Anda di halaman 1dari 5

dijadikan induk bagi anak-anaknya.

"
Magda Peters terdiam. Aku buru-buru minta diri. Biar mereka berdiri di atas
kesedaran masing-masing. Di loteng kudapati Annelies sedang membaca di belakang
jendela.
"Mengapa tak turun, Ann ?"
"Habiskan buku ini."
"Buat apa buru-buru dihabiskan ?"
"Sebenarnya aku lebih suka mendengar ceritamu sendiri. Kan Mas belum banyak
bercerita padaku ? Orang-orang lain saja buku-buku ini - yang kau suruh. Kan kau
mau menceritai aku ?"
"Tentu saja."
Ia meneruskan bacaannya. Mendadak berhenti, menoleh: ^
"Mengapa Mas datang kemari ? Kan ini daerah terlarang T
"Memanggil kau turun, Ann. Juffrouw ingin bicara."
Ia tak menjawab dan terus membaca. Kudekati. Kubelai rambutnya. Ia tak
memberikan sesuatu reaksi. Waktu buku kutarik dari tangannya ternyata matanya
ftidak mengikuti tarikan-Annelies tidak membaca. Ia menyembunyikan muka.
"Mengapa kau, Ann ? Marah ?" tiada berjawab. "Tentunya bagus cerita yang kau
baca."
Ia membungkuk dan pada bahunya aku rasai gigilan menahan sedan. Kuhadapkan
badannya padaku. Mendadak ia merangkul dan meledak dalam tangis yang ditekan.
"Mengapa kau, Ann ? Kan aku tak lukai hatimu ?"
Dan entah berpuluh atau beratus kalimat telah kuhamburkan untuk menghiburnya.
Dan ia tak juga bicara. Ia rangkul aku erat-erat seperti takut diri ini lepas dan terbang
ke langit hijau......... Annelies cemburu.
Percakapan dua orang terdengar memasuki pintu yang tak tertutup rapat itu. Makin
lama makin jelas berasal dari korridor loteng. Terdengar Mama memanggil-manggil.
Annelies dengan sendirinya melepaskan pelukannya. Aku keluar menjenguk.
Juffrouw dan Nyai sedang menanti aku di depan pintu sebuah kamar loteng.
"Juffrouw ingin melihat perpustakaan kita, Minke. Mari kau antarkan," ia membuka
pintu kamar yang belum pernah aku masuki.
Kamar itu perpustakaan Tuan Herman Mellema. Luasnya sama dengan kamar
Annelies. Tiga buah lemari dengan jajaran buku berjilid mewah berderet di
dalamnya. Terdapat juga sebuah kotak kaca dalam lemari itu yang ternyata koleksi
cangklong Tuan Mellema. Perabot semua bersih tanpa ada kotoran. Lantai tak
ditutup dengan permadani, dan menampakkan geladak kayu biasa, bukan parket,
juga tidak disemir. Meja hanya sebuah dengan sebuah kursi dan sebuah fauteuil. Di

! 181!
atas meja berdiri kaki lampu dari logam putih dengan empat belas lilin. Sebuah
buku, yang ternyata bundel majalah, terbuka di atas meja.
"Bagus sekali ruangan ini, bersih dan tenang," Magda menebarkan pandang pada
jendela-jendela kaca yang membabar-kan pemandangan pedalaman. "Indah sekali!"
Kemudian ia langsung pergi ke meja dan mengambil bundel majalah tsb. Bertanya
tanpa melihat pada siapa pun, "Siapa yang membaca Indis-ene Gids ini ?"
"Bacaan pengantar tidur, Juffrouw."
"Pengantar tidur!" ia membelalak pada Nyai.
"Dokter menganjurkan banyak membaca sebelum tidur."
"Nyai sulit tidur ?"
"Ya."
"Sudah lama itu Nyai tanggungkan ?"
"Lebih lima tahun, Juffrouw."
"Dan Nyai tidak sakit karenanya ?"
Mama menggeleng, tersenyum.
"Lantas apa hendak Nyai cari dalam majalah ini ?"
"Hanya supaya bisa tidur."
"Bacaan apa lagi pengantar tidur Nyai ?" tanyanya seperti jaksa.
"Apa saja yang terpegang, Juffrouw. Tak ada pilihan."
Magda Peters mengedip cepat lagi.
"Apa yang Nyai lebih sukai di antara semuanya ?"
"Yang aku dapat mengerti, Juffrouw."
"Apa Nyai tahu.tentang assosiasi Snouck Hurgronje ?"
"Maaf," Nyai mengambil majalah itu dari tangan guruku, mencari-cari halaman
tertentu, kemudian menunjukkan pada Magda Peters.
Guruku menyapukan pandang dengan cepat, mengangguk, menatap aku, dan:
"Mengapa kau bawa assosiasi itu ke diskusi-sekolah ? Kan lebih baik kau bertanya
pada Nyai ?"
"Hanya ingin tahu lebih banyak dari itu,"' jawabku sekali pun tak pernah tahu betul
dalam rumah ini ada perpustakaan dan ada majalah yang pernah memuatnya.
Magda Peters sekarang memeriksa buku-buku dalam lemari. Sebagian besar bundel
majalah yang dijilid indah. Seakan ia hendak memeriksa isi kepala Nyai. Ternyata ia
tidak begitu tertarik: peternakan, pertanian, perdagangan, kehutanan dan kayu-
kayuan. Kemudian: bundel berbagai majalah wanita dan majalah umum dari Hindia,
Nederland dan Jerman. Sebagian terbesar pustaka itu disapu saja dengan
pandangnya. Kemudian balik lagi pada deretan bundel majalah kolonial, dan
berhenti lama pada deretan sastra dunia dalam terjemahan Belanda.

! 182!
"Tak ada dari sastra Belanda di sini* Nyai."
"Tuanku kurang tertarik, kecuali tulisan orang-orang Vlaam."*
"Kalau begitu Nyai juga membaca buku-buku Vlaam ?"
"Ada juga."
"Apa sebab Tuan Mellema tak suka pada karya-karya Belanda, kalau boleh bertanya
?"
"Tak tahulah, Juffrouw. Hanya dia pernah bilang, terlalu kecil-mengecil, tidak ada
semangat, tidak ada api."
Magda Peters mendeham dan menelannya. Ia tak mencoba bertanya lebih lanjut.
Kembali dilepaskannya perhatian pada se--i
luruh perpustakaan, seakan mencoba mengesani, ia telah mendapat gambaran
sekedarnya tentang tingkat kebudayaan keluarga Mama, keluarga yang banyak
dipergunjingkan di sekolahku belakangan ini.
"Boleh aku bicara dengan Annelies Mellema ?"
"Ann, Annelies!" panggil Mama.
Aku pergi ke kumurnya. Kudapati ia sedang duduk di belakang jendela. Pandangnya
tertebar di kejauhan sana, pada gu-nung-gemunung dan hulan.
"Kau tak suka datang, Ann ?"
Ia masih incmbcrcngut. Menjawab pun tidak.
"Biliklah. Tinggal saja di kamar, Ann," clan aku pergi meninggalkannya.
"Ann!" panggil Nyai sekali lagi, lunak.
"Sedang tak enak badan lagi. Maafkan, Juffrouw, dia baru bangun sakit."
Dua orang perempuan itu turun dari loteng ke persada sambil ramai berbincang. Aku
tak tahu tentang apa saja. Sejam kemudian dengan bendi yang sama aku antarkan
guruku pulang ke Surabaya.
Ia persilahkan aku duduk sebentar. Tetapi dalam perjalanan ia tak bicara.
"Pertama, Minke, setelah melihat keadaan keluarga itu ingin rasanya aku sering
datang ke sana. Mamamu memang luar biasa. Pakaiannya, permunculannya,
sikapnya. Hanya jiwanya terlalu majemuk. Dan kecuali renda kebaya dan bahasanya,
ia seluruhnya Pribumi. Jiwanya yang majemuk sudah* mendekati Eropa dari bagian
yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu banyak yang diketahuinya sebagai
Pribumi, malah wanita Pribumi. Memang betul dia patut jadi gurumu. Hanya gaung
dendam dalam nada dan inti kata-katanya .... aku tak tahan mendengar. Sekiranya
tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh gemilang, Minke. Baru aku bertemu
seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya sendiri." Ia
menghembuskan nafas panjang. "Dan heran, betapa ia punya kesedaran hukum
begitu tinggi."

! 183!
Aku diam saja. Ada beberapa yang benar-benar aku tidak mengerti. Akan kutanyakan
pada Jean kalau sempat.
"Seperti dongengan Seribu Satu Malam. Coba, ia merasa lebih tepat dipanggil Nyai.
Aku kira hanya untuk membenarkan dendamnya. Memang Nyai sebutan Pribumi
paling tepat- untuk gundik seorang bukan Pribumi. Dia tidak suka diperlakukan
bermanis-manis. Dia tetap mengukuhi keadaan dirinya -- dengan kebesaran ditaburi
dendam."
Aku masih juga tak menengahi. Nampaknya Mama ditampilkannya sebagai tokoh
dalam buku sastra dan ia sedang menguraikan perwatakan di depan kias.
"drang yang biasa memerintah, Minke, dengan bertimbang. Perusahaan lebih besar
pun dia akan mampu pimpin. Tak pernah aku temui perempuan pengusaha seperti
itu. Lulusan Sekolah Tinggi Dagang pun belum tentu bisa. Benar kau, seorang
otodidak, sukses. Aku sudah bicara tentang segi perusahaan. God!" ia berkecap-
kecap. "Itu yang dikatakan lompatan historis, Minke, untuk seorang Pribumi. God,
God! Mestinya dia hidup dalam abad mendatang. God!"
Aku tetap cuma mendengarkan.
"Dalam hal sastra dan bahasa tentu dia masih patut belajar padamu sekait pun
belum tentu benar. Dia tak takut pada keke-> tiruan. Tabah, berani belajar dari
kesalahan sendiri. God!"
Aku tetap ikuti terus kata-katanya tanpa menyela.
"Ingin aku menulis tentang keluarbiasaan ini. Sayang sekali ? aku tak bisa menulis
seperti kau, Minke. Benar juga katanya ta-f di: tanpa semangat, tak ada api.
Keinginan aku punya, hanya keinginan. Tak lebih. Berbahagia, kau, bisa menulis.
Lantas as-sosiusi itu, Minke, dia runtuh berantukan tanpa harga hanya oleh satu
perempuan Pribumi, Mama-mu itu. Kalau ada barang seribu Pribumi seperti dia di
Hindia ini, Hindia Belanda ini, Minke, Hindia Belanda ini, boleh jadi gulung tikar.
Mungkin aku berlebih-lebihan, tapi itu hanya kesan pertama. Ingat, kesan pertama,
betapa pun penting, belum tentu benar."
Ia diam sebentar, menghela nafas panjang lagi. Kedipan matanya tidak gugup.
"Dia masih bisa lebih maju lagi. Sayang, orang semacam itu takkan mungkin dapat,
hidup di tengah bangsanya sendiri. Dia seperti batu meteor yang melesit sendirian,
melintasi keluasuan tanpa batas, entah di mana kelak bakal mendarat, di planit lain
atau kembali ke bumi, atau hilang dalam ketakterbatasan alam."
"Betapa Juffrouw memuji dia."
"Karena dia Pribumi, dan wanita, dan memang mengagumkan
"Silakan Juffrouw sekali-kali datang lagi."
"Sayang. Tidak mungkin."

! 184!
"Kalau begitu sebagai tamuku."
bumi manusia
"Tidak mungkin, Minke." "Mama memang selalu sibuk."
"Bukan itu. Nampaknya primadonna-mu itu tak suka pada ku, Minke. Maaf. Dan
terimakasih atas undangan itu. Dia sa ngat mencintai kau, Minke, primadonna itu.
Berbahagialah kau Mengerti aku sekarang apa arti semua pergunjingan itu."

14. AKU SUDAH MERASA TENANG DAN AMAN DI Wonokromo. Robert tak
pernah kelihatan. Mama dan Annelies tak mengindahkannya. Walau begitu bukan
berarti aku harus merasa telah menggantikan kedudukannya. Segala daya
kukerahkan untuk mengesani orang luar rumah, aku bukan bandit, juga bukan
bermaksud membandit. Dan bahwa aku hanya seorang tamu yang setiap waktu harus
pergi.
Dan malam sehabis belajar ini sengaja aku tidak menulis. Ada keinginan meneruskan
belajar setelah istirahat. Tak tahu aku mengapa sekarang aku rajin belajar. Ingin
maju di sekolahan. Yang pasti bukan karena dorongan keluarga atau Annelies.
Dorongan itu juga bukan karena surat-surat Bunda yang selai] bertanya kalau-kalau
diri ini dihembalang kesulitan. Suratnya yang keempat kubalas. untuk menyatakan
kelonggaranku, agar uang-bulananku sebaiknya untuk membiayai adik-adik.
Surat-menyurat merupakan pekerjaan terberat. Dan semua masih tetap
menggunakan alamat Telinga. Hanya untuk dan dari Miriam serta Sarah
menggunakan alamat Wonokromo. Mereka yang memulai. Dan tak pernah
kutanyakan dari mana mereka dapat.
Tiga soal aljabar telah kuselesaikan malam ini. Jam pendule menabuh sembilan kali.
Begitu gaungnya padam pintu kamarku diketuk. Sebelum menjawab Annelies telah
masuk.
"Kan menurut peraturan jam sembilan tepat kau sudah harus berbaring ?" tegurku.
"Tidak!" ia memberengut. "Tak mau aku tidur kalau Mas tidak lagi belajar di
kamarku seperti yang sudah."
. "Kau semakin manja, Ann," dan, puh! Dokter Martinet takkan mungkin dapat
mengurus pasien seorang yang sulit ini.
Aku tahu betul: dia benar tidak akan tidur sebelum kehendaknya terpenuhi seratus
prosen.
"Mari naik. Ceritai aku sampai tertidur seperti biasanya."
"Ceritaku sudah habis."
"Jangan bikin aku tak bisa tidur, Mas."

! 185!

Anda mungkin juga menyukai