Anda di halaman 1dari 4

BAHAN KHOTBAH MINGGU DEWASA

GKPI RESORT IMMANUEL MULIOREJO JEMAAT GKPI KAMPUNG TOBA


MINGGU, 19 SEPTEMBER 2021 | PUKUL 10.30 WIB
TEMA: “HIDUP DALAM DIDIKKAN TUHAN” (Pkh. 10:10-15)

I. Pengantar
Kitab Pengkhotbah berbeda dari kitab Ayub. Di dalamnya tidak ada orang yang menderita, putus asa dan meminta
penjelasan mengenai nasib malangnya itu. Di dalam kitab Pengkhotbah tidak ada seorangpun yang dirugikan.
Sebaliknya, kitab Pengkhotbah lebih bersifat lunak dan berpenalaran dan merupakan suatu uraian tentang skeptisisme
(sikap curiga) dari seseorang yang berperan sebagai guru kepada orang lain. Dimana si Guru memberikan nasihat
kepada orang-orang lain tentang hal-hal yang boleh diharapkan dari hidup ini. Meskinpun ada perbedaan peran tokoh
Ayub dan peran tokoh Guru dalam kitab Pengkhotbah, kedua kitab itu mempunyai hubungan yang erat. Kedua kitab
itu sama-sama menjadi tanda bahwa telah terjadi “krisis hikmat” di dalam Perjanjian Lama. Krisis hikmat itu
terjadi pula di dalam kesusasteraan hikmat bangsa Babel di Mesir. Dibandingkan dengan kitab Amsal maka kitab
Ayub dan Pengkhotbah nampak lebih muda. Artinya kitab Ayub dan Pengkhotbah ditulis setelah kitab Amsal selesai.
Di dalam kitab Amsal kita temukan adanya alasan-alasan dan kesimpulan-kesimpulan yang sudah mapan dan baku.
Sedangkan dalam kitab ayub dan Pengkhotbah justru alasan-alasan dan kesimpulan-kesimpulan seperti itulah yang
dipertanyakan dan diperdebatkan. Oleh karena dalam kitab Amsal banyak sekali ditemukan ajaran bahwa Allah
mengajar orang benar dan menghukum orang bersalah. Sedangkan itu kitab Ayub dan Penghkhotbah
mempertanyakan kebenaran dan makna gambar Allah sebagai hakim yang adil. Akan tetapi kitab Ayub menolak
gambaran dan pemahaman itu karena tidak cocok dengan kenyataan. Sedangkan Pengkhotbah menaruh curiga dan
prasangka terhadap kebenaran gambaran dan pemahaman itu.

II. Penjelasan Nas

Jadi, fokus utama pembahasan pada bagian ini adalah tentang orang bodoh. Oleh karena itu, nasihat yang
sebenarnya mau diberikan adalah jangan menjadi orang bodoh. Maka dari itu dalam nas ini mau membedakan antara
orang berhikmat dan orang yang bodoh:

a. Ayat 10 Jika besi menjadi tumpul dan tidak diasah, maka orang harus memperbesar tenaga…

Ini berkaitan dengan belajar. Pengetahuan jika tidak dipejari-diulangi-diasah maka yang ada hanyalah
kebodohan. Maka dari itu, orang yang bodoh tidak akan pernah mau mengasah pengetahuannya, dia akan
bersikeras kepada pengetahuannya yang mungkin tidak lagi relevan ataupun tidak memiliki dasar yang jelas. Akan
tetapi orang yang berhikmat, dia akan terus belajar di dalam kehidupannya sampai akhir hidupnya.

Ayat 11 Jika ular memangut sebelum mantera diucapkan, maka tukang mantera tidak akan berhasil.

Keberhasilan dalam hidup datang dari pengetahuan tentang kapan menggunakan kecakapan. Agar
mantera dapat bekerja efektif maka mantera harus diucapkan sebelum ular mengigit, kalau tidak apa gunanya
mengucaokan mantera.

Kevin Kassner, S.Th


b. Ayat 12Perkataan mulut orang berhikmat menarik, tetapi bibir orang bodoh menelan orang itu
sendiri.

Disini jelas disebutkan perbedaan antara antara orang yang bodoh dan orang yang berhikmat. Menurut
Pengkhotbah yang membedakan keduanya adalah perkataannya. Perkataan yang berhikmat menarik, sedangkan
perkataan orang bodoh mencelakakan dirinya sendiri. Kalau dikatakan bahwa perkataan orang berhikmat itu
menarik, maksudnya adalah perkataan orang berhikmat itu bisa membuat orang lain menghargai atau
menghormatinya. Sebenarnya dalam Bahasa Ibrani, kata menarik di sini artinya penuh dengan kebaikan atau
kemurahan hati. Jadi orang yang bijaksana adalah orang yang perkataannya itu penuh dengan kebaikan. Perkataan
yang tidak pernah dimaksudkan untuk menghina, merendahkan, mempermalukan, mengecam, dan
menghancurkan orang lain. Jadi, kalau ada orang yang dalam pembicaraannya selalu ingin menyalahkan dan
merendahkan orang lain, serta hanya membanggakan dirinya sendiri, ini jelas bukanlah orang yang berhikmat,
melainkan orang yang bodoh atau tidak bijaksana. Perkataan orang bodoh hanya akan menjadi bumerang yang
mencelakakan dirinya sendiri. Dengan perkataannya, dia menyakiti orang lain dan membuat orang lain tidak
menyukainya. Lalu, orang akan menghindari dan membencinya.

c. Ayat 14 Orang yang bodoh banyak bicaranya, meskipun orang tidak tahu apa yang akan
terjadi…

Pengkhotbah membicarakan tentang ciri-ciri lain dari kebodohan atau ketidakbijaksanaan itu. Dalam ayat 14,
ia mengatakan orang yang tidak bijaksana adalah orang yang banyak bicaranya, meskipun sebenarnya ia tidak
tahu apa-apa. Orang yang tidak tahu apa-apa biasanya menjadi orang yang sok tahu dan banyak bicara. Orang
yang seperti itu tidak pernah tahu kapan ia harus diam. Mereka terus-menerus bicara dan tidak mau mendengarkan
orang lain. Itu membuat orang lain menjadi lelah dan bosan. Karena itu, kita harus ingat apa yang dikatakan
Pengkhotbah 3 bahwa ada waktunya berbicara, tetapi juga ada waktunya mendengarkan.

d. Ayat 15 Jerih payah orang bodoh melelahkan orang itu sendiri, karema ia tidak mengetahui
jalan ke kota.

Orang bodoh, walaupun dapat berbicara banyak, bekerja keras sampai lelah tanpa benar-benar dapat
menyelesaikan sesuatu. Dia terlalu bodoh untuk melihat cara yang jelas untuk mencapai tujuannya. Dimana
orang yang tidak bijaksana itu sering melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Mungkin orang itu bisa
terlihat sibuk atau lelah, tetapi sebenarnya tidak ada satupun hal berarti yang dilakukannya, selain melelahkan
dirinya sendiri. Dia tidak tahu tentang tujuan dari setiap hal yang dilakukannya. Ungkapan dalam ayat 15 ini
kemungkinan berasal dari peribahasa orang Yahudi yang ingin menyatakan tentang seseorang yang
mengerjakan segala sesuatu secara salah. Itu diibaratkan dengan orang yang tidak tahu jalan ke kotanya sendiri. Dia
tidak tahu bagaimana keadaan kotanya atau rumahnya sendiri. Apabila orang tidak pernah tahu dan menyadari
keterbatasannya sendiri, ia akan melakukan segala sesuatu secara salah. Sebaliknya, orang yang bijaksana itu
justru adalah orang yang tahu kelemahan, keterbatasan, dan ketidaktahuannya, serta mau mengakuinya.
Kevin Kassner, S.Th
III. Aplikasi

Belajar adalah proses di mana orang mengubah pandangan tentang dirinya dan tentang lingkungannya,
begitu kata teori Persepsi. Belajar adalah mengkondisikan perilaku dengan dorongan dari lingkungan, begitu
kata teori Behavioristik. Belajar adalah rekonstruksi mental atau melihat ulang segala sesuatu dengan
konfigurasi yang berbeda, begitu kata teori Gestalt. Belajar adalah memandang arti dan peristiwa sedemikian
rupa sehingga menimbulkan arti yang baru dan hubungan yang baru, begitu kata teori Eksistensial. Belajar
adalah proses di mana orang mengidentikkan diri atau menirukan perilaku penduduk begitu kata teori
Perkembangan.

Apa persamaan antara semua definisi itu? Semua rumusan itu menyiratkan terjadinya perubahan pada
waktu orang belajar. Belajar adalah berubah. Apanya yang berubah? Ada tiga hal yang berubah. Pertama,
belajar adalah mengubah pikiran. Kita mengubah pikiran dengan jalan menambah, menganalisis, menilai,
menata ulang dan mengaplikasi informasi yang ada di pikiran kita. Kedua, belajar adalah mengubah
perasaan. Yang dimaksud dengan perasaan di sini bukanlah emosi atau impulse melainkan sikap atau nilai-nilai
hidup yang kita anut. Belajar adalah mengubah sikap atau keengganan kita tentang gagasan, orang, benda, dan
keadaan. Belajar adalah mengubah komitmen kita pada nilai-nilai hidup. Ketiga, belajar adalah mengubah
perilaku. Belajar adalah mengubah tindakan, cara kerja, gaya hidup dan praktik hidup kita. Jadi, belajar
adalah mengubah diri menjadi manusia yang lain dan baru.

Sering kali kita mengira bahwa belajar hanya berarti menambah pengetahuan, dari belum tahu menjadi
sudah tahu atau dari sudah tahu menjadi lebih tahu. Memang itu belajar, namun dalam arti yang sempit. Dalam arti
yang sempit itu kita belajar untuk hidup, sama seperti burung yang belajar terbang. Dalam arti sempit ini belajar
hanya bertujuan mendapat ijazah atau gelar. Belajar hanya bertujuan menaiki anak tangga masyarakat yang
lebih tinggi. Belajar hanya bertujuan mencari karir, gengsi, kedudukan, kekuasaan atau kekayaan. Dalam arti
sempit ini belajar hanya terjadi sekian tahun. Begitu tujuan tercapai orang berhenti belajar. Begitu berhenti
sekolah, orang berhenti baca buku.

Akan tetapi, untunglah belajar juga mempunyai arti yang luas. Dalam arti yang luas, belajar adalah
mengembangkan mutu pemahaman dan sikap hidup terhadap diri sendiri, orang lain, alam, benda, kehidupan
serta kematian dan tentunya juga terhadap Pencipta semua itu. Dalam arti luas ini, kita hidup untuk belajar.
Dalam arti luas ini, belajar tidak ada akhirnya. Dalam hal mengajar juga ada yang berpikiran sempit ada juga yang
berpikiran luas. Mengajar dalam arti sempit adalah memberi pengetahuan. Tetapi dalam arti luas mengajar
adalah menolong orang bertumbuh dalam pemahaman dan nilai-nilai hidup. Mengajar adalah menabur benih
nilai-nilai hidup.

Kevin Kassner, S.Th


IV. Penutup

Oleh kaena itu, kita belajar untuk hidup. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa kita hidup untuk
belajar. Sebab kalau kita hanya belajar untuk hidup, maka apa bedanya kita dengan anak burung yang belajar
terbang supaya bisa hidup. Arti belajar dan arti hidup menjadi dangkal. Karena itu, kita perlu tahap berikutnya,
yaitu hidup untuk belajar. Belajar rupa-rupa hal. Belajar tahu diri dan mengenal diri. Belajar tahu apa
kekuatan kita lalu menjadikan kekuatan itu berkat bagi banyak orang. Belajar tahu apa kelemahan kita lalu
memperbaikinya. Belajar mengenal orang lain. Belajar menerima orang lain sebagaimana dia adanya,
menempatkan diri pada perasaannya, mengagumi keunggulannya dan memaklumi kelemahannya. Belajar
berterima kasih atas pemberian dan pertolongannya biar bagaimanapun kecilnya. Belajar menghadapi
kesulitan sebab jalan hidup ini tidak selalu datar dan mulus, melainkan turun naik, mendung dan cerah,
penuh tantangan dan persoalan. Belajar jujur. Sebab hidup ini ibarat permainan atau pertandingan yang pada
akhirnya diukur bukan dengan menang atau kalah, melainkan dengan ukuran bagaimana cara kita
memainkan pertandingan itu. Belajar bijak, mengatur waktu, menjaga kesehatan, bertanggung jawab,
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, menyuruh diri sendiri dan melarang diri sendiri. Belajar
sabar, mengalah, memaafkan dan menerima keadaan. Belajar berprakarsa, memanfaatkan kesempatan
bahkan menciptakan kesempatan, bekerja keras, ulet, tangguh, tahan bantingan, hemat, rajin, dan tekun;
sebab perbandingan orang jenius adalah 1% inspirasi banding 99% transpirasi alias peras keringat. Belajar berjiwa
besar, menghargai perbedaan, mengagumi yang berhasil, memuji yang berprestasi, membela yang kecil dan
lemah, melindungi minoritas dan mengikutsertakan kaum pinggiran. Belajar menjaga keseimbangan dan
keutuhan antara kesibukan dan keteduhan, antara banting tulang dan tidur nyenyak, antara urusan vertikal
dan horizontal, antara mengatur diri dan mempercayakan diri. Juga antara iman dan ilmu, sebab iman tanpa ilmu
adalah picik sedangkan ilmu tanpa iman adalah pincang. Hidup itu belajar. Selama Tuhan masih memberi hidup,
selama itu kita masih diberi kesempatan belajar. Belajar rupa-rupa hal. Belajar setiap hari. Hidup itu belajar.

Kevin Kassner, S.Th

Anda mungkin juga menyukai