Anda di halaman 1dari 4

Nama (NIM) : Rachel Olivia Sabatini (01071210193)

Hari/Tanggal : Selasa, 13 September 2022

Tempat : UPH Tuesday Morning Chapel

Pembicara : Rev. Richard Brueck

Nats Alkitab : 1 Korintus 7:1-11

I. POKOK PIKIRAN KHOTBAH

Ada 3 poin yang terdapat dalam 1 Kor 7:1-11 yaitu (1) anugerah pernikahan dan seks, (2)
panggilan untuk melajang, dan (3) komitmen pernikahan. Masyarakat sekarang memiliki
pemahaman dan obsesi terhadap seks yang berdampak pada komunitas Kristen. Seks terkadang
menjadi berhala bagi iman kekristenan seseorang. Melalui perikop ini, Paulus menyampaikan
pemahaman yang salah tentang seks dalam jemaat di Korintus, salah satunya seks dalam pernikahan
adalah sesuatu yang salah dan perlu dihindari. Seks dalam pernikahan justru merupakan suatu
anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada pasangan (suami-istri) untuk menghindari mereka dari
dosa seksual. Ada beberapa poin yang Paulus berikan dalam argumennya yaitu (1) pernikahan
adalah hubungan antara 1 wanita dan 1 pria, (2) setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan
setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. Alkitab tidak pernah menuliskan bahwa seseorang
diperbolehkan memiliki lebih dari 1 pasangan ataupun pasangan yang merupakan sesama jenis,
sebab hal ini bertentangan dengan kehendak Allah. Banyak kasus dalam Perjanjian Lama dimana
seseorang memiliki lebih dari 1 istri dan ini perlu kita pahami bahwa mereka hidup dalam dosa.

Paulus menekankan bahwa (1) pernikahan adalah hidup berkomitmen hanya kepada satu
pasangan dan (2) penerapan seks hanya terbatas dalam kehidupan pernikahan tersebut dimana
itu merupakan suatu kewajiban yang diberikan antara pasangan suami-istri. Pernikahan adalah
suatu hubungan atau ikatan baik secara fisik dan spritual yang bersifat sakral. Ada suatu waktu
tertentu dimana kita perlu untuk tidak melakukan hubungan seks dengan pasangan supaya masing-
masing dapat berfokus kepada Tuhan. Namun setelah itu hendaklah mereka kembali kepada
pasangannya. Seringkali banyak orang Kristen yang masih jatuh ke dalam pemikiran yang salah
mengenai seks. Beberapa pemahaman yang salah tersebut adalah (1) pernikahan seakan-akan
menghapuskan seseorang dari dosa seksual dan (2) seks bukanlah senjata yang digunakan kepada
pasangan sebagai suatu hukuman, dan (3) seks bukanlah berhala bagi kita. Dalam poin pertama,
Paulus mengatakan bahwa pernikahan membantu seseorang untuk terhindar dari dosa seksual, tapi
itu bukan menjadi suatu cara untuk menyembuhkan/menghilangkan dosa tersebut. Oleh karena itu,
jangan membawa dosa seksual ke dalam kehidupan pernikahan karena hal tersebut dapat
menjadikan pernikahan menjadi sulit. Dalam poin kedua, Paulus menekankan bahwa seks bukan alat
untuk memanipulasi pasangan, tapi merupakan suatu pelayanan atau anugerah dari Tuhan untuk
menyatukan keintiman dan rasa percaya. Ketika kita menggunakannya untuk memanipulasi
pasangan maka hal tersebut dapat menghancurkan keintiman dan rasa percaya tersebut. Dalam poin
ketiga, setiap kali kita ingin melakukan sesuatu (contoh: seks) tapi dengan melanggar fiman Tuhan
maka secara langsung kita menjadikan hal tersebut sebagai berhala bagi diri kita. Jika kita secara
sadar untuk melakukan tindakan tertentu (contoh: seks atau pornografi) maka sebenarnya kita
sudah menggantikan tempat Allah di dalam hati kita. Setiap kali kita ingin menyakiti, melukai, dan
memanipulasi orang untuk mendapatkan seks maka hal tersebut sudah menjadi suatu berhala bagi
diri kita. Melalui pernikahan, Allah memanggil umat-Nya untuk memiliki suatu hubungan seksual
sebagai suatu anugerah atau pelayanan untuk memuliakan Allah dalam cara yang tepat.
Paulus memiliki pandangan yang tinggi mengenai pernikahan seks, begitu juga dengan
kehidupan melajang (single). Paulus memahami ada orang-orang yang terpanggil untuk hidup
melajang. Kehidupan melajang bukanlah suatu kutukan atau beban, tetapi suatu anugerah. Tidak
ada sesuatu yang salah dari hal tersebut sebab Tuhan memanggil orang-orang tertentu untuk hidup
melajang seperti para misionaris (cth: Paulus) dan Yesus sendiri. (1) Kehidupan melajang dikatakan
sebagai suatu anugerah supaya kita dapat menikmati Allah dan memuliakan-Nya selama-lamanya.
Pernikahan bukanlah tujuan kehidupan kita sebab pada akhirnya kita sama-sama diciptakan untuk
memuliakan Allah. Paulus benar-benar menghidupi akan hal tersebut selama kehidupan
melajangnya. Orang-orang Kristen dan komunitas Kristen harus berhati-hati dalam hal ini karena
seringkali kita menekankan pernikahan sedemikian rupa sampai membuat orang-orang yang
berkomitmen untuk hidup melajang menjadi terpinggirkan. Allah mengasihi mereka yang hidup
melajang dan sama-sama bekerja dalam kehidupan mereka baik (tidak ada perbedaannya dengan
mereka yang telah hidup dalam pernikahan). Pernikahan memang membantu kita untuk
menghindari dosa tapi itu bukan menjadikan pernikahan sebagai suatu berhala. (2) Untuk benar-
benar merasakan karunia hidup melajang, kita perlu meyakini bahwa itu benar-benar karunia
yang berasal dari Tuhan dan kita memiliki kepuasan dari kehidupan tersebut. Terkadang ada
seseorang yang hidup melajang, namun dari lubuk hatinya terdapat Hasrat untuk menikah sehingga
hal ini menimbulkan rasa sakit dari kehidupan melajangnya. Kita harus mengingatkan bahwa Tuhan
berjalan bersama dengan mereka sehingga mereka tidak hidup sendirian. Ketika kita semua
dipersatukan dengan Kristus, Yesus mengatakan bahwa dalam kebangkitan tidak akan ada lagi
pernikahan. Pernikahan yang kita miliki di dunia ini tidak memiliki suatu tujuan dalam Surga nantinya
karena di dalamnya tidak akan lagi pernikahan dan seks. Dengan kata lain, relasi dengan Kristus akan
menjadi sempurna sehingga tidak diperlukan lagi pernikahan. Ketika seseorang berjuang dalam
kehidupan melajang maka pikiran tersebut harus dipandangkan kepada kehidupan kekal nanti.
Sukacita yang didapatkan dari hubungan dengan Kristus akan melampaui sukacita apapun dari apa
yang dirasakan melalui pernikahan.

Allah merancang pernikahan sebagai suatu gambaran akan perintah dan komitmen terhadap
Gereja-Nya sehingga pernikahan harus benar-benar merefleksikan suatu komitmen terhadap
pasangan sama seperti komitmen Kristus kepada kita. Paulus menekankan dan menjunjung tinggi
suatu kekudusan dalam hubungan pernikahan. Sama seperti Tuhan yang tidak akan meninggalkan
kita, maka kita juga tidak boleh meninggalkan pasangan kita (bercerai). Beberapa orang percaya
bahwa Paulus mengatakan komitmen pernikahan ini untuk menentang pehamahan orang Romawi
yang merupakan suatu praktek yang lumrah bagi jaman modern ini bahwa kita dapat menceraikan
atau meninggalkan pasangan dengan alasan apapun. Paulus mengatakan “tidak” sebab pernikahan
lebih penting daripada apapun yang kita inginkan. Ajaran tentang kovenan perjanjian pernikahan
begitu kuat. Dalam Mat 5:32, Yesus mengatakan bahwa “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang
yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang
kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”. Jadi intinya (1) pernikahan tidaklah
mudah sebab banyak pasangan yang bergumul begitu kuat dalam pernikahan mereka, tp
pergumulan tersebut bukan menjadi suatu alasan untuk bercerai melainkan suatu kondisi bagi kita
untuk mencari pertolongan -- pergi ke suatu konseling pernikahan bukanlah kegagalan tapi suatu
kebijakan; (2) ada beberapa yang pernah mengalami perceraian baik itu karena pilihan yang sudah
dibuat atau pilihan yang dipaksakan terhadap kita, namun ingat bahwa Tuhan tetap mengasihi dan
tidak meninggalkan kita melainkan Ia berkomitmen dan menjalani hidup bersama kita dalam masa-
masa yang sakit tersebut. Perceraian bukanlah dosa yang dapat diampuni.

Dari ketiga poin dalam 1 Kor 7:1-11, hal yang ingin diingatkan bagi kita adalah tentang
hubungan kita dengan Tuhan. Jika memang sudah menikah maka pakailah pernikahan untuk
memuliakan Allah dan melayani pasangan kita. Kita harus berkomitmen dalam pernikahan bahkan
dalam masa-masa yang sulit sama seperti Allah yang telah berkomitmen bagi kita. Begitu juga
dengan kehidupan melajang, pakailah kehidupan tersebut untuk Kristus. Kita harus dapat
menemukan sukacita dalam hubungan kita bersama dengan Kristus. Alkitab mengatakan dalam Kol
3:17 bahwa “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah
semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita”.

II. REFLEKSI PRIBADI

Melalui bacaan firman Tuhan hari ini, saya mengingat kembali bahwa pernikahan adalah
suatu ikatan yang sakral atau kudus. Pernikahan secara Alkitabiah yang benar adalah melibatkan dua
pihak yaitu laki-laki dan perempuan, bukanlah pernikahan sesama jenis. Meskipun di saat ini saya
masih berstatus sebagai mahasiswa tapi pemahaman ini sangat penting bagi saya ke depannya.
Tidak sedikit pernikahan di zaman sekarang ini yang dilanda masalah terutama yang sering saya lihat
di kalangan selebritis begitu juga dengan orang-orang Kristen. Hal ini juga dapat berimbas kepada
anak-anak Tuhan. Masalah yang muncul biasanya karena rasa tidak puas antara suami-istri sehingga
tawaran kenikmatan dunia menjadi pelarian atas masalah adanya ketidakharmonisan tersebut. Hal
ini membuat tujuan pernikahan yang tadinya sacral mejadi kabur, luntur, dan dosa percabulan
sedang mengintip pada perkawinan suci yang dibangun. Hanya karena sedikit masalah yang timbul
dengan mudahnya dapat mengatakan cerai dengan berbagai macam alasan yang tidak masuk akal.
Lebih tragis lagi apabila mengatas namakan Tuhan seperti “semua yang terjadi atas seizin Allah”.
Perikop ini mengingatkan saya akan nasihat Paulus agar kita dapat memenuhi kewajiban kepada
pasangan (baik dari istri terhadap suami maupun suami terhadap istrinya). Ketika ada permasalahan
dalam pernikahan, pereraian bukanlah jalan keluar tetapi Paulus menawarkan solusi agar suami dan
istri menjauh dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu dengan tujuan supaya masing-
masing ada kesempatan untuk berdoa, bergumul, dan meminta tuntunan Tuhan sehingga muncul
pemikiran yang bijaksana dan bukan berasal dari kehendak sendiri.

Saya perlu ingat pernikahan yang nantinya akan saya jalani adalah kudus karena keduanya
telah disatukan meskipun dengan latar belakang, kebiasaan, sifat, atau watak yang berbeda. Hal
yang perlu dijunjung adalah supaya keduanya tidak egois dan hanya berorientasi untuk saling
mengasihi dengan dasar cinta kasih dari Allah yang berarti bukan lagi soal perasaan semata tapi
adanya keteguhan komitmen sehingga suami dan istri terjauhkan dari adanya dosa percabulan.
Anugerah yang Tuhan berikan bukan hanya soal perkawinan tetapi juga kehidupan melajang.
Apapun keputusan yang seseorang buat dalam kehidupan hendaklah tetap mengingat bahwa tujuan
keberadaan kita hanyalah untuk memuliakan Tuhan dan melayani sesama.

III. KOMITMEN PRIBADI

Memang untuk saat ini bagi saya masih terlalu dini, tetapi ini pelajaran penting untuk saya
ke depannya supaya lebih bijaksana dalam membina hubungan dimana perlu adanya keseriusan dan
tanggung jawab. Hal ini karena sebagai orang muda seringkali kita masih menyepelekan suatu
hubungan. Hubungan seperti putus sambung dengan seseorang adalah salah besar dan tidak
bertanggung jawab, sebab dalam tahap pacaran, kita harus mengenal dan memahami pasangan
sehingga dalam tahap pernikahan kita dapat menerima pasangan apapun keadaannya

Sebagai seorang Kristen yang saat ini masih menjadi mahasiswa, saya juga harus menjaga
kekudusan sebab tubuh yang kita miliki adalah kepunyaan Allah. Saya tidak boleh sembarangan
dalam memilih pasangan sebab itu merupakan pernikahan sekali seumur hidup. Pasangan seiman
adalah harga mutlak dan tidak bisa dikompromikan sebab ke depannya laki-laki adalah kepala
keluarga dan bertanggung jawab penuh atas rumah tangganya sehingga perlu untuk mencari
pasangan yang takut akan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai