Karya Ririn Setyo Widihastutik (dengan tambahan dan modifikasi oleh kelompok 1)
SINOPSIS
Suasana arisan di rumah Bu Dharma menjadi kacau karena ada peserta arisan yang suka
memamerkan kekayaannya. Hal ini membuat teman-temannya banyak yang tersinggung, bahkan
menurunkan minat pada kegiatan tersebut. Sama dengan Bu Dharma, karena sering melihat
kejadian tersebut, tersulutlah emosinya hingga mengubah perilakunya menjadi sensitif.
SCENE 1
(Rumah Bu Dharma yang sederhana)
Sambil menyiapkan beberapa hidangan, Bu Dharma menggumam. “Yoalah wis yah mene kok
dha rung rawuh lo, kamangka ibu-ibu pejabat, mestine rak ya isa disiplin, kena nggo conto.”
(mondar-mandir). Tidak lama berselang, terdengar orang mengucapkan salam bersamaan, lalu
dipersilakan untuk duduk.
SCENE 2
Pak Dharma : “Lha kalau tidak ada apa-apa kenapa seperti itu? Bukannya sudah tugas ibu,
membuatkan Bapak kopi.”
Bu Dharma : “Yang adil dong Pak! Kalau Bapak menuntut Ibu mengerjakan tugas-tugas Ibu
dengan baik, Bapak juga harus mampu mencukupi kebutuhan keluarga dengan lebih baik! Lihat
Pak, teman-teman arisan ibu semuanya orang kaya! Rumah mewah, mobil bagus, perhiasan
banyak, hidup bergelimang harta, sedangkan aku? Cuma duduk-duduk di rumah yang butut ini!
Lagipula Bapak kan bisa melipat sedikit uang setoran agar tabungan kita cepat banyak.”
Pak Dharma : “Astaghfirullah, ternyata Ibu iri pada mereka? Ingat Bu, Bapak tidak ingin
pekerjaan jadi taruhan demi gaya hidup. Lagipula haram Bu, kalau kita korupsi. Lalu, bagaimana
kalau Bapak terciduk dan berakhir dibui?
Bu Dharma : “Yo ndak papa. Siapa tau nanti Bapak dikasih penjara yang fasilitasnya bagus to.
Terus, terus kalau Bapak berlaku sopan di pengadilan kan nanti bisa diringankan hukumannya.”
Pak Dharma : “Ealah wong edan! Lalu kalau aku di penjara dan kita juga tidak punya anak, Ibu
mau luntang-lantung sendirian?!”
Bu Dharma : “Lha, siapa bilang Ibu bakal sendirian? Yo aku bakal kabur lah terus cari bojo
baru yang lebih…berduit.”
Bu Dharma : “Aku ra peduli, Pak! Pokoknya uang dari mana saja, yang penting aku bisa
seperti mereka! Supaya kita tidak selalu dihina!”
Pak Dharma : “Bu, mengertilah, uang korupsi tidak akan berkah, dan itu akan menghantui
selama hidup kita, belum lagi pertanggungjawaban di akhirat nanti.”
Bu Dharma : “Alaaaah… jangan sok suci! Pokoknya aku ra peduli! Kebutuhanku harus
tercukupi, TITIK!” (Pergi meninggalkan pak Dharma)
SCENE 3
(Bu Dharma meminjam uang dari pinjol dan membeli baju baru, perhiasan, dan tas baru. Ia
sengaja mengundang Bu Nita dan Bu Somse datang ke rumahnya untuk memamerkan barang-
barangnya)
Bu Dharma : “Warisan? Bukan dong!!! Ini sebenernya tabungan saya sama suami saya.
Selama ini kami memang tidak mau menunjukkan kekayaan kami. Gimana ya, kami ini kan tidak
suka menyombongkan diri, makanya selama ini kami simpan semuanya.”
SCENE 4
(Bu Nita dan Bu Somse baru pulang belanja, mereka mendapat notifikasi dari ponselnya masing-
masing)
Bu Dharma maling! Punya hutang tidak dibayar! Apabila Anda tahu keberadaanya mohon beri
tahu saya!
Bu Somse : “Jangan-jangan kita dijadikan jaminan lagi! Keterlaluan Bu Dharma, kita harus
ke rumahnya.”
Bu Dharma : “Duhh, ada apa ibu-ibu teriak di rumah saya? Mengganggu saja!”
Bu Dharma : (panik) “Lho, maksudnya apa ini? Kok main tuduh begini?”
Bu Somse : “Halah! Bu Dharma gak usah berkelit, bilang aja semua barang-barang mahal
Bu Dharma itu hasil pinjol kan?”
Bu Dharma : “Ibu kok menuduh saya? (marah) Ibu gak terima kan kalo saya lebih kaya
daripada Ibu?”
Bu Somse : “Buat apa saya merasa tersaingi sama orang seperti Ibu. Dasar BPJS, budget
pas-pasan jiwa sosialita!”
Bu Nita : “Pokoknya kalau kita terseret dalam masalah Ibu, kita akan laporin Ibu ke kantor
polisi! Ayo Bu, kita pergi!”
SCENE 5
Pak Dharma : “Assalamu’alaikum Bu Leha, mau kemana kok sepertinya sedang buru-buru?”
Pak Dharma : “Titip doa ya Bu, semoga beliau cepat sembuh. (mulai resah) Eh, Bu, apakah
saya bisa minta tolong?”
(Pak Dharma menceritakan kejadian kemarin. Ia berharap Bu Leha bisa menyadarkan istrinya,
sehingga bisa kembali seperti dulu)
Bu Leha : “Insya Allah Pak, saya tidak janji, tapi saya akan berusaha semampu saya.”
Pak Dharma : “Terima kasih Bu Leha, semoga kebaikan Ibu menjadi amal yang khasanah.”
SCENE 6
Bu Leha : “Iya Bu, kebetulan ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu.”
Bu Leha : “Kedatangan saya ke sini, ingin bersilaturahmi sekalian ada yang ingin saya
sampaikan. Kebetulan ini amanat dari suami Ibu.”
Bu Dharma : “Sudah berapa lama dekat dengan suami saya, hah? Pantesan selama ini suami
saya tidak bisa mencukupi kebutuhan saya. Wanita macam apa kamu ini, so alim ternyata
pelakor!”
Bu Leha : “Sabar Bu, jangan cepat salah sangka. Kemarin saya mendapat Amanah dari
suami Ibu untuk menasehati, agar Ibu tak terpengaruh dengan perilaku teman-teman Ibu. Ingat
Bu, sesuatu yang tidak halal akan membuat hidup tidak tenang, laknat Allah lebih berat.
Sanggupkah Ibu menerimanya kelak?”
Bu Dharma : “Jangan berlagak suci di depanku, memang kamu gak suka harta? Tidak usah
munafik deh!”
Bu Leha : “Suka Bu, saya suka dengan harta. Tapi kita harus tahu darimana asal hartai itu.
Mari kita kembali ke hak dan kewajiban kita sebagai istri, menjadi teladan yang mulia untuk
anak cucu. Kita isi hidup yang cuma sebentar ini dengan hal yang bermanfaat. Sekarang Ibu
terjerat pinjol, bagaimana Ibu bisa membayarnya? Apa Ibu tega melihat Pak Dharma kerja
membanting tulang demi memenuhi gaya hidup Ibu yang termakan gengsi ini?”
Bu Leha : “Bu, semuanya belum terlambat untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Mari
kita buka lembaran baru. Di sisa umur kita ini, gunakan untuk berbakti pada keluarga, bangsa,
negara, dan agama. Kita tingkatkan pula ukhuwah dan ibadah.”
Bu Leha : “Itu saja yang ingin saya sampaikan. Semoga Ibu bisa memikirkannya dengan
baik. Saya permisi pulang dulu, Bu. Assalamualaikum.
SCENE 7
(Pak Dharma baru pulang kerja dan duduk di teras rumah sambal mengipas-ngipas. Bu Dharma
datang membawa secangkir kopi dengan wajah sedih)
Bu Dharma : “Maafkan Ibu ya, Pak. Selama ini Ibu salah, karena telah menyakiti Bapak dan
memaksa Bapak. Ibu terlalu silau dengan duniawi, sampai Ibu menghalalkan segala cara untuk
memenuhi keinginan Ibu. Bapak mau memaafkan Ibu?”
Pak Dharma : “Iya Bu, Bapak sudah memaafkan Ibu. Bapak juga minta maaf karena belum
bisa menjadi seperti yang Ibu inginkan.”
Bu Dharma : (sungkem sambil menangis) “Terima kasih Pak, tapi soal…”
Pak Dharma : “Soal hutang pinjol biar nanti Bapak cari jalan keluarnya.”
Bu Dharma : “Jual saja barang-barang itu Pak, Ibu sudah tak menginginkannya.”
Pak Dharma : “Ya sudah nanti kita jual barang-barang itu, sisanya biar Bapak yang pikirkan.”
Pak Dharma : “Sudahlah Bu, semoga kejadian ini memberikan pelajaran baik untuk kita dan
semoga kita selalu diridhoi oleh Allah SWT.”
(Pak Dharma dan Bu Dharma pun kembali hidup rukun dan bahagia)