Anda di halaman 1dari 4

Ketika Cung Bun bersama beruangnya tiba kembali ke tengah pulau, benar saja bahwa A

Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di pahanya yang tinggal
dan luka itu sudah diobati oleh kakek-nya. Para penghuni Pulau Langkasuka sedang
sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengerikan itu dan Cung Bun
lalu diajak masuk ke pondoknya oleh Gu Ek Tong dan A Cu.

"Pendekar Besar, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami," kata Gu Ek Tong.

"Kalau engkau tidak segera datang, entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati,
Cung Bun," kata A Cu dengan mata bersinar-sinar penuh kagum dan terima kasih.

"Ahh, mengapa Majikan Pulau dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukankah
kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud
yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Junior Hong. Apakah dia tidak
datang ke sini?"

A Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata Gu Ek
Tong terkandung rasa hati tidak senang. Cung Bun maklum akan ketidak-senangan hati
kakek itu, maka dia
menarik napas panjang.

"Harap saja Majikan Pulau tidak menyangka yang bukan-bukan terhadap Junior wanita.
Apa yang dilakukan oleh Guru disini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan
Junior Hong," kata Cung Bun.

"Jadi Pendekar Besar sudah tahu apa yang diperbuat oleh Go Tong di sini?"

Cung Bun mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena puterinya
pernah ditahan di sini."

"Bukan hanya marah-marah!" kata A Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia
menghina kakek. Biar pun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua orang!"

"Kau juga dipukulnya?" Cung Bun bertanya.

"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memukulku. Akan
tetapi karena melihat kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan.
Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu dihancurkan!
Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Salju Abadi!"

Cung Bun menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga
tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Salju Abadi tidak ada lagi sekarang, telah
musnah."

"Hei...? Apa maksudmu, Pendekar Besar...?" kakek itu bertanya sambil terbelalak.

"Apa yang telah terjadi?" A Cu juga bertanya.

"Dilanda badai... habis seluruhnya! Semua penghuninya termasuk Guru dan seluruh
benda di sana habis terbasmi kecuali bangunan istana yang telah kosong sama
sekali..." Cung Bun lalu menuturkan dengan singkat mala-petaka yang penimpa Pulau
Salju Abadi, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Junior wanitanya
terluput dari bencana.

Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo, kemudian kakek itu bertepuk tangan
dan tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam Permaisurisan tahun lenyap
dalam sekejap mata! Kami orangorang buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk
Tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat. Sedangkan penghuni Pulau Salju
Abadi yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha-
ha-ha, siapa yang lebih dilindungi Tuhan? Go Tong, tanpa kami bergerak, engkau dan
kerajaanmu lenyap sudah!" kakek itu tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga
sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.

�Mengapa Pendekar Besar sekarang mencari Nona Go Hong ke sini? Apa yang terjadi
dengan dia?"

Cung Bun lalu menceritakan niat perjalanannya bersama Go Hong, yaitu untuk mencari
ibu Go Hong yang sampai kini tidak diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan
mereka menjadi bingung dan tersesat karena badai telah menciptakan pemandangan yang
berbeda di permukaan laut sehingga mereka mendarat di gunung salju dan betapa dia
menemukan beruang hitam.

"Junior Hong berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Langkasuka karena


disangkanya ibunya berada di sini, sedangkan aku mengobati beruang...." Cung Bun
menutup ceritanya, tentu saja dia tidak menceritakan kemarahan Go Hong kepadanya.

"Apakah dalam beberapa hari ini dia tidak datang ke sini?"

A Cu menjawab, "Untung saja dia tidak datang, Cung... eh, Pendekar Besar."

"A Cu mengapa engkau meniru kakekmu yang bersungkan kepadaku dan menyebut Pendekar
Besar segala?"

"Biarlah, Pendekar Besar," kata Gu Ek Tong. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu
begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Pendekar Besar
karena kepandaianmu tinggi sekali."

"Kau katakan tadi untung Junior Hong tidak datang ke sini, mengapa?" tanya Cung Bun
kepada A Cu.

"Andai kata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak baik antara dia dan
Kakek. Ketahuilah,
semenjak Kaisar Pulau Salju Abadi datang mengacau di sini, Kakek jatuh sakit, dan
kebencian kami semua terhadap Pulau Salju Abadi makin mendalam. Maka kalau Junior
wanita-mu, Go Hong datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik," jawab A Cu.

Cung Bun mengangguk-angguk. Ia merasa lega bahwa Junior wanita-nya tidak mendahului
datang ke Pulau Langkasuka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia
jadi tidak tahu di mana Junior Hong-nya yang pemarah itu kini berada!

�Bajak-bajak laut itu, dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya.

"Entah. Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi pulau."

"Agaknya mereka juga diamuk badai."

"Mungkin," jawab A Cu bimbang, kemudian ia melanjutkan, "Kami diserang selagi Kakek


sakit. Kakek tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku yang menggantikannya. Aku
keluar menyambut mereka, akan tetapi karena kurang hati-hati, karena memandang
rendah senjata gelap mereka, aku hampir celaka kalau tidak ada engkau yang datang
di waktu yang tepat, Pendekar Besar."

"Akan tetapi, akhirnya biar pun sakit Kakek-mu dapat membunuh semua bajak laut
itu," Cung Bun bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu.

"Ugh-ugh...!" kakek itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak
sakit, kalau A Cu
tidak memandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru saja diamuk badai, tidak
ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau Langkasuka tidak bersembunyi
ketakutan sehabis diamuk badai, mana mereka mampu masuk? Sudahlah, sekarang saya
hendak menyampaikan permohonan yang amat penting bagi Pendekar Besar."

"Ah, Majikan Pulau, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa banyak
sungkan lagi? Kalau ada sesuatu, katakan saja, mana perlu menggunakan permohonan
lagi?" jawab Cung Bun.

Akan tetapi tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut
di depan Cung Bun! Tentu saja pemuda ini menjadi sibuk sekali. Cepat ia
membangunkan kakek itu dan berkata, "Majikan Pulau, harap jangan begini. Aku yang
muda mana berani menerimanya? Ada keperluan apakah? Katakan saja, aku tentu akan
membantumu sedapat mungkin," Cung Bun berkata dengan hati tidak enak, menduga akan
menghadapi hal yang sulit.

Setelah duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena kesehatannya
belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata, " Pendekar
Besar Sung, aku sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain kecuali A Cu. Pendekar
Besar Sung sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Langkasuka yang merupakan tempat
tidak baik untuk seorang dara seperti A Cu. Oleh karena itu, setelah kini kerajaan
Pulau Salju Abadi tidak ada, berarti bahwa Pulau Langkasuka telah bebas dan kami
bukanlah orang-orang buangan lagi. A Cu juga bukan keturunan orang buangan lagi dan
sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena itu, aku mohon dengan
sepenuh hatiku, sudilah Pendekar Besar Sung membawa A Cu bersama Pendekar Besar
Sung untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Pendekar Besar Sung dapat
mengatur agar cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau Langkasuka
ini. Kuharap permohonan ini tidak akan ditolak oleh Pendekar BesarSung."

Cung Bun mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah disangkanya!
"Akan tetapi, Majikan Pulau, hendaknya diingat bahwa aku sendiri adalah seorang
sebatang-kara yang tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai tempat tinggal dan
masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku ini."

"Kalau Pendekar Besar Sung merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah
pasrah sepenuhnya. Baik dia akan Pendekar Besar Sung anggap sebagai sahabat,
sebagai saudara, atau kalau mungkin... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon
jodoh, aku sudah merasa lega dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka
ini."

Cung Bun merasa sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk menerima, maka
dia menoleh kepada A Cu dan berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan kepada A Cu
sendiri. Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini, tentu saja aku
tidak keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal ini bukan berarti
bahwa aku menerima usul perjodohan Majikan Pulau, dan sewaktu-waktu dia boleh pergi
ke mana saja. Jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apa pun juga."

"Pendekar Besar, jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di
sini. Hanya karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang mencegah
aku meninggalkan Pulau Langkasuka. Sekarang aku telah bebas, dan betapa pun juga,
aku akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Pendekar Besar Sung, tentu hati Kakek
akan merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada pengalaman,
melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang menyenangkan sekali. Aku hendak
pergi mencari ayahku, Pendekar Besar Sung."

"Dan aku hendak mencari Go Hong dan ibunya."

"Kalau begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Junior Hong-mu
itu , aku dapat bertemu dengan ayahku."
Setelah mendapat banyak pesan dan melihat Kakek-nya membawa pula bekal berupa
pakaian dan sekantung emas simpanan Kakek-nya, berangkatlah A Cu bersama Cung Bun
meninggalkan Pulau Langkasuka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang lima belas
tahun itu, belum pernah A Cu meninggalkan pulau. Maka setelah perahu meluncur jauh,
dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kakek-nya bersama semua sisa penghuni Pulau
Langkasuka yang mengantarnya sampai ke pantai, Gu Ling Cu tak dapat menahan
bercucurannya air matanya.

"A Cu, mengapa kau menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih belum
terlambat
untuk kembali," kata Cung Bun yang sebetulnya merasa tidak enak sekali memikul
kewajiban ini. Biar pun dia tidak terikat sesuatu, namun sedikit banyak dia
dibebani keselamatan dara ini. Kalau dara ini wataknya seaneh Go Hong, dia tentu
akan menjadi lebih pusing lagi!

"Ah, tidak, Pendekar Besar Sung. Aku hanya merasa hatiku perih meninggalkan tempat
yang sejak lahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh menyebutnya
Pulau Langkasuka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggalkan pulau itu, terasa
olehku bahwa di situ adalah sorga."

Cung Bun tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar
dari mulut daraini merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya
melihat kenyataan bahwa sorgamau pun neraka itu berada dalam hati manusia itu
sendiri!

�Betapa pun indahnya suatu tempat, kalau tidak berkenan di hati akan merupakan
neraka. Sebaliknya betapa pun buruknya suatu tempat, kalau berkenan di hati akan
menjadi sorga! Jadi, baik buruk, senang susah, puas kecewa, semua ini bukan
ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan pikiran
sendiri. Keadaan di luar merupakan kenyataan yang wajar, dan hanya pikiranlah yang
menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas, kecewa, senang,
susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang saling bertentangan itu. Bahagialah
orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata terbuka, memandang segala
sesuatu seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan. Orang bahagia
tidak mengenal susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang, bukan
puas bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama sekali
tidak terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.�

Perahu yang ditumpangi Cung Bun dan A Cu meluncur terus. Ujung depannya yang
meruncing membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru. A
Cu sudah melupakan kesedihan hatinya. Kini dara itu memandang ke depan dengan wajah
berseri dan mata bersinar-sinar
penuh harapan akan masa depan yang berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau
Langkasuka. Banyak sudah dia mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar
dari nenek moyangnya tentang keadaan di dunia ramai, dan sekarang dia sedang menuju
kepada kenyataan yang akan dilihatnya dengan mata sendiri!

Anda mungkin juga menyukai