Anda di halaman 1dari 14

BELA NEGARA

PERTEMPURAN LIMA HARI DI SEMARANG


&
PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945

TUGAS PPKN
KELOMPOK 1

1. ALIFIA NOOR OCTAVIANY


2. FIRLY AZZAHRA NURYANA
3. HABIB ILYAS ATILA
4. RAIHAN JANUARI

SMPN 1 MAJALAYA

2019
Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pertempuran Lima Hari di Semarang adalah serangkaian pertempuran rakyat
Indonesia dalam mempertahankan status kemerdekaan NKRI. Pertempuran ini terjadi antara
warga Semarang melawan tentara Jepang yang meletus pada 15 Oktober 1945 dan berakhir
pada 20 Oktober 1945. Karena lamanya pertempuran selama lima hari maka pertempuran ini
diberi nama "Pertempuran Lima Hari di Semarang"
Tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam Pertempuran 5 Hari di Semarang :

1. Mr. Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah waktu itu (dia sempat ditahan
tentara Jepang)

2. Dr. Karyadi selaku Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara

3. Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Tokoh indonesia (ditangkap tentara Jepang bersama
dengan Mr. Wongsonegoro)

4. Mayor Kido pimpinan Kido Butai yang memiliki sebuah markas di Jalan Jatingaleh

5. Drg. Sunarti. Sesosok wanita gigih (isteri Dr. Karyadi)

6. Jendral Nakamura, Sosok Jendral dari Jepang yang berhasil ditangkap oleh TKR di
Magelang.

Sejarah Pertempuran 5 Hari di Semarang

Berita Proklamasi yang telah dikumandangkan di Jakarta, akhirnya terdengar juga


sampai kora Semarang. Sebagaimana telah terjadi pelucutan senjata tentara Jepang di
beberapa kota di Indonesia. Pemuda Semarang pun mengikuti langkah yang sama dengan
melakukan pelucutan senjata tentara Jepang yang dipimpin Mayor Kido yang kala itu
bermarkas di Jatingaleh.
Pada tanggal 13 Oktober 1945, suasana semakin mencekam dan tentara Jepang pun
merasa semakin terdesak. Pada tanggal 14 Oktober 1945 Mayor Kido melakukan tendakan
yang nekat, dengan menolak secara tegas penyerahan senjata. 

Tindakan yang dilakukan Mayor Kido ini ternyata menyulut amarah Pemuda
Semarang, mereka pun langsung bergerak menjadikan aula rumah sakit Purusara sebagai
markas pejuang, ternyata pergerakan pemuda Semarang mendapat sambutan dari para
pemuda yang ada di rumah sakit tersebut.. Para pemuda saling bahu-membahu menghadapi
tentara Jepang dengan menggunakan taktik perang gerilya.

Pada tanggal 14 Oktober 1945 tepatnya jam 06.30 WIB, Para pemuda rumah sakit
mendapat intruksi guna mencegat semua kendaraan Tentara Jepang yang melewati area
Rumah Sakit Purusara. Pemuda berhasil menyita Mobil Sedan milik Kompetai dan melucuti
senjata. Pada sore harinya, tanpa mengenal lelah para pemuda pun aktif mencari tentara
Jepang dan menjeblokan mereka ke Penjara Bulu.Sekitar pukul 18.00 tentara Jepang
melakukan serangan balasan secara mendadak dan melucuti delapan anggota Polisi Istimewa
yang waktu itu menjaga sumber air minum warga semarang "Reservoir Siranda".

Tentara Jepang pun menangkap kedelapan anggota Polisi Istimewa dan melakukan
penyiksaan dengan membawanya ke Markas Kido Butai di Jatingaleh. Pada waktu yang sama
tersiar kabar tentara jepang telah menebar racun di Sumber air "Reservoir Siranda".

Selepas Maghrib, Dr Kariadi mendapat telepon dari Pimpinan RS. Purusara yang
memerintahkan agar beliau memeriksa Reservoir Siranda. Karena sudah tersiar kabar sumber
air tersebut diracuni Tentara Jepang. Dr. Kariadi pun bergegas pergi menuju ke sumber air
minum warga Semarang tersebut, tanpai menghiraukan keselamatannya, karena pada waktu
yang sama tentara Jepang gencar melakukan serangan dibeberapa tempat di Semarang dan
salah satunya tempat menuju Reservoir yang akan di teliti Dr Kariadi.

Isteri Dr. Kariada yang bernama drg. Sunarti mencoba menahan beliau karena
keadaan yang sedang genting diluar. Akan tetapi Dr. Kariadi bertekat bulat guna memeriksa
Reservoir Siranda, karena menyangkut nyawa banyak orang. Mendengar alasan ini drg
Sunarti tidak bisa berbuat apa-apa.

Akhirnya Dr. Kariadi berangkat menuju Reservoir Siranda guna memastikan berita
bahwa tentara Jepang telah merauni sumber air minum tersebut, belum sampai di lokasi,
tepatnya di jalan Pandanaran, mobil yang ditumpangi Dr. Kariadi dihadang tentara Jepang,
dan bilau ditembaki secara keci oleh Jepang, walau sempat dibawa ke rumah sakit, nyawa Dr.
Kariadi tidak tertolong, karena lukanya yang terlalu parah.

Kejadian kematian Dr. Kariadi yang dibunuh tentara jepang inilah yang menjadi
penyulut amarah Pemuda Semarang. 

Pada tanggal 15 Oktober 1945 sekitar pukul 03.00 WIB, Mayor Kido memerintahkan
1.000 tentara Jepang untuk melakukan penyerangan ke Pusat Kota Semarang. Sementara itu
berita Gugurnya Dr. Kariadi yang beredar dengan cepat sehingga menyulut amarah seluruh
warga Semarang, hari berikutnya peperangan pun semakin meluas ke penjuru kota.

Pada tanggal 17 Oktober 1945, tentara Jepang mengumumkan Genjatan Senjata,


namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung. 

Pada tanggal 19 Oktober 1945, pertempuran sengit terus terjadi di seluruh penjuru
kota Semarang. Pertempuran ini sendiri berlangsung Hingga 5 hari yang memakan korban
2.000 jiwa warga Semarang dan 850 tentara Jepang.

Untuk memperingati Semangat Perjuangan Para Pemuda dan Pejuang kota Semaang
maka dibangunlah sebuah Monumen bernama "Tugu Muda". Monumen tugu ini dibangun
pada tanggal 10 November 1950 dan diresmikan oleh Presiden RI Ir. Sukarno pada tanggal
20 Mei 1953.

Ada beberapa faktor yang telah menyebabkan mereka akhirnya melawan pihak
Indonesia, yaitu:

1. Mereka merasa terikat oleh perintah tentara Sekutu untuk mempertahankan status quo
di daerah-daerah yang mereka duduki, dengan disertai ancaman hukuman bila hal itu
tidak mereka laksanakan.

2. Para pemuda pejuang itu kurang pandai memanfaatkan kelemahan psikologis tentara
Jepang yang telah patah semangat untuk menyerah kepada Indonesia dengan jaminan
fisik keselamatan. Sering terjadi, rakyat Indonesia pada waktu itu sudah sangat
membenci Jepang, sehingga mereka langsung menyerang pasukan Jepang yang sudah
sangat terjepit itu. Padahal, sesungguhnya mereka bersedia menyerah kepada pihak
Indonesia.

3. Sering pula terjadi kedua belah pihak, baik tentara Jepang maupun tentara pejuang,
terbawa emosi dan mudah terpancing. Satu letusan kecil senjata yang tidak disengaja
saja akan dapat menimbulkan kemarahan dan berakhir dengan pertempuran hebat
yang menimbulkan banyak korban.

Pertempuran 5 hari di Semarang penyebabnya adalah faktor ketiga tersebut. Peristiwa


itu dimulai ketika muncul berita bahwa akan ada penyerahan senjata oleh para petugas
pemerintah Jepang, dan para pemuda pejuang beserta BKR akan mengambil alihnya.
Sebagian senjata telah dapat dikumpulkan dan kemudian dipindahkan ke suatu tempat di
gedung sekolah di lereng bukit bernama Bergota. Tetapi ketika pimpinan BKR Laut
Semarang dan pemerintah RI setempat bersama para pemuda pejuang berusaha menghubungi
tentara Jepang  Kidoo Butai di Jatingaleh untuk menyerahkan senjata yang masih mereka
kuasai, sikap militer Jepang di sana tidak kooperatif. Keadaan pun menjadi panas.

Ditambah lagi dengan adanya peristiwa perobekan bendera Nasional Merah Putih
oleh seorang tentara Jepang, membuat amarah rakyat tak terkendali lagi. Penguasa Jepang
tahu bahwa para pemuda pejuang sangat berapi-api untuk melawan, sehingga bukannya
mereka menyerahkan senjata tetapi malah memerintahkan Kidoo Butai, pasukan istimewa
Jepang di Jatingaleh itu, untuk turun bergerak ke utara menguasai kembali kota Semarang
dan berusaha merebut kembali senjata yang telah dikuasai BKR dan para pemuda pejuang.

Jadi, bergeraknya pasukan Kidoo Butai telah memicu meletusnya pertempuran 5 hari
di Semarang, yang berlangsung dari 14 s/d 19 Oktober 1945. Pertempuran itu berlangsung
begitu sengit, sehingga menimbulkan korban jiwa tidak sedikit dari kedua belah pihak.
Sejumlah catatan menyebutkan, lebih kurang 2.000 jiwa pemuda pejuang dan rakyat
Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut. Sedangkan dari pihak tentara Jepang tidak
kurang dari 1.000 anggota tentaranya tewas terbunuh. Dengan gigih semua unsur TKR
Semarang, termasuk TKR Laut, beserta seluruh tenaga Laskar Rakyat Semarang, bahu-
membahu menghadapi serangan tentara Jepang dalam pertempuran yang fenomenal itu.

Begitu pertempuran 5 hari di Semarang ini mereda, mendaratlah di pantai Semarang


tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Belanda, Australia, Gurkha, dan Sikh. Dengan
demikian pada 21 Oktober 1945 berkecamuk lagi pertempuran dahsyat antara TKR dan
pemuda-pemuda yang tergabung dalam organisasi perlawanan Indonesia melawan tentara
Sekutu.
Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar yang terjadi pasca
kemerdekaan Republik Indonesia. Pertempuran antara pasukan Indonesia melawan pasukan
sekutu, tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu perebutan
kekuasaan dan senjata tentara Jepang. Perebutan senjata telah dimulai sejak tanggal 2
September 1945. Pada akhirnya perebutan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan, yang
berubah menjadi situasi revolusi yang menegangkan.

Kedatangan Sekutu di Surabaya

Pasca proklamasi kemerdekaan, para pemuda Surabaya berhasil memperoleh senjata


dari tentara Jepang. Selain itu, gerakan pemuda juga diorganisir sedemikian rupa, sehingga
mereka siap menghadapi berbagai ancaman yang datang dari mana pun.

Pada tanggal 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 Sekutu yang berkekuatan
sekitar 5.000 tentara mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Aulbertin Walter
Sothern Mallaby. Setibanya di Surabaya, mereka segera masuk ke dalam kota dan mendirikan
pos pertahanan di delapan tempat.

Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai
rakyat, namun karena memperoleh tetangan keras dari pemimpin Indonesia di Surabaya,
akhirnya mereka mengalah.

Tanggal 26 Oktober 1945, dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan


Brigadir Mallaby, yang isinya antara lain:

1. Yang dilucuiti senjata-senjatanya hanya Tentara Jepang.


2. Tentara Inggris selaku wakil sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan
keamanan dan perdamaian.
3. Setelah semua senjata Tentara Jepang dilucuti, mereka akan diangkut melalui laut.

Meskipun kesepakatan baru saja tercapai, Sekutu justru mengingkarinya. Pada malam
hari tanggal 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang penjara Kalisolok. Tentara Sekutu
membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta beberapa tentara Belanda
yang ditawan pasukan Indonesia.

Pada tanggal 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota melintas dari
Jakarta, atas perintah Mayjen Hawthorn pesawat itu menyebarkan pamflet yan isinya adalah
perintah penyerahan senjata yang dimiliki rakyat Indonesia kepada Tentara Sekutu.
Dalam waktu 2×24 jam seluruh senjata harus sudah diserahkan, dan bagi yang masih
membawa senjata melewati batas waktu itu akan ditembak di tempat. Hal ini jelas
bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya, yang telah disetujui Mallaby.

Dikabarkan Mallaby sempat terkejut dengan adanya pamflet tersebut, tetapi ia tetap
mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta, dan segera memerintahkan pasukannya untuk
melucuti senjata rakyat Surabaya. Rakyat Surabaya menilai pihak Inggris telah melanggar
perjanjian. Akhirnya, pimpinan militer di Surabaya memberikan perintah untuk menyerbu
seluruh pos pertahanan Inggris.

Pada saat yang hampir bersamaan para pemimpin Nahdlatul Ulama dan Masyumi
menyatakan bahwa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah Perang Sabil,
maka suatu kewajiban yang melekat pada semua muslim. Para Kyai dan santri kemudian
mulai bergerak dari pesantren-pesantren di Jawa Timur menuju ke Surabaya.

Rakyat Surabaya Menyerbu Sekutu

Serangan total dilakukan tanggal 28 Oktober 1945, pukul 04.30 pagi. Delapan pos
pertahanan Sekutu diserbu sekitar 30.000 rakyat bersenjata api, dan ditambah sekitar 100.000
rakyat bersenjata tajam. Setelah digempur secara total, tentara Sekutu yang tidak siap
bertempur, mengibarkan bendera putih dan memohon untuk berunding.

Tercatat korban pertempuran yang berlangsung tanggal 28-29 Oktober, Inggris


mencatat 18 perwira dan 374 serdadu tewas, luka-luka, dan hilang. Sementara di pihak
Indonesia, sekitar 6000 orang tewas, luka-luka, dan hilang. Kapten R. C Smith  menulis,
Mallaby saat itu menyadari apabila petempuran dilanjutkan mereka akan disapu bersih.

Dalam posisi yang terdesak Inggris menghubungi pimpinan Indonesia di Jakarta.


Mereka sadar, tidak ada jalan lain selain meminta bantuan pimpinan Indonesia di Jakarta,
untuk menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung.

Sore hari tanggal 29 Oktober, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan
Menteri Penerangan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer
Inggris. Hari itu juga Presiden bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai
kesepakatan yang tertuang dalam Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident: a
provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadie
Mallaby, Concluded on the 29 October 1945.
Mengenai hal lain dirundingkan dengan Mayjen Hawthorn, yang datang ke Surabaya
pada tanggal 30 Oktober. Berikut beberapa hasil kesepakatan yang diperoleh pada tanggal 30
Oktober, antara pemimpin Indonesia dan pemimpin pasukan Sekutu di Indonesia:

1. Pamflet yang ditanda tangani Mayjen Hawthorn dinyatakan tidak berlaku.


2. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan polisi diakui oleh sekutu.
3. Seluruh kota Surabaya tidak dijaga lagi oleh Sekutu, kecuali kamp-kamp tawanan
dijaga tentara Sekutu bersama TKR.
4. Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga bersama TKR, polisi, dan tentara Sekutu
untuk menyelesaikan tugas menerima obat-obatan untuk tawanan perang.

Hasil perundingan untuk menyelamatkan pasukan Mallaby dari kekalahan total


dipertegas oleh menteri penerangan sebagai berikut:

1. Pembentukan suatu Kontak Biro yang terdiri dari unsur pemerintah RI di Surabaya
bersama-sama tentara Inggris.
2. Daerah pelabuhan dijaga bersama, yang ditentukan kedudukan masing-masing oleh
Kontak Biro.
3. Daerah Darmo, daerah kamp interniran orang-orang Eropa dijaga oleh sekutu.
Hubungan antara daerah Darmo dan pelabuhan Tanjung Perak diamankan, untuk
mempercepat proses pemindahan tawanan.
4. Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.

Pada perundingan itu juga disepakati nama-nama anggota Kontak Biro dari kedua
belah pihak. Dari Inggris ada 5 orang (Brigjen Mallaby, Kolonel L. H.O Pugh, Wing
Commander Groom, Mayor M. Hudson, dan Kapten H. Shaw). Dari pihak Indonesia 9
perwakilan (Residen Sudirman, Doel Arnowo, Atmaji, Mohammad, Soengkono, Soeyono,
Koesnandar, Roeslan Abdulgani, dan T. D Kundan selaku juru bahasa).  Pasca tercapainya
kesepakatan Presiden Soekarno beserta rombongan kembali ke Jakarta pada pukul 13.00.

Tewasnya Mallaby

Pasca Presiden dan rombongan kembali ke Jakarta, di beberapa tempat masih terjadi
pertempuran, sekali pun sudah diumumkan genjatan senjata. Untuk menghentikan
pertempuran, para anggota Kontak Biro dari kedua belah pihak mulai mendatangi lokasi-
lokasi yang masih terjadi pertempuran.

Pada pukul 17.00, tanggal 30 Oktober, seluruh anggota Kontak Biro pergi bersama-
sama menuju satu lokasi pertempuran. Tempat terakhir ini adalah Gedung Bank Internatio di
Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih
mengepungnya.

Setibanya di lokasi pertempuran, pemuda-pemuda menuntut supaya pasukan Mallaby


menyerah. Mallaby tidak bisa menerima tuntutan itu. Setelah penolakan tersebut, terjadi
insiden baku tembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby, Komadan Brigade 49 di
Surabaya. Inggris menyalahkan pihak Indonesia yang telah melanggar gencatan senjata dan
membunuh Mallaby.

Mobil Mallaby terbakar terkena ledakan granat

Dari berbagai kesaksian mantan perwira Inggris di tempat kejadian, ternyata yang
memulai tembakan adalah pihak Inggris, sesuai kesaksian Mayor Gopal tahun 1974.
Penyebab tewasnya Mallaby sendiri masih menjadi misteri. Ada yang mengatakan tertusuk
bayonet dan bambu runcing pemuda, namun berdasarkan surat dari Kapten Smith kepada
Parrot tahun 1973-1974, kemungkinan besar Mallaby terbunuh karena ledakan granat yang
dilempar pengawalnya sendiri.

Reaksi Sekutu Pasca Terbunuhnya Mallaby

Pasca tewasnya Mallaby, baik Letnan Jenderal Christison, panglima AFNEI atau pun
Mayor Jenderal Mansergh menyatakan, pihak Indonesia telah melanggar genjatan senjata dan
secara licik membunuh Brigjend Mallaby. Dengan tuduhan tersebut, Inggris memperoleh
alasan untuk memenuhi perjanjiannya dengan Belanda, yaitu membersihkan kekuatan
bersenjata Indonesia.

Pihak Inggris menuntut pertanggung jawaban pihak Indonesia. Pada tanggal 31


Oktober 1945, Letnan Jenderal Christison, memperingatkan kepada rakyat Surabaya untuk
menyerah, apabila tidak mereka akan dihancurkan. Rakyat Surabaya tidak mau memenuhi
tuntutan tersebut, Kontak Biro Indonesia mengumumkan bahwa kematian Mallaby
merupakan suatu kecelakaan.

Setelah mendapat penolakan, Divisi 5 Inggris yang berkekuatan 24.000 tentara di


bawah komando Mayjend R. C. Mansergh mendarat secara diam-diam di Surabaya. Selain
diperkuat oleh sisa Brigade 49, masih  ditambah 1500 marinir, di bawah komando Rear
Admiral Sir W. R. Patterson yang memimpin beberapa kapal perang. Letjen Sir Philip
Christison, melengkapi pasukan Inggris dengan pesawat tempur Thunderbolt, Mosquito, dan
tank kelas Sherman, yang merupakan persenjataan tercanggih saat itu.

Kemudian, pada tanggal 7 November, Mansergh menulis surat kepada gubernur


Soeryo, yang isinya menuduh gubernur tidak mampu menguasai keadaan, akibatnya seluruh
kota dikuasai oleh perampok. Mereka dianggap menghalangi tugas sekutu, untuk itu Sekutu
mengancam akan menduduki kota Surabaya. Serta memanggil Gubernur Soeryo untuk
menghadap.

Dalam surat jawabannya tanggal 9 November, Gubernur membantah semua tuduhan


Mansergh. Gubernur Soeryo mengutus Residen Sudirman dan Roeslan Abdulgani untuk
menyampaikan surat balasan tersebut.

Di hari yang sama pukul 14.00, Mansergh menyampaikan ultimatum di Surabaya.


Butir kedua dalam ultimatum itu diformulasikan sedimikian rupa sehingga mustahil untuk
dipenuhi pemimpin sipil dan militer Indonesia.  Berikut isi dari ultimatum dari Mansergh:

                   Seluruh pimpinan Indonesia, termasuk pimpinan gerakan pemuda,
kepala polisi, dan kepala radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg tanggal 9 November
pukul 18.00. Mereka harus berbaris satu persatu membawa segala jenis senjata yang mereka
miliki. Senjata tersebut harus diletakkan di tempat yang berjarak 100 yard dari tempat
pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia harus datang dengan tangan di atas kepala
mereka, dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani pernyataan menyerah
tanpa syarat.

Bagi pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya dengan berbaris


dan membawa bendera putih. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 pagi tanggal
10 November 1945. Apabila tidak diindahkan Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan
darat, laut, dan udara untuk menghancurkan Surabaya.
Persiapan Menghadapi Sekutu dan Penolakan Ultimatum

Mendapatkan ultimatum sedemikian rupa, para pemuda yang sudah siap siaga
membuat pertahanan di dalam kota. Komandan Pertahanan Kota, Soengkono, pada tanggal 9
November pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri dari
komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, TKR Laut untuk
berkumpul di Markas Pregolan 4.

Tentara Keamanan Rakyat di Surabaya

Soengkono mempersilahkan siapa pun yang ingin meninggalkan kota. Namun,


mereka bertekad untuk mempertahankan kota Surabaya. Mereka membubuhkan tanda tangan
pada secarik kertas sebagai tanda setuju, dan diteruskan dengan ikrar bersama.

Dengan adanya ultimatum ini, pemimpin Surabaya mengadakan pertemuan. Mereka


melaporkan kepada presiden, namun hanya diterima oleh Menteri Luar Negeri Ahmad
Subardjo. Menteri luar negeri menyerahkan keputusan kepada rakyat Surabaya. Secara resmi
pada pukul 22.00, Gubernur Soeryo melalui radio, menyatakan menolak ultimatum Inggris.

Sebelum waktu ultimatum habis, kota Surabaya telah dibagi menjadi 3 sektor
pertahanan. Garis pertahanan ditentukan dari JalanJakarta, tetapi penempatan pasukan agak
mundur ke Krembangan, Kapasan, dan Kedungcowek. Garis kedua di sekitar Viaduct. Garis
ketiga di daerah Darmo.
Bung Tomo mengobarkan semangat pejuang Indonesia

Pembagian tiga sektor meliputi sektor barat, sektor tengah, dan timur. Sektor barat
dipimpin oleh Koenkiyat. Sektor tengah dipimpin oleh Kretarto, dan Marhado, sedangkan
sektor timur dipimpin oleh Kadim Prawirodihardjo. Sementara itu, radio perlawanan yang
dipimpin oleh Bung Tomo membakar semangat juang rakyat. Siaran ini dipancarkan dari Jln.
Mawar No. 4.

Klimaks Pertempuran Surabaya: Pertempuran 10 November

Tanggal 10 November 1945 pukul 06.00, setelah habisnya waktu ultimatum, Inggris
mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut, dan udara. Pemboman
secara brutal di hari pertama telah menimbulkan korban yang sangat besar. Di pasar Turi,
ratusan orang tewas dan luka-luka. Inggris juga berhasil menguasai garis pertama pertahanan
rakyat Surabaya.

Tank Inggris menggempur Surabaya


Rakyat Surabaya tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan atas serangan
tersebut. Pertempuran yang tidak seimbang selama tiga minggu telah mengakibatkan sekitar
20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Selain itu,
diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya, yang hampir hancur total
terkena serangan Sekutu. Sementara di pihak Inggris tercatat 1.500 tentara Inggris tewas,
hilang, dan luka-luka.

Pertempuran terakhir terjadi di Gunungsari, pada tanggal 28 November 1945, namun


perlawanan secara sporadis masih dilakukan setelah itu. Sebagai penghormatan atas jasa para
pahlawan yang dengan berperang dengan gigih melawan Sekutu di Surabaya, tanggal 10
November 1946 Soekarno menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Tindakan Inggris untuk menghukum pasukan Indonesia di Surabaya, dianggap


Mansergh sebagai hukuman yang pantas atas pelanggaran terhadap peradaban. Akan tetapi,
tindakan yang dilakukan oleh Inggris pada tanggal 10 November, justru mencerminkan
tindakan pelanggaran terhadap peradaban dan kemanusiaan secara nyata. Kematian Mallaby
seakan hanya dijadikan Casus Belli, untuk menghancurkan kekuatan militer Indonesia di
Surabaya.

Selain itu, pertempuran Surabaya, dimanfaatkan untuk memenuhi perjanjian bilateral


mereka dengan Belanda serta menjalankan keputusan Konferensi Yalta yakni pengembalian
situasi pada Status Quo, seperti sebelum invasi Jepang.

Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia. Akan tetapi,


perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela berkorban demi mempertahankan
kemerdekaan mereka, meskipun harus dibayar dengan nyawa.

BIBLIOGRAFI
Hutagalung, Batara R. 2010. Serangan Umum 1 Maret 1949: Dalam Kaleidoskop
Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta Gadjah Mada
University Press.
Wiharyanto, A. Kardiyat. 2011. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu
2009.  Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Anda mungkin juga menyukai