Anda di halaman 1dari 11

Penghargaan

Ok, nama panggilan gua Rere.

Bunda gua cerita bahwa dulu nama gua adalah

„Reynaldi Reza Akhsa Adinata Tri Jaenudin Akbar Sholeh Rega Denandro Azmi Uchiha‟

Itu dulu, sekarang mulai dari akta lahir, Kartu Keluarga, Kartu
Tanda Penduduk, Kartu Nama, Kartu Kredit, semua macam kartu
tercantum atas nama gua yang baru.

“Kok bunda bisa kasih nama aku sepanjang itu sih? Dan kenapa bisa sekarang namaku jadi
Rere?” tanya gua ke bunda, perasaannya sama kaya lo sekarang, heran.
Jadi Gini...

Pada tanggal 17 September 1990, dari Inggris ke Jerman pindah


ke Indonesia bertempat di Papua namun pindah ke Maluku dan berubah
fikiran untuk bertempat di Jakarta tepatnya di Rumah Sakit Sehat
Sentosa. Bunda melahirkan seorang bayi laki-laki berwajah tampan,
berkulit merah, dengan mata terpejam berlumuran darah, dan suaranya
yang indah. Jelas, bayi itu adalah Gua. Gua terlahir ke dunia yang gak
pernah Gua bayangin saat Gua masih janin, bahwa dunia itu indah. Sama
indahnya dengan suara Gua saat lahir.

“Oaaa... Oaaa... Oaaa...” Ya. Bener. Gitu. Bagus, lo berhasil menirukan suara tangis gua
saat lahir, entah lo spontan atau dalam hati, yang jelas lo berarti udah kenal gua sejak
bayi karna tau nada tangis gua.

Gua gak yakin itu suara gua saat lahir, tapi gua yakin dengan pasti,
itu suara bayi mewek saat lahir pada umumnya, jelas lo bisa tau. Atau
mewek lo sama kaya gua? Terserah.

Hari itu bunda gua didampingi pujaan hatinya, yang juga menjadi
pujaan hati wanita-wanita lain karena ketampanannya yang gak ngalahin
Aril Peterpan. Ya, emang lebih ganteng Aril. Saat gua lahir, ayah dan
bunda bahagia kebangetan. Lo pernah liat penonton alay teriak? Ya,
seperti itulah orang tua gua bahagia atas kelahiran gua.

Ayah gua adalah seorang manusia berjenis kelamin pria kelahiran


Jerman, 29 Februari 1960 dari pasangan James Marco Jaenudin dan Siti
Ellizabeth Marlin, ayah gua blasteran, turunan dari ibu bapaknya yang juga
blasteran karena buyut dari kakek gua berasal dari Jerman (Bapaknya)
dan dari Indonesia (Ibunya). Kebalikan dari buyut dari nenek gua, lo bisa
fikir sendiri. Ayah gua adalah anak ke 2 dari 11 bersaudara ber-Marga
Jaenudin. Gausah pengen tau siapa aja mereka, karena sampe sekarang
gua sendiri juga belom hafal.

Lanjut.

Bunda gua adalah seorang bidadari tak bersayap yang ditakdirkan


untuk menjadi pendamping hidup ayah gua sejak 1988 saat umurnya
menginjak 23 tahun. Kelahiran Kalimantan, 31 Desember 1965 berbeda 5
tahun dengan ayah gua putri dari pasangan Lorge Arvel yang berasal dari
Inggris dan Kokom Komalasari berasal dari Kalimantan, anak ke 3 dari 10
bersaudara. Salah satu alasan gua bingung buat hafal tante tante dan
paman paman gua. Terkadang gua salah ngira paman gua, adik dari ayah
yang seharusnya kakak dari bunda. Ditambah lagi banyak yang sudah
berkeluarga, ya inilah „Keluarga terlalu Besar‟

Di luar ruangan ada kerabat-kerabat dekat gua yang juga datang.


Ya, mereka adalah keluarga besar dari ayah dan bunda. Mereka gak masuk
ruangan, jelas. Bayangin 11 keluarga ada di ruang persalinan. Mustahil.

Ketika mereka dengar suara tangisan gua, mereka sorak-sorak


bergembira. Lo bisa bayangin ketika malam tahun baru tepat jam 12
malam, kurang lebih seperti itulah kebahagiaan mereka.

“mohon matikan api itu sebelum petasannya nyala pak!” ucap perawat keliling yang sedang
piket.

Ya. Bedanya, di rumah sakit sama sekali tak diizinkan untuk


menyalakan kembang api.

Beberapa tahap gua lalui saat itu, langsung saja ke ruangan inap.

Pintu otomatis, satu set sofa, tanaman hias dalam pot, televisi, AC,
kulkas, teras lengkap dengan bangku dan meja. Ruangan yang luas itu
berada tepat di lantai 20, yang jika ingin naik turun harus menggunakan
lift. LIFT ya, bukan eskalator. Lo tau ruangan apa itu? Ya, VVIP. Asal lo
tau aja, keluarga gua punya banyak kartu platinum dan kartu hitam (Black
Card) yang mengalahkan segala prosedur yang ada.

Bermula di ruangan itu

“Anak kamu kan cowok, harus dikasih nama Reza! Pasti ganteng. Kalo aku punya anak
cowok jugapasti aku namain Reza.” Kata tante gua, adik dari adiknya ayah yang ke-4,
anak dari ayahnya ayah gua yang sejak itu adalah kakek gua. “iya ya siapa tau jadi
ganteng.” Jawab bunda gua dengan bodohnya, maaf bunda, tapi anakmu ini sudah pasti
akan tampan tanpa nama „Reza‟.

“engga deh, kayaknya si ganteng ini lebih bagus kalo marga keluarga kita dimasukin ke
namanya, „Jaenudin‟. Bagus kan? Itu marga kebanggaan kita loh!” Kata tante gua, adiknya
ayah yang ke-4. Lo percaya? Jaenudin. Bayangkan perusahaan desain besar gua pake
nama marga keluarga besar gua, „DESAIN JAENUDIN‟. Bayangkan restoran gua pake
nama marga keluarga besar gua, „RESTO JAENUDIN‟. Namanya gak seganteng gua, jadi
gak cocok. Tapi bunda, “oh iya, marga kebanggaan kita harus dimasukin ya ayah.” Bunda
memang ingin yang terbaik untukku.
“Dia kan anak ke-3, gimana kalau dikasih nama „Tri‟ itu melambangkan angka, dan bagus
banget loh.” Kata tante gua, adik bunda yang ke-4, anak ke-5 dari kakek nenek gua yang
tepatnya adalah ibu bapak bunda gua. “oh iya bener, si kakak sama si abang kan ada nama
yang melambangkan angkanya juga ya ayah? Bagus nih.” Oke, „Tri‟ ga masalah. Gua bisa
terima.

“alangkah baiknya jika nama yang diberikan bermakna dan berarti. Sholeh, agar kelak ia
menjadi anak yang sholeh.” kata tante gua, kakak dari ayah, anak pertama dari kakek
nenek, yang juga bapak ibu dari ayah gua. “subhanallah, benar kak, indah, aku kasih deh.”
Oke ga masalah, coba dulu al-gofar ga diilangin, mungkin gua ga akan jadi gua yang se
ambyar ini.

“eh eh eh kak, tau azmi gak? Anaknya tetangga. Dia ganteng banget, soleh juga loh.
Sepaket, kasih aja namanya Azmi juga!” kata tante gua, si bungsu dari kesebelasan
kakak beradik. Gua paling ga suka ada 1 huruf di nama gua yang samsa dengan nama
orang lain. Apalagi ini nama? Bunda selalu ingin yang instan, dengar kata “sepaket”
langsung tergoda. “wah iya, sekaligus gitu, iya deh masukin.” Pantesan sampe sekarang
gua sering banget beli sesuatu dengan paket yang memuaskan, masih belum ilang ya
efeknya.

“Akbar! Kasih dia nama Akbar! Dia akan jadi orang besar kelak.” Kata tante gua, kakak
ke-2 dari bunda, anak ke 2 dari kakek nenek yang juga bapakmibunya bunda gua. “wah iya
semoga! Aku masukin ya kak.” Nama itu memang berpengaruh besar sekarang.

Suara bising sana sini terdengar jelas, semua membicarakan


tentang nama gua kelak, ya.. siapa juga yang mau nama seorang pewaris
perusahaan besar ini tak enak didengar? Bunda gak kenal lelah,
mendengarkan masukan sana sini, dari keluarga ayah, dari keluarga bunda
sendiri. Setiap nama yang diusulkan, bunda tulis dengan teliti diatas buku
memo yang sampai sekarang masih ada wujudnya.

Bukan hanya segitu usulan nama yang diucapkan banyak orang.

“Bagaimana kalau namanya Akhsa?” Tanya paman gua, anak pertama dari kakek nenek gua
yang juga bapak ibu dari Bunda “memangnya nama itu punya makna?” jawab Ayah.
“Hmmm, enggak juga sih.” “yasudah ta usah dimas...” “tunggu” Bunda memotong
pembicaraan ayah dan paman “Akhsa bagus juga, bunda mau masukin aja ya ayah.”
Dengan wajah cantiknya membujuk ayah “yasudah kalau itu bagus” jawab ayah pasrah.
Waw.

“Mas, aku punya nama dari salah satu tokoh animasi, Adinata. Dalam ceritanya, si
Adinata ini adalah pewaris perusahaan besar dan sangat kaya raya. Cocok dengan si
ganteng kita ini.” Bujuk paman gua, anak laki-laki yang ke 8 dari bapak ibunya bunda. Dia
memang penyuka animasi. Yaa, sebenarnya tak masalah kalau Adinata.

“Jangan Adinata! Uchiha! Itu nama marga dari tokoh animasi jepang yang paling aku
suka, kalau kalian tau, kalian jug pasti suka. Marga itu sangat kuat!” kata paman gua, adik
dari kakaknya ayah yang juga adiknya ayah dan adik dari adiknya ayah tepatnya anak ke-
10 dari keluarga ayah. “Hmmm sepertinya itu terla...” “Bagus! Anak kita harus kuat ayah!
Harus!” ucap bunda memotong ucapan ayah. Sebenarnya gua lelah menceritakan
perdebatan dari para pecinta animasi ini, sudah cukup.

“bagaimana kalau Denandro saja? Setiap ejaan dari nama ini gak bakalan aneh loh kalau
dijadikan nama panggilan.” Kata anak ke-9 dari bapak ibunya bunda yang juga adalah
adiknya bunda “De.. Nan.. Dro..” eja ayah gua. “Wah iya benar! Kita masukan saja nama
ini!” jawab ayah dengan sangat antusias.

Huuuuuh, masih belum selesai juga. Ada lagi..

“kalian jangan meributkan nama seorang anak seperti itu! Tak baik. Biarkan orang tuanya
yang mencari dan memilah memilih nama yang cocok untuk anak mereka.” Ucap seorang
kepala keluarga, bapak dari kesebelasan bersaudara. Ya, bapak dari ayah gua. “tak apa
pak, kita juga membutuhkan masukan dari kakak-kakak dan adik-adik kita. Apa bapak tak
punya usulan?” tanya bunda kepada kakek. “Rega.” “oh, nama yang basus. Aku masukan ya
ayah.” Jawab bunda langsung. Waw, senyuman terlihat di wajah kakek, bahagia usulan
namanya dimasukan.

“Ibu juga ingin memberi nama untuk cucu ibu.” Ucap seorang wanita tua cantik dari
kalimantan. Ya, ibu dari bunda gua. “boleh bu, ibu ingin menamai apa untuk cucu nenek
ini?” tanya ayah ramah. “Reynaldi. Itu nama yang ingin ibu berikan pada anak ke 11 ibu,
tapi saat itu ibu tak kunjung memiliki momongan hingga sekarang.” “wah bu, kalau begitu
akan saya masukan nama Reynaldi itu.” Jawab ayah terharu. Air mata menetes di pipi
keriput nenek gua, tandanya bahagia.

Tak masalah banyak nama yang diusulkan, gua Cuma pengen hanya
beberapa nama yang diambil dan dijadikan nama resmi gua. Tapi,

“bagaimana ini ayah? Sudah berbulan bulan tapi anak kita juga tak kunjung memiliki
nama. Semua orang memanggil dengan nama yang disebutkan adik adik dan kakak kakak
kita, sehingga terlalu banyak nama yang tersebar yang orang lain tau.” Ucap bunda
mengeluh kesal. “mau bagaimana lagi? Setiap ada yang bertanya siapa nama anak kita,
mereka yang selalu menjawab, dan hampir semua menjawabnya secara bergantian. Jelas
orang lain mengenal dengan nama yang mereka tahu.” Jawab ayah mengeluh pusing.
Ya, gua tak pernah membayangkan akan jadi seperti ini. Sebingung
itu memilih nama, sebingung itu menetapkan nama. Tapi ayah bunda sudah
bekerja keras dan berjuang untuk mencari yang terbaik untuk nama gua.
Hingga pada akhirnya,

“Bunda, mungkin sudah sangat terlambat untuk memilih nama.” Ucap ayah dengan nada
rendahnya yang menunjukan kalau dia menyerah. “lalu?” “bagaimana jika kita gunakan
nama yang diberikan semua saudara kita saja? Kita susun semua nama yang tersebar
menjadi satu.” Jelas ayah. “ayah yakin?” jawab bunda meyakinkan “ya.” Jawab ayah
sangat yakin.

Memilih nama hingga umur gua menginjak setengah tahun saja


sudah amat sangat melelahkan bagi mereka. Dan mereka harus merasakan
lelah lagi dalam waktu yang sama ketika harus menyusun nama gua yang
harus satu padu.

Hasil 1 bulan...

„Uchiha Azmi Rega Reza Reynaldi Denandro Sholeh Tri Jaenudin Akhsa Akbar‟

“Kamu yakin? Itu seperti mengabsen nama-nama murid di kelas loh.” Ucap tante ku, anak
ke-4, adiknya buda. “baik mari rubah.”

Hasil 2 bulan 15 hari...

„Reynaldi Reza Rega Akhsa Adinata Akbar Azmi Sholeh Tri Uchiha Denandro‟

“apa gak sebaiknya jangan simpan nama dengan ejaan yang mirip secara berdekatan?”
ucap anak ke-3, adiknya ayah. “Benar juga, mari kita rubah lagi.”

Hasil 5 bulan...

“ini sudah pasti cocok!”

„Rega Denandro Akhsa Reza Tri Azmi Denandro Sholeh Akbar Reynaldi Adinata‟

“tunggu, nama itu harus satu padu. Gak bisa kaya gini kak!” ucap adik bunda, anak ke-7.
“ya Tuhan!!! Ini anak kita. Tak usah ikut campur kedalam masalah ini!” waw, ayah marah.
Jelas. Ini hal yang melelahkan!

Hasil 6 bulan...

Tanpa basa basi, ayah bawa nama gua ke pegawai sispil untuk
diurus. Tanpa bicara pada siapapun, di hari ulang tahun gua yang ke-1 ayah
mengumumkan nama gua yang telah resmi kepada semua orang yang hadir
di acara perayaan ulang tahun gua sekaligus syukuran kelahiran dan
pemberian nama, yang sering tertunda karena nama gua yang tak kunjung
pasti.

“Putra saya yang ke-3 ini bernama...”

„Reynaldi Reza Akhsa Adinata Tri Jaenudin Akbar Sholeh Rega Dinandro Azmi Uchiha‟

Ucapan ayah begitu lantang menyebut nama gua yang segitu


panjangnya. Yah, akhirnya gua punya nama.

Sekian lama berlalu, banyak ejekan atas nama gua, banyak panggilan
atas nama gua yang seringkali berbeda, kesulitan gua menghafal nama gua
sendiri, kesulitan dalam hal identitas dan administrasi, membuat hidup gua
dan orang-orang disekitar gua merasa terbebani dengan adanya gua
ditambah gua yang sering jatuh sakit, awalnya orang tua gua ngira
penyakit gua karena gua banyak dibully dan lelah berfikir menghafal nama.
Tapi enggak.

Hingga saat gua berumur 6 tahun..

“ayah, bertahun-tahun penyakit si ganteng ga pernah bisa sembuh total ke dokter,


gimana lagi caranya biar dia sehat terus?” tanya bunda bingung. “bunda tenang saja ya,
ayah akan cari alternatif lain.” Jawab ayah meyakinkan bunda. “ayah, bagaimana kalau
kita ke dukun saja? Kita kesana saja ya ayah ya?” bujuk bunda paksa dan ayah hanya
terdiam.

Sedikit gak percaya, orang tua gua percaya hal mistis kaya gitu.
Hingga akhirnya di sebuah ruangan gelap, berbau bunga dan asap yang
menyatu, pandangan yang kabur karna kurang cahaya dan penuh asap,
sempit dan penuh bunga di lantai, meja lesehan dengan bunga dan banyak
benda aneh diatasnya, dan semua pajangan yang menyeramkan di dinding
ruangan itu.

„Selamat vdatang di Dukun Santuy.‟ Yah, gak se-santuy namanya,


dukun itu lebih heboh dibanding bayangan dukun dari lagunya bang Alam.

“tak usah katakan apa yang akan kamu katakan! Saya sudah tau.” Ucap dukun santuy itu.
“benarkah pak du..” “Ya! Dia membawa beban yang sangat berat, membawa beban yang
sangat panjang, membawa beban yang terlalu banyak.” Jawab dukun santuy memotong
ucapan bunda gua. “be... beban?” tanya ayah sembari melihat ke arahku seakan mencari
beban apa yang dimaksud.”Ya!” “Tapi kami tidak memberi dia beban berat, tas
sekolahnya saja selalu pembantu kamin yang membawakan, bajunya selalu brbahan halus
dan lembut sehingga ringan, badannya belum pernah gemuk, lalu dimana beban itu pak?”
tanya ayah gua secara jelas kebingungan. “ada di atas kertas dan di dalam dirinya.”
Jawab dukun santuy serius. “DIMANA?” tanya ayah dan bunda lebih serius. “Namanya,
itu terlalu berat, dia tak akan kuat, biar aku saja.” Jawab dukun Santuy. “Ahh” helaan
nafas ayah bunda yang lega karenanya.

Hahaha, gak percaya nama gua yang sepanjang itu bisa bikin gua
lemah. Padahal maknanya semua baik, tapi malah berdampak buruk buat
gua. Lo pernah denger ada mitos atau cerita perihal seperti itu? Atau
bahkan lo sendiri yang ngalamin? Kalau iya, kita sehati perihal „Lemah‟.
Setelah tahu apa masalahnya, ayah bunda mulai memikirkan nama lagi
untuk gua yang sudah berumur 6 tahun ini.

Dan didapatnya..

„Rega Reynaldi‟

Nama yang jelas dan singkat, pemberian dari nenek kakek gua,
nama yang diberikan oleh orang yang paling tulus saat kejadian pengusulan
nama di ruang inap VVIP 6 tahun yang lalu.

Ayah Bunda juga berfikir bahwa semua nama yang ada, tak 1
hurufpun yang keluar dari muluh mereka, atau kata lain, mereka sama
sekali tidak memberikan nama untuk anak mereka sendiri. Dan yang jadi
pilihan adalah..

“Namanya kan Rega Reynaldi, gimana kalau kita bikin nama panggilannya aja ayah?” tanya
bunda. “boleh, bunda ada masukan?” tanya ayah setuju. “ada, ayah ada?” “ada”

“RERE” ucap ayah bunda berbarengan sambil tersenyum.

Rere, singkatandari Rega Reynaldi.

Huaaaaaaah. Gua senang dan bahagia, betahun tahun gua capek


sakit sakitan. Akhirnya gua punya nama yang keren, modern, dan gagah.

Menghargai pendapat orang lain seperti yang dilakukan ayah bunda gua itu gak
salah, yang salah adalah sikap kita yang menerima dan menggunakan semua masukan
TANPA dipilah dan dipilih yang disertai dengan ketegasan. Sebegitu mudahnya kita
menerima masukan dan menjalankannya karena kita merasa „tidak enak‟ itu juga salah!

Dan yang terpenting adalah.

Hargailah Nama Kamu!


Seburuk apapun, sejadul apapun, sepanjang apapun, sesingkat apapun, seaneh
apapun dan segila apapun nama kamu. Itu pemberian pertama yang diberikan orang orang
tersayang kamu kepada kamu sebagai tanda cinta mereka dan tanda bahagia serta
syukur mereka atas anugerah tuhan yang indah, yakni kelahiran kamu.
‘Namamu, adalah Penghargaan untukmu,
karena kelahiranmu.
Selamat.
Semoga hidupmu bahagia.
Sebahagia ibumu saat melahirkanmu, dan
sebahagia ayahmu atas kelahiranmu.’

Anda mungkin juga menyukai