Anda di halaman 1dari 256

Bab 1

Konfirmasi Situasi

Bagian 1
Rangkaian cerita sebelumnya: Setelah mendengar kabar bahwa Roxy telah menghilang dalam
insiden "Teleport Dungeon" Rudeus seakan jatuh dalam jurang keputusasaan. Namun, dengan
sebuah buku berada di tangannya yang bernama "Catatan Eksplorasi Dungeon Teleport", yang
mana buku tersebut menjelaskan tentang seluruh bagian pada dungeon tersebut. Kemungkinan ia
bisa menyelesaikan masalah ini.
---
Roxy sekarang dalam pencarian.
Setelah mendengar hal itu, hasrat untuk pergi ke dungeon muncul dalam benakku.
Lokasiku sekarang berada di "dungeon teleport" yang merupakan tempat beranking-S. Tapi
untungnya aku mendapatkan buku mengenai detail dungeon ini.
Aku juga telah mempelajari berbagai hal tentang lingkaran sihir teleport.
Jika aku memiliki waktu untuk mengamati setiap lingkaran sihir, dan cukup menulis buku tentang
itu, aku yakin, aku bisa menaklukan dungeon ini.
Namun, pertama-tama aku harus mencoba memahami lebih dalam situasi ini.
Memahami situasi sangatlah penting.
Roxy dan Zenith mungkin juga sedang berlomba dengan waktu.
Hanya terlambat lima menit saja, kesempatanku untuk menyelamatkan mereka bisa hilang.
Tapi, kita tidak boleh merasa panik.
Setelah memahami situasi dan mempersiapkan dengan hati-hati, maka tidak ada cara lain lagi
selain menyelamatkan mereka.
Aku mungkin telah mengabaikan sesuatu, karena saat ini aku begitu panik.
Mengabaikan sesuatu, dan membuat kesalahan, kedua hal itu akan semakin meningkatkan peluang
gagal.
Hasilnya, akan semakin banyak waktu tertunda, entah itu lima menit, sehari, dua hari, atau bahkan
tiga hari.
Kita harus melakukan hal ini dengan hati-hati.
Dalam keadaan ini, kita tidak boleh melakukan sebuah kesalahan.
Jika kita gagal, maka mimpi untuk menyatukan kami kembali hanya akan berakhir dengan
"penyesalan"

1
Jika aku membuat kesalahan sehingga kami gagal menyelamatkan Roxy dan Zenith, maka aku
akan menyesal seumur hidup.
"Ayah, aku mempunyai buku teleportasi dungeon, berisikan sebuah catatan dari seorang petualang
yang telah memasuki lebih dalam dungeon ini."
Pertama, aku memperkenalkan buku ini padanya.
"Catatan Eksplorasi Dungeon Teleport"
Itu adalah buku dari Fitts-senpai, yang sebenarnya adalah Sylphy, dimana ia merekomendasikan
buku ini padaku.
Buku ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk lingkaran sihir teleportasi yang tabu secara detail.
Berbeda dengan buku yang lain, buku ini seluruhnya hanyalah berisikan penjelasan.
Beruntung sekali buku seperti ini lulus sensor dari Akademi Sihir, karena sihir teleport bukanlah
ilmu yang bisa dipelajari dengan bebas. Tapi, aku yakin, alasannya adalah, buku ini dianggap
sebagai catatan petualang biasa.
Dan juga, mungkin saja buku ini hanyalah sebuah fiksi belaka.
Dungeon teleportasi adalah dungeon yang sama sekali tidak dapat diselesaikan oleh siapapun,
namun suatu karakter fiksi mungkin pernah menaklukannya.
Tapi, sepertinya kecil kemungkinannya bahwa buku ini fiksi. Karena, bentuk-bentuk lingkaran
sihir yang tercantum dalam buku ini benar-benar asli.
Kenyatannya, aku juga sudah mempelajari lingkaran sihir teleportasi, akan tetapi si penulis
menggambar lingkaran-lingkaran sihir tersebut dengan akurasi terbaik yang pernah kubaca.
Jika dibandingkan dengan buku-buku lainnya, maka kau akan yakin bahwa buku ini bukanlah fiksi.
Namun itu... berbeda lagi dengan "Dungeon teleportasi".
Mungkin saja ada lebih dari dua dungeon yang dipenuhi oleh jebakan teleportasi.
Bahkan jika judul bukunya sama, tapi jika isinya berbeda, maka hal itu tidak berarti.
"Jika isi buku ini benar-benar menjelaskan tentang dungeon yang akan kita hadapi nanti, maka
buku ini benar-benar berguna untuk menjelajahi dungeon tersebut."
Setelah aku mengatakan itu, Paul dan yang lainnya pun menatap kepadaku.
"H..hey Rudi, bagaimana bisa kau mendapatkan buku tersebut?"
"Sebelumnya aku mengira bahwa ini akan berguna, jadi aku membawanya dari perpustakaan
Akademi Sihir."
"Oh..."
Untuk sekarang, aku tidak boleh terlalu banyak mengumbar pengetahuanku tentang lingkaran sihir
pada mereka.
Apa yang kami perlukan hanyalah memastikan bahwa isi buku ini benar-benar menunjukkan
segala hal penting pada dungeon itu.

2
"Kuminta kalian membaca buku ini. Kalau isinya sesuai dengan dungeon yang akan kita jelajahi,
maka kita bisa menggunakan buku ini sebagai referensi."
Setelah Paul mengambil buku tersebut dan menatap lama sampul buku, ia pun memberikannya
pada Gisu yang berada di sampingnya.
Setelah menerima buku tersebut, Gisu pun berkata...
"Terus, aku harus membacanya?"
"Baca saja."
Mengapa harus diserahkan pada Gisu?
Namun, karena yang lainnya tidak ada yang protes, maka aku pun urung menanyakan itu.
Dalam kelompok Paul, tampaknya Gisu memiliki peran yang banyak.
Aku yakin pernah mendengar kabar bahwa Gisu bisa melakukan berbagai hal dalam kelompoknya.
Contohnya, "memetakan sebuah tempat" dan "mencari lebih dalam dan memastikan sebuah
informasi." Salah satu hal itu mungkin ia lakukan ketika menjelajahi dungeon ini.
"Ayah, sembari Gisu-san membaca buku tersebut, tolong beritahukan aku tentang informasi
dungeon yang ayah tau?"
Aku pun mengajukan bermacam-macam pertanyaan pada Paul.
Semuanya sedang mengkonfirmasi tentang isi dari buku tersebut.
"Tentu saja."
"Jenis-jenis monster beserta namanya."
"Level-level mereka."
"Situasi di dalamnya, dan warna-warna dari lingkaran sihir."
Paul dengan lancar menjawab pertanyaanku.
Ada lima jenis monster.
Karena Paul hanya bisa menjamah lantai ketiga dungeon, kemungkinan ada banyak monster yang
belum diketahui pada lantai seterusnya.
• Tarantula Deathlord
Itu adalah laba-laba beracun raksasa. Meskipun dia adalah seekor Tarantula, dia masih bisa
menyemburkan jaring. Racunnya bisa dinetralisir dengan sihir detoks peringkat dasar. Levelnya
adalah B.
• Iron Crawler
Monster memiliki ukuran yang sangat besar… besar sekali. Levelnya adalah B.
• Mad Skull

3
Itu adalah monster setengah manusia yang tubuhnya tertutupi lumpur, karena dalam tubuhnya
terdapat tengkorak seseorang, maka itulah yang menjadi kelemahannya. Level : A
• Armored Warrior
Monster tersebut memiliki empat tangan dengan memakai armor yang sudah karat. Setiap
tangannya memegang pedang yang sangat tajam. Level : A
• Little Devil
Monster dengan tangan, kaki dan kuku yang tajam. Dia bergerak dengan merangkak di langit-
langit. Level : A.
Hal yang perlu diperhatikan adalah seberapa banyakkah lantai pada dungeon ini.
Dan kami tidak mengetahuinya.
Dari sebuah rumor dikatakan, terdapat enam atau tujuh lantai
Data mengenai lantai satu itu sangat sulit untuk didapatkan, meskipun mereka telah
mengeskplorasinya. Tapi dari buku ini, laba-laba akan membuat sejumlah besar jaring di lantai
pertama.
Ada juga banyak ulat dan laba-laba pada lantai kedua.
Pada lantai tiga, terdapat Mad Skull yang memimpin kawanan ulat dan laba-laba tersebut.
Kemudian, pada lantai empat, ulat dan laba-laba tidak lagi ditemukan, dan hanya terdapat Mad
Skull dan Armored Warrior saja.
Lantai selanjutnya, yakni lantai kelima, hanya terdapat Armored Warrior dan Little Devil.
Dan hanya ada Little Devil pada lantai keenam.
Hanya itu saja yang tertulis di buku ini.
Situasi didalamnya.
Dari lantai pertama hingga lantai ketiga, tempat tersebut seperti sebuah "sarang semut".
Di sana terdapat lorong-lorong yang bekelok, ruwet, dan juga jalan buntu.
Kemudian, tampaknya lingkaran sihir juga terdapat pada setiap ruangan pada dungeon tersebut.
Menurut buku ini, sepertinya lingkaran sihir berubah menjadi bentuk retakan batu pada laintai ke
empat.
Sampai saat ini pun, Paul dan yang lainnya belum mencapai lantai itu.
Informasi mengenai keadaan dan wujud monster pada lantai tiga ke bawah didapat dari trial dan
error para petualang terdahulu.
Sedangkan, untuk model lingkaran sihir teleportasi, warnanya adalah putih kebiruan dengan ukiran
yang rumit.
Kalau kudengar detailnya, kurasa aku pernah melihat lingkaran sihir model itu beberapa kali
sebelumnya.

4
Isi dari buku ini sama juga dengan penjelasan dari apa yang dikatakan oleh Paul, semuanya cocok.
"Ini... sangat menakjubkan senpai, kamu membawa sesuatu yang menakjubkan!"
Setelah membacanya, Gisu pun menutup bukunya sembari berteriak kegirangan.
Sepertinya ia selesai membacanya dengan cepat.
Sepertinya dia adalah seseorang yang bisa membaca sesuatu dengan cepat.
Atau mungkin dia hanya membaca bagian-bagian yang diketahuinya.
Setelah melihat reaksi Gisu, Paul pun menunjukkan ekspresi terkejut.
"Hey, Gisu. Apakah itu benar-benar menakjubkan?"
"Yeah, ini sangat menakjubkan, Paul. Jika apa yang ditulis ini benar-benar sungguhan dan akurat,
maka kita bisa mengeksplorasi lantai ke enam dengan mudah."
Sembari kegirangan, Gisu pun memberikannya pada Talhand.
Selagi Talhand membaca buku tersebut, Gisu pun menjelaskan isinya dengan semangat pada Paul.
"Seluruh hal yang tidak bisa kita ungkap, tertulis pada buku tersebut. Buku tersebut menjelaskan
tentang lingkaran sihir seperti apa yang aman kita pijak, dan juga seperti apa yang berbahaya kita
pijak. Di sana bahkan dijelaskan, jika kita tidak sengaja terjebak dalam lingkaran sihir teleport,
maka kita akan ditransfer ke tempat seperti apa, dan apa yang menunggu kita di sana.”
Dari apa yang Gisu jelaskan, berarti buku ini benar-benar "nyata".
Namun, Paul menatap Gisu dengan serius.
"Jadi begitu ya, lalu… berdasarkan apa yang tertulis pada buku tersebut, bisakah kau mengetahui
apa yang sedang terjadi pada Roxy dan Zenith?"
"Kalau itu sih…. Aku masih tidak tahu."
Gisu mengatakan itu dengan ekpresi dingin di wajahnya.
"Gisu, jangan merasa senang dulu, kita tidak boleh mengulangi kesalahan lagi."
Paul mengatakan itu dengan nada lemah.
Hati-hati.
Aku yakin kalau kita memang harus berhati-hati.
Kalau kita terlalu mempercayai buku itu, tapi ternyata kenyataannya berbeda dengan teori tersebut,
kemudian kita benar-benar terjebak, maka semuanya akan sia-sia saja.
"Aku mengerti maksudmu, Paul. Namun, setelah membaca buku itu, seolah-olah kita mendapatkan
seorang pemandu dan penjaga yang bisa dipercaya. Seharusnya kita senang, bukan?"
Saat mengatakan itu, Gisu melihat rekan-rekan di sekitarnya.
Paul juga melihat mereka.
Dan tatapannya pun berakhir padaku.

5
"Ah.. benar juga, maaf tentang yang tadi."
Dia pun tersenyum seolah-olah ia sekarang sudah merasa tenang.
Tak peduli sesulit apapun situasi yang sedang mereka hadapi sekarang, mereka harus tetap tenang.
Aku yakin Paul juga memahami akan hal tersebut.
"Baiklah, setelah kita selesai membacanya, kita akan membuat formasi."
Dengan suara penuh energi, dia mengatakan itu, dan suasana di ruangan ini pun sedikit melunak.
Bagian 2
Tim yang pergi ke dungeon tersebut berjumlah lima orang.
Paul, Elinalise, Talhand, Gisu, dan aku.
Elinilase dan aku menggantikan Vera dan Shera.
Karena dungeon semakin sempit, jika orang banyak memasukinya, maka akhirnya kita akan
berdesak-desakan di dalam.
Karena aku dan Elinalise menggantikan Vera dan Shera, maka kita juga akan mengganti peran
mereka dari formasi yang dibuat.
Elinalise akan bertindak sebagai perisai pelindung di barisan depan.
Paul menjadi penyerang kedua.
Aku menjadi penyerang sekaligus penyembuh.
Talhand dapat menjadi pengganti Elinalise dan juga pengganti penyerang.
Kami berempat yang akan mengurusi masalah penyerangan.
Talhand memiliki lebih dari satu peran.
Bahkan, sepertinya dia bisa menggunakan sihir sampai tingkat menengah.
Bagaimanapun juga, dia adalah seorang prajurit yang juga bisa menggunakan sihir.
Karena dia multi-fungsi, maka dia bisa bertarung pada beberapa posisi.
Meski Talhand seperti seorang yang kikuk, tapi dia adalah orang yang sangat berpengalaman.
Tidak, semua ras Dwarf adalah orang yang terampil, bukan?
"Kunantikan kerjasama kalian."
Sepertinya dia berdiri tepat di sampingku, atau belakangku? Aku tidak begitu menyadari
keberadaannya, tapi yang jelas dia menepuk bahuku dengan ramah.
Entah kenapa, punggungku merasa merinding.
"Pada dasarnya, Rudi bertugas merapalkan mantra. Setelah pertarungan selesai, untuk masalah
penyembuhan, kami serahkan padamu, bisakah kau melakukannya?"
"Tidak masalah."

6
Menyerang dan menyembuhkan.
Walaupun ini pertama kalinya aku memasuki dungeon, aku mendapatkan lebih dari satu tugas.
Namun, seingatku… saat aku menjadi petualang dulu, aku juga pernah mendapatkan peran serupa.
Aku yakin, tidak ada hal yang tidak bisa kami lakukan.
Di antara empat orang itu, terdapat juga Gisu.
Dia tidak bisa bertarung, tapi selain urusan berkelahi, dia memiliki peran yang vital.
Seperti : memetakan, membuat arah perjalanan, mengurusi makanan, mengumpulkan bahan-bahan
mentah. Dia juga lah yang memutuskan kapan harus mundur dari misi ini.
Pekerjaannya bagaikan sebuah menara pengintai, dan dia juga memiliki pekerjaan-pekerjaan yang
tidak umum.
Menurutku itu seperti seorang, direktur.
Mengeksplorasi dungeon bukan hanya berarti bertarung. Penting juga memiliki orang yang
berperan seperti Gisu.
Sisanya ada tiga orang.
Vera, Shera, dan Lilia berjaga-jaga sebagai pendukung.
Katakanlah, mereka seperti penjaga rumah, namun peran itu juga tidak bisa disepelekan.
Aku pernah mendengar bahwa, ketika kelompok yang lebih besar mengeksplorasi dungeon,
mereka juga menunjuk beberapa anggota untuk bertugas sebagai ‘penjaga rumah’ seperti Lilia,
Vera, dan Shera.
Sebagian besar persiapan bisa diserahkan pada Elinalise dan Talhand, yang lebih profesional
dalam urusan itu.
Aku hanyalah seorang amatir dalam urusan mengeksplorasi dungeon.
Aku bisa saja memakai pengetahuanku dari kehidupan sebelumnya untuk memikirkan berbagai
macam rencana, namun untuk saat ini, lupakan itu.
Pertama, aku harus mengikuti apa yang dilakukan oleh para profesional.
Lalu, apabila datang kesempatan dimana aku dapat memikirkan sesuatu, maka aku bisa
memberikan saran pada mereka.
Sebuah saran.
Menurut pengetahuanku dari kehidupan sebelumnya, aku tidak yakin bahwa hal-hal yang telah
kupelajari dari game Rogue bisa diterapkan secara efektif pada misi kali ini. [1]
"Kita harus membicarakan tujuan awal kita, namun kita harus mencapai lantai ketiga terlebih
dahulu."
Setelah memutuskan untuk membuat formasi, Paul pun mengatakan hal tersebut.
"Di sana kita akan mencari Roxy."

7
Kami masih tidak tahu apakah Roxy masih hidup atau tidak.
Apabila ia masih hidup, tujuan kita adalah menyelamatkannya, kemudian langsung keluar dari
dungeon.
Kalau kondisi Roxy masih memungkinkan untuk melanjutkan misi, maka dia akan bergabung
dengan tim, kemudian esok harinya kita menjelajah lagi lebih dalam pada dungeon tersebut.
Kami berenam akan mengeksplorasi sampai lantai ke empat dan seterusnya, yang mana selama ini
belum pernah kami jamah.
Setelah kami mencapai lantai terdalam dungeon, kami akan mencari secara keseluruhan pada area
tersebut, untuk menemukan Zenith yang kami percayai masih hidup di sana.
Kami tidak tau berapa hari yang diperlukan untuk menyelesaikan misi ini.
Yang perlu kita lakukan adalah menunggu dan melihat.
Bagian 3
Malam itu
Aku tidur di kamar yang sama dengan Paul dan Lilia
Tampaknya si teknisi, Gisu, telah membuatkan tempat yang cocok untuk keluarga kami.
Meskipun begitu, sudah lama aku menghabiskan waktu bersama Lilia, yang kala itu masihlah
bukan bagian dari keluarga kami.
Sejak aku lahir sampai kedua adik perempuanku lahir, status Lilia hanyalah pembantu keluarga
kami.
Aku pun hanya menganggapnya sebagai pelayan biasa.
Paul menganggap Lilia sebagai istrinya, akan tetapi dia adalah istri keduanya.
Bagi Paul, Zenith adalah wanita nomor satu dalam hidupnya, sedangkan yang nomor dua adalah
Lilia.
Aku penasaran, apakah itu berarti Norn yang nomor tiga?
Terus, Aisha adalah yang nomor empat, dan aku…. nomor buncit?
"Ini pertama kalinya aku tidur bersama Rudeus, iya kan?"
"Iya."
Berbicara tentang Lilia, dia terlihat begitu menghormati aku dan Paul, seolah-olah kami adalah
bos, dan dia hanyalah pekerja biasa.
Aku pun menaruh hormat padanya.
"Para suami biasanya mendengkur dengan sangat keras, jadi aku akan menenangkanmu jika itu
terjadi."
Perkataan Lilia terdengar ringan dan bercampur dengan candaan.
"Ah..., ya."

8
Namun, aku tidak bisa membalasnya dengan candaan serupa.
Aku pun tidak tahu, topik pembicaraan apa yang bisa kubahas bersamanya.
Dulu, pembicaraan macam apa ya yang biasa kubahas bersama Lilia? Ah, aku sudah lupa.
Waktu kami hidup bersama di Desa Buina, sepertinya pembicaraan kami hanyalah mengenai
norma-norma, pelajaran, dan semacamnya.
"..."
Sejak tadi, Paul tidak mengatakan sepatah katapun padaku, dia hanya membisu sembari
memandangiku.
Ekspresi macam apa itu, aneh sekali.
Pipinya tampak kendur, tapi dia hampir tersenyum tipis.
"Um, Rudeus-sama."
"Ya, ada apa?"
"Apakah Aisha tidak menyusahkanmu?"
Aku berpikir sejeak untuk menjawab pertanyaan Lilia.
Topik mengenai keluargaku.
Benar juga, kami merupakan sebuah keluarga.
Kalau begitu, sebaiknya kami membahas hal-hal tentang keluarga kami.
"Ya, dia telah berusaha keras agar tidak membebaniku."
"Dia tidak memberikan masalah pada Rudeus-sama, kan?"
"Yeah, sama sekali tidak, dia juga membantuku bersih-bersih rumah. Pekerjaan kami jadi semakin
ringan."
"Begitu, ya. Syukurlah kalau dia tidak menuntut sesuatu dengan egois.”
"Kalau pun dia melakukannya, aku toh tidak masalah."
Setelah mengatakannya, Lilia pun tersenyum dengan tenang.
Dia terlihat lega saat tersenyum.
"Bagaimana dengan Aisha dan Norn? Apakah mereka pernah bertengkar?"
"Ah iya... hubungan mereka terkesan dingin, tapi selama ini tidak ada pertengkaran yang serius
kok. Kalau pun ada perselisihan, besoknya mereka sudah baikan."
"Aku selalu memintanya agar lebih merendahkan diri di hadapan Norn-ojosama. Tapi kenapa
justru sebaliknya?"
Lilia mengatakannya sembari sedikit mendesah.
"Yah, mau bagaimana lagi, bagaimanapun juga Aisha masihlah anak-anak. Sudah semestinya aku
memperlakukan mereka berdua dengan setara, tanpa membeda-bedakannya."

9
"Aku paham…...jadi begitu ya. Aisha adalah anakku, tapi darah suamiku, Paul, juga mengalir di
dalam tubuhnya.."
"Itu tidak penting, yang jelas kita semua adalah keluarga."
"Terima kasih banyak."
Paul tidak bergabung dengan percakapan kami.
Dia hanya mendengarkan aku dan Lilia saling bertukar perkataan, namun tampaknya dia sedang
memikirkan sesuatu.
"Ada apa ayah, dari tadi kau hanya meringis."
"Tidak, entah kenapa, aku senang mendengar kalian berdua ngobrol."
Sembari menggaruk bagian belakang kepalanya, wajah Paul mulai merona, seakan-akan dia
tersipu malu.
"Ada apa sih?"
"Rudi telah benar-benar menjadi dewasa, dan aku begitu menikmati saat melihatmu ngobrol
dengan Lilia."
Perbicaraan antara anaknya yang sudah dewasa dan istrinya.
Lilia bukanlah ibuku, tapi berkat keberadaan Paul, kami pun menjadi keluarga.
Mungkin dia sangat tersentuh dengan pemandangan ini.
Mungkin itu hanyalah perasaan yang bisa kumengerti saat aku memiliki anak nanti.
"Oh iya Rudi… ngomong-ngomong, kau benar-benar sudah menikah ya."
"Yeah, itu terjadi setengah tahun yang lalu."
"Begitu ya…. ah rasa-rasanya, baru kemaren kau hanya setinggi meja.”
"Beberapa tahun terakhir, tinggi tubuhku meningkat cukup pesat."
Aku pun baru menyadari bahwa tinggi tubuhku sudah setara dengan Paul.
Kurasa sekitar 170 cm
Paul hanya sedikit lebih tinggi dariku, tapi jika aku terus tumbuh, kurasa akhirnya aku akan
melebihinya.
"Sebaiknya kita mengadakan perayaan bersama semuanya, saat kita sudah kembali nanti."
"Aku setuju… bagaimanapun juga, ayah akan segera memiliki cucu. Kau akan segera menjadi
Paul-ojiichan."
"Hentikan. Aku tidaklah setua itu."
Meskipun berkata begitu, wajah Paul sungguh terlihat senang.
Akhirnya, senyum merekah di parasnya.
"Karena kau sudah berhasil membuat anak, maka Rudi juga sudah menjadi ‘pria’, kan?"

10
"Suamiku, menurutku kau tidak perlu mengatakan hal sevulgar itu."
Lilia pun menegur Paul yang meringis bagaikan pak tua.
"Gak papa kan… aku selalu ingin berbicara seperti ini bersama Rudi.”
"Tapi kan…."
"Kurasa kau juga tertarik mengenal Rudi lebih dalam."
"Tidak adil jika kau berkata begitu."
"Eh… eh… dengan siapakah kau pertama kali melakukannya? Sylph? Atau mungkin Eris? Aku
dengar kau dan Eris telah berpisah. Lalu, apa yang kalian bicarakan saat berpisah? Apakah yang
seperti itu?"
Sepertinya Paul sedang membicarakan hal-hal vulgar tentang pria dewasa.
Aku pun merasa bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk membahas hal-hal seperti itu.
Yahh, bukannya aku tidak mengerti sih.
Dia sudah lama tak berjumpa denganku, dan tampaknya dia cukup bersemangat kali ini.
Aku yakin dia tidak pernah menunjukkan wajah seperti ini di depan rekan-rekannya.
Aku pun senang melihat Paul kembali bersemangat seperti ini.
Karena hubunganku dengan Paul cukuplah baik.
Besok lusa, kami mulai memasuki dungeon. Aku yakin, pada waktu itu, semua kesenangan ini
akan sirna.
Untuk hari ini, biarlah dia melepaskan semua penatnya dan mengatakan apapun yang dia inginkan.
"Ayah bukanlah orang yang begitu percaya diri. Namun, meskipun kelihatannya begini, saat muda
dulu ayah sering main cewek lho.”
Yahh, apa boleh dikata, baiklah… akan kulayani kau ngobrol sekarang.
"Ah iya… ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu soal itu…."
"Bahkan Rudeus-sama jadi ikut-ikutan…."
"Lilia hanya jaim, tapi di atas ranjang, dia cukup hebat lho."
"Suamiku! Hentikan itu!"
"Kalau dipikir-pikir lagi, ada saatnya dimana Lilia-san pernah menggodamu, kan? Tolong
ceritakan lagi hal itu secara rinci.”
"Rudeus-sama! Kau juga…. hentikan! Kumohon..."
Lilia pun hanya bisa mendesah sembari menegur kami berdua.
Namun, dia tersenyum.
Setelah itu, kita terus ngobrol sampai larut malam.

11
Bagian 4
Tengah malam
Lampu sudah dimatikan, dan aku berbaring menyamping di kasur.
Mungkin Paul dan Lilia telah tertidur.
Di kasur, aku dapat mendengar suara nafas yang pelan.
Sepertinya mereka berusaha tidak menggangguku saat aku sudah tidur.
Paul telah berjanji bahwa dia tidak akan main wanita sampai Zenith ditemukan.
Aku yakin, dia menjaga janjinya itu dengan baik.
Aku terlalu bersemangat saat membahas hal-hal dewasa bersama Paul, sampai-sampai aku sulit
tidur.
Aku tidak pernah mengira bahwa aku akan membicarakan hal-hal berbau ero dengan ayahku
sendiri.
Dalam kehidupan ini, kau tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti.
Yahh, sampingkan dulu itu.
Ini hanyalah masalah waktu.
Bagaimanapun juga, hidupku masihlah berada dalam genggaman Hitogami.
Itulah yang kurasakan.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku bisa mendapatkan buku itu, karena aku bersekolah di Akademi Sihir.
Kalau aku tidak bersekolah di Akademi Sihir, maka aku tidak akan pernah menyelidiki tentang
insiden metastasis. Dan tentu saja, aku tidak akan pernah berjumpa dengan buku itu, yang
memberiku informasi detail mengenai dungeon teleport. Itu artinya, hari ini pun kami akan berpikir
seribu kali untuk mengeksplorasi ulang dungeon tersebut.
“Kau akan menyesal jika pergi ke Benua Begaritto”.
Saat mengatakan itu pun, nada bicaranya masih sama seperti biasanya. Yang mana, semua
sarannya selama ini selalu berakhir dengan positif.
Dia menyarankan agar aku menjauhi Benua Begaritto, dan berhubungan dengan Rinia atau Pusena.
Kurasa, dia tahu bahwa aku akan menolak saran itu.
Jika Hitogami tidak mengatakan apa-apa, atau Hitogami memaksaku untuk pergi, maka
kemungkinan besar aku akan tinggal di Ranoa. Tapi dia tidak pernah memaksaku, dia hanya
mengatakan bahwa “jika” aku pergi, maka aku akan menyesalinya.
Sebenarnya, aku ingin memberontak pada Hitogami, namun taruhannya adalah keselamatan
Sylphy.
Kalau begini caranya, aku tidak boleh melakukan sesuatu yang sembrono.

12
Contohnya, mungkin saja aku bisa mengirim Ruijerd ataupun Badigadi ke Begaritto, yang jelas-
jelas lebih kuat dariku.
Aku penasaran, apakah Hitogami juga sudah mengantisipasi rencana tersebut.
Faktanya, segala hal yang kubutuhkan untuk menyelamatkan Zenith, telah kudapatkan di Akademi
Sihir beberapa tahun yang lalu.
Sebenarnya, siapa sih Hitogami itu......
Aku pun penasaran, apa yang dia inginkan dariku.
Apakah dia hanya ingin mendapatkan hiburan saat menonton kehidupanku berlangsung?
Namun, sama seperti biasanya, aku selalu tidak tahu bagaimana akhir permainan ini.
Kalau begitu, dia pasti adalah sekutuku.
Mungkin saja dia akan muncul lagi malam ini.
Tapi, sepertinya waktunya terlalu pas.
Jika semuanya berjalan dengan baik, aku akan memberikannya sebuah hadiah.
Aku tidak tau apa yang ia sukai, atau apakah dia akan bahagia nantinya.
Aku pun tertidur ketika memikirkan hal itu.
Tapi Hitogami tidak pernah muncul dalam mimpiku.

13
Bab 2
Memasuki Dungeon

Bagian 1
Dungeon teleportasi.
Sekilas, itu terlihat seperti sebuah gua biasa.
Tidak ada yang aneh di sini.
Wujudnya hanyalah lubang yang menganga pada sebuah lereng.
Banyak sekali terdapat monster laba-laba di sekitarnya, dan banyak pula monster lain yang
terjebak pada jaring laba-laba tersebut.
Bahkan jika seseorang melihat foto tempat ini, dia pasti hanya mengiranya sebagai gua biasa.
Namun, jika kau datang ke sini, maka kau akan merasakan suatu hal yang berbeda.
Meskipun hanya berdiri di mulut gua, kau bisa merasakan bahwa di dalam sana ada labirin yang
rumit.
Kau akan merasakan sesuatu yang menakutkan.
Namun, aku juga merasakan suatu hal yang merangsang keingintahuanku di dalam sana.
Aku pun penasaran, apakah setiap dungeon selalu memancarkan aura seperti ini.
"Baiklah, Rudi. Kita hanya perlu melakukan apa yang telah kita rencanakan sebelumnya, kan?"
"Ya."
Paul menepuk bahuku dan mengangguk.
Kita membentuk formasi seperti yang telah kita atur sebelumnya, kemudian kami pun memasuki
dungeon.
Ini adalah pertama kalinya aku memasuki suatu dungeon, tapi aku tidaklah se-antusias itu.
Yang kurasakan hanyalah tekanan agar tidak melakukan kesalahan.
"Suamiku, mudah-mudahan dewi fortuna menaungimu."
"Semuanya, berhati-hatilah."
Lilia, Vera, dan Shera pun kembali ke kota dengan menunggangi kuda.
Saat kelompok besar menaklukan dungeon, mereka juga membuat sebuah perkemahan pada pintu
masuk dungeon.
Untungnya, Lapan hanya berjarak sehari perjalanan dari sini, atau mungkin setengah hari jika kau
terburu-buru.
Jadi, kau tidak perlu membangun perkemahan di luar mulut gua.
14
"Baiklah."
Dalam gua cukup gelap, tapi kau masih bisa melihat sesuatu.
Masih ada beberapa benda di dalam gua tersebut yang memancarkan cahaya redup.
Namun, aku yakin bahwa kegelapan di dalam gua ini akan berakibat fatal jika kita lengah
"Aku akan membuat sebuah cahaya."
"Yeah."
Sesaat setelah memasukinya, aku pun menggunakan gulungan yang pernah diberikan Nanahoshi.
Gulungan itu berisi roh cahaya, dan begitu dia keluar, dia mengelilingi kami sembari menerangkan
ruangan.
Gisu juga menggunakan gulungan yang sama denganku.
Karena dia memiliki peran sebagai pemandu, maka dia juga memerlukan sumber cahaya lainnya.
Kami telah mencobanya kemarin, gulungan tersebut juga bisa digunakan oleh Paul dan Gisu.
Gulungan ini bisa bertahan lebih lama jika kau alirkan Mana padanya. Itu berarti, lebih baik aku
yang menggunakannya, namun sepertinya konsumsi Mana-nya begitu kecil.
Dengan adanya roh cahaya, kami pun memutuskan untuk tidak membawa obor.
Lagian, kalau salah satu tanganmu membawa obor, itu hanya akan menyusahkan gerakanmu.
Cahaya roh ini lebih terang daripada cahaya obor, meskipun kau hanya menuangkan sedikit Mana
padanya, cahaya tersebut bisa bertahan lama.
Kalau gulungan seperti ini diperdagangkan secara luas, bisa-bisa tidak ada lagi orang yang mau
membeli obor.
"Paul, putramu benar-benar membawa benda yang penting."
"Yeah, bagaimanapun juga, dia adalah putra kebanggaanku."
Paul menaruh tangan pada dadanya dengan begitu bangga, dan Talhand pun mengatakan itu
dengan takjub.
"Dia memang membanggakan, tapi sepertinya ayahnya tidak."
"Jangan bilang begitu, karena itu hanya akan mengganggunya."
Bahu Paul tampak lemas, dan dia sedikit mendesah.
"Kita harus buru-buru."
Dengan aba-aba dari Gisu, kami pun terus masuk ke dalam dungeon ini.
Bagian 2
Lantai pertama.
Kami mulai berjalan di dalam gua yang tampak seperti sarang semut.

15
Terdapat benang putih yang membentang di sepanjang dinding dan langit-langit gua. Ketika kami
masuk lebih dalam, kami bahkan menemukan beberapa lingkaran sihir teleportasi yang
memancarkan cahaya putih kebiruan.
Aku mengirimkan roh cahaya ke sana, dan cahaya pada lingkaran tersebut semakin berpijar.
"Kadang-kadang, ada beberapa lingkaran sihir teleport yang tidak bercahaya, jadi pastikan kalian
tetap waspada.”
"Benar Rudi, jadi ikutilah langkah Gisu."
Gisu memimpin, dia berada 10 meter di depan kami.
Dia memakai sepatu yang unik.
Tempat yang barusan dia injak, meninggalkan tanda berbentuk silang yang dalam.
Tampaknya, terdapat semacam stempel berbentuk silang pada alas sepatunya.
Tentu saja, itu bukanlah benda sihir yang harus menggunakan Mana.
Aku penasaran, apakah benda seperti itu selalu dimiliki oleh para petualang profesional.
Sepatu itu juga menjaganya agar tidak mudah tergelincir, sungguh benda yang berguna.
Namun, di lantai ini, masih mudah bagi kami menemukan tempat-tempat yang terdapat lingkaran
sihir teleport.
Monster yang berada pada lantai ini adalah Tarantula Deathlord.
Namun, ada beberapa monster lain pada laintai ini, yang biasanya diburu oleh Tarantula Deathlord
sebagai mangsa.
Orang yang benci laba-laba, pasti sangat merana di lantai ini.
Ketika ada sekawanan laba-laba yang merambat di tanah, ada beberapa ruang di antara mereka.
Ruang-ruang tersebut tampaknya adalah tempat di mana lingkaran sihir teleport berada.
Jika ada orang yang membenci laba-laba menginjak mereka secara asal, tanpa memperhatikan
ruang-ruang tersebut, maka dia akan terjebak di dalam lingkaran sihir teleport.
Kami pun akhirnya bertemu dengan sekawanan laba-laba yang merambat di tanah, kemudian kami
menginjaknya dengan suara, krush…krush…
Rasanya sungguh aneh ketika kakimu menginjak makhluk-makhluk itu, tapi… mau bagaimana
lagi.
Yahh, setidaknya kami belum menemukan sekawanan Tarantula Deathlord, yang berlevel B itu.
Sesekali, ada seekor-dua ekor yang muncul. Namun saat Gisu menemukannya, Paul segera
membasmi mereka dengan pedangnya.
Sampai saat ini pun, aku masih belum dapat giliran untuk beraksi.
"He~..., sepertinya ini akan berjalan baik."
Paul adalah seorang pengguna pedang ganda, dan serangannya juga cepat.

16
Pedang ganda.
Salah satunya adalah pedang yang sering kulihat di rumah dulu. Sudah pasti, itu adalah pedang
kesayangannya.
Aku tidak tahu, apakah pedang itu menyimpan semacam kekuatan khusus, tapi yang jelas pedang
itu bisa memotong Tarantula Deathlord menjadi dua bagian dengan hanya sekali tebas.
Terlepas dari kekuatan apapun yang tersimpan pada pedang tersebut, aku yakin kemampuan Paul
lah yang membuat lawannya tumbang dengan begitu mudah.
Pada tangan kirinya, terdapat pedang dengan bentuk yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Kurasa, pedang tersebut dikategorikan sebagai pedang pendek.
Tidak sependek belati sih, tapi juga tidak sepanjang pedang normal.
Terdapat pelindung tangan pada gagang pedang itu, ujungnya sedikit melengkung, dan bermata
ganda. [2]
Ada beberapa lubang pada tengah pedangnya, fungsinya adalah agar pedang tersebut tidak
tersangkut pada benda yang dipotongnya.
Dia tidak sering menggunakan pedang melengkung itu.
Paul terus bertarung dengan menggunakan pedang di tangan kanannya.
Aku jadi ingin tahu, untuk apakah pedang di tangan kirinya itu?
Apakah hanya untuk bergaya? Karena dia mengidap Chuunibyou?
"Benar, ini sangatlah lancar."
Yahh…. Terserah lah.
Setiap kali dia menghabisi musuhnya, Paul selalu melirik ke arahku, seolah-olah dia ingin aku
melihat betapa hebat aksinya.
Sangat menganggu.
Mungkin dia ingin berlagak keren di harapanku.
Ya… ya…. kau memang keren, jadi aksi pamermu itu jangan sampai membuatmu lengah, oke…?
"Paul! Lihatlah ke depan dengan benar!!"
Lihat, Elina-obaachan telah menegurnya.
"Kami kan sudah berkali-kali melewati lantai pertama. Ini mudah kok.”
"Itu artinya kau menyepelekan tempat ini, dan itu bisa membuatmu terbunuh."
"Aku tahu… aku tahu… kau tidak perlu repot-repot mengingatkanku."
“Sejak tadi kau hanya bermain-main, bukankah itu keterlaluan?”
“Kan sudah kubilang, ini masih di lantai pertama, jadi kenapa kau terlalu serius?”
Paul dan Elinalise mulai bertengkar.

17
Aku mendengar ucapan Talhand di belakangku, "Ya ampun, mereka mulai lagi." Sembari
mendesah ringan.
"Selain diriku, ini juga pertama kalinya bagi Rudeus mengeksplorasi dungeon, jadi kau harus
memberikan contoh yang baik sebagai orang yang lebih dewasa!!”
"Aku sedang memberi contoh yang baik, yaitu melepaskan ketegangan yang berlebihan!! Bahkan,
kita bisa melakukan ini sembari mengobrol, kan!”
"Berhenti berbohong! Entah kenapa, saat ini aku merasakan suasana yang sama ketika Zenith
memasuki kelompok kita, dan waktu itu kau begitu menyebalkan!”
"Kalau kau merasa begitu, ya silahkan saja! Lihatlah sekarang, kau mulai ngomel lagi!"
"Tentu saja aku mengomel, karena kau adalah putraku! Itulah kenapa kau pantas diomeli!”
Setelah Elinalise mengatakan itu, Paul tertawa sedikit.
"Apa maksudmu dengan putra? Kau telah menghabiskan waktu yang lama bersama Rudi, apakah
kau mulai menganggapnya sebagai anakmu sendiri? Kemudian, sekarang kau menyamakan aku
dengan Rudi? Hentikan itu. Kalau kau sok menjadi ibuku, maka aku mulai merinding nih.”
"... Oh, ya ampun… Rudeus, jadi kau belum memberitahunya?”
"Memberi tahu apa?"
"Sylph adalah cucuku. Kenyataannya adalah, Rudeus menikahi cucuku, jadi kau juga bagian dari
keluargaku sekarang. Dengan kata lain, orang tua Rudeus adalah anakku.”
Kaki Paul berhenti.
Dia perlahan menoleh padaku, kemudian sedikit mundur.
Formasi telah hancur, dan semuanya pun ikutan berhenti.
"He ... hey, apa maksudnya Rudi ... Sylph itu adalah cucunya, sepertinya Elinalise telah
mengatakan suatu hal yang konyol."
Kalau dipikir-pikir, aku memang belum pernah menceritakannya, ya?
"Entah bagaimana ceritanya, tapi nampaknya Rawls-san adalah anaknya Elinalise."
"Rawls? Pria itu, tidak pernah mengatakan sesuatu mengenai ini."
"Yahh, nampaknya banyak hal telah terjadi di masa lalu, sehingga dia merahasiakan status
Elinalise sebagai ibunya.”
"Ah ... aku mengerti sekarang…. Bukannya aku gak paham kok.”
"Lupakan itu sejenak… kita harus terus maju. Berhati-hatilah, jangan sampai lengah."
"Ye..yeah."
Sepertinya Paul sudah memahami keadaannya, kemudian dia pun kembali bersiaga.
"Ya ampun… jadi sekarang hubungan keluarga antara aku dan Elinalise sudah terbentuk? Serius
nih?”

18
Dia mengucapkan itu sembari bergumam.
Sepertinya dia cukup syok saat mengetahui kenyataan ini.
Bagian 3
Lantai pertama sangatlah mudah.
Seperti yang dikatakan Paul, bahwa dia telah melewati tempat ini beberapa kali.
Setelah istirahat sejenak, kami terus menelusuri lorong, kemudian berakhir pada suatu ruangan
besar yang dipenuhi oleh Tarantula Deathlord.
Membasmi kawanan monster itu adalah peranku sebagai penyihir.
Namun, sebelum kami memasuki ruangan tersebut, Talhand memberikanku beberapa saran.
"Dengar baik-baik, jangan gunakan api."
"Kenapa?"
"Jika kau menggunakan api, racun mereka bisa menyebar pada seluruh ruangan. Apalagi kalau
berada dalam lantai yang lebih dalam."
"Apa itu tidak dapat disembuhkan dengan menggunakan sihir detoxifikasi?"
"...Tidak dapat."
Racun ya…. mungkin yang dia maksudkan adalah racun dari gas karbon monoxida.
Jika kau menyalakan api dalam ruangan sempit, maka api akan membakar oksigen dan
membuatmu menjadi sangat lemas.
Hal yang sama terjadi jika kau mengaktifkan mantra api.
"Dan juga… kau tidak boleh menyerang laba-laba yang menempel di langit-langit, kau tahu betul
alasannya, kan?"
"Karena itu dapat meruntuhkan gua."
"Benar, jadi jangan menggunakan terlalu banyak sihir air, usahakan untuk menggunakan sihir es
saja."
"Dimengerti."
Jika kau menggunakan sihir air secara berlebihan, tanah akan menjadi goyah.
Menggunakan sihir air dengan jumlah sedang tidaklah masalah, begitupun dengan sihir tanah.
Meski begitu, saat menggunakan sihir tanah kau tidak sengaja memakai batu-batuan yang
menopang gua, maka itu juga akan menjadi masalah.
Aku yakin akan lebih baik menggunakan es.
Pilihan yang tepat adalah hal yang telah dipikirkan matang-matang oleh sang pemberi nasehat.
Karena alasan itu, aku menggunakan sihir es tingkat lanjut, Blizzard Storm.
Sihir itu akan menciptakan hujan tombak es.

19
Agar sihirku tidak mengenai Paul dan yang lainnya, pertama-tama aku harus membasmi bagian
tengah dari kawanan laba-laba tersebut.
"Oh, muridnya Roxy memang jempolan – kau menggunakan sihir yang sama dengannya."
Aku bisa mendengarkan gumaman Talhand dari belakang.
Sepertinya Roxy juga menggunakan Blizzard Storm, sama sepertiku.
Itu membuatku senang.
“Terlebih lagi, kau menggunakan mantra tanpa suara, ya? Aku bisa mengerti mengapa Roxy begitu
membanggakanmu.”
Sembari mendengarkan pujian-pujian dari Talhand, kawanan laba-laba pun berhasil aku
musnahkan.
Kami pun terus bergerak maju.
Setelah menghancurkan jaring laba-laba, kami menginjak lingkaran sihir teleportasi di dalam.
Kami diteleport pada suatu lorong, kemudian kami menemukan sarang laba-laba lainnya.
Kami telah mengulangi hal tersebut sebanyak lima kali, semenjak memasuki dungeon.
Tentu saja, berkat lingkaran sihir itu, kami bisa tahu apakah ada perbedaan antara informasi yang
disampaikan oleh buku itu, dengan kondisi nyata di lapangan.
Sebenarnya, kami sudah tahu ke manakah kami akan dikirim oleh lingkaran-lingkaran sihir
teleport di lantai pertama, namun kami sengaja melakukannya lagi untuk mengonfirmasi
kebenaran buku tersebut.
Teleportasi dua arah.
Bentuk, warna, dan karakteristik.
Kami terus maju sembari mengecek apakah semua yang tertulis di buku itu cocok dengan
kenyataan.
Kira-kira, memerlukan waktu selama 1 jam untuk tiba di lingkaran sihir bumi.
Karena kami mengulangi perjalanan sebanyak lima kali, maka waktu total yang kami butuhkan
adalah 5 jam.
Di ruangan terakhir, terdapat lingkaran sihir yang memiliki cahaya biru yang bersinar lebih terang,
dan ukurannya pun lebih besar daripada yang pernah kami temui sebelumnya.
Lingkaran sihir teleport itu mengarah pada lantai ke dua.
Dalam ruangan terakhir di lantai pertama, terdapat banyak sekali sarang laba-laba.
Disana ada dua lingkaran sihir yang berbaris.
Bentuk keduanya sih relatif sama, orang awam pasti berpikir demikian. Namun, aku yakin bahwa
salah satunya adalah palsu.

20
Di dekat salah satu lingkaran sihir tersebut, terdapat tanda berupa lingkaran besar yang terukir
pada suatu batu.
Itu adalah tanda yang Gisu tinggalkan, untuk mengetahui manakah lingkaran sihir teleport yang
asli.
Setelah meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dengan informasi yang tertulis di buku, kami pun
menginjak lingkaran sihir yang asli.
Lantas, kami menuju ke lantai kedua.
Bagian 4
Lantai kedua.
Mulai dari sini, bisa terlihat Iron Crawler yang merayap di sekitar.
Laba-laba kecil yang merayap di lantai pun sudah tak terlihat lagi, dan jumlah sarang laba-laba
juga menurun.
Sekarang, tanah terasa lebih lembut.
Iron Crawler memiliki tinggi sekitar satu meter, lebarnya sekitar dua meter, dan pawakannya
terlihat gemuk.
Mereka mirip seperti seekor cacing yang keluar dari Nausicaa. [3]
Dari penampilannya, mereka kuat dan ulet.
Tapi, berbeda dari penampilannya, ternyata gerakan mereka cukup cepat.
Bukannya seperti ulat, mereka lebih mirip seperti kelabang.
Tampaknya mereka bersengkokol dengan tarantula. Iron Crawler ini berperan layaknya perisai
yang melindungi tim, sedangkan kawanan laba-laba menembakkan jaring dari belakang mereka.
Jika kau terjebak jaringnya, maka tubuh gemuk makhluk ini yang beratnya sekitar 1 ton akan siap
melindasmu.
Iron Crawler sangatlah tangguh, bahkan Paul tak dapat memotongnya dengan sekali tebasan.
Hal yang sama juga terjadi pada Elinalise.
Itulah kenapa, giliranku tiba.
Aku bisa menembakkan dua sihir dalam waktu yang sama.
Sembari menembakkan Blizzard Storm pada kawanan laba-laba di belakang mereka, aku juga
menembak Iron Crawler yang sedang dihadapi Paul dan Elinalise dengan peluru batu.
Nampaknya Iron Crawler lebih sulit dibunuh jika aku hanya menggunakan peluru batu biasa,
namun itu bukanlah masalah, karena aku bisa mempertajam peluru batuku dan juga mempercepat
lajunya.
Peluruku dengan mudah menembus tubuh gemuk makhluk itu.

21
Meskipun begitu, cacing memang makhluk bandel. Setelah peluruku menembus tubuhnya, mereka
masih menggeliat ke kanan-kiri dengan begitu liar, dan tidak langsung mati.
"Kalau begini terus, aku gak kebagian giliran nih."
Sembari aku terus menembakkan sihir, Talhand bergumam di belakangku dengan nada malas.
Dia ditempatkan tepat di belalangku, agar siap membantu jikalau dibutuhkan.
Meskipun begitu, untuk menghindari kemungkinan terburuk, aku selalu mengikuti arahan tiga
orang di depanku, yaitu Paul, Elinalise, dan Gisu.
Sampai sejauh ini, Talhand sama sekali tidak melakukan apa-apa.
Yahh, gak papa lah.
Kalau ada tenaga cadangan seperti ini, akan terasa lebih aman.
Tarantula Deathlord terus menembakkan jaring lengket mereka ke udara.
Harusnya sih Tarantula tidak mengeluarkan jaring, layaknya laba-laba pada umumnya, tapi
makhluk ini sungguh berbeda.
Kadang-kadang, mereka menembakkan jaringnya padaku, namun tidak pernah kena sasaran
karena aku terus mengaktifkan mata iblisku.
Meskipun kena, aku hampir tidak merasakan apapun, kemudian aku segera membakar jaring-
jaring tersebut dengan sihirku. Selesai deh.
"Ah, sial."
"Ueh... lengket banget sih?"
Meski demikian, bukan berarti rekan-rekan di barisan depan bisa menghindari semua jaring itu.
Paul dan Elinalise pun terjebak oleh jaring yang begitu lengket, sehingga mereka susah bergerak.
"Pakai ini… dan jangan buang waktu lagi."
Aku sih bisa saja membakar jaring-jaring lengket itu, namun Gisu punya semacam cairan yang
bisa meleburkan jaring tersebut. Kemudian, dia pun memberikannya pada kedua rekannya itu.
Sepertinya, itu adalah cairan kimia khusus yang hanya bisa didapatkan di Benua Begaritto, dan itu
aman bagi kulit manusia.
Tapi, kulit akan terasa kasar jika kau mengoleskannya, dan itulah yang dikeluhkan oleh Elinalise.
Kurang lebih, efeknya seperti deterjen pakaian.
Mungkin, aku bisa membawa cairan itu pulang nanti, kemudian kugunakan untuk mencuci piring
dan pakaian.
"Baiklah, bagaimana kalau kita beristirahat sebentar."
Setelah pertarungan usai, kami pun memutuskan untuk istirahat.
Setelah Gisu mengatakan itu, kami duduk di sisi gua.
Namun, Talhand dan Elinalise tetap berdiri.

22
Setelah duduk, Paul melepaskan armor dan pedangnya, kemudian mengelap cairan-cairan dari
monster yang menempel padanya.
Selama istirahat, dia mengecek semua peralatannya dengan cepat.
Aku sudah terbiasa bertarung seperti ini, tapi Paul malah menanyakan sesuatu yang lebih
profesional.
"Ada apa denganmu, Rudi? Kau harus bisa menghabisi mereka lebih cepat."
"Ah, ya."
Secara tidak langsung, itu adalah teguran agar aku bekerja lebih keras, atau mungkin ada yang
salah dengan peralatanku? Maka, aku pun memeriksanya.
Namun, kerjaku hanyalah menembakkan sihir dari jarak jauh, jadi… paling-paling yang harus
kuperiksa hanyalah keadaan tongkat sihirku.
Namun demikian,
Paul tetap diam.
Saat kami beristirahat di lantai pertama tadi, Paul hanya menanyakan, "Bagaimana keadaanmu?",
tapi di lantai dua ini, dia malah mengkritikku. Itu artinya, keseriusannya mulai muncul.
Ayah memang keren.
"Cheh.. ada yang menempel."
Paul mengeluh sembari mengelap cairan yang menempel pada armornya dengan selembar kain
perca.
"Bagaimana kalau ayah menggunakan cairan kimia yang barusan Gisu berikan?"
"Cairan yang buat meleburkan jaring laba-laba itu, kan?"
Sambil mengatakan hal itu, Paul pun menggosokkan cairan kimia pemberian Gisu pada armornya.
Lalu, secara mengejutkan armor itu kembali berwarna putih berseri.
Ah, tidak… armor itu tidak berwarna putih sih
"L-langsung hilang...., terima kasih."
"Tidak, tidak."
Sudah kuduga, cairan itu hanya deterjen.
Kalau aku membelinya, kemudian kubawa pulang, apakah Sylphy bakal senang, ya?
Kalau memungkinkan, bisakah aku membuat cairan seperti itu setelah pulang ke Ranoa nanti?
Paul pun memakaikan armornya kembali, setelah membersihkan kotoran pada benda itu. Dia juga
menaruhkan pedangnya pada pinggang, kemudian berjalan menuju Elinalise.
Saat aku berpikir agar menggatikan posisi Talhand dan Gisu, mereka pun memanggilku.
"Senpai, penjagaan aman."

23
"Benarkah?"
"Ya… Dan… Ah, kinerja si tua hidung belang itu sungguh tidak efektif. Mulai dari sekarang, aku
ingin senpai lebih berperan dalam kelompok ini.”
"Gak papa nih kalau kita mengesampingkan ayah?"
"Tidak apa-apa, daripada dia, Senpai lebih pintar."
Sementara Gisu terus menyindir Paul, dia pun mengeluarkan buku dan peta dari tasnya.
Dia mengeluarkan dua peta.
Salah satu petanya tergambar dengan begitu baik, namun yang satunya lagi adalah peta yang
barusan dia gambar pada eksplorasi kali ini.
"Tak lama lagi kita akan sampai pada lantai ketiga. Tempat di mana Roxy kemungkinan berada
adalah…… di sini. Kalau kita beruntung, Roxy harusnya masih berada di sekitar sini. Kalau
menurut buku ini… ya di sini.”
"Ya."
Menurut informasi dari buku ini, tampaknya jebakan teleport hanya akan memindahkan korbannya
pada lantai yang sama.
Meskipun teleportasinya tidak menentu, nampaknya kau tidak akan dibawa langsung ke monster
bos di lantai terbawah.
Artinya, Roxy masih berada di lantai ketiga.
Sayangnya, menurut buku ini, jika kau terjebak dalam perangkap teleport, kau akan langsung
dibawa ke sarang monster.
Masalahnya adalah, kita tak pernah tahu apakah lingkaran sihir teleport yang kita injak akan
membuat kita di-teleport ke lorong lainnya, atau malah ke sembarang tempat.
Apapun itu, kalau Roxy masih hidup, maka besar kemungkinannya dia masih berada di lantai
ketiga.
Tentu saja, ada kemungkinan ia bisa keluar ke lantai kedua atau pertama.
Namun, Roxy sudah beberapa kali mengeksplorasi lantai kedua.
Kalau memang Roxy diteleport ke lantai dua, orang sesakti dia pasti sudah mengatasi monster-
monster di sana dengan begitu mudah. Kemudian, dia bisa naik ke lantai pertama, dan akhirnya
keluar dari dungeon ini. Tetapi nyatanya, sampai detik ini pun dia masih terjebak di dalam
dungeon.
Itu berarti, dia masih mendekam di lantai ketiga.
"Kau tidak punya sihir yang bisa mencari orang dengan mudah, ya?"
"Ya, aku tidak memilikinya."
Aku bisa memikirkan penggunaan sihir yang telah kukuasai, namun sayangnnya aku tidak bisa
membayangkannya dengan begitu cepat.

24
"Tidak apa-apa kok, gunakan saja intuisimu. Senpai, menurutmu, di manakah Roxy berada di
sekitar sini?”
“Intuisi katamu…..”
"Dalam dungeon ini, kita tidak bisa terus berjalan dengan mengikuti sisi kanan. [4] Kita juga tidak
bisa mencari di seluruh tempat, karena jebakan tersebar di mana-mana.”
"Ya, kalau begitu, ayo kita mencari di sini."
Aku mengatakan itu sembari menunjuk suatu area kosong di peta.
"Area timur dari tempat Roxy menghilang, ya? Kalau begitu, ayo ke sana."
Beneran nih? Kau mempercayaiku begitu saja?
Kurasa, akan lebih baik jika kita mencari di setiap tempat, dan juga… menurutku, menggunakan
aturan sisi kanan masih bisa diterapkan sih.
Namun, tak satu pun dari kami bisa menganalisis tempat ini secara pasti.
Yang jelas, kami tidak punya cara lain untuk mencari Roxy, selain berjalan mengelilingi tempat
ini sembari memeriksa area-area yang belum pernah kami jamah sebelumnya.
"Sayangnya, tanpa Roxy, kami tidak bisa melalui lantai kedua. Itulah kenapa kami tidak bisa
kembali ke lantai tiga selama sebulan terakhir. Berkat senpai lah, akhirnya kami bisa kembali ke
tempat ini. Kawanan Iron Crawler itu sungguh merepotkan.”
"Tentu saja."
Sepertinya monster-monster itu tidak senang dengan Talhand.
Sedangkan Paul tidak bisa mengatasi jeratan jaring laba-laba, sehingga mereka tidak bisa terus
melangkah maju.
Vera memiliki kemampuan bertahan yang buruk. Tidak mungkin dia bisa membasmi monster-
monster itu seperti Elinalise.
Agar bisa melalui lantai kedua, diperlukan seorang penyihir yang bisa menembakkan sihir api atau
es.
Akan tetapi, Roxy masih hilang, pantas saja mereka tidak bisa melalui lantai kedua seperti dulu.
Kalau begitu, saat Roxy menghilang sebulan yang lalu, bagaimana cara mereka keluar dari
dungeon ini?
"Kami bisa saja menyewa penyihir lain untuk kembali mengeksplorasi dungeon ini. Tapi
sayangnya, ternyata tidak banyak penyihir di daerah ini. Bahkan di antara mereka tidak ada yang
berpengalaman menjelajahi dungeon.”
Sepertinya Gisu sudah melakukan berbagai cara untuk kembali ke sini.
Oh iya, waktu bertemu denganku dan Elinalise di Guild Petualang, sepertinya dia sedang
membujuk seseorang untuk bergabung dengan kelompok ini.
Nampaknya cara itu juga tidak berjalan mulus.

25
"Aku yakin kalau Gisu-san sudah berusaha yang terbaik."
"He-... gak papa kok. Lagian, jangan panggil aku dengan akhiran -san…. Kupingku terasa gatal
kalau senpai memanggilku seperti itu. Panggil saja kouhai.”
"Aku tahu, kouhai. Lain kali, akan kukenalkan kau dengan monyet betina yang imut, sehingga
kalian bisa saling menggosok punggung.”
"Oh, kedengarannya bagus. Lagian, di sini gak ada distrik remang-remang. [5]
Tunggu dulu….
Kenapa harus monyet betina!!? Hey, aku ini bukan binatang!!”
Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengan Gisu, tapi simpan saja untuk nanti.
Mulai dari sini, aku akan banyak membicarakan tentang rute eksplorasi dungeon bersama Gisu.
Peta yang dibuat oleh Gisu sangat mudah untuk dibaca.
Namun, jika kau bandingkan dengan peta lantai pertama, masih terdapat banyak ruang kosong
pada peta lantai kedua, itu artinya masih banyak hal yang belum mereka jamah di lantai kedua.
Kalau kebetulan Roxy dan Zenith berada pada area-area yang belum diketahui tersebut, maka itu
sangatlah buruk.
Aku jadi merasa tidak nyaman, namun pertama-tama kami harus melanjutkan perjalanan dengan
mengeksplorasi lantai ketiga.
Kami juga harus kembali meninjau lantai kedua, dan melakukan pencarian secara menyeluruh di
sana.
"Gisu, kira-kira sekarang kita berada di mana?"
Elinalise tiba-tiba nimbrung pada percakapan kami.
Gisu pun menjawabnya sembari menunjukkan peta tersebut.
"Sekarang, kita berada di sini."
"Jadi, kita sudah hampir sampai pada ujung lantai kedua, kan?"
"Yeah, tapi laba-laba dan Iron Crawler masih kerap muncul."
"Jenis-jenis monsternya tiba-tiba berubah pada setiap lantai, itu berarti dungeon ini cukup
merepotkan, ya..”
Elinalise tiba-tiba mengibaskan rambutnya.
Rambut roll kebanggaannya pun mulai lembek.
"Ngomong-ngomong Gisu, kenapa kau memanggil Rudeus dengan sebuatan Senpai?"
"Ihih….. semuanya bermula pada penjara Durodia…..."
"Penjara Dorudia, yang pernah dikatakan oleh Ghysaline sebelumnya, kan? Ada apa di sana?"
"Setelah kita kembali nanti, akan kuceritakan lebih rinci."
Sembari nyengir dan tertawa, Gisu pun berhenti membahas topik itu.

26
Penjara Durodia… ahh, kangen juga sama saat-saat itu.
Dulu, hidupku penuh dengan kebebasan.
Dulu, aku juga begitu liar.
Sekarang, di atas ranjang pun aku terlihat liar, kan?
Kalau membahas kenangan masa lalu seperti itu, rasanya begitu tenang di hati.
Bagian 5
Sekarang, kami telah sampai pada lantai tiga.
Sepertinya, sudah 10 jam kami berada di dalam dungeon ini.
Namun, rasanya begitu cepat.
"Tadinya, kukira kita akan memerlukan beberapa hari untuk mencapai tempat ini."
"Itu hanya terjadi kalau kita belum punya peta."
Gumamanku langsung dijawab oleh Paul.
Menjelajah dengan peta dan tanpa peta, memang berbeda.
Tidak ada lagi laba-laba kecil yang merayap di lantai.
Sesekali, masih terdapat jaring laba-laba di dinding gua, namun tidak ada makhluk hidup yang
terjerat jaring tersebut.
Sebagai gantinya, aku merasakan kengerian atas terowongan yang semakin gelap ini.
Mulai saat ini, rintangan akan semakin berat.
Pertama, kami harus mencari Roxy.
"..."
Sembari memikirkan itu, seolah-olah aku bisa mencium aroma tubuh Roxy yang begitu
kurindukan.
Tidak, ini bukanlah imajinasiku.
Ini benar-benar aroma tubuh Roxy.
Tidak mungkin aku salah.
Aku dapat merasakan perasaan aneh yang bercampur dalam dadaku.
Di sini.
Aku yakin, sang dewi masih ada.

27
Bab 3
Perasaannya Saat Itu

Bagian 1
-- Sudut Pandang Roxy --
Aku mendegar suara kecil, lantas terbangun.
Yang bisa kurasakan hanyalah kegelapan dan sempit.
Rasanya begitu tidak leluasa.
Aku diteleport pada suatu ruangan yang sempit, bagaikan suatu sangkar.
Ukuran ruangan ini hanya cukup untuk satu atau dua orang berbaring.
Dan langit-langitnya pun pendek.
Bahkan cukup pendek untuk menyentuh bagian atas kepalaku.
Pada ruang sependek dan sesempit ini…….
Selama aku berada di sini, tak akan ada satu iblis pun yang muncul di sini.
Aku duduk pada bagian ujung dari tempat ini, menempelkan punggungku pada dinding, dan
memusatkan pandanganku pada obyek di hadapanku.
Ada lingkaran sihir di sini.
Dan lingkaran sihir itu bersinar dengan warna pucat secara samar.
Itu adalah lingkaran sihir yang bersifat teleport.
Jika kuinjak formasi tersebut, aku akan diteleport entah ke mana.
Kemungkinan besar, aku akan ditransfer ke sarang monster.
Sebuah ruangan kematian, dipenuhi dengan bermacam-macam iblis.
Sebulan yang lalu.
Aku tanpa sengaja menginjak sebuah jebakan.
Satu-satunya alasan yang bisa kuucapkan adalah : ”Apa boleh buat”
Saat bertarung, aku berusaha menghindari sebuah serangan, kemudian aku melangkah mundur,
sampai akhirnya tersandung batu.
Aku pun secara refleks mendorong tubuhku ke depan dengan kakiku yang lain.
Saat itu pun, aku memijak suatu lingkaran sihir teleport.
Bahkan sebelum bertarung, kami sudah mengecek bahwa di situ ada perangkap.
Tapi, ironisnya aku masih saja menginjak jebakan tersebut.
28
Pada tempat di mana aku diteleport, terdapat kawanan monster di sana.
Ada 20, tidak... 30... mungkin?
Aku adalah seorang penyihir.
Aku pun menyadari bahwa aku bukanlah penyihir biasa.
Meskipun aku tidak bisa menggunakan mantra tanpa suara, aku bisa menggunakan penyingkatan
mantra, sehingga aku bisa mengaktifkan sihir lebih cepat daripada penyihir lainnya.
Sebetulnya, aku pun sudah terbiasa bertarung…...
Biasanya aku tidak pernah sepanik itu.
Aku merasa bahwa aku akan segera dibantai oleh kawanan monster tersebut.
Tak peduli sebanyak apapun kukalahkan, iblis-iblis lainnya terus bermunculan menyerangku.
Iblis terus muncul satu per satu, sampai akhirnya memenuhi bidang pandanganku.
Semua monster di dungeon ini tahu ke manakah orang akan diteleport ketika terjebak dalam suatu
perangkap teleportasi.
Jadi, tempat ini adalah sarang bagi para iblis.
Ini adalah ruangan tempat para iblis berkumpul untuk menunggu mangsanya yang terjebak sihir
teleportasi, maka dari itu tempat ini disebut Ruangan Perangkap.
Aku sudah siap mati.
Tetapi aku masih bertarung.
Hati kecilku berkata bahwa tak lama lagi aku akan kelelahan, dan akhirnya berakhir dengan
dikerumuni kawanan monster itu, sampai mati.
Kutahu batasanku.
Mungkin Mana-ku masih tersisa sebesar 30%, ah tidak…. Sepertinya hanya 20%, dan jumlah
musuh seakan tidak kunjung berkurang.
Hanya mayatnya yang menumpuk, namun jumlah mereka seakan tidak pernah berkurang, dan
mereka terus memburuku.
Skak Mat sudah.
Tak seorang pun bisa menyelamatkanku.
Apakah aku telah dilupakan oleh mereka?
Kalau aku berada di posisi mereka, akankah aku kembali ke tempat ini untuk menyelamatkan
seorang gadis ceroboh?
Tak peduli sehebat apapun sihir yang bisa kugunakan, seorang gadis ceroboh tetaplah menjadi
beban bagi tim.
Tidak, kupikir mereka tidak melupakanku.

29
Bahkan, Paul juga berada dekat dengan jebakan itu, apakah dia berpindah pada suatu tempat?
Meskipun dia tidak begitu mahir bertarung, apakah dia bisa lolos dari jebakan itu?
Apapun itu, pertolongan tidak kunjung datang.
Meskipun aku tetap memberikan perlawanan pada monster-monster itu, perlahan-lahan aku
kehilangan keoptimisanku, dan akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah terisak-isak dan meratap.
Aku bisa merasakan Mana-ku berkurang secara konstan.
Sementara itu, aku melihat sebuah cahaya terang.
Di ruangan ini…. tiba-tiba muncul enam lingkaran sihir.
Anehnya, tidak ada monster yang bermunculan pada area yang terdapat lingkaran sihir tersebut.
Mungkin saja, monster-monster itu tidak dapat mendekati lingkaran sihir.
Sepertinya hanya ini kesempatanku.
Aku menggunakan sisa-sisa Mana-ku untuk menembus kawanan monster, kemudian aku pun
meluncur pada tempat yang terdapat lingkaran sihir itu.
Hingga akhirnya, aku berada di dalam ruangan ini.
Entah bagaimana caranya, yang jelas aku berhasil bertahan hidup sampai detik ini.
Itu hanyalah murni keberuntungan.
Aku bisa mendapatkan air sebanyak yang kumau dengan sihirku.
Aku memiliki beberapa makanan dalam tasku.
Aku akan memulihkan Mana-ku, kemudian keluar dari sini.
Aku pun menghabiskan sisa hari itu dengan berpikir.
Hari berikutnya, aku menginjak lingkaran sihir lainnya.
Kemudian aku diteleport pada sebuah lorong yang tak pernah kukenal.
Sepertinya, karakteristik lingkaran sihir di sini adalah mengirimmu ke tempat apapun secara acak.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan manusia di sekitar.
Aku melakukan pemetaan dengan pikiranku sendiri, agar bisa keluar dari dungeon ini, aku terus
bejalan maju.
Aku sempat berpikir untuk menunggu datangnya tim penyelamat, namun ada kemungkinan bahwa
kelompoknya Paul-san sudah terbantai semua.
Sekarang, aku tahu betul bahwa jebakan teleport begitu mengerikan.
Aku berjalan-jalan pada lorong itu, kemudian kutemukan 3 lingkaran sihir lainnya.
Aku membuat tanda pada batu di dekatnya, kemudian kupilih lingkaran sihir yang pertama.
Lagi-lagi, aku berpindah pada suatu lorong yang sangat tidak kukenal.

30
Aku mengulangi hal tersebut beberapa kali.
Kalau aku tidak melakukan ini, maka aku akan selamanya terperangkap di dalam dungeon ini.
Beberapa lingkaran sihir tersembunyi di balik batu, sembari berhati-hati untuk tidak memijaknya,
aku pun terus bergerak maju.
Apakah aku terus maju? Ataukah hanya berputar-putar ke tempat semula? Aku tidak pernah tahu
jawabannya.
Sepertinya, aku tidak tahu di manakah sekarang aku berada di dalam dungeon ini.
Kepekaanku akan arah sudah tidak bisa lagi diandalkan.
Meskipun aku merasa gelisah, aku harus terus bergerak maju.
Dan aku harus menemukan sumber makanan baru.
Jadi aku membunuh iblis, memakan dagingnya, dan melanjutkan perjalanan.
Berapa kali aku telah dipindahkan pada sarang monster?
Aku terus-menerus bertarung, kemudian menemukan lingkaran sihir lainnya yang tidak
dikerumuni para iblis.
Kemudian, kembali ke ruangan sempit ini lagi.
Aku penasaran, sudah berapa kali aku mengulangi proses ini?
Lima? Sepuluh kali?
Lingkaran sihir yang kutemui selalu memindahkanku pada berbagai tempat.
Akan tetapi, entah kenapa aku selalu kembali ke tempat ini.
Aku lelah, baik secara mental maupun fisik.
Dan semakin lelah.
Naluriku mengatakan bahwa sudah sebulan aku terjebak di dalam dungeon ini.
Setelah berputar-putar selama sebulan, hasilnya nihil.
Bertarung sangatlah tidak mudah.
Ya iya lah… mana ada pertarungan yang mudah.
Aku terus menerima serangan, bahkan darahku terus mengucur sampai-sampai aku hampir pingsan
karena anemia.
Sudah berapa kali iblis-iblis itu berlari menuju lingkaran sihir untuk menghindari sihirku?
Aku mulai berpikir bahwa sebenarnya iblis-iblis ini tidaklah bodoh.
Yang bisa kulakukan hanyalah terus menguras Mana-ku untuk menembus kawanan monster
tersebut.
Aku merasa terpojokkan.

31
Tubuhku ngilu semua.
Aku sudah menghabiskan semua persediaan makananku.
Daging iblis-iblis ini begitu alot dan rasanya tidak enak.
Kalau aku tidak menggunakan sihir detoksifikasi setelah memakan daging tersebut, maka
kesehatan tubuhku semakin berkurang.
Aku dapat merasakan kekuatan fisikku perlahan berkurang.
Hanyalah Mana yang tersisa dalam tubuhku.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Apakah monster-monster ini akan semakin banyak?
Apakah serangan-serangan mereka akan semakin terkoordinasi dan semakin cerdas?
Apakah akhirnya aku akan kehabisan Mana, kemudian iblis-iblis ini mencabik dan memakan
tubuhku?
Hanya keberuntungan yang bisa membuatku terus menembus kawanan monster ini.
Saat aku membayangkan itu semua, aku pun jadi ragu memijak lingkaran sihir di hadapanku.
Mungkin saja, iblis mengetahui keberadaanku.
Mereka tahu kalau aku berada pada ruangan sempit.
Dan mereka tahu, jika aku memijak lingkaran sihir di sana, maka aku akan kembali ditransfer pada
sarang monster.
Tentu saja, mereka terus menungguku.
Mereka terus menunggu saat-saat itu, sampai akhirnya aku membuat suatu kesalahan fatal.
Itulah firasatku.
Tidak akan ada ‘lain kali’.
.......
Inilah pertama kalinya aku meyakini betul bahwa hidupku akan berakhir.
Tentu saja, tak akan ada orang yang akan menemukan mayatku.
Aku ragu ada benda sihir yang tertinggal setelah aku mati nanti. [6]
Aku akan mati, tanpa meninggalkan jejak apapun.
Takut.
Aku merasa sangat ketakutan.
Gigiku mulai gemelatukan saat aku menyadarinya.
Aku ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya, namun akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah
mencengkram erat tongkat sihirku.

32
Sudah berapa kali aku memikirkan kematian sampai saat ini?
Aku pernah hidup sebagai petualang, jadi aku pernah melihat orang sekarat sebelumnya.
Aku pun pernah melihat dengan mata-kepalaku sendiri, seorang penyihir hebat yang diperas
bagaikan tomat oleh iblis.
Hal yang sama terjadi pada seorang pencuri yang cerdik, dan Swordsman yang gesit….
Semuanya mati di hadapanku.
Mulai hari itu, aku pun menyadari bahwa suatu saat nanti akan tiba giliranku mengalami nasib
serupa dengan mereka.
Tapi di saat yang sama, Aku merasakan, aku masihlah selamat!
Namun, ketika benar-benar menghadapi saat-saat seperti ini, aku begitu ketakutan.
Apa yang membuatku bisa bertahan sampai saat ini?
Ada banyak hal yang harus kulakukan.
Aku juga memiliki mimpi!
Benar, mimpiku, impianku.
Aku ingin menjadi seorang guru.
Aku suka mengajari orang lain.
Meskipun aku tidak berbakat, aku tetap suka mengajari orang lain.
Maka, setelah ini selesai, setelah kami berhasil menyelamatkan Zenith-san, aku akan mengambil
ujian kelayakan guru pada Akademi Sihir.
Aku akan menjadi guru di sekolah itu!
Seorang guru yang mengajar di Akademi Sihir.
Dulu, aku berpisah dengan Shisho karena kami berselisih paham.
Mungkin aku akan berdebat dengan Shisho lagi.
Tapi, aku punya feeling bahwa kali ini akan lebih baik… ya, mungkin saja.
...Orang itu begitu ingin diakui…. Aku penasaran, apakah dia sudah menjadi wakil kepala sekolah
sekarang?
Aku ingin merasakan kebahagiaan seperti yang orang lain rasakan.
Ya… kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan sebagai guru, mungkin aku bisa menikah nanti.
Menikah dengan seorang pria yang kucintai, menghabiskan waktu bersamanya, dan menghabiskan
malam yang indah dengannya.
Meskipun aku hanyalah seorang ras iblis yang pendek dan mungil.
Aku pikir, setidaknya aku punya kesempatan untuk merasakan itu semua.

33
Haa~
Aku pun mulai mendesah.
Di saat-saat penuh keputusasaan seperti ini, kenapa aku malah mengingat mimpi-mimpiku….
Aku akan mati!
Impianku tak akan pernah menjadi kenyataan.
Aku akan mati dengan sengsara.
Bahkan jika aku terus berusaha, tak akan ada seorang pun yang bisa menyelamatkanku.
Aku tidak pernah tahu ada orang yang begitu menyayangiku, sehingga mau mengorbankan
nyawanya untuk menyelamatkanku pada tempat seperti ini.
…………Aku tidak ingin mati.
Namun, aku menapakkan kakiku ke depan, dan menginjak lingkaran sihir itu sekali lagi.
Karena aku tidak ingin mati.
Bagian 2
Perasaanku terbukti benar.
Untuk kesekian kalinya, aku dipindahkan pada suatu lorong yang tak pernah kukenali sebelumnya,
beberapa lingkaran sihir yang telah kutandai berpindah. Sepertinya, aku diteleport menuju sarang
iblis lainnya.
Saat aku melihatnya, aku menyadari bahwa ini sudah mustahil.
Kawanan iblis telah menumpukkan mayat-mayat temannya pada lingkaran sihir itu.
Kalau diibaratkan pintu, para iblis itu sedang menyumpali suatu pintu agar tidak bisa dimasuki
oleh siapapun. Apakah mereka melakukan itu karena tidak ingin diteleport pada ruang sempit
tersebut?
Kalau begitu, tidak ada cara selain terjun ke dalam kawanan monster itu, kemudian menjebol
sumpalan pintu itu secara paksa.
Aku harus melawan kawanan monster sebanyak itu?
Formasi mereka kacau.
Tumpukan mayat digunakan untuk menutup lingkaran sihir yang mengarah ke tempat
perlindunganku, kemudian kawanan iblis lainnya muncul di sekitar lingkaran itu.
Pada barisan paling depan, terdapat Iron Crawler, yang mempersiapkan diri sebagai tembok
pertahanan. Di atasnya, ada kawanan Death Road Tarantula, dan laba-laba merah yang sesekali
menyemburkan jaringnya. Mereka melakukan itu sembari berdiri di punggung kawanan Iron
Crawler.
Pada barisan belakang, terdapat sosok-sosok yang tampak seperti boneka yang terbuat dari tanah
liat, mereka adalah Mad Skull yang melempar gumpalan batu.

34
Aku mulai mengaktifkan sihir sambil berpikir, ’ini jelas-jelas sekumpulan pasukan yang saling
bekerjasama’
"Oh, pelindung dari tanah yang agung, berkumpulah di sekitarku, dan jadilah perisaiku, Earth
Fortress!!”
Tanah disekitarku mulai membentuk sebuah benteng.
Sampai akhirnya membentuk kubah yang menutupi ujung kepalaku.
Namun, aku mengatur ketinggian pelindung tanah ini.
Aku tidak mau tingginya sampai menyentuh langit-langit.
Kalau tingginya sampai mencapai dadaku, itu sudah cukup untuk menahan serangan Iron Crawler.
"Oh, hujan yang turun, aku memanggilmu untuk menyebar dan membanjiri seluruh permukaan
dunia, Water Splash!!”
Air yang tak terhitung jumlahnya, jatuh di sekitarku, kemudian berubah menjadi peluru yang
membombardir seluruh area.
Namun, kekuatan serang sihir ini sangat lemah, kawanan iblis hampir tidak terjebak oleh
seranganku.
Aku pun sudah mengira ini bakal terjadi.
Jadi, aku pun membuat sihir selanjutnya secepat mungkin.
"Dewi Biru, turunlah daru surga, ayunkan tongkatmu untuk mendinginkan seluruh dunia, Icicle
Field!!"
Semua iblis yang basah karena tetesan hujan, langsung membeku dengan suara gemelatukan.
Water Splash dan Icicle Field, kemudian menjadi sihir kombinasi, Frost Nova. Seluruh iblis di
barisan depan membeku seketika, dan tidak lagi bergerak.
Aku masih harus melantukan lebih banyak sihir pada mereka. Sihir tingkat lanjut. "Wahai, Raja
Beku. Penguasa tertinggi padang salju yang agung. Dibalut kulit putih, oh Raja Hampa, yang
menuai semua semangat. Sang raja berhati dingin, yang mengatur kematian membeku! Blizzard
Storm!!" Lantunan sihir yang kusingkat telah selesai.
Seruruh area dihujani tombak es.
Tombak-tombak tersebut beterbangan dengan melengkung di udara.
Kemudian menusuk para iblis yang berlindung di belakang barisan terdepan, satu per satu.
Namun, sayangnya aku tidak bisa menghabisi barisan terdepan.
Ketika mereka menjadi patung karena membeku, aku melantunkan mantra tingkat lanjut, dan
mengenai pasukan barisan belakang.
Aku mempelajari strategi ini ketika menjelajahi dungeon di dekat Kerajaan Shirone.
Strageti untuk meraih kemenangan.

35
Namun,
….Ini pun sudah kuduga akan terjadi.
Meskipun kawanan iblis di barisan belakang sudah kuhabisi, masih saja bermunculan kawanan
lainnya dari balik lingkaran sihir teleportasi.
Gelombang serangan baru menginjak-injak tumpukan mayat itu, kemudian menyerbu ke arahku.
Tidak berhasil ya?
Ruangan ini pun dipenuhi oleh para iblis.
Hatiku langsung dipenuhi oleh keputusasaan.
Saat ruangan ini dipenuhi musuh, aku mulai kehilangan ketenangan.
Ini buruk.
Aku tidak bisa menembus kawanan monster baru itu jika tidak melakukan sesuatu terhadap
tumpukan mayat terlebih dahulu.
Namun, tanganku cuma dua.
Kuu~!
Dari jarak dekat, Mad Skull menembakkan peluru batu.
Beberapa bagian dari benteng tanah hancur, dan Iron Crawler yang semula pergerakannya terhenti
pun mulai mencari sela-sela benteng tanah untuk berusaha masuk.
Keringat dingin mulai mengalir, dan bulu kudukku pun berdiri.
"Pedang api atas perintahku, ubahlah musuhku menjadi debu, Flame Slice!!"
Pedang api itu menjalar ke depan, dan membuat cangkang Iron Crawler menjadi membara.
Kawanan Iron Crawler itu pun mati.
Mereka lemah terhadap api.
Namun, bukanlah ide bagus menggunakan api pada tempat tertutup seperti ini.
Seolah-olah, ada sesuatu yang mencekik leherku.
AKu tidak punya pilihan selain menggunakan api.
"Oh, pelindung dari tanah yang agung, berkumpulah di sekitarku, dan jadilah perisaiku, Earth
Fortress!!”
Sekali lagi, aku menciptakan benteng dari tanah.
Mana-ku semakin menurun dengan konstan.
Aku harus bergegas.
Apa cara terbaik selanjutnya?
Bagaimana aku dapat bertahan hidup?

36
Berpikirlah.
Aku terus mengalahkan iblis dalam keadaan linglung, sembari memikirkan bagaimana cara untuk
bertahan hidup.
Namun, aku tak dapat berpikir banyak.
Apakah aku sudah di-skakmat?
Apakah inilah waktunya?
Apakah aku akan mati di sini?
Aku bahkan tidak berhenti memikirkan hal itu, sembari terus membantai kawanan iblis.
~Aah~
Kakiku terhuyung.
Kepalaku puyeng.
Aku merasakan Mana-ku terkuras habis.
Aku tahu bahwa aku akan pingsan setelah menembakkan beberapa sihir lagi.
Aku tidak mau……….
Aku memegang tongkatku.
Aku tidak mau mati.
Aku tidak mau mati.
Sembari memikirkan itu, bayangan-bayangan masa laluku terus bermunculan di dalam kepalaku.
Setelah aku dilahirkan, yang kuingat hanyalah wajah orang tuaku yang dipenuhi kekecewaan.
Di desa yang sunyi, akulah satu-satunya orang yang tidak dapat berbicara dengan yang lainnya.
Orang tuaku kasihan padaku, kemudian mereka mengajarkan cara berbicara padaku.
Aku tertarik dengan sihir, ketika seorang penyihir datang ke desa kami, kemudian aku pun mulai
belajar sihir.
Meskipun hanya mencapai level pemula dari sihir air, aku sudah memberanikan diri untuk keluar
dari desa.
Setelah itu, aku pun bertemu dengan tiga orang.
Aku berkelana dengan mereka sebagai petualang.
Setelah salah satunya mati, kami pun berpisah.
Kemudian, aku pergi ke Benua Tengah.
Aku telah bertemu dengan banyak orang, dan di sana… aku bersekolah di Akademi Sihir.
Aku pun memasuki sekolah tersebut.
Untuk pertama kalinya, aku mengambil kelas sihir, dan saat itu pun aku langsung terpukau.

37
Aku mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian, dan kemampuan praktekku membuat pelajar lain
iri hati.
Aku berbicara banyak hal dengan temanku, ketika berada di asrama.
Ketika aku sudah mencapai tingkat lanjut, aku bertemu dengan Shisho.
Dari Shisho, aku belajar sihir air kelas Saint, sampai akhirnya aku bisa menggunakannya dengan
mahir pada saat-saat penting.
Suatu saat, Shisho marah padaku, dan dia mengomel tentang banyak hal padaku.
Saat itu pun, aku lulus dari akademi, kemudian aku meninggalkan sekolah tanpa berbicara padanya
lagi.
Kurasa, aku sudah cukup mampu bekerja di Ibukota Asura, maka aku pun pergi ke sana.
Namun, di sana aku tak kunjung mendapat kerja, lantas aku pergi ke pinggiran kota.
Meskipun sudah merantau sampai pinggiran kota, aku masih tak kunjung mendapat kerja, sampai
akhirnya aku bokek.
Namun, saat itu pun, aku menemukan selebaran yang bertuliskan lowongan pekerjaan sebagai guru
privat.
Aku bertemu Paul dan keluarganya, aku juga bertemu dengan Rudi.
Aku terkejut akan perlakuan Paul dan keluarganya yang begitu menyayangiku.
Aku juga terkesan akan kemampuan Rudi
Aku melihat perkembangan Rudi, yang pada awalnya tidak begitu mahir bermain sihir, sama
seperti diriku dulu. Tapi dia tidak pernah menyerah, dan itulah yang membuat rasa kagumku
padanya terus tumbuh.
Setelah aku mengajari Rudi sihir air kelas Saint, aku pun pergi.
Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah dungeon dekat dengan Kerajaan Shirone.
Setelah berhasil menakhlukkan dungeon itu, aku mendapat pekerjaan dari Kerajaan Shirone.
Sepucuk surat datang dari Rudi, kemudian aku berusaha keras menulis buku tentang Bahasa Dewa
Iblis untuknya.
Aku mengajari sihir pada Pangeran Pax, dia sungguh berbeda dengan muridku sebelumnya, yaitu
Rudi. Namun, saat mengajari murid yang tidak sejenius Rudi, aku pun menyadari kekuranganku
sebagai seorang guru.
Saat aku mulai muak dengan Kerajaan Shirone, aku meninggalkan mereka.
Setelah itu, aku mendengar tentang insiden metastasis.
Aku bertemu dengan Elinalise dan Talhand.
Aku terkejut pada betapa bebasnya kehidupan Elinalise dan Talhand.
Lantas, aku mengembara kembali ke Benua Iblis.

38
Aku bertemu kembali dengan kedua orang tuaku, dan saat itulah aku tahu bahwa sebenarnya
mereka sangat menyayangi aku.
Lalu, aku bertemu Kishirika.
Kemudian….kemudian…
Bayangan-bayangan masa lalu lainnya terus bermunculan pada pikiranku.
Tiba-tiba… kudapati seekor Iron Crawler mendekat di hadapanku.
Ruangan ini memanas akibat efek sihir api yang telah kugunakan, sehingga efek Frost Nova
melemah.
Aku tidak ingin mati, aku benci ini.
AKU BENCI INI!!
Tidak.... tidak..., tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak...
Aku mengayunkan tongkatku tanpa arah.
Jaring laba-laba yang lengket melayang padaku, kemudian membelit tongkatku.
Seketika, tongkatku pun jatuh ke tanah.
Aku tidak mau mati…. To-tolong aku… s-seseorang, tolong aku….
Aku tersudutkan, dan punggungku mentok pada dinding.
Seekor Iron Crawler mendekat.
Sebenarnya, berapa banyak jumlah mereka?
Aku tidak bisa lagi menembakkan sihir.
Apakah aku akan dimakan hidup-hidup seperti ini?
Aku benci ini, mengapa hidupku harus berakhir seperti ini?!
Seseorang…. Tolong selamatkan aku….
Ah ~.
…… ~ ah.
Sepertinya aku tidak akan bisa berjumpa dengan ibuku lagi.
Saat itu, itulah hal terakhir yang kupikirkan.
Ketika sesosok iblis datang mendekat, aku pun memejamkan mataku rapat-rapat.
Bagian 3
Aku menunggu selama-lamanya, tetapi saat itu tidak pernah datang.
Apakah aku akan mati seketika?
Saat aku memikirkannya, akhirnya aku menyadari bahwa seharusnya aku tidak boleh menyerah di
sini.

39
Namun, aku tidak bisa menalar apa yang telah terjadi di sini.
Aku juga tak lagi bisa mendengarkan apapun.
Mungkin, aku sudah berada di dunia kematian.
Aku takut, tapi aku masih mampu membuka mataku.
Yang kulihat adalah suatu pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku sedang berada di dunia es.
Death Road Tarantula, Iron Crawler, dan Mad Skull.
Semuanya berubah menjadi patung es berwarna putih bersih.
Mad Skull, yang berada di dalam es itu, tubuhnya hancur berkeping-keping, kemudian mereka
runtuh dengan suara gemerincing.
Kemudian, terdengar suara keras ketika serpihan tengkorak dan tubuhnya jatuh ke tanah, itu
hampir mirip seperti kaca jendela yang pecah.
Mereka benar-benar membeku sampai ke intinya.
Jangkauan pembekuannya lebih luas daripada sihir Nova Frost milikku, yang hanya mampu
membekukan bagian luarnya saja. Kekuatan ini benar-benar berada di luar kemampuanku.
Aku ragu masih ada iblis yang tersisa setelah serangan ini terjadi.
"... Eh?"
Aku tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.
Aku meraih tongkatku, sambil kebingungan.
"Hyaaah!"
Tongkatku sangat dingin, sehingga aku menjatuhkannya secara refleks.
Pada suasana yang hening ini, aku mendengar suara berdentang.
Suara siapakah itu? Telingaku menangkap suatu suara.
"Ahh, lega sekali ..."
Kulihat seorang pemuda yang berjalan sendirian di antara patung-patung es itu.
Saat aku melihatnya, aku mulai merasakan jantungku berdetak dengan sangat cepat.
Itu adalah lelaki impianku.
Postur tubuh yang bagus, dan rambut yang tampak lembut.
Dia tinggi dan mengenakan jubah, tetapi … tubuhnya tampak berisi meskipun penampilannya
seperti penyihir.
Dia mengenakan jubah abu-abu dan memegang tongkat yang besar, lantas dia datang ke arahku.
Dia menatapku dengan ekspresi wajah yang tampaknya begitu lega.

40
"EHH? Ehh?"
Aku dipeluknya dengan erat.
Sepasang tangannya yang hangat dan kuat melilit tubuhku.
Aku mencium aroma tubuh yang wangi bercampur keringat. Namun, sepertinya aku kenal aroma
tubuh ini.
Dia berjongkok, membenamkan wajahnya pada tengkukku, kemudian dia hirup udara dalam-
dalam di situ. Saat itu, dia terlihat begitu emosional.
"Su ~ u ...."
"....!"
Kemudian, aku menyadari sesuatu.
Aku belum mandi selama sebulan.
"Ah!"
Saat aku menyadari ini, aku pun mendorongnya agar menjauh dari tengkukku.
"Ada apa?"
Wajahnya terlihat kaget.
Ah, aku memang menyedihkan. Aku melakukan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan seperti itu.
Padahal, dia susah-susah datang ke sini untuk menyelamatkanku.
Ah, tapi tetap saja, aku tidak ingin dia mencium aroma seorang gadis yang belum mandi selama
sebulan penuh ...
Ah, tidak ... tunggu ... kenapa aku malah mengkhawatirkan bau badanku? Ini bukan saatnya untuk
mengkhawatirkan hal seperti itu.
Apa ini?
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"M-Maaf, s-sepertinya badanku sedikit bau..."
"B-Bau ... ya? Ah, aku minta maaf!"
Aku merasa sedikit syok ketika dia mulai mencium kerah bajunya.
"B-Bukan kau! Maksudku, aku lah yang bau. Karena aku sudah terjebak di sini selama sebulan
penuh!"
"Oh, jadi itu maksudmu? Yah, aku gak kepikiran sih?"
"Kalau aku benar-benar kepikiran."
Seharusnya aku tidak mengatakan itu.
Yah, tapi kurasa tidak masalah.

41
Pertama-tama, aku harus mengucapkan terimakasih padanya.
Kemudian, aku harus menanyakan siapakah namanya dengan sopan.
"Terima kasih banyak karena sudah susah-susah datang ke sini untuk menyelamatkanku."
"Ah tidak, wajar saja kalau aku melakukannya."
Wajar katanya?
Setahuku, aku tidak memiliki seorang teman pun yang mau mempertaruhkan nyawanya memasuki
dungeon ini, untuk menyelamatkanku dari kepungan iblis yang jumlahnya tidak terhingga.
Ah iya… namanya. Aku harus mendengar namanya.
"* ahem * ... Senang bertemu denganmu, namaku adalah Roxy Migurdia. Kalau boleh, bisakah
aku mendapatkan kehormatan dengan mengetahui siapakah namamu?”
Setelah aku mengatakan itu, dia tiba-tiba membeku seperti patung.
Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh?
"B-barusan saja…. Apakah kau mengatakan…. Senang bertemu denganmu?"
"Eh? Ah, apakah kita sudah pernah bertemu sebelumnya? Kalau begitu, aku mohon maaf sebesar-
besarnya, sayangnya aku sama sekali tidak bisa mengingatmu ... "
Kalau diingat-ingat lagi… lucunya, aku merasa pernah bertemu dengan pria ini.
Tapi, dimanakah itu?
Dia kelihatan seperti Paul-san ...
Mungkinkah aku benar-benar lupa pernah punya kenalan orang seperti dia?
"Aku tidak bisa mengingatmu ..."
Wajahnya tampak kecewa.
Apakah aku membuatnya marah?
Entah ingat atau tidak, yang jelas aku pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya.
Ada sesuatu di wajahnya yang bisa kuingat, sesuatu dari masa lalu ...
"Ingatlah… ingatlah......"
Kepalanya berayun ke kanan - kiri, dan dia terhuyung mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba, sepertinya dia menahan sesuatu di mulutnya ...
"UEEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH"
Dia muntah.
---
Bocah kecil Rudi – rasa-rasanya baru sebentar kami berpisah, tapi tiba-tiba dia sudah tumbuh
sedewasa ini. Orang inilah Rudeus Greyrat yang kukenal.

42
Tak lama kemudian, Paul-san dan yang lainnya pun datang, kemudian mereka membawaku ke
tempat yang lebih aman, dan saat itulah aku mengerti betapa dekatnya aku dari kematian.

43
Bab 4
Penyihir Yang Tangguh

Bagian 1
Saat pertama kalinya aku melihat Roxy setelah lama tak berjumpa, dia tidak banyak berubah.
Semuanya terlihat sama, baik itu usianya maupun citranya.
Namun, kalau pun ada yang berbeda, pastilah itu karena dia sudah terjebak di dalam dungeon ini
selama sebulan.
Dungeon ini membuatnya sangat lemah.
Pipinya jadi terlihat lesung, ada kantung di bawah kelopak matanya, rambutnya yang dikepang
mengendur, sekujur tubuhnya kotor, dan dia begitu mirip seperti anak gelandangan.
Meskipun begitu, “ke-Roxy-annya” tidaklah begitu pudar.
Gisu segera memberikan pertolongan pertama untuknya.
Aku yakin itu adalah keputusan yang tepat.
Talhand menggendong Roxy di punggungnya, kemudian kami pun bersama-sama keluar dari
dungeon ini.
Aku menawarkan diri untuk menggendongnya, namun itu akan menggangguku menumpas
monster-monster di lantai kedua, sehingga kami akan kesulitan keluar dari sini. Jadi, kuserahkan
saja urusan itu pada orang lain.
Yahh, mau bagaimana lagi.
Aku sih gak masalah kalau om-om berambut kisut itu menggendong Roxy.
Toh yang lainnya juga tidak ada yang protes, termasuk Roxy.
"Maaf, Talhand-san. Aku sudah merepotkanmu."
"Tidak apa-apa. Sesekali, boleh lah aku membantumu, Roxy."
"Apakah bau badanku tak sedap? Karena aroma tubuhku cukup untuk membuat Rudi muntah, jadi
kurasa cukup parah."
"Hahha, kalau segini saja sudah kubilang bau, maka aku tidak pantas menjadi seorang petualang."
Sembari kami berjalan, aku pun mendengar mereka ngobrol di dekatku.
Aku telah mendengar bahwa Roxy dan Talhand telah berpetualang bersama untuk waktu yang
lama.
Aku bisa merasakan hubungan kepercayaan yang erat di antara mereka sembari mereka ngobrol.
Itu membuatku sedikit cemburu.

44
"Sensei. Aku tidak muntah karena aroma tubuhmu, lho?"
Karena tidak kuasa menahan rasa cemburu, aku pun bergabung dengan percakapan mereka.
Roxy melirik ke arahku, kemudian dia cepat-cepat memalingkan wajahnya.
"K ... Kalau begitu, kenapa kamu muntah?"
"Karena kebahagiaan bertemu kembali dengan Roxy-sensei, yang bercampur dengan kesedihan
karena kau tidak lagi mengingatku. Itulah yang membuat perutku bermasalah.”
"... Bukannya aku melupakanmu. Hanya saja, aku tidak mengira bahwa Rudi yang imut dulu, kini
sudah menjadi seperti ini.”
Roxy menggerutu sebentar, kemudian kembali terdiam.
Yah, aku memang sudah tumbuh; mau bagaimana lagi.
"……..."
Itu adalah percakapan yang singkat, tetapi aku merasa senang saat mendengar suara Roxy untuk
pertama kalinya setelah sekian lama kami berpisah, seolah-olah rasanya seperti terbang ke surga.
Bagian 2
Dengan kembalinya Roxy, para “penjaga rumah” pun kegirangan.
Semenjak mereka mengeksplorasi dungeon, kurasa inilah kabar gembira pertama yang mereka
dengar.
Aku pun senang dia kembali setelah kami berusaha keras menyelamatkannya.
Apakah terlalu dini untuk senang?
Ah… jangan terlalu tegang, kabar gembira tetaplah membahagiakan.
Lilia segera memasukkan Roxy ke dalam bak mandi.
Saat dia mandi, aku mondar-mandir di depan ruangannya sembari memikirkan apa yang pelu
kulakukan pada Roxy setelah dia begitu lama terjebak di dalam dungeon, namun Vera segera
mengusirku.
Kurasa, itu artinya aku tidak boleh dekat-dekat dengan kamar mandi cewek saat seseorang sedang
mandi.
Aku sama sekali tidak memiliki maksud terselubung.
Aku hanya ingin melakukan sesuatu untuknya.
Sungguh, hanya itu.
Memang, dulu waktu kecil aku pernah mencuri sempaknya.
Namun kali ini, aku benar-benar tidak memikirkan hal semacam itu.
Aku berniat menyatakan itu, namun akhirnya aku urung melakukannya.
... Yahh, gak papa lah.

45
Tiba-tiba, aku melihat pakaian yang terlipat dengan rapih di sebelahku.
Di sana, aku melihar suatu kain berbentuk semacam segitiga putih… yahh, aku gak berniat
mengambil dan memasukkannya ke dalam sakuku, kok.
Tapi ironisnya, bisikan-bisikan untuk mengambil benda itu terus terngiang di telingaku.
Kali ini, aku "masih" polos.
Yahh, kalau hanya niat, gak papa kan….
Agar Roxy dapat memulihkan kekuatannya, ia membutuhkan istirahat selama beberapa hari.
Meskipun demikian, dia tetaplah seorang petualang yang berjiwa bebas.
Dia tidak mengalami luka luar, dan dia masih cukup sehat untuk berjalan sendiri.
Setelah makan bergizi dan istirahat yang cukup, aku yakin dia akan segera kembali sehat.
Sepertinya tidak ada masalah.
Sayangnya, aku menunjukkan sesuatu yang tak sopan saat kami bertemu.
Aku harap dia tidak kecewa padaku.
Bukanlah hal yang sopan jika kau tiba-tiba muntah di depan seorang cewek.
Tapi, itu benar-benar mengejutkan.
Aku tidak pernah melupakan Roxy.
Sayangnya, dia sudah melupakanku.
... Oh iya, kalau diingat-ingat, hal yang sama terjadi pada Sylphy. Saat pertama kali bertemu
dengan Fitts-senpai, aku sama sekali tidak mengira bahwa dia adalah Sylphy.
Aku penasaran, apakah saat itu Sylphy juga merasakan hal yang sama denganku sekarang.
Setelah aku pulang nanti, aku akan kembali minta maaf padanya.
Bagian 3
Roxy terus tidur selama hampir sehari penuh.
Apa mau dikata… bagaimanapun juga, dia telah menghabiskan waktu sebulan di dalam dungeon
yang dipenuhi dengan monster.
Lagi-lagi aku mondar-mandir di depan kamarnya, aku ingin menjadi orang pertama yang
mengucapkan selamat pagi ketika dia bangun nanti, tapi kali ini Lilia yang mengusirku.
Tapi, aku sempat mengintip wajah damai Roxy saat dia tertidur, jadi lumayan lah.
Akan lebih baik jika dia segera pulih.
Pada hari kedua, Roxy pun bangun.
Dengan langkah yang masih sempoyongan, dia mendekat ke meja tempat kami biasa makan.
"Selamat pagi, Roxy-sensei ...!"

46
"Ya. Rudi ... Umm, maksudku Rudeus-san, selamat ... pagi."
Di tempat ini, jumlah kami tidak lebih dari empat orang, termasuk aku.
Elinalise, Paul, Talhand ...
Gisu dan tiga lainnya sedang pergi berbelanja.
Kelompok kami tidak melakukan apapun selain istirahat sesampainya di kota, sedangkan
kelompok ‘penjaga rumah’ bertugas mengurusi berbagai hal lainnya.
Sebetulnya, Gisu juga tergabung di dalam kelompok kami yang bertugas mengeksplorasi dungeon,
tapi entah kenapa dia memutuskan untuk tidak ikutan istirahat.
Dia adalah seorang pekerja keras, atau lebih tepatnya, dia begitu berdedikasi.
Bukankah lebih baik bila dia berhenti jadi petualang, kemudian banting setir menjadi seorang
manager?
"Hai, semuanya..."
Kami pun langsung mengalihkan pandangan pada Roxy.
Seolah-olah, wajahnya mengatakan bahwa dia sedang memendam suatu kesalahan. Dia melirik
kami semua sebentar, kemudian menundukkan kepalanya.
"Kali ini, aku sudah menyebabkan banyak masalah bagi kalian. Tapi, aku baik-baik saja."
Tanggapan kami bermacam-macam.
Seseorang mengatakan ‘jangan dipikirkan’, kemudian meletakkan tangan pada pundaknya.
Seseorang mengangguk, dan mengatakan bahwa wajar saja sesama anggota tim saling menolong.
Seseorang minum alkohol, kemudian menawarkan sebotol alkohol padanya.
Seseorang kehilangan kata, dan dia tampak tersentuh dengan pengakuan Roxy.
"Yah, jika kau ingin mengucapkan terimakasih, katakan saja pada Rudi. Dia mengatakan hal-hal
aneh seperti, 'Ayah, aku bisa merasakan kehadiran Dewi,' kemudian dia merobohkan dinding gua
dan segera memasukinya. Kalau dia tidak melakukan itu, mungkin kami tidak akan pernah
menemukanmu dalam keadaan hidup.”
Dari cara berbicaranya, seolah-olah Paul menganggapku sebagai orang aneh. Itu karena, tanpa
alasan yang jelas, tiba-tiba aku bisa menemukan posisi Roxy di lantai ketiga.
Kemudian, aku mendapat firasat bahwa Roxy sedang berada dalam kesulitan.
Karena itu adalah saat-saat darurat, aku langsung menuju ke arah suara Roxy berasal, tanpa
mempedulikan bahaya gua runtuh.
Di hadapanku adalah dinding gua, tapi tanpa pikir panjang, aku langsung menjebolnya dan terus
melangkah maju.
Mengapa aku memiliki firasat semacam itu? Aku tidak tahu alasannya.
Entah kenapa, aku begitu yakin bahwa dia ada di sana.

47
Aku yakin, aku dan Roxy dihubungkan oleh suatu ikatan.
Ya, aku yakin itulah alasannya.
Aku sempat berpikir bahwa Hitogami ikut berperan dalam kejadian ini, namun aku tidak ingin
mempercayai pemikiran seperti itu.
Tuhanku hanya satu, yaitu Dewi Roxy. [7]
Tunggu sebentar, itu artinya, aku telah dibimbing oleh Dewiku.
Oh pantesan, kalau begitu ini tidaklah aneh.
Sembari aku memikirkan itu, Roxy menghadap padaku untuk yang kedua kalinya, kemudian lagi-
lagi dia menundukkan kepalanya.
"Umm, Rudeus-san, anu….. terima kasih banyak ya."
...Kenapa ya...
Kali ini aku merasakan jarak yang tak terhingga antara diriku dengan Roxy.
Aku pernah merasakan sensasi ini. Dan aku pun pernah mempelajarinya di sekolahan.
Rupanya, kata “-san” itu lah yang memisahkan kita.
Karena dia memanggilku dengan sebutan kehormatan.
Karena dia menggunakan bahasa sopan, seperti Rudeus-san.
"Jangan dipikirkan, itu sih wajar saja. Daripada memanggilku dengan nama seperti itu, lebih baik
kau memanggilku Rudi seperti biasa.”
Setelah mengatakan itu, Roxy memalingkan pandangannya lagi, kemudian membalasnya dengan
berbisik.
"C ... Cara memanggil seperti itu, bukankah kurang sopan?"
"Ya gak lah, mengapa Sensei harus menggunakan bahasa sopan saat memanggilku ... Kalau Sensei
memanggilku Rudeus-san, maka ayah pun harusnya memanggilku Rudeus-san.”
"Hei, apa artinya itu!"
Paul ikutan berkomentar, tapi aku tidak mendengar apapun selain suara Roxy.
"Tolong panggil aku Rudi, seperti sebelumnya, tanpa sungkan sedikit pun. Tidak peduli berapa
tahun telah berlalu, Roxy Migurdia tetaplah Sensei-ku yang kuhormati."
Setelah mengatakan itu, Roxy mengedipkan matanya.
Apakah aku terlalu berterus terang? Wajahnya pun jadi merah.
Aku penasaran, apakah dia menderita demam atau semacamnya.
Kemudian, dia menampar pipinya sendiri.
"Ya. Itu benar, kan ...? Rudi."
"Ya, sensei."

48
Sembari menyakiti dirinya sendiri secara konyol, Roxy pun memandangku dengan senyum yang
merekah di wajahnya.
Dan wajahnya semakin merona.
"Yang jelas… kau tambah besar sekarang."
"Ya, bagaimanapun juga, aku adalah manusia. Kalau sensei sih, sepertinya tidak berubah sedikit
pun."
"Ya ... sama kecilnya, seperti biasa."
"Kurasa tidak sekecil yang kau kira, kok."
"Begitukah..."
Ah, sudah lama tidak berbincang seperti ini dengannya….
Jika aku menutup mataku, aku bisa mengingat dengan jelas saat-saat kita bersama dulu.
Hari pertama aku diajarkan sihir.
Kemudian, hari ketika aku mendapatkan artefak dewi.
Hari saat aku belajar sihir kelas Saint.
Dan hari saat kami berpisah.
Hari saat kami bertukar surat.
Semua itu adalah kenangan yang penting.
"Apapun itu, waktu itu kau menggunakan sihir yang sungguh luar biasa. Tanpa harus kuajari,
nampaknya kau terus melanjutkan latihan sihirmu. Apakah itu sihir air kelas Kaisar?”
"Apa yang kau maksudkan?"
Aku penasaran, apakah aku benar-benar sudah menggunakan sihir sekelas Kaisar.
"Itu lho, sihir yang kau gunakan saat menyelamatkanku. Kekuatannya, efektivitasnya yang cepat,
dan jangkauannya yang luas. Itu sungguh sihir yang luar biasa. Bukankah itu sihir kelas Kaisar?
Kalau tidak salah, itulah yang disebut Absolute Zero?"
Bukan.
Itu hanya Frost Nova.
Sambil menelusuri lantai dua, aku mendengar dari Talhand bahwa Frost Nova adalah sihir efektif
yang biasa Roxy gunakan, lantas aku pun menirunya.
Tapi, jika dilihat dari ekspresi wajahnya, seakan Roxy mengatakan, ”Bagaimana? Benar kan
tebakanku?”
Aku jadi bingung harus menjawab apa, apakah aku tega mengatakan, ”Bukan tuh…”
Roxy adalah spesialis dalam sihir air.
Kalau dia sampai salah menebak suatu sihir berelemen air, kurasa dia akan sangat malu.

49
Mungkin inilah yang pepatah sebut dengan “sehitam putih”.
Kalau pun aku berbohong, dia pasti akan segera mengetahuinya.
Sepertinya, cara paling tepat untuk menjawabnya adalah “iya” saat di hadapan orang lain, namun
kemudian aku akan menemuinya secara pribadi untuk mengoreksi jawabanku menjadi “tidak”.
Ah tidak juga… setelah tahu bahwa muridnya bisa menggunakan sihir kelas Kaisar, kemudian aku
berbohong, bukankah itu akan membuatnya begitu kecewa?
Aku memang pernah dengar bahwa Rock Bullet-ku memiliki kekuatan yang setara dengan sihir
kelas Kaisar, namun bukan berarti aku bisa menggunakan sihir berlevel setinggi itu.
Hmmm. Lalu, apa yang harus kulakukan?
"Tidak sensei, itu hanya Frost Nova. Hanya saja, efeknya lebih baik daripada sihir yang sensei
gunakan.”
"Ah ... Jadi… begitu ya? Maafkan aku."
Saat aku menjawabnya dengan ragu-ragu, Talhand memberi tanggapan.
Tanggapan yang sepertinya tidak perlu dinyatakan.
"Ya ampun…. Roxy masih sama seperti biasanya, ya. Tapi, aku setuju dengan tebakanmu kok.
Kalau Rudeus sih, bukannya mustahil dia bisa menggunakan sihir tingkat Kaisar.”
Namun, tanpa jeda sedikit pun, Elinalise ikutan berkomentar.
"Bagaimanapun juga, Rudeus adalah penyihir yang bisa mengatur seluruh pelajar di Akademi Sihir
hanya dengan lirikan matanya.”
Mereka tidak perlu mengatakan hal-hal seperti itu.
Kemudian, tatapan semuanya pun mengarah padaku.
Baiklah…. baiklah.
"Aku bisa seperti ini juga karena didikan sensei."
Setelah kukatakan itu dengan penuh percaya diri, Roxy pun menatapku dengan penuh kecurigaan.
"Rudi ... aku sudah sering mendengar itu. Apakah kau benar-benar berpikir demikian?"
"Ya, tentu saja."
Ajaran-ajaran Roxy bagaikan pondasi bagiku.
Dan itulah yang selalu kukatakan ketika bertemu dengan orang lain.
Roxy selalu mengajarkan agar aku bergaul dengan siapapun tanpa berburuk sangka.
Dan selalu berusaha yang terbaik.
Ajaran itu telah mengakar dalam diriku.
Karena itulah, aku memiliki hubungan yang baik dengan Ruijerd.

50
Tapi, selalu ada saat-saat dimana aku tidak bisa menjaga prinsip yang diajarkan Roxy itu. Yahh,
yang sudah biarlah berlalu.
Ada kalanya seorang manusia luput dari hal-hal yang baik.
Yang terpenting adalah, aku selalu berusaha sebaik mungkin untuk mengamalkan ajaran sensei.
Itulah mengapa, aku selalu menggunakan ajaran Roxy sebagai pondasi hidupku.
Oleh karena itu, aku selalu menghormati Roxy.
Sampai-sampai, aku ingin meminta tanda tangannya.
"Kau bisa melebihi diriku kapan saja, karena tak ada lagi hal yang bisa kuajarkan padamu.
Sekarang kau sungguh luar biasa, sangat berbeda dari gurunya yang hanya bisa terjebak di dalam
dungeon karena kecerobohannya sendiri.”
Roxy tertawa seolah-olah menyindir dirinya sendiri.
Kemudian, dia pun tersungkur di atas meja.
Aku bisa melihat rambutnya yang berantakan, dan itu cukup menggemaskan.
"Gurunya hebat, oleh karena itu muridnya juga hebat… bukankah sebaiknya kita berkata begitu?"
Orang yang mengatakan itu adalah Paul.
Dia mengatakan sesuatu yang bagus.
Itu benar, bukanlah aku yang hebat, tapi Roxy.
Memangnya kenapa kalau muridnya mengunggulinya dalam suatu hal?
Kehebatan Roxy tidak bisa ditimbang oleh sesuatu seperti itu.
"Tanpa Roxy, kita semua tidak akan berada di sini. Jadi, jangan jangan pernah merasa minder."
Tampaknya, setelah mendengar kata-kata Paul, Roxy merasa sedikit lebih baik.
Dia bangkit, kemudian mengangguk dengan mantab.
Bagian 4
Setelah itu, kami memulai rapat saat Gisu kembali.
Kami semua berkumpul untuk membahas berbagai hal, termasuk tim ‘penjaga rumah’.
"Sembari menunggu kondisi Roxy kembali sehat, kurasa kita harus kembali mengeksplorasi
tempat itu tiga hari dari sekarang.”
Manajer Gisu mengutarakan pendapatnya.
"Bukankah itu terlalu cepat?"
Yang pertama memberikan tanggapan adalah Paul.
Herannya, menjelajahi dungeon sungguh melelahkan.

51
Khususnya, bagi tempat-tempat seperti dungeon teleport di mana terdapat begitu banyak
perangkap. Kau tidak memiliki pilihan selain bertarung, seraya berhati-hati untuk menjaga
langkahmu agar tidak memijak tempat yang salah.
Mengesampingkan penjaga di barisan belakang seperti diriku, aku yakin beban berat harus
ditanggung para petarung di barisan depan.
"Kurasa, lebih baik Roxy segera bergabung dengan misi eksplorasi ini, untuk kembali
membiasakan dirinya menjelajahi dungeon tersebut.”
"Hn? Ah, aku mengerti, aku mengerti sekarang. Tentu saja, aku setuju denganmu."
Paul mengangguk, tetapi aku sedikit tidak setuju dengan itu.
Bukankah itu tidak baik bagi kondisi mental Roxy? Bagaimanapun juga, dia hampir mati terjebak
di dalam dungeon itu.
"Bukankah sebaiknya sensei istirahat sedikit lebih lama?"
"Hn? Ah ... Sepertinya senpai belum mengerti. Tapi, jika kau hampir mati karena terjebak di dalam
suatu dungeon, kemudian kau tidak segera kembali memasukinya, maka kau akan terkena suatu
kutukan yang membuatmu tidak akan bisa memasuki dungeon itu lagi selamanya.”
"Kutukan? Apakah ada hal semacam itu?"
"Ya, aku juga tidak tahu mengapa, tapi ketika kau terjebak di dalam suatu dungeon, bahkan sampai
hampir mati, kemudian kau akan merasa sangat ketakutan saat mendekati tempat itu lagi, dan tidak
bisa berbuat apapun.”
Ah. Aku pernah membaca hal semacam ini pada Manga di kehidupanku sebelumnya.
Inilah yang disebut trauma.
Atau yang juga disebut PTSD. [8]
Aku juga pernah mendengar bahwa penanganannya adalah, kau harus mengulangi hal serupa,
untuk membuktikan bahwa kau bisa mengatasi kesalahanmu sebelumnya.
Kurasa, hal itu juga berlaku di dunia ini.
"Lagipula, senpai baru sekali mengeksplorasi dungeon. Akan lebih baik bila kau kembali
memasukinya beberapa kali untuk mendapatkan lebih banyak pengalaman.”
"Aku mengerti sekarang, itu masuk akal."
Setelah percakapan itu, anggota tim lainnya saling mengutarakan pendapat mereka.
"Aku bisa mengajarimu bertarung sembari menggunakan sihir penyembuhan.”
"Lebih baik kita tidak menggunakan cara Rudi. Kita tidak boleh menjebol dinding gua begitu saja,
karena ada resiko langit-langit gua runtuh.”
"Kalau kau mau, maju saja ke barisan terdepan."
"Ini hanya pendapatku saja sih, tapi… Paul, maukah kau berganti posisi denganku?"

52
Semuanya mulai membahas kesan-kesan mereka pada pengeksplorasian terakhir, dan juga
pendapat mereka untuk misi selanjutnya – akhirnya, Gisu sang manajer, mengaturnya.
Semuanya mulai serius.
Kurasa, semuanya akan diputuskan setelah kita sampai pada TKP nanti, tapi sepertinya tidak
begitu.
Meskipun sudah busuk, mereka tetaplah sekelompok petualang kelas S.
Dalam rapat ini, tidak banyak yang bisa kuutarakan.
Aku baru pertama kali menjelajahi dungeon, sehingga tidak banyak yang bisa kukatakan pada
mereka.
Mereka adalah para profesional, sedangkan aku hanyalah seorang amatiran.
Tidak peduli sehebat apapun sihirku, aku tidak boleh lupa bahwa aku hanyalah seorang amatir.
Meskipun pengeksplorasian kemaren berjalan dengan lancar, tidak ada jaminan bahwa itu akan
terjadi untuk kedua kalinya.
"Kalau begitu, pada kesempatan berikutnya, aku berniat untuk membersihkan lantai ketiga ... tapi,
itu semua tergantung pada perkembangan situasinya. Setidaknya, aku ingin kita mencari sampai
menemukan lingkaran sihir teleport yang akan membawa kita ke lantai empat, bukankah begitu?”
"Setuju."
Pada dasarnya, kita akan terus berusaha sampai menemukan jalan menuju lantai keempat,
kemudian kembali lagi lain waktu.
Lalu, saat kita kembali meneruskan eksplorasi, kita akan menuju ke titik di mana terkahir kali kita
sampai, kemudian melanjutkan ke tahap berikutnya.
Tempo hari, kita memutuskan untuk membersihkan tiga lantai sekaligus, namun kali ini tidak ada
batasan seperti itu.
Semakin lama kita berada di dalam dungeon, maka semakin besar peluang kita terjebak di dalam
perangkap teleport, maka lebih baik kita bergegas.
"Menurut buku itu, tampaknya lantai keempat memberikan kesan yang begitu berbeda, seperti
reruntuhan bangunan mungkin?”
"Dengan kata lain, kemungkinan besar ada area baru."
"Hn ... Yah, kita pertimbangkan itu setelah mengatasi lantai ketiga nanti.”
"Ya."
Tampaknya, dungeon yang sudah berumur sangat tua, lama-kelamaan akan terhubung dengan
dungeon lainnya, sehingga terdapat dua kristal sihir pada jantung dungeon tersebut.
Dalam kasus seperti itu, seakan-akan suasana dungeon berbuah di tengah perjalanan.
Sifat seperti itu sangatlah cocok dengan dungeon teleport yang sedang kita eksplorasi.

53
Meskipun begitu, nampaknya tidak semua dungeon dengan ciri-ciri serupa memiliki dua kristal
sihir pada jantungnya.
Kadang ada, kadang tidak.
Menurut buku itu, harusnya hanya ada sebuah kristal pada dungeon teleport.
Namun, ada kemungkinan bahwa dungeon ini berbeda dengan dungeon teleport yang kau temukan
di tempat lain. Lagipula, dikatakan bahwa ada semacam reruntuhan di dalam dungeon ini.
Semacam reruntuhan.
Benar juga… mungkin seperti reruntuhan yang terdapat di gurun. Memang terdapat lingkaran sihir
teleport pada reruntuhan seperti itu, dan kami dibawa ke Begaritto juga melalui reruntuhan
tersebut.
"Apakah tadi kau menyebutkan buku? Buku apa?"
Saat itu pun, Roxy mengajukan pertanyaan.
"Rudi membawa sebuah buku; sepertinya itu adalah buku yang ditulis oleh seorang petualang yang
berhasil membersihkan dungeon sampai tingkat terbawah. Roxy, kau juga harus membacanya."
Gisu menyerahkan buku tersebut kepada Roxy.
"Heee ~, jadi, ada juga ya buku seperti ini ... Aku mengerti, akan kubaca buku ini dengan seksama."
Sepertinya, esok hari Roxy berencana menghabiskan harinya dengan membaca buku.
Kalau begitu, aku juga akan tinggal di penginapan ini.
Aku ingin berbicara banyak hal bersama Roxy.
Namun, aku bingung harus membahas apa bersama Roxy?
Kalau dia berniat membaca buku itu, kurasa lebih baik aku membahas isinya.
Roxy akan menanyakan berbagai hal mengenai buku itu, kemudian aku menjelaskannya. Wahh,
asyik nih…. asyik nih….
"Baiklah kalau begitu, mari kita rombak sedikit formasinya. Talhand, silahkah berbicara."
Sembari aku memikirkan itu, topik pembicaraan pun semakin mengarah pada hal-hal teknis.
Talhand membersihkan suaranya dengan “uhuk….”
Pria ini memutuskan formasi apa yang akan kita gunakan nanti.
Itu karena dia berada di barisan paling belakang, sehingga dia telah mengevaluasi kinerja tim pada
pengeksplorasian terakhir.
"Hmm, serahkan padaku."
Namun, mulutnya bau alkohol.
Pria ini selalu berbau alkohol.

54
Gisu juga kerap minum, namun dia hanya melakukannya di malam hari, kemudian dia mencuci
mulutnya. Sedangkan Talhand juga minum di siang bolong.
Namun, ketika hendak menjelajah dungeon, dia menghentikan kebiasaan minumnya sejenak.
Aku penasaran, apakah dia punya tombol ON dan OFF pada kebiasaannya itu.
"Dasar formasinya sih tidak berubah… masih sama seperti tempo hari."
Dia membentangkan suatu peta pada meja, yang terdapat 2 garis di sana, beserta batu-batu kecil
yang berbeda warna.
Pertama-tama, Talhand menempatkan batu berwarna biru muda.
"Masih sama seperti sebelumnya… Roxy masih bertugas menjaga barisan belakang."
"Ya."
Roxy pun mengangguk.
Kemudian, tepat di sebelahnya dia menempatkan batu berwarna abu-abu.
"Rudeus mendukung Roxy. Roxy adalah tipe orang yang sering membuat kesalahan dikala
kenyataan tidak berjalan sesuai prediksinya, tetapi Rudeus memiliki mata iblis peramal, jadi dia
bisa lebih diandalkan. Meskipun masih muda, dia cukup tenang dan tidak tergesa-gesa, dia pasti
bisa mencegah kesalahan sebelum benar-benar terjadi.”
"…Ya."
Ini adalah pernyataan tegas bahwa Roxy bukanlah orang yang tenang ketika bertarung.
Sebenarnya aku ingin menyangkalnya, namun Roxy benar-benar telah membuat kesalahan fatal
dengan tidak sengaja memijak perangkap.
Ini bagaikan ular di semak-semak.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi ...
Aku tidak bisa memprediksi apapun yang tidak kulihat dengan mata iblisku.
Dengan kata lain, aku tidak punya pilihan selain melihat Roxy.
Bahkan, kalau aku terus berada si sisi Roxy, yang kuperhatikan selama eksplorasi hanyalah dia
seorang. Yahh, itu tidak buruk sih.
Aku pun merasa senang saat membayangkan mengeksplorasi dungeon bersamanya.
"Mari kota coba mengubah posisi Paul dan Elinalise. Paul berada di depan, sedangkan Elinalise di
belakang."
Sambil mengatakan itu, Talhand mengganti batu merah, yang mewakilkan Paul, dengan batu
berwarna kuning, yang mewakilkan Elinalise.
Meskipun begitu, posisi mereka tetap saja hampir bersebelahan.
Aku yakin, itu lebih mirip seperti perubahan peran.

55
Sebelumnya, peran utama Elinalise adalah sebagai perisai, sedangkan Paul adalah pendukungnya,
namun kali ini dibalik.
Paul adalah perisai utama, dan Elinalise adalah pendukungnya.
"Gisu, posisimu masih sama seperti sebelumnya."
Talhand meletakkan batu coklat muda jauh di depan.
Kemudian, akhirnya dia meletakkan batu yang mewakili posisinya sendiri di tengah-tengah.
"Sebenarnya ini tidak begitu penting, namun ada sejumlah besar monster pada lantai ketiga, maka
aku akan menjadi dinding di antara barisan belakang dan depan.”
Pemandu : Gisu
Pelindung depan : Paul (Utama) dan Elinalise (Pendukung)
Pelindung tengah : Talhand
Pelindung belakang: Roxy (Utama) dan Rudeus (Pendukung)
Ini lah formasi barunya.
Kalau Gisu tidak disertakan, maka formasi kami mirip seperti Mahjong Lima Bambu. [9]
Atau mungkin lebih mirip seperti formasi Windbreaker. [10]
"Apakah ada komentar?"
Aku pun menanggapinya dengan mengangkat tanganku.
"Kalau begitu, artinya peran utamaku tidak berubah ya?"
"Humu. Akan lebih baik jika kau banyak berkomunikasi dengan Roxy untuk mengamankan
barisan belakang.”
Setelah mendengar kata-kata itu, aku memandang Roxy.
Dia menatapku, dan…. dengan ekspresi agak gugup, dia pun menelan ludah dengan suara “glek…”
"Aku mengerti. Sensei, mohon bimbingannya ya."
"Ya, aku juga. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak merepotkanmu."
Kayaknya, yang lebih merepotkan adalah aku deh.
Aku berharap Roxy lebih percaya diri akan kemampuannya.
Tentu saja, dalam hal kapasitas Mana, aku lah yang lebih unggul.
Namun, kekuatan yang besar tidak menentukan segalanya.
Dengan pengalaman yang lebih banyak, sebenarnya dia lah yang lebih unggul dariku.
Dia terperangkap di dalam dungeon teleport selama sebulan penuh, dan dia terus berjuang di sana
sampai titik darah penghabisan. Mentalnya pasti mengalami trauma, namun buktinya dia bisa pulih
hanya dalam beberapa hari, seolah-olah tidak pernah terjadi apapun kemaren.

56
Kalau aku mengalami hal yang sama dengannya, mungkin aku tidak akan pernah berani melihat
dungeon lagi.
Secara logika, aku tidak akan mau mendekati bahaya lagi.
Aku tak akan peduli jika orang lain menyebutku pengecut.
Karena aku memanglah seorang pengecut.
"Baiklah, formasi kelompok penjelajah dungeon sudah beres, sekarang tinggal membicarakan
kelompok pendukung.”
Setelah itu, Gisu dengan cepat memberikan petunjuk pada kelompok penjaga rumah.
Gisu menyerahkan daftar berisi barang-barang yang harus dibeli pada Vera. Kemudian, Shera
melaporkan kondisi terakhir Roxy, lantas dia memberikan obat-obatan sebagai pertolongan
pertama jikalau kami berhasil menemukan Zenith. Tentu saja, kami hanya bisa memprediksi kira-
kira bagaimanakah kondisi Zenith saat ini, kalau semisal kemungkinan terburuk terjadi, maka
obat-obatan itu tidak akan berguna.
Kemudian, Gisu meminta Lilia untuk mengatur tugas Shera dan Vera dengan efektif.
Jika pemimpin kelompok eksplorasi adalah Gisu, maka pemimpin kelompok penjaga rumah
adalah Lilia.
Sedangkan Paul adalah pemimpin kedua kelompok tersebut.
Kalau seseorang bertanya, apakah tugas Paul, maka jawabannya adalah menentukan keputusan
akhir dan memutuskan siapa saja yang layak atau tidak layak mengikuti misi ini.
"Baiklah, kalau begitu…. Semuanya, persiapkan apapun yang kalian perlukan sampai tiga hari ke
depan… rapat dibubarkan.”
Dengan perintah Paul, kami pun meninggalkan tempat.
Bagian 5
Hari berikutnya.
Aku (lagi-lagi) mondar-mandir di sekitar Roxy yang sedang membaca buku di lantai pertama
penginapan ini.
Aku ingin dia bertanya, apakah ada hal yang tidak dimengertinya.
Bertanyalah padaku seorang.
"Umm, Rudi ..."
"Ya, ada apa? Sensei!"
"Kau terus saja mondar-mandir di depanku, aku jadi tidak bisa berkosentrasi dengan baik."
Roxy mengatakan itu sambil tersenyum pahit.
"Maafkan aku."
Aku menundukkan kepala, kemudian berniat meninggalkan tempat itu.

57
Aku paham.
Jadi, aku malah membuatnya tidak bisa berkosentrasi.
Benar, kan? Aku hanya mengganggunya membaca, kan?
Tidak ada gunanya menjadi pengganggu.
Tapi, sebenarnya bukan itu niarku.
Aku hanya ingin membantu sensei.
Yah, mau bagaimana lagi.
Jika aku mengganggunya, maka aku hanya perlu pergi dari sini.
Aku akan pergi ke suatu tempat.
Ah, lebih baik aku pergi ke bar yang sepi.
Terkadang, lebih baik aku minum-minum sendirian.
Ayo dah.
"Rudi."
Namun, saat itulah aku mendengar namaku dipanggil dari belakang.
"Kalau kau punya waktu luang untuk mondar-mandir di situ, maka lebih baik kau mengajariku
beberapa hal yang tidak kumengerti dari buku ini ... "
"Ya!"
Aku segera duduk di sebelah Roxy.
Kurasa, itu adalah tanggapan tercepat yang pernah kubuat.
Seandainya saja aku punya ekor, pasti ekorku sekarang sedang kukibas-kibaskan seperti anjing
yang kegirangan.
"Yang mana? Silahkan tanya apa saja."
Ah ... Roxy masih tetap mungil seperti yang dulu.
Aku menganggapnya demikian, sebagian karena tubuhku sudah berkembang menjadi lebih besar.
Semisal aku pangku dia, aku yakin pelukanku bisa membungkus tubuhnya sepenuhnya.
Tapi, aku pun yakin kalau dia akan marah jika aku memangkunya ...
"…..."
Kemudian, aku melihat Roxy memandang padaku dengan lirikannya.
"Ada apa, sensei?"
Setelah kutanyakan itu, Roxy langsung mengembalikan pandangannya pada buku.
"Ti-tidak ada apa-apa. Tapi, yang bagian ini ..."

58
Tanpa terasa, sekarang aku sudah lebih tinggi daripadanya.
Dia mungkin malu karena itu.
Sepertinya dia merasa terganggu dengan badannya yang lebih pendek.
Seraya melanjutkan percakapan ini, aku pun menghabiskan hampir sehari penuh dengan membaca
bersama Roxy.
Aku merasa puas.

59
Bab 5
Tanpa Jeda

Bagian 1
Dengan menyertakan Roxy, eksplorasi dungeon dimulai kembali.
Sesuai dengan rencana, kami langung turun sampai lantai ketiga sekaligus.
Musuh-musuh di lantai tiga adalah Tarantula Deathlords, Iron Crawlers, ditambah dengan Mad
Skull.
Mad Skull adalah monster ranking A.
Penampilan luarnya seperti golem lumpur raksasa tanpa leher.
Ketinggiannya, kurasa mencapai 2,5 meter.
Tubuh mereka juga cukup lebar dan padat.
Di sekitar dadanya ada tengkorak yang terkubur, dan itu adalah titik lemah mereka.
Meskipun gerakan mereka lemot, seranganmu tidak akan memberikan efek apapun, tak peduli
berapa kali kau menyerang bagian lumpur pada tubuhnya. Jika mereka merasakan bahaya, maka
tengkorak pada dadanya akan semakin terbenam di dalam tubuhnya.
Cara dia menyerang adalah dengan menggunakan kekuatan fisik tubuhnya, atau menembakkan
semacam peluru batu.
Namun, bukanlah itu alasan mengapa dia dikategorikan ranking A.
Dia bisa mengendalikan monster lain yang memiliki kecerdasan lebih rendah.
Iron Crawler dan Tarantula Deathlord menjadi pelayan bagi Mad Skull.
Meskipun penampilan luarnya tampak seperti golem, sebenarnya ia memiliki kecerdasan yang
tinggi. Dia menggunakan Iron Crawler sebagai penjaga barisan depan, kemudian menggunakan
Tarantula sebagai penjaga barisan tengah, sedangkan dia berdiri di barisan paling belakang untuk
memberikan gangguan dari jarak jauh pada musuhnya, karena dia bisa menembakkan peluru batu.
Mad Skull adalah tipikal monster yang bisa memberikan perintah.
Strategi monster-monster keroco itu mirip seperti pada lantai kedua, dimana Iron Crawler akan
mengerubungi musuh dengan kombinasi semprotan jaring lengket dari tarantula.
Di lantai yang lebih dalam, Mad Skull bergabung dengan mereka. Dia memberikan perintah
sembari menembakkan peluru-peluru batunya.
Aku yakin strategi monster-monster itu cukup merepotkan Paul dan yang lainnya, karena mereka
juga kesusahan menghadapinya saat di lantai kedua.

60
Mereka telah bertarung dengan sekuat tenaga, namun selama sebulan penuh, mereka juga tidak
mampu menemukan Roxy. Itu adalah bukti betapa timpangnya tim ini saat menghadapi monster-
monster tersebut.
Namun sekarang, ada aku dan Roxy. Dengan adanya kami berdua, maka masalah akan
terselesaikan.
Kawanan tarantula yang menjaga barisan tengah bukanlah masalah serius. Kami mengambil
inisiatif dengan meminta Roxy menghabisi barisan terdepan, yaitu kawanan Iron Crawler,
kemudian aku menyerang Mad Skull dari barisan paling belakang. Strategi itu pun terbukti ampuh.
Sisanya, yaitu kawanan laba-laba, tinggal ditangani oleh Paul, Talhand, dan Elinalise.
Jadi intinya, aku menyerang barisan monster paling belakang, sedangkan Roxy menyerang barisan
monster paling depan.
Kemudian, Paul dan yang lainnya mengurangi jumlah musuh dari barisan tengah.
Mad Skull lemah terhadap air,
Karena tubuh mereka terbuat dari lumpur.
Jika kau membilasnya dengan air, maka lumpur-lumpur itu akan luntur.
Atau, kau bisa menggunakan api.
Dengan api, kau bisa mengeringkan lumpur pada tubuhnya, sehingga mereka kesulitan bergerak.
Namun, aku lebih suka menggunakan peluru batu.
Dengan menggunakan mata iblis, aku bisa melihat dengan jelas di manakah titik lemah mereka,
yang tidak lain adalah di dada. Kemudian aku menembaknya dengan peluru batu.
Satu tembakan, satu tumbang.
Aku adalah seorang sniper yang terampil. Tapi, aku hanyalah sniper yang akan menembak di saat
tidak bergerak.
"Fu ..."
Setelah memusnahkan musuh, Roxy mendesah ringan.
Aku mengintip wajahnya yang tersembunyi di balik topi penyihirnya.
Aku yakin Mana-nya telah menurun, karena wajahnya terlihat agak lelah.
Tiba-tiba, Roxy menghadap ke arahku.
Dia pun menatapku dengan lirikan matanya,
Setelah pandangan kami saling bertemu, dia langsung memalingkan wajahnya,
"Tak lama lagi, aku akan kehabisan Mana. Kumohon, kita istirahat sejenak."
Setelah mendengar itu, kami pun istirahat sejenak, kemudian kembali ke terowongan.
Namun, aku masih merasakan sedikit Mana-ku berkurang.

61
Bahkan, belum sampai terkuras setengahnya.
Pada dasarnya, aku bahkan belum menggunakan sihir apa pun selain Rock Bullet.
Roxy lah yang membekukan musuh dengan menggunakan Frost Nova. Ya tentu saja, dia cepat
letih.
"Maaf, karena jumlah Mana-ku tidaklah begitu banyak,"
Roxy mengatakan itu, sambil mendesah dan duduk.
"Ah tidak, kurasa kau memiliki cukup banyak Mana."
Akurasi Roxy dengan sihirnya sangatlah tinggi.
Dengan pelafalan mantra yang diperpendek, dia benar-benar menggunakan sihir jarak jauh dengan
sempurna.
Beberapa kali, tembakan Water Splash-nya mengenai Paul dan yang lain, tapi setelah itu, dia
mengaktifkan Icicle Field dengan begitu akurat, sehingga hanya musuh yang membeku.
Berbicara tentang akurasi, itu bisa terjadi karena dia membatasi Mana dengan begitu baik.
Meskipun demikian, dia masih bisa bertarung dalam jangka waktu yang cukup lama.
Tentu saja, itu berarti jumlah Mana-nya tidaklah sedikit.
Kemungkinan besar, kapasitas Mana-nya setara atau bahkan di atas Sylphy.
"Baiklah, sebentar lagi kita akan sampai pada lingkaran sihir teleport yang diduga akan membawa
kita ke lantai empat.”
Gisu membandingkan isi buku itu dengan peta, sambil menggaruk dagunya.
Setelah turun ke lantai tiga, kami akan segera memasuki hari ketiga semenjak memasuki dungeon
ini.
Menurut penulis buku, jumlah hari yang diperlukan untuk membersihkan lantai tiga adalah lima
hari.
Pengeksplorasian kami lebih cepat daripada mereka, dan setelah mengulangi lantai ketiga
sebanyak beberapa kali, peta pun berhasil dilengkapi.
Aku yakin, lingkaran sihir menuju lantai berikutnya akan segera ditemukan.
"Rudi, bolehkah aku meminjam punggungmu sebentar?" tanya Roxy.
"Silakan."
Setelah menanggapi, Roxy bersandar di punggungku.
Saat waktu istirahat, Roxy merebahkan tubuhnya pada punggungku.
Daripada bersandar di dinding gua, aku yakin bersandar pada seseorang jauh lebih menenangkan.
"Sebelumnya, aku tidak pernah menduga akan bertemu Rudi di dungeon ini."
"Benar. Kalau begitu, apakah sensei punya saran untukku?"

62
"Eh ... gerakan Rudi sudah seirama dengan kelompok ini, jadi kurasa tidak ada masalah."
"Terima kasih banyak."
"Mantra tanpa suara memiliki akurasi yang tinggi. Itu sungguh mengagumkan."
"Ah tidak… aku masih perlu banyak belajar."
Banyak belajar,
Ya, jalanku masih panjang,
Setelah melihat Roxy, aku benar-benar merasa seperti itu.
Dia tidak memperbanyak elemen sihir yang bisa dia kuasai. Dari dulu, dia hanya menekuni sihir
air. Tapi, dia semakin memperbanyak apa yang bisa dia gunakan dari sihir air tersebut.
Kemudian, dengan memanfaatkan elemen sihir yang terbatas itu, dia sudah bisa menguasai musuh-
musuhnya.
Dulu, aku juga pernah mencoba cara seperti itu, namun akhirnya aku hanya bisa menggunakan
Rock Bullet dan Quagmire saja.
Aku tidak bisa bilang itu adalah metode terbaik, namun untuk melawan musuh pada level tertentu,
itu sangatlah efektif.
Meskipun demikian, metode itu tidak akan berguna ketika menghadapi lawan yang bisa
menggunakan teknik yang cerdik.
Caraku juga tidak akan berhasil melawan musuh seperti itu,
Bagaimanapun juga, aku tidak memiliki tujuan khusus yang ingin kucapai di dalam hidupku.
Dengan begini, aku tidak akan bisa berkembang lagi.
"Rudi."
"Ada apa?"
"Jikalau kita sudah menyelamatkan Zenith-san, dan kau memiliki waktu luang, maka maukah kau
mengeksplorasi dungeon lagi bersamaku?’
"Hanya kita berdua?"
"Ya. Saat ini, kita sedang dikejar oleh waktu, tapi… kau harus tahu bahwa menjelajahi dungeon
adalah suatu hal yang sangat menarik. Maukah kau membentuk kelompok yang beranggotakan
hanya kita berdua, kemudian kita sama-sama mengeksplorasi dungeon yang lebih mudah?”
Dungeon, ya.
Jujur saja, kalau Gisu tidak ada di sini, kurasa aku akan terjebak dalam suatu perangkap dengan
begitu mudahnya.
Namun, Roxy adalah orang yang mampu menjelajahi dungeon sendirian.
Yah, dia memang agak ceroboh, tapi dia benar-benar berpengalaman melakukan pekerjaan ini.
Jika aku ikut dengannya, aku yakin kita bisa menaklukkannya.

63
"Okelah. Setelah kita kembali nanti, ayo menjelajahi dungeon bersama."
"Janji ya."
"Ya, aku janji."
Sekilas, aku bisa melihat wajah Roxy yang tampak lega.
"... Ah, aku jadi sedikit ngantuk, biarkah aku tidur sejenak."
"Ya, selamat malam."
Setelah mengatakan itu, aku merasakan punggung Roxy melemas.
Aku membuat janji tanpa pikir panjang, tetapi menjelajahi dungeon membutuhkan waktu selama
beberapa hari.
Padahal, aku sudah menjadi ayah yang harus membesarkan anaknya, aku pun ragu…. Apakah aku
punya waktu untuk memenuhi janjiku ya.
... Yah, janji tidak selalu harus langsung dipenuhi kan.
Semisal aku punya waktu luang nanti, aku bisa mengajaknya.
Kalau anakku sudah besar nanti, kesibukanku dan Sylphy juga pasti akan berkurang.
Saat itu tiba, aku yakin usiaku sudah melebihi 20 tahun, yahh… toh aku masih muda, jadi itu tidak
masalah.
Yang jelas, aku merasa senang.
Karena Roxy memintaku untuk bergabung dengan kelompoknya,
Rasanya dia sudah mengakui kemampuanku.
Lebih baik aku menunjukkan sifat-sifat baikku saja di depan Roxy.
Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, aku pun ikutan tertidur.
Bagian 2
Setelah menemukan lingkaran sihir teleport yang menuju ke lantai empat, kami telah benar-benar
menjelajahi seluruh area pada lantai ketiga.
Namun, kami tidak menemui sesosok wanita pun yang mirip Zenith.
---
Kami sudah sampai di lantai empat.
Begitu kami keluar dari lingkaran sihir teleport, sekilas, area di sekitar kami tampak berbeda
dengan lantai sebelumnya.
Aku jadi ingat tempat di mana dinding-dinding batu dibangun.
Seperti yang sudah kuduga, tempat ini mirip seperti reruntuhan B3 tempo hari.
Aku penasaran, apakah reruntuhan serupa bisa berubah menjadi dungeon seperti ini.

64
"Gisu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Paul.
"Hn? Kita masih punya sedikit waktu lagi."
"Baiklah, setelah kita periksa situasi lantai empat, kita akan kembali lagi."
Paul mengatakan itu dengan wajah kaku, sementara aku melihat sekeliling dengan gelisah.
Ketika Paul depresi, dia benar-benar terlihat seperti sampah masyarakat, namun ketika
mengerjakan tugasnya dengan serius, dia berubah menjadi seorang pria yang keren.
Pantas saja Zenith jatuh hati padanya saat dia berubah menjadi mode keren.
Kalau aku benar-benar mewarisi sifat itu, maka tentu saja Sylphy juga jatuh cinta padaku.
"Sensei, saat aku sedang serius, apakah aku terlihat keren?"
Tiba-tiba, aku menanyakan hal seperti itu pada Roxy.
Itu mungkin sedikit narsis.
Roxy melirik ke arahku dari balik topinya, kemudian dia menjawab dengan suara tergagap.
"Eh? Ah, uh ... umm. Ya ... Yah, k-k-keren? K-k-kurasa begitu?"
Lantas, dia memalingkan wajahnya dengan cepat,
Baiklah.
Itu saja cukup bagiku.
Roxy sudah menyampaikan perasaannya.
Aku menanyakan sesuatu yang sulit dijawab, ya?
Maaf. Sepertinya aku terlalu berbangga diri.
Tapi, kalau Roxy tiba-tiba bertanya, "Apa aku imut?" sembari membawa tongkat cahaya dengan
kedua tangannya, maka aku pasti akan menyorakinya dari kursi terdepan. [11]
Keren tidaknya pria bukan hanya dilihat dari wajahnya saja.
Namun juga isi hatinya.
Yang terpenting adalah, hati sekeras baja yang dipenuhi dengan kasih sayang.
Jika kau memiliki hati seperti itu, cewek mana pun pasti akan klepek-klepek.
"Rudi, musuh sudah datang."
Setelah melihat ke depan, ada dua monster berarmor, masing-masing memiliki empat lengan,
mereka sedang berjalan menuju kami.
Armored Warrior,
Tampaknya monster ini berjenis Undead.
Aku telah belajar bahwa sihir yang cocok untuk melawan Undead adalah sihir bumi dan sihir suci.

65
Jika kau menembakkan Rock Bullet yang cukup besar dengan massa yang berat, biasanya mereka
akan hancur berkeping-keping dengan hanya sekali serang.
"Aku akan menyerangnya dengan Rock Bullet."
"Ah, Rudi, jangan pakai itu."
Saat aku sudah mempersiapkan tongkatku, Roxy menghentikanku.
"Aku pernah mendengar bahwa Armored Warrior menggunakan teknik Dewa Air. Jika kau
sembarangan menyerangnya, bisa-bisa peluru batu dipantulkan kembali ke arahmu.”
Teknik Dewa Air,
Aku tidak begitu sering berjumpa dengan monster ini, tapi aku tahu bahwa Dewa Air adalah teknik
berpedang yang khusus dalam menangkis dan memberikan serangan balik.
Entah kenapa, teknik Dewa Air juga bisa digunakan untuk menangkis serangan sihir.
Aku tidak tahu mengapa bisa begitu, tapi aku pernah mendengar bahwa ada suatu teknik berpedang
yang mengijinkan penggunanya untuk membalikkan serangan sihir.
Kalau seorang Swordsman biasa menggunakan teknik seperti itu sih, aku tidak masalah… tapi kali
ini, lawanku memegang 4 pedang sekaligus.
Dia bukanlah manusia, dan sangat mungkin dia bisa membalikkan 4 serangan dalam waktu yang
bersamaan.
"Aku mengerti - lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Hentikan gerakan kakinya, dan siapkan serangan lain. Karena ini pertama kalinya kau
menghadapi Armored Warrior, maka berhari-hatilah."
"Dimengerti… ayah, aku akan menggunakan Quagmire, jadi perhatikan langkahmu!"
"Tentu saja!"
Monster bertipe armor memiliki kekuatan yang luar biasa, dan mereka juga menguasai teknik
berpedang, namun gerakan kakinya lambat.
Dan juga, armornya berat, maka dia akan tenggelam ke dalam lumpur dengan begitu mudah.
Meskipun demikian, jika aku tidak menciptakan kolam lumpur sedalam mungkin, maka mereka
masih bisa meloloskan diri.
Kurasa sihirku ini tidak akan membuat gua runtuh dengan begitu mudahnya, namun aku tetap
harus berhati-hati dalam menggunakan sihir yang bisa merubah kondisi fisik gua ini.
Kurasa, aku cukup menciptakan kolam lumpur sedalam lutut.
"Quagmire!"
Ketika Armored Warrior hendak mengambil langkah maju sekali lagi, kolam lumpur langsung
terbentuk di hadapannya.
Mereka tenggelam sampai sebatas lutut.

66
Saat itu pula, kedua penyerang barisan depan langsung beraksi.
"Paul. Aku serang dari kiri."
"Dimengerti, kau memang selalu menyerang dari kiri, kan?"
"Kalau pedangku bersampingan dengan dinding, maka akan sulit digerakkan."
"Egois sekali ... dan wah!! Hoi, bahaya tau!"
Sepertinya Paul begitu menikmati pertarungan ini.
Sambil menangkis serangan Armored Warrior dengan pedang di tangan kanannya, Paul
menggunakan pedang pendek di tangan kirinya untuk memangkas salah satu lengan monster itu
dengan gerakan secepat kilat.
Armor itu nampaknya cukup tebal, tapi seakan tidak berguna saat menerima tebasan Paul.
Para Swordsman pengguna teknik Dewa Pedang memang mengerikan.
Dan, mungkin juga pedang pendek itu sungguh tajam.
Tampaknya Elinalise berada dalam kesulitan.
Dia menyerang musuhnya dengan bertubi-tubi, namun kekuatan Elinalise tidaklah begitu besar,
sehingga dia tidak bisa memberikan luka serius pada lawannya.
"Ayo kita bantu dia. Rudi, ayo kita tembakkan sihir secara serentak pada sisi Elinalise-san. "
"Dimengerti,"
Aku menyiapkan tongkatku.
Yang aku gunakan adalah Rock Bullet.
Dalam keadaan kaki tenggelam seperti itu, tidak mungkin mereka menghindar.
Aku tidak tahu seberapa cepatkah harus kulepaskan peluruku, semuanya tidak akan jelas sebelum
aku mencobanya.
"Talhand-san!"
"Tentu saja!"
Talhand menyiapkan perisainya, lantas dia berdiri di depan kami.
Jika monster-monster itu melemparkan pedangnya ke arah kami, maka si Dwarf siap sebagai
perisai.
Kalau pun dia terluka, selama dia belum mati, aku masih bisa menyembuhkannya dengan sihir
tingkat lanjut.
Ya, selama titik vitalnya tidak terkena.
"Rock Bullet…. Stone Cannon!"
"Wahai pedang es yang elok, kupercayakan ini padamu! Icicle Edge!"
Bebarengan dengan Roxy, kami menembakkan sihir pada saat yang sama.

67
Peluru seperti cangkang dan pisau es mirip Ultra Slash meluncur di udara. [12]
Monster itu segera memasang kuda-kuda untuk menggunakan teknik Dewa Airnya, agar
membalikkan serangan kami.
Ketika dua bilah pedang bergerak, dan bersiap untuk menyambut serangan, Elinalise langsung
menyerang dengan menggunakan perisainya pada waktu yang tepat, sehingga kuda-kuda mereka
terganggu.
Peluru batu meledakkan salah satu lengan monster itu, dan pisau es menghujam dalam pada
dadanya yang dilapisi armor.
Dia berhenti bergerak, kemudian berhamburan menjadi potongan-potongan kecil.
Bersamaan dengan itu, Paul juga berhasil menghabisi musuhnya.
"Sudah kuduga, kalau monster kelas A sih tidak akan mudah dikalahkan."
Meskipun demikian, kami hanya membutuhkan waktu sekitar 1 menit saja untuk menyudahi
perlawanan mereka.
Kami memang tidak bisa mengalahkan mereka dengan sekali-atau dua kali serangan, tapi itu
bukanlah suatu pertarungan yang berat.
Paul sudah mencapai tingkat lanjut pada ketiga teknik dasar berpedang. Dia memang jempolan.
Dengan bakat seperti itu, aku yakin Paul bisa meraih level Saint.
Ah tidak… mungkin saja kemampuan Paul saat ini benar-benar sudah masuk kategori level Saint.
Bagaimanapun juga, tidak semudah itu kita bisa mengkotak-kotakkan kekuatan seseorang.
"Ayah, jangan-jangan kau sudah semakin kuat semenjak terkahir kali kita bertemu?"
Ah, gawat,
Aku mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuatnya terlalu berbangga diri.
Mungkin dia akan mulai menceritakan suatu kisah yang penuh dengan kesombongan.
"Hn? Ah tidak, kurasa tidak begitu… malahan, aku merasa bahwa diriku lebih lemah daripada
yang dulu.”
Namun…. bahkan tanpa meringis…. Paul hanya mengatakan itu, sembari melirikku sekali,
kemudian dia kembali melihat ke depan.
"Sekarang, ayo lanjutkan perjalanan, dan jangan sekalipun lengah."
Seketika aku tersadar saat mendengar jawaban Paul.
Betul juga.
Ketika berada di dalam dungeon seperti ini, kita tak punya pilihan selain tetap waspada terhadap
apapun juga.
Namun, Paul hari ini benar-benar keren.

68
Aku yakin, Norn akan senang sekali andaikan dia ikut mengeksplorasi dungeon bersama kami
sekarang.
"Oh, ya ampun….."
Secara kebetulan, Elinalise mengintip wajah Paul.
Kemudian dia menutupi mulutnya dengan tangan, sembari tertawa ringan.
"Oh Paul… kenapa kau nyengir seperti itu? Itu sungguh menjijikkan."
“Berkomentarlah sesukamu, aku sih gak peduli.”
"Kamu pasti cukup senang dipuji oleh Rudeus, bukan? Aku ngerti kok." kata neneknya istriku
sembari cekikikan.
"Berisik ... tidak bisakah kamu diam?"
Aku menarik kembali pernyataanku sebelumnya.
Yahh bagaimanapun juga, Paul hanyalah Paul.
Setelah itu, kami mengalahkan sejumlah Armored Warrior dan Mad Skull, kemudian kami
memutuskan untuk kembali.
Perjalanan pulang butuh waktu sekitar 15 jam.
Seperti yang sudah kami duga sebelumnya, bahwa mengeksplorasi dungeon memang memakan
waktu.
Aku penasaran apakah Zenith masih baik-baik saja, sedangkan progres kami begitu lamban.
Ah tidak, kami memang harus menelusuri dungeon itu secara perlahan, dan jangan sampai
membuat kesalahan ceroboh seperti yang telah Roxy lakukan, kami sangat menghindari hal seperti
itu.
Kami harus bergerak dengan hati-hati.
Saat ini, tampaknya semuanya berjalan dengan baik.
Kami tetap menjalani eksplorasi ini dengan serius, namun tidak terlalu tertekan, sehingga pikiran
kami tidak begitu stress.
Kami berusaha menjaga keseimbangan pada kondisi kami.
Aku yakin, terus menjelajah dungeon dengan kondisi seperti ini adalah pilihan terbaik.
Bagian 3
Setelah kembali lagi ke penginapan, kami akan memeriksa peralatan kami atau semacamnya.
Lalu, kami segera menggelar rapat lagi.
Kami juga telah membeli beberapa barang penting.
Karena kami kehabisan gulungan roh-roh cahaya, maka aku pun menggambarnya lagi.

69
Kota Lapan memang lengkap, para pedagang di sini menjual perkamen dan pewarna untuk
menggambar lingkaran sihir, jadi aku bisa membuatnya tanpa masalah.
Jika aku berhasil membuat satu, maka Shera-san bisa mempelajarinya, kemudian dia membuat
gulungan-gulungan lainnya.
Sepertinya Shera-san bekerja untuk Gereja Milis, sehingga dia sudah biasa menggambar
perkamen.
Dia bilang, dia bisa menggambar 50 gulungan seperti milikku dalam sehari saja.
Dia memang bisa diandalkan.
Gisu membeli beberapa bahan kimia yang kuat melawan monster tipe armor.
Jika kau berhasil mendaratkan pukulan pada mereka, maka persendian armornya akan macet, dan
pergerakan mereka melambat.
Karena mereka berat, aku menyarankan agar kita membeli semacam minyak yang bisa dituangkan
di tanah, sehingga mereka akan terpeleset jika menginjaknya. Namun, ketika mendengar itu Gisu
hanya tertawa, dan dia bilang Paul akan ikutan terpeleset.
Setelah aku menimpalinya dengan, “Aku paham,” ketawanya bahkan semakin kencang.
Paul dan Elinalise sedang melihat-lihat pedang yang sedang dijual oleh para pedagang.
Sepertinya mereka mencari pedang murah yang bisa digunakan Elinalise.
Estoc-nya adalah benda sihir yang berisikan Mana.
Jika kau mengayunkannya, benda itu bisa melepaskan semacam pisau udara dari ujungnya.
Tapi, dari pengalaman kemaren, tampaknya teknik itu kurang cocok untuk digunakan melawan
Armored Warrior.
Bahkan, estoc itu sulit digunakan ketika melawan Iron Crawler. Nampaknya, senjata itu agak sulit
menghadapi musuh berkulit keras, atau berarmor.
Aku mengerti itu.
Tampaknya, pedang pendek yang digunakan Paul pada tangan kirinya, jugalah merupakan benda
sihir yang dia beli di Lapan.
Kemampuannya adalah Armor Break; yaitu semakin keras benda yang ditebas, maka semakin
tajam pula mata pedangnya.
Ini adalah kemampuan yang sangat langka.
Saking langkanya kemampuan itu, sampai-sampai si pedagang mengira bahwa pedang itu adalah
barang murahan. Si pedagang mengira bahwa pedang itu sudah tumpul, bahkan tidak bisa
memotong daging kering.
Namun, Paul mengatakan sesuatu seperti, "instingku mengatakan bahwa ini bukanlah benda
biasa."
Aku pun mengetahuinya.

70
Kemampuan itu pernah disebut pada senjata prajurit dalam kisah Legenda Perugius. Aku pernah
membaca buku itu di Buina dulu.
Pedang prajurit itu tidak bisa memotong daging kering, namun saat ditebaskan pada segumpal
baja, pedang itu bisa membelahnya dengan begitu mudah, itu adalah sebilah pedang iblis.
Tidak diragukan lagi. Paul tertarik pada pedang itu saat mendengar "bahkan tidak bisa memotong
daging kering.”
Yahh, itulah mengapa dia begitu sakti saat berhadapan dengan Armored Warrior tempo hari.
Dia menggenggamnya dengan tangan yang tidak dominan, yaitu tangan kiri. Biasanya, seseorang
tidak bisa mengayunkan tangannya yang tidak dominan dengan begitu kuat. Sehingga, jika pedang
di tangan kiri Paul bisa membelah sesuatu dengan begitu mudah, maka pedang itu sendiri sudah
sakti.
Elinalise membeli Gladius satu tangan. [13]
Kemampuan senjata itu adalah Shock Wave, yaitu ketika seseorang menusukkannya, maka senjata
tersebut akan melepaskan medan gaya.
Teknik itu tidak begitu merusak, namun efeknya adalah, lawan bisa terpental ke belakang,
sehingga jarak di antara kalian semakin lebar.
Karena itu adalah kemampuan yang praktis dan bisa digunakan siapa saja, maka harga senjata itu
cukup tinggi. Namun Elinalise bisa membelinya dengan beberapa bongkah kristal sihir yang dia
simpan di tasnya.
Sebenarnya, berapa banyak sih kristal sihir yang dia miliki?
Pada malam itu, Talhand dan Roxy minum alkohol bersama.
Dan karena aku sudah dianggap sebagai orang dewasa, maka aku pun boleh bergabung dengan
mereka.
Meskipun demikian, aku merasa malu kalau harus mabuk-mabukan di hadapan Roxy.
Itu tidak pantas dilakukan,
Sebenarnya, kami akan membicarakan : bagaimana menyusun formasi terbaik untuk tiga penyihir
di kelompok ini [14]. Namun, entah kenapa, topiknya dirubah menjadi : apakah maknanya menjadi
seorang pria, oleh Talhand-sensei.
Dia mulai bercerita kisah tentang seorang pria berotot, berhati baja, dan berbudi luhur.
Ini bukan percakapan untuk para penyihir.
Namun, itu adalah percakapan yang menarik.
Dia benar juga, seorang lelaki harus kuat.
Yah, tapi sepertinya Roxy tidak begitu tertarik dengan topik ini, lantas dia mulai bosan.
Ya mau bagaimana lagi.
Setelah menghabiskan waktu senggang, kami pun kembali memasuki dungeon, dengan diiringi
oleh Lilia yang mengucapkan “Semoga perjalananmu aman-aman saja.”
71
Bagian 4
Kami dapat dengan mudah menembus ke lantai empat.
Sebagiannya disebabkan oleh peralatan kami yang sudah semakin baik, tetapi sebagiannya lagi
disebabkan oleh keberuntungan.
Kami mampu mencapai tempat tujuan tanpa gangguan yang berarti.
Bahkan, kami hanya perlu waktu tiga jam untuk mencapai tempat tujuan.
Kami juga hampir tidak menemukan monster.
Sekarang, kami sudah kembali ke lantai empat, kemudian kami pun mengeksplorasi tempat ini
untuk menggambarnya di peta yang masih kososng.
Namun, masih tidak ada tanda-tanda sosok wanita yang mirip Zenith.
Setelah selesai mengeksplorasi, kami pulang lagi, kemudian melanjutkan ke lantai lima esok hari.
Perlu diketahui bahwa Mad Skull, Armored Warrior, Little Devil mulai bermunculan di lantai
lima.
Little Devil adalah monster bertipe iblis yang bermulut besar dan bertaring tajam.
Dengan kaki yang panjang, mereka menempel pada langit-langit menggunakan cakar mereka yang
tajam.
Kalau boleh kudeskripsikan, mereka memberikan kesan mengerikan, dan mirip seperti suatu alien
tertentu. [15]
Penampilannya sih tidak semenakutkan itu, tapi Little Devil tetaplah musuh yang kuat.
Mereka bisa bergerak dengan merangkak di sepanjang langit-langit dan dinding gua, dan itu
sungguh merepotkan.
Kemampuan itulah yang membuat formasi kami tidak berguna.
Mereka dapat melewati Paul dan Elinalise yang sedang sibuk melawan Armored Warrior,
kemudian segera menyelinap ke barisan belakang, tempat kami berada.
Itu cukup membuatku merinding.
Kami berhasil mempertahankan diri dari serangan pertama.
Sebenarnya, mengalahkan Little Devil tidaklah begitu sulit.
Kecepatan dan kekuatan serangannya sih cukup bagus, namun pertahanannya buruk, dan tubuhnya
juga tidak begitu tangguh menahan serangan lawan.
Saat mereka jatuh dari langit-langit atau dinding gua, kemudian Elinalise menyerangnya dengan
menggunakan senjata barunya, maka saat itupun mereka binasa.
Kita bisa mengalahkan Little Devil.

72
Meskipun Little Devil adalah monster kelas A, dan kami sudah terbiasa mengikuti gerakannya
yang gesit…. Armored Warrior tetaplah monster yang lebih menyusahkan kami daripada iblis-
iblis itu.
Namun, jangan sampai perhatianmu hanya terpusat pada langit-lamgit gua.
Jika kau hanya memperhatikan atas, maka bisa-bisa kakimu memijak suatu jebakan di tanah.
Kalau sudah terperangkap pada suatu jebakan teleport, bisa-bisa kau dikirim ke suatu tempat yang
aneh.
"Kalau begitu, haruskah kita menggunakan itu?"
Kalau sudah seperti ini, biasanya kami akan kembali pulang, kemudian mendiskusikan
perkembangan ini bersama-sama, tapi kami sudah punya buku itu.
Dalam buku Catatan Eksplorasi Dungeon Teleport, tertulis suatu cara untuk mengatasi Little
Devil.
Mereka benar-benar membenci bau dari suatu bijih tertentu.
Bijih yang dimaksud adalah Tarufuro Berry. Tampaknya, bijih itu dijual sebagai makanan di
Lapan. Jika kau membakar bijih itu seperti dupa, maka asapnya akan memaksa Little Devil turun
dari langit-langit dan dinding gua.
Mereka akan berjatuhan ke tanah, kemudian berusaha sebisa mungkin untuk melarikan diri karena
tidak tahan dengan bau asap tersebut.
Setelah itu, mudah bagi kami untuk menghabisi mereka.
Kalau sudah begitu, rangking mereka akan turun menjadi B atau bahkan C,
Penulis buku ini benar-benar telah melakukan pengamatan yang luar biasa.
Dengan begitu, kami bisa menyelesaikan tingkat kelima dengan begitu cepat.
Namun, kami belum menemukan suatu lingkaran sihir pun yang dapat mengantarkan kami ke
tingkat selanjutnya, sehingga kami mengeksplorasi tempat ini lebih lama. Ingat, tujuan kami di
sini bukanlah membersihkan dungeon, melainkan mencari Zenith.
Tapi, itu tidak masalah.
Malahan, ini cukup mudah.
Bagian 5
Setelah menemukan lingkaran sihir yang benar, kami pun tiba di lantai enam.
"Gisu, gimana nih?"
"Kita pasti bisa melaluinya."
Gisu hanya memberikan balasan singkat, seakan tidak terlalu memperhatikan apa yang Paul
tanyakan.
Kondisi kami masih fit.

73
Persiapannya pun telah sempurna.
Momentumnya tepat sekali.
"Baiklah, kalau begitu, kita akan melanjutkan eksplorasi ini tanpa kembali."
"Dimengerti."
Kami sudah melakukan persiapan, dan kami tidak kelelahan.
Jadi, kali ini tidak perlu kembali ke penginapan.
Eksplorasi pun berlanjut.

74
Bab 6
Lingkaran Sihir Pada Lantai Ketujuh

Bagian 1
Kami tiba di lantai enam.
Jumlah Little Devil semakin banyak di lantai enam.
Armored Warrior sudah tidak lagi tampak, yang ada hanyalah Little Devil.
Karena kami sudah punya biji itu, maka melawan mereka jadi lebih mudah.
Namun, bagaimanapun juga, jumlahnya sangat banyak.
Aku pun tak habis pikir, mengapa ada begitu banyak Little Devil di sini.
Kami mengetahui alasannya setelah tiba di area paling dalam dari lantai ini.
Di bagian terdalam, terdapat lingkaran sihir yang menuju pada sarang Little Devil.
Sejumlah besar Little Devil berjibun di sana, dan di sudut-sudut ruangan terdapat telur yang tak
terhitung jumlahnya.
Bentuk telurnya lonjong, warnanya kegelapan, dan ditutupi lendir, hanya melihatnya saja sudah
membuatku merinding.
Aku jadi penasaran, apakah ada ratu yang melahirkan semua telur ini. Jangan-jangan, mereka
menggunakan Zenith sebagai induk semang.
Meskipun hal yang menjijikkan itu terbayang di kepalaku, namun tampaknya Little Devil tidak
punya sifat seperti itu. [16]
Meskipun mereka berjibun, nampaknya mereka tidak punya bos.
Namun, darimana datangnya monster-monster ini, dan mau kemana kah mereka?
Jumlah mereka begitu banyak, namun anehnya aku tidak melihat sumber makanan sebanyak itu di
sekitar sini.
"Roxy-sensei, monster-monster itu ... apa yang mereka makan untuk bertahan hidup?"
"... Aneh juga ya. Ada beberapa teori sih yang bisa menjelaskannya, namun sering dikatakan
bahwa mereka memakan Mana.”
"Mana, kah?"
Pada hutan dan gua yang terdapat banyak kosentrasi Mana, sering dijumpai monster-monster
lainnya.
Nanahoshi juga pernah berkata bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung Mana.
Namun, Mana tersebut kasat mata.

75
Bahkan sulit dimengerti apakah Mana itu ada atau tidak.
Ah tidak, keberadaan suatu Mana harusnya bisa dideteksi oleh mata iblis.
Kalau mereka bisa memakan Mana, maka kenapa mereka tidak bisa memakan Mana yang
dipancarkan tubuhnya sendiri?
Jadi, ada tipe Mana yang bisa dan tidak bisa mereka makan.
Dulu, Paul pernah berkata bahwa para monster mengincar kristal sihir yang tertanam di dalam
dungeon.
Aku penasaran, apakah krital sihir tersebut adalah makanan mewah bagi monster-monster itu.
Tapi, nampaknya monster-monster di dungeon ini tidak mengincar kristal sihir yang tertanam di
dasar dungeon.
Seolah-olah, mereka hanya ingin membuat sarang, dan hidup di sini.
Lalu, apa yang mereka dapat dengan hidup di sini?
Yahh, tidak ada gunanya memikirkan hal yang penuh dengan misteri seperti itu.
Yang jelas, monster-monster itu tidak memakan banda sekeras armor.
Jadi, biarlah monster-monster itu hidup di lingkungan ini.
"Yah, tak peduli apapun yang mereka makan… faktanya, mereka selalu menyerang siapapun yang
mereka temui. Ayo kita hancurkan saja telur-telur itu, sepertinya mereka akan menjadi
pengganggu saat kita memasuki dungeon selanjutnya.”
Seraya mengatakan itu, Roxy mulai menghancurkan telur-telur Little Devil dengan tak acuh.
Tanpa menggunakan sihir,
Dia hanya menggunakan belati, kemudian berjalan mengelilingi ruangan sambil menusukinya satu
per satu.
Itu benar-benar ekspresi yang datar.
Yah, bagus juga sih.
Namun, aku kira telur-telur itu juga dilahirkan oleh induk monster.
Aku penasaran, apakah Armored Warrior juga dilahirkan dari telur serupa.
Apakah ada Armored Warrior yang masih kecil, seukuran figure, dengan pedangnya yang mirip
mainan?
Kemudian ada mama dan papa Armored Warrior yang tersenyum bahagia saat mengawasi anaknya
sedang bermain-main.
Lantas, mereka mendengar suara penyusup,
Papa dan mama Armored Warrior pun memperingatkan anaknya, 'bersembunyilah,' kemudian
mereka bertarung.
Ternyata, yang sedang mereka hadapi adalah Paul, dengan wajah seperti iblis.

76
Si Paul berwajah iblis hanya menganggap mereka seperti kecoa, kemudian dia pun membantai
papa dan mama Armored Warrior dengan begitu kejam.
Sang anak melihat kedua orang tuanya dibantai, kemudian mulai saat itu dia menganggap manusia
sebagai musuh. Setelah anak itu tumbuh dewasa, dia akan menyerang manusia di manapun dia
melihatnya.
…gitu kali ya,
"Rudi. Kau sedang melamun apa? Tolong bantu aku."
"Ah iya."
Saat Roxy menegurku, aku segera memecahkan telur terdekat.
Jalur ini terhubung pada tiga ruangan besar lainnya yang dipenuhi dengan telur.
Kalau telur-telur ini menetas, apakah lava-lavanya akan menempel pada tubuh seseorang?
Yahh, untungnya tidak ada tanda-tanda mereka akan menetas.
Kami pun selesai membersihkan telur-telur ini tanpa masalah. Imajinasiku tidak menjadi
kenyataan, dan tidak pernah ada lava yang menetas dari cangkang telurnya, kemudian menyerang
Roxy.
Bagian 2
Kemudian, kami sampai di ruang terdalam.
Ini merupakan tempat terakhir yang ditulis dalam buku tersebut.
Ruangan yang luas.
Ruangan ini tersusun dari batu.
Di depan pintu masuk dan dinding, terdapat banyak sekali lingkaran sihir.
Namun, begitu kami masuk, terasa suatu keanehan.
Di sini, tidak ada apapun selain lingkaran sihir.
Padahal, terdapat begitu banyak Little Devil sebelum tempat ini.
Sekilas saja, kau bisa memprediksi bahwa ada sekitar 100 ekor Little Devil beserta telur-telurnya
di sana.
Meskipun demikian, di sini hanya ada lingkaran sihir.
Seolah-olah ada sesuatu yang melindungi ruangan ini, dan kesannya ini seperti tempat yang sakral.
"Ini adalah ruangan sebelum kita menemui pelindung terakhir, kan?"
"Kalau suasananya seperti ini sih, kurasa kau benar."
"Akan lebih baik jika kita tetap waspada."
Paul, Elinalise, dan Roxy menggenggam erat senjatanya sembari mengatakan itu.

77
Ruangan di depan pelindung terakhir (atau, sebut saja bos monster), apakah suasananya selalu
mengerikan seperti ini?
"Kalau begitu, aku penasaran… lingkaran sihir ini akan mengarah ke mana ..."
Gisu berkeliling memeriksa lingkaran-lingkaran sihir satu per satu, sembari tetap memegang buku
itu dengan salah satu tangannya.
Kami semua berjaga-jaga di depan pintu masuk.
"Aku akan membantu."
"Silahkan."
Aku pun ikutan memeriksa lingkaran sihir yang begitu banyak itu.
Entah kenapa, Roxy juga mengikutiku di belakang.
Kalau Roxy bersamaku, maka aku akan semakin yakin.
"Gimana tuh?"
"Kurasa…. Ini seperti yang tertulis di buku."
Gisu membandingkan model lingkaran-lingkaran sihir itu dengan yang tertulis di buku.
Dia membandingkan tiga lingkaran sihir secara berurutan,
Pada buku, tertulis kalimat seperti ini :
"Ada tiga lingkaran sihir.
Kami segera tahu bahwa dua di antaranya akan mengirim kami ke tempat lain secara acak.
Oleh karena itu, kami memberikan penanda berupa batu di depan lingkaran sihir yang kami yakini
bukan perangkap.
Namun, ternyata itu malah jebakan.
Kami dipindahkan pada suatu ruangan yang aneh.
Itu adalah ruangan yang penuh dengan iblis bertubuh gelap dan panjang.
Atau lebih tepatnya, itu adalah sarang Little Devil. Begitu mereka melihat kami .... ”
Tak lama kemudian, kami benar-benar menemukan batu penanda yang tertulis pada buku itu. Luar
biasa, betapa nyata buku ini.
Di sana ada sebuah batu seukuran kepalan tangan yang telah dipoles bersih.
Pada permukaannya, terdapat ukiran angka enam digit.
Kami tidak pernah menemukan benda seperti itu di lantai-lantai sebelumnya.
"Entah kenapa, rasanya aneh aja… iya kan?"
"Jadi kau juga berpikiran sama denganku? Aku juga merasakan hal yang buruk pada batu itu.
Dengarkan baik-baik senpai, benda-benda peninggalan suatu kelompok yang sudah terbantai di
dungeon ini selalu membawa sial.”

78
"Jadi, benda itu membawa sial?"
"Ya."
"Yah, tapi kelompok tersebut tidak terbantai di sini, kan ... Buktinya dia masih sempat menulis
buku itu."
Sambil mengatakan itu, aku melihat lingkaran sihir di depanku dengan seksama.
Itu menyerupai lingkaran sihir dua arah yang beberapa kali pernah aku injak sebelumnya.
Tapi, yang ini agak berbeda.
Jika kau menginjaknya, maka kau akan diteleport secara acak.
Atau…. Bahkan seisi ruangan ini akan diteleport sekaligus,
Kalau begitu, lingkaran sihir yang bukan jebakan pasti ada di antara dua sisanya.
Namun, salah satu di antara dua lingkaran yang tersisa ini juga merupakan jebakan yang akan
mengirimmu secara acak ke suatu tempat.
"Rudi, tau kah kau mana yang benar?"
Setelah Roxy menanyakan itu, aku hanya menanggapinya dengan menggelengkan kepalaku.
"Tidak, sama sekali tidak tahu. Kalau Nanahoshi sih, mungkin dia tahu."
"Nanahoshi? Siapa itu?"
"Dia adalah seseorang yang meneliti lingkaran sihir di Akademi Sihir ... atau lebih tepatnya, dia
meneliti sihir pemanggilan. Karena dia sudah banyak melakukan eksperimen tentang lingkaran
sihir, maka dia pasti bisa berbicara banyak saat menghadapi kasus seperti ini.”
"M ... Mungkinkah dia adalah kekasih Rudi?"
"Nanahoshi? Nggak lah ..."
Andaikan saja Nanahoshi, Sylphy, ataupun Cliff ada di sini.
Akhirnya aku memikirkan hal seperti itu.
Nanahoshi dan Sylphy sih tidak mungkin ke sini, tapi Cliff mungkin saja.
Bahkan sekarang pun, kami bisa kembali ke Ranoa, kemudian mengajaknya kemari.
Itu akan membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.
Karena Cliff tidak terbiasa bertualang, maka mungkin empat bulan.
Ah tidak juga…. Meskipun Cliff ada di sini, mungkin dia juga tidak mengerti.
"Sebenarnya aku juga mempelajari tentang sihir teleportasi di Akademi Sihir, tapi aku tetap saja
tidak tahu jawabannya… betapa memalukan.”
"Penelitian tentang sihir teleportasi?"
"Ya."

79
"Aku mengerti sekarang, Rudi memang hebat. Kau tidak asal mempelajari sesuatu. Kau selalu saja
mencari sumbernya sebagai dasar. Itu bukanlah hal yang mudah.”
Tampaknya terjadi sedikit kesalahpahaman di sini; karena aku melakukan itu semua hanya untuk
mengikuti saran Hitogami, agar impotensiku sembuh.
Itu bukanlah niatan yang pantas didengar orang lain, jadi aku tidak akan membahasnya di depan
Roxy.
Biarkan tetap menjadi rahasia.
"... Ah, itu wajar saja sih… siapa dulu gurunya…."
"Tidak ada gunanya kau menyanjungku."
Kami telah memeriksa masing-masing lingkaran sihir dengan seksama.
"Bagaimana senpai, apakah kamu mengerti sesuatu?"
"Tidak, tidak sama sekali."
Lagipula, semua pengetahuanku tentang lingkaran sihir teleportasi berasal dari buku ini.
Selama jawabannya tidak tertulis di sana, ya mana aku tahu.
Tentu saja aku pernah melakukan penelitian lain dengan membaca referensi-referensi yang
berbeda, namun yang namanya tidak tahu, ya tetap tidak tahu.
Satu-satunya yang kutahu adalah, ketiga lingkaran sihir yang tersaji di hadapanku saat ini, tidaklah
sama.
Bahkan, aku pernah melihat lebih banyak lagi lingkaran sihir di ruang penelitiannya Nanahoshi.
Yang namanya lingkaran sihir, jika kau merubah detail gambarnya, maka efeknya pun akan
berubah.
Hanya itulah yang bisa kukatakan.
"Kalau informasi yang terdapat di buku itu benar, maka harusnya sih jawabannya ada di antara
ketiga lingkaran sihir ini…”
"... Dengan kata lain, senpai benar-benar tidak tahu."
"Memang."
Aku kembali ke pintu masuk ruangan.
Paul dan yang lainnya sedang duduk dalam suatu lingkaran, rupanya mereka sedang istirahat.
Aku melaporkan semua hal yang kami selidiki, seakurat mungkin.
"Cheh ... ini sama saja dengan pilihan ganda."
"... Ya, pilihan ganda."
"Benar-benar membingungkan, ya…”
Paul, Elinalise, dan Talhand…. semuanya tampak kecewa.

80
"Pilihan ganda memang berbahaya ... bukan? Pilihannya ada tiga, dan ada satu yang ketahuan pasti
salah.”
Gisu mengatakan itu sembari melihat langit-langit gua.
Aku penasaran, apakah dia punya kenangan buruk mengenai pilihan ganda.
Sepertinya begitu.
"Apakah di sana juga ada kutukan?"
"Ya, lebih tepatnya benda pembawa sial. Ketika menjumpai pilihan ganda, kalau kita tidak
membiarkan Ghyslaine memilih, maka kita pasti akan gagal."
Setelah mendengar kata-kata itu, Paul dan yang lainnya mengangguk, "Ya, itu benar juga.”
Ghyslaine, ya?
Ah, kangen juga sama nama itu.
Tapi, itu masuk akal juga, karena ras hewan terkenal dengan indra penciumannya yang tajam.
"Ghyslaine, ya…. ah, pada saat-saat seperti ini, terasa sekali kalau kita membutuhkannya.”
"Ya, tapi dia hanya berguna pada urusan seperti ini ..."
"Saat bertarung, dia menerjang lawan begitu saja, tanpa mendengarkan arahan dan rencana yang
telah kita buat. Dia tidak pernah merencanakan sesuatu dengan matang. Ketika dia tidak
memahami apa yang orang lain katakan, dia cepat emosi. Tapi anehnya, saat memilih pilihan
ganda, dia selalu benar.”
Itu adalah cara yang kejam untuk menyanjung temanmu.
Aku merasa kasihan terhadap Ghyslaine setelah mendengar hal itu.
Karena Ghyslaine juga merupakan Shisho-ku yang terhormat, maka akan kuhentikan pembicaraan
ini sekarang juga.
"Tolong maafkan dia, karena dia pun telah belajar membaca, menulis, dan juga menghitung.”
Ghyslaine juga telah berusaha untuk berubah.
Dia bagaikan anak SD yang terus salah menghafal perkalian, namun dia tetap berusaha yang
terbaik, bahkan berani mempelajari pembagian.
"Ha ... aku sudah mendengar tentang itu dari Paul, tapi aku tidak akan tertipu. Tidak mungkin si
telinga anjing itu dapat melakukan hal-hal yang bisa dikerjakan oleh orang biasa.”
"Aku juga pernah mendengar itu sebelumnya, tapi jujur saja, aku tidak percaya."
Elinalise dan Talhand sangat meragukannya.
Aku mengerti perasaan mereka, karena Ghyslaine memang sangat sulit diajari.
Namun, rasanya aneh juga.
Semua ex-anggota kelompok mereka ada di sini, kecuali Ghyslaine.

81
Meskipun begitu, Ghyslaine adalah satu-satunya mantan anggota yang tetap berhubungan dengan
Paul, bahkan setelah insiden metastasis terjadi.
Dia adalah rekan Paul pertama yang kukenal sejak di Desa Buina, namun dia tidak bersama kami
sekarang.
Ya, ini aneh.
"Lupakan itu sejenak…. Lantas, apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Setelah Gisu mengatakan itu, kami pun kembali ke topik pembicaraan.
Tersisa 2 lingkaran sihir yang harus ditebak.
Dan hanya satu yang benar… tapi, yang mana?
"Rudi, bahkan kamu tidak bisa mengetahuinya?"
Setelah Paul menanyakan itu, aku hanya membalasnya dengan menggelengkan kepala.
"Ya. Meskipun aku pernah meneliti ini sewaktu di sekolah, aku tidak tahu jawabannya. Maaf ya.”
"Aku paham..."
Paul menyilangkan lengannya, memejamkan mata, menunduk, dan mulai merenung.
Kemudian, bahkan belum semenit sejak dia merenung, tiba-tiba dia mengangkat kembali
kepalanya.
"Untuk sekarang, ayo kita membuat poling suara. Bagi kalian yang meyakini bahwa lingkaran sihir
sebelah kanan adalah yang benar, angkatlah tangan. Bagi kalian yang meyakini bahwa lingkaran
sihir sebelah kiri adalah yang benar, juga angkalah tangan.”
Setelah Paul berkata begitu, semua orang mengangkat tangan mereka.
Paul, Elinalise, Roxy memberikan suara mereka untuk sebelah kanan. Sedangkan Gisu, Talhand,
dan aku sebaliknya.
Tiga lawan tiga, maka hasilnya seimbang.
"Cheh ... Kalau begini sih, maka kita tidak akan bisa memutuskannya."
"Umm, Ayah. Sebetulnya ini bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan dengan suara terbanyak."
"Yahh, memang benar sih ... Lalu, apakah ada yang punya ide lain?"
Setelah Paul mengatakan itu, Elinalise pun mengangkat tangannya.
"Bagaimana kalau kita bagi tim menjadi dua, kemudian memasuki keduanya secara bersamaan?"
"Apakah kau ingin mengorbankan temanmu sendiri?"
"Kalau Paul atau aku sih gak akan masalah. Kami bisa membantai iblis-iblis tersebut dengan
memanfaatkan asap biji-bijian itu.”
Memasuki kedua lingkaran sihir secara bersamaan, kemudian yang benar akan kembali.
Lalu, tim yang benar akan mencari tim yang salah, dan akhirnya kami akan kembali bersatu lagi.

82
"Aku tidak setuju."
"Ya ampun, Rudeus… apa alasanmu?"
"Pertama-tama, selalu ada kemungkinan bahwa kedua lingkaran sihir itu sama-sama perangkap.”
Keduanya akan meneleportmu secara acak.
Ya, selalu ada kemungkinan seperti itu.
Jadi, ketiganya adalah perangkap.
Jawaban yang benar ada di ruangan yang berbeda.
Tentu saja, kemungkinan itu rendah.
Menurut buku itu…. Pada dasarnya, setelah kau membersihkan semua ruangan, maka kau berhak
untuk menemukan jalan ke lantai berikutnya.
Dan jika kita mempercayai sang penulis, maka itu adalah ruangan terakhir di lantai ini.
Namun, jika dilihat dari posisi dan bentuknya, lingkaran-lingkaran sihir itu tampak berbeda dan
terkesan palsu.
Ya, aku sudah menyadari itu.
Aku penasaran, apakah kita benar-benar bisa menyelesaikan masalah ini dengan tebakan yang
beruntung pada suatu pilihan ganda.
Apakah mustahil jika lingkaran sihir yang benar berada di tempat yang berbeda?
Kalau tidak… bukankah ketiga lingkaran yang sedang kita hadapi sekarang semuanya palsu?
Jikalau kita menganalogikan dungeon ini dengan game, maka kami sedang memainkan game
kematian yang tidak mengijinkan satu pun pemainnya lolos. Dalam keadaan seperti itu, apakah
selalu ada petunjuk untuk menyelesaikan game-nya? Kurasa tidak.
"Kalau begitu, Rudeus, apakah kau ada cara lain?"
"Tidak… tetapi, kalau kita berpikir sedikit lebih lama lagi, bukankah akan ada pilihan lain yang
jauh lebih aman?”
Tapi, aku menyadari sesuatu.
Aku merasa bahwa ada suatu hal yang kulupakan di sini.
Sebelum aku mengingat kembali apakah hal itu, kurasa bermain-main dengan ketiga lingkaran
sihir itu adalah suatu tindakan yang berbahaya.
Saat kedua tim menginjak dua pilihan yang tersisa, maka kami semua akan diteleport secara acak
ke suatu tempat yang tidak pernah kami duga sebelumnya.
Pada dungeon teleport, jika kau tidak memanfaatkan lingkaran sihir itu, maka kau tidak akan bisa
menakhlukkan dungeon tersebut.
Bahkan, mungkin saja ada suatu ruangan yang bisa kau capai hanya dengan menggunakan
teleportasi secara acak.

83
"Aku ingin coba menyelidikinya sedikit lagi."
Aku meminta itu, dan ...
"Baiklah, Rudi. Kami serahkan semuanya padamu."
Sebelum yang lainnya berkomentar, Paul sudah menyetujuinya terlebih dahulu.
Bagian 3
Aku duduk di depan lingkaran sihir itu, seraya berpikir dalam-dalam.
Ketiga lingkaran sihir ini palsu.
Untuk saat ini, hanya itu yang bisa kuasumsikan.
Setelah duduk dan memikirkannya, ada tiga hal yang terlintas dalam pikiranku.
Yang pertama. Mungkin saja ruangan ini bukanlah ruangan terakhir di lantai ini.
Menurut buku itu, dungeon teleport bekerja dengan aturan tertentu.
Aturannya adalah, rute utama mengikuti lingkaran sihir dua arah.
Namun, kalau mengikuti aturan itu, maka kami tidak salah kalau menganggap bahwa ruangan ini
sebagai ruangan terkahir di lantai ini.
Akan tetapi, ketika Roxy terjebak, dia dikirim pada suatu tempat yang tidak terhubung dengan rute
lingkaran sihir dua arah. Dengan kata lain, Roxy tidak bisa kembali ke tempat semula, dengan
memijak lingkaran sihir yang sama.
Pada tempat itu, Roxy dihadapkan dengan lebih dari 30 lingkaran sihir satu arah. Dia pun terpaksa
mencobanya satu per satu untuk kembali ke rute lingkaran sihir dua arah.
Lagi pula, ruang terakhir mungkin masih berada jauh di depan, setelah melewati setidaknya sekali
lingkaran sihir searah.
Meskipun begitu, aku sendiri merasa bahwa peluangnya rendah.
Yang kedua. Mungkin saja sang penulis tidak sadar bahwa dia telah terjebak.
Saat dia menginjak lingkaran sihir searah, maka dia beserta kelompoknya akan dipindahkan pada
suatu tempat secara acak.
Akan tetapi, belum tentu ada kawanan monster pada tempat tersebut, sehingga dia merasa aman-
aman saja, dan tidak sadar bahwa dirinya telah menginjak lingkaran sihir yang salah.
Untung ada Gisu pada kelompok kami, yang lebih peka jikalau ada jebakan yang menghadang.
Yang ketiga. Mungkin saja ini merupakan lingkaran sihir berlapis.
Lingkaran sihir memiliki berbagai bentuk.
Aku pernah melihat lingkaran sihir yang berbentuk seperti donat berlapis, dan mungkin saja kami
sedang menghadapi kasus yang sama.
Saat lingkaran sihir dilapisi dengan lingkaran sihir lainnya, maka efeknya akan berubah.

84
Misal, kau ingin menggunakan sihir api dan es secara bersamaan. Maka yang perlu kau lakukan
adalah, menggambar lingkaran sihir api pada intinya, kemudian melapisinya lagi dengan lingkaran
sihir es. Dengan begitu, kau tidak perlu menggambar dua lingkaran sihir secara terpisah untuk
mengaktifkan kedua sihir yang bertentangan itu.
Hal yang sama bisa saja terjadi pada kasus ini.
Dimana, lingkaran sihir yang benar berada pada inti, sedangkan lingkaran sihir perangkap melapisi
bagian luarnya.
Kalau memang itu yang terjadi, maka yang perlu kau lakukan adalah memijak lingkaran sihir tepat
pada intinya, dan jangan sekali-kali melangkahkan kakimu pada bagian luar dari lingkaran sihir
tersebut, karena itu hanyalah lapisan yang mengarahkanmu pada jebakan.
…Duh, seharusnya Ikkyu-san yang memecahkan teka-teki semacam ini. [17]
Setelah kutimbang-timbang lagi, aku pun mengeliminasi 2 kemungkinan terakhir. Maka, yang
paling masuk akal adalah kemungkinan pertama.
Pada dasarnya, sang penulis selalu menganjurkan untuk menggunakan lingkaran sihir dua arah.
Akan tetapi, belum tentu lingkaran sihir searah selalu mengantarkanmu pada jebakan.
Oleh karena itu, mulai sekarang kita perlu menggunakan lingkaran sihir searah dan dua arah.
…. Tunggu dulu, bagaimana dengan kemungkinan adanya jalan buntu?
Misalnya, seperti persimpangan jalan berbentuk garpu sebelumnya. Atau jangan-jangan lingkaran
sihir teleport searah pada lantai empat, ternyata berujung pada jalan buntu.
Sialan ... semuanya mulai bercampur aduk.
Lagian, apa sih yang membedakan jalan utama dan tidak utama? Atau, apa sih yang membedakan
tiap lantai? Jenis monsternya? Apakah kita benar-benar berada di lantai kedua, ketiga, keempat,
atau seterusnya?
Secara teknis, penulis buku itulah yang mendefinisikan segalanya, termasuk jalan yang benar, dan
kita hanya mengikuti tulisannya.
Sedangkan, aturan yang sebenarnya mungkin benar-benar tidak sesuai dengan itu semua.
Tapi, aku yakin bahwa mengikuti si penulis buku adalah pilihan yang terbaik saat ini.
Mulai dari lantai enam, kita akan coba menggunakan lingkaran sihir searah, kemudian menumpas
para monster, dan mencari rute yang berbeda.
Aku merasa ini jawaban yang benar.
Tapi, perhatikan suasana ruangan ini.
Semua anggota veteran seolah-olah berpendapat bahwa, "Bos monster sudah dekat."
Bagaimanapun, aku juga merasa bahwa ini merupakan tempat yang spesial.
Sebenarnya aku juga punya firasat bahwa ruangan ini merupakan ruangan terakhir.
Tapi, di saat yang sama, aku juga merasakan bahwa mungkin ini perangkap.

85
Hmmm,
"Kalau berpikir terus, maka tidak akan ada akhirnya, lebih baik aku menyatakannya."
Aku berdiri sambil mengatakan itu.
Aduh, kayaknya aku kebelet nih.
"Ayah."
"Ada apa?"
"Kayaknya, aku pengen ’siram-siram nih’."
"Ah…. Bilang saja mau kencing, aku ikut deh."
"Jangan bilang kencing, itu terdengar vulgar di telinga para cewek ..."
"Halah, buat apa sungkan-sungkan di tempat seperti ini?"
Bukannya begitu, nanti kalau Roxy dengar, rasanya kayak gimana gitu ........
Aku tidak ingin membuat sedikit pun kesalahan di depan guruku itu.
Ah, tapi mungkin Paul benar, aku kan cuma mau kencing, Roxy tidak mungkin memikirkan yang
aneh-aneh jika aku ijin ke belakang.
Bersama dengan Paul, aku pun meninggalkan ruangan ini.
Kami masuk pada ruangan berisi tumpukan mayat Little Devil beserta telur-telurnya.
Hanya ini tempat yang cocok untuk pipis.
Selagi bergantian dengan Paul untuk berjaga-jaga, kami pun memenuhi panggilan alam.
"Sulit, ya?"
Paul mengajakku bicara, sementara aku sedang melamun.
"Ya, aku sempat berpikir bahwa ruangan ini bukanlah termasuk dalam rute utama. Kalau kita
belum menemukan rute yang benar, maka kita tidak akan pernah bertemu dengan bos akhir.”
"Tapi, aku yakin bahwa itu adalah ruangan terakhir di lantai ini."
"Apa dasarmu berpikir begitu?"
"Tidak ada."
Tidak ada, dengan kata lain itu hanya intuisi, ya.
Namun, kau juga tidak boleh meremehkan intuisi seorang petualang veteran.
Meskipun Paul tidak punya dasar, mungkin saja feelingnya cukup tajam, karena dia sudah
mempunyai begitu banyak pengalaman.
"Yah, tidak perlu terburu-buru. Ayah dan yang lainnya akan menunggumu. Jika kau ragu, maka
jangan pernah ragu untuk bertanya pada kami. Jangan pernah menyimpulkan segalanya sendirian.”
"Ya."

86
Kusudahi tanggunganku sebagai seorang pria sehat, kemudian bergantian dengan Paul.
Sambil berjaga-jaga, aku melihat sekelilingku.
"Ah…. Oh iya, Rudi… ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa itu?"
"... Ah, Tidak, kayaknya nanti saja. Aku akan bertanya lagi kalau kita sudah kembali ke
penginapan.”
"Bilang saja sekarang, ayah. Kalau kau membuatku penasaran seperti itu, aku tidak akan merasa
nyaman ketika mengeksplorasi dungeon ini. Hal-hal semacam itu disebut bendera kematian, lho."
"Apa itu ...? Jika aku mengatakannya sekarang, mungkin akan mempengaruhi kondisi mental
kelompok ini."
Ketika kudengar itu, aku hanya menanggapinya dengan memiringkan kepalaku kebingungan.
Sesuatu yang mungkin mempengaruhi kondisi mental kelompok,
Aku semakin penasaran apakah itu.
Mungkin itu adalah suatu hal yang sensitif mengenai Zenith,
Atau hal lain yang membuat suasana tim memburuk,
"Ayah mau menceramahi mereka?"
"Yah, ya. Mirip dengan itu sih."
"Kalau itu membuat kita tertekan, dan gerakan menjadi canggung, maka sebaiknya jangan
disampaikan. Tapi setelah itu, jangan ragu untuk mengungkapkan semuanya padaku."
"Heh ... Yah, bukannya aku berniat mengomeli kalian atau semacamnya, aku hanya ingin memberi
kalian saran agar lebih bersiap.”
Setelah kita kembali ke penginapan, ya,
Akan lebih baik, bila saat itu kami sudah bersama Zenith.
"Ibu…… Mudah-mudahan dia aman."
".... Betul."
Baru saja aku menggumamkan itu, dan mood kami semakin berat.
Ini tidak bagus.
Kami sudah sampai sejauh ini, namun masih belum ada hasil.
Aku yakin Paul juga merasa bahwa ini tidak baik.
Mungkin lebih baik aku tidak mengungkapkannya dengan kata-kata.
"..."
Sambil mendengarkan suara kencing Paul yang panjang, aku terus melihat sekelilingku.

87
Ruangan besar dan tiga ruangan penuh telur.
Kemudian ruangan paling dalam berisikan tiga lingkaran sihir penuh teka-teki,
Semuanya berdekatan.
Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu.
"Ruangan ini ... bukankah terlalu panjang?"
"Hn? Kurasa begitu, memangnya kenapa?"
Ruangan ini berbentuk persegi panjang.
Memang terkesan lebar, karena banyak mayat iblis bertumpukan di sini, namun sebenarnya
panjangnya melebihi lebarnya.
Bentuknya memang persegi panjang.
Kedua sisi panjang itu, masing-masing memiliki dua ruangan.
Meskipun semuanya memiliki ukuran yang berbeda,
Namun, aku penah melihat ini sebelumnya.
Baru-baru ini saja, aku pernah melihatnya.
Kemudian, ada sesuatu yang janggal.
"…Ah."
Aku menyadarinya.
Tempat ini terlihat mirip dengan "Reruntuhan Teleport."
"Baiklah, kalau begitu kita akan segera kembali ... dan, hei Rudi…. Apa yang sedang kau
lakukan?"
Paul menatapku dengan kebingungan, lalu kita sama-sama kembali ke ruangan tempat semuanya
berada.
Aku memanggil Gisu, yang sedang berbaring seperti Buddha besar.
"Gisu-san, tolong bantu aku."
"Hn, ah? Apa kamu menemukan sesuatu?"
"Sini… sini…. sebelah sini."
Aku menarik Gisu ke sekitar pusat ruangan.
"Tolong cari tangga rahasia di sekitar sini."
"Haa ... ya, mungkin saja. Sampai sejauh ini, yang kita temui hanyalah perangkap teleport. Tapi,
tidak menutup kemungkinan bahwa ada ruangan tersembunyi di sekitar sini.”
Gisu langsung memahami apa yang aku maksud, lalu dia segera merangkak dan mencari sesuatu.
Kemudian, setelah wajahnya terlihat kaget, dia langsung menempelkan telinganya ke tanah.

88
Dia mengambil belatinya dan mengetukannya ke tanah.
"Hei ... di sini ... ada di sini! Senpai. Di bawah sini, ada ruangan."
"Bisakah kamu membukanya?"
"Tunggu sebentar."
Gisu coba menyentuh lantai di sana-sini.
Kemudian dia berpindah pada dinding, sembari memeriksanya juga.
Lalu dia kembali,
"Gawat, tidak bisa dibuka. Mungkin ini adalah tipe pintu yang harus kau buka secara paksa."
"Gak papa nih kalau dipaksa?"
"Ya ... Tidak ada jebakan sih. Baiklah. Senpai, coba lakukan di sini."
Sambil mengatakan itu Gisu mengukir suatu tanda di tanah.
Aku membidik ke arah itu kemudian meluncurkan sebongkah peluru batu.
Brak!! Terdengar suara keras saat peluruku menghantam tanah.
Aku rasa itu terlalu lemah, ya.
"Lebih kuat lagi dong, kamu bisa melakukannya, kan?"
"Ya."
Seperti yang dia katakan, aku meningkatkan kekuatannya, kemudian menembak sekali lagi.
Sebuah suara “Dash!!” yang besar terdengar, lantas suatu lubang menganga di tanah.
"Baiklah, serahkan sisanya padaku."
Gisu segera merangkak dan mulai memindahkan reruntuhan.
Jika kau sudah membuka lubangnya, maka pekerjaan setelahnya tidaklah sulit.
Dalam waktu singkat, Gisu menata lubang itu menjadi bentuk persegi yang menuju ke bawah.
Di sana pun muncul tangga yang menuju ke bawah.
"Luar biasa ... Senpai memang jempolan, kau menganalisanya dengan begitu baik."
"Yah, karena aku pernah melihat tempat ini sebelumnya."
Reruntuhan teleportasi.
Ada empat ruangan kosong, dan satu ruangan tersambung pada tangga yang menuju ke bawah.
Namun, aku penasaran…. apakah awalnya hanya terdapat empat ruangan kosong di sini.
Aku pun penasaran, apakah tangga ke bawah itu menuju tempat disembunyikannya lingkaran sihir
teleport yang benar.

89
Saat tempat ini belum menjadi reruntuhan, tampaknya keempat ruangan ini berisikan perabot, yang
ditata sedemikian rupa sehingga tidak ada orang yang menduga ada ruangan rahasia di bawahnya.
Keadaannya semakin memburuk setelah dimakan waktu, atau mungkin Orsted lah yang
menghancurkannya, sehingga jadilah seperti ini.
"Baiklah, semuanya…. senpai menemukan suatu tangga tersembunyi untuk kita!"
Setelah Gisu mengatakan itu, semua anggota lainnya berdiri.
Setelah mereka melihat tangga itu, maka…...
"Oh ~" mereka terheran-heran.
"... Gahahaha, kamu memang hebat!"
"Ow."
Talhand terbahak-bahak sembari memukul punggungku.
"Putraku memang jenius!"
"Aduh."
Paul juga memukul punggungku.
"Aku mengerti sekarang, kalau dipikir-pikir lagi, tempat ini mirip seperti reruntuhan teleport yang
kita kunjungi tempo hari, kan!?"
"Ow."
Elinalise juga memukulku.
"Oh, tapi tunggu sebentar. Mungkin ada jebakan. Senpai, berikan aku tiga gulungan roh cahaya!"
Gisu juga memukulku sambil mengatakan itu.
"..."
Kurang satu orang lagi, dan begitu aku berbalik, Roxy terhenti saat mengangkat tangan mungilnya
di udara.
Setelah kami saling pandang, dia memalingkan pandangannya, melirikku sedikit, kemudian
menjawil punggungku dengan cepat.
"Kerja bagus,"
Roxy membisikkan kata-kata itu.
Ekspresi wajahnya terlihat malu.
Aku penasaran, apakah dia terganggu dengan peranku yang aktif dalam tim ini.
Semua pencapaianku ini juga karena dirinya, jadi seharusnya dia tidak terganggu oleh itu.
Baiklah-baiklah, kalau aku terus-terusan dipuji karena penemuan ini, maka aku akan bilang: ini
semua karena Roxy yang memberikan petunjuk padaku.
"Baiklah, ayo kita teruskan perjalanan, semuanya…. Tetap waspada."

90
"Ya!"
Semuanya mengangguk setelah Gisu menyatakan itu.
Benar saja, setelah menuruni tangga di depan, kami mendapati lingkaran sihir teleportasi di
ruangan tersembunyi itu.
Lingkaran sihir teleport dua arah.
Namun, warnanya merah seperti darah.

91
Bab 7
Penjaga Dungeon Teleportasi

Bagian 1
Lingkaran sihir merah.
Sampai saat ini, aku hanya pernah melihat lingkaran sihir teleport berwarna putih kebiruan, tapi
yang satu ini warnanya merah.
Warna merah selalu menyatakan bahaya.
Misalnya, zona merah, atau semacamnya.
Artinya, kami akan dikirim ke tempat yang berbahaya.
"Di seberang lingkaran sihir ini…..."
Orang yang menggumamkan kata-kata itu adalah Paul.
Aku yakin, dia mengucapkan itu secara refleks.
Aku penasaran apakah Zenith ada di sana, atau mungkin sang penjaga dungeon ini ada di sana.
Namun, anehnya aku merasakan keyakinan di dadaku.
Di seberang lingkaran sihir itu adalah akhir dari dungeon ini.
"Apa yang harus kita lakukan, Paul? Kita masih punya waktu, dan kita bisa pulang sekali lagi
untuk membahas perkembangan ini."
Lantai enam mudah dilewati.
Berkat biji Tarufuro, kawanan Little Devil itu tidak lebih dari lalat-lalat kecil.
Kami belum menggunakan jurus-jurus andalan kami, yahh… kau bisa bilang, tenaga kami masih
cukup penuh.
Kami juga sudah cukup istirahat di ruangan sebelumnya.
"... Tidak, kita akan lanjut. Ayo periksa peralatan kita."
"Dimengerti."
Setelah mendengar keputusan yang dinyatakan Paul, semuanya duduk untuk memeriksa
peralatannya. Pada kesempatan itu, aku melepas peralatanku.
Aku mulai memeriksanya lebih teliti dari biasanya.
"Lihat, Rudi juga melakukannya."
Setelah Roxy mengatakan itu, aku pun ikutan duduk.
Aku mengambil semua barang-barangku dari tas, kemudian membariskannya di tanah untuk
memeriksa satu per satu.
92
Aku punya beberapa barang.
Barang yang paling banyak adalah gulungan roh cahaya.
"Rudi, mau kah kau mengambil beberapa gulunganku?"
Roxy juga membawa sejumlah gulungan untuk berjaga-jaga.
Itu adalah gulungan sihir tingkat lanjut.
Dengan kemampuan menyingkat mantra yang baik, dia bisa menggunakan beberapa sihir dalam
satu gulungan. Singkat kata, dia bisa menghemat pemakaian gulungan dengan kemampuannya itu.
Sihir tingkat lanjut membutuhkan waktu yang agak lama untuk diaktifkan.
Karena semua kemungkinan dapat terjadi saat bertarung, maka bisa-bisa kau tidak memiliki jeda
waktu untuk mengaktifkan sihirmu.
Oleh karena itu, seorang penyihir menggunakan gulungan untuk mengatasi masalah tersebut. [18]
"Boleh nih? Kalau begitu, aku minta beberapa gulungan sihir penyembuhan."
"Ya."
Karena aku bisa menggunakan mantra tanpa suara, maka aku tidak memerlukan gulungan sihir
seperti itu.
Namun, beda ceritanya kalau sihir penyembuhan.
Untuk jaga-jaga saja, siapa tahu kemungkinan terburuk terjadi.
Misalnya, jika sang penjaga dungeon menghancurkan tenggorokan atau paru-paruku, seperti yang
pernah Orsted lakukan dulu.
Setelah menerima beberapa gulungan sihir penyembuhan dari Roxy, aku melipatnya kemudian
kusimpan pada saku jubahku.
Jika aku tidak menggunakannya, aku akan mengembalikannya.
Aku ingin mengambil satu, kemudian kubawa pulang, sehingga Nanahoshi dan Cliff bisa
membuatnya secara massal.
Oh tidak… aku tidak akan kena copyright, kan?
Aku akan menggunakannya secara pribadi kok, dan tidak akan kuperjualbelikan.
"Aku tidak tahu penjaga dungeon macam apa yang akan kita lawan, namun kekuatan kita cukup
mumpuni, Rudi. Jadi, kau tidak perlu menggunakan gulungan itu. Biarkan kekuatan tim yang
menutupi kekuranganmu.”
"Aku mohon bantuannya. Entah kenapa, aku memiliki kebiasaan buruk membeku di tempat ketika
menghadapi sesuatu yang mengerikan, jadi… jika itu terjadi, mohon bantu aku.”
"Ya, percayakan saja padaku."
Sambil mengatakan itu, Roxy memukul dadanya yang kecil dengan suara, “Puk!”.
Sungguh bisa diandalkan.

93
"Rudeus, Roxy."
Kemudian, Elinalise melemparkan sesuatu kepada kami.
Setelah menangkap apa yang dia lempar, aku mendapati baru bulat mirip marmer.
Ini adalah kristal sihir yang selalu Elinalise bawa, dia punya beberapa benda seperti ini….
"Jika kamu kehabisan Mana, gunakan saja itu."
"Bolehkah?"
"Yahh, pinjam saja… kalau tidak dipakai, ya kembalikan padaku."
"Ah, ya. Mengerti."
Kehabisan Mana saat mengeksplorasi ujung dungeon sangatlah mungkin terjadi.
Tetapi biasanya, pada saat-saat seperti itu kau akan mundur.
Itulah kenapa, kau harus pastikan menumpas habis musuh di lantai-lantasi sebelumnya.
Bagaimanapun juga, kau tidak akan bisa keluar dari dungeon dalam keadaan tanpa Mana. Jika
masih tersisa monster sedikit saja di lantai-lantai sebelumnya, maka habislah kau.
Setelah melarikan diri dan memulihkan Mana, kau akan kembali ke lantai terakhir untuk
menantang sang pelindung dungeon sekali lagi.
Namun, ada kalanya kau tidak dapat melarikan diri dari bos monster tersebut,
Jika sang bos monster menjebakmu sehingga tidak bisa keluar dari lantai terakhir, maka kau tidak
punya pilihan selain mengalahkannya.
Ada juga kasus seperti itu.
Lingkaran sihir merah yang sedang kami hadapi kini tampaknya adalah lingkaran sihir dua arah,
jadi kau bisa kembali ke tempat ini jika kau pijak sekali lagi lingkaran sihir di seberang sana.
Namun, bukannya tidak mungkin ini adalah lingkaran sihir searah.
Namun, ini tidak akan mengirimmu ke tempat lain secara acak.
"Baiklah, apakah semuanya sudah siap?"
Bersamaan dengan pertanyaan Paul itu, kami semua pun berdiri.
Saat kulihat rekan-rekanku, semuanya memasang wajah tegang.
Aku juga harus semangat.
"Rudi."
"Ada apa?"
"Sepertinya harus kukatakan sekarang…." kata Paul.
Ah, persoalan bendera kematian itu ya.
"Mendingan jangan."

94
"Ba….baiklah ..."
Wajah Paul tampak tertekan.
Semangatnya mungkin sedikit menurun.
Harusnya kau tidak mengatakan hal-hal yang penting sebelum pertempuran yang menentukan.
Lebih baik kau simpan itu sampai kita pulang nanti.
"Baiklah, ayo pergi."
Setelah saling memandang, kami semua memijak lingkaran sihir kemerahan itu secara serentak.
Bagian 2
Kami dikirimkan pada suatu ruangan yang amat besar.
Kalau boleh kudeskripsikan, ini adalah ruangan kuil raksasa.
Bentuknya persegi panjang, kira-kira mirip seperti aula istana, dan luasnya seperti lapangan
baseball.
Di sepanjang tepi ruangan, ada sejumlah pilar tebal yang berdiri kokoh.
Langit-langitnya cukup tinggi, sampai-sampai kau harus mendongak untuk melihatnya.
Lantainya dilapisi ubin, setiap ubin diukir dengan relief yang tampak rumit dan timbul.
"Oh??!"
Jauh di dalam kuil itu, terdapat seekor monster.
Dia sangat besar.
Aku belum pernah melawan monster sebesar ini sebelumnya.
Ukurannya kira-kira dua kali lebih besar daripada Naga Merah.
Bahkan dari kejauhan, aku bisa melihat sisik-sisiknya yang berwarna hijau zamrud berkilauan.
Badannya pendek tetapi sangat luas.
Dari badannya, sejumlah kepala mencuat.
"Hydra, sebenarnya, aku baru pertama kali melihat makhluk ini ..."
Aku mendengar gumaman Gisu.
Benar, itu adalah Hydra.
Naga berkepala banyak, dan yang ini, kuhitung ada 9 kepala.
"Di sana?!"
Tapi, apa yang Paul lihat bukanlah Hydra.
Di balik Hydra,
Ruang paling dalam yang sedang dilindungi oleh Hydra ...

95
Ada kristal sihir yang terlihat di sana.
Itu adalah kristal sihir berwarna hijau zamrud dengan ukuran yang luar biasa.
Itu cukup besar, seolah-olah membuat kristal sihir milik Elinalise menjadi tidak berharga.
Ukuran kristal sihir ini hampir dua meter.
Sampai sekarang pun, aku belum pernah melihat yang sebesar itu.
Namun, bukun ukuran kristal itu yang menjadi perhatian Paul
Melainkan, sesuatu yang ada di dalamnya,
Di dalam kristal sihir tersebut………..
Wanita yang selama ini kami cari…….
Zenith ada di sana….
Dia terjebak di dalam kristal sihir,
"Zenith!"
Sektika, Paul berteriak memanggil namanya.
Bersamaan dengan itu, kata "Mengapa?" terlintas ke pikiranku.
Kenapa bisa jadi seperti itu?
Kenapa dia bisa berada di dalam kristal sihir?
Sebelum aku bisa menyuarakan keraguanku, Paul langsung lari menuju kristal itu sembari
menyiapkan pedang gandanya.
Hydra itu perlahan-lahan mengangkat lehernya, dan melihat ke arah kami.
Bagian 3
"Dasar bodoh! Jangan gegabah!"
Aku mendengar teriakan Gisu.
".. !!"
Seiring dengan itu, Elinalise mendecakkan lidahnya, sembari ia berlari mengejar Paul.
Selanjutnya, Talhand mulai berlari juga.
Elinalise tidak bisa menyusul Paul, karena dia kalah start.
"Aku akan melindungi mereka!"
Teriak Roxy.
Aku yang tadinya bengong, akhirnya kembali tersadar, kemudian kuarahkan tongkatku pada
Hydra, yang kuanggap sebagai musuh.
Pertama, kita harus mengalahkan musuh.

96
Kalahkan dengan sekali serang.
Kuingat kembali peluru batu yang pernah kubuat saat meledakkan tubuh Badigadi, lalu kuciptakan
peluru serupa dengan saat itu.
"Tinju manusia es yang senyap, Frost Nova!"
Setelah bergerak maju terlebih dahulu, Roxy pun mulai merapalkan mantra sihir tingkat
menengah.
Sekumpulan udara dingin meliputi tubuh Paul dengan kecepatan yang luar biasa,
Hai ~ n!
Sesaat sebelum peluruku mengenai targetya, terdengar suara memekakkan telinga seperti kuku
yang menggaruk kaca, yang menggema pada kuil tersebut…
"Ap…a!!"
Teriak Roxy sambil membelalakkan matanya.
Serangan es Roxy sama sekali tidak menggores Hydra itu.
Apakah dia kebal terhadap es?
Saat aku sedang memikirkan itu, Paul sudah mendekati Hydra.
"Rock Cannonball!"
Aku menembakkan Rock Bullet yang sudah kutingkatkan kekuatannya.
Peluru tajam itu melesat di udara sembari mengeluarkan suara bising: “Kyuiiiinnnn!!”.
Peluru itu melesat melewati Paul yang hanya berjarak beberapa langkah dari Hydra.
Kemudian menghantam targetnya.
Hai ~ n!
Sekali lagi, suara yang mengerikan itu terdengar.
"Bisakah dia menahannya!?"
Sudah terlambat untuk menghindar.
Harusnya seranganku mengenai targetnya.
Harusnya dia terkena hantaman langsung.
Namun, suara barusan itu,
Suara bernada tinggi barusan… apakah itu?
Dengan tenang, Hydra itu berdiri, seolah-olah tidak terjadi apapun padanya,
Tidak ada satu pun goresan pada tubuhnya.
"Uoo ... raaaa ...!"
Teriakan keras Paul terdengar sampai di telingaku.

97
Hydra menggerakkan kepalanya yang hampir tampak seperti ular, untuk menyerang Paul.
Paul menghindarinya dengan gerakan seminimun mungkin.
Detik berikutnya, kepala Hydra sudah melayang dan berputar-putar di udara.
Paul mengayunkan pedang pada tangan kanannya,
Dengan kecepatan kasat mata.
Untuk sesaat, sosok Paul terlihat kabur.
Bahkan mata iblisku tidak bisa melihat kecepatan itu.
Detik berikutnya, leher Hydra lainnya menyemprotkan darah.
Paul mengayunkan pedang di tangan kirinya, untuk mengiris leher lainnya.
Karena pedang di tangan kiri lebih pendek, tebasan itu tidak cukup untuk memotong kepala Hydra
sepenuhnya.
Paul memutar tubuhnya di udara, dan dengan memanfaatkan gaya sentrifugal, dia tebas lagi
musuhnya dengan pedang di tangan kanan.
Satu lagi kepala Hydra berjatuhan.
"Shaaa ...!"
Dalam sekejap, Hydra kehilangan dua kepalanya.
Jadi ini kemampuan Paul kalau dia sudah serius. Dengan begitu mudah, dia bisa menjagal lawan
yang bahkan tidak bisa kugores dengan peluru batu terbaikku, yang pernah meledakkan tubuh Raja
Iblis sekalipun.
Namun, Hydra memiliki sembilan kepala.
Hydra menggunakan kepala-kepala lainnya untuk mengitari Paul, kemudian menyerangnya dari
segala arah.
Paul melangkah mundur untuk memperlebar jarak dengan musuhnya, tetapi…. mungkin karena
perbedaan lebar langkah, dia masih tidak bisa keluar dari jangkauan serang Hydra itu.
"Paul !!"
Kemudian Elinalise menyusulnya.
Saat dia sudah mempersiapkan perisainya, dia tebaskan pedangnya.
Aku merasakan lepasnya gelombang kejut kasat mata.
Hai ~ n!
Terdengar suara itu lagi.
Hydra itu terus memburu Paul, dan hanya menganggap serangan Elinalise seperti angin sepoi-
sepoi.
"Bisikan arus berlumpur! Watter Current!"

98
Bersamaan dengan lantunan mantra Roxy, sejumlah besar air muncul di hadapan Paul.
Arus air itu membilas Paul dari Hydra, sehingga Paul bisa meloloskan diri dari jangkauan serangan
lawannya.
Paul berguling-guling mundur, kemudian Elinalise langsung merangsek ke depan untuk
melindunginya.
Saat itu pula, Talhand menghentikan langkahnya dan mulai merapalkan mantra untuk
mengaktifkan sihir.
Formasinya sudah tidak rapih, namun mereka masih mempertahankan perannya sebagai penjaga
depan, tengah, dan belakang.
Bagaimana kita menghadapi bos monster itu?
Serangan Paul cukup efektif.
Namun, peluru batuku sudah tidak lagi berguna.
Sihir Roxy juga tidak berdampak apapun.
Mungkin, selanjutnya aku harus mencoba sihir api dan angin?
Kedua sihir itu akan berdampak buruk pada rekan-rekanku yang menyerang dari jarak dekat,
seperti Paul dan yang lainnya.
Apa yang harus kami lakukan?
"Earth Pillar!"
Mantra Talhand berakhir.
Itu adalah sihir bumi.
Di atas kepala Hydra, sejumlah besar batu muncul, kemudian menjatuhinya.
Hai ~ n!
Lagi-lagi suara itu terdengar.
Tepat sebelum batu itu menjatuhi Hydra, semuanya menghilang mirip seperti pasir yang
menyebar.
Ketika suara itu terdengar, semua serangan sihir lenyap.
"Apakah monster itu kebal terhadap sihir!?"
Lalu, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku melancarkan serangan sihir lainnya?
Atau lebih baik mundur sementara?
Apa yang harus aku lakukan!?
Saat itu pun, aku mendengarkan suara Roxy yang tampak tertekan.
"Rudi, lihatlah! Dia beregenerasi!"
Aku melihat ke arah yang ditunjuk Roxy, yaitu dua leher yang telah dipotong oleh pedang Paul.

99
Otot, tulang, daging, dan semua organ yang hilang perlahan-lahan terbentuk kembali menjadi suatu
kepala yang utuh.
Dia bisa beregenerasi.
Meskipun kau lepaskan kepalanya, luka itu tidak akan bertahan permanen.
"Ayo mundur!"
Teriak Roxy.
Namun, seruannya itu tidak mencapai telinga Paul.
Seraya berteriak penuh semangat, dia memutuskan untuk menyerang Hydra dengan pedangnya
sekali lagi.
Kalau terus-terus mendukung gaya bertarung Paul yang sembrono, Elinalis pun akan berada dalam
bahay.
"Gisu!"
Suara Talhand,
Gisu mulai berlari.
Gisu menyusul Talhand dan bergerak ke belakang Paul; kemudian dia melempar sesuatu yang dia
pegang di tangannya pada Hydra.
Papa ~ n, aku mendengar suara ledakan.
Kemudian, asap membumbung naik dari dekat Hydra.
Tabir asap, ya,
"...!"
Sementara Gisu meneriakkan sesuatu, dia mulai menarik mundur Paul.
Namun, Gisu tidak bisa menahan Paul. Tak lama lagi, Paul pasti bisa melepaskan diri dari Gisu.
Sesaat berikutnya, Elinalise memukul wajah Paul dengan perisainya.
"...!"
Gisu melepaskan pegangannya dan mengatakan sesuatu, kemudian Paul pun melihat kemari, lalu
lari menjauh dari monster itu.
"Rudeus!"
Aku mulai bergerak setelah mendengar suara Elinalise.
Aku sebisa mungkin memusatkan semua Mana pada tanganku, kemudian kuciptakan kabut tebal
di antara Paul dan Hydra.
Itu adalah kabut yang begitu tebal bagaikan uap air yang mengaburkan jarak pandang,
Namun, aku tahu bahwa Hydra masih bergerak mendekati kami, karena terdengar suara “srraak….
Sraaakk” yang semakin keras.

100
Untunglah, sepertinya dia tidak begitu cepat,
Paul dan yang lainnya kembali ke lingkaran sihir teleport.
"Rudi, kita mundur. Ayo menuju lingkaran sihir dua arah itu."
"Ya! Sensei!"
Aku pun ikut melompat pada lingkaran sihir itu.
Bagian 4
Kami berenam berhasil meloloskan diri dengan menggunakan lingkaran sihir kemerahan itu.
Pertama Roxy, kedua Talhand, dan ketiga Gisu,
Menyusul Paul, yang sudah terengah-engah,
Dan akhirnya Elinalise keluar, dengan beberapa luka pada tubuhnya.
Darah mengalir tanpa henti di sekitar bahu Elinalise.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
"Ini hanya goresan kecil kok."
Bahu Elinalise benar-benar terpangkas habis.
Namun, sekilas saja aku bisa tahu bahwa dia tidak mendapatkan serangan langsung dari Hydra itu.
"Aku hanya tergores oleh sisiknya."
Entah kenapa, tapi tampaknya sisik luar Hydra seperti kulit ikan hiu.
Meskipun demikian, lukanya tidak begitu serius, sehingga bisa disembuhkan hanya dengan
menggunakan sihir penyembuhan tingkat dasar, tanpa menyisakan satu pun goresan.
Kalau di duniaku sebelumnya sih, luka seperti ini baru bisa sembuh setelah mendapatkan beberapa
puluh jahitan.
Itulah enaknya di dunia ini, semuanya bisa diselesaikan dengan sihir.
"Terima kasih banyak."
Yahh, kalau begitu…..
Masalahnya adalah, bagaimana kita bisa menghadapi si biang kerok penyebab luka ini selanjutnya.
Paul duduk di depan lingkaran sihir.
Matanya terus terpaku pada lingkaran sihir tersebut.
Aura mengerikan masih terpancar dari tubuhnya, bagaikan seorang yang haus darah.
"Ayah."
"... Itu pasti Zenith. Tidak salah lagi."
Paul mengatakan itu.

101
Bahkan dia mengabaikan Elinalise yang barusan terkena luka cukup parah.
Mungkin tidak juga, karena Elinalise memang berperan sebagai perisai tim, jadi sudah tugasnya
menerima luka seperti itu.
Namun...
"Tolong tenang sedikit."
"Ya, maafkan aku. Aku sudah tenang sekarang."
Suara Paul memelan.
Tapi, aku berpikir bahwa ini hanyalah ketenangan sebelum badai yang lebih besar datang.
Dia mungkin tenang, tapi emosinya berkecamuk di dalam pikirannya.
Ya, mau bagaimana lagi.
Tentu saja, itu pasti Zenith.
Bahkan dari kejauhan pun aku menyadari, "Ah, itu Zenith".
Maka, suaminya sendiri tidak mungkin salah lihat.
Orang yang berada di dalam kristal sihir itu adalah Zenith.
Dia terperangkap di dalam kristal.
Aku penasaran, mengapa dia bisa berakhir dengan keadaan seperti itu.
Ah, aku punya beberapa teori…..
Banyak hal yang bisa menjelaskannya, termasuk efek dari bencana sihir metastasis itu.
Diteleport ke dalam suatu obyek adalah kejadian yang langka, namun masih mungkin terjadi.
Tapi, menurut cerita Gisu, bukankah dia pernah ditemukan oleh petualang lainnya?
Tidak, itu belum pasti. Mereka juga tidak menyebutkan situasinya secara mendetail. Yang jelas,
mereka melihat sesosok wanita dengan ciri-ciri mirip Zenith.
Hn? Mungkinkah Gisu tahu tentang situasi ini ...?
Tapi, kurasa bukan itu masalahnya.
Mungkin saja dia salah sebut.
Setelah ini semua berakhir, aku akan menanyainya sekali lagi.
Lagipula, masih ada masalah lebih besar yang harus kita pecahkan.
"... Aku penasaran, apakah ibu masih hidup dalam keadaan seperti itu?"
"Hah!?"
Setelah kutanyakan itu, Paul langsung berdiri, kemudian meraih kerah bajuku dengan kasar.
"Masih hidup ataupun sudah mati, itu tidak masalah, kan!!??"

102
"Ayah benar."
Tentu saja,
Aku hanya tidak sengaja mengatakan itu.
Sejak awal, kemungkinan Zennith masih hidup sangatlah rendah.
Aku bahkan sempat berpikir bahwa kita tidak akan bisa menemukan jasadnya.
Tidak secuil pun jasadnya,
Jika sudah mati, ya biarlah mati…. Lalu kita kuburkan dia dengan layak.
Kalau pun Zenith di dalam kristal sihir itu sudah tidak bernyawa, maka itu jauh lebih baik daripada
tidak menemukan secuil pun jasadnya.
"Kalian berdua, hentikan!"
Gisu berseru, tetapi Paul masih saja memandangku dari dekat dengan tatapan penuh intimidasi.
"Rudi, kau sendiri tahu bahwa ibumu ada di sana, maka bagaimana kau bisa setenang ini!!???”
"Kalau begitu, apakah aku harus panik? Apa yang bisa kita selesaikan dengan kepanikan?"
"Bukan itu yang kumaksud!!!"
Aku tahu apa yang ingin Paul katakan.
Tentu saja, mungkin saat ini aku terlalu tenang.
Bagaimanapun juga, Zenith sudah menghilang selama 6 tahun, dan baru kali ini kami bisa
menemukannya… tentu saja, sikapku tidak mencerminkan seorang anak yang sudah lama berpisah
dengan ibunya.
…Yahh.
Bahkan pada saat aku masih kecil, aku tidak banyak berinteraksi dengan Zenith.
Aku juga tidak begitu mengakuinya sebagai ibu kandung.
Aneh rasanya, jika orang sepertiku hidup dengan begitu banyak sanjungan di dunia ini.
Bagaimanapun juga, kami berpisah pada saat aku berumur tujuh tahun, dan aku belum pernah
bertemu dengannya selama hampir sepuluh tahun.
Sikapku terkesan seperti orang yang tidak berperasaan…. Yahh, mau bagaimana lagi.
"Sekarang, lebih baik kita membahas situasi ini."
"Hah!?"
Tanpa menghiraukan intimidasi Paul, aku mengatakan itu secara tak acuh.
"Sihir tidak efektif melawan penjaga dungeon itu. Dia juga memiliki kemampuan luar biasa seperti
regenerasi. Dia hanya menyerempet Elinalise-san, namun itu sudah cukup untuk menembus
pertahanannya. Kemudian, ibu terperangkap di dalam kristal itu. Singkat kata, kita tidak tahu
apakah dia masih hidup ataukah tidak."

103
"Aku tahu itu semua!!! Yang aku tanyakan adalah, sikapmu terhadap ibumu yang baru saja
ditemukan setelah sekian lama menghilang!!!"
Gisu memotong bentakan Paul.
"Hentikan itu! Kalian ayah dan anak, bertengkarlah sepuasnya kalau kita sudah kembali ke
penginapan!”
Gisu dengan paksa memisahkan kami.
Paul meludahkan kata-kata, "Sial ... aku tak percaya ini," kemudian dia kembali duduk di tanah.
Sepertinya aku tidak perlu menguraikan itu, karena Paul pun pasti sudah paham situasinya.
Tapi, sikapku lah yang membuatnya tersinggung.
Aku juga merasakan bahwa sikapku terlalu dingin.
Tapi…. Yahh… apa boleh buat.
Kau ingin aku bersikap seperti apa?
"Ya, berhentilah berkelahi, mari kita diskusikan semuanya!"
Elinalise mengatakan itu sambil menepukkan tangannya.
Paul dan aku bergerak mendekat perlahan, kemudian duduk bersama di dalam lingkaran.
Roxy melihatku dan Paul dengan wajah gugup.
Sepertinya aku membuatnya khawatir.
"Aku baik-baik saja kok."
"Begitu ya..."
Toh, ini bukan pertengkaran pertamaku dengan Paul.
Setelah semuanya selesai dan kita kembali ke penginapan, aku yakin kondisi emosional Paul akan
membaik.
Meskipun aku bersikap begitu dingin pada Zenith, aku yakin perasaanku akan tersentuh ketika
Zenith berhasil diselamatkan nanti, dan aku kembali mendengar suaranya.
Itu benar…. Tidak diragukan lagi.
Saat ini, memang perasaanku sedikit error.
"Uhuk!! Umm, ini tentang Zenith-san yang terjebak di dalam kristal sihir. Kurasa, kita bisa
melakukan sesuatu untuk membebaskannya dari kristal tersebut."
Roxy mengatakan itu dengan ekspresi wajah yang lebih cerah dari biasanya.
"Benarkah?!"
Orang yang pertama kali menanggapinya dengan wajah sumringah adalah Paul.
"Ya. Kadang-kadang, ada kalanya benda sihir legendaris yang berisikan Mana terperangkap dalam
kristal sihir seperti itu, tapi aku pernah mendengar jika kau mengalahkan sang penjaga dungeon,

104
maka kristal sihir tersebut akan membuka segelnya, sehingga kau bisa mengambil apapun yang
tersimpan di dalamnya.”
Ini adalah kisah yang belum pernah kudengar.
Namun, itulah yang dikatakan Roxy.
Roxy tidak punya alasan untuk berbohong.
"Aku juga pernah mendengar cerita itu,"
Elinalise menyetujuinya,
"Aku pernah dengar ada orang yang mengalami hal yang sama seperti Zenith, namun akhirnya dia
bisa melanjutkan hidup secara normal.”
"..."
Aku yakin, itu hanyalah kebohongan semata.
Elinalise adalah tipe orang yang lebih memilih untuk berbohong agar menjaga keadaan tetap
tenang.
Karena dia melakukan itu untuk meningkatkan mood anggota tim lainnya, jadi kita tidak bisa
menyalahkan dia.
Kalau pun ada kasus serupa sebelumnya, tidak peduli seberapa banyak orang yang bernasib sama
seperti Zenith, ketika kristal itu meleleh, maka tak ada yang bisa menjamin bahwa manusia yang
terperangkap di dalamnya bisa keluar dalam keadaan hidup.
Tentu saja, aku tidak perlu menyatakan itu terus terang.
Semua orang tahu itu.
"Masalahnya adalah si monster pelindung dungeon ... Jujur, ini pertama kalinya aku melihat
spesies monster seperti itu."
Gisu memutuskan untuk memotong omongan Elinalise.
"Itu benar… sekilas saja kau bisa mengenali Hydra dengan lehernya yang begitu banyak. Tapi,
aku belum pernah melihat Hydra yang bersisik hijau zamrud seperti itu.”
"... Bahkan, dia bisa beregenerasi."
Talhand menyilangkan lengannya sambil terus memasang wajah bingung.
Sudah diketahui bahwa Hydra adalah spesies naga.
Seekor naga yang memiliki banyak kepala, dan mereka tidak berkelompok. Namun, kekuatan
seekor Hydra saja sudah dikategorikan sebagai yang paling unggul di antara kelasnya.
Tentu saja, aku pernah mendengar bahwa mereka hidup pada suatu tempat di Benua Iblis.
Dari informasi yang sudah ada, aku tahu ada 3 tipe Hydra.
Mereka dibedakan berdasarkan warna sisiknya; tipe yang sudah dikenal adalah Hydra bersisik
putih, abu-abu, dan emas.

105
Hydra bersisik hijau zamrud belum pernah ada sebelumnya.
"Kemungkinan besar itu adalah Naga Batu Sihir berkepala banyak, atau Hydra Manatite."
Yang mengatakan itu adalah Roxy.
"Aku pernah membaca tentang itu di sebuah buku sekali. Itu adalah naga iblis, semua sisik pada
tubuhnya dilapisi batu sihir yang dapat menyerap Mana. Kemunculan Hydra jenis itu pernah
dilihat pada masa perang besar manusia – iblis kedua. Tertulis bahwa mereka telah punah, bersama
dengan penghancuran benua. Sebenarnya, aku yakin mereka hanyalah dongeng ... tapi ternyata,
aku tak pernah mengira bahwa mereka benar-benar ada.”
Penyerapan Mana ...
Dengan kata lain, dia kebal terhadap sihir.
"Apakah itu berarti para penyihir sama sekali tidak bisa melukainya?"
"Kalau yang tertulis di buku benar, jika kau menyerangnya dari jarak dekat, maka itu akan efektif."
"Jarak dekat katamu..."
Monster raksasa itu ...
Padahal, kalau kau terserempet saja oleh sisik-sisik itu, maka nasibmu akan mirip seperti keju yang
diparut.
Apakah itu berarti kita harus sentuh Hydra tersebut, kemudian menggunakan sihir dari jarak
sedekat mungkin?
Kalau melakukan itu, semua jariku akan terpotong.
"Namun, meskipun kita bisa melukainya, dia masih bisa beregenerasi, lalu apa yang dapat kita
lakukan…?"
"Regenerasi itu sungguh merepotkan."
"... Akan tetapi, bukan berarti kita tidak bisa mengalahkannya," kataku.
Hydra bisa beregenerasi.
Bahkan setelah mendengar itu, aku tidak terkejut.
Itu karena aku sudah pernah membaca mitos bahwa Hydra bisa menyembuhkan dirinya sendiri.
"Meskipun kita memenggal kepalanya, tak lama kemudian dia bisa beregenerasi. Lantas, apa yang
bisa kita lakukan untuk mengalahkan lawan seperti itu?”
Roxy hanya menanggapinya dengan mengerang. Tapi, nampaknya dia setuju bahwa mengalahkan
makhluk itu tidaklah mudah.
Namun, tidak seperti yang lainnya, aku pribadi berpikir bahwa kemampuan itu tidaklah terlalu
merepotkan.
Meski sampai sekarang, aku belum pernah melawan monster yang bisa beregenerasi
Entah kenapa ya…..

106
Mungkin karena aku sudah punya pengetahuan dari kehidupan sebelumnya ...
"Sekarang, aku punya ide."
Aku mengangkat tanganku dengan sebuah ide, dan semua pun memandang padaku.
"Aku pernah mendengar bahwa, jika kau membakar leher Hydra yang sudah terputus, maka itu
tidak akan bisa beregenerasi.”
Aku mulai menceritakan kisah tentang pahlawan Mitologi Yunani, bernama Heracles.
Heracles pernah bertarung melawan Hydra.
Menurut kisah itu, ketika Heracles membakar leher Hydra yang sudah terpotong, maka dia berhenti
beregenerasi.
Sejujurnya, itu hanya mitos.
Tidak bisa dipercayai begitu saja.
Namun, tanggapan mereka cukup bagus.
"Aku mengerti sekarang, membakar lukanya, ya."
"Kita tidak punya obor, tapi kalau lukanya tidak terlindungi oleh sisik, maka kita bisa
membakarnya dengan sihir api.”
"Ada baiknya kita mencoba."
Aku tidak tahu seberapa mirip Hydra di dunia ini dengan Hydra di cerita dongeng pada duniaku
sebelumnya.
Meskipun begitu, pada kehidupanku sebelumnya, dikatakan bahwa Hydra memiliki kepala abadi
...
Namun, jika kau membakar semua kepalanya, nampaknya dia akan mati juga.
Sebenarnya ini cara berpikir yang pesimis sih, namun percayalah bahwa semua makhluk hidup
akan mati pada akhirnya nanti.
"Baiklah kalau begitu, ayo coba lakukan itu dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya."
Setelah Gisu mengatakan itu, kami pun menyepakati rencana tersebut.
Saranku bukanlah suatu hal yang sudah pasti kebenarannya.
Namun, memang tidak ada yang pasti pada situasi ini.
Sejujurnya, aku lebih memilih untuk kembali ke kota sekali lagi.
Mungkin seseorang bisa menolak tawaranku itu dengan dalih bahwa stamina kami belum terkuras,
namun musuhnya begitu tangguh.
Mungkin lebih baik kita mematangkan persiapan untuk menghadapi bos monster.
Bahkan, mungkin kita bisa merekrut prajurit berpengalaman lain untuk membantu kita
menghadapi bos akhir.

107
Aku tidak tahu, apakah semua Swordsman punya kemampuan memenggal kepala Hydra seperti
yang dilakukan oleh Paul. Tapi, dengan begitu banyaknya jumlah petualang di kota, aku yakin kita
bisa menemukan setidaknya satu, kalau kita mau mencari dengan serius.
"……"
Tapi, aku yakin Paul tidak akan setuju.
Jika aku mengusulkan pada tim untuk kembali sekarang, dan semua orang menyetujuinya, maka
Paul pasti akan tinggal di sini, kemudian menantang monster itu sendirian.
Lagipula, kalau kita benar-benar kembali, aku ragu apakah ada prajurit bayaran yang bersedia
mempertaruhkan nyawanya untuk melawan monster setangguh itu. Orang hebat sih pasti ada, tapi
orang yang berani mempertaruhkan nyawanya untuk sejumlah uang, belum tentu ada.
Ada langkah yang tepat untuk menyerang balik,
Sebenarnya, kami telah mengumpulkan orang-orang hebat yang bersedia dengan sepenuh hati
untuk melawan Hydra itu.
Maka, inilah saatnya untuk terus maju.
"Hei, Paul. Kau baik-baik saja, kan?"
"…Ya."
"Jawabanmu hambar… apakah kau benar-benar mengerti apa yang aku katakan? Tidak ada orang
lain yang bisa memenggal kepala monster itu selain dirimu."
Aku yakin Elinalise dan Talhand pasti bisa melukai sisik itu.
Namun, kemampuan berpedang mereka tidak sebaik Paul, yang bisa menjagal kepala-kepala itu
dengan begitu mudahnya.
Paul akan memotong kepalanya, kemudian aku akan menggunakan mantra tanpa suara untuk
membakarnya.
Itulah peran yang kami perlukan.
Bergantung pada situasinya, mungkin aku juga harus menyerangnya dari jarak dekat,
Aku harus membidik tepat pada lukanya, namun sepertinya sisik-sisik itu akan mengganggu dan
menetralkan sihirku.
Oleh karena itu, tiga orang lainnya harus mengalihkan perhatian Hydra dari seranganku.
Jika ketiga umpan ini terluka, maka Roxy akan segera menyembuhkannya.
Seperti itulah peranya.
Tidak ada selain itu.
Tentu saja, tidak menutup kemungkian bahwa aku juga akan mendapatkan serangan.
Aku akan berdiri pada posisi yang sangat berbahaya: yaitu langsung di depan Hydra.
"Rudi ..."

108
Mata Paul menghadap ke arahku.
Dia menatapku dengan mata yang agak ragu, kemudian dia berkata:
"Kamu ... benar-benar putraku yang dapat diandalkan."
"Simpan saja sanjungan ayah setelah kita mengalahkan Hydra itu."
"Itu bukan sanjungan. Aku benar-benar berpikir begitu."
Paul mengatakan itu, kemudan dia tertawa sendiri,
"Aku tidak bisa setenang dirimu, aku juga tidak bisa memikirkan ide-ide brilian sepertimu. Aku
hanyalah seorang ayah bodoh, yang tidak mampu memikirkan apapun selain menerjang lawan
dengan sembrono.”
Paul melanjutkan omongannya,
Dia terus mengocehkan mulutnya untuk mengungkapkan semua itu.
"... Aku adalah ayah yang mengerikan. Aku bahkan tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-
anakku.”
Namun, kata-kata Paul penuh dengan tekad.
Tatapan matanya penuh dengan energi.
Seolah-olah, dia bisa membunuh seseorang hanya dengan memelototinya.
Paul sudah membulatkan tekadnya.
"Aku akan mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pantas dinyatakan oleh seorang ayah, tapi
kumohon dengarkan baik-baik.”
"Ya."
Aku menerima tatapan matanya secara langsung.
"Selamatkan ibumu, meski kau harus mati."
Itulah pesan Paul.
Sembari mengadapi putranya,
Meskipun kamu harus mati.
Namun, kurasa dia bukanlah seorang ayah yang menyedihkan.
Itulah yang disebut kepercayaan.
Paul sudah menganggapku setara dengannya.
Karena itulah, dia sangat serius menghadapiku.
Maka, aku harus menjawab keseriusan itu,
"..Ya!"
"Baiklah….. ayo!"

109
Bebarengan dengan kata-kata Paul, semuanya pun berdiri.
Pertandingan ulang melawan Hydra sudah dimulai.

110
Bab 8
Pertarungan Mematikan

Pertarungan dimulai.
Di ruang besar, Hydra raksasa sedang menunggu kami,
Di baliknya ada kristal sihir.
Dan tanpa diragukan lagi, yang terjebak di dalam kristal itu adalah Zenith.
Ketika Hydra melihat kami, dia perlahan-lahan bangkit.
"Baiklah, ini dia!"
Paul berlari,
Sembari menundukkan tubuhnya seperti seekor anjing, dia berlari secepat angin,
Itu adalah kecepatan yang membuat siapapun di belakangnya tersapu debu,
Namun kali ini, Elinalise juga mengikuti gerakan Paul.
Di belakangnya juga ada Talhand, dengan gaya berjalan yang lambat.
Sisanya juga ikutan maju, seirama dengan gerakan Talhand.
Gisu menunggu lebih jauh di belakang.
Karena dia tidak bisa bertarung, dia tidak berguna dalam pertempuran ini.
Sebetulnya dia masih memiliki teknik-teknik untuk membela diri, namun itu tidk berguna melawan
monster kebesar Hydra.
Namun, ada alasannya dia berada di sana.
Dalam kasus terburuk, jika kami semua terbatai, maka perannya adalah melarikan diri, kemudian
melaporkan semua yang terjadi pada tim ‘penunggu rumah’.
"RAAaaa!"
Paul mencapai Hydra,
Pada saat yang sama, tiga kepala Hydra bergerak.
Untuk monster berukuran sebesar itu, gerakannya cukup cepat.
Setiap kepalanya bergerak bagaikan ular, cukup gesit, dan masing-masing kepala bergerak tidak
seirama.
Tapi,
Dengan gerakan yang tidak bisa dilihat mata telanjang, Paul menebas salah satu kepala Hydra.
Baiklah, teruskan.

111
"Fire Ball!"
Aku memusatkan semua Mana pada tubuhku pada kepala tongkatku.
Bola api yang sangat panas berhembus ke arah Hydra.
--Tapi… masih belum…
Bola api mulai melemah ketika semakin mendekati Hydra, kemudian menghilang begitu saja.
Aku mendengar suara mengerikan seperti kaca yang digaruk.
"Sudah kuduga, aku harus lebih mendekat saat menembakkan sihir."
Jika aku tidak mendekatinya, maka aku tidak akan bisa mengalahkannya.
Dan aku tidak akan bisa memberikan kerusakan padanya, kecuali menggunakan sihir api.
"Jadi itu rencananya, ya? Apakah kau bisa bertarung dari jarak sedekat itu, Rudi?"
"Aku akan baik-baik saja. Selama ini aku sudah banyak melatih fisikku, jadi kemampuan
bertarungku tidak hanya terbatas pada sihir."
Meskipun kukatakan itu, jantungku berdegup kencang saat aku tahu bahwa aku harus
mendekatinya.
Aku lemah dalam pertempuran jarak dekat.
Beberapa kali aku pernah terlibat dalam suatu pertempuran jarak dekat, namun hanya berakhir
dengan kekalahan.
Aku pernah melakukannya dengan Paul, Ghyslaine, Eris, Ruijerd, dan yang terakhir Orsted,
Setiap kali aku melakukannya, tak pernah berakhir dengan kemenangan.
Meskipun begitu, entah kenapa aku masih bisa bertahan saat menghadapi beberapa lawan tertentu
baru-baru ini.
Seperti Stray Dragon, Rinia, Pursena, dan Luke.
Mungkin, alasannya adalah, aku menggunakan mata iblis peramal untuk menang melawan mereka.
Namun, bisakah aku menang melawan Hydra ini dengan cara yang sama?
Kurasa tidak.
Aku tidak percaya bisa mengalahkan petarung profesional seperti Paul ataupun Elinalise dalam
pertarungan jarak dekat.
Dengan kata lain, hanya karena aku bisa bertahan menghadapi beberapa lawan terakhirku, bukan
berarti aku mampu mengatasi Hydra ini.
Tapi, aku tidak bertarung sendirian kali ini.
Ini pertarungan tim.
Aku punya Paul, Elinalise, dan bahkan Roxy.

112
Talhand juga… meski aku tidak bisa memprediksi kekuatan bertarung mereka, namun tampaknya
kekuatan tim ini cukup rata.
Aku melaju dengan kecepatan penuh, kemudian tiba tepat di belakang Paul.
"Rudi, jangan coba menjauh dari belakangku!"
Aku mendengarkan instruksi dari Paul yang tepat berada di depanku.
Elinalise mengapit pada sisi kiri, sedangkan Talhand sisi kanan,
Dan Roxy terus merapalkan mantranya dari belakang.
Formasi itu persis seperti Imperial Cross. [19]
"SHAAAaaaa!"
Tiga kepala menyerang secara bersamaan.
Tampaknya, hanya 3 kepala yang bisa bergerak bersamaan.
Apakah itu berarti dia tidak bisa menggerakkan lebih banyak kepala?
Atau apakah…. Menggerakkan lebih banyak kepala akan membuatnya kerepotan?
Aku tidak mengerti, tapi itu adalah suatu keuntungan bagi kami.
Elinalise berhasil menghalau satu kepala, sedangkan Talhand juga berhasil menghalau lainnya.
Dan Paul memangkas bersih kepala terakhir yang menyerang.
Kepalanya jatuh ke tanah dan mulai menggeliat.
"Sekarang!"
"Sedang kuusahakan!"
Setelah aku mendengar teriakan Paul, aku bergegas menuju leher yang terputus, kemudian
kulepaskan sihirku.
Sihir api mengenai leher buntung itu, kemudian pijaran api menyala dan menerangi area
sekitarnya.
Aku berhasil menghanguskan luka pada leher Hydra; kemudian api itu terus membara dan melahap
batang leher Hydra.
"Bagaimana …?"
Sambil mengawasi lukanya, aku mundur.
Aku belum tahu apakah serangan itu efektif.
Tak lama berselang, kepala lainnya ikutan menyerang.
Paul menghentikan serangan itu.
Elinalise menangkisnya dengan perisai.
Saat aku melirik sekilas, kulihat Talhand menyemprotkan darah.

113
"Kuh!"
"Wahai kekuatan dewa, jadilah penyembuh untuk tubuh ini - Healing!"
Ketika Talhand terluka, Roxy segera berlari, sambil merapalkan mantra penyembuhan padanya.
Semuanya bergerak untuk mengalihkan Hydra itu, sehingga tak satu pun serangannya mengarah
padaku.
Aku tidak bisa melakukan apa pun selain menghindar, dan kembali menyerang saat ada
kesempatan.
"..."
Dan untuk luka di leher:
Apakah bagian yang terbakar masih bisa tumbuh?
Bagaimana hasilnya?
"…Berhasil!!"
Tidak ada kepala baru yang tumbuh kembali.
Lukanya tetap, tidak berubah.
Tidak ada tonjolan daging baru, dan tidak ada kepala baru yang beregenerasi.
"Berhasil!"
"Yohoo!"
Paul memancung kepala lainnya.
Dan aku segera menghanguskan leher yang sudah buntung itu.
Panasnya menakutkan.
Aku mulai tersiksa oleh sihir api yang kulepaskan sendiri.
Namun, untuk menghanguskan leher sebesar itu, aku memang membutuhkan api yang begitu
panas.
Jika aku gagal menghanguskan leher dengan benar, kepala baru bisa beregenerasi.
Maka, kami pun terus menghadapi Hydra dengan metode ini ...
"...! Lindungi aku!"
Mata iblisku sudah memprediksi gerakan Hydra.
Dua kepala Hydra yang sebelumnya tidak bergerak, akan segera menyerangku.
Aku berhasil menghindari satu.
Namun, kepala lainnya akan menyerang tepat ke tempat kau menghindar.
"Serahkan padaku!"
Elinalise segera melompat pada tempat pertama aku menghindar.

114
Dengan sedikit gerakan yang aneh, dia menghalau serangan salah satu kepala itu.
Elinalise menempatkan dirinya di antara Hydra dan aku.
Kemudian dia siapkan perisainya.
Kepala lainnya segera menyerang, namun Elinalise tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya.
Sraaat….!!
Semburan sedikit darah Elinalise menciprati pipiku,
"Roxy! Dia butuh sihir penyembuhan!"
"Wahai kekuatan dewa, jadilah penyembuh untuk tubuh ini - Healing!"
Roxy segera menyembuhkan luka Elinalise.
Kulitnya pun kembali mulus seperti sedia kala.
"Rudi! Terus perhatikan gerakan kepala ketiga!" teriak Paul.
"Mengerti!"
Pada saat itu juga, Paul berhasil memenggal kepala lainnya, lalu semburan darah meledak dari
batang leher itu.
Aku pun segera memanggang leher itu.
Tugasku satu-satunya hanyalah memanggang.
Memanggang daging bagaikan koki,
Tapi, aku berusaha mengerjakannya sebaik mungkin.
Aku serahkan sisanya kepada yang lain.
Aku hanya fokus pada tugasku.
Paul memotong, aku membakar.
Elinalise dan Talhand juga melindungiku.
Dan Roxy melindungi mereka semua.
Kepala keempat jatuh, kemudian aku hanguskan pula leher keempat.
Semuanya berjalan dengan baik.
Setidaknya, itulah yang kupikirkan,
Tapi, kemudian Hydra mengubah gerakannya.
Dengan begitu tiba-tiba,
Secara bersamaan, Hydra meluncurkan kelima kepalanya yang tersisa hanya kepada Talhand.
"Kuuh!"
"Talhand!"

115
Talhand berhasil menghindari serangan pertama.
Namun, dia tidak bisa menghindari serangan kedua, sehingga dia terjatuh berguling-guling di
tanah.
Dia terus berguling di tanah untuk menjauh dari Hydra.
Akan tetapi, kepala ketiga datang.
Dengan menggunakan perisai dan kapaknya, Talhand berhasil menahan rahang naga itu.
Kemudian, kepala keempat menyusul:
Dan berhasil menggigit kaki Talhand.
Kemudian dia lemparkan Talhand ke udara.
"Guooooo!"
Dan akhirnya, kepala kelima menelan bulat-bulat tubuh Talhand yang beterbangan di udara.
"Oryaa!"
Dengan suara “krauss…krauss….” . . . kepalanya hancur.
Bukan kepalanya Talhand, melainkan kepala Hydra.
Itu terjadi karena Paul berhasil menjagal kepala keempat dan kelima secara beruntun.
Talhand pun keluar dari kepala yang sudah tidak lagi terhubung dengan leher Hydra.
"Aku masih hidup! Terima kasih atas pertolonganmu!" seru Talhand.
"Aku akan membakarnya!" seruku.
"Wahai kekuatan dewa, jadilah penyembuh untuk tubuh ini - Healing!" seru Roxy.
Aku bisa mendengar suaranya, namun kami bekerja secara terpisah.
Aku membakar dua leher Hydra secara bersamaan.
Hanya tiga yang tersisa.
"Hm?"
Sekali lagi, gerakan Hydra berubah.
Dia tampak terhuyung ke belakang, karena takut pada kami.
"Ini berjalan dengan baik; kita hanya butuh satu serangan terakhir, Rudi!"
Paul pun maju.
Tidak, tunggu.
Bukankah ini jebakan?
Meskipun kami harus menyerang, namun kami tidak pernah tahu apa yang sedang direncanakan
musuh ...

116
Saat kau memikirkannya sejenak…. Maka kau akan segera tahu bahwa ini jelas-jelas suatu
jebakan.
"Naah!"
Salah satu kepala Hydra,
Kepala yang sangat besar,
Kepala itu memakan lehernya sendiri yang sudah hangus. Ah tidak, lebih tepatnya… dia hanya
memakan bagian lehernya yang terbakar oleh sihir api. Dengan kata lain, dia “membersihkannya”.
"Apa-apa’an itu?!"
Setelah bagian yang hangus dibersihkan dari lehernya, tak lama berselang, kepala baru pun
muncul. Ya…. regenerasi kembali aktif.
"Gawat!"
Itulah cara Hydra kembali menumbuhkan kepalanya yang hangus,
Meskipun kau telah membakar leher yang buntung, belum jaminan regenerasi tidak lagi terjadi.
Ya beginilah cara kembali mengaktifkan regenerasi.
"Jangan beri kesempatan dia beregenerasi!"
"YAAAAAaaaaah!"
Elinalise bergerak sembari berteriak. Dia berlari secepat mungkin menuju lawannya,
Dan menebaskan Gladius-nya ke leher yang sedang beregenerasi,
"Oh, pelindung es yang agung, pergilah menuju tempat yang kuinginkan. Serang dengan aliran
gletser berlumpur, Ice Smash!"
Terbentuklah suatu palu es raksasa yang menggencet leher Hydra yang hendak beregenerasi.
Serangan itu begitu dekat dengan Elinalise.
Kepala yang barusan terbentuk masih tidak mempunyai sisik, dan kulitnya pun masih lunak.
Namun, palu es raksasa itu segera melindasnya sampai penyet.
Leher itu menggeliat, dan menyemprotkan darah sekali lagi bagaikan buah delima yang diperas.
"Roxy!"
"Oh, bara api kecil yang diberkati dengan keagungan, bakar lah dia dengan pijaranmu, Flame
Tower!"
Tidak berhenti sampai situ, Roxy melanjutkan serangannya dengan sihir api.
Meskipun sisik Hydra bisa menetralkan sihir, namun lehernya masih bisa terbakar.
"Bagus!"
Paul terus menekan.
Namun, Hydra tidak menundukkan kepalanya, dan terus menantang Paul.

117
Ia mengangkat tubuh besarnya ke atas, mengangkat kepalanya sampai hampir menyentuh langit-
langit, kemudian dia melirik ke arahku.
Hanya tiga kepala yang tersisa.
Apakah aku takut?
Tidak, ada suatu hal lain yang kurasakan.
Yang pasti, bukan perasaan takut.
Ini adalah… kekhawatiran akan bahaya.
"Waspada! Dia akan melakukan sesuatu!"
"Baiklah!"
Paul menanggapinya.
Mulai saat itu, aku bergerak sesuai intuisiku.
Atau mungkin, lebih tepatnya…. Pengalamanku lah yang menuntun gerakan tubuhku.
Aku pernah melihat ancang-ancang seperti ini sebelumnya.
Saat aku melawan Stray Dragon, dia juga melakukan itu saat hendak menyemburkan hawa panas.
"Dia segera menyemburkan hawa panas! Tolong berkumpul lah di dekatku!"
"Baik!"
Paul melangkah dengan cepat, kemudian dia tiba tepat di depanku.
Elinalise dan Talhand menyesuaikan langkahnya agar secepat Paul, kemudian mereka juga sampai
di sisiku.
Dan Roxy melompat ke arahku, kemudian dia menempel erat pada tubuhku.
Aku mulai membuat air.
Dinding air yang tebal,
Setelah dinding air semakin mengembang, Hydra itu pun menyemburkan nafasnya.
Hawa panas yang begitu terik dimuntahkan dari tiga kepala sekaligus, kemudian menghantam
dinding air yang kuciptakan.
Sejumlah besar uap air langsung mengepul, dan suhu ruangan ini meningkat secara drastis.
"...!"
Nafas api naga bersuhu yang sangat tinggi.
Itu dapat mencairkan baja dan bahkan menguapkan rawa kecil, hanya dalam beberapa saat.
Bahkan, nafas sepanas itu dilepaskan oleh tiga kepala secara bersamaan.
Tak seorang penyihir pun bisa membuat api sepanas ini. Mungkin hanya penyihir kelas wahid
yang bisa menyamainya.

118
Kalau lima… ah tidak…. Kalau sepuluh penyihir tidak bekerjasama untuk menciptakan dinding
air, maka mereka tidak akan bertahan dari serangan sepanas ini.
Tetapi, meskipun begitu, tampaknya itu mustahil.
Satu-satunya alasan aku masih bisa bertahan sampai detik ini adalah, kapasitas Mana-ku tidak
normal.
"Ayah!"
"Baiklah!"
Setelah nafas panas mulai mereda, Paul melompat pada salah satu leher yang pergerakannya sudah
terkunci.
Itu karena semburan hawa panas tidak bisa digunakan berulang-ulang. Nampaknya dia
memerlukan jeda waktu untuk beristirahat.
Aku tidak tahu apa alasannya, namun aku yakin dia tidak lagi bisa menggunakan serangan serupa
dalam waktu dekat.
Apakah serangan itu juga memerlukan Mana, dan dia perlu menghimpun lagi Mana di dalam
tubuhnya?
Aku tetap tidak tahu apakah alasannya
Tapi, aku tahu bahwa nafas api itu adalah usaha terakhir dari sang naga.
Lagipula, dia memuntahkannya secara bersaman dari tiga kepala sekaligus,
Pasti dia memerlukan waktu pengisian kembali.
Jika hanya satu kepala yang menggunakannya, mungkin kepala lainnya masih bisa menyemburkan
serangan kedua, atau ketiga.
Namun, itu tidak dilakukan oleh sang Hydra.
Apapun itu, kami mendapatkan kesempatan bagus sekarang.
"OOOooohh!"
Paul memenggal kepalanya.
Dan aku langsung menghanguskan lehernya.
Dua lagi.
Satu kepala pada leher yang tampak lebih tipis, sedangkan satu kepala lainnya pada leher yang
tampaknya lebih tebal.
Apakah leher tebal itu bermuara pada tubuh utama?
Kalau begitu, itu adalah target terakhirnya.
"Ayah, tebas terlebih dahulu leher yang kecil!"
"Dimengerti!"

119
Paul pun berlari.
Elinalise dan Talhand berupaya memenggal kepala pada leher yang lebih besar.
"DaaRaaaaa!"
Paul memutuskan kepala itu dengan potongan yang bersih.
Dan aku segera mengobarkan api pada leher yang sudah terpotong.
Luar biasa,
Hanya kepala utama yang tersisa.
Kami akan segera menang.
Sampai sejauh ini, kami tidak memberinya kesempatan sedikit pun untuk beregenerasi.
Meskipun kepala terakhir cukup keras, tim kami harus bisa mengalahkannya, entah bagaimana
caranya.
Saat aku menghanguskan leher yang terakhir dengan sihir, mata iblisku menerawang sesuatu.
Hydra membuat gerakan gemetar.
Aku tidak mengerti gerakan macam apa itu.
Meskipun mata iblisku menunjukkan gerakan itu, aku masih tidak paham artinya.
Itu terlalu aneh.
"Dasar bodoh!"
"!"
Sebelum aku menyadarinya, Paul mendorongku menjauh.
Di hadapanku, tiba-tiba terlintas sesuatu yang besar.
Itu bukan kepala.
Atau lebih tepatnya, “tanpa kepala”.
Hydra mengayunkan leher tanpa kepalanya bagaikan sebuah cambuk.
Delapan leher,
Diselimuti dengan sisik keras seperti parutan, leher-leher itu menyerang kami dengan begitu
brutal.
Tubuhnya bergetar, dengan gerakan menyapu.
"Rudiiii!"
Paul berteriak untuk kedua kalinya, dan menendangku mundur sekali lagi.
Pada saat yang sama, dengan suara keras 'BRAAAKK', sesuatu jatuh tepat di sampingku.
Sesuatu,

120
Aku langsung jatuh berlutut.
Di tempat barusan aku berada,
Antara Paul dan aku,
"U, uoooh!"
Ada sebuah bola mata di depanku.
Bola mata yang tertanam pada kepala Hydra yang terakhir.
Dia mencoba segala cara untuk terus bertahan hidup sampai detik terakhir.
Dari sekitar area dahi, munculah benda seperti tanduk.
"OOOOOOOOOooo!"
Secara refleks, aku menendangkan kakiku pada bola mata itu.
Bersama dengan suara 'SRAAAT', aku merasakan sensasi panas pada lenganku.
Kelopak mata Hydra menutup.
Kelopak mata yang juga terlapisi oleh sisik itu tertutup, bagaikan alat pemenggal.
Bersamaan dengan itu, aku menembakkan Rock Cannonball.
Kepala terakhir pun berhasil kuledakkan.
Pada saat yang sama, aku merasakan lehernya tersentak ke atas.
Setelah sentakan itu, aku mendengar suara letupan bergema di telingaku.
"R, Roxyyyyy !!"
Aku menahan rasa sakit, kemudian menjeritkan nama guruku yang paling kuandalkan,
"Oh, bara api kecil yang diberkati dengan keagungan, bakar lah dia dengan pijaranmu, Flame
Tower!"
Meskipun suaranya kecil, aku masih bisa mendengarnya.
Roxy menghanguskan leher terakhir sampai hitam, dan makhluk itu pun mulai roboh.
Tubuh besar Hydra jatuh dengan suara bergemuruh saat dia menjelang ajal.
Awan debu menyembul dari mayat tanpa kepala itu, lantas dia roboh dengan begitu mengerikan.
Aku sudah tidak lagi merasakan hawa kehidupan pada tubuh Hydra.
Dia tidak lagi beregenerasi.
Kepala yang terakhir tidaklah sekuat itu.
"Haa ... Haa ..."
Kalah,
Kami berhasil mengalahkannya.

121
"Kita berhasil ... tttu!"
Saat itu pun, aku mulai merasakan kembali sakit yang menyengat tangan kiriku.
Ketika aku melihatnya, aku terkejut.
"UU UU…"
Ternyata tangan kiriku sudah buntung.
Aku melihat tulang, otot, dan dagingku yang teriris kelopak mata itu
Rupanya, lengan kiriku terjepit saat kelopak matanya tertutup, kemudian saat leher Hydra
tersentak ke atas, tanganku pun lepas dari tempatnya.
Aku bisa mendengarkan suara rembesan darah yang terpancar dari arteri.
"Tangan….. tangan kiriku ..."
Mata itu,
Sisa-sisa tangan kiriku…. harusnya masih tersangkut di mata Hydra.
Saat itu pun, aku melihat kepala utamanya.
Roxy, setelah dia menggunakan sihir api dengan segenap kekuatannya, dia berhasil
menghanguskan kepala Hydra itu sampai ke pangkal lehernya.
Saat aku melihatnya, akhirnya aku tersadar.
Tidak ada yang tersisa dari tangan kiriku.
Meskipun aku mencarinya, mungkin aku tidak akan pernah menemukan potongan-potongan
tangan kiriku.
Tapi, aku terus mencarinya… siapa tahu masih bisa disatukan kembali dengan sihir penyembuhan
tingkat tinggi… namun, pendarahanku semakin parah.
Aaah, aku harus menggunakan sihir penyembuhku dengan cepat.
"Malaikat Keajaiban, tolong berikan nafas surga yang merupakan denyut nadi kehidupan,
menerima dari langit dan matahari, wahai Dewa Yang Mulia, yang membenci pertumpahan darah,
rentangkan sayap putihmu, kemudian turunlah ke lautan cahaya, saat kau turun hentikan semua
pertumpahan darah di dunia ini…. Shine Healing."
Aku merapalkan mantra sihir penyembuhan tingkat lanjut.
Aku pun tahu bahwa sihir ini hanya bisa menghentikan pendarahan, tanpa bisa mengembalikan
bagian tubuhku yang hilang.
Namun, aku tetap menggunakannya.
Kulit berwarna merah muda membengkak di sekitar bagian yang putus, kemudian aliran darah pun
berhenti.
Bagian wajahku yang memar akibat ditendang Paul tadi juga mengalami penyembuhan.
"Fuu ... Haa ..."

122
Nafasku masih terengah-engah.
Tenang ... Tenang.
Tangan kiriku sudah hilang.
Namun, sepertinya itu adalah harga yang pantas, karena Hydra adalah lawan yang sangat
mengerikan.
Bahkan, bisa dibilang bahwa tangan kiri adalah bayaran yang “murah” jika ditukar dengan
kalahnya sang Hydra.
Jika pada saat-saat terakhir Paul tidak memaksaku menghindar, mungkin sekarang aku sudah mati.
"... Kamu menyelamatkan hidupku, Ayah."
Aku berbalik, untuk mencari dimanakah Paul berada.
Tidak ada jawaban.
Semuanya tetap diam.
Elinalise masih berdiri.
Talhand terdiam.
Roxy menutupi mulutnya dengan tangan.
Gisu berjalan dari belakang dengan wajah pucat pasi.
Tidak ada jawaban dari Paul.
"…Ayah?"
Semuanya melirik ke depan,
Ke tempat Paul terjatuh.
Jadi, dia masih belum bangkit ya….. ada apa gerangan…
Aku berbalik dan menghadap ke arahnya.
Namun,
Bukannya dia belum bangkit…..
Dia tak kunjung sadar.
Matanya kosong.
Lalu,
Aku melihatnya secara menyeluruh, namun tidak bisa kutemukan setengah bagian bawah
tubuhnya.
"…Ah?"
Aku tidak bisa memahami apa yang sedang dilihat mataku.
"Eh?"

123
Aa, aku benci ini.
Apa yang telah terjadi?
Ah, sudahlah…. Aku sudah tahu kok.
Ya.
Aku sendiri juga melihatnya.
Paul memaksaku menghindar dengan tendangannya,
Karena kepala utama Hydra tepat menghantam tempat aku berada.
Itu sebabnya Paul menendangku mundur.
Demi menghindarkan aku dari hataman, dia menendangku; kemudian menerima itu dengan
tubuhnya sendiri.
Jadi, dia harus menendangku dengan sekuat tenaga.
Karena aku bukan anak kecil lagi.
Untuk bisa menendangku sekuat tenaga, dia pasti menjulurkan pinggangnya dengan kencang.
Kalau dia asal-asalan menendangku, maka justru tubuhnya yang akan mental, karena fisikku cukup
kuat sekarang.
Tapi dia tidak melakukan itu.
Dia adalah seorang Swordsman yang kuat, dan mampu memakai Touki dengan baik.
Dia mampu mementalkan diriku dengan tendangannya, sembari tetap menjaga tubuhnya di tempat.
Dengan kata lain, dia sengaja menerima hantaman itu.
Aku tidak ingin membayangkannya.
Sengaja menerima…...
"K, kenapa?"
Saat aku mengatakan itu, mata Paul mulai bergerak.
Tatapan mata kami saling bertemu.
"..."
Paul tidak mengatakan apa-apa.
Namun, dia masih sanggup sedikit menggerakkan mulutnya, untuk membentuk ekspresi lega di
wajahnya.
Setelah merasa lega, dia menghembuskan nafas terakhir.
Mulutnya sedikit memuntahkan darah.
Dan matanya tidak lagi memancarkan cahaya.
Paul telah meninggal.

124
Bab 9
Orang Tua

Bagian 1
Saat Hydra menghembuskan nafas terakhirnya, kristal sihir pun terurai.
Zenith masih hidup.
Meskipun tidak sadarkan diri, dia masih bernapas.
Pada ruangan itu tersebar lusinan kristal sihir yang sangat besar, dan juga sejumlah besar batu sihir
yang membentuk sisik-sisik Hydra yang bagaikan armor.
Benda-benda sihir lainnya juga ditemukan lebih dalam pada ruangan yang sama.
Jika aku menjualnya, aku akan menjadi kaya raya.
Namun, tak seorang pun gembira dengan penemuan harta karun itu.
Aku pun heran, mengapa aku merasa hambar, padahal aku telah menyelesaikan misi yang begitu
berat.
Aku masih tidak menganggap ini sebagai suatu hal yang nyata, dan ini bagaikan mimpi saja.
Kalau seseorang menanyaiku, maka aku akan menjawabnya, namun pikiranku kosong.
Atau…. Aku menjawabnya tanpa sadar.
Aku mengkremasi sisa-sisa jasad Paul di tempat ini juga.
Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, sehingga jasad Paul sebaiknya dikremasi di tempat
ini juga, padahal aku ingin membawa jenazahnya pulang.
Namun, memang begitulah cara orang-orang memperlakukan rekannya yang gugur di dalam
dungeon, sehingga aku mengikuti apa yang mereka katakan.
Hanya tiga benda yang diwariskan padaku sebagai keluarganya.
Armor pelindung dada milik Paul.
Pedang pendek baru miliknya.
Dan yang terakhir, pedang kesayangan Paul yang selalu ia bawa.
Setelah terbakar oleh sihir api, Paul pun menjadi setumpuk tulang dalam sekejap mata.
Elinalise mengatakan, kalau aku mengubur Paul dalam bentuk tulang-benulang seperti itu, maka
suatu hari nanti dia akan berubah menjadi Skeleton. Jadi, kau harus meremukkan tulang-tulang itu
sampai potongan terkecil, dan aku pun menyetujuinya.
Oleh karena itu, aku menghancurkan setiap tulang ayahku sampai jadi potongan terkecil, sehingga
memudahkanku untuk membawanya pulang.

125
Aku membuat guci kecil dari tanah, kemudian kuletakkan tulang yang sudah kuhancurkan di sana.
"..."
Ada suatu perasaan yang misterius.
Dadaku terasa begitu sesak, namun sayangnya aku tidak memahami perasaan apakah ini.
"Ayo kembali."
Dalam perjalanan pulang, aku begitu lemas seakan tanpa nyawa.
Langkah kakiku yang semula tegap, sekarang begitu tidak stabil.
Aku masih bisa menggunakan sihir untuk melawan sisa-sisa musuh, namun kalau Roxy tidak
berada di sampingku, aku pasti sudah beberapa kali terjebak.
Setiap kali aku membuat kesalahan, tidak seseorang pun memarahiku.
Elinalise, Roxy, Talhand, dan Gisu tidak mengatakan apapun.
Bahkan mereka tidak menegurku secara halus.
Semuanya kehabisan kata.
Kami keluar dari dungeon setelah hari ketiga.
Selama itu pula, semuanya bergiliran menggendong Zenith.
Meskipun kami sempat mengalami pertempuran sengit sewaktu berusaha keluar dari dungeon,
Zenith tidak pernah terbangun.
Aku begitu gelisah, namun napasnya yang tenang meyakinkan diriku bahwa dia masih hidup.
Aku tidak ingat lagi apa yang kami katakan pada ketiga wanita yang menunggu di penginapan.
Tentu saja, Elinalise dan Gisu memberikan penjelasan secara rinci.
Dan aku tidak mengatakan apapun.
Lagipula, apa yang bisa kukatakan? Tidak ada.
Shera menangis, dan Vera jatuh berlutut karena terkejut.
Bahkan saat melihat pemandangan seperti itu, aku tidak mampu mengatakan apa pun.
Reaksi Lilia berbeda.
Wajahnya polos tanpa ekspresi.
Sembari menyembunyikan emosinya, dia menatapku, kemudian memelukku erat-erat.
Dia sempat menyampaikan begitu banyak kata padaku, seperti:
'Kau telah mengalami banyak kesulitan, kan?'
'Terima kasih atas semua kerja kerasmu,'
'Serahkan saja sisanya padaku,'

126
'Silahkan, istirahat sebentar.'
Meskipun hanya kehampaan yang bisa kurasakan, setidaknya aku harus membalas itu semua
dengan anggukan.
Ketika aku kembali ke penginapan, aku segera melepas jubahku.
Kulihat area di sekitar bahu jubahku, di sana ada bekas robekan yang dalam.
Aku harus memperbaikinya dengan beberapa jahitan.
Meskipun sudah berniat begitu, yang kulakukan hanyalah membuang jubah itu ke sudut ruangan.
Aqua Heartia, tas yang berisi alat-alatku…. Aku melemparkan semuanya di atas jubah itu…..
Aku ambruk di atas tempat tidur.
Bagian 2
Malam itu aku bermimpi.
Dalam mimpi itu, aku berada dalam wujud sebelumnya.
Yaitu, wujud seorang NEET yang jorok dan menyimpang.
Namun, Hitogami tidak keluar.
Tidak ada ruang putih di sana.
Yang ada hanyalah ingatanku dari kehidupan sebelumnya.
Ya, hanya mimpi tentang kehidupanku sebelumnya.
Aku tidak ingat persis kapan itu terjadi.
Tapi aku ingat adegan saat itu.
Dalam kehidupanku sebelumnya, di rumahku, bahkan sampai detail ruang tamuku….. semuanya
terlihat begitu jelas.
Kemudian, ada adegan dimana orang tuaku sebelumnya membicarakan tentangku di ruang tamu.
Karena hanya adegan yang tersaji, maka suaranya tidak terdengar, sehingga aku tidak tahu apa
yang sedang mereka bicarakan.
Namun anehnya, aku tahu benar bahwa akulah yang menjadi topik pembicaraan pada diskusi
mereka.
Apakah orang tuaku pada waktu itu mengkhawatirkan diriku?
Aku bahkan tidak tahu penyebab kematian orang tuaku.
Meskipun keduanya meninggal pada saat yang sama, aku bahkan tidak merasa sedih sedikit pun.
Apakah karena kecelakaan? Atau, mungkin bunuh diri?
Tepat sebelum saat kematian mereka, apa sih yang mereka pikirkan tentangku?

127
Apakah aku punya sisi kehidupan lain yang pantas didiskusikan selain NEET yang tidak berguna
itu?
Tentunya, aku merasa jengkel.
Ya, atau setidaknya perasaan tercela.
Tapi, sebenarnya, aku tidak pernah tahu.
Terkadang, aku melihat wajah ibuku.
Saat ayah capek berurusan denganku, dia hanya membiarkanku begitu saja tanpa mengucap
sepatah kata pun.
Pada saat kematiannya, apakah mereka sempat memikirkanku, meskipun hanya sesaat?
Lagipula, aku bahkan tidak datang pada hari pemakaman mereka, apa sih yang sedang kupikirkan
saat itu?
Aku juga tidak mengumpulkan tulang-benulang orang tuaku [20]
… apa sih yang ada di dalam
kepalaku saat itu?
Mengapa? Kenapa aku tidak pergi ke pemakaman mereka?
Aku takut.
Meskipun orang tuaku sudah meninggal, aku tidak mampu melihat wajah mereka, dan bersedih.
Anggota keluargaku lainnya menunjukkan amarahnya padaku sebagai seorang NEET keparat.
Tentu bukan itu saja.
Aku sama sekali bukan orang yang mengagumkan.
Sebenarnya, pada waktu itu, aku sama sekali tidak menganggap kematian orang tuaku sebagai hal
yang menyedihkan.
Aku tidak meratapinya, karena kuanggap orang tuaku tidak menyayangiku.
Perasaan seperti, ”Gawat nih, apa yang harus aku lakukan sekarang..” lebih kuat daripada
perasaan peduli tentang kematian orang tuaku.
Mulai saat itu, aku bahkan muak melihat diriku sendiri.
Aku memang sudah memutuskan untuk hidup sebagai NEET, namun bukannya aku membenarkan
tindakanku itu.
Aku mengalami hal-hal traumatis, sehingga aku menganggap bahwa dunia ini tidak aman. Itulah
yang menyebabkan diriku tidak siap menghadapi realita hidup.
Setiap manusia membutuhkan tempat untuk melarikan diri agar merasa aman. Bagiku, NEET lah
jawabannya.
Meskipun aku menyesalinya, tapi aku tidak bisa disalahkan.
Tapi, setidaknya,
Setidaknya… aku harus pergi ke pemakaman mereka.

128
Aku tidak bisa mengerti apa yang ada di dalam pikiranku saat itu.
Setidaknya, aku harus melihat wajah orang tuaku untuk yang terakhir kalinya.
Setidaknya, aku harus ikut memungut tulang-tulang mereka.
Pada saat-saat terakhirnya, Paul terlihat begitu lega… lantas, apa yang membuatnya begitu lega?
Itu bukan wajah berisikan tawa.
Itu bukan wajah yang tampak puas.
Dia hanya sedikit menggerakkan sudut-sudut mulutnya, untuk membuat senyum tipis yang tampak
lega.
Kira-kira, apakah yang ingin dia katakan saat itu?
Wajah seperti apa yang ditunjukkan kedua orang tuaku sebelumnya, saat mereka meninggal?
Mengapa? Mengapa aku tidak melihatnya?
Oh, betapa ingin aku kembali ke masa lalu, dan melihat wajah mereka dengan mata – kepalaku
sendiri.
Bagian 3
Keesokan harinya.
Aku bangun dalam keadaan terburuk.
Aku tidak ingin melakukan apapun hari itu. Aku merasakan suatu kemalasan luar biasa yang
mencegahku bangkit dari tempat tidur.
Namun, entah kenapa… aku berhasil mengenyahkan itu, dan aku pun bangun dari kasurku.
Aku pergi ke ruangan sebelah, di sana ada Lilia dan Zenith yang masih tidak sadarkan diri.
Ketika Lilia melihatku, dia menatapku dengan heran.
"Rudeus-sama, apakah kamu baik-baik saja?"
"... Yahh, sepertinya begitu. Bukankah tidak baik kalau terus-terusan istirahat?"
"Tidak masalah kalau Rudeus-sama ingin beristirahat lebih lama… kami tidak keberatan kok.”
Setelah mendengarkan saran Lilia, rasa malasku kembali memaksaku untuk rebahan di kasur.
Akan tetapi, munculah suatu dorongan untuk melakukan sesuatu, yang lebih kuat daripada rasa
malas itu.
"Aku ingin di sini."
"... Begitukah? Aku mengerti… kalau begitu, silahkan duduk."
Akhirnya, aku memutuskan untuk memeriksa kondisi Zenith, bersama dengan Lilia.
Sudah berapa lama Zenith tertidur sampai saat ini?

129
Sudah tiga hari semenjak keluar dari dungeon, kemudian sehari menuju Lapan, jadi totalnya dia
sudah tertidur selama empat hari…. dan masih belum bangun juga?
Tidak peduli berapa kali aku melihatnya, dia benar-benar tertidur seperti orang normal.
Meskipun sudah tertidur selama beberapa hari, kurasa dia tidak kehilangan berat badan sedikit
pun.
Sebaliknya, dia malah terlihat begitu sehat.
Dia masih terlihat seperti Zenith yang kukenal dulu.
Ah tidak juga… dia tampak sedikit menua.
Tangan dan pipinya terasa hangat saat disentuh, dan ketika kudekatkan telingaku pada mulutnya,
aku bisa mendengarkan desah nafasnya.
Hanya saja, dia belum bangun.
Mungkin, dia akan tetap seperti ini untuk sementara waktu.
Jika kondisinya terus seperti ini, bukankah akhirnya dia akan melemah dan mati?
Pemikiran seperti itu langsung terlintas di benakku.
Namun, aku tidak berani mengungkapkannya.
Ada hal-hal yang tidak perlu aku lakukan. Sebaliknya, ada pula hal-hal yang seharusnya aku
lakukan.
Lilia dan aku terus mengawasi Zenith tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sesekali, Vera atau Shera juga datang dan membicarakan sesuatu.
Namun, tak satu pun hal yang mereka bicarakan bisa kuingat.
Aku makan makanan bersama Lilia.
Aku tidak merasa begitu lapar, dan makanannya hanya menempel di tenggorokanku.
Aku sudah mencoba menelannya dengan bantuan air, namun aku hampir saja memuntahkannya.
Tidak sampai tengah hari, akhirnya terjadi suatu perubahan pada kondisi Zenith.
Aku dan Lilia melihat Zenith membuka kelopak matanya dengan perlahan, sembari mengerang
pelan.
"Mmn ..."
Di ruangan itu ada Lilia, Vera, dan aku.
Vera segera pergi untuk memanggil yang lain.
Aku melihatnya dengan penuh perhatian, kemudian aku coba menegakkan badannya.
Biasanya, ketika seseorang tertidur selama beberapa hari, dia akan kesulitan bangun.
Namun, Zenith mampu duduk dengan upayanya sendiri, tentu saja dengan sedikit bantuan Lilia.

130
"Selamat pagi, Nyonya."
Senyum Lilia merekah ketika dia berbicara dengan Zenith.
Setelah bangkit, Zenith melihat ke arah Lilia dengan wajah yang sangat suram.
"... Mm?"
Suara Zenith.
Itu adalah suara yang tidak asing lagi bagiku.
Kalau diingat-ingat lagi, pertama kali aku dilahirkan di dunia ini, aku mendengar suara itu.
Suara yang memancarkan perasaan lega di hatiku.
Aku sungguh merasa lega.
Paul telah meninggal.
Namun, kami berhasil mendapatkan kembali orang yang begitu ingin diselamatkan Paul.
Dia kembali dalam keadaan selamat.
Kami sudah melaksanakan kehendak Paul.
Ketika Zenith mendengar bahwa Paul telah meninggal, dia mulai meratap.
Sepertinya dia akan menangis.
Namun, sekarang aku bisa membagi kesedihan ini bersama Zenith dan Lilia. Jadi, aku tidak perlu
menanggungnya sendiri.
"Ibu…"
Sepertinya, sekarang bukan saat terbaik untuk mengatakannya.
Nanti akan kukatakan lagi bila dia sudah tenang, dan memahami apa yang telah terjadi.
Lebih baik kami melakukannya secara perlahan dan berurutan.
Tidaklah bijaksana jika aku membeberkan kenyataan pahit padanya di saat seperti ini.
Lagipula, bukankah menyenangkan bisa bertemu Zenith setelah sekian lama kami berpisah?
"...?"
Zenith terlihat kebingungan.
Tiba-tiba, dia mendorong dadaku menjauh, seakan dia hendak mengusirku dari hadapannya.
Ternyata, dia sudah melupakanku.
Yahh, mau bagaimana lagi.
Hal yang sama juga terjadi pada Roxy, saat kami pertama kali bertemu setelah sekian lama
berpisah.
Karena sudah lama waktu berlalu, wajahku pun telah berubah.

131
Mungkin sekarang dia terkejut, namun kenyataan ini nanti pasti akan menjadi suatu cerita yang
mengundang tawa.
"Nyonya, dia adalah Rudeus-sama. Terakhir kali kau melihatnya, mungkin sudah sepuluh tahun
yang lalu."
"..."
Zenith menatapku linglung.
Kemudian dia mengalihkan tatapannya ke Lilia.
Wajah Lilia tercermin pada mata Zenith yang begitu bening.
"...?"
Kemudian, lagi-lagi dia terlihat kebingungan.
Mata Lilia terbuka lebar.
Sesuatu yang aneh sedang terjadi.
Sungguh aneh.
Untuk beberapa saat, wajah Zenith terlihat datar tanpa ekspresi.
Setelah sekian lama tertidur, tampaknya dia belum siap menerima semua keanehan ini.
Tapi, mungkin ada hal lain yang terjadi?
Aku sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dia hanya bisa mengeluh.
Dari gerak-geriknya, aku bisa menyimpulkan bahwa dia juga telah melupakan Lilia.
Wajar saja kalau dia melupakan aku, tapi kalau sampai melupakan Lilia…. Ini cukup mengejutkan.
Tentu saja, Lilia juga sedikit menua.
Tapi, wajahnya masih mirip seperti yang dulu, tanpa adanya perubahan yang drastis.
Bahkan gaya rambut dan pakaiannya sama seperti biasanya.
"... Ae ... A— ..."
Suaranya terdengar buruk.
Matanya redup.
Kata-katanya menghilang.
Kami hanya bisa mengamati reaksinya.
"Nyonya ... mungkinkah kau ...?"
Lilia sepertinya juga telah menyadarinya.
Mungkinkah kau….

132
Kami mulai memahami arti dari kata-kata itu.
Jangan-jangan…. dia kehilangan ingatan…. Ini bohong kan….
Lilia dan aku berbicara tentang hal ini berkali-kali.
"..."
Kami pun segera menyimpulkannya.
Meskipun Zenith bereaksi terhadap suara kami.
Namun, dia tidak bisa menjawab dengan kata-kata yang sesuai.
Ada kemungkinan bahwa dia tidak mengerti apa yang sedang kami katakan.
"Rudeus-sama ... nyonya ... hilang…..."
Zenith kehilangan segalanya.
Ingatan, logika, dan akal sehatnya.
Itu adalah tiga syarat dasar yang bisa membuatmu disebut “waras”.
Dia cacat.
Dia tidak mampu mengingat Paul.
Tapi entah kenapa, dia masih terlihat sedih ketika kami mengabarkan bahwa Paul telah tiada.
Zenith bahkan tidak ingat siapakah Lilia atau aku.
Siapa? Bagaimana? Apa yang telah terjadi hingga berakhir seperti ini?
Bagaimana bisa dia tidak mengingat apapun,
Dengan kata lain, harusnya dia tidak berduka atas kematian Paul, karena mengingatnya saja tidak.
Apapun itu, yang jelas kami tidak bisa berbagi kesedihan dengan Zenith,
Sekarang, semuanya sudah jelas.
"Ah…"
Hatiku hancur.
Bagian 4
Sejak saat itu, aku tidak yakin sudah berapa hari berlalu.
Aku sudah tak lagi peka terhadap berlalunya waktu.
Bangun, tidur.
Tidur, bangun.
Aku mengulangi rutinitas itu berkali-kali.
Ketika aku tidur, aku terus memimpikan lagi saat-saat kematian Paul.
Paul menebas kepala-kepala Hydra.

133
Leher Hydra diayunkan bagaikan cambuk.
Paul menendangku untuk menghindari serangan itu.
Kemudian Paul bergerak, Hydra pun juga bergerak.
Aku tidak dapat bergerak.
Kepala Hydra tepat jatuh di hadapanku dengan matanya yang memelototiku.
Kemudian, aku terbangun dari mimpiku dengan terkejut.
Aku meluangkan waktu sejenak untuk meyakinkan bahwa aku sudah tidak lagi bermimpi, lalu
kurebahkan kembali tubuhku pada kasur.
Aku tidak memiliki energi untuk bangkit.
Energiku hanya cukup untuk mengulang kembali saat-saat kematian Paul di pikiranku.
Paul.
Orang itu.
Dia sama sekali bukan orang yang patut dipuji.
Dia adalah orang sinting, bajingan, egois, dan suka pamer.
Dia selalu tertekan saat mengalami kesulitan, dan pelariannya hanyalah alkohol.
Tentunya, dia tidak akan masuk daftar ayah teladan.
Tapi ... aku menyayanginya.
Kasih sayang yang berbeda.
Paul yang kukenal lebih mirip "teman maksiat", yang mana sangatlah mengasyikkan ketika kami
membahas hal-hal yang jorok bersama.
Secara mental, umurku lebih tua, namun secara fisik, umur Paul lebih tua.
Kalau dihitung-hitung, pengalaman Paul tentang hidup jauh melebihi diriku, karena aku hanya
menghabiskan sisa umurku sebagai seorang NEET.
Tapi itu tidak masalah.
Umur bukanlah batasan.
Ketika aku berbicara dengan Paul, aku mendapat perasaan kuat bahwa dia dan aku adalah tipe
lelaki yang identik.
Aku tidak pernah bisa memandangnya sebagai "ayah."
Ketika aku masih kecil, aku tidak pernah benar-benar memikirkannya.
Tapi,
Paul menghabiskan waktunya untuk membesarkanku dengan benar, sebagai anaknya.
Anakmu ini, sudah menjadi seorang bangsat bermental 30 tahunan saat dilahirkan,

134
Paul itu, tidak peduli siapapun yang menilainya, perilakunya memang menyimpang.
Paul selalu melihatku sebagai bagian dari keluarganya, dan dia bangga punya anak seperti diriku.
Ada bagian-bagian tertentu yang tidak dapat dipenuhi ayah dan anak.
Tetapi, meskipun demikian, pria itu tidak pernah kecewa padaku sebagai anaknya.
Meskipun kami sering berbeda pendapat, dia tidak pernah memperlakukanku sebagai orang asing.
Sampai akhir hayat, dia selalu menganggapku sebagai putra kebanggaannya.
Dia selalu melihatku layaknya seorang Superman.
Namun, moral kami sama-sama rusak.
Tapi, seburuk apapun dia, Paul tetaplah ayahku.
Dia terus berusaha menjadi ayah yang baik, sembari menyeimbangkan banyak hal.
Dia juga melindungiku sampai akhir.
Dia, sang ayah, melindungi aku, yang merupakan putranya.
Dia mempertaruhkan segalanya, untuk menyelamatkanku.
Karena memang itulah hal yang sewajarnya dilakukan seorang ayah.
Dan karena itu, dia mati.
Ini cerita yang aneh.
Aku, yang bukan anak kecil lagi,
Sebenarnya…. Secara teknis, Paul hanya memiliki dua anak, yaitu Aisha dan Norn.
Sedangkan aku hanyalah makhluk jadi-jadian.
Yang berasal dari dunia lain, dan bereinkarnasi menjadi putra keluarga Greyrat.
Sekarang, akulah yang harus melindungi mereka.
Bukankah kau juga punya 2 istri?
Zenith, yang telah kau cari selama bertahun-tahun, dan akhirnya kau temukan.
Dan Lilia, yang mendukungmu sepanjang waktu sampai kamu bisa menemukan Zenith.
Dua istri dan dua anak perempuan.
Totalnya empat orang.
Bagaimana bisa kau meninggalkan empat orang ini, Paul?
Bukankah mereka adalah orang-orang yang paling penting bagimu?
... tapi, mungkin aku sendiri juga termasuk orang-orang yang paling penting bagi Paul.
Dua istri, dua putri, dan putra satu-satunya.
Kami berlima sama pentingnya baginya.

135
Meskipun begitu, aku tidak pernah melihat dia memiliki kapasitas yang baik sebagai seorang ayah,
Dia selalu menyayangiku.
AAH! SIALLL! MENGAPA KAU HARUS MATI….. ARGH!
Paul.
Kumohon, kumohon maafkan ayah ...
Berapa kali kamu mengatakan permohonan maaf itu?
Rudi, aku akan coba memperlakukanmu seperti seorang pria.
Apakah kau benar-benar memperlakukanku sebagai pria?
Aku sudah menikah, membeli rumah, menjaga adik-adikku, dan sekarang aku benar-benar merasa
mandiri.
Aku datang ke sini untuk membantumu. Aku bahkan memiliki peran penting dalam kelompok
eksplorasi dungeon.
Tapi, sebenarnya aku lebih suka bekerja sendiri.
Apakah keberatan dengan itu?
Dan pada akhirnya, kau menyelamatkan aku dengan mengorbankan nyawamu sendiri. Paul, apa
sih yang hendak kau katakan pada saat-saat terakhir itu?
Namun…. kenapa kau harus mati?
Sial, kenapa ...
Mengapa kau masih saja melindungiku? Aku sudah besar!! Aku sudah bisa mandiri!!
Ketika aku pulang nanti, apa yang harus kukatakan pada Norn dan Aisha?
Dengan keadaan seperti ini, bagaimana bisa aku menjelaskannya pada mereka?
Belum lagi tentang Zenith… apa yang harus aku lakukan padanya?
Mulai saat ini, bagaimana aku harus melanjutkan hidup?
Bisakah kamu mengajari aku, Paul?
Sejujurnya, apa sih yang kau pikirkan pada saat-saat terakhir itu?
Sial.
Apakah kau memang ingin mati?
Ahh, brengsek!
Kenapa aku membiarkanmu mati, Paul, padahal semua keluarga kita hendak berkumpul kembali,
aku bahkan segera punya anak.
... Seandainya dia masih hidup, maka tidak akan ada yang sedih.
Hah, ini gawat kan?

136
Kesedihan yang meluap.
Air mataku terus mengucur tanpa henti.
Selama hidupku ... ah tidak… maksudku, dalam kehidupanku sebelumnya, ketika ibu dan ayahku
meninggal, aku tidak pernah benar-benar menangis.
Aku bahkan tidak berpikir bahwa kematian mereka adalah hal yang menyedihkan.
Namun, ketika Paul meninggal, air mataku tak lagi bisa dibendung.
Ini menyedihkan.
Sulit dipercaya.
Satu-satunya orang yang seharusnya masih di sini, kini telah pergi selamanya.
Paul adalah ayahku.
Dia adalah ayahku.
Meskipun aku tidak pernah menganggapnya sebagai ayah,
Sama seperti pada kehidupanku sebelumnya, dia adalah orang tuaku.
Bagian 5
Aku berpikir dan terus berpikir,
Aku menangis dan terus menangis,
Aku sangat lelah.
... Aku tidak ingin melakukan apa pun.
Karena aku begitu lesu, aku tak mampu beranjak dari ruangan ini.
Aku tahu, masih banyak hal yang perlu aku kerjakan, namun aku tidak punya energi untuk
melakukannya.
Aku tak kuasa meninggalkan ruangan ini.
Aku hanya tidur, kemudian terbangun, kemudian duduk merenung, kemudian tidur lagi.
Hari-hari sudah terbuang, namun hampir tidak ada kemajuan pada kehidupanku.
Lilia dan Elinalise meluangkan waktu untuk menjengukku.
Mereka membicarakan sesuatu denganku.
Namun, aku tidak ingat apa itu.
Rasanya seperti, tiba-tiba aku mendengarkan bahasa yang tidak kukenal, dan aku tidak dapat
memahami kata-kata yang mereka ucapkan.
Meskipun aku mengerti arti kata-kata tersebut, namun aku tidak bisa menanggapinya dengan
benar.
Aku tidak punya apapun yang harus diucapkan.

137
Bahkan untuk mereka.
Seandainya,
Seandainya saja saat itu aku bisa menguasai teknik berpedang….
Kemudian, aku bantu Paul menjagal leher-leher Hydra keparat itu.
Apakah Paul benar-benar harus mati?
Paul dan aku akan memotong kepala-kepalanya, kemudian Roxy dan aku akan menyegel
regenerasinya dengan sihir api.
Andaikan aku juga bisa memenggal kepala-kepala itu, harusnya kita dapat mengalahkan Hydra itu
jauh lebih mudah.
Setidaknya, harusnya aku bisa memakai Touki.
Atau… andaikan saja aku menghindar sedikit lebih cepat.
Dengan menghindari serangan Hydra itu, Paul tidak perlu melindungi nyawaku.
Atau,
Andaikan saja aku bisa membujuk Paul saat itu untuk kembali ke penginapan terlebih dahulu.
Saat kita sudah sampai di penginapan, kita bisa membahas strategi dengan tenang.
Seandainya itu benar-benar terjadi… maka kami pasti sudah memikirkan cara terbaik untuk
menghadapi Hydra itu.
Bukan cara sembrono yang nyaris tidak berhasil seperti kemaren, melainkan ide yang sangat
brilian.
Jika rencananya berbeda…. Sedikit saja berbeda ...
Namun, semuanya sudah terlambat.
Paul telah meninggal.
Aku tak sanggup lagi melihat wajah orang tuaku yang telah tiada.
Meskipun aku memikirkan ini semua sekarang… namun semuanya sudah terlambat.

138
Bab 10
Melangkah Maju

Bagian 1
Pada sebuah kedai tertentu,
Empat orang sedang duduk di meja.
Di antara hiruk-pikuk dan keramaian di dalam bar, hanya meja itu yang tampak suram.
Mereka berempat wajahnya terlihat gelap.
"... Jadi, Paul sudah meninggal, ya."
Seorang wanita dengan rambut pirang mewah dan telinga panjang bernama Elinalize, sedang
berbisik pada dirinya sendiri.
"Ya, dia sudah meninggal."
Seorang pria dari ras iblis yang memiliki wajah seperti monyet bernama Gisu, mengatakan itu
sembari melihat cangkir yang dia pegang.
"Dia mati melindungi putranya. Itu lah keinginannya yang sebenarnya."
Dwarf pria yang memiliki janggut lebat bernama Talhand, menjawab secara tak acuh.
Namun, suaranya terdengar begitu tenang.
Meskipun dia sudah banyak minum alkohol favoritnya, dia masih belum tampak mabuk.
"Kondisi Zenith juga seperti itu…. Meskipun Paul masih hidup, dia tidak akan ceria.”
Saat mendengar kata-kata Gisu, Talhand terdiam dan hanya terfokus pada minumannya.
Zenith cacat, dan mereka cukup terkejut saat mendengar kabar itu.
Mereka sudah lama kenal Zenith, dia selalu ceria dan bersemangat. Saat melihatnya dalam kondisi
seperti itu, rasa syok mereka semakin besar.
Meskipun begitu, mereka adalah petualang.
Mereka sudah sering melihat kematian.
Meskipun Zenith ditemukan dalam keadaan mati, mereka tidak akan terkejut dan menerima
kenyataan itu apa adanya.
"Yah, dia selamat. Mungkin… mungkin saja ada peluang untuk menyembuhkannya."
Talhand mengatakan itu tanpa rasa percaya diri.
Pernah ada cerita tentang seseorang yang menjadi cacat karena racun monster.
Namun, tidak pernah ada cerita mereka bisa disembuhkan.

139
Jika lehernya terputus, atau jika kepalanya hancur,
Bahkan sihir penyembuhan tingkat Dewa sekalipun tidak akan bisa menyembuhkan itu.
"Meskipun dia bisa berjalan, atau berbicara, ingatannya tidak akan kembali."
Elinalize mengatakan itu seolah pasrah pada keadaan.
"Ada apa, Elinalize…. Sepertinya kamu tahu banyak tentang ini."
"... Memang semestinya begitu."
Elinalize tidak menjelaskannya secara detail.
Dia sudah hidup lebih lama daripada Talhand ataupun Gisu.
Dari caranya bicara, sepertinya dia pernah menghadapi kasus serupa dengan ini.
Itu sebabnya dia tahu.
Meskipun dia tahu lebih banyak, namun sepertinya memang tidak ada solusi pada kasus seperti
ini, itulah kenapa Talhand tidak bertanya lebih jauh.
"... Jadi, masalahnya sekarang… anak laki-lakinya."
Talhand mulai membahas topik baru.
"Ya..."
Setelah mendengarkan itu, dia menghela napas panjang.
Rudeus Greyrat.
Putra semata wayang Paul, meskipun sudah hampir seminggu berlalu, dia belum keluar dari
kamarnya.
"Pria itu, dia seolah tidak punya energi, dan tidak mau melakukan apa-apa."
"Sepertinya dia lumpuh secara mental."
Elinalize dan Gisu menyuarakan hal yang sama.
Seolah-olah, nyawa Rudeus sudah lepas dari jasadnya.
Bahkan ketika namanya dipanggil, dia tidak menjawab.
Dengan mata hampa, dia berkata “Oh”, dan hanya mengangguk.
"Rudi sangat dekat dengan Paul."
Sekarang, giliran gadis ras iblis berambut biru yang berbicara.
Sejak tadi Roxy Migurdia hanya terdiam, namun kini dia berbisik dengan lembut.
Dia bisa mengingat jelas hari-hari dimana Rudeus kecil sedang berlatih pedang bersama Paul di
Desa Buina.
Rudeus terus mengayunkan pedangnya dengan wajah kecewa, tidak peduli berapa kali Paul
mengalahkannya.

140
Dia adalah seorang pria yang memiliki begitu banyak bakat.
Dia sudah lama menghabiskan waktu bersama keluarga Greyrat, dan dia sangat merindukan
pemmandangan seperti itu, sampai-sampai membuatnya iri.
"Yah, aku bisa mengerti perasaan Senpai. Tapi, kalau terus-terusan depresi, bisa gawat juga."
"Betul."
Rudeus belum makan sesuap pun sejak saat itu.
Meskipun dia diminta makan, dia hanya mengangguk sambil berkata “Oh”, dan dia tidak pernah
menyentuh makanannya.
Setidaknya dia pernah sesekali meminum air, namun terlihat jelas bahwa badannya semakin kurus.
Matanya sayu, pipinya cekung… siapapun yang melihatnya, pasti akan menganggap dia sedang
sekarat.
Jika dia ditinggalkan sendirian dalam kondisi seperti itu, dia pasti akan mati.
Semuanya memikirkan hal yang sama.
"... Entah bagaimana caranya, kita harus menghiburnya agar kembali ceria."
Saat Roxy mengatakan itu, Gisu pun melirik Elinalize.
"Hei, jangan berbuat yang tidak-tidak padanya, di saat seperti ini.”
"Aku tidak akan melakukan itu padanya."
Elinalize segera menjawab.
Namun, Roxy yang lugu tidak paham apakah itu “tidak-tidak”.
"Apanya yang tidak-tidak?"
"..."
Gisu dan Talhand saling bertukar pandang, kemudian mereka langsung berpaling muka.
Roxy hanya menanggapinya dengan wajah penuh tanda tanya.
"Elinalize, apakah kamu punya ide?"
"...Gak punya."
Elinalise langsung memberikan jawaban, seolah-olah dia ingin segera menyudahi pembicaraan
yang “tidak-tidak” ini.
"Baiklah."
Gisu menggaruk pipinya.
Talhand meneguk alkoholnya, seolah ada yang begitu menarik pada minuman itu.
"Yah, apapun itu. Di saat seperti ini, lebih baik kita mengajaknya bermain agar dia bisa melupakan
semua kesedihan ini."

141
"Bermain?"
"Pria adalah mahluk yang egois. Dengan minum bir, tidur bersama gadis-gadis, dan melakukan
hal-hal lain yang menyenangkan, mereka akan merasakan nikmatnya hidup, kemudian merasa
lebih baik lagi.”
"Ah ....! Ahh, aku mengerti."
Akhirnya Roxy bisa memahami apa yang sedang mereka bicarakan.
Dia bisa mengeri apa yang dimaksudkan Elinalise, yang merupakan ahlinya membuat lelaki
senang.
"A-aku mengerti… j-jadi lelaki memang seperti itu ya….”
Roxy mengatakan itu sambil menunduk dengan wajah merah padam.
Ketika seorang pria merasa sedih, maka solusinya adalah bercinta dengan wanita.
Sepertinya, dia pernah mendengar hal seperti ini sebelumnya.
Khususnya bagi para prajurit bayaran, sebelum dan sesudah pertempuran, mereka akan membeli
seorang gadis untuk mengalihkan rasa takutnya.
Bahkan, banyak juga para petualang yang pergi ke pelacuran, setelah menjalani misi yang hampir
merenggut nyawanya.
Namun, Roxy langsung depresi ketika membayangkan hal seperti itu dilakukan oleh Rudeus dan
Elinalise.
"Elinalize. Bukankah dulu kau pernah bilang bahwa kau ahlinya dalam menyembuhkan hati
seorang pria yang terluka?”
"Aku memang pernah mengatakan itu."
Roxy berpikir.
Tentu saja, Elinalize memang ahli dalam hal seperti itu.
Dia berhubungan intim dengan pria secara rutin, dan katanya… jurus-jurusnya di atas kasur juga
beraneka ragam.
Dengan seseorang yang begitu berpengalaman seperti Elinalise, Rudeus pasti akan kembali
bersemangat.
Meskipun itu memalukan, tapi… apa boleh buat.
"Jarang-jarang kau begini…. Biasanya sih, kau tidak akan membiarkan seorang pria sehebat
Senpai sendirian.”
Dia tidak tahan melihat Rudeus sekarang.
Meskipin Elinalize ingin membantu dan menghiburnya……
Namun, dia mengerti kondisi keluarga Rudeus.

142
Jika dia menggunakan kesedihan Rudeus sebagai alasan untuk bercinta di sini, lantas apa yang
akan mereka katakan saat pulang nanti?
Dia akan mengkhianati Clif, sekaligus mengkhianati Sylphy.
Itu hanya memperburuk keadaan.
"Begini-begini… aku juga punya pantangan pada beberapa jenis pria."
"Jadi, kau tidak bisa melakukannya dengan Rudi?"
Roxy melotot pada Elinalize.
"Meskipun Rudi sangat menderita ...??"
"Ya..."
Elinalize menjawabnya sesingkat mungkin, namun saat itu juga, dia menyadari bahwa Roxy belum
tahu apa yang terjadi di antara mereka.
Roxy belum tahu faktanya, karena ketika Rudeus menceritakan tentang Sykphy, dia masih
menghilang di dalam dungeon. Semua orang dalam kelompok ini sudah mendengar cerita itu,
kecuali Roxy.
"Karena istri Rudeus adalah cucuku."
"... Eh !?"
Cangkir di tangan Roxy lepas begitu saja.
Cangkir itu pun jatuh di atas meja dengan bunyi yang nyaring.
Cangkir itu menumpahkan isinya, berguling-guling di atas meja, kemudian jatuh ke lantai dengan
bunyi “kelontang”….
"Eh, Rudi, jadi dia sudah menikah?"
"Ya. Dia sudah menikah. Bahkan dia segera punya anak."
"A-a-aku mengerti…. y-y-yahh… s-s-sudah jelas kan? B-b-bagaimanapun juga Rudi sudah cukup
dewasa….”
Roxy tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, kemudian dia mengambil cangkir yang
tergeletak di lantai.
Lalu, dia ingin meminum isi cangkirnya. Sadar bahwa itu telah tumpah, maka dia pun memesan
minuman lagi.
"Ah, tolong beri aku alkohol terkeras di kedai ini."
Roxy bersedekap, dan matanya terlihat berputar-putar.
Menikah.
Tentu saja Rudeus sudah menikah, ya.
Itu sesuatu yang normal.

143
Ya.
Dia terus mengulangi kata-kata itu pada dirinya sendiri.
Saat dia mengingat kembali apa yang telah dia lakukan di dalam dungeon, Roxy pun
menggertakkan giginya.
Dia pikir, Rudi masih bujang, sehingga dia ambil kesempatan untuk mendekati gurunya.
Roxy ingin memberikan kesan yang baik pada Rudi, namun apapun itu…. dia hanyalah dianggap
sebagai rekan, atau bahkan gurunya.
Berada di samping pria yang sudah menikah…. Itu sungguh konyol dan menggelikan.
Dia ingin berteriak, “Kenapa tak seorang pun memberitahuku lebih cepat!!??”
Tapi, dia menelan dalam-dalam keluhan itu.
Ini bukan saatnya mengkhawatirkan dirinya sendiri.
"T-t-tapi… m-meskipun sudah menikah… i-ini kan keadaan darurat… j-jadi sekali-kali gak papa
dong…”
Roxy bahkan tidak mengerti apa yang dirinya sendiri katakan.
Dia hanya ingin Rudeus kembali seperti sedia kala.
"... Mungkin kau benar… tapi, kali ini jangan aku."
Elinalize mengatakan itu dengan sedikit frustrasi.
Meskipun menyadari bahwa Elinalise tampak frustasi, tapi Roxy tidak mengerti perasaannya.
"... Ini dia pesananmu, nona."
"Ah, terima kasih."
Minuman yang dia pesan pun tiba.
Roxy mengaduk isi cangkir itu, lalu meminumnya sekaligus.
Tenggorokannya yang kering serasa terbakar.
Tapi, rasanya sangat lezat, dan itu menunjukkan bahwa tubuhnya memang membutuhkan alkohol
yang keras.
"Lagipula…. Bagiku… Rudeus itu ..."
Elinalize segera memotong pembicaraan ini dengan suatu solusi.
"Yahh… kalau aku tidak bisa melakukannya, maka suruh saja Gisu membawanya ke tempat
pelacuran di dekat sini.”
"Kalau bercinta dengan seseorang yang tidak dia kenal, aku penasaran… apakah Rudeus akan
merasa lebih baik?”
"Yahh, anak itu membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan keluh kesahnya.”
"Kalau begitu, bagaimana dengan Lilia?"

144
"Kan sudah kubilang..!!"
"Ya... ya.., aku mengerti kok… jangan marah-marah gitu."
Elinalise merasakan hal yang kompleks.
Dia tidak ingin merusak pernikahan Sylphy.
Namun, dia juga ingin membantu Rudeus.
Jika dia bercinta dengan Rudeus, mungkin dia bisa membuatnya kembali bahagia.
Dia yakin akan hal itu.
Namun, dia yakin bahwa itu adalah kesalahan besar, dan tidak bisa dibatalkan setelah kau
melakukannya.
Biasanya, Elinalise adalah seseorang yang tidak keberatan memainkan peran sebagai penjahat.
Sampai sekarang, dia telah melakukannya berulang kali.
Namun, karena itu berarti dia mengkhianati Cliff, maka dia tidak lagi bisa melakukannya.
"..."
Kemudian, mereka semua terdiam.
Hanya terdengar suara seruputan dan tenggakan minuman yang terus berlanjut.
Tak seorang pun menyapa kelompok yang beranggotakan 4 orang dari berbagai ras ini.
Mereka pun diam bagaikan malam yang sunyi.
"Bagaimanapun juga, keadaan Zenith sudah tidak lagi bisa diharapkan. Aku ingin senpai segera
bangkit dari keterpurukan, kemudian meninggalkan kota ini.”
Setelah Gisu mengatakan itu, ketiga orang lainnya hanya menanggapinya dengan mendesah
panjang.
"Kamu benar..."
Mereka semua lelah.
Sudah enam tahun.
Enam tahun yang panjang.
Sejak Insiden Teleportasi, enam tahun telah berlalu.
Itu jelas bukan waktu yang singkat.
Dari Benua Tengah, mereka menuju Benua Iblis, kemudian menyebrang lagi ke Benua Begaritto.
Mengeksplorasi dungeon teleportasi.
Mereka telah melewati saat-saat yang sulit dan menyakitkan.
Namun, itu adalah pengalaman yang bisa dikenang dan bisa mengundang tawa saat diingat-ingat
kembali;

145
Tentu saja, Insiden Teleportasi adalah peristiwa yang menyedihkan.
Tapi, bagi mereka, ada hal lain yang bisa diperoleh selain kesedihan.
Kelompok yang sudah berpisah, kini kembali bersatu lagi sedikit demi sedikit.
Elinalize dan Talhand kembali setim.
Gisu ikut berpartisipasi demi Paul.
Paul dan Talhand akur lagi.
Dan, akhirnya, Paul dan Elinalize bertempur secara berdampingan sekali lagi.
Mereka tidak pernah menduga bahwa hal-hal seperti itu akan terjadi lagi, namun memang begitu
lah kenyataannya. Ini semua karena ada Paul yang menjadi inti dari kelompok tersebut.
Setelah menyelamatkan Zenith, mereka akan menuju ke tempat Ghyslaine berada, dan semuanya
akan minum-minum bersama.
Itulah rencana mereka sebelumnya.
Namun, Paul sudah tiada.
Sajak saat itu, mereka merasakan suatu keletihan yang tidak bisa dijelaskan.
Seakan-akan, semuanya telah hancur.
Tak peduli berapa kali mereka berusaha membangunnya kembali….
Pada akhirnya, keletihan itulah yang kembali meratakan semuanya.
Bukan hanya Rudeus yang merasakan keletihan itu.
"Yah, bagaimanapun juga, Rudeus adalah anaknya Paul dan Zenith. Pasti tidak mudah baginya
mendapati kenyataan bahwa kedua orang tuanya sama-sama terkena musibah. Mungkin saat ini
dia masih depresi berat, namun aku yakin, pada akhirnya nanti dia pasti bisa bangkit lagi.”
"... Kuharap kamu benar."
"..."
Setelah Talhand mengatakan itu, kedua orang rekannya mengangguk dengan samar.
Mereka tahu betapa lemahnya kondisi Rudeus saat ini.
Meskipun begitu, dia sudah berusia 16 tahun, dan bukan lagi anak kecil.
Meskipun terasa sangat menyakitkan, namun hatinya sudah setangguh orang dewasa.
Semua yang hidup pasti mati, dan kematian sudah begitu akrab dengan para petualang.
Suatu hari nanti, orang tuamu juga pasti akan mati.
Dan siapapun pasti akan bangkit dari kesedihan itu.
Itulah sebabnya, Rudeus pasti bisa mengatasinya.
"..."

146
Satu-satunya orang yang tidak mengangguk adalah Roxy.
Rupanya dia sedang mengingat…...
Apa yang telah terjadi waktu itu.
Bagian 2
--- Sudut Pandang Rudeus ---
Ketika aku melihat ke luar jendela, hari sudah malam.
Aku duduk di tempat tidur dengan linglung.
Sudah berapa hari berlalu sejak saat itu?
Itu tidak lagi penting bagiku.
Aku tak lagi peduli berapa hari telah berlalu.
Tok… tok….
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan dari arah pintu.
"Rudi, bolehkah aku masuk?"
Setelah kuangkat kepalaku, kudapati Roxy sedang berdiri di sana.
Ternyata pintunya sudah kubiarkan terbuka.
"... Sensei."
Rasanya sudah lama sekali semenjak terakhir kali aku bicara.
Suaraku begitu serak, sehingga aku tak yakin apakah Roxy bisa mendengarnya.
Roxy berjalan dengan cepat ke arahku.
Ada yang aneh pada penampilannya hari ini.
Apa ya yang berbeda.
Ahh, aku mengerti, dia tidak memakai jubahnya hari ini.
Dia mengenakan atasan dan bawahan yang begitu tipis.
Sungguh tidak biasa.
"Permisi."
Sembari mengatakan itu dengan nada tegas, Roxy duduk di sebelahku.
Kami duduk terdiam selama beberapa detik.
Dia menghabiskan waktu beberapa saat seakan memilih kata, lalu akhirnya dia pun berbisik
padaku.
"Maukah kau ikut denganku untuk cari suasana?"
"...?"

147
"Ya, di kota ini ada banyak benda sihir yang tidak akan kau temukan di benua lainya. Kalau kita
jalan-jalan sembari melihat-lihat barang dagangan, pasti akan sangat menyenangkan, lho.”
"Tidak..."
Aku sedang tidak mood.
"B-begitu ya."
"Maaf."
Roxy mengajakku jalan-jalan.
Aku mengerti dia mencoba menghiburku.
Biasanya, aku akan langsung mengikutinya seperti anjing.
Namun, aku lagi tidak mood sekarang.
"..."
"...."
Sekali lagi, kesunyian memenuhi ruangan.
Lagi-lagi dia terdiam sebentar seolah memilih kata, lalu Roxy mengulangi bisikannya.
"... Aku turut prihatin atas apa yang terjadi pada Paul dan Zenith."
Prihatin.
Apakah keprihatinan bisa menyelesaikan semua ini?
Yahh… mungkin iya bagi Roxy….toh, ini hanyalah urusan orang lain.
"Aku masih ingat saat-saat dimana kita berlima hidup di Desa Buina. Bagiku, sepertinya itu adalah
masa-masa paling membahagiakan dalam hidupku.”
"..."
Roxy mengatakan itu dengan tenang, kemudian dia memegang tanganku.
Tangan Roxy terasa hangat.
"Saat aku menjadi petualang, tak jarang kulihat orang mati di depan mata – kepalaku sendiri. Aku
merasakan sakit yang sama sepertimu, karena aku juga mengalaminya."
"... Tolong jangan berbohong."
Aku pernah bertemu orang tua Roxy sebelumnya.
Mereka berdua sehat.
Kurasa, mereka tidak pernah bercerita bahwa mereka punya anak lain atau semacamnya.
"Bukankah ayah dan ibumu baik-baik saja?"
"Yahh, terakhir kali aku bertemu dengan mereka sih setahun yang lalu, tapi sekarang pun aku
yakin mereka masih baik-baik saja. Kurasa, mereka masih bisa hidup ratusan tahun lagi."

148
"Kalau begitu, kamu tidak mengerti!"
Aku merasakan sesuatu yang mendidih dari dalam hatiku, lantas kutampik tangan Roxy.
"Tolong jangan mengatakan hal-hal bodoh seperti itu!"
Aku membentaknya dengan suara keras.
Saat berteriak, aku merasakan kekuatan di dalam tubuhku telah terkuras semuanya.
Roxy terlihat terkejut, namun kemudian dia membisikkan sesuatu padaku dengan ekspresi serius
di wajahnya.
"Saat aku memulai hidup sebagai seorang petualang, ada salah satu rekanku yang meninggal. Dia
adalah salah satu anggota kelompokku, dan dia jugalah yang mengajariku cara-cara dasar menjadi
petualang. Dia memang bukan orang tuaku, tapi aku sudah menganggapnya seperti kakak."
"..."
"Dia meninggal saat melindungiku."
"..."
"Waktu itu, aku juga berada di dalam kesusahan."
"..."
"Itulah kenapa, setidaknya aku bisa memahami secuil perasaanmu saat ini."
Tidak…. itu artinya kau sama sekali tidak paham.
Kau tidak mengerti perasaanku yang telah kehilangan orang tua dua kali. Di kehidupanku
sebelumnya aku telah mengalami ini, dan sialnya pada kehidupan sekarang, hal ini terulang
kembali.
Sejujurnya, kurasa aku tidak sanggup menghadapi ini semua.
Roxy harap, dia bisa membuatku merasa lebih baik dengan menceritakan kisah seperti itu, namun
aku tidak memiliki harapan serupa.
"Ketika aku tinggal di Desa Buina, aku benar-benar bahagia. Awalnya, aku merantau ke Kerajaan
Asura untuk menemukan pekerjaan, tapi aku tak kunjung mendapatkannya. Maka, aku pun pergi
ke pedesaan dengan anggapan bahwa lowongan pekerjaan lebih mudah didapat. Aku berencana
untuk memulai karir sebagai seorang guru. Saat itu pun, aku dipertemukan denganmu, Rudi. Kau
adalah anak yang dipenuhi dengan bakat, sedangkan Paul dan Zenith juga menerimaku dengan
hangat di rumahnya. Mungkin, mereka lah satu-satunya orang yang mengajariku makna
kehangatan di dalam suatu keluarga."
Seraya mengatakan itu, Roxy menatap mataku.
Matanya terlihat jernih.
"Bagiku, mereka adalah keluarga kedua."
Roxy bangkit dari tempat tidur sembari mengatakan itu.
Dia berjalan ke belakangku, dan ketika dia berlutut di tempat tidur, dia memeluk erat tubuhku.

149
"Rudi. Aku akan berbagi kesedihanmu denganmu."
Aku merasakan sesuatu yang lembut di belakang kepalaku.
Aku bisa mendengar degup jantung Roxy yang berpacu kencang.
Namun, itu adalah suara yang menenangkan jiwa.
Aku bingung, mengapa aku merasa tenang saat mendengarkan suara seperti ini.
Aku bingung, mengapa aku tidak lagi merasakan kegalauan, dan semuanya terasa lebih baik.
Ketenangan yang sama kurasakan saat mencium aroma tubuhnya.
Bau Roxy membuatku tenang.
Saat menghadapi saat-saat sulit, ketika kuingat aroma tubuh Roxy, anehnya aku jadi merasa
tenang.
Kenapa ya.
Aku tidak tahu jawabannya….
"Aku adalah Shisho-mu. Meskipun aku adalah seorang Shihso yang kecil, mungil dan tidak
berdaya, aku telah hidup lebih lama darimu, dan aku cukup ulet dalam menjalani hidup ini. Aku
tidak pernah keberatan jika kau berbagi semua keluh kesahmu padaku.”
Aku meraih tangan Roxy di hadapanku.
Itu tangan yang mungil.
Tapi, anehnya terasa besar.
Dengan melihat tangan ini saja, aku sudah merasa nyaman.
Aku penasaran, apakah aku akan merasa lebih tenang jika aku semakin dekat dengannya.
"Meskipun itu menyakitkan, jika kau mau berbagi, maka beban itu akan terasa lebih ringan.”
Roxy melepaskan pelukannya saat dia mengatakan itu.
Namun, secara refleks aku kembali menarik tangan Roxy agar mendekat padaku.
"Ah."
Tubuh mungilnya dengan mudah jatuh ke pangkuanku.
Tatapan mata kami saling bertemu secara langsung.
Matanya yang sayu basah oleh air mata.
Wajahnya merona cerah, dan mulutnya terkatup rapat.
Aku meletakkan tanganku di punggungnya, kemudian kutarik dia lebih dekat.
Suara detak jantung Roxy semakin cepat.
Rasanya hangat.
"G-g-gak papa kok…."

150
Gak papa nih?
"K-k-ketika seorang lelaki merasa penat, maka dia akan kembali merasa tenang setelah tidur
dengan wanita.”
Siapa yang bilang?
Ah, pasti Elinalize.
Apa sih yang dikatakan Roxy pada saat-saat seperti ini?
"Hal yang sama juga berlaku pada wanita, kami pun ingin melupakan kenangan yang menyakitkan.
Dan aku sangat sedih saat Paul meninggal. J-j-jadi…. k-kalau Rudi mau…. Aku bersedia kok tidur
denganmu.”
Roxy terus berbicara dengan tergesa-gesa.
"A-aku juga ingin melupakan semua ini. Tapi, m-m-mungkin saja tubuhku ini tidak bisa
membangkitkan gairahmu… j-j-jadi, kalau kau tidak suka, maka kau bisa memilih untuk pergi ke
rumah bordir saja.”
Roxy terus berbicara seolah sedang berusaha membuat alasan.
Orang ini adalah gadis yang tak akan pernah berhenti kuhormati.
Kalau aku diminta tidur dengannya… aku pun tak yakin apa yang akan terjadi nanti.
"Y-y-yahhh, meskipun aku tidak begitu berpengalaman, tapi… k-kurasa aku bisa melakukannya
lebih baik daripada gadis-gadis lainnya. K-kita akan melakukan ini sewajarnya saja, h-hanya untuk
menghilangkan kepenatan itu… a-ayo coba kita lakukan s-sekali saja…”
Kata-kata Roxy yang ngelantur tidak bisa kupahami.
Sebenarnya, aku sedang ingin melakukannya sih.
Baru mendengar suara detak jantungnya saja, aku sudah merasa lebih santai.
Jika aku lebih dekat dengannya, aku penasaran… apakah akan terasa lebih nyaman?
Aku memikirkan alasan seperti itu.
"Ah, baiklah, kalau kau memang menginginkan wanita yang lebih menggairahkan, maka aku akan
memohon pada Elinalise untuk…. Ahhh!”
Aku mendorong Roxy ke tempat tidur.
Dengan sangat kasar.
Mungkin, itu karena aku melampiaskan semua kefrustasianku padanya.
---
Bagian 3
Pagi berikutnya.
Saat aku bangun, yang pertama kali kulihat adalah wajah Roxy yang masih tertidur.

151
Itu adalah wajah begitu lugu, yang tertutupi oleh sebagian rambutnya.
Pada saat yang sama, kalimat: “Aku telah melakukannya lagi deh ...” terlintas dalam pikiranku.
"Haa ..."
Aku menghela nafas panjang.
Apa yang harus kukatakan kepada Sylphy nanti ...
"..."
Malah timbul lagi kekhawatiran baru.
Tapi, entah kenapa, aku merasa penglihatanku menjadi jelas kembali.
Seolah semua kegalauanku sudah lenyap bagaikan mimpi buruk semalam.
Aku masih merasa depresi sih.
Namun, itu bukanlah kedepresian terburuk seperti yang telah kurasakan selama beberapa hari
terakhir.
Bahkan tidak bisa dibandingkan dengan kemarin.
Kenapa ya.
Aku penasaran, apakah ritual membuat anak dapat menyembuhkan kesedihan akan kematian
seseorang?
"Mnnn."
Kemudian, mata Roxy terbuka.
Setelah dia melihat sekilas ke arahku yang tepat berada di hadapannya, dia pun menggeliat seolah
coba menyembunyikan tubuhnya di bawah selimut.
"Selamat pagi, Rudi ..."
Kemudian, dia bergumam sambil memalingkan wajahnya.
"Um, bagaimana semalam?"
Kalau dia menanyakan ‘bagaimana?’, maka aku tidak akan bohong menjawabnya.
Aku memperlakukan Roxy dengan sangat kasar.
Namun, kalau aku menanyakan hal yang sama padanya, kemudian dia menjawab ‘aku tidak apa-
apa kok’, maka dia lah yang bohong.
Meski begitu, dia menerima segalanya, tanpa sedikit pun mengeluh kesakitan.
Aku ingin meminta maaf atas kekasaranku semalam, namun aku juga menyukuri itu.
Sebagai seseorang yang mencintai Sylphy, memuji Roxy terasa seperti suatu hal yang tabu.
Terus terang, tubuh Roxy memang kecil, dan sedikit tidak sesuai dengan “ukuranku”.
Tapi, bohong kalau aku tidak mengakui bahwa aku merasa jauh lebih baik sekarang.

152
Saat ini, aku yakin betul bahwa pikiranku terasa lebih santai dan ringan.
Aku tidak perlu berbohong dan menyakiti perasaan Roxy.
"Nikmat sekali."
Wajah Roxy langsung memerah.
"Terima kasih banyak ... tidak, bukan itu, aku ingin bertanya apakah kamu merasa sedikit lebih
baik?"
Oh itu toh.
Tadi kukira apa’an.
"Ya."
"Kalau begitu, peluklah aku lagi, dan aku akan merasa bahagia."
"...Ya."
Saat dia mengatakan itu, aku pun segera memeluk tubuh mungil Roxy.
Kulit Roxy lembut, lembab, dan agak lengket.
Tentu saja, karena dia berkeringat banyak.
Dari kulit lembutnya, lagi-lagi aku bisa mendengar detak jantung Roxy.
Itu suara yang menenangkan.
"Lengan Rudi sangat kekar. Seolah-olah kamu bukan seorang penyihir."
"... Aku sudah banyak berlatih."
Roxy mengatakan itu sambil mengelus dada dan tanganku.
Melihat tingkahnya yang begitu imut, cintaku pada Sylphy sedikit memudar.
Aku perlahan menjauh dari tubuh Roxy.
Kemudian, aku bangun.
Sepertinya, aku ingin menanyakan sesuatu padanya.
"Roxy-sensei. Bolehkah aku bertanya sesuatu yang aneh?"
"...Apa itu?"
Mungkin Roxy sudah menebak maksudku.
Kemudian, dia pun bangun sembari memasang ekspresi serius di wajahnya, lalu dia duduk dengan
posisi bersimpu pada kasurku.
Roxy duduk bersimpu di atas kasurku, tanpa mengenakan busana.
Karena itu adalah suatu pemandangan yang begitu erotis, maka aku pun memalingkan wajahku.
Sembari mengambil selimut untuk menutupi bagian bawah tubuhku, aku lanjut berbicara padanya.

153
"Ini hanyalah cerita fiksi ..."
Dengan permulaan seperti itu,
Aku pun mulai bercerita.
Kisah seorang pria tertentu.
Seluruh bagian dari cerita ini hanyalah fiktif belaka.
Dahulu kala, ada seorang pria muda yang mengasingkan diri setelah mengalami hal-hal yang
buruk.
Umurnya hampir 20 tahun, namun dia hidup bagaikan sampah masyarakat sembari menuntut
semua kebutuhan hidup dari orang tuanya.
Namun, suatu hari, orang tuanya tiba-tiba meninggal.
Dia tidak hanya menolak pergi ke pemakaman orang tuanya, melainkan juga melakukan ritual
seorang jomblo yang begitu menjijikkan saat orang tuanya hendak dikebumikan.
Melihat itu, anggota keluarganya yang lain menghajarnya, kemudian mengurisnya keluar rumah.
Pria itu telah kehilangan segalanya, tetapi keberuntungan membawanya ke dunia baru. Di dunia
baru itu, dia memutuskan untuk mengulangi segalanya dari nol, dan berusaha merubah dirinya
agar menjadi lebih baik.
Hidupnya berjalan dengan baik, dan dia pikir, dia akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki
jika terus hidup seperti ini.
Namun, pada saat-saat terakhir, dia membiarkan salah satu orang terpenting dalam hidupnya
mati karena suatu kesalahan besar yang dia perbuat.
Karena itu, lelaki itu ingat kematian orang tuanya yang sebelumnya.
Sedangkan, pria itu baru saja berduka atas kematian orang tuanya yang sekarang.
Aku menceritakan kisah semacam itu.
Semakin aku menceritakannya, rasa sakit di hatiku semakin berkurang.
Aku penasaran, apakah selama ini yang kuinginkan hanyalah berbagi cerita ini pada orang lain?
Semudah itukah?
"..."
Roxy mendengarkan ceritaku dengan tenang.
Dia sama sekali tidak menyela, dan hanya mendengarkan tanpa mengucap sepatah katapun.
"Menurutmu, apa yang harus dilakukan pria itu?"
"..."
Roxy tetap diam.
Dia mungkin tidak tahu bagaimana harus merespon ketika tiba-tiba diceritakan kisah seperti itu.

154
Tidak mungkin dia akan percaya bahwa ini adalah kisah nyata kehidupanku.
Dia adalah orang yang bijak, jadi dia mungkin berpikir bahwa ada makna tersembunyi di balik
cerita tersebut.
"... Kalau aku berada di posisinya, aku akan pergi ke makam orangtuaku dan meminta maaf di
depan batu nisan mereka. Meskipun baru kulakukan sekarang, kurasa itu tidak terlambat. Hal yang
sama akan kulakukan pada anggota keluargaku lainnya. Akan kuhampiri mereka, kemudian
kujelaskan semuanya secara damai."
"Tapi, kuburan orang tua dan tempat anggota keluarganya berada jauh sekali, dan dia tidak bisa
pergi dengan mudah ke sana. Bahkan, mungkin juga pria itu tidak bisa kembali ke tempat keluarga
sebelumnya. Pria itu punya kehidupan lain, dia sudah berkeluarga di dunia baru, dan dia sangat
menyayangi mereka."
"Dia tidak bisa kembali?"
"Ya. Semenjak dia pergi ke dunia baru, dia sudah tidak bisa kembali ke tempat sebelumnya."
Roxy kembali terdiam karena pernyataanku yang terakhir.
Tapi, kali ini dia hanya terdiam sebentar.
"Yahh… kalau begitu adanya, ya apa boleh buat. Maka, dia harus menjaga sebaik mungkin
keluarga yang dia punya sekarang.”
Kata-kata Roxy sangat klise.
Itu adalah jawaban yang bisa diucapkan dan dikatakan siapa pun.
Itu bukanlah jawaban yang istimewa atau sejenisnya… tentu saja pria itu harus menjaga baik-baik
apa yang dimilikinya saat ini, semua orang tahu itu.
"Paul pun pasti berharap kamu melakukan itu, Rudi."
Roxy mengatakan sesuatu yang tentu saja sudah kumengerti.
Kalau aku bahagia mendengar itu, maka sama saja dengan memuji diriku sendiri.
Tidak ada yang spesial dari sarannya itu.
Kata-kata yang pernah dia dengar, entah dari mana.
"Kumohon, bangkit lah dari keterpurukan. Semuanya menunggumu."
Tapi, hatiku terasa lega.
Ya.
Itu sudah biasa.
Kematian orang tuaku di kehidupan sebelumnya, dan juga kematian Paul.
Ini sesuatu yang sudah jelas.
Tidak ada pilihan selain menerima itu semua, kemudian melangkah maju.
Aku hidup di dunia ini.

155
Dan akan terus hidup di dunia ini.
Paul sudah tiada, dan Zenith mengalami kecacatan.
Aku merasa khawatir saat harus kembali ke rumah dan menceritakan ini semua pada keluargaku
yang menunggu di utara.
Aku juga merasa cemas karena aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.
Masa depanku dipenuhi dengan kecemasan.
Tapi, aku tidak boleh lari.
Aku tidak punya pilihan selain menyelesaikan apa yang ada di hadapanku sekarang.
Padahal, aku tidak tahu secara spesifik apa yang harus kulakukan.
Pilihanku hanyalah, menyelesaikannya satu per satu.
Bukankah aku sudah memutuskannya saat pertama kali datang ke dunia ini?
Bahwa di dunia ini, aku akan hidup lebih baik.
Maka, aku tidak boleh lari lagi dari kenyataan, seperti yang pernah kulakukan pada kehidupanku
sebelumnya.
Mulai dari sekarang, tak peduli kesulitan macam apapun yang akan terjadi, aku pasti akan
menyelesaikannya.
Setidaknya, itulah yang harus kulakukan.
Ya, aku menyadari sekali lagi.
Meskipun sudah menyadari itu, rasa sakitnya belum mereda sepenuhnya.
Namun, aku merasa bahwa aku telah menemukan jawabannya.
"Sensei."
"Ya."
"Terima kasih banyak."
Sekali lagi, Roxy telah menyelamatkanku.
Ucapan terimakasih semata tidaklah cukup.

156
Bab 11
Kembali Ke Rumah

Bagian 1
Zenith.
Aku memutuskan untuk berbagi cerita tentangnya pada orang lain.
Setelah aku memikirkannya dengan tenang, aku menyadari bahwa aku tidak harus menanggung
masalah Zenith sendirian.
Aku bisa mendiskusikannya dengan orang lain.
Karena aku masih punya anggota keluarga di sini.
"Sensei, aku ingin berbicara dengan Lilia tentang apa yang akan kulakukan selanjutnya."
"Ya, itu bagus sekali."
Roxy dan aku berbenah, kemudian meninggalkan kamar.
Tepat saat kami keluar, kami berjumpa dengan Elinalise yang juga baru saja keluar dari kamarnya.
Matanya terbelalak ketika melihatku dan Roxy keluar dari ruangan yang sama.
"Roxy, kamu ..."
"Rudi, maaf, ada beberapa hal yang perlu kubicarakan dengan Elinalise. Carilah Lilia tanpa
diriku."
Beberapa hal?
Apa itu?
Yahh, kalau memang tidak ingin diganggu, lebih baik aku pamit sekarang.
"Aku mengerti."
Aku meninggalkan Roxy, kemudian menuju ruangan Zenith.
Aku melirik ke belakang sebentar sebelum masuk, di sana aku melihat Elinalise dan Roxy menuju
ke suatu ruangan bersama-sama.
"..."
Aku tidak tahu apa yang hendak mereka bicarakan, tapi yang jelas, aku harus masuk ke kamar
Zenith.
Zenith sedang duduk di tempat tidurnya, ditemani Lilia yang juga sedang duduk pada kursi di
sampingnya.
Itu mengingatkanku pada suatu adegan di rumah sakit. Aku pun menggigit bibirku saat melihat
itu.

157
"Lilia."
"Ada apa, Rudeus-sama?"
Lilia tampak lelah melayani Zenith.
Pertama-tama, aku harus tahu apa yang dia pikirkan.
"Maaf sudah merepotkanmu merawat ibu."
"Tidak, memang inilah pekerjaanku."
"Oh."
Pekerjaan?
Padahal dia tidak dibayar, kan?
"Bagaimana dengan ibuku?"
Sekilas kulirik Zenith, dan saat itu pun aku sadar bahwa dia telah menatapkan sejak tadi.
Dia tidak melakukan apa-apa, dan tidak mengucap sepatah kata pun.
Namun, dia masih saja menatapku.
"Yah, meskipun dia hilang ingatan, ajaibnya tubuhnya masih sehat. Staminanya bagus, dan tidak
ada tanda-tanda dia mengalami kompilasi penyakit. Dia bisa makan dan bersalin pakaian sendiri
setelah diajari sekali saja.”
"Begitu ya…..."
Artinya, dia tidak sepenuhnya lumpuh.
Satu-satunya hal yang hilang adalah ingatannya.
"Menurut diagnosis Shera-sama, gejala itu terjadi setelah seseorang terjebak begitu lama di dalam
kristal sihir, dan kewalahan oleh Mana yang terkandung di dalamnya."
"Bisakah disembuhkan?"
"Menurut Elinalise-sama, sepertinya tidak."
Menurut Elinalise?
Apakah dia pernah menjumpai kasus seperti ini sebelumnya?
Namun tetap saja, terlalu dini jika aku menyerah sekarang.
Tapi sayangnya, tidak ada tabib bagus di sekitar sini yang bisa memeriksanya.
"Aku akan terus merawat Nyonya. Tuan sudah tiada, jadi akulah yang akan merawatnya mulai
sekarang. "
"Aku juga akan berusaha sebaik mungkin untuk menemukan cara menyembuhkan ibu ..."
Setelah aku bilang begitu. Lilia segera membalas,
"Tidak perlu begitu."

158
Seolah-olah, dia menolak upayaku.
"Eh ..."
Aku sedikit menjerit kaget, namun pada saat yang sama, aku pun menyadari bahwa dia
mengatakan itu bukannya tanpa alasan.
Ayah telah meninggal, ibu mengalami kelumpuhan, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Meskipun Lilia menyalahkanku atas semua musibah ini, harusnya dia tidak menolak niat baikku.
Tapi Lilia melanjutkan perkataannya,
"Rudeus-sama, sebelumnya aku perlu minta maaf, karena apa yang akan kukatakan setelah ini
tidaklah begitu sopan."
"Apa itu?"
"Kurasa, ada hal lain yang perlu Rudeus-sama kerjakan terlebih dahulu."
"…… hal lain?"
"Tuan juga pernah berkata begitu."
Aku tidak pernah tahu Paul mengatakan itu. Setidaknya, dia tidak pernah mengatakannya secara
langsung padaku.
Dia terlalu egois untuk mengurusi orang lain.
"Melayani Nyonya adalah tujuanku. Itulah mengapa aku ada di sini."
Lilia terlihat begitu lelah.
Sangat….sangat lelah.
Namun, dia begitu tangguh.
Dia sudah melupakan kematian Paul, dan terus melangkah maju.
Aku perlu belajar banyak darinya.
"Lilia, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, tapi itu mungkin akan membuatmu merasa
kesal."
"Katakan saja... aku tidak akan marah."
"Apa yang harus aku lakukan di saat seperti ini?"
Harusnya dia kesal ketika mendengar orang yang begitu dia banggakan, menanyakan suatu hal
yang sangat sederhana. Namun, aku harus meminta pendapatnya.
Lilia menatapku kaget.
Meskipun aku adalah orang yang bebal, sebenarnya aku sudah punya beberapa jawaban atas
pertanyaanku sendiri.
Tapi aku benar-benar ingin mendengarnya dari orang lain.
"Menurutku, pertama-tama kamu harus memberi tahu Norn-sama tentang kematian Tuan."

159
Ya.
Itu berarti, saatnya untuk pulang--
Bagian 2
Hari berikutnya.
Aku mengumpulkan semuanya, kemudian kukataka bahwa kami harus segera meninggalkan kota.
Seolah-olah sekarang akulah pemimpinnya, namun semuanya menyetujui keputusanku.
Apakah karena mereka menganggapku sebagai pengganti Paul?
Kalau memang begitu, aku akan menerima peran itu dengan segela hormat.
Pertama, aku ingin membahas rute perjalanan pulang.
Aku mengatakan bahwa kami memiliki metode khusus dalam perjalanan, itu aku lakukan untuk
menghindari pembicaraan tentang lingkaran sihir teleportasi B3.
Aku juga memperingatkan mereka agar tidak membocorkan informasi ini.
"Tapi, Gisu adalah tipe orang yang bermulur besar ketika mabuk."
"Ah, tenang saja, meskipun aku bocorkan informasinya, aku tidak akan bawa-bawa nama Senpai,
jadi jangan khawatir.”
Orang itu tidak tahu cara menutup mulutnya sendiri.
Aku tidak akan memberitahu letak koordinat detailnya.
Mungkin aku harus meminta mereka memakai semacam penutup mata saat hendak memasuki
reruntuhan teleport.
Oh, itu ide bagus.
Baiklah, suruh saja mereka pakai penutup mata.
"Seharusnya tidak akan ada banyak masalah dalam perjalanan pulang nanti, tapi…. senpai, apakah
kondisimu sudah benar-benar membaik?”
Gisu sepertinya masih mengkhawatirkanku.
Wajahnya yang mirip monyet itu tampak cemberut, rupanya dia telah mengawasiku.
"Apakah aku terlihat kurang sehat?"
"Yah, tidak ... Malahan, jauh lebih baik daripada sebelumnya."
"Kalau begitu, tidak masalah."
Sejujurnya, aku tidak sepenuhnya baik-baik saja.
Namun berkat Roxy, aku bisa merangkak keluar dari jurang kenestapaan.
Tapi, bagaimana cara kita mengatasi perjalanan pulang?

160
"Lilia, bagaimana dengan ibu? Kita akan melakukan perjalanan selama satu setengah bulan di
gurun, apakah dia bisa bertahan selama itu?”
"Aku tidak yakin, tapi aku akan bertanggung jawab penuh untuk merawatnya."
"... Kumohon bantuannya."
Lilia menerima tanggung jawab itu dengan sungguh-sungguh.
Aku juga harus bisa membantunya.
Selama dia masih memiliki stamina untuk bertahan, maka kita bisa berjalan pelan-pelan.
"Lalu, haruskah kita membeli kereta karavan?"
"Tapi, bukankah kita harus membuangnya di tengah jalan?"
"Tidak masalah. Uang bukan lagi masalah bagi kita."
Tampaknya, Gisu dan yang lainnya kembali lagi ke dungeon itu, saat aku masih depresi, kemudian
dia mengambil sejumlah besar harta karun di sana.
Dungeon itu punya sejarah panjang, dan sudah memangsa banyak petualang.
Barang-barang sihir pun berlimpah di sana.
Mereka juga bisa menjarah sisik-sisik Hydra, atau lebih tepatnya, batu sihir yang melapisi sisik-
sisik tersebut.
Itu adalah batu sihir sakti yang punya kemampuan menetralkan serangan sihir.
Menurut mereka, dengan menjual batu-batu itu, kita bisa kaya mendadak.
"Kita akan bawa semua barang yang bisa kita dapatkan di sini, untuk dijual di Kerajaan Asura."
Gisu mengatakan hal tersebut, sembari mengeluarkan tas-tas yang penuh berisikan batu sihir,
kalung, cincin, dan aksesori lainnya. Nampaknya, selain mengambil barang-barang dari dalam
dungeon, dia juga membeli beberapa kerajinan khas dari pasar lokal Kota Lapan.
Paul sudah tiada, aku terjebak dalam jurang kedepresian, dan orang ini masih saja memikirkan
uang.
Itu cukup membuatku kesal.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi dengan logis, membiarkan harta karun sebanyak itu tertinggal di
dalam dungeon adalah suatu hal yang bodoh.
Uang juga penting. Dan kami pun bekerja untuk itu.
Gisu membuat penilaian yang benar.
Lagipula, orang yang tidak melakukan apa-apa selama beberapa hari karena depresi tidak berhak
untuk protes apapun.
"Kami sudah memberikan jatah Senpai pada Lilia."
Sepertinya, mereka sudah membagi semua harta hasil jarahan.

161
Bagianku cukup besar.
Itu karena jatah Paul juga diberikan padaku. Talhand pun mengaku bahwa dia tidak berperan
banyak pada eksplorasi kali ini, sehingga dia berikan setengah jatahnya padaku.
Shera dan Vera juga memberikan sebagian jatahnya pada Lilia, karena mereka tahu bahwa kami
akan mengalami kesulitan pasca kepergian Paul.
Kemudian, Lilia memutuskan untuk memberikan semuanya kepadaku.
Kalau menurutku sih, semua orang sudah berperan dalam misi penyelamatan Zenith ini, jadi
mereka tak perlu memberikan jatahnya padaku.
Tapi…. yahh, baiklah…. Aku akan menerimanya.
Memang benar, sepertinya aku akan mengalami saat-saat sulit ke depannya.
"Oh iya, meskipun kami sudah memeriksa sampai dasar dungeon, kami tidak menemukan apa
yang menyebabkan Zenith bisa terjebak di dalam kristal sihir tersebut.”
"Begitukah? Sekali lagi maaf, karena telah merepotkan kalian."
"Tidak masalah."
Kami masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan: mengapa Zenith bisa terjebak di dalam
kristal sihir itu.
Toh, meskipun kami bisa menemukan jawabannya, tampaknya itu tidak berhubungan dengan cara
menyembuhkan kondisi Zenith saat ini.
Apapun itu, kita bisa bahas lagi tentang cara menyembuhkan Zenith, saat kita sudah pulang nanti.
"Kalau begitu, bolehkah aku menyerahkan urusan perisapan pada Gisu dan ... Elinalise?"
"Baik."
"Mengerti."
Seharusnya tidak apa-apa jika aku menyerahkan tugas itu pada mereka berdua ...
Bagian 3
Rencana perjalanannya sangat komplet.
Rute-rute juga sangat jelas.
Semua anggota kami adalah para petualang berpengalaman.
Tapi, kami tidak ingin ada korban lagi.
Untuk menghindari kesalahan sekecil apapun, kami merencanakan setiap detailnya sampai tuntas.
Kami juga mengumpulkan semua laporan tentang para parampok, dan rute-rute meloloskan diri
yang bisa dilewati.
Meskipun rutenya sedikit memutar lebih jauh, tapi itu tidak masalah.
Aku cukup mengkhawatirkan kondisi Zenith, tapi kami sudah mendapatkan solusinya.

162
Gisu membeli kereta karavan dan monster yang berwujud seperti armadilo.
Sepertinya kereta itu dibuat khusus untuk mengatasi iklim padang pasir yang ekstrim.
Urusan akomodasi seperti ini serahkan saja pada Gisu.
Rupanya, armadillo ini adalah monster yang cukup terlatih dari timur Begaritto.
Harganya cukup mahal, dan aku menyayangkan jika kita nanti membuang barang-barang ini, tapi
itu adalah pengorbanan yang layak.
... Atau mungkin, aku bisa membawa armadilo itu memasuki lingkaran sihir teleportasi bersama
kami.
Seharusnya tidak apa-apa asalkan bisa melewati tangga, kan?
Tapi, bagaimana kalau iklim di Ranoa tidak cocok dengannya, kemudian dia mati ...?
Kalau aku meninggalkannya begitu saja di gurun, dia juga akan mati.
Kalau begitu, lebih baik aku membawanya ke Ranoa, kemudian kujual lagi pada kolektor di pasar.
Persiapan sudah selesai.
Ayo pergi--
Bagian 4
Perjalanan berlalu dengan lancar.
Untungnya kita menghindari lokasi yang rawan perampokan.
Beberapa kali monster menghadang perjalanan kami, namun dengan kelompok seperti ini, mereka
bukan lagi masalah.
2 prajurit, 2 penyihir, 1 Dwarf, 1 penyembuh.
Kelompok ini begitu stabil, meskipun masih ada beberapa anggota lain yang relatif lebih lemah.
Harusnya ada Swordsman juga sih…..
... Lupakan, jangan memikirkan itu lagi.
Ternyata, cukup sulit menjalani ini semua tanpa tangan kiriku.
Meskipun tidak sakit, tetapi… ketika bertemu dengan monster, beberapa kali aku menggerakkan
tangan kiriku secara refleks, dan itu sia-sia saja.
Aku kesulitan melakukan beberapa hal tanpa tangan kiriku.
Namun, setiap kali itu terjadi, Roxy datang membantuku.
Sejak malam itu, Roxy tidak pernah menjauh dari sisiku.
Dia selalu berjalan dekat denganku.
Setiap kali aku kesulitan, dia langsung membantuku.
Seolah-olah, kami adalah sepasang kekasih.

163
"..."
Aku memang idiot.
Tak peduli sehebat apapun diriku, aku masihlah gak peka sebagai seorang pria.
Tapi, dengan kondisi seperti ini, aku tidak bisa mengabaikannya.
Roxy…. mungkin dia…. suka padaku………
Bagian 5
"... Em, Sensei."
Suatu hari, kami mendapat giliran jaga pada saat yang sama.
Roxy dan aku duduk berdampingan di depan api unggun.
Semuanya sudah tertidur di dalam ruangan yang kubuat dari sihir tanah.
Ruangan itu cukup kuat sih, tapi segala kemungkinan bisa saja terjadi, itulah kenapa kami
membutuhkan giliran jaga.
"Ada apa, Rudi?"
Roxy sangat dekat denganku.
Kami duduk bersebelahan, dengan pundak saling menempel.
Aku bisa merasakan kehangatan dan kelembutan bahunya yang terselimuti jubah.
Kami benar-benar mirip dua sejoli.
Dengan duduk bersebelahan seperti ini, mustahil jika kau tidak menganggap kami sebagai
sepasang kekasih.
Mungkin, dia juga memikirkan hal yang sama.
Apakah dia tahu bahwa aku sudah menikah?
Mungkin saja tidak.
Kalau sudah tahu, tidak mungkin dia terang-terangan mendekatiku seperti ini.
Ini bukan kesalahan Roxy.
Ini adalah kesalahanku.
Aku tidak setia.
Aku berselingkuh ketika Sylphy tidak berada di sisiku.
Lebih baik aku berterus terang.
Aku sangat berterima kasih pada Roxy.
Aku baik-baik saja sekarang.
Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi istriku jika kami terus begini, jadi… lebih baik
sudahi hubungan ini sekarang juga.

164
"..."
Sejak datang ke dunia ini dan bertemu Roxy, aku selalu mengandalkannya.
Dia mengajari aku sihir dan bahasa.
Aku bisa berteman dengan Sylphy, semua itu juga berkat jasa Roxy.
Meskipun Sylphy lah yang menyembuhkan impotensiku, selama 3 tahun sebelumnya, Roxy selalu
mendukungku dan memberikan hal-hal yang berharga.
Aku tidak pernah bisa membalas kebaikan itu.
Terlebih lagi, dia bahkan menggunakan tubuhnya untuk pelampiasanku.
Meskipun itu adalah pengalaman pertama baginya, dia telah berusaha sebaik mungkin untuk
memuaskanku.
Dia lah yang mengentaskan aku dari jurang kesuraman.
Dia rela membantu sampah tidak berguna seperti diriku.
Bagaimana bisa aku mencampakkan dirinya setelah dia melakukan semua itu untukku?
Etiket macam apa itu.
... Tidak… aku tidak bisa berpura-pura lagi.
Bantuan?
Etiket?
Itu semua tidak penting lagi.
Aku suka Roxy.
Aku mencintainya.
Jika ditanya, siapakah yang lebih kucintai… apakah Roxy… ataukah Sylphy… maka aku tidak
bisa menjawabnya.
Caraku menyukai mereka berbeda.
Karena aku rentan.
Sehingga berakhir seperti ini.
Pada akhirnya, aku hanya bisa bilang bahwa aku sama-sama mencintai mereka berdua.
Tapi, aku telah berjanji untuk selalu setia pada Sylphy.
Meskipun aku telah merusak janji itu… janji tetaplah janji.
Meskipun aku telah merusak janji itu… aku harus tetap menghormatinya.
Tapi, Sylphy pernah berkata bahwa dia bersedia dimadu.
Tapi, aku menolak ide itu, dan berjanji hanya mencintainya seorang.
Aku sudah berjanji padanya!

165
Tentu saja, saat aku menyatakan itu, Sylphy terlihat begitu bahagia.
Aku tidak bisa mengkhianatinya.
"Aku benar-benar berterimakasih. Tapi, jujur saja, aku sudah menikah, dan aku akan segera punya
anak. Oleh karena itu, aku tidak boleh terlalu dekat denganmu seperti sepasang kekasih begini,
Maaf…. Bisakah kita hentikan ini sekarang juga?”
Bahu Roxy menggigil.
Kemudian, dia bergumam,
"Aku sudah tahu tentang pernikahanmu. Elinalise sudah memberitahuku."
"Ah, begitukah."
Jadi, dia melakukan hal seperti ini, padahal tahu bahwa aku sudah berkeluarga.
Kalau begitu, artinya…..
Ada apa ini?
"Aku sudah tahu kok. Mengenai hubungan kita, Rudi tidak perlu khawatir. Aku hanyalah seorang
wanita yang mengambil keuntungan saat kau terpuruk dalam kondisi lemah.”
Roxy mengatakan itu dengan tenang tanpa merubah nada bicaranya.
"Aku tahu, dalam keadaan normal, harusnya Rudi tidak perlu menyentuh wanita yang kurang
menarik sepertiku.”
"Kurang menarik? Itu tidak benar sama sekali."
"Kamu tidak harus menghiburku. Aku sadar betul akan hal itu kok."
Tubuh Roxy memang kurang menarik sih.
Tidak banyak lekukan, dan ukurannya juga kecil.
Dalam hal pesona wanita, dia masih kalah dari Sylphy.
Atau… kau boleh bilang bahwa Roxy hanyalah kelas loli.
Tapi, aku suka loli, dan aku berani bilang bahwa dia sempurna.
"Tolong jangan mengkhawatirkan itu. Aku tak pernah berencana untuk memaksaku masuk ke
dalam kehidupanmu. Aku hanya ingin menjadi perpanjangan tangan kiri Rudi selama perjalanan
ini ... Setelah perjalanan ini selesai, Rudi tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Silahkan jaga
istrimu baik-baik."
Roxy menatapku dengan ragu-ragu sembari dia mengatakan itu.
"Aku mengerti."
"..."
Tapi fakta bahwa Roxy telah menyelamatkanku tidak akan pernah berubah.
Tidak boleh berakhir seperti ini.

166
"Kumohon, berikan aku kesempatan untuk membalas kebaikanmu. Apakah ada yang bisa
kulakukan untukmu?"
"Kebaikanku?"
Roxy menatapku dengan kaget.
"Ya, selama aku mampu, aku pasti akan melakukan apapun untukmu."
Mata Roxy jadi berkilauan.
Ahh, apakah aku mengatakan sesuatu yang mengerikan?
Ini bisa semakin buruk.
Tapi, setelah Roxy berkorban begitu banyak untukku, kurasa kata “apapun” adalah balasan yang
setimpal.
"Eh, kalau begitu, baiklah."
"Oh"
"... Maukah kamu mendengarkan penjelasanku? Dengarkan saja, tak perlu berkomentar juga tidak
apa-apa."
"Oh?"
Penjelasan.
Penjelasan untuk apa?
"Oke, aku mengerti. Silahkan bicara."
"..."
Roxy terdiam beberapa saat.
Kemudian sambil bergumam, dia pun mulai berbicara.
"A-Aku merasakan cinta pada pandangan pertama."
"Dengan siapa?"
"Eh?"
"Tidak mungkin dengan ayah, kan?"
"Tidak, dengan Rudi… saat Rudi datang untuk menyelamatkanku di dungeon, saat itu pula aku
jatuh cinta padamu."
Saat kami bereuni.
Padahal, saat itu aku melakukan suatu hal yang begitu konyol di depan Roxy. Aku tak kuasa
menahan muntahku.
Tiba-tiba aku memeluknya, kemudian muntah di hadapannya.
Kenapa dia malah jatuh cinta padaku pada saat-saat seperti itu?

167
Kurasa, dia malah takut padaku saat itu.
"M-mau bagaimana lagi. Saat aku sudah mulai menyerah dalam memperjuangkan hidupku, tiba-
tiba ada seorang cowok keren yang datang menyelamatkanku, bahkan gadis culun sepertiku
merasa sangat tersentuh pada waktu itu.”
"Aku keren?"
"Aku selalu memimpikan jadi kekasih cowok sepertimu."
Keren, ya?
Ketika mendengar itu, aku pun ingin cekikikan.
"Saat mengeksplorasi dungeon, aku selalu melihatmu."
"Benar juga ya… sering kali tatapan mata kita saling bertemu, tapi saat itu juga, kau langsung
memalingkan wajahmu."
"Itu karena, aku merasa malu kalau menatap langsung pria sekeren Rudi.”
Malu.
"... Aku sadar bahwa aku tidak pantas denganmu."
Roxy berbicara perlahan.
"Saat kami minum-minum di kedai, tiba-tiba Elinalise membicarakannya. Apa yang bisa kami
lakukan pada Rudi. Elinalise dan Gisu berkata, bahwa kami tidak perlu khawatir, karena Rudi pasti
akan membaik dengan sendirinya. Tapi, kemudian aku mengingat kembali saat-saat kita bersama
di Desa Buina, dan juga saat-saat Rudi berlatih pedang bersama Paul. Kalian berdua sangat dekat.
Tiba-tiba, aku juga teringat ketika Rudi menunggang kuda untuk pertama kalinya. Saat itu Rudi
sangat ketakutan. Tubuhmu membeku dan kau tidak bergerak sedikit pun. Saat itu pun aku
berpikir: ‘ah, meskipun anak ini begitu berbakat seperti orang dewasa, tapi dia masihlah sangat
rapuh’. Ketika Rudi dan Paul bertarung bersama melawan monster-monster di dungeon, aku
semakin teringat saat kalian berlatih bersama di rumah dulu.
Saat aku melihatmu begitu depresi dan tidak kuasa melakukan apapun, aku menyadari bahwa Rudi
masihlah serapuh yang dulu. Kau terlihat begitu tangguh, namun ternyata kau juga rapuh. Aku
tahu bahwa Paul adalah orang yang begitu penting bagimu, dan juga bagi kami semua. Kau begitu
tertekan ketika Paul meninggal, dan itu adalah suatu hal yang tidak terelakkan.
Kau sangat tertekan sampai-sampai tidak sanggup bangkit kembali. Kurasa, aku sendiri tidak akan
sanggup menolong Rudi. Aku pun mendengar bahwa Rudi sudah punya wanita yang sangat kau
cintai. Andaikan saja dia berada di sini, dia pasti bisa membuatmu kembali bersemangat, tak peduli
seberapa parah depresi yang kau derita.
Tapi, wanita itu tidak ada di sini. Saat Rudi benar-benar terpuruk, dia tidak ada di sini. Itu sebabnya
aku berpikir, seseorang harus menolong Rudi. Tapi Elinalise dan Gisu menolak untuk melakukan
sesuatu. Lilia dan Zenith juga bukan pilihan. Maka… aku pun berpikir bahwa inilah giliranku.
Mungkin itu hanyalah alasanku… tapi jujur saja, sejak awal aku tidak berencana melakukan ini.
Aku juga merasa bahwa Rudi cukup menghormatiku, namun aku hanyalah seorang gadis mungil.
Aku tidak kenal kekasih Rudi, tapi karena dia masih keluarganya Elinalise, maka aku yakin dia

168
sangatlah cantik. Dan kuyakin Rudi sama sekali tidak tertarik padaku. Tapi, setidaknya aku harus
mencoba, kemudian melihat bagaimana hasilnya.
Dan setelah benar-benar mencobanya, ternyata Rudi menarikku dengan kasar. Aku tidak pernah
membayangkan bisa menatap Rudi dari jarak yang begitu dekat. Kupikir, akhirnya aku punya
peluang untuk mendekatimu. Aku mendengar Elinalise dan yang lainnya juga membicarakan ini.
Kurasa, aku bisa melakukannya. Yahh, mau bagaimana lagi… itu semua karena, aku benar-benar
mencintai Rudi.”
Setelah menyelesaikan kalimat panjangnya, Roxy mulai menangis.
Saat melihatnya, aku merasakan sesak di dadaku.
"... Ini kejam sekali. Mereka pun tahu bahwa aku menyukai Rudi, tapi… kenapa mereka terlambat
memberitahukan soal pernikahan itu padaku. Ini sungguh kejam.”
Siapa yang dia maksud dengan “mereka”?
Bukan aku kan.
Mungkin itu Elinalise.
Tapi, aku sendiri juga tidak pernah menceritakan pernikahanku pada Roxy.
Aku sih tidak punya alasan untuk mengungkapkannya, dan aku juga tidak pernah punya
kesempatan yang bagus untuk membahasnya.
Dengan kata lain, aku juga salah karena tidak menceritakannya lebih awal.
Tapi, bayangkan jika aku berada di posisi Roxy, sedangkan Sylphy berada di posisiku.
Diselamatkan olehnya, lalu jatuh cinta padanya.
Kemudian, tentu saja aku akan mulai mengejarnya.
Namun, tiba-tiba aku mendapati fakta bahwa Sylphy sudah punya seseorang yang dia sukai.
Pasti aku juga akan merasa terpukul.
... Aku ingin membalas kebaikan Roxy.
Roxy layak menerimanya.
"Kalau begitu… Roxy-sensei….."
"Ada apa?"
Tapi, apa yang harus aku lakukan?
Apa yang bisa aku lakukan untuk membalasnya?
Jika aku tidak mengkhianati Sylphy, bisakah aku memuaskan Roxy?
"Yah, setidaknya dalam perjalanan ini, bisakah aku mendengar keinginan Sensei? Sebelum sampai
ke rumah, aku juga bisa menjadi kekasih Roxy-sensei, lalu ... "
Lalu apa?

169
Tidak ada yang bisa kami lakukan.
Aku juga tahu itu.
Baik Roxy, maupun aku… kami sama-sama tidak memiliki cara untuk memperbaiki apapun.
Bagi Sylphy, aku hanyalah seorang pengkhianat.
Yang bisa kami lakukan hanyalah menunda datangnya masalah yang lebih besar.
"... Itu tawaran yang sangat menarik."
Roxy mengatakan itu sembari memeluk pundakku dengan erat.
Kemudian, dia dengan ringan menyentuh dahiku.
"Tapi, tenanglah, kau tidak perlu mengatakan itu."
"... Aku mengerti."
Tidak perlu.
Selama Roxy berkata begitu, maka aku akan menyutujuinya.
Sampai sekarang pun tetap seperti ini, dan akan tetap sama selamanya.
Gak papa kan, Sensei? ---
Bagian 6
Sebulan kemudian, kami tiba di Bazaar.
Aku membeli beberapa benda yang terbuat dari gelas sebagai hadiah untuk Sylphy dan yang
lainnya.
Ada botol kaca berbentuk aneh, dan juga jepit rambut yang terbuat dari kaca merah diukir dengan
disain tradisional.
Semoga barang-barang itu tidak pecah saat aku kembali nanti.
Kemudian, aku membeli nasi dan juga benih padi.
Kurasa padi tidak bisa tumbuh dengan baik di utara, tetapi tidak ada salahnya mencoba.
Ya kalau tidak bisa tumbuh, tinggal kumakan saja.
Malam itu, Elinalise membawa para gadis di kelompok kami keluar untuk minum-minum.
Mereka punya acara yang dikhususkan untuk perempuan.
Kalau dilihat dari usianya sih, mereka tidak lagi pantas disebut gadis..
Hanya Lilia yang menolak, dengan alasan masih merawat Zenith. Semuanya pergi, termasuk
Roxy.
Gisu dan Talhand juga pergi bersama untuk mengobrol tentang sesuatu.
Aku tetap tinggal untuk membantu Lilia merawat Zenith.
Zenith menghabiskan sepanjang hari dengan melongo.

170
Dia bisa berjalan, bisa makan, bisa buang air.
Tapi dia tidak bisa berbicara, dan tidak menunjukkan keinginan untuk melakukan apapun.
Dia hanya mengikuti setiap perintah yang diberikan padanya bagaikan robot.
Meskipun begitu, sesekali dia menatap lurus padaku.
Hanya menatap, tanpa mengungkapkan suatu hal secara khusus.
Mungkin dia masih bisa merasakan bahwa aku adalah anak kandungnya.
Jika ada pemicu untuk mendapatkan ingatannya kembali, maka aku akan ... ah, mungkin tidak.
Dalam kondisi seperti ini, andaikan Paul berada di sini… apa ya yang akan terjadi?
Paul, apa yang akan dia lakukan?
Apakah dia akan terus berjuang untuk menyembuhkan istrinya?
Ataukah dia akan putus asa, dan menganggap semuanya telah gagal?
Saat malam semakin larut, Roxy pun kembali menemaniku.
Sayang sekali.
Dia menceritakan segala hal tentang kami berdua pada Elinalise. Sekarang dia menyesalinya.
Elinalise pasti juga kesulitan.
Dia bilang, dia ingin menganggap Roxy sebagai keluarganya sendiri.
Dia ingin membantu Roxy memperjuangkan cintanya, tapi dia juga tidak ingin merusak rumah
tangga cucunya.
Pasti sulit baginya.
Roxy menggunakan tinjunya yang mungil untuk memukuli dadaku, lalu dia kembali ke kamarnya.
Bagian 7
Hari berikutnya.
Kami tiba di tebing batu itu.
Kereta biasanya tidak dapat mencapai tempat ini, tetapi aku menggunakan sihir untuk
memindahkan kami secara paksa ke atas tebing.
Pada hari pertama di tebing, armadillo itu waspada terhadap bau Griffon, bahkan mereka menolak
untuk bergerak.
Kalau begitu, mungkin kami harus meninggalkan mereka di Bazaar.
Saat aku memikirkan itu, Gisu memberikan daging Griffon yang telah kami kalahkan, pada para
armadilo itu, kemudian mereka tiba-tiba merasakan sesuatu.
Mulai hari kedua dan seterusnya, binatang-binatang itu mulai bergerak dengan penuh semangat.
Sepertinya itu adalah metode pelatihan yang pernah diajarkan teman Gisu dari ras iblis.

171
Kau hanya perlu mengalahkan Griffon di depan mereka, kemudian memberikan dagingnya sebagai
makanan. Maka para armadilo itu pun tidak akan merasa tertindas lagi dengan keberadaan Griffon.
Teknik yang sama juga berlaku untuk hewan lainnya.
Kemudian, aku tanya Gisu, apakah temannya itu berwajah seperti kadal. Lantas, dia pun
menjawab, ‘senpai memang hebat’, sembari tertawa.
Setelah berjalan sehari, akhirnya kami memasuki padang pasir.
Setelah berjalan 3 hari, kami melewati badai pasir.
Ketika aku menggunakan sihir badai pasir untuk menghentikan angin, Roxy berbicara pelan
dengan sedikit cemburu: ‘Bahkan sihir bumimu telah mencapai level Saint, itu sungguh
menakjubkan’.
Mulai sini, jumlah monster bertambah, jadi kami harus lebih berhati-hati.
Meskipun begitu, kelompok kami kali ini terdiri dari banyak petualang veteran.
Meskipun 1 atau 2 orang terjebak dalam bahaya, yang lainnya akan segera membantu.
Garuda Pasir yang datang menyerang, langsung kami binasakan.
Setelah itu, kadal bipedal seperti velociraptor juga kami habisi.
Sewaktu perjalanan kemari, aku cukup kerepotan dengan ancaman Sandworm, namun Gisu bisa
mendeteksi mereka dengan baik.
Sepertinya ada trik untuk melakukan itu.
Setelah dia menjelaskan trik tersebut, aku akhirnya tahu… jika kita amati tanah dengan teliti, maka
akan terlihat garis-garis melingkar mirip donat. Di situ titik-titik yang di dalamnya terdapat
Sandworm.
Begitu aku memperhatikannya, mereka bisa ditengarai dengan mudah.
Namun demikian, permukaan gurun tidak selalu datar, sehingga sering kali aku tidak bisa
mengenalinya.
Bagaimanapun juga, aku kalah pengalaman dengan Gisu.
Meskipun Succubus datang, mereka juga bisa kami kalahkan dengan mudah.
Dengan begitu banyaknya wanita dalam kelompok ini, mengalahkan mereka bukanlah masalah
besar.
Gisu dan aku terpengaruh oleh aroma mereka, tetapi dengan sihir detoksifikasi tingkat menengah,
itu bukan lagi masalah.
Ah, kalau aku sedikit terangsang, aku bisa menggunakan Roxy.
Hebatnya, Talhand benar-benar kebal terhadap aroma tersebut.
Elinalise berkata, ‘memang begitulah sifatnya’.
Aku kira, inilah yang orang-orang sebut dengan tubuh penuh otot, bukannya otak.

172
Keren dah pokoknya.
Akhirnya kami tiba di reruntuhan.
Seperti yang sudah kurencanakan, sebelum kami mencapai reruntuhan, aku menutup mata
semuanya, kecuali Elinalise.
Awalnya Shera menolak untuk melakukannya, tapi akhirnya Vera bisa membujuknya.
Melanjutkan perjalanan dengan menutup mata.
Mungkin itu sedikit konyol, tapi selama mereka tidak bisa melihat penghalang sihir, mereka tidak
akan tahu apa yang sedang terjadi.
Kereta karavan tidak bisa masuk, jadi kami meninggalkannya.
Setelah berteleportasi ke titik B3’, hanya diperlukan waktu seminggu perjalanan untuk sampai ke
Ranoa, jadi Zenith pasti bisa melaluinya.
Sedikit memperlambat perjalanan juga tidak apa-apa.
Armadillo muat masuk, jadi kami membawanya juga.
Namun, aku tidak yakin apakah mereka bisa bertahan di iklim utara, setidaknya itu lebih baik
daripada meninggalkannya di sini sebagai makanan monster.
Kami pun berteleport untuk kembali ke titik B3’.
Setelah melepas penutup mata mereka, Gisu dan yang lainnya terlihat kaget saat melihat
pemandangan yang berubah secara tiba-tiba.
Dari padang pasir, tiba-tiba kami berada di tengah hutan.
Itu memang mengejutkan.
Aku memberitahu mereka dengan sangat hati-hati, meskipun mereka menyadari sesuatu, jangan
pernah membocorkan informasi ini.
Dengan demikian…. akhirnya kami resmi meninggalkan Benua Begaritto.
Sedikit lagi, dan kami akan pulang.

173
Bab 12
Kepulangan

Bagian 1
Daratan utara diselimuti salju.
Total, sudah empat bulan kami pergi.
Musim gugur, yang merupakan musim kawin untuk ras hewan, telah berlalu.
Hanya musim dingin panjang yang tersisa.
Di pusat hutan, bahkan di tengah-tengah vegetasi lebat, salju menumpuk hingga pinggang kami.
"Elinalise dan aku akan memimpin perjalanan selanjutnya."
Aku menuju ke depan setelah mengatakan demikian.
Aku akan mengalahkan apapun yang menghalangi kami dengan sihirku.
Tampaknya Zenith juga tidak begitu lelah.
Armadillo menggigil kedinginan, tapi itu tidak masalah, aku bisa menghangatkan mereka beberapa
kali dengan sihirku.
Semuanya baik-baik saja.
Bagian 2
Malam itu.
Aku mendapatkan giliran jaga bersama Elinalise.
Dia tiba-tiba berbicara.
"Rudeus, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."
Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.
Ini pasti tentang Roxy.
Aku pun duduk di depan Elinalise.
Jika dia memakiku, aku akan segera berlutut minta maaf.
Elinalise duduk dengan memiringkan kedua kakinya ke samping.
Untuk apa dia memarahiku?
Karena tidak setia dengan Sylphy?
Atau tidur dengan Roxy?
"Rudeus, kau bukanlah seorang penganut ajaran Milis, kan?"

174
Elinanise mulai berbicara, namun ternyata dia tidak mencelaku.
"...?"
Aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
Tetapi, bagiku, hanya ada 1 eksistensi yang layak disembah sebagai Tuhan.
Itu tidak akan pernah berubah.
"Bukan."
"Sylphy juga bukan penganut ajaran Milis?"
"Erm, harusnya sih begitu."
Setahuku, Sylphy tidak menganut ajaran agama manapun.
Atau lebih tepatnya, teman-temanku bukanlah orang beriman seperti itu, hanya Cliff lah yang setia
menganut ajaran Milis.
Cliff akan selalu memakai tanda Milis di lehernya. Bahkan setiap 7 hari sekali, dia akan pergi ke
gereja untuk melakukan misa atau semacamnya.
Setidaknya, Sylphy tidak pernah memakai simbol Milis atau melakukan ibadah apapun.
Mungkin hanya Cliff yang melakukan hal-hal seperti itu, jadi dia adalah orang yang cukup taat.
"Cliff-ku, dia adalah penganut ajaran Milis."
"Ya, aku tahu itu."
Aku baru saja memikirkan Cliff, eh langsung dia bahas.
"Tahukah kau? Bagi penganut ajaran Milis, mereka diharuskan menikah satu kali saja seumur
hidupnya.”
"Ya, aku pernah dengar hal-hal semacam itu."
"Itu artinya, kau tidak akan pernah dibolehkan untuk berselingkuh, tak peduli kesulitan macam
apa yang sedang kau hadapi, itulah makna cinta sejati bagi pengikut Milis. Dan itu lah bentuk
kebahagiaan hakiki menurut mereka.”
Seperti itulah seharusnya.
Mencintai seseorang dengan segenap jiwa raga, dan juga dicintai dengan cara yang sama, memang
seperti itulah seharusnya makna dari suatu kebahagiaan.
Namun demikian, aku masih saja terlena, kemudian jatuh cinta lagi pada Roxy.
Aku suka Roxy, itu tidak diragukan lagi.
Tapi, hari-hari yang menyedihkan itu masih ada dalam ingatanku.
Orang yang menyembuhkan dan membawakan kebahagiaan padaku adalah Sylphy.
Aku ingin membalasnya dengan cinta yang setara.
Itu tidak diragukan lagi.

175
"Tapi… Itulah Cliff…."
"Ya."
"Secara pribadi, aku pun setuju dengan konsep selir."
"Mungkin Elinalise boleh berpendapat begitu, namun bukankah itu artinya tidak setia dengan
pasanganmu?"
Aku bertanya balik, tetapi Elinalise menanggapi dengan menggelengkan kepalanya.
"Jika kamu menceraikan Sylphy, mungkin beda lagi ceritanya… tapi, selama kau masih
mencintainya dengan layak… maka itu bukan lagi ketidaksetiaan.”
"Tetapi jika ada dua pasangan, maka rasa cintaku padanya akan terbagi dua.”
"Kalian juga tidak hidup serumah setiap hari, kan? Memang rasa cintamu padanya akan terbagi
dan berkurang, namun kurasa tidaklah terbagi dua. Tidak seburuk itu kok.”
Cinta yang berkurang… bukankah justru itu masalahnya?
Sudah menjadi sifat dasar manusia, mereka tidak pernah cukup akan suatu kelimpahan, namun
merasa begitu kekurangan bila ada yang terambil dari dirinya, meskipun hanya sedikit.
Jika Sylphy merasa kurang puas dengan kasih sayang yang kuberikan, maka itu akan menjadi
masalah serius.
"Sekarang coba pikirkan ini…. setelah Paul menikahi Lilia, apakah Zenith tidak bahagia?"
Tidak bahagia, atau bahagia?
Yang jelas, aku berpikir bahwa Paul lalai terhadap Zenith.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi… benar juga ya… Zenith tidak terlihat menderita tuh.
Bahkan sampai sekarang.
Atau lebih tepatnya, akibat dari perselingkuhan Paul, Lilia dan Zenith menjadi semakin dekat,
bahkan lebih bahagia daripada sebelumnya.
Ada kalanya kedua istrinya memojokkan Paul, namun kelihatannya dia baik-baik saja dengan itu.
Bahkan, cenderung bahagia.
Tapi sekarang, kebahagiaan semacam itu tidak ada lagi.
"... Ngomong-ngomong, Elinalise, apa sih maksudmu membicarakan ini denganku."
Aku pun menanyakan intinya.
Kalau teringat Paul, nanti hatiku jadi terasa sakit lagi.
Semakin teringat, semakin sakit.
Jadi, aku harus segera menanyakan intinya.
"Rudeus, nikahi lah Roxy. Kamu menyukainya, kan?"
Aku menyesal telah membuatnya berkata begitu

176
"... Apakah kamu serius?"
"Oh, tentu saja aku serius."
"Elinalise, apakah kau yakin dengan apa yang kau katakan? Sebagai nenek Sylphy, bukankah
seharusnya kau lebih mengutamakan kebahagiaan Sylphy?"
Aku tidak punya hak untuk menyalahkan Elinalise.
Suami yang suka selingkuh tidak berhak melakukan itu.
Melanggar janjiku dengan Sylphy, kemudian meniduri Roxy.
Tidak peduli apapun masalahnya, faktanya adalah aku bersalah.
Dalam posisi seperti ini, aku tidak berhak menyalahkan siapapun.
"Erm, aku yakin sih. Dan hanya aku yang boleh berkata begitu."
Elinalise menatapku dengan sombong.
"Kau harus tahu bahwa, sebelum menjadi nenek Sylphy, aku adalah teman baiknya Roxy.”
Aku tidak langsung memahaminya.
Tapi, tak lama berselang, aku menyadari urutan suatu fakta.
Elinalise baru tau bahwa dirinya adalah neneknya Sylphy, setelah dia lama berteman dengan Roxy.
"Sejujurnya, aku tidak tega melihat Roxy bersedih. Wanita itu jelas-jelas ingin tinggal di sisimu.
Dia begitu bahagia berada di sisimu, namun dia sudah siap pergi dan meninggalkan semua
kebahagiaan itu. Dia hanya terlambat selangkah."
Setelah kudengar itu darinya, aku pun baru menyadari bahwa kondisi Roxy saat ini begitu
menyedihkan.
Tapi, dari sudut pandang Sylphy, istriku itu juga tidak kalah menyedihkan.
"Wanita itu, kalau dia berpisah denganmu, dia pasti akan merana seumur hidup. Bisa-bisa, nanti
datang orang jahat yang memanfaatkan kondisinya itu, mengambil hatinya, memperlakukan dia
dengan buruk, kemudian menjualnya ke pelacuran untuk mendapatkan uang. Akhirnya, anak Roxy
tidak akan pernah mengenal siapakah ayah kandungnya."
"Bukankah kau sedikit mendramatisir?"
"Aku pernah menemui beberapa wanita yang bernasib serupa."
Tampaknya dia tidak bohong.
Apakah ini pengalaman pribadi?
"Aku… meskipun akulah yang layak disalahkan… aku tetap ingin melihat Roxy menemukan
kebahagiaan."
"Aku juga… tapi… Rudeus, kalau memungkinkan, aku ingin kau membagi cinta yang adil untuk
Sylphy dan Roxy. Kau adalah putra Paul, maka kau pasti bisa melakukan hal yang sama
dengannya."

177
Bisakah aku melakukannya?
Aku bisa melakukan itu.
Ya, aku pasti bisa.
Karena, sejak awal aku memang mencintai mereka berdua dengan setara, jadi… tidak ada alasan
bagiku untuk tidak menyanggupinya.
Tapi, beneran gak papa nih?
Apakah sesederhana ini?
Beristri dua? Bukankah itu hanya angan-anganku?
Tidak.
... Ini adalah godaan iblis.
Aku tidak bisa mendengarkannya.
"Tidak, hanya Sylphy lah yang ..."
"Sebenarnya aku tidak berencana mengatakan ini, tapi--"
Elinalise menyela sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Kemudian, dengan tenang, dia melanjutkan omongannya.
"Waktu kami, para wanita pergi untuk minum-minum di bar tempo hari, Roxy mengatakan padaku
bahwa dia terlambat datang bulan."
"... Eh?"
Haidnya?
Bukankah itu berarti…..
Eh, beneran nih….?
"Yah, kita belum tahu pasti sih ..."
T-tapi, malam itu kami benar-benar bersetubuh bersama.
Maka…kalau dihubungkan… satu-satunya kemungkinan adalah…..
Sekarang aku ingat, dia juga pernah memukul-mukul dadaku, namun pukulannya terasa begitu
lemah.
Apakah itu petunjuk?
Elinalise sedikit melirikku, kemudian dia meneruskan kalimatnya.
"Rudeus, jika Roxy hamil, apa yang akan kamu lakukan?"
Ketika mendengar itu, lagi-lagi bayangan Paul terbersit di benaku.
Ya, aku ingat benar adegan saat kami sekeluarga mengetahui bahwa Lilia hamil.
Paul benar-benar telah melakukan perselingkuhan.

178
Waktu itu, dia hanya duduk tercengang tanpa bisa melakukan apapun, dan aku pun membantunya.
Dia sungguh tercela.
Apakah aku mengalami nasib yang sama dengannya?
"... aku akan bertanggung jawab."
"Bagaimana caramu bertanggung jawab?"
"Dengan menikahinya."
Nikah… hanya itu yang bisa kukatakan.
Entah kenapa, aku merasa sedikit terpaksa.
Meski begitu, aku tidak boleh ragu mengatakannya.
Namun, setelah mengatakan itu, tiba-tiba aku merasakan beban berat di pundakku.
Aku mencintai Sylphy.
Tapi, aku juga ingin menikahi Roxy.
Aku tidak ingin siapapun mengambil Roxy dari sisiku, dan aku ingin menjadikan Roxy milikku
sepenuhnya.
Aku memang sangat egois.
Setelah mengikrarkan janji seperti itu pada Sylphy, bahkan setelah membuatnya mengandung….
Tiba-tiba aku menginginkan wanita lain.
Sungguh tidak bisa dimaafkan.
Dengan semua dosa itu, aku sudah pantas disebut pria brengsek.
Padahal, aku selalu menyebut Paul brengsek.
Tapi… ternyata aku tidak jauh berbeda dengannya.
Aku jatuh cinta pada dua wanita, dan menginginkan semuanya.
Jika aku mendapatkan keduanya, apakah itu salah?
Seperti yang dilakukan Paul.
Kalau semua keegoisanku ini justru membuatkan kehilangan Sylphy dan Roxy…..
Maka habislah semuanya.
Em, benar juga.
Ini bukan hanya masalahku.
"... Jika Roxy-sensei dan Sylphy setuju aku poligami, maka lain ceritanya.”
"Baiklah, kalau begitu aku akan memanggil Roxy."
"Eh?"

179
Elinalise langsung berdiri sembari berkata demikian.
Tiba-tiba, dia pergi menuju tenda terdekat.
Betapa cepat gerakannya.
Segera setelah itu, Roxy keluar sendirian.
Sepertinya dia belum tidur.
Dia menatapku dengan gugup.
Mungkin Elinalise sudah mengatakan sesuatu padanya.
"Kau ingin mengatakan sesuatu padaku, Rudi?"
Lantas, Roxy duduk di depanku.
Aku pun langsung menegang.
Apa yang harus aku katakan.
Bukankah ini terlalu cepat?
Aku belum memikirkan apa yang harus aku katakan.
Tidak…. tidak perlu khawatir lagi.
"Yah, aku ingin membahas apa yang telah kukatakan sebelumnya."
"Oh."
"Aku ... menyukai Sensei. Sejak kecil, aku selalu menyukai Sensei. Bukan hanya suka, tapi juga
menghormati. Meskipun sensei sudah menganggapku sebagai seorang penyihir yang bahkan sudah
melebihi kemampuanmu, namun itu bukan masalah bagiku. Bagaimanapun juga, sensei lah yang
mengajariku sihir, dan berkali-kali hidupku terselamatkan berkat sihir ajaran sensei tersebut.
Berkat sensei lah aku masih menghembuskan nafas sampai detik ini."
Wajah Roxy memerah cerah.
Wajahku mungkin juga merona sekarang.
Saling menatap muka seperti ini sungguh memalukan.
"Aku benar-benar bersyukur kau melihatku seperti itu."
"Tapi, yah, aku sudah punya istri."
"Ya.. tentu saja.. aku sudah dengar itu."
Maka… kumohon jadilah istri keduaku.
Sanggup kah aku mengatakan itu?
Bukankah itu sangat tidak pantas?
Tidak bisakah aku mengungkapkannya lebih baik?
Apa yang harus kulakukan?

180
Tapi, apapun itu.. aku tetap harus mengatakannya.
Tak peduli bagaimana caraku mengatakannya, intinya sama saja, yaitu… aku ingin berpoligami.
Aku tidak akan berpisah dengan Sylphy, dan aku juga ingin memiliki Roxy.
Aku juga perlu mempersiapkan diri untuk berbicara dengan Sylphy setelahnya.
Aku sendiri tidak mengira bisa melakukan hal sehina ini di belakang Sylphy.
Aku benar-benar sampah.
Tapi, jika aku tidak mengatakannya sekarang.
Roxy mungkin akan benar-benar pergi.
Dia adalah tipe orang yang cenderung pergi secara tiba-tiba.
Kalau aku tidak menahannya saat ini juga, mungkin aku tidak akan punya kesempatan lain.
-- Cukup sudah.
Meskipun kau menyebutku sampah, aku tidak peduli.
"Istriku, namanya adalah Syphiette Greyrat. Sebelum mendapatkan margaku, nama aslinya adalah
Syphiette."
"Oh, aku sudah dengar itu."
"Roxy, apakah kau juga bersedia mengubah namamu menjadi Roxy Greyrat?"
Roxy tiba-tiba terkejut.
Namun, setelah dia memahami apa yang kumaksudkan, dia pun menggigit bibirnya.
Tapi, wajahnya segera kembali tampak serius.
"... Aku benar-benar bersyukur mendengar itu, tapi bukankah kau harus mendapatkan persetujuan
istrimu terlebih dahulu?”
Tentu saja, aku perlu mendiskusikan ini dengan Sylphy terlebih dahulu.
Bagaimanapun juga, dia harus mengangkat keluarga seseorang yang belum pernah dia temui
sebelumnya.
Aku juga harus menjelaskannya pada adik-adikku.
Aku juga harus memberitahu Lilia pula.
"Aku harus mendapatkan persetujuannya."
"Kalau begitu--"
Aku ditolak.
Tentu saja, Roxy berharap bahwa aku hanya memilihnya sebagai istri tunggalku.
Saat aku memikirkan itu,

181
"…kalau begitu… setelah kau mendapatkan persetujuannya, kembalilah padaku untuk melamarku
sekali lagi."
Dalam salju yang dingin, Roxy mengatakan itu dengan wajah serius.
setelah kau mendapatkan persetujuannya, kembalilah padaku untuk melamarku sekali lagi
Penolakan halus itu membuat hatiku terasa hangat.
Bagian 3
Kami mendekati Kota Sihir Sharia.
Aku menceritakan kondisi Roxy pada Lilia.
Seperti biasa, dia hanya menanggapi itu dengan wajah datarnya,
"Oh, aku mengerti."
Hanya itu.
Dia tidak menyalahkanku.
Mungkin karena dia juga pernah berada di posisi Roxy sebelumnya.
Mungkin ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan. Sejak awal, aku tidak pernah tahu ada
peraturan yang mengharuskan satu suami-satu istri di dunia ini, kecuali bagi penganut ajaran Milis.
Apapun perjanjianku dengan Roxy, bebanku terasa sedikit berkurang setelah mendapatkan
persetujuan dari Lilia.
Selanjutnya, aku harus pulang untuk melaporkan semua hal tentang perjalanan ini pada Sylphy,
kemudian aku harus memohon untuk mendapatkan restu istri pertama.
Aku juga merasa terbebani saat menceritakan kondisi Roxy pada Norn dan Aisha.
Tapi, mereka harus menerima ini juga.
Apakah Norn akan marah dan menyalahkanku?
Akankah Aisha mulai menangis dan menyalahkanku juga?
Apapun konsekuensinya, aku tidak akan lari.
Dan aku tidak akan menyesal.
"... Menyesal?"
Tiba-tiba saja, aku merasakan suatu kegelisahan.
Ini tentang ramalan Hitogami.
Dia pernah bilang, bahwa aku akan menyesal jika pergi ke Benua Begaritto.
Itulah kenyataannya, karena Paul mati, Zenith lumpuh, dan aku kehilangan tangan kiriku.
Kami kehilangan banyak hal.
Tapi, entah kenapa sekarang aku tidak merasa menyesal sedikit pun.

182
Mungkin, keberadaan Roxy lah yang membuat semua beban penyesalan itu jadi terasa ringan.
Memang benar…..
Kalau saja aku lebih kuat….
Kalau saja aku lebih giat berlatih ilmu pedang…...
Kalau saja kekuatanku cukup untuk mengalahkan Hydra itu…..
Aku memang pernah memikirkan itu semua.
Tetapi, kalimat : ”Yahh, mau bagaimana lagi…” terngiang begitu kuat di benakku, seolah-olah
menjadi pembenaran atas semua kegagalanku.
Di dunia ini, aku tidak cocok untuk menjadi seorang petarung.
Aku tidak memiliki Touki, dan tidak pernah tahu bagaimana cara memakainya.
Aku tidak akan pernah menjadi Swordman yang baik tanpa bisa menguasai Touki.
Lagipula, lawannya adalah seekor Hydra langka yang kebal sihir. Meskipun aku bisa
menggunakan sihir kelas Raja sekalipun, itu akan percuma saja.
Namun, aku benar-benar berpikir bahwa ada cara lain untuk mengalahkan monster itu ...
Tapi, bukan itu yang membuatku menyesal.
Paul sudah mati.
Tapi, karena pengorbanannya lah, sekarang aku bisa menghadapi masa laluku.
Meskipun aku menyusahkan semuanya, meskipun aku mengkhawatirkan semuanya, tapi pada
akhirnya, aku berhasil mencapai tujuanku untuk menyelamatkan Zenith.
Karena itulah, aku tidak menyesal.
Hanya bekas luka yang tersisa.
Benar, hanya bekas luka.
Perjalananku ke Benua Begaritto hanya meninggalkan bekas luka.
Tidak ada penyesalan.
Meskipun aku harus menyesal, lalu apa yang akan terjadi selanjutnya?
Jangan bilang…..
Hal buruk juga terjadi pada adik-adik perempuanku?
Ah tidak juga… kalau diingat-ingat apa yang dikatakan Hitogami…..
Dia menyebutkan sesuatu tentang Pursena dan Rinia.
Atau mungkin, ada hubungannya dengan mereka?
Atau, aku harus menghubungi mereka untuk meminta bantuan?
Atau mungkin, jangan-jangan…..

183
Hal buruk juga menghampiri Sylphy yang tengah hamil ...
Selain itu, apa lagi yang bisa kusesali?
Dengan kegelisahan seperti ini, kami tidak bisa mempercepat perjalanan.
Cuaca memburuk, salju turun lebih deras.
Semuanya baik-baik saja, tapi Zenith terlihat lelah, maka aku membuat pelana dengan sihir bumi,
kemudian menaikkannya ke sana.
Armadillo tampaknya menderita karena kedinginan, dan seolah-olah mereka bisa mati setiap saat.
Mungkin seharusnya aku meninggalkan mereka di padang pasir.
Tidak, sudah terlambat.
Setidaknya, sebelum mati mereka layak mendapatkan nama.
Jirou.
Namanya adalah Jirou.
Berusahalah sebaik mungkin, Jirou!
Lima hari kemudian, kami kembali ke jalur semula.
Mulai dari sini, butuh waktu 10 hari untuk kembali ke Sharia.
Kalau dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya, ini tidaklah panjang.
Tapi, seolah-olah aku merasakan bahwa ini akan menjadi perjalanan terpanjang, karena tak lama
lagi aku harus menyampaikan semua berita buruk dan aib ini pada keluargaku.
Bagian 4
Kami tiba di Kota Sihir Sharia.
Aku langsung menuju ke rumah.
Aku bisa merasakan gerakanku bertambah cepat.
"Hei, Senpai, ada apa? Wajahmu agak pucat, mungkin kamu harus menggunakan sedikit sihir
detoks?"
Gisu sedikit mengejekku, namun dia juga terlihat khawatir.
Tapi, aku mengabaikan dia sepenuhnya, dan terus melangkah maju.
"Oh, ini adalah pusat kota. Baiklah, ayo kita tinggal di sini, kalau terlalu banyak orang bertamu ke
rumah senpai, maka dia akan kerepotan…”
Aku sama sekali tidak mendengarkan apapun yang mereka omongkan di belakangku.
"Hei, Senpai ... Rudeus!"
Tanpa disadari, aku mulai berlari.
Meninggalkan semuanya di belakang, aku bergegas menuju rumah.

184
Aku tinggal di sini selama lebih dari setahun, dan aku berlari menelusuri jalan yang setiap hari
kulalui saat berjogging.
Aku benar-benar mengabaikan semuanya di sekelilingku.
Aku hampir oleng, namun aku terus berlari.
Apa boleh buat, keseimbangan tubuhku memburuk sekarang.
Tanpa tangan kiri, aku tidak bisa berjalan dengan benar.
Bahkan aku hampir jatuh terjerembab sebelum seseorang berusaha menopangku.
"Kenapa kau begitu buru-buru?"
Itu Elinalise.
"Tidak… hanya saja, ada sedikit hal yang harus segera kuselesaikan."
"... Apa itu? Tiba-tiba saja kau panik. Apa yang terjadi?"
"Ah, tidak, yahh. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seperti Sylphy berada dalam bahaya."
"Bahaya? Kok begitu?"
"Ah tidak…. sungguh, ini hanyalah firasatku."
Aku melepaskan diri dari Elinalise, kemudian terus melangkah maju.
Kegelisahan ini, aku harus membersihkannya sesegera mungkin.
Rumahku tepat di depan mataku.
Harusnya perut Sylphy sudah semakin membesar sekarang, jadi harusnya dia hanya berdiam diri
di rumah.
Bagaimana kalau dia sudah melahirkan, bukankah itu terlalu dini?
Kalau begitu, jangan-jangan……..
Oh sudahlah… semuanya pasti baik-baik saja.
Semuanya pasti baik-baik saja, aku hanya tidak ingin suatu hal yang buruk terjadi.
Di depan pintu rumahku.
Meskipun salju mulai menumpuk, tetapi semuanya terlihat sama seperti sebelumnya.
Ada pepohonan dan semak di halaman sekarang.
Apakah Aisha yang menanamnya?
Tampilan rumah memang terlihat lebih cantik.
Aku segera mengeluarkan kunci rumah dari tas.
Dengan tangan sedikit gemetaran, aku memasukkannya ke lubang kunci.
Kuncinya terasa dingin; tanganku gemetar.

185
Entah kenapa, pintunya tidak mau terbuka, dan kuncinya tidak bisa kuputar.
"Ugh"
Aku pun meletakkan tanganku pada kenop pintu yang terasa sedingin es.
"Sudah terbuka belum?"
Dari belakangku, aku mendengar Elinalise mengatakan itu. Aku mengabaikannya, dan terus
meraih kenop pintu.
Tiba-tiba, pintu itu terbuka dari dalam.
Lebih berhati-hatilah!!
Aku langsung berjalan masuk, kemudian kutatap orang yang membukakan pintu ini.
"O-Oni-sama!?"
"Aisha ... apakah semuanya baik-baik saja?"
"Apanya yang baik-baik saja?"
Dengan tercengang, Aisha menatap diriku dan Elinalise yang berdiri di belakangku.
Kemudian, dia juga tercengang melihat sosok lain di belakangku.
Saat kutoleh, kudapati Roxy sedang terengah-engah di sana.
Lalu, aku langsung meraih bahu Aisha.
Aisha merasakan ada yang aneh dengan sisi kiri tubuhku. Kemudian dia menatapnya dengan mata
terbelalak.
Dengan syok, dia melihat antara wajah dan tanganku.
"Eh, onii-sama… apa yang terjadi dengan lenganmu?"
"Kamu baik-baik saja, kan!!? Lalu bagaimana dengan Sylphy?"
"Eh? Eh ... Em, Sylphy-sama, dia ada di sini."
Tiba-tiba kulihat sosok di belakangnya. Itu adalah Sylphy yang menatapku dengan wajah
tercengang.
Perutnya membesar.
Ah, Oppai-nya juga membesar.
Kalau tidak salah, usia kandungannya sekarang adalah 7 – 8 bulan.
Tak lama lagi, dia akan segera menyusui.
Namun, dia terlihat baik-baik saja.
"Rudi ... A-ada apa ini?"
"Sylphy, kau baik-baik saja? Apakah terjadi sesuatu?"
"Eh? Em, semuanya baik-baik saja, karena Aisha telah bekerja keras membantuku."

186
Sylphy baik-baik saja.
Melihatnya sekilas saja, aku sudah bisa memastikan itu.
"Lalu, bagaimana dengan Norn? Cliff, Zanoba, dan yang lainnya… apakah mereka semua baik-
baik saja?"
"Eh? Baik-baik saja kok? Tidak ada yang aneh?"
"Tidak adakah yang sakit atau terluka?"
"Em, em, tidak ada kok..."
Sylphy terlihat kaget.
Aku benar-benar kehabisan ketenangan.
Ah, aku mengerti.
Aku.
Akhirnya aku mengerti… jadi, semua baik-baik saja.
"O-onii-sama ...?"
Saat aku mulai menenang, aku pun menyadari bahwa wajah Aisha terlihat lebih tinggi.
Dia sudah tumbuh besar rupanya.
Tidak… bukan begitu…
Wajahnya tampak lebih tinggi karena aku melihatnya dari bawah.
Eh… kenapa aku berada di bawah?
Ternyata… tanpa kusadari… aku sudah jatuh bersujud di lantai.
Seluruh kekuatan di dalam tubuhku terkuras.
Pada akhirnya… penyesalanku selama perjalanan ini hanyalah kematian Paul.
Dan juga, penyesalan lamaku karena tidak menghadiri pemakaman orang tuaku sebelumnya.
Aku terlalu memikirkannya.
"Aaaa..."
Setelah mengetahui ini, aku pun menarik napas lega.
"Untunglah."
Saat itu juga, Sylphy perlahan berjalan ke arahku, kemudian dia meletakkan tangannya pada
pundakku.
Aku merasakan hangat dari tangannya yang menyebar pada pundakku.
Dengan cepat dia berlutut, kemudian perlahan-lahan mengusapkan tangannya pada punggungku.
Aku menanggapi dengan melingkarkan lenganku pada punggungnya.

187
Dengan hanya satu tangan, aku kesulitan merangkulnya erat-erat, sehingga aku lebih banyak
menuangkan kekuatan pada tangan kananku agar mendekapnya lebih kencang.
Aku bisa mencium aroma tubuh Sylphy.
"Rudi ... selamat datang kembali di rumah."
Paul, Zenith.
Dan juga Roxy.
Ada begitu banyak hal yang harus kubicarakan.
Aku juga harus kembali ke alun-alun untuk menjemput yang lainnya.
Karena tadi aku meninggalkan mereka begitu saja, kemudian bergegas lari ke sini.
Aku hanya cemas.
Ternyata tidak ada yang terjadi… maka, santai saja.
Tapi pertama-tama, ada sesuatu yang perlu kukatakan.
"Aku pulang."
Aku pulang.

188
Bab 13
Laporan

Bagian 1
Seisi rumah jadi kebingungan dengan kedatanganku yang tiba-tiba.
Pertama, Aisha berlari ke sekolah untuk memanggil Norn.
Apakah dia sudah memahami situasinya dengan kedatangan Roxy? Apakah dia tidak bisa berdiam
diri di rumah dalam keadaan seperti ini? Ataukah karena aku memanggil Gisu kemari?
Tampaknya, Elinalise juga berencana untuk segera menemui Cliff, namun dia menundanya untuk
saat ini.
Sembari menunggu rekan-rekan yang lain menuju ke rumah kami, aku menanyai Sylphy tentang
perkembangan situasi selama aku tidak berada di rumah.
Sylphy tahu bahwa prioritasku saat ini adalah mendengarkan perekmbangan situasi di rumah. Dia
pun tidak banyak mengeluh, kemudian menceritakan semuanya.
Pertama-tama, kondisi Sylphy.
Semuanya tampaknya berjalan dengan baik.
Menurut apa yang dikatakan dokter, bayi di dalam kandungannya sedang mengalami
perkembangan yang baik sesuai prediksi.
Sepertinya semua temanku juga baik-baik saja.
Kemaren sempat ada beberapa insiden kecil di sekolah, namun Nanahoshi muncul secara tiba-tiba,
kemudian segera menyelesaikan masalah tersebut.
Tumben sekali Nanahoshi mau repot-repot menyelesaikan masalah yang tidak ada kaitannya
dengannya. Apakah pola pikirnya mengenai dunia ini sudah berubah?
Aisha dan Norn cukup rukun selama ini, tanpa pernah menyakiti satu sama lain.
Tampaknya Aisha telah mengembangkan minatnya pada hobi berkebun,
Sepertinya dia menanam tanaman jenis baru di ruangannya.
Perlu kah aku meluangkan waktu untuk melihat tanaman tersebut?
Di sekolah, nampaknya Norn sudah menjadi semacam idola.
Bahkan ada juga klub penggemarnya.
Norn kelihatan lebih imut sekarang.
Bahkan Zanoba, Cliff, Rinia, dan Pursena kadang-kadang mampir ke rumah untuk memeriksa
keadaan di sini.

189
Tampaknya Ariel mengungamkan keluhannya karena aku jarang singgah dan memberikan salam
padanya.
Ah, benar; tampaknya aku lupa untuk melakukannya.
Aku akan meminta maaf padanya ketika aku bertemu dengannya lagi.
Harusnya aku tidak merepotkannya lagi.
Setelah aku mendengar semua itu, aku pun menyimpulkan bahwa mereka baik-baik saja.
Dan kalau ada waktu, aku akan memberitahukan yang lain mengenai apa yang terjadi selama aku
melakukan perjalanan.
Namun, sepertinya Badigadi belum juga muncul.
Yah, kalau di sih abadi, jadi aku tidak begitu mengkhawatirkan hal buruk yang terjadi padanya.
Jadi, apa yang telah terjadi setengah tahun ini?
Sylphy-ku yang imut saat ini menaruhkan jari ke dagunya lalu memberikan jawaban atas
pertanyaanku.
"Benarkah, tidak ada kejadian yang penting, hah?"
"Memang, tidak ada suatu hal pun yang dapat membuat Rudi merasa gelisah."
"Aku mengerti."
"Lantas, mari kita membicarakan dirimu, Rudi. Apa yang telah terjadi padamu?"
"Ah, aku akan memberitahukannya. Namun, akan kulakukan ketika semuanya sudah berkumpul.
Ada alasannya."
"...Oke, aku bersyukur kamu telah kembali."
Kemudian, Roxy pun kembali bersama yang lainnya setelah kami selesai bercakap singkat.
Aku memanggil Gisu dan lainnya ke ruang tamu:
Gisu, Talhand, Lilia, Vera, Shera, Elinalise, dan Roxy.
Dengan Sylph dan diriku, bukankah sekarang totalnya menjadi sembilan orang?
Bahkan dengan orang sebanyak ini, ruangan ini masihlah luas untuk menampung lebih banyak.
"Oh, jadi ini ya istrinya Senpai? Dia imut sekali, bukan? Kau benar-benar beruntung Senpai."
"Dia juga adalah cucuku."
"Yah, tampaknya pelacur mesum ini kadang-kadang bisa juga menjadi permata yang bersinar."
"Apa katamu!?"
Kubolak-balikkan pandanganku ke arah Elinalise dan Gisu, kemudian mereka pun menyapa
Sylphy dengan sopan.
Sylph duduk tegak, lalu menjawabnya salam dengan formal.

190
"Senang bertemu denganmu, orang-orang menyebutku Roxy ... Migurdia."
"Roxy? Jadi kau adalah shisho-nya Rudi yang selalu ia banggakan, bukan?"
"Ya, semacam itulah ... aku sendiri tidak tahu apakah aku adalah orang yang cukup hebat seperti
yang selalu dibualkan Rudi."
"Bagaimana kabarmu? Aku selalu mendengar kisahmu dari Rudi, namaku Sylphiette. Sebuah
kehormatan dapat bertemu denganmu."
"A-aku juga ..."
Entah kenapa, Roxy membuat suasana jadi terasa canggung.
Meskipun aku telah membicarakannya beberapa hari yang lalu, hal ini tetap saja terjadi.
Namun, pembicaraan itu sudah lama berlalu.
"Sudah lama sekali tak jumpa. Sylphiette-sama."
"Lilia-san, ya... lama tak jumpa."
Lilia dengan hormat meluruskan badannya, kemudian membungkuk serendah-rendahnya pada
Sylphy.
Sylph tampaknya senang dengan reuni ini, senyum lebar pun merekah pada wajahnya.
Namun, senyum itu segera berubah menjadi raut wajah yang tegang.
"Um, caramu memanggilku Sylphiette-sama ... bisakah kau memanggilku Sylphy saja, seperti saat
itu."
"Aku tidak bisa melakukannya. Karena kau telah menjadi istrinya Rudeus-sama, jadi aku tak dapat
memanggilmu seperti dulu."
"J-jadi begitu ya ..."
Sekarang, Sylphy merasakan bahwa dia memiliki suatu tanggungan yang berbeda.
Mungkin karena ia sudah diajarkan untuk mengatur semua urusan rumah tangga dari Lilia.
Dengan kata lain, Lilia seperti shisho bagi Sylphy.
Sebagaimana layaknya Roxy bagiku.
Dengan begitu, normal baginya memberikan sebutan kehormatan saat memanggil namanya.
"Lalu, bibi Zenith… sudah lama juga kita tidak berjumpa."
Akhirnya,
Sylph mulai berbicara kepada Zenith.
"... um ... bibi Zenith?"
"..."
Zenith tampak mengabaikan perkataan yang diulang-ulang oleh Sylph.

191
"Umm ..."
Sylphy mulai melihat wajah-wajah gelisah yang muncul dari orang-orang di sekitarnya.
Sylphy pun penasaran, mengapa ibuku tidak menunjukkan tanda-tanda bahagia saat berjumpa
dengan istri putra tercintanya.
"Sylphy, mengenai ayah dan ibu ..., yah, akan kujelaskan setelah Norn kembali."
"Ah, benar juga. Aku belum melihat Paul."
Setelah menyebut namanya, Sylphy mulai melihat ke sekeliling untuk mencari Paul.
Namun, tampaknya dia mulai memahami sesuatu saat melihat wajah yang lainnya semakin suram.
Lalu dia menutup mulut, dan tetap diam.
Suasana jadi hening sampai menunggu Norn kembali.
Semua orang di sini memahami akan hal itu.
Bagian 3
Tak lama kemudian, Norn dan Aisha pun kembali.
Keduanya seperti kehabisan nafas sesampainya di sini.
"N-Nii-san, kalau telah menyelesaikan perjalanan yang panjang, terima kasih atas kerja kerasmu."
Norn, dengan napas yang masih terengah-engah, dia menundukkan kepalanya padaku.
Dan, saat ia melihat tanganku, wajahnya tampak terkejut.
"Nii-san, tanganmu, apakah kau baik-baik saja?"
"Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Meskipun ini membuatku tidak nyaman, aku tidak
merasakan sakit karenanya."
Kalau dibandingkan hal yang akan kubahas sebentar lagi, tanganku yang sudah buntung ini
hanyalah permasalahan sepele.
"B-baiklah kalau begitu…."
Norn, sembari masih bernafas dengan berat, dia mengamati ruangan ini dengan gelisah, lalu ia
bergumam "Hah?" sambil duduk di salah satu kursi.
Aisha langsung menawarkan sesuatu sebelum aku memulai pembicaraan ini.
" ... Onii-sama, sebelum kau memulai menjelaskannya, bukankah lebih jika aku menyediakan teh
bagi semua orang?"
"Ah, itu ide bagus, kuserahkan padamu, karena penjelasan ini butuh waktu yang lama."
"Ah, maaf. Harusnya aku yang melakukannya, bukan? Aku akan membantumu."
"Tidak, biar aku sendiri yang menyiapkannya, aku tidak ingin merepotkan Nyonya."
Setelah menanyakannya, Aisha mulai pergi.

192
Teh sedang dipersiapkan, barang bawaan semua orang telah dipindahkan pada satu tempat. Jubah
yang kebasahan karena salju mulai ditempatkan pada hangar, semua orang diberikan sandal rumah
untuk menggantikan sepatu mereka, dan sepatu yang basah diletakkan di samping perapian.
Tanpa alasan jelas, aku menatap tingkah Aisha dengan penuh perhatian.
Tapi, bukan aku saja yang memperhatikannya.
Lilia juga terpaku menatapnya.
Kalau dipikir-pikir lagi, sifat pekerja keras Aisha memang begitu mirip dengan Lilia. Pada saat
pengeksplorasian dungeon pun, Lilia bekerja begitu keras di balik layar.
Sedangkan Norn hanya berdiam diri, saat semuanya membisu.
Ini adalah suatu pemandangan yang langka.
"Aisha."
Lilia memanggil putrinya saat dia sedang menunggu air mendidih.
"Ya, ada apa, ibu?"
"Tampaknya kau telah bekerja dengan baik sehingga tidak merepotkan Rudeus-sama.”
"Ya."
"Meskipun kamu kebetulan memiliki hubungan darah dengan Rudeus-sama, tapi jangan pernah
lupa kalau dia adalah penyokong hidupmu. Jadi, mulai saat ini, jangan pernah lalai, dan penuhi
tugasmu sebagai pembantu rumah tangga."
"Baik, ibu."
Tanggapan Aisha sungguh tegas, dan Lilia memang profesional.
Itu bukanlah percakapan yang wajar antara orang tua dengan anaknya.
Mungkin juga, ini terjadi karena mereka sudah lama tidak bertemu.
Meski begitu, kurasa lebih baik mereka saling berbicara dengan lebih akrab.
Yah, mungkin sekarang, Lilia mencoba bertindak lebih bijaksana.
Karena sekarang, aku harus menjelaskan sesuatu yang sulit:
"Sekarang semuanya sudah berada di sini, aku akan mulai berbicara."
Meskipun aku enggan melakukan ini, tapi tidak ada pilihan lain.
Karena, tak seorang pun bisa menutupi fakta bahwa Paul tidak berada di sini.
"Umm, Nii-san, ayah masih belum datang……..."
Aku tak bisa membayangkan, seburuk apakah kemarahan Norn nanti.
Dia memohon kepadaku agar membantu ayah, dan kukatakan padanya untuk menyerahkan
semuanya padaku.

193
Kemudian…dia akan mendengar kematian ayah tercintanya dari mulut seorang pria yang telah
berjanji mengatasi semuanya.
Aku penasaran, apakah dia akan menyalahkanku?
Jika kau ingin menyalahkan seseorang, maka tak apa jika kau salahkan diriku.
Karena bagaimanapun juga, aku tak dapat memenuhi permintaan Norn.
Kutatap semua orang, kemudian aku mulai berbicara.
"Ayah kita ... Paul Greyrat telah meninggal."
"Ehh...?"
Norn menyuarakan kebingungannya dengan pelan.
Sylphy coba menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tampak menderita.
Mata Aisha terbuka lebar, dan ia mengepalkan tangannya dengan erat.
"Ini adalah barang warisan darinya."
Saat kukatakan itu, kutaruhkan satu persatu perlengkapan milik Paul di atas meja.
Pedang pendek, pedang kebanggaannya, armor, dan guci berisikan abu jenazahnya.
Disana, terdapat empat barang peninggalan dari orang yang telah wafat.
"... K, kenapa!?"
Norn berdiri dan mendekatiku.
"Padahal kau sudah pergi ke sana untuk membantunya!! Tapi kenapa ayah meninggal!!??"
"Maafkan aku ... aku belum cukup kuat."
"Tapi, Nii-san."
Norn, terus menekanku, bahkan dia dan ingin meraih kerah bajuku.
Namun, tampaknya dia mengurungkan niatnya itu.
"..."
Dia melihat tangan kiriku yang sudah buntung.
Dia melihat bolak-balik antara tangan kiriku yang buntung, senjata warisan Paul, dan juga
wajahku.
Hampir seketika itu, air mulai menggenang di kelopak matanya.
Walaupun merasa bersalah, kulanjutkan perkataanku.
"Baiklah, sekarang, akan kujelaskan detilnya."
"...*hiks* ... O-oke."
Dari belakang, Aisha menaruhkan tangannya pada bahu Norn.

194
"Cup…cup, Norn-nee."
"Aku baik-baik saja!! Aku sudah mengerti apa yang terjadi!!"
Norn menampik tangan Aisha dari bahunya, lalu kembali duduk di kursinya.
Aisha tetap diam, kemudian dia berjalan ke belakang Sylphy.
"Sekarang… dari mana ya aku harus memulai penjelasannya…" Aku memberikan ringkasan
penjelasan untuk setiap peristiwa yang terjadi.
Aku menuju Lapan bersama Elinalise, kemudian bertemu Paul di sana.
Kami hanya mengandalkan kabar burung untuk mencari posisi Zenith, kemudian membersihkan
dungeon teleport bersama Paul dan kelompoknya.
Kami mampu mengatasi monster-monster pada dungeon itu sampai lantai terakhir, kemudian
menghadapi lawan tangguh di dasar dungeon. Saat menghadapi lawan itu, aku kehilangan tangan
kiriku, dan Paul pun kehilangan nyawanya.
Meskipun kami berhasil menyelamatkan Zenith, namun seolah-olah dia seperti tidak bernyawa.
Akhirnya, Norn mendengarkan semuanya.
"Kalau begitu, ayah dan ibu sama-sama tak terselamatkan dengan sempurna?"
"Kukhawatirkan begitu."
Sembari kukatakan itu, aku mengangguk perlahan.
Norn tampak begitu emosional.
Namun, dia tidak marah.
Dia hanya menatap tangan kiriku sambil menggigit bagian bawah bibirnya.
"Apakah Nii-san, sudah mencoba yang terbaik?"
"Aku yakin kalau aku telah memberikan semuanya."
"Kemudian… meskipun Nii-san telah mencoba sebaik mungkin, tapi semuanya tetap saja berakhir
seburuk ini…. dengan kata lain, tidak peduli siapa pun yang pergi ..."
Norn mencoba mengatakan sesuatu yang dapat membuatnya kembali tenang.
Namun, dia tak lagi kuasa membendung air matanya.
"Tapi, bagaimanapun juga ... kematian ayah, tidak bisa kuterima ... *hiks* ... Wa ...
WAAaaaaaaaaaa""
Kemudian dia tersungkur di lantai, dan air matanya tumpah layaknya hujan. Dia tidak mungkin
lebih lama lagi menahan tangisan itu.
Dia menangis.
Norn menangis.
Dia menangis dengan keras.

195
Itu adalah tangisan yang membuat miris siapapun yang melihatnya.
Itu adalah tangisan yang merupakan pelampiasan dari semua rasa sakit di dadanya.
Norn menangis hebat.
Menangis dan terus menangis.
Menangis dengan "Waah-waah."
Kami semua juga berduka, namun kami tidak bisa menangis selepas Norn.
Kami pun terus mendengarkan suara tangisan menyayat hati dari Norn.
Dia menangis cukup lama.
Tapi pada akhirnya, Norn menyudahi tangisannya.
Matanya merah bengkak, dan tenggorokannya masih mengeluarkan suara. "Hik, hik."
Tapi kemudian, dia berbalik ke arahku, dan menatapku dengan mata penuh tekad.
"Nii-san."
"Ya?"
"Ini, pedang milik ayah, bolehkah ... *hiks*, bolehkah aku memilikinya?"
Norn menunjuk pedang kesayangan Paul.
Itu adalah pedang yang sudah dimilikinya, bahkan semenjak aku belum lahir.
Paul sudah memilikinya untuk waktu yang sangat lama.
Dia pun tidak pernah berpisah dengan pedang ini.
"Ah, benar juga. Kau harus menyimpannya baik-baik, dan gunakan hanya ketika kau
membutuhkannya." [21]
"...?"
Kata-kata itu… bukankah Paul juga mengatakan hal yang sama saat memberiku hadiah pedang
pada hari ulang tahunku yang kelima?
"Kau tidak boleh sok kuat, hanya karena memiliki sebilah pedang."
Waktu itu, Paul memberikanku sebilah pedang kayu, dan mengatakan hal yang serupa.
"Meng ... erti."
Setelah kukatakan itu, dia merangkul pedang itu dengan erat pada dadanya.
Kupercaya kalau ia adalah anak yang kuat.
Dalam situasi seperti ini, tidaklah aneh jika ia mengurung dirinya dalam kamar, dan menangis
sepanjang hari.
Namun dia tidak melakukan itu. Dia menghadapi kematian Paul dengan tegar.
Tidak sepertiku, sampai akhirnya Roxy menolongku untuk kembali bangkit.

196
Sungguh, dia adalah anak yang kuat.
Barang-barang warisan lainnya akan dibagikan pada anggota keluarga yang lain.
Aisha mendapatkan pedang pendek, dan aku mendapatkan armor pelat pelindung dada.
Lalu, aku akan menguburkan guci berisikan abu ini.
Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba Zenith dengan lunglai bergerak ke meja, dan mengambil armor
tersebut.
"Ibu?"
"..."
Meskipun aku memanggilnya, Zenith tidak mengatakan apa-apa.
Dia masih lumpuh, seperti sebelumnya.
Namun, gerakan yang dia buat seolah-olah menyatakan bahwa dia memahami situasi yang tersaji
di depannya.
Apakah ini suatu kebetulan?
Tidak. Kurasa, kewarasan Zenith masih utuh jauh di dalam dirinya.
Aku tidak masalah, meskipun aku tidak mendapatkan cinderamata.
Karena aku sudah mendapatkan banyak hal dari Paul.
Bagian 3
"Sekarang, kita akan membicarakan persoalan ibu."
Aku menjelaskan kondisi Zenith sekali lagi.
Bagaimana ingatannya yang hilang, dan bagaimana kepribadiannya juga hilang, sehingga dia tidak
lagi bisa disebut “Zenith”.
"Apa dia dapat disembuhkan?"
Aku menggelengkan kepala pada pertanyaan Sylph.
"Aku tak ahu."
Untuk saat ini, niatku adalah mendapatkan seorang dokter yang memiliki kemampuan
menyembuhkan penyakit yang diderita Zenith.
Meski aku belum pernah mendengar sihir yang dapat menyembuhkan hilang ingatan.
Meskipun begitu, aku bahkan tidak tahu harus mulai mencari dari mana.
Kehilangan ingatan karena terkurung di dalam kristal sihir.
Bukankah itu seperti penyakit kekurangan oksigen?
Karena itu bukanlah hal yang bisa kudeskripsikan, maka kupikir kemungkinan disembuhkannya
penyakit itu juga rendah.

197
Di dunia ini, jika kau menderita kerusakan pada otakmu, maka tidak ada teknologi medis yang
dapat menyembuhkannya.
Paling tidak, itu bukanlah suatu penyakit yang bisa disembuhkan oleh sihir tingkat lanjut.
Di Manga, hilang ingatan bisa disembuhkan dengan memberikan kejutan yang tiba-tiba, namun
aku lebih memilih untuk tidak mempraktekkan itu pada Zenith.
Tapi, apakah kita benar-benar harus menyembuhkannya?
Paul mati karena ingin menyelamatkan Zenith.
Kalau mendengar itu, Zenith mungkin akan menyalahkan dirinya sendiri.
Dengan kata lain, mungkin saja hidupnya akan lebih baik jika dia tidak pernah mendengar kabar
menyakitkan itu.
... Ah tidak… itu adalah cara berpikir yang konyol.
Harus ada upaya untuk memulihkan ingatannya.
"Bagaimanapun, kita perlu mencari pengobatan dan perawatan untuk ibu."
Perawatan.
Misalkan, orang tuaku dalam kehidupan sebelumnya tidak meninggal, kemudian menjadi tua dan
terbaring di tempat tidur. Apakah itu berarti aku harus merawat mereka tiap hari?
"Aku ingin ibu tinggal di rumah ini bersama kita."
Supaya tidak mengganggu aktivitas sehari-hariku, Lilia mengusulkan agar kami menyewa kamar
di rumah orang lain.
Karena ada emas yang diperoleh dari penakhlukan dungeon teleport, aku bisa hidup dengan
nyaman, setidaknya selama 10 tahun di kota ini.
Namun, aku menolak usulan itu.
Aku tidak bisa membiarkan hal itu.
Meskipun Paul sudah berada di akherat, aku yakin dia juga tidak akan menyetujui usulan itu.
"Meskipun aku akan menyerahkan sebagian besar urusan ini pada Lilia-san, semua orang di sini
harus dapat memberikan bantuan, walaupun agak merepotkan."
"Aku mengerti, akan kucoba yang terbaik."
Sylphy juga menyetujuinya dengan ikhlas.
Sepertinya tidak ada yang keberatan.
Meskipun ada orang yang keberatan, aku akan memaksakan keputusan ini.
Bagaimanapun juga, Paul mati karena melindungi Zenith, dan aku ingin meneruskan tekad kuatnya
itu.
Apa arti sebenarnya di balik kata-kata itu? Bahkan sampai sekarang pun, aku belum dapat
menemukan petunjuknya.

198
Karena Paul mati, maka akulah satu-satunya yang akan melindungi Zenith.
Yah, meskipun kami harus merawatnya, bukan berarti Zenith menderita penyakit Alzheimer. [22]
Dia hanya terlihat bagaikan cangkang yang kosong, namun tubuhnya masih sehat wal’afiat.
Kalau Lilia memberikan perawatan secara konstan, semuanya pasti akan baik-baik saja.
Namun, agar itu terwujud, kita harus mengatur beberapa hal terlebih dahulu.
"Umm, kalau begitu berarti, ibu juga akan tinggal di sini?" Aisha tampak kecewa saat mengajukan
pertanyaan itu.
Atau lebih tepatnya, dia tampak kebingungan dan khawatir.
"Ya, Aisha. Tampaknya untuk beberapa saat, aku harus hidup serumah dengan Rudeus-sama."
Apakah Aisha mempermasalahkan itu? Kenapa dia tampak enggan ketika tahu bahwa ibunya akan
tinggal serumah dengannya?
Karena Lilia adalah ibu yang disiplin dalam mendidik anaknya.
Sepertinya Aisha menghabiskan hari-harinya dengan bahagia saat ibunya tidak di sini.
Tapi, kalau Aisha merasakan ketidakpuasan atas keputusan ini, mungkin itu tidak baik.
Sepertinya Aisha akan marah padaku karena aku lah yang mengambil keputusan ini.
"Lalu, bukankah kita harus membagi pekerjaan ...?"
"Itu akan dibicarakan nanti. Aku juga ingin mendapatkan tanggungan merawat Zenith, dan aku
juga bersedia membereskan pekerjaan lainnya yang menumpuk."
"... Mengerti."
Aisha tidak lagi menyuarakan ketidakpuasannya.
Mungkin dia sungkan berterus terang ketika berada di dekat ibunya?
Suaranya berat dan wajahnya muram.
Melihat Aisha seperti itu, Norn pun angkat bicara.
"Aisha-nee."
Norn meletakkan tangannya pada bahu Aisha, kemudian dia membisikkan sesuatu.
"Nyatakan saja perasaanmu, jangan pernah sungkan… kita kan keluarga?"
Setelah mendengar perkataan itu, Aisha menoleh ke arahku, Lilia dan Norn.
Lilia juga menatapku.
Aku tidak tahu apa yang dia inginkan dariku.
Namun, saat itu pun, aku mengganguk.
Lalu, Aisha berdiri tegap, kemudian melompat dan memeluk Lilia.
"I, Ibu! ... Syukurlah kau tidak terluka dan selamat!"

199
Aisha membenamkan wajahnya pada perut Lilia, dan mulai menangis.
Dengan eskpresi wajah lembut, Lilia mengelus kepala putrinya.
Aku mengerti.
Tentu saja, seperti itu.
Tentu saja, Aisha juga memiliki perasaan yang rumit.
Dia pasti juga mendoakan keselamatan Paul dan Zenith.
Namun, tentu saja doanya untuk keselamatan Lilia lebih sering dia panjatkan.
Karena Lilia adalah ibu kandungnya.
Dan Lilia berhasil kembali dengan selamat tanpa kekurangan satu hal pun.
Tentu saja, ini bukanlah keadaan dimana dia harus menyembunyikan rasa senangnya itu.
Tolong maafkan pria ini yang telah meragukan hal itu.
Bagian 4
Setelah itu, kami membicarakan rincian lainnya, kemudian mengakhiri laporan ini dengan suatu
kesimpulan.
Kemudian, Gisu membicarakan alokasi keuangan.
Semua yang terlibat dalam misi ini layak mendapatkan jatah finansial. Namun itu tidak cukup
untuk menghibur semuanya.
"Nah, kalau begitu, kita harus memesan sebuah hotel sekarang."
Pada saat laporan telah berakhir, Gisu berdiri.
Semuanya ikutan berdiri, seperti Vera, Shera, dan juga Talhand.
Aku mencoba menahan mereka agar tidak buru-buru pamit.
"Tidakkah lebih baik kalian menginap di sini sehari saja?"
"Eh, Senpai? Bukankah kau akan kerepotan jika kami menginap di sini, lagian…. Aku tidak begitu
peka saat membuat keributan di rumah orang."
Gisu menjelaskan bahwa para petualang cenderung seenaknya sendiri saat tinggal di suatu tempat,
dan itu pasti merepotkan bagi keluarga seperti kami. Lantas, mereka pun mengemasi barang
bawaannya masing-masing.
Mereka juga memakai sepatu dan jubah yang belum selesai dikeringkan
"..."
Kalau begitu, setidaknya aku harus mengantar kepergian mereka.
Aku pun memanggil mereka saat hendak keluar dari rumahku.
"Semuanya. Selama ini kalian telah membantu ayahku, aku sungguh-sungguh berterimakasih atas
apapun yang sudah kalian berikan padanya!!”

200
Aku membungkuk serendah-rendahnya pada Vera dan Shera.
Mereka berdua telah membantu Paul sejak di Milishion. Meskipun, aku tidak memiliki terlalu
banyak percakapan dengan mereka, mereka telah memainkan peran pendukung yang penting saat
mengeksplorasi dungeon teleport.
Peran di balik layar.
Selalu saja orang-orang penting yang memainkan peran seperti itu.
"Jangan bilang begitu, justru kami yang harus minta maaf karena tidak bisa lebih berguna lagi."
"Saat kau telah menemukan tempat yang cocok untuk kuburan Kapten Paul, jangan lupa
memberitahuku nanti!"
Jawaban dari mereka berdua sangatlah singkat.
Aku penasaran, bagaimanakah pandangan mereka berdua terhadap Paul.
Meskipun kelompok pencarian Fedoa sudah dibubarkan, mereka masih setia mengikuti Paul ke
Benua Begaritto.
Mungkin, ada semacam hubungan spesial antara mereka dan Paul.
Meskipun ada suatu hal yang membuat mereka begitu menyayangi Paul, itu tidak ada
hubungannya denganku.
"Untuk kedepannya, apa rencana kalian?"
"Ketika musim dingin berakhir, kami akan pergi ke kerajaan Asura. Di sana terdapat orang-orang
dari grup pencari yang pernah membantu. Kami harus membayar mereka."
"Jadi begitu, baiklah jagalah diri kalian baik-baik!"
"Oh iya… Rudeus-san, jika kau menghadapi kesulitan lagi, bertahanlah dan teruslah berusaha."
Sekali lagi aku membungkukkan kepala serendah-rendahnya pada mereka berdua, kemudian sosok
mereka mulai menjauh dan lenyap di antara tumpukan salju.
Grup pencari Fedoa.
Sekarang aku ingat, keluarga Zenith pernah membantu kelompok itu dengan memberikan sedikit
uang.
Zenith aman ... namun, sebaiknya aku melaporkan kondisinya sekarang pada keluarganya di Milis.
Tapi, bahkan jika aku mengirim banyak surat, kutaktahu kapan dan apakah surat-surat tersebut
akan sampai pada keluarganya.
Sembari berpikir, Gisu pun menepuk bahuku.
"Sampai jumpa, Senpai."
"Gisu-san, Talhand-san."
"Ada apa? Ah, jangan pasang wajah seperti itu dong."
"... kalian berdua, apa rencana kalian ke depannya?"

201
"Kami juga ikut ke kerajaan Asura. Kami ingin menukarkan uang dari Begaritto dan dari hasil
penjualan benda-benda sihir.”
"Apa kamu berencana menukarkanya semuanya?"
"Sepertinya begitu… lagian, ada beberapa benda yang ingin kubeli. "
Aku juga memiliki sisa-sisa benda sihir.
Namun, aku ingin melakukan beberapa penelitian tentang efek yang dimiliki barang-barang ini.
Salah satunya adalah belati yang cocok untuk menggantikan Tantou milik Paul.
Namun saat ini aku tidak tahu apakah kegunaan barang-barang ini, jadi aku simpan saja di gudang
bawah tanah.
Kalau kebetulan aku perlu menjualnya, itu tidak masalah.
Benda-benda sihir dengan efek yang menakjubkan bisa berharga begitu tinggi di pasaran.
Namun, beda lagi untuk batu yang bisa menyerap sihir. Batu inilah yang melapisi sisik Hydra sang
penjaga dungeon.
Jika memungkinkan, dan kalau aku punya waktu luang, aku ingin mempelajarinya secara
mendetail.
Sehingga, jika aku berhadapan lagi dengan lawan yang memiliki kemampuan serupa, aku bisa
menemukan cara untuk mengatasinya, dan aku tidak lagi diam tanpa bisa melakukan apapun.
"Jika senpai mau, aku bisa menjualkan beberapa barangmu ke Asura? Kalau dijual di sana,
harganya bisa lebih tinggi, itu pun kalau senpai mengijinkan."
Di kerajaan Asura, harga barang sangatlah tinggi, dan uang dari kerajaan Asura memiliki nilai
yang besar saat dibelanjakan di Benua Tengah.
Jika kau ingin menjual benda, akan lebih baik jika kau menjualnya di kerajaan Asura.
"Jadi, apakah kau juga berencana melarikan diri setelah kalah dari berjudi dengan mempertaruhkan
semua uangmu itu?”
"Oh, tungg…. tidak, apa? Apakah Senpai berpikir aku akan menghabiskan uangmu untuk
berjudi?”
Gisu coba membantahnya, tapi sorot matanya mengatakan yang sebaliknya.
Jika ia mengambil barang dariku, dia mungkin bermaksud menggunakan uang hasil penjualan
barang-barang tersebut untuk berjudi.
Yah, aku sih tidak terlalu mempermasalahkannya, karena bagaimanapun juga aku masih berhutang
budi pada Gisu.
Tanpanya, kami tak akan pernah bisa menjelajah Dungeon Teleportasi.
"Aku hanya bercanda."
"Yah, jadi aku tampak seperti seorang penjudi, ya?"

202
Sembari berkata begitu, dia pun tertawa seakan tidak percaya.
"Lalu, setelah itu?"
"Kembali bertualang. Namun, tidak banyak yang ingin kami lakukan."
"Begitu ya."
"Baiklah, kalau begitu aku akan berada di sini hingga musim dingin usai, dan menghabiskan
waktuku dengan meminum Sake. Senpai belum melupakan janjimu, untuk memperkenalkanku
dengan seekor monyet betina yang cantik, kan? Senpai sudah menikah dan memiliki anak, maka
tidak sulit bagimu mencari wanita-wanita cantik lainnya, kan? Heh heh heh."
Yeah, saat ini Gisu belum berencana untuk pergi.
Namun, yang kutahu adalah, pria bernama Gisu ini tidak pernah memberikan salam ketika hendak
pergi. Dia adalah tipe pria yang suka menghilang dengan mendadak.
Jadi, aku harus berterimakasih sebaik-baiknya padanya sekarang, sebelum kesempatan itu lenyap.
"Gisu-san."
"Senpai, panggilan itu benar-benar terdengar aneh di telingaku, lho? Bagaimana jika kau
mengatakan, ‘Hai, kouhai’, seperti biasanya."
"... Mengapa kau begitu antusias menjadi juniorku?"
Saat aku mengatakannya, Gisu tertawa keras.
"Kalau tidak begitu, aku bisa kena apes!"
Apes.
Meskipun kata-kata itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai alasan, namun jantungku masih saja
berdebar kencang saat mendengarnya.
Yah, kalau dia punya kepercayaan seperti itu, apa boleh buat.
"Bagaimanapun juga, aku berterimakasih sebesar-besarnya pada kalian berdua yang selalu
menolongku bahkan sampai saat ini.”
"Tidak masalah. Kalau begitu, semoga sehat selalu, Senpai."
Sembari membungkuk, Gisu mulai berjalan menjauh, sambil melambaikan tangannya.
"Hmm, kau tahu, kau tidak akan pernah bisa berterimakasih dengan layak pada teman-teman
akrabmu. Bukan hanya Paul yang mengatakan pepatah itu. Artinya, kau tidak perlu banyak-banyak
berterimakasih pada rekan-rekanmu.”
Talhand mengatakan itu sambil menggerakkan tubuhnya yang berat, kemudian dia berjalan di
samping Gisu.
Aku terus melihat kepergian mereka, sampai sosok mereka lenyap di antara putihnya salju.
"Semua pria ingin berlagak keren, ya?"
Mendadak, aku melihat Elinalise yang muncul di sebelahku.

203
Sementara aku mengantar kepergian mereka, tampaknya Sylphy sedikit berbicang dengan
Elinalise.
Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan?
Apakah tentang topik itu? Aku sudah bilang pada Elinalise bahwa aku akan membicarakan
semuanya dengan Sylphy secara baik-baik.
Karena Elinalise juga tahu detailnya, mungkin dia sedikit membahas dasar permasalahan itu
dengan Sylphy, agar dia tidak terlalu terkejut ketika mendengarnya dariku.
Jujur saja, aku berterimakasih atas kepedulian Elinalise, tapi aku lebih suka dia tidak melakukan
itu.
"Kalau begitu, aku akan pergi ke tempat Cliff, aku sudah gak kuat lagi."
Elinalise mengisyaratkan sesuati sembari menepuk sempak ajaibnya.
Sepertinya, aku juga telah banyak merepotkan dia.
Sekarang, setidaknya Elinalise mempunyai hubungan yang dalam dengan tiga orang yang kukenal,
yaitu Cliff, Sylphy, dan Roxy.
Seperti biasanya, dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa aku tidak perlu memikirkannya terlalu
keras, namun aku tidak akan pernah menyepelekan apapun yang dia katakan.
"Kau jaga, Elinalise-san…. aku sangat berterima kasih atas semua kebaikanmu padaku."
Dia memberikan tatapan pahit padaku saat aku mengatakan itu.
" ... aku juga minta maaf atas apa yang terjadi pada Paul."
"Tidak, harusnya akulah yang disalahkan."
Itu adalah kesalahanku, dan juga kecerobohanku.
Namun, Elinalise masih meneruskan omongannya.
"Tapi, peranku adalah sebagai perisai tim yang mencegah semua rekanku celaka. Jadi, aku juga
perlu disalahkan atas kematian Paul.”
Namun, tidak mungkin dia bisa menahan serangan itu, dan semuanya juga sudah berjuang mati-
matian di posisinya masing-masing.
Itu adalah serangan pamungkas Hydra di saat dia terdesak, tak seorang pun bisa menahan serangan
sebrutal itu dari jarak sedekat itu. Aku melihat gerakan anehnya dengan mata iblisku, namun aku
tak tahu apa artinya itu. Rencana sematang apapun tidak akan bisa menghindari takdir itu.
Setidaknya, bukan Elinalise saja yang menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Paul.
"Aku tidak akan pernah menyalahkanmu! Tak seorang pun pantas disalahkan!"
"Baiklah, tapi jangan pula kau menyalahkan dirimu sendiri."
" ... aku mengerti."
"Kalau begitu, aku pergi dulu."

204
Elinalise mengatakan itu, kemudian sosoknya perlahan-lahan menghilang di antara putihnya salju.
Dia pun akan melaporkan semuanya pada Cliff.
"... Whew."
Aku mendesah panjang, napas putihku memudar ke dalam salju.
Nah, sekarang.
Dengan begini, rasanya kasus panjang bencana metastasis sudah berakhir.
Semua keluarga yang hilang telah ditemukan.
Masih banyak korban lainnya yang belum ditemukan, tapi aku tidak lagi memiliki kewajiban untuk
mencari mereka.
Semuanya sudah selesai bagiku.
Ini adalah bencana yang panjang dan menyakitkan, pada akhirnya hanya kepahitan yang tersisa.
Namun, dari sinilah semuanya dimulai, sekarang saatnya bagiku untuk melangkah maju, dan
melupakan apapun yang telah terjadi sebelumnya.
Ada banyak hal di dunia ini yang belum aku kerjakan.
Ada banyak hal yang perlu aku perhatikan.
"Rudi, apakah semua sudah pulang?"
Aku melihat di sekeliling, dan mendapati Roxy berdiri di belakangku.
"Aku ingin berbicara sedikit dengan mereka juga."
"Mereka masih berada di kota ini kok, kalau kau ada waktu, carilah mereka di sekitar sini."
"Benar juga."
Roxy tidak pergi.
Dia sendiri akan tinggal di sini.
Padahal pada diskusi selanjutnya, akan ditentukan apakah dia tinggal hotel terdekat, atau di rumah
ini.
"Baiklah, Roxy."
"Ya, Rudeus."
"Mari masuk ke dalam ..."
Aku pun kembali ke dalam rumah.
Yang menemaniku adalah Roxy dengan tubuh mungilnya.

205
Bab 14
Neraka [23]

Bagian 1
Lima orang yang tersisa di ruangan ini. Mereka adalah Sylphy, Norn, Aisha, Roxy, dan aku. Dan
juga, Jirou, si Armadilo, dia dengan nyaman tidur di depan perapian. Tapi tak apa jika aku tidak
menghitungnya.
Lilia dan Zenith sedang mandi. Sebelum mereka pergi, Lilia bertanya padaku ‘Apakah akan baik-
baik saja?’ lantas aku membalasnya dengan anggukan. Aku ingin menyelesaikan diskusi ini tanpa
bantuan Lilia.
Norn tidak kembali ke kamarnya, dia masih bersama kami di sini. Namun, dia masih terisak-isak,
sepertinya dia masih kesulitan menerima kenyataan ini. Karena dulunya dia begitu dekat dengan
Paul, maka dia lebih terpukul daripada yang lainnya.
"Sekarang, ada satu topik terakhir."
Ketika aku mengatakannya, mereka bertiga pun berdiri dari kursinya.
Aku bertukar pandangan dengan Roxy. Tanpa mengatakan apa-apa, Roxy bergerak ke sisiku.
"..."
Saat melihat perut buncit Sylphy, aku ragu memulai topik selanjutnya. Namun, ini adalah tanggung
jawabku. Suatu hari nanti, Roxy juga akan mengandung seperti Sylphy. Kalau misalnya Sylphy
langsung berkata tidak, maka Roxy harus melahirkan anaknya seorang diri. Itulah yang telah kami
sepakatkan sebelumnya. Bahwa, Roxy tidak akan menjadi istriku saat Sylphy tidak memberikan
izin poligami. Tentu saja aku akan memberikan Roxy uang dan dukungan.
"Aku berniat menerima Roxy di rumah ini, sebagai istri keduaku."
"... Eh?"
Orang yang mengatakan itu dengan penuh kebingungan bukanlah Sylphy, melainkan Norn. Dia
berdiri, kemudian menatap aku dan Roxy secara bergantian. Sedangkan Sylphy, dia hanya menatap
kosong tanpa berkata apapun.
"A-apa-apaan ini!?"
"Aku akan menjelaskannya hingga akhir."
Aku menjelaskan apa yang terjadi di benua Begaritto.
Mengenai kematian Paul, kemudian aku menjadi stress karenanya.
Mengenai Roxy yang menyelamatkanku dengan tubuhnya.
Mengenai rasa cintaku yang semakin dalam pada Roxy.

206
Mengenai betapa aku menghormatinya, dan memintanya agar menjadi salah satu dari keluarga
kami.
"Aku tidak pernah berniat selingkuh dari Sylphy, namun pada akhirnya, aku telah melanggar
janjiku untuk selalu setia padanya. Maafkan aku."
Aku pun bersujud. Meskipun lantai dilapisi karpet, namun musim dingin di utara benar-benar
parah, jadi lantainya pun ikutan dingin. Aku menekan kepalaku dalam-dalam ke lantai.
"Eh-, tungg-, Rudi."
Aku dapat mendengar suara gugup Sylphy.
"Aku mencintaimu, Sylphy. Tapi aku mungkin telah menghamili Roxy. Jadi, aku harus
bertanggung jawab atas dosaku itu."
"Ah, baiklah."
Semakin banyak alasan yang kuucapkan, semakin terdengar murahan semua alasanku itu.
Ketika aku melihat wajah Sylphy. Dia terlihat gelisah. Pikirannya mungkin sedang kacau. Itu bisa
dimengerti. Seseorang mengatakan bahwa dia mencintaimu, dan berjanji untuk tetap setia. Tapi,
kemudian dia kembali dengan membawa wanita lain. Dia bahkan kehilangan keluarga dan tangan
kirinya. Tetapi, fakta bahwa dia masih hidup, setidaknya perlu kau syukuri. Namun, tiba-tiba dia
ingin memperistri wanita lain yang dibawanya itu.
Kalau aku berada di posisinya, aku akan berteriak, membentak, dan mengutuknya.
Tapi aku akan menceritakan semuanya. Meskipun alasannya tidak masuk akal, aku akan berbicara
untuk memaksakan kehendakku.
"Sylphy. Tolong maafkan aku, dan pertimbangkanlah keputusanku tadi."
"Tidak mungkin kau dapat dimaafkan, bukan?"
Yang berbicara itu bukanlah Sylphy, melainkan Norn. Ia bergerak mendekatiku, kemudian meraih
kerah bajuku.
"Apakah kau tahu perasaan Sylph-nee saat ia menunggumu, Nii-san!?"
"..."
"Setiap hari, dia selalu saja mengatakan….
‘Aku berharap Rudy baik-baik saja’
‘Aku ingin melihat Rudi’
‘Aku berharap Rudi makan dengan benar’
apa kau tahu betapa malangnya wajah dan suara Sylph-nee saat mengatakan itu?"
Aku tidak tahu. Meskipun aku tak tahu, aku tak dapat membayangkannya. Wajah Sylphy saat
menungguku. Suara malang Sylphy. Paras Sylphy ketika saat ia duduk, sambil mengayunkan
kakinya dan menunggu kedatanganku.

207
"Kurasa, kematian ayah sudah menjadi takdir!!! Aku tahu kalian menghadapi lawan yang sulit,
buktinya adalah tanganmu yang buntung…jadi mau bagaimana lagi!!! Itulah kenapa aku tidak lagi
menyalahkanmu atas kematian ayah, Nii-san!!! Tapi… ternyata kau masih sempat meniduri
seorang wanita, bahkan membuatnya hamil!!!???"
"Bukannya ‘masih sempat’… sebenarnya aku tidak memiliki kesempatan untuk main wanita
seperti yang kau pikirkan. Namun, Roxy mengorbankan perasaannya sendiri untuk menolongku.”
"Jika Sylph-nee di sana, dia pasti akan memberikan tubuhnya untukmu!!!”
Itu benar sekali, Sylphy telah membantuku. Satu-satunya orang yang telah menyembuhkan
impotensi-ku adalah Sylphy.
Namun, Roxy juga telah menyelamatkanku. Dia menyukaiku, meskipun dia tahu aku sudah ada
yang punya. Dia mengabaikan semuanya untuk membantuku.
"Norn, harusnya kau bisa memahaminya, 'kan? Perasaan yang berkecamuk di hati ketika kau
mengunci diri di kamar, ketika tidak ada jalan keluar, dan ketika kau tidak sanggup melakukan
apapun. Dalam keadaan terpuruk seperti itu… tiba-tiba datang seseorang yang membantumu dan
membuatmu kembali bersemangat. Lalu, apakah kau bisa melupakan jasa orang tersebut begitu
saja?"
"Aku mengerti, aku mengerti!!! Aku berterima kasih padamu, Nii-san!!! Tapi itu masalah yang
berbeda!! Jika kau memiliki dua istri, Milis-sama tak akan memaafkanmu!!"
Aah, jadi begitu ya. Norn adalah penganut Milis, ya? Ah tidak, mungkin ini tidak ada hubungannya
dengan keyakinannya. Aku telah melakukan hal yang salah, kemudian memaksakan kehendakku.
"Lagian, kenapa kau harus bercinta dengan gadis kecil seperti dia!!?? Bukankah usianya sama
denganku!!??”
Norn melotot ke arah Roxy. Namun Roxy hanya menatap balik Norn dengan wajahnya yang tanpa
eskspresi seperti biasa. Roxy sedikit lebih tinggi daripada Norn, namun perbedaan tingginya tidak
sampai 10 cm. Dengan wajah datar, Roxy pun berkata.
"... Aku memang kecil, tapi aku sudah dewasa."
Aku tak tahu harus berkata apa. Saat ini, aku bahkan bisa mendengarkan suara detak jantung Roxy
yang berdegup kencang.
Tapi, tergantung bagaimana caramu menafsirkannya, balasan Roxy itu juga bisa dianggap sebagai
suatu hinaan. Ketika kau melihat seseorang yang jelas-jelas ukuran tubuhnya sama denganmu,
kemudian dia mengatakan ‘hey, aku lebih tua darimu, lho..’, maka tentu saja kau merasa terhina.
Norn pun semakin marah.
"Jika kau sudah dewasa, bukankah seharusnya kau tahu malu!!!???"
"..."
"Bagaimana bisa kau merusak rumah tangga orang seperti ini!!!??"
"Norn, kau sudah keterlaluan. Orang yang mengusulkannya untuk menjadi istri kedua adalah aku
sendiri. Roxy tidak melakukan kesalahan apapun, Roxy bahkan sempat berniat untuk menjauh dari
keluarga kita."

208
Aku menegur Norn dengan nada yang cukup tinggi. Namun, Norn tetap menyalahkan Roxy tanpa
melihat ke arahku.
"Diam lah, Nii-san!!! Kalau dia memang berniat menjauh dari keluarga kita, lantas mengapa dia
masih saja dekat-dekat denganmu!!!?? Pada akhirnya, dia hanya mengambil keuntungan dari kata-
katamu, Nii-san!!!"
Rasanya ingin sekali kutampar Norn sekarang juga, namun tentu saja aku tidak patut melakukan
hal sekasar itu. Kalau aku melakukannya, mungkin dia tidak lagi bersedia mendengarkan
perkataanku selamanya.
"..."
Menanggapi bentakan Norn, Roxy hanya terdiam beberapa saat. Dengan wajah datarnya yang
biasa, dia menundukkan kepalanya dan menghadap ke lantai. Akhirnya, dia pun mengangkat
wajahnya, dan membungkuk pada Norn.
"Kau benar, aku sungguh tidak tahu malu. Aku minta maaf."
Sembari mengatakan itu, Roxy bangkit dan berjalan menjauh secara perlahan. Dia mengambil
tasnya di sudut ruangan, mengenakan topinya, kemudian dia lekas pergi dari rumah ini. Aku tak
bisa menghentikannya, aku mengerti kenapa mereka menentangnya. Aku sudah mengira bahwa
mereka tidak akan menganggap ini sebagai suatu candaan, dan tidak akan menerimanya dengan
mudah. Namun, tentu saja aku punya sedikit keyakinan bahwa mereka akan menerima Roxy,
dengan bujukan dariku.
Tapi, ternyata aku terlalu naif. Aku mempertimbangkan situasi saat ini. Roxy telah dimaki berkali-
kali oleh Norn. Mungkin dia merasakan sakit yang lebih perih daripada tidur di kasur paku.
Mungkin, mulai saat ini dia akan menjalani hidup dengan status sebagai pelakor dan perusak
rumah tangga orang lain. Itulah kenapa, dia merasa tidak ada yang perlu dilakukan lagi di sini.
Kalau aku berada di posisinya, tentu saja aku akan segera angkat kaki dari rumah ini.
Aku tak dapat menghentikannya.
Aku tidak bisa menahannya.
Tapi, aku tidak boleh membiarkan Roxy pergi dengan menanggung semua rasa sakit ini.
Aku tidak menginginkan itu.
Aku harus membayar apa yang telah dia perbuat padaku.
Aku tidak membawanya ke sini untuk membuat batinnya semakin tersiksa.
Aku membawanya ke sini agar membuatnya bahagia.
Atau, mungkinkah ada hal lain yang bisa kulakukan?
Tidak… pikirkan dulu.
Apa yang harus kulakukan?
Apa yang harus aku lakukan agar Norn menerimanya?
Aku tak dapat memikirkan apa-apa.
209
Roxy sedang pergi.
Saat ini, aku harus menghentikannya.
Baiklah, meskipun aku harus menampar Norn, lantas ia membenciku selamanya….
"Tunggu!"
Bukan aku yang menyerukan itu. Ada seseorang di belakangku yang mengatakan itu.
"Roxy-san, mohon tunggu."
Sylphy lah yang mengatakan itu. Dia berdiri, mengejar Roxy, kemudian meraih tangannya. Roxy
berbalik, dan terlihat genangan air menumpuk di kelopak matanya.
"Kenapa kau menghentikannya, Sylph-nee!! Bukankah sebaiknya kita biarkan saja dia pergi!!??"
"Norn-chan, bisakah kau diam sejenak?"
"Eh?"
"Bicaramu tadi terlalu berlebihan, lho. Sejak awal, aku tidak pernah bilang bahwa aku menolaknya,
kan?"
Mendengar kata-kata Sylphy. Norn tak dapat berbicara dan langsung terdiam.
"Tolong duduklah kembali."
Sembari melirik Norn yang sedang terdiam, Sylphy mendudukkan Roxy di atas sofa. Roxy tidak
menolak dan melakukan apapun yang dimintanya. Sylphy juga duduk di sebelah Roxy.
"Meskipun keadaan menjadi cukup kacau... kau sudah menyelamatkan Rudi, bukankah begitu,
Roxy-san?"
Mendengarnya, Roxy pun mengangguk pelan.
"... ya, tapi aku memang mempunyai keinginan untuk menjadikan Rudi milikku, jadi aku harus
mengakui bahwa aku tidak sepenuhnya ikhlas membantunya."
"Mn..., Rudi memang keren, bukan? Malahan, kalau kau bilang ikhlas membantunya tanpa maksud
apapun, maka aku tidak akan mempercayai omonganmu itu.”
"..."
"Jika aku menjadi dirimu, Roxy-san. Kurasa, aku akan melakukan hal yang sama."
Sylphy menunjukkan ekspresi lembut di wajahnya, kemudian dia tersenyum pada Roxy. Wajah
Roxy menjadi kaku. Masih tersenyum, Sylphy pun melanjutkan omongannya.
"... kau tahu, sejujurnya, kupikir ini hanyalah masalah waktu."
"Umm, maaf, apa kau bilang tadi?"
"Suatu hari nanti, aku yakin bahwa Rudi pasti akan pulang sembari membawa wanita lain."
Aku, membawa wanita lain hanyalah masalah waktu?
...Mn?

210
...Hah???
Mungkinkah, dia tidak pernah mempercayai kesetiaanku??
"Maksudku, lihatlah…. Rudi itu mesum, `kan? Itulah kenapa, aku selalu berpikir kalau Rudi tidak
bisa melakukan itu denganku, maka dia pasti akan segera mencari wanita lain. Namun, Rudi adalah
orang yang tulus, setelah dia meniduri seorang wanita, dia pasti akan bertanggung jawab dengan
menikahinya… dan itu jugalah yang terjadi padaku. Aku pun tidak yakin bisa selamanya memiliki
Rudi seorang diri."
Aku ingin berbicara. Tapi, seperti yang dia katakan…. Saat ini aku tidak punya hak untuk
mengatakan apapun, karena akulah tersangkanya.
"Sejujurnya, saat Rudi membawa pulang seorang wanita, aku membayangkan bahwa wanita itu
adalah Rinia, Pursena, atau bahkan Nanahoshi.”
"Aku belum pernah mendengar nama-nama itu, kecuali Nanahoshi-san."
"Mereka adalah teman-teman Rudi dari sekolah. Semuanya adalah wanita sexy dengan dada yang
besar."
Nanahoshi tidak terlalu sexy sih. Ah tidak… itu tidak penting sekarang.
"Jujur, karena cerita perjalanan kalian yang berat, dan juga meninggalnya Paul-san, aku jadi sedikit
kebingungan, tapi ... aku mengerti kok."
"Mengerti apa?"
"Semenjak kau memasuki rumah ini, kau terus saja melihat Rudi dengan cemas, aku pun bertanya-
tanya… ada apa dengan kalian. Awalnya kupikir kau gugup karena cerita mengenai kematian Paul-
san, tapi ... ternyata semuanya karena 'itu'."
“…..”
"Roxy-san, sorot matamu terlihat seperti seorang gadis yang sedang kasmaran."
Gadis yang sedang kasmaran. Setelah Sylphy mengatakan itu, wajah Roxy pun memerah cerah.
"Maafkan aku… aku telah menunjukkan sesuatu yang tidak sopan."
Dengan wajah masih merona, Roxy menundukkan kepalanya. Ketika seorang istri melihat wanita
lain memandang suaminya dengan penuh cinta, maka itu adalah suatu pemandangan yang
menjijikkan. Pemikiran seperti itu dapat dengan mudah dipahami. Namun, Sylphy hanya
menggelengkan kepalanya, seolah tidak terganggu dengan tatapan mata Roxy pada Rudi.
"Bukannya aku membencinya."
"... Tapi."
"Gimana ya bilangnya."
Sylphy sedikit memiringkan kepalanya untuk berpikir, kemudian dia segera mengatakan 'Mn,' dan
mengangguk.
"Kau tahu, sebelumnya Rudi pernah menceritakan berbagai hal tentangmu, Roxy-san.”
"Contohnya?"
211
"Bahwa 'Roxy' adalah seorang penyihir yang ia hormati. Dia selalu menceritakan dirimu sewaktu
kami masih tinggal di Desa Buina, bahkan setelah kami menikah.”
"... Itu um, aku tidaklah sehebat itu."
"Itulah kenapa aku juga merasa agak cemburu. Setiap kali ia berbicara tentangmu, dia tampak
benar-benar….. merindukanmu."
"..."
"Aku pun berpikir bahwa Roxy Migurdia adalah seorang penyihir yang luar biasa, bahkan tidak
layak dibandingkan denganku.”
"..."
"Namun ketika aku benar-benar melihatmu, saat itu juga aku tahu bahwa kau hanyalah gadis biasa
yang jatuh hati kepada Rudi. Dan saat itu pula rasa kecemburuanku lenyap.”
Seraya mengatakan itu, Sylphy melepas topi Roxy, lantas mengusap kepalanya. Roxy melihat ke
atas padanya, dan dia sama sekali tidak mengelak saat kepalanya dielus-elus. Lalu, Sylphy
melanjutkan omongannya.
"Mungkin Norn benar-benar membencimu, namun aku sudi menerimamu di rumah ini.”
Wajah Roxy tampak terkejut. Rahangku juga menganga lebar saat mendengarkan itu. Aku tidak
pernah membayangkan Sylphy akan semudah ini menerima istri kedua.
"Sylphiette...-san."
"Panggil saja aku Sylphy. Mulai sekarang kau adalah bagian dari kami, um, Roxy-...chan?"
"Umm, secara teknis, tahun ini umurku menginjak 50. Jadi, kalau dipanggil -chan agaknya…..."
"Ah, begitu ya. Jadi, kau jauh lebih tua dariku...maaf. Kalau dipikir-pikir, itu benar juga. Aku
pernah dengar dari Rudi bahwa kau adalah ras iblis berumur tinggi, namun baru kali ini aku
melihatmu ... "
"Tubuhku memang kecil sih."
"Toh aku juga tidak besar, kan?"
Roxy dan Sylphy saling bertatapan, lantas mereka berdua pun tertawa bersama.
"Mulai saat ini, ayo bantu Rudi bersamaku, Roxy."
"Terima kasih banyak Sylphy."
Setelah mengatakan itu, mereka berdua saling berjabat tangan. Itu adalah jabat tangan yang
dipenuhi oleh rasa solidaritas yang aneh.
Saat melihatnya, aku pun menghela nafas lega. Namun, Norn masih saja melihatku dengan wajah
cemberut.
"Jika memang itu pilihan Sylph-nee, maka tidak ada lagi yang bisa kukatakan.”

212
Tampaknya Norn masih tidak bisa menerimanya. Dia membalikkan mulutnya membentuk へ,
kemudian dia tatap kami dengan wajah kesal. Sepertinya dia dongkol pada kami lagi. Namun,
Sylphy dengan lembut menenangkannya.
"Norn-chan, Rudi bukanlah penganut ajaran Milis, jadi mohon maafkan dia."
"T-tapi..."
"Bahkan Paul-san memiliki dua istri, bukan?"
"... Itu memang benar, tapi..."
"Norn-chan, tega kah kau mengatakan semua makianmu tadi pada Lilia?"
Norn terlihat tersentak, lalu dia menatap Aisha. Sejak tadi Aisha hanya duduk tenang di
sampingnya, dengan ekspresi yang ramah dan sopan.
"Ah-... maaf Aisha."
"Tidak masalah… tidak masalah. Aku tahu bahwa Norn-nee sering bicara tanpa dipikir terlebih
dahulu.”
"... Apa maksudmu berkata begitu!?"
"Maksudku, lihatlah. Sejak tadi kau terus mengumpat dan melampiaskan semua emosimu
padanya, kan? Bahkan setelah ditenangkan oleh Sylphy-nee, kau masih saja ngotot tanpa mau
mengalah.”
"Ap-!?"
Norn berdiri dengan marah. Saat melihat tinjunya mulai terkepal, aku pun memarahi Aisha.
"Aisha, bicaramu juga keterlaluan!"
"Tapi, Onii-chan."
"Aku bisa mengerti apa yang ingin dikatakan Norn. Jujur saja, meskipun Sylphy sudah
mengikhlaskan permasalahan ini, situasi ini tetaplah tidak normal. Jika kau asal menghujat tanpa
memperhatikan perasaan orang lain, maka kau juga patut disalahkan. Kau tidak perlu sepicik itu
mengkritik Norn."
"Yah, kalau kau berkata begitu..."
"..."
Ekspresi wajah Norn tampak rumit. Sepertinya dia tidak tahu harus berbuat apa
"... Aku akan pergi tidur."
Dia segera pergi meninggalkan ruang tamu. Namun, seakan-akan teringat sesuatu, ia pun
memberhentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Dia mengatakan sesuatu dengan setengah
bergumam.
"Um, Onii-san..."
"Ada apa?"

213
"Lain waktu, bisakah kau mengajariku berpedang."
Untuk beberapa saat, aku tidak mengerti apa yang ia katakan.
Berpedang. Apakah maksudnya ia ingin menggunakan pedangnya Paul?
Kurasa, kalau dia berlatih setengah-setengan, dia hanya akan merusak tubuhnya sendiri. Tapi,
memang seperti itulah dunia ini. Lebih baik dia pernah mempelajari ilmu beladiri, seperti teknik
berpedang. Meskipun kekuatannya kecil, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Masalahnya
adalah, apakah aku layak menjadi guru Swordman?
"Gak papa nih kuajari?"
"Meskipun aku masih tidak bisa menerima apa yang telah kau perbuat, tapi aku tidak membencinu,
onii-san."
"...Yah."
Sebenarnya, maksudku adalah : ‘Gak papa nih diajari oleh orang yang ilmu pedangnya payah?’
Tapi ... Yah, apapun itu… aku senang dia tidak membenciku.
"Baiklah, aku akan membuat jadwal berlatih sepulang sekolah, atau waktu lainnya."
"Mohon kerjasamanya."
Setelah mengatakan itu, Norn pun kembali ke kamarnya.
"..."
Sepertinya… aku berhasil ya? Pada akhirnya, aku tidak dapat melakukan apa-apa. Aku telah
diselamatkan oleh kemurahan hati Sylphy.
"Onii-chan…." kata Aisha. "Kau tadi terlihat begitu menyedihkan, lho?"
Aku tidak menanggapinya, tapi aku setuju dengannya.
Bagian 3
Setelah itu, kami bertiga berdiskusi dan merencanakan apa yang harus kita lakukan ke depannya.
Misalnya, giliran kami tidur bersama, atau jadwal kami saling memadu-kasih. Ini merupakan
pembicaraan antara orang dewasa dan sedikit vulgar, namun kami harus membahas hal ini sampai
tuntas secara terbuka. Oleh karena itu, Aisha menyingkir sebentar.
"Baiklah, Roxy-san. Mulai dari sekarang, aku mohon kerjasamanya.”
"Ya. Aku juga mohon kerjasamanya."
Aisha mengeluh dengan mengatakan ‘buuu’, namun dia terlihat sedikit senang. Kenapa ya?
Yah, terserah lah. Sekarang keluarga ini semakin besar dengan adanya Sylphy, Roxy, dan diriku
sendiri. Kami bertiga pun memulai diskusi. Kami semua sudah cukup dengan topik kematian Paul
yang menyedihkan, oleh karena itu kami akan membahas hal-hal yang lebih menggembirakan.
"Intinya, Rudi, kuminta kau perlakukan Sylphy sebagai istri utamamu, dan datanglah kepadaku
kapanpun kau punya waktu luang. Aku tidak masalah dengan itu, karena bagaimanapun juga aku
adalah istri terakhirmu.”

214
"Itu tidak bagus, kita harus diperlakukan sama."
"Tapi..."
"Tidak menutup kemungkinan Rudi mau tambah istri lagi, maka mengapa kau begitu percaya diri
menganggap dirimu yang terakhir?"
Mau tambah istri lagi. Perkataan itu menjelaskan betapa Sylphy tidak mempercayai gajahku.
Namun, kali ini aku bersumpah… aku bersumpah hanya mencintai Sylphy dan Roxy. Titik.
"Ehem… aku minta maaf telah menyela diskusi kalian yang seru, tapi aku berniat untuk tidak
bersetubuh dengan siapapun sampai bayiku lahir.”
"Aku mengerti. Bayi ini diprediksi akan lahir setidaknya sebulan kemudian. Maka, Rudi akan
menjadi milikku sampai saat itu. Tidak masalah buatmu?”
"Tidak masalah. Kalau begitu, aku bersedia tidak mendapat status sebagai istri sah Rudi sampai
sebulan kedepan.”
“…….”
Dengan begini, aku resmi membujang sampai bulan depan. Ah, mungkin aku memang payah.
Tapi, setelah Sylphy bersalin, aku bisa meniduri mereka berdua sebanyak apapun yang kumau….
Apa-apa’an ini? Wah, memikirkannya saja sudah membuat gajahku meraung-raung.
"..."
"..."
Setidaknya, itulah yang kubayangkan. Namun, saat aku mulai berdeilusi, mereka berdua
menyematkan tatapan matanya padaku.
"Umm, Rudi. Kalau kau sudah gak kuat lagi, katakan saja, oke? Aku akan berusaha mengatasinya,
entah bagaimana caranya."
"Tidak, biar aku yang mengatasinya sendiri."
Tak peduli seberapa bejatnya diriku, dalam situasi seperti ini, aku tidak akan selingkuh lagi. Aku
ingin mereka yakin bahwa Rudeus Greyrat adalah orang yang tidak diperbudak oleh hawa
nafsunya. Asalkan tidak ada wanita lain yang sekelas Roxy, maka aku tidak akan terlena dengan
siapapun.
Pokoknya, aku tidak akan selingkuh lagi.
Tidak akan pernah.
"Ah, bukankah kau juga sedang hamil, Roxy? Kalau begitu, sebulan lagi kau tidak boleh
bersetubuh dong? Apa yang harus kita lakukan?"
Roxy menanggapinya dengan memasang wajah menyesal.
"Um, mengenai apa yang dikatakan Rudi sebelumnya, kurasa itu hanyalah kebohongan yang
dibuat-buat olehnya. Tadi aku tidak punya kesempatan untuk bicara, namun sekarang kuyakinkan
pada kalian bahwa aku tidak hamil "
Roxy tidak hami?? Lalu, bagaimana dengan datang bulan yang terlambat...??
215
"Ahh..."
Jadi, Elinalise sengaja menjebakku, hah?
Dasar tante girang.
Sialan.
Ini semua sudah dia rencanakan.
"Ada apa, Rudi?"
"Ah, sebenarnya aku tidak membuat-buat kebohongan itu, lebih tepatnya itu adalah suatu
kesalahpahaman."
"Begitu ya."
Roxy menggaruk pipinya yang memerah, kemudian dia berbicara kepadaku.
"Tapi, suatu hari nanti…. Aku tidak keberatan mengandung bayimu."
"Ah, ya. Baiklah."
Kata-kata seperti "keluarga bahagia berencana" muncul dalam benakku, dan aku pun tidak kuasa
menahan senyum di wajahku.
Ahh, mulai dari sekarang, nampaknya semuanya akan berjalan dengan lancar.
"Rudi itu mesum, kan?"
"Ya, Rudi memang mesum, Sylphy."
"Aku penasaran, Rudi ingin kita melakukan apa saat di ranjang nanti."
Kami tertawa sembari ngobrol hal-hal yang mesum itu.
Dengan demikian, aku pun berhasil mendapatkan istri keduaku.
Bagian 3
Setelahnya, Lilia dan Zenith selesai mandi, dan setelah Lilia menyiapkan kamar untuk kami,
mereka pun tidur.
Seperti yang telah kita sepakatkan sebelumnya, aku tidur dengan Sylphy. Aku menggunakan
tanganku sebagai bantal baginya, dan Sylphy memutuskan untuk tidur menghadapku.
Kami tidak segera terlelap. Kami saling pandang dalam keheningan.
"Tadi…..."
Yang pertama berbicara adalah Sylphy.
"….ketika kau ingin mengatakan sesuatu yang penting, dan Roxy duduk di sebelahmu, aku sempat
memikirkan sesuatu yang begitu mengerikan.”
"Apa itu?"
"Aku mengira bahwa kau tidak lagi mencintaiku, kemudian pergi meninggalkanku bersama wanita
itu.”

216
"Mana mungkin aku mengatakan itu."
Bajingan mana yang tega melakukan itu?
"Mn. Aku tahu."
Sylphy bergeser. Aku bisa merasakannya dengan ujung tanganku yang sudah buntung. Dia
membelaiku.
"Tapi aku benar-benar khawatir. Rasanya kau akan pergi dari sisiku selamanya."
Aku penasaran, apakah dia merasakan sebuah firasat. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, saat itu kami
memang menghadapi masalah besar. Bahkan, tidak menutup kemungkinan aku pulang tinggal
nama.
"Apakah, aku membuatmu khawatir?"
"Mn."
"Sini…sini."
Aku mengusap kepala Sylphy dengan tangan kananku, Sylphy menyempitkan matanya dan
membiarkan dirinya diusap olehku. Jika kau perhatikan lebih seksama, rambutnya tampak lebih
panjang. Rambut yang cantik dan putih. Tak lama lagi, dia mungkin bisa mengikatnya dengan
gaya kuncir kuda.
"Kau membiarkan rambutmu tumbuh, ya?"
"Lagian, katamu kau menyukai rambut panjang, kan, Rudi?"
"Mn."
Dia terlalu imut... dan wanita ini selalu menunggu kepulanganku setiap saat...
"Maaf Sylphy, aku telah mengkhianatimu."
"Tidak apa-apa, justru sifatmu itulah yang aku sukai."
"Tapi, aku sempat berpikir bahwa kau akan membentakku dan mengumpatkan kata-kata seperti:
‘Sekarang kau senang ya!!?? Kau puas telah mengkhianatiku!!??’… atau semacamnya.”
"Mmhu... aku tidak akan mengatakan hal seperti itu. Lagipula, aku tidak akan bisa mencintai pria
selain dirimu."
Sambil mengatakan itu, Sylphy mendekatkan wajahnya padaku, lalu mencium pipiku. Rasanya,
dadaku dipenuhi dengan cinta. Meskipun dia merasa cemas, meskipun dia ingin menangis, dia
menyimpan semua keluhan itu dan menerimanya dengan ikhlas. Aku akan mencintainya sampai
mati.
"Sylphy."
"Heheh."
Aku membalas ciuman Sylphy pada pipinya yang lembut dan licin.
"..."

217
Kalau sudah begini, biasanya sih akan kuserang dia dengan brutal, namun seperti yang sudah
kunyatakan sebelumnya, aku akan menahan diri sampai bayi kami lahir. Lagipula, aku tidak
mungkin memaksa Sylphy yang sedang hamil tua untuk melakukan sesuatu yang tidak masuk akal
Tiba-tiba, aku merasakan sebuah sensasi yang membelai perutku.
"Ahh, jangan, Sylphy. Jika kamu menyentuhku di sana, maka aku tidak akan bisa menahan diri.
Yahh, aku memang tertarik ’bermain dengan ibu hamil’ sih, tapi ..."
"Ah, jangan, Rudi. Itu akan membahayakan anak kita, jadi ... “
"Mn?"
"Eh?"
Ketika aku melihat ke bawah, aku mendapati benda yang bahkan lebih besar daripada perut Sylphy
yang tengah hamil tua. Kemudian, langsung aku singkap selimutnya. Ternyata itu adalah…
"Jirou ..."
Di balik selimut kami, armadillo besar itu mengapitkan tubuhnya di antara aku dan Sylphy. Aku
bingung, sejak kapan dia ada di sana. Aku benar-benar tidak memperhatikannya sama sekali.
"Mengganggu orang sedang bercinta saja, kau ini armadilo mesum ya?"
"Dia mesum seperti dirimu, ya?"
"Tidak, y-yah mau bagaimana lagi. Sepertinya kita bertiga harus tidur seruangan malam ini?"
Aku pun bangkit dan mengambil selimut lain, kemudian kutumpuk selimut-selimut itu untuk
tempat tidur Jirou. Jirou terkapar di atasnya dan perlahan menutup matanya. Meskipun dia adalah
armadilo, namun rasanya seperti memiliki anjing peliharaan yang besar.
Sepertinya, aku harus segera menyiapkan kamar kecil untuknya. Membesarkannya di rumah ini
bukanlah masalah besar, namun membersihkan kotorannya sungguh merepotkan. Tunggu dulu,
apakah aku bisa melatihnya seperti anjing peliharaan? Yahh, nanti akan kubahas itu dengan yang
lainnya.
"Baiklah, kurasa saatnya untuk tidur."
Aku hendak menyelinap di samping kanan Sylphy, namun aku berhenti. Lalu, aku tidur di samping
kiri Sylphy sembari menggenggam tangannya. Dia pun balik menggenggam tanganku dengan erat.
"Selamat malam, Sylphy."
"Mn, selamat beristirahat, Rudi."
Setelah itu, aku pun tertidur dengan pulas.

218
Bab 15
Di Depan Batu Nisan

Bagian 1
Beberapa hari telah berlalu semenjak Roxy menjadi istri keduaku.
Aku masih khawatir akan terjadi beberapa bencana, namun perasaan itu perlahan-lahan memudar.
Akhirnya, kami urung menyewa kamar hotel untuk tempat tinggal Zenith, dan dia pun tinggal
serumah bersama kami. Aku memilihkan kamar yang luas untuknya.
Dia tinggal di kamar luas bekas pemilik sebelumnya yang telah wafat, sehingga Lilia juga bisa
istirahat di kamar yang sama.
Mungkin terkesan sedikit angker, tapi Zenith cukup senang dengan ruangan itu, dan tak mau keluar
darinya. Yah, apa boleh buat.
Lilia juga meyakinkan aku bahwa tidak akan ada masalah di sana.
Hmm, Zenith yang sedang lumpuh secara mental memang lebih pantas tinggal di ruangan yang
besar.
Aku tidak begitu paham dengan ilmua penyembuhan dan perawatan, tapi yang jelas… kamar yang
luas jauh lebih baik daripada kamar sempit.
Tentu saja, kami juga membawa Zenith ke dokter.
Melalui rujukan Ariel, kami mendapatkan seorang psikiater yang handal dari Kerajaan Ranoa.
Namun, tampaknya dia juga belum pernah menjumpai kasus semacam ini, dia juga tidak tahu cara
mengobatinya, jadi sebaiknya kita sudahi saja.
Seperti yang kuduga, tampaknya teknik pengobatan di dunia ini tidak bergantung pada catatan
masa lalu.
Mungkin karena ada sihir penyembuhan, sehingga teknik medis tidak begitu berkembang di dunia
ini.
Meskipun demikian, setidaknya kami mendapat beberapa panduan untuk merehabliitas orang-
orang yang kehilangan ingatan mereka.
Kami tidak tahu apakah dia semakin membaik atau justru sebaliknya, tapi lebih baik kami
mengusahakan sesuatu daripada tidak sama sekali.
….Jika ada kesempatan, aku mungkin akan mencari alat sihir yang dapat memulihkan ingatan
seseorang yang hilang.
Tentu saja, aku tidak tahu apakah benda seperti itu benar-benar ada atau tidak.
Kami tidak bisa membiarkannya terus-terusan seperti itu.
Kami juga tidak tahu apa yang akan dikatakan keluarga besar Zenith di Kerajaan Milis.

219
Aku masih tidak bisa tenang melihat kondisi Zenith seperti itu.
Bagian 2
Perkembangan kehamilan Sylphy cukup bagus.
Baru-baru ini, anak di perutnya sudah mulai menendang-nendang, maka dia dengan senang hati
memperbolehkanku untuk memegang perutnya.
Selain itu, aku mencoba meraba payudaranya yang membengkak karena pengaruh dari
kehamilannya, dan itu membuatnya berang.
Sepertinya terasa sakit kalau kuremas payudaranya dengan kencang.
Aku tidak bermaksud meremasnya dengan kencang, tapi dia begitu terkejut karena aku yang tiba-
tiba saja melakukannya.
Kalau dia memperbolehkan, aku akan menyentuhnya dengan lembut.
Kalau kelamaan kupegang dadanya, rasanya ingin segera kuserang Sylphy.
Berkali-kali aku hampir kehilangan kesabaran, kemudian menerjangnya.
Namun saat ini dia sedang hamil, aku tidak boleh melampiaskan nafsuku begitu saja.
Meskipun begitu, tanganku tetap saja ingin menyentuhnya tanpa bisa kukendalikan.
Namun, dengan kemurahan hatinya, Sylphy memperbolehkanku menyentuhnya dengan lembut.
Sepertinya tubuh Sylphy mengalami banyak perubahan saat hamil.
Dada Sylphy yang biasa kuraba tidak lah seperti ini.
Bagaimanapun juga, aku lah yang sudah menyebabkan perubahan ini, dan entah kenapa aku
merasakan suatu kebahagiaan yang tak dapat diungkapkan.
Aku penasaran, apakah ini yang disebut ‘mendominasi’.
Ya, Sylphy adalah milikku.

Namun, sudah kuduga bahwa kehilangan satu lengan tidaklah nyaman.


Aku pun kangen saat-saat aku bisa meraba dadanya dengan kedua tanganku.
Dulunya aku punya dua tangan, sekarang hanya satu… tentu saja kenikmatannya juga berkurang
setengahnya.
Aku penasaran, jika kuremas lebih lama lagi, apakah akan keluar susu dari putingnya.
Jika aku mengatakan ingin merasakannya sedikit saja, aku penasaran apakah Sylphy akan marah
besar.
Apakah dia akan memarahiku?
Ayolah… sekali saja….
Ah, lebih baik jangan.

220
Tapi…
Sekaliiii saja…
"Rudi sangat suka dadaku, ya?"
"Yeah, dada kecilmu adalah yang terbaik di dunia."
"Terbaik di dunia katamu... padahal kau sudah menyentuh dada wanita lain?"
"M, M, maafkan aku."
"Eh~, aku tidak marah kok."
Hubunganku dengan Sylphy kembali membaik seraya kami ngobrol hal-hal seintim itu.
Kalau di Jepang sih, akan terasa canggung jika suami – istri membicarakan hal-hal intim seperti
ini.
Namun berbeda di dunia ini, dan Sylphy pun memahami itu dengan baik.
Meskipun aku memperistri wanita lainnya, kurasa itu tidak masalah selama aku bisa mencintai
mereka dengan adil.
Kalau kau bertanya dimanakah Roxy tinggal. Ia mengambil kamar kecil di lantai dua.
Itu adalah salah satu kamar terkecil di lantai dua. Aku sudah menawarkannya kamar yang lebih
besar, namun dia lebih memilih yang kecil.
Aku juga tidak membenci kamar yang kecil.
Karena aroma tubuh Roxy akan semakin pekat di sana.
Roxy mendapat pekerjaan sebagai seorang guru di Akademi Sihir.
Aku pun memperkenalkan dirinya di hadapan para pengajar lainnya, sembari kuberikan laporan
kepulanganku. Namun, kita simpan cerita itu untuk nanti.
Bagian 3
Sebulan setelahnya.
Suatu hari dengan hujan salju yang turun begitu lebat.
Sylphy memulai proses melahirkan.
Tidak terjadi masalah serius, itu hanyalah persalinan yang berjalan normal.
Tidak terjadi sungsang atau kelahiran prematur.
Kalau pun ada masalah, itu hanyalah kedatangan dokter yang tidak tepat waktu, karena salju
menumpuk cukup tebal.
Kalau aku mengalami ini pada duniaku sebelumnya, aku pasti sudah bingung bukan kepalang.
Namun, di sini ada Lilia yang begitu bisa diandalkan.

221
Dia adalah seorang bidan dengan segudang pengalaman, bahkan tanpa kutanyai apapun, dia sudah
bergerak dengan begitu cekatan untuk membantu proses persalinan, dan Aisha pun ikut membantu
dengan mengikuti perintahnya.
Sambil mengajari Aisha tahap-tahapnya, Lilia dengan hati-hati menyebutkan berbagai hal yang
harus dilaksanakan oleh putrinya itu.
Untuk jaga-jaga, jika terjadi sesuatu, maka aku dan Roxy sudah bersiap di samping mereka.
Dalam keadaan darurat, ada perbedaan besar antara dapat menggunakan sihir penyembuhan dan
tidak.
Meskipun begitu, yang bisa kulakukan di sini hanyalah melamun.
Bahkan aku sama sekali tidak memikirkan mantra sihir penyembuhan apapun.
Saat itu, aku memegang erat tangan Sylphy yang sedang menderita.
"Melihat Rudeus-sama pada saat-saat seperti ini mengingatkanku ketika proses kelahiran Norn-
sama."
Setelah mendengar kata Lilia, aku pun teringat saat-saat itu.
Norn dilahirkan secara sungsang, baik ibu dan anaknya berada dalam kondisi yang berbahaya.
Paul saat itu tidak berguna dan hanya gugup sendiri.
Saat itu aku bergerak dengan tenang, namun sekarang aku berada di posisi yang mirip dengan Paul.
Sewaktu kecil, aku sangat bisa diandalkan, dalam kehidupanku sebelumnya pun juga demikian.
"Tenanglah, Rudeus-sama. Sylphy akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Sambil mengatakannya, Lilia tanpa acuh melanjutkan pekerjaannya.
Penanganan seperti itu sudah cukup untuk membuatku terkagum-kagum.
Namun, aku masih saja gemetaran meskipun Lilia sudah memintaku tenang.
Aku terus mengenggam tangan Sylphy, dia memanggil "hihhfu", lalu kuseka keringat dari
telinganya, dan hanya itulah yang bisa kulakukan.
Wajah Sylphy terlihat kesakitan, tapi setelah melihatku dengan gugup, dia cekikikan sebentar dan
tertawa.
"Umm... akan lebih baik jika Rudi sedikit lebih bersantai."
Tiba-tiba kata-kata itu dilontarkan oleh Aisha.
Lilia pun memukul kepala Aisha dengan *pok*.
Saat melihatnya, Sylphy tersenyum ringan.
"Nn….!!?"
Kemudian, proses persalinan ini mencapai klimaksnya.
"Sylphiette-sama. Tolong ambil nafas yang dalam, oke?"

222
"Nn...!"
Dengan senyap, aku terus mengamati Sylphy yang sedang berusaha keras.
Satu-satunya ungkapan yang keluar dari mulutku adalah dorongan semangat.
Aku merasa ingin melakukan sesuatu, namun aku hanya bisa diam.
Bersamaan dengan Lilia yang mencontohkan cara menarik napas, Sylphy terus menunjukkan
derita di wajahnya.
Dia pun lahir.
Bayi lahir dengan aman di dunia ini, dan dia langsung menangis dengan begitu semangat.
Itu adalah seorang bayi perempuan.
Warna rambutnya sama sepertiku, dia adalah seorang bayi yang imut.
Dia mendekam di gendongan Lilia, lalu diberikan pada Sylphy.
Sylphy memeluk bayi kami, dan menghela nafas lega.
"Syukurlah...rambutya tidak hijau."
Aku membelai kepalanya sambil mendengar kata-kata Sylphy itu.
Dia mengatakan itu karena rambut putihnya semula berwarna hijau. Yang mana, banyak orang
menakutinya.
"……..Sepertinya begitu."
Meskipun anak ini lahir dengan warna rambut hijau zamrud, aku tak akan pernah menyalahkan
Sylphy.
Tentu saja.
Lagipula, warna hijau zamrud di dunia ini adalah salah satu warna favoritku.
Hijau adalah warna rambut Sylphy dan Ruijerd.
Bahkan rambut Roxy memberikan reflek cahaya berwarna hijau.
Aku menyukai warna hijau.
Meskipun seluruh dunia mendiskriminasi warna rambut hijau, aku sudah siap menentang mereka
semua.
"Kerja bagus, Sylphy."
"Yahh."
Meskipun begitu, kultur di dunia ini tidaklah mudah dirubah.
Warna hijau sudah menjadi tabu di sini.
Bayi perempuan berwarna rambut sama denganku telah dilahirkan.
Kami tidak punya pilihan selain bersyukur kepada Tuhan atas nasib baik ini.

223
Padahal, Tuhanku berada di sudut ruangan sedang memegang erat tongkatnya dan memasang
wajah pucat.
"Rudi peganglah dia."
"Iya."
Memegang seorang bayi.
Tubuh yang panas, dan suara ribut karena tangisannya.
Tangan, kepala, bibir, hidung...semuanya mungil.
Dia dipenuhi kehidupan kehidupan.
Aku merasa terharu saat menyadari bahwa bidadari kecil ini adalah anakku.
Sylphy telah melahirkan anakku.
"..."
Air mata pun mengucur.
Paul telah meninggal.
Namun, anakku telah dilahirkan.
Karena Paul lah aku masih bisa berdiri di sini melihat lahirnya anakku.
Kalau bukan karenanya, aku tidak akan bisa memegang bayi ini di sini.
Sebagai gantinya, Paul tidak lagi bisa menyentuh istrinya, putrinya, dan juga cucunya.
Aku penasaran, apakah Paul menyesal tidak dapat berada di tempat ini.
Atau mungkin, di akherat sana dia sedang tertawa dengan bangganya karena semua ini adalah
jasanya.
Apapun itu, aku tidak punya pilihan selain terus menjalani hidup ini.
Demi anak ini, aku tidak boleh mati.
Sylphy juga, keluargaku juga, aku harus melindungi mereka semua. Tidak ada lagi yang harus
mati.
Aku akan terus hidup…. Di dunia ini.
Kami mengambil huruf pertama dari Sylphy dan diriku untuk menamai anak ini Lucy. [24]
Namanya adalah Lucy Greyrat.
Aisha menertawai nama yang sederhana itu, kemudian Lilia langsung menjitak kepalanya.
Namun, aku senang bahwa dia perempuan.
Seandainya ... dia anak laki-laki. Mungkin akan kuberi nama Paul.
Bagian 4
Setelah itu, aku diusir dengan lembut oleh Lilia.

224
Ada beberapa hal yang tampaknya harus diselesaikan secara khusus oleh wanita, jadi aku harus
menunggu di luar.
Sekarang, aku pun duduk di sofa.
Sebenarnya aku hampir tidak beraktivitas sama sekali, tapi anehnya tiba-tiba aku merasa
kelelahan.
Roxy duduk di sampingku.
Dengan ekspresi kelelahan sama sepertiku, dia mendesah.
Roxy juga hampir tidak melakukan apapun sama sepertiku.
Namun, dia menderita kelelahan secara mental.
"Ini pertama kalinya aku melihat bayi dilahirkan. Luar biasa bukan?"
"K-kalau aku sih sudah melihat beberapa kali, aku penasaran, ini pengalamanku yang ke berapa
ya? Sepertinya yang ketiga deh. Namun, ketika melihat anakmu sendiri dilahrkan, kau merasa
begitu lelah karena sangat menegangkan.”
Tentu saja, Sylphy merasa berjuta-juta kali lebih lelah.
Lebih baik aku berterimakasih padanya lagi nanti.
"Apakah aku dulu juga dilahirkan seperti itu ya?"
"Yah, aku yakin semua ras dilahirkan dengan cara yang sama."
Namun, aku tidak tahu secara detail tentang ras Migurdia.
Selama wujud rasnya seperti manusia, aku yakin cara melahirkannya tidaklah berbeda.
"... Aku juga akan melahirkan seperti itu, kan?"
Kulihat wajah Roxy, lalu dia balik menatapku dengan wajah merona
Aku melepas sepatuku, kemudian duduk secara Seiza di atas sofa.
"Ya… mulai saat ini, aku mohon kerjasamanya."
Anak Sylphy telah dilahirkan.
Bersama dengan Roxy, gaya hidup baru siap kami jalani.
Jujur, aku pun berharap Roxy juga mengandung anakku.
Meskipun anakku dengan Sylphy baru saja lahir, aku bukanlah sosok ayah yang baik.
Namun, aku tidak membenci sifatku itu.
Paul juga bukan ayah yang baik, namun aku tidak membencinya.
Akan kunantikan saat-saat dimana Roxy menjadi istriku sepenuhnya dengan mengandung
benihku.
Sembari memikirkan itu, aku pun tersenyum pada Roxy, dan dia membalasnya dengan wajah
merona sambil memegang tubuhnya sendiri.

225
"Rudi, wajahmu terlihat begitu mesum."
"Sejak kecil wajahku memang begini."
Betul kan? Bahkan sejak aku dilahirkan, aku sudah berpikiran begitu dewasa.
".."
Oh iya,
Sebelum kami memulai hidup baru bersama Roxy.
Aku harus melapor pada seseorang bahwa anakku sudah lahir.
Bagian 5
Hari berikutnya.
Aku berjalan sendirian menuju makam Paul.
Makam Paul berada di pinggiran kota.
Itu adalah kuburan para bangsawan terhormat.
Paul mungkin merasa tidak nyaman dimakamkan bersama orang-orang bangsawan, karena dia
hidup begitu bebas sebagai petualang.
Tapi, perawatannya lebih baik daripada pemakaman umum. Jadi dia harus menerimanya.
Di tengah-tengah salju, aku berdiri di hadapan batu nisan setengah bulat bergaya Ranoa.
Aku tidak tahu apa agama Paul.
Aku rasa dia juga atheis sama sepertiku.
Kalau dia punya kepercayaan, meskipun aku memakamkannya dengan cara yang tidak diajarkan
sektenya, aku rasa dia tidak akan mempermasalahkan itu. Aku yakin dia akan memaafkanku di
akherat sana.
Harusnya sih, aku memakamkannya di Kerajaan Asura, dekat dengan Desa Buina.
Paul tidak memiliki hubungan apapun dengan tanah ini.
Tapi, jika aku memakamkannya terlalu jauh, kami tidak bisa mengunjungi makamnya sewaktu-
waktu.
Aku juga sudah memberitahu Gisu dan yang lainnya tentang lokasi makam ini.
Saat ini, semuanya mengunjungi makam ini.
Paul sangat suka saat-saat dimana semua koleganya berkumpul.
Begitupun dengan alkohol dan belati.
Gisu dan Talhand malah tanding minum di depan makam Paul, dan itu membuat si penjaga makam
marah.
Aku hanya memegang botol alkohol yang sudah kubeli, kemudian kubersihkan makam Paul.

226
Kuseka salju yang menutupi batu nisannya, kemudian kupoles dengan kain di bajuku.
Sungguh mudah membersihkannya.
Jalan yang menuju kuburan ini tertutup salju, namun jalan di tengah kuburan sudah dibersihkan
oleh si penjaga makam.
Setelah membersihkan dan meninggalkan botol alkohol di depan kuburannya, aku pun berdoa
dengan satu tangan.
Tadinya aku berencana membelikan bunga untuknya, namun tidak ada yang jual.
Ketika musim dingin di utara berlangsung, kau akan kesulitan mendapatkan bunga.
Yah, lagian dia bukanlah lelaki yang suka bunga.
"Paul…. Maksudku, ayah. Kemarin, anakku lahir. Dia perempuan. Karena Sylphy adalah ibunya,
maka aku yakin dia akan tumbuh menjadi wanita yang cantik.”
Aku duduk di depan kuburan dan melaporkan semua itu pada Paul.
"Aku juga ingin menunjukkannya pada ayah."
Andaikan Paul melihat Lucy, aku yakin dia akan melompat kegirangan sampai-sampai Zenith
perlu menegurnya.
Andaikan kami merayakan hari kelahiran putriku bersama, aku pasti sudah mabuk-mabukan
bersama Paul, mengatakan hal-hal yang jorok pada Lilia, bahkan sampai membuat Zenith syok.
Adegan seperti itu dengan jelas melayang di depan mataku.
Itu hanyalah kisah manis yang bakal terjadi andaikan Paul masih hidup dan Zenith tidak
kehilangan ingatannya.
"Roxy-sensei telah menjadi istriku. Jadi, aku punya dua istri. Sama sepertimu, ayah. Aku ingin
sekali diajari olehmu cara-cara hidup bersama dua istri dengan rukun."
Kalau diingat-ingat lagi.
Di dungeon itu.
Aku penasaran, apakah hal semacam itulah yang ingin diucapkan Paul padaku.
Apakah dia sudah tahu bahwa Roxy menyukaiku?
Dan aku juga menyukainya.
Aku penasaran, apakah dia ingin mengajariku bagaimana caranya hidup dengan dua istri tanpa
berselisih.
"Tapi, berbeda dengan ayah, aku tidak langsung memiliki 2 putri sekaligus, tapi kurasa Roxy juga
akan hamil dan melahirkan anakku. Itu akan terjadi jauh di masa depan nanti, tetapi alangkah
baiknya jika aku bisa membesarkan mereka sehingga menjadi dua gadis yang begitu bersemangat
seperti Aisha dan Norn.”

227
Aku tidak bermaksud menjelek-jelekkan cara mendidik Lilia yang menganggap bahwa Aisha
harus merasa lebih rendah daripada Norn. Tapi, menurutku anak dari kedua istriku harus mendapat
status yang setara.
Tanpa membeda-bedakan siapakah ibunya, dan dari ras apakah dia berasal. Nampaknya, anak
Roxy kelak akan mendapatkan perlakuan yang kurang baik, karena tidak semua orang bisa
menerima keberadaan ras iblis.
"Tampaknya Sylphy berpikir bahwa aku akan menikah lagi. Tapi aku tidak punya niatan seperti
itu. Orang bilang, ketika kau sudah menikah dua kali, maka kau pasti akan mencari istri ketiga.
Mungkin Sylphy termakan perkataan itu.”
Aku penasaran apakah Paul pernah mempertimbangkan untuk menikahi Ghyslaine, Elinalize, atau
bahkan Vera.
Sepertinya dia memiliki hubungan khusus dengan Ghyslaine, kurasa dia pernah
mempertimbangkan itu, setidaknya sekali.
Yahh, Paul bukanlah orang yang suka berpikir dan mempertimbangkan sesuatu dengan serius,
mungkin juga dia tidak pernah memikirkan itu. Saat dia ingin meniduri seorang wanita, ya tiduri
saja, menikah atau tidak urusan belakangan.
"Mungkin lebih baik aku tidak terlalu memikirkan hal itu?"
Ketika menghadapi batu nisannya dan kuajukan pertanyaan itu, seolah-olah aku bisa melihat tawa
Paul yang penuh cemoohan.
Hanya senyumannya yang bisa kubayangkan, tanpa suara Paul.
Tetapi, aku bukanlah orang se-playboy Paul yang baru memikirkan untuk menikahi seorang wanita
setelah menidurinya.
Aku pun merasa Paul selalu menderita hidup seperti itu.
Seorang pria yang tidak pernah memikirkan sesuatu dengan matang, namun langsung bertindak
secara spontan ketika keluarganya berada dalam bahaya…. Kurasa, jarang ada orang seperti itu,
bahkan di dunia penuh fantasi ini.
"..Ayah. Aku bukanlah anak yang baik. Aku memiliki memori dari kehidupanku sebelumnya. Aku
tidak bisa mencintaimu sepenuhnya, ayah.”
Aku berdiri sambil mengatakan itu.
Kupegang botol alkohol itu di tanganku, kemudian kuteguk sekali.
Setelah menikmati sensasi terbakar di tenggorokanku akibat efek minuman keras, aku pun
menuangkan cairan itu pada kuburan Paul.
"Tapi, setidaknya aku sudah berniat untuk menjadi putramu yang baik."
Aku tak ingin menjadi pemabuk seperti Paul, yang bisa melakukan kesalahan apapun karena efek
minuman keras. Sungguh, alkohol tidak baik bagi pikiran seseorang.
Tapi, hari ini saja… aku bersedia meminumnya untukmu.
Lagipula, ini adalah hari kelahiran putriku juga.
228
"Anakku sudah lahir, dan aku telah menjadi orang tua seutuhnya. Namun, akhirnya aku
memahaminya. Bahwa aku masihlah anak-anak. Bahwa aku hanyalah seorang bocah yang
berpura-pura menjadi dewasa, dengan memanfaatkan ingatanku dari kehidupan sebelumnya. "
Minum, tuangkan, minum, tuangkan.
Botol alkohol itu segera habis.
"Meskipun aku sudah merasa cukup dewasa, namun aku tidak akan bisa menjadi orang dewasa
sepenuhnya sampai aku membuat lebih banyak kesalahan. Tapi, aku akan terus berusaha untuk
menjadi lebih baik, seperti halnya dirimu…. Yaitu seorang ayah payah yang terus berusaha
menjadi lebih baik, bahkan sampai akhir hayat.”
Aku menutup botol alkohol dengan penyumbat, kemudian kuletakkan di depan kuburan.
"Kalau begitu, aku pamit dulu. Besok, akan kubawa semua anggota keluargaku."
Sembari mengatakan itu, aku pun berpaling dari makam Paul.
Berbagai hal telah berakhir.
Hal-hal yang menyakitkan telah terjadi, dan hal-hal yang membahagiakan juga telah terjadi.
Tapi, ini bukanlah akhir.
Aku masih harus terus melanjutkan hidup di dunia ini.
Aku akan tetap hidup.
Agar tidak kembali menyesal saat aku mati nanti.
Seriusan.

229
Cerita Selingan
Apakah Pedang Mad Dog Berat, Atau Tajam?

Bagian 1
Tepi barat dataran utara.
Daratan Suci Pedang.
Sebelumnya, pernah terjadi suatu pertempuran di sini.
Tempat ini sekarang menjadi Dojo untuk para Swordsman berteknik Dewa Pedang, namun tempat
ini pula pernah menjadi saksi atas kehebatan aliran pedang gaya Dewa Air. Peristiwa ini terjadi
100 tahun yang lalu. Seorang pengguna teknik Dewa Air dari suatu generasi tertentu pernah
berduel melawan Dewa Pedang, kemudian dia memenangkan duel tersebut, dan berhak merebut
tempat ini darinya. Pada pertarungan selanjutnya, Dewa Air juga pernah dikalahkan oleh seorang
Dewa Pedang, sehingga tempat ini kembali ke tangan para pengguna aliran Dewa Pedang. Namun,
sejak saat itu, tempat ini menjadi lahan berlatih bagi para Swordsman terkuat dari berbagai
generasi. Mereka berdiam di sini, bahkan mengajarkan ilmu pedang pada murid-muridnya.
Para Swordsman terkuat membagi ilmunya di sini. Dan jika memungkinkan, kau bisa
mengalahkan mereka, sehingga kau lah yang akan menjadi terkuat. Bagi para Swordsman yang
berambisi untuk menjadi yang terkuat, mereka harus mengunjungi tempat ini, setidaknya sekali.
Saat ini, dua orang aneh tiba di tempat ini.
Salah satunya adalah seseorang yang berumur lebih dari 60 tahun. Dia adalah seorang wanita tua.
Meskipun ekspresi wajahnya sulit ditebak, namun aura nenek ini bisa membuat orang lain merasa
nyaman berada di dekatnya. Saat ini, dia mengenakan pakaian layaknya seorang petualang,
sehingga dia tidak lagi terlihat seperti nenek tua yang biasanya duduk di depan perapian sembari
merajut sesuatu.
Namun, nenek itu membawa suatu benda tidak wajar yang biasanya tidak akan dimiliki oleh wanita
seuzur dia. Benda tersebut adalah sebilah pedang pendek yang tergantung di pinggangnya.
Terlebih lagi, jika kau perhatikan dengan seksama, nenek ini terlihat sedang bersiaga penuh tanpa
sedikit pun celah pada pertahanannya. Jika kau adalah seorang Swordsman yang handal, sekilas
saja kau akan tahu bahwa pertahanan nenek ini cukup rapat, sehingga kau tidak akan bisa
menembusnya tak peduli dari arah manapun kau tusukkan pedang.
Sebenarnya, nenek ini adalah Sang Dewa Air, Reyda Liia. Dia telah menguasai teknik rahasia
Dewa Air, yaitu Sword of Deprivation. Nenek ini cukup hebat untuk menyandang gelar
Swordsman terkuat pada generasi ini.
Ada seorang wanita muda yang mendampingi Reyda. Dia berumur 20 tahun, dan penampilannya
pun mirip seperti Reyda. Dia mengenakan pakaian petualang seperti Reyda, dan juga
menggantungkan sebilah pedang di pinggangnya.
"Oshishou-sama. Apakah ini Daratan Suci Pedang?"

230
"Benar sekali. Ini adalah sarang binatang yang begitu ingin kau kunjungi."
"Aku gugup."
"Tidak akan terjadi apapun, selama kau mempercayai pedangmu. Selama kau tidak melawan Dewa
Pedang, kau pasti masih bisa bertahan di tempat ini.”
"Ya, Oshishou-sama."
Sambil ngobrol, mereka berdua memasuki Dataran Suci Pedang.
Meskipun disebut Dataran Suci Pedang, sekilas tempat ini tidak berbeda dengan kota pada
umumnya. Ada penginapan, ada toko senjata, ada juga Guild Petualang. Kota ini pun dipenuhi
oleh petualang dan pedagang yang berlalu-lalang.
Kalau pun ada yang aneh, itu adalah sebagian besar penghuni kota ini adalah Swordsman penganut
teknik Dewa Pedang. Bahkan para gadis di kota ini terlihat begitu terampil memainkan pedang
dengan lengannya yang ramping. Mereka tampak lebih kuat daripada para petualang berotot kekar.
"Bagaimana kalau kita cari penginapan dulu?"
"Tidak perlu; kita bisa tinggal di tempatnya bocah Gull itu."
Sembari mengatakan itu, Reyda meninggalkan pusat kota dan terus berjalan lebih jauh. Semakin
jauh mereka berjalan, semakin sedikit jumlah petualang dan pedagang yang berlalu-lalang di
sekitarnya. Sebaliknya, semakin banyak orang-orang berpakaian ringan yang berlatih dengan
menggunakan pedang kayu di Dojo-dojo pinggir jalan. Gadis yang mengikuti di belakang Reyda
menoleh ke kiri-kanan, rupanya dia baru pertama kali melihat pemandangan seperti ini.
"Oshishou-sama. Tempat ini begitu dingin, namun orang-orang itu berpakaian cukup tipis, ya?"
"Itu karena mereka adalah pengguna teknik Dewa Pedang. Jika seorang pengguna teknik Dewa
Pedang tidak bisa bergerak dengan cepat, maka mereka tidak berguna. Sehingga, meskipun udara
begitu dingin, mereka enggan memakai pakaian berlapis yang membuatnya susah bergerak."
"Mereka kebalikan dari kita yang mengenakan pakaian tebal, bahkan ketika cuaca sedang panas.
Ini menarik, bukan?"
"Gak tuh."
Tanpa melirik Dojo-dojo di pinggir jalan, Reyda terus berjalan lurus ke depan. Setelah melewati
batas tertentu, mereka sampai pada area yang lebih sepi, tanpa Dojo-dojo di pinggir jalan, tanpa
perumahan, dan tanpa para Swordsman berpakaian ringan. Yang ada hanyalah suatu jalur tunggal
bagaikan lembah yang membelah daratan bersalju. Di ujungnya ada rumah dan Dojo besar yang
dikelilingi oleh dinding.
Inilah ‘wujud’ asli dari Dataran Suci Pedang. Yaitu, suatu Dojo besar yang juga merupakan markas
dari para Swordsman penganut aliran Dewa Pedang.
---
Ketika Reyda dan pendampingnya mencapai pintu masuk Dojo besar tersebut, seorang wanita
keluar dari sana. Wanita itu memiliki rambut panjang yang diikat ke belakang, dan ekspresi
wajahnya tampak sopan. Di tangannya, dia memegang ember, jadi mungkin saja dia hendak
mengambil air atau semacamnya. Saat wanita itu melihat dua tamu yang mendekati Dojo-nya, dia
231
langsung membuang ember, kemudian meletakkan tangan pada pedang di pinggangnya dengan
kewaspadaan penuh.
"Ada perlu apa?"
Setelah melihat wanita itu begitu waspada, ekspresi wajah Reyda sedikit melunak.
"Ohh, Nina? Kamu sudah besar, ya."
"...?"
Wanita itu tampak ragu-ragu saat si nenek mengatakan itu.
"Ahh, apa kamu tidak ingat? Yahh, mau bagaimana lagi… terakhir kali kita bertemu, kamu masih
kecil sekali.”
Meskipun si nenek terlihat sudah akrab dengannya, Nina Farion sama sekali tidak mengingatnya.
Satu-satunya hal yang dia pahami adalah, nenek ini bukan orang biasa. Dan wanita yang
mendampinginya sepertinya sama kuat dengannya, atau bahkan lebih kuat lagi.
"Hari ini aku dipanggil ke sini oleh bosmu. Bersedia kah kau antarkan kami ke sana?"
"Bos?"
"Gull Farion."
Nina ragu-ragu mendengar kata-kata itu. Ada banyak orang yang mencari Dewa Pedang, Gull
Farion. Namun, kebanyakan dari mereka adalah para cecumuk sombong dan tak tahu diri. Mereka
begitu sesumbar menantang Dewa Pedang untuk mendapatkan gelar sebagai Swordsman terkuat.
Nina dan murid-murid lainnya diserahi tugas untuk mengusir orang-orang seperti itu.
"Mungkin ini lancang, tapi bolehkah aku tahu namamu?"
"Aku Reyda. Reyda Liia. Nama itu sudah cukup kau kenal, kan?"
"……! Aku mengerti. Silakan lewat sini."
Namun, begitu Nina mendengar nama itu; dia langsung membungkuk sekali padanya, kemudian
segera mengantarakan mereka bedua ke dalam.
Di dunia ini, hanya ada satu orang yang berani mengaku Reyda Liia. Yaitu, Reyda Liia sendiri.
Dia adalah pengguna teknik Dewa Air tertinggi.
Nina sempat mengira bahwa ada orang tolol yang berani mengaku-ngaku sebagai Dewa Air,
namun karena dia merasakan suatu aura yang berbeda dari nenek ini, maka dia segera
mengenyahkan prasangka itu dari pikirannya. Meskipun nenek ini adalah Dewa Air palsu, namun
Nina tetap bisa merasakan kemampuannya yang luar biasa.
Mereka pun dibawa Nina memasuki Dojo Dewa Pedang. Seperti rumah-rumah di negara bersalju
pada umumnya, ‘Genkan’ di sini cukup tinggi. Mereka menyeka salju yang menutupinya,
kemudian terus berjalan. Lantainya terbuat dari kayu, dan terdengar suara berdecit ketika
seseorang menginjaknya. Reyda terus berjalan sambil menatap Nina, kemudian tiba-tiba dia
berkata…
"Meskipun masih muda, kamu cukup patuh dan sopan, ya? Apakah kau sudah menjadi Raja
Pedang?"
232
"Tidak, aku belum mencapai tahapan itu."
"Begitu ya. Kau tetap rendah hati, meskipun kau adalah pemuda terkuat di Dojo ini.”
"Mungkin aku adalah yang tercepat, namun aku bukanlah yang terkuat."
"Ohhh? Kau merendah rupanya. Tidak biasanya para Swordsman muda aliran teknik Dewa Pedang
bersikap seperti itu.”
Sambil membahas topik itu, mereka bertiga tiba di ruang pertemuan. Di sana duduk seorang pria.
Dia sedang memejamkan matanya seakan bermeditasi.
Sebagai ketua salah satu dari tiga teknik pedang tertinggi, yaitu Dewa Air, Reyda kerap
membanggakan kemampuannya sendiri. Dia tidak pernah merasa tua, dan selalu percaya diri bisa
menahan serangan pedang dari siapapun juga. Kecuali, serangan dari pria ini.
Yaitu, Sang Dewa Pedang, Gull Farion.
"Aku sudah membawa Reyda Liia-sama."
"Kamu sudah datang rupanya."
Gull Farion sedikit membuka matanya, kemudian dia menatap Reyda. Dia sempat melirik wanita
muda yang mendampingi Reyda, namun dia segera kehilangan ketertarikan pada mereka, lantas
mengalihkan pandangannya.
"Kau telah menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk datang ke sini. Perjalanan sejauh itu pasti
sulit bagi tulangmu yang sudah tua.”
"Memang. Tapi, kau sendiri yang memohon padaku untuk datang ke sini, jadi aku pun penasaran.
Turun lah kemari ... "
Reyda berjalan ke arah Dewa Pedang, lalu duduk di depannya. Padahal, dia tadi mengatakan ‘turun
lah kemari’, namun justru dia lah yang mendekat. Gerakannya begitu lancar bagaikan aliran air.
Beberapa langkah di belakangnya berdiri lah Nina, bersama wanita yang mendampinginya, mereka
tampaknya sedang menunggu apa yang sebenarnya akan terjadi di sini.
"Jadi, kau ingin aku mengajari siapa? Gak papa nih kalau kuajari gadis ini?”
Saat menanyakan itu pada Dewa Pedang, Reyda menunjuk ke arah Nina dengan dagunya.
"Yah, dia memang tampak seperti gadis yang penurut. Dia begitu mahir menggunakan teknik
Dewa Pedang, namun belum tentu dia bisa cocok menggunakan teknik Dewa Air.”
Reyda telah membaca surat dari Dewa Pedang, kemudian dia pun datang jauh-jauh ke tempat ini.
Di suratnya, Dewa Pedang menuliskan: “Aku ingin kau mengajari salah satu muridku”. Kalau
orang lain mengirimkan surat seperti itu padanya, biasanya dia akan merobek-robek kemudian
membuang surat tersebut. Namun, beda ceritanya jika Gull Farion Sang Dewa Pedang yang
mengirimkannya, karena dia terkenal benci mengandalkan orang lain. Itulah yang membuatnya
semakin tertarik untuk datang ke tempat ini. Namun, setelah jauh-jauh datang dari ibukota Asura,
dia tidak lantas menuruti permintaan itu dengan gratis.
"Namun, aku punya syarat."
"Apa itu?"
233
"Aku bisa saja mendidik muridmu itu, namun kau juga harus menunjukkan teknik Dewa Pedang
pada muridku. Kau tidak perlu mengajarinya… cukup perlihatkan saja.”
Reyda cukup menyayangkan muridnya yang semakin sombong. Di Kerajaan Asura, begitu banyak
orang yang berminat mempelajari teknik Dewa Air, namun sedikit sekali yang bisa berkembang
dengan baik. Gadis yang Reyda bawa hari ini adalah salah satu dari sedikit orang tersebut. Karena
tidak ada murid lain yang bisa menandingi kemampuan gadis ini, maka dia semakin sombong.
Sebenarnya dia berlatih dengan serius, namun karena tidak menemukan saingan yang setara, maka
beberapa tahun terakhir Reyda merasa bahwa kemampuan muridnya semakin stagnan.
Reyda sengaja membawa gadis itu ke sini untuk mendapatkan lawan yang setara, sehingga dia
kembali menemukan semangat untuk tumbuh lebih kuat. Mungkin tidak ada murid Dewa Pedang
yang sanggup mengalahkan gadis ini, sehingga dia perlu melawan gurunya secara langsung, yaitu
Gull Farion. Dengan menghadapi lawan yang berlevel jauh di atasnya, setidaknya matanya
kembali terbuka untuk melihat orang-orang yang lebih hebat darinya. Bagi para pengguna teknik
Dewa Air, semakin hebat lawan yang dihadapi, maka semakin bagus pula hasilnya.
Lagipula, Reyda merasa bahwa Gull Farion memikirkan hal yang sama saat mengundangnya ke
sini. Murid sang Dewa Pedang akan menjajal teknik Dewa Air, dan merasakan bagaimana
serangannya dipantulkan. Dengan begitu, dia akan tumbuh semakin kuat.
"Boleh saja. Aku sih tidak keberatan."
"Hmph. Kalau begitu, bagaimana kalau kita adu saja murid kita?”
Reyda mengusulkan ide itu. Tujuannya melakukan itu agar Nina mengalahkan muridnya.
Sebenarnya, akan lebih mudah bila Dewa Pedang langsung menghadapi muridnya. Tapi, setelah
berpikir ulang, Reyda menyadari bahwa akan lebih menyakitkan bila muridnya itu dikalahkan oleh
Swordsman yang seumuran dengannya.
"Baiklah. Nina, panggil Eris kemari."
"... Mengerti."
Saat mendengar itu, Reyda lantas mengatakan “Oh?” sambil memiringkan kepalanya. Semenjak
bertemu di pintu gerbang tadi, Reyda pikir hanya Nina lah yang dilatih Gull Farion secara
langsung.
"Um, Shisho."
"Ada apa? Cepat bawa dia ke sini."
"Bukankah lebih baik bila aku ikut bertanding melawannya? Aku juga tertarik mencoba seberapa
hebat kah teknik Dewa Air, jadi….”
"Hah? Jadi kau juga ingin melawannya? Ya sudah, cepat lawan dia.”
Dewa Pedang Gull Farion mengangguk, dan menyetujui permintaan putrinya.
"Terima kasih banyak! Aku akan segera membawa Eris ke sini."
Setelah mendengarkan tanggapan ayahnya, ekspresi bahagia muncul sekilas pada wajah Nina, lalu
dia membungkuk, kemudian meninggalkan Dojo.
Bagian 2
234
Saat melihat seorang gadis muda berambut merah datang, sehelai bulu kuduk Reyda berdiri tegak.
Rasanya, dia melihat seekor monster yang dia temui di pinggir jalan. Secara refleks, dia hampir
menggerakkan tangan ke pedangnya. Bagi seorang Dewa Air, bersiaga pada anak ingusan yang
barusan kemaren belajar pedang adalah tindakan yang memalukan. Namun, dia melakukan itu
karena murid terhebatnya sudah bergerak terlebih dahulu. Gadis tersebut memasang kuda-kuda,
dan siap menggunakan teknik Dewa Air-nya kapanpun, padahal lawannya belum melakukan apa-
apa.
"Eris. Mulai sekarang, nenek ini adalah orang yang akan mengajarimu teknik Dewa Air."
"... Mohon bantuannya."
Eris tidak menyembunyikan ketidaksenangan di wajahnya, tetapi dia masih bersedia
membungkuk.
(Dia seperti binatang buas, ya ...)
Reyda bisa merasakan emosi brutal bagaikan binatang buas kelaparan, yang tertidur jauh di dalam
mata Eris. Teknik Dewa Air tidak akan bisa diajarkan pada orang yang begitu emosional. Sejak
awal, orang seperti Eris tidak akan mampu membuka hatinya untuk mempelajari jurus tersebut.
"Aku minta maaf, bocah Gull… tapi, gadis ini tidak akan cocok menggunakan teknik Dewa Air.
Ini buang-buang waktu saja."
"Aku juga sudah tahu itu."
Dewa Pedang Gull Farion mengangguk dengan lebay.
"Kalau begitu, apa yang harus kuajarkan?"
"Sebenarnya, kau tidak perlu mengajarinya apapun. Yang perlu kau lakukan hanyalah,
memberinya lawan yang bisa menggunakan teknik Dewa Air.”
Dari percakapan singkat tersebut, Reyda telah memahami tujuan Dewa Pedang Gull Farion.
Dengan kata lain, dia ingin gadis yang dipanggil Eris ini untuk “meniru” teknik Dewa Air. Namun,
Reyda tidak mengerti mengapa dia harus mempelajari lebih dari satu teknik. Tentu saja, dia juga
diuntungkan dengan muridnya yang mendapatkan pengalaman melawan Swordsman beraliran
Dewa Pedang, namun… kalau cuma begini sih, seharusnya dia tidak perlu datang jauh-jauh ke
sini. Kalau tujuannya hanyalah menembus pertahanan teknik Dewa Air, maka Gull Farion hanya
perlu memanggil pengguna Dewa Pedang yang lebih cepat. Kalau kecepatan gadis berambut
merah ini diasah setiap hari, lama-kelamaan dia pasti bisa menandingi refleks pengguna teknik
Dewa Air, sehingga dia bisa menembus pertahanannya dengan mudah.
Daripada susah payah mempelajari teknik Dewa Air, lebih baik dia mengasah teknik Dewa
Pedang-nya secara rutin. Lagi pula, teknik Dewa Pedang cenderung lebih mudah dipelajari secara
individual. Selama kau bisa menebaskan pedangmu dengan cepat, dan semakin cepat, maka teknik
Dewa Pedang-mu akan segera naik ke level selanjutnya. Berbeda dengan teknik Dewa Air. Para
Swordsman pengguna teknik tersebut harus menemukan lawan yang hebat, sehingga
pertahanannya semakin teruji. Singkatnya, mereka tidak bisa melatih diri secara individual.
Namun, berlatih seorang diri tidak akan meningkatkan pengalamanmu dalam bertarung. Kau bisa
saja memperoleh kecepatan kilat setelah berlatih sendirian selama bertahun-tahun, namun kau

235
tidak akan tahu bagaimana lawanmu menangani kecepatan tersebut. Itulah kenapa si gadis
berambut merah harus menghadapi lawan yang memiliki pertahanan terbaik. Dan satu-satunya
teknik yang tidak bisa ditembus begitu saja dengan kecepatan Dewa Pedang, adalah teknik Dewa
Air.
"Jadi, kau berencana membunuhku dengan melatih hewan buas ini?"
"Ya ampun… tentu saja tidak. Apa gunanya membunuh nenek tua yang sudah hampir mati?”
"Kalau begitu, katakan padaku apa rencanamu melatih dia. Mengapa dia perlu meniru teknik Dewa
Air? Dengan mempelajari lebih dari satu teknik, sebenarnya siapakah yang ingin dilawan gadis
ini?"
Setelah mendengar pertanyaan itu, seringai yang lebar dan bengis tampak di wajah Dewa Pedang.
"Gadis bernama Eris yang ada di sana itu…. ingin mengalahkan Dewa Naga Orsted."
"Ya ampun ... Orsted katamu!??"
Ekspresi wajah Reyda berubah drastis. Dia juga tahu betul nama itu. Dia pun paham betul kekuatan
makhluk itu. Entah belajar dari mana, yang jelas Orsted juga bisa menggunakan teknik Dewa Air.
"Dewa Naga? Apakah kau sedang mengigau. Kau pikir dia bisa mengalahkan makhluk itu??”
"Kurasa Eris bisa melakukannya. Bahkan muridmu juga bisa…"
"Aku mengerti, aku mengerti. Baiklah kalau begitu. Percaya diri lebih penting daripada apa pun
di dunia ini."
Reyda tidak tahu, apakah Gull Farion sedang bercanda atau serius. Mengalahkan Dewa Naga yang
menduduki peringkat kedua dari Tujuh Kekuatan Dunia…. itu terdengar seperti lelucon paling
lucu. Namun, wajah Dewa Pedang terlihat yakin, sedangkan wajah Eris terlihat biasa saja. Entah
kenapa, itu cukup membujuknya untuk menganggap serius tawaran ini.
Lagipula, Reyda memang suka hal-hal yang menarik. Itu jugalah yang membuatnya jauh-jauh
datang ke sini.
"Tapi, kau harus tahu, wahai Dewa Pedang. Aku tidak tertarik membagi ilmuku pada murid yang
tidak berbakat. Pertama-tama, dia harus bertarung melawan muridku, jika dia cukup hebat untuk
membuatnya kewalahan, maka aku bersedia mengajarinya.”
Ini seperti menjatuhkan dua ekor burung dengan sekali melempar batu, ah tidak… lebih tepatnya
tiga ekor burung. Pertama, kesombongan muridnya bisa dihilangkan. Kedua, muridnya bisa
mendapatkan pengalaman berharga dengan melawan gadis yang dilatih langsung oleh Dewa
Pedang. Ketiga, jika si gadis berambut merah itu menang, maka dia akan terlibat dalam suatu
proyek yang sangat menarik, yaitu mengalahkan salah satu monster terkuat di dunia ini, yang tidak
lain adalah Dewa Naga Orsted.
"Baiklah…. Isolte, lawan dia."
Murid terbaik Dewa Air yang bernama Isolte pun berdiri.
"Aku sudah mendengarkan semua pembicaraan kalian. Akulah Raja Air Isolte Cruel. Senang
bertemu denganmu."

236
Seketika, Nina dan Eris juga memberikan salam, kemudian menghadap pada Isolte.
"Aku adalah Saint Pedang, Nina Farion. Mohon bantuannya."
"... Eris Greyrat."
Ketika tiga orang cewek berkumpul bersama, biasanya mereka akan ngerumpi dan membuat
kegaduhan lainnya. Namun, “kegaduhan” yang akan dibuat tiga cewek ini, adalah kegaduhan
terburuk di dunia. Mereka bertiga pun mengambil pedang kayu yang terletak di sudut Dojo.
"Karena Shisho memintaku meladeni kalian, maka akan kuturuti itu, tapi ... kurasa seorang Saint
tidak akan bisa mengalahkanku.”
Sembari menutupi mulutnya menggunakan tangan, Isolte menggumamkan itu dengan suara lirih.
"... Itu benar. Jadi, jangan terlalu serius menghadapiku," kata Nina.
"Hmph ..."
Eris hanya mendengus.
Provokasi murahan Isolte sudah cukup untuk mengobarkan api di mata Eris, sang pengguna teknik
Dewa Pedang yang jenius.
Bagian 3
Satu jam kemudian, Eris roboh di tengah dojo.
"Haa ... Haa ..."
Matanya terbuka, dan napasnya terengah-engah. Dia kalah telak oleh Isolte. Pedang Eris belum
sekalipun menyentuh Isolte.
Eris adalah salah satu dari 10 Swordsman tercepat di Dojo ini. Itu adalah hasil latihannya
mengayunkan pedang. Kini, kekuatan dan kecepatan tebasan pedang Eris sudah hampir menyamai
Ghyslaine. Sangat sulit menghindari tebasan pedang Eris karena ritmenya yang begitu acak. Ketika
kemampuan itu dipadukan dengan teknik Dewa Pedang, maka level Eris sudah melebihi Saint
Pedang biasa.
Namun, Isolte berhasil menangkis semua serangan Eris, kemudian melancarkan serangan balik
padanya. Pertandingan ini berlangsung selama 30 menit, bahkan mereka sudah berganti
menggunakan pedang sungguhan, namun…. jumlah serangan fatal yang hampir mengenai Eris
sudah mencapai angka tiga digit.
"..."
Di sebelah Eris, terbaring lah Isolte dalam keadaan tak sadarkan diri. Rupanya dia sudah kalah
telak. Dan orang yang mampu mengacaukan pertahanannya adalah Nina.
Akhirnya, gaya bertarungnya yang brutal tidak pernah bisa menembus teknik pertahanan Dewa
Air.
Nina dengan mudah menundukkan kesombongan Isolte.

237
Nina menghujani Isolte dengan serangannya yang tanpa ampun. Bahkan, salah satu serangannya
hampir mengiris pelipis Isolte. Hasilnya, Isolte benar-benar takhluk. Hanya membutuhkan satu
serangan terakhir untuk menyudahi perlawanan murid terhebat Dewa Air.
"Hasilnya cukup menarik, ya."
Dewa Pedang, Gull Farion, yang duduk di kursi kepala Dojo mengatakan itu.
"..."
Nina membungkuk rendah pada Shishou-nya. Katanya, ini adalah suatu hasil yang menarik.
Bahkan dia pun tidak mengira bahwa putrinya bisa menang dengan begitu mudah. Meskipun
awalnya Nina tidak percaya diri bisa memenangkan pertarungan ini, namun latihannya yang rutin
selama ini tampaknya membuahkan hasil. Nina cukup senang dengan hasil ini, dan dia pun
menikmati kemenangan ini.
"Kalau menurutku sih, hasil ini sama sekali tidak menarik."
Orang yang mengatakan ini adalah Reyda. Baginya, hasil ini sudah wajar. Seekor hewan buas yang
tidak mampu mengendalikan nafsunya tidak akan bisa menembus pertahanan teknik Dewa Air.
Eris memang kuat. Dan dia punya potensi. Dengan semangat juang sebesar itu, dia bagaikan anak
ajaib yang turun dari langit, namun sehebat apapun dia… jika dia tidak bisa mengendalikan
emosinya, maka dia tidak akan dapat menembus pertahanan Dewa Air.
Adapun pertarungan antara Nina dan Isolte, Reyda juga telah memprediksi hasil ini. Dengan usia
semuda itu, dan bakat sebesar itu, Nina tidaklah sombong. Mungkin, superioritas Eris lah yang
membuat Nina tidak bisa sombong. Reyda sudah menduga bahwa ilmu yang tanpa disertai
kesombongan jauh lebih unggul daripada ilmu yang tercemar oleh kesombongan.
Sebetulnya kecepatan tebasan pedang Nina dan Eris hanya berbeda sebelas-dua belas. Namun,
dalam hal kekuatan tebasan, maka Eris jauh mengungguli Nina.
Akan tetapi, serangan Nina adalah serangan yang bersih dari emosi. Sama sekali tidak terasa aura
membunuh pada setiap serangan Nina. Seolah-olah, dia menebaskan pedangnya dengan pikiran
kosong. Serangan seperti itulah yang sulit diprediksi oleh pengguna teknik Dewa Air, karena Isolte
tidak merasakan bahaya sedikit pun pada serangan Nina yang bersih dari aura membunuh.
"Namun, hasilnya memuaskan, bukan? Bagaimana? Apakah kau ingin mempelajari teknik Dewa
Air dariku?”
Setelah ditanyai itu, Nina tampak berpikir sejenak, namun akhirnya dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak…. Aku lebih memilih fokus mempelajari teknik Dewa Pedang."
"Aku mengerti, aku mengerti. Tidak apa-apa."
Reyda tertawa dengan penuh ketertarikan.
"Bocah Gull. Gimana nih? Untuk sementara, kita akan membuat mereka saling berlatih satu sama
lain, agar kemampuan mereka berkembang bersama."
"Ya. Lagian, Eris sepertinya tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena dia telah kalah dari Raja Air.”
"Murid-murid kita pasti akan berusaha lebih keras jika mendapati lawan yang jauh lebih hebat
darinya.”
238
Berikut hasil evaluasi Dewa Pedang dan Dewa Air:
Eris akan terus berlatih sampai dia bisa mengalahkan Isolte. Isolte juga akan terus berlatih sampai
dia bisa mengalahkan Nina. Mereka memiliki tujuan yang sama, dan mereka telah menunjukkan
kelemahan masing-masing, sehingga mereka akan sama-sama berkembang.
"... Nina, kau menerima keputusan kami?"
"Ya, tidak masalah."
Nina mengangguk. Tentu saja, baru kali ini dia begitu penasaran menjajal lawannya. Namun, dia
lebih memilih untuk menekuni lebih dalam teknik Dewa Pedang, tanpa harus coba mempelajari
teknik lainnya. Nina telah menang. Namun, Nina sama sekali tidak merasa bahwa Eris dan Isolte
lebih buruk darinya. Akhirnya, dia memahami faedah membandingkan kekuatannya sendiri
dengan kekuatan lawan. Akan tetapi, dengan tabiat seperti itu, Eris mungkin tidak akan pernah
bisa mengalahkan Isolte.
"Baiklah. Kurasa, itulah keputusan terbaik saat ini. Esok pagi, berlatihlah bersama guru kalian
seperti biasa, kemudian saat matahari terbenam, kalian bertiga berkumpulah lagi untuk berlatih
bersama.”
"Ya."
"...Mengerti."
Nina mengangguk dalam diam, dan Eris juga menjawabnya dengan napas masih compang-
camping.
Meskipun Isolte masih terbaring tak sadarkan diri, Reyda tidak berniat menyatakan komplain
apapun.
Dengan begini, latihan Anti-teknik Dewa Air Eris dimulai.
Bagian 4
Sebulan kemudian.
Terjadi suatu kebuntuan aneh di antara mereka bertiga.
Eris mengalahkan Nina.
Nina mengalahkan Isolte.
Isolte mengalahkan Eris.
Sembari melanjutkan latihan rutin masing-masing setiap hari, mereka juga saling berhadapan satu
sama lain, dan juga saling bertukar opini. Akhirnya, Isolte menemukan kelemahan Eris.
"Eris-san, aura membunuhmu terlalu kuat. Kami, para pengguna teknik Dewa Air, bisa membaca
aura gelap tersebut, jadi saat kami tahu serangan tersebut akan datang, kami bisa menyiapkan diri.”
"Meskipun kau bilang begitu, aku tetap saja tidak mengerti. Jadi, apa yang harus aku lakukan?"
Eris dengan patuh mendengarkan kata-kata Isolte. Meskipun dia terlihat egois dan kasar, Eris
adalah orang yang bersedia mendengarkan saran yang membangun dari orang lain.

239
"Mari kita lihat ... Nina-san, bagaimana kau bisa melancarkan serangan yang begitu bersih dari
aura membunuh?”
"Aku tidak tahu bagaimana harus menerangkannya ... Tapi, yang dibutuhkan pengguna teknik
Dewa Pedang hanyalah tebasan pedang yang cepat, sehingga… kau tidak perlu aura membunuh
seperti itu, kan?”
Nina juga bingung, mengapa Eris selalu menyerang lawannya dengan nafsu membunuh yang
begitu kuat.
Di sini kami hanya berlatih, jadi tidak ada musuh yang membahayakan jiwanya, lantas mengapa
dia begitu bernafsu membunuh lawannya? Bukankah lebih baik kita menikmati latihan ini?”
Itulah yang dipikirkan Nina.
"Aku tidak mengerti." ujar Eris.
"Baiklah…. Untuk melepas nafsu membunuhmu, lebih baik kau mandi, mencuci tubuhmu, makan
dengan benar, dan bayangkan pria idaman yang pernah kau sebutkan itu, sembari rebahan di Futon
sebelum tidur…”
"Apa-apaan kau ini. Rudeus tidak ada hubungannya dengan itu, kan?"
" ... Ya ampun, yang terakhir cuma lelucon. Pokoknya, lakukan saja yang kusebutkan tadi. Baumu
parah, dan kau tampak lusuh. Itu sungguh tak sedap dipandang mata.”
"...Mengerti."
Eris sendiri tidak ingin menganggap serius guyonan itu, sehingga dia menahan amarahnya.
Semakin dia berlatih, semakin dia mengerti bahwa Dewa Naga Orsted memiliki kekuatan yang tak
masuk akal. Isolte yang belum bisa dia kalahkan juga menggunakan jurus yang sama dengan
Orsted. Namun, jurus Orsted saat itu jauh-jauh-jauh lebih hebat dan lebih akurat daripada jurus
Isolte. Dengan kata lain, kemampuan Orsted sudah jauh melebihi Raja Air sekalipun.
"Hahhh, mengapa aku tidak bisa menang melawan orang sepertimu? Aku jadi kehilangan
kepercayaan diriku."
Nina menghela nafas panjang. Dewa Pedang, Gull Farion, selalu menyarankan putrinya itu untuk
berpikir dan berlatih secara rasional setiap hari. Dia pun mengikuti saat ayahnya dengan secara
rasional melatih tubuhnya, secara rasional makan, dan secara rasional melakukan rutinitas lainnya.
Namun, dia masih saja belum bisa menang melawan Eris yang tidak rasional.
"... Karena, seolah-olah gerakanmu selalu terlambat."
"Eh?"
Nina tidak pernah mengira bahwa Eris akan mengatakan hal seperti itu padanya. Eris adalah
seorang wanita yang begitu egois, dan tidak pernah ambil pusing menanggapi permasalahan orang
lain.
"Dulu, Ruijerd pernah mengatakan hal seperti itu kepadaku. Jika kau menggunakan mata batinmu
dengan benar, maka kau bisa melihat pergerakan seseorang bahkan sebelum dia melakukannya.”
"Ruijerd? ... Siapa itu?"

240
"Dia guruku."
Nina memiringkan kepalanya saat mendengar kata-kata Eris. Dia tidak begitu mengerti apa yang
sedang Eris bicarakan.
Eris biasanya menggunakan teknik bertarung level tinggi yang diajarkan Ruijerd. Pria botak
menguasai teknik seperti itu setelah sekian lama menjadi prajurit veteran. Itu adalah teknik khas
dari para prajurit ras Supard.
"Bagaimana bisa kau memprediksi gerakan lawan seperti itu, Eris-san?”
“Aku membuat mereka tertekan.”
“Maksudmu, kau sengaja memprovokasi lawanmu untuk menyerang?”
"Betul."
"..."
Akhirnya Nina mengerti alasan di balik kekalahannya. Dia tidak pernah mengira wanita barbar
seperti Eris bisa menggunakan taktik yang begitu brilian dalam bertarung. Itu pula menjelaskan
mengapa Eris selalu kalah dari Isolte. Isolte tidak pernah terpancing oleh provokasinya, karena
teknik Dewa Air hanya dikhususkan untuk bertahan dan melancarkan serangan balik. Dengan kata
lain, teknik Dewa Air memiliki kemiripan dengan gaya bertarung Eris yang provokatif, yaitu
membiarkan lawannya bergerak terlebih dahulu.
"Begitu ya. Apakah kau selalu menggunakan teknik yang sama saat menghadapiku?" kata Isolte
pada Eris.
"Ya, tapi kamu memang tidak menyerang, kan?”
"Aku juga masih berlatih untuk mengembangkan teknikku itu ... Eris-san, lain kali jangan terlalu
mengumbar nafsu membunuhmu. Mungkin hasilnya akan berbeda.” lanjut Isolte.
"...Aku akan mencobanya."
Sambil mengerutkan kening, Eris mengangguk. Meskipun dia mengatakan akan mencobanya, dia
tidak pernah tahu cara mengendalikan aura membunuhnya. Lagi pula, nafsu membunuh bukanlah
hal yang bisa dia kendalikan secara sadar. Tentu saja, orang-orang lain sudah pernah mengatakan
hal yang sama padanya. Lagipula, Ruijed justru mengajari Eris untuk memanfaatkan nafsu
membunuh itu, bukannya menahannya.
Biasanya, nafsu membunuh adalah suatu bentuk kekurangan. Namun, selama kau bisa
mengungguli lawan-lawanmu dengan memanfaatkan nafsu membunuh tersebut, maka kau tidak
perlu menahannya.
Itulah yang dipikirkan Eris.
"Kalau aku… menurut Isolte-san, apa yang harus aku lakukan?"
"... Untukmu, Nina-san, mari kita lihat…. Saat mempelajari teknik Dewa Air, aku pernah berlatih
menentukan arah serangan dengan mata tertutup. Itu adalah latihan untuk mempertajam mata
batinmu. Rupanya, teknik yang sama bisa digunakan oleh ras iblis, jadi para pengguna teknik
Dewa Pedang sepertimu pasti bisa menirunya. Bagaimana kalau menanyakan ini pada Oshihsou-
sama?”
241
Isolte memiliki kecedikan dan ketangkasan. Di antara para Swordsman pengguna teknik Dewa
Air, terdapat banyak petarung yang tekun dan gigih.
"Fiuh, itu bukanlah hal yang mudah dipelajari ... Oh, matahari sudah mulai terbenam, kah?"
Sembari mengatakan iti, Nina mengakhiri sesi latihan hari ini.
"Baiklah, sampai besok, ya? ... Entah kenapa, akhir-akhir ini latihan bersama kalian semakin
menyenangkan, jadi aku masih betah melanjutkan metode ini dengan kalian. Lagian, ini pertama
kalinya aku berdiskusi dengan orang yang selevel dan seumuran denganku.” kata Isolte dengan
riang.
"Benar. Aku juga merasakan hal yang sama, Isolte-san."
Nina menyetujuinya. Eris biasanya hanya diam, namun sekali dia berbicara, ternyata dia memiliki
pengetahuan yang cukup luas dan beragam tentang pertarungan. Pengetahuannya tidak terbatas
hanya pada teknik Dewa Utara yang baru-baru ini dia pelajari. Dia bahkan tahu teknik bertarung
prajurit dari ras iblis. Selama ini, Nina hanya menganggap Eris sebagai gadis barbar yang hanya
tahu berkelahi, namun ternyata dia memiliki nilai lebih. Awalnya, Nina berpikir bahwa teknik yang
digunakan Eris hanyalah teknik preman jalanan, namun ternyata itu adalah teknik yang diajarkan
seorang prajurit veteran.
"... Hmph."
Seperti biasanya, Eris hanya mendengus. Ketika dia ikutan berdiskusi kelompok bersama Dewa
Pedang dan murid-murid lainnya, biasanya tidak pernah angkat bicara.
Eris pun jadi teringat masa lalu ketika dia belajar ilmu pedang bersama Rudeus. Pada hari-hari itu,
dia selalu mendiskusikan ini dan itu bersama Rudeus, sehingga munculah berbagai ide dari diskusi
mereka. Meskipun mereka mendiskusikan hal-hal sepele saat itu, namun Eris belajar suatu hal
yang berharga, yaitu berkomunikasi dengan sesama.
"Baiklah, aku akan pergi untuk latihan bersama Shisho sekarang."
"Terimakasih atas kerjasamanya hari ini, Isolte-san."
"Jangan begitu, Nina-san. Aku juga berterimakasih pada kalian. Aku bisa merasakan
kemampuanku berkembang semakin kuat dengan konstan.”
Dengan senyuman di wajahnya, Isolte dan Nina pun berpisah di persimpangan jalan menuju
asrama murid dan asrama tamu. Eris pun dengan cepat menuju asramanya.
"Terima kasih juga, Eris-san."
"... Besok, akan kutembus pertahananmu."
"Aku tak sabar menantikannya."
"Hmph."
Tanpa melirik ke belakang, Eris terus berjalan. Nina membungkuk sekali pada Isolte, kemudian
berjalan menyusul Eris.
"Eris, tidak apa-apa kalau kau meneruskan latihanmu setelah ini, namun saat sudah selesai nanti,
mandilah!!”

242
Biasanya sih, Eris akan memasukkan perkataan seperti itu ke kuping kirinya, kemudian langsung
dia keluarkan dari kuping kanan. Nina pun tahu bahwa anjurannya itu tidak pernah digubris oleh
Eris, namun karena bau yang parah, dia tidak punya pilihan selain mengingatkannya setiap hari.
Namun, Eris sedikit berbeda hari ini. Sembari memasang wajah sedikit cemberut, Eris menoleh,
kemudian menatap tajam pada Nina.
"Yang kau katakan tadi…. Beneran tuh?"
"Tadi? Yang mana?"
"Kalau aku mandi tiap hari, mencuci tubuhku, makan dengan benar, dan membayangkan Rudeus
sembari rebahan di Futon sebelum tidur… aku bisa menyingkirkan nafsu membunuhku.”
"Uu ..."
Kata-kata Nina tersendat di tenggorokannya. Sebenarnya itu hanyalah perkataan ngawur yang
diucapkan Nina pada Eris, agar dia mendengarkan perkataannya. Namun, karena Nina
menyinggung nama Rudeus, maka Eris pun menganggapnya serius.
"I-itu benar. Pada dasarnya, kalau bau badanmu tidak separah ini, maka pria idamanmu itu tidak
akan berpaling darimu.”
"Tidak… itu tidak benar. Rudeus bahkan suka mengendus kausku yang basah dengan keringat.”
"Itu ..."
Nina pernah melihat Rudeus sekali, dan dia membayangkan pria itu membenamkan wajahnya pada
kaus seorang cewek.
Itu berarti, dia cabul.
Namun, Nina tidak menyatakan itu, karena wajah Eris terlihat semakin kesal.
"Pokoknya, kalau kau kotor, maka tidak akan ada seorang cowok pun yang mau mendekatimu.”
"Yah, Rudeus juga suka bersih-bersih, sih.”
"N-nah… benar kan!? Itulah mengapa kau harus selalu memastikan kebersihan tubuhmu.”
Eris mulai berpikir. Dia kembali teringat kenangan bersama Rudeus. Meskipun dia sudah berniat
melenyapkan pria itu dari pikirannya, akhirnya dia kembali mengingatnya. Dan setiap kali dia
mengingatnya, senyum bahagia selalu merekah di wajahnya.
Kemudian, Eris pun menyadari, ketika dia ingat Rudeus, nafsu membunuhnya tidak lagi meledak-
ledak seperti biasanya.
Lalu, dia mengangguk pada Nina.
"Aku mengerti. Kalau begitu, aku mandi dulu.”
“Nah… gitu dong. Aku sudah gak kuat lagi…. HAH!? APA KAU BILANG BARUSAN!?”
Eris mengabaikan Nina yang terkejut, kemudian dia segera kembali ke kamarnya. Nina masih
terdiam di sana, dengan ekspresi bingung di wajahnya.
Mulai saat itu, setidaknya Eris membutuhkan waktu setahun untuk bisa mengimbangi Raja Air
Isolte.
243
KETERANGAN

1. http://en.wikipedia.org/wiki/Roguelike
2. Pedang tipe ini juga biasa disebut Cutlass, yaitu pedang yang biasa digunakan oleh para bajak
laut.
3. Parodi Game Worm.
4. Konon katanya, jika kau terjebak pada suatu persimpangan jalan, ambilah sisi kanan, maka
kau akan selamat.
5. Pelacuran.
6. Kalau tidak salah, jasad ras iblis bisa digunakan sebagai benda sihir, layaknya jasad monster.
Dan ingatlah bahwa Roxy adalah ras iblis.
7. Ingat, sebenarnya Rudeus pernah mengaku bahwa dia adalah atheis.
8. Yang merupakan kependekan dari Post Traumatic Stress Disorder. Ya, singkatnya sih trauma.
9. Mahjong Lima Bambu bergambarkan 2 batang bambu di kanan, 1 batang bambu di tengah,
dan 2 batang bambu di kiri. Kalau dilihat dari depan ke belakang, formasi itu mirip seperti
kelompok ini, yaitu 2 – 1 – 2.
10. Sepertinya ini adalah parodi Whirlwind Formation pada Romancing Saga 3.
11. Ini adalah parodi Sairium AKA Cyalume, bisa dicek pada :
http://livedoor.blogimg.jp/makotcollection/imgs/9/6/962be9a8.jpg.
12. http://ultra.wikia.com/wiki/File:Ultra_Slash_on_Ginga_.jpg
13. Gladius adalah pedang dalam Bahasa Latin. Saat ini biasanya merujuk pada pedang pendek
Romawi yang digunakan sebagai senjata standar oleh prajurit Legiun Romawi sejak abad
ketiga Masehi. Terdapat tiga desain yang saat ini banyak direka ulang, desain tersebut yaitu
Mainz, Fulham, dan Pompeii (merujuk pada tempat atau bagaimana contoh historis
didapatkan). Gladius dirancang untuk melakukan tusukan yang kuat dan mematikan. Berbeda
dengan kepercayaan umum gladiator tidak menggunakan gladius. Gladius dibuat dari besi
lunak dan dikeraskan dengan menggunakan debu arang di landasan tempa. Proses ini penting
sebab besi lunak tidak cukup keras sebelum karbon dari bubuk arang dimasukkan ke bagian
luar bilah pedang. Gladius dikenakan disebelah kanan prajurit dan sisi tangan kanan juga.
Meskipun sepertinya sulit menghunuskan pedang yang yang diletakkan di sisi yang sama
dengan tangan yang memegangnya, prajurit tersebut tidak menemui kesulitan karena panjang
bilah Gladius yang pendek. Cara ini digunakan untuk mengurangi kemungkinan mencederai
prajurit di sebelah prajurit lain. Dikutip dari Wikipedia Bahasa Indonesia tanpa perubahan.
14. Ingat, Talhand juga bisa menggunakan sihir
15. Mungkin mirip ini http://lotr.wikia.com/wiki/Gollum dan ini
http://www.thewatcherfiles.com/images/alien3.jpg
16. Tidak punya nafsu sebesar Goblin di novel sebelah.
17. Ikkyu-san adalah tokoh anime lawas, yaitu seorang biksu kecil yang begitu cerdas. Dia sering
dipanggil oleh tokoh-tokoh kerajaan untuk menyelesaikan masalah secara bijaksana. Dulu
anime ini pernah tayang di TV swasta Indonesia lho.
18. Gulungan bagaikan bom granat yang bisa digunakan saat kau tidak punya waktu untuk
meledakkan bom waktu.
19. Formasi dari Romancing Saga 2.
20. Ini adalah salah satu ritual dalam serangkaian upacara kematian
21. Baca lagi Jilid 1, Bab 5, Bagian 1.

244
22. Alzheimer adalah penyakit yang membuat penderitanya mengalami kelumpuhan secara
mental maupun fisik, akibat penurunan kemampuan otak karena faktor bertambahnya usia.
23. Sebenarnya judul Bab ini dalam bahasa Jepang adalah “Shuraba”, yang berarti pertengkaran
atau percekcokan, yang biasanya dialamatkan pada pacar ataupun mantan pacar yang sedang
berkelahi. Kalau pembaca pernah tahu salah satu LN yang berjudul Oreshura, nah seperti
itulah keadaannya. Judul Bab ini juga bisa diartikan sebagai salah satu tempat di Asura, yang
berarti medan perang berdarah, penuh pembantaian, dan kekacauan.
24. Kalian harus tahu bahwa orang Jepang itu pelo. Mereka tidak bisa mengucapkan R dengan
benar. Jadi, nama anak ini seharusnya adalah RUSY. RU dari Rudi, dan SY dari Sylphy. Nah,
karena mereka pelo, maka jadinya Lusy, atau diplesetkan jadi Lucy.

245
STAFF

Penerjemah : - Ciu-ciu
- Arathasa

Editor : - Ciu-ciu

Like & share fan page kami via facebook : https://www.facebook.com/bakatsukiupdateindo/

246

Anda mungkin juga menyukai