Anda di halaman 1dari 54

PETIR

DI KEPALAN
TANGAN
K U M P U L A N C E R I TA P E N D E K
D A R I E A RT H - 0 3
OLEH GILANG KHARISMA
PETIR
DI KEPALAN
TANGAN
K U M P U L A N C E R I TA P E N D E K
D A R I E A RT H - 0 3
OLEH GILANG KHARISMA

1.
HARI LAHIR RATU ADIL hal. 4
2.
AKTIVISME CENTANG BIRU hal. 10

3.
NATAL KALI INI hal. 14
4.
FIGURAN hal. 18

5.
PERJAMUAN TERAKHIR hal. 22
6.
ANAK KANDUNG DEMOKRASI hal. 28

7.
RATU JADI SENGKUNI hal. 32
8.
BENDERA SETENGAH TIANG hal. 36

9.
ORANG-ORANG YANG PERCAYA hal. 40

10.
VOX POPULI hal. 44
11.
TUAN DI TANAH KAMI hal. 48
1.
HARI LAHIR
RATU ADIL
1.
BERHENTI DI KOTAK PESAN SUARA

Semua berawal dari rasa kehilangan.

Ketika di suatu siang sepulang sekolah, di ruang belakang rumah yang


sempit, pengap, dan minim cahaya, si kecil Ali menemukan jasad
Ibunya. Tergeletak lemas dengan luka irisan melintang di pergelangan.

Si lugu Ali menangis histeris. Ia lari ke halaman depan sambil berteriak


cari pertolongan.
“Tolong saya, tolong ibu saya“ tangisnya siang itu.

Tapi sayang, saat tetangga lantas menyerbu ke dalam, sudah tak ada
yang bisa diselamatkan. Ibunya telah memutuskan untuk melepas
nyawa di sebuah kamar kecil tak berjendela.
Umur Ali masih sepuluh tahun waktu itu, dan hidup berjalan jauh
dari apa yang impikan.

4
Dan kemudian rasa kehilangan yang terus dipelihara perlahan berubah
jadi amarah dan hasrat menyalahkan. Menyalahkan kondisi ekonomi
keluarga, menyalahkan darah Cina ibunya, menyalahkan tetangga
yang terlambat menyelamatkan nyawa ibunya. Amarah itu terus ia
pertahankan, hingga berubah jadi perasaan yang lebih pekat dari
dendam.

Si murung Ali akhirnya tumbuh menjadi sosok yang terkucilkan.


Di sekolah ia kerap jadi korban kekerasan dan bahan olokan. Mereka
yang peduli pun tak bisa berbuat banyak, karena Ali terlanjur melihat
dunia sebagai sebuah ancaman dan sengaja menghindari pertolongan.
Umur Ali hampir tujuh belas sekarang, dan hidup masih berjalan dari
yang ia harapkan.

Sore ini, dengan wajah penuh lebam Ali kembali berkunjung ke kamar
belakang. Tempat di mana ia dan jasad ibunya dipertemukan.

Tujuh tahun membuat ruang itu berubah banyak. Dindingnya sudah


dicat sehingga tak lagi lembap, dan setiap sisi kini dipenuhi oleh buku
dan berbagai piagam penghargaan milik Ayah. satu-satunya yang masih
sama hanya warna keramik lantai, dan sebuah lemari kaca tempat
berbagai koleksi piring ibu disimpan.

“Kenapa ruangan ini diubah, Yah?” tanya Ali, saat Ayahnya masuk ke
ruangan sambil membawa obat luka dan seikat perban.

Ali dan Ayah tak pernah benar-benar berbincang tentang bagaimana


mereka berdua menyikapi kehilangan. Sama seperti yang lain, Ali juga
menjaga jarak dengan Ayahnya. Setiap hari ia sibuk mengurung diri
di kamar, meskipun Ayah hampir selalu mencari celah memulai
pembicaraan.

5
“Biar Ayah nggak mengingat Ibu sebagai sebuah kepedihan,” jawab
Ayah.

Ayah lalu bercerita tentang bahwa ada banyak kenangan baik tentang
Ibu. Tentang sifatnya, tentang kesehariannya, tentang cita-citanya.
Bagi Ayah, itu semua lebih layak untuk dikenang ketimbang selalu
mengingat Ibu sebagai sumber kesedihan.

Di ruangan yang sempit dan tak berjendela itu, Ali pun akhirnya
menanyakan pertanyaan yang selama ini tak pernah ia lontarkan, dan
Ayah memberikan jawaban yang selama ini tak bisa ia sampaikan.

Butuh waktu hampir sepuluh tahun untuk Ali mulai menyadari bahwa
ia bukan satu-satunya orang yang merasa kehilangan di rumah ini.
Menghadapinya berdua mungkin akan membuat hati terasa sedikit
lebih lapang ketimbang berusaha menerima semuanya sendirian.

Dari Ali, Ayah belajar cara menutup telinga dari gunjingan orang
yang hingga hari ini terkadang masih terdengar.
Dari Ayah, Ali memahami bahwa sampai kapanpun rasa kehilangan
tak akan pernah padam. Yang bisa dilakukan adalah menerima, dan
mengelolanya agar kehadirannya tidak selalu menyakitkan.

“Dunia memang buruk, Li. tapi nasib masih bisa diperjuangkan,” kata
Ayah sambil beranjak dari ruangan, menuju dapur untuk menyiapkan
makan malam.

Malam ini, setelah lama memelihara kehilangan dan rasa dendam, Ali
akhirnya memberi kesempatan terhadap perasaan yang selama ini ia
abaikan, keikhlasan.

Demi Ibu, di ruang kecil ini Ali berjanji untuk belajar menerima

8
Demi Ibu, di ruang kecil ini Ali berjanji untuk belajar menerima
bahwa kerap kali kenyataan memang menggigit, dan ketimbang melulu
lari, ada waktunya untuk ia melawan balik.

Dengan begitu, mungkin suatu hari ia dan Ayah bisa membantu


mewujudkan dunia yang selalu Ibu impikan.
Dunia yang teduh, dunia adil.
Dunia yang bebas dari ketakutan.

9
2.
AKTIVISME
CENTANG BIRU 2.
BINTANG MASSA AKSI

Hari ini cuitanku viral lagi. Kali ini gara-gara aku menyindir salah
seorang teman peserta program beasiswa milik pemerintah, yang
setelah pulang justru bekerja di perusahaan milik ayahnya.

Aku dengan kelewat sinis menyebut program itu sekarang hanya jadi
ajang adu gengsi saja. Kukatakan “uang rakyat setiap tahun habis untuk
membiayai sekumpulan remaja haus afirmasi jalan-jalan ke Eropa”,
dan tentu saja banyak yang merasa tak terima.

Aku sebenarnya tidak masalah dengan pro dan kontra. Lagipula opini
itu memang hadir untuk disanggah, didukung, atau diklarifikasi.
Sehingga nantinya semua pihak yang tercuri perhatiannya bisa
mendapatkan kesimpulan yang lebih valid.

Menurutku justru itu yang penting, menciptakan diskursus produktif


yang mampu mengimbangi konten konsumerisme di dunia maya yang
tak kalah meresahkan. Benar atau salah opiniku tak jadi soal.

10
Tapi memantau kegaduhan lini masa malam ini aku sadar bahwa bukan
itu yang terjadi. Alih-alih datang untuk mencari kesimpulan bersama,
masing-masing datang dengan membawa kesimpulan bulat mereka
sendiri. Kami semua bersuara tanpa ada itikad untuk mendengar,
apalagi mengubah pikiran. Maka jadilah proses diskusi tak lebih dari
ajang saling sibuk mengagumi opini sendiri.

Malam ini, sekali lagi aktivisme digital menemui jalan buntu.

Setiap hari diskusi hanya melompat dari satu isu ke yang lain, namun
jarang menghasilkan suatu rumusan yang konkret, apalagi perubahan.
Jika kita sendiri mudah lupa apa yang kita ributkan, lalu apa gunanya?
Kita semua akhirnya hanya jadi generasi yang besar dalam pikiran tapi
kerdil dalam tindakan.

Viralitas kali ini justru membuatku putus asa. Bahkan rasanya aku
mulai meragukan intensiku sendiri. Apakah kebiasaanku beropini di
media sosial memang terdorong oleh kepedulianku, atau ini semua
karena aku sudah kecanduan atensi?

Mungkin benar kata Nalendra dan teman-teman BEM, aku butuh


kendaraan baru untuk memberdayakan lebih jauh puluhan ribu
pengikut dunia maya yang sudah kuhimpun. Bergabung ke sebuah
LSM jadi opsi yang paling menarik, dan masuk ke salah satu partai
juga menjadi alternatif yang patut kupertimbangkan.

Apapun itu, aku perlu bertindak lebih.


Jika tidak, ini semua hanya akan menjadi sebuah keberisikan yang
sia-sia.

11
6
6
3.
NATAL
KALI INI 3.
CAMKAN

Nonik berdiri terdiam di dalam kamar.


Matanya sibuk mengamati gerombolan orang yang mendadak
memenuhi rumahnya malam ini. Sekarang sudah tengah malam, yang
ia tahu biasanya di waktu ini tamu sudah pulang, tidak biasanya ada
tamu yang bertahan hingga waktu selarut ini.

Di tengah lalu lalang kerumunan ia mengenali beberapa wajah yang


familiar. Beberapa tetangga ia lihat hadir, seperti Om Bagas, Kak
Cindy, dan Kak Ali yang sedang sibuk berbincang di halaman depan.
Selain itu rupanya ada juga beberapa sanak dan keluarga, yang Nonik
tidak tahu sejak kapan mereka semua datang.

Selain itu, ada juga beberapa orang berseragam. Nonik tidak tahu
siapa mereka, tapi baju yang mereka kenakan sama persis dengan baju
kerja ayahnya. Semuanya berdiskusi dengan cemas. Suara pelan bisik
mereka berkumpul dan menjadi sebuah dengungan yang tak nyaman
didengar.
14
11
Nonik sekarang berdiri cemas di depan kamar.
Ia genggam erat boneka kesukaannya. Di sudut jauh ia melihat ibunya
duduk bersimpuh. Wajahnya pucat dan berair mata. Diapit Nenek
dan Paman, Ibu seperti merapal pelan puluhan doa. Entah tentang
apa.

“Coba kalau Ayah sudah pulang” ucap Nonik dalam hati, berharap
kedatangan ayahnya yang pergi bertugas sejak pagi. Biasanya, Ayah
baru pulang esok hari, atau bisa jadi sedikit lebih lama jika ada
penugasan yang tak biasa.

Nonik pun melangkah sambil menangis di halaman luar.


Ia lihat ibunya masuk ke sebuah mobil bersirine biru, lalu pergi tanpa
sempat pamit atau memberi penjelasan. Setelahnya sebagian besar
tetangga menyusul pulang, menyisakan beberapa sanak keluarga yang
masih berbincang pelan di halaman depan.

Nenek yang sadar bahwa di tengah kerumunan ada cucu kecilnya yang
tengah ketakutan segera memeluk Nonik untuk mencegah tangisnya
semakin kencang.
Ia gendong Nonik, membawa tubuh kecilnya masuk kembali ke dalam
kamar.

Di kamar berlampu padam, Nonik dan Nenek saling rebah


bersebelahan.
Nonik tak tahu apa yang harus ia tanyakan, sedang Nenek tak tahu
apa yang harus ia ceritakan. Mereka berdua saling dekap dalam diam.

“Doa baik untuk Ayah dan Ibu ya, Nik,” ucap Nenek teduh, sembari
menggenggam tangan Nonik dan mulai merapal doa. Nonik pun
mencoba mengikuti semampunya, ia amalkan nasihat Ayah, untuk
membiasakan diri mencari Tuhan di tengah kecemasan.

16
Lalu malam yang sempat riuh di rumah kecil itu pun kembali sunyi.
Yang terdengar tinggal gemeratak suara putaran kipas angin usang,
Serta sayup-sayup siaran televisi memberitakan sebuah gereja yang
habis dilahap api, setelah ada bom yang meledak di tengah acara Misa
Natal petang tadi.

17
4.
FIGURAN
4.
KUPING INI MAKIN LALAI

“Gue bilang juga apa,” kata Silbi sambil menyalakan api. Lalu
mengepulkan asap kretek ke arah Ali.

Ali hanya terdiam. Ia masih tidak percaya apa yang dikatakan Silbi
semalam benar jadi kenyataan. Upayanya meyakinkan partai untuk
memberi dukungan pada pedagang pasar Giwangan yang tengah
berjuang mencari keadilan gagal total.

Padahal di ruang pertemuan ia sudah sampaikan semuanya. Tentang


bagaimana para pedagang tidak punya pilihan ketika suatu pagi tiga
peleton pasukan pamong praja datang dan langsung memulai
penertiban. Tanpa mediasi, tanpa upaya relokasi, tanpa ada
pembicaraan tentang uang ganti rugi.

Ia bahkan sudah menghadirkan Rusminah, salah satu pedagang yang


menjadi korban. Yang menceritakan bagaimana tenda jualannya
ditendang dan dirobohkan, meja-meja dibongkar, dan buah dan
sayuran yang ia jual diangkut tanpa ada kejelasan.
18
Rusminah pun sudah sampaikan bahwa mereka sempat datang ke
kantor Gubernur untuk mencari penjelasan, atau mungkin bisa
menemukan jalan tengah yang tak saling merugikan. Tapi usaha mereka
tak menghasilkan apa-apa. Pagar tinggi kantor Gubernur tak pernah
terbuka untuk orang kecil seperti mereka.

“Apa salah kami yang membuat kami sedemikian sulit untuk dibela?”
ratap Rusminah kepada seluruh peserta pertemuan.

Tapi partai tak bergeming. Mereka memilih untuk lepas tangan dan
tak terlibat meski kesewenang-wenangan jelas terjadi.

Sejak semalam, Silbi memang sudah mengingatkan Ali untuk tahu


diri. Silbi dengar, bahwa penggusuran pasar itu adalah proyek titipan
seorang taipan besar, yang ingin membangun sebuah gelanggang
olahraga baru di lokasi itu.

Silbi sebut sang taipan itu maha berpengaruh, sehingga mustahil partai
bertindak bodoh menjadikannya musuh. Bahkan Silbi bertaruh partai
sudah menyiapkan narasi untuk mendukung proyek itu, agar relasi
mereka dengan sang taipan bisa terbentuk lebih jauh.

“Lu nggak bisa tiba-tiba datang dan berharap semua orang siap
berkorban. Politik itu transaksional. Apa yang lu mau harus sesuai
sama apa yang lu tawarkan,” lanjut Silbi.

Ali hanya diam. Ia ambil buku catatan yang selalu ia kantongi, dan
menuliskan “yang tidak bisa dikalahkan, jadikan kawan.”

Kegagalan hari ini Ali membuat memahami untuk mengubah dunia


tak cukup modal ambisi.
Ia butuh kawan, ia butuh jabatan, ia butuh kekuasaan. Kuasa yang

19
11
sedemikian kuat, hingga ia punya pengaruh yang tak terbantahkan.
Seorang juru selamat.

Selama itu hanya bermodal ambisi dan berusaha mengubah keadaan


seorang diri, Selamanya ia hanya akan jadi pemain figuran yang mudah
diabaikan.

21
5.
PERJAMUAN
TERAKHIR 5.
LAGU KRITIK LAGI

“Benar kata orang, demo besar besok kau yang menyiapkan?” tanya
Ramlan Zaini kepada Ali.

Ramlan adalah ketua Partai Nusantara, salah satu partai paling


dominan di Republik. Sementara Ali merupakan ketua Partai Ratu
Adil yang tengah mencuri perhatian, berkat kelantangan mereka
mengkritik pemerintah.

Mereka berdua sedang menghadiri perjamuan makan malam yang


digelar pihak istana. Bersama puluhan tamu undangan lain, Ali dan
Ramlan duduk bersebalahan di sebuah meja panjang penuh
hidangan. Di bagian tengah juga ada Presiden dan Wakil Presiden
duduk berdampingan. Keduanya tak berhenti tertawa sepanjang
malam, merayakan terwujudnya ambisi mereka menunda pemilu
sekaligus memperpanjang masa jabatan.

“Saya hanya coba jalin koordinasi agar aksi besok tidak berubah jadi
kericuhan,” jawab Ali, yang langsung disambut tawa Ramlan.
22
Percakapan ini adalah pengingat bagi Ali bahwa Ramlan memang
bukan orang sembarangan. Ali tidak tahu bagaimana Ramlan bisa
tahu tentang keterlibatannya dalam aksi massa besar-besaran yang
sedang direncanakan, padahal gerak-geriknya sudah benar-benar ia
rahasiakan.

“Yang dicari mahasiswa itu bukan kritiknya, tapi adrenalin,


keseruannya,” sahut Ferry Sutan dari seberang meja. Ferry adalah
seorang taipan properti sekaligus petinggi Partai Pembaruan. “Tak
perlu terlalu ditanggapi, nanti juga reda sendiri,” lanjutnya.

Ferry kemudian berkelakar bahwa ia yakin demonstrasi berskala


besar hanyalah tingkah hiperbolis media yang butuh berita.
Kalaupun ada aksi massa, Ferry memperkirakan yang terlibat hanya
sekian ribu demonstran saja. Tak lebih besar dari demonstrasi yang
sering terjadi di ibukota.

Ali hanya tersenyum mendengar respon itu. Ali tidak tahu seberapa
dalam Ramlan mengetahui soal demonstrasi besok, namun terlihat
jelas bahwa Ferry belum mengetahui siang tadi 3.000 perwakilan
mahasiswa dari koalisi Bali dan Nusa Tenggara sudah menyebrang ke
Jawa.

Di perjalanan mereka akan bergabung dengan koalisi Jawa Timur


dan Jawa Tengah di Surakarta, sebelum akhirnya bersama-sama
bergerak ke ibukota. Sementara dari Barat, tengah malam nanti
sekitar 9.000 koalisi Sumatera juga akan menyebrang ke Jawa.
Keseluruhan, setidaknya akan ada 70.000 yang akan berkumpul di
titik temu, di gerbang utama istana.

Angka itu belum memperhitungkan kaum buruh dari berbagai


daerah yang sudah menyatakan akan bergabung. Sulit memprediksi

23
6
6
angka partisipasi buruh karena pergerakan dan koordinasi mereka
terjadi di level akar rumput. Yang jelas solidaritas mereka adalah
senjata yang berbahaya. Bergerak satu maka bergerak semua.
Menganggap remeh berarti bunuh diri.

“Saran dariku, hati-hati menjalin relasi dengan rakyat. Mereka tidak


akan hadir untuk melindungimu kelak di sidang senat,” ucap
Ramlan sembari menyantap sepotong steak yang dihidangkan
malam ini.

Di mata Ali, Ferry adalah politisi yang membosankan. Ia tak punya


apa-apa selain uang. Orang-orang terdekatnya adalah mereka yang
ingin kecipratan duit proyek, atau jatah kursi komisaris di suatu
perusahaan. Pergerakannya terukur, dan hanya berputar di isu yang
itu-tu saja.

Namun Ramlan adalah individu berbeda. Ia adalah seorang politisi


ulung, penyusun retorika paling piawai di negeri ini. Telinganya ada
di mana-mana. Ia berkawan dengan mucikari kolong jembatan
hingga mafia pajak kelas kakap. Tak heran jika partainya menang
mutlak pada pemilihan umum empat tahun lalu.

Nasihat Ramlan barusan Ali terjemahkan sebagai sebuah gertakan.


Sebuah isyarat dari Ramlan kalau tidak ada pergerakan yang tidak ia
dengar. Namun Ali tak gentar. Justru Ali penasaran bagaimana siasat
Ramlan bermain retorika ketika ratusan ribu demonstran yang
marah menggedor-gedor pagar dan mengusir seluruh pejabat kotor
ini pergi dari istana. Masihkan ia akan selamat?

“Untuk Republik yang lebih baik berdaulat,” teriak Presiden dari


barisan tengah, mengangkat tinggi segelas Martini, yang disambut
riuh oleh undangan yang saling bersulang.

26
Sambil mengangkat gelas, Ali melihat ke sekeliling ruangan,
mengamati satu per satu wajah yang hadir di perjamuan.
Wajah-wajah sumringah yang tak menyadari bahwa yang sedang
mereka rayakan adalah umur kekuasaan mereka yang tak lagi
panjang.

Karena besok, akan ada badai besar datang.


Sebuah badai yang akan mengambil paksa kekuasaan yang mereka
pikir tak akan pernah lepas dari genggaman.

27
6.
ANAK KANDUNG
DEMOKRASI 6.
GUGATAN RAKYAT SEMESTA

5 November, pukul 10 pagi.


Kota ini dikepung api.

Tiga hari lalu setelah Presiden mengumumkan rencananya


memperpanjang masa jabatan dan menunda pemilihan, rakyat yang
selama ini takut akhirnya turun ke jalan. Puluhan ribu demonstran
sudah mengepung istana, dan terus bertambah seiring datangnya massa
dari luar ibukota

“Gugatan rakyat semesta,” bunyi spanduk lusuh bertinta merah yang


berkibar gagah di depan pagar istana. Sementara teriakan “Presiden
turun secepatnya” bergaung saling sahut di mana-mana.

Hingga akhirnya nyanyian dan teriakan para demonstran berubah


menjadi umpat dan makian saat pemerintah merespon dengan
mengerahkan belasan ribu aparat gabungan untuk lakukan
pembubaran. Tapi tekad rakyat yang terlalu lama lapar sudah bulat.
Meski wajah ditodong mulut senapan, mereka menolak untuk menarik
gugatan.

28
11
Maka meletuslah sebuah kerusuhan besar. Ibukota yang riuh berubah
menjadi medan perang yang mencekam.

Di televisi, tak berhenti dikabarkan korban yang terus berjatuhan.


Ada yang ditendang, dipukul, hingga diterjang peluru tajam. Raung
sirine ambulance dan hilir mudik truk pemadam terdengar bergantian
membuat malam jadi kian terasa panjang.

Tapi rakyat yang sudah lama muak tak peduli. Bagi mereka, pilihannya
menang mutlak atau habis sama sekali. Sebuah pilihan mudah bagi
mereka yang sudah kelewat frustasi.

Dengan kondisi yang tak lagi punya apa-apa, rakyat leluasa


mempertaruhkan segalanya. Mati karena melawan jadi alternatif yang
lebih masuk akal ketimbang bertahan di sebuah sistem yang terlanjur
bobrok kebal sembuh, korup hingga level kelurahan.

Apalagi di sisi lain, rakyat yang selama ini pasrah akhirnya punya
harapan. Republik punya sosok baru yang siap jadi pengganti.
Namanya Ali. Oleh banyak surat kabar, ia disebut sebagai anak
kandung demokrasi.

Bak tokoh dalam ramalan, ia dianggap sosok pemimpin baru yang


ideal. Tanpa beban masa lalu ia diyakini bisa wujudkan sistem
pemerintahan yang benar-benar baru. Sepak terjangnya pun
membuktikan bahwa ia punya gagasan segar yang tidak tunduk pada
pakem-pakem usang.

Ali sendiri sejak awal sudah ikut turun jalan, sibuk bergerak di barisan
depan.
Dalam orasinya Ali secara terbuka sudah nyatakan siap jadi pengganti
jika memang itu yang rakyat kehendaki. Tapi baginya itu urusan nanti.

30
Yang terpenting adalah Presiden segera mengumumkan penyerahan
kekuasaan, sehingga tak jatuh lebih banyak korban.

Karena apa yang dikatakan oleh Ali adalah benar. Rakyat sudah jelas
tak mau lagi kompromi. Satu-satunya yang akan menghentikan
kericuhan ini adalah jika Presiden mengundurkan diri.

Seiring pijar api dan kepul asap yang semakin tinggi,


Gerombolan rezim laknat yang kini sedang sibuk sembunyi itu juga
mulai menyadari.
Bahwa gugatan rakyat semesta ini tak akan berhenti,
dan tembok tebal istana tak lagi bisa melindungi mereka lebih lama
lagi.

31
7.
RATU JADI
SENGKUNI 7.
JAYA

"Power corrupt, absolute power corrupt absolutely."


Itu yang ada di benak Thomas saat ini, saat di depannya ada seorang
pejabat yang sibuk berkhotbah, di sebuah makan malam yang penuh
dengan hidangan mewah.

Malam ini, Thomas diundang untuk datang ke istana. Thomas kira


ini akan menjadi sebuah awal dari penelusuran nasib anak
bungsunya yang dinyatakan hilang di kerusuhan besar tujuh bulan
silam.

Harapan Thomas memang membumbung tinggi. Pasalnya Presiden


yang baru sudah gamblang berjanji akan mengusut semua kasus
pelanggaran HAM yang selama ini nyaris tak tersentuh. Di hari
pelantikan, di hadapan seluruh rakyat beliau sesumbar akan
menghadirkan Republik baru.
Sebuah Republik yang yang teduh, yang adil, yang tunduk pada
hukum.

Tapi sayangnya, yang terjadi di istana adalah pertemuan yang sia-sia.


Jamuan makan malam ini menjadi bukti bahwa di panggung politik,
32
janji hanyalah sebatas alat transaksi yang tak perlu ditepati.

Tak ada perbincangan serius soal keadilan, tak ada penyampaian


bukti atau hasil penelusuran yang dilakukan, bahkan tidak ada
permintaan maaf yang disampaikan kepada pihak keluarga korban
yang sudah datang.

Para keluarga korban juga tak diberi kesempatan bicara. Yang ada
justru rentetan sambutan demi sambutan dari beberapa pejabat
yang bahkan Thomas tidak peduli siapa. Di hadapan belasan keluarga
korban, mereka semua berkhotbah tentang bagaimana cara
menerima kehilangan dan kekuatan keikhlasan. Tak lupa mereka
semua kompak menyatakan bahwa nyawa yang hilang dalam
kerusuhan tidak sia-sia, karena memang itu harga mahal yang harus
dibayar Republik untuk sebuah perubahan.

Presiden yang berjanji akan mengusut tuntas kasus ini bahkan hadir
tak sampai sepuluh menit. Ia datang, menyampaikan rasa bela
sungkawa, lalu mengajak seluruh yang hadir untuk foto bersama.
Tepat setelahnya, sang Presiden langsung pergi menghadiri agenda
beliau berikutnya.

Hingga akhirnya acara ditutup dengan pengumuman bahwa


pemerintah akan memberikan santunan uang duka, yang akan
diterima pihak keluarga selama 15 tahun ke depan. Mereka
sampaikan itu sambil tersenyum lebar, seolah-olah baru saja
menuntaskan rasa sedih dan penasaran yang membuat keluarga
korban bersedia datang malam ini.

“Katanya Presiden baru ini pintar, tapi nyatanya bahkan ia pun tak
paham bahwa tidak semua perkara bisa selesai dengan uang,” bisik
Thomas ke sesama keluarga korban..

33
11
Mungkin mereka pikir, hidangan mewah yang disajikan bisa
menggantikan permintaan maaf, dan uang santunan sudah cukup
untuk menjawab pertanyaan bagaimana kabar anggota keluarga
mereka yang tak pernah pulang.

Dalam perjalanan pulang, Thomas tidak tahu mana yang lebih


mengecewakan malam ini.
Apakah dirinya yang begitu naif dan menaruh ekspektasi terlalu
tinggi pada janji seorang politisi,
atau kenyataan bahwa sang ratu adil yang begitu dibanggakan
mendiang anaknya kini telah tunduk pada sengkuni.

35
8.
BENDERA
SETENGAH TIANG 8.
ORANG-ORANG YANG BERUBAH

Siti menggenggam erat selembar foto Wulan. Sebuah pas foto 3x4 itu
hari ini sudah ratusan kali ia tunjukkan ke orang-orang, sebagai
upaya menemukan semata wayangnya itu yang sudah beberapa
malam tanpa kabar.

Empat hari lalu Wulan pamit untuk bergabung bersama


teman-temannya menuju istana. Tak tahu apa yang terjadi, teman
Wulan mengabarkan bahwa gadis berusia 16 tahun itu terpisah dari
barisan saat kepanikan terjadi akibat hujan gas air mata mendadak
datang. Sejak saat itu, Wulan tak bisa ditemukan.

Setelah semua yang terjadi, Siti tak tahu apakah anak perempuannya
itu dalam kondisi hidup atau mati.

Diiringi letupan kembang api dan ribuan rakyat yang tumpah ke


jalan, Siti mencoba mencari titik terang. Ia kayuh sepeda
berkeranjangnya, berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit
lain. Dari satu kamar jenazah ke kamar jenazah lain.

“Mungkin dia ada di rumah sakit setelah ini,” kata Siti dalam hati.
36
Siti tidak sendiri, setiap rumah sakit yang ia datangi dipenuhi
orang-orang bernasib sama. Mereka yang berair mata ketika jutaan
lain sibuk berpesta. Tangis duka mereka seolah tak terdengar, raung
histeris mereka yang kehilangan anggota keluarga tenggelam oleh
riuhnya sorak sorai perayaan dan raung mesin konvoi kendaraan.

“Rakyat menang mutlak,” tulis berita di televisi, mengabaikan


kenyataan bahwa ada ribuan nyawa yang hilang akibat kerusuhan
besar yang terjadi. Tidakkah mereka sadar bahwa ada yang kalah dari
kemenangan besar ini?

Bahkan Ali, politisi muda yang selama ini dianggap paling peduli,
juga seperti lupa diri. Ia yang biasanya memiliki hubungan erat
dengan rakyat kali ini mendadak gagal berempati.

Ia terlalu sibuk merayakan kekuasaan yang setelah ini akan jatuh ke


pangkuannya. Euforia luar biasa tengah memenuhi kepalanya
sehingga ia bisa mengabaikan fakta bahwa ada ratusan orang yang
mengorbankan nyawa demi mewujudkan mimpi besar yang selama
ini sering ia gembar-gemborkan.

“Sebagai bentuk penghormatan, saya ajak kita semua mengibarkan


bendera setengah tiang untuk menghargai jasa besar para korban
kericuhan. Dan yang hilang semoga segera ditemukan,” kata Ali
singkat kepada media, lalu buru-buru kembali bergabung dengan
massa yang sibuk berpesta di halaman istana.

Tapi sejujurnya, Siti sendiri tak peduli dengan apa kata Ali. Dan
rasanya, keluarga korban yang lain pun juga tak peduli. Persetan soal
bendera setengah tiang, yang benar-benar mereka butuhkan adalah
kepastian dan pertanggung jawaban. Duka mereka tak kan sembuh
lewat simbolisasi penghormatan.

37
11
Setelah meyakini tak ada Wulan di rumah sakit ini, dengan sisa
tenaga dan harapan yang tersisa, Siti pun beranjak pergi. Disekanya
air mata dan dikayuhnya sepeda membelah kerumunan pesta, melaju
pelan dan sabar menuju rumah sakit berikutnya.

“Mungkin dia ada di rumah sakit setelah ini,” kata Siti dalam hati,
sekali lagi.

39
9.
ORANG-ORANG
YANG PERCAYA 9.
JANGAN IKUT CAMPUR

Rini gusar karena tidak mampu memahami jalan pikir Mpok Tari,
yang sepanjang hari meratapi kenyataan bahwa besok mereka tak
lagi bisa berjualan di pasar ini. Hari ini memang hari terakhir
mereka bisa berdagang di sini. Besok, pasar ini akan mulai
dibongkar. Seluruh bangunan akan dirobohkan dan diubah menjadi
stasiun besar.

Rencana alih fungsi lahan ini disampaikan langsung oleh Presiden


Ali, yang tiga hari lalu datang langsung ke pasar ini ditemani
Walikota dan tiga ajudan. Di hadapan ratusan pedagang dan
pengunjung pasar yang gegap gempita menyambut kedatangannya,
beliau menyampaikan bahwa ibukota yang amburadul ini perlu
segera ditata ulang. Secara hati-hati ia mencoba menjelaskan bahwa
akan ada beberapa titik yang akan dirombak total, termasuk pasar
kecil di sudut timur Jakarta ini.

“Ini memang sebuah pengorbanan, tapi kalau nggak seperti ini


Republik akan tetap gini-gini saja,” kata beliau kepada para
pedagang pasar.

40
Seraya ditemani segelas es teh manis yang ia pesan dari sebuah
warung nasi, Presiden Ali mengakui bahwa ia belum punya rencana
pasti kemana para pedagang ini akan dipindahkan. Kepada para
pedagang yang gelisah Presiden Ali meminta waktu tujuh hari untuk
memikirkan dan memutuskan solusi.

“Saya nggak mau asal janji,” tegas Presiden Ali.

Keterbukaan Presiden Ali ini membuat pedagang membuka hati.


Rasanya baru kali ada seorang Presiden yang turun ke level mereka
dan berdialog dalam derajat dan bahasa yang sama. Tanpa
protokoler, tanpa basa-basi, dan tanpa kamera media.

Beberapa orang juga mengapresiasi keberanian Presiden Ali


menyampaikan keputusan ini sendiri. Bukan lewat pernyataan di
koran, bukan lewat juru bicara, dan tentunya bukan tanpa
pengumuman seperti yang terjadi di banyak pasar.

“Ini rasanya punya Presiden yang berasal dari rakyat, dia nggak malu
ngobrol sama kita,” ucap Bu Rina si pedagang buah pagi itu.

Rini yang awalnya cemas pun akhirnya teryakinkan. Presiden Ali


dipilih rakyat untuk memimpin perubahan, maka setelah ia bersedia,
rakyat pun harus mendukung dan memberi kesempatan.
Sehebat apapun Presiden Ali, ia tak bisa mengubah suatu negara
sendirian.

Itulah mengapa Rini jengah melihat kebebalan Mpok Tari yang tak
berhenti mengeluh. Rini menganggap Mpok Tari kelewat manja,
maunya perubahan nasib bisa tiba-tiba ada. Tanpa pengorbanan,
tanpa proses yang diusahakan.

41
11
“Padahal kita sendiri Mpok yang mau pemimpin yang berani, biar
kondisi nggak gini-gini aja,” sahut Rini.

“Ya tapi kenapa kita yang digusur? Masa nggak ada tanah punya
orang kaya yang bisa jadi taman. Buat kita kan ini sumber
penghasilan,” jawab Mpok Tari, dengan nada yang mulai tinggi.

Rini menyadari berbicara dengan Mpok tari adalah hal yang


percuma. Tak semua orang mau bicara masa depan. Sebagian
memang cuma mau bertahan di zona nyaman, tak mau ambil risiko
untuk mengejar sesuatu yang lebih baik.

Tentu di hati kecil Rini masih ada secuil keraguan, bagaimanapun ia


tak punya kemampuan apa-apa selain berdagang. Tapi ia sudah
memantapkan hati, apalagi setelah kemarin ia melihat sendiri
bagaimana Presiden Ali begitu berusaha mengubah republik ini.

Selangkah demi selangkah, semoga perbaikan mulai terwujud.


Jika dalam prosesnya perlu ada yang dikorbankan, Rini bersedia
untuk menerimanya.

“Bismillah, perubahan di mulai di hari ini,” kata Rini setelah


berkemas dan mulai berjalan pergi meninggalkan pasar ini. Meski
hari esoknya kini jadi tak pasti Rini tak terlalu peduli. Karena
hatinya sudah bulat meyakini,
seorang Presiden Ali tidak mungkin ingkar janji.

43
10.
VOX POPULI 10.
ALI

Umur itu pendek, yang panjang adalah kenangan.

Maka ketika dini hari tadi Ayah dinyatakan meninggal dunia, yang
langsung terlintas di kepala adalah segala kenangan yang pernah
kami alami berdua. Mulai dari bagaimana ia selalu mengajak saya
menyukai sepak bola, kebiasaan kita bertukar resep makanan baru,
hingga berbagai wejangan tentang menjadi manusia baik yang kerap
beliau sampaikan di meja makan.

Dan untuk setiap kenangan yang hangat, perselisihan yang panas


juga sama banyaknya. Seperti apa yang menjadi pembicaraan
terakhir kami, di mana saya dan Ayah berdebat hebat.

Beliau pertanyakan keputusan saya melanjutkan reklamasi di teluk


Selatan, yang menurutnya jelas-jelas proyek kapitalis yang
menguntungkan segelintir kepentingan.

“Rakyat ternyata salah percaya,” ucap Ayah dalam sambungan


telepon malam itu.

44
11
Malam itu, Ayah tidak ragu menunjukkan kekecewaannya kepada
saya. Yang ia tidak pernah tahu adalah rasa kekecewaan saya
kepadanya.

Bagi saya, Ayah adalah teman berpikir paling menyenangkan. Di


hadapannya saya bisa sampaikan semuanya, mulai dari pertanyaan
paling bodoh sampai pendapat paling kritis sekalipun. Ia adalah
tempat di mana saya selalu merasa aman dan diterima. Yang
membuat saya berani beropini tanpa takut dihakimi.

Maka ketika malam itu Ayah dengan mudahnya menyebut saya


sebagai contoh lain pemimpin tanpa empati hanya karena kasus
reklamasi, alih-alih tersinggung, saya justru dibekap kesedihan.
Malam itu, saya merasa kehilangan seorang teman.

Selama ini, saya kira Ayah paham bahwa sekecil apapun langkah
yang saya ambil adalah sebuah manuver yang terkalkulasi. Tak
mungkin saya sembarangan ambil keputusan, apalagi tunduk pada
satu kepentingan.

Ayah harusnya tahu saya tidak sepengecut itu.

Seharusnya tak sulit untuk Ayah memahami, tak selamanya saya bisa
bermain aman. Sesekali akan ada kebijakan yang memakan korban,
tapi itu semua adalah hasil dari perhitungan yang matang, bukan
kecerobohan.

Di akhir sambungan telepon itu, saya katakan kepadanya bahwa saya


tidak butuh minta izin untuk hadirkan perubahan. Saya pun
tegaskan saya sebagai pemegang kuasa tertinggi tidak hutang
penjelasan. Yang saya yakini benar adalah apa yang akan saya
lakukan.

46
Vox populi vox dei, katanya. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Kalau ungkapan itu benar, maka saya yang disebut sebagai anak
kandung demokrasi adalah suara Tuhan yang paling lantang. Kuasa
yang ada di tangan adalah kuasa mutlak, yang bisa saya gunakan
untuk membangun, ataupun menghancurkan.

Jika memang jalan yang harus saya tempuh demi mewujudkan


perbaikan adalah jalan yang gelap, sepi, dan berbatu tajam, saya sama
sekali tidak keberatan. Leiden is lijden, dan saya terima itu. Justru
jika saya hanya bergerak di ruang aman, maka saya adalah pemimpin
pengecut yang tak berguna.

Demi Ayah, kuasa besar ini tak akan berakhir sia-sia. Saya
bersumpah perubahan akan saya lahirkan dan perbaikan nasib untuk
seluruh rakyat Republik akan saya wujudkan.

Apapun itu harga yang harus dibayar.

47
11.
TUAN
DI TANAH KAMI 11.
SENIN TOKO TUTUP

Witan sudah empat malam tidak pulang. Beberapa warga bersaksi


melihatnya diseret oleh aparat saat keributan pecah di sebuah ladang
di barat desa. Namun pihak aparat kompak menyangkal.

“Tak ada penangkapan, memang terjadi keributan kecil tapi bisa


segera kami redakan,” kata salah satu dari mereka saat dilakukan
mediasi di balai desa.

Tapi kemudian pagi ini, warga desa harus menguburkan Ridwan,


seorang pemuda umur 21 tahun yang tewas dihujam peluru tajam.
Air mata ibunya belum kering ketika esoknya serombongan politisi
datang diiringi berbagai karangan bunga. Lalu mereka bicara di
depan kamera tentang yang terjadi hanyalah kecelakaan akibat
gerakan anti-pembangunan, lalu dilanjut dengan dengungan narasi
yang melabeli kami sebagai segerombolan manusia yang tak mau
berkorban demi kepentingan lebih besar.

Mereka bilang kami jalang, karena kami menolak jadi tumbal


pembangunan. Mereka juga bilang kami bebal, karena kami memilih
untuk tidak pergi dari rumah sendiri tak peduli seberapa besar harga
yang ditawarkan.
48
Bagi mereka, Witan dan Ridwan hanyalah angka statistik dalam
berita. Sehari panas diperbincangkan, lalu besok akan terlupakan
karena ada angka lain yang menggantikan.
Sayangnya, kepiluan kami tak bisa secepat itu pergi. Pilu dan amarah
tidak lantas reda dengan datangnya ratusan karangan bunga atau
manisnya ucapan bela sungkawa.

Yang hilang itu teman, yang kami makamkan itu keluarga.

Untuk itu, sejak selepas maghrib berkumpulah kami semua di sini.


Berdiri berseberangan dengan puluhan aparat berseragam yang sejak
delapan belas hari lalu datang dan berusaha menjadi tuan di tanah
kami.

Awalnya mereka datang dan coba usir kami dengan uang, setelahnya
mereka lalu coba usir kami dengan tongkat dan senapan.

Dan ketika kami didesak sedemikian rupa, pilihan apa lagi yang kami
punya selain melawan?
Demi tanah, ladang, dan rumah yang merupakan hak kami, kami tak
akan mau dibungkam. Biar sulit, biar sakit, biar berdarah, kami akan
melawan.

Tak jadi soal apakah perlawanan ini akhirnya berakhir dengan adu
mulut, lempar batu, atau kepal tinju.
Yang penting, perlawanan ini bisa membuat para tuan dan puan
pemilik Republik itu tahu:

Kalian tidak bisa menghentikan badai dengan peluru.

49
6
6
PETIR
DI KEPALAN
TANGAN
K U M P U L A N C E R I TA P E N D E K
D A R I E A RT H - 0 3

PENULIS
GILANG KHARISMA
F OTO S A M P U L , “ N ATA L K A L I I N I ”, “ VOX P O P U L I ”
MIKAEL ALDO
F OTO “A K T I V I S M E C E N TA N G B I RU ”
JAHLILMA DI WIKIPEDIA
DESAINER GRAFIS
HANIEF BAGUS
PETIR DI KEPALAN TANGAN / 2022
Ⓒ SUN EATER

Anda mungkin juga menyukai