~1~
~2~
Zine ini didedikasikan untuk Fatwa Attari Zarathustra
Ditulis menjelang hari kelahirannya di bulan November penghujan
~3~
17 November 2013
~4~
Ayahmu sibuk. Ia tengah mengerjakan proyek besar, semacam
outbound untuk salah satu anak cabang korporasi SONY. Setelah
mengantar ibumu kemarin, ia hanya sehari melepas lelah di kampung
ini, kemudian berangkat lagi, sesuai prediksinya, menyelesaikan tugas
secepatnya, agar bisa memegang kening ibumu saat kau gagah
mendesak untuk segera menyaksikan mentari pertamamu. Ia
berpesan padaku, jika saja kehadirannya tertunda, mungkin akulah
yang mengumandangkan asma Allah di telingamu. Aku terlanjur
menyanggupinya, dan kau boleh menertawaiku, karena sejak sore
aku kembali menghapal bacaan Adzan, sedikit mengemasnya lebih
epik dengan model irama dari arab yang ada di kaset kompilasi milik
nenekmu.
Aku pasti cemburu. Ada yang memberikan baju bagus untukmu, ada
yang mebawakan mainan untukmu, ada pula yang hanya
bermodalkan doa dan ucapan selamat saja nanti. Yang tersebut
terakhir mungkin opsi terburuk yang ada di pikiranku. Hanya saja, aku
adalah tipikal seorang paman yang gemar menuntut lebih. Aku tidak
ingin segala sesuatu sekadarnya. Aku bukan babi, hanya sekedar
hidup. Kalaupun proposal nama yang kusodorkan pada ibumu
diterima, tetap saja aku tak puas untuk berbagi. Bahkan nama itu
bukan pemberian atas pembiaran. Itu kesanggupan, melampaui
harapan. Betapa gagahnya kata-kata...kan...Nak
Nak?
~5~
Lucu tidak? Aku tak sabar memanggilmu seperti itu, dan aku tak bisa
menunggu lebih lama lagi untuk kau menertawainya. Tendangan
terakhir yang membuat ibumu kesakitan di Tarutung saat rehat
makan dalam perjalanan, cukup mengagetkan restoran kecil itu,
pasalnya ibumu sedikit berteriak. Apa yang terjadi di rahim sana?
Adakah engkau lihat tuhan sedang mengenalkan tulisan padamu? Itu,
yang mereka sebut Lauhil Mahfuz, lalu ia mengenalkan Iqra, saat
membacakan lembar panjang takdir yang harus kau jalani, adakah
pula ia menyelipkan sesuatu disana? Semacam cinta saat nasib
engkau hadapi nanti? Jika tidak, buat perhitungan dengannya,
khalikmu. Apakah hentakan kakimu di perut kakakku itu sebagai
ekspresi ketidaksabaranmu. Tidak sabar untuk dunia ini? Dunia yang
mengesalkan ini? Hidup yang brengsek ini? Atau mungkin kau tak
sabar membuktikan kesalahan anggapanku atas hal itu?
~6~
Ada segelintir orang. Orang-orang beruntung yang memiliki alas kaki
yang terbuat dari keringat ribuan pekerja. Orang-orang dengan baju
yang disulami darah petani yang ia rampas tanahnya. Orang-orang
dengan teduhnya atap yang dipondasikan sejak nyawa menjadi
bahan baku sebuah bangunan. Engkau akan menemui orang-orang
ini. Orang superior yang memiliki 24 jam waktu kontrol di televisi,
menyebarkan keanggunan liciknya. Dengan kebaikannya, mereka
menumpuk terus pengaruhnya. Mereka tak peduli ada yang
tenggelam, ada yang hancur, berapa kepala keluarga yang mati,
mereka sama sekali tak peduli. Mereka adalah kompetitor handal, tak
mau bekerja sama, karena hanya ketinggianlah motivasi utamanya.
Silakan jika engkau tertarik menjadi bagian dari mereka.
~7~
menuju gerbang kehidupan selanjutnya, kehidupan dunia. Dalam
sepuluh hari inilah, kalau tidak meleset, aku telah mempersiapkan
sesuatu untukmu. Sesuatu yang aku buat sendiri, semampu jerih
payahku, agar bisa kau nikmati saat engkau mulai paham satu
persatu cara menikmatinya,seiring usiamu tumbuh. Masih terlalu
lama memang, tapi persiapan yang matang acapkali menggodaku
untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Ada banyak sekali
catatan-catatan yang akan aku rangkum menjelang teriakan
perdanamu nanti. Sangat banyak, sebanyak semangat dan hasratku
memediasinya.
~8~
Bagaimanapun juga, langit Sibolga masih kelam-kelam asoy,
sebanding dengan gelap-gelap pemadaman bergilir PLN. Apabila di
dunia ini selalu membutuhkan introduksi akan segala hal, biarlah
penggalan berhuruf ini mendedikasikan dirinya. Aku buka 10 hari
(mungkin lebih, mungkin kurang) menuju kelahiranmu ini dengan
tulisan, karena pamanmu ini hanya punya kata-kata sebagai senjata
Pula...hadiah!
~9~
18 November 2013
-1-
~ 10 ~
mereka tahu, aku dan mas Uki bertukar nama pertama kali saat lagu
itu melintas di gitarku. Ia mendekat, menanyakan pemahaman geng
potlot sebatas gemarnya Maman Ginting yang kuketahui. Apabila ini
berkisah tentang bocah, tak pelak lagi bus Leuwi Panjang yang ia
tumpangi belasan tahun lamanya sebagai epos perut dan kreasi,
terhenti. Ia ingin jadi ayah.
~ 11 ~
seorang istri melahirkan, tapi yang pasti Uki mampu melakukan
banyak hal yang tak mungkin. Gambaran yang bukan kali itu saja
kulihat, ketika kepala keluar dari liang kewanitaan, diiringi raungan
dan ekspresi yang membuatku memutih. Gambaran yang terus
kutampik mengulangnya, namun ketika perulangan terjadi, beribu
gradien dalam jiwaku membentuk garis pedihnya sendiri. Antara
pengorbanan dan harapan, kelahiran dan bocah, dua hal yang saling
menjanjikan, meskipun kita tahu ada kematian yang terus menggadai
kemungkinan di antara nya.
Jelas, aku cemburu dengan Una dan Izzy, atau pada Bumi Biru. Orang
tua mereka mengabarkan perkembangannya meski dari jejaring
sosial semata, karena laman maya tak selamanya banal, jika
pertautanku berada dalam lingkar perkawanan terpisah ruang dan
~ 12 ~
waktu. Foto mereka misalnya, kepalan tangan yang lucu, senyum
pupus, atau bengong berisi satu gigi depan yang baru tumbuh. Jika
zaman diputar, tentu saja ayahku kini tengah mempertontonkan
diriku dalam sebuah foto atau jurnal, misalnya. Aku penasaran
bagaimana pose-pose ku saat masih kecil dulu, karena album
keluarga yang minim hanya menunjukkan potret-potret wirausaha
orang tuaku. Sebutlah itu ketidakberuntunganku yang lahir di tahun
90an. Ataukah kita berniat menjadi lupa? Ayahku pasti tertawa
mendengar ucapanku ini.
Kini, aku sedang memutar lagu “Bocah” nya Slank loh, mas Uki...
-2-
~ 13 ~
pojok rak buku, gelisah di meja tulis, atau menjadi kekanak-kanakan
di antara buah hati tetangga. Menerbangkan layangan, memetik
bunga, atau sekedar memperingatkan anak-anak kecil itu untuk tidak
terus menerus menyebut kelamin saat mereka marah.
~ 14 ~
apakah ada korelasi kemarahan Hatta pada anak-anak itu sewaktu
memecahkan Vas bunga dengan keinginan impas dalam sudut
moralitas. Yang pasti, penerbangan dari Banda Neira itu berisi tawa
riang anak-anak kecil.
Anak-anak.
-3-
~ 15 ~
beberapa keluarga juga tinggal di sana. Berminggu-minggu kemudian
tersiar kabar, dan terdengar berita, penemuan tengkorak bayi
bersama komplotan polisi yang juga ikut meninjau. Warga
melaporkan kejadian itu, namun tak terdeteksi aroma kejahatan,
sehingga berbulan-bulan kemudian, barulah warga tahu bahwa anak
itu memang meninggal dunia dan si pelacur adalah ibu kandung
sekaligus pelaku penguburan jenazahnya. Warga protes lantaran bayi
itu diperlakukan seperti kucing, karena tradisi di kota ini
mengutamakan makam yang lebih wajar sebagai etika
memperlakukan orang yang baru meninggal.
~ 16 ~
20 November 2013
~ 17 ~
Lihat, bagaimana Malin Kundang dikutuk oleh seorang ibu menjadi
batu. Mitos ini mengindikasikan sikap hormat pada seorang ibu,
karena apabila kita membangkang, akan terjadi musibah yang pedih.
Dalam konsep taoisme, alam semesta adalah ibu, dan semua isinya
merupakan anak-anaknya. Alam akan marah saat terjadi bencana,
seperti Tsunami, banjir, longsor, atau gempa bumi. Kenyataan itu bisa
dimaknai bagaimana agar para penduduk bumi menjaga
keharmonisan dengan ibunya. Di sisi lain, tuhan bahkan
dipersonifikasikan oleh beberapa kalangan sufi dalam citra
perempuan. Aku tahu, tak pernah ada sebutan ibu untuk lelaki.
~ 18 ~
usiamu mencapai baligh nanti. Berkisar 18 tahun, ada kepercayaan di
India, seorang anak sudah seharusnya dibiarkan memilih jalannya
sendiri, tak lagi terkungkung di balik ketek kedua orang tuanya. Si
anak mengalami fase pembebasan dirinya, melalui pilihannya
personal. Rentang usia itulah yang begitu kaku di keluarga besar kita,
dan nasib seorang yang menentangnya akan berakhir seperti kisah
hidupku yang nantinya akan kau ketahui sendiri. Kurasa hanya
beberapa dari anggota keluarga kita yang menolak dipreteli seusia
remaja seperti itu, dan biasanya mereka akan berjalan sendiri,
terlunta-lunta dengan kepercayaannya.
~ 19 ~
hormat bagi Nietzsche, yang mana dari tokoh nihils dalam karyanya-
lah namamu kupersembahkan, melainkan aku mulai meragukan
segala hal. Termasuk diriku sendiri. Belakangan, yang aku pahami dari
gelagat Nietzsche adalah terinspirasinya ia dari Max Stirner, seorang
anarkis individualis yang menulis banyak hal tentang Ego dan
kepemilikannya. Artinya, konsep filsafat yang dibentangkan
Nietzsche, yang dengan gegabah kuproklamirkan dalam banyak
gagasanku, adalah perombakan diri personal ke titik paling jauh,
sehingga deklarasi perjuangan, bermuara pada keseharian, ke hal
yang paling dekat, intim dan rekat dengan diri kita.
Tetapi kabar itu tidak lantas membuatku galau, malahan ada energi
tak terbatas yang muncul seketika bahwa setidaknya, jika aku masih
memiliki harapan, aku menyampaikan gagasan sederhanaku dengan
ditandai kehadiranmu di dunia ini. Kelak ketika engkau bisa membaca
dan memahami ini, dan kalau beruntung masih dipertemukan
denganku, aku akan menjelaskan kenapa privatisasi kemenjadian
harus berangkat dari hati kecilmu. Lihatlah, aku adalah contoh
konstruksi dari keluarga, hirarki masyarakat, dan doktrin bangsa,
tumbuh dengan langkah tertatih yang tak tahu dimana pijakannya.
Sejak kecil, bahkan seumur kakakmu Aska, aku mulai merasakan
indikasi serupa mengenai keterbatasanku menggapai sesuatu dalam
diriku. Maksudnya, ada ruang yang terbentang antara gelisahku
dengan kenyataan yang tak sesuai harapanku.
~ 20 ~
Di titik ini, aku menghimbau padamu bahwa langkah awalku adalah
mendefinisikan diri. Menyatakan hasrat lewat seberapa jauh aku
mengenal kemampuanku. Yang tampak kemudian adalah bagaimana
aku tahu siapa diriku. Aku mulai akrab berkenalan dengan sifat-
sifatku. Aku yang pemalas, sekaligus aku yang penuh gairah. Aku yang
asal-asalan sekaligus diriku yang punya etos kerja. Aku yang mampu
dalam sedikit hal juga diriku yang mudah merasa bosan. Aku yang
takut, sebagaimana aku yang punya banyak mimpi. Dengan begitu,
ada keberlanjutan yang kunikahkan bersama pengalamanku,
sehingga mengartikan kemampuan diri tidak terelakkan lagi. Kita
perlu merevaluasi makna sebanyak-banyaknya. Karena yang pasti
terjadi denganmu adalah, kau akan masuk islam, kau akan sekolah,
kau akan dihadapkan pada tradisi keluarga, kau akan menopang
moral masyarakat, kau akan dikenalkan dengan norma-norma
Indonesia, proses kebangsaan yang ditanamkan disetiap hormatmu
pada bendera, dan tentunya kau akan terpesona dengan tentara. Aku
meyakini itu, karena hampir sebagian besar kecenderungan anak
kecil yang kutemui di kota baik dari keluarga kita ataupun orang lain,
adalah wajah-wajah bocah yang didomplengi dengan etika tanpa
jawaban seperti itu.
~ 21 ~
kesadaran bagi dirinya sendiri. Dengan satu tanda tanya
besar Kenapa. Kata ‘Kenapa’ yang akan diiringi jutaan pertanyaan
yang engkau ciptakan sendiri, namun tak masalah, ketika pertanyaan
yang membuatmu kecewa dan gelisah itu akan membimbingmu
menemukan jawabannya sendiri, sesuai dengan kapasitasmu dalam
memahaminya.
Ketika nanti engkau mulai mendefinisikan diri, yang aku temui saat ini
adalah aku tak lagi bisa mengklarifikasikan mana itu kebenaran. Ia
telah menjelma menjadi misteri, oleh karenanya, aku merasa semua
pilihan dalam hidup manusia, semisal agama, memiliki jalannya
masing-masing. Aku bisa menghargai banyak agama bahkan
kepercayaan kuno lainnya. Sekuler? Apalah itu. Yang pasti Kristen
juga sunyi, islam juga, Hindu, Buddha, Ateisme, dan sebagainya,
dimana selanjutnya jenis-jenis pilihan itu akan membimbing siapapun
menemukan muaranya. Aku tak habis pikir saja dengan kebenaran
yang dipaksakan beberapa orang, ketimbang meladeni mereka,
bukankah lebih baik kita lari dan menggiatkan diri dalam pencapaian
revaluasi makna-makna tadi?
~ 22 ~
Cari kehilangan disekitarmu, entah itu celana dalammu, popokmu,
atau mainan yang kau rangkai sendiri. Berbicaralah yang tegas,
tanyakan segala hal pada ibu ayahmu, selagi mereka mampu, petik
pengalaman masa muda mereka dan jadikan bahan acuan
keberlanjutan usiamu. Agaknya, sesi ketiga catatan ini cukup
memuakkan, aku pribadi merasa begitu. Aku terkesan sebagai
seorang yang terus mengguruimu. Tapi percayalah, betapa tak
sabarnya aku menceritakan rangkaian proses pencarian kebenaran
yang kualami selama ini, juga kisah-kisah kawan, guru yang terus
menggodaku untuk memberitahukannya pada anak sepertimu.
~ 23 ~
dipertentangkan dalam pembicaraan. Awalnya ibuku (nenekmu)
tidak setuju dengan anggapanku bahwa tiada tuhan selain
Allah, menjadi sikap penegasian sesungguhnya pada segala yang
memiliki kemampuan memerintahmu. Ia mengatakan bahwa aku
terlalu terpengaruh dengan ide-ide di barat sana. Kami bertengkar
hebat, ia merasa tuhannya telah kuhina, dengan lanjut kukatakan,
bahwa sebaiknya ucapan tauhid lebih baik bernada tiada kehendak
selain Allah. Ia marah, dan aku merasa bersalah meladeninya. Aku
jadi teringat dengan kelakuan Abu Bakar saat mempelajari ilmu diam
dengan menempelkan kerikil di mulutnya sepanjang hari. Harusnya
aku mencontoh apa yang Abu Bakar lakukan, karena itulah bahaya
tanggapan yang berujung sifat sentimentil dan emosional.
~ 24 ~
kemandirian dalam kalimat tauhid. Mungkin aku dan ibuku salah
paham saja.
Maka, ada tips untukmu jika ibumu mulai marah dan menyanggah
keyakinanmu nanti, bahwa jangan engkau ladeni repetannya dengan
ikut merepet juga, tapi dekati dia, dan rangkul bahunya, maka
kemarahannya akan luntur. Coba nanti ya!. Tunggu, apakah di rahim
sana dingin atau panas? Nanti kasih tahu aku ya, Nak!
~ 25 ~
21 November 2013
~ 26 ~
Sekecil itu, bagi semua anak kecil yang entah kenapa rajin
mengunjungiku di rumah ini, provokasi terbesarku adalah belajar
menulis dan membaca. Hal ini berdasar pada kekecewaanku
personal. Masa kecilku adalah saat dimana aku benar-benar menjadi
manusia seutuhnya. Manusia yang tak peduli citraan TV, tak menaruh
perhatian pada idola, tak diperbudak gagasan, tak dianiyaya
kemenjadian, pula tak diringkas kehendak sosial. Aku bebas, sebebas
kebebasan yang banyak penyair utarakan. Tanpa melebih-lebihkan,
rekoleksi ingatanku atas masa lalu selalu saja terpenggal oleh lupa.
Kemampuan mengingatku turun ketika nostalgia terhampar.
Kebanggaanku hilang saat fragmen dari potongan kisah di masa itu
sulit terdistorsi silabus ingatanku. Oleh karenanya, setiap anak kecil
haruslah menjadi pembaca yang baik sekaligus pencatat penuh
hasrat. Sisanya, menjadi dokter, pramugari, pilot, dan presiden,
hanyalah kehampaan yang dipaksakan atas kemampuan seorang
anak.
~ 27 ~
semua itu karena berpotensi dapat dilakukan setiap orang. Aku
menolak menjadi pahlawan, memperjuangkan tumpah darah bangsa
ini, karena sedikit orang yang bisa menerka darimana darah mengalir
untuk meraih kesucian. Indonesia tak lebih menjadi mitos saja bagiku
kini, setelah, dengan beberapa petualangan panjang, aku mendapati
manusia-manusia di tepi jalan yang hidupnya jauh lebih digdaya
ketimbang buku-buku sejarah yang pernah mencatatkan ceritanya
untukku. Lebih dari itu, aku hendak menilik, bahwasanya, luput dari
pandang generasiku yang tumbuh, seperti kami disini, kawan-
kawanku, adalah kecakapan dalam menulis dan ketergugahan untuk
membaca.
~ 28 ~
Jika moyangmu Rahman dibatasi sebagai generasi pertama. Aku
adalah generasi ketiga, dan engkau generasi keempat. Tak sampai
hitungan jari, para cucunya yang giat dengan baca tulis, dan aku
contoh terburuknya. Tante, om, bibi, paman, sepupu, tulang, oppung,
bou, dan sebutan yang nanti akan mulai kau hapalkan sibuk dengan
berbagai hal, mungkin saja ini pledoi seorang yang sudah dipengaruhi
habis-habisan sedertan karya Aldous Huxley. Seperti sang penyair,
berkata suatu waktu, bahwa setiap ingatan seseorang merupakan
literasi personal yang menakjubkan. Penyair sekaliber Huxley
membangun optimisme luar biasa bagi kita yang lahir setelahnya,
dengan kata lain, tulislah sengkarut apapun dari memorimu,
ingatanmu. Masa kecil, pertumbuhanmu nanti adalah buah matang
yang harus kau petik dan kau gurati dengan puitiknya kata-kata. Aku
yakin, ayahmu sudah mendukung, berbeda dengan kakekmu dulu
yang mengharapkan aku menjadi seorang angkatan darat, yang
dengan terpaksa kukatakan kini adalah anugerah yang kulecehi.
Dunia tak perlu tentara, ingat itu.
~ 29 ~
Animal Farm. Aku tak berputus asa, mungkin besok, mungkin
intensitas hubungan kami yang akan membawanya pada sebuah
dunia, dimana jendelanya dapat membawamu kemana saja. Dunia
membaca.
~ 30 ~
palsu, diasuh sepenuhnya secara periodikal oleh tren yang
berkembang. Aku bukan bermaksud menolak komoditas, karena aku
tak mau membayar untuk itu. Engkau tahu, sekaleng Morinaga sudah
seharga jajanku seminggu, hampir seratus limapuluh ribu. Oleh
karenanya, dengan belajar memahami perlahan, hal yang ayah ibumu
sepakati bersamaku, untuk mengantisipasi dunia, kami memulainya
dari Iqra. Dengan membaca, memberitahukan bagaimana alam raya
bernyanyi, agama seharusnya memediasi pembebasan bukan
sekedar hukum dan aturan dangkal, fikih yang jorok, juga meretas
ilmu bagaimana tertawa dan gelisah. Pada akhirnya engkau harus
menulis, fardu ain. Itulah doktrin yang dapat melawan doktrin
kapitalisme.
~ 31 ~
Aku teringat Vladimir Nabokov yang berkata tentang cinta, mengenai
ingatan masa lalu, yang di dalamnya terdapat keterasingan dan
kekuatan bercampur. Seperti Smith yang menulis dibuku hariannya
pada kisah 1984, tentang sosok fenomenal Thoughtcriminal, yang
mengatakan barang siapa yang dapat mengontrol masa lalu, ia akan
menguasai masa depan. Itu berada dalam taraf individu, karena aku
tidak berbicara atas nama kerakyatan, teramat jauh. Jadi kendalikan
sepenuhnya masa dalam hidupmu, masa kecilmu yang aku amini
sebagai ruang terbebas yang pernah didekam setiap manusia yang
tumbuh. Aku pun mengakui keterbatasanku mengenang, sehingga
dari sekian banyak hal yang aku tuliskan, semua berdasar pada
penerjemahanku akan arti pengalaman juga pengamalan. Pepatah
yang mengatakan, guru yang paling baik adalah pengalaman, maka
aku mengatakan guru sejati adalah pengalaman personal.
Pengalaman orang lain ada di buku, ada di tulisan yang terbaca, dan
itu adalah guru influensial. Intinya, pengalaman menjadi titik
berangkat bagimu mencintai buku dan tulisan.
Sudah ada puluhan judul yang aku cetak bersama Nona C untukmu.
Ada koleksi ayat Tao, ada Animal Farm-nya George Orwell, ada ulasan
Heiddeger, ada sepenggal kisah dari koleksi hadist nabi yang begitu
radikal implementasinya, ada aneka zine, ada kumpulan surat Emma
Goldman, ada novel Ateis juga roman erotik Motinggo Busye, ada
tesis-tesis Bakunin, sepotong ulasan Das Kapital Marx, dan judul-judul
lain yang terlalu banyak memadati rak yang kini menjadi sumber
repetan nenekmu kalau masuk ke ruangan ini. Semuanya sudah
~ 32 ~
kuhimpun dalam sebuah dus sempurna, bertuliskan namamu, yang
baru bisa kau buka kelak. Memang covernya tak sebagus buku-buku
di toko, akan tetapi cukup kokoh jika kau bawa berpergian atau
diselipkan di tas. Secara estetik memang kurang enak dipandang,
akan tetapi secara fungsional sudah cukuplah aku pikir.
Apalagi yang bisa kuberikan selain harapan, dan kita lihat bagaimana
seorang anak sepertimu tumbuh di antara anak lain nantinya. Jika
hasilnya sama saja, aku sudah siap melancarkan peperangan untuk
harapan. Aku merasa menjadi seorang yang ditumbuhkan oleh
harapan, sehingga karena hal itu baik, dan kebaikan biasanya
menular, tidak ada salahnya kupraktekkan sama untukmu. Bilamana
nanti mentari mulai tidak ramah bersinar, gemintang enggan
menghiasi malam, kelakuan penulis di negeri ini tak membawamu
kemana-mana, para penyanyi yang hanya membuatmu tertawa, aku
sudah mempersiapkan nyanyian dan tulisan yang bisa menampar
alam bawah sadarmu, ada di gudang belakang, sudah kutitipkan pada
ibumu, sebuah kardus berlakban coklat berisi kumpulan-kumpulan
seperti buku dan tulisan yang tertera tegas
PANDORA UNTUK
“ZARATHUSTRA”
~ 33 ~
22 November 2013
***
~ 34 ~
Tesebutlah sebuah dunia dengan matahari yang cerah dan langit
berkilauan mengemas angkasa. Amboi! Suhu pagi harinya selembut
uapan embun. Di tanahnya yang subur, berdiri aneka gedung, pusat
keramaian, etalase belanja, monumen, juga penjara yang lucu-lucu.
Hidup beragam jenis manusia dengan pilihan agama, kebudayaan,
suku, dalam semangat perbedaan yang harmonis. Di sebuah titik dari
runutan cakrawala yang berpendar, berdirilah sebuah gubuk kokoh
bersahaja. Di ruas kota, dengan plang nama Jalan Pari, jenis surat
mengalamatkan diri. Di sana, tinggal sebuah keluarga berisi ayah, ibu,
lelaki usia 3 tahun, dan seorang bayi yang akan lahir segera. Mereka
adalah salah satu dari ribuan keluarga yang tengah menghadapi hal
serupa, dibalik tantangan zaman saat itu. Bayi yang penuh harapan
ini dirawat oleh ibunya, sepenuh kasih semesta pada alam raya.
~ 35 ~
memahaminya, bahwa anak ini siap melewati takdirnya, sampai mati
menjemput. Kini bahtera keluarga itu, berisi 4 awak kapal, sepasang
orang tua dan dua anak laki-laki. Mereka merasa bahagia.
~ 36 ~
satu permintaan sudah ia catatkan dibenaknya, karena setua ini ia
sudah berjanji untuk mendedikasikan sisa hidupnya untuk anak istri
semata. Sang istri juga mencolek sesekali pria berdasi itu, yang
belakangan menolak di sebut buruh, karena reputasinya sebagai
sarjana konstruksi bangunan, juga bergiat di bidang administrasi di
ruangan seukuran yang lebih kecil dari sel seorang Narapidana. Tiba-
tiba berita di TV-One menyiarkan tentang mogok nasional, diikuti
pertanyaan anaknya tentang hal itu, kenapa bisa terjadi?
~ 37 ~
Rupanya ibunya memiliki sedikit pengetahuan bagaimana dunia ini
berjalan. Mundur kebelakang, ternyata sang istri sempat menggeluti
buku bacaan seabrek sebelum kegiatan itu berakhir saat ia menyadari
bahwa tak seorang lelakipun yang akan mendekat pada geek
berkacamata, suka merenung, dan rajin ke perpustakaan. Sewaktu
jomblo itulah, ibunya mulai merubah cara hidupnya. Ia pun menjual
semua bukunya, untuk mempreteli penampilannya. Dengan
perawatan kulit, potong kuku, program diet, pengempesan perut,
belanja pakaian dan kosemetik, dan mulai merubah tongkrongan dari
rak buku menuju tenda-tenda peleburan urban. Sebutlah diskotik,
mall, rumah makan, cafetaria, atau lounge musik. Hingga akhirnya
bertemu lelaki pujaan yang kini menjadi suaminya. Akibat kebosanan
yang melanda urusan rumah tangga, ia baru kembali menggeluti
ulang bacaan, itupun sejak 10 tahun lamanya, saat si sulung
memasuki jenjang SD.
~ 38 ~
adalah tipikal buruh yang diganjar gaji, sehingga buruh yang tidak
mendapat upah dihaluskan peradaban manusiawi hari ini dengan
kerja-kerja sosial seperti ibu rumah tangga. Aku juga buruh nak,
hanya saja tak pake seragam dan tak punya kantor
~ 39 ~
tertawa terbahak-bahak, perjalanan masih jauh, akan tetapi pagi
tidak menyebabkan jemu. Keluarga adalah bagan pertama
pembentukan pabrik besar ini tercipta, dan sosok seorang ibu adalah
buruh tanpa kerah tanpa gaji. Ia berperan penting melakukan
berbagai macam pekerjaan yang menguntungkan pabrik bernama
dunia ini. Melayani suaminya, sang pekerja, baik secara fisik,
psikologis, emosional, maupun seksual. Semua ini dilakukan demi
menjaga vitalitas pekerja agar keesokan harinya dapat berangkat
bekerja dan tetap produktif menghasilkan kapital bagi majikannya.
Ya, inilah gambaran sebuah keluarga modern yang umum kita temui.
Relasi-relasi sosial dan hubungan emosional di dalamnya
ditransformasikan sedemikian rupa sebagai aktifitas ‘Kerja’. Tidak lagi
sekedar urusan domestik, keluarga menjelma menjadi mesin dalam
pabrik sosial. Terutama perannya dalam merawat tatanan kerja,
pekerja dan mereproduksi calon pekerja. Keluarga adalah sentral
dalam pabrik sosial yang memegang berbagai macam fungsi lewat
~ 40 ~
spesialisasi masing-masing peran. Ibu rumah tangga juga melahirkan,
memberi makan dan merawat serta mendidik anaknya calon pekerja
masa depan. Memberinya nilai dan orientasi hidup, rantai yang
menjaga agar generasinya tetap relevan dalam tatanan kapitalistik.
~ 41 ~
Ya inilah hal luar biasa yang dijalankan kapitalisme, mampu
memainkan peran-peran keluarga tersebut menjadi aktivitas yang
secara tidak langsung turut berkontribusi dalam reproduksi kapital.
~ 42 ~
depannya, seorang yang tidak bertitel akademik, atau memiliki
pekerjaan dengan gaji minim hanyalah remah-remah dalam sistem
sosial. Anak layaknya sebuah investasi masa depan, sejak kecil
mereka dipersiapkan menjadi calon pekerja, memasukkannya dalam
institusi pendidikan, jalur formal bagi pencapaian cita-cita.
~ 43 ~
pusat bagi regenerasi para pekerja-pekerja baru yang berjalan untuk
satu tujuan yakni tegaknya kapitalisme.
Ibu aku takut, aku ketakutan, apakah pabrik sosial besar itu sedang
menantiku?
***
~ 44 ~
Hai Zarathustra! Kita main tebak-tebakan. Dimana letak pabrik sosial
itu? Dunia apakah namanya?
~ 45 ~
23 November 2013
~ 46 ~
Pada mulanya, kuperkenalkan dulu guruku. Namanya Tarjo. Aku
bertemu dengannya di sebuah rumah bordil. Saat itu kunci Vespa-ku
tertinggal di sebuah kamar, dan ia menemukannya. Kami berbincang.
Tarjo sangatlah kaku. Kalimat yang menyembur dari bibirnya begitu
keras. Sulit menjalin silaturahmi dengan lidahnya akibat tema yang ia
bicarakan, . Kedekatan kami berawal saat berbincang, dari topik yang
selama ini kubenci: islam. Dari Tarjo-lah, aku belajar sedikit
meredefinisi agamaku. Seperti yang kita ketahui, kota kelahiranmu
ini, mayoritas penduduknya islam. Sibolga ini pun merupakan bagian
kecil dari keselurahan negeri. Seperti informasi yang kubaca, selain
prestasi korupsinya yang mengagumkan, Indonesia menjadi salah
satu negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Jadi, besar
kemungkinan, agama yang kau peluk nantinya adalah islam.
Prediksiku ini juga didukung KTP ayah ibumu, keyakinan keluarga
besarmu, juga pilihan kepercayaan masyarakatmu. Sehingga,
memeluk islam tanpa mau peduli dengan sekelilingmu, perlu
kupertanyakan sejak saat ini.
Maksudku begini, islam yang aku anut dahulu adalah islam yang
sangat privat. Ia tak menjangkau ranah sosial. Oleh karena itu
tabiatku juga privat, dengan berat hati kuakui, mementingkan diri
sendiri. Aku hanya mengurus soalan mana yang haram mana yang
halal saja, yang parahnya, aku menutup mata pada anak jalanan yang
lapar (misalnya) hanya untuk membenarkan keberislamanku yang
terfokus pada Allah semata. Aku meminggirkan hal di luar diriku,
sementara terus sibuk mengoleksi pahala. Aku lupa bahwa islam
~ 47 ~
bukan filateli, seperti prangko yang dirawat keramat untuk dibingkai
di album ketuhanan semata, tidak peduli dengan kemanusiaan. Sejak
saat itulah, guruku Tarjo memberikan opsi yang aku kelola sendiri
secara maksimal untuk membuktikan bahwa islam sejatinya lahir
sebagai media pembebasan. Ia dekat dengan realitas, sehingga
rekatlah ia dengan yang terjadi di sekitarku.
~ 48 ~
adalah kalimat la ilaha illa Allah. Tauhid memproklamirkan bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Seorang Muslim harus menolak segala
“sesuatu” selain Allah, sebagai bukti kongkrit keimanannya. Apakah
konsep tauhid hanya sebatas ucapan saja? Kalau tauhid aku pahami
menegasikan segala “sesuatu” selain Tuhan, tentu saja bisa diartikan
bahwa sangat tidak bertauhid diriku bila menuhankan “sesuatu”
selain Tuhan. Tuhan yang dimaksud yaitu “sesuatu” yang aku jadikan
orientasi hidup dan obyek pengabdian. Dalam pengertian ini, ketika
aku menjadikan uang, kekuasaan, bisnis, negara, dll., sebagai satu-
satunya orientasi hidup dan obyek pengabdian, sama saja aku sedang
menuhankan hal tersebut. Dalam pengertian Islam, menuhankan
“sesuatu” selain Tuhan disebut syirik, menjadikan sesuatu selain
Tuhan sebagai sesembahan hidup. Astaghfirullah!
~ 49 ~
ketimbang kekosongan kepemimpinan dalam suatu negara.” Tentu
saja diktum ini masalah bila dihadapkan dengan konsep tauhid.
Sejatinya aku telah terjerembab ke kerangka syirik, menjadikan
“sesuatu” selain Tuhan sebagai orientasi hidup dan objek
sesembahan. Dalam contoh ini negara, dan itu merupakan tindakan
syirik. Kenyataan inilah yang membuat kosongnya manifestasi konsep
tauhid dalam tataran empirik, dan itu bukan tanpa sebab lagi.
~ 50 ~
Kendati demikian, tidak bisa ditampik bahwa semangat pembebasan
tersebut dalam Islam telah pudar, untuk tidak mengatakannya hilang
sama sekali. Apalagi saat ini. Agama telah menjadi penindas baru.
Islam yang pada awalnya hadir untuk mengkritisi produk-produk
kebudayaan yang menindas, lambat laun menjadi kolaborator
bahkan sekongkolan dari para penguasa (baik politik maupun
ekonomi) yang dengan kekuasaannya secara langsung maupun tidak
langsung telah menindas orang-orang lemah dan orang-orang miskin
(mushtadh’afin). Aku jadi tak heran lagi kenapa buruh-buruh
direpresi, lahan petani dirampasi, dan lebih jauh membiarkan
pemodal domestik maupun asing, menanamkan sahamnya dengan
leluasa, mementingkan pundi kapital atau profit bagi mereka yang
memiliki akses pada sektor produksi massal. Peran Islam bergeser
dari media pembebas manusia menjadi alat stempel penguasa yang
mengemuka dalam wujud politisasi agama. Dalam konteks ini fungsi
kritis dan transformatif agama lenyap dan kemudian digantikan oleh
fungsi legitimasi agama: agama tidak lebih hanya berfungsi sebagai
legitimator sang penguasa.
~ 51 ~
yang mengidealkan sebuah struktur masyarakat yang unitas, total
dan utuh memiliki konsep tauhid model ini. Yang aku pahami, Islam
menentang segala bentuk ketidakadilan baik yang menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan individu, manusia
dengan sesama manusia serta manusia dengan alam semesta.
Konsep tauhid ini tidak semata pemahaman yang mengambang,
melainkan suatu konsep praktis yang menyangkut seluruh institusi-
institusi yang dilahirkannya. Lewat pandangan ini, memahami konsep
Islam sebagai agama monoteis serta fungsinya, seperti sosial,
spiritual, moral, politik menjadi membumi.
~ 52 ~
melacak pengaruh sosialnya. Dimensi esoterisnya tidak pernah aku
sentuh sama sekali. Karenanya melacak corak antroposentris tauhid
perlu dimulai dari hal tersebut.
~ 53 ~
hanya sebatas urusan pribadi, antara aku dengan Tuhan. Tidak
pernah dilihat kaitannya dengan urusan sosial. Usah heran bila ada
Muslim yang setiap harinya “nungging”, namun di saat yang sama
perilaku sosialnya tidak baik. Mengambil hak seseorang yang bukan
haknya, misalnya. Padahal tujuan shalat bukan untuk Tuhan,
melainkan manusia. Karenanya dalam al-Quran disebutkan bahwa
shalat bertujuan untuk menjauhkan manusia jauh dari perbuatan keji
dan tindakan mungkar. Artinya, ritual shalat yang sudah dilakukan,
namun tidak mampu merubah perilaku sosial seseorang, layak
dipertanyakan. Ketidakmampuan ritual shalat mengubah perilaku
seseorang merupakan indikasi bahwa ada yang salah dalam
pemahaman shalat.
~ 54 ~
memungkinkan seseorang untuk berkontemplasi atas segala
tindakannya, yang boleh jadi tanpa ia sadari telah berbuat
keburukan. Dengan upaya terus-menerus mengingat Tuhan, akan
mengakibatkan kesadaran yang kuat dalam diri seseorang untuk
mengubah perilaku sosialnya. Aku curiga perintah shalat awal
turunnya sebanyak 50 kali itu, agar aku banyak mengingat tuhan.
Entahlah
~ 55 ~
mampu mengatasi kemiskinan, merupakan pertanyaan yang harus
segera diajukan. Aku melihat ada beberapa permasalahan yang
menjadikan zakat tidak ampuh sebagai senjata penghapus
kemiskinan, baik itu dalam skala kecil maupun besar. Pertama, zakat
selama ini dipahami hanya sebatas “perintah Tuhan.” Yang dimaksud
adalah walaupun zakat jelas ritual yang sangat erat terkait dengan
kehidupan sosial, nyatanya tidak selalu dilihat seperti itu. Zakat hanya
semata urusan transendental-metafisis. Kedua, sebagai
konsekuensinya, orang lupa bahwa diwajibkan zakat karena alasan
bahwa di dalam harta yang dimiliki, terdapat hak orang lain. Sejatinya
inilah yang dipinta untuk diberikan ke orang lain yang membutuhkan
dalam konsep zakat. Ketiga, akibatnya seseorang mengeluarkan zakat
bukan atas dasar kesadaran atau kesukarelaan bahwa di dalam
hartanya terdapat hak orang lain (baca: orang yang membutuhkan),
melainkan ketakutan akan siksa Tuhan. Ini yang menyebabkan rasa
kepedulian terhadap sesama sangat minim dalam komunitas Muslim.
Tentu masih ada banyak faktor lain yang menyebabkan zakat tidak
efektif dalam kehidupan sosial. Salah satunya adalah, untuk tidak
menyebut semua, mereduksi zakat hanya sebatas zakat fithrah, yang
dikeluarkan setahun sekali menjelang ‘Idul Fithr.
~ 56 ~
menganggap dirinya sudah menjalankan kewajiban atas kehendak
Tuhan, yang ujungnya adalah keselamatan-pribadi. Dari sini bisa
dimengerti bahwa zakat telah kehilangan dimensi sosialnya. Bila
segala syariat Islam dipahami untuk kebaikan manusia, tindakan
tersebut akan menjadi sia-sia.
Mengikuti kerangka di atas, ritual lainnya, yaitu puasa dan haji juga
telah mengalami ketidakbermaknaan dalam kehidupan sosial. Puasa
hanya dipahami sekadar menahan minum dan makan. Persoalan
empati terhadap orang kelaparan diabaikan begitu saja. Puasa
seharusnya menjadikan seseorang sadar bahwa di luar sana ada
orang kelaparan. Puasa mengajarkan seseorang untuk merasakan
bagaimana rasanya mengalami kelaparan, walaupun ketika malam
diwajibkan untuk berbuka. Dengan mengalami rasa lapar sebulan,
diharapkan seorang Muslim dapat lebih peka dalam melihat
persoalan kelaparan, serta bentuk permasalahan sosial lainnya.
Terkadang seseorang butuh merasakan sesuatu terlebih dahulu
sebelum memercayai sesuatu. Merasakan lapar sangat
memungkinkan orang untuk lebih peka akan masalah ini. Tentu saja
puasa bukan hanya sekadar urusan lapar. Dalam puasa, seorang
Muslim dilatih untuk menahan amarah atau keinginan buruk lainnya,
misalnya.
~ 57 ~
mencantumkan huruf “H” di depan namanya. Akan sangat sulit untuk
menemukan hal ini di negara lain. Sehingga orang akan protes bila
namanya ditulis dengan tidak mencantumkan inisial “H.” Hematnya,
masih banyak ditemukan ketidakberubahan perilaku sosial seseorang
walaupun sudah menunaikan ibadah haji. Dengan begitu, sangat
sedikit untuk menemukan manifestasi kehidupan sosial dari ibadah
haji. Yang menjadi kritik adalah, sungguh ritual yang patut
dipertanyakan ketika orang menunaikan haji berkali-kali, namun pada
saat yang sama kemiskinan di sekitarnya dibiarkan begitu saja. Ini
suatu paradoks. Di mana letak pembebasannya bila Islam dipahami
seperti ini? Haji tak lebih seperti seekor babi, karena babi entah di
sudah ke mekkah atau tidaknya, tetaplah babi.
~ 58 ~
Bias-bias yang diakibatkan oleh ritual tersebut bersumber dari
pemahaman keberislaman bersifat transendental-metafisis. Segala
syariat yang ada bertujuan untuk kebaikan Tuhan, bukan kebaikan
manusia. Sekalipun dipahami sebagai kebaikan manusia, pun hanya
sebatas keselamatan-pribadi. Dengan kata lain ritual keberislaman
jauh dari dimensi kehidupan sosial. Pemahaman keberislaman seperti
ini patut dipertanyakan. Pada tingkat ekstrimnya, lebih baik kubur
saja Islam bila tidak membawa manfaat dalam ranah kehidupan
sosial.
Islam selama ini dilihat hanya terbatas dalam persoalan haram dan
halal. Dengan kata lain Islam merupakan agama hukum atau nomos.
Al-Quran dan Sunnah, sebagai sumber primer normatif, jelas
menyinggung dan menyentuh banyak aspek kehidupan. Ia
menyinggung berbagai aspek kehidupan manusia, baik itu aspek
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, moral, hukum, mistis, ritual,
pemikiran, dll. Namun demikian bukan berarti al-Quran dan Sunnah
merupakan gudang jawaban dan melulu solusi dan bersifat detail. Al-
Quran sebagai petunjuk (hudan) dan Sunnah sebagai referensi
bersifat global. Pandangan bahwa al-Quran memuat dan membahas
serta menjawab segala hal perlu dipikrkan ulang. Betapa pun, al-
Quran dan Sunnah merupakan produk sejarah dan kultural. Dalam
artian al-Quran ketika diturunkan bersentuhan dengan realitas sosial
yang ada. Tidak heran bila konteks ke-Arab-an tidak terelakkan dalam
al-Quran dan Sunnah. Dan tentu saja ia ketika menghadapi persoalan
yang ada turut dipengaruhi waktu dan tempat. Dengan kata lain
~ 59 ~
Islam tidak jatuh dari langit begitu saja. Islam tidak hadir dalam ruang
vakum sosial dan kultural. Agaknya inilah yang luput dari perhatian
dari kaum Muslim.
~ 60 ~
Dalam tataran praksis masih sering ditemukan perdebatan, yang
kadang tidak sedikit diakhiri dengan sikap kafir-mengkafirkan bahkan
saling membunuh, soal tata-cara shalat, tahlil, ziarah kubur, dll. Akan
tetapi persoalan apakah atau bagaimana korelasi ibadah mahdhah
dengan kehidupan sosial hampir tidak pernah disinggung. Hal ini bisa
menjawab kenapa Islam tidak mampu menjadikan pemeluknya
menjadi lebih baik, bahkan mereduksi serta mengkerdilkan
kemanusiaan itu sendiri. Selama Islam hanya dilihat dari kulitnya saja,
kaum Muslim tidak akan pernah tahu esensi dari Islam itu sendiri.
Bisa dimengerti jika orang menganggap bahwa agama turut
mengalienasikan manusia (Ludwig Feurbach), agama merupakan
candu (Karl Marx) atau Tuhan sudah mati (Nietzsche). Pemahaman
Islam hanya tertumpu dari segi eksoteriknya saja, sangat berpotensi
menciptakan dikotomis dalam interaksi sosial, Muslim-non-Muslim.
Terlebih pemahaman eksoterik bersifat eksklusif bahwa tidak ada
keselamatan di luar agama selain agama yang dianutnya. Tentu ini
masalah bila pemahaman ini terjadi dalam ranah sosial. Islam sebagai
pandangan dunia bagi pemeluknya tidak bisa begitu saja ditanggalkan
ketika berinteraksi sosial.
~ 61 ~
untuk cebok; batu, sebagai ganti air, bagaimana yang sah untuk
cebok; dan hal lainnya yang terkait dengan bersuci. Tidak heran
pemahaman Islam model seperti ini disebut sebagai Islam Toilet.
Tentu saja bukan berarti bab al-thaharah tidak penting. Namun
demikian akan tampak simplistik bila bertahun-tahun majelis taklim
mengadakan pengajian hanya sebatas soal ini. Persoalan lain hendak
dikemanakan? Apakah Islam hanya mempunyai satu wajah, fikih?
Adakah Islam menyoal ekonomi, distribusi keadilan sosial, politik,
kebudayaan, intelektual, mistikal, dsb.?
~ 62 ~
dimensi intelektualitas dan sosial diabaikan begitu saja dalam
praktiknya. Sayangnya, dua dimensi yang diabaikan ini, merupakan
hal yang sangat krusial dalam Islam itu sendiri. Akibatnya, tidak
bukan tanpa sebab bila, agama dianggap sebagai mitis baru atau
persoalan yang tidak rasional serta tidak ada manfaatnya dalam
kehidupan sosial—malah pada titik tertentu agama turut menoreh
coreng dalam sejarah kemanusiaan.
~ 63 ~
Dimaksud dengan Islam adalah kontekstual, dalam pengertian, nilai-
nilainya harus diterjemahkan dalam konteks tertentu yang
dipengaruhi oleh zaman dan waktu. Islam diturunkan kali pertama 14
abad yang lalu. Tentu keadaan sekarang dengan zaman Muhammad
saw mempunyai konteks berbeda. Faktanya masih banyak ditemukan
pemahaman Islam produk masa lalu yang berbeda keadaannya
dengan zaman kekinian. Kendati demikian tetap saja zaman kekinian
diterjemahkan ke dalam zaman masa lalu. Hal tersebut yang pada
dasarnya menjadikan semangat pembebasan Islam gagal dalam
mentransformasikan kehidupan sosial ke arah yang lebih baik.
Selama ini Islam dipahami lepas dari setting historis dan dimensi
sosial serta intelektualitasnya.
~ 64 ~
sebatas mengenai kerugian maupun keuntungan dirinya sendiri.
Berbeda kenyataannya ketika dalam kehidupan sosial, logika fikih
tidak mencuat. Kenyataannya dalam kehidupan sosial logika fikih
absen. Yang ada hanya soal kepentingan dirinya sendiri. Tidak aneh
bila kebanyakan kaum Muslim sibuk mencari persoalan fikih dalam
tataran personal, namun tetap saja perilakunya menimbulkan
kerugian dalam kehidupan sosial. Sebab fikih dilepaskan dari konteks
sosial. Dengan kata lain kaum Muslim sadar akan fikih hanya sebatas
dalam ibadah mahdhah, tidak dalam ibadah muamalah (sosial).
~ 65 ~
melulu fikih. Sama halnya dengan tindakan kriminal. Ia bukan melulu
soal moralitas. Selain itu, selama ini fikih selalu dikaitkan dengan
moralitas. Sehingga ketika ada individu yang melanggar ketentuan
fikih langsung saja dianggap tidak bermoral. Pelaku pelacuran dan
pencurian bisa dijadikan contoh yang baik. Mereka selalu saja
dianggap tidak bermoral, serta penghuni neraka.
~ 66 ~
menakutkan, maskulinitas, dsb. Boleh jadi mungkin itu salah satu
wajah Islam. Kendati demikian bukan itu satu-satunya wajah Islam—
kalau wajah Islam yang serba horor dan galak itu diterima sebagai
salah satu wajah Islam. Selama ini sisi “feminin” dari Islam tidak
pernah diperlihatkan. Dengan kata lain, Islam sebagai “agama cinta”
tidak pernah ditampilkan. Sebagai agama yang merangkul segala
manusia, sebejat apa pun manusia itu. Sebagai agama yang
mendorong orang untuk tidak berputus asa dalam menjalani
kehidupan. Bukannya menakuti-nakuti orang serta menina-bobokan
orang. Sebagai agama yang tidak bertentangan dengan nurani dan
akal.
~ 67 ~
Secara umum ibadah adalah urusan antara seorang ‘abd (penyembah
atau hamba) dengan ma’bud (yang disembah); hablun min Allah,
sedangkan urusan muamalah adalah urusan antara manusia dengan
sesamanya; hablun min al-nas. Yang pertama adalah urusan ritual,
yang kedua adalah urusan sosial. Dalam al-Quran dan kitab-kitab
hadits, proporsi terbesar kedua sumber ajaran Islam tersebut
berkenaan dengan urusan muamalah. Ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat
berkenaan kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Untuk
satu ayat ibadah ada seratus ayat muamalah. Begitu juga di dalam
kitab hadits. Dari dua puluh jilid Fath al-Bari: Syarah Shahih Bukhari,
hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah. Dalam Islam bila
waktu ibadah bersamaan dengan urusan muamalah penting, ibadah
boleh ditunda atau ditangguhkan pelaksanannya. Ibadah yang
mengandung segi sosial diberi ganjaran besar daripada ibadah
bersifat perorangan. Ketika urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena satu hal, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Orang
yang tidak mampu berpuasa diharuskan memberi makanan kepada
orang miskin, di sebut fidyah.
~ 68 ~
urusan sosial, lebih baik daripada ibadah sunnah. Bahkan kebaikan
dalam urusan sosial pada titik tertentu menjadi penentu diterimanya
atau tidak, atau bermanfaat atau tidak ibadah seseorang.
Diriwayatkan Tuhan telah berkata melalui Muhammad saw pada
hadits qudsi, bahwa “tidak beriman kepada-Ku orang yang tidur
kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” Juga diriwayatkan
Muhammad saw berkata bahwa “hamba yang paling dicintai Allah
ialah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan amal yang paling
utama adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang (beriman)—
(seperti) menutup rasa lapar, membebaskan (orang) dari kesulitan,
atau membayarkan utang.”
~ 69 ~
contoh bagus. Islam belakangan dipahami sebagai agama horor dan
menampilkan Tuhan yang Mahagalak, main azab saja—lihat acara-
acara Rahasia Ilahi serta variannya. Pendek kata, Islam telah gagal
dalam menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik, baik itu dalam
skala kecil maupun skala besar. Kegagalan ini bisa dilacak sumber
permasalahannya, yaitu absennya pemahaman keislaman dalam
bingkai sosial.
~ 70 ~
falsumeter kesalehan keberagamaan perlu dibangun. Pada sisi lain,
konsep tauhid serta ibadah tidak akan bermakna bila tidak dipahami
dalam perspektif sosial. Karenanya merupakan suatu keniscayaan
mengukur kesalehan seseorang dalam perspektif sosial. Kalangan
Muslim yang menawarkan blueprint masyarakat dengan sistem
khalifah atau syariat Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Partai Keadilan Sosial (PKS), Front Pembela Islam (FPI), serta
anekavarian lainnya, harus dibenturkan dengan perilaku mereka
dalam kehidupan sosial. Blueprint apa pun, entah itu dilatari
semangat keagamaan atau tidak, tidak akan bermakna bila perilaku
yang menawarkan blueprint tersebut tidak membuat mereka saleh,
dalam pengertian kesalehan sosial.
Hampir saja lupa, guruku Tarjo adalah seorang Kristen, dan ia adalah
murid kesayangan Wiro Sableng.
~ 71 ~
27 November 2013
~ 72 ~
Di perbatasan Pekan Baru, tepatnya sebuah jalan besar pemisah, di
kiri kanannya hutan digunduli. Choirul memberhentikan motor,
mengambil rehat kopi di sebuah warung. Aku mengikuti insting,
menyaksikan kekejaman kapital mengeluarkan tawa dari bara api.
Kakek yang bersamanya, sang penjual makanan kering, lebih pantas
disamakan dengan Kamesenin, Jin kura-kura dalam serial anak
Dragon Ball Z. Kamera di tanganku tak bereaksi, tapi aku tak peduli,
ketakjubanku benar-benar di luar kekuasaan emosi. Aku berdiri
tegak, meraup sebanyak mungkin dendam di dada. Sebelum pulang,
si kakek tua itu berkata bahwa daerah asalku adalah daerah paling
indah yang pernah ia jumpai seumur hidup, sebuah lokasi yang
dipisahkan oleh gunung dan laut sekaligus. Ia mungkin tak paham
bagaimana kota itu kini. Ia tak perlu tahu, jangan sampai tahu,
harapku.
~ 73 ~
keluarga yang tinggal disana. Belum ada listrik, pabrik, kapal
pencemar, speed boat berlimbah, pukat harimau, pukat induk, dan
semacamnya. Aku serasa seperti di pulauCastaway yang
menelantarkan Tom Hanks dalam filmnya.
Aku yakin biola itu impor, mengingat gitar yang dikenal masyarakat,
dari genjrengan pemabuk di lapo tuaknya, hampir semua buatan
tangan. Harganya tergolong mahal untuk seorang pemuda waktu itu,
oleh karenanya arena pemabuklah yang mau memilikinya, dengan
distorsi biaya yang sudah diperhitungkan matang-matang. Selain
nyamuk,Kaliranggo (sejenis nyamuk merah besar), orkestrasi hewan
pinggiran pantai, mercusuar di kejauhan, suara biola-lah yang dapat
memecah malam. Dari kesunyian, dari kepedihan, keletihan, badai,
jaring nelayan yang pupus, atau mata kail pancing yang enggan
dihampiri ikan. Si Angku menjadi wujud seniman, dan aku belum
paham apa itu musik, apa itu nyanyian, apa itu biola, apa itu lagu dan
syair, karena yang aku ketahui pasti, suasana musikal yang
dimainkannya begitu mistis.
~ 74 ~
mungkin aku kembali ke darat, aku ingin pulang. Otakmu berubah
jadi kebun binatang, yang di dalamnya berisi kumbang, laba-laba,
harimau, ular, semut besar, hingga anjing hutan. Engkau bertambah
takut kala perasaanmu menjelma menjadi sarang setan. Di dada mu
terindentifikasi Kuntilanak, Begu Ganjang, setan alas, genderuwo,
sampai hantu Belau dengan muka bersayat-sayat. Mengerikan,
engkau merasakan takut yang luar biasa, sampai tiba-tiba ada suara
yang menetralisir itu semua.
Biola.
~ 75 ~
Dengan berat hati, kemanjaan anak usia 7 tahun ketimbang 12 tahun
tentu berbeda. Semakin bertambah usiaku, semakin berkurang servis
kedua orang tuaku. Entah itu sebagai bukti kekuatan yang harus
kutanggung semeningkatnya umurku, atau bagaimana. Yang pasti,
saat itu keduanya datang selepas 2 sampai 3 lagu melantun dari biola
si kakek. Angku pemain biola. Dari sanalah aku berkenalan untuk
pertama kalinya dengan tembang mistis yang menghanyutkan itu,
untuk tidak berkata tepat, bahwa seterusnya aku tak bosan-bosannya
meminta dimainkan lagu-lagu tradisional itu. Aku yakin, suara biola
yang dihasilkan bukanlah biola yang biasa kukenal, baik Sai Amati,
Hoffner milik Ambon di Simpang Dago, atau biola impor milik seorang
pengamen yang ia beli 4 juta rupiah. Ini berbeda, dan tak begitu yakin
pula itu bagian dari mitos Stradivari yang dimiliki seorang kakek di
Jombang sesuai informasi yang kudapat. Atau fenomena konseptual
seni yang banyak dibicarakan kawanku berlaku disini, bahwa bukan
alat musik bermerk apa yang kau punya, melainkan bagaimana kau
menyanyikannya. Ortodoks?
Sejak kedatangan Sai Amati beberapa minggu lalu yang kubeli hampir
2 juta di kota Medan, aku terus bertanya pada ayah siapa kakek yang
pernah menjaga pulau itu. Siapa orang suruhan keluarga itu. Ia
mengantarkanku ke beberapa tempat yang diyakininya pernah
ditinggali. Ada kabar yang menyatakan kakek itu sudah meninggal,
dan ia pemain biola satu-satunya kelompok seni daerah kelurahanku.
Aku lesu, dan merasakan pelajaran berharga, bahwa hal yang dulu
kita anggap biasa ternyata berpengaruh di kedepannya. Setidaknya
~ 76 ~
kasus ini, juga mengikuti keyakinan ayahku yang berkata bahwa aku
cocoknya berbincang dengan orang-orang tua membawaku pada
seorang tua yang kusebutkan di atas, mulai dari cerita tentang
sebuah hutan yang digunduli di Pekan Baru, kenangan suara biola
begitu merindukan melebihi seorang kekasih lama yang kini di Eropa,
juga polemik personalku yang tak kuat mengingat
Terkadang, beberapa hal sangat sulit untuk dilupakan, dan hal itu
juga begitu menakutkan untuk diingat.
Bersama kakek tua itu, aku berhasil melalui masa kehancuran dalam
kelupaan tragik yang kurasakan. Kami berdiskusi banyak, bertukar
pikiran tentang gelisah juga bahagia. Tema yang paling nyentrik
datang dari nyanyian. Tersebutlah seni Sikambang khas pesisir. Ia
adalah campuran tari dan musik, yang tentunya berbeda dengan khas
melayu atau Minangkabau. Ia merupakan kesenian asli sepanjang
pantai daerah Sumatera. Orang-orang laut, orang-orang pelabuhan,
orang pantai, sampai anak-anak seribu pulau. Uniknya, memainkan
seni ini biasanya dengan gendang kulit kambing buatan sendiri,
dengan khas echo pukulannya yang bimbang. Gendang sebagai
pengatur tempo untuk irama Akordion atau Biola yang mampir. Si
kakek memperagakan bagaimana cara bernyanyi-nya.
Aku terkejut, karena kesan syair dan lirik serta cara penyajiannya
sangatlah spontan. Bisa kukatakan, bagaimana cara mengangkat
adonan emosi dari periuk hati untuk dihidangkan di meja suara.
Biarkan tenggorokan mencerabut perasaanmu, begitulah kasarnya. Ia
~ 77 ~
menambahkan, tak jarang liriknya berupa kiasan hati, yang
ditinggalkan pergi, yang melancong, yang gundah, yang bahagia, baik
pada orang lain, perahu dan musim, laut dan ombak, juga pada
semesta. Intinya, bagaimana kau meluapkan perasaanmu dengan
kalimat puitik dibumbui irama rasa yang ingin dituangkan digelas
nyanyian. Silakan cari beberapa contoh rekaman Sikambang di
internet, pasti deskripsiku tidak akan jauh dari yang kuutarakan. Apa
artinya? Lebih tepatnya, apa yang bisa kumaknai?
~ 78 ~
karenanya suaraku tak pernah becus menggapai standarisasi tata
vokal yang baik. Aku akui pula ini sebagai pledoi seseorang yang tak
bisa bernyanyi. Aku cuplik Henry Miller sedikit, bahwa ini bukan
masalah gitar, lagu, nyanyian, atau akordeon yang kau mainkan, akan
tetapi esensinya adalah engkau ingin bernyanyi. Bernyanyilah, sekali
lagi bernyanyilah. Seketika mengikut pula saran tematik lainnya:
menarilah, menarilah. Atau: mabuklah...mabuklah. Baudelaire benar
adanya, bahwa seseorang harus mabuk, agar esensi bisa dikecup.
Esensi yang hanya individu itulah yang memaknainya. Lantas, bisa
apa aku ketika kegelapan, ketiadaan, kematian, keterpenjaraan total
menghampiri posisiku, selain menyanyikan emosi? Konyolnya, tak
ada gitar, biola, atau keyboard elektrik di nirwana? Mari tertawa.
~ 79 ~
Andaikan tak ada lentera yang membimbingku keluar dari kegelapan
total untuk mencumbui seberkas sinar saja dalam kehidupan, aku
harus menangungnya sepenuh hati. Aku merasa kebaikanku tak
diganjar pahala, kelakuan burukku tak termasuk dosa, tuhanku,
iblisku, semuanya kabur. Aku dihempas kebimbangan, lautan serasa
hambar, dahaga pun tak lepas, sehingga kebenaran benar-benar
menjelma menjadi hantu. Di saat seperti itu, hingga kini yang terus
menggelitiku dengan seribu argumen dan rasionalisasi pikiran dan
tindakanku, aku menghadapi ketakjuban sekaligus keputusasaan tak
henti akan aroma kehidupan. Aku terus menghirupnya tanpa ada
landasan, struktur, dan pegangan sama sekali. Aku bersenjatakan
kenihilan, untuk memaksanya terus aktif, dan di saat yang sama, baik
atau tidak kusebut ia sebagai Seni, telah membawaku pada
pertarungan panjang melelahkan dan menggairahkan hingga detik
ini, untuk tetap bertahan.
~ 80 ~
memang ketika hidup tak memiliki arti yang tepat dalam
pengkondisiannya.
~ 81 ~
segala sesuatu yang ada didalam kehidupanmu. Berusahalah untuk
membuat hidupmu lebih panjang dengan tujuan melayani orang-
orang disekitarmu. Siapkan lagu kematian yang mulia pada hari
ketika engkau menghadapi perpisahan yang agung itu. Berikanlah
selalu kata atau tanda penghormatan saat bersua atau melewati
seorang teman, ataupun orang asing, ketika berada di tempat yang
lengang. Tunjukkan rasa hormat kepada semua orang dan jangan
merendahkan siapapun. Ketika engkau bangun di pagi hari,
bersyukurlah atas makanan dan keriangan hidupmu. Jika engkau
tidak melihat alasan untuk mengucap syukur, berarti ada yang salah
pada dirimu-sendiri. Jangan menyalahgunakan orang lain atau
apapun itu, karena hal itu ternyata membuat orang bijak menjadi
orang bodoh dan merampok semangat impiannya. Ketika tiba
saatnya engkau menghadapi kematian, janganlah seperti mereka
yang hatinya dipenuhi dengan rasa takut akan kematian, sehingga
ketika saatnya tiba mereka menangis dan berdoa meminta sedikit
waktu guna menjalani kehidupan mereka lagi dengan cara yang
berbeda. Nyanyikanlah lagu kematianmu dan matilah bagai
pahlawan yang pulang ke rumah."
Tarjo
27 November 2013
(Oh iya, hari ini juga hari ulang tahun ibumu yang ke 33 tahun)
~ 82 ~
~ 83 ~
"Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa aku ke tempat
yang dikutuk oleh segala kitab-suci dunia, tetapi engkau, hatiku,
berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain....
Dan di sana kita berkenalan, engkau dengan aku;
apakah bedanya engkau dengan aku?"
— Amir Hamzah, ‘Nyoman’ (1930)
~ 84 ~