Anda di halaman 1dari 5

guncang-guncangkan bahunya.

la membuka mata. Pasang bola yang memandang jauh itu tak melihat dan tak sampai
pada mukaku.
"Tak kenal lagi kau padaku, Ann ? Aku ? Minke ?"
Ia tersenyum. Pandang matanya tetap melewati mukaku.
"Ann, Ann, jangan begini kau. Tak suka kau kalau Minke datang ? Aku sudah datang.
Atau aku harus pergi lagi meninggalkan kau ? Ann, Annelies, Anneliesku!"
Jangan-jangan gadis ini nanti mati dalam pelukanku. Berdiri aku sekarang di depan
ranjang. Menyeka keringat dari dahi yang basah.
"Teruskan, Nyo," Nyai memberanikan dari pintu. "Ajak dia bicara terus. Memang itu
yang dianjurkan Dokter Martinet."
Aku menoleh. Nyai sedang menutup pintu dari luar. Hatiku lega karena anjuran itu.
Jelas Annelies tidak sedang menghadapi ajalnya. Ia hanya belum sadar akan dirinya.
Sekarang aku duduk pada tepi ranjang. Ia masih juga membuka mata tanpa melihat.
"Tidak bisa begini terus, Ann," kataku meyakinkan diri sendiri. Aku sisihkan
selimutnya. Aku tarik kedua belah tangannya. Aku paksa ia duduk. Tapi badan itu
begitu lemasnya, dan ia terjatuh ke atas bantal waktu kulepas. Aku lakukan berulang.
Ia tak juga dapat duduk.
Apa harus kulakukan lagi ?
Sekali lagi kukecup bibirnya. Tangannya mulai bergerak tak kentara, namun lebih
banyak. Aku pindahkan lehernya pada lengan kiriku. Mulai lagi aku ajak bicara:
"Kalau kau sakit begini, Ann, siapa bantu Mama ? Tak ada. Jadi kau jangan sakit.
Kau harus sehat. Biar bisa bekerja dan jalan-jalan denganku. Naik kuda, Ann, keliling
kota Surabaya."
Aku perhatikan matanya yang memandang jauh dan dapat
kulihat mukaku sendiri kekelaman bola matanya. Tapi ia tetap tidak melihat aku.
Aku kira tadinya bayangan mukaku tak ada pada mata itu.
Nyai Ontosoroh datang lagi membawa susu hangat dua gelas. Segelas diletakkannya
di atas meja. Yang lain dibawanya padaku dan disugukannya pada bibirku agar
segera kuminum.
"Habiskan, Nyo, Nak, Minke," aku minum sampai habis tandas. "Biar kau menjadi
sehat dan kuat. Tak ada guna bagi siapa pun orang sakit dan lemah." Kemudian pada
Annelies, "Bangun, Ann, Minke sudah ada di dekatmu. Siapa lagi kau tunggu ?»
Tanpa mengindahkan ada-tidaknya reaksi ia pergi lagi.
Dalam keadaan seperti itu pula Dokter Martinet datang diantarkan Nyai. Kuletakkan
kepala Annelies ke bantal untuk menyambutnya.
"Ini Minke, Tuan Dokter, yang menjaga Annelies hari ini," dan kami bersalaman.

! 156!
Mata Nyai mengawasi kami sebentar kemudian meneruskan, "Maafkan, aku mesti
turun."
"Jadi Tuan Minke ini, siswa H.B.S. ? Bagus. Berbahagia seorang pemuda
mendapatkan cinta mendalam dari dara secantik ini," katanya dalam Belanda yang
terkulum.
"Baru kira-kira sejam lalu di sini, Tuan Dokter. Seperti ini juga keadaan Annelies
waktu aku datang. Aku kuatir, Tuan....."
Lelaki berumur empatpuluhan itu tertawa lepas, bergeleng dan mengguncangkan
bahuku.
"Tuan suka pada gadis ini ? Jawab terus-terang."
"Suka, Tuan Dokter."
"Tidak punya maksud mempermainkan, kan ?" ia menetak-kan pandang padaku.
"Mengapa mesti mempermainkan ?"
"Mengapa ? Karena siswa H.B.S. biasanya jadi pujaan para gadis. Selamanya begitu
sejak sekolah itu berdiri. Juga di Betawi, juga di Semarang. Aku ulangi, Tuan Minke,
Tuan tidak bermaksud mempermainkannya ?" Melihat aku diam ia meneruskan,
"Hanya satu yang dibutuhkan gadis ini: Tuan sendiri. Dia mempunyai semuanya,
kecuali Tuan."
Aku menunduk. Kekacauan berkecamuk dalam dada. Memang tak ada maksudku
mempermainkan Annelies. Juga tak pernah terniat untuk bersungguh-sungguh
dengan seorang gadis. Sekarang Annelies menghendaki diriku seutuhnya untuk
dirinya. Sungguh: aku sedang diuji oleh perbuatan sendiri. Dan pertimbangan batin
yang memaksa aku mengiakan apa yang belum lagi kuyakini.
"Kan Tuan suka kalau dia sadarkan diri lagi ?" "Tentu saja, Tuan, suka sekali, dan
terimakasih banyak." "Dia akan sadar kembali. Memang terus-menerus kubius
sampai Tuan datang. Jadi Tuan sebenarnya yang menyebabkan dia terlalu lama
dibius. Tanpa ada Tuan dalam keadaan sadar dia akan menanggung kerusakan.
Tanpa Tuan dengan biusan terlalu lama bisa rusak jantungnya. Semua kembali pada
Tuan — Tuan yang menyebabkan." "Maafkan."
"Memang Tuan yang dipilihnya untuk menerima risiko." Aku tak menyambut. Dan ia
bicara terus. Kemudian: "Sebentar lagi dia akan sadar. Seperempat jam lagi kira-kira.
Kalau sudah mulai agak sadar, mulailah Tuan bicara pada-v nya, yang manis-manis
saja. Jangan ada kata keras atau kasar. \ Semua tergantung pada Tuan. Jangan
kecewakan dia. Jangan |g dibikin hatinya jadi kecil." "Baik, Tuan Dokter."
"Tuan naik dalam tahun pelajaran baru ini ?" "Naik, Tuan."
"Selamat. Tuan tunggu terus dia sampai bebas dari pengaruh bius. Siapa nama
keluarga Tuan kalau aku boleh bertanya ?"

! 157!
"Tak ada, Tuan."
Ia mendeham tanpa menelannya. Pandangnya menyeka wajahku. Sekilas saja.
Kemudian ia pergi ke jendela, meiihat perladangan dan taman di samping rumah.
"Mari Tuan kemari," undangnya tanpa menoleh. Dan' aku berdiri di sampingnya di
belakang jendela. "Mengapa Tuan sembunyikan nama keluarga Tuan ?" . "Memang
tak punya." "Apa nama Kristen Tuan ?" "Tak punya, Tuan."
"Bagaimana mungkin di H.B.S. tanpa nama keluarga, tanpa nama Kristen? Kan Tuan
tidak bermaksud mengatakan Pribumi ?" •"Memang Pribumi, Tuan." Ia menoleh
padaku. Suaranya menyelidik: "Bukan begitu adat Pribumi sekali pun jsudah di
H.B.S. Tuan menyembunyikan sesuatu." "Tidak." • •
Agak lama ia berdiam diri. Barangkali sedang memantapkan hati sendiri.
"-Satu pertanyaan lagi kalau Tuan tak ada keberatan. Sang-| gup kiranya Tuan tetap
ramah dan tulus pada Annelies ?r
"Tentu saja."
"Untuk selama-lamanya ?"
"Mengapa, Tuan ?"
"Kasihan anak ini. Dia tak bisa menghadapi kekerasan. Dia mengimpikan seorang
yang mengasihi, menyayanginya dengan tulus. Dia merasa hidup seorang diri, tanpa
pelindung; tak tahu dunia. Digantungkannya sepenuh harapannya pada Tuan."
Tentu dia berlebih-lebihan. Maka:
"Dia ada ibu yang memimpin, mendidik, menyayang."
"Hatikecilnya tidak mempercayai kelestarian sikap ibunya. Setiap saat ia menunggu
datangnya ketika ibunya meledak dan memutuskan diri daripadanya."
"Hmm."
"Mama wanita bijaksana, Tuan."
"Tak ada yang dapat pungkiri. Tapi hatikecil Annelies tidak yakin. Boleh jadi dengan
diam-diam ia menilai ibunya lebih terpaut pada perusahaan daripada dirinya. Ini
pembicaraan khusus antara Tuan dan aku saja. Yang lain tak perlu tahu. Tuan
mengerti."
Agak lama ia berdiam diri. Mendadak:
"Jadi Tuan mengerti."
"Kira-kira mengerti."
"Tak boleh ada kata keras, kasar, mengecewakan. Dia mencintai Tuan. Terutama ini
kukatakan karena pria Pribumi belum terbiasa memperlakukan wanita dengan
lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus. Setidak-tidaknya begitu yang dapat
kuketahui, kudengar, juga kubaca. Tuan telah mempelajari adab Eropa selama ini,
tentu Tuan tahu perbedaan antara sikap pria Eropa dan pria Pribumi terhadap

! 158!
wanita. Kalau Tuan sama dengan pria Jawa pada umumnya, anak ini takkan
berumur panjang. Terus-terang saja, Tuan, setidak-tidaknya dia bisa mati dalam
keadaan hidup. Sekiranya, sekiranya, kataku, Tuan peristri dia, akan Tuan madu dia
bakalnya ?"
"Memperistrinya ?"
"Ya, setidak-tidaknya, demikian impian gadis ini. Kan Tuan akan memperistrinya ?
Tuan sekarang di kias terakhir, kan ?"
"Belum lagi terniat untuk melamar, Tuan."
"Kalau diperlukan aku sendiri yang akan bertindak sebagai pelamar Tuan demi
keselamatan gadis ini."
Aku tak dapat bicara sesuatu.
"Jadi Tuan akan memperistri dia. Dan Tuan takkan memadunya," ia ulurkan tangan
padaku untuk mengambil kepastian janji dari mulutku.
Aku jabat tangannya. Memang tak pernah terniat olehku untuk kelak beristri lebih
dari seorang. Terngiang suara perempuan tua itu, Nenenda: setiap lelaki yang
beristri lebih dari seorang pasti seorang penipu, dan menjadi penipu tanpa semau
sendiri.
"Hati gadis ini terlalu lunak, terlalu lembut, tidak mampu menahan singgungan,
harus selalu diemong, dijaga, dibelai, dilindungi. Kepribadiannya nampaknya telah
terambil dari dirinya."
"Terambil ?"
"Oleh orang yang terdekat dengannya."
"Siapa itu, Tuan ?"
"Tak tahulah aku. Tuan akan tahu sendiri. Paling tidak oleh keadaan sekelilingnya.
Hatinya penuh dengan persoalan terpendam, gadis semuda ini, tak pernah
dinyatakan. Maka dia hidup sebagai yatim-piatu. Dan merasa selalu tergantung.
Merasa tidak pernah kukuh di tengah lingkungan sendiri. Dia membutuhkan seorang
penunjang. Sebagai gadis yang tumbuh di tengah kekayaan dia tak menginsafi
kekuatan kekayaan. Baginya kekayaan bukan apa-apa. Itu yang dapat kufahami dari
keadaan anak ini. Tuan mendengar, kan ?"
Dokter Martinet menarik monokel dari saku atas dan memasang pada mata-
kanannya. Setelah melihat arloji ia tatap aku.
"Terimakasih atas kesungguhan Tuan. Lihat pemandangan yang tenang dan damai
itu. Beruntung gadis ini hidup di tengah kemewahan dan kedamaian. Sekiranya dua-
duanya tak ada tak tahu aku apa akan jadinya."
Biji palakia dalam kepalaku diganti oleh biji lain lagi: duga-sangka tentang makna
sesungguhnya dari ucapan dokter itu.

! 159!
"Maaf. Aku bukan ahlijiwa. Sudah kucoba banyak bicara dengan ibunya - wanita
luarbiasa itu. Setiap katanya sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari
hati seorang pendendam yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai wanita
pun sudah suatu keluarbiasaan. Juga di Eropa sana. Aku kira memang bukan secara
sadar dia telah menjadi demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang jadi
penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya sangat keras, berpikiran tajam, tetapi dari
semua itu: sukses dalam segala usahanya yang membikin dia jadi seorang pribadi
yang kuat, dan berani. Tetapi dia pun satu kegagalan besar dalam satu hal tertentu.
Bisa dimengerti: setiap otodidak punya m kegagalan menyolok."
Dokter Martinet tak meneruskan. Ia mengharap aku mencari sendiri makna
ucapannya.
bumi manusia
"Dia sudah mulai akan sadar, Annelies itu," katanya tiba-tiba. Ia menengok,
meninggalkan aku dan mendekati pasiennya. Diperiksa desakan darah pada
pergelangan, kemudian melambai padaku. "Ya, Tuan. Beberapa menit lagi dia akan
menjadi Annelies sebagaimana Tuan kenal. Semoga dia akan sehat tak kurang suatu
apa dengan kehadiran Tuan. Sejak detik ini, Tuan, gadis ini bukan pasienku, tapi
pasien Tuan. Semua sudah kusampaikan pada Tuan secara pribadi. Selamat siang."
Ia tinggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya dan hilang dari pemandangan.
Sekarang datang kesempatan untuk merasa iba pada diri sendiri. Betapa!
Pengalaman mengguncangkan yang silih-berganti menimpa diri pada hari-hari
belakangan ini. Belum lagi yang masih harus kuhadapi: Annelies!
Seniman besar, Minke, kata Jean Marais dulu, entah dia pelukis, entah apa, entah
pemimpin, entah panglima perang, adalah karena hidupnya disarati dan dilandasi
pengalaman-pe-ngalaman besar, intensif: perasaan, batin atau badan. Itu
dikatakannya sehabis kuceritakan padanya riwayat hidup penyair Belanda Vondel
dan Kloos. Tanpa pengalaman besar kebesaran seseorang khayali semata;
kebesarannya dibuat karena tiupan orang-orang mataduitan.
Jean Marais sendiri belum pernah tahu, tulisan-tulisanku sudah mulai diumumkan.
Kalau kata-katanya benar, barangkali saja kelak aku bisa jadi pengarang besar.
Seperti Hugo sebagaimana diharapkan Nyai. Atau pemimpin, atau penganjur bangsa
seperti diharapkan keluarga de la Croix. Atau justru hanya jadi daging busuk seperti
dikehendaki Robert Mellema (Kalau benar cerita Darsam), dan si Gendut.
Kudengar Annelies mengeluh dan menggerakkan jari. Dia akan baik, takkan mati di
bawah mataku. Aku menjauh dan duduk di kursi mengawasinya. Memang cantik
gemilang biar pun dalam keadaan sakit: kulitnya lembut, hidung, alis, bibir, gigi,
kuping, rambut..... semua. Dan aku menjadi ragu pada keterangan Dokter Martinet

! 160!

Anda mungkin juga menyukai