Anda di halaman 1dari 84

MENJELANG KEDATANGAN ZARATHUSTRA

MERANCANG PENCURIAN LENTERANYA

~1~
~2~
Zine ini didedikasikan untuk Fatwa Attari Zarathustra
Ditulis menjelang hari kelahirannya di bulan November penghujan

Publikasi Individum Thought Crime


November, 2013

~3~
17 November 2013

Coba kubayangkan, nanti orang-orang akan datang menunggu


kelahiranmu. Kami duduk di luar ruangan, masing-masing
menggenggam harapannya untukmu. Sebelum dokter atau bidan
membuka pintu, membawa kabar di senyumnya, kami akan was-was,
khawatir, jantung bedebar, juga salah tingkah. Akan ada kata-kata
seperti “Laki-Laki”, “Alhamdulillah Selamat”, atau sebaliknya. Selain
harapan, kami juga menyelipkan bingkisan untukmu. Di zamanku ini
ide untuk saling memberi sudah mulai melenyap. Hadiah. Untuk
kasus spesial seperti kelahiran, khitanan, ulang tahun atau kematian,
tradisi itu terulang. Aku malah menjadikannya sebagai kebiasaan.
Pemberian secara cuma-cuma perlu dibiasakan, bagaimanapun
sulitnya. Oleh karenanya aku mulai bersedih saat ini, karena tak ada
kado yang pas yang bisa kuberikan menyambut kedatanganmu ke
muka bumi yang ngehek sekaligus indah ini.

~4~
Ayahmu sibuk. Ia tengah mengerjakan proyek besar, semacam
outbound untuk salah satu anak cabang korporasi SONY. Setelah
mengantar ibumu kemarin, ia hanya sehari melepas lelah di kampung
ini, kemudian berangkat lagi, sesuai prediksinya, menyelesaikan tugas
secepatnya, agar bisa memegang kening ibumu saat kau gagah
mendesak untuk segera menyaksikan mentari pertamamu. Ia
berpesan padaku, jika saja kehadirannya tertunda, mungkin akulah
yang mengumandangkan asma Allah di telingamu. Aku terlanjur
menyanggupinya, dan kau boleh menertawaiku, karena sejak sore
aku kembali menghapal bacaan Adzan, sedikit mengemasnya lebih
epik dengan model irama dari arab yang ada di kaset kompilasi milik
nenekmu.

Aku pasti cemburu. Ada yang memberikan baju bagus untukmu, ada
yang mebawakan mainan untukmu, ada pula yang hanya
bermodalkan doa dan ucapan selamat saja nanti. Yang tersebut
terakhir mungkin opsi terburuk yang ada di pikiranku. Hanya saja, aku
adalah tipikal seorang paman yang gemar menuntut lebih. Aku tidak
ingin segala sesuatu sekadarnya. Aku bukan babi, hanya sekedar
hidup. Kalaupun proposal nama yang kusodorkan pada ibumu
diterima, tetap saja aku tak puas untuk berbagi. Bahkan nama itu
bukan pemberian atas pembiaran. Itu kesanggupan, melampaui
harapan. Betapa gagahnya kata-kata...kan...Nak

Nak?

~5~
Lucu tidak? Aku tak sabar memanggilmu seperti itu, dan aku tak bisa
menunggu lebih lama lagi untuk kau menertawainya. Tendangan
terakhir yang membuat ibumu kesakitan di Tarutung saat rehat
makan dalam perjalanan, cukup mengagetkan restoran kecil itu,
pasalnya ibumu sedikit berteriak. Apa yang terjadi di rahim sana?
Adakah engkau lihat tuhan sedang mengenalkan tulisan padamu? Itu,
yang mereka sebut Lauhil Mahfuz, lalu ia mengenalkan Iqra, saat
membacakan lembar panjang takdir yang harus kau jalani, adakah
pula ia menyelipkan sesuatu disana? Semacam cinta saat nasib
engkau hadapi nanti? Jika tidak, buat perhitungan dengannya,
khalikmu. Apakah hentakan kakimu di perut kakakku itu sebagai
ekspresi ketidaksabaranmu. Tidak sabar untuk dunia ini? Dunia yang
mengesalkan ini? Hidup yang brengsek ini? Atau mungkin kau tak
sabar membuktikan kesalahan anggapanku atas hal itu?

Baiklah, aku mendeskripsikan sedikit apa yang tengah terjadi di


sekitarku, dalam perasaan juga sekelilingku. Dari kacamataku, dunia
ini sedang tidak baik-baik saja. Ada sebuah kerajaan yang mengklaim
tanah dan air jadi miliknya. Raja ini berganti setiap lima tahun sekali,
berbondong-bondong para pemburunya menyiapkan diri. Mereka
biasanya sekolah tinggi-tinggi, mengumpulkan uang dan kuasa
sebanyak mungkin, kemudian memancung kepala saingannya agar ia
yang terdepan, dan setelah itu memasung ratusan juta hasrat demi
ide di kepalanya. Aku benar-benar tak sanggup membunuhnya, jika
kau mampu, nanti bisa engkau maknai sendiri kerajaan itu.

~6~
Ada segelintir orang. Orang-orang beruntung yang memiliki alas kaki
yang terbuat dari keringat ribuan pekerja. Orang-orang dengan baju
yang disulami darah petani yang ia rampas tanahnya. Orang-orang
dengan teduhnya atap yang dipondasikan sejak nyawa menjadi
bahan baku sebuah bangunan. Engkau akan menemui orang-orang
ini. Orang superior yang memiliki 24 jam waktu kontrol di televisi,
menyebarkan keanggunan liciknya. Dengan kebaikannya, mereka
menumpuk terus pengaruhnya. Mereka tak peduli ada yang
tenggelam, ada yang hancur, berapa kepala keluarga yang mati,
mereka sama sekali tak peduli. Mereka adalah kompetitor handal, tak
mau bekerja sama, karena hanya ketinggianlah motivasi utamanya.
Silakan jika engkau tertarik menjadi bagian dari mereka.

Sementara itu ada pula orang-orang yang tak dipetakan sejarah,


hilang dari bacaan, lepas dari ingatan, raib dalam kabar, dan
terombang-ambing laksana debu. Orang yang lelah, yang selalu
gelisah, yang selalu salah, yang hanya tak ingin menyerah. Orang
yang memadukan cinta dan benci. Orang yang menggabungkan
musibah dan tawa dalam satu frame ketidakjelasan. Pada akhirnya
engkau akan memilih menjadi orang yang seperti apa, atau
menetapkan pilihan sendiri, menjadi yang lain, mungkin saja di luar
pemeberitaan yang kukutip singkat barusan. Jadi, apa yang
sebenarnya terjadi di alam rahim itu, sehingga kau begitu berontak?

10 hari lagi kata dokter pemberontakanmu akan berakhir.


Maksudnya, engkau akan keluar dari satu gerbang kehidupan,

~7~
menuju gerbang kehidupan selanjutnya, kehidupan dunia. Dalam
sepuluh hari inilah, kalau tidak meleset, aku telah mempersiapkan
sesuatu untukmu. Sesuatu yang aku buat sendiri, semampu jerih
payahku, agar bisa kau nikmati saat engkau mulai paham satu
persatu cara menikmatinya,seiring usiamu tumbuh. Masih terlalu
lama memang, tapi persiapan yang matang acapkali menggodaku
untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Ada banyak sekali
catatan-catatan yang akan aku rangkum menjelang teriakan
perdanamu nanti. Sangat banyak, sebanyak semangat dan hasratku
memediasinya.

Saat mengantarkan kakak kontrol kesehatan, pembuatan catatan


sipil, kependudukan, dan menentukan lokasi pembaringanmu, ada
banyak ibu-ibu pula yang siap melahirkan teman-temanmu. Aku
menyapa rahim-rahim itu, sehingga apa yang aku berikan nantinya,
sangat berharap dalam dadaku, agar semua anak cemburu atas
pemberianku ini. Aku rahasiakan sementara, dan kita berdua yang
tahu apa maksud semua ini. Aku kabarkan pula, saudara kandungmu
Aska sangat nakal. Akan tetapi, ia begitu mempesonaku kemarin. Ia
memiliki sebuah celengan ayam berisi rencana kurban tahun depan.
Katanya “Si Daus Mini aja mampu berkurban, masa Aska tidak”. Al-
Quran kecil yang belum bisa ia baca itu juga terselip sisihan jajannya
untuk membelikanmu mobil-mobilan. Itulah yang membutku
tersindiri habis-habisan.

~8~
Bagaimanapun juga, langit Sibolga masih kelam-kelam asoy,
sebanding dengan gelap-gelap pemadaman bergilir PLN. Apabila di
dunia ini selalu membutuhkan introduksi akan segala hal, biarlah
penggalan berhuruf ini mendedikasikan dirinya. Aku buka 10 hari
(mungkin lebih, mungkin kurang) menuju kelahiranmu ini dengan
tulisan, karena pamanmu ini hanya punya kata-kata sebagai senjata

Pula...hadiah!

~9~
18 November 2013

-1-

Aku pernah bertetangga dengan seorang penggemar Slank. Lelaki ini


bernama Paryuki. Seorang ayah bagi sepasang anaknya, Izzy dan Una.
Istrinya gemuk, tampak lebih tua raut wajahnya. Rumah kami
bersebelahan, sehingga ia bertoleransi jika aku memutar musik yang
lebih keras dari Kaka yang ia gemari. Aku percaya bahwa berkenalan
melulu urusan kebetulan. Dari sebatang rokok, seutas alamat,
sepenggal senyum, hingga sepotong lagu.Bocah adalah bukti kenapa
Abdi dan Bimbim tak perlu berbicara politik dalam karyanya. Kiranya

~ 10 ~
mereka tahu, aku dan mas Uki bertukar nama pertama kali saat lagu
itu melintas di gitarku. Ia mendekat, menanyakan pemahaman geng
potlot sebatas gemarnya Maman Ginting yang kuketahui. Apabila ini
berkisah tentang bocah, tak pelak lagi bus Leuwi Panjang yang ia
tumpangi belasan tahun lamanya sebagai epos perut dan kreasi,
terhenti. Ia ingin jadi ayah.

Ia meminang seorang wanita pekerja keras. Seorang janda beranak


dua, yang akhirnya melahirkan dua jagoannya pula. Seperti yang aku
dengar dari anak muda kampung itu, Uki merupakan tambatan
kekaguman dan kekecewaan gadis-gadis cantik sekelurahan
sekaligus. Dalam raut muka tragik, ia belum paham siapa ayah
kandungnya, dan kenapa ibunya memiliki banyak suami. Aku tak
yakin, tapi ia ingin perempuan sederhana, bukan Feodal. Ia
mendapatkannya. Dari perempuan ini, Izzy tumbuh dengan ciri
rambut semodel Rod Stewart, sementara Una tertawa riang semodel
Ade Irma Suryani yang tidak sepengecut ayahnya yang kabur dalam
senarai gerak G30 S PKI, film yang terus berulang sewaktu aku SD
dulu. Perbincangan kami ditandai dengan kisah, tentang anaknya
yang masuk sekolah, yang pintar menggambar atau menirukan
Patrick secara verbal.

Suatu ketika, mas Uki duduk tanpa embel-embel Piss di benaknya. Ia


rapatkan tubuhnya, mengeluarkan ponsel, dan memperlihatkan
sesuatu padaku. Kala itu, aku melihat rekaman kelahiran Izzy dan
Una. Aku tak tahu apakah ada peraturan khusus pengunjung saat

~ 11 ~
seorang istri melahirkan, tapi yang pasti Uki mampu melakukan
banyak hal yang tak mungkin. Gambaran yang bukan kali itu saja
kulihat, ketika kepala keluar dari liang kewanitaan, diiringi raungan
dan ekspresi yang membuatku memutih. Gambaran yang terus
kutampik mengulangnya, namun ketika perulangan terjadi, beribu
gradien dalam jiwaku membentuk garis pedihnya sendiri. Antara
pengorbanan dan harapan, kelahiran dan bocah, dua hal yang saling
menjanjikan, meskipun kita tahu ada kematian yang terus menggadai
kemungkinan di antara nya.

Uki seorang jurnalis keseharian yang mengagumkan. Begitu banyak


media yang ia kumpulkan seiring dua prajuritnya berkembang dari
tahun ke tahun. Bisa musik, puisi, rekaman, video, foto, bahkan ia
bisa menghabisi malam mengisahkan tentang anaknya secara detil
dengan presisi menakjubkan. Sebaiknya jurnalis menghamba pada
otentitas berita seperti itu. Keberpihakan pada keseharian yang
intens. Aku membayangkan ayah yang tak pernah mengenal ponsel,
video, dan semacamnya, bahkan hingga kini. Lantas, ingatan menjadi
perekam yang kokoh baginya, saat menceritakan bagaimana aku di
usia tertentu sebelumnya, dan aku merasa sedikit berbangga,
menjadi anak yang dikenang oleh orang tuanya.

Jelas, aku cemburu dengan Una dan Izzy, atau pada Bumi Biru. Orang
tua mereka mengabarkan perkembangannya meski dari jejaring
sosial semata, karena laman maya tak selamanya banal, jika
pertautanku berada dalam lingkar perkawanan terpisah ruang dan

~ 12 ~
waktu. Foto mereka misalnya, kepalan tangan yang lucu, senyum
pupus, atau bengong berisi satu gigi depan yang baru tumbuh. Jika
zaman diputar, tentu saja ayahku kini tengah mempertontonkan
diriku dalam sebuah foto atau jurnal, misalnya. Aku penasaran
bagaimana pose-pose ku saat masih kecil dulu, karena album
keluarga yang minim hanya menunjukkan potret-potret wirausaha
orang tuaku. Sebutlah itu ketidakberuntunganku yang lahir di tahun
90an. Ataukah kita berniat menjadi lupa? Ayahku pasti tertawa
mendengar ucapanku ini.

Kini, aku sedang memutar lagu “Bocah” nya Slank loh, mas Uki...

-2-

Dalam pembuangannya di Banda Neira, Hatta mengisi kesehariannya


dengan menulis dan membaca, sementara Syahrir bermain dengan
banyak anak-anak kecil. Kertas dan Buku, selayaknya bocah nan lugu,
tiga hal kenapa kita berusaha mengada di dunia ini. Keberadaan
mereka menginfluensi kita untuk menjadi. Ketiga hal itu terlalu
terlambat kusadari dalam proses kemenjadian ini. Pepatah pun
menghibur, tak ada kata terlambat untuk belajar, ujarnya.
Komitmenku untuk ketiganya akan berakhir hingga nafasku terhenti,
sebentuk penyesalan yang lain. Dalam penyesalan aku menemukan
keuletan. Kerajinan berangsur mendisiplinkan diri, sehingga sisa hari
yang terbengkalai menemui cekung sempitnya sendiri. Termangu di

~ 13 ~
pojok rak buku, gelisah di meja tulis, atau menjadi kekanak-kanakan
di antara buah hati tetangga. Menerbangkan layangan, memetik
bunga, atau sekedar memperingatkan anak-anak kecil itu untuk tidak
terus menerus menyebut kelamin saat mereka marah.

Bisa dibayangkan kegembiraan yang terjadi saat itu. Suara tenang


Hatta di sebuah kursi dengan luasnya imajinasi yang buku
bentangkan beradu dengan keributan kecil bocah berlarian sekitar
Syahrir di ruang tamu. Ada keheningan yang terinterupsi dalam
kebisingan gelak tawa mungil mereka. Diceritakan bagaimana Hatta
bisa marah pada akhirnya, ketika anak-anak itu menjatuhkan vas
bunga yang membasahi kertas-kertas pujian sang proklamator.
Syahrir tak memilih bertengkar, ia malah membawa anak-anak itu
sejauh kemarahan Hatta mereda. Di pulau pengasingan itu, Syahrir
tinggal di sebuah rumah kelas menengah dengan anak-anak di
dalamnya. Mereka bermain, belajar berhitung, menyeberangi selat,
mengunjungi pantai, dan menjahit pakaian mereka sendiri. Syahrir
disibukkan oleh anak-anak. Lebih tepatnya, dunia anak-anak.

Saat masa pembuangan berakhir, kedua tokoh itu dijemput


Helicopter. Hatta meringkus bukunya dalam sekian koper besar,
sementara Syahrir menggamit 3 anak angkatnya. Sang pilot berkata
bahwa muatan tidak akan cukup. Berat menimbang, kebijaksanaan
Hatta hadir. Ia merelakan semua buku-buku itu tertinggal, kecuali
satu buku yang terselip di koper pakaiannya, dan konon berpuluh
tahun kemudian Hatta menyesali kehilangan itu. Aku tak paham,

~ 14 ~
apakah ada korelasi kemarahan Hatta pada anak-anak itu sewaktu
memecahkan Vas bunga dengan keinginan impas dalam sudut
moralitas. Yang pasti, penerbangan dari Banda Neira itu berisi tawa
riang anak-anak kecil.

Anak-anak.

-3-

Aku mendengar cerita ini dari tanteku. Tetangga kami, seorang


pelacur gretongan sempat hamil setahun lalu. Kabarnya, ia menjalani
profesi itu entah dengan alasan apa, mengingat keluarga besarnya
tidaklah bermasalah perekonomiannya. Ia juga cantik dan jadi pujaan
pria-pria di sini. Akan tetapi, selalu pergaulan yang dijadikan alasan
atas kesalahannya. Untuk kasus pelacur, aku tak mau berkomentar
selain alasan ekonomi semata. Bagiku mungkin lebih tepat
mengatakannya sebagai petualangan, ketimbang kesalahan.
Pembenaranku itu berpijak pada kabar berhasilnya ia melahirkan
seorang anak laki-laki. Mungkin ia tak menggunakan kontrasepsi dan
pencegah kehamilan lainnya. Aku kurang paham penjelasan saintifik
mengenai ini, karena setelah proses melahirkan di rumah sakit
tersebut, anaknya meninggal dunia..

Hanya si pelacur dan ibunya yang tahu mengenai ini. Mereka


menutupinya dan memilih menguburkan anak itu di belakang
rumahnya. Rumah yang masih bersentuhan dengan bukit landai, dan

~ 15 ~
beberapa keluarga juga tinggal di sana. Berminggu-minggu kemudian
tersiar kabar, dan terdengar berita, penemuan tengkorak bayi
bersama komplotan polisi yang juga ikut meninjau. Warga
melaporkan kejadian itu, namun tak terdeteksi aroma kejahatan,
sehingga berbulan-bulan kemudian, barulah warga tahu bahwa anak
itu memang meninggal dunia dan si pelacur adalah ibu kandung
sekaligus pelaku penguburan jenazahnya. Warga protes lantaran bayi
itu diperlakukan seperti kucing, karena tradisi di kota ini
mengutamakan makam yang lebih wajar sebagai etika
memperlakukan orang yang baru meninggal.

Kabar pentingnya, justru perubahan total dari si pelacur. Ia


menyudahi karir singkatnya sebagai penjaja tempek di tengah
malam. Ia menjadi wanita baik-baik, begitu kiranya sebutan yang
tante kedepankan dalam suguhan kisah ini. Penyesalan terbesarnya
yang telah menjadikan bayi itu meninggal, karena bagi si pelacur hal
itu bukan urusan ajal. Itu berdasar pada perbuatannya. Si pelacur
mengutuki dirinya. Ilustrasinya adalah sebuah wadah, di isi dengan
kopi, susu, es cendol, sirup, lemon, bir, dan lain-lain. Wadah tak lain
adalah rahim. Jika larutan di wadah itu di minum, maka rahimnya pun
telah berlaku sama. Ada petaka, itulah yang ia sesalkan sampai detik
ini. Tanteku tergugah atas kisah itu.

~ 16 ~
20 November 2013

Ini catatan ketiga. Kemarin aku berbincang dengan ibumu. Kata


beliau, suaminya sering bermain perempuan. Ia tak cemburu,
lantaran kehadiranmu nanti menambah kekuatan dalam dirinya.
Menurutnya lelaki itu sama saja, karena kakekmu juga pergi
meninggalkan ibumu untuk mengejar perempuan lain. Kami
berdiskusi, bahwa kami melihat, kecenderungan seorang istri lebih
memihak pada anak yang satu persatu lahir. Artinya kedekatan intens
seorang ibu pada anaknya lebih terasa karena tak jarang anak akan
lebih patuh pada ibunya ketimbang sang ayah. Kami tidak sedang
melakukan generalisasi keadaan, karena ini tetap berupa
kecenderungan.

~ 17 ~
Lihat, bagaimana Malin Kundang dikutuk oleh seorang ibu menjadi
batu. Mitos ini mengindikasikan sikap hormat pada seorang ibu,
karena apabila kita membangkang, akan terjadi musibah yang pedih.
Dalam konsep taoisme, alam semesta adalah ibu, dan semua isinya
merupakan anak-anaknya. Alam akan marah saat terjadi bencana,
seperti Tsunami, banjir, longsor, atau gempa bumi. Kenyataan itu bisa
dimaknai bagaimana agar para penduduk bumi menjaga
keharmonisan dengan ibunya. Di sisi lain, tuhan bahkan
dipersonifikasikan oleh beberapa kalangan sufi dalam citra
perempuan. Aku tahu, tak pernah ada sebutan ibu untuk lelaki.

Akan tetapi, ayah memiliki coraknya sendiri. Ayahku, tidaklah


seberingas kakekmu, maksudnya ayahku belum beristri dua sampai
detik ini. Ayahku belum pernah ceritanya lari untuk mengejar seorang
perempuan lantas meninggalkan keluarga yang sudah menjadi
tanggung jawabnya. Sehingga, aku berkata demikian, agar engkau
tumbuh nanti, mampu membaca implementasi yang ibu dan ayahmu
berikan. Kita beruntung, sebutlah begitu, dibesarkan oleh sepasang
suami istri. Banyak anak di perempatan Petisah yang hanya dirawat
oles salah satunya, sebagaimana banyak pula yang tak dibesarkan
keduanya. Yatim Piatu, ditinggal dan dibuang, kasus lama yang akan
kau temukan nantinya. Semua itu nyata, ada di sekitar kota di mana
engkau tumbuh nantinya.

Sampai detik ini, aku berusaha memberikan sebuah pemahaman


yang tampaknya bisa dipikirkan oleh kedua orang tuamu, kelak

~ 18 ~
usiamu mencapai baligh nanti. Berkisar 18 tahun, ada kepercayaan di
India, seorang anak sudah seharusnya dibiarkan memilih jalannya
sendiri, tak lagi terkungkung di balik ketek kedua orang tuanya. Si
anak mengalami fase pembebasan dirinya, melalui pilihannya
personal. Rentang usia itulah yang begitu kaku di keluarga besar kita,
dan nasib seorang yang menentangnya akan berakhir seperti kisah
hidupku yang nantinya akan kau ketahui sendiri. Kurasa hanya
beberapa dari anggota keluarga kita yang menolak dipreteli seusia
remaja seperti itu, dan biasanya mereka akan berjalan sendiri,
terlunta-lunta dengan kepercayaannya.

Aku hanya berharap agar engkau siap menghadapinya, terlebih


waktu begitu cepat berjalan. Aku saja tak menyadari usiaku sudah
setua ini, karena kupikir baru hari kemarin aku memenangkan lomba
balap karung di perayaan kelurahan menyambut 17 Agustus.
Memang, kuakui, mengutip catatan seperti ini agak jauh dari
perkiraanku sebelumnya, tapi aku sudah berjanji untuk mencatatkan
sesuatu menjelang kelahiranmu. Begitulah kegelisahan yang banyak
membludak di pikiranku sehari ini. Tentang ayah, tentang ibu,
tentang keduanya, sekalian juga tentang dinamika rumah tangga
yang mereka gagas.

Hatiku baru saja hancur berkeping-keping, karena kabar yang


kudengar dari Andre menyatakan bahwa Zarathustra yang Nietzsche
tulis adalah plagiasi catatan harian seorang pengelana laut yang
anonim. Bukan, bukan maksudku meragukan atau mengurangi rasa

~ 19 ~
hormat bagi Nietzsche, yang mana dari tokoh nihils dalam karyanya-
lah namamu kupersembahkan, melainkan aku mulai meragukan
segala hal. Termasuk diriku sendiri. Belakangan, yang aku pahami dari
gelagat Nietzsche adalah terinspirasinya ia dari Max Stirner, seorang
anarkis individualis yang menulis banyak hal tentang Ego dan
kepemilikannya. Artinya, konsep filsafat yang dibentangkan
Nietzsche, yang dengan gegabah kuproklamirkan dalam banyak
gagasanku, adalah perombakan diri personal ke titik paling jauh,
sehingga deklarasi perjuangan, bermuara pada keseharian, ke hal
yang paling dekat, intim dan rekat dengan diri kita.

Tetapi kabar itu tidak lantas membuatku galau, malahan ada energi
tak terbatas yang muncul seketika bahwa setidaknya, jika aku masih
memiliki harapan, aku menyampaikan gagasan sederhanaku dengan
ditandai kehadiranmu di dunia ini. Kelak ketika engkau bisa membaca
dan memahami ini, dan kalau beruntung masih dipertemukan
denganku, aku akan menjelaskan kenapa privatisasi kemenjadian
harus berangkat dari hati kecilmu. Lihatlah, aku adalah contoh
konstruksi dari keluarga, hirarki masyarakat, dan doktrin bangsa,
tumbuh dengan langkah tertatih yang tak tahu dimana pijakannya.
Sejak kecil, bahkan seumur kakakmu Aska, aku mulai merasakan
indikasi serupa mengenai keterbatasanku menggapai sesuatu dalam
diriku. Maksudnya, ada ruang yang terbentang antara gelisahku
dengan kenyataan yang tak sesuai harapanku.

~ 20 ~
Di titik ini, aku menghimbau padamu bahwa langkah awalku adalah
mendefinisikan diri. Menyatakan hasrat lewat seberapa jauh aku
mengenal kemampuanku. Yang tampak kemudian adalah bagaimana
aku tahu siapa diriku. Aku mulai akrab berkenalan dengan sifat-
sifatku. Aku yang pemalas, sekaligus aku yang penuh gairah. Aku yang
asal-asalan sekaligus diriku yang punya etos kerja. Aku yang mampu
dalam sedikit hal juga diriku yang mudah merasa bosan. Aku yang
takut, sebagaimana aku yang punya banyak mimpi. Dengan begitu,
ada keberlanjutan yang kunikahkan bersama pengalamanku,
sehingga mengartikan kemampuan diri tidak terelakkan lagi. Kita
perlu merevaluasi makna sebanyak-banyaknya. Karena yang pasti
terjadi denganmu adalah, kau akan masuk islam, kau akan sekolah,
kau akan dihadapkan pada tradisi keluarga, kau akan menopang
moral masyarakat, kau akan dikenalkan dengan norma-norma
Indonesia, proses kebangsaan yang ditanamkan disetiap hormatmu
pada bendera, dan tentunya kau akan terpesona dengan tentara. Aku
meyakini itu, karena hampir sebagian besar kecenderungan anak
kecil yang kutemui di kota baik dari keluarga kita ataupun orang lain,
adalah wajah-wajah bocah yang didomplengi dengan etika tanpa
jawaban seperti itu.

Engkau akan dipakaikan pakaian apa, semudah itulah memahaminya.


Dan pada saatnya engkau membaca ini, karena aku curiga ibumu
berpotensi membakar catatanku ini untukmu, atau semoga di tangan
ayahmu catatan ini aman disimpan, engkau akan belajar mengerti
apa maksudku. Akan ada masa bagi setiap orang mengalami proses

~ 21 ~
kesadaran bagi dirinya sendiri. Dengan satu tanda tanya
besar Kenapa. Kata ‘Kenapa’ yang akan diiringi jutaan pertanyaan
yang engkau ciptakan sendiri, namun tak masalah, ketika pertanyaan
yang membuatmu kecewa dan gelisah itu akan membimbingmu
menemukan jawabannya sendiri, sesuai dengan kapasitasmu dalam
memahaminya.

Ketika nanti engkau mulai mendefinisikan diri, yang aku temui saat ini
adalah aku tak lagi bisa mengklarifikasikan mana itu kebenaran. Ia
telah menjelma menjadi misteri, oleh karenanya, aku merasa semua
pilihan dalam hidup manusia, semisal agama, memiliki jalannya
masing-masing. Aku bisa menghargai banyak agama bahkan
kepercayaan kuno lainnya. Sekuler? Apalah itu. Yang pasti Kristen
juga sunyi, islam juga, Hindu, Buddha, Ateisme, dan sebagainya,
dimana selanjutnya jenis-jenis pilihan itu akan membimbing siapapun
menemukan muaranya. Aku tak habis pikir saja dengan kebenaran
yang dipaksakan beberapa orang, ketimbang meladeni mereka,
bukankah lebih baik kita lari dan menggiatkan diri dalam pencapaian
revaluasi makna-makna tadi?

Hargailah dirimu sebagaimana perjuanganmu dimulai. Di saat engkau


mulai belajar bicara nanti, terbayang olehku bibir mungilmu mulai
membicarakan bintang, langkah kaki, tangan remah, tetangga yang
baik, mobil-mobilan, becak, seragam tentara, kitab suci, hidangan
makan, butir beras, hingga benda-benda yang mulai kau kenal.
Melangkahlah dengan kaki lemahmu, menjangkau keterbatasanmu.

~ 22 ~
Cari kehilangan disekitarmu, entah itu celana dalammu, popokmu,
atau mainan yang kau rangkai sendiri. Berbicaralah yang tegas,
tanyakan segala hal pada ibu ayahmu, selagi mereka mampu, petik
pengalaman masa muda mereka dan jadikan bahan acuan
keberlanjutan usiamu. Agaknya, sesi ketiga catatan ini cukup
memuakkan, aku pribadi merasa begitu. Aku terkesan sebagai
seorang yang terus mengguruimu. Tapi percayalah, betapa tak
sabarnya aku menceritakan rangkaian proses pencarian kebenaran
yang kualami selama ini, juga kisah-kisah kawan, guru yang terus
menggodaku untuk memberitahukannya pada anak sepertimu.

Saat mengerti kemampuan itulah engkau akan paham siapa kawan


dan musuhmu. Keduanya saling mengingatkanmu, untuk lebih
bergairah menapaki arena hidup. Terlalu panjang tampaknya aku
ngotot menulisi ini untukmu, ada rasa kecewa juga senantiasa
hinggap dalam hatiku. Biarlah, ketikan terus berjalan, dan jariku
mengenal kata lelah juga untuk berhenti. Maka, untuk proses
pencarianmu nanti, kuucapkan selamat datang. Dunia ini indah,
seiring dengan ketakjuban yang kau rasakan saat bisa membaca
maksudnya. Harusnya kau betah dengan dunia, karena disinilah
semua hal terjadi, dan naif membicarakan hari akhir jika tak berani
bergiat di dunia. Perintah agama yang nanti akan kau temui, kok.

Aku bertengkar hebat dengan ibuku tadi. Seperti yang aku


provokasikan padamu di paragraf sebelumnya, bahwa aku mulai
menyadari kenapa aku sebaiknya diam jikalau masalah agama

~ 23 ~
dipertentangkan dalam pembicaraan. Awalnya ibuku (nenekmu)
tidak setuju dengan anggapanku bahwa tiada tuhan selain
Allah, menjadi sikap penegasian sesungguhnya pada segala yang
memiliki kemampuan memerintahmu. Ia mengatakan bahwa aku
terlalu terpengaruh dengan ide-ide di barat sana. Kami bertengkar
hebat, ia merasa tuhannya telah kuhina, dengan lanjut kukatakan,
bahwa sebaiknya ucapan tauhid lebih baik bernada tiada kehendak
selain Allah. Ia marah, dan aku merasa bersalah meladeninya. Aku
jadi teringat dengan kelakuan Abu Bakar saat mempelajari ilmu diam
dengan menempelkan kerikil di mulutnya sepanjang hari. Harusnya
aku mencontoh apa yang Abu Bakar lakukan, karena itulah bahaya
tanggapan yang berujung sifat sentimentil dan emosional.

Ku katakan pada ibuku, bahwa aku dibesarkan oleh anarkisme. Aku


tumbuh dengan gagasan itu, dimana aku mulai paham membedah
dunia dengan ide di dalamnya. Aku memiliki ide itu, sehingga tak
perlu kuabaikan, bahwa memang benar, pemahamanku akan Tauhid
dalam islam jelas bertumpu pada anarkisme yang tak bisa kuelakkan.
Kalimat Tauhid adalah gagasan sempurna pernyataan holistik seorang
anarkis. Anarkis menolak segala bentuk hirarki, kasta, kedudukan,
dan posisi di dalamnya. Islam membenarkan hal tersebut dengan
Tauhid, bahwa Allah yang tak bisa ditolak, sisanya, manifestasi dari
Illah yang lain seperti negara, institusi, tuan, raja, dan siapapun yang
memiliki kuasa adalah wajib untuk membangkanginya. Bukan sebagai
sikap verbal saja, namun penegasian itu menjadi sugesti bahwa
seorang individu mampu tanpa mereka semua. Ada semangat

~ 24 ~
kemandirian dalam kalimat tauhid. Mungkin aku dan ibuku salah
paham saja.

Maka, ada tips untukmu jika ibumu mulai marah dan menyanggah
keyakinanmu nanti, bahwa jangan engkau ladeni repetannya dengan
ikut merepet juga, tapi dekati dia, dan rangkul bahunya, maka
kemarahannya akan luntur. Coba nanti ya!. Tunggu, apakah di rahim
sana dingin atau panas? Nanti kasih tahu aku ya, Nak!

(Aku tutup sampai disini sementara curhat tak berujung ini.)

~ 25 ~
21 November 2013

Sepagi ini Alif sudah datang menjengukku yang masih terkapar di


belantara zine yang belum selesai dicetak. Ia tertawa,
membangunkanku yang hampir saja menelan asbak sebesar kepal
tinju. Aku tertawa pula, dalam setengah sadar, kuelus kepala
kecilnya, sebelum orang tuaku menawarkannya coklat, dan lalu
beralih langkah menekuni adikku memanaskan kendaraannya
sebelum berangkat kerja. Kesibukannya bercabang dua, niat awal
yang ingin mengajakku jalan pagi, seperti janji kemarin, lantas kandas
dengan odong-odong pereda tangis, adikku mengelilingkannya
seputaran kompleks, agar ia tak menggerutu. Barulah, saat semua
kelelahannya terbaca, dengan ringkuk tubuh letih, setiap orang di
rumah ini bergegas menuju tujuannya masing-masing. Aku tetap saja
terkapar, sekarat dalam mimpiku yang indah.

~ 26 ~
Sekecil itu, bagi semua anak kecil yang entah kenapa rajin
mengunjungiku di rumah ini, provokasi terbesarku adalah belajar
menulis dan membaca. Hal ini berdasar pada kekecewaanku
personal. Masa kecilku adalah saat dimana aku benar-benar menjadi
manusia seutuhnya. Manusia yang tak peduli citraan TV, tak menaruh
perhatian pada idola, tak diperbudak gagasan, tak dianiyaya
kemenjadian, pula tak diringkas kehendak sosial. Aku bebas, sebebas
kebebasan yang banyak penyair utarakan. Tanpa melebih-lebihkan,
rekoleksi ingatanku atas masa lalu selalu saja terpenggal oleh lupa.
Kemampuan mengingatku turun ketika nostalgia terhampar.
Kebanggaanku hilang saat fragmen dari potongan kisah di masa itu
sulit terdistorsi silabus ingatanku. Oleh karenanya, setiap anak kecil
haruslah menjadi pembaca yang baik sekaligus pencatat penuh
hasrat. Sisanya, menjadi dokter, pramugari, pilot, dan presiden,
hanyalah kehampaan yang dipaksakan atas kemampuan seorang
anak.

Hanya satu dari jutaan anak yang beruntung menjadi penguasa


negeri ini, akan tetapi semua anak mampu menjadi jurnalis bagi diri
dan sejarahnya sendiri.

Tampaknya program revolusionerku berurusan dengan itu. Jika


kasusnya aku, tentulah penyesalan ini mengutuki keinginan naas-ku
menjadi pilot dulu. Aku sibuk menerbangkan pesawat kertas
ketimbang menulisi kertas. Aku hanya curiga, pekerjaan seperti
penyair di negeri ini sangat sedikit pengharagaannya, mungkin saja

~ 27 ~
semua itu karena berpotensi dapat dilakukan setiap orang. Aku
menolak menjadi pahlawan, memperjuangkan tumpah darah bangsa
ini, karena sedikit orang yang bisa menerka darimana darah mengalir
untuk meraih kesucian. Indonesia tak lebih menjadi mitos saja bagiku
kini, setelah, dengan beberapa petualangan panjang, aku mendapati
manusia-manusia di tepi jalan yang hidupnya jauh lebih digdaya
ketimbang buku-buku sejarah yang pernah mencatatkan ceritanya
untukku. Lebih dari itu, aku hendak menilik, bahwasanya, luput dari
pandang generasiku yang tumbuh, seperti kami disini, kawan-
kawanku, adalah kecakapan dalam menulis dan ketergugahan untuk
membaca.

Untuk mendapatkan roti kering manis kesukaannya, Alif harus


merangkai 3 sampai 10 huruf di hadapanku. Ia bisa saja protes,
pemaksaanku akan spekulasi itu, pada akhirnya nanti akan ia ketahui.
Betapa, masa yang tengah ia jalani, adalah kondisi produktif yang
dibarengi kejujuran melatih diri. Proses individuasi sempurna yang
kusesali tak bisa kumanifestasikan dengan sungguh-sungguh. Meski
demikian, tidaklah salah bagiku, menggantikan hasrat otomotif
seorang bocah pada seragam, senjata, dan otot-otot artifisial seorang
tentara, dengan kesenduan, kerendahhatian, dan liarnya insting
seorang penulis, penyair, apapun istilahnya bagi mereka yang
bersenjatakan pena dan mesin tik. Apa yang membuatku tergugah
adalah ketika ayahmu bersiap dengan pola yang kuutarakan ini,
karena dibalik kegelisahan kami tentang perjalanan yang telah kami
lalui, kami sepakat, engkau harus membaca dan rajin menulis.

~ 28 ~
Jika moyangmu Rahman dibatasi sebagai generasi pertama. Aku
adalah generasi ketiga, dan engkau generasi keempat. Tak sampai
hitungan jari, para cucunya yang giat dengan baca tulis, dan aku
contoh terburuknya. Tante, om, bibi, paman, sepupu, tulang, oppung,
bou, dan sebutan yang nanti akan mulai kau hapalkan sibuk dengan
berbagai hal, mungkin saja ini pledoi seorang yang sudah dipengaruhi
habis-habisan sedertan karya Aldous Huxley. Seperti sang penyair,
berkata suatu waktu, bahwa setiap ingatan seseorang merupakan
literasi personal yang menakjubkan. Penyair sekaliber Huxley
membangun optimisme luar biasa bagi kita yang lahir setelahnya,
dengan kata lain, tulislah sengkarut apapun dari memorimu,
ingatanmu. Masa kecil, pertumbuhanmu nanti adalah buah matang
yang harus kau petik dan kau gurati dengan puitiknya kata-kata. Aku
yakin, ayahmu sudah mendukung, berbeda dengan kakekmu dulu
yang mengharapkan aku menjadi seorang angkatan darat, yang
dengan terpaksa kukatakan kini adalah anugerah yang kulecehi.
Dunia tak perlu tentara, ingat itu.

Kemarin malam ibumu datang. Ia mengabarkan tentang dirimu


yang brojol tanggal 29 ini, berbeda dengan prediksi dokter di Medan
yang mengatakan 28 November. Kami sepakat untuk mengambil
langkah syukur, bahwa selamatnya engkau terlahir ke atas bumi ini,
sudah sangat cukup bagi kami. Kakakmu Aska lebih memilih konsol-
konsol di rumah ini ketimbang Ultramen bergambar yang
kuhadiahkan. Aku tidak berkecil hati, mengingat buku itu seharga
7000 perak saja. Tampaknya ia mencintai Farm Frenzy ketimbang

~ 29 ~
Animal Farm. Aku tak berputus asa, mungkin besok, mungkin
intensitas hubungan kami yang akan membawanya pada sebuah
dunia, dimana jendelanya dapat membawamu kemana saja. Dunia
membaca.

Dengan buku, engkau bisa menjangkau mutiara di dasar lautan,


engkau bisa menerjemahkan tangisan dari kelopak mata, engkau pula
yang bisa menarik bintang di langit, menerawang ke samudera lepas,
dan memeluk tuhan. Dengan tulisan engkau bisa mencurahkannya,
ekspresi kebebasan merangkai kalimat, untuk mengutarakan pikiran
dan gagasanmu. Dua hal yang sudah sejak awal ini kucoba untuk
memberitakan keindahannya padamu, sebelum Play Station,
Blackberry, atau Gundam-Gundam mempengaruhimu. Dalam teori
sosial Guy Debord, tidak pelak lagi, dunia ini sudah berisi dengan
tampilan semata, engkau adalah replika imaji-imaji, yang bisa berarti,
untuk menjadi Superman, kau cukup mengenakan celana dengan
kolor di luarnya, selayaknya engkau berpakaian gamis lengkap untuk
disebut muslimah. Itulah Spectacle, sehingga menjadi Che Guevara,
cukup dengan membeli mug nya di Mall. Aku akan mengkonter-
rekuperasi semua itu, karena di bawah kapitalisme, doktrin
berperang dengan doktrin.

Kapitalisme terdoktrin lewat perawat kulit yang engkau pakai, popok


mahal yang kau kenakan, susu Chilmil yang sehat ketimbang empeng
payudara ibumu, dan tugasku pula ayahmulah untuk mengatakan
sebaliknya. Engkau adalah kemanusiaan yang dikenakan pakaian

~ 30 ~
palsu, diasuh sepenuhnya secara periodikal oleh tren yang
berkembang. Aku bukan bermaksud menolak komoditas, karena aku
tak mau membayar untuk itu. Engkau tahu, sekaleng Morinaga sudah
seharga jajanku seminggu, hampir seratus limapuluh ribu. Oleh
karenanya, dengan belajar memahami perlahan, hal yang ayah ibumu
sepakati bersamaku, untuk mengantisipasi dunia, kami memulainya
dari Iqra. Dengan membaca, memberitahukan bagaimana alam raya
bernyanyi, agama seharusnya memediasi pembebasan bukan
sekedar hukum dan aturan dangkal, fikih yang jorok, juga meretas
ilmu bagaimana tertawa dan gelisah. Pada akhirnya engkau harus
menulis, fardu ain. Itulah doktrin yang dapat melawan doktrin
kapitalisme.

Indoktrinasi seperti ini tentulah bergantung pada kemauanmu


sendiri. Karena hanya dibutuhkan 4 tombol pada stick PS terbaru,
sementara dibutuhkan ketidakterbatasan tombol memecah satu
paragraf dalam Al-Quran. Itulah doktrin kami, diantara doktrin lain
yang menyusul, yang sampai pada pemberontakan pertamamu,
mulai menyanggah, membantah, bahkan pergi dari rumah untuk
mengikuti suara tinggi hati nuranimu, barulah kami membiarkanmu.
Bukan karena engkau seperti apa, akan tetapi engkau telah merdeka,
setidaknya di tangga pertama. Tak banyak yang kami harapkan, maka
sedari sekarang aku tuliskan untukmu agar mulai mencintai buku dan
tulisan, dibalik kecintaanmu pada perjalanan, petualangan, dan
cantiknya perempuan.

~ 31 ~
Aku teringat Vladimir Nabokov yang berkata tentang cinta, mengenai
ingatan masa lalu, yang di dalamnya terdapat keterasingan dan
kekuatan bercampur. Seperti Smith yang menulis dibuku hariannya
pada kisah 1984, tentang sosok fenomenal Thoughtcriminal, yang
mengatakan barang siapa yang dapat mengontrol masa lalu, ia akan
menguasai masa depan. Itu berada dalam taraf individu, karena aku
tidak berbicara atas nama kerakyatan, teramat jauh. Jadi kendalikan
sepenuhnya masa dalam hidupmu, masa kecilmu yang aku amini
sebagai ruang terbebas yang pernah didekam setiap manusia yang
tumbuh. Aku pun mengakui keterbatasanku mengenang, sehingga
dari sekian banyak hal yang aku tuliskan, semua berdasar pada
penerjemahanku akan arti pengalaman juga pengamalan. Pepatah
yang mengatakan, guru yang paling baik adalah pengalaman, maka
aku mengatakan guru sejati adalah pengalaman personal.
Pengalaman orang lain ada di buku, ada di tulisan yang terbaca, dan
itu adalah guru influensial. Intinya, pengalaman menjadi titik
berangkat bagimu mencintai buku dan tulisan.

Sudah ada puluhan judul yang aku cetak bersama Nona C untukmu.
Ada koleksi ayat Tao, ada Animal Farm-nya George Orwell, ada ulasan
Heiddeger, ada sepenggal kisah dari koleksi hadist nabi yang begitu
radikal implementasinya, ada aneka zine, ada kumpulan surat Emma
Goldman, ada novel Ateis juga roman erotik Motinggo Busye, ada
tesis-tesis Bakunin, sepotong ulasan Das Kapital Marx, dan judul-judul
lain yang terlalu banyak memadati rak yang kini menjadi sumber
repetan nenekmu kalau masuk ke ruangan ini. Semuanya sudah

~ 32 ~
kuhimpun dalam sebuah dus sempurna, bertuliskan namamu, yang
baru bisa kau buka kelak. Memang covernya tak sebagus buku-buku
di toko, akan tetapi cukup kokoh jika kau bawa berpergian atau
diselipkan di tas. Secara estetik memang kurang enak dipandang,
akan tetapi secara fungsional sudah cukuplah aku pikir.

Apalagi yang bisa kuberikan selain harapan, dan kita lihat bagaimana
seorang anak sepertimu tumbuh di antara anak lain nantinya. Jika
hasilnya sama saja, aku sudah siap melancarkan peperangan untuk
harapan. Aku merasa menjadi seorang yang ditumbuhkan oleh
harapan, sehingga karena hal itu baik, dan kebaikan biasanya
menular, tidak ada salahnya kupraktekkan sama untukmu. Bilamana
nanti mentari mulai tidak ramah bersinar, gemintang enggan
menghiasi malam, kelakuan penulis di negeri ini tak membawamu
kemana-mana, para penyanyi yang hanya membuatmu tertawa, aku
sudah mempersiapkan nyanyian dan tulisan yang bisa menampar
alam bawah sadarmu, ada di gudang belakang, sudah kutitipkan pada
ibumu, sebuah kardus berlakban coklat berisi kumpulan-kumpulan
seperti buku dan tulisan yang tertera tegas

PANDORA UNTUK

“ZARATHUSTRA”

~ 33 ~
22 November 2013

Aku punya sebuah kisah untukmu. Seperti dongeng kebanyakan. Bisa


dibaca sebelum tidur atau direnungkan saat buang air besar di WC.
Jika kisah ini tidak menarik, salahkan saja aku. Itu lebih dari cukup.
Mari kita mulai

***

~ 34 ~
Tesebutlah sebuah dunia dengan matahari yang cerah dan langit
berkilauan mengemas angkasa. Amboi! Suhu pagi harinya selembut
uapan embun. Di tanahnya yang subur, berdiri aneka gedung, pusat
keramaian, etalase belanja, monumen, juga penjara yang lucu-lucu.
Hidup beragam jenis manusia dengan pilihan agama, kebudayaan,
suku, dalam semangat perbedaan yang harmonis. Di sebuah titik dari
runutan cakrawala yang berpendar, berdirilah sebuah gubuk kokoh
bersahaja. Di ruas kota, dengan plang nama Jalan Pari, jenis surat
mengalamatkan diri. Di sana, tinggal sebuah keluarga berisi ayah, ibu,
lelaki usia 3 tahun, dan seorang bayi yang akan lahir segera. Mereka
adalah salah satu dari ribuan keluarga yang tengah menghadapi hal
serupa, dibalik tantangan zaman saat itu. Bayi yang penuh harapan
ini dirawat oleh ibunya, sepenuh kasih semesta pada alam raya.

Sebelum dilahirkan, bayi ini disuguhi asa. Diharapkan kakinya berdiri


setegar akar pohon Eukaliptus. Suaranya merdu seriang desir ranting
lembutnya Pinus. Tangannya remah penuh hasrat berbagi layaknya
dedaunan, dari tegaknya kepala seranum gemuknya bebuahan.
Tetapi sang ibu tak kuasa akan mekanisme dunia berjalan, sehingga,
sesaat ia melahirkan, bayi ini pun dirawat sepenuh hati untuk
dipersiapkan menggapai cita-citanya kelak. Semua sudah terjadi, tak
ada yang perlu disesali, karena tanggung jawab punya arahnya
sendiri. Ibunya berdoa saban malam, menjaga kandungannya tetap
sehat, diberi nutrisi yang baik, disuplai energi yang juga rutin. Pada
akhirnya, bayi ini lahir ke dunia. Teriakan pertamanya melegakan
sang ibu, seperti ada bahasa yang hanya mereka berdua

~ 35 ~
memahaminya, bahwa anak ini siap melewati takdirnya, sampai mati
menjemput. Kini bahtera keluarga itu, berisi 4 awak kapal, sepasang
orang tua dan dua anak laki-laki. Mereka merasa bahagia.

Sang ayah adalah seorang pegawai kantor yang lumayan gajinya. Ia


bangun pagi hari pukul 6 pagi. Segera mungkin ia mandi, berwudlu,
kemudian shalat subuh. Istrinya tentu bangun lebih pagi, menyiapkan
sarapan, menyetrika pakaian sekolah anak pertamanya, juga
menghindangkan kopi panas di sebelah koran dan sepiring roti
panggang untuk suaminya santap sebelum berangkat bekerja.
Sehabis beribadah, ia harus rapih berpakaian, karena kalau tidak bos-
nya akan marah. Istrinya merapihkan dasi-nya, mengecek kemejanya,
pula menyemirkan sepatunya, agar tampil baik dihadapan pegawai
lain di kantornya. Itu merupakan prestise seorang istri dalam
melayani pasangannya, sesuai perintah agama yang diyakininya.
Rupanya kesetian istrinya tersebut membuat si suami betah untuk
tidak mendua, meski uang di kantongnya cukup sekedar melepaskan
birahi di pojok kumuh kota itu

Si sulung bangun beberapa menit setelah ayahnya. Bergantian kamar


mandi, anak ini pun bersiap berangkat ke sekolah. Ibunya akan
mengecek PR nya, buku bacaan, serta LKS yang bagian mana yang
belum ia kerjakan. Ditemani TV, mereka terpana melihat iklan mobil
mewah yang mengisyaratkan sebentuk keluarga harmonis. Sontak si
anak menyindir ayahnya, barangkali sepeda motor warisan kakeknya
dapat digantikan dengan seri Avanza terbaru. Ayahnya tersenyum,

~ 36 ~
satu permintaan sudah ia catatkan dibenaknya, karena setua ini ia
sudah berjanji untuk mendedikasikan sisa hidupnya untuk anak istri
semata. Sang istri juga mencolek sesekali pria berdasi itu, yang
belakangan menolak di sebut buruh, karena reputasinya sebagai
sarjana konstruksi bangunan, juga bergiat di bidang administrasi di
ruangan seukuran yang lebih kecil dari sel seorang Narapidana. Tiba-
tiba berita di TV-One menyiarkan tentang mogok nasional, diikuti
pertanyaan anaknya tentang hal itu, kenapa bisa terjadi?

Dengan terbata dan tak tahu menahu, ayahnya menjelaskan bahwa


mereka menuntut. Sang ayah juga bingung ketika si sulung
menyanggah pernyataan itu secepat kilat, mengapa dihubungkan
dengan kemacetan lalu lintas. Belum lagi, si ayah bingung ketika
anaknya bertanya pengertian buruh, pengertian pemodal, dan apa
itu pabrik. Sebelum ia pusing, karena pekerjaan kantor atas proyek
baru perusahaan tempat ia bekerja yang akan meratakan sebuah
lahan pedagang kaki lima dalam rangka membangun cabang terbaru
produk mereka, si ayah pun bergegas pamit. Ia tak lupa mencium
kening istrinya, berharap pertanyaan usil dan polos si sulung dapat
mereda. Tapi, ada yang lain dari salam tangan si sulung pagi itu. Ada
ketidakikhlasan, semacam kekesalan karena pertanyaannya tak
terjawab, akan tetapi anak itu luluh, ketika sang ayah menjanjikan
Play Station terbaru dibeli minggu ini. Sang anak takluk dihadapan
konsol game semacam itu.

~ 37 ~
Rupanya ibunya memiliki sedikit pengetahuan bagaimana dunia ini
berjalan. Mundur kebelakang, ternyata sang istri sempat menggeluti
buku bacaan seabrek sebelum kegiatan itu berakhir saat ia menyadari
bahwa tak seorang lelakipun yang akan mendekat pada geek
berkacamata, suka merenung, dan rajin ke perpustakaan. Sewaktu
jomblo itulah, ibunya mulai merubah cara hidupnya. Ia pun menjual
semua bukunya, untuk mempreteli penampilannya. Dengan
perawatan kulit, potong kuku, program diet, pengempesan perut,
belanja pakaian dan kosemetik, dan mulai merubah tongkrongan dari
rak buku menuju tenda-tenda peleburan urban. Sebutlah diskotik,
mall, rumah makan, cafetaria, atau lounge musik. Hingga akhirnya
bertemu lelaki pujaan yang kini menjadi suaminya. Akibat kebosanan
yang melanda urusan rumah tangga, ia baru kembali menggeluti
ulang bacaan, itupun sejak 10 tahun lamanya, saat si sulung
memasuki jenjang SD.

Sambil mengantarkannya ke sekolah dasar yang tak jauh dari


bilangan kompleks, satu-satu pertanyaan anak itu ia jawab. Ibunya
berharap anaknya tak lagi kesal pada ayahnya yang sibuk seperti
kejadian pagi itu. Maka ia pun berkisah, bahwasanya dunia ini adalah
pabrik. Pabrik susu yang tak jauh dari tempat mereka tinggal, yang
pernah menjadi decak kagum si buah hati hanyalah salah satu dari
sebuah pabrik besar bernama dunia. Ibunya yang cerdas itu berkata
bahwa semua manusia adalah buruh, hanya berbeda pemaknaannya.
Ayahnya adalah buruh, karena ia mempunyai gelar Sarjana Teknik,
peradaban menghaluskan definisi itu sebagai pegawai. Ayahnya

~ 38 ~
adalah tipikal buruh yang diganjar gaji, sehingga buruh yang tidak
mendapat upah dihaluskan peradaban manusiawi hari ini dengan
kerja-kerja sosial seperti ibu rumah tangga. Aku juga buruh nak,
hanya saja tak pake seragam dan tak punya kantor

Ibunya berkata bahwa ia melahirkan si sulung juga merupakan proses


percetakan buruh baru. Ia merawat, memberikan pendidikan,
mengajari moral, dan menggapai cita-citanya dalam usaha
membentuk seorang buruh yang terampil terdidik dan memiliki jiwa
yang teguh. Si sulung mengangguk, oh bukan! Lebih tepatnya
menganga. Jantungnya berdegup, seolah-olah yang ia hadapi kini
bukan Mario Teguh, atau Felix Siaw kegemaran ayahnya di TV. Sosok
ibunya seperti seorang monster pembawa kebenaran yang
janggutnya dipotong akibat bertahan atas kenyataan yang terjadi.
Ibunya beristighfar, karena sebagai penganut islam yang baik, ia tak
mau menceritakan kekejaman neraka atau ganjaran surga melulu,
sejak dini ia harus mengabarkan kejernihan islam sedetil mungkin,
agar dapat merengkuh kehidupan sosialnya. Ibunya tahu, bahwa ia
bukan ustad Solmed yang berdakwah untuk semua orang, dengan
kata lain, wejangannya hanya ia berani berikan pada anak yang ia
sayangi, dengan harapan dapat menjadi buah yang merangsang
pikirannya memanen rasa yang manis. Seperti mangga.

Ibunya berkata bahwa keluarga adalah tonggak dasar terpenting


berjalannya masyarakat. Keluarga yang gagal membina dirinya
seperti kasus selebritis di TV. Termasuk Ayu Ting-Ting ya bu? Mereka

~ 39 ~
tertawa terbahak-bahak, perjalanan masih jauh, akan tetapi pagi
tidak menyebabkan jemu. Keluarga adalah bagan pertama
pembentukan pabrik besar ini tercipta, dan sosok seorang ibu adalah
buruh tanpa kerah tanpa gaji. Ia berperan penting melakukan
berbagai macam pekerjaan yang menguntungkan pabrik bernama
dunia ini. Melayani suaminya, sang pekerja, baik secara fisik,
psikologis, emosional, maupun seksual. Semua ini dilakukan demi
menjaga vitalitas pekerja agar keesokan harinya dapat berangkat
bekerja dan tetap produktif menghasilkan kapital bagi majikannya.

Adalah hal yang biasa dari gambaran sebuah keluarga, seperti


keluarga kita yang bernaung di bawah atap yang sama, memijakkan
kaki di lantai yang sama namun tak banyak waktu untuk bertemu,
berkumpul dan berbagi kasih. Ayahmu disibukkan dalam tugasnya
menjadi tulang punggung dengan bekerja, dan aku sebagai pengelola
rumah tangga menghabiskan waktu untuk urusan domestik.
Sedangkan engkau seakan disekap di ruang kelas sekolah atas nama
mempersiapkan masa depan.

Ya, inilah gambaran sebuah keluarga modern yang umum kita temui.
Relasi-relasi sosial dan hubungan emosional di dalamnya
ditransformasikan sedemikian rupa sebagai aktifitas ‘Kerja’. Tidak lagi
sekedar urusan domestik, keluarga menjelma menjadi mesin dalam
pabrik sosial. Terutama perannya dalam merawat tatanan kerja,
pekerja dan mereproduksi calon pekerja. Keluarga adalah sentral
dalam pabrik sosial yang memegang berbagai macam fungsi lewat

~ 40 ~
spesialisasi masing-masing peran. Ibu rumah tangga juga melahirkan,
memberi makan dan merawat serta mendidik anaknya calon pekerja
masa depan. Memberinya nilai dan orientasi hidup, rantai yang
menjaga agar generasinya tetap relevan dalam tatanan kapitalistik.

Sang ibu mengingatkan si sulung tentang iklan Fatigon yang beredar


di TV. Si anak kian antusias mendengar cerita mengenai sejenis obat
suplemen itu, menggambarkannya dengan gamblang. Dalam iklan
tesebut, seorang perempuan yang sedang melakoni beberapa
pekerjaan sekaligus, sebagai guru les, sebagai koki, dan sebagai
konsultan keuangan. Sebuah ilustrasi akan lakon seorang istri dalam
sebuah keluarga, dan pesan yang ingin disampaikan Iklan tersebut
adalah mereka (para istri) membutuhkan sebuah suplemen atau
tambahan energi agar tetap sehat dan fit untuk bisa menyokong
setiap peran-perannya, sehingga tetap bekerja dengan penuh segar
dan menebarkan senyum seperti bintang iklan tersebut, kemudian
memuji diri “anda luar biasa”. Si sulung tertawa mendengar ceramah
ibunya, sambil mencubit pinggang ibunya. Ibunya pun
melanjutnykan. Menjadi koki yaitu menyiapkan dan kebutuhan
makan dan memasak untuk keluarganya, sebagai guru les yaitu
mendidik anak-anaknya untuk jalan masa depan serta sebagai
konsultan keuangan yaitu mengatur keuangan atau ekonomi
keluarga ke semuanya adalah peran-peran luar biasa namun telah
menjadi aktivitas keseharian yang terus berjalan.

~ 41 ~
Ya inilah hal luar biasa yang dijalankan kapitalisme, mampu
memainkan peran-peran keluarga tersebut menjadi aktivitas yang
secara tidak langsung turut berkontribusi dalam reproduksi kapital.

Dalam keluarga istri adalah pelayan dan perawat bagi pekerjanya


(suami) namun dalam pabrik sosial istri adalah pekerja itu sendiri
sebagai tenaga kerja tak diupah lewat peran hariannya yang justru
menjadi nilai lebih dalam sistem kapital. Dan mengkonsumsi
suplemen yang ditawarkan dalam berbagai produk iklan yang pasti
bukan solusi. Keluarga memainkan peran penting bagaimana narasi
kerja tetap tak tergugat. Sebagai sentral dalam pabrik sosial, keluarga
selain merawat para pekerjanya terus pula mereproduksi tenaga
kerja, sebagai pemasok dan menyiapkan calon-calon tenaga kerja
baru. Di sinilah anak dalam keluarga dipersiapkan sebagai calon
pekerja masa depan. Kapitalis tak perlu membuat sebuah institusi
khusus untuk merawat calon-calon pekerjanya.

Keluarga adalah institusi ideal yang dikonstruksi untuk menjadi mesin


penghasil dan perawat calon pekerja. Anak sebagai generasi pelanjut
keluarga, sejak kecil telah ditanamkan pada orientasi masa depan
lewat gambaran karir. Keluarga terus menuntun anak pada cita-cita
yang menggambarkan sebuah kesuksesan. Dokter, polisi, pengusaha,
pejabat adalah sekian yang mewakilkan kesuksesan tersebut.
Kesuksesan untuk mampu meraih banyak kapital. Semua norma
disetting untuk selaras dengan kaidah kapital, seorang anak yang
malas bersekolah akan dicap sebagai orang yang gelap masa

~ 42 ~
depannya, seorang yang tidak bertitel akademik, atau memiliki
pekerjaan dengan gaji minim hanyalah remah-remah dalam sistem
sosial. Anak layaknya sebuah investasi masa depan, sejak kecil
mereka dipersiapkan menjadi calon pekerja, memasukkannya dalam
institusi pendidikan, jalur formal bagi pencapaian cita-cita.

Suami terus menjual tenaganya untuk dapat membiayai sekolah


anaknya sampai jenjang terakhir, Istri sebagai Ibu rumah tangga
adalah yang melahirkan, menyusui dan memberi makan anak-
anaknya, merawat, menjamin kesehatannya, mendidik,
mengantarnya ke sekolah, dan menuntun dalam perjalanan
pencapaian karirnya. Dan anak tetap menyiapkan dirinya sebagai
pekerja, gambaran cita-cita yang tertanam sejak kecil adalah harapan
penyemangat, belajar dan terus mengembangkan diri, berprestasi,
mengikuti aktivitas tambahan yang mendukung (kursus, dll.), anak
terus ditanamkan untuk seminimal mungkin bermain dan mengisi
waktu mereka untuk belajar dan hal-hal lain dipandang lebih bernilai
untuk bekal masa depan.

Inilah gambaran sebuah siklus kapital yang terus berjalan dalam


sebuah keluarga, fungsinya sebagai sentral dalam pabrik sosial.
Generasi dalam keluarga akan mengulang hal yang sama. Segala
relasi sosial telah ditranformasikan untuk mengambil alih estafet,
menjelma menjadi institusi yang terus mereproduksi kapital dan
kebutuhan-kebutuhannya. Keluarga yang telah menyimpang dari
ikatan sosial antara individu-individu di dalamnya bahkan menjadi

~ 43 ~
pusat bagi regenerasi para pekerja-pekerja baru yang berjalan untuk
satu tujuan yakni tegaknya kapitalisme.

Sepanjang itu ibunya menjelaskan tiba-tiba gerbang sekolah sudah


tampak di depan mata. Anaknya merengut, diam seribu bahasa
sambil menggerayangi langkahnya bertaut pasir. Ibunya berkata,
bahwa cerita itu masih akan lebih panjang nantinya, dan mereka bisa
melanjutkannya disela rutinitas saat bersama di rumah. Si sulung
masih saja diam, agaknya kakinya malas melangkah ke barisan anak
dan lonceng yang sudah berdentang tiga kali pertanda baris berbaris
di mulai. Tukang manisan langganan tak lagi menjadi kepeduliannya.
Ibunya menepuk pundaknya, membingkisi anak kecil itu dengan
saran, bahwasanya ayahnya tak bermaksud menolak menjawab
pertanyaannya tadi pagi, sehingga diharapkan ia mulai mengerti
dengan kondisi yang terjadi. Kini, sang anak menatap lurus ibunya,
dengan raut muka pucat nan pasi, ia berkata pelan terbata

Ibu aku takut, aku ketakutan, apakah pabrik sosial besar itu sedang
menantiku?

***

~ 44 ~
Hai Zarathustra! Kita main tebak-tebakan. Dimana letak pabrik sosial
itu? Dunia apakah namanya?

Engkau tak berbeda dengan adik si sulung dalam dongeng di atas,


sehingga, aku siap menjadi ibu yang tak henti berbagi kisah
mengenai semua ini. Itu janjiku di catatan kelima ini.

~ 45 ~
23 November 2013

Hidupkanlah hati dan pikiranmu dengan menerima dan


memperhatikan nasehat. Jadikanlah kesalehan sebagai penolong
untuk menghilangkan keinginan-keinginan nafsumu yang tidak
terkendali. Binalah budi pekertimu dengan pertolongan keyakinan
yang tulus pada agama dan Allah.

Taklukkanlah keinginan-keinginan pribadimu, kekesatan hatimu dan


kebandelanmu dengan senantiasa mengingat kematian. Sadarilah
akan kefanaan hidup dan segala kenikmatannya. Insyafilah
kenyataan dari kemalangan dan kesengsaraan yang senantiasa
menimpamu serta perubahan keadaan dan waktu. Ambillah
pelajaran dari sejarah kehidupan orang-orang terdahulu.

(ALI BIN ABI THALIB)

~ 46 ~
Pada mulanya, kuperkenalkan dulu guruku. Namanya Tarjo. Aku
bertemu dengannya di sebuah rumah bordil. Saat itu kunci Vespa-ku
tertinggal di sebuah kamar, dan ia menemukannya. Kami berbincang.
Tarjo sangatlah kaku. Kalimat yang menyembur dari bibirnya begitu
keras. Sulit menjalin silaturahmi dengan lidahnya akibat tema yang ia
bicarakan, . Kedekatan kami berawal saat berbincang, dari topik yang
selama ini kubenci: islam. Dari Tarjo-lah, aku belajar sedikit
meredefinisi agamaku. Seperti yang kita ketahui, kota kelahiranmu
ini, mayoritas penduduknya islam. Sibolga ini pun merupakan bagian
kecil dari keselurahan negeri. Seperti informasi yang kubaca, selain
prestasi korupsinya yang mengagumkan, Indonesia menjadi salah
satu negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Jadi, besar
kemungkinan, agama yang kau peluk nantinya adalah islam.
Prediksiku ini juga didukung KTP ayah ibumu, keyakinan keluarga
besarmu, juga pilihan kepercayaan masyarakatmu. Sehingga,
memeluk islam tanpa mau peduli dengan sekelilingmu, perlu
kupertanyakan sejak saat ini.

Maksudku begini, islam yang aku anut dahulu adalah islam yang
sangat privat. Ia tak menjangkau ranah sosial. Oleh karena itu
tabiatku juga privat, dengan berat hati kuakui, mementingkan diri
sendiri. Aku hanya mengurus soalan mana yang haram mana yang
halal saja, yang parahnya, aku menutup mata pada anak jalanan yang
lapar (misalnya) hanya untuk membenarkan keberislamanku yang
terfokus pada Allah semata. Aku meminggirkan hal di luar diriku,
sementara terus sibuk mengoleksi pahala. Aku lupa bahwa islam

~ 47 ~
bukan filateli, seperti prangko yang dirawat keramat untuk dibingkai
di album ketuhanan semata, tidak peduli dengan kemanusiaan. Sejak
saat itulah, guruku Tarjo memberikan opsi yang aku kelola sendiri
secara maksimal untuk membuktikan bahwa islam sejatinya lahir
sebagai media pembebasan. Ia dekat dengan realitas, sehingga
rekatlah ia dengan yang terjadi di sekitarku.

Menurut Tarjo, islam itu ibarat seorang anak manusia sepertimu,


punya tubuh dan ruh. Islam adalah tubuh, dan ruhnya adalah Tauhid.
Tanpa tauhid jelas islam akan sekarat. Ia tak akan bernyawa, sehingga
Tauhid menjadi prinsip secara keseluruhan. Tauhid memberikan
nafas pada islam, oleh karena itu ia menjadi konsep sentral dan
sangat fundamental dalam islam. Selanjutnya, Tauhid bisa diartikan
secara bahasa sebagai keesaan. Ke-esa-an yang dimaksudkan
tentulah keesaan Tuhan. Akan tetapi keesaan tak berakhir di tuhan
saja, perlu melihatnya dalam persfektif kemanusiaan. Itulah yang
menyebabkan Tauhid tak pernah menyentuh realitas karena bersifat
metafisik menggunakan prakiraan semata (spekulasi). Terciptalah
jurang lebar diantaranya, Khalik dan Makhluk, atau antara Tuhan dan
Manusia. Agar tidak jatuh pada spekulasi semata, konsep Tauhid ini
perlu direalisasikan ke dalam praktek, agar ia menyentuh
kemanusiaan.

Lantas, bagaimana bentuk Tauhid? Waktu mengaji dulu, ada ucapan


terkenal sebagai syarat agar seseorang disebut muslim. Tak lain

~ 48 ~
adalah kalimat la ilaha illa Allah. Tauhid memproklamirkan bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Seorang Muslim harus menolak segala
“sesuatu” selain Allah, sebagai bukti kongkrit keimanannya. Apakah
konsep tauhid hanya sebatas ucapan saja? Kalau tauhid aku pahami
menegasikan segala “sesuatu” selain Tuhan, tentu saja bisa diartikan
bahwa sangat tidak bertauhid diriku bila menuhankan “sesuatu”
selain Tuhan. Tuhan yang dimaksud yaitu “sesuatu” yang aku jadikan
orientasi hidup dan obyek pengabdian. Dalam pengertian ini, ketika
aku menjadikan uang, kekuasaan, bisnis, negara, dll., sebagai satu-
satunya orientasi hidup dan obyek pengabdian, sama saja aku sedang
menuhankan hal tersebut. Dalam pengertian Islam, menuhankan
“sesuatu” selain Tuhan disebut syirik, menjadikan sesuatu selain
Tuhan sebagai sesembahan hidup. Astaghfirullah!

Pantas saja, sesederhana konsep Tauhid yang tampak kusepelekan


awalnya, tidak pernah aku praktekkan dalam ranah keseharian.
Sekadar ilustrasi, ketika negara dan aparatusnya melulu sumber
penindasan, seperti kisah petani Mesuji yang ditembaki lewat berita
TV baru-baru ini yang kerap terdengar, tetap saja aku meributkan
sistem ke-negara-an-lah yang keliru. Sebagai gantinya banyak pakar
dan ulama menawarkan sistem kekhalifahan sebagai solusi, selain
alasan sangat islami. Aku segera melihat bahwa masih banyak
kalangan Muslim yang tergantung dengan keberadaan negara. Tanpa
ada negara seolah-olah kehidupan akan kacau. Karenanya bisa
dipahami terdapat pepatah yang familiar di telinga yang
menyebutkan bahwa “masih lebih baik kepemimpinan lalim

~ 49 ~
ketimbang kekosongan kepemimpinan dalam suatu negara.” Tentu
saja diktum ini masalah bila dihadapkan dengan konsep tauhid.
Sejatinya aku telah terjerembab ke kerangka syirik, menjadikan
“sesuatu” selain Tuhan sebagai orientasi hidup dan objek
sesembahan. Dalam contoh ini negara, dan itu merupakan tindakan
syirik. Kenyataan inilah yang membuat kosongnya manifestasi konsep
tauhid dalam tataran empirik, dan itu bukan tanpa sebab lagi.

Pertanyaan yang menggangguku adalah, kenapa aku beragama?


Atau, kenapa aku islam? Selanjutnya aku mempertanyakan lagi
apakah agama dibutuhkan olehku atau agama itu dibutuhkan oleh
Tuhan? Pada kenyataannya, dalam perspektif teologis, Tuhan tidak
membutuhkan apapun. Aku teringat tentang sejarah turunnya Islam.
Secara umum Islam yang aku baca sejarahnya diturunkan untuk
menegakkan keadilan sosial sebagai prasyarat terwujudnya
kemaslahatan. Dari sini saja segera diketahui bahwa agama bukan
melulu persoalan ketuhanan, melainkan juga kemanusiaan.
Muhammad sebagai pembawa risalah ini, dilaporkan dalam sejarah,
merupakan sosok yang menentang penindasan. Muhammad, saat
pertama Islam diturunkan, hidup di tempat dengan keadaan politik
dan ekonomi carut-marut. Tidak heran faktor inilah yang menjadi
agenda utama Muhammad atau Islam yaitu melawan penindasan dan
menentang ketidakadilan serta menciptakan tatanan masyarakat
egalitarian. Masyarakat yang setara.

~ 50 ~
Kendati demikian, tidak bisa ditampik bahwa semangat pembebasan
tersebut dalam Islam telah pudar, untuk tidak mengatakannya hilang
sama sekali. Apalagi saat ini. Agama telah menjadi penindas baru.
Islam yang pada awalnya hadir untuk mengkritisi produk-produk
kebudayaan yang menindas, lambat laun menjadi kolaborator
bahkan sekongkolan dari para penguasa (baik politik maupun
ekonomi) yang dengan kekuasaannya secara langsung maupun tidak
langsung telah menindas orang-orang lemah dan orang-orang miskin
(mushtadh’afin). Aku jadi tak heran lagi kenapa buruh-buruh
direpresi, lahan petani dirampasi, dan lebih jauh membiarkan
pemodal domestik maupun asing, menanamkan sahamnya dengan
leluasa, mementingkan pundi kapital atau profit bagi mereka yang
memiliki akses pada sektor produksi massal. Peran Islam bergeser
dari media pembebas manusia menjadi alat stempel penguasa yang
mengemuka dalam wujud politisasi agama. Dalam konteks ini fungsi
kritis dan transformatif agama lenyap dan kemudian digantikan oleh
fungsi legitimasi agama: agama tidak lebih hanya berfungsi sebagai
legitimator sang penguasa.

Aku mulai menggugat agama dan relevansinya dalam kehidupan.


Sebagai awalan, aku melacak penyebab perubahan agama sebagai
media pembebas menjadi penjaga terkuat status quo dan alat
legitimasi penguasa. Dalam sejarahnya tadi islam menjadi media
pembebasan tidak terelakkan lagi dimana Tauhid sebagai konsep

~ 51 ~
yang mengidealkan sebuah struktur masyarakat yang unitas, total
dan utuh memiliki konsep tauhid model ini. Yang aku pahami, Islam
menentang segala bentuk ketidakadilan baik yang menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan individu, manusia
dengan sesama manusia serta manusia dengan alam semesta.
Konsep tauhid ini tidak semata pemahaman yang mengambang,
melainkan suatu konsep praktis yang menyangkut seluruh institusi-
institusi yang dilahirkannya. Lewat pandangan ini, memahami konsep
Islam sebagai agama monoteis serta fungsinya, seperti sosial,
spiritual, moral, politik menjadi membumi.

Hanya saja semangat pembebasan tersebut seakan kehilangan


maknanya, ketika Islam dijadikan sekadar urusan pribadi yang tidak
ada kaitannya dengan keadilan sosial. Konsekuensi logisnya, Islam
merupakan obat mujarab keselamatan-pribadi (self-salvation). Islam
dewasa ini ditangan pemeluknya menjadi apatis, ahistoris, dan
apolitis. Semua ketimpangan di dunia ini merupakan kehendak
Tuhan. Tuhan sudah mengatur segalanya. Yang tersisa bagaimana
caranya agar mendapatkan keselamatan di akhirat. Bersifat
eskatologis melulu—eskatologis yang dipahami terlepas dalam
kehidupan duniawi. Kemiskinan yang melanda disebabkan kemalasan
seseorang berusaha. Ini takdir tuhan. Tidak ada yang bisa diperbuat
oleh manusia. Fatalistik. Aku jadi yakin kini bahwa Rukun Islam hanya
sebatas hafalan saja bagiku. Ia hanya sebatas kupahami sekadar
“rumusan” matematika yang berisi variabel: la ilaha illa Allah
(pengesaan Tuhan), shalat, zakat, puasa dan haji, tanpa pernah

~ 52 ~
melacak pengaruh sosialnya. Dimensi esoterisnya tidak pernah aku
sentuh sama sekali. Karenanya melacak corak antroposentris tauhid
perlu dimulai dari hal tersebut.

Pertama, la ilaha illa Allah, seperti yang sudah disinggung


sebelumnya, merupakan titik utama dalam Islam. Karenanya, aku
yang memeluk Islam harus membuat kesaksian (syahadat) bahwa
Tuhan itu esa, dan inilah penauhidan sesungguhnya yang aku cari.
Namun demikian apakah kesaksian tersebut sebatas tindakan verbal
dari bibirku saja? Mak, harus kubongkar. Untuk apa Tuhan menyuruh
manusia untuk mengesakan Tuhan, apabila hal tersebut hanya demi
kebaikan Tuhan? Apakah perintah Tuhan kepada manusia untuk
bersaksi bahwa Dia esa tidak ada kepentingan untuk manusia?
Bersaksi bahwa Tuhan adalah esa, sama artinya menegasikan sesuatu
yang dijadikan orientasi hidup dan objek pengabdian selain Tuhan.
Aku dituntut untuk tidak takut terhadap apa pun dan tergantung
dengan siapa pun. Negara, misalnya. Konsep ini tidak akan bermakna
bila hanya sekadar dipahami persoalan metafisis-spekulatif, sebab
manusia hidup dalam dunia nyata—namun bukan berarti
menegasikan entitas-entitas nonempirik. Karenanya ketauhidan tidak
tepat dipahami melulu konsep abstrak, melainkan harus disentuhkan
ke dalam ranah empiris, harus dimanifestasikan dalam kehidupan
sosial.

Kedua, shalat. Mengandaikan konsep la ilaha illa Allah hanya sebatas


metafisis-transendental, implikasinya pemahaman makna shalat pun

~ 53 ~
hanya sebatas urusan pribadi, antara aku dengan Tuhan. Tidak
pernah dilihat kaitannya dengan urusan sosial. Usah heran bila ada
Muslim yang setiap harinya “nungging”, namun di saat yang sama
perilaku sosialnya tidak baik. Mengambil hak seseorang yang bukan
haknya, misalnya. Padahal tujuan shalat bukan untuk Tuhan,
melainkan manusia. Karenanya dalam al-Quran disebutkan bahwa
shalat bertujuan untuk menjauhkan manusia jauh dari perbuatan keji
dan tindakan mungkar. Artinya, ritual shalat yang sudah dilakukan,
namun tidak mampu merubah perilaku sosial seseorang, layak
dipertanyakan. Ketidakmampuan ritual shalat mengubah perilaku
seseorang merupakan indikasi bahwa ada yang salah dalam
pemahaman shalat.

Selama shalat hanya dipahami untuk menyenangkan Tuhan, maka


melihat kenyataan di luar bahwa shalat tidak mampu mengubah
perilaku seseorang merupakan konsekuensi logis. Masalahnya di
dalam al-Quran bukan itu yang hendak dituju oleh ritual shalat.
Karenanya pemahaman shalat melulu urusan transendental-metafisis
merupakan suatu kekeliruan. Shalat pada dasarnya adalah mengingat
Tuhan (dzikr Allah). Hal ini tentu mempunyai dampak terhadap
kehidupan sosial. Ketika seseorang hendak berbuat keji atau tindakan
mungkar segera ia langsung ingat Tuhan. Tuhan termanifestasikan di
mana-mana, sehingga ia mengurungkan tindakannya. Bukan tak
mungkin juga, bisa saja ia meneruskan tindakan tersebut, walaupun
pada saat yang sama ia merasakan Tuhan. Karenanya bisa dimengerti
bahwa shalat itu dilaksanakan dalam lima waktu setiap hari. Ini

~ 54 ~
memungkinkan seseorang untuk berkontemplasi atas segala
tindakannya, yang boleh jadi tanpa ia sadari telah berbuat
keburukan. Dengan upaya terus-menerus mengingat Tuhan, akan
mengakibatkan kesadaran yang kuat dalam diri seseorang untuk
mengubah perilaku sosialnya. Aku curiga perintah shalat awal
turunnya sebanyak 50 kali itu, agar aku banyak mengingat tuhan.
Entahlah

Pada sisi lain shalat yang dilakukan dengan berjamaah menandakan


semangat kebersamaan juga kesetaraan. Siapa pun Anda, apa pun
status Anda, ketika shalat, Anda tidak berbeda satu sama lain.
Perhatikan ketika semua orang shalat, semisal ketika sujud,
semuanya sujud, tanpa kecuali. Persoalan imam shalat hanya sekadar
koordinasi, kalau mau dikatakan seperti itu. Dengan demikian tidak
ada nilai istimewa dalam posisi imam. Hal tersebut bisa diartikan
bahwa pada dasarnya manusia itu setara, tidak ada yang unggul
melebihi satu sama lain di hadapan Tuhan maupun di hadapan
manusia. Ketika ini dimanifestasikan dalam kehidupan sosial, tentu
saja shalat menemukan maknanya. Proposisi al-Quran bahwa shalat
bertujuan untuk menjauhkan manusia dari tindakan keji dan munkar,
bisa diartikan bahwa keberhasilan atau kebermaknaan shalat
seseorang harus dilihat dalam manifestasi kehidupan sosialnya.

Ketiga, zakat. Persoalan zakat merupakan ritual yang secara eksplisit


terkait dengan kehidupan sosial. Namun demikian kenapa zakat tidak

~ 55 ~
mampu mengatasi kemiskinan, merupakan pertanyaan yang harus
segera diajukan. Aku melihat ada beberapa permasalahan yang
menjadikan zakat tidak ampuh sebagai senjata penghapus
kemiskinan, baik itu dalam skala kecil maupun besar. Pertama, zakat
selama ini dipahami hanya sebatas “perintah Tuhan.” Yang dimaksud
adalah walaupun zakat jelas ritual yang sangat erat terkait dengan
kehidupan sosial, nyatanya tidak selalu dilihat seperti itu. Zakat hanya
semata urusan transendental-metafisis. Kedua, sebagai
konsekuensinya, orang lupa bahwa diwajibkan zakat karena alasan
bahwa di dalam harta yang dimiliki, terdapat hak orang lain. Sejatinya
inilah yang dipinta untuk diberikan ke orang lain yang membutuhkan
dalam konsep zakat. Ketiga, akibatnya seseorang mengeluarkan zakat
bukan atas dasar kesadaran atau kesukarelaan bahwa di dalam
hartanya terdapat hak orang lain (baca: orang yang membutuhkan),
melainkan ketakutan akan siksa Tuhan. Ini yang menyebabkan rasa
kepedulian terhadap sesama sangat minim dalam komunitas Muslim.
Tentu masih ada banyak faktor lain yang menyebabkan zakat tidak
efektif dalam kehidupan sosial. Salah satunya adalah, untuk tidak
menyebut semua, mereduksi zakat hanya sebatas zakat fithrah, yang
dikeluarkan setahun sekali menjelang ‘Idul Fithr.

Pemahaman zakat seperti yang disebutkan di atas, sangat sulit untuk


menciptakan kesadaran saling menolong, dalam hal ini persoalan
ekonomi, dalam komunitas Muslim. Sebab esensi zakat tidak pernah
direnungkan. Padahal menolong orang kesulitan merupakan ruh
konsep zakat. Akibatnya, ketika orang mengeluarkan zakat, sebatas

~ 56 ~
menganggap dirinya sudah menjalankan kewajiban atas kehendak
Tuhan, yang ujungnya adalah keselamatan-pribadi. Dari sini bisa
dimengerti bahwa zakat telah kehilangan dimensi sosialnya. Bila
segala syariat Islam dipahami untuk kebaikan manusia, tindakan
tersebut akan menjadi sia-sia.

Mengikuti kerangka di atas, ritual lainnya, yaitu puasa dan haji juga
telah mengalami ketidakbermaknaan dalam kehidupan sosial. Puasa
hanya dipahami sekadar menahan minum dan makan. Persoalan
empati terhadap orang kelaparan diabaikan begitu saja. Puasa
seharusnya menjadikan seseorang sadar bahwa di luar sana ada
orang kelaparan. Puasa mengajarkan seseorang untuk merasakan
bagaimana rasanya mengalami kelaparan, walaupun ketika malam
diwajibkan untuk berbuka. Dengan mengalami rasa lapar sebulan,
diharapkan seorang Muslim dapat lebih peka dalam melihat
persoalan kelaparan, serta bentuk permasalahan sosial lainnya.
Terkadang seseorang butuh merasakan sesuatu terlebih dahulu
sebelum memercayai sesuatu. Merasakan lapar sangat
memungkinkan orang untuk lebih peka akan masalah ini. Tentu saja
puasa bukan hanya sekadar urusan lapar. Dalam puasa, seorang
Muslim dilatih untuk menahan amarah atau keinginan buruk lainnya,
misalnya.

Begitu juga dengan haji. Kalau dilihat kecenderungan berhaji


sekarang seperti wisata atau tamasya. Bahkan status sosial. Ini bisa
dilihat bahwa di Indonesia orang yang sudah berhaji segera akan

~ 57 ~
mencantumkan huruf “H” di depan namanya. Akan sangat sulit untuk
menemukan hal ini di negara lain. Sehingga orang akan protes bila
namanya ditulis dengan tidak mencantumkan inisial “H.” Hematnya,
masih banyak ditemukan ketidakberubahan perilaku sosial seseorang
walaupun sudah menunaikan ibadah haji. Dengan begitu, sangat
sedikit untuk menemukan manifestasi kehidupan sosial dari ibadah
haji. Yang menjadi kritik adalah, sungguh ritual yang patut
dipertanyakan ketika orang menunaikan haji berkali-kali, namun pada
saat yang sama kemiskinan di sekitarnya dibiarkan begitu saja. Ini
suatu paradoks. Di mana letak pembebasannya bila Islam dipahami
seperti ini? Haji tak lebih seperti seekor babi, karena babi entah di
sudah ke mekkah atau tidaknya, tetaplah babi.

Sudah dimaklumi bersama bahwa ibadah haji merupakan suatu


ibadah yang mengeluarkan biaya sangat besar, selain faktor
kesehatan fisik. Karenanya ibadah haji diwajibkan jika syarat-
syaratnya sudah dipenuhi, yaitu mempunyai harta lebih dari cukup.
Dan ibadah haji hanya wajib dilakukan sekali seumur hidup. Dengan
demikian ibadah haji yang kedua dan seterusnya, bukan merupakan
kewajiban, melainkan sekadar sunnah. Sebagai sunnah, yang tidak
mengapa ditinggalkan, ibadah haji berikutnya merupakan tindakan
ironi bila tetap dilakukan, pada saat yang sama tetangganya
membutuhkan bantuan. Padahal mementingkan sunnah, namun
meninggalkan kewajiban, dalam hal ini membantu tetangga yang
kesulitan perekonomiannya, merupakan perbuatan yang tidak hanya
sia-sia, melainkan mudarat.

~ 58 ~
Bias-bias yang diakibatkan oleh ritual tersebut bersumber dari
pemahaman keberislaman bersifat transendental-metafisis. Segala
syariat yang ada bertujuan untuk kebaikan Tuhan, bukan kebaikan
manusia. Sekalipun dipahami sebagai kebaikan manusia, pun hanya
sebatas keselamatan-pribadi. Dengan kata lain ritual keberislaman
jauh dari dimensi kehidupan sosial. Pemahaman keberislaman seperti
ini patut dipertanyakan. Pada tingkat ekstrimnya, lebih baik kubur
saja Islam bila tidak membawa manfaat dalam ranah kehidupan
sosial.

Islam selama ini dilihat hanya terbatas dalam persoalan haram dan
halal. Dengan kata lain Islam merupakan agama hukum atau nomos.
Al-Quran dan Sunnah, sebagai sumber primer normatif, jelas
menyinggung dan menyentuh banyak aspek kehidupan. Ia
menyinggung berbagai aspek kehidupan manusia, baik itu aspek
sosial, ekonomi, politik, pendidikan, moral, hukum, mistis, ritual,
pemikiran, dll. Namun demikian bukan berarti al-Quran dan Sunnah
merupakan gudang jawaban dan melulu solusi dan bersifat detail. Al-
Quran sebagai petunjuk (hudan) dan Sunnah sebagai referensi
bersifat global. Pandangan bahwa al-Quran memuat dan membahas
serta menjawab segala hal perlu dipikrkan ulang. Betapa pun, al-
Quran dan Sunnah merupakan produk sejarah dan kultural. Dalam
artian al-Quran ketika diturunkan bersentuhan dengan realitas sosial
yang ada. Tidak heran bila konteks ke-Arab-an tidak terelakkan dalam
al-Quran dan Sunnah. Dan tentu saja ia ketika menghadapi persoalan
yang ada turut dipengaruhi waktu dan tempat. Dengan kata lain

~ 59 ~
Islam tidak jatuh dari langit begitu saja. Islam tidak hadir dalam ruang
vakum sosial dan kultural. Agaknya inilah yang luput dari perhatian
dari kaum Muslim.

Konsekuensi logisnya, kedua dasar normatif tersebut haruslah


bersifat global. Bahwa mengandaikan kedua sumber tersebut
mengatur Muslim sampai ke dalam urusan tetek-bengek merupakan
pemahaman banal. Sebab al-Quran dan Sunnah memotret peristiwa
yang berbeda dengan peristiwa kekinian. Bagaimana al-Quran
menjawab aturan berlalu-lintas, kloning, euthanasia, misalnya? Tidak
usah jauh, al-Quran hanya memerintahkan setiap Muslim untuk
shalat, namun bagaimana ritual tersebut dilakukan tidak disinggung.
Di sinilah salah satu fungsi Muhammad saw sebagai representasi
kemauan Tuhan. Muhammadlah yang mengajarkan tata-cara ritual
shalat. Dengan kata lain Muhammad saw selain sebagai penyampai
risalah ketuhanan juga sebagai penjelas (al-bayan). Shalatlah kalian
sebagaimana shalatku, demikian Muhammad saw. Sebagai sumber
keberislaman, tentu saja al-Quran dan Sunnah memuat banyak
aspek. Namun demikian dalam sejarah dengan gamblang terlihat
bahwa keberagamaan, dalam hal ini Islam, merupakan agama melulu
urusan hukum, dalam hal ini ibadah mahdhah (ritual-ritual seperti
shalat, puasa, haji, dll.). Dalam pengertian lain, Islam hanya dipahami
sebatas tataran eksoterik atau kulit saja. Sedangkan inti atau sisi
esoteriknya diabaikan.

~ 60 ~
Dalam tataran praksis masih sering ditemukan perdebatan, yang
kadang tidak sedikit diakhiri dengan sikap kafir-mengkafirkan bahkan
saling membunuh, soal tata-cara shalat, tahlil, ziarah kubur, dll. Akan
tetapi persoalan apakah atau bagaimana korelasi ibadah mahdhah
dengan kehidupan sosial hampir tidak pernah disinggung. Hal ini bisa
menjawab kenapa Islam tidak mampu menjadikan pemeluknya
menjadi lebih baik, bahkan mereduksi serta mengkerdilkan
kemanusiaan itu sendiri. Selama Islam hanya dilihat dari kulitnya saja,
kaum Muslim tidak akan pernah tahu esensi dari Islam itu sendiri.
Bisa dimengerti jika orang menganggap bahwa agama turut
mengalienasikan manusia (Ludwig Feurbach), agama merupakan
candu (Karl Marx) atau Tuhan sudah mati (Nietzsche). Pemahaman
Islam hanya tertumpu dari segi eksoteriknya saja, sangat berpotensi
menciptakan dikotomis dalam interaksi sosial, Muslim-non-Muslim.
Terlebih pemahaman eksoterik bersifat eksklusif bahwa tidak ada
keselamatan di luar agama selain agama yang dianutnya. Tentu ini
masalah bila pemahaman ini terjadi dalam ranah sosial. Islam sebagai
pandangan dunia bagi pemeluknya tidak bisa begitu saja ditanggalkan
ketika berinteraksi sosial.

Selama ini Islam dipahami, setidaknya dalam konteks keindonesiaan,


telah mengalami pereduksiaan habis-habisan. Islam merupakan
sekumpulan peraturan mengenai halal-haram. Dengan kata lain
pemahaman Islam hanya bertumpu pada fiqh (yurisprudensi Islam).
Bahkan ada yang melangkah lebih jauh, fikih dikaji melulu soal
wudhu; thaharah (bersuci); kriteria air bagaimana yang sah dipakai

~ 61 ~
untuk cebok; batu, sebagai ganti air, bagaimana yang sah untuk
cebok; dan hal lainnya yang terkait dengan bersuci. Tidak heran
pemahaman Islam model seperti ini disebut sebagai Islam Toilet.
Tentu saja bukan berarti bab al-thaharah tidak penting. Namun
demikian akan tampak simplistik bila bertahun-tahun majelis taklim
mengadakan pengajian hanya sebatas soal ini. Persoalan lain hendak
dikemanakan? Apakah Islam hanya mempunyai satu wajah, fikih?
Adakah Islam menyoal ekonomi, distribusi keadilan sosial, politik,
kebudayaan, intelektual, mistikal, dsb.?

Islam mempunyai paling tidak lima dimensi, setidaknya dalam tulisan


ini, yaitu dimensi ritus, mistis, teoritis, intelektualitas dan sosial.
Dimensi ritus berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan,
seperti shalat, haji, dll. Dimensi mistis menunjukkan pengalaman
keagamaan, seperti pengalaman akan kehadiran yang mahakuasa
(omni present), mysterium tremendum et fascinans, dsb. Dimensi
teoritis mengacu pada serangkaian prinsip-prinsip yang menjelaskan
eksistensi manusia terhadap Sang Pencipta dan makhluk hidup
lainnya. Dimaksud dengan dimensi intelektualitas yakni tingkat
pemahaman terhadap ajaran atau prinsip agama. Dimensi sosial
berkenaan dengan manifestasi ajaran agama dalam kehidupan sosial,
dengan kata lain dimensi sosial berkenaan dengan kesalehan sosial.
Menengok keberislaman dewasa ini, hanya tiga dimensi yang
dipraktikkan, yaitu dimensi ritus, mistis, dan teoritis. Sedangkan

~ 62 ~
dimensi intelektualitas dan sosial diabaikan begitu saja dalam
praktiknya. Sayangnya, dua dimensi yang diabaikan ini, merupakan
hal yang sangat krusial dalam Islam itu sendiri. Akibatnya, tidak
bukan tanpa sebab bila, agama dianggap sebagai mitis baru atau
persoalan yang tidak rasional serta tidak ada manfaatnya dalam
kehidupan sosial—malah pada titik tertentu agama turut menoreh
coreng dalam sejarah kemanusiaan.

Mengabaikan dimensi intelektualitas mengakibatkan Muslim malas


untuk berpikir. Memerlakukan Islam sebagai hal yang diterima begitu
saja menjadikan pemahaman keberislaman ahistoris serta tidak
kontekstual. Yang dimaksud ahistoris adalah menganggap Islam
bukan sebagai preventif, melainkan solusi. Sebagai contoh, kalangan
Muslim yang memercayai bahwa kedamaian tidak akan tercipta bila
negara tidak dijalankan dengan sistem khalifah, jelas sangat ahistoris.
Dalam sejarahnya khalifah yang ada, tidak sepenuhnya baik. Bahkan
sebenarnya banyak yang korup. Belum lagi sistem kekhalifahan yang
dirujuk adalah sistem khalifah pascakhalifa al-rasyidun, yaitu Dinasti
Umayah, Abbasiyah dan Turki Utsmani—yang disebut terakhir
mempunyai kaitan emosional erat dengan Islam Nusantara. Dinasti
tersebut jelas perlu dipertanyakan keislamiannya. Misalnya, dalam
Islam tidak dikenal sistem pemerintahan dinastik. Kenapa sistem
khalifah menjadi keniscayaan bagi kaum Muslim? Tentu saja, apakah
Islam menyoal sistem ketatanegaraan?

~ 63 ~
Dimaksud dengan Islam adalah kontekstual, dalam pengertian, nilai-
nilainya harus diterjemahkan dalam konteks tertentu yang
dipengaruhi oleh zaman dan waktu. Islam diturunkan kali pertama 14
abad yang lalu. Tentu keadaan sekarang dengan zaman Muhammad
saw mempunyai konteks berbeda. Faktanya masih banyak ditemukan
pemahaman Islam produk masa lalu yang berbeda keadaannya
dengan zaman kekinian. Kendati demikian tetap saja zaman kekinian
diterjemahkan ke dalam zaman masa lalu. Hal tersebut yang pada
dasarnya menjadikan semangat pembebasan Islam gagal dalam
mentransformasikan kehidupan sosial ke arah yang lebih baik.
Selama ini Islam dipahami lepas dari setting historis dan dimensi
sosial serta intelektualitasnya.

Islam dianggap sebagai agama hukum merupakan fakta yang tidak


tebantahkan. Kaum Muslim selalu diributkan bagaimana hukumnya
melakukan itu, melakukan ini, dsb. Secara sepintas ini menandakan
bahwa kesadaran keberislaman telah kian tumbuh dalam komunitas
Muslim. Akan tetapi anggapan ini perlu dipertanyakan. Benarkah
kesadaran kaum Muslim terhadap fikih merupakan kemajuan? Pada
kenyataannya, sebagian besar kesadaran tersebut bersumber dari
ketakutan akan namanya dosa. Tentu ini hal yang baik. Namun
demikian, tidak menjadi hal kebaikan bila ketakutan itu
diterjemahkan dalam bentuk keselamatan-diri. Selama ini kesadaran
fikih sebagian besar tertumpu pada keselamatan-pribadi.
Implikasinya menumbuhkan apatis dalam diri kaum Muslim terhadap
kehidupan sosial. Sehingga kesadaran fikih mengemuka hanya

~ 64 ~
sebatas mengenai kerugian maupun keuntungan dirinya sendiri.
Berbeda kenyataannya ketika dalam kehidupan sosial, logika fikih
tidak mencuat. Kenyataannya dalam kehidupan sosial logika fikih
absen. Yang ada hanya soal kepentingan dirinya sendiri. Tidak aneh
bila kebanyakan kaum Muslim sibuk mencari persoalan fikih dalam
tataran personal, namun tetap saja perilakunya menimbulkan
kerugian dalam kehidupan sosial. Sebab fikih dilepaskan dari konteks
sosial. Dengan kata lain kaum Muslim sadar akan fikih hanya sebatas
dalam ibadah mahdhah, tidak dalam ibadah muamalah (sosial).

Pada sisi lain, mengandaikan Islam hanya sebatas nomos, akan


mengalami kepincangan dalam mengaplikasikan keberislaman. Islam
sebagai “pandangan dunia” holistik, ketika dipahami secara parsial
tidak menutup kemungkinan mengalami pendistorsian. Memusatkan
Islam hanya pada satu “wajah” yang sebenarnya bukan merupakan
ruh agama, yaitu fikih, akan mengalami simplisifikasi dalam
membingkai realitas. Sebagai contoh, ketika kaum Muslim hendak
mencari jalan keluar atas pelacuran, akan sangat menyulitkan bila
hanya dilihat dari sudut fikih. Dalam fikih, jangankan pelacuran,
hubungan seksual dengan pasangan yang belum dinikahi pun tidak
dibenarkan. Masalahnya, pelacuran tidak hanya persoalan moralitas,
ia juga persoalan politis dan ekonomi. Menghadapi kenyataan seperti
ini, tentu saja Islam tidak akan efektif dalam melakukan perubahan
transformasi sosial bila dipandang sebatas agama nomos. Untuk
mencari jalan keluar atas pelacuran, tidak boleh tidak harus melihat
dari berbagai segi dan berbagai pendekatan serta metodologi, jangan

~ 65 ~
melulu fikih. Sama halnya dengan tindakan kriminal. Ia bukan melulu
soal moralitas. Selain itu, selama ini fikih selalu dikaitkan dengan
moralitas. Sehingga ketika ada individu yang melanggar ketentuan
fikih langsung saja dianggap tidak bermoral. Pelaku pelacuran dan
pencurian bisa dijadikan contoh yang baik. Mereka selalu saja
dianggap tidak bermoral, serta penghuni neraka.

Di samping itu, wajah fikih menciptakan asumsi bahwa Islam tidak


sejalan dengan hati nurani dan akal. Ini diindikasikan bahwa untuk
melakukan segala sesuatu Muslim harus merujuk ulama fikih.
Padahal fikih merupakan produk manusia, tepatnya produk akal dan
hati nurani (dalan bahasa Arab nur berarti cahaya. Dengan demikian,
bisa diartikan bahwa hati nurani adalah fakultas hati yang
teriluminasikan cahaya atau pengetahuan). Artinya, setiap Muslim,
pada titik tertentu, mampu menjawab segala tindakannya apakah ini
baik atau tidak, tanpa perlu merujuk ulama fikih. Memang pada titik
tertentu tdiak semua orang mampu menyimpulkan hukum
(istinbath), namun bukan berarti ketika hendak buang air kecil
sampai tidur harus merujuk ulama fikih. Inilah yang dimaksud bahwa
fikih menciptakan asumsi bahwa Islam tidak paralel dengan nalar dan
hati nurani. Untuk memutuskan bahwa tindakan korupsi yang banyak
dilakukan orang Islam itu tidak perlu merujuk ulama fikih. Dengan
nalar dan hati nurani sudah mampu menjawabnya.

Betapa pun, mengandaikan islam, sebagai agama nomos, sama saja


menampilkan wajah keislaman yang tidak ramah, keras, kaku,

~ 66 ~
menakutkan, maskulinitas, dsb. Boleh jadi mungkin itu salah satu
wajah Islam. Kendati demikian bukan itu satu-satunya wajah Islam—
kalau wajah Islam yang serba horor dan galak itu diterima sebagai
salah satu wajah Islam. Selama ini sisi “feminin” dari Islam tidak
pernah diperlihatkan. Dengan kata lain, Islam sebagai “agama cinta”
tidak pernah ditampilkan. Sebagai agama yang merangkul segala
manusia, sebejat apa pun manusia itu. Sebagai agama yang
mendorong orang untuk tidak berputus asa dalam menjalani
kehidupan. Bukannya menakuti-nakuti orang serta menina-bobokan
orang. Sebagai agama yang tidak bertentangan dengan nurani dan
akal.

Yang perlu ditekankan adalah Islam mempromosikan kemudahan.


Ketika Islam sudah menyusahkan, tentu patut dipertanyakan
relevansi Islam dalam kehidupan. Hal ini ada dua kemungkinan.
Pertama, dari Islam itu sendiri. Yang dimaksud adalah ajaran-ajaran
atau prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Kedua, adalah pemahaman atau
penafsiran terhadap Islam itu sendiri. Ini hendak mencari landasan
normatif bahwa Islam terkait dengan soal kehidupan sosial manusia,
bukan melulu “ketuhanan” yang jauh “di atas” sana, dalam artian
apakah pemahaman transendental-metafisis tersebut tidak terkait
dengan kehidupan manusia. Dari pemaparan sebelumnya, bisa
diketahui bahwa nilai-nilai Islam bersentuhan dengan kehidupan
sosial. Apa pun itu wajah dari Islam selalu terkait dengan ranah sosial.
Sebagai misal, tauhid tidak akan bermakna bila tidak
dimanifestasikan dalam konteks sosial.

~ 67 ~
Secara umum ibadah adalah urusan antara seorang ‘abd (penyembah
atau hamba) dengan ma’bud (yang disembah); hablun min Allah,
sedangkan urusan muamalah adalah urusan antara manusia dengan
sesamanya; hablun min al-nas. Yang pertama adalah urusan ritual,
yang kedua adalah urusan sosial. Dalam al-Quran dan kitab-kitab
hadits, proporsi terbesar kedua sumber ajaran Islam tersebut
berkenaan dengan urusan muamalah. Ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat
berkenaan kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Untuk
satu ayat ibadah ada seratus ayat muamalah. Begitu juga di dalam
kitab hadits. Dari dua puluh jilid Fath al-Bari: Syarah Shahih Bukhari,
hanya empat jilid berkenaan dengan urusan ibadah. Dalam Islam bila
waktu ibadah bersamaan dengan urusan muamalah penting, ibadah
boleh ditunda atau ditangguhkan pelaksanannya. Ibadah yang
mengandung segi sosial diberi ganjaran besar daripada ibadah
bersifat perorangan. Ketika urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena satu hal, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Orang
yang tidak mampu berpuasa diharuskan memberi makanan kepada
orang miskin, di sebut fidyah.

Menariknya, bila orang tidak baik atau melakukan kesalahan dalam


urusan muamalah, urusan ibadah tidak dapat menutupinya. Ketika
seseorang merampas hak orang lain, tidak dapat menghapus dosanya
dengan shalat tahajud. Ketika aku melukaimu, kesalahanku tidak
dapat ditebus dengan “nungging” ribuan tahun. Satu-satunya cara
adalah aku meminta maaf kepadamu. Melakukan amal baik dalam

~ 68 ~
urusan sosial, lebih baik daripada ibadah sunnah. Bahkan kebaikan
dalam urusan sosial pada titik tertentu menjadi penentu diterimanya
atau tidak, atau bermanfaat atau tidak ibadah seseorang.
Diriwayatkan Tuhan telah berkata melalui Muhammad saw pada
hadits qudsi, bahwa “tidak beriman kepada-Ku orang yang tidur
kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” Juga diriwayatkan
Muhammad saw berkata bahwa “hamba yang paling dicintai Allah
ialah yang paling bermanfaat bagi manusia. Dan amal yang paling
utama adalah memasukkan rasa bahagia pada hati orang (beriman)—
(seperti) menutup rasa lapar, membebaskan (orang) dari kesulitan,
atau membayarkan utang.”

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa urusan sosial lebih penting


daripada urusan ibadah. Dengan kata lain, upaya apa pun yang sudah
dilakukan dalam ibadah, penentu diterima atau tidaknya, atau
bermanfaat atau tidaknya ditentukan dalam kehidupan sosial. Islam
yang setting sejarahnya merupakan agama yang membebaskan kaum
tertindas, nyatanya kini malah agen penindas baru—ingat kasus
Taliban. Islam yang dasarnya memanusiakan manusia, malah
mengalienasikan manusia, saling kafir-mengkafirkan, bahkan saling
bunuh, hanya berbeda pemahaman atau penafsiran atas Islam—ingat
kasus Ahmadiyah, Muhammadiyah antara NU, peristiwa Sampang,
Syiah, hingga Cikeusik. Islam tidak menjadikan pemeluknya saleh
dalam kehidupan sosial, malah beringas dalam merusak sesuatu—FPI

~ 69 ~
contoh bagus. Islam belakangan dipahami sebagai agama horor dan
menampilkan Tuhan yang Mahagalak, main azab saja—lihat acara-
acara Rahasia Ilahi serta variannya. Pendek kata, Islam telah gagal
dalam menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik, baik itu dalam
skala kecil maupun skala besar. Kegagalan ini bisa dilacak sumber
permasalahannya, yaitu absennya pemahaman keislaman dalam
bingkai sosial.

Tauhid yang nyatanya tidak persoalan teosentris belaka, melainkan


persoalan antroposentris, tidak pernah dipahami. Sehingga konsep
monoteisme atau tauhid tidak termanifestasikan dalam kehidupan
sosial. Teologi selama ini dipahami hanya sebatas soal ketuhanan
dalam perspektif transendental-metasfisis-spekulatif. Seperti, apakah
Tuhan itu zat atau sifat; apakah ia mempunyai sifat atau tidak;
apakah firmannya bersifat qadim atau hadits (baru); teologi selama
ini tidak pernah membahas bagaimana zat atau sifat Tuhan itu
difungsikan atau bagaimana menerapkan konsep monoteisme dalam
keseharian, dengan kata lain teologi tidak pernah dilihat dalam
perspektif empirik. Implikasi pemahaman model seperti ini telah
menjadikan tidak bermakna dimensi-dimensi Islam, sebagai agama.

Kaum Muslim harus merubah pandangan tauhid dan teologi bercorak


transendental-metafisis-spekulatif yag mengawang itu. Pemahaman
tauhid dan teologi harus dilihat dari sudut perspektif empirik-sosial
untk menemukan maknanya dalam kehidupan sosial. Karena Islam
mengutamakan kehidupan sosial, maka kesalehan sosial sebagai

~ 70 ~
falsumeter kesalehan keberagamaan perlu dibangun. Pada sisi lain,
konsep tauhid serta ibadah tidak akan bermakna bila tidak dipahami
dalam perspektif sosial. Karenanya merupakan suatu keniscayaan
mengukur kesalehan seseorang dalam perspektif sosial. Kalangan
Muslim yang menawarkan blueprint masyarakat dengan sistem
khalifah atau syariat Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Partai Keadilan Sosial (PKS), Front Pembela Islam (FPI), serta
anekavarian lainnya, harus dibenturkan dengan perilaku mereka
dalam kehidupan sosial. Blueprint apa pun, entah itu dilatari
semangat keagamaan atau tidak, tidak akan bermakna bila perilaku
yang menawarkan blueprint tersebut tidak membuat mereka saleh,
dalam pengertian kesalehan sosial.

Hampir saja lupa, guruku Tarjo adalah seorang Kristen, dan ia adalah
murid kesayangan Wiro Sableng.

~ 71 ~
27 November 2013

Ambil parang pemancung talang


Selasih berhurai daun
Habis daging tinggallah tulang
Kasih ditolak sampai belum
Air ditebang tebing runtuh
Selasih digenggam mati
Baju dan kain dipakai lusuh
Kasih ditolak dibawa mati.

~ 72 ~
Di perbatasan Pekan Baru, tepatnya sebuah jalan besar pemisah, di
kiri kanannya hutan digunduli. Choirul memberhentikan motor,
mengambil rehat kopi di sebuah warung. Aku mengikuti insting,
menyaksikan kekejaman kapital mengeluarkan tawa dari bara api.
Kakek yang bersamanya, sang penjual makanan kering, lebih pantas
disamakan dengan Kamesenin, Jin kura-kura dalam serial anak
Dragon Ball Z. Kamera di tanganku tak bereaksi, tapi aku tak peduli,
ketakjubanku benar-benar di luar kekuasaan emosi. Aku berdiri
tegak, meraup sebanyak mungkin dendam di dada. Sebelum pulang,
si kakek tua itu berkata bahwa daerah asalku adalah daerah paling
indah yang pernah ia jumpai seumur hidup, sebuah lokasi yang
dipisahkan oleh gunung dan laut sekaligus. Ia mungkin tak paham
bagaimana kota itu kini. Ia tak perlu tahu, jangan sampai tahu,
harapku.

Biarlah memori si kakek hanya mengenal kata indah,


cantik, atau mempesona, dari sebuah pasak yang hampir runtuh
ditopang Nekropolia. Cerita itu kukutip kembali pada seorang tetua,
hampir 90 tahun usianya. Sebenarnya ini berawal dari ingatanku yang
tergesa-gesa. Paska Sai Amati, biola baru kesayanganku resmi jadi
anggota keluarga kehidupanku, aku teringat jauh pada satu masa di
pulau Sarudik. Entah Angku (sebutan kakek dalam bahasa pesisir) apa
namanya yang pernah tinggal di sana, yang sewaktu usiaku terbilang
ingusan, kisaran 7 tahunan. Kala itu, dengan gegabah memprediksi
letak waktu pasti, tahun 1996, pulau kecil di seberang pelabuhan
utama kota ini belumlah ramai. Barangkali hanya dua anggota

~ 73 ~
keluarga yang tinggal disana. Belum ada listrik, pabrik, kapal
pencemar, speed boat berlimbah, pukat harimau, pukat induk, dan
semacamnya. Aku serasa seperti di pulauCastaway yang
menelantarkan Tom Hanks dalam filmnya.

Aku yakin biola itu impor, mengingat gitar yang dikenal masyarakat,
dari genjrengan pemabuk di lapo tuaknya, hampir semua buatan
tangan. Harganya tergolong mahal untuk seorang pemuda waktu itu,
oleh karenanya arena pemabuklah yang mau memilikinya, dengan
distorsi biaya yang sudah diperhitungkan matang-matang. Selain
nyamuk,Kaliranggo (sejenis nyamuk merah besar), orkestrasi hewan
pinggiran pantai, mercusuar di kejauhan, suara biola-lah yang dapat
memecah malam. Dari kesunyian, dari kepedihan, keletihan, badai,
jaring nelayan yang pupus, atau mata kail pancing yang enggan
dihampiri ikan. Si Angku menjadi wujud seniman, dan aku belum
paham apa itu musik, apa itu nyanyian, apa itu biola, apa itu lagu dan
syair, karena yang aku ketahui pasti, suasana musikal yang
dimainkannya begitu mistis.

Coba kudeskripsikan ulang, semoga kata-kata mampu menjangkau


situasinya. Bayangkan engkau berdiri di sebuah titik pasir pantai yang
masih berair. Rasa lembabnya menempelkan sendal karetmu ke
tanah. Ketika engkau membuka mata, tak ada sinar yang kau lihat,
kecuali kegelapan. Gelap merupakan terang yang lain bukan? Hampir
saja total, kegelapan total. Degup jantung ketakutanmu bercampur
dengan keringat basah, mengisyaratkan sebuah pepatah, sesegera

~ 74 ~
mungkin aku kembali ke darat, aku ingin pulang. Otakmu berubah
jadi kebun binatang, yang di dalamnya berisi kumbang, laba-laba,
harimau, ular, semut besar, hingga anjing hutan. Engkau bertambah
takut kala perasaanmu menjelma menjadi sarang setan. Di dada mu
terindentifikasi Kuntilanak, Begu Ganjang, setan alas, genderuwo,
sampai hantu Belau dengan muka bersayat-sayat. Mengerikan,
engkau merasakan takut yang luar biasa, sampai tiba-tiba ada suara
yang menetralisir itu semua.

Biola.

Dari manakah sumber suara itu? Ujarmu dalam hati. Seketika


ketakutanmu hilang perlahan, engkau lebih berani melangkahkan
kaki, mencari sumber suara. Engkau rengkuh kedua telapak kakimu,
menelusuri ilalang dan rerumputan tinggi yang menjulang. Mengibas
gerombolan dedaunannya, melipir perlahan, sampai kau temukan
sebuah gubuk. Di sana rupanya hidup sebuah keluarga dengan istana
rumbia-nya. Ada 4 kepala saat itu, kalau tidak salah. Semuanya kau
kenal dengan baik, selain memang ayah dan keluargamu adalah bos
mereka. Mereka adalah suruhan sekaligus penjaga usaha-usaha kecil
yang berdiri di sana, mulai dari kebun kelapa, perebusan ikan, sampai
pondok pembuatan perahu. Ayahku masih saja belum terlihat
wujudnya, biasanya jam segitu, ia menghabiskan Mariyuana nya
terlebih dahulu, mengantongi ikan pancingannya, atau menunggu
kakek selesai menghimpun kelapa untuk dibawa ke kota.

Aku tak mau pulang.

~ 75 ~
Dengan berat hati, kemanjaan anak usia 7 tahun ketimbang 12 tahun
tentu berbeda. Semakin bertambah usiaku, semakin berkurang servis
kedua orang tuaku. Entah itu sebagai bukti kekuatan yang harus
kutanggung semeningkatnya umurku, atau bagaimana. Yang pasti,
saat itu keduanya datang selepas 2 sampai 3 lagu melantun dari biola
si kakek. Angku pemain biola. Dari sanalah aku berkenalan untuk
pertama kalinya dengan tembang mistis yang menghanyutkan itu,
untuk tidak berkata tepat, bahwa seterusnya aku tak bosan-bosannya
meminta dimainkan lagu-lagu tradisional itu. Aku yakin, suara biola
yang dihasilkan bukanlah biola yang biasa kukenal, baik Sai Amati,
Hoffner milik Ambon di Simpang Dago, atau biola impor milik seorang
pengamen yang ia beli 4 juta rupiah. Ini berbeda, dan tak begitu yakin
pula itu bagian dari mitos Stradivari yang dimiliki seorang kakek di
Jombang sesuai informasi yang kudapat. Atau fenomena konseptual
seni yang banyak dibicarakan kawanku berlaku disini, bahwa bukan
alat musik bermerk apa yang kau punya, melainkan bagaimana kau
menyanyikannya. Ortodoks?

Sejak kedatangan Sai Amati beberapa minggu lalu yang kubeli hampir
2 juta di kota Medan, aku terus bertanya pada ayah siapa kakek yang
pernah menjaga pulau itu. Siapa orang suruhan keluarga itu. Ia
mengantarkanku ke beberapa tempat yang diyakininya pernah
ditinggali. Ada kabar yang menyatakan kakek itu sudah meninggal,
dan ia pemain biola satu-satunya kelompok seni daerah kelurahanku.
Aku lesu, dan merasakan pelajaran berharga, bahwa hal yang dulu
kita anggap biasa ternyata berpengaruh di kedepannya. Setidaknya

~ 76 ~
kasus ini, juga mengikuti keyakinan ayahku yang berkata bahwa aku
cocoknya berbincang dengan orang-orang tua membawaku pada
seorang tua yang kusebutkan di atas, mulai dari cerita tentang
sebuah hutan yang digunduli di Pekan Baru, kenangan suara biola
begitu merindukan melebihi seorang kekasih lama yang kini di Eropa,
juga polemik personalku yang tak kuat mengingat

Terkadang, beberapa hal sangat sulit untuk dilupakan, dan hal itu
juga begitu menakutkan untuk diingat.

Bersama kakek tua itu, aku berhasil melalui masa kehancuran dalam
kelupaan tragik yang kurasakan. Kami berdiskusi banyak, bertukar
pikiran tentang gelisah juga bahagia. Tema yang paling nyentrik
datang dari nyanyian. Tersebutlah seni Sikambang khas pesisir. Ia
adalah campuran tari dan musik, yang tentunya berbeda dengan khas
melayu atau Minangkabau. Ia merupakan kesenian asli sepanjang
pantai daerah Sumatera. Orang-orang laut, orang-orang pelabuhan,
orang pantai, sampai anak-anak seribu pulau. Uniknya, memainkan
seni ini biasanya dengan gendang kulit kambing buatan sendiri,
dengan khas echo pukulannya yang bimbang. Gendang sebagai
pengatur tempo untuk irama Akordion atau Biola yang mampir. Si
kakek memperagakan bagaimana cara bernyanyi-nya.

Aku terkejut, karena kesan syair dan lirik serta cara penyajiannya
sangatlah spontan. Bisa kukatakan, bagaimana cara mengangkat
adonan emosi dari periuk hati untuk dihidangkan di meja suara.
Biarkan tenggorokan mencerabut perasaanmu, begitulah kasarnya. Ia

~ 77 ~
menambahkan, tak jarang liriknya berupa kiasan hati, yang
ditinggalkan pergi, yang melancong, yang gundah, yang bahagia, baik
pada orang lain, perahu dan musim, laut dan ombak, juga pada
semesta. Intinya, bagaimana kau meluapkan perasaanmu dengan
kalimat puitik dibumbui irama rasa yang ingin dituangkan digelas
nyanyian. Silakan cari beberapa contoh rekaman Sikambang di
internet, pasti deskripsiku tidak akan jauh dari yang kuutarakan. Apa
artinya? Lebih tepatnya, apa yang bisa kumaknai?

Ini bukan membicarakan kritik seni kontemporer, atau gagasan


lampau keindahan lagu tradisional. Biarlah para musikus, ahli sastra,
atau spesialis sejenis yang mencarinya, akan tetapi aku memaknainya
sebagai sebuah ekspresi. Adakah, di zaman serba teratur,
terhegemoni, termekanisasi, terkontrol, ter-ter-ter lain seperti saat
ini, sesuatu tak memiliki batas apapun. Kurasa Sikambang salah
satunya, jika definisiku mengikuti ujaran dan nyanyian saat si Kakek
contohkan. Pernah kita menangis sambil berkata-kata, semisal saat
menyaksikan seorang ahlul bait menangisi ibunya yang sudah
memutih di pembaringan jenazah? Pernah pulakah kita tertawa
sambil berkata-kata, seperti lawak yang tak sabar kita ceritakan
esensi komedinya pada seorang kawan? Pernahkah saat kita
mendengar lagu tiba-tiba menangis, murung, sedih, gembira, atau
dada berguncang? Begitulah Sikambang menyerukan.

Untuk sedikit berbangga, aku telah bernyanyi untuk kegembiraan,


kesedihan, kematian, kelahiran, juga segala emosi-emosi, oleh

~ 78 ~
karenanya suaraku tak pernah becus menggapai standarisasi tata
vokal yang baik. Aku akui pula ini sebagai pledoi seseorang yang tak
bisa bernyanyi. Aku cuplik Henry Miller sedikit, bahwa ini bukan
masalah gitar, lagu, nyanyian, atau akordeon yang kau mainkan, akan
tetapi esensinya adalah engkau ingin bernyanyi. Bernyanyilah, sekali
lagi bernyanyilah. Seketika mengikut pula saran tematik lainnya:
menarilah, menarilah. Atau: mabuklah...mabuklah. Baudelaire benar
adanya, bahwa seseorang harus mabuk, agar esensi bisa dikecup.
Esensi yang hanya individu itulah yang memaknainya. Lantas, bisa
apa aku ketika kegelapan, ketiadaan, kematian, keterpenjaraan total
menghampiri posisiku, selain menyanyikan emosi? Konyolnya, tak
ada gitar, biola, atau keyboard elektrik di nirwana? Mari tertawa.

Akhirnya, tulisan terakhir untukmu Zarathustra berdasar atas


kunjungan ibumu malam ini. Kami makan nasi goreng dan martabak
mesin (mengikuti slogan kakakmu aska yang kaprah menerjemahkan
Mesir) bersama, ada Andi dan Irma pula tadi. Pertanyaan besar yang
tak habis pikir saat ibumu menyangsikan, kalau saja engkau terlahir
perempuan. Bisa jadi aku harus mengulangi rangkaian tulisan ini
dengan tema cinta yang lebih banyak ketimbang perang. Tapi tak
mengapa, ini bukan soalan gender atau alat kelamin. Ini soalan jiwa
kurasa. Sejak aku meniadakan tuhan, mengubur agama, memisahkan
diri dari politik-politik kekuasaan, meludahi norma, atau dalam
sloganisitik kali ini kurangkum sebagai peniadaan segalanya, aku
dihantam sebuah ketakutan seperti berdiri di tanah basah pasir
pantai di usia 7 tahun seperti paragraf sebelumnya yang kuceritakan.

~ 79 ~
Andaikan tak ada lentera yang membimbingku keluar dari kegelapan
total untuk mencumbui seberkas sinar saja dalam kehidupan, aku
harus menangungnya sepenuh hati. Aku merasa kebaikanku tak
diganjar pahala, kelakuan burukku tak termasuk dosa, tuhanku,
iblisku, semuanya kabur. Aku dihempas kebimbangan, lautan serasa
hambar, dahaga pun tak lepas, sehingga kebenaran benar-benar
menjelma menjadi hantu. Di saat seperti itu, hingga kini yang terus
menggelitiku dengan seribu argumen dan rasionalisasi pikiran dan
tindakanku, aku menghadapi ketakjuban sekaligus keputusasaan tak
henti akan aroma kehidupan. Aku terus menghirupnya tanpa ada
landasan, struktur, dan pegangan sama sekali. Aku bersenjatakan
kenihilan, untuk memaksanya terus aktif, dan di saat yang sama, baik
atau tidak kusebut ia sebagai Seni, telah membawaku pada
pertarungan panjang melelahkan dan menggairahkan hingga detik
ini, untuk tetap bertahan.

Sebutlah itu seni, mengikut semua definisi, makna, dan pengertian di


baliknya, menjadi satu-satunya yang aku reproduksi dari jiwaku untuk
mengendarai diri ini, hingga berlabuh di peti kematian, jeda sebelum
pelayaranku berangkat ke kehidupan sesungguhnya. Seni serupa
cinta, dan sekali lagi biarlah aku gegabah, semenjaka hidup saat ini
membutuhkan istilah, penyebutan dan definisi semampuku
memahami. Seni membawakanku sepiring cinta, untuk kukunyah
melewati apa-apa. Semua yang aku dasari atas cinta, membenarkan
kejahatan dan kebaikan diluarnya, melampauinya, apalah itu. Dengan
seni, segalanya tak jelas, kabur, penuh misteri. Menakutkan sekali

~ 80 ~
memang ketika hidup tak memiliki arti yang tepat dalam
pengkondisiannya.

Maka dari itu, seperti pencarian sumber suara yang dimuntahkan


senar biola dari sebuah gubuk reot di sebuah pulau, aku sedang
mengulangi banyak hal akan jejak. Aku adalah suara syair dalam
Sikambang. Aku adalah tarian keotik dalam Sikambang. Aku adalah
biola dan rebab dalam irama yang menjaga ketidakteraturan
komposisi Sikambang. Aku adalah gurindam, sajak, dan puisi yang
dinyanyikan dan ditangisi dalam lirik Sikambang. Aku adalah
sikambang. Aku adalah hal yang tak pernah berujung pada pencarian.
Tak lain, tulisan ini juga sebentuk irama yang dibunyikan si Kakek
pada seorang anak yang akan lahir ke dunia. Anak polos tak tahu apa-
apa, dengan gembira dan dukanya mencari sumber suara. Aku
tengah menyuarakan kebenaran yang aku temui keindahan dan
ketangkasannya padamu, kelak tangisan pertamamu berdentang
melebihi gema suara di lorong bukit, dengarlah aku sekali saja bahwa
engkau telah hidup dan siap bertanggung jawab.

Terakhir, pesan Tecumseh cukup menggenapkan semuanya. Selamat


Datang, ayo kita berkelahi!

"Semangatilah hidupmu dengan keyakinan bahwa perasaan takut


mati takkan pernah bisa masuk ke dalam relung hatimu. Jangan
persulit siapa pun karena agama mereka, hormatilah pandangan
hidup orang lain, dan mintalah agar mereka menghormati milikmu
juga. Cintailah hidupmu, sempurnakanlah hidupmu, perindahlah

~ 81 ~
segala sesuatu yang ada didalam kehidupanmu. Berusahalah untuk
membuat hidupmu lebih panjang dengan tujuan melayani orang-
orang disekitarmu. Siapkan lagu kematian yang mulia pada hari
ketika engkau menghadapi perpisahan yang agung itu. Berikanlah
selalu kata atau tanda penghormatan saat bersua atau melewati
seorang teman, ataupun orang asing, ketika berada di tempat yang
lengang. Tunjukkan rasa hormat kepada semua orang dan jangan
merendahkan siapapun. Ketika engkau bangun di pagi hari,
bersyukurlah atas makanan dan keriangan hidupmu. Jika engkau
tidak melihat alasan untuk mengucap syukur, berarti ada yang salah
pada dirimu-sendiri. Jangan menyalahgunakan orang lain atau
apapun itu, karena hal itu ternyata membuat orang bijak menjadi
orang bodoh dan merampok semangat impiannya. Ketika tiba
saatnya engkau menghadapi kematian, janganlah seperti mereka
yang hatinya dipenuhi dengan rasa takut akan kematian, sehingga
ketika saatnya tiba mereka menangis dan berdoa meminta sedikit
waktu guna menjalani kehidupan mereka lagi dengan cara yang
berbeda. Nyanyikanlah lagu kematianmu dan matilah bagai
pahlawan yang pulang ke rumah."

Tarjo

27 November 2013

(Oh iya, hari ini juga hari ulang tahun ibumu yang ke 33 tahun)

~ 82 ~
~ 83 ~
"Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa aku ke tempat
yang dikutuk oleh segala kitab-suci dunia, tetapi engkau, hatiku,
berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain....
Dan di sana kita berkenalan, engkau dengan aku;
apakah bedanya engkau dengan aku?"
— Amir Hamzah, ‘Nyoman’ (1930)

~ 84 ~

Anda mungkin juga menyukai