Anda di halaman 1dari 5

Malahan aku diancam melakukan pelanggaran tidak melaporkan perkawinan yang

tidak dibenarkan itu, dianggap bersekutu dalam pemerkosaan."


Kantor sunyi. Tak ada langganan datang.
Kami bertiga terdiam. Hanya seorang advokat yang pandai dan jujur boleh jadi bisa
melakukan sangkalan atas keputusan Pengadilan Amsterdam itu. Uh, Pengadilan
Amsterdam! Sama sekali belum pernah melihat kami. Bagaimana bisa sebuah
Pengadilan Putih pula, dengan orang-orang yang sangat, sangat terpelajar dan
berpengalaman mengurusi keadilan, bisa bekerja memperlakukan hukum yang
begitu berlawanan dengan perasaan hukum kami ? Dengan perasaan keadilan kami ?
"Aku belum sampai bicara tentang pembagian peninggalan yang sama sekali tak
menyebut-nyebut tentang hakku. Memang tak mencukupi surat-surat padaku yang
membuktikan perusahaan mi milikku. Aku hanya mencoba mempertahankan
Annelies. Hanya dia yang teringat olehku waktu itu. Kami hanya berurusan dengan
Annelies, katanya. Kau seorang nyai, Pribumi, tak ada urusan dengan Pengadilan
ini," dan Mama mengenakkan gigi, geram.
Akhir-akhirnya," katanya kemudian dengan suara rendah, persoalannya tetap Eropa
terhadap Pribumi, Minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan
Pribumi sambil menyakiti secara sadis. E-ro-pa..... hanya kulitnya yang putih, ia
mengumpat, "hatinya bulu semata.
"Dan advokat itu orang Eropa juga, Ma ?"
"Hanya pengabdi uang. Bertambah banyak uang kau berikan padanya, bertambah
dia jujur padamu. Itulah Eropa."
Aku bergidik. Seluruh tahun-tahun pelajaran di sekolah di-jungkir-balikkan oleh
seorang nyai dalam hanya tiga kalimat pendek.
Annelies telah tertidur kelelahan dari ketegangan emosi dengan badan tertelungkup
di atas meja. Kuhampiri dan kubangunkan:
"Mari pindah ke atas, Ann."
Ia menolak pergi - duduk tegak lagi di kursinya. "Tidur saja, Ann, biar kami urus kau
sebaik-baiknya," pinta Mama, dan ia menurut.
Aku antarkan ia ke loteng, kuselimuti dan kuhibur: "Mama dan aku akan bekerja
keras, Ann." |
Ia hanya mengangguk, dan aku tahu benar: mulutku telah membohonginya -- aku
tak tahu sesuatu tentang seluk-beluk hukum, bagaimana pula hendak bekerja keras ?
"Aku tinggal dulu, ya Ann ?"
Ia mengangguk lagi. Tapi tak sampaihati diri meninggalkannya dalam keadaan
seperti itu — seperti ikan yang sudah ada dipenggorengan. Betapa mengibakan nasib
boneka rapuh, istriku ini. Nampak benar ia telah kehilangan kemauan untuk berbuat

! 261!
sesuatu.
"Panggilkan Dokter Matfinet, ya Ann ?
Ia mengangguk.
Aku turun dan kusuruh seorang memanggilkan dokter keluarga itu. Marjuki kulihat
melarikan bendi menuju ke arah Surabaya. | Di kantor Mama sedang berhadapan
dengan seorang lelaki Eropa, bertubuh kecil seperti kelingking, mungkin hanya
setinggi pundakku, kurus dan gepeng. Kepalanya botak licin, matanya agak sipit. Ia
berkacamata kodok. Mama memperhatikannya membacai surat-surat dari
Pengadilan Amsterdam untuk Annelies. Itu rupanya Meester Deradera
Lelliobuttockx. Jelas ia bukan sebangsa jin. Dan dialah ahlihukum MEama selama
ini.
Heran juga mengapa Mama masih mau berurusan dengan-nya. Kan di depan hakim
dia telah tidak berbuat apa-apa ? Aku perhatikan mereka berdua. Mama memang
sudah tidak semerah tadi, Gerak-geriknya pun lebih tenang.
”Minke, inilah Tuan Deradera.....” dan kami berkenalan
"Ini Minke, suami anakku, menantuku.”
"Ah-ya, sudah banyak kudengar tentang Tuan. Bolehkah aku menyelesaikan
mempelajari kembali surat-surat ini dahulu ?" dan tanpa menunggu jawaban ia
kembali pada pekerjaannya.
Orang sebesar kelingking, dengan muka penuh bekas ledakan gunung jerawat itu —
sampai berapa kekuatannya menghadapi kesewenangan dan keperkasaan dan
kedinginan hukum dan keadilan Eropa ? Dan kalau dia orang Eropa pada siapa akan
berpihak ?
Dan ia pelajari kertas-kertas itu lembar Jemi lembar, membalik-balik dan
membacanya kembali.
Mama sekarang mondar-mandir menyelesaikan pekerjaannya, bahkan sendiri
menyugukan minuman. Ahlihukum itu tetap tenang mempelajari berkas salinan
seakan tak ada terjadi sesuatu di sekelilingnya.
Pada akhirnya, sejam kemudian, ia tumpuk surat-surat itu' dan ditindihnya dengan
batu hitam, batu penindih. Ia merenung penting, menyeka muka dengan setangan,
mendeham sembari menatap aku, kemudian pada Mama, dan ia tak bicara apa-apa.
"Jadi bagaimana Tuan LeIliobuttockx ?" tanya Mama, "oh, maafkan, tak tahu aku
bagaimana harus menyebut nama Tuan dengan benar."
Ia tersenyum -- pendek saja - yang ternyata karena ompongnya:
"Oh, tak apa-apa, itu hanya nama untuk tandatangan. Nyai, jangankan tidak bisa
disebut orang, tidak disebut pun tak mengapa."
"Tuan masih bisa berolok-olok dalam keadaan kami seperti ini, Tuan Lelliobuttockx!

! 262!
Kami sudah pada setengah gila begini ?"
"Memang begitu, Nyai, kalau soalnya hukum, orang tak perlu mengubah perasaan
atau airmuka. Walhasil sama saja, apa orang tertawa, berjingkrak atau menangis
meraung-raung. Dia tetap yang menentukan, hukum itu."
"Jadi kami akan kalah dalam perkara ini ?"
"Lebih baik tidak bicara tentang kalah, Nyai," kata advokat itu dan tangannya mulai
menggerayangi surat-surat itu kembali. "Kita belum lagi mencoba. Maksudku, harap
Nyai tetap tenang dan dingin seperti hukum itu juga. Semua perasaan takkan ada
pengaruhnya. Semua kemarahan dan kekecewaan- akan sia-sia.
Tuan dengar ?” tiba-tiba ia hadapkan mukanya padaku. "Tuan mengerti Belanda
dengan baik ?"
"Dengar, Tuan."
"Semua ini menyangkut nasib istri dan perkawinan Tuan. Mereka memang lebih
kuat. Kita akan mencoba, artinya kalau Nyai dan Tuan punya kepercayaan, bahwa
keputusan ini harus disangkal, paling sedikit pelaksanaannya bisa ditunda."
Pada saat itu juga aku mengerti, kami akan kalah dan kewajiban kami hanya
melawan, membela hak-hak kami, sampai tidak bisa melawan lagi -- seperti bangsa
Aceh di hadapan Belanda menurut cerita Jean Marais. Mama juga menunduk. Ia
justru yang lebih daripada hanya mengerti. Ia akan kehilangan semua: anak,
perusahaan, jerih-payah dan milik pribadi.
"Ya, Minke, Nak, Nyo, kita akan melawan," bisik Mama. Dan tiba-tiba ia kelihatan
menjadi tua, berjalan lesu pergi ke loteng untuk melihat anaknya.
Meester Deradera Lelliobuttockx kembali tenggelam dalam berkas surat yang tadi
juga. Kecurigaanku pada ahlihukum sebesar kelingking ini membuncah sehingga aku
awasi tangannya, jangan-jangan ia copet satu-dua lembar kertas-kertas itu.
Satu jam lagi berlalu. Mama turun lagi dan masuk ke kantor, duduk di sampingku di
hadapan juris itu.
"Apa masih perlu dipelajari, Tuan ?" tanyanya dengan suaranya yang dulu —
berpribadi.
Orang itu mengangkat kepala, menahan senyum, berkata:
”Kita bisa coba, Nyai." Tuan tak punya keyakinan menang." Kita bisa coba," ia mulai
hendak teruskan bacaannya. Mama mengambil surat-surat itu daripadanya:
"Honorarium terakhir Tuan akan diantarkan ke rumah. Seamat sore.
Mr. Deradera Lelliobuttockx berdiri, mengangguk pada kami kemudian diantarkan
oleh Darsam pulang ke kota. ”Minke, kita akan lawan. Berani kau, Nak, Nyo ?" Kita
akan berlawan, Ma, bersama-sama."
Biar pun tanpa ahlihukum. Kita akan jadi Pribumi pertama yang melawan

! 263!
Pengadilan Putih, Nak, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga ?"
Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan,
siapa dan bagaimana. Aku tak tanu alat-alat apa sarananya. Biar begitu: melawan!
Berlawan, Mama, berlawan. Kita melawan.
Kalau Annelies bisa kau bikin bangun untuk melawan, dia takkan jatuh-bangun
dalam kesakitan dan ketidakmampuan. Dia akan jadi teman-hidup terbaik bagi
seorang suami seperti kau.
Dalam menunggui Annelies kulepas pikiranku untuk mendapatkan gambaran
tentang segala yang sedang dan telah terjadi.
Ir. Maurits Mellema dan ibunya, bagaimana pun memang beralasan mendendam
Herman Mellema. Apa kemudian nyatanya ? Mereka tidak mendendam harta
peninggalannya, bahkan menginginkan seutuhnya tanpa satu sen pun boleh lolos.
Jadi: pada dasarnya mereka sudah mengharapkan kematian papa Annelies. Mereka
sudah menyertai dan membenarkan perbuatan Ah Tjong dalam batin mereka. Dan
mereka takkan dihukum karena itu. Kehidupan batin dan perasaan tak ada
disebutkan dalam surat-surat resmi.
Benar, ini tak lain dari perkara bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama,
Annelies dan aku. Barangkali ini yang dinamai perkara kolonial -- sekiranya
penjelasan Magda Peters benar *- perkara menelan Pribumi bangsa jajahan.
Tiba-tiba aku teringat pada golongan liberal yang menghendaki keringanan terhadap
penderitaan pihak Pribumi seperti yang pernah disindirkan oleh guruku 'itu. Juga
yang dikehendaki S.D.A.P.* Ah, Juffrouw yang budiman. Aku menyesal tak antarkan
kepergianmu. Kalau kau masih di Surabaya, tentu kau akan mengulurkan tangan.
Paling tidak memberi petunjuk, membantu kami. Dan kau pasti akan lakukan
dengan senanghati.
Melalui Magda Peters memancar duga-sangka yang mungkin terlalu khayali: ia diusir
dari Hindia untuk memudahkan pelaksanaan keputusan Pengadilan Amsterdam.
Barangkali kau tidak diusir, hanya disingkirkan dari perkara yang bakal
dilaksanakan. Duga-sangka mi mengambil bentuk yang lebih jelas: semua memang
sudah diatur sebelumnya oleh persekutuan setan antara Maunts-Amelia dengan
Pengadilan Amsterdam. Dan kalau benar Magda Peters dismgkirkan, Tuan Direktur
Sekolah dan para guru HBS lah yang paling tahu keakraban kami berdua. Kalau
duga-sangka khayali itu benar: semua adalah sandiwara setan untuk dapat
menganiaya orang secara sadis. Maka juga lulusku sebagai' nomor dua untuk seluruh
Hindia (nomor satu tidak mungkin) kurang-lebih adalah juga suatu sandiwara,
hanya dibikin-bikin untuk menyenangkan golongan liberal atau S.D.A.P.
Bolehkah aku punya duga-sangka semuluk itu Aauican sudah pikiranku sebagai

! 264!
terpelajar ? Tidakkah aku terlalu bodon dan terlalu muda untuk boleh berduga-
sangka demikian ! Aku timbang dan timbang. Tak bisa lain, aku cenderung untuk
membenarkannya. Pemecatanku dari sekolah, penarikan kembali pemecatan,
penutupan diskusi-sekolah, pengusiran Magda Peters, campur-tangan Tuan Assisten
Residen B., undangan yang diumumkan oleh Tuan Direktur Sekolah di hadapan
pesta lulusan, juga ketidakhadirannya sendiri dan para guru dalam pesta perkawinan
laini, malahan hanya diwakili dengan sepucuk surat
yang dibawa oleh Magda Peters......... Tidak, aku tidak terlalu bodoh juga tidak terlalu
muda untuk mengerti. Satu-sama-lain bersangkut berpilin untuk memenangkan
Maurits Mellema terhadap Pribumi Sanikem, anak dan menantunya, harta dan
bendanya.
"Kau sudah dapatkan pikiran, Nak, Nyo ?"
"Ma sore ini, kalau tidak meleset, akan terbit tulisanku yang pe«tuna dalam
rangkaian ini. Kalau akal waras tak menyambut, Ma, kita kalah, Ma. Kita
membutuhkan waktu."-
"Jangan pikirkan kekalahan, kata Deradera, pikirkan dulu perlawanan yang sebaik
mungkin, sehormat mungkin. Deradera benar, hanya motifnya lain. Dia hanya
menghendaki uang lebih banyak. Buaya kerdil itu.
"Kita akan berpaling pada golongan liberal, Ma."
Sore itu juga kukirimkan kawat pada Herbert de la Croix, berseru-seru pada
hatinuraninya untuk perkara kami. Juga pada Miriam.. Apabila tak ada yang mau
mendengarkan, tahulah aku: omongkosong saja segala ilmu-pengetahuan Eropa
yang diagungkan itu. Omongkosong! Pada akhirnya semua akan berarti alat hanya
untuk merampasi segala apa yang kami sayangi dan kami punyai: kehormatan,
keringat, hak, bahkan juga anak dan istri.
Malam itu Mama dan aku duduk menunggui Annelies yang kembali harus dibius
oleh Dokter Martinet agar bisa tidur. Dokter itu sangat prihatin melihat pasien dan
ibu serta menantunya, yang terikat ketat oleh nasib buruk bikinan manusia, jauh
diutara sana.
"Aku hanya seorang dokter, Nyai. Tak tahu hukum. Tak tahu soal politik," katanya
menyesali diri.
Dia adalah orang kedua yang mengucapkan kata politik.
"Memang patut aku minta maaf sebesar-besarnya tak dapat
berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan Nyai. Tak ada padaku teman-dekat
orang besar, karena memang tidak pernah punya keanggotaan suatu kamar bola.
Dan betapa kecilnya dokter itu menampilkan dirinya. "Sahabat-sahabatku hanya
mereka yang membutuhkan pertolongan yang bisa aku berikan.

! 265!

Anda mungkin juga menyukai