Anda di halaman 1dari 175

Bab 1

Sebelumnya, pertemuan

Aku ingin menjadi Cheddarman[1].


Cheddarman adalah pahlawan yang selalu ayah ceritakan menjelang tidur.
Cheddarman adalah pembela kebenaran!
Dia mencintai perdamaian dan suka membantu orang lain.
Biasanya dia mengenakan mantel, dan bisa terbang di udara. Saat mendengar jeritan minta
tolong dia akan langsung menuju ke tempat itu.
Dia rela mengorbankan dirinya sendiri demi melindungi orang lain.
Jika ada yang lapar, dia bahkan merobek sebagian wajahnya yang terbuat dari keju, lalu
memberikannya pada orang itu.
Karena pembela kebenaran, tentu saja Cheddarman tidak akan memaafkan orang-orang jahat.
Jika ada orang jahat yang mengganggu perdamaian, dia akan segera meringkusnya.
Meskipun orang jahat itu begitu kuat, Cheddarman tidak akan lari.
Atas nama cinta dan kebenaran, pukulan Cheddarman akan mengalahkan setiap penjahat, dan
kembali membawanya ke jalan yang benar.
Kejahatan akan kalah, dan perdamaian kembali.
Saat mendengar kisah itu aku masih berusia 5 tahun, dan itu sangat keren.
Aku sangat ingin bertemu Cheddarman, tapi di mana dia?
Aku pernah menanyakannya pada ayah, tapi dengan senyum lebar di wajahnya, dia hanya
membalas, “Dia berada di tempat yang sangat jauh.... jadi, tidak mudah bertemu
dengannya… tapi kalau kau bersikap baik, mungkin suatu saat akan bertemu dengannya.”
Tapi saat itu, entah kenapa aku merasa Cheddarman sangat dekat.
Aku pun bingung, kenapa aku berpikir begitu...........
Mungkin karena ayahku?
Aku ingat, ayah sering meluangkan waktunya untuk memberi makan orang-orang miskin
yang memerlukan bantuan.
Dia selalu bertanya pada mereka, “Apa kau lapar? Kapan terakhir kali kau makan enak?”
Aku juga ingat ayah pernah memberi makan seorang perempuan ras hewan yang meringkuk
di kakinya. Makanan yang diberinya adalah keju dan daging.
Jadi.............
Ayahku adalah Cheddarman!
Saat itu pun aku yakin bahwa ayah adalah pahlawan yang selalu diceritakannya.
Aku juga dengar cerita tentang ayah dari seseorang yang pernah menjadi musuhnya.
Dia menceirtakan kisah heroik saat ayah bertarung dengannya.
Itu adalah pertarungan yang penting, bahkan nasib suatu negara dipertaruhkan olehnya.
Banyak prajurit terkenal berkumpul saat itu, lalu mereka bertarung, dan beberapa meninggal.
Singkat cerita, dia dikalahkan oleh ayahku, dan pasukannya pun menyerah.
Saat mengingat kembali pertarungan sengit itu, dia berkata.....
“Waktu itu, aku layak kalah. Aku jahat, angkuh, dan suka memandang rendah lawan-
lawanku. Aku jauh lebih kuat dari ayahmu, tapi dia berhasil mengalahkanku.”
Dia lebih kuat dari ayah. Namun, ayah terus bertarung, dan tidak lari.
Demi orang-orang yang disayanginya, ayah mengumpulkan segenap keberaniannya untuk
mengalahkan orang ini.
Lagi-lagi, saat mendengar itu, aku hanya bisa membayangkan bahwa ayah adalah
Cheddarman.
Dia adalah pembela kebenaran.
Orang yang paling kukagumi saat itu adalah ayah.
Karena terinspirasi olehnya, aku juga ingin menjadi pembela kebenaran.
Selain itu, aku juga ingin menjaga perdamaian seperti Cheddarman.
Tapi, bagaimana caranya?
Saat aku bertanya pada orang yang pernah dikalahkan ayahku itu, dia menjawab.....
“Kau bisa mewujudkannya dengan berusaha keras. Perkuat tubuhmu, dan berlatihlah sihir
dan ilmu pedang.”
Saat itu juga, aku memutuskan berlatih pedang bersama mantan musuh ayah yang sekarang
sudah menjadi temannya itu.
Bukan berarti aku berhenti berlatih sihir dan pedang dari ayah dan Mama Merah, aku tetap
melakukannya, tapi aku juga menjalani latihan ekstra bersama teman ayah itu. Kalau sudah
kuat nanti, aku ingin membuat ayah dan mama terkejut dan kagum padaku.
Lagipula, teman ayah adalah orang yang hebat. Dia adalah pendekar terkuat Teknik Dewa
Utara, orang-orang menyebutnya Kalman III.
Awalnya dia tidak mau.
Dia merasa kurang berpengalaman sebagai guru.
Namun, atas nasehat bos ayah, akhirnya dia berkenan melatihku.
Dia pun resmi menjadi Shishou-ku.
Saat berlatih pedang bersamanya, dia juga mengajari berbagai hal tentang menjadi pembela
kebenaran.
Sepertinya Shishou juga pernah ingin menjadi pembela kebenaran. Itulah sebabnya dia tahu
banyak hal.
Katanya, meskipun kau menghadapi lawan yang kuat, kau harus terus melawannya, dan
jangan pernah mengalah.
Jika kau bertarung, jangan pernah mengharapkan imbalan atau ketenaran.
Dia juga bilang, jangan pernah menilai baik dan buruk dari penampilannya saja.
Masih banyak ajaran lainnya, tapi tiga hal itulah yang paling kuingat.
Untuk mengamalkan ajaran-ajaran itu, aku mendaftar di Akademi Sihir Ranoa di usia 7
tahun. Di sekolah pun, aku terus berusaha menjadi pembela kebenaran.
Aku menjadi anggota Dewan Siswa, dan sering berkeliling sekolah untuk melawan bocah-
bocah nakal.
Pelajar di Ranoa ada yang berasal dari golongan bangsawan, ada pula petualang pemula, tapi
mereka bukan tandinganku.
Aku pun tidak pernah membedakan mereka, siapapun yang berbuat jahat, aku akan
menghajarnya.
Meskipun begitu, pelanggaran di sekolah tidak pernah habis. Selalu saja ada bocah-bocah
nakal yang membuat ulah. Tapi setidaknya, aku telah menemukan tempat di mana aku bisa
menegakkan keadilan.
Sebagai pembela keadilan, aku mendapat banyak teman, bahkan populer di kalangan para
gadis.
Para guru juga memuji kinerjaku.
Tapi, kakakku malah menertawaiku dengan sinis.
“Sieg, kamu benar-benar bodoh ~”
Saat itu, aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
Kakakku itu memang aneh.
Dia selalu menunggangi anjing peliharaan kami ke mana-mana, dan jarang berbicara pada
orang lain.
Dia suka malas-malasan, jahil, dan jarang belajar.
Aku tidak paham apa yang dia pikirkan.
Maka, kurasa perkataannya itu hanya celotehan biasa.
Namun, ketika mendekati kelulusan, akhirnya aku paham apa yang dia maksudkan.

Aku belajar sihir sejak kecil, dan setelah merayakan ulang tahunku yang ke-15, aku lulus dari
Akademi Sihir Ranoa, lalu melanjutkan ke Akademi Kerajaan Asura.
Aku meninggalkan Sharia tanpa memberitahu siapapun.
Berpisah dengan Shishou dan keluargaku memang berat, tapi itulah jalan yang harus
kutempuh untuk menjadi pembela kebenaran. Dengan bekal ilmu yang kudapat selama ini,
aku akan berusaha menjadi pendekar yang lebih hebat.
Itulah yang selalu menjadi harapanku.
Akademi Kerajaan Asura.
Itu adalah tempat yang indah, karena sudah lama dibangun dan dikembangkan oleh Kerajaan
Asura.
Bangunannya sebesar gedung-gedung sekolah di Ranoa, tapi dekorasinya lebih bagus, terbuat
dari kaca dan renda.
Seragamnya juga mirip Akademi Sihir Ranoa, tapi lebih mewah. Pakaian itu begitu cocok
dikenakan bangsawan-bangsawan Asura yang cantik dan tampan.
Kalau adikku melihatnya, dia pasti akan terkagum-kagum.
Namun, kemegahan akademi ini tidak seindah kehidupan sekolahku di Asura.
Kenapa jadi begini? Apakah karena seseorang menindasku?
Tidak.
Tidak ada yang bisa menindasku di sekolah ini. Shishou sudah banyak memberiku latihan
keras. Meskipun ada orang yang berusaha menindasku, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku pun dikucilkan.
Penyebabnya adalah, warna rambutku yang hijau.
Sepertinya orang-orang di sekolah ini tidak suka rambut hijau.
Mungkin karena rambut hijau merepresentasikan Ras Supard.
Setahuku, Ras Supard adalah bagian dari Ras Iblis, yang 400 tahun lalu katanya telah
melakukan perbuatan mengerikan terhadap manusia. Itulah kenapa ras manusia trauma pada
orang berambut hijau, sehingga mereka mengucilkannya.
Kalau aku sih, tidak pernah memikirkan warna rambutku.
Karena ayah dan ibu berulang kali mengatakan bahwa cerita itu tidak benar.
Mungkin benar, Ras Supard telah melakukan perbuatan mengerikan 400 tahun yang lalu, tapi
bukan berarti kita boleh mendiskriminasi orang-orang berambut hijau.
Kita tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.
Sebenarnya, pamanku adalah Ras Supard, dan begitupun keponakanku.
Aku pernah bertemu dengan mereka dan saling mengobrol. Semuanya baik-baik saja, tidak
ada yang naeh.
Yah, tapi pamanku itu sedikit keras kepala, sih.
Orang-orang di Sharia juga tidak pernah mempermasalahkan warna rambutku.
Meskipun begitu, katanya ibu sangat khawatir saat melahirkanku dulu. Orang-orang juga
sempat membicarakannya, tapi hanya sebatas itu.
Jarang sekali aku mendengar orang menjelek-jelekkan Ras Supard di Ranoa.
Sayangnya, di Asura semuanya berbeda.
Saat menghadiri upacara penerimaan, seseorang berteriak padaku, “Iblis!!” dan seketika
terjadi kegaduhan.
Para guru dan pengawal muncul, lalu mengelilingiku.
Sebagai pembela kebenaran, harusnya aku tidak boleh tinggal diam. Harusnya aku
memperjuangkan hakku.
Tapi saat itu aku tidak tahu apa yang terjadi.
Aku tidak mengerti mengapa aku dikepung.
Kemudian, saat kusebutkan nama lengkapku, tiba-tiba mereka menghentikan pengepungan
itu, lalu membubarkan diri seolah tidak terjadi apapun.
Sayangnya, karena murid-murid masih panik, akhirnya aku dipindahkan ke tempat lain.
Lalu, seorang guru menjelaskan semuanya padaku.
Karena sebagian besar pelajar di Akademi Kerajaan Asura merupakan ras manusia, maka
mereka masih mempercayai cerita lawas yang mengatakan bahwa Ras Supard adalah iblis.
Pertama-tama, kutegaskan bahwa aku bukan Ras Supard.
Memang pamanku adalah Ras Supard, tapi kami tidak mempunyai hubungan darah. Dan
rambut hijauku ini hanyalah hasil mutasi.
Namun, sebenarnya masalahnya bukanlah aku berasal dari Ras Supard atau tidak.
Pokok permasalahannya adalah, aku tampak seperti mereka.
Upacara penerimaan akhirnya selesai dengan aman, tapi aku dikucilkan.
Tak seorang pun mencoba menyapaku, maka aku juga mengabaikan mereka.
Tapi, tujuanku tidak berubah, yaitu menjadi pembela keadilan.
Jika aku banyak berbuat baik, maka mereka akan mengerti aku bukan orang jahat.
Harapannya, lambat-laun mereka tidak lagi menilaiku dari rambut hijauku saja.
Di sekolah sebelumnya aku melakukan itu, dan sekarang pun begitu.
Dengan niat menjadi pembela kebenaran di dadaku, aku menyelamatkan anak kecil pemalu
yang dibully oleh bocah-bocah lainnya.
Namun, meskipun aku membantunya, dia tidak mau berbicara padaku.
Kalau kupikir-pikir lagi, itu wajar saja, karena jika dia berteman denganku, maka bocah-
bocah itu akan semakin membully-nya.
Sayangnya, saat itu aku tidak berpikir sejauh itu.
Meskipun begitu, tujuanku tidak berubah, yaitu menjadi pembela kebenaran. Terus saja
menegakkan kebenaran, lama-kelamaan mereka pasti memperhatikanmu.
Itulah yang selalu diajarkan Shishou padaku.
Namun, keesokan harinya, beberapa Senpai datang menemuiku.
Mereka menjelaskan pengaruh pelajar-pelajar elit di sekolah ini. Ternyata, bocah-bocah
pembully yang kuhajar kemarin adalah pelajar elit. Mereka adalah bangsawan kelas atas yang
akan menjadi pemimpin keluarga kelak. Dia juga menjelaskan betapa besar pengaruh
keluarga bangsawan pada Kerajaan Asura.
“Berterimakasihlah pada ayahmu. Jika bukan karena hubungan baik ayahmu dan Yang Mulia
Ariel, kau dan rambut hijaumu itu pasti sudah diusir dari sekolah ini.”
Berterimakasih pada ayah.
Entah kenapa kata-kata itu terasa seperti duri tajam yang menembus dadaku.
Ayah adalah orang yang hebat.
Dia sangat terkenal di Sharia, dan merupakan salah satu dari Tujuh Kekuatan Dunia. Belum
lagi, dia dikenal sebagai Tangan Kanan Dewa Naga Orsted.
Tidak berlebihan jika dia disebut penyihir kelas atas.
Dia bahkan mengetuai perusahaan jasa prajurit bayaran yang disebut PT. Rudo. Cabangnya
tidak hanya di Ranoa, melainkan tersebar di seluruh dunia.
Ratu Asura yang sekarang menjabat juga teman akrabnya. Mereka dulu sama-sama
bersekolah di Ranoa, bersama juga ibuku.
Ayah merupakan teman akrab Kepala Akademi Sihir Ranoa. Dia kenal banyak orang hebat di
dunia, termasuk pemimpin-pemimpin kerajaan lain.
Kesuksesan ayah tidak hanya soal koneksi. Dia adalah penyihir jenius yang menciptakan
Magic Armor. Ayah juga memiliki mata iblis yang bisa meramal kejadian beberapa detik di
masa depan. Katanya, ayah pernah membunuh naga hanya dengan sekali-dua kali tebasan.
Bahkan Shishou-ku, Dewa Utara Kalman III, mengakui kehebatan ayah.
Meskipun tidak menjabat sebagai apapun, ayah memiliki pengaruh begitu besar di Ranoa,
khususnya Sharia.
Dan aku… adalah anaknya......
Kata-kata senpai membuatku menyadarinya sekali lagi.
Saat itu juga, aku mengingat kembali kenanganku selama tinggal di Ranoa.
Meskipun aku menghajar seseorang atas nama keadilan, tak ada yang akan protes.
Semuanya menerimanya.
Ah benar juga.....
Siapa yang berani mencela anak seorang Rudeus Greyrat?
Aku selalu ingin menjadi pembela kebenaran, tapi apakah orang-orang yang kuhajar selalu
jahat? Tak peduli jahat atau tidak, mereka diam saja.
Alasannya bukan karena aku berhasil menegakkan kebenaran, tapi hanya karena aku anak
Rudeus Greyrat.
Jika komplain, mereka takut ayah akan melakukan sesuatu padanya.
Meskipun ayah tidak berniat melakukan apapun, mereka masih saja takut.
Itulah yang menyebabkan mereka tidak pernah menentangku.
Sekarang aku tahu.....
Selama ini, tidak ada yang berani menentangku hanya karena takut pada ayah.
Namun di sini, di Kerajaan Asura, pengaruh ayah tidak sebesar itu.
Bukannya pengaruh ayah lenyap di sini, namun tidak sekuat di Ranoa.
Itu membuat mereka tidak takut lagi padaku.
Tapi, seakan Senpai meremehkan itu semua. Dia menganggap hubungan baik ayah dan Ariel-
sama lah yang menyelamatkanku. Itu berarti otoritas Asura lebih tinggi daripada prestasi
ayah.
Tentu saja, dia masih mempermasalahkan warna rambutku.
Tampaknya isu ras masih menjadi perhatian para bangsawan kelas atas.
Namun, yang membekas di pikiranku adalah, jika misalnya ayahku hanyalah seorang
pedagang biasa atau semacamnya, mungkin orang-orang di Ranoa sudah lama menghujatku.
Jadi, selama ini..... aku bukanlah pembela kebenaran.
Aku hanyalah bocah nakal anak penyihir hebat yang suka menghajar orang.
Itu sangat menyedihkan, namun memang begitulah kenyataannya.
Tapi, tujuan hidupku menjadi pembela kebenaran belum pupus.
Meskipun aku salah sangka, namun semua kerja kerasku menjadi pembela kebenaran tidak
akan berakhir sia-sia.
Setidaknya..........
...........sampai aku mengingat kembali apa yang kakakku katakan, “Sieg, kamu benar-benar
bodoh....” dia benar, dan aku sudah paham maksudnya. Perkataan itu terasa seperti pukulan
telak yang menghajarku habis-habisan.
Sekarang mataku sudah terbuka, jadi.... semuanya berubah.
Pada hari itu juga, impianku menjadi pembela kebenaran lenyap, dan dimulailah masa
sekolah yang kelam.

Kehidupan sekolahku yang kelam berlanjut beberapa bulan kemudian.
Tidak ada orang yang kuajak bicara, begitupun sebaliknya.
Aku tidak lagi bermain menjadi pahlawan yang membela kebenaran.
Aku penasaran, jika Cheddarman tidak dianggap oleh orang-orang yang diselamatkannya,
apakah dia akan berhenti menjadi pahlawan....
Dalam keadaan terpuruk seperti itu, kakak laki-lakiku yang telah mendaftar sekolah tahun
lalu datang berkunjung. Tapi situasi tidak banyak berubah.
Karena sering mengurung diri, aku perlahan-lahan berhenti menghadiri kelas di sekolah.
Bukan berarti kelasnya membosankan.
Salah satu materi yang diajarkan di kelas adalah perbedaan budaya antara Kerajaan Asura
dan Ranoa, menurutku itu cukup menarik. Ada juga pelajaran tentang ilmu matematika dan
ekonomi, tampaknya para bangsawan membutuhkan pelajaran itu, tapi bagi mantan pelajar
Ranoa sepertiku, materi seperti itu terlalu sulit.
Sayangnya aku berbeda dengan mereka, bahkan keinginanku untuk belajar sudah meredup.
Yang kulakukan belakangan ini hanyalah bolos kelas, tiduran di lapangan belakang sekolah,
sembari melihat awan yang melayang-layang di langit.
Keluarga menuntutku menyelesaikan sekolah dalam waktu tiga tahun.
Tapi jujur saja, sepertinya aku tidak sampai setengahnya.
Aku tidak punya teman, dan keinginan untuk melanjutkan sekolah.
Dalam keadaan seperti ini, buat apa aku sekolah?
Jika ada orang yang bisa kuajak konsultasi, aku ingin minta saran sebanyak mungkin.
Mungkin, kakak laki-lakiku bisa.....
Tapi, menjadi pembolos seperti ini agaknya mempengaruhi mentalku. Aku bahkan tidak
punya keberanian berbicara pada orang lain.
Sampai akhirnya pada suatu hari.......
Kehidupan sekolahku yang kelam ini berakhir.
Hari itu, aku bertemu dengan pria itu.
Sebenarnya aku tidak sengaja bertemu dengannya.... atau mungkin lebih tepatnya, aku
‘menemukannya’.
Saat aku duduk-duduk di dekat pohon sembari melihat anak-anak lain yang asyik sekolah,
tiba-tiba aku melihat seorang bocah yang tampaknya senasib denganku.
Dia dikucilkan, diabaikan, dan terlihat begitu suram.
Tadinya kukira akulah satu-satunya yang bernasib begini.
Tapi.... berbeda denganku.... dia tidak bolos sekolah. Meskipun dikucilkan, dia tetap
menghadiri kelasnya.
Dia terus belajar giat, meskipun teman-teman bahkan gurunya memperlakukannya dengan
dingin.
Aku tertatik pada bocah ini, dan sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.
Pada suatu hari, dia datang menemuiku.
Dia mengangkat tangan, lalu berbicara padaku dengan santai.
“Hey, apakah kau tidak masuk sekolah?”
Kalau diamati lebih dekat, bocah ini tampak aneh.
Dia kecil tapi tidak normal, mungkinkah dia Ras Dwarf? Atau hanya anak keturunan Dwarf?
Dia pendek, namun badannya lebar. Entah kenapa postur tubuhnya tampak begitu kokoh.
Sekilas dia tampak gemuk, namun sebenarnya tidak.
Sebenarnya, bukan perawakannya yang menonjol.
“Ayo ikut aku. Aku sedang mencari teman yang bisa kuajak belajar bersama.... kenapa kau
sendirian? Apakah karena warna rambutmu?”
Rambut bocah itu berwarna biru cerah.
Berbeda denganku.
Namun, warna rambut kami sama-sama menonjol.
Mungkin, itu jugalah penyebab dia diabaikan.
“…”
"Baiklah, ayo berteman denganku!"
Aku hanya bisa tertegun mendengarnya. Dari tadi aku hanya diam, tapi apakah dia
menganggap aku setuju berteman dengannya. Dia membungkuk sembari mengulurkan
tangannya.
Anehnya, aku segera meresponnya dengan menjabat tangannya.
“Namaku Pax. Kalau kau?"
Sieg.
Dengan begitu, pertemananku dengan Pax dimulai......
Bab 2
Sekarang, pengangguran

Sieg!
Aku mendengar suara.
Suara yang kudengar setiap hari.
“Sampai kapan kau mau tidur! Bangunlah!"
Aku pun bangun.
Aku meregangkan tubuhku sembari menguap, lalu kulihat keluar jendela. Matahari sudah
naik jauh di langit.
Saat aku menoleh pada orang yang membangunkanku, kudapati sosok wanita berambut putih
yang sedang memegang pinggulnya. Dia ibuku.
“Cepatlah makan, nanti sarapanmu bisa basi!”
"… Ah."
Aku pun menuruti kata ibu, lalu meninggalkan tempat tidur tanpa bersalin.
“Dan jangan membersihkan kamarmu kalau lagi mood saja!”
"B-baik ma...."
Sembari membalas ceramah ibu, aku menuruni tangga menuju meja makan.
"Selamat pagi."
“… Pagi.”
Di meja makan sudah ada Mama Merah.
Saat melihat penampilanku yang masih acak-acakan, dia melirik tajam.
“Cepat makan!”
“… Ya.”
Di meja makan ada sebuah keranjang yang ditutupi kain.
Kubuka kain itu, dan kudapati sarapan yang biasa kumakan setiap hari, seperti roti, sup, dan
salad.
Tentu saja, semuanya sudah dingin.
Aku pun makan sembari dipelototi Mama Merah.
Bukannya aku tidak suka makanan yang sudah dingin, tapi tatapan tajam Mama Merah
membuatnya semakin sulit dimakan.
“Jadi, hari ini kau mau ke mana?”
"… tidak ke mana-mana.”
“Mengapa kamu tidak pergi mencari pekerjaan!!?”
“Meski Mama Merah memaksaku, aku sudah puas dengan kehidupanku sekarang.”
Saat kukatakan itu, aura Mama Merah berubah menjadi semakin gelap.
Ibuku yang berambut merah ini memang mengerikan.
Waktu kecil dulu, saat aku dan saudaraku berbuat kesalahan, Mama Merah akan langsung
menangkap kami, lalu menampar pantat kami sampai semerah rambutnya.
Setelah kami tumbuh dewasa, Mama Merah sudah jarang melakukan itu, tapi bukannya tidak
pernah. Itulah yang membuat kami masih takut padanya.
“Apa yang membuatmu puas dengan kehidupanmu sekarang?”
“Puas ya puas. Saat ini, aku sangat bangga dengan hidup yang kujalani."
"Aku tidak melihat suatu hal pun yang bisa kau banggakan!!"
“Itu karena Mama Merah tidak memahami hal yang kurasakan.”
“……”
Mama Merah tidak bisa berbicara manis dan bertele-tele.
Dalam hal berdebat, hanya sedikit orang yang bisa menjinakkannya.
Begitu pun dalam hal bertarung, di dunia ini tidak banyak orang yang bisa mengalahkan
Mama Merah dalam pertarungan pedang.
Saat kalah debat, dia akan menggunakan kekerasan untuk membalas.
Itulah sebabnya dia pernah dijuluki Mad Dog.
Tapi dia tidak pernah serius memukul keluarganya.
Maksudku, selama aku tidak melakukan kesalahan ‘parah’, dia tidak akan serius memukulku.
Mulutnya manyun, dan dia terus menatapku tanpa kata.
“……”
Supaya lepas dari tajamnya tatapan Mama Merah, aku harus cepat-cepat menyelesaikan
sarapan ini.
Aku pun tidak ingin dia meledak.
"Terimakasih atas makanannya yang lezat...."
“Kalau hari ini kau tidak ada kerjaan, mengapa tidak kau antarkan saja Bento itu. Lagi-lagi
Roxy lupa membawanya.”
Sembari mengatakan itu, dia menuntuk kotak makan yang diletakkan di sudut meja.
“Mama Biru, masih saja lupa membawa Bento.....”
“Kau tidak keberatan, kan?”
"Tentu saja tidak, biar aku yang urus."
Setelah selesai mencuci piring, sembari membawa Bento di tangan, aku bergegas keluar
seperti anak yang kabur dari rumah.
“Ah, Sieg… Bento itu..... jadi kau yang mengirimnya? Terima kasih ya......"
Saat aku hendak keluar, Mama Putih baru saja melihatku, lalu dia katakan itu.
“Tunggu dulu... kalau mau keluar, bukankah kau harus ganti baju dulu?”
"O ~ kay."
“Jangan lupa menyikat gigi juga…”
“Aku mengerti, aku mengerti!!”
Agar Mama Putih tidak banyak ceramah, aku segera melaksanakan perintahnya.
"Ugh!"
Aku masih bisa mendengar desahan jengkel ibuku di belakang.

Namaku Sieg.
Lengkapnya, Sieghardt Saladin Greyrat.
Tapi semua orang memanggilku Sieg.
Aku anak kedua dari Keluarga Greyrat yang tinggal di Kota Sihir Sharia, Kerajaan Ranoa.
Aku anak keempat dari enam bersaudara.
Aku memiliki dua kakak perempuan, satu kakak laki-laki, dan dua adik perempuan.
Saat ini aku tidak punya pekerjaan.
Kakak laki-lakiku bekerja membantu ayah di perusahaan bosnya, tapi aku tidak
melakukannya. Aku belum menikah, seperti kakak tertuaku. Aku juga belum melanjutkan
sekolah seperti kakak tertuaku kedua. Aku juga tidak bekerja seperti adik perempuanku yang
pertama. Dan aku tidak bekerja setelah sekolah, seperti adik perempuanku yang paling
bungsu. Setelah lulus, aku hanya menganggur.
Tapi, dengan keadaan seperti ini, aku tidak merasa terganggu atau ingin berubah.
Sebaliknya, aku sangat bangga menjadi pengangguran.
Semua orang terikat oleh obsesi mereka.
Seperti uang, reputasi, kemuliaan.
Demi memperoleh semua itu, mereka rela menghamba pada atasan, ikut tertawa meskipun
tidak lucu, korupsi, atau bahkan menindas yang lemah.
Enaknya, pengangguran tidak melakukan itu semua.
Namun, karena itu juga pengangguran tidak dihargai.
Menurutku pengangguran itu keren. Hanya pengangguran lah yang bisa mencela atasan,
tertawa tanpa dipaksa, memberantas korupsi, dan membela yang lemah.
Pengangguran adalah pekerjaan mulia.
Maka dari itu, aku tidak mau mencari kerja.
Yang kumaksud pekerjaan adalah tugas yang dibayar.
Seperti, petualang, pengrajin, pedagang, dan profesi berkomisi lainnya. Mereka tidak pernah
berubah.
Saat kau menerima kompensasi, saat itulah kau disebut kerja.
Aku tidak bilang semua orang yang bekerja jelek, hanya saja mereka tidak mulia.
Saat bekerja sebagai pengangguran, aku tidak pernah meminta imbalan dalam bentuk apapun.
Jangan salah.
Meskipun aku tidak minta kompensasi, bukan berarti aku menolak semua tugas yang
diberikan padaku.
Bisa dibilang, aku membantu orang dengan gratis.
Itulah salah satu alasanku mengatakan pengangguran adalah pekerjaan mulia.
“Ah, Sieg. Terima kasih banyak. Aku hampir saja tidak makan apapun saat makan siang.”
"Sama-sama."
Semenjak meninggalkan rumah, sudah sejam berlalu.
Aku pergi ke Akademi Sihir, dengan tugas mengantarkan Bento pada Mama Biru.
Bagi pengangguran, ini tugas yang mudah.
“Sebagai hadiah, maukah kuberi uang saku?”
“Aku tidak butuh imbalan untuk hal sepele seperti ini.”
"Begitu ya…"
Sudah kubilang, aku tidak menerima kompensasi apapun.
Pengangguran tidak boleh digaji.
Tidak ada yang lebih murah daripada gratis.
“Tapi, bukankah kau perlu uang untuk menjadi kerja?”
“Ahahahahaha. Ah sudah waktunya, maaf mama.... aku pergi dulu.”
“Ah, hei, Sieg…”
Dengan tawa palsu yang keren, aku pun meninggalkan tempat itu.
Sepertinya Mama Biru ingin bicara lebih banyak lagi, tapi aku hanya mengakhirinya dengan
“Terimakasih...” lalu pergi.
Kalau kalian belum tahu..... jadi aku punya tiga mama.
Mama berambut putih, biru, dan merah.
Ayah adalah orang yang sangat termasyur. Karena dia bukan pengikut ajaran Millish, maka
dia menikah lebih dari sekali.
Ibu kandungku adalah Mama Putih, tapi dalam keluarga kami semuanya sama. Mama Merah
dan Mama Biru juga kuanggap ibu kandung.
Mereka pun memperlakukan kami tanpa pilih kasih, meskipun melahirkan anak yang
berbeda.
Aku pernah menjelaskan keadaan keluarga kami pada temanku yang mengikuti ajaran
Millish. Dia tidak bisa memahaminya, karena menurutnya kita hanya perlu menghormati ibu
kandung, yaitu ibu yang melahirkan kita. Meskipun aneh, itu adalah hal biasa di keluarga
kami.
Kami juga tidak pilih kasih pada setiap ibu.
Tentu saja, ketiga ibuku mengatakan hal yang sama padaku belakangan ini, yaitu “Carilah
kerja!!”
Yahh, tidak persis seperti itu sih, tapi inti nasehat mereka sama.
Tak peduli seberapa banyak kujelaskan bahwa pengangguran adalah pekerjaan mulia, mereka
tidak mendengarnya.
Ya sudahlah, sepertinya aku memang tidak bisa meyakinkan mereka.
Meskipun aku banyak membantu mereka, sepertinya mereka belum puas jika aku tidak dapat
kerja.
Andaikan saja keluarga kami tidak berkecukupan, mungkin sudah lama aku diusir dari
rumah.
Ya.
Aku tahu itu.
Alasan aku masih bisa tenang-tenang saja meskipun tidak bekerja adalah.... keluargaku yang
kaya.
Meskipun demikian, aku menghargai kesabaran ibu-ibuku terhadapku.
Nah, sekarang kita bicara ayahku.
Kalau ayah.......... aku menghindarinya.
Jujur saja, aku agak takut pada orang itu.
Dia juga sibuk, jadi kami jarang bertemu.
Kalau dia tahu aku masih menganggur, entah apa yang akan dia katakan.
Jangan salah, aku sangat menghormati ayahku sejak kecil, tapi.... itulah yang membuat kami
tidak begitu dekat.
Aku menunggu siang, sembari jalan-jalan di kota.
Kota ini, Sharia, menurutku cukup luas, namun juga sempit.
Selama aku tidak menuju tempat yang sering didatangi ayah, sepertinya kami tidak banyak
bertemu.
Ayah sering lalu-lalang di Akademi Sihir, jadi aku tidak mau dekat-dekat sekolah. Tapi,
katanya hari ini dia pergi ke Asura untuk keperluan kerja.
Meskipun tiba-tiba dia bisa pulang, tapi sepertinya hari ini dia tidak berkunjung ke Akademi
Sihir.
Jadi, jangan pulang ke rumah dulu.
Kalau pulang, paling-paling ibu akan ngomel, belum lagi bertemu ayah. Jangan menambah
masalah.
Maka, aku kembali ke sekolah, menuju ke suatu ruang penelitian.
“Lara-nee, kau di sini.....?”
Sebelum membuka pintu, aku mengetuknya beberapa kali saja sebagai syarat. Ruangan itu
penuh dengan barang.
Aku sampai tidak bisa membedakan mana yang sampah, mana yang alat. Ada juga
berlembar-lembar kertas yang berserakan di sana-sini. Sebagian besar yang tertulis di kertas-
kertas itu adalah lingkaran sihir.
Aku masuk ke ruangan itu dengan hati-hati, agar tidak menginjak selembar kertas pun.
Kemudian, dari sisi lain ruangan, munculah dengan santai seekor anjing besar.
Anjing itu begitu besar, kira-kira ukurannya 3 meter.
Inilah kakak perempuanku.
Namanya Lara Greyrat.
Dia tampak seperti manusia biasa, setidaknya sebelum dewasa.
Setelah menginjak usia dewasa, dia dibawa kembali ke sukunya untuk menjalani upacara
tertentu. Setelah itulah, rambut mulai tumbuh lebat, sampai akhirnya dia jadi anjing.
"Guk!"
“…”
Ah, tidak.... hanya bercanda....
Iin anjing peliharaan keluarga kami, Leo.
Menurut kakak perempuanku yang selalu bersamanya, Leo adalah hewan penjaganya.
Leo adalah pelindung sekaligus pengawalnya.
Tapi menurutku, dia adalah hewan yang malang karena terus bersama kakak perempuanku
yang aneh dan nakal.
“Lara-nee ada?”
Leo menganggukkan kepalanya, kemudian dia membawaku ke ruangan sebelah.
Di sana ada tempat tidur, lengkap dengan aromanya yang aneh. Dan di atas ranjang itu,
tidurlah seorang gadis berambut biru yang umurnya tampak sekitar 14 tahunan.
Rambut birunya dia warisi dari ibunya yang berasal dari Ras Iblis. Tidak hanya itu, alasan
yang sama membuat penampilannya seperti bocah berumur 14 tahun, padahal dia sudah
berumur 20 tahun lebih. Kebetulan, dia masih single.
“Gogah ~… gogah ~…”
Oh, ternyata dia sedang berolahraga. Dia hanya memakai kaus dan celana dalam. Tampaknya
dia sedang melakukan peregangan, tubuhnya berkeringat, tapi sepertinya masih mengantuk.
Tidak... tidak... dia masih tertidur, tapi posenya aneh sekali seperti orang sedang berolahraga.
Gadis ini.... sama sekali tidak anggun.
Daya tariknya hampir nol.
Meski begitu.... adakah pria yang mau menikahi gadis seperti ini?
Aku menutup pintu dengan pelan, lalu kembali ke ruang sebelah yang merupakan ruangan
penelitian.
Hanya ada satu kursi yang bisa kududuki.
Kursinya sangat lembut dan nyaman seperti kursi para bangsawan. Ini pasti kursi khusus.
Aku melihat selembar kertas yang kebetulan berada di dekatku.
Seperti yang kubilang tadi, kertas itu juga bergambarkan lingkaran sihir.
Apakah ini lingkaran sihir pemanggilan? Ada bentuk kotak pada formasi sihirnya.
Setelah kakakku lulus dari Akademi Kerajaan Asura, dia bekerja sebagai peneliti di Akademi
Sihir Ranoa.
Subyek penelitiannya adalah sihir pemanggilan dan sihir peramal.
Sihir pemanggilan adalah sihir yang bisa memanggil apapun dari manapun. Sihir itu bahkan
bisa memanggil hewan magis dari dunia lain. Biasanya, hewan magis digunakan sebagai
pendamping atau penjaga.
Sedangkan sihir peramal adalah sihir yang bisa menampakkan berbagai pilihan yang
mengakibatkan kejadian-kejadian tertentu di masa depan.
Ah, sebenarnya aku tidak begitu tahu kedua sihir itu.
Tapi, penelitian inilah yang menyebabkan kakak tidak tidur di rumah hampir setiap hari.
Sayangnya.... lihatlah, jam segini dia masih tidur. Penelitiannya dibiayai oleh sekolah, tapi
hanya ini yang dia berikan.
Sudah kubilang, orang bekerja tidaklah mulia.
Meski begitu, orang-orang lebih menghargai kakakku daripada diriku. Memang, mereka tidak
paham pola pikirku.
“Tapi.... meskipun menganggur.... aku juga melakukan beberapa penelitian, lho.”
Kalau kuamati, kertas-kertas ini semakin banyak sejak terakhir kali aku berkunjung.
Tampaknya teori yang dia tulis semakin banyak.
Oh, jadi begitu.... dia bekerja sampai larut malam, sehingga sekarang masih tidur.
"Guk."
Sementara aku melihat kertas itu, Leo mendekat lalu merebahkan kepalanya di lututku.
Leo si anjing, dulu dia tinggal bersama di rumah kami.
Ayahlah yang memanggil hewan ini dengan sihir pemanggilannya, entah apapun alasannya.
Harusnya anjing ini melindungi kami sekeluarga, tapi kenyataannya dia lebih dekat pada
kakakku saja.
Aku pun tidak tahu mengapa kakakku begitu spesial bagi Leo.
“……”
Aku menepuk kepalanya dengan ringan, lalu dia balas menjilati tanganku.
Leo begitu menyukai kakakku.
Aku tahu, bukan berarti Leo benci pada kami.
Seperti sekarang, lihatlah dia begitu jinak padaku. Mungkin.... dia mengkhawatirkan diriku
yang tak kunjung dapat pekerjaan.
“Apakah kau juga mengkhawatirkanku?”
"Tidak juga."
Tiba-tiba, aku mendengarkan jawaban.
Pastinya, bukan Leo yang mengatakannya.
Saat aku menoleh ke arah suara itu, kudapati kakakku yang sudah bangun.
Seperti biasa, dia hanya pakai kaos dan sempak. Sungguh tidak anggun gadis ini.
“Apa kau tahu memasuki kamar gadis tanpa ijin adalah tindakan tidak sopan?”
“Eh? Tapi aku tadi sudah mengetuk pintu kok....”
"Baiklah kalau begitu ... Leo."
Ketika kakak memanggil Leo, dia berdiri, mendekatinya, lalu meringkuk di kakinya.
Kakak pun duduk di tengah-tengah Leo yang melingkarkan tubuhnya.
Kau sekarang jadi sofa, Leo?
“Ngapain datang ke sini?”
"Iseng saja."
"Oh ya? Kalau begitu, santai saja...."
Diminta rileks, aku pun menyandarkan tubuhku ke kursi.
Kursi ini nyaman sekali, aku hampir ngantuk dibuatnya.
Aku bisa saja tiba-tiba tertidur di kursi senyaman ini.
“Sieg, apakah kau masih ingin menjadi itu.”
“Itu?”
"Cheddarman."
“Um-… ya.”
Inilah kehebatan kakakku, meskipun aku menyembunyikan sesuatu, dia pasti bisa
mengetahuinya.
Dia selalu bisa mengungkap rahasia orang.
Entah kenapa, kurasa kakakku punya kemampuan khusus membaca pikiran orang.
"Sampai kapan kau mau terus begitu?"
“Gak tahu.”
“Hmm…”
Meskipun mengetahui rahasiaku, kakak tidak mengatakannya pada orang lain.
Dia juga tidak pernah mengancamku membongkar rahasia.
Itulah yang membuatku nyaman menghabiskan waktu dengannya.
“…”
Saat suasana semakin senyap, kakak mengambil bola kristal di dekatnya, lalu memainkannya.
Sebenarnya itu bukan bola kristal biasa, melainkan alat sihir yang digunakan sebagai media
sihir peramal. Terlihat ada gambar lingkaran sihir komplek di dalamnya.
Aku tahu kristal itu merupakan pemberian ayah. Dia tidak pernah mengatakan apapun soal
kristal itu, tapi sepertinya itu barang mahal, dan dibeli secara khusus.
Agak miris rasanya melihat barang istimewa seperti itu tergeletak di sudut ruangan, tanpa
perawatan.
Kakak duduk dengan menyilangkan kaki, sembari memegang kristal itu.
Mungkinkah.... dia sedang melakukan ritual?
Jika dialirkan Mana pada kristal itu, sepertinya ada suatu sistem yang bekerja di dalamnya.
Entah apa itu....
“Sieg.”
"Apa?"
“Papa pulang hari ini.”
“Eh? Bukankah seharusnya dia pergi ke Asura selama 3 hari...?”
Inilah sihir peramal.
Sihir ini jarang digunakan sekarang. Tapi, konon katanya pada jaman perang besar manusia –
iblis, sihir ini banyak digunakan, dan termasuk sihir terkenal saat itu.
Dulu, setidaknya setiap negara memiliki seorang penyihir yang mahir menggunakan sihir
peramal. Namun, sekarang tidak lagi.
Sebab, tak peduli betapa mahir penggunanya, sihir peramal hanya akan menampakkan masa
depan dengan samar.
Katanya, keakuratan masa depan yang diramal hanya sekitar 20%.
Itulah mengapa, para pengguna sihir peramal biasa menggunakan kata manis dan rayuan
untuk membuat orang lain percaya akan ramalannya. Menurutku, itu sungguh tidak pasti.
Di masa lalu, penyihir peramal sering menggunakan sihirnya untuk meramal masa depan
negaranya. Namun, karena penggunanya semakin sedikit, praktik itu sudah tidak lagi
dilakukan.
Kalau tidak salah, menurut guru sejarah, pemakaian sihir peramal mulai menurun seiring
berkembangnya alat-alat sihir lainnya. Orang-orang semakin tidak percaya pada ramalan
yang tipis kemungkinan benarnya.
Sebenarnya mata kuliah sihir peramal masih bisa dipelajari di Akademi Sihir Ranoa, tapi
kudengar peminatnya nol, sampai akhirnya kakakku kembali mendaftar.
Sejujurnya, aku sendiri tidak begitu percaya pada sihir peramal.
Tapi, karena memang dasarnya kakakku aneh, maka dia mengambil subyek itu sebagai
penelitian.
Aku tidak tahu apa alasan kakak mengambilnya, apakah dia punya tujuan tertentu, atau hanya
iseng saja.
“Aku baru saja melihat Mama Putih dengan riang mengambil sepasang sempak. Sepertinya
papa akan pulang cepat. Mungkin kerjaannya selesai lebih awal.”
Aku ingat guru sejarah pernah bilang bahwa para penyihir peramal biasanya berkarisma dan
berwibawa. Sayangnya, kakakku bukan orang seperti itu. Tampaknya, dia sering
menggunakan kristal itu untuk melihat hal-hal yang tidak senonoh.
Sayangnya, aku tidak tertarik menggunakan sihir peramal. Tidak ada hal khusus di masa
depan yang ingin kuamati.
Menurutku, para peramal bisa saja berbuat curang. Dengan potongan masa depan yang dia
lihat, ditambahi beberapa informasi yang salah, mereka bisa saja menyesatkan seseorang.
Tentu saja, kakakku bukan orang seburuk itu, tapi yang dia lakukan tidaklah mulia di mataku.
Hmmm, tunggu dulu..... ibu sedang memilih celana dalam, dan ayah pulang cepat....
bukankah itu berarti....
Dasar, kenapa aku baru menyadarinya. Kakak sungguh mesum.
Harusnya, seorang peramal lebih hati-hati dalam memilih kata. Jangan mengungkapkan hal
yang terjadi di masa depan apa adanya. Anggaplah setiap potongan informasi dari masa
depan sangat penting, maka jangan sembarangan mengungkapkannya.
Mungkin kau bisa memilih kalimat seperti ini :
’Jauh di dalam hutan yang lebat, hiduplah seekor gajah kesepian. Gajah ini suka
menyemburkan air dari belalainya. Suatu saat, dia bertemu dengan seekor kura-kura yang
jarang mandi, lalu dia ingin menyemburkan air padanya sampai bersih, dan.......’
Uhh... ya... semacam itulah.
Tapi kakakku bukan orang yang suka berbicara berbelit-belit. Jadi, dia memang tidak cocok
menjadi penyihir peramal.
“Kalau begitu, aku tidak akan pulang hari ini.”
“Kau menghindari papa?”
“Mm… yahh…”
"Kau selalu begitu, Sieg. Kau memang bodoh...”
Kakak sering mengatakan itu padaku.
Dia selalu mengataiku bodoh.
Tentu, itu perkataan jelek, tapi aku tidak tahu apa maksudnya. Apakah itu hanya kebiasaan
buruk saja?
“Aku senang jadi orang bodoh.”
"Begitu ya....."
Kakak dengan santai melempar bola kristal mahal itu entah ke mana. Setelah terdengar bunyi
*klontang* beberapa kali, dia hanya mengabaikannya, lalu bermain-main dengan Leo
sebentar, sembari menguap.
Sepertinya dia masih ngantuk.
Apakah dia akan tidur lagi? Ah tidak, kurasa dia hanya akan malas-malasan sampai sore.

Sorenya.
Aku pamit pada kakak, lalu berjalan-jalan di sekitar kota tanpa tujuan.
Masih ada waktu sampai toko yang ingin kukunjungi buka.
Sembari menunggu, aku akan melihat-lihat hal menarik apa yang terjadi di kota.
Kebetulan, aku mendapati kereta di hadapanku.
Roda kereta itu rusak, sehingga menumpahkan isinya ke jalanan.
Si pemilik kereta beserta anak buahnya tampak kebingungan memungut paket-paket yang
berserekan di jalan.
Tak lama berselang, keduanya sudah mengembalikan semua paket itu ke kereta.
Sebenarnya aku tidak ingin menolong mereka memperbaiki kereta, tapi aku juga tidak ingin
pergi begitu saja, karena bisa saja datang penjahat yang menjarah paket mereka. Jadi.... ahh....
baiklah..... baiklah.... sepertinya mereka sangat kesusahan......
“Kalian perlu bantuan?”
“Oh, kau ternyata, Sieg… Untunglah! Kami benar-benar kerepotan. Kami hampir saja sampai
tujuan, tapi...”
“Kau ingin aku memperbaiki rodanya?”
Aku pun mengangkat kereta itu, sembari menyelip masuk di bawahnya. Lalu, kubenarkan
poros roda dengan sihir bumi.
“Aku tidak jamin rodanya kuat, tapi setidaknya bisa bertahan sejam kemudian.”
“Luar biasa… kami sangat tertolong, Sieg....”
Pedagang itu tampak kagum melihatku membenarkan rodanya.
Aku pernah belajar membenarkan kereta di Akademi Kerajaan Asura dulu.
Kenapa di Asura? Karena di sana banyak prajurit dan ksatria yang bepergian menggunakan
kereta. Itulah kenapa diajarkan teknik membenarkan kereta di sekolah.
Aneh juga, padahal seorang bangsawan tidak akan pernah memperbaiki keretanya kalau
rusak.
Lalu, perlahan-lahan aku menurunkan keretanya, menata paket, dan membantu si pedagang
naik.
“Ah, kami benar-benar tertolong. Hey, biarkan kami membayarmu. Sayangnya, aku tidak
membawa banyak uang tunai...”
“Tidak, terima kasih, semuanya gratis. Hanya karena membantumu, bukan berarti aku
mengharapkan imbalan.”
“Begitukah? … keluarga Greyrat memang hebat. Kau sehebat ayahmu, Sieg.”
Aku merasa begitu puas mendengar pujian itu. Lalu, aku pun meninggalkan si pedagang.
“Yo ~ Sieg-kun, kerja bagus!”
“Oh, Ossan, terima kasih!”
Tiba-tiba, pak tua penjual buah melemparkan salah satu dagangannya padaku.
Sepertinya dia melihat aku membantu si pedagang tadi, dan buah merah inilah hadiahnya.
Aku mengambil buahnya, mendekatkannya ke mulut, lalu menggigitnya.
Rasa manis dan segar meluap di mulutku.
“Kalau ada masalah, kami akan memanggilmu.”
“Silahkan saja, selama aku tidak ada kerjaan.”
"Ha ha ha."
Buah ini bukanlah imbalan.
Karena si penjual buah tidak ada hubungannya dengan si pedagang di kereta.
Kalau si penjual buah punya masalah, tentu saja aku akan menolongnya tanpa mengharap
buahnya.
Jadi, buah ini hanyalah pemberian.
“Ou ~, Sieg-kun! Karena bantuanmu tempo hari, aku berhasil mendapatkan stok daging
berkualitas bagus, terimakasih banyak!”
"Sama-sama."
“Yo, Sieg-kun. Terima kasih atas bantuanmu kemarin! Berkatmu, anakku lahir dengan
selamat!”
"Tidak, tidak, aku hanya kebetulan lewat."
“Sieg! Habis ini kami mau main petak umpet, ikut yuk!”
“Tidak, aku harus pulang sebelum gelap.”
Sembari berjalan melewati kota, orang-orang terus memanggilku.
Mulai dari pemilik toko dagimg, istri seorang prajurit yang bekerja di pinggir jalan, bahkan
bocah-bocah desa.
Bagi mereka, aku adalah orang baik.
Aku terus berjalan untuk menghabiskan waktu, sembari memikirkan berbagai hal. Tak terasa,
matahari sudah terbenam. Sepertinya, sudah saatnya ke tempat itu.

- Goblin Mabuk -
Di kota ini, kedai ini adalah yang paling sederhana.
Mirasnya tidak begitu enak, dan makanannya biasa-biasa saja.
Tapi, karena suasananya yang sunyi dan gelap, pelanggan pun berdatangan.
Namun, para pelanggannya adalah pria-pria sangar dengan bekas luka di sekujur tubuhnya.
Begitu memasuki kedai itu, aku langsung mengenali seseorang.
Seorang pria kecil yang ujung kepalanya botak, namanya George.
Aku duduk di depannya.
"Yo, George, bagaimana bisnisnya?"
“Sieg… hari cukup bagus. Pemasukannya banyak!”
Dia bekerja di pasar sebagai buruh harian, tentu saja bayarannya juga per hari.
Orang-orang menyebutnya bajingan tengik, tapi aku tidak begitu terganggu dengan nama itu.
Mungkin dia sering melakukan kesalahan, tapi kurasa dia bukan orang jahat.
Kalau dia jahat, maka aku harus menghajarnya bersama puluhan orang sejenis di pinggiran
kota. Tapi itu tidak benar.
Pekerjaannya selalu berjalan lancar, dan dia memperoleh sejumlah uang tiap hari. Dia selalu
tampak bahagia, itu terlihat dari caranya menenggak bir dengan puas.
Anehnya, tidak terlihat tanda-tanda dia menjadi kaya.
Mungkinkah dia tipe orang sederhana?
“George, apakah ada rumor menarik belakangan ini?”
“Rumor menarik? Maksudmu menarik seperti apa?”
“Ya, menarik seperti biasa.”
George adalah seorang informan.
Dia menjual segala macam informasi yang didapatnya di pasar, pada kedai ini.
Jadi, kedai ini juga merupakan tempat bagiku mencari informasi.
“Coba kita lihat… ini mungkin sedikit berbahaya.”
"Kalau cuma sedikit, tidak masalah.”
“Belakangan ini, sepertinya ada obat aneh yang beredar di kota ini.”
"… Obat?"
“Saat menghirupnya, semua orang merasa seperti melayang-layang ke surga.”
Itu narkoba.
Aku pernah mendengarnya, itu adalah obat iblis yang bisa membuat orang tidak sadarkan
diri.
Kudengar juga, ayah sedang berusaha mencegah obat-obatan itu masuk ke kota.
"Dimana?"
“Aku tidak tahu. Tapi katanya, kepala pegawai Toko Reiji sering keluar malam ke suatu
gudang yang sepi. Sepertinya, orang ini tahu banyak.”
Belum tentu dia pelakunya.
Namun, ada kemungkinan kepala pegawai Toko Reiji terlibat dalam kasus ini.
"Dimana gudangnya?"
“Aku tidak tahu persis lokasinya. Sayangnya, Toko Reiji memiliki begitu banyak gudang.
Jadi.... kalau gudang yang sepi.........”
Aku pun mendapatkan informasi dugaan di mana gudang itu berada.
Aku sering jalan-jalan keliling kota karena punya begitu banyak waktu luang.
Memang ada suatu gudang yang di saat siang pun tidak banyak orang yang berlalu-lalang di
sekitarnya.
Tentu saja, tempat seperti itu akan semakin sepi di malam hari.
“Terima kasih, yo.”
“Ya, sama-sama. Oh iya, aku ingin dengar tentang kakak perempuanmu.”
"Yang mana?"
"Kau punya kakak bernama Lara, kan?”
“Ah, ya.”
George adalah pria yang murah hati, jadi dia tidak akan meminta uang dariku.
Tapi, sebagai imbalannya, dia juga meminta informasi.
Aku pun mengatakan informasi yang kutahu saja.
Jadi, ini bukan kompensasi.
Meskipun aku tidak punya informasi baru untuknya, George tetap akan memberitahu apa
yang kubutuhkan, dan begitupun sebaliknya.
Jadi, kami tidak perlu saling menipu.
Dengan kata lain, ini hanya timbal-balik sesama teman.
“Aku dengar dia tidak pernah keluar dari laboratoriumnya, apakah dia sedang meneliti
sesuatu yang berbahaya di sana?”
“Setahuku, dia sedang berusaha meneliti sihir pemanggilan dan sihir peramal.”
“Sihir peramal? Apakah seperti.... melihat masa depan?”
"Mungkin. Aku tidak banyak tahu tentang itu. Kakakku adalah orang yang aneh, jadi
sepertinya dia melakukannya hanya karena iseng saja.”
“Ah ~”
George tidak ingin uang.
Tapi, karena dia seorang informan, maka berita dariku akan diolahnya menjadi uang.
Dia boleh saja melakukan itu, karena dia bukan pengangguran mulia sepertiku.
Aku juga tidak bertanggungjawab jika dia terjebak dalam masalah karena pekerjaannya itu.

Malam semakin larut. Toko-toko tutup, dan para pelanggan kembali ke rumahnya masing-
masing. Bagi para pekerja, malam berarti berakhirnya hari.
Tapi tidak untuk seorang pengangguran.
Bab 3
Sekarang, pembela kebenaran

Pada suatu malam, di saat bulan berbentuk sabit.


Pada suatu tempat di sudut Kota Sihir Sharia, terdapat gudang tua yang tampak jarang
dijamah manusia.
Gudang itu adalah tempat penyimpanan milik suatu perusahaan yang sepertinya tidak lagi
digunakan.
Meski begitu, ada sesuatu di sana yang bersinar redup.
Itu adalah cahaya lilin.
Lebih tepatnya, dua lilin.
Lilin itu dipegang dua orang berkerudung, dengan maksud menyembunyikan wajahnya.
Keduanya saling mendekat tanpa membuat kegaduhan ...
“Pintu rumah…”
“… Harus ditutup rapat.”
Dengan suara pelan, keduanya saling menyebutkan kata sandi yang hanya dipahami masing-
masing dari mereka.
“Apakah kau sudah mengaturnya seperti biasa?”
“Oh, tentu saja. Itu prioritasku.”
Salah seorang bertanya, dan satunya segera menjawab.
Kemudian, salah seorang menempatkan suatu karung di atas meja.
Tak lama berselang, seseorang segera membuka isinya.
Di dalamnya, banyak terdapat kantong coklat yang dikemas rapih.
Pria yang membawa karung itu merogoh salah satu kantong, mengeluarkannya, lalu
menyerahkan pada rekannya, seolah mempersilahkan untuk diperiksa.
Pria satunya memasukkan tangan pada kantong itu, lalu saat dikeluarkan, ada serbuk putih
yang menempel pada jarinya, kemudian dia menjilatnya.
Setelah itu dia mengangguk.
“Kualitasnya bagus. Kalau dijual, pasti untung.”
“Dengan senang hati aku akan membelinya darimu.”
Lalu, pria yang menjilat serbuk putih merogoh sesuatu dari kantongnya, lalu mengeluarkan
tiga koin emas.
“Whoa.... yakin nih mau bayar tiga koin emas? Ini koin emas Asura, kan....?”
“Ya, harusnya tidak semahal ini. Tapi, anggap saja investasi....”
Koin emas Asura.
Itu adalah koin emas dengan nilai tertinggi di dunia.
Katanya, di negara lain koin emas Asura dihargai sampai dengan 10 kali lebih tinggi.
Tidak hanya satu, dia membayar sampai tiga keping koin seperti itu.
Itu uang yang tidak sedikit.
Seseorang bisa hidup berfoya-foya di kota ini dengan uang sebanyak itu.
“Atau.... masih kurang?”
“T-tidak... jangan konyol... ini sudah lebih dari cukup.....”
Sebelum pria itu menyelesaikan kalimatnya, pria lainnya sudah menyodorkan uangnya.
Dia pun langsung memberikan karung itu.
Transaksi selesai.
Si pembayar mendapatkan barangnya, dia segera meraih karung itu, lalu menutupnya rapat-
rapat. Si penerima dengan hati-hati memasukkan uangnya ke dompet.
Setelah itu, keduanya meninggalkan tempat bersama-sama dengan tenang. Sepertinya, si
pembeli akan melakukan transaksi yang sama lain kali, sedangkan si penjual tidak hanya
menjual barangnya pada pria itu.
Tentu saja, banyak perjanjian yang tidak terucap pada bisnis gelap seperti ini.
“Tapi, bisnis seperti ini di kota ini agak beresiko, kan?”
Sepertinya dia mulai membahas sesuatu.
Sembari meninggalkan tempat, si penjual mengatakan itu dengan suara pelan.
“Apa maksudmu beresiko?'”
“Kota ini di bawah pengawasan Dewa Naga Orsted. Dia mempunya dua anak buah yang
tidak kalah mengerikan, yaitu Raja Sihir Rudeus, dan Dewa Utara Kalman III. Jika mereka
tahu, kita bisa celaka. Atau jangan-jangan, kau sudah punya cara menghadapi mereka?”
"Kau tahu banyak tentang mereka?"
“… katanya, Raja Sihir Rudeus cukup keras kepala. Kalau berurusan dengannya, kau bisa
dikubur hidup-hidup di dalam sihir lumpurnya.”
"Oh...."
Pria itu menganggukkan kepalanya seolah telah memahami sesuatu.
Dewa Naga Orsted.
Dia disebut-sebut sebagai Tujuh Kekuatan Dunia yang terkuat saat ini.
Tidak hanya itu, dia mempunyai 2 bawahan yang tak kalah tersohor di Kota Sihir Sharia ini...
Tangan kanan Dewa Naga, Raja Sihir Rudeus.
Tangan kiri Dewa Naga, Dewa Utara Kalman III, Alexander.
Yang pertama adalah penyihir, satunya lagi pendekar pedang.
Katanya, Kalman III adalah pendekar haus darah yang bisa membantai sebatalyon pasukan
dalam sekejap.
Di sisi lain, Rudeus Greyrat juga ditakuti.
Isunya, pada suatu pesta di Asura, seorang bangsawan menghina dewa yang dia sembah, lalu
Rudeus Greyrat menghabisi semuanya. Bahkan, tetangganya dia bakar sampai jadi abu.
Di kota ini, Rudeus Greyrat dikenal mengetuai jasa prajurit bayaran yang disebut PT. Rudo.
Jika sekelompok orang berani menjalankan bisnis kotor di kota ini, dan Rudeus
mengetahuinya, maka tak seorang pun bisa menjamin keselamatan mereka.
“Mungkin cerita itu hanya kabar burung saja. Aku sudah lama di kota ini, dan Rudeus tidak
melakukan apa-apa. Jadi, kurasa kita tidak perlu khawatir. Selama kita tidak berurusan
langsung dengan pria itu, harusnya tidak masalah.”
Pria itu mengangkat bahu sembari mengatakannya.
Ya, tak peduli seseram apapun citranya, nyatanya Rudeus hanya manusia biasa.
Karena itulah, dia punya kesibukan sendiri, dan dia tidak bisa mengawasi apapun yang terjadi
di kota ini dengan sedetail mungkin.
Jadi, selama bisnis yang mereka kerjakan tidak ketahuan, maka semuanya aman-aman saja.
Dengan keyakinan seperti itu, kedua pria ini terus berbisnis barang yang mirip tepung itu.
Itu adalah.... obat iblis.
Mereka berdua terus berjalan sembari sesekali bercanda. Pria yang barusan dapat rejeki
nomplok tertawa samar.
Rupanya mereka cukup yakin dengan kerahasiaan bisnisnya. Tadi dia begitu tenang, tapi
sekarang sudah berani tertawa.
Namun, pada saat yang sama........
“Tak akan kubiarkan!”
Menggemalah suara itu di sekitar gudang.
"Siapa di sana!?"
Kedua pria yang masih memegang lilin itu mulai mencari.
Kemudian, mereka menemukannya.
Di atas jendela loteng, seorang pria melihat pada mereka.
“Apa…”
Kedua pria itu tidak bisa berkata-kata.
Apakah pertemuan rahasia mereka terungkap?
Pemandangan bulan sabit terlihat di balik pria yang mengenakan helm aneh itu.
Helm itu menutup seluruh wajahnya.
Pakaiannya biasa saja, yang aneh pada penampilannya hanyalah helm.
"Siapa kau!?"
“Fufu, aku? Aku adalah ksatria bulan perak yang bersinar dalam kegelapan…"
Pria berhelm itu mengatakannya dengan girang.
“Pembela kebenaran! Ksatria Bulan sudah datang!”
Mendengar nama itu, wajah kedua pria langsung memucat.
Tapi, dia menanyakan hal yang sama dengan lebih tenang.
"Siapa kau?"
"Wahai penjahat! Beraninya kau memperjualbelikan barang haram itu di kotaku!
Bersiaplah!”
Si pria berhelm mengabaikan pertanyaan itu, lalu dia melompat dari loteng, dan mendarat
tepat di hadapan dua pria tersebut.
Kedua pria itu tidak bisa menyembunyikan kebingungan mereka.
“Cih, merepotkan sekali! Jangan harap kami menyerah!"
Dia berusaha melindungi barangnya.
Pria yang memegang karung berisi bubuk menghunuskan pedang dari pinggangnya.
Akhirnya si penjual sadar apa yang sedang terjadi di sini.
"J-jangan ikut campur urusan kami!"
Dia mulai kehilangan kesabaran, lalu segera berlari menuju pintu keluar. Dia tidak peduli
dengan apapun yang terjadi di sini. Satu-satunya yang ingin dia selamatkan saat ini adalah
diri dan uangnya.
Namun, pria berhelm tidak akan membiarkannya lolos.
“Moonlight ・ Knuckle!”
Sembari meneriakkan itu, dia melesat ke arah si penjual, lalu membenamkan tinjunya ke
pusat perut lawannya.
“GUFUU…”
Si penjual memuntahkan sedikit darah, lalu jatuh tersungkur.
“Apa…!”
Pria yang membawa pedang mulai ketakutan melihat betapa cepatnya pengganggu berhelm
ini.
Dia tidak tahu apa yang diteriakkan pria berhelm, tapi yang jelas dia jauh lebih kuat darinya.
Itulah yang membuatnya mulai panik.
Masih memegang pedangnya, si pembeli berusaha meloncat ke jendela terdekat.
“Moonlight ・ Strike!”
Namun, pria berhelm lebih cepat.
Seperti sebelumnya, dia melesat seperti kilat menuju ke pembeli, tapi kali ini bogemnya
tertuju tepat ke wajah lawannya.
“GUHEE….”
Hidung si pembeli bengkok, dan darah mengucur keluar dari sana.
Dia jatuh berlutut sembari memegangi hidungnya.
Lalu, dengan wajah yang tampak putus asa sekaligus kebingungan, dia melihat si pria
berhelm.
Dia masih berdiri di sana sembari menggenggam erat tinjunya.
“Baiklah, aku mengerti, aku salah.... aku salah….”
“Pukulan terakhir! Moonlight ・ Serenaaaaaaade! ”
Tinju sekeras batu menghujam dagu si pembeli.
Dia terpelanting ke belakang, namun masih sempat melihat isi kantongnya yang berserakan
di lantai.
"Keadilan!"
Si pria berhelm melakukan pose kemenangan selama beberapa saat.
Setelah memastikan tidak ada lagi lawan di sekitarnya, dia mulai bergerak.
Dia menuju kantong berisi bubuk putih yang sudah berserakan di lantai.
“Inilah....... yang membuat mereka rusak…!”
Sembari mengatakan itu, api menyala di tangan si pria berhelm.
Dia sulutkan api ke kantong, dan semuanya terbakar tanpa sisa.
Misi selesai, si penjahat sudah kalah, dan barang haramnya pun sudah dimusnahkan.
Dengan puas, si pria berhelm berseru, “Tooouu!!”, lalu dia melompat kembali ke atap
gudang.

Pria berhelm lari.
Di tengah-tengah malam yang membungkus kota.
Melompat dari satu atap ke atap lainnya, ditemani bulan sabit yang menggantung di angkasa.
Dia berlari dengan kecepatan luar biasa.
Mendekati sebidang tanah kosong.
Lalu, mendarat di sana.
Sebidang tanah itu cukup sempit, tak mungkin seseorang membangun rumah di situ.
Tapi, pada sebidang tanah kosong itu, mencuat seutas tali.
Dia mendekati tali itu, lalu menariknya sekuat tenaga.
Kemudian, hal yang menakjubkan terjadi!
Dengan suara *BRAAK!* tali itu membuka tangga rahasia yang membawanya ke dalam
tanah.
Ternyata.... itu bukanlah sebidang tanah kosong.
Itu adalah markas rahasia!
Pria itu melihat sekeliling, setelah memastikan tidak ada seorang pun yang melihatnya, dia
dengan santai menuruni tangga rahasia itu, lalu menutup kembali pintu masuknya.
Setelah tertutup, sebidang tanah kosong itu tampak seperti sedia kala.
Pria itu menuruni tangga dengan tenang.
Tak ada secercah cahaya pun di ruang bawah tanah itu. Tapi, karena sudah melewatinya
berkali-kali, pria itu bisa menuruni tangga tanpa tersandung.
Lalu, saat dia mengangkat telunjuknya, api kecil muncul dan menari-nari di jarinya. Ruangan
bawah tanah pun menjadi terang.
Di sana ada meja, lemari, pedang, armor, alat sihir, dan gulungan sihir.
Tidak ketinggalan minuman dan makanan yang diawetkan.
Meskipun disainnya sederhana, tapi tempat itu sudah layak disebut markas rahasia.
Pria itu berjalan menuruni anak tangga terakhir, memindahkan api di jarinya pada lilin
terdekat, lalu mendekati lemari.
Kemudian, dia lepas helmnya.
Di balik helm itu, terungkap rambut berwarna hijau.
Wajahnya masih terlihat muda, namun sebenarnya dia sudah dewasa, karena umurnya lebih
dari 15 tahun.
“Fuu ~”
Dia menghela napas lega, lalu membuka lemari, dan mulai bersalin.
Setelah melepas pakaian serba hitam, dia mengenakan pakaiannya yang biasa. Sosok pria
misterius berhelm tidak lagi tampak padanya. Yang terlihat hanyalah sosok pria biasa yang
bisa kau temui di mana saja.
Setelah beberapa kali melihat cermin, dia meninggalkan markas rahasia itu.
Dia keluar ke permukaan tanah dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Lalu, dia berjalan-jalan di sekitar kota selama beberapa saat, sampai akhirnya tiba di suatu
tempat.... atau lebih tepatnya, rumah.
Sebenarnya warga Sharia tidak begitu memperdulikan rumah ini, tapi kalau tidak ada urusan,
mereka tidak mau mendekati kediaman tersebut.
Ada tanaman rambat yang melingkar di pagar rumah itu.
Pada siang hari, ada bunga yang mekar di tanaman itu, sehingga kesannya cukup sedap
dipandang.
Namun saat malam, hanya satu kata yang pantas menggambarkannya, yaitu ‘menakutkan’.
Pria itu mendekati gerbang, lalu membukanya tanpa suara.
Tak ada orang di balik gerbang.
Bukankah sudah jelas? Malam sudah larut, harusnya tidak ada seorang pun jam segini.
Setelah membelai lembut tanaman rambat, dia pun masuk ke dalam.
Sebuah kunci dikeluarkan dari saku, dan dengan sedikit suara, dia membuka pintu masuk
rumah tersebut.
Dia diam-diam membukanya, lalu sepelan mungkin menutupnya.
Tak ada seorang pun di balik pintu, kemudian pria itu segera menaiki tangga menuju ke lantai
dua.
"Selamat datang kembali."
Tapi tiba-tiba, ada suara yang menyambutnya, tubuhnya pun menggigil terkejut.
"A-aku pulang."
Ketika pria itu menoleh ke belakang, ada seorang wanita berambut putih di sana.
Wanita yang tampak muda dan bijak itu adalah ibunya.
“Sieg, apa yang kau lakukan sampai selarut ini?”
Sieg.
Ya, tentu saja... si jagoan berhelm, atau Ksatria Bulan, atau apapun kau menyebutnya...
adalah Sieghart Saladin Greyrat.
“Ah, ya. Mama Putih juga, kenapa mama jam segini belum tidur?"
“Aku hanya kebetulan terbangun.”
Dia mendekati Sieg dengan wajah cemberut.
“… kau barusan berkelahi...?”
“Eh? Apa maksudnya?"
“Lihatlah, di lehermu ada bercak darah.”
Dengan panik, Sieg langsung mengusap lehernya.
Saat dia melihat jarinya, ada noda mirip cipratan darah.
Mungkin itu darah si penjual atau pembeli narkoba.
“Yahh, aku yakin ini darahku sendiri. Sepertinya tadi aku mimisan atau semacamnya....”
“Haa… karena papamu tidak mempermasalahkannya, maka aku juga tidak. Tapi, jangan
membuat kami khawatir, oke?”
“Ya, maafkan aku.”
Setelah meminta maaf, Sieg langsung menuju ke lantai dua.
“Ya ampun… sebenarnya dia kerja atau tidak, sih....."
Sembari mengeluhkan itu, si ibu melihat Sieg pergi dengan gelisah.

Sieg Saladin Greyrat
Putra kedua dari Keluarga Greyrat, sekarang dia hanya seorang pengangguran.
Namun, itu hanyalah kedok, karena pekerjaannya yang sebenarnya adalah pembela
kebenaran!
Dia adalah Ksatria Bulan yang muncul dari balik kegelapan malam.
Di siang hari, kerjanya hanya malas-malasan, tapi menjelang sore dia banyak mengumpulkan
informasi di kedai, lalu beraksi pada malam harinya.
Dia akan menindak setiap aksi kejahatan berdasarkan informasi yang diterimanya.
Kurang-lebih, seperti itulah kehidupan Sieg setelah lulus dari Akademi Kerajaan Asura.
Bab 4
Sebelumnya, teman

Pax adalah pelajar yang pintar dan begitu bersemangat.


Dia cepat memahami pelajaran, seperti : matematik, teknik sihir, bahkan konsep teori.
Selain itu, terlihat jelas Pax begitu tertarik pada pelajaran manajemen wilayah dan ekonomi.
Dia adalah orang yang kreatif dan memiliki ide-ide hebat.
Meskipun pelajar lain merendahkan kami, setidaknya para guru cukup mengakui prestasi
kami.
Pax juga menguasai bahasa lain, seperti : bahasa manusia dari Benua Tengah, bahasa Dewa
Tempur dari Benua Begaritto, dan bahasa Dewa Hewan dari Hutan Agung.
Bahkan, katanya sekarang dia sedang belajar Bahasa Dewa Laut.
Kalau aku, yang bisa kukuasai hanyalah bahasa manusia, dan bahasa Dewa Iblis.
Mama pernah mengajariku bahasa lainnya, tapi aku tidak paham.
Alasan aku bisa menguasai bahasa Dewa Iblis adalah karena banyak Ras Iblis yang tinggal di
sekitar lingkunganku dulu.
Sebagiannya, karena Shishou-ku adalah keturunan Ras Iblis, dan bibiku menikah dengan Ras
Iblis.
Tapi, jarang sekali aku menggunakan bahasa itu.
“Bagaimana bisa kau belajar begitu banyak hal?”
Saat kutanyakan itu, dia pun menjawab.....
“Karena di masa depan aku akan menjadi pemimpin negaraku. Kerjasama dengan ras lain
akan semakin lancar jika aku menguasai bahasa mereka.”
“Menurutku kau hanya perlu mendalami ilmu manajemen, sedangkan urusan bahasa serahkan
saja pada penerjemah.”
“Apakah penerjemah bisa memahami maksudku? Kurasa, cara terbaik untuk mengungkapkan
maksud adalah dengan mengucapkannya sendiri.”
“Kau benar-benar ingin jadi pemimpin ya?”
“Bukannya ingan, tapi harus. Lagipula, sekutu negaraku tidak begitu banyak.”
Tapi, Pax bukanlah orang yang terbuka. Banyak hal yang tidak kupahami darinya.
Yang kutahu hanyalah, Pax berasal dari Kerajaan Raja Naga, dan ibunya adalah seorang
bangsawan. Selain itu, aku tidak begitu tahu.
Lagipula, Pax pernah bilang kenangan masa lalunya tidak begitu indah.
Sejak kecil dia sudah dikucilkan, sehingga tidak punya banyak teman. Sekarang, dia berpisah
dengan orang yang bertugas menjaganya. Dia merantau ke Asura atas alasan, ‘Tugas
Belajar’.
Asal tahu saja, ‘Tugas Belajar’ juga sering diartikan ‘diasingkan’.
Aku memahami beberapa hal tentang Pax, tapi sebagiannya hanyalah tebakanku sendiri.
“Bagaimana dengan bahasa Dewa Laut, apakah kau benar-benar perlu mempelajarinya?
Bukankah Ras Laut adalah sekelompok orang yang sengaja memisahkan diri dari kehidupan
di darat?”
“Kurasa mempelajari bahasa lain bukanlah hal yang merepotkan. Memang benar Ras Laut
tidak begitu bersahabat dengan orang-orang di darat. Bahkan, mereka sering bertikai dengan
penduduk pesisir pantai. Sedangkan, menurutku pertikaian itu hanyalah masalah komunikasi.
Jadi, jika kita bisa berbicara dengan baik bersama Ras Laut, kurasa masalah seperti itu tidak
perlu terjadi.”
“Kalau aku sih, tidak mau terlibat masalah mereka.”
“Gak gitu juga, setelah melihat beberapa laporan, ternyata perselisihan mereka hanya karena
hal-hal sepele. Katanya, ras manusia sering mengotori lingkungan hidup Ras Laut, itulah
yang mendasari keributan di daerah pesisir pantai. Jika kita bisa menengahi masalah ini,
maka kedua pihak bisa hidup damai. Bukankah itu lebih baik daripada bersikap masa bodoh
dengan permasalahan mereka.”
"Wow…"
“Dengan berdialog, kita bisa mendamaikan mereka. Sayangnya, ada kabar bahwa satu
kampung telah dibantai akibat masalah ini. Aku tahu, kasus ini bisa semakin besar, sehingga
tidak cukup menyelesaikannya dengan berdialog saja. Tapi, jika tidak ada yang memulai
berkomunikasi, akan jatuh semakin banyak korban. Kita tidak ingin itu terjadi, kan.”
Dia mengatakannya sambil tersenyum.
Jujur, aku tidak begitu tertarik dengan kasus ini, tapi caranya mengutarakan pendapat begitu
persuasif dan meyakinkan.
Akhirnya, aku pun ikut belajar bahasa darinya.
Herannya, belajar bersamanya membuatku paham lebih mudah dan cepat.
Entah kenapa, aku tidak merasa digurui saat belajar dengan pria ini. Seolah-olah, dia
menjelaskan pelajaran pada dirinya sendiri, bukannya muridnya.
Aku tidak yakin akan menggunakan bahasa ini jika sudah menguasainya, tapi
mempelajarinya saja bersama Pax sudah menyenangkan.
Meski begitu, Pax bukanlah pelajar yang sempurna. Kemampuan pedangnya biasa saja.
Sedangkan aku sudah mempelajari Teknik Dewa Utara sejak kecil, jadi tak peduli keras
apapun Pax mencoba, dia tidak akan bisa menandingiku.
Bukannya dia lemah.
Buktinya, dia juga mempelajari Teknik Dewa Utara dengan gigih, hanya saja dia tidak
berbakat menjadi pendekar pedang.
“Sieg, kamu benar-benar kuat!”
"Ah tidak, kebetulan saja aku terlahir dengan fisik yang kuat."
“Seperti Miko?”
“Kurasa aku tidak sekuat itu, yahh.... mungkin hanya mendekati...”
Miko adalah sebutan bagi anak yang lahir dengan bakat luar biasa.
Aku tahu seorang Miko sahabat ayahku, kekuatannya seperti mesin.
Tapi kurasa kekuatan fisikku tidak sampai selevel dengannya.
Lagipula, untuk mendapatkan kekuatan seperti ini, aku perlu latihan keras sejak kecil.
Katanya, sahabat ayah ini tidak perlu latihan sedikit pun.
Jadi, meskipun kami sama-sama kuat, kurasa levelnya berbeda.
“Aku bisa seperti ini karena dilatih Shishou-ku yang hebat, yaitu Dewa Utara Kalman III.”
“Ya, aku juga punya guru seorang pendekar pedang. Dia juga beraliran Teknik Dewa Utara,
tapi tentu saja tidak sekuat Kalman III.”
Meskipun Pax sering kalah dariku saat latih tanding, tampaknya dia tidak begitu
memikirkannya.
Rupanya, sejak awal dia tidak tertarik menjadi pendekar pedang.
Apapun itu, kehidupan sekolahku bersamanya sungguh menyenangkan.
Kalau dipikir-pikir lagi, dia lah teman dekat pertamaku.
Sebenarnya aku juga punya banyak teman di Sharia, tapi kurasa Pax lah sahabat terdekatku.

Semakin lama bersama Pax, semakin rajin aku bersekolah.
Berkat cara mengajar Pax yang begitu mudah, akhirnya aku bisa mengejar ketinggalan
pelajaran di kelas.
Meski begitu, peringkat akademisku masih di tengah-tengah.
Ah, sudahlah, toh itu hanya ranking kelas.
Pelajaran teori aku boleh kalah, tapi nilaiku tertinggi di kelas penjaskes.
Atau mungkin... malah yang tertinggi di sekolah?
Terserah, aku sih tidak begitu peduli.
Pax banyak mengajariku pelajaran, dan sebagai gantinya aku melatihnya teknik pedang.
Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, Pax cukup berprestasi untuk pelajaran teori, tapi
justru sebaliknya dalam pelajaran olahraga.
Sebetulnya tubuh Pax cukup kokoh dan berisi, tapi entah kenapa teknik pedangnya tidak
kunjung berkembang.
Hasilnya, kemampuan pedangnya tidak berkembang.
Prestasi Pax adalah kebalikanku. Peringkatnya bagus untuk pelajaran teori, tapi jeblok pada
pelajaran olah fisik.
Aku semakin dekat dengan Pax, kemana-mana kami berdua. Tapi tetap saja, kami dikucilkan
oleh pelajar lain.
Meskipun peringkat kami semakin bagus di kelas, perlakukan murid-murid lain tidak
berubah.
Bisa dibilang kehidupan sekolahku membaik, tapi tetap saja kelabu.
Jika dibandingkan saat masih sendiri dulu, tentu sekarang lebih baik.
Sykurlah, aku masih bisa menikmati masa-masa sekolah di Asura ini.
Berkat Pax.
“Hari ini kau tidak ke sana?”
Sebagai teman dekatnya, tentu aku tahu hobi Pax.
Hmmm, sebenarnya aku tidak yakin apakah pantas menyebutnya hobi.
Mungkin lebih tepat dikatakan..... kebiasaan buruk.
Di Akademi Kerajaan Asura, pelajar mendapat libur 10 hari sekali.
Saat libur, para pelajar diperbolehkan melakukan apapun di lingkungan kampus, tapi dilarang
pergi terlalu jauh.
Akademi Kerajaan Asura terletak di perbatasan distrik yang didiami bangsawan kelas atas
dan kelas menengah.
Setelah distrik bangsawan kelas menengah, tinggalah bangsawan kelas rendah, kemudian
rakyat jelata.
Adapun Akademi Kerajaan Asura, tidak hanya menerima pelajar dari kalangan bangsawan
saja. Rakyat jelata diperbolehkan sekolah di sini, tentu saja bagi yang berprestasi.
Tapi, bukan rahasia bila mayoritas pelajar adalah anak bangsawan.
Sesekali, anak para bangsawan yang sudah terbiasa dibesarkan di daerah elit ini
diperbolehkan bermain ke area rakyat jelata, atas dalih ‘bertualang’.
Saat itulah masalah terjadi.
Dulu, katanya ada pelajar yang meninggal setelah ‘bertualang’ di daerah rakyat jelata.
Sehingga, selama beberapa saat kegiatan ini sempat dilarang.
Tapi itu dulu, seiring berjalannya waktu, peraturan itu semakin longgar, dan sekarang banyak
pelajar beraktivitas bebas di luar.
Bukan berarti peraturannya dihapus, pihak akademi masih melarangnya, tapi pada
kenyataannya banyak sekali pelajar yang melanggar.
Tak terkecuali kami, aku dan Pax memanfaatkan kesempatan ini untuk keluar akademi.
Setelah melewati lubang rahasia di dinding belakang sekolah, kami pun sampai di kota.
Kami menuju ke tempat yang ‘gelap’ di ibukota kerajaan ini.
Atau mungkin, lebih tepat bila kusebut tempat yang ‘meragukan’.
Ya, selalu ada tempat seperti itu di Asura.
Aliran drainase dari istana kerajaan dan distrik bangsawan juga menuju ke tempat ini.
Inilah distrik rakyat jelata, yang kumuh dan bau.
Daerah kumuh ini dikelilingi oleh tembok kastil, dan selalu ada penjaga yang ditempatkan di
sekitarnya.
Alasannya adalah, mencegah gelandangan atau pengemis yang masuk ke distrik yang lebih
elit.
Adapun, alasan lainnya adalah mencegah kaum bangsawan berkeliaran di daerah kumuh.
Entah belajar dari mana, Pax begitu mahir menyusup ke tempat-tempat seperti ini.
Setahuku, Pax memiliki seorang guru yang mengajarinya berbagai hal, mungkin termasuk
keterampilan seperti ini.
Bagi mereka yang tinggal di daerah kumuh, memasuki istana Asura yang mewah dan indah
hanyalah sebatas mimpi.
Pemandangan di sini sungguh menyedihkan. Rumah-rumah kecil dan lusuh berjejer di mana-
mana, dan ada pria mabuk yang tergeletak di jalan bersama bekas muntahannya.
Anak-anak bertelanjang dada berlarian ke sana-sini dengan tongkat di tangannya, lalu mereka
menghilang di balik gang yang gelap.
Itu artinya, kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan sangat kurang di daerah ini.
Tapi tidak semuanya suram. Terlihat dari jendela rumah, seorang ibu sedang mencicipi sup
buatannya, sembari bercanda gurau dengan anak-anaknya.
Ironisnya, ada juga wanita muda yang lehernya diikat dengan rantai besi oleh seorang pria
berpakaian mewah.
Gadis itu sepertinya adalah budak, dan pria itu adalah pedagang budak.
Wajah gadis itu tampak sedih dan kesakitan, tampaknya dia sudah lelah meronta, dan hanya
bisa menerima nasibnya.... kalau dilihat dari parasnya, yahh dia hanya gadis biasa.
Aku yakin si gadis sudah tahu bahwa dirinya akan dijual sebagai budak.
Kami terus berjalan melintasi daerah kumuh, sesekali ada orang yang mengulurkan
tangannya minta diberikan sesuatu. Mungkin dia melihat pakaian kami yang layak, sehingga
mengira kami bangsawan.
Pax sama sekali tidak memperhatikan orang itu, malahan dia berkata, “Jangan beri apa-apa,
atau mereka akan datang lebih banyak mengerumuni kita.”
Setelah melewati daerah kumuh, kami sampai ke tempat mirip alun-alun.
Tempat itu cukup bagus, dan tampak begitu berbeda dengan pemukiman sekitarnya.
Di sana, ada beberapa orang telanjang yang dipajang.
Ya......... alun-alun adalah pasar budak.
Dibandingkan di Sharia, pasar budak di sini lebih kecil, tapi semuanya sama saja.
Hukum di Asura melarang perbudakan, tapi seperti biasa, hukum hanyalah sebatas hukum.
Semua transaksi perbudakan dilakukan secara diam-diam di sini.
Inilah hobi aneh Pax yang kusebutkan tadi, yaitu mengunjungi pasar budak.
Tapi, aku yakin Pax datang ke sini tidak untuk membeli budak.
“Budak itu sepertinya pandai bermain pedang, ya? Lihat, tangannya mengapal, bagaimana
menurutmu?”
“Tidak, tangan mengapal seperti itu bukan karena sering memegang pedang. Mungkin karena
dia terlalu banyak bekerja di ladang? Kalau tidak percaya, lihat saja tanganku nih....
ngapalnya tidak di sini, melainkan di sini....”
“Kau kan pengguna Teknik Dewa Utara. Bagaimana dengan teknik pedang lain? Bukankah
mungkin saja tangannya mengapal seperti itu?”
"Yahh.... mungkin saja…"
Dia mulai mengamati.
Pax menganalisis orang seperti apa budak itu, apa keahliannya, pengalaman apa saja yang
dimilikinya, sebelum menjadi budak apa pekerjaannya, bagaimana status sosialnya
sebelumnya, dll.
Beberapa kali Pax bertanya padaku, tapi kebanyakan dia hanya berpendapat sendiri.
“Ah, perhatian orang-orang tertuju pada pria itu. Dia mengenakan pakaian usang, tapi rambut
dan kukunya bersih.”
Tapi, Pax tidak hanya mengamati budak di pasar ini. Banyak hal lain yang mengundang
perhatiannya.
“Dia adalah pengawal pejabat. Bahkan, mungkin saja dia bangsawan. Wah! Pedagang budak
itu berasal dari Ras Hewan, kan? Sedangkan budak itu juga Ras Hewan. Mengapa kau
menjual budak dari bangsamu sendiri? Ini sungguh mencurigakan. Mungkin, dia seorang
pencuri yang telah mengkhianati temannya, jadi dia dijual di sini. Budak dari Ras Hewan
dihargai begitu mahal di Asura, kan?”
Pedagang dan pembeli budak juga tidak luput dari pengamatan Pax.
Meskipun beberapa pengamatannya tidak masuk akal, tapi analisisnya cukup tajam. Dia pun
bisa membedakan orang yang bersatus tinggi dan rendah dalam sekejap.
“Pax, kau benar-benar suka mengamati hal-hal kecil, ya....”
“Ibuku sering mengajariku itu. Aku jadi peka terhadap orang yang menyamar, dan
memalsukan status sosialnya.”
“Di Kerajaan Raja Naga, hal-hal seperti itu biasa diajarkan?”
“Tidak… sepertinya ibu pernah diajari ayah, atau semacamnya. Aku sendiri tidak begitu
tahu.”
Saat mengatakan itu, wajah Pax tampak rumit.
Seolah dia merindukan sesuatu, atau mengingat kenangan yang tak terlupakan.
Banyak hal tentang Pax yang masih belum kupahami.
Baginya, tempat seperti apakah pasar budak ini?
Baginya, orang seperti apakah ayahnya?
“Tapi, aku cukup heran kau suka mengunjungi tempat seperti ini, Pax.”
Aku ingin tahu alasannya, tapi tidak perlu menanyakannya secara langsung.
Mungkin, sebagiannya karena aku tidak cukup berani mengatakannya.
“Tempat seperti ini? Kau sendiri tahu ini pasar budak, kan? Mengapa heran.....”
Dia balas bertanya.... untuk sesaat, aku tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
Di Sharia juga ada pasar budak, sih. Tapi aku tidak pernah ke sana.
Dulu waktu kecil, aku dan kakak-kakakku pernah menyelinap ke pasar budak untuk
mengintip apa yang terjadi di sana, tapi mama menemukan kami, dan akhirnya dia
menceramahi kami.
Bohong jika kukatakan aku tidak tertarik dengan pasar budak. Tapi tetap saja...... aku tidak
pernah menyangka seorang bangsawan cerdas seperti Pax suka mengunjungi tempat seperti
ini.
“Tempat ini… adalah tempat yang jahat.... dan dikendalikan oleh orang jahat pula.”
Aku mengatakan itu sembari melihat sekeliling.
Pertama-tama, penjual budak cukup vulgar.
Mereka bertelanjang dada, dengan setengah tubuhnya ditutupi tato. Terdapat juga banyak
luka di tubuhnya, dan mereka melihat sekeliling dengan cemberut.
Kedua, budak yang mereka jual tampak tidak sehat. Kondisinya pun parah.
Mungkin tidak tampak ada bercak-bercak penyakit kulit pada tubuhnya, tapi jelas sekali
mereka tidak diberi makanan yang layak.
Ketiga, lokasi pasar ini buruk.
Bau pesing dan busuk dari pembuangan limbah begitu pekat. Kalau kau minum air di sekitar
ini, mungkin perutmu tidak akan selamat. Semuanya serba tidak higienis.
Kurasa, tidak ada seorang bangsawan pun yang datang ke sini untuk membeli budak. Semua
orang di pasar ini pasti bajingan.
"Jahat ya? ... Yah, memang ini bukan tempat yang bagus.”
Seraya mengatakan ini, Pax mulai berjalan.
Dia terus mengamati penjual, budak, dan orang-orang yang sedang serius memilih
‘dagangan’.
“Tapi, sepertinya ayah dulu suka tempat seperti ini.”
“Benarkah?”
“Sebenarnya aku tidak begitu tahu, karena ayahku sudah tiada sejak aku lahir. Aku tidak
pernah berbicara dengannya, dan hanya melihat wajahnya dari gambar.”
"… oh ya....?"
Biasanya Pax tidak banyak bercerita tentang masa lalunya.
Baru kali ini, aku dengar langsung darinya bahwa ayahnya sudah meninggal.
Yahh, sebenarnya aku sudah menduganya.
“Jujur, aku benar-benar tidak paham apa bagusnya pasar budak, tapi kalau ayah suka
mengunjungi tempat seperti ini, pasti ada alasannya....”
"Hah?"
“Tapi, katanya ayah pernah mengumpulkan sejumlah orang untuk menguasai pasar budak.
Entah kenapa, aku ingin melakukan hal itu juga.”
Saat menceritakan ayahnya, mata Pax tampak kosong.
Dia belum pernah bertemu ayahnya, dan hanya melihatnya dari gambar.
Kalau aku.......
Aku bisa melihat ayahku, tapi enggan melakukannya karena prestasinya yang terlalu tinggi.
Bukankah itu sama saja.....
“Aku pernah bertanya pada guruku, mengapa ayah begitu menyukai pasar budak. Meskipun
sedikit mengelak, akhirnya dia menceritakan semuanya. Katanya, ‘Ayahmu, sangat
membenci kerajaan. Jadi, dia merasa lebih tenang berada di tempat kumuh, ketimbang istana
kerajaan yang mewah’.”
Konon katanya, ayah Pax adalah seorang pangeran dari negara bernama Shirone.
Karena suatu kutukan, tubuhnya pendek sejak lahir, dan itulah yang membuat kepribadiannya
memburuk. Dia selalu dicaci dan dicemooh keluarganya.
Merasa tidak nyaman tinggal di istana, akhirnya dia mencari tempat lain yang bisa
menerimanya apa adanya.
“Tidak hanya itu, kudengar nenekku juga seorang budak. Sedangkan kakekku adalah
pemimpin Kerajaan Raja Naga. Aku tidak tahu mengapa dia mengambil budak sebagai
mainannya, dan karena itulah ibuku lahir. Tentu saja, sebagai anak budak dia juga dibully
seperti yang terjadi pada ayah.”
Katanya, nenek Pax berambut biru.
Rambut biru identik dengan Ras Migurdia, atau mungkin Ras Iblis lainnya? Ataukah dia
manusia biasa yang kebetulan saja berambut biru? Kita tidak pernah tahu.
Tapi yang jelas, keluarga Pax erat hubungannya dengan budak.
“Setelah ibu, aku pun dikucilkan. Tapi, aku tidak pernah menyalahkan kakek. Kakek selalu
menganggap ibu sebagai putrinya yang sah. Dan dia membesarkan ibu dengan layak.”
Setelah menceritakan itu semua, dia berhenti sejenak.... tepat di tengah pasar budak.
“Ayahku menemukan tempatnya di pasar budak, dan ibuku adalah anak seorang budak.”
Di sekitar kami, para penjual budak sibuk menjajakan kelebihan-kelebihan dagangannya.
Semuanya sibuk memilih dan dipilih.
“Aku tahu..... pasar budak adalah tempat yang kotor, bau, dan menjijikkan, tapi menurutku....
ini bukan tempat yang jahat.”
Pax berkata dengan senyum tegang.
“Yahh, terlepas dari baik atau jahat..... aku tidak tahu apakah bisnis seperti ini
menguntungkan bagi Asura, tapi meskipun dijalankan secara rahsia, pasar budak tidak pernah
sepi. Jika seseorang tidak mengaturnya, maka nasib mereka akan semakin malang. Jika aku
menjadi pemimpin nanti, aku akan mengatur semuanya dengan tegas. Aku tidak akan
melarang pasar budak, namun harus ada peraturan yang mengikat. Aku tidak akan
membiarkan orang-orang jahat menguasai tempat seperti ini. Aku harus tahu lebih banyak
tentang seluk-beluk pasar budak. Oleh karena itu, salah satu alasanku datang kemari adalah
mengamatinya.”
Dia mengatakan itu dengan senyum pahit dan bahu sedikit gemetar.
Baginya, pasar budak bukanlah bentuk kejahatan.
Tentu saja, budak juga tidak jahat.
Kalau budak jahat, maka neneknya jahat, ibunya jahat, dan dia juga jahat.
“Mengamatinya katamu…”
Apakah dia ingin mencari jati dirinya?
Ataukah dia ingin tahu lebih banyak tentang ayah dan ibunya?
Aku tidak mengerti.
Namun, satu hal yang pasti, Pax sedang berusaha melakukan sesuatu yang besar.
Jika tidak, maka mengapa dia jauh-jauh belajar di Asura. Kalau hanya ingin mengamati pasar
budak, mengapa tidak dia lakukan di Kerajaan Raja Naga saja?
“Apakah kau merasa jijik datang ke tempat seperti ini.....?”
“… meskipun jijik, aku harus belajar....”
Aku salut pada Pax.
Jika dibandingkan diriku yang sudah mulai kehilangan asa menjadi pembela kebenaran, dia
jelas lebih hebat.
Bab 5
Sekarang, bersama adik perempuan

“Sieg!”
Aku mendengar suara di tengah tidurku.
Setiap kali mendengar suara itu, aku merasakan deja vu.
“Mau tidur sampai kapan!? Bangun!"
Aku pun membuka mata.
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu saat kulihat ke luar jendela, matahari sudah melayang
tinggi di langit.
Saat melihat ke arah datangnya suara.... seperti biasa, kudapati Mama Putih sedang
memegang pinggang dengan wajah cemberut.
Hari ini juga..... aku harus segera bangun.
Aku tidak masalah sih dibangunkan seperti ini tiap hari, tapi mama pasti kerepotan.
"Hari ini aku akan menjemur kasur, jadi cepat bangunlah."
"……baik."
Aku segera menuruti katanya, lalu meninggalkan kamar tanpa bersalin.
“Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu, jadi cepat ke bawah dan makanlah!!”
"Baik...."
Sembari memberikan jawaban setengah hati, aku berjalan menyusuri lorong dan menuruni
tangga.
Kemudian, masih di tengah tangga, aku melihat seorang gadis berambut biru sedang duduk di
sana.
Itu adalah adik perempuanku, Lily.
Aku penasaran saat melirik tangannya. Apa yang sedang dia lakukan? Dia mengutak-atik
benda mirip cangkang yang terdapat beberapa benjolan di permukaannya.
Mungkinkah itu semacam alat sihir?
Aku tidak begitu paham fungsi alat itu.
Tapi dia memang biasa melakukan itu.
Hobinya adalah merakit dan membongkar alat sihir.
Jadi, kalau punya waktu luang, dia pasti bermain-main dengan alat sihir.
Itu bukanlah hobi yang jelek, tapi seorang pengrajin sepertinya butuh inspirasi. Sayangnya,
kita tidak pernah tahu kapan datangnya inspirasi.
Akibatnya, kau akan terus mengutak-atik alat sihir, tak peduli kapan dan dimana pun kau
berada.
Baik itu tengah makan, sedang mandi, di bengkel, di trotoar, bahkan di belakang gang.... dia
akan terus bekerja.
Hari ini pun sama.
“Lily, apa hari ini kau libur?”
Ketika aku menyodok punggungnya dengan kaki, dia tampak terkejut, lalu menoleh padaku.
Setelah beberapa detik kami saling pandang, akhirnya dia merespon dengan menggelengkan
kepala.
“Jadi kau sedang sibuk?”
“Gak juga. Tapi aku belum terlambat, kan?”
"Ya. Cepatlah bersalin, nanti kuantar ke kantor.”
“Baik. Terimakasih ya."
Aku tahu sekarang. Rupanya dia berusaha bolos kerja, tapi ketahuan.
Aku mengantarkannya ke kamar, lalu kembali turun.
Aku tidak yakin, apakah Lily memang membenci sekolah, atau aku saja yang terlalu sering
diabaikan di sekolah, tapi yang jelas..... dari semua saudaraku, hanya Lily yang tidak
meneruskan sekolah di Asura.
Sejak kecil dia menolak sekolah di Asura, malahan dia bekerja di perusahaan milik sahabat
ayah, yaitu PT. Zanoba. Itu adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi dan
penjualan alat sihir.
Lily ditempatkan pada divisi pengembangan dan perbaikan alat sihir.
Sepertinya dia cukup diandalkan oleh perusahaan itu, buktinya dia diberi bengkel pribadi.
Karena adikku memang suka alat sihir sejak kecil, maka bengkel itu seperti surga baginya.
Harusnya sih begitu..... tapi anehnya, dia sering terlambat, bahkan membolos kerja.
Contohnya hari ini, dia tidak masuk kerja, tapi di rumah dia tetap mengutak-atik alat sihir.
Kalau di rumah masih saja kerja, mengapa tidak kau lakukan saja di bengkel? Aneh kan....
Sepertinya dia tidak paham posisinya sebagai karyawan.
Yahh, aku tidak berhak mengkritiknya tentang pekerjaan, toh aku sendiri nganggur.
Sebaliknya, adik perempuanku Chris sudah bersekolah di Akademi Kerajaan Asura.
Warna rambut Chris tidak biru ataupun hijau. Sejak kecil dia memang sudah berminat
sekolah di Asura. Jadi, ayah dan ibu tidak menentangnya, karena pada dasarnya mereka ingin
kami semua sekolah.
Meskipun Chris sudah cukup dewasa, dia masih mendambakan kehidupan bak putri di cerita
dongeng. Maka dari itu, Asura adalah tempat yang tepat baginya. Tapi, apakah dia tahu
kehidupan sebenarnya di sana? Apakah dia sudah punya pacar sekarang? Apakah dia baik-
baik saja?
“Mama Merah! Aku akan mengantar Lily pergi ke kantor! Bolehkah aku pinjam kuda!?”
“Jadi hari ini bukan hari libur, ya.... baiklah, hati-hati di jalan.”
Setelah meminta ijin pada Mama Merah di ruang makan, aku segera menyelesaikan
sarapanku, lalu pergi menyiapkan kuda.

Setelah membantu Lily naik ke pelana di belakangku, kami bersama-sama menuju ke PT.
Zanoba.
Ngomong-ngomong, kuda ini milik Mama Merah.
Tidak hanya terampil berpedang, Mama Merah juga mahir berkuda. Saat kecil dulu, kami
sering berkuda bersama sampai jauh.
Kebetulan, aku juga mahir berkuda.
Seperti Mama Merah, aku bisa menjinakkan kuda dengan mudah saat menungganginya.
Mama Merah juga sering mengajarkan bagaimana teknik menunggangi kuda yang benar.
Dan nama kuda ini adalah Caravaggio.
Ayah sendiri yang menamakannya.
Sepertinya, nama itu berasal dari kuda kakek dulu.
Aku tidak mengerti alasannya, tapi setiap ayah memelihara binatang, pasti dia beri nama.
Mungkin sudah seperti itu sifatnya.
Sembari bersandar padaku, Lily masih saja mengutak-atik alat sihir.
Tak peduli sedang bepergian atau apapun, dia tetap saja sibuk dengan alat sihirnya.
Jadi, aku harus berhati-hati mengendalikan kuda agar Lily tidak terjatuh.
Aku sudah terbiasa seperti ini.
“Alat sihir apa itu?”
“…… ini adalah alat sihir yang bisa menyirami ladang. Jika kau memegang batangnya, lalu
mengalirkan Mana, ujungnya akan berputar, lalu..... klak, klak, klak, air akan menyembur ke
segala arah.”
“Whoa… sepertinya itu juga akan menyemprotkan air ke orang yang menggunakannya."
“Memang itu yang sedang kuperbaiki.”
Sementara Lily mengatakan itu, mulai terdengar bunyi 'klak, klak, klak, klak'.
Kami semua belajar berkuda, tapi Lily tidak begitu terampil melakukannya.
Dia bisa saja menunggangi kuda, tapi saat menggerakkannya dia akan kebingungan, dan kuda
pun bergerak liar.
Saat berkuda seperti ini, jika ada hal menarik di jalan, Lily akan segera melompat dan
menghampirinya.
Dia sangat aneh.
Karena tubuhnya pendek, dia akan kesulitan naik kuda lagi.
Selain itu, Lily juga buta arah.
Saat pergi ke sekolah atau tempat kerjanya, dia bisa saja tersesat.
Untungnya, dia tidak pernah hilang saat masih kecil dulu.
Katanya, orang yang sering tersesat tidak begitu peka.
Aku selalu mencari Lily jika dia tersesat. Dan saat menemukannya, dia hanya pasang wajah
bengong tanpa daya.
Mungkin, itulah alasan mengapa ayah dan ibu mengijinkannya tidak bersekolah di Asura.
Yang jelas, aku harus menemaninya saat pergi kerja.
“Hiiiii ~!”
Lalu tiba-tiba, bulu kudukku berdiri.
“Kyaa !?”
“Uwah ~”
"Dingin!"
Kebetulan, jeritan serupa terdengar dari orang-orang di sekitar kami.
"Lily, aku membeku!"
“…… uh, aku benar-benar minta maaf.”
“Sudah kubilang, jangan mengaktifkan alat sihir di belakangku!”
Ternyata dia baru saja menggunakan alat sihirnya dari belakangku.
Ini pun sudah biasa.
Setidaknya kali ini aku masih beruntung, karena dia tidak memegang alat sihir penyembur
api.
"Ah."
Beberapa saat berselang, aku tidak lagi merasakan keberadaan Lily di belakangku.
Apakah dia jatuh dari kuda?
Sembari memikirkan berbagai hal, aku segera menoleh ke belakang, dan kudapati Lily
sedang berlari entah ke mana.
Dia menyeberang jalan utama, dan terus berlari dengan langkah mungilnya.
Rupanya, dia sedang menuju suatu toko di pinggir jalan.
“Caravaggio!”
Aku membalik kuda, lalu segera menuju toko yang sedang didekati Lily.
Kalau kulihat sekilas, sepertinya toko itu menjual beberapa jenis benda sihir.
Ingat, alat sihir dan benda sihir berbeda. Alat sihir dibuat oleh manusia, sedangkan benda
sihir kebanyakan terbentuk di alam.
Namun, Lily menyukai keduanya. Tak peduli alat sihir atau benda sihir, dia selalu tertarik
pada benda-benda seperti itu.
Seperti yang kubilang tadi, saat menemukan hal menarik di jalan, dia akan langsung
melompat dan menghampirinya.
Akhirnya, dia pun sampai di toko itu, dan langsung bertanya-tanya.
“… apa efeknya benda ini?”
“Kalau kau memukul orang dengan tongkat ini, otaknya akan serasa membeku. Dia akan
merasa seperti minum bergalon-galon air es.”
"Berapa harganya?"
“Kau ingin membelinya? Nona muda, sepertinya kau bukan petualang atau prajurit bayaran.”
“Aku membelinya untuk penelitian, supaya aku bisa membuat alat sihir serupa.“
“Oh! Kota Sihir Sharia memang beda, di sini banyak orang yang membeli benda sihir untuk
diteliti! Jadi, Anda punya uang?”
Lily mengeluarkan karung berat dari sakunya, lalu menyodorkan lima koin pada pedagang
itu.
Harga yang cocok.
Meskipun Lily tidak pandai berkuda, tapi dia cekatan dalam menghitung dan menggambar
lingkaran sihir.
“Hm, nih.....”
“Hoh, nona muda.... uangmu banyak sekali, Anda pasti orang kaya.”
“Aku selalu membawa uang sebanyak ini.”
"Begitukah? Hati-hati nona, pencopet bisa saja mencurinya. Itukah kenapa Anda menyewa
pengawal?”
Pedagang itu menatapku, sembari tersenyum dan tertawa.
Jadi aku tampak seperti pengawal?
“Dia bukan pengawal. Dia adalah kakakku.”
“Begitukah? Kurasa kalian cukup mirip.... kecuali rambutnya.”
“Tidak, kau hanya… Ah!”
Sebelum mengoceh lebih banyak, aku segera meraih Lily, lalu kutempatkan kembali ke
pelana.
“Kau bisa terlambat bekerja..... ayo cepat.”
"Baiklah kalau begitu.... selamat tinggal, om penjaga toko.”
“Terimakasih telah membeli barang kami, hati-hati pencuri ya....”
Lily benar-benar diperlakukan seperti anak kecil.
Padahal, Lily sudah cukup dewasa. Penampilannya seperti bocah karena dia anak Mama
Biru.
Tapi, perilaku dan ucapan Lily memang seperti anak kecil.
Meskipun begitu, di antara saudara kami, mungkin dia lah yang paling suka bekerja.
Dia salah. Pekerjaan terbaik di dunia adalah pengangguran.
“Nii-san, bolehkah aku memukul kepalamu dengan benda ini untuk melihat efeknya?”
"Jangan harap."
“Eh… nn, aaaah-!”
Saat aku menoleh ke belakang, Lily sedang memegangi kepalanya dengan menderita.
Sepertinya dia baru saja menguji efek benda itu pada kepalanya sendiri.
Kalau saja Lara-nee memintanya, aku tidak akan menolak.
Tapi Lily tidak akan puas kalau belum mencobanya sendiri.
“Ternayat benar....rasanya otak seperti membeku.... Nii-san mau coba?”
"Ogah. Kalau aku pusing, siapa yang mengendalikan kudanya."
"…baik."
Lily, yang tampak sedikit kecewa, memasukkan tongkat itu ke dalam yang melingkar di
pinggangnya, lalu dia meraba-raba alat lainnya.
Setelah berkuda selama beberapa saat, akhirnya tempat tujuan kami tampak.
Itu adalah bengkel milik Zanoba-san.
Aku menghentikan kudanya di depan bengkel, lalu Lily turun.
“Kita sudah sampai.”
“Terima kasih, Nii-san.”
"Gak masalah. Kapan kau pulang?”
"Aku bisa pulang sendiri."
"Begitu ya.... hati-hati saja....”
"Ya."
Lily hendak masuk bengkel, namun berhenti sejenak, lalu kembali melihatku.
“Ah, Nii-san.....”
“Hm? Ada apa? Kau lupa sesuatu?"
“Kalau Nii-san ingin bekerja, aku bisa memberimu posisi, lho....”
“Posisi apa? Sopir?”
“Tidak, membantu tugasku. Nii-san pasti bisa, karena paham sedikit-banyak tentang alat
sihir.”
"Nanti kupikir lagi."
"'Baiklah."
Setelah mengangguk pelan, akhirnya Lily masuk ke bengkelnya. Kali ini, dia tidak keluar
lagi.
Sepertinya adikku mulai prihatin denganku, itulah kenapa dia menawariku pekerjaan.
Dia juga mengerti bahwa aku hanyalah seorang pengangguran, tapi dia tidak tahu bahwa aku
baik-baik saja.
“……”
Himbauan pedagang sebelumnya membuatku khawatir tentang pencuri.
Bagaimana kalau tiba-tiba dia diculik, lalu suatu hari nanti aku menemukannya di pasar
budak..... aku harap hal mengerikan seperti itu tidak akan terjadi.
Yahh, meski penampilannya seperti itu, dia tetaplah putri Keluarga Greyrat.
Untungnya, meskipun kemampuan berkudanya buruk, Lily cukup mahir menggunakan sihir
bahkan berpedang.
Lagipula, Keluarga Greyrat mempunyai pengaruh besar di kota ini.
Kurasa tidak banyak orang jahat yang berani berurusan dengan keluarga kami.
"Aku tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya, kan?”
Sembari meyakinkan itu pada diriku sendiri, aku pun pergi.

Setelah seharian berkeliling kota tanpa tujuan, akhirnya aku mengunjungi kedai biasanya.
Goblin Mabuk.
Lokasi kedai itu sungguh tidak mencolok di kota.
Mungkin, bisa kau sebut ‘bar yang tenggelam’ di pinggir kota.
Itu bukanlah tempat yang tepat untuk berkumpul orang-orang terkenal, melainkan cocok
untuk nongkrong penjahat-penjahat kelas teri.
Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa orang hebat sepertiku mau berkunjung ke kedai itu.
Jawabannya, seperti kata Cheddarman, tidak ada kejahatan yang mudah dipahami.
Dengan kata lain, semua jenis kejahatan tidak nampak begitu saja di sekitar kita.
Kejahatan selalu licik dan tersembunyi.
Kejahatan selalu terbungkus di balik tabir yang remang-remang.
Jika seseorang ingin membasmi kejahatan, maka dia harus mengejarnya ke tempat remang-
remang itu.
Dengan nongkrong di sarang kejahatan, maka aku bisa mendapat banyak informasi tentang
penjahat.
“Oh.”
Aku memikirkan itu sembari masuk ke kedai, lalu kulihat wajah yang kukenal.
Pria kecil dengan kepala setengah botak. Itu George, atau sebut saja makelar informasi.
"Yo, George, bagaimana kabarmu?"
“Oh, Sieg rupanya… Yah, tidak terlalu buruk. Hari ini penjualan miras tidak terlalu bagus.
Tapi jangan salah, aku masih mampu mentraktirmu minum kalau mau.”
“Benarkah? Terima kasih ~ ah, gak deh, aku gak suka alkohol.”
"Sudahlah....."
George meminta pelayan menyajikan minuman.
Ini bukan kompensasi, dan aku tidak membayar, jadi anggap saja gratisan.
Inilah enaknya pembela kebenaran!
“Kalau kau bagaimana, Sieg? Ceritakan pekerjaanmu....”
“Kau mau mendengar kisah seorang pengangguran? Yahh, kadang-kadang enak, terkadang
tidak enak.”
“Ha ha, melihatnya saja aku sudah tahu. Apakah belakangan ini tidak ada hal yang menarik?”
Inilah yang sering kami lakukan.... mengobrol ringan.
Sebenarnya, kami saling bertukar gosip dan rumor.
Ini adalah tempat yang baik untuk memulai itu semua.
“Tidak ada yang benar-benar menarik. Aku mengantarkan adikku ke kantornya di pagi hari,
lalu siang tadi ada anak yang terjatuh di dekat gang. Dia menangis kencang sekali, jadi aku
merapalkan sihir penyembuhan pada lukanya. Oh iya, ada juga pencopet di pasar. Aku
menjegalnya, dan dia pun jatuh terkapar.”
“Adikmu? Maksudmu, yang bernama Lily?”
“Ya Lily. Adikku yang masih di kota ini hanya Lily.”
“Ah, begitu ya. Maaf, maaf, aku ingatnya Lara. Nama keduanya hampir sama.”
Kalau Lara kakakku kan.... tampaknya hari ini George tertarik membahas Lily.
Orang ini tertarik sekali saat membicarakan keluargaku.
Sepertinya, informasi tentang Keluarga Greyrat banyak diminati.
Terlebih lagi, narasumbernya aku, jadi infromasinya cukup terpercaya.
“Aku pernah mendengar kabar bahwa dia sering memborong alat sihir di jalanan, apakah itu
betul?”
“Itu… yahh, memang benar dia gemar membeli alat dan benda sihir di jalanan, tapi itu hanya
hobinya. Seperti itulah adikku, dia sangat tertarik dengan benda atau alat sihir, dan dia juga
gila kerja. Lagipula, dia sedang mengembangkan alat baru PT. Zanoba.”
“Alat baru? Apakah itu sesuatu yang populer?“
"Yah, aku tidak begitu tahu."
Sayangnya, aku tidak tahu di mana George menjual informasi tentang kakak dan adikku.
Oleh karena itu, aku tidak mau memberinya informasi yang paling vital.
Tapi itu benar, aku tidak tahu apa yang sedang Lily coba buat.
"Bagaimana denganmu? Ada informasi menarik apa?”
“Menarik ya …… maksudmu, yang seperti biasa?”
“Ya, yang biasa saja.”
Kebetulan, George mulai curiga akan peranku sebagai pembela kebenaran.
Mungkin karena semakin banyak penjahat yang gagal melakukan aksinya, setelah dia
membocorkan informasinya padaku.
Aku duga para penjahat juga punya hubungan baik dengan makelar informasi seperti George.
“Tidak ada yang benar-benar menarik, tapi aku mendengar rumor aneh belakangan ini.”
“Rumor aneh?”
“Sekelompok perampok sering muncul di jalan utama sebelah barat.”
“… itu bukan hal yang aneh, kan?”
Kota Sihir Sharia terkenal dengan ketertiban umumnya yang baik, namun area di luar kota
masih tanpa aturan.
Munculnya perampok adalah hal yang wajar terjadi tiap hari.
Cepat atau lambat, negara akan mengirimkan ksatria atau prajurit untuk menekan mereka.
Masalahnya, jika aku pergi ke sana untuk memberantas kejahatan..... setidaknya akan
memakan waktu seharian.
Selama ini aku hanya beraksi saat malam, lalu pulang hampir subuh.
Dan itu hanya mungkin dilakukan di dalam kota.
Jadi, kejahatan di luar kota sudah berada di luar kewenangan Ksatria Bulan.
“Yah, sangat disayangkan. Katanya, para perampok itu menjual wanita dan anak-anak ke
pasar budak tiap malam.”
Pasar budak?
Maksudmu pasar budak di dekat kota?
“Apakah ada ciri-ciri khusus dari gerombolan perampok ini?”
“Aku tidak begitu tahu detailnya, tapi… katanya pemimpinnya suka mengenakan ikat kepala
merah. Selain itu.......”
Seperti biasa, George terus mengungkapkan berbagai informasi tentang penjahat ini.
Setelah itu, kami melanjutkan obrolan ringan seperti sebelumnya.
Aku hanya mendengar bualan George tentang hal-hal jorok, seperti bokong gadis-gadis
sebelah yang indah, atau semacamnya.
Tentu saja, tidak hanya George yang kuajak bicara.
Aku juga menghabiskan waktu mengobrol dengan kenalan-kenalan lainku di kedai.

Larut malam.
Setelah meninggalkan bar, aku menuju ke lahan kosong di pusat kota.
Kemudian, di tengah-tengah tanah kosong itu, aku menarik seutas tali.
Setelah terdengar suara gebrakan, pintu rahasia pun terbuka di sana.
Saat kami masih kecil, kakak laki-laki dan perempuanku membuat tempat ini bersama.
Kami membawa meja, lemari, karpet dan bantal dari rumah, lalu menjadikan tempat ini
markas rahasia.
Saat itu, kami bersenang-senang bermain bersama di sini.
Kami tidak memberitahu siapapun, termasuk adik kami, jadi akulah yang terakhir menempati
markas ini.
Tempat tidur kecil dan lemari masih tetap seperti semula.
Atau mungkin.... aku saja yang tidak berubah sejak saat itu.
“Hanya bercanda ~”
Setelah membuat lelucon itu, aku mengeluarkan suatu benda dari lemari.
Itu adalah helm hitam.
Helm itu menutupi seluruh bagian kepala. Aku menemukannya di kastil Dewa Naga Orsted-
sama, saat berkunjung bersama ayah.
Meskipun kusebut kastil, sebenarnya tempat itu tidak begitu besar.
Bahkan, kastil itu lebih kecil daripada rumah kami, dan ayah menyebutnya kantor.
Tapi, tidak hanya aku, semua orang di kota juga menyebutnya kastil. Mungkin, mereka
menganggap sopan bila menyebut kediaman Orsted-sama, dengan nama ‘kastil’.
Mungkin aku terpengaruh dengan orang-orang di kota, sehingga ikut-ikutan menyebutnya
‘kastil’.
Yahh, terserah lah.....
Ada banyak helm ditempatkan di ruang bawah tanah kastil Orsted-sama.
Mungkin ada sekitar 20 buah, atau bahkan 30 buah?
Semuanya berjajar pada rak. Disainnya hampir sama, namun ada sedikit perbedaan.
Helm-helm itu mirip alat sihir yang dipajang di toko.
Setelah mengamati semuanya, ada satu yang kusukai.
Helm itu sangat keren menurutku.
Tentu saja, meskipun aku menyukainya, bukan berarti boleh kuambil tanpa ijin.
Tak peduli sebodoh apapun saat kecil, aku tidak akan mencuri di tempat ayah bekerja.
Dengan mata berbinar-binar, aku mengambil helm itu.
Tanpa kusadari, Orsted-sama sudah berdiri di belakangku, kemudian beliau berkata, “Kau
boleh mengambilnya.”
Sejak saat itulah, helm ini menjadi milikku.
Entah kenapa, Orsted-sama selalu mengenakan helm serupa bila bepergian ke luar kastil.
Untuk menandakan milikku, aku mengukir simbol bulan sabit pada dahi helm ini. Simbol
itulah yang kemudian menjadi logo Ksatria Bulan.
“……”
Aku bersalin pakaian hitam, mulai ujung kaki, sampai ujung kepala.
Setelah melengkapi kostumku dengan jubah gelap, maka sosok yang terpantul di cermin
adalah Ksatria Bulan, sang pembela kebenaran.
Seperti biasanya, malam ini aku juga akan memberantas kejahatan.
Bab 6
Sekarang, di pasar budak

Malam yang senyap.


Aku melompat dari atap ke atap, untuk menuju ke tempat tertentu.
Dengan mengenakan baju serba hitam dan topeng keperakan, aku terus melaju sembari
berdendang lagu ‘Pembela Kebenaran’.
Tirai malam yang gelap, bulan yang bersinar di langit.
Bayangan sinar bulan. Bayangan si topeng perak.
Pembela kebenaran, kata mereka. Seorang pria yang mengalahkan kejahatan, kata mereka.
Aku seorang ksatria bulan pembela kebenaran. Namaku Ksatria Bulan.
Kebenaran, cinta, dan keberanian, meluap dari hatiku,
Keadilan, cinta, dan keberanian, mengalahkan semua kejahatan.
Bulan perak, bersinar di langit malam, itulah tanda datangnya Ksatria Bulan Sang Pembela
Kebenaran.
Itu adalah lagu Cheddarman yang dulu sering dinyanyikan ayah.... tapi sedikit kumodifikasi.
Saat aku menyanyikan ini, suasana hatiku sedikit membaik.
Semangatku juga bangkit!
Dan aku sedikit melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan.
“Di sana ya....”
Tempat yang kutuju sekarang adalah distrik yang keamanannya buruk, meskipun terletak di
jantung kota.
Pemukiman kumuh ini memang beda.
Banyak orang miskin dan penjahat di distrik ini.
Biasanya, orang-orang seperti itu memang suka berkumpul di suatu tempat.
Itulah sebabnya, keamanan daerah ini buruk.
Sayangnya, pasar budak biasa terletak di tempat seperti itu.
Pada Kota Sihir Sharia, pasar budak inilah yang kondisinya paling buruk.
Budak yang dijual pun menyedihkan, ada yang sakit parah, bahkan hampir mati.
Pasar budak lainnya ragu menjual ‘dagangan’ seperti itu, tapi tidak di sini.
Oleh karena itu, pasar ini memiliki reputasi yang buruk.
Namun, harganya sangat murah. Itulah kenapa, jika kau beruntung, kau akan menemukan
budak bagus dengan harga begitu terjangkau.
Mereka juga menjual budak langka, seperti budak dari kaum bangsawan, atau budak dari
suku yang sudah jarang ditemui.
Ini adalah tempat yang tepat bagi mereka yang kantongnya tipis, pedagang yang ingin
menjual kembali budaknya, tuan yang ingin budak ‘sekali pakai’, bahkan pedagang atau
bangsawan muda yang belum berpengalaman dalam berbisnis budak.
“……”
Saat aku mendekat sembari bersembunyi, bau tidak sedap menusuk-nusuk hidungku.
Memang itulah ciri khas daerah ini.
Pasar budak selalu berbau tidak sedap, namun sepertinya inilah yang terparah.
Di Sharia juga ada beberapa pasar budak lainnya, tapi tidak seburuk tempat ini.
Aku penasaran, dari mana asalnya bau ini, apakah pedagangnya? Pembelinya? Atau
budaknya? Yahh..... mungkin ketiganya.
“…… ugh.”
Saat aku coba lebih mendekat, tiba-tiba aku menginjak sesuatu yang lembek.
Sekilas terlihat seperti gumpalan coklat dan hitam menumpuk di pinggiran pasar.
Baunya busuk, dan segerombolan lalat mengerubunginya.
Tampaknya kotoran para budak dibiarkan begitu saja.
Aku hanya bisa mengumpat dalam hati, karena tidak bisa menutupi hidungku dari balik
topeng. Aku coba mengusap kotoran itu dari sepatuku tanpa menyentuhnya..... oh, itu
sungguh menyebalkan.
"Sabar.... sabar..... ini hanya kotoran....”
Sambil menenangkan diri, aku terus menyelinap, dan mencari orang yang dimaksud George.
Kebersihan tempat ini sungguh mengerikan.
Melewati tempat ini saja, mungkin kau akan tertular penyakit.
Ayo kita temukan targetnya secepat mungkin.
Aku mencari seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah.
Meskipun hari sudah gelap, tidak banyak lampu menyala di daerah ini. Itu membuat si target
mudah sekali bersembunyi di sembarang tempat.
Mungkin pencahayaan sengaja diredupkan, untuk menyamarkan identitas penjual dan
pembeli.
Kalau dilihat lebih seksama, banyak juga orang yang menutupi wajahnya sepertiku.
Aku kesulitan mengamati orang dalam keadaan seperti ini.
Maka, aku memutuskan meninggalkan tempat persembunyian, lalu mendekati seorang
pedagang.
“Hei bung, ini penawaran langka, lho!”
Tiba-tiba, seorang pedagang mendekatiku.
Sebenarnya proses jual-beli di pasar budak ini sama seperti yang lainnya, tapi entah kenapa
para pedagang di sini lebih bersemangat menjajakan dagangannya.
Tentu saja, aku mengabaikannya..........
“Aku punya anak bungsu Raja Iblis, lho....”
“Apa- !?”
Aku segera melihat ke konter orang itu.
Berdiri di sana, seorang wanita muda dengan rambut kepang berwarna biru.
Itu …… Lily............. ?
“… ..”
Bukan..... bukan dia.
Sekilas kukira adikku, tapi jelas bukan dia.
Rambut birunya yang dikepang begitu mirip Lily, tapi kalau diamati lebih cermat, birunya
hanyalah pewarna.
Apalagi, perbedaan usianya terlalu jauh.
Adikku mewarisi sifat Ras Migurdia, yaitu wajah yang terlihat awet muda.
Tapi gadis itu terlihat cukup dewasa, mungkin seumuran denganku.
Lagipula, raut wajahnya terlalu berbeda.
Mungkin orang yang melihatnya sekali-dua kali saja akan tertipu, tapi aku bertemu adikku
hampir setiap hari. Jadi, aku bisa membedakannya dengan yakin.
Adikku jauh lebih manis dan polos daripada gadis itu.
“Jangan khawatir. Orang-orang suruhan Raja Iblis tidak akan kemari mencari gadis ini.”
Oh ya… maaf om, sepertinya budakmu palsu.
Jadi, mana mungkin Raja Iblis mencari gadis yang bukan anaknya.
“…… Wow, luar biasa, bagaimana bisa kau mendapat budak selangka ini?”
“Hehe, yahh… kau tahu..... anak Raja Iblis begitu loyal. Dia punya hobi mengumpulkan alat
dan benda sihir, tapi dia pengangguran. Sayangnya, itu membuat orang tuanya kesulitan
keuangan, jadi akhirnya mereka.... eheheh....”
“……”
Tentu saja itu hanya cerita karangan.... tapi, aku tahu darimana referensi cerita itu.
Anak Raja Iblis pengangguran itu pasti merujuk padaku, tapi aku tidak loyal ya.
Aku memang tidak punya banyak uang, tapi pekerjaanku sungguh mulia.
Sedangkan, hobi mengumpulkan alat dan benda sihir, itu merujuk pada Lily.
“Jadi bagaimana? Ini penawaran spesial, lho...."
“Bung, saran saja... kalau mau menipu, buatlah cerita yang lebih meyakinkan.”
Aku mengatakan itu sembari mengangkat bahu, lalu segera meninggalkannya.
Andaikan Lily benar-benar diculik, maka tentu saja aku akan segera menyelamatkannya.
Tapi, sayang sekali, gadis itu bukan Lily, dan aku tidak bisa menyelamatkannya sekarang
karena akan mengundang keributan.
Meskipun cerita karangannya payah, orang itu cukup cerdik.
Lily adalah gadis yang lamban, maka dia adalah target empuk penculikan. Kalau dia tidak
waspada, bukannya tidak mungkin nasibnya berakhir di konter-konter pasar budak.
Aku kembali melanjutkan misi di tempat yang penuh kelicikan dan penipuan ini.
Aku jadi ingat masa-masa sekolah bersama Pax. Kami sering mengamati pasar budak, itulah
kenapa aku tahu kondisi tempat ini begitu menyedihkan bila dibandingkan pasar-pasar budak
lainnya.
Ada juga budak yang tampak sehat, tapi aku tahu itu hanyalah tipuan. Si pedagang
menggunakan bedak dan kosmetik agar budaknya tampak berseri-seri. Lagipula, tangan
budak itu patah, dan luka-lukanya masih segar. Sungguh penipuan yang kejam.
Ampun deh.... tempat ini lebih buruk daripada pasar budak di Asura.
”Perbudakan bukanlah hal yang baik, tapi tidak pernah dilarang. Memang seperti itulah
adanya. Tapi, kau tidak boleh membiarkannya begitu saja. Maka, kita perlu peraturan. Jika
perbudakan tidak diatur, akan timbul masalah lebih besar.”
Itulah yang Pax pernah katakan padaku.
Pax selalu berpendapat bahwa perbudakan bukanlah kejahatan.
Tapi, di pasar budak ini aku tidak melihat apapun selain kejahatan.
Tidak hanya Ranoa, kerajaan-kerajaan lain di dunia ini seolah menutup mata akan praktik
perbudakan.
Ada negara yang melarangnya, tapi larangan itu tidak dijalankan dengan benar. Sedangkan di
Ranoa, larangan tidak ada, pengaturan juga tidak jelas. Itulah yang semakin memperburuk
tempat ini.
Aku adalah orang yang spontan dan naif, jika aku menjadi pemimpin, tentu saja akan
langsung kututup tempat seperti ini.
……tapi, tak peduli sebanyak apapun kau tutup pasar budak, pasti akan segera muncul pasar-
pasar budak lainnya.
“Oh.”
Di tengah-tengah memikirkan berbagai hal, akhirnya kutemukan seorang pria yang
mengenakan ikat kepala warna merah.
Pria itu memakai ikat kepala di setengah bagian bawah mukanya, sehingga wajahnya cukup
tersamarkan.
Rambutnya dipotong pendek, dan di jidatnya ada bekas luka.
Itu dia.... tidak salah lagi.
Kita boleh berdebat apakah perbudakan itu kejahatan atau tidak, tapi yang pasti.... penculikan
adalah kejahatan yang mutlak.
"Baiklah...."
Aku mendekatinya dengan sembunyi-sembunyi.
Lalu, aku memeriksa kembali penyamaranku dengan cermin yang sudah kupersiapkan
sebelumnya, dan menyeka sepatu yang masih kotor dengan kain.
Pembela kebenaran tidak boleh bau tai.
"Ayo...."
Setelah memantapkan tekadku, aku pun bergerak.

“Berhenti!”
Sebuah suara bergema di setiap sudut pasar budak.
Setelah kuteriakkan itu, orang-orang dengan panik mencari sosokku. Tapi aku berada di
tempat yang lebih tinggi, lalu aku berteriak sekali lagi.
“Orang yang pakai ikat kepala merah di sana! Kau penculik, kan!? Kau memang licik,
terangnya sinar matahari sekalipun tidak bisa mengungkap kejahatanmu! Tapi jangan harap
kau lolos dari sinar rembulan!”
Si penculik berikat kepala merah.
Setelah mendengar ciri-ciri itu, perhatian semua orang langsung tertuju pada pria itu.
Pada saat yang sama, mereka juga menemukan sosokku.
Mereka menatapku.....
"Siapa kau, bajingan!"
Aku mendengar seseorang menanyakan itu.
Hanya ada satu cara untuk menjawab pertanyaan itu.
“Fufu, aku? Aku adalah ksatria bulan perak yang bersinar dalam kegelapan…. ”
Aku berpose dan menyatakan,
"Pembela kebenaran, Ksatria Bulan, telah datang!"
Pria berikat kepala merah dan kroni-kroninya saling bertukar pandang dengan bingung.
"Kau ini siapa?"
Mengapa orang-orang ini ingin aku mengulanginya.
Jadi, sekali lagi, aku mengatakan hal yang sama, dengan cara yang sama, agar mereka
dengar.
Tapi, mengulang kalimat yang sama tidaklah keren. Jadi, aku gunakan kalimat lainnya.
“Dasar penjahat! Para penculik seperti kalian tidak akan kubiarkan berkeliaran di kotaku
tercinta! Aku datang!"
Aku melompat dari ketinggian.
Bersamaan dengan itu, si ikat kepala merah dan kroni-kroninya segera menghunuskan
pedang.
Aku sudah terbiasa dengan reaksi seperti ini.
Semuanya ada lima orang.
Berarti, lima lawan satu, tapi keadilan tidak akan kalah.
Aku telah belajar bagaimana melawan banyak musuh dari Shishou-ku.
“Haaaa! Moonlight ・ P unch!”
Pertama-tama, aku mengayunkan tinjuku pada orang yang terlebih dahulu menghunuskan
pedang.
Pukulanku tepat mengarah ke rahangnya. Teknik yang kupelajari dari Mama Merah ini bisa
merobohkan musuh hanya dengan sekali serang.
Orang pertama coba membela diri, tapi terlambat.
Tinjuku pun mengenai rahangnya dengan mulus.
“Ha! Moonlight ・ Knuckle!”
Orang berikutnya mencoba menebasku dari belakang.
Sambil menghindari sabetannya, aku mengayunkan tapak tanganku pada tengkuknya.
Dua tumbang.
“Hou! Moonlight ・ S ault! ”
Karena dua orang lagi coba menebasku dengan pedangnya, aku melompat mundur sembari
salto.
Sebenarnya aku hanya perlu melompat mundur, tidak perlu salto segala, tapi itu keren.
Seseorang mendekat dari belakang. Tapi, mungkin karena terkejut dengan gerakanku, dia
hanya diam melongo. Yak, itulah yang kuharapkan!
“Hoa! Moonlight ・ Strike! ”
Aku melancarkan serangan pada orang yang terkejut itu.
Tiga tumbang.
Hanya dua orang tersisa, yaitu si pria berikat kepala merah, dan salah satu anak buahnya yang
tampak masih muda.
“Bos, orang ini....... dia agak….!”
"Tenang. Aku akan mengalihkan perhatiannya, tugasmu mengamankan barang-barang kita."
Si ikat kepala merah sendiri yang maju menghadapiku.
Kuda-kudanya bagus, seolah pertahanannya tanpa celah sedikit pun.
Meskipun tiga anak buahnya berhasil kukalahkan, dia tetap tenang. Aku sama sekali tidak
merasakan ketegangan pada orang ini.
Anehnya, pedangnya sudah lusuh.
Tidak panik, tidak tegang, dan pedang tidak layak.... dilihat dari tiga poin itu saja, sudah
menandakan bahwa dia bukan pendekar biasa.
“Gerakanmu itu Teknik Dewa Utara, kan?”
"….Salah! Ini adalah tinju ksatria dari bayangan yang terbentuk oleh sinar bulan! Namanya
adalah Moonlight Fist!"
Poin keempat, melihat gerakanku sebentar saja, dia sudah bisa menyimpulkan bahwa aku
pengguna Teknik Dewa Utara.
Berarti pengamatannya juga tajam.
“Belakangan ini aku sering dengar rumor bocah ingusan yang menghajar rekan-rekanku
tanpa alasan yang jelas. Itu kau, kan?”
"Tepat sekali! Teman-temanmu itu penjahat! Dan semua penjahat harus dilenyapkan dari
dunia ini! Maka, kau juga bersiaplaaaaaahhhh!!”
"Datanglah padaku!"
Aku berteriak sembari maju.
Lawanku pun maju.
Tapi gerakannya berbeda.
Tidak ada tanda-tanda dia akan melancarkan serangan.
Dia hanya berpura-pura menyerang, tapi kuda-kudanya cukup kokoh untuk memberikan
serangan balasan.
Gerakan seperti ini..... berarti dia adalah pengguna Teknik Dewa Air.
Ya, Teknik Dewa Air adalah seni pedang bertahan dan membalas serangan.
Ada tiga teknik pedang utama di dunia ini, yaitu : Dewa Pedang, Dewa Air, dan Dewa Utara.
Tidak ada yang paling hebat. Semuanya punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
“Hei, hei, tuan pembela kebenaran… ..tadinya kukira kau akan menyerang duluan? Kalau kau
hanya menunggu, temanku akan segera lari bersama barang-barang kami, lho....”
"…..brengsek! Dasar pengecut!”
Jujur, aku tidak suka Teknik Dewa Air.
Karena mereka tidak pernah bergerak duluan.
Mereka hanya menguatkan kuda-kuda, sembari menjaga jarak aman dengan lawannya.
Justru, mereka lebih suka memancing lawannya untuk menyerang terlebih dulu. Oleh karena
itu, para pendekar Teknik Dewa Air lihai memprovokasi lawan.
Karena kami tidak saling serang, maka pertarungan ini tidak akan terlihat keren.
"Ada apa? Ayo lawan aku dengan tinju kerenmu itu. Atau jangan-jangan, kau tidak berani
menyerangku?”
"Kau salah! Aku datang!"
Jika memungkinkan, aku lebih memilih tidak menyerang duluan saat berhadapan dengan
pendekar Teknik Dewa Air.
Tapi kalau terus begini, anak buahnya bisa kabur bersama bukti-buktinya.
…… yah..... apa boleh buat.....
“Moonlight!”
Kedua tangan siap di pinggangku, lalu aku mundur selangkah.
Pada saat yang sama, dia juga mendekat.
“Kau bodoh, ya!”
“F ei nt!”
Aku menepuk kedua tanganku bersamaan.
Saat itu juga, Mana terkumpul di tanganku, lalu terpercik api dari sana.
"Na!"
Akhirnya, pria itu mengayunkan pedangnya.
Tebasan itu jelas ditujukan ke tangan kananku.
Tapi Nekodamashi[2] bukanlah teknik menyerang.
Jarak di antara kami cukup jauh, maka aku bisa menghindari sabetannya dengan mudah.
Setelah dia menebas, tentu pertahanannya terbuka, dan itulah kesempatanku.
"Rasakan ini! Moonlight ・ Serenaaaaaaade!”
Aku meluncurkan tinju sekuat tenaga pada wajah si pria berikat kepala merah.
Dia terpental, bahkan giginya sampai copot beberapa biji.
Dia terbang beberapa meter, sampai akhirnya mendarat di tumpukan kotoran pasar budak.
Ini baru keren. Memang seperti inilah harusnya penjahat dikalahkan.
Dengan begini, maka selesailah sudah.....
"Itu ksatria bulan!"
“T-Tolong!"
Tidak... belum selesai.... masih ada lagi....
Aku segera mengejar penculik terakhir, lalu kukalahkan dia.
Aku sedikit berpose setelah mengalahkannya, tapi saat melihat itu, orang-orang di pasar
budak langsung lari kocar-kacir.
Ini artinya mereka takut pada penegak hukum.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Tapi saat ini aku tidak berniat mengejar mereka. Targetku hanyalah si pria berikat kepala
merah dan anak-anak buahnya.
Sedangkan para penjual dan pembeli di pasar budak ini, belum tentu orang jahat.
Lagipula, ada korban yang harus kulindungi.
Aku mengamankan ‘barang dagangan’ mereka. Tentu saja, yang kumaksud ‘barang
dagangan’ adalah budak. Kubantu mereka, lalu kulepaskan borgolnya.
“Ah, aah …… kamu menyelamatkanku. Aku tiba-tiba diserang di jalan, lalu.... yang kutahu
selanjutnya.... aku ada di sini....”
"Terima kasih, terima kasih!"
“Terima kasih banyak telah menyelamatkanku!”
Mereka semua berbaris menghadapku, saling mengucapkan terimakasih.
Tapi.... hanya satu hal yang perlu kukatakan.....
“Kalian tidak perlu berterimakasih! Aku adalah pembela kebenaran! Menyelamatkan kalian
adalah tugasku! Mungkin kalian kehilangan barang-barang kalian, tapi sekarang kalian sudah
bebas! Pulanglah ke rumah dengan tenang!”
"Terima kasih banyak!"
“Baiklah! Ayo tinggalkan tempat bau ini!”
Mereka segera pamit, dengan wajah tampak lega.
Sembari melihat kepergian mereka, aku menyibukkan diri dengan mengikat si pria berikat
kepala merah.
Nanti akan kulaporkan ini pada pihak yang lebih berwenang.
Penculikan jelas merupakan tindak kriminal, tetapi sulit melakukan penangkapan tanpa bukti
yang cukup.
Sayangnya, ada banyak saksi atas kejahatan mereka, jadi mereka pasti masuk penjara.
Sekali lagi, keadilan menang.
Aku akan pulang dengan membawa kepuasan ini.
"…..Ah."
Saat memikirkan itu semua, tiba-tiba aku menyadari ada seorang gadis yang menatapku.
Dalam keadaan masih terikat, dia menatapku penuh cela dengan matanya yang tertutupi poni
biru.
Dia tidak mengatakan apapun, tapi sorot matanya jelas mengatakan, ’Kenapa kau menolong
yang lainnya.... sedangkan aku tidak....’
Tapi, kau tidak pernah meminta bantuanku.
Kami saling pandang selama beberapa saat, sampai akhirnya si penjual budak menariknya,
dan menghilang di dalam kerumunan orang.
“……”
Aku tidak tahu bagaimana dia menjadi budak.
Mungkin dia ditipu oleh si penjual bajingan itu.
Saat ini aku tidak tahu apa-apa.
Tapi setidaknya..... aku tahu nasib gadis itu malang sekali.
Ini bukan urusan baik atau jahat.... hanya kemalangan.
“Andaikan Pax menjadi pemimpin…. aku penasaran apa yang akan dia lakukan pada pasar
budak seperti ini....”
Setelah itu, aku meninggalkan pasar dengan kata-kata Pax yang masih terngiang-ngiang di
kepalaku.
Bab 7
Sebelumnya, putri

Kami sudah masuk tahun kedua.


Kami mendapat nilai bagus di ujian akhir tahun lalu. Aku mendapatkan posisi teratas pada
pelajaran praktik bertarung, sedangkan Pax yang terbaik pada pelajaran teori.
Kami sama-sama memiliki kelemahan, tapi jika saling mengisi, tak seorang pun bisa melebihi
kami.
Meskipun prestasi bagus, kami tetap dikucilkan.
Tapi, sepertinya reaksi orang-orang sedikit berubah.
Aku tidak lagi merasakan permusuhan mereka sekuat saat pertama kali sekolah di Asura.
Toh, aku dan Pax sering mengabaikan pelajar-pelajar lainnya, dan tidak mengambil hati
perbuatan mereka.
Tahun-tahun pertama terasa cukup berat.
Tapi sekarang kami sudah terbiasa.
Mungkin, mereka sibuk memperbaiki prestasi, sehingga tidak lagi acuh pada kami.
Yang jelas, keadaan ini terasa baik bagi kami.
Sayangnya......
Muncul masalah lain.
Itu terjadi tak lama setelah tahun kedua bergulir.
Seorang gadis mendekati kami.
Parasnya cantik, dan rambut pirangnya begitu indah.
Dia mendekati kami, lalu membungkuk dengan sopan.
“Selama ini aku selalu memperhatikanmu.”
Selanjutnya, kami saling memperkenalkan diri.
Dia adalah putri salah seorang pejabat Asura. Dia juga tahun kedua, seperti kami.
Sejak pertama kali bersekolah, sepertinya ibunya meminta gadis ini untuk mendekatiku.
Namun karena warna rambutku, tubuhku yang besar, dan kebiasaanku yang suka berkelahi,
sepertinya dia telah terintimidasi olehku, sehingga dia menghindariku selama ini.
Karena belakangan ini prestasiku membaik, akhirnya dia berubah pikiran.
Gadis itu bilang, dia menyesal karena hanya menilaiku dari penampilan saja.
Dia ingin berteman mulai sekarang.
Bahkan, mungkin akan menikahiku di masa depan.........
Tiba-tiba saja dia mengatakan itu, lalu membungkuk malu, dan pergi begitu saja.
Menikah.
Aku sendiri kaget mendengarnya, tapi aku mengerti alasannya.
Ayahku adalah orang yang cukup berpengaruh.
Dia juga memiliki hubungan dekat dengan penguasa Asura, yang merupakan negara adigdaya
di dunia ini.
Itulah yang menyebabkan pejabat-pejabat Asura ingin menjalin hubungan darah dengan
keluargaku.
Atau mungkin, sebaliknya.
Apapun itu, pernikahan atas maksud tertentu di kerajaan ini adalah hal biasa.
Katanya, awalnya calonnya adalah abangku.
Abangku adalah seorang pria berambut merah, dengan wajah begitu jantan dan pemberani
seperti Mama Merah.
Sepertinya, sudah ada rencana abangku menikah dengan seorang putri Asura.
Tapi, abang lebih memilih Bibi Aisha, dan sekarang dia sudah menikah dan hidup
bersamanya.
Maka, rencana itu batal.
Ayah sudah merestui hubungan abang dan bibi, tapi aku ingat Lucy-nee pernah mencela
mereka, “Kau telah mengkhianati kepercayaan ayah!!”
Menurutku itu bukan pengkhianatan, abang berhak memilih siapapun sebagai pendamping
hidupnya.
Yah, kesampingkan itu.
Setelah abang, maka akulah yang akan dijodohkan selanjutnya.
Dari segi politis, ini pernikahan yang sama-sama menguntungkan.
Tapi ayah tidak mengatakan apa-apa.
Ayah tidak pernah memintaku menikahi suatu gadis tertentu.
Namun, ibu si gadis telah berbicara banyak padanya.
Itulah kenapa dia ingin menemuiku.
Aku yang tidak tahu apa-apa, hanya bisa terkejut mendengar rencana pernikahan ini.
"Sepertinya dia gadis baik."
Itulah komentar Pax.
“Menurutmu, dia benar-benar ingin menikahi pria berambut hijau?”
“Kau tahu, dia hanya takut padamu, bukannya membencimu.”
“Apakah aku begitu menakutkan?”
“Ya, saat pertama kali melihatmu, kau sangat menakutkan.”
Pax mengangkat bahu untuk menunjukkan bahwa itu hanya lelucon.
Aku sendiri juga merasa penampilanku cukup mengerikan dulu waktu awal-awal sekolah.
Tapi aku tidak begitu memikirkannya, aku juga sering berkelahi atas nama keadilan. Itu
sungguh memalukan, tapi nama besar ayah lah yang menyelamatkanku.
Jadi, wajar saja bila orang lain melihatku menakutkan.
“Gadis itu bisa saja mengabaikanmu selamanya, tapi dia memberanikan diri berkenalan
denganmu. Atau, dia bisa saja membiarkanmu sampai menikah, sehingga tidak ada lagi
kesempatan mendekatimu, tapi itu tidak terjadi. Menurutku, dia gadis yang jujur.”
Ya.... setelah mendengar Pax mengatakan semua itu.... dia benar juga....
“Kehidupan gadis itu diatur oleh politik, jadi cepat atau lambat dia pasti menikah. Maka,
tidakkah sebaiknya menikah dengan orang yang dia sayangi?”
Saat mengatakan itu, Pax sedikit meringkuk.
“Pax, apakah kau sudah punya tunangan?”
“Sebenarnya punya, tapi kami tidak pernah bertemu. Mungkin karena aku selalu dikucilkan.”
Saat itu juga, aku ingat bahwa di negara asalnya Pax begitu dimusuhi.
Tentu saja, sangat sulit menikah dengan orang yang dibenci banyak orang seperti Pax.
Bahkan kalau menikah, istrinya belum tentu menjadi sekutunya.
"Oh ya.... siapa nama putri itu...?”
“Umm, … Sariel.”
Sariel Anemoi Asura.
Itulah namanya.

Setelah hari itu, Sariel mampir untuk mengobrol setiap hari.
Jujur saja, aku tidak begitu paham topik yang dia bahas.
Seperti : bunga, teh, kue kering, dan binatang.
Aku punya sih hewan peliharaan di rumah, jadi aku masih bisa mengikutinya sesekali. Tapi
selebihnya, aku sama sekali tidak paham.
Percakapan kami tidak bertahan lama.
Setiap kali berhenti, kami hanya diam saja, dan ketika suasana mulai canggung akhirnya dia
pamit, “Baiklah.... sekian dulu hari ini...”
Aku tidak bisa menghentikannya, jadi yang kulakukan selanjutnya hanyalah mengantarkan
kepergiannya.
Ini terjadi hampir setiap kali kami bertemu.
“Kau perlu membahas topik yang kau sukai.”
Itulah saran Pax padaku, tapi prakteknya tidak semudah itu.
"Aku tahu.... aku bermaksud melakukannya......"
Kalau kau ingin tahu topik favoritku, itu adalah cerita-cerita seru tentang kepahlawanan,
petualangan, dan legenda.
Sejak kecil aku sudah terbiasa mendengar cerita seperti itu dari orang tuaku, bahkan Shishou-
ku.
Pokoknya, cerita tentang pertarungan, aku suka.
Saat bertemu dengan Sariel keesokan harinya, aku pun mencobanya.
Herannya, Sariel mendengarkan dengan cukup antusias.
Dia bahkan mengajukan pertanyaan jika ada sesuatu yang tidak jelas.
Sayangnya, aku tahu dia hanya bersandiwara. Dia sebenarnya tidak begitu tertarik, tapi
seolah-olah tampak menyukainya.
Karena pada dasarnya, cewek tidak suka cerita yang mengandung unsur kekerasan, bahkan
kematian dalam pertarungan.
Misalnya, cerita tentang ayah dan kakek saat mengeksplorasi Dungeon Teleportasi.
Akhirnya, kakek harus meregang nyawa saat melindungi ayah.
Ayah, kakek, dan koleganya berupaya keras menjelajahi Dungeon itu untuk menyelamatkan
nenek.
Tidak hanya nenek, akhirnya mereka juga berhasil menyelamatkan Mama Biru.
Sayangnya, seperti yang sudah kubilang sebelumnya, kakek harus gugur saat melawan
monster terakhir penjaga Dungeon.
Setelahnya, ayah mengalami depresi berat, sampai akhirnya Mama Biru menyembuhkannya.
Akhirnya, mereka pun pulang bersama ke Sharia.
Kisah ini memang menyedihkan, tapi karena pengalaman ini, ayah selalu berpesan kepada
kami, “Tak peduli seberat apapun masalah dan cobaan yang menghadang, jangan pernah
putus asa menyelesaikannya.”
Itu cerita yang bagus.
Namun, saat mendengar kematian kakekku, wajah Sariel tampak sedih, lalu dia berkata,
“Maaf, tapi aku tidak mau mendengar kelanjutannya." dan pergi.
Jika kau tidak mendengar kelanjutan dan kesimpulannya, cerita ini seolah menyedihkan. Tapi
jika mendengar semuanya, banyak pesan positif yang bisa kau pelajari.
Maka, sudah jelas bahwa kami tidak cocok.
Meskipun begitu, aku tahu dia bukan gadis yang buruk.
Sepertinya aku tidak bisa menikahi gadis ini.
Jika kami bisa menemukan kesamaan, mungkin saja aku akan menikahinya. Tapi jika tidak,
hubungan ini terasa menjengkelkan bagiku.
Ini sungguh merepotkan.
Andaikan aku bisa berdiskusi dengan abang yang lebih paham tentang wanita. Tapi abang
sudah bekerja jauh setelah lulus, dia membantu Orsted-sama di perusahaan ayah.
Padahal abang adalah siswa berprestasi saat lulus, tapi sekarang dia tidak kerja kantoran.
Aku bisa saja menemuinya, tapi kalau hanya membahas masalah sepele seperti ini, mungkin
aku hanya akan mengganggu abang.
Maka, hubunganku dengan Sariel pun tidak berkembang.
Bahkan, adanya Sariel tidak merubah kehidupan sekolahku. Aku dan Pax masih saja dijauhi.
Bahkan, kami merasa lebih dikucilkan daripada sebelumnya.
Mungkin, itu disebabkan oleh beberapa siswa yang tidak suka caraku memperlakukan Sariel.
Mereka adalah cowok-cowok bucin yang berniat menikahi Sariel.
Saat melihat aku bersama Sariel, semakin jelas tampak kebencian di wajah mereka, dan
mereka pun mulai membuat ulah.
Tapi itu tidak berlangsung lama.
Karena geng Sariel mulai ikut campur.
Sariel adalah seorang putri, maka wajar saja dia punya banyak pengikut.
Pengikutnya kebanyakan gadis-gadis bangsawan kelas atas Asura.
Mereka begitu menyayangi dan menghormati Sariel.
Ketika bertemu sang putri, yang keluar dari mulut mereka hanyalah pujian, pengagungan, dan
sanjungan. Sariel hanya bisa tersenyum bahagia mendengar semua itu.
Geng itu pun menemui kami.
Mereka menyatakan, “Kami melakukan ini demi Sariel-sama.”
Hasilnya, mereka membantu kami mengusir cowok-cowok bucin yang mengganggu.
Geng pengikut Sariel ini cukup kuat karena mereka anak orang kaya, dan jumlahnya pun
tidak sedikit.
Tentu saja, mereka membantu kami bukan atas dasar keadilan, dan bukan karena kasihan
pada kami. Satu-satunya alasan mereka adalah perintah Sariel.
Anehnya, beberapa di antara geng itu adalah lelaki. Aku tidak paham, jika kau suka pada
Sariel, maka mengapa tidak kau nikahi saja? Mengapa kau malah membantu hubunganku dan
idolamu? Apakah kau sudah merendahkan dirimu sendiri?
Sedangkan, beberapa gadis di antara mereka membantu Sariel karena diperintahkan oleh
keluarganya. Sepertinya, keluarga mereka adalah sekutu orang tua Sariel.
Pokoknya, mereka bersedia membantu siapapun, asalkan idolanya bahagia.
Bagi mereka, kebahagiaan sang putri adalah mutlak.
Mereka juga mengusir teman-teman sekelas kami yang suka mengganggu.
Perlahan-lahan, eksistensi kami mulai diakui.
Kami mulai menonjol.
Tanpa disadari, kami juga menarik perhatian orang-orang yang semula acuh.
Bahkan Senpai-senpai yang tidak pernah menggubris kami sejak awal masuk sekolah,
sekarang mulai melirik.
Guru-guru yang selalu menganggap kami benalu, sekarang mulai perhatian.
Inilah kekuatan bangsawan kelas atas.
Tapi.... apapun itu, entah ini hal baik atau buruk, aku tidak ambil pusing.
Toh, hidupku tetap begini-begini saja.
Lalu, bagaimana hubunganku dengan Sariel?
Bagaimana aku harus memperlakukannya?
Aku masih bingung akan hal itu.......
“Pernikahan kalian belum pasti, kan? Kalau begitu, perlakukan saja dia seperti teman biasa.”
Pax boleh saja mengatakan itu, tapi menurutku Sariel berbeda dari gadis biasanya.
Baru kali ini aku bertemu gadis selemah dan serapuh ini.
Mungkin yang mirip dengannya adalah adikku, Chris.
Dia sangat menyukai benda-benda indah seperti bunga, tanaman, pelangi, dll. Sebaliknya, dia
akan marah jika aku membahas kisah-kisah garang seperti pertarungan, peperangan, dan
perselisihan. Dia selalu bilang membosankan.
Namun, Sariel tidak marah.
Kebalikannya adalah kakak perempuanku, Lara.
Dia kasar, jorok, semaunya sendiri, sering bolos, dan suka menjahili orang.
Anehnya, aku cukup akrab dengannya.
Kalau saja Sariel seperti Lara-nee, mungkin hubungan kami lebih baik.
“Kalau begitu.....”
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya, hubunganku dengan Sariel sama sekali tidak ada
kemajuan.
Sedangkan, geng Sariel tidak menghendaki idolanya dekat dengan lelaki yang hanya ‘teman
dekat’.
Sariel sendiri tidak ingin memperbanyak ‘teman’ lelaki, dia menginginkan hubungan yang
jauh lebih serius.
Yang terjadi selama ini, kami terus bertemuan, tapi hubungan kami tetap dingin.
Apapun itu, yang jelas bagi aku dan Pax, gadis bernama Sariel ini telah mengisi kehidupan
sekolah kami yang suram.
Ini tidak buruk, kehadiran Sariel bagaikan bunga indah yang mekar di tengah-tengah lahan
tandus.
Sekarang aku masih jomblo, tapi aku pria normal. Jika ada gadis cantik yang mendekatiku,
tentu akan kuterima, tapi lihat dulu apakah kami cocok.
Terlepas apakah nanti aku akan menikahinya atau tidak, yang jelas aku cukup terbuka pada
gadis yang ingin mendekatiku.
Hubunganku dengan Pax dan Sariel terus berlanjut selama beberapa waktu, meskipun tidak
banyak perkembangan.
Bahkan, Sariel ikut ketika aku dan Pax mengunjungi daerah kumuh.
Kami saling ngobrol, dan banyak hal terjadi.
Aku dan Pax tetap bersahabat, sedangkan Sariel masih saja canggung.
Bab 8
Sekarang, menikah

Hari ini libur.


Pagi-pagi sekali Mama Putih sudah pergi, karena tidak ada yang membangunkanku, aku bisa
terus molor sampai siang. Jarang-jarang ini terjadi.
Sayangnya, tidak ada yang masak sarapan, tapi masih ada sisa makanan di dapur, jadi aku
pun memakannya.
Rumah jadi lebih sepi, tapi masih terasa nyaman bagiku.
Karena inilah yang diinginkan seorang pengangguran.
Biasanya pada hari libur, Mama Putih dan Mama Merah keluar, sedangkan Mama Biru tetap
di rumah.
Itu sudah seperti norma di rumah kami.
Mungkin ayah akan pulang, mungkin juga tidak, tapi hari ini tidak.
Itu artinya, aku bisa bersantai lebih lama di rumah.
“Ah, Sieg. Selamat pagi."
Sudah kuduga, hari ini Mama Biru di rumah, dia pun memasuki ruang makan.
Aku pasang tampang sedikit serius.
Selama ini, Mama Biru tidak pernah menuntutku mencari pekerjaan.
Dia hanya sesekali menasehatiku agar tidak malas-malasan sebagai pengangguran.
Yahh, sebenarnya itu juga tuntutan mencari kerja, tapi lebih halus.
Dia memang orangnya kalem.
“Sieg, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”
"Apa?"
“Tunggu sebentar.”
Mama Biru lari ke kamarnya.
Wah, apa lagi ini....
Tak lama kemudian, Mama Biru kembali dengan membawa setumpuk papan persegi.
Sepertinya, ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Dia hanya ingin aku membantunya
melakukan sesuatu.
Boleh saja.
Aku memang pengangguran, tapi aku tidak akan menolak membantu siapapun.
“Lihatlah.”
Sembari mengatakan itu, ibu menata papan-papan itu di depanku.
Itu adalah papan kanvas, sehingga ada gambar cat yang terpampang di sana.
Semuanya gambar wanita.
Mereka masih muda, mungkin berumur sekitar 20 tahun.
"Siapa ini?"
“Ini adalah putri kedua Keluarga Tyle dari Kerajaan Ranoa, namanya Marida. Kalau yang ini,
putri ketiga Keluarga Yunipin, namanya Monory.”
"…kalau yang ini?"
“Ini adalah putri kelima dari pemimpin Basherant, namanya Egrid. Kita mulai menjalin
kerjasama dengan Wilayah Basherant karena produk-produk PT. Zanoba dijual ke sana.
Akibatnya, Lily mendapatkan lamaran dari pangeran Basherant.”
Lamaran.
Sebelum mendengar kata itu pun, aku sudah bisa menebak bahwa gambar-gambar ini
berhubungan dengan perjodohan.
Oh, ini menyebalkan.
“Bagaimana.... mereka cantik-cantik, kan?”
“Yah, sepertinya begitu…”
“Kau suka yang mana.... yang cantik, atau yang manis? Kalau begitu, bagaimana kalau yang
ini....”
“Umm, Mama Biru…”
“Gadis ini, namanya Krisna dari Keluarga Lotte. Dia cantik dan dadanya besar. Ah, kalau kau
suka yang besar-besar, yang ini mantep juga, lho. Namanya Roko dari Keluarga Taashin.
Tingginya sih seperti aku, tapi dadanya gedhe. Kau kan tinggi, nanti kau bisa melihat belahan
dadanya dengan mudah, terus.........”
"MAMA!!"
Ibu segera berhenti bicara saat mendengar jeritanku.
"Aku gak mau menkah."
"Kenapa? Mereka semua bangsawan, lho. Kalau menikahi mereka, kau akan hidup enak, dan
kau tidak perlu repot-repot bekerja.”
“Jangan bodoh, meskipun kelihatannya santai, sebenarnya bangsawan juga banyak pekerjaan.
Mereka perlu menghadiri beberapa upacara dan undangan. Kalau sudah saatnya, mereka juga
diwajibkan bertarung demi raja. Belum lagi, aku adalah anak Keluarga Greyrat. Semua orang
ingin menjalin hubungan darah dengan Greyrat agar keluarga mereka semakin kuat dan
banyak koneksi.”
Aku benci dikendalikan oleh hal seperti itu, sehingga tidak lagi bisa membela kebenaran.
Jika menikah, aku akan dipaksa mengabdi pada keluarga, atau kerajaan tertentu.
Aku mencintai keluargaku, bukannya keluarga mereka.
Lebih baik aku bekerja untuk keluarga sendiri......
“Yahh, kurasa kau benar. Kau sudah dewasa sekarang. Mama yang salah. Mama masih saja
menganggapmu anak kecil seperti dulu.”
“…”
“Tapi Sieg. Untuk menjadi orang dewasa seutuhnya, kau perlu menikah. Jika sudah menemui
gadis yang kau cintai, maka kau akan bekerja apapun dengan ikhlas.”
“Ya... mungkin itu benar.”
"Iya, kan? Yahh, mama tidak memaksa, tapi seandainya ada di antara mereka yang menarik
hatimu, mengapa tidak kau coba menemuinya?”
"… nanti kupikir lagi....."
Saat itu, Lily masuk ke ruang makan sambil menguap.
Sepertinya dia juga menghabiskan liburannya dengan tidur.
Dia sedikit terkejut saat melihat Mama Biru menunjukkan gambar-gambar itu.
"Lily. Selamat pagi."
Melihat putrinya mendekat, Mama Biru menyeringai, seolah tahu ini kesempatan bagus.
“Mama punya beberapa gambar untukmu, lho.”
“T-t-tidak perlu repot-repot.”
“Ah.... ayolah.... setidaknya lihatlah. Mereka baik-baik, kok. Kau boleh melanjutkan
pekerjaanmu setelah menikah.”
Lily segera melarikan diri, dan Mama Biru lekas mengejarnya keluar ruang makan.
Sudah lama sejak lamaran terakhir datang pada Lily. Bagaimanapun juga, dia adalah wanita
karir berbakat yang bekerja untuk PT. Zanoba.
Berbagai pihak telah mengakui hasil kerjanya.
Tapi, keluarga masih banyak mengkhawatirkan gadis itu.
Terlebih lagi sifatnya yang ling-lung, jika ditinggal sebentar saja, Lily adalah sasaran empuk
bagi para penculik.
Maka, tentu saja keluarga kami mengharapkan pria yang kuat dan bertanggungjawab
menikahinya.
Aku pun bersimpati padanya.
“Sebelum aku, bukankah seharusnya Lara-neesan menikah lebih dulu?”
“Aku yakin dia bisa menemukan jodohnya sendiri.”
“Gak mungkin lah ~!”
Aku mendengar suara itu dari atas.
Ngomong-ngomong, sampai sekarang tidak ada seorang pria pun yang mengajukan lamaran
untuk Lara.
Saat bersekolah di Asura, kukira akan banyak pria yang ingin melamarnya, ternyata tidak.
Sepertinya pria-pria itu tidak ingin punya istri pemalas yang suka menjahili orang.
Mama Biru pun sepertinya sudah menyerah menjodohkannya.
"Yang jelas, banyak sekali gadis yang bisa kau pilih, Sieg ..."
Di antara lukisan-lukisan ini, ada satu yang begitu cantik jelita.
Karena lukisan ini untuk kepentingan perjodohan, pastinya digambar dengan lebih indah
daripada biasanya. Tidak hanya itu, mama pasti mengumpulkan gadis-gadis yang mungkin
akan membuatku tertarik.
Sayangnya, aku tidak kenal satu pun dari mereka, apalagi keluarganya.
Aku yakin mereka semua dari keluarga terpandang.
Seperti yang Mama Biru bilang, kalau menikahi mereka, hidupku tidak akan susah.
Meskipun aku masih bekerja sebagai suami bangsawan, aku punya kewenangan untuk
melimpahkan tanggung jawab itu pada anak-anak buahku.
Tapi, perlu diingat bahwa aku menganggur bukan karena malas, melainkan atas nama
keadilan.
Aku tahu Mama Biru sudah berusaha keras mengumpulkan gambar gadis-gadis ini, tapi aku
harus menolaknya.
Sementara memikirkan berbagai hal, di tengah gambar yang saling melekat.....
"Ah"
..... ada wajah yang kukenal.
Gadis berambut pirang lembut dengan wajah mirip boneka.
Sariel Anemoi Asura.
Teman sekelasku dulu waktu masih bersekolah di Asura.
Parasnya memang cantik, namun senyumnya yang malu-malu menambah keanggunannya.
Aku bisa membayangkan bagaimana dia membuat ekspresi ini saat wajahnya digambar oleh
pelukis.
Pelukisnya pun hebat.... para pelukis yang ditugasi menggambar wajah-wajah bangsawan
Asura memang tidak sembarangan.
Di antara semua kandidat, tentu saja dia yang paling menonjol.
“…”
Kemudian, aku meletakkan lukisan Sariel, menumpuknya dengan yang lain, dan
meninggalkan meja makan.

Pagi menjelang siang.
Seperti biasa, aku menghabiskan hari dengan berkeliling di sekitar kota.
Cuacanya bagus. Langit biru tanpa awan menghampar sampai cakrawala, ini adalah suatu
pemandangan yang jarang terjadi di daerah ini.
Hawanya juga cukup panas, ini adalah hari yang baik untuk menjemur pakaian.
Air di sungai berkilau terpantul sinar matahari.
Sayangnya, sungai yang mengaliri kota bukanlah sungai terasri, tapi kau masih bisa melihat
ikat yang berenang-renang di sana.
Mungkin, ini juga hari yang baik untuk memancing.
Mama Biru suka memancing.
Saat masih kecil, di hari-hari seperti ini, Mama Biru selalu membawaku, kakak, dan adik
bermain di sungai.
Aku senang bermain di sungai bersama abang, tapi biasanya kalau memancing bersama
Mama Biru.
Sembari memancing, dia menceritakan hari-harinya saat menjadi petualang padaku, yang
duduk manis di pangkuannya.
Aku sangat suka mendengar kisahnya saat menjadi petualang solo menjelajahi Dungeon.
Aku jadi kangen saat-saat itu.
Aku ingat, meskipun kakak tertuaku cukup pendiam, sebenarnya dia juga suka memancing.
Saat semakin dewasa, kami semakin jarang memancing bersama, akhirnya Mama Biru pergi
memancing sendirian.
Waktu itu, setelah pergi memancing, kami selalu berharap meja makan dipenuhi hidangan
ikan.
Mungkin, aku akan coba pergi memancing sendiri nanti.
Setelah kakak pertama menikah, dia tidak membawa pancingnya.
Pasti pancing itu sudah berdebu di gudang.
“Uuh… Uug…”
Sementara aku melamun, tiba-tiba aku mendengar suara seperti orang mengerang.
Tidak..... bukan seperti..... itu benar-benar suara orang mengerang.
Dia sedang kesakitan.
Tidak mungkin pahlawan pembela kebenaran sepertiku salah dengar.
Aku segera mengamati sekeliling dengan gelisah.
Ksatria bulan memanfaatkan panasnya sinar matahari untuk mempertajam indra
penglihatannya!!
Ketemu.........
Di bawah bayangan jembatan, ada seorang pria yang berjongkok.
"Apa yang terjadi?"
Aku segera bergegas untuk bicara dengannya.
Seorang pria paruh baya tanpa janggut.
Dia sedang bersandar di atas tong.
“Oh, Sieg-kun rupanya…”
Di mana ya aku pernah bertemu dengannya........... ahh! Dia si kakek penjual buah.
Aku pangling karena dia mencukur jenggotnya.
“Aku seharusnya membawa tong anggur ini ke gereja, tapi di tengah jalan, punggungku
sakit… Oooww… sebenarnya aku tidak berniat merepotkanmu, tapi..... bisakah kau
membantuku?”
Tugas sederhana.
Pertama, aku memijat punggungnya.
Kualirkan sedikit Mana ke tangan, lalu kusembuhkan punggungnya dengan sihir
penyembuhan.
Sihir penyembuhanku tidak sehebat Mama Putih, tapi setidaknya aku bisa melakukan ini.
“Bagaimana rasanya? Aku baru saja merapalkan sihir penyembuhan."
“Oh… Sakitnya hilang. Kau sangat membantu. Kalau begini…"
"Tahan. Sihir penyembuhan memang bisa menghilangkan sakit sementara, tapi kau masih
butuh istirahat. Biar aku yang mengantarkan tong ini.....”
"Begitukah? Syukurlah......”
Aku mengambil tong anggur, mengapitnya di bawah lenganku, lalu kubawa.
Tong ini cukup besar.
Terlalu banyak diminum satu orang.
"Mengapa mereka memesan anggur sebanyak ini?"
“Aku senang kau bertanya. Ini hari pernikahan putriku.”
“Hee. Selamat ya....”
"Terima kasih. Aku masih tidak percaya bahwa suaminya adalah anak juragan alkohol.”
Sembari mengobrol, tak terasa kami hampir sampai.
Gereja mulai terlihat dari kejauhan.
Banyak orang berkumpul di sana.
Kulihat ada kereta kuda yang diparkir di dekat gereja, dan banyak barang diturunkan dari
sana.
“Oh, Horis!”
Di antara kerumunan manusia, seseorang menghampiri kami.
Seorang pria berjanggut.
Dia si pemilik toko miras.
Sambil tersenyum lebar, dia mendekati kami.
“Tadinya kau sangat bersemangat, sampai mengatakan akan membawa tong itu sendirian.
Ternyata, Sieg-kun membantumu.”
“Apa boleh buat, tiba-tiba pinggangku kumat di tengah jalan.”
“Pinggangmu? Haha, kumat!? Mungkin karena kau terlalu bersemangat.”
"Diam!"
Si bos toko buah tidak senang melihat tawa si bos toko miras.
Keduanya adalah teman masa kecil, lahir dan besar bersama di kota ini.
Singkat kata, mereka sahabat karib.
“Sieg-kun, apakah kau datang juga untuk menghadiri resepsi ini?”
“Tidak, aku hanya lewat.”
"Baiklah, terimakasih sudah membentu si bego ini. Karena sudah terlanjur di sini, bagaimana
kalau kau bergabung dengan kami?”
Si bos toko miras mengatakan itu, sembari terbahak-bahak dan menepuk-nepuk punggungku.
Kemudian, si bos toko buah menoleh dengan senyum di wajahnya.
“Yahh, besok-besok akan kuminta anak laki-lakiku membawanya. Dia anak bungsuku, dan
cukup mahir mengangkut tong-tong miras.”
“Santai saja.... toh, dia akan menjadi anakku juga.”
Putri juragan buah dan putra juragan miras.
Aku pernah bertemu mereka sebelumnya, waktu itu mereka masih cukup muda.
Waktu itu aku belum bersekolah di Asura.
Sudah berapa lama waktu berlalu sejak saat itu? Tidak terasa.... sekarang mereka sudah besar,
bahkan menikah.
Waktu berlalu begitu cepat.
“Yahh, kalau punggungmu sakit, lebih baik kau istirahat saja. Silahkan duduk dan nonton
saja.”
Si bos toko miras mengatakan itu sembari memamerkan ototnya.
Kemudian, dia mengambil salah satu peti berisi buah dari kereta.
“Biar aku saja yang membawa ini, kau segera masuk dan istirahat sana....”
Setelah mengatakan itu, dia bersiap hendak mengangkat peti, namun saat mengangkatnya, tak
lama berselang dia langsung meletakkannya lagi. Sepertinya ada yang salah dengan
punggungnya.
“Oi, Godol. Jangan-jangan… ”
“…”
"Ha! Pinggangmu juga kumat ya!? Padahal baru saja kau menertawaiku. Ahahaha! Ini karma
namanya!”
“Brengsek… sial… aku… aku hanya tidak terbiasa membawa peti buah!”
Aku segera mendekati si bos miras yang mulai bermandikan keringat dingin, lalu kurapalkan
sihir penyembuhan padanya.
“Terima kasih Sieg-kun… untung saja ada kau yang bisa menggunakan sihir penyembuhan di
saat-saat dibutuhkan seperti ini.....”
Dia mengatakan itu sembari merangkak kesakitan.
Setelah disembuhkan oleh sihirku, lalu istirahat, semuanya akan baik-baik saja.
“Pffffttttt-… Hahahaha…”
“Brengsek… Tertawalah selagi bisa, tapi mau kita apakan semua peti ini? Jika tidak digotong
ke dalam gereja, resepsinya tidak akan siap.”
"Ah"
Si bos toko buah berhenti tertawa, dan wajahnya memucat.
Tidak hanya dia, wajah si bos miras juga memucat, lalu keduanya menoleh padaku.
“Hei, Sieg-kun.... bisakah kau....”
"Tidak masalah."
Segera setelah menjawab, aku mulai bekerja.
Pekerjaan mengangkut barang juga bagian dari penegakan kebenaran.

Setelah itu, pernikahan berlangsung tanpa hambatan.
Kedua mempelai lebih muda dariku.
Selama upacara, keduanya tampak malu-malu. Itu tampak jelas pada wajah polos mereka.
Melihatnya saja, aku sudah tahu bahwa keduanya sama-sama cinta. Tanpa sengaja, senyum
bahagia merekah di wajahku.
Setelah upacaranya selesai, waktunya resepsi.
Pernikahan tidak dilangsungkan berdasar aturan Millish, melainkan adat setempat.
Semua orang berpesta merayakan pasangan baru yang hendak melepas masa lajangnya.
Semua tamu undangan, keluarga mempelai, bersama mempelainya larut dalam suka cita.
Aku ambil andil dalam upacara ini, yaitu mengangkut anggur dan buah-buahan.
Tapi, kerja si juragan miras dan buah-buahan juga perlu diapresiasi.
Kedua pak tua ramah yang pinggangnya kambuhan itu memintaku ikut pesta lebih lama.
Tapi, itu adalah bentuk imbalan, dan pembela kebenaran tidak membutuhkannya.
Sekarang, yang perlu kulakukan adalah pergi.
Memang seperti itulah jalan seorang pembela kebenaran.

“Nah.... selanjutnya apa...”
Hari sudah malam.
Seperti biasa, aku hanya berkeliling kota tanpa arah dan tujuan.
“Bagaimana kalau berkunjung ke tempatnya Lara-nee...... yahh, sepertinya itu ide bagus....
mungkin dia akan memberiku makanan.”
Setelah memutuskan itu, aku menuju ke Akademi Sihir.
Sudah terlalu sering aku keluar-masuk Akademi Sihir, sampai-sampai sekolah ini seperti
milik keluargaku saja.
Segera aku menuju ke ruangan Lara-nee, tapi.... pintunya terkunci.
Jarang sekali pintunya terkunci, biasanya dia melakukannya saat keluar.
Berarti dia sedang keluar.
Luar biasa.
“Ah, Sensei... Anda tahu di mana Lara-nee berada?”
Aku coba bertanya pada guru yang kebetulan berada di dekatku.
“Dia tidak berada di labnya? Kalau begitu, aku tidak tahu. Tak seorang pun di sekolah ini
tahu di mana gadis itu berada, kecuali Roxy-sensei.”
"Begitu ya.....”
Yang dimaksud Roxy-sensei adalah Mama Biru.
Hari ini dia sedang libur mengajar.
Maka, tidak ada yang tahu ke mana Lara-nee pergi.
Memang jarang ada orang yang bisa memahami Lara-nee.
Lalu.... aku makan di mana? Perutku kosong....
Bar tempatku nongkrong juga tidak buka hari ini.
Kalau ayah.... hari ini dia tidak pulang, mungkin aku bisa menjarah isi dapur....?
Atau, mungkin aku bisa kembali ke kelas, dan meminta beberapa sisa hidangan pesta?
Tapi kalau kulakukan itu, mungkin mereka akan menahanku lebih lama.
Aku kenal kedua mempelai itu, begitupun dengan orang tuanya. Apakah meminta makanan
dari mereka sama dengan meminta imbalan? Mungkin tidak ya....
Ah.... tidak.... tidak.... seorang pembela kebenaran tidak pantas melakukan hal seperti itu.
“Hiks..... hiks.....”
Tiba-tiba, aku mendengar suara isakan tangis.
Aku sangat peka terhadap suara tangisan seseorang.
Itu karena aku adalah pembela kebenaran.
Telinga keadilanku berdenyut mendengar suara seperti itu.
Di sana....... di ujung tangga.
Aku menemukan seorang gadis tersembunyi dalam bayang-bayang.
Aku mengatakan "gadis", tapi mungkin dia sudah dewasa.
Parasnya tampak seperti bocah berusia 15 tahunan.
Wujudnya, seperti manusia.
“Ada apa?”
“Eh?”
Setelah menanyainya, dia melihatku dengan terkejut.
Dia adalah seorang gadis cantik dengan rambut kuning muda.
"Tidak apa-apa."
“Maafkan aku, mungkin aku tampak mengerikan, tapi aku orang baik. Namaku Sieghart
Saladin Greyrat.”
“Keluarga Greyrat…!”
Pada saat-saat seperti ini, nama Greyrat cukup berguna.
Karena keluarga kami cukup terpercaya.
Aku bukanlah pria sehebat ayah, tapi orang cukup segan saat mendengar aku menyebutkan
nama keluarga Greyrat.
"Greyrat".
“Kenapa kamu menangis?”
“Uhh, anu…”
“Santai saja, aku tidak akan bilang siapa-siapa. Akan kutolong kau, tapi.... meskipun aku
tidak bisa menolongmu, setidaknya menceritakan masalahmu akan meringankan beban.”
Aku tidak bohong.
Kalau mampu, maka akan kubantu kau sekuat tenaga.
Sejak kecil, aku adalah anak yang kuat. Jadi, kekuatanku yang berlebih ini ada untuk
dipinjamkan pada orang lain.
Awalnya dia tampak ragu, tapi sedikit demi sedikit, dia mulai bicara.
“Harusnya..... aku.... menikah besok......”
“Wow, kalau begitu selamat.....”
Pernikahan lagi.
Sepertinya tema hari ini adalah pernikahan.
Mungkin ini sudah takdir.
“Tidak ada yang perlu diselamati. Pengantin prianya lebih tua 30 tahun dariku.”
"…itu tidak baik.... beda umur kalian terlalu jauh.”
“Aku tidak ingin menikahinya… tapi, pria itu..... dia bilang begitu menginginkanku tak
peduli apapun resikonya..... dan kata orang tuaku........ aku harus menikah...... karena keluarga
kami tidak punya uang...... malam ini.... harusnya kami bertemu........ dengan keluarganya....
tapi sekali lagi.... aku gak mau...... jadi.... akhirnya aku bersembunyi di sini.... hiks.... hiks....
waaaaaaaaaaaaaaa...!!”
Akhirnya dia menangis selang beberapa saat setelah menyelesaikan ceritanya.
Jadi, orang tuanya memaksanya menikah.
Ini mirip perkawinan politis. Orang tua punya kewenangan penuh menentukan dengan siapa
anaknya menikah.
Sudah lama pernikahan digunakan untuk menyatukan dua keluarga.
Bukan rahasia lagi bila orang tua mengirimkan anak-anaknya pada keluarga lebih terpandang
untuk dinikahi. Semuanya untuk memperlancar hubungan kedua keluarga.
Memang seperti itulah budaya di dunia ini. Bahkan.... bisa jadi pernikahan anak juragan buah
dan miras tadi hanya dimanfaatkan untuk menyatukan kedua keluarga.
Tapi, berbeda dengan pernikahan itu, gadis ini jelas-jelas tidak mencintai si pria.
Tujuannya hanyalah uang dan status.
Meskipun si gadis menentang mati-matian, tapi orang tuanya tidak mau tahu.
Sepertinya si mempelai pria hanyalah pak tua mesum yang gila wanita muda.
Singkat kata, ini pernikahan paksa.
Ayahku sangat menentang pernikahan paksa pada anak-anaknya.
Memang pernah beberapa kali ayah meminta kami menikah, tapi benar-benar tanpa paksaan.
Lily dan aku sangat menghindari hal ini.
Tapi setidaknya, aku harus bersyukur karena tidak banyak keluarga seperti keluarga kami.
"Aku paham."
Umumnya pernikahan adalah saat-saat penuh kebahagiaan, namun terkadang juga tidak.
Mau bagaimana lagi.
Tapi.... kalau kekuatan uang menyebabkan pernikahan tidak bahagia.....
...... tidak mungkin aku membiarkannya....
Aku sudah memutuskan kebajikan apa yang harus kukerjakan hari ini.
Bab 9
Sekarang, kalah

Larut malam.
Aku mengikuti seorang gadis yang sedang dibawa oleh kereta kuda. Aku menyelinap di
bagasi belakang kereta yang sama.
Umumnya, Teknik Dewa Utara berhubungan dengan jurus-jurus pedang, tapi sebagian orang
menggunakannya untuk teknik menyelinap dan membuntuti.
Tidak hanya membuntuti target yang terlihat, tapi juga sisa-sisa jejaknya.
Banyak sekali penggunaan Teknik Dewa Utara lainnya, seperti bersembunyi, melancarkan
serangan tiba-tiba, bahkan berjalan di dinding.
Shishou-ku tidak setuju dengan penggunaan lain Teknik Dewa Utara seperti itu, tapi dia telah
menguasai semuanya.
Awalnya, Shishou membenci teknik-teknik itu, tapi dia berubah pikiran setelah bertarung
melawan ayah. Dia pun mengajari semuanya padaku.
Yang jelas, kereta kuda itu bergerak mengelilingi Akademi Sihir selama beberapa saat, lalu
berhenti di depan sebuah rumah mewah.
Rumah itu sungguh megah.
Mungkin ayah kenal pemilik rumah sebesar ini.
Aku memutuskan untuk keluar dari bagasi kereta, lalu menyusup ke dalam rumah tersebut.
Rumah besar itu dijaga ketat.
Mungkin karena rumah semewah ini menyimpan begitu banyak barang berharga yang rawan
dicuri.
Untungnya, aku cukup mampu menggunakan teknik penyelinapan Dewa Utara.
Aku tidak tahu bagaimana bisa jurus pedang beralih fungsi menjadi teknik menyelinap, tapi
aku sudah mempelajarinya, dan sekarang siap mempraktekkannya.
Aku jadi kangen saat-saat itu. Shishou pernah mengajakku menyelinap ke berbagai tempat.
Seperti : rumah bangsawan, rumah pedagang, gudang prajurit, dll.
Dengan bantuan dari ksatria Ranoa, kami bahkan bisa menyelinap ke rumah petinggi.
Oh ya, ngomong-ngomong, tempat ini adalah area paling terjaga di distrik asrama siswi
Akademi Sihir Ranoa.
Tempat ini dijaga oleh orang-orang dari PT. Rudo milik ayah. Ras Hewan dan Ras Iblis yang
menghuni asrama ini juga sering berpatroli.
Mereka bukanlah penjaga profesional, tapi Ras Hewan selalu memiliki indra penciuman yang
tajam, dan Ras Iblis juga mahir melacak keberadaan orang.
Bahkan, bukannya mustahil beberapa dari mereka mempunyai mata iblis seperti ayah.
Singkatnya, penjagaan tempat ini sungguh ketat.
Tapi, selalu ada cara menghadapi ras-ras khusus itu. Jika kau tahu karakteristik mereka, maka
selalu ada cara menipunya.
Itulah kenapa aku bisa menyelinap masuk dengan melewati saluran air.
Saat melihat bagian dalam rumah itu, kudapati orang-orang sedang sibuk berlalu-lalang
mempersiapkan pernikahan.
Sepertinya akan digelar pesta besar, bisa dilihat dari para pelayan yang berpakaian mewah,
dan hidangan kelas tinggi.
Sudah pasti, penyelenggaranya orang kaya.
Aku telah mengumpulkan banyak informasi sebelumnya. Katanya, pemilik tempat ini adalah
keluarga bangsawan yang sudah lama menjadi pemberi pinjaman uang selama bergenerasi-
generasi.
Mereka mengeruk banyak untung dari pinjaman ke Guild Sihir, dan bengkel-bengkel alat
sihir. Bahkan, mereka juga sering mendanai kebutuhan kota.
Mereka adalah bagian dari orang-orang terkaya di kota ini.
Biasanya sih.... orang kaya itu tamak dan serakah.
Bagi mereka yang tidak bisa mengembalikan pinjaman uang, tentu selalu ada
konsekuensinya, seperti : menikahi paksa putri-putri mereka.
Licik sekali.
Tentu saja, mereka tidak meminta putri tertua.
Begitu pun dengan putri kedua, ketiga, keempat, dst. Mereka hanya mau bunga muda yang
paling segar, yaitu putri bungsu.
Bagi si korban, mereka tidak punya banyak pilihan.
Mereka pun berpikir, putri termudanya akan hidup bahagia bersama orang kaya.
Sekilas, tidak ada yang salah dengan pemikiran macam itu.
Tidak ada pelanggaran hukum di sini.
Bahkan, bisa dibilang, pernikahan seperti itu untuk membantu ekonomi keluarga yang tidak
mampu.
Nyatanya, banyak pernikahan seperti itu di dunia ini.
Tapi........ si pria ini sudah menikah tujuh kali.
Dia tidak mencintai mereka. Dia hanya mengumpulkan dan bermain-main dengan mereka.
Di situlah letak kejahatannya.

Aku menemukan si bajingan itu di ruang tidur.
Aku langsung mengenalinya.
Umurnya sekitar 40 – 50 tahun.
Tubuhnya gemuk dan lebar.
Kalau di buku cerita, orang seperti ini pasti penjahatnya.
Tidak salah lagi.
Pembela kebenaran harusnya tidak menilai seseorang dari penampilannya.
Tapi, di utara makanan cukup mahal. Hanya orang kaya yang bisa bertubuh segemuk itu.
Menurut informanku, keluarga ini tidak punya anak lelaki.
Aku masih menemukan beberapa pria di kediaman ini, tapi yang paling gemuk dan subur
hanya orang itu.
Jika aku salah, mungkin aku harus merubah perspektifku akan uang.
“Huff ~, ini adalah hari pernikahanku. Bawakan pakaian yang paling mewah dan mahal...”
Sembari berkeringat meskipun tidak banyak gerak, dia memerintahkan itu pada seorang pria
yang tampaknya penjaga.
Di ruangan ini tersedia begitu banyak pakaian, yang mungkin cukup untuk membungkus
sebuah pohon besar. Para pelayan melipatnya satu per satu.
“Tuan, daripada memilih pakaian mahal, bukankah sebaiknya Anda kecilkan perut Anda
terlebih dahulu?”
“Kau mau kupecat!!?”
“Tapi Tuan, tak peduli semahal apapun pakaiannya, kalau Tuan segemuk ini.......”
“Dengar..... huff.... biar kukatakan lagi. Ini hari pernikahanku. Kau boleh mengatakan calon
istriku hanyalah jaminan. Tapi pengantin tetaplah pengantin. Kita harus menyambutnya
dengan pesta mewah. Sediakan makanan mahal dan pakaian mewah. Itulah tugasmu sebagai
pelayan. Jadi..... hufff... jangan sok menasehatiku mengurangi berat badan.”
"Baik Tuan....."
Kata-katanya angkuh, tapi benar.
Mungkin dia tidak seburuk yang kukira?
Tidak... penjahat tetaplah penjahat.
“Huff ~, pokoknya aku sangat menantikan pernikahan ini. Calon istriku masih muda dan
cantik. Dia begitu polos. Mungkin dia masih belum tahu cara bercinta, jadi.... beri obat
perangsang banyak-banyak pada makanannya.”
“Obat perangsang lagi....?”
“Sebagai sepasang suami-istri kami harus bercinta, kan? Jadi, malam ini harus panas.”
Nah.... benar, kan? Penjahat tetaplah penjahat. Mulai keluar sifat iblisnya. Aku muak
mendengarnya.
Sudah jelas bahwa si gadis hanyalah alat pelampiasan nafsunya.
Dia membuat pesta mewah bukan untuk membahagiakan calon istrinya, melainkan hanya
menjebaknya.
“…”
Tiba-tiba, aku memikirkan hal lain.
Andaikan aku menikahi Sariel, apakah ada pihak tertentu yang diuntungkan?
Apakah Sariel benar-benar mencintaiku? Benarkah tak seorang pun memaksanya?
Inilah kenapa.... aku tidak pernah setuju dengan perjodohan.
..... ah, sudahlah.... tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang....
Ayo.... kita tangani penjahat ini.....
"Hentikan sekarang juga!!”
Suaraku menggema di seluruh ruangan.
Terkejut dengan suara itu, bangsawan gendut dan pelayannya mulai tolah-toleh dengan
kebingungan.
“Yo, muka babi! Dasar penjahat gila seks! Kau bisa menyembunyikan kejahatanmu dari sinar
matahari, tapi tidak dari sinar rembulan!!”
Muka babi.
Saat mendengar itu, para pelayan mulai mengamati wajah tuannya dengan penasaran.
Si gembrot hanya bisa mengatupkan mulutnya, sembari membalas tatapan para pelayan
dengan bingung.
"Ada apa, Tuan?”
“Aku yang harusnya berkata begitu!”
“Barusan aku mendengar seseorang memanggil muka babi. Tapi..... sepertinya bukan aku
yang dia maksud.”
Ah.
Kenapa jadi begitu reaksinya....
Ah.... terserahlah.....
“Brak!”
Aku menendang papan plafon, lalu terjun bebas sembari berputar beberapa kali di udara,
kemudian mendarat pada lemari yang cukup tinggi di ruangan itu.
Dan.... berpose.
Si gembrot hanya bisa tercengang, tapi para pelayan mulai memasang kuda-kuda.
Si kepala pelayannya terlihat cukup tangguh.
"Siapa kau? Siapa yang mengirimmu kemari?”
Si gemuk mulai merespon, lalu dia menanyakan beberapa pertanyaan. Sepertinya dia sudah
terbiasa dengan penyusupan seperti ini.
Dilihat dari pertanyaannya, sepertinya dia sudah biasa menjadi target pembunuhan.
Tapi, itu pertanyaan yang bagus.
Tadinya kukira dia tidak akan menanyakan itu padaku.
“Haha, aku!? Aku adalah ksatria bulan perak yang bersinar dalam kegelapan.”
Aku menjawabnya sambil berpose.
“Ksatria Bulan, si pembela kebenaran, sudah tiba!”
Si gembrot dan pelayan saling tukar pandang dengan bingung.
Mengapa semua orang bereaksi kebingungan saat kunyatakan identitasku.
Kemudian, si gemuk menghela napas capek. Hmm, reaksi yang aneh.
“Ksatria Bulan? Huuuffff.... kau pasti disuruh orang itu ya.... tapi, aku yakin kau tidak akan
menyebutkan nama asli dan juga bosmu.”
Hei... aku tidak punya bos.
Ah, sudahlah....
"Wahai penjahat! Di kota yang kusayangi ini, kau tidak bisa memaksakan pernikahan atas
dasar uang dan nafsu!”
“Memaksakan pernikahan? Kau ini musuh keluarga kami, atau sekutu keluarga mereka?”
“Tuan, jadi dia salah satu musuhmu?”
“Jangan bilang begitu! Kayak aku banyak musuh saja!”
“Dasar penjahat.”
“Baiklah.... baiklah... kau tadi mengaku pembela kebenaran, kan? Hey pembela kebenaran!
Kusarankan kau segera angkat kaki dari rumahku! Aku tidak akan mengejarmu kali ini! Tapi,
kalau kau sampai menyentuhku sedikit saja, maka kau akan menyesal!”
Lho, kok tiba-tiba menceramahiku, ah gak tau lah....
Yang pasti, penjahat manapun tidak berhak menceramahi pahlawan pembela kebenaran.
Aku tidak akan mendengarnya!
"Diam! Bersiaplah! Aku datang!"
Aku melompat dari lemari.
Pada saat yang sama, kepala pelayan menarik dua belati tipis dan panjang dari pinggangnya.
Dia menempatkan dirinya di depan bangsawan gemuk untuk melindunginya.
Rupanya, dia bukan hanya seorang kepala pelayan, tapi juga pengawal.
Aku bisa merasakan kehebatan orang ini.
Sayangnya, pembela kebenaran tidak pernah takut pada musuh-musuhnya!
“Haa! MOONLIGHT PUNCH!"
“Mysterio.”
Oww.
Seketika mendengar gumaman itu, aku segera menarik tangan, lalu mundur selangkah.
Lalu, kepala pelayan itu segera mendekat.
Saat aku mundur, rasa sakit merambat di pahaku.
Pisau di tangan kanan kepala pelayan meneteskan sedikit darah.
Beberapa detik berselang, barulah terlihat sayatan tipis di pahaku.
“Ah, kau berhasil menghindar ya.... sayang sekali, belati ini sudah dilumuri racun.”
Keringat dingin mulai menetes dari dahiku saat mendengar itu.
Kena aku........
Mysterio adalah salah satu jurus Dewa Air.
Hampir semua jenis serangan balasan adalah Teknik Dewa Air.
Karena kita tidak tahu kapan lawan akan melancarkan serangan balik, maka jurus tersebut
diberi nama Mysterio, atau misterius.
Inilah berbahayanya Teknik Dewa Air.
Tapi.... jurus pria ini sedikit berbeda.
Ah, aku paham.
Dia membuatku waspada dengan kata-katanya, lalu menyerang saat aku ragu.
“Jangan bunuh dia, Laurus. Ini hari pernikahanku, jadi jangan kotori tempat ini dengan darah.
Tangkap saja dia, lalu paksa dia bicara siapakah bosnya. Kalau sudah tahu bosnya, sisanya
akan diselesaikan dengan uang.”
“Tapi orang ini cukup jago.... aku tidak yakin bisa menangkapnya hidup-hidup.”
“... jarang kau memuji lawan seperti itu.”
“Buktinya, dia bisa menghindari tebasanku barusan. Tidak banyak orang yang bisa
melakukannya.”
Dia begitu percaya diri.
Tapi, tebasan barusan sudah cukup menjadi bukti.
Aku pernah berlatih melawan guru-guru dari berbagai teknik pedang.
Mulai dari Teknik Dewa Pedang, Dewa Utara, Dewa Air, bahkan teknik pedang Ras Iblis
yang cukup khas.
Lawan yang menggunakan dua senjata cukup sulit dikalahkan.
Lagipula, kecepatan serangan belati berbeda dengan pedang.
Waktu dan lintasan tebasannya berbeda.
Karena jangkauan belati tidak sepanjang pedang, maka pertahanannya cukup sulit ditembus.
Umumnya, seorang pendekar lebih suka menggunakan pedang, sedangkan belati hanya
digunakan sebagai senjata serep.
Teknik Dewa Utara juga mempelajari bagaimana menggunakan belati, tapi tidak seperti yang
dilakukan pria ini.
Pengguna belati ya…
Jangan-jangan..... dia anggota Guild Pembunuh.
“Sial..... kau berasal dari Guild Pembunuh, ya?”
“Sudah jelas, kan..... tapi itu dulu.”
Tidak seperti tuannya, perkataan pria ini lebih lugas.
Mirip seperti belatinya.
“Hanya penjahat yang beraninya menyerang dari kegelapan...... Moonlight Kick!!”
Tanpa kusadari, kepala pelayan itu sudah mendekat.
Licik sekali.
Aku berhasil menghindarinya lagi, lalu melancarkan balasan.
“Moonlight Punch!”
Dengan cepat dia menghindarinya, lalu mengayunkan belatinya lagi.
Gerakan yang begitu halus, seolah-olah kakinya tidak bergerak.
Inilah gerakan orang yang sudah lama berada di Guild Pembunuh.
Lagi-lagi, tanpa kusadari, aku sudah berada dalam jangkauan serangnya.
Dia tidak berhenti sedetik pun.
Sungguh gerakan yang mengerikan.
“Moonlight Kick! Moonlight Punch! Moonlight Flip!”
Untungnya ini bukan kali pertama aku menghadapi orang dari Guild Pembunuh.
Karena pengalaman itulah, aku bisa bertahan sampai detik ini.
“Moonlight… uh!”
Tapi aku mentok.
Seranganku tidak ada yang masuk.
Orang ini sangat baik menjaga jarak.
Dia berada pada jarak yang tidak bisa dijangkau tinjuku, sedangkan belatinya bisa
mengenaiku.
Sedikit demi sedikit, belatinya terus menggoresku.
Artinya, dia sengaja tidak memotongku. Yang dia lakukan hanyalah menyayat, kemudian
biarkan racun di belatinya mematikan pergerakanku.
Meskipun aku belum menggunakan pedang, setidaknya aku tahu orang ini sudah selevel
Raja.
Beberapa kali aku lebih ingin menggunakan sihir penyembuhan daripada menyerang, tapi aku
tidak punya kesempatan.
Untungnya, aku tidak merasa nyawaku terancam.
"Kau kuat sekali.... tapi mengapa kau membela penjahat!?”
Tanyaku sambil menjaga jarak.
Anggota Guild Pembunuh jarang muncul di depan umum.
Begitupun dengan pria ini.
Tapi dia sekarang bekerja sebagai penjaga pribadi. Artinya, dia harus ikut kemanapun
tuannya pergi.
“Mmm?”
Kepala pelayan itu berhenti dengan wajah kaku, lalu memandang ke arah si bangsawan
gembrot.
"Yahh, sebenarnya orang ini tidak begitu jahat.”
"Apa!?"
"Aku tidak tahu siapa bosmu, tapi aku yakin apa yang kukatakan.”
“Aku tidak punya bos! Aku bertindak sendiri atas nama keadilan!”
“Terserah....!”
Sembari menyerukan itu dia melesat ke arahku.
Saking cepatnya sampai gerakan kakinya seolah kabur, lalu belatinya melayang-layang di
udara.
Dalam sekejap, kulitku robek, dan rasa sakit menjalar di seluruh badanku.
Dia kuat sekali!
Apakah si gemuk itu tidak melarikan diri karena begitu percaya pada kekuatan pengawalnya
ini?
“Moon… ugh, moonlight… ?!”
Bahkan aku tidak bisa mengucapkan nama jurusku lagi.
Sedikit demi sedikit, sedikit demi sedikit, aku semakin terpojok.
Gerakanku semakin melambat, dan aku sadar peluang menangku semakin tipis.
Harusnya aku tadi bawa pedang...........
"Matilah...."
Sebilah belati mendekat.
Apa boleh buat. Dia bukan lawan biasa.
Aku segera membuat keputusan untuk mengorbankan tangan kiriku.
“Jurus Dewa Utara! Swallow!!”
Belati itu memotong beberapa jari tangan kiriku.
Tapi pukulanku masih melesat.
"!?"
Kali ini.... pukulanku mendarat tepat di genggaman tangannya.
Dia terkejut, telapak tangannya patah, dan tentu saja dia menjatuhkan belatinya.
Ini adalah Swallow, jurus menghancurkan telapak tangan lawan dengan beradu pukulan.
Dia pikir sudah menang saat memotong jari tangan kiriku. Tapi jangan senang dulu, inilah
jurus serangan balik Dewa Utara. Bagi mereka yang tidak terbiasa menghadapi pendekar
beraliran Dewa Utara, pasti kebingungan menangani jurus ini.
Pertahanannya mulai terbuka, dan gerakannya sempoyongan.
"Apa…?"
“Inilah saatnya!”
Saatnya serangan berikutnya.
Dengan menghimpun segenap tenaga pada tangan kanan, aku meluncur padanya.
"MOOOONNNLLLLIIIGHHHTTT! Sere ~ nade!”
Kepala pelayan mencoba menghindar, tetapi Serenade adalah jurus yang tidak bisa dihindari.
Mustahil dia bertahan.
Aku meninju telak tubuhnya.
Dia terpental sampai membentur langit-langit, lalu jatuh terhempas ke lantai.
Aku tidak membunuhnya.
Pembela kebenaran mengalahkan kejahatan, tetapi tidak pernah membunuh lawannya.
Kau boleh benci pada kejahatan, tapi jangan membenci pelakunya.
"Nah…"
Aku melihat ke arah si gembrot yang mulai menggigil ketakutan.
Dia tercengang melihat bawahan andalannya tumbang.
"Jangan bodoh…"
"Bersiaplah....”
Si gemuk itu balas menatapku.
“… jika kau membunuhku, maka keluarga yang berhutang padaku akan bangkrut! Keluarga
gadis itu akan hancur! Semuanya akan susah! Kumohon, pertimbangkanlah kembali!”
Aku mengacungkan tinju ke bangsawan gemuk itu.
Dia benar, meskipun kulenyapkan bajingan ini, si gadis tidak akan bahagia.
Seperti itulah kebenarannya.
“Aku tidak akan membunuhmu, tapi kau harus tobat. Jangan lagi menindas orang-orang yang
tidak mampu!”
Aku menahan tinjuku, dengan pose bersiap melepaskan Serenade.
Kalau kalian masih bingung apa itu Moonlight Serenade. Itu adalah teknik menghantam
dengan menumpukan segenap bobot tubuhmu pada lawan. Teknik itu hampir mustahil
dihindari. Itu adalah pukulan tunggal yang melenyapkan semua kejahatan.
Lalu.......
"Tunggu!"
Tiba-tiba, sebuah suara bergema di ruangan itu.
Aku berhenti bergerak, lalu menoleh ke arah datangnya suara.
Ada jendela.
Jendela yang terbuka.
Ada orang aneh sedang duduk di sana.
Tubuhnya berotot. Pakaiannya serba hitam.
Dia juga mengenakan helm hitam.
Helm hitam yang tampak kokoh.
Tapi, ada corak seperti halilintar kuning pada helm itu.
“S-siapa kau… !?”
Dia langsung tertawa.
"Siapa aku? Aku adalah seberkas cahaya yang jatuh dalam kegelapan, mereka
memanggilku… Lightning!”
Aku tak asing dengan suara itu.
Mendengar perkenalan singkatnya saja, aku sudah tahu siapa dia........
Yang aku tidak tahu, mengapa dia di sini, berpakaian seperti itu, dan memakai identitas palsu.
"Apa?”
“Seberkas cahaya yang jatuh dalam kegelapan, mereka memanggilku… Lightning!”
Dia mengulangi perkenalan dirinya.
Kalau aku sih malu mengulangi kalimat itu dua kali, tapi hebatnya dia tidak.
"Tidak, tidak, maksudku.... kenapa harus di sini....”
"Lightning!”
Ketiga kali.
Dia sungguh percaya diri.
Rupanya, dia tidak berniat menjawab dengan serius.
“Apakah kau temannya??”
Giliran si gembrot yang bertanya dengan membentak.
Dia coba berdiri dengan tergesa-gesa, lalu berusaha kabur.
Tapi Lightning menghentikannya dengan gestur tangannya
’Jangan bergerak! Kau duduk saja, dan lihat!’
Kurang-lebih begitulah yang ingin dia katakan.
Gestur itu juga terasa mengancam, seolah-olah akan terjadi hal yang buruk jika si gemuk
tidak menurutinya.
“Hah, oh…”
Dia pun segera duduk di kursi terdekat dengan pasrah.
Kemudian, Lightning menoleh padaku.
“Kukukuku, jadi kau si pembela kebenaran yang akhir-akhir ini sering menghajar para
penjahat? Julukanmu.... Ksatria Bulan, kan?”
“…”
“Selama ini masih kubiarkan. Aku sih orangnya penyabar. Tapi, lama-lama kau merepotkan
kami juga.”
“Kami?”
“Kami adalah organisasi kejahatan rahasia, Shadow Corps.”
"Shadow Corps? Hah? Tidak, tunggu, tunggu sebentar....”
Aku bingung.
Harusnya tidak begitu.
Ada yang membingungkan di sini. Apa yang dia bicarakan? Aku sama sekali tidak paham.
Apa itu Shadow Corps?
Sejak kapan aku menghalangi mereka?
"Diam!"
Lighting berteriak, pada saat yang sama dia menghentak kusen jendela, lalu meluncur ke
arahku.
Aku langsung meresponnya.
Dengan kecepatan yang bahkan membuat diriku sendiri mengaguminya, aku menghantam
Lighting yang sedng mendekat.
“Moonlight Punch!”
“Lightning Kick!”
Tapi Lightning lebih cepat.
Tinjuku dan tinju Lightning saling berbenturan.
Hey.... dia tadi bilang ‘kick’, tapi kenapa malah memukul!?
“…!”
Telapak tanganku patah.
Jariku sudah putus, sekarang telapak tangan patah.
Pergelangan tanganku membengkok aneh.
Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku masih bisa menahannya, tapi dengan kondisi seperti ini.....
Aku pun melompat mundur, dan saat masih melayang di udara.....
Lightning mengambil ancang-ancang, dia akan melakukan sesuatu.
“Haaaaaa! Lightning Kick! Lightning Kick! Lightning Kick! Lightning Kick! Lightning,
lightning, lightning, lightning, lightning puuunchhh!!”
Lima serangannya mengenai telak tubuhku.
Empat pukulan dan satu tendangan.
Semuanya mengenai titik vitalku.
Aku terpental beberapa meter, sampai akhirnya menabrak dinding bata. Tubrukan itu
membuat dindingnya jebol, dan aku menembusnya.
Bahkan di luar, aku masih melayang di udara selama beberapa saat, sampai akhirnya
terbanting di tanah.
“Guh…”
Aku berdiri dengan cepat setelah melihat gumpalan darah tersembur dari bibirku.
Aku mengaktifkan sihir penyembuhan pada tubuhku sendiri, lalu bersiap melanjutkan
pertarungan.
Tapi dia tidak datang.
Aku pun mencari ke dalam rumah dengan bingung.
Itu dia..... di atas.
Dari atas, dia melihatku dengan sinis.
"Hahahaha! Cuma ini kemampuanmu, Ksatria Bulan?”
“…”
“Kau tidak akan bisa mengalahkanku! Hari ini kulepaskan kau, jadi pulanglah, dan berlatih
lebih banyak lagi! Ha ha ha ha ha ha ha ha ha!"
Tentu saja.... aku tidak akan mungkin bisa mengalahkannya kali ini.
Aku tahu betul hal itu.
Setelah itu, seisi rumah menjadi gaduh.
Para pengawal bangsawan gemuk lainnya segera datang, lalu mengepungku.
Kalau berlama-lama di sini, bisa runyam urusannya.
Bukannya aku takut melawan mereka.
Penjaga sebanyak ini bukan masalah bagiku.
Hanya saja, beberapa dari mereka cuma orang baru.
Dengan kata lain, mereka hanyalah warga sipil tak berdosa. Aku tidak boleh menghajar
mereka.
“…”
Aku pun segera kabur.
Inilah kekalahan pertama sang pembela keadilan.

Aku terus berlari......
...... melewati distrik bangsawan, distrik niaga, gudang-gudang penyimpanan, dan setelah
memastikan tidak ada yang mengikutiku.... aku segera masuk ke markas rahasia.
“Yahh…”
Aku melepas helm, kemudian menarik napas panjang.
Lalu, melihat jariku yang terpotong.
Aku berjalan menuju kotak kayu yang terletak di sudut ruangan, kemudian mengeluarkan
kertas dari sana.
Itu adalah gulungan sihir penyembuhan.
Sihir penyembuhan yang kugunakan sepanjang pertarungan hanyalah tingkat lanjut. Sihir
penyembuhan tingkat lanjut tidak bisa mengembalikan bagian tubuh yang terpotong. Jadi,
aku butuh sihir yang lebih sakti.
Aku sudah menyiapkan sihir penyembuhan di atas tingkat lanjut pada gulungan ini. Dan
ketika membukanya, jari-jariku pun kembali utuh.
Sudah lama aku tidak menyembuhkan luka dengan cara ini.
Saat berlatih dengan Shishou dulu.... luka seperti ini sudah biasa.
“…”
Masih terngiang di pikiranku si pria berhelm itu.
Lightning.
Siapa kau sebe....... tidak..... tidak..... aku tidak perlu mempertanyakan itu.
Karena aku sudah tahu identitas aslinya.
Dia menggunakan Teknik Dewa Utara yang bahkan lebih baik dariku.
Lebih kuat, lebih cepat.
Tidak banyak orang di dunia ini yang menguasai Teknik Dewa Utara sebaik itu.
Belum lagi, nama yang cukup singkat, Lightning…
Tidak salah lagi.......
Dialah Tangan Kiri Dewa Naga Orsted.
Dialah rekan ayahku, Rudeus Greyrat.
Pemimpin tertinggi Teknik Dewa Utara.
Alexander Ryback, atau yang lebih dikenal dengan, Dewa Utara Kalman III.
Atau..... sebut saja, Shishou-ku.
Bab 10
Sebelumnya, kelulusan

Kurikulum di Akademi Kerajaan Asura sungguh maju dan terkini.


Pelajarannya pun sangat padat, sehingga pelajar bisa lulus dalam 3 tahun saja.
Ya.... rata-rata masa sekolah di Asura adalah 3 tahun.
Begitupun denganku, Pax, dan Sariel.
Hubungan kami terus berlanjut tanpa banyak perubahan, sampai akhirnya kami lulus.

Hari kelulusan.
Upacara wisuda digelar di Istana Perak Kerajaan Asura.
Semua wisudawan dikumpulkan terlebih dahulu pada aula, sebelum menuju ke tempat
jamuan.
Untuk menunjukkan kesetaraan pada acara wisuda, tidak ada kursi yang tertata di ruang
jamuan, yang ada hanyalah meja-meja berisi hidangan.
Semua wisudawan berdandan dengan pakaian resmi.
Kami tidak lagi mengenakan seragam, melainkan tuxedo.
Tentu saja, pelajar dari golongan rakyat jelata tidak punya uang untuk membeli tuxedo
mewah. Sehingga, pihak sekolahan memberinya sebagai tanda cinderamata.
Sebuah lampu besar berukuran 5 m tergantung pada langit-langit, sinarnya menerangi para
wisudawan yang berpakaian anggun.
Bahkan, Ratu Asura juga hadir dalam acara pelepasan ini untuk memberikan selamat pada
para lulusan.
Ini adalah suatu kehormatan.
Selama belajar di Akademi Asura, para pelajar teladan pun jarang bertemu ratu. Jadi, ini
merupakan kesempatan yang langka.
Tidak hanya ratu, para petinggi kelas atas Asura juga menghadiri acara ini.
Seperti, Perdana Menteri Kerajaan Asura, bangsawan kelas tinggi, dan orang terkenal
lainnya.
Raja Utara Doga Sang Penjaga Gerbang dan Dewa Air Isolte Sang Perisai Raja juga hadir.
Mereka adalah anggota kelompok khusus yang disebut Tujuh Ksatria Asura.
Menurut cerita, kedua orang itu membantu ayah melawan Shishou, Dewa Ogre, dan Dewa
Tempur dulu.
Aku sangat menghormati mereka. Bagiku, keduanya adalah legenda hidup. Kesempatan
langka bisa melihat mereka berdua.
Tidak ketinggalan, ayah dan ibu juga menghadiri acara ini.
Ayahku memakai tuxedo yang tidak pernah dipakainya di rumah. Dia tampak bangga dan
bahagia saat mengobrol bersama orang-orang di dekatnya.
Ayah sangat dikenal di kalangan pelajar, bahkan melebihi para bangsawan kelas atas Asura.
Sehingga, banyak wisudawan berkerumun di dekatnya.
Tempat yang megah, makanan mewah, dan tamu-tamu terhormat.
Aku sudah sering mendengar kemewahan seperti ini di Asura, tapi saat benar-benar
mengalaminya, aku hanya bisa takjub.
Ini benar-benar berbeda dengan duniaku.
Seperti saat pertama kali masuk Akademi Kerajaan Asura, aku sering bertanya-tanya, apakah
Asura berada di dunia yang berbeda?
Ya..... memang itulah kenyataannya.
Terutama bagiku dan Pax.... kami seolah hidup di dunia yang berbeda.
Karena kami selalu dikucilkan.
“Hari inipun, Sariel populer seperti biasanya.”
Berbeda dengan kami berdua.
Kami hanya bisa melihat Sariel dikerubungi pelajar-pelajar lainnya di sudut ruangan.
Sedangkan kami..... hanya makan sendiri.
Banyak wisudawan berbondong mendekatinya dan memberi selamat.
Tidak hanya itu, bangsawan-bangsawan yang hadir juga ingin bertemu dengannya.
Sepertinya Sariel memiliki status yang lebih tinggi daripada bangsawan umumnya.
Dia terus melayani orang-orang yang mendekatinya dengan senyuman lebar di wajah,
sampai-sampai tidak sempat makan.
Nampaknya dia tidak terbiasa dengan situasi seperti ini.
Tapi, Sariel tampak lebih ceria ketika mengobrol bersama kami.
“Oh, Yang Mulia...!”
Akhirnya, datanglah ibu Sariel di antara para fansnya.
Ariel Anemoi Asura, Ratu Kerajaan Asura.
Dia naik takhta di usia muda, kemudian mewujudkan perdamaian di kerajaan ini dengan
cepat. Dia adalah ratu sejati tanpa tandingan.
Dari kejauhan pun dia tampak cantik, dan suaranya terdengar samar, tapi begitu merdu.
Ratu berbicara dengan Sariel sebentar, lalu menuju ke arah kami.
Tentu saja, dia bersama dua legenda kerajaan, yaitu Doga dan Isolte.
Kami sempat bertukar pandang.
Lalu, aku buru-buru meletakkan piring kosong, dan berlutut.
“Oh, ini hari yang spesial, kan? Karena inilah hari kelulusanmu.”
Kebingungan, aku pun menoleh pada Pax. Dia juga membungkuk dengan anggun, sembari
meletakkan tangannya di dada.
Itulah salam formal di hadapan raja.
"Namaku Pax Shirone jr, suatu kehormatan bisa bertemu Anda, Yang Mulia.”
Menduplikasi gerakannya, aku juga menunduk sembari memegang dada.
“Namaku Sieghard Saladin Greyrat, suatu kehormatan bisa bertemu Anda, Yang Mulia.”
Ariel adalah teman Ayah, jadi mungkin dia sudah tahu namaku.
Bahkan, aku sudah pernah beberapa kali bertemu dengannya saat masih bocah.
Tapi, inilah kali pertama aku bertukar sapa dengan formal pada Yang Mulia.
Lalu, perlahan-lahan kuangkat kepalaku, dan kudapati Yang Mulai sedang tersenyum lebar.
“Selamat untuk kalian berdua atas kelulusannya. Aku dengar kalian mendapat banyak
masalah selama bersekolah di sini, karena warna rambut dan perbedaan budaya. Tapi
sekarang kalian sudah lulus. Apa yang kalian pelajari selama tiga tahun terakhir?”
“Banyak hal, Yang Mulia. Seperti ilmu ekonomi Asura, manajemen wilayah, manajemen
ketenaran, manajemen bawahan, dan........ semua ilmu yang diajarkan di kelas.”
“Ya, hamba setuju, Yang Mulia.”
Saat aku menyetujui apa kata Pax, tiba-tiba Ariel mendekat padaku.
Usia wanita ini sudah 40 tahun lebih, tapi kecantikannya sama sekali tidak berkurang.
Suaranya pun merdu, seolah mengandung sihir.
Jantungku berdegup kencang saat dia mendekat.
Namun, selanjutnya dia mengatakan hal yang mengerikan, sampai-sampai jantungku yang
berdegup kencang tiba-tiba membeku.
“Sepertinya kau punya hubungan spesial dengan Sariel. Kalau kau mau, mungkin ini saat
yang tepat untuk mengukuhkan perjodohan kalian.”
Lalu, dia meminta Sariel mendekat.
Aku tidak mengerti.... mengapa tiba-tiba dia membahas hal seperti ini.
“Sepertinya Sariel juga menyukaimu, aku yakin dia akan bahagia bila kau setuju
menikahinya. Bahkan, ayahmu pun setuju bila kau menerima perjodohan ini.”
“… Oh.... h-h-h-hamba akan berpikir lagi nanti.”
"Baiklah. Aku tidak keberatan menunggu. Beberapa tahun lagi tidak masalah.”
Ariel menunduk padaku dengan senyuman.
Kemudian, menoleh pada Pax.
"Pax Shirone Jr. Aku sudah mendengar banyak tentangmu."
"…Hah?"
“Jika kau tidak berniat kembali ke Kerajaan Raja Naga, kami akan menerimamu di Asura.
Bagaimanapun juga, kau siswa berprestasi.”
“…”
“Tentu saja, Keluarga Shirone yang hebat bukan hanya kau saja. Pamanmu, Zanoba Shirone
adalah mantan teman sekelasku. Aku siap membantu kalian kapanpun membutuhkan.”
"Tidak, maafkan hamba Yang Mulia. Hamba masih memiliki tugas di keluarga hamba.”
"Begitukah?"
Ariel tersenyum dengan sedikit raut memelas di wajahnya, karena ditolak dua kali.
Lalu, dia berpaling ke tempat lain.
“Baiklah kalau begitu, selamat menikmati pesta wisuda ini.”
Pertemuan kami hanya berlangsung beberapa menit.
Atau mungkin.... kurang dari semenit.
Tapi atmosfirnya begitu berat, seolah kami diajak berdiskusi berjam-jam.
Seperti inikah aura seorang raja besar?
Sebenarnya aku ingin berbicara dengan Isolte dan Doga, tapi tidak ada kesempatan.
"Yang Mulia sungguh luar biasa."
“Ya, tentu saja.”
Pax dan aku sepakat.
Kami merasa begitu terintimidasi meskipun hanya membahas hal ringan bersamanya.
"Ah."
Seolah bergantian dengan Yang Mulia, datanglah sesosok pria ke arah kami.
Itu ayah.
Para pelajar yang mengelilinginya langsung pergi saat menyadari dia mendekati kami.
“Hei, Sieg. Selamat atas kelulusanmu!”
"Terima kasih papa."
“Jangan terlalu merendah…”
Aku masih membungkuk dengan tangan di dada. Ayah hanya merespon dengan tersenyum
garing.
“Kenapa kalian berdua menyendiri di pesta semeriah ini?”
“Kami nyaman di sini.”
“Yahhh.... ah, aku paham sih...”
Aku hanya membalas singkat, tapi sepertinya ayah tahu yang kumaksud.
Mungkin dia tahu bahwa kami benci keramaian. Lalu, dia mengangguk.
“Yang jelas, selamat Sieg, kau mendapat nilai tertinggi dalam pelajaran olahraga. Papa sangat
bangga padamu.”
“Tidak, itu biasa saja. Lagipula, aku tidak boleh mengecewakan Shishou dan papa. Akan
sangat memalukan bila aku tidak meraih nilai tertinggi di pelajaran olahraga.”
“Ah tidak.... kau tidak perlu malu....”
Ayah tersenyum garing lagi.
Mungkin dia sudah memaklumi bila aku tidak meraih nilai tertinggi dalam bidang itu.
Memang, jika dibandingkan dengan prestasi ayah selama ini, pencapaian anak-anaknya
tidaklah berarti.
Itulah kenapa ayah tidak pernah berharap lebih pada anak-anaknya.
Sembari aku masih memikirkan itu, ayah pun melanjutkan....
"Baguslah. Setelah lulus, kau akan hidup mandiri. Ayah berharap banyak padamu.”
Berharap banyak katanya....
Kalimat itu terdengar seperti lonceng di hatiku.
Ding dong.
Perkataan yang lebih dahsyat daripada Ariel barusan.
Harapan.
Tapi..... sebenarnya.... apa yang ayah harapkan dariku?
Apakah maksudnya.... pernikahan?
“…”
Ketika aku terdiam, ayah menoleh pada Pax.
“Selamat atas kelulusanmu juga!”
“Rudeus-sama, aku, Pax Shirone jr, merasa terhormat bertemu Anda.”
“Tolong jangan panggil aku -sama. Belakangan ini orang sering memanggilku Raja Sihir, tapi
percayalah aku tidak sehebat itu.”
Ayah mengangkat bahu sembari mengatakan itu.
Ayahku memang pria yang rendah hati.
Dia bahkan bisa mengobrol santai dengan Ariel barusan.
“Pax. Aku juga sudah mendengarnya.”
Dia tiba-tiba mengatakan itu.
Mendengarnya?
Apa maksudnya?
Aku tidak tahu.
“Kuharap, aku bisa melakukan sesuatu untukmu…”
“Tidak, Anda sudah banyak membantu saya. Bahkan, saya bisa bersekolah di Asura,
semuanya berkat rekomendasi Anda. Jadi, mulai sekarang ijinkan saya berusaha sendiri.”
“Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Selamat berjuang!”
Aku tidak paham apa yang dibicarakan ayah dan Pax.
Kemudian, ayah membungkuk singkat, lalu kembali ke tempatnya.
Sayangnya aku tidak mengamati wajah ayah saat bertukar kata dengan Pax barusan. Begitu
ayah mengatakan ‘Aku berharap banyak padamu’ aku langsung memalingkan wajah darinya.
Jantungku terus berdegup kencang sampai pesta wisuda selesai.

Setelah upacara wisuda, aku pulang bersama Pax.
Kami tidak banyak bicara.
Berikutnya, Pax akan pulang ke kampung halamannya.
Dia harus berkemas di asrama untuk perjalanan jauh besok.
Kamar harus segera dikosongkan, karena akan segera digunakan oleh pelajar baru.
Perpisahanku dengan Pax tinggal hitungan hari.
“… Pax, kau kenal papaku?”
Dalam perjalanan, akhirnya aku menanyakan itu.
“Ya, papamu terlibat dalam insiden kematian ayahku. Pengalaman itu selalu membuatnya
merasa bersalah, itulah kenapa dia banyak membantuku.”
Ayah pernah sekali menceritakan itu.
Kerajaan Shirone.
Sebuah negara kecil di wilayah barat.
Saat itu, terjadi kekacauan internal Kerajaan Shirone.
Pangeran Ketujuh, yang sebelumnya diusir raja, akhirnya kembali. Dengan dukungan dari
Kerajaan Raja Naga, dia mengobarkan kudeta.
Ayah dan Zanoba-san terlibat dalam kudeta itu.
Tapi, mereka justru memihak Pangeran Ketujuh. Dengan bantuan kelompok ayah, Kerajaan
Shirone bertahan dari serangan negara utara.
Ayah memenangkan pertempuran itu, tapi terjadi insiden mengerikan setelahnya.
Singkat cerita, akhirnya Pangeran Ketujuh mati, dan tahta pun kembali diambil alih.
Hasilnya, Kerajaan Shirone mendeklarasikan kemerdekaannya lagi, dan hubungan dengan
Kerajaan Raja Naga terputus.
Sayangnya, pemerintahan baru tidak bertahan lama. Perseteruan antara Kerajaan Raja Naga
dan negara-negara utara berdampak pada hancurnya Kerajaan Shirone yang berada di tengah-
tengah dua kekuatan besar itu.
Setelah kudeta itu, Pangeran Ketujuh hanya meninggalkan seorang istri dan anak yang tengah
dikandungnya.
Keduanya kembali ke Kerajaan Raja Naga, namun hidup sengsara di sana.
Pihak kerajaan membenci wanita itu, karena dianggap bertanggung jawab atas runtuhnya
Shirone, yang notabene adalah wilayah persekutuan Kerajaan Raja Naga.
Ayah merasa bertanggungjawab atas semua musibah itu, akhirnya beliau memutuskan untuk
mensupport anak Pangeran Ketujuh, setidaknya sampai dewasa.
Ya......
Kenapa aku baru ingat sekarang........
Parahnya aku.........
Nama anak Pangeran Ketujuh itu adalah.......
Pax Shirone.
Lebih tepatnya, Pax Shirone jr, karena Pangeran Ketujuh yang gugur dalam perang juga
bernama Pax Shirone.
“Sebenarnya, tadi adalah pertama kalinya aku berbicara dengan Rudeus-sama. Aku sudah
sering mendengar bantuannya, tapi tidak pernah bertemu dengannya secara langsung.”
"Oh ya…?"
“Jujur saja, saat kita pertama kali bertemu. Aku sudah tahu bahwa kau adalah putra Rudeus-
sama. Dan aku yakin ayahmu memintamu membantuku, jadi aku tidak kesepian lagi.”
“…”
Itu tidak benar....
Aku sama sekali tidak tahu-menahu.
Aku tidak ingat ayah pernah berpesan begitu padaku.
Tapi yang jelas, kisah Kerajaan Shirone berakhir dengan kekalahan.
Ayah tidak suka menceritakan itu, aku pun tidak begitu tertarik mendengarnya, jadi kami
jarang membahasnya.
Itu adalah cerita yang hanya kudengar sekali atau dua kali saja.
“Jangan terlalu dipikir. Aku memang jarang membicarakannya, tapi bukan berarti aku berniat
menipumu. Kupikir, kau sudah tahu.”
Pax mengatakan itu, lalu meminta maaf.
Aku menggelengkan kepala, karena aku memang tidak pernah mempermasalahkannya.
“… Tidak..... tidak apa-apa. Aku senang kita berteman. Meskipun kau tidak mengatakan ini,
aku tetap akan menjadi temanmu.”
"Syukurlah."
Berbeda dengan Sariel.
Aku bukanlah orang yang peka.
Harusnya, aku sudah menyadarinya sejak pertama kali bertemu dengan Pax. Tapi nyatanya
tidak begitu.
Apakah itu membuat Pax kecewa padaku?
“Oh ya, apa yang dibicarakan papa dan Yang Mulia tadi?”
“Tadi?”
“Kalau tidak salah, mereka ingin menolongmu, atau semacamnya.......”
"Yahh…"
Wajah Pax berubah muram, lalu tersenyum kecut.
“Sebenarnya aku akan diberikan suatu wilayah saat kembali ke Kerajaan Raja Naga nanti.”
“… kau akan menjadi tuan tanah?”
“Mungkin. Tapi tidak ada yang bisa dibanggakan. Wilayah yang akan diberikan adalah
sebidang tanah di perbatasan selatan, dekat dengan hutan utara di Rahang Bawah Naga
Merah. Itu hanyalah wilayah tandus yang harus kukembangkan dari awal.”
Pegunungan Naga Merah, pegunungan besar itu memisahkan Kerajaan Aura dari negara lain.
Hampir tidak ada manusia yang bisa melewati pegunungan yang dipenuhi oleh Naga Merah
yang tidak terhitung jumlahnya itu.
Terkecuali beberapa lembah, yang sering disebut Rahang Naga Merah.
Tidak ada Naga Merah yang menghuni daerah tersebut.
Oleh karena itu, sejak lama tempat itu sudah menjadi area strategis.
Popularitasnya sudah banyak menurun semenjak Kerajaan Asura melegalkan sihir teleportasi,
tapi tidak bisa dipungkiri bahwa tempat itu adalah titik transit yang bagus.
Tidak mengherankan bila Kerajaan Raja Naga ingin mengklaim daerah tersebut.
Karena Kerajaan Asura masih disibukkan dengan membangun titik-titik lingkaran sihir
teleportasi, maka inilah waktu yang tepat untuk mengambilalihnya.
“Meskipun banyak monster mendiami hutan di sekitarnya, negara-negara tetangga tidak akan
menyerahkan tempat itu begitu saja pada Kerajaan Raja Naga. Sebenarnya aku tidak
membutuhkan bantuan Kerajaan Raja Naga. Dengan semua pendidikan yang telah kupelajari,
harusnya aku bisa mengembangkan daerah itu dengan usahaku sendiri. Tapi aku bukanlah
bangsawan bernama besar yang bisa dengan mudah mengintimidasi lawan-lawannya.
Pastinya, negara-negara tetangga akan datang untuk menggangguku.”
“... bukankah itu sulit?”
Di kelas pun, aku sudah mempelajari ilmu mengatur dan mengembangkan wilayah.
Hutan di sekitar Asura cukup damai dari aktivitas monster, tapi diperlukan waktu berpuluh-
puluh tahun untuk menciptakan suasana seperti itu.
Sekarang Pax harus melakukan hal yang sama seorang diri.
“Sepertinya Yang Mulia dan ayahmu tahu bahwa aku tidak akan sanggup mengemban tugas
ini. Mungkin, aku bisa mati di sana, itulah kenapa mereka berniat membantuku.”
Pax tampak begitu tabah meskipun membicarakan kematiannya.
"Kenapa negaramu memperlakukanmu seperti itu?"
"Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, mereka hanya menganggapku pengganggu.”
Aku sudah mendengar itu.
Ayahnya menyebabkan kerugian bagi Kerajaan Raja Naga.
Sedangkan ibunya hanyalah keturunan Ras Iblis.
Namun, karena statusnya sebagai bangsawan, dia tetap mendapatkan tugas membela negara.
Bagiku, itu lebih mirip ‘berkorban demi negara’.
“… kau mengerti, kan?”
“Lalu, kenapa kau menolak tawaran Ariel-sama? Kau bisa mendapatkan suaka di Asura....”
“Itulah kewajiban seorang bangsawan. Meskipun negara menganggapku pengganggu,
faktanya mereka mengijinkanku bersekolah di akademi terbaik di dunia ini. Negaraku
menjamin kebebasan, itulah yang membuatku berhutang budi padanya. Jika aku mangkir dari
tugas ini, maka aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Lagipula, kalau aku mangkir, nyawa
ibu akan terancam.”
Tidak ada jalan keluar.
Pasti dia berpikir begitu.
Tak tahu harus berkata apa, aku hanya bisa menggigit lidahku dengan kesal.
Tapi, Pax masih melanjutkan.....
“Tapi...... aku punya alasan sebenarnya mengapa melakukan ini.”
"Apa itu?"
“Dengarkan, hanya kau yang kuberitahu hal ini.....”
Saat mengatakan itu, Pax segera berhenti.
Dia menatapku, lalu berkata dengan tegas.
"Aku selalu punya ambisi.”
Aku juga menghentikan langkahku, lalu menatapnya dengan serius.
Aku melihat kegugupan yang tidak biasa pada wajah Pax.
Biasanya dia santai, tapi hari ini dia begitu berhati-hati saat berbicara.
“Ambisi? Ambisi apa?”
“Ambisi membangun negara sendiri.”
Aku tersentak mendengar itu.
Jadi.... ambisi Pax selama ini adalah..... membangun negaranya sendiri.
"Aku akan mewujudkan impian yang tidak pernah dicapai ayahku.”
Kukira alasannya hanyalah hal sepele, tapi ternyata ini bukan main-main.
Dia ingin melampaui ayahnya dengan membangun negara sendiri.
Dia tampak serius.
“Oleh karena itu, inilah kesempatanku. Aku akan diberi tanah, yang belum ternoda oleh
siapapun. Secara teknis, memang itu wilayah milik Kerajaan Raja Naga, tapi tak seorang pun
tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jika wilayah ini semakin besar, maka aku bisa
memproklamasikan kemerdekaannya. Saat itulah, wilayah tersebut akan menjadi milikku
sepenuhnya.”
Itulah rencana Pax.
Jujur saja, ini adalah pertaruhan yang berbahaya.
Peluang menangnya pun tipis.
Dia ingin membangun wilayah sendiri, nanti kalau sudah besar, dia akan mengkhianati
Kerajaan Raja Naga, lalu memimpin negara baru itu sebagai raja tunggal.
Tentu saja, resikonya adalah perang saudara, karena itu sama saja dengan kudeta.
“Itu....... mustahil, kan........”
“Memang sulit. Tapi, meskipun belum merdeka, wilayah itu akan menjadi milikku
sepenuhnya. Aku bisa melindungi ibu di sana. Aku percaya, dengan ilmu yang kutimba
selama tiga tahun di Asura, aku bisa mengembangkan wilayah itu menjadi negara kecil yang
makmur dan sejahtera. Lalu, aku hanya perlu mengembangkannya terus dengan konsisten,
sampai akhirnya menjadi negara yang kuat.”
Ngomong sih gampang......
Tapi, semua orang tahu kudeta bukanlah perkara gampang. Kau harus menghimpun pasukan
yang kuat, membangun perekonomian yang mantap, dan juga pertahanan yang kokoh agar
penduduk tidak jadi korban.
Mungkinkah..... aku harus menghentikannya sekarang juga?
Tidak.... mustahil.... aku belum pernah melihat Pax seserius ini.
Sepertinya tak seorang pun bisa menghentikan Pax sekarang. Bahkan ayah dan Ariel-sama
pun tidak bisa.
Tapi aku tahu.....
Pax adalah orang yang selalu berusaha keras mewujudkan mimpinya.
Oleh karena itu, dia jauh-jauh datang ke Asura untuk belajar.
Sebagiannya karena ancaman dari negara asalnya. Jika dia berdiam diri di Kerajaan Raja
Naga, mungkin dia sudah kehilangan nyawanya.
Dia keluar dari zona nyaman, dan tidak menyerah. Dia berani menapaki jalan sulit untuk
mewujudkan tujuannya.
Maka, tidak mungkin aku bisa menghentikannya.
Aku bahkan mulai iri dengan keteguhan Pax mewujudkan ambisinya.
“Aku tahu ini sulit. Jadi..... bolehkah aku menanyakan suatu hal padamu?”
"…Apa itu?"
Pax menghela napas terlebih dahulu.
Setelah menarik napas dalam-dalam, dia mengepalkan tangannya.
Lalu, berkata dengan penuh keyakinan......
“Maukah kau ikut denganku?”
Dia tidak menunggu jawabanku, malah melanjutkan....
“Aku tahu keadaanmu. Kau akan menikah dengan Sariel. Ayahmu dan Yang Mulia Ariel
menginginkannya. Aku tahu hidupmu bersama Sariel akan jauh lebih baik daripada
mengikutiku.”
Mendengar itu, aku jadi teringat ayah.
“Tapi, selama tiga tahun belakangan bersamamu, aku terus berpikir..... kau sungguh kuat dan
pintar. Berbicara denganmu saja bisa memberiku keberanian dan keyakinan. Jika bersama,
sepertinya kita bisa melewati apapun rintangan yang menghadang.”
"Itu…"
“Jadi bertarunglah denganku.”
Oh, permintaan itu…
Aku bingung.
Sungguh bingung.
Padahal..... hari ini ayah berkata....
“Ayah berharap banyak padamu.”
Salah satu harapan itu pastinya..... pernikahan dengan Sariel.
Aku yakin, ayah juga berharap abangku menikah dengan wanita pilihannya. Tapi dia gagal.
Maka, aku tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama.
Apalagi, ayah memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Asura.
Sebenarnya ayah juga bekerjasama dengan Kerajaan Raja Naga, tapi hanya orang-orang
Asura yang tertarik menjodohkan kami.
Tujuannya, tidak lain adalah hubungan kekerabatan yang erat.
Tentunya..... ayah tidak berharap aku membantu Pax.....
Ayah lebih suka aku mempererat hubungan dengan Kerajaan Asura, daripada Kerajaan Raja
Naga.
Ajakan Pax berseberangan dengan keinginan ayah.
Lupakan hubungan dengan negara Pax.
Bagi ayah, koneksi dengan Kerajaan Raja Naga tidaklah sepenting hubungan dengan Asura.
Hubungan dengan mereka hanya akan menambah masalah.
Memang, kedekatan dengan Asura jauh lebih menguntungkan.
Apalagi, tujuan terakhir Pax adalah kudeta, yang berarti kami akan bermusuhan dengan
Kerajaan Raja Naga.
Ayah akan semakin kecewa jika anaknya menjadi bagian dari kudeta.
Meskipun tidak begitu dekat, ayah sudah bersusah payah menjalin kerjasama dengan
Kerajaan Raja Naga..... dan aku akan merusaknya.
Ayah......... ayahku........ ayahku selalu berusaha melindungi kami.
Jadi.........
“…”
Aku berpikir begitu lama tanpa suara.
Aku butuh waktu lebih lama lagi.
Tapi Pax tidak menunggu jawaban.
"... maaf......... anggap saja aku tidak pernah mengatakannya.....”
Seolah tidak sabar menunggu lagi, akhirnya Pax menyudahi percakapan ini.
Itulah terakhir kalinya aku berbicara dengan Pax di Asura.

Esoknya Pax sudah berangkat pulang ke kampung halamannya, dan hanya menyisakan
kekosongan di dadaku.
Aku tidak pernah lesu seperti ini sebelumnya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Penolakanku pada ajakan Pax mungkin sesuai dengan ekspektasi ayah.
Di sisi lain, jika menikahi Sariel, aku merasa seperti mengkhianati kepercayaan Pax.
Aku juga tidak bisa melakukannya.
Aku pun pulang ke Sharia dengan membawa kebingungan ini.
Akhirnya..... yang kulakukan hanyalah menganggur.
Aku tidak memenuhi harapan ayah, tidak juga harapan Pax.
Aku melepaskan semuanya.
Bab 11
Sekarang, Shishou

Hari ini aku keluar kota.


Aku menuju ke tempat yang dulu hampir selalu kukunjungi setiap hari, sebelum bersekolah
di Asura.
Namun, semenjak lulus aku jarang lagi ke sana.
Tempat itu adalah suatu bangunan di pinggiran kota.
Secara spesifik, bangunan itu terdiri dari dua tingkat, yang terlihat begitu aneh seperti sarang
monster.
Sekilas, bangunan itu tampak seperti rumah biasa yang dibangun secara manual.
Tapi sebenarnya, bangunan itu terbuat dari logam yang disebut “Baja Rudeus”, yang sangat
keras dan awet.
Ada ruangan bawah tanah luas pada bangunan itu, yang terdapat banyak lingkaran sihir
teleportasi terhubung ke berbagai titik di seluruh dunia. Di sana ada juga gudang senjata,
fasilitas latihan, bahkan perpustakaan.
Kau boleh menyebut bangunan itu..... tempat tinggal Dewa Naga Orsted.
Waktu kecil dulu, sekitar umur 15 tahunan, aku sering berlatih di tempat ini. Aku bahkan
dianugerahi gelar Raja Utara, sebelum pergi ke Kerajaan Asura.
Seperti yang kita tahu, ada beberapa tingkatan dalam dunia ini, mulai dari dasar, menengah,
lanjut, Saint, Raja, Kaisar, dan Dewa.
Level Raja adalah tingkat yang cukup tinggi. Di sekitar sini jarang ada pendekar pedang yang
mencapai level itu. Mungkin jumlahnya tidak sampai 5 orang. Tentu saja termasuk Mama
Merah.
Tapi, jika berbicara tentang pendekar pedang di seluruh dunia, Teknik Dewa Utara memiliki
kelas Raja yang terbanyak, yaitu sekitar 50 orang.
Saat itu, sewaktu aku masih naif, aku mengucapkan salam perpisahan pada mereka. Kupikir,
setidaknya aku tidak akan kembali 10 tahun ke depan.
Lalu Shishou berkata, “Mungkin kita tidak akan bertemu kembali. Jadi, jangan sampai lupa
semua hal yang pernah kuajarkan. Selalu ayunkan pedangmu untuk kebenaran.”
Jujur saja, itu perpisahan yang menyentuh hati.
Tapi, nyatanya aku kembali setelah berpisah hanya beberapa tahun saja. Aku jadi malu
menampakkan diri di depan Shishou.
Semuanya karena peristiwa tempo hari.
Lightning, pria bertopeng itu tiba-tiba muncul… aku yakin identitas pria itu yang sebenarnya
adalah Shishou, jadi aku ingin mengonfirmasinya sendiri.
“…”
Saat pertama kali memasuki bangunan itu, kau akan mendapati ruangan mirip resepsionis
rumah sakit.
Di sini ada beberapa kursi untuk menunggu, meja resepsionis besar, dan seorang wanita
berkuping panjang sedang menjaganya.
Dia menatapku dan tersenyum.
“Oh, Sieg-kun, selamat datang. Lama tak jumpa.”
“Ya, lama tak jumpa.....”
Namanya Philiastea.
Dia adalah resepsionis yang bertugas melayani semua tamu yang datang.
Dia cantik, mungkin karena keturunan Elf bertelinga panjang.
“Oh, maaf. Mungkin lebih tepat kupanggil kau Sieg-san sekarang.”
"Ah, tidak perlu sungkan."
Selain aku, hanya ada tiga orang yang menghuni bangunan ini.
Si bos, Dewa Naga Orsted.
Ayahku, Rudeus Greyrat, atau Tangan Kanan Dewa Naga, atau Raja Sihir.
Dan guruku, Aleksander Ryback, atau Tangan Kiri Dewa Naga, atau Dewa Utara Kalman III.
Ketiganya nama besar.
Aku ragu ada orang yang bisa menandingi ketiga nama ini.
Tapi, Orsted jarang kelihatan.
Katanya, ketiganya sedang mempersiapkan perang besar melawan Dewa Iblis yang akan
digelar 60 tahun lagi.
Jadi..... bisa dibilang, mereka bekerja untuk menjaga perdamaian dunia?
Dulu kupikir pekerjaan itu cukup keren, tapi sebenarnya mereka hanya bepergian kesana-
kemari untuk menjalin kerjasama dengan orang-orang terkenal. Mereka ingin membentuk
aliansi yang solid untuk menghadapi perang di masa depan.
Ayahlah yang menjadi negosiator utama, sedangkan Shishou bertugas mengawal Orsted.
Kalau Orsted...... aku tidak tahu apa yang dia kerjakan sebenarnya.
Yahh, kurasa itu rahasia, bahkan aku tidak mudah mengetahuinya.
Ngomong-ngomong, aku merasa begitu galau mengunjungi tempat ini.
Mungkin karena aku akan bertemu dengan orang-orang terkuat di dunia ini, yang bisa
melibasku hanya dengan menjentikkan jari.
...... tapi, sepertinya ayah tidak di sini hari ini.
"Apakah hari ini kau datang untuk mengunjungi Orsted-sama?"
“Tidak, sebenarnya aku ingin bertemu Shishou.”
“Kalau Aleksander-sama, beliau sedang berada di ruang latihan bawah tanah.”
"Baiklah."
Mungkin lebih baik aku bertukar sapa dengan Orsted terlebih dahulu.
Dia bos ayah, atau orang yang selama ini menggaji Keluarga Greyrat.
Namun, Orsted bukanlah orang yang ramah.
Dia begitu tertutup.
Tapi, dia tidak pernah memperlakukan anak-anak keluarga Greyrat dengan dingin.
Sayangnya, aku bukan lagi anak-anak. Jadi, aku harus siap bila Orsted menegurku atau
semacamnya.
Sembari memikirkan itu, aku meninggalkan ruang resepsionis, untuk menuju ke ruang bawah
tanah.
Berjalan menyusuri koridor gelap menuju fasilitas pelatihan.
Fasilitas pelatihan berupa ruangan dengan langit-langit yang tinggi. Ruangan itu dilengkapi
dengan lingkaran sihir yang mengurangi serangan fisik dan sihir, dan juga lingkaran sihir
penyembuh.
Waktu kecil dulu, aku belajar ilmu pedang di halaman belakang kantor ini.
Namun, saat aku berumur 10 tahun, ayah menggunakan sihir bumi untuk membuat ruangan
ini.
Sejak saat itu, aku berlatih bersama Shishou di sini.
Teknik Dewa Utara.
Beberapa orang berpendapat bahwa Teknik Dewa Pedang adalah yang terkuat, karena bisa
menghabisi lawannya hanya dengan sekali tebas. Beberapa orang lainnya mengatakan,
Teknik Dewa Air lah yang terhebat karena memiliki pertahanan lapis baja.
Tapi menurutku, Teknik Dewa Utara lah yang terbaik. Aku yakin sekali.
Sayangnya, aku tidak berhak mengatakan itu, karena belum mencapai level Dewa.
Shishou-ku lah yang Dewa. Meski begitu, dia masih kalah dari ayah, dan Orsted tentunya.
Jadi, Dewa Utara pun masih bisa dikalahkan.
Tapi bagiku, hanya Teknik Dewa Utara yang mewujudkan keadilan.
“Hei, Shishou…”
Shishou sedang duduk di tengah fasilitas pelatihan.
Dia sendirian, tanpa pedang, hanya duduk membelakangiku.
Tidak bergerak.
Seperti patung batu.
Setelah melihat itu, aku memutuskan untuk berhenti bicara, lalu duduk di dekat pintu masuk.
Sesaat kemudian.
Shishou tiba-tiba berdiri.
Masih dalam posisi membelakangiku.
Dia tidak memegang pedang, tapi..... aku tahu pedangnya ada di sana....
Sesaat berselang.
Dia menebas secara horizontal, vertikal, dan diagonal.
Dalam sekejap mata, Shishou mengayunkan tiga kali tebasan.
Cepat sekali, bahkan lebih cepat daripada Teknik Dewa Pedang.
Tapi, seorang Dewa Pedang mungkin bisa mengayunkan tebasan seperti itu sampai lima kali
dalam rentang waktu yang sama.
Sesaat kemudian lagi.
Tiba-tiba Shishou berada di depanku.
Aku tidak terkejut.
Beberapa jurus Dewa Utara dieksekusi dengan secepat kedipan mata atau degupan jantung.
Bahkan pendekar Dewa Air kesulitan menghadapinya, kecuali bagi mereka yang sudah
terbiasa.
Dan aku sudah terbiasa.
“Hei Sieg, lama tak jumpa.”
Shishou segera duduk di depanku, lalu menyapa.
Dia tersenyum riang, seolah tidak terjadi apa-apa tempo hari.
"Maafkan aku karena jarang mengunjungi Shishou.”
“Kudengar kau sudah lulus dari Asura. Tapi kau jarang sekali main ke sini, jadi kukira kau
membenciku.”
Senyum Shishou tidak berubah, masih sama seperti saat terakhir kali kami bertemu.
"Itu tidak benar. Aku hanya...... punya kesibukan sendiri.”
“Hari ini mau apa kau kemari? Merebut gelar Dewa Utara?”
“Tidak.... mustahil aku melakukannya.”
Andaikan aku berkata iya, Shishou tidak akan sungkan meladeniku berduel.
Kalau pun aku menantangnya, sudah pasti akan kalah, lalu Shishou tertawa sembari berkata,
’Wahh....wah....wah.... terlalu cepat kau menantangku.’
Tapi seandainya aku menang, tentu gelar Dewa Utara akan kurebut.
Aku akan menjadi pemimpin tertinggi Teknik Dewa Utara, tanpa seorang pun murid.
“Sebenarnya, aku datang ke sini untuk menanyakan beberapa hal.”
“Hah....? Tunggu.... biar kutebak. Hmmm.... ya, aku tahu. Kau tampak kebingungan. Ada apa
gerangan?”
"Ini bukan masalah serius, sih.”
“Jujur, aku bukanlah orang yang tepat diajak curhat. Tapi, biarkan kudengar ceritamu.”
Selama bertahun-tahun aku sudah belajar banyak dari Shishou.
Kami banyak berdiskusi, kecuali masalah-masalah pribadiku.
Shishou bukanlah tipe pemikir.
Tak peduli serumit apapun masalah yang didengarnya, dia tidak pernah ambil pusing.
Dia juga sulit menjaga rahasia.
Semua yang dia dengar pasti akan diketahui ayah suatu hari nanti.
"Tidak.... aku tidak ingin curhat, kok.”
"Lalu apa?”
"Terjadi sesuatu kemarin.”
"Kemarin? Kemarin kapan? Sejak kemarin aku selalu di sini. Setelah mengawal Orsted-sama,
aku sibuk bermeditasi, dan tidak punya kesempatan pergi ke manapun. Tanya saja pada
Orsted-sama.”
Aku tidak menanyakan apa yang dia kerjakan kemarin, tapi Shishou sudah panjang-lebar
menceritakan alibinya.
Sudah pasti dia bohong.
Terlalu mudah ditebak.
“Jika nama Aleksander sedikit diplesetkan, bisa saja menjadi Alek-thunder. Dan Thunder
adalah sinonim dari Lightning. Apa aku salah?”
Aku memberinya umpan.
Shishou terkejut, lalu dia cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
Bingo.
“Tadi kau bilang Lightning? Pria yang mengenakan pakaian dan helm hitam itu?”
Ah.... sudah kuduga.
"Shishou, hentikan. Akui saja.”
“Lightning adalah orang terkuat kedua di Shadow Corps, yaitu organisasi kejahatan terbesar
di daerah ini.”
“Shadow Corps…”
“Shadow Corps.... mereka adalah organisasi kejahatan mengerikan yang hampir setiap hari
berbuat jahat. Tidak ada yang tahu tujuan mereka. Mereka adalah organisasi besar yang
mustahil bisa kita tangani.”
“… Tidak bukan itu maksudku.... Shishou adalah Lightning, kan?”
“Lightning adalah mantan muridku, dia sudah mencapai tingkatan Kaisar. Aku
mengabaikannya setelah dia bergabung dengan Shadow Corps.”
Lengkap juga paparannya.
Shishou biasanya tidak pandai berbohong, tapi entah kenapa kali ini kebohongannya cukup
lengkap dan runtut.
Biasanya Shishou akan mengaku begitu saja bila kebohongannya terbongkar, tapi kali ini dia
cukup keras kepala.
“Sieg-kun, Lightning dan Shadow Corps sungguh menakutkan. Harusnya kau tidak berurusan
dengan mereka.”
Apa yang harus kulakukan?
Aku tidak paham mengapa Shishou berbohong sedetail ini.
Dan juga.... mengapa dia melindungi si bangsawan gembrot itu.
“… apakah kau tahu apa yang bangsawan itu lakukan kemarin?”
“Bangsawan? Siapa?”
“Viscount Basteel, pria gemuk itu.”
"Ah," Shishou mengangguk.
Bangsawan terkaya kedua di kota.
“Ya, dia.”
“Dia mencari orang-orang miskin untuk ditawari hubungan keluarga dengan menikah.”
“Bagiku, itu lebih mirip mencari gadis muda untuk melampiaskan nafsunya.”
Shishou mengerutkan kening.
Jadi, kau benar-benar tidak tahu?
Harusnya Shishou yang begitu ingin menjadi pahlawan tidak mengampuni orang-orang
seperti itu.
Lalu, Shishou mengeluarkan selembar kertas kecil dari sakunya.
Itu.... catatan?
Dia pun membacanya.
“Dia pria yang baik. Meskipun nafsunya besar, kita harus memakluminya. Biarkan ini
menjadi pelajaran untuknya.”
Oh, ayolah!
Kau hanya membaca! Itu jelas-jelas bohong! Pasti ada orang yang menyuruhnya!
Insiden kemarin juga jelas bukan kebetulan.
Tidak ada orang lain yang bisa merencanakan itu selain Shishou, tapi.........
“… tapi, aku mendengar rumor bahwa orang itu mendanai Shadow Corps. Mungkin itulah
kenapa kau berbentrokan dengan Lightning kemarin.”
Padahal aku belum cerita bahwa aku melawannya tempo hari.
Jujur, sandiwara Shishou payah sekali.
“Sayangnya, aku tidak tahu di mana markas Shadow Corps berada. Mungkin seseorang yang
sering berhubungan dengan sisi gelap kota mengetahuinya.... sayang sekali aku tidak bisa
membantu.”
Kemudian, Shishou menutup mulutnya rapat-rapat.
Sebenarnya, kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang Shadow Corps jika
menyebarkan mata-mata di kota.
"Hah…"
Aku hanya bisa mendesah lelah.
Aku sudah menduga ini akan terjadi.
Tentunya, bangsawan itu memiliki hubungan dengan Orsted dan yang lainnya.
Sebagai salah seorang terkaya di kota ini, mungkin dia juga mendanai pekerjaan Orsted.
Kalau memang benar begitu, tentu saja Shishou ikut-ikutan melindunginya.
Orsted mudah saja mengirim Shishou atau ayah untuk menangani masalah ini.
“…”
Atau......... mungkin orang di balik insiden ini adalah......... ayah.
Aku tidak percaya ayah merencanakan ini semua.
Aku selalu menjauhi ayah semenjak pulang dari Asura.
Dia pasti kecewa.
Aku tidak menikahi Sariel, dan hanya menjadi pengangguran. Meskipun peranku sebagai
pembela kebenaran sangat membanggakan, tapi ayah tidak ingin anaknya menjadi orang
seperti itu.
Aku telah gagal memenuhi harapan ayah.
Kalaupun aku bertemu dengannya....
Apakah dia akan memarahiku?
Mungkin dia akan mengabaikanku begitu saja.
Aku tidak masalah jika dia membentakku atau memarahiku.
Itu lebih baik daripada ayah tidak mengatakan apa-apa.
Mungkin keberadaanku tidak penting baginya.
Seolah, aku sama sekali tidak ada di rumah.
Aku jadi teringat masa-masa sekolahku di Asura. Aku dan Pax hanyalah buih yang tidak
dianggap.
Sekarang pun sama saja.
Meski begitu, aku masih menghormati ayahku.
Aku tidak bisa membanggakan ayah, tapi aku sangat menghormatinya.
Oleh karena itu....... sebenarnya...........
Jika ayah mengabaikanku...... hatiku sakit sekali........
Haruskah aku bertemu dengannya?
Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan.
Tapi yang jelas..... ada sesuatu yang harus kami bahas.
Ayah tahu aku pengangguran, tapi sampai sekarang dia tidak berkomentar apapun.
Aku tidak membawa pulang prestasi apapun dari Akademi Kerajaan Asura, selain nilai
olahraga yang tinggi, tapi saat itu ayah hanya bilang, “Baiklah... aku mengerti...”
Mungkin ayah ingin mengatakan sesuatu.
Mungkin dia hanya menegur secara halus.
“Sieg-kun… kau mau ke mana?”
"Aku pamit dulu."
“Yah… silahkan pulang, tapi bawalah ini.”
Shishou mengangguk, lalu memberikan sebilah pedang. Gerakannya begitu kaku, seolah
sudah dilatih sebelumnya. Ya ampun, dia benar-benar payah bersandiwara.
Tapi tak apalah.... setidaknya dia sudah berusaha.
“Ah tidak perlu.... aku tidak butuh pedang.”
Aku tidak suka bertarung menggunakan pedang.
Pembela kebenaran selalu menggunakan tangan kosong.
Sebenarnya aku masih ingin dilatih Shishou sampai ke tingkatan selanjutnya.
Bahkan, aku ingin melawan Lightning sekali lagi.
Tapi dia butuh ganti kostum sebelum melawanku.
Ah tidak.... tidak usah repot.
“Sieg-kun”
Tiba-tiba dia menghentikanku, lalu aku pun menoleh padanya.
“Sebelum pergi, jawab pertanyaanku.”
“Pertanyaan?”
"Ya... sebenarnya tidak terlalu penting sih...”
Kali ini nada bicaranya lebih serius.
Ah, sudah lama aku tidak melihat Shishou seperti ini.
Tentunya, dia ingin bertanya atas kemauannya sendiri.
Tapi, aku sudah bisa menebak pertanyaannya.
Dia akan menanyakan, mengapa aku memilih menjadi pengangguran.
Ya.... pasti.
Sepertinya Shishou sudah tahu bahwa aku merangkap menjadi pembela kebenaran.
Apakah kita akan membahas pembela kebenaran lagi?
Ataukah Shishou akan memarahiku seperti ibu?
Kalau Shishou sih..... aku yakin tidak akan melakukan itu. Karena dia sendirilah yang
mengajariku kebenaran.
Ah... kenapa aku jadi khawatir.
“Ada apa Shishou?”
Shishou mengamati wajahku, seolah ingin tahu apa yang sedang kurasakan, lalu dia
bertanya....
“Kenapa kau tidak suka pakai pedang?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Oh itu…"
Itu berbeda dari pertanyaan yang kuduga sebelumnya.
Sayangnya.....
Pertanyaan ini..... aku sendiri tidak tahu pasti jawabannya.
Aku tidak pernah menyentuh pedang sejak kembali ke Sharia.
Tentu, sebagian alasannya karena pembela kebenaran selalu bertarung dengan tangan kosong.
Tapi sebenarnya..... aku tidak tahu pasti kenapa aku tidak suka pakai pedang saat bertarung.
“… pembela kebenaran tidak butuh pedang.”
Setidaknya, itulah jawaban yang kuberikan.
Aku pernah mendengar ayah bercerita bahwa Cheddarman juga tidak pakai pedang.
Dia selalu membasmi kejahatan dengan tangan kosong.
Sejatinya, kekuatan Cheddarman bukan untuk mengalahkan orang jahat, melainkan
melindungi yang lemah.
Itu berarti, dia tidak butuh kekerasan dengan menggunakan senjata seperti pedang.
“Pembela kebenaran ya…”
Shishou menghela nafas.
Sepertinya jawaban itu membuat Shishou berpikir keras.
Shishou pernah menggila dengan senjatanya yang hebat.
Waktu itu, dia mengira kekuatan yang hebat berasal dari senjata yang sakti.
Tapi setelah kalah dari Ayah dan Orsted, dia merenung dan akhirnya berubah pikiran.
Dia tahu dirinya masih belum dewasa, dan harus banyak belajar.
Sejak saat itu dia tidak lagi menggunakan pedang pusaka.
Dia hanya menggunakan pedang biasa tanpa nama, tapi cukup tajam dan awet.
Dengan pengalaman di masa lalunya, aku yakin Shishou sangat menghargai pendapatku.
"Tapi menurutku, pembela kebenaran sekalipun butuh pedang.”
Tiba-tiba, Shishou menimpali lagi.
"Kenapa?"
“Kalau hanya membela yang lemah, kau tidak perlu bertarung. Kau bisa beramal, mengajar,
atau apapun untuk membantu mereka. Tapi nyatanya, kau memutuskan bertarung. Dan
bertarung melawan kejahatan harus sampai tuntas. Itulah mengapa kita butuh senjata untuk
membasmi mereka.”
“Aku tidak akan membasmi mereka…”
“Lalu untuk apa kau bertarung? Pamer?”
“…”
Kemudian, dia duduk sembari sedikit membungkukkan badannya ke depan. Terlihat jelas
tidak ada sandiwara apapun di wajahnya.
“Pembela keadilan butuh pedang agar tidak kalah.”
Jika kau memutuskan bertarung, maka jangan kalah.
Jika tidak kalah, maka kau membutuhkan senjata.
Teori yang sangat sederhana, seperti inilah Shishou.
Aku tidak bisa membantah kesederhanaannya.
“Aku mengajarimu ilmu pedang agar kau menjadi pahlawan pembela kebenaran yang berani
melawan penjahat terkuat sekalipun, meskipun mustahil dikalahkan.”
Saat masih kecil dulu, aku mengayunkan pedangku atas tujuan itu.
Aku begitu takjub dengan eksistensi yang Shishou sebut dengan, ‘pahlawan’.
Kemudian, aku mengartikannya ‘pembela kebenaran’.
Sebenarnya, keduanya sedikit berbeda, tapi sama-sama melawan penjahat dan membantu
yang lemah.
“Itu cerita lama. Sekarang, kau sudah besar. Mungkin kau tidak lagi tertarik menjadi
pahlawan. Tapi, jika kau melawan penjahat, bukankah sebaiknya menggunakan pedang?”
Tapi kan.......
Sekarang aku mau pergi menemui ayah.
Aku tidak perlu pedang, kan? Kami tidak akan bertarung, kan?
Bagaimana mungkin aku menyerang ayahku?
Ya.... ya... aku tahu. Bukan itu yang Shishou maksudkan.
Dia hanya menegurku.
Atas keadaanku sekarang yang menyedihkan.
“Apakah kau sudah putus asa, Sieg? Sehingga kau hanya melampiaskan amarahmu dengan
menghajar penjahat-penjahat itu? Kalau begitu, yang kau lawan itu bukanlah penjahat, tapi
orang lemah.”
“Shishou pikir aku tega melakukan itu?”
"Mungkin saja. Karena aku dulu juga melakukannya, dengan ‘pahlawan’ sebagai alasan.”
Menggunakan ‘pahlawan’ sebagai alasan untuk menindas yang lemah.
Mungkin itu benar.
Karena, semenjak menjadi Ksatria Bulan, aku jarang mendapati lawan berat.
Tempo hari aku berhasil dibuat repot oleh lawanku, tapi bukan berarti aku kalah telak.
Aku tahu itu. Dan aku menyadarinya.
Pembela kebenaran.....
Itu hanyalah alasan untuk status quo-ku.
Tidak menggunakan pedang hanyalah alasan lain.
Semuanya.... hanyalah alasan.
"Jika aku sudah putus asa? Apakah Shishou juga akan mengabaikanku?”
"Tidak, jangan berpikir begitu. Sebenarnya, aku hanya ingin mendengar masalahmu.”
Shishou mengangkat bahu, lalu berdiri.
"Ah tidak.... tidak.... kali ini bukan aku yang ingin mendengar ceritamu.”
Sembari mengatakan itu, Shishou menunjuk ke arah pintu.
"Pergilah. Kau tahu harus bercerita pada siapa. Temukan dia, dan carilah jawaban yang kau
inginkan.”
Shishou mengatakan itu dengan wajah sedih yang tidak biasa.

Aku kembali berjalan menyusuri kota.
Mungkin ini pertama kalinya aku melihat Shishou sesedih itu.
Apakah seharusnya kuberitahu dia?
Tidak, meskipun aku menceritakan semuanya pada Shishou, aku ragu dia bisa memberikan
jawaban yang kuinginkan.
“Entah kenapa, dadaku terasa sesak.”
Aku bingung.
Masih jomblo, pengangguran, tanpa penghasilan.
Banyak sekali masalahku.
Aku tahu bukan Shishou yang bisa memberiku nasehat.
Karena Shishou adalah orang yang lugu, jadi dia kurang bisa memahami permasalahan
seseorang.
Jika kau curhat padanya, dia akan mengatakan, “Tetap semangat!” padahal tidak semua
masalah bisa terselesaikan hanya dengan semangat.
“…”
Sembari masih memikirkan banyak hal, aku pun pergi ke kedai.
Goblin Mabuk
Itulah kedai yang kukunjungi hampir setiap hari.
Kurasa berkunjung ke kedai ini sudah jadi kebiasaanku.
Mengapa namanya Goblin, padahal tak ada seekor pun Goblin yang berkunjung ke tempat
ini.
Aku pernah mendengar ceritanya sebelumnya.
Katanya :
Dinamakan Goblin Mabuk, karena kedai ini tempat berkumpulnya penjahat-penjahat kecil.
Merekalah yang diibaratkan Goblin.
Goblin adalah monster paling rendah kastanya. Mereka sering dibantai oleh para ksatria dan
bangsawan hanya untuk berolahraga.
Sesuram itulah para pengunjung kedai ini.
Aku memasuki kedai, sembari mengingat kembali cerita itu.
Lalu.... penjahat-penjahat yang selama ini kuhajar, apakah bernasib sama dengan Goblin?
Ah.... hari ini aku ingin minum banyak.
Kapan terakhir kali aku mabuk?
Mungkin saat upacara kelulusan di Asura.
Semenjak pulang, aku tidak banyak minum alkohol.
Biasanya, aku berkunjung ke bar untuk bertukar informasi.... sudah itu saja.
Kalau pemilik kedai menawarkan minuman, tentu akan kuterima.
Ahh....
Alkohol adalah simbol kejahatan.
Kalau aku minum sampai mabuk.... bukankah itu berarti aku jadi penjahat?
“Hei, George!”
“Hmm?? Sieg! Apa kabar?"
Saat duduk di dekatnya, aku mencium bau alkohol yang tajam.
Rupanya hari ini George minum lebih banyak dari biasanya.
"Aku baik-baik saja. Kamu?"
“Hmm. Aku lagi susah. Kemarin penghasilannya sedikit saja.”
Kata George sambil nyengir.
“Hei, jarang-jarang kau tekor.”
George selalu bekerja keras untuk dapat uang.
Tapi dia sering tekor juga. Aku penasaran, bagaimana orang ini membelanjakan uangnya.
Sepertinya belakangan ini bisnisnya sedang buruk.
“Kau terlihat baik-baik saja.”
“Yahh.... kan aku bilang kemarin. Kalau hari ini.... aku punya proyek besar.”
“Wah, jadi hari ini sedang banyak duit, nih?”
Mood-mu sedang baik, kan.....
“Yahh.... gimana ya..... sepertinya untuk kedepannya penghasilanku akan seret.”
"Oh ya?"
"Ya."
Orang ini pekerjaannya serabutan.
Tapi kabarnya, belakangan ini pekerjaannya sudah mulai rutin.
Sepertinya dia dapat pekerjaan baru yang tidak berhubungan dengan makelar informasi.
Atau..............
“Hei George.”
“Hmm ~”
“Kau tahu sesuatu tentang Shadow Corps?”
Saat mendengar nama itu, anehnya wajah George langsung membeku.
Dia menoleh ke kiri-kanan sejenak, lalu sedikit mencondongkan badannya padaku.
“Dasar bodoh! Jangan keras-keras! Nanti kalau orang lain dengar bagaimana!?”
“Oh, ah, maaf.”
“Shadow Corps? Dimana kamu dengar itu? Kabarnya mereka begitu berbahaya....!”
Rupanya George tahu sesuatu tentang Shadow Corps.
Jadi............
Mungkin George juga tahu tentang ayah dan Shishou.
Atau.... aku saja yang salah sangka.
Tapi George adalah informan veteran, jadi dia tahu banyak hal.
Itulah kenapa dia bilang bisnisnya sedang bagus.
Kalau sampai dia dibayar oleh ayah, maka tentu saja kantongnya sedang tebal.
Aku tidak bisa menyalahkan George, karena memang itulah pekerjaannya.
“Mereka adalah komplotan penjahat terburuk di kota ini. Bahkan Orsted sekalipun tidak bisa
menangani mereka. Jangan sebut nama mereka keras-keras! Kau tidak pernah tahu jika salah
satu anggota mereka berada di sekitar kita!”
George terus mengamati sekeliling dengan wajahnya yang mulai memucat.
Kemudian, setelah yakin tak seorang pun melihat kami, dia berbisik.
“Jadi, kau mau informasi apa tentang Shadow Corps?”
George adalah aktor yang bagus.
Mungkin Shishou perlu belajar darinya.
“Kau tahu di mana markas mereka?”
“Sieg… j-j-jangan-jangan kau…!”
George menarik tubuhnya dengan kaget, dan matanya terbelalak.
Namun, dia segera menggelengkan kepalanya.
“Baik..... baik.... aku sudah cukup mengenalmu. Jadi, aku tahu apa yang akan kau lakukan.
Lihat.... di sinilah markas mereka.”
Dia mengambil selembar kertas dari sakunya dan menyerahkannya padaku.
Saat kubuka kertas itu, kudapati peta yang tergambar dengan detail.
Semuanya begitu rinci, sampai-sampai aku penasaran mengapa dia bawa benda sepenting ini.
Ada tanda silang yang tergambar di tengah peta.
Sepertinya, di situlah lokasinya.
"George. Terima kasih."
"Tidak masalah."
Kata George sambil mengusap bagian bawah hidungnya.
Mungkin dia merasa bersalah telah melibatkanku dalam hal ini?
Sayang sekali.....
Aku jadi merasa sedikit kasihan padanya.
"Aku percayakan kedamaian kota ini padamu..... Ksatria Bulan.”
Aku merasakan harapan yang harus kupenuhi.
Aku bulatkan tekadku, lalu mengangguk.
“Ya, serahkan saja padaku.”
Lalu, aku berdiri.
Anggap saja George menerima uang dari ayah.
Kalau benar begitu, ada beberapa hal yang tidak kumengerti.
“Sieg.....”
"Ya?"
"…Maafkan aku."
Untuk apa meminta maaf?
Selain sebagai penyedia informasi, George juga sering curhat.
Aku sih tidak begitu suka mendengar ceritanya.
Tapi kali ini dia tidak melakukannya. Nada bicaranya dingin dan singkat, itu berarti dia
serius.
"Santai saja."
Seperti halnya para Goblin, pengunjung kedai ini hanyalah kroco-kroco yang begitu mudah
tertindas.
Mereka hanyalah penjahat-penjahat kelas teri yang mengais koin setiap hari dengan membuat
keributan kecil.
Tapi...... penjahat kelas teri pun punya teman.
Sembari memikirkan itu, aku keluar dari kedai.
Lalu pergi ke tempat ayah berada.
Bab 12
Sekarang, ayah

Ayah adalah seorang yang kuhormati dan kujunjung tinggi.


Aku pun melihatnya sebagai pembela kebenaran yang begitu sakti.
Tapi itu dulu. Sekarang.... aku semakin meragukan bahwa ayahku adalah pembela kebenaran.
Bukan berarti rasa hormatku berkurang. Aku masih sangat menghormatinya.
Sayangnya, hanya itu saja.
Dia adalah orang yang mengutamakan keluarga lebih dari segalanya. Dia bahkan rela
membuang harga dirinya dan bersujud di depan musuh yang paling dibencinya, asalkan
keluarganya selamat.
Ayah memiliki banyak kolega di dunia ini, semuanya berkat kerendahan hati dan
keramahannya.
Tentu saja itu semua bukan prestasi murahan.
Meskipun aku tidak lagi melihatnya sebagai pembela kebenaran, ayah masihlah seorang
pekerja keras dan realistis.
Hasilnya tidak perlu dipertanyakan.
Belakangan ini aku jarang melihat ayah tampil di depan umum, tapi dia tetap saja terlihat
keren dan bermartabat.
“Ha ha ha ha ha!”
Ayah sedang tertawa.
Dia berdiri di atas tangga, sembari tertawa dengan lantang.
Dia sungguh mengesankan.
“Aku adalah pemimpin Shadow Corps, sekaligus lawan dari Ksatria Bulan, sebut saja aku
Ksatria Bayangan! Akulah penjahat terbesar di kota ini!”
Dia terbahak-bahak sambil mengatakan hal-hal bodoh seperti itu.
Sungguh tidak keren.

Setelah keluar dari bar, aku mengikuti peta yang diberikan George.
"Markas rahasia Shadow Corps.”
Meskipun namanya markas rahasia, namun tandanya di peta begitu jelas. Semangatku jadi
sedikit turun.
Lokasinya adalah gudang di pojok distrik niaga.
Gudang itu terlihat biasa saja.
Setelah mencari sebentar, akhirnya aku menemukan tangga menuju ke ruang bawah tanah.
Di sana, kudapati lingkaran sihir teleportasi.
Setelah memijaknya, aku berteleport ke sebuah bangunan yang terbuat dari batu.
Suasananya gelap dan suram seperti penjara, dan ada juga gemerlap cahaya lilin di sekitarku.
Apakah seperti ini suasana pertempuran terakhir yang sering diceritakan Shishou?
Aku berjalan di lorong sambil bertanya-tanya.
Suasana hatiku semakin galau.
Jika nanti aku benar-benar bertemu ayah, apa yang akan dia katakan padaku?
Akankah dia memarahiku, atau tidak?
Tapi setidaknya, dia pasti akan berkata kasar.
Apa yang akan dia katakan pertama kali?
Sekasar apakah perkataannya?
Aku tidak bisa membayangkannya.
Aku ingin melarikan diri sekarang juga.
Kenapa aku di sini? Mengapa aku ke sini?
Sembari menanyakan itu semua, aku pun tiba di ruangan mirip aula.
Langit-langit tinggi yang didukung oleh enam pilar besar, diterangi oleh api unggun,
sehingga suasananya cerah seperti siang hari.
Di bagian belakang, ada tangga panjang yang menuju ke altar batu.
Di altar itu ada singgahsana yang diduduki seorang pria. Ada juga hiasan berupa tengkorak
bertanduk di sana, khas penjahat.
Dan pria itu adalah....
Ayah.
Dia memakai topeng dan mantel hitam, tapi aku tidak mungkin salah.
Terlihat jubah abu-abu yang menjuntai dari mantel hitamnya, itu adalah jubah yang sering
dicuci Mama Putih.
Di balik jubah itu ada armor berwarna hitam legam.
Itu bukan armor biasa. Zirah itu bisa meningkatkan kemampuan fisik seseorang sampai level
Saint, dan juga melipatgandakan Mana.
Tidak salah lagi, zirah itulah yang disebut "Magic Armor".
Konsumsi Mana armor itu besar, sehingga tidak banyak orang yang bisa memakainya.
Itulah mengapa, pengguna armor itu mendapat julukan Raja Sihir.
Raja Sihir Rudeus Greyrat.
“Ha ha ha ha ha!”
Saat melihat kedatanganku, dia langsung berdiri dan tertawa terbahak-bahak.
“Aku adalah pemimpin Shadow Corps, sekaligus lawan dari Ksatria Bulan, sebut saja aku
Ksatria Bayangan! Akulah penjahat terbesar di kota ini!”
Entah kenapa aku cukup gugup saat mendengar kalimat itu…
Perkataan itu terlalu jujur.
Bahkan cenderung memalukan.
Tapi julukan Ksatria Bayangan itu cukup keren sih.
Benarkah keren? Atau aku saja yang terlalu menghormatinya? Yahh.... gak tahu lah.
Ayah sudah berumur lebih dari 40 tahun.
Tapi, masih saja..........
Belum lagi, pakaian itu..... sungguh norak.... kalau begini terus, bisa-bisa rasa hormatku
padanya luntur.
Ayah adalah salah satu orang terdekat Orsted, dan dia menawarkan banyak nasehat padanya.
Dia berkeliling dunia mengemban misi dari Orsted, bahkan berani melawan musuh-musuh
tangguh demi bosnya itu.
Sayangnya.... semua prestasinya seolah pudar saat aku melihat polahnya sekarang.
Kalau Shishou?
Ah tidak..... aku tidak menyalahkannya.... toh dia orangnya memang sedikit kikuk.
“Papa… hentikan.”
“Aku bukan papamu.”
Dia berkata sambil membuka jubahnya.
"Panggil aku Tuan Shadow."
“TIDAAAAAAKKK ~!”
Memalukan.
Sungguh memalukan.
Mengapa ini harus terjadi padaku?
Mengapa ayah yang selalu kuhormati berbuat ini padaku?
Ah, ini pasti hukuman untukku.
Karena aku pengangguran.
Aku belum menikah, tidak bekerja, dan hanya hidup membusuk.
Aku juga menindas yang lemah atas nama keadilan.
Mungkinkah itu semua yang membuat ayahku jadi seperti ini?
"Papa!"
“Haha, Ksatria Bulan.... pasti kau yang telah menghajar orang-orangku belakangan ini. Aku
terkesan kau bisa sampai sejauh ini.”
“Papa, cukup!”
“Ada apa? Kau ragu-ragu? Atau kau takut?”
“Cukup papa..... cukup.... aku tidak tahan lagi melihatnya, ini sungguh menyakitkan. Atau
lebih tepatnya, ini terlalu memalukan untukku. Jadi, kumohon hentikan....”
Ayah berhenti untuk mendengarkan perkataanku.
"Memalukan?"
"Ya.... sungguh.... aku tidak kuat lagi.”
"…begitu ya...."
Bahu ayah terlihat sedikit lunglai.
Lalu dia melepas helmnya.
Dan tentu saja, di balik helm itu adalah Rudeus Greyrat.
Ada sedikit harapan di benakku jika pria di balik topeng itu bukanlah ayah. Tapi nyatanya itu
hanyalah harapan kosong.
“Kenapa papa berpakaian seperti itu?”
“Karena Sieg selalu menghindariku, jadi kupikir lebih baik aku menyamar.”
Menghindarinya?
Benar juga.
Selama ini aku selalu menjaga jarak dengan ayah.
Sebenarnya, bukannya aku menghindarinya, tapi aku punya alasan lain.
“Kalau begitu, setidaknya menyamarlah lebih baik.”
"Tapi kalau Sieg tidak menyadarinya, aku akan lebih sedih lagi.”
Jadi dia sengaja menyamar sepayah itu?
Tidak biasanya ayah seperti itu.
“… ya, kalau papa menyamar lebih serius, mungkin aku tidak akan menyadarinya.”
"Sebenarnya papa jago menyamar.”
Itu benar, ayah sering menyamar untuk tugas kantor.
Aku belum pernah melihatnya secara langsung, tapi orang-orang bilang jarang sekali
penyamaran ayah terbongkar.
"Jadi, ada apa dengan Shishou?”
Sepertinya aku harus mengalihkan topik pembicaraan.
Jujur saja, aku sudah mengira ayah di sini.
Dan aku juga sudah bersiap menghadapi Shishou di sini.... atau, lebih tepatnya Lightning.
Sebenarnya kami tidak perlu berkelahi, tapi Shishou lebih suka berbicara dengan pedang.
“Ha ha ha, maksudmu Lightning? Dia tidak di sini!"
"Hentikan berbicara seperti itu.”
“Dia bilang tidak ingin menggantu pembicaraan dari hati ke hati antara ayah dan anak.”
“Ah, begitukah?”
Mungkin Shishou sudah cukup berbicara denganku tadi siang.
Mungkin dia pikir, aku perlu mendengar saran dari orang lain.
Siang tadi, dia sudah mengatakan semua yang dia ingin ungkapkan.
"... Jadi, setelah bersusah payah menyamar dan mengatur semua ini, pasti ada yang ingin
papa bicarakan denganku, kan?”
Setelah mendengar itu, ayah menelan ludah dengan gugup, lalu melihat sekitar.
“Ah, baiklah, Sieg. Aku tahu kau tidak suka berbicara denganku. Mamamu juga mengatakan
hal yang sama. Tapi, sekarang saatnya kita.......... ah tidak, aku tidak akan menyalahkanmu.
Kalau kau tidak ingin bicara sekarang, bisakah kita bertemu lagi lain waktu?”
"Papa!"
"Ya?"
"Aku selalu menghormati papa, jadi jangan setengah-setengah seperti ini!”
"…sungguh?"
"Ya! Sejak kecil aku selalu menghormati papa.”
Dia tampak tercengang.
Tidak kukira dia bakal pasang wajah seperti itu.
Tapi itu benar. Tidak hanya aku, saudara dan saudariku, semuanya juga menghormati ayah.
Mungkin rasa hormat Lara-nee sedikit berbeda, tapi yang jelas dia tidak pernah meremehkan
ayah.
Ah tidak..... tidak hanya Lara-nee, bahkan kami semua menunjukkan rasa hormat yang
berbeda pada ayah. Namun intinya sama, yaitu menghargai prestasi ayah selama ini.
“Yah, dihormati ya… hehe?”
"Apakah ada yang papa ingin katakan?"
"…Oh ya...... ada..... "
“Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain?”
Ayah mengangguk setuju.
“Baiklah, aku tahu tempat yang bagus.”
Katanya sembari mengibaskan jubahnya dengan angkuh.
Tolong hentikan sekarang juga.

Kami pun kembali ke kedai langgananku.
Goblin Mabuk.
Sebenarnya aku tidak masalah berkunjung ke kedai lain, tapi ayah ingin di sini.
Rupanya dia tahu tempat yang biasa kukunjungi selama ini.
Saat kami masuk kedainya penuh, tapi ketika pelanggan melihat kedatangan kami, beberapa
dari mereka tampak takut, lalu menyingkir.
Mungkin mereka takut pada ayah.
Andai saja tidak datang bersamanya, mungkin aku sudah bergabung dengan mereka.
Ayah masuk jauh ke dalam kedai, lalu duduk di suatu bangku.
Dia memesan makanan dan minuman pada pelayan yang tampak gugup.
“Sieg… kau mau minum?”
"Boleh, tapi aku sudah tidak minum alkohol sejak upacara wisuda.”
“Baiklah, kalau begitu sedikit saja. Jika perbicaraan kita terlalu berat, mungkin miras bisa
sedikit meringankannya, iya kan?”
Ayah duduk tepat di depanku.
Hanya kami berdua di meja ini.
Aku jadi gugup.
Aku tidak pernah bicara empat mata seperti ini dengan ayah.
Yahh.... mungkin beberapa kali pernah, tapi aku sudah lupa.
Herannya, tidak aku saja yang gugup..... ayah juga tampak galau.
Dia jelas tidak tenang.
Mungkin dia kesulitan mengungkapkan sesuatu?
“…”
“…”
Makanan dan minuman pun datang pada kami yang masuh duduk berhadapan tanpa kata.
“Nah… mau bersulang?”
Ayahku mengangkat gelasnya sambil mengatakan itu.
“Bersulang untuk apa?”
"…apa saja....”
“Baiklah.... ayo bersulang untuk....... apa saja.”
Kami menenggak segelas bir putih sampai kering.
Rasanya tidak enak, karena kedai ini menyajikan bir bermutu rendah.
“Ah, makanan dan bir kedai ini enak sekali!”
"Kurasa makanan dan minuman rumah lebih enak, papa.”
“Masakan mamamu memang enak, tapi papa jarang menikmatinya karena terlalu sibuk dinas
keluar kota.”
“Bagaimana dinasnya?”
“… makanan di luar kota tentu saja tidak seenak buatan mamamu. Sungguh menjengkelkan.”
Oh ya? Setahuku, ayah sering berkunjung ke istana kerajaan. Jadi, hidangan kerajaan tidak
lebih enak daripada hidangan kedai ini?
“Kau tahu.... hidangan yang disantap bersama keluarga selalu enak. Itulah kenapa aku bilang
makanan kedai ini juga enak. Meskipun, tidak bisa dibandingkan dengan buatan mamamu.”
Ayah mengatakan itu sambil melahap makanannya.
Sedangkan yang kulakukan hanyalah mengamatinya, sembari memainkan kacang panggang
dengan garpu.
Lalu.... aku langsung membahas intinya.
“Jadi..... kenapa papa menyamar?”
"Karena aku ingin bertemu denganmu.”
“Sekarang kita sudah bertemu, lalu apa yang harus kita bahas?”
Ketika aku mengatakan itu, ayah berhenti sejenak.
Setelah mengatakan “Mmmm” sebentar, akhirnya ayah merespon, namun dia tidak langsung
menjawab.
“Sebelum itu, papa ingin kau menceritakan kegiatanmu selama ini.”
Aku malah disuruh bercerita.
"Jadi papa tidak punya topik bahasan?”
"Yahh.... untuk sekarang sih tidak punya, jadi lebih baik kau bercerita terlebih dahulu.”
Bukankah itu berarti ayah tidak tahu apa-apa tentangku saat ini?
Tapi, itu kan sudah cukup jelas?
Aku hanyalah pengangguran yang berkeliaran di kota saat siang, lalu menghajar penjahat di
malam hari.
Aku tidak bekerja, dan aku tidak menikahi Sariel.
“Kalau papa tidak punya topik bahasan, itu berarti papa tidak punya ekspektasi lebih padaku,
iya kan? Apa yang papa harapkan dariku?”
Aku menanyakan itu setelah berpikir beberapa saat.
Lalu, ayah menatapku dengan tercengang.
Seolah dia tidak paham.
Atau.... dia tidak mendengar dengan serius? Dari tadi dia hanya sibuk melahap kacanganya.
“Kenapa kau berpikir begitu?”
"Kenapa….."
Ayah yakin ingin mendengarnya?
“Papa ingin aku menikahi Sariel, kan? Itulah yang papa harapkan dari dulu.”
"Kurasa itu bukan ide yang buruk."
Kata ayah sembari menenggak birnya lagi.
"Papa ingin tahu kenapa aku menolak dijodohkan?”
"Kenapa? Sariel adalah gadis yang baik. Dia putrinya Ariel, dan dadanya juga besar. Di
ranjang dia pasti sangat liar dan......”
"Papa!!”
“Oh, maaf, kenapa? Jadi kau tidak suka gadis itu?”
Alasan aku tidak mau menikahinya.....
Beberapa tahun yang lalu aku sudah memikirkannya.
Aku selalu mempertanyakan perjodohan itu.
“Aku tidak pernah membencinya. Dia adalah temanku yang baik. Tapi Sariel......... gimana ya
bilangnya...... kurasa kami tidak cocok. Saat mengobrol berduaan dengannya, kami
membahas topik yang saling tidak kami pahami. Lalu, pembicaraan pun terhenti, dan suasana
menjadi canggung. Itu sungguh menyakitkan bagiku.”
"Ah."
“Kalau kami menikah, mungkin rasa canggung itu akan berlanjut. Jadi..... aku tidak bisa
membayangkan kami hidup seperti itu. Kurasa, mustahil aku menikahinya.”
“Sepertinya kau hanya membuat-buat alasan itu…”
Respon ayah, masih sembari mengunyah kacang.
Mungkin dia benar.
Mungkin aku hanya mencari-cari alasan untuk tidak menikahinya.
“Tapi.... tidak masalah, kan....”
Saat pikiranku masih kacau, tiba-tiba ayah mengatakan itu.
"Kau tidak perlu memaksakan diri menikahinya.”
Dia mengatakan itu, dengan begitu santai, seolah tanpa beban.
“Tapi..... bukankah papa ingin besanan dengan Keluarga Kerajaan Asura?”
“Yah, itu tidak salah. Ariel juga menginginkannya. Tentu saja, jika keluarga kita banyak
menikahi bangsawan Asura, pengaruh kita di Asura juga semakin kuat. Itu akan
mempermudah kerja papa untuk ke depannya.”
"Tuh kan!”
"Tapi…"
Ayah melanjutkan dengan memotong kalimatku.
"Jika kau tidak ingin, maka kau tidak perlu melakukannya.”
Lagi-lagi, dia mengatakan itu dengan begitu enteng.
“Kau harus mengikuti apa kata hatimu. Kau ingin menjadi pembela kebenaran, kan? Kau
ingin jadi Ksatria Bulan, kan? Bukankah itu bagus? Mungkin mamamu tidak setuju. Tapi
papa sih tidak masalah.”
Kata ayah sembari merentangkan tangannya dengan lebay.
“Jujur saja, saat pertama kali mendengarnya itu terkesan kekanak-kanakan. Tapi semua orang
juga seperti itu. Tak seorang pun bisa melakukan hal-hal besar tanpa belajar. Mungkin
sekarang kau hanya menangkap penjahat-penjahat kelas teri di kota ini. Namun, lambat-laun
kemampuanmu akan semakin terasah, dan suatu hari nanti kau akan menghadapi lawan yang
jauh lebih kuat. Sampai akhirnya, kau akan membasmi semua kejahatan di dunia ini.”
Aku tidak berpikir sampai sejauh itu.
Tujuanku hanyalah kedamaian dan keamanan di kota ini.
Shishou memang bilang aku harus menjadi pahlawan pemberantas kejahatan.
Tapi kurasa cakupannya terlalu luas kalau membasmi kejahatan di seluruh dunia.
"Tidak."
"Ha, kenapa tidak? Kau tidak ingin menjadi pahlawan pembela keadilan yang dikenal di
seluruh dunia?”
"Tidak papa.”
Aku berusaha keras memeras kalimat itu keluar dari tenggorokanku.
"Aku tidak ingin lagi menjadi pembela kebenaran.”
Ya, aku sudah menyerah.
Saat masih bersekolah di Asura, kukira aku sudah menjadi jagoan, tapi sebenarnya nama
besar ayahlah yang mereka takuti.
Membela kebenaran hanyalah angan-anganku saja.
“Sebenarnya aku hanya ingin meniru Cheddarman. Tapi, itu konyol, kan? Jadi, aku
menyerah. Semua yang kulakukan selama ini hanyalah lelucon.”
Pernah suatu hari.....
Saat itu aku sudah lulus dari Asura. Hari itu aku melampiaskan rasa bosanku dengan
menghajar preman-preman yang biasa mangkal di sekitar Akademi Sihir.
Aku hanya menghajar preman secara acak, namun ternyata ada seorang gadis yang kutolong.
Dia pun bilang terimakasih.
Kami tidak saling mengenal.
Dia siswi baru, dan baru saja tiba di Sharia. Dia juga tidak mengenal ayah.
Sebetulnya hanya masalah waktu. Tak lama lagi dia akan mengenalku dan ayah.
Tapi waktu itu belum.
Jadi, ucapan terimakasih itu agaknya begitu tulus.
Dia tidak melihat rambut hijauku.
“Meskipun kau tidak mau, setidaknya ada orang yang terselamatkan. Jadi.... tentu saja itu
perbuatan terpuji....”
Kemudian, ayah melihat sekeliling dengan gugup, lalu sedikit mencondongkan badannya
padaku, dan bertanya....
“Tapi..... sebenarnya apa sih yang ingin kau lakukan?”
“…”
Aku tidak bisa menjawabnya.
Karena apa yang kuinginkan bertentangan dengan keinginan ayah.
“…”
Aku terdiam beberapa saat.
Bukan karena berpikir untuk menjawab pertanyaan ayah.
Aku hanya terdiam dengan kepala kosong.
Kemudian, ayah meminum mirasnya sampai habis, lalu memesan lagi.
Aku juga melakukan hal yang sama.
Sayangnya, tak peduli berapa gelas kuminum untuk menyegarkan kepalaku, jawaban
pertanyaan ayah tak kunjung terpikirkan.
Kalau begini terus, bisa-bisa aku mabuk.
Sudah lama aku tidak mabuk.
“… setelah lulus dari Akademi Kerajaan Asura, sepertinya hidupmu semakin suram.”
Ayah memecah kesunyian dengan mengatakan itu.
Aku masih terdiam sembari melihat piring ayah yang tinggal tersisa sebiji kacang saja.
Dia memainkan sebiji kacang itu, sehingga terdengar bunyi gemelatuk.
Entah kenapa suasananya menjadi sunyi, hanya terdengar bunyi kacang itu.
Lalu, ayah pun melanjutkan.....
“Kau masih muda, Sieg. Beberapa kali kau akan merasakan sakit. Itulah yang
menyebabkanmu ingin menarik diri dari dunia ini. Papa juga pernah merasakan hal serupa
berkali-kali. Dan yang paling parah..... waktu itu.... papa selalu menyalahkan dunia ini, dan
juga menyesali betapa menyedihkan diri ini. Papa melihatmu tertekan, oleh sebab itu papa
meminta mama untuk tidak mengganggumu.”
Birnya datang lagi.
Ayah mengambil sebutir kacang terakhirnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Dia mengunyahnya dengan keras, lalu menenggak bir.
Sepertinya ayah sudah mabuk.
Tidak sepertiku, ayah tidak tahan miras.
Tapi dia doyan sekali minum.
“Itulah yang kupikirkan, dan......... tiba-tiba kau menjadi pembela kebenaran seperti ini. Aku
ingat, waktu kecil kau sangat mengidolakan pembela kebenaran seperti Cheddarman, jadi
kurang-lebih aku tahu seperti apa cita-citamu. Aku tidak pernah melihatmu beraksi sebagai
pembela kebenaran, tapi.... aku mendengarnya dari orang-orang di sekitar. Yahh, aku tahu
kau senang melakukannya, namun..... sepertinya kau tidak lagi berusaha keras. Kau tidak lagi
bersemangat seperti Sieg yang dulu.”
"Orang-orang di sekitar?”
“Mama-mamamu, Lara, Lily… dan George. Sebenarnya yang tahu rahasiamu hanyalah Lara
dan George, tapi orang lainnya sudah mencurigaimu.”
Kata ayah sembari menghabiskan mirasnya.
Lalu dia bersendawa, dan mendesah.
"Jadi..... hari ini aku ingin dengar keluh kesahmu.”
Dia lebih ingin mendengar curhatku daripada jawabanku.
Itulah tujuan ayah sebenarnya.
“Tidak bisakah papa memintaku bertemu seperti biasa…?”
“Bisa saja.... tapi aku takut kau tidak jujur padaku. Kau selalu saja menghindari papa.
Lagipula, anak muda sepertimu tidak suka membagi masalahnya dengan keluarga, kan? Jadi
aku membuat drama kecil ini. Jujur, aku menghargai apa yang kau perbuat.”
Aku paham, itulah alasan ayah membuat sandiwara ini.
Ayah yang kebingungan tidak tahu harus bagaimana mendekatiku.
Setelah banyak berpikir, akhirnya dia memutuskan bersandiwara menjadi penjahat, sampai
akhirnya membawaku mabuk-mabukan di kedai ini.
“Aku terkejut saat tahu kau begitu menghormatiku, Itu sungguh membuatku bahagia.”
"Aku juga terkejut melihat papa merencanakan semua ini.”
“Ahaha.... maaf, maaf, harusnya aku lebih serius bersandiwara. Mungkin terlihat payah, tapi
sebenarnya papa cukup percaya diri dengan sandiwara papa. Aku pernah berpura-pura
menjadi penyihir jahat yang menculik seorang putri kerajaan.”
"Aku ingat. Itu cerita tentang Ksatria Lynhard dan Penyihir Jahat Rudo, kan? Aku pernah
mendengarnya dulu.”
Kangen juga dengan cerita itu.
Salah satu kisah heroik ayah.
Demi menjodohkan seorang putri dan ksatria, dia berpura-pura menjadi penyihir jahat, lalu
menculik sang putri. Tentu saja, kemudian si ksatria datang menyelamatkannya.
Kalau ayah serius, mungkin aku juga akan tertipu.
"Jadi…"
Ayah kembali memainkan kacangnya.
“Kau punya masalah, kan..... sehingga kau jadi pengangguran....”
Dia tampak sedikit memaksa saat mengatakan itu, sembari sesekali melirik wajahku.
Tak peduli apapun yang terjadi, aku tetap menghormati ayahku.
Dia pekerja keras, kuat, dan penyabar.
Tapi.... kumohon lebih tegas lah.... ayah!
"…ya........."
"Maukah kau ceritakan pada papa?"
Tarik napas.........
Lepaskan.........
Kupegang dadaku, dan kurasakan detak jantung mulai berpacu.
Ada suatu hal yang tidak pernah kubicarakan dengan ayah.
Yaitu tentang ajakan Pax.
Tapi.............
Kurasa sekarang sudah waktunya ayah tahu.
“Sebenarnya.............. aku ingin ikut Pax.”
Aku pun mengatakannya.
“Maksudmu..... pergi ke Kerajaan Raja Naga?”
“Pada hari kelulusan kami, Pax mengajakku ke negaranya. Jujur saja, aku ingin ikut
dengannya. Andaikan saja aku punya beberapa hari untuk mempertimbangkannya, mungkin
sekarang aku sudah berada di Kerajaan Raja Naga.”
Setelah aku mengatakan itu, mata ayah terbelalak.
Mulutnya pun terbuka, seolah hendak mengatakan sesuatu, namun dia hanya tersentak.
Setelah beberapa saat, dia kembali menenang, kemudian berkata.........
"Kenapa kau tidak pergi?"
“Karena itu akan mengecewakan papa. Aku tahu papa ingin mempererat hubungan keluarga
kita dengan bangsawan Asura, jadi aku harus kembali ke Asura, sedangkan Pax berada di
Kerajaan Raja Naga. Dia begitu dikucilkan di sana. Jika aku pergi, maka perjodohan dengan
bangsawan Asura akan batal, dan hubungan itu akan pupus. Ironisnya, sepertinya hubungan
Pax dengan Kerajaan Raja Naga juga akan memburuk. Jadi, aku hanya akan menjadi beban
bagi papa. Hubungan dengan Asura gagal, dan kerjasama papa dengan Kerajaan Raja Naga
juga akan rusak.”
Aku melontarkan semua kalimat itu dengan sekali tarikan napas.
Ayah hanya bisa menganga dengan wajah sedih.
Tapi dia segera kembali tenang.
"Apa? Jadi itu alasannya....."
“Alasan yang menyedihkan, kan…”
Itulah yang selama ini menggangguku..... dan itu selalu membuatku kesal pada diri sendiri.
“Baiklah, Sieg. Yahh.... memang benar papa dan Ariel-sama adalah sahabat. Malahan, Mama
Putih jauh lebih akrab dengannya sebelum papa. Kau betul, aku ingin keluarga kita semakin
dekat dengan mereka. Tapi... itu hanya sebatas keinginan papa.... tidak lebih.”
"Tidak lebih?"
“Jika kau menikah dengan bangsawan Asura, tentu keluarga kita akan mendapatkan
kewenangan khusus di Asura dan semakin dekat dengan ratu...... tapi bagi papa itu semua
tidak penting.”
“Tidak..... penting......?”
“Begitulah. Akan sangat menyenangkan bila itu terjadi, tapi jika dibandingkan dengan masa
depanmu yang terampas, apakah mempererat hubungan dengan Asura lebih penting?”
Mengejutkan.
Itulah yang selama ini ayah pikirkan.
Lalu, mengapa aku.............
“Tapi, pendapatmu tentang Pax juga tidak salah. Posisiku akan semakin sulit bila kerjasama
dengan Kerajaan Raja Naga memburuk.”
Ayah juga menunjukkan kekhawatirannya akan rencanaku itu.
Dia terlibat dalam insiden kematian ayah Pax, dan penjaga Pax juga memintanya melindungi
keluarganya jika terjadi masalah.
Bagaimanapun juga, menantang kedaulatan sebuah negara adalah masalah besar.
Apakah Pax benar-benar harus memberontak? Meskipun dia dikucilkan, kurasa perlakuan
negaranya tidak seburuk itu. Buktinya, dia masih difasilitasi sekolah ke Asura.
Tidak hanya itu, dia juga diberi wilayah tertentu, yahh.... meskipun wilayah itu tidak begitu
strategis.
Itu semua merupakan simbol kewajiban dan tanggungjawab.
Andaikan saja Pax tidak berencana mengkudeta, harusnya ayah tidak mempermasalahkan
rencanaku membantu Pax di negaranya.
Kerjasama ayah dan Kerajaan Raja Naga sudah lama dibentuk. Dengan memberi sokongan
dana saja, dia bisa masuk ke lingkupan bangsawan. Kalau sudah masuk, dia bisa
menginterferensi apapun.
Meskipun tidak besar, ayah dan perusahaannya tentu bisa memberi dukungan dana pada
Kerajaan Raja Naga. Sudah beberapa kali dia melakukannya.
Lalu, apakah ayah juga bisa membantu pendanaan wilayah kekuasaan Pax? Ah, jangan
bercanda.... menyumbang kerajaan dengan mendanai wilayah tidaklah sama. Menyumbang
berarti semampunya, sedangkan mendanai berarti harus mampu. Tentu saja jumlah uang yang
dikeluarkan berbeda jauh.
Bahkan negara pun belum tentu bisa mendanai perkembangan suatu wilayah. Itu terbukti
dengan banyaknya negara bagian yang tidak terurus dengan baik.
Lagipula, jika pihak kerajaan tahu PT. Rudo mendanai wilayah kekuasaan Pax, mereka bisa
mencurigainya, dan hubungan kerja sama pun dipertaruhkan.
“Sekarang Kerajaan Shirone sudah hancur. Jangan berharap banyak dari Kerajaan Raja Naga,
kalau mereka menganggap Shirone sebagai gangguan, tentu akan dilepas begitu saja.”
Setelah menjelaskan itu, ayah menatap padaku.
“Ayah pun tidak bisa banyak membantu Pax. Tapi kau..... sebagai teman akrabnya..... jika
kau pergi ke sana atas dasar tekad yang kuat.... pasti kau bisa melakukan sesuatu. Pax pasti
akan sangat terbantu bila kau pergi.”
Oh, aku paham.
Yah....
Bagi ayah, menikahi Sariel dan membantu Pax, sama saja.
Dia bisa saja mengatakan padaku, “Bantulah Pax”, tapi tidak pernah dia lakukan.
Dan kalau kuingat-ingat lagi, dia juga tidak pernah mengatakan “Nikahilah Sariel”, selama
ini dia hanya diam.
Mungkin, dia melakukannya agar tidak membebaniku.
“Benarkah papa mendukungku pergi ke Kerajaan Raja Naga?"
Aku hanya ingin memastikan.
Dan ayah mengangguk dengan pasti.
“Tentu saja. Mengapa tidak. Tapi, sayangnya papa tidak bisa banyak membantu.”
“Lalu, bagaimana dengan hubungan kerjasama papa dan Kerajaan Raja Naga? Lagipula,
levelku masihlah Raja Utara, apakah aku benar-benar bisa membantu Pax di sana.........”
“Sebenarnya, itu akan menggangg....... ah tidak, kau tidak perlu memikirkan itu, Sieg.”
Dia menenggak lagi birnya.
Lalu, dia menyeka mulutnya....... ah tidak, dia hanya berusaha menutupi bibirnya yang tersipu
malu.
"Yang ingin papa lindungi bukanlah hubungan kerjasama ataupun kedamaian, melainkan kau
dan keluarga kita.”
Aku tidak begitu terkesan dengan kalimat itu.
Tapi atmosfirnya berubah.
“Jangan pikirkan papa, meskipun kita bermusuhan, papa tetap akan berada di pihakmu.”
"Aku tidak pernah ingin menjadi musuh papa.”
“Papa pun begitu. Mari berusaha sebaik mungkin agar itu tidak terjadi.”
Ayah melahap kacang terakhirnya, dan mengosongkan gelasnya.
Wajahnya sudah merah.
“Jika kau hanya melarikan diri dari kenyataan, lalu suatu hari tiba-tiba mendengar berita
kematian Pax, maka kau akan menyesalinya seumur hidup. Dan kau tidak akan pernah
bangkit dari kesedihan itu. Menurut papa, itu jauh lebih buruk daripada kita bermusuhan,
karena berarti papa tidak bisa melindungi perasaanmu.”
Singkatnya, ayah tidak mengekangku.
Aku bebas menentukan pilihan.
Lalu........
Apakah aku harus secepatnya pergi ke tempat Pax?
"…aku paham papa, terimakasih..........”
Aku pun mengucapkan terima kasih.
Lalu, ayah memindahkan kursinya pelan-pelan ke dekatku.
Dia menepuk punggungku dengan keras.
“Sebelum pergi, jangan lupa pamit pada semuanya.”
"Ya."
“Tapi hari ini, temani papa minum sampai puas. Kau sudah terlalu sering menghindari papa,
aku jadi merasa kesepian.”
"…ya"
Dan percakapan pun berakhir.
Persis seperti yang Shishou katakan.
Berbicara dengan orang yang tepat akan melenyapkan kekhawatiranku.
Sesimpel itulah solusinya.
“Hik… nona.... tolong tambah lagi birnya!”
Ayah tidak sungkan lagi.

Malam itu, ayah minum bir sampai mabuk.
Saat mabuk, dia mulai ngaco, seperti memuji-muji kecantikan mama, menyanyikan lagu
berbahasa aneh, membentak keras-keras, mencubit bokong pelayan, dan tentu saja dia
dimarahi. Setelah kedainya tutup, dia muntah banyak di depan kedai.
Aku menawarkan rapalan sihir detoksifikasi, tapi dia menolak.
Sepanjang perjalanan pulang, ayah tampak begitu gembira.
Saling memapah denganku, dia menyanyikan lagi Ksatria Bulan sampai wajahnya merah.
Dia memintaku ikut bernyanyi keras-keras, tanpa menghiraukan lingkungan sekitar.
Ayah yang lepas kontrol sungguh norak dan memalukan.
Aku tidak pernah menyangka ayah bisa seperti ini.
Mungkin aku tidak akan menghormatinya jika dia menunjukkan keburukannya ini setiap hari.
Tapi................
Entah kenapa aku tidak membenci ayah yang seperti ini.
Ini sungguh tidak keren, tapi aku masih menyukainya.
“Oh, ya Sieg.....”
Saat tiba di gerbang rumah, ayah mengatakan sesuatu padaku.
“Aku akan menjawab pertanyaanmu sebelumnya.”
Dia membungkuk, dan dengan napas beraroma alkohol, dia bekata............
“Aku selalu berharap banyak padamu........ berusahalah..........”
"…ya."
Dengan rasa lega di dada, aku pun mengangguk puas.
Bab 13
Sekarang, pergi

Setelah semalaman minum bersama ayah, paginya aku bangun.


Saat kulihat ke luar jendela, langit timur tampak cerah.
Kota Sihir Sharia sedang dingin dan suasananya pun sepi.
Pagi-pagi seperti ini biasanya aku melanjutkan tidurku.
Masih ada sedikit waktu sebelum sarapan.
Aku bangun, lalu bersalin.
Rasanya segar.
Pikiran dan tubuhku, sama-sama terasa segar.
Sudah kuputuskan, aku akan pergi ke tempat Pax.
Setelah mendapat restu ayah, seolah awan mendung yang membungkusku selama setahun
terakhir lenyap sudah.
Aku tidak tahu sampai sejauh mana aku bisa membantu Pax.
Malahan, mungkin aku hanya akan menjadi beban untuknya.
Tapi setidaknya aku pasti berguna.
"Ah!"
Aku juga punya harapan pada Pax.
Aku ingin melihatnya berjaya di masa depan.
Aku ingin tahu, negara sekuat apa yang akan dia bentuk, orang-orang sehebat apa yang akan
dia kumpulkan dalam negara itu, siapa yang akan dia nikahi, dan bakal menjadi pemimpin
seperti apa dia kelak.....
Ya.... aku tahu........
Sebetulanya itu semua tidak penting.
Tapi yang jelas, aku ingin melihat masa depannya.
Tentu saja, aku juga ingin memenuhi harapan ayah.
Meskipun selama ini ayah hanya diam, bukan berarti dia tidak berharap.
Dia juga punya harapan besar pada kakak-kakak dan adik-adikku.
“Ayah sungguh luar biasa.”
Tiba-tiba kuucapkan itu.
Selama ini ayah tidak pernah menuntutku.
Tapi, jangan lupa pesan ayah tadi malam.
“Jangan lupa pamit pada semuanya.”
Hari ini, aku pastikan mengucapkan salam perpisahan yang layak pada semua kolegaku.

Aku turun ke lantai pertama.
Pertama-tama, aku harus mengisi perut.
Pikiranku sudah jernih, tapi perutku lapar.
Saat masih bersekolah di Akademi Sihir Sharia, aku terkenal suka makan, tapi belakangan
tidak lagi.
Aku sering melewatkan sarapan, makan sedikit saat siang, dan makan sedikit lagi menjelang
malam. Sungguh berbeda dengan dulu.
Tapi hari ini, aku ingin sarapan sebanyak mungkin.
Sebagiannya karena suasana hatiku sedang baik.
Dan.... sesekali tidak ada salahnya membantu Mama Putih dan nenek menyiapkan makanan.
“… Oh.”
Saat memasuki ruang makan, kudapati tiga orang di sana.
Mama Putih, Mama Biru, dan juga Mama Merah.
Ketiganya menoleh padaku.
"Pagi."
"Selamat pagi. Hari ini kau bangun cepat.”
"Selamat pagi."
Masing-masing dari mereka mengucapkan selamat pagi yang berbeda.
Kapan ya terakhir kali melihat mereka bersama seperti ini.........
Atau..... apakah mereka selalu sarapan bersama? Aku tidak tahu, karena aku sering
melewatkan sarapan.
Aku pun duduk.
Biasanya aku menghindari duduk semeja dengan mereka bertiga, tapi hari ini tidak.
“Sieg. Kemarin malam kau pulang bersama Rudi. Habis minum bersama?”
"Ya."
“Rudy sangat gembira kemarin, apakah ada berita bagus?”
Mama Putih yang pertama kali membuka topik pembicaraan.
Mungkin dia sudah mendengar banyak dari ayah tadi malam.
"Aku menceritakan keluh kesahku selama ini pada ayah.”
“Pantas saja Rudi bahagia.”
Kata Mama Biru.
“Rudy selalu mengkhawatirkan Sieg.”
"Sungguh?"
“Ya, beberapa kali saat sarapan, dia melihat ke lantai atas, sembari bergumam ‘Hari ini Sieg
terlambat bangun lagi, ya?’”
“Oh…”
“Sepertinya, pagi ini giliran dia yang bangun terlambat, karena sudah lama dia tidak mabuk
seperti itu.”
Itu semua karena aku selalu menghindari ayah.......
Sepertinya aku telah melakukan hal yang buruk padanya.
“Jadi, apa yang kalian bicarakan semalam?”
Tanya Mama Merah.
Dengan tidak sabaran, Mama Merah langsung menanyakan intinya. Memang seperti itulah
dia, dan selalu seperti itu.
“Um… langsung intinya saja ya?”
“Itu lebih baik.”
“Aku memutuskan pergi ke Kerajaan Raja Naga untuk membantu temanku. Aku akan pergi
cukup lama, mungkin sekitar 10 – 20 tahun. Bahkan, mungkin aku tidak akan pulang.”
Aku akan membantu Pax meraih masa depannya.
Sayangnya, ambisi Pax begitu besar.
Dia ingin mengembangkan wilayah kekuasaannya menjadi negara baru yang kuat.
Itu bukan pekerjaan yang selesai dalam beberapa tahun saja.
Mungkin butuh sedekade, atau dua dekade lagi.....
Bahkan, mungkin cita-cita itu tidak akan terwujud sampai kami meninggal, dan akan
diteruskan sebagai warisan pada generasi selanjutnya.
"Begitu ya…"
Mama-mamaku tampak sedih.
Khususnya Mama Putih, dia menggigit bibirnya sampai merah, dan air mulai merembes di
sudut matanya.
Namun Mama Merah tetap tenang.
“Apakah begitu penting melindungi temanmu?”
"Ya."
“Kalau memang itu keputusanmu, maka lakukan yang terbaik!”
Kata Mama Merah sambil tersenyum.
Sudah lama aku tidak melihatnya tersenyum.
Belakangan ini aku sering melihatnya mengerutkan kening.
Itu berarti, dia juga terganggu dengan statusku yang tanpa pekerjaan.
Mama Merah selalu mengajari untuk melindungi orang yang penting dalam hidup kami.
Dan keputusanku sejalan dengan ajaran itu.
"Jadi kau memutuskan untuk tidak menikahi Sariel?”
Tanya Mama Biru.
Aku pun menjawab.
"Ya. Tapi, aku tetap ingin berteman dengan Sariel. Maafkan aku Mama Biru, aku telah
menolak semua wanita yang mama tawarkan.”
“Tidak.... tidak apa-apa. Seperti yang selalu kukatakan, hiduplah sesuai keinginanmu. Jika
kau sudah menemukan jalan hidupmu, maka laluilah.”
Kata Mama Biru sambil tersenyum.
Mama Biru selalu bernasehat, “Hiduplah sesuai keinginan hatimu. Jika kau ada masalah,
jangan ragu untuk meminta bantuan.”
Nasehat itu tidak kujalankan belakangan ini, sampai akhirnya aku berbicara dengan ayah.
Memang benar, hidup sesuai keinginan kita akan berujung pada kebahagiaan.
“Rumah akan semakin sunyi setelah kepergian Sieg.”
Mama Putih hampir menangis.
Dia adalah ibu kandungku.
Anaknya hanya dua, aku dan Lucy-nee yang sudah menikah di Kerajaan Suci Millish.
Jika aku meninggalkan rumah, maka keduanya sudah pergi.
Mama Putih tidak pernah mengeluh membuatkan masakan untuk seorang pengangguran
sepertiku.
Tak peduli hari libur atau tidak, dia selalu memasak dan menyiapkan sarapan.
Bahkan saat aku keluyuran malam-malam sebagai pembela kebenaran, terkadang dia sengaja
tidak tidur untuk menyambut kepulanganku.
“Mama, Pax adalah teman sejatiku saat kami masih bersekolah di Asura. Hubungan kami
begitu dekat, itulah yang membuatku ingin membantunya.”
"Ya aku tahu. Jika temanmu membutuhkan, maka sudah seharusnya kau bantu.”
Mama Putih menyeka air matanya dan tersenyum.
Sejak kami masih kecil, Mama Putih selalu berpesan, ”Bertemanlah sebanyak-banyaknya,
dan jangan menindas yang lemah.”
Aku mengangumi Cheddarman karena ayah.
Tapi, karena nasehat Mama Putih lah aku menganggap Cheddarman keren.
Sembari melihat mereka bertiga, aku pun berkata.......
“Terimakasih banyak selama ini telah membesarkanku.”
Mendengar kata-kata itu, Mama Putih tidak bisa lagi menahan air matanya.
Melihat itu, Mama Merah dan Mama Biru segera menenangkannya.
“Jangan menangis....”
“Sieg akan segera pergi, jadi antar dia dengan senyuman.”
Dalam keadaan masih menangis, Mama Putih membalas.....
“Aku senang akhirnya Sieg sudah menemukan jalan hidupnya.”
Merasa malu, aku menunggu ibuku berhenti menangis.

Kemudian, ibu-ibuku mulai memasak sarapan.
Bahkan Mama Merah yang jarang memasak, juga ikut membuat sarapan.
Saat sarapan, tidak lupa aku pamit pada nenek.
Nenekku ada dua, mereka tampak senang mendengar keputusanku, dan mereka membelai
kepalaku dengan lembut.
Akhirnya ayah bergabung sarapan dengan rambutnya yang masih acak-acakan. Dia hanya
nyengir saat melihat kami semua makan bersama.
Hanya ada dua anggota keluarga kami yang tidak bergabung pada sarapan pagi ini.
Kakak perempuanku, Lara, dan adik perempuanku, Lilly.
Mereka sering menginap di tempat kerjanya masing-masing.
Nanti aku juga harus pamit dengan mereka.
Setelah sarapan, aku memutuskan pergi ke Akademi Sihir Sharia.
Mungkin ini terakhir kalinya aku mengunjungi almamaterku itu.
Bertahun-tahun aku habiskan menuntut ilmu di sana, bahkan setelah lulus pun aku masih
sering mengunjungi sekolah itu.
Tempat itu menyimpan kenangan manis dan juga pahit.
"Ah!"
Saat berjalan menyusuri lorong sekolah, aku menemui gadis yang kukenal.
Dia adalah gadis yang menikahi si bangsawan gemuk.
"Hei!"
“Oh, hei, Sieg-kun.”
Dia tidak menangis di bawah tangga seperti sebelumnya.
Sebaliknya, dia tersenyum, sembari dikelilingi oleh teman-temannya.
Sepertinya dia baik-baik saja.
"Apa kabar?"
"Ah? Aku baik-baik saja.”
"Kau tidak menangis lagi, kan?”
“Tidak... hehe.... Oh iya, Sieg-kun..... akhirnya aku benar-benar menikahi pria itu.”
“Apa??”
“Tunggu.... jangan salah sangka. Aku baik-baik saja. Ternyata selama ini aku hanya salah
paham.”
“Oh?”
“Dia memang lebih tua dariku, dan penampilannya juga tidak menarik, tapi setelah kami
berbicara, ternyata dia tidak seburuk itu. Dia juga memperlakukanku dengan baik.”
"Benarkah?”
“Dia memang agak cabul, tapi selalu berusaha menghiburku. Dia cukup bertoleransi padaku,
seperti mengijinkanku melanjutkan sekolah sampai lulus. Rumah tangga kami berjalan tidak
seperti yang kukhawatirkan sebelumnya. Ada banyak istri sepertiku di rumahnya. Mereka
sangat ramah dan perhatian padaku. Jadi...... aku baik-baik saja, dan akan terus berusaha
sebaik mungkin melanjutkan hidupku sebagai istrinya.”
Ah, jadi begitu ya.....
Jadi, si gembrot itu benar-benar ingin menolong keluarga miskin dengan uangnya.
Itulah kenapa ayah dan Shishou menolongnya.
Ternyata dia adalah orang baik, hanya saja hobi menikah.
Dia bukanlah penjahat yang harus dibasmi oleh seorang pembela kebenaran.
“Mungkin benar..... bahwa kita tidak boleh menilai buku dari sampulnya.”
"Ya…"
Sebelum pergi ke tempat Pax, kurasa aku harus meminta maaf pada si gemuk itu.

Aku tiba di lab penelitian Lara-nee.
Setelah sekali ketuk....
“Masuk ~”
Terdengar suara yang kukenal dari dalam.
Namun, bukan suara Lara-nee.
"Oh, kakak!"
Lilly ada di dalam.
Seperti biasa, dia sedang mengutak-atik alat sihirnya.
Di hadapannya, sambil duduk di kursi favoritnya, Lara-nee tampak sedang mempelajari
lingkaran sihir pada selembar kertas.
“Tumben Lilly di sini.... ada apa ini?”
“Aku sudah di sini sejak kemarin! Hei, lihat ini!”
Aku tidak mengenali benda yang Lilly tunjukkan.
Bentuknya bulat tidak sempurna, dengan sedikit sudut-sudut di sisinya.
Itu bukan bola. Jika kau memukulnya, pasti tanganmu sakit.
Terlihat beberapa lingkaran sihir yang digambar di sisinya, jadi sepertinya itu alat sihir.
“Apa ini.....”
"Nah! Sayangnya aku juga tidak tahu benda apa ini! Hebat, kan!?”
“Oh… hah?”
“Lara-nee menemukannya di pasar, dan dia juga tidak tahu! Jadi, aku terus mengamatinya
sejak kemarin!”
Lilly benar-benar bersemangat.
Aku tidak mengerti.
Jadi.... apakah kau memandangi benda aneh itu semalaman?
“Lilly, apakah kau bolos kerja lagi?”
“Tidak, ini bagian dari pekerjaanku!”
Dia membela dirinya.
Kenapa pegawai seperti dia belum dipecat? Apakah ini nepotisme? Dia diperbolehkan terus
bekerja karena Keluarga Greyrat? Atau.... karena dia sudah menghasilkan benda-benda yang
hebat?
Entahlah.
“Sieg......”
Dengan mata sayunya, Lara-nee memandangku.
"Mau apa kemari?"
Nada suaranya datar seperti biasa.
Biasanya, aku bilang, ‘Aku kemari iseng saja.’ tapi kali ini beda.
“Aku ingin pamit.”
Lilly tampak terkejut, tapi wajah Lara-nee tetap saja tampak mengantuk.
“Sudah? Itu saja?”
"Hah? Ya."
Entah kenapa kakakku hari ini dingin sekali.
Ah tidak.... dia memang selalu seperti itu.
Dia tidak pernah tertarik dengan apapun yang terjadi padaku.
Aku jadi merasa sedikit kecewa.
“Aku memutuskan untuk membantu temanku di Kerajaan Raja Naga. Mungkin, aku tidak
akan kembali lagi.”
Aku mengatakannya dengan optimis.
Namun, itu berhasil merubah ekspresi Lilly yang terkejut, menjadi marah.
Aku tidak menduganya.
Yahh, aku mengerti. Ini terlalu mendadak, kemarin aku masih tanpa tujuan, tapi sekarang
sudah mengucapkan salam perpisahan.
“Katanya mau jadi asistenku!??”
"Hah? Aku tidak pernah bilang bersedia."
“Tapi, Sieg-nii sangat kuat, pandai menunggangi kuda, dan suka menghiburku. Sieg-nii akan
menjadi asisten terbaikku!”
“Terimakasih atas pujiannya.”
“Aku sudah memberitahu bos bahwa akan memperkerjakan asisten baru tahun depan.
Gimana nih.....”
Wah, jangan tanya aku.
"Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa."
"Apa yang harus kukatakan pada bos?"
“Mungkin.... bilang saja kalau calon asistennya melarikan diri?”
Toh, aku tidak pernah menyetujuinya.
“Lihat saja nanti! Kalau Sieg-nii kekurangan uang, pasti akan memohon untuk menjadi
asistenku.... cuih...!”
Lilly ngambek, lalu dia mulai sibuk kembali dengan alat sihirnya.
Kan sudah kubilang tadi kita mungkin tidak akan bertemu lagi.... tapi, yahh itulah reaksinya.
Memang seperti itulah Lilly.
Aku pun menoleh pada Lara-nee.
Dengan dagu di punggung Leo, dia mendesah bosan, dan memalingkan wajahnya dariku.
“Lara-nee sepertinya tidak terkejut.”
"Aku sudah menduga ini akan terjadi, cepat atau lambat.”
Apakah kau melihatnya juga dengan ramalanmu?
Kalau memang sudah diramalkan, harusnya kau memberitahuku lebih awal....
Tapi..... seandainya itu terjadi... bukankah berarti aku tersugesti oleh ramalannya...?
Mungkin ini tidak ada hubungannya dengan ramalan.
Karena sebelum berbicara dengan ayah, aku benar-benar tidak pernah memikirkan keputusan
ini.
“Jadi, kenapa tiba-tiba berubah pikiran?”
“Biar kujelaskan…”
Aku pun menceritakan semuanya dengan runtut.
Mulai dari latar belakang Pax.
Mengapa kehidupan sekolahku di Asura suram.
Dan setelah berdiskusi dengan ayah, semuanya menjadi jelas.....
Termasuk..... apa yang tersimpan dalam hatiku selama ini.
Lara-nee dan Lilly terus mendengar dengan tenang.
"Aku senang bisa berbicara dengan papa."
“Lucy-nee juga sepertimu, dia selalu salah sangka tentang ayah, setidaknya sampai direstui
menikah. Itu karena ayah memang jarang berbicara dengan kita.”
"Ah iya."
Ayah terlalu lunak pada kami.
Barusan ini aku menyadarinya.
Tapi itu benar, Lucy-nee mulai terbuka dengan ayah setelah dia menikah.
Kasusnya mirip sepertiku, sebelum mendapat restu ayah, dia tidak pernah mengerti perasaan
ayah.
"Jadi, kau tidak lagi melakukan itu?”
"Itu?"
Pertanyaan Lara-nee yang tiba-tiba membuatku penasaran.
"Cheddarman!"
“Oh…”
Ya.... benar juga.... Lara-nee tahu identitasku selama ini.
"Tidak... aku berhenti."
"Selamanya?"
“Sebenarnya itu hanya..... kegiatanku mengisi waktu luang.”
Cheddarman. Ksatria bulan. Pembela kebenaran.
Itu semua bukanlah iseng. Aku tahu, dengan menjadi Ksatria Bulan, sebenarnya aku sedang
mencari jati diri.
Tapi, itu merupakan bentuk kefrustasianku karena tidak bisa melakukan apa yang
kuinginkan. Dengan kata lain, itu semua hanyalah pelampiasan.
Sayangnya, Ksatria Bulan bukanlah diriku yang sebenarnya. Aku hanya berpura-pura
menjadi Ksatria Bulan, meskipun tujuannya bagus.
"Apa yang kalian bicarakan?"
Lilly menanyakan itu sembari memiringkan kepala.
“Diam-diam Sieg berperan menjadi pembela kebenaran! Dia menghajar para penjahat, lalu
membanggakan kebajikannya.”
“Oh, jadi itu sebabnya Sieg-nii selalu pulang larut malam.”
“Dia menyebut dirinya, Ksatria Bulan..... payah banget, kan?”
"Oh, itu toh! Bos pernah bilang, jika kau bertemu Ksatria Bulan, segera menyerah saja!
Nyawamu lebih penting daripada apapun!”
Hey, kenapa aku malah terkesan seperti penjahatnya.
Aku bukan perampok, lho.
Mungkin itu karena aku sering menghajar orang tanpa banyak bernegosiasi.
Atau..... jangan-jangan Paman Zanoba punya rahasia gelap yang tidak disukai Ksatria
Bulan...?
“Jadi.... dia Sieg-nii toh!"
"Ya…"
“Pasti itu karena Sieg-nii ingin menjadi pembela kebenaran sejak kecil. Aku paham, aku
paham. Toh, Sieg-nii juga sering menolongku, kan...”
Dia mengerti.
Memang benar aku sering membantu Lilly.
Karena dia kikuk. Dia adalah target empuk para penculik.
Lara-nee menatapku sambil memegangi dagunya.
“Kalau kau tidak lagi ingin menjadi pembela kebenaran, jadi kau lebih memilih menjadi
penjahat?”
“Bukan begitu. Aku tetap akan membantu orang lain, tapi tidak merahasiakan identitasku
lagi. Aku akan menolong siapapun yang membutuhkan dengan bangga.”
"Aku mengerti."
Lara-nee mengamati wajahku.
Lalu berkata.....
“Tumben hari ini kau pintar.”
Dia pun mengatakan itu sembari tersenyum.
Justru aku yang harusnya bilang, ‘tumben hari ini kau tersenyum’.
Entah kapan terakhir kali aku melihat Lara-nee tersenyum.
“Baiklah.... kalau begitu, aku segera pergi.”
Lara-nee tidak menyebutku bodoh hari ini.
Itu saja sudah cukup membuat hari ini berharga.
Apakah akhirnya kakak mengakui kepintaranku?
“Lara-nee, terimakasih selalu mengijinkan aku menggunakan ruangan ini. Dan Lilly,
terimakasih selalu mengkhawatirkan aku.”
“Aku tidak begitu mengkhawatirkanmu, kok.... tapi aku pasti akan merindukanmu, Sieg-nii.”
“Ya... jangan suka terlambat kerja, ya.”
Aku memang sering mengantarkanmu ke kantor, tapi aku bukan supirmu.
Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata Lily, lalu giliran Lara.
“Sieg. Meskipun kau pergi jauh selama bertahun-tahun, ingat... kita tetap saudara.”
Ya, meskipun aku mengucapkan salam perpisahan, sebenarnya yang memisahkan kami
hanyalah jarak.
Hubungan kami tidak akan pernah pudar.
Setengah abad lagi, mungkin Ars-nii dan Chris sudah tidak ada, tapi Lara-nee, Lucy-nee,
Lilly, Mama Putih, dan Mama Biru masih tetap hidup.
Atau, mungkin juga Pax bisa mewujudkan impiannya hanya dalam beberapa tahun ke depan,
sehingga semuanya masih hidup.
Sayangnya, tidak seorang pun bisa memprediksi takdir.
Mungkin juga akan terjadi sesuatu dengan hubungan keluarga kami.
Tapi yang jelas, kami harus saling membantu jika ada kesulitan.
Seperti yang dilakukan Lara-nee padaku...... ah tidak, dia tidak banyak membantuku, tapi
setidaknya dia pengertian.
"Ya aku tahu."
"Baik."
Lara-nee pun mengangguk dengan puas.

Kemudian aku mengunjungi orang-orang di distrik niaga.
Seperti pemilik kios buah, pemilik toko bir, dan banya kenalanku lainnya.
Saat kukatakan aku akan pergi jauh, mereka tampak sedih.
Namun, tak seorang pun menentang keputusanku itu.
Kalau aku boleh berburuk sangka, mungkin........ mereka tidak begitu menyukaiku?
“Kami selalu melihatmu mondar-mandir seharian di kota, Sieg. Menurut kami, itu kurang
pantas dilakukan pria semuda dirimu. Tapi sekarang kau sudah punya tujuan yang jelas, kami
pun ikut senang.”
Setelah kudengar itu, aku pun mengerti yang terjadi justru sebaliknya. Jadi, mereka cukup
perhatian padaku.
“Terimakasih atas bantuannya selama ini.”
Aku juga berterimakasih pada mereka yang tidak begitu kukenal.
Ayah bilang, meskipun aku tidak bersungguh-sungguh menjadi pembela kebenaran, toh
masih banyak orang yang terselamatkan.
Salah satunya pasti mereka.
Ah.... aku jadi sedikit merasa berat meninggalkan kota ini.
“Oh!”
"Ah!"
Ada seorang pria yang tampak mencolok di antara kerumunan.
Dia adalah orang yang bekerja di pasar saat siang, lalu menjadi makelar informasi saat
malam, sembari mabuk-mabukan di bar.
Ya, itu George.
“Hei, George.”
“Ah, putra Keluarga Greyrat, terima kasih atas bantuanmu selama ini, tapi.... jangan panggil
aku George di depan umum.”
“Jangan begitu lah, kita kan teman. Bahkan, hampir setiap hari kita minum bersama.”
“Tidak, tidak, aku senang selalu kau anggap teman, tapi.....”
George memalingkan wajahnya.
Mungkin dia tidak berharap bertemu aku lagi. Karena aku sudah tahu dia bekerjasama dengan
ayah mengarang semua cerita tentang Shadow Corps.
Tapi, kemudian kudekap bahunya.
“Karena kamulah, aku bisa seperti ini, terimakasih ya.”
George menatapku dengan serius, lalu tertawa.
"…Aku paham, aku paham.... baguslah. Tapi, sekarang pekerjaanku sudah selesai, dan aku
tidak akan mendapat sumber uang lagi. Apakah kau akan memberiku imbalan atas jasa-
jasaku?”
“Kalau uang aku tidak punya banyak, tapi adikku sedang butuh asisten. Mungkin dia akan
memperkerjakanmu jika kurekomendasikan.”
"Betulkah?"
"Kalau sudah menjadi asistennya, kau akan mendapat banyak informasi tentang alat-alat sihir
terbaru. Lalu, kau bisa menjual informasi itu pada ayah, bukankah itu ladang bisnis baru?”
“Hey, itu bukan ide buruk!”
George tertawa, lalu balas memeluk bahuku.
"Berkatmu, hari-hariku selama setahun terakhir sungguh menyenangkan.”
Dia mengatakannya sembari tertawa lepas.

Akhirnya, saatnya mengunjungi Shishou.
Seperti tempo hari, Shishou sedang duduk membelakangiku saat kumasuki ruangannya.
Namun, sepertinya dia tidak sedang berlatih.
“Kenapa wajamu suram.... sepertinya kau belum bisa mengalahkan Ksatria Kegelapan.”
Shishou mengatakan itu sembari masih membelakangiku.
Tentu saja, tanpa menoleh.
Hey, kalau bicara sama orang, setidaknya tunjukkan mukamu.
Lagian, yang benar Ksatria Bayangan, bukan Ksatria Kegelapan.
“Jadi… apakah kau masih butuh pedang?”
Shishou mengangkat sesuatu.
Itu pedangku.
Dia memegang pedang kesayanganku dulu.
Harusnya pedang itu ada di ruanganku.
Apakah tempo hari kau membawanya?
“Sekarang, waktunya bagimu membawa pedang ini! Untuk keadilan! Untuk melawan
kejahatan yang lebih besar!”
Shishou berbalik sembari meneriakkan itu dengan semangat.
..... dan tidak ketinggalan berpose.
“Akan kuajarkan padamu, jurus rahasia terakhir Teknik Dewa Utara! Dan bersiaplah
menyandang gelar Kaisar Utara.....!”
“…”
Kemudian, suasana menjadi hening.
Sepertinya Shishou dan ayah telah merencanakan sesuatu, tapi akhirnya terjadi sedikit
kesalahpahaman.
Ayah hanya ingin berbicara denganku, sedangkan Shishou berpikir lain.
Mungkin dia kira ayah ingin berduel melawanku.
Singkat kata, ayah ingin aku memilih jalanku sendiri, sedangkan Shishou masih ingin
menjadikanku pahlawan.
Aku tidak tahu mana yang baik bagiku.
Inilah perbedaan yang mereka ajarkan.
“Ah, tatapan mata itu.... akhirnya kau menyadari sesuatu ya…”
Aku hanya diam, tapi entah kenapa sepertinya Shishou menyadari sesuatu saat melihatku.
“Tunggu dulu........ jangan-jangan kau..... menang melawan Rude...... ah, tidak.... maksudku
Ksatria Kegelapan?”
"Hah? Bukannya aku menang sih, tapi.....”
“Wow, jadi kau mengalahkannya dengan tangan kosong.... ah, dia pasti tidak serius
melawanmu.... jadi dia sengaja mengalah ya.... hmmmm....”
Setelah bergumam sendiri beberapa saat, akhirnya dia menepukkan tangannya.
Apa yang dia pikirkan....
“Sieg-kun, kau telah berhasil mengalahkan Ksatria Kegelapan, namun dia hanyalah sekelumit
dari kejahatan di dunia ini. Sekarang, carilah Lightning. Ya.... jika kau tidak bisa
mengalahkan Lightning, maka jangan harap melawan kejahatan-kejahatan lainnya!”
Ampun deh nih orang......
"Dia sekarang berada di.........."
“Shishou, aku tidak ingin bertarung.”
Dengan nada tegas, aku memotong kalimatnya.
Itu membuatnya kebingungan.
"…Mengapa?"
“Karena aku harus pergi ke suatu tempat.”
"Dimana?"
Tiba-tiba bicaranya melemah, tidak seperti biasanya.
“Ke tempat temanku.”
“… Apakah temanmu berada dalam kesulitan?”
“Aku tidak tahu. Tapi dia pernah meminta tolong padaku. Aku masih ingat itu dengan jelas,
dan sekarang aku harus pergi.”
Aku hanya mengatakan itu.
Agak membosankan memberikan penjelasan yang sama lagi dan lagi, tapi sepertinya Shishou
sudah paham intinya.
"Begitu ya ... artinya kau butuh pedang di sana, kan?"
Atau mungkin..... hanya sebatas itu yang bisa Shishou pahami.
Memang begitulah Shishou-ku.
“Ya, aku membutuhkannya. Jika aku boleh memakai kembali pedangku, pasti akan sangat
berguna.”
"Baiklah."
Lalu, Shishou menyarungkan pedang itu dan memberikannya padaku.
Pedang yang berat.
Inilah pedang kesayanganku, dibuat khusus oleh pandai besi terkenal yang bernama Dewa
Besi untuk ayah. Pedang ini cocok sekali dengan kekuatanku yang besar.
Bilahnya berwarna hitam legam seperti batu obsidian, sehingga menyatu sempurna dengan
gelapnya malam.
Satu-satunya cara melihat pedang ini di kala malam adalah pantulan cahaya bulan yang
menyinarinya. Itulah kenapa Dewa Naga Orsted menyebutnya Moon Glitter atau Moon
Blade.
“Sieg.”
"Ya."
"Aku bukanlah orang yang pintar dan pandai bicara.”
"Memang."
“Ayo berlatih untuk yang terakhir kalinya.”
“Shishou mau mengajarkan jurus rahasia baru padaku?”
“Tidak.... tidak ada jurus seperti itu. Ayo latihan saja seperti biasa.”
"Baik."
Aku memasang sarung pedang itu di pinggangku, lalu menghunuskannya.
Saat itulah pelajaran dimulai.
Dalam latihan Teknik Dewa Utara, tidak perlu aba-aba tertentu.
Sudah lama aku tidak latih tanding bersama Shishou.
Aku akan mencoba sebisa mungkin mengenai Shishou.
Tapi.... singkat cerita.....
Tentu saja.... aku kalah.
Saat hari mulai senja, Shishou membawaku ke suatu tempat.
Lebih tepatnya, suatu rumah mewah milik teman Shishou.
Pemiliknya adalah seorang bangsawan kaya raya dan gemuk.
Ya.... itu si gembrot yang tempo hari hampir saja kuhajar habis.
Aku meminta maaf tentang apa yang kulakukan malam itu, dan dia pun memaafkannya
sembari tersenyum.
Tak peduli dilihat dari mana pun, pria ini begitu mirip penjahat yang menjijikkan, tapi
ternyata tidak. Dia menyambut kami dengan hangat dan sopan.
Seperti kata ayah, Shishou, dan wanita itu, sisi jelek dari orang ini hanyalah hobinya yang
suka menikah, namun dia sama sekali bukan orang jahat.
Aku tidak mengindahkan pelajaran ketiga Shishou, yaitu “Jangan menilai kebajikan dan
kejahatan hanya dari penampilan saja.”
“Suatu hari nanti kau pasti akan menjadi pahlawan.”
Tiba-tiba, Shishou mengatakan itu dalam perjalanan pulang.
Selama bertahun-tahun, Shishou dan aku terus berdiskusi tentang pahlawan dan kebajikan.
Selalu ada bias dalam diskusi itu.
Shishou begitu terobsesi menjadi pahlawan, sedangkan aku ingin menjadi pembela
kebenaran.
Keduanya serupa, tapi tak sama.
Jadi, wajar saja jika pendapat kami berbeda.
"Kurasa tidak."
“Menurutmu, apa yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi pahlawan?”
Aku pernah mendengar pertanyaan ini sebelumnya. Jika ditanya ‘Apa yang dibutuhkan
seseorang untuk menjadi pembela kebenaran?’ maka jawabanku adalah ‘Keteguhan hati.
Seorang pembela kebenaran tidak boleh ragu menentukan mana yang benar, dan mana yang
salah.’ Sedangkan, jika pertanyaannya seperti itu, Shishou pun pernah mengajarkan,
‘Pahlawan harus kuat. Pahlawan adalah orang yang berani memilih pilihan yang menyakitkan
sekalipun.’
Maka, kali ini kujawab......
“Keyakinan menentukan pilihan?”
“Ya, kau benar. Aku selalu ingin menjadi pahlawan, tapi tidak bisa. Tak peduli sebesar
apapun keinginanku, itu tidak mungkin terjadi.”
Inilah yang membuat pahlawan dan pembela kebenaran hampir sama.
Keduanya sama-sama harus membuat pilihan.
Tak peduli sesulit, seberat, atau sebesar apapun suatu pilihan, mereka harus mengambilnya.
“Tapi kau bisa. Kau akan menjadi pahlawan, bukannya pembela kebenaran.”
Sayangnya, aku justru berpendapat sebaliknya. Aku tidak akan menjadi pahlawan, sedangkan
Shishou pantas menjadi pembela kebenaran.
Kenapa aku tidak bisa menjadi pahlawan? Karena selama ini aku selalu takut memilih.
Seseorang dengan kepribadian labil sepertiku tidak cocok menjadi pahlawan yang harus
memiliki pendirian teguh. Selama bertahun-tahun aku hanya menjadi pengangguran karena
tidak berani memilih antara menikahi Sariel dan membantu Pax di negaranya.
Sedangkan Shishou sebaliknya. Ketika memilih sesuatu, dia begitu kekeh pada pilihannya.
Dari dulu sampai sekarang, dia selalu ingin menjadi pahlawan, dan itu tidak pernah berubah.
Mungkin pandangannya akan pahlawan banyak berubah setelah dia dikalahkan ayah, namun
tujuan hidupnya tetap sama.
“Wahai muridku.”
"Siap!"
“Bersedia kah kau mewarisi harapan gurumu?”
“…”
Aku hanya bisa menggeleng pelan.
“Shishou berumur panjang, jadi kurasa tidak perlu mewariskan harapan. Warisan lebih cocok
bagi mereka yang umurnya terbatas. Jadi, kumohon..... tetap berusahalah mencapai
harapanmu, Shishou!”
"…ah, itu benar juga. Baiklah!!”
Shishou meneriakkan itu tanpa ragu.

Keesokan harinya, aku bersiap berangkat.
Aku sudah mengucapkan salam perpisahan pada semuanya kemarin, jadi perasaanku sudah
lega.
Setelah melambaikan tangan pada ibu-ibuku, aku pun pergi.
Setiap mama memberikan nasehatnya masing-masing.
Ayah sudah berangkat kerja pagi-pagi buta, jadi dia tidak mengantar kepergianku.
Aku berharap dia mengucapkan beberapa patah kata terakhir, tapi apa boleh buat.
Aku pun mulai meninggalkan kota.
Ibu menyarankan agar aku naik kuda, tapi aku lebih suka jalan kaki.
Aku melewati pasar tempat para petualang dan pedagang berlalu-lalang.
Distrik niaga adalah tempatnya para pedagang kelas menengah berbisnis, jadi suasananya
begitu hidup.
Aku juga melewati distrik produksi tempat pandai-pandai besi mengerjakan karyanya, jadi
terdengar suara dentangan logam di sana-sini.
Dan tidak ketinggalan, aku juga melewati Akademi Sihir Sharia yang bangunannya besar-
besar.
Pemandangan-pemandangan itu kusaksikan setiap hari, dan hari ini mungkin terakhir kalinya.
Aku jadi sedikit merasa galau.
Lalu, sampailah aku di pintu gerbang kota.
Gerbangnya terbuka lebar.
Di luar gerbang, tepatnya di pinggir jalan, ada seorang pria duduk di sana.
Seorang penyihir paruh baya mengenakan jubah abu-abu.
Itu ayah.
Saat menyadari kedatanganku, dia segera berdiri dan membersihkan jubahnya.
“Hei, Sieg.”
Apa yang ayah lakukan di sini.........
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak bisakah mengantar kepergianku dari gerbang rumah saja? Seperti mama dan yang
lainnya...."
"Kupikir, lebih baik di sini."
Di mana saja bolehlah....
Tapi.... ada apa gerangan?
Sepertinya dia sudah tahu aku akan pergi lewat gerbang depan kota.
Jadi dia menungguku di sini.
"Baiklah, sebenarnya aku pun ingin ayah mengantar kepergianku.”
“Tentu saja! Anakku akan melakukan perjalanan panjang. Tentu ini saat-saat istimewa
bagiku.”
Sembari mengatakan itu, dia mengangkat tas di sisinya, dan menatapku.
Lalu, dia memberikan tas itu padaku. Tasnya cukup berat, mungkin seukuran kepala manusia.
Aku jadi punya firasat buruk.
Pertama-tama, ayo periksa isinya.
“Papa, ini…”
Itu adalah helm hitam.
Helm yang penuh menutup kepala, dengan emblem bulan sabit di dahinya.
Ya, itu adalah helm Ksatria Bulan yang biasa kupakai.
"Bawa itu."
"Mengapa…?"
“Kau telah memutuskan berhenti menjadi Ksatria Bulan, tapi bukan berarti semua usahamu
selama ini sia-sia.”
Sia-sia?
Kalau menurutku sih, memang sia-sia.....
Andaikan saja malam itu aku tidak berbicara dengan ayah, mungkin nanti malam masih
kupakai helm ini.
“Jika kau punya masalah kelak, ambil helm ini, dan lihatlah. Mungkin kau akan mendapat
jawaban dari masalahmu, saat mengingat masa lalumu.”
Dia mengatakan itu sembari melihat ke belakangku.
Aku pun melihat ke belakang.
Kota Sihir Sharia.
Di sana terbentang jalan-jalan yang biasa kulewati bertahun-tahun.
Dulu, waktu kecil aku pernah diajak ke Asura, dan ketika kembali ke sana saat hendak
bersekolah, banyak hal telah berubah.
Namun berbeda dengan kota ini. Semuanya masih sama.
Kakakku, adikku, ibuku, semuanya tidak berubah.
Shishou juga.
Tapi..... menurutku ayah banyak berubah.
Ah, mungkin itu karena aku tidak begitu mengenalnya dulu.
Yahh, mungkin dia benar, selama ini aku tidak menyia-nyiakan hidupku, karena semua yang
kualami selama ini adalah proses. Tak ada proses yang sia-sia, karena pasti ada hasilnya.
"Baiklah. Aku akan membawanya."
“Lagipula, kau bisa memakainya lagi, karena helm ini cukup awet, kan...”
“Ahahah, baiklah. Atau, kalau aku bertemu dengan orang yang ingin menjadi pembela
kebenaran, mungkin bisa kuberikan helm ini padanya.”
“Kalau begitu, akan kukirimkan helm lebih banyak nanti.”
Ayah tertawa.
Rupanya, ide tentang pasukan Ksatria Bulan itu cukup lucu baginya.
Aku sih biasa saja, tapi mungkin menurutnya aneh.
Tapi, aku juga ikut tertawa.
Kemudian, kukatakan......
"Aku pergi sekarang."
“Ya, berusahalah sebaik mungkin.”
Ayah menepuk punggungku, lalu mendorongku.
Aku pun meninggalkan kampung halaman, untuk menuju tempat temanku berada...........
Bab 14
Sekarang, teman

Wilayah itu tanpa nama.


Itu hanyalah sebidang tanah kecil di sebelah tenggara Rahang Bawah Naga Merah.
Wilayah bagian Kerajaan Raja Naga.
Di sana ada beberapa desa kecil miskin yang tersebar, benteng-benteng pertahanan yang
rusak, dan tidak ada tuan tanah.
Ada beberapa alasan mengapa tempat itu begitu sunyi.
Salah satunya adalah kedekatannya dengan hutan lebat.
Mungkin karena kutukan naga kuno, atau karena badai debu dari Benua Begaritto, hutan di
dekatnya dihuni oleh banyak monster.
Bahkan, banyak petualang berpengalaman yang kehilangan nyawanya saat menjelajah hutan
itu.
Namun, negara-negara lain di sekitar Rahang Bawah Naga Merah masihlah mendambakan
wilayah itu.
Jika ada pihak kerajaan yang mengirimkan pasukan cukup besar untuk membersihkan hutan
itu, pasti mereka bergabung.
Namun, tentu saja negara paling kuat di sekitar sini adalah Kerajaan Raja Naga.
Meskipun begitu, negara-negara lainnya tidak akan membiarkan mereka menguasai wilayah
itu begitu saja.
Belum lagi, mengirimkan pasukan besar untuk membersihkan hutan akan memancing
masalah diplomasi dengan Kerajaan Asura.
Sebenarnya, wilayah itu sangat jauh dari pusat Kerajaan Raja Naga.
Selain menembus hutan belantara, jalan lain menuju wilayah itu dari Kerajaan Raja Naga
adalah mengambil rute memutar melalui Gugusan Pegunungan Naga Merah.
Tak peduli sekuat apapun Kerajaan Raja Naga, mengirimkan pasukan militer melalui daerah
netral akan memancing konflik antar negara.
Bahkan dalam beberapa kasus, diperlukan upeti untuk melancarkan usaha semacam ini.
Intinya, resikonya besar sekali. Tidak hanya kehilangan sejumlah harta, nyawa para prajurit
pun bisa jadi taruhan.
Sebenarnya, Kerajaan Raja Naga telah mencoba mengembangkan wilayahnya, tapi masih
gagal.
Sampai akhirnya, dikirimlah seorang pria sebagai tuan tanah baru.
Dia adalah Pax Shirone Jr.
Tidak sendiri, pihak kerajaan juga mengirimkan puluhan bawahan bersamanya.
Tapi jumlah itu terlalu sedikit.
Tuan tanah sebelumnya datang bersama ratusan bawahan dan pasukan.
Jadi, jika dibandingkan upaya sebelumnya, kelompok Pax terlalu kecil.
Meski begitu, mereka diterima hangat oleh penjaga benteng.
Tidak peduli apakah tuan tanah baru ini akan melarikan diri, terbunuh, atau bahkan
kehilangan minat memerintah, yang jelas hidup mereka sebagai penjaga benteng tidaklah sia-
sia. Terlebih lagi, kali ini tuan tanahnya adalah seorang bangsawan. Bisa-bisa kepalanya
dipenggal bila dia tidak mematuhi perintah seorang bangsawan dengan benar.
Tapi, ternyata pemimpin baru bernama Pax ini orangnya cukup kalem dan merakyat.
Pertama, dia mempersatukan rakyatnya.
Dia merekrut beberapa pengikut dari desa-desa miskin di sekitarnya. Dia memilih mereka
yang mempunyai bakat, dan motivasi untuk mendidik dan berlatih. Dia sungguh menganyomi
orang-orang seperti itu.
Meski upah menjadi bawahannya tidak besar, namun Pax berhasil merekrut banyak orang.
Sebagiannya, dikarenakan mereka tidak mau hidup sengsara selamanya di desa-desa miskin
itu. Pax berhasil mendapatkan banyak pengikut, terutama kaum muda.
Selanjutnya, Pax menghubungi Guild Penebang Pohon di negara terdekat, kemudian menjual
kayu dari wilayahnya dengan harga miring.
Biasanya, kayu dari negara lain begitu mahal, karena adanya pajak cukai.
Tapi, kayu-kayu yang dijual Pax lebih murah, karena perdagangan ini tidak diketahui negara
induk, yaitu Kerajaan Raja Naga.
Tak seorang pun mempermasalahkan pelanggaran ini, karena Pax sekarang adalah pemimpin
tertinggi di wilayah tersebut.
Kemudian Pax menugaskan tenaga kerja barunya untuk mengawasi penebang pohon.
Juga dengan harga murah.
Jadi, kayunya murah, dan penjaganya juga murah.
Dengan gaji pekerja yang murah, maka pemasukan Pax bertambah. Namun, keuntungan itu
dia gunakan untuk menyewa pekerja lebih banyak dari negara tetangga, untuk
mengembangkan lahan yang sudah ditebang pohon-pohonnya.
Meskipun strategi Pax bagus, namun ini bukan pekerjaan mudah.
Karena orang-orang dari desa miskin tidak begitu kompeten, dan para pekerja murah itu juga
tidak terampil.
Beberapa kali, Pax bertemu langsung dengan orang-orang itu untuk mengarahkan mereka.
Jika turun langsung ke lapangan, tentu ada ancaman serangan monster. Benar saja, sesekali
Pax harus melawan monster-monster itu untuk melindungi pekerjanya.
Masa-masa sulit ini terus berlanjut.
Tapi, perlahan-lahan Pax terus mengembangkan wilayahnya, dengan memberikan kebijakan-
kebijakan baru.
Saat menghadapi masalah, Pax menyelesaikannya satu per satu.
Hasil pun mulai tampak, seperti bisnis yang mulai berkembang, dan neraca keuangan yang
surplus.
Sepertinya semuanya masih terkendali.
Sampai akhirnya, pada suatu hari sekelompok penebang pohon mati secara misterius.
Kematian mereka sungguh menakutkan.
Mereka ditancapkan di dasar pohon, dengan dada berlubang sebesar batang pohon tersebut.
Pengawas mereka juga bernasib serupa.
Semua orang menduga ini ulah monster.
Bahkan, ditemukan sisa-sisa jasad manusia yang sudah tidak utuh. Sebenarnya, monster
jarang memakan sisa mayat manusia. Namun, bukannya tidak mungkin terjadi.
Kasus seperti ini sudah biasa terjadi, bahkan bagi Guild Penebang Pohon yang
berpengalaman sekalipun.
Karena itulah masyarakat setempat takut dengan hutan.
Kejadian ini terus terulang.
Kelompok penebang kayu lainnya dibantai habis.
Jumlah pengawas juga sudah ditambah, namun hasilnya nihil.
Semuanya mati.
Kondisi korbannya sama, yaitu tertancap di dasar pohon dengan lubang besar di dada.
Namun, kali ini orang-orang mulai menduga bukan monster pelakunya.
Ini ulah seseorang.
Si pelaku membunuh para penebang pohon dan pengawas, lalu melubangi dadanya, dan
menancapkannya di dasar pohon.
Apakah si pelaku hanya membunuh untuk kesenangan?
Atau ada pihak-pihak tertentu yang ingin menggagalkan perkembangan wilayah ini?
Guild Penebang Pohon menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi mengirim pekerjanya ke
hutan sampai kasus kematian misterius ini terpecahkan.
Oleh karena itu, Pax perlu investigasi.
Untungnya, Pax masih punya dana karena kebijakannya berjalan baik.
Pax menggunakan dana itu untuk mempekerjakan tentara bayaran senior dari Guild terdekat.
Mereka juga ditugaskan untuk menginvestigasi kasus ini sampai tuntas.
Beberapa prajurit senior tersebut pernah bekerja di bawah naungan PT. Rudo.
Mereka cukup berbakat.
Tapi sayangnya, Pax tidak bisa mengoptimalkan kemampuan mereka, karena dia takut ada
pihak tertentu yang menyabotase rencananya.
Karena Pax mulai mencurigai ini pekerjaan orang dalam. Pax datang bersama beberapa
utusan dari Kerajaan Raja Naga, nah orang-orang itulah yang patut diwaspadai.
Tentu saja, melawan monster jauh lebih mudah daripada menghadapi manusia yang cerdas.
Pax tidak menyerah. Dia terus menginvestigasi kasus ini.
Dia membuat peta detail hutan, lalu menandai di titik mana sajakan para penebang kayu itu
mati.
Di antara para pasukan bayaran, ada beberapa orang yang jago mengumpulkan informasi. Pax
meminta mereka mengawasi gerakan para pengikutnya sendiri, dia khawatir bila ada aktifitas
mencurigakan dari mereka.
Untungnya, tidak ada tanda-tanda pengkhianat dari orang dalam.

Singkat cerita, akhirnya mereka mendapatkan petunjuk penting tentang kasus ini.
Mereka menyadari pohon-pohon yang menancap di tubuh korban memiliki suatu kesamaan.
Itu adalah pohon Bashikara yang berusia lebih dari satu abad.
Pohon langka ini hanya tumbuh di hutan belantara, di area ini. Jadi, para penebang itu bisa
menjualnya dengan harga mahal.
Beberapa pohon ada yang usianya jauh lebih tua, bahkan ada yang ukurannya raksasa dengan
umur lebih dari 400 tahun. Karena ukuran yang berbeda inilah, mereka awalnya tidak sadar
bahwa pohon-pohon itu jenisnya sama.
Tapi, ada seorang yang paham betul dengan hutan ini, dan dia lah yang menyampaikan fakta
itu.
Atas petunjuk itu, Pax memutuskan untuk membuat rumah kayu pada pohon tersebut.
Dan benar saja, tiba-tiba terjadi sesuatu.
Dia dikepung oleh sekelompok orang berkulit gelap, dengan pakaian primitif.
Mereka pun menghujat Pax, “Beraninya kau mematahkan ranting-ranting pohon suci!”
Mereka berbicara dalam Bahasa Dewa Tempur.
Pax mengenali bahasanya dan mencoba meminta maaf.
Tapi sayangnya, para pengawal Pax tidak paham.
Yang mereka lakukan adalah, mencabut pedangnya dan bersiap bertarung tanpa menunggu
arahan Pax. Maka, terbantailah mereka.
Pax kehilangan para pengawalnya, lalu dia meminta bernegosiasi dengan suku itu.
Pax menjelaskan bahwa dia datang dari Kerajaan Raja Naga, dan dia meminta maaf telah
mengeksploitasi dan merusak alam mereka.
Jika memungkinkan, Pax meminta berdamai dengan mereka.
Tapi, saat para suku primitif tahu bahwa Pax adalah pemimpin yang bertanggungjawab di
wilayah ini, mereka pun menangkap dan mengikatnya.
Pax dibawa jauh ke dalam hutan.
Ke tempat kediaman mereka.
Di sana hanya tinggal suku berkulit dan berambut hitam.
Pax ingat, di sekolah pernah diajarkan tentang keberadaan suku dari Benua Begaritto yang
ciri-cirinya mirip seperti mereka. Mereka pasti penghuni asli hutan ini. Tapi, sayangnya
pengetahuan itu tidak membantu keadaan Pax.
Pax dibawa ke hadapan kepala suku.
Sayangnya, kepala suku itu tidak mau mendengar penjelasan Pax. Dia hanya mendakwa
bahwa Pax telah merusak hutan suci, lalu dia harus ditumbalkan pada malam bulan purnama
selanjutnya, untuk meredam kemarahan dewa.
Mereka menjebloskan Pax dalam kurungan kayu di tengah desa.
Mereka hanya memberikan Pax air, tanpa makanan. Itu pun dimaksudkan untuk
membersihkan Pax sebelum dikorbankan.
Saat malam tiba, dukun desa menyalakan api unggun di dekat kurungan Pax, diikuti oleh
suku-suku lainnya yang memulai ritual pemujaan mereka.
Beberapa hari berlalu seperti itu.
Pax beberapa kali berusaha kabur, namun kurungan kayu itu ternyata cukup kokoh.
Tapi, meskipun bisa melarikan diri, tempat ini dikelilingi oleh banyak penjaga yang lebih
kuat dari Pax. Apalagi, Pax tidak tahu arah.
Dia tidak akan bisa lolos semudah itu.
Kemudian, tibalah malam bulan purnama.
Pax diseret keluar dari kurungannya oleh seorang penjaga yang kekar, dibawa ke dekat api
unggun, lalu dipaksa berlutut di sana. Sudah banyak penduduk desa berkumpul di tempat itu.
Pax semakin meronta saat melihat sebilah pisau yang dikeluarkan si dukun.
Dia berteriak.
“Aku tidak boleh mati di sini! Siapapun, tolong bantu aku!” begitulah jeritnya.
Dia masih punya tujuan hidup yang belum tercapai, dia tidak ingin mati seperti ini, tapi yang
bisa dia lakukan saat ini hanyalah memohon.
Namun, mereka tidak kenal ampun.
Setelah menyelesaikan doanya, dukun itu memposisikan belati tepat pada punggung Pax, dan
siap menembus jantungnya.
Lalu..........
"Tunggu!"
Sebuah suara menggema.
Suara yang menggelegar.
Dukun itu segera berhenti karena terganggu dengan teriakan itu. Para penduduk desa yang
berkumpul juga membeku penasaran.
Para penjaga mulai mengamati sekelilingnya, untuk mencari sumber suara.
Meskipun sinar rembulan cukup terang, tapi ini tengah malam.
Daerah di sekitar api unggun memang terang, namun kau tidak bisa melihat apa-apa di hutan
sekelilingnya.
Lalu, kepala suku melangkah maju dan berteriak.....
"Siapa itu?"
“Eh? Itu Bahasa Dewa Tempur, ya.... um... eh....”
Dia menggumamkan sesuatu.
Akhirnya beberapa penjaga menemukan orang itu setelah mengamati arah datangnya suara.
Dari atas.
Dia berdiri di puncak pohon yang disinari cahaya bulan purnama.
Para penjaga menyiapkan tombak mereka, dan mengarahkan obornya pada sosok itu.
Sepertinya dia adalah seorang petualang.
Yang mengenakan jubah rami dan celana compang-camping.
Dia juga membawa sebilah pedang usang.
Memang seperti itulah umumnya penampilan seorang petualang.
Tapi, ada yang tidak biasa pada orang itu.
Kepalanya......
Dia memakai helm hitam legam yang membungkus kepalanya.
Ada emblem berbentuk bulan sabit pada dahi helm itu.
Melihat penampilan orang aneh itu, para suku terdiam sebentar, lalu menghela napas mereka.
"Kalian mau tahu siapa aku? Aku berasal dari Kota Sihir Sharia. Aku mengembara ribuan mil
untuk menyelamatkan sahabat karibku....”
Pria berhelm itu jeda sebentar.
Sesaat, dia bingung harus berkata apa.
Tapi, dia segera melanjutkan.
Sembari melihat pria yang hendak dikorbankan itu, dia berseru....
“Akulah sang pembela kebenaran, Sieghart!!”
Saat mendengar nama itu diteriakkan, Pax membuka matanya lebar-lebar.
Sieg melompat dengan bersalto, lalu mendarat di tengah-tengah mereka.
"Maaf telah membuatmu menunggu, Pax!"
“Sieg…! Mengapa kau ….... di sini............."
“Singkat cerita, aku tahu posisimu setelah memberi sejumlah uang pada seorang informan.
Kemudian, aku bisa menemukan tempat ini dengan teknik pelacak yang kupelajari dari
Shishou.”
Sieg menjelaskan dengan santai, tapi gerakannya tampak gusar.
Karena sebenarnya, dia mendengar kabar bahwa Pax telah menghilang. Saat itulah dia mulai
kalang-kabut. Kemudian, dia mendapati mayat di pangkal pohon Baskhara. Dia pun semakin
panik dan putus asa.
Dia terus melakukan pelacakan dengan jantung berdebar-debar, sampai akhirnya datang tepat
waktu di tempat ini.
Seandainya terlambat sedetik saja, dia tidak akan bertemu temannya itu selamanya.
“Aku tidak tahu siapa kau, tapi kau telah mengganggu ritual sakral kami......”
“Aku adalah murid Dewa Utara Kalman III. Akulah Kaisar Utara Sieghart! Aku datang
sebagai pengawal temanku, Pax! Jika kau ingin membunuh temanku, kalahkan dulu aku!”
Suara lantang Sieghart menenggelamkan kepala desa, dan bergema ke seluruh sudut desa.
Tentu saja, para penjaga menganggap ini bentuk penghinaan bagi dewa mereka. Tak seorang
pun boleh menyela upacara pengorbanan.
Bahkan, mendengar gelar Kaisar Utara saja, sudah cukup membakar semangat mereka.
Kedua prajurit yang menahan Pax segera melepaskannya, lalu menghentak-hentak tanah
dengan tombaknya. Sepertinya itu berarti mereka siap menantang Sieg.
Tak ingin ketinggalan, pasukan-pasukan lainnya juga melakukan hal yang sama dengan
serentak.
Melihat itu, si kepala desa menggigit bibirnya dengan gemas, lalu berteriak balik....
“Namaku Polpel, Kepala Suku Ubaba! Wahai Kaisar Utara Sieghart! Aku bersumpah kepada
para dewa, bahwa prajurit-prajurit kami akan mengalahkanmu, dan membunuh penjahat yang
telah merusak tanah kami!”
“Kalau begitu izinkan aku memperkenalkan diriku sekali lagi! Wahai Polpel, Kepala Suku
Ubaba, aku Kaisar Utara Sieghart! Aku bersumpah atas nama ayahku Rudeus! Setelah
kukalahkan prajurit-prajuritmu, maka bertemanlah dengan sahabatku, Pax!”
"Hah?"
"?"
Tanda tanya besar langsung mengambang di atas kepala Polpel dan Pax.
Mereka tidak paham apa yang disumpahkan Sieghart.
Namun kepala suku mengangguk, lalu dia menghentak tanah dengan tombaknya, dan balik
membentak....
"Baiklah! Kalau begitu, yang kalah harus menuruti permintaan pemenang. Kami berjanji atas
nama dewa-dewa yang agung!”
"…sepakat!"
“Aku, Polpel, Kepala Suku Ubaba, juga sepakat!”
Sementara Pax masih terperangah, kepala desa dan Sieg saling membuat kesepakatan.
"Baiklah, Prajurit Agung Herpel, majulah."
Bruk....bruk....bruk.... suara tombak menghentak tanah semakin kencang.
Tidak hanya para penjaga, penduduk desa yang menonton juga melakukan hal yang sama.
Sejak tadi ada seseorang yang sama sekali tidak bergerak, bahkan setelah kedatangan Sieg.
Dia hanya duduk diam di sebelah kepala desa.
Tapi, setelah semakin banyak suku menghentak-hentakkan tombaknya ke tanah, dia pun
bangkit.
Pria itu jangkung dan berotot.
Tingginya mungkin 2 meter atau lebih.
Saat dia mendekat di hadapan Sieg, perbedaan postur mereka seperti anak-anak dan dewasa.
Tapi Sieg tidak takut.
Dia bersedekap, dan memandang raksasa itu dengan tatapan penuh intimidasi.
“Biarkan kuperkenalkan diriku untuk yang ketiga kalinya, namaku Sieghart Sang Kaisar
Utara! Tugasku di sini untuk melindungi Pax. Kami adalah sahabat karib yang sudah
sehidup-semati.”
“Namaku Herpel, prajurit kebanggaan Ubaba! Akulah yang akan mengalahkanmu!”
Suara Herpel dan Sieg sama lantangnya.
Namun, dengan latar suara hentakan tombak di tanah, Herpel terlihat lebih menakutkan
ketimbang Sieg.
Pax jadi cemas.
Tubuhnya lemah, karena belakangan ini dia hanya minum air.
“Sieg…”
“Pax, tidak perlu cemas. Aku pasti menang. Aku akan mengalahkan musuh terkuat
sekalipun.”
“Selama sekolah dulu aku tidak pernah melihatmu begitu percaya diri seperti ini. Tapi, justru
itulah yang membuatku cemas.”
“Kalau begitu, akan kuhilangkan kecemasanmu.”
Setelah mengatakan itu, Sieg mulai memegang gagang pedangnya, lalu mencabutnya.
Bilah pedang itu yang berwarna gelap sedikit mengkilat akibat cahaya api unggun.
Bocah ini.... ah, tidak, dia sudah dewasa.... pendekar pedang ini, memegang pedang berat itu
seolah tanpa usaha.
Pedang "Moon Glitter".
Hanya dengan satu tangan, Sieg mencabut pedangnya, lalu dia genggang dengan kedua
tangan.
Dia pun mulai pasang kuda-kuda sembari mengacungkan pedang pada lawannya.
"Aku datang!"
Sieg menyerukan itu dengan bahasa lain, tapi Herpel pasti bisa memahaminya, karena kau
tidak perlu bahasa khusus dalam suatu pertarungan.
Herpel memegang tombak di pinggulnya, meraung, lalu menyerang.
“Goaaaaaaaaaaaaa!”
"Kaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!"
Teriakan Sieg lebih keras daripada raungan Herpel.
Kemudian mereka saling berbentrokan.
Tapi bukan senjata mereka yang saling bertebasan.
Melainkan bahu mereka.
Kuda-kuda, taktik, dan gerakan keduanya hampir sama.
Herpel bisa membaca jurus Sieg, dan begitupun sebaliknya.
Mereka saling beradu kekuatan fisik dengan membenturkan bahunya, lalu melanjutkan
dengan serangan-serangan mematikan selanjutnya.
Tapi, gestur Herpel seolah mengatakan, ’Bagaimana mungkin pria mungil sepertimu bisa
merobohkanku dalam adu kekuatan fisik.’
Ya.... postur mereka berdua memang berbeda jauh.
“! ? ”
Namun.....
Setelah benturan.... Herpel merasa seolah tubuhnya akan jatuh ke dalam tebing yang curam.
Dia oleng.
Dengan cepat dia menyadari bahwa itu hanyalah ilusi, kemudian.........
“Ahh !?”
Entah sejak kapan, tiba-tiba Herpel mendapati tubuh besarnya berputar-putar di udara, lalu
terbanting ke tanah.
Selama hidupnya, si raksasa hanya pernah tiga kali jatuh.
Waktu masih muda, dua kali dia terpelanting saat berduel dengan monster yang tubuhnya tiga
kali lebih besar darinya.
Dan, inilah yang ketiga.
Sebelum ini, dia tidak pernah terkalahkan sebagai prajurit sejati Ubaba.
Tapi..... mengapa kali ini dia roboh oleh lawan semungil itu.......
Dia jatuh dengan posisi duduk, lalu melihat lawannya sekali lagi.
Aneh sekali.... tadi dia yakin betul pria itu bertubuh kerempeng, tapi sekarang.... yang dia
lihat adalah sesosok monster berotot tebal.
Kemudian, Sieg memposisikan pedangnya di pinggang, mencondongkan tubuhnya sedikit ke
depan, lalu berseru............
“Teknik Rahasia Dewa Utara!”
Herpel tidak paham bahasa itu.
Tapi dia merasakan hal buruk akan segera datang.
“Moonlight Split!”
Lalu Sieg mengayunkan pedangnya.
Dari bawah ke atas, seolah hendak membelah lawannya.
Bagi Herpel, itu adalah tebasan paling cepat, paling kuat, dan paling mematikan yang pernah
dia lihat.
Namun Sieg sengaja tidak mengenainya.
Dia hanya melakukan itu untuk melepaskan gelombang kejut.
Gelombang kejut itu mampu menghempaskan tubuh besar Herpel. Baru kali ini dia terpental
oleh gelombang kejut. Selama ini, hantaman telak ke tubuhnya pun belum tentu bisa
mementalkannya.
Tidak hanya Herpel, gelombang kejut itu juga menyapu penduduk desa di sekitarnya.
Tidak berhenti sampai situ, api unggun juga tersapu dan terbang entah ke mana.
Kemudian, gelombang itu membelah angin, dan memicu terbentuknya sepasang tornado,
yang melibas rumah kepala desa, dan merubahnya menjadi tumpukan puing.
Akhirnya, tornado itu menabrak pohon besar nan jauh di sana, sampai terdengar suara retakan
kencang.
Selesai sudah.....
Tebasan Sieg mampu menyapu bersih sebagian desa.
Sinar rembulan menerangi area terbuka yang rata itu.
Suasana menjadi senyap.
Dalam kesunyian, hanya Sieg yang berdiri.
Sieg mengangkat pedangnya ke langit, sehingga terlihat kemilau bilahnya yang gelap.
"Apakah kamu lihat? Inilah kekuatanku! Inilah kekuatan temannya Pax!”
Dia menusukkan pedangnya ke tanah dan meneriakkan itu.
Tapi tidak ada orang di sekitar.
Hanya Sieg yang tersisa.
Pax bersama kepala desa juga terpental.
Kemudian, seseorang mendekatinya.
Seorang pria raksasa berkulit gelap.
Itu Herpel.
Dia mendekati Sieg dengan berjalan sempoyongan, sembari memegangi lengannya yang
patah akibat hempasan gelombang kejut barusan.
“Kenapa kau tidak membunuhku…”
“Karena aku sudah bersumpah atas nama ayah dan ibuku untuk tidak menindas yang lemah.
Lagipula, kalau kau mau bekerjasama dengan Pax, kita bisa menjadi teman. Aku tidak akan
pernah melukai teman-temanku.”
“… Aku mengaku kalah.”
Kata Herpel, lalu dia berlutut, dan menundukkan kepalanya. Kegaduhan mulai terdengar di
sekitar mereka.
Warga desa yang sebelumnya terpental, mulai kembali lagi.
Prajurit, penduduk desa, kepala desa, dan Pax.
Semuanya menyaksikan prajurit terbaik Ubaba yang berlutut kalah pada lawannya.
Pax dan kepala desa berjalan mendekati mereka.
“… Duel telah selesai. Kami lah yang kalah. Aku haru menepati janjiku, yaitu melepaskan
temanmu. Silahkan pergi.”
Kata kepala desa dengan wajah muram.
Pertarungan antara Sieg dan Herpel.
Sudah jelas perbedaan kekuatan di antara mereka berdua.
Sieg mengalahkan Herpel dengan kekuatannya tanpa membunuhnya.
Itu adalah kemenangan yang mutlak.
“Lain waktu, ayo bertarung lagi dengan segenap jiwa.”
Tapi ini bukanlah akhir.
Hari ini, para suku kalah.
Tapi, jika pohon-pohon suci itu ditebang lagi, maka perselisihan akan kembali pecah.
Meskipun para suku sudah melihat kekuatan Sieg, tapi peraturan tidak boleh dilanggar.
“Kepala desa. Bukan hanya itu perjanjiannya.”
“…? “
Sieg masih menuntut.
"Aku memintamu menjadi rekan Pax."
“… rekan?”
“Tuan Polpel, kepala Suku Ubaba, mohon bekerjasama dengan temanku ini. Kita bisa
mewujudkan hubungan yang damai tanpa permusuhan.”
Sebenarnya, itulah inti dari tuntutan Sieg.
Pax pun terkejut.
Membuatnya ingin bertanya, “Mengapa kau memutuskan sendiri?”
Tapi, yang jelas ini bukan hal buruk bagi Pax.
Suku Ubaba adalah orang-orang yang kuat dan tahu banyak tentang hutan ini.
Bekerjasama dengan mereka akan semakin memperkuat fraksi Pax di masa depan.
Pembangunan berarti membuka ruang. Dan membuka ruang berarti memangkas pohon.
Sederhananya seperti itu, tapi pasti ada jalan lain melalui negosiasi. Selama mereka saling
berdiskusi dengan Bahasa Dewa Tempur, pasti ada cara membangun wilayah ini tanpa
mengorbankan pohon-pohon keramat itu.
Sayangnya, pembangunan lahan kurang menguntungkan bagi pihak Suku Ubaba.
Selama ini mereka hidup di hutan ini tanpa gangguan.
Dari sudut pandang mereka, Pax adalah penjajah yang harus disingkirkan demi kelestarian
hutan.
Kecil kemungkinan kedua pihak bisa bekerjasama.
Tapi, kepala suku sudah bersedia menuruti apapun yang dituntut oleh pemenang duel tadi.
Dan Suku Ubaba selalu menepati janji.
“Kalau begitu, mulai hari ini, Suku Ubaba akan menjadi teman Pax!”
Dengan lantang kepala suku mengumumkan itu.
Yah, sesimpel itulah hubungan kerjasama mereka mulai terbentuk.
“Sekarang, ayo kita jamu mereka sebagai tamu!”
“…”
“Dan setelah selesai, bangun kembali rumahku yang rusak!”
Malam itu pun, pesta dengan suku primitif bersenjata lengkap digelar.

Setelah pesta dadakan itu, Pax dan Suku Ubaba segera bernegosiasi tentang perjanjian
sederhana antara kedua belah pihak.
Kemudian, mereka bahkan mengantar Pax kembali ke bentengnya. Saat pulang, Pax bertanya
pada Sieg....
“Yahh, Sieg… apakah aku sedang bermimpi.....”
"Bermimpi?"
“Tadi dadaku hampir tertembus, tapi tiba-tiba kau datang menyelamatkanku, bukankah itu
seperti mimpi? Tidak hanya itu, masalah dengan suku primitif juga selesai dengan lancar. Ini
semua terlalu baik untuk jadi kenyataan.”
Saat Pax mengatakan itu, Sieg segera mencubit pipi temannya itu.
Rasanya sakit.
"Aduh! Sakit! Hentikan!”
“Kalau sakit, berarti bukan mimpi, kan?”
“Sieg yang kukenal tidak pernah mencubit pipiku! Ini pasti mimpi! Ya, aku pasti sedang
bermimpi!”
“Ini kenyataan, kawan.”
Sieg mengangkat bahu.
Dia lalu meletakkan tangannya di bahu Pax.
“Inilah jawabanku untuk waktu itu.”
“… jawaban?”
“Aku memutuskan ikut denganmu untuk mewujudkan ambisimu.”
Pax pun terkejut.
Dia mengatupkan rapat-rapat mulutnya, seolah sedang menggigit sesuatu.
Lalu, dia mengangguk dengan mata sedikit berkaca-kaca.
“Terima kasih… aku tahu… kamu akan mengatakan itu…”
Kata Pax sambil menangis.
Bab 15
Masa Depan, pahlawan

Puluhan tahun berlalu.


Wilayah Ordo Ksatria Kerajaan Raja Naga.
Ini juga merupakan wilayah negara bagian Kerajaan Raja Naga.
Dulunya, wilayah ini hanyalah tanah terbengkalai di utara yang berbatasan dengan hutan
belantara.
Banyak monster berbahaya beroperasi pada wilayah yang berada di sebelah utara Benua
Tengah ini. Banyak orang menganggap wilayah ini sulit dikembangkan, bahkan dengan
investasi yang besar sekalipun.
Tentu saja, saat itu belum ada Ordo Ksatria.
Namun, di bawah kepemimpinan Lord Pax Shirone, Jr. wilayah itu mulai berubah.
Perlahan-lahan dia mengembangkan hutan yang katanya mustahil dijamah itu.
Dia memanfaatkan SDM yang dimiliki anak buahnya, seperti membangun bandungan untuk
mengalihkan aliran sungai, membasmi gangguan monster, dan sedikit demi sedikit
membersihkan hutan serta mengembangkannya.
Setelah bentrokan dengan suku setempat, dia mulai mendekati sang kepala suku dengan
mengajaknya minum dan makan bersama. Bahkan, dia menikahi anak si kepala suku untuk
semakin mempererat tali persaudaraan.
Dalam merekrut anak buahnya, dia lebih memilih orang-orang yang memiliki kemampuan
ketimbang mereka yang berstatus sosial tinggi.
Pernah datang orang yang mengklaim bisa merubah tanah tandus menjadi subur. Pax pun
menerima dan memberinya tantangan untuk menyuburkan lahan setempat.
Pernah datang orang bokek yang mengklaim bisa merintis rute perdagangan melalui hutan
belantara. Pax pun menerima dan mendanainya. Kelak, orang itu menjadi pedagang terbaik
Ordo Ksatria.
Pernah datang seorang budak yang mahir memainkan pedang, Pax pun menerima dan
merekrutnya menjadi pengawal.
Lambat laun, wilayah itu menjadi lahan yang menjanjikan, bahkan untuk orang berstatus
rendah sekalipun.
Berita itu tersebar dari mulut ke mulut, sehingga membuat banyak orang berdatangan.
Ordo Ksatria menerima mereka semua, dan memperkerjakannya sesuai kemampuan masing-
masing.
Perbudakan di wilayah itu begitu terorganisir, jika dibandingkan dengan tempat-tempat
lainnya.
Hampir tidak ada budak yang mati sengsara di pasar-pasar budak wilayah itu.
Malahan, para budak diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya. Jika mereka
kompeten, Ordo Ksatria akan membelinya dan memperlakukannya dengan baik.
Negara-negara tetangga yang berada di sekitar kawasan Rahang Bawah Naga Merah
terlambat menyadari perkembangan wilayah ini.
Kemampuan militer Ordo Ksatria Kerajaan Raja Naga berkembang jauh di luar dugaan
mereka.
Saat Ordo Ksatria mulai menginvasi negara tetangga, mereka pun tidak siap.
Hasilnya, Kerajaan Raja Naga menguasai sebagian besar wilayah timur Rahang Bawah Naga
Merah.
Itu adalah wilayah yang sangat menguntungkan bagi kerajaan.
Pemimpin Kerajaan Raja Naga tidak begitu menyukai Pax, namun dia juga harus mengakui
prestasinya.
Itu tidak mengubah fakta bahwa Pax adalah seorang bangsawan yang berhasil
mengembangkan wilayahnya sendiri.
Dengan kekuatan yang sudah dihimpunnya, Pax menjadi pesaing bagi para pangeran dan
menteri yang saling berebut tahta.
Oleh karena itulah negara meminta Pax mengambil sumpah ksatria, lalu memerintah Ordo
Ksatria yang saat itu baru saja dibentuk.
Selama Pax masih memegang sumpah ksatria itu, dia tidak bisa ikut memperebutkan kursi
tahta.
Jika melanggar sumpah, maka dia akan dicap sebagai pengkhianat.
Beberapa orang akan mendukungnya sebagai ksatria.
Sebenarnya, Pax tidak bersedia mengikrarkan sumpah itu.
Tapi jika dia menolak, para bangsawan bisa mengirimkan petisi pada raja untuk mencabut
kewenangan Pax. Tentu saja, itu berarti Pax akan kehilangan wilayah yang selama ini dia
kembangkan itu. Tanpa kepemimpinan Pax, perkembangan wilayah itu akan terhambat, dan
semuanya akan kembali seperti sedia kala.
Inilah yang menjadi pertimbangan sulit bagi pax.
Para bangsawan dan menteri memang licik.
Akhirnya, Pax tidak punya pilihan selain mengambil sumpah itu.
Dia berjanji mendedikasikan seumur hidupnya untuk raja, dan melindungi tanah airnya.
Lalu, Pax pun diangkat sebagai komandan Ordo Ksatria.
Peristiwa itulah yang sekaligus menjadi kelahiran Ksatria Naga Hitam.
Setelah menjabat, Pax segera menunjuk lima bawahannya yang terbaik untuk menjadi ketua
ksatria. Masing-masing dari mereka juga diwajibkan merekrut 20 orang sebagai ksatria.
Maka, terbentuklah 100 pasukan ksatria elit.
Untuk sementara, para bangsawan dan menteri berhasil ”membungkam” Pax, namun mereka
tidak tahu bahwa tujuan Pax sebenarnya bukanlah menjadi pemimpin Kerajaan Raja Naga.
Melainkan.......... pemimpin kerajaannya sendiri.

Kastil Naga Hitam, markas Ordo Ksatria Kerajaan Raja Naga.
Terdapat meja hitam besar pada ruang konferensi.
Total ada tujuh orang yang duduk di sana.
Semuanya mengenakan armor hitam legam.
Mari kita berkenalan, mulai dari yang paling dekat pintu masuk.
Yang pertama, seorang pria berambut pirang kusam, bermata sipit, telinga lancip, dan ada
luka berbentuk X besar di wajahnya.
Dia adalah mantan budak yang ternyata memiliki keahlian pedang yang baik.
Dia adalah ras setengah iblis yang mencapai level Saint Utara.
Namanya, Jeda Si Anjing Ksatria.
Kedua, seorang pria berkulit gelap, rambutnya hitam dimodel kepang dan diikat di belakang
kepalanya.
Dia mengenakan pakaian yang biasa dipakai di Kerajaan Raja Naga, namun terlihat jelas
postur tubuhnya lebih baik daripada pria umumnya.
Namanya, Herpel Si Ksatria Suku.
Ketiga, pria bertubuh besar dengan senyum lembut di wajahnya. Perawakan pria ini bahkan
lebih lebar daripada Herpel.
Namun, itu karena dua bongkah logam hitam di kedua lengannya.
Namanya, Atmos Roland Si Ksatria Besi.
Keempat, Dwarf wanita yang tubuhnya seperti anak-anak, dan mengenakan armor yang
tampak seperti mainan.
Mesk begitu, wajahnya tidak terlihat muda. Dia terlihat lebih cerdas daripada rekan-rekan
lainnya yang hadir di ruangan itu.
Namanya, Pyi Ku Si Ksatria Dwarf.
Dan yang terakhir.
Di sebelah kanan pintu masuk, ada seorang wanita.
Dia berkulit gelap, berambut biru, berusia sekitar 20 tahunan.
Sekilas, dia tampak terlalu muda untuk menjadi ksatria, tapi pangkatnya sudah ketua ksatria.
Terlebih lagi, dia lah ksatria tertinggi dalam kelompok ini.
Namanya, Lauri Shirone Si Jeritan Putri.
Dan yang berada di tengah.....
Di kursi tinggi, sang pemilik kastil ini.
Berambut biru, wajah penuh kerutan.
Meski usianya sudah cukup tua, sorot matanya masih dipenuhi semangat.
Dia lah, Pax Shirone Jr Sang Komandan Ksatria Naga Hitam.
Tunggu.... masih ada lagi....
Dia duduk di sebelah kiri Pax.
Seorang pria paruh baya dengan rambut hijau.
Ada sebilah pedang besar di punggungnya, dan pedang lain di pinggangnya.
Di wajahnya terdapat bekas luka yang tak terhitung jumlahnya.
Tidak, bukan hanya wajahnya, armor dan pedangnya juga penuh lecet.
Dia lah “saksi seribu pertarungan”.
Pria terkuat di Ordo Ksatria..... ah tidak, pria terkuat di Kerajaan Raja Naga.
Dia lah pria yang mewarisi gelar Dewa Kematian, yaitu peringkat 5 dari Tujuh Kekuatan
Dunia.
Wakil Komandan Ksatria Naga Hitam.
Sieghart Saladin, Sang Ksatria Dewa Kematian.
Dalam diam, ketujuh orang itu mengamati peta di atas meja konferensi.
Ada beberapa pion catur yang ditempatkan di atas peta itu, seperti pion prajurit, prion ksatria,
dan pion pasukan bersenjata.
Pion-pion itu dicat dengan warna-warna mencolok. Masing-masing mewakili kekuatan
Kerajaan Asura, Kerajaan Raja Naga, dan Kekaisaran Dewa Ogre.
Jika sesuai rencana awal, maka Ordo Ksatria yang menempati posisi strategis pasti akan
terlibat dalam konflik tidak lama lagi.
Jika lawannya adalah Kerajaan Asura dan Kekaisaran Dewa Ogre, maka tak peduli sehebat
apapun Ksatria Naga Hitam, mereka akan terhempas bagai debu.
“…”
Semuanya diam menunggu komentar Pax.
Tapi, sepertinya Pax sedang berpikir serius.
Sampai akhirnya, tiba-tiba dia mengatakan....
“Kesempatan kita telah tiba.”
Sekilas, komentar Pax itu bertentangan dengan apa yang terpapar di meja konferensi.
Tapi, tak seorang pun menyuarakan sanggahan.
Karena mereka pun setuju, ini merupakan kesempatan yang sudah lama dinantikan.
“Sudah lama kita menunggu saat ini!”
Seruan itu membuat mereka bersemangat.
Herpel dan Pyi tersenyum tipis.
“Aku tahu penantian kita akan datangnya hari ini begitu panjang dan menyakitkan. Kita
sudah melalui banyak krisis dan kehilangan kesempatan, tapi aku bersyukur kalian semua
masih sabar sampai detik ini.”
Pax mengatakan itu dengan muka masam, sembari memandang rekannya satu per satu.
Seolah dia sedang membayangkan memori buruk yang selama ini dialaminya.
Termasuk Jeda, yang wajahnya dipenuhi luka demi melindungi kehormatan Pax.
Semenjak fraksi Pax dan Suku Ubaba bekerjasama, Herpel yang merupakan prajurit terbaik
suku selalu bertarung membela Pax. Banyak nyawa sudah menjadi korban selama ini baik
dari pihak Pax maupun suku.
Begitupun dengan Atmos, lengan buatannya adalah bukti betapa keras persaingan politik Pax
dan para bangsawan kerajaan.
Masih segar pula ingatan mereka ketika Pyi diperkosa saat menjadi tawanan perang.
Sedangkan luka di tubuh Sieg, dan lecet-lecet pada armor dan senjatanya, juga hasil dari
perjuangan selama ini.
“Aku tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja, sehingga semua upaya kita
percuma.”
Pax mengatakan itu sembari melihat rekan-rekannya.
Kekaisaran Dewa Ogre, itu adalah kekuatan baru yang menguasai seluruh wilayah utara.
Sedangkan, Kerajaan Asura adalah kekuatan lama yang menguasai wilayah barat sejak dulu.
Dan Kerajaan Raja Naga menguasai setengah wilayah selatan, dan selalu mengawasi
pergerakan negara-negara adidaya lainnya.
Ordo Ksatria terjepit di tengah-tengah tiga kekuatan besar tersebut.
Namun dalam situasi genting ini, mereka melihat sebuah peluang.
“Kita akan memanfaatkan status quo ini untuk mengumumkan kemerdekaan!”
“Oh!”
“Ooh!”
Para ksatria merespon keputusan Pax dengan takjub.
Ada tujuh pion catur di wilayah Ordo Ksatria pada peta, lalu Pax menggerakkan tiga pion
menuju ke Rahang Bawah Naga Merah.
“Atmos, Pyi, dan aku akan menjaga pertahanan kita. Kita gunakan Rahang Bawah Naga
Merah sebagai choke point[3].”
"Siap!"
"Dimengerti."
Keduanya mengangguk.
Pax memindahkan tiga pion lagi ke tengah gugusan pegunungan Rahang Bawah Naga Merah.
Di titik itulah pegunungan terbelah menjadi dua, yang dikenal sebagai Pipi Naga Merah.
“Jeda, Herpel, dan Sieg, bawa pasukan elit lalu serang titik ini. Temukan benteng
tersembunyi Kekaisaran Dewa Ogre, dan hancurkan."
"Ya."
“Dimengerti.”
Dua orang mengangguk.
Tapi yang terakhir, Sieghart, tetap diam.
Dia menatap peta sembari bersedekap dan tidak bergerak sedikit pun.
“Sieg? Ada apa? Kau ingin bertanya?”
Sieghart hanya membalasnya dengan tersenyum.
“Tidak, aku hanya menyadari ternyata kita sudah sampai sejauh ini. Tiba-tiba aku teringat
kembali saat-saat Suku Ubaba hampir membunuhmu.”
“Ya, andaikan kau tidak datang, mungkin aku sudah menjadi pupuk Pohon Bashkara
sekarang.”
“Ya, banyak hal telah terjadi.”
“Banyak sekali.”
Dulu......
Mereka hanya berdua.
Seiring berjalannya waktu, bertambah menjadi tiga, empat, lima, dst.
Jumlah mereka sempat berkurang, tapi bertambah lagi, sampai enam seperti sekarang.
Enam mungkin bukan angka yang bagus, tapi bagi Ksatria Naga Hitam itu adalah nomor
keberuntungan.
“Kakek, Sieg... maaf mengganggu waktumu bernostalgia, tapi apa yang harus kita lakukan
selanjutnya?”
Lauri yang berbicara.
Lauri Si Jeritan Putri.
Salah satu cucu perempuan Pax adalah seorang ksatria yang berbakat, dan dia sudah menjadi
pemimpin batalionnya.
Pax memang mendidik dan membesarkannya sebagai komandan.
Dia berhak menerima jabatan itu karena sudah mempunyai pengalaman perang.
Namun, dia terlalu muda untuk ditempatkan di barisan terdepan.
"Bisakah kau menjaga kastil?"
“Tentu saja, kakek. Aku kecewa tidak kakek tempatkan di barisan terdepan, tapi menjaga
pertahanan juga penting, dan aku cukup pintar melakukannya.”
“Bagus… kau akan mendapat ganjaran yang pantas bila berhasil.”
“Fufufu, janji ya!”
Lauri duduk kembali dengan gembira.
“…”
Setelah hening sejenak, tiba-tiba mereka berdiri sembari mengangkat gelasnya yang sudah
tersaji di meja konferensi.
“Ayo kita bersulang untuk ksatria dan penduduk wilayah ini.”
“Untuk ksatria dan penduduk wilayah ini......”
Semuanya menanggak isi gelasnya, lalu membantingnya keras-keras di meja.
Gelas hitam itu terbuat dari logam, dan meja konferensi itu juga berwarna hitam dan terbuat
dari logam. Ketika keduanya berbenturan, suaranya seperti dentangan dua bilah pedang yang
saling beradu.
Suara itu sekaligus menjadi penanda bahwa perang akan segera dimulai.
"Berangkat!"
Dengan perintah Pax, semuanya pun membubarkan diri.
Jeda dan Herpel.
Atmos dan Pyi.
Lalu Lauri.
Dan yang terakhir, Pax dan Sieghart berdampingan.
Ruangan itu pun kosong, hanya tertinggal meja, kursi, dan gelas logam.
Mereka membiarkannya begitu saja.
Tak seorang pun berani merubahnya..... sampai mereka kembali lagi, dan melakukan tos yang
sama.
KETERANGAN

1. Kalau kalian lupa, Cheddarman adalah cerita karangan Rudeus yang diparodikan dari
Anpanman.
2. Nekodamashi (猫 騙 し, ね こ だ ま し) adalah teknik gulat sumo yang tidak biasa, yang
melibatkan pegulat yang bertepuk tangan di depan wajah lawannya di tachi-ai (awal
pertarungan). Tujuan dari teknik ini adalah untuk membuat lawan memejamkan mata
sebentar, sehingga penghasut mendapatkan keuntungan.
3. Bagi yang gak paham, choke point adalah wilayah terbatas yang sangat strategis secara
geografis.

Anda mungkin juga menyukai