Anda di halaman 1dari 4

LAPORAN SEJARAH

Nama: -
Kelas/Absen: -
Alamat: -

A. Pembahasan
Pertempuran Lima Hari adalah perang yang terjadi pada tanggal 15–19 Oktober 1945 antara
rakyat Indonesia dan tentara Jepang di Semarang, tepatnya pada masa transisi kekuasaan ke
Belanda. Terdapat beberapa kejadian yang melatarbelakangi dimulainya Pertempuran Lima
Hari. Setelah pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6–9 Agustus 1945,
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, memungkinkan Indonesia untuk
memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Saat itu, sebagian tentara Jepang
yang masih berada di Indonesia dipekerjakan di pabrik-pabrik atau sektor lain.

1. Kronologi Kejadian
 Pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu. Namun,
tawanan tersebut berhasil kabur dan bergabung dengan pasukan Kidō Butai (prajurit
yang ditarik mundur dari medan pertempuran Asia Pasifik) sebanyak 2000 orang yang
dipimpin Jenderal Nakamura dan Mayor Kido.
 Pada 14 Oktober 1945, tepatnya pukul 06.30 WIB, para pemuda mendapat instruksi
untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka
menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Pukul 09.00 WIB, para
pemuda dipimpin Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah, mendatangi markas
Kido Butai di Jatingaleh bersama ratusan pemuda untuk meminta penyerahan senjata
Jepang. Mayor Kido lalu memberikan persenjataan rusak agar tak terjadi pertikaian.
Sekembalinya di Markas Angkatan Muda di Jalan Pemuda 88/89, para pemuda
menyadari penipuan si mayor. Mereka lalu memutuskan untuk melakukan perlawanan
lebih lanjut dan berdiskusi di aula RS Purusara yang dijadikan sebagai markas
perjuangan. Sore harinya, para pemuda menyiksa, menangkap, dan menjebloskan
tentara Jepang ke Penjara Bulu. Selanjutnya, sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang
bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan
anggota polisi istimewa yang sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota
Semarang, Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu
disiksa dan dibawa ke markas Kidō Butai di Jatingaleh.
 Tersiarlah kabar bahwa tentara Jepang meracuni reservoir tersebut sehingga rakyat
menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, Desa Wungkal, adalah satu-satunya sumber
mata air di kota Semarang pada masa itu. Selepas Maghrib, pimpinan RS Purusara
menelepon dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Malaria, untuk memastikan kebenaran
kabar tersebut. Situasi saat itu sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan
serangan di beberapa tempat, termasuk jalan menuju ke Reservoir Siranda. Istri dr.
Kariadi, drg. Soenarti, juga mencoba mencegah suaminya, namun dr. Kariadi tidak
segan untuk pergi demi keselamatan warga. Di Jalan Pandanaran, mobil yang
ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang. Bersama tentara pelajar yang menyupiri
mobil, dr. Kariadi diberondong dengan peluru.
 Larinya para tawanan Jepang dan tewasnya dr. Kariadi menyebabkan rakyat marah.
Pada tanggal 15 Oktober 1945, Mayor Kido bersama ribuan tentara Jepang datang dan
menyerang pusat kota Semarang, mengakibatkan peperangan dengan Angkatan Muda
Semarang. Perang pun terjadi di empat titik di Semarang, yaitu daerah Kintelan,
Pandanaran, Jombang, dan Simpang Lima. Pukul 14.00 WIB, Mayor Kido memerintah
anak buahnya untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Indonesia. Rakyat
Indonesia kemudian membakar gudang amunisi Jepang. Alhasil, Mayor Kido
memerintahkan serangan balik sekitar pukul 15.00 WIB dan membagi pasukannya
menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 383 dan 94 orang. Mayor Kido
selanjutnya mengerahkan semua anggotanya untuk menyerang wilayah sekitar.
Mengetahui serangan tersebut, Tentara Keamanan Rakyat mengirim bala bantuan ke
Kota Semarang. Pertempuran antara Jepang dan rakyat Indonesia di Semarang pun terus
berlangsung. Beberapa tokoh yang berperan dalam pertempuran antara lain Budancho
Moenadi, Sayuto, Domo Mulyadi, Huri Prasetyo, dan Warno Keling.
 Tanggal 16 Oktober 1945, pasukan Jepang berhasil merebut penjara Bulu sekitar pukul
16.30 WIB.
 Pada tanggal 17 Oktober 1945, tentara Jepang sempat mengumumkan genjatan senjata,
tetapi justru melakukan serangan ke berbagai kampung di Semarang. Di Pedurungan,
warga Semarang, terutama dari Mranggen dan Genuk, memindahkan para tawanan yang
menjadi sandera. Akan tetapi, karena janji Jepang untuk mundur tidak dipenuhi, 75
sandera dibunuh dan perang pun berlanjut hingga tanggal 19 Oktober 2020 sepanjang
radius 10 km dari Tugu Muda.
 Pertempuran itu berhenti ketika Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro dan Pemimpin
TKR Kasman Singodimedjo berunding dengan Komandan Tentara Jepang Letkol
Nomura. Brigadir Jenderal Bethel dan Sekutu ikut berunding pada tanggal 20 Oktober
1945, menyebabkan proses gencatan senjata dipercepat. Pasukan Sekutu kemudian
melucuti senjata dan menawan para tentara Jepang.

2. Dampak
Sebagai peringatan Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun monumen peringatan
Tugu Muda pada tanggal 10 November 1950 di pertemuan antara Jl. Pemuda, Jl. Imam
Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan Lawang Sewu. Monumen tersebut
didesain oleh Salim, didekorasi oleh seniman Hendro, dan diresmikan oleh Ir. Soekarno
pada tanggal 20 Mei 1953, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Tak
hanya Tugu Muda, dibangun juga Monumen Ketenangan Jiwa atau Chinkon no Hi yang
berupa sebongkah batu dengan aksara Jepang yang dipahat di tepi muara sungai Banjir
Kanal Barat. Monumen tersebut didirikan tanggal 14 Oktober 1998 dan diresmikan
walikota Semarang, Soetrisno Soeharto. Selain pembangunan monumen, nama dr. Kariadi
diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang, yakni RSUP Dr. Kariadi.

Tugu Muda Chinkon no Hi RSUP Dr. Kariadi


Korban yang gugur pada Pertempuran Lima Hari Semarang diperkirakan mencapai
2.000 orang. Namun, ada versi lain yang menyatakan bahwa korban berjumlah kurang dari
300 orang. Seorang sejarawan Jepang, Ken'ichi Goto, menuliskan bahwa 187 orang tewas
dalam pertempuran, sementara Mayor Kido melaporkan bahwa 42 tentara tewas, 43 terluka,
dan 213 hilang.

B. Pernyataan Saksi dan Kesan


1. Kesaksian Warga
 Kisah Werdiniyati Soedardjo dan putrinya, Sih Wahyu Nur Hastanti
Werdiniyati adalah seorang pejuang dalam Pertempuran Lima Hari. Sejak berusia 13
tahun, beliau sudah membawakan senjata untuk kakaknya yang disembunyikan dalam
bakul bertutup sayuran. Dulu, beliau berjalan kaki dari Jatingaleh ke Tugu Muda sambil
berpura-pura mencari rumput untuk menghindari pemeriksaan tentara Jepang. Di
kawasan Tugu Muda, Werdiniyati menyaksikan pembantaian rakyat. Kakak beliau juga
turut dibunuh Jepang.

Ibu Werdiniyati Soedardjo dan Gubernur Ganjar Pranowo


 Pernyataan Jongkie Tio dan Aoki Masafumi
Korban yang jatuh saat Pertempuran Lima Hari tidak hanya orang Indonesia,
melainkan juga warga sipil Jepang yang sebenarnya ingin kembali ke negara asal
mereka. Jongkie Tio, seorang Sejarawan Semarang, menyatakan dirinya pernah
mendengar cerita saksi langsung Pertempuran Lima Hari dan bertemu Aoki Masafumi,
penggagas Monumen Ketenangan Jiwa dan perwira Jepang. Beliau menuliskan kisah
singkat warga bangsanya yang mengakui kemerdekaan Indonesia namun tidak lolos dari
pertempuran. Ada setidaknya 150 orang yang tewas ketika ditawan di Penjara Bulu,
juga para pegawai yang tinggal di Weleri, Kabupaten Kendal. Saat pertempuran pecah,
mereka berusaha menyelamatkan diri dengan berjalan kaki menuju Jatingaleh, pusat
tentara Jepang, namun malah dihadang dan ditangkap pemuda Semarang.

Sejarawan Semarang, Jongkie Tio


Sumber:
https://id.wikipedia.org
https://www.suaramerdeka.com
https://www.kompas.com
https://jateng.inews.id
https://jatengprov.go.id
https://news.detik.com
Wawancara bersama orang tua

Anda mungkin juga menyukai