Anda di halaman 1dari 5

Aku tahu Mama telah kehilangan penghargaannya terhadan Papa.

Aku dapat
memahami sikapnya, maka tak perlu bertanya tentangnya. Yang kuharapkan
memang bukan omongan tentang itu. Aku ingin mengetahui adakah ia pernah
merasai apa yan» ku rasai sekarang.
“Kapan Mama merasa sangat, sangat berbahagia ?" "Ada banyak tahun setelah aku
ikut Tuan Mellema, ayahmu."
"Lantas, Ma ?"
"Kau masih ingat waktu kau kukeluarkan dari sekolah ? Itulah akhir kebahagiaan itu.
Kau sudah besar sekarang, sudah harus tahu memang. Harus tahu apa sebenarnya
telah terjadi. Sudah beberapa minggu ini aku bermaksud menceritakan. Kesempatan
tak kunjung tiba juga. Kau mengantuk”. "Mendengarkan, Ma."
"Pernah Papamu bilang, dulu, waktu kau masih sangat, sangat kecil: seorang ibu
harus menyampaikan pada anak-perempuannya semua yang dia harus ketahui ......
"Pada waktu itu ......."
"Betul, Ann, pada waktu itu segala dari Papamu aku hormati, aku ingat-ingat' aku
jadikan pegangan. Kemudian ia berubah, berlawanan dengan yang pernah
diajarkannya.
Ya, waktu ,tu mulai hilang kepercayaan dan hormatku padanya”
“Ma, pandai Papa dulu, Ma ?.”
“Bukan saja pandai, juga baik hati, Dia yang mengajari aku segala tentang pertanian,
perusahaan, pemeliharaan hewan, pekerjaan kantor. Mula-mula diajari aku bahasa
Melayu, kemudian membaca dan menulis dan bahasa Belanda, Papamu bukan hanya
mengajar dengan sabar tetapi juga menguji semua yang telah diajarkannya.
Kemudian diajarinya aku semua yang berurusan dengan Bank, ahli-ahli Hukum,
aturan dagang. Semua yang sekarang mulai juga kuajarkan padamu.”
“Mengapa papa bisa berubah begitu Ma?.”
“Ada, Ann, ada sebabnya. Sesuatu telah terjadi, hanya sekali, kemudian dia
kehilangan seluruh kebaikan, kepandaian, keterampilan, kecerdasannya. Rusak,
Ann, binasa karena kejadian yang satu itu. Ia berubah menjadi orang lain, jadi
binatang yang tak kenal anak dan isteri lagi.”
"Kasihan, Papa."
"Ya- Tak tahu diurus' ,ebih suka mengembara tak menentu.”
Mama tak meneruskan ceritanya. Kisahnya seakan jadi peringatan terhadap hari
depanku, Mas" Dunia menjadi semakin senyap. Yang kedengaran hanya nafas kami
berdua. Sekiranya Mama tidak bertindak begitu keras terhadap Papa – begitu
berkali-kali diceritakan oleh Mama - tak tahu aku apa yang terjadi atas diriku
Mungkin jauh, jauh lebih buruk yang dapat kusangkakan.

! 56!
"Tadinya terpikir olehku untuk membawanya ke rumahsakit jiwa. Ragu Ann.
Pendapat orang tentang kau, Ann, bagaimana nanti ? Kalau ayahmu ternyata
memang gila dan oleh Hukum ditaruh onder curateele ?* Seluruh perusahaan,
kekayaan dan keluarga akan diatur seorang curator yang ditunjuk oleh Hukum
Mamamu, hanya perempuan Pribumi, akan tidak mempunyai sesuatu hak atas
semua, juga tidak dapat. berbuat sesuatu untuk anakku sendin, kau, Ann. Percuma
saja akan jadinya kita berdua membanting tulang tanpa hari libur ini. Percuma 'aku
telah lahirkan kau, karena Hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku
Pribumi dan tidak dikawin secara syah. Kau mengerti ?.”
"Mama!" bisikku. Tak pernah kuduga begitu banyak kesulitan yang dihadapinya.
"Bahkan ijin-kawinmu pun akan bukan dari aku datangnya, tapi dari curator itu -
bukan sanak bukan semenda. Dengan membawa Papamu ke rumahsakit jiwa,
dengan campurtangan pengadilan, umum akan tahu keadaan Papamu, umum
akan.....kau, Ann, nasibmu nanti, Ann. Tidak!"
"Mengapa justru aku, Ma ?"
“Kau tidak mengerti ? Bagaimana kalau kau dikenal umum sebagai anak orang
sinting ? Bagaimana akan tingkaumu dan tingkahku di hadapan mereka ?"
Aku sembunyikan kepalaku di bawah ketiaknya, seperti anak ayam. Tiada pernah
aku sangka keadaanku bisa menjadi seburuk dan senista itu.
"Ayahmu bukan dari keturunannya menjadi begitu," kata Mama meyakinkan. "Dia
menjadi begitu karena kecelakaan. Hanya orang mungkin akan menyamakan saja,
dan kau bisa dianggap punya benih seperti itu juga." Aku menjadi kecut. "Itu
sebabnya dia kubiarkan. Aku tahu dimana dia selama mi bersarang Cukuplah asal
tidak diketahui umum”.
Lambat-lambat persoalan pribadiku terdesak oleh belas-kasihanku pada Papa.
"Biarlah, Ma, biar kuurus Papa.
"Dia tidak kenal kau."
"Tapi dia Papaku, Ma."
"Stt. Belas-kasihan hanya untuk yang tahu. Kaulah yang lebih memerlukannya - anak
orang semacam dia. Ann, kau harus mengerti: dia sudah berhenti sebagai manusia.
Makin dekat kau dengannya, makin terancam hidupmu oleh kerusakan. Dia telah
menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk. Tidak lagi bisa berjasa pada
sesamanya. Sudah, jangan tanyakan lagi."
Kumatikan keinginanku untuk mengetahui lebih jauh. Bila Mama sudah bersungguh
begitu tidak bijaksana untuk berulah.
Aku tak tahu ibu dan anak orang-orang lain. Kami berdua tak punya teman, tak
punya sahabat. Hidup hanya sebagai majikan terhadap buruh dan sebagai taoke

! 57!
terhadap langganan, dikelilingi orang yang semata karena urusan perusahaan,
membikin aku tak bisa membanding-banding. Bagaimana kaum Indo lainnya
akupun tidak tahu. Mama bukan saja melarang aku bergaul, juga tidak menyediakan
sisa waktu untuk memungkinkan. Mama adalah kebesaran dan kekuasaan satu-
satunya yang aku kenal.
"Kau harus mengerti, jangan lupakan seumur hidupmu, kita berdua ini yang
berusaha sekuat daya agar tak ada orang tahu, kau anak seorang yang sudah rusak
ingatan," Mama menutup persoalan.
Kami berdua diam untuk waktu agak lama. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan
atau bayangkan. Di dalam dadaku sendiri jari-jari itu mulai lagl menggelitik. Tiada
tertahankan. Masih juga ia tidak mau bicara tentang kau Mas- Adakah dia setuju
denganmu atau tidak Mas ? atau kau dianggap sebagai unsur baru saja dalam
perusahaan.
Kegelapan itu terasa tiada- Yang ada hanya kau. Tak lain daripada kau!, maka aku
harus hentikan ceritanya yang tidak menyenangkan itu, Jadi :
“Mama ceritai aku bagaimana kau bertemu dan kemudian dan kemudian hidup
bersama papa.”
“Ya itu harus kau ketahui Ann, hanya saja jangan sampai kau tergoncang. Kau anak
manja dan berbahagia dibandingkan dengan mamamu ini pada umur yang lebih
muda . Mari aku ceritai kau dan ingat-ingat selalu.”
Dan mulailah ia bercerita:
Aku punya seorang abang: Paiman. Dia lahir pada hari pasaran Paing, maka dinamai
dia dengan suku depan Pai. Aku tiga tahun lebih muda, dinamai: Sanikem. Ayahku
bernama Sastrotomo setelah kawin. Kata para tetangga, nama itu berarti: Jurutulis
yang utama
Kata orang, ayahku seorang yang rajin. Ia dihormati karena satu-satunya yang dapat
baca-tulis di desa, baca tulis yang dipergunakan di kantor. Tapi ia tidak puas hanya
jadi jurutulis. Ia impikan jabatan lebih tinggi, sekali pun jabatannya sudah cukup
tinggi dan terhormat. Ia tak perlu lagi mencangkul atau meluku atau berkuli,
bertanam atau berpanen tebu.
Ayahku mempunyai banyak adik dan saudara sepupu. Sebagai jurutulis masih
banyak kesulitan padanya untuk memasukkan mereka bekerja di pabrik. Jabatan
lebih tinggi akan lebih memudahkan, lagi pula akan semakin tinggi pada pandangan
dunia. Apalagi ia ingin semua kerabatnya bisa bekerja di pabrik tidak sekedar jadi
kuli dan bawahan paling rendah. Paling tidak mandorlah. Untuk membikin mereka
jadi kuli tak perlu orang punya sanak jurutulis B semua orang bisa diterima jadi kuli
kalau mandor setuju. Ia bekerja rajin dan semakin rajin. Lebih sepuluh tahun.

! 58!
Jabatan dan pangkatnya tak juga naik. Memang gaji dan persen tahunan selalu naik.
Jadi ditempuhnya segala jalan: dukunn, jampi, mantra, bertirakat memutih,
berpuasa semn-kamis. tak juga berhasil. , ,
Jabatan yang diimpikannya adalah jurubayar: kassier, pemegang kas pabrikgula
Tulangan, Sidoarjo. Dan siapa tidak berurutan dengan jurubayar pabrik ? Paling
sedikit mandortebu Mereka datang untuk menerima uang dan membubuhkan «p
jempol. Ia bisa menahan upah mingguan kesatuan si mandor kalau ne-reka menolak
cukaian atas penghasilan para kuhnya Sebagai jurubayar pabrik ia akan menjadi
orang besar di Tulangan. Pedagang akan membungkuk menghormati. Tuan tuan
Totok dan Peranakan akan memberi tabik dalam Melayu. Guratan penanya berarti
uang! Ia akan termasuk golongan berkuasa dalam Pabrik. Orang akan mendengarkan
katanya: tunggu di bangku situ, untuk dapat menerima uang dan tangannya. .
Mengibakan. Bukan kenaikan Jabatan, Kehormatan dan ketakziman yang ia
dapatkan. Sebaliknya kebencian dan kejijikan orang dan jabatan juru bayar itu tetap
tergantung diawang-awang.
Tindakannya yang menjilat dan merugikan orang menjadikannya tersisih dari
pergaulan. Ia terpencil ditengah lingkungannya sendiri.
Tapi ia tidak peduli, ia memang keras hati . Kepercayaannya pada kemurahan dan
perlindungan tuan-tuan kulit putih tak terpatahkan, Orang muak melihat usahanya
menarik tuan-tuan Belanda itu agar sudi datang ke rumah Seorang-dua memang
datang juga dan disugunya dengan segala apa yang bisa menyenangkan mereka. Tapi
jabatan itu tak juga tiba.
Malah melalui dukun dan tirakat ia berusaha menggendam Tuan Administratur,
Tuan Besar Kuasa, agar sudi datang ke rumah Juga tak berhasil. Sebaliknya ia sendiri
sering berkunjung ke rumahnya. Bukan untuk menemui pembesarnya karena
sesuatu urusan. Untuk membantu kerja di belakang! Tuan Administratur tak pernah
mempedulikannya.
Aku sendiri merasa risi mendengar semua itu. Kadang dengan diam-diam
kuperhatikan ayahku dan merasa iba. Betapa jiwa dan raganya disesah oleh impian
itu. Betapa ia hinakan diri dan martabat sendiri. Tapi aku tak berani bicara apa-apa.
Memang kadang aku berdoa agar ia menghentikan kelakuannya yang memalukan
itu. Para tetangga sering bilang: lebih baik dan paling baik adalah memohon pada
Allah; sampai berapalah kekuasaan manusia, apalagi orang kulit putih pula. Doaku
untuknya bukan agar ia mendapatkan jabatan itu — agar ia dapat mengebaskan diri
dari kelakuannya yang memalukan. Waktu itu memang aku tidak akan mampu
bercerita seperti ini. Hanya merasakan dalam hati. Dan semua doaku juga tanpa
hasil.

! 59!
Tuan Besar Kuasa adalah seorang bujangan sebagai biasanya orang Totok pendatang
baru. Umurnya mungkin lebih tua dari ayahku, jurutulis Sastrotomo itu. Orang
bilang, pernah juga ayahku menawarkan wanita padanya. Orang itu bukan saja tidak
menerima tawaran dan berterimakasih, malah memaki, mengancam akan
memecatnya', Sejak itu ayah jadi ketawaan umum. Ibuku menjadi kurus setelah
mendengar sindiran orang: Jangan-jangan anaknya sendiri nanti yang ditawarkan,
yang mereka maksudkan adalah aku.
Tentu kau mengerti bagaimana sesak hidup ini mendengar itu. Sejak itu aku tak
berani keluar rumah lagi. Setiap waktu mataku liar menatap keruang depan kalau
kalau ada tamu orang kulit putih. Syukur tamu itu tidak ada.
Tidak seperti pegawai Belanda lainnyaTuan Besar Kuasa tidak suka ikut bertayub
dalam pesta giling. Setiap hari minggu ia pergi ke kota Sidoarjo untuk
bersembahyang di gereja Protestan Pada jam tujuh pagi orang bisa melihat ia pergi
naik kuda atau kereta. Aku sendin pernah melihatnya dari kejauhan.
Waktu berumur tigabelas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruangbelakang
dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga
atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanak-
kanak dulu. Malah duduk di pendopo aku tak diperkenankan. Menginjak lantainya
pun tidak.
Bila pabrik berhenti kerja dan pegawai dan buruh pulang sering aku lihat dari dalam
rumah orang lalulalang menoleh ke rumah kami. Tentu saja. Tamu-tamu wanita
yang berkunjung selalu memuji aku sebagai gadis cantik, bunga Tulangan, kembang
Sidoarjo. Kalau aku bercermin, tak ada alasan lain daripada membenarkan
sanjungan mereka. Ayahku seorang yang ganteng. Ibuku -- aku tak pernah tahu
namanya — seorang wanita cantik dan tahu memelihara badan. Semestinya,
sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi ayah mempunyai tanah
yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain. Ia tidak demikian. Ia
merasa cukup dengan seorang istri yang cantik. Di samping itu ia hanya
mengimpikan jabatan jurubayar, pemegang kas pabrik, Pribumi paling terhormat di
kemudian hari-
Begitulah keadaannya, Ann.
Waktu berumur empatbelas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk
golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah
mempunyai rencana tersendiri tentang diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran
datang meminang aku. Semua ditolak. Aku sendiri beberapa kali pernah mendengar
dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya.
Semua ayah yang menentukan. Pernah ibu bertanya pada ayah, menantu apa yang

! 60!

Anda mungkin juga menyukai