Anda di halaman 1dari 5

membentuk jaring-jaring kehidupan laksana jaring laba-laba.

Dan di tengah-
tengahnya adalah si laba-laba: gundik atau nyai-nyai. Dia bukan menampung semua
kurban yang datang padanya. Sebaliknya, jaring-ja-ringnya menangkapi semua
penghinaan untuk ditelannya seorang diri. Dia bukan majikan biar hidup sekamar
dengan tuannya. Dia tidak termasuk golongan anak yang dilahirkannya sendiri. Dia
bukan Totok, bukan Indo, dan dapat dikatakan bukan Pribumi lagi. Dia adalah
gunung rahasia.
Dan tanganku mulai menulis lancar. Pikiran Kommer dapat dikatakan tulang
punggung tulisan sekali ini. Dan matari sudah tenggelam. Dan tulisan itu mulai
mendapatkan bentuknya.
Ya, Allah, juga kenelangsaan bisa menghasilkan sesuatu tentang ummatMu sendiri.
Kau jugalah yang perintahkan ummat untuk berbangsa-bangsa dan berbiak.
Hubungan laki-perempuan yang terjadi karena perbedaan kemampuan sosial dan
ekonomi bisa Kau ridlai. Mengapa hubungan sukarela tanpa perbedaan sosial
ekonomi begini, didasari saling tanggungjawab begini tak Kau ridlai, hanya karena
belum menurut aturanMu ? Dan semua itu sudah Kau biarkan terjadi, melahirkan
golongan Indo yang begitu berkuasa atas mereka yang lahir dengan keridlaan-Mu ?
Aku berpaling kepadaMu, karena orang-orang yang dekat denganMu pun tidak
pernah menjawab. Kaulah yang menjawab sekarang. Aku hanya menulis tentang
yang kuketahui dan yang kuanggap aku ketahui. Bukankah segala ilmu dan
pengetahuan juga berasal tidak lain dari Kau sendiri ?
Sepuluh hari setelah terbit tulisan Max Tollenaar tentang asalah Totok, Indo dan
Pribumi, Magda Peters datang ke rumah pada jam pelajaran. Tuan Direktur
memanggil. Dan aku menolak dengan alasan: tak punya sangkut-paut lagi dengan
sekolahan.
Nyai juga berkeberatan bila aku pergi.
Annelies melarikan diri ke kamar.
"Sesuatu telah terjadi," kata tamu itu, "bagaimana pun kau harus datang!' Sebelum
itu terimalah ucapan selamat untukmu. Tulisanmu yang terakhir betul-betul seruan
pada kemanusiaan, menggerakkan nurani orang untuk menanggapi masalah ini
secara lebih bijaksana. Dan kau yang semuda itu.....
Jadi aku berangkat juga.
Sepanjang perjalanan Magda Peters berkicau tentang kebanggaannya punya seorang
murid seperti aku. Dan aku sendiri merasa terhelai setelah pengalaman menggebu
belakangan ini.
Tuan Direktur menerima aku dengan senyum ramah. Semua murid diperintahkan
pulang. Semua guru dipanggil berkumpul. Pengadilan liar ? Mengapa semua ini

! 231!
dilakukan hanya untukku seorang ? Apa pentingnya seorang aku ?
Tuan Direktur membuka pertemuan, dan:
"Sudah menjadi tradisi Eropa menghargai prestasi budaya dan manusianya. Juga di
atas sekeping tanah bernama Surabaya ini tradisi Eropa harus tetap dapat
dipertahankan. Kita tidak akan bertanya: bagaimana manusia budaya itu ? Tidak,
karena itu -urusan pribadi. Dia dinilai dari prestasinya, dari apa yang
dipersembahkannya, pada sesamanya."
Dan awalan itu mengantarkan pada tulisanku yang terakhir.
"Mengharukan. Menyentuh nurani waras. Lebih dari itu: benar. Ternyata
humanisme Eropa yang tidak dikenal dalam sejatah Pribumi Hindia sudah mulai
tumbuh dalam diri Max Tol-lenaar murid para hadirin sendiri..... Minke."
Aku tak tahu makna humanisme Eropa itu secara jelas."
"Sudah ada tujuh pucuk surat, dua sarjana, yang telah ada protes atas tindakan kita
yang memecat Minke dari sekolah kita.
Sebelum menbatakan: orang ini harus dibantu, bukan dipecat, Bahkan harus
ditempuh jalan khusus. Tuan Assisten Residen telah memerlukan datang menghadap
Residen Surabaya Untuk membicarakan soal ini. Tuan Residen sendiri tak perlu
menerima sualu pendapat, tetapi Tuan Assisten Residen bersedia menjadi perwalian
atas Minke di H.BT.S. ini menghadap Tuan Direkktur Onderwijs, Nijverheid en Eere-
dierist bila usahanya tidak berhasil.
"Jadi untuk pertama kali kebijaksanaan kita mendapat ujian dan tantangan. Walau
demikian bukan karena ujian dan tanta-ngan itu kita harus mengambil langkah
peninjauan, tetapi karena nurani Eropa kita yang bernama humanisme, nenek-
moyang dan sekaligus peradaban Eropa dewasa ini.
"Sekarang, inilah Minke, Max Tollenaar, di hadapan Sidang Dewan Guru yang
terhormat. Sidang yang melakukan peninjauan kembali dan kebijaksaan baru yang
harus diambil."
Seperti singa betina kehilangan anak Magda Peters mengaum, mencakar dan
menerkam untuk kepentingan anaknya yang hilang. Totol kulitnya nampak semakin
nyata. Matanya mengerdip lebih cepat. Akhirnya dengan suara rendah, lambat dan
se-patah-patah ia menutup dengan:
"Pekerjaan pendidikan dan pengajaran tak lain dari usaha kemanusiaan. Kalau
seorang murid di luar sekolah telah menjadi pribadi berkemanusiaan seperti Minke,
sebagaimana dibuktikan dalam tulisan-tulisannya terakhir, kemanusiaan sebagai
faham, sebagai sikap, semestinya kita berterimakasih dan bersyukur, sekali pun
saham kita terlalu amat kecil dalam pembentukan itu. Pribadi luarbiasa memang
dilahirkan oleh keadaan dan syarat-syarat luarbiasa seperti halnya pada Minke.

! 232!
Maka usulku: hendaknya dia diterima kembali sebagai siswa untuk dapat
memberikan) padanya dasar yang lebih kuat bagi perkembangannya di masa-masa
mendatang."
Sidang itu, dengan aku sebagai terdakwa bisu yang tidak mengerti mengapa
diharuskan menyaksikan semua ini, akhirnya menerima aku jadi siswanya kembali.
Dengan ketentuan tentu, khusus: harus duduk di bangku terpisah dari yang lain-lain,
dan selama di dalam dan di luar kias tidak boleh bicara dengan sesama siswa, baik
karena menjawab atau bertanya.
"Bagaimana pendapatmu, Minke, setelah mendengar sendiri semua ini” tanya Tuan
Direktur yang nampak hendak bercuci tangan.
"Selama ada kemungkinan aku akan terus belajar sebagai; mana kukehendaki sejak
semula. Kalau pintu dibuka kembali untukku, tentu akan kumasuki! Kalau ditutup
bagiku, aku pun tiada berkeberatan tidak memasuki. Terimakasih atas semua susah-
payah ini."
Pertemuan ini selesai. Dengan wajah angker, kecuali Magda Peters, semua guru
mengulurkan tangan ucapan selamat. Guru sastra dan bahasa Belanda itu bukan
main puasnya dan menganggap semua yang telah terjadi sebagai kemenangannya
pribadi.
Sebagai upacara perpisahan Tuan Direktur menyerahkan padaku surat-surat dari
Miriam dan Sarah de la Croix tanpa pranko.
Sekolahan sunyi. Gedung, pelataran, batu-batu kerikil H.B.S. itu telah menjadi
sedemikian asing seakan baru pertama kali kulihat. Pandang para guru terasa olehku
menggelitik pada punggungku. Aku berjalan langsung menuju ke bendi tanpa
berpaling lagi.
"Jalan lambat-lambat," perintahku pada kusir Marjuki dalam Jawa. "Langsung ke
kantor koran."
Di tengah jalan kusir itu berkata rikuh:
"Sahaya lihat Ndoro begitu pucat dan kurus."
"Ya."
"Mengapa tidak tetirah, Ndoro ?"
"Ya, nanti, beberapa bulan lagi' kalau sudah tammat sekolah."
"Tiga bulan lagi, Ndoro ?"
"Ya. Masih harus bertahan tiga bulan lagi."
"Apa guna sekolah lagi, Ndoro, kalau semua sudah cukup r
"Ya, apa gunanya ? Tapi kalau sekolah ini tak aku tammat-kan, Juki, rasanya aku
takkan lulus dalam soal-soal lain."
"Ndoro sudah lulus dalam semua-mua."

! 233!
"Lulus bagaimana ?"
”Oh, itu kata orang, hanya kata orang. Noni..... kekayaan, kepandaian, kenalan
orang-orang besar, orang Belanda, bukan sembarangan........."
"Begitu kata orang ?"
"Ya, Ndoro, dan begitu muda, ganteng, sebentar lagi jadi bupati...."
"Lupakan, Juki, lupakan."
Di kantor 3.7V. v/d 'D. Maarten Nijman menawar aku bekerja sepenuhnya di sana
kalau toh sekolah telah memecat. Pekerjaan itu akan sangat menarik, katanya, walau
pun gajinya tidak banyak, hanya dua belas setengah gulden. Sebagai jawaban aku
ceritakan keputusan sidang Dewan Guru sebentar tadi.
"Jadi Juffrouw Magda Peters membela Tuan dengan berkobar ? Ah-ya, Magda
Peters. Tuan dekat padanya ?"
"Guru paling bijaksana, Tuan."
"Hmm. Aku kira ada baiknya Tuan agak menjauh sedikit."
"Dia begitu baik."
"Baik ? Itu memang senjata baginya untuk menjerumuskan orang, kiraku."
"Menjerumuskan ?"
"Tentu Tuan tak pernah dengar: menjerumuskan orang bisa juga dengan jalan
kebaikan."
"Menjerumuskan bagaimana ?" tanyaku heran.
"Dia orang liberal fanatik, berlebih-lebihan. Dia termasuk golongan yang sibuk'
dengan Hindia untuk Hindia. Pernah dengar ?" Aku menggeleng. "Dia menganggap
Hindia sama dengan Nederland. Itu ciri orang liberal fanatik di Hindia ini. Dia dan
golongannya tidak mau tahu tentang banyaknya pembatasan di Hindia. Celaka orang
yang berani menentang apalagi melanggar pembatasan. Dan di antara begitu banyak
pembatasan itu lebih banyak lagi yang tidak pernah ditulis. Memang di Nederland
ada kebebasan yang utuh. Di sini sama sekali tak ada. Liberal saja tidak buruk selama
orang menghormati pembatasan-pembatasan dan tidak bikin onar. Itu sesuatu yang
patut Tuan i ketahui. Untung tak ada Pribumi yang jadi pengikutnya. Coba, sekiranya
Tuan terlanjur jadi pengikut. Sekali orang liberal dikutuk Pemerintah -- tak peduli
apa salahnya ~ kalau dia Totok, dia paling-paling diperintahkan meninggalkan
Hindia. Kalau dia Indo, akibatnya lebih pahit, dia akan kehilangan pekerjaan. Kalau
Pribumi, kiraku, dia akan kehilangan kebebasannya, disekap tanpa melalui
pengadilan - karena memang tak ada hukum khusus tentang itu. Nah, Tuan, hati-
hatilah, jangan sampai Tuan hanya kena getahnya. Negeri Tuan bukan Nederland,
bukan Eropa, Hindia ini. Kalau Tuan mendapat getah itu, takkan ada seorang pun
dari kelompok liberal itu dapat atau mau menolong Tuan."

! 234!
"Dia guruku, Tuan Nijman, guruku sendiri."
"Lihat, Tuan Minke. Hindia Belanda ini berpedoman pada sassus. Dan sassus di
kalangan atasan di Hindia ini selamanya dapat dipercaya kebenarannya. Memang
sudah ada sassus tentang Juffrouw Magda Peters. Tuan sudah begitu banyak
mendapat kesulitan belakangan ini. Jangan ditambah, Tuan."
Ia bercerita panjang dan sopan tentang kegiatan kaum M*" ia* dengan nada
menolak, menyalahkan. Pada suatu bagian malah menuduh: mereka hendak
mengubah keadaan Hindia yang sudah mantap, sudah tertib, aman, sentausa,
dengan rakyatnya mendapatkan perlindungan cukup dalam mencari makan sehari-
hari.
"Dan, Tuan, di bawah kekuasaan raja-raja Pribumi, rakyat Tuan tidak pernah
mendapat keamanan dan kesentausaan, tidak mendapat perlindungan hukum,
karena memang tidak ada hukum. Kurang baik apa Pemerintah Hindia Belanda ?
Orang-orang liberal itu memang mempunyai impian aneh tentang Hindia....."
"Tapi mereka itu orang-orang Eropa juga," kataku.
Dalam perjalanan di atas bendi terbayang olehku betapa ruwetnya keadaan oleh
banyaknya pertentangan. Sekarang tambah dengan Totok kontra Totok. Belum lagi
dengan bangsa-bangsa Timur Asing lain. Sedang Maarten Nijman juga menghendaki
kemanusiaan, tetapi ia menolak liberalisme. Ternyata semakin banyak bergaul
semakin banyak pola persoalan, yang sebelumnya tak pernah kubayangkan ada, kini
bermunculan seperti cendawan.
Nijman telah memperingatkan agar aku bersiap-siap di ma-sakini demi masadatang.
Dan di masadatang itu, katanya, bisa jadi Magda Peters sudah harus meninggalkan
Hindia. Kemungkinan bukan saja ada bahkan terlalu besar. Sassus yang telah san-tar
yang jadi petunjuk. Sebelum peristiwa itu terjadi sebaiknya aku menjauhkan diri,
katanya. "Magda Peters hanya diharuskan meninggalkan Hindia, tapi Tuan bisa
mendapat tempat yang harus Tuan diami."
Nijman memang tidak mau menerangkan apa saja pembatasan itu. Baik. Akan
kucoba bertanya pada siapa saja yang sanggup menjawab. Setidak-tidaknya semua
ucapannya bisa mengandung kebenaran bila pembatasan-pembatasan itu memang
ada dan nyata.
Di rumah keluarga T&linga telah menunggu surat Bunda, dan sebagaimana galibnya
tertulis dalam bahasa dan huruf Jawa.
"Gus, semua orang menjadi prihatin mengikuti halmu dari koran. Kau anakku yang
jantan. Hanya itu yang membesarkan hatiku. Tentang halmu sendiri kaulah sendiri
yang harus selesaikan. Jangan lupa pesan Bunda ini: jangan lari! selesaikan
persoalanmu secara baik. Kan kau masih ingat ? Kalau kau sampai mensia-sia

! 235!

Anda mungkin juga menyukai