Anda di halaman 1dari 13

Rahasia Sang Ardharātra

Buah Karya : Chelsea Pramudya Willyasari (06)

Langit kian menggelap seorang perempuan dengan rambut hitam panjang yang
dikepang memakai dress bermotif bunga - bunga kecil memasuki kamarnya dengan wajah
penuh keringat dengan raut lelah menandakan beratnya hari ini. Aruna bergegas naik ke
ranjang empuknya tidak sabar menantikan kejutan yang akan didapat. Denting jam
menggema menandakan puncaknya malam Aruna terlelap menikmati mimpinya.

" TUT TUT "

Suara khas klakson kereta menyapa gendang telinga Aruna membuatnya terbangun
dari tidur lelapnya, menuju ke balkon kamarnya dengan langkah tergesa. Betapa terkejutnya
kala melihat kereta merah antik bertulisan "WIZARD EXPRESS "dengan cerobong asap
yang mengepul berhenti tepat didepan balkon kamarnya. Gurat lelah tergantikan dengan raut
antusias dan senang. Kepul asap kereta menebal mengelilingi seluruh balkon membuat
pandangan Aruna berpusat pada pintu gerbong kereta yang terbuka mempersilahkannya
masuk. Aku memasuki kereta dan disambut seorang pemuda dilihat dari parasnya ia
seumuran dengan Aruna bersurai coklat berantakan, kemeja putihnya digulung hingga siku
dengan bawahan hitam.

“ Ready for the trip today? “Aruna menggangguk dengan antusias. Menikmati
perjalanannya diiringi desingan kereta dilangit malam.

Kebisingan menyambut gendang telinga, ada pedagang menawarkan dagangannya,


seorang ibu menawar harga sayuran, seorang anak uang menangis meminta sapu terbang.
Bukan pasar ini seperti area pertokoan yang sangat ramai dan padat. Anehnya pakaian mereka
ditutupi dengan jubah gelap dan memakai topi bulat yang meruncing keatas layaknya topi
penyihir. Tanpa disadarinya pakaianku berganti menjadi jubah hitam dihiasi lambang elang
putih dengan tiara dihiasi berlian biru diatasnya. Aku juga memakai kalung senada dengan
jubah, dihiasi liontin elang putih yang dibagian perutnya tertempel berlian deep blue.
Membuatku tidak mencolok dan berbaur dengan warga setempat. Aruna berkeliling ditemani
pemuda bernama Genandra dikereta tadi.

Sinar sang surya merambat masuk melalui celah tirai membuat burung hantu putih
dengan bitnik hitam di bulu sayapnya membuka mata lebarnya dan berkicau hampir seperti
teriakan mengusik sosok yang tertidur diranjang. Suara denting loncang akibat pintu terbuka,
dentingan sendok dan piring, obrolan pagi, berita yang tersiar di radio seperti alunan musik di
telinga Aruna yang sedang mengetik tugasnya dilaptop.

" ....aku tidak membual " sayup-sayup terdengar suara seorang perempuan dengan
rambut bergelombang pendek sebahu dari sekumpulan orang yang duduk dibelakang Aruna.
Suara itu terdengar kesal dam frustasi.

" Aku benar - benar menaiki kereta WIZARD EXPRESS dan berkeliling sepanjang
malam dilangit kota" Dia beranjak pergi karena dianggap membual oleh temannya dengan
kesal. Aruna yang mendengar itu terkejut dan merasa senang dengan segera ia mengemas
laptop & buku referensi yang dikeluarkan kedalam ransel kuningnya. Dan beranjak pergi
menyusul perempuan itu.

" Permisi, tadi aku tidak sengaja mendengarmu menyebut perjalanan naik WIZARD
EXPRESS di kafe tadi " Aruna memberi jeda

" Aku juga mengalaminya " Ucapnya dengan ragu

" AKHIRNYA ADA YANG SE PENGALAMAN DAN MEMPERCAYAIKU " Ia


berteriak saking senangnya

" Aku selalu menanti kereta itu berhenti dijendela kamarku tiap tengah malam "
Sambungnya dengan nada yang lebih tenang tanpa mengurangi raut senangnya.

"Aku juga, sampai tidak bisa tidur berakhir kereta itu tidak berhenti " Aruna
menimpali tak kalah senang.

" Hey bukankah kita memiliki pengalaman yang sama ayo berteman, Namaku Isvara "
Isvara mengulurkan tangan mengajak berjabat

" Aku Aruna " Jawabnya sambil menerima jabatan tangan Isvara. Mereka melanjutkan
obrolannya tentang berbagai pengalaman naik WIZARD EXPRESS sambil berkeliling dan
singgah ditaman kota sampai menjelang sore.

Tengah malam kian tiba Aruna sudah didalam gerbong kereta antik yang dinaikinya
disambut lagi oleh Genandra yang senantiasa tersenyum saat menyambutnya. Didalam
gerbong kereta yang melaju Aruna dikagetkan dengan suara yang tak lama ia temui.

" Ar kita ketemu lagi " Suara Isvara memenuhi gerbong. Kami memutuskan duduk
bersebelahan dan Isvara duduk disamping jendela sambil terus memandang langit
malam.

" Hai, aku punya trip spesial untuk kalian malam ini" Suara Genandra menghampiri
kami.

Selama perjalanan Genandra duduk didepanku ikut mengobrol. Mereka bertiga


memasuki bangunan besar tampak seperti istana dan disambut dengan megahnya interior
sepanjang lorong yang dilewati.

"Wow lihat semua ini, dimana kita? " Tanya Isvara masih mengagumi interior yang ia
lihat.

" Kita di Istana Sang penyihir Timur " Jawab Genandra sambil terus berjalan didepan

" Kenapa membawa kami kesini? " Tanya Aruna yang telah berhenti karena tertarik
dengan ukiran di dinding yang terlihat seperti alur cerita suatu kejadian. Genandra dan Isvara
ikut berhenti dan melihat ukiran dinding yang kuperhatikan.

" Aku diperintahkan Sang Penyihir utara membawa kalian kesini agar lebih mengenal
dunia ini "Aruna mendengar penuturan Genandra dalam diam. Ukiran itu
membuatnya semakin berpusat dan tertarik dengan kejadian didalamnya.

" Ikuti aku ada yang harus ku perlihatkan " Genandra lanjut berjalan. Isvara
menyadarkanku, kami menyusul Genandra dan berjalan dibelakangnya.

Setibanya di balkon istana tempat raja biasa menyapa warganya. Terpampang jelas
pesona sang fajar. Matahari terlihat sangat besar hampir memenuhi langit dan indah
menyebabkan langit berwarna oren cerah. Kicauan burung saling bersautan seperti
menyambut datangnya sang fajar. Tanpa kusadari kalung yang kukenakan bersinar layaknya
sinar fajar. Dua pasang mata menatap kalungku dengan dua ekspresi yang berbeda. Satu
menatap dengan kagum dan lainnya menatap dengan kaget dan penasaran.
Aruna berada di perpustakaan saat langit menguning menjemput malam,
mengembalikan buku-buku referensi dan novel yang dipinjamnya ditemani Isvara dan disusul
Genandra. Sejak perjalanannya ke Istana Si penyihir Timur Aruna lebih sering melakukan
perjalanan malam dengan WIZARD EXPRESS. Isvara juga semakin dekat dengannya, ia
selalu mengajak Aruna pergi bersama entah itu berbelanja, nonton atau sekarang ke
perpustakaan. Tidak lupa Genandra yang senantiasa menjadi pemandu perjalanan mereka.

Ramai orang penuh sesak, anak-anak berlarian, pasangan yang saling bergandengan, teriakan
orang bersautan, tangis anak meminta balon atau es cream penuhi pandangan mata.

"Hei, ayo naik itu. Kalian penakut jika tidak mau" Saut Isvara memecah kebisingan.

"Siapa takut " Lantang Aruma tak mau kalah. Helaan nafas Genandra keluar melihat kelakuan
dua perempuan itu dan menyusul mereka.

Gelap malam datang melingkupi langit. Aruna menenangkan burung hantu putihnya
yang dari tadi tidak mau diam terus bersuara dengan keras tak peduli malam semakin petang
padahal ia ingin segera tidur tak sabar dengan kejutan malam ini. Menyerah, ia meninggalkan
burung hantunya dan pindah ke kamar sebelah.

Perjalanan malam ini terasa berbeda diluar langit malam diselimuti awan hitam,
terlihat hampa tanpa ada cahaya bintang. Gerbong terasa dingin menusuk kulitku, gerbong
terasa sunyi hanya terdengar bisikan halus, Isvara diam terlihat ia juga memikirkan apa yang
terjadi.

"Var, kamu gapapa? bukankah ini aneh" Aruna mencoba mencairkan suasana.
Gelengan isvara tanda dia juga tidak tahu.

"Tenanglah, disini sudah berganti musim" Genandra datang sembari membawa coklat
hangat karena dinginnya gerbong kereta.

" Hari ini aku akan mengajak kalian ke tempat asalku".

Bangunan - bangunan megah dam tinggi memenuhi pandangan. Jalanan tidak seramai
di istana Utara, orang - orang hanya berlalu lalang dengan wajah lelahnya usai bekerja. Orang
disini mengenakan pakaian serba gelap terlihat mahal dipandang. Aruna terpaku dengan
bangunan paling tinggi di kota itu berkilauan terkena sinar matahari, dilingkupi awan putih
disekeliling nya. Isvara juga terkesan dengan bangunan yang dia lihat. Tak sempat bertanya
Genandra telah membawa kami ke sebuah komplek perumahan. Puluhan bangunan berjejer
rapi dengan bentuk yang sama. Genandra berhenti didepan salah satu bangunan itu.

" Selamat datang ditempatku bermalam " Genandra mempersilahkan kami masuk.

Kata pertama yang keluar dibenaku adalah rumah ini sangat keren. Lihat kursi
diruang tamu tidak napak dia melayang, gambar - gambar di pigura bergerak layaknya video
yang diputar,banyak tombak dan panah tepajang. Rumah ini entah kenapa terasa dingin
walaupun terdapat perapian besar di pojok ruangan.

" Kamu tinggal sendiri disini? " Tanya Isvara karena disini begitu hening.

" Ya, aku tidak tau dimana orang tuaku. Lebih tepatnya aku dan orang-orang di
kompleks ini diasuh oleh seseorang. Itu fakta mengejutkan dari Genandra, Aruna
bertanya memotong keheningan.

" Bolehkah aku tau bangunan apa yang menjulang tinggi dipusat kota tadi? "

" Itulah tujuan kita selanjutnya "

"Aku akan mempertemukan kalian pada seseorang".

Didepan kami berdiri kokoh tembok tinggi menjadi pembatas dengan rumah
penduduk. Decitan gerbang terbuka lebar seakan mempersilahkan kami masuk. Bangunan itu
layaknya istana begitu besar tiang penegaknyabterbuat dari marmer yang menyilaukan mata,
dinding - dinding dilapisi perak sepanjang sisi dihiasi batu bercahaya. Kami memasukinya,
Isvara begitu bersemangat dengan apa yang dia lihat.

" Bukankah ini istana Sang Penyihir Utara "

" Kau benar Var ini tempat Sang Penyihir Utara bersemayam, Darimana kau tau?
"Genandra heran Isvara mengetahui tempat ini.

" Emh, aku tau dari orang-orang yang mengobrol di kereta merah antik kala ituitu ".
Jawabannya setelah lama berfikir. Kami lanjut berkeliling istana. Aruna berjalan
berdampingan dengan Genandra yang asik bercerita tentang istana ini. Sedangkan
Isvara jauh tertinggal sibuk menelisik istana ini.
Kami sampai didepan pintu besar di pusat istana, sepertinya ini menjujung ruang
singgah sana. Kami memasukinya di kursi singgah sana duduk seorang dengan jubah hitam,
rambut abunya mencuat dibalik jubah, tatapan matanya kelam memandang kami.
Disampingnya berdiri tegak sebuah tombak diatas nya melayang sebuah batu berwarna
kuning safir. Kami mendekat kearahnya. Berdiri didepannya seraya membungkuk.

" Aku menunggu kunjungan mu cucu teman lama "Ucapannya sambil menatapku.
Aruna yang ditatap merasa heran, Genandra dan Isvara juga menatap ku dengan gurat
bertanya.

" Selalu pertimbangkan apapun sebelum melakukannya "

" Jangan mudah percaya dengan seseorang, bisa jadi ia adalah duri beracun yang akan
mengahancurkanmu kelak " Ucapannya membuat Aruna bertambah pusing, apa
maksudnya.

" Apa maksud ucapan anda "

Belum sempat menjawab pertanyaan Aruna terjadi ledakan tepat diatap istana.
Terdengar jeritan penduduk bersaut – sautan, berlarian menghindari reruntuhan. Aruna yang
fokus pada Sang Penyihir tangannya ditarik kebelakang menghindari runtuhan istana yang
akan jatuh diatasnya. Suasana yang awalnya tentram dan sunyi kini berubah ricuh. Genandra
si pelaku yang menarik Aruna terus berlari hingga tiba dirumahnya. Setibanya di rumah
Genandra,kami bergegas masuk menghindari ledakan yang terus terjadi silih berganti.
Genandra berlari menuju perapian enta apa yang dia ucap api itu kian membesar dan berubah
menjadi hijau menyala, itu bisa memakan orang.

“ Masuklah ke perapian dan sebutkan rumahmu dengan jelas dan lantang “

“ Apa maksutmu. Itu akan membakarku “

“ Percayalah padaku aku tidak akan menyakitimu” Genandra berusaha meyakinkan


Aruna.

Aruna memasuki perapian sambal berkata “ Balkon Kamar Aruna” dengan lugas,
dengan sekejap api itu menyala semakin terang dan tubuh Aruna menghilang, lenyap dengan
api. Genandra menyusul melakukan persis seperti yang dilakukan Aruna. Sepersekian detik
Genandra menghilang rumah itu runtuh oleh ledakan. Genandra muncul di balkon kamar
Aruna, ia melihat Aruna dengan raut bingung. Genandra menghampirinya.
“ Kau baik – baik saja ?”

“ Ya, dan apa yang terjadi. Dimana Isvara kenapa kau tidak membawanya?” Aruna
bingung denga apa yang terjadi dan bagaimana nasib temannya.

“ Sepertinya terjadi penyerangan oleh Sang Penyihir Hitam dan sepertinya dirimu
sasaran mereka.”

“ Isvara aku tidak melihatnya saat ledakan, mungkin dia ditahan Si Penyihir Hitam di
istanya yang berada di ujung Selatan “

“ Kita harus myelematkannya, bagaimanapun dia teman kita “

Disinilah kami, ditempat terbitnya sang fajar. Ini kali pertamaku bertemu Sang
Penyihir Timur ia mengenakan jubah hitam dengan lambang elang putih memakai tiara
dihiasi berlian biru sama persis dengan punyaku. Tongkatnya seperti tombak, batu deep blue
tertempel ditengahnya.

“ Akhirnya aku bertemu denganmu pewarisku”

“ Setelah 700 tahun, kalungku telah memilihmu sebagai tuannya “ Aku memandang
kalungku yang kembali bersinar seperti sebelumnya. Itu mengejutkan akulah sosok yang
terpilih sebagai pewaris Penyihir Timur untuk memimpin wilayah kekuasaan Timur.

Sepekan telah berlalu setelah sebuah kebenaran terungkap. Sepekan pula Aruna telah
melatih kekuatannya dibawah bimbingan Sang Penyihir Timur di Istananya. Selama itu juga
serangan terus berlangsung, terjadi ledakan diseluruh wilayah.

“Kemajuanmu cukup pesat Aruna” Sang Penyihir menatap Aruna bangga

Kini Genandra mempertahankan wilayah Utara, serangan disana lebih kejam daripada
di wilayah lain. Runtuhan bangunan dimana – mana. Penduduk diungsikan menjadikan
tempat – tempat disana sepi layaknya tak berpenghuni. Baju yang dikenakan kusut dan robek
dibagian lengan dan pinggannya,hidungnya patah terkena hantaman. Diatasnya banyak sosok
mengenakan jubah hitam melayang sembari mengacungkan tongkatnya. Mereka menyerang
Genandra dengan sihir hitam yang keluar dari tongkatnya. Genandra tergeletak wajahnya
pucat, tubuhnya gemetar, demam tinggi menyerangnya seketika, sepuluh detik berlalu cahaya
putih memasuki netranya ia seakan ditarik masuk ke sebuah portal putih bercahaya yang
terbuka dibelakangnya.

“ Bertahanlah, tetaplah bernafas dan buka matamu” Aruna berusaha menyembuhkan


luka Genandra dengan kekuatannya. Keringat bercucuran dipelipisnya, berusaha
berkonsentrasi meregenerasi sel – sek rusak ditangah paniknya situasi.

Matahari telah kembali ke Barat, sehingga langit kehilangan cahayanya menggelap


tanpa Bintang dan bulan. Malam telah mencapai puncaknya.

Tengah malam, Genandra tersentak layaknya terbangun dari tidur panjang, nafasnya
tersengal – sengal, matanya menelisik seluruh ruangan. Lalu menunduk. Aruna, Penyihir
Utara, Penyihir Timur, dan para pelayan mendekat memastikan kondisi Genandra.

“ Aku tahu dimana Isvara” Genandra menunduk merasa kepalanya berputar.

“ Dimana dan Bagaimana kau tahu itu?” jawab Aruna sambal mendekati Genandra.

“ Dia di istana Sang Penyihir Selatan “ apalagi ini, fakta itu membuat kami terkejut.

“ Ketika penyihir hitam itu menyerangku, aku melihat bayangan Si Penyihir Hitam
dengan Isvara. Aku tidak tau apa yang terjadi, bayangan itu sangat kabur.” Lanjut
genandra sambal menatapku.

Satu jam setelah Genandra sadar, kami memulai perjalanan ke Selatan mengendara
benda terbang seperti mobil tanpa roda berwarna hitam mengkilat. Semakin kami ke Selatan
langit malam semakin runyam, hutan dibawah kami sangat sunyi hewan – hewan didalamnya
tidak mengeluarkan suara sekecil apapun. Bulu – bulu tanganku berdiri situasi ini
menyeramkan.

Tiga jam berlalu perjalanan ini belum juga berakhir, kami telah melewati hutan sunyi
itu setengah jam yang lalu dan aku sama sekali tidak tidur karena takut. Kini kita berada di
pegunungan berapi, lahar mengalir disetiap sisi gunung, disini sangat panas. Genandra
terbangun karena panas, dia mendekat jendela dan melihat kondisi dibawah.

“ Bukankah ini Death Hill, ini Kawasan terlarang dan akua da disini “ Genandra
terkesan denga napa yang dia lihat.

“ Benar kita akan sampai dalam dua jam “ Sang Penyihir Timur memberitau
Kami terus berjalan, “ Astaga hewan apa itu “ Aku berseru terkejut dengan hewan
melatah dibawah sana.

Dibawah kami terdapat hewan seperti ular namun sepuluh kali lebih besar berwarna
hitam,sisiknya mengkilat tebal dan tajam seperti perisai yang mengelilingi tubuhnya. Tarinya
sangat panjang setinggi orang dewasa, matanya merah menyala. Tak hanya satu ekor ada
puluhan ekor saling melilit dan bergerombol. Diatas bukit terdapat seekor naga dengan sayap
membungkus tubuhnya sedang tertidur. Kami menambah kecepatan tidak mau mencari gara-
gara dengan hewan – hewan itu.

Sekitar 5 kilo didepan kami terlihat tembok tinggi membentang dari Timur ke Barat
menandakan kita telah sampai di tujuan.Walaupun sudah menjelang pagi langit masih
nampak gelap. Sinar matahari tak mampu menembus kabut tebal disini. Belum jauh kami
bergerak mendekat. Kendaraan ini telah diserang dengan ribuan anak panah dan sihir hitam
seakan menghalangi kami masuk. Tak sempat membaca serangan kendaraan kami terkena
serangan dan jatuh terbanting kebelakang.

Kendaraan itu terbakar. Disini kami berpencar ke segala sisi menaiki sapu terbang
untuk menghindari serangan dan masuk kebenteng. Serangan itu kembali menyerang kala
kami terbang maju. Anak panah itu terus menyerang kearahku, aku meliuk – liuk
menghindari anak panah. Didalam benteng salah seorang penyihir hitam mengarahkan
shirnya kearahku. Aku melakukan gerak memutar hingga kepalaku berada dibawah beberapa
detik untuk menghindarinya. Nyaris saja.

sepuluh menit berlalu kami semua berhasil menembus pertahanan mereka dan masuk
kedalam benteng. Pertarungan jarak dekat terjadi. Aku menangkis serangan penyihir hitam
dengan tongkatku kembali membalas dengan serangan penyihir itu terpelanting kebelakang.
Kembali berdari mentapku marah dia menyerangku dengan mantra kutukan.

“ARUNA AWAS” seru Genandra, ia melindungiku dengan tamengnya. Balas


menyerang penyihir itu dengan kilat birunya, si penyihir tergeletak. Para penyihir hitam telah
banyak yang tergeletak, lihat saja lawannya Si Penyihir Timu dan Si Penyihir Barat sekali
serangan tujuh penyihir hitam tumbang. Genandra juga sangat gesit melawan penyihir –
penyihir itu. Deru nafasku tak beraturan, pertarungan yang melelahkan.
“ Mereka bukan lawan kalian. Akulah lawan yang sebanding “ Suara berat itu
mengintrupsi terbang menghampiri kami. Disaat aku kelelahan dan para penyihir hitam telah
tumbang. Sosok dengan jubah hitam wajahnya tertutup jubah, mata merah menyala dengan
bekas goresan luka di kelopak mata kiri. Tongkatnya meliuk – liuk seolah dililit ular batu rubi
menghiasi ujungnya. Itulah pemilik istana ini Sang Penyihir Selatan. Disampingnya terdapat
sorang wanita dengan rambut keriting. Mata hitamnya memandangku tajam, tangan kanannya
menggenggam tongkat sihir yang ujungnya melingkari sebuah batu emerald bersinar siap
bertarung.

Aruna dan Genandra memasang kuda kuda untuk mempertahankan diri dan Bersiap
untuk pertarungan selanjutnya.

“ Menyerahlah dan jadilah pengikutku. Kita bisa menguasai dunia ini.” Ucap Penyihir
Selatan meremehkan.

“ Tidak terimakasih, kami menolaknya”

“ Dan kau kembalilah berdiam diri di Istanamu, usiamu sudah mencapai batasnya
untuk membuat onar “ Sang Penyihir Selatan merasa terhina dengan ucapan
Genandra.

“CRUCIO” ia melempar mantra kutukan itu ke Genandra.Mantra itu berhasil


ditangkis oleh Sang Penyihir Utara, berakhir mereka saling melempar mantra dan
kutukan. Sang Penyihir Timur ikut membantu melawan.

“ Wow dua lawan satu, lemah “ Amarahnya semakin tersulut.

Aruna dan Genandra bekerja sama melawan Sang Penyihir Barat. Dia terus berusaha
melempar mantra kutukan padauk, tapi aku selalu bisa menahan dan menangkisnya.
Genandra terus menyambar petir birunya, hingga Sang Penyihir Timur mundur tiga langkah.
Penyihir itu marah dan mengarah kan kutukan mematikan kearah kami. Aku membuat
tameng transparant dan Genandra balas menyerang. Kami terus melakukan itu silih berganti.

“ SERANG DIA BERSAMA “ Perintah Genandra dan aku menyetujuinya. Aku


melepas mantra dari tingkatko dan Genandra menyambarkan petir birunya, serangan itu tepat
mengenai Penyihir Barat hingga terpelanting kebelakang menabrak tembok benteng
tergeletak. Sang Penyihir Selatan marah melihat itu dan melepas serang pada kami semua.
Aku terjatuh merasakan sakit disekujur tubuhku. Tak lama setelah itu terdengar kepakan
sayap terbang diatas benteng ini dan kobaran api menyembur tepat didepanku mengarahke
Sang Penyihir Timur. Beruntung ia dapat berpindah tempat dengan tepat waktu ke samping
kiriku.

“ Lihatlah, aku memiliki kejutan untuk kalian “ Seekor Naga hitam dengan sayap
yang lebar bersisik tajam terbang seperti naga yang tertidur di atas bukit. Dia terbang
menghampiri kami dengan sosok berjubah, seperti seorang penyihir hitam.

“ Kalian mencariku?” ucap sosok itu sambil membuka jubah dikepalanya.

“ ISVARA” seruku terkejut dengan apa yang kulihat. Genandra juga tidak bisa
menyembunyika rasa terkejutnya.

“ Perkenalkan Isvara pewaris Sang Penyihir Selatan “ Itulah seruan Sang Penyihir
Barat yang kudengar. Dari rautnya die terlihat senang dengan reaksi kami.

“ Bukankah Penyihir Utara itu sudah bilang untuk tidak mempercayai siapapun dan
kalian tidak mendengarkan itu dengan baik “ Isvara turun dari badan nag aitu dan
menghampiri Sang Penyihir Selatan lantas membungkuk memberikan hormat.

“ Jangan bilang kamu yang memberitahu kita di istana Utara dan terjadi ledakan
disana” sargah Genandra menatap tajam Isvara.

“ Dugaanmu tepat “ Isvara menjawab dengan santai dan dia tampak senang.

Obrolan itu tidak berlangsung lama, semburan api biru dari nafas naga menyerangku,
aku yang tidak siap tidak sempat menghindar dan terluka di bau kiriku. Para penyihir kembali
saling melawan melempar kutukan. Aruna dan Genandra juga saling menyerang dan
menangkis serangan Isvara, lagi – lagi nag aitu ikut menyerang kami dengan api birunya. Dua
puluh menit berlalu pertarungan ini terus berlanjut. Aku dan Genandra mulai letih
menghadapi mereka juga Sang Penyihir Utara dan Sang Penyihir Timur. Sebelumnya kami
telah melawan para Penyihir Hitam tanpa istirahat. Kami semakin terdesak. Kami perlu jalan
keluar saat ini juga, jika tidak kami akan berakhir disini.

Tak berselang lama Sang penyihir Utara memerintahkan Genandra melakukan


sesuatu, genandra menganggukinya kemudia ia menyambarkan petir birunya membelah
gelapnya langit. Petir itu begitu besar dan bercahaya sehingga tempat ini terang untuk
beberapa detik. Setelah itu terbentuk portal besar dilangit dan keluarlah puluhan prajurit
berpakaian zirah dengan menunggangi kuda. Mereka mengeluarkan sambaran petir biru
mengarah ke naga.Disaat bersamaan seekor kuda dari portal itu terbang menghampiri
Genandra. Genandra menungganginya dan ikut membantu menyerang naga itu. Pertarungan
terus berlanjut para Penyihir Hitam kembali dibangkitkan Penyihir Selatan, suasana semakin
ricuh.

Tak berselang lama terdengar teriakan kesakitan. Aku mengenali suara itu saat itu
juga aku merasa leherku terbakar kalung ini membakar leherku. Aku melihat Sang Penyihir
Timur terkena mantra kutukan Penyihir Selatan. Belum sempat ku menghampirinya tubuhnya
telah menghilang seperti debu yang tertiup angin. Marah, sedih, kesal memenuhi pikiranku
kalung bersinar layaknya sang fajar menghapus kabut tebal yang melingkupi. Mataku
berubah sekuning batu safir. Melempar kutukan ke siapapun yang kuanggap musuh.

Aku melempar kutukan kematian kearah dua penyihir dalang semua ini, mereka
berteriak kesakitan. Kutukan itu memberikan rasa sakit tak terelakan sepanjang hidup mereka
hingga mereka sendiri yang akan membunuh diri mereka karena siksaan yang dialaminya.

“Isvara, tidakkah kau menyesal dengan perbuatanmu”

“ Inilah takdirku, sebagai penerus Sang Penyihir Selatan “ ucapnya seraya melempar
mantra kearahku. Kami terus melempar. Bukankah aneh dua orang yang dulunya teman
dekat, berpetualang Bersama menaiki “WIZARD EXPRESS” kini melempar mantra, saling
menyakiti. Aruna berhasil melempar mantra tepat sasaran kearah Isvara, seketika tubuh
Isvara diapit es tubuhnya perlahan membeku bersamaan dengan es yang terus merambat
kearahnya. Genandra menghampiriku dengan menunggangi seekor naga hitam mengerikan.
Naga itu juga berhasil Genandra taklukan. Dengan semuan ini pertarungan berakhir.

Sinar fajar menyapu wajahku, sinar jingganya terasa hangat menerpa kulit. kini Aruna
berdiri di balkon istana Timur menggantikan kekuasaan Sang Penyihir Timur yang telah
gugur saat perang kala itu. Seekor kuda terbang menghampiriku tentu saja dengan
penunggangnya Genandra. Ia melompat ke balkon, wajahnya terlihat senang, Genandra baru
saja menyelesaikan perbaikan di Istana Utara.

“Semua berjalan lancar” tanyaku padanya.

“Seperti yang diharapkan”


“Apakah kau yakin tetap membiarkan Isvara membeku di istanamu? Kau tidak
membunuhnya setelah apa yang dia lakukan padamu?” Genandra bertanya khawatir
jika pertarungan itu terjadi kembali dan memakan banyak korban.

“Apapun yang dilakukan Isvara dia tetap temanku, bagaimana bisa aku
membunuhnya”

“Jika dia terbebas dari es yang kubuat kita akan kembali menghentikannya dan
mungkin mencoba menyadarkannya” jawabku seraya melihat langit fajar yang indah,
kalungku bersinar dengan terang layaknya cahaya fajar

“Kau benar kita akan terus mencoba” Jawabnya dengan tersenyum seraya menatap
wajahku yang bersinar karena pantulan cahaya yang keluar dari kalungku.

“ Bukankah fajar selalu indah” ucapku masih mengagumi keajaiban didepanku.

“Benar, tapi aku lebih menyukai tengah malam” Aruna menoleh heran dengan
jawabannya. Melihatku yang kebingungan Genandra melanjutkan ucapannya.

“Semua keajaiban disini ada karena sang Ardharātra” lanjut Genandra menjelaskan.

Tokoh Utama :

1. Genandra : Nama yang diambil dari Bahasa Sansekerta dengan arti pasukan dewa.
2. Aruna : Nama untuk seorang gadis dari Bahasa Sansekerta yang berarti fajar.
3. Isvara : Nama gadis yang berasal dari Bahasa Sansekerta yang memiliki arti
pemimpin
berkuasa.

Anda mungkin juga menyukai