Anda di halaman 1dari 5

saja, kata sebuah koran, dapat dicatat paling tidak lima orang nyai telah naik ke tiang

gantungan. Boleh jadi Nyai Dasima bisa melakukan kejahatan yang sama sekiranya
Tuan Edward Williams bukan seorang arif bijaksana. Walhasil: penutupnya
pembunuhan juga. Hanya bukan Edward Williams yang jadi kurban — Dasima
sendiri. Koran itu menutup dengan saran agar mengusut Nyai Ontosoroh lebih teliti.
Sebuah Koran Betawi malah menampilkan si Minke ini sebagai oknum yang patut
mendapat sorotan lebih cermat.
Dokter Martinet dan Maarten Nijman telah mengumpulkan begitu banyak koran
terbitan berbagai kota dan menyerahkan pada kami.
Mengikuti komentar dan saran-saran itu pada suatu kali Nyai menyatakan:
"Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak pfcnyfck terinjak-injak kakinya. Bagi mereka
Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih; jadi Pribumi pun sudah salah.
Dilahirkan sebagai BI" bumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih
sulit» Minke, anakku!" (Itulah untuk pertama kali ia memanggil anak' ku, dan aku
berkaca-kaca terharu mendengarnya). Apa akan lari dari kami, Nak ?"
"Tidak, Ma. Kita akan hadapi semua bersama-sama. Kita juga punya sahabat, Ma.
Dan jangan anggap Minke ini kriminil, aku pinta."
"Mereka punya segala alat untuk mengkambinghitamkan kita. Tapi selama tak ada di
antara kita ditahan — apalagi Darsam - pihak polisi nampaknya tidak terpengaruhi."
Sebuah tulisan, jelas dari Robert Suurhof, telah menggugat keadaanku di tengah-
tengah keluarga Mellema sebagai benalu tak tahu malu, ikut menyedot harta orang
lain dan menampilkan diri di depan umum sebagai burung-gereja-tanpa-dosa, orang
tanpa nama keluarga, tanpa sesuatu, dengan satu-satunya modal keberanian: jadi
buaya darat.
Koran itu memang bukan S. N. v/d D tapi harian yang sudah terkenal ketagihan
skandal, sensasi di segala bidang, dengan pembantu-pembantu para maniak sensasi.
Atau menurut Dokter Martinet: orang-orang sakit, semacam Titus di jaman Romawi.
Ia memerlukan datang berkunjung untuk menyatakan sympati-nya:
"Boven water houden, jangan tenggelam."
Biar apa pun macamnya hiburan, biar dengan cara apa saja hati hendak diparami,
tulisan itu memang memukul. Nyerinya terasa sampai ke bulu rona.
"Akan kuajukan pengaduan, Mama."
"Tidak!" tegah Nyai. "Kau tak bakal menang."
"Kalau Mama tidak membenarkan dia saja, aku sudah bisa menang."
"Mama ada pada pihakmu," kata wanita itu. "Tapi di depan hukum kau tak bakal
menang. Kau menghadapi orang Eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan
mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua pokrol

! 221!
dan advokat bisa dipercaya, apalagi kalau soalnya Pribumi menggugat Eropa. Tulisan
itu jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga."
Orang yang mengaku, mengenal diriku boleh jadi temanku sendiri; teman baik atau
teman buruk, jawabku dalam tulisan. Mengapa Tuan tidak memunculkan muka
dengan terang, mengapa lebih suka bersembunyi di balik topeng dan melemparkan
najis sendiri ? Muncullah, Tuan, dengan muka sendiri. Mengapa Tuan malu pada
muka sendiri, nama sendiri, dan perbuatan sendiri ?
Tulisan yang diumumkan Maarten Nijman itu kemudian diumumkan juga oleh
sebuah koranlelang, yang karena adanya peristiwa kematian Herman Mellema
berubah jadi harian umum, sekali pun adpertensinya masih tetap menempati
sebagian besar ruangan. Di seluruh Surabaya terdapat enam buah perusahaan lelang.
Masing-masing punya korannya sendiri. Hanya koranle-lang yang sebuah ini dapat
meningkat jadi harian.
Berapa yang sudah kuambil dari Tuan Herman Mellema mendiang ? Cobalah Tuan
sebutkan. Kalau mungkin perinci sekali. Tuan dapat minta bantuan dari keluarga
Mellema yang ditinggalkan: malah aku sendiri bersedia. Kalau perlu bisa disewa
seorang akontan, tulisku.
Sungguh di luar dugaan. Serangan padaku menderu-deru. Betul Mama -- itu belum
lagi kunaikkan jadi perkara pengadilan. Persoalan tidak tinggal memusat pada
benar-tidaknya kedudukanku sebagai benalu penyedot harta mendiang Herbert
Mellema. Titikbakar berpindah pada perbedaan kulit: Eropa kontra Pribumi. Koran
kota-kota lain juga ikut menimbrung. Maka dalam satu bulan penuh tak ada
kesempatan lagi padaku untuk melihat pelajaran sekolah. Kesibukan sehari-hari:
melayani kejahilan orang. Dan semua serangan disampaikan Maartert Nij-man
padaku untuk dijawab.
Juffrouw Magda Peters juga datang untuk menyampaikan sympati. Mengatakan:
"Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia.
Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina,
hanya untuk berpa-mer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam
segala hal ~ juga kejahilannya. Kau sendiri jangan lupa, Minke, mereka yang merintis
ke Hindia ini — mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini
mereka berlagak lebih Eropa. Sampah itu."
Kami dengarkan sympati, sekaligus umpatan itu, dengan diam-diam.
Annelies sendiri kami usahakan agar tetap berada di luar persoalan. Nampaknya
hasilnya cukup memadai. Dengan demikian antara Nyai dan diriku lahir persekutuan
menghadapi dunia luar rumah.
"Kalau memang kau sudah sepakat menghadapi mereka di sampingku, Minke, Nak,

! 222!
Nyo, kau hadapi mereka sampai selesai. Kalau mereka nanti kewalahan - hati-hati -
mereka akan mengeroyok. Sudah beberapa kali itu terjadi. Berani kau “
"Sebagai persoalan memang harus terus dihadapi, Ma. Kira-kira Minke ini, Ma, kira-
kira memang bukan kriminil. Tidak akan lari."
"Baik. Kalau begitu kau memang tak perlu bersekolah dulu. Perkelahian ini lebih
penting daripada sekolah. Di sekolah kau akan dikeroyok dan disakiti tubuh dan
hatimu. Dengan menghadapi yang sekarang ini kau akan mempelajari ilmu beladiri
dan menyerang di hadapan umum segala bangsa. Kau akan lulus dengan ijasah yang
bernama kemashuran."
Tidak diduga dalam sebuah koran Melayu milik orang Eropa muncul tulisan yang
membela diriku, ditulis oleh seorang yang mengaku bernama: Kommer.
Kalau Minke alias Max Teilenaar jelas memang melanggar hukum, tulisnya, mengapa
di antara para pendakwa tak ada yang mengajukan perkaranya, melalui tuntutan, ke
Pengadilan ? Apa mereka beranggapan hukum di Hindia Belanda belum mencukupi
kebutuhan mereka ?. Atau mereka sengaja hendak menghina hukum dan
menelanjangi ketidakdayaan para pejabat yang terhormat di bidang hukum ? Atau
memang Tuan-Tuan yang belum tentu terhormat itu ingin menciptakan hukum baru
dengan cara demikian ?
Walhasil beberapa ahli hukum mulai bertikaian dan serangan-serangan terhadapku
tersisihkan. Dan ijasah kemashuran itu, yang dijanjikan Nyai, tak jadi aku peroleh.
Nyai Ontosoroh nampak tenang-tenang menghadapi segala kemungkinan. Dalam
kesibukan luarbiasa Annelies semakin menekuni pekerjaannya. Urusan dengan
dunia luar rumah ia percayakan pada kami berdua. Dan dengan mendadak saja aku
terakui sebagai satu-satunya lelaki anggota keluarga. Yang tidak syah tentu.
Sidang pengadilan tak dapat ditunda lebih lama. Robert Mellema dan si Gendut tetap
tak dapat ditemukan. Maka Pengadilan akan menghadapkan Babah Ah Tjong sebagai
terdakwa. Pengadilan Putih, Pengadilan Eropa! bukan karena Ah Tjong punya forum
privilegiatum, tapi karena adanya connexi-teit* sebagaimana aku ketahui duduk-
perkaranya di kemudianha-n. Ia dituduh dengan sengaja dan direncanakan telah
membunuh Herman Mellema baik secara pelahan-lahan maupun secara sekaligus.
Mungkin ini sidang terbesar di Surabaya selama ini. Digalakkan oleh warta dan
pertentangan dalam koran-koran, penduduk Surabaya dari segala bangsa
memerlukan datang untuk menyaksikan. Dari kota-kota lain dikabarkan orang pada
berdata-ngan. Juga abang Nyai dari Tulangan.
Orang bilang pengadilan ini juga paling mahal. Tidak kurang dari empat orang
penterjemah tersumpah dipergunakan: Jawa, Madura, Tionghoa, Jepang, dan
Melayu. Semua penterjemah adalah orang Eropa Totok.

! 223!
Tuan Telinga, Jean Marais dan Kommer juga datang. Kom-mer malah menyatakan:
sejak ia menjadi juruwarta tak pernah terjadi gedung yang sangat ditakuti itu kini
mendapat kunjungan demikian meriah.
Seorang pemilik kantor dan koranlelang yang aku kenal juga hadir.
Sekolah H.B.S. Surabaya untuk pertama kali dalam sejarahnya tutup: guru dan siswa
memindahkan kiasnya di pelataran gedung pengadilan.
Dokter Martinet terpanggil untuk jadi saksi ahli di bidang kedokteran.
Babah Ah Tjong menggunakan seorang pembela yang didatangkan dari Tiongkok,
menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian penterjemah pun ditambah lagi
dengan seorang.
Orang bilang: ini juga sidang pertama di mana seorang Tionghoa diajukan ke
Pengadilan Putih.
Jalan persidangan pada mulanya berjalan cepat. Bahasa Belanda yang dipergunakan.
Dari Babah Ah Tjong memang sulit diperoleh pengakuan tentang motif pembunuhan
sekali pun pada akhirnya ia mengakui telah melakukan peracunan itu dengan
ramuan Tionghoa yang tidak dikenal oleh dunia kedokteran. Ia tidak mau mengakui
perincian ramuan, hanya, bahwa akibat daripadanya adalah: si peminum kehilangan
keseimbangan, sebagaimana telah dicobakan pada sepuluh orang pesakitan
pembunuh di penjara Kalisosok.
Mula-mula Ah Tjong membantah bahwa ramuan itu bisa membikin kerusakan.
Gunanya hanlya untuk pengharum arak, katanya.
Seorang sinsei yang diajukan sebagai saksi ahli menolak keterangan itu dan terdakwa
terdesak pada pertahanannya yang paling lemah, yang mengantarkannya pada
pengakuan pembunuhan.
Apa motif pembunuhan ?
Pada mulanya Ah Tjong mengatakan, ia sudah jemu dengan langganan yang tak juga
mau pergi selama lima tahun itu. Tapi ia tak dapat menjawab pertanyaan, apa yang
dijemukan selama langganan mendatangkan keuntungan ? Dan mengapa pula
Robert Mellema kemudian juga ditampung ?
Tanya-jawab dengan Nyai Ontosoroh telah membikin perempuan yang jadi bintang
Pengadilan itu menjadi merah-pa-dam. Ia tidak diperbolehkan menggunakan bahasa
Belanda. Ia diperintahkan menggunakan Jawa, menolak, dan menggunakan Melayu.
Ia menerangkan, rekening almarhum Herman Mellema pada Ah Tjong adalah empat
puluh lima gulden sebulan, yang selalu ditagih di kantornya oleh seorang pesuruh.
Belakangan juga rekening Robert Mellema sebanyak enam puluh gulden sebulan.
Mengapa Robert membayar lebih mahal ?
Karena, jawab Ah Tjong, Sinyo Lobelll cuma mau Maiko saja yang tarifnya paling

! 224!
mahal, dan untuk dirinya sendiri.
Apa benar Maiko melayani Robert Mellema saja ? Maiko membantah. Ia melayani
siapa saja sesuai dengan perintah Babah Ah Tjong, termasuk Babah Ah Tjong sendiri.
Apalagi karena Robert Mellema makin lama makin kehabisan kekuatan dan
kemauan.
Untuk memuaskan para peminat Maiko mendapat pertanyaan, apa selama jadi
pelacur tidak pernah mengidap penyakit kotor ? Saksi ahli. Dokter Martinet.
menerangkan benar Maiko mengidap sipilis.
Apa Maiko tidak menyesal telah menyebarkan penyakit di negeri orang ? Ia
menjawab, bukan menjadi kehendakku bila aku terkena penyakit. Penyakit bukan
aku yang membikin. Tugasku sebagai pelacur hanya melayani keinginan langganan.
Masih dalam rangka hendak memuaskan para peminat pertanyaan lain datang lagi:
Siapa yang membikin penyakit itu ? Dengan suara bening dan indah Maiko
mengatakan tidak tahu. Bila langganan tertulari karena aku, bukanlah itu menjadi
kesalahanku.
Apa Babah Ah Tjong pernah menyatakan kejengkelannya pada Nyai ? Nyai
menjawab tak pernah bertemu dengan tetangganya itu seumur hidup. Ia hanya
bertemu dengan rekeningnya. Pertemuannya yang pertama kali adalah dalam sidang
Pengadilan.
Akhirnya Pengadilan menubruk-nubruk pada banyak soal I yang tidak selesai
sehingga sering menjengkelkan orang banyak. Tak hadirnya Robert Mellema dan si
Gendut memang jadi penghalang yang tak dapat ditawar. Tapi dari sekian banyak ta*
nya-jawab yang aku nilai sebagai menubruk-nubruk adalah tentang. hubunganku
dengan Annelies, yang membikin banyak orang tertawa bahak dan cekikikan, dan
pada gilirannya baik hakim mau pun jaksa tak melewatkan kesempatan untuk men-
tertawakan hubungan kami di depan umum. Juga hubunganku dengan Nyai
ditampilkan dalam pertanyaan-pertanyaan bersirat, menjijikkan dan biadab. Aku
sendiri menjadi heran betapa orang Eropa, guruku, pengadabku, bisa berbuat
semacam itu.
Beruntung tanya-jawab itu tidak dibikin berlarut, sekali pun aku mengerti tujuannya
adalah hendak membuktikan ada-tidak-nya hubungan kelamin antara kami atau
tidak, dan hubungan kelamin sebagai jembatan keikutsertaan kami dalam tindak
pembunuhan.
Ah Tjong meringankan kami dengan pernyataannya bahwa baik Nyai, aku, Annelies,
Darsam dan orang-orang lain tidak mempunyai persangkutan dengan pembunuhan.
Dan itulah kunri yang membebaskan kami dari perkara ini.
Dua minggu lamanya sidang berlangsung. Motif pembunuhan tetap tidak diperoleh

! 225!

Anda mungkin juga menyukai