Anda di halaman 1dari 5

dan bagaimana teori assosiasi Doktor Snouck Horgronjc.

"
Kuterangkan sekedarnya tentang apa yang pernah kudengar dan tanggapanku
sendiri atas cerita Miriam de la Croix.
"Stop!" kata Magda Peters. "Pokok seperti itu belum boleh dihadapkan di depan
sekolah H.B.S. Terserah kalau di luar sekolah. Itu adalah urusan Sri Ratu,
Pemerintah Nederland, Gubernur Jendral dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Sebaiknya kalau ada keinginan para siswa mencari sendiri di luar sekolah. Karena
para siswa tak ada yang punya pokok, aku akan ajukan pokokku sendiri.
"Baru-baru ini aku temukan sebuah tulisan tentang kehidupan di Hindia. Terlalu
sedikit orang menulis tentang ini. Karena itu justru menarik perhatianku. Boleh jadi
penulisnya seorang Indo-Eropa. Barangkali, kataku. Ada di antara para siswa pernah
membacanya ? Judulnya: UU het sehoone Leven van een mooie Boerin*.
Pengarangnya bernama: Max Tollenaar."
Beberapa tangan diacungkan. Aku sembunyikan perasaanku. Max Tollenaar adalah
nama-penaku. Judul asli telah diubah dan di dalamnya juga terdapat perbaikan
redaksi, yang tidak semua aku 'setujui.
Juffrouw Magda Peters mulai membacakan, menempatkan tekatian dan tarikan kata
sedemikian rupa sehingga suaranya menyanyi dan tulisan itu terdengar lebih indah
daripada yang kumaksud. Ya, boleh dikata terdengar seperti puisi panjang, rimbun
dengan haruan. Hampir orang tak berkedip mendengarkan. Dan selesai pembacaan
orang melepas nafas, bebas dari cengkeraman.
"Sayang sekali tulisan ini terbit di Hindia, tentang Hindia, manusia dan masyarakat
Hindia, jadi orang tidak memperkenal-
kan di depan kias. Nah, kalian, salah seorang tampil, memberikan uraian atau
tanggapan, barangkali juga penilaian.
Sekaligus Robert Suurhof bergerak. Ia berdiri di tempatnya, kakinya direnggangkan,
dipakukan pada lantai, seperti kuatir bisa rubuh diterpa angin. Semua mata tertuju
padanya. Hanya aku yang sangsi.
Sebelum memulai ia menoleh pada teman-teman sekolah. Barangkali untuk
mendapatkan sokongan moril.
"Sudah empat tulisan Max Tollenaar kubaca pada waktu belakangan ini. Semua
tulisannya sama saja persoalan dan nafasnya, seakan pengarangnya sedang
tergenggam kekuatan di luar dirinya. Ya-ya, pengarangnya sedang kena serang
demam kepia-lu. Tulisan-tulisannya merupakan igauan panjang dari seorang yang
tak kenal diri, lupa daratan. Aku tak kenal siapa itu Max Tollenaar. Hanya dari
tulisan-tulisannya dapat kuduga siapa penulis sesungguhnya, karena aku telah jadi
saksi satu-satunya dari rangkaian kejadian dalam tulisan-tulisannya.

! 166!
"Juffrouw MagdaN peters, rasanya sangat berlebihan kalau tulisan demikian
dibicarakan dalam diskusi-sekoiah H.B.S. Hanya bikin kotor saja, Juffrouw. Kalau
aku tak salah ~ dan aku yakin tidak — penulis tulisan tsb., bahkan nama keluarga
pun tidak punya."
Ia diam sebentar, menebarkan pandang pada semua siswa yang sedang dijalari
ketegangan. Ia angkat dagu. Matanya berbinar dengan kemenangan. Kurasai satu
tembakan terakhir masih akan dilepaskan.
Juffrouw Magda Peters nampak tertegun. Matanya mengedip cepat.
Dari semua orang hanya aku seorang yang tahu maksud Robert Suurfof: pembalasan
dendam langsung padaku. Maka juga aku menjadi lebih mengerti: dialah
sesungguhnya yang bermaksud hendak mendekati Annelies. Tak ada alasan
memusuhi dan menghinakan aku di depan umum begini kalau bukan karena
cemburu. Ya, sebelumnya dialah yang hendak memiliki Annelies. Ia bawa aku untuk
kemegahan diri dan saksi. Mengapa aku ? Karena aku Pribumi, maka ia dapat lebih
gampang mem; percantik diri dengan aku sebagai perbandingan. Tepat seperti adat
wanita atasan Eropa di jaman lewat yang membawa monyet kemana-mana agar
kelihatan lebih cantik (daripada monyetnya). Ternyata monyet Suurhof itu justru
yang mendapatkan Annelies.
"Dia, Juffrouw," Suurhof meneruskan, "Indo pun bukan. Dia lebih rendah lagi
daripada Indo yang tidak diakui ayahnya.
Dia seorang Inlander, seorang Pribumi yang menyelundup di sela-sela peradaban
Eropa."
la membungkuk menghormati gurunya dan juga para guru lain, kemudian duduk
gelisah di lantai.
"Para siswa, Robert Suurhof telah menyatakan pendapatnya tentang penulis
karangan tsb. yang kita semua tidak tahu kecuali dia sendiri. Yang aku harapkan
adalah pendapat tentang tulisan ini. Baiklah. Siapa menurut dugaanmu penulis
karangan ini ?"
Para murid berpandang-pandangan, kemudian pandang mereka terarah pada teman-
teman sendiri yang bukan Totok, bukan Indo, seakan menggarisbawahi ucapan
Suurhof. yang Pribumi pada menunduk. Pandangan orang sebanyak itu terasa
menindas sampai ke perut.
Aku tahu muka Suurhof ditujukan padaku. Yang lain-lain mengikuti contohnya.
Jangan, kata hati ini, jangan gentar. Persetan semua ini. kalau perlu aku pun bisa
tinggalkan sekolah ini. Sekarang pun boleh.
Suurhof berdiri lagi. Berkata pendek:
"Penulis itu ada di antara kita sekarang ini."

! 167!
Rupanya sassusnya telah menjalar ke seluruh sekolahan. Sekarang semua muka
diarahkan padaku seorang. Aku tatap Suurhof. Seri kemenangan gemerlapan pada
matanya.
"Siapa dia yang ada di antara kita, Suurhof ?" tanya Juffrouw Magda Peters.
Dengan tudingan Caesar ia menunjuk padaku:
"Minke!"
Magda Peters mengambil setangan dari tas dan menyeka leher, kemudian dua belah
tangannya. Ia nampak bimbang. Sebentar ia menoleh pada deretan para guru,
sebentar padaku, sebentar pada para siswa yang duduk di lantai. Kemudian ia
berjalan menghampiri para guru dan Tuan Direktur yang kebetulan hadir. Ia
mengangguk kecil pada mereka, berbalik lagi ke tengah kalangan, menguakkan para
siswa, dan jelas menuju ke tempatku.
Sekarang aku akan diusir, dihinakan di depan umum.
Ia berdiri sejenak di hadapanku. Nampak olehku totol pada kakinya. Dan kudengar
panggilannya:
"Minke!"
"Ya, Juffrouw," aku berdiri.
"Benar kau yang menulis ini ?" ia tunjukkan koran S.N.-v/d D, "dengan nama-pena
Max Tollenaar ?"
"Apa aku bersalah karena itu, Juffrouw ?"
"Max Tollenaar!" bisiknya dan mengulurkan tangan padaku.
"Mari," dan ditariknya aku, dibawa menghadap pada Direktur Sekolah.
Semua mata tertuju padaku. Di hadapan para guru dan Tuan Direktur aku
mengangguk menghormat. Mereka membalas tak acuh. Oleh Magda Peters
kemudian aku dihadapkan pada semua siswa.
Sunyi.
Guru perempuan itu masih juga memegangi bahuku. Mungkin pada waktu itu aku
sudah pasi tanpa mengetahui apa sesungguhnya dosaku.
"Para siswa, para guru, dan Tuan Direktur, pada hari ini kuperkenalkan, terutama
pada para siswa, seorang siswa H.B.S. Surabaya bernama Minke, yang tentu sudah
dikenal oleh semua. Tetapi yang kuperkenalkan bukan Minke yang sudah dikenal itu,
Minke dari kwalitas lain, seorang Minke yang mahir menggunakan Belanda dalam
menyatakan perasaan dan pikiran, seorang Minke yang sudah menyumbangkan
sebuah karya. Dia telah mampu menulis tanpa kesalahan dalam bahasa yang bukan
milik ibunya. Dia telah dapat mengedepankan sepenggal kehidupan, yang oleh orang
lain, biar pun dapat dirasakan, tapi tak dapat dinyatakan. Aku bangga punya murid
seperti dia."

! 168!
Ia salami aku. Tak juga aku disuruhnya pergi. Apa yang terdengar sebagai pujian itu
membubungkan aku semakin tinggi ke atas ujung duri. Kapak terakhir masih
kutunggu jatuhnya.
"Minke! Benar kau tak punya nama keluarga ?"
"Benar, Juffrouw."
"Para siswa, nama keluarga hanya satu kebiasaan saja. Sebelum Napoleon Bonaparte
muncul di panggung sejarah Eropa, leluhur kita, semua saja, juga tak punya nama
keluarga," dan ia mulai bercerita, bahwa ketentuan Napoleon itu diundangkan di
seluruh wilayah kekuasaannya. Mereka yang tidak dapat menemukan nama sebaik
mungkin untuk dirinya oleh pejabat diberi sekenanya, dan orang Yahudi diberi nama
hewan. "Biar begitu, para siswa, nama keluarga bukan khas Eropa atau Napoleon,
yang mengambil gagasan itu dari bangsa-bangsa lain. Jauh sebelum Eropa beraflab
bangsa Yahudi dan Cina telah menggunakan nama marga. Adanya hubungan dengan
bangsa-bangsa lain yang menyebabkan Eropa tahu pentingnya nama keluarga," ia
berhenti.
Aku masih juga berdiri jadi tontonan.
"Apa benar kau bukan Indo, Minke," suatu pertanyaan formil yang harus
kubenarkan.
"Inlander, Juffrouw, Pribumi."
"Ya," katanya keras-keras. "Orang Eropa sendiri yang merasa totok 100% tidak
pernah tahu berapa prosen darah Asia mengalir dalam tubuhnya. Dari pelajaran
sejarah para siswa tentunya sudah tahu, ratusan tahun yang lalu berbagai bala-
tentara Asia telah menerjang Eropa, dan meninggalkan keturunan: Arab, Turki,
Mongol, dan justru setelah Romawi menjadi Kristen. Dan jangan kalian lupa, dalam
kekuasaan Romawi atas bagian-bagian tertentu Eropa darah Asia, mungkin juga
Afrika, meninggalkan keturunannya melalui warganegara Romawi dari berbagai
bangsa Asia: Arab, Yahudi, Siria, Mesir......"
Kesenyapan masih merajalela.
Hatiku sekarang kosong tanpa isi. Hanya badanku terasa lunglai. Satu-satunya
keinginan hanya duduk kembali di lantai.
"Banyak dari ilmu Eropa berasal dari Asia. Malah angka yang saban hari para siswa
pergunakan adalah angka Arab. Termasuk angka nol. Coba, bisa para siswa kirakan
bagaimana hitung-menghitung tanpa angka Arab dan tanpa nol ? Nol pun pada
gilirannya berasal dari filsafat India. Tahu kalian artinya filsafat ? Ya, lain kali saja
tentang ini. Nol, keadaan kosong. Dari kekosongan terjadi awal. Dari awal terjadi
perkembangan sampai ke puncak, angka 9, kosong, berawal lagi dalam nilai
yang lebih tinggi, belasan, dst., ratusan, ribuan......tanpa batas.

! 169!
Akan lenyap sistim desimal tanpa nol, dan para siswa harus menghitung dengan
angka Romawi. Nama sebagian terbesar kalian, nama pribadi, adalah juga nama
Asia, karena agama Kristen lahir di Asia."
Sekarang para siswa nampak mulai gelisah di lantai.
"Kalau Pribumi tak punya nama keluarga memang mereka tidak atau belum
membutuhkan, dan itu tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan
dan Barabudur, jelas pada jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland. Kalau
Nederland sampai sekarang tak mempunyainya, ya, karena memang tidak
membutuhkan........"
"Juffrouw Magda Peters." Tuan Direktur menengahi. "Sebaiknya bubarkan saja
diskusi ini."
Diskusi-sekolah bubar. Kecuali Juffrouw Magda Peters nampaknya semua sengaja
menjauhi aku. Tak ada orang berseru seperti biasanya. Tak ada tawa. Tak ada yang
berlarian berebut dulu. Semua berjalan tenang dengan kepala sarat penuh pikiran.
Jan Dapperste, anak yang permunculannya lebih banyak Pribumi itu, berdiri pada
pagar mengikuti aku dengan pandangnya. Ia selalu mengaku Indo. Hanya padaku ia
pernah mengaku Pribumi. Dengan kepercayaan seorang sahabat pernah ia mengaku
padaku, ia hanya seorang anak pungut pendeta Dapperste. Anak pungut! Ia sendiri
Pribumi tulen. Ia bersympati padaku. Setelah aku punya bendi ia biasa minta
gonceng. Sekarang pun ia nampak menjauh.
Sebaliknya Juffrouw Magda yang sekarang minta gonceng. Sepanjang perjalanan ia
tak bicara. Apa pula guna bicara dalam keadaan hati dan otak penuh persoalan ?
Lalulintas pun tak nampak olehku. Yang terbayang hanya satu: kegusaran para siswa
dan para guru pada Magda Peters. Terluka keeropaan mereka.
Sekali-dua kuketahui Juffrouw mengawasi aku dari samping.
"Sayang sekali," desisnya pada angin.
Aku pura-pura tak dengar.
Bendi berhenti di depan rumahnya. Aku turun untuk membantunya sebagaimana
adat Eropa. Ia mengucapkan terimakasih. Tiba-tiba:
"Mampir, Minke," dan itulah untuk pertama kali ia mengundang.
Aku antarkan ia masuk ke dalam. Maka kami duduk berhadapan di sitje di
ruangtengah.
"Kau luarbiasa, Minke. Jadi betul itu tulisanmu ?"
"Begitulah, Juffrouw."
"Tentu kau muridku yang paling berhasil. Telah lima tahun aku mengajar bahasa dan
sastra Belanda. Hampir empat tahun di Nederland saja. Tak ada di antara murid-
muridku dapat menulis sebaik itu -- dan diumumkan pula. Tentunya kau sayang

! 170!

Anda mungkin juga menyukai