Anda di halaman 1dari 5

Ia buka sebuah pintu dan menunjukkan pedalamannya.

Baik perabot mau pun


kebersihannya sebanding dengan kamarnya sendiri, hanya kurang luas, dengan
peralatan lebih indah.
"Buat Sinyo ada kamal laja, kamal keholmatan, kalau Sinyo suka," ia berjalan lagi
dan membuka pintu kamar lain. "Nah, ini kamal laja yang kumaksud. Hanya Tuan
Majool boleh pakai ini. Kebetulan dia sedang pigi ke Hongkong."
Perabot di dalamnya semua baru dan dengan gaya yang Robert tak tahu namanya,
juga tak mengurusi. Di pintu Babah bertanya pada tamunya tentang pendapatnya.
Dan Robert tak punya sesuatu pendapat kecuali merigiakan kebagusannya. Ah Tjong
masuk. Robert dan Maiko mengikuti.
"Pelabot telbaik, Nyo. Balu selesai dibuat, gaya Plancis sejati. Memang Tuan Majool
suka segala yang Plancis. Ini buatan tukang-tukang Plancis kenamaan. Pelabot paling
mahal, Nyo, dalam gedung ini. Di pojokan sana ada lemali kecil, di atas kenap itu.
Ada wiski dan sak£, apa saja Sinyo suka. Sitje, lemali gantung, sofa, kulsi panjang,"
katanya sambil menunjuk perabot itu satu demi satu. "Lanjang belukil begini bikin
tidul lebih tenang dan senang. Bukan, Maiko ?"
Dan Maiko menjawab dengan bungkukan dan suara pela-han, cepat, genit, seperti
murai.
"Nah, Nyo, senang belplesil!"
Robert dengan mata mengikuti Ah Tjong melangkah keluar, memperhatikan
kuncirnya sampai ia hilang dari balik daun pintu.

10. JUGA KARENA MENGUTAMAKAN URUTAN WAKTU aku susun bagian


ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di kemudianhari. Sebagian terbesar
didasarkan pada jawaban-jawaban Maiko melalui penterjemah tersumpah dan
kutulis dengan kata-kataku sendiri:
Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hongkong sebagai pelacur.
Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan
Tionghoa di Hongkong. Aku sudah tidak ingat siapa nama majikan kedua itu.
Beberapa minggu di tangannya terlalu pendek untuk dapat mengingat namanya yang
sulit diucapkan. Ia menjual diriku pada majikan lain, juga orang Tionghoa, dan
dengan begitu aku dibawa bela-yar ke Singapura. Majikan ketiga ini kukenal hanya
pada namanya Ming. Selebihnya aku tak tahu. Ia sangat puas dan senang padaku
karena tubuhku dan layananku mendatangkan banyak keuntungan baginya.
Majikanku yang ke empat seorang Jepang Singapura. Ia sangat bernafsu untuk
memiliki diriku. Tawar-menawar yang cukup lama. Akhirnya • dibelinya aku seharga

! 131!
tujuh puluh lima dollar Singapura, harga tertinggi untuk wanita-umum Jepang di
Singapura. Memang aku bangga tubuhku lebih mahal dari wanita-umum dari Sunda,
yang biasanya menduduki tempat tertinggi dan termahal dalam dunia plesiran di
Asia Tenggara.
Tetapi kebanggaanku tidak terlalu lama umurnya. Hanya lima bulan. Majikanku,
orang Jepang itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah
pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok. Soalnya karena langgananku
semakin berkurang juga. Memang demikian risiko yang dapat menimpa seorang
pelacur paling tersohor pun: sipilis. Yang menimpa diriku bukan sekedar sipilis
biasa. Dalam dunia pelacuran yang terkutuk ini dinamai: sipilis "Birma". Aku tak
tahu mengapa dinamai demikian. Dia mashur tak terobati, dan lelaki diru-sak dan
dihancurkan lebih cepat dan lebih sakit. Perempuan bisa tak merasa sesuatu untuk
waktu agak lama.
Maka majikanku menjual aku dengan harga dua puluh dol-lar pada majikan
Tionghoa, majikan ke lima. Dibawanya aku ke Betawi. Sebelum jual-beli terjadi
majikanku yang lama membawa aku masuk ke dalam kamar. Dipukulinya dadaku
dan pinggangku sampai pingsan. Setelah siuman aku ditelanjanginya dan ditotoknya
bagian-bagian: tubuh untuk mematikan syahwat. Ia bernama Nakagawa. Pada
keesokannya baru aku diserahkan pada majikan lain itu.
Pada hari pertama majikan-baruku hendak mencoba aku. Aku menolak. Kalau dia
tahu aku beipenyakit terkutuk itu tentu aku akan. kena aniaya lagi. Mungkin sampai
mati. Bukan sesuatu yang iuarbiasa seorang pelacur dibunuh oleh majikannya dan
disembunyikan atau dihancurkan entah di mana mayatnya. Pelacur mahluk lemah
tanpa pelindung. Lagipula aku tahu gejala kelemahan sudah mulai menyerang
syahwatku. Padanya aku minta disewakan sinsei penotok. Tiga kali sinsei
memperbaiki tubuhku dan syahwatku mulai pulih. Namun aku tetap menolak dicoba
oleh majikanku. Beruntunglah dia mengalah.
Baru saja tiga bulan dan majikanku tahu juga aku punya penyakit. Ia marah. Itu
kuketahui hanya dari airmukanya dan nada suaranya karena aku tak mengerti
Tionghoa. Langganan semakin berkurang. Orang menghindari tubuhku dan ia
menjadi jengkel. Siang-malam aku berdoa jangan kiranya ia menganiaya diriku.
Tidak. Boleh juga ia menganiaya diriku asal jangan sim-pananku dirampasnya.
Tahun mendatang aku harap akan bisa pulang kembali ke Jepang dan kawin dengan
Nakatani, yang menunggu aku pulang membawa modal.
Majikanku tak menganiaya aku, juga tidak merampas tabu-nganku. Waktu aku
pindah tangan pada Babah Ah Tjong dengan harga senilai dengan sepuluh dollar
Singapura, ia beri aku persen setengah gulden dan kata-kata ini, diucapkan dalam

! 132!
Jepang yang patah-patah:
"Sebenarnya aku suka mengambil kau jadi gundik."
Aku sangat menyesal mendengar ucapannya itu. Jadi gundik lebih ringan daripada
jadi pelacur dan dapat hidup agak wajar, lebih bebas daripada jadi istri seorang
pemuda Jepang yang mengharapakan modal dari calon bininya. Apa boleh buat,
penyakit terkutuk ini telah mendekam dalam diriku.
Babah.Ah Tjong sangat bernafsu padaku. Aku sudah ber-
usaha menyangkalnya, takut pada datangnya bencana baru. Kalau sekali ini
terbongkar lagi, harga badanku mungkin akan hanya tinggal senilai lima dollar, dan
jadilah aku sampah jalanan di negeri orang. Jadi aku minta disewakan seorang sinsei
ahli penotok. Sinsei itu menjamin aku bisa sembuh dengan totok selama sebulan
dengan sepuluh totokan pada menjelang malam. Babah berkeberatan dengan waktu
yang selama itu dan upahnya yang mahal pula. Aku hanya mendapat totokan sekali,
totokan percobaan.
Sebelum berangkat ke Surabaya tak ada alasan lain padaku untuk menyangkal
majikanku. Aku dipergunakannya untuk dirinya sendiri semata sampai aku
ditempatkan di rumahplesirannya di Wonokromo dan mendapat kamar terbaik.
Bila berada di rumahplesirannya hampir selalu ia tinggal di kamarku, tidak di kamar
lain, yang empat belas banyaknya.
Babah nampaknya tak tertulari penyakitku. Maka aku merasa tenang dan senang.
Memang ada sejenis lelaki yang kalis dari penyakit dunia plesiran. Boleh jadi
memang karena totokan yang sekali itu penyakitku kehilangan keganasannya, maka
tidak menular. Siapa tahu ? Dan harga tubuhku boleh jadi akan naik lagi ? Ya, siapa
tahu ? Kalau Babah menggundik diriku aku akan bersyukur dan akan mengabdi
padanya sebaik-baik seorang gundik. Kalau tidak, sebelas bulan lagi cukuplah
waktuku jadi pelacur, dan aku akan pulang. Setidak-tidaknya aku sudah terlalu
mampu untuk menebus diriku dari majikan terakhir.
Bulan itu pun habis. Babah ternyata terkena sipilis "Birma" juga. Ia tak tahu, tak
kenai penyakit aneh itu. Ia tak langsung menuduh aku karena ada banyak wanita lain
dalam kehidupan plesirannya. Lagi pula kami berdua tak bisa bicara satu pada yang
lain.
Bahwa ia mengidap penyakit kuketahui waktu pada suatu hari empatbelas orang
pelacurnya dari berbagai bangsa dibaris-kannya telanjang bulat di hadapannya dan
ditanyai seorang demi seorang tentang penyakit mereka. Pada tangan-kanannya ia
membawa cambuk tali kulit dan tangan kiri mengukur suhu yang mencurigakan yang
keluar dari kelamin para wanita celaka itu.
Aku sebagai perempuan Jepang satu-satunya tidak dicurigai. Di dunia plesiran di

! 133!
atas bumi ini pelacur Jepang selalu dianggap paling bersih dan pandai menjaga
kesehatan, senyawa dengan jaminan bebas penyakit. Maka aku tak diperiksa.
Tiga orang disingkirkan dari barisan. Ah Tjong memerintahkan pada para
perempuan sisanya, kecuali aku, untuk mengikat mereka dengan tali. Mulut mereka
disumbat. Ah Tjong sendiri
yang menghajar tubuh mereka dengan cambuk kulit, tanpa mengeluarkan suara dari
mulut mereka yang tersumbat dengan selendang. Mereka adalah korbanku. Dan aku
diam saja.
Memang susah jadi pelacur. Bila terkena sakit kotor harus segera melapor dan
majikan segera menganiaya. Sebaiknya orang membisu sampai dia mengetahui
melalui jalan yang tersedia. Tapi penganiayaan juga yang bakal datang.
Setelah tiga wanita itu sembuh dari penganiayaan mereka dijual pada seorang
tengkulak Singapura untuk di bawa ke Medan. Aku tetap tidak tergugat di
rumahplesiran Ah Tjong. Sampai sejauh itu hanya dia seorang saja yang kulayani,
maka aku tak terlalu lelah. Kesehatan dan kesegaranku rasa-rasanya hendak pulih.
Juga kecantikanku.
Hampir setiap orang Tionghoa kayaraya mempunyai suhian, rumahplesirnya sendiri.
Di Hongkong, Singapura, Betawi mau pun Surabaya sama saja adat mereka, yaitu
menggilirkan rumahplesirnya masing-masing di antara mereka. Begitulah maka pada
suatu hari rumahplesiran Babah Ah Tjong mendapat giliran........
Pagi-pagi tepukan tangan Babah telah memanggil aku keluar. Keluarlah aku.
Memang ada rencana untuk berjudi pagi. Sore dan malamhari baru untuk plesiran.
Beberapa orang tamu sudah berdatangan di ruangdepan, bermain kartu, mahyong
dan karambol.
Sebenarnya aku sudah gelisah. Giliran pada rumahplesiran ini jangan-jangan
membikin mejikanku melepas aku pada tamu-tamunya. Siapa pun tahu, perempuan
Jepang sangat disukai mereka. Berapa orang harus kulayani bila Babah sampaihati
melepas aku ?
Ternyata memang ia perintahkan aku melayani tamunya: seorang anak muda
jangkung bertubuh besar, kuat dan ganteng, sehat dan menarik — seorang keturunan
Eropa. Namanya: Robe-ru. Sebenarnya iba hatiku melihat kemudianharinya.
Sepintas kelihatan ia seorang plonco yang belum banyak pengalaman. Siapa tidak
kasihan melihat anak semuda itu harus terkena penyakit celaka, sebentar nanti,
kalau dia menghendaki tubuhku, menanggung seumur hidup, mungkin juga cacad
atau mati muda karenanya ?
Aku perhatikan airmuka majikanku, ia main-main atau sungguh-sungguh.
Nampaknya ia tak menyesal melepas diriku untuk Roberu. Sekaligus aku mulai

! 134!
mengerti: dia telah tahu juga aku yang menularinya dengan penyakit itu. Sebentar
lagi ia akan jual aku pada orang lain, atau ia akan paksa aku menebus
diriku sendiri dengan entah berapa puluh dollar. Aku merasa sangat, sangat sedih
pada pagi itu.
Setelah Babah membawa Roberu dan aku ke dalam kamar dan menguncinya dari
luar, tahulah aku, aku harus bekerja, dan bekerja sebaik-baiknya. Aku harus buang
segala kesedihan dan waswasku.
Roberu duduk di kursi panjang. Segera aku berlutut di hadapannya dan mencabut
larsa dari kakinya. Sepagi itu! Kauska-kinya kotor dan nampak tak terawat
sebagaimana mestinya. Dari lemari kuambilkan sepasang sandal. Tak ada yang cocok
ukurannya. Kaki itu sangat besar. Apa boleh buat. Baru kemudian aku tarik kaus dari
kakinya yang kokoh dan kuat itu. Sandal hanya kuletakkan di depannya, tidak
kupasangkan. Sandal jerami itu akan hancur kemasukan kakinya.
Ia tidak mengenakannya. Nampaknya ia seorang yang banyak bertimbang-timbang.
Roberu tidak bicara apa-apa, hanya memandangi aku dan segala tingkah-lakuku
dengan mata terheran-heran.
Kulepas kemejanya yang bersaku dua. Ia diam saja. Kuketahui dua-dua kantong itu
kosong. Kupersilakan ia berdiri dan kulepas celana-kudanya. Aku lipat dan
kugantung di dalam lemari, sekali pun aku tidak rela karena kotor dan baunya. Pa-
kaian-dalamnya nampak telah lebih seminggu tidak diganti. Terlalu kotor. Ia
kelihatan agak malu.
Itulah pemuda Roberu, tidak mempunyai sesuatu kecuali kemudaan dan kesehatan,
kegantengan dan nafsu-berahinya sendiri. Aku mulai berpikir lagi: apa sebab Babah
melepas aku pada pemuda tak punya sesuatu apa ini ? Pasti ia takkan menjual diriku,
juga takkan memaksa aku menebus diriku karena penyakit terkutuk ini. Nampaknya
ia tetap belum tahu tentang pe-nyakitku. Aku agak senang dan tenang dengan
pesangon pikiran itu.
Dari dalam lemari lain kuambilkan untuknya selembar kimono Tuan Majooru. Aku
lepas pakaian-dalamnya dan aku ki-monoi dia. Ia masih duduk diam-diam.
Kuambilkan untuknya cawan anggur penguat, biar takkan terlalu menyesal ia di
kemu-dianhari terkena penyakit yang ajcan bersarang abadi dalam tubuhnya. Biar ia
mendapat kenang-kenangan indah dari penderitaan tanpa batas kelak, suatu
keindahan dan kenikmatan yang telah jadi haknya.
Diteguknya anggur penguat itu dengan masih tetap mengawasi aku dengan mata
terheran-heran. Dalam pada itu aku terus juga bicara lunak tanpa henti agar tak
merusak suasana hatinya.
Memang itu merupakan bagian dari pekerjaanku yang majemuk sebagai pelacur.

! 135!

Anda mungkin juga menyukai