Anda di halaman 1dari 5

"Nah kalau kau masih Jawa, kau akan selalu bisa menulis Jawa Kau menulis

Belanda, Gus, karena kau sudah tak mau adi Jawa laS Kau menulis untuk orang
Belanda Mengapa kau ndahkTn benar mereka ? Mereka juga mmum dan makan dan
bumi Jawa Kau sendiri tidak makan dan — dan bumi Belanda. Coba, mengapa kau
indahkan benar mereka ?
"Sahaya, Bunda”
"Apa yang kau sahayakan ? Nenek-moyangmu dulu raja-raja Jawa itu, semua
menulis Jawa. Malu kiranya kau jadi orang Jawa ? Malu kau tidak jadi Belanda ?
Dungulah aku bila menjawabi kata-kata Bunda yang diucapkan denian lemah-lembut
namun
terimbangi itu. Ya-ya, semua menuntut dan diriku. Juga Bunda sekarang ini. Bunda
tahu dan aku pun tahu, aku takkan menjawab. Ia lebih banyak bicara pada nenek-
moyangnya unUikjsudi mengampuni aku, anak kesayangannya. Nenek-moyang tak
boleh murka padaku. Ah, Bunda, Bundaku tercinta, ibu yang tak pernah memaksa
aku, tak pernah menyiksa, biar satu cubitan kecil pun, tidak dengan kata, tidak pula
dengan jari.
"Nah, kenakan kain batik ini. Sekarang. Telah Bunda batik-kan sendiri untukmu buat
kesempatan ini. Bertahun lamanya aku simpan dalam peti khusus, setiap minggu
ditaburi kembang melati, Gus. Setelah aku dengar cerita orang dari suratkabar
tentang jalannya sidang itu, segera aku sucikan kain ini, Gus. Satu untuk kau, satu
untuk menantuku. Coba periksa batikan Bunda ini, dan cium, harum melati bertahun
itu." Jadi aku periksa kain batik itu dan kucium: "Indah, Bunda, luarbiasa. Harum.
Dan wanginya meresap sampai ke dalam benang."
"Uah, tahu apa kau tentang batik," dan sengaja ia tidak melihat padaku, tahu aku
sedang meringis kesakitan. "Aku nila dan aku soga dengan tangan sendiri, Gus. Juga
nila dan soga buatan sendiri. Ciumlah lagi harumnya, wangi soga itu masih ada," dan
kain itu Bunda sorong pada hidungku. "Sedap, Bunda "
"Uah, macammu! Aku juga sudah senang, Gus, dapat melihat kau sudah pandai
berpura-pura untuk menyenangkan hati peremupuan tua ini," dan sekali lagi ia tak
memandangi aku yang meringis kesakitan. "Aku sudah merasa, calon menantu dan
besanku tidak bisa membatik. Jadi aku mesti kerjakan ini. Waktu aku masih kanak-
kanak. Gus, buruk benar perempuan tak bisa membatik."
"Batikan Bunda begini halus Satu bulan? ,
"Dua bulan, Gus, dua batikan khusus untuk ini.”. Kalau setelah itu kalian buang,
terserahlah"
"Akan sahaya simpan seumur hidup Bunda" "Betapa kau pandai menyenangkan
hatiku. Itu ucapan anak yang berbakti..... Juga untaian-untaian bunga ini buatanku

! 246!
sendiri. Kens ini peninggalan Nenendamu, sudah berumur ratusan tahun sebelum
ada Mataram, sebelum ada Pajang. Jaman Majapahit, Gus."
"Dari mana Bunda tahu ?"
"Husy. Keterlaluan kau, Gus. Kan ada silsilah di rumah Nenendamu dulu ? Kau tak
pernah dengarkan beliau. Itu salahmu. Mungkin hanya Belanda saja kau anggap
berharga bicaranya. Keris ini pernah dipergunakan oleh semua nenek-moyangmu
kecuali ayahandamu. Keris ini disediakan Nenekdamu untuk kau, Gus. Ah,
bagaimana harus bicara denganmu ? Sungguh,
Bunda sudah tak tahu, Gus. Maafkan perempuan tua tak tahu apa-apa ini, Gus."
"Bunda!"
"Tak ada orang Belanda bisa bikin keris, Gus. Tak mampu dan takkan mampu. Coba
buka, akan kau lihat tapak-tapak ibu-jari empu linuhung yang membikinnya."
Waktu itu aku sedang mengenakan kain batik, kataku: "Ampun, Bunda, coba Bunda
tarikkan keris itu untuk sahaya, biar sahaya lihat."
"Husy. Kau memang sudah bukan Jawa. Apa kau samakan ini dengan pisau dapur ?"
Waktu aku lihat butir airmata pada wajahnya buru-buru aku ikat kain batik itu dan
menyembahnya:
"Ampun, Bunda, bukan maksud sahaya hendak sakiti Bunda. Ampun, beribu ampun,
ya, Bunda."
Bunda membuang muka dan menghapus airmata dengan pundaknya.
"Jangan keterlaluan, Gus, juga jangan keterlaluan bukan-Ja-wa-mu. Mulai kapan
perempuan boleh menarik keris dan sarungnya ? Keris hanya untuk lelaki. Yang
untuk perempuan bukan keris namanya. Jangan sembarangan. Kau pun takkan bisa
bikin ini. Hormati orang yang lebih bisa daripada kau. Lihat N Pada cermin nanti.
Kalau keris sudah kau selitkan pada pinggangmu, kau akan berubah. Kau akan lebih
mirip dengan leluhurmu, lebih dekat pada asalmu." . .
Dan Bunda terus juga bicara dan bicara. Dan riasan itu akhirnya selesai juga.
Nah sekarang kau duduklah dilantai. Tundukkan kepala-mu. Pada kesempatan
seperti itu tahulah aku apa yang akan menyusul; wejangan sebelum pesta
perkawinan. Tak bisa lain.
Nah wejangan itu akan dimulai. ”Kau keturunan darah para satria Jawa ... pendiri
dan pemunah kerajaan-kerajaan ... Kau sendiri berdarah satria. Kau satria..... Apa
syarat-syarat satria Jawa ?
"Sahava tidak tahu. Bunda. .
"Husy Kau yang terlalu percaya pada segala yang serba Belanda. Lima syarat yang
ada pada satria Jawa: wisma, wanitaa, turangga, kukiia dan curiga. Bisa mengingat”
"Tentu saja, Bunda, bisa." "Kau tahu artinya ?" "Tahu, Bunda."

! 247!
"Dan kau tahu lambang-lambang apa itu
"Tidak, Bunda." . . ..
"Anak tak tahu di asal, kau. Dengarkan, dan sampaikan kelak pada anak-anakmu....."
"Sahaya, Bunda." .
"Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya
gelandangan. Rumah, gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali.
Rumah bukan sekedar alamat. Gus, dia tempat kepercayaan sesama pada yang
meninggali. Kau sudah bosan' "Sahaya mendengarkan." Ia tarik kupingku:
"Kau yang tak pernah dengarkan orangtua........"
"Sahaya dengarkan. Bunda, sungguh." "Kedua, wanita. Gus, tanpa wanita satria
menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan
penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri
untuk, suami. Wanita- sumbu pada mana semua, penghidupan dan kfehidupan
berputar dan berasal. Seperti itu juga kau harus pandang ibumu yang sudah tua ini,
dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti kau harus per-
siapka."
"Sahaya, Bunda."
"Orang Belanda tak tahu semua ini, Gus. Tapi kau harus tahu, karena kau Jawa."
"Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana:
ilmu, pengetahuan l trampilan, kebiasaan, keahlian, dan akhirnya kemajuan. Tanpa
turangga takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu"
Aku mengangguk-angguk menyetujui, mengerti itu juga kebijaksanaan yang lahir
dari pengalaman berabad Hanya aku tak tahu siapa punya kebijaksanaan itu? Nenek-
moyang atau Bunda pribadi.
"Keempat kukiia, burung itu, lambang keindahan kela ngenan , segala yang tak
punya hubungan dengan penghidupan hanya kepuasan batin pribadi. Tanpa itu
orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu Gus lam
bang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang
empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar binasa bila mendapat
gangguan..... Nah, kau anak lulusan H.B.S., kan yang begitu tak pernah diajarkan
gurumu ? orang-orang Belanda itu ? Nah sekarang kau sudah tahu semua itu sebagai
satria. Kalau belum ada salah satu dari yang lima itu adakanlah. Jangan pungkiri
yang lima itu. Setiap daripadanya adalah tanda-tandamu sendiri. Kau harus
dengarkan leluhurmu. Kalau yang lain-lain tak dapat kau patuhi, yang lima itu
sajalah genapi dengan baik. Kau dengar, Gus ?"
"Sahaya, Bunda." ..
"Sekarang bersamadilah, memohon restu dan ampun pada leluhurmu, biar dijaga

! 248!
kau dari aniaya, fitnah dan dengki."
Aku masih tetap duduk di lantai, menunduk.
"Bukan begitu. Bersila yang baik. Tangan tergantung lemas terletak di atas
pangkuan. Jadilah Jawa yang baik, biar pun hanya untuk sebentar dan sekali ini saja.
Menunduk lebih dalam, Gus."
Telah aku lakukan semua perintah dan keinginannya. Dan memang aku memohon
ampun dari leluhur tak kukenal itu dan tak dapat kubayangkan. Sekali malah wajah
si Gendut melintas.
Bunda duduk berlutut di hadapanku, mengalungkan untaian melati pada leherku, la
tersedan-sedan. Kemudian ditaruhnya rangkaian kecil bunga-bungaan dalam
genggaman dua belah tanganku. Dengan tangannya, tanpa bicara, ia gerakkan jan-
janKu untuk menggenggam Ia cium keningku di bawah lengkung blangkon, dan ia
makin tersedan-sedan. Aku rasai airmatanya menjatuhi pipiku. Dan tiba-tiba aku
pun menangis
Gambaran nenek-moyangku yang belum lagi sempat berwajah menjadi buyar,
digantikan oleh perasaan yang mengaduk dalam dada, memeras airmata lebih deras.
"Restui anak ini, anak darahmu, anak kesayanganmu. Lindungi dia dari malapetaka,
dari aniaya, fitnah dan dengki, karena dia anak kesayanganku, kulahirkan dia dengan
penderitaan nyaris mati......"
'Bunda!" kurebahkan badan ke lantai dan kupeluk lututnya.
'...... aku tinggal hidup untuk menyaksikan hari ini. Inilah anak darahmu sendiri.
Dekatkan dia pada kebesaran dan kejayaan.".
Kurasai tangan Bunda tergeletak di atas punggungku. Dan Bunda telah berhenti dari
sedannya. Ia betulkan letak dudukku, letak untaian melati pada leher dan rangkaian
bunga dalam genggaman. Dengan ujung kebaya ia seka airmataku. Dibenarkannya
tegak daguku yang terlalu tinggi.
"Bersamadi, Gus, bersamadi sendiri, tanpa bantuanku."
Tamu berdatangan memenuhi ruangdepan, ruangdalam dan tarub. Hatiku masih
mengurusi kesan-dalam yang ditinggalkan Bunda dalam melakukan upacara
menjelang naik puadai pengantin. Tak pernah aku lihat pengantin pria mengalami
upacara demikian. Boleh jadi improvisasi Bunda sendiri. Boleh jadi memang upacara
khusus untuk putra yang dianggap mursal oleh keluarga; tapi tidak oleh ibunya.
Kommer yang mendapat undangan pribadi khusus datang lima menit sebelum "jam
tujuh. Dengan langkah tegap ia mendapatkan aku, mengulurkan tangan dan
menjabat mesra, kemudian menyalami Annelies, kembali padaku, bilang:
"Dengan perkawinan ini, Tuan Minke, lenyap sudah mulut kotor orang luar sana.
Bukan itu saja. Tuan sudah selesaikan dengan baik apa yang Tuan sudah mulai.

! 249!
Selanjutnya, kan kita bakalnya bisa bekerjasama ?"
"Tentu saja, Tuan, dengan senanghati. Kita bisa jadi sekutu yang baik. Dan
terimakasih atas ucapan selamat Tuan."
Ia seorang Indo yang- ramah. Dari darah Eropa hanya bentuk kepala dan mancung
hidung yang diwarisinya. Sisanya Pribumi, mungkin juga pedalamannya. Ia jauh
lebih tua daripadaku, mungkin beda sepuluh atau limabelas tahun. Gerak-geriknya
gesit. Dari wajahnya nampak ia seorang yang biasa hidup di luar rumah.
Jean Marais dan May, Telinga dan Mevrouw, datang dengan andong sewaan. Magda
Peters, teman teman sekolah yang lain pada berdatangan dengan andong sewaan
pula.
Nijman dan istri datang dengan kereta sendiri.
Tuan Direktur dan para guru lain tidak ada yang datang.
Mereka diwakili oleh surat ucapan selamat yang dibawa oleh Magda Peters.
Pada jam tujuh kurang satu menit datang tilgram dari Miriam, Sarah dan Herbert de
la Croix. Dan aku kembali heran, dari Mama mereka tahu tentang perkawinan ini.
Robert Suurhof tidak kelihatan sebagaimana sudah kuduga sebelumnya.
Para nasabah Mama berdatangan seperti rayap. Perkara belakangan ini yang
memunculkannya sebagai bintang pengadilan boleh jadi telah menjadi iklan yang
menarik dan berhasil untuk perusahaannya.
Dokter Martinet dengan luwesnya bertindak sebagai pengacara. Pada jam delapan
tepat ia . angkat pidato dengan fasihnya. Mula-mula dikisahkannya percintaan kami
berdua yang menghadapi badai besar, sebuah badai yang baru ditemuinya dalam
kisah percintaan yang pernah dikenalnya - cukup baik untuk dibukukan. (Justru
karena pidatonya itu aku susun pengalamanku sampai menjadi naskah ini).
"Kisah ini hanya satu-satunya," ia meneruskan pidatonya, tak mungkin terulang."
Dokter yang fasih itu sebentar membikin pendengarnya diam terpukau, kemudian
gelak-gelak. Semua yang dianggapnya penting diberinya tekanan dengan gerak-gerak
tangan. Sayang ia tak -bicara Melayu, maka banyak juga yang tak mengerti.
Selesai dengan kisah percintaan kami dengan indahnya ia membelok pada soal lain
yang tak terduga:
"Sekarang lihatlah potret yang tergantung di atas puadai mempelai yang berbahagia
ini."
Dengan gerak tangan yang tak kurang indahnya ia antarkan pandang hadirin pada
potret Mama di atas kami berdua.
Lukisan itu, ia menerangkan, tak lain dari gambar seorang wanita Pribumi yang
memang luarbiasa untuk jamannya, Nyai Untosoroh, seorang wanita cerdas, ibu
pengantin wanita dan mertua Tuan Minke. Ia seorang pribadi cemerlang, seorang

! 250!

Anda mungkin juga menyukai