri, seperti mengatakan pada In Loei. Katanya: "Kalau
dua ekor harimau berkelahi salah satu mesti terluka.....
Apakah perlunya itu? Apakah perlunya itu?.....”
Tapi pertandingan ini resmi, siapa juga tidak berhak untuk
menghentikannya.
In Tiong telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, tapi ia
hanya dapat bertanding seri terhadap lawan itu, dengan sendirinya,
hatinya menjadi tegang. Ia pun baru saja berkutat mati-matian
dengan Liok Thian Peng, hingga ia merasa letih bukan main. Maka
pada akhirnya, ia menjadi lelah sendirinya.
Aneh sikap Tan Hong terlebih jauh. Satu kali agaknya ia peroleh
lowongan, lalu ia lepaskan itu, ia sebaliknya bagaikan terancam
golok In Tiong. Beberapa kali hal ini terjadi, In Tiong lantas
menduga, bahwa Tan Hong tidak berniat mengalahkannya. Tapi hal
ini membuatnya ia menjadi panas hati, ia tidak puas.....
Bertempur lebih jauh, In Tiong berlaku telengas.
Goloknya, di tangan kanan, dan kepalan kirinya mendesak terus
hingga tiga kali beruntun. Ia mendesak begitu rupa , hingga Tan
Hong mesti mundur. Kemudian, sambil lompat mutar, ia mundur
teratur, agaknya desakan itu tidak memberi hasil.
Tan Hong tertawa di dalam hatinya.
"Kau hendak gunakan akal, siapa sudi terkena tipumu?" kata
mahasiswa ini. Ia segera gunakan akal untuk melawan akal. Ialah ia
maju, untuk menyusul.
Justeru itu, mendadak In Tiong lompat mutar pula, tangan
kirinya turut bergerak, melemparkan tujuh butir senjata rahasia
Thielian tjie, semacam biji teratai besi, yang semuanya menuju
keberbagai anggota berbahaya dari si pemuda she Thio. Itulah
senjata rahasia Hian Kee Itsoe.
Itulah serangan sangat berbahaya, para penonton menjadi
terkejut.
Menyusul serangan teratai besi itu, terdengar suara bentrokan
nyaring, lalu sirap, hingga orang menjadi heran, cuma In Tiong
yang hatinya gentar, sebab ia tahu, serangan itu telah digagalkan
lawan. Malah ia menduga juga, senjata rahasia yang dipakai
menentanginya adalah sebangsa jarum, yang kecil sekali, hingga
heranlah ia, kenapa senjata halus itu dapat melemahkan bijih-bijih
besi yang jauh terlebih berat. Lain dari itu, senjata Tan Hong ini
membuatnya In Tiong ingat kejadian tadi sewaktu ia bertanding
dengan Liok Thian Peng.
Tadi ketika berhadapan dengan Thian Peng, In Tiong tahu benar
mereka berdua sudah menghadapi jalan buntu, ia mesti celaka,
demikian juga Thian Peng, akan tetapi pada saat terakhir, Thian
Peng rubuh tanpa sesuatu sebab. Tidak mengerti In Tiong, kenapa
lawannya itu kalah tanpa alasan apa-apa. Tapi sekarang, melihat
senjata rahasia Tan Hong, segera ia mengerti, ia sadar. Teranglah
sudah, tadi Tan Hong telah menyerang Thian Peng secara diam-
diam. Maka bingunglah ia kenapa "musuhnya" — "musuh besar" —
telah membantu ia secara diam-diam itu.
Pada saat itu, In Tiong jadi merasa malu berbareng bersyukur.
Malu karena serangannya itu gagal, bersyukur sebab "musuh" telah
membantu padanya, telah menolong ia dari ancaman bahaya besar.
Sebaliknya, ia juga mendongkol, karena musuh itu sangat tanggu
dan tak dapat dirubuhkan.
Selagi In Tiong diliputi pelbagai perasaan itu, tiba-tiba terdengar
suara Tan Hong.
"Lihat pedang!" seru pemuda she Thio itu sambil tertawa, lalu
pedangnya berkelebat, bersinar di muka orang she In itu.
In Tiong masih sadar akan dirinya, maka dengan sebat ia tangkis
tikaman itu, setelah mana, ia melakukan pembalasan. Ia terpaksa
membalas, sebab setelah tikaman itu, Tan Hong mengulanginya,
hingga dia mesti dilayani terus.
In Tiong berpikir, baik atau tidak ia serahkan saja gelar Boe
tjonggoan kepada Tan Hong, karena pertempuran mereka ini luar
biasa dahsyatnya. Kalau ia mengalah, bahaya sudah tidak ada. Tapi
ia didesak, ia jadi berpikir lain. Semuanya terjadi dalam sekejap itu.
Tidak banyak waktu untuk berpikir lama-lama. Maka, setelah satu
tangkisan tangan kiri disusul dengan bacokan tangan kanan, dengan
goloknya, ia memikir untuk menggunakan serangan "Pengin liatsek"
atau "Awan buyar, batu gempur."
"Jangan!" tiba-tiba terdengar suaranya Tan Hong, perlahan.
"Lekas gunakan Samyang kaytay....."
Tanpa merasa, In Tiong ubah serangannya, lalu tiga kali
beruntun ia memberikan bacokan. Benar saja, ia telah
menggunakan tipu silat yang disebutkan pemuda she Thio itu.
Tan Hong menutup dirinya dengan tipu silat "Pathong hongie" —
"Hujan angin di delapan penjuru," tetapi percuma saja,
pembelaannya dapat dipecahkan, hingga ia jadi terdesak, kalau tadi
ia menjadi penyerang, sekarang ia berbalik menjadi orang yang
diserang, karenanya, ia perdengarkan jeritan terancam bahaya.
In Tiong lanjutkan desakannya, ia membuat Tan Hong mundur
terus, sampai di pinggir panggung di mana sudah tak terdapat
tempat lagi untuk mundur lebih jauh, di saat itu tiba-tiba pemuda
she Thio itu mencelat tinggi, ia apungkan dirinya, berjumpalitan,
hingga di lain saat, ia telah berada di bawah panggung! Tubuhnya
itu telah melayang bagaikan layangan putus.....
Bergemuruhlah suara di bawah panggung, sebab pieboe telah
berakhir untuk kekalahannya Thio Tan Hong dan kemenangannya In
Tiong. Semua orang puji In Tiong dengan jurusnya yang terakhir
itu,
"Samyang kaytay," — "Selamat tahun baru"
Di antara semua penonton, cuma In Loei yang bernapas lega,
yang ketahui kemenangan In Tiong itu, sebab Thio Tan Hong
bukannya kalah, hanya mengalah.
Adalah maksud Tan Hong turut dalam pieboe, bukan untuk
merebut kemenangan, bukan untuk menjadi Boe tjonggoan, hanya
guna membantu In Tiong, supaya In Tiong dapat menjadi tjonggoan
militer, supaya In Tiong berhasil dengan angan-angannya mencari
kedudukan tinggi guna nanti mencapai cita-citanya.
Tan Hong mengetahui, dua saudara seperguruan dari Tayiwee
Tjongkoan Kong Tiauw Hay turut dalam ujian militer itu. Inilah
berbahaya untuk In Tiong sekalipun ia ketahui kepandaian In Tiong
dibanding dengan dua saudara seperguruan dari Tiauw Hay itu
berimbang. Bahayanya ialah kalau In Tiong mesti bergantian
melayani dua musuh tanggu itu, sedang di lain pihak, masih ada
beberapa calon lainnya yang tak kurang berbahayanya. Maka ia
paksa pernahkan dirinya dalam keadaan berbahaya itu, guna secara
diam-diam membantui In Tiong, agar orang she In ini dapat
memastikan kemenangannya. Untuk ini, Tan Hong dapat
bantuannya Thio Hong Hoe, yang menjadi orang penanggungnya.
Bahwa In Tiong sampai sebegitu jauh tidak ketahui Tan Hong
turut dalam ujian itulah karena, dalam ujian-ujian pertama, mereka
dipisahkan rombongannya, hingga baharulah di babak ini
mereka diberikan ketika untuk berhadapan satu pada lain.
Kemarinnya, dalam ujian pertama, Tan Hong telah merubuhkan
tiga calon yang liehay, yaitu pertama satu soeheng lainnya dari
Kong Tiauw Hay, kedua ahli silat Kimkauw Gouwhong, dan ketiga
pahlawan istana Lou Liang. Ini pun membantu meringankan In
Tiong untuk memasuki babak terakhir. Pada akhirnya, Tan Hong
membantu ia merubuhkan Liok Thian Peng, sesudah mana, ia maju
sendiri, ia berpura-pura kalah sesudah mengajari In Tiong
bagaimana ia harus mendesak padanya.....
Begitu rupa Tan Hong telah bertindak, sehingga Thio Hong Hoe
dan Ie Kiam tidak mengetahui maksud yang disembunyikan itu.
Tetapi ini tidak berarti Tan Hong tidak menghadapi ancaman
malapetaka.
In Tiong melengak atas kemenangannya itu. Ia berpikir keras
karena kemenangan yang tidak wajar itu, walaupun tidak ada satu
orang jua yang mengetahuinya. Tengah ia berdiri diam, gemuruhlah
seluruh tanah lapang itu. Lalu, di saat ia masih belum ingat untuk
mengundurkan diri, guna beristirahat, ia dengar satu teriakan dari
panggung muka: "Lekas tangkap pemberontak! Lekas tangkap
pemberontak!"
In Loei kaget mendengar suara itu, In Tiong pun tak terkecuali,
hingga ia jadi sadar.
Di panggung muka itu, ialah panggung untuk kaisar
menyaksikan pieboe, Kong Tiauw Hay perdengarkan suara
nyaring berulang-ulang. Dia berteriak-teriak menitahkan pasukan
raja menangkap Thio Tan Hong.
Ketika dua soesiok, atau paman guru, dari Kong Tiauw Hay
dikalahkan Tan Hong dan In Loei di selat Tjengliong Kiap, maka
kedua orang itu — ialah Tiatpie Kimwan Liong Tjin Hong dan
Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe — sudah lari pulang ke kota raja.
Mereka ini telah bertemu dengan Kong Tiauw Hay, lalu mereka
tuturkan tentang Tan Hong dan In Loei, terutama mereka lukiskan
tegas roman Tan Hong. Tiauw Hay sangat perhatikan keterangan
kedua guru itu, maka sekarang melihat Tan Hong, ia segera dapat
mengetahui tidak peduli kedua paman gurunya tak turut
menyaksikan pieboe itu. Sekian lama ia telah mengawasi Tan Hong,
selama itu ia telah mengambil keputusannya, "lebih baik keliru
menangkap orang daripada meloloskannya," maka juga, habis
pieboe, ia maju kemuka panggung dan berikan titahnya itu.
Semua orang menjadi heran, gemuruh pun lenyaplah. Barisan
Gielim koen tidak kurang herannya. Dalam kesunyian setelah
teriakan-teriakan Kong Tiauw Hay itu, menyusullan suara tertawa
yang tajam dar nyaring, lalu tampaklah Thin Tan Hong lari ke muka
— ke panggung muka — panggung kaisar, di atas mana Tiauw Hay
tengah menuding kepada pemberontak yang ia titahkan
menawannya.
Tayiwee Tjongkoan itu tak dapat berteriak lebih jauh, begitu
lekas Thio Tan Hong lari sampai di muka panggung, dia pun
menjerit keras, tubuhnya terus terguling, jatuh ke bawah panggung.
Karena Tan Hong tidak mau membiarkan orang pentang terus
bacotnya, dia telah menghadiahkan hoeitjiam, senjata rahasia jarum
yang liehay.
Kembali orang kaget, mereka menjadi gempar. Semua pahlawan
lantas lari maju, untuk memburu. Sekarang mereka tahu pasti, siapa
yang dimaksudkan sebagai si pemberontak yang mesti ditawan itu.
Tengah orang berlari-lari, di antara suasana kacau itu, Thio Tan
Hong segera perdengarkan suitan mulut yang panjang, menyusul
mana, dari satu jurusan datanglah kuda Tjiauwya saytjoe ma yang
larinya sangat pesat, menuju ke arah majikannya.
Thio Tan Hong lantas perdengarkan tertawa berkakakan. Dengan
satu enjotan, tubuhnya sudah mencelat naik di bebokong kudanya,
sesudah mana, ia mainkan pedangnya secara liehay. Sebab waktu
itu, kecuali serdadu-serdadu yang memburu, anak-anak panah juga
sudah datang saling sambar, maka anak panah itu mesti ditangkis,
disampok jatuh, supaya tidak mengenai sasarannya.
Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali keluar lapangan tanpa ada
yang bisa mencegah! Ong Tjin jadi sangat mendongkol, hingga
tubuhnya gemetar.
"Celaka betul!" teriaknya. "Lekas tawan si penanggung jawab,
Thio Hong Hoe!" demikian ia berikan titahnya.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar raja mencegah. "Coba tanya
dulu Kong Tiauw Hay, bagaimana duduknya perkara!"
Raja memang tidak mengetahui duduknya perkara itu.
Kong Tiauw Hay adalah seorang gagah, akan tetapi sekarang dia
seperti tak berdaya. Saking sakitnya, dia rubuh dari atas panggung.
Hoeitjiam tidak meminta jiwanya, akan tetapi jarum itu yang
membuat jalan darahnya terganggu dan beberapa uratnya terluka.
Untuk menolong dirinya, terlebih dahulu harus dicabut jarum
rahasianya dengan kekuatan besi berani. Tapi ia tanggu, dan
jatuhnya pun tidak membikin ia terluka parah, maka ia berbangkit,
lalu dengan timpang ia bertindak mendaki panggung, untuk
menghampiri raja.
"Kau kenapa?" tanya kaisar.
Tidak berani Kong Tiauw Hay bicara terus terang, ia malu, ia
mesti lindungi nama baiknya.
"Oleh karena kesusu hendak menawan pemberontak, budakmu
telah terjeblos jatuh di pinggir panggung.....” demikian ia menjawab
junjungannya itu.
Kong Tiauw Hay adalah Tayiwee Tjongkoan, dengan diam-diam
ia bersaingan dengan Thio Hong Hoe, kepala Gielim koen,
komandan Kimie wie. Ia ingin rebut nama sebagai orang kosen
nomor satu untuk kota raja. Tentu saja ia akan merasa malu kalau
orang mengetahui ia rubuh di tangan orang sebawahannya Thio
Hong Hoe itu. Bukankah Tan Hong pun tak dikenal?
Mendengar jawaban tjongkoan itu, kaisar tertawa.
"Apakah Thio Tan Hong itu benar-benar pemberontak?" tanya
pula junjungan ini.
"Benar," sahut tjongkoan itu. "Dia pernah melukai Taytongnia
Thio Hong Hoe dari Gielim koen, dia pernah merampas persakitan
utama dari tangan Thio Hong Hoe, yaitu putera pengkhianat
pemberontak Tjioe Kian! Bukankah Thio Hong Hoe pernah
melaporkannya semua kejadian itu? Si perampas persakitan utama
itu adalah Thio Tan Hong!"
Tanpa pikir panjang lagi, mengikuti kemendongkolannya, Kong
Tiauw Hay telah mengucapkan kata-katanya itu. Dengan begitu juga
hendak ia lindungi nama baik kedua paman gurunya yang telah
dipecundangkan Tan Hong. Dengan begitu ia tumpahkan kesalahan
atas diri Hong Hoe.
Mendengar jawaban itu, raja tertawa berkakakan.
"Aykeng, kau telah membuat kekeliruan!" kata raja ini. Ia
memanggil "aykeng" — "hambaku yang disayang" kepada
tjongkoan-nya itu.
"Jikalau Thio Tan Hong itu pernah melukai Thio Hong Hoe, cara
bagaimana sekarang Thio Hong Hoe kesudian menjadi penanggung
atas dirinya? Aku lihat Thio Tan Hong itu meski benar dia kena
dikalahkan In Tongnia, tidak lemah ilmu silatnya. Dia mempunyai
roman yang baik, tenaganya juga dapat dipakai. Sayang kau
menyebabkan dia menyingkirkan diri. Sekarang pergilah kau cari
dia, untuk mengajak dia pulang, jangan kau membuat dia ketakutan
terus menerus!"
Kaisar Kie Tin ini, walaupun setiap hari dia dipengaruhi Ong Tjin,
belum dapat dikatakan dia kaisar dungu, malah dia sebenarnya
gemar juga memperlihatkan kecerdasannya. Demikian kali ini, dia
anggap pandangannya jauh terlebih sadar daripada Kong Tiauw
Hay, maka dia bergurau dengan hambanya itu, habis mana, dia
menjadi puas sekali, dia anggap Kong Tiauw Hay tolol, telah
mencari kepusingan sendiri.
Thio Hong Hoe telah mendengar semua, dia keluarkan keringat
dingin. Dia girang sekali yang raja tidak memperpanjang kejadian
itu, kalau tidak, bisa sulit kedudukannya.
Habis kekacauan itu, pieboe dilanjutkan pula. In Tiong telah
menangkan dua kali, dia dapat hak untuk masuk dalam babak
terakhir, karenanya, dia boleh beristirahat.
Dengan majunya Tan Hong sebagai calon ke lima belas, masih
ada sembilan calon lagi. Sudah diterangkan, cuma ada dua puluh
empat calon yang berhak pieboe di atas ioeitay. Pertandingan
dilanjutkan antara sembilan calon itu, kesudahannya ada satu
orang, yang beruntung menang dua kali beruntun. Dia adalah Hoan
Tjoen, salah satu dari tiga jago di kota raja Kengsoe samtoa kotjioe.
Dialah adik kandung dari Hoan Tiong, itu Gietjian siewie,
kepandaiannya Hoan Tiong yang mengajarkan. Dibanding dengan In
Tiong, dia masih beda jauh, maka itu, sebelum pertandingan
berakhir, belum sampai tiga puluh jurus, dia telah dirubuhkan In
Tiong.
Kembali terdengar suara gemuruh diseluruh lapangan. Sebagai
penghormatan, In Tiong dikerebongi mantel sendiri oleh kaisar,
yang mengumumkan dia adalah Boe tjonggoan.
In Loei girang tak terhingga. Begitu pulang ke gedung Ie Kiam,
dia nanti-nantikan In Tiong peroleh sesuatu jabatan, untuk In Tiong
pindah keluar dari istana. Waktu itu dia berpikir akan minta
bantuannya Thio Hong Hoe, supaya mereka dua saudara, kakak dan
adik, diperkenalkan, dipertemukan satu dengan lain. Tapi, beberapa
hari telah berselang, kabar yang ditunggu-tunggu itu tidak juga
kunjung tiba, hingga, selainnya In Loei, Ie Kiam juga turut merasa
heran.
Menurut kebiasaan, siapa sudah diangkat jadi boe tjonggoan,
sedikitnya dia akan diangkat menjadi tjiangkoen, jenderal, dia akan
diberikan satu gedung tersendiri untuknya, jadi tidak usah dia
berasrama lagi di dalam istana. Maka kali ini, sia-sia saja orang
menantikan pengumuman dari kaisar tentang pengangkatan boe
tjonggoan itu. Inilah kejadian yang langka.
Ie Kiam menjadi bingung juga meski benar ia ada satu menteri,
di dalam hal pemberian pangkat atau gelar atau hadiah, dia tidak
punya hak untuk mencampurinya.
In Tiong sendiri, setelah kemenangannya itu, terus terbenam
dalam keragu-raguan, hingga ketika ramai orang memberi selamat,
sama sekali ia tidak pernah tertawa. Ia kembali ke asrama, tetap ia
menjadi pahlawan, kalau malam, masih ia bertugas meronda
keraton.
Di dalam istana terdapat batas di antara istana dan keraton.
Keraton adalah istana bahagian dalam. Dan bahagian In Tiong
adalah keraton, yang disebut iweeteng, perdalaman.
Ketika ia kembali ke asramanya, dia lantas keram diri di dalam
kamarnya, beberapa rekannya telah datang untuk memberi selamat,
tetapi ia tidak mau menemuinya. Karena sikapnya ini, ada rekannya
yang menganggap dia jadi angkuh dan kepala besar, tapi ada juga
yang mengerti dan percaya bahwa dia sangat letih hingga dia perlu
beristirahat. Hanya anehnya, sejak hari kemenangan itu, In Tiong
lantas saja menjadi seorang yang pendiam, tidak lagi dia
bergembira seperti biasa, malah dia nampaknya tak tenang. Ini pun
sebabnya kenapa dia keram diri di dalam kamar.
Cuma In Tiong sendiri yang ketahui kenapa ia bawa sikap yang
luar biasa ini. Ia tahu, Boe tjonggoan itu ia dapatkan bukan karena
kepandaiannya, ia hanya seperti dihadiahkan Thio Tan Hong, yang
telah mengalah terhadapnya, hal ini membuatnya ia merasa malu
sendiri. Tidakkah ia diberi hadiah oleh "musuh?" Tapi, gelar itu telah
ia dapatkan, mustahil kalau ia kembalikan kepada Kaisar. Karena ini,
ia jadi berpikir keras, makin ia berpikir, makin ruwet pikirannya.
Demikian dalam keadaan bimbang dan berduka itu, tiba-tiba satu
thaykam kecil datang padanya, mengetok pintu kamarnya, sambil
berkata bahwa kaisar memanggil ia.
In Tiong terkejut berbareng girang. Dengan lekas ia salin
pakaian, terus ia ikut thaykam itu, melintasi lorong yang panjang,
sampai di pendopo Boenhoa thian di mana terdapat giesie pong,
kantor kaisar.
Dalam kantor itu, yang apinya dipasang terang-terang tampak
raja duduk seorang diri. Melihat datangnya Boe tjonggoan, raja
memberi tanda kepada thaykam untuk mengundurkan diri sambil
menutup pintu kamar.
"Liehay keng punya ilmu silat, keng telah menjagoi di kolong
langit ini, maka keng harus bergembira, seharusnya keng diberi
selamat!" kata raja sambil tertawa. Dan ia beri selamatnya.
Muka In Tiong menjadi merah.
"Terima kasih untuk pujian Sri Baginda," kata ia, dengan likat.
"Untuk budi Sri Baginda ini, walaupun hancur lebur tubuh sin,
tidak dapat sin membalasnya."
Dengan kata "sin," In Tiong membahasakan dirinya "hambamu."
Kaisar awasi tjonggoan baru ini. "Sebenarnya keng asai mana?"
ia tanya. ("Keng" adalah kata hormat seperti "kau" atau "kamu"
untuk menteri.)
In Tiong bersangsi ketika ia menyahuti: "Leluhur sin
berasal dari Kayhong dipropinsi Hoolam." Mata kaisar bagaikan
terbalik, ia menatap pula. "Kalau begitu," kata raja
dengan sekonyong-konyong, "keng berasal dari satu
kampung dan satu she dengan menteri In Tjeng dari pemerintah
yang terdahulu. Pernah apakah keng dengan In Tjeng itu?"
Terharu In Tiong, hingga lantas saja ia bertekuk lutut.
'In Kimsoe adalah sin empunya kakek," sahut ia. Ia menyebutnya
"kimsoe" — "utusan kaisar" — terhadap engkong-nya itu.
Sekian lama In Tiong sembunyikan diri sebagai turunan dari In
Tjeng, yang dipandang sebagai "menteri yang berdosa," tidak berani
ia memberitahukan itu kepada siapa juga, tetapi sekarang, ditanya
raja, tidak berani ia mendusta.
Raja pun terkejut, wajahnya sampai berubah. "In Tjonggoan,
adakah keng mengandung rasa benci terhadap tim?" dia tanya.
("Tim" adalah istilah raja membahasakan dirinya sendiri selagi
bicara dengan menterinya.)
In Tiong merasa hatinya sakit bagaikan disayat-sayat.
"Kakek sin itu sangat setia terhadap negaranya, maka itu sin
mohon semoga Baginda suka mencuci bersih noda atas namanya
itu," ia mohon. Setelah mengucap demikian, air matanya segera
bercucuran.
Raja tidak mengeluarkan air mata akan tetapi ia berpura-pura
menyusut matanya.
"Kakekmu itu setia, inilah tim ketahui," ia kata. "Dalam hal tim
menghadiahkan ia kematian, itulah sebenarnya bukan kehendak tim
sendiri....."
In Tiong heran, ia angkat kepalanya akan mengawasi kaisar.
"Hanya," kaisar lantas menambahkan, "untuk tim mencuci noda
kakekmu itu, guna memulihkan kehormatannya, haruslah ditunggu
lain hari.....”
Benar-benar, kaisar ini bukan kaisar tolol, dia tidak berdaya
karena sejak kecil dia selalu dikekang Ong Tjin, hingga dia tak dapat
berdiri sendiri. Pernah dia memikirnya, berulangkah, untuk
merampas kembali kekuasaan, haknya sebagai kepala
pemerintahan, tetapi pengaruh Ong Tjin besar sekali, hingga dia
merasa sulit. Maka tidak ada lain jalan daripada bertindak dengan
perlahan-lahan, untuk ini, dia juga perlu mengumpulkan tenaga-
tenaga pembantu, akan mengimbangi kekuatan kawannya si dorna
kebiri. Sekarang dia lihat In Tiong setia, dan In Tiong kebetulan
bermusuh dengan Ong Tjin, orang semacam In Tiong inilah yang
sedang dicari.
In Tiong sementara itu sedang menangis tersedu-sedu
mengetahui kakeknya telah menjadi korbannya Ong Tjin, tidak
peduli dihadapan raja tidak dapat ia kuatkan hati lagi. Sekarang
telah berubah pandangannya, maka ia mengambil keputusan akan
bekerja untuk raja ini, supaya ia dapat membantu menyingkirkan
dorna.
Raja mengawasi Boe tjonggoan itu, ia tunggu sampai orang
menyeka kering air matanya, lalu ia bersenyum dan berkata: "Keng,
janganlah kau terburu napsu, kau mesti bersabar, sekarang ini
belum sampai ketikanya hingga tak dapat kita menggeprak
rumput membikin ular kaget.....”
"Jikalau diperkenankan Sri Baginda," In Tiong lantas minta, "sin
mohon diberikan tugas di tapal batas, untuk sin memimpin suatu
pasukan, supaya bila dikemudian hari tiba saatnya untuk berperang,
sin nanti bisa mengumpulkan pasukan-pasukan yang bersetia
kepada Sri Baginda. Bila sin mempunyai kekuasaan ketentaraan,
sesudahnya memukul mundur angkatan perang Watzu, sin akan
segera pulang ke dalam negeri untuk menyapu bersih kawanan
dorna!"
Raja bersenyum pula.
"Tindakan itu pun harus dilakukan dengan sabar," kata dia.
Mendengar ini, In Tiong menjadi lesu. Ketika ia pandang kaisar,
raja itu sedang mengawasi dia. Kaisar sudah lantas tertawa.
"Bukankah boe kiedjin yang tadi bertanding dengan kau bernama
Thio Tan Hong?" raja ini tanya. "Tim lihat ilmu silatnya tak dapat
dicela!"
In Tiong merasakan mukanya panas, hatinya pun berdebar. Ia
kertek giginya, untuk dapat menguasai diri.
"Harap Sri Baginda mengetahui," dia berkata, "ilmu silat Thio Tan
Hong itu sebenarnya berada di atasan sin. Gelar Soe tjonggoan ini
pun aku peroleh karena dia mengalah dan memberikannya kepada
sin."
Kalau tadinya ia merasa tidak tenang, setelah mengucapkan
kata-katanya yang terachir ini, hati In Tiong menjadi lega.
Wajah raja sedikit berubah setelah mendengarkan perkataan
tjonggoan itu. Tiba-tiba dia tertawa pula sambil terus mengatakan:
"Keng benar jujur! Sebenarnya, tanpa kau mengatakannya, itu
sudah dapat dilihat.....”
In Tiong terperanjat, ia heran.
"Raja tinggal di dalam istana, dia tentunya tidak mengerti ilmu
silat, ia sekarang ketahui Tan Hong mengalah, inilah aneh," pikirnya.
"Sekalipun ahli-ahli silat di sekitar Ioeitay tidak ada yang sadar akan
peranan Tan Hong itu....."
Benar-benar boe tjonggoan itu tak mengerti.
"Tahukan kau, orang macam apa Thio Tan Hong itu?" tanya pula
raja kemudian.
"Tentang ini justeru sin hendak menuturkan kepada Sri Baginda,"
jawab In Tiong. "Thio Tan Hong adalah puteranya Thio Tjong Tjioe,
menteri muda dari negara Watzu. Dia sekarang melusup masuk ke
dalam negeri kita, sin kuatir dia mengandung maksud yang
tidak baik.....”
Raja agaknya heran.
"Apa, dia puteranya Thio Tjong Tjioe?" dia ulangi.
"Ya," In Tiong pastikan. "Mengenai dia, mungkin Thio Hong Hoe
belum tahu jelas, cuma karena melihat dia pandai silat, maka Hong
Hoe berikan pertanggungannya. Thio Tongnia setia, sin mohon dia
tidak dicurigai."
"Siapa tidak bersalah, dia tidak dapat dipersalahkan," kata raja.
"Tentang kecurigaan, ah, sebenarnya tim tidak mencurigai Thio
Hong Hoe....."
In Tiong terperanjat, wajahnya sampai pucat.
"Thio Tan Hong mengalah, dia serahkan gelar Boe tjonggoan
kepada sin, tidaklah mengherankan jikalau Baginda merasa curiga
ia lekas berkata. "Harap Baginda ketahui, Thio Tan Hong itu adalah
musuh keluarga sin\"
Untuk membuktikan perkataan ini, In Tiong terus tuturkan
duduknya permusuhan itu dan akhirnya ia perlihatkan surat wasiat
dari kakeknya.
Setelah mendengar dan menyaksikan itu, raja tertawa.
"Aku pun tidak curigai kau," katanya kemudian. "Sepak terjang
Thio Tan Hong itu, menurut penglihatan tim, adalah untuk melepas
budi atas dirimu, supaya kau melupakan permusuhan kekeluargaan
itu, dan juga tentang sakit hati negara. Tim lihat, kau tentunya tidak
akan terpedayakan dia.....”
In Tiong setujui pendapat raja itu. "Sekarang kemari kau," kata
pula raja, kemudian. Tim hendak perlihatkan keng sehelai
gambar lukisan."
Raja menghampiri lemari bukunya, lalu membuka pintunya, akan
mengambil gambar yang ia maksudkan itu. Di situ terlukis satu
orang yang memakai mahkota, jubanya bersulamkan naga-nagaan,
romannya keren.
"Coba keng lihat, miripkah Thio Tan Hong dengan orang dalam
gambar ini?" tanya raja setelah ia menunjukkan gambar itu.
In Tiong awasi gambar itu, ia terperanjat. Ia tampak potongan
muka dan tubuh yang sama, kecuali orang dalam gambar ini ada
terlebih kasar, kalah halus dan tenang dengan Thio Tan Hong.
"Mungkinkah Thio Tan Hong seorang anggauta keluarga raja?" ia
menduga-duga dalam hatinya.
"Tidakkah mereka agak mirip?" raja menegaskan.
"Ya, mirip," sahut In Tiong, suaranya tak tegas.
Sekonyong-konyong wajah raja berubah, secara tiba-tiba dia
tuding gambar itu sambil mengatakan dengan keras: "Kau telah
mati tetapi kau tidak meramkan mata, kau masih menugaskan anak
cucumu untuk merampas negaraku?"
In Tiong kaget, ia heran bukan main.
"Dia..... dia siapakah?" ia tanya.
Raja menyahut sambil tertawa tawar: "Raja bangsat di dalam
gambar ini adalah Thio Soe Seng, kaisar dari kerajaan Tjioe yang
palsu!" dia jawab. "Thio Tjong Tjioe dan Thio Tan Hong adalah anak
cucunya! Hm! Dia pakai nama Tjong Tjioe, bukankah dengan itu dia
bermaksud meminjam tenaga bangsa asing untuk membangunkan
pula kerajaan Tjioe itu, untuk memusnakan kerajaanku?"
Inilah untuk pertama kali yang In Tiong ketahui Thio Tan Hong
adalah turunan Thio Soe Seng. Inilah di luar dugaannya. Maka itu,
ia jadi menjublek saja, tak dapat ia mengatakan suatu apa. Tapi,
dalam hatinya, ia berpikir: "Pantas mereka ayah dan anak sangat
membenci kerajaan Beng. Hanya heran, cara bagaimana Sri Baginda
ketahui ini? Raja sudah ketahui Tan Hong siapa, kenapa ia tidak
titahkan menawan Tan Hong selagi pieboe berlangsung?"
Raja seperti tidak mempedulikan orang terheran, ia berikan
keterangannya terlebih jauh. Ia kata: "Ketika dahulu Thio Soe Seng
perebutkan negara dengan leluhurku, mereka telah melakukan
pertempuran yang memutuskan disungai Tiangkang. Dia kalah, dia
pun terbinasa. Menurut ceritera, pada saat menghadapi ajalnya
yang terakhir, Thio Soe Seng sudah pendam kekayaannya, yang
berupa emas dan, perak dan permata mulia, di suatu tempat di
daerah Souwtjioe. Di situ terpendam tidak hanya harta besar itu,
juga sehelai peta bumi negara, di mana terlukis jelas tempat-tempat
yang penting untuk pergerakan tentara. Kalau peta itu tetap masih
ada, itulah berbahaya sekali untuk keamanan negara, karena itu,
leluhurku telah meninggalkan pesan agar turunan keluarga Thio itu
dibasmi habis, supaya harta dan peta itu dicari, agar dengan secara
demikian, amanlah kerajaan Beng. Thio Tan Hong sudah lolos,
mestinya dia terus meninggalkan kota raja, tim duga dia pasti
menuju langsung ke Souwtjioe, untuk mencari tempat menyimpan
harta dan peta itu. Sekarang tim berikan keng seekor kuda, dengan
itu keng mesti segera pergi ke Souwtjioe, untuk menyusul Thio Tan
Hong. Tugas keng adalah, selama Thio Tan Hong belum berhasil
membongkar harta dan peta itu jangan keng turun tangan atas
dirinya, adalah setelah ia berhasil mendapatkan harta dan peta itu,
baharu keng bunuh padanya, keng rampas harta dan peta itu, untuk
dibawa pulang, untuk diperlihatkan kepada tim."
In Tiong bergidik seorang diri, ia sampai tidak menyahuti raja.
Raja pun melanjutkan perkataannya. Ia bicara sambil tertawa.
"Akan tim titahkan tujuh pahlawan untuk turut kau, guna
membantu padamu," katanya. "Kamu nanti bertemu di Souwtjioe
saja. Jangan kau kuatir."
In Tiong terima tugas ini. Ia pikir, meskipun Tan Hong lebih
gagah daripadanya tapi dengan mendapat bantuan dari tujuh
pahlawan pilihan, pasti dia akan dapat kemenangan. Ia hanya tidak
tahu, kenapa raja ketahui asal-usul Thio Tan Hong.
Sebenarnya, duduknya hal, ada sederhana saja: Thio Tan Hong
turut dalam ujian setelah ia memikir masak-masak, ia sudah
mengatur rencana. Ia telah siap sedia bila ada orang hendak turun
tangan terhadap dirinya. Karena ini, sesudah bertanding dengan In
Tiong, dan Kong Tiauw Hay memberi titah untuk membekuk
padanya, dia mendahului turun tangan. Begitu lekas dia telah
menghadiahkan jarum rahasia kepada Kong Tiauw Hay, begitu juga
ia lemparkan segumpal kertas ke arah raja. Itulah kertas yang ia
tulis dan sediakan siang-siang. Ia memang mempunyai kepandaian
luar biasa dalam hal melepaskan senjata rahasia. Bukan saja oran
lain, raja sendiri tidak merasa yang orang telah menimpuki dengan
segumpal kertas kecil itu, yang tepat masuk ke dalam sakunya.
Adalah sekembalinya ke keraton, selagi hendak beristirahat, raja
dapatkan gumpalan kertas itu. Di dalamnya lebih dahulu Tan Hong
membeber rahasia bangsa Watzu akan menyerbu Tionggoan, lantas
ia beri nasihat supaya raja membedakan menteri-menteri setia dari
dorna supaya raja bersiap sedia menghalau serbuan dari luar. Tan
Hong juga memberi bukti dari hal persekongkolan antara Ong Tjin
dan raja Watzu dan dimintanya raja bersiap-siap juga. Habis itu
baharu Tan Hong tuturkan yang ia, ialah keluarganya, bermusuhan
dengan keluarga raja.
Meski begitu, ia jelaskan dalam suratnya itu, jikalau raja
bersungguh-sungguh hendak melawan musuh, ia bersedia untuk
membasmi permusuhan di antara mereka. Akhirnya, Tan Hong beri
nasihat supaya raja jangan lagi mencelakai menteri-menteri setia,
kalau tidak, hendak ia ambil kepala raja itu. Ia kata, untuk
mengambil kepala raja, kerjaannya sama gampangnya seperti orang
membalikkan telapak tangan.
Terang dan jelas bunyi surat itu, halus dan keras sifatnya. Tan
Hong ambil sikap demikian karena ia masih menyintai negaranya,
tidak peduli negara itu sedang diperintah oleh musuhnya. Ia hanya
tidak sangka, bagaimana nanti kesan raja setelah raja membaca
suratnya itu.
Mulanya raja terperanjat, kemudian ia berpikir.
"Kenapa di dalam dunia ada manusia tolol semacam dia?"
demikian pikir raja ini mengenai Tan Hong. "Jikalau dia tidak siang-
siang disingkirkan, bukankah jiwaku terancam di dalam tangannya?"
Lantas raja menduga, mestinya Tan Hong ada
turunan Thio Soe Seng. Bukankah Tan Hong menyebut-nyebut
permusuhan keluarga? Untuk dapat kepastian, ia keluarkan gambar
Thio Soe Seng, yang disimpan di dalam keraton. Melihat tampang
Thio Soe Seng, raja kaget. Tampang itu mirip dengan tampang Tan
Hong. Maka ia percaya, tak salah lagi dugaannya itu. Karena ini, ia
tak mengambil mumat lagi atas kebaikan Tan Hong, yang sudah
membeber rahasia dorna dan memberikan ia nasihat, sebaliknya,
ingin ia membinasakan Tan Hong. Begitulah ia berikan tugasnya
kepada In Tiong.
Thio Tan Hong, dalam tindakannya menulis surat kepada kaisar,
untuk membuka rahasia dorna dan memberi nasehat, ada
seumpama orang memainkan tabuhan kim terhadap seekor kerbau,
hasilnya tak usah diharap. Hanya, ada juga sedikit kebaikannya,
yaitu yang mengenai Thio Hong Hoe. Yaitu, sebelum Tan Hong
tertawan, raja tidak berani mengambil tindakan apa-apa terhadap
pemimpin Gielim koen dan Kimie wie itu.
Demikian, karena tugasnya ini, In Tiong seperti telah menghilang
dari kota raja. Pada hari kedua, dia sudah lantas berangkat secara
diam-diam. Dia mendapat kuda istana, kuda itu tidak dapat
menandingi Tjiauwya saytjoe ma, kuda Tan Hong, akan tetapi
perbedaannya tidak seberapa, cuma enam atau tujuh hari. Setelah
melewati dua propinsi Hoopak dan Shoatang, dia menuju ke
propinsi Kangsouw, pada suatu hari tibalah ia di kecamatan
Gouwkoan, yang bertetangga dengan kota
Souwtjioe, maka itu, dia mulai memperlambat kudanya. Jarak
kedua kota itu cuma setengah hari perjalanan.
Kanglam adalah satu daerah yang indah, yang kesohor, In Tiong
dapat kesempatan untuk melihat-lihat. Pernah ia menyaksikan
gurun pasir, yang gundul, yang berhawa panas, sekarang ia
menyaksikan Kanglam, sungguh suatu perbedaan besar. Ia merasa
seolah-olah hatinya terbuka. Malah ia insaf juga, sebenarnya hidup
bergulat, untuk memperebutkan nama, tidak ada artinya.....”
Setelah berjalan sekian lama, In Tiong singgah di depan sebuah
telaga. Ia turun dari kudanya, ia rebahkan diri di tepi telaga itu,
yang airnya jernih dan indah. Langit waktu itu bersinar kebiru-
biruan.
Dekat tempat In Tiong berbaring terdapat sebuah kuburan tua,
selagi berpaling ke arah kuburan itu, matanya terpaku pada batu
bongpay atau nisan, yang ada huruf-hurufnya. Ia lantas mengawasi,
hingga dapat ia baca huruf-huruf ukiran itu. Ia menjadi heran sekali.
Bongpay itu berbunyi: "Kuburan Tantai Mie Ming."
"Tantai Mie Ming menjadi jenderal bangsa Watzu," ia berpikir,
"bulan yang lalu dia masih ada di Pakkhia, kenapa sekarang di sini
terdapat kuburannya. Kenapa kuburan ini beda daripada yang
lainnya? Teranglah ini bukan kuburan baru.....”
Keras In Tiong berpikir, ketika tiba-tiba datang satu bocah angon,
di tanduk kerbaunya tergantung sejilit buku. Dengan perlahan bocah
itu berjalan di tepi telaga.
"Engko kecil, numpang tanya, tempat ini tempat apa?" In Tiong
tegur bocah itu. "Dan kuburan ini kuburan siapa?"
Bocah itu memandang orang yang menanya dia, dia tertawa.
"Tuan tentu orang yang datang dari tempat jauh," ia menyahut.
"Desa ini dipanggil Tamtay Tjoen, dan telaga ini dinamakan Tamtay
Ouw. Dan kuburan ini, inilah kuburan leluhur keluarga kami."
In Tiong menjadi tambah heran.
"Apa?" dia tanya pula. "Kuburan kaum keluargamu?"
Bocah itu tertawa pula.
"Tuan, aku lihat kau tidak mirip dengan orang yang tidak
bersekolah," dia kata. "Mustahil sampaipun Tamtay Biat Beng
macam apa kau tidak tahu?"
In Tiong melengak.
"Tahukah kau akan pepatah yang berbunyi, "Melihat orang dari
romannya saja, orang akan keliru mengenali Tjoe Ie?" bocah itu
kembali menanya.
Ditanya begitu, In Tiong menjadi kurang senang.
"Ah, engko kecil, kau menguji aku!" dia kata. "Pepatah itu adalah
kata-katanya Khong Hoe Tjoe. Tjoe Ie adalah muridnya Khong Hoe
Tjoe, dia pandai, cuma dia beroman jelek. Maka itu Khong Hoe Tjoe
mengatakannya demikian. Artinya ialah supaya melihat orang tidak
dari romannya saja."
"Ya, benarlah begitu," kata bocah itu. "Leluhur kami, Tamtay Biat
Beng, adalah salah satu dari ke tujuh puluh dua murid Khong Hoe
Tjoe, alias Tjoe Ie. Siapa saja, yang telah membaca kitab Soe Sie,
pasti mengetahui tentang ini. Telaga ini mulanya adalah tempat
kedudukannya rumah keluarga kami, kemudian karena suatu
perubahan alam, tanah ini melesak ke dalam, lalu berubah menjadi
telaga, maka itu, namanya dipanggil Tamtay Ouw. Tentang ini,
dalam buku riwayat kecamatan kami, ada catatannya."
Penyahutan bocah itu membuatnya In Tiong melengak.
Guru In Tiong, yaitu Tang Gak, adalah seorang boenboe
tjoantjay, yang paham ilmu surat dan ilmu silat berbareng, maka itu
selama In Tiong ikuti gurunya, ia juga sekalian belajar surat, hingga
pernah ia membaca buku klassik. Memang, di antara murid-murid
Khong Hoe Tjoe, ada yang bernama Tamtay Biat Beng itu. Ia ingat
sekarang bagaimana pada waktu bermula ia dengari nama Tantai
Mie Ming, panglima bangsa Watzu itu, ia merasa lucu, hingga ia
tertawa dalam hatinya, sebab seorang militer, malah seorang asing,
memakai nama seorang yang terpelajar dalam ilmu surat pada
jaman dahulu. Ia mengira, "Tantai" itu she bangsa Mongolia,
begitupun nama "Mie Ming" itu. Tapi sekarang ia dapat kenyataan,
Tamtay Biat Beng itu benar-benar ada, malah kuburannya masih
ada dikecamatan Gouwkouw ini, Kangsouw. Tapi ia percaya,
kuburan ini mungkin pernah diperbaiki oleh turunannya, meskipun
bentuk kuburan, bentuk bongpay dan huruf-hurufnya sedikit mirip
dengan jaman setelah kerajaan Tjin atau Han, jadi bukan kuburan
buatan jaman Tjoen Tjioe. Perbedaannya ialah dalam cara
membacanya, antara Tantai M i e Ming dan Tamtay Biat Beng.
Bocah itu tertawa, ia kata: "Melihat orang dari romannya saja,
orang akan keliru mengenali Tjoe Ie, maka sekarang terbuktilah
kata-katanya nabi!"
Lalu, habis mengucap demikian, ia bawa serulingnya ke
mulutnya, untuk meniup lagu, sedang kerbaunya ia jalankan
perlahan-lahan.....”
In Tiong awasi orang berlalu, sambil memikirkan pepatah itu,
yang benar-benar tepat. Ia jadi berpikir keras: "Kalau begitu, aneh
Tantai Mie Ming itu. Itulah nama orang Han. Kenapa dia
memakainya sebagai she dan namanya sendiri? Sengajakah dia
memakai nama sasterawan jaman dahulu itu? Tantai Mie Ming
beroman keren dan jelek, ia dapat disamakan dengan Tamtay Biat
Beng, tetapi tentang kepintaran dan penghidupannya tidak. Dia
telah pergi dan tinggal di negara asing dengan memakai nama asing
juga! Adakah ia mengandung sesuatu maksud? Yaitu ia ingin orang
jangan hanya memandang ia dari romannya saja? Atau mungkinkah
nama Mie Ming itu ia pakai justeru untuk diartikan sebagai
kenyataannya, yaitu untuk membikin musnah kerajaan Beng?
Mungkinkah Tantai Mie Ming bercita-cita demikian besar?"
Setelah beristirahat cukup, In Tiong berbangkit, untuk
melanjutkan perjalanannya. Ia memasuki dusun Tamtay Tjoen itu.
Karena ia telah peroleh kesan, masih ia pikirkan halnya Tantai Mie
Ming. Ia ingat ketika malam itu ia serang si pangeran asing di
Tjengteng. Tantai Mie Ming benar-benar kosen, tapi Mie Ming tidak
menurunkan tangan jahat terhadap dirinya. Ia ingat juga kepada
pieboe di dalam rumah Thio Hong Hoe, waktu itu secara diam-diam
Tantai Mie Ming telah menghalau musuh. Ia jadi seperti dibikin
pusing.
"Ah, sudahlah!" katanya kemudian seorang diri. "Kenapa aku
mesti pusingkan kepala bahwa dia Tantai Mie Ming atau Tamtay Biat
Beng?"
Ia tertawa seorang diri, ia jalan terus.
Hari waktu itu sangat panas, In Tiong merasa sangat berdahaga,
tenggorokannya kering. Ia hanya merasa aneh, kenapa tempat itu
tidak seperti kebanyakan tempat di Kanglam — umpamanya
Souwtjioe dan Hangtjioe — di mana banyak kedapatan warung teh
atau arak. Sekarang, dia telah melintasi dua petak sawah di kiri dan
kanannya, tapi tak tampak olehnya orang membajak sawah, di situ
tidak ada warung teh atau arak.
"Mungkinkah Tamtay Tjoen ini tidak ada penduduknya?" akhirnya
In Tiong tanya dirinya sendiri.
Ia menengok kesana kesini, ia jalankan kudanya terus. Ia
rasakan lehernya semakin kering. Syukur baginya, akhirnya ia
tampak juga sebuah warung teh model paseban dan penjualnya
adalah seorang wanita tua. Baharu sekarang ia bisa tertawa.
"Begitu jauh aku berjalan, baharu sekarang aku dapatkan tempat
untuk minum teh," kata dia seorang diri. "Syukur tidak semua
tempat di daerah ini ada semacam dusun ini, kalau tidak, boleh aku
anggap bahwa aku tengah membuat perjalanan di padang pasir.....”
In Tiong tambat kudannya, ia memasuki paseban.
"Ada tamu! Anak Beng, tuangkan teh!" kata si nyonya tua, yang
dengan manis menyambut tetamunya.
Dari ruang dalam lantas muncul satu bocah wanita umur kira-kira
empat atau lima belas tahun, ia membawa tehkoan serta
cangkirnya, terus ia tuangkan teh hijau ke dalam cangkir itu, yang
disuguhkan kepada tetamunya itu.
Anak dara itu berpakaian kain kasar akan tetapi dia mempunyai
kulit halus.
"Memang Kanglam indah tanahnya, sekalipun penduduk desanya
tak sembarang," pikir In Tiong.
Oleh karena iseng, In Tiong ajak si nyonya tua bicara, ia
tanyakan she-nya.
"Kami di sini satu desa, semua penduduknya she Tamtay," sahut
orang tua itu. "Untuk aku, cukup kau memanggilnya Tamtay
Toanio."
Selagi dua orang ini bicara, satu penunggang kuda lewat di
depan paseban itu. Orang ini beroman kasar. Tanpa turun dari
kudanya, dia bertanya dengan suaranya yang kaku: "Eh, orang tua,
ingin aku bertanya, adakah kemarin seorang mahasiswa yang
menunggang kuda putih lewat di sini atau tidak?"
"Mahasiswa berkuda putih!" pikir In Tiong, yang menjadi kaget
sendirinya. Tidak salah, orang mesti maksudkan Thio Tan Hong.
Nyonya tua itu membuka kedua matanya lebar-lebar.
"Aku tidak dengar nyata!" dia sahuti. Penunggang kuda itu
lompat turun dari kudanya.
"Aku tanya kau, adakah kau lihat seorang anak sekolah yang naik
seekor kuda putih?" dia ulangi pertanyaannya, suaranya keras,
seolah-olah menggetarkan genteng.
Nyonya itu membuka matanya dan mulutnya ternganga, tetapi ia
bungkam.
Gusar penunggang kuda itu.
"Taruh kata kau tuli, tapi seharusnya kau dapat melihat!" dia
berteriak. Dia bertindak masuk ke dalam paseban, agaknya dia
hendak menjambret si nyonya tua.
In Tiong heran. Tidak dapat ia biarkan kejadian kurang ajar itu di
hadapannya, maka itu, sebelum tangan kasar si penunggang kuda
mengenai si nyonya tua, ia mendahului melonjorkan tangannya
sendiri, untuk mencegah. Ia kerahkan tenaga dalam Taylek Kimkong
Tjioe, karena mana, hampir saja penunggang kuda itu terpelanting.
Dia jadi kaget, dia mengawasi dengan tidak berani bertindak kasar
terlebih jauh.
In Tiong pandang orang itu, ia tertawa. "Kalau mau bicara,
bicaralah dengan baik-baik, untuk apa kau bergusar?" katanya.
"Nyonya tua ini kupingnya kurang sempurna.....”
Sebenarnya nyonya itu tidak tuli, tadi pun ia dapat bicara seperti
biasa dengan In Tiong. Si anak muda mengatakan demikian hanya
untuk meredakan suasana.
Si nyonya tua tertawa mendengar perkataan orang itu.
"Kupingku ini aneh," kata dia. "Kalau suara terlalu keras, aku
tidak dapat dengar, begitupun suara terlalu perlahan, aku tidak
dapat dengar juga, hanya suara yang tidak keras dan tidak
perlahan, baharu aku dapat dengar nyata. Tadi kau menanyakan
apa? Coba kau ulangi." Penunggang kuda itu kendalikan hawa
amarahnya.
"Aku ingin menanya tentang seorang mahasiswa yang
menunggang kuda putih," demikian ia ulangi pertanyaannya,
"apakah dia telah lewat di sini?"
"Oh, mahasiswa penunggang kuda putih?" kata si orang tua. "Ya,
benar! Kemarin ada seorang mahasiswa menunggang kuda putih,
tepat pada waktu seperti ini telah lewat di sini. Dia malah telah
meninggalkan pesan kepadaku, yaitu kalau ada orang yang
menanyakan tentang dia, dia minta disampaikan undangannya pada
orang itu untuk besok tengah hari pergi ke Souwtjioe guna
membuat pertemuan di Koaywa Lim, dia akan mengundang minum
arak."
Begitu dengar jawaban itu, tanpa berkata suatu apa lagi, si
penunggang kuda lari kepada kudanya, lalu lompat naik ke
bebokongnya, untuk segera dikaburkan.
Si nyonya tua mengawasi sambil tertawa dingin. "Anak Beng, kau
catat!" dia berkata. Nona muda tadi, yang duduk di satu pojok
sambil menyulam, menyahuti: "Sudah dicatat!" Terus dia balik
sulamannya, maka di situ terlihat sulaman dari tujuh tangkai bunga
merah, ada yang benar, ada yang kecil. Ia pun menambahkan:
"Inilah yang ke tujuh!"
In Tiong berdiam, ia merasa heran. Ia duga nyonya tua dan si
nona muda itu bukan sembarang orang. Tapi ia tidak takut, ia
percaya akan kepandaiannya sendiri. Maka itu, ia pun tidak ambil
mumat pantangan kaum kangouw untuk jangan lancang
mencampuri utusan lain orang.
"Siapakah mahasiswa penunggang kuda putih itu?" demikian ia
tanya. "Dan di manakah letak Koaywa Lim?"
Nyonya tua itu pandang tetamunya, ia tertawa.
"Tuan, kau seorang baik, aku suka memberi keterangan
padamu," ia jawab. Koaywa Lim letaknya di dalam kota Souwtjioe,
itu adalah tempat untuk menghamburkan uang. Katanya dahulu,
pada masa Thio Soe Seng menjadi kaisar di Souwtjioe, di sana ia
telah membangun satu istana peristirahatan. Kemudian, ketika Thio
Soe Seng terbinasa dalam peperangan, Koaywa Lim disita pembesar
negeri, sebab dipandang sebagai milik pemberontak, lalu dijual.
Sekarang ini pemilik dari Koaywa Lim itu adalah Kioetauw Saytjoe In
Thian Sek si Singa Berkepala Sembilan, dia membuatnya menjadi
taman yang besar, menjadi tempat pelesir dan judi, hingga dia
mendapat untung besar terdiri dari uang tak halal, uang itu terus
dipakai membeli sawah dan tanah, sampai dia membelinya ke-
kecamatan Gouwkoan ini. Begitulah, tanah di dusun Tamtay Tjoen
ini, dalam sepuluh bahagian, tujuh atau delapan bahagian telah
menjadi kepunyaannya."
"Jikalau begitu, Kioetauw Saytjoe itu adalah okpa besar!" kata In
Tiong. Dia menyebutnya "okpa," — "hartawan jagoan."
"Bagaimana mengenai si mahasiswa berkuda putih? Apakah
hubungannya dengan dia itu?"
"Nanti aku jelaskan," sahut si nyonya tua, yang suka berbicara
dengan anak muda ini. "Tempat di mana pasebanku ini berdiri
adalah tanah miliknya Kioetauw Saytjoe, setiap bulannya dia pungut
sewa sebanyak tiga tail enam tjhie. Mengenai sewa tanah itu, kami
sudah berhutang tiga bulan. Kemarin Kioetauw Saytjoe mengirimkan
dua guru silatnya, mereka ini memaksa hendak membawa anak
Beng untuk dijadikan budak, katanya sebagai tanggungan dari
hutang kami itu. Kebetulan tengah kita berbicara, si mahasiswa
penunggang kuda putih itu lewat di sini, dia singgah, begitu dia
ketahui duduknya perkara,dia lantas tolongi kami membayar hutang
itu. Itu belum semua, dia juga telah menghajar kedua guru silat itu
hingga mereka sungsang sumbel."
Si nona muda tiba-tiba campur bicara: "Tetapi, ibu, si mahasiswa
itu tidak memukul orang itu! Sebaliknya kedua guru silat itu yang
memukul padanya! Ah, sungguh menarik hati! Baharu saja
kepalannya kedua guru silat itu mengenai tubuh si mahasiswa,
lantas mereka menjerit kesakitan, sama sekali tidak terlihat si
mahasiswa membalas menyerang, tahu-tahu kedua guru silat itu
rubuh terguling-guling. Ketika kemudian mereka dapat merayap
bangun, aku lihat kepalan mereka menjadi bengkak matang biru,
sebesar mangkok! Tuan, kau tentu banyak pengalaman, luas
pengetahuanmu, tahukah kau ilmu silat apa yang digunakan si
mahasiswa itu?"
"Aku tidak tahu," jawab In Tiong, sekalipun ia tahu betul, si anak
muda pasti telah menggunakan tipu silat Tjiamie sippattiat atau
sebangsanya yang liehay.
"Kedua guru silat itu tidak berdaya, cuma mulutnya yang besar,"
kata si nyonya tua. "Begitulah terhadap si mahasiswa berkuda putih
itu, mereka menantang, katanya: Jikalau kau benar laki-laki,
pergilah ke Koaywa Lim untuk menemui Kioetauw Saytjoe kami.
Atas itu, si mahasiswa tertawa besar, sambil tertawa melenggak, dia
jawab: Lagi dua hari, akan aku pergi menemui dia! Hendak aku
lihat, bagaimana galaknya Kioetauw Saytjoe itu!"
In Tiong heran. Ia jadi berpikir: "Thio Tan Hong pergi ke
Souwtjioe terang-terang untuk mencari harta benda leluhurnya,
kenapa sekarang dia mencampuri urusan ini? Dia telah
bertentangan dengan satu okpa besar, apa dia tidak kuatir
rahasianya nanti terbuka? Jikalau dia hendak berbuat baik, sudah
cukup bila dia menghajar kedua guru silat itu dan menolong
melunaskan hutang sewa tanah nyonya tua ini dan anaknya. Di
kolong langit ini, bangsa okpa sangat banyak dan tak akan habis
dengan dihajar saja..... Bukankah dia mempunyai urusan
sangat penting, cara bagaimana dia dapat dengan gampang berlaku
usilan?"
Berpikir sampai di situ, In Tiong tetap tidak mengerti. Ia ingat,
Thio Tan Hong itu cerdik sekali, tindak tanduknya senantiasa secara
rahasia, yang mengandung maksud dalam dan sukar diduga-duga.
Si nyonya tua belum bercerita habis, maka itu dia menambahkan:
"Mahasiswa penunggang kuda putih itu, setelah menghajar kedua
guru silat hingga mereka itu kabur pergi, sudah lantas berkata
kepadaku: pergi kau beritahukan semua orang lelaki di desamu ini,
titahkan mereka untuk pergi ke Koaywa Lim guna menyaksikan
keramaian, di sana aku mempunyai uang untuk dibagi-bagikan
kepada mereka. Tuan, kau tentu tidak menghendaki uangnya itu,
sebaliknya, kau tentu sudi menonton keramaian, bukan?"
In Tiong manggut.
"Sudah lama aku dengar perihal keindahan taman-taman di
Souwtjioe," ia menyahut, "kebetulan akan ada keramaian, sudah
pasti aku suka pergi ke sana!"
Habis berkata, ia membayar tehnya sambil melirik kepada si nona
muda, maka terlihatlah olehnya, nona itu sudah menyulam bunga
merah yang ke delapan!
In Tiong kaburkan kudanya, yang dapat lari keras, sebelum
matahari terbenam, dia sudah sampai di Souwtjioe. Yang pertama ia
lihat adalah jalan besar yang lantainya berbatu besar kecil dan
berwarna belang, yang teratur rata dan rapih, sedang rumah-rumah
nampaknya indah, umumnya berbeda daripada yang biasa terlihat di
lain-lain kota. Juga terdapat banyak pohon-pohonan, umpamanya
pohon-pohon gouwtong dan yanglioe, yang muncul keluar dari
tembok-tembok pekarangan. Rumahnya di mana-mana terdapat
taman. Jadi Souwtjioe beda jauh sekali daripada gurun pasir. Diam-
diam ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Benarlah
perkataan, Sang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang!....."
"Siang Yoe Thian Tong, Hee Yoe Souw Hang" berarti: "Di atas
langit ada sorga, di muka bumi ada kota-kota Souwtjioe dan
Hangtjioe."
Berhubung dengan tugasnya, In Tiong lantas pergi ke kantor
soenboe. Ia minta keterangan tentang tujuh pahlawan dari kota
raja, yang diperbantukan kepadanya. Ia dapat kenyataan, belum
satu dari ke tujuh orang itu yang tiba. Tapi ia mesti menjalankan
tugas, tanpa pembantu, ia suka lantas bekerja. Bukankah ia telah
mendengar halnya Thio Tan Hong, ke mana tujuan si mahasiswa
berkuda putih itu? Begitulah, malam itu ia beristirahat, lalu besok
paginya, dengan dandan sebagai rakyat jelata, ia menuju ke
Koaywa Lim, taman penglipur.
Koaywa Lim terletak di luar kota Souwtjioe sebelah utara. Itu
adalah satu taman yang luas. Begitu sampai di pintu, orang
dapatkan lorong yang panjang, yang banyak tikungannya, sedang di
kedua belah temboknya, terdapat banyak sekali tulisan-tulisan
jaman dulu. Rupanya pemilik taman tak tahu cara melindungi huruf-
huruf itu, waktu itu banyak huruf yang telah gugur dan tampaknya
tak tegas lagi. In Tiong tidak mengenal tulisan-tulisan bagus itu
tetapi ia menyayangi, ia menghela napas. Setelah melewati lorong,
di kiri dan kanan lantas tampak pelbagai macam pohon, pohon kayu
dan bunga, bambu dan tumpukan-tumpukan batu, yang merupakan
gunung buatan, ada selatnya, empang teratai dan pasebannya,
yang semuanya indah. Yang disayangi ialah di mana-mana dalam
taman itu terdapat tempat-tempat perjudian, ada banyak
pelancongnya, hingga di situ berisik dengan teriakan-teriakan
mereka itu. Tentu saja, suasana itu tak tepat dengan keindahan
taman.
Diam-diam In Tiong memasang mata. Dengan lantas ia dapat
kenyataan, di mana-mana terdapat orang-orang sebagai si tukang
pukul, yaitu gundal-gundal. Rupa-rupanya Kioetauw Saytjoe sudah
bersedia-sedia untuk menyambut tantangan si mahasiswa berkuda
putih, karenanya dia telah menyiapkan orang-orangnya itu.
Dengan sikapnya sebagai pelancong biasa, In Tiong cari satu
tempat di mana ia dapat memperhatikan sesuatu sambil duduk
beristirahat, akan tetapi, sampai lewat tengah hari, ia masih belum
tampak Thio Tan Hong muncul.
Mungkinkah, karena sesuatu hal, Tan Hong mengadakan
perubahan dengan mendadak, hingga ia tak datang hari ini?" ia
menerka-nerka.
Justeru ia tengah menduga-duga, apa yang menjadi sebab
hingga Tan Hong gagal menetapi janji, tiba-tiba kelihatan
serombongan orang mendatangi dengan suara yang berisik. Yang
menjadi kepala adalah seorang berumur lima puluh tahun, yang
mukanya berewokan.
"Kioetauw Saytjoe, hari ini aku datang untuk bertaruh denganmu,
untuk main, guna melewatkan waktu yang terluang!" begitu
terdengar suaranya yang besar dan nyaring.
Sejenak saja, taman menjadi sunyi, semua orang berhenti
berjudi. In Tiong lantas dengar beberapa orang bicara berbisik.
Antaranya ia dengar nyata: "Liong pangtjoe dari Hay liong Pay telah
tiba. Teranglah dia mempunyai maksud untuk merubuhkan
panggung Kioetauw Saytjoe. Maka lantas juga kita akan
menyaksikan keramaian!.....”
In Tiong menjadi heran. Inilah di luar dugaannya. Dia muncul di
situ untuk menantikan Thio Tan Hong, siapa tahu sekarang telah
datang Liong Pangtjoe, Ketua Liong atau Naga, dari Hayliong Pang
atau Kawanan Naga Laut. Dari pendengaran terlebih jauh, ia
percaya Hayliong Pang Pangtjoe itu mesti ada salah satu okpa dari
kota Souwtjioe.
Dari sebelah depan, menghadapi rombongan Hayliong Pang itu,
dari antara rombongan orang banyak, yang lantas membuka jalan,
kelihatan muncul satu orang yang tubuhnya kasar, alisnya tebal,
matanya besar. Dia mengenakan thungsha, baju panjang, yang
dilapis dengan makwa, semacam rompi, atau baju pendek tanpa
tangan. Dia unjuk sikap sebagai satu anak sekolah, yang lemah
lembut, tetapi dandanannya tak tepat dengan romannya dan
lagaknya. Ia pun diiringi tujuh atau delapan boesoe, guru silat. Ia
maju menghampiri Liong Pangtjoe, terus dia angkat kedua
tangannya, lalu dirangkapkan, untuk memberi hormat.
"Liong Pangtjoe, hari ini angin apa telah meniup kau sampai di
sini?" dia tanya. Dia mencoba bersikap ramah tamah. "Silakan
duduk, silakan duduk! Mari kita minum teh! — Eh, anak-anak, lekas
kamu perintahkan supaya lekas disajikan beberapa rupa kuwe!"
Orang telah bersikap manis tetapi si Liong Pangtjoe, dengan
roman keren, membawa sikap dingin.
"Kioetauw Saytjoe, hari ini aku ketagihan," demikian jawabnya,
"maka itu sengaja aku datang kemari, untuk bertaruh denganmu!
Untuk minum teh, jangan kau kesusu, marilah kita bertaruh
dahulu!" '
Nampaknya Kioetauw Saytjoe In Thian Sek agak jeri terhadap
Ketua dari Hayliong Pang itu, dia diperlakukan demikian kasar dan
dingin, masih dia bisa tertawa manis.
"Kita berdua bersahabat, untuk apa kita membuat renggang
persahabatan itu?" berkata ia, dengan sabar. "Kau hendak
menitahkan apa? Titahkanlah asal saja yang adikmu sanggup
kerjakan!"
Ketua Hayliong Pang itu kembali tertawa dingin.
"Lao In, siapa yang membuka rumah makan, mustahil dia jeri
terhadap perut besar dari tetamu-tetamunya?" begitu dia
menjawab. "Kau telah membuka rumah judi, mana dapat kau tolak
aku yang telah datang untuk turut adu peruntungan? Apakah kau
kuatirkan aku tidak punya uang? Kau tanyakan padaku, apa yang
aku hendak titahkan padamu! Nah, aku menghendaki kau berjudi
dengan aku! Kau sanggup melakukan ini, bukan?"
Habislah kesabaran dari In Thian Sek, mukanya menjadi pucat.
Maka berkatalah ia: "Setiap orang ada mukanya, setiap pohon ada
kulitnya, karena kau telah mendesak aku di muka orang ramai ini,
tidak ada jalan lain, terpaksa aku temani kau! Baiklah! Kau hendak
bertaruh apa?"
"Main dadu paling menyenangkan!" sahut Liong Pangtjoe. "Kita
lempar dadu! — Eh, Lao Kwee, tanganmu dingin, mari kau wakilkan
aku melemparnya! — Dan kau, Lao In, apakah kau hendak
melemparkan sendiri atau diwakilkan oleh guru besarmu?"
Setelah mengucap demikian, dari rombongan Hayliong Pang
muncul satu orang tua kurus kering yang romannya tak luar biasa,
sambil membuka kopiah kulitnya, dia berkata kepada In Thian Sek:
"Aku Kwee Hong, toako, terimalah hormatku!"
Selama dia belum membuka kopiahnya, orang tua itu memang
beroman biasa, akan tetapi setelah kepalanya tak bertutup lagi, dia
membuatnya semua orang heran. Nyata dia mempunyai rambut
yang semuanya berwarna merah, rambut itu kusut seperti awan,
numpuk di batok kepalanya.
In Tiong malah terkejut, karena ia kenali orang tua itu.
"Ah, kiranya dia adalah Anghoat Vauwliong Kwee Hong!" kata dia
dalam hatinya. Dia pun heran. "Kenapa dia datang kemari?"
Kwee Hong adalah pahlawan dorna kebiri Ong Tjin, dalam
seluruh tahun, dia keram diri di dalam gedung Soelee Thaykam she
Ong itu, karena tugasnya adalah melindungi diri si thaykam. Jarang
sekali dia pergi ke mana-mana, maka itu jangan kata orang
kangouw jarang mengetahui dia, malah pahlawan atau guru-guru
silat di kota raja sendiri, tak banyak yang pernah melihat dia.
Keistimewaannya adalah rambutnya yang merah itu. In Tiong juga
belum pernah melihat Kwee Hong, ia hanya pernah mendengar dari
Thio Hong Hoe, baharu sekarang, ia melihat untuk pertama kalinya,
sesudah orang perkenalkan diri sambil membuka kopiahnya. Oleh
karena rambutnya juga, Kwee Hong telah memakai julukan itu,
Anghoat Yauwliong, si Naga Siluman Rambut Merah.
"Inilah aneh," In Tiong berpikir pula. "Ong Tjin telah menjadi
hartawan, kenapa dia utus pahlawannya datang kemari untuk
dengan satu okpa merebut sebuah taman? Dan Kwee Hong sendiri,
karena kedudukannya sebagai pahlawan dorna, tidak sepantasnya
dia menjadi kawan atau pembantu seorang pangtjoe. Benar-benar
aneh!" Sementara itu, Kioetauw Saytjoe In Thian Sek telah
menjawab Liong Pangtjoe.
"Oh, Kwee Soehoe yang mewakilkan kau?" katanya. "Baiklah, aku
tidak akan memakai wakil, aku akan turun tangan sendiri."
Liong Pangtjoe itu lantas saja tertawa terbahak-bahak.
"Bagus!" serunya. Di sini ada cek seharga sepuluh laksa tail,
inilah cek dari bank besar. Kau lihat biar tegas! Dengan satu dadu,
aku bertaruh sepuluh laksa tail perak!"
"Ditanganku tidak ada uang demikian banyak," berkata In Thian
Sek.
Liong Pangtjoe tertawa pula, sampai dia melenggakkan
kepalanya.
"Apakah kau sangka aku tidak tahu tentang kekayaanmu?" dia
kata. "Sawah, kebun dan toko-tokomu berharga empat puluh laksa
tail, dan taman Koaywa Lim ini juga berharga empat puluh laksa
tail, jadi dengan begitu, kau mempunyai pokok berjudi delapan
puluh laksa tail! Maka itu, janganlah kau kuatirkan suatu apa.....”
In Thian Sek menjadi mendongkol. Tapi ia tertawa bergelak.
"Oh, kiranya kau memikir untuk memiliki Koaywa Lim ini?" dia
kata.
"Ah, jangan kau mengatakan demikian. Apa benar, sebelumnya
kalah, kau sudah jeri?" tanya Liong Pangtjoe.
"Aku kuatir kau tak akan berhasil dengan maksudmu," In Thian
Sek baliki. "Baiklah! Silakan periksa dulu dadunya."
Kwee Hong lantas periksa dadu itu.
"Kwee Toako, dadu itu tidak palsu bukan?" Liong Pangtjoe tanya
kawannya.
Kwee Hong tidak menyahuti, dia hanya angsurkan dadu kepada
In Thian Sek.
"Kioetauw Saytjoe, kau adalah tuan rumah, silakan kau yang
mulai!" kata ia.
In Thian Sek sambuti biji-biji dadu itu, segera saja ia lemparkan
sambil berseru: "Satu"
Lantas enam biji dadu itu berputaran di dalam mangkok yang
besar dan cekung. Dan menyusul itu, seorang membuka suaranya:
"Dua, enam! satu, empat! Enam belas! Toa"
Dalam perjudian dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas,
maka itu, untuk mendapatkan biji enam belas pun sukar, meski
demikian, In Thian Sek telah menyeka keringat dingin ketika ia kata
kepada lawannya:
"Nah, orang she Kwee, kau susullah aku!"
Orang tua berambut merah itu bersenyum, dengan sikap sangat
tenang, dia raup semua biji dadu itu, kemudian dengan lekas dia
gerakkan jeriji-jeriji tangannya, lalu dilemparkan.
Segera tukang tunggu biji pun berseru: "Dua, enam! satu, lima!
Tujuh belas! Toa\" Dengan mengatakan "Toa," bandar
maksudkan angka besar.
Paras Kioetauw Saytjoe menjadi pucat.
"Ha, ada saitannya!" dia berseru. "Mari, lagi satu kali!"
"Baik!" sambut si orang tua rambut merah. "Kali ini kita bertaruh
dua puluh laksa tail!"
Tangan Thian Sek berkeringatan, suaranyapun agak gemetar
ketika ia berteriak: "It sek" Berbareng dengan itu, biji-biji
dadu pun telah dilemparkan.
Bandar lantas perdengarkan suaranya seperti biasa: "Dua, enam,
satu lima! Bagus! Kembali tujuh belas!"
Mendapat angka tujuh belas berarti kemenangan hampir pasti,
maka itu kali ini In Thian Sek tampak bersenyum.
Seperti lagaknya tadi, si orang tua tidak mengatakan sesuatu,
dengan tenang ia raup gambar biji-biji dadu itu, untuk segera
dilemparkan, nampaknya ia seperti acuh tak acuh.
Para hadirin segera berubah parasnya. Bandar pun berteriak:
"Tiga merah, empat! Itsek"
Itsek itu, satu warna, apapula warna merah, adalah angka paling
besar.
Si orang tua berambut merah tertawa, dia kata dengan sabar:
"Kau memanggilnya, dia tidak datang! Aku tidak memanggil, dia
justeru datang! Nah, mari kita main terus! Kali ini tarohannya empat
puluh laksa tail!"
In Thian Sek menyeringai, tapi ia terima tantangan itu. Merah
urat-urat di dahinya.
"Sekarang, kau yang melempar lebih dulu!" dia kata.
"Baik!" sahut si orang tua muka merah itu. "Akan aku melempar
lebih dahulu!"
Kali ini Kwee Hong raup biji-biji itu untuk digenggam dengan
kedua tangannya, ketika hendak dilemparkan, tangannya digoyang-
goyangkan dulu.
Begitu lekas biji-biji itu berhenti berputaran di dalam mangkok,
suasana di sekitarnya menjadi sunyi senyap. Parasnya In Thian Sek
pun menjadi pucat.
Hanya berselang sejenak, bandar perdengarkan suaranya: "Tiga
kali enam! Delapan belas, merangkap itsek!. Thongsat!."
Kalau itsek hanya serupa warna saja, untuk berbagai macam
angka, adalah itsek dengan angka delapan belas, merupakan batas
tertinggi, dengan begitu permainan tak dapat dilanjutkan, karena
angka itu tidak dapat disusul lagi. "Toa" adalah besar, tetapi
"thongsat" adalah terbesar, habis semua.
Setelah kesunyian, lalu timbul kegemparan, suara orang ramai
menjadi berisik. Semua orang menjadi heran dan kagum terhadap si
orang tua rambut merah itu. Kenapa tangannya orang tua ini
demikian "soen," begitu mujur!
Adalah In Tiong seorang, yang melihat gerakan tangannya Kwee
Hong yang mengetahui sebab-sebabnya kemenangan Anghoat
Yauwliong. Kalau dalam melepaskan senjata rahasia seorang ahli
dapat merdeka mengarah ke mana dia suka, begitu juga dalam hal
melemparkan biji-biji dadu. Kwee Hong rupanya seorang ahli, maka
ia dapat menguasai biji-biji itu.
In Thian Sok tak dapat melihat rahasia kepandaian Kwee Hong
itu, karena ia adalah seorang kangouw kenamaan, ia terima
kekalahan itu, maka, dengan hati seperti disayat-sayat,
dengan meringis, dia kata kepada lawannya: "Baiklah, orang she
Liong, Koaywa Lim ini menjadi milikmu!.....”
"Pokokmu sama sekali delapan puluh laksa tail," berkata Liong
Pangtjoe, "sekarang kau kalah tujuh puluh, masih ada kelebihannya
sepuluh laksa, dengan begitu kau masih dapat kembali sepuluh
laksa tail itu, katakanlah, kau kehendaki sawah, kebun atau uang
kontan? Orang she In, dengan punyakan sepuluh laksa tail, kau
masih terhitung orang hartawan juga. Kau lihat, aku tidak berlaku
kejam, masih aku pandang padamu!"
"Sudahlah, jangan bicara terlalu banyak!" si orang tua berambut
merah menyelak. "Sekarang aku berikan ketika, yaitu sebelumnya
matahari terbenam, kamu sudah mesti pindah dari Koaywa Lim ini!"
Kembali muka Thian Sek menjadi pucat. Nyata sudah bahwa ia
telah diusir. Akan tetapi, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu,
tiba-tiba terdengar satu suara tertawa tegas, disusul dengan kata-
katanya orang yang barusan tertawa itu: "Tunggu dulu. Aku juga
hendak turut bertaruh!"
In Tiong segera menoleh, lalu di depan matanya berkelebat Thio
Tan Hong dengan pakaian serba putih. Tan Hong itu segera muncul
dari antara rombongan orang banyak. Dengan sendirinya In Tiong
menyesal karena ia lupa, saking tertarik pada permainan dadu, ia
sampai lengah memperhatikan pemuda yang ia mesti cari itu. Entah
sejak kapan pemuda itu telah berada di antara mereka.
Kioetauw Saytjoe In Thian Sek membuka dengan lebar kedua
matanya ketika ia menoleh kepada anak muda itu, karena dari
orang-orangnya ia dapat melukiskan roman orang dan potongannya,
maka tahulah ia, dia ini adalah si mahasiswa berkuda putih yang
telah perhina kedua guru silatnya. Tapi ia baharu saja kalah berjudi,
sekarang pemuda ini hendak menggantikan tempatnya, ia mencoba
menguasai dirinya. Ingin ia ketahui, apa yang orang akan perbuat.
Maka itu ia berdiri diam di tempatnya, untuk jadi penonton saja.
Thio Tan Hong dandan dengan perlente, lagaknya sebagai satu
pemuda hartawan atau anak orang agung, begitu ia sampai di
Souwtjioe, segera ia menjadi perhatiannya kawanan Hayliong Pang,
segera juga beberapa orang Hayliong Pang itu menguntit ia hingga
di hotel. Karena liehaynya, Tan Hong tahu bahwa ia telah dikuntit
orang, ia lalu sengaja bersikap berpura-pura tak mengetahuinya,
sengaja ia keluarkan barang-barang permata yang ia bekal, ia
seperti pertontonkan itu.
Beberapa orang Hayliong Pang itu terdiri dari orang-orang
berpengalaman, mereka jadi curiga, karenanya, tidak berani mereka
lancang turun tangan, mereka lantas kembali untuk memberi
laporan kepada ketua mereka.
Pada waktu itu, Liong Pangtjoe telah ber-keputusan akan
memiliki Koaaywa Lim, untuk bertindak, ia tunda dulu hal si anak
muda asing ini, yang ia ingin ketahui jelas asal-usulnya, maka tidak
ia sangka, baharu ia selesai berurusan dengan In Thian Sek, si anak
muda justeru muncul di antara mereka, malah dia ditantang
bertaruh.
Anghoat Yauwliong lirik anak muda ini.
"Kau hendak bertaruh berapa banyak?" dia tanya. Dia tidak
tunggu lagi putusan ketuanya.
"Kau sendiri, mempunyai pokok berapa?" Tan Hong balik tanya.
Ia menanya sambil tertawa, sikapnya wajar, tenang.
Liong Pangtjoe mendahului orang memberikan jawaban.
"Pokokku adalah benda miliknya Tuan In ini!" ia jawab sambil
tertawa dingin.
"Oh, kalau begitu!" kata Tan Hong sabar, "berikut uang
kontanmu sepuluh laksa tail, semua cuma terdiri dari sembilan puluh
laksa! Baiklah, untuk iseng-iseng, guna melewatkan waktu
senggang, suka aku bertaruh dengan kau!"
"Untuk permulaan, berapa kau hendak bertaruh?" tanya si orang
tua rambut merah. Tampaknya si Naga Siluman Rambut Merah tidak
sabaran.
Tan Hong bersenyum, dari sakunya ia keluarkan serenceng
mutiara, bentuk mutiara itu bundar-bundar dan besar-besar,
semuanya bercahaya, maka teranglah sudah, semua mutiara itu
tulen dan indah, mahal harganya. Pada renceng itu pun dibandulkan
sebuah permata lain, yang sinarnya hijau mengkilap dan
membuatnya silau siapa yang memandangnya.
"Uang tarohanku adalah mutiara dan permata ini," kata Tan
Hong sambil tunjukkan barang berharga itu. "Coba kamu taksir
sendiri harganya ini!" Liong Pangtjoe sambuti rencengan mutiara
berikut batu permata itu, ia memeriksanya dengan teliti.
"Kita di sini biasa bertaruh secara pantas," ia berkata kemudian.
"Mutiaramu ini ada seratus biji, setiap bijinya sama besarnya, tidak
ada cacatnya, inilah mutiara yang sukar dicari timpalannya. Menurut
taksiran, setiap biji mutiara ini berharga seribu lima ratus tail perak,
tetapi karena ada seratus biji, harganya mesti dinaikkan sedikit. Aku
hitung untuk dua puluh laksa tail!"
"Ah, kau tahu juga harga barang!" kata Tan Hong. "Bagaimana
dengan batu permatanya?"
"Batu hijau ini jarang didapatkan," sahut Liong Pangtjoe,
"tentang permata ini, tidak dapat aku menaksirnya. Bagaimana
kalau sepuluh laksa tail?"
"Sebenarnya buat sepuluh laksa tail masih kurang sedikit," kata
Tan Hong. "Akan tetapi kita hendak bertaruh, baiklah, aku tidak
hendak memberi harga terlalu tinggi. Kau hitung semua tiga puluh
laksa tail, akur! Mari dengan tiga puluh laksa tail kita bertaruh untuk
satu kali lempar!"
Kecocokan telah didapat, maka orang hendak lantas mulai.
Bandar sudah lantas keluarkan dadu yang baru. Tan Hong
menangkan undian.
"Kalau aku yang melempar terlebih dahulu, lantas aku dapat itsek
atau angka delapan belas, kau lantas tidak punya ketika untuk
melempar lagi," berkata Tan Hong. "Tidak ingin aku menang secara
begitu rupa, sebab kalau kau kalah, kau jadi tidak puas, kau
penasaran. Nah, kau boleh melempar lebih dahulu!"
In Tiong telah memasang kupingnya, ia menjadi heran.
"Ilmu melepas senjata rahasia dari Tan Hong sukar tandingannya
di dalam dunia ini," ia berpikir, "kalau dia yang melempar lebih dulu,
sudah pasti dia yang bakal menang. Sekarang dia suka mengalah
dari Anghoat Yauwliong, ada kemungkinan dia nanti kalah.....”
Si orang tua rambut merah tidak berlaku sungkan, dia terima
baik usul itu. Dia pun lantas raup biji-biji dadu itu. Dia rasakan biji-
biji itu terlebih enteng, tetapi dia tidak pedulikan itu. Dia raup
dengan kedua tangannya, terus saja dia lemparkan.
Cepat sekali dalam mangkok terlihat tiga biji berhenti bergerak,
ketiga-tiganya menunjukkan angka enam dan tiga biji lainnya masih
berputaran. Dengan kedua matanya si orang tua rambut merah
mengawasi tajam kepada ketiga biji itu. Sebentar kemudian, dua biji
pun tak berputaran lagi. Juga kedua biji ini menunjukkan, angka
enam!
Pada paras si orang tua lantas tersungging senyuman.
Hebat biji yang ke enam itu, yang membuat hati semua orang
tegang. Dialah yang berputar paling lama. Pada saat dia hendak
berhenti, dia perlihatkan angka enam, tetapi tiba-tiba, dia berputar
satu kali lagi dan berhenti menjadi angka lima!
"Dua enam, satu lima !" teriak bandar. "Tujuh belas. Toal"
Adalah keinginan si orang tua rambut merah akan mendapatkan
semua biji angka enam, supaya itsek, serupa warnanya, tetapi
angka tujuh belas pun sukar didapat, ia terpaksa mesti merasa
puas.
"Tujuh belas ya tujuh belas, tidak apa," kata dia, menghibur diri.
"Sekarang kau susullah!" ia tambahkan kepada lawannya.
Thio Tan Hong raup biji dadu itu.
"Tujuh belas sukar untuk disusul!" kata dia. Ia angkat kepalanya,
akan memandang ke langit. Ia tidak lantas mulai. Suasana menjadi
sunyi, sebab semua perhatian tertarik padanya.
"Sekarang aku mulai!" kata dia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa
perhatian, dia lempar biji ke dalam mangkok.
Semua orang menjadi tegang, tak terkecuali si orang tua
berambut merah. Dia malah pentang lebar kedua matanya!
Begitu lekas biji-biji dadu itu berhenti berputaran dan terletak
diam, segera terdengar suara si bandar: "Sepasang empat! Dua
lima! Lagi sepasang enam! Sie Gouw Lak Tjoansat."
Sie gouw lak — dua empat, dua lima dan dua enam — itu artinya
"tjoansat" — "kemenangan penuh." Semua orang heran, kecuali In
Tiong. Orang heran, sudah si orang tua rambut merah demikian
mujur, sekarang ada Tan Hong yang sangat beruntung.
Kwee Hong mendelong, ia heran bukan main. Ia mempunyai ilmu
Tokliong tjiang, yaitu "Tangan Naga Beracun," dirangkap dengan
kepandaian Tokliong teng, ilmu melepaskan senjata rahasia "Paku
Naga Beracun." Itulah kepandaian yang membuatnya ia peroleh
julukan Anghoat Yauwliong si Naga Siluman Rambut Merah. Itu juga
kepandaian yang membikin ia dapat permainkan biji-biji dadu
sesukanya, hingga ia peroleh kemenangan atas In Thian Sek,
hingga Hayliong Pang dapat menduduki Koaywa Lim. Tapi kali ini, ia
rubuh ditangannya Thio Tan Hong, orang yang ia tidak kenal. Tentu
saja ia tidak ketahui, selagi Tan Hong raup semua biji, biji-biji itu
sudah lantas digenggam begitu rupa.
Atas kemenangan itu, Tan Hong perlihatkan roman biasa saja.
Dengan tenang, dia kata: "Berikut kemenangan ini, pokokku
sekarang berjumlah enam puluh laksa tail. Nah, semua itu aku pakai
untuk bertaruh pula!"
Si orang tua berambut merah cuma bersangsi sebentar, atau
lantas ia berikan penyahutannya: "Baik, akan aku lawan kau satu
kali lagi! Sekarang kaulah yang melempar terlebih dahulu!"
Mendengar sambutan itu, In Tong menjadi heran. Ia herankan si
orang tua. Ia pikir, setelah kekalahannya itu, apa benar orang tua
ini tak menginsiafi sebabnya? Kalau dia insiaf artinya dia tahu,
kenapa sekarang dia berani melawan pula dengan suruh Tan Hong
yang melemparkannya lebih dulu?
Tan Hong tertawa yang dia disuruh melempar lebih dahulu.
"Kau suruh aku yang melemparkan lebih dahulu, baik!" ia kata.
"Aku harap kau tidak menyesal di belakang!"
Ia lantas raup ke enam biji dadu itu, lalu dilemparkan pula
seperti tadi, tanpa aksi, tanpa memperhatikan pula. Lantas ke enam
biji itu berputaran.
Si orang tua rambut merah mengawasi semua biji itu, tiba-tiba ia
berseru: "Satu"
Hampir pada waktu yang sama, ke enam biji itu berhenti
berputar.
Bandar pun segera berseru: "Sepasang dua, satu satu! lima!"
Si orang tua lantas tertawa.
"Kiranya lima yang bau!" kata dia.
Untuk permainan dadu itu, angka terbesar adalah delapan belas,
yang terkecil ialah empat, sekarang Tan Hong dapat angka lima, itu
sudah berarti kekalahan pasti. Tetapi In Tiong ketahui sebab-
musababnya angka itu. Kwee Hong telah menggunakan ilmu
hembusan napasnya "Toanseng tjinboet," yaitu "Dengan suara
menggempur barang."
"Ah, kali ini Tan Hong mesti kalah," kata ia dalam hatinya. Ia
tidak bisa campur mulut kendati ia tahu orang main curang. Di
tempat main dadu, orang tidak dilarang untuk berseru-seru.
Sekarang datang giliran si orang tua rambut merah. Tampaknya
ia sangat gembira. Dengan sebat ia raup biji dadu itu, terus ia
lemparkan, hingga mangkok itu perdengarkan suara nyaring.
Selagi biji berputaran, Tan Hong mengawasi sambil tertawa
berkakakan.
Bandar pun segera menyebutkan angka-angkanya: "Sepasang
satu, satu dua! Empat! Empat!" Ketika ia ulangi "Empat" itu,
suaranya gemetar, suatu tanda ia kaget sekali.
Tan Hong kembali tertawa besar.
"Ha, kiranya empat busuk!" dia berkata. Muka si orang tua
menjadi putih bagaikan lilin, kekalahannya ini berarti ia pun kalah
dalam hal ilmu melepaskan senjata rahasia.
Tan Hong jetrikan dua jari tangannya, dia tertawa.
"Seluruh kekalahanmu berjumlah sembilan puluh laksa tail!" dia
kata. "Kau telah menghabiskan pokokmu, cek, tanah milik, berikut
Koaywa Lim ini, sekarang menjadi kepunyaanku si orang she Thio!"
Dengan sekonyong-konyong saja Kioetauw Saytjoe In Thian Sek
lompat bangun, sebelah tangannya menyambar, menjambak ke
arah pundak Tan Hong.
"Hrn! Kau penipu! Kau berani merampas aku punya Koaywa
Lim?" dia berteriak.
Tapi dia baharu berteriak atau segera dia menjerit "Aduh!"
disusul dengan rubuhnya tubuh, menggeletak di tanah.
Thio Tan Hong tertawa sambil berseru: "Hai, kuku singa patah!"
Orang semua mengawasi In Thian Sek, mereka lihat ke lima
jarinya si Singa Kepala Sembilan telah patah dan berdarah-darah,
orangnya pun pingsan.
Menampak demikian, semua gundalnya Thian Sek lantas maju
menyerang.
"Foei! Tidak tahu malu!" teriak Tan Hong. "Siapa suka berjudi,
dia mesti terima kekalahan! Aku pun menangkan Koaywa Lim ini
bukan dari tangannya si orang she In ini!"
Mulut Tan Hong bersuara, tubuhnya pun bergerak, diturut
dengan gerakan kaki dan tangannya, yang lincah dan sebat, hingga
di lain saat, semua gundal Kioetauw Saytjoe telah rubuh terguling.
Si orang tua berambut merah keluarkan sebelah tangannya
secara tiba-tiba.
"Kioetauw Saytjoe, jangan kau bikin malu kaum kangouw1." dia
berseru.
Teriakan itu terang ada bantuan untuk Tan Hong menegur Thian
Sek, tapi di mulut lain, ditangan lain, tangan jahat Anghoat
Yauwliong justeru bergerak ke arah si pemuda berpakaian putih.
Tan Hong sangat celi matanya, sangat cepat gerakannya, melihat
tangan orang bergerak ke arahnya, ia mengibas dengan tangan
bajunya, hingga tangan jahat itu, tangan Naga Beracun, nyasar dari
sasarannya.
"Nah, itulah baharu kata-katanya satu laki-laki!" kata Tan Hong
sambil tertawa. Ia tetap bawa sikap seperti tak tahu bahwa orang
telah menyerang ia secara curang. Kemudian ia ambil air teh dingin,
yang terus diirup, untuk disemburkan ke mukanya In Thian Sek,
hingga di lain saat, orang she In itu telah sadar dari pingsannya.
Liong Pangtjoe lantas saja berkata: "Kioetauw Saytjoe, kali ini
kita harus mengaku kalah! Baiklah kau pergi ke Hayliong Pang,
untuk menjadi hiotjoe1. Kita lihat saja nanti, berapa lama dia dapat
kuasai Koaywa Lim ini!"
Ketua dari Hayliong Pang ini juga satu ahli silat, mendapatkan
Kwee Hong bukan tandingan orang, ia sengaja bawa sikap
sebagai seorang kangouw sejati, yang akui kekalahan
setelah kena dipecundangkan orang.
Tan Hong tidak pedulikan lagak orang, dia hanya kata kepada In
Thian Sek: "Kioetauw Saytjoe sekarang kau keluarkan surat-surat
tanah serta uang kontanmu!"
In Thian Sek tengah mengobati jari-jari tangannya, dia sedang
nunduk.
"Akan aku turut perintahmu," ia menjawab.
"Kau harus bersikap hormat," Thio Tan Hong peringatkan. "Aku
tahu berapa banyak tanahmu dan bandamu, maka jikalau kau main
gila, meskipun kau mempunyai sepuluh kepala, semua kepala itu
akan aku tebas kutung! Eh, siapakah di antara kamu yang suka
mengangkut barang-barang?"
Dalam sekejap saja serombongan orang telah memajukan diri
sambil bersurak.
Mereka nyata sebagian adalah penduduk Tamtay Tjoen, sebagian
penduduk melarat dari kota Souwtjioe. Memang sejak siang-siang
Tan Hong telah pesan mereka berkumpul di taman Koaywa Lim itu.
Tan Hong bertindak tegas. Ia bakar hangus semua surat-surat
tanah Kioetauw Saytjoe, untuk menghabiskan semua hak si okpa,
sedang uang kontan okpa itu, ia bagi-bagikan di antara semua
penduduk itu. Sampai lohor baharulah ia selesai dengan
pembagiannya itu.
Selama itu Kioetauw Saytjoe, Liong Pangtjoe dan Anghoat
Yauwliong, berikut orang-orangnya, karena malu, sudah ngeloyor
pergi dengan diam-diam.
Habis mempesta pora harta orang, Thio Tan Hong tertawa
berkakakan. Tiba-tiba ia membungkuk, akan petik setangkai bunga
teratai dari dalam empang, terus ia bersenanjung: "Telah
dikembalikan asal tanahku, maka hari ini bunga teratai muncul dari
dalam lumpur!..... Lalu, kalau tadi ia tertawa terbahak-bahak,
sekarang mendadak ia mengucurkan air mata.
In Tiong mengawasi terus kelakuan orang, di dalam hatinya, ia
kata: "Dia tentu telah menyaksikan yang usaha leluhurnya telah
diilas-ilas orang, maka sekarang ia menjadi sangat terharu....."
Ketika itu oran g telah mulai bubar, maka In Tiong, yang kuatir
dikenali Tan Hong, lekas-lekas juga angkat kaki. Ia kembali ke
kantor soenboe. Kali ini ia dapatkan, dari tujuh pahlawan istana, dua
baharu saja sampai. Mereka ternyata adalah kedua paman guru dari
Taywee Tjongkoan Kong Tiauw Hay, yaitu Tiatpie Kimwan Liong Tjin
Hong dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe.
Selama pieboe, In Tiong telah merubuhkan Liok Thian Peng,
keponakan murid dari dua pahlawan ini, karenanya, di antara kedua
pihak terdapat ganjalan, akan tetapi sekarang mereka sama-sama
ditugaskan kaisar, terpaksa mereka tidak berani timbulkan ganjalan
itu. In Tiong tuturkan apa yang barusan ia saksikan di Koaywa Lim.
Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe adalah orang-orang
kangouw berpengalaman, setelah mendengar penuturan In Tiong,
keduanya saling memandang, lantas mereka kerutkan alis.
"Urusan nampaknya aneh," kata Liong Tjin Hong kemudian.
Anghoat Yauwliong adalah tangan kanan Ong Tjin, kenapa dia
bantui Hayliong Pang memperebutkan Koaywa Lim? Thio Tan Hong
pandang emas bagaikan tanah, dia juga tak ketentuan tempat
kediamannya, kenapa sekarang dia justeru menghendaki taman
Koaywa Lim itu? Menurut keterangan kau, Koaywa Lim adalah bekas
istana peristirahatan dari Thio Soe Seng, siapa tahu kalau harta dan
peta Thio Soe Seng itu berada di dalam Koaywa Lim?"
In Tiong anggap dugaan itu masuk di akal. Pembicaraan mereka
ini ditunda setelah diambil persetujuan untuk sebentar malam
mencoba pergi ke Koaywa Lim, lantas mereka bersantap malam,
habis bersantap, mereka beristirahat.
Di saat genta di loteng kota berbunyi tiga kali, mereka bertiga
berdandan, mengenakan yaheng ie, pakaian untuk keluar malam,
setelah mana, tanpa ayal lagi, mereka keluar dari kamar mereka,
untuk segera menuju ke Koaywa Lim.
Setelah berpindah tangan, taman penglipur lara itu telah berubah
rupa. Lenyaplah segala keramaian, gantinya adalah kesunyian.
Memandang gunung-gunung dan lain-lainnya, perasaan orang
seolah-olah dibawa kepada ketenteraman, keindahan alam.
In Tiong, Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe sempurna ilmu
enteng tubuhnya, dengan merdeka mereka dapat melompati
tembok pekarangan, untuk masuk ke dalam taman secara diam-
diam. Di saat mereka hendak memecah diri, untuk membuat
penyelidikan, tiba-tiba mereka dengar suara orang yang datangnya
dari arah timur. Mereka memberi tanda satu dengan lain, lantas
dengan berindap-indap, mereka menuju ke timur. Setelah datang
dekat kepada suara itu, mereka lantas sembunyikan diri di belakang
batu gunung-gunungan.
Masih suara itu terdengar.
"Mungkin Thio Tan Hong, si bocah, jeri terhadap kita," kata
seorang di antaranya. "Dia baharu dengar kabar, lantas dia
singkirkan diri!"
"Apakah mungkin dia telah peroleh hasil?" tanya yang lain.
Lalu terdengar suara yang ketiga: "Tepat dugaan Ong kongkong,
maka syukur kita telah datang tidak terlambat."
Yang belakangan ini adalah suara Anghoat Yauwliong Kwee
Hong.
In Tiong terkejut.
"Benar saja mereka adalah orang-orangnya si dorna kebiri Ong
Tjin," kata ia di dalam hati. "Thio Tan Hong datang ke Souwtjioe
untuk mencari harta dan peta pendaman, kenapa wartanya telah
tersiar di mana-mana?"
Sebentar saja In Tiong menduga demikian, lantas ia ingat
sesuatu.
"Ong Tjin banyak kaki tangannya, dia bermata awas dan
berkuping tajam, tentunya dia dapat ketahui yang aku telah di kirim
raja kesini," demikian pikirnya pula.
"Menurut petunjuk gambar, tempat itu mesti di sini," terdengar
pula suara Kwee Hong. Coba lihat, di sini ada bekas-bekas
bongkaran, cuma batunya belum terbongkar. Mungkin karena bocah
itu bersendirian saja, dia belum keburu membongkar hartanya,
begitu dia dengar suara kita, lekas-lekas dia angkat kaki.....”
Menyusul kata-kata itu terdengarlah suara pacul dipakai menggali
tanah dan suara besi membentur batu.
In Tiong gerakkan tubuhnya. Baharu pundaknya bergerak, atau
ia telah ditekan Samhoa Kiam.
"Jangan kesusu," Samhoa Kiam berbisik. "Kita tunggu sampai
mereka sudah selesai menggali, nanti kita datang tinggal mendahar
saja!"
In Tiong masih mencoba mengintai di antara sela-sela batu. Di
depan sebuah batu Thayouw tjio yang besar bagaikan harimau
nongkrong, ia lihat kira-kira sepuluh orang tengah berdegingan
membongkar batu. Tidak lama, lantas terdengar satu di antara
orang-orang itu berseru: "Ini dia, ini dia! Lihat lobang ini! Ah, masih
ada menghalang sepotong batu pekgiok pay!"
Seorang yang lain mengangkat linggisnya, dia membongkar.
Menyusul itu terdengar satu suara nyaring, banyak lelatu api
meletik.
"Lekas minggir!" Kwee Hong berteriak.
Dari dalam liang menyambar keluar sejumlah panah api, lantas
enam atau tujuh orang rubuh, muka mereka bermandikan darah
hitam.
"Panah beracun yang liehay sekali!" Kwee Hong berseru pula. Ia
berdiam. Ia tunggu sampai anak-anak panah melesat habis. Masih
ia kuatir, maka ia ambil tameng, sambil menggunakan itu, untuk
melindungi diri, ia maju kemuka liang. Ia melakukan pemeriksaan.
Tiba-tiba ia berseru: "Kita ditipu si bocah!" demikian seruannya.
"Hm!"
Ia mundur beberapa tindak, melepaskan tamengnya, ia ganti itu
dengan pacul. Keras ia memacul ke arah pekgiok pay, hingga batu
penghalang itu dapat disingkirkan. Tapi ia kecele. Liang itu kosong.
Rombongan orang itu lantas mengutuk, dengan menggendol
kawan-kawannya yang terluka, mereka lantas berlalu dari situ. Maka
sebentar saja, tempat itu bersih dari mereka.
"Mari kita lihat!" Tiatpie Kimwan mengajak.
In Tiong dan Hian Leng Tjoe akur, mereka keluar dari tempat
sembunyi, akan menghampiri liang bekas galian itu. In Tiong
berlaku sangat hati-hati. Mendekati batu bekas bongkaran Kwee
Hong itu, yang telah terbelah, mereka lihat ukiran huruf-huruf yang
berbunyi:
"Manusia mati karena harta, burung mampus karena barang
makanan! Tuan-tuan datang kemari, silakan tuan-tuan rasakan
lezadnya panah beracun!"
Di bawahnya ditambah lagi, bunyinya: "Pay batu ini didirikan oieh
Kaisar kerajaan Tjioe, Thio Soe Seng."
In Tiong terkejut.
"Sungguh hebat!" pikirnya. "Thio Soe Seng telah menduga dari
siang-siang bahwa ada orang yang akan membongkar harta
simpanannya, maka itu ia telah memasang jebakan panah beracun
ini."
Anehnya, liang itu dangkal, sedang menurut kabar yang tersiar,
jumlah simpanan harta Thio Soe Seng itu banyak sekali, bertumpuk
bagaikan bukit. Kalau benar, mana bisa harta itu disimpan dalam
lobang seperti ini?
Ketiga orang itu saling memandang. "Aku percaya Thio Tan Hong
masih belum berhasil mendapatkan harta pendaman itu," Samhoa
Kiam utarakan dugaannya.
"Bagaimana kau dapat menduga demikian?" tanya In Tiong.
"Pertama-tama lobang itu tidak mirip tempat menyimpan harta,"
Samhoa Kiam terangkan. "Thio Tan Hong pun berada di bawah
pengawasan Kwee Hong dan Hayliong Pang, meski dia luar biasa,
tidak nanti dia sanggup angkut harta itu. “
"Kata-katamu beralasan, soetee," kata Liong Tjin Hong, "hanya,
kalau benar dia belum berhasil membongkar harta itu, kenapa dia
tinggalkan Koaywa Lim ini? Mungkinkah harta sebenarnya tidak
dipendam di sini?"
Selagi kedua orang itu bilang In Tiong mengawasi ke arah pay.
Mendadak ia lihat sehelai kertas kecil melekat di samping batu itu,
suratnya pun halus. Ia baca dengan cepat:
"Seperti yang satu cegluk, yang satu lagi patok, demikian
kerajaan keluarga Tjioe, bukan ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha
Esa, untuk apa bercape hati diperebutkan? Saudara In Tiong,
angkat kaki adalah yang paling sempurna. — Dari adikmu, Thio Tan
Hong."
"Celaka!" berseru In Tiong dengan gusar.
Liong Tjin Hong dan Hian Leng Tjoe heran.
"Ada apakah?" mereka tanya.
"Lihat ini!" sahut kawan itu. Membaca surat itu, kedua saudara
seperguruan itu melongo, mereka bungkam. Sementara itu sang
ayam sudah mulai berkokok.....
-ooo0dw0ooo-
Bab XVII
Dengan duduk di atas sebuah perahu kecil yang enteng, seorang
diri Thio Tan Hong tengah mengayuh dipermukaan telaga Thayouw,
tangan kanannya menyekal dayung, tangan kirinya menggenggam
sebuah anak kunci dari emas yang bercahaya berkilau-kilauan. Dia
pentang kedua matanya, memandang telaga yang luas itu. Dengan
riang gembira, dia buka mulutnya dan bersenanjung dengan nada
tinggi: "Telaga Thayouw yang luasnya tiga puluh enam ribu bahu,
airnya masih tak dapat mencuci kedukaan orang-orang gagah dari
jaman dahulu hingga sekarang!"
Keras dan nyaring suara itu hingga burung-burung di telaga itu
beterbangan karena kagetnya.
Itulah anak kunci emas yang Thio Tan Hong dapatkan dari liang
di dalam Koaywa Lim. Dengan mengikuti petunjuk gambar itu,
tahulah Tan Hong, bahwa harta besar simpanan leluhurnya itu
dipendam di dalam taman penglipur itu. Itulah sebabnya ia telah
pergi ke Koaywa Lim, untuk turut dalam perjudian dadu yang
menggemparkan itu. Sementara itu ia telah ketahui, dari pesan
leluhurnya, tempat menyimpan harta itu dipersiapkan dengan
panah-panah beracun, maka itu, sebelum menggali, ia sudah
membuat penjagaan diri, ini juga sebabnya kenapa ia berhasil
membongkar tanpa menemui halangan. Hanya, setelah ia berhasil
membongkar pekgiok pay, di situ
ia tidak dapatkan barang lainnya kecuali anak kunci emas itu.
Cuma, di atas anak kunci itu, ia lipat dua baris ukiran huruf-huruf
halus yang berbunyi:
"Di telaga Thayouw, dibukit Tongteng San Barat, Dengan anak
kunci ini, harta simpanan dapat dicari."
Pada waktu ia hendak pendam harta besarnya itu, Thio Soe Seng
berpikir keras, ia memikirkan tempat di mana ia dapat menyimpan
dengan aman. Ia berkedudukan di Souwtjioe, kalau ia simpan di
kota itu juga, pasti Tjoe Goan Tjiang dapat menerkanya. Sebaliknya,
jikalau ia menyembunyikan di tempat jauh, sulit pengangkutannya
dan itu pun mudah membuat rahasia bocor. Maka akhirnya ia
mengambil keputusan untuk menyimpan harta itu di Say Tongteng
San, yaitu gunung Tongteng San Barat, di telaga Thayouw. Dari
kota Souwtjioe ke gunung itu, perjalanan hanya sehari satu malam.
Demikian ia membuat persiapannya dan bekerja.
Tentang lukisan yang menunjukkan Koaywa Lim adalah tempat
harta, itulah sebagian hanya akal belaka. Di sini cuma dititipkan
anak kunci emas itu, yang dilindungi panah api beracun.
Setelah selesai segala apa, gambar lukisan itu diserahkan kepada
"raja yang muda," yaitu putera Thio Soe Seng serta boesoe-nya,
pahlawan kepercayaan, yang setia, ialah leluhurnya Tjio Eng. Pada
putera dan pahlawan itu, telah diberitahukan bahwa di dalam liang
diatur panah beracun itu serta caranya untuk membongkar pekgiok
pay, supaya orang luput dari ancaman anak panah. Perihal anak
kunci emas dan tempat yang benar di mana harta terpendam, serta
lain rahasia itu, bukan cuma si putera malah si pahlawan juga tidak
mengetahuinya suatu apa. Itu artinya selanjutnya si putera atau
siapa pun, harus berikhtiar dan mencarinya sendiri.
Sewajarnya saja, Thio Tan Hong telah berlaku cerdik. Setelah dia
dapatkan anak kunci emas itu, dia tutup dan uruk pula liang itu
sebagaimana adanya, kecuali tanah bekas bongkaran sebelah atas,
yang tak dapat dia tutup rapi sebagaimana asalnya. Habis itu,
sebelumnya rombongan Kwee Hong tiba, dia sudah angkat kaki dari
Koaywa Lim.
Untuk dapat pergi ke Say Tongteng San, Tan Hong menitipkan
dahulu kuda putihnya kepada satu sahabatnya, lalu dengan sebuah
perahu kecil dan enteng, yang telah disiapkan sejak siang-siang oleh
sahabatnya, dia berangkat memasuki telaga Thayouw. Tempat
permulaan berangkat adalah di jembatan Banlian Kio di kota
Souwtjioe itu. Ia berangkat tengah malam, maka dengan lekas ia
telah keluar dari Siekauw, hingga ia sudah lantas berada di
permukaan telaga yang luas dan di lingkungi bukit.
Tentu saja, dalam keadaan seperti itu, tidak ada kegembiraan
Tan Hong akan menyaksikan keindahan alam di telaga itu, hanya
sambil mengayuh, ia keluarkan anak kunci emas itu dan dibulak-
balikkan untuk diperiksa.
"Huruf-huruf yang terdapat pada anak kunci ini berbunyi: dengan
punyakan anak kunci ini, harta simpanan akan dapat dicari,"
demikian ia berpikir, "akan tetapi, bagaimana aku harus
mencarinya? Gunung Say Tongteng San besarnya seratus kali lipat
daripada Koaywa Lim, tidakkah aku bagaikan mencari sepotong
jarum di laut yang besar? Tentang hartanya sendiri, itu adalah satu
soal lain, tidak demikian dengan peta buminya — peta bumi itu
berhubungan dengan nasib negara!"
Tan Hong memandang ke muka air di sekitarnya. Air, melulu air!
Pemandangan tenang tetapi indah, terbuka juga hati Tan Hong.
Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya.
"Dengan perahu di tengah gelombang, tenanglah hati," pikir dia.
Di tempat permai ini, di saat begini tenteram, perlu apakah aku
berduka tidak keruan? Tidakkah aku tolol?"
Ia lantas simpan anak kunci itu, lalu mengayuh pula. Oleh karena
perahu itu kecil dan enteng, dia dapat bergerak dengan laju, seperti
dibantu oleh layar.
Telaga Thayouw mempunyai tujuh puluh dua puncak, di atas itu
meganya indah, puas hati memandangnya. Sekarang Tan Hong
telah membuktikan benarnya perkataan bahwa Thayouw ini, dengan
keindahannya itu, dapat menangkan Tong Gouw.
Belum lama ia mengayun perahunya, atau lantas tampak puncak
Say Tongteng San. Memang gunung itu tidak dapat menandingi
Ngogak, ke lima gunung ternama dari Tionggoan, akan tetapi
karena letaknya di antara telaga, gunung ini mempunyai
keistimewaan sendiri, tebingnya curam, banyak batu yang aneh-
aneh rupanya, yang menerbitkan berbagai kesan.
Begitu lekas ia tiba di kaki bukit, Tan Hong segera mendarat. Ia
tampak di kaki bukit, sawah berjejer, sedang di atas gunung,
banyak macam pohon-pohonan, yang rapat tumbuhnya, ada
buahnya, ada bunganya, yang menyiarkan bau harum.
"Sungguh tenang dan nyaman jikalau di sini orang mendirikan
gubuk untuk bertinggal," Tan Hong melamun.
Setelah mencari jalan, Tan Hong mulai mendaki bukit. Ia berjalan
sambil berpikir, ke arah mana ia mesti cari tempat rahasia harta itu,
tiba-tiba ia lihat dua bocah tukang angon kerbau tengah mendatangi
ke arahnya bersama dua ekor binatang angonnya. Dua bocah itu
sudah lantas mengawasi anak muda ini, sinar mata mereka
menunjukkan keheranan atau bercuriga.
Tan Hong segera menghampiri mereka untuk mengajak mereka
bicara.
"Kedua engko kecil, aku numpang tanya," dia kata. "Aku datang
kemari untuk pesiar. Untuk naik ke atas gunung, adakah di sini jalan
yang baik?"
Kedua bocah itu saling memandang.
"Aku tidak tahu!" sahut satu di antaranya, suaranya keras.
"Heran," pikir Tan Hong, "kenapa kedua bocah ini begini tidak
tahu adat, mereka beda jauh daripada penduduk Tamtay Tjoen?"
Selagi Tan Hong berpikir demikian, ia heran mendapatkan kedua
bocah angon itu tiba-tiba berselisih mulut, sama-sama mereka
mementang mulut lebar. Yang di belakang berkata bocah yang di
depan sengaja menginjak lumpur hingga lumpur sawah muncrat
mengenai pakaiannya, yang di depan bilang, kawannya itu sengaja
membikin kerbaunya menendangi batu hingga ada batu yang
terbang ke batok kepalanya.
"Lucu," pikir pemuda ini, yang berniat memisahkan mereka itu.
Dari berselisih mulut, kedua bocah itu sudah lantas saja
berkelahi. Tidak cuma demikian, mereka juga menganjurkan kerbau
mereka masing-masing untuk turut berkelahi juga. Hingga sebentar
saja, keadaan menjadi kacau.
Celaka untuk Tan Hong, selagi jalanan sempit, kedua kerbau itu
saling seruduk dan saling uber, ke arahnya. Ia sampai menjerit
ketika ia hampir kena diterjang, terpaksa ia pentang kedua
tangannya, dengan gerakan "Yama hoentjong," atau "Kuda hutan
membuka suri," ia tolak kedua kerbau itu ke kiri dan kanan.
Ia dapat lindungi dirinya, kedua kerbau itu ngusruk dan rubuh.
Saking kaget, kedua bocah itu menjerit keras.
Kalau mau, Tan Hong dapat melukai kedua kerbau itu, tapi ia
telah menggunakan hanya tiga bagian dari tenaganya, maka itu, ia
menjadi heran, ia menjadi kaget mendengar jeritan kedua bocah itu.
"Adakah aku memakai tenaga terlalu besar hingga kedua
bocah itu turut terluka?" ia tanya dirinya. Lantas ia awasi kedua ekor
kerbau. Kembali ia menjadi terkejut. Kedua kerbau itu tengah
berlarian, kedua bocah angonnya tidak nampak.
"Ah, ke mana mereka pergi?" pikir Tan Hong. Pada saat ia
hendak mencari, dari sebuah tikungan tampak dua orang tani
baharu saja muncul, hanya, untuk herannya, ia dengar mereka itu
segera berseru: "Setan, hari terang benderang, dari mana
datangnya penjahat ini?....."
"Kedua engko, dengar dulu," kata Tan Hong dengan cepat. Ia
menyangka pasti bahwa orang telah mencurigai padanya. "Aku
bukannya orang jahat.....”
"Kau bukannya orang jahat?" bentak salah satu petani itu
sebelum orang berhenti bicara. "Kenapa kau lukai kerbau kami dan
menculik juga kedua anak kami?"
Tan Hong heran.
"Aku menculik anakmu?" dia tegaskan. "Mereka..... mereka....."
Dua petani itu tertawa dingin.
"Mereka..... mereka kenapakah?" katanya mengejek.
"Kenapa mereka itu lenyap? Jikalau bukannya kau yang
menyembunyikan mereka, pasti kau telah menyerahkan mereka
kepada koncohmu, untuk segera dibawa pergi, buat dijual!" Mau
atau tidak, Tan Hong tertawa. "Mana bisa terjadi demikian?" ia kata.
"Coba periksa dahulu kerbaumu, binatang itu terluka atau tidak,
habis itu baharu kamu pergi cari kedua bocah itu!"
Kedua petani itu menjadi murka, tanpa banyak omong lagi,
mereka angkat pacul mereka masing-masing, dengan itu mereka
menyerang!
Tan Hong terkejut, apapula ketika ia saksikan kesebatan orang.
Walaupun dia bertenaga besar, orang tani biasa tidak nanti
demikian sebatnya.
Terpaksa Tan Hong berkelit dengan gerakan "Poanliong
djiauwpou," atau "Naga melilit." Tapi ia tidak cuma berkelit.
Berbareng dengan itu ia pun mengangkat kedua tangannya, akan
menyambuti pacul orang itu, untuk disamber dan dirampas.
"Tolong! Tolong!" teriak kedua petani itu. "Tolong, ada rampok!
Ada rampok bunuh orang!"
Tan Hong mendongkol berbareng geli dalam hatinya.
"Jikalau aku berniat membunuh kamu, siang-siang jiwamu sudah
akan melayang!" ia kata pada mereka itu. "Tidak nanti aku biarkan
kamu membuat keributan!"
Segera ia ayunkan kedua tangannya, akan melemparkan kedua
pacul orang.
Pada waktu itu pula, muncul lagi delapan orang, yang datang dari
mana kedua orang tani tadi keluar, mereka juga membawa pacul,
dan tanpa banyak omong lagi, mereka maju mengeroyok Tan Hong,
dari depan dan belakang, dari kiri dan kanan.
Mau atau tidak, Tan Hong jadi mendongkol.
"Tidak keruan-keruan aku mesti berkelahi, sungguh naas,"
pikirnya. Ia lompat berkelit, ia memikir untuk meloloskan diri,
meninggalkan mereka itu, atau mendadak ia jadi heran. Ia telah
dikurung ke delapan orang itu, ke mana saja ia noblos, di situ ada
petani yang menghalang dan pacul yang melayang ke mukanya.
"Inilah cara berkelahi yang terlatih," pikirnya kemudian. Karena
ini, ia jadi bersungguh-sungguh, ia tunjukkan kehebatannya. Ia
lantas peroleh hasil, tak lama berselang, ia dapat membuat orang
kewalahan, hingga mereka itu main mundur, hanya pada saat itu,
belum dapat ia mengalahkan mereka itu, kecuali apabila ia
menggunakan kekerasan. Latihan mereka itu sempurna, masih
dapat mereka mengurung, tidak mau mereka mengalah.
Akhir-akhirnya Tan Hong bertindak juga, sambil berseru, ia desak
mereka, hingga mereka mundur satu tombak lebih.
"Jikalau kamu masih tidak hendak berhenti, jangan salahkan aku,
aku tidak akan berbuat sungkan-sungkan lagi!" ia mengancam. Tapi
ia tertawa.
"Apa artinya tidak sungkan-sungkan?" tanya satu petani, yang
rupanya menjadi pemimpin. "Bangsat anjing, apakah kau kira kami
takut?"
Tan Hong jadi mendelu juga. "Baik aku gunakan pedangku,
untuk membuat pacul kalian kutung, hendak aku lihat, kamu jeri
atau tidak.....” pikir dia. Lantas dia lindungi diri dengan tangan kiri,
tangan kanannya dipakai merabah pedangnya.
Justeru itu, dari atas gunung, terdengar suara pertanyaan: "Hai,
kenapa kamu berkelahi?"
Tan Hong mendongak, akan melihat ke atas, hingga ia tampak
satu orang dengan kumis jenggot panjang, jidatnya lebar,
hidungnya besar, dan dandannya seperti anak sekolah akan tetapi
romannya seperti seorang yang mengerti silat.
"Penjahat ini melukai kerbau dan menculik anak kami!" sahut
petani yang menjadi kepala itu.
"Kerbau kita tidak terluka," kata orang itu, yang terus
memanggil-manggil: "A Tjiauw! A Seng!"
Tan Hong melirik kepada kedua ekor kerbau. Sekarang ia lihat,
kedua binatang itu tidak lagi saling kejar, hanya berhenti berlari dan
berdiri diam, dan dari bawah perutnya muncul kedua bocah angon
tadi, keduanya sambil tertawa berkakakan! Terhadap Tan Hong,
mereka pun mengejek secara Jenaka, hingga pemuda ini
tersenyum.
"Aku juga heran kenapa kedua kerbau itu berputaran tak
hentinya, kiranya mereka ini yang main gila," katanya di dalam hati.
"Kepandaian mereka menungang kerbau nyata terlebih liehay
daripada orang Mongolia menunggang kuda. Mereka muncul secara
tiba-tiba, mereka berbuat itu dengan sengaja atau bukan? Baiklah
aku berlaku waspada."
Orang di atas gunung itu, yang usianya telah lanjut, terdengar
pula berkata: "Orang-orang tani desa biadab dan tidak tahu aturan,
ini pun salah pengertian, maka itu aku harap kau tidak berkecil hati
tuan. Eh, kenapa kamu tidak lekas-lekas menghaturkan maaf
kepada tuan itu? Lekas! Setelah itu kamu lekas pergi meluku!"
Ke delapan petani itu, berikut kedua bocah, yang telah
berkumpul menjadi satu, lantas menghadap Tan Hong, untuk
memberi hormat. Sesudah mana, mereka semua ngeloyor pergi,
hingga di situ Tan Hong berada seorang diri saja.
"Apakah siangkong datang untuk pesiar?" tanya si orang tua
kemudian.
"Benar," sahut Tan Hong, singkat.
"Tujuh puluh dua puncak tak mudah habis dipandang, sawah
yang luas juga dapat menghilangkan duka, maka kalau siangkong
datang untuk pesiar, kau mesti berdiam di sini sedikitnya beberapa
hari," berkata pula si orang tua.
Tan Hong lihat orang berlaku sopan, ia pun bersikap hormat.
"Aku ingin bertanya mengenai she dan nama iootiang," ia mohon.
"Tak usah kau tanyakan namaku, cukup kau memanggilnya aku
iootiang," sahut orang tua itu. "Aku juga, cukup memanggil
kau siangkong. Tidakkah ini sederhana?"
Tan Hong setuju dengan sifatnya orang tua itu.
"Benar," ia jawab.
"Aku si orang tua tinggal di atas gunung ini," kata pula orang tua
itu. "Beberapa sahabatku menamakan tempat kediamanku ini
Tongteng San tjhoeng. Siangkong akan berpesiar beberapa hari di
sini, apabila siangkong tidak berkeberatan, baiklah siangkong beri
ketika bagiku untuk aku jadi si tuan rumah. Bagaimana siangkong
pikir?"
"Kau baik sekali, iootiang, terima kasih," sahut Tan Hong. "Aku
kuatir aku nanti mengganggu padamu.....”
Orang tua itu tertawa lebar.
"Sama sekah tidak, siangkong1." ia kata. "Siangkong
berpesiar, setelah lelah, kau datang ke gubukku, untuk beristirahat,
jikalau ada jodoh, kita berkumpul, kalau tidak, sudah saja.
Tidak ada gangguan bagiku.....”
Tan Hong girang, ia hampirkan orang tua itu, untuk memberi
hormat, yang mana dibalas si orang tua. Ia merasa puas dengan
perkenalan ini. Ia memang berniat mencari seseorang yang mungkin
bantuannya bisa diharapkan untuk mencari tempat menyimpan
harta, sekarang ada si orang tua, inilah kebetulan.
Si orang tua menunjuk kelereng gunung, ia berkata: "Di sana
tidak ada apa-apa, akan tetapi sedikit sayur dan ikan tersedia juga.
Kalau siangkong hendak pesiar, silahkan. Sebentar malam
siangkong mampir padaku, akan aku sediakan ikan segar dan arak
putih untuk teman kita pasang omong."
"Terima kasih," Tan Hong mengucap, tangannya dirangkapkan.
Di dalam hatinya, ia berpikir pula: "Kalau orang tua ini tidak
menyembunyikan sesuatu maksud, ia mestinya seorang kangouw
yang luar biasa, maka berhubung dengan kedatanganku ini,
andaikata aku tidak berhasil mencari harta, senang aku dapat
bersahabat dengan dia. Rombongan petani itu juga bukan
sembarang orang, ada baiknya juga untuk berkenalan dengan
mereka.....”
Sampai di situ, mereka berpisahan, Tan Hong pun mendaki terus,
untuk berpesiar katanya, sedang sebenarnya ia memasang mata,
mencari sesuatu.
Selama berdiam di atas gunung, terus sampai lohor, dengan
matanya yang awas, Tan Hong merasa bahwa kadang-kadang ada
seorang petani, atau penduduk gunung itu, yang sedang mengambil
kayu atau memetik buah hutan, memasang mata kepadanya. Ia
heran, ia jadi bercuriga. Tapi ia tidak jeri. Ia tetap perhatikan
tempat yang ia kunjungi, ia ingat baik-baik. Kemudian, ketika
matahari sudah mulai turun, ia menetapi janji terhadap si orang tua,
ia bertindak ke lamping gunung, ia pergi ke apa yang si orang tua
sebutkan kampung Tongteng San tjhoeng.
Justeru waktu itu, pintu pekarangan telah dibuka dengan
perlahan-lahan, yang membukakannya adalah satu nona, yang
kedua matanya bersinar dan kulit mukanya halus seperti nona
Kanglam atau nona Utara yang manis.....
"Heran," pikir Tan Hong. "Kecantikan In Loei ada bagaikan bunga
tjielan, kecantikan nona ini ada seumpama bunga mawar atau
hoeyong. Kalau mereka berdua direndengkan, sungguh sulit untuk
memilihnya....."
Tan Hong baharu hendak membuka mulut, atau si nona telah
mendahului. Lebih dahulu nona itu tertawa manis.
"Siangkong, adakah kau siangkong yang datang berpesiar di
gunung ini?" demikian dia menanya. "Ayah telah berbicara
tentangmu kepadaku. Silahkan masuk!"
Tan Hong mengucap terima kasih, terus ia ikuti nona itu masuk
ke dalam pekarangan di mana tertanam pohon rotan, rupa-rupa
pohon bunga, paseban dan empang. Itu adalah sebuah taman yang
menarik yang tak kalah dengan Koaywa Lim, hanya kalah besar.
Taman ini pun nyaman.
Si orang tua, atau tuan rurnah, tampak tengah berdiri di depan
paseban di mana telah tersedia arak, melihat tetamunya, ia
menyambut dangan manis.
"Bagaimana keindahan telaga dan gunung di sini?" ia menanya.
"Telaga Thayouw ini jauh lebih indah daripada Tonggouw," jawab
Tan Hong. "Airnya, gunungnya, bagaikan lukisan saja. Hal ini pun
telah dibenarkan oleh orang-orang jaman dahulu. Boanseng kagum
sekali."
Orang tua itu tertawa.
"Hanya sayang," katanya, "ada orang-orang yang memandang
telaga dan gunung ini hingga mereka melupakan nama besar dan
kedudukan tinggi, sampai di otak mereka hanya terdapat kuningan
yang busuk saja. Tidakkah itu lucu dan mereka harus dikasihani?"
Mendengar itu, berdenyut hati Tan Hong.
"Mungkinkah dia ketahui bahwa aku datang kemari untuk
mencari harta terpendam itu!" ia tanya dirinya sendiri. Tapi segera
ia tertawakan dirinya, yang ia katakan banyak kecurigaannya. Tapi
ia masih berpikir lebih jauh: "Leluhurku menyimpan harta, itulah
satu rahasia. Aku juga ketahui harta disimpan di sini sesudah aku
dapatkan anak kunci emas. Maka, cara bagaimana orang tua ini
mengetahuinya? Perkataannya barusan mungkin kebetulan saja.....”
Tuan rumah silahkan tetamunya duduk, ia mengundang minum,
lantas mereka pasang omong terlebih jauh, mengenai pemandangan
alam dari telaga dan gunung, dari hal ilmu surat dan seni lukis.
Nyata mereka cocok satu dengan lain. Cuma sampai sebegitu jauh,
mereka pantang menanyakan asal-usul mereka masing-masing.
Setelah tenggak beberapa cangkir arak, orang tua itu kelihatan
sudah pusing. "Siangkong, aku sudah pusing, aku ingin tidur,"
berkata dia. "Pemandangan Thayouw di waktu malam indah sekali,
jikalau siangkong ingin menyaksikan, silahkanlah. Tempatku ini ada
pintunya yang senantiasa terbuka. Siangkong boleh minta ditemani
anakku atau dapat juga pergi seorang diri. Kalau pulang, tidak usah
siangkong mengetok pintu, asal ditolak, pintu akan terbuka."
"Baik sekali orang tua ini," pikir Tan Hong. "Ia seolah-olah
mengetahui isi hatiku. Memang Thayouw mestinya indah di bawah
cahaya Puteri Malam."
Ia lantas menghaturkan terima kasih. Orang tua itu pun lantas
mengundurkan diri. Si nona tertawa manis, ia menanya: "Adakah ini
yang pertama kali siangkong pesiar kesini?" "Ya," sahut Tan Hong. "
"Siangkong kata, siangkong datang dari Utara, aku lihat kau
seperti orang Kanglam," kata pula si nona, sambil tertawa. "Eh, ya,
aku seperti pernah lihat siangkong, entah di mana, aku seperti kenal
kau.....” '
"Kau omong main-main, nona!" Tan Hong pun tertawa.
"Sebenarnya ingin aku lebih siang mengenal kau, maka sayang,
baharu sekarang ada ketika bagiku datang kemari untuk
menyaksikan keindahan telaga dan gunung di sini." Nona itu
tertawa, ia tidak bilang suatu apa.
"Silakan siangkong ambil tempat di sini," kata dia. "Tempat kami
buruk, harap siangkong tidak mencelanya."
Tan Hong sebaliknya melihat sebuah kamar yang bersih yang
berada di tengah-tengah empang teratai, yang bunganya sedang
mekar, warnanya merah dadu, hingga indah dipandangnya,
semerbak harumnya.
Sambil tertawa, nona itu mengundurkan diri, akan tetapi masih
terdengar suaranya yang halus: "Benar-benar, kalau melihat orang
dari romannya, dia akan keliru mengenal Tjoe Ie. Menghadapi
pemandangan bukit dan telaga ini, orang bicara dari hal manusia,
sekalipun dibanding dengan kaisar, berapakah harga satu kati dari
kaisar itu?"
Tan Hong lantas berpikir: "Benar-benar, ada ayahnya, ada
puterinya! Nona ini sangat sederhana dan polos.....”
Lantas ia ingat In Loei, karena mana, bayangan si nona seperti
tertindih. Ia mengawasi bunga teratai, ia ingat akan
pengalamannya hari ini. Ia merasa aneh, ia merasa melayang,
hingga tak ada keinginannya untuk tidur.
Tanpa merasa, tak tahu ia berapa lama ia berdiam di dalam
kamar itu, Tan Hong tiba-tiba melihat sinar rembulan memasuki
jendela, ia pun dengar suara halus dari gelombang telaga itu. Ia
lantas kerebongi dirinya dengan baju luarnya, ia tolak daun pintu
belakang, untuk pergi keluar kamar, untuk mendaki bukit. Dari
sebelah atas, sangat menarik memandang telaga yang indah itu,
yang disinari cahaya Puteri Malam. Gunung Tongteng San Barat
nyata berdiri agung di tengah-tengah telaga, yang luasnya delapan
ratus lie. Tak dapat dilukiskan kepermaian alam itu.
Selagi kesengsem dengan pemandangan itu, tiba-tiba Tan Hong
dengar nyanyian si nona:
"Mega abu-abu menggulung, maka bersihlah langit keperak-
perakan,
Angin yang halus datang meniup gelombang sang rembulan,
Pasir diam, air berhenti, lenyap juga suara dan bayangan.
Dengan secawan aku menghaturkan, aku bernyanyi untuk tuan,
Bagaikan air jernih cukup untuk mencuci bersih kekotoran.
Dalam hidupnya untuk apa manusia menyatakan penyesalan.
Emas, perak dan mutiara, semua merupakan benda
penghalang,
Semua itu harus dihabiskan di antara gelombang! Aku nasihati
tuan-tuan Ada arak, minumlah hingga mabuk sendirian, Ada arak
tak diminnm, sayanglah sang rembulan."
Merdu nyanyian itu, terbawa angin menjelajah telaga
Thayouw.....
Thio Tan Hong termenung lalu ia berpikir.
"Nona ini menyanyikan syair dari jaman Tong. Bukankah dengan
itu ia tengah menasehati aku untuk jangan bercapai hati dan tenaga
mencari harta simpanan itu? Ah, mana dia tahu cita-citaku! Aku tak
berminat menguasai harta besar itu! Mana sudi aku segala benda
busuk itu?"
Lalu timbul keinginannya untuk membalas si nona. Maka ia
menyambutnya:
"Tuan, berhentilah bernyanyi, dan kau dengar nyanyianku
Puncak ini mendadak menjulang, menunjang "langit perak".
Di dalam dunia ini juga ada laki-laki sejati,
Berdiri dengan tegak dan gagah, dengan pedang dilintangkan!
Gelar kebangsawanan dan permata, semua itulah kotoran,
Cita-citanya ialah satu kali menggulung pemerintahan!"
Begitu lekas suara Tan Hong lenyap maka di sana, di antara
batu-batu berdiri bagaikan ujung rebung, si nona, wajahnya
tersungging senyuman. Dia memandang kepada si anak muda,
tangannya dilambai-lambaikan dengan perlahan.
Tanpa merasa, anak muda ini bertindak menghampiri.
"Apakah benar kau hendak kukuhi cita-citamu?" tanya si nona
tiba-tiba.
"Tak tahu aku, cita-cita apakah yang nona maksudkan," jawab
Tan Hong. "Akan tetapi, kalau satu laki-laki melakukan sesuatu,
mana dapat dia gampang-gampang merubahnya?"
Wajah si nona berubah.
"Kau datang kemari dengan pikiran untuk mencuri harta!" dia
kata sambil tertawa dingin. "Itulah kau jangan harap!"
Dengan sekonyong-konyong nona itu menghunus sebatang
pedang pendek, yang sinarnya hijau berkelebat, dengan apa ia
menikam dada si anak muda di depannya.
Tan Hong kaget, akan tetapi ia dapat berkelit.
"Nona, kau siapa?" ia tanya.
Nona itu tidak menyahuti, sebaliknya, dengan kegesitannya, ia
menikam pula berulang kali.
Tan Hong tidak melakukan perlawanan, ia hanya berkelit,
karenanya ia jadi terdesak sampai di tempat di mana terdapat
banyak batu.
"Nona, tunggu,....tunggu!" ia berkata, berulang-ulang.
"Dengarkan dahulu.....”
Ia belum menutup mulutnya, juga si nona belum menjawab dia,
atau mendadak dari antara sela-sela batu yang banyak itu, muncul
beberapa orang, di antara siapa terdapat si tuan rumah, yang
usianya sudah lanjut dan tangannya menyekal sebatang tempuling,
ketika dia lompat ke atas sebuah batu, dia langsung menikam ke
arah uluhati si pemuda.
Hebat sambaran tempuling itu, maka tahulah Tan Hong bahwa
orang tua itu liehay ilmu silatnya. Suara sambaran itu membuktikan
orang terlatih baik.
"Lootiang, kau kenapa?" Tan Hong masih menanya. "Kenapakah
sikap kau ini?"
"Hrn! Apakah benar kau sendiri masih belum mengerti?" jawab
tuan rumah itu. "Mulanya aku sangka kau seorang terhormat,
kiranya kau ada satu manusia jahat yang dipengaruhi harta!"
Sementara itu Tan Hong kenali beberapa orang di antaranya
adalah petani-petani yang tadi siang ia lihat.
"Memang telah kami lihat, kau bukannya orang baik-baik!"
berkata beberapa orang itu. "Lihat! Lihat pedang! Lihat tombak
cagak!"
Memang benar, senjata mereka itu banyak macamnya, ada pacul
juga.
Tan Hong gentar juga karena orang segera mengepung dia,
lebih-lebih tempuling si orang tua dan pedang pendek si nona. Ia
tidak diberi kesempatan untuk bicara. Tentu saja, tanpa perlawanan
yang berarti, ia bisa terkurung terus di tempat itu, yang banyak
batunya. Maka terpaksa ia hunus pedangnya dengan apa segera ia
tabas kutung senjatanya dua petani.
"Tahan!" ia berteriak, begitu lekas kedua orang itu mundur,
mereka kaget sebab senjata mereka kena dibabat kutung.
Si orang tua tertawa berkakakan.
"Dengan terkurungnya kau di dalam barisan ini, percuma saja
pedang mustikamu!" kata dia dengan wajar tetapi jumawa. Lantas
dia maju pula, menikam dengan tempulingnya.
Tan Hong masih pandang orang tua ini, tidak mau ia mendesak,
tidak ingin ia memapas senjata orang, ia hanya melawan yang
lainnya. Akan tetapi, kalau yang satu mundur yang lain maju, atau
mereka meluruk, atau mereka pun seperti menghilang di belakang
batu. Kali ini, mereka itu berlaku sangat licik, tidak sudi mereka
membuat senjata mereka bentrok.
Setelah berkelahi sekian lama, Tan Hong lantas dapat perhatikan
sikap orang. Berikut si orang tua dan si nona, ayah dan anak dara,
lawan berjumlah delapan orang, dan kedudukan mereka pun di
delapan penjuru, dan caranya mereka bertempur ialah tiap-tiap kali
mereka mundur, akan berkelit di belakang batu, akan kemudian
muncul lagi untuk melakukan serangan secara tiba-tiba.
"Coba aku arah satu orang," pikir anak muda itu.
"Ingin aku lihat, cara bagaimana kau sembunyikan dirimu.....”
Pikiran itu diwujudkan, Tan Hong desak satu petani, yang ia lihat
kepandaiannya biasa saja. Petani itu berlari-lari di batu, lantas dia
lenyap, sebagai gantinya, si nona dengan pedangnya dan satu
petani lain dengan tumbaknya, menyerang dengan tiba-tiba dari
kiri dan kanan dari mana mereka itu muncul secara mendadak.
Ketika ia desak si nona, nona itu pun mundur menghilang, lalu si
orang tua muncul sebagai gantinya, dan orang tua itu menyerang
dengan hebat.
"Bagaimana harus aku layani mereka ?" pikir Tan Hong sambil
terus melawan musuh-musuhnya.
Dari delapan lawan itu, kecuali si nona dan ayahnya, yang enam
berkepandaian cukup untuk masuk dalam dunia kangouw, cuma di
mata Tan Hong, mereka adalah orang-orang biasa saja, hanya yang
aneh adalah caranya mereka berkelahi, main mundur dan
menghilang, untuk dengan tiba-tiba muncul pula, menyerang
separuh membokong.
Pertempuran luar biasa ini berlangsung sekian lama, tetap Tan
Hong tidak bisa desak terus satu musuh, tidak mampu lagi ia
menabas kutung senjata orang. Di lain pihak, tetap ia terkurung,
tiap-tiap kali ia diserang. Lama kelamaan ia jadi kewalahan juga.
Syukur untuknya, ia mempunyai pedang yang tajam luar biasa itu,
yang ditakuti musuh, hingga musuh tak dapat mendesak ia habis-
habisan.
Lama juga Tan Hong berpikir, sampai tiba-tiba ia seperti
tersadar. Tidakkah kurungan itu mirip dengan kurungan barisan
istimewa Pat Tin Touw, atau "Delapan Barisan." dari Khong Beng?
Ingat ini, ia lantas perhatikan lebih sungguh-sungguh, ia perhatikan
letaknya berbagai batu. Ia lantas dapat lihat "delapan pintu" ialah
"hioe" = berhenti, "seng" = hidup, "siang" = luka, "touw" = tutup,
"soe"=mati, "keng" = pemandangan, dan "kheng" = kaget. Ia tidak
sangka bahwa ia akan menemui Pat Tin Touw di Say Tongteng San
di Thayouw ini, sedang panglima-panglima perang, dahulu dan
sekarang, hanya beberapa orang yang berhasil melihat itu.
Memperhatikan lagi sesaat, Tan Hong tahu pintu "seng" =hidup
dijaga oleh si nona yang bersenjatakan pedang pendek itu. Ia lantas
saja berpikir bagaimana caranya memukul pecah tin itu, untuk
membebaskan dirinya. Lalu, dengan tidak bersangsi sedikit juga, ia
lompat mencelat. Dari pintu soe ia lompat ke pintu kheng, dari sini
ia melejit ke pintu siang, terus memutar ke pintu touw, akan lebih
jauh melesat ke pintu seng1.
Dengan cara penyerangan itu, barisan Pat Tin Touw itu lantas
menjadi gempar, keadaan menjadi kacau, hingga si nona menjadi
kaget sekali. Karena Tan Hong mendesak ia, berulangkah ia main
berkelit saja.
Sebenarnya tidak sampai hati anak muda ini, akan tetapi ia ingin
nerobos keluar, ia ingin, maka terpaksa ia mendesak terus, ujung
pedangnya senantiasa bergerak-gerak di bebokong si nona. Dengan
cara ini ia hendak paksa si nona keluar dari pintu "hidup" (seng) itu,
untuk memimpin atau mengantarkan ia keluar.
Segera orang sampai di pintu keluar, si nona mendadak menjerit
dengan tajam, agaknya ia sangat ketakutan.
Tan Hong melengak, ia menyangka, karena kurang hati-hati, ia
telah melukai si nona. Karena ini, terhentilah serangannya. Tapi
justeru itu, bagaikan "bumi terbalik, langit berputar, terdengarlah
satu suara nyaring, di muka bumi itu terbukalah suatu lobang besar,
dan sebelum tahu apa-apa, tubuhnya sudah terjeblos ke dalam
lobang itu!
Nyatalah, tempat di mana barusan Tan Hong berhenti, adalah
lobang jebakan. Atas tanah itu ada urukan pasir. Dalam keadaan
biasa, karena liehaynya ilmu enteng tubuhnya, sebenarnya dapat
Tan Hong lompat untuk menyelamatkan diri, akan tetapi jeritan si
nona membuatnya ia tercengang, hingga ia merandak, dari itu, tak
keburulah ia mencelat lagi.
Walaupun ia telah terjeblos, Tan Hong tidak lantas jatuh. Ia
masih dapat kesempatan untuk lompat jumpalitan, maka ketika
kakinya menginjak dasar lobang, ia jalan dengan perlahan. Ia hanya
berada dalam gelap gulita, hingga sekalipun ke lima jari tangan di
depan matanya, tidak dapat ia lihat.
Dalam sekejap ia kaget, lantas ia dapat kuasai pula dirinya. Yang
paling dulu ia lakukan ialah merogo ke dalam sakunya, untuk
mengeluarkan serenceng mutiara yabeng tjoe-nya, yang ia
cantelkan diujung pedangnya, maka, cahaya mutiara itu, yang
bentrok dengan cahaya pedang, segera menerbitkan sinar terang,
hingga sekarang ia dapat melihat dengan nyata.
Lobang itu dalam sekali, kelihatannya sukar bagi orang merayap
naik ke atas untuk keluar dari situ. Dasarnya juga tidak rata, dan
tanahnya demak, bau demak itu tidak sedap. Untung bagi Tan
Hong, lobang itu tidak buntu, ada lobang lainnya yang merupakan
terowongan atau lorong. Karena mempunyai api istimewa itu, ia lalu
bertindak mengikuti terowongan itu yang jalannya tidak rata, demak
semua. Ketika ia tiba pada akhir terowongan, ia berhadapan dengan
tembok batu. Jadi sampai di situ habislah terowongan itu.
Tanpa merasa, anak muda ini menghela napas.
"Tidak kusangka bahwa di sinilah tempat ajalku," katanya dengan
perlahan. "Secara begini, aku akan menemui kematianku secara
kecewa.....”
Tapi ia bukan seorang yang mudah putus asa. Selagi hilang
harapan itu, timbul kemurkaannya. Sekonyong-konyong ia ayunkan
kepalannya ke arah tembok.
"Duk!" begitulah terdengar suara keras. Tiba-tiba, tembok itu
tampak bergerak sedikit.
"Hai!" berseru anak muda ini, yang timbul pula harapannya. Ia
lantas saja bekerja. Tidak lagi ia gunakan kepalannya, hanya ujung
pedangnya untuk mengorek-ngorek dan menggurat-gurat.
Harapannya makin besar ketika ia dapat kenyataan tembok itu
gempur sedikit-sedikit, gempurannya meluruk jatuh.
Nyatalah batu itu ditambal, dengan gempurnya tambalan itu,
batunya pun nampak bergerak sedikit. Melihat itu, Tan Hong
menjadi dapat harapan. Segera ia pasang kuda-kudanya,
menghadapi batu itu, setelah mengerahkan tenaganya, ia menolak
dengan keras kepada batu itu. Dan..... terdengarlah satu suara
keras dan nyaring batu itu rubuh ke lain arah, yang meninggalkan
sebuah liang yang hanya muat tubuh satu orang!
Tanpa bersangsi, Tan Hong memasuki liang itu, hingga sejenak
saja ia telah berada di lain sebelah. Yang hebat adalah kedua
matanya lantas menjadi silau. Ia meramkan matanya, ia buka lagi
dengan perlahan, untuk meneliti cahaya yang membuat matanya itu
silau. Apabila ia sudah melihat tegas, ia menjadi girang bukan
kepalang.
Di sana terdapat sebuah terowongan, cahaya itu datangnya dari
terowongan itu. Ia lantas bertindak ke dalam terowongan itu, yang
lebih pendek, dari yang semula tadi, maka itu, sebentar kemudian,
sampailah ia di tempat yang buntu. Di situ terdapat sebuah pintu
batu, bukan batu biasa, tetapi seluruhnya pekgiok, batu kumala
warna putih. Batunya sendiri tidak aneh, yang aneh adalah
besarnya. Maka dapatlah dimengerti jikalau kumala putih itu
berharga besar bukan main.
Sekarang Tan Hong simpan yabeng tjoe-nya, ia rabah pintu
kumala itu, yang licin. Ia merabah-rabah ke sekitarnya sampai jari
tangannya menyentuh suatu liang kecil. Ketika ia awasi, ia dapat
kenyataan liang itu adalah liang kunci. Kembali ia dapat harapan.
Tan Hong keluarkan anak kuncinya, ia masukkan itu ke dalam
liang kunci itu, apabila ia memutarnya, pintu kumala itu terbuka.
Dengan girang ia masuk ke pintu itu, hingga ia berada di lain
ruangan. Sambil melewati pintu, tangannya mendorong ke belakang
daun pintu, atas mana, pintu itu tertutup pula.
Sambil menyimpan anak kuncinya, Tan Hong pentang kedua
matanya. Di hadapannya sekarang nampak sinar terang, yang
bercahaya berkilauan, itulah sinar dari emas dan perak serta barang
permata lainnya. Sekejap itu, ia dapatkan suatu perasaan. Bukankah
ia tengah menghadapi suatu harta besar?
Tan Hong gunakan tangannya, akan mengangkat berbagai
permata itu, sampai di bawahnya ia dapatkan sebuah kotak kumala.
Kotak itu tidak dikunci, hingga mudah dapat dibuka. Isinya adalah
sehelai peta bumi yang lebar. Ia lantas beber peta itu, ia
memandangnya dengan menggunakan sinar pelbagai barang
permata itu.
Peta itu melukiskan dengan jelas setiap tempat, ada gunungnya,
ada kalinya. Untuk tempat-tempat yang harus dibelai, atau diserang,
ada petunjuk-petunjuk yang berupa catatan. Melihat jamannya,
sangat lengkap peta itu.
Tan Hong tahu, itulah peta yang dicari-cari. Itulah peta Pheng
Hoosiang, yang dibuatnya tentu dengan susah payah dan memakan
waktu, untuk Thio Soe Seng memperebutkan negara dengan Tjoe
Goan Tjiang.
Mengawasi peta itu, dengan sendirinya Tan Hong mengucurkan
air mata.
Selagi mengawasi kotak kumala, di atas itu Tan Hong lihat ukiran
huruf-huruf yang berbunyi:
"Bila peta ini muncul, maka bangkitlah pula Kerajaan Tjioe
yang besar."
Tan Hong duga bahwa leluhurnya, yaitu Thio Soe Seng, percaya
turunannya akan dapat menemui harta dan peta itu, maka
ditinggalkannya pesan itu supaya turunan itu nanti mengusahakan
untuk mewujudkan cita-citanya merubuhkan kerajaan Beng, untuk
membangun pula kerajaan Tjioe.
Sambil menghadapi kotak kumala itu, Tan Hong paykoei sampai
delapan kali, sambil memberikan hormatnya itu, ia angkat
kepalanya, mendongak, seraya mengucap: "Thio Tan Hong, turunan
yang tidak berbakti, mohon maaf leluhurnya, bahwa mungkin sekali
Tan Hong tak dapat mewujudkan pesan memusnakan kerajaan
Beng guna menghidupkan pula kerajaan Tjioe.....”
Dengan mencari harta dan peta itu, Thio Tan Hong sudah
mempunyai suatu maksud tertentu, yaitu peta dan harta itu hendak
ia serahkan kepada Kokloo Ie Kiam, supaya Ie Kokloo
menggunakannya untuk menangkis penyerbu, petanya untuk
pembelaan dan penyerangan, dan uangnya guna membeayai
angkatan perang dan membeli alat senjata dan rangsum.
Setelah meneliti peta itu, Tan Hong menggulungnya pula.
"Sekarang aku mesti pergi ke mulut gua, untuk perdengarkan
suara nyaring, guna membeber cita-citaku, guna memperlihatkan
kecintaanku terhadap negara, mungkin Tongteng Tjhoengtjoe dapat
mendengarnya dan akan insaf pada cita-citaku itu. Semoga dia nanti
menurunkan dadung untuk aku naik ke atas.....”
Begitu ia berpikir, begitu Tan Hong bertindak ke pintu kumala.
Tadi ia telah menutup pula pintu itu, sekarang ia mesti
membukanya kembali. Ia terkejut, ketika ia dapatkan pintu terkunci,
hingga tak dapat ia membukanya. Ia mencoba dengan anak
kuncinya, akan tetapi terbukti, itu bukanlah anak kunci yang tepat.
Nyata pintu itu mempunyai dua macam kunci, satu untuk di luar,
dan yang lain untuk yang di dalam.
"Celaka!.....” ia mengeluh.
Kali ini benar-benar hebat. Pintu itu tidak dapat digempur seperti
pintu batu tadi. Di situ cuma ada emas dan perak serta permata,
tidak ada barang makanan, itu artinya bahaya lapar mengancam
padanya. Di situ pun tidak ada air, hingga tenggorokannya akan
lekas menjadi kering. Leher kering sama bahayanya dengan perut
kosong.
"Kelihatannya pasti aku akan mati kelaparan dan berdahaga di
sini.....” pikirnya pula kemudian.
Menghadapi ancaman maut adalah sangat hebat, maka itu,
dalam putus asanya. Tan Hong berteriak-teriak di muka pintu, ia
harap suaranya itu terdengar sampai di luar. Tapi ia pentang suara
tanpa ada hasilnya, suara itu cuma terdengar oleh kupingnya
sendiri, hingga ia merasa tuli.....
"Orang kata, seseorang dapat bertahan selama tujuh hari jikalau
ia tidak dahar, tapi aku terlatih ilmu silat, mungkin aku dapat
bertahan selama sepuluh hari," pikir ia kemudian, menghibur diri.
"Selama sepuluh hari, aku mesti berpikir untuk mendayakan
sesuatu.....”
Pikiran Tan Hong lantas saja melayang, ke-permusuhan antara
kedua keluarga Thio dan Tjoe, yang berjalan turun temurun, atau di
lain saat ia ingat In Loei, wajah siapa segera terbayang dihadapan
matanya. Ia lihat tegas nona itu cantik dan manis tapi berbareng
dengan itu pun bengis, bagaikan tengah murka.....
"Oh, adik kecil, sukar bagi kita bertemu pula.....”
Tan Hong mengeluh.
Tan Hong tahu, sudah beberapa kali In Loei berniat
membinasakan dia, tetapi ia tidak bersakit hati karenanya. Ia malah
sangat tertarik terhadap nona itu, yang, kecuali sedang murka, juga
manis dan menarik hati, karena gerak-geriknya yang halus.
"Memang dia berniat membunuh aku, tapi ada kalanya dia sangat
lemah lembut," pikirnya pula. "Ya, halus budi pekertinya. Yang
kurang padanya adalah kekerasan hati berlainan dengan anak
daranya Tongteng thjungtjoe, aku percaya dia berani berbuat dan
berani bertanggung jawab, hingga alangkah baiknya apabila sifat
mereka berdua dapat digabung menjadi satu. Dengan begitu jadilah
dia satu manusia yang sempurna.....”
Terkurung dalam guha itu, Tan Hong menjadi tidak keruan rasa.
Untuk tungkuli diri, ia periksa semua harta leluhurnya itu, ia angkat
sana dan angkat sini, ia balik-balikkan. Tiba-tiba tertindih oleh
setumpuk mutiara, ia dapatkan satu kotak pualam lainnya. Ia
angkat itu. Di atas kotak itu ia baca ukiran berikut: "Surat-suratnya
guru marhum. Soe Seng simpanlah dengan perhatian."
Dengan lekas Tan Hong buka kotak itu, untuk melihat isinya, ia
dapatkan peta bumi yang masih terpisah satu dengan lain dan
sejumlah catatan. Ia mengerti, terang sudah, semua itu adalah
berbagai catatan dari Pheng Hoosiang ketika dia mulai dengan
pembuatan peta buminya itu, yang dicatat di setiap tempat ke mana
dia telah pergi, ketika semua itu telah dihimpunkan menjadi satu,
terjadilah peta yang orang berebut mencarinya.
Tentu saja sekarang ini, peta kasar itu sudah tidak ada perlunya,
kecuali itu pelbagai catatan lain, tentang penduduk sesuatu tempat
dan kebiasaannya masing-masing, perihal keletakan pelbagai
gunung dan sungai yang mengenai pergerakan tentera. Semua itu
pun menyatakan ketelitian Pheng Hoosiang, kesungguhan hatinya,
yang sudah bercapai hati untuk mengumpul dan membuat itu.
"Semua ini harus aku simpan dan kumpulkan dengan rapih, inilah
bagus bila dibuat menjadi satu jilid buku istimewa," demikian Tan
Hong pikir. Tapi, bukan bagian petanya, hanya tulisannya. Kali ini ia
lihat catatan tersusun, yang merupakan sejilid buku tipis. Buku ini
berkalimat "Hiankong Yauwkoat" atau "Rahasia ilmu silat." Ia baca
lembaran pertama, tentang ucapan Khong Tjoe perihal "iie"= dasar,
"khie"= hawa, dan "siang"=roman. Ia heran. Dari mana Khong Tjoe
mengerti tentang hiankong atau
Iweekang, ilmu silat bagian dalam? Maka ia membaca terus. Ia
dapatkan penjelasannya: "Roman itu bersifat iimu siiat; hawa itu
pengaruhnya iimu siiat; dan dasar adalah buahnya iimu siiat. Kaiau
ketiganya diperoleh dengan lengkap, gerakan tangan dan kaki tak
akan menyeleweng."
Lalu, lebih jauh, ada berbagai penjelasan lainnya lagi. Maka,
setelah membaca itu, Tan Hong menghela napas saking kagum.
Seorang diri ia kata: "Setelah membaca ini, baharu aku kenal akan
diriku. Dibanding dengan guru besar ini, aku tak lain daripada sinar
kunang-kunang."
Karena ini, ia menjadi sangat tertarik, kemudian ia lanjutkan
terus.
Harus diketahui, Pheng Hoosiang itu bukan sembarang orang. Ia
pun telah menjadi guru dari dua kaisar — Tjoe Goan Tjiang dan
Thio Soe Seng — maka dapatlah dimengerti yang ia mempunyai
kepandaian istimewa, yang melebihi kebanyakan orang. Kebetulan
sekali, Tan Hong adalah orang yang mendapatkan kitab warisan itu,
dengan kecerdasannya ia dapat menginsyafi isi kitab itu.
Kakek guru dari Tan Hong, Hian Kee Itsoe, telah mendidik empat
murid, kepada tiap muridnya ia telah mewariskan masing-masing
serupa kepandaian. Tan Hong ketahui, toasoepee Tang Gak
mendapatkan Taylek Kimkong Tjioe, dan djiesoepee Tiauw Im
Hweeshio mendapatkan Gwakang, ilmu silat bahagian luar, atau
Ngekang — ilmu keras. Sekarang, setelah ia membaca kitab ini,
tanpa petunjuk lisan dari guru lagi, mengertilah ia isi dari kedua ilmu
silat itu, hingga ia jadi girang tak kepalang.
"Dengan memiliki kitab ini, apabila aku meyakinkannya dengan
sungguh-sungguh, bukankah aku akan mengerti maksud setiap ilmu
silat dan mudah mempelajarinya sesuatu ilmu?" demikian ia kata
seorang diri. Tapi begitu lekas ia sadar bahwa ia tengah terkurung,
dengan tiba-tiba saja ia menjadi lesu pula.....”
Dengan cara bagaimana ia dapat keluar dari gua ini?
-ooo0dw0ooo-

Bab XVIII
Biar bagaimana juga, Tan Hong adalah seorang yang keras
hatinya, yang cerdas, maka setelah memikir sebentar, dapat ia
legakan hatinya. Ia anggap tak usah ia pikirkan soal bisa keluar atau
tidak, ia hanya harus meyakinkan dahulu kitab itu. Demikian ia
bertekun dengan kitab itu.
Mulanya Tan Hong mulai merasa lapar, akan tetapi setelah
meyakinkan kitab, ia merasa lega, hingga selama setengah hari, ia
dapat merebahkan diri dan tidur pulas. Ketika ia mendusin, tidak
tahu ia sudah jam beberapa waktu itu. berbagai batu permata
bersinar terang sekali.
"Coba aku melatih diri," pikir Tan Hong kemudian. Ia ingat Taylek
Kimkong Tjioe dari toasoepee-nya, maka lantas saja ia hajar pintu
kumala dengan kepalannya. Pukulan itu menerbitkan suara yang
keras, pintu tidak terbuka, tapi suara itu sudah menyatakan bahwa
ia telah peroleh hasil.
Kelaparan satu hari, Tan Hong rasakan ia masih dapat
melawannya, yang hebat adalah keringnya kerokongannya
disebabkan dahaganya. Umumnya siapa kelaparan terus menerus,
dalam tempo tujuh hari baharulah ia akan terbinasa sendirinya, tapi
apabila orang tidak minum, kekuatan bertahannya cuma tiga hari
atau ia akan meninggal dunia. Sekarang ia mencoba menguatkan
hati, untuk menahan serangan lapar dan haus itu. Sementara itu, ia
telah selesai membaca kitab "Hiankong Yauwkoat" itu, ia sudah
sanggup menghafal di luar kepala. Hasilnya luar biasa, yaitu ia
dapat mengurangkan rasa haus dan laparnya itu.
Selagi Tan Hong menghafal terus, tiba-tiba kupingnya
mendengar satu suara perlahan. Segera ia memasang kuping. Ia
dengar suara seperti orang sedang menggali tanah, sedang
membongkar. Ia perhatikan arah dari mana suara itu datang.
"Siapa?" ia berseru sambil lompat setelah ia ketahui tempat
asalnya suara itu, ialah arah pintu. Itu pun suara seperti orang
tengah membongkar batu keras.
Tidak ada jawaban dari luar, kecuali suara membongkar batu itu,
yang masih tetap terdengar.
Dalam penasarannya, Tan Hong kerahkan tenaga di tangannya,
lalu ia hajar pula pintu batu kumala itu. Pukulannya itu
mendatangkan suara keras sekali, akan tetapi pintu tidak rubuh,
bergeming pun tidak. Sebaliknya, tangan si penyerang dirasakan
sangat sakit, seperti tangan itu hendak copot.
"Tidak sembarang alat besi dapat menggempur rubuh pintu ini."
ia pikir kemudian.
"Siapa itu di luar?" kembali ia tanya. "Kalau kamu hendak
menolong aku, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?"
Tetap tidak ada suara yang menyahuti. Cuma terus terdengar
suara menggali tanah itu.
"Inilah hebat," pikir Tan Hong. Dari suara galian itu, ia duga
orang yang bekerja cuma bersendirian. Apakah artinya tenaga satu
orang? Bukankah ia tetap terancam bahaya kelaparan dan kehausan
itu?
Tengah ia berpikir, Tan Hong lihat tanah gempur di bawah pintu,
lantas ia gunakan pedangnya, akan mengorek ke arah itu, habis
mana terlihat satu sinar kecil masuk dari bawah pintu. Teranglah,
orang di sebelah luar sudah berhasil membongkar dan membuat
lobang itu, yang besarnya sejari tangan. Ia menjadi lega, tapi ia pun
heran.
"Apakah artinya ini?" ia menduga-duga. "Mungkinkah orang
membuat liang supaya dia dapat menceploskan barang makanan
untukku? Tapi liang ini masih terlalu kecil.....”
Ia memasang kuping. Ia dengar suara menggali di sebelah luar
telah berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara lain, seperti orang
mendorong dengan suatu benda keras. Ia lantas saja mengawasi.
Tiba-tiba terlihat suatu sinar berkilau, warnanya kuning emas.
Segera tertampak diceploskan satu kunci emas. Ketika Tan Hong
sambuti itu, ia dapat kenyataan anak kunci itu mirip dengan
kepunyaannya. Sebagai seorang yang cerdas, ia lantas dapat
menerka maksud orang. Maka tanpa membuang waktu sedetik juga,
ia coba masukkan anak kunci itu keliang kunci pintu batu kumala
itu. Begitu lekas ia memutar, daun pintu menjeblak dan satu nona
cantik, dengan wajah tersungging senyuman manis, tengah berdiri
di muka pintu, mengawasi kepadanya.
Ketika ia lihat tegas roman orang, Tan Hong merasa ia bagaikan
tengah bermimpi. Nona itu, ia kenali, adalah puterinya Tongteng
Tjhoengtjoe, yang mukanya kemerah-merahan, yang senyumannya
tidak segera lenyap.
Nona itu berdiri dengan tangan kirinya menyekal pedang, tangan
kanan memegang linggis. Pada ujung pedangnya masih terdapat
sisa lumpur. Di mulut gua, sebelah atas, tergantung sebuah
tengloleng, hingga karenanya, barang-barang permata itu lantas
bersinar di antara cahaya api.
"Terima kasih untuk pertolongan kau ini, nona!" kata Tan Hong
sambil menjura kepada nona itu. Ia tahu, tidak dapat ia diam dan
mengawasi saja. Nona itu tertawa dengan tiba-tiba, lekas-lekas ia
tutup mulutnya.
"Tuan muda, keluargaku telah menantikan kau selama tiga
turunan," berkata ia, suaranya halus dan merdu. "Tadi malam belum
tahu kami bahwa kau adalah tuan muda kami, hampir saja kami
celakai jiwamu, maka itu, bukannya kau menyalahkan kami,
sebaliknya kau menghaturkan terima kasih terhadap kami!"
Mendengar demikian, Tan Hong insyaf dengan tiba-tiba. Ia
tertawa berkakakan.
"Janganlah kau memanggil tuan muda kepadaku," ia mencegah.
"Ada hubungan apakah antara aku dengan leluhurku itu yang
kebetulan saja mengangkat dirinya menjadi raja? Aku adalah orang
she Thio dan namaku Tan Hong, kau panggil aku Tan Hong saja!"
"Sejak dua bulan yang lalu aku telah ketahui she dan namamu
itu," berkata pula si nona. "Ketika itu telah aku memikirnya, nama
itu bagus sekali. Di pekarangan rumah kita ditanam banyak pohon
hong, adakah kau melihatnya pohon itu?"
Masih si nona suka bersenyum, wajahnya berseri-seri. Ia tak
pemaluan, ia bicara dengan si anak muda bagaikan kenalan lama,
yang sudah biasa bergurau.
Tan Hong lantas saja berpikir. Ia lantas ingat In Loei. Nona ini
nyata sangat bebas. Ia awasi nona ini, ia seperti melirik.
"Jangan kau kesusu untuk memberitahukan she dan namamu
padaku," ia kata. "Kau biarkan aku menerkanya. Bukankah she-mu
she rangkap Tamtay dan namamu memakai kata Beng di
antaranya?"
"Kau menerka tepat," sahut si nona. "Bukankah kau ketahui she
dan namaku ini karena kau diberitahu oleh Tamtay Biat Beng?"
"Tantai Tjiangkoen belum pernah berbicara denganku bahwa dia
mempunyai adik perempuan yang cerdik sebagai kau ini," jawab
Tan Hong.
Si nona tertawa.
"Aku kuatir, sebelumnya ini ia memang belum mengetahui bahwa
ia mempunyai adik perempuan yang bodoh sebagai aku ini!" ia kata.
"Baharu bulan yang lalu ia datang kemari secara sangat kesusu,
untuk belajar kenal dengan keluarga kami, untuk perkenalkan diri
dan mengakui pamili, habis itu, cuma menginap satu malam, dia
sudah kabur pula!"
Tan Hong segera menghitung hari. Hari ketika Tantai Mie Ming
datang ke Thayouw adalah harian si pangeran asing hendak pulang
ke negerinya. Nyatalah setelah Mie Ming dan ia pergi menghadap
Ie Kiam, Mie Ming terus secara diam-diam meninggalkan kota
raja tanpa diketahui orang, sedang di kota raja terdapat banyak
pahlawan kimie wie.
"Kalau begitu," berkata si nona, "seberlalunya Biat Beng dari sini,
dia tidak bertemu pula dengan kau. Ketika itu hari dia datang, dia
telah berbicara mengenai kau yang secara diam-diam nelusup
masuk ke Tionggoan, katanya mungkin kau akan pergi ke Souwtjioe
untuk mencari harta benda warisan leluhurnya, karenanya, dia
suruh kami perhatikan kau. Sayang dia datang dan pergi secara
kesusu begitu rupa, sampai dia tidak sempat melukiskan tampang
dan potongan kau. Kita mulanya percaya kau serupa seperti dia,
setelah tinggal bertahun-tahun di Mongolia, romanmu seperti orang
Mongolia saja. Siapa sangka, kau cakap ganteng melebihi pemuda-
pemuda Souwtjioe dan Hangtjioe....."
Habis mengucap, si nona bersenyum pula, kedua bibirnya dibuat
main. Rupanya dengan mendadak ia telah insyaf bahwa ia telah
berbicara secara terlepasan, akan tetapi ia tak malu seperti nona-
nona lainnya.
Tan Hong pun tertawa di dalam hatinya.
Tantai Mie Ming, atau Tamtay Biat Beng, rupanya seperti orang
Ouw, orang Mongolia, itulah disebabkan engkong dan ayahnya telah
menikah dengan orang Mongolia, jadi roman itu bukan disebabkan
karena tinggal terlalu lama di Mongolia dan karenanya, wajahnya
bisa berubah. Nona ini nampak cerdas akan tetapi kali ini, ia
menduga keliru.....”
"Ketika pertama kali kau datang pesiar, kami sudah curiga,"
berkata pula si nona. "Selama belakangan ini kami tengah
menghadapi suatu urusan, yaitu kabarnya ada orang jahat yang
telah mendapatkan sehelai salinan peta kota Souwtjioe, karena peta
itu, mereka menduga tempat menyimpan harta adalah taman
Koaywa Lim, maka selama setengah bulan yang lalu, tak putusnya
datang orang ke Koaywa Lim untuk melakukan pemeriksaan.
Rahasia kami di sini, tidak diketahui orang luar, akan tetapi tak
dapat kami tidak bersiaga. Begitulah kami menyangka jelek
padamu."
Hong tertawa .
"Coba kau pandang aku, adakah aku mirip penjahat?" dia tanya.
"Itulah sebabnya," sahut si nona. "Kalau tidak, mungkin kau telah
kehilangan jiwamu! Ayah telah melihat romanmu dan dengar
suaramu yang halus, ia tak dapat menerka-nerka asal-usulmu. Ayah
telah memikir untuk segera mencari tahu, apakah kau benar tuan
muda kami atau bukan, ia masih ragu-ragu, ia kuatir nanti gagal
dan karenanya, tanpa diinginkan, rahasia di sini terbuka sendirinya,
maka itu, ia bersabar. Begitu ayah ambil putusan, biar kau
terkurung, jangan kau sembarang kabur. Dikurung di dalam Pat Tin
Touw ini, kau tidak diganggu, sebab ayah tak sudi mencelakai orang
baik-baik. Kau tahu, meskipun kau kenal Pat Tin Touw dan dapat
meloloskan diri, kau tidak dapat kabur terus."
Tan Hong mengawasi.
"Habis, kenapa akhirnya kamu kenali juga aku?" dia tanya.
Si nona juga tertawa.
"Di kolong langit ini, kecuali kau seorang, siapa lagi yang
sanggup membuka pintu kumala ini dari luar?" dia menjawab.
Juga Tan Hong tertawa pula. Ia kata: "Di kolong langit ini,
kecuali kau seorang, siapa lagi yang sanggup menolongi aku keluar
dari sini?"
Nampaknya nona itu sangat puas. Kembali ia tertawa,
"Memang seharusnya demikian, bukan?" kata dia. "Kedua anak
kunci kita ada luar biasa, tapi pun kebetulan sekali. Tanpa kedua
anak kunci ini, pintu tak dapat dibuka dan ditutup kembali.....”
Habis berkata, muka si nona menjadi merah sendirinya. Ia
nampak malu. Inilah tidak heran. Dengan tiba-tiba ia ingat akan
kata-kata ibunya. Waktu ia masih kecil, pernah ibunya berkata
padanya: "Jodoh itu ada seumpama anak kunci. Suatu anak kunci
mesti ada suatu biang kuncinya, suatu kunci tak dapat dibuka
dengan anak kunci lainnya." Dan sekarang, kedua anak kunci itu
telah menemui biangnya..... Maka ia menjadi jengah, sendirinya.
Tan Hong heran akan kelikatan orang. Ia tidak melihat alasannya
untuk itu. Tentu saja, tak tahu ia akan kata-kata ibunya itu. Lalu ia
mendehem.
"Dari she dan namamu, telah aku ketahui yang tiga," ia kata
sambil bersenyum. "Masih ada satu lagi yang aku belum tahu.....”
"Kau lihat, benar-benar aku tolol!" kata nona itu. "Sampai pun
she dan namaku belum aku beritahukan padamu. Aku ialah Tamtay
Keng Beng, ayahku Tamtay Tionggoan, dan kakekku Tamtay Kwie
Tjin. Kakekku adalah panglimanya kakekmu, Kaisar Thio itu....."
Tan Hong tertawa.
"Nama kakekmu itu aku kenal," ia kata. "Secara begini benar-
benar aku harus berterima kasih kepada keluargamu. Oleh karena
kakekmu itu turut kakekku, dia mendendam penasaran, dia
menerima penghinaan. Tidakkah dia telah ikut pindah ke negara
asing dan karenanya menjadi orang asing juga? Di pihak lain,
keluargamu ini, selama beberapa turunan, telah menjagai gunung
ini.....”
Tamtay Keng Beng tertawa.
"Apakah jeleknya untuk tinggal di sini?" dia tanya
"Setiap pagi dan sore kami memandangi telaga dan gunung.
Apakah itu tidak cocok dengan kau?" Ditanya begitu, Tan Hong
bersenyum.
Si nona pun bersenyum, lalu ia berseru: "Ah! Kau lihat, kembali
aku lupa suatu hal!"
"Apakah yang kau lupakan?" tanya Tan Hong.
"Aku lupa bahwa kau telah terkurung di sini satu hari satu
malam!" sahut si nona. "Kau lihat, di sini aku telah membawa
makanan untuk kau."
Dia bertindak keluar, dia ambil sebuah naya yang tadi dia tunda
di luar pintu. Dia tenteng itu ke dalam. Isi naya itu ialah buah
peksee piepee dari
Tongteng San dari Thayouw serta rangsum kering berikut daging.
"Mari cobai!" ia kata kepada si anak muda.
Lebih dahulu Tan Hong dahar piepee, kemudian ia makan
daging. Ia rasakan makanan itu lezad sekali, yang ia belum pernah
merasakannya. Tentu saja, untuk makanan itu, ia haturkan terima
kasihnya.
Selagi orang dahar, Tamtay Keng Beng memandang kesekitar
ruangan, ia juga membuat main berbagai mutiara.
"Tidaklah heran kalau sejak dahulu kala sampai sekarang ini,
banyak orang yang ingin sekali menjadi raja," kata dia kemudian
sambil tertawa. "Lihat leluhurmu ini. Dia menjadi raja baharu
beberapa tahun, dia sudah lantas dapat mengumpulkan harta begini
besar.....”
Bagaikan batu, dia lempar-lemparkan beberapa butir mutiara
yang besar. Dia bagaikan anak kecil yang gembira dengan barang
mainan. Dia pun suka tertawa.
"Semua barang ini indah dan bagus untuk dibuat main," kata ia
kemudian, "hanya sayang tidak dapat dipakai menghilangkan
dahaga dan lapar. Aku lihat, mutiara ini tak seperti piepee-ku!.....”
Tan Hong tertawa.
"Maka itu, aku lebih suka piepee-mu, tak ingin aku mutiara ini!"
ia kata.
"Enak didengarnya kata-katamu ini," berkata si nona. "Jikalau
kau tidak menghendaki mutiara ini, perlu apa kau melakoni
perjalanan yang penuh bahaya, jauh dari Mongolia kau datang ke
Thayouw ini?"
"Itulah lain," terangkan Tan Hong. "Mutiara ini hendak aku
serahkan kepada lain orang."
Tamtay Keng Beng heran. "Siapakah orang itu?" dia tanya.
"Dialah kaisar dari ahala Beng."
Keng Beng terkejut.
"Apa?" tanyanya. "Kau hendak serahkan kepada kaisar Beng?
Bukankah kaisar itu musuh besar dari keluargamu?"
"Benar, kaisar Beng itu musuh keluargaku," Tan Hong akui.
"Habis, kenapa kau hendak serahkan harta ini kepada musuh
itu?" si nona tegaskan.
"Memang niatku untuk menyerahkan harta ini padanya."
"Ah, tidak, tidak!" seru si nona. "Harta ini benar kepunyaan
keluargamu akan tetapi keluarga kami, telah beberapa turunan
mewakili keluargamu menjagainya. Apabila harta ini kau hendak
serahkan pada orang lain, untuk itu kau perlu menanyakan dahulu
sikap kami!"
"Bila aku menyebutkannya, kau tentu setuju," kata Tan Hong,
tenang. Dan ia tuturkan cita-citanya untuk melindungi negara,
sekalipun kaisar berasal dari keluarga lain, malah musuhnya.
Tamtay Keng Beng tertawa.
"Kalau begitu bukannya kau langsung memberikan kepada kaisar
Beng!" dia kata. "Kau hendaknya menyerahkan kepada orang yang
akan menggempur bangsa asing! Ah, kau bikin aku kaget.....”
Tan Hong dahar terus piepee hingga habis hampir separuhnya,
selama itu Tamtay Keng Beng terus mengajak dia pasang omong,
hingga nona ini seperti melupakan bahwa di luar guha, di atas liang,
ada orang, yang mengharap-harap mereka berdua. Dengan begini,
Tan Hong mengetahui banyak tentang keluarga Tamtay itu.
Ternyata dahulu Thio Soe Seng, pada malaman dari
keruntuhannya, sudah meninggalkan pesan dan pertanggungkan
puteranya kepada Tamtay Kwie Tjin, panglima yang setia itu, habis
itu, Kwie Tjin menyingkir jauh ke Mongolia. Tentang Koaywa Lim,
yaitu petanya, Thio Soe Seng menitipkan kepada satu pahlawannya
yang ia sangat percaya, seorang she Tjio, ialah leluhur
Hongthianloei Tjio Eng. Pun secara rahasia, Thio Soe Seng sudah
meminta adiknya Tamtay Kwie Tjin, ialah kakeknya Tamtay Keng
Beng, untuk tinggal dan menjagai bukit Tongteng San Barat itu, di
dalam gunung mana harta besarnya disimpan, untuk pintu
rahasianya ia tinggalkan cuma sepasang anak kunci yang dapat
membuka pintu itu. Semua itu telah dilakukan secara sangat
rahasia.
Tantai Mie Ming dengan Tamtay Keng Beng adalah kakak beradik
sepupu, saudara tjintong, tapi mereka terpisah jauh satu sama lain,
satu di Mongolia, gurun pasir Utara, yang lain di Kanglam, Selatan,
sudah begitu, selama beberapa turunan, mereka tidak pernah surat
menyurat satu pada lain, baharu bulan yang lalu, Tantai Mie Ming
datang secara tiba-tiba, dengan menggunakan ketika itu untuk
mengantarkan pangeran asing. Baharu setelah itu, keluarga Tamtay
ini ketahui bahwa junjungannya telah meninggalkan keturunan di
Mongolia.
Senang hati Tan Hong mengawasi Nona Tamtay ini, yang
wajahnya bercahaya di antara sinar batu-batu permata, hingga ia
teringat sesuatu.
"Kalau nanti adik kecilku melihat kau, pasti ia senang sekali!" ia
kata.
"Apa? Adik kecilmu?" tanya si nona. "Kenapa ia senang padaku?"
"Adik kecilku itu sejak kecil telah kehilangan ayah bundanya,"
sahut Tan Hong sambil tertawa. "Dia yatim piatu, bersendirian saja,
tidak ada orang yang bermain dengan dia. Kau dengan dia seumur.
Bukankah kamu berdua dapat menjadi sahabat-sahabat kekal?"
Tiba-tiba Tamtay Keng Beng menjadi gusar. "Apa? Aku harus
menemani adik kecilmu bermain?" dia tegur. "Hm! Aku tidak suka
bermain dengan bocah busuk!"
Baharu ia ucapkan kata-kata itu, nona ini lalu menjadi jengah
sendirinya. Ia telah terlepasan berbicara. Bukankah Tan Hong juga
satu "bocah busuk"? Dengan sendirinya, air mukanya menjadi
bersemu dadu.
Tan Hong tertawa.
"Adik kecilku itu bukan satu bocah busuk," ia beritahu.
"Kalau bukan bocah busuk tentu bocah harum!" kata si nona.
"Hm! Bocah harum pun aku tak sukai!"
"Dia juga, bukannya bocah harum!" Tan Hong masih tertawa.
"Dia, kau tahu, dia adalah satu nona kecil.....”
Keng Beng agaknya tercengang.
"Satu nona kecil?" dia tegaskan.
"Ya, satu nona kecil," sahut Tan Hong. "Hanya ketika pertama
aku bertemu dengan dia, dia dandan sebagai seorang priya, lalu
karena kebiasaan, terus aku panggil dia adik kecil, panggilan ini tak
dapat dirubah hingga sekarang ini."
Entah kenapa, mendengar orang menyebut "adik kecil," Nona
Tamtay mendapat perasaan luar biasa. Agaknya orang telah
berhubungan erat satu pada lain. Setahu kenapa, ia seperti merasa
jelus atau cemburu. Ia merasa, seumurnya, belum pernah ia
dapatkan perasaan semacam ini. Maka ia jadi heran sendirinya.
Tan Hong juga seperti merasakan sesuatu mengenai nona ini,
maka itu, keduanya membungkam saja, sampai sekian lama,
mereka terbenam dalam kesunyian.
Adalah kemudian, ketika ia ingat sesuatu, Tan Hong pecahkan
kesunyian itu.
"Kenapa ayahmu tidak datang kemari!" dia tanya. "Ayah
dapatkan ada satu musuh mendaki gunung, dia tentunya telah
mengatur Pat Tin Touw," sahut si nona, suaranya wajar, bagaikan
tak ada ancaman bahaya.
Tidak demikian dengan Tan Hong. Pemuda ini agaknya terkejut.
"Jikalau ada musuh mendaki gunung, itulah tentu musuh yang
tanggu," ia kata. "Mari kita lekas pergi melihat!"
"Apa sih yang disebut musuh yang tanggu?" berkata si nona,
masih dia acuh tak acuh. "Musuh itu tidak nanti sanggup melawan
tempuling ayahku! Atau kalau dia sanggup melawan ayah, dia toh
masih tak sanggup lolos dari barisan batu.....”
Pat Tin Touw adalah barisan dengan tonggak-tonggak batu yang
letaknya seperti tak teratur, maka itu si nona menyebutnya barisan
batu. Nona ini juga nampaknya sangat mengandalkan kegagahan
ayahnya itu, hingga ia tak berkuatir sedikit juga.
Di dalam hati kecilnya, Tan Hong berkata: "Ah, nona cilik, kau
mana ketahui, di luar langit ada langit lainnya, di samping orang ada
orang lainnya lagi! Musuh yang datang kali ini, kalau bukannya
pahlawan-pahlawan dari istana, tentu sebangsa Anghoat
Yauwliong.....” Tapi, ia kata kepada si nona: "Lebih baik marilah
kita pergi melihat!"
"Baiklah!" kata Tamtay Keng Beng.
Lalu berdua mereka keluar dari guha, mereka kunci pintu kumala
itu. Setibanya di mulut guha, di sana tergantung sehelai dadung,
dengan itu keduanya, dengan saling susul, mendaki naik, hingga
Tan Hong lihat pula sinar matahari. Ia bernapas lega. Menurut letak
matahari, ketika itu adalah tengah hari.
Pintu dari Tongteng Santjhoeng telah ditutup rapat, di lereng
gunung, di antara batu-batu tampak tubuh orang bergerak-gerak
bagaikan bayangan. Dari sana pun terdengar bentrokan keras dari
senjata-senjata tajam. Melihat itu, Tan Hong percepat tindakannya,
ia hendak lari untuk memberikan bantuannya.
"Untuk apa kesusu?" berkata Nona Tamtay Keng Beng. "Ibu dan
adik perempuanku pun telah tiba, musuh tangguh apa lagi yang
dijerikan?"
Tan Hong heran mendengar perkataan nona ini. Ketika ia
bermalam di Tongteng Santjhoeng, ia tidak lihat nyonya rumah.
"Oh, kiranya kau masih punya ibu?" tanyanya.
"Kenapa tidak?" Keng Beng membaliki "Hanya ibuku tidur di lain
tempat, setiap sepuluh hari atau setengah bulan sekali, baharu ia
datang kemari. Ketika tadi aku melihat ibu mendaki gunung, lekas-
lekas aku susul kau, untuk menolongi padamu."
Tan Hong menjadi lebih heran, kali ini mengenai sikap nyonya
rumah.
"Di sini tersedia tempat bagaikan tempat dewa, bukannya suami
isteri tinggal bersama-sama, tetapi mereka berpisahan, tinggal
berjauhan rumah, kenapakah?" ia berpikir. Dalam keadaan seperti
itu, ia tidak sempat menanyakan keterangan. Maka itu, bersama-
sama mereka lari terus. Setibanya di muka Pat Tin Touw, baharulah
keduanya — atau lebih benar Tamtay Keng Beng — terkejut.
Musuh-musuh yang terkurung di dalam tin, adalah barisan istimewa,
yaitu musuh-musuh yang liehay sekali. Yang satu adalah seorang
tua, yang lain satu toodjin, atau imam.
Si orang tua memegang sebatang senjata luar biasa, tongkat
panjang berkepalakan seperti naga dengan di bahagian kepalanya
ditambah pula dua rupa alat lainnya, yaitu yang satu menyerupai
telapakan tangan dengan jeriji-jerijinya lancip sebagai gaetan, yang
lainnya merupakan duri-duri yang tajam, maka selagi tongkat itu
diputar, nampaknya seperti lengan orang hutan yang berbulu,
seperti orang menerkam. Dan si imam memegang sebuah pedang
panjang, yang tidak luar biasa, hanya apabila digerak-gerakkan,
pedang itu mengeluarkan sinar sebagai bunga pedang, hingga
membuat lawan jeri. Masih ada seorang lainnya, musuh yang ketiga,
yang tampak dari dandanannya, nyata dia seorang perwira, yang
masih muda. Ia mempunyai kepalan yang liehay, yang menyambar-
nyambar sambil memperdengarkan suara angin yang keras.
Tamtay Keng Beng mengawasi dengan saksama. Ia lihat ayahnya
menjaga pintu "mati." Ayahnya terkurung musuh tetapi
penjagaannya masih tetap kuat. Ia ingin membantui ayah itu, maka
sambil menghunus pedangnya, ia berseru. Waktu ia hendak lompat
menyerbu, ia tampak Tan Hong berdiri menjublak, matanya
mendelong. Tentu saja ia jadi heran.
"Hai, kau kenapa?" tegur si nona. "Tadi kau sendiri yang tegang
tidak keruan, sekarang kenapa kau diam saja? Kau hendak
membantui ayahku, apa kau hendak tunggu?"
"Celaka!....." Tan Hong, mengeluh dalam hatinya.
Ia kenali si orang tua dan si imam, ialah Tiatpie Kimwan Liong
Tjin Hong bersama Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe. Ia tidak
pusingkan kedua orang itu, tetapi yang membuatnya ia bersangsi
adalah si perwira muda, yang tidak lain daripada In Tiong kakak In
Loei, itu Boe tjonggoan baru. Ia saksikan hebatnya pertempuran, ia
kuatirkan ada jiwa yang melayang.
Tan Hong pun masih berpikir terlebih jauh: "Secara diam-diam
aku telah membantui In Tiong peroleh gelarnya itu, meski demikian,
aku tahu betul, dalam hatinya, ia masih membenci aku, rasa
permusuhannya terhadapku masih belum lenyap. Aku telah
memberikan penjelasan kepadanya, tapi ia tidak mau percaya, habis
bagaimana sekarang? Jikalau sekarang aku maju membantui
keluarga Tamtay ini, tidakkah itu akan membikin salah faham
menjadi bertambah hebat?"
Inilah yang menyebabkan pemuda she Thio ini berdiam saja.
Justeru itu Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yang sinar pedangnya
memain secara liehay, menerjang kepada si nona tua yang menjaga
pintu "touw," atas mana, si nyonya berikan perlawanan dengan
tongkatnya, tetapi baharu dua gebrakan, In Tiong sudah maju
membantui Hian Leng Tjoe, begitu hebat kepalannya itu, hingga si
nyonya mesti mundur keluar dari pintu jagaannya itu. Tentu saja,
menyaksikan itu, Tan Hong menjadi terlebih kaget lagi.
Di lain pintu, yaitu di pintu "kheng," nona yang menjaganya telah
dibikin repot oleh musuhnya yang mendesak hebat sekali.
"Adakah mereka itu ibu dan adikmu?" akhirnya Tan Hong tanya si
nona dengan tidak mempedulikan tegurannya.
"Hai, bagaimana? si nona balik menanya, dengan gusar. "Kau
hendak tunggu apa lagi?"
Tapi kali ini, sambil bicara, Tamtay Keng Beng sudah lari jauh
beberapa tombak.
Pada waktu itu, Tan Hong sudah mendapatkan ketetapan
hatinya.
"Kiranya orang-orang dikenal!" serunya sambil tertawa. Dan
begitu ia lompat, ia sudah dapat menyandak nona Tamtay, untuk
dilalui, hingga dialah yang terlebih dahulu menyerbu ke dalam tin.
"Tamtay Toanio, lindungi pintu touw" ia berseru kepada si
nyonya tua, sedang kepada si nona, ia berteriak: "Adik Giok Beng,
kau mutar ke pintu hioe. Aku datang!"
Lagi sekali Tan Hong lompat, ia lewati kepala Tiatpie Kimwan, ia
nerobos ke pintu seng, maka di lain saat ia sudah ambil kedudukan
didampingnya Tamtay Tionggoan, tjhoengtjoe atau tuan rumah dari
Tongteng Santjhoeng, untuk menjaga pintu Pat Tin Touw.
Sebenarnya ketika hari itu In Tiong nampak kegagalan di Koaywa
Lim, ia sangat mendongkol. Surat Tan Hong, yang merupakan
nasehat, dipandang olehnya seperti sindiran. Ketika pulang ke
kantor soenboe, besoknya ia bertemu dengan ke tujuh jago dari
kota raja, yang telah datang lengkap. Mereka lantas ketahui bahwa
Tan Hong sudah pergi ke Thayouw, mereka pun — berjumlah
delapan orang — lantas menyusul. Mereka mendaki Tongteng San
Barat pada hari kedua dari terjeblosnya Tan Hong ke dalam liang
harta rahasia.
Adalah di saat mereka tengah mencari Tan Hong, tiba-tiba
mereka dengar tertawa ejekkan dari samping mereka, begitu
mereka berpaling, mereka tampak satu nyonya tua, yang rambutnya
telah putih seluruhnya, tengah melambaikan sehelai kain sulam,
yang bersulamkan sepuluh tangkai bunga merah yang besar, di
antaranya, tujuh terkurung sulaman benang merah yang menyolok
mata.
Satu siewie menjadi heran ketika ia mengawasi si nyonya tua.
"Eh, apakah dia bukannya si perempuan tua dari warung teh di
Tamtay Tjoen?" berkata ia. "Ah, mana dia anak perempuannya?
Ketika hari itu aku lewat di warung tehnya, nona itu sedang
menyulam bunga ini.....”
"Benar," kata pahlawan yang satunya lagi. "Ketika itu hari aku
lewat di warung, aku juga lihat si nona sedang menyulam bunga
merah itu, malah aku dengar dia mengatakan, itu adalah bunga
yang ke sepuluh."
Mendengar kedua kawan itu, In Tiong bercekat. Ia ingat, ketika
ia lewat di warung teh yang dimaksudkan itu, ia tampak sulaman
baharu selesai delapan tangkai.
"Bukankah hari itu kamu telah menanyakan tentang Thio Tan
Hong?" ia tanya kedua siewie itu.
"Betul," sahut kedua siewie. "Apakah hubungannya dia dengan
bunga sulaman merah itu?"
"Wanita tua ini pasti konconya Thio Tan Hong," In Tiong jawab.
Dan segera ia lompat ke arah si nyonya tua.
Nyonya tua itu melambaikan pula sulamannya.
"Ah, sayang, sayang, kau juga telah datang!.....” katanya,
suaranya tak enak didengarnya. "Tiga tangkai bunga merah ini pun
akan dipetik Beng-cijie!.....”
Dengan "Beng-cijie" itu ia artikan "anak Beng." Tiatpie Kimwan si
Kera Emas tangan besi menjadi gusar.
"Hai, perempuan siluman, kau tengah main gila!" ia bentak.
Lantas ia ajak kawan-kawannya, akan menyusul si nyonya tua, yang
sementara itu telah menyingkirkan diri, gesit gerakannya, dan
larinya pun berliku-liku tak hentinya, hingga dalam tempo yang
pendek, ia sudah pancing In Tiong serta ke tujuh toakhotjioe
pahlawan pilihan dari istana, sampai di muka tin.
In Tiong segera lihat batu-batu bertumpuk tak teratur, bagaikan
pintu-pintu. Ia menjadi curiga. Ia tidak kenal Pat Tin Touw, tetapi ia
lebih mengerti dibanding dengan ke tujuh rekannya, ia telah
membaca kitab-kitab ilmu perang, maka ia jadi ragu-ragu. Ia
merandek sebelum ia maju terlebih jauh, matanya dibuka dengan
lebar.
Segera juga di antara tumpukan-tumpukan batu itu muncul satu
nona.
"Hai, kamu telah datang?" berkata nona itu sambil tertawa.
"Mereka itu tengah menantikan rekan-rekannya, mereka sudah
tidak sabaran!.....”
Terus dia menunjuk. Maka di sebelah kiri, di atas tumpukan-
tumpukan batu, terlihat berbaris tujuh buah tengkorak. Entah
dengan obat apa semua tengkorak itu direndamnya, semuanya
mempunyai biji-biji mata dan kulit muka yang hidup.
In Tiong terkejut ketika ia kenali roman salah satu kepala orang
itu, ialah kepala satu penunggang kuda yang telah melewati warung
teh, sedang Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam kenali kedua yang
lainnya ialah pahlawannya Soelee Thaykam Ong Tjin. Malah satu
jago lagi mengenali juga satu kepala lainnya ialah kepalanya
hoepangtjoe atau ketua muda dari Hayliong Pang!
Dalam sedetik itu, semua pahlawan ini sudah lantas menduga
bahwa ke tujuh orang itu mestinya sudah datang di Thayouw untuk
mencari Thio Tan Hong tetapi celaka, mereka, rubuh di tangan si
nyonya tua dan puterinya itu. Tentu saja, mereka jadi sangat gusar.
Karena mereka semua bernyali besar, dengan serentak mereka
menyerbu ke dalam tumpukan batu itu, yang mereka tidak ketahui
barisan rahasia Pat Tin Touw adanya. Malah In Tiong, tanpa ayal
lagi, sudah turut menyerbu juga.
Dari dalam barisan segera terdengar suatu suara, yang disusul
dengan munculnya seorang tua yang berkumis jenggot panjang
terpecah tiga, yang tangannya menyekal hietjee, yaitu tempuling
ikan, siapa lalu diturut oleh beberapa petani, yang semua
bersenjatakan golok, tombak dan pacul, hanya mereka itu
selanjutnya menghilang dan muncul dengan bergantian, secara
mendadak.
Tiatpie Kimwan gusar menampak gerak-gerik orang itu.
"Baiklah bekuk dulu si tua bangka!" dia berteriak.
Tongteng Tjhoengtjoe dengar suara besar itu, ia tertawa
berkakakan, terus ia mendahului menyerang dengan tempulingnya.
Dengan satu sampokan tongkatnya, Tiatpie Kimwan tangkis
tempuling itu, tetapi baharu satu gebrakan saja atau si orang tua
telah melesat ke samping dan segera lenyap dari pandangan si Kera
Emas Lengan Besi. Hanya, baharu sedetik, tiba-tiba terdengar
sambaran angin di belakangnya si Kera Emas, atau segera terlihat
munculnya si nona dengan sepasang goloknya. Nona ini menyerang
dengan dahsyat.
In Tiong maju akan tangkis serangan si nona, ia menggunakan
tangan kosong.
"Sungguh liehay!" seru nona itu, yang terus lompat mundur,
hingga ia lenyap pula.
Samhoa Kiam lompat, menolongi In Tiong mengejar nona itu,
atau ia dicegat si nyonya tua, yang seperti tak ketahuan dari mana
munculnya, dan dengan sepuluh jari tangannya, nyonya itu
mencengkeram ke arah kepala!
Samhoa Kiam terperanjat melihat sambaran orang itu, yang ia
kenali adalah tipu silat Taylek Engdjiauw Kang, dengan lekas ia
mainkan pedangnya, guna menangkis sambaran itu.
Si nyonya tua lihat serangannya gagal, ia lantas menyusul
dengan serangan lain. Ia berlaku sangat gesit, ia dibantu dengan
saksama oleh kawan-kawannya, maka juga In Tiong berdelapan
seperti telah terkurung di dalam tin itu.
Tujuh jago dari istana itu, bersama In Tiong, adalah orang-orang
liehay, akan tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka
dipermainkan hingga mereka terlepas dari hubungan mereka satu
dengan lain. Dengan begitu, tak dapat mereka perlihatkan
kegagahan mereka.
In Tiong cerdas, ia lantas dapat melihat bahwa keadaan mereka
telah menjadi kacau karenanya, segera ia teriaki kawan-kawannya:
"Perhatikan! Mereka ada berdelapan, kita juga berdelapan, mari kita
lawan satu dengan satu! Jangan kita kalutkan diri sendiri!"
Teriakan ini ditaati ke tujuh pahlawan, mereka itu lantas mencari
masing-masing satu musuh, maka itu, pertempuran segera berganti
rupa.
Pat Tin Touw adalah tin yang liehay, sayang bagi Tongteng
Tjhoengtjoe, dia cuma tahu tiga bagian saja, karenanya tidak dapat
dia bergerak dengan bebas, sedang di antara kawannya cuma dia
sendiri, isterinya dan puterinya, yang cukup liehay untuk melayani
musuh, yang lainnya bukannya tandingan setimpal dari pahlawan
istana itu. Karena ini, walaupun musuh telah terkurung, mereka
tidak menghadapi ancaman bencana langsung. Kedua pihak nampak
berimbang.
Adalah pada saat yang tegang itu, In Tiong perlahan-lahan mulai
mengerti kedudukan mereka, tapi justeru Samhoa Kiam mendesak
si nyonya tua, tiba-tiba muncullah Tan Hong dengan pedangnya
yang hebat.
"Awas!" teriak In Tiong, yang menjadi kaget. Samhoa Kiam dan
Tiatpie Kimwan lantas kenali Tan Hong, yang pernah permainkan
mereka, maka sekarang, kedua pihak saling berhadapan, mereka
jadi mendongkol, keduanya maju dengan berbareng, menyerang si
anak muda.
Tan Hong putar pedangnya hingga terdengar suara menderu-
deru, dengan itu ia layani kedua musuhnya. Ia bergerak-gerak
sangat gesit, hingga baju putihnya berkibar-kibar di dalam tin itu. Ia
melesat ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, pedangnya
selalu merupakan tusukan atau tikaman, atau ia main berkelit dari
senjata-senjata lawannya itu. Cara berkelahi ini membikin ke lima
pahlawan jadi berpencar pula, cuma In Tiong bertiga Samhoa Kiam
dan Tiatpie Kimwan yang bisa menghadapi betul-betul musuh-
musuhnya.
"Bagus!" teriak Tamtay Keng Beng, yang kagum dan girang
menyaksikan cara berkelahinya Tan Hong itu.
Tongteng Tjhoengtjoe pun girang sekali, Ia dapat kenyataan si
anak muda mengerti lebih banyak daripadanya tentang tin itu. Maka
ia berseru: "Bagus, majikan tua ada turunannya! Pasti Kerajaan
Tjioe yang besar akan bangkit pula!"
Sudah delapan puluh tahun sejak Thio Soe Seng meninggalkan
dunia yang fana akan tetapi keluarga Tamtay tetap memanggil ia
sebagai "laotjoekong" atau majikan tua, hingga Tan Hong pun
dipanggil "siauwtjoe" atau majikan muda. Dengan "majikan" itu
diartikan junjungan.
Pheng Hoosiang pandai mengenai Pat Tin Touw, ia mewariskan
kepada Thio Soe Seng, dan Thio Soe Seng, yang menghendaki
keluarga Tamtay melindungi harta bendanya, sudah memberikan
pelajaran pada keluarga ini. Demikian, pengetahuan tentang tin
turun kepada Tamtay Tionggoan, tapi melihat kepandaian Tan
Hong, tidak bersangsi lagi ia bahwa si anak muda ini adalah
junjungannya yang muda. Demikian ia perdengarkan seruannya
secara gembira itu.
Dengan nyeburnya Tan Hong dan Tamtay Keng Beng ke dalam
medan pertempuran, suasana berubah dengan lantas, kalau tadinya
ke delapan pahlawan istana menang di atas angin, sekarang mereka
jadi terdesak, dari pihak penyerang, mereka menjadi pihak yang
membela diri.
Tamtay Keng Beng berlaku sangat gesit, ia menerjang ke segala
arah, akan desak setiap pahlawan yang kena dipermainkan, Tan
Hong membuat mata mereka itu seperti kabur dan kepala pusing.....
Pembela dari pintu "kheng" adalah Tamtay Giok Beng, ialah
adiknya Keng Beng. Dia tadi kena terserang In Tiong hampir rubuh,
hanya tubuhnya terhuyung, sekarang ia saksikan musuh yang balik
diserang, segera dia lompat keluar dari pintu jagaannya.
"Entjie." dia berteriak, "mari kita kepung satu musuh ini! Tadi dia
menghina aku!" Dan dia tuding In Tiong.
Keng Beng sambut adiknya itu sambil tertawa. "Baiklah!" jawab
ia. "Kau injak letak kian, maju ke letak kam, seranglah bagian
kanannya!" Dan ia sendiri segera maju ke letak iie, untuk menuju
letak tjin, lalu dengan jurus "Pekhong koandjit" = "Bianglala putih
menutupi matahari," ia menikam pemuda she In itu.
In Tiong tangkis serangan itu, hingga pedang si nona terpental,
setelah mana, hendak ia melakukan pembalasan, atau mendadak di
sampingnya berkelebat satu sinar hijau, karena dengan pedangnya,
Giok Beng yang gesit itu sudah taat kata-kata kakaknya untuk
menyerang dari arah kanan. Ke arah kanan ini, angin hebat dari
kepalannya pemuda itu tak sampai pengaruhnya.
In Tiong berkelit dengan lincah.
Keng Beng juga berlaku sangat gesit, setelah tarik pulang
pedangnya, ia menyerang pula, tikamannya mengarah muka,
karena mana, In Tiong terdesak di antara dua tonggak batu, hingga
ia cuma dapat berkelit pula. Tapi ia tetap dalam bahaya, karena
sempitnya tempat, untuk berkelit pun sukar. Maka ia tetap
terancam.
Sebenarnya seorang diri In Tiong sanggup layani kedua nona
Tamtay kakak beradik itu, Keng Beng dan Giok Beng, tetapi kalau
sekarang ia kena terdesak, itu disebabkan ia hadapi tin batu dan
kedua nona itu sudah terlatih bertempur di dalam t/n-nya itu.
Memang sengaja mereka itu mendesak terlebih dahulu, baharu
hendak mereka turun tangan.
Dalam saat In Tiong terancam bahaya maut itu, tiba-tiba
terdengar suara nyaring dari bentroknya dua senjata, di situ Tan
Hong mendadak muncul dari arah samping, pedangnya dipakai
menangkis pedang si nona, hingga pedang itu berubah arah
tujuannya, dengan demikian In Tiong telah ketolongan.
Inilah Keng Beng tidak sangka, ia menjadi sangat heran.
"Apakah yang kau lakukan?" dia tegur si anak muda.
"Kau pandang mukaku, luputkanlah tusukanmu kali ini," Tan
Hong bilang.
Keng Beng tetap heran, akan tetapi ia berlega hati karena ia
tampak si anak muda mengawasi ia dengan wajah tersungging
senyuman, sinar matanya anak muda itu pun seperti mengandung
suatu maksud. Ia tarik pulang pedangnya, tidak lagi ia ulangi
serangannya.
Tongteng Tjhoengtjoe juga turut menjadi heran.
"Siapakah perwira itu?" dia tanya.
"Dialah yang bilang bahwa aku adalah musuh besarnya," Tan
Hong jawab tuan rumahnya.
In Tiong mendongkol, ia gusar sekali.
"Siapa kesudian kau menaruh belas kasihan atas diriku!" kata dia
dengan nyaring. "Keluarga kita berdua adalah musuh-musuh besar,
di jaman ini, semasa kita masih hidup bersama, jangan kau harap
bahwa permusuhan itu dapat disudah habiskan!"
Dan dengan kepalannya yang dahsyat, pemuda ini maju
menyerang.
Tongteng Tjhoengtjoe menjadi terlebih-lebih heran. Ia peroleh
kesan, orang benar-benar memandang Tan Hong sebagai musuh
besar, maka heran, kenapa Tan Hong itu sebaliknya senantiasa
melindungi perwira itu.
Tan Hong ulur tangannya yang kiri, kelihatannya ia bergerak
dengan ayal, akan tetapi ketika ia kena tangkis tangan In Tiong,
perwira ini terkejut sendirinya.
"He, ia pun telah pelajari Taylek Kimkong Tjioe?" ia kata dalam
hatinya. Selagi begitu, ia mesti mundur tiga tindak, kedua
tangannya dilintangkan satu dengan lain.
Tan Hong juga mundur tiga tindak.
"Kakak In Tiong, mundur adalah jalan utama," Tan Hong berkata.
Tapi In Tiong menjadi bertambah gusar.
"Siapakah kakakmu?" ia membentak. Dan kembali ia menyerang
dengan tangannya yang liehay. Tan Hong elakkan diri.
"Hendak aku tanya kau, untuk apa kau datang kemari?" ia tanya.
Kali ini Tiatpie Kimwan adalah yang campur bicara.
"Kau serahkan harta pendaman kepada kami, nanti kami pergi
dari sini!" demikian si Kera Emas Lengan Besi dengan suaranya yang
keras. Tapi ini adalah gertak belaka, yakni kata-kata untuk lindungi
muka sendiri. Ia sudah lantas ketahui, dalam pertempuran ini,
pihaknya tidak akan peroleh hasil, maka itu, ia minta harta
pendaman itu sebagai pelabi.
Tan Hong melenggakkan tubuh, dia tertawa berkakakan.
"Jadinya kamu datang untuk harta pendaman leluhurku?" dia
tegaskan, mereka itu. "Memang harta itu aku niat
menghadiahkannya kepada raja dari ahala Beng, sekarang ada
kamu yang hendak tolong mengambilnya, untuk membawanya,
sungguh inilah jalan paling baik!"
Mendengar perkataan itu, kecuali Tamtay Keng Beng, semua
orang menjadi kaget.
"Siauwtjoe, apa kau bilang?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe.
Belum lagi Tan Hong menjawab, In Tiong telah mendahuluinya.
Pemuda ini yang masih gusar, kata pada pemuda she Thio itu: "Satu
laki-laki terlebih baik mampus daripada terhina, maka itu, Tan Hong,
kenapa kau berulang kali menghina aku?"
Dalam kemurkaannya itu, tak pernah In Tiong hendak
memahami Tan Hong, yang omong dengan sebenar-benarnya.
Tan Hong tidak jadi gusar karena sikap orang itu.
"Apakah yang kau kehendaki supaya kau dapat
mempercayainya?" ia tanya.
In Tiong tidak menjawab dengan perkataan, ia hanya menyahuti
dengan kepalannya tiga kali beruntun, hingga Tan Hong repot
mengelakkan dirinya. Pemuda ini mendongkol juga akan tetapi tak
dapat ia turuti amarahnya itu. Ia mesti berlaku sabar.
Dalam suasana sedang tegang dan sulit itu, selagi In Tiong
belum dapat menjawabnya, mendadak terdengar suara berisik di
empat penjuru mereka, lalu dari pinggang gunung, di antara pohon-
pohon dan batu-batu besar, tertampak munculnya banyak orang
dengan potongan tubuhnya tak rata, ada yang kurus, ada yang
gemuk, dan semuanya orang itu tengah mendatangi ke arah
mereka.
Segera juga Tan Hong lihat seorang dengan rambut merah
seluruhnya, yang awut-awutan numpuk di kepalanya, orang mana ia
kenali sebagai Anghoat Yauwliong Kwee Hong, orang yang pernah
main dadu dengannya. Tapi yang membuatnya ia terperanjat,
adalah ketika ia kenali seorang lain yang tubuhnya tinggi tujuh kaki
lebih, yang berhidung bengkung dan matanya kelabu, yang
gegamannya sepasang kampak besar. Sebab orang itu adalah
Chalutu, pahlawan nomor 1 dari guru negara dari bangsa Watzu,
yang kekosenannya, untuk di seluruh Watzu, cuma kalah setingkat
dari Tantai Mie Ming. Saking heran, ia sampai kata dalam hatinya:
"Kwee Hong adalah orang kepercayaannya Ong Tjin, sekarang
kenapa berdua mereka ini berada dan bekerja sama? Apakah
mungkin bangsa Watzu sudah menyerang Tionggoan?"
Ketika Tiatpie Kimwan lihat rombongan itu, dia berteriak-teriak:
"Bagus kamu telah datang! Pengkhianat Thio Tan Hong justeru ada
di sini!"
Kwee Hong tertawa dingin, sembari maju mendatangi, ia
memberi tanda kepada rombongannya, untuk mereka itu
mengurung, tidak dikecualikan tujuh pahlawan dari istana berikut In
Tiong si Boetjonggoan, yang bertugas istimewa untuk raja.
Tiatpie Kimwan menjadi kaget sekali.
"Eh, eh, apakah kamu sudah tidak kenali kami?" dia berteriak-
teriak pula, sekarang saking heran dan kuatir. "Kami berdelapan
adalah orang-orang Sri Baginda sendiri!"
Kwee Hong tertawa pula dengan sama dinginnya ketika ia
berikan penyahutannya: "Dan kami, kami semua bukan suruhannya
raja kami! — Hm! Lekas kamu serahkan harta pendaman serta peta
buminya!"
In Tiong menjadi sangat gusar.
"Apakah kamu berani mendurhaka?" dia tegur. "Harta pendaman
dan peta bumi itu adalah barang-barang yang dikehendaki Sri
Baginda!"
"Pergi kamu ke negeri Watzu, akan cari Sri Bagindamu itu!" dia
jawab dengan jumawa. "Harta dan peta bumi itu adalah Ong
Kongkong yang menghendakinya!"
Dengan Ong Kongkong itu, Kwee Hong maksudkan Soelee
Thaykam Ong Tjin, si dorna kebiri.
In Tiong tercengang.
"Apa kau bilang?" dia tanya. "Bagaimana dengan Sri Baginda?"
Lagi-lagi Kwee Hong tertawa.
"Tidak apa-apa!" jawabnya, sembarangan. "Angkatan perang
Watzu sudah masuk ke dalam kota Ganboenkwan dan raja kamu
sudah jadi tawanan bangsa Watzu!.....”
Tan Hong segera mengerti segala apa, tanpa tunggu In Tiong
layani orang she Kwee itu, ia mendahului buka mulutnya.
"Kakak In Tiong, insafkah kau sekarang?" katanya. "Kita
bergabung melawan musuh, itu yang utama!"
Lalu, tanpa tunggu jawaban pula, ia lompat maju akan segera
serang Kwee Hong.
Dengan tiba-tiba pun In Tiong naik darahnya. Ia berseru dengan
keras, ia lompat ke arah si orang asing, untuk lantas menyerang
dengan kedua-dua tangannya, yaitu tangan kiri dengan kepalan,
tangan kanan dengan goloknya — golok Ngohouw Toanboen too.
Chalutu gerakkan sebelah tangannya untuk menangkis, atas
mana, In Tiong menjadi kesakitan dan kaget. Pecah telapak
tangannya yang menyekal golok, tangan itu berdarah-darah, hingga
hampir saja goloknya terlepas dari cekalannya.
Tapi orang asing itu bukannya tidak menjerit. Dia telah
menangkis dengan sepasang kampaknya, dia berhasil, tetapi
pukulan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong juga membuat
tubuhnya tersampok terpelanting.
"Bagus, anak, kau liehay!" demikian jeritannya. Sehabis itu,
dengan kerahkan semua tenaganya, ia maju mengampak, untuk
membalas menyerang. Ia berlaku sangat bengis.
Kwee Hong sebaliknya, karena ia kenal liehaynya si anak muda,
tidak berani tangkis serangannya Tan Hong. Ia berkelit, ia memutar
tubuh, setelah itu baharulah ia balas menyerang.
Tan Hong menyerang dengan ancaman belaka, begitu ia tampak
gerakan lawan, ia berlompat berbalik, hingga di lain saat ia telah
dekati Chalutu si orang asing yang kuat, untuk ditikam, di saat
kampak kirinya mendesak In Tiong, hingga karenanya, In Tiong jadi
terhindar dari bahaya. Mau atau tidak, diam-diam pemuda ini mesti
bersyukur terhadap "musuh besarnya" itu.....
Chalutu pentang lebar kedua matanya kapan ia telah lihat tegas,
siapa yang merintangi padanya.
"Ha, Thio Kongtjoe, kiranya kau!" dia berseru.
"Kau bukan berdiam di Watzu, mengapa kau datang kemari, apa
perlunya?" Tan Hong balik menanya. "Kau harus ketahui, di sini
bukanlah tempatmu! Kau lekas pergi!"
Tapi orang asing itu tidak sudi pergi.
"Keluargamu telah sering terima budi besar dari raja kami,
apakah benar kau berani berontak?" dia pun balik tanya.
"Biarpun aku terbakar menjadi abu, aku tetap bangsa Tionghoa!"
sahut Tan Hong. "Tak mungkin aku bekerja untuk rajamu!"
Chalutu menjadi gusar.
"Memang telah aku lihat kau berhati serong!" katanya. "Sekarang
teranglah sudah, kau lari pulang secara diam-diam ke negaramu
melulu untuk jadi musuh kami! Hm! hm! Mari makan kampakku!"
Tan Hong tidak tunggu sampai ia diserang. Ia mendahului
menyerang orang kosen dari Watzu itu. Dua kali ia mendesak
dengan tikamannya.
Chalutu berkelit, dia mainkan kampaknya, yang bagaikan gunung
Tay San turun dengan berat ke arah batok kepalanya si anak muda.
Tan Hong ketahui tenaga besar musuh, tidak mau ia adu
kekuatan. Ia segera perlihatkan kegesitannya untuk mengimbangi
orang kuat itu.
Kekuatan Chalutu tak di sebawahan Tantai Mie Ming, dalam hal
enteng tubuh, ia kalah dari Tan Hong, maka itu, guna layani anak
muda ini, ia ambil sikap membela diri, sepasang kampaknya
melindungkan tubuhnya. Hingga sinar pedang dan kampak saling
berkilauan.
Sampai di situ, terjadilah satu pertempuran yang kalut.
Kwee Hong datang dalam jumlah kira-kira empat puluh orang,
mereka itu adalah orang-orangnya Ong Tjin, di antaranya orang-
orang kangouw dari Hektoo, Jalan Hitam, malah juga orang-orang
Hayliong Pang yang turut dalam perebutan Koaywa Lim. Dengan
jumlah yang lebih besar, bisa Kwee Hong kurung lawannya. Tapi
semua lawan adalah orang-orang pilihan, tidak mudah untuk segera
dapat dikalahkannya, mereka ini cuma dapat dibikin mengeluarkan
tenaga lebih banyak.
Thio Tan Hong yang cerdik segera melihat suasana.
"Semua mundur ke dalam Pat Tin Touw!" ia berseru setelah ia
layani dahulu untuk beberapa puluh jurus.
Chalutu tertawa bergelak.
"Semua barisan batu, apa dia dapat berbuat terhadapku?"
katanya dengan jumawa. Dan ia menyerang dengan kampaknya,
membuat setumpuk batu gempur.
Dua pahlawan istana maju, untuk rintangi orang kuat dari Watzu
ini, tetapi mereka tidak kenal Pat Tin Touw, mereka justeru masuk
ke pintu "mati."
Tan Hong kaget.
"Lekas mundur!" dia teriak-teriak.
Chalutu tidak mau memberi ketika, dia mendesak, kampaknya
bergerak liehay dari kiri dan kanan.
Dua pahlawan itu terdesak di antara tumpukan batu, mereka jadi
tak leluasa bergerak, maka itu, ketika kampaknya Chalutu turun
dengan hebat, mereka tidak berdaya, tubuh mereka terkampak
menjadi dua potong.
Karena kemenangannya ini, orang kuat itu tertawa berkakakan.
Tiba-tiba ia rasakan desiran angin di bebokongnya, sambil memutar
tubuh, ia menangkis ke belakang. Ia menangkis angin tapi
berbareng dengan itu, ia dengar suara memberebet, ialah tanda dari
ujung bajunya yang kena disabet robek pedang Tan Hong,
sebaliknya, tubuh Tan Hong sendiri tak tertampak. Karena ini, ia
memikir untuk lompat keluar. Tapi justeru itu, kembali sinar putih
dari pedang berkelebat, ia tampak Tan Hong dengan air muka
berseri-seri muncul di kiri, dari antara tumpukan batu. Dengan sebat
ia angkat sepasang kampaknya, guna menangkis dan teruskan
menyerang juga. Tapi ia kalah sebat, lengan kirinya terlanggar
ujung pedang hingga bajunya robek dan dagingnya mengucurkan
darah. Tentu saja ia jadi sangat gusar, maka sambil berteriak, ia
lompat akan mengampak pemuda itu.
Tan Hong berada di antara tumpukan batu, ia dapat hindarkan
diri, sebaliknya tumpukan batu yang menghalang di hadapannya
menjadi gempur runtuh kena kampakan yang dahsyat itu, batu
hancurannya terbang berhamburan.
Menggunai ketika itu, kembali Tan Hong menyerang, menikam
pundak orang.
Chalutu hendak membalas menyerang tapi ia tidak berdaya.
Dengan batu hancur berhamburan, sukar untuk ia melihat tegas
tubuh si anak muda yang lincah. Iapun terhalang oleh tin yang ia
tidak kenal, sedang Tan Hong dapat bergerak dengan merdeka di
antara pelbagai tonggak batu itu.
Sesudah tiga kali kena tertikam, walaupun luka-lukanya tidak
berbahaya, baharu Chalutu insyaf, percuma ia andalkan kampaknya
atau tenaganya yang besar, maka itu, ia lantas lompat ke tempat
yang lebih lega, untuk dari situ putar kampaknya guna bela diri.
Tan Hong kenali ilmu silat Chalutu, yaitu dua jurus tipu yang
digabung menjadi satu, di atas Chalutu mainkan "Soathoa khayteng"
= "Kembang salju menutupi kepala," dan di bawah "Kouwsie
poankin" = "Pohon tua rubuh akarnya." Ia biarkan orang bersilat
sendiri, ia hanya tertawa terbahak-bahak, di lain pihak, ia
berkelebatan ke sana sini, untuk hajar lain lawannya, hingga ia
berhasil melukai beberapa orang lagi. Akan tetapi karena musuh
berjumlah besar, mereka tidak dapat dipukul mundur, sedang
dipihaknya, dua lagi pahlawan telah terbinasa di tangan musuh itu.
In Tiong, yang gunai Taylek Kimkong Tjioe, telah perlihatkan
liehaynya pukulannya yang dahsyat. Beberapa musuh telah rubuh
binasa. Ia tengah berkelahi terus ketika ia tampak Anghoat
Yauwliong Kwee Hong sedang didesak Tongteng Tjhoengtjoe, si
Naga Siluman Rambut Merah itu mendatangi dekat padanya. Ia
kenali si Rambut Merah itu, yang ia benci, maka dengan sekonyong-
konyong ia tinggalkan lawan-lawannya sendiri, ia mencelat ke arah
Kwee Hong itu, untuk segera menyerang dengan tangan kosongnya
ke batok kepala orang.
Berbareng dengan itu terdengar teriakan Tan Hong: "Awas,
tangannya jahanam itu ada racunnya!"
In Tiong tahu teriakan itu ditujukan terhadap ia, ia terkejut,
karena dalam keadaan seperti itu, tidak sanggup ia menarik pulang
kepalannya itu.
Kwee Hong lihat orang menyerang padanya, dia menangkis
dengan putar tangannya, yang dia buka kepalannya, hingga terlihat
tegas telapak tangannya berwarna merah. Dengan segera kedua
tangan bentrok keras, disusul dengan jeritannya Anghoat
Yauwliong, yang lengannya kena terpukul parah dan patah seketika,
hingga lengannya itu mesti dikasi turun tanpa ia berdaya.
In Tiong juga menjadi kaget sekali. Dengan lantas ia merasakan
tangannyapun kaku. Karena ini, bukannya ia menerjang terus tapi ia
lekas-lekas mundur.
"Kakak In, empos semangatmu!" Tan Hong teriaki Boetjonggoan
itu. "Tahan napas, jangan kasih hawa beracun naik melewati
lenganmu!"
In Tiong berpaling kepada anak muda itu, lalu segera ia jatuhkan
diri, untuk duduk numprah di tanah.
Thio Tan Hong bersuara pula: "Keng Beng, kau lindungi dia!
Jangan ijinkan musuh ganggu meskipun selembar rambutnya!"
Keng Beng pun menoleh kepada Tan Hong, untuk melirik, setelah
itu dengan tidak bilang suatu apa, ia dekati In Tiong, untuk menjadi
pelindung.
Kwee Hong sementara itu merasakan sakit bukan main, hebat
akibat serangan Taylek Kimkong Tjioe dari In Tiong, rupanya ia
tidak sanggup menderita lebih lama, maka tiba-tiba, dengan
kesehatannya, ia rampas golok seorang kawannya terus dengan itu
ia tabas kutung lengannya yang terluka itu sebatas lukanya, setelah
mana, seorang diri ia obati lukanya itu. Ia robek bajunya untuk
membungkus lukanya.
"Aku tidak akan mati!" dia teriaki kawan-kawannya. "Perhebat
serangan!"
Semua orang heran dan kagum atas kegagahan si rambut merah
ini, semua lantas berkelahi pula dengan hebat.
Di pihak rombongan Kwee Hong ini, kekurangan satu Kwee Hong
memang kurangnya satu tenaga yang berarti tetapi itu tidak
membuatnya mereka menderita kerugian sangat besar, itu tidak
mengurangkan sangat kurungan mereka. Di pihak Tan Hong hal ada
sebaliknya. Kurang satu In Tiong sudah berarti kerugian besar, lalu
ditambah dengan Keng Beng, yang seperti ditarik pulang, karena
nona ini mesti melindungi In Tiong saja. Di mana jumlah mereka
kurang, kehilangan tenaganya Keng Beng besar sekali artinya.
Kwee Hong benar-benar ulet. Ia duduk numprah, tetapi ia masih
punya sebelah tangan untuk terus pegang pimpinan, melanjutkan
penyerangan, hingga ia berbalik menjadi berada di atas angin.
Tan Hong mesti saksikan pertempuran yang tak selayaknya itu.
Ia mengerti, kalau terus ia bertempur secara demikian, di akhirnya
ia bakal nampak kerugian. Ia bersusah hati. Sejenak itu, belum tahu
dengan cara bagaimana ia bisa kalahkan musuh, untuk gempur
pengurungannya. Ia telah berhasil merubuhkan lagi beberapa
musuh, akan tetapi pihaknya sendiri, kembali rubuh satu jago
pilihan dari istana dan dua tjhoengteng. Keadaan nampaknya
makin berbahaya untuk pihaknya.....
Di saat-saat dari kesukaran itu, tiba-tiba dari kejauhan
terdengarlah suara seruling, mulanya sayup-sayup, lalu perlahan-
lahan menjadi terang, ialah suara itu datangnya dari arah pohon-
pohon bunga di lamping bukit. Sang angin telah membawanya suara
itu, berikut suara nyanyian yang menimpali irama seruling itu:
"Siapakah yang ramai-ramai menyanyikan lagu-lagu Souwtjioe
dan Hangtjioe?
Bunga teratai tersiarnya sepuluh lie,
Bunga koeihoa mekarnya tiga bulan.
Siapa tahu, pohon-pohon adalah benda tak berbudi,
Dia menyeret bagaikan sungai Tiangkang, Menyebabkan
kedukaan dari laksaan tahun! Ya, ya, dia menyeret bagaikan sungai
Tiangkang,
Dia menyebabkan kedukaan dari laksaan tahun....."
Halus tetapi terang nyanyian itu, tarikannya bagaikan tarikan
penasaran atau keluhan. Kata-kata nyanyian itu justeru adalah kata-
kata tulisannya Tan Hong pada gambar lukisannya!
Sejenak saja, bagaikan terkontakkan hawa listrik, Tan Hong
tercengang. Tapi ia tak usah tergugu lama atau menanti lama-lama.
Segera juga dari antara pohon-pohon bunga, yang banyak
bunganya, ia tampak munculnya satu nona remaja yang tangannya
menyekal sebuah seruling pendek, tindakannya perlahan.
Nona itu mengenakan pakaian warna mirip dengan airnya telaga,
ujung baju dan celananya tertiup-tiup angin. Ia beroman cantik
sekali, setimpal dengan tindakannya yang elok, hingga ia bagaikan
seorang dewi.
Terkejut Tamtay Keng Beng menyaksikan nona itu, sedang ia
sendiri adalah satu anak dara yang cantik manis, di dalam hati
kecilnya, ia menanya: "Adakah dia dewi dari telaga Thayouw ini
yang terbang naik ke puncak gunung?" Ia menjadi malu sendirinya,
sebab ia biasa merasa angku sekali dengan kecantikannya, sekarang
ia kalah pamor.....
Beda daripada si nona Tamtay itu, Thio Tan Hong, yang telah
sadar dengan segera, sudah segera memanggil: "Adik kecil!"
"Oh!....." seru Keng Beng, tertahan. Tak dapat ia mengatakan
sesuatu, ia sudah lantas dapat merasakan suatu perasaan, entah
perasaan apa itu.....
Pada matanya In Tiong juga sudah lantas tampak suatu sinar
terang.....
Datangnya si cantik secara mendadak itu, menyebabkan
pertempuran jadi terlambat, karena semua orang, mau atau tidak,
dengan sendirinya, sudah menoleh mengawasi nona itu.
"Ah, perempuan ini tentunya perempuan sesat!.....” seru Kwee
Hong. "Lekas membagi diri! Cegat kepadanya! Jangan kasi dia
menyerbu!"
Si nona sendiri, sebaliknya tetap bungkam, hanya tindakan
kakinya, yang perlahan, tak ia hentikan. Ia maju terus, tetap
dengan perlahan.....
Semangatnya Tan Hong terbangun secara tiba-tiba. Dengan
mendadak dia perdengarkan suitan panjang, berbareng
tubuhnyapun mencelat, lompat dari batu yang satu kepada batu
yang lain! Sambil berbuat demikian, ia terjang musuh-musuhnya.
Dengan cepat ia telah melukai beberapa di antara mereka itu.
Dengan waktu tidak lama, ia sudah lantas berada di luar
kurungan di mana, dengan cepat ia lompat kepada si nona yang
baharu datang itu, tangan siapa ia segera sambar!
"Ah, adik kecil!" serunya, "kau pun datang juga!....."
Ia ada demikian bernapsu dan gembira, hingga ia melelehkan air
mata.
Si nona kibaskan tangannya, untuk lepaskan cekalannya si anak
muda. Tetapi ia bukannya bergusar, ia bukannya tak menyukainya,
ia hanya pakai tangannya itu untuk menghunus pedangnya.
"Sret!" demikian pedangnya itu bersuara.
"Mana kakakku?" tanyanya.
Nona ini adalah In Loei. Dia telah tiba di Kanglam, wilayah
Selatan yang beda sekali daripada tanah Utara, maka juga setibanya
ia di sini, ia telah salin pakaian — tidak lagi ia menyamar sebagai
satu pemuda. Maka menterenglah kecantikannya itu.
"Kakakmu terkurung di dalam tin itu!" Tan Hong beritahu.
"Marilah lebih dahulu kita pecahkan kurungan musuh, baharu kita
bicara!"
Kwee Hong sementara itu sudah berhasil dengan pemecahan
tenaganya. Dia telah tugaskan lima jago pilihan untuk rintangi Tan
Hong dan In Loei. Lima jago itu tidak kenal si pemudi, mereka
memandang enteng pemudi itu, tiga di antaranya sudah lompat
menerjang, mendahului dua yang lain.
Dan si pemudilah yang mereka serang!
In Loei sudah hunus pedangnya, dengan sebat ia menangkis.
Maka berkelebatlah suatu sinar pedang yang hijau, menyusul mana,
nampak pula cahaya putih yang berkilau, dari pedangnya Tan Hong,
ia mendahului sinar hijau itu, hingga kedua sinar, berbaling silih
ganti. Dan dengan tergabungnya kedua sinar, yaitu kedua pedang,
hebatlah akibatnya. Di mana dua jago yang lain pun telah tiba
dengan cepat dan sudah lantas menerjang juga, dalam dua
gebrakan saja, ke limanya rubuh semuanya, tanpa mereka sempat
menjerit lagi, tubuh mereka bergulingan ke kaki bukit!
Kwee Hong saksikan terjangan jago-jagonya, ia lihat
kesudahannya pertempuran itu, ia menjadi sangat kaget.
Bagaikan dua bayangan, Tan Hong dan In Loei sudah lantas tiba
di dalam Pat Tin Touw, keduanya sudah lantas beraksi. Ke kiri dan
kanan tubuh mereka bergerak, dengan lincah serta rapi, erat
perhubungannya. Di antara tonggak-tonggak batu mereka nyeplos
sana dan nyeplos sini, bagaikan capung menyambar air atau kupu-
kupu menembus bunga-bunga, sinar pedang mereka tak hentinya
berkilau, berkelebatan. Tubuh mereka bagaikan berada di empat
penjuru, di delapan persegi, kedua sinar pedang putih dan hijau
bergulungan berpencaran, bergulungan pula. Ke mana sinar pedang
menyambar, di situ ada musuh yang terluka atau rubuh, maka juga,
dalam tempo yang cepat, orang-orangnya Anghoat Yauwliong telah
menjadi berkurang lebih daripada separuhnya.
Chalutu menjadi bermata merah bahna murka dan
mendongkolnya. Ia lompat menerjang, ia mengampak Tan Hong
dengan sepasang kampaknya.
Thio Tan Hong tertawa, tangannya yang menyekal pedang
diputar dari kiri ke kanan, sedang pedangnya In Loei, yang bergerak
berbareng, digeser dari kanan ke kiri. Maka bersatulah kedua
pedang! Dan terdengarlah satu suara keras dan nyaring, atau kedua
kampaknya Chatutu telah tertangkis terpental, hampir terlepas dari
cekalan, sebab telapak tangan si pemilik kampak dirasakan sangat
sakit, telapak tangan itu bermandikan darah!
Chalutu sangat agulkan kekuatannya, dia jumawa sekali,
sekarang insyaflah ia, sepasang pedang dari kedua lawannya itu
nyatalah ada jauh terlebih hebat daripada sepasang kampaknya itu!
Tan Hong pun kagum akan menyaksikan kampak lawan tidak
terpental terlepas. Ia lantas tertawa pula!
"Nah, marilah sambut lagi ini!" seru dia kepada lawannya itu, lalu
sambil miringkan sedikit tubuhnya dari arah samping, ia menikam.
Chalutu masih sanggup tarik pulang sepasang kampaknya, masih
kuat ia menyekal senjatanya itu, untuk menangkis serangan. Kalau
tadi ia yang menyerang, sekarang ia jadi si pembela diri. Ia
memecah kampaknya, ke atas dan kebawah, dengan tipu silat
"Tjiethian watee," atau "Menundukkan langit, menggores bumi." Di
atas ia menangkis untuk bela diri, di bawah ia membabat ke arah
kaki.
Berbareng dengan itu, juga pedangnya In Loei bergerak,
mengimbangi gerakan pedangnya Tan Hong, maka setelah ke
empat senjata bergerak berbareng, terdengarlah pula suara nyaring
dari bentroknya kedua pasang senjata itu. Begitu hebat kampaknya
Chalutu, kedua kampaknya turun terus, mengenai tonggak batu,
hingga tonggak itu gempur, batunya hancur, terbang berhamburan!
Tapi Tan Hong berdua In Loei, telah berkelit diri.
"Kau pergilah pulang!" demikian suara si anak muda, setelah ia
maju pula dengan satu lompatan pesat, hingga ujung pedangnya
segera dapat diarahkan ke bebokong musuh, ke arah urat besar!
Chalutu segera perdengarkan jeritan keras, berbareng dengan
terlepas dan terlemparnya sepasang kampaknya, ia menyemburkan
darah hidup dan dalam mulutnya, lalu dengan terhuyung-huyung
tubuhnya rubuh ke tanah, tanpa bergerak lagi. Melayanglah
jiwanya!
Kwee Hong yang melihat itu, kaget bukan main, hatinya menjadi
ciut. Sekarang tak ingat lagi ia kepada tugasnya memegang
pimpinan, malah melupakan lengannya yang sakit, ia ulur
tangannya yang satunya pula, ditempel kepada tanah, untuk ia
kerahkan tenaganya mengenjot diri, untuk berlompat jumpalitan,
untuk setelah itu, mencari jalan menyingkirkan diri. Ia gunai kedua
kakinya dan tubuhnya juga, ialah habis berlompat, ia
bergulingan.....
"Ke mana kau hendak kabur?" bentak Tamtay Keng Beng, yang
lihat aksi musuh itu.
Sambil berseru, si nona berlompat, pedangnya menuding ke arah
musuh, tepat menancap di dada ujungnya tembus ke bebokong,
hingga si Naga Sakti Rambut Merah tak dapat bernapas terlebih
jauh!
Lagi sejenak, maka berhentilah pula pertempuran yang dahsyat
itu. Di pihak Kwee Hong, orangnya habis musnah. Di pihak Tan
Hong, empat pahlawan istana binasa dan satu terluka. Syukur bagi
Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam, mereka tidak kurang suatu apa.
Pada pihaknya Tongteng Tjhoengtjoe ada kerugian beberapa orang
binasa dan luka.
Dengan tidak membuang tempo lagi, Tan Hong ajak In Loei lari
kepada In Tiong yang terluka parah, mereka lihat anak muda itu
separuh meram, dan tangannya bengkak seumpama lodong.
In Loei lantas bercucuran air mata.
"Koko" dia lompat kepada kakaknya itu.
Tan Hong segera maju menghampirkan.
"Adik kecil, adik kecil!" Tan Hong berkata, "biarkan kakakmu
beristirahat! Mari kita gendong dahulu ia, untuk dibawa pulang ke
rumah!.....”
In Loei sangat menyayangi kakaknya itu, ia berkuatir, dari itu, ia
seperti tidak gubris nasihatnya Tan Hong itu.
Syukur bagi In Tiong, dia telah dapat empos semangatnya, bisa
ia menahan napas, walaupun lengannya parah, namun racun, tidak
berhasil mendesak sampai kehati.
"Koko, bagaimana kau rasa?" In Loei tanya kakaknya itu. "Toa.....
Tan Hong, apakah lukanya kakakku ini berbahaya?"
Si nona tanya kakaknya, lalu tanpa tunggu jawahan, ia balik
menanya Tan Hong, yang hampir saja ia panggil toako. Memang
telah biasa ia menggunakan kata-kata toako itu, hanya sekarang
dihadapan In Tiong dan beberapa orang lainnya, tiba-tiba ia merasa
likat. Karena menyebut nama Tan Hong itu, dengan sendirinya
wajahnya menjadi bersemu dadu.
"Tidak, tidak apa-apa....." Tan Hong jawab.
"Hanya terlebih baik biarkan dia beristirahat.....”
In Tiong sendiri telah tidak jawab adiknya itu, sewaktu ditanya,
dia tengah memejamkan mata, ia seperti tak sadar akan dirinya.
Baharu kemudian, mendadak ia buka kedua matanya.
"Kau siapa?" ia balik tanya adiknya.
"Koko, akulah adik kandungmu," In Loei jawab.
In Tiong lirik Tan Hong, lalu ia tertawa dingin.
"Kau adik kandungku? Apakah kau tidak keliru kenali orang?" dia
tanya adiknya.
In Loei menangis.
"Koko, kau tega." Kata dia. "Betapa sengsara aku mencari
kau.....”
"Adakah aku mempunyai adik perempuan yang sedemikian baik
hatinya?" In Tiong masih mengejek.
"Memang aku adalah adik kandungmu." sang adik bilang. "Jikalau
kau tidak percaya.....”
"Bukti apa kau ada punya?" kakak itu tanya, keras.
In Loei kertek giginya, tangannya merogo ke dalam sakunya dari
mana ia keluarkan surat wasiat kulit kambing yang bertuliskan
dengan darah. "Koko, kau lihat ini!" ia kata.
Dua saudara ini memang masing-masing ada punyai separuh dari
surat wasiat itu, itu adalah bukti paling kuat.
In Tiong lirik surat wasiat itu, lalu ia lirik juga si nona. Ia lihat dua
butir air mata jatuh dari kedua matanya adik itu.
"Hm," katanya, "masihkah kau ada punya muka untuk keluarkan
surat wasiat engkong?"
Tahu sudah In Tiong akan adiknya ini tetapi sengaja ia bawa
sikapnya itu, untuk paksa si adik keluarkan surat wasiat itu.
Sakit rasanya hati In Loei, tetapi karena sikap aneh dari kakaknya
ini, ia tidak jadi menangis, air matanya tak mengucur terlebih jauh.
Sehabis mengejek adiknya itu, In Tiong pandang Tan Hong,
sekonyong-konyong ia angkat tangannya untuk menuding. Di saat ia
hendak buka mulut, untuk mengatakan sesuatu, sekonyong-
konyong juga Tan Hong berlompat, dengan jari-jari tangannya yang
kuat bagaikan tombak cagak, ia totok lengannya In Tiong itu. In
Loei kaget bukan kepalang.
"Hai, kau berbuat apa?" dia tanya.
Tan Hong belum menjawab, atau In Tiong sudah menghela
napas.
"Thio Tan Hong, tidak usah kau berlaku baik hati, tak usah kau
berpura-pura," ia kata. "Aku, walaupun aku mesti terbinasa, tidak
nanti aku kesudian menerima budi kebaikanmu.....”
Mendengar ini, In Loei lantas insyaf.
Nyatalah Tan Hong bukan serang kakaknya itu, yang sedang
sakit dan tidak berdaya, tapi Tan Hong justeru menggunakan
kepandaiannya untuk tolong sang kakak. Serangan itu adalah
semacam pukulan untuk mencegah jalan darah, guna mencegah
racun menjalar naik.
"Adik kecil, marilah kita lekas pulang!" Tan Hong kata tanpa
mempedulikan sikap kasar dari si Boetjonggoan. "Mari, mari, kita,
bicara!"
Dan dengan ulur tangannya, ia tarik tangan baju si nona.
In Loei melirik kepada kakaknya, lantas ia putar pergelangan
tangannya, dengan begitu loloskan cekalannya si anak muda.
Mukanya menjadi pucat pias, ia berdiri tanpa sepatah kata.
Tan Hong jadi sangat bersusah hati, ia pun jengah, maka dengan
membungkam ia menjauhkan dirinya.
Tamtay Toanio, yang sejak tadi berdiam saja, menggeleng
kepala.
Tamtay Keng Beng jadi sangat heran, hingga di dalam hati
kecilnya, berkata: "Jikalau kata-kata Tan Hong yang aku dengar di
dalam guha, terang sekali dia sangat erat hubungannya dengan
nona ini, mestinya si nona adalah jantung hatinya, maka heran,
kenapa nona ini bersikap begini tawar terhadapnya?"
Sambil berpikir demikian, Keng Beng menoleh kepada Tan Hong,
justeru si anak muda angkat tangannya, menggape kepadanya.
Dengan hati bimbang, Nona Tamtay menghampiri anak muda itu.
Tan Hong tunggu orang telah datang dekat sekali padanya, ia
berkata dengan perlahan: "Lukanya In Tiong bercampur racun
tangan liehay, luka itu tidak dapat dia mengobatinya sendiri. Aku
ada punya obat mustajab warisan leluhurku, hendak aku ajarkan
kau cara mengobatinya, untuk kau obati dia hingga menjadi
sembuh.....” Sambil berkata Tan Hong sambil serahkan obatnya
yang lantas diterima oleh Keng Beng.
"Siapakah nona itu?" Keng Beng tanya.
Tan Hong menyeringai ketika ia jawab: "Aku adalah musuh dia!"
Nona Tamtay melengak.
"Apa? Dia itu musuhmu?" ia tanya.
"Bukan! Akulah musuh dia!" sahut Tan Hong. "Oh, bukan! Dia
anggap aku adalah musuhnya.....”
"Kalau begitu, kenapa tidak kau sendiri yang obati dia?" Nona
Tamtay tanya. Ia masih heran. "Tidakkah dengan begitu,
permusuhan dapat dibikin habis?"
Tan Hong tertawa.
"Aku justeru tidak ingin dia ketahui bahwa akulah yang
menolongnya," ia jawab. "Aku tak ingin nanti dia mengatakan, aku
tolong dia justeru dia tengah terancam bahaya maut, supaya aku
jadi melepas budi terhadapnya."
Sementara itu Tongteng Tjhoengtjoe sudah lantas suruh satu
orangnya gendong In Tiong untuk dibawa pulang. Ketua Tongteng
Santjhoeng ketahui pentingnya waktu, jadi tak dapat mereka
berdiam lama-lama di dalam tin itu.
In Loei lantas berjalan mengikuti, tapi satu waktu ia menoleh ke
belakang, maka matanya segera bentrok dengan satu
pemandangan, yang membuat hatinya tergerak. Ia tampak Tan
Hong jalan berendeng dengan Keng Beng, pemuda dan pemudi itu
tengah berbicara satu dengan lain, muka mereka dekat sekali satu
pada lain, hingga mulut si anak muda bagaikan nempel kepada
rambut di samping kupingnya si nona. Mereka pun bicara sambil
tertawa-tawa, agaknya mereka tengah bergurau.
Tak keruan rasa hatinya Nona In ini.
"Baiklah, kau tidak pedulikan aku, aku juga tak akan pedulikan
kau!" pikirnya, "bila diumpamakan saja sebagai orang yang belum
pernah kenal satu pada lain, kita berpisah saja, habis perkara!.....”
Tiba-tiba saja muncul kesedihannya si nona, tanpa dapat ia
pertahankan lagi, air matanya turun mengetes.
"Nona, luka kakakmu tidak berbahaya," berkata Tongteng
Tjhoengtjoe, membujuk. "Jangan kau menangis....."
Ketua rumah ini tak tahu hati orang, ia menyangka si nona
kuatirkan keselamatan jiwa kakaknya, maka itu ia
menghiburkannya.
In Loei berdiam, ia seperti tidak mendengarnya. Ia sekarang
menangis dengan tersedu-sedu.
Ketika di akhirnya orang sampai di Tongteng Santjhoeng, itulah
waktunya asap mulai mengepul dari dapurnya setiap rumah.
Tongteng Tjhoengtjoe pernahkan In Tiong dalam sebuah kamar
bersih dan sunyi, ia tugaskan satu orangnya untuk menjaga dan
melayaninya. Di lain pihak, ia perintahkan lekas mensajikan barang
hidangan.
Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam menjadi tak enak hati. Tuan
rumah sangat manis budi dan ramah tamah sekali, ia juga tidak
hendak sebut-sebut halnya mereka itu datang untuk mencari harta
simpanan.
Selagi bersantap, dua orang itu menghaturkan terima kasih
kepada Tan Hong yang telah tolongi mereka.
Tak lama sehabis dahar, semua orang undurkan diri untuk
beristirahat.
Tamtay Keng Beng taati pesan Tan Hong. Sehabis bersantap,
seorang diri ia pergi ke kamar In Tiong. Dari luar kamar ia sudah
tampak sinar api, yang memperlihatkan bayangannya In Loei. Ia
hentikan tindakannya di muka pintu.
"Koko, kakek kita bukanlah dia yang mencelakainya," begitu ia
dengar Nona In bicara kepada kakaknya. "Tentang itu, Ie Kokioo
sudah membicarakannya dengan jelas sekali. Maka itu, sakit hati itu
baiklah jangan dibalas lagi."
"Habis apa kau hendak bilang tentang sakit hati selama dua
puluh tahun kakek mesti menggembala kuda?" terdengar In Tiong,
sang kakak.
"Itulah perbuatan ayahnya," In Loei bilang. "Memang perbuatan
itu tidak selayaknya. Itu juga bukannya suatu permusuhan yang
hebat sekali." In Tiong tertawa dingin.
"Pandai kau membelai musuh!" katanya, tajam.
In Loei lantas menangis.
"Koko....." katanya, tertahan.
"Apa?" sang kakak bilang. "Gadisnya Keluarga In dilarang tidak
bersemangat jantan!"
In Loei gigit giginya atas dan bawah, ia seka kering air matanya.
"Koko, gurumu sendiripun mengatakan bahwa Thio Tan Hong itu
adalah orang kaum kita," berkata ia, sungguh-sungguh. "Yang mesti
diutamakan adalah musuh luar, musuh asing, maka segala apa yang
dapat disudahi, baiklah dibikin habis saja.....”
Berulangkah In Tiong perdengarkan suara tawarnya, "Hm! Hm!"
Kemudian dengan tiba-tiba, ia kata dengan keras: "Aku tahu kau
memang cintai bocah she Thio itu!"
In Loei sudah pertahankan sedapat-dapat untuk tidak menangis,
tetapi mendengar suara kakaknya itu, ia menangis pula menangis
dengan merasa malu dan mendongkol.
"Siapa bilang aku cinta ke padanya?" dia tanya dengan keras.
"Dia..."
"Kau cinta dia, baik! Kau tidak cinta dia pun baik!" kakak itu
memotong. "Tapi, pendek kata, aku larang kau menikah dengan
dia!"
"Diapun telah punyakan orang yang dia penujui!" In Loei berseru.
"Seumurku, tidak akan aku menikah, maka tak usahlah kau capekan
hati untukku!"
In Tiong melengak. Ia juga mendongkol. Di dalam hati kecil, ia
kata: "Kiranya karena kau tidak dapat menikah dengan Tan Hong,
kau jadinya tidak sudi menikah....."
Sebenarnya hendak kakak ini tegur adiknya itu, atau ia lihat
kedua mata adiknya merah, ia jadi batal sendirinya. Sesaat itu ia
ingat bahwa adik ini adalah adik satu-satunya, sedang pertemuan
mereka ini adalah yang pertama sejak perpisahan mereka belasan
tahun. Ia menjadi tak tega hati. Di akhirnya, ia menghela napas
sendiri.
Adalah di saat itu, mereka dengar suara pintu berkeletek, disusul
oleh suara batuk-batuk perlahan, lalu daun pintu terpentang,
tertolak dari luar, dari mana terlihat Nona Keng Beng bertindak
masuk.
In Loei jengah sendirinya. Baharu ia bicarakan nona itu, sekarang
si nona sendiri muncul. Tapi ia paksakan hati, untuk menyambutnya
sambil tertawa.
"Terima kasih, nona," kata In Tiong. "Sebenarnya tidak berani
aku mengharap kedatanganmu ini.....”
Nona Tamtay berlaku polos.
"Mari ijinkan aku lihat lukamu," ia kata, langsung.
"Lukaku tidak berarti, terima kasih untuk perhatianmu,"
kata pula In Tiong, "Loei, tolong kau antarkan nona ini."
Sebenarnya mendongkol Keng Beng melihat sikap dan
mendengar perkataan In Tiong itu, akan tetapi ia dapat atasi
dirinya. Ia melirik, ia lantas bawa sikap seperti tak terjadi sesuatu.
Malah ia tertawa tertahan.
"Benarkah tidak apa-apa?" tanyanya, masih tertawa. "Cobalah
kau menyedot napas, ingin aku lihat!"
Tadi In Tiong bentrok sama adiknya, karena bangkitnya
kemurkaannya, lukanya kambu tanpa ia merasa, racun bekerja,
maka itu, waktu ia menarik napas, ia merasakan dadanya sesak,
iapun ingin tumpah-tumpah.
Keng Beng lihat itu, segera ia kata: "Jikalau kau tidak obati
lukamu ini, kau tak akan dapat lewatkan malam ini jam dua belas!
Untuk satu laki-laki, walaupun ada dibilang, dia pandang kematian
bagaikan berjalan pulang, akan tetapi kematianmu secara begini,
sungguh-sungguh sangat tidak berharga! Kalau aku, hm, tidak nanti
aku sudi menjadi laki-laki semacam itu!.....”
Mendadak wajahnya In Tiong menjadi pucat pias. Ia rasakan
lukanya mendatangkan rasa sangat sakit yang sangat.
"Nona Tamtay, tak dapatkah dia diobati?" In Loei tanya nona
rumah.
"Aku hanya kuatir kakakmu menolak orang hingga satu lie lebih!"
sahut Keng Beng.
Penyahutan ini ada mengandung dua maksud: Satu menyindir In
Tiong, dan kedua, mengenai juga penolakan In Tiong itu untuk Tan
Hong.
In Tiong tidak menginsafi itu, ia kata: "Terima kasih, nona. Di sini
aku telah menjadi tetamumu, sebenarnya tidak berani aku
membuatnya kau berabe.....”
In Loei sebaliknya mengarti akan maksud kata-kata itu.
"Kiranya Tan Hong telah bicara segala apa kepada nona ini.....”
pikirnya. Ia jadi berduka. Tapi di sini ada mengenai keselamatan
kakaknya, suka ia menindas perasaan hatinya. Maka ia kata:
"Jikalau nona dapat menolong kakakku ini, kita berdua saudara akan
bersyukur tak habisnya."
"Tak usahlah kamu bersyukur," bilang Nona Tamtay, yang
sebenarnya hendak mengatakan, "Sudah cukup untukku asal kau
tidak benci dan mencaci aku.....” Tiba-tiba ia merasa seperti
melihat Tan Hong lirik ia, maka pikirnya terlebih jauh. "Perlu apa
aku melukai hati kekasihnya?" Ia lantas lirik pula In Loei, di dalam
hatinya dengan menyesal ia kata: "Nyatalah nona ini ada jauh
terlebih beruntung daripada aku.....”
Segera nona ini keluarkan obatnya, yang ada dua rupa, yaitu
satu untuk dimakan, satu lagi untuk dipakai di luar. Ia juga
membekal sebilah pisau perak serta segumpal kapas.
"Entjie, kau tolong bantu aku," ia mohon kepada In Loei.
Tangan baju In Tiong segera digulung naik. Tempat yang luka,
yang bengkak, lantas digurat dua kali, merupakan segi empat,
kemudian, dengan cekal lengan orang, Nona Tamtay gunai jari-jari
tangannya akan menekan, atas mana, dari luka guratan itu sudah
lantas mengucur keluar darah yang hitam, yang berbau bacin.
Sebat bekerjanya nona rumah ini. Setelah merasa darah sudah
keluar cukup, ia sekai luka itu untuk bersihkan darahnya, lalu ia
memborehkan obat, yang lebih jauh ia tutup pula dengan kapas
untuk terus dibalut.
Lengan In Tiong itu sebenarnya kaku dan ba'al, tidak
mendatangkan rasa sakit, akan tetapi setelah perawatannya Keng
Beng itu, sebentar kemudian, anak muda ini merasakan tekanan,
atau pencetan, sepuluh jari si nona, membuatnya ia merasa sakit
sedikit, sakit-sakit enak.....
Selama di gurun pasir Utara, jarang In Tiong melihat nona-nona
remaja, sekarang ia menghadapi nona ini, yang cantik manis luar
biasa, tanpa merasa hatinya tergerak, jantungnya berdenyut dan
goncang bagaikan berlompatan. Kulit mukanyapun ia rasakan panas
sendirinya.
"Budimu yang sangat besar ini, nona, tidak nanti aku
melupakannya," kata ia akhirnya. "Menyesal aku telah membuatnya
kau bercape lelah.....”
Tamtay Keng Beng tidak angkat mukanya ketika ia berikan
penyahutannya: "Aku lihat kau adalah satu laki-laki sejati, mengapa
sekarang kau bawa sikapmu sebagai satu nona pemaluan?"
In Tiong adalah satu laki-laki, jikalau di waktu-waktu biasa ada
orang mengatakan ia bersifat bagaikan perempuan, ia tentu akan
gusar, sebab ia anggap itu suatu penghinaan besar, tetapi sekarang
Tamtay Keng Beng yang mengatakan itu, sebaliknya, ia jadi merasa
sangat senang. Begitulah ia merasa mukanya panas.....
"Terima kasih, entjie," kata In Loei setelah nona itu selesai
dengan tugasnya. "Biarlah selanjutnya aku yang merawati kakakku
ini."
Memang niat Keng Beng, sehabis mengobati, hendak ia lantas
undurkan diri, maka ketika mendengar perkataan itu, ia tinggalkan
sisa obat, ia berikan petunjuk terlebih jauh, setelah kesemuanya itu,
tanpa mengucap sepatah kata, cuma dengan manggut perlahan
kepada Nona In itu, ia bertindak pergi.
Heran In Loei menyaksikan sikap itu.
"Nona ini datang untuk menolongi, kenapa sikapnya begini
dingin?" ia berpikir. "Mungkinkah dia telah dengar perkataan-
perkataanku tadi?.....”
Karena ini, ia menjadi merasa kurang tenang.
In Tiong tunggu sampai suara tindakan kaki orang mulai lenyap,
baharu ia buka mulutnya.
"Nona Tamtay itu baik sekali!" bilangnya. Pada sinar matanyapun
nampak tanda bahwa ia merasa puas, sinar mata itu bersorot halus.
Mendengar ini, melihat sinar mata kakak itu, hati In Loei
tergerak. Segera teringat ia akan pertemuannya tadi dengan Tan
Hong. Ia pandang kakaknya itu, hendak ia bicara, atau ia batal
sendirinya.
In Tiong lihat wajah adiknya itu, kelakuan mana agak luar biasa,
ia menjadi heran. Bibir adik itu sudah hendak bergerak, lalu urung.
Sinar mata adik itupun yang semula bercahaya, lalu guram.
Nampaknya adik itu berkuatir atau tegang. Paras adik itu
mendatangkan rasa kasihan orang.....
Nona Tamtay di lain pihak sudah berjalan terus, ia melintasi
lorong, ia mutar ke gunung-gunungan palsu, dari mana ia hendak
langsung pergi kepada Tan Hong, untuk melaporkan bahwa
tugasnya telah selesai.
Tan Hong tetap bertempat di dalam kamar indah di tengah
empang teratai itu. Ketika itu sang rembulan dari tanggal muda
baharu saja mulai muncul, menyinari bunga teratai, membuatnya
suasana di situ sangat tenang. Ketika itu si pemuda tengah
menyenderkan tubuh kepada loneng. Ia mengenakan pakaian serba
putih, yang putih mulus bagaikan salju. Matanya memandang jauh
ke depan, dari mulutnya terdengar suara bersenanjung perlahan.
Keng Beng menghentikan tindakannya ketika ia dengar suara
orang, yang telah terbawa angin. Ia mengawasi sambil memasang
kuping.
Yang disuarakan itu adalah syair "Lim Kang Sian" atau "Dewi
turun ke sungai" dari Lok Kian Ie dari negeri Houw Siok, Siok
Belakangan, dari jaman Ngo Tay. Tamtay Keng Beng kenal syair itu,
di dalam hati kecilnya, ia kata: "Dia pinjam syair itu, inilah sangat
tepat. Tepat tempatnya, tepat suasananya. Dari telaga ini ia
memandang keselatan, di sanalah kota Souwtjioe. Kota Souwtjioe
itu dahulu adalah tempat letaknya istana Thio Soe Seng, hanyalah
sekarang, istana itu telah menjadi tanah belukar, gempur
temboknya, lebat lumut dan rumputnya. Pantas dia teringat akan itu
semua.....”
Setelah berdiam sejenak, nona ini berpikir pula: "Dia
mengenangkan negaranya begini rupa, toh dia hendak serahkan
peta buminya dan harta pusakanya kepada musuh dari leluhurnya,
yaitu kaisar ahala Beng, sikapnya dan perbuatannya itu, sungguh
ada hal yang ganjil.....”
Selagi ia bagaikan melamun, nona ini dengar lebih jauh suara
orang, yang di akhiri tangisan sesegukan. Ia menjadi heran sekali.
Tidak ia sangka, pemuda yang gemar tertawa itu pun bisa
menangis. Ia turut menjadi terharu. Tapi, sehabis menangis, tiba-
tiba Tan Hong tertawa, akan akhirnya dia bersenanjung pula: "Tali
baju menjadi longgar, tidak aku menyesal, untuk dia aku menjadi
kurus layu, aku pun puas. Apakah yang hendak dibuat duka? Ya,
adik kecil, adik kecil, walaupun kau menyiksa pula padaku, tidak
nanti aku gusar dan sesalkan kau.....”
Mendengar itu, Keng Beng menjadi tidak keruan rasa,
perasaannya pun menjadi campur aduk. Ia berduka. Ia tersadar
dengan terkejut ketika kemudian ia tampak bayangan bunga telah
bergeser, sedang dari luar pekarangan, ia dengar suara kentongan,
yang berbunyi tiga kali. Tidakkah ia datang ke situ untuk memberi
laporan kepada Tan Hong? Kenapa ia berdiam saja di tengah jalan,
seperti ia takut menemui Tan Hong itu?
"Nyatalah sangat sekali cintanya ia terhadap In Loei," ia berpikir.
"Untuk In Loei itu, ia rela menderita. Seandainya ada lain orang
yang menyinta aku seperti cintanya dia itu, oh, matipun aku
puas..... Ah, sayang sekali mereka ada dari keluarga-keluarga yang
saling bermusuh. In Tiong ada demikian berkeras hati,
bagaimana nanti
-ooo00dw00ooo-

Bab XIX
Nona Tamtay terus berdiri diam, pikirannya terus bekerja keras,
hingga tak sadar ia bahwa sang waktu telah berjalan terus, sampai
kemudian, ketika ia angkat kepalanya memandang ke arah Tan
Hong, anak muda itu telah lenyap dari tempatnya meloneng tadi.
"Rupanya sia-sia ia menantikan aku, ia sudah lantas pergi tidur,"
ia berpikir.
Karena ini, Keng Beng lantas membalik tubuh, untuk jalan
kembali. Tengah ia keluar dari gunung-gunungan, ia lihat satu tubuh
berkelebat di antara pohon-pohon bunga, segera ia lompat maju
untuk memapaki, segera In Loei tampak di depannya.
"Oh, entjie." ia membuka suara. "Sudah begini malam, kenapa
kau masih belum tidur?" Nona In melengak.
"Aku baharu saja tunggui kakak tidur," ia menyahut kemudian.
"Aku keluar untuk mencari angin.....”
"Bagaimana keadaannya kakakmu?" Keng Beng tanya pula.
"Terima kasih, entjie. Sungguh kau pandai mengobati, sekarang
bengkaknya lengan kakakku telah kempes delapan atau sembilan
bagian. Aku percaya, besok kakakku akan sudah dapat turun dari
pembaringan."
Selagi mengucap demikian. In Loei merasa sangat heran.
Ia berpikir: "Tadi di waktu merawat kakak, dia bersikap sangat
tawar, mengapa sekarang dia sangat ramah tamah terhadap aku?"
Keng Beng bersenyum. Ia seperti tidak ambil pusing bahwa
orang heran, ia malah ulur tangannya ke pundak nona itu, ia
dekatkan mulutnya kekuping si nona. Terus saja ia berbisik: "Entjie,
jangan kau mengucap terima kasih terhadap aku..... kau
seharusnya bersyukur kepada Tan Hong....."
In Loei makin jadi heran. "Apa?" tanyanya.
"Obat adalah kepunyaannya, pun cara mengobatinya dialah yang
mengajarinya padaku," Nona Tamtay jawab.
"Oh!" In Loei berseru, lalu ia bungkam, matanya mendelong.
Untuk sejenak itu tak dapat ia berkata-kata.
Keng Beng melanjutkan perkataannya. Ia kata: "Kemarin dia lihat
In Toako memaksa kau keluarkan itu surat wasiat kulit kambing
yang berdarah, dia tidak menghendaki kau dan kakakmu ketahui
bahwa dialah yang memberi obat, maka dia pinjam tanganku."
Mendengar itu, di dalam hatinya, In Loei kata: "Kiranya kemarin
mereka bicarakan urusan ini, nyatalah anggapanku itu keliru."
Karena ini, ia jadi bersyukur kepada Tan Hong, ia menginsyafi
perhatiannya anak muda itu. "Ah, mengapa ia mesti berbuat
demikian?" katanya, menanya.
"Umpama akupun menyukai satu orang, aku akan berbuat
demikian juga," ia bilang. "Asal saja orang akan merasa beruntung,
tidak ada artinya kalau kita sendiri rugi sedikit.....”
Kembali In Loei melengak.
"Nona ini baharu kenal aku, kenapa dia bergurau begini rupa?" ia
pikir. Tapi ia merasa bahwa orang rupanya bersungguh-sungguh,
maka ia menatap, hingga sinar kedua pasang mata jadi bentrok satu
pada lain. Ia lantas lihat bahwa pada senyuman nona itu ada apa-
apa yang dingin.
Nona Keng Beng ada cerdik sekali, melihat wajahnya In Loei, ia
menduga bahwa orang masih bercuriga, maka itu, ia gigit kedua
baris giginya dengan keras, untuk menguasai dirinya, guna cegah
berdenyutnya jantungnya.
"Kakakmu adalah satu laki-laki, entjie, hanya sayang ia sedikit
keras kepala," ia bilang.
Kembali heran In Loei akan dengar kata-kata itu, akan tetapi
kakaknya dipuji, ia lantas tertawa. Apakah kau hanya punya satu
kakak?" Keng Beng tanya pula, secara mendadak.
"Ya, aku hanya punya seorang kakak," In Loei jawab.
"Apakah ada lain orang lagi dalam rumahmu?" lagi-lagi Keng
Beng tanya.
"Masih ada ibuku, tetapi sekarang ia berada di Mongolia, entah di
mana," In Loei jawab. "Di belakang hari, akan aku cari ibuku itu.....”
"Kecuali ibu, apakah tidak ada lagi sanak terdekat?" Keng Beng
tanya pula. Ia seperti tak habisnya menanya.
"Tidak ada lagi. Kakakku masih belum menikah."
"Oh, entjie belum punya enso?"
Sampai di situ, keheranan In Loei bersalin rupa. Terang si nona
tengah mencari jalan untuk bicara tentang kakaknya. Mulanya ia
menyangka, nona itu menaruh hati kepada Tan Hong, tapi nyatanya
sekarang bahwa dia sebenarnya memperhatikan kakaknya itu.
Hampir saja ia mengatakannya: "Jikalau kau sudi jadi enso-ku,
itulah baik sekali!" Tapi masih dapat ia mengatasi diri, terhadap
seorang yang baharu dikenal, tidak berani ia sembarang bergurau.
Hanya pada alisnya sajalah tampak tegas kegirangannya. Ia awasi
nona itu, ia bersenyum.
"Ya, aku masih belum punya enso....." ia jawab.
In Loei tidak tahu bahwa sebenarnya, dengan paksakan diri,
Keng Beng ucapkan kata-katanya melulu untuk melenyapkan
kecurigaan, atau cemburu terhadap ia.
Di antara sinar rembulan, yang nyeplos antara daun-daun pohon-
pohonan, kelihatan kedua nona itu saling menjabat tangan,
keduanya bertindak dengan perlahan dengan hati mereka masing-
masing bergoncang sendirinya. Mereka berjalan di tepi pengempang
teratai, hingga di lain saat, di antara tedengan gorden, mereka lihat
suatu bayangan tubuh.
"Tan Hong masih belum tidur!" kata Keng Beng sambil tertawa.
"Dia tengah menantikan kau, entjie1."
"Cis" seru In Loei, yang segera merasakan mukanya panas
sendirinya. Ketika tadi ia keluar dari kamar In Tiong memang
hatinya pepat, ingin ia melegakannya. Ia bimbang. Adalah niatnya
untuk menyingkir dari Tan Hong, akan tetapi, adalah niatnya juga,
untuk tengok anak muda itu, maka ia telah bertindak ke arah
pengempang. Adalah di luar dugaannya bahwa rahasia hatinya itu
dapat dibade Keng Beng. Maka ia menjadi jengah.
Keng Beng sudah lantas tertawa geli, ia terus putar tangannya
untuk dapat terlepas dari cekalannya si Nona In, setelah mana, ia
lari mutar ke gunung-gunungan akan kemudian lenyap dalam
semak-semak pohon bunga.
In Loei awasi orang menyingkir. Kapan kemudian ia menoleh ke
arah paseban di tengah empang, ia tampak Tan Hong sudah
pentang daun jendela dan kepalanya ditongolkan keluar.
"Adik kecil! Adik kecil!" demikian suaranya anak muda itu,
perlahan tetapi tedas di antara kesunyian malam itu.
In Loei tidak jawab panggilan itu. Ia seperti terhilang rasa, tetapi
dengan perlahan-lahan, ia bertindak ke arah empang teratai itu.
Keng Beng dari tempatnya sembunyi saksikan pemandangan itu,
ia menjadi girang berbareng sedih, hingga tanpa merasa, ia
mengucurkan air mata.
In Tiong sementara itu dapat tidur nyenyak selama satu malam,
ketika keesokannya ia mendusi, ia tampak matahari sudah naik
tinggi. Ia ingat kepada lukanya, ia lantas menggerak-gerakkan
lengannya yang sakit. Untuk kegirangannya, ia dapat bergerak
dengan leluasa, seperti biasa. Melainkan tubuhnya, ia rasakan masih
sedikit lemah.
Ia berdahaga, ia lantas ceguk secawan air. Kemudian ia
berbangkit akan rapikan pakaiannya, untuk bertindak keluar dari
kamar, dengan begitu dengan lantas ia dapat saksikan
keindahannya Tongteng Santjhoeng dengan gunung dan gua
palsunya, dengan tamannya, dengan pengempangnya dan lain-
lainnya lagi.
Dengan pikiran terbuka, In Tiong jalan terus, tindakannya
lambat. Ketika ia tiba di depan gunung-gunungan, tiba-tiba ia
dengar suara orang bicara di arah belakang gunung palsu itu. Suara
itu keras. Itulah suara orang bertengkar, berebut omong.
"Harta simpanan ini telah kita jagai untuk iaotjoekong selama
beberapa turunan," demikian satu orang, "kenapa sekarang harta
itu hendak diserahkan kepada musuhnya, kepada kaisar keluarga
Tjoe? Di alam baka, pastilah Iaotjoekong tak akan meram mata!"
("Laotjoekong" ialah "majikan atau junjungan yang tua").
"Duduknya hal tidak demikian," terdengar satu suara orang tua,
yang tegas dan nyata. "Benar seperti katanya siauwtjoe, dahulu
adalah dua keluarga memperebutkan negara, akan tetapi sekarang
adalah suatu bangsa asing hendak datang menyerbu! Dalam hal ini
kita mesti menimbang berat dan entengnya, maka itu mestilah kita
bersatu hati dan bersatu tenaga, untuk menangkis musuh luar!"
Seorang lagi berkata: "Aku tidak percaya kaisar keluarga Tjoe
hendak bersungguh-sungguh hati menangkis serangan musuh luar
itu!"
Kembali terdengar suara angker dari si orang tua tadi: "Dalam
keadaan hebat seperti ini, dia tidak melawan juga tak mungkin! Kita
harus ingat, di samping kaisar itu, ada Ie Kiam dan lain menteri
besar yang setia kepada negara. Sekarang telah pasti keputusanku,
hendak aku turut perkataannya siauwtjoe, maka kamu semua
jangan banyak omong pula!" ("Siauwtjoe" ialah "tuan atau
junjungan yang muda.")
In Tiong kenali, orang tua itu adalah Tongteng Tjhoengtjoe, tuan
rumah dari Tongteng Santjhoeng itu, maka yang lainnya tentulah
orang-orangnya si tuan rumah.
Hatinya lantas saja bercekat. "Sri Baginda telah menganggap
Thio Tan Hong mencari harta simpanan dan peta bumi itu hendak
dipakai memberontak melawan pemerintah," ia berpikir, "tetapi
sekarang buktinya, harta besar itu justeru hendak dipersembahkan
kepada Sri Baginda!"
In Tiong merasa aneh, ia menjadi kagum, hatinya goncang keras.
Dalam saat seperti itu, ia tak bisa berbuat lain daripada berdiri
terpaku bagaikan patung.
Atau mendadak: "Hai Tjonggoan thaydjin kau pun telah datang
kemari?" demikian satu teguran, yang datangnya dari arah lorong,
teguran mana diberikuti suara tertawa.
Dengan terkejut In Tiong menoleh. Maka dilorong itu, ia tampak
dua orang tengah mendatangi ke arahnya. Ia segera kenali, mereka
itu adalah si ibu dan anak daranya yang ia ketemukan di warung
teh. Tentu saja sekarang tahulah ia siapa ibu dan anak itu.
"Peebo" ia lantas memanggil sambil terus memberi hormat.
Tamtay Toanio lantas tertawa.
"Bagaimana, kau telah sembuh?" tanya nyonya itu. "Sungguh kau
beruntung!"
Dan si nona atau Tamtay Giok Beng, telah bawa kejenakaannya.
Ia tertawa haha-hihi ketika ia berkata kepada ibunya: "Aku
telah dengar entjie mengatakan bahwa kemarin dia masih
berlagak menjadi satu laki-laki!.....”
Paras In Tiong menjadi merah sendirinya.
Nona yang jail itu tidak memperdulikannya, dia malah tertawa
dingin sekarang. Dengan sebat dia rogo sakunya, untuk tarik keluar
sehelai saputangan tersulam, dengan satu gerakan tangan, ia
kibaskan itu yang membuatnya terbeber, maka di dalam saputangan
itu tertampaklah sulaman dari sepuluh tangkai bunga merah, yang
berkibar secara menyolok mata!
In Tiong lihat saputangan dengan sulaman bunganya itu, kembali
hatinya bercekat.
Tamtay Toanio tertawa.
"Anak Beng, jangan kau bikin kaget tetamumu!" dia kata.
Masih Giok Beng tertawa cekikikan. Dengan dua jari tangannya
yang sebelah, ia gulung tujuh tangkai bunga merah itu, sambil
menggulung ia berkata dengan wajar: "Ini tujuh butir telur busuk
yang hendak bikin celaka toako Tan Hong telah aku petik! Tinggal
tiga lagi tetapi Toako Tan Hong larang aku mengganggunya, di
larang sekalipun disentuh saja!.....”
In Tiong bercekat pula. Ia tahu, tiga tangkai itu dimaksudkan
terhadap dia bersama Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam.
Tamtay Toanio tertawa pula.
"Sejak di paseban teh telah aku lihat In Siangkong adalah orang
baik-baik," ia bilang. "Sudahlah, anak Beng, aku larang kau
bergurau pula!"
Keluarga Tamtay ini bertugas melindungi harta simpanan, oleh
karena itu Tongteng Tjhoengtjoe Tamtay Tionggoan telah wajibkan
diri menduduki Tongteng San Barat itu. Selaku persiapan, bagaikan
mata-mata, telah diadakan warung teh itu, yang dilakukan Tamtay
Toanio serta puterinya, untuk mengawasi setiap orang yang
mendaki bukit di tengah telaga itu. Sebelum ia masuk ke Tongteng
Santjhoeng, Tan Hong sendiri tidak tahu bahwa nyonya dan nona
itu adalah isteri dan anaknya Tamtay Tionggoan.
Tamtay Toanio tidak pedulikan orang heran atau bingung.
"In Siangkong," ia berkata pula kepada tetamunya itu, "mari aku
ajak kau melihat-lihat sesuatu!"
Dalam keadaan seperti itu, tak dapat tidak, In Tiong lantas ikuti
nyonya itu. Mereka jalan di lorong, memutari gunung-gunungan,
sampai di suatu tempat di mana — begitu berkilau sinar terang
mengkilap — In Tiong tampak tumpukkan emas dan perak, dari
barang-barang permata lainnya! Di sana pun berdiri Tongteng
Tjhoengtjoe bersama beberapa petani, mendampingi harta besar
itu.
"Ha, In Thaydjin, bagus kau datang!" seru tuan rumah begitu ia
tampak tetamunya itu. Kemudian, menoleh kepada satu orangnya,
ia menitahkan: "Pergi kau undang Thio Siangkong datang kemari!"
Tongteng Tjhoengtjoe biasa memanggil siauwtjoe, tuan muda,
kepada Thio Tan Hong, akan tetapi Tan Hong keras
menampik, maka kesudahannya dia mengubahnya panggilan itu,
dari siauwtjoe menjadi siangkong.
Tidak berselang lama, tampak Tan Hong datang bersama-sama
In Loei. Mereka itu bertindak di antara jalanan yang berbariskan
pohon-pohon bunga. Waktu In Loei lihat kakaknya, ia segera
kendorkan tindakannya, dari berendeng, ia jadi ketinggalan di
sebelah Tan Hong.
In Tiong saksikan pemandangan itu, diam-diam ia menghela
napas, ia merasa likat sendirinya. Tapi sekarang ia tidak lagi
bergusar seperti kemarinnya.
"Bagaimana dengan lukamu, saudara In?" tanya Tan Hong begitu
lekas ia telah datang dekat.
Sebenarnya In Tiong tidak niat menjawabnya, akan tetapi
kesopanan memintanya, maka ia manggut dengan tawar.
"Tak usah kau kuatirkan, aku masih hidup," ia jawab.
Tan Hong tidak marah, ia malah bersenyum. "Bagus!" katanya.
Ia menanya pun dengan sengaja, karena ia tahu kemujaraban
obatnya, yang begitu dipakai tentu bakal menyembuhkan lukanya.
Tongteng Tjhoengtjoe tidak pedulikan ketegangan di antara kedua
anak muda itu.
"Harta ini aku telah menjaganya selama beberapa turunan," ia
berkata, maka sekarang telah tiba saatnya untuk aku melepaskan
pikulanku yang beratnya ribuan kati! In Thaydjin, aku minta sukalah
kau beristirahat sedikitnya dua hari lagi di sini, setelah itu hendak
aku mohon agar kau angkut harta ini ke kota raja, untuk
dipersembahkan kepada junjunganmu supaya dipakai sebagai
belanja tentera."
Tan Hong tidak tunggu jawabannya In Tiong lagi, berkata: "Apa
yang dikatakan Anghoat Yauwliong kemarin bukan kedustaan
belaka," ia bilang. "Telah aku peroleh kabar pasti, angkatan perang
Watzu benar-benar sudah menerjang ke Ganboenkwan, di sana
telah terbit perang di antara kedua negeri!"
In Tiong dengar itu, ia menjadi sangat gusar, hingga dengan
tangannya ia sampok batu gunung-gunungan dihadapannya.
"Jikalau aku tidak sapu habis tentara Watzu, aku sumpah tak
akan jadi manusia!"
Tiba-tiba ia terhuyung, dari mulutnya ia muntah-kan darah hidup.
In Loei kaget, ia lompat akan tubruk kakak itu, untuk pegangi
tubuhnya
Tan Hong pun sambar tangan orang akan periksa nadinya.
"Jangan kuatir," kata ia setelah memeriksa. "Ini cuma disebabkan
kemurkaan disatu saat. Saudara In," ia tambahkan, "lagi dua hari,
kau akan sembuh pula. Jangan kau pikirkan tentang bahaya perang,
walau keadaan sangat genting, peperangan bukannya urusan dua
tiga hari. Yang penting adalah harta besar ini, di waktu diangkut,
kau harus mohon bantuannya Tjhoengtjoe, supaya nanti di tengah
jalan tak sampai ada yang begal!"
"Dan kau?" Tongteng Tjhoengtjoe tanya anak muda itu,
menegasi.
"Aku masih punyakan lainnya yang jauh lebih penting dari harta
ini," jawab Tan Hong.
"Ah, peta bumi, kau maksudkan?" tanya Tongteng Tjhoengtjoe.
"Benar," sahut Tan Hong. "Sekarang ini musuh tangguH dan kita
lemah, peta itu penting bagi pihak kita. Bukankah kita jadi berada di
tempat terang dan musuh di tempat gelap? Itu artinya lebih
berfaedah daripada tambahan sepuluh laksa serdadu!"
Mendengar itu, Tongteng Tjhoengtjoe tiba-tiba menggeleng
kepala, pada wajahnya pun lantas tampak roman berduka.
"Kenapa ha?" tanya Tan Hong.
"Thio Siangkong," sahut orang tua itu, "walaupun kau gagah dan
cerdas, dengan kau hanya seorang diri, hatiku tidak tenteram. Peta
itu ada mengenai nasibnya negara kita, dan dorna Ong Tjin telah
ketahui halnya itu! Benar rombongannya Anghoat Yauwliong telah
dapat kita tumpas, tetapi tak dapat kita pastikan bahwa dia tidak
akan mengirim lain rombongan lagi! Perjalanan ada ribuan lie
jauhnya, kau berjalan seorang diri, jikalau terjadi sesuatu di tengah
jalan kami tentunya tidak ketahui itu.....”
Tan Hong rupanya menginsyafi itu, ia bungkam.
"Selayaknya aku titahkan orang untuk temani siangkong,"
Tongteng Tjhoengtjoe berkata pula, "akan tetapi, sayang aku tak
dapat lakukan itu. Orang-orang di sini, semua kepandaiannya ada di
bawahan siangkong, maka jikalau siangkong menghadapi musuh
tanggu, siangkong tidak ada orang yang membantuinya....."
"Memang juga perjalananku kali ini agak berbahaya," Tan Hong
akui, "tetapi aku cuma membawa sehelai peta bumi, itu tidaklah
terlalu menyolok mata. Adalah kau, yang mengangkut harta besar,
kau memerlukan banyak tenaga. Maka untuk aku, janganlah kau
memecah-mecah tenaga."
In Tiong yang mendengar orang "adu mulut" jadi berpikir keras.
Tapi lekas sekali ia telah dapatkan pikiran. Maka ia angkat
kepalanya.
"Adik Loei, kau pergilah bersama dia!" tiba-tiba dia kata,
suaranya nyaring.
Mendengar itu, semua orang tercengang. In Loei sendiri girang
berbareng kaget, hatinya goncang. Inilah ia tidak sangka.
Rupanya In Tiong tahu keheranan semua orang, berikut adiknya
itu.
"Aku tahu kamu berdua mempunyai ilmu silat pedang yang
tergabung menjadi satu," ia tambahkan, "maka itu, walaupun
musuh ada jauh terlebih liehay, masih kamu dapat melayaninya.
Dengan kau yang pergi, hatiku tenang."
Dengan "ilmu silat pedang yang tergabung menjadi satu" itu, In
Tiong maksudkan "Siangkiam happek," yang ringkasnya, "sepasang
pedang terangkap."
Tan Hong segera menjura dalam kepada orang she In itu.
"Terima kasih, saudara In!" ia mengucap.
"Hm!....." In Tiong perdengarkan suara dingin.
"Terima kasih apa? Aku tidak memikir untuk kau!"
"Aku tahu maksudmu kepada peta bumi," sahut Tan Hong.
"Bagaimana jikalau aku menghaturkan terima kasih kepadamu atas
namanya negara kerajaan Beng?"
"Baik!" jawab In Tiong. "Karena kau hendak bekerja untuk
Kerajaan Beng, suka aku membalas hormatmu!" Dan ia lantas
menjura. Mau atau tidak, In Loei jadi bersenyum.
"Loei, mari!" In Tiong panggil adiknya itu.
In Loei hampirkan kakaknya, lalu berdua, sambil bergandengan
tangan, mereka bertindak ke arah pohon-pohon yang lebat. Di sini
In Tiong usap-usap rambut yang halus dari adiknya itu, sinar
matanya pun menyatakan ia sangat mengasihi adik itu.
"Adikku, adakah kau gusar kepadaku?" ia tanya, perlahan,
suaranya halus.
"Koko, aku justeru sangat girang!" sang adik jawab.
"Sejak kita berpisahan, tiada satu saat yang aku tidak pikirkan
kau," kata kakak itu pula. "Aku kangen terhadap kau, Loei, sehingga
kadang, aku bermimpi menemui kau..... Aku mimpikan kau bagaikan
kau baharu berumur tiga tahun, dengan tiga untai kuncirmu,
bagaimana dipadang rumput kau mengawasi ibu mengembala
kambing.....”
In Loei girang dan terharu, hingga ia mengeluarkan air mata.
"Koko, aku tahu, kau memang menyayangi aku, mengasihi
aku....." katanya.
In Tiong menghela napas panjang. "Kemudian," katanya,
meneruskan, "tatkala untuk pertama kali kita bertemu di Tjengliong
Kiap, ketika itu kau menyamar sebagai laki-laki, kau justeru
membantui musuh menentang pihakku. Itu waktu aku telah berpikir,
di mana pernah aku lihat orang ini? Ah, dia mirip dengan
saudaraku.....
Karena itu juga waktu itu aku tidak memikir untuk berlaku
telengas."
"Ya, kita yang bersaudara, perasaan kita memang sama." kata In
Loei. "Ketika itu, koko, aku juga berpikir seperti kau pikir itu."
"Kemarin," tiba-tiba In Tiong bicara getas, "tahulah aku bahwa
kau adalah adikku, aku jadi sangat girang, tetapi berbareng akupun
berduka, sakit hatiku..... Ya, kau nampaknya bergaul sangat erat
dengan dia itu!"
Hati In Loei memukul, ia lantas tunduk, air, matanya pun segera
mengucur dengan deras.
"Adikku," In Tiong berkata pula, "ilmu pedangmu sudah cukup
untukmu menjelajah dunia kangouw, hanya sayang, hatimu terlalu
lemah. Kau sebagai gadisnya keluarga In, sekarang aku ingin
supaya kau kuatkan hatimu dan jawab satu hal."
Parasnya In Loei menjadi pucat, tetapi ia menyahuti.
"Silahkan bilang, koko," katanya.
In Tiong awasi adik itu.
"Sakit hati terhadap Thio Tan Hong boleh aku tidak
membalasnya," ia bilang, "akan tetapi, walau bagaimanapun, dia
tetap seorang putera dari musuh kita yang kakek paling bencikan,
maka itu kau, selama hidupmu sekarang, di jaman ini, tak dapat kau
dan dia menjadi suami isteri! Kalau sekarang kau pergi bersama ia,
untuk mengantarkannya, itu melulu untuk mengantar peta bumi
itulah untuk Kerajaan Beng kita yang terbesar! Selama di tengah
jalan, tak dapat kau kasi dirimu ditipu dengan kata-katanya yang
manis. Jikalau sampai kejadian kau benar-benar sukai dia, baiklah
persaudaraan kita kakak beradik dibacok kutung saja menjadi dua
potong! Loei, sekali lagi aku peringatkan aku larang kau dan dia
menjadi suami isteri! Ini adalah apa yang hendak aku katakan.
Dapatkah kau meluluskan atau tidak? Bilang, bilanglah! Bilanglah!"
In Loei jadi sangat serba salah. Iapun ada sangat berduka. Kalau
kakak itu bicara seperti kemarin, keras dan kasar, mungkin ia segera
berikan jawabannya yang sama kerasnya, menuruti napsu
amarahnya. Tapi sekarang..... sekarang kakak ini menatap ia
dengan sinar mata yang memohon sangat..... Ia mencoba kuatkan
hatinya. Ia angkat kepalanya, untuk membalas menatap kakak itu.
Di akhirnya, ia menjawab dengan perlahan: "Baiklah, koko, aku
berjanji....."
Sehabis bersantap pagi, Thio Tan Hong bersama In Loei pamitan
dari orang banyak, mereka turun dari bukit, untuk menyeberangi
telaga. Keluarga Tamtay, ayah dan gadisnya, mengantar sampai di
tepi telaga.
Sebuah perahu telah tersedia di tepi telaga, di bawah sebuah
pohon yanglioe, itulah sebuah perahu yang enteng, yang di
dalamnya itu telah disiapkan arak harum buatan Tongteng San,
berikut daging kering dari ayam dan lainnya. Semua itu adalah hasil
dari perhatian yang besar dari Tongteng Tjhoengtjoe.
Tamtay Keng Beng, dengan tangan memegangi cabang yanglioe
yang meroyot turun, mengawasi orang naik keperahu. Dengan
perlahan sekali, ia mengucapkan: "Ribuan oyot yanglioe tak dapat
mengikat menghentikan sebuah perahu yang berlayar....."
Wajahnya tampak suram.
"Entjie Keng Beng," berkata In Loei kepada nona itu, "tolong kau
perhatikan kakakku! Lain hari nanti kita bertemu pula di kota raja!"
Keng Beng tertawa.
"Entjie In Loei," ia menjawab, "tolong kau perhatikan siauwtjoe
kami!"
Tongteng Tjhoengtjoe juga nimbrung: "Aku pujikan supaya kamu
selamat di perjalanan, supaya peta bumi dapat dibawa ke kota raja,
supaya tidak sia-sialah yang keluarga kami telah melindunginya
selama beberapa turunan!"
Di mukanya In Loei tertampak warna merah, tetapi tjhoengtjoe
itu bicara secara sungguh-sungguh, ia lantas angkat kedua
tangannya, untuk membalas hormat sambil mengucapkan terima
kasih.
Thio Tan Hong telah kenyang melawan gelombang, sekarang
dapat ia berkumpul berdua dengan In Loei, ia girang bukan
kepalang. Maka juga, selagi membuatnya perahunya laju, ia
menepuk-nepuk irama untuk bernyanyi. Tapi, ketika ia menoleh ke
tepi tadi, ia tampak Tamtay Keng Beng masih memegangi cabang
yanglioe dan matanya si nona mengawasi kepadanya.....
"Eh, saudara kecil, mengapa kau tidak tertawa?" tanya Tan
Hong, yang lihat orang diam membungkam.
"Apakah yang mesti ditertawainya?" tanya In Loei sambil
membuat main tali bajunya.
"Kita dapat membuat perjalanan bersama, apakah itu bukan
suatu hal yang menggirangkan?" tanya Tan Hong.
"Jaraknya perjalanan tapinya terlalu pendek," kata si nona.
Untuk sejenak, Tan Hong melengak. Tapi segera ia insyaf. Maka
ia pikir dalam hatinya: "Memang, perjalanan hidup manusia ada
jauh tetapi perjalanan kita terlalu pendek.....” Lalu ia kata: "Tidak
usah kau mengatakannya, aku dapat menerka apa katanya kakakmu
kepadamu. Tentang itu kau tidak usah kuatir. Tujuan kakakmu sama
dengan tujuan kita, mungkin akan datang waktunya yang ia nanti
ijinkan kita melakukan perjalanan jauh bersama-sama....."
Mendengar ini, hati In Loei tergerak.
"Memang, sikap kakak kemarin dan hari ini beda sekali," pikir ia.
"Sebelumnya ia sangat keras mencegah aku berjalan bersama Tan
Hong. Dahulu ia membenci sangat Tan Hong, ia berkukuh hendak
membalasnya, tetapi sekarang, permusuhan itu telah berkurang
banyak. Benar seperti kata toako, dalam dunia ini tak ada benda
yang selamanya tak berubah.....”
Baharu nona ini berpikir demikian, atau lain pikiran datang pula.
"Apa yang pagi ini koko katakan, semuanya beralasan," demikian
pikirnya pula. "Aku kuatir setelah ini, untuk selanjutnya, ia tak dapat
mengalah lebih jauh.....”
Karena ini, ia jadi bertambah duka. Tapi, hendak ia hiburkan diri.
Maka ia pikir, baiklah ia ke sampingkan dahulu urusan pernikahan,
lebih baik ia mementingkan kejadian yang ia hadapi. Bukankah
sudah cukup asal ia sering bertemu muka sama Tan Hong, bertemu
muka bukan sebagai musuh?
Tan Hong biarkan orang berpikir, ia mengawasi sambil
bersenyum. Ia telah menerka apa yang si nona pikirkan, ia sengaja
membiarkannya saja, tak mau ia mengganggunya. Dengan
membungkam, orang bisa dapatkan sesuatu yang baik.....
Di waktu magrib, kedua anak muda ini telah seberangi telaga
Thayouw. Mereka bermalam di kota Souwtjioe.
Ketika pertama kali ia mendaki Tongteng San, Tan Hong telah
titipkan kudanya, Tjiauwya saytjoe ma, pada satu keponakannya
Tamtay Toanio, sekarang ia ambil kudanya itu, untuk di hari kedua
ia bersama In Loei lakukan perjalanan ke Utara. Di sepanjang jalan
mereka lihat banyak kuda kereta berjalan bererot mengangkut
rangsum, tahulah mereka artinya kegentingan ketenteraan.
Begitu lekas mereka memasuki wilayah propinsi Hoopak, Tan
Hong dan In Loei saksikan suasana yang terlebih tegang. Mereka
yang menuju ke Utara sedikit sekali, sebaliknya mereka yang
menuju ke Selatan, makin lama makin banyak, mereka menyingkir
untuk mengungsi.
Lagi dua hari mereka berjalan, kecuali mereka berdua, tidak
tampak orang lainnya lagi. Di jalan besar, di jalan kecil, sampai di
gili-gili sawah, yang tampak adalah mereka yang tengah mengungsi,
berisik suara mereka itu. Orang-orang tua dipayang, anak-anak kecil
dituntun..... Dan anak-anak yang lebih kecil ada yang memanggil-
manggil ayah dan ibunya.....
Mereka itu sangat mengharukan dipandangnya. Kabar angin juga
berbareng ada tersiar luas. Ada yang mengatakan bahwa pasukan
perang Mongolia sudah menerjang masuk ke kota Kieyongkwan
atau telah tiba di Hoaydjoe atau Bitin, dua kecamatan di utara kota
raja. Ada lagi yang bilang musuh sudah lintasi Patatleng. Yang lebih
hebat lagi adalah kabar burung bahwa ibu kota Pakkhia sudah
dikurung musuh.
Sejumlah rakyat pengungsi itu ketika ketahui Tan Hong berdua
hendak pergi ke Pakkhia, semua mereka menunjukkan roman heran
dan kaget, lalu mereka memberi nasehat untuk keduanya
mengurungkan niat mereka, sebab katanya itulah perjalanan
mengantarkan jiwa.....
Mau atau tidak, Tan Hong jadi berduka juga. Ia mesti pergi ke
Pakkhia, walaupun keadaan genting dan berbahaya. Tidak bisa lain,
ia ubah ambil jalan, yaitu ia tak lagi ambil jalan besar, ia hanya
ambil jalan kecil untuk memotong jalan ini, baharu dua hari, mereka
sudah tidak bertemu seorang jua. Di kampung-kampung dalam
sepuluh, sembilan orang telah pergi menyingkir. Terang sudah,
siapa yang dapat mengungsi, dia telah singkirkan dirinya dari
daerah perang.
Segera Tan Hong dan In Loei tiba di sebuah desa dekat Pong
San. Di sini mereka berputar-putar mencari rumah penduduk yang
ada penghuninya, setelah setengah harian, baharu mereka ketemui
satu keluarga tani yang belum mengungsi. Keluarga ini terdiri dari
satu nyonya tua dan satu anak muda, ibu dan anak. Si ibu sudah
tua dan lemah, tak kuat jalan, dan si anak tak tega
meninggalkannya.
Tan Hong minta dikasi menumpang. Nyonya tua itu baik budi,
suka ia memberi tempat meneduh, tetapi ia bilang, tak dapat ia
menyediakan beras atau nasi.
"Tidak apa," kata Tan Hong, yang terus berikan separuh dari
bekalan sekantong berasnya. Malah iapun obati nyonya itu, yang
dapat sakit mejen. Ia memang ada membekal obat-obatan.
Si orang tua bersyukur, karena dengan lekas ia telah sembuh dari
sakitnya itu.
Ditanya tentang keadaan perang, nyonya tua itu tidak dapat
memberi keterangan kecuali katanya menurut kabar bahwa kota
Hoaydjoe sudah jatuh, sedang kota itu terpisah dari kampungnya
cuma kira-kira seratus lie. Kabar itu ia dengar dari sanaknya yang
lewat mengungsi di kampungnya itu.
Nyonya rumah tidak punya kamar lebih, Tan Hong dan In Loei
terpaksa rebahkan diri di kamar yang dijadikan gudang kayu. In Loei
telah menyamar sebagai satu pemuda, ia tak usah kuatir
mendatangkan kecurigaan orang. Tetapi mereka tak dapat tidur
pules, mereka kuatirkan urusan negara.
Tepat jam tiga, Tan Hong dengar pintu depan didobrak terbuka,
ketika ia lompat keluar, ia dapati tuan rumah yang muda sedang
dicekal keras oleh satu perwira yang mukanya berlumuran darah.
"Lekas masak nasi untukku, atau aku bunuh kau!" demikian si
perwira mengancam.
"Berlakulah murah hati, tuan, lepaskan anakku," memohon si
nenek.
"Baik, tapi lekas masak nasi!" kata perwira itu. "Di sini ada dua
ekor kuda, mari kasikan yang satu padaku. Anakmu pun mesti
gendol barangku!.....
"Akan aku masak nasi, tuan," kata pula si nenek. "Tapi kasihani
anakku yang tinggal satu-satunya ini. Dari tiga anakku, yang dua
sudah dipaksa dibawa pergi oleh kamu. Kasihani kami, tuan,
bebaskanlah dia....."
"Tua bangka tolol" Bentak perwira itu. "Tentara Mongolia sudah
menerjang, siapa juga mesti pergi perang!..... Tiba-tiba ia menoleh,
ia lihat Tan Hong di pojokan yang suram, karena api pelita yang
kelak-kelik. Ia lantas saja tertawa, terus ia kata: "Hai, babi tua, kau
mendustai Lihat di sana, apa bukan masih ada satu lagi anakmu?"
Sambil pegangi tangan si anak muda, yang ia pencet nadinya,
perwira itu maju kepada Tan Hong, untuk jambak pemuda kita itu.
Tan Hong mengawasi dengan dingin.
"Bukannya kau pergi berperang, kau sebaliknya mengganggu
rakyat!" katanya dengan bengis. Ia menangkis sambil berniat cekal
tangan perwira itu.
Si perwira tarik tangannya, ia lantas menyerang. Tapi Tan Hong
dapat menangkis pula.
Setelah dua tiga gebrak, Tan Hong heran. Ilmu silat si perwira
ternyata adalah ilmu silat dari Tiamtjhong Pay. Terpaksa ia
mendesak, untuk bikin perwira itu lepaskan cekalannya kepada tuan
rumah, setelah mana, ia mendesak lebih jauh.
Masih si perwira melawan, sampai kemudian dia berteriak
"Aduh!" dan tubuhnya rubuh terguling, karena tak dapat dia
bertahan lama.
"Eh, eh, kau toh Thio Tan Hong?" dia berseru selagi dia rebah
dan matanya mengawasi orang yang merubuhkan padanya. "Kau,
kau..... ampunilah aku, jangan kau tangkap aku dan bawa ke
Mongolia!.....”
Tan Hong heran, ia mengawasi.
"Jangan ngaco!" katanya. "Siapa mau tangkap kau untuk dibawa
ke Mongolia?"
Ia maju akan cekal tangan orang, untuk menyeka mukanya yang
penuh darah itu, setelah meneliti, iapun melenggak.
Perwira itu nyata adalah Taylwee Tjongkoan Kong Tiauw Hay,
pantas dia liehay.
"Memang, segala pembesar banyak yang galak.....” kata si
nenek. Ia menghela napas. "Tapi kasihan dia ini, dia terluka begini
rupa.....”
Tubuh Tiauw Hay itu terlukakan belasan anak panah, dua
antaranya belum tercabut. Kecuali mukanya, pakaiannya pun
berlepotan darah. Dia ada sangat lelah, kedua matanya pun hilang
sinarnya.
"Dia benar tangguH, walanpun dia terluka parah, masih sanggup
dia melayani aku beberapa jurus," pikir Tan Hong. Tapi, ketika ia
periksa luka orang, kebanyakan luka itu tidak berbahaya, kecuali
dua yang anak panahnya masih menancap. Ia lantas cabut terus ia
memberikan obat.
"Apakah dia sahabatmu?" si orang tua tanya.
"Ya," sahut Tan Hong sembarangan. Tapi ia jengah untuk
mengucap demikian. Di dalam hati kecilnya, ia berkata: "Apabila
orang tahu dia ini Taylwee Tjongkoan, sekalipun raja akan turut
dapat malu....."
Setelah itu, si nenek hendak pergi masak nasi. "Tidak usah," Tan
Hong cegah, "nanti aku sendiri yang layani dia."
Benar-benar Tan Hong pergi untuk memasak nasi.
"Kong Tjongkoan, kau dahar seadanya saja," ia bilang kemudian.
Di waktu pieboe, Tiauw Hay telah menitahkan orang bekuk Tan
Hong, sekarang ia lihat orang bersikap baik, kepadanya dengan
diobati dan dikasi makan, tidak berani ia banyak omong. Ia dahar
dengan cepat dan banyak, hingga dengan cepat juga ia mulai pulih
kesegaran tubuhnya.
"Kong Tjongkoan, kenapa kau tidak ikuti Sri Baginda?" tanya Tan
Hong kemudian. "Kenapa kau menyingkir seorang diri kemari?"
Tjongkoan itu perlihatkan rupa berduka.
"Panjang untuk berceritera," ia jawab. Ia menghela napas.
"Sebenarnya aku memang mengiringi Sri Baginda, tentera kita
berjumlah lima puluh laksa jiwa, tetapi pasukan itu termusnah
semua, jikalau aku tidak lekas lari, sudah pasti jiwaku pun turut
lenyap....."
Tan Hong terkejut, hingga ia memotong: "Apa?" tanyanya.
"Benarkah kau ikuti Sri Baginda? Mungkinkah tentara Mongolia
sudah masuk ke Pakkhia?"
"Bukan," Tiauw Hay jawab, cepat. "Sebenarnya Sri Baginda
mengepalai sendiri angkatan perangnya, sekarang dia berada di luar
kota Hoaydjoe di mana dia telah dikurung rapat-rapat oleh
musuh.....”
Kembali Tan Hong terkejut.
"Apa? Sri Baginda pimpin sendiri angkatan perang?" dia tanya.
"Usul siapakah itu?"
"Itulah kehendak Ong Kongkong....." sahut Tiauw Hay.
Tan Hong ada demikian gusar hingga ia hajar meja di depannya
sehingga ujung meja itu pecah.
"Ong Tjin, itu jahanam!" teriaknya. "Sunguh dia sangat jahat!"
Tiauw Hay tidak berani buka mulut, ia bungkam.
In Loei, yang sejak tadi diam saja, datang menghampirkan.
"Jangan kau bergusar," ia menyabarkan. "Cobalah tanya dia lebih
jauh."
"Kenapa tidak dititahkan Ie Kiam Ie Thaydjin yang mengepalai
angkatan perang?" Tan Hong tanya.
"Itu ada urusan pemerintah, aku tahu apa?" Tiauw Hay jawab.
"Apa yang aku dengar, orang mengatakan Ie Kiam adalah menteri
sipil, dia tidak mampu memimpin tentara."
"Hm! Sekarang mereka itu yang pegang pimpinan, bagaimana
dan jadinya?"
Tiauw Hay tidak menjawab, tetapi dia menutur: "Sri Baginda
bersama Ong Kongkong yang pegang pimpinan, mereka berangkat
dari Pakkhia pada tanggal enam belas bulan tujuh, tanggal sembilan
belas mereka lewat di Kieyongkwan, tanggal dua puluh tiga tiba di
Soanhoa, lalu pada tanggal satu bulan delapan mereka memasuki
kota Taytong. Selama itu, beberapa hari lamanya, terbit hujan angin
besar, tentara menderita kedinginan. Karena tidak ada persiapan
baju dingin. Di kota Taytong itu, beberapa laksa jiwa mati beku,
maka belum mereka menghadapi musuh, barisan itu sudah kacau
sendirinya. Celakanya, Pengpou Siangsie Kong Tim telah jatuh dari
kudanya dan terluka parah. Oleh karena kejadian-kejadian tidak
diingin itu, Hoepouw Siangsie Ong Tjo mengusulkan untuk menarik
pulang angkatan perang. Ong Kongkong tolak usul itu, malah ketika
angkatan perang diberangkatkan lebih jauh, Hoepouw Siangsie
dihukum berlutut di tanah berumput. Pada tanggal dua bulan
delapan, Sianhong Tjio Heng telah mulai menghadapi tentara Watzu
di Vanghookauw, dia kalah dan barisannya musnah. Pangeran
Boetjinpek Tjoe Bian merangkap tjongpeng dan Pangeran
Seelenghouw Song Eng merangkap tjongtok dari Taytong telah
terbinasa bergantian dalam pertempuran itu. Atas itu Tjongpeng
Kwee Teng dari Taytong mengasi pikiran kepada Sri Baginda untuk
mundur dari kota Tjiekengkwan, tetapi kembali Ong Kongkong
menolak. Ong Kongkong adalah orang asal Wietjioe, dia hendak
ajak Sri Baginda pergi ke rumahnya, karena mana, angkatan perang
lantas di pimpin ke kota Wietjioe itu. Orang baharu jalan empat
puluh lie, tiba-tiba tujuan diubah ke arah timur, alasannya ialah Ong
Kongkong kuatirkan sawah ladangnya nanti ludas terinjak-injak
pasukan tentera. Kesudahannya orang ambil jalan bekas, untuk
kembali ke Soanhoa. Ketika pada tanggal sepuluh pasukan tentara
tiba di kota Soanhoa, pasukan musuh telah dapat menyandak.
Pertempuran terjadi di bukit Yauwdjieleng. Di sinilah angkatan
perang kena dipukul rusak dan buyar. Baharu kemarin dahulu Sri
Baginda menyingkir ke Touwbokpo.
Pasukan depan dari musuh sementara itu, dengan ambil jalan
kecil, sudah mendahului Sri Baginda, maka itu pasukan musuh itu
dapat balik kembali, untuk terus melakukan pengurungan."
Thio Tan Hong menjadi terlebih-lebih gusar. Tahulah ia sekarang
bahwa orang yang menganjurkan raja maju perang sendiri, yang
pimpin tentara, yang mengajaknya mundur, semua adalah dorna
Ong Tjin seorang. Terang sudah, Ong Tjin sudah merencanakan
semua itu, hingga karenanya, angkatan perang Kerajaan itu menjadi
hancur lebur.
Selagi anak muda ini mencoba menenangkan diri, Kong Tiauw
Hay telah bicara pula. Kata dia: "Syukur aku dapat melihat gelagat,
diam-diam di waktu malam, aku nerobos keluar dari kepungan.
Seandainya aku terus terkurung di Touwbokpo itu, jikalau aku
tidak terbinasa dalam peperangan, tentulah aku mati
kelaparan.....”
Tan Hong perdengarkan suara dingin "Hm!"
"Di bebokongmu ini ada tergendol bungkusan besar yang
agaknya berat, barang apakah itu?" ia tanya sambil menunjuk ke
belakangnya tjongkoan itu.
Kong Tiauw Hay tidak segera menjawab, tetapi mukanya menjadi
pucat.
Sebet bagaikan kilat, tangannya Tan Hong menyambar ke
bebokong orang, hingga dalam sedetik bungkusan itu telah
berpindah tangan, lalu terus si anak muda membantingnya di tanah,
sehingga bungkusan itu pecah dan isinya berhamburan.
Untuk herannya semua orang, isi bungkusan itu adalah goanpo
atau uang emas potongan semua. Tan Hong tertawa dingin.
"Jadinya kaburmu ini ialah untuk harta besar ini!" katanya.
Kong Tiauw Hay turut tertawa.
"Harta ini semua adalah hadiah Sri Baginda kepadaku," ia
berikan, keterangan. "Semua ini bukannya harta tidak halal. Hari ini
kau telah tolong aku, suka aku untuk kita membagi dua harta
ini.....”
Kembali Tan Hong tertawa dingin. Tapi setelah itu, mendadak ia
unjuk roman bengis.
"Kecewa kau menjadi Taylwee Tjongkoan1. Kecewa kau
menyebut-nyebut budinya Sri Baginda!" kata dia. "Sri Baginda
telah berlaku baik hati terhadap kau, kenapa di saat Sri Baginda
terancam bahaya, kau tinggal dia lari?"
Kong Tiauw Hay melengak. Ia tahu Thio Tan Hong ini musuh
raja, maka ia heran kenapa anak muda itu menegur ia secara
demikian. Ia berani majukan usulnya itu pun karena menganggap
pemuda ini musuh junjungannya.
"Malam ini kau berdiam di sini," kata Tan Hong. "Besok pagi kau
turut aku pergi ke Touwbokpo."
"Apa? Pergi untuk mengantarkan jiwa?" Tiauw Hay tanya.
"Kau gegares gaji negara, sekalipun nyata-nyata ada untuk
antarkan jiwa, itu sudah seharusnya!" Tan Hong bilang. "Kenapa
kau takut? Kau toh antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun
antarkan jiwa bukannya sendirian saja? Kamipun turut antarkan jiwa
bersama?"
Wajahnya Tiauw Hay menjadi pucat sekali. Ia tidak bilang apa-
apa lagi, hanya lantas ia membungkam, untuk terus punguti uang
goanpo itu, untuk dikumpulkan.
Tan Hong bersama In Loei tertawa dingin, mereka mengawasi
tanpa mencegah.
Kuda putih dari Tan Hong dan kuda merah dari In Loei berada
didekat mereka, ada goanpo yang mencelat ke kuda itu, maka
Tiauw Hay terus punguti semua uangnya. Di saat ia datang dekat
kuda putih, mendadak ia lompat akan sambar lehernya kuda itu!
Tjiauwya saytjoe ma bukan kuda sembarangan, dia kaget dan
berontak, lantas dia menyentil berulang-ulang, dia meringkik tak
hentinya.
"Hai, apa kau bikin" bentak Tan Hong. Tiauw Hay tidak
menjawab, karena dia tidak bisa takluki kuda putih itu, ia terus
lompat naik ke bebokongnya kuda merah. Ia lantas saja tertawa.
"Aku Kong Tiauw Hay masih ingin hidup senang lagi beberapa
tahun, maka maafkan aku, tidak dapat aku antarkan kamu!" kata
dia, yang terus gunakan goloknya menumblas kempolan kuda,
saking kaget dan sakit, kuda itu sudah lantas berlompat lari, kabur
keluar, hingga sesaat kemudian kuda dan penunggangnya lenyap di
malam yang gelap itu.
In Loei jadi kaget.
"Toako, mari kita kejar!" dia berteriak. Tan Hong tapinya
menggeleng kepala.
"Orang semacam dia, dicandak pun tidak ada faedahnya.....” ia
bilang. Ia terus menarik napas panjang, dengan lesu ia jatuhkan diri
ke kursi, ia kata: "Dahulu Gak Boe Bok pernah bilang, 'Pembesar
sipil doyan duit, pembesar militer sayang jiwa, kalau begitu, apakah
artinya urusan penting?1 Dan sekarang ini, pembesar sipil,
pembesar militer, semuanya doyan duit! Kejahatannya Ong Tjin itu
nyata tak kalah daripada kejahatannya Tjin Kwee, karenanya aku
kuatir hikayat Ahala Song bakal terulang pula, kehinaannya Baginda
Hwie Tjong dan Baginda Kim Tjong, yang tertawan musuh, akan
terlihat pula hari ini!.....”
"Di dalam kerajaan ada Tjin Kwee, di sana pun ada Gak Boe
Bok," berkata In Loei, "Di mana Ie Kokloo tidak kalah daripada Gak
Boe Bok itu, aku harap toako tidak menjadi tawar hati."
"Hanya sayang Ie Kokloo itu tidak punya kekuasaan atas
tentara," bilang Tan Hong, yang masih berduka. "Menyesal aku
tidak punya sayap untuk terbang ke Pakkhia, supaya aku bisa bantu
Ie Kokloo itu....."
Dua anak muda ini jadi sangat bersusah hati. Karena ini, tidak
tunggu sampai pagi, mereka sudah lantas pamitan dari si nenek dan
anaknya, dengan menunggang kuda putih, mereka berangkat pergi.
Belum lama mereka jalan mereka lantas dengar suara tambur dan
terompet yang datangnya dari arah depan.
Tan Hong larikan kudanya mendaki tanjakan, dari situ ia
memandang jauh ke depan, hingga ia tampak banyak bendera,
boleh dibilang di seluruh bukit dan tegalan, tertampak tentara
Mongolia.....
"Tidak dapat kita lewati mereka itu.....” kata In Loei, lesu.
"Aku ada akal," kata Tan Hong. "Kau turunlah dan tunggu di
sini." In Loei menurut.
"Kau umpetkan diri," Tan Hong kata pula. Lalu ia larikan kudanya
turun gunung, ia menghampirkan dan masuk ke dalam pasukan
musuh!
In Loei kaget bukan main, mukanya pucat sekali. Syukur ia tak
usah ketakutan terlalu lama. Sebab segera juga ia lihat Tan Hong
telah kembali bersama dua perwira bangsa Watzu. Tentu saja, ia
sekarang menjadi sangat heran.
Nona In tidak ketahui bahwa Tan Hong pandai bahasa Mongolia,
bahwa di dalam sakunya pemuda ini ada menyimpan sehelai
lengtjhie, bendera pertandaan militer, yang dia curi ketika dahulu
dia keluar dari Mongolia, untuk menyusup masuk ke Tionggoan.
Sekarang lengtjhie itu dia gunakan, dia akui bahwa dirinya adalah
mata-mata Watzu yang diutus ke Tionggoan semenjak sebelumnya
perang. Dan dia dipercaya dua perwira Mongolia itu.
Tan Hong mendusta terlebih jauh, katanya di bukit itu dia lihat
seorang yang mencurigakan, dia ajak kedua perwira, untuk
memeriksa, maka itu, mereka datang bersama. Tapi, begitu lekas
mereka sudah mendaki bukit di mana In Loei berada, dengan
sekonyong-konyong dia hajar dua perwira itu hingga mereka
rubuh binasa sebelum tahu apa-apa.
Bukit itu terpisah dari barisan Mongolia beberapa lie jauhnya,
maka itu, tidak ada satu serdadu Mongolia yang lihat apa yang
terjadi dengan kedua perwira mereka.
In Loei telah saksikan kejadian itu, ia lantas muncul.
"Bagus!" kata Tan Hong kepada kawannya itu. "Sekarang mari
kita menyamar sebagai dua perwira Mongolia ini. Bukankah kau
belum lupa akan bahasa Mongolia?"
"Ya, aku masih belum lupa!" sahut In Loei sambil tertawa. "Aku
tidak sangka bahwa sekarang bahasa itu berguna bagi kita..."
"Aku telah cari keterangan jelas," Tan Hong berkata pula.
"Mereka ini adalah pasukan tangga ketiga dari resimen kedua, dan
kemarin, barisan ini baharu saja melakukan pertempuran hebat.
Mungkin barisan ini telah bentrok dengan Gielim koen di bawah Thio
Hong Hoe dan mendapat kerugian besar maka sekarang mereka
sedang disiapkan untuk dipersatukan dengan pasukan lainnya. Maka
cocoklah kalau kita menyamar jadi kepala barisan mereka. Ingat,
kau bernama Hawa dan aku Talai."
In Loei manggut, ia bersedia akan iringi kawannya itu. Keduanya
lantas lucuti seragam kedua perwira Mongolia itu, untuk mereka
pakai. Syukur bentuk tubuh mereka tidak beda jauh.
Tan Hong tunggu sampai sudah magrib, baharu ia ajak In Loei
turun dari tempat sembunyi itu, untuk larikan kuda mereka ke
dalam barisan
Mongolia itu, untuk campurkan diri. Mereka tidak tampak
kesukaran, karena pemuda she Thio itu ketahui baik segala aturan
tentara Mongolia. Mereka dapat tempat dalam satu pasukan yang
baharu saja disusun rapi.
Keesokan paginya, barisan ini sudah lantas dimajukan pula.
Mereka di kirim ke Touwbokpo sebagai bala bantuan. Lewat tengah
hari, mereka tiba di medan perang.
Begitu melihat keadaan pihak Beng, Tan Hong kaget sekali.
Barisan Beng itu telah kena dihajar hingga hancur menjadi sejumlah
barisan-barisan kecil, yang berserabutan ke timur dan barat.....
-ooo00dw00ooo-

Bab XX
Dengan berisik terdengarlah suara terompet di dalam pasukan
perang Watzu, disusul gemuruhnya suara tambur perang, lalu di
atas gunung terlihat berkibarnya sehelai bendera besar dengan
tanda hurufnya "Komandan." Dan satu perwira Mongolia,yang
dandan sebagai pangeran, kelihatan bercokol di atas kudanya di
atas gunung itu. Dengan cambuknya, pangeran itu menunjuk ke
arah depan.
Dia itu adalah Thaysoe Ya Sian, orang yang pegang kekuasaan
besar atas bala tentera Watzu. Dia sedang pimpin barisannya, akan
hajar tentera kerajaan Beng itu, yang dicegat sana sini, hingga
tentera itu jadi kalut sekali.
Dalam keadaan kacau itu, sekonyong-konyong di sebelah timur,
muncul satu pasukan Beng yang mengibarkan bendera naga, ketika
tentera Watzu lihat bendera itu, mereka lantas saja berteriak-teriak:
"Ha, raja Bengtiauw ada di sana!"
Menyaksikan itu Tan Hong kertek gigi.
"Sungguh Ong Tjin jahat sekali!" kata dia dalam hatinya.
"Nyatalah dia masih kuatir musuh tidak tahu di mana adanya Sri
Baginda!"
Sebab maksud dikibarkannya bendera raja itu adalah untuk
memberi tanda kepada musuh, agar musuh ketahui di mana adanya
raja.
Kaisar Kie Tin dari Kerajaan Beng telah terkurung satu hari
dan satu malam di benteng Touwbokpo, ia berkuatir bukan
main. Ia telah saksikan angkatan perangnya telah dihajar rusak oleh
musuh, sampai ia tidak sanggup mengumpulkan dan menyusunnya
pula dengan sempurna. Ia sekarang hanya mengandalkan kepada
Thio Hong Hoe serta pasukan pengawalnya sendiri. Begitulah ia ajak
komandan dari Kimie wie itu membicarakan soal menoblos kurungan
musuh.
Raja dan pahlawannya ini tengah berbicara tatkala mereka lihat
Ong Tjin berlari-lari datang dengan muka terpucat-pucat, dan begitu
tiba di hadapan raja, orang kebiri itu perdengarkan suaranya yang
tak wajar: "Sri Baginda, celaka! Tentera lapis besi musuh sudah
sampai di muka kubu-kubu! Lekas Sri Baginda titahkan Thio Tongnia
pergi menangkis mereka!.....”
Selagi raja tercengang, Thio Hong Hoe sudah perdengarkan
suaranya: "Jangan kaget, Sri Baginda!" demikian pahlawan ini. "Hari
ini, meski mesti kurbankan jiwa, hambamu akan lindungi Sri Baginda
menoblos kurungan!"
Sehabis mengucap demikian, pahlawan ini segera lari keluar,
untuk wujudkan kata-katanya, guna memukul mundur musuh.
Seberlalunya pahlawan itu, tiba-tiba saja Ong Tjin tertawa
menyeringai. Tidak lagi ia bermuka pucat dan beroman sangat
ketakutan seperti tadi. Ia malah bergembira.
"Sri Baginda," berkata dia, "hari ini habis sudah harapan kita,
kecuali kita menyerah dan menakluk, tidak ada lain jalan hidup pula.
Hambamu mohon agar Sri Baginda sudi pergi ke tangsi Watzu untuk
mohon perdamaian....."
Kaisar kaget bukan main mendengar perkataan hambanya ini.
"Cara bagaimana aykeng dapat mengatakan begini?" dia tanya.
"Aykeng" berarti "menteri yang dicintai."
Ong Tjin tidak menjawab rajanya itu, yang masih menghargai
padanya. Dengan tiba-tiba ia perlihatkan roman bengis.
"Mana pahlawanku?" dia memanggil. Atas panggilan itu, dari luar
kemah muncul pahlawan dorna kebiri itu, dan raja, tanpa berdaya,
sudah lantas saja diringkus.
Hong Hoe sendiri, selekasnya dia tiba di luar kemah, dia kaget
bukan main. Dia telah saksikan dikereknya bendera naga. Seperti
Tan Hong, segera dia insyaf akan akal muslihatnya Ong Tjin yang
jahat itu. Sebenarnya ingin dia kembali ke dalam kemah, akan
tengok junjungannya, akan tetapi tentara Watzu benar-benar sudah
menerjang, terpaksa ia maju terus, untuk melakukan perlawanan.
Hebat untuknya, dengan lekas ia telah kena dikurung musuh, yang
telah memutuskan jalannya kembali kepada rajanya.
Sementara itu, darah In Loei bergolak-golak saking murkanya.
"Toako, mari kita bunuh Ong Tjin, untuk menolong Sri Baginda!"
ia ajak Tan Hong.
Bersama-sama Tan Hong, In Loei ini memimpin satu barisan
tengah, dari itu, di depan mereka terdapat lain barisan, yang
berjumlah besar, maka, untuk bisa menyerbu ke arah kaisar Beng,
adalah sulit sekali. Mungkin mereka tidak mampu berbuat demikian
sekalipun mereka mempunyai kuda-kuda jempolan.
Tan Hong tertawa meringis.
"Di saat seperti ini tidak lagi kita dapat berlaku nekat," katanya,
masgul. "Mari kita naik ke tempat tinggi, untuk melihat keadaan.....”
Dan dari tempat yang tinggi, mereka saksikan Ong Tjin
menaikkan Kaisar Kie Tin ke atas kuda dengan tubuh terbelenggu.
Dengan tangannya sendiri, dorna kebiri itu mengangkat naik
bendera putih, untuk dilambai-lambaikan, hingga bendera tanda
menakluk itu berkibar-kibar di antara sampokan angin. Beberapa
pahlawan yang setia telah mencoba maju, untuk menolongi raja,
akan tetapi mereka dirintangi oleh pahlawan-pahlawannya si dorna.
Dipihak lain, barisan musuh sudah datang mendekati raja yang tak
beruntung itu.
Dalam saat seperti itu, sekonyong-konyong terdengar suara
teriakan keras bagaikan guntur, lalu tertampak Hokwie Tjiangkoen
Hoan Tiong, dengan sepasang gembolan di tangan, mengaburkan
kudanya ke arah raja. Panglima ini seperti kalap, tak lagi ia
menghiraukan dirinya. Tapi ia pun segera dicegat dan dikepung oleh
pahlawan-pahlawannya Ong Tjin dibantu tentara watzu yang
melepaskan anak panah.
Hoan Tiong mengenakan lapisan baja di depan dadanya dan
kopiah di kepalanya, kedua belah anggota tubuh itu bebas dari
anak-anak panah, tidak demikian dengan pundak dan bebokongnya,
maka itu, belasan anak panah, telah menancap di tubuhnya itu,
tetapi ia tangguh sekali, ia tak rubuh karenanya. Ia paksa maju
terus ke arah junjungannya, hingga ia datang dekat si dorna kebiri.
Ong Tjin terkejut menyaksikan kegagahan orang itu.
"Hoan Tjiangkoen, marilah kita bicara!" ia serukan. Ia sangat
berkuatir.
Jawaban Hoan Tiong adalah teriakan berguntur: "Hari ini aku
akan mewakili negara membasmi penghianat!" Dan teriakan itu
dibarengi dengan turunnya sebilah gembolannya yang berat itu,
menimpa Ong Tjin, hingga tubuh si dorna rubuh dari atas kudanya.
Sementara itu, dia sendiri pun tidak bebas dari beberapa bacokan
musuh.
Dalam keadaan luka parah itu, Hoan Tiong tertawa berkakakan,
lalu tiba-tiba ia ayunkan gembolannya ke arah kepalanya sendiri,
maka sedetik saja, ia rubuh dari kudanya dengan kepalanya pecah,
jiwanya melayang. Ia lebih suka bunuh diri daripada tertawan atau
terbinasa ditangan musuh.
Bagaikan air bah, demikian serbuan tentara Watzu, maka sejenak
kemudian, kaisar Beng yang sudah tidak berdaya itu telah menjadi
orang tawanan, sedang menteri-menterinya, yang turut ke medan
perang, seperti Siangsie Kong Tim, Ong Tjoh, Haksoe Tjo Teng dan
Thio Ek, pangeran Enqkok-kong Thio Hoe dan lainnya, telah
berkurban untuknya. Juga di antara pahlawan-pahlawan Ong Tjin,
ada delapan atau sembilan yang terluka dan terbinasa.
Kejadian yang menyedihkan dalam hikayat Kerajaan Beng ini
adalah yang dinamakan "Peristiwa di Touwbok." Thio Hong Hoe
telah lihat junjungannya tertawan, mendadak saja ia muntahkan
darah hidup. Kemurkaannya tak terkira. Dengan nekat ia lantas
terjang musuh, dalam tempo pendek ia telah rubuhkan belasan
musuhnya, tetapi ia pun tetap terkurung, jumlah musuh yang besar
membikin mereka merupakan seperti tembok besi dinding tembaga,
tidak dapat ia pecahkan kurungan itu. Akhir-akhirnya ia berteriak:
"Raja terhina, menteri terbinasa!" dan ia balikkan goloknya, untuk
menabas batang lehernya sendiri. Tapi anak panah musuh
mendahului ia, lengannya kena terpanah, goloknya terlepas dari
cekalan, jatuh ke tanah, hingga di lain saat, ia pun menjadi orang
tawanan.
Dengan kemenangan besar itu, dengan membunyikan gembreng,
tentera Watzu telah menyelesaikan peperangan. Daerah Touwbokpo
itu yang luasnya beberapa ratus lie lantas dibersihkan dari musuh, di
situ didirikan kemah. Segera pun babi dan kerbau disembelih, untuk
membikin pesta besar, untuk merayakan kemenangan.
Di dalam tentera itu, terdapat Thio Tan Hong dan In Loei. Mereka
tak dikenal dalam penyamaran mereka. Maka itu mereka
dapat mendengar pembicaraan di antara beberapa perwira.
"Malam ini di dalam kemah jenderal akan diadakan keramaian
yang istimewa," kata satu perwira, "sayang aku hanya berpangkat
kapten, aku tak berhak untuk turut hadir dalam pesta itu.....”
"Keramaian apakah itu?" tanya satu perwira lain. Perwira yang
pertama bicara itu menyahuti: "Aku dengar malam ini jenderal kita
hendak paksa kaisar Beng menjadi pelayannya, untuk
melayani dia minum arak. Tidakkah itu luar biasa bagus?"
"Ya, benar bagus!" kata perwira yang menanya. "Kaisar Beng
telah kita tawan, aku lihat peperangan akan segera berakhir,
dengan begitu, lekas juga kita akan pulang," berkata satu perwira
lain lagi. "Kita akan merayakan tahun baru kita!"
"Tetapi kita masih belum masuk ke Pakkhia," kata satu perwira
rekannya. "Tionggoan itu luas tanahnya, banyak rakyatnya, mereka
tak dapat dibunuh habis, maka itu tidak mudah urusan peperangan
ini dapat diselesaikan?" Perwira yang pertama itu tertawa.
"Bangsa Han pandang rajanya sebagai naga sejati," kata dia
pula, "kalau rombongan naga tidak ada kepalanya, mana mereka
dapat berperang? Kalau rajanya itu sayangi jiwanya, dia mesti
menakluk dengan baik-baik, dia mesti umumkan pernyataannya
suka menjadi taklukkan kita. Setelah itu baharulah negara Beng itu
menjadi kepunyaan kita."
Mendengar pembicaraan itu, hati Tan Hong panas berbareng
duka.
"Memang sungguh celaka kalau Sri Baginda suka menyerah,"
pikir dia. "Aku harap saja Sri Baginda bukannya raja yang takut
mati.....”
Perwira yang pertama berbicara itu masih mengatakan pula:
"Tentera Beng itu tidak harus dibuat takut. Lain halnya dengan
Kimtoo Tjeetjoe di luar kota Ganboenkwan, dia masih saja
bergelandangan di luar kota itu, sebentar muncul, sebentar
menghilang, sukar untuk menumpas padanya. Dia baharulah yang
dinamakan bahaya di dalam tubuh!"
Tapi satu perwira lain tertawa.
"Tapi pesanggrahannya telah kita serbu hingga rata dengan
tanah!" katanya. "Bangsat tua Kimtoo itu serta anaknya, meskipun
mereka dapat lolos, mereka tak lebih tak kurang seperti penyakit di
kulit saja! Lagi pula sekarang Jenderal Tantai telah menempatkan
tenteranya di kota Ganboenkwan, sudah pasti dia tidak akan dapat
mengacau pula, maka itu, untuk apa kita kuatirkan dia?"
Mendengar pembicaraan itu, lega juga hati Tan Hong dan In
Loei. Sekarang mereka ketahui halnya Tjioe Kian ayah dan anak,
yang tak kurang suatu apa, sedang mereka pun mendapat tahu di
mana adanya Tantai Mie Ming.
Pada waktu itu kaisar Beng sebagai tawanan musuh, oleh Yasian,
perdana menteri Watzu, telah di tempatkan di dalam kemah yang
terjaga kuat hingga tiga lapis, sedang di dalam kemah sendiri, dia
diawasi oleh tiga pahlawan pilihan, yang setiap saat meletakkan
tangan di gagang pedang. Di antara tiga pahlawan itu, yang satu
adalah Ngochito, pahlawan harimau dari Yasian sendiri. Dia ini
selainnya liehay ilmu silat pedang Hongloei kiam yang terdiri dari
tujuh puluh dua jurus, orangnya pun cerdik sekali. Maka itu,
berduka kaisar itu, yang melihat tidak mempunyai harapan untuk
kabur. Tapi yang membikin Kie Tin sangat berkuatir adalah ketika ia
dengar malam itu Yasian hendak mewajibkan dia melayani perdana
menteri itu minum arak. Dia jadi mendongkol dan malu, dia jadi
sangat bingung.
"Aku hadiri pesta itu atau jangan?" dia tanya dirinya berulang-
ulang. Dia insyaf, kalau dia hadir, dia akan jadi kedua Kaisar Hwie
Tjong dan Kim Tjong dari ahala Song, yang mesti hinakan diri di
hadapan musuh. Perbuatan itu tidak saja merendahkan dirinya dan
negaranya, dia pun akan menjadi buah tertawaan berabad-abad.
Kalau dia tidak hadir, dia kuatirkan keselamatan jiwanya.....
Tengah kaisar ini berputus asa, tiba-tiba di luar kemah
terdengar suara panggilan, katanya: "Thaysoe undang
Jenderal Ngochito datang ke markas untuk berbicara!"
"Thaysoe" adalah sebutan untuk Perdana Menteri Yasian.
Berbareng dengan itu satu perwira bertindak masuk dengan
tangannya menyekal sebatang lengtjhie, panah titahan.
Ngochito sangat teliti, ia sambut lengtjhie itu untuk diperiksa
dulu, hingga ia peroleh kenyataan keasliannya. Panah titahan itu
cuma dipakai oleh pembesar paling tinggi dalam suatu angkatan
perang, sebab itu adalah hadiah dari raja Watzu sendiri, terbuatnya
pun dari kemala hijau.
Percaya bahwa Yasian mempunyai urusan penting hendak
dibicarakan dengannya, Ngochito lantas saja tinggalkan kemah
jagaannya itu.
Perwira yang membawa lengtjhie itu, begitu ia lihat Ngochito
sudah pergi jauh, dengan mendadak ia putar tubuhnya sambil
mengayunkan kedua tangannya, masing-masing diarahkan kepada
kedua pahlawan lainnya, yang berdiri dekat dengannya. Luar biasa
sebat gerakannya, tidak peduli kedua pahlawan itu liehay, mereka
toh kena ditotok, tanpa bersuara lagi, keduanya jatuh rubuh. Lekas
sekali si perwira pembawa lengtjhie membuka kopiahnya, sambil
bersenyum, dia kata kepada Kie Tin: "Sri Baginda, masih ingatkah
Sri Baginda kepadaku?"
Raja Beng memang heran atas kejadian itu, ia mendelong
mengawasi perwira itu. Akhirnya, ia jadi terperanjat. Ia lantas kenali
siapa orang itu yang berdiri dihadapannya, ialah Thio Tan Hong.
Ayahnya Tan Hong, yaitu Thio Tjong Tjioe, menjadi Yoesinsiang,
Menteri Muda dari raja Watzu, dengan begitu kedudukannya
seimbang dengan kedudukan To Huan, Tjosinsiang, yang menjadi
ayahnya Yasian. Mereka sama pengaruhnya, mereka disayangi Raja
Watzu, dan keduanya pun berkuasa mencampuri urusan
ketenteraan. Maka itu raja memberikan mereka masing-masing
sebatang lengtjhie dengan apa mereka berhak memanggil setiap
perwira menghadap mereka. Adalah kemudian, setelah kedudukan
To Huan turun kepada puteranya, Yasian, pengaruhnya ini
meningkat, hingga dia mengangkat dirinya menjadi Thaysoe,
Mahaguru. Thio Tjong Tjoe sebaliknya, untuk menjaga dirinya, tidak
perhatikan urusan tentera, maka itu, sudah sepuluh tahun belum
pernah ia pakai lengtjhie itu. Ketika Tan Hong berlalu dari Watzu,
dia curi lengtjhie ayahnya itu, tidak pernah ia menyangka, kali ini, di
sini, dapat dia pakai panah titahan itu untuk mengelabui Ngochito.
"Di harian pieboe di atas loeitay, telah aku kirimkan kau sepucuk
surat, sudahkah kau baca itu?" Tan Hong tanya pula.
"Kau? Kau jadinya Thio Tan Hong?" raja tegaskan, suaranya
menggetar.
"Tidak salah!" Tan Hong jawab.. "Aku adalah musuhmu yang kau
hendak tawan!"
"Baiklah!" kata raja itu, yang hatinya menjadi mantap. "Hari ini
aku terjatuh ke dalam tanganmu, tidak usah kau banyak omong
lagi, lekas-lekas kau bunuh aku!"
Tapi Tan Hong tertawa.
"Jikalau aku hendak bunuh kau, apa kau kira aku menanti sampai
hari ini?" kata dia.
"Sekalipun aku memakai pakaian asing, hatiku adalah hati Han!"
"Kalau begitu, kau tolonglah aku!" kata raja.
Kie Tin seperti lupa bahwa ia tengah dikurung berlapis-lapis.
Bagaimana gampang untuk buron.....
Tan Hong awasi raja itu, ia tertawa pula. "Sri Baginda," katanya,
"hari ini cuma kau sendiri yang dapat menolong dirimu." Raja heran.
"Apakah kau kata?" dia tanya. "Malam ini Yasian akan memaksa
kau menyatakan menakluk," kata Tan Hong. "Jikalau kau menakluk,
bukan saja dengan itu kau lenyapkan negara Kerajaan Beng yang
terbesar yang luasnya sembilan laksa lie, juga jiwamu sendiri tidak
akan terjamin. Tapi jikalau kau menolak, maka Kokloo Ie Kiam akan
membangun angkatan perang suka rela, untuk berperang membelai
negara. Di dalam negara Watzu tidak ada persatuan, maka itu
Yasian akan terserang musuh dalam dan luar. Hal ini diketahui baik
sekali oleh Yasian, karenanya, mana dia berani bunuh kau? Oleh
karena itu, sekarang ini, kau bersabarlah, kau pertahankan diri
untuk menderita. Dengan bersabar, bukan saja negara akan dapat
dilindungi, kami juga kemudian akan mendapat jalan untuk
menolongi kau. Kau bukannya seorang tolol, hal ini tentunya kau
dapat pikir sendiri.....”
Raja tidak menjawab, ia perdengarkan suara perlahan sekali.
"Harta pusaka leluhurku berikut peta buminya, telah berhasil aku
cari dan mengambilnya," Tan Hong beritahu, "harta dan peta itu
tengah diangkut ke Pakkhia, bersama dengan itu, aku sendiri akan
menghabiskan tenagaku untuk membantu Ie Kokloo. Masih ada lagi
yang kami dapat lakukan, dari itu, jangan kau berduka."
Thio Tan Hong perlihatkan sinar matanya yang tajam, yang
menandakan kekerasan hatinya, yang membuatnya orang menaruh
kepercayaan terhadap dirinya. Bibir raja sudah bergerak seperti ia
hendak mengucap sesuatu, tetapi ia urung.
Tan Hong awasi raja itu, matanya mencilak.
"Menteri besarmu In Tjeng telah menggembala kuda di negara
asing selama dua puluh tahun, selama itu dari awal hingga akhirnya,
ia tidak bertekuk lutut!" katanya dengan nyaring. "Kau adalah orang
yang paling agung dari satu negara, apakah kau mesti kalah dengan
menterimu?" Raja pun mengawasi.
"Baik!" dia jawab akhirnya. "Aku juga tidak akan pikirkan pula
kehidupanku, akan aku perbuat seperti katamu!"
Tan Hong masih hendak berbicara ketika, "Bret!" dan robeklah
tenda kemah, terbelah dua, dari situ tampak Ngochito lompat
masuk, pesat bagaikan angin puyuh. Ketika dia lihat siapa yang
rebah di tanah, kemurkaannya bertambah meluap.
"Bangsat bernyali besar, mari makan pedangku!" dia
mendamprat sambil menikam dengan pedangnya, dengan tipu silat
"Geledek menyambar batok kepala".
Tan Hong terkejut ketika ujung pedang menjurus ke
tenggorokannya. Ia pun tidak menyangka Ngochito bisa kembali
demikian lekas, walaupun ia tahu, ia hanya dapat mengabui untuk
sementara waktu saja.
Sudah dibilang, Ngochito adalah seorang yang cerdik. Baharu
saja ia sampai di luar kemah, ia lantas dapat pikiran. Ia telah
berpikir: "Thaysoe menghendaki aku mengawasi kaisar Beng.
Tidakkah tugas itu sangat penting? Mungkinkah dia hendak
menukar tugasku itu? Lagi pula perwira pembawa lengtjhie itu
sangat asing untukku. Kalau Thaysoe mengutus orang membawa
lengtjhie padaku, ia mestinya menitahkan orang di kiri kanannya,
yang ia percayai. Juga, kenapa perwira itu tidak turut aku keluar?
Inilah mencurigakan.....”
Keras Ngochito berpikir, kecurigaannya jadi semakin besar, maka
akhirnya ia putar tubuhnya, untuk balik ke dalam kemah, begitu
sampai, ia tidak lagi ambil jalan pintu kemah, tapi ia merobek kain
tenda. Karenanya ia segera dapat lihat kedua kawannya rebah di
tanah. Ia lantas menduga, mereka itu tentu telah kena ditotok,
bahwa si perwira mestinya orang jahat, dari itu, ia menyerang tanpa
buang tempo lagi.
Tan Hong kaget tetapi ia tidak gugup, dengan sebat ia berkelit.
"Sungguh Hongloei Kiamhoat yang liehay?" ia serukan.
Ilmu silat pedang Ngochito benar-benar liehay. Lolos tikaman
yang pertama, segera menyusul yang kedua, yang ketiga, cepat dan
bengis. Tan Hong menjadi repot juga. Ia tidak sempat membuat
perlawanan, ia selalu egoskan diri. Apamau kemah itu tidak terlalu
luas, tak merdeka ia berlompat ke kiri dan ke kanan.
Sementara itu di luar pun segera terdengar suara riuh. Mestinya
itu adalah bala bantuan untuk Ngochito.
"Trang!" demikian terdengar sekonyong-konyong. Ujung pedang
Ngochito telah mengenai kopiah perang Tan Hong, tetapi serangan
itu tidak tepat, pedang meleset ke samping.
Tan Hong telah menggunakan tipu yang berbahaya. Ia sengaja
memberikan kopiahnya ditikam, selagi tertikam, ia miringkan
kepalanya. Karena pedangnya meleset, Ngochito tak dapat unjuk
kesehatannya untuk segera menarik pulang, malah saking heran, ia
melengak sebentar.
Ketika yang baik itu digunakan Tan Hong dengan sebat sekali,
selagi ia ditikam, ia gunakan kesempatan akan menghunus
pedangnya, pedang Pekin kiam hadiah dari gurunya, pedang mana
tadi tak sempat ia mencabutnya karena ia didesak terus-menerus.
Sekarang, setelah menghunus pedang, ia teruskan itu, ia pakai
menabas ke arah pedang musuh.
"Trang!" kembali suara terdengar, tetapi tak sekeras, tadi.
Karena kali ini, kedua pedang beradu sepintas lalu, dan ujung
pedangnya Ngochito kena tertabas kutung!
Panglima Watzu itu kaget tidak terkira. Ia tahu tajamnya
pedangnya, yang terbuat dengan campuran bahan emas, sudah
tajam, pedang itu jauh lebih berat daripada pedang-pedang
seumumnya. Tapi pedang itu kutung dengan satu kali bentrok saja!
Tan Hong gunakan ketikanya, ia tunjukkan kecerdikannya.
Selagi lawan berdiam, ia lompat ke samping sambil memutar
pedangnya. Dengan satu tabasan saja, ia bikin tenda terbelah,
menyusul mana, selagi dengan tangan kiri ia menyambar, akan
pentang tenda itu, tubuhnya mencelat lebih jauh, noblos keluar dari
lobang pecahan itu.
Ngochito heran menampak kecerdikan musuh, untuk
kesehatannya itu. Mengertilah ia bahwa musuh ini liehay sekali. Tapi
ia pun satu pahlawan Watzu, tidak sudi ia menunjukkan
kelemahannya. Maka sambil memutar pedangnya, ia juga noblos
keluar dari liang tenda dari mana Tan Hong nerobos keluar.
Setibanya di luar, ia lihat musuh sudah melintasi dua undakan
kemah.
"Tangkap penjahat!" ia berteriak. Ia lompat, untuk mengejar.
"Sar ser!" demikian terdengar suara ketika Ngochito lihat musuh
memutar tangannya ke belakang, terayun, menyusul mana
tertampak sinar-sinar kecil berwarna perak menyambar ke arahnya.
Itulah senjata rahasia jarum dari Tan Hong, yang ia gunakan
untuk menahan musuh yang mengejarnya.
Ngochito insyaf kepada malapetaka itu, ia putarkan pedangnya,
untuk menangkis.
Gagal serangan Tan Hong itu. Gagal separuhnya. Sebab dengan
repot menangkis, majunya Ngochito tercegah, hingga terlambat.
Dan kelambatan ini digunakan Tan Hong untuk lari lebih jauh, ke
lapis tenda yang ketiga.
Cuaca malam itu gelap, cuaca ini menolong banyak pada Tan
Hong. Ia dengar suara riuh dari tanda bahaya, ia lari terus. Segera
juga anak-anak panah menyambar saling susul, tetapi tidak ada
satu yang mengenai sasarannya. Ia terus lari, hingga melintasi
belasan tenda.
Ngochito mengejar terus, tapi ia kalah dalam ilmu enteng tubuh,
ia tidak dapat menyandak, meski begitu, Tan Hong toh repot, sebab
suara tanda bahaya telah membangunkan tentera Watzu dipelbagai
tangsi, sedang seluruh tangsi luasnya kira-kira seratus lie.
Ketika ia sudah melewati puluhan tangsi, Tan Hong tiba di suatu
tempat yang merupakan tanah kosong, di situ ada dua baris tangsi,
yang berjejer di kedua tepi. Di tenda, atau kemah sebelah depan,
api dipasang terang-terang, samar-samar tertampak serdadu ronda.
Apa yang beda, dari tangsi di depan itu tidak merubul serdadu-
serdadu Watzu seperti dari tangsi-tangsi lainnya. Heran juga Tan
Hong, karena ia tahu, tata tertib tentera Watzu biasanya keras
sekali, begitu ada pertandaan, semuanya mesti bergerak. Tetapi ini
satu tidak.
"Mungkinkah di sini ada dua jenderal yang masing-masing
memegang pimpinan?" bertanya hati kecilnya. "Walaupun ada dua
pemimpin, mereka tetap berada di bawah satu pemerintah, tidak
seharusnya mereka berlainan pimpinan.....”
Tidak peduli ia heran atau bersangsi, Tan Hong insyaf ia tidak
boleh membuang-buang tempo, maka itu, ia lompat, untuk lari
terus. Ia dapat kenyataan, di belakangnya ada pengejar-pengejar
yang menunggang kuda. Ia tiba di tengah tegalan itu di mana
terdapat banyak tumpukan rumput yang tinggi bagaikan bukit kecil.
Itulah tumpukan rangsum kuda, yang tentera Watzu paksa
penduduk setempat mengumpulkannya.
"Baiklah aku menyusup kesalah satu tumpukan, untuk
sembunyikan diri," pikir Tan Hong. "Aku mesti tunggu, sampai
semua sudah sirap, baharu aku berlalu dengan diam-diam."
Tan Hong pikir, kalau toh tumpukan-tumpukan rumput itu
hendak digeledah, orang mesti menggunakan banyak serdadu,
karena ia memakai seragam tentera Watzu, ia mengharap akan ada
kemungkinan untuk bercampur dengan mereka itu, untuk turut
menggeledah bersama-sama.....
Demikian ia nelusup masuk ke dalam sebuah tumpukan, akan
menantikan saatnya. Tapi, begitu ia masuk, begitu lekas juga ia
terkejut. Kupingnya telah menangkap suara tertawa geli, dekat
sekali, menyusul mana bebokongnya terasa ditekan barang keras
bagaikan besi, yang dingin seperti es.
"Aku telah nantikan lama padamu!" demikian sekonyong-konyong
ia dengar suara, yang halus dan menggiurkan. "Jangan kau
bergerak! Bila kau bergerak, akan aku menjerit-jerit!....."
Tan Hong kaget dan heran. Ia berada di medan perang, di dalam
tangsi, dari mana datangnya satu wanita, mungkin satu nona?
Karena itulah suaranya seorang perempuan. Ia merasa lega juga,
karena orang mengancam secara lunak.
"Baik, aku tidak akan bergerak," ia jawab. Wanita itu tertawa
pula, dengan terlebih geli. Sekarang ia lemparkan sebuntal
pakaian.
"Lekas kau loloskan seragammu," ia kata. "Lekas kau tukar itu
dengan pakaian ini. Kau tunggu sebentar, aku akan segera
kembali."
Habis berkata, wanita itu keluar dari tumpukan rumput.
Segera terdengar suara berisik, dari serdadu-serdadu dan kuda
mereka. Suara berisik itu melintasi tegalan, tiba ke dekat tumpukan
di mana Tan Hong menyembunyikan diri, tempat dari mana barusan
si wanita muncul.
"Keke, adakah keke melihat satu perwira lari lewat di sini?"
demikian Tan Hong dengar pertanyaan satu orang.
"Ya, aku lihat dia," jawab si wanita tadi. "Dia lari sangat cepat,
aku tak dapat menyandak dia. Dia lari dari sini, terus kesana.
Mungkin sekarang dia sudah melewati tangsi wanita dan telah
sampai di depan."
Dengan berteriak-teriak, "Mari! Mari!" serdadu pengejar itu lari ke
arah yang ditunjuk, sebentar saja, suara mereka menjadi kurang
berisiknya dan akhirnya lenyap, hingga kesunyian kembali di situ.
Tan Hong dapat menenangkan diri, ia mengintai dari tumpukan
rumputnya itu. Ia ditolong oleh cahaya api dari tangsi yang
terdekat. Ia periksa pakaian yang diberikan kepadanya. Ia kenali itu
adalah seragam dari serdadu wanita Mongolia. Ia menjadi heran.
Teringat akan panggilan tentera tadi kepada si wanita, ia pun
menjadi bingung. Ia tahu apa artinya panggilan "keke" itu. Orang
Mongolia, begitupun orang Manchu, kalau ia memanggil nona
anggauta keluarga raja, maka mereka memanggilnya keke. Jadi
wanita itu, nona itu, adalah dari keluarga agung. Sementara itu, ia
bersangsi untuk pakaian itu.
"Apakah aku mesti menyamar sebagai serdadu wanita?" ia
berpikir. Tapi ia ingin lolos dari kepungan, ia tidak bersangsi lama.
"Apakah kau sudah salin?" tak lama ia dengar suara si nona.
"Nah, sekarang kau sudah boleh keluar."
Tan Hong buntal pakaiannya, sambil bawa itu, ia munculkan diri.
Si nona tertawa geli sekali.
"Mari turut aku!" katanya. Terus dia bertindak. Sekarang Tan
Hong merasa bahwa ia seperti kenal nona ini, bahwa pernah ia
melihatnya, hanya entah di mana, sesaat itu, tidak dapat
ia mengingatnya.
Nona itu pergi kesebuah kemah ke dalam mana ia terus
bertindak masuk. Di dalam situ, semuanya adalah serdadu-serdadu
wanita.
Sekarang baharulah Tan Hong insyaf kenapa ia disuruh salin
pakaian. Di tangsi wanita, tak boleh ada pria mencampurkan diri.
Pantas tadi pengejar-pengejarnya tidak menggeledah di situ. Hanya
sekarang, biar bagaimana, ia merasa jengah juga sebab begitu
banyak mata wanita mengawasi padanya, agaknya mereka itu
heran. Terpaksa ia tunduk.
"Oh, keke sudah kembali?" demikian si nona ditanya beberapa
serdadu wanita itu. "Ada terjadi apakah di luar?"
"Kabarnya mereka menawan satu orang jahat," jawab si nona.
"Kamu jangan usilan!"
Serdadu-serdadu wanita itu mengawasi pula Tan Hong tetapi
mereka tidak ada yang berani menanyakan sesuatu.
Nona itu ajak Tan Hong ke sebuah kemah lain, begitu tenda
dipentang, dari situ tersiar bau harum semerbak, yang membuat
hatinya jadi terbuka.
Tan Hong lihat sebuah pedupaan kayu gaharu. Di situ ada
sebuah meja marmer serta satu meja kecil dari batu pekgiok. Di
atas meja kecil itu ada beberapa tangkai bunga bwee dalam sebuah
tempat bunga. Orang berada di tangsi tentera, tapi kemah
diperlengkapi bagaikan kamar wanita, hanya sederhana.
Begitu berada di dalam, nona itu membuka ikat kepalanya. Ia
berpaling kepada si anak muda, matanya berkerling hidup.
"Tan Hong, masihkah kau kenal aku?" tiba-tiba ia menanya.
Tan Hong memandang dengan tercengang. Sinar lilin di situ
terang sekali, wajah si nona tampak tegas. Orang tengah
mengawasi ia dengan sunggingan senyuman berseri-seri. Dengan
lantas ia ingat.
"Kaulah Topuhua!" ia jawab.
Nona itu manggut.
"Benar," sahutnya. "Sudah banyak tahun sejak kita berpisah, kau
masih belum melupakan aku!"
Di dalam hatinya, Tan Hong mengeluh.
Topuhua adalah puterinya Yasian, kepala perang Watzu itu.
Dimasa kecilnya, Tan Hong pernah bermain-main bersama nona ini.
Setelah umur mereka tiga atau empat belas tahun, baharu mereka
berpisahan. Sebabnya ialah, di antara Thio Tjong Tjioe dan Yasian,
mereka cuma baik di mulut, di hati berlainan, sedang mereka —Tan
Hong dan Topuhua — sudah mulai mengerti urusan orang dewasa.
Nona itu tertawa ketika ia berkata: "Aku ingat betul suatu
kejadian semasa kita kecil. Itu hari aku dan kau pergi berburu di
tepi air Yuching di kaki bukit Wuwang, selagi memandang air di
mana ada bayangan kita, kau mengatakannya aku mirip pria dan
aku bilang kau mirip wanita. Ingatkah kau itu?"
"Ya", sahut Tan Hong, cara sembarangan saja. Baharu saja ia
menyahuti atau tiba-tiba si nona menarik tangannya, untuk
membawa ia ke muka kaca.
"Kau lihat!" katanya sambil tertawa. "Sekarang kau pakai
pakaianku, kau lebih mirip lagi dengan wanita! Lihatlah!"
Wajah Tan Hong menjadi merah. Di dalam hatinya, ia kata: "In
Loei salin pakaian menjadi pria, aku justeru menyamar jadi wanita,
jikalau dia ketahui perbuatanku ini, tidakkah ia mentertawakan
aku?"
Topuhua tertawa pula.
"Pada malam di muka keberangkatan angkatan perang kita, ia
berkata, "aku telah dengar kabar kau sudah mencuri masuk ke
Tionggoan. Hal kepergian kau itu ditanyakan kepada Thio Sinsiang,
dia tidak mau memberi keterangan. Aku telah menyangka, selama
hidup kita ini, kita tidak akan bertemu pula satu dengan lain, akan
tetapi Allah telah memberkahinya, kita justeru bertemu di sini.
Sudah banyak tahun kita tidak pernah bertemu, maka itu kali ini kau
mesti berdiam untuk beberapa hari bersama aku di sini."
Tan Hong terperanjat.
"Mana dapat itu dilakukan?" katanya.
"Kenapa tidak?" Topuhua tanya. "Aku jamin tak akan ada orang
yang ketahui kau! Umpama ada juga yang mengetahuinya, mereka
semua ada orang kepercayaanku, tidak nanti mereka berani
membuka rahasia."
Tan Hong menggoyangkan tangannya berulang-ulang.
Mendadak saja nona itu perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Jikalau kau menampik, sekarang juga aku berteriak!" ia kata.
Pemuda itu tidak membiarkan dirinya digertak. "Baik, kau
berteriaklah!" ia kata. "Dengan sebenarnya aku beri tahu padamu,
hari ini aku menjadi musuhmu, kau boleh belenggu aku, kau boleh
serahkan aku kepada ayahmu! Aku telah memberanikan diri
mendatangi tangsi tenteramu, karena aku tidak memikirkan pula
jiwaku!"
Mendengar itu, si nona tertawa pula, nampaknya ia sangat manis
dan menarik.
"Kau tertawakan apa?" tanya Tan Hong, gusar. "Kau masih tetap
bawa sifatmu semasa kanak-kanak," sahut Topuhua. "Kau
selamanya suka jaili aku. Kau bilang kau adalah musuhku, aku
sebaliknya tidak pandang kau sebagai musuh. Kau bilang kau tidak
sayangi jiwamu, baiklah, sekarang aku tanya, kau pikirkan jiwa
ayahmu atau tidak?"
Diam-diam Tan Hong terkejut.
"Ayahku masih ada di Watzu, dan di sana Yasian-lah yang
berkuasa," ia berpikir. "Lagi pula, kalau nanti aku hendak
mengacaukan bahagian dalam dari Watzu, aku membutuhkan
bantuannya ayahku. Mengurbankan diri adalah perkara gampang,
untuk membangun negara sesungguhnya sulit. Baiklah, aku
bersabar."
Ia lantas tunduk.
Topuhua mengawasi, ia menyangka orang telah menurut,
kembali ia tertawa.
"Sebenarnya, apa sih yang tak baik untukmu tinggal bersama aku
di sini?" dia tanya, suaranya manis. "Tempatku ini, di mana juga
dalam kalangan tentera Watzu, tidak nanti kau dapatkan keduanya
terlebih menyenangkan."
Tan Hong berjingkrak.
"Apa?" tanyanya. "Kau hendak suruh aku berdiam di sini?"
"Jikalau kau tidak tinggal di sini, habis di mana lagi?" si nona
tertawa pula. "Apakah kau hendak tinggal di luar rumah
bercampur dengan serdadu-serdadu wanita? Kau tak usah takut
ditertawai!"
Tan Hong berpikir keras. Ia benar menghadapi kesulitan.
Memang, kalau mesti berdiam di dalam tangsi, ia mesti berdiam
sama si nona. Ia lantas ingat pula In Loei, kembali ia mengeluh
dalam hatinya. Topuhua lantas teriaki satu serdadunya untuk ambil
setahang air panas.
"Pergi kau mandi di belakang kemah ini", katanya pada anak
muda kita. "Kau bersihkan tubuhmu dari kotoran tanah dan rumput,
supaya tidak ada orang yang mencurigai kau. Tak usah kau malu-
malu, di sini tidak ada orang melihat padamu."
Ia menarik tenda dari apa yang disebut kemah belakang itu, ke
situ ia tolak masuk tubuh Tan Hong, habis mana, tenda itu ditutup
pula rapat-rapat, sampai angin pun tak dapat masuk.
"Sekarang baharulah hatiku tetap!" masih menggoda si nona.
"Kalau sebentar kau telah selesai mandi, aku masih hendak bicara
denganmu."
Tan Hong sementara itu mengasah otaknya, guna memikirkan
daya untuk meloloskan diri. Sekian lama ia telah berpikir, belum
juga ia memperoleh akal. Hal ini membuatnya ia masgul.
Pada waktu itu ia dengar tanda waktu dalam tangsi, kentongan
dibunyikan dua kali. Jadi sudah jam dua.
Berbareng dengan itu, satu serdadu wanita bertindak masuk.
"Keke, Thaysoe datang menjenguk," dia memberitahukan.
"Silakan Thaysoe masuk", sahut Topuhua. Baharu saja
serdadunya keluar, nona ini sudah tertawa pula.
"Kau jangan terbitkan suara apa-apa, aku tak akan
memberitahukan ayah tentang kau!" ia kata. Tentu saja kata-kata
ini ditujukan kepada si anak muda.
Jantung Tan Hong memukul. Ia memasang kuping.
Sebentar kemudian terdengarlah tindakan kaki. Itulah Yasian.
"Ayah," Topuhua sambut ayahnya itu, "kabarnya malam ini ayah
hendak menyuruh raja Beng melayani kau minum arak, kenapa
sekarang kau sempat menjenguk aku? — Ah, ada urusan apakah,
ayah? Kau nampaknya tidak gembira.....”
Tan Hong menahan napas. Ia dengar suaranya Yasian.
"Apa yang terjadi malam ini sungguh di luar dugaanku!" kata
menteri itu. "Bagaimana, ayah?"
"Aku tadinya anggap kaisar Beng seorang yang takut mati,"
berkata pula Yasian, "aku percaya, bila dia sudah menakluk, dapat
aku gunakan ia sebagai kaisar untuk mempengaruhi menteri-
menterinya. Aku pikir, itu waktu, kita sudah punyakan wilayah
kerajaan Beng. Tapi dugaanku itu keliru. Dia membangkang atas
titahku itu, dia tidak menghadiri pesta.....”
Topuhua heran.
"Benarkah dia begitu bernyali besar?" dia tanya. "Benar," jawab
sang ayah. "Sungguh aku tidak sangka."
Mendengar itu, Tan Hong girang bukan kepalang.
"Kie Tin masih punyakan semangat," ia berkata di dalam hatinya.
"Dia menang banyak dibanding dengan dua kaisar ahala Song.
Nyata dia tidak mensia-siakan lelahku ini."
"Tidak sukar bagiku membinasakan dia," Yasian berkata pula,
"hanya aku kuatir, jikalau aku binasakan dia, itu bisa mengakibatkan
kemurkaan rakyat Beng, hal mana pasti akan memperlambat
peperangan ini. Untuk kita, perang lama pun belum tentu ada
manfaatnya. Aku dengar Atzu Tiwan sekarang ini sedang
mengumpulkan tentera diam-diam, rupanya dia pikir, selagi aku
pergi perang di tempat jauh, hendak dia rampas kekuasaanku. Hal
itu membuatnya hatiku tidak tenteram."
Yang disebut Tiwan Atzu itu adalah si pangeran Mongolia yang
diutus ke Pakkhia.
"Ayah, kau gagah perkasa, buat apa kau kuatirkan hal itu?" kata
sang puteri. "Lagi pula hari ini kita telah peroleh kemenangan
besar, maka tidak selayaknya kau mengucapkan kata-katamu
ini." Yasian tertawa.
"Kau benar, anakku!" ia kata. "Sekarang hendak aku bicara
dengan kau tentang hal yang akan membuatnya kau girang. Ya,
apakah kau masih ingat Thio Tan Hong puteranya Thio Tjong
Tjioe?"
Kaget Tan Hong mendengar perkataan itu.
"Kenapa, ayah?" Topuhua balas menanya. "Meskipun Thio
Tjong Tjioe tidak hendak memberitahukannya, tetapi telah aku
peroleh endusan, Thio Tan Hong sebenarnya telah menyusup ke
Tionggoan," sahut sang ayah. "Hal itu membuatnya aku curiga.....”
"Kenapa begitu, ayah?"
"Keluarga Thio itu dengan kaisar Beng adalah musuh turunan,
karenanya tidak ada alasan untuk mencurigai Tan Hong nanti
membantu musuhnya itu," menerangkan Yasian, "tetapi sejak aku
menggerakkan angkatan perang sampai pada hari ini, sudah
berselang satu bulan, Thio Tan Hong yang berada di Tionggoan itu,
kenapa dia tidak datang padaku untuk melaporkan sesuatu?
Sebenarnya inilah waktu yang paling baik untuk ia menuntut balas
bagi permusuhan turun temurunnya."
"Mungkin dia terhalang karena berhadapannya kedua pasukan
perang dan ia belum mendapatkan kesempatannya," Topuhua
utarakan dugaannya. Ia main komedi dengan ayahnya itu. "Kalau
nanti ayah sudah rampas Tionggoan, mustahil dia tak muncul?"
Yasian tertawa.
"Sampai itu waktu, itulah sudah pasti!" ia kata. "Kau tahu, kali ini
aku menerjang ke Tionggoan, maksudku untuk menawan dua
orang.....”
"Siapakah kedua orang itu?"
"Yang pertama yaitu kaisar Beng," jawab sang ayah. "Dengan
ditawannya kaisar itu, meskipun dia tidak sudi menakluk, sisa
tentera Beng pasti masih ragu-ragu, lambat laun, negara Beng itu
akan jadi kepunyaanku juga."
"Dan yang kedua, ayah? Siapa dia?"
"Yang kedua ialah Thio Tan Hong."
"Ayah hendak tawan dia, apakah ayah persalahkan dia karena dia
telah menyusup masuk ke Tionggoan?" sang anak tanya pula.
"Ya dan bukan," Yasian jawab.
"Apakah artinya itu, ayah?"
"Thio Tan Hong itu gagah dan pintar, dia sangat berguna,"
Yasian berikan keterangan pula. "Jikalau aku telah menangkap dia,
umpama kata dia tidak sudi tunduk padaku, akan aku dakwa dia
telah lancang menyusup ke Tionggoan, akan aku bunuh dia.
Tindakan ini ialah untuk mencegah bahaya di belakang hari."
"Ah....." Topuhua berseru tertahan. "Tidakkah itu terlalu kejam?"
Yasian tertawa.
"Dia bermusuh dengan kerajaan Beng, dalam sepuluh, sembilan
bagian sudah pasti dia akan turut aku!" dia kata. "Anakku, itulah
maksud urusanku yang menggirangkan!" Topuhua berpura-pura
likat.
"Ah, ayah, kembali kau mengejek aku!.....” katanya.
Yasian tertawa berkakakan.
"Ayahmu bukannya seorang tolol!" ia kata. "Sudah sejak siang-
siang aku lihat kau sukai Thio Tan Hong si bocah itu! Sekarang ini
kau sudah berusia dua puluh tiga tahun, menurut adat istiadat kita
bangsa Watzu, kau seharusnya sudah membuat aku mengempo
cucu! Banyak pangeran telah meminangmu, kau selalu
menampik, ayahmu juga tidak hendak memaksa. Kenapa sikapku
itu? Itulah karena aku tahu kau menantikan Thio Tan Hong! Baiklah,
akan aku bikin kau menjadi puas!"
Topuhua tunduk, ia diam, tetapi hatinya girang bukan kepalang.
"Hanya malam ini, bangsat itu!" tiba-tiba Yasian berseru keras.
"Dia benar-benar bernyali besar! Dia telah menyusup ke dalam
kemah harimau, dia mencoba untuk membawa buron kaisar Beng,
malah dia juga mempunyai lengtjhie kumala! Aku agak sangsi.....”
"Siapa yang kau sangsikan, ayah?" tanya Topuhua.
"Aku kuatir penjahat itu adalah Thio Tan Hong....."
Si nona heran.
"Bukankah ayah sendiri yang mengatakan dia bermusuh dengan
kaisar Beng?" dia tanya.
"Itulah yang menyebabkan kesangsianku. Sebegitu jauh yang
aku ketahui, lengtjhie itu diberikan mendiang Sri Baginda kepada
tiga orang, ialah kesatu ayahmu, kedua Thio Tjong Tjioe, dan ketiga
Pangeran Atzu. Aku duga penjahat itu, kalau dia bukannya Thio Tan
Hong, dia mesti orangnya pangeran itu. Mungkin pangeran itu juga
berniat menculik kaisar Beng, supaya dia dapat bersaing denganku.
Tapi soal ini tidak terlalu sukar, kalau nanti aku sudah pulang
perang, akan aku selidiki. Umpama kata perbuatan itu adalah
perbuatannya Thio Tan Hong, walaupun kau menyayangi dia,
terpaksa aku harus singkirkan padanya!"
Topuhua terkejut, di dalam hatinya, ia mengeluh. Ia bersyukur
yang ia belum sampai memberitahukan ayahnya hal Tan Hong ada
bersama dengannya. Yasian berpaling ke meja kecil, untuk
menuang teh, tiba-tiba ia tampak tenda bergerak perlahan, samar-
samar terdengar suara.
"Siapa di dalam tenda?" ia menegur. Terus ia menoleh pula,
melihat puterinya tengah mengipas dengan kipas kayu cendana.
"Di mana ada orang di sini, ayah?" kata anak itu sambil tertawa.
"Mungkinkah ayah dibikin kaget penjahat itu maka sekarang ayah
menjadi kurang tenteram hati hingga ayah menjadi bercuriga tidak
keruan?"
Wajah ayah itu berubah, akan tetapi mendadak ia tertawa besar.
Topuhua tetapkan hatinya, ia mengipas dengan terlebih keras.
"Hawa udara di Tiongkok beda dengan kita di Mongolia," berkata
Yasian kemudian. "Dalam bulan sembilan yang berhawa sejuk, di
sana sudah turun salju, di sini sebaliknya hawa masih panas.
Kiranya kipas kau yang membikin tenda itu bergerak-gerak, hingga
aku menyangka yang bukan-bukan..."
Habis mengucap, ayah ini tertawa pula, ber-gelak-gelak. Ia tidak
tahu, Topuhua mengipas sesudah tenda bergerak, hanya puterinya
ini mengipas dengan cepat, sedang iapun tengah berpaling, ia tidak
engah.
Di dalam hatinya, Topuhua sesalkan Tan Hong, yang
menganggap telah berlaku tidak hati-hati.
"Sekarang ini aku telah mengumumkan titahku," berkata Yasian
kemudian, "yaitu kecuali dengan titah yang tertulis dengan
tanganku sendiri serta ditandai dengan cap kebesaran panglima
perang tertinggi, siapa juga dilarang datang dekat kepada kaisar
Beng. Aku pun telah menarik dua belas pahlawan ke Kemah
Harimau, untuk bantu membuat penjagaan. Maka, tidak peduli
penjahat liehay luar biasa, tidak nanti dia dapat menyusup masuk ke
dalam kemah kaisar itu. Kau tahu kita pun telah dapat menawan
Thio Hong Hoe, komandan Gielim koen kerajaan Beng itu. Tentang
dia, aku telah dengar dari Tantai Mie Ming, sekarang telah aku
saksikan sendiri, dia benar gagah, dari itu aku harap dapat aku
bujuk dia menakluk kepada kita, apabila dia suka menyerah, dia
pasti lebih berharga daripada dua belas pahlawan itu. Dia telah
terluka panah, dia tidak membutuhkan banyak orang untuk
menjaganya karena itu aku telah menarik kedua belas pahlawan
itu."
Atas kata-katanya ayah ini mengenai Thio Hong Hoe, Topuhua
tidak menaruh perhatian, ia menyahuti secara sembarangan saja, ia
hanya sedang pikirkan keras perihal jodohnya dengan Thio Tan
Hong.
"Apakah ayah telah mendapat persetujuan dengan Thio Tjong
Tjioe?" ia tanya. Inilah hal yang penting baginya. Kalau kedua orang
itu sudah cocok satu dengan lain, tidak usah ia kuatirkan apa-apa
lagi.
"Sebenarnya aku tidak bercidera dengannya," Yasian jawab
puterinya itu, "kita cuma kurang cocok sedikit dalam hal pendapat.
Aku percaya, sesudah nanti kita menjadi besan, perhubungan kita
akan menjadi lebih baik pula." Ia tertawa, lalu ia menambahkan:
"Aku percaya Thio Tjong Tjioe tidak akan lolos dari kekuasaanku.
Keluarga Thio itu sudah turun temurun membantu negara kita
dalam hal tata tertib negara, bisa dianggap dia berjasa besar, cuma
mereka telah memikir yang tidak-tidak, yaitu mereka berniat
meminjam angkatan perang kita untuk membangun pula
Kerajaannya, yaitu Kerajaan Tjioe. Tentu saja, itu bukannya satu
urusan yang sederhana sebagaimana yang mereka pikir. Sekarang
ini aku biarkan Thio Tjong Tjioe berdiam di dalam negeri. Sikapnya
nampaknya aneh. Yang dia pikirkan siang dan malam adalah untuk
kembali ke negerinya, untuk membangun kerajaannya, itu artinya,
ia harapkan masuknya angkatan perang kita ke Tionggoan.
Sekarang ini angkatan perang kita sudah bergerak, kita sudah
masuk ke dalam wilayah Tionggoan, tetapi heran, ketika aku minta
ia berdiam di dalam negeri, ia tidak menentangnya. Kelihatannya ia
girang-girang saja. Kenapa begitu sikapnya? Hal ini membikin aku
sulit menerka hati Tjong Tjioe itu. Tapi dia adalah seorang pandai,
maka aku pikir jikalau nanti telah selesai aku merampas Tionggoan
dan mengangkat diriku menjadi raja, hendak aku berikan dia
kedudukan sebagai perdana menteri. Oh, anakku, dengan aku
menjadi raja, kau akan menjadi puteri!"
Ketika itu terdengar kentongan tiga kali.
"Ayah, waktu sudah larut malam," kata Topuhua sambil tertawa.
"Sekarang sudah waktunya ayah beristirahat. Besok ayah akan
melanjutkan memimpin pasukan perang, untuk menyerang kota
Pakkhia, setelah kota itu dapat dirampas, baharu ayah menjadi raja
dan aku menjadi puteri!" Yasian tertawa.
"Kau benar, anak!" ia kata, hatinya gembira. Setelah mencium
puterinya ia meninggalkan tangsi wanita itu.
Begitu ayahnya berlalu, lekas juga Topuhua bernapas lega. Ia
merasakan bagaimana keringatnya telah membasahi baju dalamnya.
Ia lantas salin pakaiannya, sambil dandan dan tertawa, ia kata:
"Engko Thio, kau lihat, bagaimana baik hati ayahku! Maka kau
bolehlah legakan hatimu..."
Dari kemah dalam tidak ada penyahutan. "Ayahku sudah pergi!"
kata pula Topuhua sambil tertawa. "Kau lekas mandi! Apakah airnya
sudah dingin? Apakah kau ingin tukar itu dengan air panas yang
baru?"
Dari dalam tenda itu tetap tidak ada jawaban, tidak ada suara
apa-apa.
"Engko, engko Thio, ah, kenapa kau tidak menjawab?" tanya
Topuhua. Sekarang ia mulai merasa heran. Ketika ia tetap tidak
peroleh penyahutan, ia kerutkan alis. Ia lantas bertindak
menghampirkan tenda. Tapi ia tidak berani lantas memegangnya,
untuk menariknya, buat membukanya. Ia kuatir si anak muda
tengah membuka pakaian.
"Engko Thio, engko Thio!" ia memanggil pula, dua kali.
Masih saja tidak ada jawaban dari Tan Hong. Sampai di situ,
Topuhua menjadi curiga. Ia pun menjadi tidak senang, hingga ia
kertek giginya. Sekarang ia tidak pikirkan apa-apa lagi, ia sambar
tenda dengan kedua tangannya dan menariknya dengan keras!
Bukan main herannya Topuhua begitu lekas tenda sudah
terpentang. Tenda itu kosong, Thio Tan Hong tidak ada di
dalamnya! Maka ia masuk ke dalam, untuk memeriksa. Segera ia
menjadi terkejut. Tenda itu rapat, tidak ada jalan keluar di sebelah
belakang, tetapi sekarang telah terbuka satu lowongan, yaitu tenda
pecah bekas dipotong! Itulah tanda yang Tan Hong telah memotong
tenda itu, akan membuka jalan untuk buron!
Topuhua melengak, ia mendongkol berbareng menyesal, ia
menjadi bingung dan berduka.
"Dasar aku yang tolol," ia pikir kemudian. "Tidak selayaknya aku
mengijinkan dia membawa-bawa pedang."
Selagi tunduk, Topuhua tampak corat caret di tanah. Itulah surat
yang ditulisnya dengan ujung pedang. Ia lantas membaca:
"Terima kasih untuk pertolonganmu, lain waktu akan aku balas
budi ini. Sekarang aku sangat kesusu, tidak ada ketika untuk kita
pasang omong.
Di mana kedua negara sedang berperang, sekarang pun bukan
saatnya untuk berunding, maka itu, aku pergi dahulu!"
Di bawahnya tertera tanda tangan Tan Hong.
Dengan hati panas, Topuhua pergi keluar. Ia tanyakan
keterangan pada serdadunya yang menjaga di luar.
"Dia pergi sudah lama," ia dapat jawaban.
"Kenapa kau tidak cegah padanya?" si nona tanya.
"Dia masuk bersama nona," sahut serdadu itu, "dan nona pun
pesan supaya kami jangan banyak omong, karena itu,
kepergiannya, mana kami berani menghalanginya?"
Bukan main mendongkolnya Topuhua, akan tetapi ia tidak dapat
berkata suatu apa. Dengan mendongkol dan masgul, ia kembali ke
dalam kemahnya.
Sementara itu, di lain kemah, Thio Hong Hoe pun dapat
meloloskan diri.
Ditahan di dalam kemah, Hong Hoe dijaga dua pahlawan. Sejak
ia ditawan, ia sudah memikir tidak ingin hidup, tetapi ia dibelenggu,
tidak ada jalan untuknya akan membunuh diri, maka itu, ia mogok
makan. Yaitu dikasi makanan apa juga, ia tolak, hingga atas
titahnya Yasian, ia dipaksa dicekoki kuwah jinsom, sedang lukanya
telah diobati. Lukanya tidak berbahaya, setelah diobati dan makan
kuwah jinsom, kesehatannya telah pulih dengan cepat. Sekarang ia
bisa gunakan otaknya.
"Kalau toh aku mesti mati, aku harus menukar jiwaku dengan
beberapa jiwa!" demikian ia berpikir. Karena ini, seterusnya suka ia
dahar.
Pembahan sikap ini membikin girang kedua pahlawan
penjaganya, karena mereka tak usah main paksa orang minum dan
dahar. Mereka tidak menyangka, dengan suka bersantap, Hong Hoe
hendak pelihara diri, untuk mengumpulkan tenaganya.
Demikian malam itu, kira-kira jam tiga, selagi seluruh tangsi
terbenam dalam kesunyian, Hong Hoe empos semangatnya, ia
pusatkan tenaganya, habis itu, ia gerakkan kedua tangannya yang
terbelenggu rantai. Ia bertenaga besar, siapa tahu, rantai ada
tangguh sekali, rantai itu tidak terputus, hanya menerbitkan suara
nyaring, hingga kedua penjaganya kaget.
"Hai, kau bikin apa?" tegur dua pahlawan itu.
Hong Hoe tidak menjawab, dia hanya kerahkan pula tenaganya,
kali ini ia berhasil membikin sehelai rantai putus, suaranya semakin
nyaring.
Kaget kedua pahlawan itu, mereka hunus golok mereka, untuk
mengancam. Ingin mereka mencegah orang buron.
Hong Hoe mendelik, hingga ia nampaknya menjadi bengis sekali.
"Mampus dia yang mendekati aku!" teriaknya. Ia lompat, ia
merabu dengan rantainya.
Kedua pahlawan itu mundur, bukan saja serangan hebat, mereka
pun tidak berani membunuh tawanan ini, mereka lompat berkelit,
niat mereka adalah menyerang dari samping ke arah kaki tawanan
itu.
Hong Hoe liehay, dia ganas, selagi dia hendak dibacok, dia
mendahului, hebat sabetannya dengan rantai.
"Aduh!" teriak satu pahlawan, yang rubuh seketika, kakinya
patah di bagian dengkul kena rabuan rantai.
Pahlawan yang kedua kaget tapi ia lantas membacok. Ia insyaf
akan ancaman bencana.
Hong Hoe rubuhkan diri, sambil rebah celentang, ia menyapu
dengan kakinya, yang pun terbelenggu. Tapi pahlawan itu liehay,
dapat dia berkelit, terus dia membacok pula, untuk mencegah orang
berbangkit bangun.
Hong Hoe bergulingan, atas mana, ia disusul bacokan berturut-
turut, hingga tak ada ketika baginya untuk lompat bangun. Dalam
keadaan sangat berbahaya itu, selagi pundaknya terancam akan
terbabat kutung, mendadak terdengar satu suara keras, dari
bentroknya senjata-senjata tajam, lantas golok si pahlawan terlepas
jatuh.
Hong Hoe menjadi kaget, lekas-lekas ia lompat bangun, untuk
berdiri, berbareng mana, ia tampak menyerbu masuk, dua orang
yang mukanya bertopeng.
"Lekas bekuk tawanan ini!" teriak si pahlawan. Ia lihat, dua orang
itu adalah kawannya. Ia lantas lompat, untuk menjumput goloknya
yang barusan terlepas. Untuk itu, ia membungkuk. Tapi di luar
dugaannya, kedua orang itu, yang memakai seragam perwira
Mongolia, tahu-tahu dengan berbareng telah membabat dengan
pedang mereka, hingga tanpa menjerit lagi, tubuh pahlawan itu
terputus dua dan rubuh dengan berlumuran darah.
"Kau?" teriak Hong Hoe ketika ia lihat, kedua orang itu.
Kedua orang itu membuka penutup muka mereka.
"Ya, aku!" jawab yang satunya, sambil tertawa.
Mereka itu tidak lain daripada Tan Hong dan In Loei.
Tan Hong mendengar dari Yasian, di mana adanya Hong Hoe,
maka itu, selagi Yasian dan puterinya berbicara, ia berlalu dengan
cepat. Dengan mudah ia akali serdadu wanita, yang menjaga tenda,
karena ia masih dandan sebagai seorang wanita, habis itu, ia salin
seragam serdadu Mongolia, ia lekas lari pulang ke tangsinya, untuk
mengajak In Loei, bersama siapa, ia pergi ke kemah di mana Hong
Hoe ditahan, malah tepat sekali di saat tongnia Gielim koen itu
menghadapi bahaya, hingga ia dapat memberikan bantuannya.
Dengan cepat Tan Hong dan In Loei gunakan pedang mereka
yang tajam, guna memutuskan semua belenggu Hong Hoe, tapi
mereka masih terlambat, di depan kemah sudah lantas terdengar
suara berisik, sebab tadi, pengawal kemah telah dengar keributan di
dalam, dia lari untuk memberi kabar.
Hong Hoe tertawa besar.
"Bagus!" dia berseru. "Akan aku adu jiwaku! Dengan
membunuh satu jiwa, pulang modalku!
Membunuh dua jiwa, aku sudah untung! Tapi hari ini, hendak aku
binasakan sedikitnya sepuluh, tak boleh kurang!"
Dia lantas sambar golok seorang pahlawan, untuk dipakai berlaku
nekat.
Tiba-tiba Tan Hong totok komandan Gielim koen itu.
"Kau... kau..." Hong Hoe berseru tertahan, kaget. Ia cuma dapat
mengucap demikian, terus kedua matanya rapat, tubuhnya rubuh.
In Loei heran, ia lirik kawannya itu.
"Tak dapat dia dibiarkan nekat," kata Tan Hong. "Mari!"
Anak muda ini mengangkat tubuh orang, untuk dipanggul.
In Loei mengerti, ia lantas mengikuti. Tidak ada lain jalan,
mereka pergi ke depan, untuk menghadapi musuh. Tanpa tanda
apa-apa lagi, keduanya maju menerjang, untuk membuka jalan.
Segera pedang mereka berkelebat, segera terdengar suara
beradunya pelbagai senjata tajam. Untuk kagetnya musuh, senjata
mereka semua terpapas kutung, hingga terpaksa mereka lompat
minggir.
Tan Hong dan In Loei gunakan ketikanya, selagi jalanan terbuka,
mereka maju dengan cepat. Terus mereka babat kutung senjata
musuh, terus mereka nerobos, sampai mereka dapat dekati tenda
dan lompat naik ke atasnya.
Itulah pahlawan-pahlawan kelas dua, karena yang dua belas,
yang kelas satu, sudah ditarik ke tengah, untuk menjaga raja Beng.
Maka itu, mereka semua tak berdaya menghadapi pasangan anak
muda itu, hingga, begitu lekas mereka berdua sudah lompat naik ke
tenda, lekas sekali keduanya dapat lolos dengan jalan melintasi
pelbagai tenda lainnya.
Begitu lekas mereka sudah berada di luar kalangan berbahaya,
Thio Tan Hong lantas perdengarkan suitannya yang nyaring, suitan
mana disambut dengan ringkikan kuda di arah kiri mereka.
"Kita bebas!" kata Tan Hong dengan girang apabila ia telah
dengar suara kuda itu. "Mari!" ia ajak kawannya.
In Loei ikuti kawan ini. Mereka hampirkan kuda Tjiauwya saytjoe
ma, yang sudah menantikan mereka sambil menggoyang-
goyangkan ekornya. Bertiga bersama Hong Hoe, Tan Hong
menyingkir dengan kudanya itu, yang lari keras.
"Biarkan dia tidur!" kata Tan Hong pada kawannya ketika ia
mengikat Hong Hoe diperut kuda. Komandan Gielim koen itu masih
belum sadar, sebab ia belum ditotok pula. Tan Hong mempunyai
dua macam ilmu totok, ialah yang membahayakan jiwa dan tidak.
Hong Hoe ditotok urat tidurnya, dengan begitu ia pingsan tanpa
terganggu jalan napas dan jalan darahnya.
Mulanya In Loei bersangsi akan naik bersama atas seekor kuda,
hingga Tan Hong desak dia, "Naiklah, adik kecil!" katanya. Ia
bersangsi sejenak, kemudian ia lompat naik ke atas bebokong kuda.
Ia mesti insyaf, mereka perlu lekas menyingkir jauh dari musuh.
Meski begitu, tak dapat ia cegah mukanya menjadi merah dan
kulit mukanya dirasakan panas, saking jengah. Mau atau tidak
mereka harus tempelkan tubuh mereka satu dengan lain.
Dengan perdengarkan suara yang nyaring, Tjiauwya saytjoe ma
berlompat lari, dia membikin tentera Watzu tidak berdaya walaupun
mereka ini dengar suaranya.
Dapat dikatakan tak sampai satu jam, kuda putih yang jempolan
itu sudah meninggalkan tangsi Watzu terpisah jauh di belakangnya.
Kerap kali di tengah jalan beberapa serdadu ronda dari Watzu
mencegat akan tetapi menghadapi Tan Hong dan In Loei, mereka
itu tidak dapat berbuat apa-apa, dengan gampang kedua anak
muda itu dapat melalui mereka. Mereka yang berani dengan segera
menjadi kurban pedangnya pasangan itu. Lega hati Tan Hong begitu
lekas ia lihat mereka sudah lolos dari ancaman bahaya. Mereka telah
berada kira-kira empat puluh lie jauhnya dari daerah tangsi Watzu di
Touwbokpo. Ia menjadi sangat girang. Satu kali ia tertawa tak
disengaja ketika rambut halus dan bagus dari In Loei menyampok
hidungnya, yang membuatnya ia merasa geli.
"Toako, coba perlahankan kuda putihnya," In Loei minta
kemudian.
Tan Hong meluluskan, maka sesaat kemudian, Tjiauwya saytjoe
ma sudah lantas bertindak perlahan. Ini membuatnya si anak muda
lantas merasakan keindahan sang malam dengan rembulannya yang
permai. Ia seperti sadar sesudah ia berpikir sebentar. Baharu
sekarang ia ingat, malam itu adalah malam Tiong Tjioe — bulan
delapan tanggal lima belas! Tanpa merasa, ia tertawa.
"Adik kecil!" katanya, "tahun ini Tiong Tjioe dilalui dengan
berkesan!"
"Memang benar!" sahut In Loei, yang hendak menggoda. "Hari
raya Tiong Tjioe dinamakan juga Toan Wan Tjiat, artinya Bundar
dan Bulat, dan kau bersama puterinya Yasian telah berada bersama
bagaikan manusia dan rembulan lama bundar bulatnya!"
Tan Hong terperanjat, ia segera lirik nona itu. Ia tampak In Loei
tertawa manis, bersenyum simpul, dari mulutnya pun tersiar bau
harum, maka hatinya goncang sendirinya.
"Adik kecil," katanya, sambil tertawa, "bukankah pribahasa
mengatakan, 'Di medan perang menyaksikan rembulan permai, di
atas kuda merasakan keindahan Tiong Tjioe?' Adik kecil, semoga
kita setiap tahun merasakan malam-malam seperti malam ini! Apa
yang kau katakan memang benar, malam ini manusia dan rembulan
sama bundar-bulatnya, maka juga puteri Yasian itu, apabila dia
melihat kau, dia pasti mengiri!..."
Tan Hong balas menggoda, yang mengandung maksud. Dengan
samar ia telah utarakan cintanya. Tanpa merasa, In Loei menjadi
jengah, ia likat sekali. "Ah, toako, kau jail sekali!" dia kata. "Jikalau
kau terus menggoda aku, akan aku lompat turun dari kuda ini,
tak mau aku menunggangnya bersama-sama kau!" Tan Hong
menoleh, akan pandang si nona. Ia tampak suatu paras seperti
girang seperti gusar, hatinya menjadi goncang. Ia tidak jawab nona
itu, sebaliknya, ia lantas bersenanjung perlahan. Rembulan tanggal
lima belas itu adalah bahan sasarannya.
"Eh, toako, kau angot?" tegur In Loei, heran.
Masih Tan Hong tidak menjawab, ia hanya bersenanjung terus,
dengan perlahan: "Semoga manusia hidup kekal. untuk bersama-
sama merasakan keindahan alam seribu lie." Dengan "keindahan
alam" itu ia maksudkan seorang wanita cantik manis.
Tanpa merasa, In Loei menimpali, perlahan ia bersenanjung:
"Manusia mempunyai kedukaan, kegirangan, perpisahan,
berkumpul, seperti juga mendung, ada terang, ada bundar, ada
sempoaknya. Hal itu, sejak dahulu hingga sekarang, tak pernah
sempurna. Toako, jangan kau ingat saja bahagian yang kau ambil,
bagian belakang, kau melupakan bahagian ini..."
Habis berkata, wajah si nona menjadi suram.
Tan Hong lihat keindahan malam itu, ia mengharap supaya ia
dapat hidup bersama In Loei sehingga tua, akan tetapi si nona,
walaupun hatinya tergerak, dia tidak melupakan kata-kata
kakaknya, maka dia utarakan bahwa penghidupan manusia itu tak
kekal tak sempurna selamanya. Karenanya, ia jadi berduka.
Justeru itu segumpal awan lewat, mengalingi si puteri malam,
yang sinarnya menjadi guram.
Menampak itu, In Loei paksakan untuk tertawa.
"Nah, toako, kau lihat!" ia kata. "Di dalam dunia ini mana ada
manusia hidup berbahagia selamanya, mana ada rembulan purnama
terus menerus?"
Mau atau tidak, Tan Hong turut tertawa.
"Adik kecil, ingatkah kau pada syairnya Tjoe Siok Tjin itu penyair
wanita?" ia tanya.
"Bahagian yang manakah itu, toako?" In Loei balas menanya.
"Itu syair yang dibuatnya di malam Tiong Tjioe," sahut Tan Hong.
"Malam itu Tjoe Siok Tjin melihat rembulan dialingi mega, lalu
teringatlah ia kepada nasibnya sendiri, lantas ia menulis syairnya."
Terus Tan Hong perdengarkan syair itu:
"Malam ini rembulan tak diijinkan bercahaya, Maka tahulah aku
Thian tidak mengasihaninya. Kenapa kalau sang mega disingkirkan,
Agar rembulan bercahaya selaksa lie?"
Tjoe Siok Tjin adalah satu di antara dua penyair terkenal dari
Ahala Song. Yang satu lagi adalah Lie Tjeng Tjiauw. Kalau Lie Tjeng
Tjiauw dapat menikah dengan satu suami sempurna, Tjoe Siok Tjin
dapat pasangan satu suami desa, maka juga seumurnya ia
senantiasa berduka, maka syairnya itu menandakan kedukaan
hatinya. Maka juga kumpulan syairnya diberi berjudul "Tuan chang
tsi" artinya. "Kumpulan Usus Putus."
Mendengar nyanyian Tan Hong itu, hati In Loei bercekat, tanpa
merasa, ia berpikir: "Tjoe Siok Tjin dapat pasangan tidak kebetulan,
ia hidup selalu berduka, maka aku, mustahillah aku bakal menelad
dia?...”
Tan Hong, sambil tertawa, sudah berkata pula: "Syair Tjoe Siok
Tjin mengandung banyak kedukaan, hanya ini satu, yang tidak
berduka seluruhnya. Syair ini mengandung harapan besar! Dia tahu,
Thian tidak mengasihaninya, tapi ia masih mengharap agar mega
disingkirkan, supaya sang rembulan dapat bercahaya pula. Tjoe Siok
Tjin adalah satu nona lemah, dia tidak berdaya menyingkirkan
mega, kau sebaliknya bukan seorang lemah! Tjoe Siok Tjin cuma
dapat mengharap, kau sebaliknya dapat berusaha, bekerja!"
Mendengar itu, hati In Loei berdebar. Ia berpikir: "Kakakku
melarang aku bersahabat dengan Tan Hong, itu sama saja dengan
syairnya Tjoe Siok Tjin yang mengatakan, 'Malam ini rembulan tak
diijinkan bercahaya', maka tahulah aku Thian tidak mengasihaninya.
Tapi kata-kata kakak itu, apakah aku mesti anggap seperti
kehendak Thian? Mega yang menutupi rembulan itu mesti
disingkirkan... akan tetapi, bagaimanakah cara menyingkirkannya?"
Ketika ia angkat kepalanya, nona ini dapatkan mega justeru
melintas dan sang rembulan bersinar permai lagi seperti tadi!
Kedua anak muda ini telah menempuh gelombang, banyak
pengalamannya yang penuh bahaya, sekarang mereka bersama
dapat menaiki seekor kuda, bersama-sama mereka menggadangi
sang rembulan, walaupun hati mereka berlainan, mereka toh
mengicipi bayangan penghidupan manis dari manusia. Rambut di
samping kuping mereka beradu, mereka dengar napas masing-
masing, tubuh mereka pun melekat satu pada lain... Mereka
saksikan bagaimana di langit sang rembulan naik dan turun...
Mereka menyesal, seolah-olah mereka mempunyai laksaan omongan
tetapi tak dapat mereka keluarkan itu semua...
Sebenarnya, untuk apa mereka mengatakannya? Bukankah hati
mereka sama, mereka sama-sama telah mengerti maksud hati
masing-masing?
Kuda putih berjalan terus, perlahan-lahan sampai tanpa merasa,
cuaca telah menjadi terang. Dan di depan mereka, jauh, samar-
samar, tampak tangsi tentera Watzu. Nyatalah, Yasian telah
memusatkan angkatan perang besarnya di Touwbokpo, sebaliknya
pasukan depannya sudah mendekati Pakkhia. Maka itu di sepanjang
jalan sejauh dua ratus lie lebih, setiap delapan atau sepuluh lie,
telah kedapatan tangsi atau benteng tentera Watzu itu.
"Sekarang bolehlah kita turunkan Thio Hong Hoe," berkata Tan
Hong akhirnya.
Hong Hoe di perut kuda masih belum sadar akan dirinya. Tan
Hong turunkan tubuh orang dengan perlahan-lahan, habis itu, ia
menepuknya.
Boleh dibilang dalam sekejap saja, Hong Hoe lantas sadar, malah
segera ia merasa kesegarannya pulih, ia merasa sehat betul. Ia
lantas memandang kesekitarnya, ia merasa heran sekali.
"Tempat apakah ini?" dia tanya.
"Tempat ini telah terpisah mungkin seratus lie dari Touwbokpo,"
sahut Tan Hong. Hong Hoe menghela napas.
"Tan Hong," katanya, "kenapa kau cegah aku menghabiskan
jiwaku untuk menunaikan tugasku?"
Tan Hong menatap dengan tenang.
Kematianmu adalah urusan kecil," ia kata, "akan tetapi kalau
setiap orang mengurbankan jiwanya untuk raja, habis siapa lagi
yang hendak kurbankan dirinya untuk negara? Jikalau seorang raja
menutup mata, masih ada yang menggantikannya, tetapi kalau
negara jatuh ke dalam tangan bangsa asing, sungguh sulit untuk
mengambilnya kembali! Kau tahu, rajamu sendiri masih belum
mati!"
Hong Hoe insaf dengan cepat.
"Habis bagaimana kita dapat tiba di Pakkhia?" ia tanya akhirnya.
-ooo00dw00ooo-

Bab XXI
Justeru itu terdengar suara kuda lari mendatangi. Tan Hong
semua berpaling. Mereka lihat dua serdadu Watzu, yang rupanya
tengah meronda. Menampak dua serdadu itu, Tan Hong tertawa.
"Mengandal kepada mereka berdua, aku tanggung kau akan
sampai di Pakkhia," ia kata.
Kedua serdadu Watzu sementara itu nampaknya heran. Mereka
lihat dua perwira Watzu bersama satu perwira Han. Maka segera
mereka menghampiri.
Tan Hong berdua In Loei bertindak sangat cepat. Sekejap saja
mereka sudah sampok terlepas senjata kedua serdadu Watztu itu,
lalu diancamkan pedangnya ke batang leher mereka.
"Kamu mau hidup atau mati?" Tan Hong mengancam.
"Mau hidup..." sahut kedua serdadu, yang putus asa.
"Baik!" kata Tan Hong. "Adik kecil, bawa dia seratus tindak
jauhnya, tanyakan padanya pertandaan hari ini."
In Loei menurut, ia tarik serdadu yang satu.
"Bagus!" kata pula Tan Hong, suaranya keras. "Sekarang mari
kita mulai tanya mereka! Jikalau penyahutan mereka berbeda, itu
tandanya mereka mendusta, maka adik kecil, kau boleh lantas tabas
padanya!"
Dengan sempurnanya Iweekang-nya, walaupun mereka terpisah
seratus tindak, suara Tan Hong itu dapat didengar jelas sekali oleh
In Loei. Coba Tan Hong ada lain orang, tidak nanti suaranya itu
dapat terdengar.
Hong Hoe kagumi anak muda ini.
"Tan Hong benar teliti," kata dia dalam hatinya. "Jikalau mereka
ini tidak dipisahkan, umpama mereka menyahuti secara palsu, sulit
untuk mengetahui kedustaan mereka."
Tan Hong sudah tanya si serdadu dan ia telah peroleh
jawabannya.
"Bagaimana?" dia tanya In Loei.
"Dia kata tanda-kata hari ini adalah bidadari," jawab In Loei.
Bangsa Watzu juga tahu tadi malam adalah malaman Tiong Tjioe
untuk bangsa Han, mereka sengaja pakai kata-kata "bidadari" untuk
tanda kata mereka.
"Akur!" berseru Tan Hong. "Mereka tidak mendustai”
In Loei segera kembali bersama serdadu itu.
Tan Hong bertindak terlebih jauh, dengan sebat ia buka seragam
kedua serdadu itu, setelah mana, ia ikat mereka itu di atas pohon.
"Maafkan kami," ia kata pada mereka. "Kalian boleh menunggu di
sini sampai sahabat-sahabatmu nanti datang menolong kamu." Ia
tidak tunggu jawaban lagi, terus ia berkata pada Hong Hoe: "Silakan
kau pakai seragam ini."
Hong Hoe menurut, dengan cepat ia salin pakaian.
"Sekarang mari!" mengajak pula Tan Hong. Dan
kali ini, dengan masing-masing menunggang seekor kuda —
untuk mana kudanya kedua serdadu Watzu itu mereka rampas — ia
ajak kedua kawannya mengaburkan kuda mereka.
Hong Hoe kenal baik jalanan itu, ia mengajaknya ambil jalan
kecil, untuk memotong jalan. Secara begini dapat mereka
menyingkir dari tiap-tiap tangsi bangsa Watzu. Benar mereka kerap
kali bertemu serdadu ronda, tetapi dengan mengucapkan perkataan
"Bidadari!" mereka selalu bebas dari pemeriksaan. Maka akhirnya,
sebelum matahari turun, mereka telah tiba di luar kota Pakkhia. Di
sana pasukan depan bangsa Watzu sudah mengatur persiapan
untuk bertempur, karena mereka tengah berhadapan dengan
tentera Beng. Di antara mereka terdapat tanah perbatasan yang
kosong, yaitu no man's land.
Dengan berani Hong Hoe bertiga menerobos dari kalangan
tentera Watzu, untuk melintasi tanah kosong, guna menghampiri
tentera Han. Mereka lantas disambut hujan panah oleh tentera
Beng, akan tetapi mereka maju terus, mereka sampok jatuh setiap
anak panah.
Pasukan Beng itu di kepalai oleh Yo Wie, hoetongnia dari Gielim
koen, serta Kiekie Touwoet Hoan Tjoen, belum lagi Hong Hoe
datang dekat, mereka itu sudah melihat dan mengenali, maka itu
dengan lekas mereka larang serdadunya melepaskan panah terlebih
jauh, mereka sendiri lantas maju, untuk menyambut.
"Bagaimana sikap tentera?" Tan Hong tanya.
Inilah pertanyaan yang pertama.
Yo Wie menyahut dengan perlahan: "Kami telah mendengar
kabar angin bahwa Sri Baginda telah ditawan musuh di Touwbokpo,
kabar itu telah membuatnya hati tentera sedikit goncang..."
"Berita mengenai Sri Baginda ditawan musuh bukan kabar angin
belaka, itulah kejadian benar," kata Tan Hong. "Sekarang lekas
kamu antar kami masuk ke dalam kota untuk menghadap Ie
Thaydjin."
"Mana kakakku?" tanya Hoan Tjoen. Ia maksudkan Hoan Tiong.
"Kakakmu sudah mengurbankan dirinya untuk negara," jawab
Hong Hoe. "Aku harap kau nanti meneruskan cita-citanya, untuk
melindungi kota Pakkhia!"
Lantas komandan Gielim koen ini tuturkan kegagahannya Hoan
Tiong, yang telah menghajar mampus dorna Ong Tjin dengan
gembolannya, habis mana, sekalipun dia terbinasa, Hoan Tiong
tidak sudi menakluk pada musuh. Hoan Tjoen berduka, tetapi
hatinya terhibur.
Yo Wie pun berduka, ia terharu berbareng puas juga.
Sampai di situ, Yo Wie persilakan ketiga orang itu salin pakaian,
sesudah mana, ia antar mereka masuk ke dalam kota.
Di mana-mana di dalam kota terlihat rakyat, dalam rombongan-
rombongan kecil, berbisik-bisik, untuk satu dengan lain menanyakan
keadaan dari medan perang. Pada wajah mereka tampak roman
berkuatir dan tegang.
Hong Hoe bersama Tan Hong dan In Loei menuju ke gedung Ie
Kiam. Ketika itu sudah jam tiga tetapi gedung menteri itu masih
terang benderang.
Tan Hong maju di muka, untuk mengetok pintu, guna memohon
menghadap.
Tidak lama, pintu besar dipentang, kuasa rumah muncul untuk
mengatakannya: "Thaydjin ada di ruang tengah, silakan kamu
masuk!"
Ketika Tan Hong tiba di lorak, ia tampak Ie Kiam seorang diri
sedang jalan mondar-mandir.
"Ie Thaydjin, kami telah kembali!" Tan Hong segera berkata.
"Ah, kamu telah kembali..." kata menteri itu, yang masih
mondar-mandir terus.
In Loei menjadi heran.
"Ie Kiam dengan Tan Hong bersahabat kekal," ia berpikir, "dia
pun perlakukan kami seperti keponakan atau anak, sekarang kita
kembali, mengapa sikapnya begini tawar?" Karena ini, ia campur
bicara, katanya: "Kami pun telah membawa pulang peta bumi.
Tentang harta besar dari leluhurnya Thio Toako, itu pun akan
diangkut kemari!"
Pada wajah Ie Kiam terlihat sorot kegirangan, tetapi alisnya
masih tetap mengkerut.
"Benarkah itu?" tanyanya, menegaskan. "Aku kuatir sudah
terlambat..."
Dan kembali ia jalan mondar-mandir.
Tan Hong dapat menerka orang sedang menghadapi kesulitan, ia
kedipkan matanya kepada In Loei untuk mencegah nona ini
berbicara pula. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Ia lihat di
bawah lorak ada tumpukan kapur tembok dan di kedua tepinya
telah banyak yang runtuh. Di dalam hatinya, ia menghela napas.
"Jikalau tidak melihat sendiri, siapa sangka Ie Kokloo demikian
melarat," katanya dalam hati kecilnya. "Rumahnya sudah
begini tua, untuk membetulkan temboknya, ia cuma
menitahkan orangnya sendiri..."
Ia angkat kepalanya, ia tampak sebuah syair yang digantung di
dalam ruangan itu. Ia baca:
"Seribu kali gali, selaksa kali gempur, digali keluar dari dalam
gunung,
Dengan api yang berkobar besar dibakar, bukan main hebatnya,
Tulang-tulang boleh jadi abu, tubuh lebur, tetapi hati tak gentar,
Asal dapat pernahkan nama putih bersih di dalam dunia ini."
Di bawah itu, di sebelah kiri, terdapat tambahan huruf-huruf
halus yang berbunyi:
"Dicatat pula di harian tentera Watzu mengurung kota, sebagai
kesan."
Di bawah itu ditulis nama Ie Kiam, penulisnya.
Tergerak hati Tan Hong, hingga dengan keras ia berkata: "Ie
Thaydjin, oleh karena kau tidak gentar tulang-tulang dan tubuhmu
hancur lebur, kenapa kau jeri akan segala ocehan tidak keruan atau
fitnahan pembesar hikayat?"
Ie Kiam terperanjat, hingga kedua matanya bersinar dengan tiba-
tiba. Ia angkat kepalanya, memandang langit.
"Hiantit," katanya kemudian, "cuma kau seorang yang ketahui isi
hatiku. Tapi urusan ini sangat besar, untukku tulang hancur dan
tubuh lebur adalah soal kedua, hanya aku kuatir, di belakang hari,
aku nanti mengalami perkara penasaran yang tak dapat
dilampiaskan..."
Tan Hong mendesak.
"Sekarang ini Sri Baginda sudah ditawan musuh," kata dia, "maka
itu thaydjin harus memikirkan negara, mesti thaydjin segera
mengambil putusan. Sekarang telah tiba saatnya! Umpama kata
benar di belakang hari raja toh mempersalahkannya, tetapi thaydjin
telah pernahkan nama bersih di antara rakyat, nama itu akan
teringat laksaan tahun, akan tercatat untuk selamanya dalam
hikayat. Apakah yang harus digentarkan pula?"
Alisnya Ie Kiam bergerak pula, ia sudah lantas ambil putusannya.
Ia keprak meja ketika ia berseru: "Hiantit benar! Besok aku angkat
raja baru, akan aku basmi kawanan dorna, lalu aku akan
mengepalai sendiri angkatan perang untuk melawan musuh!"
Memang Ie Kiam telah mendengar berita mengenai raja sudah
tertawan musuh, hal mana membuatnya ia menyesal, berduka dan
berkuatir. Ia sudah menerka, bangsa Watzu pasti akan
menggunakan raja itu sebagai alat untuk memaksakan segala
permintaannya, maka itu, ia memikirkan daya upaya untuk
menghadapinya. Ia sudah ketahui, jalan satu-satunya ialah
mengangkat raja baru, untuk menunjukan bahwa ia hendak
mempertahankan diri, guna membela negara, hanya ia bersangsi
sebab ia sendiri bukannya anggauta kerajaan, kalau ia sendiri saja
yang mengepalai pengangkatan raja baru itu, tanggung jawabnya
terlalu besar dan berat. Ia pun kuatirkan serangan kawanan dorna,
sedang dalam kalangan keluarga raja, banyak yang berpendirian tak
tetap. Di samping itu ia pikirkan juga, umpama kata raja yang
tertawan itu mendapat kemerdekaannya kembali dan telah pulang
ke dalam negeri, ada kemungkinan raja itu tak akan mengerti
sikapnya itu, hingga ia akan terancam kebinasaan berikut seluruh
keluarganya. Maka itu, sudah satu hari satu malam ia berpikir keras,
masih saja ia belum dapat mengambil putusan. Sampai sekarang ini
Tan Hong telah bicara dengan tandas, baharu ia dapat mengambil
ketetapannya itu.
Di hari kedua, Ie Kiam buktikan perkataannya. Ia himpunkan
para menteri besar, ia utarakan keputusannya dan beritahukan
rencananya untuk melawan musuh. Paling dahulu ia angkat adiknya
kaisar Kie Tin, yaitu Kie Giok, menjadi raja, menjadi kaisar Tay
Tjong, sedang Kie Tin diangkat menjadi Tahongsiang. Habis itu
dikeluarkan perintah akan membunuh semua kambrat Ong Tjin.
Setelah Kie Giok naik tahta, ia pakai gelaran negara Keng Tay,
lalu dengan menuruti nasihat Ie Kiam, dalam satu hari itu, telah
menghukum mati kambratnya Ong Tjin yang berjumlah tiga ratus
jiwa lebih. Segera Ie Kiam diangkat merangkap menjadi Pengpou
Siangsie, menteri perang, dengan diberi kekuasaan untuk memimpin
angkatan perang guna melawan musuh.
Ie Kiam sudah lantas bertindak sebagai kepala perang, ia
kumpulkan tentera, ia kobarkan semangat rakyat, maka di dalam
kota Pakkhia itu, ia berhasil membangun barisannya, untuk memulai
perlawanan terhadap musuh.
Demikian peperangan telah dimulai pula. Sebab Yasian, yang
telah berhasil menawan kaisar Kie Tin, meleset dalam dugaannya.
Ia mulanya menyangka, dengan kaisar musuh dapat ditawan, kota
Pakkhia akan dapat dirampas dengan mudah, dengan begitu seluruh
Tionggoan akan terjatuh ke dalam pelukannya, siapa nyana, Ie Kiam
telah bangkit pula. Maka ia menjadi kaget berbareng gusar.
"Maju!" demikian ia serukan tenteranya, untuk mengurung kota
Pakkhia.
Pada bulan sepuluh tanggal sembilan, Yasian dapat memukul
pecah kota Tjiekengkwan, pada tanggal sebelasnya, pasukan
depannya sudah tiba di luar pintu kota Saytit moei di barat kota
Pakkhia.
Kie Giok tidak punya pendirian, ia sudah lantas usulkan untuk
memohon perdamaian, akan tetapi Ie Kiam menentangnya, menteri
perang ini menganjurkan perlawanan terus, ia sendiri yang pimpin
tenteranya. Hebat pertempuran yang berlaku lima hari lima malam
itu. Tentera Watzu berhasil memukul pecah pintu-pintu Tjianggie
moei dan Tekseng moei, akan tetapi tentera Beng melawan terus,
tak peduli banyak sekali kurban yang rubuh. Mereka telah dibantu
rakyat penduduk kota raja, wanita dan pria, tua dan muda,
menggulung tangan baju bersama, akan pertahankan negara
mereka. Mereka itu turut naik ke tembok kota, akan melawan
serbuan musuh. Anak panah tidak cukup, tanpa ragu-ragu mereka
merusakkan rumah mereka, mereka pakai batunya untuk melontar
musuh. Maka selama lima hari lima malam itu, hebat suara
pertempuran itu, demikian pula jalannya pertempuran.
Tentera Watzu gagah, tetapi menghadapi perlawanan musuh itu,
gentar juga hati mereka.
Pada hari ke enam telah datang sejumlah tentara suka rela, yang
datang dari beberapa tempat, bendera mereka tertampak ramai dari
atas kota Pakkhia.
Segera Thio Hong Hoe pimpin pasukan Gielim koen, akan
menyerbu keluar kota. Dengan cepat ia telah binasakan tiga perwira
musuh yang tanggu.
Menampak demikian, Ie Kiam berikan titahnya untuk menyerbu,
maka tentera dan tentera rakyat segera pentang pintu kota, mereka
maju menerjang musuh.
Yasian saksikan nekatnya musuh, ia lantas berikan titahnya untuk
mundur. Ia kuatir nanti sampai pula bala bantuan dari pelbagai
tempat, apabila itu sampai terjadi, ada kemungkinan jalan
mundurnya nanti tertutup, hingga ia terkurung.
Hebat kerusakan Yasian karena pengundurannya ini. Pada
tanggal sebelas ia masuk ke Saytit moei, tetapi ketika ia mundur
pada tanggal tujuh belas, ia menderita kerugian sebanyak kira-kira
delapan laksa serdadu yang luka dan binasa, ia mundur tanpa
peroleh hasil!
Pada tanggal delapan belas, di luar kota Pakkhia sudah bersih
dari musuh. Sebaliknya dari Thongtjioe dan Hoolam telah datang
beberapa pasukan suka rela.
Sebenarnya jumlah bala bantuan itu, cuma beberapa laksa, tidak
berarti apabila dibandingkan dengan besarnya angkatan perang
Watzu, tetapi semangat tentera dan rakyat kota Pakkhia telah
berkobar-kobar, sehingga menyebabkan musuh mundur terpaksa.
Maka itu, semua orang sangat bergembira, semua berseru-seru
kegirangan.
Ie Kiam sambut dengan baik setiap bala bantuan suka rela itu.
Yang membuatnya ia kagum adalah ketika ia dapatkan satu pasukan
yang datang jauh sekali dari propinsi Kangsouw. Itulah pasukan
suka rela di bawah pimpinan In Tiong, pasukan yang berasal dari
tjhoengteng atau penduduk tani ketua dari Tamtay tjhoeng dan
mulanya cuma terdiri dari beberapa ratus jiwa, tapi di sepanjang
jalan mereka dapat mengumpulkan lagi kawan-kawan hingga
jumlah mereka semua meliputi seribu jiwa lebih. Ketika barisan ini
tiba di kota raja, jumlahnya tinggal kira-kira separuh. Sebab di
tengah jalan mereka telah bertempur dengan musuh, banyak di
antara mereka terbinasa dan luka, malah In Tiong sendiri terpisah
dari mereka, dari itu, sekarang pasukan itu dipimpin oleh Tiatpie
Kimwan Liong Tjin Hong.
Yang paling penting dari barisan suka rela dari Kangsouw ini
adalah mereka sudah tidak mensia-siakan tugas yang dipercayakan
kepada mereka oleh Thio Tan Hong. Yaitu mereka sudah mengiringi
dengan selamat harta warisan Thio Soe Song sampai di Pakkhia.
Dalam kegembiraannya, Ie Kiam lantas undang Liong Tjin Hong
dan Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe membikin pertemuan dengan Tan
Hong dan In Loei.
Nona In terperanjat mendengar kakaknya lenyap, maka ia lantas
tanya, bilamana dan bagaimana itu terjadinya.
"Itu terjadi kemarin," sahut Tiatpie Kimwan, menerangkan. "In
Tjonggoan titahkan kita menerjang musuh untuk melindungi harta,
ia sendiri bertanggung jawab di bahagian belakang, guna merintangi
kalau-kalau musuh mengejar. Nona Tamtay bersama belasan
tjhoengteng pun membantu melindungi dari sebelah kiri. Kami tahu,
tindakan itu berbahaya, tapi karena harta mesti dilindungi, kami
tidak bisa berbuat lain. Kejadianlah yang rombongan kita kena
dipotong tentera Watzu. In Tjonggoan sungguh gagah, ia telah
membuka jalan, sayang di tengah-tengah pertempuran dahsyat itu,
sebatang anak panah mengenai Nona Tamtay, hingga dia tak
menerjang terlebih jauh. In Tjonggoan segera kembali ke
belakang, untuk menolongi nona itu. Demikian maka mereka itu
jadi terpisah dari kami, yang dapat membuka jalan dan menuju
terus kemari."
In Loei jadi sangat berkuatir dan berduka.
"Syukur musuh telah mundur sekarang," berkata Ie Kiam. "nanti
aku titahkan untuk mencari di sekitar luar kota ini. Aku percaya
mereka dapat diketemukan."
Hati In Loei menjadi sedikit lega, tapi ia masih tetap memikirkan
kakaknya itu. Bagaimana keadaannya si kakak, yang menolongi
Nona Tamtay itu? Ia jadi lebih berkuatir karena si Nona Tamtay
tengah terluka, entah lukanya itu hebat atau ringan.
Hari itu In Tiong telah menempuh bahaya, ia tunjukkan
kegagahannya. Begitu ia lihat Tamtay Keng Beng terluka panah,
segera ia pergi menghampiri untuk menolongi. Ia putar golok
Toanboen too-nya, untuk melindungi si nona dan untuk membelai
dirinya. Dengan tangan kiri, dengan pukulan-pukulan Taylek
Kimkong Tjioe, ia rubuhkan atau mundurkan setiap musuh yang
datang dekat. Tapi musuh berjumlah banyak, mereka terus
terkurung. Kematian beberapa puluh musuh tidak berarti apa-apa.
Di saat In Tiong mulai lelah, mendadak ia dengar suara tambur dan
gembreng musuh disusul dengan suara terompetnya, lalu disusul
pula dengan mundurnya barisan musuh. Dengan begitu In Tiong
mendapat keringanan, segera ia membuka jalan darah, untuk
meloloskan diri dari kepungan. Ia tidak tahu bahwa mundurnya
musuh disebabkan Yasian membutuhkan bantuan, untuk angkatan
perang Watzu itu mundur seluruhnya.
Selang setengah jam, In Tiong sudah lari cukup jauh, bersama
Tamtay Keng Beng, ia jadi berada jauh dari pasukan musuh. Ia
bernapas lega. Ia hanya kaget ketika ia tampak wajah pucat pasi
dari si nona.
"Bagaimana kau rasakan?" ia tanya nona itu.
"Tidak apa-apa," sahut si nona.
Di mulut Keng Beng mengucapkan demikian, akan tetapi les kuda
yang ia pegang tak kencang lagi dan tubuhnya pun bergoyang-
goyang seperti hendak rubuh.
Mau atau tidak, In Tiong bersenyum.
"Adik Tamtay," ia berkata. "Ketika dulu aku terluka, banyak aku
terima budimu. Bukankah kau telah menasihati agar aku jangan
paksakan diri berkuat-kuat. Ingatkah kau akan hal itu?"
Di mulut In Tiong berkata begitu, sepak terjangnya adalah lain.
Gesit luar biasa ia lompat dari kudanya ke kuda si nona, untuk
duduk di belakang nona itu, les kuda siapa ia sambar, untuk
mewakilkan memegang kendali, untuk sekalian menjagai tubuh si
nona supaya tubuh itu tidak rubuh terguling.
"Adik Tamtay, kau harus beristirahat," ia berkata pula.
"Mari kita cari satu rumah penduduk untuk menumpang
beberapa hari kalau nanti lukamu sudah sembuh, baharu kita
berdaya untuk pergi masuk ke Pakkhia."
Tamtay Keng Beng tidak berkesan baik terhadap In Tiong, akan
tetapi sekarang ia saksikan sikap orang yang lemah lembut dan
sangat perhatikan kepadanya, dengan sendirinya, hatinya tergerak
juga. Maka ia biarkan orang bawa padanya.
Sibuk juga In Tiong sesudah ia mencari-cari rumah penduduk di
sekitar itu. Dusun itu telah rusak, penduduknya tidak ada. Dengan
sangat berduka dan, berkuatir, ia mencari terus, sampai di
depannya ia tampak sebuah rumah yang letaknya pada lereng bukit.
Dari jauh kelihatan rumah itu masih utuh juga.
"Thian tidak memutuskan jalan makhlukNya," ia berseru. "Akhir-
akhirnya kita menjumpai juga sebuah rumah!"
Tapi Tamtay Keng Beng menggelengkan kepalanya.
"Aku kuatir itu bukannya rumah penduduk baik-baik," ia utarakan
kesangsiannya. "Saudara In, kau mesti berhati-hati..."
"Dalam keadaan seperti kita ini, tak dapat kita terlalu bercuriga,"
In Tiong jawab. "Yang penting adalah kau mesti beristirahat!"
Maka ia larikan kudanya ke arah rumah kampung itu. Setibanya
di situ, ia bantui Keng Beng turun dari kudanya, habis mana terus ia
mengetok pintu, yang tertutup rapat.
"Siapa?" terdengar suara keras dari dalam rumah.
In Tiong heran. Ia seperti kenali suara itu. "Aku adalah serdadu
suka rela dari Kangsouw," ia lantas menjawab. "Aku hendak
numpang menginap." Dengan berani ia bicara terus terang.
Dengan menerbitkan suara, pintu segera di-pentang. Berbareng
dengan itu, dari dalam terdengar suara pula: "Oh, kiranya In
Tjonggoan1." Hanya kali ini suara itu sedikit menggetar, seperti
dikeluarkan oleh seorang yang tengah terkejut berbareng
kegirangan.
Itulah di luar dugaan In Tiong, apapula ketika ia lihat tegas
orangnya yang berbicara itu, yang berdiri di muka pintu, berendeng
bersama orang lain. Untuk tercengangnya, ia kenali Low Beng dan
Low Liang, kedua boesoe atau guru silat dari istana kaisar.
"Saudara-saudara Low, mengapa kamu masih berada di sini?" In
Tiong tanya.
"Pada setengah bulan yang lalu," Low Beng menyahut, "ketika
aku lihat musuh datang menyerbu, aku minta ijin cuti, maksudku
ialah mengantarkan keluargaku pulang ke kota raja untuk
melindungi mereka. Di luar dugaan kami, musuh datang terlalu
cepat, kami tercegat, perhubungan kami terputus, hingga kami tak
dapat pergi terus ke kota raja, terpaksa kami menunda di sini. Ah,
apakah nona gagah ini pun serdadu suka rela? Dia terluka, lekas
ajak dia masuk! Kami mempunyai obat luka yang mustajab."
"Djiewie, baiklah minum dulu air teh panas," berkata Low Liang,
yang terus menyuruh orangnya menyuguhkan air teh.
Tamtay Keng Beng adalah seorang yang berhati-hati, ia
segera berpikir: "Mereka ini adalah guru-guru silat negara, kenapa
di saat gentingnya peperangan, mereka diijinkan cuti? Dengan
mundurnya tentera Watzu, di mana tentera itu lewat, ayam dan
anjing pun tidak aman, rumah-rumah musnah, maka aneh, kenapa
cuma mereka ini yang tetap utuh?"
Oleh karena kecurigaannya itu, Keng Beng memandang seluruh
rumah. Ia dapatkan di thia ada pelbagai macam alat senjata. Ia jadi
bertambah curiga.
In Tiong rupanya tidak menyangka suatu apa, ia angkat cawan
teh, untuk di minum, tetapi Keng Beng, yang lihat itu, segera
kedipkan mata padanya. In Tiong seperti tidak lihat kedipan mata
itu, ia bawa terus cawan teh ke mulutnya. Bukan main kuatirnya si
nona, hampir ia menjerit.
Tiba-tiba terdengar satu suara keras dan nyaring, tahu-tahu
cawan jatuh dan pecah, air tehnya tumpah berhamburan.
"Ah." In Tiong berseru. "Celaka! Maafkan aku," ia terus mohon.
"Tolong ditukar cawannya..."
In Tiong belum tutup rapat mulutnya, atau air teh yang
melimpah itu kelihatan bercahaya seperti api. Itulah tanda air teh itu
telah dicampurkan racun. Hal ini mengejutkan kedua tuan rumah
dan tetamunya.
In Tiong pun bercuriga. Ia lantas ingat, Low Beng dan Low Liang
adalah kepercayaannya dorna kebiri Ong Tjin.
Ia memang belum tahu yang Ong Tjin selama di Touwbokpo
sudah dihajar mampus oleh Hoan Tiong tapi ia tahu baik
kejahatannya dorna kebiri itu, maka umpama kata Nona Tamtay
tidak memberi tanda padanya, ia sudah berhati-hati sendirinya.
Karenanya ia sengaja melepaskan cangkir teh itu, hingga jatuh
pecah dan rahasia kedua saudara Low itu terbuka!
Low Beng dan Low Liang berseru, dengan lantas mereka lari ke
tempat alat senjata, untuk menyambar gegaman mereka masing-
masing, habis mana mereka tidak membuang tempo untuk
mengurung tetamunya itu, ialah In Tiong.
Low Beng bersenjatakan sebatang pedang panjang dan Low
Liang tameng besi. Dan pedang Low Beng itu memain di antara
gerak-geriknya tameng, yang perdengarkan suara angin
menyambar-nyambar. Itulah ilmu tameng Koengoan pay yang
tersohor.
In Tiong bela dirinya dengan tangan kiri, dengan pedang di
tangan kanan, ia siap melayani musuh-musuhnya.
"Apakah kamu, kedua saudara hendak memberontak?" ia tegur
mereka itu.
Low Beng tertawa bergelak-gelak.
"Tidak salah!" sahutnya, jumawa. "Memang kami hendak
memberontak! Kau tahu, kau masih dalam mimpi, kau masih belum
tahu berapa tingginya langit dan berapa tebalnya bumi!"
"Apa kau bilang?" In Tiong tegaskan.
"Hendak aku tanya kau," jawab Low Liang. "Kau bawa pasukan
suka rela ke kota raja, bukankah itu untuk menunjang raja?"
"Memang!" sahut In Tiong sambil mendesak tiga kali, setelah
mana, ia tangkis tameng dan pedang kedua lawannya.
Low Liang tertawa terbahak-bahak.
"Rajamu yang tua bangka itu sudah sejak siang-siang menjadi
tawanan bangsa Watzu!" katanya separuh mengejek. "Bukankah
kau kenal peribahasa, siapa kenal gelagat dialah seorang cerdik?
Maka itu baiklah kau lekas letakkan senjatamu, mari kau turut kami
menakluk kepada bangsa Watzu! Dengan menakluk, kau masih
mempunyai harapan memangku pangkat dan hidup senang, tetapi
sebaliknya, kau bakal celaka! Lihat angkatan perang Watzu yang
berada di daerah ini! Kau adalah Boetjonggoan dari kerajaan Beng,
umpama kata kami tidak membunuh kau, kau toh sukar lolos dari
kematianmu!"
In Tiong menjadi sangat gusar. Mana bisa ia dibujuk secara
demikian? Tapi masih dapat ia kendalikan diri. Ia tertawa dingin.
"Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang kenal selatan!"
katanya. "Maaf, maafkan aku..."
Low Beng menduga bahwa orang telah tergerak hatinya, ia maju
mendekati.
"Bagaimana pikiran kau, saudara In?" ia tanya.
Dengan sekonyong-konyong saja In Tiong berteriak keras sekali.
"Pikiranku adalah untuk mengambil jiwa anjingmu!" demikian
jawabannya yang dibarengi dengan satu bacokan hebat.
Low Beng kaget, ia menangkis. Tapi kagetnya bertambah apabila
ia dapat kenyataan pedangnya telah tertabas kutung dan gagang
pedang itu hampir saja terlepas dari cekalannya!
In Tiong sedang gusar, ia ulangi bacokannya yang tidak kurang
hebatnya. Kali ini goloknya itu bentrok keras dengan tamengnya
Low Liang, yang menggantikan saudaranya menangkis. Ia terkejut.
Juga lawannya terperanjat. Kedua-duanya merasakan telapakan
tangan mereka sakit, panas dan kesemutan.
"Kau mempunyai kepandaian apa maka kau berani pentang bacot
lebar?" tegur Low Liang, sambil terus mengulangi serangannya
dengan tamengnya, yang turun dari atas ke bawah, dalam gerakan
"Taysan apteng" — "Gunung Taysan menimpa batok kepala."
Tameng adalah senjata berat, Low Liang pun bertenaga besar
sekali, tidak heran apabila serangannya kali ini sangat mengancam.
In Tiong tidak jeri, dengan berani ia menangkis pula.
"Trang!" demikian satu suara sangat nyaring, yang disusul
dengan meletiknya lelatu api.
Hebat kesudahan dari bentroknya kedua senjata itu. Tameng
Low Liang sempoak sedikit dan golok In Tiong pun bengkok
ujungnya. Keduanya menjadi kaget, dengan sendirinya mereka
masing-masing mundur tiga tindak.
Low Beng dari samping tidak mengambil peduli orang sedang
mundur, ia maju untuk membarengi menyerang musuhnya. Tapi ia
bukannya maju kepada In Tiong, atau membantu Low Liang,
saudaranya, hanya ia lompat kepada Tamtay Keng Beng, yang ia
tikam dengan tiba-tiba, sinar pedangnya berkilauan!
Nona Tamtay sedang terluka, waktu itu ia pun tengah merasakan
sakit yang sangat karena lukanya itu, tenaganya hilang banyak,
maka waktu diserang, walaupun ia melihat dan dapat
menangkisnya, tetap ia terancam bahaya. Ia telah terpelanting,
hingga rubuh.
In Tiong saksikan musuh berlaku rendah, ia menjadi sangat
gusar hingga ia menjerit, habis mana ia lompat kepada Low Beng
itu, untuk menyerang padanya. Ia tidak pedulikan yang Low Liang,
dengan tamengnya, mencoba merintanginya. Ia dapat mendekati
Keng Beng, untuk melindungi nona itu. Ia sudah berlaku seperti
nekat ketika ia coba mendesak kedua saudara Low itu hingga
mereka mesti mundur dulu.
Keng Beng dapat kesempatan untuk menyingkir ke ruang dalam.
"In Toako, layani saja musuh-musuhmu itu!" kata si nona kepada
si anak muda. "Kau bikin habis mereka semua, tak usah kau
kuatirkan aku!"
Inilah anjuran berharga bagi In Tiong. Pemuda ini membuang
napas, lantas ia menerjang pula.
Low Beng tertawa dingin.
"Ha, kau benar, sebelum kau sampai di tengah sungai Hong Hoo,
kau belum insyaf." katanya mengejek, menghina. "Sebelumnya
melihat peti mati, kau tidak mengucurkan air mata! Kau harus
diperkenalkan pada marah bencana. Lihat pedangku!"
Bagaikan bisa ular menyambar-nyambar, demikian gerakan
pedang orang she Low ini, yang diimbangi, gerak-gerik tamengnya,
hingga In Tiong selalu diserang di bahagian yang berbahaya. Tapi
pemuda itu memutar goloknya, hingga ia seperti terkurung sinar
perak yang berkelebatan, berkilauan, dan golok itu pun kadang-
kadang menembus tameng untuk mencari sasarannya. Kedua pihak
sama-sama terancam bahaya, disebabkan sempitnya ruangan, yang
membuatnya mereka tak dapat bergerak dengan leluasa.
Pasangan saudara Low ini memang liehay, tameng dan pedang
mereka terlatih sempurna. Demikian di kota raja, pernah mereka
melayani Thio Hong Hoe dan Thio Hong Hoe tak dapat berbuat
banyak terhadap mereka. In Tiong kalah dari Hong Hoe, tidak heran
kalau ia lekas terdesak, apapula ia sudah keluarkan terlalu banyak
tenaga. Setelah lewat seratus jurus, tenaganya tak dapat mengiringi
lagi kehendak hatinya, sulit untuknya melakukan penyerangan
pembalasan.
Lagi dua puluh jurus, kedua saudara itu nampaknya semakin
gagah.
"In Tiong, apakah kau masih tidak hendak menyerah?" tanya
Low Beng sambil tertawa. "Jikalau sekarang kau letakkan golokmu
dan mengaku kalah, kita dapat memberi ampun daripada
kematian..."
In Tiong mendongkol tak terkira, ia kertek giginya, ia menyerang
dengan sengit. Setelah beberapa bacokan, yang tidak memberi
hasil, ia menjadi lemah pula, hatinya pun menjadi dingin.
"Walaupun aku mesti terbinasa, tidak nanti aku sudi menerima
penghinaan," ia berpikir. Ia sudah hendak sambarkan goloknya ke
lehernya tetapi ia ingat sesuatu, hingga ia berpikir pula: "Jikalau
sekarang aku terbinasa, bukankah adik Tamtay ini akan terjatuh ke
dalam tangan orang-orang jahat ini?"
Ia lantas melirik kepada Keng Beng, ia tampak nona itu tengah
mengawasi kepadanya, ia lihat sinar mata orang yang mengandung
kedukaan dan kekuatiran tercampur rasa syukur, pada mana pun
berpeta anjuran dan kepercayaan, pengharapan besar. Tiba-tiba
semangatnya jadi terbangun pula.
"Mundur kamu!" sekonyong-konyong ia berteriak, sambil
menyerang dengan tangan kirinya dan mengerahkan semua
tenaganya. Itulah serangan hebat dari Taylek Kimkong Tjioe yang
dibarengi dengan seruan bagaikan guntur menggelegar.
Tidak kurang hebatnya adalah suara yang menyusuli seruan itu.
Karena serangan dahsyat itu tepat mengenai tamengnya Low Liang,
maka dia menjerit keras sekali! Dia kaget terkena gempuran Taylek
Kimkong Tjioe itu, hingga tamengnya terlepas dan mental, telapak
tangannya dirasakan sakit dan mengeluarkan darah, sedang sebelah
lengannya kehabisan tenaga, tak dapat digerakkan lagi!
Selain Low Liang, Low Beng juga kaget tidak terkira. Inilah di luar
dugaan mereka, sebab waktu itu, musuh sudah terdesak dan
nampaknya kehabisan tenaga.
In Tiong di lain pihak dapat tambahan semangat, ia tidak
berhenti sampai di situ, ia malah melanjutkan serangannya —
sambil berseru pula, ia menyerang kembali sehebat tadi. Kali ini
tangannya yang liehay itu menyambar ke pinggang Low Beng.
Orang she Low ini cerdik dan licin, ia berkelahi dengan waspada,
waktu serangan tiba, ia berkelit dengan cepat. Ia memang gesit.
Akan tetapi In Tiong tidak mau kalah gesit, habis menggempur yang
tidak mengenai sasarannya ia putar tangannya, kali ini dipakai
menyambar pedang lawan!
Percuma saja Low Beng terkejut dan mencoba akan
menyingkirkan pedangnya, senjata itu sudah lantas kena dirampas,
akan di lain saat terdengar suara terpatah. Karena dalam sengitnya,
In Tiong tekuk pedang itu, hingga senjata orang itu jadi terkutung
dua!
Kedua saudara Low itu terkesiap hatinya, bagaikan sudah
berjanji, dengan serentak mereka lompat keluar rumah, untuk
singkirkan diri. Mereka insyaf, tanpa senjata, mereka tak dapat
berkelahi terlebih lama pula. Hanya, begitu lekas mereka berada di
luar, tiba-tiba terdengar mereka tertawa besar.
In Tiong heran hingga ia berdiri melengak. Di saat ia hendak
lompat menyusul, ia dengar teriakan kaget dari Keng Beng:
"Celaka!" Sebab seolah-olah rumah itu bergerak keras, terputar,
sejenak saja, kedua anak muda itu terbenam dalam kegelapan,
tubuh mereka pun turut terbalik. Akhirnya terdengarlah suara
sangat berisik.
Ternyatalah ruang itu telah dipasangi alat rahasia, dilapis di
sebelah dalam dengan papan-papan tembaga, yang bergerak turun,
maka di saat itu juga, In Tiong berdua Tamtay Keng Beng sudah
menjadi orang-orang kurungan.
Dalam murkanya, In Tiong serang tembok tembaga yang
mengurung mereka itu, ia telah gunakan tenaganya. Kesudahannya,
ia mesti tarik kembali tangannya yang dirasakan sakit bukan main,
tangannya menjadi semper, sedang kurungannya tidak bergeming
sedikit juga.
Dari sebelah luar lantas terdengar tertawa mengejek dari Low
Beng dan Low Liang berdua!
"In Tiong, jangan kau umbar hawa amarahmu!" Low Beng
mengejek pula. "Kau berdiam di dalam dengan tenang untuk
beberapa hari! Harap saja kau suka memberi maaf kepada kami
yang tidak dapat melayani kamu!..."
In Tiong mendongkol dengan tidak berdaya. Terang sudah kedua
saudara Low itu hendak mengurung mereka supaya mereka
kelaparan selama beberapa hari.
Untuk kedua saudara Low, kebetulan saja mereka bertemu
dengan In Tiong dan Keng Beng. Mereka baharu buron dari kota
raja, disebabkan mereka merasa panas, mereka kuatir nanti kena
dibekuk karena aksi dari Ie Kokloo yang berbareng dengan
mengangkat raja baru telah menangkapi konco-konconya si dorna
kebiri Ong Tjin. Mereka sering keluar masuk di gedung Ong Tjin,
semua orang tahu mereka adalah kambratnya dorna kebiri itu,
karenanya, mereka mendahului kabur. Adalah maksud mereka
untuk pulang dulu ke rumah mereka, untuk mencari suatu pahala
untuk nanti dibawa kepada bangsa Watzu kepada siapa mereka
hendak menakluk, maka datangnya In Tiong berdua adalah sebagai
kurban-kurban yang mengantarkan diri...
Di dalam gelap itu, In Tiong meraba-raba.
"Aku di sini," Keng Beng perdengarkan suaranya. Ia menduga si
anak muda mencari padanya.
Dengan tindakan perlahan, In Tiong mendekati, tangannya masih
meraba-raba.
"Aduh" tiba-tiba si nona menjerit. Karena si anak muda telah
menyentuh lukanya.
"Maaf!" In Tiong memohon. Lalu ia menambahkan: "Nona
Tamtay, tidak harus disayangi jikalau aku mesti mati di sini, hanya
aku menyesal, aku telah membawa kau ke tempat celaka ini..."
Tadinya Keng Beng berniat menegur kesembronoan orang, akan
tetapi mendengar suara orang yang halus, ia merasa tak enak
sendirinya.
"Bukan kau, aku justeru yang bikin kau celaka!" katanya cepat.
"Sebenarnya, sendirian saja kau dapat menyingkir dari sini."
In Tiong tak tenang hatinya.
"Bagaimana dengan lukamu? “ ia tanya. "Sakitkah itu?..."
"Oleh karena kita akan mati, tak perlu aku pedulikan rasa sakit
atau tidak," jawab Keng Beng.
"Bukan begitu," kata In Tiong. "Tidak ingin aku melihat kau
bersengsara..."
In Tiong berkata-kata tanpa melihat si nona, kecuali sinar
matanya.
Keng Beng berdiam. Semakin berkuranglah kesannya yang
kurang baik terhadap si anak muda, tanpa merasa, hatinya tergerak
oleh sikap orang yang halus dan memperhatikannya itu. Di tempat
gelap itu, ia masih tundukkan kepalanya.
"Coba kau buka bajumu," In Tiong minta. "Hendak aku pakaikan
obat pada lukamu itu."
Baharu sekarang si anak muda ingat akan luka orang itu.
Sambil mengucap demikian, ia pun ulurkan tangannya perlahan-
lahan. Ia menambahkan: "Kau pegang tanganku ini, kau bawa ke
tempat yang luka itu."
Keng Beng rasakan mukanya panas. Tetapi mereka berada di
tempat gelap, ia anggap tidak ada halangannya untuk membuka
bajunya. Ia pun memang seorang yang polos. Maka ia tidak tolak
tangan In Tiong. Setelah membuka bajunya, ia bawa tangan
sahabat itu pada lukanya.
Nona ini tidak punyakan cuma satu luka. Luka yang pertama di
bahu dan yang lainnya di punggung. Kedua luka itu diobati In Tiong,
siapa merasakan kulitnya yang halus. Pemuda ini mendapat suatu
perasaan aneh ketika tangannya menyentuh tubuh orang.
"Kau muda dan gagah, kau pun telah berkedudukan tinggi,"
berkata si nona selagi orang mengobati dia, "kalau sekarang kau
terbinasa secara begini kecewa, apakah itu tidak harus disayangi?"
"Harta pusaka Thio Tan Hong, yang keselamatannya dibebankan
kepadaku, hari ini mesti tiba di kota raja," sahut In Tiong. "Aku
berbuat segala apa untuk negara, kalau untuk tugas sekecil ini aku
mesti korbankan diriku, aku tidak menyesal."
Kembali tergerak hati si nona, sejenak itu, kembali berkurang
pula kesannya yang kurang manis terhadap pemuda itu. Di dalam
hati kecilnya, ia berkata: "Anak ini agak kukuh, pandangannya pun
agak cupat, akan tetapi dia mencintai negara dan polos, ia
mempunyai bahagian-bahagian sifatnya yang baik..."
Sementara itu, tanpa merasa, mereka sama-sama melewatkan
sang waktu di dalam ruang yang gelap itu, entah sudah berapa
lama, tatkala mereka dengar berisiknya suara kuda di arah luar.
Terang sudah yang datang bukannya cuma satu penunggang.
"Inilah hebat," berkata In Tiong. "Sekarang ini kota Pakkhia
tengah dikurung musuh, yang datang ini mestinya tentera Watzu,
ada kemungkinan besar kita bakal ditawan mereka... Apabila itu
sampai terjadi, aku minta kau suka maafkan aku, tidak sanggup aku
menolong kau terlebih lama pula, hendak aku bunuh diri, sebab tak
sudi aku tertawan dan terhina!"
Mendengar itu, sebaliknya dari kaget dan berkuatir atau berduka,
Nona Tamtay justeru tertawa.
"Jikalau kau terbinasa, apakah kau kira aku akan hidup sendirian
saja?" demikian katanya. "Jikalau aku terus tinggal hidup, aku
mensia-siakan pengharapan Thio Tan Hong!"
In Tiong berpikir apabila ia dengar perkataan orang itu. Pun agak
luar biasa lagu suaranya si nona selagi dia menyebut nama Tan
Hong. Itulah lagu suara tak sewajarnya.
"Kiranya dia lebih menghargai Tan Hong daripada aku," pikirnya
pula.
Suara kuda di luar terdengar datang semakin dekat, akhirnya tiba
di muka rumah dan lalu berhenti. Menyusul itu terdengar tindakan
kaki orang yang mendatangi.
Tanpa merasa, In Tiong pegang tangannya si nona dan
menyekalnya dengan keras, yang mana dibalas oleh si nona.
Keduanya membungkam.
Segera juga terdengar suara pertanyaan dari luar, suara yang
kaku: "Siapa yang terkurung di dalam kamar rahasia ini?"
Terkejut In Tiong, akan kenali suara itu. Ia segera berbisik di
kuping si nona: "Dialah Tantai Mie Ming, pahlawan Watzu!..."
"Ya, aku pun kenali suaranya itu," jawab Keng Beng. "Dialah
kakakku sepupu. Pada bulan lima yang baharu lalu dia pernah
datang secara diam-diam ke Souwtjioe, untuk beberapa hari dia
tinggal bersama kita di Tongteng Santjhoeng."
In Tiong heran dan beragu-ragu. Ia memang belum ketahui
halnya keluarga Tamtay ini. Maka ia berpikir dalam hatinya: "Tantai
Mie Ming gagah perkasa, jikalau aku tertawan dia, sudah pasti aku
tak akan dapat kesempatan untuk membunuh diri..."
"Kau jangan bersuara," Keng Beng kata dengan perlahan. Dia
rupanya menyangka si anak muda akan mengucapkan sesuatu.
"Hari ini kita tidak akan nampak bahaya. Coba kau dengar apakah
katanya kakakku itu terhadap mereka?"
Mereka dengar suaranya Low Beng: "Harap Tjiangkoen ketahui,
orang-orang yang terkurung di dalam sini bukannya orang-orang
biasa saja..."
"Orang-orang macam apakah mereka itu?" Mie Ming tanya.
"Pasti Tjiangkoen akan jadi girang sekali apabila aku
mengatakannya, kata pula orang she Low itu. "Yang satu adalah In
Tiong, Boetjonggoan baru. Dia pernah jadi tongnia dari Gielim koen.
Ketika dulu Tjiangkoen datang ke kota raja, pasti Tjiangkoen pernah
bertemu dengannya. Di dalam kalangan Gielim koen, dia
sekarang ini cuma berada di bawahan Thio Hong Hoe.
Bukankah dia seorang yang penting? Yang lainnya adalah satu
nona, katanya ia ada punggawa suka rela yang datang dari
Kangsouw. Tjiangkoen tahu, ia adalah satu nona yang cantik sekali!
Sebenarnya aku telah merencanakan untuk mengurung mereka
selama beberapa hari, kemudian akan aku bekuk dia, si nona
sendiri hendak aku serahkan kepada Tjiangkoen, maka
kebetulan sekali, sekarang Tjiangkoen telah tiba. Silakan
Tjiangkoen ambil putusan sendiri mengenai mereka itu."
"Satu nona yang datang dari Kangsouw?" Tantai Mie Ming
tegaskan. "Tahukah kau she-nya?"
"Belum sempat kami periksa dia, Tjiangkoen," jawab Low Beng.
"Sekarang Tjiangkoen ada di sini, Tjiangkoen saja yang periksa dia
itu. Umpama kata Tjiangkoen penuju nona itu, tinggallah dia di sini.
Mengenai ini, tidak nanti aku buka rahasia terhadap Thaysoe..."
Dengan Thaysoe itu, Low Beng maksudkan Yasian.
Berani Low Beng dan Low Liang, mereka hendak persembahkan
nona itu kepada kakaknya si nona sendiri!
Mendengar itu, Tamtay Keng Beng mendongkol berbareng
merasa lucu.
Segera terdengar suaranya Tantai Mie Ming: "Baiklah, sekarang
kamu keluarkan mereka, hendak aku melihatnya!"
Boleh dibilang baharu panglima itu mengucapkan perkataannya,
atau mendadak In Tiong dan Keng Beng dengar satu suara nyaring
yang disusul dengan berputarnya ruangan dengan keras, lalu daun
jendela terbuka. Maka sekejap saja mereka itu melihat pula sinar
terang dari langit.
Dengan lekas pintu pun terpentang. Hingga di muka pintu terlihat
tubuh Tantai Mie Ming yang besar dan tegap, wajahnya dingin dan
bengis.
"Adakah ini mereka itu?" dia menegaskan.
"Ya Tjiangkoen, benar mereka," jawab Low Beng. Ia terkejut
ketika ia tampak wajah panglima itu, hingga ia menambahkan: "Eh
eh, Tjiangkoen, apakah yang kurang beres?..."
Pertanyaan itu belum habis diucapkan ketika Tantai Mie Ming,
dengan kesehatannya yang luar biasa, sudah menyambar Low Beng
dan Low Liang dengan kedua tangannya dan sebelum orang tahu
apa-apa, kepala mereka telah diadukan satu dengan lain, hingga
sambil keluarkan jeritan tertahan, tubuh mereka rubuh dengan
bermandikan darah, sebab kepala mereka pecah, polonya
berhamburan!
Tamtay Keng Beng girang bukan kepalang, hingga ia lompat
akan tubruk kakaknya itu sambil berseru: "Kokol"
"Bukankah kau terluka panah?" kakak itu berkata. "Mari
perlihatkan lukamu itu! — Ah, tidak apa-apa!" ia segera
menambahkan. "Kali ini kau sangat menderita. Kau kurang
pengalaman, kau telah terjebak dua saudara Low itu. Pasti kau
kaget, bukan? Tapi anak muda menderita, ia dapat pengalaman,
inilah baik juga sebagai latihan..." In Tiong berdiri melengak di
samping. Ia awasi Keng Beng dan Mie Ming bergantian,tak dapat ia
berkata suatu apa. Ia masih berdiam saja sampai Mie Ming
berpaling kepadanya dan tertawa.
"Saudara In Tiong, sungguh kebetulan!" demikian katanya. "Kita
rupanya berjodoh maka di sini kita bertemu pula! Hanya kali ini kau
tak usah mengadu jiwa lagi denganku..." Ia tertawa pula. Terus ia
menanya lagi: "Saudara, kau telah datang ke Souwtjioe, apakah kau
telah ketemu Thio Tan Hong?"
"Ya, aku bertemu dengannya," sahut In Tiong, meski sebenarnya
ia heran.
"Apakah permusuhan di antara kamu kedua keluarga telah dapat
dihapuskan?" Tantai Mie Ming tanya.
Anak muda itu berdiam, ia tidak menjawab. Keng Beng
sebaliknya, menggelengkan kepalanya terhadap kakaknya.
Mie Ming berkata pula: "Ini adalah urusan kamu berdua keluarga,
aku adalah orang luar, tak dapat aku mencampuri urusan itu, akan
tetapi ingin aku memesan kau, bila kau nanti bertemu pula dengan
Tan Hong, tolong kau sampaikan padanya agar ia melegakan
hatinya, karena pengurungan atas kota Pakkhia sudah buyar dan
angkatan perang Watzu dalam tempo beberapa hari lagi mungkin
akan sudah berangkat kembali ke negerinya." Mendengar itu, girang
Tamtay Keng Beng.
"Ah, benarkah itu?" dia tanya. "Koko, adakah itu Yasian yang
mengatakannya padamu?"
"Tidak nanti dia dapat memberitahukannya sendiri hal itu
kepadaku," jawab sang kakak. "Hanya aku melihat gelagat, tak
dapat tidak, mesti dia bawa kembali pasukan perangnya itu.
Sebenarnya aku tengah menerima titah dari Yasian itu, ialah dia
yang menugaskan aku menjaga kota Ganboenkwan... Yasian kuatir
tentera suka rela pihak Beng nanti memutuskan perjalanannya
kembali, dia menitahkannya, sambil menjaga kota Ganboenkwan
itu, aku harus memecah pasukanku untuk memapak dia. Sementara
itu diam-diam aku telah kisiki Kimtoo Tjeetjoe supaya, di harian aku
berangkat, dia datang menyerbu kota Ganboenkwan itu. Kemarin
dahulu aku terima warta, bahwa tentera Watzu yang menjaga kota
Ganboenkwan itu sudah bentrok dengan tentera suka rela di luar
tembok kota, kesudahannya tentera itu telah dirusak separuhnya
oleh Kimtoo Tjeetjoe. Yasian tidak menyangka tindak tandukku ini,
dia hanya menduga, karena kepergianku tenaga tenteranya di
Ganboenkwan menjadi kurang banyak, karena mana, tenteranya itu
jadi kalah perang. Kekalahan itu membuatnya angkatan perang
Watzu goncang. Sudah begitu, keadaan di dalam negeri pun
nampaknya tak tenang. Aku lihat, tidak sampai setengah bulan, dia
akan sudah mundur sendirinya."
In Tiong dengar perkataan orang itu, dia berdiri menjublak.
Sungguh ia tidak pernah sangka sikapnya Tantai Mie Ming ini, yang
secara diam-diam sudah membantui pihak Beng.
"Bagaimana sekarang dengan tjoekong kita?" Keng Beng tanya
pula kakaknya.
Dengan "tjoekong" yaitu "junjungan," Nona Tamtay maksudkan
Thio Tjong Tjioe, ayahnya Tan Hong. In Tiong ketahui ini, ia
menjadi bertambah heran, hingga jantungnya memukul. Nyata
mereka ini sudah bicarakan musuh turunannya itu. Ia menjadi
bingung.
Tantai Mie Ming menyeringai sebelum ia menjawab adiknya itu.
"Selama ini pikiran tjoekong kita itu kusut sekali," demikian
penyahutannya. "Tak hentinya ia memikirkan soal merampas
kembali kerajaan Beng, untuk itu ia menghendaki bangsa Watzu
menduduki Tionggoan. Hanya ia bersangsi akan akibatnya nanti.
Pikirannya itu tengah bertentangan sendiri. Tidak berhasil aku
membujuk dia untuk bersabar dan menetapkan hati."
Habis berkata, Mie Ming lihat langit.
"Aku dititahkan Yasian untuk mengajak pulang Low Beng dan
Low Liang," ia berkata pula, "sekarang tidak ada jalan lain, aku
harus memberi laporan bahwa mereka telah terbinasa di tangan
musuh. Sekarang hari sudah malam, aku mesti pergi."
Ia pamitan dari adiknya dan In Tiong, terus ia bertindak keluar,
akan mengajak orang-orangnya berlalu dari rumah kedua saudara
Low itu.
Selekasnya kakaknya dan barisannya pergi, Tamtay Keng Beng
ajak In Tiong berlalu juga. Mereka menunggang kuda mereka,
untuk kabur ke arah Pakkhia.
Benar-benar kota Pakkhia sudah terlepas dari kurungan, di
sekitar kota sampai beberapa puluh lie jauhnya, tidak terdapat
seorang musuh jua. Mereka baharu melalui tiga puluh lie, lantas
mereka bertemu dengan barisan Beng, yang lantas mengajak
mereka masuk ke dalam kota, untuk segera bertemu dengan Tan
Hong.
Bukan main girangnya In Tiong. Sekarang ini telah lenyap pula
beberapa bahagian dari rasa permusuhannya terhadap orang
she Thio itu.
Kata-kata Tantai Mie Ming tadi terhadap Nona Tamtay, membikin
ia dapat melihat duduknya hal mengenai Tan Hong itu. Mie Ming
sendiri nyatanya bukan musuh...
Tentera suka rela sementara itu telah berbaris masuk ke dalam
kota raja. Tibanya mereka itu saling susul. Ie Kokloo telah
mengeluarkan barang-barang berharga dari Thio Soe Seng, untuk
dijadikan uang, buat dipakai membeli rangsum dan lainnya. Di
samping itu, ia telah periksa peta bumi dan memahami itu. Ia jadi
bertambah bersemangat. Begitu, dalam beberapa pertempuran, ia
terus peroleh kemenangan maka telah kejadian, setelah setengah
bulan, angkatan perang Watzu telah mundur dari Ganboenkwan.
Pada suatu hari, Ie Kokloo panggil Tan Hong dan In Tiong datang
padanya.
"Ada sesuatu yang berbahaya, apakah hiantit bersedia untuk
melakukan itu?" ia tanya kedua anak muda sehadirnya mereka itu.
"Apa yang thaydjin titahkan, meskipun untuk menyerbu api
berkobar, tidak nanti kita tampik," Tan Hong berikan jawabannya.
Ie Kiam berdiam sebentar.
"Tadi malam aku telah menulis syair," kata ia kemudian. "Coba
kau lihat dulu." Dan ia serahkan syairnya.
Tan Hong menyambuti, terus ia membaca. Ia lantas manggut-
manggut. Karena ia mengerti maksud kepala perang itu. Ie Kokloo
telah melukiskan, bahwa perang sudah berhenti, kawanan dorna
telah dibasmi, maka itu orang-orang yang berjasa dalam
peperangan diberi anugerah. Ia mengharap ancaman di perbatasan
telah lenyap, supaya tak timbul lagi peperangan.
"Bagus," Tan Hong memuji. "Bukankah maksud thaydjin untuk
membuat perdamaian dengan bangsa Watzu?"
"Benar," jawab Ie Kiam. "Di kolong langit ini tidak ada
peperangan yang tidak dapat di akhiri. Sekarang kita sudah peroleh
kemenangan, inilah waktunya untuk merundingkan perdamaian.
Untuk kita, itu bukannya suatu hinaan. Taysianghong berada di
negara asing, sudah selayaknya kita menyambut ia pulang.
Di hati kecilnya, Tan Hong terkejut juga mendengar,
niatnya Ie Kokloo ini. Ia berpikir: "Kokloo berniat menolongi
taysianghong dapat pulang ke dalam negeri, tetapi sekarang
sudah ada raja baru, dengan pulangnya taysianghong,
dikuatirkan dia tak akan mengerti ihtiarnya Kokloo ini. Bukankah
Kokloo jadi menghadapi ancaman malapetaka?"
Ie Kiam rupanya melihat kesangsian anak muda itu.
"Hiantit, niatku sudah pasti!" dia kata. "Tak dapat diubah lagi niat
itu. Tentang perseorangan, berhasil atau gagal, kemulian atau
kehinaan, itulah bukan soal yang berarti banyak, akan tetapi raja
negara kita yang besar, ia tidak dapat dibiarkan selamanya menjadi
tawanan di negeri musuh. Sekarang ini pergilah kamu selidiki
terlebih dahulu, sesudah itu baharu aku akan kirim utusan untuk
pergi mengadakan perundingan, guna akhirnya menyambut
Taysianghong pulang. Kita ketahui cita-cita Yasian besar, aku kuatir
setelah kekalahannya nanti dia datang menyerbu untuk kedua
kalinya. Dengan kepergianmu ini hiantit, kau juga boleh sekalian
berdaya bersama ayahmu untuk mengajak Pangeran Atzu mencoba
mempengaruhi Yasian, agar dia tidak sampai bergerak pula. Ini juga
merupakan satu jasa besar untukmu."
Tan Hong berpikir sebentar, segera ia berikan jawabannya.
"Baiklah, besok akan aku berangkat!" kata dia. "Sebenarnya aku
berniat tidak akan kembali ke Watzu, akan tetapi untuk urusan ini,
biar mesti menghadapi golok dan gergaji, akan aku pergi juga.
Thaydjin, apakah aku harus pergi seorang diri?"
"Aku telah bicara dengan In Tiong untuk In Loei pergi bersama
kau," sahut Ie Kokloo. "Aku dengar kamu berdua mempunyai
kepandaian silat dengan pedang Siangkiam happek benarkah itu?"
"Itulah benar, selama ini belum pernah kami menemui lawan
yang tangguh," jawab Tan Hong. "Hanya dengan dia turut bersama,
itulah terlebih baik pula. Jadi bila kami, umpama kata bertemu
musuh yang lebih tangguh, dapat kami menghadapinya."
Ie Kiam bersenyum. Itulah senyuman yang berarti...
Besoknya, Thio Tan Hong dan In Loei berangkat berdua. Mereka
akan menempuh jarak yang jauh, hati mereka masing-masing
terbuka sekali.
"Adik kecil," kata Tan Hong sambil tertawa di tengah jalan, ketika
dulu kita berangkat dari Kangsouw menuju ke Pakkhia, kau pernah
bicara dari hal sulitnya perjalanan yang sukar, sekarang kita
berangkat menuju ke Watzu, perjalanan ini lebih jauh lagi..."
In Loei bersenyum.
"Toh ada harinya yang perjalanan itu dapat dilakukan hingga
ditujuannya?" ia jawab.
Tan Hong tertawa, ia lantas bersenanjung: "Di dalam hidupnya,
manusia tidak sedikit mengalami perjalanan yang sulit dan
berbahaya, maka orang mesti menerjang es melawan hawa dingin
untuk melanjutkan perjalanannya itu. Demikian dengan kita
sekarang ini, berapa banyak perjalanan sukar yang mesti dilintasi,
dari itu, mana ada hari yang dapat di akhirkannya?..."
Hati In Loei bercekat. Mengertilah ia maksud kata-kata Tan Hong
ini. Orang hendak minta supaya ia menjadi teman sehidup semati.
Tentu saja ia bersyukur akan cinta orang itu. Akan tetapi hatinya
menjadi ciut ketika ia ingat pesan atau permintaan kakaknya, untuk
mana ia telah berikan janjinya. Maka ia merasa suram akan
penghidupannya nanti. Terpaksa, ia berpura-pura kurang mengerti.
Ia pun paksakan diri untuk bersenyum.
"Oh, sioetjay kutu buku!" katanya, menggoda. "Sudahlah, jangan
kau main bersenanjung saja! Jikalau kau tidak lekaskan
perjalanan kita ini, apabila kita memperlambat hari, aku kuatir,
sebelumnya kita tiba di Kwangwa, salju sudah akan turun secara
besar-besaran! Kalau itu sampai terjadi, baharu benar-benar kita
menerjang es dan melawan hawa dingin!...”
Tan Hong tertawa. Si nona pun tertawa.
Demikian tidaklah sunyi mereka di tengah perjalanan, cuma
setiap kali si pemuda bicara tentang hari kemudian mereka berdua,
si pemudi senantiasa mengelakkan diri.
Itu hari tibalah mereka di Yangkiok. Habis perang, kota menjadi
sepi sekali, sebahagian dari toko-toko belum dibuka pula. Tapi Tan
Hong girang juga ketika ia saksikan rumah makan di mana ia untuk
pertama kali bertemu dengan In Loei, rumah makan itu masih
mengibar-ngibarkan bendera mereknya.
"Adik kecil, masihkah kau ingat rumah makan itu?" dia tanya
kawan seperjalanannya.
"Seumurku, tak nanti kulupakan itu!" sahut In Loei.
Tan Hong tertawa.
"Oh, adik kecil!" katanya dalam keriangan hatinya. "Bagus sekali,
ingatanmu dan ingatanku ada serupa..."
"Ah, ingatan apa sih?" In Loei potong. "Tak dapat aku
melupakannya yang di dalam rumah makan itu kau telah mencuri
uangku, hingga hampir saja aku mendapat malu..."
Tan Hong tercengang. Itulah jawaban yang ia tidak harapkan.
Tapi sebentar saja, atau ia sudah tertawa pula.
"Sudahlah, jangan kita adu mulut..." katanya. "Kita telah tiba di
tempat yang lama, tak dapat kita melupakan kejadian-kejadian yang
telah berlalu itu, marilah kita minum arak, untuk memuaskan hati
kita. Adik kecil, kau jangan kuatir, kali ini akulah yang undang
tetamu, tidak nanti aku membiarkan kau dahar pula tanpa
membayar!..." Gembira In Loei mendengar orang menyebut-nyebut
kejadian sudah lewat itu, ia lirik si anak muda, ia tertawa.
"Jikalau kau berani mengulangi mempertunjukkan kepandaianmu
tangan liehay," katanya, "lihat, akan aku patahkan lenganmu..."
Kembali keduanya tertawa, mereka saling pandang.
Segera mereka sampai di depan rumah makan, keduanya turun
dari kuda, untuk menambat binatang tunggangan mereka, habis
mana, mereka bertindak masuk ke dalam rumah makan itu. Masih
mereka saling lirik dan bersenyum.
Rumah makan itu tidak banyak tetamunya, ini pun menandakan
akibatnya bahaya perang.
Tan Hong masih ingat tempat duduk mereka yang dulu, yaitu di
meja di sebelah selatan yang menghadapi jendela, maka ia ajak In
Loei ke meja yang dahulu itu. Ia lantas panggil jongos, untuk minta
dua poci arak serta daging dua setengah kati. Begitu lekas arak
disajikan, ia lantas saja tenggak tiga cawan.
"Dahulu ketika aku duduk minum seorang diri di sini," kata dia
menimbulkan soal lama. "Kau juga ada bersendirian, adik kecil.
Ingat benar aku itu hari, kau senantiasa melirik aku, tetapi
sekarang, bagus sekali, kita sekarang berada berdua! Sekarang,
adik kecil, tak usah lagi kau tiap-tiap kali mengalihkan
pandanganmu kepadaku!...”
Jengah juga In Loei mendengar kata-kata orang itu. Tetapi ia
tidak menjadi gusar karena ia tahu pemuda itu tengah bergurau.
"Bicara perlahan sedikit!" tegurnya. "Siapakah yang tiap-tiap kali
melirikmu? Hari itu aku berpaling kepadamu karena tingkah polamu
lucu dan juga ada orang jahat yang mengintai padamu tanpa kau
mengetahuinya. Memang aku sering menoleh kepadamu,
disebabkan tingkah lakumu itu! Hanya aku tidak menyangka, kau
justeru hendak mempermainkan aku. Sudahlah, urusan lama jangan
ditimbulkan pula. Bicara tentang itu, sekarang panas hatiku
terhadapmu..."
Tan Bong bersenyum, ia menatap.
"Benarkah itu?" dia menegaskan, separuh main-main.
In Loei kewalahan.
"Ah, kau jail sekali!" katanya. "Buruk hatimu..."
"Eh, apakah itu benar?" tanya Tan Hong. "Kalau begitu, pastilah
aku menjadi kakakmu sang busuk hatinya..."
"Sudahlah!" kata si nona, akhirnya. "Kalau tetap kau menggoda
aku, nanti aku tak sudi bicara lagi denganmu..."
Tan Hong irup araknya. Ia tertawa pula.
"Aku ingat kedua penjahat yang hari itu mengarah aku," kata dia,
"mereka itu duduk di situ, di sebelah timur..." Ia menoleh ke arah
yang ia sebutkan. Di sana justeru duduk seorang imam yang
jubanya hijau, yang romannya seperti bukan imam sembarang
imam.
In Loei pun berpaling ke arah itu.
"Kali ini dia bukannya jahat!..." katanya sambil tertawa. Ia pun
keringkan cawannya.
Di mulutnya, In Loei bilang tak ingin membicarakan soal-soal
lama, akan tetapi sekarang ia berada di tempat dahulu itu, mau
atau tidak, teringat segala, seperti berpeta apa yang mereka tampak
dahulu itu. Begitulah ia ingat, dapat ia membayangkan saat-saat
pertemuannya pertama kali dengan Tan Hong. Maka juga hatinya
jadi bekerja.
"Dulu aku berkesan menjemukan terhadap dia, aku tidak sangka,
sekarang dia menjadi sahabatku yang kekal," demikian ia berpikir.
"Yang lebih-lebih aku tidak sangka, dia justeru musuh besarku.
Koko-pun sangat membenci dia. Benar-benar di dalam hidup
manusia terdapat banyak hal yang tak disangka-sangka
semulanya..."
Kembali si nona ceguk araknya. Dengan jalan ini ia mencoba
akan melenyapkan kenang-kenangannya itu, karena mana, dapat ia
minum, dahar dan pasang omong dengan gembira bersama Tan
Hong. Karena ini, tanpa merasa juga, ia telah tenggak beberapa
cawan.
"Adik kecil," kata Tan Hong pula. "Lagi sepuluh lie dari sini adalah
dusun Hektjio tjhoeng, maka itu, inginkah kau menemui
mertuamu?"
In Loei melengak. Tidak ia sangka, sahabatnya ini menimbulkan
soal itu. Maka ia lantas ingat pernikahannya dengan Nona Tjio Tjoei
Hong dan apa yang terjadi pada malam pengantin itu. Tiba-tiba ia
merasa lucu, hampir ia semburkan araknya. Ia tertawa.
Tan Hong bersenyum, ia mengawasi.
"Kasihan isterimu yang cantik itu, yang telah menantikan kau
sampai hari ini," kata dia, romannya sungguh-sungguh. "Sekian
lama dia tungkuli nama isteri kosong belaka... Setelah sekarang
habis perang, sudah selayaknya kau pergi menjenguk dia, supaya
hatinya menjadi lega..."
Tergerak juga hatinya In Loei mendengar disebutnya Tjoei Hong.
Ia jadi ingat cintanya Nona Tjio itu terhadapnya.
"Benar, sudah selayaknya aku pergi menengok dia," ia berpikir.
"Hanya, perlukah aku membuka rahasia terhadapnya tentang diriku
sendiri?"
Ia menjadi bersangsi. Dahulu ia suka menikah dengan Tjoei Hong
karena terpaksa, untuk meloloskan diri, ia tidak nyana, nona itu
demikian keras menyintai ia, ia dipandang sebagai suami yang
benar-benar dapat diandalkan. Sekarang, setelah dapat
pengalaman, lain lagi perasaannya. Ia tidak lagi seperti dulu, yang
masih hijau. Dahulu ia anggap menyamar sebagai pemuda, habis
perkara, tak pernah ia pikirkan akibatnya di belakang hari. Karena
ini, ia angkat kepalanya, ia pandang Tan Hong.
Pemuda itu pun tengah mengawasi si nona, wajahnya seolah-
olah berseri-seri...
"Eh, mengapa kau tertawa?" si pemudi menegur.
"Bukankah kau pun pernah menyamar menjadi wanita, malah
hampir saja kau menikah dengan puterinya Yasian itu?"
Tan Hong tertawa.
"Aku belum sampai menikah!" katanya, menggoda pula.
"Sudahlah!" kata nona In akhirnya. "Mari lekas minum, habis kita
pergi menengok dia, hendak aku menutur segala apa dengan terang
kepadanya. Sayang kita sekarang tak ketahui Tjioe San Bin ada di
mana..."
"Hai, kau lucu!" kata Tan Hong. "Urusanmu sendiri masih belum
beres, kau sudah memikir untuk menjadi comblang! Sekarang aku
tanya kau, kau hendak salin pakaian atau tidak? Awas, kalau nanti
Nona Tjio lihat kau, bisa-bisa dia gerembengi pula padamu!..."
In Loei tunduk, memandang pakaiannya sendiri. Sejak berangkat
dari kota raja, ia memang telah dandan pula sebagai satu pemuda.
Ia menjadi tertawa sendirinya.
"Kau omong perlahan sedikit..." ia peringatkan pula sahabatnya
itu. "Kau lihat, si imam agaknya memperhatikan kita..."
Tapi Tan Hong menyahuti seenaknya saja.
"Nah, mari kita berangkat!" kata dia kemudian, sambil
berbangkit. Ia hendak mendahulukan membayar uang santapan
mereka. "Aku tidak inginkan kau yang membayar!"
Ia sudah lantas merogo sakunya, atau mendadak ia menjadi
melengak. Tangannya itu masuk ke dalam saku yang kosong —
uangnya sudah terbang tanpa sayap!
"Ah, toako, kembali kau godai aku!" katanya kemudian pada Tan
Hong. "Lekas kau kembalikan uangku!" Sambil mengucap demikian,
ia menoleh kepada si imam, siapa justeru sudah berdiri di
sampingnya.
Tan Hong tidak menyahuti kawannya, hanya sambil berlompat
bangun, ia terjang imam itu.
"Di kolong langit yang begini terang benderang kau berani
menjadi bangsat?" ia mendamprat. Imam itu menangkis dengan
sebat, enteng dan gesit gerakan tangannya.
"Hai, kau berani lancang memukul orang?" tegurnya.
In Loei terkejut melihat kesebatan orang itu. Memang luar biasa
serangan Tan Hong yang dapat ditangkis secara demikian. Hampir
ia lompat untuk membantui kawannya, baiknya dapat ia bersabar.
Tan Hong tidak berhenti karena tangkisan itu.
"Ah, kiranya kau satu ahli?" katanya, sambil menyerang pula. Ia
berlaku sangat sebat, hingga dapat ia sambar apa yang ia arah,
ialah kantong uangnya In Loei. "Apa kau hendak katakan
sekarang?" dia tanya pula. "Di sini ada buktinya!" Imam itu melejit,
tetapi Tan Hong sambar bajunya, hingga "Bret!" pecahlah ujung
jubahnya.
Imam itu mencoba meloloskan diri dengan kelitan
"Kimsian toatkok" atau "Tonggeret melepaskan sarung tubuhnya."
Ia tidak pedulikan ujung jubah pecah, terus ia lompat ke jendela,
untuk kabur.
Tuan rumah makan lihat orang lari.
"Eh, eh, uang makanmu!" dia teriaki. "Ada orang jahat! Ada
orang jahat! Ia lantas berteriak-teriak pula.
Tan Hong buka kantong uangnya, untuk mengeluarkan sepotong
perak, yang ia letakkan di atas meja.
"Semua akulah yang bayar!" dia kata kepada tuan rumah.
Potongan perak itu, meski dibayarkan sekalian pada uang makan
si imam, masih ada kelebihannya, maka itu, girang tuan rumah itu,
tetapi, ketika ia hendak haturkan terima kasihnya, Tan Hong sudah
menarik tangan In Loei untuk diajak lari keluar dengan jalan
melompati jendela juga!
Itu waktu, sedikit sekali orang berlalu lintas di jalan besar, si
imam terlihat tengah melarikan dirinya sambil menunggang kuda,
dia sudah mulai keluar dari pintu kota.
Tan Hong lari kepada kudanya, terus ia lompat naik di
bebokongnya.
"Mari kita kejar dia!" ia ajak In Loei. "Kantong uang telah didapat
kembali, untuk apa melayani dia itu" In Loei tanya.
"Bukan begitu," kata Tan Hong. "Dia liehay, dia bukannya
penjahat sembarang! Hendak aku selidiki tentang dirinya!"
Tjiauwya saytjoe ma pun segera meringkik dan kabur.
Menampak demikian, terpaksa In Loei larikan kudanya, untuk
menyusul.
-ooo00dw00ooo-

Bab XXII
Kuda Tan Hong adalah kuda jempolan, kuda In Loei — hadiah
dari Ie Kiam — juga adalah kuda pilihan, maka itu, dalam sekejap
saja keduanya sudah berada di luar kota kecamatan Yangkiok itu,
lantas mereka candak si imam, yang telah melarikan kudanya.
"Berhenti!" teriak Tan Hong kepada imam itu.
Heran agaknya si imam, dia menoleh, tetapi segera dia tertawa
besar.
"Kau tahu aku kekurangan uang untuk ongkos perjalanan,
apakah kau hendak mengantarkan aku?" dia tanya, sikapnya wajar.
Tan Hong tidak pedulikan sikap orang berlagak pilon itu.
"Di rumah makan ada banyak orang, tidak merdeka untuk bicara
di sana," ia jawab. "Tootiang, apakah sampai di sini masih kau
hendak bergurau?" Imam itu perlihatkan roman suram secara
mendadak.
"Siapa main-main denganmu?" dia kata.
"Jikalau tootiang tidak main-main, aku minta kau memberi
keterangan tentang dirimu kepadaku," Tan Hong minta.
"Selama hidupku aku mencopet, belum pernah aku gagal",
berkata imam itu, "sayang hari ini, aku telah dipergoki kau. Uangmu
telah aku bayar kembali, apa perlunya kau susul aku? Bukankah itu
berarti bahwa kau, tuan besar yang mempunyai banyak uang,
hendak mempermainkan aku? Hm, hm! Baik kau rasakan
pedangku ini!"
Dia berkata dengan wajar, tidak mirip dia hendak bergurau,
setelah itu segera dia hunus pedangnya, untuk lantas menikam
dengan tikaman "Kimtjiam inshoa" atau "Jarum emas memimpin
benang."
Tan Hong berkelit, atas mana, tiga kali ia diserang saling susul,
hingga ia mesti terus-menerus mengegoskan diri, tetapi karena ini,
ia lihat ilmu pedang orang mirip dengan ilmu pedang Lianhoan
Toatbeng kiam dari Boetong Pay. Ia menjadi heran.
Si imam masih tidak puas, masih ia keluarkan kata-kata yang tak
sedap didengar.
"Kau andalkan kudamu yang keras larinya, apakah itu perbuatan
satu enghiong?" (Enghiong = orang gagah, satu laki-laki).
Heran Tan Hong atas kelakuan orang yang jumawa itu.
"Mungkinkah dia hendak mencoba-coba ilmu pedangku?" ia
dapat pikiran. Maka terus ia lompat turun dari kudanya, akan segera
menjawab: "Baiklah, akan aku temani tootiang untuk beberapa
jurus..."
Imam itu sudah lantas lompat turun dari kudanya, sambil
berlompat, ia menghampiri si anak muda, maka itu, begitu
menginjak tanah, ia bisa mendahului dengan tikamannya ke arah
jalan darah hoenboen hiat dari Tan Hong.
Tentu saja anak muda itu menjadi mendongkol, karena ia kenali
tikaman yang berbahaya itu, maka setelah menangkis dengan
"Hengkee kimliang" atau
"Melintangkan penglari emas," ia lantas membalas dengan
"Kimtjiam hielong" atau "Kodok emas membuat main gelombang,"
disusul dengar dua tikaman lainnya, hingga si imam jadi kaget juga.
Sebab ketiga tikaman itu mengarah bahagian-bahagian tubuh yang
berbahaya.
"Sungguh liehay!" dia berseru. Dengan gesit ia elakkan dirinya,
habis mana, lagi sekali ia menyerang.
Diam-diam Tan Hong kagumi ilmu silat pedang orang itu.
"Dia jauh terlebih liehay daripada Siong Sek Toodjin," ia berpikir.
"Ia mesti salah satu ahli silat dari Boetong Pay."
Oleh karena ini, Tan Hong lantas melayani terus dengan
perhatian. Ia segera keluarkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee
Kiamhoat-nya," maka berbareng dengan kelincahannya,
kegesitannya, ia menikam dan membabat dengan berulang-ulang,
ke segala arah, ke delapan jurus.
Imam itu melepaskan napas lega setelah ia dapat membela diri
dari pelbagai serangan yang berbahaya itu, ia baharu hendak
melakukan pembalasan, atau di luar dugaannya, si anak muda
kembali menyerang padanya, dengan tikaman "Inheng Tjinnia" atau
"Mega melintang di atas bukit Tjinnia" yang diubah menjadi sabatan
"Soatyong Lankwan" atau "Salju menindih kota Lankwan."
Bukan kepalang kagetnya imam itu. Repot ia berkelit. Tidak
urung, kopiah keimamannya tersabet juga hingga putus bahagian
atasnya. Ia menjerit bahna kagetnya, ia mundur hingga beberapa
tindak.
"Hai, pantas Siong Sek Soetee telah menderita kekalahan
hingga dia bersumpah tak hendak menggunakan pedang
lagi!..." ia pun berseru. Mendengar seruan itu, Tan Hong ingat
kepada Siong Sek Toodjin, yang diakui si imam sebagai soetee (adik
seperguruan).
Siong Sek Toodjin adalah si imam yang telah membantu See To
ayah dan anak mencoba merampas kudanya si anak muda, karena
mana dia dikalahkan anak muda itu. Maka anak muda itu jadi heran.
"Tootiang," ia menanya sambil menahan pedangnya, "adakah
kau bermaksud menuntut balas untuk Siong Sek Toodjin?"
Imam itu tertawa berkakakan.
"Untuk urusan kecil itu aku hendak menuntut balas?" sahutnya.
"Sungguh aku tidak kebanyakan tempo! Melihat kudamu,
menyaksikan ilmu pedangmu ini, kau mestinya Thio Tan Hong.
Syukur aku telah mencoba-coba kepadamu, jikalau tidak, pasti
sekali kau akan jadi penasaran. Aku tanya kau, bukankah kau
hendak pergi ke Heksek tjhoeng?"
Tan Hong heran. Ia tetap tidak melanjutkan serangannya.
"Apa kau bilang?" ia tanya.
"Tidak apa-apa," jawab imam itu. "Hanya, kalau benar kau
hendak pergi ke Heksek tjhoeng, di sana kau tidak akan dapat
menemui Hongthianloei!"
"Jikalau dia tidak berada di Heksek tjhoeng, habis di mana?" Tan
Hong tanya.
"Dia berada di dalam pesanggrahan See To yang menjadi
saudara angkatnya," si imam menjawab dengan keterangannya.
Persahabatan antara Tjio Eng dan See To memang kekal sekali,
akan tetapi sejak Tjio Eng "menikahkan" puterinya dengan In Loei,
persahabatan itu menjadi renggang. See To dan puteranya menjadi
tidak senang, sebab mereka merasa diri mereka seperti dihina.
Mendengar keterangan itu, Tan Hong bersangsi.
"Benarkah keteranganmu ini, tootiang?" ia tegaskan.
"Untuk apa aku mendustai kau?" imam itu balik menanya.
"Sekarang ini See To tengah mengundang banyak sekali orang-
orang kaum Rimba Hijau, di antaranya termasuk pintoo, namun
pintoo tak sudi memenuhi undangan itu. Pintoo telah menolak
undangan dengan menuliskan penolakan itu di kaki gunung, habis
itu pintoo lantas berlalu. Kebetulan saja di atas gunung itu, pintoo
bertemu Tjio Eng."
"Bagaimana dengan anak perempuannya?" In Loei tanya. Ia
campur bicara secara tiba-tiba setelah lama membungkam saja.
Si imam tertawa.
"Tentu saja ia berada bersama ayahnya!" sahutnya. "Eh, engko
kecil, ada urusan apakah di antara kau dan mereka itu hingga kau
menanyakan halnya si nona Tjio itu?"
"Aku mohon bertanya, tootiang, apakah gelaran mulia dari
tootiang?" Tan Hong memotong In Loei, hingga kawannya tak
sempat menjawab.
"Pintoo adalah imam dari Boetong San," sahut imam itu.
"Namaku Tjek Hee."
"Oh, kiranya Tjek Hee Tootiang." kata Tan Hong. "Telah
lama aku dengar nama besar dari tootiang,"
Dengan mengatakan demikian, pemuda ini bukan cuma berlaku
hormat menurut keharusan, ia hanya omong dengan sebenarnya,
sebab Tjek Hee Toodjin ini memang salah satu imam kenamaan dari
Boetong Pay.
"Masih ada satu hal yang pintoo dengar di tengah jalan," berkata
pula imam dari Boetong San itu, "hanya entahlah kabar itu benar
atau dusta..." "Kabar apakah itu, tootiang?" "Kabarnya ketika
angkatan perang Watzu menduduki wilayah ini, See To ayah dan
anak mempunyai perhubungan dengan tentera asing itu," terangkan
Tjek Hee. "Inilah sebabnya kenapa pesanggrahan See To itu utuh
hingga sekarang."
Tan Hong terperanjat. Inilah kabar penting, yang ia tidak sangka.
Ia memang belum pernah dengar kabar itu.
"Bagaimana dengan Tjio Eng?" ia tanya.
"Sampai begitu jauh, pintoo tidak tahu," jawab Tjek Hee.
"Sebetulnya pintoo berniat menyampaikan kabar mengenai See To
itu kepada Tjio Eng, sayang ia selalu didampingi orangnya See To
hingga pintoo tak mendapat ketika."
Tan Hong kaget hingga ia berseru sambil mencelat.
"Tootiang, terima kasih untuk kebaikanmu ini!" ia
mengucap sambil menjura, setelah mana ia beri tanda kepada In
Loei, terus ia lompat naik ke atas kudanya, lalu ia kaburkan
binatang itu.
In Loei menurut, akan tetapi ia kurang mengerti.
"Bagaimana kau pikir tentang imam itu?" ia tanya.
"Menurut keterangan imam itu, mestinya See To dan anaknya itu
mempunyai maksud tertentu dan mereka sedang mengatur tipu
daya," jawab Tan Hong. "Mungkin mereka sedang pancing Tjio Eng
supaya Tjio Eng terjebak. Imam itu mencoba kita selagi kita berada
di rumah makan tadi, untuk mengetahui kita sebenarnya siapa,
dengan perbuatannya itu ia rupanya hendak menunjukkan kita jalan
supaya kita menolongi Tjio Eng." In Loei kaget juga.
"Apakah benar Tjio Eng tengah menghadapi bencana besar?" ia
tanya.
Tan Hong tidak berikan penyahutannya, dia hanya berkata:
"Karena kita mempunyai kuda yang keras larinya, mari kita pergi
dahulu ke Heksek tjhoeng untuk melihat-lihat, apabila benar-benar
Tjio Looenghiong tidak ada di rumahnya, kita mesti pergi terus
kepada See To untuk membuat perhitungan."
In Loei tidak punya pikiran lain, ia menurut saja. Maka itu,
keduanya kaburkan keras kuda mereka. Tidak sampai setengah jam,
tibalah mereka di Heksek tjhoeng. Mereka tampak pintu pekarangan
dipentang lebar dan dari sebelah dalam mereka dengar suara berisik
campur aduk. Dengan lantas mereka hunus pedang mereka, untuk
memasuki pekarangan.
Dua orang yang dandannya seperti tauwbak gunung muncul
untuk menghalangi.
Tan Hong dan In Loei tidak sudi dirinya dirintangi, mereka serang
kedua tauwbak itu. Baharu dua tiga jurus, kedua perintang itu
sudah kena dirubuhkan. Maka itu, keduanya lantas maju terus.
Suara berisik di dalam itu adalah suara pertempuran. Nyata
Heksek tjhoeng sedang diserbu, dari sepuluh bagian penghuninya,
hampir sembilan sudah tidak berdaya, mereka itu sudah
terbelenggu. Tinggal beberapa di antaranya, yang mengerti silat,
masih bertempur dengan sejumlah tiauwto.
Dengan memberi tanda kepada In Loei, Tan Hong lompat turun
dari kudanya, untuk menerjang kawanan liauwlo itu, ialah serdadu
gunung. In Loei lantas menuruti perintah itu. Kali ini mereka simpan
pedang mereka, mereka gunakan tangan kosong.
Tidak ada perlawanan yang berarti dari rombongan liauwlo itu,
belum sampai setengah jam, mereka sudah ditotok hingga semua
mati kutunya. Di pihak lain, semua tjhoengteng sudah lantas
ditolongi hingga mereka mendapat kemerdekaannya kembali.
"Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?" Tan Hong tanya satu
tjhoengteng.
"Tadi tjhoengtjoe berangkat, belum ada setengah jam, lalu
muncul kawanan penjahat ini," demikian tjhoengteng itu berikan
keterangannya.
"Mulanya kami menyangka mereka adalah orang-orangnya See
To, yang memang bersahabat dengan tjhoengtjoe, kami ijinkan
mereka masuk. Di luar dugaan kami, mereka lantas menyerang.
Kejadian ini adalah suatu hinaan untuk Heksek tjhoeng, kalau
tjhoengtjoe nanti mendapat tahu, pasti jiwa mereka ini tidak akan
diberi ampun!"
Tan Hong bebaskan satu tauwbak.
"Apakah Toh See To yang suruh kamu datang kemari?" ia tanya
tauwbak itu. "Untuk apakah perbuatan kamu ini?"
Tauwbak itu berkepala batu, dia tidak mau bicara, dia
membungkam saja.
Tan Hong bersenyum. Ia totok iga orang.
"Kau hendak bicara atau tidak?" ia menanya.
Mulanya si tauwbak cuma kaget, setelah itu barulah dia berjengit.
Lekas sekali dia rasakan seluruh tubuhnya sakit, bagaikan ditusuki
jarum. Tentu saja, tidak dapat dia berkepala batu terus. Sekarang ia
minta ampun.
Tan Hong tidak segera melayani, ia hanya bersenyum kepada In
Loei dan berkata: "Tidak ada niatku untuk menyiksa dia ini, tetapi
untuk menghadapi manusia hina semacam dia, rupanya tidak ada
lain jalan lagi, hingga aku jadi tidak berdaya."
"Kami dititahkan See Tjeetjoe," tauwbak itu mengaku sambil
menahan sakitnya. "Kami dititahkan menyerang Heksek tjhoeng,
untuk kemudian mengangkut semua harta bendanya, guna dibawa
pulang ke pesanggrahan kami. Kami pun dipesan untuk mengambil
semua gambar lukisan dan jangan sampai ada yang tertinggal
sehelai pun..."
Mendengar ini, Tan Hong lantas berpikir.
"Terang sudah, See To tidak saja hendak merampas harta
benda," demikian pikirnya. "Diapun menghendaki semua gambar,
tentunya dia anggap peta bumi yang berharga itu mesti masih ada
di dalam rumah ini. Yang aneh, kenapa dia juga ketahui tentang
peta bumi itu?"
"Eh, toako, kau sedang pikirkan apa?" tanya In Loei, yang
melihat orang berdiam saja, rupanya otaknya sedang bekerja.
"Benarlah apa yang dikatakan Tjek Hee Too-tiang," jawab Tan
Hong. "Tidak salah lagi, See To telah berkongkol dengan bangsa
Watzu." Ia lantas totok bebas si tauwbak, setelah mana, ia kata
pada pengurus rumah Heksek tjhoeng: "Kau belenggu penjahat ini,
tunggu sampai nanti tjhoengtjoe kamu pulang untuk mengambil
putusannya."
Pengurus rumah itu terima pesan tersebut, atas mana tanpa
berayal lagi, Tan Hong ajak In Loei larikan kuda mereka menuju
Lioktjiang San, ialah bukit di mana See To berdiam, yang letaknya
tidak berapa jauh dari Heksek tjhoeng, cuma kira-kira tiga puluh lie.
Belum sampai setengah jam, tibalah mereka di bukit itu. Dari kaki
bukit tertampak, pesanggrahan See To yang panjang dan berliku-
liku bagaikan tubuh naga, kecuali bentengan, di situ pun terdapat
banyak pohon kayu yang besar-besar dan tinggi. Maka itu, bagus
letaknya bukit itu.
Setelah turun dari kuda mereka, Tan Hong dan
In Loei bertindak mendaki.
"Siapa kamu?" begitu mereka ditegur satu /iauwlo, serdadu
gunung, yang membuat penjagaan.
"Kami adalah tetamu yang diundang tjeetjoe kamu," sahut Tan
Hong.
"Coba perlihatkan surat undangannya," serdadu gunung itu
minta.
"Kau sambuti ini!" kata Tan Hong seraya mengangsurkan
tangannya dengan cepat.
Liauwlo itu mengawasi, ia tidak lihat suatu apa, justeru ia hendak
menanya lagi, tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya lantas rubuh pingsan.
Tan Hong telah menyerang orang dengan jarum rahasianya,
jarum mana apabila mengenai jalan darah, membuat orang tak
sadar akan dirinya selama dua belas jam, sesudah itu, orang dapat
mendusi sendirinya.
Dengan rubuhnya liauwlo itu, rintangan sudah tidak ada lagi,
maka dengan menggunakan kengsin soet, ilmu entengkan tubuh,
dengan pesat Tan Hong dan In Loei lari mendaki bukit Lioktjiang
San itu. Mereka pun dapat melalui beberapa tempat jagaan lainnya.
Di mana dapat, mereka menghindarkan diri dari /iauwlo-liauwlo
penjaga itu, kalau tidak, Tan Hong terpaksa gunakan jarumnya
untuk membikin orang tidak berdaya. Karena ini, dengan lekas
mereka telah sampai di atas gunung.
"Tempat ini berbahaya, hati-hati!" Tan Hong pesan kawannya
setibanya mereka di suatu bahagian bukit, di mana sudah tidak ada
jalan lain kecuali, batu panjang yang melonjor bagaikan
jembatan tunggal. "Mari kita maju terus!"
Pemuda itu bertindak di jembatan batu itu, In Loei mengiringi ia.
Baharu saja mereka sampai di tengah-tengah jembatan istimewa
itu, lantas mereka dengar mengaungnya anak-anak panah, yang
menyambar dari arah belakang mereka.
In Loei lantas hunus pedangnya, yang ia putar, untuk
menjatuhkan setiap anak panah.
"Segala panah tidak keruan, apa gunanya?" kata dia sambil
tertawa.
Kata-kata si nona belum habis diucapkan ketika dari samping, di
antara batu gunung, lompat seorang ke arahnya.
Tan Hong lihat orang itu, ia menyambut dengan pedangnya,
tetapi segera ia merasakan tenaga orang yang besar, karena telapak
tangannya dirasakan panas. Orang itu pun sudah lantas menaruh
kaki di antara ia dan In Loei, yang mencoba menjatuhkan.
Dalam saat berbahaya itu, sekonyong-konyong Tan Hong
menjerit tajam, tubuhnya menyusul terhuyung.
In Loei lihat keadaan kawannya itu, saking kaget, ia berteriak.
Orang yang baharu datang itu juga lihat Tan Hong, ia
menyangka orang rubuh, ia menjadi sangat girang, cepat sekali ia
angkat kakinya, untuk mendupak.
Tapi Tan Hong tengah menggunakan akalnya. Nampaknya ia
hendak jatuh, tetapi sebenarnya, sebelah kakinya dipakai menyantel
batu, berbareng dengan mana, sebelah tangannya terayun.
Orang itu kaget, terpaksa ia lompat kembali ke tempat asalnya.
"Lekas!" Tan Hong teriaki si nona, ia sendiri lantas lari, untuk
mencapai lain tepi.
In Loei pun mengerti bahaya, ia lari mengikuti.
Baharu saja mereka tiba di lain tepi itu, orang tadi sudah lompat
pula, akan menyusul mereka, sedang dari atas bukit terlihat
datangnya beberapa orang lain, yang terus mengambil sikap
mengurung.
Tan Hong lihat orang tadi liehay, ia waspada.
"Hai, kiranya kau!" teriak orang itu, yang agaknya kaget.
"Hm, kiranya kau!" Tan Hong pun perdengarkan suaranya.
Tadi mereka belum melihat tegas satu dengan lain, mereka tidak
segera saling mengenali, sekarang mereka berdiri berhadapan,
mereka sudah lantas melihat nyata. Orang itu adalah Ngochito,
pahlawan nomor satu dari Yasian. Selama itu, ia tahu kegagahan
orang. Memang, di Watzu, Ngochito cuma berada di bawahan
Tantai Mie Ming.
"Adik kecil!" Tan Hong serukan kawannya, "menangkap berandal
mesti membekuk rajanya dulu, maka mari kita bereskan dia ini!"
In Loei mengerti, dari itu ia lantas maju. Maka itu, dalam sesaat
saja, Ngochito telah dikepung berdua, malah dua batang pedang
segera menyerang ke arah mukanya. Dia menjadi gusar, sambil
berseru, dia menangkis. Tapi kesudahannya, dia menjadi kaget
sekali. Tahu-tahu, pedangnya terkutung menjadi tiga potong!
"Hai!" dia berseru sambil lompat kepada kawan-kawannya, untuk
meminjam pedangnya, dengan apa dia membuat perlawanan
terlebih jauh. Hanya kali ini, tidak berani dia mengadu pula
senjatanya. Dia berkelahi dengan menggunakan ilmu silat pedang
Hongloei kiam, hingga pedangnya itu, di samping suaranya
mengaung, pun berkilauan bagaikan kilat menyambar-nyambar.
"Bagus!" seru Tan Hong, yang kagum melihat ilmu silat orang itu.
Tapi ia tidak gentar, bersama In Loei, ia menyerang terus.
Ngochito selalu menghindarkan pedangnya, tetapi tidak urung, ia
terdesak juga. Ia kaget sekali ketika runce dari kopiahnya terbabat
pedang lawan. Dasar ia licin, dapat ia meloloskan diri dari ancaman
bahaya maut.
Tan Hong pun kagumi kegesitan orang itu.
Pertempuran berjalan terus. In Loei penasaran, ia menyerang
dengan hebat. Langsung pedangnya menikam ke arah uluhati.
Berbareng dengan itu, pedang Tan Hong membabat ke bawah.
Seperti sudah diketahui, pedang mereka berdua selalu bekerja
sama, senantiasa menyambar ke sasarannya masing-masing. Untuk
itu, tak usah mereka memberi isyarat lagi satu dengan lain, mereka
bagaikan sudah berlatih sempurna.
Sedetik itu, Ngochito jadi terkurung sinar pedang, dia terancam
kebinasaan. Dia mesti melindungi dadanya, atau kakinya. Untuk
melindungi kedua-duanya, sulit. Dia mesti memilih.
"Biar aku terbinasa, tak sudi aku menerima malu berkaki
kutung..." demikian ia memilih. Maka itu dia lompat mundur sambil
menangkis pedang In Loei.
Di saat yang sangat berbahaya itu bagi Ngochito, mendadak In
Loei dengar sambaran angin ke arahnya, dengan cepat ia berkelit,
maka dengan sendirinya pedangnya tak mengenai sasarannya. Di
antara satu suara nyaring, Ngochito juga menjerit dengan tubuhnya
mencelat jatuh kira-kira satu tombak!
"Berhenti!" demikian tiba-tiba satu suara nyaring sekali,
menyusul mana satu orang, yang mukanya bertopeng, muncul di
antara mereka. Dia mempunyai mata yang sinarnya mencorong
tajam. Dialah yang telah menolongi Ngochito itu.
Semua telah terjadi dengan sangat cepat. Pedang Ngochito
terbabat kutung. Ia sudah mencoba berkelit, tidak urung ujung
kakinya terluka juga. Untung baginya, jiwanya telah tertolong.
Dengan napas tersengal-sengal, ia berdiam di samping mereka itu.
"Djiewie," berkata si orang bertopeng, "karena kamu telah
datang berkunjung, harap kamu mentaati undang-undang kita kaum
kangouw. Silakan djiewie datang dahulu ke dalam pesanggrahan,
janganlah tidak keruan-keruan kamu bertempur."
Tan Hong dan In Loei mesti kagumi kepandaian orang ini, yang
dapat menolongi Ngochito di saat pahlawannya Yasian itu
terkepung sepasang pedang yang liehay.
"Heran, kenapa See To ayah dan anak mendapat kawan segagah
ini?" kata Tan Hong dalam hatinya. Karena ini ia mendapat firasat
bahwa usaha mereka berdua hari ini berjalan kurang lancar...
"Katakan, kau orang Ouw atau orang Han?" sekonyong-konyong
In Loei tegur si orang bertopeng itu. Sudah sekian lama, baharu kali
ini ia buka mulutnya.
Orang yang ditegur itu melengak.
"Apakah artinya pertanyaan kau ini?" dia balik menanya.
"Melihat romanmu, kau adalah orang Han," kata In Loei, "tetapi
kau justeru membantui bangsa Ouw! Mungkinkah kau juga tahu
malu, maka itu kau menutupi mukamu dengan topeng?"
Tiba-tiba saja orang itu menjadi murka sekali, dengan mendadak
ia mencelat maju, untuk serang si nona secara sangat hebat.
Tan Hong tahu musuh liehay, ia waspada. Demikian, atas
serangan orang ini kepada In Loei, ia mendahului si nona turun
tangan. Ia bukannya menangkis, ia hanya menyerang. Dalam hal
ini, ia tidak menyerang sendirian. Sebab juga In Loei, yang awas
dan sebat, sudah menyerang juga sambil menangkis. Maka kedua
pedang kembali bekerja sama, satu menuju ke kiri, yang lain ke
kanan, mengarah kedua pundak si orang bertopeng itu.
Hebat si orang bertopeng itu, masih ia dapat melindungi dirinya,
sesudah mana ia pun membalas menyerang pula. Ia bersendirian,
tetapi agaknya ia seperti berdua, karenanya, ia dapat melayani
pemuda dan pemudi itu dengan baik! Tetapi selewatnya jurus
ketiga, mulai ke empat, lalu ke lima, ia nampak tak begitu leluasa
lagi bergeraknya, dan akhirnya, ia segera terdesak.
Ilmu pedang siangkiam happek dari Hian Kee Itsoe, yang
diciptakannya dengan susah payah, sesudah suatu pemusatan
pikiran yang lama, merupakan satu karya yang istimewa.
Setelah ia peroleh tempo yang senggang, dengan tertawa dingin,
In Loei berkata kepada lawannya yang tidak dikenal itu: "Satu
penghianat atau dorna, setiap manusia berhak membunuhnya,
maka itu kami dengan kau, perlu apa kami bicara lagi tentang
aturan kaum kangouw?"
Teguran ini disusul dengan tiga kali desakan, yang membuatnya
musuh mundur terus, sebab dia kewalahan untuk membuat
perlawanan terlebih jauh, dia cuma masih sanggup melindungi
dirinya sendiri, agaknya habis sudah daya pembalasannya.
"Adik kecil, tahan!" sekonyong-konyong Tan Hong perdengarkan
suaranya.
"Untuk apakah?" si nona balik menanya.
"Orang ini melawan kita dengan sepasang kepalannya, dia dapat
bertahan sampai sepuluh jurus lebih, dia terhitung juga satu
hoohan," kata Tan Hong, "maka itu, jikalau dia sampai terbinasa,
pasti dia tidak puas. Baiklah, mari kita ikut dia masuk ke dalam
untuk melihat-lihat!"
Tidak setuju In Loei dengan sikap kawan ini, akan tetapi mereka
bicara di muka musuh, ia terpaksa mengiringi. Tidak baik untuk
berselisih dengan kawan sendiri di saat seperti itu. Ia tidak tahu,
dengan menunda pertempuran, Tan Hong tengah pikirkan lawannya
ini, untuk menduga-duga siapa dia sebenarnya, sebab setelah
belasan jurus itu, tidak peduli ilmu silat musuh agaknya luar biasa,
ia mulai dapat mengendus...
Setelah pertempuran ditunda, si muka bertopeng mengawasi
kedua anak muda itu.
"Siapakah yang mengajar kamu ilmu silat pedang ini?" tanyanya
kemudian dengan tiba-tiba.
"Pantaskah kau menanyakan tentang guruku?" balas In Loei
dengan jumawa.
Kelihatannya orang bertopeng itu gusar sekali, mungkin dia
hendak mengumbar hawa amarahnya itu dengan menyerang pula,
akan tetapi lekas juga ia dapat kuasai dirinya, maka ia cuma
perdengarkan suara "Hm!" Ia kata: "Anak kecil, kau belum tahu
apa-apa, sebentar kau lihat!"
Lantas dia pimpin mereka masuk ke dalam pesanggrahan,
sampai di ruang Tjiegie thia, yang besar dan luas, mirip dengan
suatu tempat untuk berlatih silat, di sana pun telah berkumpul
banyak orang kangouw. Luar biasa sikap orang-orang kangouw ini,
atas kedatangan Tan Hong bertiga, mereka perlihatkan sikap tidak
memperhatikan, malah sama sekali tidak ada yang melirik.
Segera juga In Loei lihat Tjio Eng dan gadisnya terkurung di
tengah-tengah, dan Tjoei Hong sudah lantas mengawasi padanya,
dari wajahnya, nona itu seperti heran, girang dan penasaran, ketika
ia hendak membuka mulutnya, ayahnya, yang melihat mereka, telah
mendahuluinya.
"Hiansay, kau juga datang kemari?" demikian mertua itu
menanya sambil memanggil baba mantu (hiansay). "Kau tahu,
urusan di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kau!"
Tan Hong bersenyum, ia mendahului In Loei menyahuti.
"Dengan dia tidak ada sangkut pautnya, denganku tentu ada!"
sahutnya. Lalu ia maju terus, akan dekati Tjio Eng itu di
samping siapa ia jatuhkan diri untuk duduk. See To perlihatkan
roman gusar.
"Bagus!" serunya. "Kau hendak mencampuri urusan kita, itulah
paling bagus!"
Selagi sang ayah murka, See Boe Kie, putera-nya, mendongkol
bukan main, dengan mata mendelik, ia awasi In Loei, agaknya ia
ingin telan nona itu. Apakah karena nona Tjio tak dapat menjadi
isterinya, hingga ia sangat membenci In Loei yang dipandang telah
merampas kekasihnya itu?
"Tjio Looenghiong, sebenarnya urusan ini urusan apakah?" Tan
Hong tanya jago she Tjio itu.
Belum lagi Tjio Eng memberikan jawabannya, See To sudah
mendahului.
"Tjio Toako, siapa kenal selatan, dialah si orang gagah!"
demikian orang she See ini, suaranya nyaring. "Sekarang ini sudah
habis takdir kehidupan dari kerajaan Beng, sedang tentang Kerajaan
Tjioe yang besar dari Thio Soe Seng tak usah lagi dibicarakan!
Bilakah Toako pernah menyaksikan abu api yang telah padam hidup
pula? Maka itu kenapa kau hendak mati-matian menjadi budak
orang, untuk melindungi harta bendanya?"
Tjio Eng adalah satu laki-laki, dia pun bertabeat keras, maka itu,
gusar ia diperlakukan demikian rupa, tapi masih ia mencoba untuk
mengatasi dirinya. Maka itu, ia cuma tertawa dingin.
"Kehendakmu, kita harus menjadi budak bangsa Watzu?" ia
tanya.
Muka See To menjadi merah, dia sangat jengah, tetapi dia
paksakan diri untuk tertawa.
"Toako, bukan itu yang aku maksudkan," sahutnya, lemah.
"Habis apa yang kau hendak maksudkan?" tanya Tjio Eng keras.
"Kau keluarkan gambar lukisan," jawab See To, "lantas kita pergi
mencari tempat menyimpan harta dari Thio Soe Seng, sesudah kita
mendapatkannya, justeru dunia tengah kacau ini, kita terus
melakukan sesuatu yang besar. Umpama kata kita tidak pergi
mengandal kepada bangsa Watzu, kita pun dapat mengangkat diri
sendiri menjadi raja!"
"Siapa kata aku punya gambar lukisan yang kau maksudkan itu?"
tanya Tjio Eng. "Katakan! Lekas katakan!"
Sebagai ketua dari kaum Rimba Persilatan dari dua propinsi
Shoatang dan Siamsay, walaupun ia berada di dalam pesanggrahan
musuh — artinya ia tengah dikurung — Tjio Eng tidak menjadi jeri,
ia tetap gagah. See To terkesiap ketika ia melihat sinar mata orang
yang tajam, hingga ia membungkam.
"Akulah yang memberitahukannya!" tiba-tiba terdengar satu
suara keras tetapi serak. "Habis, apa yang kau kehendaki?"
Tjio Eng segera berpaling untuk memandang si suara serak itu.
Ia lihat seorang bermuka bengkak yang kulitnya matang biru,
romannya kasar dan kedua matanya bersinar tajam.
"Kau siapa?" bentak Tjio Eng, yang sangat murka, sambil
menuding.
Tan Hong tertawa dingin, tidak tunggu sampai orang membuka
suara, ia telah mendahului. Ia kata: "Dialah Ngochito, pahlawan
nomor satu di bawahan Yasian! Aku toh tidak salah, bukan?"
Ngochito itu gagah tetapi tabeatnya keras, dia tidak kenal
gelagat, melayani Tan Hong dan In Loei, mukanya hingga bengkak
dan matang biru. Ia tidak sabaran mengawasi tingkah polanya See
To itu, dia tidak mau pikir, mungkin See To mempunyai
kesangsiannya sendiri. Maka itu, mendengar suara Tan Hong, dia
turuti hawa amarahnya.
"Tidak salah katamu!" dia menjawab dengan jumawa. "Angkatan
perang kami bangsa Watzu gagah perkasa, dengan kami
mengundang kamu bekerja sama, itu tandanya kami telah
menghormati kamu! Bocah, jikalau kau tidak puas, mari kita
bertempur satu dengan satu, untuk kau lihat kesudahannya!"
Kata-kata ini separuh menyindir See To, yang dianggapnya
bernyali kecil, sedang terhadap Tan Hong adalah tantangan, karena
dia ingin membalas.
Sementara itu, dengan datangnya Tan Hong, suasana telah mulai
berubah sendirinya. Yaitu, kecuali konco sehidup semati dari See To
serta mereka yang telah dapat dibeli atau dibujuk, yang lainnya
mulai tawar hati untuk menjual tenaga mereka bagi orang she See
ini. Mereka pun tertarik oleh sikap jantan dari Tjio Eng.
Tjio Eng tidak puas terhadap kejumawaan orang, dengan mata
mendelik, ia berbangkit. Ia kibaskan tangan bajunya. Sebenarnya
hendak ia membuka suara, atau Tan Hong mendahuluinya.
"Percuma saja kamu bercape hati!" berkata si anak muda. "Untuk
sehelai gambar lukisan, kamu sudah pancing Tjio Looenghiong
datang kemari, berbareng dengan itu, kamu pun sudah merampok
habis-habisan rumah orang! Aku mengatakannya percuma, sebab
kamu tidak memperoleh hasil apa jua! See To, kau adalah satu
tjeetjoe yang kenamaan, kau adalah satu laki-laki, tetapi kau
melakukan perbuatan sebagai tikus dan anjing bangsat, tak
takutkah kau nanti ditertawai manusia sekolong langit?"
Dengan menegur See To, Tan Hong tak gubris Ngochito.
Tjio Eng kaget. Baharu sekarang ia tahu yang rumahnya telah
dirampok. Maka dengan tiba-tiba saja ia keprak meja, hingga
ujungnya rusak. Ia pun berseru: "Di jaman dahulu, orang
memutuskan persahabatan dengan memotong tikar, maka
sekarang aku melakukannya dengan merusak meja! See To,
bangsat tua, di sini aku putuskan perhubungan kita sebagai saudara
angkat! Ingat, jikalau kau masih hendak paksa aku, maka aku tidak
akan sungkan-sungkan lagi!"
Muka See To menjadi merah dan biru bergantian. Tentu saja ia
menjadi sangat gusar dihina dihadapan kawan dan lawan, hingga ia
ambil putusan nekat.
"Tua bangka she Tjio!" ia pun berteriak, "jikalau hari ini kau tidak
serahkan gambar lukisanmu itu, jangan kau harap bisa keluar lagi
dari pesanggrahanku ini!"
Lalu, dengan kibaskan tangannya, tjeetjoe ini berniat melakukan
kekerasan.
Dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata, Tan Hong
hunus pedangnya, tetapi ketika ia menghalang di depan Tjio Eng, ia
tidak gunakan pedangnya itu, hanya dengan lengannya, ia bentur
See To hingga tuan rumah ini terpelanting setombak lebih.
Menampak itu, koncoh-koncoh See To menjadi murka dan
berseru-seru, hingga suaranya menjadi sangat berisik, tetapi ketika
mereka hendak maju, untuk turun tangan, tiba-tiba mereka
merandak.
Tan Hong, menyekal pedang dengan tangan kanan, dan dengan
tangan kiri ia mengeluarkan gambar lukisannya, untuk
dipertontonkan. Terus ia tertawa terbahak-bahak.
"Siapa yang menghendaki gambar lukisan ini, mari datang
padaku!" katanya dengan nyaring. "Aku adalah pemilik dari gambar
lukisan ini! Hanya hendak aku jelaskan, dengan mendapatkan
gambar lukisan ini, bagi kamu sudah tidak ada harganya! Kamu
tahu, harta pendaman itu berikut petanya, telah siang-siang aku
dapatkan, sudah aku bongkar! Malah aku telah menyerahkannya
kepada Kaisar Beng yang sekarang ini!"
Mendengar itu, seluruh pesanggrahan menjadi heran. Orang
tidak tahu siapa anak muda ini, karenanya orang sangsikan
kebenaran perkataannya itu. Maka itu, pesanggrahan menjadi sunyi
senyap.
Dalam kesunyian yang mengandung ketegangan itu, tiba-tiba
terdengar satu suara tertawa dingin, disusul dengan kata-kata
nyaring dari orang yang tertawa mengejek itu: "Thio Tan Hong,
siapakah yang kau hendak dustakan?"
Semua mata diarahkan kepada orang yang berani membuka
suara itu. Dialah Tjitjiangho, juga pahlawan dari Yasian, cuma dia
tidak sering berada di dalam pasukan tentera seperti Ngochito,
maka sedikit orang yang mengenal padanya. Sebagai orang
kepercayaannya Yasian, tidak heran dia mengenal Tan Hong.
Ngochito heran mendengar perkataan rekannya itu.
"Apa?" katanya sambil menatap Tan Hong. "Kau puteranya
Yoesinsiang Thio Tjong Tjioe? Kalau begitu, sungguh
kebetulan! Memang Thaysoe sedang mencari padamu! Nah, mari
lekas kau ikut aku pulang!"
"Aku pun justeru hendak menghadap Thaysoe kamu itu!" jawab
Tan Hong. "Hanya tak ingin aku pulang bersama kau! Aku adalah
rakyat Tionggoan, siapa kesudian bekerja untuk negeri Watzu?"
Tjitjiangho heran.
"Keluargamu dengan pihak Beng dari keluarga Tjoe adalah
musuh turunan," katanya, "sekarang kau telah mendapatkan harta
pendaman dan peta buminya, kenapa kau justeru serahkan itu
kepada musuh? Mana ada aturan itu? Sekarang begini saja: Harta
pendaman itu adalah kepunyaanmu, kami tidak inginkan itu, kau
serahkan saja peta buminya kepadaku, supaya dapat aku
persembahkan kepada Thaysoe1. Kau baik jangan bergurau lebih
lama pula..."
Tan Hong tidak gubris bujukan itu. Sambil menaruh sebelah
kakinya dikursi, ia kibarkan gambar lukisan itu. Ia bersikap
menantang.
"Siapa main-main dengan kau?" katanya. "Jikalau kau punya
nyali, nah, kau ambillah sendiri!"
Tjitjiangho ragu-ragu, tidak berani ia maju untuk merampas
gambar lukisan itu. Juga beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang
menyamar tidak berani sembarangan perlihatkan diri. Demikian juga
kawan-kawannya See To, baik yang telah berubah pikirannya,
maupun yang hendak membela mati-matian, bersangsi juga untuk
maju, yang pertama disebabkan hatinya sudah tawar, yang
belakangan karena jeri untuk keberanian Tan Hong itu.
Tjoei Hong sementara itu senderkan diri pada In Loei.
"Sejak kita berpisah, apakah kau memikirkan aku?" ia berbisik di
kuping "suaminya" itu.
"Lihat, orang banyak tengah mengawasi kita!" sahut In Loei
dengan perlahan. "Aku kuatir hari ini kita sukar lolos dari kematian,
tetapi kenapa kau masih mempunyai hati untuk berbicara demikian
terhadapku?..."
Memang pesanggrahan itu telah dikurung tiga lapis sedang Tjio
Eng cuma ada berempat. Tapi Tjoei Hong tidak pedulikan itu.
"Sudah hampir satu tahun aku berduka saja," katanya pula, tetap
dengan perlahan, "maka kalau aku tidak bicara sekarang, sampai
kapan hendak aku menunggunya? Hari ini aku tidak peduli kita akan
dapat lolos atau tidak, jikalau aku mesti mati, dengan mati bersama
kau, hatiku puas..."
Tjoei Hong dengan In Loei adalah suami isteri, tetapi itu cuma
nama saja, hal yang sebenarnya nona Tjio tidak ketahui, maka itu,
selagi mereka sudah lama berpisah, tidak heran dia sangat
memikirkan suaminya itu, dari itu setelah sekarang mereka bertemu,
mana sanggup dia menahan hatinya terlebih lama pula?
Demikianlah, di ruangan di mana terdapat banyak orang, dia
bertingkah laku seperti anak kecil...
Sedang In Loei kewalahan melayani "isterinya" itu, tiba-tiba ia
lihat lompat maju dua orang ke arah Tan Hong. Mereka bertubuh
besar dan kasar. Mereka kawan-kawan dari See To, mereka pernah
meyakinkan ilmu silat "Taylek Sinkoen," dari itu, hebat kepalan
mereka. Mereka lihat Tan Hong muda dan tubuhnya biasa, mereka
tidak memandang mata. Begitulah mereka maju, yang satu berniat
menyambar lengan orang, untuk dibikin tidak berdaya, yang lain
berniat merampas gambar lukisan.
Tan Hong lihat cara orang itu maju, ia gerakkan pedangnya.
Cuma satu sinar berkelebat, atau penyerang yang satunya itu
berkaok, terus dia rubuh pingsan, sebab sebelah tangannya kutung.
Sedang kawannya, dia rubuh terjungkal didupak si anak muda,
hingga patahlah tulang-tulangnya!
"Sungguh tidak punya malu!" teriak Tan Hong. "Kamu hendak
merebut kemenangan dengan mengandalkan jumlahmu yang
banyak? Hm!"
Mukanya See To kembali jadi merah padam, tetapi di dalam
hatinya, ia kata: "Dalam keadaan seperti ini, siapa hendak pedulikan
lagi segala aturan kaum kangouw?" Ia hendak berikan titahnya
ketika si orang bertopeng, yang tadi menolongi Ngochito, sudah
perdengarkan suaranya: "Bagus, bagus!" demikian katanya. "Hari ini
udara bagus, tepat waktunya untuk melempangkan urat-urat!
Bertempur satu sama satu, itulah paling bagus!"
Suara orang itu nyaring bagaikan suara genta, menderum di
dalam ruangan itu.
Tergerak hati See To melihat sikap dan mendengar suara orang
itu, ia lantas perhatikan tubuhnya, di dalam hati kecilnya ia berkata:
"Dengan bertempur satu lawan satu, dia pasti dapat membikin
musuh-musuhnya mati lelah..."
Dalam suasana seperti itu, Tjoei Hong buktikan kata-katanya. Ia
tetap menyender kepada In Loei, masih ia perdengarkan kata-
katanya yang halus. Adalah waktu itu, See Boe Kie, puteranya See
To, memajukan diri. Dia berlompat sambil menggerakkan kedua
tangannya, sikapnya jumawa.
"Aku undang In Siangkong untuk main-main beberapa jurus!"
demikian pemuda ini perdengarkan suaranya, langsung ia tantang
In Loei, orang yang ia paling benci. Ia menjadi sangat panas karena
menyaksikan lagaknya Nona Tjio itu, hingga tak berkuasa lagi ia
atas hawa amarahnya.
In Loei lepaskan diri dari Tjoei Hong, ia hunus pedangnya,
pedang Tjengbeng kiam.
Selama di Heksek tjhoeng, di dalam rimba pohon cemara di luar
kampung, pernah In Loei tempur See Boe Kie maka tahulah ia,
walaupun Boe Kie benar gagah, orang tidak berada di atasannya,
karenanya, ia tidak jeri sedikit pun jua. Hanya kali ini, See Boe Kie
telah kerahkan tenaganya, dia perlihatkan kekosenannya, dengan
tangan kirinya ia mengancam, dengan tangan kanannya ia
menyerang secara hebat. Itulah serangan yang luar biasa.
In Loei berkelit dengan tipu silat "Toatpauw
djiangwie,"="Membuka jubah untuk menyerahkan kedudukan." Ia
menggeser ke samping kanan, pundaknya diturunkan, sesudah
mana, baharulah ia menyabet, untuk membalas menyerang.
"Kena!" teriak Boe Kie selagi ia menyerang itu.
Hebat kesudahannya serangan itu. In Loei lompat mundur,
ia merasa heran. Boe Kie pun mundur, tetapi darah mengucur dari
kakinya, sebab celananya kena tersabet robek, kulitnya terkena
ujung pedang!
In Loei heran, karena kepandaian orang beda daripada yang
sudah-sudah. Ia tentu tidak tahu, setelah kekalahannya di Heksek
tjhoeng, Boe Kie sudah mencari seorang Biauw dari siapa ia peroleh
ilmu pukulan Imyang Toksee Tjiang, Tangan Pasir Beracun, hingga
siapa terkena telak, di dalam tempo tujuh hari, dia mesti terbinasa.
Syukur bagi In Loei, ia gesit sekali, ia keburu berkelit, kalau tidak, ia
bisa celaka. Adalah karena kegesitannya itu, ia pun dapat
mengarahkan pedangnya pada sasarannya.
See Boe Kie menjadi gusar dan kalap. Ia terluka tetapi tidak
parah, maka itu, setelah berkaok-kaok, ia lompat maju pula, untuk
mengulangi serangannya.
In Loei cerdik karena pengalamannya yang pertama itu, tidak
mau ia sembarang menikam atau menyabet, untuk melayani lawan
yang liehay itu, ia perlihatkan kelincahannya, ia berkelit, ia
berputaran di sekitar lawannya itu.
Dalam sekejap saja, Boe Kie seperti dikurung si nona, sama
sekali tak berhasil pelbagai serangan dengan tangan jahatnya itu,
jangan kata mengenai tubuh si nona, bajunya pun tidak pernah
tersentuh. Maka itu, sesudah dua puluh jurus, ia menjadi bimbang.
Insyaflah ia bahwa ia bukan lawan si "pemuda", di lain pihak, tidak
sudi ia menyerah, ia penasaran sekali. Karena itu, ia ambil
keputusan sama-sama bercelaka. Ia ingin berlaku nekat!
Segera datang serangannyaa yang liehay, yaitu "Shiapek
Hoasan," atau "Dari samping menggempur gunung Hoasan." Ia
bersedia mengorbankan sebelah lengannya, asal serangannya
berhasil, supaya In Loei terkena racun tangannya itu, supaya
saingan itu menemui ajalnya dalam tempo beberapa hari!
In Loei cerdik, ia dapat menduga maksud lawannya apabila ia
saksikan serangannya. Ia lantas bergerak dengan cepat dengan tipu
silat "Hong tiamtauw" atau "Burung Hong manggut." Dengan sebat
ia balikkan pedangnya, guna memapaki tangan musuh!
Di saat pedang dan lengan hampir beradu, dan lengan yang akan
terkutung atau tangan jahat mengenai In Loei, tiba-tiba seorang
mencelat di samping mereka, tangan kirinya menarik, tangan
kanannya menyambar, dalam saat yang berbareng itu, Boe Kie kena
ditarik, In Loei diserang pada nadinya. Orang ini luar biasa,
tubuhnya jangkung kurus bagaikan sebatang gala, ke sepuluh jari
tangannya berkuku panjang dan hitam mengkilap. Sambil
melakukan gerakan itu, dia tertawa menyeramkan, mulutnya
mengucapkan: "Babah mantu yang manis dari Tjio Tjhoengtjoe
benar-benar liehay, biarlah aku yang melayani dia beberapa jurus!"
Orang itu tidak lain daripada gurunya See Boe Kie, yaitu si orang
Biauw yang bernama Tjek Sin Tjoe. Dia adalah orang dari propinsi
Koeitjioe, dia pesiar ke Utara, maka juga orang Utara, dalam
sepuluh, sembilan tidak mengenal dia.
Segera juga In Loei mesti melayani orang Biauw ini.
Tjek Sin Tjoe betul-betul liehay, dia gagah sepuluh kali lipat
daripada See Boe Kie. Di antara berkilaunya pedang, tubuhnya
bergerak-gerak lincah sekali, kadang-kadang masih dapat ia ulur
jari-jari tangannya yang liehay untuk menyambar tubuh si nona.
Seringkah, karena gerakan tangannya, tulang-tulangnya di bahagian
buku perdengarkan suara meretek.
In Loei heran terhadap musuhnya ini, ia berlaku sangat hati-hati.
Ia mainkan pedangnya demikian rupa, hingga ia lebih banyak
membela diri daripada melakukan penyerangan. Ia menganggap,
melindungi diri adalah paling utama.
Sekian lama Tjek Sin Tjoe tidak peroleh hasil, dia menjadi tidak
sabar. Satu kali dia berseru keras, lantas kedua tangannya
menyambar-nyambar dengan cepat dan hebat, sampai sambaran
anginnya mendatangkan hawa dingin.
In Loei menjadi heran sekali. Beberapa kali ia rasakan pedangnya
tersampok miring atau terpental sedikit. Tapi yang menguatirkan
adalah ketika ia merasa hatinya bagaikan goncang, hati itu panas
seperti orang memancing hawa amarahnya. Waktu ia sadar, ia
bersikap membela diri saja, tapi selang lima puluh jurus, tak dapat
ia kuasai pula dirinya, ia sudah lantas mencoba untuk membalas
menyerang juga.
Nyatalah Tjek Sin Tjoe telah menggunakan tipu silat Imhong
Toksee Tjiang, "tangan pasir beracun" dibarengi angin yang
menyeramkan. Sambaran angin itu, yang sangat dingin, meresap ke
dalam tubuh lawan, dengan perlahan-lahan hawa dingin itu
mempengaruhi pikirannya, mengganggu urat syarafnya. Memang
maksud orang Biauw ini memancing serangan membalas supaya
selagi hati lawan panas, ia dapat merebut kemenangan. In Loei
kirimkan satu tusukan ke arah dada, cepat dan langsung.
Nampaknya Tjek Sin Tjoe akan menjadi korban, tidak nanti dia
dapat menghindarkan diri pula. Mendadak dia berseru, tubuhnya
lompat mencelat, lalu dari atas, dia ulurkan kedua tangannya, untuk
menyengkeram dengan sepuluh jarinya.
Tjoei Hong menonton sejak tadi, dia kaget melihat serangan itu,
sampai dia menjerit, hampir dia pingsan.
Hebat akibat kedua orang yang saling menyerang secara dahsyat
itu, hebat juga tertawanya para hadirin di pihak tuan rumah. Mereka
ini menyangka, selesai sudah pertempuran itu. Tetapi akhirnya,
mereka semua berdiri melengak.
In Loei dan Tjek Sin Tjoe telah memisahkan diri sejauh satu
tombak. Tidak keruan baju orang Biauw itu, karena baju itu robek di
bahagian pundak. Kekasih Tjoei Hong juga tidak kurang "rusaknya,"
dapat dikatakan lebih-lebihan. Saputangan In Loei yang dipakai
menutupi rambutnya dengan memakai jepitan emas telah terputus
menjadi dua potong, ikat rambut itu terlepas, maka terlihatlah tegas
bahagian dari rambutnya yang bagus dan panjang, hingga sekarang
terbukalah rahasianya bahwa ia bukannya satu pemuda melainkan
satu pemudi!
Jurus itu sangat berbahaya bagi kedua pihak, maka itu keduanya,
di dalam waktu yang sangat hebat itu, mencoba mengelakkan
dirinya masing-masing, tetapi mereka telah saling sambar juga,
hingga keadaannya menjadi demikian rupa. Tentu saja, orang-orang
menjadi tercengang, sedang pihak See To kemudian perdengarkan
pula tertawa mereka, sebab mereka anggap kesudahan itu lucu.
"Cis" Tjek Sin Tjoe meludah. "Sungguh apes, bolehnya aku
bertemu denganmu, siluman! Tak sudi aku bertempur dengan
seorang wanita!..."
Paras In Loei menjadi merah-padam, ia malu, jengah dan
mendongkol. Ia lantas maju pula, sambil menggerakkan pedangnya,
untuk menyerang pula.
"Adik kecil, beristirahatlah," tiba-tiba ia dengar suara Tan Hong,
perlahan dan sabar. "Nanti aku yang melayani dia!"
Selagi mengucap demikian, tubuh si anak muda sudah melesat,
menghadapi Tjek Sin Tjoe, yang terus ia serang, maka dengan
segera mereka bertempur.
Masih saja orang tertawa, semua mata diarahkan kepada In Loei,
yang menjadi sangat likat dan mendongkol.
Tidak kurang herannya adalah Tjio Eng dan gadisnya, mereka ini
mengawasi dengan melengak, bahna heran, berduka dan putus
harapan... Ayah dan gadis itu merasa tidak keruan, mereka kecele
dan masgul, terutama si nona sendiri.
Tjoei Hong tidak sangka, suami yang ia harap-harapkan itu
sebenarnya adalah satu nona...
Selagi semua pandangan diarahkan padanya, In Loei lekas-lekas
betulkan ikat kepalanya. Ia mesti kuatkan hati, untuk menahan
malu, hanya tetap ia likat.
Akhir-akhirnya, Tjoei Hong menghampiri "suaminya" itu. Ia
menjadi bersangsi.
"In Siangkong, mengapa kau gemar memelihara rambut
panjang?" ia tanya sambil berbisik. Kau... kau... kau sebenarnya pria
atau wanita?..."
Merah muka In Loei. Ia memang sudah pikir, satu waktu ia
hendak buka rahasianya terhadap Nona Tjio ini, tetapi tidak ia
sangka, di sini, dalam keadaan begini, ia mesti membuka rahasianya
itu. Maka itu, ditanya si nona, ia membungkam saja.
"Hayo katakan!" Tjoei Hong mendesak, sambil menekan iga
orang dengan kedua jarinya.
In Loei tidak menjawab, sebaliknya, ia mengawasi kepada kedua
orang yang sedang bertanding. Dengan mendadak saja, berhentilah
suara tertawa yang riuh itu, sebagai gantinya para hadirin
memandang kekalangan pertandingan di mana kedua lawan telah
sampai pada saat pertempuran yang dahsyat.
In Loei mendelong mengawasi Tan Hong, sinar matanya jelas
menandakan perhatiannya yang luar biasa. Tjoei Hong lihat sikap
orang, ia heran, lalu ia rasakan hatinya dingin. Bukankah itu sinar
matanya satu kekasih? Demikian rupa perhatiannya terhadap In Loei
sebelum ia ketahui In Loei adalah satu pemudi sebagai ia sendiri.
Maka ia menjadi sangat berduka, hancur hatinya seperti bayangan
rembulan indah di muka air yang hancur luluh ditimpa batu oleh
satu bocah nakal...
Di medan pertandingan, dengan tenang Tan Hong layani Tjek Sin
Tjoe. Ia memang mempunyai iweekang yang jauh terlebih
sempurna daripada iweekang-nya In Loei. Ketenangan ini
membuatnya orang Biauw itu tidak dapat berbuat banyak, sebab
setiap serangannya selalu dapat dipecahkan.
Lama-kelamaan Tjek Sin Tjoe menjadi tidak sabar, ia menjadi
penasaran sekali. Bukankah tadi ia berhasil mempengaruhi In Loei?
Kenapa sekarang ia gagal? Ia telah mencoba pelbagai macam
serangannya. Akhirnya, ia berseru, ia menyambar sambil lompat
mencelat, seperti tadi ia serang In Loei. Hebat nampaknya
kesepuluh jari tangannya yang hitam itu, dengan kuku-kukunya
yang tajam dan beracun.
Beda daripada In Loei, Tan Hong tidak sambuti serangan dahsyat
itu, ia hanya lompat berkelit. Habis itu, ia terus main berkelit pula.
Kadang-kadang ia gunakan pedangnya untuk memapaki serangan
yang mengancam padanya.
Tjek Sin Tjoe menghembuskan hawa dingin, ia heran bukan
main. Ia tahu ilmu silat Imhong Toksee Tjiang-nya itu diciptakan
dengan melatih diri menelad perkelahian burung-burung di atas
gunung, sejak ia turun gunung, tidak pernah ia pertontonkan itu,
pun kepada See Boe Kie ia belum mewariskan semuanya, tapi
heran, Tan Hong seperti mengerti ilmu silat itu. Anak muda ini selalu
bisa mengelakkan diri, atau dia menyambutnya secara
membahayakan jari-jari tangannya yang beracun itu.
Sebenarnya, sejak ia mendapatkan kitab peninggalan Pheng
Hoosiang, yaitu "Hiankong Yauwkoat," yang telah dibacanya dengan
seksama, Tan Hong menjadi seorang yang cerdas luar biasa,
disebabkan pengetahuannya bertambah banyak sekali. Baginya
dengan cepat ia dapat mengetahui sifat ilmu silat lain kaum bila ia
menyaksikan ilmu silat itu.
Selama menyaksikan See Boe Kie bertempur dengan In Loei, Tan
Hong sudah perhatikan ilmu silat yang luar biasa itu, habis itu, ia
tonton kepandaian Tjek Sin Tjoe. Kemudian, ia sendiri pun melayani
orang Biauw itu, sampai kira-kira seratus jurus. Semua itu sudah
cukup baginya untuk mengetahui ilmu silat orang, maka sambil
bertempur dengan tenang, tapi pun dengan tidak kurang sebat dan
waspadanya, dapat ia melayani dengan baik. Kalau akhirnya musuh
jadi penasaran, ia sendiri masih tetap sabar seperti biasa. Adalah
kemudian, sesudah lewat banyak jurus, ia membuatnya musuh
lelah, hingga Tjek Sin Tjoe, yang menginsyafi itu, menjadi bingung.
Baharu sekarang orang Biauw ini memikir untuk mengangkat kaki
saja. Caranya ia sudah tahu, ialah dengan jalan menggertak dulu
lawannya. Demikian ia beraksi untuk menyerang dengan hebat,
untuk kemudian mengangkat langkah panjang...
Tan Hong melihat tegas orang sudah tidak berdaya, sekarang
orang menyerang secara demikian hebat, ia dapat menduga maksud
orang.
"Eh, siluman, kau tinggalkanlah satu pertandaan!" katanya
dengan bentakannya selagi ia diserang, dan sambil membentak
dengan sebat luar biasa, ia papaki serangan itu!
Tanpa dapat dihindarkan lagi, lengan dan pedang telah beradu
satu dengan lain sambil perdengarkan satu suara, menyusul itu,
lengan Tjek Sin Tjoe terputus jatuh di lantai dan mengeluarkan
banyak darah!
Selagi para hadirin kaget, hingga mereka perdengarkan seruan
tertahan, Tjek Sin Tjoe sendiri lari keluar, ia nerobos di antara orang
banyak, setibanya di luar pesanggrahan, ia menoleh, akan
perdengarkan ancamannya: "Bocah yang baik, lagi sepuluh tahun,
tjouwsoe-mu akan datang pula mencari kau untuk membalas sakit
hati!"
Tan Hong tidak kejar lawan itu, dengan tenang ia seka
pedangnya yang berlumuran darah, ketika ia dengar ancaman itu, ia
lantas menjawab: "Baik, akan aku tunggui kau!"
Orang-orang merasa kagum ketika menyaksikan Tjek Sin Tjoe,
yang telah terluka demikian parah, masih dapat lari dengan pesat.
Tan Hong menyesal juga yang ia telah menahas lengan orang.
Mulanya ia tidak memikir untuk berbuat demikian, mendadak ia
panas hati mendengar orang mendamprat dengan menggunakan
kata-kata "siluman" terhadap In Loei.
Setelah itu, tidak ada lagi orang yang berani muncul untuk
bertempur satu sama satu. Mereka sudah menyaksikan kelihayan
pemuda dan pemudi itu. Hal ini membuatnya See To menjadi
masgul dan panas hati, ia masih penasaran, maka ingin ia
menyerukan pula konco-konconya untuk mengepung musuhnya.
Justeru itu, orang mendengar tertawa yang tegas disusul pujian:
"Ilmu pedang yang bagus, ilmu pedang yang bagus! Aku juga ingin
menerima pelajaran beberapa jurus darimu!"
Tan Hong segera menoleh, akan kenali si orang bertopeng,
sepasang mata siapa bersinar tajam, agaknya seperti mengandung
rahasia.
Kaget In Loei mendengar tantangan orang itu, ia kuatir, dengan
satu lawan satu, Tan Hong bukan tandingan orang tidak dikenal itu.
Orang itu sudah maju menghampiri.
"Mulailah!" ia menantang begitu lekas ia pasang kuda-kuda.
Tan Hong tidak lantas maju, ia hanya tancap pedangnya.
"Tuan tidak mencabut pedang, biar aku layani kau dengan
tangan kosong," ia kata.
In Loei kerutkan alisnya. Ia anggap Tan Hong terlalu percaya
dirinya sendiri. Tadi dengan dikerubuti berdua, si muka bertopeng
dapat bertahan lama, itu menandakan keliehayan orang, maka,
dengan menggunakan pedang, mungkin Tan Hong sebanding,
dengan tangan kosong, mesti dia kalah...
Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak. "Baiklah," katanya.
"Silakan tuan mulai lebih dahulu!"
"Tetamu tak dapat melancangi tuan rumah, maka itu, silakan
tuan yang mulai!" Tan Hong merendahkan diri.
Kembali si muka bertopeng tertawa.
"Thio Siangkong, kau selalu tidak hendak mendahului lain orang,
sifatmu benar-benar sifat guru yang kenamaan," ia berkata pula.
"Sebenarnya kita sama-sama tetamu di sini. Tapi siangkong ingin
aku yang terlebih dahulu mempertunjukkan keburukanku, baiklah,
akan aku berlaku lancang."
Mendadak saja ia tekuk tangannya ke dalam, lalu dengan
gerakan "Wankiong siagoat" atau "Menarik busur memanah
rembulan," jari tangannya terus menyambar ke dada si anak muda,
untuk menotok urat besarnya, yaitu hiankee hiat.
Liehay ilmu totok si orang bertopeng ini, akan tetapi Tan Hong
juga bukan orang sembarang, tak dapat ia ditotok dalam sekejap itu
saja, di saat jari tangan orang hampir mengenai bajunya, ia sedot
dada dan perutnya berbareng, hingga jarak jari tangan dengan
dadanya menjadi terpisah satu kaki, berbareng dengan mana,
tangan kanannya digerakkan, untuk menggantikan memapaki
serangan itu. Itulah tipu silat "Tionglioe teetjoe" atau "Di tengah
aliran air menancap tiang batu."
Liehay tangan Tan Hong ini, yang terlatih sempurna. Biasanya,
siapa kena dipapaki secara begitu, jari tangannya bisa patah.
Karena ini, berani ia mengadu tangan dengan totokan lawan.
Cerdik si orang bertopeng itu, selagi kedua tangan baharu
bentrok perlahan, dengan sebat ia tarik kembali tangannya itu,
hingga batal ia menyerang. Ia pun memuji pula, katanya: "Orang
dengan usia begini muda sudah punya tenaga latihan begini liehay,
sungguh hebat. Nah, kau sambutlah ini!"
Dengan sebat si orang bertopeng ini ubah jari-jari tangannya
yang terbuka itu menjadi satu telapak tangan yang rapat dan
dilebarkan, dengan itu ia menyerang pula.
Tan Hong terkejut. Barusan, bentrokan yang perlahan, membikin
ia merasa tangannya kesemutan, coba ia tak mempunyai Iweekang
yang sempurna, hampir ia tidak dapat pertahankan diri, dan
sekarang, ia diserang pula. Tidak mau ia berlaku sembrono, tetapi
masih hendak ia mencoba pula. Kali ini ia kerahkan tenaga dari
Taylek Kimkong Tjioe, hingga tenaga tangannya itu seumpama
"gunung rubuh yang menguruk lautan."
Bentrokan sudah lantas terjadi. Hebat bentrokan itu, keduanya
sampai mundur masing-masing tiga tindak. Tapi itulah belum terlalu
hebat. Masih ada akibat lainnya. Si orang bertopeng mundur tanpa
air mukanya berubah, sebaliknya Tan Hong, ia merasakan telapak
tangannya seperti beku. Orang luar tidak lihat suatu apa, wajah Tan
Hong tetap tak berubah, tapi pemuda ini insyaf, si muka bertopeng
itu mempunyai tenaga latihan yang melebihi daripadanya.
"Heran..." Tan Hong berpikir. Ia tahu, orang itu telah
menggunakan kepandaian "Ittjie siankang" atau "latihan sebuah
jari", dan jurus itu dinamakan "Tiat piepee" atau "Piepee besi".
Tiat piepee biasa, banyak dimengerti orang, tetapi kepunyaan si
orang bertopeng ini benar-benar jarang sekali.
Mau atau tidak, Tan Hong jadi berpikir keras, ia menduga-duga
siapa lawan ini. Dia tahu, dia mestinya seorang kenamaan, hanya
aneh, kenapa seorang kenamaan mencampurkan diri di dalam
rombongan See To, yang terang adalah satu penghianat bangsa.
Juga aneh, mendengar suaranya, dia seperti ketahui gurunya. Selagi
si anak muda berpikir, si orang bertopeng tertawa dan berkata pula:
"Sudah lama sekali aku tidak bertemu lawan yang tangguh, baharu
hari ini aku dapat menyambut murid seorang kenamaan. Sungguh
aku girang!"
Tan Hong membarengi kata-kata itu dengan serangan pula, yang
diulangi hingga tiga kali beruntun. Ketiga serangan itu sangat
berbahaya, sebab serangan itu seolah-olah mengancam. Dikatakan
bukan ancaman tapi mirip mengancam, dikatakan ancaman tapi
sebenarnya bukan...
Tan Hong lantas mainkan ilmu silat "Hongtjiam lokhoa" atau
"Angin meniup daun rontok." Dengan jurus ini, ia senantiasa berkelit
dengan sebat dan sambil berkelit ia gunakan ketika itu untuk balas
menyerang. Ia berkelit tetapi ia tidak mundur setindak juga.
Serangan pertama dari si orang berkedok dipunahkan dengan
satu jurus Thaykek Koen yang dinamakan "Djiehong djiepie" =
"Seperti membungkus, seperti menutup." Yang kedua dilawan
dengan Siauwlim Koen punya "Kwee Seng tektauw" atau "Kwee
Seng menendang bintang." Perlawanan ini adalah tangkisan tangan
dan tendangan kaki dengan berbareng, jadi merupakan pembelaan
diri berbareng perlawanan, untuk memaksa lawan menukar haluan.
Dan yang ketiga ia gunakan ilmu silat gurunya sendiri, yaitu satu
jurus dari "Pekpian Hian Kee Tjianghoat" Dengan ini, ia pukul
kembali tangan lawannya.
"Ah!..." si orang bertopeng perdengarkan kekaguman atau
keheranannya, sebab dalam segebrakkan itu, anak muda ini sudah
menggunakan jurus-jurus dari tiga kaum persilatan.
Tanpa merasa, saking cepatnya, orang sudah bertempur kira-kira
tiga puluh jurus.
Si orang bertopeng masih tetap gunakan "Tiat Piepee" yang
dipadu dengan "Ittjie siankang," ia tetap tangguh. Tan Hong
sebaliknya sudah lantas ubah haluan, yaitu tidak lagi ia andalkan
"Hiankong Yauwkoat" untuk membingungkan lawannya. Ia merasa,
kalau terus ia bersilat secara demikian, lama kelamaan ia akan
kehabisan tenaga dan bisa celaka. Ia menukar dengan ilmu silat
"Taysiemie Tjiangsie" ajaran gurunya. Dengan begitu, ia lindungi
dirinya dengan kedua tangannya.
Ilmu silat ini ringkas kalangannya, rapat penjagaannya,
teguh kedudukannya, kalau sangat didesak, keras juga
penolakannya. Agaknya si muka bertopeng kewalahan juga dengan
penyerangannya, sebab belum pernah ia dapat menembus
pembelaan diri orang itu, meskipun ia bergerak sangat cepat dan
berbahaya, angin serangannya bersiur-siur keras. Ittjie siankang-
nya pun kerap kali menotok ke jalan darah.
Masih Tan Hong tidak dapat menduga, siapa musuh ini, dia orang
apa. "Tiat Piepee"-nya mirip kepandaian Tantai Mie Ming, sama
liehaynya, tetapi dia bukan Tantai Mie Ming. Sebab Tantai Mie Ming
tidak mengerti Ittjie siankang. Mungkinkah mereka dari satu
perguruan? Kalau benar, kenapa dia pandai Ittjie Siankang?
Mungkinkah guru Mie Ming berat sebelah? Juga Mie Ming pernah
berkata, dia tidak mempunyai soeheng, kakak seperguruan lelaki,
ada juga soemoay, yaitu adik seperguruan wanita.
Mereka masih bertempur, si orang bertopeng terus mendesak,
malah kali ini, ia mendesak terlebih hebat, dengan jari tangannya,
dengan kepalan atau telapak tangannya. Sampai kira-kira lima puluh
jurus Tan Hong merasakan sangat terdesak. Inilah disebabkan ia
kalah Iweekang-nya daripada lawannya itu.
"Hati-hati!" tiba-tiba si orang bertopeng berseru ketika ia telah
melakukan serangan beberapa kali. Tapi kali ini ia menyerang
dengan berbareng, yaitu tangan kirinya membentur sikut orang,
tangan kanannya menotok.
Tan Hong jadi sangat terancam. Kalau ia singkirkan
totokan tangan kanan, ia mesti terkena benturan tangan kiri
lawannya itu, demikian sebaliknya. Tapi ia tidak menjadi gugup,
hatinya tak gentar, ia berlaku tenang, hanya untuk membela diri, ia
bertindak cepat. Dengan sekejap saja ia putar tubuhnya, sambil
berputar ia bebaskan diri, lalu ia membalas menyapu ke arah tangan
musuh!
"Ah!..." si musuh berseru tertahan, bahna kagum. Ia telah
saksikan serangannya dihalau dengan Tiat Piepee dan Ittjie
siankang dengan berbareng. Ittjie siankang tak dapat dilatih
sempurna dalam sekejap saja, mesti menggunakan waktu sedikitnya
sepuluh tahun, tetapi luar biasa, Tan Hong dapat menjiplaknya
selama mereka bertempur. Tentu saja, ia membuatnya musuh
sangat heran. Justeru itu, ia menukar lagi jurus-jurusnya dengan
Pekpian Hian Kee Tjianghoat, hingga ia mendapat ketika.
Sekejap saja si orang bertopeng melengak, akhirnya ia tertawa
besar.
"Kau sangat cerdik!" katanya. "Hampir saja aku teperdaya!"
Kata-kata ini disusul dengan totokan ke be-bokong Tan Hong,
sasarannya ialah jalan darah thiantjoe hiat.
Tan Hong berkelit. Ia dapat membela dirinya. Lawan itu
penasaran, ia ulangi serangannya hingga tiga kali. Selalu ia gunakan
tenaga besar.
Bukan main sulitnya Tan Hong melayani terus lawan ini, meski
begitu, ia masih dapat bertahan lagi kira-kira dua puluh jurus,
sampai di saat mana, ia lantas menghadapi serangan dua tangan
berbareng, hanya yang satu mengancam, yang lain bukan — itulah
tangan kiri yang menggertak, tangan kanan yang majunya ayal,
ialah yang menepak benar-benar. Tan Hong menyambut dengan
tangan kiri, atau segera ia insyaf bahwa ia telah diperdayai, kedua
tangannya kena ditolak.
Tiba-tiba saja si muka bertopeng tertawa terbahak-bahak.
"Kau tidak mendustai" demikian katanya sehabis tertawa. "Harta
pendaman Thio Soe Seng serta kitab Pheng Hoosiang telah kau
dapatkan! Maka apakah artinya untuk aku berdiam lebih lama pula
di sini?"
Habis mengucap demikian, ia mengancam pula dengan
tangannya, tetapi ia tidak menyerang terus, hanya melompat
mundur, lalu lari keluar pesanggrahan, untuk menyingkirkan diri!
Aneh kelakuan orang rahasia ini. Datangnya tiba-tiba, perginya
pun tiba-tiba. Dia mirip seekor naga yang nampak kepalanya, tetapi
ekornya tidak. Semua orang heran dan tercengang. Lebih heran
pula Tan Hong, sebab ia merasa pasti, bila ia membuat perlawanan
terus menerus, mesti orang itu menang. Kenapa dia berhenti
dengan tiba-tiba?
Sebenarnya si orang bertopeng datang bersama Ngochito. Sejak
bermula, ia sudah tidak sudi perlihatkan wajahnya. Sekalipun See To
dan puteranya, tidak tahu ia siapa, hanya karena ia pernah
perlihatkan ilmu silatnya, ia dihargai, ia dibiarkan membawa dirinya
sendiri.
Seberlalunya si orang bertopeng, yang mana membuat See To
kaget dan berkuatir, karena ia tahu kedudukannya menjadi lemah,
maka itu, tidak ayal lagi, ia titahkan kawan-kawannya maju
menyerbu, guna mengepung Tan Hong berdua.
Ngochito, karena ingin mencari balas, sudah maju paling depan.
Tan Hong tertawa berkakakan.
"Adik kecil, mari!" ia mengajak In Loei.
Nona In telah bersiap, malah ia telah beristirahat cukup lama,
maka tanpa ayal lagi, ia maju kepada Tan Hong, untuk berdiri
berendeng.
Ngochito sambar pedang panjang dari salah satu orangnya See
To, dengan itu ia serang musuhnya, tetapi baharu dua jurus, dan
sebelum kawan-kawannya sempat membantui padanya, pedangnya
sudah terpapas kutung! Tentu saja ia menjadi kaget berbareng
mendongkol.
Tjitjiangho, sebawahannya Ngochito, majukan dirinya, tetapi ia
tidak lantas menyerang, ia hanya menegur.
"Thio Tan Hong," demikian katanya, "kau telah berulangkah
menerima budi besar dari negara kita, kenapa sekarang kau begini
gelap pikiran?"
Tan Hong tidak mau melayani bicara, ia justeru serang pahlawan
Yasian itu. Mau atau tidak, Tjitjiangho menangkis, tetapi baharu
satu gebrak, goloknya sudah terbabat kutung, hingga dia menjadi
kaget sekali.
"Thio Tan Hong! Kau... kau..." ia berseru, lalu tertahan, sebab
pedang In Loei menyambar ke arahnya. Karena ia berada di
bawahan Ngochito, kepandaiannya pun kalah, tanpa berdaya, ia
tertikam si nona, hingga jiwanya lantas melayang.
Ngochito kaget, dia lompat, berbareng dengan mana, dia dengar
teriakan hebat di belakangnya. Itulah Tjio Eng, yang telah lantas
turun tangan. Tjio Eng ini ternama, tenaganya pun besar, bisa
dimengerti hebatnya serangan yang dibarengi seruannya itu.
Dalam keadaan bingung dan pusing, Ngochito tidak berdaya lagi,
tidak sempat dia berkelit atau menyingkir, kepalan Tjio Eng telah
sampai pada bebokongnya, maka di antara suara "Duk!" yang keras
sekali, dia rubuh. Sekalipun lapis emasnya untuk melindungi
tubuhnya telah pecah karenanya. Maka ia lantas memuntahkan
darah hidup. Masih syukur baginya, ia memakai lapisan itu, hingga
ia cuma jatuh pingsan, kalau tidak, jiwanya mesti melayang dengan
segera.
Beberapa pahlawan pengiring sudah lantas menubruk Ngochito,
untuk diangkat dan dibawa lari. Pahlawan-pahlawan itu tidak berani
mengadakan perlawanan terlebih jauh.
Waktu itu kawan-kawannya See To yang sejak tadi bersangsi dan
yang telah berubah pikirannya serta orang-orang yang datang
memenuhi undangannya, sudah lantas angkat kaki. Tidak mau
mereka memberikan bantuannya. Sebaliknya, mereka yang bersatu
padu pikirannya, yang hendak membela mati-matian, apabila
mereka saksikan Tan Hong dan In Loei demikian kosen, mereka itu
jadi kecil nyalinya.
Sambil tertawa berkakakan, Tan Hong serang mereka yang
berani merintangi ia dan In Loei, cuma karena jumlah orangnya See
To itu besar, tidak dapat mereka lantas dipukul mundur.
Tjio Eng lihat mereka terkurung, ia berseru: "Tangkap penjahat,
tangkap rajanya! Hai, bangsat tua she See, hendak aku membuat
perhitungan dengan kau!"
Benar-benar, habis berseru, jago tua ini lompat kepada orang she
See itu.
See To tidak maju untuk melayani orang yang hendak membikin
perhitungan dengannya, dia hanya berseru keras, menyusul mana,
dia putar tubuhnya untuk lari meninggalkan ruangan berkumpul itu.
Seruan itu rupanya dimengerti kawan-kawannya, serta merta
mereka ini juga membalik tubuh, untuk lari juga.
Tan Hong berempat menjadi heran. Kenapa musuh
meninggalkan Tjiegie thia secara serentak itu? Tapi mereka tak usah
berpikir lama, atau mendadak terdengar satu suara nyaring sekali,
lalu di depan mereka, turunlah pintu besi rahasia, yang memutuskan
hubungan mereka di kedua pihak.
Baharu sekarang mereka mengerti, mereka jadi terkejut.
Sekarang sukar untuk mereka dapat keluar, meski umpama kata
mereka kuat mengangkat pintu rahasia itu, sebab dibalik pintu
rahasia itu See To berada dengan orang-orangnya yang
bersenjatakan panah, bandring dan barisan arit. Begitu mereka
angkat pintu besi, tentu mereka akan diserbu, di hujani anak panah,
batu dan babatan arit itu...
Tjio Eng menghela napas.
"Biarlah kita terkurung di sini!..." katanya, masgul.
Dari luar terdengar suara See To: "Serahkan gambar lukisan itu
padaku, nanti aku hentikan pengurungan ini, malah mengingat
kepada persaudaraan kita dahulu kala, suka aku mengijinkan kamu
berlalu dari sini!" In Loei tertawa mendengar orang menginginkan
gambar itu.
"Toako," kata dia pada Tan Hong, "mereka masih tidak percaya
bahwa kau telah mendapatkan harta dan peta bumi itu! Apakah
tidak baik gambar itu diserahkan saja pada mereka? Mereka toh
tidak akan dapat menggunakan itu!"
"Aku justeru tidak hendak menyerahkannya!" sahut Tan Hong.
"Benar, jangan serahkan!" kata Tjio Eng. "Gambar itu adalah
warisan dari mendiang Sri Baginda, mana boleh warisan itu
diserahkan pada mereka?"
In Loei tertawa.
"Aku pun cuma main-main!" katanya. "Walaupun terkurung
hingga terbinasa, tidak seharusnya kita minta ampun hingga
karenanya kita mesti merendahkan derajat kita!"
"Adik kecil," kata Tan Hong kepada kawannya itu, "aku biasanya
tertawakan kelemahan hatimu, siapa tahu kau sebenarnya
mempunyai semangat laki-laki."
Tan Hong bergurau, akan tetapi In Loei meludah.
"Foei! Apakah kau anggap hanya kamu bangsa pria yang bersifat
laki-laki?" katanya.
Tjio Eng dan gadisnya terkejut mendengar pembicaraan kedua
anak muda itu, terutama kata-kata In Loei. Tjoei Hong dekati In
Loei, untuk mencekal tangannya, untuk ditarik.
"In Siangkong, apakah benar-benar kau satu nona?" ia tegaskan.
Merah muka Nona In, ia tunduk.
"Benar, entjie, aku adalah satu wanita..." sahutnya perlahan.
Wajah Tjoei Hong menjadi pucat-pasi. "Oh, oh, kau!..." katanya,
lalu suaranya tertahan. Setelah peroleh kepastian, habis
sudah harapannya. Ia tidak dapat berbuat lain, akhirnya ia
menangis.
In Loei jengah sendirinya, ia pun tak enak hati.
"Entjie, karena terpaksa, aku mendustai kau," ia berkata pula.
"Aku harap kau jangan gusar. Entjie, aku punya satu saudara
angkat..."
Nona Tjio angkat kepalanya, mukanya merah, matanya
mencorong.
"Siapa pedulikan saudara angkatmu itu!" katanya keras. "Ah,
dasar kau tidak ketahui hatiku..."
Ia tahu anak muda dihadapannya adalah satu pemudi, akan
tetapi dari lagu suaranya, masih Tjoei Hong pandang orang sebagai
satu pemuda.
Tan Hong sebaliknya, tertawa melihat kelakuan kedua pemudi
itu.
Tjio Eng, yang telah lanjut usianya, dapat mengendalikan
hatinya. Ia tarik Tan Hong ke samping, untuk menanyakan
keterangan mengenai In Loei. Dan Tan Hong tuturkan jelas perihal
Nona In itu.
"Ketika itu kau sangat bernapsu mencari babah mantu," Tan
Hong tambahkan sambil tertawa, "dan In Loei, di samping usianya
masih muda, pun telah terdesak, demikian maka terjadilah hal
Jenaka ini. Kamu cuma terkelabui untuk satu tahun, tidak apa,
kejadian itu tidak sampai mentelantarkan usia puterimu
Looenghiong, bukankah kau telah melihat puteranya Kimtoo Tjioe
Kian? Bukankah ia, di kalangan kaum muda, gagah dan tampan?"
Tjio Eng ingat San Bin, ia penuju pada anak muda itu. Tapi ia
jawab: "Urusan jodoh anakku, tak dapat aku mengurusnya lagi...
San Bin itu, apabila dia dipadu dengan In Siangkong, dia tak dapat
ditimpali, akan tetapi dia, memang cukup baik."
Oleh karena sudah kebiasaan, seperti puterinya, jago tua ini
masih sebut In Loei sebagai In Siangkong. Mendengar sebutan
ini, Tan Hong tertawa.
Tiba-tiba, Hongthianloei berkata: "Siauwtjoe, aku kehilangan satu
babah mantu tetapi hendak aku beri selamat padamu! Kionghie."
"Untuk apakah pemberian selamat ini?" tanya Tan Hong sambil
menghela napas. Ia ingat sesuatu ketika mendengar ucapan jago
tua itu.
Tjio Eng mengawasi.
"Kamu adalah pasangan yang sangat setimpal!" ia kata. "Anakku
itu tidak sepadan direndengkan dengan In Siangkong1. Dan
walaupun anakku tidak setuju, akan aku desak supaya dia
menyerahkan In Siangkong kepadamu! Bilamana kamu hendak
mengundang aku minum arak? Haha-haha, sungguh suatu jodoh
yang manis sekali!"
"Looenghiong, masih terlalu pagi untuk membicarakan urusan
ini," kata Tan Hong. "Masih ada yang kau belum ketahui..."
Tjio Eng heran, ia mengawasi.
"Apakah itu?" tanyanya.
"Satu soal sulit, looenghiong," jawab si anak muda, yang terus
menuturkan permusuhan antara kedua keluarga In dan Thio.
Tjio Eng heran, ia pun menjadi bingung.
Sementara itu, Tjoei Hong dan In Loei masih saja pasang omong.
Nona Tjio adalah yang paling banyak bicara, ia kecewa tetapi masih
ia berat memikirkan In Loei. Dan In Loei, yang merasa dirinya
bersalah, terpaksa harus melayani nona yang ia perdayakan itu. Ia
berkasihan terhadap nona ini.
"Entjie yang baik," katanya kemudian, "seumurku, tidak akan aku
menikah, maka itu, akan aku temani kau!"
Tjio Eng bersenyum.
"Adakah itu benar?" dia tanya.
"Kenapa tidak?" sahut In Loei, dengan sifat kekanak-kanakan. Ia
pun tertawa. "Cuma, entjie yang baik, aku mempunyai satu saudara
lelaki, kau sebaliknya tidak. Bagiku, tidak apa aku tidak
menikah, tetapi kau, apabila kau tidak menikah, siapa akan
melanjutkan Keluarga Tjio kamu?"
"Cis" nona Tjio meludah. Ia tidak sangka bahwa ia akan digodai.
Ia lantas menoleh kepada Tan Hong, lalu tiba-tiba ia kata: "In
Siangkong, aku tahu apa yang kau katakan tidak keluar dari hatimu
yang tulus! Di hati lain, di mulut lain! Memang aku tolol tetapi telah
aku lihat siapa yang berada di dalam hatimu!..."
In Loei merasa tertusuk, ia menghela napas.
"Seumurku, tidak akan aku menikah," katanya, dengan lesu.
"Jikalau kau tidak percaya, entjie, nanti aku sumpah dihadapanmu!"
Tjoei Hong bekap mulut orang. "Tidak keruan-keruan, untuk
apa angkat sumpah?" katanya. "Aku telah dapatkan kau
sebagai adikku, aku puas."
"Bagus, bagus!" puji Tjio Eng apabila ia dengar pembicaraan
orang itu. Ia sebenarnya sedang berduka tetapi untuk sesaat, dapat
ia lupakan kedukaannya itu. "Kamu telah mengaku menjadi entjie
dan adik, maka, In Siangkong, mengapa kau tidak hendak memberi
hormat kepada ayah pungutmu?"
In Loei tertawa, ia bertindak menghampiri orang tua itu, ia
memberi hormat sambil paykoei.
Tjio Eng mengangkat nona itu bangun.
"Baiklah, In Siangkong, aku terima hormatmu ini!" ia kata.
"Haha-haha!" tertawa Tan Hong. "Masih saja memanggil In
Siangkong1."
Mendengar ini, semua orang tertawa. Sampai di situ, baharu
mereka ingat pula bahwa mereka masih berada di dalam kurungan.
Waktu itu sudah mendekati magrib, di luar Tjiegie thia, masih
terdengar suara berisik. Di dalam ruang itu tidak ada makanan.
Maka syukur, Tan Hong dan In Loei mempunyai bekal rangsum
kering, bersama-sama, berempat, mereka tangsel perut mereka
sekedarnya.
"Sang hari akan lekas berlalu, bagaimana besok?" tanya In Loei.
Ia pecahkan kesunyian sehabisnya mereka dahar.
"Besok adalah urusan besok, untuk apa kau pikirkan?" kata Tan
Hong sambil tertawa riang.
"Benar!" kata Tjio Eng.
Maka itu, mereka dapat bercakap-cakap dengan gembira.
Selagi ke empat orang ini tidak kesepian, See To di luar sibuk
memikirkan mereka. Mereka mesti tungkuli kesabaran diri, sebab di
antaranya tidak ada yang berani menyerbu, semua masing-masing
jeri untuk kegagahannya pasangan anak muda itu...
Malam itu dilewatkan dengan Tan Hong dan Tjio Eng bergantian
berjaga-jaga. In Loei berdua Tjoei Hong tidur bersama di atas
sebuah bangku panjang, mereka ini masih bercakap-cakap selama
mereka belum pulas, masing-masing menuturkan isi hati mereka.
Dalam tempo yang pendek itu, keduanya lantas erat sekali
perhubungannya, bagaikan saudara-saudara kandung saja.
"Ketika itu kita berpisah di Tjengliong Kiap," kata In Loei,
"ayahmu memaksa kau lekas pulang, untuk apakah itu?"
"Tidak lain untuk urusan gambar lukisan," jawab Tjoei Hong.
"Ayah dengar kabar, pihak Watzu hendak mengirim orang untuk
merampas gambar itu. Entah bagaimana duduknya hal, maka
bangsa itu ketahui gambar berada di rumah kami. Karena itu ayah
menginginkan aku lekas pulang, untuk kami serumah tangga
menyingkir ke Im Ma Tjoan, di pesanggrahan Na Tjeetjoe. Kami
kembali pulang sehabisnya perang. Yang kami tidak sangka adalah
bangsat tua she See itu yang berkongkol dengan musuh, tanpa
mempedulikan persaudaraan, dia tidak hendak melepaskan kami!"
In Loei tertawa.
"Dan mereka tidak ketahui, sejak siang-siang gambar itu sudah
berada di tangan toakoku." ia kata.
Berduka Tjoei Hong mendengar demikian erat rasanya In Loei
menyebutkan kata-kata "toako" itu untuk Tan Hong.
"Kau sudah punya toako, kau lupakan entjie-mu!" ia kata.
Tapi In Loei lantas menghela napas. Biar bagaimana, ia adalah
satu nona, maka tidak dapat ia membuka rahasia hatinya, tak peduli
terhadap kakak sendiri...
Heran Tjoei Hong menyaksikan roman entjie ini, cuma tidak mau
ia menanyakan. Ia hanya bicarakan urusan lain, sampai tiba saatnya
mereka mengantuk dan tidur.
Berapa lama ia sudah pulas, Tjoei Hong dan In
Loei tidak tahu, mereka hanya tersadar tatkala mereka dengar
suara sangat berisik di luar Tjiegie thia.
"Adik kecil, lekas bangun!" Tan Hong memanggil.
"Lihat! Baharu kau percakapkan Tjo Tjoh, ia sudah muncul! Coba
dengar, apakah itu bukan kakak angkatmu yang datang?"
In Loei buka matanya, ia dapatkan matahari sudah naik tinggi.
Masih mereka terkurung pintu rahasia, tetapi di kedua tepi tembok
terdapat liang kecil sebesar batang anak panah, dari situ mereka
bisa mengintai keluar. Dan di luar tampak nyata bendera berkibar-
kibar, di antaranya ada dua helai bendera yang besar luar biasa
hingga menyolok mata. Itulah bendera yang berlukiskan matahari
merah dan si Puteri Malam, itulah Djitgoat Siangkie, bendera Kimtoo
Tjeetjoe!
Pertempuran telah terjadi di luar, itulah yang menerbitkan suara
sangat berisik.
"Tjioe San Bin datang pada saatnya yang tepat!" kata Tan Hong.
Kata-kata ini mengandung dua maksud, maka In Loei menjebikan
bibirnya dan tertawa,
Dengan lewatnya sang waktu, suara pertempuran terdengar
semakin reda, akan di lain saat, pintu rahasia mulai terangkat naik,
hingga sinar terang lantas menembus masuk, lalu tampak San Bin
bertindak masuk ke dalam Tjiegie thia.
Rahasia In Loei telah terbuka, tetapi karena terlanjur, ia masih
dandan sebagai wanita, ketika San Bin tampak nona ini, ia heran. Ia
menegur Tan Hong dan Tjio Eng tetapi kepada si Nona In ia cuma
melirik saja.
In Loei tidak menjadi likat, sebaliknya, ia berlaku twapan.
"Apa yang kau minta padaku, telah aku selesaikan!" katanya
kepada anak muda itu.
Setelah salin pakaian, dan waktu ia tertawa, hingga nampak
sujennya, In Loei menjadi sangat manis, ia bagaikan bunga baharu
mekar. Di mata San Bin ia menjadi luar biasa elok, hingga pemuda
itu tergiur bukan main. Tapi di sana ia tampak Tan Hong dengan
wajahnya seolah-olah tertawa, lalu hatinya itu menjadi dingin.
Pemuda ini sangat menyintai In Loei, akan tetapi setelah ketahui
Tan Hong pun menyintai nona itu, ia dapat kendalikan dirinya,
kemudian Tantai Mie Ming secara diam-diam membantui ia
menangkan peperangan dan Mie Ming pun jelaskan bagaimana
kesengsaraan hati Tan Hong untuk membela negara, ia ambil
ketetapan untuk mengalah, untuk mengundurkan diri dari medan
cinta itu. Inilah sebabnya, dalam tempo yang pendek sekali, dapat
ia kuasai hatinya.
"Tjioe Hiantit, cara bagaimana kau ketahui kita terkurung di sini?"
tanya Tjio Eng sambil tertawa kepada penolongnya itu.
Pertanyaan ini tepat, maka semua pandangan diarahkan kepada
anak muda itu.
"Selama penyerbuan tentera Watzu, terpaksa kita berkeliaran ke
empat penjuru negara," jawab San Bin, "begitu lekas perang sudah
selesai, kami sudah lantas menggabungkan diri pula, dan niat kami
adalah kembali ke tempat asal. Kemarin kami mendirikan kubu-kubu
di dekat sini, tadi malam kami nampak kejadian yang luar biasa..."
"Apakah itu?" tanya Hongthianloei.
"Ada seorang yang memakai topeng menyusup masuk ke dalam
kubu-kubu kami," sahut pula San Bin. "Dia melempar golok yang
tertusukkan sehelai surat. Dalam surat itu ditulis terang halnya
looenghiong beramai tengah dikurung di sini karena terjebak oleh
See To. Liehay si orang bertopeng itu, ketika kami pergoki dia,
dalam sekejap saja ia sudah menghilang pula."
"Seorang bertopeng?" kata Tan Hong, yang hatinya bercekat.
Timbullah kecurigaannya.
"Benar, dia seorang bertopeng," San Bin pastikan. "Kami tidak
kenal dia, dia aneh, akan tetapi ayahku bilang, daripada tidak
mempercayai, lebih baik kita percaya padanya, bahwa tak dapat
tidak kami harus pergi menolongi setelah kami ketahui looenghiong
terjebak dalam kurungan. Demikian ayah menitahkan siauwtit
datang bersama barisanku."
Tan Hong terus memikirkan si orang bertopeng itu, demikian
juga In Loei.
"Selama penyerbuan bangsa Watzu itu," San Bin meneruskan
keterangannya, "beberapa kali ayah mengirim orangnya pergi ke
rumah Tjio Loopee, kami dapat keterangan loopee tengah
mengungsi dan belum pulang, karenanya, sampai sebegitu jauh,
kami tidak dengar suatu apa tentang loopee."
"Terima kasih untuk perhatian ayahmu itu," Tjio Eng mengucap.
"Lain hari akan aku berkunjung kepadanya."
Sementara itu orang tua ini telah melihat tegas anak muda itu,
yang romannya gagah dan tampan, sekalipun dia tak dapat
dibanding dengan Tan Hong atau In Loei.
Di dalam pesanggrahan See To itu mereka bersantap pagi.
Sehabisnya bersantap, Tan Hong dan In Loei lantas pamitan, karena
perlu mereka lekas-lekas melanjutkan perjalanan mereka, hingga
tak dapat mereka ditahan lagi.
Tjio Eng dan gadisnya juga tidak mau berdiam lama di
pesanggrahan musuh, hendak mereka berangkat pulang, maka itu,
San Bin antar mereka bersama-sama sampai di kaki gunung.
Tan Hong dan In Loei dengan bergantian telah perdengarkan
suitan mereka, atas mana muncullah binatang tunggangan mereka,
yaitu Tjiauwya saytjoe ma serta kuda pilihan dari istana kaisar.
Selagi melihat In Loei lompat naik ke atas kudanya, tiba-tiba San
Bin ingat suatu apa.
"Nona In, tunggu dulu!" ia segara memanggil.
Dari atas kudanya, In Loei berpaling.
"Ada apa, Tjioe Toako?" tanyanya.
"Tadi kau katakan bahwa kau telah bicara jelas dengan Nona
Tjio, karena itu, tak usah aku omong banyak lagi," sahut San Bin.
"Nah, terimalah kembali barangmu ini!"
Dari sakunya San Bin keluarkan batu permata sanhu.
-ooo00dwooo-

Bab XXIII
Itulah batu permata yang Tjioe Kian haturkan kepada In Loei dan
In Loei menyerahkannya lebih jauh kepada Tjoei Hong, selaku tanda
mata, kemudian In Loei serahkan pada Tjioe San Bin dengan
permintaan supaya San Bin nanti mengatakan pada Tjio Eng, untuk
menjelaskan duduknya hal, agar pernikahannya dengan Tjoei Hong
dapat dibatalkan.
Tjoei Hong lihat batu permata itu, yang membawa peranan,
mukanya menjadi merah, ia likat sendirinya.
San Bin majukan kudanya, hendak ia serahkan batu itu kepada In
Loei, tetapi Si Nona In tertawa sambil berkata: "Permata itu asalnya
kepunyaan keluargamu sendiri, untuk apakah hendak dikembalikan
kepadaku?"
Lantas ia tepok kudanya, untuk dilarikan berendeng bersama Tan
Hong! Keras larinya kuda mereka, dalam sekejap saja mereka sudah
lenyap, hingga tinggallah San Bin yang mengawasinya sambil
menjublak...
Benar-benar cepat Tan Hong dan In Loei kaburkan kuda mereka,
pada hari kedua mereka telah lintasi kota Ganboenkwan, di tempat
perbatasan kedua bangsa Ouw dan Han.
Di tempat pengembalaan orang Mongolia, adalah umum yang
kaum wanitanya menunggang kuda, oleh karena itu, In Loei tidak
perlu salin pakaian lagi, ia tetap dandan sebagai satu nona.
Puas hati Tan Hong menyaksikan si nona duduk di atas kudanya
di tanah datar berumput hijau. Ia tertawa sendirinya.
"Jikalau aku berada terus bersama kau," katanya, gembira,
"meskipun seumur hidupku aku mesti tinggal merantau, sudi aku,
puas hatiku!"
In Loei singkap rambutnya, ia menoleh sambil melirik.
"Hai, engko tolol mengucapkan kata-kata tolol!" katanya tertawa.
Berdebar hati Tan Hong, hampir tak dapat ia kuasai dirinya.
Habis perang, kota Ganboenkwan dan sekitarnya jadi tidak
keruan macam. Waktu itu pun tentera kerajaan Beng, yang mesti
menempati kota itu, masih belum tiba, yang ada hanya beberapa
serdadu saja.
Melihat keadaan kota, Tan Hong berdiam, pikirannya bekerja. Ia
menyayangi kota itu. Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar In Loei
menarik napas.
"Adik kecil, kau kenapa?" ia tanya.
"Aku teringat kepada keadaan waktu aku masih kecil, ketika itu
aku ikut kakek pulang," sahut si nona, "Ah, tanpa merasa, sepuluh
tahun sudah lewat... Ya, di sini aku ingat benar. Waktu itu adalah
tanggal lima belas bulan sepuluh. Di sini kakekku menyerahkan
surat wasiatnya, yaitu kulit kambing yang berdarah..."
Mendapat kenang-kenangan ini, wajah si nona menjadi guram. Ia
berdiam. Tan Hong juga berdiam.
"Begitulah hidupnya manusia!" kata si pemuda kemudian.
"Berapa lama manusia dapat hidup? Baiklah kau jangan mengingat-
ingat pula hal yang tak menyenangkan itu..."
Keduanya menjalankan kuda mereka dengan perlahan-lahan.
"Hidup manusia, benar-benar aneh," kata In Loei kemudian.
"Kenapa aneh?" tanya Tan Hong sambil mengawasi.
In Loei pandang pemuda itu, sinar matanya berarti. Agaknya
hendak ia bicara, tetapi selalu urung.
"Manusia memang mengalami banyak perubahan di luar
dugaannya," kata Tan Hong. "Lihat saja aku sebagai contoh.
Tadinya aku pikir, selama hidupku ini tidak nanti aku keluar pula
dari Ganboenkwan, siapa sangka, hari ini aku toh berada di sini!
Maka itu, apa yang kau katakan aneh, bukan aneh. Adalah hal, yang
dilihatnya tak mungkin terjadi, pada suatu waktu terjadi dengan
tiba-tiba..."
Kata-kata pemuda ini mengandung arti.
In Loei berdiam. Pada otaknya berkelebat surat wasiat kakeknya,
dan wajah bengis dari kakaknya. Tapi ketika ia angkat kepalanya, ia
tampak roman tampan dan menarik dari Tan Hong yang
tersungging senyuman, dalam sekejap saja, hilanglah mega gelap
bagaikan tersapu angin...
Tan Hong jalankan kudanya terus berdampingan dengan kuda si
nona, tapi di saat ia hendak menghibur si nona, mendadak
kuda Tjiauwya saytjoe ma meringkik keras dan panjang lalu
lompat lari dengan tiba-tiba, seolah-olah tak memperhatikan lagi
majikannya!
Tan Hong heran bukan main. Inilah belum pernah terjadi pada
kudanya itu. Ia sudah hendak tarik keras tali lesnya ketika
mendadak ia ingat sesuatu.
"Dia kabur dan menjadi binal begini, mesti ada sebabnya," ia
berpikir. "Coba aku lihat ke mana dia hendak lari..."
Maka ia kendorkan lesnya, ia biarkan kuda itu kabur seenaknya.
Tjiauwya Saytjoe ma lari dengan tidak mengikuti jalan besar, ia
mengambil jalan kecil di sepanjang tepi bukit, dia lompat di setiap
tempat yang tinggi atau rendah, dia pun tak henti-hentinya
perdengarkan suaranya.
In Loei heran seperti Tan Hong, ia larikan kudanya untuk
menyusul. Kudanya kalah tangkas, ia tertinggal kira-kira setengah
lie.
Sesudah kuda jempolan itu lari serintasan, dari sebelah depan
terdengar suara kuda lainnya, hingga kedua binatang itu jadi seperti
saling sahut.
Tan Hong memandang jauh ke depan, untuk herannya, ia
melihat dua orang tengah bertanding. Di samping mereka itu,
terlihat seekor kuda putih tengah berlari-lari, kuda itu mirip betul
dengan Tjiauwya saytjoe ma.
Tan Hong awasi hingga ia dapat lihat kedua orang yang sedang
asyik bertempur itu. Ia menjadi terperanjat dan heran. Ia kenali,
satu di antaranya adalah Djiesoepee Tiauw Im Hweeshio, sedang
lawan paman guru yang kedua itu adalah seorang berumur empat
puluh lebih, tubuhnya agak gemuk, gerakan-gerakannya gesit luar
biasa.
Keras suara angin dari tongkat panjang bagaikan toya dari Tiauw
Im Hweeshio. Itulah tongkat Hangmo thung, Penakluk Iblis, yang
dimainkan menurut ilmu silat toya Hangmo thung. Lawannya
menggunakan bergantian jari-jari tangannya yang terbuka dan
tertutup, menyabet atau menusuk, dia menyerang setiap kali dia
menyampok tongkat atau sehabisnya berkelit. Nyata lawan itu tak
kurang liehaynya.
Tan Hong heran apabila ia mengawasi pula sekian lama. Ia dapat
perasaan, ilmu silat orang berusia pertengahan itu mirip dengan
ilmu silat si orang bertopeng, yang pandai ilmu silat Tiat piepee dan
Ittjie siankang!
Di bawah tanjakan, di dekat tempat pertempuran, ada satu
wanita yang sambil tertawa menonton pertempuran itu. Dia
berumur kira-kira tiga puluh lebih, mukanya bundar bagaikan
rembulan tanggal lima belas. Dia mirip dengan satu nyonya muda,
sedangkan sebenarnya dia adalah satu nona.
Tiauw Im gagah, dia juga bersenjatakan tongkat, akan tetapi
lama-kelamaan, dia dibikin kewalahan oleh lawannya yang berkelahi
dengan mengandalkan kedua tangannya yang tak bersenjata itu,
hingga kesudahannya si orang beribadat jadi sangat mendongkol
dan gusar. Demikian satu kali, menuruti hawa amarahnya, ia
menyerang hebat dengan tipu pukulan "Tokpek
Hoasan"="Menggempur gunung Hoasan." Itulah salah satu
kemplangan yang berbahaya dan hebat.
Pesat sekali gerakan si lawan, serangannya demikian dahsyat,
tapi ia dapat menghindarkannya dengan jalan berkelit. Tiauw Im
terlalu sengit, ia gunakan seluruh tenaganya, ketika serangan itu
tidak mengenai sasarannya, ia tidak dapat kendalikan lagi senjata
itu, maka sang tongkat dengan hebat menghajar batu di tanah
hingga hancur, dan hancurannya terbang berhamburan.
"Hahaha!" si lawan tertawa bergelak, habis mana, ia
membalas menyerang, tangannya, atau lebih tepat jari-jari
tangannya, tidak hentinya menyambar-nyambar kepada Tiauw
Im Hweeshio, yang mengarah iganya.
Dalam keadaan sangat terancam itu, Tiauw Im Hweeshio dapat
membela dirinya sendiri. Ia letakkan tongkatnya di tanah,
berbareng dengan itu, tubuhnya mencelat naik, untuk terus
jumpalitan, akan menyingkir jauh.
Melihat orang mundur secara hebat itu, si wanita tertawa
berkakakan.
"Begitu saja kepandaian murid Hian Kee Itsoe!" demikian
ejeknya. "Haha-haha! Sungguh satu nama kosong belaka!"
Tan Hong lantas datang dekat, ia menyaksikan segala apa
dengan tegas. Hampir ia lompat maju, untuk menolongi paman
gurunya, tapi tiba-tiba ia ingat suatu apa, hingga alisnya dikerutkan.
"Lelaki ini terang adalah si orang bertopeng tetapi aneh sekali
perbuatannya," demikian ia berpikir.
"Dia bersama orang-orangnya Yasian berada di dalam
pesanggrahan See To, dia juga kemudian memanggil Tjioe San Bin
untuk menolongi kita. Kenapa sekarang dia menyulitkan
djiesoepee?"
Ia lantas menoleh, ia tampak In Loei tengah mendatangi dengan
cepat. Ketika itu jarak antara mereka berdua ada kira-kira setengah
lie. Ketika ia berpaling kepada kudanya, ia dapatkan Tjiauwya
saytjoe ma tengah saling menjilat dengan kuda Tiauw Im Hweeshio,
ialah kuda putih yang tadi terlihat dari jauh. Kuda putih itu adalah
binatang tunggangan Thio Tjong Tjioe. Ketika dahulu Tiauw Im
pergi ke Watzu di mana ia menyatroni rumah Tjong Tjioe, selagi ia
terancam bahaya, Tjia Thian Hoa telah menolongi secara diam-
diam, dan kuda itu diberikan padanya, untuk dipakai angkat kaki.
Kuda itu dengan kuda Tan Hong adalah biang dan anak, itulah
sebabnya ketika kuda Tan Hong dengar suaranya, tak dapat
dikendalikan lagi majikannya, Tjiauwya saytjoe ma kabur untuk
menemui biangnya.
Dengan cepat In Loei tiba di medan pertempuran, ia terkejut
ketika ia kenali si pendeta.
"Itulah Tiauw Im Soepee\" ia berseru. Dan terus ia memanggil:
"Soepee\"
Tiauw Im sedang didesak lawannya, mendengar panggilan itu, ia
tak sempat menoleh akan melihat orang yang memanggil padanya,
sebaliknya, lawannya, dia ketahui datangnya sepasang pemuda
pemudi itu, dia berpaling ke arah mereka, lalu dia tertawa. Dia
pun lantas berkata: "Benar-benar selama manusia masih hidup,
tidak ada tempat di mana mereka tidak bertemu! Kembali aku
menjumpai kamu di sini! Adakah ini hweeshio ampas
soepee-mul"
Tiauw Im gusar dikatakan manusia tidak berharga, ia mengamuk
dengan tongkatnya, tetapi lawannya terlalu tangguh untuknya,
amarahnya hebat, tenaga kepandaiannya kurang, tetap ia tidak
dapat berbuat suatu apa terhadap lawan itu, di pihak lain,
pundaknya terbentur musuh hingga ia terhuyung-huyung, hampir ia
rubuh terjungkal!
Hian Kee Itsoe mempunyai empat murid, di antara mereka itu,
Tjia Thian Hoa yang paling liehay. Guru In Loei yaitu Hoeithian
Lionglie Yap Eng Eng sudah melatih diri sambil menghadapi tembok
selama dua puluh tahun, karenanya dia peroleh kemajuan besar
hingga ilmu silatnya kemudian tak berada di bawahan Thian Hoa.
Murid kepalanya adalah Kimkong Tjioe Tang Gak, dalam ilmu dalam
dia tak dapat melampaui Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng akan
tetapi dalam bahagian luar, Gwakang, dia telah mencapai puncak
kesempurnaannya, hingga ilmu silat Kimkong tjioe-nya tak ada
tandingannya. Yang paling rendah kepandaiannya adalah Tiauw Im
Hweeshio, ini disebabkan karena tabeatnya, hingga tak dapat ia
menyusul lain-lain saudara seperguruannya, baik dalam ilmu dalam
maupun ilmu luar, dari itu, gurunya mewariskan dia ilmu tongkat
Hangmo thunghoat serta ilmu luar secukupnya, meskipun demikian,
di kalangan kangouw, dia sudah sukar menemui tandingan.
Hanya kali ini, menghadapi lawan yang tangguh itu, ia
kewalahan, ia senantiasa terdesak.
Tan Hong lihat paman guru itu sudah tak berdaya.
"Djiesoepee, beristirahatlah dulu!" seru keponakan murid itu.
"Nanti keponakanmu yang menggantikan kau!" Lalu ia menghunus
pedangnya. Sambil maju mendekati, dia kata kepada lawan paman
gurunya itu: "Tjianpwee, aku mohon sukalah kau memberi
pengajaran pada kami! Kami adalah murid-murid turunan ketiga dari
Hian Kee Itsoe. Kami adalah anak-anak muda, dengan memohon
pengajaran tjianpwee, tidak berani kami bertempur satu dengan
satu, dari itu kami mohon tjianpwee memaafkan sikap kami yang
tidak tahu aturan ini! Kami akan maju bersama!" Ia kibaskan
pedangnya, sambil menoleh pada In Loei, ia kata: "Adik kecil, mari
kau pun maju, untuk mohon pengajaran satu dua jurus dari
tjianpwee1."
Dengan sikapnya yang menghormat, Tan Hong memanggil orang
"tjianpwee," — yang tertua.
In Loei terima ajakan sahabatnya itu, tanpa mengucap sepatah
kata ia maju sambil menghunus pedangnya, maka di lain saat,
kedua pedang telah bergabung menjadi satu — siangkiam happek
— hingga kedua sinar perak lantas berkilau bagaikan saling sambar
ke arah lawan yang tangguh dari Tiauw Im itu.
Orang itu menggerakkan kedua tangannya, kepada Tan Hong ia
gunakan tangannya terbuka, terhadap In Loei ia pakai jari
tangannya. Jadi untuk melayani kedua lawan muda ini, ia gunakan
Tiat piepee dan Ittjie siankang.
Siangkiam happek lihay, gerak-geriknya bagaikan gelombang
besar dari sungai Tiangkang, seperti ombak dari lautan besar, rapat
desakannya, yang mana dibantu banyak dengan kegagahan Tan
Hong. Selama bertempur di rumah Pit To Hoan, Tan Hong dapat
merendengi Tiauw Im, sang paman guru, sekarang setelah
meyakinkan Hiankong Yauwkoat, ia peroleh kemajuan luar biasa, ia
telah lombai Tiauw Im. Dan sekarang ini, dengan siangkiam happek,
bersama In Loei, baharu sepuluh jurus, ia sudah dapat mendesak
lawannya hingga lawan itu cuma dapat membela diri, tidak dapat
membalas menyerang.
Meski ia sudah terdesak, orang itu tidak menjadi jeri.
"Siangkiam happek benar-benar liehay!" dia berkata. "Eh,
soemoay, mari! Kau pun boleh coba-coba berkenalan!"
Kata-kata ini ditujukan kepada si wanita, siapa sudah lantas
menyahuti "Ya!" Entah bagaimana gerakannya, tahu-tahu dia sudah
sampai di kalangan pertandingan, dan begitu lekas dia gerakkan
kedua tangannya, yang menerbitkan suara, dia telah keluarkan dua
macam senjata — tangan kirinya menyekal satu kimkauw, gaetan
emas, tangan kanannya memegang sebatang pedang panjang yang
mengeluarkan sinar ke perak-perakan. Dengan dua macam senjata
ini, dengan gaetan ia menyambar dan menarik, dengan pedangnya,
ia menikam.
Tan Hong dan In Loei merasakan siuran angin dari kedua macam
gegaman itu, maka dibantu dengan totokan si pria, mau atau tidak,
mereka mesti mundur hingga tiga tindak. Tapi mereka cuma
mundur sebentar, setelah itu, mereka maju pula, Tan Hong di kiri,
In Loei di kanan, kedua pedangnya bergabung pula, hingga kedua
lawannya mesti mundur di luar kalangan sinar pedang mereka.
Si wanita liehay, ia mundur, lalu ia maju pula, dengan dua
macam senjatanya itu, dia membalas mendesak. Kembali dia
dibantu kawannya, soeheng-nya, si kakak seperguruan,
sebagaimana dia dipanggil soemoay, adik seperguruan wanita. Dan
si soeheng tetap menggunakan Tiat piepee dan Ittjie sian secara
bergantian, setiap serangannya sangat membahayakan.
Tan Hong menangkis hingga dua kali beruntun, dengan
"Hoeiliong tjaythian" atau "Naga terbang di langit," dalam hal mana,
ia ditimpali In Loei dengan "Tjianliong djiptee" atau "Naga sembunyi
dalam tanah." Secara begini, dapat mereka berdua melayani pedang
dan gaetan dan kedua tangannya lawan itu yang liehay.
"Bagus!" memuji si wanita, yang telah menggerakkan kedua
bibirnya yang merah.
Tan Hong gunakan ketikanya ini untuk menanya: "Aku ingin
bertanya, djiewie dengan Tantai Mie Ming pernah apa?"
Sekarang si anak muda telah melihat tegas, Tiat piepee si pria
mirip betul dengan kepandaian Tantai Mie Ming, dan si wanita, ilmu
silat gaetannya mirip dengan gaetan Gouwkauw kiam dari Tamtay
Toanio, bedanya ialah Tamtay Toanio menggunakan sepasang
gaetan (siangkauw) dan wanita itu punya gaetan ditimpali dengan
pedang, karenanya, gerak-gerik kedua senjata itu jadi terlebih luar
biasa.
Ditanya begitu, si wanita tercengang sesaat, lantas dia tertawa.
"Kami cuma ingin belajar kenal dengan ilmu silat istimewa dari
Hian Kee Itsoe!" sahutnya. "Siapa mempunyai kesempatan untuk
mendengarkan pertanyaanmu?"
Dan jawaban itu disusul dengan serangannya pula, dengan
pedang dan gaetannya.
Tan Hong melengak karena ia ketemu batunya, ia menjadi agak
mendongkol.
"Baik, akan aku perkenalkan kamu dengan ilmu silat kakek
guruku!" katanya dalam hatinya, saking mendongkolnya. Terus saja
ia menyerang dengan hebat, dalam hal mana dengan serta merta ia
ditelad In Loei, gerakan siapa selalu diturut. Maka sekarang kedua
pedang bergerak bagaikan "sepasang naga bermain di air" atau
sinar pedangnya bagaikan "bianglala menyambar-nyambar". Maka
lagi sekali, wanita dan pria itu terkurung sinar pedang mereka.
Kedua musuh itu liehay luar biasa, di luar mereka tampak
terkurung, mereka seperti tak berdaya, tetapi di dalam, mereka
perlihatkan kepandaian mereka, masih dapat mereka membalas.
Pertempuran berlangsung dengan cepat, jurus demi jurus, tanpa
merasa, mereka sudah melalui tujuh puluh jurus. Bagi Tan Hong,
pertempuran berlarut itu tidak banyak artinya, tidak demikian
dengan In Loei, yang tenaga dalamnya kalah banyak, maka sehabis
itu, ia rasakan dadanya sesak, hampir ia tak dapat bernapas. Ketika
Tan Hong lihat keadaan kawannya ini, ia menghembuskan napas
dingin.
"Betul-betul di luar langit masih ada langit lainnya," pikir dia
dalam hatinya, "di samping manusia masih ada manusia lainnya...
Aku pikir, siangkiam happek kami tidak ada bandingannya di kolong
langit ini, siapa tahu pasangan pria dan wanita ini dapat menangkan
kami di atas angin...
Sebenarnya di sini orang tidak dapat bicara mengenai hal
kepandaian, tetapi dalam hal latihan. In Loei kalah latihan dalam,
itulah sebabnya sekarang ia kalah ulat.
In Loei kuatkan hatinya, ia pertahankan dirinya, dengan begitu
mereka bertempur sampai lima puluh jurus, masih saja mereka
sama tangguhnya.
Pada saat yang tegang itu, tiba-tiba kedua pihak dengar tindakan
kaki kuda yang mendatangi ke arah mereka, mulanya, jauh lalu
makin dekat, akhirnya tibalah si penunggang kuda, yang menyoren
sebatang pedang. Dia nampaknya tenang sekali. Ketika dia melihat
sebentar kepada mereka yang sedang bertempur seru, sekonyong-
konyong dia tertawa sendirinya: "Kamu lihat!" dia berseru.
"Sekalipun muridku kamu tidak sanggup mengalahkannya! Maka
bagaimana kamu hendak melindungi mukanya si Siluman Tua
Siangkoan?" Tan Hong sudah lantas kenali orang itu. "Soehoe ia
memanggil.
Memang orang yang baharu datang ini Tjia Thian Hoa adanya.
"Tiauw Im Soeheng, kau beristirahatlah terus!" berkata Thian
Hoa kepada kakak seperguruannya. "Kau tunggu saja, hendak aku
belajar kenal dengan ilmu silat dari murid-murid Siangkoan Laokoay
— Eh, Kimkauw Siantjoe, lebih dahulu ingin aku mohon pengajaran
darimu! Dan kau, Ouw Laodjie, kau boleh bertempur lamaan sedikit
dengan muridku...
Sekarang jelaslah siapa adanya pasangan pria dan wanita itu,
yaitu murid-muridnya Siangkoan Thian Va si Laokoay atau "Siluman
Tua", si orang she Ouw itu adalah Ouw Bong Hoe, dialah murid
kedua dari Siangkoan Thian Va. Dan si wanita, yang dipanggil
Kimkauw Siantjoe, Dewi Gaetan Emas, adalah Lim Sian In, murid
yang ketiga.
Antara Siangkoan Thian Ya dan Hian Kee Itsoe pernah terjadi
perebutan untuk menjadi jago dunia Rimba Persilatan, untuk itu
mereka sudah bertempur selama tiga hari tiga malam tanpa ada
yang menang dan kalah. Siangkoan Thian Ya mempunyai beberapa
macam ilmu silat yang istimewa, di antaranya Ittjie siankang,
singkatnya Ittjie sian, ilmu menggunakan jeriji tangan, untuk
menotok. Tapi ilmu kepandaiannya aneh. Ilmu Ittjie sian itu
bersama satu ilmu lainnya mesti diyakinkan berbareng oleh seorang
pria dan seorang wanita yang masih suci kehormatannya, tapi kalau
ilmu itu sudah dapat diyakinkan sempurna dan kedua murid itu
menikah, ilmu itu berkurang sendiri kefaedahannya. Maka juga,
sebelumnya Thian Ya menerima murid, dia tegaskan muridnya,
apakah mereka di kemudian hari akan menikah atau tidak, siapa
yang bersedia tidak menikah, dia akan diajari ilmu Ittjie sian itu.
Murid kepalanya adalah Tantai Mie Ming. Mie Ming ini telah pergi ke
negara lain — Watzu — dia tidak menghendaki turunannya terputus,
karenanya dia tidak dapat mempelajari Ittjie sian itu. Karena ini, Mie
Ming cuma mendapatkan ilmu silat gaetan dan lainnya dari bahagian
luar (Gwakang), Ilmu Ittjie sian, tidak diyakinkan. Tidak demikian
dengan Ouw Bong Hoe, murid yang kedua.
Ouw Bong Hoe sangat ingin mempunyai kepandaian tinggi, dia
sangat kemaruk, begitu dia masuk menjadi murid Siangkoan Thian
Ya, lantas dia menyatakan dan bersumpah bahwa seumurnya dia
tidak akan menikah. Dengan demikian, dia telah diajari ilmu Ittjie
sian itu.
Lim Sian In, ialah Kimkauw Siantjoe, si Dewi Gaetan Emas, murid
yang ketiga, cantik luar biasa, setiap hari dia bergaul dengan Ouw
Bong Hoe, sama-sama mereka belajar silat, lama kelamaan mereka
berdua jatuh cinta satu pada lain. Tapi Sian In adalah seorang
wanita, dia terlebih tenang, dia tidak menonjolkan rasa cintanya itu,
tidak demikian dengan Ouw Bong Hoe. Dia ini segera minta
soemoay itu, Sian In, suka menikah dengannya. Hal itu sudah lantas
tertampak di mata guru mereka.
Adalah cita-cita yang terkandung lama dari Siangkoan Thian Ya
untuk mengajarkan beberapa murid yang liehay, supaya ia dapat
mengulangi pertandingannya dengan Hian Kee Itsoe. Ia masih
penasaran, ingin ia peroleh kemenangan. Ia pun hendak menepati
janji, untuk nanti bertanding pula. Dalam hal janji itu, ia tak sudi
tidak menetapkannya, ia sungkan menghilangkan kepercayaan.
Maka itu, ketika ia ketahui kelakuan Ouw Bong Hoe berdua Lim Sian
In, ia menjadi gusar sekali, menuruti hawa amarahnya, ia usir
muridnya itu. Inilah sebabnya kenapa Tantai Mie Ming cuma
menyebut bahwa ia cuma mempunyai satu soemoay, tidak pernah
ia menyebut-nyebut Ouw Bong Hoe.
Setelah diusir dari rumah perguruan, Ouw Bong Hoe menyesal
tanpa berdaya. Ia tetap masih menyintai rumah perguruannya itu.
Di samping kedukaannya, ia penasaran. Di dalam hatinya ia berpikir
keras: Apa mungkin di dalam dunia ini tidak ada kepandaian yang
dapat diyakinkan bersama di antara sepasang suami isteri? Kata
gurunya, Ittjie sian akan berkurang bila orang menikah. Inilah ia
sangsikan. Alasan gurunya ialah bila menikah, orang telah
kehilangan keperjakaannya. Mustahilkah tidak ada jalan, atau ilmu,
untuk memegang kekal keperjakaan itu? Karena penasaran ini, ia
lantas merantau, ia mencoba mencari ilmu untuk membuktikan tak
benarnya pendirian gurunya itu. Sudah belasan tahun ia merantau,
masih ia belum peroleh ilmu yang dicari itu, tapi masih ia terus
mencari.
Pernah Ouw Bong Hoe dengar Tantai Mie Ming berbicara perihal
Thio Soe Seng dan Pheng Hoosiang, bahwa Pheng Hoosiang itu
mempunyai kitab "Hiankong Yauwkoat." Ia tertarik pada kitab itu,
walaupun ia belum tahu apa isinya. Ia menaruh kepercayaan besar
atas kitab itu mengingat lihaynya Pheng Hoosiang. Maka ia mencoba
mencari kitab itu. Baharu pada bulan yang sudah ia pulang ke
Mongolia, dengan kebetulan bertemu Ngochito, pahlawan Yasian.
Ngochito memberitahukan bahwa ia telah mendapat keterangan, di
mana harta Thio Soe Seng serta kitabnya telah disimpan,
disembunyikan, di Souwtjioe, bahwa untuk mendapatkan itu, lebih
dahulu mesti didapatkan petunjuknya yaitu sebuah gambar lukisan
yang berada pada Tjio Eng. Ngochito tahu, itu adalah soetee dari
Tantai Mie Ming, dia lantas minta bantuannya. Ia suka memberikan
bantuannya, sebab ia mengharap nanti memperoleh kitab Pheng
Hoosiang. Lantas ia turut Ngochito ke pesanggrahannya See To.
Kebetulan sekali, di sini ia bertemu Thio Tan Hong dan mendapat
keterangan "Hiankong Yauwkoat" sudah didapatkan si orang she
Thio. Ia adalah dari tingkatan terlebih tua, iapun menganggap
dirinya sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, tidak
sudi ia meminta kitab dari Tan Hong. Maka ia sudah lantas
mengundurkan diri.
Ouw Bong Hoe ini tidak mempunyai kesan baik terhadap bangsa
asing, lebih-lebih karena niatnya adalah mencari kepandaian yang
terlebih tinggi, ia tidak perhatikan urusan peperangan antara hangsa
Watzu dan Kerajaan Beng, meski begitu, karena ia tahu duduknya
hal, tidak suka ia melihat Tan Hong beramai terbinasa ditangan
Ngochito dan See To, ia tidak ingin kitab Pheng Hoosiang nanti
terjatuh ke dalam tangan pahlawan Mongolia, dari itu seberlalunya
dari sarangnya See To, terus ia pergi ke tempatnya Kimtoo Tjioe
Kian, untuk memberikan kisikannya dengan menimpukan surat
budek yang ditusukkan pada golok.
Tentang Lim Sian In, si adik seperguruan, walaupun di lahir ia
tidak memberikan sesuatu petunjuk, di dalam hatinya, ia tak dapat
melupakan Ouw Bong Hoe, sang kekasih. Setelah sepuluh tahun
lebih mengikuti gurunya, dia telah peroleh kepandaian tinggi, oleh
gurunya ia disuruh turun gunung, untuk berdiri sendiri. Ia lantas
ambil tempat di sebuah gunung di luar Ganboenkwan. Di sini ia
terus melatih dirinya, untuk itu ia tidak menerima murid. Baharulah
beberapa hari yang lalu, Ouw Bong Hoe datang padanya, hingga
soeheng dan soemoay itu bertemu pula.
Banyak yang mereka bicarakan, tetapi keduanya berduka, sebab
jodoh mereka telah terhalang. Sampai waktu itu, mereka masih
tidak berani bicara mengenai hal jodoh mereka. Kemudian Ouw
Bong Hoe bercerita mengenai kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe
akan keluar dari Ganboenkwan.
"Selama beberapa puluh tahun soehoe bercita-cita untuk dapat
menangkan Hian Kee Itsoe," berkata Lim Sian In, "hanya selama
beberapa puluh tahun itu, entah kepandaian istimewa macam apa
lagi yang telah diciptakan Hian Kee Itsoe itu. Soehoe pun
mengharap-harap yang murid-muridnya nanti dapat menangkan
juga murid-muridnya Hian Kee Itsoe itu, guna mengangkat
pamornya. Sekarang ada kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe,
mari kita pergi keluar Ganboenkwan, untuk menemui mereka, untuk
kita mencoba mengadu kepandaian. Syukur jikalau kita dapat
menangkan mereka, tapi andaikata kita tidak berhasil, sedikitnya
kita sudah ketahui tentang kepandaian mereka itu. Dengan
demikian, kita jadi berbuat jasa untuk soehoe. Siapa tahu, karena
jasamu ini, mungkin soehoe kasihan dan akan sudi menerima pula
kau dalam rumah perguruan..."
Ouw Bong Hoe tertarik mendengar pikiran adik seperguruan ini.
"Baiklah, mari kita pergi, untuk mencoba-coba," ia nyatakan
persetujuannya.
Demikianlah keduanya turun gunung. Mereka lantas pergi ke
jalan di mana orang akan lewat, untuk mencegat. Ouw Bong Hoe
berniat mencegat kedua cucu murid dari Hian Kee Itsoe, tetapi
kebetulan sekali, ia bertemu Tiauw Im Hweeshio, sekalian saja ia
cegat hweeshio ini, yang ditantang berkelahi.
Begitulah terjadi sebagaimana kita telah ketahui.
Sebenarnya tidak puas Tiauw Im atas sikap Thian Hoa, akan
tetapi ia tidak bilang suatu apa.
Sejak tadi ia memang sudah berdiam saja menantikan
pertempurannya Tan Hong dan In Loei, dan kepandaian Tan Hong,
sang keponakan murid, membuatnya ia kagum. Ia tidak sangka,
keponakan murid itu demikian gagah, sanggup melayani orang yang
ia sendiri tidak bisa melawannya.
"Apakah kau Tjia Thian Hoa?" tanya Lim Sian In kepada
penantangnya.
"Tidak salah, akulah Tjia Thian Hoa yang rendah," jawab Thian
Hoa.
"Telah aku dengar," Lim Sian In berkata pula, "di antara murid-
murid Hian Kee Itsoe, Tjia Thian Hoa-lah yang terpandai, hari ini
kau datang kemari, inilah kebetulan. Aku juga ingin menyaksikan
kepandaianmu!"
Terus ia menyerang dengan tangan kirinya, dengan gaetannya.
Thian Hoa sambuti gaetan itu, sambil memutar tangannya, ia
tarik kembali pedangnya.
Kimkauw Siantjoe terperanjat. Ia kena ditarik, hampir saja
gaetannya terlepas. Ia terutama kaget karena gaetannya adalah
untuk menaklukkan golok dan pedang, siapa tahu, sekarang
gaetannya kena "ditaklukkan" pedang lawan!
Thian Hoa lantas bertindak terus, selagi si nona melengak, ia
gerakkan lagi pedangnya, menarik terus. Inilah jurus yang liehay
dari gurunya.
Kimkauw Siantjoe tidak menjublak lama, untuk menolong
gaetannya, supaya terlepas, pedangnya di tangan kanan
membarengi bekerja, menikam dengan tikaman "Gioklie tjoantjiam"
atau "Bidadari menusuk jarum," ke arah jalan darah hiankee hiat-
nya. Inilah tipu "Wie Goei kioe Tio" atau "Mengurung negeri Goei
untuk menolong negeri Tio," supaya Thian Hoa segera menarik
kembali pedangnya.
"Mana aku sudi membiarkan diriku ditikam..." kata Thian Hoa
dalam hati kecilnya. Ia lantas berkelit, pedangnya sendiri masih
terus dipakai menempel gaetan lawan itu.
Sian In juga menggunakan tipu, yaitu selagi orang berkelit, ia
putar gaetannya begitu rupa sambil terus menarik, maka untuk
girangnya, gaetan itu dapat diloloskan, sedang pedangnya, yang
dipakai menikam, diubah untuk diteruskan dipakai membabat. Inilah
gerakan "Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di pasir datar."
"Bagus!" memuji Thian Hoa atas kecerdikannya itu. "Kimkauw
Siantjoe, pujian untukmu bukannya pujian kosong belaka!"
Sambil berseru demikian, ia tangkis pedang orang berikut
gaetannya, yang sudah dibarengi dipakai menyerang juga. Tapi ia
tidak cuma menangkis, setelah itu ia merangsak, ia membabat dan
menikam silih ganti, untuk mendesak. Dengan jalan ini ia berhasil
membuat si nona cuma bisa membela diri sambil mundur, hingga si
nona pun, dengan diam-diam, memuji keliehayan lawan ini. Ia harus
mengakui, Thian Hoa berada di atasan soeheng-nya.
Selagi Thian Hoa tempur Lim Sian In, Tan Hong sudah bertarung
pula dengan Ouw Bong Hoe. Kali ini Tan Hong lawan musuh itu satu
sama satu, ia tidak mengerubuti pula bersama In Loei. Sebenarnya
ia bukan tandingan orang she Ouw itu akan tetapi sekarang ia
menang di atas angin. Inilah karena Bong Hoe sudah lelah, setelah
melayani Tiauw Im Hweeshio dan dikepung sepasang pemuda-
pemudi yang liehay ilmu pedangnya. Begitulah selama tiga puluh
jurus, ia tidak dapat menang di atas angin.
Sambil berkelahi, kerap kali Thian Hoa lirik muridnya. Ia menjadi
sangat girang melihat muridnya peroleh kemajuan sangat pesat,
malah serangannya luar biasa, hingga ia menjadi heran. Akhirnya ia
tertawa berkakakan.
"Ouw Bong Hoe!" ia berkesempatan meneriaki muridnya
Siangkoan Thian Va itu. "Bagaimana? Sampai muridku saja kau
tidak sanggup melawan?..."
Ouw Bong Hoe sangat mendongkol, karena mana tiga kali ia
membalas menyerang secara dahsyat, secara berani ia mendesak,
jari-jari tangannya yang liehay bekerja. Ia selalu mencari jalan
darah Tan Hong.
Anak muda itu cerdik, selagi didesak, ia perkecil kalangan
pembelaannya, ia membuat dirinya seperti terkurung pedangnya,
hingga biarpun dia sangat kosen, tidak dapat Ouw Bong Hoe
memecahkan kurungan itu, hingga sia-sia saja penyerangan
membalas itu.
Sang waktu berjalan cepat, kedua pihak telah berkelahi sampai
kira-kira delapan puluh jurus. Di pihak Thian Hoa, dia dapat
membuat Lim Sian In main mundur. Adalah dipihak Ouw Bong Hoe,
Tan Hong yang main mundur, tetapi dia tetap kuat dengan
pembelaan dirinya.
Kembali Thian Hoa tertawakan orang she Ouw itu.
"Bagaimana, Ouw Laodjie?" serunya mengejek. "Sudah hampir
seratus jurus! Apa masih tetap kau tidak sanggup mengalahkan
muridku?"
Ouw Bong Hoe menjadi malu sendirinya, karena tak dapat
merubuhkan satu lawan dari tingkatan lebih muda. Ia pun menjadi
berkuatir karena menampak Lim Sian In didesak musuh yang
mulutnya jail itu. Maka ia pikir baiklah jangan dilanjutkan
pertandingan itu.
"Tjia Thian Hoa," ia lantas menyahuti, "muridmu ini memang
tidak kecewa! Hanya aku lihat, kepandaianmu juga tak lebih tinggi
daripadanya! Kau tahu, aku biasa menyayangi anak-anak muda
yang kepandaiannya sempurna, dan itu suka aku membiarkan dia
dapat bernapas. Sudah, Thian Hoa, hari ini baiklah pertandingan
jangan dilanjutkan. Lain hari saja hendak aku mohon pengajaran
dari kau sendiri..."
Untuk membuktikan kata-katanya itu. Ouw Bong Hoe lompat
mundur, untuk keluar dari kalangan. Perbuatannya ditelad Lim Sian
In, habis mana, bersama-sama mereka lantas menyingkir ke arah
barat utara.
Tjia Thian Hoa biarkan orang angkat kaki.
"Eh, Tan Hong, dari mana kau peroleh kepandaianmu?" guru ini
tanya muridnya. Ia bicara sambil tertawa. "Lagi dua tahun maka aku
tidak berani menjadi gurumu pula!" Lalu ia teruskan kepada Tiauw
Im Hweeshio, soeheng-nya itu: "Hari ini kita menang di atas angin,
tetapi ilmu silat mereka benar-benar jarang nampak di dalam Rimba
Persilatan. Muridnya demikian liehay, maka dapatlah dimengerti
entah bagaimana liehaynya Siangkoan Laokoay sendiri! Guru kita
tidak sudi bertempur dengan Siluman Tua itu, maka aku kuatir, aku
berdua soemoay-mu pun mungkin rubuh di tangannya..."
Tan Hong hendak tuturkan gurunya bahwa ia telah mendapatkan
kitab Pheng Hoosiang, akan tetapi sebelum ia sempat bicara, ia
heran menampak muka Tiauw Im Hweeshio menjadi suram dengan
mendadak.
"Hm, kau masih ingat soehoe?" katanya, suaranya dalam.
Thian Hoa heran.
"Soeheng, apa katamu?" dia tanya. "Aku tadinya menyangka hari
ini kau tidak akan datang..." kata soeheng itu. Ia tidak
gubris pertanyaan orang.
"Apakah soeheng sesalkan aku datang terlambat?" tanya soetee
itu.
Masih Tiauw Im tidak sahuti adik seperguruan itu, ia hanya
menoleh kepada In Loei, keponakan muridnya itu.
"Eh, In Loei, kebetulan sekali kau datang kemari!" katanya. "Kau
tahu hari ini tanggal berapa?"
Si nona tercengang. Ia berada di dalam perjalanan, ia sampai
lupa tanggal. Ia ingat sudah dua malam rembulan bercahaya
terang, maka ia menduga, kalau bukan tanggal lima belas tentu
tanggal enam belas. Belum sampai ia menyahut, Tan Hong telah
mendahuluinya.
"Hari ini tahun Tjengtong Capgwee Caplak!" kata keponakan
murid yang lelaki.
Sekonyong-konyong saja In Loei ingat hari ini, Capgwee Caplak,
tanggal enam belas bulan sepuluh, adalah hari dari tahun yang ke
sepuluh meninggalnya kakeknya yang sangat menderita itu. Ia
sudah seperti melupakan hari peringatan itu, atau sekarang hari itu
nampak sangat nyata, maka tidak terasa lagi, air matanya turun
bercucuran...
Baharu sekarang Tiauw Im menoleh kepada adik
seperguruannya.
"Tjia Thian Hoa," ia berkata, "pada sepuluh tahun yang lampau
itu, apakah yang kita bicarakan di sini?"
Tanpa bersangsi, Tjia Thian Hoa menjawab: "Hari itu kita berdua
berjanji saling menepuk tangan! Kita berjanji, yang satu merawat si
anak piatu, yang satu lagi menuntut balas. Kau berjanji untuk
membawa cucu perempuan dari In Tjeng kepada soemoay, untuk
dirawat sampai menjadi manusia, dan aku berjanji akan pergi ke
Watzu untuk membunuh Thio Tjong Tjioe!"
Tiauw Im angkat kepalanya dengan jumawa, ia tertawa dingin.
"Jadi kau masih ingat janji kita dengan terang sekali!" katanya
pula. "In Loei, mari sini!"
Nona In menghampiri dua tindak.
"Kau lihat!" berkata pendeta itu kepada adik seperguruannya.
"Inilah bocah cilik yang dahulu dan sekarang telah menjadi begini
besar dan kenamaan sebagai ahli pedang! Dengan begini selesailah
tugasku! Kau? Bagaimana dengan kau? Kau bawa atau tidak kepala
Thio Tjong Tjioe?"
"Tidak!" sahut Thian Hoa dengan tenang.
"Hm!" si pendeta perdengarkan ejekannya. "Nyatalah kau
kemaruk kekayaan dan kemuliaan, tanpa tahu malu kau telah
bekerja untuk musuh!"
Membarengi kata-katanya itu, Tiauw Im serang soetee-nya
dengan tongkatnya. Hebat serangan itu, tongkat sampai
perdengarkan angin menderu.
Thian Hoa berkelit, ia lolos dari serangan tongkat itu.
"Sabar!" ia berkata. "Mana soemoay? Datangkah dia kemari?"
Tapi Tiauw Im menjadi bertambah gusar, meluap hawa
amarahnya.
"Kau berani mengandalkan kepandaianmu untuk menghina
soeheng-mu?tt dia berteriak. "Aku tidak membutuhkan bantuan
soemoay1. Aku hendak menghajar kau dengan tiga ratus tongkatku
ini! Jikalau benar kau berani melawan yang lebih tua, hunuslah
pedangmu, bunuhlah aku!"
"Bukan, bukan maksudnya," jawab Thian Hoa, sang soetee. "Aku
duga kau dan soemoay datang bersama. Kenapa dia tidak
kelihatan?"
Memang Tiauw Im telah menjanjikan soemoay-nya, adik
seperguruannya, Yap Eng Eng, guru In Loei, untuk pergi ke
Ganboenkwan, guna mencari
Tjia Thian Hoa, oleh karena kudanya lebih kuat larinya, ia sampai
terlebih dahulu daripada soemoay itu. Tapi ia menjadi heran,
mengapa sang soemoay masih belum tiba, sedang seharusnya dia
sudah mesti sampai. Maka itu ditanya Thian Hoa, ia melengak.
"Mari kita tunggu tibanya soemoay, baharu kita bicara pula!" kata
Thian Hoa. "Nanti dapat kita bicara jelas."
Kembali bangkit hawa amarahnya si pendeta. "Ha, kiranya di
matamu sudah tidak ada soeheng-mu ini!" dia berteriak. Dia
sangka, karena soetee itu mendesak menantikan Vap Eng Eng, dia
jadi tidak dipandang. Dan sambil membentak, dia menyerang pula.
Menuruti tabeatnya itu, Tiauw Im menyerang terus menerus
sampai tujuh atau delapan kali, hingga Thian Hoa hanya
menyeringai, berduka dan malu. Dengan terpaksa soetee ini
gunakan kepandaiannya, untuk menghalau diri, dengan berkelit
atau menangkis, akan achirnya, menahan turunnya tongkat.
"Tan Hong, kebetulan kau datang di sini!" katanya pada
muridnya. "Coba kau bicara dengan djiesoepee-mu ini!"
"Urusan Tan Hong telah aku mengetahuinya lebih dari
separuhnya" Tiauw Im mendahului keponakan muridnya. "Dia
memang tak kecewa menjadi satu laki-laki sejati! Akan tetapi ayah
adalah ayah, anak adalah anak, di mana naga beranak sembilan
macam, ayah, anak dan saudara-saudara pun berbeda satu
sama lain! Thio Tjong Tjioe sudah menakluk kepada bangsa Watzu,
dia menjadi menteri muda, dialah penghianat dan dorna yang telah
bekerja sama dengan musuh! Perbuatannya itu tidak ada sangkut
pautnya dengan Tan Hong! Aku cuma hendak menegurmu karena
kesalahanmu, yang sudah melanggar janji dan sumpah kita!"
Merocos bagaikan petasan demikian kata-kata si pendeta, yang
mengumbar isi perutnya yang panas. Dan belum habis ia bersuara,
tongkatnya sudah menyerang pula!
Memang Hokmo thunghoat, sekali dipakai menyerang, mesti
saling susul tak hentinya, umpama gelombang menyusun
gelombang, maka juga Tiauw Im ini, agaknya, kecuali tongkatnya
dirampas, tidak akan mau berhenti.
Thian Hoa terus menerus berkelit, ia masih saja tertawa
meringis.
Tan Hong pun bingung, tak tahu ia mesti mengucapkan apa.
Selagi Tjia Thian Hoa berada dalam kesulitan, tiba-tiba terdengar
suatu suara luar biasa, yang seperti mengaung lewat di udara.
Suara itu mirip dengan terompet orang Ouw akan tetapi terlebih
keras.
Mendengar suara itu, muka In Loei menjadi pucat.
"Toako, mari turut aku!" ia segera berkata kepada Tan Hong.
"Ada apakah?" tanya si anak muda.
Selagi anak muda ini menanya In Loei, Tjia Thian Hoa telah
menyampok tongkat Tiauw Im Hweeshio, setelah mana ia enjot
tubuhnya, untuk lompat mencelat, bagaikan burung
menembusi rimba, demikian ia tiba di samping kudanya Tiauw im.
Kuda putih itu nampaknya kaget, dia angkat kepalanya, dia
merangsang dengan kedua kaki depannya, tetapi Thian Hoa, tanpa
pedulikan itu, sudah lompat naik ke bebokongnya, sedang
pundaknya, yang dicekal, lantas ditepuk perlahan-lahan. Segera
kuda itu lari, sambil meringkik tak hentinya, seperti orang yang tidak
suka tunduk kepada penunggangnya yang asing ini.
Tiauw Im menjadi sangat gusar.
"Kau berani bawa kabur, kudaku!" dia berteriak.
Thian Hoa merasa lucu mendengar suara soeheng-nya. Kuda
itu toh ia yang mencurinya, untuk si soeheng menyingkirkan diri dari
bahaya, sekarang soeheng itu membuka mulutnya tanpa berpikir
lagi!
In Loei pun sudah lompat naik ke kudanya, yang ia kaburkan
keras, selagi kabur, tak hentinya ia berpaling ke belakang, kepada
Tan Hong, berulang-ulang, untuk diajak lari bersama, seperti tadi ia
mengajak sahabat itu.
"Tan Hong, mari pinjamkan kuda putihmu kepadaku!" kata Tiauw
Im pada keponakan muridnya itu. Ia hendak pinjam kuda orang,
untuk mengejar Thian Hoa.
Tan Hong sahuti paman guru itu sambil tertawa.
"Djiesoepee, hari ini kau sangat lelah, baiklah kau beristirahat"
demikian keponakan murid ini. "Sebentar aku datang menengok
pula padamu!"
Dan ia lompat naik ke atas kudanya, untuk terus kabur, guna
menyusul In Loei.
Bukan kepalang mendongkolnya paman guru ini, karena ia
merasa tidak dihiraukan, saking penasaran, terpaksa ia lari kepada
kuda Thian Hoa, untuk dipakai mengejar.
Ketiga kuda itu jempolan, bukan saja larinya sudah terlebih
dahulu, juga larinya sangat pesat, maka itu, meski kuda Thian Hoa
bukan kuda jelek, kuda ini tidak sanggup menyusul ketiga kuda itu.
Inilah menyebabkan si pendeta mendongkol terus menerus.
Tjiauwya saytjoe ma adalah yang paling kencang larinya, dalam
sekejap saja Tan Hong sudah dapat menyandak gurunya, habis itu
ia disusul In Loei.
Kuda putih Thian Hoa ini jempol, dia pun dapat
mengendalikannya, tetapi kuda itu sendiri masih penasaran
rupanya, di sepanjang jalan masih membandel saja, demikian maka
In Loei pun dapat menyandaknya.
"Soehoe, ada apa?" Tan Hong tanya gurunya itu.
"Pergilah kau terlebih dahulu bersama Nona In" sahut sang guru.
"Sekarang ini kau, jangan terlalu banyak bertanya..."
Tan Hong menurut, ia tepuk kudanya, untuk dilarikan, guna
menyusul In Loei, siapa telah lari terus, hingga pada saat itu, ia
telah melewati jauh kedua guru dan murid itu.
Diudara masih terdengar suara luar biasa tadi, satu panjang dan
satu pendek, terdengarnya makin lama makin nyata.
In Loei lari terus, didampingi Tan Hong. Tjiauwya saytjoe ma
sudah lantas menyusul kuda merah si nona.
Suara aneh itu masih terdengar baharu kemudian lenyap...
In Loei heran, mukanya pucat pasi.
"Eh, toako, kenapa suara itu lenyap?" ia tanya Tan Hong. Ia
awasi pemuda itu, ia pasang kupingnya.
Tan Hong heran, tak dapat ia berdiam lebih lama lagi.
"Adik kecil," tanyanya, "Urusan apakah ini sebenarnya? Kenapa
kau nampaknya sangat ketakutan?"
"Guruku menghadapi malapetaka!..." sahut si nona akhirnya.
Tan Hong kaget sekali.
"Gurumu?" ia balik menanya.
"Benar!" jawab In Loei. "Itulah tanda bahaya dari guruku. Cuma
aku dan samsoepee yang kenal suara pertandaan itu!"
Tan Hong tetap heran.
"Gurumu sangat liehay, di jaman ini, cuma beberapa orang saja
yang sanggup menempur dia maka heranlah aku, kenapa dia dapat
menghadapi bahaya?" berkata Tan Hong.
"Aku pun tidak mengerti, tetapi itu benar tanda bahaya
daripadanya!" In Loei menyahuti.
Di gunung Siauwhan San tumbuh semacam pohon bambu, kalau
batang bambu itu dibuatnya sebagai seruling, kalau ditiup, suaranya
nyaring dan tajam, suara itu dapat didengar sampai sepuluh lie
jauhnya. Hoeithian Lionglie liehay tenaga dalamnya, maka dengan
meniup seruling itu, dia dapat perdengarkan hingga dua kali lipat
jauhnya, sampai kira-kira dua puluh lie, sedang suara itu
diperdengarkan di tanah pegunungan yang sunyi.
Tadinya, semasa ia belum berlatih dengan duduk bercokol
menghadapi tembok, untuk menjalankan hukuman gurunya, Yap
Eng Eng gunakan seruling itu sebagai alat tetabuhan biasa, sebagai
mainan saja. Waktu itu secara memain ia berkata pada Thian Hoa,
umpama kata dikemudian hari ia menemui sesuatu bencana, akan ia
tiup serulingnya itu sebagai tanda bahaya, untuk memohon
bantuan. Kemudian, ketika In Loei naik ke gunung untuk menuntut
pelajaran pada gurunya ini, selama sepuluh tahun, antara mereka
berdua, guru dan murid, tidak ada soal yang tidak dibicarakan,
maka itu, In Loei mengetahui hal seruling itu.
Itulah suara seruling yang In Loei dan Tjia Thian Hoa dengar
sebagai suara yang luar biasa, yang mengalun jauh diudara, maka
itu keduanya menjadi kaget, lantas mereka lari kabur meninggalkan
Tiauw I m Hweeshio.
Suara seruling itu berhenti dengan tiba-tiba, itulah tanda bahwa
Yap Eng Eng mungkin sudah menghadapi bencana hebat atau
jiwanya telah melayang, kalau tidak, mesti dia masih sanggup
meniupnya terus.
Tan Hong bercekat apabila ia mendengar keterangan Nona In.
Tiba-tiba ia ingat Siangkoan Thian Ya berada di gunung di
perbatasan antara Mongolia dan Thibet. Ia merasa pasti, kecuali
gurunya sendiri, Hian Kee Itsoe, cuma Siangkoan Thian Ya seorang
yang sanggup lawan Hoeithian Lionglie. Mungkinkah Siangkoan
Thian Ya berada di sini dan dia menyusahkan Yap Eng Eng? Tapi dia
berkedudukan di tingkat atas, sulit untuk mempercayai
kedatangannya dari tempat ribuan lie hanya untuk mengganggu
gurunya In Loei. Habis, kalau bukan dia, siapa lagi?
Apa yang ia pikirkan, Tan Hong utarakan pada Nona In. In Loei
pun sependapat dengannya. Keduanya menjadi sangat bingung,
apapula In Loei, yang menjadi berkuatir. Dengan berhentinya suara
seruling, sukar untuk mereka mencari arah dari mana tadi suara
seruling itu datang.
"Toako, bagaimana sekarang?" In Loei tanya. Yang sukar, suara
tadi mengalun di udara, coba datangnya dari bawah, tentu
lebih mudah mencarinya.
Dalam keadaan bingung dan berkuatir, tiba-tiba mereka lihat dua
penunggang kuda di depan mereka. Mereka kenali, kedua orang itu
adalah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In. Kuda mereka lari sangat
pesat, dengan tidak disengaja, mereka telah dapat menyusul
soeheng dan soemoay itu.
Ouw Bong Hoe berpaling, dia tertawa.
"Eh, Thio Tan Hong, apakah kamu menyusul kami untuk
bertempur pula?" dia tanya.
Tan Hong tidak menjadi gusar.
"Tidak," ia menjawab dengan tenang. "Aku hanya ingin bertanya
apakah di wilayah ini berdiam seorang berilmu..."
Masih orang she Ouw itu tertawa.
"Mana mungkin orang berilmu dapat kau ketemukan?" katanya,
mengejek.
"Aku tidak peduli dia suka menemui aku atau tidak, aku hendak
minta kau ajak aku pergi padanya, itu juga kalau kau suka menjadi
pengantar kami," kata Tan Hong.
"Kau sungguh seorang yang kenal adat istiadat!" berkata Ouw
Bong Hoe.
Ia kewalahan karena orang tidak dapat dipancing kegusarannya.
Ia lantas berpaling kepada Lim Sian In, lalu berkata: "Sammoay,
coba kau tolong menanyakannya."
Kimkauw Siantjoe tidak menjawab soeheng itu, ia hanya
perdengarkan suitan panjang, atas mana, tak lama berselang, ia
mendapat penyahutan yang bersamaan, hanya suara ini jauh lebih
nyaring dan berpengaruh, suatu tanda, bahwa orang yang
mengeluarkan suara itu sempurna tenaga dalamnya.
Mendengar jawaban itu, Lim Sian In menggelengkan kepala.
"Hari ini orang berilmu itu tidak sudi menemui siapa juga!" ia
kata.
Tan Hong tidak bilang suatu apa, akan tetapi ia telah mendengar
nyata. Suara itu datangnya dari bukit yang berdekatan.
"Terima kasih untuk kebaikanmu!" katanya pada kedua orang itu
sambil menunjukkan hormatnya. Terus ia menoleh pada In Loei:
"Mari, soemay" ia mengajak.
Keduanya lantas meninggalkan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In.
"Hai!" si Nona Lim memanggil. "Kamu belum mendapat ijin,
tetapi sudah lancang hendak mendaki bukit, apakah kamu hendak
cari mampus? Ingat, kamu masih berusia sangat muda, sayang
jikalau kamu sampai mati..."
Tan Hong dan In Loei tidak pedulikan kata-kata orang itu,
mereka larikan terus kuda mereka, hingga di lain saat tibalah
mereka di kaki bukit yang mereka tuju. Sekarang sesudah berjauhan
dengan Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, mereka jalankan kuda
mereka perlahan-lahan, dan akhirnya mereka lompat turun dari
kuda mereka, untuk mendaki bukit dengan berlari-lari dan
berlompatan, dengan menggunakan kepesatan tubuh mereka.
Sebentar kemudian sampailah mereka di tengah perjalanan
memanjat, mereka merasakan siuran angin halus, yang
membawakan harum bunga segar, hingga hati mereka menjadi
rawan.
"Inilah bau harum yang biasa dipakai guruku," berkata In Loei,
yang hatinya menjadi sedikit lega. "Untuk mendapatkan harum
wangi yang ia gemari, soehoe membuatnya sendiri air wangi Pekhoa
hiang."
Lega hati Tan Hong mendengar keterangan In Loei ini. Teranglah
Hoeithian Lionglie berada di gunung itu. Maka tidak ayal lagi, terus
lari naik.
In Loei lari mengikuti, sampai mereka tiba di puncak gunung.
-ooo00dw00ooo-

Bab XXIV
Di atas gunung itu ada sebuah kelenteng, di samping kelenteng
ada sekelompok hutan bambu, yang terkurung dengan tembok
merah. Bagus pohon-pohon bambu itu yang tingginya melewati
tembok. Suasana di situ sangat tenteram. Dan di situ, pemuda dan
pemudi ini dapat mencium harum tadi, semakin keras.
"Kenapa tidak terdengar suara senjata beradu?" tanya Tan Hong.
Ia seperti bicara seorang diri.
Nona In juga heran sekali, ia menjadi curiga, maka ia lantas
hunus pedangnya, setelah mana ia enjot tubuhnya untuk meloncat
naik.
"Di sini ada orang berilmu yang tertua, jangan sembarangan..."
Tan Hong nasehati. Tapi sudah kasip. Ingin ia menjambret si nona,
tetapi tidak keburu. In Loei sudah sampai di atas tembok.
Berbareng dengan gerakan In Loei terdengar tertawa dingin
disusuli bentakan: "Lepaskan pedangmu!"
Itulah bentakan yang suaranya halus, seperti suara wanita.
In Loei terkejut, pedangnya seperti tersampok, tubuhnya pun
limbung, hampir ia rubuh terpeleset, syukur ia sudah cukup terlatih,
pedangnya tidak terlepas, tubuhnya tidak rubuh. Ketika ia berpaling,
ia lihat Tan Hong pun sudah lompat naik dan roman si anak
mudapun berubah seperti ia sendiri.
Juga pemuda itu mendengar bentakan "Lepaskan pedangmu!"
dan merasakan sampokan, akan tetapi ia lebih liehay daripada In
Loei, ia tidak sampai terhuyung. Hanya ia dibarengi dengan
serangan senjata rahasia, hingga ia mesti berkelit sambil
menangkis. Untuk herannya dan kagetnya, ia dapatkan senjata
rahasia itu adalah daun bambu, yang ujungnya lancip seperti bekas
diraut, dan karena serangan itu, tangan bajunya sampai berlobang!
Tan Hong kaget dan bergidik, karena tentang senjata rahasia
semacam itu, pernah ia mendengar dari gurunya. Senjata rahasia
daun bambu itu dibubuhi kata-kata "Memetik daun, menerbangkan
bunga, sekali melukai, mesti orang mati segera." Dan inilah baharu
pertama kali ia melihat senjata rahasia yang istimewa itu, yang
membutuhkan latihan tenaga dalam yang luhur sekali. Ketika Tan
Hong lihat pedangnya In Loei, kembali ia jadi heran. Bahagian yang
tajam dari pedang si nona itu seperti dilapok daun bambu. Itulah
aneh, mengingat ketajaman pedang itu, yang dapat dipakai
memapas besi, tetapi daun saja tak dapat dipotong...
Kemudian terdengar dari dalam pohon bambu helaan napas
seperti yang mengagumi kepandaian pemuda dan pemudi itu.
Tan Hong yang tahu diri sudah lantas perdengarkan suaranya.
"Teetjoe adalah Thio Tan Hong dan In Loei," demikian ia berkata.
"Kebetulan saja kami lewat di sini, tidak tahu kami bahwa ada
tjianpwee, maka itu kami mohon maaf untuk kelancangan kami..."
Menyahuti suara Tan Hong itu, terdengar pertanyaan dan titah
yang keluar dari suara yang membentak tadi: "Apakah kamu murid-
muridnya Hian Kee Itsoe? Baik, kamu boleh lompat turun!"
"Maaf!" kata Tan Hong meski ia belum melihat rupa orang, lalu
bersama-sama In Loei ia lompat turun ke sebelah dalam tembok.
Segera setelah tiba di dalam kelompok pohon bambu itu, di mana
ada lapangan terbuka, kedua orang ini menyaksikan pemandangan
yang mengherankan mereka. Mereka tampak dua orang wanita
sedang bertarung. Yang satu seorang wanita dari usia pertengahan
yang romannya cantik, yang lainnya satu nyonya tua yang
rambutnya beruban!
Tapi In Loei menjadi sangat girang. "Soehoe" dia berseru.
"Apakah soehoe baik! Inilah teetjoe."
Si nyonya usia pertengahan, yang sedang bertempur hebat,
cuma perdengarkan suara "Ai..." lalu ia berkelahi, agaknya tidak
berani ia mengganggu pemusatan pikirannya.
Dengan mendengar panggilan In Loei, tahulah Tan Hong bahwa
si nyonya usia pertengahan itu adalah Hoeithian Lionglie Yap Eng
Eng, guru kawannya itu. Sudah lama ia dengar namanya bibi guru
itu, yang ilmu pedangnya kesohor seperti ilmu pedang gurunya,
baharu sekarang ia lihat romannya, maka dengan sendirinya ia
lantas menaruh perhatian.
Yap Eng Eng menggunakan pedang Tjengkong kiam yang umum,
cara bersilatnya sama seperti cara In Loei, dia cuma menang gesit
dan pesat, menang berlipat kali daripada muridnya itu. Pun aneh,
pedang dimainkan begitu sebat tetapi suara anginnya tidak
terdengar, jadi gerakan itu mirip dengan "hengin lioesoei" atau
"mega melayang air mengalir."
"Benar-benar hebat!" Tan Hong memuji dengan kekaguman.
"Sayang soehoe belum tiba, kalau tidak, dengan siangkiam happek,
mesti si nyonya tua dapat dipecundangkan..."
Memang, Yap Eng Eng sudah liehay luar biasa, akan tetapi
lawannya, tak perduli usianya telah lanjut, masih menang di atas
angin, sedang senjata nyonya tua itu pun adalah sebatang bambu
yang diraut mirip dengan pedang yang tajam. Kelihatannya si
nyonya tua didesak, dikurung sinar pedang, akan tetapi sebenarnya,
dialah yang lebih membahayakan lawannya!
Cara bagaimana Hoeithian Lionglie bisa sampai di rimba bambu
itu? Sebenarnya pikirannya sedang kusut. Dia turun gunung atas
ajakan Tiauw Im Hweeshio, adik seperguruannya. Dia diminta Tiauw
Im untuk mencari Tjia Thian Hoa, guna menegur soetee itu. Tiauw
Im memberitahukan, apabila terbukti Tjia Thian Hoa telah
berhianat, mendurhakai gurunya dengan menakluk kepada musuh,
dia mesti membantu soeheng itu mengepung Thian Hoa, untuk
disingkirkan dari dunia. Dengan Thian Hoa itu dia justeru
mempunyai perhubungan istimewa. Sudah dua belas tahun
keduanya berpisah, masih mereka memikirkan satu pada lain. Dia
ketahui baik sifatnya Thian Hoa, seorang halus budi pekertinya dan
teliti, berpikir panjang, tidak seharusnya Thian Hoa menakluk
kepada musuh. Atau bila itu benar ia menghamba kepada Thio
Tjong Tjioe, itu mesti ada sebabnya. Tapi, sebelum dia peroleh
kepastian, tidak dapat dia menolak ajakan Tiauw Im si sembrono
itu. Maka, tanpa membelai Thian Hoa lagi, ia turut Tiauw Im turun
gunung.
Setibanya Yap Eng Eng di kota Ganboenkwan, pikirannya menjadi
bertambah kusut. Kesatu karena segera dia harus bertemu dengan
kekasihnya itu, dan kedua dia kuatirkan kesudahannya apabila Thian
Hoa menjelaskan segala apa. Jikalau Tiauw Im turun tangan, apa
dia mesti turun tangan juga, atau berdiam saja? Inilah yang
membikin dia sulit. Akhirnya dapat juga dia gunakan otaknya.
Dia lantas menggunakan akal.
Malam itu di rumah penginapan dalam kota Ganboenkwan, Eng
Eng beritahu Tiauw Im bahwa dia kurang sehat pertama disebabkan
dia telah melakukan perjalanan jauh, kedua karena pertukaran hawa
udara, yang kurang tepat untuk dirinya. Maka malam itu dia hendak
bersamedhi, untuk memusatkan pikirannya, guna memulihkan
kesehatannya itu. Karenanya, dia kuatir dia nanti tidak dapat
bangun pagi-pagi. Maka andaikata dia kesiangan, dia minta Tiauw
Im suka berangkat terlebih dulu, nanti dia menyusul. Tapi
sebenarnya, malam itu belum jam empat, dia telah mendahului
Tiauw Im meninggalkan rumah penginapan. Dia ingin sampai lebih
dahulu di tempat yang dijanjikan, supaya dia dapat bertemu dengan
Tjia Thian Hoa berdua saja, agar dia dapat ketika meminta
keterangan jelas dari Thian Hoa mengenai duduknya hal, supaya dia
dapat menimbang dan mengambil putusan. Dia percaya Thian Hoa
tengah melakukan tugas yang dirahasiakan, yang tak dapat
diberitahukan kepada Tiauw Im. Dia percaya, terhadap dirinya,
Thian Hoa suka menuturkan segala apa. Tiauw Im toh seorang yang
sembrono, tidak seperti soemoay ini yang teliti. Tiauw Im turuti
kehendak soemoay itu, ketika besoknya ia berangkat, ia menyangka
Yap Eng Eng masih tidur di dalam kamarnya...
Dalam hal enteng tubuh, antara saudara-saudara
seperguruannya, Yap Eng Eng adalah yang paling liehay, maka itu,
waktu berangkat jam empat, setelah terang tanah dia sudah sampai
di Ganboenkwan. Dia berjalan terus, karena ingin segera bertemu
dengan Thian Hoa. Dia berangkat terlalu pagi, dia pun lari dengan
cepat, ini dia ketahui, dari itu dia tertawa sendirinya karena dia
masih belum bertemu saudaranya meski dia sudah maju terlebih
jauh. Ketika dia perlahankan tindakannya, dia mulai memasuki
sebuah lembah, ialah lembah atau selat yang merupakan jalan
penting untuk wilayah Watzu memasuki daerah Ganboenkwan.
Bagus hawa udara di dalam lembah itu, permai juga
pemandangannya. Bunga-bunga bwee tengah mekar. Sambil
memandangi keindahan alamnya, di situ Yap Eng Eng diam
menantikan Tjia Thian Hoa. Dia menjadi lebih tertarik ketika
hidungnya mencium bau harum yang terbawa angin halus, yang
membuat hatinya lega.
Eng Eng ingat harum bau itu pernah memasuki kamar
bersemedhi Hian Kee Itsoe, gurunya. Ketika itu, Eng Eng merasa
heran atas kesukaan gurunya itu. Guru itu sudah berusia tujuh
puluh tahun, mengapa dia masih gemar akan bau-bauan? Tentu
saja, sebagai murid, tidak berani ia minta keterangan dari gurunya
itu.
Sekarang, di dalam lembah, Eng Eng dapat mencium bau yang ia
kenal baik itu. Ia menjadi heran sekali. Ia dongak, akan melihat
cuaca. Ia dapatkan waktu masih jauh untuk sampai kepada tengah
hari, maka ia lantas bertindak, akan mengikuti bau harum itu.
Setelah sampai di atas ia tampak sebuah rumah berhala untuk
niekouw, pendeta wanita, dan di samping rumah suci itu ada hutan
bambunya. Dari dalam hutan bambu itulah keluarnya bau harum itu.
Dengan perlahan Yap Eng Eng bertindak ke arah rimba. Tiba-tiba
dia peroleh pengalaman seperti In Loei dan Tan Hong. Dengan
sekonyong-konyong orang membokong ia dengan senjata rahasia —
senjata rahasia daun bambu itu. Tentu sekali, ia tidak dapat dilukai.
Karena ini tahulah ia, di dalam rimba itu, mesti berdiam seorang
berilmu, mungkin dia sedang bertapa.
"Teetjoe adalah murid Hian Kee Itsoe," ia lantas perkenalkan diri.
Ia pun hentikan tindakannya. "Teetjoe mohon bertanya she dan
nama atau gelaran tjianpwee..."
Di luar dugaan Eng Eng, di hadapannya segera muncul seorang
wanita tua, romannya bengis, dia perdengarkan tertawa dingin.
Tentu saja ia menjadi heran, hingga melengak.
"Apakah kau murid Hian Kee Itsoe?" tanya si uwak sambil
tertawa dingin dan mengejek. "Hian Kee Itsoe katanya liehay ilmu
silatnya, di kolong langit ini dialah yang nomor satu, sekarang kau
berani datang kemari dengan membawa pedang, pasti kau juga
pandai ilmu pedang! Baik, ingin aku mencoba kamu! Daripada
muridnya, ingin aku mencoba gurunya, ingin aku ketahui,
bagaimana istimewanya ilmu silat pedang Hian Kee Itsoe itu!..."
Eng Eng heran. Ia juga tidak berani turun tangan. Dari perkataan
orang, rupanya orang tua ini sudah kenal gurunya.
"Teetjoe tidak tahu aturan tjianpwee di sini," katanya sambil
memberi hormat, "teetjoe tidak ketahui orang dilarang memasuki
rimba dengan membawa pedang, harap tjianpwee memberi maaf
kepada teetjoe yang lancang ini."
-ooo00dwkz00ooo-
(bersambung Jilid 3)
CATATAN
halaman 449 — Puteri Ie Kiam, Ie Sin Tjoe kelak akan menjadi
murid Thio Tan Hong dan In Loei, Ie Sin Tjoe adalah salah satu
peran utama dalam cerita-cerita berikutnya, Pendekar Wanita
Penyebar Bunga (Sanhoa Lihiap) dan Kisah Pedang Bersatu Padu
(Liankiam Hongin).
halaman 452 — Taman Koaywa Lim (Saycu Lim) ini kelak
terpaksa dijual Thio Tan Hong (dalam cerita Liankiam Hongin), dan
dalam cerita Pendekar Pemetik Harpa (Khongling Kiam), anak
keturunan Kiutauw Saytjoe (Singa Kepala Sembilan) In Thian Sek
muncul lagi dan menguasai kembali taman tsb. Karena dendam
pada Thio Tan Hong, keturunan Kiutauw Saytjoe membalas dendam
kepada keturunan/ murid dari Thio Tan Hong dan In Tiong.
Seri ke 2 Thiansan

Karya : Liang Ie Shen


Saduran : OKT
Sumber txt otoy
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/

Jilid 3

Tetapi nyonya tua itu tidak sudi pakai aturan.


"Tidak bisa!" katanya dengan kaku. Dia menjadi semakin gusar.
"Hunus pedangmu, mari kita mencoba-coba!"
Dia mendesak dan memaksa.
Yap Eng Eng menjadi kewalahan, ia sudah cukup merendah
tetapi tidak ada hasilnya, terpaksa ia cabut pedangnya.
"Kalau tjianpwee memaksa, silakan tjianpwee beri pengajaran
padaku," ia kata.
Perempuan tua itu ambil sebatang bambu, ia raut itu dengan
telapakan tangannya hingga menjadi serupa pedang-pedangan.
"Baiklah!" katanya. "Jikalau kau sanggup menahas kutung
selembar bambu ini, akan aku ijinkan kau turun gunung, kalau tidak,
mesti kau berdiam di sini untuk menemani aku, sampai nanti
gurumu datang untuk mengajak kau pulang!..."
Biar bagaimana, Yap Eng Eng juga ada semangatnya, dari itu, ia
mendongkol juga akan kejumawaan orang. Dalam hati kecilnya, ia
pikir: "Pekpian Hian Kee Kiamhoat-ku sudah liehay sekali, mustahil
aku tidak mampu menabas kutung pedang bambu ini? Sebenarnya
aku hormati kau, orang tua! Apakah kau sangka aku jeri
terhadapmu?"
Sampai di situ, mereka sudah lantas bertarung. Baharu saja
bergebrak, Yap Eng Eng sudah mendesak hingga tiga kali beruntun,
membabat ketiga jurusan, sebab keras sekali keinginannya untuk
menabas pedang bambu itu.
Nyonya tua itu nyata liehay sekali, ia sangat gesit. Pedangnya
seperti dikurung sinar, lantas ia selamatkan diri sambil berbalik
mendesak, untuk merapatkan pedang lawan, yang dibikin seperti
membayanginya. Yaitu dengan mengikuti gerak-gerik pedang Eng
Eng.
Tidak peduli ia sudah tunjukkan kesehatannya, Eng Eng tidak
berhasil menghalau pedang bambu itu. Juga baju lawan, ia tidak
sanggup menyentuhnya. Ia menjadi kaget, heran dan kagum. Ia
menjadi penasaran, ia mencoba bergerak lebih cepat lagi.
Orang tua itu berkelahi cepat, tetapi ia berlaku tenang. Semua
serangan dapat ia singkirkan. Berulangkah ia tertawa mengejek.
"Begini saja ilmu pedang Hian Kee Itsoe!..." ia menyindir.
"Kelihatannya kau sudah ditakdirkan berdiam di sini menemani aku
si tua bangkai..."
Selagi bertempur, Hoeithian Lionglie melihat cuaca berubah.
Tengah hari sudah mulai mendatangi. Ia menjadi tegang sendirinya,
mendongkol dan masgul, juga berkuatir... Ia tidak dapat membabat
pedang musuh, ia pun tidak mampu meloloskan diri. Maka akhirnya,
ia keluarkan seruling istimewanya dan meniupnya.
"Hai, menarik serulingmu ini!" berkata si nyonya tua. "Kenapa di
dalam rimbaku ini tidak terdapat bambu yang bagus seperti
serulingmu? Merdu suara serulingmu, bolehkah aku meminjamnya?"
Eng Eng tidak pedulikan perkataan orang itu, yang mengejek
sambil berkelahi terus, masih ia meniup serulingnya, meniup dengan
terlebih keras lagi, hingga suara seruling itu mengalun jauh.
Oleh karena permintaannya tidak digubris, sekarang si nyonya
tua berkelahi sambil mencoba merampas seruling orang.
Dua belas tahun Eng Eng bersemedhi menghadapi tembok,
kecuali memahamkan lebih jauh ilmu pedangnya, ia juga
meyakinkan dua macam ilmu lainnya yang liehay. Yang pertama
dinamakan "Lioein Kiamhoat", yaitu ilmu pedang "Mega Melayang".
Yang dinamakan pedang tetapi bukannya pedang melainkan ujung
tangan baju, kalau tangan baju itu dipakai mengibas atau
menyambar, ia dapat melibat senjata musuh, untuk dirampas. Yang
kedua ialah "Kioeseng Tengheng Tjiam" atau "Jarum Sembilan
Bintang", jarum mana bisa dipakai menyerang sekaligus, dengan
jalan darah sebagai sasarannya.
Sekarang Yap Eng Eng melihat orang hendak merampas
serulingnya, ia menjadi habis sabar, terpaksa ia kibaskan
tangannya, untuk menyambar pedang bambu itu. Ia pikir, kalau
berhasil melibat, ia hendak patahkan pedang itu.
Tiba-tiba terdengar suara memberebet, untuk kagetnya Eng Eng
dapatkan tangan bajunya berlobang dan robek, terkena dua jari
tangan si nyonya tua, berbareng mana, serulingnya pun kena
dirampas.
"Inilah kepandaianmu yang baik," berkata si uwak, "sayang
latihan tenaga dalamnya masih kurang. Kau masih belum berhasil
mematahkan pedangku! Maka tidak ada lain jalan, kau mesti
berdiam di sini untuk temani aku bermain!"
Eng Eng tidak berhasil mematahkan pedang bambu si uwak, tapi
ia dapat melibat sebentar dan menyampok pedang itu, ke samping.
Di samping itu, ujung bajunya robek, serulingnya berpindah tangan.
Ini berarti, dia kalah, si nyonya tua yang menang di atas angin. Tapi
di samping itu, ia termasuk kaum muda, si nyonya kaum tua, tinggi
kedudukannya, ia tak usah malu. Nyonya tua itu diam-diam
mengagumi juga lawan yang muda ini.
Walaupun dia kalah Hoeithian Lionglie tidak berhenti sampai di
situ. Ia juga penasaran sekali. Sekarang ia melanjutkan
menggunakan kepandaian yang kedua. Ia menuding dengan jari
tangannya, lalu memanah dengan sembilan batang jarumnya.
Sehabis merampas seruling itu, si nyonya tua bawa seruling itu
ke mulutnya.
"Menarik seruling ini," katanya, "nanti aku tiup..." Lalu ia meniup,
memperdengarkan suara yang halus, lebih sedap didengarnya
daripada lagunya Eng Eng. Tapi yang heran, angin seruling itu pun
berbareng meniup kembali ke sembilan batang jarum rahasia,
hingga tak sebatang jua yang mengenai si uwak itu.
"Ilmu senjata rahasiamu belum terlatih sempurna," kata pula si
uwak sambil tertawa.
"Mari kita mengadu pedang lagi seperti bermula..."
Dia segera menyerang. Ketika Hoeithian Lionglie melayani,
pedangnya terkurung pula seperti tadi.
Selama pertempuran itu, sang waktu telah berlalu terus. Eng
Eng berkuatir sekali. Ia pikirkan
Thian Hoa. Mungkin soeheng itu sudah tiba di tempat yang
dijanjikan mereka. Adakah Thian Hoa mendengar suara seruling itu?
Inilah sangat diharapkan. Kalau Thian Hoa datang, ia percaya ia
dapat ditolong.
Begitu, dalam saat ketegangannya itu, ia lihat orang berlompat
kepada mereka. Mulanya ia menyangka Tjia Thian Hoa, tidak
tahunya, orang itu adalah muridnya yaitu In Loei, bersama satu
pemuda yang cakap tampan. Ia tidak kenal anak muda itu, akan
tetapi melihat roman orang, ia percaya orang itu gagah, mungkin
melebihi muridnya.
In Loei heran menyaksikan gurunya tidak sanggup melawan
nyonya tua itu, ia melirik kepada Tan Hong, terus ia maju.
"Soehoe," ia berkata kepada gurunya, "suka muridmu berbuat
sesuatu untuk soehoe, dari itu harap soehoe perkenankan muridmu
main beberapa jurus bersama lootjianpwee ini, supaya muridmu
dapat menambah pengetahuan..."
Hoeithian Lionglie bersangsi, hingga ia awasi murid serta
kawannya itu. Ia sendiri kalah, apakah muridnya dapat
mengalahkan orang tua itu? Apakah murid itu tidak tahu "langit
tinggi" dan "bumi rendah"?
Oleh karena datangnya kedua anak muda itu, si nyonya tua
lantas lompat mundur, hingga pertempuran terhenti.
"Bagus" katanya sambil tertawa. "Aku memang senang pada
anak-anak muda yang nyalinya besar!
Adakah kamu murid-murid golongan ketiga dari Hian Kee Itsoe?
Pelajaran apa saja yang kamu telah yakinkan? Hayo kamu coba,
ingin aku menyaksikannya!"
Hoeithian Lionglie mengeluarkan napas lega. Dari kata-kata si
orang tua itu, teranglah dia tidak mengandung maksud jahat,
hingga ia percaya, terhadap sepasang anak muda itu dia tidak akan
berlaku kejam.
"Baiklah," katanya kepada muridnya dan kawannya, "pergi kamu
melayani lootjianpwee untuk beberapa jurus. Kamu harus berlaku
hati-hati!"
Nyonya tua itu, dengan sembarangan saja, sudah siap dengan
pedang bambunya, yang dia bawa ke depan dadanya.
"Eh, mengapa kamu masih belum mulai?" ia tegur mereka
apabila ia lihat orang masih berdiam saja.
Tan Hong dan In Loei, dengan pedang ditangan-nya masing-
masing, lantas memberi hormat.
"Harap lootjianpwee memberikan pengajaran kepada kami,"
berkata Tan Hong.
Lalu, dengan sebat sekali, dengan berbareng, keduanya
menggerakkan pedang mereka. Mulanya pedang dibuka ke kiri dan
kanan, lalu dirapatkan satu pada lain, habis mana, dengan secara
tiba-tiba, keduanya dipakai menyabet ke arah pinggang!
Nyonya tua itu memandang enteng. Bukankah mereka itu dari
generasi ketiga dari Hian Kee Itsoe? Biar mereka pandai, sampai di
manakah kelihayan mereka itu? Maka ia bersikap acuh tak acuh.
Tapi, setelah penyerangan datang bagaikan kilat, baharulah ia
terperanjat. Ia pun kaget karena jarak antara mereka dekat sekali.
Ia juga tidak sempat lagi menangkis. Maka dengan terpaksa ia
lompat mencelat tinggi!
Menampak demikian, dengan sikutnya, Tan Hong bentur In Loei,
sampai si nona terhuyung mundur, ia sendiri mundur juga.
Nyonya tua itu, yang telah menginjak bumi pula di hadapan
mereka, tertawa manis.
"Bagus, anak-anak muda! Nah, marilah kamu maju pula!"
Dia melompat tinggi untuk menolong dirinya, habis itu dia turun
sambil membabat dengan pedangnya, tetapi dia kecele, karena
kedua lawannya sudah mundur pula. Mau atau tidak, dia mesti puji
kecerdikan kedua lawan itu. Dia tidak mendongkol, sebaliknya, dia
senang melihat orang cerdas.
Tan Hong lihat cara orang berlompat, ia mengerti ancaman
bahaya akan segera datang, karenanya, ia bentur In Loei, sebab lain
jalan daripada itu sudah tidak ada lagi. Mulanya In Loei heran tetapi
segera dia mengerti, maka dia tidak berkecil hati.
Setelah itu si nyonya tua maju untuk menyerang, begitu lekas
sepasang anak muda itu melayani dia, dia mencoba mempengaruhi
pedang orang. Dia sekarang insaf akan keliehayan kedua anak
muda itu, maka tidak mau dia berlaku sembarangan, malah
sebaliknya, dia lebih bersungguh-sungguh daripada waktu
melawan
Hoeithian Lionglie tadi. Oleh karena ini, Tan Hong dan In Loei
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Setelah melalui kira-kira lima
puluh jurus, si nyonya tua masih tak dapat menang di atas angin.
Juga Hoeithian Lionglie berdiri menjublak mengawasi sepasang
anak muda itu. Ia kagum dan heran melihat Tan Hong, yang ilmu
pedangnya demikian tepat mengimbangi pelbagai gerakan In Loei,
muridnya itu. Semua gerakan si anak muda itu wajar, seperti boleh
melatih.
"Ah, rasanya aku kenali ilmu silat pemuda ini..." pikirnya
kemudian. Ia kenal tetapi tak dapat ia menyebutkannya. "Dahulu
soehoe mempunyai dua macam ilmu pedang, ia ajarkan itu masing-
masing kepada Thian Hoa dan aku dan kita dilarang saling
mengajari satu pada lain. Apakah ilmu pedang anak ini, ilmu
pedangnya Thian Hoa, yang belum pernah aku lihat?..."
Pertempuran masih berlangsung terus, adalah setelah itu,
dengan perlahan-lahan baharulah si nyonya tua mulai menang di
atas angin, pedangnya — walaupun pedang bambu — mulai
memperlihatkan pengaruhnya.
Tan Hong dan In Loei menjadi heran. Sejak mereka kenal satu
pada lain, dengan paduan ilmu pedang mereka Siangkiam Happek,
belum pernah mereka menemui tandingan, sekalipun Ouw Bong
Hoe dan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In bergabung menjadi satu,
kedua pihak sama tangguhnya, mereka tidak sangka nyonya tua ini
sangat liehay. Semua serangan mereka dengan mudah dapat
dielakkan. Mereka menjadi berkuatir ketika mereka tak dapat lagi
melakukan penyerangan membalas, malah untuk membela diri saja,
mereka kewalahan.
Pada saat Tan Hong memikir untuk menyerah saja, tiba-tiba ia
dengar bentakan si nyonya tua: "Siapa itu yang datang? Letakkan
pedangmu!" Lalu nyonya itu lompat, untuk menyambar daun bambu
dengan apa dia mulai menyerang dengan rapat, seperti "boanthian
hoaie," atau "seluruh langit penuh dengan hujan bunga."
Menyusul itu terdengar suara bentroknya daun-daun bambu itu,
yang terus jatuh berserakan, menampak mana, si nyonya tua
menjadi heran. Nyata dia tengah menghadapi orang yang terlebih
liehay daripada Hoeithian Lionglie. Bahwa orang mestinya kosen,
inilah sudah diduga, karena itu, dia lantas menyerang dengan hebat.
Setelah serangan daun bambu itu, di atas tembok terlihat
munculnya seorang yang terus lompat turun dengan gerakan
enteng sekali. Ketika Hoeithian Lionglie melihat orang itu, ia
tercengang bahna herannya.
Itulah orang yang selama dua belas tahun ia pikirkan tak
sudahnya. Yaitu Tjia Thian Hoa, soehengnya dan orang yang
dicintainya.
"Soemoay, kau baik!" tegur Thian Hoa selagi ia bertindak
menghampiri.
"Shako, kau baik!" ia membalik. "Apakah shako telah bertemu
djiesoeheng?"
Baharu Thian Hoa hendak menjawab adik seperguruannya, atau
si nyonya tua telah menegur padanya: "Apakah kau juga muridnya
Hian Kee Itsoe? Mari, mari, kau pun boleh mencoba-coba
denganku!"
Tjia Thian Hoa tertawa.
"Soemoay," ia kata pada Yap Eng Eng, "baik kita tunda
pembicaraan tentang kita, mari kita penuhi dahulu kehendak nyonya
yang terhormat ini yang sangat pandai, sambil melatih pedang kita.
Tan Hong, kamu bukan tandingan lootjianpwee ini, kenapa kamu
tidak hendak lantas mengaku kalah?"
Tan Hong dengar perkataan gurunya itu, berbareng dengan In
Loei, ia menarik kembali pedangnya sambil berlompat mundur.
Dengan tetap menyekal pedangnya, mereka memberi hormat
kepada si nyonya tua sambil berkata: "Terima kasih banyak untuk
pengajaran Lootjianpwee, hingga tak sedikit kami peroleh
kefaedahan."
Nyonya tua itu bersenyum.
"Kamu dapat melayani aku sampai lima puluh jurus, kamu
bukannya kalah," katanya dengan tenang. "Baiklah, kamu boleh
mundur, untuk digantikan oleh gurumu!"
"Kami juga akan maju berdua," berkata Hoeithian Lionglie, yang
mendapat ketika untuk beristirahat.
"Itulah baik sekali," jawab si orang tua. "Memang aku ingin
menyaksikan kepandaian murid-murid Hian Kee Itsoe."
Thian Hoa tidak lantas maju, hanya sambil mengawasi nyonya
tua itu, ia berkata.
"Lootjianpwee, sudikah kau memberitahukan kami tentang
hubungan lootjianpwee dengan guru kami?" demikian ia tanya.
Tiba-tiba si nyonya tua menunjukkan roman gusar.
"Hian Kee Itsoe agulkan dirinya sebagai orang nomor satu di
kolong langit ini, aku si tua bangka, mana berani aku bersahabat
dengannya?" sahutnya, kaku. "Kamu juga tak usah menyebut-
nyebut tentang persahabatan, baik kamu keluarkan saja semua
kepandaianmu yang telah kamu peroleh dari Hian Kee Itsoe!"
Hoeithian Lionglie heran. Dari kata-kata orang tua ini, mestinya
antara dia dan guru mereka ada sesuatu sangkutan, hanya entah
urusan apa itu.
Thian Hoa tidak menjadi gusar atau kecil hati karena suara keras
itu, ia malah bersenyum.
"Kalau begitu, kami turut perintah saja," katanya. "Harap
lootjianpwee memberi maaf kepada kami..."
Kata-kata ini disusul dengan gerakan pedang yang pertama, yang
sebat sekali, yang diturut pula oleh Yap Eng Eng.
Hoeithian Lionglie bersilat seperti biasa, ia tidak harap dengan
satu kali gebrak saja akan peroleh kemenangan, akan tetapi
Siangkiam Happek benar-benar liehay, ketika kedua pedang
bergerak berbareng, tanpa merasa si nyonya tua yang liehay itu
mesti mundur tiga tindak. Eng Eng menjadi girang sekali, di dalam
hatinya, ia berkata: "Ilmu pedang ciptaan soehoe ini benar-benar
istimewa!..." Ilmu pedang yang Thian Hoa dan Eng Eng gunakan
adalah sama dengan ilmu pedang Tan Hong dan In Loei, akan tetapi
perbedaan di antara mereka besar sekali, dan itu disebabkan latihan
atau tenaga dalam mereka.
"Sekarang baharu aku saksikan kepandaian Hian Kee Itsoe!"
berkata si nyonya tua setelah dia maju pula, sambil memainkan
pedang bambunya. Lalu terlihatlah tubuhnya bergerak-gerak dengan
sangat lincah, tangan bajunya seperti berkibar-kibar.
Thian Hoa tidak menjadi gugup, ia juga berlaku gesit untuk
melayani orang tua itu. Erat kerja samanya dengan Yap Eng Eng,
hingga karenanya, pertandingan menjadi sangat seru.
Kedua pihak sangat gesit, hingga dalam sekejap saja, lima puluh
jurus telah lewat.
"Maaf!" seru Thian Hoa, yang lantas saja mengubah gerakannya,
hingga ia menjadi lebih gesit, dalam hal mana, ia terus diimbangi
Yap Eng Eng.
Dalam gerakan kali ini, terdengarlah suara dari beradunya
pedang-pedang dan, memberebetnya suara baju robek. Itulah suara
pedang bambu dari si nyonya yang tertabas kedua pedang
lawannya, hingga pedang itu terkutung menjadi empat, dan
robeknya kedua ujung baju si nyonya!
"Maaf!" berkata pula Thian Hoa, dan Yap Eng Eng, sambil
menarik kembali pedang mereka.
Nyonya tua itu melemparkan sisa pedang bambunya.
"Tak dapat aku menahan kamu, pergilah!" berkata-dia, yang
romannya menjadi lesu. Beberapa puluh tahun dia telah keram diri
di rimba pohon bambu ini, dia percaya dia akan dapat menandingi
Hian Kee Itsoe, tidak disangka, dia rubuh di tangan murid orang.
Thian Hoa berempat memberi hormat, tanpa bilang apa-apa lagi,
mereka mengundurkan diri dari rimba bambu itu.
"Liehay ilmu silat nyonya tua itu," berkata Eng Eng di tengah
jalan. "Kita masih berbeda jauh sekali daripadanya. Aku lihat di
jaman kita ini kecuali guru kita dan Siangkoan Thian ya, dialah jago
yang ketiga."
"Bila mereka itu mengadu kepandaian, itulah baharu suatu
pertandingan yang hebat," berkata In Loei.
"Mungkin mereka pernah mengadu kepandaian," kata Thian Hoa
sambil tertawa. "Sayang kita dilahirkan belakangan hingga kita tidak
dapat menyaksikan mereka!"
"Aku rasa dia mempunyai perhubungan erat dengan guru
kita," Eng Eng utarakan dugaannya. "Shako, mendengar
perkataanmu tadi, kau agaknya ketahui siapa nyonya tua itu..."
"Di pihak kita," sahut Thian Hoa, "yang mengetahui tentang dia,
selainnya soehoe, mungkin toasoeheng. Pernah aku dengar
samar-samar toasoeheng mengatakan, pertentangan antara
soehoe dengan Siangkoan Thian Ya, tidak hanya disebabkan
perebutan menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan, tetapi
juga tersangkut hal seorang nona yang gagah luar biasa. Aku
telah minta penjelasan padanya tetapi toasoeheng sungkan
memberitahukannya. Toasoeheng tidak sudi berkata-kata perihal
soehoe."
"Bagaimana dengan toasoeheng sendiri?" tanya Eng Eng.
"Sudah lama aku tidak melihat dia," jawab Thian Hoa. "Aku
dengar desas-desus, kamu semua telah mendapat salah pengertian
terhadapku..."
"Itulah benar," Yap Eng Eng akui. "Sepuluh tahun lamanya kau
berdiam di negeri Watzu, sebenarnya apa saja yang kau kerjakan di
sana? Kenapa kau pernahkan dirimu di bawahan Thio Tjong Tjioe?"
Tjia Thian Hoa tertawa. Ia tidak jawab pertanyaan itu.
"Tan Hong, mari aku ajar kau kenal!" katanya kepada muridnya.
"Soemoay, dia adalah puteranya Thio Tjong Tjioe, ialah murid yang
aku terima di Watzu."
Tan Hong lantas maju, untuk memberi hormat. Eng Eng menjadi
heran.
"Kau telah mendapatkan murid yang pandai!" kata dia. "Pantas
tadi dia bersama-sama In Loei sanggup melayani orang tua itu
selama lima puluh jurus..."
Hoeithian Lionglie merasa heran sekali, ia menjadi curiga.
Mustahil cuma sebab hendak mengambil satu murid, Thian Hoa jadi
tidak merasa terhina untuk bekerja di bawahannya Thio Tjong Tjioe,
orang Han yang menjadi menteri bangsa asing itu?
Thian Hoa dapat menduga kecurigaan soemoay itu.
"Ceritaku panjang, maka itu, marilah kita cari dulu soeheng kita,"
berkata Thian Hoa.
Berempat mereka turun gunung. Untuk melanjutkan perjalanan,
In Loei ajak gurunya naik di atas kudanya, dan Tan Hong bersama
gurunya naik atas Tjiauwya saytjoe ma, maka itu, dengan cepat
mereka dapat lakukan perjalanan mereka, belum sampai setengah
jam mereka sudah tiba di luar Ganboenkwan di tempat di mana
mereka sudah berjanji untuk bertemu. Akan tetapi di situ, mereka
tidak lihat Tiauw Im Hweeshio.
"He, ke mana perginya djiesoeheng?" kata Eng Eng.
"Kuda kita dapat lari keras, mari kita cari padanya," mengajak
Thian Hoa. "Mari kita cari dia di sekitar sini."
"Baiklah kita mencari dengan berpencaran," Tan Hong usulkan.
"Tak usah kau terus turut kita," kata Thian Hoa pada muridnya.
"Di dalam negeri Watzu akan terjadi suatu perubahan besar,
mungkin ayahmu berada dalam bahaya. Kalau tidak untuk bertemu
dengan djiesoeheng, tidak nanti aku datang kemari. Kau pergilah
bersama In Loei, kudamu dapat lari keras."
Tan Hong menjadi berkuatir.
"Ada ancaman bahaya apa, soehoe?" tanyanya.
"Yasian mencurigai ayahmu berhati dua," Thian Hoa jelaskan,
"maka itu setelah dia menarik kembali angkatan perangnya, niatnya
menjadi semakin keras untuk merampas pemerintahan. Cita-citanya
sebagai Soema Tjiauw, semua orang telah mengetahuinya. Aku
hanya kuatir, niatnya itu akan diwujudkan dalam satu hari satu
malam..."
Tan Hong menjadi berkuatir. Memang ayah terancam bahaya,
apapula ayah itu mengandung maksud membantu kerajaan Beng.
Karena ini, tak sempat ia bertanya banyak-banyak, habis memberi
hormat kepada gurunya dan juga kepada Yap Eng Eng, ia segera
berlalu dengan mengajak In Loei.
Tjia Thian Hoa awasi kedua anak muda mengaburkan kuda
mereka.
"Mereka lebih beruntung daripada kita!" katanya sambil
bersenyum.
Muka Yap Eng Eng menjadi bersemu dadu. Ia merasa, Tan Hong
dan In Loei itu bagaikan bayangan mereka berdua — ia dan Thian
Hoa.
Tan Hong bersama In Loei melarikan kuda mereka sekeras-
kerasnya, maka dengan segera mereka memasuki daerah Watzu,
setelah tujuh hari, tibalah mereka di tanah datar Tjumushentji,
sesudah melintasi tanah datar ini, kira-kira dua ratus lie lagi, mereka
akan sampai di kota raja negara Watzu itu.
"Lagi dua hari, kita sudah akan sampai!" kata Tan Hong sambil
bersenyum, karena setelah berjalan demikian jauh, hatinya mulai
menjadi lega. Ia tahu benar, kudanya, dan kuda In Loei juga, bisa
lari setiap hari lima ratus lie. Ia tarik sebuah buli-buli yang
digantung di pelana kudanya, di dalamnya ia simpan minumannya
yang dinamakan "manaitjiu" atau arak susu kuda, yang dapat dibeli
di sepanjang jalan. Ia menambahkan: "Sudah sekian
lama aku tidak pernah merasakan pula minuman ini. Adik kecil,
apakah kau hendak minum juga sedikit?"
Keluarga Thio ini sudah lama tinggal di Watzu, maka itu tahulah
Tan Hong segala makanan atau minuman bangsa asing itu, dan
manaitjiu ini meskipun tidak dapat melawan arak Tiongkok tetapi
rasanya boleh juga.
In Loei menggelengkan kepala.
"Tidak, aku tidak mau," jawabnya. "Tak suka aku pada sarinya
yang asam."
Tan Hong buka sumpal buli-buli itu, lalu ia bawa buli-buli itu ke
mulutnya sendiri, untuk digelogokkan isinya.
"Lihat, adik kecil, bagaimana indahnya pemandangan
alam di sekitar sini," ia kata kepada kawannya. In Loei tertawa.
"Lihatlah, salju tengah beterbangan," katanya. "Sekarang sudah
jauh musim dingin, perjalanan akan menjadi lebih sukar, maka
marilah kita mengejar waktu!"
Tan Hong pun tertawa.
"Sekarang sudah jauh musim dingin, itu artinya musim semi akan
segera datang!" katanya. Ia tenggak pula minumannya, terus ia
bernyanyi. Ia menyanyikan syair "Berperang ke Barat" dari Gim
Som: "Di negeri Hsiungnu, rumput kuning artinya kuda sedang
gemuknya, di Barat bukit Kim San tampak debu beterbangan, itu
tandanya jenderal besar bangsa Han tengah maju berperang ke
Tanah Barat! Hai, adik kecil, meskipun kita, bukannya jenderal
besar Han itu, tetapi pentingnya perjalanan kita ini tak kalah dengan
majunya jenderal besar itu!"
In Loei pun tertawa, ia berkata: "Siapa berandalan, siapa gagah,
dialah orang kenamaan. Siapa bisa menangis, siapa bisa bernyanyi,
dia melebihi orang biasa. Kau bukannya orang kenamaan, kau
hanya seorang gagah, tidakkah itu sayang?"
Tan Hong tertawa pula.
"Berapa harganya orang kenamaan? Menjadi orang gagah pun
aku sungkan!" kata dia. "Aku hanya ingin bekerja menuruti
kehendak hati sendiri, supaya di saat ajal hampir tiba jangan
meninggalkan penyesalan. Dengan begitu tidaklah kecewa kita
hidup!..."
Dengan ini samar-samar Tan Hong menunjuk kepada
perjodohannya dengan In Loei, supaya jodoh itu dilangsungkan
secara wajar, jangan sampai terhalang karena rintangan lain orang,
hingga karenanya mereka jadi melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan hati sendiri.
Mendengar itu, In Loei membungkam.
"Eh, adik kecil, apa yang kau pikirkan?" tegur Tan Hong.
Si nona paksakan diri untuk tertawa.
"Aku sedang pikirkan... aku sedang pikirkan..." sahutnya, tak
lancar. "Ya, kita telah berjalan selama beberapa hari, tapi kita tidak
pernah melihat pengembala-pengembala yang pergi ke Selatan
untuk menghindarkan diri dari musim dingin.
Bukankah syair Gim Som itu mengatakan di Barat bukit Kim San
tampak asap dan debu beterbangan? Kenapa kita cuma melihat
debu yang beterbangan saja dan asapnya tidak?"
Di Mongolia itu, setiap musim dingin, biasanya rakyat
pengembala pergi mengungsi ke Selatan, untuk menyingkir dari
penderitaan hawa dingin, sambil mengungsi mereka berusaha
mengumpulkan barang keperluan sehari-hari untuk pada musim
semi membawa pulang barang itu untuk dijual.
Sebenarnya, Tan Hong pun heran karena selama beberapa hari
itu, ia tidak pernah melihat mengungsi kaum pengembala, sedang
biasanya, yang tampak paling dahulu adalah kuda mereka yang
berkelompok. Ia mesti benarkan pendapat In Loei itu, tetapi
walaupun demikian, ia toh memikirkan pula.
Tiba-tiba mereka dengar suara kelenengan.
"Nah, lihat, lihat itu!" serunya sambil tertawa. "Bukankah itu
kaum pengembala yang tengah menuju ke Selatan?" Ia lantas
palingkan kepalanya.
In Loei segera menoleh.
Di kejauhan mereka tampak seekor onta tengah mendatangi.
Itulah binatang yang perdengarkan suara kelenengan.
Berombongan dengan onta itu ada beberapa ekor kuda.
"Kelihatannya yang mengungsi itu cuma satu keluarga," berkata
si nona. "Biasanya mereka membuat perjalanan dalam rombongan-
rombongan besar."
"Lihat!" kata TanHong. "Lihat di belakang mereka itu, masih ada
rombongan lainnya... Eh, mereka bukannya kaum pengembala,
hanya serdadu Mongolia!"
Memang, dengan menerbitkan debu mengepul-ngepul, belasan
serdadu Mongolia tengah mendatangi. Atau lebih tepat lagi,
serdadu-serdadu itu sedang mengejar rombongan gembala di
sebelah depannya. Mereka mengaburkan kuda mereka, tidak heran
jikalau mereka segera dapat menyusul. Dan mereka sudah lantas
bersikap keras terhadap rombongan itu, yang rupanya mau
ditangkapi, mereka main tarik. Maka sejenak itu terdengarlah ratap
tangis dari lelaki atau perempuan dari rombongan pengungsi itu.
"Eh, itulah paksaan ketentaraan!" seru In Loei. Kenapa wanita
hendak ditangkap juga? Kita telah saksikan mereka, tak dapat kita
diam saja!"
Nona ini menjadi sangat mendongkol.
Tan Hong, yang telah dipengaruhi sedikit oleh araknya,
menyahuti: "Baiklah! Mari kita binasakan beberapa serdadu
Mongolia, kita rampas kudanya untuk diberikan kepada kaum
pengembala itu!"
"Jangan, jangan kau binasakan mereka!" mencegah In Loei.
"Seorang serdadu pun jangan kau binasakan. Kita usir saja mereka!"
Tan Hong bersenyum. Ia tahu In Loei pemurah hati, ia pun
bicara dengan maksud bergurau.
"Baiklah, aku turut kau!" katanya.
Lalu mereka larikan kuda mereka, akan menghampiri rombongan
serdadu Mongolia serta pengungsi itu. Pada saat itu seorang
serdadu telah menangkap seorang wanita, dan beberapa serdadu
lainnya, dengan panahnya, sedang mengancam dua pria.
"Kenapa kamu tidak mendengar titah Thaysoe?" demikian
terdengar satu serdadu. "Kenapa kamu lancang?"
Dua pengungsi pria itu, yang satu sudah berusia lanjut, yang
lainnya masih muda.
"Baik, kami akan turut kamu kembali," berkata yang tua. "Akan
tetapi anakku ini tak dapat kamu tangkap!"
Ia maksudkan anak perempuannya.
"Kamu telah melanggar titah Thaysoe, kamu semua akan
dihukum!" bentak serdadu tadi.
In Loei dengar pembicaraan itu, ia menjadi lebih gusar. Ia keprak
kudanya untuk maju mendekati.
"Ah, itulah dua ekor kuda yang bagus!" berseru serdadu Mongolia
itu. "Eh, ada lagi dua orang Han!..."
Lalu mereka maju, untuk mendekati In Loei berdua.
"Apakah kamu menghendaki kuda ini?" tanya Tan Hong sambil
tertawa. "Nanti aku menghadiahkannya kepadamu! Hanya aku
kuatir kamu tidak nanti sanggup mengendalikan kuda ini..."
Kuda Tjiauwya saytjoe ma sudah lantas mengamuk. Ia terjang
serdadu-serdadu Mongolia itu, ia mendupak sana-sini, hingga
serdadu-serdadu itu jatuh bangun.
Orang yang menjadi kepala tak memandang mata kepada In
Loei, ia maju kepada si nona, dengan mengulurkan sebelah
tangannya, ia hendak menangkap nona itu.
In Loei tangkis tangan orang itu, begitu keras, hingga perwira itu
terjungkal dari atas kudanya.
"Benar-benar kamu berani mengganas!" bentak Tan Hong.
"Lihatlah kuda ini!"
Dan ia ayunkan tangannya, tampaknya ia tidak memakai tenaga,
tetapi kuda si perwira lantas saja rubuh dengan batok kepalanya
pecah.
Semua serdadu Mongolia itu kaget, hingga mereka berdiri
menjublak. Itulah tangan yang liehay sekali.
In Loei, yang kemurkaannya sudah berkurang, tertawa
menampak tingkah serdadu-serdadu itu.
"Kenapa kamu masih tidak hendak pergi dari sini?" ia tanya
mereka. "Apakah kamu hendak mencari mampus?"
Benar-benar rombongan serdadu itu menjadi sangat ketakutan,
dengan satu teriakan mereka lari kepada kuda mereka masing-
masing untuk segera kabur.
Celaka bagi si perwira, yang kudanya telah terbinasa, saking
takutnya ia pun angkat kaki, larinya terhuyung-huyung.
Si pengembala tua lantas menghampiri Tan Hong, untuk
memberi hormat, untuk menghaturkan terima kasih mereka.
"Mereka tadi menyebut-nyebut titah dari Thaysoe, titah
apakah itu?" tanya Tan Hong.
"Sekembalinya Thaysoe dari luar negeri, ia telah
mengumumkan sebuah titah," sahut si pengembala. "Dengan
titah itu, sejak musim dingin, kami dilarang pergi mengungsi ke
Selatan, katanya kami mesti menunggu sampai selesainya
pengumpulan tentera baru. Sekarang ini sudah banyak anak-anak
muda yang telah diambil dengan paksa, untuk dijadikan serdadu.
Aku telah berusia lanjut, anakku cuma satu laki-laki satu
perempuan, jikalau anakku yang lelaki diambil, pasti sekali bersama
anakku yang perempuan aku akan mati sengsara. Oleh karena itu,
dengan terpaksa kami melarikan diri. Jika perbuatan kami ini
diketahui, pasti kami akan dituduh sudah berangkat mengungsi, dan
itu artinya, kami akan kehilangan jiwa kami. Tapi kejadian tadi
adalah lain, rombongan serdadu itu bukannya menuduh aku telah
melanggar titah, tetapi mereka justeru hendak merampas
gadisku..."
Mendengar keterangan itu, Tan Hong segera dapat pikiran,
dengan mengumpulkan tentera baru, terang sudah Yasian, si
thaysoe, telah mengandung maksud untuk berontak, guna
merampas tahta kerajaan Watzu. Karena ini, ia kuatirkan
keselamatan ayahnya. Karena ini juga, ia tidak mempunyai
kegembiraan lagi untuk bertanya banyak pada pengembala itu, ia
ingin segera pamitan...
Akan tetapi tidak demikian dengan In Loei.
"Kamu orang mana?" tanya si nona In, sambil memegangi
tangan gadis pengembala tua itu. "Siapakah namamu?" Kedua
matanya menatap tajam wajahnya gembira.
"Kami dari suku Ngolo," sahut nona itu. "Kami tinggal di lembah
selatan gunung Tangkula. Namaku Tjitjelo..."
"Tjitjelo Anmei!" kata In Loei, meneruskan. "Entjie Anmei, kau
baik!"
Gadis pengembala itu menjadi heran, hingga ia berdiri
tercengang, kemudian ia tatap wajah Nona In. Ia heran kenapa
orang mengetahui namanya dan memanggil ia entjie (kakak). Ia
mencoba akan mengingat-ingat akan tetapi sejenak itu, tak dapat ia
mengingatnya.
Tan Hong pun heran, maka ia awasi kawannya itu.
In Loei menunjukkan roman sangat tegang, ketika ia bicara pula,
suaranya pun menggetar.
"Bagaimana dengan Antjilo, nyonya tua Mi In?" demikian
pertanyaannya pula. "Apakah nyonya tua itu masih ada di sana?"
Nona Ngolo itu masih mengawasi.
"Apakah kau maksudkan nyonya tua yang menikah dengan
seorang Han?" dia tegaskan.
"Benar," sahut In Loei dengan cepat.
"Oh!..." seru si nona tertahan. "Kau jadinya In... In..."
"Ya, aku In Loei !" jawab Nona In. "Masih ingatkah kau padaku?
Waktu kita masih kecil, bersama ibuku sering aku pergi ke lembah
menyaksikan kamu menggembala kambing..."
In Loei meninggalkan Mongolia dalam usia tujuh tahun, maka itu,
segala apa ia ingatnya samar-samar. Nona pengembala ini adalah
kawannya semasa kecil. Dan nyonya tua Antjilo Mi In itu, yang ia
tanyakan adalah ibunya. Selama ayahnya, In Teng
menyembunyikan diri di Mongolia, ayah itu telah menikah dengan
satu nona Ouw, ialah sukunya nona pengembala ini. In Teng pandai
sekali menyimpan rahasia, sampaipun isterinya tak diberitahukan hal
kepergiannya itu.
Bukan main girangnya si nona pengembala, melihat kawan
semasa kecilnya sekarang sudah menjadi seorang nona yang gagah,
hanya bila ia dengar In Loei bertanya tentang ibunya, ia nampaknya
bersusah hati.
"Ketika tahun itu kamu lenyap secara mendadak," berkata si
orang tua, yang mewakili gadisnya, "ibumu telah menangis siang
dan malam sampai kedua matanya rusak hingga ia tak dapat
melihat dengan terang. Kepala bangsa kita merasa kasihan melihat
nasib ibumu itu, ia telah memberikan pekerjaan sebagai tukang
pelihara kuda padanya. Sekarang ini mungkin ibumu itu masih ada
di rumah kepala bangsa kita itu. Karena ini kepala bangsa kita
mengatakan bahwa semua orang Han tak dapat dipercaya, sejak
itulah ia mengumumkan larangan, wanita-wanita bangsanya
menikah dengan orang Han."
In Loei lantas saja menangis menggerung-gerung. Pilu rasa
hatinya mendengar penderitaan ibunya itu, ia lantas bayangkan
bagaimana ibunya hidup sengsara.
"Sabar, adik kecil," Tan Hong menghibur. "Tunggu sampai kita
sudah selesai dengan tugas kita, kemudian kita cari ibumu itu.
Syukur yang peebo masih ada di dalam dunia ini dan kita telah
mendengar perihalnya, inilah suatu keuntungan dalam kesusahan...
Sudahlah, jangan kau menangis." In Loei tatap Tan Hong. Ia
nampaknya mendongkol, akan tetapi, ia suka mendengar nasihat
orang itu, maka ia seka air matanya, setelah pamitan dengan bekas
kawannya, orang tuanya dan saudaranya, ia naik ke atas kudanya,
untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Lenyap kegembiraan Tan Hong. Ia pun berduka, menyesal sekali,
mendengar nasib ibu In Loei itu. Ia insaf, penderitaan Nyonya In itu,
biar bagaimana, disebabkan karena sikap ayahnya dahulu. Maka
diam-diam ia ambil putusan untuk melakukan sesuatu guna
menebus kesalahan ayahnya itu.
Di sepanjang jalan ke Utara itu, Tan Hong dan In Loei tampak
semakin banyak tentera Mongolia, akan tetapi karena kuda mereka
dapat lari pesat, mereka senantiasa menyingkir dari mereka itu,
walaupun mereka dapat dilihat serdadu-serdadu itu, untuk
mengejarnya, mereka itu tidak sanggup.
Selang dua hari lagi, tibalah pemuda dan pemudi ini di kota raja
negara Watzu. Mereka itu sudah salin pakaian, mereka telah dandan
sebagai kaum pengembala yang memasuki kota untuk belanja
musim dingin...
Untuk dapat bertinggal, Tan Hong menyewa kamar di sebuah
rumah penginapan kaum pertengahan, setelah pernahkan kuda
mereka, mereka keluar dari hotel. Tan Hong hendak pergi ke
rumah, yang ada sebuah sianghoe-nya, yaitu gedung menteri
muda, yang letaknya didekat istana, di bahagian depannya terdapat
jalan perapatan di mana banyak kendaraan berlalu lintas, hingga
jalan besar itu menjadi ramai sekali. Akan tetapi hari itu, sedikit
sekali orang yang mondar-mandir di situ, hingga keadaan menjadi
sangat sunyi.
Menginjak jalan perapatan itu, hati Tan Hong tegang sendirinya,
ia mendapat suatu perasaan luar biasa. Di dalam hati kecilnya ia
berseru "Celaka!...”
Sebenarnya, bila ia lintasi jalan besar itu, Tan Hong akan segera
tiba di gedungnya, akan tetapi ia sudah lantas dapat pikiran, maka
ia tarik tangan In Loei, untuk membawa kawan ini memasuki
sebuah gang kecil di mana keduanya seperti bersembunyi di pojok.
Dari sini Tan Hong dapat memandang ke depan sianghoe, hingga ia
dapat melihat sejumlah serdadu yang rupanya bertugas menjaga di
situ. Apa yang ia anggap luar biasa ialah, tidak ada seorang serdadu
juga yang ia kenali. Jadi mereka itu bukanlah serdadu-serdadu dari
gedung itu.
Kembali Tan Hong menarik tangan si Nona In, untuk mengajak
nona ini melintasi beberapa jalan, dan akhirnya mereka berhenti di
sebuah warung arak.
"Marilah kita dahar dan minum dahulu," katanya pada kawannya.
In Loei manggut, ia menurut. Tan Hong pesan sekati daging
serta dua kati arak Mongolia yang paling kesohor, yang dinamakan
"arak merah rumput wangi."
"Menyesal sekali, di sini tidak tersedia arak itu," kata pelayannya.
"Kalau begitu, pergi tolong belikan," kata Tan Hong, yang terus
menyerahkan sepotong perak.
Pelayan itu heran mendapatkan seorang pengembala dengan
banyak uang, tetapi ia pergi tanpa bilang suatu apa, waktu ia
kembali, ia sudah lantas sajikan arak yang diminta itu. Selagi
hendak mengembalikan uang kembaliannya, ia berkata: "Arak ini
harganya sekati satu tail empat tjhie, maka itu dua kati jadi..."
"Tak usah kau kembalikan, ambil saja untukmu," kata Tan Hong
memotong.
Kembali pelayan itu menjadi heran. Jumlah harga arak itu cuma
dua tail delapan tjhie, tapi uang perak tadi berharga sepuluh tail,
maka persenan itu besarnya tujuh tail dua tjhie. Tidak heran kalau
ia menjadi girang luar biasa, berulang-ulang ia haturkan terima
kasihnya. Kebetulan waktu itu tidak ada lain-lain tetamu, hanya ia
dapat mendampingi kedua tetamu itu, untuk siap sedia melayani
terlebih jauh.
Tan Hong keringkan beberapa cawan arak.
"Gedung di depan itu gedung siapa?" ia tanya jongos itu,
sikapnya acuh tak acuh.
"Oh, tuan tidak mengetahuinya?" si pelayan balik menanya,
agaknya ia heran. "Itulah gedung dari Yoesinsiang Thio Tjong
Tjioe."
"Ah, pantas gedungnya besar dan mentereng!" kata Tan Hong
dengan tingkah dibikin-bikin tapi tampaknya wajar. "Di depan
gedung itu juga terdapat banyak serdadu yang menjaga, sampai
orang tidak berani lewat di depannya. Tentu mereka yang dagang di
dekat situ mengalami nasib malang, bukan?"
"Dulunya tidak ada penjagaan demikian banyak serdadu,"
berkata si pelayan. "Katanya Thaysoe Yasian yang mengirim
serdadu-serdadu penjaga itu..."
"Begitu? Mungkinkah Thio Sinsiang berbuat sesuatu kesalahan
terhadap Thaysoe maka gedungnya itu dijaga?"
"Tentang itu, aku tidak tahu," pelayan itu menggelengkan
kepalanya. "Hanya aku lihat masih saja ada hamba-hamba gedung
itu, dengan ditilik serdadu-serdadu, pergi keluar untuk berbelanja
sayuran dan lainnya. Kabarnya Thio Sinsiang masih ada di dalam
gedung itu."
"Ah, kau pandai mendengar kabar!" Tan Hong puji.
Si pelayan, girang sudah dipersen besar, sekarang dipuji juga.
"Karena kami cuma terpisah satu jalan besar dengan sianghoe,
kami bisa dianggap juga sebagai tetangga," berkata ia pula.
"Biasanya, kalau Thio Sinsiang hendak pergi ke istana, dia mesti
lewat di depan rumah makan kami, tetapi sudah sejak beberapa
hari, kita tidak pernah lihat Sinsiang pergi ke istana. Sinsiang suka
sekali akan hati kambing, selama beberapa hari ini dia masih tetap
membeli pada kami."
Lega juga hati Tan Hong mendengar keterangan ini.
"Jikalau begitu, ayahku tentu telah ditahan secara halus oleh
Yasian," pikirnya. "Yasian tidak menurunkan tangan jahat, apa
perlunya ia mengurung ayah secara begini? Itulah penahanan
rumah...
Untuk sementara, keterangan itu sudah cukup, maka habis dahar
dan minum, Tan Hong ajak In Loei kembali ke hotel. Selama di
rumah makan tadi, In Loei kebanyakan diam saja.
"Adik kecil," berkata Tan Hong, "sekarang pergilah kau ke rumah
penginapan di sebelah untuk minta sebuah kamar. Sebentar malam,
apabila tidak terjadi sesuatu, akan aku pergi padamu untuk
mengajak kau menyelidiki sianghoe."
"Kenapa kau bertindak begini?" tanya In Loei, yang kurang
mengerti.
"Bersiap sedia ada terlebih baik daripada tiada," jawab Tan Hong.
"Adik kecil, kau dengar saja perkataanku."
"Kalau begitu, baiklah," si nona menurut. "Malam ini akan aku
nantikan kau. Tapi untuk pergi ke rumahmu, aku tidak mau..."
Tan Hong tahu orang menjadi malu, ia tertawa.
"Baik," katanya. "Hal itu nanti saja kita bicarakan pula. Sekarang
aku hendak minta kau melakukan sesuatu. Yaitu kau mesti secara
diam-diam meninggalkan tanda-tanda di tembok-tembok dari
rumah-rumah di sekitar jalan besar dan gang-gang di sini."
In Loei terima tugas ini, maka Tan Hong ajarkan dia tanda-tanda
yang mesti dicoretkan itu, ialah tanda dari perguruan si pemuda.
Waktu itu juga si nona mengundurkan diri.
Habis bersantap, waktu sudah magrib. Tan Hong hendak mencari
In Loei ketika jongos memberitahukan ada tetamu pembesar negeri
yang datang berkunjung padanya.
"Heran..." pikir pemuda ini.
Ketika pintu kamar dipentang, di situ muncul satu perwira. Dia
adalah Ngochito pahlawannya Yasian.
"Thio Tan Hong, kau sungguh bernyali besar!" kata pahlawan itu
sambil tertawa. "Bagaimana kau berani datang kemari?"
Tan Hong juga tertawa.
"Kau juga bernyali besar sekali!" jawabnya. "Bagaimana kau
berani datang ke sini! Telah sembuhkan lukamu?"
Di pesanggrahan See To, Ngochito telah dilukai Tan Hong, dan
dia pun telah dihajar Tjio Eng, tidak peduli dia mengenakan baju
berlapis baja, dan karena lukanya dia harus merawat diri hampir
setengah bulan, tetapi sekarang dia telah sembuh kembali.
"Terima kasih untuk hadiahmu!" sahutnya sambil bersenyum.
"Syukur tulang-tulangku masih dapat pertahankan diri, hingga tak
usahlah aku sampai ditertawakan kau..."
Tan Hong pun bersenyum.
"Apa kehendakmu sore ini kau datang kemari?" ia tanya. "Disini
bukannya tempat untuk bertempur."
"Aku datang bukan untuk mencari kau guna menuntut balas,"
jawab Ngochito. "Tentu saja, bila kau menghendakinya, di belakang
hari mungkin kita akan melakukan pertempuran pula. Aku datang
untuk memberi selamat padamu!"
"Selamat untuk apakah itu?" Tan Hong tegaskan.
"Kau sungguh beruntung, bocah!" kata Ngochito sambil tertawa.
"Thaysoe telah ketahui segala tindak tandukmu, dia bersikap sangat
murah hati terhadapmu, maka malam ini dia undang kau
menghadiri perjamuannya."
"Ha! Mengundang aku berjamu?" tanya Tan Hong.
"Benar! Lekas kau salin pakaian! Sampai sekarang ini, tak usah
kau main sembunyi-sembunyi lagi, tak usah kau menyamar terus
sebagai satu pengembala!"
Tanpa ragu-ragu, Tan Hong sudah lantas tukar pakaian.
"Sungguh liehay kuping dan mata thaysoe1." katanya selagi salin
pakaian. Ngochito tertawa.
"Kau cerdik, lain orang tidak tolol!" katanya. "Thaysoe kata kau
cerdas seumur hidupmu, tetapi suatu waktu kau pun berlaku
sembrono!"
"Bagaimanakah itu?"
"Kau menggunakan tanganmu terlalu sembronoiBukankah kau
telah mencari keterangan dari seorang jongos rumah makan?
Dia telah memikirkan sikapmu itu? Dapatkah dia tidak memberi
laporan kepada pihak polisi?"
Tan Hong tidak terkejut. Kejadian itu telah diduganya. Ia malah
menduga, mungkin Yasian akan mengundang padanya. Maka itu,
siang-siang ia sudah menyuruh In Loei memisahkan diri.
"Eh, ke mana nyonya manismu?" tanya Ngochito.
"Kau ngaco! Dia adalah soemoay-ku!"
"Peduli apa dia isterimu atau soemoay-mu Mana dia!"
Thio Tan Hong tidak segera menjawab, ia hanya tertawai
pahlawan itu.
"Thaysoe pandai menghitung-hitung, apakah dia tidak dapat
menghitung-hitung tentang soemoay-ku itu?" dia tanya. "Soemoay-
ku itu jauh terlebih cerdik daripadamu! Aku sendiri telah datang
kemari dengan pertaruhkan jiwaku, akan tetapi dia, dia masih
sayangi jiwanya untuk beberapa tahun lagi — dia takut nanti
terbawa-bawa olehku, siang-siang dia telah angkat kaki!"
Ngochito sudah cari keterangan, dia dapat kepastian, In Loei
telah pergi sejak tadi siang, maka itu, dia percaya akan perkataan
Tan Hong ini. Ia tertawa.
"Memang dia sangat cerdas, akan tetapi pastilah Thaysoe tidak
mengijinkan dia berdiam di kota raja ini! Mari kita berangkat!
Thaysoe berlaku baik sekali terhadapmu, tidak usah kau mengadu
jiwamu!..."
Tan Hong telah selesai salin pakaian, ia tidak usah membayar lagi
uang sewa kamar, sudah ada Ngochito yang mendahului
membereskannya, maka itu ia lantas keluar dari hotel di depan
mana sudah menantikan beberapa pahlawan lainnya, yang datang
bersama-sama Ngochito itu. Ia segera naik kereta kuda yang
disiapkan untuk menyambut padanya.
Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di gedung perdana
menteri, yang jauh terlebih mentereng daripada gedung Menteri
Muda Thio Tjong Tjioe. Di sini, pintu luarnya tiga lapis, pintu
dalamnya juga tiga lapis, dan ke enam pintu itu berkunci besi.
"Tetamu telah tiba!" seru seorang pahlawan setelah mereka
memasuki pintu ke enam.
Segera juga pintu tengah dipentang, di dalam tampak cahaya
api bergemerlapan. Di dalam ruangan itu pun di bahagian
tengah, tampak Thaysoe Yasian tengah berduduk.
"Silakan tetamu itu masuk!" dia berikan titahnya, di mana
disampaikan oleh pengiringnya.
Dengan bersikap tenang dan wajar, Tan Hong bertindak
diundakan tangga.
Seorang pahlawan datang menghampiri, untuk memimpin.
"Undakan tangga di sini tinggi, hati-hati sedikit!" berkata
pahlawan itu.
Tan Hong bermata celi, ia lihat gerakan tangan Taylek Engdjiauw
kang-nya, maka itu, ia bersenyum.
"Aku dapat berjalan sendiri, kaulah yang berhati-hati!" katanya.
Ia kerahkan lengannya yang dicekal, atas mana pahlawan itu
mundur beberapa tindak dengan tubuhnya terhuyung. Meski begitu,
di bagian lengan yang dicekal itu, si anak muda merasakan sakit.
Maka mau atau tidak, ia bercekat di dalam hatinya. Teranglah
pahlawan ini lebih liehay daripada Ngochito, siapakah pahlawan ini?
Lalu, tanpa memberi tanda apa-apa, ia bertindak terus mendaki
tangga sampai di ruangan tengah.
Segera juga terdengar tertawanya Yasian.
"Baharu dua tahun kita tidak bertemu, kau telah menjadi begini
besar, hiantit1.' berkata perdana menteri itu. "Kau telah pandai
dalam ilmu surat dan silat, sungguh kau harus diberi selamat!"
Tan Hong berikan hormatnya kepada menteri agung itu.
"Dua tahun kita tidak bertemu, Thaysoe pun telah bertambah
agung!" ia menimpali, dengan suara nyaring tetapi sikapnya wajar.
"Thaysoe telah berkedudukan tinggi dan berpengaruh besar, hingga
rakyat cuma tahu ada Thaysoe tetapi tidak Sri Baginda Raja!
Sungguh Thaysoe juga harus diberi selamat!"
Tepat kata-kata Tan Hong itu, akan tetapi untuk mereka yang
tahu, itu justeru suatu ejekan. Yang pertama untuk kegagalan
Yasian menyerbu ke Tionggoan, dan kedua untuk cita-citanya
merampas tahta kerajaan.
"Bagus, bagus!" berkata Yasian sambil tertawa. "Hiantit telah
kembali dari tempat yang jauh, silakan duduk, mari minum!"
Di samping Yasian duduk seorang pendeta yang tubuhnya tinggi
dan besar, dia telah menuang penuh sebuah cawan, sambil
berbangkit, dia berkata: "Mari, lebih dahulu aku beri selamat kepada
Thio Kongtjoe1."
Dia pegang cawan itu dengan kedua jari tangannya, dia putar
cawan itu, yang isinya penuh, akan tetapi arak itu tidak tumpah
keluar, lalu diangsurkan ke muka si anak muda.
Tan Hong heran menyaksikan gerakan tangannya, itulah tenaga
yang dikerahkan pada jari-jari tangan. Lekas-lekas ia menyambuti.
"Maaf, aku belum ketahui gelaran tayhoatsoeV berkata ia. Ia
buka tangannya, untuk menyambut cawan itu dengan telapak
tangannya, lalu dengan melemahkan telapak tangan itu, ia buyarkan
tenaga menekan orang. Begitu lekas ia menyekal cawan, terus saja
ia minum.
Wajah si pendeta berubah dengan tiba-tiba, tetapi dalam sejenak
itu, Tan Hong juga telah menunjukkan roman heran, karena ia
rasakan tenaga dalam orang yang hebat sekali. Bila ia tidak
mendapat latihan menurut "Hiankong Yauwkoat," niscaya ia bisa
terluka serangan gelap dari si pendeta itu, atau sedikitnya, arak itu
akan tumpah keluar.
"Ah, dia terlebih liehay pula dari si pahlawan tadi..." katanya
dalam hatinya. "Pahlawan itu masih aku sanggup layani, tetapi dia
ini, sukar mengatakannya. Entah dari mana Yasian kumpulkan
orang-orang kosen ini?"
Belum lagi si pendeta menjawab, Yasian sudah mendahuluinya.
"Hiantit, mari aku ajar kenal," demikian katanya.
"Inilah Tjeng Kok Hoatsoe dari Ang Kauw dari Seetjhong, dan
ini," ia menoleh, akan menunjuk pahlawan yang tadi, "adalah Ma I
Tjan, orang kosen suku Tuyuhun!"
Bersama dua orang itu, Tan Hong keringkan secawan arak.
Sekarang tahulah dia, si pendeta berasal dari Agama Merah (Ang
Kauw) dari Thibet (Seetjhong), dan si pahlawan adalah orang
Tuyuhun.
Masih Yasian berkata pula: "Aku tadinya menduga hiantit pesiar
jauh hingga lupa pulang! Tentu banyak tempat yang hiantit telah
kunjungi?"
"Dari utara ini aku berangkat ke Kanglam," sahut Tan Hong
sambil tertawa, "di sana aku dapat kenyataan Tionggoan adalah
daerah makmur dan rakyatnya jelita. Sungguh Tionggoan adalah
satu dunia yang indah, suatu negara bersulam. Maka sayang bagi
Thaysoe yang baru saja tiba di luar Pakkhia sudah lantas kembali
pulang."
Wajah perdana menteri itu berubah mendengar perkataan orang
itu.
"Tanah Tionggoan itu pastilah lain kali akan aku kunjungi pula
untuk membuka mataku!" berkata dia kemudian. "Hiantit, aku akan
minta kau turut serta untuk menjadi pengantarku."
"Hm!" Tan Hong perdengarkan suara perlahan, lalu ia kata: "Tadi
malam dalam mimpiku aku telah pergi pula ke Tionggoan, hanya
sayang mimpiku itu tidak lama, lantas aku sadar."
Yasian dapat kendalikan dirinya, ia tertawa. Ia tutupi
kelikatannya dengan menenggak araknya.
"Hiantit, kau menjadi lebih pandai bicara," ia kata. "Usiaku telah
lanjut, apa yang aku pikir lantas aku ucapkan, maka itu aku minta
hiantit jangan menaruh kata-kata itu dalam hati bila tidak pantas
didengarnya..."
"Tidak apa, Thaysoe," jawab Tan Hong. "Silakan Thaysoe
katakan apa yang hendak diucapkan. Senang sekali aku
menerima pengajaran dari Thaysoe."
"Hiantit baharu saja kembali, kau tentunya belum bertemu
dengan ayahmu," berkata perdana menteri itu, "sekarang aku
mendahului ayahmu menyambut kau, aku percaya ayahmu tidak
akan menjadi kurang senang hati."
"Sebaliknya, hendak aku mewakilkan ayahku untuk
menghaturkan terima kasih untuk budi kebaikan Thaysoe," kata Tan
Hong.
Yasian heran, hingga ia mengawasi pemuda itu.
"Menghaturkan terima kasih untuk apakah?" ia tanya.
"Seumur hidupnya ayahku selalu repot," sahut Tan Hong, "tapi
sekarang dengan kecintaan Thaysoe , dia telah dibebaskan dari
tugasnya, hingga dia mendapat ketika untuk berdiam di rumah,
untuk beristirahat. Sebenarnya inilah suatu hal yang tak dapat
diminta, dari itu, bagaimana aku bisa tidak menghaturkan terima
kasih kepada Thaysoe?"
Mendengar itu, Yasian tertawa terbahak-bahak.
Tan Hong perlihatkan roman heran.
"Mungkinkah keponakanmu telah keliru berbicara hingga Thaysoe
mentertawakannya?" ia tanya.
"Hiantit tidak salah omong, hanya kau pandai sekali berbicara,"
sahut perdana menteri itu. "Benarlah bunyi pribahasa, yang kenal
anak tak ada yang melebihi ayahnya, sebaliknya, yang kenal ayah
juga tak ada yang melebihi anaknya. Memang aku berniat pergi ke
Tionggoan, akan tetapi ayahmu itu, bagaimana bisa dia tak
menghendaki pulang ke negeri asalnya? Hiantit, marilah kita bicara
secara terus terang. Dapat atau tidaknya ayahmu pulang ke
Tionggoan, itulah tergantung padamu sendiri!"
Tan Hong berlaku tenang.
"Silakan Thaysoe bicara dengan jelas," ia minta.
"Kali ini aku pergi ke Pakkhia, sia-sia saja hasilnya, Yasian akui.
"Kebandelan Ie Kiam si Bantjoe sungguh di luar sangkaanku, sedang
suasana di dalam negara kita juga adalah salah satu sebab lain yang
memaksa aku mesti lekas pulang kembali. Hiantit, kau seorang diri,
tidak ada halangannya untuk aku menjelaskannya."
"Adakah ayahku yang Thaysoe maksudkan dengan suasana di
dalam negeri itu?" tanya Tan Hong.
Yasian tertawa.
"Aku bukan maksudkan ayahmu, aku bicara mengenai Tiewan
Atzu," ia terangkan. "Di Barat, Atzu mempunyai tentera sendiri, tapi
dia tidak mentaati titah pusat. Apakah benar hiantit masih belum
tahu halnya dia itu?"
"Aku baharu saja pulang, aku masih belum tahu," jawab si anak
muda yang di panggil hiantit itu. (Hiantit = keponakan)
"Sekarang ini Watzu terpecah dalam tiga bahagian," Yasian
berbicara terlebih jauh. "Sri Baginda sangat lemah, tak dapat dia
mengendalikan negara, maka itu untuk dapat menjagoi di luar tapal
batas, untuk memberi minum kuda di sungai Tiangkang, hanya aku
atau Atzu-lah yang dapat melakukannya..."
Tan Hong tidak bilang suatu apa, ia cuma tertawa tawar.
"Atzu itu gagah tetapi ia tidak berbudi," berkata pula Yasian.
"Bukannya aku tekebur, untuk menggunakan kata-kata bangsa Han,
orang gagah yang sebenarnya adalah Lauw Pie bersama Tjo Tjoh.
Aku tidak pandai tetapi aku berani membandingkan diriku dengan
Tjo Tjoh itu..."
"Habis, siapakah yang menjadi Lauw Pie itu?" Tan Hong
tegaskan.
"Ayahmu yang terhormat itu ialah Lauw Pie," Yasian jelaskan.
"Ayahmu adalah boenbee tjoantjay, sudah lama dia memegang
kekuasaan, dia tahu betul keadaan dalam negeri Watzu, maka bila
dia berserikat bersamaku, tak sukar untuk kita bersama-sama
menyingkirkan Atzu, sesudah itu baharulah kita bersama-sama juga
memimpin angkatan perang kita ke Selatan. Sampai waktu itu
pastilah ayahmu yang terhormat itu akan dapat memberi minum
kudanya di Tiangkang, hingga terwujudlah cita-citanya untuk pulang
ke negaranya sendiri."
Tan Hong gusar mendengar perkataan itu, tetapi ia masih dapat
atasi dirinya. Selagi ia menahan sabar, Perdana Menteri itu sudah
melanjutkan pula pembicaraannya.
"Pada lima hari yang lalu, pernah aku menulis surat secara
rahasia kepada ayahmu, untuk mengajak dia berdamai," demikian
perdana menteri itu, "akan tetapi sampai sekarang, ayahmu masih
belum memberikan jawabannya. Hiantit, kau adalah seorang yang
cerdas, maka itu telah aku pikir untuk meminta bantuan kau, supaya
bila nanti kau pulang ke rumah, sukalah kau mewakilkan aku untuk
membujuk ayahmu itu."
Sekarang jelaslah bagi Tan Hong, Yasian hendak bersekutu
dengan ayahnya untuk bersama "menghukum" Atzu, untuk
menyingkirkan pangeran yang dipandang sebagai musuh itu. Terang
sudah, habis itu, Yasian akan mengangkat dirinya menjadi raja
Watzu dengan jalan merampas tahta. Inilah sebabnya, atau lebih
tepat lagi karena ayah belum memberikan jawaban, hingga ayah
dikenakan tahanan rumah. Oleh karena ini, ia lantas berpikir keras.
Ia insyaf, kekuasaan berada di tangan Yasian itu artinya, juga jiwa
ayahnya berada dalam genggaman perdana menteri ini. Kalau
sekarang ia bersikap keras, ancaman bencana di belakang hari tak
dapat dipikirkan besarnya. Pada itu pun tersangkut nasibnya
Tionggoan. Maka haruslah ia berhati-hati.
"Sekarang ini, Pangeran Atzu bukanlah tandingan Yasian," ia
berpikir lebih jauh, "umpama kata Yasian tidak bersekutu dengan
ayah, dia pun masih dapat mewujudkan cita-citanya untuk
mengangkat dirinya menjadi raja. Bahwa dia toh minta bantuan
ayah, itulah tak lebih tak kurang agar dia dapat memastikan
berhasilnya usaha itu. Tidak ada lain jalan, sekarang perlulah aku
menggunakan siasat memperlambat diri, untuk menunggu sampai
Ie Kokioo sudah selesai dengan penyempurnaan ketenteraannya.
Maka itu, andaikata Yasian telah berhasil, dia tak usah dikuatirkan."
Yasian sementara itu menantikan jawaban, ia mendesak.
"Kedua pihak telah bersahabat turun temurun, antara kita tak
ada kata-kata yang tak dapat diucapkan," demikian perdana menteri
itu. "Bagaimana pikiranmu, hiantit? Aku minta sukalah kau
menjelaskannya."
Sekonyong-konyong saja Tan Hong tertawa bergelak.
"Rembulan demikian permai, arak lezat tengah menanti, kalau
sekarang kita bicarakan urusan besar dari negara, tidakkah kita
telah mensia-siakan malam yang indah ini?" berkata Tan Hong.
"Marilah kita keringkan dahulu tiga cangkir! Thaysoe, mari, aku beri
selamat kepadamu dengan tiga cawan! Silakan minum!"
Yasian tercengang, hatinya tak puas. Akan tetapi untuk
kesopanan, tidak dapat ia menolak, maka itu, terpaksa ia tenggak
araknya hingga tiga cawan. Habis minum, baharu ia hendak bicara,
atau kupingnya mendengar suara beradunya gelang tangan
dibarengi dengan tersingkapnya gorden, lalu muncul satu nona yang
cantik, yaitu puterinya, Topuhua.
"Ah, Thio Toako, benar-benar kau!" berkata si nona sambil
tertawa. Sama sekali ia tidak tunjukkan sikap likat. "Aku tadinya
menyangka ayah memperdayakan aku!..."
Nona ini berbicara dengan sungguh-sungguh. Ayahnya
mengetahui rahasia hatinya, ayah itu menjanjikan akan merekoki
jodohnya dengan Tan Hong, untuk itu, ayahnya hendak mencari
Tan Hong, tetapi dia kalah perang, dia mesti berangkat pulang.
Topuhua sudah menyangka, seumurnya ia tidak akan bertemu pula
dengan Tan Hong, hal itu membuatnya ia berduka, lalu mendadak,
malam itu ayahnya memberitahukan padanya bahwa "orang yang ia
hendak menemuinya itu akan datang menghadiri pesta," hingga ia
menjadi girang berbareng ragu-ragu, ia sangsi kalau-kalau ayah itu
mendustai padanya, tetapi buktinya sekarang, ia lihat si pemuda
pujaannya itu!
Sebenarnya Yasian telah pesan puterinya, kalau nanti pesta
mendekati akhirnya, baharu si nona boleh muncul, akan tetapi
Topuhua tak sanggup mengendalikan hatinya, maka juga belum
sampai waktunya, ia sudah keluar.
Tan Hong tidak terkejut dengan datangnya si nona, malah
untuknya, inilah ketika yang baik sekali. Selagi nona itu berlaku
demikian polos, ia pun lekas-lekas berbangkit, untuk memberikan
hormatnya. Lalu ia berkata: "Sungguh beruntung yang hari ini aku
dapat bertemu pula dengan nona!
Terlebih dahulu aku mesti memberi selamat padamu dengan tiga
cawan!"
Dan segera ia isikan cawannya.
Topuhua tertawa, wajahnya jadi sangat terang.
Dengan tidak malu-malu, ia terima pemberian selamat si anak
muda itu, dengan diiringi pemuda itu, ia minum araknya. Selama itu
terus menerus ia bersenyum manis.
Tan Hong benar-benar gunakan ketikanya. Ia tidak berikan
Yasian ketika untuk membuka mulutnya, kemudian ia berkata pula:
"Aku bersyukur untuk pelayanan kau selama di Touwbokpo, maka
untuk itu, silakan kau keringkan tiga cawan pula!"
"Tetapi kau mesti temani aku minum!" kata Topuhua dengan
manis.
"Tentu!" sahut Tan Hong. Lantas ia isikan pula tiga cawan,
bersama si nona, ia keringkan cawannya sendiri.
Yasian kerutkan alisnya melihat kelakuan puterinya ini.
"Anakku, jangan minum terlalu banyak, nanti kau pusing,"
katanya. "Nanti toakomu tertawai kau, kau akan dikatakan tidak
tahu adat..."
Perdana menteri ini bicara kepada anaknya, tetapi maksud yang
sebenarnya adalah untuk menegur Tan Hong.
Topuhua tak dapat menangkap maksud ayahnya itu, ia tertawa.
"Cuma beberapa cangkir arak, mana dapat membuatnya aku
pusing!" katanya. "Aku justeru girang sekali yang Thio Toako
demikian baik hati..."
Tanpa malu-malu nona ini memanggil "toako" — artinya "engko"
— kepada si anak muda, terutama ayahnya pun menyebut "toako"
juga.
Kembali Yasian kerutkan alisnya, ia masgul dan bingung.
"Ah, ayah!" kata Topuhua, ketika melihat roman ayahnya itu.
"Baiklah, aku tidak akan minum pula. Thio Toako, hendak aku
membalas memberi selamat tiga cawan kepadamu!"
"Bagus, bagus!" kata Tan Hong tanpa menunggu orang
menuangkan arak untuknya. "Akan aku terima kebaikanmu ini!"
Terus ia isi cawannya, terus ia minum, hingga tiga cawan.
Topuhua sangat girang hingga ia seperti melupakan dirinya.
"Sungguh kau manis, Thio Toako1." ia berkata. "Aku kata, kau
mesti minum lagi tiga cawan! Semasa di Touwbokpo kau berlalu
tanpa pamitan. Tidakkah untuk itu kau harus didenda?"
"Memang! Memang aku harus didenda!" sahut Tan Hong, yang
menerima salah... Ia sambar poci arak, yang hendak diambil si
nona, ia tuangkan isinya, lagi sekali ia tenggak habis tiga cawan
pula!
"Arak sudah cukup!" akhirnya Yasian campur bicara. Ia heran
menampak sikap wajar dari Tan Hong. Tidakkah pemuda dan
pemudi itu berada dihadapannya?
"Mari kita dahar sup ikan untuk menghilangkan sedikit pengaruh
arak!"
Mendadak Tan Hong buka kancing bajunya, terus ia tertawa
besar.
"Jikalau arak bertemu penggemarnya, seribu cawan juga masih
kurang!" katanya. "Sebaliknya, kalau kata-kata tak cocok, setengah
patah juga terlalu banyak! Ya, ya, kalau kata-kata tidak cocok,
setengah patah juga terlalu banyak! Lihat, seribu cawan arak masih
belum cukup, apakah aku sudah hendak dilarang meminumnya
terlebih jauh?"
"Ah, Thio Sieheng sudah mabuk!" berkata Yasian.
Tan Hong mainkan kaki tangannya.
"Siapa kata aku sudah mabuk?" katanya. "Siapa kata aku sudah
mabuk? Lihat, akan aku minum pula, kamu saksikan!"
Ia lantas sambar poci arak.
Yasian kedipkan matanya kepada pahlawannya, Ma I Tjan, atas
mana, pahlawan itu maju, untuk mencegah.
"Kongtjoe sudah, jangan minum pula!" kata dia. Ia tekan tangan
orang.
"Hai, kau berani melarang aku minum?" Tan Hong membentak,
tangannya dipakai mengibas, atas mana, pahlawan itu mesti
mundur tiga tindak. Poci arak pun terlepas dan jatuh. Karena ini
merah muka dan kuping si pahlawan.
"Hiantit, hati-hati," kata Yasian. "Arak dapat merusak badan, baik
kau jangan minum pula!"
Tan Hong tertawa berkakakan.
"Sejak jaman purbakala hingga sekarang ini," katanya, "aku
cuma dengar tuan rumah yang menganjurkan tetamunya minum
arak tetapi belum pernah aku dengar tuan rumah
mencegah tetamunya minum! Inilah tidak ada aturannya! Haha-
haha! Haha nana!"
"Ah, benar-benar Thio Sieheng sudah mabuk," berkata pula
Yasian. "Lekas sajikan hidangan yang dapat melenyapkan pengaruh
arak itu!"
Tan Hong gerak-gerakkan kaki tangannya, seperti orang menari-
nari, ia berlaku berandalan.
"Aku belum mabuk! Aku belum mabuk!" katanya berulang-ulang,
akan tetapi lagaknya seperti orang sinting. Mendadak pula ia rubuh,
dari mulutnya keluar air liur, lalu keluar juga arak yang tadi ia
tenggak. Maka bau arak itu membuatnya orang hendak muntah-
muntah! Yasian menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, anak yang baik, kau berpura-pura mabuk!" katanya
perlahan. "Apakah dengan keadaanmu begini rupa akan aku
lepaskan kau?"
"Eh, ayah, kau bilang apa?" tanya Topuhua.
"Inilah bukan urusanmu," sahut orang tua itu. "Bila dia suka
dengar aku, tidak nanti aku bunuh padanya!"
Si nona terkejut.
"Walaupun dia tidak dengar kata, tidak selayaknya dia dibunuh!"
katanya.
"Sudah, jangan banyak bicara!" berkata ayah itu. "Sekarang lekas
kau suruh bawa dia ke kamar belakang untuk beristirahat."
Tan Hong masih rebah di lantai, tubuhnya nampak lemas,
mulutnya menganga, dari situ tersiar baunya susu macan. Mukanya
telah menjadi merah seluruhnya, hingga mirip dengan setan arak
yang lupa daratan... Tetapi, meskipun demikian, ia sebenarnya
sadar.
Demikian ia dengar suara tindakan ketika Tjeng Kok Hoatsoe
dengan perlahan-lahan menghampiri padanya, tangan pendeta itu
merabah nadinya. Ia lantas saja mainkan ambekannya menurut
pengajaran kitab "Hiankong Yauwkoat," dengan begitu, ia tutup
jalan napasnya, ia buat main, hingga nadinya jadi berdenyut tidak
keruan, jalan napasnya pun menjadi kacau.
"Ah, benar-benar bocah ini sudah mabuk!" berkata pendeta itu
setelah ia periksa nadinya.
"Bocah ini sangat licin, aku lihat mungkin dia sengaja meloloh
dirinya," berkata si pahlawan Ma I Tjan.
"Ayahnya berada dalam genggamanku, aku tidak kuatir dia nanti
dapat terbang pergi," berkata Yasian. "Sekarang dia mabuk, besok
toh dia mesti memberi jawaban padaku. Perintahkan dua orang
gotong dia ke belakang! Anak Hua, pergilah kau rawat dia..."
"Baik, ayah," terdengar si nona berikan penyahutan.
Menyusul itu Tan Hong rasakan dua orang memegang kaki dan
tangannya, untuk mengangkat tubuhnya, untuk dibawa pergi. Diam-
diam ia tertawa dalam hatinya. Ia lantas sengaja membikin dirinya
seperti tengah tidur nyenyak karena mabuknya itu, ia perdengarkan
suara menggeros yang keras.
"Tjeng Kok Hoatsoe, selama beberapa hari ini aku telah membuat
kau cape," terdengar suara si perdana menteri. "Bukankah di dalam
istana tidak ada apa-apa yang menimbulkan kecurigaan?"
Tan Hong dengar itu, hendak ia mendengarkan terlebih jauh,
maka ia lantas mengerahkan kepandaiannya supaya tubuhnya
menjadi berat. Itulah ilmu yang dinamakan "Tjiankin twie = Jatuh
seribu kati." Kesudahannya hebat bagi kedua pahlawan yang
menggotong tubuhnya itu, mereka sampai sukar bertindak, karena
malu terhadap Yasian dan kuatir nanti dikatai tidak berguna, mereka
memaksa menggotong terus, tapi tindakannya sangat ayal.
Tjeng Kok Hoatsoe menjawab perdana menteri itu. Ia kata:
"Istana berada di bawah pengawasanku, perhubungan antara dalam
dan luar telah terputus, maka itu tidak ada orang yang berani
datang masuk untuk membuat pembicaraan rahasia dengan Sri
Baginda. Tentang itu, jangan Thaysoe kuatir."
Hati Tan Hong bercekat.
"Nyata, benar-benar Yasian berniat merampas tahta kerajaan,"
pikirnya. "Dia sampai berani bertindak begini macam, hingga raja
Watzu pun dikekang kemerdekaannya!"
Lalu terdengar pula suara Yasian, sambil tertawa: "Aku percaya
dia pun tidak akan berani membuat perhubungan dengan pihak
luar, tapi meskipun demikian, berlaku hati-hati adalah terlebih baik.
Maka malam ini baiklah kau dan Ma I Tjan berdua yang bergilir
menjaga istana. — Eh, kenapa kamu jalan perlahan sekali? Apakah
kamu kuatir nanti melukai dia?"
Perkataan yang belakangan ini merupakan teguran kepada kedua
pahlawan yang ditugaskan menggotong Tan Hong, yang masih saja
sangat ayal tindakannya. Tapi begitu lekas Yasian berhenti bicara,
begitu lekas pula Tan Hong menghentikan pengerahan tenaganya,
maka tubuhnya menjadi enteng pula seperti biasa, hingga kedua
pahlawan itu menjadi lega hatinya. Mereka ini lantas menjawab
perdana menteri itu: "Benar, Thaysoe. Thio Kongtjoe sudah mabuk,
kami kuatir nanti melukai dia..."
"Apa yang mesti dikuatirkan?" terdengar pula Yasian. "Dia pandai
ilmu silat, tubuhnya telah terlatih! Apakah kamu sangka dia
bertubuh dari kertas?"
Kedua pahlawan itu menyatakan mengerti, lalu mereka berjalan
dengan cepat, membawa Tan Hong ke kamar belakang. Di dalam
hati, mereka itu mencaci si anak muda, yang dikatakan sudah main
gila. Biar bagaimana, mereka adalah pahlawan pilihan, kalau tidak,
Yasian tidak akan pakai mereka, hanya mereka adalah yang
terendah, maka itu, meskipun mereka curigai Tan Hong, tidak
berani mereka membuka rahasia atau memberitahukan itu kepada
Yasian. Mereka malu, mereka hanya bisa mendongkol saja...
Tan Hong merasa senang rebah di atas pembaringan di atas
mana ia diletakkan. Pembaringan itu empuk, sepre atau
kelambunya menyiarkan bau harum. Ia pun merasakan hangat.
Maka di dalam hatinya, ia tertawa.
"Sungguh senang orang-orangnya Yasian," kata ia di dalam
hatinya. "Kamar mereka pun harum sekali."
Belum lama Tan Hong rebah, atau Topuhua telah bertindak
masuk ke dalam kamar itu, si nona sudah lantas menghampiri
pembaringan di tepi mana ia duduk.
"Apakah benar kau mabuk sampai begitu rupa?" katanya, dengan
suara manis.
Tan Hong berpura-pura pules, tidak ia menyahuti, akan tetapi
hidungnya telah mencium bau harum yang hebat, hingga mau atau
tidak, lantas saja ia berbangkis.
Si nona sudah memberikan ia semacam wangi-wangian buatan
Mongolia, wangi-wangian mana adalah untuk melenyapkan
pengaruh air kata-kata.
"Bangun, bangun!" kata si nona sambil tertawa. "Aku akan
suguhkan kau sup untuk menghilangkan mabukmu."
Tan Hong telah membalik tubuhnya. Ia perdengarkan suara tidak
nyata. Lalu ia tertawa.
"Ha, malam ini aku tidak dapat berangkat!" katanya seorang diri.
"Di luar, tulang-tulang manusia bertumpuk bagaikan gunung... Aku
takut, aku takut!..."
"Eh, kau bangunlah!" si nona berkata pula. "Di sini bukannya
Touwbokpo! Di sini di mana ada tumpukan tulang-tulang manusia?"
"Siapa bilang ini bukannya Touwbokpo?" kata
Tan Hong, yang masih terus bersandiwara, "Kau dengar!
Bukankah di luar orang-orang sedang berperang dengan hebat?"
-ooo00dw00ooo-

Bab XXV
Topuhua tertawa.
"Suara berisik itu adalah suaranya pahlawan-pahlawan yang
sedang bekerja," ia bilang. "Kau jangan takut." Ia merabah jidat
orang untuk rasai kepalanya si anak muda panas atau tidak.
Sekonyong-konyong Tan Hong muntah, keluarlah barang
makanan yang tadi ia dahar, muntah itu mengenai pakaiannya si
nona, justru pakaian baharu yang dia paling sayang. Selagi muntah,
tangannya menarik, memegang baju, hingga baju itu menjadi
robek! Karena itu, kotoran pun mengenai dada yang putih halus dan
montok dari si nona itu.
Walau bagaimana, nona ini mengerutkan alisnya juga.
"Ah, mengapakah kau mabuk hingga begini?" katanya. Tak dapat
ia gusar, ia menjadi masgul. Ia pencet hidung orang, ia mencekoki
adukan air jinsom.
Tan Hong menolak dengan mengibas-ngibaskan tangannya.
"Aku mabuk, ingin aku tidur, pergilah kau!" ia berkata. "Oh, oh,
kalau kau tidak hendak pergi, mari, mari kita minum pula tiga
cawan!..."
Air jinsom kena tersampok, tumpah ke pakaiannya si nona,
cangkirnya pun jatuh pecah. Karena tangannya kena tersampok,
Topuhua rasai tangannya itu sakit.
Tan Hong letakkan kepalanya di atas bantal, ia tidur secara
sembarangan, kedua tangannya rapa-repe ke tepi pembaringan.
"Hebat mabuknya dia, obat yang manjur pun masih tidak
memberikan hasil..." berkata si nona di dalam hatinya. Oleh karena
pakaiannya pecah dan kotor, baunya pun keras sekali, terpaksa
akhirnya ia undurkan diri.
"Buka jendela!" terdengar suaranya Tan Hong, bagaikan
ngelindur. "Jangan padamkan api! Aku takut kepada gelap petang,
kau tahu?"
Topuhua menoleh, justru Tan Hong muntah pula.
"Ah!..." mengeluh nona ini, yang terus bertindak keluar. Tapi ia
suruh pelayannya untuk bersihkan kotoran bekas muntah itu...
Bukan main leganya hati Tan Hong setelah ia dapat kenyataan ia
sudah terlepas dari libatannya nona puterinya perdana menteri
Watzu itu, akan tetapi, begitu lekas ia ingat sepak terjangnya
Yasian, lenyap kegembiraannya itu. Ia berbalik mesti berpikir keras.
Sudah terang keras sekali minatnya Yasian untuk merampas
negara. Itu pun berarti ancaman bahaya juga bagi kerajaan Beng.
Untuk sementara itu, tak dapat ia memikir jalan guna menentangi
tindakannya perdana menteri ini. Ia jadi berduka.
Ia pikir, mungkin tak sukar untuk ia bunuh Yasian, tetapi
kesudahannya pasti itu tidak akan membawa banyak perubahan,
dan di antara kedua negeri, peperangan tidak akan dapat
dihindarkan. Lagipun dengan begitu, kaisar Beng yang tertawan
musuh, mungkin akan terlebih sukar untuk dimerdekakan. Tan Hong
sendiri, begitu juga Ie Kiam, bercita-cita supaya kedua negara hidup
akur dan rukun. Karena ini, tak sudi Tan Hong ambil peranan
sebagai satu pembunuh terhadap Yasian itu.
Terus Tan Hong rebahkan dirinya sambil terus berpikir. Sama
sekali tak dapat ia tidur. Begitulah ketika kentongan berbunyi tiga
kali, ia dengar pertanda waktu itu. Ia memandang ke arah jendela,
ia tampak si Puteri Malam yang baharu muncul. Pada pepohonan
ada gerakan dari angin halus. Masih ia tidak peroleh daya.
Tiba-tiba terlihat cabang pohon di muka jendela bergoyang, lalu
satu bayangan orang berkelebat, belum sempat si anak muda
membuka mulutnya, untuk menegur, bayangan itu sudah berdiri di
depannya. Luar biasa sehatnya bayangan itu.
Akan tetapi ketika Tan Hong telah melihat roman orang, ia girang
tak kepalang. Bayangan itu adalah gurunya sendiri.
"Aku lihat tanda-tanda kau di dalam kota," berkata Tjia Thian
Hoa dengan perlahan, mendahului muridnya itu kepada siapa ia
menggoyangkan tangan, "menuruti tanda-tanda itu, aku dapat
ketemui In Loei, dari dia tahulah aku ke mana kau telah pergi,
hingga aku ketahui juga kau sedang tertahan di sini. Sekarang tidak
dapat kita berayal pula, mari lekas kau turut aku!"
"Sebenarnya, asal aku menghendaki, sejak tadi sudah dapat aku
berlalu dari sini," Tan Hong bilang, agaknya ia ragu-ragu.
"Habis, apakah yang kau pikir?" gurunya tanya.
"Apakah soesoesiok sudah datang?" murid itu balik menanya.
Dengan "soesoesiok," paman guru yang ke empat, ia maksudkan
Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng.
"Dia sudah datang, sekarang dia ada di rumah penginapan
tengah menemani In Loei," Thian Hoa jawab.
"Dan djiesoepee?" Tan Hong tanya pula. Thian Hoa menghela
napas.
"Aku tak dapat bertemu dengannya," ia beri-tahu. Agaknya ia
hendak bicara banyak akan tetapi tak dapat ia mengutarakannya
itu.
"Sekarang telah aku dapatkan akal untuk meloloskan
diri," berkata Tan Hong kemudian, "besok pasti aku akan
keluar dari sini. Maka besok saja kita bicara pula. Sekarang ini harap
soehoe tidak berlambat lagi, akan bersama Yap Soesiok segera
berangkat ke istana raja!"
Tiba-tiba saja nampaknya pemuda ini menjadi gelisah.
Thian Hoa tidak mengerti.
"Untuk apakah?" dia tanya.
Tan Hong segera berbisik di kupingnya guru itu, setelah mana,
dengan cepat Thian Hoa angkat kaki.
Seberlalunya guru itu, baharu Tan Hong merasa hatinya lega,
demikianlah ketika ia rebahkan diri, dapat ia tidur nyenyak. Ia tidak
tahu berapa lama ia sudah tidur, hanya tahu-tahu ia terbangun
dengan terkejut disebabkan satu suara nyaring. Ketika ia buka
matanya, ia tampak Yasian telah berada di dalam kamarnya itu.
Maka lekas-lekas ia berbangkit, untuk berduduk. Ia lihat sinar
matahari, yang molos di jendela, maka tahulah ia, itulah di pagi
keesokannya...
"Thaysoe bangun pagi-pagi sekali!" ia bilang.
"Ya, selamat pagi!" sahut perdana menteri itu. "Apakah telah
lenyap mabukmu?"
"Tadi malam aku berlaku kurang hormat, harap Thaysoe
memaafkannya," Tan Hong minta. Dengan itu ia telah berikan
jawabannya.
Perdana menteri itu perdengarkan suara di hidung.
"Apakah kau telah dapat memikir?" ia bertanya. "Apakah kamu,
ayah dan anak, sudah bersedia untuk bekerja sama dengan aku
menyingkirkan Atzu, untuk sama-sama kita hidup bahagia?"
"Aku telah dapat memikir," sahut Tan Hong. "Aku justeru hendak
bicara kepada Thaysoe."
Tan Hong lihat wajahnya perdana menteri itu, yang sepasang
alisnya dikerutkan, romannya tawar bagaikan membeku. Diam-diam
ia tertawa di dalam hatinya, karena ia bisa duga apa yang tengah
dipikirkan perdana menteri ini.
Tadi malam Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, seperti biasanya,
seperti ditugaskan Yasian, sudah pergi melakukan pengawasan di
istana. Kira jam tiga, tengah mereka berjaga-jaga, mereka lihat
berkelebatnya dua bayangan orang, yang mencelat keluar dari
dalam istana. Dengan lantas mereka keluar dari tempat
sembunyinya akan mencegat dan merintangi dua bayangan itu,
guna ketahui siapa adanya kedua bayangan itu. Kesudahannya
adalah di luar dugaan mereka.
Dua bayangan itu sebat sekali, sebat kaki tangannya, kalau tadi
mereka bisa berlari dan berlompat dengan pesat, kali ini, gerakan
tangan mereka bagaikan kilat menyambar. Sebelum Ma I Tjan tahu
apa-apa, kepalanya telah kena ditabas kutung! Tjeng Kok Hoatsoe
ada terlebih liehay daripada kawannya ini, akan tetap baharu dia
bertempur dua jurus, kupingnya telah kena dipapas kutung!
Bayangan itu, atau lebih benar lawannya, sambil tertawa terus
berkata padanya: "Suka aku memberi ampun kepada jiwamu!
Sekarang pergilah kau melaporkan kepada Yasian! Katakan
padanya, jikalau dia hendak menjadi raja Watzu, kami tidak
menghiraukannya, tetapi jikalau setelah berhasil merampas tahta
dia hendak menyerang Tionggoan, maka tak dapat kami beri ampun
kepadanya!"
Dari perkataannya bayangan itu, terang sudah bahwa mereka
adalah orang-orang Han. Sehabis berkata begitu, keduanya segera
menghilang. Ketika Yasian telah diberitahukan kejadian itu, ia kaget
dan gusar sekali, di akhirnya, ia jadi sangat masgul. Bagaimana ia
tidak menjadi kaget karena ia tahu liehaynya Tjeng Kok Hoatsoe,
seorang Ihama dari Agama Merah yang kenamaan? Bagaimana ia
tidak jadi kaget akan dengar kebinasaannya Ma I Tjan, sebab
pahlawan ini tak kurang liehaynya, cuma berada di bawahan
Ngochito? Kalau kedua pahlawan itu bisa secara demikian gampang
dirubuhkan musuh, yang tidak dikenal, umpama musuh itu datang
satroni ia di sianghoe, siapa sanggup rintangi mereka itu? Dengan
perbuatannya itu, terang sudah mereka itu secara diam-diam
tengah melindungi raja Watzu. Karena ini, ia jadi berduka. Kelihatan
nyata, untuk ia mewujudkan niatnya merampas kerajaan, ia pasti
akan menghadapi kesulitan. Tentu saja ia jadi mendongkol, ia jadi
gusar.
Tan Hong awasi perdana menteri itu, ia tertawa.
"Thaysoe," katanya, "kau adalah seorang peperangan yang
berpengalaman, kau seharusnya mengarti baik ilmu perang..."
"Habis kenapa?" tanya Yasian heran.
"Sebab ilmu perang ada membilang," sahut Tan Hong: "Bersiap
terlalu banyak, menjadi terbagi, tenaga kurang, mestinya kalah.
Yang paling dipantang ialah berperang berbareng di beberapa garis
perang. Lihat saja di jaman peperangan Tjoen Tjioe di Tionggoan
dahulu hari, sesuatu jago, sesuatu negeri, semua memperebuti
negara kawan, untuk bersekutu, semua memikir mendapatkan
kawan berbareng mengurangi musuh. Inilah sarinya ilmu perang
itu."
"Mustahil aku tidak mengerti tentang itu?" berkata Yasian, yang
tidak mau kalah. "Itu juga sebabnya kenapa aku memikir untuk
bergandengan tangan denganmu. Aku pikir, paling dulu harus aku
persatukan Watzu, setelah itu baharu kita bicara pula."
Tan Hong tertawa.
"Tetapi Thaysoe harus mengerti, tenaganya aku ayah dan anak
ada sangat berbatas, sebaliknya kekuatannya Tionggoan tiada batas
habisnya!" ia kata.
Yasian bungkam.
"Aku telah menyusup masuk ke Tionggoan, di sana aku telah
melihat tegas," berkata pula Tan Hong, melanjutkan. "Melihat
Tionggoan, aku jadi sangat tertarik hatiku. Tionggoan itu luas
sangat tanah daerahnya, banyak sekali rakyatnya. Maka jikalau
Tionggoan itu dapat digunai dengan tepat, jangankan baharu satu,
walaupun sepuluh negara Watzu sekalipun tidak nanti mampu
menggoncangkan dia!"
Yasian awasi anak muda itu. "Apakah kau bicara untuk
Tionggoan?" dia tanya. Kembali Tan Hong tertawa.
"Apakah Thaysoe masih belum ketahui tentang diriku?" ia balik
tanya. "Bagaimana aku dapat bicara untuk Tionggoan? Jikalau aku
sebagai wakilnya Tionggoan, jikalau aku hendak bicara untuk
Tionggoan, pasti aku akan bicara juga untuk Watzu, tentu akulah
yang terlebih dahulu membuka pembicaraan dengan Thaysoe1."
Agaknya Perdana Menteri itu kena terdesak.
"Baiklah," katanya kemudian. "Kau bicaralah!"
"Sekarang ini Ie Kiam memegang kekuasaan di
Tionggoan, dia telah atur kuat angkatan perangnya," berkata Tan
Hong. "Pertama kali Thaysoe menyerbu ke Tionggoan, Thaysoe
masih dapat menyerang sampai di Pakkhia, akan tetapi kalau satu
kali lagi Thaysoe menyerbu pula, mungkin untuk dapat sampai
ditapal batas sajapun sukar. Itu masih belum semua. Umpama
Tionggoan mendapat tahu Thaysoe berniat merampas tahta
kerajaan, untuk menjadi jago, ada kemungkinan dia nanti majukan
tenteranya ke Utara, untuk berserikat dengan Pangeran Atzu, untuk
sama-sama menumpas pemberontakan di Watzu. Kalau itu sampai
terjadi, Thaysoe hendak berbuat apakah?"
Hatinya Yasian bercekat. Apabila Tan Hong bicara begini pada
setengah tahun yang sudah lewat, pasti dia akan mentertawainya
tak hentinya. Itu waktu Yasian beranggapan dapat ia memastikan
sembarang waktu untuk menakluki Tionggoan, ia sangat tidak
memandang mata terhadap angkatan perang Kerajaan Beng. Adalah
sesudah berperang di Pakkhia, baharu ia insyaf bahwa Tionggoan
tak gampang untuk ditelannya. Dan paling belakang ini, sesudah
perlawanannya Ie Kiam yang dapat mengatur tenteranya, yang juga
mengandalkan peta bumi dari Pheng Hoosiang, setelah beberapa
kali bertempur, ia kena dipukul mundur, hingga ia mundur pulang
ke dalam negerinya, baharu ia terkejut. Sekarang ia insyaf, memang
benar tentera Tionggoan dapat berbalik mempengaruhi padanya.
Dan sekarang mendengar perkataannya Tan Hong itu, pada
wajahnya ia tidak menunjukkan perubahan, seperti juga ia tidak
mempedulikannya, namun di hati ia kaget dan jeri.
Tan Hong biarkan orang berdiam, ia melanjutkan: "Setelah aku
masuk dalam ke Tionggoan, dapat aku menyaksikan semangat
rakyat yang terbangun, hingga mereka tak lagi dapat dipandang
enteng. Raja mereka itu telah tertawan di Touwbokpo, kejadian itu
membuatnya mereka, yang di atas dan di bawah, merasa bahwa
itulah suatu hinaan besar, yang membuatnya mereka merasa sangat
malu. Aku kuatir, Thaysoe, belum lagi kau sempat memimpin
angkatan perang untuk berangkat ke Selatan, mereka sendiri akan
mendahului maju ke Utara, guna menuntut balas. Memang benar
Thaysoe ada punya angkatan perang yang tangguh tetapi aku
sangsikan kau akan sanggup menangkis serbuan tentera Tionggoan
itu, karena selain penyerbuan dari luar itu, di dalampun ada
perlawanan dari Pangeran Atzu..."
Dua kali Yasian batuk-batuk, kali ini wajahnya berubah sedikit.
Tapi, masih ia mencoba akan besarkan kepala.
"Aku masih punyakan tentera sepuluh laksa jiwa dan ribuan
panglima perang!" demikian katanya. "Umpama benar Tionggoan
dan Atzu menyerang berbareng dari luar dan dalam, akibatnya
paling sedikitnya batu kemala dan batu koral akan musnah
bersama! Satu laki-laki, jikalau dia tidak dapat menjadi satu jago,
jikalau dia terbinasa, sedikitnya dia mesti terbinasa sebagai setan
jagoan! Maka itu, ada apa yang harus dibuat takut?"
Tan Hong tertawa gelak-gelak.
"Jikalau belum lagi orang keluar perang, lalu dia terbinasa tidak
keruan, apa jadinya?" ia tanya. "Bahwa orang berhasil dan menjadi
raja, orang gagal dan menjadi berandal, itulah sudah umum.
Mengenai kau, Thaysoe, kau anggap dirimu sebagai satu enghiong,
tetapi orang lain, belum tentu dia mau mengakuinya kau sebagai
Tjo Beng Tek..."
Yasian kena terdesak.
"Apakah benar kerajaan Beng ada demikian membenci aku
hingga dia akan mengirim algojonya untuk membunuh aku?" dia
tanya.
"Menurut apa yang aku ketahui, pemerintah Beng memang benar
ada kirim utusannya yang berupa kiamkek," sahut Tan Hong,
"hanya halnya kiamkek itu bisa atau tidak membunuh kau, itulah
bergantung daripada tindak tandukmu sendiri, Thaysoe..."
"Kiamkek" adalah jago yang bersenjatakan pedang.
Yasian lantas ingat kejadian tadi malam, tanpa merasa, bulu
romanya pada bangun berdiri. Tetapi ia masih tidak sudi tunjuk
kelemahannya, ia paksakan diri untuk tertawa wajar.
"Pemerintah Beng ada punya kiamkek yang liehay, apakah kau
sangka aku tidak punya orang kosen yang sanggup membunuh ular
naga dan menakluki harimau?" begitu katanya.
Kembali Tan Hong tertawa bergelak-gelak.
"Orang kosenmu itu, Thaysoe, adalah bangsa gentong arak
dan kantong nasi!" ia bilang dengan berani. "Aku kuatir, jikalau dia
berhadapan dengan orang gagah sejati, dalam satu jurus saja, dia
akan dibikin terbang batok kepalanya!"
Yasian berjingkrak saking kagetnya.
"Eh! Apakah kau ketahui kejadian semalam?" tanyanya kaget.
"Kejadian apakah itu?" tanya Tan Hong, tenang. "Aku cuma
bicara saja. Apakah benar-benar pahlawan Thaysoe telah orang
binasakan dalam satu jurus saja?"
Yasian masih ingat kejadian semalam itu, ia bergidik sendirinya.
"Tadi malam dia mabuk arak dan rebah bagaikan mayat, tidak
pernah dia keluar dari kamarnya ini, tidak setindakpun jua," ia
berpikir, "mungkin benar dia cuma bicara saja... Tetapi, apa yang
dia katakan itu benar adanya..."
"Pahlawan yang mana itu yang telah kena dibinasakan?" Tan
Hong tanya sambil tertawa.
"Ah tidak..." kata perdana menteri itu, separuh menghibur
dirinya. "Tadi malam ada datang orang jahat, tapi dia telah dapat
diusir pergi. Dipihak kita cuma satu dua orang terluka..."
Tan Hong tertawa pula.
"Itulah untung kamu yang bagus!" katanya pula. Ia tertawa
sebab apa yang tadi malam terjadi di sianghoe, gedung perdana
menteri, adalah menurut rencananya. Kebinasaannya Ma I Tjan dan
hilangnya kuping Tjeng Kok Hoatsoe adalah perbuatannya Tjia
Thian Hoa berdua Yap Eng Eng.
Di mulutnya, Yasian bicara makin lama makin keras, tanda bahwa
ia bernyali besar, akan tetapi, di dalam hatinya ia justeru makin jeri.
"Thaysoe, rencanamu sekarang ini bukannya suatu rencana yang
baik," kata Tan Hong kemudian. Dengan berani anak muda ini
berikan pengutaraannya itu.
"Apakah kau mempunyai daya yang bagus?" perdana menteri itu
tanya.
Tan Hong hendak buka mulutnya tatkala ia dengar suara berisik
di luar gedung.
Yasian, dengan alis dikerutkan, perdengarkan suaranya,
memanggil orang masuk. "Ada kejadian apakah?" ia tanya. "Ada
beberapa pengemis mencoba memaksa masuk ke dalam gedung
untuk meminta amal," sahut pengawal yang masuk atas
panggilannya majikan itu. "Mereka itu sangat menjemukan!"
Kembali Yasian kerutkan alisnya.
"Mereka toh boleh diberikan saja sedikit uang atau diusir,"
katanya, "perlu apa sampai mesti menerbitkan keributan?" Dan ia
kibaskan tangannya, akan beri tanda supaya hambanya itu
undurkan diri.
Tan Hong segera ingat sesuatu, ia lantas saja berpikir.
"Thio Sieheng, kau ada punya daya apa yang baik?" Yasian
mengulangi pertanyaannya selagi anak muda itu berdiam.
Tan Hong bersenyum, ia bawa sikap dengan tenang sekali.
"Thaysoe," katanya, "jikalau Thaysoe hendak mengamankan
pihak dalam maka sudah selayaknya terlebih dahulu Thaysoe
membuat perdamaian dengan pihak luar. Secara demikian
baharulah Thaysoe akan terluput dari gencetan pihak luar dan
dalam. Tionggoan luas tanah daerahnya dan subur hasil buminya,
jikalau Watzu tidak terlebih dahulu serbu dia, tak mungkin dia akan
datang menyerang kemari. Maka itu, menurut pendapatku, baiklah
Thaysoe antar rajanya pulang ke negerinya, lalu Thaysoe
membuat perjanjian persahabatan dengannya. Inilah daya
yang paling utama."
Yasian bungkam, ia berpikir.
Tan Hong mengawasi, ia tertawa pula.
"Ketika baharu ini Thaysoe tawan raja Beng itu di Touwbokpo,"
katanya, "tak lain tak bukan, Thaysoe hanya ingin bikin raja itu
menjadi orang tawanan, supaya dia bisa dijadikan perkakas untuk
menuruti kehendak Thaysoe, supaya cita-cita Thaysoe dapat
terwujud. Demikian Thaysoe telah gunai segala macam tipu daya.
Tetapi sekarang adalah lain. Ie Kiam sudah angkat raja yang baru,
dengan begitu tidak ada gunanya lagi akan menahan terlebih lama
kepada raja tawanan itu, malah sebaliknya, itu justeru
meninggalkan bencana di belakang hari bagi kedudukan Thaysoe..."
Yasian pikir kata-katanya pemuda ini benar.
"Telah beratus kali aku bertempur dengan pemerintah Beng,
pertempuran besar dan kecil, selamanya aku lebih banyak menang,
sedikit kalahnya," berkata dia. "Mungkinkah aku mengantarkan
kaisar Beng itu ke negerinya sambil aku harus memohon
perdamaian dari Ie Kiam?"
Lagi-lagi Tan Hong tertawa. Perkataannya perdana menteri itu
berarti dia telah menyetujuinya perdamaian, tapi untuk muka
terangnya, dia masih membawa lagak.
"Jikalau kedua negara membuat perdamaian, keduanya harus
berhubungan sebagai saudara di antara saudara," ia kata, "karena
itu, ada apakah yang harus dibuat malu? Jikalau Thaysoe tidak
hendak memulai mengusulkan perdamaian itu, baiklah Thaysoe
minta supaya Tionggoan yang terlebih dahulu mengirimkan
utusannya datang kemari untuk membicarakan urusan itu. Ini toh
boleh, bukan?"
Yasian menatap orang sambil biji matanya berputar.
"Sebenarnya siapa kau ini?" dia bertanya. "Kenapa kau agaknya
berani mewakilkan Ie Kiam merundingkan soal perdamaian ini?"
Tan Hong balik mengawasi, ia tertawa.
"Biarlah aku omong terus terang saja," ia menyahut.
"Sebenarnya, sebelum aku pulang ke Watzu ini, lebih dahulu aku
telah bertemu Ie Kiam. Apa yang aku katakan barusan adalah
karena aku percaya aku tidak bakal bertentangan dengan pendapat
Ie Kiam itu."
Yasian jatuhkan diri di kursi, ia nampaknya sangat lesu. Sekian
lama ia berdiam saja. Baharu kemudian ia angkat kepalanya, akan
menatap si anak muda.
"Apakah benar kau telah lupa akan sakit hatimu yang turun
temurun itu dan sekarang hendak jual tenagamu terhadap keluarga
Tjoe kaisar dari ahala Beng itu?" dia tegaskan.
Untuk kesekian lamanya, Tan Hong tertawa. Ia tertawa besar.
"Aku tidak jual tenagaku kepada siapa juga!" ia jawab, nyaring.
"Aku hanya bekerja untuk Tionggoan dan Watzu! Ingin aku tanya
Thaysoe, umpama kata perdamaian dapat dicapai, apakah itu bukan
berarti keselamatannya kedua negara?"
Kembali Yasian bungkam. Ia mesti berpikir keras.
"Seandainya perdamaian telah dapat diwujudkan, kelak kau akan
berdiam di mana?" ia tanya kemudian. Rupanya perdana menteri ini
memikir jauh dan ingin ia peroleh kepastian.
"Aku adalah orang Han, sudah tentu aku pulang ke Tionggoan,"
sahut Tan Hong dengan terus terang.
"Bukankah itu berarti kau hendak menjadi satruku?" Yasian
menegaskan pula.
"Jikalau Thaysoe tidak pimpin angkatan perangmu menyerbu
Tionggoan, tak mungkin aku akan menjadi satrumu!" jawab si anak
muda.
"Bagaimana dengan ayahmu?" masih perdana menteri itu tanya.
"Pasti aku akan bujuk ayah untuk pulang ke negerinya, untuk
lewatkan hari-hari selanjutnya," sahut pula si anak muda.
"Apakah kamu ayah dan anak tidak kuatir nanti dibunuh kaisar
Beng?"
Tan Hong tertawa.
"Jikalau itu sampai terjadi, ikhlas hatiku!" ia jawab. "Tentang
itu tidak usahlah Thaysoe memusingkan kepala!"
Yasian jalan mundar-mandir, ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia berpikir terlebih keras pula. Ia merasa bahwa
benarlah apa yang dikatakan Tan Hong itu. Memang, jikalau ia
hendak kangkangi Watzu untuk dipersatukan, tidak selayaknya ia
memusuhi Tionggoan.
"Thio Tjong Tjioe ayah dan anak ini pintar dan gagah," ia berpikir
terlebih jauh. Sekarang ia ingat Tjong Tjioe dan anaknya ini. Jikalau
mereka tinggal di Watzu, percuma saja, mereka tak dapat aku gunai
tenaganya untukku, bahkan sebaliknya, mereka bisa menjadi
penambah tenaga bagi pihak musuh. Oleh karena itu, lebih baik aku
biarkan mereka pulang ke negerinya, supaya di sana mereka hidup
tenang dan senang. Di kemudian hari, apabila aku berhasil
mempersatukan betul-betul negara Watzu ini serta sudah
mempunyai angkatan perang yang kuat serta rangsum cukup,
perjanjian persahabatan itu boleh aku langgar sembarang waktu, itu
waktu aku ada merdeka untuk menyerbu pula Tionggoan. Sampai
itu waktu, perlu apa aku jeri lagi Thio Tan Hong menjadi musuhku?
Hanya bagaimana dengan jodohnya anakku?" Tan Hong lihat orang
terus berpikir, ia memotong.
"Satu laki-laki harus dapat dengan sepatah katanya mengambil
keputusan, karena itu masih ada apa lagi yang Thaysoe ragu-
ragukan?" ia mendesak.
Kedua matanya Yasian menjadi bersinar, rupanya ia telah dapat
mengambil keputusan.
"Baik, akan aku turut perkataanmu!" katanya, nyaring. "Aku
Yasian, aku bukannya orang yang dapat diperhina sembarang
orang! Kalau pemerintah Beng kirim orangnya untuk membokong
mati kepadaku, akan aku segera kerahkan seluruh kekuatanku, akan
aku titahkan angkatan perangku meluruk ke Selatan, supaya, tak
peduli kemala atau batu biasa, biar semuanya musnah bersama!"
Tan Hong bersenyum. Tahulah ia, Yasian tetap kuatirkan
keselamatan dirinya.
"Orang Tionggoan paling hargakan kehormatannya," dia berkata,
"maka kalau Thaysoe hendak berdamai dan bersahabat dengan
sesungguh hati, tak mungkin Tionggoan akan kirim orangnya untuk
membunuh Thaysoe1."
"Baiklah," kata Yasian akhirnya. "Dengan ini kita mengambil
ketetapan. Akan aku tunggu tibanya utusan dari kerajaan Beng, itu
waktu aku nanti membuat perjanjian perdamaian. Sekarang, coba
bentangkan padaku, daya apa kau punya untuk menindas Pangeran
Atzu?"
"Kami ayah dan anak sudah berketetapan untuk pulang ke negeri
kami," jawab Tan Hong, "oleh karena itu, mengenai urusan di dalam
negeri Watzu, kami tidak hendak campur tangan pula."
"Baik!" Yasian mengatakan pula. "Asal kamu pernahkan diri di
luar kami, aku juga tidak hendak mengganggu pula pada kamu.
Sekarang pergilah kau pulang, boleh kau anjurkan ayahmu
untuk besok menghadap di istana, untuk dia sendiri yang majukan
permohonannya meletakkan jabatan."
Tan Hong girang sekali. Sekian lama ia memutar otak, baharu
sekarang ia berhasil "menundukkan" perdana menteri itu. Karena
itu, ia berlaku hormat, ia undurkan diri sebagai seorang yang
usianya terlebih muda. Ia baharu melangkah di pintu tempo ia ingat
suatu apa, ia lantas merandek.
"Apakah kau masih hendak mohon sesuatu?" tanya Yasian, yang
lihat sikap orang itu. "Apakah itu?"
"Jikalau Thaysoe sudi memperkenankannya, aku ingin sekali ini
saja menemui raja Beng," ia jawab. Yasian berpikir sebelum ia
berikan ijinnya.
"Baik," demikian sahutnya. "Kau boleh sekalian bicara
kepadanya, untuk beritahu sikapmu, supaya ia mengetahui maksud
baik dari aku."
Perdana menteri ini sudah lantas panggil dua pahlawannya kelas
satu, ia hendak titahkan mereka antarkan anak muda ini, akan
tetapi mendadak ia ubah pikirannya itu.
"Lebih baik kita pergi bersama!" ia bilang.
Kedua pahlawan itu heran atas sikapnya perdana menteri ini
tetapi mereka tidak berani bilang suatu apa. Tan Hong sendiri tak
berkeberatan akan pergi bersama.
Kaisar Beng yang menjadi tawanan Yasian itu, yaitu Kaisar Eng
Tjong yang bernama Kie Tin, telah ditahan di dalam sebuah pagoda
batu di dalam gedung perdana menteri, pagoda mana
diperuntukkan memuja Sang Buddha. Tangga dari pagoda itu terdiri
dari tiga undak, setiap undak terjaga oleh pahlawannya perdana
menteri. Bahwa tempat tahanan itu ada sangat dirahasiakan,
sekalipun raja Watzu sendiri tak mengetahuinya.
Tiga bulan sudah sejak Kie Tin dikurung di dalam pagoda, dapat
dibayangkan penderitaannya itu. Ia adalah satu junjungan dari satu
negara besar tetapi sekarang ia kehilangan kemerdekaannya, ia
hidup terkurung dan di bawah pengawasan keras. Hari itu, kaisar ini
tengah berduka sekali. Ia dengar menderunya hebat angin Utara, ia
lihat burung-burung belibis dari Utara terbang ke Selatan, sambil
terbang mereka itu perdengarkan suaranya yang mengharukan hati,
maka itu, ia pun bersedih sendirinya.
Memandang dirinya sendiri, sakit hatinya Kie Tin, bajunya telah
robek, sedang hawa udara di Utara itu dingin sekali. Ia kedinginan
akan tetapi Yasian tidak berikan ia baju baharu untuk salin. Maka
ingatlah ia akan jaman jayanya, di dalam keraton ia ada punya
enam selir, hidupnya sangat mewah.
Selagi kaisar ini menungkuli diri, tiba-tiba ia dengar pintu dibuka,
lantas ia lihat Yasian bertindak masuk bersama Thio Tan Hong,
keduanya jalan berendeng. Ia menjadi sangat terperanjat.
"Kenalkah kau pada dia ini?" Yasian lantas menanya sambil
menunjuk Tan Hong.
Kaisar Beng ini tidak tahu maksud kedatangan Tan Hong, ia
ragu-ragu, iapun belum hilang kagetnya, maka itu, ketika ia
menyahut, suaranya tidak tegas.
Yasian mengawasi sambil tertawa.
"Dia ini adalah musuhmu, dia juga tuan penolongmu!" berkata
perdana menteri ini. "Tahukah kau?"
Tidak tunggu sampai kaisar menjawab, Tan Hong kata pada
perdana menteri itu: "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku bicara
berduaan dengannya, sebentar saja."
"Baik, bicaralah," sahut Yasian. "Kamu orang-orang Tionghoa,
apa yang kamu lakukan, tak dapat aku menerkanya. Kamu berdua
keluarga telah perebutkan dunia tetapi sekarang kamu berdua
hendak pasang omong!..."
Lantas perdana menteri ini undurkan diri pergi keluar, buat bicara
dengan pahlawan-pahlawannya. Kie Tin dibiarkan di dalam
kamarnya itu bersama si anak muda she Thio itu.
Tidak tenang hatinya kaisar Beng itu berada berdua Tan Hong. Ia
telah saksikan bagaimana dengan sinar mata yang tajam, anak
muda itu pandang ia pulang pergi. Ia ditatap. Kemudian dengan
tiba-tiba saja, Tan Hong tertawa.
"Kau biasa menjadi kaisar, kau belum pernah merasakan
kegetiran hidupnya seorang rakyat jelata!" kata Tan Hong
kemudian. "Maka itu, baiklah yang kau satu kali merasakannya!"
Mendengar itu, raja ini menjadi gusar.
"Jadinya dahulu hari itu kau berpura-pura saja berbaik hati!" dia
menegur. "Aku memang tahu, permusuhan di antara rakyat jelata
mudah dibereskan tetapi pertentangan di antara raja sukar
didamaikan! Karena kau adalah orang kepercayaannya Yasian, tidak
lain, aku cuma mau minta supaya aku diberikan mayat lengkap dan
utuh! Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah lekas! Kau harus
insyaf, raja tak dapat diperhina!"
Tan Hong mengawasi dengan air mukanya tertawa bukan
tertawa, ia tidak gubris permintaan itu.
"Kau telah menderita begini rupa, maka di belakang hari, sebagai
raja, layak kau ketahui keharusanmu!" ia kata pula. "Kalau nanti kau
kembali ke istanamu, jangan sekali kau lupakan kesengsaraanmu
hari ini!"
Kie Tin melengak.
"Apa kau bilang?" ia tanya. Mendadak saja ia lompat mencelat.
"Paling lama tak beberapa bulan lagi, kau akan dapat pulang ke
negerimu!" kata Tan Hong, tawar.
Kie Tin seperti juga tidak mempercayai kupingnya sendiri.
"Apa kau bilang?" ia tegaskan. "Adakah itu benar? Apakah Yasian
sendiri yang mengatakannya itu padamu? Benarkah dia hendak
membiarkan aku pulang ke negeriku, untuk aku naik pula atas
tahtaku? Ha! Naik pula di atas tahta!..."
"Bukannya Yasian yang menginginkan kau kembali ke negerimu,"
Tan Hong terangkan, tetap dengan sikapnya yang tawar. "Adalah
Kokloo Ie Kiam yang akan sambut kau pulang!"
Kembali Kie Tin menjadi heran. Kalau tadi ia dapat bersenyum,
sekarang lenyap pula kegembiraannya. Ia seperti diguyur air dingin.
Setelah itu, di antara roman lesu dari putus asa, ia nampaknya jadi
gusar sekali. Terus ia tuding anak muda di depannya.
"Walaupun aku terkurung, tetap aku adalah satu raja!" ia
berseru. "Beranikah kau berulangkah mempermainkan aku?"
Tan Hong awasi raja itu. Ia mendongkol berbareng merasa lucu
dan kasihan.
"Jikalau kau mengharap musuh nanti merdeka-kanmu dan
membiarkannya kau pulang ke negerimu, seumur hidupmu,
janganlah kau harap itu!" katanya, tegas-tegas. "Hanya bila rakyat
Tionggoan yang menghendaki kau pulang, baharulah ada ketikanya
untuk kau hidup terus! Apakah kau menyangka cuma Yasian
seorang yang mempunyai kekuasaan untuk hidup atau matimu?
Mari aku katakan terus terang padamu! Sekarang ini jiwamu berada
di dalam genggamannya Kokloo Ie Kiam! Asalkan Ie Kokloo bilang
kau bisa pulang, lantas kau dapat pulang!"
Kie Tin awasi anak muda itu, sinar mata mereka bentrok satu
pada lain. Lantas ia dapat perasaan bahwa Tan Hong itu dapat
dipercaya, bahwa perkataannya si anak muda tak dapat disangsikan
pula. Tanpa merasa, ia jadi kalah pengaruh.
"Sebenarnya, apakah artinya ini?" dia tanya akhirnya, suaranya
tak tegas.
"Itulah sebab kau, jelek atau bagus, kau tetap raja dari satu
negara!" berkata Tan Hong dalam jawabannya.
"Sebab kau ada satu raja, jikalau kau tetap berada di tangan
musuh, itu artinya satu kehinaan untuk Tionggoan! Itupun sebabnya
kenapa sekarang kami menghendaki kau pulang ke negeri sendiri!
Dengan ada Tionggoan yang menjadi tulang punggungmu, cara
bagaimana Yasian berani tidak melepaskan kau pulang?"
Kie Tin heran, ia tetap mengawasi. Ia ingin sangat satu
penjelasan.
Sampai di situ, Tan Hong tuturkan raja ini tentang duduknya
urusan.
Kie Tin menjadi girang berbareng heran.
"Jikalau aku bisa pulang dan naik pula di atas tahta kerajaan,
akan aku anugerahkan kau pangkat yang besar!" ia berkata. Hampir
tanpa merasa, ia berikan janji hadiahnya itu. "Katakanlah, kau ingin
pangkat apa? Pangkat tongnia dari Gielim koen atau Kioeboen
Teetok? Atau pangkat Menteri Perang? Pasti sekali aku akan
membuat kau merasa puas, supaya tercapai segala cita-citamu!"
Tan Hong bawa sikap tenang.
"Jikalau nanti kau sudah pulang ke dalam negeri," ia berkata,
tawar, "kau bisa atau tidak tetap menjadi raja pula, itulah
tergantung kepada suasana di dalam istanamu dan urusan
keluargamu sendiri, mengenai itu aku bersama Ie Kiam tidak akan
campur tahu! Aku sendiri tidak mengharapkan pangkat dari kau!"
Kie Tin menjadi putus asa, hingga ia jadi seperti menggerutu.
"Bisa pulang, itulah baik! Bisa pulang, itulah baik..." demikian ia
ngoce sendiri, suaranya tidak tegas. Lalu ia ingat sesuatu, hingga ia
nampaknya jadi bersemangat. Maka berkatalah ia seorang diri
dengan lebih keras: "Di dalam istana, kebanyakan menteri boen dan
boe adalah orang-orang kepercayaanku, tidak nanti Kie Giok dapat
rampas tahtaku! Kalau nanti aku telah pulang, dia akan mengalah
dan membiarkan aku menjadi yang dipertuan pula! Kau tidak
hendak pangku pangkat, tidak apa, aku bersedia akan iringi segala
kehendakmu, akan aku memberikan hadiah kepadamu!"
Tan Hong menjadi sangat sebal.
"Apa juga aku tidak menghendakinya!" katanya dengan dingin.
"Aku hanya hendak minta satu hal!"
"Apakah itu?" Kie Tin tanya. "Semuanya akan aku
meluluskannya!"
"Setelah nanti kau pulang, bilamana kau tetap menjadi raja,
bagaimana sikapmu terhadap Ie Kiam?" Tan Hong tanya.
Inilah pertanyaan yang Kie Tin tak sangka-sangka.
"Aku..." katanya, lalu terhenti, karena Tan Hong memotongnya:
"Setelah kau kena ditawan musuh, Ie Kiam telah angkat raja baru,"
Tan Hong menerangkan. "Kau tentunya sangat benci dia karena
perbuatannya itu! Benarkah itu?"
"Tidak, tidak!" sahut raja. "Begitu lekas aku pulang, akan aku
naikkan pangkatnya tiga tingkat!"
Dalam keadaan seperti itu, tengah terdesak, raja ini bicara tanpa
berpikir pula. Ie Kiam adalah Lweekok Haksoe, karena mana ia
dipanggil Kokloo, kedudukannya itu sudah mirip dengan perdana
menteri, di samping itu, ia merangkap menjadi Pengpou Siangsie,
Menteri Perang, ia jadinya berada di tingkat tertinggi, dari itu, pada
dasarnya, ia tak dapat dinaikkan pula pangkatnya apapula sampai
tiga tingkat. Maka itu, mendengar kata-kata raja ini, Tan Hong
mendongkol berbareng merasa lucu.
"Ie Kokloo bukanlah satu orang yang temaha akan pangkat tinggi
atau keagungan," berkata anak muda ini. "Aku hanya menginginkan
bila nanti kau sudah pulang, kau berlaku murah hati terhadapnya,
kau beri dia ampun dari kematian..."
"Itulah pasti, itulah pasti!" kata Kie Tin berulang-ulang. Kembali
ia tidak memikir-mikir lagi.
"Adakah ini benar?" tanya Tan Hong. Mendadak saja ia keraskan
suaranya, hingga ia bentak raja itu.
Kie Tin melengak. Inilah ia tidak sangka.
"Satu raja tidak bicara main-main!" ia jawab kemudian. Iapun
segera menjawab begitu lekas ia sadar.
Tan Hong bersenyum. Tadinya ia hendak bicara pula tapi ia
membatalkannya. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar,
suaranya pengemis yang menyanyikan lagu "Lian Hoa Lok" =
"Bunga Bwee Rontok." Tentu saja ia menjadi bercekat.
"Setangkai, secabang bunga teratai," demikian ia dengar
nyanyian itu. "Raja pun pernah dipanggilnya pengemis. Raja itu
bergantian jadinya, maka juga lain tahun ada gilirannya keluargaku.
Di sini ada disimpan mustika yang indah, maka itu hendak aku
memohonnya!"
Nyanyian itu disusul oleh suara berisik, seperti juga orang tengah
mengusir pengemis yang bernyanyi-nyanyi itu.
Menyusuli suara berisik itu, lalu terdengar teriakan: "Ada orang
jahat!" Lalu menyusul pula suara nyaring dari rubuhnya tubuh
manusia. Satu pahlawan, yang lompat keluar jendela, belum sempat
dia berlompat terus naik ke atas payon, sudah kena dihajar rubuh!
Tan Hong terkejut.
"Sungguh liehay pengemis itu!" pikirnya. Tapi iapun tak sempat
berpikir lama-lama.
Dengan cepat telah terdengar pula satu suara keras dan nyaring,
ternyata daun jendela kamar kurungan kaisar Beng itu terhajar
terpentang, disusul dengan lompat masuknya satu pengemis,
tangan kanannya memegang tongkat, dengan tangan kirinya segera
dia sambar Kie Tin.
"Aduh!" teriak raja itu yang kagetnya tidak terkira.
Tan Hong tidak sempat cabut pedangnya, dengan tangannya ia
membacok tangannya si pengemis.
"Kau, Thio Tan Hong?" berseru pengemis itu, agaknya ia terkejut.
Ia sudah lantas tarik pulang tangan kirinya itu, tubuhnya pun
berkelit ke samping. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ, dengan
cepat ia ayun sebelah kakinya, menjejak ke arah dengkulnya kaisar
Beng. Tan Hong pun kaget.
"Ah, kiranya Pit Lootjianpwee]" ia berseru ketika segera dapat
mengenali pengemis itu, terutama dari suaranya. Tapi kaisar berada
dalam bahaya, tidak dapat ia diam saja, dari itu dengan terpaksa ia
angsurkan tangannya, untuk menekan dengan perlahan kakinya
jago tua yang jejakannya hebat itu. Dalam gerakannya ini, Tan
Hong gunai tenaga Taylek Kimkong Tjioe.
Pit To Hoan lompat mundur, hingga ia menyender pada tembok,
napasnyapun memburu keras.
"Thio Tan Hong, menyingkir kau!" ia berseru.
"Lootjianpwee, marilah kita bicara secara baik-baik," Tan Hong
berkata, dengan sabar. "Aku harap kau tidak membuatnya kaget
pada raja yang tengah bersengsara ini..."
"Bagaimana hei?" bentak To Hoan. "Apakah kau menjadi anjing
penjaga pintunya Yasian?"
Kali ini jago tua itu menyerang dengan genggaman ditangannya.
Tan Hong tahu tak sempat ia berbicara banyak, terpaksa ia
hunus pedangnya — pedang Pekin kiam — untuk menangkis. Ia
telah gunai belakangnya pedang. Maka kedua senjata bentrok
dengan keras, sampai muncratlah lelatu apinya. Bentrokan itu
membuatnya kedua pihak kesemutan tangannya.
"Lootjianpwee, mohon kau berlalu dulu dari sini!" Tan Hong
berkata pula. "Kau boleh sebutkan satu tempat, nanti aku kunjungi
padamu untuk menerima pengajaran darimu!"
Pit To Hoan tapinya seperti orang kalap, tanpa menjawab, ia
menyerang pula beruntun tiga kali, untuk mendesak anak muda itu,
lalu setelah itu kembali dengan tangan kirinya menyambar pula Kie
Tin. Teranglah ia ingin sangat dapat menyengkeram raja Beng itu.
Di luar, di bawah pagoda, ketika itu pun telah terdengar suara
berisik sekali, suara yang bercampurkan beradunya pelbagai alat
senjata, hingga kuping rasanya menjadi ketulian. Dari luar kamar
juga terdengar teriakannya Yasian, akan tetapi apa katanya itu, Tan
Hong tidak dapat mendengar nyata. Lalu, menyusuli itu, pintu
kamar segera terpentang, dari mana terlihat masuknya dua
pahlawan dengan golok di tangan masing-masing.
Meninggalkan Tan Hong atau kaisar, Pit To Hoan papaki dua
pahlawan itu. Ia maju dengan gerakan "Poanliong djiauwpou" =
"Naga mendekam menggerakkan kakinya melingkar," sedang
tangannya, ialah senjatanya, ia mainkan dari kiri ke kanan, atas
mana goloknya kedua pahlawan itu lantas saja kena dibikin terlepas
dan terbang!
"Yang menyingkir selamat! Yang menghalang celaka!"
To Hoan kemudian berteriak dengan bengis, sepasang matanya
lebar, terputar. Ia bergelar "Tjinsamkay" = "Menggetarkan Tiga
Dunia," tidak heran kalau bentakannya itu dahsyat sekali.
Dengan terpaksa kedua pahlawan itu undurkan diri, karena
senjata mereka pun sudah hilang.
Dari luar masih terdengar suara berisik, kali ini dari tindakan kaki
yang berat dan kekar, disusuli bersama jeritan teraduh-aduh, dari
bentroknya alat senjata. Teranglah itu ada tanda dari orang yang
dari bawah mendaki tangga pagoda sambil menyerang naik.
Pit To Hoan sudah mundurkan kedua musuhnya, kembali ia
menghampirkan Kie Tin. Ia dihalangi-halangi Tan Hong, karenanya,
ia mencoba akan paksa melewati anak muda itu.
"Untuk apakah kau hendak menawan dia?" Tan Hong tanya.
"Apakah kau telah lupa akan sakit hatinya leluhurmu?" To Hoan
membaliki. "Jahanam ini tidak surup untuk menjadi raja! Untuk apa
kau melindungi padanya? Kita harus bekuk dia, untuk dibawa pulang
ke Tionggoan, nanti di sana kita bangunkan suatu pemerintah
baru!"
Mendengar itu, Tan Hong melengak. Dengan begitu orang tua ini
masih ada punya semangat untuk mendirikan suatu pemerintah. Ia
hendak berkata pula ketika kembali terdengar satu suara keras,
ialah dari terbukanya dengan paksa pintu dari pagoda undakan
ketiga. Dan suara itu disusul dengan munculnya satu orang, yang
segera pentang mulutnya yang lebar, akan perdengarkan suaranya
yang nyaring: "Ha, bagus benar! Kau juga ada di sini? Marilah rasai
tiga ratus tongkatku!"
Untuk herannya Tan Hong, ia kenali Tiauw Im Hweeshio, sang
soepee yang gurunya dan Yap Eng Eng telah sia-sia saja
mencarinya. Sementara itu ia masih sempat melirik ke arah Yasian,
yang umpetkan diri di satu pojok dari mana perdana menteri itu
sedang berikan titahnya kepada pahlawan-pahlawannya untuk
mencegat jalan mundur orang.
"Inilah hebat..." pikir Tan Hong, yang menjadi berkuatir.
"Djiesoepee sembrono, urusan akan menjadi kacau kalau ia sampai
kemplang mampus pada Yasian. Perdana menteri ini ada punya
putera dan perwira sebawahannya, ia masih punyakan beberapa
puluh laksa serdadu, kalau karena kejadian di sini jadi terbit perang
di antara kedua negara, itulah hebat, pasti akan terjadi darah
tumpah mengalir di daerah luasnya ribuan lie..."
Anak muda ini menjadi masgul. Hendak ia menerjang keluar, tapi
ia dihalang-halangi Pit To Hoan dengan ruyung panjangnya —
Hangliong pang. Sekarang meski ia jauh terlebih gagah daripada
jago tua itu, akan tetapi ia sungkan melawannya, ia juga tidak
hendak melukai orang. Dalam keadaan sangat tegang itu,
mendadak ia berseru dengan tegurannya: "Tjinsamkay, kau masih
punya kehormatan kangouw atau tidak?"
Heran jago tua itu, hingga ia tercengang.
"Apa kau bilang?" ia berbalik menanya.
"Untuk merampas dunia, itulah bukannya tugasmu. Kau tidak
tepat!" berkata anak muda itu dengan jawabannya.
Di waktu Tan Hong pertama kali masuk ke Tionggoan, ia ada
bawa warisan leluhurnya — ialah peta dari tempat disimpannya
harta pendaman leluhurnya itu di Souwtjioe. Ketika itu, dalam
pertandingan dengan Pit To Hoan, keduanya telah membuat
perjanjian, kalau Pit To Hoan kalah, untuk selanjutnya suka ia
dengar segala perkataannya si anak muda. Janji itu ada
mengandung maksud, jikalau di kemudian hari Thio Tan Hong
hendak rampas negara dari tangan kerajaan Beng, Pit To Hoan
cuma harus membantu, tidak dapat ia menentanginya. Karena itulah
maka sekarang dalam keadaan sangat terpaksa itu, Tan Hong
menagih janji.
Mendengar itu, walaupun sangat bertentangan dengan hatinya,
Hangliong pang dari Pit To Hoan menjadi bergerak dengan
perlahan, lalu di akhirnya, sambil menghela napas, ia berkata:
"Baiklah, aku mengalah terhadapmu!..." Setelah mengucap begitu,
dengan gesit sekali ia lompat keluar jendela!
Kie Tin takut bukan main, mukanya pucat pasi hingga seperti
tidak ada darahnya. Ia mendekam di suatu pojok, napasnya
memburu. Tan Hong tidak sempat perhatikan lagi raja itu, dia
lompat keluar kamar, hingga dia dapatkan Tiauw Im Hweeshio,
paman guru yang kedua itu, tengah kerahkan tenaganya,
mengamuk hebat dengan tongkatnya, yang menjadi lawannya
adalah Ngochito serta dua pahlawan lainnya
Ngochito bukannya seorang yang lemah akan tetapi menghadapi
pendeta itu, walaupun ia dibantu dua pahlawan, ia kewalahan juga.
Tiauw Im liehay dengan gwakang-nya, ilmu bahagian luar, liehay
juga ilmu tongkatnya, Hokmo Thunghoat, yang terdiri dari seratus
delapan jurus, dengan ilmu tongkat ini dia desak tiga lawannya itu.
Di akhirnya,
Ngochito cuma bisa bela diri, tak sanggup balas menyerang.
Beruntung bagi Tiauw Im Hweeshio, Yasian telah kehilangan dua
pahlawannya yang ia paling andalkan, ialah Tjeng Kok Hoatsoe dan
Ma I Tjan, yang kepandaiannya tidak ada di bawahannya pendeta
ini, yang tadi malam telah rubuh di tangannya Tjia Thian Hoa dan
Yap Eng Eng yang liehay dengan cara bertempurnya siangkiam
happek, hingga yang satu terluka, yang lainnya binasa, bila tidak
demikian, pasti sekali Pit To Hoan dan Tiauw Im tak akan dapat
bergerak dengan leluasa seperti ini.
Yasian lihat munculnya Tan Hong, segera ia perdengarkan
suaranya yang dingin: "Hm, bagus ya! Kamu orang-orang Han,
kamu tidak punya kehormatan!"
Tan Hong dengar ejek-ejekan itu, ia tidak mempedulikannya,
hanya terus ia lompat kepada Tiauw Im, dengan ulur sebelah
tangannya, ia sambar tongkatnya djiesoepee itu, si paman guru
yang kedua.
Tiauw Im lihat keponakan murid itu, ia jadi sangat gusar, hingga
ia berteriak : "Ya kamu berdua guru dan murid semua bukannya
manusia benar!" Justeru itu ia tengah menyerang Ngochito secara
hebat sekali, sampai pahlawannya Yasian itu putus asa. Maka
beruntung bagi pahlawan ini, Tan Hong muncul di waktu yang
tepat, selagi si pendeta egoskan tongkatnya dari tangan si anak
muda, ia lantas lompat keluar kalangan, perbuatan ini ditelad dua
kawannya.
"Tan Hong, kau berani lawan yang tuaan!" membentak Tiauw Im
dalam murkanya. "Lagi sekali kau merintangi aku! Lihat kalau-kalau
aku tidak kemplang mampus padamu dengan tongkatku ini!"
Tan Hong tapinya telah tetap dengan putusannya.
"Sekalipun kau bunuh aku, aku tetap menghendaki kau mundur
dari sini!" demikian jawabannya.
Dalam kalapnya, Tiauw Im segera serang keponakan murid itu.
Tan Hong tidak berani layani paman guru ini terus dengan
tangan kosong, terpaksa ia cabut pedangnya, maka itu keduanya
bertarung dalam ruang itu.
Pada waktu pertama kali Tan Hong masuk ke Tionggoan,
kepandaiannya Tan Hong berimbang dengan paman gurunya, akan
tetapi setelah mempelajari Hiankang Yauwkoat, ia telah peroleh
kemajuan pesat sekali, maka sekarang ia sudah dapat lampaui
paman gurunya itu. Belasan kali sudah Tiauw Im mendesak dengan
tongkatnya yang liehay, yang tadi membuatnya Ngochito bertiga
kewalahan, tapi kali ini, tidak mampu ia membuat keponakan
muridnya itu mundur setindak juga, malah sebaliknya, setiap kali si
anak muda menggerakkan pedangnya, ia seperti tak sanggup
gerakkan tongkatnya yang liehay itu!
Bukan kepalang mendongkolnya pendeta ini, hingga matanya
jadi mendelik.
"Tan Hong, apakah masih ada orang yang tertua di depan
matamu?" ia menegur sambil berteriak sekeras-kerasnya.
Ditegur begitu, anak muda ini cuma bersenyum.
"Maaf, soepee. Walau bagaimanapun, sekarang aku minta
soepee mundur dulu dari sini! Untuk bicara, nanti lain kali saja,
sekalian aku haturkan maafku!"
Perkataannya Tan Hong ini membuatnya semua pahlawan kaget
dan heran.
"Ha, kiranya mereka adalah paman guru dan keponakan
murid!..." seru mereka sambil tertawa. "Hahaha, sungguh lucu! Di
sini ada soepee yang tidak sanggup lawan keponakan muridnya!
Benar-benar tidak punya guna, sampai pengaruh si tua dipakai
untuk menindih si muda! Sungguh tidak tahu malu!"
Ejekan itu ditambahkan pula oleh tertawa dingin yang riuh.
Mukanya Tiauw Im menjadi merah padam, lalu pucat pias,
Kegusarannya tak terkirakan.
"Binatang cilik, lain kali akan aku membuat perhitungan
terhadapmu!" ia berteriak, lalu dengan menyeret tongkatnya, ia
lompat keluar kalangan, untuk angkat kaki dari pagoda itu. Maka
celakalah beberapa pahlawan yang berada diundakan tangga,
mereka telah dilabrak oleh pendeta yang sedang mungsang-
mangsing itu!
Tan Hong lompat ke jendela, untuk melongok keluar. Ia tampak
Pit To Hoan, dengan memimpin tiga pengemis, tengah menerobos
kepungan. Liehay tiga pengemis itu, beberapa puluh pahlawan
masih tidak sanggup merintangi mereka. Tiauw Im sudah lantas
gabungkan diri pada empat orang itu, berlima mereka membuka
jalan untuk menjauhkan diri.
"Beberapa pengemis itu liehay," pikir Tan Hong. "Entah
bagaimana caranya mereka bekerja, sehingga mereka mendapat
tahu raja dikurung di sini..."
Ketika itu, Yasian pun menghampirkan jendela, sambil
menyender, ia melongok keluar. Sekarang dapat ia bernapas lega.
Ketika kemudian ia menoleh, ia lantas dengar suaranya Tan Hong:
"Aku minta Thaysoe suka memberi maaf padaku," demikian anak
muda itu. "Soepee-ku itu menyangka aku sedang terkurung di sini,
maka itu telah terbit salah paham. Akan aku cari dia, untuk memberi
penjelasan. Aku berani tanggung dia tidak akan datang pula
mengacau kemari!"
Yasian dapat kesan baik terhadap anak muda ini. Ia telah
saksikan sendiri bagaimana hebatnya orang tahan desakannya si
pendeta serta kawan-kawannya itu, hingga ia jadi terbebas dari
ancaman marah bahaya.
"Sudahlah!" katanya sambil tertawa. "Sekarang mari kita bekerja
seperti apa yang kita sudah damaikan tadi. Kau tidak usah kuatirkan
apa-apa."
"Terima kasih," Tan Hong ucapkan.
"Nah silakan masuk pula, untuk tengok rajamu," Yasian berkata
pula.
Meskipun ia mengatakan demikian, perdana menteri ini tapinya
jalan berendeng dengan pemuda itu masuk ke kamarnya Kie Tin.
Kaisar Beng terpucat-pucat mukanya, ia menyender di tembok,
tubuhnya menggigil keras. Nyata ia sangat ketakutan.
Yasian bersenyum melihat keadaannya raja musuh itu.
"Biarlah dia pulang untuk jadi raja pula, dia mungkin akan
memberi kebaikan terhadapku..." demikian ia pikir. Lantas ia
tertawa dan kata: "Kau tentunya dapat kekagetan! Inilah ada
baiknya untukmu, sebab ini berarti, habis pahit, datang manis! Kau
tunggu saja, kalau nanti telah tiba utusan negaramu, kau boleh ikut
pulang ke negerimu untuk hidup senang pula seperti biasa. Mudah-
mudahan kau tidak akan lupakan kebaikanku!..."
Hati Kie Tin lega, hingga ingin ia menghaturkan terima kasih
kepada perdana menteri Watzu itu. Tetapi Tan Hong telah
mengedipkan mata padanya, atas mana segera ia insyaf akan
dirinya. Bukankah ia seorang raja dari suatu negara besar dan
Yasian tak lebih tak kurang sebagai perdana menteri dari Watzu?
Jikalau ia haturkan maafnya, ia jadi menghina diri sendiri. Maka ia
lantas angkat dada.
"Tidak usah kau menyebutnya, budi kebaikanmu ini telah aku
ingat!" demikian ia berikan jawabannya.
"Thaysoe, masih hendak aku memohon sesuatu darimu," Tan
Hong berkata. Ia seperti tidak menghiraukan pembicaraannya kedua
orang itu.
"Apakah itu? Silakan sebutkan," Yasian jawab.
Tan Hong loloskan mantel kulit di pundaknya — itulah mantel
kulit rase yang halus dan enteng —sambil berbuat begitu, ia
berkata: "Aku mohon Thaysoe ijinkan aku kasihkan mantelku ini
kepadanya."
Dengan "padanya" itu, pemuda ini maksudkan raja Beng.
Yasian segera perlihatkan roman terperanjat. "Ah, saking repot,
aku sampai melayaninya kurang sempurna!" katanya. "Orang-
orangku pun alpa! Kami sampai lupa untuk menyiapkan pakaian
baharu untuk junjungan kamu! — Mana orang?"
Perdana menteri ini menjadi repot agaknya, ia perintah orangnya
ukur tubuhnya Kie Tin, untuk segera dibuatkan pakaian baru,
pakaian dari kulit. Ia juga pesan, barang hidangan harus dibikin
lebihan, supaya sekalian dapat dihidangkan kepada raja tawanan
itu. Setelah itu, ia bertindak keluar.
Tan Hong mengikuti perdana menteri itu, tetapi mantel kulitnya
ia tinggalkan di situ. Selagi bertindak, ia melirik kepada raja, ia
tampak matanya raja itu mengembeng air.
"Agaknya hatinya telah tergerak juga," pikir anak muda ini.
"Semoga ia nanti ingat pengalamannya yang pahit di sini, supaya
nanti sepulangnya ke negerinya, ia nanti tidak mendatangkan
kesulitan bagi Ie Kokloo..."
Tan Hong lantas ingat Topuhoa, ia kuatir digerembengi pula oleh
si nona, maka itu, begitu keluar dari menara batu itu, ia lantas
pamitan dari Yasian. Ia segera menuju ke tempat penginapannya In
Loei. Akan tetapi di sana ia tidak dapat menemui si nona. In Loei
cuma meninggalkan sehelai surat untuknya.
Ringkas saja suratnya In Loei itu. Ia pesan, kalau nanti Tan Hong
sudah selesaikan segala urusannya, anak muda itu harus segera
pergi kebukit Peklo San di luar pintu timur, untuk mereka bertemu di
sana.
-ooo00dw00ooo-

Bab XXVI
Peklo San adalah bukit kenamaan, letaknya dekat dengan kota
raja. Di atas bukit, yang indah pemandangannya, ada berdiri
beberapa rumah penduduk. Tan Hong ketahui itu, makanya ia
menjadi heran akan bunyinya surat kawannya itu.
"In Loei belum pernah datang ke kota raja bangsa Watzu ini, dia
masih asing di kota ini, kenapa dia dapat mendaki bukit Peklo San?"
demikian ia berpikir. Ia juga merasa pusing sedikit. Ia dipesan
mencari ke atas bukit tetapi di dalam surat tidak dituliskan alamat
yang terang. Ke mana ia harus mencari? Tidakkah itu sulit?
Berbareng iapun menjadi berkuatir juga. In Loei pindah, agaknya
dengan cara kesusuh, apakah itu bukan disebabkan si nona hendak
menyingkir dari matanya Yasian?
Oleh karena ia tidak dapat menemui si nona, terpaksa Tan Hong
pulang dulu ke rumahnya. Kali ini ia dapat kenyataan pahlawan-
pahlawannya Yasian, yang ditugaskan mengawasi rumahnya itu,
sudah ditarik pulang. Adalah Tantai Mie Ming, yang muncul
membukakan pintu. Maka itu, girang keduanya akan pertemuan ini.
Mie Ming berkata: "Beberapa hari yang lalu kami telah dikurung
di dalam gedung, aku sebal sekali. Kalau menuruti adatku, pasti aku
sudah menerjang keluar! Tjoekong telah membujuki aku untuk
jangan gunai kekerasan."
"Memang ada terlebih baik jangan menerjang keluar," kata Tan
Hong sambil tertawa. "Mana ayahku?"
"Tjoekong ada di kamar tulis," sahut Tantai Mie Ming. "Selama
ini, hati tjoekong pepat, bagus kau telah pulang."
Tan Hong lantas pergi ke kamar tulis. Perlahan tindakan kakinya.
Ia tampak ayahnya tengah berduduk diam seorang diri sambil
bertopang dagu. Ayah itu seperti sedang memikiri sesuatu.
"Ayah!" ia memanggil, dengan perlahan.
"Oh, kau telah kembali!" menyahut ayah itu. Ia menoleh. "Aku
tadinya menyangka bahwa kita sukar untuk dapat bertemu pula
satu dengan lain..."
Air matanya orang tua itu lantas saja menetes turun.
"Anakmu yang poethauw pulang untuk memohon ampun," kata
Tan Hong.
Ayah itu tidak pedulikan akan kebaktian anaknya itu.
"Aku dengar dari Tantai Tjiangkoen, benarkah kau telah tiba di
Souwtjioe?" tanyanya.
"Justeru untuk itulah anakmu memohon ampun," jawab Tan
Hong. "Harta pendaman dan peta bumi simpanan leluhur kita sudah
aku gali, semua itu aku telah berikan kepada Ie Kiam dari kerajaan
Beng, untuk digunakan membantu kaisar dari Keluarga Tjoe
memukul mundur angkatan perang Watzu..."
"Tentang sepak terjangmu itu, dari mulut Tantai Tjiangkoen telah
aku dengar sedikit," berkata sang ayah. "Dengan tindakanmu ini,
terhadap Tionggoan kau telah unjukkan jasamu, tetapi karena itu,
kita kaum keluarga Thio, untuk selama-lamanya akan tidak punya
lagi ketika yang baik untuk memperebutkan dunia..."
Tan Hong bungkam. Ia dapat merasai kedukaannya ayah itu.
Ketika ia memikir, untuk menghibur ayahnya, ia dengar ayah itu
menghela napas seraya terus berkata: "Hidup tak ingin menjadi
tihang negara, mati tak sudi menjadi Raja Akherat. Sekalipun Raja
Akherat, selagi ia memutuskan orang menjadi setan, hatinya sering
tak tega, sedang menjadi tihang negara, yang mencintai rakyatnya,
kewajibannya menjadi bertambah-tambah banyak... Setelah
perubahan besar ini, dengan perlahan-lahan habis sudah tergosok
semangatku yang besar. Menjadi perdana menteri aku tidak
menghendaki lagi, apapula untuk menjadi raja yang pasti
memusingkan kepala. Oleh karena kau sendiri sudah tak ingin
menjadi raja yang memulai membangun negara, aku juga ingin
mengakhiri hidupku di negara asing ini. Semua yang kau telah
lakukan, tidak aku buat menyesal, tidak aku persalahkan kau!"
"Ayah," berkata putera itu. "Daun itu rontok jatuh ke akarnya,
dari itu, aku masih mengharap kau nanti pulang ke negeri kita..."
Thio Tjong Tjioe menghela napas, ia hempaskan tangannya.
"Selama ini kau banyak letih, pergilah kau beristirahat dulu,"
katanya. "Sebentar malam nanti kita bicara pula."
Tan Hong tidak berani mendesak, ia lantas undurkan diri.
Sorenya, sehabis bersantap malam, anak ini bersama ayahnya
jalan-jalan di dalam taman. Di bawah sinarnya si Puteri Malam,
pohon-pohon bunga menciptakan bayangan-bayangan. Menarik hati
memandang loneng-loneng yang terukir. Di dalam keindahan sang
malam itu, ayah dan anak berhadapan berdiri sambil mereka
menyenderkan tubuh di loneng. Sampai lama, mereka tak bicara
satu pada lain.
Akhirnya, Tan Hong petik setangkai bunga bwee.
"Kali ini bunga bwee mekar terlebih indah daripada tahun yang
lalu," kata dia. Ia mulai pecahkan kesunyian.
"Benarkah itu?" tanya ayahnya. "Kau telah sampai di istana lama
di Souwtjioe, bagaimana kau lihat keadaan di sana?"
"Istana itu telah dijual oleh negara, telah dijadikan tamannya
satu okpa," sahut si anak. "Ukiran huruf-huruf di tembok pun sudah
pada runtuh..."
Tjong Tjioe tidak bilang suata apa, ia cuma menghela napas.
"Tetapi ayah jangan berduka," Tan Hong menghibur. "Tempat
kita itu telah anakmu menangkan kembali."
Tjong Tjioe heran.
"Apa katamu?" ia tanya.
Tan Hong segera beri keterangan halnya itu hari ia menangkan
pertaruhan dengan Kioetauw Saytjoe hingga ia dapat pulang
Koaywa Lim, tamannya itu, dan hal apa yang ia telah lakukan
terlebih jauh mengenai taman itu.
Ayah itu tengah berduka tetapi mendengar penuturan puteranya,
ia tertawa berkakakan. Itulah tanda ia setujui sikap anaknya itu.
"Anakmu poethauw, ayah," Tan Hong berkata pula. "Sekarang ini
anakmu mengharap ayah suka pulang, supaya di taman sendiri ayah
bisa tinggal dengan damai dan tenang..."
Tjong Tjioe kembali tidak menyahuti, ia cuma menghela napas.
Kelihatannya ia sangat lesu.
"Ayah, justeru adalah paling baik kau gunai ketika ini untuk
keluar dari segala keruwetan," Tan Hong membujuk pula. Lalu ia
tuturkan apa yang ia bicarakan tadi pagi dengan Yasian. Ia
tambahkan: "Telah aku melancangi ayah menerima baik sarannya
Yasian itu, maka itu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu
untuk meletakkan jabatan, supaya ayah tak usah lagi menjadi
menterinya Watzu yang memusingkan diri ini."
"Untuk undurkan diri, itulah memang cocok sama cita-citaku,"
berkata ayah itu. "Sudah dua puluh tahun lebih aku menjadi
menteri, aku telah merasa letih sekali. Dahulu juga aku tidak punya
niatan untuk menjadi menteri."
"Memang, ayah, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari
antara puncak-puncak, dan burung, setelah letih beterbangan, tahu
akan pulang ke sarangnya," kata Tan Hong. "Maka, ayah, untuk
kita adalah terlebih baik jikalau kita pulang ke kampung halaman
kita."
Tjong Tjioe menghela napas. "Memang, mega itu tak ada niatnya
untuk muncul dari antara puncak-puncak, dan burung setelah letih
beterbangan tahu akan pulang ke sarangnya," ia ulangi kata-kata
puteranya. "Itulah dua runtunan kata-kata yang tepat sekali dari To
Van Beng. Pulang, pergi, kembali! Ya, sekarang adalah waktunya
untuk pergi pulang..."
Tan Hong menjadi sangat girang.
"Kalau begitu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu
meletakkan jabatan," ia kata. "Sesudah itu kita menanti saja tibanya
utusan kerajaan Beng, setelah perdamaian beres selesai, kita lantas
pulang ke negeri kita."
Tapi Tjong Tjioe menggeleng-geleng kepalanya.
"Apa yang aku katakan dengan pergi pulang itu bukanlah seperti
yang kau maksudkan pulang ke negeri kita sendiri!" katanya,
dengan suaranya yang dalam.
Tan Hong heran, hingga ia tercengang.
"Bagaimana, ayah ?" ia tanya.
"Arak habis, perjamuan bubar, orang pergi pulang," sahut ayah
itu. "Demikian kemuliaan, kementerengan, itulah impian kosong
belaka. Di dalam dunia ini aku telah hidup enam puluh tahun, dari
itu sudah seharusnya aku pergi pulang..."
Kali ini suaranya itu lain daripada biasanya. Nyata dengan "pergi
pulang" itu ia maksudkan pergi pulang ke alam baka. Karena ini,
ketika sang anak berkata pula, suaranya rada-rada menggetar.
"Ayah semakin sehat, masih jauh ayah ke usia seratus tahun,
kenapa ayah mengucapkan kata-kata yang tak beralamat baik ini?"
ia tanya.
Tjong Tjioe tertawa meringis.
"Bukankah di dalam dunia ini tidak ada pesta yang tidak bubar?"
ia balik tanya.
"Kanglam itu indah, itulah justeru tempat untuk ayah
beristirahat!" kata Tan Hong, gugup.
Tapi sang ayah jawab: "Apakah aku masih ada muka untuk
kembali ke Kanglam? Dahulu hari Tjouw Pa Ong sungkan melintasi
sungai Ouw Kang, itu artinya dia tak ingin menjumpai pula
penduduk Kangtong!"
Tan Hong menjadi sangat berduka, ia berkuatir.
"Ah, mengapakah ayah membuat bandingan ini?" ia kata. Ia
masih berniat membujuk, tetapi ayahnya telah menggoyangkan
tangannya.
"Putusanku sudah tetap, tak usah kau banyak omong lagi!" kata
orang tua itu. "Boleh aku letakkan jabatanku sebagai menteri akan
tetapi tanah daerah leluhurku tak sudi aku menginjaknya pula!"
"Kalau begitu, ayah," tanya Tan Hong, "apakah ayah anggap
keliru tentang perjalananku ke Tionggoan ini?"
Tjong Tjioe berdongak memandang langit. Dari kejauhan,
dengan lapat-lapat, terdengar suaranya terompet huchia. Sekian
lama ia membisu, baharu ia bersuara pula.
"Jikalau usiaku muda empat puluh tahun, aku juga dapat
melakukan seperti apa yang kau telah perbuat," ia berkata.
"Mengandalkan orang untuk melakukan sesuatu adalah sangat tak
boleh diharap, sekarang insaflah aku bahwa pikiran akan pinjam
tenaga bangsa Watzu untuk membangunkan pula Kerajaan Tjioe
kita yang besar adalah suatu pikiran yang keliru."
Mendengar ini, Tan Hong girang berbareng berduka.
"Ayah..." katanya pula.
"Tak usah kau omong banyak lagi!" sang ayah memotong.
"Hanya ingin aku menyadarkan kau. Yasian itu adalah seorang yang
sangat licik, terhadapnya kau mesti waspada kalau-kalau dia
berbalik berpikir. Dengan sesungguhnya aku mengharap-harap lekas
tibanya utusan dari pemerintah Beng! Bilamana aku menutup mata
di negara Watzu ini, tidak nanti aku melupakan Tionggoan... Turut
katamu itu, Ie Kiam adalah seorang menteri bijaksana yang sukar
dicari keduanya selama seratus tahun ini. Mudah-mudahan, sejak
saat ini, Tionggoan kelak akan menjadi makmur dan kuat. Aku
merasa senang juga apabila aku dapat melihat utusannya."
Luar biasa perasaannya Tan Hong sesaat itu. Mereka berada
dekat tapi mereka seperti terpisah jauh satu dari lain... Tan Hong
seperti merasakan bahwa jantung ayahnya berdenyut keras,
berdenyut dengan tak dapat diartikan maksudnya... Karena ini,
pikirannyapun menjadi kacau.
Sekonyong-konyong di antara kelompok pohon di depan mereka,
satu bayangan orang tampak berkelebat, berbareng dengan itu
terdengar bentakannya Tantai Mie Ming: "Siapa bernyali begini
besar berani menyusup masuk ke dalam sianghoe?" Bentakan itu
disusul dengan serangan sebelah tangan, lalu menyusul satu suara
berisik dari rubuhnya sebuah pohon kembang, disusul pula dengan
lompat keluarnya satu orang mengenakan pakaian warna abu-abu.
Tantai Mie Ming sendiri terlihat terhuyung beberapa tindak, baharu
dapat ia pertahankan tubuhnya.
Tan Hong kaget sekali. Siapa orang itu, yang demikian kosen
sanggup membuat Tantai Mie Ming terhuyung? Mendadak ia dengar
tertawa yang nyaring diiringi pertanyaan: "Ah, Tan Hong, kau telah
kembali?"
Baharu sekarang Tan Hong melihat tegas, orang itu adalah
toasoepee-nya, Tang Gak. Maka itu, ia jadi girang luar biasa. Ia
lantas memberi hormat pada paman gurunya yang paling tua itu,
siapa ia segera ajar kenal dengan ayahnya.
"Mari kita duduk di dalam," kemudian ia mengajak.
Demikianlah mereka pergi ke ruang tamu. Tang Gak irup air teh
yang disuguhkan, terus ia tertawa.
"Tantai Tjiangkoen, kepandaian Tiat Piepee-mu telah menjadi
terlebih liehay daripada dulu-dulu!" ia memuji.
Tantai Mie Ming pun tertawa.
"Dan Taylek Kimkong Tjioe darimu pun sukar sekali untuk
dilayani!" ia balik memuji.
Tjong Tjioe menghaturkan terima kasih pada tetamunya yang
tidak diundang itu.
"Anakku telah dapat perlindunganmu, aku sangat berterima
kasih," kata ia pada paman guru puteranya itu.
"Dan akupun bersyukur kepada kau yang selama sepuluh tahun
sudah melindungi soetee-ku," Tang Gak pun berkata, ia maksudkan
Thian Hoa. Kemudian, sambil tertawa pula, ia menambahkan.
"Sinsiang, baharu sekarang aku tahu hatimu! Nyata tidaklah salah
apa yang dikatakan soetee-ku itu! Aku merasa bersyukur yang aku
tidak sampai berlaku sembrono..."
Tan Hong pun dengan diam-diam bersyukur juga.
"Baiknya ia dapat dengar pembicaraan ayahku barusan," katanya
di dalam hati. "Kalau dia sebagai djiesoepee, entah apa yang akan
terjadi... Apakah soepee telah ketemu guruku?" ia terus tanya
toasoepee itu.
"Ya, telah aku ketemu padanya," sahut Tang Gak.
"Tjia Sianseng sudah pergi untuk banyak hari," Tjong Tjioe turut
bicara. "Mulanya aku tidak tahu apa yang dia niat lakukan, aku
berkuatir. Dia telah kembali, mengapa dia tidak turut bersama
datang kemari?"
Tang Gak irup pula tehnya, ia tidak lantas menjawab.
"Pahlawan-pahlawannya Yasian sudah dibubarkan, meski
demikian sukar dijamin bahwa ia tidak akan mengirim orang lagi
untuk memata-matai kita," berkata Tantai Mie Ming. "Nanti aku
pergi ke depan untuk melihat-lihat."
Tan Hong tertawa atas kepergiannya jenderal itu.
"Tantai Tjiangkoen telah memikir terlalu banyak," katanya. "Dia
kuatir di antara kita mungkin hendak membicarakan sesuatu yang
tak dapat dilakukan di depannya, maka itu ia berlalu..."
"Ia benar," Tang Gak bilang. "Apa yang hendak aku bicarakan
justeru adalah urusan gurunya."
Gurunya Tantai Mie Ming ialah Siangkoan Thian Ya, justeru
adalah lawan dari Hian Kee Itsoe. Maka mendengar soepee ini, Tan
Hong menjadi heran.
"Apa?" tanyanya "Bukankah Siangkoan Thian Ya Si kepala iblis
tua itu sudah lama mengumpetkan diri? Mungkinkah sekarang dia
muncul pula?"
"Dia tidak keluar dari gunungnya akan tetapi kita hendak pergi
mengunjungi padanya!" kata Tang Gak.
"Bagaimana sebenarnya soepee?" tanya pula Tan Hong, heran.
"Tak tahu bagaimana jalannya, iblis kepala yang tua itu telah
mendengar yang kami beberapa saudara telah datangi negara
Watzu ini," Tang Gak beri keterangan, "dan ia segera kirim orang
untuk memberitahukan kami supaya kami pergi ke gunungnya untuk
menghadap padanya."
"Apakah maksudnya?" Tan Hong tanya pula.
"Aku juga tidak tahu. Mungkin dia hendak uji kepandaian kami.
Dia adalah satu lootjianpwee, dia telah berikan titahnya, tidak
dapat kami tidak turut titahnya itu."
"Apakah Tantai Tjiangkoen tidak ketahui urusan ini?" Tan Hong
tanya. Ia jadi berpikir keras.
"Jikalau dia tidak mengatakan apa-apa, jangan kau timbulkan
urusan ini kepadanya," Tang Gak pesan. Ia tidak jawab keponakan
murid itu, ia bicara secara sungguh-sungguh.
Di dalam kalangan kaum Rimba Persilatan ada aturan yang harus
dihormati, yaitu jikalau pada kedua pihak kaum tertua ada
perselisihan, maka murid-murid mereka itu meskipun mereka
bersahabat satu pada lain, harus si murid saling menjauhkan diri.
Tan Hong tahu aturan itu, ia sebenarnya kurang memperhatikannya,
tetapi sebab ia lihat soepee ini bicara demikian rupa terpaksa ia
tidak berani banyak omong.
Tang Gak melanjutkan kata-katanya: "Begitulah pada kira-kira
tiga puluh tahun yang lalu, guru kami bersama Siangkoan Thian ya
itu telah melakukan pertempuran di atas gunung Ngobie San,
sampai tiga hari tiga malam lamanya, mereka tidak menang dan
tidak kalah. Pertempuran itu telah disudahi dengan mereka saling
berjanji, bahwa lagi tiga puluh tahun kemudian mereka bertemu
pula. Tidak lama sehabisnya itu, keduanya menjauhkan diri dari
muka umum, mereka menyembunyikan diri, yang satu di
Tionggoan, yang lain di tapal batas Mongolia. Sejak itu, keduanya
tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain. Aku telah anggap
urusan akan sudah habis sampai di situ. Tak disangkanya pada
tahun ini di permulaan musin semi, aku dengar omongannya
seorang sahabat kaum Rimba Persilatan, bahwa katanya Siangkoan
Thian Ya hendak mewujudkan janji dahulu hari itu. Oleh karena ini,
lekas-lekas aku berangkat untuk menyampaikan kabar kepada
soetjouw-mu. Soetjouw-mu itu tidak mengatakan, suka atau tidak ia
menyambut Siangkoan Thian ya itu, ia hanya titahkan kami pergi
terlebih dahulu ke Watzu. Sampai sekarang ini aku tetap belum tahu
soetjouw-mu itu hendak datang atau tidak..."
"Turut apa yang aku dengar dari soehoe," berkata Tan Hong,
"jurus silat pedang siangkiam happek ciptaan soehoe adalah
diperuntukkan melawan iblis tua itu. Mungkin, karena itulah
soetjouw tidak niat turun tangan sendiri."
"Tentang liehaynya siangkiam happek itu belum pernah aku
saksikan," kata Tang Gak. "Samsoetee dan soemoay memang
cerdas sekali, mereka jauh lebih menang daripada aku, akan tetapi
jikalau mereka hendak diajukan untuk melayani iblis tua itu, rasanya
bedanya masih terlalu jauh..."
Tan Hong tahu liehaynya siangkiam happek, tak percaya ia akan
kata-katanya paman guru yang tertua itu, akan tetapi terhadap
toasoepee ini ia tidak berani sembarang omong, ia juga tidak
hendak pertontonkan ilmu silat pedang gabungan itu, maka ia
membungkam.
"Eh, Tan Hong, mana sahabatmu yang muda?" tiba-tiba Tang
Gak tanya. Baharu sekarang ia ingat In Loei.
Hatinya Tan Hong bercekat. Tentang In Loei, ia belum omong
kepada ayahnya, ia anggap belum tiba saatnya, tapi sekarang
toasoepee itu menimbulkannya, hatinya menjadi kebat-kebit. Lekas-
lekas ia mengedipkan mata kepada paman guru itu.
"Apakah kau tidak memikiri dia?" tanya pula toasoepee itu, dia
agaknya tak mengerti tanda kedipan mata dari keponakan murid itu.
"Anak Hong," berkata Tjong Tjioe, setelah ia dengar
perkataannya Tang Gak itu, "kau datang bersama sahabatmu itu,
ajaklah dia menemui aku."
"Ia ada urusan, ayah, dia telah pergi terlebih dahulu," Tan Hong
terpaksa mendusta.
"Bukankah dia hendak pergi ke lembah selatan dari gunung
Tangkula untuk cari ibunya?" tanya lagi Tang Gak. Dengan "dia",
paman guru ini maksudkan "dia" wanita.
Kembali Tan Hong bercekat.
"Ha, toasoepee ini!" katanya dalam hati kecilnya. "Rupanya
toasoepee telah ketemu In Loei, jikalau tidak, tidak nanti ia ketahui
In Loei hendak cari ibunya itu..."
Di samping itu, girang juga Tan Hong, hingga sinar matanya
menjadi bercahaya. Ia ada seorang cerdas, tahulah ia bahwa Tang
Gak tentunya campur dalam halnya In Loei pergi mencari ibunya itu.
Tjong Tjioe sementara itu nampaknya heran. "Sahabat macam
apa dia itu?" ia tanya. "Satu sahabat yang jujur." sahut Tan Hong.
"Kalau begitu, lain hari mesti kau ajak dia ke rumah kita," kata
ayah itu.
"Baik, ayah," sahut si anak. Di dalam hatinya, ia ada sangat
berduka. Bukankah In Loei telah menyatakan tak ingin menemui
ayahnya itu?
Sampai di situ, Tang Gak berbicara pula.
"Si iblis Siangkoan itu berdiamnya di puncak tertinggi dari
gunung Tangkula sebelah utara," demikian katanya. "Jikalau dari
lembah sebelah selatan, di mana ada bertinggal suku bangsa Ngolo,
kita pergi kesebelah utara, lalu mendaki puncak utara yang tinggi
itu, perjalanan ada sekira lamanya tiga hari. Tadi Thio Thaydjin
menanyakan halnya Thian Hoa, dia sebenarnya sudah pergi terlebih
dahulu kesana."
"Kapan Siangkoan Thian Ya menyuruh soepee beramai pergi
mengunjungi padanya?" Tan Hong tanya.
"Harinya masih belum ditetapkan," sahut Tang Gak. "Sebelumnya
Tjengbeng, Thian Hoa sudah berangkat. Akulah yang menyuruh dia
pergi, sebab ia mesti sambangi dulu satu sahabat Rimba Persilatan.
Adalah kehendakku, di saat yang perlu, sahabat itu harus muncul
untuk menjadi si juru pemisah. Di mana djiesoepee-mu? Aku dengar
dia telah tiba juga. Bersama Thian Hoa, aku belum menemui dia."
"Djiesoepee ada bersama Tjinsamkay Pit To Hoan", Tan Hong
beritahukan. Dan ia tuturkan kejadian tadi malam.
Mendengar itu, Tang Gak tertawa.
"Tabeatnya Tiauw Im masih tetap saja aseran seperti dulu-dulu,"
kata dia. "Baiklah, akan aku berdiam di sini beberapa hari, untuk
mencari dia, setelah bertemu dengannya, baharu kita bicara pula."
"Kalau begitu, besok aku mesti berangkat?" berkata Tan Hong
kemudian. Tjong Tjioe terperanjat.
"Eh, anak Hong!" katanya. "Kau baharu pulang, bagaimana kau
sudah hendak berangkat pula?"
"Inilah perlu, ayah," anak itu jawab. "Di sini ada mengenai
urusan penting dari guruku, sebagai murid, layak aku berbuat
sesuatu untuk soehoe. Kalau soehoe pergi menghadapi bencana,
layakkah aku tidak menyusulnya?"
Tjong Tjioe berdiam. Ia dapat membenarkan perkataan anaknya
ini. Bukankah Tan Hong telah dididik sempurna oleh Thian Hoa,
gurunya itu? Maka tak dapat ia mencegahnya.
"Mana kudamu, Tjiauwya saytjoe ma?" kemudian ia tanya.
"Kuda itu dibawa oleh sahabatku yang disebutkan tadi," sahut
Tan Hong.
"Ah!..." Tjong Tjioe berseru perlahan. Di dalam hatinya, ia kata:
"Pasti persahabatannya anak ini dengan sahabatnya itu bukan
persahabatan biasa saja..." Oleh karena ini semakin keraslah niatnya
untuk bertemu dengan orang yang dimaksud itu.
Keesokan paginya, Tan Hong pamitan dari ayahnya, juga
kepada Tang Gak, toasoepee itu. "Mari aku antar kau keluar,"
berkata Tjong Tjioe, yang terus pegang tangan anaknya. Mereka
berjalan dengan perlahan-lahan.
Tantai Mie Ming ada bersama, ia menemani Tang Gak. Berdua
mereka telah mendahului tiba di pintu depan.
"Ayah, kau masuklah," Tan Hong minta. "Ayah masih harus pergi
ke istana."
"Surat perletakan jabatan telah aku tulis selesai tadi malam,
karenanya tak usah aku kesusuh," sahut sang ayah. "Sejak sekarang
ini, dengan tidak memangku pangkat, aku jadi merdeka. Aku hanya
harapkan kau lekas kembali."
"Jangan ayah pikirkan aku. Bersama-sama soehoe pasti aku akan
kembali."
"Hanya aku kuatir, setelah kembali, kamu nanti pergi pula,"
menyatakan pula ayah itu akan kesangsiannya. "Kalau nanti kau
pulang, mungkin utusan kerajaan Beng pun telah tiba."
"Kenapa ayah tidak hendak bersama-sama pulang ke
Tionggoan?" Tan Hong tanya pula. Ia mengulangi.
"Semalam telah kita bicarakan urusan itu, maka sekarang tak
usah banyak dibicarakan pula!" kata ayah itu, ringkas.
Tan Hong menurut, tetapi tiba-tiba ia tanyakan lainnya hal.
"Ayah," demikian katanya, "apakah ayah masih ingat In Tjeng,
itu utusan kerajaan Beng yang dahulu hari?"
Tjong Tjioe melengak. Tan Hong rasakan telapak tangan ayahnya
basah tiba-tiba dengan keringat, tangan itu gemetar.
Selang sesaat baharulah Tjong Tjioe seperti sadar, terus ia
menghela napas.
"Ya, sudah tiga puluh tahun..." katanya, seperti kepada dirinya
sendiri. "Urusan dari tiga puluh tahun seperti terbayang di depan
mata... Utusan In itu adalah satu laki-laki yang seumurku baharu
pernah menemuinya! Bagaimana aku tidak ingat kepadanya? Kalau
tidak salah, sejak dia pulang ke negerinya, sepuluh tahun sudah
berselang..."
"Hanya nasibnya harus disayangkan," Tan Hong tambahkan. "Dia
pulang ke negerinya, baharu saja dia tiba di pintu negeri, dia sudah
dianiaya hingga binasa oleh Ong Tjin yang telah menggunakan
firman palsu!"
Tjong Tjioe agaknya terkejut.
"Kejadian itu pernah aku mendengarnya," ia bilang. "Ah, itulah
disebabkan kesalahanku. Ketika itu aku masih bersemangat muda,
aku sangat benci raja Beng, karenanya, aku benci juga semua orang
yang bersetia kepada kerajaan Beng itu. Karena itu juga maka In
Tjeng telah aku kirim ke tepi telaga yang seperti berlangitkan es dan
berbumikan salju, hingga lamanya dua puluh tahun dia mesti
mengembala kuda. Selama dua puluh tahun dia minum es dan
mengemu salju, toh selama itu tetap dia bersetia kepada kaisar dari
Keluarga Tjoe itu. Dia adalah musuhku tetapi aku sangat kagum
terhadapnya. Selama tahun-tahun yang belakangan ini, apabila aku
ingat padanya, aku jadi bersusah hati. Inilah kesalahanku, ya
kedosaanku yang pertama-tama selama hidupku... Aku harap
utusan kerajaan Beng yang akan datang itu nanti ada sebagai In
Tjeng jantannya!"
"Ayah tahu tidak," kata Tan Hong pula, "kabarnya In Tjeng itu
ada punya dua cucu, yang satu pria, yang lain wanita, keduanya
usianya tak berjauhan dengan usiaku."
"Benarkah itu?" tanya Tjong Tjioe. "Aku harap yang aku bisa
dapat bertemu dengan mereka itu."
"Ayah, umpama ada sesuatu yang mereka hendak mohon
darimu, sudikah kau menerimanya?" Tan Hong berkata pula.
"Kau adalah mustikaku," sahut orang tua itu, "kalau untuk
mereka itu, meski aku kehilangan kau, aku ikhlas sekali!" Tiba-tiba
ia menghela napas. Ia menambahkan: "Jikalau mereka itu masih
hidup dan telah menjadi dewasa, pasti sekali mereka ketahui
peristiwa engkong-nya itu, pasti sekali mereka akan pandang aku
sebagai musuhnya. Oleh karena itu, cara bagaimana mereka hendak
meminta sesuatu dari aku?"
Lega hatinya Tan Hong akan dengar kata-kata ayahnya ini. Ia
tahu, itulah kata-kata yang keluar dari hati yang putih murni.
"Bagaimana caranya maka kau ketahui tentang dua anak itu?"
kemudian Tjong Tjioe tanya pula.
Sebenarnya ingin Tan Hong tuturkan pergaulannya dengan In
Loei, atau mendadak ia pikir baiklah ia bersabar dulu.
"Aku dapat mendengar pembicaraan di antara sahabat-sahabat
kaum kangouw," demikian ia jawab. "Kabarnya mereka itu sudah
ikuti satu guru silat yang terkenal dari siapa mereka telah pelajari
kepandaian. Cucu lelaki dari In Tjeng itu mungkin bekerja pada
pemerintah."
"Kalau benar begitu, senang hatiku," berkata Tjong Tjioe. "Aku
harap saja, utusan Beng yang akan di kirim kemari itu adalah
cucunya In Tjeng itu."
Tan Hong lihat ayahnya benar-benar bergembira.
Sementara itu, mereka sudah sampai di samping pintu.
"Ayah baik-baiklah di rumah," Tan Hong bilang. Lalu, bersama
Tang Gak ia keluar dari pintu belakang.
Tjong Tjioe senderkan tubuh di pintu, ia masih mengawasi, sinar
matanya suram.
"Sungguh soetee Thian Hoa sabar dan jauh pandangannya,"
berkata Tang Gak. "Sekarang mengertilah aku kenapa dia sudi
tinggal di rumahmu sampai sepuluh tahun. Oleh karena ayahmu
suka membantu Tionggoan, nampaknya Yasian tidak akan mampu
terbitkan sesuatu gelombang."
Atas ucapannya soepee itu, Tan Hong hanya angguk-anggukkan
kepala.
"Sekarang kita menuju ke mana?" ia tanya.
"Tentu saja ke Peklo San!" sahut paman guru itu. "Adik kecilmu
tengah memikirkanmu..."
"Oh, jadinya soepee adalah yang menitahkan dia pergi ke Peklo
San?"
"Di atas Peklo San itu ada satu sahabatku," jawab Tang Gak. "In
Loei tinggal di rumah penginapan, itulah tidak sempurna, maka itu
aku suruh dia pergi menumpang di rumah sahabatku itu."
Keduanya berjalan dengan cepat, maka tidak lama sampailah
mereka di kaki gunung Peklo San itu. Hawa ada sangat dingin,
daun-daun kuning seperti mengampari bukit itu. Tan Hong sangat
bergembira, pemandangan itu baginya adalah seperti pemandangan
di musim semi...
Di tengah gunung ada sebuah rumah, temboknya dari tanah liat.
Kelihatan rumah itu terawat baik. Di pintu depan, sambil
menyender, ada satu nona. Dialah In Loei.
"Adik kecil! Adik kecil!" Tan Hong segera memanggil. "Adik kecil,
aku sudah kembali!"
In Loei menyahuti dengan tawar, ia nampaknya lesu.
Tang Gak lihat sikap orang itu, ia menggeleng kepala, ia kata
dengan perlahan: "Kamu berdua adalah sepasang musuh..."
"Telah aku bicara dengan ayah perihal peristiwa dulu-dulu, ia
sangat menyesal," kata Tan Hong. Ia ingin beritahukan In Loei
perihal ayahnya mengharap sangat bertemu dengan dia dan
kakaknya, tapi In Loei dengan dingin mengatakannya lebih dahulu,
"Aku pun menyesal..."
"Menyesal? Apa yang kau sesahnya?"
"Kakekku dahulu mengembala kambing," jawab si nona. "Kalau
nanti aku bersama kau pergi melihat ibuku, tidak tahu apa yang
harus aku katakan..."
Tan Hong menghela napas. Pantas kalau In Loei menyesal untuk
ibunya itu — ibu yang telah terlunta, sangat menderita.
Mengawasi sepasang anak muda itu, Tang Gak tertawa.
"Kamu anak-anak muda, kamu bertemu untuk saling menghela
napas, kamu membuatnya aku si tua bangka jadi sangat tidak
mengerti!" katanya, Jenaka. "Kalau ada omongan, mari masuk ke
dalam, di sana kita membicarakannya."
Masih Tan Hong menghela napas. "Untukku, walaupun harus
menginjak api, akan aku turut kau mencari ibumu itu," ia kata pada
In Loei. "Kalau nanti kita sudah bertemu, apa juga kata ibumu,
bagaimanapun ia tegur aku, akan aku terima saja..."
Tiba-tiba saja In Loei tertawa geli.
"Untuk apa ibuku tegur kau?" tanya dia. "Ibuku itu, seumurnya
belum pernah menegur orang!"
Satu kali si nona tertawa, maka sang awan gelap seperti juga
lantas tersapu sinarnya Batara Surya!
Maka dengan hati lega, mereka masuk ke dalam rumah.
Sahabatnya Tang Gak itu adalah seorang ahli silat suku bangsa
Hui yang tinggal di Mongolia ini, seorang yang ramah tamah sekali.
Begitu ia sambut tetamunya, lantas ia pergi ke belakang, untuk
mencuci dan mensesel dagingnya seekor kambing hutan yang
kemarinnya ia dapat dari memburu, untuk di matangi, dengan apa
ia jamu tetamunya itu. Tak lupa ia menyediakan araknya.
"Samsoepee dan soehoe telah lewat di sini kemarin," kata In Loei
selagi mereka duduk bersama.
"Tentang itu telah aku beritahukan Tan Hong," kata Tang Gak.
"Sekarang aku masih hendak berdiam beberapa hari di sini, untuk
cari djiesoepee-mu serta Pit To Hoan, setelah, menemukan mereka
baharu aku akan langsung kepuncak selatan dari gunung Tangkula,
untuk menghadiri pertemuan. Kau, In Loei, setelah kau dapat cari
ibumu, harus kau lekas bersama Tan Hong menyusul ke sana.
Mungkin sekali kita, orang-orang tua dan muda dari dua tingkat
turunan, akan bersama-sama menempur iblis tua bangka itu!"
"Apakah benar si tua bangka iblis itu ada demikian liehay?" In
Loei tanya.
"Sekalipun kita kepung padanya, aku sangsikan kemenangan ada
di pihak kita!" sahut Tang Gak.
"Kalau begitu, bukankah dia jadi ada terlebih liehay daripada si
wanita tua dari hutan bambu?" tanya pula si nona.
Tang Gak heran, ia melengak.
"Wanita tua siapakah yang kau maksudkan itu?" ia menegaskan.
In Loei pun segera ingat perkataannya Thian Hoa bahwa kecuali
cuma toasoepee ini yang ketahui hal ihwalnya si wanita tua, maka
itu ia lantas menjelaskannya.
"Dia adalah seorang tua yang tak sudi memberitahukan she dan
namanya," demikian penyahutannya. Dia pandai menggunai senjata
rahasia yang berupa daun bambu. Toasoepee, tahukah siapa dia
itu?"
Nona ini lalu menjelaskan pertemuan di hutan bambu itu.
"Ah, aku tidak sangka lootjianpwee itu masih ada di dalam dunia
ini" berkata si paman guru setelah ia dengar semua. "Nyata dia
masih tak melupai segala kejadian dahulu hari itu. Oleh karena dia
muncul, di belakang hari mungkin dia campur tangan, dan itu
artinya urusan bisa menjadi bertambah sulit..."
"Sebenarnya siapakah dia?" In Loei tanya pula.
"Dia itu bersama soetjouw-mu serta si tua bangka iblis ada punya
suatu urusan, hanya kita yang menjadi anak muda, tak tepat untuk
kita membicarakan urusan mereka itu. Di belakang hari kau akan
ketahui sendiri."
Demikian jawaban Tang Gak. In Loei tidak berani mendesak
untuk menanyakannya terlebih jauh. Tentu saja, sendirinya ia jadi
masgul. Sehabis bersantap, sang waktu sudah tengah hari. Keras
sekali niatnya In Loei untuk mencari ibunya, maka ia desak Tan
Hong untuk segera berangkat. Karena itu, sebentar kemudian
keduanya sudah pamitan dari tuan rumah serta toasoepee mereka,
untuk berangkat terlebih dahulu.
Sudah sekian lama Tjiauwya saytjoe ma dibawa In Loei ke
gunung Tangkula ini, dan sekarang kuda itu melihat Tan Hong,
lantas saja ia angkat kepalanya dan meringkik keras dan panjang.
Tan Hong usap-usap lehernya binatang tunggangannya itu.
"Sekarang aku membutuhkan kau pula!" katanya sambil tertawa.
Kedua pemuda pemudi naik atas masing-masing kudanya. Lantas
mereka mulai dengan perjalanannya.
Orang berada di dalam musim dingin yang dekat berakhir,
merekapun membuat perjalanan ke Utara, maka itu, mereka
menghadapi angin Utara yang hebat. Jalan penuh dengan salju,
hingga jagat menjadi putih anteronya. Di tengah jalan juga sedikit
sekali orang yang berlalu lintas.
Namun dalam keadaan seperti itu, Tan Hong melakukan
perjalanannya dengan hati terbuka, di atas kudanya ia mainkan
cambuknya, dengan nada tinggi ia perdengarkan suaranya: "Cuma
terdengar denyutan dua hati, yang putih bagaikan salju, yang tak
sedikit jua dibiarkan dikotori debu!..."
"Hai, sioetjay tolol!" berkata In Loei sambil bersenyum. "Kau
menyebut-nyebut salju, kalau sebentar sang angin membawa
datang salju itu, baharulah kau tahu rasanya hawa dingin! Nanti kau
sukar berjalan..."
Tan Hong bersenyum, ia tidak sahuti nona itu.
Manjur mulutnya In Loei, belum lama atau sang angin mulai
meniup-niup, membawa benda halus yang dingin rasanya itu.
Beterbanganlah bunga salju, yang terbawa angin yang meniupnya
lantas menjadi menderu-deru.
Tan Hong tidak hiraukan gangguan salju itu, ia larikan kudanya
yang diikuti In Loei. Maka itu, basah kuyup tangan baju mereka,
penuh saljulah pelana mereka.
Benar-benar Tan Hong tidak takut hawa dingin, ia pentang
bajunya menyambut hawa yang dingin itu dengan dadanya. Ia buat
main cambuknya, berulang kali ia berseru kegembiraan! Ia baharu
berhenti ketika ia dengar suara nona kawannya: "Eh, kau dengar!"
demikian In Loei, yang rendengkan kuda mereka. "Kau dengar! Itu
suara angin atau suara siulan?..."
Tan Hong segera pasang kupingnya. Segera ia menjadi
keheranan.
"Itulah suara siulan yang bercampuran suara angin...." katanya
kemudian. "Eh, ada juga suara kaki kuda yang berlari-lari seperti
saling kejar... Orang yang bersiul itu mestinya orang yang liehay
ilmu dalamnya... Mari kita lihat!"
Dan ia segera kaburkan kudanya. In Loei mengikuti
dibelakangnya.
Lari belum lama, jauh di depan mereka, di antara tanah datar
bersalju, mereka tampak dua orang tengah bertarung seru,
keduanya bertubuh besar. Di samping mereka, di pinggiran, ada tiga
ekor kuda yang bagus, penungganganya adalah dua wanita serta
seorang pria yang tubuhnya besar dan kekar juga.
"Rasanya mereka adalah orang-orang yang kukenal..." kata Tan
Hong, yang terus bedal kudanya, maka di lain saat, tibalah mereka
di tempat pertempuran itu, hingga ia melihat dengan tegas,
benarlah terkaannya, mereka adalah orang-orang yang dikenal
olehnya, ialah Hek Pek Moko dengan isteri-isterinya bangsa Iran.
Dan yang sedang berkelahi itu adalah Hek Moko. Hanya, untuk
keheranannya, ia kenali juga lawannya Hek Moko itu, yang bukan
lain daripada Kong Tiauw Hay, bekas tjongkoan dari istana kaisar
Beng, dari Kaisar Kie Tin!
Kong Tiauw Hay itu dandan sebagai seorang Mongolia, akan
tetapi sekarang bajunya telah compang-camping, romannyapun
sudah tidak keruan macam, dia nampak lebih perok. Dia memang
kalah tenaga dari Hek Moko, maka itu setibanya Tan Hong belum
lama, ia telah kena dibikin terjungkal oleh lawannya!
Tan Hong pun heran, kenapa mereka itu berkelahi. Tengah
keheranannya itu ia lihat Kong Tiauw Hay, setelah berbangkit
bangun telah menghunus sebatang golok, yang dinamakan golok
kuda — matoo, dengan bengisnya ia membacok musuhnya.
"Hai, begal jahat, kau berani turun tangan terhadap datomu !"
demikian bekas tjongkoan itu perdengarkan suaranya yang keras.
"Bagaimana kau berani curi barangku? Lekas kau kembalikan
barangku, perkara ini aku akan bikin habis!"
Hek Moko tapinya tidak takut, dia malah tertawa gelak-gelak.
Dengan sebat dia keluarkan senjatanya, ruyung Lekgiok thung,
dengan itu ia menangkis.
"Traang!" demikian satu suara nyaring, lelatu api pun
berhamburan. Dan goloknya Tiauw Hay kentop! "Belum pernah aku
ketemu dato!" Hek Moko kata sambil tertawa pula. "Kau bicaralah
dengan aku secara baik-baik, kita mungkin masih dapat berdamai.
Jikalau kau tetap hendak berlagak kosen — hm! hm! — kau lihatlah,
kau dapat bacok aku mampus atau ruyungku akan mengemplang
remuk paha anjingmu!"
Hek Moko bergurau tetapi ia pun berkelahi dengan hebat, sebab
Tiauw Hay serang ia bertubi-tubi, halmana menandakan bekas
tjongkoan ini gusar bukan main.
Tan Hong kembali menjadi heran. Hek Pek Moko adalah
"saudagar-saudagar besar," tak sudi mereka bekerja kecil, maka
anehlah kenapa mereka mau curi barangnya Kong Tiauw Hay. Masih
ada lagi satu keanehan, yaitu meski Hek Moko bertempur hebat,
nampak nyata dia tidak niat menurunkan tangan jahat terhadap
lawannya itu...
Ini disebabkan Tiauw Hay bukanlah satu tandingan yang tepat.
Tan Hong lantas berpikir: "Kong Tiauw Hay ini memang satu
manusia rendah, meski demikian ia pernah aku kenal. Entah apa
sebabnya yang utama maka kedua orang ini jadi berkelahi... Baik
aku memisahkannya."
Pikiran ini segera diwujudkan. Tan Hong majukan kudanya, untuk
menyelak di antara mereka. Justeru itu, Kong Tiauw Hay berteriak
keras, tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak. Sementara itu
Pek Moko, yang sejak tadi menonton saja, telah lihat Tan Hong
yang ia kenali, ia menjadi girang luar biasa.
"Toako. Thio Kongtjoe datang!" ia serukan kakaknya.
"Bagus Thio Kongtjoe datang!" Hek Moko pun berseru. Lalu ia
teruskan pada Tiauw Hay: "Coba kau kasih lihat beberapa
mustikamu itu padanya, dia dapat mengenali atau tidak!"
"Mustika apakah itu?" tanya Tan Hong, yang menjadi tertarik
hati.
Menampak kedatangannya Tan Hong, Kong Tiauw Hay menjadi
terkejut, tapi, berbareng iapun mengharap anak muda itu nanti suka
bantu ia. Ia lantas berseru: "Dua penjahat ini telah curi mustikaku!
Tan Hong, tolong kau berikan pertimbanganmu yang adil!"
"Kau ada punya mustika apa?" tanya Tan Hong, sambil ia lompat
turun dari kudanya. Ia jadi semakin tertarik hati, hingga ia ingin
sekali ketahui duduknya hal.
Sekonyong-konyong, Hek Moko tertawa.
"Benar, kau ada punya mustika apa?" katanya dengan keras.
Pertanyaannya Tan Hong membuat ia dapat pikiran. "Kemarin kau
berkeras mengatakan bahwa kau tidak punya mustika apa-apa,
kenapa sekarang kau akui mempunyainya?"
Tiauw Hay melengak, tapi ia sadar lekas.
"Tan Hong, itu memang mustikaku!" ia berseru.
"Dari mana kau dapatkan mustika itu?" Tan Hong tanya pula.
Belum sempat bekas tjongkoan itu memberikan penyahutannya,
Pek Moko telah keluarkan satu bungkusan kuning, yang disodorkan
kepada si anak muda.
"Kau lihat, semuanya ada di dalam bungkusan ini!" dia bilang.
"Aku sangsikan asal usulnya beberapa mustika ini! Mungkin
jahanam ini dapat dari curian! Coba kau periksa, kongtjoe, mungkin
kau bisa memberikan keterangan kepada kami."
Hatinya Tan Hong tergerak. Pernah ia lihat bungkusan kuning itu.
Ia lantas saja ingat. Selama peperangan di Touwbokpo, selagi
tentera Beng dikurung musuh, Kong Tiauw Hay melarikan diri,
Tiauw Hay menumpang bermalam di rumah seorang tani, di situ dia
ketemu Tan Hong dan In Loei. Ketika itu Tiauw Hay menggendol
bungkusan kuning itu di bebokongnya, bungkusan itu berisi uang
goanpo emas. Pernah Tan Hong lemparkan bungkusan itu, tapi
Tiauw Hay memungutnya, terus dibawa kabur. Maka berpikirlah Tan
Hong: "Mustahil Hek Pek Moko kepincuk beberapa potong goanpo
itu?"
Karena ini, ia lantas buka bungkusan itu, atau segera matanya
menjadi silau. Di dalam bungkusan itu, kecuali belasan potong
goanpo emas, ada lagi beberapa barang berharga lainnya! Ialah
pekgiok sanhoe, yang sangat bercahaya, yang tak ada cacatnya.
Batu itu jauh terlebih bagus daripada sanhoe yang In Loei berikan
kepada Tjio Tjoei Hong sebagai pesalin. Yang satu lagi adalah
sebatang tusuk konde dengan dua batu permata yang dinamakan
"mata kucing" yang emasnya berukirkan empat huruf "Hauw Kim
Honghouw," artinya "Permaisuri Hauw Kim." Yang lainnya lagi
adalah sebuah permata singa-singaan, yang terbungkus kertas. Tapi
yang paling berharga adalah sebuah cap terbuat dari batu kumala,
yang berukirkan enam huruf "Tjeng Tong Hong Tee Tjie In," atau
artinya "Cap Kaisar Tjeng Tong." Itulah cap yang hanya sebawahan
sedikit dari gioksie, cap kerajaan. Lagi beberapa yang lainnya adalah
barang kuno dari jaman Siang serta serenceng rantai mutiara, yang
harganya tak ternilai, sebab semua itu adalah permata-permata dari
dalam istana.
Mau atau tidak, Tan Hong menjadi tertawa tawar.
"Dari mana kau dapatkan semua ini?" akhirnya ia tanya bekas
tjongkoan itu.
"Semua itu adalah hadiah bertahun-tahun dari Sri Baginda
terhadapku," sahut Tiauw Hay.
"Ya, sampaipun cap pribadi kaisar dan tusuk konde permaisuri
juga dihadiahkan padamu!" katanya si anak muda, yang tertawa
mengejek. Sekarang telah ia dapat menduga, ketika Kong Tiauw
Hay kabur dari Touwbokpo, dia tentunya kabur sambil curi barang-
barang berharga dari kaisar, berikut cap pribadi raja itu serta tusuk
konde permaisuri yang dikasihkan kepada kaisar selaku tanda mata.
Rupanya, di waktu dia ketemu si anak muda di rumah si orang tani,
cap dan tusuk konde itu belum berani ia bungkus jadi satu dalam
bungkusan uang, karenanya Tan Hong tidak lihat itu.
Terkaan Tan Hong ini tidak keliru. Tapi Tiauw Hay bukan mencuri
untuk mendapatkan uang saja, iapun ada kandung satu maksud
lain. Tiauw Hay duga Tionggoan pasti bakal dirampas bangsa
Watzu, bahwa negara tentu akan jadi kalut, maka dia memikir untuk
mencuri semua permata itu, supaya dia bisa lari dan umpetkan diri,
untuk hidup sebagai hartawan. Nyata sangkaannya negara akan
musnah itu meleset adanya. Yasian kalah dan mundur dan raja
baharu telah dinobatkan. Karena ini, hatinya jadi ciut. Justeru itu,
kedua paman gurunya, yaitu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam
dapat ditakluki Thio Tan Hong, mereka bekerja kepada Ie Kiam, dia
menjadi terlebih kuatir pula. Dia takut nanti kedua paman guru cari
padanya, dia bisa dipersalahkan merat dari medan perang.
Kekuatiran yang lain adalah kalau-kalau raja yang baru nanti tarik
panjang mustika-mustika kaisar Tjeng Tong yang dia curi itu. Maka,
nekatlah dia. Dia kabur ke Mongolia. Dia bercita-cita membeli tanah
di Mongolia, untuk membangun suatu usaha peternakan, untuk
hidup mewah dan aman. Tentu saja sulit untuk dia mengeluarkan
cap pribadi raja dan tusuk konde permaisuri, maka dia memikir
hendak menghadiahkannya kepada Yasian, supaya Yasian suka
berikan dia suatu pangkat. Banyak macam cita-citanya itu yang
belum dapat dia wujudkan, maka dia berada dalam keragu-raguan.
Malang baginya, di tengah jalan dia berpapasan dengan Hek Pek
Moko, dua saudara saudagar yang matanya sangat liehay, yang
telah berpengalaman selama beberapa puluh tahun. Dua saudara
Moko itu menjadi curiga. Mulanya mereka niat membeli permata itu
tetapi Tiauw Hay menyangkal keras bahwa dia mempunyai barang
permata, Hek Pek Moko penasaran dan mendongkol, maka
malamnya mereka satroni bekas tjongkoan itu dan curi
bungkusannya. Tiauw Hay kelabakan, tapi dia pun liehay, dia
menduga jelek pada Hek Pek Moko, yang dia terus cari, hingga
kesudahannya kedua pihak ketemu di tengah jalan itu dan jadi
bertempur.
Bungkam Tiauw Hay ditegur Tan Hong.
"Kecewa kau menjadi taylwee tjongkoan1." Tan Hong tegur.
"Raja perlakukan baik padamu, di saat raja dalam bahaya terkurung
musuh, bukannya kau membela mati-matian, kau justeru
meninggalkannya lari sambil curi juga barang-barang berharganya.
Kedosaanmu karena kabur saja, bahagianmu adalah bahagian mati,
itu ditambah pula dengan pencurian!"
Hek Moko menjadi tertawa bergelak-gelak.
"Benar-benar kau perolehnya dari mencuri!" dia berkata, dia
mengejek. "Oh, kau kiranya juga satu taylwee tjongkoan1. Baik,
mari rasai ruyungku ini!"
Kata-kata itu ditutup dengan satu serangan.
Dengan terpaksa Kong Tiauw Hay melakukan perlawanan pula.
Thianmo Thunghoat dari Hek Moko liehay sekali, dan sekarang ia
menyerang dengan sungguh-sungguh, tidak separuh memain
seperti tadi, maka itu, baharu lima jurus, Tiauw Hay sudah
kewalahan, walaupun dia telah keluarkan antero kepandaiannya.
Tepat pada jurus ke enam, goloknya bekas tjongkoan itu kena
disampok terlepas dan terpental, menyusul mana, Lekgiok thung
turun terus untuk meminta jiwa!
Tan Hong terkejut, hatinya tak tega. "Ampuni dia!" ia berseru.
"Rusakkan saja ilmu silatnya!"
Ruyungnya Hek Moko turun terus, tepat mengenai pundaknya
Tiauw Hay meskipun dia telah mencoba mengegos tubuhnya. Dia
menjerit keras dan rubuh, tulang piepee-nya telah patah remuk,
habis musnalah kepandaiannya Kimtjiong tiauw, ilmu kebal itu, turut
musnah juga semua kepandaian silatnya, hingga selanjutnya dia jadi
seorang biasa yang bercacat.
"Djin wie tjay soe, niauw wie sit bong, itulah bagianmu!" Tan
Hong berkata. "Hari ini kau tidak sampai binasa, inilah untungmu!
Maka selanjutnya baiklah kau mencoba untuk menjadi orang baik-
baik!..."
Tiauw Hay merasakan tepatnya teguran Tan Hong itu. Memang
— djin wie tjay soe, niauw wie sit bong = manusia mati karena
harta, burung mampus sebab makan. Maka dengan paksakan
melawan rasa sakitnya, ia bangun berdiri untuk terus lari terbirit-
birit. Dari seorang "berharta besar," ia menjadi seorang rudin dan
bercacat juga, untuk hidupnya selanjutnya ia manda menjadi kuli di
sebuah perusahaan pengembalaan, di mana pun, saking berduka, ia
kemudian mati mereras...
Sekaburnya Kong Tiauw Hay, Hek Pek Moko membuat
pertemuan dengan Tan Hong. Mereka saling unjuk hormat, lalu
kedua pihak sama-sama tertawa riuh.
"Kamu datang dari mana?" kemudian Tan Hong tanya.
"Kami baharu pulang dari India di mana kami berusaha, baharu
kemarin dulu kami tiba di gunung Tangkula," sahut Hek Moko.
"Bukankah itu wilayahnya suku bangsa Ngolo?" kata Tan Hong,
yang tiba-tiba ingat sesuatu. "Apakah kau bertemu kepala suku
Ngolo itu?" Pek Moko tertawa.
"Kami adalah kaum saudagar, tak sempat kami menghadap
kepala suku itu." dia menyahuti. "Ada juga lain rombongan orang
besar yang pergi berkunjung kepada kepala suku bangsa itu!
Selama beberapa hari ini, dia sedang sangat repot..."
"Siapakah yang mengunjungi kepala suku itu?" Tan Hong tanya.
"Kabarnya utusannya Yasian."
"Oh!" seru anak muda itu, tertahan. "Utusannya Yasian?"
"Kabarnya Yasian hendak beli suku itu, untuk diajak sama-sama
menentang Pangeran Atzu," kata Pek Moko. "Aku dengar hal ini di
tengah jalan, dari satu sahabat. Nampaknya di dalam negeri Watzu
bakal terbit kekalutan. Kawanku kuatir terhalang perjalanannya,
mereka siap sedia untuk pergi ke Selatan. Eh, ya, ayahmu adalah
menteri muda dari Watzu, apakah kau tidak dengar kabar halnya
Yasian itu?"
"Aku dapat dengar, hanya sedikit," Tan Hong jawab. Lalu
mendadak ia ingat sesuatu. Maka terus ia berkata kepada dua
saudara itu: "Maukah kau kasihkan dua rupa barang itu padaku,
yaitu cap pribadi kaisar dan tusuk kondenya permaisuri?
Ayahku ada punya milik di ibu kota Watzu, biarlah aku tukar itu
dengan dua rupa barang ini." Hek Moko tertawa.
"Oh, tidak, tidak hendak aku jual!" ia kata.
Dua barang itu, yang satu adalah mustika negara, yang lain
perhiasannya permaisuri, Tan Hong hendak beli itu, untuk nanti
dikembalikan kepada Kaisar Tjeng Tong, tetapi Hek Moko menolak,
ia menjadi tidak gembira. Kembali Hek Moko tertawa.
"Barang itu memang tidak hendak aku jual, tetapi suka aku
menghadiahkannya kepadamu!" ia berkata pula. "Bukankah benda
ini kami dapat pungut di tengah jalan? Tidak hanya itu dua barang,
juga semua bungkusan ini, semua hendak aku hadiahkan
kepadamu!"
Tan Hong heran.
"Apa katamu?" dia tanya.
Lagi-lagi Hek Moko tertawa.
"Apakah di kolong langit ini hanya kau seorang yang
diperkenankan untuk berlaku murah hati?" dia tanya. "Apakah
hanya kau yang boleh mengamal? Dahulu hari kau telah pulangkan
barang-barang pendaman yang aku kalah bertaruh denganmu, dari
itu, apa artinya beberapa rupa barang ini? Karena barang ini dapat
kau pergunakan, kau ambillah semua!"
Matanya Tan Hong memain, ia tertawa. "Baiklah," katanya.
"Kamu baik hati sekali, djiewie, aku tidak sungkan-sungkan lagi.
Sekarang aku hendak minta djiewie tolong aku dalam satu
urusan..."
Hek Pek Moko biasanya tidak sungkan terhadap siapa juga, tetapi
terhadap Tan Hong mereka kagum dan takluk, maka itu, dengan
lekas mereka berikan jawabannya.
"Katakanlah, apakah itu?" berkata Hek Moko. "Walau urusan itu
ada sebesar langit, kami berdua saudara sanggup melakukannya!"
Tan Hong bersenyum.
"Itulah bukan urusan sebesar langit!" katanya. "Aku cuma
hendak minta kamu antarkan sepucuk suratku. Surat itu harus
disampaikan sambil lalu."
"Kepada siapakah surat itu mesti diterimakan-nya?" Hek Moko
tanya.
"Bukankah dalam perjalananmu ini kamu akan melalui wilayah
barat dari Atzu Tiewan?" Tan Hong menegaskan.
"Memang. Jadi kau hendak kirim surat pada Pangeran Atzu?" Pek
Moko pun menegaskan.
"Benar."
"Baiklah! Mana suratmu itu?"
Di tengah jalan itu tidak ada kertas dan alat tulisnya, maka tidak
ada lain jalan, Tan Hong ambil sepotong kulit kambing di atas mana
ia "menulis" dengan ujung pedangnya. Setelah selesai, surat
istimewa itu ia serahkan pada Hek Moko berikut dua rupa batu
permata.
"Aku minta surat ini berikut dua rupa mustika ini kau serahkan
pada Atzu," ia bilang.
Hek Moko menyambuti, ia simpan surat dan permata itu.
"Nah, sampai kita ketemu pula!" kata dia kemudian, yang
bersama adiknya terus pamitan dari si anak muda.
"Sampai ketemu pula!" balas Tan Hong.
Maka di situ mereka berpisahan.
"Toako, kau tulis surat apa itu?" tanya In Loei sesudah mereka
berada berdua saja. Sejak tadi ia cuma jadi penonton.
"Aku mewakilkan bangsa Ngolo membuat perserikatan kepada
Pangeran Atzu," sahut Tan Hong.
In Loei heran.
"Kenapa kau ketahui suku Ngolo itu hendak berserikat kepada
Pangeran Atzu?" ia tegaskan.
Tan Hong tertawa.
"Hal itu aku tahu pasti," ia jawab. "Memang hal itu telah aku
rencanakan. Lagi tiga hari, kau akan ketahui semua!"
In Loei masih tidak mengerti tetapi ia tidak menanyakan lebih
jauh. Ia hanya kasih lari kudanya, berendeng dengan kudanya si
anak muda.
Kuda mereka bisa lari tiga sampai empat ratus lie setiap hari
meskipun jalanan bersalju dan licin, angin meniup-niup, maka itu,
tiga hari kemudian, tibalah mereka di selatannya gunung Tangkula.
Di sini, selagi memasuki lembah, baharulah mereka jalankan
kudanya perlahan-lahan.
In Loei umbar matanya. Inilah tempatnya semasa ia kecil.
Samar-samar ia masih ingat segala apa. Demikian ia tunjukkan ini
dan itu kepada Tan Hong.
"Di sana di bawah pohon besar itu, aku biasa main petak
bersama anak-anak tetanggaku," demikian katanya. "Dan di tepinya
batu besar itu, suka aku berebahan diri."
Akan tetapi sehabisnya kata-kata itu, mata nona ini mengembeng
air mata. Ingat masa kecilnya, ia jadi gembira berbareng duka.
"Segera bakal kau menemui ibumu, untuk apa kau menangis?"
kata Tan Hong.
In Loei susuti air matanya.
"Aku terlalu gembira!" ia jawab. "Bagaimana pendapatmu, baik
atau tidak kalau aku ajak kau bersama menemui ibuku?"
"Kenapa tidak baik?" sahut Tan Hong. "Apakah kau kuatir
ditertawakan ibumu?"
"Bukan! Aku hanya kuatir ibu ketahui kau adalah musuh keluarga
kami!"
Likat In Loei ketika ia mengatakan itu. Iapun berduka.
"Asal kau tidak pandang aku sebagai musuh, ibumu tentu akan
anggap aku sebagai keponakannya."
In Loei ingat ibunya adalah seorang halus budi pekertinya, jikalau
ia tuturkan jelas tentang Tan Hong, mungkin ibu itu tidak gusar, bila
ibu itu menerima baik, maka tak kuatir ia akan tentangan dari
kakaknya. Mengingat ini, ia jadi bersenyum.
"Kau tertawakan apakah?" si anak muda tanya. "Segera aku akan
bertemu ibuku, bagaimana aku tidak bergirang?" si nona kata. Tapi
sejenak saja, lenyap wajah gembiranya. Di detik itu ia ingat ibunya
ada di rumah kepala suku, bekerja sebagai bujang, sebagai perawat
kuda... Bukankah pekerjaan itu rendah dan hidup ibunya
bersengsara? Maka ia jadi berduka dengan tiba-tiba, kedua alisnya
mengkerut...
Tan Hong mengawasi, ia perlihatkan roman Jenaka.
"Apa artinya sebentar ketawa, sebentar menangis?" ia
menggoda. "Dari mana datangnya kesusahan hati?"
In Loei terpaksa bersenyum.
"Kau juga pernah bertingkah laku demikian!" katanya.
"Nyatalah makin lama kita jadi makin mirip satu pada lain!" kata
si anak muda.
Mukanya In Loei jadi bersemu dadu.
"Bisa jadi!" kata dia. "Sudahlah, aku tidak hendak tertawa lagi
kepadamu! Mari kita lekas pergi menemui kepala suku!"
Tan Hong tertawa, ia larikan kudanya.
Belum sepasang pemuda pemudi ini tiba di rumah kepala suku,
kepala suku itu telah lebih dahulu terima warta perihal mereka.
Inilah disebabkan mereka asing dan kuda merekapun luar biasa,
hingga dengan sendirinya mereka menarik perhatian penduduk di
situ. Demikian setibanya mereka, sebelum mereka minta pengawal
pintu mewartakan kedatangan mereka, tuan rumah, ialah kepala
suku, sudah memberi titah untuk pimpin mereka masuk, untuk
mengadakan pertemuan. Dengan demikian, mereka jadi tidak usah
menunggu lama.
Pintu depan dari kepala suku itu telah dipajang, rupanya ia
sedang melayani tetamu agung.
Setelah serahkan kuda mereka, yang mereka minta tolong
dijagai, Tan Hong dan In Loei bertindak ke dalam mengikuti
pengantarnya, ialah satu nana, bujangnya tuan rumah. Mereka
dibawa ke dalam sebuah kamar di mana terdapat dua perapian
untuk menghangati kamar itu, di atas itu mereka dipersilakan
duduk.
Adalah kebiasaan penduduk Utara, saban musim dingin, mereka
nyalakan api di kolong kang, semacam dipan atau pembaringan
tanah, umpan apinya tak tentu, ada dari kayu, arang, atau
kotoran kuda yang sudah dikeringkan.
"Sekarang ini ketua kami sedang menyambut tetamu di ruang
depan," berkata nana kemudian. "Kamu diminta sukalah duduk
menanti dahulu di sini, dia akan menyuruh tjuitjung melayani kamu.
Segala apa kamu boleh sampaikan kepada tjuitjung itu."
"Tjuitjung" adalah semacam hoatsoe atau pendeta, yang di
kalangan suku Ngolo ini berkedudukan hanya di bawahan "yutjang,"
kepala suku. Maka itu, penyambutan ini adalah penyambutan yang
terhormat.
Tapi In Loei kecele akan dengar tuan rumah tidak dapat segera
menemui mereka. Keras sekali keinginannya untuk cepat-cepat
dapat menemui ibunya. Sementara itu ia dengar suara kuda, ialah
suara kudanya sendiri dan kuda Tan Hong, ia jadi seperti ngelamun.
"Apakah kedua kuda itu bukan tengah dipelihara ibuku? Ah!...
Aku ada di dalam kamar hangat dari kepala suku, menjadi tetamu
yang dihormati, tetapi ibu tengah menderita, ia justeru mesti rawati
kuda-kudaku dan Tan Hong..."
Ia jadi sangat masgul, hingga ia duduk diam saja.
Tan Hong sebaliknya mengajak si hana bercakap-cakap.
"Tetamu macam apa itu yang tengah ketuamu layani?" dia tanya.
"Katanya utusan Yasian," sahut si nana.
"Bukankah utusan itu sudah datang lama?"
"Ya, sudah sejak tujuh hari yang lalu."
"Kenapa baharu sekarang di jamu?"
Hana itu tidak menjawab, agaknya ia bersangsi.
Tan Hong bersenyum, ia rogo keluar sepotong emas.
"Kau kerja cape di sini, ambillah emas ini untuk kau beli arak," ia
kata.
Sudah lama hana itu bekerja pada ketuanya, kalau ia dikasih
presen, cuma satu atau dua potong perak kecil, hampir belum
pernah ia lihat emas potongan, sekarang ia diberi hadiah ini, air
mukanya lantas menjadi terang. Ia terima uang itu sambil berulang-
ulang menghaturkan terima kasih, kemudian, tanpa ditanya lagi
tetamunya, ia beritahu: "Kabarnya hari ini ketua kami dan utusan
Yasian itu hendak memastikan persekutuan, sekarang dibikin pesta,
mungkin persekutuan hendak disyahkan dalam sebuah upacara."
Tan Hong terkejut.
"Ah, syukur aku keburu datang!" katanya dalam hatinya.
Justeru waktu itu tjuitjung, wakilnya tuan rumah, belum muncul,
anak muda kita ini segera berbangkit.
"Ha, sungguh kebetulan!" katanya, tingkah lakunya wajar
"Kamipun adalah pesuruhnya Thaysoe Yasian, syukur kami dapat
susul utusan itu. Thaysoe kami lihat rombongan utusannya lama
belum kembali, dia titahkan kami menyusul untuk menanyakan
hasilnya." Ia rogo lagi sakunya, untuk keluarkan dua potong emas.
"Tolong kau serahkan ini kepada tjuitjung, sebagai tanda hormat
kami. Kau katakan padanya, tidak usah lagi dia layani kami, besok
kami sendiri akan mengunjungi padanya."
Hana itu berpikir melihat orang ada demikian royal.
"Mungkin benar mereka ini pesuruhnya Yasian," demikian
katanya di dalam hati kecilnya. "Kalau tidak, mana bisa mereka
begini pemurah hati?" Maka ia lantas berkata: "Kalau begitu akan
aku kabarkan ketuaku, untuk minta dia kirim wakilnya untuk ajak
kamu masuk ke dalam."
"Ah, tidak usah, membikin berabeh saja," Tan Hong mencegah.
"Kami dapat masuk sendiri. Kau baik berdiam di sini untuk tunggui
tjuitjung."
Lantas pemuda kita tanya di mana letaknya ruang depan tempat
pesta itu, ia minta ditunjukkan jalannya, setelah itu bersama In Loei,
yang ia beri tanda, ia keluar dari kamar itu, untuk pergi ke ruang
depan.
Hana itu tidak berani mencegah, ia terpengaruh oleh emas
presenannya...
Tan Hong bertindak dengan cepat, In Loei mengikuti. Tidak ada
orangnya tuan rumah yang mencegah, karena orang tidak tahu hal
mereka yang disangkanya datang atas undangan sang majikan.
Sebentar kemudian mereka telah sampai di ruang depan di mana
lilin dipasang terang-terang. Tuan rumah tengah melayani dua
tetamunya minum.
Begitu tidak diduga munculnya dua orang itu, ruang lantas
menjadi sunyi, semua orang tercengang. Kemudian adalah kedua
tetamu, ialah utusannya Yasian, yang berbangkit paling dulu, untuk
memberi hormat kepada dua orang ini, yang mereka sangka
tetamu-tetamunya tuan rumah. Tan Hong dan In Loei memang
dandan dengan rapi dan pakaian mereka bukan pakaian sembarang.
Tan Hong bersenyum, ia bertindak menghampiri tuan rumah. Ia
menyerahkan sepucuk surat. Ia tidak tunggu sampai tuan rumah
menanyakan apa-apa, ia terus keluarkan juga pekgiok sanhoe serta
singa-singaan kumala, yang ia letakkan di atas meja.
Semua barang itu adalah barang permata dari istana, sinarnya
lantas mencorong di antara cahaya lilin, hingga perhatian semua
hadirin sangat tertarik kepada benda itu. Tuan rumah pun
mengawasi dengan diam saja.
"Barang-barang tidak berharga ini," berkata Tan
Hong sambil bersenyum, "majikanku mohon supaya, biar
bagaimana, yutjang sukalah menerimanya."
"Tak berani aku terima hadiah demikian besar dari Thaysoe,"
berkata si tuan rumah dengan jawabannya. Ia sudah lantas
menduga Yasian. Akan tetapi, setelah ia lihat surat di tangannya, ia
terperanjat. Di situ ada tertulis namanya Tiewan Atzu. Ia lantas
menjadi bingung. Tan Hong lihat kesangsian orang, ia mendesak.
"Majikanku minta ongya membubuhi persekutuan untuk sama-
sama menyerang Yasian" demikian ia kata pula, dengan nyaring.
Mendengar ini, kagetlah utusannya Yasian itu, mereka menjadi
gusar, dengan berbareng keduanya lompat bangun.
"Kau siapa?" mereka membentak.
"Kita adalah rekan!" sahut Tan Hong sambil tertawa. "Kamu
adalah utusannya Yasian dan aku utusannya Atzu."
"Kau berani rusakkan perserikatan kami?" bentak utusan yang
satu dengan sangat mendongkol. Terus ia memandang kepada tuan
rumah sambil terus berkata: "Kami mohon ongya perintah
membekuk dua orang ini, untuk mereka diserahkan kepada
Thaysoe."
Tentu saja kepala suku itu menjadi bersangsi, hingga masih ia
berdiam saja.
"Aku minta ongya bertindak dengan sudah dipikir terlebih dahulu
masak-masak," berkata pula Tan Hong. Di pihak utusannya Yasian
itu berlaku bengis, Tan Hong sebaliknya berlaku manis sambil
tertawa-tawa. "Yasian itu mempunyai sifat harimau atau srigala,
maka bila terjadi dia sudah telan Atzu, tak mungkinlah ongya dapat
hidup seorang diri!"
"Hai, jahanam, kau sangat besar nyalimu!" bentak pula si
utusannya Yasian itu. "Nyatalah kau sedang memecah, kau
menghina Thaysoe1. Ongya, aku minta lekas kau keluarkan
titah menawan mereka ini!"
Yutjang itu menjadi tidak senang menghadapi kelakuan garang
dan kasar dari dua utusannya Yasian itu.
"Aku tahu bagaimana harus bertindak, tidak usah tuan-tuan
capekan hati!" ia menyahut dengan dingin.
Tan Hong tidak pedulikan kegarangan kedua utusan itu, terus ia
bawa sikapnya yang sabar. Ia bersenyum pula ketika ia pandang
tuan rumah dan berkata lebih jauh: "Kini memang Yasian kuat dan
Atzu lemah, maka itu untuk bantu si kuat untuk menindih si lemah
adalah pekerjaan sangat gampang, akan tetapi apakah pernah
ongya memikirnya: Yang keras itu sukar melawan yang keras, yang
lemah itu gampang untuk menyesuaikan diri?"
Hatinya yutjang itu tergerak. Kata-katanya Tan Hong ini adalah
soal yang membuatnya ia ragu-ragu selama tujuh hari, hingga
selama itu belum juga ia ambil keputusannya akan menandatangani
surat perjanjian persekutuan. Sekarang setelah mendengar
perkataannya utusannya Atzu itu, ia insyaf dengan mendadakan, ia
merasa seperti ditusuk-tusuk jarum, peluh dinginnya mengucur.
"Benarlah akan kata-katanya dia ini," dia berpikir. "Yasian
memang lebih kuat berlipat kali dari aku, jikalau tercapai cita-
citanya, asal satu hari saja ia membalik muka, celakalah aku. Mana
bisa aku lawan dia? Kekuatannya Atzu berimbang dengan
kekuatanku, kalau ia bergabung dengan pelbagai yutjang, untuk
menghadapi Yasian, ia mesti berhasil. Setelah itu, bisalah kita
semua hidup damai, dengan masing-masing mengurus tanah
daerahnya sendiri..."
Kedua utusan Yasian menjadi tegang hatinya, mereka menjadi
bingung. Mereka lihat kedua matanya tuan rumah bersinar, memain
pergi datang. Mereka tahu tuan rumah tengah bersangsi. Inilah
berbahaya bagi tugas mereka. Mereka bingung, mereka pun
mendongkol. Kalau mereka gagal? Karena itu, mereka lantas saja
ambil keputusan. Mereka adalah perwira-perwira sebawahan Yasian,
mereka kosen, maka itu, mereka lantas memikir untuk
menggunakan kekerasan. Demikian, tak bersangsi lebih lama pula,
mereka menghunus golok, mereka terus terjang Tan Hong.
Anak muda kita cerdik, ia tabah hatinya. Ia tidak tangkis
serangan itu, ia hanya berkelit dan lompat ke belakangnya tuan
rumah. Ia tidak diam saja, sebelumnya berkelit, ia telah ejek kedua
utusan itu, hingga mereka itu bertambah mendeluh.
Kedua utusan itu menyerang dengan sengit, hampir saja mereka
kena bacok tuan rumah. Karena ini yutjang itu menjadi gusar.
"Ringkus dua orang jahat ini!" ia berikan titahnya.
"Siapa berani tangkap kami?" berseru dua utusannya Yasian itu,
yang jadi semakin gusar. Oleh karena mereka tidak mau menyerah,
mereka jadi bertempur dengan orang-orangnya tuan rumah.
Sesudah bertempur sekian lama, baharu hati mereka menjadi ciut.
Nyata mereka tidak bisa rebut kemenangan. Karena ini mereka jadi
memikir untuk menoblos keluar. Tapi sekarang sudah terlambat.
Baharu mereka memikir begitu, mendadak mereka rasakan kakinya
kaku, hingga di luar kehendaknya, mereka terlutut di depannya Tan
Hong. Itu waktu mereka justeru sedang merangsak sampai di depan
anak muda kita.
"Hai, tadinya galak lalu belakangan menjadi demikian hormat?"
berkata Tan Hong sambil tertawa.
Orang-orangnya yutjang mendupak dua utusan itu, setelah
mereka rubuh terguling, mereka lantas diringkus. Sampai waktu itu,
mereka masih tidak ketahui bahwa mereka telah dipermainkan Tan
Hong. "Kurung mereka!" yutjang berikan titahnya pula. Titah itu
sudah ditaati dengan segera.
"Baiklah, akan aku berserikat dengan Tiewan1." kemudian tuan
rumah kata pada Tan Hong.
Ia sebenarnya jeri terhadap Yasian, tetapi sampai sebegitu jauh,
seperti orang yang menunggang harimau, ia tidak bisa memilih lain.
Ia harus lindungkan dirinya.
In Loei tertawa di dalam hatinya menyaksikan yutjang itu
membubuhi surat perjanjian bersama Tan Hong. Sejak tadi, meski ia
diam saja, ia sudah bertambah mengagumi anak muda itu, teman
seperjalanannya.
"Tan Hong sangat pintar dan aneh juga!" ia berpikir. "Dia
palsukan diri sebagai utusan Pangeran Atzu dan dia berhasil
mengelabui yutjang ini."
Sebenarnya Tan Hong memang telah mengatur rencana. Di
dalam suratnya untuk Pangeran Atzu, yang ia telah minta Hek Pek
Moko yang menyampaikannya, ia telah menjelaskan rencananya itu.
Dengan singkat ia minta Atzu terima baik perserikatan yang dia atur
dengan yutjang itu. Karena ini, meskipun secara luar biasa, ia
sebenarnya adalah utusannya Atzu Tiewan itu.
Setelah membubuhi tanda tangan, sekarang yutjang teruskan
perjamuan dengan tetap ia sendiri yang melayani kedua utusan
yang baru ini.
Walaupun sepak terjangnya Tan Hong telah memberikan hasil
yang memuaskan, yang mestinya menyenangkan hati mereka,
namun In Loei tidak sedemikian anteronya. Ia tetap memikiri
ibunya, malah sekarang makin keras, hingga sukar arak turun
dikerongkongannya.
Demikian, sesudah mencoba menyabarkan diri sekian lama,
akhirnya ia tidak dapat menguasai dirinya lebih jauh.
"Ongya, aku mohon tanya," begitu katanya, "adakah atau tidak di
sini seorang wanita yang bekerja sebagai pengurus kuda?" Ia pun
lukiskan roman dan potongan tubuh ibunya sebegitu jauh yang ia
masih ingat.
Heran tuan rumah yang tetamunya menanyakan hal demikian,
hingga ia mesti berpikir sekian lama.
"Rasanya benar ada wanita itu," sahutnya kemudian,
"tetapi aku sudah tidak ingat betul. Baiklah aku nanti tanyakan
dahulu kepada hana yang urus istal." Lantas ia titahkan orangnya.
Tidak selang lama, muncul hana yang dimaksudkan itu. Yutjang
tanya hambanya itu, lalu In Loei menegaskannya.
Hana itu tidak lantas menyahuti, iapun berpikir dahulu.
"Benar, memang ada wanita itu," sahutnya akhirnya, perlahan.
Tiba-tiba saja, In Loei menjadi sangat girang.
"Tolong minta nyonya tua itu datang kemari!" katanya, lekas.
"Kami ingin sangat bertemu dengannya!"
Hampir nona ini beritahukan bahwa si nyonya tua adalah ibunya,
syukur baharu ia berniat membuka mulutnya, segera ia dapat
pikiran lain, maka ia menahan sabar. Hendak ia menanti sampai
telah ada kepastian. Ia juga hendak cegah kalau-kalau tuan
rumahnya menjadi tidak enak hati karenanya.
Masih si hana berlaku ayal-ayalan, agaknya ia tengah berpikir
keras.
"Itulah tujuh tahun yang telah lampau ketika nyonya tua itu
merawat kuda di sini," menerangkan dia kemudian. "Sekarang
dia..."
Hatinya In Loei seperti melompat.
"Sekarang dia ada di mana?" tanyanya. Ia memotong tanpa
merasa. Tegang sekali hatinya sehingga ia tak berkuasa lagi atas
dirinya.
Hana itu heran, hingga ia mendelong mengawasi orang.
"Dia sekarang sudah tidak bekerja di sini," sahutnya kemudian.
"Pada tiga tahun yang lalu, dia telah berangkat dari sini, kabarnya
dia kembali ke tempatnya yang dulu. Sukar penghidupannya dia itu,
tapi kabarnya kini dia ada jauh lebih mendingan..."
Sekarang dapat si hana bicara dengan lancar, tetapi sebaliknya,
habis kesabarannya In Loei, yang sudah lantas berbangkit berdiri.
"Baiklah," kata dia. "Sekarang kami berniat pergi menemui
nyonya tua itu. Ongya, kami mohon diri!"
Tuan rumah dan hambanya menjadi heran sekali, tetapi adat
sopan santun melarang mereka banyak tanya.
"Perlukah aku kirim orang untuk mengantarkannya?" yutjang
tanya.
"Aku sudah ketahui. Terima kasih!" sahut In Loei. Ia terus
memberi hormat untuk pamitan, perbuatan mana diturut Tan Hong,
maka sejenak kemudian, keduanya sudah keluar dari gedung.
Sesudah orang pergi baharulah si hana ingat bahwa romannya In
Loei sama mirip dengan roman si nyonya tua tukang merawat kuda
itu, tetapi tentang ini ia tidak bilang suatu apa.
In Loei dan Tan Hong berangkat dengan menunggang kuda
mereka. Si nona bungkam akan tetapi wajahnya menandakan
hatinya tegang, pikirannya terbuka, penuh harapan, sehingga bahna
tegangnya, ia jadi mengucurkan air mata, yang berulang-ulang ia
mesti menepasnya.
Tan Hong bisa duga ketegangan dan kegirangannya si nona yang
luar biasa, ia tidak hendak menegur.
Setelah larikan kuda mereka sekian lama, tiba-tiba In Loei
merandek dan turun dari kudanya.
"Selewatnya kali kecil ini, di depan sana, rumah dari tanah liat
yang kuning itu adalah rumahku!" berkata si nona tanpa kawannya
menanya. "Ah, itu pohon bwee di muka pintu masih seperti dulu!
Pohon cemara di belakang pun masih kecil, di dalam semak-semak
pohon cemara itu ibu suka menyanyi untukku!..."
Lantas ia jalankan pula kudanya, sampai Tan Hong lompat turun
dari kudanya juga.
"Habis pahit, manis datang!" ia berkata, sambil tertawa. "Hari ini
peebo melihat kau, betapa girangnya dia!"
Dengan lantas pemuda ini memanggil peebo — bibi — kepada
ibunya si nona.
In Loei tidak bilang suatu apa, matanya tengah mengawasi ke
pintu rumahnya. Ia lantas saja dihinggapi rupa-rupa kenangan
semasa kecilnya, semasa ia tinggal di gubuknya itu. Ia berduka,
tetapipun ia bergembira. Tanpa merasa, dengan perlahan, ia
menyanyikan nyanyian si cilik tukang gembala kambing yang ibunya
ajarkan padanya:
Aku ikuti ibu pergi mengembala kambing — Anak kambing makan
rumput, sangat girang dia. Bunga di tanjakan sedang mekar, harum
baunya, Ibu Bernyanyi, nyaring suaranya, Dan hatiku, bukan main
girangnya! Aduh!
Di udara terbang berputar seekor garuda besar, Hendak dia
menyambar anak kambing kami! Kasihan,
Anak kambing berlari-lari berkelitan!
"Hai, jangan takut, jantung hatiku!"
Anak kambing itu berlindung di sisi ibunya.
"Ya, kau berlindunglah disisi ibumu,
"Di mana pun tak ada tempat seaman sisi ibu!"
Garuda itu tak dapat sambar anak kambing,
Tak dapat dia merampas jantung hatiku!
Sambil bernyanyi In Loei bertindak ke arah pintu. Tan Hong
awasi si nona, tanpa merasa, air matanya mengembeng. Terharu ia
untuk saksikan kelakuannya kawan ini.
Tiba-tiba terdengar satu suara nyaring, lalu sepasang daun pintu
bobrok terpentang terbuka, dari mana muncul seorang wanita
Mongolia yang kepalanya terbungkus ikat kepala, romannya kucel,
sepasang matanya celong, dan bajunya walaupun bersih, telah
banyak tambalannya.
Air matanya In Loei bercucuran begitu lekas ia tampak nyonya
itu, lantas saja ia berlari-lari, untuk akhirnya menubruk, merangkul.
Nyonya tua itupun bermandikan air mata, ia tatap muka orang.
"Sepuluh tahun telah aku nantikan kau!" serunya. "Benarkah kau,
jantung hatiku?..."
In Loei menangis sesegukan.
"Benar, ibu, inilah aku..." In Loei menjawab. "Apa ibu tidak dapat
lihat aku?"
"Mari dekatan, kasih aku pandang kau!" berkata si nyonya,
walaupun orang telah berada dihadapannya. "Benar-benar kau
mustikaku, jantung hatiku!..."
Kasihan ibunya In Loei ini. Dahulu hari, karena secara mendadak
ia kehilangan suaminya serta anak perempuannya, saking berduka,
ia menangis terus menerus sampai air matanya seperti mau kering,
karenanya penglihatan matanya itu menjadi kabur, benar ia tidak
menjadi buta akan tetapi di antara jarak tiga kaki lebih, tidak
sanggup ia mengenali orang lagi, ia cuma seperti lihat segumpal
bayangan hitam. Demikian sebabnya, walaupun gadisnya berada di
depannya, ia tidak lantas dapat melihat tegas, ia melainkan dapat
merasakan saja.
Tan Hong telah saksikan itu, ia bersusah hati bukan main.
"Begini hebat penderitaannya nyonya yang baik ini," katanya di
dalam hatinya. "Ya, semua ini disebabkan kedosaan keluargaku..."
Selama di tengah jalan, banyak yang anak muda ini pikir. Ia telah
siapkan kata-kata yang akan diucapkan nanti dalam pembicaraan
dengan ibunya In Loei, untuk menghibur nyonya tua itu, akan tetapi
sekarang, menyaksikan kesengsaraan orang, ia menjadi bungkam,
tidak sepatah kata juga yang dapat ia ucapkan. Maka ia cuma
bertindak menghampiri seperti seorang yang tanpa perasaan.
In Loei dan ibunya berpelukan, mereka sedang menangis amat
sedihnya. Sang nyonya tidak tahu ada lain orang di situ, dan In Loei
lupa kepada kawan seperjalanannya itu.
Selang sekian lama, baharu terdengar suaranya si nyonya:
"Ayahnya In Loei, kau dengar tidak?" demikian katanya.
Hampir berbareng dengan itu, di muka pintu muncul seorang,
melihat siapa, In Loei tercengang.
Orang itu adalah seorang laki-laki, mukanya bercacat dengan
bekas-bekas luka, tindakan kakinya dingkluk-dingkluk, pincang.
Rambutnya yang tipis, sudah separuhnya berubah menjadi putih.
Juga pakaiannya sudah tidak keruan macam, seperti pakaian si
nyonya. In Loei hampir tidak dapat mengenali laki-laki itu jikalau ia
tidak dengar ibunya mengatakan "ayahnya A Loei." Menampak
keadaan ayahnya itu, jantungnya In Loei memukul keras!
-ooo00dw00ooo-

Bab XXVII
Sebagaimana kita ketahui, ayahnya In Loei itu adalah In Teng.
Dahulu hari In Teng telah antarkan In Tjeng, ayahnya, sampai di
luar kota Ganboenkwan, di sebuah gunung. Di sana mereka kena
dicandak barisan pengejar. Ia halau barisan itu. Ia telah berkelahi
mati-matian, di mana ia terluka parah dan rubuh ke dalam lembah.
Di waktu malam yang gelap gulita itu, Tiauw Im Hweeshio beramai
telah dengar jeritannya yang hebat dan melihatnya dengan samar-
samar rubuhnya tubuh In Teng itu tanpa mereka sanggup
menolong. Mereka menyangka bahwa In Teng telah menemui
ajalnya. Sekalipun In Loei dan kakaknya tidak akan menyangka
bahwa ayah mereka masih ada di dalam dunia yang fana ini.
In Teng tidak terbinasa. Cabang-cabang pepohonan telah
menolong dia, yang telah menadahi tubuhnya yang jatuh itu, hingga
ketika ia jatuh terus juga ke tanah di dalam lembah, cuma sebelah
kakinya yang patah, melainkan mukanya yang mendapat luka-luka
baret oleh batu-batu lancip. Keadaannya In Teng sangat hebat,
mungkin melebihi orang yang telah mati. Di dalam lembah itu, tidak
ada orang yang dapat menolongi ia. Syukur di situ ada lain-lain
kurban, yang terjatuh ke dalam lembah sebagai ia, yang jiwanya
melayang, maka ia ambil rangsum bekalan mereka, untuk dipakai
tangsel perutnya yang lapar. Untuk minum, ia minum air salju.
Untuk beberapa hari ia mesti berdiam di dalam lembah itu, sampai
ia merasakan tubuhnya sedikit kuat, baharu ia mencoba merayap
naik, untuk tiba di luar lembah. Setelah itu, ia hidup sebagai
pengemis di luar kota Ganboenkwan, sampai kemudian ia dengar
tentang nasib ayahnya.
Bukan main sakit hati dan kedukaannya, ditambah dengan
cacatnya itu serta penghidupannya yang sengsara, hatinya menjadi
tawar. Ia merasa di dalam jagat yang luas ini tidak lagi ada tempat
di mana ia bisa menaruh kaki.
In Teng tidak meninggal dunia, tetapi dengan muka rusak dan
kaki pincang, ia menjadi tidak berdaya, tak bisa lagi ia bersilat,
hingga ia mirip dengan seorang biasa yang tapa dakpa. Ia juga
tidak bisa lintasi Ganboenkwan, untuk pulang ke Tionggoan. Dengan
kebinasaan ayahnya, yang dipandang sebagai "penghianat", iapun
mungkin dicari pemerintah, untuk ditawan. Maka itu, terus ia
terlunta-lunta di luar kota Ganboenkwan itu. Apabila ia tidak masih
ingat kedua anaknya, mungkin ia sudah habiskan jiwanya sendiri di
semak belukar di luar kota. Sehingga lebih dari satu tahun, baharu
ia ingat lebih baik ia kembali ke Watzu. Ia lantas ambil ketetapan,
lantas ia melakukan perjalanan kembali yang jauh itu. Di tempat di
mana ada orang sudi kasi ia kerjaan, ia bekerja sebisa-bisanya,
kalau tidak, terpaksa ia mengemis pula. Bukan main ia menderita
sampai akhir-akhirnya tiba juga ia di Mongolia Utara, di gunung
Tangkula, di selat selatannya, di mana ia berhasil mencari
rombongan suku bangsa dari isterinya.
Sementara itu ibunya In Loei sudah bekerja sebagai perawat
kuda di rumahnya kepala sukunya. Dengan susah payah In Teng
dapat tahu alamat isterinya itu, ia mencarinya. Dengan sudah payah
juga ia mohon pertolongan orang, untuk mengabarkan pada
isterinya, setelah mana, isterinya itu letakkan kerjaannya, untuk
menyusul dan menemui suaminya itu.
Hebat pertemuan mereka itu, suami isteri yang sama
bersengsara itu. Mereka pulang ke rumah asal mereka, untuk
tinggal bersama. Si suami pincang, si isteri buta melek, hingga isteri
ini tak dapat lagi mengembala binatang. Syukur In Teng masih
mempunyai tenaga, untuk hidupnya, ia mencoba berkuli, sedang
isterinya berkuli menjahit yang kasar-kasar. Secara demikian mereka
dapat hidup juga. Mula-mula mereka masih mengharapkan mereka
akan bertemu pula kedua anak mereka, akan tetapi setelah tahun-
tahun telah berlalu dengan tidak ada kabar beritanya, habis juga
pengharapan mereka, hingga akhirnya mereka percaya, mereka
menunggui ajal mereka di gubuknya itu tanpa anak-anak mereka
mengetahuinya, sedang In Teng sendiri peserah nasib meninggal di
negara asing...
Tapi tak disangka-sangka, akhirnya datang juga hari ini yang
mereka dapat bertemu anak dara mereka...
In Loei awasi ayahnya itu. Mimpipun ia tidak menyangka akan
bertemu ayahnya pula. Belum lagi berusia lima puluh tahun, sang
ayah sudah ubanan. Iapun tidak akan menerka bahwa ayahnya
demikian rusak mukanya, pincang kakinya. Semua itu membutikan
kesengsaraannya ayah ini. Maka akhirnya, setelah menjerit, ia lari
kepada ayahnya, untuk menubruk seperti tadi ia tubruk ibunya. Air
matanya membasahi pakaian ayahnya, begitupun air mata ayah itu
membasahi bajunya sendiri. Lama mereka berdiam, tak tahu harus
bersedih atau bergirang.
Kembali Tan Hong saksikan pemandangan yang membuatnya
hatinya seperti beku. Sungguh hebat penderitaannya suami isteri
itu. Ia kembali diam berdiri terpaku, tidak dapat ia hiburkan ayah
dan gadisnya itu.
Lama ayah dan anak itu saling rangkul, baharu perlahan-lahan
mereka berhenti menangis. Waktu itulah, In Teng sadar bahwa di
antara mereka ada satu anak muda, yang asing baginya. Ia hanya
tahu bahwa orang datang bersama gadisnya itu.
Lantas In Teng awasi anak muda itu, yang tampaknya tampan
dan gagah romannya, pula lemah lembut agaknya, hanya ia
dapatkan, kedua mata pemuda itu seperti tidak ada sinarnya. Ia
tidak duga bahwa orang tengah berduka untuk mereka bertiga.
"A Loei, siapa orang itu?" akhirnya ayah ini tanya anaknya.
Tan Hong sendiri terus berdiam, menjublak saja. In Loei
terperanjat atas pertanyaan itu, ia bagaikan sadar mendadak dari
mimpinya. Suara ayah itu sebenarnya perlahan tetapi ia
mendengarnya bagaikan suara guntur. Telah lama ia pikirkan kata-
kata untuk diucapkan kepada ibunya, untuk berikan keterangan
dengan sabar kepada ibu itu, tetapi sekarang, di luar sangkaannya,
ia bertemu ayahnya, maka, seperti Tan Hong tadi, ia pun menjadi
lupa segala apa.
Sang ibu, mendengar pertanyaannya suaminya itu, mengawasi
ke arah Tan Hong. Ia lamur, ia kerahkan tenaga matanya, akan
tetapi apa yang ia tampak adalah suatu bayangan orang yang putih
saja.
"A Loei, apakah anak itu datang bersama kau?" ibu ini tanya,
matanya masih mengembeng air tetapi mulutnya bersenyum.
"Beritahukan ibumu, anak, siapakah dia?"
Perlahan dan halus suaranya ibu ini, menandakan ia berbudi
pekerti halus, bahwa ia menyambut dengan baik kawannya
gadisnya. Akan tetapi kata-kata yang lemah lembut ini sebaliknya
bagaikan tusukan jarum di hatinya anak dara itu.
Tiba-tiba In Loei lepas diri dari pelukan ibunya, dengan kedua
tangannya ia tutupi mukanya.
"Dia, dia... seorang she Thio..." ia menjawab, hatinya karam.
"Apa? Dia she Thio?" tanya In Teng tanpa merasa, suaranya
keras-kaget. Selama sepuluh tahun, ia sangat membenci Thio Tjong
Tjioe, maka ketika mendengar orang ada she Thio, tak sanggup ia
mengendalikan hatinya.
In Loei menjerit, ia lompat untuk menubruk pula ayahnya itu.
Sang ayah tengah berdiri tegak bagaikan satu boneka batu,
wajahnya muram, melihat tubrukan gadisnya, ia mundur. Tidak mau
ia menyentuh tangan gadisnya itu!
Thio Tan Hong saksikan itu semua, tak dapat ia menahan pula
denyutan hatinya.
"Tidak salah, aku she Thio!" ia bilang. "Aku ada anaknya Thio
Tjong Tjioe! Loopee, aku datang untuk menghaturkan maaf
kepadamu!"
Dengan mendadak wajahnya In Teng menjadi merah padam,
mukanya yang bercacat itu menjadi bengis nampaknya, ia tidak
mengatakan sesatu, hanya giginya berkerot-kerot. Sekonyong-
konyong ia tolak tubuh In Loei yang berada dihadapannya, agaknya
ia hendak terjang si anak muda!
Anak itu terperanjat, ia tahan tangan ayahnya itu.
In Teng terkejut, tubuhnya tak dapat maju, tangannya dirasakan
sakit. Nyata si nona menahan ia dengan memakai tenaga.
Berbareng kagetnya, ia insyaf, anak muda di depannya itu adalah
musuh yang ia paling benci berbareng pun orang yang sangat
dikasihi puterinya!
In Loei terkejut. Ia mengarti bahwa ia telah gunakan tenaga
terlalu besar. Dengan lekas ia lepaskan cekalannya, ia mengganti
dengan memegangi tangan baju ayahnya itu.
Dengan tiba-tiba In Teng tarik tangannya, karena mana, bajunya
yang dipegangi puterinya itu telah robek dan putus!
In Loei melongo, justeru ayahnya awasi ia dengan bengis. Lalu
ayah itu buka baju luarnya yang terus dirobeknya, lalu baju itu
dilemparkan kepada gadisnya.
"Foei" ayah ini perdengarkan suaranya, akan terus dengan dingin
mengatakan: "Kau pergilah! Rumahku ini, rumah bobrok, tak berani
aku pakai untuk menerima kamu bangsa siauwya dan siotjia."
In Loei rasakan tubuhnya menggigil, ia kaget dan bingung.
Sejenak itu, di otaknya, di hatinya, telah terbit pertempuran hebat,
antara cinta dan kebencian, antara budi kebaikan dan permusuhan!
Ia malu sendirinya, ia likat, tapi hatinya sakit, berduka sangat. Ia
berdiri diam, ia pandang ayahnya, lalu ia mengawasi Tan Hong,
kosonglah hatinya, ia bagaikan kehilangan kesadarannya. Tan Hong
pun berdiri diam, mukanya pucat. Ia bengong mengawasi nona itu.
Perlahan-lahan si nona gerakkan kedua tangannya, lantas
mendadak ia sambar baju luarnya yang berwarna merah tua,
dengan keras ia menariknya hingga baju itu robek, setelah terbuka
dan lolos dari tubuhnya, ia lemparkan itu ke tanah.
Tan Hong ingat betul, itulah baju merah tua yang In Loei pakai
sebegitu lekas penyamarannya diketahui, dan dia mengakuinya
bahwa dialah seorang wanita. Itulah baju yang ditukar pada malam
pertama di dalam kuburan tua di waktu mana ia puji kecantikan si
nona. Maka baju itu, untuk mereka berdua meninggalkan kesan
yang mendalam, yang membawa kenang-kenangan yang manis.
Akan tetapi sekarang baju itu dirobek oleh In Loei sendiri!
Tentu saja baju itu bagaikan dibawa terbang sang angin, yang
takkan balik kembali...
"Adik Loei!" memanggil Tan Hong, suaranya perlahan. Ia
merasakan seperti telah dapat pukulan hebat.
In Loei berpaling pun tidak, tangan kanannya dipakai mencekal
tangan ayahnya, tangan kirinya menyambar tangan ibunya, ia tarik
kedua orang tuanya itu untuk diajak masuk ke dalam, menyusul
mana, "Brak!" pintu telah digabrukkan!
Tan Hong menjadi putus harapan, karena tidak pernah In Loei
menoleh ke belakang, hingga mereka tak dapat saling pandang.
In Loei bertindak ke dalam seperti juga tenaganya telah lenyap
habis. Soalnya hanya soal beberapa tindak saja, tetapi ia
merasakannya bagaikan melakukan perjalanan yang sukar sekali,
bagaikan ia melintasi laksaan sungai dan ribuan gunung, hampir
saja ia tak kuat angkat kakinya. Tidaklah heran, setibanya di dalam,
terus saja ia rubuh di lantai tanah berbareng dengan mana di luar
terdengar ringkiknya kuda, ringkik dari kesedihan...
Itulah suara kudanya In Loei. Kuda itu pun seperti sedang
merasakan sangat berat untuk berpisahan dari "sahabatnya"
semenjak mereka ada bersama dari Tionggoan hingga di Mongolia,
selama perjalanan mereka "selaksa" lie...
Dari kejauhan, menyambut suara kudanya In Loei ini, terdengar
ringkik yang sedih juga dari kudanya Tan Hong. "Kuda meringkik,
angin menderu," begitu satu pepatah. Demikian sang angin
membawa datang suara kuda si mahasiswa.
Demikian rupa adanya persahabatan di antara binatang, apapula
di antara manusia...
In Loei rubuh pingsan di sebelah dalam pintu, akan tetapi
kupingnya masih dengar samar-samar keluhan ibunya: "Ah, anak
yang harus dikasihani..."
Tetapi masih ada lain orang yang harus terlebih dikasihani lagi.
Ialah Tan Hong. In Loei masih ada ayah dan ibunya, yang dapat
menghiburkannya, tidak demikian dengan si anak muda, yang
bagaikan sebatang kara, sebatang kara di kampung orang. Tidak
ada seorang jua kepada siapa ia harus tumpahkan kedukaannya,
tidak ada seorangpun jua dengan siapa ia dapat bicara. Maka ia
bagaikan seorang yang tak sadar dirinya, ia jalan seorang diri, entah
ke mana tujuannya...
Tan Hong dibawa oleh kudanya sendiri. Ia menunggang kuda
tetapi ia tidak berkuasa atas kendali. Ia tampak puncak tinggi dari
gunung Tangkula, yang menyundul tinggi hingga ke mega. Samar-
samar ia ingat hal gurunya telah berjanji untuk membuat suatu
pertemuan di puncak utara dari gunung itu, seperti juga guru itu
hendak menemui satu iblis. Ia cerdas, kuat ingatannya, akan tetapi
kali ini, ia terpukul hebat sekali, kecuali urusan dengan In Loei,
lainnya hampir lupa akan segalanya. Tak ingat ia, siapa si iblis dan
kenapa gurunya hendak menemui iblis itu. Maka syukur baginya, ia
ada punya satu guru, dan ia masih dapat mengingatnya.
Tetap dalam keadaan sadar tak sadar itu, Tan Hong terus
melakukan perjalanannya, ia cuma singgah kapan ia rasakan
perutnya lapar atau tibanya sang malam. Ia tetap ikuti gunung
Tangkula. Dua hari sudah perjalanan, tibalah ia di kaki gunung.
Lantas ia lompat turun dari kudanya, dengan biarkan kuda itu pergi
cari makan sendiri, ia bertindak mendaki gunung itu.
Sunyi gunung itu, bisa di mengerti jikalau Tan Hong tidak ketemu
siapa juga. Ia jalan dan mendaki terus. Ketika ia ingat In Loei, ia
lalu dapat membayangkan halnya ia berjalan bersama si nona,
berjalan sambil merendengkan kuda mereka, melakukan perjalanan
di musim semi selagi bunga-bunga mekar. Atau mereka tengah
melalui wilayah Kanglam yang indah...
Tan Hong pernah berdiam di gurun utara, pernah ia menjelajah
Kanglam, sekarang, ia seperti tak dapat membedakan kedua wilayah
itu, ia seperti merasakan keindahan Kanglam saja, permai dan
sedap... Beberapa kali ia seperti merasa In Loei benar-benar ada di
dampingnya, hingga karenanya, ia suka memanggil "saudara kecil,
saudara kecil..." Tapi kali ini, adalah sang kumandang dari lembah-
lembah yang menyahuti padanya: "Saudara kecil, saudara kecil!..."
Di hari pertama, Tan Hong masih ingat bahwa ia mendaki
gunung Tangkula untuk cari gurunya, tetapi di hari kedua, ia mulai
lupa, hingga tak tahu ia kenapa ia berada seorang diri di atas
gunung itu. Setiap ia tampak pohon kering, pohon bunga atau batu
besar, ia merasa seperti In Loei berbayang di depan matanya.
Kapan ia dengar ricikannya air selokan ia seperti dengar suaranya si
nona yang memanggil-manggil padanya. Atau sekonyong-konyong
saja, suara panggilan si nona itu berubah menjadi suara daun pintu
digabrukkan: "Brak!" Itulah suara yang tak dapat ia lupakan, suara
itu bagaikan terus mengikuti padanya, menguber-uber padanya...
hingga ia jadi tidak berani turun gunung, ia berlari-lari naik seperti
juga, dengan berlari-lari itu, ia akan dapat menyingkir dari suara
itu...
Di hari kedua, di waktu magrib, sampailah Tan Hong di puncak
gunung. Benar selagi ia hentikan tindakannya, tiba-tiba ia
merasakan perutnya lapar dan haus. Ia pun lantas ingat yang
bekalan rangsumnya telah habis di dahar pada kemarin sore, hingga
karenanya, hari ini ia sudah tidak punya apa-apa. Sang lapar itu
membuatnya ia sedikit sadar, ia dapat berpikir bahwa ia mesti cari
sesuatu untuk tangsel perutnya itu... Di waktu ia celingukan, tengah
ia memandang ke depan, ia tampak sebuah rumah batu dari dalam
mana ada asap mengepul keluar...
Tan Hong tidak ketahui bahwa rumah batu itu adalah rumah dari
musuh besar kakek gurunya, ialah rumahnya Siangkoan Thian Ya.
Apa yang ia ketahui adalah ia hendak mencari barang makanan.
Maka juga, ia lantas lari menghampirkan pintu, terus saja ia
menolaknya. Pintu itu adalah pintu batu yang tertutup kuat, maka
daun pintu itu tak dapat lantas tertolak terbuka. Tengah ia menolak,
pintu yang ia awasi itu ia tampak seperti juga pintu rumahnya In
Loei...
"Eh, aku hendak masuk!" ia kata. Ia merasa seperti In Loei
berada di dalam rumah itu. Entah dari mana datangnya tenaga
besarnya, mungkin ia telah kerahkan tenaga dari Taylek Kimkong
Tjioe, ketika ia menggempur, baharu dua kali saja, daun pintu telah
lantas menjeblak terbuka!
"Hai, siapa itu yang bernyali besar sekali, yang berani merusak
pintuku?" demikian satu suara nyaring terdengar menegur dari
dalam. Hanya teguran itu diberikuti ketawa yang aneh
terdengarnya. Suara itu seperti juga senjata tajam menusuk kuping
sehingga Tan Hong menjadi terkesiap hatinya. Beda sangat jauh
suara tertawa itu daripada suara tertawanya In Loei.
"Di sini tidak ada In Loei, ah, untuk apa aku datang kemari?"
kata anak muda ini seorang diri. Pada saat ini, tiba-tiba pikirannya
berubah pula, hingga lupa ia pada rasa laparnya.
Sekonyong-konyong Tan Hong lihat melesatnya beberapa tubuh
bagaikan bayangan ke arahnya. Ia tidak sadar akan dirinya, akan
tetapi dengan sewajarnya, ia ingat akan kepandaiannya ilmu silat,
dengan cepat ia menggunakan kedua tangannya, untuk membuat
perlawanan, ia menotok.
Itu waktu ruangan ada gelap, Tan Hong tidak melihat tegas
namun ia tahu, totokannya telah memberi hasil, ada benda-benda
berat seperti tubuh manusia sang rubuh dan menerbitkan suara
keras, tapi berbareng dengan itu, dari dalam kamar — sebuah
kamar rahasia — ada lagi bayangan yang melesat keluar, belum Tan
Hong ketahui apa-apa ia rasakan dunia seperti terputar, tubuhnya
terus rubuh terguling, dan seterusnya, ia tidak ingat suatu apa lagi.
Yang rubuh itu adalah empat pelayannya Siangkoan Thian Ya,
selagi mereka serang Tan Hong, Siangkoan Thian Ya sendiri sedang
ada di dalam kamar rahasianya itu, dari mana ia sudah lantas
keluar.
Siangkoan Thian Ya tersohor sebagai "iblis kepala". Inilah
disebabkan liehaynya ilmu silatnya. Sudah beberapa puluh tahun ia
sekap diri di atas puncak ini, selama itu belum pernah ada orang
yang berani datangi padanya, atau melintas saja di dekat rumahnya.
Hari ini, bukan saja ia telah disatroni, malah pintunyapun digempur
rusak oleh Tan Hong, tentu saja ia menjadi heran. Untuk sejenak ia
menyangka kepada Hian Kee Itsoe, atau di lain saat ia sadar, bahwa
Hian Kee Itsoe takkan sudi bertindak demikian rupa, suatu tindakan
hina. Karena ini, berbareng heran ia menerjang keluar sambil
menggunai ilmu silat "Ittjie sian" atau "Sebuah jari sakti". Tan Hong
dalam keadaannya yang tak sadar itu, tidak heran ia tidak sanggup
menangkis atau berkelit, hingga ia rubuh tanpa berdaya. Adalah
setelah itu, lekas-lekas Thian Ya cari api, untuk menyuluhi dan
mengenali penyerbunya itu.
Untuk herannya iblis kepala ini, ia lihat penyerbu itu adalah satu
anak muda yang tampan, mukanya perok dan pucat, umurnya
mungkin belum dua puluh tahun. Ia lantas mengawasi dengan
tajam, hingga ia tahu apa yang ia harus lakukan. Di samping
sebagai ahli silat, iapun mengerti ilmu obat-obatan. Tetapi setelah ia
periksa nadinya orang itu, ia telah dibikin menjadi heran pula,
walaupun ia seorang yang ahli!
Ilmu totok Ittjie sian dari Siangkoan Thian Ya telah mencapai
puncaknya kesempurnaan, lagipun sasarannya sekarang ini adalah
jalan darah djoanmoa hiat dari Tan Hong, sudah seharusnya,
menurut teorinya, darahnya Tan Hong mesti berhenti berjalan, atau
sedikitnya, mengalirnya darah mesti kendor sekali. Akan tetapi
kenyataannya, jalan darah Tan Hong mengalir seperti biasa, hanya
tenaga mengalirnya sedikit lemah. Karena ini, ia lantas ambil lain
pandangan. Ia tahu bahwa orang ini rubuh bukan karena
totokannya, hanya disebabkan saking laparnya.
"Jika orang ada satu ahli yang liehay, Hian Kee Itsoe
umpamanya, dia memang dapat menggunai ilmunya menutup jalan
darah untuk membela dirinya dari serangan Ittjie sian," demikian
jago ini berpikir lebih jauh, "akan tetapi apabila untuk menutup jalan
darahnya itu, jikalau dia kena ditotok, dia tidak akan menjadi
pingsan, juga tidak akan meninggalkan bekas-bekasnya. Tidak
demikian dengan orang ini. Dia telah tertotok, namun dia tidak
mendapat luka, tiada bekasnya totokan juga, apakah yang
menyebabkannya ini? Mustahilkah di dalam dunia ini ada suatu
macam ilmu dalam lainnya yang aku belum mengetahuinya?"
Siangkoan Thian Ya benar-benar tidak menduga yang di dalam
dunia ini memang benar ada semacam ilmu tenaga dalam yang ia
belum ketahui, ialah ilmunya Pheng Eng Giok, ilmu yang termuat di
dalam kitab "Hiankong Yauwkoat". Kepandaiannya Siangkoan Thian
Ya ada dari jalan yang aneh, meski benar ilmunya itu liehay sekali,
tetapi dalam hal kelurusan, tak dapat ia menandingi ilmunya Pheng
Hoosiang. Maka itu, walaupun dalam latihan ilmu dalam itu Tan
Hong masih kalah, namun karena dasarnya yang lurus itu, meski dia
kena ditotok, dia sanggup pertahankan diri, hingga karenanya, dia
dapat dibikin pingsan tapi tidak dapat dilukai.
"Anak ini masih berusia muda, iapun tengah kelaparan hebat,"
masih Siangkoan Thian Ya berpikir, "tetapi dengan gampang sekali
ia dapat rubuhkan empat pelayanku, inilah luar biasa.
Kepandaiannya itu mestinya berkat latihan dua atau tiga puluh
tahun, maka itu apakah ini tidak aneh? Mustahilkah ia telah
mempelajari ilmu silat sejak ia masih dalam kandungan ibunya?"
Oleh karena ia heran dan memikir demikian, tiba-tiba iblis kepala
ini menjadi bercekat hatinya, ia menjadi terkesiap sendirinya.
Mendadak ia mau menduga: "Bukankah anak muda ini muridnya
Hian Kee Itsoe, musuh besarku itu?" Ia baharu menerka demikian
atau ia berpikir pula: "Umpama benar dia muridnya Hian Kee Itsoe,
tetapi dia begini muda, tak mungkin dia telah mempunyai
kepandaiannya ini? Juga, caranya menangkis dia bukannya menurut
ilmu silatnya Hian Kee It Soe..."
Pusing Siangkoan Thian Ya karena berpikir terlalu keras itu. Ia
dijulukkan "Mo Tauw," si kepala iblis, atau iblis kepala, akan tetapi
pada dasarnya, pada batinnya, ia menyayangi orang pintar, orang
yang berkepandaian luar biasa. Demikian kali ini, terhadap Tan
Hong, timbullah perasaan sayang dan kasihannya. Maka tidak ayal
lagi, ia totok sadar anak muda itu.
Tan Hong tidak lantas ingat segala apa dengan seterang-
terangnya. Akibat totokan yang liehay itu, pikirannya masih butek,
kedua matanya pun tidak segera dapat dipentang. Ia tak sadar, apa
yang barusan ia telah lakukan.
"Adik kecil, adik kecil!" ia lalu memanggil-manggil. Dalam sekali
kesannya terhadap In Loei, maka si Nona In-lah yang ia ingat paling
dulu.
Siangkoan Thian Ya menuang air teh ke dalam sebuah cangkir, ia
angsurkan ke bibir orang.
"Ah, ah, adik kecil!" Tan Hong berkata pula. "Kau tidak doyan
arak susu kuda, akupun tidak hendak meminumnya!..." Dan dia
tolak air teh itu.
"Masih kalut pikirannya anak muda ini," pikir Siangkoan Thian Ya.
Terus ia layani orang bicara, katanya: "Baiklah, kalau kau tidak mau
minum arak susu kuda, mari kau minum susu kental dicampur arak
anggur." Ia benar-benar ambil susu kental itu. Ia singkirkan air teh
dari muka orang, lalu dengan cepat ia bawa balik lagi, untuk dikasih
minum.
Tan Hong irup susu kental itu serta tehnya.
"Adik kecil, adik kecil, kau baharulah adik kecilku yang baik!"
berkata anak muda ini dalam keadaannya tak sadar itu. "Kalau aku
masuk pula, menginjak pintumu, kau tentu tidak akan mengusir
pula padaku, bukankah? Haha-haha, kau benar-benar tidak
mengusir lagi!" Mendadakan ia melenggak, tubuhnya jatuh ke kursi,
lalu dengan cepat ia tidur mendengkur. Rupanya ia terlalu lelah
tetapi pun girang...
Tak tahu kenapa, Siangkoan Thian Ya merasa ia seperti berjodoh
dengan pemuda ini.
"Air tehku ini tercampur dengan soatsom," ia berkata di dalam
hatinya, "soatsom dapat menghidupkan darah, maka dengan
ditambah susu kental, meski dia tidur lagi satu hari, tanpa dahar
apapun, dia tidak bakal dapat bahaya..."
Lalu ia pondong anak muda itu, dibawa ke dalam kamarnya,
untuk direbahkan di atas pembaringannya sendiri yang hangat.
Ketika itu sudah tengah hari.
Ketika akhir-akhirnya Tan Hong mendusi, waktu telah lewat
tengah hari dari hari yang kedua. Ia merasakan bau yang harum,
yang membuat hatinya lega. Ketika ia buka kedua matanya, ia
tampak sinar matahari molos di jendela. Di muka jendela itu ada
tanaman bunga tjielan, ialah bunga yang menyiarkan bau harum itu.
Di kedua sisi jendela itu ada digantung sepasang lian dengan
bunyi hurufnya: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai
kau — Kecuali sang cinta dan peri kebenaran..."
Rapi dan indah persiapan kamar itu, yang tentunya terawat baik.
Di tembok pun ada tergantung sehelai gambar, yang berlukiskan
hutan bambu, tjietiok lim, dalam mana ada satu nona dengan
bajunya warna merah tua, yang alisnya panjang sekali, yang
wajahnya seperti sedang bergirang, tapi juga seperti tengah
mendeluh...
Di dalam hatinya Tan Hong, rasanya ia pernah tampak tempat
seperti itu, — hutan bambu dengan si nona, — dan si nona di dalam
gambar itupun ia seperti mengenalnya. Karena ini, ia jadi baca
dengan perlahan bunyinya lian itu. Oleh karena pikirannya tengah
melayang-layang, di depan matanya pun segera seperti tertampak
bayangannya In Loei, si nona dalam hutan bambu itu lantas saja
berubah menjadi si Nona In itu...
Tan Hong lihat seperti In Loei lompat keluar dari hutan bambu,
lalu sekejap kemudian menghilang...
Tertawa seorang diri, Tan Hong berkata seorang diri juga: "Di
dalam dunia ini adakah lain orang yang dapat dibandingkan dengan
adik kecilku? Nona dalam gambar benar cantik akan tetapi dia tak
ada satu per selaksanya..."
Tanpa merasa, Tan Hong jemput pit dan kertas, setelah beber
kertas itu, ia poles-poleskan pit-nya di air bak, lalu ia melukis,
selembar demi selembar, ia melukis In Loei dengan pelbagai macam
wajahnya, tengah berlikat, tengah bersenyum, tengah tertawa, ada
juga yang sedang mendongkol atau mendeluh atau beroman sedih.
Indah semua lukisannya itu. Ia belum puas agaknya dengan
hanya melukis si nona, lebih jauh, ia melukis juga dirinya sendiri
berserta si nona yang sedang kaburkan kudanya dengan berendeng.
Untuk ini, ia tuliskan kata-kata singkat sebagai timpalannya. Ketika
kemudian sesudah selesai melukis, ia lempar pit-nya, terus ia
tertawa panjang, akan tiba-tiba ia menangis dengan sangat sedih...
Adalah di saat itu, anak muda ini merasa ada orang pegang
pundaknya, yang ditepuk dengan perlahan, apabila ia angkat
kepalanya, untuk melihat, ia dapatkan seorang tua dengan
rambutnya telah putih semua, wajahnya bengis akan tetapi sinar
matanya, yang tajam, ada mengandung kesan baik. Orang tua itu
bersenyum, terus ia menanya dengan sabar: "Kau siapa? Apa yang
kau tangisi?"
"Kau siapa? Dan kau pun mentertawai apa?" Tan Hong balik
menanya.
Orang tua itu tertawa bergelak-gelak.
"Sungguh aku tidak sangka di dalam dunia ini masih ada kau dan
aku manusia tolol!" katanya sambil tertawa pula.
Keduanya saling memandang, lantas keduanya menangis
bersama, lalu tertawa bersama juga. Kemudian, si orang tua berkata
pula: "Tadi malam kau menyebut-nyebut adik kecil tak putusnya.
Adik kecilmu itu ada di mana?"
Tan Hong tidak menyahut dan tidak ambil pusing akan
pertanyaan itu, sebaliknya, ia angkat setiap gambarnya untuk
dipandang satu demi satu, sesudah mana, kembali ia menangis
sesegukan.
"Ah, adakah nona dalam gambar ini adik kecilmu?" si orang tua
tanya, matanya mengawasi gambar itu.
"He, kenapa kau berani awasi adik kecilku?" tanya Tan Hong,
sambil ia menghela napas. "Awas, nanti aku hajar kau, tua bangka
tidak tahu adat sopan santun!"
Dan benar-benar tangannya melayang.
Si orang tua angkat tangannya, telunjuknya dimajukan. Dengan
cara itu ia menangkis. Gampang saja, pukulan Taylek Kimkong Tjioe
dari si anak muda kena dibikin tidak berdaya.
Tiba-tiba, anak muda itu menangis pula. "Ya, ya, aku larang
siapa juga mengawasi kau!" kata dia. "Eh, kenapa kau pandang aku
sambil mendelik?"
Dan ia awasi gambarnya In Loei, gambar dengan wajah gusar.
Menampak itu, si orang tua menghela napas.
"Beberapa puluh tahun yang lampau," kata dia seorang diri,
"jikalau ada orang berani awasi Tjie Lan-ku, aku juga bisa hajar
padanya..."
Sejenak itu, orang tua ini pandang si anak muda sebagai dirinya
sendiri...
"Eh, anak muda, mengapa adik kecilmu itu tinggalkan kau?" dia
tanya.
Tan Hong mendelik terhadap orang tua itu. "Kau sendiri sudah
tahu untuk apa kau tanya aku?" dia menegur.
"Apa?" si orang tua tegaskan.
Tan Hong menjawab dengan bersenanjung:
"Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali
sang cinta dan peri kebenaran... Bukankah itu tulisanmu sendiri?
Jikalau kau tidak ketahui hal ihwalku dengan In Loei, cara
bagaimana kau dapat menulis sepasang liari itu?" Dan ia tunjuk liari
di jendela.
Mendengar jawaban itu, si orang tua menjublak.
"Ha, kiranya budi dan penasaran yang sukar dilupakan, rindu itu,
semuanya sama..." katanya. Lalu mendadak ia tertawa berkakakan,
tangannya menepuk meja. "Yang tiga puluh tahun dahulu itu adalah
aku, yang tiga puluh tahun belakangan ini adalah kau!" katanya pula
nyaring. "Kita ada sama saja! Biarlah orang-orang di kolong langit
ini yang senasib dengan kita, menangis bersama untuk sang
cinta!..."
Ia menangis, ia tertawa, lalu bersama Tan Hong, ia saling
rangkul. Keras tangis mereka, hingga terdengar jauh di luar rumah.
Di dalam ruang, beberapa pelayan itu berdiri diam saling
mengawasi, semuanya merasa heran sekali. Tadinya mereka sangka
Siangkoan Thian Ya, majikan mereka itu, akan binasakan si anak
muda, tidak tahunya, mereka berdua ini adalah sahabat-sahabat
kekal... Tidakkah dua orang ini, tertawa dan menangis saling
sahutan? Memang sang majikan aneh tabeatnya akan tetapi
kelakuannya seperti ini baharu kali ini mereka tampak.
Lama mereka menangis, akhirnya si orang tua berhenti, dengan
keras ia mengatakannya: "Hari ini kita menangis, sungguh
memuaskan! Haha! Tiga puluh tahun lamanya aku menanggung
kesengsaraan hati, baharu hari ini aku menemui orang yang sama
penyakitnya, yang saling mengasihani..."
Lalu, tangisannya itu berubah jadi tertawa. Tan Hong, tanpa
merasa, turut tertawa juga. Karena ia menangis, karena ia tertawa
itu, hatinya menjadi terbuka, dengan perlahan-lahan otaknya
datangkan kesadarannya.
"Eh, mengapa aku bisa tiba di sini?" ia tanya.
Si orang tua tertawa.
"Ya, aku justeru hendak menanyakan kau!" jawabnya. "Kenapa
kau bisa tiba di sini?"
Tan Hong berdiam, otaknya dikasih kerja keras sekali. Tak dapat
ia ingat kenapa ia bisa sampai di tempat asing ini. Ia cuma ingat In
Loei, ia ingat juga rumah In Loei letaknya di lembah selatan dari
gunung ini. Samar-samar ia ingat bahwa ia telah dikuncikan pintu di
luar, lalu ia berlari-lari, akan akhirnya tiba di sini. Ia seperti
mengetahui sekarang bahwa si orang tua ingin sangat dengar hal
ihwalnya, bahwa si orang tua pun sudi menceriterakan hal ihwalnya
sendiri...
Dalam keadaan yang sadar itu, Tan Hong lantas tuturkan tentang
pergaulannya dengan In Loei, akan tetapi kemudian, ia berceritera
dengan lompat sana dan lompat sini, ada yang ia masih ingat, ada
yang ia telah lupa, kemudian yang ia telah lupa itu, ia susul dengan
keterangan yang belakangan, toh masih saja, ceriteranya tidak
lancar hubungannya.
Si orang tua terus pasang kupingnya, baharulah kemudian, ia
tanya: "Siapakah yang ajarkan ilmu silatmu dan ilmu silat nonamu
itu?"
"Aku dengan dia berasal satu rumah perguruan," Tan Hong
jawab. Lalu lenyap pula ingatannya. "Siapakah guruku? Siapakah
guru dia?" Ia mengingat-ingat, tapi ia tak dapat mengingatnya.
"Apakah kau pernah dengar namanya Hian Kee Itsoe?" tanya si
orang tua.
Tiba-tiba Tan Hong tepuk pinggangnya. "Ya, aku ingat
sekarang!" ia berseru. "Soetjouw-ku bernama Hian Kee Itsoe! Hian
Kee Itsoe itu adalah soetjouw-ku. Soetjouw telah wariskan dua rupa
ilmu pedang, dia mengajarnya dengan dipisah-pisah, dan orang
yang mempelajarinya, satu orang cuma harus dapat satu rupa,
mereka dilarang mengajarkan atau saling mengajarkan satu dengan
lain. Siapa yang mencuri mempelajarinya, meski ia dapat cuma
setengah jurus, ia akan dihukum duduk bersila menghadapi tembok
lamanya dua belas tahun! Aku belajar waktu aku berada di ibu kota
negara Watzu. Tapi, dari siapa aku belajar silat? Tidak tahu, aku
tidak tahu... Dia belajar di Siauwhan San, dia duduk bersila
menghadapi tembok selama dua belas tahun... Kedua ilmu silat itu
tetap dilarang diajarkan satu pada lain, dilarang sekalipun dengan
jalan diam-diam, akan tetapi kemudian, secara kebetulan kami
bertemu satu pada lain, kami lantas saja mengecap kefaedahannya
siangkiam happek! Ya, di kolong langit ini, kami tidak ada
tandingannya! Haha, di kolong langit tidak ada
tandingannya!..."Orang tua itu terperanjat, tapi segera juga, ia
tertawa.
"Hebat angotnya bocah ini!" dia berpikir. "Dia sudah beristirahat
satu hari satu malam, kenapa masih saja dia tak sadar akan dirinya?
Jikalau dia benar cucu muridnya Hian Kee Itsoe, kenapa dia belajar
di ibu kota Watzu? Dan kekasihnya tentu ada terlebih muda
daripadanya, kenapa dia dapat pergi ke gunung Siauwhan San,
untuk belajar di sana selama dua belas tahun? Kemudian mereka
bertemu sesudah dua belas tahun, tidakah seharusnya kekasih itu
sudah berusia tua? Lagipun sangat mustahil, selagi di satu pihak
orang belum pernah lihat ilmu silatnya lain pihak, kenapa begitu
bertemu, keduanya dapat menjadi cocok satu dengan lain, malah
dengan secara sempurna sekali, hingga mereka sangat lihay!
Bukankah dia ini mengatakan, ilmu silat pedang mereka berdua tak
ada tandingannya di kolong langit ini? Apakah bukannya dia tengah
ngelindur? Bicara dari hal tenaga dalamnya, apabila dia mengatakan
dia perolehnya dari Hian Kee Itsoe, suka aku sedikit
mempercayainya. Tetapi bila benar dia cucu muridnya Hian Kee
Itsoe, cara bagaimana dia dapat menangkis totokanku? Mungkin
sekali gurunya adalah satu jago Rimba Persilatan kenamaan yang
namanya tersembunyi... Mungkin dia pernah dengar namanya Hian
Kee Itsoe, karena aku menanyakannya, dia secara tak sadar akui
Hian Kee Itsoe itu sebagai kakek gurunya..."
Oleh karena kesangsiannya itu, Siangkoan Thian Ya tidak
menyangka bahwa Tan Hong telah omong apa yang benar, hanya
karena ingatannya anak muda ini kabur, penuturannya itu kacau.
Dia menyebutkannya In Loei dihukum duduk bersila menghadapi
tembok di gunung Siauwhan San, tak ingat dia bahwa, yang
dihukum itu bukannya In Loei tapi gurunya si nona. Tentu saja,
karena kekeliruannya ini, Siangkoan Thian Ya mau mempercayai
soal dirinya In Loei, hingga ia menjadi heran. Memang orang tua ini
telah lihat, kepandaian yang si anak muda perlihatkan bukannya
kepandaiannya Hian Kee Itsoe.
Sehabis bercerita, Tan Hong balik menanya.
"Kau siapa?" demikian pertanyaannya. "Kenapa kau ada di sini?
Apakah kau juga telah disia-sia adik kecilmu?"
"Benar," sahut Siangkoan Thian ya. "Memang, adik kecilku itu
rela duduk sila menghadapi tembok lamanya tiga puluh tahun di
dalam hutan bambu Tjietiok lim, dan dia tak sudi datang ke gunung
salju ini untuk menemui aku! Ah, saudara muda, akan aku tuturkan
kau sebuah dongeng..."
Si orang tua benar-benar menuturkan ceriteranya:
"Pada tiga puluh tahun yang lampau ada hidup satu begal besar
dari kalangan Rimba Hijau serta satu ahli pedang dari golongan
Rimba Persilatan. Keduanya menyombongkan diri bahwa mereka
tidak ada tandingannya di kolong langit ini. Bukan, bukannya
menyombongkan diri! Kau tadi mengatakan siangkiam happek tanpa
tandingan di kolong langit, itulah dusta belaka. Adalah
kepandaiannya mereka berdua, itu begal dan ahli pedang, yang
benar-benar tulen!"
"Bila demikian, di antara mereka berdua, sebenarnya kepandaian
siapakah yang betul-betul tidak ada tandingannya di kolong langit
ini?" Tan Hong tanya.
"Sampai sekarang hal itu masih belum diketahui," sahut
Siangkoan Thian Ya. "Jikalau kau ingin mendapat tahu, kau baiklah
tinggal beberapa hari lebih lama di sini." Lalu ia melanjutkan: "Dua
orang itu akui dirinya masing-masing tidak ada tandingannya. Apa
mau mereka justeru sama menyintai satu nona, yang juga anggap
dirinya tak ada tandingannya di kolong langit ini. Nona itu bersama
si penjahat Rimba Hijau sering sekali bentrok adu mulut. Mungkin si
nona tak setujui nama kurang wangi dari penjahat itu, maka juga,
walaupun ia kurang cocok dengan si kiamkek, ahli pedang, ia toh
suka cari ahli pedang itu. Celaka si kiamkek itu, buruk tabiatnya.
Sebab dia bertentangan dengan si penjahat, sengaja dia ganggu
hati si nona, rupanya dengan begitu ingin dia membikin susah
hatinya si penjahat. Satu kali, si penjahat menjadi gusar sekali, ia
tantang si kiamkek adu silat di puncak Ngobie San. Pertandingan
berlangsung tiga hari tiga malam, mereka tidak kalah tidak menang,
maka pertandingan di akhiri dengan keduanya berjanji, lagi tiga
puluh tahun, mereka akan bertanding pula untuk mencari
keputusan. Tempo yang dijanji itu,
lagi beberapa hari akan tiba. Setelah pertandingan yang pertama
itu, si penjahat telah cuci tangan, ia menyingkir keperbatasan
Mongolia. Ia berpegang kepada dalil, orang gagah menyayangi
orang gagah, ia rela mengalah akan serahkan si nona kepada si
kiamkek. Akan tetapi tak disangkanya, kiamkek itu benar-benar
busuk! Hm!"
"Apakah sudah terjadi?" tanya Tan Hong. Ia heran.
"Setelah pertandingan itu, si kiamkek telah tinggalkan si nona,
yang disia-siakannya. Kesudahannya si nona tinggal menyendiri di
rimba bambu Tjietiok lim di mana nona itu tinggal menangis dalam
kesedihannya..."
"Ah, hebat kiamkek itu!" kata si anak muda. "Kenapa dia mensia-
siakannya satu nona yang menyintai padanya?"
Begitulah Tan Hong mengatakannya, ia tidak tahu bahwa
kiamkek yang dimaksudkan Siangkoan Thian Ya itu adalah Hian Kee
It soe sendiri, kakek gurunya. Sedang si nona yang tersia-sia
cintanya adalah si nyonya tua yang ia telah ketemukan di dalam
hutan bambu Tjietiok lim itu, seorang she Siauw, namanya Oen Lan.
Di kamar tulisnya Siangkoan Thian Ya ada bunga tjielan, itulah
bunga pujaannya, untuk tanda bahwa ia masih menyintai dan
menghargai nona itu.
Keterangannya Siangkoan Thian Ya itu ada bahagian-bahagian
yang tidak cocok dengan kenyataannya. Ia benar menyintai Nona
Oen Lan, akan tetapi Hian Kee Itsoe sama sekali tidak
menyintai nona itu. Yang benar adalah di antara Hian Kee Itsoe dan
Siauw Oen Lan tidak ada kecocokan pendapat, sama sekali
bukannya soal cinta.
Nona Siauw kosen sejak ia masih muda, iapun sangat cantik,
karena itu, di dalam hatinya telah timbul suatu pikiran yang luar
biasa. Ia menghendaki supaya semua orang gagah di kolong langit
ini bertekuk lutut dihadapannya. Ia tidak mencintai Siangkoan Thian
Ya, tetapi ia puas terhadap penjahat besar ini, yang senantiasa
uber-uber padanya. Hian Kee Itsoe tidak setujui sifatnya Oen Lan
itu, karenanya ia selalu menjauhkan diri, tetapi justeru itu, Oen Lan
ingin sekali mendapatkan kesan baik dari si kiamkek. Tetap Oen Lan
kepada cita-citanya yang luar biasa itu, malah belakangan, ia
menjadi terlebih berkeras hati, hingga ia ingin supaya orang-orang
gagah yang anggap dirinya tak ada tandingannya di dalam dunia ini,
semua binasa karena dia. Atau sedikitnya, karena ia itu mereka
nanti adu jiwa mereka. Begitulah, ia jadi menghendaki Siangkoan
Thian Ya dan Hian Kee Itsoe bentrok satu dengan lain.
Siangkoan Thian Ya sangat menyintai Nona Siauw, bahkan lebih
dari itu, ia tergila-gila, karena mana, ia telah masuk dalam
perangkap. Hian Kee Itsoe hendak menyingkir dari perangkap itu,
akan tetapi ia didesak Siangkoan Thian Ya, kepada siapa ia
sebaliknya tidak hendak beber rahasianya Oen Lan itu, sebab tak
dapat ia menceritakannya. Maka kejadianlah pertandingan tiga hari
tiga malam di puncak Ngobie San itu.
Sesudahnya pertandingan, Hian Kee Itsoe lantas dapat anggapan
tidak bagus terhadap sifat wanita, karena ini, hatinya jadi tawar,
pikirannya berubah, maka selanjutnya, ia tidak sudi bergaul pula
dengan Oen Lan, setiap si nona datang untuk cari padanya, ia
menampik, tidak mau ia menemui, ia berpendapat nona itu lebih
daripada ular berbisa. Oen Lan dapat merasakan sikapnya Hian Kee
Itsoe itu, ia insyaf akan sepak terjangnya yang tidak tepat itu, maka
di akhirnya, iapun lantas undurkan diri, ia pergi hidup menyendiri di
hutan bambu itu, tak sudi ia muncul pula dalam dunia kangouw.
Tentu saja tak tahu Tan Hong akan duduknya hal yang
sebenarnya. Karena ia hanya dengar keterangan satu pihak, yaitu
keterangannya Siangkoan Thian Ya, ia jadi beranggapan bahwa satu
orang — satu pria — tidak seharusnya menampik cintanya satu
nona yang menyintai dirinya demikian rupa. Karena anggapannya
ini, ia juga anggap tidak selayaknya sikap In Loei itu, yang sudah
sia-sia padanya...
Akhir-akhirnya, karena terpengaruh Siangkoan Thian Ya, Tan
Hong caci si kiamkek. Ia jadi cocok dengan si iblis ini, suka ia
berdiam di rumahnya si iblis. Ia pun ingin sangat dapat ketika untuk
beristirahat, untuk sembuhkan dirinya sendiri, supaya ia jadi sadar
seperti biasa...
Begitu lekas Siangkoan Thian Ya tinggalkan ia seorang diri, tiba-
tiba Tan Hong ingat ceritera tentang pertandingan di atas puncak
gunung Ngobie San itu. Ia ingat bahwa ia pernah dengar hal itu.
Akan tetapi ketika ia coba memikirkannya lebih jauh, untuk
mendapat kepastian, ia buntu pula. Ia cuma ingat samar-samar, di
antara dua orang yang adu kepandaian itu, satu di antaranya ada
hubungannya yang erat dengan ia...
Siangkoan Thian Ya itu luas pengetahuannya, ia mengerti
tentang ilmu syair dan bernyanyi, maka itu setiap hari, setiap kali ia
masuk ke kamar tulisnya, bisa ia omong banyak dengan Tan Hong,
maka mereka berdua cocok satu dengan lain. Ada kalanya, kapan
mereka kembali pada soal cinta, keduanya suka menangis pula
sambil saling rangkul. Demikianpun bila mereka bicara dari hal yang
menggirangkan hati, mereka tertawa terbahak-bahak, bergelak-
gelak.
Baharu lewat beberapa hari, hati pepat dari Tan Hong dapat juga
sedikit reda. Ia telah dapatkan orang atau kawan dengan siapa ia
bisa tumplakkan segala isi hatinya. Karena ini, dengan perlahan, ia
mulai sadar banyak. Demikian itu hari, tengah ia berpikir seorang
diri di dalam kamarnya, teringatlah ia janji gurunya untuk ia pergi
mendaki sebuah gunung untuk menemui satu iblis kepala. Hanya ia
tak tahu siapa namanya iblis itu. Ia lantas berpikir untuk cari
Siangkoan Thian Ya, guna minta keterangan kalau-kalau "sahabat"
ini ketahui tempatnya si Kepala Iblis yang liehay di gunung ini. Tapi,
sebelum ia bertindak keluar, dari luar ia telah dengar suara nyaring
dari Siangkoan Thian Ya, dan dari suaranya itu rupanya orang tua
itu sedang umbar tabiatnya.
"Ouw Bong Hoe, apakah kau masih ada nyalimu untuk menemui
aku?" demikian Tan Hong dengar suara orang yang keras.
Seorang, dengan suara sabar, menyahuti Siangkoan Thian Ya,
katanya: "Sejak aku meninggalkan rumah perguruan, belum pernah
aku melupai soehoe. Ilmu silat Ittjie sian yang soehoe ajarkan
kepadaku, aku pun berlatih terus setiap hari, tidak pernah lengah.
Maka itu, aku mohon soehoe suka terima aku kembali..."
"Untuk mempelajari ilmu silat yang paling liehay itu, seorang
dilarang menikah seumurnya dia," berkata orang tua itu, "akan
tetapi kau mempunyai rasa cinta, napsu birahi, maka itu kau telah
lakukan satu pelanggaran besar, melanggar sumpahmu ketika kau
baharu masuk rumah perguruan. Karena pelanggaranmu itu, tak
dapat kau tetap tinggal di sini! Jikalau kau tidak berhasil
mempelajari ilmu yang liehay, kau tidak dapat tandingi murid-
muridnya Hian Kee Itsoe, karenanya, apakah muka terangku tidak
bakal dibikin rusak olehmu?"
"Aku sumpah, sejak sekarang aku tidak akan menyinta pula,"
berkata orang itu. "Ingin aku berlatih terus, untuk menebus
kesalahanku itu dengan jasaku..."
"Apakah jasamu itu?"
"Aku telah dapat ketahui rahasianya ilmu silat Hian Kee Itsoe,"
sahut orang yang dipanggil Ouw Bong Hoe itu.
"Rahasia apakah itu? Coba kau jelaskan!"
Siangkoan Thian Ya bicara secara tawar tetapi terang, hatinya
tertarik.
"Di luar Ganboenkwan aku pernah tempur muridnya Hian Kee
Itsoe," menerangkan orang yang ingin masuk pula dalam rumah
perguruannya itu, "nyata mereka itu tidak beda banyak daripada
muridmu, hanya mereka ada punya semacam ilmu silat yang liehay
sekali..."
"Ilmu silat apakah itu?" tanya Siangkoan Thian Ya. Ia jadi
semakin bernapsu. "Benarkah itu dapat dibandingkan dengan ilmu
silatku Ittjie sian?"
"Ilmu itu tak sama dengan Ittjie sian. Ilmu mereka itu ada
semacam ilmu silat pedang, ialah dua pedang dapat digabung
menjadi satu — siangkiam happek — liehaynya bukan main..."
"Ah!" Siangkoan Thian Ya berseru tertahan. "Apa? Siangkiam
happek? Aku tidak percaya jikalau ilmu itu tidak ada tandingannya di
kolong langit ini!"
Akan tetapi suaranya itu ada mengandung kesangsian besar.
Tan Hong dengar itu, iapun bersangsi, ia heran. Tiba-tiba saja, ia
bagaikan tersapu lenyap selapis kabut yang menutupi
kesadarannya. Maka berpikirlah ia dalam hati kecilnya: "Tjouwsoe-
ku, yakni Hian Kee Itsoe, dan siangkiam happek itu adalah ilmu
silatku berdua In Loei! Ah, kiranya dia inilah si iblis yang guruku
hendak menjumpainya!..."
Oleh karena ia ingat demikian, pemuda ini jadi dapat berpikir
pula: "Nyata aku telah tinggal bersama iblis ini untuk beberapa hari!
Bukankah dia tidak mempunyai sesuatu yang harus dibuat jeri?...
Tetapi, tak tahu apa sebabnya tjouwsoe telah bermusuhan
dengan dia ini? Ah, bukankah ceritera yang ia tuturkan itu, ialah
kedua orang kosen yang masing-masing anggap dirinya tak ada
tandingannya di kolong langit ini, ada mengenai diri mereka berdua?
Jadinya dia dan tjouwsoe-ku adalah yang dimaksudkannya itu?"
Tan Hong seorang yang cerdas, dengan kesadarannya ini,
tepatlah terkaannya itu. Setelah itu, ia lantas berpikir lebih jauh.
Tengah ia berpikir, kembali ia dengar suara keras dari si orang tua.
"Siapakah yang mengajak kau mendaki gunung ini? Apakah Sian
In si budak itu?"
"Benar dia," sahut orang yang dibentak itu. "Soehoe jangan
kuatir, kepada soemoay itu tidak akan aku bicara pula perihal
perjodohan!"
Tapi si orang tua masih membentak: "Sebelumnya kau
menghadap aku, kau telah berjanji dan bertemu dengan soemoay-
mu itu, ini juga ada suatu pelanggaran! Tahukah kau kesalahanmu
ini? Maka sekarang aku hukum kau berdiam dan berpikir di dalam
kamar samedhi, tanpa titahku, aku larang kau sembarang keluar!"
Guru ini mencaci tetapi toh ia terima muridnya itu, maka juga
Ouw Bong Hoe jadi sangat girang, ia paykoei terhadap gurunya itu
sambil menghaturkan terima kasihnya.
Tan Hong mendengari pembicaraan dua orang itu, ia pikir:
"Orang tua ini tidak pantas perbuatannya. Dia sendiri telah jadi
kurbannya cinta, sekarang dia larang murid-muridnya bicara tentang
hal pernikahan!"
Siangkoan Thian Ya kurung Ouw Bong Hoe di kamar samedhi,
setelah itu ia pesan pelayannya: "Aku juga hendak bersamedhi di
dalam kamarku, maka itu kecuali muridnya Hian Kee Itsoe yang
datang kemari, aku larang kau ganggu aku."
Kemudian suasana menjadi sunyi.
Tan Hong sendiri terus berpikir, ia tidak puas untuk perlakuannya
si orang tua terhadap muridnya itu, Ouw Bong Hoe. Maka itu ia
lantas keluar dari kamarnya. Ia hampirkan satu pelayan, ia tanya di
mana orang tadi dikurungnya.
Pelayan itu tahu, orang asing ini adalah orang dengan siapa
gurunya biasa bergaul sangat rapat, walaupun dia belum tahu siapa
sebenarnya orang ini, tidak berani dia mendusta, malah dia ajak Tan
Hong ke kamar samedhi, dia sendiri yang mengetok pintu sambil
berkata: "Ada satu sahabatnya gurumu datang menengoki. Inilah
untungmu yang bagus. Apa kesukaranmu, kau boleh tuturkan
kepada sahabat gurumu ini, supaya dia dapat tolong bicarakan
kepada gurumu itu."
Heran Ouw Bong Hoe di dalam kamarnya mendengar
perkataannya pelayan itu.
"Tingkat derajat dari soehoe ada sangat tinggi," begitu ia
berpikir, "kecuali Hian Kee Itsoe, sekarang ini siapapun tak dapat
dibandingkan dengan soehoe, tiada yang berhak untuk disebut
sahabatnya! Siapakah orang ini? Agaknya, menurut suaranya si
pelayan, dia adalah orang yang soehoe hormati..."
Segera pintu dibuka, dan Tan Hong terus bertindak masuk yang
terus ia rapatkan pula pintunya. Ketika Ouw Bong Hoe angkat
kepalanya dan melihat orang yang masuk itu, ia menjublak.
"Hai, kau, kau!" katanya. "Bukankah kau Thio Tan Hong
muridnya Tjia Thian Hoa?"
Tan Hong tepuk kepalanya, lalu ia tertawa besar.
"Tidak salah, guruku adalah Tjia Thian Hoa!" ia kata. "Ya, Tjia
Thian Hoa itu ialah guruku!"
Ouw Bong Hoe heran. Ia tampak orang berbeda dari biasa,
seperti orang hilang ingatannya.
"Guru kita bermusuhan satu dengan lain, kau juga adalah
musuhku, kau tahu atau tidak?" ia tanya.
"Tidak salah, kamu adalah musuh kami!" sahut Tan Hong. "Ya,
aku ingat sekarang! Dua kali kau pernah bertempur dengan aku,
satu kali di dalam pasanggrahan gunung, satu kali lagi di luar kota
Ganboenkwan!"
Tan Hong ingat tentang pertempurannya itu, tetapi samar-samar
ia masih ingat bahwa, pertempuran itu bukan disebabkan urusan
guru mereka.
"Dan kenapa kau bisa tiba di sini?" Ouw Bong Hoe tanya.
Tan Hong angkat kepalanya, ia bersenanjung: "Sukar melupai
budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali sang cinta dan
peri kebenaran... Ah, apakah kaupun bukannya kurban sang cinta?"
"Eh, apa kau bilang?" Ouw Bong Hoe tanya.
"Jikalau kau bukannya kurban cinta, mengapa kau sia-siakan
soemoay-mu?"
Bong Hoe heran dan tertarik hatinya. Kata-kata orang tepat
menusuk hatinya.
"Siapa bilang aku mensia-siakan soemoay-ku itu?" tanyanya.
"Habis kenapa kau takut membicarakan urusan pernikahan
dengannya?" Tan Hong membaliki.
"Ha, kau tak tahu!" berkata Ouw Bong Hoe. "Kaum kami ada
punya ilmu silat yang sempurna, untuk itu kami lindungi kehormatan
kami supaya tetap kami menjadi seperti satu perjaka, sebab satu
kali kami menikah, kami tidak dapat pelajari ilmu kepandaian itu..."
Thio Tan Hong tertawa — tertawa besar. "Mana ada tjenglie
sebagai itu!" katanya. "Itulah hanya dapat terjadi jikalau kau
menuntut ilmu yang sesat, bukannya ilmu sejati. Mari, akan aku
bikin kau dapat membuka matamu."
Dari dalam sakunya, Tan Hong keluarkan kitabnya, kitab
Hiankong Yauwkoat.
"Akan aku pinjamkan kitabku ini kepadamu," ia berkata, "kau
yakini ini untuk dijadikan pokok dari ilmu silatmu, sehabis itu
baharulah kau meyakini ilmu silat Ittjie sian itu. Seandainya gurumu
melarang pula kau bicara urusan pernikahanmu, kau perlihatkan
kitab ini kepadanya, apabila tetap dia tidak memberikan ijinnya
untuk kamu menikah, nanti aku hajar padanya, aku akan robek juga
sepasang liari yang ia tulis dengan tangannya sendiri itu!"
Tak kepalang girangnya Ouw Bong Hoe. Memang sudah sejak
lama ia ingin dapatkan kitab yang luar biasa itu. Menampak lagak
Tan Hong yang seperti tak beres otaknya, ia kuatir orang nanti
menyesal. Maka lekas-lekas ia berkata: "Baik, baik! Terima kasih
banyak untuk kebaikanmn ini! Sekarang lekas kau kembali, kuatir
guruku mempergoki kita, nanti dia tegur kau."
Tan Hong tertawa besar, ia terus kembali ke kamar tulis. Ia
merasa sangat puas. Ia mencoba berpikir pula, ia menjadi lelah
karenanya, tanpa merasa, ia letakkan kepalanya di atas meja dan
tertidur. Tak tahu ia berapa lama ia sudah tidur, ia hanya terbangun
dengan tiba-tiba ketika kupingnya mendengar suara beradunya alat
senjata. Ia lantas saja lompat bangun, akan lari keluar kamar. Ia
tidak tampak satu pelayan jua. Ia lari ke kamar samedhi, ia segera
pentang pintunya. Di situ Ouw Bong Hoe pun tak ada. Maka ia
keluar dari rumah itu. Setibanya ia di luar, ia tampak di bawah
sebuah pohon besar tiga orang tengah bertempur, yaitu seorang
pria dan seorang wanita, masing-masing bersenjatakan pedang
panjang sedang mengerubuti Siangkoan Thian Ya. Iapun segera
kenali sepasang pria dan wanita itu, ialah Tjia Thian Hoa, gurunya,
serta Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng, gurunya In Loei. Dan di
samping mereka itu, berdiri menonton, tampak Ouw Bong Hoe serta
beberapa pelayan.
Tjia Thian Hoa dan Hoeithian Lionglie juga segera dapat lihat si
anak muda, yang muncul dari rumahnya Siangkoan Thian Ya,
mereka nampaknya heran.
-ooo00dw00ooo-

Bab XXVIII
Benar-benar hebat serangannya Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng
itu, pedang mereka menyambar-nyambar dengan sama
imbangannya, kedua pedang sebagai juga tergabung menjadi satu.
Tan Hong masih merasakan matanya seperti kabur, tidaklah
heran apabila Ouw Bong Hoe, apapula beberapa pelayan itu,
bagaikan tidak melihat tubuh orang, hanya bayangannya saja.
Mereka ini cuma bisa memandang dengan mata diam dan lidah
diletletkan...
Begitu hebat serangannya Thian Hoa berdua, akan tetapi
Siangkoan Thian Ya pun telah memperlihatkan kepandaiannya yang
sempurna sekali. Dia melayani dengan sepasang tangan tanpa
senjata, dia mempertunjukkan kelincahan tubuhnya serta
kesehatannya kedua belah tangannya itu. Dia tidak hanya berkelit,
diapun dapat membalas menyerang, yang setiap kali mengarah
bahagian-bahagian tubuh yang berbahaya dari kedua lawannya itu.
Nampaknya si hantu bagaikan terkurung pedang-pedang lawan,
akan tetapi Tan Hong dapat melihatnya dengan nyata bahwa si
hantu senantiasa dapat pecahkan serangan-serangan berbahaya
dari siangkiam happek, nampaknya gampang saja dia mengelakkan
diri, hingga terlihat tegas dia ada jauh terlebih liehay apabila
dibandingkan dengan si nyonya tua dari rimba bambu tjietiok
lim.
Menampak keadaan itu, Tan Hong kuatiri gurunya serta kawan
gurunya itu.
Di pihak lain, di dalam hatinya Siangkoan Thian Ya juga menjadi
heran sekali hingga sekarang ia menginsafi benar-benar keterangan
Tan Hong bukan omong kosong belaka perihal liehaynya ilmu
pedang siangkiam happek itu. Jadi benarlah, di dalam dunia ini, ada
semacam ilmu pedang yang liehay.
"Apabila aku belum mencapai puncaknya kesempurnaan, pasti
aku dengan lekas dapat dipecundangi," demikian dia berpikir di
dalam hatinya. "Jikalau muridnya saja sudah demikian hebat,
dapatlah diduga bagaimana liehaynya guru mereka..."
Siangkoan Thian Ya mau tidak mau, mengagumi juga Hian Kee
Itsoe.
Sementara itu, karena herannya mereka menampak Tan Hong
muncul dengan tiba-tiba dan munculnya juga dari rumahnya
Siangkoan Thian Ya, dengan sendirinya gerakannya Thian Hoa dan
Eng Eng menjadi kendor, ketika baik ini segera digunakan oleh
Thian Ya untuk mendesak, hingga mereka kena dipukul mundur
beberapa tindak. Tentu saja, dengan sendirinya mereka menjadi
bergelisah.
Setelah berhasil dengan desakannya itu, Siangkoan Thian Ya
tidak mendesak terlebih jauh, hanya sambil berpaling kepada Tan
Hong, yang ia tampak muncul, ia berseru: "Thio Tan Hong, kiranya
kau juga termasuk muridnya Hian Kee Itsoe! Baiklah, kau pun boleh
maju bersama!"
Sampai itu waktu, Tan Hong telah sadar dan ingat benar akan
janji gurunya untuk ia datang ke gunung ini, untuk bersama In Loei
membantui guru mereka menandingi hantu itu, akan tetapi ia toh
merasakan bagaimana manis budinya Siangkoan Thian Ya
terhadapnya hingga ia beranggapan si hantu bukanlah hantu yang
jahat. Malah ia menjadi berpikir: "Berhubung dengan dongengnya
Siangkoan Thian Ya ini, antara dia dan soetjouw-ku, siapakah yang
dapat disebut si kiamkek atau pendekar? Dia atau soetjouw-ku itu?"
Dengan menyekal pedangnya, Tan Hong diam mengawasi ketiga
orang itu.
Menampak demikian, Ouw Bong Hoe menghampirkan, ia tepuk
pundak orang.
"Eh, marilah kitapun bertempur satu dua gebrakan!" dia berkata.
"Ya, aku mengucap terima kasih kepadamu yang telah pinjamkan
aku kitabmu Hiankong Yauwkoat itu!"
Ouw Bong Hoe bukan menantang benar-benar, ia hanya
kuatirkan Tan Hong. Ia berkuatir anak muda ini masih belum
sempurna ilmu silatnya hingga tidak akan sanggup melayani
gurunya yang liehay itu, karena itulah, hendak ia menalangi
gurunya.
"Kita berdua tidak bermusuh, untuk apa kita bertempur?" Tan
Hong tolak tantangan orang itu. "Eh, ya, bagaimana asal usul
gurumu itu? Dia sebenarnya satu kiamkek atau satu penjahat?"
Ouw Bong Hoe melongo karena mendengar kata-kata orang
itu. Ia mau percaya, pada sejenak ini, si anak muda telah kumat
gangguan otaknya...
Tan Hong mengawasi, agaknya hendak ia menegaskan Bong
Hoe, tapi mendadak perhatiannya tertarik oleh suara beradunya
senjata, yang datang dari lain arah, ialah dari belakang bukit. Dari
mana tertampak dua pria dan seorang wanita tengah bertempur
sambil mendatangi ke arah mereka. Kedua pria itu terdesak oleh si
wanita yang tangan kirinya memegang gaetan kimkauw dan tangan
kanannya menyekal pedang. Setelah mereka itu mendatangi
semakin dekat, Tan Hong segera kenali kedua pria itu adalah Tiauw
Im Hweeshio yang kepalanya gundul dan Tjinsamkay Pit To Hoan
yang mukanya hitam legam.
Itu hari selagi Tiauw Im Hweeshio berada di luar kota
Ganboenkwan dengan menyangsikan Tjia Thian Hoa sudah berubah
pikiran dengan menyerah kepada musuh, saudara mana tak dapat ia
susul, hingga ia mesti jalan mundar mandir di tengah tegalan datar
rumput, secara kebetulan ia ketemu Pit To Hoan, maka bersama-
sama mereka lalu pergi ke gedungnya Thaysoe Yasian untuk
mengacau, sampai mereka dapat dicari Tang Gak, siapa telah
menjelaskan kepada adik seperguruan itu perihal sepak terjangnya
Thian Hoa. Pendeta ini percaya soeheng-nya, sang kakak
seperguruan, dapat dikasih mengerti, maka sejak itu, ia
mempercayai Thian Hoa. Ia menjadi menyesal atas keliru
mengertinya itu. Kemudian Tang Gak pisahkan diri dari mereka,
yang diminta pergi ke gunung Tangkula untuk menepati janji akan
menemui Siangkoan Thian Ya. Nyatalah mereka telah ketinggalan
oleh Thian Hoa. Selagi mendaki gunung, mereka bersomplokan
dengan Kimkauw Siantjoe Lim Sian In, muridnya si hantu, karena
kedua pihak berselisih omong, mereka jadi bertempur. Kimkauw
Siantjoe adalah murid terpandai dari Siangkoan Thian Ya,
kegagahannya sebanding dengan Tjia Thian Hoa atau Yap Eng Eng,
maka dalam pertempuran itu, walaupun Tiauw Im dibantui Pit To
Hoan, mereka tetap terdesak, sehingga mereka main mundur
dengan mendaki ke atas, ke arah rumahnya Siangkoan Thian Ya.
Dengan demikian mereka tiba di tempat pertempuran itu.
Siangkoan Thian Ya pun segera lihat rombongan itu, lantas saja
ia perdengarkan suaranya: "Apakah kamu murid-muridnya Hian Kee
Itsoe? Bagus! Mari maju kamu semua sama mengepung aku! Asal
kamu bisa lawan seri padaku maka akan aku biarkan Hian Kee si tua
bangka itu menjadi kepala dari kaum Rimba Persilatan!"
Selagi gurunya menantang demikian rupa, Lim Sian In telah
desak pula kedua lawannya itu, tiga kali beruntun ia menyambar
dengan gaetannya, disusul dengan dua kali tikaman pedangnya,
karena mana ia membikin Tiauw Im dan To Hoan menjadi
kewalahan melindungi diri mereka, hampir saja mereka rubuh
terguling sedang napas mereka memburu keras sekali.
Menampak demikian, Lim Sian In kata sambil tertawa: "Dua
orang ini tak usahlah soehoe yang berikan pengajaran! Sekarang
biarkan dahulu mereka beristirahat, sebentar akan aku suruh
mereka melayani kembali padaku!"
Tiauw Im dan To Hoan adalah bangsa berangasan, mereka jadi
sangat gusar, maka keduanya lantas lompat kepada Kimkauw
Siantjoe, untuk menyerang pula. Akan tetapi belum lagi mereka
sampai ke pada nona itu, Thio Tan Hong telah tiba dihadapan
mereka. Anak muda ini mengawasi dengan mendelong, romannya
sangat beda daripada biasanya, seorang diri dia berkata-kata: "Ini,
ini toh Djiesoepee... Ini, ini..."
"Hai, Thio Tan Hong!" Pit To Hoan memotong, "Kau kenapakah?
Apakah kau sudah tidak kenali kami? Aku toh Tjin..."
Sekonyong-konyong Tan Hong tepuk kepalanya!
"Ya, tidak salah!" ia berseru keras sekali, "kau benar Tjinsamkay
Pit To Hoan!"
Tiauw Im pun segera berkata: "Tan Hong, aku telah menginsafi
maksudnya gurumu, dulu hari kau telah berlaku tidak hormat
kepadaku, tentang itu aku tidak tarik panjang pula. Kenapa kau
tidak membantui gurumu itu?"
Tan Hong awasi paman guru yang kedua ini, ia tidak menyahuti.
Otaknya tengah berkutat, keras sekali ia berpikir, untuk mengingat-
ingat.
"Apakah yang dikandung guruku di dalam hatinya?..." demikian
berulangkah ia tanya dirinya. Samar-samar ia ingat yang gurunya itu
berdiam di ibu kota negara Watzu di dalam sebuah gedung besar di
mana pun ada sebuah taman bunga yang besar juga, di situlah
gurunya ajarkan ia ilmu silat pedang. Ingat akan hal ini, lantas ia
ingat tentang peperangan di antara kedua kerajaan Beng dan
negara Watzu itu. Ia lantas mengingat-ingat terus, sampai tiba-tiba
ia dibikin terperanjat oleh suara bentrok yang keras dari alat
senjata, hingga segera ia berpaling ke arah itu, ternyata suara itu
datangnya dari beradunya pedangnya Thian Hoa dengan pedang
Eng Eng karena tersampok tangan bajunya Thian Ya, hingga ilmu
silat siangkiam happek yang liehay dari kedua saudara seperguruan
itu menjadi kalut karenanya.
Menampak itu, Tiauw Im pun menjadi kaget sekali, hingga ia
berteriak: "Tan Hong, masih kau tidak lekas maju?" Dan, sambil
angkat tinggi tongkatnya, ia pun lompat. Akan tetapi ia segera
dirintangi Kimkauw Siantjoe yang sambar ia dengan tangan kiri dan
menikam dengan tangan kanan.
Masih Tan Hong tak sadar akan dirinya.
"Djiesoepee," dia tanya, "soetjouw kita itu penjahat atau
pendekar pedang?"
Tiauw Im menjadi sangat mendongkol hingga ia lompat
berjingkrak.
"Hai, Tan Hong, apakah kau sudah gila?" dia berteriak.
Tan Hong pegangi gagang pedangnya, yang ia usap-usap. Masih
ia terbenam dalam kesangsian.
Justeru itu dari sebuah tikungan terlihat lagi munculnya dua
orang. Menampak mereka itu, anak muda ini berdenyut jantungnya,
darahnya seperti bergolak.
Dua orang itu adalah satu nona yang sedang pepayang seorang
lelaki tua yang kakinya pincang, hingga sukar jalannya mereka itu.
Dan mereka itu adalah In Loei dan ayahnya!
Tan Hong merasakan ia seperti tengah bermimpi.
"Adik kecil! Adik kecil!" ia memanggil berulang-ulang, tanpa ia
merasa.
Air mukanya si nona menjadi berubah, air matanya lantas saja
mengembeng. Dia mengawasi kepada si anak muda akan tetapi
mulutnya tetap rapat, tak sepatah kata jua keluar dari mulutnya.
Ayah In Loei itu berjalan dengan bantuan tongkat dan gadisnya,
tindakannya dingkluk-dingkluk. Ia mendaki dengan susah payah,
akan tetapi kedua matanya bersinar tajam waktu mengawasi Tan
Hong. Pada kedua matanya itu nyata ada sinar dari kebencian yang
sangat, hingga Tan Hong, walaupun nyalinya besar, merasa bergidik
sendirinya.
Justeru itu terdengarlah suara nyaring dari Tiauw Im Hweeshio.
"Hai! Siapakah kau?" teriaknya. "Eh, bukankah kau soetee In
Teng? Eh, apakah kau belum mati?" Sehabis berseru, pendeta ini
lompat kepada orang pincang itu, ia menubruk dan memeluknya,
berbareng dengan mana, air mata mereka lantas saja bercucuran
deras.
In Loei berdiri mengawasi, ia juga tak dapat mencegah keluarnya
air matanya.
Tan Hong mengawasi nona itu, ketika mata mereka bentrok, si
nona lekas-lekas melengos.
Tiauw Im bertabiat keras akan tetapi besar kesayangannya
kepada adik seperguruannya. Sesudah berisak-isak sekian lama, ia
menghela napas.
"Baharu sepuluh tahun kita tidak bertemu, mengapa kau jadi
begini rupa?" katanya, suaranya menyatakan terharunya hatinya.
Pendeta ini ada terlebih tua beberapa tahun daripada In Teng
akan tetapi sekarang rambutnya soetee ini telah pada putih,
tubuhnyapun sangat loyo, hingga ia nampaknya jadi terlebih tua
daripada soeheng-nya itu.
Lalu, dengan tak putus-putusnya, Tiauw Im menanyakan soetee-
nya itu.
In Teng ketahui dari gadisnya bahwa di atas gunung Tangkula ini
bakal dilakukan pertempuran, untuk mana saudara-saudara
seperguruannya telah menjanjikan suatu pertemuan, walaupun ia
menduga pasti Tan Hong akan turut hadir juga tetapi karena keras
keinginannya untuk menemui saudara-saudara seperguruannya itu,
ia tidak hiraukan perjalanan yang sukar, ia minta sang anak bantu
padanya. Demikian mereka melakukan perjalanan selama belasan
hari, selama itu mereka sama-sama bertahan hati untuk tidak
menimbulkan atau membicarakan hal yang mengenai keluarga Thio.
Sejak hari pertama itu, In Teng sudah tahu yang gadisnya
menaruh hati terhadap Tan Hong, akan tetapi sejak hari itu, ia
mencoba mengawasi dirinya sendiri, tidak ia timbulkan pula urusan
mereka, tidak ia tegur puterinya. Akan tetapi sang puteri, In Loei,
dapat terka hatinya ayahnya itu, sebagaimana ia lihat dari
wajahnya, ia lantas merasa bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi
akan dapat berkumpul bersama si anak muda pujaannya itu. Ia
merasa hatinya bagaikan disayat-sayat. Ia merasa sakit untuk dua
hal, yaitu kesatu karena nasib ayahnya dan kedua, karena nasibnya
sendiri. Diam-diam ia sering menepas air mata sendiri.
Selagi kedua pemuda-pemudi itu bersusah hati masing-masing,
keduanya dibikin terkejut oleh suara beradunya senjata tajam,
ketika mereka menoleh mereka tampak kedua pedangnya Thian
Hoa dan Eng Eng kena disampok ujung bajunya si hantu. Inilah
untuk kedua kalinya Tan Hong menyaksikan pedang gurunya itu
dibikin tak berdaya oleh Siangkoan Thian Ya, yang ilmu silat
bertangan kosongnya benar-benar sangat liehay.
In Loei terkejut, karena berbareng ia pun dengar jeritannya
Tiauw Im Hweeshio, sedang gurunya, ia dapatkan, nampaknya
sangat gelisah. Ia menjadi nekat dengan tiba-tiba, ia lompat maju,
pedangnya dihunus — pedang Tjengbeng kiam.
"Lekas mundur!" berteriak Yap Eng Eng kepada muridnya itu.
Siangkoan Thian Ya lihat majunya si nona, ia hempaskan
tangannya.
"Nona kecil, kau juga hendak membantu meramaikan?" katanya.
Tidak keras hempasan itu, akan tetapi itu pun sudah cukup
membuat In Loei rasakan telapak tangannya sakit, sampai hampir
saja pedangnya terlepas dan terpental.
Justeru itu waktu, satu bayangan putih berkelebat masuk dalam
kalangan, lalu terlihat majunya Tan Hong.
Siangkoan Thian Ya lantas saja tertawa gelak-gelak.
"Kau juga maju?" dia menanya.
Tjia Thian Hoa membabat selagi si hantu menegur Tan Hong,
atas mana, hantu itu mengebut pula dengan ujung bajunya. Kalau
tadi Thian Ya menghempas In Loei dengan tangan kanan, sekarang
ia menggunakan tangan kirinya. Serangan si nona disusul cepat oleh
si pemuda, karenanya, ujung baju kanannya Thian Ya belum sempat
ditarik pulang anteronya, ia dipaksa harus menangkis pemuda itu.
"Breeet!" demikian terdengar, lantas ujung tangan baju si hantu
kena terbabat kutung pedangnya Tan Hong!
Maka terkejutlah hantu dari gunung Tangkula itu. Tapi ia sangat
tabah, segera ia mengebut pula, hingga ia membuatnya ke empat
pedang dua pasang lawannya itu bentrok pula satu pada lain.
"Sungguh sebuah pedang yang tajam!" ia berseru.
Tan Hong tidak pedulikan perkataan itu, seperti juga ia sudah
berjanji, berbareng sama In Loei, ia terus maju pula menyerang.
Dari terpencar pedang mereka berdua lantas tergabung pula. In
Loei gunakan tipu silat "Lioeseng kangoat" atau "Bintang mengejar
rembulan", dan Tan Hong dengan "Pekhong koandjit" "Bianglala
putih menutupi matahari". Kedua pedang itu mengarah masing-
masing muka dan dada si hantu, kedua sinarnya, hijau dan putih,
berkelebat bersilang.
Siangkoan Thian Ya mundur tiga tindak karena serangan
berbareng itu, tangan bajunya yang panjang turut digerakkan juga,
kemudian secara tiba-tiba, ia balas menyerang. Luar biasa sekali
cara menyerangnya itu.
Tan Hong tidak berani melayani, ia berkelit ke samping.
Thian Ya bergerak terus, kali ini untuk hindarkan serangannya
Thian Hoa dan Eng Eng, yang menggantikan murid mereka untuk
maju menyerang.
Pertempuran lantas berlangsung dengan dahsyat sekali.
Siangkoan Thian Ya dikepung empat lawan, yang masing-masing
mainkan pedang-pedang tergabung. Pedang ada empat buah tetapi
nampaknya seperti sepasang, atau setiap saat seperti berada di
depan, di belakang, di kiri dan di kanan. Atau di lain saat lagi, ke
empat pedang, seperti terpecah menjadi berlipat banyaknya, hingga
si hantu jadi kena dikurung.
Sekarang terlihat tegas kepandaiannya orang she Siangkoan ini.
Walau ia dikurung musuh-musuh tangguh, dapat ia melawannya
dengan baik, dapat ia gunai ketika untuk membalas menyerang.
Gesit luar biasa, ia berkelebatan di antara sambaran-sambaran
pedang.
Tiauw Im menjadi lupa mementang mulutnya, dengan pegangi In
Teng, ia berdiri diam mengawasi pertempuran itu.
Juga Lim Sian In dan Ouw Bong Hoe berdiri menonton dengan
mata mereka dibuka lebar-lebar dan mulut menganga, tanpa
merasa keduanya telah saling senderkan tubuh mereka...
Dalam saat-saat sangat dahsyat itu, Ouw Bong Hoe seperti
tersadar ketika ia dengar satu suara, apabila ia berpaling dengan
segera, ia lihat satu orang tua berumur kira-kira lima puluh tahun,
berlari-lari mendatangi. Orang itu dandan sebagai petani, kedua
tangannya memegang serupa barang. Ketika ia sudah lihat tegas
orang itu, ia terkejut. Ia kenali Kimkong Tjioe Tang Gak, murid
kepala dari Hian Kee Itsoe. Ia belum dapat melihat tegas barang
apa yang dibawa Tang Gak itu, ia hanya menyangka orang tua itu
hendak membantui saudara-saudara seperguruannya. Ia menjadi
berkuatir untuk gurunya, maka juga tanpa berpikir lagi, ia lompat
untuk menghalau, sambil gerakkan juga tangannya dengan totokan
Ittjie sian.
"Jangan kurang ajar!" membentak Tang Gak sambil menangkis.
Lim Sian In bergerak juga, untuk menarik saudara
seperguruannya itu, akan tetapi ia terlambat, tangannya Ouw Bong
Hoe telah bentrok tangannya Tang Gak, dengan kesudahan Bong
Hoe lantas saja terpental jatuh jauhnya setombak lebih.
Tang Gak berlari-lari terus, setibanya di tempat pertempuran, ia
terus tekuk separuh dari kedua lututnya, kedua tangannya diangkat
naik bersama barang yang ia bawa itu. Ia pun segera berkata:
"Guruku menitahkan teetjoe menanyakan kesehatan loojianpwee."
Nyata Kimkong Tjioe ada membawa karcis nama dari Hian Kee
Itsoe. Ia telah bertindak menuruti aturan kaum kangouw, ia
membuat kunjungan kehormatan terhadap orang yang terlebih
tinggi tingkatnya. Menurut aturan, Ouw Bong Hoe tidak boleh
merintangi, malah Siangkoan Thian Ya harus menyambutnya
sendiri. Akan tetapi waktu itu ia justeru dikurung empat lawannya...
Sekonyong-konyong terdengar si hantu tertawa gelak-gelak.
"Tak usah menggunakan banyak adat peradatan!" katanya
nyaring. Lalu dengan tiba-tiba ia mengibaskan kedua tangan
bajunya, menyusul mana, jari-jari tangannya menunjuk ke arah
lawan-lawannya.
Mendapatkan kibasan itu, dengan sendirinya Thian Hoa berempat
segera lompat mundur.
Siangkoan Thian Ya tidak hentikan gerakannya, tetapi ia bukan
maju terus akan serang ke empat lawannya itu, ia hanya berlompat
ke arah Tang Gak, untuk dengan kedua tangannya menyambuti
karcis nama Hian Kee Itsoe. Gerakannya itu sangat cepat, bagaikan
ular naga menyambar menyedot air!
Tang Gak terperanjat, tetapi ia tidak bilang suatu apa, ia hanya
berlompat bangun, untuk terus berdiri di pinggiran.
Di waktu itulah Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In, dengan
berbareng telah perdengarkan jeritan yang mengerikan. Inilah
disebahkan Tan Hong telah lompat maju dengan serangannya
kepada Siangkoan Thian Ya, ujung pedangnya mengarah pundaknya
hantu itu.
Thio Tan Hong telah pahami kitab Hiankong Yauwkoat, ia telah
peroleh hasilnya. Kitab itu berisikan penuntun atau pengajaran
untuk si peyakin awas matanya, tajam otaknya, kuat ingatannya,
demikianlah Tan Hong, dengan menyaksikan saja latihan orang lain,
tanpa belajar pula dia telah dapat menyangkok kepandaian orang
lain itu.
Sekian lama Tan Hong sudah saksikan Siangkoan Thian Ya
bertempur, ia lihat tegas gerak-gerakannya untuk menghalau
pelbagai serangan siangkiam happek dari Thian Hoa dan Eng Eng,
dengan sendirinya ia menginsafi ilmu silatnya si hantu itu, maka
begitu ia turut maju bersama In Loei, ia dapat membuktikan sendiri
liehaynya lawan. Mula-mula ia masih gunakan tipu-tipu dari
siangkiam happek, untuk bersama si nona membantui guru mereka
mendesak jago tua itu. Sayang baginya, lebih-lebih lagi In Loei,
mereka masih kalah dalam hal latihan ilmu dalam, karena mana, ia
tidak bisa mendesak dengan sungguh-sungguh terhadap lawannya
yang tangguh itu, jikalau tidak, mungkin ia dapat membuatnya
Siangkoan Thian Ya terperanjat.
Siangkoan Thian Ya seorang yang besar nyalinya, dia pun biasa
"suka menang sendiri," demikian di waktu menyambuti karcis nama
Hian Kee Itsoe, ia telah pertontonkan ketangkasannya hingga ia
membuatnya Tang Gak kagum. Walaupun demikian, di matanya Tan
Hong, ia telah tinggalkan sebuah lowongan, karena mana, begitu
dia mundur, Tan Hong terus lompat maju pula, untuk menyerang ke
arah jalan darah kintjeng hiat di pundak kiri. Pedangnya itu pun
segera disusul secara wajar oleh pedangnya In Loei, dan ujung
pedang si nona menuju kepada jalan darah serupa di pundak kanan.
Jalan darah kintjeng hiat itu adalah suatu jalan darah yang
sangat berbahaya, siapa terluka pada bahagian itu, bisa rusak juga
tulang piepee yang menyambung dengannya, dan itu artinya, akan
habislah tenaga dilengannya dan kepandaian ilmu silatnya.
Tjia Thian Hoa menjadi sangat girang menampak serangan murid
itu, berbareng bersama Yap Eng Eng, iapun maju, untuk bantu
menyerang juga. Begitu memang jalannya siangkiam happek, yang
bergerak saling susul atau sewaktu-waktu bergerak berbareng.
Di saat ujung pedangnya akan mengenai sasarannya, dan Tan
Hong hendak mengucapkan maaf, akan tetapi belum sempat ia
membuka mulutnya, ia sudah lantas dibikin terkejut oleh
sambutannya Siangkoan Thian Ya. Pundaknya jago tua ini turun
dengan mendadak, pedang Tan Hong seperti tertarik, lalu seperti
terbetot dan menempel, hingga tidak dapat lantas ditarik pulang.
Juga ujung pedang di waktu mengenai pundak rasanya seperti
menikam kapas.
Kejadian serupa dialami juga oleh In Loei. Thian Hoa dan Eng
Eng tidak insyaf bahwa murid-muridnya tengah terancam bahaya,
mereka menyerang terus. Mereka memang ada terlebih liehay ilmu
dalamnya dibanding dengan murid-murid mereka itu.
Dengan tiba-tiba Siangkoan Thian Ya berseru: "Bagus!" terus
kedua tangannya mengibas, ujung bajunya pun mengebut, dengan
begitu kedua pedang Thian Hoa dan Eng Eng telah kena tersambar
seperti tergulung, terbawa ke kiri dan kanan, hingga gagallah
serangan mereka itu.
Saat-saat yang hebat berpeta di depan mata. Kedua pihak telah
menghadapi ancaman bencana masing-masing. Ke empat pedang
seperti berdiam, juga si hantu diam tak bergerak. Kedua pihak
sama-sama mengempos semangat masing-masing, yang satu
mempertahankan kekangannya atas ke empat pedang, yang lain
berdaya untuk membetotnya, untuk meneruskan menikam...
Siangkoan Thian Ya liehay tetapi sekarang ia merasakan berat
usahanya akan terus mempengaruhi senjata-senjata lawan-
lawannya itu, yang ia niat rampas, atau sedikitnya membuat
terlepas dan terlempar.
Di lain pihak, Ouw Bong Hoe dan Lim Sian In berdiri tercengang,
mereka bergelisah di dalam hati. Tentu sekali mereka tidak berani
maju, untuk memisahkan kedua pihak itu, untuk mana kepandaian
mereka belum cukup...
Dalam saat tegang itu, tiba-tiba terlihat Siangkoan Thian Ya
mundur satu tindak, pundak kanannya diturunkan sedikit.
Tubuh In Loei bergemetar, begitupun pedangnya.
Dalam keadaan seperti itu, Thian Hoa dan Eng Eng mencoba
akan mendesakkan pedang mereka, wajah mereka sendiri nampak
sangat tegang, menandakan mereka telah memusatkan tenaganya.
In Teng telah saksikan itu, hatinya goncang. Ia sangat berkuatir
untuk gadisnya. Ia telah lihat ancaman bahaya yang hebat.
Syukur ketegangan itu tidak, berjalan lama. Sekonyong-konyong
terdengar satu suara tertawa yang wajar tetapi nyaring, di antara
mereka tahu-tahu telah muncul satu orang tua!
Orang tua ini beroman bersih, alis dan kumisnya telah putih
semua, kulit mukanya bersemu dadu dan segar, mirip dengan
kesegarannya satu bayi, sedang sikapnya alim tetapi berpengaruh.
Kedatangannya orang tua ini telah membikin Tiauw Im bersama In
Teng menjadi girang tak kepalang.
"Soehoe." teriak mereka dalam kegirangannya yang meluap-luap.
Nyatalah orang tua itu Hian Kee Itsoe adanya! Orang tua ini
bertindak dengan sabar ke arah kalangan pertempuran, sembari
bertindak ia tertawa bergelak-gelak.
"Hai, sahabat tua bangka!" serunya. "Kau bergusar terhadap
bocah-bocah, apakah artinya itu?"
Ia tidak hanya bergurau, selagi datang mendekati iapun
menggerak-gerakkan kebutan di tangannya, menyambar kepada ke
empat pedang dari murid-murid dan cucu-muridnya, atas mana
terdengarlah suara nyaring dari semua pedang itu, yang menjadi
mental sendirinya.
"Terhadap orang yang terlebih tua tak dapat kamu berlaku
kurang hormat! Lekas mundur!"
Semua ke lima orang itu melepaskan napas lega, lebih-lebih In
Loei. Nona ini paling rendah tenaga dalamnya, ia sudah hampir tak
dapat pertahankan diri, syukur baginya, Thian Hoa dan Eng Eng
turut maju, ia jadi masih bisa mencoba bertahan terus.
Di lihat keseluruhannya, pihak Thian Hoa menang sedikit di atas
angin, tetapi karena ketangguannya Siangkoan Thian Ya, mereka
tidak mampu berbuat lebih banyak daripada mempertahankan diri
saja.
Si hantu menghela napas, terus ia berkata: "Ah! Setelah lewat
tiga puluh tahun, kita bertemu pula, nyata kau telah sempurnakan
dirimu! Kau telah mempunyai murid-murid yang berbakat ini. Kini
aku insyaf, sahabatku, mulai saat ini aku tak ingin pula memperebuti
kedudukan ketua Rimba Persilatan denganmu!..."
Hian Kee Itsoe tertawa pula.
"Laohia, tak usah kau terlalu merendahkan diri," ia berkata.
"Bicara sebenarnya akulah yang mesti mengalah!"
Hian Kee Itsoe telah berdaya keras akan menciptakan ilmu
silatnya ini, siangkiam happek, atau lebih benar Goangoan
Kiamhoat, ia percaya pasti bahwa ia bakal menjagoi di kolong langit
ini, akan tetapi di luar sangkaannya, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng
Eng berdua masih belum sanggup tunduki jago tua itu, si hantu dari
Tangkula, baharulah setelah mereka dibantu Tan Hong dan In Loei,
pertandingan menyampaikan tingkat seimbang. Karena itu, dengan
sejujurnya, ia mesti kagumi si hantu itu, sebagaimana si hantu pun
mengagumi padanya.
Begitulah kedua pihak saling menyayangi, saling menghormati,
keduanya saling memuji, saling merendah, tetapi selagi mereka
berbicara, tiba-tiba mereka semua dengar satu seruan yang nyaring
tapi halus, yang seperti mendengung di tengah udara, menyusul
mana, di antara mereka segera tambah satu orang lain lagi!
Tan Hong adalah orang yang melihat paling dulu dan segera ia
kenali si nyonya tua dari hutan bambu tjietiok lim!
Wajahnya Siangkoan Thian Ya lantas saja menjadi berubah, dari
mulutnya pun terdengar suara sangat perlahan:
"Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai kau — Kecuali
sang cinta dan peri kebenaran..."
Sekonyong-konyong Tan Hong majukan pertanyaan: Di antara
kamu siapa sebenarnya yang disebut kiamkek dan si penjahat?"
Mendengar itu, Thian Hoa terkejut.
"Tan Hong ada satu anak baik, kenapa dihadapan kedua
iootjianpwee ini ia berlaku begini tidak tahu aturan?" tanya ia dalam
hatinya. Ia pun heran akan menyaksikan roman orang beda
daripada biasanya itu.
Siangkoan Thian Ya tertawa, ia lantas berkata bagaikan
menjawab Tan Hong. Ia kata: "Tjhuang Tze di siang hari
bermimpikan kupu-kupu dan mimpi yang pendek paling gampang
sadarnya, maka itu untuk apa kau menanyakannya lagi siapa si
kiamkek dan siapa si penjahat? Hari ini si kiamkek dan si penjahat,
apabila mereka tidak bertempur, tidak nanti mereka kenal satu pada
lain, maka di sini terimalah hormatku!"
Dengan tiba-tiba ia menjura terhadap Hian Kee Itsoe, sebelah
tangannya dimajukan dengan jari-jari tangannya dikerahkan
tenaganya, dalam ilmu silatnya Ittjie sian yang paling liehay!
Siangkoan Thian Ya telah tersadar akan tetapi tetap ia masih
mempunyai tabiat yang suka menang sendiri itu, walaupun ia sudah
menyerah kalah tapi sekarang, melihat datangnya secara tiba-tiba
nona kekasihnya dari tiga puluh tahun yang lampau, nona mana
justeru mengawasi Hian Kee Itsoe dengan wajahnya bersenyum
bukannya bersenyum, kumatlah cemburuannya, maka lagi satu kali
hendak ia mencoba saingannya itu!
Hian Kee Itsoe bersenyum, ia rangkap kedua tangannya untuk
membalas hormat sambil menjura, kedua tangan itu dimajukan ke
depan. Atas itu terlihatlah ujung bajunya si hantu bergerak
bagaikan ditiup angin. Lantas saja tubuh gurunya Thian Hoa itu
bergoyang dua kali, segera ia memberi hormat pula dengan dua
tangannya terangkap sambil berkata: "Laohia, ilmu silatmu adalah
yang nomor satu di kolong langit ini, aku rela menyerah kalah!"
Lalu sehabisnya berkata itu, ia putar tubuhnya, untuk bertindak
turun gunung.
Semua orang tidak melihat suatu apa kecuali si nyonya tua dan
Siangkoan Thian Ya yang mengerti sendiri. Perbuatannya Hian Kee
Itsoe itu adalah perbuatan suka mengalah. Si hantu sudah
menyerang terlebih dahulu akan tetapi dengan gampang
serangannya itu telah dipunahkan Hian Kee Itsoe, yang gunakan
tenaganya berbareng dia rangkap kedua tangannya, agaknya Hian
Kee memberi hormat tapi sebetulnya dia menangkis, hingga ujung
bajunya Thian Ya bergoyang. Bahwa tubuh Hian Kee pun goyang
sedikit, sebagai juga dia kalah tenaga, itulah melainkan disengaja.
Hian Kee Itsoe hendak berlalu, baharu ia bertindak, atau si
nyonya tua telah berlompat kepadanya, dengan tongkat bambunya
nyonya itu gaet ujung bajunya untuk ditarik. Mau atau tidak, kakek
gurunya In Loei ini menoleh sambil menyeringai.
"Aku sudah menyerah kalah, kau masih tahan aku, hendak
apakah kau?" dia tanya.
Si nyonya tidak menyahuti, yang menjawab adalah Siangkoan
Thian Ya, yang berkata: "Hian Kee si orang tua, tidak dapat aku
terima budi kebaikanmu ini! Yang seharusnya angkat kaki adalah
aku! Kaulah yang mesti berdiam di sini, semoga kau nanti dengan
baik-baik melayani dia!"
Dengan "dia," hantu ini maksudkan si nyonya tua. Setelah itu, ia
pun hendak berlalu.
Si nyonya tua sudah lantas menggape, hingga Thian Ya
merandek.
"Dua-dua kamu tidak usah pergi!" berkata dia sambil tertawa.
"Bicara tentang ilmu silat, kamu keduanya adalah yang nomor satu
di kolong langit ini, dari itu tak usah kamu saling berebutan lagi,
juga tak usah kamu saling mengalah!"
Nyonya tua ini mengatakan secara tidak berat sebelah. Ia telah
lihat tadi Thian Ya terjatuh di bawah angin daripada Hian Kee, akan
tetapi ia berkesimpulan karena sebelumnya si hantu telah melayani
Thian Hoa dan Eng Eng dan kemudian terkepung Tan Hong dan In
Loei, karena mana, mau atau tidak, tenaganya tentu berkurang
banyak. Bila tidak demikian, masih belum dapat dipastikan, dia
dengan Ittjie sian-nya yang menang atau Hian Kee Itsoe dengan
Kimkong tjioe-nya.
Hian Kee Itsoe mengkerutkan keningnya.
"Jikalau bukannya kau yang menghendaki kami bertanding,
siapakah yang kesudian membangkitkan keruwetan ini?..." katanya
di dalam hatinya.
Siangkoan Thian Ya pun nampaknya masgul.
Si nyonya tua sudah lantas berkata pula, tetapi lebih dahulu ia
menghela napas.
"Sepejaman mata saja, tiga puluh tahun telah berlalu..."
demikian katanya, "dan kita bertiga telah menjadi tua...
Kerunyaman di masa kita masih muda, apabila itu dipikirkan
sekarang, sungguh sangat lucu agaknya! Berapa tinggikah usianya
manusia? Maka kalau kita merunyamkannya pula, pasti kita akan
ditertawai orang-orang jaman belakangan. Maka segala kerunyaman
kala muda itu, yang tadinya tak dapat dibereskan, sesudah tua
sekarang, harus dibereskannya! Engko Hian Kee, adik Siangkoan,
marilah sejak saat ini, kita bertiga jangan berpisahan pula, mari kita
sama-sama meyakini ilmu yang terlebih tinggi, supaya dapat kita
mewariskan sedikit kepada anak-anak muda! Tidakkah itu bagus?"
Hian Kee tergerak hatinya mendengar kata-kata itu, yang
dikeluarkan dengan sesungguh hati, maka juga kesannya yang
buruk selama tiga puluh tahun terhadap nyonya itu, sekarang dapat
ia lenyapkan dalam tempo yang pendek sekali.
Juga hatinya, Siangkoan Thian Ya menjadi lemah mendengar
orang memanggil mereka engko dan adik, ia mendengar itu sebagai
juga suaranya Siauw Oen Lan pada tiga puluh tahun yang lampau,
di saat orang masih menjadi nona remaja yang cantik manis. Ia pun
menjadi berpikir: "Benarlah apa yang dikatakannya, dia nyata ada
terlebih insyaf daripada aku. Ganjalan semasa muda itu sudah
selayaknya sekarang dibikin habis..."
Sekarang, sesudah mereka semua berusia tinggi, di antara
mereka tidak ada lagi soal pernikahan, lebih pula soal cinta, maka
sungguh tepat jikalau mereka berkumpul bersama, akan hidup
tenang sambil memperdalam terus ilmu silat mereka, untuk menjadi
sahabat-sahabat atau saudara angkat.
Kenapa si nyonya tua, Siauw Oen Lan, dapat mengucap
demikian? Itulah kesadarannya, hasilnya bersamedhi selama tiga
puluh tahun di dalam hutan bambu. Selama itu, sangat sukar untuk
ia mengatasi dirinya. Terhadap Hian Kee Itsoe ia penasaran dan
membenci, terhadap Siangkoan Thian Ya ia putus harapan. Lama ia
berpikir, hatinya panas dan dingin bergantian. Ia mencoba berlaku
tenang dan sabar, ia mencoba memikir dengan kesadaran,
menimbang-nimbang keruwetannya sendiri disebabkan cintanya
terhadap Hian Kee dan Thian Ya. Di akhirnya ia merasa, bukankah
semua itu kosong belaka? Ketika akan tiba saatnya perjanjian
pertemuan tiga puluh tahun, ia menjadi sangat menyesal. Bukankah
karena urusannya maka kedua jago jadi bentrok, dengan menunggu
tiga puluh tahun untuk mengambil keputusan? Maka itu, cepat-
cepat ia berangkat ke gunung Tangkula, untuk datang sama tengah,
untuk mengakuri satu pada lain. Demikian ia muncul di saat yang
tepat.
Siangkoan Thian Ya masih diam berpikir, ketika Lim Sian In,
muridnya yang perempuan, menghampiri padanya.
"Soehoe, tolong tengok Ouw Soeheng..." berkata murid ini.
Thian Ya segera berpaling kepada muridnya itu. Ia dapatkan Ouw
Bong Hoe sedang duduk numprah di tanah, dari kepalanya
menghembus uap putih, yang seperti mengepul-ngepul. Ia lantas
menjadi kaget.
"Ia terkena Kimkong tjioe!..." katanya terkejut.
Mendengar itu, Tang Gak lompat kepada gurunya, romannya
gelisah.
"Selagi teetjoe menghaturkan karcis nama kepada iootjianpwee,
dengan tidak disengaja teetjoe kena lukai dia," ia akui. "Sekarang
teetjoe bersedia untuk tolong padanya dengan emposan
semangatku."
Hian Kee pun telah awasi Ouw Bong Hoe, mendengar perkataan
muridnya, ia menggeleng-geleng kepala.
"Siangkoan Laohia," kemudian katanya kepada Thian Ya, "kali ini
benar-benar aku takluk kepadamu! Sungguh aku tidak sangka
muridmu itu mempunyai ilmu dalam yang demikian sempurna, kalau
dibanding dengan aku, ternyata apa yang sebegitu jauh telah aku
yakini adalah ilmu sesat!"
Kata-kata ini membuat heran murid-murid kedua pihak. Kenapa
Hian Kee mengucap demikian?
Siangkoan Thian ya menyeringai. "Jikalau kepandaianmu itu
dikatakan ilmu sesat, lebih-lebih lagi kepandaianku!" ia berkata.
Lantas ia bertindak kepada Ouw Bong Hoe, untuk raba nadinya dan
meneliti wajahnya. Ia segera perlihatkan roman keheranan yang
bertambah-tambah.
Pukulan Kimkong tjioe sangat liehay, Ouw Bong Hoe telah
terkena pukulan itu, dengan mengimbangi latihannya, ia terluka
sedikitnya mesti sampai tujuh hari baharulah ia dapat sembuh, akan
tetapi waktu gurunya periksa padanya, guru ini dapatkan nadinya
jalan seperti biasa, jalan darahnya pun tidak terganggu. Dengan
begitu, dengan mengempos semangatnya sendiri, segera juga Bong
Hoe akan sembuh dan pulih kesehatannya seperti biasa. Namun apa
yang membikin guru ini menjadi lebih heran pula, ialah ia dapat
kenyataan caranya sang murid bernapas bukanlah menurut cara
pengajarannya, sedang tenaga dalamnya sang murid tidaklah
bertambah banyak. Maka adalah aneh, setelah tergempur Kimkong
tjioe, Ouw Bong Hoe dapat menolong dirinya sendiri dengan masih
tetap numprah untuk memusatkan tenaganya sendiri.
Bahna herannya untuk sesaat Siangkoan Thian Ya berdiri
bengong, kemudian dengan tiba-tiba ia tepuk punggung muridnya
sambil menyerukan: "Bangun!"
Menuruti seruan itu, Ouw Bong Hoe lantas lompat bangun, ia
telah sembuh dari lukanya, kesehatannya pun pulih seperti biasa.
"Kau dapat petunjuk dari orang berilmu siapa?" Siangkoan Thian
ya tanya muridnya setelah murid itu menghaturkan terima kasih
kepadanya. "Jikalau kau benar telah dapatkan satu guru lain, maka
tak usahlah kau belajar terlebih jauh padaku!" Bong Hoe menjadi
ketakutan.
"Maaf, soehoe, maaf..." berkata ia. "Dengan sebenarnya teetjoe
tolong diri dengan ilmu kepandaiannya lain kaum tetapi sama sekali
bukannya teetjoe telah menuntut pelajaran kepada lain guru..."
Guru itu tertawa dingin.
"Tanpa orang beri petunjuk padamu, apa itu artinya kau
dapatkan kepandaianmu sendiri?" dia tanya, bengis.
Bong Hoe masih saja ketakutan, akan tetapi belum lagi ia
memberikan penyahutan, Tan Hong sudah majukan diri di antara
mereka, tapi pemuda ini terlebih dahulu memberi hormat sambil
menjura kepada kakek gurunya.
"Murid siapakah pemuda ini?" bertanya orang tua itu.
"Dialah Thio Tan Hong, murid teetjoe," Thian Hoa memberikan
jawaban.
Hian Kee tertawa bergelak.
"Muridmu nyata ada jauh terlebih liehay daripada muridku!"
berkata dia. "Di belakang hari, dalam kemajuannya, bukan saja dia
bakal melampaui kamu semua, bahkan aku sendiripun..."
Thian Hoa heran berbareng girang.
"Ah, soehoe terlalu memuji padanya!" ia bilang.
Tan Hong tidak pedulikan pembicaraan antara kakek guru dan
gurunya itu, setelah memberi hormat pada sang kakek guru, ia maju
buat memberi hormat kepada Siangkoan Thian Ya.
"Aku tahu siapa yang telah memberi petunjuk kepada dia," ia
kata sambil tunjuk Bong Hoe.
Si hantu heran, ia mengawasi muka orang.
"Siapakah?" ia tanya.
"Pemberi petunjuk itu adalah seorang yang telah hidup lebih
daripada seratus tahun yang lalu," menyahut Tan Hong.
"Ngaco belo!" bentak Thian Ya. Ia heran dan tak
mempercayainya. Ia lantas berpaling kepada Hian Kee Itsoe, untuk
mengatakannya: "Cucu muridmu ini telah berdiam lamanya tujuh
hari di dalam kamar batuku, telah aku periksa padanya, aku dapat
kenyataan dia terganggu urat syarafnya disebabkan gangguan pada
hatinya. Dia masih belum sadar betul, dari itu perlulah kau rawat dia
baik-baik."
Mendengar itu, Thio Tan Hong tertawa berkakakan.
"Siapa bilang urat syarafku terganggu dan aku tak sadar benar?"
bertanya dia. "Sebaliknya aku tahu benar, justeru kaulah yang
terganggu asmara! Dan pada tiga puluh tahun dulu, kaulah satu
penjahat! Kau repoti dirimu dengan asmara, kau sebaliknya tidak
pedulikan mati atau hidupnya murid-muridmu, malah kau terang-
terangan hendak pisahkan mereka itu hidup-hidup! Aku tidak puas
terhadap sepak terjangmu itu maka aku telah minta almarhum
orang tua itu beri petunjuk ilmu kepada muridmu ini!"
Kata-kata ini membuat heran semua orang, lebih-lebih orang
tidak mengerti kenapa Tan Hong berani bersikap demikian kurang
ajar terhadap Siangkoan Thian Ya.
Hian Kee heran akan tetapi ia diam saja, otaknya tengah bekerja.
Beda daripada yang lain-lain, kakek guru itu tidak pandang
perkataannya cucu muridnya itu sebagai ocehan belaka.
Siangkoan Thian ya pun heran sekali, ia terkejut, tetapi ia tidak
menjadi gusar, malah sebaliknya, ia ingat suatu hal.
"Bong Hoe!" ia segera tanya muridnya, "benarkah apa yang dia
katakan ini?"
"Sedikit pun tidak salah," menyahut murid itu. Sekarang tidak lagi
ia takut seperti tadi. Ia malah rogo sakunya, akan keluarkan
kitabnya Tan Hong yang dipinjamkan kepadanya, ia serahkan itu
kepada gurunya.
Si hantu menyambuti kitab yang kecil itu, segera ia lihat judulnya
ialah "Hiankong Yauwkoat". Di bawah itu juga ada huruf-huruf yang
menandakan nama penulisnya, bunyinya: "Dikarang oleh Pheng Eng
Giok". Tentu saja, menampak itu, ia menjadi melengak.
Tan Hong tertawa bergelak-gelak.
"Kau lihat, aku dustakan kau atau tidak?" anak muda ini tanya. Ia
bicara seperti terhadap sesamanya. "Bukankah penulis itu seorang
tua almarhum dari seratus tahun yang lampau, yang pernah
menjadi gurunya dua kaisar? Kau buka kitab itu dan periksa sendiri!
Apakah kau masih hendak berkukuh bahwa orang mesti bertubuh
perjaka tulen untuk dapat mempelajari ilmu silatmu yang kau
namakan Ittjie sian itu?"
Siangkoan Thian Ya sudah lantas periksa kitab tersebut, walau ia
melihatnya sepintas lalu, ia menjadi terperanjat tak kepalang.
"Hai, kiranya kitab warisannya Pheng Hoosiang berada di dalam
tanganmu!" dia berseru. "Jadi kaulah yang pinjamkan kitab
kepadanya?" dia menegaskan, sambil tunjuk muridnya.
Tan Hong tertawa pula. Ia tidak jawab si hantu, hanya kemudian,
ia mengoceh sendirian: "Semoga air sorga, dapat menyiram
pelbagai pasangan. Semua siapa saling menyinta, sudah selayaknya
dapat berumah tangga..."
Hatinya Siangkoan Thian Ya tergerak dengan kata-kata itu,
sehingga ia menjadi bimbang. Iapun menginsafi artinya kitabnya
Pheng Hoosiang itu. Ia juga tergerak hati untuk ketulusan dan
kedermawanan Tan Hong. Untuk kebahagiaannya Ouw Bong Hoe
dan Lim Sian In, bukankah pemuda itu berani berkurban
meminjamkan kitabnya itu, suatu kitab istimewa?
Nyata si hantu pandai berpikir, ia cerdas dan sadar. Sejenak itu ia
lantas tertawa bergelak-gelak.
"Saudara kecil, sungguh kau hebat!" serunya. Ia tertawa pula
seraya pegangi tangannya si anak muda.
"Kakak Siangkoan!" berkata Hian Kee, yang pun tertawa, "kau
nyata masih sama seperti tiga puluh tahun yang lampau!"
Si hantu tidak jawab sahabat atau saingan itu, sambil lepaskan
tangannya Tan Hong ia berpaling kepada Ouw Bong Hoe dan Lim
Sian In.
"Kamu adalah muridku yang baik, selama belasan tahun telah
aku menghalangi jodohmu," katanya. "Sekarang aku hapuskan
peraturanku yang melarang pernikahan kamu berdua, dan rumah
batu ini juga aku hadiahkan kepada kamu." Kedua murid itu girang
bukan main, dengan lantas mereka berlutut di depan guru itu untuk
haturkan terima kasihnya.
"Sepantasnya kamu menghaturkan terima kasih terhadapnya!"
berkata si hantu sambil tertawa dan menunjuk Tan Hong.
Dalam kegirangannya yang berlimpah-limpah itu, Ouw Bong Hoe
tidak pikir lagi tentang usia atau tingkat tinggi atau rendah, segera
ia memberi hormat pada si pemuda she Thio untuk haturkan terima
kasihnya. Iapun lantas kembalikan kitab "Hiankong Yauwkoat."
Bong Hoe kalah cerdas dari Tan Hong akan tetapi, selama
beberapa hari ia membaca kitab itu, telah dapat ia ambil sarinya,
maka itu kitab sudah tak perlu lagi baginya.
Senang Siangkoan Thian Ya menyaksikan segala apa
dihadapannya itu, kembali ia tertawa sendirinya.
"Seumurku pernah aku melakukan pertempuran besar dan kecil
tak kurang daripada beberapa ratus kali," katanya kemudian, "akan
tetapi pertempuran hari ini adalah yang paling memuaskan!
Memang tidak berhasil aku merebut nama sebagai kepala kaum
Rimba Persilatan akan tetapi sekarang, budi dan permusuhan, telah
dapat dijelaskan dan dilenyapkan! Kakak Hian Kee, sekarang telah
tiba waktunya untuk kita pergi!" demikian ia mengajak. Akan tetapi,
terus ia menoleh kepada Bong Hoe, sambil mengatakannya: "Lihat,
kakak seperguruanmu telah datang dan datangnya di saat yang
tepat ini!"
Memang itu waktu tertampak Tantai Mie Ming tengah mendaki
gunung, mendatangi ke arah mereka. Ia heran akan menyaksikan
Hian Kee Itsoe dan gurunya berdiri berdampingan selaku dua
sahabat, bukannya sebagai musuh satu pada lain. Memang ia
datang membawa pesan dari Thio Tjong Tjioe, yang telah minta
bantuannya untuk menemui Siangkoan Thian Ya, untuk mencegah si
hantu nanti celakai Tan Hong. Sekarang ia menampak demikian,
hatinya lantas menjadi lega sekali. Ia pun telah saksikan soetee dan
soemoay-nya, Bong Hoe dan Sian In, berdiri rapat di samping guru
mereka, hal itu menambah kelegaan hatinya, tapi masih dalam
keheranan...
Dengan Tantai Mie Ming Tan Hong hidup bersama semenjak
kecil, selagi sekarang kesadarannya telah pulih enam atau tujuh
bahagian, kapan melihat sahabatnya itu, Thio Tan Hong segera juga
ingat segala apa dengan baik sekali. Artinya, ia ingat perihal dirinya
sendiri, perihal permusuhan pribadi atau negara. Demikian, dalam
kesadarannya, ia lari memapaki Mie Ming.
"Tantai Tjiangkoen, ayahku tak kurang suatu apa, bukan?"
bertanya ia.
"Ayahmu justeru mengharapkan pulangmu!" adalah jawaban
yang singkat dari jenderal itu.
"Bukankah kamu telah kenal lama satu dengan lain?" Siangkoan
Thian Ya menyelak, menanya kedua orang muda itu ketika
menyaksikan sikap erat rapat dari mereka itu.
"Harap soehoe ketahui, dia adalah junjunganku yang muda,"
menjawab Tantai Mie Ming, sang murid. Mendengar itu, Siangkoan
Thian ya tertawa besar.
"Saudara Hian Kee!" ia berkata, lihatlah, bukankah murid-murid
kita telah sejak siang-siang menjadi orang sendiri, karenanya, untuk
apa kita saling berebut pengaruh pula?"
Hian Kee Itsoe tidak menjawab, ia melainkan bersenyum.
Thian Ya lantas panggil Mie Ming datang dekat kepadanya.
"Telah aku ambil putusan untuk meninggalkan tempat ini,"
berkata dia kepada muridnya itu. "Sian In telah lama ikuti aku, maka
itu, rumah ini aku sudah serahkan kepadanya sebagai hadiah
pernikahannya, supaya dia dapat hidup tenteram bersama Bong
Hoe. Maka itu sejak hari ini, kaulah ahli waris dari partai kita, kau
menggantikan aku menjadi ketua. Harapanku adalah kau nanti tilik
dan anjurkan kedua saudara seperguruanmu ini agar mereka tetap
rajin memperdalam pelajarannya."
Kedua matanya Lim Sian In menjadi merah.
"Bukankah terlebih baik soehoe tetap berdiam di sini?" katanya
dengan sangat berduka. "Kenapa soehoe hendak pergi? Baiklah
soehoe berikan ketika kepadaku untuk merawat soehoe lagi
beberapa tahun, untuk sedikitnya dapat membalas budi soehoe."
Siangkoan Thian Ya, sang guru, tertawa. "Pada tiga puluh tahun
dulu, karena aku tidak sanggup mengalahkan Hian Kee si tua
bangka, telah aku kabur kemari, untuk tinggal di sini sambil
meyakini lebih jauh ilmu silatku," ia berkata, "akan tetapi sekarang
segala apa telah dibikin habis, untuk apa jikalau aku tidak kembali
ke Tionggoan? Kau telah punyakan kawanmu, maka itu, aku juga
hendak cari kawanku — dua orang!"
Sementara itu, Tantai Mie Ming telah berlutut kepada gurunya,
untuk menghaturkan terima kasih.
Mukanya Sian In menjadi merah, akan tetapi ia masih dapat
berbicara, sambil tertawa ia bilang: "Asal soehoe beruntung, akupun
girang!"
Lantas, bersama-sama Bong Hoe, ia memberi hormat sambil
berlutut juga.
"Menampak ini, akupun perlu menyelesaikan sesuatu," berkata
Hian Kee. Lantas ia panggil berkumpul murid-muridnya. Kemudian,
baharu ia berkata pula.
"Tang Gak berusia paling tua dan jujur, iapun paling lama
mengikuti aku, maka itu, mulai hari ini dan selanjutnya dialah yang
akan mengepalai partai kita," ia berkata. "Kamu, Thian Hoa dan Eng
Eng, dasarmu berdua adalah yang paling baik, kamu juga telah
masing-masing mewarisi separuh dari ilmu silatku, yaitu ilmu
pedang Goangoan Kiamhoat, mulai hari ini aku ijinkan kamu untuk
saling menurunkan pelajaran kamu itu, supaya siangkiam happek,
sepasang pedang terangkap menjadi satu, kamu berdua turut
bergabung bersama. Aku tugaskan toasoeheng-mu untuk mengurus
pernikahanmu."
Setelah belasan tahun, baharu pada saat ini terwujud
pengharapannya, cita-citanya Thian Hoa dan Eng Eng, mereka
menjadi girang tak kepalang, akan tetapi di muka orang ramai itu,
tidak merdeka mereka lampiaskan itu, mereka hanya saling
mengawasi sambil bersenyum. Terhadap guru mereka itu, mereka
menghaturkan terima kasih sambil berlutut.
Tang Gak menghampirkan kedua adik seperguruan itu, untuk beri
selamat kepada mereka. Memang ia tahu hatinya soetee dan
soemoay itu, sekian lama ia hanya bisa menyesal yang mereka itu
tak dapat menikah satu pada lain. Sebenarnya, ia sendiripun
menaruh hati kepada Eng Eng akan tetapi mengetahui mereka itu
saling menyinta, ia suka mengalah, hingga untuk banyak tahun, ia
melainkan hiburkan diri saja. Ia ada demikian sadar hingga ia tidak
iri hati kepada Thian Hoa, tidak membenci kepada Eng Eng,
sebaliknya, ia menyesal yang mereka pun tak dapat menikah karena
larangan guru mereka.
Lalu Hian Kee berkata pula: "Di antara kamu, In Teng adalah
yang paling pendek harinya mengikuti aku, pelajarannya pun belum
rampung, sudah begitu, sekarang ia pun menderita. Hal ini
membuat aku menyesal, tak puas hatiku. Maka itu aku ingin,
seberlalunya aku, supaya kamu beramai menilik ia baik-baik. Tang
Gak, kau wakilkan aku mendidik ilmu dalam kepadanya. Asal ia suka
meyakininya, ia pun masih dapat memperoleh hasil yang
memuaskan."
In Teng jadi sangat terharu hingga ia menangis menggerung-
gerung.
Tan Hong menjadi sangat terharu, ia menyesal bukan main,
hingga tidak berani ia berpaling kepada In Loei.
"Jangan terlalu berduka, soetee," Tang Gak menghibur. "Kau
telah ketolongan, kau telah bertemu pula dengan puterimu,
sekarang pun soehoe menaruh belas kasihan terhadapmu, sudah
selayaknya kau merasa girang."
Hian Kee usap-usap rambutnya In Loei, ia kata kepada muridnya:
"Kau telah punyakan puteri yang bagaikan kumala dan bunga ini,
yang pun berbakti kepadamu, kau justeru jauh lebih menang
daripada aku! Asal kau tidak melakukan sesuatu yang memalukan,
sudah seharusnya kau hidup senang. Kau pun telah punyakan
putera yang berbakti dan berpangkat, walaupun kau bercacat, kau
tak usah berduka, maka janganlah kau menangis terlebih jauh."
In Teng berhenti menangis, ia seka air matanya. Ia sangat
bersyukur untuk kebaikan hatinya guru itu, yang telah melepas budi
banyak terhadapnya. Memang benar nasihatnya guru itu. Akan
tetapi ia masih kandung kemurkaan, ia masih mendendam sakit
hati, mengenai itu ia menghadapi rintangan... Di luar sangkaannya,
putera dari musuh besarnya justeru adalah keponakan muridnya
sendiri dan keponakan murid itu justeru paling dipuji gurunya.
Sudah pasti, tidak dapat ia membalas sakit hati terhadap putera
musuhnya itu, malah untuk memberitahukan saja halnya itu kepada
gurunya pun ia tidak dapat lakukan. Mana ia bisa buka mulutnya?
Karena ini, ia menjadi berduka.
Lalu terdengar suaranya Hian Kee Itsoe, yang berbicara sambil
tertawa.
"Apa yang membuatnya aku paling gembira adalah kaum kita
yang setingkat demi setingkat, telah menjadi semakin maju!"
demikian katanya. "Thio Tan Hong di belakang hari pasti akan
membuat semakin mentereng partai kita. Asal dia tidak keliru
menggunai kesadarannya, kemajuannya tak akan ada batasnya, dari
itu, kamu semua harus didik padanya dengan teliti dan seksama."
Si nyonya tua, yang menyekal tongkat, yang sejak tadi diam saja,
rupanya telah habis sabarnya menyaksikan orang main mengangkat
ahli waris dan omong seperti tak habisnya. Waktu itu matahari
sudah doyong jauh ke barat, sang magrib tengah mendatangi. Maka
ia lantas saja menyelak: "Hai, kenapa urusan kamu ada demikian
banyak hingga seperti tak habis-habisnya?" demikian katanya.
"Orang seharusnya menyingkirkan urusan dunia untuk lompat keluar
dari penghidupan lahir!"
Mendengar itu, Siangkoan Thian Ya bertepuk tangan.
"Bagus, bagus!" serunya. "Sejak kini baiklah kita menjadi seperti
bangau-bangau merdeka yang senantiasa mengawani mega, yang
tidak mengenal asmara! Saudara Hian Kee, inilah saatnya untuk kita
berlalu!"
Hian Kee segera pandang semua muridnya, terhadap mereka ia
mengibaskan tangan.
"Kamu semua baik-baik membawa diri!" ia mengucap, lalu ia
bertindak pergi dengan cepat, pergi bersama-sama Siangkoan Thian
Ya dan si nyonya tua yang bertongkat, selagi mulai berangkat,
ketiga-tiganya menepuk-nepuk tangan tandanya riang hati mereka.
Cepat sekali tindakan mereka, sebentar saja mereka sudah terhilang
di dalam cuaca yang remeng-remeng. Murid-murid dari kedua pihak
telah bertekuk lutut untuk memberi selamat jalan kepada guru
mereka masing-masing, walaupun sebenarnya mereka sangat
berduka dan menyesal. Sungguh lekas perpisahan itu, dengan tiba-
tiba saja.
Tang Gak berdiam, begitupun Tantai Mie Ming, masing-masing
tenggelam dalam perasaannya sendiri-sendiri. Mereka juga tidak
sangka, kedua lawan yang demikian hebat, percederaannya dapat
disudahi secara demikian mudah.
Kemudian kedua orang ini, yang masing-masing menjadi murid
kepala, menjadi terperanjat apabila mereka berpaling ke arah Tan
Hong. Mereka dapatkan anak muda itu masih saja berlutut di
belakang mereka, kedua matanya mendelong ke arah gunung, air
matanya mengembeng, dia seperti hendak menangis tetapi tak
keluar suara dari mulutnya. Teranglah pemuda itu bagaikan hilang
semangatnya.
Tantai Mie Ming datang menghampirkan, ia segera membanguni
Tan Hong.
"Kau kenapa?" ia tanya.
Tan Hong tidak segera menjawab. Di hadapannya ada Ouw Bong
Hoe dan Lim Sian In. Kedua pasangan itu telah berhasil dengan cita-
citanya, penderitaannya telah berakhir. Malah gurunya, cita-citanya
pun telah terwujud! Akan tetapi dia, meski dekat kekasihnya itu tapi
mereka berdua seperti terpisah jauh bagaikan di antara kedua
pangkal langit. Dia cuma dapat melihat, tidak dapat dia
memegangnya, bagaikan ada pintu yang memisahkan mereka,
sama-sama mereka tak dapat memasuki atau keluar...
Tantai Mie Ming mengulangi pertanyaannya beberapa kali,
akhirnya ia dapatkan penyahutan seperti bersenanjung dari si anak
muda, katanya: "Sukar melupai budi dan penasaran, sukar melupai
kau — kecuali sang cinta dan peri kebenaran... Kecewa kau menjadi
muridnya si hantu tua, kata-kata ini kau tidak mengerti! Apa
perlunya kau menanyakannya padaku? — Haha-ha! Kau siapakah?
Siapakah aku ini? Siapakah dia itu? Jikalau langit berasmara, dia
juga bakal menjadi tua, tak dapat dia mempertahankan diri! Hendak
aku menanyakannya kepada langit, langit tidak memberikan
penyahutan! Sekarang kau menanya aku, mana aku tahu?"
Kembali kesadarannya pemuda ini seperti ketutupan kembali.
In Loei telah saksikan keadaannya si anak muda, ia berduka
tanpa daya. Selagi ia awasi pemuda itu, orang telah menggeser
kepalanya, berputar ke arahnya, matanya mengawasi, pada itu
terpeta sinar dari kemenyesalan, penasaran dan menyinta... Ia
lantas memalingkan muka, tapi justeru matanya bentrok kepada
mata ayahnya. Ia dapat kenyataan, ayah itu tengah mengawasi
padanya, sinar matanya tajam mengandung kemurkaan dan
kedukaan...
Wajah ayah itu, yang perok dan lesu, nampaknya menjadi besar
dengan perlahan-lahan, wajah itu menjadi lebar dan akhirnya
menutup mukanya Tan Hong, yang seperti turut berpeta di hadapan
matanya itu...
Hampir In Loei menjerit ketika sinar matanya bentrok dengan
sinar matanya Tan Hong, syukur ia dapat menguatkan hati dan
dapat membatalkannya. Ia tunduk dengan segera, akan menyingkir
dari pandangan mata si pemuda. Ia juga menyingkir dari sinar mata
tajam dari ayahnya itu. Itulah dua orang yang ia sangat cintai atau
menyayanginya, tidak ingin ia melukai hati mereka hingga mereka
menjadi berduka. Ia hanya tidak ketahui, bagaimana perasaannya
mereka itu masing-masing...
Tang Gak, Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng menundukkan
kepala, mereka menginsyafi urusannya Tan Hong dengan In Teng
itu, atau Tan Hong dengan In Loei. Mereka juga mengetahui
sulitnya urusan. Maka mereka berpikir masing-masing. Daya apa
mereka punya untuk meredakan ketegangan di antara kedua pihak
itu?
Angin gunung meniup sepoi, membuatnya sesuatu orang
merasakan tubuhnya dingin.
-ooo00dw00ooo-

Bab XXIX
Tengah Tan Hong dan In Loei saling berhadap-hadapan tanpa
mengatakan sesuatu, oleh karena hati mereka masing-masing
sedang pepat sekali, adalah Tantai Mie Ming menggeleng-geleng
kepala, ia menghela napas perlahan. Sejak tadi, iapun berdiam saja
bahna masgul dan bingungnya. Tapi kali ini ia berbisik di kupingnya
si anak muda.
"Kau dapat melepaskan negara kerajaan Beng yang luasnya
sembilan laksa lie, yang indah pemandangan alamnya, mustahil kau
pun tidak dapat membiarkan satu wanita?" jenderal Watzu ini
berkata dengan perlahan, yang dekatkan mulutnya kepada kuping
orang. Tan Hong agaknya terperanjat.
"Apa?" ia menegaskan.
"Ayahmu mengharapkan kau untuk membangun pula kerajaan
Tjioe," Tantai Mie Ming menerangkan, "dan kau sendiri, untuk tak
membiarkan daerah Tionggoan yang indah dan luasnya sembilan
laksa lie itu terjatuh ke dalam tangan bangsa asing, setelah kau
menempuh bahaya, untuk itu kau telah serahkan harta dan peta
bumi kepada pemerintah yang sekarang ini, hingga kau telah
menolong kerajaan Beng yang menjadi musuh keluargamu itu!
Tidakkah dengan begitu, kau telah lepaskan percobaanmu untuk
merebut pulang negaramu? Usahamu membangun negara masih
kau dapat melepaskannya, apapula budi dan penasaran ini?"
Tan Hong melengak.
"Aku pandang raja bagaikan kotoran!" katanya.
Tantai Mie Ming mengawasi, ia menyambungkan: "Negaramu
tengah menantikanmu!"
Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, dari pucat
menjadi merah. Suaranya Mie Ming pelahan akan tetapi bagi
pendengarannya Tan Hong seperti suara guntur. Sejenak itu segera
ia ingat bahwa ia datang dari gurun pasir utara, bahwa setibanya di
Kanglam, kembali ia ke gurun, jauh perjalanannya, melintasi sungai
dan gunung, banyak penderitaannya. Untuk apakah itu? Bukankah
itu untuk cita-citanya yang luhur? Untuk melindungi negaranya nan
indah permai? Bukankah itu untuk mencegah berlangsungnya
peperangan antara Tionggoan dan Watzu, supaya menjadi berhenti
seanteronya, agar di empat penjuru tetangga, semua hidup rukun
dan damai? Sekarang, justeru cita-citanya itu bakal berwujud, ia
telah menjadi seperti runtuhiKenapa begitu?
Dasarnya cerdas dan ingatannya kuat, segera Tan Hong sadar. Ia
kertek giginya ketika ia buka suara.
"Tantai Tjiangkoen, terima kasih untuk peringatanmu ini
kepadaku!" demikian katanya. "Mari kita berangkat!"
Pemuda ini segera memberi hormat kepada guru dan paman
gurunya semua, dengan sekelebatan sinar matanya menyapu In
Loei, lalu dengan sebat ia membalik tubuhnya. Tapi ia masih dengar
elahan napas dari gurunya, dari Eng Eng juga.
In Loei segera duduk numprah di tanah, air matanya tak dapat
mengucur keluar. Syukur baginya Tan Hong tidak berani berpaling
kepadanya, jikalau tidak, asal sinar rata mereka bentrok, mungkin ia
segera menangis, atau mungkin keduanya saling tubruk, untuk
menangis sambil saling rangkul, tak ingin mereka angkat kaki, tak
sudi mereka memisahkan diri lagi...
Tan Hong dan Mie Ming turun gunung dengan cepat. Itu waktu,
sang malam telah tiba, bintang-bintang di langit sudah mulai
berkelak-kelik. Mereka lantas cari rumahnya satu pemburu, untuk
numpang bermalam. Esoknya pagi di kaki gunung itu, Tan Hong
dapat cari Tjiauwya saytjoe ma, kudanya yang jempol.
Tjiauwya saytjoe ma benar-benar kuda luar biasa. Telah sekira
sepuluh hari Tan Hong berdiam di atas gunung, dia dilepas, diumbar
mencari makan sendiri, tidak ada kandangnya, tidak ada yang urus,
dia dapat bawa dirinya sendiri, dia tak pergi jauh, terus dia
menantikan majikannya. Demikian pagi itu, begitu lekas melihat
majikannya, dia segera meringkik keras, sambil berjingkrakan dia
lari menghampiri majikannya itu.
Tan Hong usap-usap lehernya kuda itu, ia lalu teringat di kala ia
bersama In Loei berada di atas seekor kuda itu, tanpa merasa, ia
menjadi bersedih hingga tak dapat ia cegah mengalirnya air
matanya...
"Dengan ada punya kuda jempolan ini," berkata Tantai Mie Ming
kemudian, setelah berada dekat kawannya itu, atau majikannya
yang muda, "tak usah sampai sepuluh hari, akan kita sudah tiba di
kota raja."
"Bagaimana keadaan di ibu kota Watzu sekarang ini?" Tan Hong
tanya.
"Di luar nampaknya segala apa tenang-tenang saja, tapi di dalam
sang hujan akan segera turun," ada jawabannya jenderal Watzu itu.
"Bagaimana sebenarnya?" si anak muda menegaskan.
"Atzu Tiwan sudah mengadakan perserikatan dengan pelbagai
suku bangsa," Mie Ming memberi keterangan, "hendak dia mulai
dengan pemberontakannya. Di pihak lain, Perdana Menteri Yasian
ingin sekali lekas-lekas mengadakan perdamaian dengan Tionggoan.
Pada hari aku meninggalkan kota raja, kabarnya pemerintah Beng
Tiauw sudah mengirim utusan untuk perdamaian itu. Mudah-
mudahan utusan itu tiba sebelum kedua pihak tentera mulai
bentrok, kalau tidak, mungkin akan terbit perubahan besar!"
"Bagaimana dengan ayahku?" Tan Hong menanya pula.
"Ayahmu telah meletakkan jabatannya sebagai Menteri Muda,"
menyahut Mie Ming. "Ia sekarang tengah menantikan tibanya
utusan Beng Tiauw itu."
"Apakah ayah masih belum ambil putusan untuk pulang ke
Tionggoan?" Tan Hong menanya lebih jauh.
Tantai Mie Ming menggeleng-geleng kepalanya. "Sekarang ini
siapa juga tidak berani memberi nasihat kepadanya," ia menjawab.
"Ayahmu masih tetap tinggal di ibu kota, benar ia sudah tidak
memangku jabatan akan tetapi Yasian masih tetap berkuatir
terhadapnya. Maka itu, kalau lama-lama ayahmu tetap masih tinggal
di ibu kota, aku kuatir di belakang hari ada bahaya mengancam
padanya. Aku lihat melainkan kau yang dapat membujuki ayahmu
itu berangkat pergi..."
Tan Hong menjadi jengah sendirinya dan menyesal. Ia insyaf
benar-benar, karena beberapa hari berada dalam keadaan tak sehat
itu, hampir saja ia menyebabkan terbitnya peristiwa yang hebat
sekali. Maka itu, berlompatlah ia atas kudanya, yang segera ia kedut
lesnya, untuk dikaburkan...
Selama di perjalanan itu, Tantai Mie Ming tidak berani sebut-
sebut nama atau halnya In Loei kepada kawan seperjalanannya ini,
ia kuatir urusan itu akan menyebabkan bangkitnya pula atau kumat
angotnya si anak muda.
Kuda Tjiauwya saytjoe ma lari pesat sekali, di waktu tengah hari
dia telah melewati selat bahagian selatan dari gunung Tangkula itu
di mana berdiam suku bangsa Ngolo. Pada belasan hari yang lalu,
bersama In Loei pernah Tan Hong menemui ketua dari suku itu,
maka pengembala-pengembala di dataran rumput itu banyak sudah
yang kenali padanya, ada di antara mereka yang dengan ramah
tamah menegur padanya. Dengan kedut les kudanya, Tan Hong
lewatkan mereka itu. Karena ia biarkan kudanya lari pesat, ia
membikin Tantai Mie Ming hampir ketinggalan.
Mie Ming tidak tahu apa sebabnya di tempat ini Tan Hong bedal
kudanya itu.
"Tan Hong, bagus sekali peruntunganmu!" berkata jenderal ini.
Ia maksudkan bagaimana pemuda ini disukai suku bangsa Ngolo itu,
yang menyambutnya dengan manis.
Mendengar perkataannya sang kawan, wajahnya si pemuda
berubah secara tiba-tiba. Ia membungkam.
Justeru itu, dari lain arah terdengar meringkiknya kuda, atas
mana dengan mendadak Tjiauwya saytjoe ma perlahankan jalannya,
dari mulutnya pun keluar suara sambutan ringkikan itu.
Tan Hong menjadi heran, dengan lantas ia berpaling ke arah dari
mana suara kuda tadi datang. Di tepi jalan ia tampak sebuah rumah
tua dan rusak dari tanah liat, di luar rumah itu, di sampingnya, ada
sebuah pohon kayu kering. Pada pohon itu tertambat seekor kuda
merah, ialah kudanya In Loei yang ia kenali dengan baik.
Tak tahu Tan Hong, mengapa kuda merah itu berada di situ,
akan tetapi dapat ia menduga-duga.
In Loei datang bersama ayahnya, yang bercacat kakinya. Berdua
mereka menaiki kuda merah itu. Lewat di rumah tua itu In Loei
singgah, ia tambat kudanya, lalu dengan pepayang ayahnya
mendaki gunung itu. Lama mereka berjalan, maka itu, mereka tiba
selagi pertempuran berlangsung.
Sekarang kedua kuda, putih dan merah, meringkik saling
sambut, mereka pun berlompatan, berjingkrakan. Menyaksikan itu,
Tantai Mie Ming menjadi heran.
"Ah, rumah siapa ini?" berkata dia sambil tertawa. "Tidak
kusangka, tuan rumah itu ada punya seekor kuda jempol... Eh, Tan
Hong, kenapa, kenapa kudamu..."
Sebenarnya jenderal ini hendak menanyakan mengapa kedua
kuda itu seperti telah kenal lama satu dengan lain, tapi ia batalkan
itu karena dengan sekonyong-konyong ia tampak wajah si anak
muda berubah pula, wajah itu menjadi pasi dan air matanya pun
segera mengembeng. Ia menjadi heran dan terkejut.
Tan Hong tidak jawab kawannya itu, kemudian ia menghela
napas, lalu seorang diri ia perdengarkan suaranya: "Tak sanggup
aku mengalami pula kedukaan semacam ini! Bukankah daun kuning
terbawa angin barat berarti usus putus? Ya, ya, kuda pun ada
sedemikian rupa, apapula manusia?"
Belum berhenti suara si anak muda, dari dalam rumah telah
terdengar suara orang, rupanya tuan rumah, yang mendengar suara
berisik, hendak keluar untuk menghentikan suara kuda yang
membikin berisik itu.
Tan Hong dengar kuda itu, sekonyong-konyong ia cambuk kuda
putihnya keras sekali, ia sendiri lompat naik ke atas kudanya itu.
Tadi ia telah lompat turun untuk membiarkan kedua kuda saling
bertemu.
Sudah lama Tjiauwya saytjoe ma ikuti anak muda ini, sebegitu
jauh belum pernah dia dicambuk begitu rupa, tidak heran kalau
saking sakit dan kaget, lantas saja dia berlompat dengan ke empat
kakinya dan terus kabur larat sekuat-kuatnya!
Tantai Mie Ming pun heran, tetapi karena ia ditinggal pergi, tanpa
bisa bilang suatu apa, terpaksa ia lantas menyusul. Kembali ia
merasakan penderitaan, oleh karena ia ketinggalan jauh sekali. Ia
tidak menjadi gusar atau mendongkol terhadap si anak muda, ia
hanya menggeleng-geleng kepala...
"Tan Hong, pikiranmu tidak sehat," katanya seorang diri. "Kenapa
kau persakiti seekor binatang?"
Tan Hong sendiri, di atas kudanya, yang ia peluki, telah
menangis menggerung-gerung. Ia mencoba usap-usap lehernya
Tjiauwya saytjoe ma, akan tetapi karena kuda sudah kabur, baharu
sekira sepuluh lie lebih, dapat ia menguasainya pula.
Ketika kemudian Tantai Mie Ming telah dapat menyusul, Tan
Hong sudah berhenti menangis, air matanya telah ditepas kering, ia
sedang berhenti di tepi jalan di depan sebuah warung arak.
Mie Ming hentikan kudanya di dekat kawan itu. Ia merasa sangat
heran, ia ingin mengetahui sebabnya perubahan adat dari pemuda
ini. Sebelumnya belum pernah si anak muda perlihatkan sikap yang
aneh ini.
"Eh, Tan Hong, kau kenapakah?" ia tanya. Tan Hong tidak awasi
sahabatnya, ia pun tidak menjawabnya, ia hanya bicara dengan
caranya sendiri.
"Mari! Mari! Kita minum puas-puasan di sini!" demikian katanya.
Itulah bukan jawaban, itulah ajakan!
"Kita masih harus melakukan perjalanan cepat," Tantai Mie Ming
memperingatkan.
Tan Hong menjawab tetapi sambil tertawa.
"Jikalau ada arak, mesti kita minum itu sampai mabuk!" katanya.
"Dengan keadaan mabuk itulah paling tepat untuk membuat
perjalanan! Eh, Tantai Tjiangkoen, mengapa hari ini kau nampak
tidak gembira?"
Sehabis mengucap demikian, tanpa memberi ketika kepada
kawannya itu, Tan Hong sambar tangan orang untuk ditarik, buat
diajak masuk ke dalam warung arak itu.
"Apakah ada koumiss di sini?" dia berseru, menanya tuan rumah
atau pelayan, untuk minta susu kuda, arak termurah untuk di
Mongolia.
Tuan rumah adalah seorang yang sepasang matanya putih
mencilak.
"Ada, kau menghendaki berapa banyak?" berkata tuan rumah itu,
suara dan sikapnya kaku. "Aku minta kau membayar uang di muka!"
"Kau sajikan enam atau tujuh kati!" sahut Tan Hong dengan
suara keras, terus ia lemparkan sepotong perak ke meja tuan rumah
itu sepotong besar, yang lebih dahulu ia tepuk-tepuk di atas meja.
"Inilah uang arak, selebihnya untukmu! Jangan kau ngoceh tidak
keruan, tidak senang aku melihat biji matamu yang putih itu!
Tahukah kau?"
Tuan rumah itu kaget, lekas-lekas ia ubah sikapnya. Sekarang ia
berlaku telaten dan wajahnya pun senantiasa tersungging
senyuman. Tapi di dalam hatinya, ia kata: "Kiranya orang ini sudah
minum sinting di lain warung arak..."
Koumiss di warung arak ini rasanya asam dan juga turunnya
seret, maka itu, baharu ia tenggak dua cangkir, Tantai Mie Ming
sudah kerutkan keningnya. Tidak demikian dengan Tan Hong, yang
meminumnya sangat bernapsu!
Begitulah, lekas sekali anak muda itu sudah keringkan tujuh
cawan.
"Arak yang wangi! Arak yang wangi!" demikian pemuda ini
berseru-seru dengan pujiannya. Hanya, di dalam sintingnya itu, di
depan matanya berpeta samar-samar bayangannya In Loei,
bayangan yang bergoyang-goyang...
Pada mula kalinya Tan Hong ikat persahabatan dengan In Loei
justeru ia telah minum koumiss dari sebuah buli-buli yang besar, ia
meminumnya secara sangat bernapsu dan gembira, akan tetapi
sekarang, ia minum seorang diri, ia telah kehilangan kekasihnya itu,
maka itu, bukan main sedih hatinya. Ia jadi sangat berduka, lebih-
lebih lagi ketika ia membayangkan si nona...
Tantai Mie Ming masih minum beberapa cegukan kapan ia lihat
arak susu kuda telah hampir habis ditenggak Tan Hong.
"Cukup sudah!" ia lalu berkata. "Mari kita berangkat!" Ia tidak
mengatakan langsung agar kawan ini hentikan minumnya.
Tan Hong menyeringai, ia letakkan cawannya. Hampir di waktu
itu, di luar terdengar riuh ringkiknya kuda.
"Tjoei Hong, lihat!" demikian terdengar satu suara nyaring.
"Itulah kuda Tjiauwya saytjoe ma dari Tan Hong!"
Menyusuli suara itu, orang tertampak bertindak masuk ke dalam
warung arak itu, satu pria, dan lainnya wanita, yang jalan di depan
ialah Tjioe San Bin, dan yang belakangan, Tjio Tjoei Hong.
Segeralah terdengar keluhannya pemuda she Tjioe itu: "Oh, Tan
Hong, bagaimana sengsara aku mencari kau! Siapa sangka di sini
kita bertemu!"
Tjoei Hong sendiri perdengarkan seruan kaget.
"Tan Hong, mana entjie In Loei?" dia bertanya. "Kenapa ia tidak
ikut serta bersamamu?"
Tan Hong menggeleng kepalanya, terus ia bersenanjung:
"Manusia itu ada saatnya untuk berduka dan bergembira, berpisah
dan berkumpul, bagaikan rembulan ada waktunya bulat bundar dan
bercacat, suram gelap dan terang cemerlang. Demikian tetap
berlanjut sejak jaman purbakala. Kau tidak dapat menahan
padanya, cara bagaimana aku pun dapat menahannya? Ya, ya,
semoga manusia hidup kekal abadi, beriang gembira bersama-sama
seribu lie..."
Tidak puas Nona Tjio mendengar kata-kata itu, ia menyangka
Tan Hong menggodai dia mengingat kejadian dahulu hari halnya ia
keliru menganggap In Loei sebagai pemuda, maka wajahnya
menjadi merah.
"Foei!" katanya, "orang omong benar-benar, kau ngaco belo!"
Tan Hong terperanjat, lantas menjadi sadar sedikit dari
sintingnya.
"Eh, mengapa kau mendapat tahu dan dapat mencari aku di
sini?" dia tanya.
Lenyap lantas kemendongkolannya si nona, terus saja ia tertawa.
"Kami telah sampai di rumahnya entjie In!" ia menjawab. "Kami
telah bertemu dengan In Peebo. Bukankah kau dan In Loei telah
bertengkar? Peebo bilang bahwa kau datang bersama In Loei
kemudian kau pergi seorang diri. Peebo pun beritahukan kami
bahwa entjie Loei telah pergi bersama ayahnya beberapa hari yang
lalu. Aku menyangka mereka mencari kau..."
"Pantas tadi di jalan aku dengar suara seperti beberapa orang
bicara, kiranya itulah kamu!" berkata Tan Hong.
"Kami baharu sampai, lantas kami dengar suaranya Tjiauwya
saytjoe ma," Tjoei Hong berkata pula, "waktu kami keluar untuk
melihat, kau nyata telah pergi jauh, lantas kami menyusul, baharu
sekarang kami dapat menyandak padamu! Ya, hendak aku tanya
kau," menambahkan si nona, "umpama benar kau bercedera
dengan entjie In Loei, tidak seharusnya kau berlaku begini tidak
tahu aturan! Kenapa kau lewat di rumahnya entjie Loei tapi tidak
mampir? In Peebo harus dikasihani, kau selayaknya pergi
menjenguk padanya..."
Dengan tiba-tiba air mukanya Tan Hong berubah, kedua biji
matanya berdiam. Ia lantas tunduk mengawasi dadanya saja.
Tjoei Hong menjadi heran.
"Entjie Loei sangat lemah lembut, tentulah kau yang berbuat
salah terhadapnya!" ia berkata pula. "Oleh karena itu, ia menjadi
tidak mau pedulikan pula padamu! Sebenarnya, urusan apakah itu?
Coba kau tuturkan kepadaku. Nanti aku wakilkan kau untuk
menyampaikan maaf kepadanya..."
Nona Tjio ini lantas saja tertawa geli.
Tantai Mie Ming lihat gelagat kurang baik, ia lantas datang sama
tengah.
"Mari kita bicarakan urusan kita!" demikian ia menyelak. "Kau
masih belum menjelaskan, siapakah yang beri tahu kamu alamatnya
In Loei itu?"
Masih si nona tertawa.
"Apakah aku bukan omong tentang urusan kita?" ia balik
menanya. Ia sebenarnya hendak bicara terus tapi ia segera tampak
wajah pucat pasi dari Tan Hong, yang terus membungkam dan
menjublak saja, dengan lantas ia berhenti tertawa.
"Pemerintah Beng sudah kirim utusan," berkata San Bin, yang
turut bicara. Ia bicara dari urusan yang benar. "Utusan itu akan
segera tiba di negeri Watzu untuk merundingkan perdamaian."
"Hal itu aku sudah ketahui," berkata Tantai Mie Ming.
"Coba terka, siapakah yang menjadi utusan itu?" San Bin tanya.
"Siapakah dia?" tiba-tiba Tan Hong menanya. Ia sadar dari
menjublaknya.
"Dialah kakaknya In Loei," sahut San Bin.
Kembali Tan Hong menjublak. Kali ini disebabkan ia ingat In
Tiong bersikap bermusuh terhadapnya.
Datangnya In Tiong itu bisa menyebabkan semakin putus
harapannya terhadap In Loei.
"Apa? Apakah kau tidak gembira?" menanya San Bin, yang tak
tahu hati orang.
"Kenapa aku tidak bergirang," berkata si anak muda. "In Tiong
menjadi utusan, tidak ada yang terlebih baik daripada itu!"
Tan Hong mengucapkan kata-kata yang benar, yang keluar dari
hatinya yang tulus.
Kakaknya In Tiong telah menjadi utusan ke negeri Watzu, kakek
itu mesti hidup mengembala kuda di tepi telaga, sengsara sekali
hidupnya, sekarang Tionggoan dari lemah menjadi kuat, utusan
yang di kirim adalah cucunya kakek yang bersangsara itu, sungguh
itulah tepat dan sangat menggirangkan, sangat memuaskan hati. In
Tiong pun setia kepada negara, gagah dan pandai bekerja, dia
menang beberapa lipat dari kakeknya yang lemah itu. Dengan
diutusnya In Tiong inipun menjadi terbukti kepandaiannya Ie Kiam,
yang bisa memilih orang. Tan Hong tahu In Tiong keliru mengerti
terhadapnya, ia sangat menyesalinya, tetapi itu adalah urusan
perseorangan, tetapi sebagai utusan, In Tiong bekerja untuk
negara, itulah lain. Kalau ia menjadi menjublak, itulah disebabkan
kekagumannya negara memperoleh wakil yang tepat, dan
berbareng, ia bakal menghadapi kesulitan lebih jauh...
"Di waktu In Tiong lewat di Ganboenkwan, dia telah bertemu
dengan kami," San Bin menerangkan lebih jauh, "malah dia minta
kami menyampaikan kata-kata untuk ibunya, mewartakan perihal
kedudukannya sekarang, dan mohon si ibu nanti membuat
pertemuan di ibu kota Watzu. Siapakah yang sangka bahwa
ayahnya In Tiong itu masih hidup? In Peebo telah beritahukan kami,
bahwa dia hendak menantikan In Loei dahulu, kelak baharulah
bersama In Loei dan ayahnya ia akan bersama-sama pergi ke kota
raja. Kami diminta tak usah menemaninya."
Tubuh Tan Hong menggigil mendengar disebutnya nama In Loei.
San Bin lihat itu, ia heran.
"In Tiong berangkat dengan membawa delapan belas pahlawan
Gietjian Siewie sebagai pengiringnya," San Bin menerangkan pula.
"Di samping itu ada turut beberapa wanita."
Tantai Mie Ming heran mendengar keterangan yang belakangan
ini.
"Apa? Orang-orang perempuan?" tanyanya.
San Bin tertawa atas pertanyaan itu.
"Tantai Tjiangkoen," berkata dia dengan penyahutannya, "aku
dengar yang turut In Tiong itu adalah adikmu yang perempuan,
Keng Beng namanya yang harum!"
Mie Ming menjadi girang.
"Ha, dia pun datang?" serunya. "Pasti sekali paman tjintong-ku
serta ayahnya yang menitahkan dia menyambut aku!"
"Sedikitpun tidak salah!" berkata San Bin. "Aku menghaturkan
selamat kepadamu, yang sekarang akan dapat pulang ke negeri
sendiri!"
Cuma sebentar saja pemuda she Tjioe ini berhenti, lalu ia
menambahkan pula: "Beberapa orang wanita yang turut bersama itu
adalah orang-orang dari kampungmu yaitu Tamtay tjoen, mereka
dititahkan oleh adikmu untuk menemani padanya!"
Di dalam hati kecilnya, Tantai Mie Ming berkata: "Keng Beng si
bocah itu memikir sempurna sekali! Terang tidak ingin seorang diri
dia menemani In Tiong, dia kuatir orang nanti banyak mulut dan usil
terhadapnya. Hanya kasihan Tan Hong ini, andaikan Keng Beng di
perjodohkan dengannya, mereka sembabat sekali..."
Selagi Mie Ming masih berpikir, San Bin sudah berkata pula:
"Mereka itu adalah utusannya pemerintah," demikian katanya,
"karena itu di sepanjang jalan ada orang-orang yang menyambut
mereka, karenanya setiap hari mereka cuma bisa melakukan
perjalanan lima sampai enam puluh lie. Mungkin masih perlu
belasan hari lagi untuk mereka dapat tiba di kota raja Watzu.
Sebenarnya akupun sedikit berkuatir juga terhadapnya..."
"Kenapa begitu?" Tan Hong menyelak pula.
"Sesudahnya peperangan di antara dua negara," berkata San Bin,
"di mana-mana mesti ada muncul orang-orang dari kalangan Hitam
dengan aksi mereka. Walaupun benar In Tiong membawa delapan
belas pengiring pahlawan raja, ia toh tetap mesti berhati-hati
menjaga sesuatu yang tak diduga-duga. Selama di dalam wilayah
Ganboenkwan, dengan disiarkannya panah Loklim tjian kami, aku
berani tanggung tidak akan terjadi apa-apa, akan tetapi sekeluarnya
batas itu, di luar kota, tenaga kami tidak sampai..."
"Aku rasa kekuatiran itu tidak pada tempatnya," menyatakan Mie
Ming. "Yasian menghendaki pembicaraan perdamaian dengan
kerajaan Beng, apabila utusan Beng mengalami sesuatu di dalam
negaranya, sukar untuk dia berdiam saja."
"Walaupun demikian tetapi Yasian itu sangat licik, kelicikannya itu
diketahui orang di dalam dan di luar negerinya. Siapa yang dapat
menduga apa yang dikandung di dalam hatinya? Justeru sekarang
ini negara Watzu tengah terpecah-belah, tak mungkin orang semua
taat kepada Yasian itu, apapula segala penjahat Rimba Hijau. Aku
anggap berlaku hati-hati adalah terlebih baik. Aku ingin berdamai
dengan kau, yaitu apakah perlu kita kirim beberapa orang yang
dipercaya untuk memapak mereka itu?"
Tan Hong berdiam sekian lama, tetapi sekarang, tiba-tiba ia
nampaknya bersemangat.
"Tjioe Toako. Tjio Hianmoay." serunya. "Aku haturkan selamat
kepadamu dengan ini satu cawan!"
Segera ia isikan satu cawan yang besar, yang terus ia tenggak!
San Bin dan Tjoei Hong melengak.
Sehabis minum, Tan Hong lemparkan cawannya itu, terus ia
tertawa bergelak.
"Tjioe Toako." katanya pula, nyaring, "kuda kami keras larinya,
hendak kami berangkat terlebih dahulu! Kau jangan kuatir, aku
tanggung In Toako bakal tiba dengan selamat di kota raja Watzu!"
Setelah itu Tan Hong lari keluar dan lompat ke bebokong
kudanya, kuda mana terus meringkik, sesudah gerakkan kedua
kakinya berlompat, dia lantas lari kabur!
Tantai Mie Ming tak dapat susul anak muda itu walaupun
kudanya juga ada kuda Mongol pilihan, jangan dikata lagi kudanya
San Bin dan Tjoei Hong.
Tiga hari kemudian, Tan Hong telah kembali ke kota raja Watzu.
Ia tampak kota agak kacau. Penduduk kota tertampak seperti
berebut membeli bahan makanan. Nyata mereka itu sudah dengar
kabar angin, mereka kuatirkan nanti terbit bentrokan senjata antara
Yasian dan Atzu Tiwan. Maka penduduk hendak menyimpan
persediaan pangan.
Tan Hong menjadi berduka, hingga ia menghela napas.
"Kalau dunia aman damai, untuk selama-lamanya tidak ada
bencana perang, alangkah bagusnya!" dia berkata di dalam hatinya.
Lebih jauh dia pun berpikir: "Suasana ada begini rupa, malapetaka
peperangan sudah mengancam, maka terang sudah Yasian semakin
menghendaki perdamaian dengan Tionggoan. Nampaknya
peruntungan In Tiong ada jauh terlebih baik daripada kakeknya, kali
ini pastilah tugasnya tidak akan gagal dan tidak akan mendapat
malu karenanya, dengan berhasilnya perdamaian, niscaya ia akan
berangkat pulang sambil mengajak juga junjungannya yang sekian
lama telah menjadi orang tawanan..."
Lantas tanpa ayal lagi, Tan Hong pulang ke rumahnya.
"Oh, tuan rumah baharu pulang!" demikian ia disambut oleh
bujangnya. "Setiap hari tuan besar mengharap-harap kepadamu.
Selama beberapa hari ini tuan besar telah rebah di atas
pembaringannya, tak hentinya ia perintah orang pergi keluar untuk
melihat tuan sudah pulang atau belum..."
Mendengar ini, Tan Hong terkejut. Dengan tindakan cepat, ia
langsung menuju ke kamar tulis. Ia dapatkan ayahnya seorang diri
berduduk menghadapi meja, sedang menulis.
Orang tua itu dengar tindakan kaki.
"Siapa?" ia bertanya.
Lega juga hatinya si anak mendengar suara orang tuanya itu.
"Aku, ayah," sahutnya lekas. "Apakah ayah baik?"
Thio Tjong Tjioe lantas berpaling.
"Mana Tantai Tjiangkoen?" dia balik menanya.
"Kudanya larinya sangat ayal, mungkin besok dia baharu
sampai," sahut putera itu. "Katanya ayah kurang sehat, benarkah?
Ayah sakit apa? Apakah ayah sudah undang tabib?"
"Syukur kau ingat aku, anak," sahut si orang tua. "Aku tidak
kurang suatu apa, cuma gangguan biasa saja. Selama hari-hari
belakangan ini hawa udara buruk, sudah belasan hari hujan turun
terus menerus, baharu kemarin dulu langit terang. Lututku,
terasakan ngilu."
"Mengapa ayah tidak undang tabib?" sang anak tanya.
Tjong Tjioe tertawa.
"Aku justeru hendak memberitahukannya satu hal kepadamu!"
kata dia. "Itu beberapa jilid catatannya Pheng Hoosiang yang kau
bawa pulang dari dalam kamar batu sungguh berfaedah. Ternyata di
dalamnya ada termuat beberapa resep untuk penyakit di buku-buku
tulang. Walaupun orang sudah pincang, masih ada jalan untuk
mengobatinya, baik dengan menyambung kaki itu dengan kayu
yanglioe atau dengan ditusuk dengan jarum."
Pheng Hoosiang itu gemar pesiar, di tempat di mana ia tiba,
tentu ia membuat catatan tentang keadaan penduduk setempat,
tentang tempat-tempat yang penting untuk pergerakan tentera,
lengkap pelbagai catatannya itu. Apa yang Tan Hong dapatkan di
dalam kamar batu masih kalang kabutan, setelah ia pulang
baharulah ia kumpulkan dan rapikan, masing-masing ada
bahagiannya. Ia tinggal catatan itu di rumah, untuk ayahnya baca,
sampai sekarang ayahnya peroleh faedah dari buku itu. Iapun
baharu ingat tentang resep obat itu sesudah ia dengar perkataan
ayahnya itu.
"Apakah ayah pernah coba resep itu?" dia lantas tanya.
Thio Tjong Tjioe segera berbangkit, untuk jalan beberapa tindak,
untuk menendang-nendang beberapa kali.
"Baharu kemarin aku mencobanya," ayah ini bilang. "Aku telah
suruh orang tusuki telapak kakiku dengan jarum, cuma beberapa
kali saja, lantas hari ini aku dapat berjalan seperti biasa."
"Sungguh mujarab!" Tan Hong memuji. "Kalau begitu, buku itu
perlu aku baca pula dengan teliti untuk dapat menghafalkannya."
"Pheng Hoosiang itu adalah guru negara dari kerajaan Tjioe kita
yang terbesar," berkata pula Thio Tjong Tjioe, "dia juga telah
menjadi guru dari dua raja, bahwa dia pintar dan pandai, itulah
sudah selayaknya. Memang, anak, harus kau baca pula bukunya itu
dengan seksama."
Dari atas meja tulisnya, ayah ini tarik buku yang dimaksudkan
itu, untuk diserahkan kepada puteranya.
"Kau duduklah di situ!" berkata dia sambil menunjuk kursi di
sampingnya. Ia sendiri angkat cangkir tehnya dan meminumnya.
"Aku dengar bahwa utusan kerajaan Beng akan tiba, hatiku
lega," ia berkata pula sambil bersenyum. "Hanya belum tahu,
siapakah utusan itu? Kalau dia ada seperti In Tjeng dahulu hari,
sungguh bagus!"
Baru saja orang tua ini tertawa, atau setelah menyebut namanya
In Tjeng, suaranya menjadi parau, wajahnya menjadi suram
berduka.
Tan Hong tahu sebabnya perubahan dari ayahnya itu. Si ayah
ingat kejadian dahulu hari dan hatinya menjadi berduka. Itulah
penyakit lama dari sang ayah, yang terus menjadi lesu. Ia sendiri
pun turut lenyap kegembiraannya. Ia jadi ingat sikap keras dari In
Tiong dan limbungnya hatinya In Loei.
"Ayah suka menyudahi permusuhan itu, akan tetapi, dengan cara
bagaimana itu dapat disudahinya?" ia bertanya dalam hatinya
sendiri.
"Eh, Tan Hong, apa yang kau sedang pikirkan?" tiba-tiba Tjong
Tjioe menanya, karena waktu berpaling kepada puteranya, ia
dapatkan anak itu duduk menjublak.
Tan Hong paksakan diri untuk tertawa.
"Tidak apa-apa, ayah," sahutnya cepat. "Aku juga tengah
menduga-duga siapa orangnya yang diutus kerajaan Beng itu..."
Dengan terpaksa anak ini mendusta. Tidak berani ia
memberitahukan halnya In Tiong walaupun semula ia niat
menuturkannya. Ia bersangsi karena sikap keras dari In Tiong itu, ia
kuatir In Tiong tak dapat memaafkan pihaknya. Pasti ayah ini
berduka apabila dia ketahui kekerasan hati dari puteranya In Teng
itu. Oleh karena ini, ia mencoba untuk bersabar.
Sekian lama ayah dan putera itu membungkam.
"Ayah, adakah pikiran ayah masih belum berubah?" tiba-tiba si
anak menanya.
Thio Tjong Tjioe tahu apa yang dimaksudkan puteranya itu. Ia
menyeringai.
"Jikalau nanti utusan kerajaan Beng itu tiba, pergilah kau turut
dia pulang ke negeri," menyahut orang tua ini. "Aku hanya melarang
kau menjadi hambanya kerajaan itu."
"Bagaimana dengan ayah sendiri?" sang anak menegaskan.
"Dalam hidupku cuma dalam impian saja akan aku pulang ke
Kanglam," sang ayah berikan jawabannya. "Penyair dari ahala Tong,
Wie Tjhong, telah mengatakannya: 'Sebelum tua, jangan pulang ke
kampung asal, kalau pulang tentu bakal putus harapan. Akan tetapi
aku, walaupun sudah tua, tidak ingin aku pulang ke kampung
halaman. Sebabnya ialah aku kuatir nanti putus harapan hingga aku
jadi berduka karenanya, Tan Hong jangan kau menyebut-nyebutnya
pula hal ini."
Anak ini merasakan tubuhnya menggigil. Nyatalah hatinya ayah
ini telah menjadi seperti kayu kering, hingga tak nanti kayu itu
bersemi, tumbuh daun pula andaikata sang musim semi telah
kembali dan angin timur meniupnya menderai-derai. Ia lantas
tunduk.
Di atas meja ada selembar kertas yang ada tulisannya, yang air
baknya masih belum kering semuanya. Membaca itu, tahulah Tan
Hong bahwa itu adalah syairnya Liok Voe yang ayahnya tulis tetapi
belum habis disebabkan datangnya dia. Itulah syair tentang burung
bangau terbang sendirian, bahwa orang lama bakal digantikan
orang baru, bahwa raja ada bagaikan semut, semua akan habis
bagaikan debu...
"Begini rupalah perasaannya ayah sekarang ini," anak ini berpikir.
Teranglah, ayah itu sudah putus harapan untuk hidupnya di dalam
dunia ini. Karena ini, ia menjadi berduka sekali.
Malam itu Thio Tjong Tjioe tidur dengan diganggu pelbagai
impian tak hentinya tetapi semua adalah impian yang baik,
umpamanya dalam mimpinya itu ia telah pesiar di Kanglam yang
indah.
Maka ketika terang tanah ia bangun dari tidurnya, pelbagai
impian itu masih berkesan dalam mengenai kampung halamannya,
karena mana, ia menjadi berduka. Ia baharu sadar ketika
pelayannya mengetok pintu kamarnya.
"Tantai Tjiangkoen dan tuan muda mengasi selamat pagi kepada
thaydjin," demikian hamba itu.
Tjong Tjioe segera turun dari pembaringannya, untuk pakai baju
luarnya, lalu ia bertindak keluar dari kamarnya, menuju ke kamar
tulisnya. Di sana Tantai Mie Ming dan Tan Hong telah menantikan
ia, puteranya itu berdiri di pinggiran.
"Kau telah kembali, Tantai Tjiangkoen?" menegur junjungan ini.
"Tan Hong benar-benar tidak tahu urusan, dia sangat kesusu
hendak menemui aku, dengan andalkan kudanya yang keras larinya,
dia tinggalkan kau! Tidak selayaknya dia berbuat demikian..."
Tan Hong terharu mendengar kata-kata ayahnya itu. Ia sangat
berduka.
"Ayah, mana kau tahu apa yang aku pikir dalam hatiku," ia kata
dalam hati kecilnya. "Ayah tidak tahu, aku ingin lekas-lekas pulang
karena aku harus segera pergi pula meninggalkan lagi padamu..."
Tetapi apa yang ia pikir ini ia tidak mengutarakannya.
"Tjoekong, ingin aku memberitahukannya," berkata Tantai Mie
Ming, yang memanggil "tjoekong" kepada junjungannya itu,
"sekarang ini kongtjoe dan aku ingin lekas-lekas kembali ke Selatan,
malah kami hendak berangkat segera. Sekarang kami hendak minta
diri!"
Tjong Tjioe terperanjat. Inilah ia tidak sangka.
"Apa?" katanya. "Baharu pulang sudah lantas hendak pergi
pula?"
"Benar, tjoekong," sahut si jenderal. "Kami dengar kabar
utusannya kerajaan Beng sudah memasuki wilayah Watzu, karena
itu kami hendak pergi menjemputnya."
"Apakah kau kenal utusan itu?" tanya Tjong Tjioe heran.
Tantai Mie Ming menggeleng kepala. Ia menyangkal karena
siang-siang Tan Hong telah kisiki padanya.
"Walaupun kami tidak kenal dia, perlu kami sambut padanya,"
jenderal ini memberikan jawabannya. "Ketika baharu ini kongtjoe
pulang ke negeri dan aku turut Atzu Tiwan, yang menjadi utusan,
kami telah mendapatkan penyambutan baik dari Kokioo Ie Kiam.
Kabarnya utusan Beng itu adalah orang pilihannya Ie Kokioo sendiri,
oleh karenanya kita harus balas kehormatan dengan kehormatan,
sudah selayaknya apabila kita menyambut kepadanya dengan baik.
Dengan demikian kita berbareng jadi bisa mencegah andaikata ada
bahaya di perjalanan bagi utusan itu."
Selagi bicara jenderal ini diam-diam lirik Tan Hong, ia dapatkan
mata pemuda itu mengembeng air, ia dapat menduga akan
perasaannya tuan mudanya itu. Justeru guna tuan muda ini, untuk
pertama kali ini, ia sudah mendusta terhadap junjungannya.
Karena lihat orang mengembeng air mata, iapun menjadi terharu
sekali.
Tjong Tjioe berbangkit dengan pelahan-lahan dari kursinya, ia
buat main kumis jenggotnya yang putih.
"Aku telah berusia lanjut, tidak dapat aku berbuat sesuatu untuk
Tiongkok," ia berkata sambil menghela napas. "Kamu masih berusia
muda, kamu bercita-cita luhur, baiklah, kamu boleh pergi!"
Air matanya Tan Hong lantas saja mengucur turun. Sering juga ia
berpisah dari ayahnya tetapi belum pernah terjadi perpisahan
seperti ini, baharu bertemu setelah perpisahan lama lantas sudah
mesti berpisah pula. Sebenarnya ia merasa berat untuk berpisah
melihat orang tuanya sekarang tak begitu sehat pula seperti dulu-
dulu. Tapi apa boleh buat. Maka ia rangkul ayah itu.
"Ayah, harap ayah baik-baik merawat diri," ia bilang. Terus ia
membalik tubuh, untuk segera keluar dari kamar tulis. Akan tetapi,
masih sempat ia dengar ayahnya itu bersenanjung:
"Berapa lama kekalnya bunga dari musim semi dan rembulan dari
musim rontok? Ada berapa banyakkah peristiwa-peristiwa yang
telah berlalu? Di loteng kecil tadi malam kembali meniup angin
timur... Negara sendiri tak dapat ditengok walaupun di dalam
terangnya sang rembulan..."
Tidak berani Tan Hong berpaling, bersama-sama Tantai Mie
Ming, yang mengikuti padanya, ia bertindak dengan cepat keluar
dari pintu depan, maka di lain saat mereka sudah lantas berada di
atas kuda masing-masing, yang segera dikasih lari kabur. Keduanya
sangat kesusu, mereka sangat bernafsu untuk menyambut utusan
kerajaan Beng. Di lain pihak, utusan kerajaan Beng itupun, yaitu In
Tiong, juga sama keras keinginannya untuk lekas-lekas sampai di
negeri atau kota raja Watzu, ke mana dia telah diutus.
In Tiong dan rombongannya berangkat dari kota raja Tionggoan,
Pakkhia, di hari kedua sehabis tahun baru, hingga sekarang ini
mereka sudah satu bulan lebih berada di dalam perjalanan. Mereka
sudah memasuki wilayah Watzu. Musim dingin telah berlalu, musim
semi datang sebagai gantinya, dengan lumernya salju, di tegalan, di
pegunungan, telah tertampak sinar hijau dari daun-daun
pepohonan. Sekarang mereka berada di semak belukar selewatnya
sebuah gunung, di sekitar mereka, selama beberapa puluh lie,
mereka tak tampak sebuahpun rumah penduduk. Hanya di atas
gunung kelihatan beberapa ekor elang terbang melayang-layang
mencari makanan, sedang di jalan yang menanjak, beberapa pohon
tengah bersemi.
"Tidak disangka wilayah Mongolia ada demikian menyedihkan,"
berkata Tamtay Keng Beng yang temani In Tiong. Ia bicara sambil
menghela napas. "Waktu ini jangankan daerah Kanglam, sekalipun
di kota Pakkhia, kini bunga telah mekar!..."
Salah satu pengiring, yang pernah pergi ke Mongolia, menyelak:
"Tempat ini masih belum terlalu hebat. Kalau kita telah tiba di
bahagian utaranya, yang buminya bersalju dan langitnya ber-es,
baharulah kita akan merasakan kesengsaraan yang hebat sekali. Di
bagian utara itu di mana dahulu hari Souw Boe mengembala
kambing, jangankan manusia, walau burung pun tak nampak! Di
sana jikalau orang berdahaga, dia cuma bisa minum salju dan kalau
lapar cuma bisa dahar daging kambing bakar..."
Mendengar orang menyebut halnya Souw Boe mengembala
kambing, In Tiong lantas teringat kakeknya, dengan tiba-tiba saja ia
menjadi berduka, hingga wajahnya muram dan lesu. Ia berdiam.
Tamtay Keng Beng yang manis melirik kepada pemuda utusan
Bengtiauw itu. Ia tertawa.
"Di sini masih terdapat rumput dan selokan," ia berkata, "di sini
kuda kita dapat singgah. Aku berpendapat malam ini baik kita
mendirikan kubu-kubu di sini saja."
"Akur!" menyatakan In Tiong dengan cepat. Agaknya ia sadar
dengan tiba-tiba. "Oleh karena hari ini kita tidak akan sanggup
meliwati tanah tegalan ini, baik besok saja kita melanjutkan
perjalanan kita. Bagimu, ini adalah yang pertama kali kau datang ke
Mongolia, kau tentunya tidak biasa, maka itu baiklah kau
beristirahat siang-siang."
"Itulah tidak berarti," sahut Nona Keng Beng. "Seandainya kaki
dan tangan kedinginan hingga menjadi kaku, namun pelahan-lahan,
kita akan menjadi biasa."
Di mulut nona ini mengatakan demikian, tapi di dalam hatinya ia
berpikir lain. Memang ia asing terhadap hawa udara di Mongolia ini,
akan tetapi mengenai tabiatnya In Tiong, lambat laun ia mulai
mengenalnya. Pemuda ini keras hatinya, tidak selemah lembut Tan
Hong, tetapi terhadap ia, In Tiong berlaku baik hati dan halus,
segala-galanya ia sangat diperhatikan, untuk itu In Tiong tidak
pernah menyelimuti diri. Maka dari itu, terhadap pemuda ini ia
berkesan baik.
In Tiong pilih sebuah tempat untuk mendirikan tendanya. Tempat
itu membelakangi angin, terlindung lamping gunung. Sedang
pengiring-pengiringnya sudah lantas mengumpulkan kayu-kayu
kering guna menyalakan unggun. Mereka mematangi makanan
bekalan untuk bersantap malam.
Sehabis bersantap, In Tiong pergi ke tendanya Tamtay Keng
Beng, untuk menemani sambil bercakap-cakap. Dengan cara itu
mereka biasa lewati waktu yang luang, hingga mereka tidak jadi
terlalu sunyi.
"Jikalau Thio Tan Hong dan adikmu ketahui kita telah tiba di sini,
betapa girangnya mereka," berkata Nona Keng Beng. "Kakak San
Bin telah pergi untuk menyampaikan kabar, mungkin dia telah
bertemu dengan mereka itu. Kalau nanti kita sampai di ibu kota
Watzu, untuk menyampaikan surat negara, kita masih punyakan
waktu luang beberapa hari. Selama itu maukah kau pergi ke rumah
keluarga Thio untuk menemui mereka itu?"
"Hm!" In Tiong perdengarkan suara tak tegas. Kemudian ia kata:
"Kalau kau pergi ke rumah keluarga Thio itu, siapakah yang kau
hendak cari? Mungkin Thio Tan Hong ada di rumahnya di mana ia
menantikanmu, akan tetapi jikalau In Loei juga berada di sana, dia
bukan lagi adikku!"
Mendengar itu, Nona Keng Beng tertawa geli. Dengan
telunjuknya, ia dorong anak muda di depannya itu.
"Hai, sampai kapankah kau dapat ubah tabiatmu yang bagaikan
tabiat kerbau ini?" tanyanya sambil tertawa. "Permusuhan apakah
itu yang demikian besar hingga kau tak dapat melupakannya? Kau
seharusnya mengarti, kali ini jikalau tidak ada Thio Tan Hong, Ie
Kokioo sendiri pasti tidak bakal mengetahui jelas keadaan dalam
dari negara Watzu, dan di antara kedua negara, pasti tidak begitu
mudah lantas dapat kecocokan untuk membuat perdamaian. Syukur
ada dia maka kau sekarang telah menjadi utusan untuk perdamaian
itu!"
In Tiong lantas saja tunduk. Memang juga Tan Hong itu setia
kepada negara. Bukankah pemuda she Thio itu tengah bekerja guna
Tionggoan? Maka ia terus membungkam, akan tetapi di dalam
hatinya, ia mengharap-harap In Loei, adiknya itu, tidak ada di
rumahnya Tan Hong...
"Maka setibanya di Watzu, kau harus menemui Thio Tan Hong,"
Nona Tamtay berkata pula. Ia agaknya menegur tetapi suaranya
halus, sikapnya lembut. "Kau harus menghaturkan terima kasih
kepadanya."
"Ie Kokioo ada mengirimkan surat untuknya, sudah semestinya
aku pergi menemui dia", menjawab In Tiong kemudian. "Hanya
sayang sekali, permusuhan di antara kedua keluarga ada
sedemikian rupa bagaikan laut dalamnya. Sekarang ini dia tengah
bekerja untuk negara, dengan memandang dan menghargainya, aku
suka tidak menarik panjang urusan kami. Akan tetapi, untuk
membikin lenyap permusuhan itu, supaya kami menjadi sahabat-
sahabat, itulah tak dapat!"
Nona Keng Beng tidak menjadi kecil hati atau putus harapan, ia
malah bersenyum. Kembali ia angkat tangannya, akan dengan
sebuah jarinya menekan pula jidatnya si anak muda.
"Sayang kau menjadi satu taytianghoe, satu laki-laki, tak
dinyana, pikiranmu sedemikian cupat!" ia berkata. "Nyata kau masih
kalah dengan kami kaum wanita! Pihak kami dengan pihaknya
Keluarga Tjioe itu, yang menguasai negara Tionggoan, ada musuh
turun temurun, untuk beberapa turunan kami sudah menyimpan
barang-barang permata mulia yang berharga sangat besar, akan
tetapi di akhirnya kami toh telah keluarkan itu, kami
menyerahkannya kepada pemerintah Beng! Dan Thio Tan Hong
apabila dia masih ingat kepada permusuhannya, tidak nanti dia mau
berdaya sungguh-sungguh meminta Ie Kokioo urus penyambutan
pulang raja yang tua."
Tamtay Keng Beng jujur dan polos, dia omong seperti apa yang
hatinya pikir. In Tiong merasakan itu, hatinya tergerak. Maka
sejenak itu, iapun berpikir: "Ya, mustahilkah aku tidak seperti Thio
Tan Hong itu?" Tapi sedetik itu juga, di depan matanya berbayang
surat wasiat kulit kambing yang berdarah itu, maka juga pikirannya
menjadi sangat kusut. Untuk menyingkirkan pikirannya yang kusut
itu, ia jemput paha kambing panggang di depannya yang ia keset
dan dahar sambil terus tunduk.
Keng Beng awasi kelakuan orang itu, ia juga berpikir, kemudian,
selagi ia hendak membuka mulut pula, tiba-tiba ia lihat In Tiong
mendekam di tanah di mana dia pasang kupingnya. Ia menjadi
heran, apapula ketika ia tampak wajah tak wajar dari pemuda itu.
"Eh, kau bikin apa?" dia tanya, heran.
Sebelumnya menyahuti, In Tiong sudah berlompat bangun.
"Ada pasukan tentara yang tengah mendatangi kemari," ia
menjawab.
Belum utusan raja Beng ini tutup mulutnya, mereka sudah
dengar suara terompet tanduk, yang disusul dengan mengaungnya
anak panah yang dilepas melesat ke udara, suaranya nyaring
melewati atasan tenda.
"Peronda kita melaporkan ada pasukan tentara tengah
mendatangi!" begitu datang warta dari salah satu siewie pengiring.
"Mereka itu sudah lantas membagi diri dengan sikap mengurung
kita. Di dalam gelap gulita tidak bisa dilihat berapa besar jumlahnya
mereka, tidak tertampak juga benderanya. Mohon In Thaydjin
memberikan titah apa yang kita harus lakukan."
"Tempat ini adalah tanah pegunungan belukar, mereka itu
tentulah gerombolan penjahat yang niat merampok kita," berkata In
Tiong. "Sekarang kamu ke delapan belas orang lekas keluar dan
memecah diri menjadi dua rombongan. Kamu juga mesti sembunyi,
bila dapat lihat bayangan orang, segera kamu gunai panah!"
Siewie itu menurut, ia undurkan diri untuk berkumpul sama
kawan-kawannya, untuk lantas bersiap sedia.
"Bagaimana dengan kau?" Keng Beng tanya si utusan setelah si
siewie mundur.
"Kamu semua pergi ke tendaku," jawab In Tiong, yang tidak
menjawab pertanyaan orang.
"Apakah kau tidak hendak keluar sendiri?" Keng Beng menanya
pula.
"Aku memegang soetjiat, pada tubuhku ada surat negara
kerajaan," jawab In Tiong, "dan di dalam tenda ini juga ada banyak
barang berharga untuk raja Watzu, cara bagaimana aku bisa
menyingkir dari sini? Kau bersama beberapa serdadumu, yang
semuanya wanita, juga tak leluasa untuk keluar di waktu malam
gelap petang seperti ini, maka daripada pergi untuk mencegat
penjahat, lebih baik kami berkumpul di dalam tenda untuk menjaga
bersama-sama aku. Aku percaya segala gerombolan gunung itu
tidak berarti banyak!"
Tamtay Keng Beng mengarti maksud sebenarnya dari In Tiong
ini, ia menjadi sangat bersyukur. In Tiong bukan berati barang-
barang untuk raja Watzu itu tetapi sebetulnya dia hendak lindungi ia
dan serdadu-serdadunya. Tentulah In Tiong berkuatir juga, karena
katanya ia dingin kaki tangannya hingga bisa jadi kurang leluasa
menggunai senjata, sedang serdadu-serdadu wanita itu, apabila
mereka pergi keluar, mungkin mereka ditawan penjahat dan
diperkosa. Dengan berkumpul di dalam sebuah tenda, mereka dapat
bekerja sama.
Baharu selesai orang mengatur diri, penyerangan sudah lantas
dimulai. Anak-anak panah lantas tampak melayang pergi datang tak
putusnya, disusul dengan seruan-seruan serta bentrokan senjata.
Selain suara beradunya pelbagai senjata itu terdengar juga suara
banyak kaki berlari-lari.
"Kawanan penjahat itu mendapat pukulan yang hebat!" berkata
In Tiong kemudian sambil tertawa, sehabisnya ia mendekam pula.
Di dalam hal kepandaian memasang kuping sambil mendekam,
pemuda ini ada liehay sekali.
Selagi mereka bicara, tiba-tiba terdengar satu sambaran "Sret!"
lalu api berkobar di tenda sebelah luar.
"Celaka!" berseru In Tiong. Terpaksa ia lompat untuk pergi keluar
tenda, dengan niat memadamkan api itu. Untuk ini, ia mesti
pentang pintu tenda. Justeru itu, berbareng dengan sambaran
angin, lima orang lompat menerjang masuk, yang semuanya
memakai tutup muka.
Nyatalah, dengan menggunakan panah apinya itu, lima orang ini
telah dapat perdayai In Tiong, untuk mereka menyerbu masuk. Dari
gerakan tubuh mereka yang gesit-gesit itu, dapat diduga mereka
mempunyai kepandaian enteng tubuh yang sempurna.
Segera juga lima orang bertopeng itu menyerang In Tiong.
Utusan kaisar Beng itu berseru sambil menyambut, ketika
sebelah tangannya dipakai menyerang, satu penyerang lantas saja
terpukul hingga tubuhnya terpental keluar tenda.
Tanpa bersangsi lagi, In Tiong terus pentang kedua tangannya,
untuk bersilat dengan ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe. Ia menyerang
ke kiri dan kanan. Ketika sedangnya ia menyerang ke kanan, ia
telah menyerang tempat kosong, menyusul mana, seorang
bertopeng datang menyerang ia dengan sepuluh jarinya.
Itulah pukulan Taylek Engdjiauw Kang yang berbahaya.
Menampak itu, In Tiong menyedot napas, untuk membikin kempes
dada dan perutnya, sedang tangan kirinya, yang segera ditarik
pulang, diteruskan dipakai membacok kedua lengan si penyerang
itu.
"Ih!" berseru si orang bertopeng itu, yang lekas-lekas turunkan
kedua tangannya, untuk berkelit dari bacokan.
Di dalam tenda ada api lilin, di antara terangnya cahaya lilin itu,
In Tiong lihat tangan orang yang merah gelap, ia menjadi terkejut.
Meski demikian sambil lompat mencelat, ia dapat dupak rubuh satu
musuh bertopeng di sampingnya selagi musuh itu hendak mendekat
padanya. Dengan demikian juga, ia telah dapat menyingkir dari
tangan merah dari musuhnya itu.
Itu waktu Tamtay Keng Beng pun tidak diam saja, ia sudah
hunus pedangnya akan terjang dua orang bertopeng lainnya.
"Awas kuku mereka itu!" In Tiong memperingatkan. "Kuku
mereka ada racunnya!"
Satu musuh bertopeng yang berada paling depan, yang rupanya
ada seorang tua, perdengarkan tertawa ejekannya yang dingin,
sedang seorang kawannya yang bersenjatakan sebuah golok
bagaikan gergaji, sudah lompat maju guna desak si utusan raja.
Sambil berkelahi, In Tiong memasang mata terhadap Tamtay
Keng Beng, yang dikerubuti dua musuh. Untuk keheranannya, ia
seperti kenali potongan tubuhnya salah satu musuh. Musuh ini, yang
rupanya liehay, berkelahi dengan menggunai Tjeksee Tjiang atau
Tangan Pasir Merah dicampur dengan Engdjiauw Kang, Tangan
Kuku Garuda, kelihatannya, dia ada terlebih gagah daripada si orang
tua.
Tamtay Keng Beng berkelahi dengan menggunai ilmu pedang
Lamgak Kiamhoat, ia dapat melayani kedua musuhnya, tapi
tubuhnya kurang lincah, di waktu dia lompat berkelit, nampaknya
agak lambat. Itulah mungkin disebabkan kakunya kaki tangannya,
seperti tadi ia telah beritahukan kepada In Tiong. Ia agaknya masih
menderita dari gangguan hawa udara yang dingin itu.
Kedua musuh itu seperti dapat melihat kelemahan si nona,
segera mereka ubah cara menyerangnya, yaitu sekarang mereka
lebih banyak merabu di bahagian bawah, agar si nona menjadi lekas
lelah.
Tiba-tiba salah satu penyerang yang bertopeng itu ulur kedua
tangannya ke arah Nona Keng Beng, untuk merabu kaki orang. Si
nona lihat itu, sambil berjingkrak, ia mendahului menendang dengan
dua-dua kakinya. Musuh itu liehay, dengan sebat ia menangkap
kedua kakinya Keng Beng, terus ia menggentak, untuk lemparkan
nona itu.
Keng Beng menjadi tidak berdaya, tubuhnya lantas terlempar
melayang dengan kedua kakinya di atas.
Ketika ini digunai oleh musuh yang kedua, yang bersenjatakan
sebatang golok tantoo. Ia tidak pakai goloknya itu, ia hanya
menukar dengan tali bandringan, yang ia lemparkan untuk
meringkus si nona!
In Tiong lihat si nona berada dalam bahaya, ia kaget hingga ia
lupa segala apa. Sambil berteriak, ia menyambar dengan sebelah
tangannya, ia lupa kepada bahaya apabila tangannya bentrok
dengan tangan liehay dari musuh itu, tentulah tangan In Tiong
terkena racun yang jahat, tapi di lain pihak, tangan si orang tua
akan menjadi patah juga.
Si orang tua ternyata kalah hati, dia berkelit sambil tarik pulang
tangannya. Tapi kawan di sampingnya yang memegang golok model
gergaji majukan diri. Dengan tangan kirinya, dengan gagang golok,
In Tiong sampok golok musuh ini, berbareng dengan itu tangan
kanannya menyambar terus.
Dengan tak sempat berteriak kesakitan lagi, pecahlah kepalanya
musuh itu.
Sekarang In Tiong terlepas dari gangguannya dua musuh, dapat
ia wujudkan keinginannya untuk menolongi Tamtay Keng Beng,
justeru ia hendak lompat maju, tiba-tiba ia dengar jeritan nona Keng
Beng, hingga ia menjadi kaget tak kepalang!
Keng Beng benar-benar kurang kelincahannya karena hawa
dingin itu, maka kedua kakinya telah kena disambar musuh
bertopeng, yang terus melemparkan tubuhnya itu membentur
lelangit tenda hingga ia menjerit. Di waktu ia hendak jatuh turun,
masih dapat ia menjumpalitkan tubuhnya, hingga ia jadi jatuh
berdiri, tepat didekatnya satu musuh yang bersenjatakan sebatang
golok, maka terus saja ia tikam musuh itu hingga tenggorokannya
tembus.
Berbareng dengan itu, tambang bandringan telah menyambar
nona ini.
Adalah di waktu itu In Tiong datang dengan pertolongannya. Ia
serang orang yang menggunai lasso itu, tetapi orang itu, lekas-lekas
undurkan diri karena takut.
Tidak demikian dengan si orang bertopeng yang usianya lanjut,
dia maju dengan niatan mengepung, dengan bengis dia sambar
pundaknya si anak muda selagi anak muda ini hendak serang terus
kepada musuh yang mundur itu.
Dengan cepat In Tiong turunkan pundaknya, akan tetapi oleh
karena ia sedang menyerang musuh, turunnya pundak kurang
rendah, hingga ia merasakan pundaknya sakit. Di lain pihak, saking
sehatnya gerakannya, ia berhasil menyerang lawan yang undurkan
diri itu hingga rubuh tanpa dapat berbangkit pula!
Meskipun ia telah kena diserang, In Tiong tidak berbalik untuk
melayani musuh yang tua itu, sebaliknya dia berlompat dua tindak,
guna segera tengok Tamtay Keng Beng.
"Hm!" berseru si orang tua, yang tidak susul In Tiong hanya dia
lompat kepada kawannya yang rubuh itu, tubuh siapa ia sambar dan
angkat, untuk segera dibawa lari keluar tenda. Bersama ia, mundur
juga semua kawan lainnya.
Nona Keng Beng tidak kurang suatu apa, malah ia bisa loloskan
diri dari lasso yang melibat tubuhnya, sambil tertawa ia berdiri
memandang In Tiong, yang datang padanya.
"Sungguh berbahaya!" demikian ucapannya. Ia menghadapi
bahaya tetapi ia tetap tabah, besar nyalinya.
"Kau tidak kenapa-napa?" In Tiong tanya.
"Tidak," sahut si nona, gembira.
In Tiong kerutkan keningnya: "Coba kau buka sepatumu."
berkata anak muda ini. "Buka sekalian kaos kakimu, untuk aku
periksa..."
Mukanya si nona menjadi merah.
"Dahulu di Thayouw santjhun ketika aku terluka oleh tangan
jahatnya Anghoat Yauwliong, kau yang merawat aku," berkata In
Tiong, "sekarang datang giliranku untuk membalas merawat kau."
"Aku tersambar dia tetapi aku memakai sepatu dan kaos kaki,
apakah aku masih dapat terluka juga?" si nona menanya. Ia benar-
benar tidak percaya. Akan tetapi ia toh buka sepatunya, kaos
kakinya juga. Ia dapat lihat pada kakinya itu ada tanda merah
sebesar uang emas.
"Sungguh liehay!" berkata In Tiong. "Syukur kau memakai sepatu
dan kaos kaki."
Anak muda ini pinjam pedang si nona, dengan ujung pedang itu,
ia gurat tanda merah di kakinya nona itu hingga terluka, setelah
mana, lekas-lekas ia menguruti untuk keluarkan darahnya yang
sudah kental dan hampir hitam warnanya. Setelah itu, ia lantas
borehkan obat.
"Sekarang kau boleh beristirahat," berkata si pemuda kemudian.
"Lihat besok, bagaimana perubahannya, kalau perlu, kau mesti
berobat lebih jauh."
Suaranya pemuda ini tenang tetapi hatinya sebenarnya tegang
sekali, inilah disebabkan obat yang ia pakai adalah obat biasa saja,
bukan obat istimewa untuk luka semacam itu. Ia sebenarnya kuatir
racun masih belum lenyap, hingga bisa terjadi luka itu berubah
menjadi berbahaya. Bagaimana kalau kaki nona itu menjadi
bercacat sebab pertolongan tidak tepat?
Keng Beng tidak menginsafi kekuatiran itu, ia pandang enteng
kepada lukanya, maka juga ia perlihatkan wajah yang tersungging
senyuman manis. Ia sangat girang dan puas untuk perlakuannya
In Tiong itu, yang demikian telaten merawat padanya, hingga tak
dapat ia umpetkan perasaan hatinya itu. Di dalam hati kecilnya pun
ia berkata: "Dibandingkan dengan Tan Hong, dia agak kasar, tetapi
perhatiannya ini tak kalah daripada Tan Hong atau In Loei..."
"Eh, kau jangan perhatikan aku saja," kata ia kemudian. "Kau
sendiri pun telah kena sambarannya si bangsat tua bertopeng itu..."
Ia bicara sambil tertawa.
"Untukku tidak ada halangannya, aku memakai lapisan emas," In
Tiong berikan jawabannya. Tapi ia buka pakaiannya, seragamnya,
maka ia bisa lihat, lapis emasnya pun lecet, tapi benar tubuhnya
tidak terluka. Keng Beng leletkan lidahnya.
"Sungguh liehay si muka bertopeng itu!" katanya. "Dia terlebih
liehay daripada si penjahat yang membokong aku!"
Sementara itu barisan wanita dari Nona Keng Beng sudah
berhasil memadamkan api yang membakar tenda, sedang jauh di
sebelah luar itu, suara pertempuran pun sudah lantas menjadi sirap,
tandanya pertempuran telah sampai di akhirnya. Cuma di tengah
udara masih terdengar suaranya anak-anak panah yang
menyambar-nyambar.
Tidak lama kemudian satu pahlawan datang melaporkan:
"Dengan mengandal rejeki besar dari thaydjin, penyerang telah
dapat dipukul mundur!"
"Apakah mereka telah mundur seanteronya?" In Tiong tegaskan.
"Nampaknya mereka masih berjaga-jaga dari tempat yang
tinggi," pahlawan itu berikan keterangan. "Mereka kadang-kadang
masih melepas anak panah tetapi mereka tidak berani menyerbu
pula."
"Jikalau begitu, rupanya mereka hendak kurung kita," In Tiong
bilang. "Sekarang berhati-hatilah kamu membuat penjagaan, jangan
sekali alpa. Apakah ada yang terluka di pihak kita?"
"Ada," sahut pahlawan itu. "Dua terkena panah, satu luka
terbacok, tetapi luka mereka tidak berbahaya."
"Bawa mereka itu ke dalam tenda, supaya serdadu wanita rawat
lukanya," In Tiong memerintahkan.
Delapan belas pahlawan itu adalah pahlawan-pahlawan kelas
satu dan kelas dua, semua gagah, hingga yang terluka sedikit sekali.
Beberapa serdadu wanita lantas saja menjadi repot, akan obati
ketiga pahlawan itu. Belum terlalu lama, satu pahlawan datang pula
dengar laporannya: "Musuh telah menyalakan api di atas gunung,
asapnya mengepul hebat. Entah apa maksudnya..."
Baharu saja pahlawan itu berhenti bicara, mereka segera dengar
suara terompet yang nyaring.
Hebat terompet itu akan tetapi musuh tidak menyerang.
"Inilah berbahaya," mengatakan In Tiong. "Mereka menyalakan
unggun, mereka pun perdengarkan terompet, itu tandanya mereka
meminta bala bantuan. Mungkin sebentar, sebelum terang tanah,
kita akan bertempur pula..."
Maka itu, ia lantas atur penjagaan di empat penjuru tenda. Dua
orang dijadikan satu rombongan.
Suara terompet terdengar pula, lalu sirap. Asap unggun pun
terbawa angin, lalu apinya padam. Dengan begitu, sang malam
menjadi sunyi seperti biasa pula.
"Apakah kau merasa baikan?" In Tiong tanya Keng Beng, kaki
siapa ia periksa.
"Aku merasa lebih enak," sahut si nona, yang segera alisnya
terbangun. Ia kata pula dengan cepat: "Dugaanku kawanan
penyerbu ini bukannya penjahat biasa!"
"Kenapa kau beranggapan demikian?" In Tiong tanya.
"Jikalau mereka ada penjahat biasa dan maksudnya cuma untuk
merampas barang-barang kita, tidak ada perlunya mereka memakai
topeng."
"Apakah kau mencurigai mereka sebagai tentara Mongol?" In
Tiong tanya. "Aku percaya Yasian tidak akan berani sembarangan
berbuat demikian rupa. Tiga korban yang terbinasa itu aku telah
perika, semua adalah orang-orang Han."
"Tetapi apa perlunya mereka bertopeng?" Keng Beng berkata
pula. "Kenapa di wilayah Mongolia ini ada banyak orang Han
sebangsa mereka?"
In Tiong mengkerutkan keningnya, ia berpikir keras.
"Mereka pakai topeng, tentulah mereka kuatir akan dapat
dikenali kita," ia berkata kemudian. "Dan penjahat tua yang liehay
itu, melihat potongan tubuhnya, aku rasanya seperti mengenalinya,
entah di mana aku pernah bertemu dengannya."
"Cobalah kau pikirkan dengan pelahan-lahan," Keng Beng
anjurkan.
In Tiong benar-benar asah otaknya.
"Oh, aku ingat sekarang," kemudian ia berkata pula. "Tempo hari
ketika kami bertempur di tanah lapang, selama diadakan perebutan
kehormatan Tjonggoan, aku telah lihat padanya. Ketika itu ada
banyak sekali calon, aku juga tidak sampai bertempur dengan
dianya. Aku tidak ingat betul, siapa dia..."
Keduanya lantas berdiam,
"Sayang tadi tak dapat kita bekuk padanya," kata In Tiong sambil
menghela napas, menyatakan penyesalannya.
Keng Beng berdiam terus, maka si anak muda pun bungkam
pula.
Belum lama kesunyian itu berlanjut, mendadak keduanya
menjadi kaget sekali. Tenda mereka melesak dengan perdengarkan
suara keras. Itulah tandanya tenda telah tertimpa barang yang
berat. In Tiong segera lompat menyamping.
Segera terlihat tenda terbelah, dari mana tertampak satu tubuh
merosot masuk. Untuk herannya si utusan kerajaan Beng, dia kenali
orang itu adalah musuh yang melukai Keng Beng.
"Orang pandai siapakah yang tengah bergurau?" In Tiong
berseru menanya.
Menyusuli jatuhnya tubuh orang bertopeng itu, dari lobang tenda
itu lompat masuk satu orang, yang terus saja tertawa berkakakan.
"Aku tolongi kau membekuk jahanam ini, cara bagaimana kau
mengatakan aku bergurau?" berkata dia.
Tamtay Keng Beng berlompat dengan kegirangan, hingga ia
perdengarkan seruannya. Orang yang baharu datang ini adalah Thio
Tan Hong!
In Tiong pentang matanya lebar-lebar, ia melengak. Ia heran dan
sangat kagum untuk liehaynya Tan Hong itu, yang seperti juga pergi
dan datang tanpa ketentuan.
"Coba kau bentet topengnya!" Tan Hong berkata tanpa ia
pedulikan utusan kaisar Beng itu tercengang.
Orang yang bertopeng itu rebah tanpa berkutik, rupanya dia
telah kena ditotok Tan Hong. Mungkin juga dia terluka karena
terbanting keras barusan.
In Tiong sadar, ia bertindak menghampirkan, ia ulur tangannya
akan sambar topeng orang. Maka sekarang ia kenali See Boe Kie
siapa, selama adu kepandaian di kota raja, telah kena dirubuhkan
Liok Thian Peng muridnya Tiatpie Kimwan si Lutung Emas
Bertangan Besi. Itu waktu dia dianggap sebagai calon biasa saja
seperti calon-calon lainnya, tidak tahunya dia adalah penjahat besar
di perbatasan kedua negara.
Sekarang In Tiong menjadi gusar sekali.
"Saudara Thio, tolong kau totok sadar padanya!" ia minta kepada
Tan Hong. "Ingin aku dengar keterangannya!"
Tan Hong tertawa.
"Sekarang ini sudah tidak ada tempo lagi untuk memeriksa
padanya," jawabnya. "Bala bantuan mereka telah datang, di
antaranya terdapat orang-orang yang liehay. Mereka itupun bakal
lantas menyerang pula..."
Selagi In Tiong berdiam, Keng Beng buka mulutnya. Nona ini
tahu Tan Hong gagah dan pintar, ia mempercayainya benar-benar.
Ia juga menduga, dengan Tan Hong yang bekuk See Boe Kie, mesti
Tan Hong ketahui banyak perihal musuh.
"Thio Toako," demikian ia berkata, "jumlah kami sedikit, pasti
kami tak dapat bertahan lama. Aku minta kau suka membantu
mendayakannya."
"Saudara In, maafkan aku, hendak aku menjadi seperti Mo Swie
yang telah perkenalkan dirinya sendiri," berkata Tan Hong, yang tak
jawab lagi si nona. "Hendak aku mewakilkan kau..."
In Tiong mengerti akan kelemahan rombongannya, ia juga
sangat kagumi anak muda itu, ia tidak berkeberatan.
"Saudara Thio, silakan kau berikan titah-titahmu!" ia berikan
perkenannya.
"Segera kita harus menyingkir dari sini!" Tan Hong bilang tanpa
berayal lagi.
"Sekarang malam gelap gulita, kami juga tidak ketahui keadaan
musuh," berkata In Tiong, "di sini pun ada banyak wanita, apakah
mundur tidak berarti kita menghadapi bencana?"
Sebaliknya dari utusan kaisar itu, Tamtay Keng Beng tertawa.
"Mestinya Thio Toako ada punya rencana sendiri!" ia bilang.
Nyata ia sangat mempercayai tjoekong yang muda itu.
In Tiong menjadi bungkam.
"Semua barang yang hendak dihadiahkan kepada raja Watzu,
kau muatkanlah di atas bebokong seekor kuda," Tan Hong beri
petunjuk, "lalu kau perintahkan semua orang lainnya meninggalkan
kuda mereka. Mereka mesti turut aku menerobos keluar! Aku
tanggung keselamatan kamu, malah kau akan berbalik menjadi
mendirikan jasa besar!"
In Tiong bersangsi, ia setengah percaya dan setengah tidak,
maka itu, ia mengawasi Keng Beng.
"Kau jangan kuatir," si nona berkata. "Aku dapat berjalan."
Utusan kaisar itu kuatirkan kakinya si nona.
Tetapi Keng Beng sudah lantas berlompat, untuk membuktikan
bahwa ia dapat bergerak dengan leluasa.
"Oh, kiranya kau terluka, adik Tamtay?" bertanya Tan Hong. Ia
awasi nona itu, yang ia tidak tahu telah mendapat halangan.
"Sekarang kau dapat bergerak dari berjalan, sebentar selang satu
jam, nanti aku obati padamu."
Pemuda ini lantas titahkan serdadu perempuan siapkan seekor
kuda, yang ke empat kakinya dibungkus wol tebal hingga di waktu
berjalan, binatang itu tidak akan menerbitkan suara tindakannya.
Semua barang yang hendak dibawa, digemblokkan kuat-kuat di
bebokong kuda itu.
Berbareng dengan itu, In Tiong perintahkan seorang
pahlawannya, untuk berikan kisikan kepada yang lain-lainnya,
supaya semua undurkan diri dan berkumpul, untuk bersama-sama
menyingkir dari tenda yang terkurung musuh itu. Maka sebentar
kemudian, mereka sudah siap sedia. Tenda telah digulung rapi, tiga
pahlawan yang terluka sudah lantas digendong.
Tan Hong jalan di muka sebagai penunjuk jalan. Semua tutup
mulut, hingga mereka tidak perdengarkan suara apa juga. Tetapi di
waktu mereka mau berangkat, Tan Hong perintahkan semua kuda
dikumpulkan, mukanya dihadapkan ke arah musuh, lalu
kempolannya semua kuda itu ditikam dengan golok, hingga
semuanya kaget dan kesakitan, sambil meringkik keras, mereka
kabur ke depan, ke arah musuh.
Tentu saja, di waktu gelap petang itu, ringkikan dan tindakan
kakinya semua kuda itu menerbitkan suara sangat berisik, hingga
musuh menyangka bahwa pihak lawan, yang tengah mereka
kurung, sudah lakukan penyerangan balasan, hingga mereka
menjadi repot bersiap untuk menangkis. Dan justeru itu, Tan Hong
ajak rombongannya kabur ke arah barat di mana ada suatu jalanan
kecil.
Baik orang maupun kuda, tidak ada satu juga yang menerbitkan
suara. Di tengah jalan, mereka pun tidak menemui rintangan. In
Tiong menjadi heran.
"Kenapa di sini tidak ada musuh yang menjaga?" menanya
utusan kaisar Beng ini sesudah mereka melalui perjalanan sekian
lama.
Thio Tan Hong tertawa.
"Jalanan ini tidak ada mulut jalan untuk keluar, inilah jalan mati,"
ia menjawab. "Di sini ada ditaruh belasan serdadu penjaga tetapi
mereka itu telah aku bikin habis. Berhati-hatilah semua, semakin ke
depan jalan semakin buruk dan berbahaya."
Memang di kedua tepi ada batu-batu gunung yang besar dan
tidak rata bagaikan batang rebung, yang pun ketutupan pohon-
pohon oyot dan duri. Untuk menyingkirkan rintangan itu, Tan Hong
kerjakan pedangnya, sedang sebelah tangannya yang lain dipakai
menuntun kuda. Ia jalan di muka sebagai pembuka jalan.
Oleh karena semua orang mengerti silat dengan baik, tidak
terlalu sulit untuk mereka ikuti si anak muda. Di mana perlu, mereka
juga gunai senjatanya, untuk singkirkan pelbagai rintangan oyot itu.
Belum terlalu lama, tibalah mereka di luar jalan kecil dan
berbahaya itu, hingga sekarang mereka tampak langit yang gelap,
yang bintang-bintangnya berkelak kelik. Angin meniup dengan
keras. Mereka sukar melihat ke sekitarnya tetapi mereka tahu
bahwa mereka berada di sebuah tempat terbuka, tegalan rumput
yang lebar. Mungkin mereka berada di tengah lembah...
Sampai di situ baharulah In Tiong dapat bernapas lega. Tetapi
meski demikian, hatinya belum aman betul. Ia kata: "Benar kita
sekarang sudah lolos tetapi tipu kita tadi bukanlah akal yang dapat
bertahan lama, itu hanya untuk sementara saja...
Lihat, di depan kita ada gunung besar yang mencegat
jalan, malam pun demikian gelap, cara bagaimana kita bisa
melewatinya? Di akhirnya, musuh toh akan ketahui tipu kita itu...
Sebaliknya dari utusan itu, yang hatinya ber-kuatir, Tan Hong
tertawa.
"Aku justeru hendak pancing mereka itu datang kemari!"
katanya. Tanpa berayal lagi, ia atur delapan belas pahlawan dan
serdadu-serdadu wanita itu, berikut In Tiong dan Keng Beng, untuk
menyembunyikan diri di tempat yang tinggi, untuk menyambut
musuh. Ia sendiri pun segera menempatkan diri.
Belum lama mereka bersiap, lalu terlihat datangnya musuh, yang
mendatangi dengan berlerot-lerot. Yang paling dahulu tertampak
adalah obor mereka yang dinyalakan besar-besar. Dari kejauhan,
mereka nampaknya bagaikan seekor naga.
Tan Hong sudah mengatur persiapannya, begitu musuh sudah
datang cukup dekat, ia segera perdengarkan suara tertawanya yang
nyaring dan panjang. Di malam gelap seperti itu. di dalam lembah,
suara tertawa itu berkumandang keras dan riuh, apapula suara itu
dapat sambutan dari yang lain-lainnya.
Musuh terkejut, mereka tidak tahu di mana adanya lawan, tetapi
mereka maju menerjang ke arah dari mana mereka dengar suara
tertawa itu.
Menyusuli majunya musuh, lalu terdengar jeritan-jeritan,
datangnya dari empat penjuru.
"Gulingkan batu!" Tan Hong berteriak-teriak.
"Gulingkan batu! Hajar mampus semua kurcaci itu!"
Di atas gunung itu ada banyak batu besar, sebenarnya tidak
sembarang orang dapat menolak batu-batu besar itu, akan tetapi
semua pahlawan-pahlawan itu kuat-kuat, mereka dapat
menjalankan titahnya Tan Hong sebagaimana si anak muda telah
merencanakannya.
Maka itu, hebat kesudahannya ketika banyak batu besar
menggelinding turun dari sana sini dari lamping gunung itu, yang
menggelinding saling susul. Banyak musuh yang kena terbentur
batu, tubuhnya rubuh, obornya terlempar terlepas, tubuh mereka
ketindihan batu-batu besar itu. Ada yang berkaok-kaok, ada yang
menjeritnya tertahan.
Di antara terangnya obor, In Tiong mengawasi kepada musuh
itu. Ternyata tempat di mana musuh jatuh adalah sebuah rawa atau
pengempang, yang di atasnya ketutupan pohon-pohon kaput atau
lainnya, hingga di dalam gelap itu, tidak dapat orang melihat tempat
air itu. Ke situ musuh terjatuh, ketindihan batu atau tenggelam, tak
dapat mereka membela diri. Tentu saja mereka itu mendapat luka-
luka patah kaki dan tangan atau tubuh remuk...
Menampak itu, In Tiong kaget sendirinya. Apabila tidak Tan Hong
yang menunjukkan jalan, mereka sendiripun bisa tercebur ke dalam
rawa itu.
"Kasihlah ampun kepada mereka!" Tamtay Keng Beng meminta,
sebab tak tega ia menyaksikan orang menjadi kurban secara
demikian hebat.
"Tahan!" Tan Hong pun segera berikan titahnya.
Maka berhentilah turunnya batu-batu besar itu.
"Kawanan serdadu musuh boleh dikasih ampun tetapi
pemimpinnya tidak," kemudian Tan Hong kata sambil tertawa
kepada In Tiong. "Mari kita berdua bekuk satu atau dua orang! Adik
Tamtay, kau tunggulah sebentar di sini!"
In Tiong akur, maka Tan Hong ajak dia pergi.
Anak muda itu ambil jalan mutar.
Di dalam rawa, semua tentera musuh yang masih dapat
bergerak, atau yang tidak terluka, telah berebut mendarat, untuk
menyingkirkan diri. Mereka tidak lihat ada serangan lagi, tetapi
mereka berlalu dengan terburu-buru.
Tan Hong dan In Tiong berlaku hati-hati. Karena mereka jalan
mutar, mereka sampai dengan lekas di bahagian belakang dari
barisan musuh. Di sana mereka dapatkan dua pemimpin musuh
yang bertopeng, satu di antaranya dikenali sebagai si orang tua
yang liehay. Kedua pemimpin ini sedang beraksi untuk mencegah
tenteranya menjadi kalut terus-terusan.
Tan Hong kisiki In Tiong, lalu ia mendekati kedua pemimpin
musuh itu, begitu datang dekat, ia lompat menerjang si orang tua,
yang ia tikam.
Orang tua itu kaget, tetapi ia liehay, walaupun ia diserang secara
membokong, masih dapat ia berkelit sambil terus balas menyerang
dari samping.
Tan Hong sudah duga ke mana musuh akan buang dirinya, sebat
luar biasa ia tarik pedangnya, untuk dipakai menyerang pula,
sasarannya kali ini adalah pundak musuh.
Orang tua itu kalah gesit, juga karena ia membalas menyerang
sambil berkelit, maka ia menjadi tidak berdaya ketika datang
serangan yang kedua. Ia kena tertikam, tubuhnya lantas saja rubuh.
Kembali Tan Hong tunjukkan kesebatannya, ketika musuh jatuh,
ia berlompat maju untuk menjambret, pedangnya dipakai menjaga
pedang musuh kalau-kalau musuh masih dapat membela diri.
Bagaikan garuda menyambar kelinci, demikian ia cekuk musuh tua
itu, yang tubuhnya terus diangkat.
In Tiong juga berhasil. Ia telah membarengi Tan Hong
menyerang pemimpin musuh yang kedua, musuh ini lengah, dia
kena terpukul, akan tetapi dia mengenakan baju lapis kulit, maka
itu, waktu terhajar, dia cuma limbung, tidak sampai dia jatuh. Tapi
pukulan In Tiong hebat sekali, baju lapis kulit itu robek. Sudah
begitu, utusan kaisar yang gagah itu tidak memberi ketika, ia
menyusuli dengan serangannya yang kedua.
"Hm!" berseru musuh itu, yang nyata liehay. Dia tidak cuma
dapat berkelit, malah dia dapat membalas juga, akan menotok ke
arah pinggang si orang she In, sedang kakinya dikasi melayang,
untuk mendupak lengannya In Tiong itu.
Itulah serangan menurut ilmu silat partai Thianliong Pay atau
Naga Langit dari Seetjhong (Thibet). Tendangannya biasa saja
tetapi yang hebat adalah susulannya, atau runtunannya, yang
membuatnya orang sukar berkelit. Maka syukur In Tiong tabah dan
sebat gerakannya. Hanya setelah mendesak, musuh itu, yang
ternyata licik, sudah memutar tubuh, untuk ambil langkah panjang!
Tan Hong sudah berhasil membekuk si orang bertopeng tua, ia
lihat kelicikannya lawan dari In Tiong itu, sambil bawa tubuhnya si
orang tua ia maju untuk mencegat. Musuh itu ganas, ia lantas
serang pemuda she Thio itu. Melihat ini, Tan Hong pun berlaku
cerdik, yaitu ia bukan berkelit atau menangkis dengan tangannya, ia
justeru majukan tubuhnya si orang tua, untuk dijadikan sasaran
musuh itu. Di lain pihak, tangan kirinya dikasih bekerja juga.
"Aduh!" menjerit si orang tua, yang suaranya bagaikan babi
mengguwik. Tetapi jeritan itu juga disusul oleh jeritan lain, ialah dari
si orang bertopeng yang licik itu!
Tan Hong tertawa bergelak-gelak, ia lantas lepaskan cekalannya
kepada si orang tua, yang sudah tidak bersuara lagi, yang sudah
tidak berkutik pula, karena serangan kawannya sangat liehay,
hingga dia pingsan seketika.
"Dia liehay," berkata In Tiong sambil tunjuk musuhnya yang
kabur itu. "Dia cuma lebih rendah sedikit saja dari kita. Di antara
penyerang-penyerang kita malam ini, dialah yang paling liehay,
maka itu, saudara Thio, mengapa kau biarkan dia meloloskan diri?"
Tan Hong tertawa memandang utusan kaisar Beng ini.
"Jikalau dapat kita menawan, kita menawannya, jikalau dapat
kita melepaskan, biarlah kita melepaskannya," jawabnya. "Dia
itu... biarlah dia terlepas dan kabur..."
In Tiong tidak puas. Ia beranggapan Tan Hong seperti sedang
mempermainkan padanya. Akan tetapi di samping itu ia mau
menyangka orang masih mempunyai akal lain, karenanya ia lantas
tutup mulut, ia tidak menanya lebih jauh.
Keduanya segera kembali ke tempat mereka bersembunyi tadi.
"Bagus!" berseru Tamtay Keng Beng, yang menyambutnya.
"Sekalipun sewaktu Kwan Kong membunuh Hoa Hiong tiada secepat
demikian!"
"Beruntung!" Tan Hong pun berkata. "Malam ini ancaman
bencana sudah lewat, orang kita semua boleh tidur dengan tenang,
kecuali kau dan aku, masih ada sedikit urusan lagi yang harus
diselesaikan. Saudara In, sekarang silakan kau duduk di tempatmu
untuk mulai dengan pemeriksaan!"
Sehabis mengucap demikian, Tan Hong titahkan orang
membangunkan tenda, untuk mereka beristirahat, sedang ia
bersama Keng Beng dan In Tiong, segera hadapkan si orang tua
bertopeng. Untuk menyadarkan tawanan itu, mereka mengguyurnya
dengan air dingin, lalu orang digusur ke dalam tenda.
Thio Tan Hong sudah menduga siapa adanya si orang tua,
ternyata ketika ia telah sambar topeng orang untuk dibukanya,
dugaannya tidak meleset. Orang tua itu adalah ayahnya See Boe
Kie, yaitu See Too. Maka ia tertawa dengan dingin.
"Manusia yang mencari pangkat dengan hianati sahabat, dengan
tak segan menjual negara berkongkol dengan musuh, sungguh
dosamu tak dapat ditebus hanya dengan jiwamu!" anak muda kita
mencaci. "Syukur mengenai aksimu malam ini telah aku
menduganya sejak siang-siang, jikalau tidak, tidakkah kamu akan
membikin kedua negara menjadi bentrok dan berperang?"
In Tiong juga mendongkol dan gusar, ia turut menegur.
"Ada permusuhan apakah di antara kamu dan si utusan kaisar
Beng?" demikian tegurnya. "Apakah sebabnya maka kamu serbu
kami dan hendak membinasakan kami semua? Hayo lekas berikan
pengakuanmu, supaya kau tak usah merasakan kompesan!"
"Sama sekali aku tidak berniat membinasakan kamu," See Too
menjawab. "Lebih-lebih aku tidak memikir untuk menimbulkan
peperangan di antara kedua negara."
"Habis, kenapa kau bawa pasukan dan menyerang kami?" In
Tiong tanya.
"Itu... itu..." lalu See Too berdiam, tak dapat ia buka terus
mulutnya.
Tan Hong tertawa dingin pula.
"Kau hendak bicara atau tidak?" tanyanya. Dengan dua jari
tangannya, ia lantas menotok.
See Too mengeluh kesakitan. Ia merasakan totokan itu bagaikan
ratusan batang jarum yang menusuk-nusuk tubuhnya, sakitnya
bukan buatan.
"Ampunilah aku, nanti aku bicara, aku bicara..." sahutnya
kemudian sambil meringis-ringis menahan sakit.
Tan Hong menepuk jalan darah enghiat too orang. Sejenak saja,
lenyap rasa sakitnya si orang tua.
"Jikalau kau mendusta setengah patah kata saja, akan aku beri
rasa pula padamu!" si anak muda mengancam. Ia berwajah lemah
lembut akan tetapi suaranya, sikapnya, keren sekali.
"Semua ini adalah Yasian yang perintahkan aku melakukannya,"
benar-benar See Too berikan pengakuannya.
In Tiong menjadi kaget sekali, hingga ia tercengang.
"Jangan ngaco!" ia membentak.
"Aku bicara dari hal yang benar," menjawab See To. "Yasian
tugaskan aku menyerang kamu untuk diculik, setelah itu nanti dia
kirim pasukan perangnya untuk menolongi kamu. Dengan begitu
hendak dia membikin seperti juga tentera negeri melabrak penjahat.
Dengan itu jalan hendak Yasian pengaruhi kamu, supaya kamu
terjatuh ke dalam genggamannya hingga kamu jadi bersyukur
terhadapnya."
In Tiong heran hingga ia berdiam saja. Tak dapat ia menerka
siasat Yasian itu.
"Sungguh tipu daya yang sangat busuk!" berkata Tan Hong
sambil tertawa tawar."Ini dia tipu daya yang dinamakan dengan
sebutir batu menimpuk tiga ekor burung. Yang pertama ialah Yasian
hendak membikin runtuh pamormu sebagai utusan kerajaan Beng,
supaya kau mendapat malu besar."
"Jikalau Yasian berhasil menawan kau dan dia dapat berpura-
pura menolongmu," berkata Nona Keng Beng, "itu artinya kau telah
terjatuh ke dalam genggamannya! Atau lebih benar, kau menjadi
orang tawanannya hingga tak dapat kau berbicara."
"Dengan begitu," Tan Hong menyambungkan, "kalau nanti telah
di mulai dengan perundingan perdamaian, Yasian menjadi menang
di atas angin, dia dapat mengajukan syarat-syarat yang menghina
Tionggoan. Kau berada dalam tangannya, tidak dapat kau bersikap
keras."
In Tiong mengerti sekarang, dan iapun insyaf bahwa ia nyata
kalah cerdas dari Tan Hong dan Tamtay Keng Beng.
"Pasukan tentara yang Yasian akan kirim itu, di mana nantinya
mereka bertemu dengan kau?" Tan Hong tanya pula See Too.
"Di depan, di mulut gunung ini," See To jawab. "Bagus, kau
benar tidak mendusta!" berkata Tan Hong sambil tertawa. "Baiklah,
aku kasih ampun padamu, kau boleh tak usah mati!"
Di mulut pemuda ini mengucapkan demikian tetapi tangannya
dengan sebat sekali menepuk dua kali beruntun tubuhnya orang she
See itu, dengan begitu ia pukul remuk tulang piepee orang itu,
hingga habis sudah tenaga dan kepandaian silatnya, untuk
selanjutnya, meskipun See Too mengarti Toksee Tjiang, ilmu tangan
jahat, ilmu itu tak dapat digunai lagi terhadap lain orang. See Boe
Kie pun tidak luput dari tepukan Tan Hong, kemudian anak dan
ayah oleh Tan Hong dibawa keluar tenda.
"Sekarang pergilah kamu!" Tan Hong memberi ijinnya. Atau lebih
benar ia usir kedua orang she See itu.
"Bagaimana besok kita hadapi tenteranya Yasian itu?" tanya In
Tiong sesudah Tan Hong kembali ke dalam tenda. Tan Hong
tertawa.
"Sekarang baiklah kau tidur dulu, untuk beristirahat," jawabnya.
"Kau percaya aku, dapat aku layani mereka, akan aku bikin kau
tidak usah hilang muka..."
Selagi In Tiong belum sempat mengatakan sesuatu, Keng Beng
mendahului ia.
"Thio Toako," katanya sambil bersenyum, "kau pandai sekali
menghitung, segala apa seperti telah masuk dalam terkaanmu,
apakah kau mengerti ilmu meramal hingga kau ketahui segala apa
di muka?"
In Tiong cocok dengan pertanyaannya si nona. Ia memang heran
kenapa Tan Hong tahu segala niat musuh, hingga dapat dihindarkan
ancaman bahaya hebat itu. Sebenarnya ia ingin menanya, tetapi si
nona telah mendahuluinya, ia jadi turut menantikan penjelasan.
Tan Hong tidak menjawab, hanya sambil kibaskan tangannya, dia
tertawa pula.
"Rahasia alam tak dapat dibocorkan!" katanya Jenaka. "Besok
pagi kamu akan ketahui sendiri! Saudara In, sekarang kau tidurlah!"
In Tiong menjadi masgul, tetapi karena ia tidak dapat memaksa,
terpaksa ia menurut saja untuk tidur.
"Eh, hampir aku lupa akan satu hal!" berkata Tan Hong tiba-tiba,
selagi orang hendak rebahkan diri. "Tunggu sebentar! — Adik
Tamtay, bagaimana dengan kakimu?"
In Tiong awasi anak muda itu, Keng Beng sebaliknya mencoba-
coba menggerak-gerakkan kakinya.
"Rasanya sedikit kaku, tak leluasa untuk dipakai bergerak," sahut
nona ini. Ia pun lantas gulung kedua ujung celananya.
In Tiong lihat kaki orang itu, dia terperanjat.
"Hai, betismu merah dan bengkak!" dia berseru. Ini memang hal
yang ia kuatirkan. "Tan Hong, bukankah tadi kau mengatakan
bahwa kau ada punya daya untuk mengobatinya?"
Sekarang pemuda ini ingat perkataan si orang she Thio tadi.
"Benar," Tan Hong menjawab, cepat, "hanya aku hendak minta
kaulah yang tolong mengobatinya."
In Tiong heran, ia mengawasi pula. Si nona pun kurang
mengerti.
Tan Hong merogo ke dalam sakunya, dari situ ia keluarkan
sebatang jarum.
"Kau pegang ini," ia berkata kepada si utusan kaisar Beng. "Kau
tahu jalan darah yongtjoan hiat di kaki itu, kau tusuk jalan darah itu
dua kali, lalu kau tusuk dua kali juga jalan darah hongbwee hiat.
Besok pagi, bengkak dan tanda merah ini akan
hilang lenyap. Jangan kamu berkuatir. Besok aku ajarkan pula
caranya untuk menusuk dengan jarum ini."
Anak muda ini ajarkan bagaimana In Tiong mesti menusuknya,
yang lalu diturut oleh orang she In ini. Nona Keng Beng cuma
merasakan sakit sedikit waktu ditusuk. Ia memang gagah dan
berani, tusukan itu tidak berarti baginya.
"Hawa udara di Watzu ini buruk," berkata Tan Hong kemudian,
"ada orang-orang yang tidak keruan-ruan bisa sakit tulang-tulang
kakinya seperti kau ini, adik Tamtay. Ilmu mengobati menusuk
dengan jarum ini, tidak hanya dapat menyembuhkan segala
penyakit sakit di buku tulang seperti ini, bahkan dapat menolong
orang yang telah menjadi pincang. Saudara In, tidak dapat kau tidak
mempelajarinya ilmu menusuk jarum ini!"
In Tiong tidak menyahuti, tetapi di dalam hatinya ia kata: "Keng
Beng tidak pengkor, untuk apa kau ngoce banyak seperti ini?" Tapi
masih Tan Hong bicara lebih jauh, maka ia memotongnya: "Baiklah,
masih ada tempo untuk aku belajar besok..."
"Memang, tak dapat kau tidak mempelajarinya!" Tan Hong
berkata pula. Apakah kau merasa sebal? Baiklah, kitab ini juga aku
berikan padamu! — Eh, adik Tamtay, kau harus anjurkan dia
mempelajarinya!"
Dan ia robek beberapa lembar dari kitabnya, lembaran robekan
itu ia belesakkan ke dalam tangannya In Tiong!
Bukan main herannya utusan raja Beng ini, hingga ia lupa untuk
menghaturkan terima kasihnya.
Nona Tamtay cerdas, ia heran kenapa Tan Hong begitu
mendesak hendak mengajarkan In Tiong ilmu pengobatan menusuk
jarum itu, tapi beda daripada In Tiong, ia mengerti mesti ada sebab-
sebabnya. Maka itu, ia lantas tertawa.
"Karena Thio Toako bermaksud baik, kau terimalah!" ia desak si
utusan.
In Tiong terpaksa terima resep pengobatan jarum itu, karena
Keng Beng telah mengatakan demikian, ia hanya tetap masih tidak
mengerti, ia tetap merasa heran.
"Bagus!" berkata Tan Hong tanpa pedulikan keheranan orang.
"Sekarang dapat kau mengobati sendiri pada adik Tamtay! Aku tak
usah mengganggu pula padamu..."
Lantas ia undurkan diri. Keesokannya pagi, Tan Hong adalah
yang paling dulu bangun dari tidurnya. Malah dia terus pergi ke
tenda In Tiong, akan banguni utusan kaisar Beng itu.
"Bagaimana lukanya adik Tamtay?" Inilah pertanyaannya
yang pertama-tama. In Tiong tertawa.
"Ilmu pengobatanmu dengan jarum itu benar-benar liehay
sekali!" ia menjawab, "Tadi malam, belum lewat setengah jam
sehabis dia ditusuki dengan jarum, dia sudah lantas bisa bergerak
dengan merdeka seperti biasa!"
"Kalau begitu, sekarang kita dapat berangkat dari sini," Tan Hong
bilang. "Kau perlu ketahui, di belakang kita masih harus terjadi
suatu pertunjukan sandiwara yang menarik hati!"
In Tiong tidak mengerti, ia heran. Peristiwa apa lagi yang
dimaksudkan pemuda ini? Dia bicara begitu tenang dan gembira.
Bukankah mereka akan menghadapi pula pasukannya Yasian?
Bagaimana pasukan itu hendak dihadapinya? Ia juga tetap heran
kenapa Tan Hong ketahui mereka terancam bahaya dan datang
malam-malam untuk menolongnya...
Oleh karena ia tidak tahu apa yang si anak muda bakal lakukan,
terpaksa In Tiong serahkan pimpinan kepada si anak muda itu.
Seperti sudah diketahui, di dalam pertempuran semalam, dari
delapan belas pahlawannya In Tiong, tiga telah terluka, tetapi
semua mereka pandai menunggang kuda, maka itu, utusan ini
titahkan mereka pergi ambil kudanya barisan penyerbu di bawah
pimpinan See Too itu. Di tempat pertempuran masih ada kudanya
pasukan itu, binatang-binatang itu tidak kabur semuanya, dua puluh
di antaranya dipilih dan diambil.
Setelah semua sudah siap, orang mulai keluar dari lembah itu.
Baharu rombongan ini tiba di muka gunung, dari sebelah depan
mereka sudah dengar suara dari banyak kuda berlari-lari, pada itu
tercampur seruan-seruan dari pasukan yang buyar.
"Itulah mirip pasukan yang kabur tunggang langgang," In Tiong
utarakan dugaannya.
Tan Hong tertawa mendengar pengutaraan itu.
"Pertunjukan sandiwara akan segera di mulai!" ia berkata dengan
penyambutannya. "Kamu tunggu dan lihat saja!"
Mereka berjalan terus, hingga mereka melewati jalan yang
menikung. Dari sini mereka lantas lihat debu mengepul di sebelah
depan mereka, lalu tertampak mendatanginya satu pasukan tentera
Mongol terdiri dari kira-kira tiga puluh jiwa yang tidak keruan
seragamnya, kudanya meringkik kecapean. Itulah pasukan yang
kalut kalah perang!
Rombongannya Tan Hong berdiam mengawasi pasukan itu, yang
datang menghampirkan mereka, di antara orang yang menjadi
pemimpin maju kemuka sekali sampai di depan In Tiong, terus ia
angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat seperti cara
tentera Tionggoan.
"In Soesin telah tiba di negara kami, maaf kami telah terlambat
menyambutnya." berkata dia. Dengan "soesin" dia maksudkan
"utusan kaisar Tiongkok".
"Kami adalah wakilnya Thaysoe Yasian," sahut perwira itu. "Kami
ditugaskan menyambut In Soesin yang telah tiba di negara kami.
Ah, Thio Kongtjoe juga ada di sini. Bagus!"
Perwira itu lihat Tan Hong, yang ia kenali. Ia adalah Ngochito,
pahlawan nomor satu dari Perdana Menteri Yasian. Menghadapi
pemuda she Thio itu, agaknya ia likat, walaupun udara lembab, ia
mengeluarkan peluh di keningnya.
Tan Hong bersenyum.
"Sungguh sempurna perlayanan thaysoe kamu!" ia berkata.
Sambil mengucap demikian, dengan tiba-tiba pemuda ini
majukan kudanya, sampai di dekatnya Ngochito, menyusul mana
sebelah tangannya menyambar kepada satu perwira di sisi pahlawan
nomor satu dari Yasian itu, lalu dengan paksa ia tarik tubuh orang.
Perwira itu bukan sembarang perwira, walaupun ia telah kena
dicekal, ia masih dapat membuat perlawanan. Begitulah, setelah
tangannya tak berdaya, ia ayun kedua kakinya, untuk menendang
orang yang mencekuk padanya. Akan tetapi Tan Hong sudah
bersedia untuk segala apa, ia mendahului menotok, maka perwira
itu lantas diam bagaikan mayat hidup!
Kejadian ini ada di luar dugaan siapa juga, terjadinya sangat
cepat, semua orang menjadi terkejut dan heran.
Ngochito tak dapat menahan sabar.
"Thio Kongtjoe, mengapa kau berlaku begini tidak tahu aturan?"
dia menegor.
Tan Hong tidak gubris tegoran itu, ia terus kerjakan kedua
tangannya. Lebih dahulu ia robek seragamnya si perwira, terus ia
buka baju lapis kulitnya, hingga tertampak bebokong orang di mana
terlihat satu tanda yang luar biasa sekali, ialah cacahan huruf "tjat"
(= "bangsat"). Huruf itu adalah huruf "tjodjie" — tulisan ringkas.
"Siapakah yang tidak tahu aturan?" Tan Hong tanya sambil
tertawa. "Kau pernah pelajari huruf Tionghoa, kau kenal huruf ini,
bukan? Ha, syukur aku sempat membuat tanda!"
Sambil berkata demikian, pemuda ini lemparkan tubuhnya
perwira itu ke arah In Tiong, maka satu pahlawan segera
menyambutnya untuk diringkus.
"In Soesin." berkata Tan Hong, sekarang kepada In Tiong, si
utusan kaisar Beng. "Perwira ini adalah si bangsat yang tadi malam
dapat meloloskan dirinya! Dialah yang bernama Ma I Tjan, salah
satu pahlawan di bawahnya Thaysoe Yasian! Silakan kau bawa dia
untuk dikembalikan kepada thaysoe Yasian itu!"
Ngochito jadi sangat gusar, hingga ia seperti lupa segala apa. Ia
angkat goloknya, dengan itu ia serang Tan Hong!
Si anak muda tidak tinggal diam saja, segera dengan pedangnya
ia menangkis, untuk melayani bertempur. Setelah beberapa jurus,
dengan tiba-tiba ia tertawa berkakakan.
"Apakah belum cukup kau rasakan kesengsaraan yang tadi
malam kau derita?" ia menanya. "Kau ingin terjatuh ke dalam
tanganku atau ke dalam tangannya musuh dari Thaysoe Yasian?"
Ngochito tercengang tetapi segera dia mencaci: "Jadinya tadi
malam adalah kau yang mengacau, binatang!" Lalu dengan bacokan
"Toapek Hoasan" = "Menggempur gunung Hoasan," dia menghajar
dengan bengis.
Tan Hong seorang pemberani, ia kerahkan tenaganya, ia
menangkis sambil membabat, maka itu pedangnya, pedang Pekin
kiam si Mega Putih lantas bentrok keras dengan golok pahlawannya
Yasian itu. Sebagai akibatnya bentrokan itu, ujung golok Ngochito
telah terpapas buntung, atas mana dia segera larikan kudanya
untuk menyingkirkan diri.
"Sekalipun kau hendak lari, tak dapat kau wujudkan itu!" berkata
Tan Hong sambil tertawa. "Kau lihat di sana — siapa itu yang
sedang mendatangi?"
Tan Hong menunjuk ke depan, dari mana seekor kuda kelihatan
lari mendatangi cepatnya bagaikan terbang, hingga seperti
tertampak hanya sebuah bayangan putih. Ketika Tamtay Keng Beng
sudah lihat tegas siapa si penunggang kuda itu, dia berteriak
bagaikan bersorak: "Kakak!"
Orang yang tengah mendatangi itu memang Tantai Mie Ming dan
binatang tunggangannya adalah kuda putih Tjiauwya saytjoe ma
kepunyaannya Tan Hong!
Ngochito kenali jenderal itu, ia kaget hingga semangatnya seperti
terbang meninggalkan raganya, meski begitu masih sempat ia
memanggil: "Tantai Tjiangkoen..."
Tantai Mie Ming menyambut dengan tertawanya yang nyaring.
"Bangsat, sekarang akan aku bikin kau kenal kepada Tantai Mie
Ming!" ia berkata.
Oleh karena mereka telah datang dekat satu pada lain, Mie Ming
segera serang pahlawannya Yasian itu, yang hatinya sudah kuncup,
hingga dia tidak dapat menangkis atau berkelit lagi, maka sekali
hajar saja, dia telah dibikin rubuh terjungkal dari atas kudanya.
Mie Ming benci pahlawan itu. Ketika baharu ini Yasian titahkan
Ngochito kurung Thio Tjong Tjioe, ia telah diperhina, sekarang
setelah ia letakkan jabatannya, ia dapat tidak memandang-mandang
lagi. Begitulah ia umbar penasarannya itu.
Ngochito ada punya sisa kira-kira tiga puluh serdadu, mereka itu
semua kenal Tantai Mie Ming sebagai satu pahlawan perang Watztu
yang kesohor gagah, maka itu menampak jenderal itu, bahna takut
dan kagetnya, beberapa serdadu telah rubuh sendirinya dari
kudanya. Yang lainnya, semua lari kabur!
Tanpa menghiraukan tentara yang kabur sera-butan itu, Tantai
Mie Ming lompat turun dari kudanya, untuk belenggu Ngochito.
Sebenarnya ia hendak lantas bicara kepada In Tiong dan Tan Hong
tatkala utusan kerajaan Beng itu perlihatkan roman kaget.
"Lihat, Yasian sungguh berani! Dia kirim pasukan perang besar!"
dia berseru sambil memandang ke depan, tangannya menunjuk.
Tantai Mie Ming berpaling, lantas dia tertawa.
"Itulah bukan pasukan perang Yasian," katanya.
Sebentar saja, pasukan tentara itu telah tiba, lalu yang menjadi
kepala perang menghampirkan Tantai Mie Ming dan bicara, setelah
mana, jenderal ini ajar kenal orang itu kepada utusan Beng ini.
Nyata pasukan perang itu adalah pasukannya suatu suku bangsa.
Ketuanya yang telah marhum telah binasa di tangannya Yasian, lalu
ketuanya yang sekarang, dipaksa Yasian tunduk kepadanya.
Tapi ketua ini membangkang, justeru dia dapat tahu ada
bentrokan di antara Yasian dengan Atzu Tiwan, dia lari ke pihaknya
Tiwan. Diapun bergabung dengan Tantai Mie Ming.
Tadi malam Ngochito memimpin tentara yang berjumlah lima
ratus jiwa, dia hendak menyambut rombongannya See To dan See
Boe Kie untuk menyergap In Tiong, tetapi Tan Hong keburu datang
dan mengatur siasat, Tan Hong sendiri pergi langsung menolongi In
Tiong, Mie Ming bersama barisan suku bangsa itu mencegat
barisannya Ngochito, yang mereka serbu, dalam pertempuran
malam buta rata itu, pasukan Ngochito kena dipukul rusak hingga
dia kabur bersama sisa serdadunya kira-kira tiga puluh jiwa itu,
sampai dia ketemu Tan Hong dan rombongannya In Tiong itu. Lacur
baginya, sisa serdadu-serdadunya, yang barusan lari serabutan,
semuanya kena ditawan barisan suku bangsa itu. Maka ludaslah
pasukannya Yasian itu.
Setelah mendengar pembicaraan antara Tantai Mie Ming dan
ketua suku bangsa itu, serta Tan Hong juga, baharulah In Tiong
seperti sadar dari mimpinya. Jelas semua itu adalah Tan Hong dan
Mie Ming yang mengaturnya, dengan dapat bantuan barisan suku
bangsa itu, maka usahanya Ngochito — atau lebih benar usahanya
Thaysoe Yasian — dapat digagalkan. Lebih kebetulan lagi Tan Hong
menyelusup ke tangsi musuh, ia jadi ketahui rencananya Ngochito
dan See Too, yang bekerja menurut titahnya Yasian. Tan Hong dan
Mie Ming pun sama-sama bekerja dengan baik dan berhasil, yaitu
memperoleh kemenangan.
Pahlawan Yasian yang bernama Ma I Tjan itu mula-mula
menggabungkan diri pada Ngochito, dia melihat tanda unggun dari
See Too, maka dia lantas berangkat untuk memberikan bantuannya.
Apa lacur, dia tidak sanggup lawan In Tiong, dia kena dihajar
utusan Beng itu, sesudah mana, Tan Hong dapat kesempatan untuk
mencorat-coret huruf "tjat" = "bangsat" di bebokongnya tanpa dia
merasa. Tentu saja, karena kena tertawan, dia tidak dapat buka
mulutnya lagi.
Ketika In Tiong dan si ketua suku membuat pertemuan, mereka
saling menghadiahkan "hata," Itulah adat kebiasaan dari suku
bangsa Mongol ini. Hata itu adalah semacam sapu tangan sutera,
tanda dari penghormatan. Kemudian mereka berembuk
akan mengambil putusan, ialah:
Ngochito dan Ma I Tjan diserahkan kepada In Tiong sebagai
orang-orang tawanan. Ketua suku bangsa itu peroleh semua orang
tawanan serta alat senjatanya dan lainnya kepunyaan pasukannya
Ngochito itu.
In Tiong tidak dapatkan kerugian suatu apa, malah kudanya
semua telah didapat pulang.
Ketua suku bangsa itu girang bukan main, sebab ia peroleh
banyak kuda, ransum dan alat senjata, maka di waktu ia hendak
berpisahan dari Tan Hong beramai, berulangkah ia menghaturkan
terima kasihnya, seperti Tan Hong pun mengucap banyak terima
kasih terhadapnya. Mereka berpisahan sesudah barisan suku
bangsa itu mengantar sampai di luar mulut lembah.
In Tiong melanjutkan perjalanannya sesudah tengah hari,
matahari memancarkan cahayanya hingga buyarlah hawa dingin. Ia
merasa gembira sekali. Bukankah ia telah lolos dari ancaman
bencana dan berbalik menjadi peroleh kemenangan?
"Beruntung tadi malam ada kau!" ia berkata kepada Tan Hong.
"Yasian hendak membikin runtuh kepadaku, siapa tahu, sebaliknya
dialah yang berbalik terjatuh ke dalam tangan kita!"
Tan Hong bersenyum, ia tidak menjawab. "In Toako," Tamtay
Keng Beng turut bicara, "kau juga turut berjasa, karena
kaupun tidak menjadi gentar atas serbuan musuh!"
Nona ini jalankan kudanya berendeng dengan kudanya si utusan
kaisar, ia pun gembira sekali, wajahnya berseri-seri.
Tantai Mie Ming awasi adiknya itu, lalu di dalam hatinya ia
tertawa dan kata: "Kiranya bocah ini sudah punyakan orang yang
dia penujui..." Ia senang mengawasi pasangan itu, tetapi ketika ia
ingat Tan Hong, ia menjadi berduka untuk tjoekong-nya ini.
Bukankah Tan Hong dan In Loei menemui rintangan?
Tan Hong juga nampaknya menjadi lesu, hilang kegembiraannya.
Sebelum itu ia ada bersemangat.
Di dalam kegembiraannya itu, In Tiong seperti lupa segala apa.
"Eh, mana In Loei?" tiba-tiba ia tanya si pemuda she Thio.
"Kenapa ia tidak bersama kau? Apakah ia seorang diri berdiam di
ibu kota Watzu?"
Pertanyaan ini sudah hendak dimajukan sejak kemarin tetapi tadi
malam telah terjadi penyerbuan dahsyat itu, yang membikin ia lupa
akan hal itu.
Tan Hong terdiam, ia mesti kuatkan hatinya. Tapi ia harus
menjawab.
"Ia tidak bersamaku," sahutnya dengan tawar. "Ia telah pulang
ke rumahnya untuk menjenguk ibunya."
Girang sekali In Tiong mendengar jawaban itu.
"Apakah ibuku masih ada?" dia tanya.
"Malah aku dengar ayahmu juga telah pulang!" Tantai Mie Ming
menyelak sebelum Tan Hong menjawab. Sengaja ia wakilkan
pemuda itu, sang tjoekong. "In Thaydjin, kamu sekeluarga dapat
berkumpul, sungguh itu ada hal yang sangat menggirangkan!"
"Benarkah itu?" berseru In Tiong. Ia girang bukan main.
"Mustahil kabar itu bohong?" Mie Ming membaliki. "Cuma..."
"Cuma apakah?" In Tiong tanya, cepat.
Tadi Mie Ming berhenti bicara karena tempo ia menoleh kepada
Tan Hong, anak muda itu telah mengkedipkan mata kepadanya.
Maka sekarang ia menjawabnya tak seperti apa yang ia hendak
mengatakannya tadi.
"Cuma karena jalanan ada jauh, entah mereka dapat susul kau
atau tidak..." demikian katanya. In Tiong tertawa.
"Aku akan berdiam lebih lama beberapa hari di ibu kota Watzu
untuk menantikan mereka," katanya. "Tapi, ketika ia tampak sikap
adem dari Tan Hong, ia menjadi kurang puas. Di dalam hatinya, ia
berkata: "Ya, memang kami kaum keluarga In bermusuhan dengan
kaum keluarga Thio, dia mendengar ayahku masih hidup, tentulah
dia menjadi tak bergembira. Sebenarnya dia heran juga, dia
berpemandangan luas tetapi sekarang dia menjadi cupat pikiran...
Tapi ini ada baiknya juga, kesulitanku pun menjadi berkurang.
Dengan In Loei dia tidak dapat berpisah, tetapi sekarang mau atau
tidak, dia mesti berpisah juga..."
Setelah peristiwa yang hebat itu, berubahlah sudah kesan In
Tiong terhadap Tan Hong, bukan melainkan kebenciannya telah
menjadi berkurang, malah permusuhannya telah seperti hilang
sendirinya. Ia hanya masih beranggapan bahwa di antara kedua
keluarga itu tidak seharusnya ada pergabungan pernikahan...
Perjalanan telah dilanjutkan dengan tenteram, tidak ada
rintangan apapun, maka berselang belasan hari, tibalah mereka
dengan selamat di ibu kota Watzu. Segera In Tiong menunda
dahulu di luar tembok kota, dari mana ia memandang ibu kota itu.
Ia lantas saja ingat banyak hal di masa mudanya, ketika ia turut
alami banyak penderitaan. Tapi sekarang, sebagai utusan kaisar,
bolehlah ia angkat kepala. Dalam pikiran ruwet tak keruan itu, air
matanya turun berketel. Ia tak tahu, ia mesti berduka atau
bergirang...
Belum lama, mendadak ada terdengar dentuman meriam tiga
kali. Menyusul itu, pintu kota telah dipentang lebar-lebar. Nyata raja
Watzu telah dengar berita dari tibanya utusan kaisar Tionggoan dan
karenanya dia mengirim wakil untuk menyambutnya.
Malah Yasian juga turut mengirimkan wakilnya, guna menyambut
utusan itu. Hanya wakil ini menjadi heran apabila ia tampak di
antara perutusan Tionggoan itu tidak beserta Ngochito dan
barisannya, sedang seharusnya Ngochito yang mesti mengiringi
perutusan itu. Ia tentu saja tidak ketahui, Ngochito dan Ma I Tjan
sedang terkurung rapat dalam sebuah kereta keledai yang dibawa
utusan kaisar Beng itu, sementara Thio Tan Hong dan Tantai Mie
Ming sudah sejak siang-siang pisahkan diri dari In Tiong, mereka
pergi menuju ke pintu kota yang kedua, untuk pulang ke rumah
mereka.
Perdana Menteri Yasian di dalam gedungnya juga menantikan
kabar hal tibanya utusan Tionggoan itu. Ia tidak usah menanti
terlalu lama akan terima kabar dari wakilnya. Ia memang tak
tenteram hatinya, duduk salah berdiri salah, maka kabar yang
diterimanya ini membuat kagetnya bukan kepalang. Ia terima
keterangan bahwa utusan Tionggoan datang cuma bersama delapan
belas pengiring serta beberapa pelayan wanita, bahwa semua
pengiring itu nampaknya gagah, pakaian mereka mentereng, tidak
ada tanda-tanda bekas mengalami penyerangan yang membuat
pakaian mereka tidak keruan atau kuda lelah dan manusia letih. Dari
halnya Ngochito dan lima ratus serdadunya, jangankan orangnya,
walau bayangannya pun tak tertampak.
Yasian kaget berbareng sangat heran.
"Ngochito dan Ma I Tjan kosen dan pintar, mereka ada bersama
lima ratus serdadu pilihan, malah dibantu pula oleh See Too serta
orang-orangnya, tidak seharusnya mereka gagal, umpama
gagalpun, mesti ada orangnya yang lari pulang untuk mengabarkan.
Kenapa sekarang tidak seorang juga yang kembali? Mustahilkah
utusan Tionggoan itu ada bangsa malaikat?"
Demikian Yasian tanya dirinya sendiri, hingga ia jadi berpikir
keras. Malam itu, karena ia terus menunggui warta dari Ngochito,
sama sekali ia tidak tidur sekejap pun juga. Keesokannya, dari pagi
hingga tengah hari, ia masih menanti-nanti, sehingga datanglah
kabar tibanya utusan Tionggoan itu, yang membikin keheranannya
sampai di puncaknya.
Di hari kedua, pagi-pagi Yasian kirim wakil kepada In Tiong,
untuk undang utusan itu. In Tiong terima undangan itu. Sudah
selayaknya ia berkunjung kepada perdana menteri Watzu. Ia datang
dengan ajak empat pengiring berikut sebuah kereta keledai. Tapi ia
datang sesudah jauh siang, hingga selama itu, Yasian mesti
menahan napas untuk menantikan padanya.
Heran Yasian waktu jauh siang itu ia diberitahukan tentang
kunjungannya utusan Tionggoan sambil membawa sebuah kereta
keledai.
"Apakah mereka bawa banyak barang antaran untukku?" Yasian
menduga-duga. "Mestinya hadiah itu barang-barang yang berat
sekali..."
Ia lantas berikan titah, pengiring mesti menunggu di tangga di
muka pintu besar, supaya si utusan seorang diri yang dipimpin
masuk ke dalam ruangan besar di mana ia menantikan.
In Tiong bawa sikap agung-agungan. Ia berjalan di lorong di
antara dua baris pengawal yang seragamnya mentereng dan
romannya gagah, semuanya menyekal golok, tombak dan pedang
terhunus.
Yasian telah pasang matanya. Ia tercengang ketika ia lihat
romannya utusan ini. Ia merasa bahwa ia seperti pernah bertemu
dengan utusan itu. Berbareng di otaknya segera berbayang satu
utusan lain dari kerajaan Beng. Itulah In Tjeng, utusan dari tiga
puluh tahun yang lampau.
Itulah utusan yang di negara Watzu hidup sebagai pengembala
kuda selama dua puluh tahun, tapi hatinya tak pernah dapat dibikin
ciut, yang semangatnya terus berkobar-kobar. Sekarang utusan
yang muda ini mirip benar dengan utusan yang tua dahulu itu...
In Tiong unjuk hormatnya kepada perdana menteri Watzu itu
yang membalasnya. Ia lantas persembahkan barang-barang hadiah,
seperti kumala putih dan lain-lainnya. Inilah keharusan di antara
kedua negara, sebagai tanda menghormat kepada menteri dari
negara yang dikunjunginya itu. Hadiah itu bukan barang sangat
berharga tetapi toh tepat untuk suatu menteri. Selama itu tetap dia
bawa sikapnya yang agung, bukannya jumawa, bukannya
merendah.
Setelah penyerahan hadiah itu, Yasian minta belajar kenal. Di
dalam hatinya ia kaget akan dengar utusan ini seorang she In.
"Sungguh kebetulan!" katanya sambil tertawa. "Pada tiga puluh
tahun sang lampau, utusan yang datang juga she In!"
"Malah sekarang ada terlebih kebetulan pula!" berkata In Tiong
sambil tertawa. "Pada tiga puluh tahun yang lampau itu adalah sang
kakek yang menjadi utusan, dan pada tiga puluh tahun kemudian,
ialah sekarang ini, aku adalah cucunya si kakek itu! Thaysoe,
bukankah ini ada suatu hal yang bagus sekali?"
Air mukanya Yasian berubah, akan tetapi ia mencoba akan
mengatasi diri. Begitulah ia paksa tertawa.
"Benar bagus, benar bagus!" begitu katanya.
Walau bagaimana, perdana menteri ini tak dapat sembunyikan
keheranan dan kagetnya, hingga sikapnya menjadi tidak wajar pula.
In Tiong merasa sangat puas, ia tertawa bergelak-gelak. Ia lalu
mendesak.
"Kali ini aku menjadi utusan, sebelumnya aku telah pelajari juga
ilmu mengembala kuda," demikian katanya, disengaja. "Jikalau
sudah datang waktu keperluannya, aku bersedia berdiam lama di
dalam negeri thaysoe ini!"
Yasian menjadi sangat likat. Ia tertawa menyeringai.
"Ah, In Thaydjin, kau bergurau!" katanya, untuk menutupi
kelikatannya. "Haha, haha, sungguh thaydjin suka bergurau!" Ia
lalu berdehem, ia urut-urut kumis jenggotnya.
"Thaydjin, aku justeru hendak mohon maaf padamu, karena kami
telah lalai dalam penyambutan kami. Thaydjin sudah melakukan
perjalanan jauh dan harus melintasi kota-kota dan gunung-gunung,
tentu kau letih sekali."
Dengan kata-katanya ini, Yasian ingin simpang-kan pembicaraan
sambil berbareng memancing keterangan kalau-kalau tetamunya
mengalami sesuatu di dalam perjalanannya itu.
Ditanya begitu, In Tiong tertawa dingin.
"Aku tidak merasa letih." demikian penyahutan-nya. "Hanya
ketika aku memasuki wilayah negara thaysoe, di tengah jalan
kami telah hadapi beberapa begal kecil..." Yasian kaget di dalam
hatinya.
"Kalau cuma begal kecil, itulah pasti bukannya Ngochito,"
pikirnya. Ia lantas menanya: "Di tempat manakah thaydjin ketemu
orang jahat itu? Pembesar-setempat di sana telah melalaikan
tugasnya, nanti aku periksa dan hukum padanya!"
Ia nampak kaget tetapi kali ini, kagetnya itu kentara.
In Tiong tertawa pula.
"Itulah tak usah," katanya. "Berhubung dengan pembegalan itu
kami tidak mendapat rugi apa-apa. Di sebelah tugasku, thaysoe
secara perseorangan aku hendak menghadiahkan sesuatu kepada
thaysoe, hanya yang tidak berarti..."
Yasian bersenyum, ia nampaknya gembira. "Janganlah berlaku
sungkan, In Thaydjin." katanya, merendah.
"Oh, tidak, tidak, thaysoe," In Tiong bilang. "Aku mohon thaysoe
perkenakan pengiring-pengiringku supaya barang hadiah itu yang
berada di dalam kereta boleh dibawa kemari..."
"Oh, tentu saja boleh!" Yasian berikan perkenannya dengan
cepat. Di dalam hatinya, ia kata: "Nyata dugaanku tidak meleset,
barang-barang di dalam kereta itu ada bingkisan untukku! Akan
tetapi barang ada demikian berat, mestinya barang yang tidak
seberapa berarti..."
Senang hatinya perdana menteri ini, sedang tadinya ia tidak puas
terhadap sikap agung-agungan dari utusan itu. Hadiah itu berarti
suatu muka terang baginya. Ia jadi tidak terlalu pikirkan, hadiah itu
barang berharga atau bukan. Ia lantas perintahkan supaya
pengiringnya si utusan diberi ijin untuk membawa masuk bingkisan
itu. In Tiong menghaturkan terima kasih. Ia perlihatkan wajah
berseri-seri.
Empat pengiring utusan Tionggoan itu bertindak masuk dengan
menggotong dua bungkusan karung goni yang besar. Yasian
mengawasi, ia menduga kepada suatu barang keluaran Tiongkok,
semacam hasil buminya. Ia tertawa di dalam hati. Ketika ia
menduga utusan ini tentulah seorang melarat...
Sampai di depan Yasian dan sepnya, ke empat pengiring lalu
turunkan bungkusannya dengan dibanting keras. Berbareng dengan
itu terdengar teriakan "Aduh!" yang tertahan. Kemudian, tanpa
tunggu titah lagi, mereka buka tambang yang mengikat mulut
karung itu, untuk keluarkan isinya karung, ialah dua tubuh yang
teringkus, malah tubuh yang satu tanpa baju, hingga kelihatan dada
dan bebokongnya, dan di bebokongnya tampak nyata cacahan huruf
"tjat" = "bangsat"
"Inilah hadiahku yang tidak berarti, yang aku harap thaysoe suka
terima tanpa celaan..." berkata In Tiong sambil tertawa.
Tidak usah dijelaskan lagi bahwa dua orang yang teringkus itu
adalah Ngochito serta Ma I Tjan. Karena mereka sudah teringkus
lama, tidak heran kalau mereka jadi pusing kepala dan pegal kaku.
Kalau tadinya mereka tetap tak sadar akibat totokan, seberlalunya
Tan Hong, mereka telah dibikin ingat akan diri mereka. Sekarang
mereka lihat Yasian, mereka menyangka bahwa mereka telah
ditolongi orang sendiri, saking kegirangan mereka sudah lantas
berseru: "Thaysoe."
Yasian kaget. Akan tetapi dia adalah satu orang besar dan
cerdas, dalam sejenak saja dia bisa menduga kepada kejadian yang
benar, maka lantas dia perlihatkan wajah bengis.
"Hai, dua begal cilik!" dia membentak, "cara bagaimana kamu
berani ganggu utusan dari negara besar? Mana orang? Hukum
rangket tiga ratus rotan kepada mereka, lantas masukkan ke
penjara negara, kemudian akan aku periksa dan hukum mereka!"
Ngochito dan Ma I Tjan menjadi sangat kaget, mereka lantas
buka suara, untuk memberi keterangan, tetapi bentakannya
pengiring Yasian telah mencampur baurkan suara mereka, yang pun
segera digusur ke ruang belakang!
In Tiong menyaksikan semua itu dengan tenang. "Thaysoe repot,
tidak seharusnya thaysoe diganggu segala begal kecil," ia berkata
sambil bersenyum.
Mau tidak mau, mukanya Yasian menjadi ber-semu merah.
"Sungguh kedua begal itu telah membikin aku malu..." ia berkata
dengan lagaknya dibikin-bikin. "Ah!..." ia menghela napas. "Pasti,
pasti akan aku hukum berat kepada mereka!"
In Tiong berdiam, dengan dingin ia awasi perdana menteri itu.
Dalam hatinya Yasian heran sekali. Dua pahlawannya itu sangat
tangguh, mereka memimpin lima ratus serdadu, juga dibantu See
To dan rombongannya, tetapi mereka kena ditawan, tentera mereka
lenyap tidak keruan paran, tidakkah itu luar biasa mengherankan?
Iapun merasa sangat tidak enak menampak sikapnya In Tiong itu, si
utusan dari Tionggoan, maka dengan sendirinya, paras mukanya
menjadi pucat dan merah padam bergantian.
"Hari ini telah cukup aku permainkan padanya!" berpikir In Tiong
setelah melihat lagak orang itu. "Baiklah, aku tidak mendesak dia
terlebih jauh, supaya dia tidak menjadi gusar, agar perundingan
tidak terganggu karenanya."
Maka ia tertawa dengan pelahan dan berkata dengan sabar:
"Thaysoe, apa yang telah terjadi itu tidaklah aneh. Di dalam sebuah
negara, rakyatnya memang tidak rata, tidak semuanya baik, mesti di
antaranya ada beberapa yang jahat. Harap thaysoe tidak pikir pula
tentang mereka itu. Marilah kita bicara tentang maksud tujuan kita."
Mendengar itu, lega juga hatinya Yasian.
"Benar apa yang kau katakan itu, In Thaydjin," ia menyahut.
In Tiong keluarkan segumpal kertas. "Inilah rencana perdamaian
kita," ia beritahu sambil serahkan kertas itu. "Coba thaysoe periksa."
Itulah rencana perdamaian karangannya Kokioo Ie Kiam, bunyinya
sangat sederhana. Ie Kokioo meminta supaya kedua negara
menjaga saja masing-masing wilayahnya, keduanya saling
memperlakukan sama rata, jangan sekali ada yang melakukan
penyerangan, supaya untuk selamanya tak lagi terbit perang. Pada
itu Ie Kokioo berikutkan syarat supaya "thaysianghong" yaitu raja
yang tua, Kaisar Beng Eng atau Kie Tin, yang tertawan di negeri
Watzu, lantas di merdekakan dan diantarkan pulang.
Setelah membaca rencana itu, Yasian berdiam. Ia berpikir.
Sederhana rencana Tionggoan itu tetapi bertentangan dengan
rencananya sendiri. Ia hendak kemukakan perdamaian menurut
cara dahulu, yang telah dibikin antara kerajaan Song dan Liauw
(Kim), ialah kerajaan Beng mesti menempati kedudukan yang
terlebih rendah, dengan negara Watzu harus ada perhubungan
bagaikan paman dengan keponakan. Negeri Watzu sebagai paman,
Tionggoan sebagai keponakan. Serta setiap tahun kerajaan Beng
mesti membayar upeti sebanyak tiga ratus laksa tail perak serta
sutera lima laksa kayu. Tegasnya, dia hendak berdamai sebagai dia
yang menang perang. Maka sekarang tidaklah ia sangka, Tionggoan
mengajukan syarat lain. Dia telah berdaya, dia telah bekerja supaya
utusan Beng itu terjatuh ke dalam tangannya supaya dapat
dipengaruhi, tidak tahunya, keadaan menjadi kebalikannya. Dia
sekarang menjadi mirip ayam jago yang kalah berkelahi, hingga
rencananya sendiri yang dia bekal di dalam sakunya tidak berani
dikeluarkan.
"Tionggoan adalah satu negara yang mengenal tata sopan
santun," berkata In Tiong apabila ia melihat orang berdiam saja, ia
bicara dengan sabar tetapi berpengaruh, "maka itu Tionggoan
hendak berdamai dan bersahabat dengan negaramu sebagai kedua
negara sederajat, sebagai saudara-saudara, semua peristiwa yang
sudah lewat, tidak hendak ditarik panjang pula. Dengan perjanjian
ini, kedua negara sama-sama tidak mendapat kerugian. Apabila
Thaysoe memikir lain dan thaysoe anggap Tionggoan boleh
diperhina, tidak ada jalan lain, di tapal batas negara kami sudah
sedia sepuluh laksa serdadu pilihan, kami bersedia untuk main
melayani thaysoe!"
Suaranya utusan ini lemah berbareng keras. Ia meminta tetapi
pun ia mengancam, namun ia tidak meninggalkan adat sopan
santun.
Pada mulanya benar Yasian telah berhasil menyerang Tionggoan
dan memperoleh kemenangan, hingga ia berhasil menawan kaisar
Kie Tin, akan tetapi dalam peperangan lebih jauh, di Pakkhia, ia
telah kena dikalahkan hingga terusir keluar dari kota Ganboenkwan,
maka dalam hal ini di antara kedua pihak tidak dapat dikatakan ada
yang menang dan kalah perang. Oleh karena itu, jikalau kedua
negara mengadakan perdamaian, itu adalah hal yang pantas sekali.
Bicara hal kedudukan, Tionggoan lebih menang, sebab di bawah
pimpinan Ie Kokioo, Tionggoan bersatu, di lain pihak, negeri Watzu
terancam bentrokan di dalam, dia ada di pihak lebih lemah. Hal ini
diinsafi Yasian, maka ia suka membuat perdamaian, tetapi dasar ia
seorang licik, ia masih hendak mencari kemenangan di atas angin.
Tapi ia menghadapi In Tiong yang berani, ia jadi menghadapi
kesulitan.
"Utusan ini sukar dilayani," demikian pikirnya. "Nyata dia jauh
lebih liehay daripada kakeknya dahulu hari. Jikalau aku main ayal-
ayalan, bisa-bisa kedudukanku menjadi berbahaya..."
Ia ingat ancaman bahaya dari pihaknya Atzu Tiwan.
"Baiklah," katanya kemudian, "rencanamu ini dapat aku terima.
Sekarang tunggu saja sampai junjunganku telah memeriksanya
baharu kemudian kita bicara pula untuk mengambil keputusan."
Pembicaraan berjalan lancar, belum lewat sepuluh hari kedua
pihak telah peroleh persetujuan. Rencana Tiongoan diterima baik,
cuma beberapa kata-katanya saja yang diubah sedikit. Telah
ditetapkan, di hari kedua sehabisnya, pembubuhan tanda tangan,
kaisar Tiongkok yang ditawan itu akan dimerdekakan, dia boleh
disambut utusannya untuk diajak pulang.
Sementara itu kaisar Kie Tin dipindahkan dari kamar tahanan ke
dalam istana raja Watzu, diberikan sebuah ruangan di mana ia
diperlakukan sebagai raja yang terhormat.
Selagi perundingan perdamaian dilakukan, Tan Hong telah
menulis surat kepada In Tiong, dia undang utusan Tionggoan itu
datang ke rumahnya. In Tiong tampik undangan itu, ia masih ingat
permusuhan di antara mereka walaupun terhadap Tan Hong ia telah
berkesan baik. Karena itu, Tan Hong juga tidak datang berkunjung
kepada utusan itu.
Dengan lewatnya sang waktu, datanglah malaman yang
besoknya utusan Tionggoan bakal ajak junjungannya yang tua
berangkat pulang. Malam itu In Tiong merasa tegang sendirinya,
hingga di tempat kediamannya, ia jalan mondar-mandir tak
hentinya. Ia memikir untuk tidur tetapi tak dapat ia lakukan itu.
Di pihak lain, juga ada dua orang yang merasakan ketegangan
sebagai In Tiong itu. Mereka adalah Tan Hong dan ayahnya. Hanya
ada perbedaan pikiran di antara anak dan ayah itu.
Ketegangan Tjong Tjioe karena ia gembira berbareng masgul dan
berduka. Begitulah di dalam taman, sambil meloneng pada lankan,
ia mengadakan pembicaraan dengan puteranya.
Selama beberapa hari itu, Thio Tjong Tjioe dapat diumpamakan
sebagai pohon tua yang sudah kering, angin musim semi telah
meniup sepoi-sepoi akan tetapi pohon tua itu tak bersemi pula, tak
ada daunnya yang hijau. Dia telah keram diri di dalam kamar
tulisnya, sampaipun dengan puteranya sendiri sedikit sekali ia
bicara. Sedang mengenai urusan tibanya utusan Tionggoan, sama
sekali tak sudi ia menyebut-nyebutnya. Sikapnya yang luar biasa itu
menimbulkan kekuatiran di antara orang-orang sedalam gedungnya.
Tan Hong ingin sekali mengunjungi In Tiong, tetapi menampak
keadaan ayahnya ini, tidak berani ia meninggalkan rumahnya.
Hanya pada malam itu, dengan sekonyong-konyong Thio Tjong
Tjioe panggil puteranya diajak jalan mondar-mandir di dalam taman,
akan akhirnya si orang tua berdiri meloneng. Lama dia
membungkam, matanya mengawasi sang rembulan yang naik
semakin tinggi dan semakin tinggi. Di akhirnya dia menghela napas,
lalu dia bersenanjung:
"Malam ini memandangi rembulan di dalam taman, lain tahun
akan memandanginya seorang diri..."
Benar-benar orang tua ini menggadangi sang rembulan, yang ia
terus awasi saja, hingga ia pun dapat memandang sang mega yang
bagaikan lautan. Melihat sang mega itu ia seperti bermimpi pesiar di
Kanglam...
"Ayah..." memanggil Tan Hong dengan air matanya
mengembeng. Ia sangat berduka melihat sikapnya ayah itu.
Tjong Tjioe tertawa, sedih suaranya.
"Kabarnya perdamaian telah ditanda tangani," berkata ayah ini.
"Besok utusan Kerajaan Beng bakal berangkat pulang, benarkah
itu?"
Inilah yang pertama kali Tjong Tjioe menyebut tentang utusan
Beng itu.
"Benar," Tan Hong jawab ayahnya itu. "Utusan itu she In,
benarkah?" sang ayah menanya pula.
"Benar," sang anak menjawab pula. Ia selalu menjawab dengan
singkat. Sudah berulang-ulang ia pikirkan, oleh karena In Tiong
tidak ingin menemui ayahnya, ia juga tidak hendak menyebut-
nyebut tentang utusan itu terhadap ayahnya.
"Utusan itu tidak mensia-siakan tugasnya," berkata sang ayah,
"dia melebihi In Tjeng dahulu hari!"
Tjong Tjioe masih belum tahu bahwa utusan itu adalah anaknya
In Teng atau cucunya In Tjeng si utusan yang dahulu itu.
Tan Hong manggut, ia bersenyum.
"Kalau begitu anak Hong, kau juga harus berangkat besok!"
sekonyong-konyong ayah itu bilang.
Hatinya Tan Hong memukul. Itulah soal yang ia telah pikirkan
selama banyak tahun. Ia tidak menyangka bahwa hari ini ayahnya
itulah yang menimbulkannya. Ia menjadi tidak keruan rasa. Ia tahu
dengan pasti. Kalau besok ia berangkat maka untuk selama-lamanya
ia tidak akan bertemu pula dengan ayahnya itu. Berpisah hidup,
berpisah mati, itulah hal yang sejak jaman dahulu dibuat duka
orang. Apapula sekarang ia akan berpisah kepada ayah
kandungnya...
Sebisa-bisanya Tan Hong kuatkan hatinya. Ia tahu, tidak nanti
ayahnya ijinkan ia pergi.
"Dan bagaimana dengan kau, ayah?" ia balik menanya.
Tiba-tiba wajahnya Tjong Tjioe menjadi gelap, lalu ia tertawa.
"Semua barangmu telah aku siapkan!" katanya. "Ini adalah yang
terakhir aku mengurus keperluanmu!"
Tan Hong terkejut, tetapi ia masih dapat kendalikan diri.
"Ayah," katanya, "jikalau ayah tidak pergi, akupun akan tetap
tinggal di sini menemani kau..."
"Tidak, kau harus pergi," berkata ayah itu. "Kau masih muda!
Tantai Tjiangkoen akan berangkat bersama kau! Telah aku
beritahukan kepadanya!"
"Tantai Tjiangkoen juga turut pergi?" berkata ini, yang menjadi
heran sekali. Hendak ia melanjutkan. "Dengan begitu, bukankah
ayah menjadi bersendirian saja dan kesepian?" akan tetapi ia batal
mengatakannya. Tidak dapat ia keluarkan itu.
Thio Tjong Tjioe, bersenyum.
"Benar," sahutnya, "Tantai Tjiangkoen..."
Tiba-tiba satu bayangan berkelebat datang, atau Tantai Mie Ming
sudah berada di hadapan mereka.
Senyumannya Tjong Tjioe masih belum lenyap, hendak dia
mengatakan, "Baharu aku menyebutkan Tjo Tjoh, atau Tjo Tjoh
telah tiba!" akan tetapi Mie Ming, dengan napasnya memburu,
berkata: "Tjoekong, celaka!..."
Ayah dan anaknya itu terperanjat. Tjong Tjioe belum pernah
nampak jenderal itu demikian kesusu atau gelisah.
"Ada apakah?" Tjong Tjioe tanya.
"Gedung kita telah dikurung!" sahutnya Mie Ming.
Tan Hong kaget. Tetapi segera ia pasang kupingnya. Benar ia
dengar suara dari banyak orang di luar gedung.
Thio Tjong Tjioe bersikap tenang seperti biasa.
"Mari kita keluar melihatnya!" katanya, sabar.
Tan Hong dengan disusul Tantai Mie Ming lompat ke tembok, dari
situ mereka dapat lihat gedung telah dikurung beberapa lapis
tentera, sedang di pekarangan depan, menghadapi pintu besar, ada
bercokol sebuah meriam besar yang dinamakan Angie toapauw.
Bangsa Mongol adalah bangsa yang paling pertama membawa
mesiu ke medan perang, ketika dahulu dia malang melintang di
Eropa, bukan sedikit dia mengandal atas meriamnya itu. Tan Hong
tidak sangka hari ini, meriam itu dipakai untuk menghadapi keluarga
Thio.
Di belakang meriam besar itu tampak berdiri berbaris tiga
penunggang kuda ialah Ngochito, Ma I Tjan dan Pek San Hoatsoe,
soeheng atau kakak seperguruannya Tjeng Kok Hoatsoe. Dibarisan
depan itu adalah tentera Mongol yang memegangi obor cabang
pohon cemara.
Ketika Tan Hong terlihat muncul di belakang tembok, tentera
Mongol berteriak-teriak dengan seruannya yang gemuruh. Anak
muda ini berlaku tenang, ia mengawasi mereka itu.
"Untuk apa kamu datang kemari?" bentaknya dengan sabar.
Akan tetapi suaranya ini terdengar terang sekali, suara itu
berpengaruh, maka suara riuh berhenti dengan tiba-tiba.
Ngochito tepuk kudanya untuk di majukan, lalu mengawasi ke
atas tembok, ia tertawa besar.
"Thio Tan Hong, hendak aku lihat, hari ini kau ada punya
kepandaian apa!" dia berkata dengan jumawa. "Kau bilanglah, kau
ingin hidup atau mampus?"
"Apa yang kau artikan?" Tan Hong menegaskan.
"Jikalau kau ingin hidup," menjawab Ngochito, "maka kau mesti
rela dengan tanganmu sendiri kau belenggu semua orang yang
berada di dalam gedungmu ini, kecuali ayahmu, yang boleh tidak
usah diikat! Lalu kau pentang pintu besar untuk membiarkan kami
bawa kamu ayah dan anak menghadap Thaysoe, supaya Thaysoe
sendiri yang nanti memberikan putusannya!"
"Hm!" Tan Hong perdengarkan ejekannya. "Jikalau aku
menolak?" dia tanya.
"Akan aku berikan kau ketika untuk memikirnya masak-masak,"
menyahut pula Ngochito, si pahlawan nomor satu itu. "Kau harus
ketahui, bukankah kau telah lihat tegas meriam besar ini? Walaupun
kau bagaimana gagahpun tidak akan kau sanggup lawan meriam
ini! Akan aku beri kau tempo sampai jam lima untuk memberikan
jawabanmu, jikalau kau berani menampik, atau jikalau kau berani
membuat perlawanan, jangan salahkan aku, begitu terang tanah
begitu aku lantas menembak ke arah kamu!"
"Anak Hong, kau turunlah!" demikian suaranya Thio Tjong Tjioe
selagi anaknya belum menjawab Ngochito.
Tan Hong dan Mie Ming lompat turun, akan hampirkan orang tua
itu.
"Nampaknya jahanam Yasian itu tidak puas sebelum dia
mendapatkan aku," berkata Tjong Tjioe kepada anak dan
jenderalnya itu, "maka itu akan aku pergi kepadanya. Kau bersama
Tantai Tjiangkoen ada punya kepandaian, dengan melihat gelagat,
pergi kamu menyingkirkan diri!"
"Tidak, ayah!" kata Tan Hong. "Pasti sekali tidak nanti anakmu
membiarkan ayah terhina Yasian!"
Tjong Tjioe berpikir sejenak, lalu ia tertawa nyaring.
"Sungguh bersemangat, sungguh bersemangat!" ia berkata. "Kita
tiga turunan berdiam di negara Watzu ini, kita menumpang hidup
dengan menahan malu, semua itu telah cukup batasnya! Sekarang
Tiongkok telah menjadi kuat, tidak dapat kita menerima malu
terlebih jauh! Baiklah, kau biarkan aku bersama semua orang di
dalam rumah ini terbinasa di sini, tetapi kamu berdua pergi kamu
menyingkir dari pintu belakang!"
"Tidak, ayah!" berkata Tan Hong dengan segala kepastian.
"Jikalau kita mesti terbinasa, mari kita binasa sama-sama
tjoekong1." Tantai Mie Ming pun kata dengan gagah.
Thio Tjong Tjioe mengalirkan air mata, akan tetapi ia tertawa.
"Sungguh kamu ada anak dan sebawahanku yang baik sekali,"
berkata dia. "Ah, semuanya akulah yang rembet-rembet kepada
kamu..."
Tjong Tjioe lantas ingat kekeliruan ayahnya dan ia sendiri.
Mereka telah ambil siasat bekerja kepada bangsa Watzu, yang
tenteranya mereka bikin kuat, niatnya adalah untuk pinjam tentera
itu guna menggempur kerajaan Beng, untuk membangun pula
kerajaan keluarga Thio, siapa sangka sekarang ia mesti makan
buahnya yang pahit getir ini, bukan saja Tionggoan hampir
dimusnahkan Watzu, sekarang mereka sendiri sekeluarga bakal
menjadi musnah tertembak meriam...
Dari luar segera juga terdengar lagi suaranya Ngochito: "Hai,
kamu sudah ambil keputusan atau belum? Ingat, paling lambat
sampai hari sudah terang tanah, akan aku mulai menembak!"
Tan Hong menjadi sangat masgul dan mendongkol. Dia yang
sedemikian cerdas, sekarang telah habis daya, tidak dapat ia
memikir. Mengawasi ayahnya, pikirannya menjadi kalut, dia cuma
bisa berduka dan bergelisah...
Tjong Tjioe nampaknya sangat berduka dan bergelisah juga.
Sementara itu, di lain tempat, juga ada seorang lain yang tak
kurang gelisahnya daripada keluarga Thio ini. Dia adalah Topuhua,
puterinya Perdana Menteri Yasian.
Topuhua telah mendapat tahu yang perdamaian telah didapat,
malah kedua pihak telah menanda-tanganinya, karena mana besok
pagi, utusan kerajaan Beng bakal berangkat pulang. Ia tahu,
dengan begitu, tentulah Thio Tan Hong akan turut perutusan Beng
itu pulang ke Tionggoan. Hal ini membuat ia berduka dan gelisah,
pikirannya menjadi bingung dan pepat, alisnya senantiasa berkerut.
Yasian telah dapat lihat kedukaannya puterinya itu. Malam itu ia
menenggak banyak susu macan, ia sangat bergembira. Sambil
tertawa, ia kata kepada puterinya itu: "Jangan kau bersusah hati,
tidak nanti Tan Hong turut berangkat. Aku ada punya daya upaya
untuk besok membawa dia kembali! Kau adalah puteriku satu-
satunya, umpama kau menginginkan rembulan di atas langit,
sanggup aku mengambilnya turun untukmu! Anak Hua, kau lihat,
bagaimana ayahmu menyayangimu!..."
Topuhua girang dan bersangsi. Benarkah perkataan ayahnya itu?
Ia tidak lihat ayahnya itu hendak mendustai padanya. Tadinya ia
hendak tanya untuk menegaskan, akan tetapi sang ayah terus sibuk
dengan araknya, terpaksa ia tutup mulutnya.
Terus-terusan Topuhua berada dalam kesangsian, ia tidak tahu,
ayahnya akan bertindak bagaimana. Sampai tengah malam ia masih
belum tidur pules. Tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di ruang
tetamu. Ia ingin sekali dengar apa yang dibicarakan, diam-diam ia
keluar dari kamarnya, ia pergi ke kamar tetamu itu. Ia umpetkan diri
di belakang pinhong, pintu angin.
-ooo00dw00ooo-

Bab XXX
Ada dua orang yang tengah berbicara di ruang tetamu itu. Yang
satu Topuhua kenali sebagai ayahnya. Yang lain adalah kepala
rumah tangga gedung perdana menteri yaitu Tjongkoan Wotjaha.
"Utusan kerajaan Beng akan berangkat begitu terang tanah,
apakah barang-barang hadiah kita sudah sedia semua?" demikian
suaranya Yasian.
"Semua sudah disediakan lengkap," jawab Wotjaha.
"Bocah she In itu benar-benar sukar dilayaninya," Yasian berkata
pula. "Aku bersyukur kepada langit dan bumi, seperginya dia, kita
bakal merasa aman dan senang..."
"Bukankah Thaysoe hendak mengantar padanya?" sang kepala
rumah tangga tanya.
"Kau saja yang wakilkan aku," perdana menteri itu jawab. "Kau
berikan alasan bahwa aku sedang sakit. Sri Baginda sendiri turut
mengantar untuk memberi selamat jalan. Itupun sudah suatu
kehormatan besar baginya."
Tidak tertarik hatinya Topuhua akan mendengarkan pembicaraan
itu, maka ia ingin kembali ke kamarnya untuk tidur. Tapi belum
sampai ia angkat kakinya, ia lantas mendengar hal lainnya.
"Meriam besar itu hebat, bagaimana kau rasa, suaranya akan
dapat terdengar sampai di luar kota atau tidak?" demikian
pertanyaannya Yasian kepada hambanya itu.
"Mungkin terdengar tetapi hanya sebagai suara petasan saja,"
sahut orang yang ditanya. "Gedungnya Thio Tjong Tjioe itu terpisah
dari pintu kota kira-kira sepuluh lie lebih, suara meriam juga
jauhnya sepuluh lie, tetapi di waktu terang tanah, mereka tentunya
sudah meninggalkan kota, sedang tembok kota pun sangat tebal,
maka suara meriam itu tidak nanti terdengar nyata. Hamba percaya
suara meriam itu tidak akan menimbulkan kecurigaan orang."
Topuhua terperanjat. Suara meriam? Gedungnya Thio Tjong
Tjioe? Itu toh rumahnya Thio Tan Hong!
"Lain daripada itu, belum tentu meriam akan ditembak,"
terdengar pula suaranya Wotjaha. "Di bawah ancamannya meriam,
mustahil mereka tidak akan menjadi jinak dan akan ikat diri sendiri
untuk menyerah terhadap keputusan Thaysoe?"
"Thio Tjong Tjioe dan puteranya adalah bangsa yang keras adat,"
berkata Yasian. "Lebih-lebih Thio Tan Hong, dia lebih suka
menyerah kepada ke lemah lembutan daripada kekerasan. Aku lebih
percaya mereka itu lebih suka mengorbankan diri daripada
menyerah secara terhina..."
Perdana menteri itu berhenti sebentar, terdengar dia menghela
napas.
"Thio Tan Hong itu pandai ilmu surat dan silat, dialah satu anak
pandai," dia berkata pula. "Maka sayang sekali dia tidak sudi bekerja
di pihakku, sebaliknya di mana-mana dia justeru mengganggu aku.
Orang semacam dia itu jikalau diijinkan pulang ke negerinya, dia
mesti akan menjadi ancaman bencana bagiku. Ah, harap saja
seperti katamu dia suka menyerah kepadaku, jikalau tidak, dengan
tidak pedulikan kesusahan hatinya Topuhua, harus aku singkirkan
padanya!"
Yasian ini sudah dengar keterangannya Ngochito dan Ma I Tjan,
maka tahulah dia, orang yang menolongi In Tiong yang membekuk
See Too, yang memusnahkan lima ratus serdadu pilihannya,
semuanya itu adalah perbuatannya Thio Tan Hong, maka itu ia
kaget berbareng gusar sekali. Tentu saja, karena perbuatan Tan
Hong itu, hendak ia membalas sakit hati. Demikian ia kirim Ngochito
ke rumahnya Tjong Tjioe, untuk ancam Tjong Tjioe dan Tan Hong
menyerah terhadapnya. Kalau Tjong Tjioe dan puteranya terpaksa
ditembak mati dengan meriam, itu harus dilakukan sesudah
berangkatnya utusan kerajaan Beng.
Terbangun bulu ramanya Topuhua mendengar tindakannya
ayahnya itu, ia kaget dan sangat berkuatir untuk Tan Hong. Nyata
sekali bahwa Tan Hong terancam bahaya maut. Ia menjadi
bergelisah di waktu ia mendengar suara kentongan sudah tiga kali.
Itulah tanda bahwa segera juga sang fajar akan menyingsing.
Syukur juga, setelah bicara sampai di situ, Yasian dan hambanya
pada undurkan diri. Topuhua sudah lantas undurkan diri ke dalam
kamarnya. Ia hanya bingung juga disebabkan kamarnya berada di
depan kamar ayahnya itu, selagi ia rebahkan diri untuk berpura-
pura tidur, kamar ayahnya itu masih terang dengan cahaya apinya,
malah di antara kain jendela terlihat satu tubuh jalan mundar-
mandir menandakan sang ayah masih belum naik tidur. Mestinya
ayah itu pun tengah bergelisah...
"Aku mesti tolong Tan Hong!" demikian nona ini ambil putusan.
Akan tetapi ia bingung juga bagaimana ia dapat keluar dari
kamarnya selama ayahnya itu belum tidur pules.
Hatinya nona ini terus memukul keras, matanya senantiasa
mengawasi ke kamar ayahnya. Ia mengharap-harap supaya
ayahnya lekas naik tidur. Lama rasanya ia menantikan, di akhirnya,
dapat ia bernapas lega. Ia lihat api di kamar ayahnya telah padam!
Ia lantas lompat bangun dari pembaringannya. Tapi mendadak ia
ingat bahwa di luar kamar ada orang yang menjaga. Mungkin orang
itu tidak berani merintangi padanya tetapi dia bisa membanguni
ayahnya. Maka ia mesti berpikir pula. Dengan hati-hati nona ini
membanguni budaknya, yang tidur dalam satu kamar dengannya.
"Lekas ambil dua poci arak," ia perintahkan. "Kau bawa dan
kasihkan kepada dua pahlawan yang menjaga di taman. Katakan
kepada mereka bahwa karena hawa udara dingin, Thaysoe sengaja
hadiahkan mereka arak."
Sementara itu nona ini telah masuki obat pules, ke dalam arak
itu.
Selama menantikan lebih jauh, hatinya Topuhua terus memukul.
Sekarang ia pun kuatirkan kedua pahlawan tidak kena dipedayai. Ia
memasang kuping terus. Bahna tegangnya hatinya, ia ingin dapat
menahan jalannya sang waktu.
Akhirnya...
Budak perempuan tadi muncul dengan warta yang melegakan
hati.
"Mereka minum tanpa curiga, keduanya telah tertidur," demikian
berkata budak itu, yang telah sekalian layani kedua pahlawan,
supaya ia bisa mendapat kepastian dari hasilnya obat pules.
Topuhua sudah salin pakaian, ia telah mengenakan pakaian
untuk jalan malam, maka setelah perintahkan budaknya berdiam di
dalam kamarnya, ia segera lari keluar. Dengan hati-hati ia
menyelusup di taman bunga, akan akhirnya lompat naik ke atas
tembok, akan keluar dari gedungnya.
Ketika itu tepat kentongan berbunyi empat kali. Pada malam itu,
juga In Tiong tak dapat tidur tenang. Karena ia sangat bergembira
dengan hasil tugasnya itu. Bukankah raja Watzu telah terima baik
perdamaian? Maka besok hendak ia berangkat pulang ke negerinya.
Ia akan pulang bersama Thaysianghong Kie Tin, kaisar tua yang
ditawan musuh itu. Di pintu kota menteri dan raja akan bertemu,
untuk berangkat bersama-sama. Itulah suatu kehormatan besar
untuk pihak kerajaan Beng, karena In Tiong sebagai utusan tidak
usah pergi pula ke istana raja untuk pamitan. Dia akan pamitan
sekalian di luar kota saja.
Malam itu rembulan dan bintang-bintang ada terang sekali,
cahayanya permai. Sambil meloneng, In Tiong gadangi si Puteri
Malam.
"Melihat indahnya malam ini, besok tentulah udara terang",
berpikir cucunya In Tjeng itu. "Musim dingin telah lalu, diganti
dengan datangnya musim semi, di waktu begini pulang ke negeri
sendiri, bagaimana menyenangkan! Sri Baginda juga tentu sangat
gembira!"
In Tiong pun bersyukur dan bergirang karena ia telah tidak
membikin gagal tugasnya hingga ia tidak mendatangkan kehinaan
untuk negaranya. Perdamaian telah didapat, raja yang tua juga
bakal diajak pulang. Di dalam sejarah, hal ini adalah peristiwa yang
jarang terjadi.
Akan tetapi dalam kegembiraannya itu, ada satu hal yang
membikin In Tiong merasa sedikit tertekan. Itulah yang mengenai
ayah dan ibu serta adiknya. Ia berbareng menantikan mereka tetapi
mereka masih tidak kunjung datang. Mustahil mereka belum katahui
tentang beradanya ia di negeri Watzu ini? Apakah mungkin San Bin
tidak dapat ketemui mereka untuk memberitakannya? Karenanya, ia
jadi berpikir.
In Tiong telah memikir untuk menanti lebih lama beberapa hari,
akan tetapi di luar dugaannya bahwa perundingan perdamaian telah
berjalan demikian lancar dengan dilakukannya penandatanganan.
Kie Tin pun mendesak untuk lekas-lekas berangkat pulang. Maka
itu, cara bagaimana ia dapat menunda keberangkatannya itu?
Kie Tin ingin lekas pulang, karena ia ingin lekas-lekas naik pula
atas tahtanya. Ia seperti tidak mempedulikan hal di negerinya sudah
ada raja yang baharu, bahwa soal itu mungkin akan menimbulkan
kesulitan. Tentu saja karena keinginannya ini, ia tidak mau pikirkan
In Tiong ada punya lain urusan atau tidak.
Sambil menggadangi si Puteri Malam, In Tiong juga ingat kepada
Thio Tan Hong. Dia ingat budi orang. Berhasilnya tugasnya ini juga
sebagian besar disebabkan bantuan sangat berharga dari Tan Hong
itu. Maka ia merasa sangat menyesal yang di antara kedua keluarga
ada permusuhan besar. Ia tidak dapat pergi ke rumah Tan Hong, ke
rumah musuh kakeknya. Tan Hong sendiri pun tidak dapat
mengunjungi padanya. Maka hal ini membuat ia masgul.
Mengenai permusuhan kedua keluarga, Tantai Mie Ming telah
berikan jasa baiknya, Jenderal ini telah jelaskan kepada In Tiong
perihal cita-citanya Tjong Tjioe, bahwa Tan Hong tidak mengandung
sesuatu prasangka. Maka ia dianjurkan suka bersahabat dengan Tan
Hong, supaya permusuhan dapat dihabiskan. Tapi di depan matanya
berbayang surat wasiat kakeknya itu, ia jadi bersangsi. Tidak dapat
ia pergi ke rumah musuhnya. Toh ia merasa berat akan berpisah
dari anak muda she Thio itu, tetap ia ingat budi orang...
"Mungkinkah besok Tan Hong datang untuk berangkat bersama-
sama aku?" demikian In Tiong pikir.
Karena pikirannya ini, hati In Tiong menjadi bertentangan
sendirinya. Di satu pihak ia ingin Tan Hong datang untuk berangkat
bersama, di lain pihak ia harap-harap si anak muda tidak muncul...
"Jikalau dia datang dan berangkat bersama aku, bagaimana nanti
aku dengan ayahku?" demikian kesangsiannya. "Bagaimana dengan
In Loei? Dapatkah In Loei mengurbankan perasaan hatinya?
Bukankah nanti, ayah akan caci aku dan In Loei sebagai anak-anak
poethauw?"
In Tiong kuatir dikatakan sebagai anak poethauw —tidak
berbakti. Maka itu, ia lantas menjadi menyesal dan berduka. Kusut
pikirannya memikirkan permusuhan turun temurun itu.
In Tiong meloneng terus, sampai jam empat. Di saat ia memikir
untuk masuk tidur, untuk dapat melupakan segala apa, satu
pengiringnya datang dengan tindakan cepat. Iapun dengar suara
berisik di sebelah luar.
"Ada apa?" ia tanya.
"Seorang yang bertopeng, yang mengenakan pakaian untuk jalan
malam, telah nerobos masuk kemari, dia ingin sangat menghadap
thaydjin," demikian ia diberitahukan. "Dia masuk dengan jalan
melompati tembok. Kelihatannya dia sebagai orang jahat tetapi
mungkin bukan..."
In Tiong menjadi heran.
"Baik, bawa dia menghadap!" ia berkata akhirnya. Ia berpikir
dengan cepat.
Dengan lekas satu anak muda dengan pakaian serba hitam
dibawa masuk, mukanya bertutupkan topeng, dandanannya sebagai
orang Mongol, tetapi tubuhnya kecil dan langsing, sangat berbeda
dengan kebanyakan pahlawan Mongolia.
"Kau ada punya urusan apa, waktu tengah malam begini datang
untuk mohon bertemu dengan aku?" In Tiong segera menanya.
"Siapakah yang menitahkan kau datang kemari?"
Anak muda itu, yang nampak cuma sepasang matanya yang celi
sekali, mata itu memain dengan tajam.
"Mohon thaydjin suruh mundur dahulu orang di kiri kanan,"
katanya pelahan.
Tentu saja permintaan ini sangat mencurigakan, maka orang-
orangnya si utusan justeru maju semakin dekat.
"Hati-hati thaydjin memperingatkan yang satu, sedang kawannya
maju untuk menggeledah.
Si anak muda mundur, sinar matanya menyatakan ia berdongkol
dan gusar.
In Tiong lihat sikap orang itu.
"Pergi kamu mundur!" ia titahkan orang-orangnya sambil
memberi tanda dengan tangannya. "Kami perutusan dari negara
besar, kami biasa bersikap baik terhadap siapa juga, jangan kamu
kuatir."
Dengan terpaksa pengiring-pengiring itu undurkan diri.
In Tiong sendiri yang tutup pintu.
"Sekarang kau dapat berbicara, bukan?" ia bertanya sambil
tertawa.
Tetamu tidak diundang itu singkap topengnya begitupun
mantelnya, maka terlihatlah ia sebagai satu nona bangsa Mongol
yang cantik.
"Aku ialah puterinya Yasian!" demikian kata-katanya yang
pertama.
In Tiong terkejut. Ia sudah menduga pasti bahwa orang satu
nona, tetapi yang ia tidak sangka bahwa nona ini ada puterinya
perdana menteri Watzu itu.
"Silakan duduk!" ia segera mengundang. Ia agak heran atas
maksud kedatangan nona ini. "Ada urusan apakah ayahmu dengan
aku? Kenapa ayahmu kirim kau kemari nona?"
Ia menerka Yasian ada punya urusan penting.
Nona itu, ialah Topuhua, menggeleng kepala. Itu adalah tanda
bahwa ia bukan utusan ayahnya.
Tentu saja, utusan Beng itu menjadi semakin heran. Ia
mengawasi, ia tampak roman yang gelisah dari nona itu.
"In Thaydjin, bukankah kau sahabat baiknya Thio Tan Hong?"
nona itu lalu menanya. "Aku maksudkan, bukankah Tan Hong
sahabat baikmu?"
"Habis kenapa?" In Tiong balik menanya.
"Sekarang ini sudah jam empat," berkata si nona, yang tidak
menjawab pertanyaan orang, "sebentar lagi asal sudah terang
tanah, Thio Tan Hong serumah tangga, tua dan muda, akan
musnah menjadi abu yang beterbangan! Maka sekarang ini, jiwanya
Tan Hong itu tergantung di ujung tanganmu! Kau hendak menolong
dia atau tidak?"
Kembali In Tiong menjadi kaget. Tentu saja, keheranannya pun
bertambah.
"Sebenarnya, urusan apakah itu?" ia bertanya.
Masih Topuhua tidak menjawab langsung.
"Ayahku sangat benci padanya sebab dia telah bantu padamu, In
Thaydjin," ia menjawab, "ayah pun lebih takut lagi kalau Tan Hong
pulang ke negerinya, di sana dikuatirkan dia lebih membahayakan
negeri Watzu, maka itu ayah telah kirim pasukannya mengurung
gedungnya Thio Tjong Tjioe. Sebegitu langit terang, sebentar,
gedungnya itu mau ditembak dengan meriam!"
Walaupun dia kaget dan berkuatir, In Tiong masih dapat berlaku
tenang.
"Bagaimana caranya aku dapat menolong padanya?" ia tanya.
"Segera sekarang juga kau pergi kepadanya!" sahut si nona.
Oleh karena kecerdasannya, segera In Tiong mengerti. Bukankah
ia utusannya Tionggoan? Bukankah dengan ia pergi ke rumah Tan
Hong itu, Yasian tidak akan berani tembak gedungnya Thio Tjong
Tjioe itu? Bukankah Tan Hong perlu dengan pertolongannya?
Terang sudah, Yasian hendak menembak Tan Hong sesudah ia
berlalu, supaya ia tidak ketahui kejadian itu.
Biar bagaimana, sekarang hati In Tiong menjadi sangat gelisah,
bagaikan gelombang diserang badai. Kalau ia pergi kepada Tan
Hong, itu artinya ia injak rumah musuhnya! Itulah hal yang ia
sebegitu jauh tak sudi melakukannya! Dengan pergi ke sana, ia pun
mungkin akan membikin gagal keberangkatannya! Sekarang adalah
saatnya ia bersiap-siap untuk berangkat keluar kota, guna
berangkat pulang. Di sana ia harus menemui raja Watzu serta
rajanya sendiri yang tua...
Dengan kedua matanya yang tajam, Topuhua mengawasi utusan
Tionggoan itu. Kesangsian orang membuat ia gelisah, hatinya
berdenyut keras, hingga air matanya hendak mengucur keluar.
"Kau hendak menolongi atau tidak?" akhirnya ia tanya sebab
orang masih berdiam saja.
Pikirannya In Tiong pun menjadi sangat kusut, di depan kelopak
matanya berbayang roman Tan Hong yang demikian halus dan
sopan tetapi gagah dan keren, orang yang telah menolong padanya
di saat ia terancam bahaya. Lalu berbayang pula roman Tan Hong
tengah bersenyum berseri-seri...
Dapatkah orang dengan roman demikian tidak ditolongnya?
Bisakah dia itu dibiarkan menerima kematiannya? Tegakah hatinya?
Tidak menanti sampai Topuhua mengulangkan pertanyaannya, In
Tiong sudah berlompat ke pintu, untuk pentang itu sekeras-
kerasnya.
"Lekas kirim dua orang ke istana raja Watzu!" demikian serunya.
"Sekarang juga! Beritahukan pada pembesar pengawal pintu raja itu
supaya disampaikan kepada rajanya bahwa besok aku batal
berangkat!"
Mendengar suara sep itu, semua pengiring datang berkumpul.
"Kamu lekas dandan, mari kamu turut aku!" In Tiong menitah
pula. "Aku hendak mengunjungi Thio Tjong Tjioe!"
Pada detik ini lupalah In Tiong kepada sumpahnya bahwa
sekalipun sampai mati tak nanti ia injak rumah musuhnya.
Suara berisik itu membikin bangun Tamtay Keng Beng dari
tidurnya. Nona ini segera muncul di ambang pintu. Kamarnya
memang tidak terpisah jauh dari kamar utusan Tionggoan itu. Maka
ia heran akan menampak di depan kamar tidurnya In Tiong ada satu
nona Mongol yang cantik — nona itu penuh air mata pada mukanya
tetapi dia bersenyum berseri, sedang tangannya menyekal keras
tangannya In Tiong!
Adalah selagi Nona Keng Beng ini berdiri tercengang, ia dengar
In Tiong mengatakan hendak pergi mengunjungi Thio Tjong Tjioe.
Tentu saja ia menjadi bertambah-tambah heran.
"Bagus, adik Tamtay!" In Tiong berseru ketika ia tampak nona
itu. "Mari, kau pun turut!" Keng Beng heran dan kaget, ia pun
menjadi sangat kegirangan. Sesaat itu, saking girangnya, ia sampai
lupa segala apa.
"Sebenarnya kita sudah mesti pergi sejak siang-siang!" serunya
dengan nyaring. Ia tertawa tetapi air matanya mengucur keluar.
Telah meluap kegirangannya itu.
Baharu setelah itu, ia tegur Topuhua, untuk saling belajar kenal.
Gedung tetamu itu, yang menjadi gedung perutusan Tionggoan,
tidak terpisah jauh dari istana raja Watzu, juga terpisahnya dari
rumahnya keluarga Thio cuma kira-kira tujuh lie, maka untuk
sampai di sana, apapula dengan menunggang kuda yang dikaburkan
keras, tidak makan banyak tempo.
Di waktu jauh malam seperti itu, dalam kesunyian, berlari-larinya
kuda telah menyebabkan beberapa penduduk terbangun dengan
kaget dari tidurnya, akan tetapi In Tiong membawa lentera
pertandaannya sebagai perutusan Tionggoan, tidak ada orang yang
berani merintanginya. Ia pun sengaja ambil jalan kecil, supaya ia
tidak usah lewat di dekat istana raja. Akau tetapi tepat di waktu ia
baharu muncul dari Jalan Anggur jalan terbesar di kota raja Watzu
itu, diujung jalan yang menikung ke barat, di mana akan tampak
gedung keluarga Thio, mendadak ada satu penunggang kuda yang
menghalang di hadapannya. "Aku adalah utusan Kaisar Beng! Siapa
berani halangi aku?" In Tiong membentak. Ia kaget dan heran tetapi
ia tidak takut. Ia majukan kudanya.
Penunggang kuda itu adalah seorang yang gesit gerakannya,
kudanya terbentur keras dan ia terjungkal dari kudanya, akan tetapi
ia dapat jumpalitkan diri, hingga ketika ia sampai di tanah, bisa
terus berlutut di depan utusan itu, dengan kedua tangannya ia
angsurkan kimpay tinggi-tinggi.
"Inilah firman dari Kaisar Beng! In Thaydjin di minta
menerimanya!" demikian ia perdengarkan suaranya yang nyaring.
In Tiong terkejut, ia segera mengawasi, sedang pengikutnya
maju ke depan, akan angkat tinggi lenteranya, untuk menyuluhi.
Maka segera utusan itu kenali siapa pembawa firman itu, ialah salah
satu siewie dari Kaisar Kie Tin yang kena di tawan bersama
junjungannya dalam peperangan di Touwbokpo.
Memang, waktu Kaisar Kie Tin ditawan, bersama ia telah ditawan
lima pahlawannya, yang menjadi sisa-sisa hidup. Mulanya ke lima
pahlawan itu di penjarakan terpisah dari rajanya, tetapi sejak
datangnya In Tiong dan didapatnya perdamaian, mereka diserahkan
kepada junjungannya, hingga mereka menjadi kumpul bersama,
dapat mereka temani pula raja mereka.
Kimpay, atau sehelai emas berukiran, yang menjadi barang
pertandaan titah dari kaisar, biasa dikeluarkan terhadap suatu
panglima perang. Di jaman Ahala Song, ketika Gak Hoei difitnah,
dua belas kali dia telah di kirimkan kimpay untuk memanggil dia
pulang dari medan perang. Sekarang Kie Tin gunai itu untuk
memanggil In Tiong. Ia tahu ia masih termasuk "raja tawanan,
supaya In Tiong mempercayainya, ia sengaja berikuti suratnya
untuk memanggil utusan itu datang menghadap padanya. Kimpay
diberikuti surat kaisar sendiri, titah pun dilakukan di waktu malam
buta rata, bisalah dimengerti bahwa urusannya mesti sungguh
penting. Maka itu In Tiong menjadi terkejut dan bingung. Ia telah
lihat, kimpay dan surat tidaklah palsu.
Tempo tinggal hanya kira-kira satu jam! Lagi satu jam langit akan
menjadi terang! Dapatkah ia pergi menghadap dahulu kepada
rajanya itu? Itu berarti Tan Hong serumah tangga akan habis
dihajar meriam! Jikalau dia tidak taati firman, itu pun suatu
kesalahan besar!
Bagaimana sekarang?
"Kita pergi dulu ke rumah keluarga Thio, setelah itu baharu kita
pergi pada raja!" berkata Keng Beng ketika menyaksikan utusan itu
masih saja terbenam dalam kesangsian.
"Baiklah!" kata In Tiong akhirnya. Siewie pembawa kimpay dan
firman masih bertekuk lutut di depan kuda In Tiong. Tidak berani ia
berbangkit bangun.
"Pergilah kau kembali!" In Tiong lantas berkata, "kau beritahukan
Sri Baginda, besok pagi kita tunda keberangkatan kita. Paling lambat
sampai tengah hari, akan aku menghadap Sri Baginda!"
Masih saja siewie itu berlutut, tidak mau dia kembali tanpa
bersama utusan itu.
Justeru itu, dari arah belakang mereka, terdengar suara
kelenengan kuda yang riuh. Segera tertampak satu penunggang
kuda tengah kabur mendatangi. Setibanya segera penunggang kuda
itu lompat turun dari kudanya dan berlutut di depan sang utusan!
Dia juga siewie, salah satu pahlawannya Kaisar Kie Tin. Seperti
siewie yang pertama, dia pun membawa kimpay berikut sehelai
firman, kedua-duanya itu ia angkat tinggi di atasan kepalanya,
untuk dihaturkan kepada sang utusan.
Firman itu berbunyi: "Utusan In Tiong segera menghadap Kaisar
di istana!" Kali ini ada tambahan satu huruf "segera."
Gemetar tangannya In Tiong selagi ia sambuti firman itu. Ia
benar-benar bingung. Ia mejadi gelisah sendirinya, hatinya sangat
tegang.
"Peduli apa firman itu!" berteriak Topuhua. "Mari kita pergi
lakukan tugas kita!..."
Belum berhenti suaranya puterinya Yasian ini, kembali terlihat
satu kuda dilarikan sangat keras ke arah mereka.
"In Thaydjin, sambut firman!" demikian teriaknya penunggang
kuda itu.
Kali ini yang datang adalah bekas rekannya In Tiong, yaitu Hoan
Tjoen adiknya Hoan Tiong, yang menjadi pahlawan paling dipercaya
Kaisar Kie Tin. Dia angkat kimpay dengan sebelah tangan,
tangannya yang lain dipakai menghaturkan firman. Bunyinya firman
sama saja dengan firman yang kedua, hanya kali ini, pada huruf
"segera" ditambahkan dua bundaran yang menandakan urusan ada
lebih daripada penting.
"Hoan Siewie, sebenarnya apakah telah terjadi?" In Tiong tanya
dalam bingungnya.
"Aku juga tidak tahu urusan apa itu," sahut Hoan Tjoen. "Aku
cuma terima titah langsung dari Sri Baginda yang menitahkan
Thaydjin harus segera datang menghadap di istana, tak dapat
berlambat lagi." "
In Tiong menghela napas. Ia mengerti pentingnya kimpay dan
firman panggilan itu, ia pun sekarang berkuatir di istana ada terjadi
sesuatu. Tidakkah tiga kali datang kimpay dan firman saling susul?
Maka di akhirnya, ia putar arah kudanya.
"Baiklah kamu pergi terlebih dahulu." ia kata kepada Keng Beng.
Terus ia larikan balik kudanya, yang lantas diikuti ketiga siewie
pembawa kimpay dan firman itu.
Tamtay Keng Beng menjadi sangat mendongkol dan penasaran.
Sekarang ia telah ketahui dari Topuhua tentang bahaya yang
mengancam keluarga Thio. Di dalam hatinya, ia kata: "Thio Tan
Hong telah tolong pemerintah dan negara kerajaan Beng, sekarang
kaisar yang tercelaka ini hendak permainkan jiwanya Tan Hong!"
Akan tetapi In Tiong telah ambil putusannya, utusan itu sudah
kembali, ia tidak dapat mencegahnya. Maka dengan terpaksa,
dengan ajak delapan belas pengiringnya serta Topuhua ia lari terus
ke rumah Tan Hong.
Ketika rombongan ini tiba di sebelah barat jalan besar utama, di
situ telah bersiap sedia pasukan dari thaywie dari ibu kota Watzu.
Thaywie itu sama dengan pangkat Kioeboen teetok dari pemerintah
Beng.
Pemimpin dari barisan pengiring In Tiong segera maju ke depan.
"Kami datang atas titahnya In Thaydjin untuk mengunjungi
Yoesinsiang kamu!" ia berkata. Dengan "Yoesinsiang," perdana
menteri muda, ia maksudkan Thio Tjong Tjioe.
"Mana dia In Soesin kamu?" bertanya si thaywie Mongol.
"In Thaydjin baharu saja menerima panggilan untuk menghadap
Sri Baginda di istana, segera ia akan datang." sahut kepala
pengiring itu.
"Jikalau begitu, baik kita tunggu sampai In Soesin baharu kita
bicara pula," bilang si thaywie. "Kami mendapat titah untuk
melindungi utusan kerajaan Beng, dengan tidak adanya utusan
kamu itu, kami tidak dapat bertanggung jawab."
Kepala pengiring itu menjadi berdiam.
"Mari kita terobos saja!" menganjurkan Topuhua. Baharu si nona
berkata begitu, di depan mereka si thaywie sudah siap sedia dengan
barisannya yang menantikan serbuan, selain anak panah, juga
mereka itu mempunyai dadung-dadung kalakan kaki kuda.
Tamtay Keng Beng dan semua pengiringnya In Tiong
menginsafinya, jikalau mereka memaksa nerobos masuk, urusan
akan jadi hebat sekali, mungkin perhubungan di antara kedua
negara turut terganggu pula karenanya. Lagi pula dengan jumlah
yang demikian kecil, belum tentu mereka akan berhasil dengan
serbuannya itu. Maka itu, mereka cegah Topuhua.
"Mari kita bicara kepadanya," Nona Tamtay kata. Ketika itu si
thaywie sudah masuk ke dalam barisannya, pengiringnya In Tiong
teriaki dia untuk diajak bicara, dia diam saja tidak menjawabnya.
Bukan main gelisahnya rombongan Nona Keng Beng ini, mereka
bagaikan semut-semut di atas kwali panas. Bagi mereka tidak ada
jalan lain kecuali menantikan kembalinya In Tiong. Mereka mungkin
dapat bersabar untuk menanti tapi bagaimana dengan Tan Hong?
Dengan sendirinya, sang waktu berlewat terus. Tahu-tahu telah
terdengar suara genta di atas pintu kota, yang berbunyi lima kali.
Menandakan cuaca akan menjadi terang.
Topuhua terpengaruh oleh kegelisahannya, tiba-tiba ia berseru,
terus ia larikan kudanya maju ke arah barisan, untuk pergi ke
gedung perdana menteri muda. Keng Beng kaget, ia mencoba
mencegah tapi gagal.
Serdadu Mongol lihat mendatangi satu nona bangsanya, mereka
heran, hingga walaupun panah telah siap sedia, mereka tidak berani
menarik gendewanya untuk memanah si nona. Juga tukang
mengalak kuda tidak berani gunakan dadungnya untuk bikin kuda si
nona terjungkal.
Dalam cuaca masih remeng-remeng itu, tentera Mongol itu cuma
lihat tubuh si nona dan kudanya yang lari mendatangi, mereka tidak
bisa melihat tegas roman muka orang, adalah sesudah nona itu
datang semakin dekat, di antara terangnya banyak obor, di antara
mereka ada yang kenali puterinya perdana menteri mereka.
Di antara bangsa Mongol, pergaulan antara pria dan wanita tak
ada pantangan seperti bangsa Han. Topuhua sendiri gemar sekali
menunggang kuda dan main panah, maka itu ia banyak dikenal oleh
perwira-perwira dan tentera-tentera bangsanya. Demikianlah kali ini,
ia lantas dapat dikenali.
Si thaywie sudah lantas maju mencegat nona itu.
"Kami telah terima perintahnya Thaysoe untuk melarang orang
luar datang kemari!" dia memberitahukan.
Sepasang alisnya Topuhua bangun berdiri.
"Apakah aku orang luar?" dia menanya dengan bengis. "Aku juga
sedang menjalankan perintah ayahku! Aku mesti lewat!"
Dan ia keprak kudanya, untuk nerobos terus.
Thaywie itu heran menyaksikan puteri perdana menterinya itu
muncul dari dalam rombongan pengiring-pengiringnya utusan
Tionggoan, akan tetapi karena ia tahu betul si nona adalah puteri
tersayang dari perdana menterinya itu, ia tidak berani bersikap
keras, apa pula si nona sudah tunjukkan kemurkaannya. Terpaksa ia
perintahkan pasukannya membagi jalan.
Setelah tembusi penjagaan, Topuhua menoleh ke arah timur
sambil angkat kepalanya, dari itu ia telah melihat di pangkal langit
sudah mulai memancar sedikit cahaya terang...
Di dalam gedung menteri muda orang pun bergelisah sekali,
mereka juga bagaikan semut-semut di atas kwali panas, kecuali
Thio Tjong Tjioe seorang. Ia tidak bergelisah sama sekali, ia tidak
pikirkan soal kematian.
Juga Tan Hong tertampak tenang, hanya di dalam hatinya ia
sangat masgul. Ia telah mesti menghadapi nasib hebat dengan di
saat-saat terakhir itu ia tidak dapat melihat In Loei...
Semua hambanya menteri muda duduk berkumpul di kaki
tembok pekarangan, dari luar tembok mereka sering-sering dengar
suara dari pihak tentera Mongol yang tengah mengurung mereka.
Itulah suara yang merupakan ancaman-ancaman maut.
Semua orang dengar bunyinya kentongan tiga kali, lalu empat
kali. Di daerah Utara ini, sang malam agak lebih panjang, akan
tetapi di saat genting sebagai ini, orang merasakan sang malam itu
pendek...
Dengan tentu sang waktu berlalu, dan bayangan-bayangan dari
kematian datang saling susul. Suara tentera di sebelah luar
terdengar semakin tegas. Rasanya belum lama kentongan berbunyi
empat kali, lalu datang menyusul yang ke lima kalinya.
Tan Hong menghela napas. Ia berlutut di depan ayahnya.
"Ayah hendak memesan apa?" ia bertanya.
Thio Tjong Tjioe usap-usap rambut puteranya itu. Ia tertawa.
"Jikalau aku mati pada satu tahun yang lalu, aku mati dengan
mata tak meram," kata ayah ini, suaranya sabar.
"Tapi sekarang? Akhirnya kau telah melakukan sesuatu untuk
Tiongkok! Dan aku? Aku juga telah dapat keluarkan sedikit dari
tenagaku. Meskipun itu tak dapat menebus dosaku, aku toh merasa
lega juga..."
Menteri muda ini tertawa, cuma suaranya tawar, bernada sedih.
Tan Hong angkat kepalanya mengawasi ayahnya. Hatinya
bercekat akan tampak wajah ayah itu sedikit berubah. Ia berdiam.
Di saat seperti itu, apa yang ia hendak tanyakan pula? Ia dapat
merasa, di saat dari kematian itu, ia seperti berada semakin dekat
dengan ayahnya itu. Sebelumnya ini, ia tak pernah merasakan
berada demikian dekatnya.... Menyaksikan ayah dan anak itu, Tantai
Mie Ming tertawa.
"Tjoekong, hari ini kita saling pamitan!" ia berkata. Lalu ia
menjura tiga kali kepada junjungan itu.
Hamba yang setia ini sudah ambil putusan, sebelum peluru
meriam musuh datang, hendak ia menghabiskan jiwanya dengan
jalan membunuh diri!
Ketika itu sudah jam lima, maka segera juga langit akan menjadi
terang!
Sekonyong-konyong terdengar suara berisik dari sebelah luar
tembok.
Cuaca belum lagi terang, apakah mereka hendak mulai
menembak?" tanya Mie Ming. Ia seperti berkata seorang diri. Segera
ia bersiap dengan sepasang gaetannya.
"Bukan! Tidak mungkin!" berkata Tan Hong.
"Kenapa bukan?" Mie Ming tanya.
"Rupanya ada orang yang datang..." menyahut Tan Hong. "Ah,
orang tengah bertempur! Rupanya orang yang baharu datang itu
telah bertempur dengan tentera Mongol itu...
Lantas saja anak muda ini lompat naik ke atas tembok, hingga ia
tampak di tempat kira-kira setengah lie, ada tiga penunggang kuda
yang datang menerjang bahagian belakang dari tentera Mongol itu,
sedang tentera yang di sebelah depan juga agak kacau. Di lain
pihak, meriam besar masih tetap dihadapkan ke arah gedungnya!
Tenteranya Ngochito adalah tentera pilihan, atas titahnya,
tentera itu menyerang tiga penunggang kuda dengan anak panah
mereka, serentak serangan itu, maka di sebelah depan mereka
terlihat tiga ekor kuda lompat berjingkrak tinggi sekali dan rubuh,
karena perut dan kempolannya semua tertancap anak-anak panah!
Liehay adalah ketiga panunggang kuda itu, selagi kuda mereka
menjadi kurban, mereka sendiri bebas dari bahaya. Bertiga mereka
membuang diri ketika hujan anak panah tiba. Setelah itu mereka
berlompatan maju dengan sangat cepatnya, senjata-senjata mereka
perlihatkan berkelebatannya cahaya-cahaya putih dan hijau. Ketika
mereka di panah pula, mereka semua menjatuhkan diri, hingga
anak-anak panah melayang di atasan mereka. Secara demikian
mereka merangsak terus.
Tan Hong terus memasang mata, hingga akhirnya ia dapat
melihat tegas tiga penyerbu itu, ialah Hongthianloei Tjio Eng si
Geledek Menggetarkan Langit bersama dua saudara Hek Pek Moko,
si Hantu Hitam dan Putih!
Hek Moko putar tongkat Leggiok thung-nya dan Pek Moko
tongkat Pekgiok thung-nya, sedang Tjio Eng putar pedangnya,
pedang Tjengkong Kiam. Itulah ketiga senjata yang memperlihatkan
sinar-sinar hijau dan putih.
Setelah ketiga penyerbu itu datang dekat, tentera musuh tidak
dapat menggunakan pula panah mereka. Mereka terpaksa maju
mencegat sambil berkelahi dengan rapat.
Hek Moko dan Pek Moko mengamuk dengan masing-masing
tongkatnya, mereka membuat kuda rubuh atau kabur dan musuh
binasa, cuma musuh yang kosen yang bisa bangkit lagi untuk
melakukan perlawanan lebih jauh.
Juga Tjio Eng telah menyerang dengan hebat sekali.
Di saat ketiga penyerbu itu mendatangi ke tengah tanpa ada
orang yang bisa merintangi mereka, baharulah Pek San Hoatsoe
yang menjadi sangat murka maju menghalau. Segera ia berhadapan
dengan Hongthianloei yang dia lantas serang dengan pukulan
"Tokpek Hoasan"="Menyerang gunung Hoasan" dengan tongkat
sianthung-nya yang besar seperti cawan.
Imam ini adalah soeheng atau kakak seperguruan dari Tjeng Kok
Hoatsoe. Ilmu silatnya ada terlebih liehay daripada Ngochito, maka
itu bisalah dimengerti hebatnya serangannya ini.
Hongthianloei tidak jeri terhadap penyerangnya ini, ia malah
gusar yang ia dirintangi, maka itu dengan berani ia angkat
pedangnya dengan apa ia tangkis serangan dahsyat itu. Di antara
suara nyaring dari beradunya kedua senjata, lelatu api pun mencrat
seperti kembang api.
"Rubuh!" Pek San Hoatsoe berseru.
Tubuh Tjio Eng nampak sedikit terhuyung, akan tetapi dia
tersenyum.
"Tidak mungkin!" sahutnya sambil tertawa. Dan selagi tertawa,
dengan sekonyong-konyong, dengan kesehatan bagaikan kilat, dia
membalas menyerang.
Pek San Hoatsoe andalkan tenaganya yang besar, ia tidak sangka
sekali yang ia telah menghadapi seorang lawan demikian tangguh,
sedang ketika kedua senjata bentrok, ia sakit.
Tentu saja ia terkejut rasakan telapak tangannya, akan dapatkan
musuh sudah menyerang pula, pedang menyambar-nyambar seperti
tanpa manusianya, karena berbareng dengan itu, Tjio Eng
berlompat ke arah belakangnya!
Hongthianloei kesohor untuk tiga macam kepandaiannya. Ialah
ilmu menimpuk dengan batu hoeihong tjio, pukulan tangan geledek
Kengloei tjiang, dan pedang Liapin kiam, terutama dengan
pedangnya itu ia telah menjagoi di kalangan Rimba Persilatan, dan
sekarang ia menggunakan pedangnya yang liehay itu, hingga
musuhnya lantas menjadi kewalahan.
Sekali diserang, Pek San Hoatsoe dapat berkelit, kedua kalinya ia
berhasil juga mengelakan tubuhnya, tapi serangan kilat datangnya
bertubi-tubi, maka untuk yang ketiga kalinya, ia mesti menangkis.
Tak sempat ia berkelit terus-terusan.
"Kena!" berseru Tjio Eng selagi ia menyerang untuk ketiga
kalinya itu.
Pukulan Liapin kiam tertangkis sianthung dari si imam, pedang itu
tidak terpental seperti diharapkan imam itu. Sebab Tjio Eng telah
gunai kepandaiannya. Pedang hanya tertangkis membal, untuk terus
digoreskan ke pundak musuh!
Syukur bagi Pek San Hoatsoe, dia telah pelajari ilmu kebal
"Tiatpou san" = "Baju besi," maka dia tidak terluka hebat, dia tidak
sampai rubuh karenanya. Karena itu, ketika ia dapat menotok tanah,
untuk membikin tubuhnya dapat berdiri terus, ia segera berlompat
menyingkir jauh kira-kira setombak, agar musuh tidak dapat susul
padanya. Adalah niatnya, setelah menaruh kaki, dia hendak balas
menyerang musuh itu. tetapi ketika dia memutar tubuh, dia dapat
kenyataan musuhnya itu sudah menyerbu ke dalam barisan!
Bukan kepalang mendongkolnya imam ini. Dia telah ditinggalkan
mentah-mentah oleh lawannya itu! Maka dia berniat mengejarnya,
untuk mana dia sampai berseru dengan keras.
Tiba-tiba, tengah dia umbar kemurkaannya, dia dengar
dampratan dari arah depannya: "Bangsat setan yang menyebalkan,
mari rasai tongkatku!" Dia segera lihat musuh itu adalah seorang
hitam, yang tengah berlari-lari ke arahnya. Untuk melampiaskan
kemendongkolannya, dia lantas menyambut dengan sapuan
tongkatnya!
Lawan itu yang ternyata adalah Hek Moko, telah sampai dengan
cepat, ketika ia disapu, ia menyambut dengan tangkisan
tongkatnya, Lekgiok thung. Maka bentroklah kedua tongkat yang
panjang bagaikan toya itu, suaranya nyaring dan hebat.
Kesudahan dari bentrokan itu membuat Pek San Hoatsoe, yang
andalkan tenaganya yang besar, semangatnya seperti terbang
bahna kagetnya. Tongkatnya telah terlepas dari cekalannya dan
terpental terbang tinggi. Ia sungguh tidak sangka yang lawannya
ada jauh lebih tangguh daripadanya.
Sementara itu, Hek Moko sudah menyerang, untuk
membalasnya. Imam itu kecil hatinya, ia lompat ke samping jauhnya
beberapa tindak untuk tolong dirinya. Akan tetapi apa lacur, justeru
itu di sampingnya telah tiba Pek Moko, si Hantu Putih!
"Hai, bangsat!" mendamprat si Hantu Putih ini, "di dunia ini ada
jalan kau tidak mengambilnya, di akherat tidak ada pintu kau
justeru memasukinya! Kau telah datang ke hadapanku, mari rasai
tongkatku!"
Dan "Ser!" melayanglah tongkat Pekgiok thung menyapu ke
arah imam itu, hingga orang tak sempat lagi berkelit, maka
sambil perdengarkan suara berisik, di antara jeritannya juga, Pek
San Hoatsoe rubuh terbanting, patah kedua kakinya!
Selagi kedua Hantu merangsak seru, Tjio Eng telah dapat
menoblos barisan musuh, terus saja ia perdengarkan suaranya yang
nyaring: "Liong Kie Touwoet Tjio Eng dari Heksee tjhoeng
mohon menghadap kepada Tjoekong."
Nyatalah Hongthianloei, ketua dari dusun Hekse tjhoeng itu, ada
turunan pahlawan kesayangannya Thio Soe Seng, yang telah
diberikan pangkat Liong Kin Touwoet, pangkat yang turun temurun,
maka sekarang Tjio Eng telah tetap memakainya, dengan
perkenalkan dirinya menyebut pangkat turunan itu. Secara begini
juga ia masih tetap mengakui dan setia kepada junjungannya itu.
Thio Tjong Tjioe di dalam gedung dengar suaranya hamba itu, ia
lantas saja mengucurkan air mata. Dengan pegangi pundak
puteranya, ia menyuruh mendaki tembok pekarangan.
"Anak Hong, kau suruhlah dia lekas angkat kaki!" dia kata kepada
anaknya itu.
Itu waktu juga telah terdengar teriakannya Hek Pek Moko: "Hai,
Tan Hong, mengapa kau tidak menyerbu keluar? Sahabat-sahabat
kekal telah datang, kau juga tidak menyambut?"
Nyatalah kedua hantu itu pun dapat menerobos pasukan musuh.
Tan Hong tertawa sedih. Ia baharu hendak buka mulutnya ketika
matanya menampak pasukan yang mengurung gedungnya itu
mendadak berpencar ke kedua jurusan, hingga terbukalah suatu
lowongan bagaikan jalanan atau lorong, berbareng tertampak juga
meriam besar, meriam yang dinamakan "Ang ie toapauw" =
"meriam berbaju merah," yang telah ditujukan ke arah gedungnya.
Tadinya meriam itu teraling oleh berlapis-lapisnya barisan, sekarang
terlihat tegas nyata.
Menampak itu, Tjio Eng kaget bukan main.
Ngochito pun segera berseru: "Siapa bergerak lagi satu tindak,
akan aku menembaknya!"
Ancaman ini dikeluarkan oleh karena Ngochito percaya betul, tiga
penyerbu ini mesti ada punya hubungan yang erat dengan Tan
Hong dan ayahnya. Tapi ia cuma mengancam belaka. Sebenarnya
tidak dapat ia menembak Tjio Eng bertiga, oleh karena meriamnya
itu tidak dapat digeser lekas-lekas sekehendaknya hati, sedang
waktu itu bunyi genta lima kali baharu lewat belum lama. Sebelum
terang tanah, dia tidak akan berani lancang menembak.
Apabila Tjio Eng bertiga lantas menyerbu, kurungan itu mungkin
pecah, tetapi Hongthianloei jeri. Hek Pek Moko gusar bukan
kepalang, keduanya lantas berkaok-kaok dalam bahasanya, bahasa
India, yang lain orang tidak mengerti. Mereka juga tidak berani
bergerak.
Ngochito saksikan gertakannya berhasil, ia tertawa besar. Ia
lantas menuding dengan goloknya, ia perdengarkan pula suaranya
yang nyaring: "Semua mundur sampai seratus tindak! Atau aku
akan menembak!"
Tjio Eng bertiga terpaksa menurut perintah itu, mereka mundur
seratus tindak.
Ngochito lantas saja perintahkan sejumlah serdadunya
mengampar besi cagak tiga yang tajam di antara tiga penyerbu itu
dan batas gedung menteri muda. Di sebelah itu, ia siapkan seratus
serdadu panah, untuk siap sedia dengan panah dan busurnya untuk
memanah ketiga penyerbu kalau-kalau mereka itu turun tangan.
Tjio Eng bertiga jadi sangat berduka dan bingung. Sekarang tidak
dapat mereka bergerak. Rintangan besi cagak tiga dan ancaman
tukang-tukang panah itu ada sangat berbahaya.
Ketika itu sang rembulan sudah turun ke arah barat dan bintang-
bintang telah banyak berkurang, di timur telah mulai terlihat cahaya
sedikit terang, maka tidak lama lagi, jagat pasti akan menjadi terang
benderang. Dengan pelahan-lahan cahaya gelap mulai berubah
menjadi remeng-remeng, lalu dengan tentu, sinar putih mulai
tertampak. Itulah pertanda sang pagi telah datang.
Menampak perubahan alam itu, Ngochito pentang lebar kedua
matanya, ia angkat kepalanya, akan memandang ke arah tembok.
"Bagaimana?" dia menanya dengan bengis.
Thio Tan Hong bersikap tenang, dia tertawa dingin.
"Bagaimana apa?" dia balas menanya. "Bagiku, meskipun
terbinasa, aku ada bagaikan hidup! Tapi bagimu, walaupun kau
hidup, kau bagaikan mampus!"
"Thio Tan Hong!" Ngochito membentak pula. "Jikalau kau tetap
membangkang, tak sudi menginsafinya, aku cuma bisa menembak!"
"Kau tembaklah!" Tan Hong menantang. "Tak usah kau banyak
bicara!"
"Akan aku menghitung dari satu hingga sepuluh!" Ngochito masih
berkata. "Jikalau aku telah menghitung sepuluh tetapi kau masih
diam saja, akan aku menembak! Bukankah semut juga masih
menyayangi jiwanya? Maka kau pikirlah masak-masak..."
Tan Hong tertawa dingin, ia lompat turun dari tembok, sama
sekali ia tidak menghiraukannya.
Sejenak itu, sunyilah di luar dan di dalam tembok pekarangan, di
dalam kesunyian itu lalu terdengar suaranya Ngochito: "Satu!...
Dua!... Tiga!... Empat!..." Ia telah mulai menghitung.
Tan Hong dengar hitungan itu, ia cekal keras tangan ayahnya.
Tantai Mie Ming sebaliknya menyiapkan gaetannya, yang ia telah
putar balik tajamnya ke arah dadanya.
Suasana ada sangat sunyi tapi tegang.
"Lima!...” terdengar pula suara Ngochito. "Enam!... Tujuh!...
Delapan!... Sembilan!..."
Tantai Mie Ming sudah mulai gerakkan tangannya. Dia adalah
seorang jenderal, dia cuma dapat membunuh diri tetapi tidak dapat
dibunuh lain orang. Ujung gaetannya sudah menempel dengan
dadanya, hingga tinggal sekali tolak dan tarik saja, dadanya itu
bakal terluka sobek, perutnya akan pecah belarakan...
Sehabis hitungan "sembilan" itu, lama tak terdengar suara
sambungannya. Adalah kemudian terdengar teriakan halus tapi
nyaring dan tajam: "Dilarang menembak!"
"Ah, itulah suaranya seorang wanita!" seru Tantai Mie Ming, yang
saking terperanjat dan herannya sudah lantas lompat naik ke atas
tembok, perbuatan mana dibarengi Tan Hong, yang tak kurang
terkejutnya.
Sekarang tertampak bahwa di sampingnya meriam besar ada
satu orang nona Mongol sedang mengancam tukang tembak dengan
goloknya.
"Topuhua!..." kata Tan Hong yang tapinya kaget juga. Ia heran.
Puterinya Yasian angkat kepalanya akan memandang ke arah
tembok, terus ia tertawa. Sekarang ini ia tidak berhias, rambutnya
yang bagus pun kusut, tusuk kondenya cuma nyantel di rambutnya,
hampir jatuh. Terang sudah bahwa ia telah datang dengan kesusu.
Ngochito memandang si nona dengan matanya terbuka lebar.
"Dilarang menembak?" dia tanya. "Siapakah yang perintahkan
melarangnya?"
"Apakah kupingmu pekak?" si nona balik tanya. "Apakah kau
tidak dengar nyata? Akulah yang melarangnya!"
Ngochito adalah pahlawannya Yasian, biasanya terhadap
Topuhua ia sangat menurut malah bermuka-muka, maka itu si nona
percaya ia akan dapat pengaruhi pahlawan ayahnya itu. Akan tetapi
sekarang ini Ngochito telah dipesan si perdana menteri bahwa siapa
pun tak dapat merintangi sepak terjangnya itu.
Maka itu dengan hormat sekali, Ngochito memberi hormatnya
kepada puteri majikannya itu.
"Aku telah mendengar nyata sekali," ia menyahut. "Aku mohon
tuan puteri suka menyingkir!" Lalu dengan mendadak ia berseru
dengan titahnya: "Tembak!"
Kedua alisnya Topuhua menjadi bangun berdiri, bahna
murkanya.
"Siapa menembak akan aku bunuh padanya!" ia mengancam,
suaranya bengis. "Ngochito, kau berani menentangi aku?"
Tukang tembak menjadi bersangsi, tangannya menyekali sumbu
yang menyala. Tangan dan tubuhnya bergemetar. Tentu saja dia
tidak berani menyulut meriamnya.
Ngochito pandang si nona, ia tertawa tawar.
"Aku cuma dengar titahnya Thaysoe." dia berkata.
"Ayahku menitahkan aku datang kemari justeru untuk sampaikan
titahnya!" berkata si nona. "Ialah, jangan tembak!"
Sudah tentu Topuhua mengatakan demikian dengan terpaksa,
dengan mendusta. Ia mengharap Ngochito nanti suka percaya
kepadanya.
Akan tetapi pahlawan itu dengar suara orang agak menggetar, ia
telah tampak roman tak wajar dari si nona, tidak dapat ia
mempercayainya. Lagi-lagi ia memberi hormat sambil berkata:
"Manakah titah surat tulisan tangannya Thaysoe pribadi?"
Topuhua masih tak sudi mengalah.
"Aku adalah puterinya, apakah aku mesti pakai juga surat
titahnya?" dia membentak.
Ngochito menjura hingga tubuhnya melengkung.
"Tanpa ada bukti surat titah, maaf, aku tak dapat menerima baik
titah ini," ia berkata pula, suaranya tetap hormat tetapi sikapnya
keras. "Aku minta dengan hormat supaya tuan puteri suka mundur!"
Terus saja ia berteriak pula dengan titahnya: "Tembak! Tembak!
Atau aku akan bunuh padamu!"
Inilah titah bengis untuk serdadu tukang tembaknya.
Serdadu itu bergemetar kaki dan tangan, akan tetapi ia mentaati
titah. Maka ia lantas sulut sumbunya.
Sekonyong-konyong satu tubuh berkelebat menyambar.
"Apakah kau sangka aku tidak berani bunuh padamu?" demikian
satu pertanyaan yang mengancam.
Dan sebatang golok melayang!
Serdadu tukang tembak itu belum sempat buka mulutnya, atau ia
telah kena dibacok, menyusul mana, Topuhua menyambar dengan
tangannya untuk memadamkan sumbu, sesudah mana, ia desakkan
tubuhnya ke mulut meriam!
"Siapa berani maju? Akan aku bunuh dia!" dia mengancam pula,
suaranya sangat mendesak, suatu tanda bahwa dia sangat menahan
napas.
Ngochito tidak sangka tuan puterinya itu demikian nekat, ia
menjadi bingung. Ia boleh gagah melebihi Topuhua akan tetapi
terhadap puterinya Yasian, majikannya, ia tak dapat langgar tubuh
tuan puteri itu.
Di saat sangat tegang itu, satu penunggang kuda lari
mendatangi. Begitu tiba, dia lompat turun dari kudanya.
"Kenapa masih belum menembak?" dia berteriak dengan
pertanyaannya.
Dialah tjongkoan dari gedung perdana menteri, namanya
Wotjaha.
"Tuan puteri melarang!" Ngochito beritahu.
Mukanya Wotjaha merah padam.
"Thaysoe menitahkan dengan lisan," dia berteriak, "siapapun dia
larang mencegah titahnya! Siapa berani merintangi, dia mesti
dibunuh mati! Inilah surat titahnya!"
Dan dia tunjukkan surat titah itu dalam mana ada dijelaskan,
walaupun puterinya terbinasa, petugas yang menjalankan titah
itu tetap ada berjasa!
Hatinya Ngochito menjadi besar.
"Ma I Tjan, kau majulah!" ia beri titah kepada rekannya. "Kau
minta tuan puteri suka menyingkir!"
Tentu saja itu bukannya "minta" hanya paksaan.
Topuhua menjadi kalap.
"Siapa berani maju?" dia berteriak. Sekarang rambutnya riap-
riapan, tusuk kondenya telah terlepas jatuh. Dia nampaknya sangat
beringas.
Wotjaha bertindak maju.
"Tuan puteri telah mendengar nyata!" dia berkata, suaranya
dingin. "Lekas tuan puteri mundur, jangan membelar! Thaysoe
menitahkan tuan puteri turut aku pulang!"
Dengan sekonyong-konyong Topuhua menjerit dengan
tangisannya. Bukan main berdukanya ia. Inilah untuk pertama kali ia
mengenal tabiat ayahnya itu. Ia adalah puteri tunggal, biasanya
ayahnya sangat menyayanginya, segala macam keinginannya tentu
diiringi. Siapa nyana di saat ini, ayahnya telah keluarkan titah yang
di luar dugaannya, sampaipun ia sendiri boleh turut dibunuhnya!
Sungguh ia tidak dapat menerka bahwa ayahnya ada demikian
kejam. Nyatalah kesayangan ayah itu adalah kesayangan palsu
belaka!
Di dalam dunia ini di mana ada lain urusan yang dapat membikin
seorang anak perempuan menjadi berduka melebihi ini, apapula
seorang anak perempuan sebagai Topuhua yang biasa dimanjakan?
"Percuma kau menangis," berkata Wotjaha selagi si nona umbar
kedukaannya. "Jikalau kau tetap tidak hendak undurkan diri, aku
akan berlaku tak sungkan-sungkan lagi! Mari lekas ikut aku pulang!"
Hebat kedukaannya Topuhua, lantas ia tak dapat menangis pula.
Dengan tangan bajunya ia seka air matanya, tapi ia tak geser
tubuhnya dari mulut meriam itu. Mukanya telah menjadi pucat,
lenyap wajahnya yang cantik manis, sekarang romannya menjadi
seram menakuti...
"Ma I Tjan, kau tarik dia, singkirkan padanya!" menitah Ngochito,
yang cuma taat kepada titah, hingga hilang rasa peri
kemanusiaannya. Ia tak ingat lagi kepada puteri majikannya itu.
Ma I Tjan ini adalah pahlawan yang tubuhnya telah dicacahkan
huruf "bangsat" oleh Tan Hong, ia memang tak dapat jalan untuk
melampiaskan penasarannya itu, sekarang ia saksikan kelakuannya
si puteri, ia menjadi sengit. Ia memang ingin sangat memusnahkan
Tan Hong serumah tangga. Tentu saja ia menjadi tidak senang dan
gusar ada orang menghalangi kebinasaannya musuhnya itu! Maka
itu, justeru ada titahnya Thaysoe Yasian, ia menjadi besar nyalinya.
Ia terus maju menghampirkan Topuhua, untuk sambar tangan
bajunya guna ditarik!
"Foei!" si nona berludah. Maka tubuhnya Ma I Tjan menjadi
kotor.
Pahlawan itu melengak sebentar, lalu ia gerakkan tangannya
untuk mencekuk bahu nona itu. Ia berhasil, hingga kedua tangan
Topuhua kena di telikung ke belakang sebelum nona itu sempat
berdaya.
Ma I Tjan gagah melebihi nona itu, gerakannya pun sangat
liehay, tidak heran kalau dia berhasil dengan aksinya itu.
Topuhua juga tidak sangka orang ada demikian berani, ia
menjadi tidak berdaya. Akan tetapi kemurkaannya telah meluap-
luap, ia menjadi nekat. Justeru tubuhnya dibetot, ia sekalian
tubrukkan diri kepada tubuh Ma I Tjan. Ketika ini ia gunai untuk
menggigit pundaknya pahlawan itu!
Ma I Tjan kaget bukan kepalang, sakitnya pun bukan buatan!
Inilah hal yang tidak pernah disangka pahlawan ini. Memang orang
bangsa Mongol tidak keras adat istiadatnya sebagai bangsa Han
yang melarang wanita dan pria sembarang "berjabat tangan" atau
menempelkan anggauta tubuh satu dengan lain, tetapi biar
bagaimana, Ma I Tjan tahu, ia tetap ada di antara majikan dan
hamba dengan tuan puteri ini. Saking kaget dan sakit, ia terpaksa
lepaskan cekalannya.
"Jangan pantang-pantang lagi! Hajar dia sampai pingsan!"
Wotjaha memerintahkan sambil berseru.
Ma I Tjan lantas sadar, ia turut titah. Ia lantas lompat maju
kepada si nona.
Tiba-tiba!
"Ser! Ser!" demikian suatu suara menyambar.
Topuhua membekal panah tangan, barusan kedua tangannya
tertelikung, dia tidak berdaya, sekarang setelah merdeka, justeru
Ma I Tjan maju, dia lantas saja menyerang.
Panah itu adalah panah beracun, yang biasa dipakai di waktu
berburu binatang alas. Sekarang panah itu digunakan dari jarak
yang dekat sekali. Maka tanpa ampun lagi Ma I Tjan kena terpanah,
masing-masing di bahagian kedua hatinya.
Akan tetapi Topuhua juga telah kena terpukul sampai rubuh.
Wotjaha kaget, dia lompat maju.
Topuhua berlompat bangun sebelum wakilnya Yasian itu sampai
kepadanya, dia berteriak: "Thio Toako, bukannya aku tidak hendak
menolongi kau tetapi aku tidak berdaya dengan setakar tenagaku!"
Lalu dengan goloknya ia tikam dadanya sendiri, di waktu tubuhnya
terhuyung-huyung hendak jatuh, ia jambret meriam dengan kedua
tangannya, hingga ia dapat peluki mulut meriam itu!
Tan Hong berada di atas tembok pekarangannya, dia
menyaksikan kejadian itu dengan tegas sekali, ia menjadi
tercengang. Sungguh ia tidak sangka si nona menyintai dia demikian
rupa, hingga sekarang nona itu berkurban untuknya. Tentu saja, ia
menjadi sangat berduka, lenyap kesannya yang tak manis terhadap
puteri Yasian itu. Tadinya ia menyangka si nona centil. Mendadak ia
menangis.
"Oh, adik Topuhua..." ia mengeluh. "Aku terima cintamu!..."
Akan tetapi Topuhua telah binasa, dia tidak dapat mendengar
suara kekasihnya itu yang memanggil dia adik...
Topuhua tidak terbinasa sendirian, Ma I Tjan pun melayang
jiwanya bersama ia. Parah lukanya pahlawan itu disebabkan
sepasang panah beracun, jiwanya putus seketika itu juga, hingga
tubuhnya tidak berkutik lagi.
Ma I Tjan terbinasa, Topuhua juga bunuh diri, inilah di luar
dugaannya Wotjaha beramai. Mereka itu semua tergugu, tidak ada
yang membuka suara. Baharu kemudian, Wotjaha yang pecahkan
kesunyian.
"Singkirkan tubuhnya itu! Tembak!" demikian titahnya pula.
Ngochito maju, dia kerahkan tenaganya akan tarik kedua
tangannya si nona, supaya pelukannya nona itu kepada meriam
terlepas.
Nona itu mengucurkan banyak darah yang membasahi meriam.
Menampak demikian, Ngochito memalingkan mukanya, tidak
berani ia mengawasi wajah bengis dari puteri itu, yang mati tak
puas. Dengan hanya satu gerakan tangan, ia bikin tubuh si nona
jatuh di sisi meriam. Setelah itu, ia gantikan si serdadu tukang
tembak, ia nyalakan sumbu, ia sulut meriamnya, lantas ia lompat
jauh ke samping!
Tan Hong juga tidak dapat menonton lagi. Dia lompat turun
untuk dengan tangannya yang kiri menarik ayahnya dan dengan
tangan kanan membetot Tantai Mie Ming. Sembari tertawa, tertawa
sedih, ia kata: "Ayah! Tantai Tjiangkoen1. Hari ini mari kita pergi
bersama!..."
Tantai Mie Ming tidak lihat apa yang terjadi di luar tembok itu
akan tetapi ia telah dengar titahnya
Ngochito, ia tidak memikir hidup lebih lama pula, lantas saja ia
angkat gaetannya...
Sementara itu In Tiong, dengan hati tidak keruan, telah pergi
kepada Kie Tin, untuk menghadap junjungannya.
Kie Tin di tempatkan di sebuah gedung di samping kanan istana
raja Watzu, ke sana In Tiong menuju dengan ditemani tiga
pahlawan. Kapan pintu istana telah dibuka, orang melalui sebuah
lorong yang berliku-liku. Di akhirnya, sampai juga orang di istana
samping itu. Pengawal pintu segera masuk ke dalam untuk memberi
laporan kepada Kie Tin perihal tibanya sang utusan.
Tidak lama, pengawal itu muncul kembali. "In Thaydjin diminta
suka menanti di sini sampai ada panggilan," demikian katanya.
In Tiong heran. Ia memang tegang terus perasaannya, ia
bergelisah.
"Sri Baginda memanggil aku untuk segera menghadap, mengapa
sekarang aku mesti menunggu?" dia tanya.
"Sri Baginda sedang dahar yan-o, dia belum dahar cukup," sahut
pengawal itu, satu pahlawan.
In Tiong bergelisah terus, ia pun mendongkol sekali. Bukankah ia
telah dipanggil berulangkah, dengan kimpay dan firman? Kenapa
sekarang raja ada tenang-tenang saja? Apa artinya panggilan kilat
itu?
Setelah berselang sekian lama baharu muncul seorang kebiri
bangsa Mongol, yang dipinjamkan kepada Kaisar Kie Tin itu. Hamba
ini mengucapkan kata-kata "mempersilakan."
In Tiong segera masuk ke dalam, bukannya dengan bertindak
hanya dengan berlompat, dua tiga tindak menjadi satu. Setibanya di
dalam ia tampak raja sedang duduk dengan tenang di kursi malas,
empat orang kebiri tanggung yang raja Watzu kirim kepadanya
tengah menumbuki bebokongnya dengan pelahan-lahan!
Juga wajah raja ini sangat tenang, tidak menunjukkan
ketegangan hati.
Dengan merasakan perutnya hampir meledak, In Tiong memberi
hormat sambil berlutut. Tiga kali ia mengucapkan "BansweeV (Sri
baginda panjang umur)
"Menteriku, kau bangun dan duduklah!" berkata raja itu, juga
dengan sangat tenang.
In Tiong merayap bangun tetapi ia tidak berduduk.
"Ada urusan penting apa maka Sri Baginda memanggil
hambamu?" dia bertanya. Kie Tin batuk-batuk.
"Ya, ya, ada urusan penting sekali," dia menyahut kemudian.
"Dengan mendadak saja aku ingat suatu hal. Besok kita akan
berangkat pulang, tetapi sementara itu selama aku berada di negeri
ini, aku toh telah menerima perlayanannya Raja Watzu. Dia adalah
tuan rumah, aku adalah tetamu, dia menghormati aku, maka itu tak
dapat aku tidak membalas hormatnya itu. Raja Watzu sendiri
hendak mengantar aku berangkat, dia hendak mengantarnya
sampai di luar kota. Kalau aku terima penghormatannya tanpa
membalasnya, aku merasa itulah kurang tepat. Maka itu aku telah
memikirnya, baiklah kau yang menyambut aku keluar dari istana ini,
untuk terus keluar kota. Untuk pamitan dari raja Watzu, aku akan
kirimkan surat kehormatan. Umpama kata raja Watzu tetap hendak
mengantarnya, maka kita boleh tunggui ia di luar kota di mana aku
sambut dia. Ini baharu namanya kehormatan saling membalas..."
Demikianlah adanya "urusan penting sekali" yang dinamakan raja
itu. Hampir saja perutnya In Tiong meledak bahna mendelunya.
Sekarang sebaliknya dia menjadi bungkam, cuma wajahnya yang
menjadi pucat pasi.
Kie Tin telah dibawa ke negeri Watzu di mana ia ditawan.
Perlakuan bagaimana macam ia dapat sebagai raja tawanan? Mana
kemerdekaannya? Tentang ini In Tiong telah mendengarnya dari
Tan Hong. Tapi sekarang, raja ini melupakan derajatnya sebagai
raja, raja dari Kerajaan Beng yang terbesar! Dia hendak mengirim
surat mohon pamitan! Katanya dia hendak membalas penghormatan
dengan penghormatan!
Selagi bungkam, In Tiong melirik kepada ke empat orang kebiri,
ia dapat kenyataan mereka itu pada bersenyum. Lantas saja hatinya
bercekat.
"Adakah ini pikiran Sri Baginda sendiri?" tiba-tiba ia tanya.
Ditanya begitu, raja nampaknya terkejut. Segera wajahnya
berubah.
"In Tiong, insyafkah kau akan kesalahan bicaramu?" dia
menegur. "Tentu saja ini adalah pikiranku sendiri!"
Raja ini telah mendusta. Sebenarnya dia telah dijadikan
perkakasnya Yasian.
Perdana Menteri Watzu itu menduga pasti, setelah minggatnya
Topuhua, mungkin puterinya itu akan minta bantuannya In Tiong,
maka itu di satu pihak ia mencoba untuk menghalang-halanginya,
ialah dengan kirim Wotjaha kepada Ngochito, supaya ancaman
kepada Thio Tjong Tjioe tetap diwujudkan, di lain pihak ia kirim
utusan ke istana, untuk menemui Kie Tin, guna pedayai kaisar Beng
itu sambil diancam dengan gertakan. Ia ajarkan Kie Tin bagaimana
harus memanggil In Tiong datang menghadap. Inipun suatu akal
bagus untuk cegah si utusan dapat pergi menolongi Tjong Tjioe.
Bahagian istana di mana Kie Tin ditahan berada di bawah
pengaruhnya Yasian, tidak heran kalau di sini orangnya Perdana
Menteri itu bisa keluar masuk dengan merdeka. Untung bagi
Perdana Menteri ini, Kie Tin kecil hatinya — raja ini takut dia tak
diijinkan Perdana Menteri itu pulang ke negerinya, maka dia telah
kena dibujuk dan digertak. Begitulah dia pikir: "Janganlah karena
urusan kecil ini nanti terjadi sesuatu perubahan..." Demikian dia
paksa In Tiong datang menghadap, sesudah mana, dia mencoba
pakai pengaruhnya sebagai raja untuk tindih utusan itu.
Sehabis menegur, Kie Tin ubah pula sikapnya.
"Mengingat dengan tugasmu ini kau telah peroleh jasa, aku tidak
akan menghukum padamu," dia berkata pula. "Sekarang aku
hendak mengirim surat pamitan kepada raja Watzu dan kau
menantikan di sini, setelah sebentar aku sudah menghadiahkan
semua pegawai istana di sini, setelah terang tanah, kita akan
berangkat bersama."
In Tiong tidak berdiam saja atas sikap rajanya itu.
"Sri Baginda," katanya, "tak usah Sri Baginda mengirim surat
pula, aku sendiri sudah memberitahukannya kepada raja Watzu!
Besok kita batal berangkat!"
Kaisar itu terkejut, hingga air mukanya berubah pula.
"Kau, kau bagaimana berani melancangi aku?" dia membentak.
"Oleh karena hambamu hendak melakukan kunjungan kepada
Thio Tan Hong." In Tiong beritahu terus terang.
Kie Tin menjadi heran. Dia lantas tepuk meja.
"Kenapa kau hendak kunjungi Thio Tan Hong?" dia menegur.
"Apakah kau tidak tahu bahwa dia ada turunannya pemberontak
Thio Soe Seng? Bahwa aku telah tidak ringkus dia untuk dibawa
pulang bersama dan dihukumnya, itu telah menandakan kemurahan
hatiku! Bagaimana kau justeru hendak mengunjungi mereka? Hm,
hm! Mana ada itu aturan?"
In Tiong tidak jadi gentar hatinya karena teguran itu.
"Sri Baginda, tahukah Sri Baginda akan duduknya perkara?" dia
menanya. "Tahukah Sri Baginda sebab-sebabnya telah terdapat
perdamaian di antara kedua negara dan Sri Baginda hendak
disambut pulang? Ini memang benar ada kehendaknya Ie Kokioo,
tetapi lebih benar bahwa semua ini adalah hasil usahanya Thio Tan
Hong! Apabila tidak Thio Tan Hong yang ketahui betul keadaan di
dalam negara Watzu dan ia memberitahukannya kepada Ie Kokioo,
pihak kita belum tentu berani bersikap keras seperti sekarang
terhadap negara Watzu ini!"
Mukanya Kie Tin menjadi pucat.
"Hm!" terdengar suaranya. Lalu dia bilang: "Jadinya, menurut
kau ini, Thio Tan Hong itu adalah satu menteri yang setia dan
berjasa?"
"Benar!" jawab In Tiong. "Dia bersetia untuk negara!"
"Kau berbicara untuk pemberontak, kebaikan apa kau dapat?"
raja tanya.
In Tiong sangat mendongkol atas pertanyaan ini hingga hampir
tak dapat ia bicara, tetapi ia menjadi kaget sekali ketika ia dengar
lonceng istana berbunyi lima kali. Selama menghadapi junjungannya
ini, ia sampai melupakan sang waktu.
Segera ia berkata: "Sekarang ini Yasian justeru hendak
menembak keluarga Thio itu! Hambamu benar bermusuh sangat
hebat dengan keluarga Thio itu, akan tetapi dengan hambamu
bersedia menerima hukuman dari Sri Baginda, hendak hamba
menolongi keluarga itu! Tentang kebaikan yang diterima, itulah
tidak mengenai hambamu! Justeru Sri Bagindalah yang terima
kebaikan dari Thio Tan Hong itu! Hanya sayang Sri Baginda masih
belum mengetahuinya! Ie Kokioo telah mengumpulkan tentera suka
rela dari seluruh negeri, dia dapat mengalahkan Yasian! Tahukah Sri
Baginda dari mana datangnya belanja atau rangsum untuk angkatan
perang suka rela itu? Sebagian besar dari itu adalah Thio Tan Hong
yang membelanjainya!"
Kedua matanya Kie Tin bagaikan terbalik, matanya itu mendelik.
"Apa? Apa kau bilang?" serunya berulang-ulang. "Apa... apakah
kau menteri yang telah makan gaji dari kerajaan Beng yang besar
berani bicara demikian? Kau berani belai padanya? Apakah benar
kau berani lawan rajamu?"
Matanya In Tiong mengembeng air. Ketika ia melihat ke atas, ia
dapatkan cuaca sudah mulai terang. Sedetik itu ia lantas ambil
putusannya.
"Hambamu tahu, melawan raja berarti hukuman mati!" ia
berkata. "Tapi sekarang juga hambamu hendak pergi ke rumah
keluarga Thio itu! Nanti setelah itu, untuk balas budi Sri Baginda,
hambamu bersedia untuk kurbankan dirinya! Sesudah hambamu
mati baiklah Sri Baginda minta Ie Kokioo nanti mengirim utusan
yang kedua untuk menyambut Sri Baginda pulang!..."
Mendengar perkataannya menteri itu, Kie Tin kaget tidak terkira.
Apa yang dia harapkan siang dan malam adalah supaya dia dapat
pulang ke negerinya, sekarang pengharapannya itu sudah tercapai,
dia akan pulang besok untuk menjadi raja pula, maka bagaimana itu
dapat dihalangi karena urusan In Tiong ini? — ya, urusan keluarga
Thio itu? Kalau benar In Tiong buktikan perkataannya itu, yaitu dia
ditinggal pergi, mana dapat dia pulang seorang diri? Sampai
kapankah datangnya utusan yang kedua? Dan utusan yang kedua
itu tentu tidak secakap In Tiong ini... Apakah karena itu mesti
hancur lebur impiannya setiap malam untuk berkuasa pula sebagai
raja?
Baharu sekarang ia merasa jeri. "Menteriku, marilah bicara
secara baik-baik," akhirnya ia minta.
"Yasian itu jahat, terhadap Sri Baginda dia tidak mengandung
maksud baik," In Tiong jawab junjungannya itu. "Bahwa dia telah
sudi membuat perdamaian dengan negara kita, itulah karena
terpaksa, tak dapat dia tidak membuat demikian. Sri Baginda,
daripada mempercayai Yasian, lebih baik menaruh kepercayaan
kepada Thio Tan Hong! Sekarang hendak hambamu pergi!"
Kie Tin menjadi bergelisah sekali.
"Menteriku, tunggu dulu!..." ia menahan.
In Tiong sangat bergelisah tetapi karena rajanya memanggil,
tidak dapat ia tidak menoleh.
"Sri Baginda hendak menitah apa?" dia tanya.
"Aku hendak pergi bersama kau..." kata raja, suaranya
menggetar.
Raja ini mengucap demikian karena ia telah lihat, tidak dapat ia
menahan lagi utusan itu. Sebenarnya ia jeri untuk berdiam lebih
lama pula di dalam istana itu, ia kuatir Yasian nanti mencelakai
padanya. Sama sekali ia tidak tahu hatinya perdana menteri Watzu
itu. Yasian tidak nanti berani mencelakai ia, ia cuma digertak. Tapi
ia sangat takut, ia tidak dapat memikir, maka ia anggap ikut In
Tiong adalah paling selamat...
Permintaan itu adalah di luar dugaan utusan she In itu. Ia
memandang kaisar itu, ia tampak muka yang pucat dan sikap
kuncup, bagaikan kelinci yang jeri terhadap seorang pemburu. Jauh
sangat bedanya si junjungan dengan sikapnya yang sangat galak
tadi. Maka kepadanya datang dua rupa kesan: jemu berbareng
kasihan. Nyatalah raja yang derajatnya berada di atas "laksaan
rakyat," sekarang menjadi demikian hina kelakuannya. Tapi
walaupun begitu, ia memberi hormat sambil menekuk separuh
dengkulnya, untuk terima baik "perintah" raja itu...
Ketika itu cuaca telah menjadi semakin terang sebagai tanda
sang pagi telah datang secara mendesak.
"Tunggu sebentar, aku hendak ambil bajuku," kata Kie Tin pula.
Terus ia masuk ke dalam di mana dengan cepat ia buka lemari
pakaian. Segera matanya bentrok dengan sepotong baju mantel dari
kulit rase warna putih, yang bercampuran dengan lain-lain jubanya.
Itulah baju ketika Kie Tin masih dalam tawanan di dalam menara
batu yang Tan Hong telah berikan padanya, baju yang Tan Hong
loloskan dari tubuhnya. Maka, menampak itu, ingatlah kaisar ini
kepada hari yang tak terlupakan itu. Hatinya goncang dengan tiba-
tiba. Tak tahu ia, ia mesti menyesal atau mendongkol...
Dalam kesangsian, Kie Tin tidak samber mantel itu. Ia memilih
yang lain-lainnya akan tetapi pilihannya tak tepat. Ia tidak dapatkan
juba yang ia anggap cocok dengan hatinya...
Akan tetapi sang waktu berjalan terus, tak bersangsi seperti raja
ini. Sinar matahari mulai menembusi jendela. In Tiong di luar
habis kesabarannya.
"Sri Baginda, harap maafkan hambamu, hamba tak dapat
menunggu lebih lama pula!" demikian utusan itu perdengarkan
suaranya, suara nyaring tetapi tak tenang lagi.
Suara menteri itu membikin Kie Tin tersadar dengan kaget,
dengan tangan tidak tetap, dengan pikiran kusut, ia sambar
sembarangan saja sepotong juba, terus ia keredongi tubuhnya. Ia
pun menyahuti:
"Aku akan segera keluar!"
Dan ia lari keluar, akan susul In Tiong. Maka itu, dengan
bersama-sama mereka keluar dari istana tempat tahanan.
Setibanya di luar istana, baharulah Kie Tin terkejut. Ia dapat
kenyataan, tubuhnya telah berkerodongkan justeru mantelnya Tan
Hong! Tapi sekarang ia tidak dapat menghiraukannya pula, ia mesti
ikuti utusannya dengan hati gelisah!
Pengiring-pengiring In Tiong masih terus dirintangi di tengah
jalan, baharu setibanya utusan ini sendiri bersama Kaisar Kie Tin,
mereka diberi ijin oleh si thaywie bangsa Mongol untuk lewati
tempat jagaan. Ketika itu, langit sudah jadi terang.
In Tiong menunggang kuda, ia kaburkan binatang
tunggangannya itu. Ia seperti dengar suara tertawanya Tan Hong
yang manis, anak muda itu sebagai terbayang tengah menggape-
gape terhadapnya. Di saat itu, apa yang dinamakan surat wasiat
kulit kambing yang berlumuran darah, segala permusuhan hebat,
semua itu bagaikan diusir lenyap oleh bayangannya pemuda she
Thio itu! Cuma satu pikiran yang berpeta diotaknya utusan ini: Ia
mesti lekas sampai di rumah keluarga Thio untuk menolongi Tan
Hong dari tangannya malaikat!
"Bukankan aku telah terlambat? Cuaca sudah terang, matahari
sudah naik!" demikian pikirannya bekerja selagi ia kaburkan terus
kudanya. Ia sangat menyesal yang ia tidak bisa jambret sang waktu,
untuk menahannya...
Syukur sampai itu waktu, masih belum terdengar suara meriam...
Tapi In Tiong menjadi semakin tegang hatinya, ia menjadi
semakin gelisah, jantungnya memukul keras sekali. Ia merasakan
dirinya seperti seorang hukuman mati, yang saat kematiannya telah
tiba akan tetapi kampaknya si algojo belum juga dikampakkan
turun!
Menanti waktu satu detik bagaikan menanti waktu satu jam...
Kapankah sang peluru meriam bakal melesat keluar?
Mungkinkah kelambatan setengah tindak akan mendatangkan
kemenyesalan seumur hidup?
Bagaikan kalap, In Tiong cambuki kudanya.
Hingga ia membuat raja ketinggalan jauh di belakangnya, ia
menahan napas ketika kudanya kabur!
Akhirnya, tibalah juga ia di depan gedungnya keluarga Thio. Ia
tampak satu serdadu Mongol sedang rebah tengkurap di samping
meriam yang mulutnya menghadapi gedung dan tengah
mengeluarkan asap. Ia lantas saja berteriak sekuat-kuatnya, iapun
mencambuki kudanya hebat sekali, hingga binatang itu berjingkrak
lompat, kabur ke arah meriam besar itu!
Di belakang utusan kerajaan Beng ini, delapan belas
pengiringnya pun berteriak-teriak: "Utusannya Kerajaan Beng tiba!"
Tan Hong tengah menantikan kematiannya tatkala kupingnya
dengar suara sangat berisik itu di luar gedung. Mendadak saja,
timbullah harapannya, hingga ia menjadi sangat girang. Ia
berlompat, terus ia rampas gaetannya Tantai Mie Ming di saat
jenderal ini hendak habiskan jiwanya sendiri.
"Kau dengarlah!" serunya. "In Tiong telah tiba!" Lalu dengan
pesat ia lompat naik ke atas tembok. Thio Tjong Tjioe telah tutup
rapat kedua matanya tetapi sekarang dengan pelahan-lahan ia
buka matanya itu.
"Siapakah yang datang?" ia tanya. Tak tegas ia dengar suara
puteranya.
"Dasar kita tidak bakal hilang jiwa!" sahut Tantai Mie Ming.
"Itulah utusan Kerajaan Beng yang datang mengunjungi tjoekong."
Di saat itu, Tjong Tjioe sendiri pun sudah lantas mendengarnya
dengan nyata. Hal ini membuat ia heran. Inilah di luar dugaannya.
Ia bersenyum tetapi sebentar saja, atau lantas ia tunduk, untuk
mengeluarkan napas panjang.
Tan Hong di atas tembok melihat kudanya In Tiong lari
mendatangi keras sekali. Tapi pun ia saksikan meriam besar, yang
mulutnya diarahkan ke gedungnya, tengah mengepulkan asap putih.
Mendadak saja matanya menjadi gelap, harapannya yang baharu
timbul tadi telah lenyap seketika! Hampir ia tak sanggup
pertahankan tubuhnya...
Tantai Mie Ming lihat tubuh orang bergoyang seperti hendak
jatuh.
"Hai, kau kenapa?" ia berseru dengan tegurannya.
Tan Hong dengar teguran itu tapi ia tidak menjawabnya. Ia
segera dapat atasi dirinya sendiri. Ia lantas berteriak ke arah luar
tembok: "Saudara In, lekas menyingkir! Jangan kau antarkan jiwa!"
Di saat terakhir dari kematiannya ini, Tan Hong masih tunjukkan
persahabatannya.
Riuhlah suara di waktu itu. Suara yang satu dari kaburnya kuda,
suara yang lain dari teriakan cegahannya Tan Hong.
Adalah di saat itu, dengan tiba-tiba terdengar satu suara keras.
Asap putih mengepul buyar, peluru pun melesat menyambar!
In Tiong menjerit hebat, hatinya bagaikan tertindih gunung
gempa, hingga putuslah harapannya yang terakhir. Tetapi ia dengar
nyata bahwa suara meriam bukan seperti meledaknya merian di
medan perang. Segera ia pentang lebar kedua matanya, mengawasi
ke arah meriam itu, ke arah peluru yang melesat keluar mengikuti
hembusannya asap putih.
Peluru itu tidak menggempur gedung menteri muda hanya jatuh
di tanah sesudah menyembur jauhnya kira-kira tiga tombak! Peluru
itu jatuh ke tanah untuk terus bergelindingan beberapa kali, lain
tercebur ke dalam selokan, hingga dia tidak menyebabkan
perledakan dahsyat!
Meriam besar itu sudah gagal dengan tugasnya. Sumbu telah
disulut tepat akan tetapi perledakannya tidak sebagaimana yang
diharapkan. Sebab dari itu adalah karena darahnya Topuhua,
puterinya Yasian, perdana menteri Watzu itu.
Nona itu telah peluki meriam dengan darahnya masih mengucur,
tanpa diketahui darah telah meresap ke sumbu, membasahi obat
pasangnya. Demikianlah, sisa obat pasang yang tersulut itu tidak
cukup kekuatannya, suara ledakannya berkurang, tenaga
melesatnya pun hampir lenyap, demikian terjadilah seperti di atas
tadi.
In Tiong girang tak kepalang. Dari atas kudanya dia lompat turun
untuk lari ke pintu gedung, untuk menggedornya dengan kuat,
sekuat-kuatnya! Ketika itu, utusan itu pun diikuti terus oleh delapan
belas pengiringnya.
Di dalam keadaan seperti itu, walau Ngochito bernyali sangat
besar, tidak berani ia mengisi pula meriamnya, untuk menembak
buat kedua kalinya.
Tan Hong lompat turun dari tembok pekarangan, ia lari ke pintu
yang segera ia buka. Begitu daun pintu terpentang, ia papaki In
Tiong, hingga keduanya saling tubruk, saling rangkul! Dan kedua-
duanya, air matanya mengembeng. Sekian lama mereka saling
mengawasi, tidak ada satu yang dapat membuka mulutnya.
Sekonyong-konyong Tan Hong memanggil: "Ayah!...”
In Tiong menoleh dengan segera.
Thio Tjong Tjioe dengan tindakan agak limbung, tengah
mendatangi ke arah mereka.
Dengan tiba-tiba saja, hatinya sang utusan seperti berhenti
berdenyut...
Dia ayahnya Thio Tan Hong. Inilah orang, yang sejak ia
dilahirkan, mulai saat ia mengerti urusan, yang tak ada satu hari ia
tidak membencinya! Inilah musuh besarnya turun temurun! Dan
sekarang, orang ini sedang mendatangi ke arahnya... Ia lihat mulut
orang yang bergerak, yang dibuka sedikit... Orang seperti ada
punya ribuan kata-kata yang hendak diucapkan, akan tetapi kata-
kata yang tak dapat dikeluarkannya. Ia tampak juga kulit muka
orang yang kisut berkerut-kerut, wajah yang mendatangkan kesan
baik. Wajah yang bagaikan berdahaga untuk sesuatu yang telah
berlarut lama... Itulah seperti wajahnya satu ayah yang telah
menanti-nanti puteranya yang telah lama tak pernah pulang-pulang.
Itu juga roman, yang In Tiong untuk selamanya akan tak dapat
melupakannya...
"Ah..." akhirnya ia mengeluh seorang diri.
Orang tua yang telah "kering" ini, yang rambutnya telah putih
semua, sedikitpun tiada beroman seorang jahanam yang licin dan
kejam. Apakah In Tiong cukup kuat hati untuk membunuh orang tua
yang tinggal menantikan saat dari hari tuanya itu?
Thio Tjong Tjioe mendekati terus, satu tindak demi satu tindak.
Mendadak ingat pula In Tiong kepada surat wasiat kulit kambing
yang berlumur darah, ia awasi orang tua itu dengan sorot matanya
yang bengis!
Tetapi cuma sekejap, segera ia melengos, berbareng dengar
mana, ia pun gerakkan kedua tangannya, untuk melepaskan diri dari
rangkulannya Tan Hong.
Tjong Tjioe merasakan hatinya sakit seperti disayat-sayat. Ia
telah menatap mata orang — mata yang mengandung kebencian
hebat. Itulah mata yang sorotnya sama dengan matanya In Tjeng
pada tiga puluh tahun yang lampau...
Orang tua ini sadar, ia menginsafi benar-benar. Tiba-tiba ia
jatuhkan dirinya hingga berduduk di tanah, romannya sangat lesu.
In Tiong telah lantas membalik tubuhnya.
"Urusan telah, selesai, kita pergi!" ia berkata.
Tan Hong berdiri menjublak, matanya mengawasi ayahnya, lalu
berpaling mengawasi orang she In itu. Tak dapat ia mengatakan
sesuatu...
Tamtay Keng Beng berbicara dengan kakaknya ketika ia dengar
suaranya In Tiong itu, maka ia segera tinggalkan kakaknya untuk
menghampirkan si utusan.
"Apa? Baharu sampai sudah hendak pergi pula?" katanya.
Biasanya, kalau Nona Keng Beng mengucapkan sesuatu, In Tiong
tak pernah tak mengiringinya, akan tetapi kali ini ia bagaikan
kehilangan semangat, ia seperti tidak mendengarnya, ia berjalan
terus, lempang ke arah pintu pekarangan.
Berbareng dengan itu, dari luar terdengar suara berisik dari kaki-
kaki kuda, yang baharu saja tiba di muka pintu, menyusul itu
terdengar suara nyaring dari beberapa orang, yang menyerukan
kata-kata yang sama: "Kaisar dari Ahala Beng datang mengunjungi
keluarga Thio!"
Itulah Kaisar Kie Tin, yang baharu saja sampai, sehab ia telah
ketinggalan jauh oleh In Tiong. Ia adalah kaisar yang berada di
dalam tawanan, baharu saja ia merdeka, ia lantas tak ubah
kebiasaannya, ia tak hendak melupakan bahwa dirinya seorang raja.
Maka itu, pengiring-pengiring perdengarkan seruan itu.
Di dalam pekarangan gedung menteri muda, tidak ada orang
yang usil kaisar ini.
Thio Tjong Tjioe masih duduk numprah, tubuhnya tidak
bergeming.
Tantai Mie Ming mengawasi raja itu, dengan roman yang bengis,
dengan sinar matanya yang tajam, tetapi sebentar saja, ia lantas
pelengoskan mukanya untuk melanjutkan bicara dengan adiknya.
Cuma In Tiong beserta pengiring-pengiringnya, yang mesti
menunda tindakan kakinya... Kie Tin menjadi kecele, tak enak
hatinya. Bukankah ia seorang kaisar? Kenapa tidak ada orang yang
ambil perhatian kepadanya?
"Siapa Thio Tjong Tjioe?" ia tanya sambil membentak. "Kenapa
dia tidak menyambut raja?"
Tjong Tjioe angkat kepalanya, untuk dongak melihat langit! Ia
seperti juga tak melihat adanya satu Kie Tin di hadapannya itu!
Kaisar tidak kenal Thio Tjong Tjioe tetapi dia kenali Thio Tan
Hong. Maka itu ia segera menoleh kepada si anak muda.
"Mana ayahmu?" dia tanya, suaranya membentak. "Kamu ayah
dan anak adalah turunan pemberontak tetapi sekarang dengan
kemurahan hati aku tidak hendak tarik panjang perkaramu itu!
Apakah kamu masih tidak hendak sambut junjunganmu?"
Selama raja ini bicara, Tan Hong tidak menjawab, dia cuma
tertawa dingin.
Kie Tin yang menampak sikap orang itu, seperti merasa bahwa
matanya si anak muda menatap dengan tajam kepada mantel di
tubuhnya! Dengan sendirinya mukanya menjadi berubah merah,
dengan sendirinya ia likat dan merasa tak enak hati. Maka itu, kalau
pada mulanya suaranya keras, lambat laun suara itu menjadi
pelahan, lalu beberapa kata-kata yang terakhir cuma ia sendiri yang
mendengarnya...
Sehabis tertawa dingin, Thio Tan Hong merogo ke dalam
sakunya. Dengan satu gentakan ia tarik keluar tangannya itu yang
menggenggam satu bungkusan. Ia lantas lemparkan itu ke tanah!
"Dua rupa barang ini kau harus simpan baik-baik, jangan kau
membuatnya hilang kembali!" dia kata, suaranya dingin tetapi
keren.
Satu pahlawan segera jemput bungkusan itu, untuk dibawa ke
hadapan rajanya. Dia pun segera membukanya.
Di dalam bungkusan itu terdapat dua rupa barang, melihat mana
Kie Tin jadi tercengang.
Barang yang satu adalah yang berukiran huruf-huruf "Tjeng Tong
Hongtee Tjie In" yang berarti "Cap dari Kaisar Tjeng Tong." Itu
adalah capnya raja ini!
Barang yang kedua adalah tusuk konde kumala yang Honghouw
atau permaisuri persembahkan kepada Kie Tin sendiri!
Itulah dua rupa barang berharga yang selama pertempuran kalut
di Touwbokpo sudah dicuri dan dibawa lari oleh Taylwee Tjongkoan
Kong Tiauw Hay, yang Tan Hong dapatkan dari tangannya
tjongkoan itu ketika si tjongkoan dipermainkan Hek Pek Moko.
Baharu sekarang ada ketikanya untuk Tan Hong bayar pulang cap
dan tusuk konde itu kepada kaisar Beng ini.
Sehabis tercengang, Kie Tin kemudian menjadi sangat murka.
Kemana keagungannya seorang kaisar? Di mana ia mesti taruh
mukanya? Akan tetapi ia boleh bergusar, hatinya justeru ciut. Ia
hendak umbar kemurkaannya, ia tak dapat lakukan itu. Kekuasaan
apa ia ada punya untuk pengaruhi Tan Hong itu. Maka di akhirnya,
ia memikir untuk melampiaskan segala-galanya kepada In Tiong...
Hampir di itu waktu, tiga orang datang berlari-lari bagaikan
terbang ke arah mereka. Dua orang yang lari di muka sama
potongan tubuhnya, hanya yang satu mukanya putih, yang lain
hitam. Kedua orang ini berlari-lari berjingkrakan, tangannya pun
dibulang-balingkan serta mulutnya perdengarkan seruan-seruan. Di
mata mereka itu, di situ seperti juga tidak ada orang lainnya lagi...
Ketiga orang itu adalah Hongthianloei Tjio Eng bersama Hek Pek
Moko, kedua Hantu Putih dan Hitam. Mereka menyerang tentera
Mongol sampai tentera itu buyar sendirinya, maka untuk maju terus
mereka repot menyingkirkan besi-besi cagak tiga yang diampar di
tanah, yang menjadi perintang baginya. Setelah itu dengan tidak
berlambat lagi mereka lari terus menuju ke gedungnya Keluarga
Thio. Mereka tiba di saat Kie Tin tak tahu ke mana ia mesti buang
mukanya...
"Hai, orang-orang gila dari mana berani datang kemari membuat
Sri Baginda kaget?" membentak pengiringnya kaisar itu. Mereka ini
tidak kenal tiga orang itu, mereka lantas maju untuk mencegat.
Tjio Eng melirik kepada Kie Tin, lalu ia gerakkan kedua
tangannya untuk menyambut dua pengiring yang maju paling
depan. Dengan tepat ia cekuk batang lehernya mereka itu, maka
satu kali ia himpaskan kedua tangannya, kedua pengiring itu
terlempar terpelanting!
Hek Pek Moko tertawa melihat perbuatannya kawannya itu,
mereka juga lantas meneladnya, tetapi mereka menggunakan
masing-masing tongkatnya, hingga dua pengiring lain rubuh
terjungkal, kepala di bawah, kaki di atas!
Kie Tin kaget hingga ia mundur sendirinya.
Setelah itu, tidak ada lagi lain perintang bagi tiga orang itu, maka
Hek Pek Moko lompat kepada Tan Hong, yang tangannya disambar
dan ditarik, mulut mereka berkaok-kaok kegirangan!
Tjio Eng sebaliknya lari kepada Thio Tjong Tjioe, akan bertekuk
lutut di hadapan tjoekong atau junjungan yang tidak bermahkota
itu.
Cepat-cepat Tjong Tjioe pimpin bangun hamba yang setia itu,
ketika ia berbangkit, tubuhnya limbung terhuyung, seperti juga tidak
kuat berdiri, dari itu, ia lantas saja berduduk pula.
Sakit hatinya Tjio Eng menyaksikan junjungannya itu, air
matanya lantas melele keluar.
"Tjoekong...." ia memanggil dengan pelahan.
"Tjio Tjiangkoen, untuk beberapa puluh tahun telah aku
membikin kau kecele..." berkata tjoekong itu.
Leluhurnya Tjio Eng adalah Liong Kie Thayoet dari Thio Soe
Seng, maka itu, Tjong Tjioe memanggil dia tjiangkoen (jenderal ).
"Pusaka negara telah kembali di tangan siauw-tjoe, sayang
negara tetap bukan negara dari Kerajaan Tjioe yang besar..."
berkata Tjio Eng dengan masgul. Dengan "pusaka negara" ia
maksudkan peta bumi.
Tjong Tjioe menggoyangkan tangan, ia tertawa sedih.
"Aku telah ketahui semua," katanya, "tak usah kau menyebut
lagi. Manusia itu cukup asal dia tidak membuat malu terhadap
dirinya, tentang usaha merebut kerajaan, itulah terserah kepada
Yang Berkuasa..."
Kie Tin dengar itu, tak enak hatinya. Ia segera tunjuk In Tiong.
"Dengan orang-orang kasar tak dapat kita berdiam bersama," ia
berkata, "maka In Tjonggoan, lekas kau iringi junjunganmu untuk
berangkat pulang!"
Kaisar ini kembali hendak tunjukkan pengaruhnya, akan tetapi In
Tiong tidak pedulikan padanya, Tjonggoan ini masih berdiri diam
seperti semangatnya telah hilang lenyap.
Kaisar menjadi sangat gusar.
"Hai, apakah kamu telah gila semua?" dia berseru.
In Tiong seperti tersadar mendengar suara keras itu, ia lantas
bertindak ke samping memimpin rombongan pengiring, untuk
berdiri di kedua tepi, guna iringi raja. Selama itu, ia tidak
perdengarkan suara apa-apa.
Baharu raja dan hamba-hambanya keluar di pintu pekarangan,
tiba-tiba In Tiong merandak, mukanya pun berubah menjadi sangat
pucat.
Dari luar bertindak masuk dua orang, yang satu adalah satu nona
yang cantik bagaikan bunga indah. Nona itu memajang seorang tua
yang rambutnya telah ubanan, yang romannya layu serta mukanya
ada tanda-tanda luka. Dan ia berjalan dengan dingkluk-dingkluk.
Kapan Kie Tin lihat orang tua itu, ia terkejut, ia bergidik.
Segera juga terdengar suara seruannya In Tiong. "Ayah!"
Dan ia lari kepada orang tua itu, untuk ditubruk dan dirangkul!
In Teng seperti tidak pedulikan puteranya itu, malah dengan
sebelah tangannya ia tolak sang putera ke samping. Dengan kedua
matanya yang tajam, ia tatap Thio Tjong Tjioe, dengan tindakan
tidak tetap ia maju kepada turunan kaisar Tjioe itu. Ia telah
perlihatkan roman yang bengis.
Mau atau tidak, Tjioe Eng geser tubuhnya ke samping. Sekarang
ia bisa lihat di belakangnya In Teng itu ada anaknya perempuan
serta baba mantunya, ialah Tjoei Hong dan San Bin. Maka ia lantas
bertindak ke arah puterinya itu.
Tjoei Hong dan San Bin tidak berani buka suara, roman mereka
tegang.
Karena kakinya yang telah pincang itu, sukar In Teng dapat
berjalan dengan leluasa. Itulah sebabnya maka baharu hari ini ia
tiba di kota raja Watzu. Segera ia dapat keterangan yang In Tiong
telah pergi ke rumah Keluarga Thio. Ia menjadi kaget dan gusar
sekali, tidak buang tempo lagi ia segera ajak gadisnya menyusul. Ia
girang dapat bertemu puteranya, tetapi kegirangan itu tertutup
kebencian terhadap musuhnya...
Di saat itu, Tan Hong kaget bagaikan orang disambar petir,
mukanya jadi sangat pucat pasi. Ia telah lihat adik kecilnya tetapi In
Loei, berpaling pun tidak terhadapnya. Cuma sorot matanya In Teng
yang bengis mengawasi kepadanya...
"Ah!...” ia berseru tertahan. Ia yang gagah perkasa, sekarang ia
tidak dapat berbuat suatu apa. Sikapnya In Teng sekarang lebih
hebat daripada ketika dia memaksa puterinya pisahkan diri
daripadanya.
Masih In Teng bertindak menghampiri Tjong Tjioe.
Ketika Tjong Tjioe angkat kepalanya, ia tampak In Teng berdiri
dihadapannya. Ia lihat mata orang yang tajam, muka yang dingin.
Ia dapatkan In Teng seperti hantu pembalasan yang terbuat
daripada batu marmer...
Hampir berbareng, Tan Hong dan In Loei berseru, mereka segera
lari menghampirkan ayah mereka masing-masing.
In Teng tidak menoleh tetapi sebelah tangannya menyambar ke
belakang, menggaplok puteranya!
In Tiong jatuhkan diri di tanah, ia berlutut.
"Ayah, mari kita berlalu dari sini!" ia memohon, suaranya sedih.
"Mari kita pergi dari sini!..."
Tan Hong di lain pihak hampirkan ayahnya, yang ia pegang
pundaknya.
"Ayah, baiklah ayah pergi beristirahat..." ia berkata.
Tjong Tjioe tidak menoleh, dengan tangannya ia menolak tangan
anaknya itu.
In Teng dan Tjong Tjioe tetap berdiri berhadapan, keduanya
sama bungkam.
Pada akhirnya, In Loei tidak kuat lagi menahan hatinya. Ia lantas
menangis, ia tutupi mukanya.
"Ayah..." katanya dengan pelahan.
In Teng seperti tidak dengar suara anaknya itu, yang bagaikan
meratap. Di matanya, di dalam dunia ini, cuma ada satu Thio Tjong
Tjioe. Dengan bengis ia terus mengawasi orang she Thio itu. Pada
sinar matanya itu terbenam sorot kebencian yang sebegitu jauh
manusia mempunyainya.
Berselang sekian lama Tjong Tjioe tertawa dengan tiba-tiba.
"Memang telah aku duga pada suatu waktu akan datang hari
sebagai ini," ia berkata. "Sekarang aku akan pergi cari ayahmu,
Thaydjin In Tjeng, untuk menghaturkan maaf sendiri kepadanya.
Secara begini permusuhan di antara kita kedua keluarga baharulah
dapat dibikin habis!"
Suaranya orang tua ini makin lama makin lemah, ketika ia
ucapkan perkataannya yang terakhir, tiba-tiba tubuhnya rubuh, dari
kuping dan hidungnya mengalir keluar darah, terus saja tubuhnya
tidak berkutik lagi. Karena ia telah berpulang ke lain dunia...
Di luar tahunya siapa juga, Tjong Tjioe sudah ambil keputusan
pendek, maka itu, setelah melihat In Teng, diam-diam ia telah telan
racun yang ia telah bekal. Itulah racun bubuk yang paling liehay,
ialah semacam racun yang dahulu hari dipakai oleh dorna Ong Tjin
untuk meracuni In Tjeng, yang dipanggil pulang dengan firman
palsu. Maka racun itu tak dapat ditolong walaupun dengan obat
dewa...
Kematiannya Thio Tjong Tjioe itu tak diduga siapapun yang hadir
di situ. Mukanya Tan Hong menjadi pucat bagaikan mayat, biji
matanya seperti menonjol keluar. Tak dapat ia menangis...
In Loei menjerit dan terus saja ia rubuh!
In Teng sendiri, bagaikan bola kempes mendadak, telah terjatuh
duduk...
"Tjoekong." berteriak Tantai Mie Ming dan Tjio Eng berbareng,
sedang In Tiong berlompat dengan niat pegangi Tan Hong yang
tubuhnya limbung.
Sekonyong-konyong Tan Hong lompat, untuk pergi lari. Dia
tutupi mukanya, dia lari bagaikan kalap. Dengan satu kali lompat
saja, tubuhnya telah berada di bebokongnya kuda Tjiauwya saytjoe
ma yang sejak tadi berdiam memakani rumput di pekarangan
gedung itu.
Begitu majikannya naik, begitu juga kuda itu meringkik keras,
lalu dia kabur membawa sang majikan, kabur keluar gedung, hingga
sesaat kemudian mereka — kuda dan manusia — tak tertampak
pula dari pandangan mata!
Maka sunyi senyaplah gedung itu, kecuali tangisan sedih dari In
Loei...
-000dw000-
Dua bulan telah berselang...
Itulah dipermulaan musim panas di Kanglam, selagi
pemandangan alam di tengah-tengah keindahannya.
Ketika itu di luar kota Souwtjioe ada satu anak muda yang
sedang menunggang seekor kuda putih — penunggang kuda
tunggal. Dialah Thio Tan Hong...
Tempo dua bulan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi selama
itu, suasana telah berubah.
In Tiong telah pulang ke kota raja, ia bawa Kie Tin bersamanya.
Di kota raja telah ada kaisar yang baharu, ialah Kie Giok atau
Beng Tay Tjong. Inilah kaisar angkatannya Kokioo Ie Kiam. Kie Giok
adalah adik Kie Tin. Ia telah menjadi raja, ia tidak suka mengalah
terhadap kakaknya. Maka itu Kie Tin pulang dengan ludas
pengharapannya untuk duduk pula di singgasana kerajaan. Ia telah
di tempatkan di Lamkiong, Istana Selatan. Ia diperlakukan sebagai
raja kurungan. Cuma namanya saja ia menjadi Thaysianghong,
kaisar tua yang dihormati, sebenarnya ia adalah kaisar tahanan.
Oleh karena sepak terjangnya Kie Giok, impiannya Ie Kiam untuk
memperbaiki negara turut buyar juga. Lenyaplah pengharapannya,
Kie Giok tidak lagi membutuhkan bantuannya Kokioo itu, menteri
tua yang berjasa ini. Malah setelah merampas kekuasaan atas
angkatan perang, Ie Kokioo diangkat menjadi Pengpouw Siangsie —
Menteri Perang, namanya saja, karena selanjutnya ia dilarang
mencampuri urusan pemerintahan.
Rombongan dorna Ong Tjin sudah runtuh, akan tetapi dengan
lekas merayap muncul satu rombongan yang baharu. Maka raja dan
menteri lantas mengicipi suasana perdamaian, untuk bersenang-
senang hingga lupa kepada Peristiwa Touwbokpo, bahwa negara
pernah satu kali diilas-ilas musuh!
Tan Hong gagal dalam percintaan, ia gagal juga dalam urusan
keluarganya, ditambah pula ia berduka juga untuk urusan negara.
Maka sesudah ia pergi dan berdiam dengan diam-diam beberapa
hari di kota raja, Pakkhia, di mana ia perhatikan suasana, tanpa
menemui Ie Kiam lagi, ia berangkat ke Selatan Kanglam.
Wilayah Kanglam sangat indah permai tetapi itu tak dapat
melenyapkan kedukaannya anak muda ini.
Demikianlah itu hari seorang diri, dengan menunggang kuda
kesayangannya, ia pergi ke luar kota Souwtjioe yang kesohor itu.
Ia melihat ke sekitarnya, ia memandangnya. Benar-benar permai
wilayah Kanglam ini. Akan tetapi kedukaannya tetap tak dapat
dilenyapkan. Ia kasih kudanya jalan pelahan-lahan, sampai tiba-tiba
ia bersenanjung:
"Alam tak kekal abadi, urusan manusia berubah-ubah... Negara
telah mengalami perkosaan, dia meninggalkan kedukaan baru..."
Dari sakunya Tan Hong tarik keluar sepucuk surat yang telah
bertanda bekas-bekas air mata. Bunyinya surat itu ia telah baca
untuk beberapa ratus kali, maka dengan tak usah melihatnya lagi,
dapat ia membacanya di luar kepala. Itulah surat peninggalan dari
ayahnya, yang pada malam sebelumnya ayah itu menutup mata,
dengan diam-diam si ayah telah masukkan ke dalam saku bajunya.
Jadi sebelumnya peristiwa, tak tahu ia atas adanya surat itu.
Surat itu, atau lebih benar ayahnya, menulis sbb:
"Dahulu hari aku telah berbuat suatu kekeliruan, ialah aku keliru
sudah pergi kepada negeri Watzu. Dengan demikian terjadilah aku
membuat permusuhan dengan Keluarga In. Demikianpun telah
terjadi: Walaupun aku tidak membunuh Pek Djin akan tetapi dia
binasa disebabkan olehku. Maka itu jikalau In Tjeng serta anak dan
cucunya sangat membenci aku, itulah wajar.
Oleh karena itu sekarang aku telah mengambil putusan untuk
menebus dosa dengan kematianku. Inilah bukan melulu disebabkan
urusan dengan Keluarga In itu saja juga bukan karena aku tiada
punya muka untuk pulang ke negeri sendiri. Di hari-hari lanjut dari
usiaku, aku dapat melihat utusan bangsa Han yang agung yang
telah unjuk pengaruhnya di negara asing, aku mati dengan tak
penyesalan.
Kau, anakku, kau menang seratus lipat daripada aku, dengan aku
punyakan anak sebagai kau, puas aku meninggalkan dunia yang
fana ini!
Anak, jikalau nanti aku telah "pergi", kau harus segera pulang ke
negeri, dengan Keluarga In kau mesti mencari keakuran, untuk
menanam persahahatan, untuk dengan jalan itu kau turut menebus
dosaku.
Kau dengan cucu perempuannya In Tjeng ada saling menyinta,
hal itu telah aku ketahui jelas dari Tantai Tjiangkoen. Jikalau
perjodohan itu dapat diwujudkan, aku senang sekali."
Bayangannya ayah itu berpeta di hatinya Tan Hong. Ayah itu
telah pernah berbuat keliru, tapi juga pernah melakukan kebaikan.
Benar ayah itu telah membantu membangun negara Watzu menjadi
kuat, tetapi iapun secara diam-diam telah membantu memberikan
hajaran kepada Yasian.
Tadinya Tan Hong tidak dapat mengerti ayahnya itu, sekarang ia
mengerti jelas semuanya, ia menginsafinya. Tidak heran kalau ayah
itu angkuh — angkuh yang membuatnya mengambil jalan keliru. Ia
sendiri juga beradat angkuh sebagai ayahnya itu, tetapi
keangkuhannya itu karena di dalam dirinya mengalir darah Han.
Demikian di dalam hatinya, Tan Hong mengulangi membaca
surat ayahnya itu. Lalu di lain saat segera berbayang lain
bayangan. Kali ini adalah bayangannya In Loei, dengan siapa
ayahnya mengharapkan ia dapat menggabungkan diri sebagai suami
isteri.
Akan tetapi peristiwa yang menyedihkan sudah terjadi.
Karenanya ia beranggapan selama hidupnya ini, tidak nanti ada lagi
pengharapan yang mereka berdua bakal dapat bertemu pula satu
dengan lain... Dengan demikian tak mungkin dibicarakan tentang
urusan pernikahan itu.
Selama dua bulan ini, ususnya Tan Hong bagaikan telah terputus.
Ia terus terbenam dalam kedukaan, hingga ia hampir saja tak sadar
pula akan dirinya. Hampir saja ia menjadi terganggu urat sarafnya.
Kali ini Tan Hong pulang ke Kanglam, maksudnya untuk mencari
hiburan di antara keindahan wilayah Selatan ini, guna singkirkan
kedukaannya itu, siapa tahu, begitu ia tiba di Kanglam, begitu ia
ingat pula In Loei...
Dahulu hari itu ia ada bersama si nona, kuda mereka dikasih
jalan berendeng. Di kala itupun sama musim seperti sekarang ini di
kala buah bwee mulai menguning, di saat bunga delima mulai
mekar. Di sepanjang jalan, mereka telah tinggalkan suara tertawa
mereka, juga air mata mereka, tetapi sekarang, dia menjadi terlebih
bersusah hati lagi. Benar seperti katanya Lie Tjeng Tjiauw: "benda
menjadi yang tidak-tidak, segala peristiwa habis sudah, tak dapat
bicara, akan tetapi air mata mengucur keluar terlebih dahulu..."
Memang: "Satu kali usus telah putus, tak dapat putus lagi... Air
mata sudah kering, tak dapat mengucur pula..."
Kota indah yang bagaikan gambar lukisan, pemandangannya
tetap sebagaimana tahun-tahun dahulu itu, demikian juga
bayangannya In Loei, pada bayangan itu seperti berbekas
tertawanya yang halus merdu. Semua itu bagaikan berpeta,
bergerak-gerak di depan mata si anak muda.
Akhirnya, tak dapat Tan Hong menahan hati. Ia menghela napas.
"Adik kecil, segala apa sudah terlambat..." keluhnya, pelahan.
Menyusuli keluhannya ini, tiba-tiba Tan Hong dengar suara
tertawa yang nyaring tetapi empuk, yang sedap bagi telinganya.
Lalu menyusul suara tertawa itu, ia seperti dengar suaranya In Loei
yang bagikan di samping kupingnya: "Siapa yang bilang sudah
terlambat? Eh, kenapa kau tidak tunggui aku?..."
Tan Hong menoleh dengan segera. Segera ia tampak seekor
kuda bulu merah, di atas mana bercokol In Loei, yang wajahnya
bersenyum berseri-seri, tetap manis seperti tahun dulu itu...
Adakah ini impian? Adakah ini kejadian yang sebenarnya?
Tan Hong terbenam dalam keragu-raguan. Tentu saja ia kaget
berbareng sangat girang. Maka ia terus mengawasi kepada
penunggang kuda itu, yang telah datang dekat kepadanya.
In Loei terus bersenyum berseri-seri, lalu ia tertawa dan berkata:
"Ah, kakak yang tolol!" serunya, masih sambil tertawa. "Apakah kau
telah tidak kenali aku?"
Ah, inilah bukannya impian belaka. Maka kalaplah Tan Hong
bahna kegirangannya yang meluap-luap!
"Hai, adik kecil!" serunya. "Benarkah kau yang datang? Benar-
benarkah masih belum terlambat?"
"Ah, apa katamu? Apakah itu terlambat atau tidak terlambat?" si
nona menyahuti. "Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan
bahwa, walaupun perjalanan ada sangat jauh orang toh akhirnya
akan dapat menyusul? Kau lihat! Bukan melainkan aku yang dapat
menyusul kau, juga mereka itu! Lihat!"
In Loei berpaling ke belakang, tangannya menunjuk.
Tan Hong mengawasi ke arah yang ditunjuk di mana ia tampak
In Teng, ayahnya In Loei, yang bercokol di atas kuda tengah
berseri-seri mengawasi mereka, selagi kudanya lari mendatangi ke
arah mereka berdua. Pada mukanya In Teng tetap ada tanda-tanda
bekas luka, akan tetapi sekarang romannya tidak lagi bengis tetapi
sangat manis budi, tidak lagi ada sinar kebenciannya yang sangat.
Dan begitu lekas dia sudah datang dekat, segera dia lompat turun
dari kudanya itu, gerakannya sangat gesit. Dia sudah tidak pincang
dingkluk-dingkluk lagi. Sebab dia telah diobati In Tiong, putera
mana mengobatinya menurut cara pengajarannya Tan Hong.
Sejak peristiwa yang hebat itu selagi di pihak yang satu Tantai
Mie Ming bersama Tjio Eng beramai repot mengurus jenazah Tjong
Tjioe, di pihak lain, In Teng, telah buyar semua kebenciannya.
Karena ia telah dengar penuturan jelas dari In Loei, puterinya,
tentang kejadian yang sebenarnya, bagaimana dalam kesengsaraan
Tjong Tjioe, yang sebenarnya ada turunan sah dari Kerajaan Tjioe,
telah sia-sia berdaya untuk membangun pula kerajaannya itu,
karena tindakannya yang keliru sudah mengandalkan bantuannya
negeri Watzu, bahwa Tan Hong tak tahu menahu mengenai sepak
terjang ayahnya itu, sebaliknya Tan Hong telah berjasa menolong
negara dari bahaya keambrukan, bahwa In Teng telah peroleh
bantuan sangat berharga dari Tan Hong itu, dan sehingga yang
paling belakang ini ia pun sembuh dari pincangnya berkat
pertolongan tidak langsung dari pemuda she Thio itu.
Urusan leluhur telah diselesaikan, maka itu, tak ada alasan
bahwa permusuhan itu diwariskan kepada anak cucu. Sebaliknya
dengan duduknya hal telah menjadi jelas dan Tan Hong pun sudah
melepas budi, sudah selayaknya apabila persahabatan dan
perhubungan dipererat!
Di belakang In Teng ini masih menyusul satu rombongan
penunggang kuda lainnya.
Yang pertama tertampak nyata adalah In Tiong bersama ibunya.
Lalu Tantai Mie Ming bersama adiknya — Tantai Keng Beng. Mereka
itu mengawasi ke arah mereka bertiga, wajah mereka tersungging
senyuman. Semua beriang gembira.
Nona Keng Beng majukan kudanya, hingga dia jadi jalan
berendeng bersama In Tiong. Dengan gembira ia ayun cambuk
kudanya. Ia tertawa: "Tan Hong, Koaywa Lim telah diperbaharui!" ia
berseru. "Taman itu telah menjadi semakin indah! Apakah kau
masih tak hendak kembali ke dalam kota?"
Sejak tadi Tan Hong mengawasi saja kepada mereka itu. Ia
masih seperti orang yang baharu sadar dari mimpinya.
"Adik kecil, apakah kau pun akan turut kembali ke dalam kota?"
ia berbisik kepada In Loei.
Si Nona In cuma menyahuti dengan tertawanya yang manis!
Dengan tertawa ini, habis sudah permusuhan dan kebencian,
semua itu terlebur ke dalam asmara yang manis bagaikan madu...
TAMAT
Serial Thian San
1. Hoan Kiam Kie Tjeng (Sebilah Pedang Mustika)
2. Peng Tjong Hiap Eng (Dua Musuh Turunan)
3. San Hoa Lie Hiap (Pendekar Wanita Penyebar Bunga)
Ikuti kisah selanjutnya:
San Hoa Liehiap Pendekar Wanita Penyebar Bunga
Apa yang terjadi setelah kaisar Kie Tin kembali naik tahta?
Dalam cerita ini Thiansan Pay muncul untuk pertama kalinya,
siapakah pendirinya? Apa hubungannya dengan Thio Tan Hong?
Setelah 10 tahun tertawannya kaisar Kie Tin, Kie Tin dan Thio
Tan Hong bertemu lagi!
Pheng Hweshio mempunyai tiga orang murid, Tjoe Goan Tjiang,
Thio Soe Seng dan Pit Leng Hie. Dalam cerita ini, giliran keturunan
keluarga Pit yang ingin berebut tahta dengan keturunan Tjoe Goan
Tjiang.
ikuti juga kisah murid-murid Thio Tan Hong, yang merupakan
anak-anak Ie Kiam dan Thio Hong Hoe.
--ooo0dw0ooo---

Anda mungkin juga menyukai