DI KEPALAN
TANGAN
K U M P U L A N C E R I TA P E N D E K
D A R I E A RT H - 0 3
OLEH GILANG KHARISMA
PETIR
DI KEPALAN
TANGAN
K U M P U L A N C E R I TA P E N D E K
D A R I E A RT H - 0 3
OLEH GILANG KHARISMA
1.
HARI LAHIR RATU ADIL hal. 4
2.
AKTIVISME CENTANG BIRU hal. 10
3.
NATAL KALI INI hal. 14
4.
FIGURAN hal. 18
5.
PERJAMUAN TERAKHIR hal. 22
6.
ANAK KANDUNG DEMOKRASI hal. 28
7.
RATU JADI SENGKUNI hal. 32
8.
BENDERA SETENGAH TIANG hal. 36
9.
ORANG-ORANG YANG PERCAYA hal. 40
10.
VOX POPULI hal. 44
11.
TUAN DI TANAH KAMI hal. 48
1.
HARI LAHIR
RATU ADIL
1.
BERHENTI DI KOTAK PESAN SUARA
Tapi sayang, saat tetangga lantas menyerbu ke dalam, sudah tak ada
yang bisa diselamatkan. Ibunya telah memutuskan untuk melepas
nyawa di sebuah kamar kecil tak berjendela.
Umur Ali masih sepuluh tahun waktu itu, dan hidup berjalan jauh
dari apa yang impikan.
4
Dan kemudian rasa kehilangan yang terus dipelihara perlahan berubah
jadi amarah dan hasrat menyalahkan. Menyalahkan kondisi ekonomi
keluarga, menyalahkan darah Cina ibunya, menyalahkan tetangga
yang terlambat menyelamatkan nyawa ibunya. Amarah itu terus ia
pertahankan, hingga berubah jadi perasaan yang lebih pekat dari
dendam.
Sore ini, dengan wajah penuh lebam Ali kembali berkunjung ke kamar
belakang. Tempat di mana ia dan jasad ibunya dipertemukan.
“Kenapa ruangan ini diubah, Yah?” tanya Ali, saat Ayahnya masuk ke
ruangan sambil membawa obat luka dan seikat perban.
5
“Biar Ayah nggak mengingat Ibu sebagai sebuah kepedihan,” jawab
Ayah.
Ayah lalu bercerita tentang bahwa ada banyak kenangan baik tentang
Ibu. Tentang sifatnya, tentang kesehariannya, tentang cita-citanya.
Bagi Ayah, itu semua lebih layak untuk dikenang ketimbang selalu
mengingat Ibu sebagai sumber kesedihan.
Di ruangan yang sempit dan tak berjendela itu, Ali pun akhirnya
menanyakan pertanyaan yang selama ini tak pernah ia lontarkan, dan
Ayah memberikan jawaban yang selama ini tak bisa ia sampaikan.
Butuh waktu hampir sepuluh tahun untuk Ali mulai menyadari bahwa
ia bukan satu-satunya orang yang merasa kehilangan di rumah ini.
Menghadapinya berdua mungkin akan membuat hati terasa sedikit
lebih lapang ketimbang berusaha menerima semuanya sendirian.
Dari Ali, Ayah belajar cara menutup telinga dari gunjingan orang
yang hingga hari ini terkadang masih terdengar.
Dari Ayah, Ali memahami bahwa sampai kapanpun rasa kehilangan
tak akan pernah padam. Yang bisa dilakukan adalah menerima, dan
mengelolanya agar kehadirannya tidak selalu menyakitkan.
“Dunia memang buruk, Li. tapi nasib masih bisa diperjuangkan,” kata
Ayah sambil beranjak dari ruangan, menuju dapur untuk menyiapkan
makan malam.
Malam ini, setelah lama memelihara kehilangan dan rasa dendam, Ali
akhirnya memberi kesempatan terhadap perasaan yang selama ini ia
abaikan, keikhlasan.
Demi Ibu, di ruang kecil ini Ali berjanji untuk belajar menerima
8
Demi Ibu, di ruang kecil ini Ali berjanji untuk belajar menerima
bahwa kerap kali kenyataan memang menggigit, dan ketimbang melulu
lari, ada waktunya untuk ia melawan balik.
9
2.
AKTIVISME
CENTANG BIRU 2.
BINTANG MASSA AKSI
Hari ini cuitanku viral lagi. Kali ini gara-gara aku menyindir salah
seorang teman peserta program beasiswa milik pemerintah, yang
setelah pulang justru bekerja di perusahaan milik ayahnya.
Aku dengan kelewat sinis menyebut program itu sekarang hanya jadi
ajang adu gengsi saja. Kukatakan “uang rakyat setiap tahun habis untuk
membiayai sekumpulan remaja haus afirmasi jalan-jalan ke Eropa”,
dan tentu saja banyak yang merasa tak terima.
Aku sebenarnya tidak masalah dengan pro dan kontra. Lagipula opini
itu memang hadir untuk disanggah, didukung, atau diklarifikasi.
Sehingga nantinya semua pihak yang tercuri perhatiannya bisa
mendapatkan kesimpulan yang lebih valid.
10
Tapi memantau kegaduhan lini masa malam ini aku sadar bahwa bukan
itu yang terjadi. Alih-alih datang untuk mencari kesimpulan bersama,
masing-masing datang dengan membawa kesimpulan bulat mereka
sendiri. Kami semua bersuara tanpa ada itikad untuk mendengar,
apalagi mengubah pikiran. Maka jadilah proses diskusi tak lebih dari
ajang saling sibuk mengagumi opini sendiri.
Setiap hari diskusi hanya melompat dari satu isu ke yang lain, namun
jarang menghasilkan suatu rumusan yang konkret, apalagi perubahan.
Jika kita sendiri mudah lupa apa yang kita ributkan, lalu apa gunanya?
Kita semua akhirnya hanya jadi generasi yang besar dalam pikiran tapi
kerdil dalam tindakan.
Viralitas kali ini justru membuatku putus asa. Bahkan rasanya aku
mulai meragukan intensiku sendiri. Apakah kebiasaanku beropini di
media sosial memang terdorong oleh kepedulianku, atau ini semua
karena aku sudah kecanduan atensi?
11
6
6
3.
NATAL
KALI INI 3.
CAMKAN
Selain itu, ada juga beberapa orang berseragam. Nonik tidak tahu
siapa mereka, tapi baju yang mereka kenakan sama persis dengan baju
kerja ayahnya. Semuanya berdiskusi dengan cemas. Suara pelan bisik
mereka berkumpul dan menjadi sebuah dengungan yang tak nyaman
didengar.
14
11
Nonik sekarang berdiri cemas di depan kamar.
Ia genggam erat boneka kesukaannya. Di sudut jauh ia melihat ibunya
duduk bersimpuh. Wajahnya pucat dan berair mata. Diapit Nenek
dan Paman, Ibu seperti merapal pelan puluhan doa. Entah tentang
apa.
“Coba kalau Ayah sudah pulang” ucap Nonik dalam hati, berharap
kedatangan ayahnya yang pergi bertugas sejak pagi. Biasanya, Ayah
baru pulang esok hari, atau bisa jadi sedikit lebih lama jika ada
penugasan yang tak biasa.
Nenek yang sadar bahwa di tengah kerumunan ada cucu kecilnya yang
tengah ketakutan segera memeluk Nonik untuk mencegah tangisnya
semakin kencang.
Ia gendong Nonik, membawa tubuh kecilnya masuk kembali ke dalam
kamar.
“Doa baik untuk Ayah dan Ibu ya, Nik,” ucap Nenek teduh, sembari
menggenggam tangan Nonik dan mulai merapal doa. Nonik pun
mencoba mengikuti semampunya, ia amalkan nasihat Ayah, untuk
membiasakan diri mencari Tuhan di tengah kecemasan.
16
Lalu malam yang sempat riuh di rumah kecil itu pun kembali sunyi.
Yang terdengar tinggal gemeratak suara putaran kipas angin usang,
Serta sayup-sayup siaran televisi memberitakan sebuah gereja yang
habis dilahap api, setelah ada bom yang meledak di tengah acara Misa
Natal petang tadi.
17
4.
FIGURAN
4.
KUPING INI MAKIN LALAI
“Gue bilang juga apa,” kata Silbi sambil menyalakan api. Lalu
mengepulkan asap kretek ke arah Ali.
Ali hanya terdiam. Ia masih tidak percaya apa yang dikatakan Silbi
semalam benar jadi kenyataan. Upayanya meyakinkan partai untuk
memberi dukungan pada pedagang pasar Giwangan yang tengah
berjuang mencari keadilan gagal total.
“Apa salah kami yang membuat kami sedemikian sulit untuk dibela?”
ratap Rusminah kepada seluruh peserta pertemuan.
Tapi partai tak bergeming. Mereka memilih untuk lepas tangan dan
tak terlibat meski kesewenang-wenangan jelas terjadi.
Silbi sebut sang taipan itu maha berpengaruh, sehingga mustahil partai
bertindak bodoh menjadikannya musuh. Bahkan Silbi bertaruh partai
sudah menyiapkan narasi untuk mendukung proyek itu, agar relasi
mereka dengan sang taipan bisa terbentuk lebih jauh.
“Lu nggak bisa tiba-tiba datang dan berharap semua orang siap
berkorban. Politik itu transaksional. Apa yang lu mau harus sesuai
sama apa yang lu tawarkan,” lanjut Silbi.
Ali hanya diam. Ia ambil buku catatan yang selalu ia kantongi, dan
menuliskan “yang tidak bisa dikalahkan, jadikan kawan.”
19
11
sedemikian kuat, hingga ia punya pengaruh yang tak terbantahkan.
Seorang juru selamat.
21
5.
PERJAMUAN
TERAKHIR 5.
LAGU KRITIK LAGI
“Benar kata orang, demo besar besok kau yang menyiapkan?” tanya
Ramlan Zaini kepada Ali.
“Saya hanya coba jalin koordinasi agar aksi besok tidak berubah jadi
kericuhan,” jawab Ali, yang langsung disambut tawa Ramlan.
22
Percakapan ini adalah pengingat bagi Ali bahwa Ramlan memang
bukan orang sembarangan. Ali tidak tahu bagaimana Ramlan bisa
tahu tentang keterlibatannya dalam aksi massa besar-besaran yang
sedang direncanakan, padahal gerak-geriknya sudah benar-benar ia
rahasiakan.
Ali hanya tersenyum mendengar respon itu. Ali tidak tahu seberapa
dalam Ramlan mengetahui soal demonstrasi besok, namun terlihat
jelas bahwa Ferry belum mengetahui siang tadi 3.000 perwakilan
mahasiswa dari koalisi Bali dan Nusa Tenggara sudah menyebrang ke
Jawa.
23
6
6
angka partisipasi buruh karena pergerakan dan koordinasi mereka
terjadi di level akar rumput. Yang jelas solidaritas mereka adalah
senjata yang berbahaya. Bergerak satu maka bergerak semua.
Menganggap remeh berarti bunuh diri.
26
Sambil mengangkat gelas, Ali melihat ke sekeliling ruangan,
mengamati satu per satu wajah yang hadir di perjamuan.
Wajah-wajah sumringah yang tak menyadari bahwa yang sedang
mereka rayakan adalah umur kekuasaan mereka yang tak lagi
panjang.
27
6.
ANAK KANDUNG
DEMOKRASI 6.
GUGATAN RAKYAT SEMESTA
28
11
Maka meletuslah sebuah kerusuhan besar. Ibukota yang riuh berubah
menjadi medan perang yang mencekam.
Tapi rakyat yang sudah lama muak tak peduli. Bagi mereka, pilihannya
menang mutlak atau habis sama sekali. Sebuah pilihan mudah bagi
mereka yang sudah kelewat frustasi.
Apalagi di sisi lain, rakyat yang selama ini pasrah akhirnya punya
harapan. Republik punya sosok baru yang siap jadi pengganti.
Namanya Ali. Oleh banyak surat kabar, ia disebut sebagai anak
kandung demokrasi.
Ali sendiri sejak awal sudah ikut turun jalan, sibuk bergerak di barisan
depan.
Dalam orasinya Ali secara terbuka sudah nyatakan siap jadi pengganti
jika memang itu yang rakyat kehendaki. Tapi baginya itu urusan nanti.
30
Yang terpenting adalah Presiden segera mengumumkan penyerahan
kekuasaan, sehingga tak jatuh lebih banyak korban.
Karena apa yang dikatakan oleh Ali adalah benar. Rakyat sudah jelas
tak mau lagi kompromi. Satu-satunya yang akan menghentikan
kericuhan ini adalah jika Presiden mengundurkan diri.
31
7.
RATU JADI
SENGKUNI 7.
JAYA
Para keluarga korban juga tak diberi kesempatan bicara. Yang ada
justru rentetan sambutan demi sambutan dari beberapa pejabat
yang bahkan Thomas tidak peduli siapa. Di hadapan belasan keluarga
korban, mereka semua berkhotbah tentang bagaimana cara
menerima kehilangan dan kekuatan keikhlasan. Tak lupa mereka
semua kompak menyatakan bahwa nyawa yang hilang dalam
kerusuhan tidak sia-sia, karena memang itu harga mahal yang harus
dibayar Republik untuk sebuah perubahan.
Presiden yang berjanji akan mengusut tuntas kasus ini bahkan hadir
tak sampai sepuluh menit. Ia datang, menyampaikan rasa bela
sungkawa, lalu mengajak seluruh yang hadir untuk foto bersama.
Tepat setelahnya, sang Presiden langsung pergi menghadiri agenda
beliau berikutnya.
“Katanya Presiden baru ini pintar, tapi nyatanya bahkan ia pun tak
paham bahwa tidak semua perkara bisa selesai dengan uang,” bisik
Thomas ke sesama keluarga korban..
33
11
Mungkin mereka pikir, hidangan mewah yang disajikan bisa
menggantikan permintaan maaf, dan uang santunan sudah cukup
untuk menjawab pertanyaan bagaimana kabar anggota keluarga
mereka yang tak pernah pulang.
35
8.
BENDERA
SETENGAH TIANG 8.
ORANG-ORANG YANG BERUBAH
Siti menggenggam erat selembar foto Wulan. Sebuah pas foto 3x4 itu
hari ini sudah ratusan kali ia tunjukkan ke orang-orang, sebagai
upaya menemukan semata wayangnya itu yang sudah beberapa
malam tanpa kabar.
Setelah semua yang terjadi, Siti tak tahu apakah anak perempuannya
itu dalam kondisi hidup atau mati.
“Mungkin dia ada di rumah sakit setelah ini,” kata Siti dalam hati.
36
Siti tidak sendiri, setiap rumah sakit yang ia datangi dipenuhi
orang-orang bernasib sama. Mereka yang berair mata ketika jutaan
lain sibuk berpesta. Tangis duka mereka seolah tak terdengar, raung
histeris mereka yang kehilangan anggota keluarga tenggelam oleh
riuhnya sorak sorai perayaan dan raung mesin konvoi kendaraan.
Bahkan Ali, politisi muda yang selama ini dianggap paling peduli,
juga seperti lupa diri. Ia yang biasanya memiliki hubungan erat
dengan rakyat kali ini mendadak gagal berempati.
Tapi sejujurnya, Siti sendiri tak peduli dengan apa kata Ali. Dan
rasanya, keluarga korban yang lain pun juga tak peduli. Persetan soal
bendera setengah tiang, yang benar-benar mereka butuhkan adalah
kepastian dan pertanggung jawaban. Duka mereka tak kan sembuh
lewat simbolisasi penghormatan.
37
11
Setelah meyakini tak ada Wulan di rumah sakit ini, dengan sisa
tenaga dan harapan yang tersisa, Siti pun beranjak pergi. Disekanya
air mata dan dikayuhnya sepeda membelah kerumunan pesta, melaju
pelan dan sabar menuju rumah sakit berikutnya.
“Mungkin dia ada di rumah sakit setelah ini,” kata Siti dalam hati,
sekali lagi.
39
9.
ORANG-ORANG
YANG PERCAYA 9.
JANGAN IKUT CAMPUR
Rini gusar karena tidak mampu memahami jalan pikir Mpok Tari,
yang sepanjang hari meratapi kenyataan bahwa besok mereka tak
lagi bisa berjualan di pasar ini. Hari ini memang hari terakhir
mereka bisa berdagang di sini. Besok, pasar ini akan mulai
dibongkar. Seluruh bangunan akan dirobohkan dan diubah menjadi
stasiun besar.
40
Seraya ditemani segelas es teh manis yang ia pesan dari sebuah
warung nasi, Presiden Ali mengakui bahwa ia belum punya rencana
pasti kemana para pedagang ini akan dipindahkan. Kepada para
pedagang yang gelisah Presiden Ali meminta waktu tujuh hari untuk
memikirkan dan memutuskan solusi.
“Ini rasanya punya Presiden yang berasal dari rakyat, dia nggak malu
ngobrol sama kita,” ucap Bu Rina si pedagang buah pagi itu.
Itulah mengapa Rini jengah melihat kebebalan Mpok Tari yang tak
berhenti mengeluh. Rini menganggap Mpok Tari kelewat manja,
maunya perubahan nasib bisa tiba-tiba ada. Tanpa pengorbanan,
tanpa proses yang diusahakan.
41
11
“Padahal kita sendiri Mpok yang mau pemimpin yang berani, biar
kondisi nggak gini-gini aja,” sahut Rini.
“Ya tapi kenapa kita yang digusur? Masa nggak ada tanah punya
orang kaya yang bisa jadi taman. Buat kita kan ini sumber
penghasilan,” jawab Mpok Tari, dengan nada yang mulai tinggi.
43
10.
VOX POPULI 10.
ALI
Maka ketika dini hari tadi Ayah dinyatakan meninggal dunia, yang
langsung terlintas di kepala adalah segala kenangan yang pernah
kami alami berdua. Mulai dari bagaimana ia selalu mengajak saya
menyukai sepak bola, kebiasaan kita bertukar resep makanan baru,
hingga berbagai wejangan tentang menjadi manusia baik yang kerap
beliau sampaikan di meja makan.
44
11
Malam itu, Ayah tidak ragu menunjukkan kekecewaannya kepada
saya. Yang ia tidak pernah tahu adalah rasa kekecewaan saya
kepadanya.
Selama ini, saya kira Ayah paham bahwa sekecil apapun langkah
yang saya ambil adalah sebuah manuver yang terkalkulasi. Tak
mungkin saya sembarangan ambil keputusan, apalagi tunduk pada
satu kepentingan.
Seharusnya tak sulit untuk Ayah memahami, tak selamanya saya bisa
bermain aman. Sesekali akan ada kebijakan yang memakan korban,
tapi itu semua adalah hasil dari perhitungan yang matang, bukan
kecerobohan.
46
Vox populi vox dei, katanya. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Kalau ungkapan itu benar, maka saya yang disebut sebagai anak
kandung demokrasi adalah suara Tuhan yang paling lantang. Kuasa
yang ada di tangan adalah kuasa mutlak, yang bisa saya gunakan
untuk membangun, ataupun menghancurkan.
Demi Ayah, kuasa besar ini tak akan berakhir sia-sia. Saya
bersumpah perubahan akan saya lahirkan dan perbaikan nasib untuk
seluruh rakyat Republik akan saya wujudkan.
47
11.
TUAN
DI TANAH KAMI 11.
SENIN TOKO TUTUP
Awalnya mereka datang dan coba usir kami dengan uang, setelahnya
mereka lalu coba usir kami dengan tongkat dan senapan.
Dan ketika kami didesak sedemikian rupa, pilihan apa lagi yang kami
punya selain melawan?
Demi tanah, ladang, dan rumah yang merupakan hak kami, kami tak
akan mau dibungkam. Biar sulit, biar sakit, biar berdarah, kami akan
melawan.
Tak jadi soal apakah perlawanan ini akhirnya berakhir dengan adu
mulut, lempar batu, atau kepal tinju.
Yang penting, perlawanan ini bisa membuat para tuan dan puan
pemilik Republik itu tahu:
49
6
6
PETIR
DI KEPALAN
TANGAN
K U M P U L A N C E R I TA P E N D E K
D A R I E A RT H - 0 3
PENULIS
GILANG KHARISMA
F OTO S A M P U L , “ N ATA L K A L I I N I ”, “ VOX P O P U L I ”
MIKAEL ALDO
F OTO “A K T I V I S M E C E N TA N G B I RU ”
JAHLILMA DI WIKIPEDIA
DESAINER GRAFIS
HANIEF BAGUS
PETIR DI KEPALAN TANGAN / 2022
Ⓒ SUN EATER