Anda di halaman 1dari 9

Cerpen

Sajadah Merah
Cerpen Kiriman: Sofia Faridlatun Ulfa | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Terdengar suara berisik dari kamar belakang yang letaknya tak jauh dari keberadaan Azizah
sekarang. Tanpa ragu-ragu Azizah berdiri menghampiri suara berisik itu yang berhasil
membuat Azizah penasaran. Terlihat samar-samar cahaya yang memantul ke tembok dan
suara berisik yang tak kunjung berhenti. “Kenapa lampunya mati, bukankah lampu belakang
mati jika » Baca lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Cinta Islami
Tree House and Memories
Cerpen Kiriman: Najwa Nur | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Sinar matahari dari jendela begitu cerah, mengusik tidur Alexa. Dia enggan membuka
matanya, namun sinarnya terus menyinari Alexa. “Alexa … Ayo turun dan sarapan, sayang”
Panggil ibu Alexa dengan keras, yang membuat Alexa membuka matanya “Iya, mahhh,
Alexa turun”. Alexa bergegas turun dan menuju meja makan. Di meja makan » Baca
lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Keluarga
Tidak Tenang
Cerpen Kiriman: Dennis Gavriel | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Pukul 02.00 dini hari, tepatnya hari Selasa, suasana di kampung itu masih sangat gelap,
dingin sekali, bahkan warga yang ada di luar rumah hanyalah tiga warga yang bertugas
jaga pos kamling. Suasana di pos jaga itu tidak seperti biasanya, kalau biasanya pos jaga itu
ramai, sekarang hanya ada tiga » Baca lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Horor (Hantu), Cerpen Misteri
Kami yang Kini Hidup Tanpa Cahaya
Cerpen Kiriman: Mas.ubi | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Semenjak fajar dibunuh oleh kegelapan malam dalam sebuah tragedi suram, kami hidup
tanpa mengenal cahaya. Hanya kelam muram tersisa, tiada lagi suka bahagia. Orang-orang
tiada lagi boleh tertawa. Hari-hari gelap datang, kami hanya dapat menyimpan pelita dalam
dada. Tanpa boleh mengumbarnya. Atau pelita itu akan dihancur-leburkan begitu saja. Dan
»  Baca lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Kehidupan
Perpustakaan Kota
Cerpen Kiriman: Syifa Talia | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Malam yang dingin untuk musim kemarau seperti sekarang. Aku melirik jam yang menghiasi
pergelangan tanganku. Ya, jam delapan malam tapi aku masih setia berdiam diri di
perpustakaan kota “sudah waktunya makan malam” gumamku sembari beranjak menuju
kafetaria. Langkahku terdengar nyaring diheningnya koridor gedung perpustakaan. Angin
malam berhembus disela sela » Baca lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Horor (Hantu)
Pergiku Karena Aku Mencintaimu
Cerpen Kiriman: Putri Ayu Anjani | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Tik… Tik… Setetes demi tetes hujan turun, menambahkan suasana semakin pilu. Angin
bertiup menerpa wajah, wajah yang kini sedang menatap langit. Langit yang begitu sepi
tiada penghias malam nan indah bergemerlap. “Dulu kita pernah berbagi rasa, rasa itu
yang membuatku rindu hari ini. Hari dimana aku mengingat jelas semua »  Baca lanjutan
ceritanya...
Kategori: Cerpen Cinta
Digital Killer
Cerpen Kiriman: Miftah | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Hallo Sebelum aku memulai cerita ini aku ingin bertanya satu hal, apa yang kau bayangkan
jika mendengar ‘Pembunuh bayaran’? Pasti kau berpikir tentang sebuah profesi di mana
kau menyewa orang untuk menghabisi orang yang kau benci. Itulah yang aku lakukan, itulah
profesiku sekarang, tetapi satu hal yang sangat penting » Baca lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Thriller (Aksi)
Kayla dan Kerajaan Avantazia (Part 2)
Cerpen Kiriman: Adia Nadia | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Laki-laki itu tampak sibuk mencari sahabatnya, mereka sudah janjian untuk bertemu di
taman belakang istana. Tapi tampaknya sahabatnya itu tidak datang. Maka dari itu dia
memutuskan untuk mencari sahabatnya. Sudah berkeliling seluruh istana, tapi laki-laki itu
belum juga menemukan sahabatnya. Lelah mencari, akhirnya dia memutuskan untuk
menunggu di taman » Baca lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Petualangan
Kayla dan Kerajaan Avantazia (Part 1)
Cerpen Kiriman: Adia Nadia | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021
Pagi yang cerah, matahari bersinar terang menembus jendela rumah-rumah di perkotaan.
Seorang gadis tampak tidur dengan tenang tanpa terusik sinar matahari yang menembus
jendela kamarnya. “Tok-tok” terdengar suara ketukan pintu. “Nona sudah bangun belum?,
Nona hampir kesiangan untuk berangkat ke sekolah!” Teriak sang bibi yang mencoba
membangunkan majikannya yang » Baca lanjutan ceritanya...
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi), Cerpen Petualangan
Perkara
Cerpen Kiriman: Galiot Sastra | Lolos Moderasi Pada: 3 December 2021

Seorang perempuan muda duduk berhadapan dengan petugas kepolisian di sebuah ruangan,
hanya terpisah meja di antara mereka. Perempuan itu duduk dengan tenang mengamati sosok
di depannya.

“Apa kamu baik-baik saja?”


“Saya baik dan saya siap untuk menjawab pertanyaan, Bapak.”
“Baiklah. Namamu Nirbita?”
“Ya, benar.”
“Tidak ada nama belakang atau nama keluarga?”
Ia menggeleng, “Tidak ada, Pak.”

“Kamu salah satu mahasiswi bimbingan Pak Sakta, betul?”


“Ya betul.”
“Siapa lagi temanmu yang bimbingan dengan Pak Sakta?”
“Maurin, Shella, Bagas, dan Hafiz.”
“Kamu dekat dengan Maurin?”
Ia menggeleng, “Tidak. Dengan yang lain pun tidak terlalu akrab.”

“Secara tak sengaja kamu adalah saksi mata yang melihat korban jatuh di depanmu, ‘kan?”
“Ya benar, Pak.”
“Dari mana dan mau ke mana kamu saat itu?”
Dirinya menatap tenang lawan bicaranya, “Saya dari perpustakaan mau ke ruang Pak Sakta.”
“Ok. Jam berapa jadwal bimbinganmu?”
“Pukul 4 sore.”
“Kamu datang sejam lebih awal, kenapa? Apa yang kamu lakukan?”
“Saya sengaja datang awal untuk menepi di perpustakaan. Belum lama tiba di perpustakaan
Pak Sakta memberitahu untuk datang bimbingan waktu itu juga.”

“Apa Maurin juga ada jadwal bimbingan hari itu?”


“Ya ada. Kami mendiskusikan jadwal bimbingan di grup WA. Maurin dapat pukul 2 siang.”
“Bisa kasih bukti percakapan kalian di grup itu?”
“Bisa.”
“Baik. Nanti akan kami cek. Bagaimana temanmu yang lain?”
“Hari itu hanya saya dan Maurin yang punya jadwal bimbingan.”
“Apa kamu sempat bertemu Maurin?”
“Tidak. Sampai di kampus, saya langsung menuju perpustakaan.”

“Ok. Jadi Pak Sakta seharusnya bersama dengan Maurin saat itu sesuai jadwal bimbingan
kalian. Lantas apa kamu tahu kalau Pak Sakta berada di ruangannya saat itu?”
“Ya. Sesuai chat yang beliau kirim ke saya katanya beliau menunggu di ruangannya waktu
itu. Waktu peristiwa itu terjadi beliau juga yang menyadarkan saya dari syok.”

“Baik. Apa akhir-akhir ini Maurin pernah curhat ke kamu?”


Nirbita menggeleng.
“Apa ada sesuatu yang aneh dengan dia?”
Ia menggeleng lagi.
“Bagaimana bisa kamu tidak memperhatikan temanmu sendiri?”
Dirinya mengangkat bahu. Hening sebentar.

“Ada yang ingin kamu katakan lagi?”


Ia hanya diam untuk berpikir sejenak.
“Baiklah kalau tidak ada lagi–”

“Apa Maurin hamil?”


“Dari mana pemikiran itu muncul?”
“Hanya bertanya.”
“Ada alasan dibalik tanyamu itu, ‘kan?”
“Saya hanya mengamatinya akhir-akhir ini. Ia tak seperti biasanya. Maksud saya bisa jadi
penglihatan saya salah.”
“Apa yang kamu lihat?”
“Wajahnya lebih bersinar menampakkan aura yang berbeda. Perilakunya juga lebih sensitif
dibanding biasanya. Ia juga suka membawa botol minum berisi jus di tangannya. Padahal dia
bukan tipe orang yang mau ribet dengan bawaan.”
“Wow… Bagaimana pengamatanmu itu begitu detail?”
“Dari kebiasaan menganalisis… mungkin.”
“Untuk ukuran orang secuek kamu analisismu sangat bagus.”

Petugas yang masih berdiri tersenyum ke arah jendela kaca dua arah. Seolah memberi isyarat
pada mereka yang mendengar percakapan ini.

“Pak… berkas yang Bapak minta.”


Pria tua berpangkat tinggi itu mengambil berkas yang dibawa bawahannya. “Terima kasih.”
Sang atasan membolak-balikkan biodata dan fakta menarik perempuan muda di dalam sana.
“Anak kecil itu telah tumbuh dewasa, Pak.”
Sang atasan meletakkan berkas itu di atas meja di depannya. Memandang lurus ke balik kaca.
“Benar. Bahkan dia tau persis menghadapi situasi seperti ini. Dia tidak tinggal bersama
keluarga Damara?”
“Dia kabur setelah setahun tinggal bersama keluarga Damara. Keras kepalanya seperti
Mohan.”
“Tapi dia cerdas seperti ibunya. Semoga saja dia tidak bodoh untuk jatuh ke pria yang salah.
Kasihan, masa lalu anak itu sudah kelam.”
“Semoga saja, Pak.”

Pintu terbuka menampilkan dua sosok yang sedari tadi berada di balik jendela kaca dua arah
tadi.
Sang komandan memberi isyarat untuk meninggalkan mereka bertiga. Pintu tertutup, tinggal
mereka tiga orang yang pernah kenal di masa lalu.

“Halo Bita, apa kabar? Masih ingat saya kan?” tanyanya sambil duduk di kursi seberang
perempuan itu.
“Halo Pak Harid. Saya kabar baik. Kabar Bapak sendiri?” ia tersenyum ringan.
“Luar biasa baik. Senang dan juga kaget bertemu denganmu di sini.”
“Masih ingat laki-laki ini?” lanjutnya.
Ia mengalihkan pandangan ke pria yang berdiri kokoh di samping Pak Harid.
“Bang Iman?”
“Halo Bita. Benar saya Iman.”
Balasnya dengan senyum tipis. “Apa kabar, Bang?”
“Kabar baik seperti Komandan.” Pria itu balas tersenyum.

Jumat, hampir pukul 3 sore.


Nirbita berjalan menuju perpustakaan. Masih ada waktu sejam sebelum bimbingannya
dimulai. Sudut terdalam perpustakaan menjadi tempat ideal baginya untuk menepi sekadar
membunuh waktu.

“Ta, bisa minta tolong jaga sebentar? Mbak mau ke TU FEB untuk ngasihin berkas. Mbak
minta tolong ya?”

Nirbita meletakkan novel bacaannya di atas meja, berjalan mengikuti Hana menuju bilik
administrasi perpustakaan. Sepeninggal Hana ia mengamati layar komputer yang
menampilkan berbagai sudut pandang dari rekaman CCTV. Awalnya tak ada hal menarik
untuk diteliti lebih lanjut namun satu kotak di sudut layar membuatnya tertarik. Ia tahu
CCTV itu berada di atas tempat ia duduk tadi. Menangkap secuil gambar di atap gedung
sebelah yang memang lebih rendah bangunannya. Tak begitu jelas karena terhalang kaca
jendela dan ventilasi.

Berjalan kembali ke sudut tujuannya adalah kaca jendela belakang perpustakaan. Ia


penasaran dengan dua sosok yang nampaknya ia kenali perawakannya. Nirbita mengintip dari
kaca jendela. Sedikit menyembulkan kepalanya. Si pria bukan orang yang sama dengan yang
ia lihat di layar. Ia mengenali dua sosok itu yang dari pengamatannya mereka berdua cukup
dekat akhir-akhir ini. Instingnya mengatakan untuk mengambil video kedekatan mereka
berdua. Entahlah ia merasa akan ada hal buruk yang terjadi.
Nirbita menyelesaikan aksinya, meninggalkan mereka yang masih asyik terlibat percakapan
entah apa itu. Kembali ke bilik administrasi, tak lama Hana datang menghampirinya.

“Ada masalah nggak, Ta?”


“Nggak ada, Mbak,” pesan masuk ke gawainya, “Mbak, aku pamit ya mau bimbingan
sekarang.”
“Ok. Makasih ya, Ta.”
“Permisi, Mbak.”
“Iya, Ta.”

Nirbita bergegas ke gedung sebelah setelah mendapat pesan dari dosen pembimbingnya
untuk memajukan pertemuan mereka hari ini. Dirinya hampir sampai di ruang dosen yang
terletak di lantai bawah. Bunyi benda jatuh yang begitu keras menghentikan langkahnya.
Sekitar 3 meter di hadapannya sosok perempuan tertelungkup dengan darah yang mulai
mengalir dari kepalanya. Beberapa orang terpekik kaget melihatnya. Nirbita masih kaku di
tempatnya, buku-buku jarinya memutih saking eratnya ia menggenggam. Tak ada yang
berani mendekat untuk memastikan siapa gerangan sosok itu. Nirbita tanpa perlu memastikan
dia yakin sosok itu adalah Maurin.

“Nirbita!” seorang meneriaki namanya dan mengguncang bahunya keras menyadarkan ia dari
terpakunya pandangan akan sosok itu.
Nirbita mendapati manik mata Pak Sakta dosen pembimbing yang harus ia temui itu
menggelap. Raut wajahnya perpaduan kaget, takut, sekaligus khawatir.

Mereka berdua bergerak mundur. Petugas keamanan kampus telah datang bersiaga menjaga
TKP. Nirbita dibawa menuju ruangan Pak Sakta oleh beberapa dosen perempuan. Dirinya
masih linglung, tubuhnya mulai mendingin. Berusaha sekuat tenaga menekan gigi-giginya
agar tidak berbunyi seperti orang menggigil.

Peristiwa itu cepat menyebar ke seantero kampus. Pihak kepolisian datang ke TKP tak lama
kemudian. Selesai dengan urusan TKP dan sesi tanya-jawab sejenak dengan dirinya Nirbita
tetap tinggal hingga magrib menjelang. Ia masih di ruang Pak Sakta ditemani Bu Widia salah
satu dosennya juga.

Peristiwa sore itu sangat membekas di ingatannya. Ia masih bungkam soal rekaman itu.
Sampai hari ini hampir sebulan telah berlalu sejak peristiwa itu penyelidikan masih
berlangsung belum ada bukti konkret kalau ini pembunuhan. Diduga kasus ini murni bunuh
diri. Yang menjadi permasalahan adalah siapa bapak biologis si janin yang dikandung Maurin
masih belum menemukan titik terang hingga kini.

Sejak kejadian itu bimbingan skripsinya ditunda. Belum ada lanjutan pasti dari pihak kampus.
Semua dosen telah sibuk dengan anak bimbingannya masing-masing. Siang itu Nirbita
berencana ke perpustakaan untuk mampir.

“Hai, Mbak Hana.”


“Oh hai, Bita.”
“Mbak sakit? Wajah Mbak pucat gitu.”
“Oh eh enggak kok. Mau mojok ya?”
“Tau aja Mbak.”
“Ta …”
“Iya, Mbak?”

“Mbak mau minta maaf banget sama kamu. Kalau kamu dipanggil Pak Dekan dan ditanya
soal rekaman CCTV kamu kasihin aja ya.”
“Maksudnya?”
“Orang suruhan Pak Dekan tadi ke sini. Ngecek rekaman CCTV Jumat itu. Mereka ngambil
bukti rekaman itu. Dan mereka juga nyari kamu, Ta. Mereka ancam Mbak supaya tutup
mulut. Kamu juga kalau diminta rekaman yang ada di hape kamu kasihin aja. Demi
keselamatan kamu juga, Ta.”
“Mereka tau dari mana?”
“Mbak nggak tau, Ta. Makanya kamu hati-hati.”
“Ok, Mbak. Makasih ya. Aku ke toilet dulu, Mbak.”

Nirbita bergegas ke toilet yang ada di perpustakaan. Di dalam bilik toilet ia membuka
kembali rekaman Jumat itu. Sepertinya Argo si anak teknik menyadari kamera ponselnya
waktu itu. Nirbita segera mengirimkan video tersebut ke orang yang berwenang.

Video terkirim.
~ Urgent! Jangan hubungi saya setelah ini, Pak. Hapus nomor saya bila perlu blok saja, Pak.
Saya minta tolong sekali ini ke Bapak.
Harid menghubunginya segera namun ditolak oleh gadis itu.
~ Pak saya mohon. Saya siap jadi saksi di persidangan lusa nanti.
~ Baik. Jaga dirimu, Nak.
~ Terima kasih, Pak.
Setelahnya ia menghapus nomor Harid juga Iman. Keluar dari perpustakaan ia dihadang dua
orang yang sepertinya suruhan Pak Dekan.

“Ikut saya. Kamu ditunggu Pak Dekan di ruangannya.”


Ia mengangguk mengiyakan perkataan salah seorang dari mereka. Mengikuti langkah
keduanya menuju ruang Dekan.

Di sana duduk pria paruh baya dengan wajah tenang. Nirbita mendekati mejanya.
“Halo Nirbita. Apa kabar?”
“Saya baik, Pak.”
“Nggak usah basa-basi lagi. Kamu pasti tau kan maksud saya meminta kedatanganmu
kemari?”
Nirbita tersenyum, “Saya nggak tau, Pak. Mungkin ada sangkut pautnya dengan beasiswa
saya?”
“Betul sekali. Nggak cuma beasiswa kamu saat ini aja tapi untuk studi lanjutan kamu juga
akan bermasalah kalau kamu nggak nurut omongan saya.”
“Ada apa ya, Pak?”

“Kamu punya rekaman di ponselmu itu kan?”


“Rekaman? Rekaman apa memangnya, Pak?”
“Nggak usah berlagak bodoh kamu ya! Saya tau kamu yang merekam pakai ponsel kamu di
sudut ruangan itu.”
“Ada apa memangnya, Pak? Apa anak Bapak terlibat dengan kasusnya Maurin?”
“Jangan main-main kamu dengan saya. Saya bisa menghancurkan masa depan kamu atau
mau nyawa kamu melayang?”
“Kalau anak Bapak nggak ada apa-apa dengan Maurin kenapa Bapak sepanik ini?”
“Diam kamu! Serahkan ponsel kamu sini!”
Nirbita terlonjak kaget. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya.

“Kamu nggak nyebarin video itu ke siapapun, ‘kan?”


Dengan wajah ketakutan ia menggeleng cepat.
“Bagus,” terlihat Pak Dekan mengutak-atik ponselnya dengan cermat.
“Kamu harus tutup mulut supaya beasiswa kamu tetap aman. Jangan coba-coba kamu buka
mulut soal ini atau nyawa kamu saya habisi.”
“Iya, Pak,” ia menerima kembali ponselnya.
“Kamu boleh keluar.”
“Permisi, Pak.”

Nirbita berjalan keluar ruang Dekan dengan ekspresi campur aduk. Setelah kejadian ini ia
sangat yakin untuk berada di persidangan lusa nanti. Ia menekan tombol off pada bolpen
yang tersimpan apik di saku kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Tersenyum jemawa
meninggalkan pelataran parkir fakultas.

Perempuan muda itu memantapkan hati untuk memasuki ruang sidang hari ini. Dengan
segala bukti ia siap menegakkan keadilan.

Selesai sidang ia kembali ke kosan. Mengistirahatkan diri dari peristiwa yang dihadapi.
Menginjakkan kaki di ruang sidang kembali membuatnya ingat sepuluh tahun lalu. Ia
menghadiri sidang putusan kasus orangtuanya.

Gawainya berbunyi menandakan pesan masuk. Ia merogoh tasnya dengan tubuh yang masih
berbaring.

Pak Sakta Dospem


~ Selamat malam, Nirbita. Bisa bertemu dengan saya besok?
~ Ada apa ya, Pak?
Sidangnya baru saja selesai sore ini. Tidak mungkin beliau akan membahas kelanjutan
skripsinya, ‘kan?
~ Ada hal yang ingin saya sampaikan. Waktu makan siang bisa?
~ Bertemu di mana ya, Pak?
~ Di luar kampus saja. Nanti saya kirim alamat restorannya.
~ Baik, Pak.

Nirbita memasuki restoran berkonsep industrial. Dirinya mencari sosok yang telah
menunggunya. Pria itu menempati meja di dekat kaca besar dengan pemandangan jalan
samping restoran.

“Siang, Pak.”
“Oh hai. Duduk, Nirbita.”

Pelayan datang mencatat pesanan mereka. Sembari menunggu mereka sedikit berbincang.
“Terima kasih atas kedatanganmu kemarin, Bita. Semua menjadi jelas setelah kesaksianmu.”
“It’s ok, Pak. Saya nggak berbuat banyak. Gimana kelanjutan skripsi saya, Pak?”
“Masih menunggu keputusan. Saya juga menunggu keputusan pihak kampus tentang nasib
saya selanjutnya.”
Nirbita tak membalas apa-apa. Ia bungkam dengan senyum sungkan.

“Tentang affair itu adalah hal terbodoh yang pernah saya lakukan. Saya nggak tau nasib saya
kedepannya kalau kamu nggak tiba-tiba muncul di persidangan. Saya sangat berterima kasih,
Bita.”
“Saya nggak membela Bapak. Ada kebenaran yang seharusnya diungkapkan.”
“Soal skripsi kamu meskipun nantinya bukan saya yang membimbing, saya akan tetap
membantu kamu nantinya. Anggap saja bentuk rasa terima kasih saya ke kamu, Bita.”

Pesanan mereka datang. Obrolan berhenti sejenak.


“Selamat makan, Nirbita.”
“Iya, Pak.”

Nirbita makan dalam diam. Namun otaknya berpikir melanglang buana entah ke mana. Di
sisi lain Sakta sesekali mencuri pandang ke mahasiswinya ini.

“Sakta.”
Panggilan itu membuat yang punya nama terlonjak kaget mendapati sang ayah berdiri di
dekat mejanya.
“Pa?” jelas ia bingung tanpa pemberitahuan apapun sang ayah muncul.
“Selamat siang, Pak Hanan,” Bita ikut berdiri menyalami dengan segan sang rektor.
“Ayo duduk lagi.”

Pak Hanan jelas sudah kenal dengan Nirbita yang tiba-tiba muncul di detik akhir untuk
menyelamatkan anaknya di sidang kemarin.

Pak Hanan ikut memesan makanan. Duduk di samping Sakta menghadap Nirbita. Di sela
acara makan mereka bertiga terselip obrolan yang membawa Nirbita ke masa lalu.
“Saya sangat berterima kasih atas kesaksianmu, Nak.”
“Nggak Pak, saya hanya melakukan hal yang seharusnya saya lakukan,” Nirbita tersenyum
canggung.

“Pa, aku bisa minta tolong? Papa bisa bantu tangani beasiswa Nirbita untuk lanjut studi?”
“Nggak perlu, Pak. Nggak, saya nggak mau merepotkan Bapak.”
“Kenapa bukan kamu aja, Sak? Kamu nggak mampu?”
“Bukan gitu, Pa. Seenggaknya kalau Papa yang urus nggak akan ada kendala yang berarti.
Nirbita bisa tenang dengan studinya.”
“Papa nggak yakin Nirbita mau.”
Nirbita yang dibicarakan menahan untuk memotong percakapan bapak dan anak itu.

“Kenapa?”
“Selama ini dia selalu menolak bantuan siapapun.”
“Maksud Papa ‘selama ini’ apa, Pa?”
“Papa udah tau Nirbita jauh sebelum dia kenal kamu. Kami bertemu di persidangan ayahnya
sepuluh tahun lalu. Papa nggak akan cerita lebih jauh kamu harus tanya sendiri ke orangnya,”
Pak Hanan menatap Nibita yang membalas senyumnya, “Nirbita, ayah kamu pasti bangga
punya putri sepertimu. Ibumu pasti bahagia di sana.”
Nirbita menggeleng pelan menyangkal pernyataan Pak Rektor.
Pak Hanan menyelesaikan makanan lebih dulu. Memilih meninggalkan mereka berdua.
“Nirbita, kalau kamu perlu bantuan jangan sungkan hubungi saya atau Sakta. Terima kasih,
saya duluan. Papa pulang, Sak.”
“Hati-hati, Pa.”

Sepeninggal ayahnya, Sakta mengamati Nirbita dengan terang-terangan.


“Ayah saya —”
“Hakim yang memvonis ayah saya bersalah atas pembunuhan 3 orang kawannya. Hukuman
mati. Sudah lama berlalu saya nggak sedih,” ucapnya enteng.

“Ibu kamu?”
“Meninggal.”
“Maaf ….”
“Nggak perlu, Pak. Ibu saya sudah tenang di sana. Para pelaku sudah dapat balasan setimpal.”
“Jangan bilang kalau –”
“Saya nggak bisa cerita lebih jauh, Pak. Saya sudah mulai menerima keadaan.”

“Bita, saya benar-benar minta maaf.”


“Nggak perlu, Pak.”
“Jadi selama ini kamu tinggal bersama siapa? Kamu punya saudara?”
“Saya anak tunggal. Setahun tinggal di rumah keluarga pihak ibu saya kemudian tinggal di
panti asuhan hingga lulus SMA.”

Bunyi pesan masuk di ponsel Sakta mengalihkan atensinya sejenak. Sakta mengernyit
membaca pesan dari sang ayah.

“Bita, kamu putrinya Dahlia anaknya Galuh Damara?”


Nirbita mengangguk kaku. Sakta mengusap wajahnya dengan kasar menertawai dirinya
sendiri.

“Kamu sudah selesai makan?”


“Sudah, Pak.”
“Ayo ikut saya.”
“Ke mana, Pak?”
“Mencari udara segar. Keliling kota?”
“Saya pulang aja, Pak.”
“No. Kamu harus refreshing Nirbita. Saya tau kamu juga melalui hari yang berat. Jadi ayo
kita pergi. Kamu ada tempat yang ingin dikunjungi?”
Ia menggeleng, “Saya ikut Bapak aja.”

Sakta menemukan memori sepuluh tahun lalu. Di mana ia pernah bertemu Nirbita versi kecil
di kediaman Damara. Yang Sakta tahu saat itu anak kecil yang ia temui meringkuk di ayunan
taman belakang itu hanyalah salah satu cucu Damara saja. Tapi ia tak menyangka anak kecil
itulah yang menyelamatkan ia di masa kini. Takdir yang manis dirancang Tuhan untuk
hamba-Nya.

Anda mungkin juga menyukai