Anda di halaman 1dari 7

IRI BERUJUNG RUGI

Karya Ririn Setyo Widihastutik (dengan tambahan dan modifikasi oleh kelompok 1)

SINOPSIS
Suasana arisan di rumah Bu Dharma menjadi kacau karena ada peserta arisan yang suka
memamerkan kekayaannya. Hal ini membuat teman-temannya banyak yang tersinggung, bahkan
menurunkan minat pada kegiatan tersebut. Sama dengan Bu Dharma, karena sering melihat
kejadian tersebut, tersulutlah emosinya hingga mengubah perilakunya menjadi sensitif.

SCENE 1
(Rumah Bu Dharma yang sederhana)
Sambil menyiapkan beberapa hidangan, Bu Dharma menggumam. “Yoalah wis yah mene kok
dha rung rawuh lo, kamangka ibu-ibu pejabat, mestine rak ya isa disiplin, kena nggo conto.”
(mondar-mandir). Tidak lama berselang, terdengar orang mengucapkan salam bersamaan, lalu
dipersilakan untuk duduk.

Bu Dharma : “Selamat pagi ibu-ibu, bagaimana kabarnya?”


Ibu-ibu : “Alhamdulillah, sehat Bu.”
Bu Somse : “Sehat Bu Dharma, tapi sebetulnya hari ini capek banget, soalnya tadi abis bantu
papanya anak-anak buat beres-beres mobil baru, terus lanjut shopping deh ke mall, beli tas model
baru itu lho! Biar kekinian!”
Ibu-ibu: “Haaaaaaaaah, mobil baru?”
Bu Somse : “Iya Bu, soalnya yang kemarin udah gak nyaman! Kalo mobil yang sekarang,
beuuuuh! Uweeenak poll! Mana ada kaca di atas yang bisa dibuka gitu lho ibu-ibu.”
Bu Nita : “Waaaah, keren banget Bu mobilnya.”
Bu Somse : “Iya dong! Oh ya Bu, apa hasil pertemuan bulan lalu? Sebetulnya aku ini males
banget datang. maklum hanya itu-itu saja yang dibicarakan.”
Bu Dharma : “Lho, kenapa Bu? Bukannya malah nambah ilmu to?”
Bu Nita : “Walah-walah, jujur saja, kita cuma buang-buang waktu! Lebih baik ikutan
bisnis, lebih keliatan hasilnya (memamerkan tas, perhiasan, dan HP baru) nih lihat bu-ibu, bagus
kaaan?”
Bu Somse : “Waaaah, ini tasnya bagus banget Bu.”
Bu Nita : “Sudah pasti bagus lah, orang harganya aja 50 juta! Nih (menunjukkan
perhiasannya) ini barang limited edition lho! Saya beli waktu saya lagi main ke Paris, bagus
kann? Nah-nah terus ini, ini HP saya keluaran terbaru lho ini! Di Indonesia aja belum keluar,
apalagi di kampung ini, Cuma saya, Nita yang punya! Terus nih ya Bu, liat nih dompet saya ini
belinya dari Swiss, terbuat dari kulit sapi premium deh pokoknya! Keren kan saya? (menghela
napas) Daripada arisan begini, huhhh! Lama dapet duitnya.”
Bu Dharma : “Sudah-sudah! Aku tidak mau dengar lagi! Kalian semua kan tahu keadaanku
seperti ini. Bu Nita sengaja menyinggung saya, kan? Okey! Fine! Thank you! Dari pada terhina
seperti ini, lebih baik aku keluar dari arisan ini.”
(Pergi menutup pintu kamar dengan keras)
Bu Nita : “Huh! Memang benar kan? Arisan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan bisnisku! Lagipula aku juga ingin keluar, aku gak level sama arisan macam ini. Ayok Bu
kita bubar saja!

(Anggota arisan bubar dan keluar dari rumah Bu Dharma)

SCENE 2

(Pak Dharma dan Bu Dharma duduk di teras)

Pak Dharma : “Tolong buatkan kopi ya Bu, biar gak ngantuk.”

Bu Dharma : (Sewot dan meninggalkan Pak Dharma)

(Bu Dharma membawa secangkir kopi)

Pak Dharma : “Ada apa to Bu, kok cemberut gitu?”

Bu Dharma : “Ndak ada apa-apa kok!” (dengan muka marah)

Pak Dharma : “Lha kalau tidak ada apa-apa kenapa seperti itu? Bukannya sudah tugas ibu,
membuatkan Bapak kopi.”

Bu Dharma : “Yang adil dong Pak! Kalau Bapak menuntut Ibu mengerjakan tugas-tugas Ibu
dengan baik, Bapak juga harus mampu mencukupi kebutuhan keluarga dengan lebih baik! Lihat
Pak, teman-teman arisan ibu semuanya orang kaya! Rumah mewah, mobil bagus, perhiasan
banyak, hidup bergelimang harta, sedangkan aku? Cuma duduk-duduk di rumah yang butut ini!
Lagipula Bapak kan bisa melipat sedikit uang setoran agar tabungan kita cepat banyak.”
Pak Dharma : “Astaghfirullah, ternyata Ibu iri pada mereka? Ingat Bu, Bapak tidak ingin
pekerjaan jadi taruhan demi gaya hidup. Lagipula haram Bu, kalau kita korupsi. Lalu, bagaimana
kalau Bapak terciduk dan berakhir dibui?

Bu Dharma : “Yo ndak papa. Siapa tau nanti Bapak dikasih penjara yang fasilitasnya bagus to.
Terus, terus kalau Bapak berlaku sopan di pengadilan kan nanti bisa diringankan hukumannya.”

Pak Dharma : “Ealah wong edan! Lalu kalau aku di penjara dan kita juga tidak punya anak, Ibu
mau luntang-lantung sendirian?!”

Bu Dharma : “Lha, siapa bilang Ibu bakal sendirian? Yo aku bakal kabur lah terus cari bojo
baru yang lebih…berduit.”

Pak Dharma : “ASTAGHFIRULLAH, CANGKEMMU!!!”

Bu Dharma : “Aku ra peduli, Pak! Pokoknya uang dari mana saja, yang penting aku bisa
seperti mereka! Supaya kita tidak selalu dihina!”

Pak Dharma : “Bu, mengertilah, uang korupsi tidak akan berkah, dan itu akan menghantui
selama hidup kita, belum lagi pertanggungjawaban di akhirat nanti.”

Bu Dharma : “Alaaaah… jangan sok suci! Pokoknya aku ra peduli! Kebutuhanku harus
tercukupi, TITIK!” (Pergi meninggalkan pak Dharma)

SCENE 3

(Bu Dharma meminjam uang dari pinjol dan membeli baju baru, perhiasan, dan tas baru. Ia
sengaja mengundang Bu Nita dan Bu Somse datang ke rumahnya untuk memamerkan barang-
barangnya)

Bu Nita : “Waaah, dapet warisan dari mana nih, Bu?”

Bu Dharma : “Warisan? Bukan dong!!! Ini sebenernya tabungan saya sama suami saya.
Selama ini kami memang tidak mau menunjukkan kekayaan kami. Gimana ya, kami ini kan tidak
suka menyombongkan diri, makanya selama ini kami simpan semuanya.”

Bu Somse : “Bagus lho Bu tasnya.”

Bu Dharma : “Iya dong!! Ini model terbaru, harganya pun selangit!”

Bu Nita dan Bu Somse : “Wawww keren Bu Dharma!!”

SCENE 4
(Bu Nita dan Bu Somse baru pulang belanja, mereka mendapat notifikasi dari ponselnya masing-
masing)

Bu Somse : “Duhh, siapa sih ganggu saja!”

Bu Dharma maling! Punya hutang tidak dibayar! Apabila Anda tahu keberadaanya mohon beri
tahu saya!

Bu Nita : “Bu Dharma ngutang?”

Bu Somse : “Waduh, sampai jadi buronan pinjol.”

Bu Nita : “Terus kenapa kita yang kena terror ya, Bu?”

Bu Somse : “Jangan-jangan kita dijadikan jaminan lagi! Keterlaluan Bu Dharma, kita harus
ke rumahnya.”

(Bu Nita dan Bu Somse pergi ke rumah Bu Dharma)

Ibu-Ibu : “BU DHARMA!! BU DHARMAA!!”

(Bu Dharma keluar rumah)

Bu Dharma : “Duhh, ada apa ibu-ibu teriak di rumah saya? Mengganggu saja!”

Bu Nita : “Bu Dharma memberikan data kita ke pinjol ya?”

Bu Dharma : (panik) “Lho, maksudnya apa ini? Kok main tuduh begini?”

Bu Somse : “Halah! Bu Dharma gak usah berkelit, bilang aja semua barang-barang mahal
Bu Dharma itu hasil pinjol kan?”

Bu Dharma : “Ibu kok menuduh saya? (marah) Ibu gak terima kan kalo saya lebih kaya
daripada Ibu?”

Bu Somse : “Buat apa saya merasa tersaingi sama orang seperti Ibu. Dasar BPJS, budget
pas-pasan jiwa sosialita!”

Bu Nita : “Pokoknya kalau kita terseret dalam masalah Ibu, kita akan laporin Ibu ke kantor
polisi! Ayo Bu, kita pergi!”

(Bu Dharma panik)

SCENE 5
Pak Dharma : “Assalamu’alaikum Bu Leha, mau kemana kok sepertinya sedang buru-buru?”

Bu Leha : “Wa’alaikumsalam, ini Pak saya mau menjenguk Bu Dewi, dengar-dengar


beliau sedang sakit.”

Pak Dharma : “Titip doa ya Bu, semoga beliau cepat sembuh. (mulai resah) Eh, Bu, apakah
saya bisa minta tolong?”

Bu Leha : “Apa yang bisa saya bantu, Pak?”

(Pak Dharma menceritakan kejadian kemarin. Ia berharap Bu Leha bisa menyadarkan istrinya,
sehingga bisa kembali seperti dulu)

Bu Leha : “Insya Allah Pak, saya tidak janji, tapi saya akan berusaha semampu saya.”

Pak Dharma : “Terima kasih Bu Leha, semoga kebaikan Ibu menjadi amal yang khasanah.”

SCENE 6

(Sore hari di rumah Bu Dharma)

Bu Leha : “Assalamualaikum Bu Dharma…”

Bu Dharma : “Waalaikumsalam Bu Leha, silahkan masuk. Tumben datang kemari.”

Bu Leha : “Iya Bu, kebetulan ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu.”

Bu Dharma : “Oalahh, iya silakan Bu..”

Bu Leha : “Kedatangan saya ke sini, ingin bersilaturahmi sekalian ada yang ingin saya
sampaikan. Kebetulan ini amanat dari suami Ibu.”

Bu Dharma : (Kaget) “LHOOOOO… ADA APA INI? (MARAH) JADI, KAMU


PENYEBAB SEMUA INI?!”

Bu Leha : “Bu, tolong dengarkan penjelasan saya dulu.”

Bu Dharma : “Sudah berapa lama dekat dengan suami saya, hah? Pantesan selama ini suami
saya tidak bisa mencukupi kebutuhan saya. Wanita macam apa kamu ini, so alim ternyata
pelakor!”

Bu Leha : “Sabar Bu, jangan cepat salah sangka. Kemarin saya mendapat Amanah dari
suami Ibu untuk menasehati, agar Ibu tak terpengaruh dengan perilaku teman-teman Ibu. Ingat
Bu, sesuatu yang tidak halal akan membuat hidup tidak tenang, laknat Allah lebih berat.
Sanggupkah Ibu menerimanya kelak?”
Bu Dharma : “Jangan berlagak suci di depanku, memang kamu gak suka harta? Tidak usah
munafik deh!”

Bu Leha : “Suka Bu, saya suka dengan harta. Tapi kita harus tahu darimana asal hartai itu.
Mari kita kembali ke hak dan kewajiban kita sebagai istri, menjadi teladan yang mulia untuk
anak cucu. Kita isi hidup yang cuma sebentar ini dengan hal yang bermanfaat. Sekarang Ibu
terjerat pinjol, bagaimana Ibu bisa membayarnya? Apa Ibu tega melihat Pak Dharma kerja
membanting tulang demi memenuhi gaya hidup Ibu yang termakan gengsi ini?”

(Bu Dharma merenung)

Bu Leha : “Bu, semuanya belum terlambat untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Mari
kita buka lembaran baru. Di sisa umur kita ini, gunakan untuk berbakti pada keluarga, bangsa,
negara, dan agama. Kita tingkatkan pula ukhuwah dan ibadah.”

(Bu Dharma hanya diam merenung)

Bu Leha : “Itu saja yang ingin saya sampaikan. Semoga Ibu bisa memikirkannya dengan
baik. Saya permisi pulang dulu, Bu. Assalamualaikum.

Bu Dharma: (menjawab dengan suara pelan) “Waalaikumsalam.”

SCENE 7

(Pak Dharma baru pulang kerja dan duduk di teras rumah sambal mengipas-ngipas. Bu Dharma
datang membawa secangkir kopi dengan wajah sedih)

Pak Dharma : “Terima kasih, Bu.”

(Bu Dharma diam)

Pak Dharma : “Ada apa Bu, kok sedih begitu?”

Bu Dharma : “Maafkan Ibu ya, Pak. Selama ini Ibu salah, karena telah menyakiti Bapak dan
memaksa Bapak. Ibu terlalu silau dengan duniawi, sampai Ibu menghalalkan segala cara untuk
memenuhi keinginan Ibu. Bapak mau memaafkan Ibu?”

Pak Dharma : “Syukur kalau Ibu sudah sadar.”

Bu Dharma : “Bapak memaafkan Ibu tidak?”

Pak Dharma : “Iya Bu, Bapak sudah memaafkan Ibu. Bapak juga minta maaf karena belum
bisa menjadi seperti yang Ibu inginkan.”
Bu Dharma : (sungkem sambil menangis) “Terima kasih Pak, tapi soal…”

Pak Dharma : “Soal hutang pinjol biar nanti Bapak cari jalan keluarnya.”

Bu Dharma : “Jual saja barang-barang itu Pak, Ibu sudah tak menginginkannya.”

Pak Dharma : “Ibu yakin?”

(Bu Dharma mengangguk yakin)

Pak Dharma : “Ya sudah nanti kita jual barang-barang itu, sisanya biar Bapak yang pikirkan.”

Bu Dharma : “Maafkan Ibu ya, Pak.”

Pak Dharma : “Sudahlah Bu, semoga kejadian ini memberikan pelajaran baik untuk kita dan
semoga kita selalu diridhoi oleh Allah SWT.”

Bu Dharma : “Aamiin YRA.”

(Pak Dharma dan Bu Dharma pun kembali hidup rukun dan bahagia)

Anda mungkin juga menyukai