Anda di halaman 1dari 5

Atma Ing Citra

Gelita menyapa Desa Kedungwaringin, binar rembulan redup tak mampu menyusup
dedaunan yang rimbun. Alhasil kampungku dilanda gelap. Sejak tadi siang desaku mati
listrik. Gubukku di ujung, hanya ada satu tetangga, dan kini tetangga itu pergi ke rumah
saudaranya untuk beranjangsana. Aku dititipkan untuk menjaga rumahnya.

“Kan, gara-gara kamu mainan senter dari tadi siang, sekarang senternya habis baterai,
mau ngecas ke mana coba,” celotehku pada adikku, Trisna.

“Gak apa-apa Kak Ratib. Takut banget, masih ada cahaya hp. Ibu juga sebentar lagi
pulang.”

“KLONTANG!”

Bunyi benda jatuh terdengar dari rumah tetangga, reflek adikku loncat mendekapku
karena takut.

“Dasar kucur! Kamu tunggu sini. Kakak mau meriksa rumah sebelah, siapa tau ada
pencuri.” Trisna menggeleng dan menggandeng tanganku dengan kencang, aku hanya
menghela nafas dan membiarkan dia membuntutiku.

Aku dan Trisna berhenti di halaman rumah tetangga kami. Tampak di depanku sebuah
bangunan diselimuti papan tua. Hawa dingin menusuk tulang hingga menaikkan bulu
kudukku, suara cicitan jangkrik seolah bungkam oleh sihir. Tak ada sinar sama sekali kecuali
handphoneku, dewi malam yang redup telah tertutup mega kelabu. Pepohonan bergoyang-
goyang seolah menakuti kami. Aku perlahan membuka gembok rumah.

“Kreeeeek.”

Aku menyoroti seisi ruangan, rumah ini cukup luas dengan ukiran-ukiran serta
barang-barang kuno di dalamnya. Hidungku disambut debu-debu halus. Padahal rumah ini
sering ditempati.

“Kak ... pulang aja yuk, hawanya nggak enak.” Trisna memegang kuat lenganku,
ruangan ini menguji nyali kami. Seolah ada yang hadir selain kami berdua.
“Nggak ada apa-apa, udah tenang aj--“ kalimatku terpotong, suara benda jatuh
kembali terlontar di salah satu kamar. Aku dengan berani lekas masuk ke kamar tersebut dan
memeriksanya. Melucuti setiap sudut dengan cahaya ponselku.

Nihil, tidak ada benda jatuh atau semacanya di dalam kamar. Hanya ada aroma busuk
yang menusuk hidung kami. Aku masih berusaha positif thinking mungkin itu bau bangkai
tikus atau semacamnya.

“Kata temen-temen kalo ada bau busuk biasanya ada arwah jahat Kak, pulang yuk.”
Trisna masih saja percaya mitos-mitos kuno seperti itu.

“Kakak!” Trisna merangkulku, gemercik suara kran di kamar mandi terdengar seakan
ada penghuni di dalam rumah ini. Nyaliku sekarang rusak, hanya berusaha tidak panik agar
Trisna tetap tenang. Dengan hati-hati kami mendengarkan seksama lantunan air kran.

“InsyaAllah nggak ada apa-apa. Kucing kayaknya loncatin kran trus nyala sendiri
deh.” Aku mengelus punggung Trisna beberapa menit, hingga berkurang rasa cemasnya.

Setelah Trisna tenang, aku menggenggam kuat tangannya. Berusaha melangkah ke


kamar mandi dengan setengah ketakutan, serta gemetar menyelimuti tanganku saat menarik
gagang pintu.

“Kreeek.”

Hawa dingin langsung menyambutku, bau bangkai menyeringai semakin kuat. Kendi-
kendi terjejer rapi, kamar mandi ini juga ternyata kuno. Trisna semakin menggenggam
tanganku, perlahan kususuri area kamar mandi lalu mematikan kran dan siap dengan segala
kemungkinan.

“Aaaaa!”

Kami berdua tersentak, ternyata hanya cicitan tikus, tapi naas satu-satunya
penerangan kami harus jatuh di dalam kendi.

“Duh hpku!” Seketika mataku terasa buta. Hanya ada kegelapan.

“Kak gelap kak.”


“Udah tenang, Kakak ngantongin korek kok.” Aku menyalakan korek sebagai
penerangan, dan segera ke luar dari kamar mandi setelah mengambil ponselku yang telah
mati.

“Kak, Kakak lihat kan?” Sekelebat bayangan muncul tak jauh di depanku, dan lenyap
di dinding papan. Cahaya korek memperjelas bayangan wanita dengan gaun dan rambut
panjang. Detak jantungku tak normal lagi, berpacu dengan tik-tok bunyi detik jam dinding.

“Bayangan tikus mungkin.” Aku mengarahkan korek ke arah hilangnya bayangan.

Di dinding hilangnya bayangan terpampang foto kakek-kakek tersenyum dengan


kerutan di seluruh wajah. Tiba-tiba senyum itu entah bagaimana berubah menjadi ekspresi
sadis. Aku terkejut bukan main, panik tak bisa kutahan lagi. Menurut mitos, foto orang
meninggal yang dipanjang akan dihuni makhluk halus. Sementara Trisna di sampingku sudah
berteriak histeris. Menggema di setiap sudut ruangan.

“Kakak!”

“Sleep.”

Nyala korek padam oleh tiupan angin yang cukup kencang entah datang dari mana.
Hawa di sekitar berubah menjadi lebih mencekam. Pohon-pohon bersuara, berdenyit oleh
angin. Jendela-jendela rumah terbuka, suaranya menusuk jantung kami. Sementara aku hanya
bisa memeluk Trisna.

“Cetar!” Foto yang terpajang tepat jatuh di depanku, tak sempat berteriak Trisna tiba-
tiba ditarik oleh kekuatan yang tidak kuketahui. Kakiku tersayat beberapa pecahan kaca.

“Trisna!” Aku gagal menahan tangan Trisna, tubuhnya seketika lenyap entah ke
mana. Suaranya pun hilang ditelan malam.

Suasana sudah tidak terkendali. Aku menyalakan korek, dan saat yang bersamaan
pintu ke luar tertutup dengan keras. Segera aku menyusuri rumah ini untuk mencari Trisna.
Bahkan teriakanku mungkin tidak ada yang mendengar di luar sana karena rumah ini jauh
dari rumah lainnya kecuali rumahku. Kecuali mara makhluk tak kasat mata.

“Trisna! Siapa pun tolong jangan ganggu adik saya. Saya tidak punya urusan dengan
kalian!” Aku berinteraksi dengan ruang hampa mengawasi setiap sudut dengan api kecil di
tanganku, sembari menangis mengkhawatirkan Trisna.
“Cuuuur.” Suara kran kamar mandi kembali hidup. Aku sudah tidak memikirkan takut
lagi, yang ada dipikiranku adalah Trisna. Segera kudatangi kamar mandi berharap Trisna ada
di sana.

Tak ada siapa pun di kamar mandi, aku segera mematikan kran dan kembali mencari
Trisna di setiap sudut ruangan.

“Cetar! Cetar!” Suara foto kembali berjatuhan di ruang tamu, aku segera menghampiri
dengan korek api yang semakin redup.

Dua foto kembali pecah di ruang tamu, suasana kembali hening. Angin berangsur
menepi, suara terdengar lagi dari salah satu kamar. Ranjang seolah ditiduri oleh orang,
suaranya semakin berderit. Aku perlahan menggapai knop pintu, ternyata pintu kamar
terkunci.

“Trisna!” Aku ancang-ancang mendobrak pintu.

“Brukk.” Pintu terbuka, aku langsung melihat Trisna yang terlentang di atas kasur,
matanya terpejam. Sepertinya ia pingsan.

“Tris, bangun Tris!” Aku memukul pelan pipinya. Beberapa menit tidak sadar aku
segera membopong Trisna dan segera berlari, aku lega di luar suara Ibu memanggil kami.

“Trisna! Ratib! Kalian di dalam?” Aku segera mendobrak pintu ke luar sembari
membopong Trisna, kulihat Ibu berdiri di halaman.

“Trisna, siapa yang kamu gendong?” Tanya Ibuku.

Aku langsung menatap Trisna. Terkejut setengah mati, aku bukannya membopong
Trisna melainkan pocong. Wajahnya penuh luka, bau anyir langsung melumuri hidungku.
Pocong itu begitu menakutkan, tersenyum nyengir.

“Aaaaaa!” Segera kulempar dan bergegas menghampiri Ibu.

Jarakku semakin dekat dengan Ibu. Aku mulai ragu, Ibu tertawa. Perlahan badannya
mengambang. Matanya mengeluarkan darah, rambutnya berkibar dan tubuhnya semakin
besar. Aku jatuh tersungkur, mundur menatap sosok di depanku dengan gentar. Keringat
dingin bercucuran. Halimun perlahan menutupi sekelilingku, tapi makhluk besar itu semakin
menjadi raksasa. Kuharap aku tidak mati dan keajaiban menghampiriku. Pasrah.
Bionarasi

Memiliki nama Karno. Hobi menulis, menggambar. Seseorang yang ingin terus
berimajinasi ini tinggal di Provinsi Lampung dan mempunyai banyak cita-cita. Untuk
lebih lanjut hubungi whatsapp 085769864903.

Anda mungkin juga menyukai