Anda di halaman 1dari 6

Latar belakang pertempuran 5 hari di Semarang berasal dari rangkaian beberapa peristiwa

yang telah terjadi sebelumnya, antara lain:

1. Pelarian tawanan Jepang


Pelucutan senjata Jepang kemudian dilakukan di beberapa wilayah tanpa kekerasan, tetapi di
ibukota Semarang justru terjadi kekerasan. Kido Butai atau pusat ketentaraan Jepang di
Jatingaleh Semarang tidak yakin bahwa senjata – senjata tersebut tidak akan digunakan untuk
melawan Jepang, walaupun telah dijamin oleh Mr. Wongsonegoro sebagai Gubernur.
Permintaan berulang untuk menyerahkan senjata hanya berhasil mengumpulkan senjata –
senjata yang sudah agak usang.

Pemuda Semarang dan BKR semakin curiga ketika sekutu mendaratkan pasukannya di Pulau
Jawa. Indonesia khawatir bahwa Jepang akan menyerahkan senjata kepada Sekutu dan harus
mendapatkan kesempatan menyita senjata tersebut sebelum sekutu mencapai Semarang.
Ketika tawanan  Jepang sedang dipindahkan dari Cepiring ke Bulu, mereka kabur dan
menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai.

2. Isu Peracunan Air Minum


Setelah pelarian tawanan Jepang itu, pada 14 Oktober 1945 pukul 06.30, para pemuda
diinstruksikan untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS
Purusara. Sedan dan senjata milik Kempetai disita, pada sore hari tentara Jepang yang masih
tersisa dijebloskan ke penjara Bulu. Pukul 18.00 pasukan Jepang yang bersenjata lengkap
menyerang mendadak dan melucuti delapan anggota polisi istimewa yang sedang menjaga
sumber air minum bagi warga kota di Candilama yaitu Reservoir Siranda. Kedelapan anggota
polisi dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh, dan tersiar kabar bahwa tentara Jepang
sudah meracuni sumber air minum tersebut sehingga rakyat menjadi gelisah. Cadangan air di
Candi, desa Wungkal adalah satu – satunya sumber air di Semarang pada waktu itu.

3. Tewasnya dr. Kariadi


Setelah berita tersebut tersiar, dr. Kariadi sebagai Kepala Laboratorium RS Purusara dan
berniat untuk memastikan kabar tersebut. Ia kemudian pergi kesana dalam situasi yang sangat
berbahaya karena Jepang telah menyerang beberapa tempat termasuk rute menuju reservoir.
Istrinya drg. Soenarti mencoba mencegah namun tidak berhasil. Dalam perjalanan menuju
reservoir, mobil dr. Kariadi dicegat oleh tentara Jepang di Jalan Pandanaran dan ia ditembak
bersama tentara pelajar yang menjadi supirnya. Dr. Kariadi dibawa ke rumah sakit sekitar
pukul 23.30 WIB, tetapi nyawanya tidak dapat diselamatkan dan gugur dalam usia 40 tahun
lebih satu bulan. Gugurnya dr. Kariadi turut menjadi salah satu latar belakang pertempuran 5
hari di Semarang.

Jalannya Pertempuran 5 Hari Di Semarang

Latar belakang pertempuran 5 hari di Semarang dimulai menjelang hari Minggu malam
tanggal 15 Oktober 1945. Pada saat itu kondisi kota Semarang sangat mencekam terutama di
area yang terdapat pos BKR dan para pemuda. Pasukan Pemuda yang terdiri dari beberapa
kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan
masih banyak lagi juga telah bersiaga. Markas Jepang dibantu oleh pasukan sebanyak 675
orang, yang sedang singgah ke Semarang untuk menambah logistik dalam perjalanannya dari
Irian ke Jakarta. Pasukan tempur Jepang ini berpengalaman di medan perang Irian. Dengan
demikian kondisinya sangat kontras dari para pejuang Indonesia yang lebih berpengalaman
bertempur jika dibandingkan dengan Jepang yang persenjataannya lebih lengkap. Pasukan
para pemuda belum pernah bertempur, jarang mendapatkan pelatihan militer kecuali pasukan
Polisi Istimewa, anggota BKR dan eks PETA, serta hampir tidak bersenjata.

Pada tanggal 15 Oktober 1945 pukul 03.00 pasukan Kidobutai melancarkan serangan
mendadak ke markas BKR Semarang. Markas tersebut menempati kompleks bekas sekolah
MULO di Mugas, belakang bekas pom bensin Pandanaran. Dari sebuah bukit rendah di
belakang markas itulah tiba – tiba pasukan Kidobutai menyerang dari dua arah menggunakan
tembakan pelempar granat dan senapan mesin. Pasukan itu diperkirakan berjumlah 400
orang. Setelah melawan selama setengah jam, pemimpin BKR kemudian mengundurkan diri
dan meninggalkan markas untuk menghindari kepungan tentara Jepang.

Mereka bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan para pemuda dari Pati, lalu
mengadakan serangan balasan yang sengit kepada Jepang yang telah menguasai berbagai
tempat penting dalam kota. Pasukan kita menggunakan taktik gerilya kota untuk menghindari
pertempuran terbuka, dengan serangan tiba – tiba dan menghilang juga secara tiba – tiba.
Berkat taktik tersebut serangan kepada Jepang selalu bergantian dan bergelombang, sehingga
tidak dapat diprediksi dan menyulitkan Jepang untuk menguasai kota. Sekitar 2000 tentara
Jepang diperkirakan terlibat dalam latar belakang pertempuran 5 hari di Semarang tersebut
menggunakan senjata – senjata modern. Pertempuran paling sering terjadi di Simpang Lima,
lokasi monumen Tugu Muda saat ini yang juga berkaitan dengan sejarah Lawang
Sewu sebagai saksi bisu pertempuran da salah satu bangunan bersejarah di Semarang yang
masih berdiri hingga sekarang.
Puluhan pemuda yang terkepung mengalami pembantaian kejam oleh pasukan Kidobutai.
Pasukan PMI juga tidak dapat bergerak leluasa untuk mengevakuasi mayat dan korban luka.
Namun bala bantuan untuk pemuda kita juga terus berdatangan dari area sekitar Semarang.
BKR juga berhasil mengadakan konsolidasi untuk mendapatkan bantuan dari wilayah Jawa
Tengah lainnya, dan membuat keadaan berbalik menyudutkan untuk Jepang. Jepang
kemudian meminta Mr. Wongsonegoro untuk menghentikan pertempuran. Gencatan senjata
kemudian disetujui untuk mencegah lebih banyak lagi korban di pihak Indonesia dan
mempersiapkan diri untuk kedatangan tentara sekutu. Walaupun para pemuda masih ingin
menuntut balas, namun kedatangan sekutu di Semarang pada 19 Oktober 1945 mengakhiri
latar belakang pertempurandi Semarang.

Pembangunan Tugu Muda

Latar belakang pertempuran 5 hari di Semarang mengilhami pendirian sebuah tugu untuk
mengenang peristiwa tersebut sebagai salah satu monumen di Indonesia. Peletakan batu
pertama dilakukan pada tanggal 28 Oktober 1945 oleh Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jateng
pada saat itu. Semula lokasi direncanakan di dekat alun – alun Semarang, namun karena
perang melawan sekutu dan Jepang pada November 1945 maka proyek ini tidak terurus. Pada
tahun 1949 ide pembangunan kembali dicetuskan oleh Badan Koordinasi Pemuda Indonesia
(BKPI) tetapi belum dapat terlaksana karena masalah dana.
Pada tahun 1951, Hadi Soebeno Sosro Woedoyo sebagai walikota Semarang membentuk
Panitia Tugu Muda dan mengalihkan rencana pembangunan pada lokasi pertempuran lima
hari yaitu pada pertemuan jalan Pemuda, jalan Imam Bonjol, jalan dr.Sutomo dan jalan
Pandanaran dengan gedung Lawang Sewu. Batu pertama kemudian diletakkan para 10
November 1951 oleh Gubernur Jateng saat itu, Boediono. Peresmian Tugu Muda dilakukan
pada 20 Mei 1953 bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Latar belakang terjadinya pertempuran Surabaya yang merupakan salah
satu pertempuran fisik untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu
sebagai berikut :

 Keinginan sekutu untuk melucuti senjata tentara Jepang.

Saat Jepang menyerah kepada sekutu, seluruh daerah jajahan Jepang


akan didatangi oleh sekutu untuk memohon perijinan melucuti senjata para
tentara Jepang dan membebaskan tawanan tentara sekutu yang
tertangkap saat perang. Keinginan ini tidak dipermasalahkan oleh Bangsa
Indonesia.

 Insiden Hotel Yamato

Sekitar Bulan September 1945, Belanda menaikkan bendera merah-putih-


biru (bendera kebangsaan Belanda) di atas Hotel Yamato. Hal ini membuat
pemuda Surabaya marah dan menyobek bagian biru, hingga tersisa merah
dan putih.

 Sekutu mengingkari janji dengan mengadakan gencatan senjata.

Tujuan sekutu mulai tidak bisa diterima lagi lagi oleh rakyat Surabaya dan
keberadaannya berubah menjadi ancaman setelah sekutu mengadakan
gencatan senjata di Jembatan Merah yang mengakibatkan rakyat
Surabaya melawan dan terbunuhnya Brigjen A.W.S Mallaby (pihak sekutu).

 Terbunuhnya Brigjen Mallaby (Pihak Sekutu)

Terbunuhnya Brigjen Mallaby ini membuat tentara sekutu marah.

 Dikeluarkannya ultimatum oleh sekutu untuk menyerah tanpa syarat.

Ultimatum ini dikeluarkan oleh Mayor Jenderal Mansergh atas


meninggalnya Brigadir Jenderal Mallaby yang dimana rakyat Indonesia di
Surabaya harus menyerah tanpa syarat sebelum pukul 06.00 tanggal 10
November 1945.
Latar Belakang Pertempuran Ambarawa

Pasukan Sekutu mendarat di kota Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pasukan Sekutu
tersebut membebaskan tawanan perang yang berada di Ambarawa dan Magelang. Namun,
pasukan tersebut malah mempersenjatai tawanan yang sudah dibebaskan. Selain
membebaskan tawanan perang yang berada di Ambarawa dan Magelang, Sekutu datang ke
Indonesia untuk (1) Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang; (2) Melucuti &
mengumpulkan orang Jepang untuk dipulangkan; (3) Menegakkan & mempertahankan
keadaan damai untuk diserahkan kepada pemerintah sipil; dan (4) Menghimpun keterangan
mengenai & menuntut penjahat perang.

Pasukan yang dibebaskan adalah tawanan perang dari Eropa. Pembebasan dan pesenjataan
tawanan menyebabkan beberapa insiden pada tanggal 26 Oktober. Insiden tersebut terjadi
antara pasukan Sekutu dan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebelum pertempuran
Ambarawa.

Insiden yang terjadi sebelum pertempuran Ambarawa dapat diakhiri setelah pemimpin kedua
belah pihak melakukan sebuah perjanjian. Pertemuan berlangsung di Magelang pada 2
November 1945 antara kedua tokoh, yakni Ir. Soekarno dari Republik Indonesia dan Brigadir
Jenderal Bethell dari Sekutu. Kesepakatan yang berhasil dicapai pada pertemuan tersebut
adalah:

1. Pembebasan lalu lintas di sepanjang jalan Ambarawa-Magelang baik bagi pihak Indonesia
ataupun Sekutu.
2. Pihak Sekutu tetap akan menempatkan pasukan di kota Magelang. Hal ini memiliki tujuan
untuk mengurus evakuasi dan melindungi pasukan Sekutu yang menjadi tawanan saat
penjajahan Jepang.
3. Pihak Sekutu bersepakat untuk tidak mengakui aktivitas badan-badan yang dibawanya,
termasuk pasukan NICA.
4. Dilakukannya pembatasan atas jumlah pasukan dari pihak Sekutu.
Akan tetapi, Sekutu melanggar perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Pertempuran pun akhirnya pecah pada tanggal 20 November 1945. Pertempuran berlangsung
antara pasukan Tentara Keamanan Rakyat yang dipimpin oleh Mayor Sumarto dengan
pasukan dari pihak Sekutu.

Selanjutnya, pada 21 November 1945, Sekutu melakukan penarikan pasukan yang berada di
Magelang menuju ke Ambarawa. Pasukan tersebut ikut bergabung dalam pertempuran
Ambarawa di bawah perlindungan pesawat tempur milik Belanda.
Latar belakang pertempuran Medan Area, antara lain:
1. Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana
merah putih.
2. Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
3. Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan memasang
papan pembatas yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi
Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan.
4. Ultimatum agar pemuda Medan menyerahkan senjata kepada Sekutu.
Latar belakang[sunting | sunting sumber]
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar
semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR, diserahkan kepada mereka.
Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-
tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris
dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan
perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara,
termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari
kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung
Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat
itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para
pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu
dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan
perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan
memerintahkan evakuasi Kota Bandung. [butuh rujukan] Hari itu juga, rombongan besar penduduk
Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota
berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam
mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang
sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di
Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik
Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI
(Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut.
Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu
meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota
Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka
pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat
itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api
masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan
kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI
bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan
akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu
untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

Anda mungkin juga menyukai