Di rumah seorang tuan tanah, hiduplah sekawanan tikus yang tinggal di atas
langit-langit. Tikus-tikus itu besar-besar dan gemuk-gemuk. Maklum saja, di rumah
itu selalu tersedia makanan yang melimpah. Sisa-sisa makanan selalu tersedia di
keranjang sampah. Makanan-makanan yang kelebihan kerap dibiarkan tergeletak
di rak-rak dapur. Apalagi lumbung padinya dengan mudah dapat dimasuki dari
atas.
Bagi tikus-tikus, tinggal di rumah itu nyaris serasa hidup di surga. Namun,
sayangnya, ada satu hal yang membuat mereka selalu was-was dan tertimpa stres
berkepanjangan. Tuan tanah itu memelihara seekor kucing hitam besar yang lincah
gerak-geriknya dan jeli matanya. Karena itu, dengan mudah tikus-tikus jatuh
menjadi mangsanya. Tak heranlah bahwa barang 5, 4, 3, 2, bahkan 1 hari sekali,
selalu saja ada tikus yang raib, jatuh menjadi korban si kucing.
Tikus-tikus amat prihatin dan cemas atas keadaan itu. Maka, pada suatu hari ketika
rumah sedang sepi karean seisi rumah termasuk kucing itu sedang berpiknik di
kota, berkumpullah tikus-tikus itu untuk mengadakan konferensi dengan acara
membahas masalah yang sedang mereka hadapi. Kepala para tikus membuka
konferensi dan menjelaskan maksud serta tujuan konferensi. Secara ringkas,
maksud dan tujuan konferensi adalah mencari cara-cara untuk mengurangi, dan
jika mungkin meniadakan, jumlah tikus yang menjadi korban keganasan kucing
hitam jahanam itu.
Kemudian terjadilah dialog, tukar pendapat, musyawarah, dan diskusi hangat. Ada
yang mengusulkan agar para tikus bersama-sama menyerang si kucing dan
membunuhnya. Tetapi segera usul itu disanggah karena dianggap mustahil. Ada
juga yang mengusulkan agar pindah saja ke rumah lain yang tidak ada kucingnya.
Sebagian setuju, tetapi lebih banyak lagi yang tidak setuju. Suasana makin heboh.
Teriakan berapi-api, interupsi, dan gebrakan meja saling bersambutan. Setiap tikus
mengajukan usul-usul yang menurut pendapat masing-masing baik dan hebat.
Namun, tidak ada satu usul pun yang berhasil diterima secara bulat oleh sidang.
Pada akhirnya, ada seekor tikus yang mengangkat kakinya dan berkata: " Saya
punya usul. Bagaimana jika kita pasang saja sebuah lonceng kecil di leher kucing
itu? Dengan begitu, jika ia mendekati kita, kita dapat mendengarnya dan segera
melarikan diri."
Suasana sidang hening sejenak. Namun, kemudian suasana berubah menjadi riuh.
Semua bersorak dan bertepuk tangan. Itu usul yang sangat cemerlang! Maka,
ketika pemimpin sidang bertanya, apakah usulan terakhir dapat diterima,
terdengar suara koor serempak: " Setujuuuuu!"
Seketika itu juga tikus-tikus peserta konferensi terdiam. Tak ada satu pun yang
mengacungkan kakinya.
"Tidak adil," katanya. "Kakak dan saya harus bekerja keras setiap hari. Siang atau
malam, panas atau hujan, tidak ada bedanya. Seharian kita harus memikul beban
berat untuk majikan kita, sementara babi di sana itu sepanjang hari hanya tiduran
atau berkeliaran di kandangnya yang teduh dan sejuk. Anehnya, meski kita bekerja
keras, majikan kita hanya memberi kita makan seadanya, sedangkan babi itu
diberi banyak makanan yang enak-enak. Pantas saja babi itu gemuk, sementara
kita kurus kering, kurang gizi."
"Jangan menilai suatu hal dari apa yang tampak saja," jawab si kakak kuda. "Cara
hidup babi itu akan menentukan nasibnya. Sekarang ini ia diberi banyak makanan
yang enak-enak. Tetapi suatu saat nanti, bila babi itu sudah gemuk, majikan kita
akan menyembelihnya untuk jamuan pesta ria, sedangkan nasib kita lain."
"Jangan cepat-cepat menjadikan penafsiran dari apa yang kita saksikan menjadi
sebuah keputusan
sebelum mengetahui benar dan tidaknya maksud dan tujuan dari hal tersebut."
"Kamu lihat kan bagaimana kehidupan mereka yang miskin?" tanya sang ayah.
"Jadi, apa yang dapat kamu pelajari dari perjalanan ini?" tanya ayahnya lagi.
Si anak menjawab, "Saya melihat kenyataan bahwa kita mempunyai seekor anjing
sedangkan mereka memiliki empat ekor. Kita punya sebuah kolam yang
panjangnya hanya sampai ke tengah-tengah taman, sedangkan mereka memiliki
sungai kecil yang tak terhingga panjangnya. Kita memasang lampu taman yang
dibeli dari luar negeri dan mereka memiliki bintang-bintang di langit untuk
menerangi taman mereka.
Beranda rumah kita begitu lebar mencapai halaman depan dan milik mereka
seluas horison. Kita tinggal dan hidup di tanah yang sempit sedangkan mereka
mempunyai tanah sejauh mata memandang. Kita memiliki pelayan yang melayani
setiap kebutuhan kita tetapi mereka melayani diri mereka sendiri. Kita membeli
makanan yang akan kita makan, tetapi mereka menanam sendiri. Kita mempunyai
dinding indah yang melindungi diri kita dan mereka memiliki teman-teman untuk
menjaga kehidupan mereka."
Dengan cerita tersebut, sang ayah tidak dapat berkata apa-apa. Kemudian si anak
menambahkan, "Terima kasih, Pa, akhirnya aku tahu betapa miskinnya diri kita."
Terlalu sering kita melupakan apa yang kita miliki dan hanya berkonsentrasi
terhadap apa yang tidak kita miliki. Kadang kekurangan yang dimiliki seseorang
merupakan anugerah bagi orang lain. Semua berdasar pada perspektif setiap
pribadi. Pikirkanlah apa yang akan terjadi jika kita semua bersyukur kepada Tuhan
atas anugerah yang telah disediakan oleh-Nya bagi kita daripada kuatir untuk
meminta lebih lagi.
WARNA PERSAHABATAN
Di suatu masa warna-warna dunia mulai bertengkar. Semua menganggap
dirinyalah yang terbaik, yang paling penting, yang paling bermanfaat, yang paling
disukai.
HIJAU berkata:
"Jelas akulah yang terpenting. Aku adalah pertanda kehidupan dan harapan. Aku
dipilih untuk mewarnai rerumputan, pepohonan dan dedaunan. Tanpa aku, semua
hewan akan mati. Lihatlah ke pedesaan, aku adalah warna mayoritas ..."
BIRU menginterupsi:
"Kamu hanya berpikir tentang bumi. Pertimbangkanlah langit dan samudra luas.
Airlah yang menjadi dasar kehidupan dan awan mengambil kekuatan dari
kedalaman lautan. Langit memberikan ruang dan kedamaian dan ketenangan.
Tanpa kedamaian, kamu semua tidak akan menjadi apa-apa."
KUNING cekikikan:
"Kalian semua serius amat sih? Aku membawa tawa, kesenangan dan kehangatan
bagi dunia. Matahari berwarna kuning, dan bintang-bintang berwarna kuning.
Setiap kali kau melihat bunga matahari, seluruh dunia mulai tersenyum. Tanpa aku,
dunia tidak ada kesenangan."
Jadi, setiap kali hujan deras menotok membasahi dunia, dan saat pelangi
memunculkan diri di angkasa, marilah kita mengingat untuk selalu menghargai
satu sama lain.
Masing-masing kita mempunyai sesuatu yang unik. Kita semua diberikan kelebihan
untuk membuat perubahan di dunia. Dan saat kita menyadari pemberian itu, Lewat
kekuatan visi kita, kita memperoleh kemampuan untuk membentuk masa depan.
"Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang
yang berbeda.
Oleh karenanya cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah lalu. "
"Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," ujar Nasrudin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat,
sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian
hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan
rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama
dengan hari sebelumnya.
"Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai
kuda brengsek itu!"
BELALANG
Seekor belalang A yang telah lama terkurung dalam sebuah kotak, suatu hari
berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya. Dengan gembira ia melompat-
lompat menikmati kebebasannya. Diperjalanan dia bertemu dengan belalang B,
namun dia keheranan mengapa belalang B itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih
jauh darinya.
~~~
Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal
yang sama dengan belalang A. Lingkungan yang buruk, hinaan, masa lalu yang
buruk, kegagalan yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga seolah
membuat kita terkurung kotak semu yang membatasi semua kelebihan kita. Lebih
sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada
kita tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu? Bahkan lebih buruk lagi,
kita lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.
Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak
hanya menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah
berusaha mencapai apapun yang Anda ingin capai. Sakit memang, lelah
memang... tapi bila Anda sudah sampai di puncak semua pengorbanan itu pasti
akan terbayar.
Kehidupan Anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan Anda.
Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan untuk Anda.
Ada 2 buah bibit tanaman yang terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit yang
pertama berkata, "Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menjejakkan akarku dalam-
dalam di tanah ini, dan menjulangkan tunas-tunasku di atas kerasnya tanah ini.
Aku ingin membentangkan semua tunasku, untuk menyampaikan salam musim
semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari, dan kelembutan embun pagi di
pucuk-pucuk daunku."
Bibit yang kedua bergumam. "Aku takut. Jika kutanamkan akarku ke dalam tanah
ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat
gelap? Dan jika kuteroboskan tunasku keatas, bukankah nanti keindahan tunas-
tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika
tunasku terbuka, dan siput-siput mencoba untuk memakannya? Dan pasti, jika aku
tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari
tanah. Tidak, akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman."
Beberapa pekan kemudian, seekor ayam mengais tanah itu, menemukan bibit
yang kedua tadi, dan mencaploknya segera.
Renungan :
Memang, selalu saja ada pilihan dalam hidup. Selalu saja ada lakon-lakon yang
harus kita jalani. Namun, seringkali kita berada dalam kepesimisan, kengerian,
keraguan, dan kebimbangan-kebimbangan yang kita ciptakan sendiri. Kita kerap
terbuai dengan alasan-alasan untuk tak mau melangkah, tak mau menatap hidup.
Karena hidup adalah pilihan, maka, hadapilah itu dengan gagah. Dan karena hidup
adalah pilihan, maka, pilihlah dengan bijak.
OLIMPIADE TERINDAH
Beberapa tahun lalu, diadakan olimpiade khusus orang-orang cacat di Seattle. Saat
itu dilakukan pertandingan lari jarak 100 meter. Sembilan pelari telah bersiap-siap
di tempat start masing-masing.
Ketika pistol tanda pertandingan dinyalakkan, mereka semua berlari, meski tidak
tepat berada di garis lintasannya, namun semuanya berlari dengan wajah gembira
menuju garis finish dan berusaha untuk memenangkan pertandingan. Kecuali,
seorang pelari, anak lelaki, tiba-tiba tersandung dan terjatuh berguling beberapa
kali. Ia lalu menangis.
Delapan pelari mendengar tangisan anak lelaki yang terjatuh itu. Mereka lalu
memperlambat lari mereka dan menoleh ke belakang. Mereka semua berbalik dan
berlarian menuju anak lelaki yang terjatuh di tanah itu.
Seluruh penonton yang ada di stadion itu berdiri, memberikan salut selama
beberapa lama. Mereka yang berada di sana saat itu masih saja tak bosan-
bosannya meneruskan kejadian ini. Tahukah anda mengapa? Karena di dalam diri
kita yang terdalam kita tahu bahwa: dalam hidup ini tak ada yang jauh lebih
berharga daripada kemenangan bagi kita semua. Yang terpenting dalam hidup ini
adalah saling tolong menolong meraih kemenangan, meski kita harus mengalah
dan mengubah diri kita sendiri.
Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan iu menangis
dengan memilukan selama berjam-jam, semetara si petani memikirkan apa yang
harus dilakukannya.
Akhirnya, Ia memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu
ditimbun (ditutup - karena berbahaya); jadi tidak berguna untuk menolong si
keledai. ia mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya. mereka
membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.
Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi,ia menangis
penuh kengerian. Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai
menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur,si
petani melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya.
Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita
dapat keluar dari 'sumur' yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah
menyerah! Guncangkanlah hal negatif yang menimpa dan melangkahlah naik !!!
Seseorang telah mengirimkan hal ini untuk kupikirkan, maka aku meneruskannya
kepadamu dengan maksud yang sama.
"Entah ini adalah waktu kita yang terbaik atau waktu kita yang terburuk,
inilah satu-satunya waktu yang kita miliki saat ini !"
Saat ini aku ada di surga, duduk di pangkuan Tuhan. Tuhan sangatlah mengasihiku
dan Ia turut menangis bersamaku. Ia menangisi hatiku yang telah dihancurkan.
Sebelumnya aku amat diinginkan untuk menjadi seorang gadis kecil.
Aku tak begitu mengerti tentang apa yang telah terjadi. Aku dulu begitu senang
saat aku mulai menyadari keberadaanku. Aku ada di dalam tempat yang gelap
namun nyaman. Kupandangi jari tangan dan kakiku. Alangkah cantik diriku dalam
masa perkembanganku, walaupun belum dekat masanya sampai tibanya saat aku
telah siap meninggalkan lingkunganku itu.
Aku habiskan sebagian besar waktuku dengan tidur ataupun berfikir. Bahkan pada
hari-hari terawal hidupku, aku merasakan hubungan istimewa antara aku dan
Mama. Kadang aku mendengar Mama menangis. Kadang-kadang Mama berteriak
atau menjerit, lalu menangis. Kudengar Papa balik berteriak, aku merasa sedih dan
berharap bahwa Mama akan segera pulih. Aku berfikir, kenapa kiranya Mama
sering menangis. Pernah hampir seharian Mama menangis. Aku turut sedih. Tak
dapat kubayangkan kenapa Mama sesedih itu.
Pada hari yang sama, sesuatu yang mengerikan terjadi. Monster yang amat
mengerikan memasuki tempat yang hangat dan menyenangkan tempat aku
berada. Aku amat takut dan mulai berteriak, namun tak sekalipun engkau
mencoba menolongku. Mungkin engkau tak pernah mendengarku.
Monster itu dekat dan lebih dekat lagi, sedang aku berteriak dan berteriak lagi,
"Mama, Mama ... tolonglah aku; Mama, tolong aku". Lengkaplah teror yang
kualami. Aku berteriak dan berteriak hingga kupikir aku tak mampu lagi
melakukannya. Lalu monster itu mengoyakkan lenganku. Amat sakit rasanya,
nyerinya tak dapat kuterangkan. Teror itu tak berhenti. Oh, betapa aku memohon
kepadanya untuk berhenti. Aku berteriak ngeri saat monster itu mengoyak lepas
tungkaiku.
Walaupun aku telah mengalami teror seperti itu, aku masih sekarat. Kutahu aku
takkan pernah memandang wajah Mama, atau mendengar Mama berkata
kepadaku betapa Mama menyayangiku. Aku ingin melenyapkan semua air mata
Mama. Kubuat banyak rencana untuk membuat Mama bahagia. Aku tak bisa;
seluruh mimpiku telah buyar. Walau aku berada dalam nyeri dan kengerian yang
hebat, di atas semuanya aku merasakan nyerinya hatiku yang hancur. Aku tak
mengharapkan sesuatu selain menjadi anak Mama.
Tak ada gunanya lagi kini, aku telah mengalami kematian yang menyakitkan. Aku
hanya dapat membayangkan hal-hal buruk yang telah mereka buat terhadap diri
Mama. Aku ingin memberitahu Mama sebelum aku pergi bahwa aku mencintai
Mama, namun aku tak tahu kata-kata apa yang Mama dapat mengerti. Dan segera
sesudahnya, aku tak lagi memiliki nafas untuk mengucapkannya; aku mati.
Aku merasakan kebangkitan diriku. Aku dihantar oleh malaikat memasuki tempat
besar yang indah. Aku masih menangis, namun sakit fisik kini telah lenyap.
Malaikat itu membawaku kepada Tuhan, lalu meletakkanku di pangkuanNya. Ia
berkata bahwa Ia mencintaiku. Maka aku gembira. Aku menanyakan apakah
kiranya yang telah membunuhku. Ia menjawab, "Aborsi. Aku menyesal, sebab
Aku tahu bagaimana rasanya." Aku tak tahu apa itu aborsi; kupikir itu adalah
nama dari monster tadi.
Aku menulis untuk mengatakan aku mencintai Mama dan untuk memberitahu
Mama betapa inginnya aku menjadi gadis kecil Mama. Aku telah berjuang keras
untuk hidup. Aku ingin hidup. Aku punya kemauan itu, tapi aku tak sanggup;
monster itu terlampau kuat. Monster itu telah menyedot lepas lengan dan
tungkaiku, kemudian seluruh diriku. Tak mungkin untuk hidup. Aku ingin Mama
tahu bahwa aku telah berjuang untuk tetap tinggal bersama Mama. Aku tak ingin
mati.
Mama, tolong awasi pula si monster aborsi. Mama, aku sayang Mama. Dan aku
juga tak suka Mama mengalami nyeri seperti yang telah kualami.
Tolong hati-hati Mama.
Dengan Cinta,
Bayi Perempuanmu
"Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama di orang tua di
sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu,
18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh dipedalaman dan tidak
memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat
senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau
menonton bioskop.
Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk
menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan
kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar
belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk
mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil
di bengkel.
Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau disini jam 5
sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama." Segera saja saya
menyelesaikan pekerjaan- pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian,
saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan
John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul
5:30, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput
ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 6:00. Dengan
gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?" Saya sangat malu untuk
mengakui bahwa saya menonton film,sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya
belum siap sehingga saya harus menunggu." Padahal, ternyata
tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini
ayah tahu kalau saya berbohong.
Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga
kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah.
Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan
berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."
Lalu, ayah dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan
kaki pulang ke rumah.
Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak
bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai
mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah
hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saja tidak pernah akan berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai
episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya
sebagaimana kita menghukum anak-anak kita maka apakah saya akan
mendapatkan sebuah pelajaran mengenai tanpa-kekerasan? Saya kira tidak. Saya
akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi,
hanya dengan satu tindakan tanpa-kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga
saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa-
kekerasan."