Anda di halaman 1dari 15

TUGAS RESENSI FILM

MATA KULIAH PENGANTAR ILMU POLITIK

“RESENSI FILM BUMI MANUSIA”

Disusun Oleh :

Nama: Ezra Gamaliel Rizq

NIM : 6211211116

Dosen: Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si.

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2021
IDENTITAS FILM

Judul Film : Bumi Manusia

Sutradara : Hanung Bramantyo

Produksi : Falcon Pictures

Penulis Naskah : Salman Aristo

Pemeran : Iqbaal Ramadhan,

Mawar Eva de Jongh

Sha Ine Febriyanti

Ayu Laksmi

Donny Damara

Bryan Domani

Giorgino Abraham

Jerome Kurnia

Durasi : 180 menit

Tanggal Rilis : 15 Agustus 2019


PENDAHULUAN

Latar Belakang Film

Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini dapat dibilang cukup sukses
dalam menerjemahkan tulisan dalam novel menjadi sebuah film layar lebar dengan
segala persoalan yang dihadapinya. Film berdurasi tiga jam ini diangkat dari novel karya
seorang legendaris Pramoedya Ananta Toer yang sangat piawai dalam mengemas
problematika remaja dan sejarah yang menjadi sumber kekuatan pada novel-novelnya.
Durasi tiga jam pun dirasa masih kurang untuk dapat menghadirkan semua elemen yang
novel ini miliki. Sehingga Hanung lebih memfokuskan film pada kisah cinta Minke
(Iqbaal Ramadhan) seorang pribumi jawa tulen dengan Annelies Mellema (Mawar de
Jongh) gadis Indo Belanda.
Seperti yang kita tahu bahwa masa kolonial ialah masa-masa dimana seluruhnya
serba sulit. Kerangka berpikir diciptakan lewat framing-framing subjektif. Pribumi-
Belanda serta Nyai merupakan bagian-bagian dari apiknya film ini. Pada masa itu, Nyai
dianggap tidak jauh berbeda status sosialnya dengan binatang. Tetapi Minke malah
mengagumi apa yang dilakukan Nyai Ontosoroh, Bunda dari Annelies. Walaupun
ditentang keluarganya, Minke yakin masih terdapat hal-hal baik bisa mengganti
bagaimana metode seseorang memandang sosok Nyai.
Isi/Substansi Film
Film yang diadopsi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer ini menceritakan tentang
kehidupan seorang remaja pribumi totok bernama Minke yang penuh dengan tantangan dan
pengorbanan di kisaran tahun 1880-1899. Minke adalah seorang siswa yang pandai dan
terpelajar. Ia mengenyam pendidikan di HBS Surabaya, yang merupakan sekolah khusus
untuk pribumi berdarah konglomerat dan anak-anak elit berdarah Eropa dan Belanda. Minke
adalah keturunan priyayi, ayahnya merupakan seorang Bupati yang nantinya jabatan tersebut
akan diturunkan pada Minke. Namun, itu semua berbanding terbalik dengan pribadi Minke
yang berjiwa bebas. Dia lebih suka menuntut ilmu dan mencari tahu tentang perkembangan
dunia. Dia tidak suka menerima perintah juga memerintah orang lain.

Selama menuntut ilmu, Minke dibuat terkagum-kagum dengan segala hal tentang
kemajuan Eropa dan peradabannya. Berbagai alat canggih temuan baru yang dibuat untuk
mempermudah pekerjaan manusia bermunculan pada saat itu. Mulai dari mesin ketik dan
percetakan yang seketika mengubah wajah ilmu pengetahuan, hingga temuan alat transportasi
super cepat yaitu kereta api. Bukan kereta kuda ataupun sapi, tetapi kereta dengan bahan
bakar yang dapat membawa banyak penumpang secara bersamaan dalam kurun waktu
singkat. Minke pun tumbuh menjadi pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan. Di
kehidupan akhir abad ke -19 ini, derajat Eropa jauh lebih tinggi daripada pribumi. Sehingga
membuat derajat pribumi jauh lebih rendah martabatnya dibanding kalangan Belanda tulen,
Eropa, maupun peranakannya.

Minke tinggal di sebuah pondok daerah Kranggan milik mantan komandan tentara
kolonial. Mereka merawat Minke dengan baik dan sangat menyayanginya layaknya anak
sendiri. Selain hobi mencari tahu tentang perkembangan dunia, Minke juga sangat tertarik
pada dunia jurnalistik. Kesibukan yang sehari-hari dilakukan Minke sehabis pulang sekolah
adalah menulis artikel atau tulisan umum yang dimuat di kolom iklan koran-koran lokal
dengan tentunya menggunakan nama samaran berbahasa Belanda. Ia juga membantu usaha
sahabatnya Jean Marais di Kranggan dengan menjadi promotor seni lukis miliknya. Jean
Marais merupakan mantan prajurit kolonial keturunan Perancis yang menjadi korban perang
melawan prajurit Hindia-Belanda di Aceh, yang membuat ia kehilangan sebelah kakinya.
Minke seringkali menemani Jean Marais melukis selagi ia menemani May Marais (Anak Jean
Marais) bermain-main di taman.
Selama bersekolah di HBS, Minke berteman baik dengan Robert Suurhof, peranakan
Indo (Eropa dan Pribumi) yang selalu menghina, merendahkan, dan melecehkan kaum
pribumi, termasuk kepadanya. Di mata Suurhof, pribumi tetaplah seorang pribumi yang
setinggi apapun pendidikannya tetap tidak bisa menandingi apalagi melangkahi derajat
bangsa kulit putih. Suatu waktu Suurhof menantang kejantanan Minke sebagai laki-laki
untuk bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis cantik yang juga berketurunan Indo
yang tinggal di Wonokromo bernama Annelies Mellema. Kebetulan kakak dari gadis tersebut
adalah teman Suurhof, Robert Mellema. Dara ini memancarkan kharisma kecantikan yang
membuat ia menjadi primadona remaja seusianya.

Pagi itu, Suurhof datang menjemput Minke sesuai janjinya dengan membawa dokar
mewah. Setelah melewati perjalanan panjang, tibalah mereka di Wonokromo. Sebelum
mencapai rumah, terdapat gerbang tinggi nan kokoh dengan papan kayu diatasnya bertuliskan
Boerderij Buitenzorg yang berarti Perusahaan Pertanian Buitenzorg. Sesampainya disana
mereka disambut langsung oleh Robert Mellema teman Suurhof sekaligus kakak dari gadis
cantik yang menjadi tujuan utama Minke dan Suurhof datang ke Wonokromo. Namun,
Robert Mellema ternyata tidak menyukai kehadiran Minke di rumahnya, dengan alasan yang
sama dengan kaum Eropa lainnya, karena Minke adalah pribumi.

Tanpa mempersilahkan Minke duduk di meja yang sama, Robert menyuruh Minke duduk
di kursi terpisah di ujung teras. Tak lama kemudian keluarlah gadis menawan dari balik pintu
tinggi rumah itu, “Annelies Mellema” ucapnya memperkenalkan diri kepada Minke dan
Suurhof. Minke awalnya merasa takut dan gugup karena sadar ia hanyalah seorang Jawa
sedangkan Annelies adalah gadis peranakan Eropa, tetapi seiring berjalannya waktu ternyata
Annelies memiliki pribadi yang hangat dan juga berpikiran terbuka. Dibawanya Minke
keliling rumah sembari memperlihatkan isi rumahnya. Lalu Minke bertemu dengan Nyai
Ontosoroh, ibu dari Robert Mellema dan Annelies Mellema. Yang ternyata adalah seorang
wanita pribumi tetapi dibekali dengan akal yang cerdas serta pandai sehingga dapat
menjalankan perusahaan besar, padahal ia bukanlah orang yang berpendidikan tinggi ataupun
keturunan ningrat, semua itu diajarkan Tuan Mellema padanya. Rasa takut yang awalnya
dirasakan Minke terhadap Nyai Ontosoroh pun berubah menjadi kagum karena kemandirian
yang dimiliki oleh Mama.

Tanpa disangka, tenyata pertemuan pertama Annelies dan Minke tersebut langsung
membuat kedua insan itu saling jatuh cinta. Namun hubungan mereka mendapat pertentangan
dari ayah dan kakak Annelies. Diketahui Minke selanjutnya, bahwa hubungan rumah tangga
keluarga Mellema ini tidaklah harmonis. Tuan Mellema yang dulu dengan sabarnya
membimbing Nyai Ontosoroh, sekarang berubah menjadi seorang pemabuk dan sering
bepergian. Semuanya bermula ketika anak sah Tuan Mellema dari Belanda datang
menemuinya dan menuntut haknya berupa perusahaan yang dimiliki Tuan Mellema dengan
alasan bahwa Tuan Mellema telah menelantarkan ia dan ibunya di Belanda sehingga ibunya
harus mencari nafkah seorang diri.

Pertemuannya dengan Annelies mebuat hidup Minke berubah 180 derajat, dia yang dulu
hanya dapat mengagumi wanita berparas cantik dari kertas foto dan tidak pernah sekalipun
berpengalaman dalam mendekati perempuan, kini menjadi tergila-gila dengan kepribadian
dan paras cantik yang Annelies miliki. Begitupun Annelies kepada Minke, gadis yang selalu
menolak ajakan laki-laki manapun dan juga tidak pernah mempunyai pengalaman
berhubungan dekat dengan lawan jenis. Annelies dibuat kagum dengan kecerdasan,
keteguhan, perilaku serta pengetahuan yang Minke punya padahal ia adalah seorang pribumi.
Tidak hanya Annelies, Nyai Ontosoroh pun juga sangat menyayangi Minke layaknya anak
sendiri.

Satu waktu Minke dijemput paksa untuk pulang ke Surabaya. Ayahnya yang seorang
Bupati membutuhkan dirinya untuk menjadi penafsir bagi tamu Belanda yang dijamunya
pada saat itu. Kepergian secara tiba-tiba Minke mebuat Nyai Ontosoroh khawatir dan
menyuruh Robert untuk menyusul Minke ke Surabaya untuk mencari tahu, tetapi Robert
mengelak permintaan ibunya tersebut. Sepulangnya Minke dari Surabaya disambut hangat
Annelies yang khawatir tentang apa yang terjadi sehingga membuat Minke dijemput paksa.
Sejak kejadian tersebut tubuh Annelies menjadi lemah dan sering jatuh sakit, sehingga
membuat Minke mau tak mau harus selalu mejaga dan menemani Annelies. Jean Marais,
tetangga sekaligus sahabatnya di Kranggan, menjadi orang pertama yang mengetahui
perasaan Minke terhadap Annelies. Jean hanya bisa mendengar isi hati yang dicurahkan
Minke kepadanya dan sesekali mengingatkan, bahwa menjalani hubungan dengan peranakan
Indo tidaklah mudah, meskipun Annelies tidak pernah membeda-bedakan perilaku terhadap
pribumi maupun kaum Eropa, derajat Minke tetaplah hanya seorang pribumi biasa.

Konflik mulai bergejolak ketika Herman Mellema menemui kematiannya. Tuan Herman
Mellema meninggal terbunuh di rumah Bordir Babah Ah Tjong dan Nyai Ontosoroh dicurigai
sebagai dalang dari kematian Tuan Mellema, sehingga kasus ini dibawa ke Pengadilan
Pribumi. Peradilan Nyai Ontosoroh berjalan berdasarkan hukum Belanda yang semakin
membuat posisinya melemah dan terdesak, ia dan Minke tidak dapat berbuat banyak.
Meskipun telah menyewa pengacara handal, tetapi itu tidak mebuahkan hasil apa-apa. Berada
di situasi seperti ini membuat Minke tak bisa tinggal diam, ia menentang ketidakadilan
pengadilan yang dipimpin oleh pemerintah Belanda terhadap dirinya, Nyai, dan Annelies.
Kabar itu tersebar hingga ke HBS, Robert Suurhaf yang merasa iri karena Minke yang
dicintai Annelies. Ia malah menghasut siswa-siswi HBS dan para guru. Ia menyebarkan
berita-berita fitnah, dan makin memperkeruh suasana dengan mengadu domba kaum pribumi
dan bangsa Eropa. Namun, itu semua tidak membuat Minke patah semangat untuk
memperjuangkan keadilan. Lewat keahliannya dalam membuat surat kabar, ia mecoba
meyakinkan dan menyuarakan kebenaran dari segala permasalahan yang terjadi bukan hanya
terhadap dirinya, Nyai, dan juga Annelies, tetapi juga masalah ketimpangan sosial yang
dirasakan pribumi terhadap bangsa Eropa.
Saat itu hanya Jufrow Magda Peter, satu-satunya guru yang selalu membela Minke. Ia
selalu membela Minke karena ia tahu Minke tidaklah seperti yang difitnahkan. Selain Itu,
Magda Peter sangat menyayangi Minke karena kepandaian dan ketajaman Minke yang dapat
menulis di surat kabar. Minke dan Nyai berusaha dengan sekeras tenaga unutk melawan
ketidakadilan tersebut. Berulang kali kuasa hukum dipanggil untuk membantu menangani
kasus ini. Namun semuanya berujung pada kebuntuan.
Situasi semakin runyam ketika Minke terancam dikeluarkan dari HBS akibat
hubungannya dengan Annelies yang menjadi contoh buruk bagi siswa-siswi HBS lainnya,
keputusan tersebut juga ternyata didukung oleh ayahnya yang meminta supaya Minke
dikeluarkan saja. Minke tidak terima dan langsung angkat kaki dari HBS. Ia bercerita kepada
Jean sahabatnya bahwa ia dikeluarkan dari HBS, Jean tidak kehilangan akal untuk
menyemangati Minke di situasi seperti ini, ia memberi saran untuk menikahi Annelies
secepatnya.

Sedikit demi sedikit usaha Minke dalam menerbitkan tulisannya di koran umum yang
menceritakan ketidakadilan pengadilan Belanda, membuat banyak orang bersimpati terhadap
masalahnya tersebut. Guru kesayangan Minke di HBS dan Tuan Asisten Residen di Surabaya
yang notabennya bukanlah seorang pribumi juga ikut memberi bantuan. Ternyata tulisannya
di koran umum sampai kepada Alumni HBS yang kemudian mengirimkan surat kepada
kepala sekolah HBS yang berisikan protes terhadap pengeluaran siswa berprestasi seperti
Minke. Surat ini menjadi bahan pertimbangan kepala sekolah dan akhirnya memperbolehkan
Minke bersekolah kembali di HBS. Keputusannya tersebut membawa hasil yang baik untuk
HBS, karena ternyata Minke mendapatkan nilai ujian tertinggi ke-2 se Hindia-Belanda.
Niat Minke untuk mempersunting Annelies ternyata disetujui oleh sang ibu. Selepas
kelulusan Minke dari HBS, ibunya datang ke Wonokromo untung turut hadir dalam
pernikahannya bersama Annelies nanti. Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun akhirnya
datang, seluruh siswa-siswi serta guru-guru HBS turut menghadiri pernikahan Minke dan
Annelies, pernikahan pun berlangsung khidmat dan diselimuti kebahagiaan.
Masalah sepertinya satu persatu datang dalam kehidupan keluarga Minke yang baru ini.
Ir. Maurits Mellema anak sah Tuan Mellema di Belanda menginginkan hak penuh atas
perusahaan dan seluruh harta benda peninggalan ayahnya. Tidak sampai situ, Annelies yang
bukan anak sah Nyai dan dianggap masih dibawah umur. Semua ini membuat Nyai makin
kehilangan arah untuk berjuang. Mengenai harta peninggalan, semua perusahaan beserta
rumah Tuan Mellema di Wonokromo akan dikembalikan kepada istri dan anak Tuan
Mellema yang sah di Belanda. Nyai tidak mendapat bagian sedikitpun. Perusahaan
Buitenzorg yang ia dirikan bersama Annelies dengan susah payah, semua pengorbanan dan
perjuangan panjang kini terancam diambil alih oleh orang yang bajkan tidak sedikitpun
membantunya dalam mendirikan perusahaan. Semua itu terjadi hanya karena ia adalah
seorang pribumi.
Minke semakin teguh untuk tetap memperjuangkan keluarganya dari segala
ketidakadilan yang selama ini dirasakannya. Ia kembali memuat banyak tulisan di koran
umum, kali ini ia mengangkat pernikahannya bersama Annelies sebagai pernikahan yang sah
menurut hukum islam. Ia juga berusaha meyakinkan masyarakat pribumi untuk ikut berjuang
bersama dirinya atas segala perlakuan tidak adil Belanda terhadap pribumi. Kemahiran Minke
dalam membuat karya tulis membuat banyak orang iba dan turut membantu pengusutan kasus
ini. Khususnya bagi para muslim, yang juga merasakan ketidakadilan atas apa yang ditulis
Minke. Serombongan penduduk pribumi bersatu berdemo didepan pengadilan Surabaya.
Semua ini terjadi berkat seorang remaja yang baru beranjak dewasa yang telah mengubah
sudut pandang penduduk pribumi dari yang hanya patuh terhadap suruhan kolonial dan tak
berdaya di depan hukum yang berlaku kearah perlawanan dan sikap kritis terhadap kebijakan
Belanda yang dibuat, yang tak jarang bahkan merugikan penduduk pribumi.
Sementara itu Annelies terbaring lemah di kasurnya, tidak memberi reaksi apapun
dengan seruan Minke ataupun pelukan hangat mamanya. Dia sengaja dibius dokter untuk
menenangkan pikirannya. Pengadilan pun kembali mengadili Nyai, setelah Nyai kehilangan
seluruh harta benda yang ia peroleh dari keringatnya sendiri, kali ini nasib Annelies
dipertaruhkan. Hak asuh terhadap Annelies dicabut serta pernikahan Minke dan Annelies
dianggap tidak sah menurut hukum Belanda. Nyai dan Minke pun hancur sehancur-
hancurnya.
Pengadilan memberikan tenggat waktu lima hari kepada Annelies untuk mempersiapkan
keberangkatannya dari Surabaya ke Amstredam. Pengadilan tetap pada keputusannya yang
sangat merugikan pribumi. Annelies tetap akan dibawa tanpa Minke ataupun Ibunya.
Sebelum hari keberangkatan, tubuh Annelies masih terlihat kaku, tetap dengan tatapan dan
pandangannya yang kosong. Ia tidak mengeluarkan suara sedikitpun meskipun obat bius
sudah tidak bekerja.
Penduduk pribumi tidak lantas terima dengan keputusan final tersebut. Serombongan
muslim, kaum pribumi lainnya, serta serombongan orang Madura bersenjata parang dan clurit
telah menjaga kediaman Nyai Ontosoroh di Wonokromo. Mencoba untuk melindungi
keluarga Minke dari regu polisi yang akan menjemput Annelies. Pasukan Belanda yang
geram menyerang pasukan pribumi, rombongan Nyai tak sedikit yang mati berlumuran darah
tetap mencoba mempertahankan kediaman Nyai Ontosoroh. Bukan tiada arti, perlawanan
rakyat pribumi ini karena menentang ketidakadilan pengadilan Belanda yang juga membuka
momentum baru bagi kebangkitan rakyat pribumi. Namun, rombongan Nyai kalah dan
pasukan Belanda pun memasuki kediaman Nyai.
Hari keberangkatan Annelies ke Belanda di kelilingi kesedihan dari Nyai dan Minke.
Tetapi Annelies berusaha tegar menghadapi ini semua dan memberanikan diri untuk
berbicara seperti biasanya. Ia hanya berpesan kepada mamanya untuk menikah lagi dan
memberinya adik kecil yang manis. Dan kepada Minke, ia berpesan untuk hanya mengenang
saat-saat bahagia yang mereka lakukan bersama saja, bukan hal-hal yang malah membuatnya
bersedih mengingat dirinya nanti. Karena Annelies tidak mau perpisahannya ini menjadi
perpisahan yang menyedihkan. Karena Minke tidak ingin Annelies merasa kesepian di
Belanda, ia meminta tolong kepada Jan Dapperste temannya yang peranakan Indo untuk
menemani Annelies disana. Kereta yang akan membawa Annelies ke pelabuhan sudah siap di
depan rumah dengan penjagaan ketat dari pasukan Belanda. Tangis pun pecah tak kuasa
ditahan Nyai dan Minke atas kepergian Annelies.

Kekuatan & Kelemahan Film


Sosok dibalik lahirnya karya agung adalah Pramoedya Ananta Toer yang dikenal sebagai
penulis terbaik Indonesia. Pram, panggilannya, telah menciptakan berbagai tulisan terbaik
dari dalam jeruji penjara setelah ia dihukum karena dianggap sebagai pembangkang. Pram
dilahirkan pada 6 Februari 1925 di Blitar, Jawa Timur. Bakatnya dalam menulis sudah
ditemukan sejak ia masih remaja, ketika ia mengikuti kelompok militer di Jawa. Ketika itu ia
menulis cerpen serta buku di sepanjang perjalanan militernya dan ketika ia dipenjarakan di
penjara Belanda yang terletak di Jakarta pada 1948 hingga 1949. Penjara tidak membuat
kecintaannya untuk menulis berhenti.
Untuknya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Berkali-kali karyanya dilarang dan
dibakar, tetapi ia selalu bertanggung jawab dengan semua akibat yang ia peroleh dari
menulis. Pram pernah diasingkan karena diduga dekat dengan kelompok keebudayaan kiri,
dan ketika peristiwa G30 S PKI membuat semua yang berafiliasi dengan golongan kiri disapu
bersih, termasuk dirinya. Namun di dalam pengasingan ia menulis empat novel yang dikenal
dengan Tetralogi Buru, yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak
Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Karya Bumi Manusia-nya mendapat banyak pujian
serta telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa asing, dan namanya berkali-kali
masuk dalam kandidat pemenang Nobel Sastra.

Peran
Pemeran untuk film ini dipilih dari rentetan aktor serta aktris terbaik sehingga pesan dan
makna film dapat juga dirasakan oleh para penonton. Dengan mendatangkan aktor Belanda
asli dilakukan Hanung untuk tetap menjaga unsur kolonial yang ada. Peran Iqbaal sebagai
Minke di film ini mendapat pro dan kontra. Meskipun bukan merupakan kandidat pertama
yang dipilih untuk memerankan Minke, namun pada akhirnya Iqbaal dapat meyakinkan
Hanung atas rekomendasi dari Salman. Iqbaal juga menilai tokoh Minke sebagai karakter
yang sangat kuat dan signifikan, berani serta kharismatik, yang berusaha mengubah dunia
tanpa meninggalkan tempat dari mana ia berasal.
Pemilihan Iqbaal Ramadhan untuk menarik atensi pemirsa milenial bisa jadi sukses.
Tetapi, dia belum mampu memperkenalkan wujud Minke bagaikan kepribadian pemuda
pergerakan secara sempurna. Iqbaal dalam sebagian adegan semacam lenyap arah, dengan
mata yang belum sanggup mengantarkan gejolak emosi dalam wujud Minke. Saat sebelum
syuting diawali, Hanung sesungguhnya sudah mempersiapkan Iqbaal dengan bermacam
perlakuan semacam membuat si aktor merasakan jadi budak, makan nasi di lantai, dan
melaksanakan seluruh pekerjaannya sendiri. Tetapi rasa- rasanya belum seluruhnya sukses
untuk mebuat Iqbaal melebur pada karakter Minke.
Lawan pemain Iqbaal yaitu Mawar de Jongh yang berperan sebagai Annelies Mellema
dinilai cukup berhasil memerankan karakter tokoh tersebut. Meskipun terkadang saya dibuat
bingung tentang partisipasi Annelies yang dirasa kurang dalam film ini. Karakter Minke yang
terlalu mendominasi membuat kesan peran Annelies kurang menonjol. Yang mencuri
perhatian saya pada film ini adalah kepiawaian Sha Ine Febriyanti dalam memerankan tokoh
Nyai Ontosoroh. Karakternya yang tegar berani, pekerja keras, disiplin dan pantang
menyerah sangat bisa dirasakan penonton bahkan hanya dari tatapannya dalam setiap adegan
demi adegan yang ia tampilkan. Ine Febriyanti juga dapat membawa emosi sekaligus simpati
penonton ke dalam kisah kehidupannya yang pelik dan menyedihkan.

Sayangnya banyak kisah hidup Nyai Ontosoroh yang tidak diceritakan secara rinci.
Misalnya, kisah kebencian Nyai yang teramat sangat terhadap sang ayah yang dengan rela
menjual dirinya kepada pengusaha hanya demi sebuah jabatan, dan sang ibu yang dia anggap
tidak cukup memperjuangkan dirinya. Tentunya jika adegan tersebut divisualisasikan maka
akan menambah gejolak emosi yang dirasakan penonton, terlebih kisah tersebut memiliki
korelasi dengan adegan terakhir ketika Nyai dan Minke harus melepaskan Annelies pergi,
sungguh akan sangat mengharukan.

Maiko, salah satu pelacur di rumah Bordil Babah Ah Tjong yang diperankan oleh Kelly
Tandiono juga ikut menjadi salh satu karakter yang menarik perhatian. Sayangnya, cerita
hidup Maiko di film ini tidak begitu diuraikan secara mendalam. Padahal kisah bagaimana ia
bertahan hidup menjadi satu bagian yang menarik. Yidak hanya itu, karakter tangan kanan
Nyai Ontosoroh, Darsam yang diperankan oleh Whani Darmawan juga ditafsirkan begitu
kuat.

Karakter lain yang juga patut mendapatkan apresiasi adalah Jerome Kurnia yang
berperan sebagai Robert Suurhof dan Giorgino Abraham sebagai Robert Mellema. Keduanya
sama-sama berhasil dalam memerankan karakter Indo-Belanda yang arogan, angkuh, dan
terkesan memandang rendah penduduk pribumi. Totalitas juga ditunjukkan aktor Giorgino
Abraham ketika terdapat adegan dimana ia ditampar oleh ibunya, Nyai Ontosoroh, hingga
mengulang sekitar 30 kali, itu semua dilakukannya demi mendapatkan hasil yang sesuai. Tak
tanggung-tanggung, semua peran dan figuran Belanda juga didatangkan langsung dari negara
asalnya.

Sudut Pandang
Alur dan plot cerita dikemas Hanung dengan baik. Hanya saja terdapat beberapa bagian
yang terasa terlalu lambat dan membuat kita sedikit bosan. Meskipun demikian, sudut
pandang lain yang bisa dilihat dari film ini adalah penggunaan berbagai bahasa yang
dilakukan para tokoh. Banyak dialog-dialog yang menggunakan bahasa Jawa dan Belanda
yang diselingi juga dialog-dialog romantis yang diucapkan Minke kepada Annelies. Sekali
lagi, pengaruh Iqbaal Ramadhan dalam memerankan Minke menjadi poin tambah. Hanya
saja, kali ini bukan lewat gombalan remaja tahun ‘90-an. Tetapi seorang pemuda yang hidup
di era 1800-an. Meskipun begitu, cerita Bumi Manusia masih relevan untuk dinikmati saat
ini.

Desain Set dan Sinematografi

Mengambil latar waktu di tahun 1800-an akhir, membuat tim produksi harus bekerja
lebih ekstra. Tetapi itu semua dapat dilakukan Hanung dengan baik, karena berkat arahannya
seluruh tim produksi dapat memvisualisasikan set bernuansa kolonial dengan cukup
sempurna. Hal-hal detil seperti arsitektur, budaya, tempat, hingga alat transportasi telah
disiapkan secara matang untuk film ini, suasana kolonial pun terasa sangat kuat. Ladang Nyai
Ontosoroh yang seluas 185 hektar juga dibuat senyata mungkin dan melibatkan kurang lebih
150 petani asli serta penduduk lokal. Begitu juga kediaman Keluarga Mellema yang sengaja
dibuat semegah mungkin agar tercipta kesan terpandang. Berbagai macam barang antik juga
sengaja ditambahkan semirip mungkin dengan apa yang digambarkan dalam novel.

Busana yang dipakai setiap pemain juga disiapkan secara matang. Seperti korset dengan
aksen rok lebar dan topi serta sarung tangan sebagai aksesoris bagi wanita, dan laki-laki
memakai jas dan celana bahan. Tidak sebatas untuk para pemain utama, tetapi semua pemain
termasuk lebih dari 100 ekstras juga difasilitasi dengan busana yang serupa demi
menciptakan suasana kolonial yang lebih kental.

Terlebih dengan alunan musik yang diciptakan membantu penonton terasa terbawa pada
suasana era kolonial akhir 1800-an. Setelah produksi film selesai, set yang dibuat untuk
menjadi tempat tinggal Keluarga Mellema telah diresmikan sebagai Museum Bumi Manusia
pada 13 Agustus 2019. peresmian tersebut ialah arahan langsung dari putri Pramoedya, Astuti
Ananta yang menginginkan lokasi tersebut hidup secara nyata, sehingga bukan hanya untuk
kepentingan komersial saja.
Sinematografi yang digunakan pun tak main-main. Komposisi dan pengambilan setiap
angle gambar yang dikemas secara apik, meskipun untuk beberapa pengambilan gambar
melibatkan CGI yang masih terlalu kasar, tetapi tetap tidak mengurangi estetika yang ada.
Produksi juga menyebutkan bahwa 45% dari isi film ini melibatkan efek komputer. Proses
syuting dimulai pada akhir Juli hingga Agustus 2018 di berbagai lokasi yang telah ditentukan
meliputi Studio Gamplong, Sleman. Yogyakarta, Semarang, Jawa Tengah, dan Belanda.
Dana yang dihabiskan juga bukan angka yang kecil, yakni mencapai angka Rp 30 miliar.

Kontribusi Film Terhadap Studi Ilmu Politik


Meskipun film ini lebih memfokuskan pada kisah cinta Minke dan Annelies, terlepas dari
itu polemik-polemik yang terjadi pada film ini sebagian besar menceritakan tentang
bagaimana penjajahan dan sistem pemerintahan Belanda berlangsung. Mulai dari sistem
sosial yang sengaja diciptakan oleh Belanda yaitu adanya pembagian kelas/status serta derajat
antara kaum Eropa dan penduduk pribumi. Adanya diskriminasi tersebut digambarkan dalam
adegan film dimana ketika Suurhof dan Minke mencoba masuk ke dalam salah satu cafe
namun tepat di sebelah pintu utama terdapat tulisan “Pribumi dan anjing dilarang masuk”,
hanya dari pernyataan itu sudah menjelaskan bahwa kelas pribumi setara dengan binatang.
Kesenjangan sosial itu membuat kaum pribumi semakin menderita. Itulah yang mengawali
dogma kaum Eropa maupun peranakan Indo pada masa itu, yang memandang rendah
penduduk pribumi dan menganggap mereka adalah manusia lemah yang hidup hanya sebatas
sebagai budak atau gundik.

Namun sudut pandang baru dimulai ketika Suurhof dan Minke datang ke Buerderij
Buitenzorg yang dikelola oleh Nyai Ontosoroh. Mereka tidak melihat satu pun adanya
perbudakan, kekerasan fisik yang dilakukan atasan, perbedaan perlakuan, dilecehkan, apalagi
diperjual belikan. Pekerja yang ada di ladang ini bisa dikatakan hidup dengan nyaman tanpa
diskriminasi. Istilah “Nyai” sendiri mengacu kepada seorang budak/gundik perempuan, tetapi
konotasi itu berhasil dipatahkan oleh Nyai Ontosoroh, gundik Tuan Mellema. Sesosok
pribumi yang dihormati banyak orang, berpenampilan rapi nan anggun sangat berbeda
dengan nyai-nyai yang ada di luar sana. Pandai menjalankan perusahaan, fasih berbahasa
Belanda, dan tentunya hidup nyaman di kediaman yang bisa dibilang mewah pada masanya.

Praktik pergundikan sendiri sebenarnya telah dilakukan ketika VOC didirikan di Hindia
Timur. Pada saat itu keberadaan wanita Eropa masih jarang ditemukan bisa digambarkan
dengan perbandingan 1:100. karena kesulitan mencari pasangan satu ras itulah yang akhirnya
menghalalkan adanya pergundikan. Meskipun nyatanya banyak terjadi penolakan diantaranya
larangan pernikahan dengan orang non-kristen hingga sebutan bahwa tentara yang hidup
bersama seorang nyai maka kenaikan pangkatnya akan ditangguhkan. Dari situlah mulai
adanya ketidaksukaan kolonial terhadap praktik pergundikan sehingga beredar asumsi bahwa
alasan perempuan pribumi bersedia dijadikan nyai karena adanya pertimbangan materialistis.
Padahal para perempuan muda ini sama sekali tidak punya kebebasan untuk bersuara apalagi
membuat pilihan. Mereka sengaja dijual atas keputusan ayah demi hanya sekedar
mendapatkan sebuah pekerjaan atau jabatan di tempat Belanda. Ketidakberdayaan ini yang
dialami oleh Sanikem. Ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika ia diperjual-belikan kepada
Herman Mellema.

Tidak hanya politik Belanda, Bumi Manusia juga menyoroti politik dalam negri zaman
itu yang menganut politik dinasti. Yaitu tingkatan bangsawan/ningrat jauh lebih tinggi
dibandingkan penduduk pribumi biasa. Jabatan yang diperoleh juga hanya dimiliki oleh
orang-orang kalangan atas, bangsawan berdarah biru yang secara turun temurun menurunkan
kekuasaannya.

Tetapi yang menjadi poin utama adalah ketidakadilan hukum yang terjadi pada Nyai
Ontosoroh di pengadilan kulit putih. Bangsa Belanda yang berkuasa saat itu menetapkan
pembagian kasta dalam hukum yakni tingkatan tertinggi diduduki oleh bangsa Eropa, lalu
bangsa Asia-Arab, kemudian yang terakhir dan terendah diberikan kepada penduduk pribumi.
Sehingga fokus pengadilan bukan lagi perihal kematian Herman Mellema yang tewas akibat
diracun, tetapi menjadi serangan pribadi terhadap Nyai Ontosoroh dan keluarganya hanya
semata-mata karena dogma kolonial terhadap sebutan nyai atau gundik yang telah melekat
erat.

Kasus serupa juga kembali terjadi ketika Annelies dinyatakan harus kembali ke Belanda
dan hak asuh diberikan kepada keluarga Herman Mellema. Padahal saat itu status Annelies
adalah sebagai istri Minke yang sah secara agama dan Minke berhak atas kehidupan
Annelies. Namun lagi-lagi pengadilan kulit putih hanya memandang sebelah mata dan
memutuskan bahwa penikahan tersebut tidak sah secara hukum Eropa.

Masalah-masalah tersebut hanya sedikit dari sekian banyaknya ketidakadilan yang


dilakukan Eropa terrhadap pribumi yang sengaja disoroti oleh film Bumi Manusia ini. Mulai
dari masalah kesenjangan sosial dan ekonomi, perbudakan, diskriminasi ras, hingga
ketidakadilan hukum. Mungkin Nyai Ontosoroh hanya satu dari sekian banyak nyai lainnya
yang beruntung masih diperlakukan layak oleh tuannya, meskipun pada akhirnya ia juga
harus menghadapi realita kehidupan hidup di era kolonial.

Lewat Bumi Manusia kita bisa menarik kesimpulan bahwa di era modern ini kita harus
tetap berpegang teguh pada rasa nasionalisme meskipun sudah tidak lagi dijajah oleh bangsa
lain. Kita harus lebih berpikir tentang bagaimana caranya kita bisa sejajar dengan bangsa-
bangsa lainnya di dunia. Bukan berarti menjadi pribadi yang primordial yang merasa paling
benar dan paling bagus, tetapi sebagai pribadi yang nasionalis, yang cinta dan peduli dengan
bangsanya sehingga kemudian akan timbul rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari
internal maupun eksternal.

Anda mungkin juga menyukai