0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
32 tayangan6 halaman
Dokumen tersebut menceritakan asal usul nama Banyuwangi. Patih Sidapaksa diberi tugas oleh raja untuk mencari bunga di Gunung Ijen. Istrinya dijaga oleh ibu mertua yang jahat yang kemudian membuang cucunya ke sungai. Setelah pulang, Patih Sidapaksa diperdaya oleh ibunya untuk menuduh istrinya membuang anak mereka.
Dokumen tersebut menceritakan asal usul nama Banyuwangi. Patih Sidapaksa diberi tugas oleh raja untuk mencari bunga di Gunung Ijen. Istrinya dijaga oleh ibu mertua yang jahat yang kemudian membuang cucunya ke sungai. Setelah pulang, Patih Sidapaksa diperdaya oleh ibunya untuk menuduh istrinya membuang anak mereka.
Dokumen tersebut menceritakan asal usul nama Banyuwangi. Patih Sidapaksa diberi tugas oleh raja untuk mencari bunga di Gunung Ijen. Istrinya dijaga oleh ibu mertua yang jahat yang kemudian membuang cucunya ke sungai. Setelah pulang, Patih Sidapaksa diperdaya oleh ibunya untuk menuduh istrinya membuang anak mereka.
Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah Pengajaran Sastra diampu
oleh Dr. A. Totok Priyadi, M.Pd. pada Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
oleh Istiana F2161191022
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2020 Asal Usul Banyuwangi Dahulu kala hiduplah seorang raja yang bijaksana dikawasan timur Pulau Jawa. la sangat disegani dan disayangi rakyatnya. Negerinya makmur dan sentosa. Rakyatnya pun hidup berkecukupan. Raja dibantu beberapa patih yang cakap dalam menjalan kan tugas kenegaraannya. Salah seorang di antaranya adalah Patih Sidapaksa. la terkenal sangat setia dan hormat pada Raja. Tidak sekali pun perintah ditolaknya. Setiap tugas yang diembannya juga selalu berhasil diselesaikan. Sikap inilah yang membuat raja sangat sayang padanya. Selain sikapnya yang cakap, Patih Sidapaksa memiliki wajah yang rupawan. Perawakannya tinggi besar dan gagah. Serasi sekali dengan kecantikan sang istri. Sayangnya, sang istri bukan berasal dari keluarga bangsawan. Namun, ia memiliki sifat dan budi pekerti yang baik. Hatinya pun lembut dan penyayang. Rupanya, ibu Patih Sidapaksa tidak menyukai menantunya. Sikap ini dikarenakan istri Patih Sidapaksa bukan berasal dari keluarga bangsawan. Baginya, itu bisa merendahkan martabatnya. “Huh, coba menantuku dari keluarga bangsawan. Tentu keluargaku akan lebih terhormat lagi,” gerutunya dalam hati. Sayangnya, ia tidak bisa mengungkapkan kejengkelannya pada Sidapaksa, anaknya. Amarah dan dendamnya hanya bisa disimpannya di dalam hati. Diam- diam rasa benci di hati ibu Patih Sidapaksa semakin membara. la sangat ingin memisahkan anak dan menantunya. “Bagaimanapun caranya aku harus bisa memisahkan mereka,” janjinya dalam hati. Untuk mewujudkan keinginannya, ibu Patih Sidapaksa pergi menemui Raja. Dengan lemah lembut, ia membujuk raja agar memberi tugas pada putranya. “Wahai paduka raja junjungan hamba, akhir-akhir ini hamba melihat putra hamba tidak pernah pergi bertugas. Padahal setahu hamba ia sangat suka bepergian,” kata ibu Patih Sidapaksa di hadapan raja. “Ada apa dengan anakmu? Apakah ia tidak senang berada di rumah dan lingkungan istana?" tanya sang raja keheranan. “Bukan begitu, hamba perhatikan ia sering termenung akhir-akhir ini. Mungkin ia bosan dengan tugas yang itu-itu saja. Kalau hamba boleh menyarankan, sebaiknya Raja mengirim anakku pergi bertugas, agar ia tidak merasa jenuh,” katanya memberi alasan. Mendengar perkataan sang ibu, raja terdiam. Ia tidak menduga patih kesayangannya tengah menghadapi kesulitan. Memang selama ini kerajaan dalam keadaan aman, sehingga tidak terjadi peperangan. Hubungan dengan negara lain juga terjalin dengan baik, jadi tidak perlu mengirim utusan khusus untuk membina hubungan. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya sang raja mau mengabulkan permintaan ibu Patih Sidapaksa. Betapa senangnya ibu Patih Sidapaksa karena sebentar lagi keinginannya akan terlaksana. “Pasti raja akan memberi tugas pada anakku, sehingga aku bisa memisahkan mereka dengan leluasa,” ujarnya dalam hati. Karena hasratnya sudah terpenuhi, ibu Patih Sidapaksa langsung pamit. Raja yang tidak mengetahui maksud jahat perempuan itu lantas memanggil Patih Sidapaksa. Dengan bertanya-tanya Patih Sidapaksa datang menghadap raja. “Ada apa Tuanku memanggil hamba, apakah ada tugas yang harus hamba kerjakan?” tanyanya penuh hormat. “Patih Sidapaksa, sudah lama kau tidak bepergian jauh. Aku yakin kau sudah rindu pergi mengembara. Tugas di kerajaan ini pasti sangat membosankan untukmu," ujar sang raja. “Tugas apa Tuanku? Hamba pasti menjalankan segala perintah Tuanku," kata Patih Sidapaksa. Sambil berdiri, Raja berkata, “Permaisuriku menginginkan sekuntum bunga. Kabarnya, bunga itu bisa membuat wajahnya terlihat cantik. Sayangnya, bunga itu hanya tumbuh di puncak Gunung Ijen. Aku menugaskanmu untuk mengambij bunga itu,” sabda Raja. Mendengar tugas yang diberikan, Patih Sidapaksa langsung terkejut. Sebenarnya ia ingin menolak, tapi hal itu sangat tidak mungkin. Sebagai abdi yang baik, ia harus menjalankan semua tugas. Kemudian ia menjawab, “Baik Raja, besok hamba akan berangkat ke Gunung Ijen untuk mengambil bunga tersebut.” Usai memberi hormat, Patih Sidapaksa langsung kembali ke rumahnya. Sepanjang perjalanan ia terlihat lesu. Setelah sampai di rumah, Patih Sidapaksa langsung mencari istrinya. la melihat istrinya tengah duduk di taman belakang sambil menyulam. “Dinda, apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Patih Sidapaksa dengan lembut. Mengetahui kepulangan sang suami, istrinya lantas meninggalkan pekerjaan yang tengah dilakukan. “Ah, Kanda sudah pulang. Maaf, Dinda tidak menyambut Kanda,” ujarnya sambil menghampiri Patih Sidapaksa. “Tidak apa-apa, engkau pasti lelah. Bagaimana keadaanmu? Apakah calon anak kita menyusahkanmu?” tanyanya lagi. “Tidak Kanda. Justru Kanda yang terlihat lesu. Apa yang terjadi?” selidik sang istri. “Hmmm, raja menyuruhku ke Gunung Ijen. Sebenarnya aku ingin menolak. Aku khawatir dengan keadaanmu. Sebentar lagi anak kita akan lahir,” papar Patih Sidapaksa dengan lesu. Mengetahui keresahan yang melanda hati suaminya, sang istri mencoba membesarkan hati Patih Sidapaksa. “Kanda tidak perlu bersedih, aku baik-baik saja. Tugas raja harus tetap dijalankan,” bujuknya dengan suara lembut, Mendengar perkataan sang istri yang begitu menyejukkan, hati Patih Sidapaksa terasa ringan. Ia yakin bisa menja ankan tugas dengan baik. la juga percaya sang istri bisa menjaga diri dan calon anaknya. “Baiklah kalau begitu, esok pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke Gunung Ijen. Sekarang mari kita beristirahat,” ajaknya. Keesokan pagi, Patih Sidapaksa sudah bersiap-siap. Ia pun berpesan agar sang istri menjaga kandungan dan rumah dengan baik. Kemudian, Patih Sidapaksa berpamitan pada ibunya. Dengan suara manis, perempuan tua itu berkata, “Pergilah anakku, aku akan menjaga istrimu dengan baik.” “Terima kasih Bu, kalau begitu aku bisa pergi dengan tenang,” kata Patih Sidapaksa Setelah berpamitan, ia pun pergi meninggalkan Istri dan Ibunya. Beberapa bulan kemudian, sang Istri pun melahirkan seorang anak laki laki Seperti ayahnya, rupa bayi itu sangat gagah dan tampan. Betapa gembiranya hati sang istri. “Semoga kelak kau sehebat ayahmu, Nak,” bisik istri Patih Sidapaksa kepada anaknya. Dengan penuh kasih sayang, sang istri merawat sang anak. Sampai suatu hari, ketika anaknya tengah tertidur lelap, istri Sidapaksa pergi mandi ke pancuran. Melihat kepergian sang menantu, ibu mertuanya langsung berpikiran jahat. “Ah, aku bisa membuang bayi itu. Kalau Sidapaksa pulang, aku akan mengatakan kalau istrinya telah membuang anaknya. Dengan begitu ia pasti akan ditinggalkan,” ujarnya dalam hati. Dengan mengendap-endap, dia masuk ke kamar tidur. Ia mengambil sang bayi dan membawanya pergi. Kemudian, wanita tua itu pergi menuju sungai yang berair deras. Airnya sangat keruh dan bau. Karena itu, penduduk desa tidak pernah memanfaatkan sungai itu. Tanpa membuang waktu, wanita tua itu langsung melempar cucunya ke tengah sungai. Dengan sekejap, tubuh bayi itu lenyap ditelan derasnya air sungai. Selesai melakukan tugasnya, ia bergegas pulang ke rumah. “Menantuku pasti belum kembali dari pancuran,” serunya dalam hati. Benar saja, setibanya di rumah ia tidak mendapati menantunya. Agar tidak mencurigakan, ia langsung masuk ke kamarnya. Tidak lama kemudian, ia mendengar suara ribut lari kamar anaknya. “Siapakah yang menculik anakku?" seru istri Sidapaksa dengan cemas. Wanita cantik itu berusaha mencari ke sekeliling rumah, namun usahanya sia-sia. Anaknya tetap tidak ditemukan. Ia lantas mencari sampai ke luar rumah dan bertanya kepada setiap orang. Sayangnya, ia hanya bisa berharap karena tidak seorang pun melihat anak kesayangannya. Istri Sidapaksa kembali ke rumah. Namun, wanita itu jatuh sakit karena terus menerus memikirkan nasib anaknya. Tubuhnya menjadi kurus kering karena tidak mau makan. Untunglah ia mampu bertahan dan berhasil sembuh dari penyakitnya. Dua tahun berlalu sejak kepergian Patih Sidapaksa. Tersiar kabar jika Patih Sidapaksa telah kembali dari tugasnya. Rupanya ia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. “Terima kasih Patih Sidapaksa, kau telah menjalankan tugas dengan baik. Permaisuriku pasti sangat senang,” ujar Raja. Setelah melaporkan tugas yang dijalankannya, Patih Sidapaksa langsung bergegas pulang ke rumah. Ia sudah tidak sabar bertemu istri dan anaknya. Dalam pikirannya, tentu sang anak sudah bisa berjalan. Rupanya kepulangan Patih Sidapaksa sudah diketahui sang ibu. Wanita tua itu pun bergegas menunggu di depan pintu gerbang. “Ah, akhirnya kau pulang juga, Nak,” sambut sang ibu. “Saya bisa menjalankan tugas dengan baik berkat doa Ibu,” ujar Patih Sidapaksa sambil mencium tangan ibunya. “Syukurlah, hanya saja Ibu sangat sedih. Selama kepergianmu perilaku istrimu berubah. Ia menjadi kejam, bahkan nekat membuang anakmu ke sungai,” adu sang ibu. Bukan main terkejutnya Patih Sidapaksa mendengar perkataan ibunya. Ia sama sekali tidak menyangka jika istrinya bisa berbuat senekat itu. “Apa betul Bu?” tanyanya dengan nada tidak yakin. “Kalau kau tidak percaya, carilah anakmu. Tanyakan pada istrimu, ia pasti menjawab tidak tahu,” kata wanita tua itu dengan nada sedih yang dibuat-buat. Patih Sidapaksa pun tidak bisa berpikir jernih karena terbakar emosi. Tanpa disadarinya hasutan sang ibu berhasil mempengaruhinya. Dengan kalut, ia langsung masuk ke dalam rumah dan mencari sang istri. Setelah bertemu istrinya, laki-laki itu langsung menumpahkan amarahnya. “Perempuan kejam, kenapa kau tega membuang anak kita,” katanya penuh amarah. “Kanda, dengar dulu penjelasanku. Aku tidak pernah melakukan hal itu. Anak kita hilang entah ke mana. Aku sudah berusaha mencari namun tidak berhasil menemukannya,” kata sang istri. Sayangnya, penjelasan yang diberikan tidak mampu meredakan emosi sang suami. Sia-sia saja semua usaha yang dilakukannya. Patih Sidapaksa tetap berkeyakinan jika hilangnya sang anak adalah akibat perbuatan istrinya sendiri. Kemudian, tanpa di duga-duga Patih Sidapaksa menghunuskan kerisnya. Betapa terkejutnya sang istri melihat kelakuan sang suami. “Seorang ibu yang tega membunuh anaknya tidak pantas hidup di dunia. Ia harus mati,” seru Patih Sidapaksa sambil mengacungkan kerisnya. Melihat kejadian itu, sang istri tidak merasa gentar. Ia tetap yakin jika hilangnya sang anak bukan karena perbuatannya. Dengan nada putus asa ia berkata, “Baiklah Kanda, sepertinya kau sudah tidak percaya lagi padaku. Aku rela mati, namun kau tidak usah bersusah payah membunuhku. Sebab, sebentar lagi aku akan mati.” Usai berkata-kata, wanita itu langsung berlari menuju sungai yang deras dan berair keruh. Sebelum tubuhnya lenyap ditelan arus air, ia berkata, “Kanda, jika air sungai ini menjadi harum, berarti aku tidak bersalah." Tiba-tiba sebuah keajaiban terjadi. Sungai yang semula bau, berubah menjadi harum. Betapa terkejutnya Patih Sidapaksa. Ia menyadari kesalahannya. Namun sayangnya, semua sudah terlambat. Tidak lama kemudian, terdengar suara dari arah sungai. Suara itu datang dari bunga yang menyembul di tengah sungai. “Ayah, akulah anakmu. Ibu sama sekali tidak bersalah. Neneklah yang melakukan perbuatan kejam itu.” Mengetahui kejadian yang sebenarnya, Patih Sidapaksa hanya bisa menangis. Ia sangat menyesal tidak memercayai perkataan sang istri. Dengan langkah lunglai, ia kembali ke rumah dan menyesali kebodohannya. Sementara itu, air sungai yang keruh tadi berubah menjadi jernih dan berbau harum. Warga pun menyebutnya Banyuwangi yang berarti air yang harum. Nama Banyuwangi kemudian menandai kawasan itu. Sampai akhirnya berkembang menjadi kota, bernama kota Banyuwangi.