Anda di halaman 1dari 6

PANGERAN PANDE GELANG DAN PUTRI CADASARI

Oleh Zaenul Muttaqien

DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung.
Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja.

Tidak jauh dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan
karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri. Wajah
lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.

"Sampurasun," sapanya.

Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak
menyadari kehadiran lelaki itu.

"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.

"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"

"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya menundukkan
kepalanya.

Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri
di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri
merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan pahit
kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.

"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa gerangan?"

"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang lain."

"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri
berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak berlalu.

"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.

Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.

"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan
Kisanak, apalagi menganggap rendah."

Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang
Putri menangis.
Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang
apa yang sebenarnya terjadi.

"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.

"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan
sebutan Ki Pande."

"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan


menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah
ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada
seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"

"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"

Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi
rasa iba.

"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.

Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama
Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam.
Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun yang
diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.

"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri Arum
mengakhiri ceritanya.

"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya, karena tidak
banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."

"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran
Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar
adanya."

"Wangsit?" tanya Ki Pande.

"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak katanya
akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan sakti mandraguna,
yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran
Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan
takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan
semanis buah manggis itu ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.
Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah
dipikirkannya.

"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu
saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.

"Benar," jawab Ki Pande.

"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru Putri Arum,
penuh harap.

"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.

"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.

"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."

"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya benci?"
sergah Putri Arum dengan wajah memerah.

Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang. "Maksud
saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."

"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.

"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."

"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna.
Laut saja bisa dikeringkannya!"

"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha
meyakinkan Putri Arum.

"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"

"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian
batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih
dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.

"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"

"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat,
setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."

"Setelah itu"" tanya Putri Arum.


"Serahkan semuanya kepada saya!"

Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande


kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang
berisi alat-alat membuat gelang.

Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir
setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di
atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn
Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika
minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.

Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban
pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu cadas
itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu Putri
Cadasari.

Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang
sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan
dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.

Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari
dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.

"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?"
tanya Pangeran Cunihin.

Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian
keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran.
Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan,
Pangeran?" jelas Putri Cadasari.

"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.

Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil
menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke
sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari
kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang
dilakukan Pangeran Cunihin.

Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi
penuh, Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba
tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan
berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu
keramat itu.
"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin
mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.

Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu
keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi
didengarnya sebuah bentakan keras.

"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"

Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.

"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah
mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas
menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah, sang Putri telah
menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"

Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah
mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran
Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang telah
berlubang itu.

"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar berlubang
di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata Pangeran
Cunihin.

Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau
di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping Pangeran
Cunihin akan menjadi kenyataan.

"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah
berlubang?" kata Putri Cadasan.

"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk
membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.

Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu
keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar biasa. Dia
berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu seluruh kekuatannya
pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri. Perlahan, Pangeran Cunihin
berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah telah melewati lorong waktu.
Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang pemuda tampan.

"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan
keanehan-keanehan itu.
"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi
setelah mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu
menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian
untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan
keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang buatan saya," terang
Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.

"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk itu
saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang, menggenggam tangan
Putri Cadasari.

"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya
terima itu memang benar."

Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu


kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.

Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung


Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang
Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang
mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti
Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari sakitnya
sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran Pande Gelang
membuat gelang.

Anda mungkin juga menyukai