Anda di halaman 1dari 5

Apa Pandangan Kristen tentang Perceraian?

Ada kesepakatan umum di antara orang-orang Kristen tentang natur pernikahan.


Pernikahan itu adalah antara seorang laki-laki dan perempuan dan melibatkan hak-hak
seksual. Pernikahan meminta satu perjanjian (sumpah) di hadapan Allah untuk saling
setia karena ini merupakan satu relasi monogami antara seorang suami dan seorang
istri. Di lain pihak, kesepakatan umum mengenai perceraian lebih sulit untuk didapatkan
di antara orang-orang Kristen.

Ada beberapa bidang kesepakatan umum di antara orang-orang Kristen


mengenai perceraian, yaitu:

Perceraian bukanlah ideal Allah. Jelaslah bahwa Allah tidak merancang


perceraian. Sebenarnya, Allah berfirman kepada Maleakhi, "Aku membenci perceraian"
(Maleakhi 2:16). Yesus berkata bahwa Allah mengizinkan tetapi tidak pernah
memaksudkan perceraian (Matius 19:8). Allah menciptakan satu suami untuk satu istri
dan menginginkan agar mereka berdua memelihara sumpah mereka sampai mati.
Yesus berkata dengan tegas, "Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia" (Matius 19:6). Jadi bagaimanapun juga perceraian itu, ini bukanlah
rancangan Allah yang sempurna untuk pernikahan. Hal ini jauh dari ideal. Ini bukanlah
satu norma atau standar. Dengan kata lain, perceraian bukanlah yang terbaik bagi
pernikahan.

Perceraian tidak diperbolehkan karena setiap alasan. Orang orang Kristen pada
umumnya juga setuju bahwa perceraian tidak diperbolehkan karena alasan apapun.
Memang, Yesus ditanya tentang masalah ini: "Apakah diperbolehkan orang
menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?" jawaban Yesus tegas yaitu tidak.
Karena jawaban Yesus adalah demikian, "Aku berkata kepadamu: Barangsiapa
menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia
berbuat zinah" (Matius 19:9). Apapun ketidak sepakatan yang dimiliki orang-orang
Kristen mengenai perkecualian disini, jelaslah bahwa dia tidak mempercayai bahwa
seseorang dapat bercerai karena alasan apapun.
Perceraian menciptakan masalah-masalah. Bahkan orang-orang yang percaya
perceraian kadang dibenarkan bagi orang-orang Kristen mengakui bahwa,
bagaimanapun juga masalah ini dipecahkan, perceraian menciptakan masalah-
masalah. Sekali rancangan Allah diabaikan, adalah wajar akan timbul masalah-
masalah. Meskipun perceraian nampaknya menghindarkan kemalangan bagi beberapa
orang, perceraian bukanlah tanpa masalah-masalah. Selalu ada harga untuk membayar
mahal pasangannya, untuk anak-anak dan di dalam keluarga serta hubungan
masyarakat. Perceraian meninggalkan goresan yang buruk yang tidak mudah
disembuhkan.

Ada tujuh argumentasi utama mengenai sikap bahwa perceraian itu tidak pernah
dibenarkan, yaitu:

1.) Perceraian melanggar rancangan Allah untuk pernikahan. Seperti yang sudah
diperlihatkan, ideal Allah untuk pernikahan adalah komitmen monogami seumur hidup
(Matius 19:6; Roma 7:2). Tetapi perceraian melanggar perjanjian tersebut. Karena itu,
perceraian tidak pernah dibenarkan.

2.) Perceraian merusak sumpah yang dibuat di hadapan Allah. Pernikahan merupakan
suatu sumpah di hadapan Allah (Amsal 2:17; Maleakhi 2:14) untuk seumur hidup. Dan
perceraian merusakkan sumpah itu. Merusakkan satu sumpah yang sakral itu keliru.
Kitab Suci menyatakan: "Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar tetapi
tidak menepatinya" (Pengkhotbah 5:4).

3.) Yesus mengutuk semua perceraian. Ketika Yesus ditanya tentang perceraian di
dalam Injil Markus (10:1-9), Dia tidak memberikan perkecualian. Sikap yang sama ini
ditegaskan oleh Yesus di dalam Lukas 16:18 tanpa perkecualian apapun. Yang disebut
perkecualian dalam bagian yang paralel dalam Injil Matius (19:1-9; band. 5:32) tidak
menunjuk pada perceraian karena perzinahan tetapi menunjuk pada satu pembatalan
karena "percabulan" sebelum pernikahan (ayat 9). Hal ini sesuai dengan penekanan
Yahudi dalam Injil Matius dan hukum Yahudi mengenai percabulan sebelum pernikahan
menjadi dasar dibatalkannya pernikahan. Istilah suami juga menunjuk pada seorang
laki-laki yang bertunangan menurut hukum Yahudi (Ulangan 22:13-19; Matius 1:18-25).
Lebih jauh lagi, di dalam Injil Lukas Yesus tidak memberikan perkecualian untuk
pernikahan tetapi berkata secara tegas, "Setiap orang yang menceraikan istrinya, lalu
kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan
perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah" (Lukas 16:18).

4.) Rasul Paulus mengutuk perceraian. Paulus menasihati jemaat di Korintus: "Kepada
orang-orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan-perintahkan, supaya
seorang istri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap
hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya" (1 Korintus 7:10-11). Bahkan
"kalau ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perem puan itu
mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah sau dara itu menceraikan dia."
Demikian juga, "kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan
laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki
itu" (1 Korintus 7:12-13).

5.) Perceraian membatalkan seorang penilik jemaat. Salah satu kualifikasi bagi seorang
penilik jemaat adalah bahwa haruslah dia "suami dari satu istri" (1Timotius 3:2).
Menurut pendu kung pandangan yang keras mengenai perceraian, hal ini berarti bahwa
dia tidak pernah dapat diceraikan; sebaliknya dia menjadi suami dari lebih dari satu istri.

6.) Pasangan pertama seseorang adalah pasangan yang benar. Ketika wanita Samaria
berbicara kepada Yesus, "Aku tidak mempunyai suami." Yesus menjawab, "Tepat
katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima
suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu." (Yohanes 4:17-18). Ayat
ini diambil untuk menyiratkan bahwa pasangan pertama seseorang adalah satu satunya
pasangan yang benar.

7.) Perceraian melanggar tipologi yang sakral. Menurut Paulus, seorang istri untuk
suaminya adalah sama dengan gereja untuk Kristus (Efesus 5:32). Karena itu,
perceraian melanggar tipologi yang indah dari pernikahan sorgawi antara Kristus dan
mempelai-Nya yaitu gereja. Kenyataan bahwa Allah memperlakukan tindakan yang
melanggar sesuatu yang bersifat sakral secara serius, dapat dilihat di dalam hukuman
Nya atas Musa karena memukul batu karang tersebut (Kristus) dua kali (Bilangan 20:9-
12).1
1
Norman L. Geisler, Etika Kristen: Piihan dan Isu, (Malang: Literatur Saat, 2001), 358-361.
Dalam khotbah Tuhan Jesus di bukit" (Matius 5:32) tertulis Setiap orang yang
menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah, dan siapa
yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah"

Di sini Tuhan Jesus menentang perceraian menurut pendapat orang Farisi dan
para ahli Taurat, yang kerapkali dilaksanakan tanpa dipertimbangkan masak-masak.
Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat mengadakan peraturan yang memungkinkan
orang laki-laki menceraikan isterinya dengan alasan yang sembarangan, dengan se-
wenang-wenang, bahkan tanpa alasan sedikitpun. Bahkan telah ditetapkan dalam
Talmud sebagai suatu hal yang diperbolehkan, yakni: mengusir isteri karena makanan
yang dimasaknya angit (berbau angus)! Akibat peraturan perceraian yang sangat
sembrono dan sembarangan itu ialah: banyak isteri yang diusir, dan menikah dengan
wanita yang diusir tanpa sebab itu dianggap sebagai perkara yang biasa. Tuhan Jesus
melarang perbuatan yang sembarangan itu. DitunjukkanNya, bahwa para ahli Taurat
yang di dalam teori sangat patuh kepada peraturan itu, & dalam praktek sebenarnya
menyalahi hukum,,,menyelundup" hukum dan dengan berkedok kesalehan, merekapun
selalu melanggar hukum yang ke-7.

Namun Tuhan Yesus tidak menyangkal, bahwa ada soal2 istimewa yang
menyebabkan pernikahan tidak tertahan lagi, yakni jika terjadi perbuatan zinah. Tetapi
janganlah hal itu disalahpahami. Tuhan Yesus sekali-kali tidak bermaksud mengatakan,
bahwa perbuatan zinah selalu dapat menjadi alasan untuk bercerai.

Jika seorang isteri atau suami jatuh ke dalam dosa zinah karena keadaan
tertentu, dan sangat menyesali perbuatannya itu, maka perbuatan zinah itu tidak boleh
menjadi alasan untuk bercerai, tetapi mereka terpanggil untuk saling mengampuni dan
mulai lagi dengan permulaan yang baru. Yang dimaksudkan Tuhan Yesus di sini ialah
suatu keadaan, di mana isteri (atau suami) jatuh ke dalam dosa tidak secara insidentil
(kebetulan), tetapi si isteri atau si suami hidup dan dengan tetap hidup dalam dosa
zinah. Di situlah hancurnya dasar, pondamen pernikahan. Di situlah pernikahan telah
rusak sama sekali, sehingga tidak dapat diperbaiki kembali dan jika sudah demikian
keadaannya, perceraian tidak terlarang lagi. Sebab pada hakekatnya pernikahan itu
tidak ada lagi.

Paulus menyebutkan juga suatu soal istimewa lainnya dalam 1 Korintus 7:15.
Digambarkannya suatu pernikahan, yang salah satu dari kedua pihak telah bertobat
dan menjadi orang Kristen. Jika pihak yang lain tidak (atau belum) memeluk agama
Kristen, dan tidak merintangi pihak kesatu yang telah menjadi orang Kristen itu, maka
haruslah kedua pihak tetap bersatu di dalam pernikahan mereka. Tetapi jika pihak yang
bukan-Kristen itu tidak mau lagi hidup bersama dengan suami atau isterinya, karena
suami atau isteri itu telah menjadi Kristen, maka tidak ada larangan lagi untuk bercerai.
Tetapi inisiatif untuk bercerai itu janganlah se-kali-kali datang dari pihak yang sudah
menjadi Kristen.

Janganlah Etika Kristen bertindak lebih jauh daripada soal istimewa yang
tersebut dalam Alkitab itu sendiri.2

2
J. Verkuyl, Etika Kristen Seksuil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 113-114.

Anda mungkin juga menyukai