Anda di halaman 1dari 5

Annelies Mellema

(sebuah monolog)

Ahda Imran
SATU
Panggung merupakan tempat (bisa juga taman atau bagian dalam sebuah gedung
pelabuhan) yang dibayangkan berada di Kota Amsterdam di musim dingin. Annelies berdiri
sambil menenteng kopor lusuh. Bingung dan ketakutan

Annelis

Di sinilah aku sekarang, sendirian, seperti anak pohon yang dicabut dari akarnya,
dipindahkan ke tanah yang asing. Dipisahkan dari tanah tempatku tumbuh dan berlindung,
dipisahkan dari orang-orang yang kucintai, Mama dan Minke.

Begini rupanya keadilan menurut hukum orang Eropa yang beradab itu.

DUA

Lampu pelan terang.

Dari kisah yang ditulis oleh Tuan Pramoedya, kau sudah tahu bagaimana nasibku; Annelies
Mellema, puteri mendiang Herman Mellema dari gundiknya bernama Sanikem. Ia harus
dikirim ke Negeri Belanda. Begitu keputusan pengadilan di Amsterdam.

Tak seorang pun bisa melawan keputusan itu, tidak juga Mama dan Minke. Pengadilan kulit
putih itu tak punya urusan dengan Mama. Mama hanya perempuan pribumi dan gundik.

Walaupun Minke seorang raden mas yang punya hak istimewa di antara kaum pribumi, tapi
pengadilan juga tak punya urusan dengan suamiku. Hukum Eropa itu bahkan menganggap
aku masih di bawah umur, hak perwalianku ada di tangan Maurits Mellema, kakak tiri yang
belum pernah kukenal. Perkawinanku dan Minke dianggap tidak pernah ada.

Atas nama hak perwalian itulah aku dikirim ke Belanda. Negeri Herman Mellema, Papahku.
Negeri yang tak pernah kukenal. Negeri orang-orang kulit putih yang tidak kusukai, meski
separuh diriku adalah mereka.

Sejak datangnya keputusan itu aku sangat ketakutan, perasaan dan pikiranku pelan-pelan
pergi dari dalam tubuhku.

Cahaya lampu lemah dan murung.

Di hari-hari terakhirku di rumah Wonokromo, aku hanya memandang ke luar jendela, langit
dan angin yang mengubah bentuk-bentuk awan yang bergerak pelan. Tapi aku tak melihat
apapun di luar sana. Tidak juga kebun kacang, peternakan, suara lenguh sapi dan harum susu,
ringkik Si Bawuk kudaku, atau suara mandor Darsam. Mama dan Minke terus berusaha
melawan, meski akhirnya tahu tak ada pribumi yang sanggup melawan hukum Eropa.
Lalu datanglah hari itu. Dua orang perempuan Belanda datang menjemputku ke kamar,
membawaku keluar, memegangi tubuhku seperti membawa sebuah patung lilin yang rapuh.
Kubiarkan tangan mereka yang putih bertotol-totol itu menyentuhku. Aku berjalan mengikuti
ke mana mereka membawaku. Aku tak menoleh ke arah Mama dan Minke

Tak ada pelukan perpisahan di antara kami, karena memang tak ada apa pun lagi dalam
diriku. Aku dibawa ke Surabaya, tubuhku dinaikkan ke dalam kapal. Hanya tubuhku.

TIGA

Beginilah aku sekarang, sendirian dengan koper tua ini. Ini koper Sanikem sewaktu ia dulu
harus meninggalkan rumahnya, dibawa bapaknya ke rumah Tuan Herman Mellema untuk
dijadikan gundik, ditukar dengan jabatan Juru Bayar di pabrik gula. Sejak itu selamanya
Sanikem menjadi gundik yang bernama Nyai Ontosoroh, Mamaku.

Sejak kecil aku selalu berada di dekat Mama, menjadi anak manja dan kesayangannya,
sampai aku mengerti siapa Mama yang sebenarnya. Mama seorang nyai yang terhormat
karena sikap, pengetahuan dan berpikiran maju. Semua orang segan dan hormat pada Mama.

Bukan hanya Minke siswa H.B. S, pelukis Prancis Jean Marais, atau juga Dokter Martinet
dan Tuan Kommer seorang wartawan, bahkan Juffrow Magda Peters guru kesayangan Minke
yang pandai itu; adalah penganggum Mama.

Karena kebenaran sikap dan perkataan Mama, selalu kukatakan pada siapapun bahwa aku
bukan Belanda atau Eropa; aku pribumi, seperti Mama.

Sanikem tak pernah pulang lagi rumahnya. Masa lalunya itu diingat Mama dengan rasa pahit
dan dendam, termasuk pada Herman Mellema, Papaku. Eropa yang dipuji dan dibanggakan,
yang semua pengetahuannya diajarkan Papa pada Mama, ternyata penuh penghinaan pada
pribumi, pada Mama, seorang gundik.

Dan Herman Mellema, Papaku itu, tak bisa membela Mama. Sejak itu tak ada lagi hormat
Mama pada Herman Mellema, selain kebencian dan dendam atas semua penghinaan yang
diterimanya.

Karena dendam itulah Mama menjadi sangat keras, begitu juga dalam mendidikku. Mama
mengeluarkanku dari sekolah, aku harus kerja keras mengurus perusahaan susu milik kami.
Mama membenci kelemahan, tidak pernah takut melawan jika harga diri dan kehormatannya
dihina.

Menjadi pribumi adalah suatu kesalahan, apalagi menjadi perempuan pribumi; dan menjadi
perempuan pribumi yang jadi gundik adalah kesalahan yang paling besar. Tapi sejak kecil
aku melihat Mama tidak pernah tunduk pada moral umum serupa itu. Bagi Mama
ketidakadilan itu harus dilawan dengan keras, termasuk moral yang sering jadi tempat
bersembunyi orang munafik dan lemah, seperti Herman Mellema.

Kau tahu, tak ada seseorang yang sangat membenci Mama kecuali Robert Mellema, anaknya
sendiri, kakakku.
Robert Mellema---ah, bagaimana aku harus menyebut nama itu!--- menganggap dirinya
Eropa seperti Papa. Dia begitu memuja Eropa, membenci pribumi, apalagi gundik seperti
Mama. Kenyataan bahwa darah gundik mengalir dalam tubuhnya membuat kakakku semakin
membenci Mama, namun ia tidak bisa melawan kekuasaan Mama. Mama memang tak bisa
ditundukkan, apalagi oleh Robert Mellema, pemuda ingusan yang merasa dirinya Eropa,
biarpun itu anaknya sendiri. Mama selalu berpesan agar aku jangan dekat-dekat dengan
kakakku itu.

Suatu hari Mama menyuruhku ke ladang mencari Darsam, mandor kami, dan aku bertemu
dengan Robert yang sedang berburu. Ia memperlihatkan hasil buruannya, aku turun dari
kuda, dan secepat itu ia menekan pundakku. Tangannya yang putih bertotol-totol dengan
kasar menyumpal mulutku.

Aku meronta, tangan itu makin kuat menekan, menyumpal mulutku, aku tak bisa berteriak.
Ladang sepi dan hanya terdengar suara angin. Robert Mellema, kakakku, memperkosaku...

Sejak peristiwa itu tak ada lagi kehidupan dalam diriku. Aku bingung, takut, jijik, namun aku
tak bisa menangis dan berteriak. Tidak bisa kuceritakan ini pada Mama. Aku diam
menyimpannya, sedang ingatan itu terus hidup dan menempel dalam tubuhku, merogoh
jantungku dan memerasnya. Setiap hari ingatan itu membuatku lemah dan
sekarat. Jangankan berteriak, menangis sekalipun aku tidak
bisa.

Aku pun mulai tidak suka melihat dan bersentuhan dengan orang berkulit putih. Aku selalu
menghindari mereka, termasuk guru atau teman-teman Minke. Bukan hanya bersalaman, aku
bahkan selalu menghindar dari sentuhan dokter yang memeriksaku. Semua itu malah
membuat sakitku bertambah, karena tiba-tiba saja aku baru sadar bahwa Eropa itu ada dalam
tubuhku. Eropa yang telah menghina dan menyakitiku.

Di dekat Mama, Nyai Ontosoroh yang perkasa, aku hanya jadi boneka cantik yang manja dan
lemah. Mama berulangkali mengatakan bahwa aku terlalu lemah, padahal di luar sana Eropa
terus berlaku tak adil, memandang hina pribumi.

(Menjadi) Nyai Ontosoroh : Bakal jadi apa kau ini kalau aku tidak sanggup bersikap keras.
Terhadap siapa saja. Dalam hal ini biar cuma aku yang jadi korban, sudah kurelakan jadi
budak belian. Kaulah yang terlalu lemah, Ann. Sekali dalam hidup orang mesti menentukan
sikap. Kalau tidak, dia tidak akan menjadi apa-apa

Ah, seandainya saja Mama tahu, bahwa masa lalunya yang dibencinya itu adalah juga
kebencianku pada masa laluku. Kebencian Mama pada penghinaan Eropa adalah juga
kebencianku pada Eropa yang telah menghinaku, yang bahkan itu dilakukan oleh anaknya
sendiri, kakakku.

Ingatan Mama akan rasa terhinanya di masa lalu telah jadi dendam yang membuat Mama jadi
perempuan keras dan berani melawan.

Sedang padaku, ingatan masa lalu itu tak bisa kuteriakkan, selain hanya diam terbaring
menatap langit-langit kamar. Ingatan dan kebencian itu tidak bersarang di luar diriku,
tapi menempel dalam tubuhku, menghisap seperti lintah. .
EMPAT

Kedatangan Minke ibarat pangeran yang ciumannya membangunkanku dari kematian. Sejak
aku mengenal dan mencintainya, aku selalu ingin berada di dekatnya.. Bukan cuma bermanja,
aku merasa hanya Minke yang membuat hiduku sangat berarti. Sehari saja Minke jauh
dariku, tak hanya rindu yang menyiksaku, tapi ketakutan bahwa aku akan kehilangan dirinya,
kembali dihantui oleh ingatan yang mengerikan itu.

Mama pun sangat menyukai Minke. Minke pandai dan berpikiran maju seperti Mama, dan
yang paling penting Mama tahu Minke sangat menyayangiku.

Kepada Minke, Mama tak hanya menitipkanku, namun juga semangat agar kekasihku itu
membangunkan kehormatan kaum pribumi, melawan ketidakadilan Eropa dengan tulisan-
tulisannya. Mama percaya benar Minke sanggup melakukannya, seperti bagaimana ia
mencintaiku.

Dan malam itu, aku dan Minke tak bisa lagi mencegah hasrat tubuh kami berdua, kami
bercinta. Kubiarkan ia menjamahku, kubiarkan ia masuk ke dalam tubuhku, kubiarkan ia
memiliki seluruh diriku, meski setelah itu aku tahu apa yang ada dalam perasaannya. Ia
terdiam, tahu seseorang telah mendahuluinya.

Dengan sedu sedan kuceritakan semuanya, ladang, semak-semak, suara angin, dan tangan
Robert Mellema yang membekap mulutku. Walaupun Minke tak bisa menutupi rasa
kecewanya, namun ia tidak menjauhiku, cinta dan sayangnya padaku tak
berkurang. Kebahagianku semakin lengkap ketika kami menikah. Menjadi pengantin dan istri
Minke aku merasa lahir untuk kedua kalinya.

LIMA

Suara-suara orang berbisik dan ketokan palu hakim di sidang pengadilan

Tetapi, Eropa tidak pernah membiarkan kami kaum pribumi hidup tenang. Pengadilan di
Amsterdam mengabulkan gugatan Maurits Mellema, anak Herman Mellema, kakak tiri yang
tak pernah kukenal. Pengadilan itu bukan hanya mengabulkan gugatan atas kekayaan Herman
Mellema, tapi juga hak perwaliannya atas diriku.

Eropa memisahkanku dari Minke dan Mama. Keputusan pengadilan itu seperti tangan kasar
yang menekan pundakku, tangan lelaki berkulit putih yang membekap mulutku. Tangan
Eropa; Eropa yang ada dalam tubuhku juga.

Beginilah aku sekarang, sendirian dengan koper tua ini, menjadi Sanikem dalam masa lalu
Mama, dibawa ke suatu tempat paling mengerikan; ke dalam masa lalu yang membuatku tak
bisa berteriak dan melawan, selain dengan kematian...

(Lampu padam )

Anda mungkin juga menyukai