SEBAGAI SUAMI-ISTERI )
KEUTUHAN HIDUP SEBAGAI SUAMI-ISTERI
I Petrus 3 : 1-7)
Dalam konteks Perjanjian Lama misalnya, sebelum Allah memperkenalkan diri kepada umat
Israel sebagai jalan keselamatan di dalam Yesus Kristus, dan umat Israel belum mengenal Yesus
Kristus secara pribadi, kita menemukan suatu bentuk kebiasaan praktek ucapan syukur yang sering
dilakukan oleh umat Israel kepada Allah yang mereka yakini sebagai sumber hidup dan keselamatan
mereka. Dalam praktek ini, setiap kali mereka hendak menyatakan rasa syukurnya, mereka harus
memberikan suatu korban bakaran bagi Allah, yaitu korban berupa hewan dengan berbagai
kelengkapan lainnya ( seperti: sajian roti sesuai dengan ketentuan bentuk olahannya).
Korban syukur dalam perjanjian lama identik dengan memberikan yang terbaik dan
sempurna bagi Allah. Yaitu korban yang tak bercacat. Setiap orang yang hendak memberi korban
syukur harus dengan kejujuran dan tidak dengan berbohong. Mereka diwajibkan memberi
persembahan berdasarkan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sesuai berkat Tuhan yang ada
padanya. Kalau orang kaya yang sanggup membawa domba, maka yang dibawa haruslah domba,
tidak boleh burung tekukur. Mereka melakukan ini semua sebagai wujud ucapan syukur atas karya
keselamatan dari Allah yang maha ajaib terjadi dalam kehidupan mereka.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Dalam konteks Perjanjian Baru, kita tidak lagi mempersembahkan korban syukur melalui
kurban hewan, tapi kita datang di hadirat Tuhan dengan mempersembahkan diri sebagai
persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada-Nya. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa
ibadah syukur yang sejati adalah ibadah secara keseluruhan hidup kita dan secara pribadi kita
membawa diri kepada Tuhan. Yang diharapkan oleh Allah adalah kehadiran langsung diri kita di
hadirat-Nya. Adapun kalau kita membawa persembahan “materil” dalam setiap ibadah yang kita
lakukan, itu adalah bentuk jawaban atas panggilan kita dalam mendukung operasional pelayanan
bagi persekutuan hidup di dalam dunia ini bagi kemuliaan Tuhan.
Melaui suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus menegaskan, “Karena itu, saudara-
saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan
tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah
ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Ini mengajarkan kepada kita bahwa menghitung-hitung berkat
Tuhan bukanlah berdasarkan materi semata yang kita terima atau yang bisa kita nikmati, tapi yang
utama adalah berdasarkan kualitas penghayatan iman kita mengenai betapa besarnya kasih dan
pengorbanan Yesus Kristus yang telah relah mati demi menyelamatkan kita. Itulah berkat yang
sesungguhnya. Pengorbanan Yesus telah menjadi jaminan hidup dan sumber berkat dalam menjalani
segala tantangan kehidupan di dunia sekarang ini menuju pengharapan kekal di dunia akhirat.
Penghayatan demikian akan berdampak pada sebuah kesadaran iman setiap orang untuk senantiasa
bertanya pada dirinya; sudah seberapa besar perubahan hidup pada dirinya, keluarganya dan orang-
orang disekitarnya karena telah menikmati berkat keselamatan dari Allah di dalam Kristus Yesus.
Dari proses perenungan yang mendalam tentang kasih Allah yang begitu besar dan ajaib,
yang telah menjadi korban keselamatan kepada kita, akan menggerakkan kita secara spontan dan
tulus datang kepada-Nya membawa kehidupan kita sebagai persembahan syukur melalui puji-pujian
dan berbagai bentuk pelayanan dan kesaksian yang bisa kita perankan. Dalam Ibrani 13:15,
dikatakan, “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada
Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya”. Dengan mulut kita memuji dan memuliakan
nama Tuhan. Hal Ini menjelaskan kepada kita bahwa bersyukur adalah satu nilai ibadah yang
berkenan kepada Tuhan. Jadi, ucapan syukur antara lain diwujudkan dengan puji-pujian. Puji-pujian
adalah suatu reaksi iman untuk menyadari dan mengakui kebesaran karya Tuhan.
Jika pada saat ini kita boleh berkumpul dalam suasana syukur bersama dengan segenap
keluarga di tempat ini, tentunya karena ada begitu banyak peristiwa penting yang membawa kesan
yang baik bagi keluarga, dan itulah yang dijadikan alasan oleh keluarga dalam menyatakan ungkapan
syukurnya. Namun di balik alasan-alasan tersebut, sebenarnya yang menjadi dasar pokok kita dalam
menyatakan ungkapan syukur, tidak lain adalah karena Yesus Kristus telah berkorban demi
menyelamatkan kita. Jaminan Keselamatan itulah yang memungkinkan keluarga untuk tetap
berharap kepada Tuhan dalam menjalani berbagai rencana dan tantangan kehidupan pada waktu-
waktu yang lalu. Dan kasih-setia Tuhan sungguh terbkti. Tuhan boleh menyatakan kemurahan-Nya,
menyertai keluarga hingga paa saat ini, bahkan memberinya sukacita; ( pengkhotbah dapat
menyebutkan alasan keluarga bersyukur; apakah karena kesuksesan dalam pekerjaan, mengalami
pertambahan umur, sembuh dari penyakit, dan sebagainya).
Sangat penting juga untuk kita pahami, bahwa kita mengucap syukur bukan semata-mata
karena kita mengalami hal-hal yang kita anggap baik dan menyenangkan, namun terlebih karena kita
memiliki Allah yang Mahabaik. Kita mengucap syukur, bukan pula karena pemberian Allah secara
materil semata-mata, melainkan karena Allah itu telah memiliki hidup kita seutuhnya dan kita
memiliki Dia melalui Yesus Kristus.
Mengucap syukur dalam keadaan baik, tentu semua orang bisa melakukannya. Tetapi
mengucap syukur dalam segala hal tidak semua orang bisa melakukannya. Mungkin kita lebih mudah
bersungut-sungut dari pada mengucap syukur bila keadaannya kurang baik menurut penilaian kita.
Bukan berarti kita mengucap syukur atas malapetaka atau kemalangan yang menimpa kita. kita
mengucap syukur bukan pada keadaan yang buruk. Tetapi mengucap syukur kepada Tuhan bahwa
sekalipun keadaannya buruk, Dia pasti menolong dan menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita.
Bukankah Dia dengan relah telah menjadi korban persembahan menggantikan kita agar kita
memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup? Oleh karena itu, mari kita menyembah Dia
dengan tubuh kita, bahkan dengan seluruh kehidupan kita. Itulah ibadah kita yang sejati. Itulah
ungkapan syukur yang sejati yang dikehendaki oleh Allah. Terpujilah Tuhan. Amin!
Jika kita teliti, banyak sekali penjelasan dalam firman Tuhan yang membahas tentang arti
atau hakekat ucapan syukur. Antara lain, kita dapat belajar dari kisah hidup Rasul Paulus yang
merupakan perwujudan langsung dari rasa syukurnya atas segala kasih karunia Tuhan. Paulus adalah
seorang rasul yang telah mengabdikan seluruh hidupnya di hadapan Tuhan sebagai pembuktian atas
kesediaannya setia berjerih lelah dalam pelayanan. Dalam surat-suratnya, rasul Paulus secara
panjang lebar memaparkan bahwa ada begitu banyak hambatan, tantangan dan ancaman yang silih
berganti ia alami sekaitan dengan tugas kesaksian dan pelayanannya. Tetapi dari mulutnya tidak
pernah sepatah kata pun keluar kata-kata sungutan, umpatan, frustrasi dan putus asa.
Malah dalam situasi yang sedemikian rumit, Rasul Paulus mampu memberi motivasi kepada
segenap orang percaya supaya mereka senantiasa mengucap syukur dalam segala situasi hidup.
Sebab dengan selalu mengucap syukur, sebenarnya kita memperlihatkan kualitas pertumbuhan
rohani kita. Penampakan pertumbuhan rohani ini sekaligus juga menunjuk kepada kualitas
kedewasaan iman kita. Kalau kita tidak pernah mengucap syukur atau malah sering bersungut-
sungut dalam hidup, berarti iman kita tidak bertumbuh, kerohanian kita menjadi kerdil, bahkan
mungkin sudah mati. Rasul Paulus menulis: "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena
itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di
atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan
hendaklah hatimu melimpah dengan syukur" (ay. 6-7).
Artinya, hal mengucap syukur sesungguhnya merupakan suatu elemen penting dalam
kehidupan orang percaya yang tidak boleh diabaikan dan disepelekan. Karena melalui ucapan
syukur, kita menyatakan iman pengharapan dan ketergantungan kita kepada Allah sebagai Sang
pemilik dan pemberi kehidupan. Melalui ucapan syukur yang kita nyatakan, berarti kita juga mau
memberi diri untuk dipakai oleh Allah. Oleh hikmat dari Allah, seluruh sikap hidup dan kata-kata kita
dapat menjadi berkat bagi setiap orang yang kita jumpai.
Kita mengucap syukur bukan karena tergantung pada keadaan secara lahiriah; baik atau
buruk, tetapi kita mengucap syukur karena kita memiliki Tuhan yang layak untuk diandalkan
menopang kita dalam menghadapi segala tantangan dan situasi hidup; bahwa sekalipun keadaannya
buruk, Tuhan pasti menolong dan menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita. Demikianlah hendaknya
sikap hidup setiap pribadi yang telah mewarisi karakter yang dibentuk di dalam Kristus. Keyakinan
iman yang tidak tergoyahkan, sekalipun dalam situasi yang kurang bersahabat. Apa yang Rasul
Paulus telah ajarkan dan praktekkan merupakan teladan bagi kita sebagai anak-anak terang. Melalui
cara hidup yang senantiasa mengucap syukur, kita menampilkan karakter atau kepribadian yang
selalu membawa energi positif. Cara pandang dan cara pikir yang demikian akan mampu mengubah
keadaan dari negatif menjadi positif, dari buruk menjadi baik.
Bila kita merenungkan kasih dan kebaikan Tuhan, sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita
untuk tidak mengucap syukur kepada-Nya, bahkan ucapan syukur itu semestinya seperti nafas hidup
kita yang tak pernah berhenti berhembus selama kita masih hidup. Namun seringkali ucapan syukur
keluar dari mulut kita hanya saat kita menikmati dan mengalami hal-hal yang baik dari Tuhan. Ketika
hal-hal yang tidak baik (menurut penilaian kita) terjadi dan menimpa hidup kita, sulit sekali kita
mengucap syukur kepada Tuhan. Sebaliknya, yang keluar dari bibir kita hanya ungkapan
kekecewaan, kekesalan, keputusasaan, sungut-sungut, omelan dan bahkan kita terkadang
menyalahkan Tuhan.
Hal-hal yang baik atau buruk, keberhasilan atau kegagalan, sakit atau sehat, dalam
kelimpahan atau kekurangan, suka atau duka, adalah sebuah dinamika yg akan selalu mewarnai
perjalanan kehidupan kita selaku manusia. Namun satu hal yang harus senantiasa menjadi
keyakinan kita ialah bahwa, "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan" (Roma 8:28). Karena itu, tetaplah mengucap syukur apa pun keadaannya. Sebab itulah
yang membedakan kita sebagai orang percaya dengan orang yang tidak mengenal Tuhan.
Membangun kesadaran hati yang bersyukur kepada Tuhan akan menjadi mudah kalau kita
senantiasa mau melihat seluruh kebaikan Tuhan atas hidup kita melalui mata iman.
Bagaimana kita menyatakan syukur kita? Tidak lain adalah dengan senantiasa menyatakan
sikap hati yang benar dan sikap hidup yang berkenan di hadapan Tuhan. Itu berarti, hal mengucap
syukur bukan sekedar ucapan pemanis di bibir, namun lebih pada soal pemaknaan hidup sebagai
bentuk penghayatan iman yang sungguh tentang kebesaran kasih Tuhan di dalam Kristus Yesus yang
telah menyelamatkan kita. Oleh karena itu, hanya dengan tetap hidup di dalam Kristus, berakar dan
dibentuk di dalam Dia, hati kita senantiasa mengalami limpahan syukur.
Ada sebuah cerita yang dapat dijadikan sebagai ilustrasi untuk menjelaskan bagaimana
seseorang harus bersyukur dalam situasi apa pun dalam hidunya. Diceritakan, ada seorang raja yang
gemar berburu dengan pengawalnya. Pada suatu hari ketika sang raja sedang berburu, ia
mendapatkan kecelakaan dan sungguh malang, ibu jari tangan sang raja terpotong oleh sabetan
pisau yang sangat tajam hingga harus kehilangan jari jempolnya. Sang raja sangat marah dan
memanggil pengawalnya yang setia menemaninya berburu. Sesampainya di istana, dia berkata
kepada pengawalnya, “bagaimana denganmu sebagai pengawal, aku kehilangan jari jempolku,
kenapakah engkau tidak menjagaku dengan benar, tidak kah kau tahu, aku sangat membutuhkan jari
jempolku?” Maka sang pengawal berkata,” Tuanku baginda raja, yang sudah terjadi, relahkanlah dan
bersyukurlah tuanku baginda raja, sebab yang hilang hanya jari jempol, untung saja bukan nyawa
raja yang hilang”.
Akibat perkataan sang pengawal yang dianggap kurang ajar itu,sang raja sangat marah dan
menyuruh pengawal yang lain menangkap dan memenjarakan pengawal tersebut. Setelah peristiwa
tersebut, ternyata sang raja tidak meninggalkan kebiasannya berburu. Hingg pada suatu hari, ia dan
pengawalnya masuk ke dalam hutan yang sangat lebat dan mereka tertangkap oleh suku primitif
yang memiliki tradisi mempersembahkan manusia sebagai korban persembahan kepada dewa
mereka. Setelah sampai pada waktu memberikan korban persembahan kepada dewa, mereka
memulainya dari raja, namun mereka melapaskan raja karena sang raja tidak memiliki jempol, dan
dianggap tidak sempurna. Dan semua pengawalnya di jadikan korban persembahan kepada dewa
karena memiliki organ tubuh yang lengkap.
Singkat cerita sang raja kembali ke istana dengan selamat dan meyuruh pengawalnya untuk
melepaskan pengawal yg dulu ia penjarakan. Setelah pengawal tersebut menghadap raja, sang raja
berkata, ”pengawalku yang baik, aku bersyukur karena dulu aku kehilangan jempol, dan olehnya aku
dapat luput dari kebinasaan. Terimakasih untuk nasehatnya dan maafkan aku telah
memenjarakanmu”. Tapi sang pengawal berkata kepada raja, “Tuanku baginda raja, aku lebih
bersyukur lagi dan berterima kasih kepada raja, jika seandainya aku tidak dipenjarakan oleh raja,
mungkin aku juga telah mati karena dijadikan persembahan oleh suku primitif, seperti yang dialami
para pengawal yang lain”. Sang raja kemudian berkata, “baiklah, mari kita sama-sama bersyukur”.
Ilustrasi dalam cerita ini hendak memberi pesan kepada kita bahwa, bersyukurlah atas
segala apa yang terjadi di dalam kehidupan kita, karena sebenarnya semua itu mendatangkan
kebaikan kepada kita walaupun saat ini kita belum dapat menyelaminya. Mungkin ada yang tidak
terlalu suka kepada kita, bersyukurlah..! Kita memiliki banyak sahabat, bersyukurlah..! Kita memiliki
harta yang banyak, bersyukurlah..! Kita belum memiliki banyak hal seperti yang kita harapakan,
bersyukurlah..! Kita mengalami suka cita, bersyukurlah..! Intinya, hendaklah hatimu senantiasa
melimpah dengan syukur..! Amin!
ALA BISA KARENA BIASA…!”
( Mazmur 111 : 1 – 10 )
Predikat sebagai makhluk yang berbudaya adalah sebuah gelar atau sebutan yang sering
dilekatkan pada diri manusia. Manusia identik dengan budaya. Sehingga ketika kita
berbicara tentang budaya, maka secara otomatis kita berbicara tentang manusia. Dan setiap
kali kita kita berbicara tentang manusia maka secara otomatis pula kita berbicara tentang
hakekatnya sebagai makhluk berbudaya. Hal inilah yang membedakan manusia dengan
ciptaan Tuhan lainnya. Sehingga manusia juga disebut sebagai ciptaan Tuhan yang paling
mulia. Di luar manusia, tidak ada ciptaan lain yang mengenal budaya atau bisa berbudaya.
Budaya berasal dari kata ‘budhi’ yang dapat diartikan sebagai akal atau pikiran. Sehingga
budaya dapat diartikan sebagai sebuah upaya pendayagunaan akal atau pikiran manusia, demi
menunjang proses kelangsungan hidupnya dan ciptaan Tuhan yang lainnya menuju ke arah yang
lebih baik. Sehingga proses pendayagunaan akal/pikiran yang terus menerus ini dapat diandaikan
sebagai sebuah latihan dalam menggunakan akal/pikiran agar terbiasa dengan hal-hal yang
dikehendaki oleh Allah dan berguna bagi kehidupan manusia dan ciptaan Allkah lainnya. Dalam hal
ini, lingkungan dimana (tempat, dengan siapa, dan bagaimana) seseorang berproses dalam
melangsungkan kehidupannya, maka itu jugalah yang menentukan kualitas dan bentuk budaya yang
dihasilkannya. Budaya tersebut muncul sebagai suatu hasil pikiran yang telah dibentuk oleh
lingkungannya, yang nampak melalui perilaku. Kemudian perilaku itu terjadi secara berulang-ulang.
Lalu muncul sebagai sebuah kebiasaan-kebiasaan diri atau budaya diri.
Melalui pembacaan kita pada saat ini, diceritakan tentang sebuah budaya diri seorang
pemazmur dan keluarganya. Budaya ini sudah menjadi identitas dan karakter dirinya. Budaya
tersebut dapat disebut sebagai ‘budaya bersyukur’. Mengapa disebut seperti itu? Karena hal
bersyukur adalah suatu kebiasaan yang telah menjadi ciri khas hidupnya. Dan berlangsung secara
terus-menerus dalam mewarnai kehidupannya. Bahkan sudah menjiwai keseluruhan aspek
perjalanan hidupnya. Pemazmur dalam menjalani rutinitas kesehariannya selalu berusaha untuk
meluangkan waktunya agar bisa berkumpul dengan keluarga dan sesamanya (jemaah) untuk
beribadah kepada Tuhan. Dalam ibadahnya, pemazmur selalu menaikkan pujian dan ungkapan
syukurnya kepada Tuhan. Dan ungkapan syukur tersebut dinyatakan dengan tulus dan bukan sebagai
kepura-puraan. Ia melakukannya dengan sepenuh hati. Semua yang dilakukannya tidak lain sebagai
bentuk kesaksiannya atas segala karya Tuhan yang sungguh ajaib. Ia selalu merenung-renungkan
(menyelidiki) perbuatan-perbuatan Tuhan dalam hidupnya. Dan iapun menyaksikan bahwa Tuhan itu
sungguh peduli dan selalu memberikan rejeki kepada orang-orang yang takut kepada-Nya.
Memberikan milik pusaka kepada umat-Nya. Tuhan itu penuh dengan kebenaran, keadilan dan
kejujuran. Segala titah-Nya teguh, kokok untuk selamanya. Bahkan mampu membebaskan umat-Nya
yang terbelenggu.
Pemazmur begitu hafal dengan sifat-sifat dan tindakan Tuhan, karena ia sudah lama terbiasa
bergaul dengan Allah. Dekat dengan Tuhan adalah sebuah hal utama bagi dirinya. Sebab ia yakin
bahwa sumber hikmat adalah takut (hormat) kepada Tuhan. Perasaan hormat dan kedekatannya
kepada Tuhan telah membentuk karakternya sebagai orang yang berhikmat. Dengan hikmat dari
Tuhan, ia diberikan akal budi yang baik. Akal budi yang baik inilah yang telah menjadikannya untuk
selalu mampu berbuat baik, bahkan bisa selalu bersyukur. Kebiasan bersyukur adalah sebuah hal
yang telah melekat pada dirinya. Pemazmur selalu mampu bersyukur kepada Tuhan karena ia sudah
terlatih membiasakan diri melakukannya. Ala bisa karena biasa!
Ketika kita berkumpul satu dengan yang lain pada saat ini, di tempat ini, maka nilai
apakah yang mendasarinya? Kita berkumpul, tidak lain adalah untuk menyatakan ungkapan syukur
kita kepada Tuhan. Juga dimaksudkan untuk berbagi kesaksian kepada sesama, agar orang lain juga
bisa datang dan dekat kepada Tuhan. Kita mengucap syukur kepada Tuhan karena terlalu banyak
kebaikan yang telah, dan akan terus dilakukan-Nya bagi kita. Memang, kalau kita hanya melihat
dengan mata telanjang kita, mungkin banyak kebaikan Tuhan yang akan luput dari perhatian kita.
Tetapi apabila kita menyelidikinya dan senantiasa merenung-renungkannya dengan mata iman kita,
maka kita pun akan tersadar bahwa ternyata begitu banyak kebajikan Tuhan yang selalu terjadi bagi
kita. Tuhan selalu mencurahkan berkat-Nya bagi umat-Nya yang percaya kepada-Nya.
Memang tidak begitu gampang bagi semua orang untuk bisa datang bersyukur kepada
Tuhan. Banyak orang yang merasa tidak ada yang perlu disyukuri. Atau banyak orang yang merasa
belum mengalami kebaikan Tuhan atas dirinya. Mengapa? Karena kita belum mengenal sifat-sifat
Tuhan karena tidak terbiasa bergaul dengan Tuhan. Kita tidak terbiasa menyelidiki perbuatan-
perbuatan dan kebaikan Tuhan di dalam diri kita. Terlalu banyak waktu dan pikiran kita disita oleh
hal-hal yang tidak penting dan bersifat duniawi, sehingga kita mengabaikan hal yang utama dalam
hidup kita. Padahal Tuhan sudah memberikan kita akal/pikiran agar bisa membaca segala kehendak
dan perintah-Nya. Ia memperlengkapi kita dengan sarana untuk bisa memahami maksud dan karya-
Nya.
Pemazmur mengajak kita untuk senantiasa takut kepada Tuhan. Sebab permulaan hikmat
adalah takut kepada Tuhan. Takut berarti hormat kepada-Nya. Takut kepada Tuhan memampukan
setiap orang untuk berakal budi yang baik. Akal budi yang baik akan menciptakan perilaku yang baik.
Perilaku yang baik akan memungkinkan seseorang untuk memiliki budaya yang baik, termasuk
kebiasaan menaikkan puji-pujian dan bersyukur selalu kepada Tuhan.
**Ilustrasi:
Dalam setiap pertunjukan sirkus yang biasa kita saksikan; entah secara langsung,
maupun melalui media elektronik, disitu dipertontonkan tentang atraksi-atraksi
menakjubkan yang bisa dimainkan oleh hewan-hewan tertentu. Sering dengan
kagumnya kita memberikan pujian kepada hewan-hewan tersebut, setiap kali mereka
berhasil melakukan atraksi yang diperintahkan oleh pelatihnya. Yang mana atraksi
tersebut sebenarnya sering tidak masuk di akal kita kalau semuanya itu bisa
dilakukan, namun ternyata bisa. Kita lantas bersorak dan memberikan tepuk tangan.
Namun di balik semua kenyatan tersebut, pernahkah kita bertanya tentang faktor apa
yang membuat hewan-hewan tersebut bisa melakukan atraksi yang diperintahkan
oleh pelatihnya? Jawabannya tidak lain adalah karena adanya proses latihan yang
terus menerus. Dan juga adanya hubungan yang baik dengan pelatihnya. Ala bisa
karena biasa.
Bagaimana dengan kita? Mengapa budaya bersyukur sering susah kita lakukan? Mengapa
kita sering begitu susah memuji Tuhan? Mengapa begitu berat bagi kita untuk melakukan perintah
Tuhan? Penyebabnya tidak lain karena faktor tidak biasa. Kita tidak membiasakan diri bergaul
dengan Tuhan. Kita tidak membiasakan diri menyelidiki perbuatan-perbuatannya Tuhan yang
sungguh ajaib. Kita tidak biasa melatih diri dalam melakukan apa yang dikehendaki Tuhan. Padahal,
bukankah kita telah diperlengkapi dengan akal/pikiran oleh Tuhan? Sementara hewan tidak!
Seharusnya kita bisa berbuat jauh lebih baik daripada hewan. Namun kenyataannya sering berbicara
lain.Hal tersebut hanya bisa terwujud apabila kita memiliki kemauan untuk selalu melatih diri dalam
mendengar, memahami dan melakukan firman Tuhan.
Oleh karena itu, berbahagialah kita semua yang masih bisa bersyukur kepada Tuhan. Sebab
rasa syukurlah yang bisa menjadi jembatan hadirnya kebahagiaan.Kiranya Roh Kudus menyertai dan
memberkati. Haleluyah!
Amin…!
BERSUKACITA, BERDOA DAN BERSYUKURLAH SELALU…!”
( 1 Tesalonika 5 : 16 – 18 )
Masalah gaya hidup atau pola hidup merupakan salah satu sisi penting yang tidak akan luput
menjadi perhatian, bahkan seringkali menjadi bahan perdebatan dalam kehidupan manusia. Gaya
hidup adalah sebuah bentuk upaya pengungkapan jatidiri seseorang tentang dirinya. Hal itu sering
dinyatakan melalui berbagai kebiasan-kebiasaan atau tampilan diri keseharian sebagai hasil dar
Dalam hal ini, semakin sering seseorang menyerap nilai-nilai yang baik untuk dirinya, maka
semakin besar pula peluangnya untuk mengembangkan pemahaman tentang diri dan
lingkungannya. Yang secara otomatis pula, memungkinkan dia untuk bisa mengembangkan gaya
hidup yang lebih baik dan benar bagi dirinya. Namun sebaliknya, semakin sering seseorang
menyerap (meneladani) nilai-nilai yang buruk bagi dirinya, maka semakin potensial pula ia
mengembangkan pemahaman yang keliru tentang diri dan lingkungannya. Sehingga pola yang
muncul dan berkembang dalam dirinya adalah gaya hidup yang buruk pula.
Dalam kehidupan kita selaku umat manusia, termasuk di dalamnya; keberadaan kita selaku
orang kristen, ada begitu banyak tampilan pola hidup yang bisa kita jumpai. Ada orang yang gaya
hidupnya sudah terbiasa dengan penampilan yang terkesan mewah, ada yang biasa-biasa saja, dan
ada juga yang sangat sederhana. Ada yang gaya hidupnya hanya bertujuan untuk bersenang-senang,
namun ada juga yang sebaliknya. Dan masih banyak lagi, tergantung latar belakang dan motivasi
hidup setiap orang. Baik buruknya gaya hidup seseorang sangat ditentukan oleh situasi lingkungan
yang membentuknya dan pilihan-pilihan nilai sebagai motivasi (dorongan) yang melatarinya.
Menyadari bahwa permasalahan gaya hidup adalah sebuah hal yang tidak akan luput
menjadi persoalan dalam kehidupan orang-orang kristen di jemaat Tesalonika, maka Rasul Paulus
dan rekan-rekan sepelayanannya, melalui suratnya tak henti-hentinya memberikan nasehat-
nasehatnya sebagai tuntunan. Secara garis besar, dalam bagian ini, ia menekankan tiga hal penting
yang harus dimiliki/dipraktekkan oleh orang-orang kristen, yaitu: Senantiasa bersukacita, Tetap
berdoa, dan Bersyukur selalu. Dengan selalu memperhatikan dan menjiwai ketiga unsur tersebut,
setiap orang kristen di Jemaat Tesalonika dan di segala tempat di muka bumi ini, diharapkan mampu
menjadi teladan bagi orang lain. Kesaksian melalui kebiasaan-kebiasaan hidupnya yang berkenan
kepada Allah, diharapkan mampu memperlihatkan pola kehidupan yang lebih baik dari orang lain.
Dan tidak lagi gampang terbawa-bawa oleh gaya hidup yang ditawarkan oleh dunia.
Secara kongkrit, apakah pengertian dan bagaimanakah ketiga hal tersebut dapat kita
pahami serta implementasikan (terapkan) dalam kehidupan sehari-hari?
Apakah hal bersukacita dapat diartikan sama dengan tertawa-tawa? Jelas berbeda!
Walaupun sepintas lalu hampir sama! Memang, tertawa itu penting, dan katanya bisa membuat
orang awet muda. Tertawa adalah salah satu cara yang sering dilakukan orang dalam
mengekspresikan perasaan senangnya. Namun, tidak semua tertawa yang dilakukan adalah murni
ungkapan sukacita. Sebab banyak juga orang yang tertawa, namun hanya bermaksud mengejek
sesamanya. Malah, ada orang yang kerjanya hanya tertawa-tawa melulu tanpa alasan yang jelas.
Dan orang-orang seperti itu banyak kita jumpai di rumah sakit jiwa, yang notabene adalah orang-
orang yang bermasalah secara mental/kejiwaan. Tentunya kita semua tidak berharap untuk
dimasukkan dalam kategori orang-orang seperti itu.
Atau, apakah hal bersukacita dapat diidentikkan dengan hal bersenang-senang? Lagi-lagi
berbeda! Namun seringkali sangat sulit dibedakan. Sepintas lalu memang hanya beda tipis. Tapi
secara prinsip, sebenarnya bisa saja sangat berbeda jauh. Memang, tidak dapat disangkali bahwa
semua orang tentunya mengharapkan adanya kesenangan dalam hidupnya, termasuk orang kristen.
Namun tidak semua yang disebut kesenangan bisa membawa kehidupan yang bermanfaat. Ada
kesenangan yang hanya sementara saja, lalu kemudian hari menyengsarakan dan
malah menghancurkan. Kesenangan seseorang yang suka mabuk-mabuk misalnya; bisa saja
menyenangkan pada saat itu, tetapi apabila berlangsung secara terus-menerus maka malah justru
akan merusak daya pikirnya, merusak kesehatannya, bahkan dapat merusak masa depan dan
seluruh hidupnya.Kesenangan seperti ini, banyak ditawarkan di tempat-tempat hiburan malam.
Banyak sekali kesenangan yang ditawarkan oleh dunia namun samasekali tidak membawa
sukacita hidup. Kerajaan Allah telah hadir dalam dunia ini, dan itu berarti sukacita hidup sorgawi
dapat kita nikmati dalam dunia ini. Hanya saja, yang harus kita waspadai adalah jangan sampai kita
terjebak dalam perangkap kesenangan duniawi. Olehnya itu, kita dituntut untuk selalu belajar agar
bisa membedakan antara kesenangan hidup yang bersumber dari dunia, dengan sukacita hidup yang
bersumber dari Allah.
Sukacita adalah suatu bentuk ungkapan perasaan sebagai pandangan hidup dari orang-orang
yang selalu memiliki sikap optimis/pengharapan dalam menghadapi segala situasi hidup. Boleh saja
tekanan hidup datang menghampiri, tetapi perasaan sukacita itu tidak pupus karena ia memiliki
iman dan pengharapan kepada Allah. Sukacita adalah bukti dari kualitas iman seseorang sebagai
hasil dari pengalaman batin dalam hidupnya. Sukacita tercipta karena adanya dorongan energy
positif yang mengalir dalam diri seseorang karna hubungannya dengan Allah. Sukacita tidak
ditentukan oleh situasi, sehingga tidak terperangkap kepada hal-hal yang bersifat lahiriah saja.
Artinya, secara lahiriah bisa saja seseorang kelihatan menderita dan serba kekurangan, namun di
dalam batinnya dia merasa berkecukupan, sehingga dia tidak gampang dirongrong oleh kekuatiran.
Sebaliknya, hidup bersenang-senang bersifat hanya sementara saja. Dan hanya tergantung
kepada hal-hal lahiriah saja; yaitu hal-hal yang dapat dinikmati dan dilihat secara kasat mata, yang
berbentuk fisik/materil. Artinya, kalau kebutuhan-kebutuhannya serasa serba terpenuhi, maka ia
pun larut dalam kesenangan tanpa batas dan sering lupa diri. Tetapi sebaliknya, kalau tekanan hidup
atau kekurangan datang menghampiri maka perasaan senang itupun pupus, lalu tergantikan dengan
kekuatiran dan keluhan-keluhan. Bahkan tidak jarang sering membawa seseorang pada sikap-sikap
negatif yang justru merugikan dirinya, dan juga merugikan orang lain.
Hal bersukacita didasari oleh iman dan pengaharapan kepada Tuhan, sedangkan hal
bersenang-senang didasari oleh hawa nafsu duniawi semata.
Apa dan bagaimana pentingnyakah hal berdoa itu? Mengapa kita harus tetap berdoa?
Di dalam alkitab, doa dinyatakan sebagai hal yang luar biasa dan penting. Firman Tuhan
memerintahkan, “…Tetaplah berdoa… (ay.17)! Ini berarti bahwa kita harus bisa berdoa setiap saat
dan dalam segala situasi. Doa dapat diibaratkan seperti hubungan/komunikasi antara si anak dengan
sang bapak. Karena orang kristen adalah orang yang telah ‘dilahirkan kembali’ dan dilayakkan
untuk masuk dalam keluarga Allah, maka sewajarnyalah baginya untuk selalu berdoa; seperti
seorang anak menyampaikan pergumulan, keinginan-keinginan dan unek-unek lainnya kepada
bapaknya.
Memang, Allah menciptakan kita dan memperlengkapi kita dengan berbagai sarana hidup;
termasuk akal-pikiran dll, namun kitapun perlu sadar bahwa kita hidup dalam kodrat kita sebagai
manusia yang memiliki keterbatasan. Hidup di dalam dunia akan senantiasa diwarnai dengan
berbagai godaan dan tantangan. Oleh karena itu, dalam menghadapi situasi hidup yang demikian,
kita hanya bisa datang dan bergantung pada tuntunan dan pertolongan Allah saja selaku pencipta
dan pemberi hidup. Lewat doalah kita nyatakan ketergantungan itu. Di dalam doa kita menyatakan
penyerahan diri kita secara total kepada Allah sehingga otoritas (kuasa) Allah yang berlaku mutlak
bagi kita. Di dalam berdoa, tidak boleh ada penyerahan diri yang setengah hati, karena Allah pun
tidak pernah menyatakan kasih-Nya dengan setengah hati kepada umat-Nya. Allah pun tidak mau
diduakan
Karena doa adalah penyerahan diri secara total kepada Allah maka segala kehendak pribadi
kita harus bisa ditaklukkan sehingga hanya kehendak Allah yang terjadi. Allah lebih tahu apa yang
terbaik bagi kita. Banyak hal yang kita anggap baik dan kita inginkan tetapi belum tentu baik di mata
Tuhan. Dan banyak hal yang tidak kita inginkan tetapi justru itulah yang Tuhan inginkan bagi
kita.Sehingga apapun yang Allah kehendaki dan nyatakan bagi kita sebagai jawaban atas doa kita
maka itulah yang terbaik. Cara Tuhan Yesus dalam hal berdoa di Taman Getsemani merupakan pola
yang sempurna untuk kita teladani. Di dalam doa-Nya, Dia katakana,”Ya, Bapa-Ku, jika engkau
mau………,tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi”. Yesus pasrah dan
taat kepada kehendak Bapa walaupun ada hasrat lain dalam hati-Nya. Yesus hanya bermohon dan
patuh melakukan kehendak Bapa-Nya. Sebab keputusan selanjutnya ada dalam kewenangan Bapa.
Lalu, mengapa kita tekadang dianjurkan untuk menutup mata saat berdoa? Maksudnya
adalah agar kita fokus dalam melihat dan memahami petunjuk dan kehendak Allah bagi kita.Dengan
memutup mata, berarti kita memberikan kesempatan kepada mata hati kita untuk bisa melihat hal-
hal yang tidak kelihatan. Hanya dengan mata iman (batin) yang senantiasa terbuka, kita bisa
menangkap segala kehendak dan karya-Nya, sebab mata kepala kita bisa saja menyesatkan. Dengan
memahami serta melakukan kehendak Allah maka Ia pun berkenan menjawab doa-doa kita. Namun
banyak orang yang hanya rutin berdoa, tetapi setelah berdoa, ia tidak kembali melakukan kehendak
Allah. Atau, seringkali doa hanya dijadikannya sebagai jembatan komunikasi justru untuk datang
memberi perintah/petunjuk kepada Allah. Setelah itu, berharap dan menunggu kiranya Allah
langsung melaksanakan perintahnya. Padahal seharusnya kitalah yang harus diberi perintah dan
petunjuk untuk kita laksanakan. Entah sadar atau tidak, seringkali dalam berdoa kita justru
memposisikan diri kita seolah-olah menjadi Allah, dan menjadikan Allah seolah-olah menjadi hamba
yang siap melakukan apa saja yang kita inginkan. Padahal, kitalah sebenarnya yang hamba yang
harus selalu meminta petunjuk kepada Allah dan siap diperintah oleh-Nya.
Apakah alasan kita untuk bisa bersyukur selalu? Mungkinkah kita bisa bersyukur selalu
sementara banyak hal yang kurang menyenangkan menimpa kita? Firman Tuhan mengajak kita
untuk mengucap syukur dalam segala hal. Hidup kita yang benar haruslah mengucap syukur, dalam
susah pun senang. Kita mengucap syukur karena sekalipun banyak tantangan dan cobaan silih
berganti hadir dalam hidup ini, namun Allah sudah memberikan jaminan keselamatan bagi kita
melalui anak-Nya yang tunggal yaitu Tuhan kita Yesus Kristus. Ia sudah membuktikan bahwa tidak
ada kasih dan pertolongan yang lebih besar selain kasih dan pertolongan-Nya. Sebagai bukti cinta-
Nya, Ia relah mengorbankan diri-Nya demi kita semua. Dengan bersyukur selalu, berarti kita
mengamini bahwa karya Allah yang Maha agung dan ajaib itu, telah dan pasti akan tetap berlaku
dalam hidup kita selanjutnya; dalam situasi apapun, asalkan kita percaya kepada-Nya. Sedangkan
darah dan nyawa-Nya pun Dia relah kurbankan demi menebus kita, apalagi menyangkut keberadaan
dan kebutuhan hidup kita lainnya; pasti Dia atur. Sikap optimis seperti itu akan memungkinkan kita
untuk dapat melihat peluang di setiap masalah. Karena meyakini adanya pertolongan yang sanggup
Allah lakukan melampui kesulitan-kesulitan yang kita alami.
Namun seringkali, ketika kita mengalami tantangan sedikit saja, kita langsung mengeluh dan
menyalahkan Allah. Kita sering mengomel, “Ah, kenapa aku yang harus menderita, atau kenapa aku
yang harus gagal dan kenapa bukan orang lain? ” Tetapi ketika kita berhasil dan orang lain ada yang
gagal, pernakah kita protes,”Ah, kenapa aku yang berhasil, dan bukan orang lain?”
Suka dan duka, berhasil dan gagal, adalah dua hal yang pasti pernah/akan dijumpai oleh
siapapun dalam hidupnya, tanpa terkecuali. Tujuannya adalah untuk menguji iman tiap-tiap orang;
apakah dia mengimani kuasa dan kasih Tuhan atau tidak. Kalau dia beriman maka dia akan tahu
bersyukur selalu dalam segala situasi dan berharap selalu kepada Allah yang mampu
menyelamatkan.
Kiranya Roh Allah yang maha kudus senantiasa membimbing, menguatkan dan
memampukan kita semua untuk senantiasa bersukacita, tetap berdoa dan bersyukur selalu dalam
segala hal, sebab itulah yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Haleluyah…!Amin…!
Kalau benar penghayatan kita seperti pemazmur dalam ayat 7 renungan kita:
“Tanah telah memberi hasilnya; Allah, Allah kita, memberkati kita”, akan
membuat kita:
Hari ini kita telah tiba di hari Minggu terakhir Minggu Sengsara (7), itu berarti kita akan
memasuki perayaan puncak penderitaan Yesus Kristus dalam perayaan Jumat Agung serta akan
memasuki puncak perayaan kemenanganNya pada Peristiwa Paskah atau KebangkitanNya dari
kematian. Selama minggu-minggu sengsara ini, kita telah diarahkan pada refleksi kehidupan dan
pengorbanan Tuhan Yesus dalam rangka penebusan kita sehingga beroleh keselamatan dan hidup
kekal. Kita juga telah merenungkan bagaimana penderitaan dan kesengsaraan hidup sebagai orang-
orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus kita maknai sebagai pengalaman hidup beriman
untuk menjadi orang-orang yang dimurnikan di dalam iman. Saat ini melalui kesaksian Alkitab ini
kepada kita kemudian diberitakan bahwa Tuhan Yesus menuju Yerusalem untuk menggenapi nubuat
yang telah Allah tetapkan di dalam Dia. Yesus Kristus benar-benar tahu tujuan kedatanganNya ke
Yerusalem, yakni untuk disalibkan. Akan tetapi pengikut-pengikutNya sepertinya melupakan hal ini.
Mereka dengan antusias dengan penuh semangat didasari ingatan pada mukjizat yang dilakukan
Tuhan Yesus mereka menyambut Yesus Kristus sebagai Mesias, seorang pahlawan yang gagah
perkasa. Mereka tak mengerti kenapa kala itu Yesus Kristus malah menunggangi seekor keledai
muda.
Di balik peristiwa ini, nubuatan Zakaria digenapi (Zak.9:9). Bahwa Yesus Kristus hadir di
Yerusalem diposisikan sebagai Raja. Dia dielu-elukan, disambut dengan penghormatan melalui
hamparan pakaian dijalanan. Padahal, seorang Raja biasanya menunggangi seekor kuda, sebagai
symbol keperkasaannya, tetapi Yesus Kristus malah menunggangi seekor keledai muda. Melalui
perintah misterius, para murid menemukan keledai yang dimasudkan Yesus Kristus. Tidak ada
argument apapun mengenai perintah ini, para murid langsung melakukan apa yang diperintahkan
kepada mereka. Perintah misterius dari Yesus Kristus ini menunjukkan kemahakuasaanNya
mengetahui dan menguasai masa depan. Seruan para murid tentang kedatangan Yesus Kristus
sebagai Raja mendapat keberatan dari orang-orang Farisi dan mereka meminta Yesus Kristus
menghentikan murid-muridNya menyerukannya. Yesus Kristus tidak menghentikan mereka. bahkan
jika mereka diam, maka batu-batupun akan berseru seperti seruan mereka.
Saudara-saudara, apakah sebenarnya yang terjadi? Apakah Tuhan Yesus sama dengan para
pengikutNya, melupakan maksud dan tujuan kedatanganNya ke Yerusalem? Tidak saudara-saudara,
Yesus Kristus sangat menyadari untuk apa Dia datang ke Yerusalem, yakni untuk menggenapi segala
sesuatu yang dinubuatkan tentangNya, yakni karya penyelamatan umat manusia, walaupun hal itu
melalui pengorbanan di kayu salib. Mari kita simak ayat 37, dikatakan bahwa ketika Ia dekat
Yerusalem di tempat jalan menurun dari bukit zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia
bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena segala mukjizat yang telah mereka
lihat. Luapan kegembiraan semua murid ini ternyata dilatarbelakangi pengalaman mereka tatkala
menyaksikan segala mukjizat yang dilakukan Yesus Kristus. Mereka lupa bahwa kahadiran Tuhan
Yesus ke Yerusalem adalah untuk menyelesaikan sengsara dan deritaNya sampai pada puncak derita
di Kayu salib. Mukjizat yang murid saksikan selama ini telah membuat mereka gagal memahami
kehendak Allah. Mereka gagal mengerti dan memahami maksud dan arti dari tindakan Yesus Kristus
termasuk yang menunggangi seekor keledai muda.
Kita sekalian akan memasuki peringatan puncak sengsara dan penderitaan Yesus Kristus
sampai pada kematianNya. Apakah segala bentuk pengalaman hidup sukacita, pengalaman hidup
yang diberkati Tuhan, apakah segala keberhasilan, kesuksesan yang kita alami, peristiwa heran yang
terjadi dalam hidup kita akan membuat kita gagal memaknai derita dan kesengsaraan Tuhan Yesus?
Apakah kita akan gagal memahami sikap yang ditunjukkan Tuhan Yesus?
Ingatlah bahwa Tuhan Yesus datang ke Yerusalem sungguh-sungguh untuk menggenapi segala yang
dinubuatkan BapaNya bagiNya, termasuk melalui derita, sengsara bahkan kematianNya di kayu salib.
Merenungkan peristiwa kedatangan Tuhan Yesus ke Yerusalem lewat bacaan Alkitab saat ini,
sesungguhnya kita hendak diarahkan pada perenungan hidup;
1. Bahwa menjadi percaya kepada Tuhan Yesus bukanlah melulu karena kita telah
menyaksikan, merasakan dan menikmati perbuatan ajaib Tuhan dalam hidup ini. Melainkan segala
bentuk pengalaman hidup yang terjadi atas kita harus dipahami sebagai bukti kedaulatan Tuhan atas
hidup kita, termasuk pengalaman berbentuk derita dan kesengsaraan hidup
2. Bahwa sesungguhnya Tuhan Yesus adalah Raja yang memberi keteladanan hidup dalam
kerendahan hati, dengan menunggangi seekor keledai muda. Maka keteladanan inipun mesti
menjadi perilaku hidup setiap anak-anak Tuhan di kehidupan ini.
3. Bahwa sebagai orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, melalui kedatangan
Yesus Kristus ke Yerusalem kita sekalian diingatkan bahwa ketaatan adalah sikap hidup beriman yang
harus kita miliki dalam hidup ini.
4. Bahwa sebagai orang-orang yang telah diberikan keselamatan lewat penebusan kita di Kayu
salib oleh Tuhan Yesus Kristus, maka kita harus menghargai hidup ini dengan membuat hidup ini
berharga di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama. Hidup akan berharga tatkala orang percaya
hidup mengaplikasikan kasih kepada Tuhan dan sesamanya.
Marilah kita persiapkan diri untuk memasuki perenungan hidup diperayaan puncak derita dan
sengsara Yesus Kristus dengan senantiasa menjadi orang yang rendah hati, senantiasa menjadi orang
yang taat dan senantiasa menjadi orang yang mengasihi.
Catatan: sehubungan dengan peneguhan seorang Penatua saat ini, dan pelantikan Kompelka di jemaat ini, maka
ingatlah Firman Tuhan ini, yang mengarahkan saudara-saudara menjadi hamba yang benar di
hadapan Tuhan Allah. Seorang hamba Tuhan adalah seorang yang rendah hati, seorang yang taat
dan seorang yang hidup di dalam kasih.
Kisah tentang pengusiran setan oleh Tuhan Yesus di daerah gerasa sangat melekat dalam
ingatan banyak orang Kristen. Kenapa demikian? Karena dikisah ini termuat peristiwa Tuhan Yesus
mengusir setan-setan dari dalam diri seseorang yang jumlahnya sangat banyak, sehingga dinamai
“legion”. Kisah ini juga melekat dalam ingatan banyak orang, karena mearik, yakni adanya
percakapan Tuhan Yesus dengan legion tersebut. Setan-setan tersebut memohon kepada Tuhan
Yesus agar jarang melemparkan mereka ke dalam jurang maut, tetapi ke dalam babi-babi yang ada di
daerah tersebut. Walaupun kemudian babi-babi tersebut terjun ke jurang dan mati tenggelam di
danau di jurang tersebut.
Gerasa adalah sebuah daerah di trans Yordan di seberang danau Galilea. Tempat ini dihuni
oleh masyarakat campuran, di antaranya orang Yahudi dan juga orang-orang yang bukan Yahudi.
Orang yang bukan Yahudi inilah sebenarnya pemilik babi-babi tersebut. Karena bagi orang Yahudi
babi adalah binatang haram yang menjijikkan dan sangat dihindari. Di tanah Gerasa Tuhan Yesus tiba
bersama-sama dengan murid-murid-Nya. Baru saja mereka sampai di darat, seseorang yang dikuasai
setan-setan datang menemui Tuhan Yesus. Dan ketika melihat Tuhan Yesus, orang ini langsung
berteriak dan tersungkur di hadapan Tuhan Yesus. Tetapi, mendengar kata-kata orang ini, dapat
dipastikan bahwa sesungguhnya, bukanlah orang ini sendiri yang melakukan segala adegan ini,
melainkan setan-setan yang ada di dalam dirinya. setan-setan ini mengenal Tuhan Yesus,
mengetahui kuasa Tuhan Yesus, maka setan-setan ini bertanya kepada Tuhan Yesus, Apakah urusan-
Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Maha Tinggi? Sembari memohon agar Tuhan Yesus
jangan menyiksanya. Reaksi setan ini lahir karena Tuhan Yesus memerintahkan mereka supaya
keluar dari dalam diri orang tersebut. Tuhan Yesus ternyata menaruh belas kasihan terhadap orang
itu karena dia sungguh tersiksa. “Legion” itulah nama yang disebut setan-setan itu kepada Tuhan
Yesus karena jumlah mereka yang begitu banyak. Istilah Legion sendiri dalam tradisi Romawi
menunjuk pada 1 divisi tentara yang jumlahnya 6000 tentara yang terdiri dari 10 kelompok. Wajarlah
jika orang tersebut sangat tersiksa oleh kuasa setan-setan tersebut yang begitu banyak. Dengan
memohon agar jangan dilemparkan ke jurang maut, seta-setan tersebut memohon agar Tuhan Yesus
memperkenankan mereka memasuki babi-babi yang sedang mencari makan di lereng gunung
tersebut. Permintaan ini ternyata dikabulkan oleh Tuhan Yesus. Walaupun pada akhirnya babi-babi
itu juga mati lemas setelah terjun ke danau dari tepi jurang.
Peristiwa ini sangat menggemparkan daerah gerasa, setelah penjaga babi-babi itu melihat
apa yang terjadi dan memberitahukan peristiwa tersebut di kota dan di kampung-kampung
sekitarnya. Mereka menyaksikan bagaimana orang tadi telah ditinggalkan setan-setan dan telah
waras, duduk di kaki Yesus. Mereka menjadi takut, sehingga meminta Tuhan Yesus meninggalkan
mereka. Ketika Tuhan Yesus hendak berangkat dari sana, orang yang telah diselamatkan ini meminta
agar diizinkan menyertai Yesus, tetapi Yesus menolaknya dan menyuruhnya pulang ke rumahnya dan
bersaksi tentang apa yang telah Tuhan perbuat baginya. Orang inipun bersaksi tentang Kaish Tuhan
Yesus yang dialaminya keseluruh kota.
Ketika dengan seksama kita menyimak peristiwa yang disaksikan kepada kita saat ini, maka
kita kemudian dapat mengerti bahwa kehadiran Tuhan Yesus di kehidupan setiap orang akan
membuat kuasa setan sekuat dan sebesar atau sebanyak apapun menjadi takut dan tidak berkuasa
lagi. Perjumpaan Tuhan Yesus dengan setiap pribadi akan mengubah kondisi hidup. Orang yang
dikuasai kuasa kegelapan, setan-setan sekalipun akan dipulihkan dan diselamatkan. Inilah yang
terjadi dengan orang di gerasa. Dia menjadi waras, dia diselamatkan, terbebas dari belenggu yang
begitu kuat dan besar, yakni belenggu Legion.
Yang kedua, bahwa setelah mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yesus dan beroleh kasih karunia
dan keselamatan, orang ini kemudian bertekad untuk ikut menyertai Tuhan Yesus, akan tetapi Tuhan
Yesus menyruhnya pulang ke rumahnya dan bersaksi. Hal ini sangat penting untuk kita renungkan.
Bahwa sesungguhnya, setiap orang yang telah mengalami kasih karunia Tuhan Yesus mesti bersaksi
tentang kuasa dan kasih Tuhan Yesus. Kesaksian tersebut haruslah pertama-tama dilakukan di dalam
rumah kita. “pulanglah ke rumahmu dan ceritakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah
atasmu” itulah perintah Tuhan Yesus kepada orang ini. Perintah ini juga adalah perintah yang
ditujukan atau dialamatkan kepada kita. Sebagai orang-orang yang telah ditebus, dibebaskan dari
kuasa dosa dan kegelapan, diberikan keselamatan, kita pulang ke rumah kita masing-masing dan
bersaksi tentang perbuatan Tuhan Allah. Setiap orang yang telah menerima kasih karunia Tuhan
Yesus, diperintahkan untuk bersaksi kepada seisi rumahnya tentang segala perbuatan Allah.
Seseorang hanya dapat bersaksi dengan benar ketika telah mengalami perjumpaan dengan
Tuhannya. Perjumpaan tersebut dapat mewujud dalam berbagai hal di kehidupan ini. Kita berjumpa
dengan Tuhan Allah melalui ibadah seperti ini, kita juga mengalami perjumpaan dengan Allah ketika
ketika menyadari segala sesuatu yang kita peroleh dan miliki dalam hidup ini, kita juga berjumpa
dengan Tuhan Allah ketika kita diperhadapkan dengan tugas, panggilan dan pelayanan serta
tanggungjawab kita. Dengan kata lain bahwa, setiap orang yang telah menerima anugerah
keselamatan dari Tuhan Allah, mesti bersaksi dalam hidupnya dimulai dari lingkup terdekat dengan
hidup kita. Jika hari ini, ada anak kita yang dibaptiskan, maka kepada anak inipun kasih karunia
Tuhan Allah telah dinyatakan. Maka kepada anak inipun keluarga harus bersaksi, bahwa ini semua
adalah perbuatan Tuhan Allah sehingga anak kitapun beroleh keselamatan di dalam dan melalui
Yesus Kristus. Terpuji Tuhan. Amin.
Kisah hidup Yusuf adalah kisah hidup yang sangat mengharukan. Jika kisah ini difilmkan
laksana sebuah sinetron, maka para penikmat sinetron akan terharu dibuatnya. Tapi kisah ini
bukanlah sebuah sinetron yang ceritanya hanya fiktif belaka. Kisah hidup Yusuf adalah kisah nyata.
Bermula dari rasa iri dan cemburu karena Yusuf diperlakukan lebih daripada saudara-saudaranya
oleh ayah mereka, Yusuf juga menonjolkan diri sebagai orang yang diberi karunia oleh Allah melalui
mimpi/penglihatan serta Yusuf juga sering melaporkan perbuatan jahat para saudara-saudaranya
kepada ayah mereka. Kemudian, Yusufpun menjadi korban akibat rasa iri dan cemburu saudara-
saudaranya, semula ia hendak dibunuh, tetapi hal itu kemudian tidak terjadi dan akhirnya saudara-
saudaranya menjualnya kepada orang Mesir. Kisah hidup Yusuf kemudian berlanjut di Mesir, dia juga
harus mendekam di penjara karena istri potifar memfitnahnya hendak menodai dirinya, padahal
dialah yang sesungguhnya hendak menodai kehormatannya kepada Yusuf. Yusuf yang tidak bersalah
itu kemudian mendekam di dalam penjara. Ternyata penjara inilah kemudian yang menghantar
Yusuf pada kesuksesannya di Mesir. Berkat Karunia yang diperolehnya dari Tuhan Allah untuk
menafsirkan mimpi, maka Yusufpun kemudian menduduki posisi sangat penting di pemerintahan
Mesir. Dia memperoleh kepercayaan penuh dari raja Mesir untuk berkuasa atas segalanya di Mesir.
Yusuf bukanlah sekedar penafsir mimpi Firaun, tetapi juga seorang yang kemudian
diberi kepercayaan mengeksekusi antisipasi menghadapi masa sukar yang terjadi selama 7 tahun
setelah masa 7 tahun berkelimpahan. Di tahun kedua masa kesukaran yang terjadi, ternyata orang-
orang di Tanah Kanaanpun juga kena dampaknya. Mereka, yakni ayah dan saudara-saudara Yusuf
kemudian datang mencari bahan makanan ke Mesir, sebab mereka mendengar bahwa di Mesir
pasokan makanan masih tersedia. Pada saat inilah saudara-saudara, Yusuf kemudian berjumpa
dengan saudara-saudaranya yang pernah meniatkan kejahatan kepadanya. Dalam bacaan kita saat
ini dikisahkan bagaimana puncak perjumpaan Yusuf dengan saudara-saudaranya. Setelah beberapa
kali saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir, maka Yusufpun tidak dapat menahan rasa cinta
kasihnya kepada mereka. Yusufpun memperkenalkan diri kepada mereka. Apa yang terjadi dalam
peristiwa ini? Ternyata, saudara-saudara Yusuf menjadi sangat takut. Takut karena mereka langsung
mengingat perbuatan mereka di masa silam kepada Yusuf saudara mereka. Yusuf sendiri tidak
menaruh dendam kepada saudara-saudaranya tersebut, sebaliknya, Yusuf melihat yang terjadi dan
dialaminya adalah rencana atau rancangan Tuhan Allah.
Dendam dan rasa benci sirna dari dalam diri Yusuf kepada saudara-saudaranya karena ia
mampu melihat perkara yang terjadi atas dirinya sebagai perkara dari Tuhan Allah. Kemampuan
Yusuf melihat pengalaman hidupnya dari sudut pandang iman mengarahkan dia tetap mengasihi
keluarganya, mengasihi ayahnya dan saudara-saudaranya. “jadi bukanlah kamu yang menyuruh aku
ke sini, tetapi Allah. Dialah yang menempatkan aku sebagi bapa bagi Firaun dan tuan atas seluruh
istananya dan sebagai kuasa atas seluruh tanah Mesir” inilah pernyataan Yusuf kepada saudara-
saudaranya. Dendam dan rasa benci tidak ada di dalam diri Yusuf walaupun kalau mengingat
perlakuan saudara-saudaranya begitu jahat kepadanya di masa silam. Yusuf sangat menyadari
bahwa kedudukannya yang sekarang adalah semata-mata anugerah Allah yang bertujuan agar
melalui dirinya, kehidupan banyak orang tetap terjamin, termasuk kaum keluarganya.
Pengalaman hidup Yusuf, merupakan pengalaman hidup yang mengharukan. Tidak banyak
orang atau mungkin sangat sulit dijumpai orang seperti Yusuf di kehidupan sekarang ini. Seseorang
yang pernah diperlakukan dengan tidak baik, bahkan direncanakan untuk dibunuh, kemudian dijual
kepada orang lain, pastilah sulit untuk melupakannya. Rasa kecewa, benci dan bahkan dendam yang
membara akan menyelimuti hidup orang seperti ini. Ketika orang seperti ini kemudian sukses,
pastilah tidak mudah menerima saudara yang pernah berbuat kejahatan kepada kepada kita.
Mungkin saja tidak mau mengakui, tidak mau menerima atau bahkan dapat saja membalas dendam
kepada saudara-saudara yang seperti ini. Tetapi Yusuf tidak demikian. Yusuf tidak mendendam,
Yusuf tidak membalas perbuatan saudara-saudaranya. Yusuf melupakan semua tindak kejahatan
saudara-saudaranya kepadanya oleh karena ia menyadari bahwa keadaan hidupnya sekarang,
kesuksesan yang diraihnya merupakan karya Tuhan dengan tujuan agar melalui dirinya, banyak
orang diselamatkan termasuk keluarganya sendiri. Sengsara membawa nikmat, itulah semboyan
yang tepat diperuntukkan pada hidup Yusuf.
Apa makna kisah hidup Yusuf ini bagi kita? Yang pertama ialah bahwa keluarga dan saudara-
saudara kita adalah keluarga dan saudara untuk selamanya. Maka seberat apapun dan sesakit
apapun perlakuan saudara-saudara kita kepada kita di kehidupan masa silam, maka keadaan dan
posisi hidup kita saat ini harus diaminkan sebagai rencana dan rancangan Tuhan Allah. Tuhan
senantiasa merancang kita pada rancangan damai sejahtera walaupun ada saudara kita yang
merancangkan kecelakaan atas kita. yang kedua ialah, melalui kisah hidup Yusuf ini kita sekalian
diingatkan bahwa hidup setiap orang terus berproses dan diproses oleh Tuhan Allah untuk tiba pada
kesuksesan dan hidup yang berkemenangan. Yang ketiga ialah bahwa setiap orang harus menjadi
seorang yang mengampuni, menyambut dan membalaskan setiap perbuatan dengan memberkati
orang lain. terpujilah Tuhan Allah. Amin
Bacaan Alkitab: Lukas 9:28-36; 1 Tim 6:11-16
Sidang Jemaat, Saudara-saudara Yang Dikasihi Tuhan Yesus Kristus,
Pengantar singkat tentang Pra Paskah
Hari Minggu saat ini kita sekalian telah memasuki minggu-minggu sengsara/prapaskah
selama 7 Minggu ke depan. Penetapan kalender gereja ini sesungguhnya dimaksudkan
agar kita diberi waktu dan kesempatan untuk merenungkan kesengsaraan Yesus Kristus
yang telah terjadi ketika kehadiranNya di dunia ini demi menganugerahkan keselamatan
kepada kita. Masa 7 minggu sengsara (40 hari) tidak termasuk Jumat agung dan Sabtu
teduh. Masa sengsara adalah masa persiapan paskah. Masa 40 hari ini umat diarahkan
untuk memeriksa diri serta memiliki pengalaman penderitaan, kematian, dan kemenangan
Kristus atas maut. Minggu sengsara dulunya diawali dengan perayaan Rabu abu (tradisi
RK) dan berakhir pada hari Minggu Palem, yakni hari Minggu sebelum Jumat Agung.
Minggu Palem merupakan pengingat bagi kita yakni ketika Yesus memasuki Yerusalem
dengan disambut oleh orang banyak dan memproklamirkan Dia sebagai Kristus. Hari Kamis
berikutnya disebut Kamis Putih menunjuk pada perayaan perjamuan Yesus dan murid-
muridNya, sesudah itu jumat agung, sabtu teduh dan minggu paskah (berdasarkan tradisi
gereja RK).
Minggu sengsara atau periode 40 hari sering juga disebut masa puasa. Tahun 325
dalam konsili di Nicea gereja menetapkan tentang puasa ini. Tujuannya adalah; 1. Agar
orang Kristen bersiap diri dan melakukan pertobatan, dan 2. Agar orang-orang yang belum
Kristen dan mau menjadi Kristen dipersiapkan untuk menerima baptisan pada saat paskah.
(tradisi di Roma waktu itu, orang biasanya mengenakan baju dari sarung dan tetap terpisah
dari kontak sosial sampai mereka diperdamaikan kembali dengan komunitas Kristen pada
kamis putih). Pada tahun 600 an Paus Gregorius agung menambahkan tradisi ke dalamnya,
yakni dengan praktek memerciki para penyesal dengan Abu yang membuat hari itu diberi
nama Rabu Abu. Di Gereja kita, tradisi perayaan Minggu sengsara dilaksanakan selama 7
Minggu tanpa mengikuti semua tradisi yang ada di dalamnya, tetapi tetap memberi makna
kepadanya sebagai waktu bagi semua jemaat untuk hidup dalam perenungan akan
sengsara atau pengorbanan Yesus Kristus demi penyelamatan manusia.
Sidang Jemaat, saudara-saudara Yang Dikasihi Tuhan Yesus Kristus
Minggu saat ini, Firman Tuhan yang menjadi bacaan kita berisi tentang sebuah
peristiwa Illahi yang terjadi dan dialami tiga orang murid Yesus yang biasa disebut dengan
istilah Transfigurasi atau dalam bahasa Yunani disebut dengan metamorpho-omai, yakni
mengubah bentuk atau rupa. Yaitu, bahwa dalam perjalananNya menuju Yerusalem, Yesus
Kristus mengalami perubahan penampakan wajah yang penuh cahaya kemuliaan Illahi.
Transfigurasi itu kemudian diyakini sebagai karunia Allah bagi umatNya, yakni perubahan
spiritual orang-orang beriman. Penampakan Elia dan Musa bersama Yesus Kristus di
puncak gunung tersebut merupakan penampakan diri dalam kemuliaan Illahi. Peristiwa
transfigurasi sendiri diawali dengan Yesus berdoa, dan dikemuliaan Illahi tersebut, Yesus
berbicara dengan Elia dan Musa. Pembicaraan tersebut tak lain dan tidak bukan adalah
mengenai tujuan kepergian Yesus Kristus dan penggenapan tentangNya di Yerusalem.
Petrus dan teman-temannya yang melihat Kemuliaan Yesus Kristus saat itu, berkata kepada
Yesus” Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang
tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." Persoalannya adalah
bahwa Petrus tidak tahu atau tidak mengerti apa yang ia katakan. Mereka sungguh
merasakan kebahagiaan ketika menyaksikan kemuliaan Allah saat itu, tetapi di saat yang
samapun ketika awan menaungi mereka dan masuk ke dalam awan itu, takutlah mereka.
Sidang Jemaat saudara-saudara Yang Dikasihi Tuhan Yesus Kristus,
Pengalaman iman ketiga murid di puncak gunung pengalaman rohani bersama Yesus
Kristus merupakan pengalaman iman yang tidak mungkin terlupakan oleh mereka. mereka
berbahagia di sana, bahkan Petruspun menawarkan hendak mendirikan 3 kemah di sana. Ia
ternyata masih memikirkan Allah seperti pemikiran iman bangsa Israel ketika di perjalanan di
padang gurun. Petrus tidak tahu, bahwa Allah ada di dalam diri Yesus Kristus. Yesus
Kristuslah kemah suci yang sesungguhnya. Di dalam Yesuslah berdiam segala kepenuhan
Allah. Selanjutnya adalah ketidak tahuan Petrus tentang apa yang diucapkannya
sebenarnya menunjuk pada kemampuannya untuk mengerti apa sesungguhnya yang
selanjutnya akan terjadi dan dialami Yesus dalam menunjukkan kemuliaan Allah tersebut,
yakni dengan menggenapi segala sesuatu yang ditetapkan Allah untuk terjadi dan dialami
Yesus Kristus, yakni kesengsaraan, kematian dan kebangkitan. Kebahagiaan Petrus dan
kawan-kawannya di puncak gunung tersebut oleh karena menikmati dan mangalami
kemuliaan Illahi ternyata adalah kebahagiaan situasional. Mereka ternyata kemudian
merasa takut tatkala awan gelap menaungi hidup mereka. Peristiwa ini sesungguhnya
merupakan kritik iman bagi setiap orang percaya bahwa ketika berada di puncak gunung
kebahagiaan karena menikmati kemuliaan Allah, orang percaya harus tetap berada di
konsistensi iman. Memandang kemuliaan Tuhan, sungguh memang akan mengantar setiap
orang kepada kebahagiaan. Akan tetapi, bahwa kemuliaan Tuhan itu tidaklah situasional
atau kondisional, maka ketika awan kelam menutupi kehidupan ini, berada di dalam
kemuliaan Allah harus tetap menjadi komitmen iman.
Sidang Jemaat saudara-saudara Yang Dikasihi Tuhan Yesus Kristus,
Peristiwa transfigurasi Yesus Kristus, yang disaksikan dan dinikmati oleh Petrus dan
kawan-kawannya sesunguhnya adalah peristiwa yang tidak pernah usai dan using dalam
hidup setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Bahwa kemuliaan Allah itu harus
dan mesti menjadi prinsip hidup dan tujuan hidup setiap orang di dunia ini. Tetapi harus pula
diingat bahwa kemuliaan Tuhan itu juga diwujudnyatatakan dalam bentuk pengorbanan
melalui kesengsaraan. Jika Yesus berbicara dengan Musa dan Elia di peristiwa transfigurasi
tersebut, maka sesungguhnya, Yesus Kristus hendak menegaskan bahwa kemuliaanNya
akan menjadi nyata dan sempurna ketika segala kehendak Allah digenapiNya, termasuk
dengan cara menderita dan sengsara. Jika Minggu saat ini kita mulai memasuki minggu-
minggu sengsara sesungguhnya kepada kita diingatkan 2 hal, yakni bahwa kesengsaraan
orang benar dan dalam kebenaran adalah wujud kemuliaan Allah. Yang kedua. Bahwa
wujudnyata kemuliaan Allah akan membawa setiap orang percaya kepada kebahagiaan.
Oleh karena itu, tugas kita sesungguhnya adalah memancarkan kemuliaan Allah kepada
dunia ini, melalui identitas diri, perilaku hidup, konsistensi iman atau kesetiaan meskipun
dalam bingkai pengalaman sengsara dan derita. Dalam bacaan kita yang kedua ditegaskan
bahwa sebagai manusia Allah, atau sebagai orang-orang yang di dalam hidupnya terpancar
kemuliaan Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus yang telah menyelamatkan,
menguduskan, maka segala bentuk perilaku, pemikiran yang tidak berkenan di hadapan
Allah harus dibuang dari hidupnya. Sebaliknya, orang-orang yang telah menerima
keselamatan dari Allah di dalam Yesus Kristus, harus mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan,
kasih, kesabaran dan kelembutan serta harus bertanding dalam pertandingan iman yang
benar untuk meraih hidup kekal.
Sidang Jemaat saudara-saudara Yang Dikasihi Tuhan Yesus Kristus,
Sehubungan dengan perayaan HUT GPI yang ke 414 tahun di minggu sengsara saat
ini, melalui Firman Tuhan saat ini pun kepada kita sebagai warga gereja protestan Indonesia
diingatkan bahwa melalui peristiwa 414 tahun yang silam di Ambon, Tuhan telah
menunjukkan kemuliaanNya. Ulang tahun GPI ini ditetapkan (Selasa, 27-2-1605) karena
pada saat itulah ibadah syukur pertama kali dilakukan dengan menggunakan tata ibadah
gereja protestan di Indonesia bahkan di seluruh Asia. Pada saat itulah pula kemuliaan Allah
disaksikan dan dilihat di Nusantara melalui gereja Protestan. Kebahagiaan menjadi
pengalaman orang-orang protestan. Tetapi harus pula diingat, bahwa kebahagiaan itu bisa
pudar dan hilang jikalau kemuliaan Allah tidak tinggal tetap di dalam hidup umatNya. Maka
kalaupun kesengsaraan harus menjadi pengalaman beriman kita di negeri ini, di tengah
kehidupan kita dengan orang-orang lain oleh karena kecintaan kita terhadap keadilan, oleh
karena kesetiaan kita kepada Tuhan Yesus, oleh karena kesabaran dan kelembutan kita
menghadapi segala bentuk penindasan dan penghambatan, maka kita mesti ingat bahwa di
sanalah kemuliaan Allah akan terus terpelihara. Selanjutnya kita akan tetap berada di
kebahagiaan Illahi kendatipun awan kelam menaungi kita, kita tidak akan menjadi ketakutan.
Allah di dalam Yesus Kristus setia menyertai kita, sebagaimana orang-orang protestan boleh
bersyukur di benteng kemenangan (Viktoria) di Ambon 414 tahun yang silam maka kitapun
akan tiba pada benteng kemenangan kekal di puncak kebahagiaan bersamaNya. Selama
menjalani minggu-minggu sengsara dan selamat ulang tahun bagi gereja Tuhan, Gereja
Protestan di Indonesia. Tuhan Yesus Memberkati. “Dialah satu-satunya yang tidak takluk
kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah
melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa
yang kekal! Amin
Saudara-saudara, Fans Bastian Mogendo dan Jein Kenap Yang dikasihi Tuhan Yesus
Kristus,
Berbicara mengenai hati, sesungguhnya bukanlah perkara mudah apalagi kalau kita
tidak menggunakan hari dan tidak dengan perhatian. Mengapa berbicara hati bukan perkara
mudah? Karena jujur harus kita akui bahwa benar orang bijak berkata, dalamnya laut dapat
diukur, dalam hati siapa yang tahu. Pernyataan ini mau menegaskan bahwa berbicara
tentang “hati” sungguhlah tidak mudah karena isi hati adalah hal yang paling privasi bagi
setiap orang. Bentuk organ Hati kemudian menjadi symbol yang dipakai melambangkan
Cinta (love). Symbol ini sangat tidak asing bagi kita sekalian, karena sekarang telah ada
melekat di program gadget kita sebagai bentuk emotion yang mengartikan tanda cinta.
Berbagai bentuk suasana hati juga menjadi biasa digambarkan dengan lambing hati apakah
terbelah, hancur dan bernoda dan lain sebagainya. Yang pasti hati sangat sentral dalam
hidup manusia.
Saudara-saudara, Fans Bastian Mogendo dan Jein Kenap Yang dikasihi Tuhan Yesus
Kristus,
Dalam kehidupannya, Orang Ibrani berpikir dan berbicara tentang keseluruhan
manusia dengan segala sifatnya, jasmani, intelek dan jiwa sebagai satu kesatuan: mereka
tidak menganalisisnya dalam komponen-komponen terpisah. Semuanya yang terdapat di
dalam diri setiap orang merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain. Pusat dari semuanya itu adalah hati, (lev atau Leva (Bah. Ibrani). Lev atau
leva dalam terjemahannya adalah “pusat atau Rahim, atau kemudian disebut dengan
jantung kehidupan. Lev atau hati inilah yang diyakini memerintah semua tindakan
seseorang. Maka jika penulis Amsal memberikan nasihat bijaksana untuk menjaga hati dari
segala kewaspadaan, nasihat bijak ini sesungguhnya hendak menegaskan bahwa hatilah
yang paling rentan untuk diserang oleh musuh, dan hatilah yang menjadi kunci kehidupan
seseorang. Jika hati tersakiti, ternodai, dan hati dihancurkan, maka seluruh kehidupan akan
tersakiti dan dapat hancur binasa. Kondisi hati menjadi factor utama kokoh tidaknya
seseorang berdiri menghadapi kehidupan ini. Demikian juga sesungguhnya hidup
persekutuan rumah tangga, dalam hal ini suami dan isteri. Hatilah yang menjadi penentu
berhasil tidaknya perjalanan hidup ini ke depan.
Saudara-saudara, Fans Bastian Mogendo dan Jein Kenap Yang dikasihi Tuhan Yesus
Kristus,
Bertekadnya seorang laki-laki dan perempuan untuk menempuh hidup berumah
tangga menjadi suami-istri, selalu diakui karena terjadinya perjumpaan dua hati dan
kemudian menyatu. Dua hati menjadi satu, adalah konsep pernikahan Kristen yang
sesungguhnya. Karena pernikahan didasarkan dan berhubungan erat dengan hati, maka
sesungguhnya apa yang menjadi nasihat Firman Tuhan saat ini harus dipegang teguh.
Diperhadapkan dengan yang namanya hati, sesungguhnya begitu banyak hal yang mesti
diperjuangkan untuk menjaganya dengan segala kewaspadaan. Beberapa ancaman yang
diperhadapkan kepada hati, antara lain: Tawar hati, berat hati, mendua hati, iri hati, sakit
hati, tinggi hati, hati yang luka, makan hati dan lain sebagainya. Semua istilah-istilah ini
menunjuk pada kompleksitasnya hati. Firman Tuhan saat ini menegaskan bahwa dari hatilah
terpancar segala kehidupan. Pernyataan ini harus dipahami bahwa hati sangatlah
menempati posisi terpenting dalam hidup ini, termasuk dalam kehidupan berumah tangga.
Fans dan jein mengaku bahwa hati mereka dirasa cocok selama ini, ini berarti telah terjadi
perjumpaan hati keduanya, maka saat ini kedua hati tersebut akan menjadi satu. Itu berarti
kalian berdua akan berurusan pada dua hati yang berbeda tetapi harus bersatu dalam
kehidupan berumah tangga. Maka jagalah hatimu masing-masing dengan segala
kewaspadaan, artinya dengan segenap kemampuan kalian, karena hati kalian berdualah
yang sangat menentukan kehidupan rumah tangga kalian ke depan.
Saudara-saudara, Fans Bastian Mogendo dan Jein Kenap Yang dikasihi Tuhan Yesus
Kristus,
Seperti yang dikatakan di atas, hati merupakan sasaran empuk dari setiap cobaan
dan tantangan hidup ke depan. Sukses tidaknya rumah tangga sangat dipengaruhi
kemampuan kita mengelola hati kita masing-masing. Merendahkan hati, menjaga kesucian
hati, memelihara hatitetap bersih menjadi bentuk kewaspadaan yang mesti dimiliki oleh
setiap orang demi terciptanya jaminan kelangsungan kehidupan. Orang yang merendahkan
hatinya dijanjikan Tuhan Allah akan senantiasa ditinggikan, orang yang suci hatinya akan
melihat Allah, dan orang yang bersih hatinya adalah orang yang akan menikmati kasih
karunia Allah. Ketika memulai hidup berumah tangga saat ini, ingatlah selalu Firman Tuhan
ini, Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.
Tuhan memberkati. Amin
Bacaan Alkitab: 2 Korintus 3: 18
“Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung.
Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah
menjadi serupa dengan Gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar”
Bendrio Sibarani di 21.55
Berbagi
Posting Komentar
‹
›
Beranda
Bendrio Sibarani
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.
Duka
bendrio sibarani
Beranda ▼
MINGGU, 29 SEPTEMBER 2019
Kisah hidup dan perjuangan iman Daniel adalah kisah dan perjuangan iman yang penuh
dengan karya Tuhan Allah. Hampir semua kisah-kisah hidup Nabi Daniel tenar di kalangan
orang-orang percaya. Karena melalui kisah-kisah hidup tersebut terdapat begitu banyak
pembelajaran iman, begitu banyak motivasi untuk terus hidup dalam kesetiaan, demikian
juga memotivasi orang-orang percaya untuk hidup senantiasa dalam pengharapan,
penyerahan diri secara total kepada Tuhan Allah.
Demikian pulalah dalam bacaan Alkitab saat ini, bahwa pengalam Daniel di Dalam Gua
singa adalah kisah yang tidak asing bagi kita. Melalui kisah inipun begitu banyak makna
yang dapat ditemukan oleh setiap orang percaya.
Hukuman mati terhadap Daniel melalui cara memasukkan dia ke dalam gua singa
sesungguhnya adalah pengalaman hidup yang sungguh menyakitkan. Sebab hukuman ini
dijatuhkan kepada Daniel oleh hasutan para petinggi kerajaan yang iri hati kepada Daniel
atas segala capaian hidupnya. Karena tidak ada kesalahan yang dilakukan Daniel, maka
tidak ada pula alasan bagi para saingannya untuk menjatuhkan dia. Maka kemudian, Daniel
difitnah, dihakimi dan dihukum bersalah karena kesetiaannya menyembah Tuhannya.
Danielpun dimasukkan ke dalam gua singa yang dihuni singa-singa yang buas dan lapar.
Raja Darius yang berkuasa saat itupun harus tunduk kepada produk hukum yang ada,
walaupun sesungguhnya dia tidak rela melakukannya. “Allahmu yang kausembah dengan
tekun, Dialah kiranya yang melepaskan engkau”, inilah pernyataan raja kepada Daniel.
Ungkapan ini saudara-saudara hendak menegaskan kepada kita bahwa dikehidupan ini,
manusia, siapapun dia memiliki keterbatasan dan tidak mempunyai jaminan kekuatan untuk
dapat membebaskan seseorang dari persoalan, kemelut dan ancaman hidup. Raja Darius
yakin, bahwa walaupun posisinya sebagai raja, namun dia sadar dia ternyata tidak mampu
menyelamatkan Daniel. Maka ungkapan raja Darius ini sesungguhnya adalah ungkapan
iman. Raja Darius juga meyakini bahwa Tuhan Allah yang disembah Daniel dengan tekun itu
adalah Tuhan Allah yang berkuasa membebaskan Daniel dari kemelut dan ancaman hidup.
Allah yang kita sembah dengan tekun telah dan akan sanggup menyelamatkan kita semua
melewati segala bentuk pengalaman hidup di dunia ini. Amin
Pasal 54 kitab Yesaya ini dapat disimpulkan sebagai upaya Tuhan Allah yang melakukan
pembaharuan perjanjian-Nya dengan umat-Nya. Perjanjian Allah dengan umat-Nya sesungguhnya
memiliki perbedaan yang sangat prinsipil dengan perjanjian-perjanjian yang lazim kita ikat dengan
sesama. Jika perjanjian biasanya terikat oleh karena adanya kesepakatan dua atau lebih pihak yang
lahir atau diinisiasi oleh kedua belah pihak atau lebih yang berjanji, maka perjanjian Tuhan Allah
dengan umat-Nya sesungguhnya lahir atau semata-mata adalah atas inisiatif Tuhan Allah. Dia
memilih umat bagi-Nya, mengudukan mereka dan menjadikan mereka umat kepunyaan-Nya dan Dia
menjadi Allah mereka. Inilah dasar perjanjian Tuhan Allah dengan umat-Nya. Kemudian, sebagai
umat kepunyaan Allah, bangsa Israel hidup di dalam perjanjian dan sekaligus dengan itu hidup hanya
berdasarkan janji-janji Allah. Di sepanjang sejarah peradaban dunia ini, Alkitab mencatat, bahwa
Tuhan Allah selalu dan selalu membaharui perjanjian-Nya dengan umat-Nya. hal itu terjadi bukan
karena Allah lalai atau ingkar pada janji-Nya, tetapi semata-mata karena kegagalan umat-Nya untuk
hidup dalam kesetiaan sebagai umat perjanjian. Berulangkali Allah menjadi murka atas ulah umat-
Nya yang tidak taat dan tidak setia kepada-Nya. Tetapi ternyata Kasih Allah itu lebih besar dari
murka-Nya, maka itulah kemudian yang melatarbelakang setiap pembaharuan janji, yakni karena
kasih-Nya.
Konteks Yesaya menyampaikan firman ini adalah konteks kehidupan paskah malapetaka.
Umat Israel setelah 70 tahun dibuang di Babel, kini mereka dibawa pulang. Tetapi keadaan hidup
bangsa ini sungguh memprihatinkan dan memilukan, mereka kehilangan regenerasi, jumlah
keturunan mereka sangat sedikit, sebagaimana ayat 1 memberi keterangan bahwa perempuan-
perempuan mereka banyak yang mandul. Jumlah mereka yang sangat berkurang tidak sebanding
dengan wilayah yang harus mereka bangun. Pemulihan terjadi di kehidupan bangsa Israel dari Tuhan
Allah. melalui nabi Yesaya, Allah mengakui tindakan-Nya dalam murka yang meluap yang
menyembunyikan wajah-Nya, tetapi tindakan Allah ini hanya sesaat lamanya. Sebaliknya dalam kasih
setia abadi Dia senantiasa mengasihi umat-Nya, Dia adalah Penebus umat-Nya. Allah
menggambarkan kehidupan bangsa Israel kala itu seperti zaman Nuh, Allah bersumpah bahwa air
bah tidak akan meliputi bumi lagi. Demikianlah isi perjanjian yang dibaharui kepada bangsa Israel.
Bahwa mereka tidak dihardik oleh Tuhan lagi, melainkan akan dipulihkan.
Walaupun konteks kita berbeda dengan kontek bangsa Israel di zaman Yesaya, akan tetapi
Firman Tuhan saat ini, sungguhlah relevan dengan konteks hidup yang terjadi dan kita alami. Pasca
tragedi, bencana alam yang diakibatkan peristiwa alam yang dahsyat tahun lalu, telah membuat
kehidupan kita berubah. Trauma menghantui kita begitu lama, keengganan kita untuk beranjak
dalam upaya dan usaha ke depan, keragu-raguan kita memutuskan banyak hal di kehidupan ini,
menjadi pengalaman hidup mewarnai hidup ini. Peristiwa yang menakutkan setahun yang silam,
sungguhlah akan menjadi pengalaman hidup yang akan selalu mewarnai langkah hidup kita ke
depan. Firman Tuhan saat ini berkata dan ditujukan pula kepada kita, karena kita adalah juga umat
perjanjian, kita telas ditebus, kita telah dikuduskan, kita telah lunas dibayar dan kita telah diangkat
menjadi anak-anak Allah, maka sifat Tuhan Allah itu harus sungguh terpatri di dalam hidup
kita, yakni bahwa kasih setia Tuhan itu adalah abadi. Kepada kitapun perjanjian Allah juga
dibaharui. Bilapun gunung-gunung beranjak, bukit-bukit bergoyang, Kasih setia-Nya tidak akan
beranjak dari kita umat-Nya. dan perjanjian damai-Nya tidak akan bergoyang. Artinya ialah bahwa
kasih setia dan perjanjian damai Tuhan kepada umat-Nya tidaklah akan pernah dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi apapun. Tuhan Yesus Memberkati kita. Amin
Bendrio Sibarani di 23.54
Berbagi
Posting Komentar
‹
›
Kolom
bendrio sibarani
Beranda ▼
SELASA, 24 SEPTEMBER 2019
Jehova Jireh
Siapapun di antara kita tidak akan ada yang mau apalagi rela apabila anak
sematawayang kita diminta dari kita untuk dijadikan sebagai korban bakaran sekalipun itu
untuk Tuhan. Ini adalah tindakan yang tidak akan mungkin dapat dilakukan, kecuali otak kita
telah dicuci layaknya beberapa orang yang disebut sebagai teroris sekarang ini. Penolakan
kita terhadap praktek keagamaan seperti ini sesungguhnya lahir dari keyakinan kita sebagai
orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Konteks hidup Abraham memang jauh
berbeda dengan konteks kehidupan kita sekarang ini, demikian pula dengan konsep
keagamaan. Praktek mempersembahkan korban kepada Tuhan Allah merupakan praktek
biasa yang dilaksanakan di zaman Abraham. Demikian pula halnya dengan nazar seorang
yang bernama Yefta, ketika ia menazarkan bahwa apabila ia pulang dengan selamat dari
peperangan, maka apapun yang menyambutnya yang pertama kali dari dalam rumahnya,
akan dipersembahkannya sebagai korban bakaran kepada Tuhan Allah. Ternyata yang
menyongsongnya adalah puteri semata wayangnya sendiri. Karena ini adalah nazar kepada
Tuhan Allah, maka ia pun harus melakukannya. Tindakan Abraham adalah tindakan yang
diluar nalar dan kemampuan kita. Tindakan Abraham ini sesungguhnya menghantar dia
benar disebut sebagai Bapa orang percaya, karena kepercayaannya adalah kepercayaan
yang sempurna. Apakah Abraham melupakan janji-janji Allah kepadanya, bahwa ia diberkati
dan keturunannya akan seperti pasir dan kersik? Bukankah dengan mempersembahkan
Ishak kepada Tuhan sebagai korban bakaran janji Tuhan Allah tersebut menjadi tidak
benar?
Dalam kesaksian Alkitab saat ini, ternyata Abraham tidak sekalipun mempertanyakan
atau memberi komentar tentang perintah Tuhan yang datang kepadanya. Yang dapat kita
ketahui adalah bahwa Abraham hanya menyahut dan menuruti segala yang Tuhan
perintahkan kepadanya. Abraham tidak sedikitpun mengetahui bahwa dirinya sedang diuji.
Abraham juga sesungguhnya adalah seorang ayah yang pasti sangat menyayangi anaknya
satu-satunya. Tetapi, sekali lagi, Abraham tidak memberikan sepatah katapun menanggapi
perintah Tuhan tersebut. Padahal Ishak adalah harta yang paling mahal dihidupnya sebagai
pewaris baginya dan meneruskan keturunannya untuk menggenapi apa yang dikehendaki
Tuhan Allah atasnya. Pada ayat 2 bacaan kita saat ini, sangat jelas bahwa perintah Tuhan
disampaikan kepada Abraham untuk mempersembahkan Ishak anaknya yang tunggal di
sebuah gunung di tanah Moria sebagai korban bakaran kepada Allah. Tanpa pertimbangan
dan tanpa pertanyaan, Abraham memenuhi perintah tersebut dengan melakukan apa yang
Tuhan perintahkan.
Proses pengadilan yang dihadapi Tuhan Yesus, berdasarkan bacaan kita saat ini
sesungguhnya adalah pengadilan yang formalitas. Sebab sebelum vonis dijatuhkan kepada
Yesus, sebenarnya Dia telah divonis untuk dihukum mati oleh imam-imam kepala dan para
ahli taurat Yahudi. Walaupun Yesus Kristus dihadapkan kepada Pilatus sebagai wali negeri
kala itu, imam-imam kepala dan para ahli taurat sebenarnya hanya ingin mendapatkan
rekomendasi vonis mereka terhadap Yesus Kristus. Sebagai wali negeri, Pilatus memiliki
wewenang untuk memutuskan vonis terhadap seseorang yang diduga bersalah atas
kejahatan yang dilakukannya. Itulah sebabnya imam-imam kepala dan para ahli taurat
menghadapkan Yesus Kristus kepadanya. Pilatus sesungguhnya tidak menemukan
sedikitpun alasan untuk menghukum Yesus Kristus, karena tidak ada kesalahan yang
dilakukan Yesus Kristus. Itulah sebabnya Pilatus sangat heran ketika Yesus Kristus hanya
berdiam diri atas segala tuduhan yang ditujukan kepadaNya. Ternyata sikap berdiam diri
Yesus Kristus tersebut merupakan jawaban atas apa yang terjadi. Yesus Kristus sungguh
mengetahui bahwa semua orang, termasuk imam-imam kepala, para ahli taurat dan juga
Pilatus mengetahui bahwa Yesus Kristus tidak bersalah. Tidak ada kejahatan yang
dilakukan Yesus Kristus.
Apa yang harus kita maknai dari peristiwa ini dalam hubungannya sebagai orang-orang
yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus yang disalibkan itu? Yang pertama: Sikap Yesus
Kristus yang mengambil sikap berdiam diri atas segala tuduhan yang dialamatkan
kepadaNya. Yesus Kristus sungguh mengetahui bahwa mengkalrifikasi tuduhan atau fitnah
yang ditujukan kepadaNya di saat semua orang dikuasai rasa dengki adalah tindakan yang
tiada artinya. Yesus Kristus ingin membuktikan semua fitnah dan tuduhan itu lewat proses
hidup yang dihadapiNya oleh BapaNya. Maka kemudian kebangkitanNya menjadi jawaban
atas seluruh fitnah dan penghakiman yang dialamatkan kepadaNya. sikap berdiam Yesus
Kristus juga merupakan sikap yang menunjuk pada ketaatan Yesus Kristus kendatipun
harus disalibkan. Ketaatan itu ditunjukkan Yesus Kristus kepada BapaNya, supaya segala
hal yang dinubuatkan tentangNya benar-benar tergenapi. Yang kedua, sikap imam-imam
kepada dan tua-tua, ahli-ahli taurat dan orang banyak yang terhasut penting untuk
direnungkan supaya kita jangan sampai terjebak pada sikap dengki kepada orang lain dalam
hidup ini. Mereka telah memilih yang salah dan salah memilih karena hidup mereka diluasai
oleh dengki. Seseorang yang dikuasa dengki akan jatuh pada tindakan memilih yang salah
dan salah memilih. Ingatlah bahwa hidup ini adalah pilihan, maka supaya jangan sampai
memilih yang salah dan salah memilih, jauhkanlah hidup dari sikap dan perasaan dengki.
Yang ketiga, sikap yang ditunjukkan Pilatuspun juga menjadi kritik bagi kita supaya kita juga
menghindar dari sikap cuci tangan dari persoalan dan masalah yang sesungguhnya
menuntut tanggungjawab kita. Terlepas dari peristiwa yang harus digenapi oleh Yesus Kritus
tentang salib, sikap Pilatus bukanlah sikap yang benar untuk dipraktekkan dalam hidup kita
sebagai orang-orang yang bersekutu, berinteraksi dan berjumpa dengan sesama kita. berani
bertanggungjawab membela yang benar harus menjadi sikap dan prinsip hidup setiap orang
percaya. Yang terakhir, melalui penyaliban Tuhan Yesus Kristus, kita sekalian diingatkan
pada dua hal, yakni bahwa kita telah ditebus dan lunas dibayar dari cengkeraman kuasa
dosa. Kita harus mengharga anugerah ini dengan kehidupan yang benar dan berguna bagi
Tuhan Allah. Yang kedua bahwa melalui penyaliban Yesus Kristus, kitapun diminta untuk
menyalibkan segala bentuk ego diri kita, menyalibkan segala kesombongan, menyalibkan
segala hal yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan Allah. Yakinlah dan percayalah
bahwa penyaliban Yesus Kristus adalah anugerah bagi kita untuk menjadi pemenang
bersama Tuhan Yesus yang bangkit dan hidup. Tuhan memberkati kita amin.
Pinggang dan Pelita adalah perlengkapan yang melengkat dalam kehidupan orang-
orang Yahudi. Setiap laki-laki pasti memiliki ikat pinggang karena bentuk pakaian mereka
membutuhkan ikat pinggang sehingga mereka dapat beraktifitas dengan baik dan nyaman.
Jika seseorang Yahudi sedang melepas ikat pinggangnya, itu berarti dia sedang berada di
tengah waktu istirahat atau sedang tidak beraktifitas. Ikat pinggang kemudian menjadi
symbol bagi setiap laki-laki Yahudi yang menunjuk pada kesiapan mereka dalam
beraktifitas. Peralatan yang kedua adalah pelita. Setiap rumah orang Yahudi pasti memiliki
pelita, karena ini adalah kebutuhan penting bagi mereka di waktu malam, baik dirumah
maupun ketika mereka bepergian di waktu malam. Pelita ini akan menjadi perhatian setiap
orang Yahudi, supaya tetap terjamin akan menyala ketika malam tiba. Pelita yang menyala
juga menjadi symbol kesiapsediaan seseorang dalam menyambut waktu yang baru, yakni
malam hari.
Ikat pinggang dan pelita digunakan oleh Tuhan Yesus sebagai bahan
penagajaran-Nya menyangkut perihal “kewaspadaan” setiap orang menyambut kedatangan
Tuhannya. Dengan menganalogikan bagaikan tuan yang sedang bepergian ke tempat pesta
perkawinan dan akan kembali tanpa diketahui, maka hamba-hamba tuan tersebut mesti siap
sedia menyambut ketika tuannya pulang. Dalam tradisi orang Yahudi, pesta perkawinan
adalah acara yang dapat berlangsung berhari-hari. Acara pesta dapat berlangsung lama
dan tidak dibatasi waktunya. Pesta akan usai ketika para tamu undangan telah kembali.
Itulah sebabnya Yesus mengibaratkan kedatangan-Nya bagaikan kedatangan seorang tuan
yang pulang dari pesta perkawinan. Setiap tuan pastilah akan bersukacita dan senang,
apabila hamba-hamba-Nya senantiasa siap sedia menyambut kedatangannya kapanpun
waktunya. Berbahagialah hamba yang berlaku demikian. Kedatangan Tuhanpun demikian.
Amin
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian orang Kristen yang keliru memahami
apakah persembahan itu. ada sebagian orang yang memahami bahwa persembahan itu
hanyalah berupa materi ataupun uang. Pemahaman seperti ini, sepertinya dipengaruhi gaya
hidup yang dipengaruhi materialism, sehingga persembahanpun dipahami hanyalah dengan
berupa materi. Tetapi tidaklah demikian dalam diri Paulus. Persembahan yang benar bagi
Paulus ialah pemberian totalitas hidup bagi kemuliaan Allah. Paulus katakana
“persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada
Allah, itu adalah ibadahmu yang sejati. Perkataan Paulus ini hendak menegaskan bahwa
persembahan yang benar bukanlah melulu dengan pemberian materi, melainkan harus
dengan totalitas hidup (tubuh). Dalam hal ini segala sesuatu yang dimiliki seseorang dalam
hidupnya wajib dipersembahkan kepada Tuhan. bukan hanya berupa materi, tetapi juga
kemampuan, atau apapun yang dimiliki seseorang termasuk pikirannya, perasaannya
bahkan waktunya. Pemahaman tentang persembahan seperti ini, akan benar-benar
berkenan kepada Tuhan apabila segala totalitas hidup diberikan untuk kemuliaan Tuhan. Itu
berarti, persembahan bukanlah melulu diberikan kepada Tuhan dalam kegiatan peribatan,
atau dengan kata lain, persembahan bukanlah melulu hanya sebagai salah satu unsur
dalam liturgi ibadah.
Sikapnya, terutama rasa Takut akan Tuhan sirna dari dalam hidupnya. Setelah ia kuat, ia
menjadi tinggi hati. Sikap tinggi hati ini terlihat dari sikapnya yang tidak lagi menghormati
kekudusan Allah di dalam Bait suci. Raja Uzia melampaui batas wewenangnya, ia
merampas kemuliaan Tuhan Allah. Dia tidak menghormati ritual suci di Bait Allah, dengan
membakar ukupan di atas mezbah pembakaran ukupan. Ritual ini, menurut peraturan
Taurat, menurut hukum Allah hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang dikuduskan
untuk melayani di Bait Allah, yakni para imam. Raja Uzia merasa bahwa dirinya berkuasa,
dirinya hebat dan tidak ada lagi yang dapat menandinginya, menjadi tinggi hati. Ia tidak lagi
rendah hati. Walaupun telah diperingati oleh para imam, namun Raja Uzia tidak peduli.
Keberhasilannya dalam segala usahanya meraih kejayaan kerajaan telah membuat raja
Uzia tidak lagi mau merendahkan dirinya di hadapan Tuhan Allah. Ia akhirnya mengalami
hal yang sama dengan ayahnya Amazia, yang juga bersikap yang sama.
Kisah hidup Raja Uzia ini, merupakan peringatan dan kritik bagi setiap orang percaya
kepada Tuhan Allah, untuk tidak menjadi tinggi hati apabila telah meraih mimpi dan tiba
pada puncak kejayaan. Segala sesuatu yang dirindukan boleh saja tergapai, tetapi mesti
sadar bahwa ada batas yang harus dipatuhi sebagai umat yang percaya kepada Tuhan
Allah. Setiap orang percaya mesti sadar bahwa kemuliaan dan kekudusan Tuhan adalah hal
yang tidak mungkin untuk diklaim sebagai milik kepunyaan. Setinggi apapun keberhasilan
yang telah kita raih dan kesuksesan yang kita gapai, sikap rendah hati harus tetap menjadi
prinsip dan sikap hidup orang yang percaya kepada Tuhan Yesus. Raja Uzia akhirnya harus
kehilangan semuanya karena sikapnya yang berobah. Dia tidak lagi merendahkan hatinya di
hadapan Tuhan Allah. Penyakit kusta yang diyakini sebagai kutukan Allah dalam tradisi
keagamaan umat Israel menjadi bagian Raja Uzia dan oleh karena itu, ia harus diasingkan
dan kekuasaanpun diambil darinya. Sekarang, apakah yang terjadi dengan orang seperti
Raja Uzia? Yang pasti adalah penyesalan yang amat dalam. Semua usaha untuk
menggapai keberhasilan menjadi sia-sia. Benarlah Firman Tuhan Yesus yang mengatakan
bahwa barang siapa yang meninggikan dirinya akan direndahkan (Matius 23:12).
Marilah senantiasa berkomitmen untuk hidup konsisten merendahkan hati di hadapan Tuhan
Allah, melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan, maka damai sejahtera akan
senantiasa milik kita. Tinggi hati akan mendahului kejatuhan (Amsal 16:18) karena setiap
orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan, sungguh, ia tidak akan luput dari
hukuman (Amsal 16:5).
Kisah hidup Yakub adalah kisah hidup yang sangat menarik karena penuh dengan
pengalaman hidup yang penting. Dalam pelariannya, Yakub seringkali berjumpa dengan
tantangan hidup yang berat. Arah dan tujuan hidupnya yang tidak dia mengerti seringkali
membuat Yakub merasa letih dalam perjalanan hidupnya, ditambah lagi perasaan takut
karena dikejar oleh kakak sendiri. dalam perjalanan dari Bersyeba menju Haran, Yakub
memiliki pengalaman iman yang sungguh luar biasa, di tempat ini Yakub bermimpi, bahwa di
bumi ada didirikan tangga yang ujungnya sampai ke di langit, dan tampaklah malaikat-
malaikat turun naik melalui tangga itu. Tuhan berdiri di sampingnya dan berbicara dengan
Yakub bahwa Tuhan Allah akan memberikan tanah tempat Yakub berbaring sebagai milik
kepunyaannya dan keturunannya, serta akan memberkati Yakub seperti debu tanah
banyaknya, dan mengembangkan kekayaan Yakub serta menjadikan Yakub menjadi berkat.
Dari mimpi ini, Yakub kemudian menyadari bahwa Tuhan ada di tempat di mana dirinya
berdiam. Maka dari pengalaman iman ini kemudian, lahirlah panggilan iman untuk
memberikan kesaksian tentang kebaikan Tuhan, Yakub mendirikan tugu di tempat di mana
dia berbaring, dengan tujuan supaya di tempat itu Tuhan Allah dimuliakan. Betel, itulah
kemudian Nama yang diberikan Yakub kepada tempat itu. Dan di sinilah kemudian lahir
nazar dari Yakub, yakni persembahan persempuluhan. Pengalaman Yakub berjumpa
dengan Tuhan dan melihat suasana sorgawi melalui mimpi adalah pengalaman yang lumrah
terjadi dalam kehidupan bapak-bapak leluhur Israel. Di tengah pengembaraan hidup dalam
upaya menyelamatkan diri, kepada Yakub, Tuhan memberikan janji bahwa Yakub akan
dibawa kembali ke tempat asalnya dan akan memberikan jaminan kehidupan serta
keberlangsungan keturunan yang diberkati oleh Tuhan Allah.
Walaupun kehidupan seorang Yakub merupakan kehidupan yang penuh dengan tanda
tanya karena dalam pelarian dari Esau kakaknya, akan tetapi Tuhan memberikan janji dan
jaminan keselamatan kepadanya. itu terjadi semata-mata oleh karena kasih Tuhan Allah.
Tuhanlah yang telah menetapkan apa yang harus terjadi dan dialami oleh Yakub dalam
perjalanan hidupnya. Janji dan berkat Tuhan tersebut direspon dengan baik oleh Yakub,
yakni bahwa Yakub bersaksi tentang kehadiran Tuhan, Yakub memuliakan Tuhan, Yakun
mengikrarkan janji iman (nazar) di hadapan Tuhan. Semua yang dilakukan Yakub semata-
mata adalah buah dari apa yang telah diterimanya dari Tuhan Allah. janji Tuhan kepadanya:
diberkati, disertai, dilindungi, dibawa kembali, diyakinkan bahwa janji Tuhan pasti digenapi.
Saudara-saudara, jika kita berefleksi dari pengalaman iman Yakub ini, maka kepada kita,
sesungguhnya diingatkan bahwa Tuhan Allah tidak pernah membiarkan seorangpun anak-
anak-Nya berjalan sendirian mengarungi kehidupan ini. Bahwa Tuhan Allah senantiasa
berdaulat ata segenap hidup orang-orang yang percaya kepada-Nya. Bahwa setiap kita
adalah orang-orang yang sedang melalukan ziarah kehidupan di dunia ini. Maka kita
ditantang untuk senantiasa peka mengenali kehadiran Tuhan di kehidupan kita supaya lahir
respon berupa kesaksian yang memuliakan Tuhan Allah.
Janji Tuhan kepada Yakub, adalah janji yang terus-menerus berlaku bagi setiap orang yang
percaya kepada Tuhan Allah. Maka percayalah kepada Tuhan Allah. Amin
Markus 6: 45- 52
Seperti yang dikatakan tadi, Yesus berjalan di atas air, bukanlah hanya sekedar
mujizat melulu, melainkan apa yang dilakukan Yesus tersebut menunjukkan bahwa Yesus
Tuhan mampu dan berkuasa berjalan di atas ketidakmungkinan, Yesus mampu berkuasa
menyelesaikan masalah tanpa masalah. Perahu yang berlayar dilautan merupakan
gambaran kehidupan orang-orang percaya yang harus berjumpa dengan silih bergantinya
badai kehidupan, kadang teduh, terkadang juga dan seringkali berjumpa dengan badai.
Pengalaman tidak menjadi jaminan sebagaimana halnya yang dialami murid-murid Yesus.
Perjalanan hidup tidak bisa dijamin akan selalu mulus dan berjalan lancar, selalu saja ada
berbagai tantangan dan hambatan. Namun di samping itu pula, sebagai orang percaya, kita
harus percaya bahwa selain tantangan dan hambatan, tersedia juga peluang dan harapan.
Lihat, bahwa tatkala Yesus melihat betapa payahnya murid-murid itu mendayung, Diapun
hadir dengan cara yang luar biasa, di luar dugaan manusia.
Saudara-saudara, demikian juga dalam hidup kita semua, lewat bacaan kita saat ini, kita
dikuatkan dan diyakinkan bahwa saat hidup kita terancam bahaya, baik karena pergumulan
berat maupun karena diperhadapkan pada masalah berat, Yesus juga hadir dengan cara-
Nya sendiri. Kita tak’an mampu menyelami dan menduga cara Tuhan ketika Dia hendak
menolong umat- Nya yang sedang diperhadapkan pada bahaya yang di luar kemampuan
manusia. Yesus mampu berjalan di atas ketidakmungkinan, menyelasaikan masalah dan
meneduhkan suasana. Walaupun karena cara kehadiran- Nya kita merasa bingung dan
kurang percaya bahkan takut, akan tetapi Dia akan mendapatkan kita dan semua
masalahpun akan selesai.
Manusia, siapapun dia tak bisa tidak, dalam hidupnya di dunia ini akan selalu
menghadapi berbagai bentuk proses hidup dalam suasana yang silih berganti. Ada suka,
ada duka. Akan tetapi seberat apapun pergumulan dan masalah yang kita hadapi jika Yesus
melihat bahwa kita telah bersusah payah dan tidak mampu lagi dengan kekuatan yang kita
miliki, maka Dia sendiri akan datang, hadir untuk menolong kita, Dia mampu mengatasi
semua masalah tanpa menimbulkan masalah, tinggal kita sekarang, apakah kita siap dan
sedia menyambut dan menerima Dia, yang kehadiran- Nya di luar akal kita?, Apakah kita
akan mengetahui dan mengenal- Nya jika Dia telah sungguh-sungguh menolong kita?
AMIN
“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam
kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di Sorga”
Keluarga, Saudara-saudara Yang Dikasihi Tuhan Yesus Kristus,
Memanggil Tuhan atau berseru kepada Tuhan atau mengucapkan Nama Tuhan
merupakan kebiasaan yang melekat dengan kehidupan orang yang beriman. Tindakan ini
sesungguhnya bukanlah hal yang salah dan dilarang dalam kehidupan beriman. Tetapi,
tidak jarang dalam kehidupan sehari-hari, kita mendengar atau menyaksikan seseorang
dengan mudahnya mengucapkan kata “Tuhan” atau berseru kepada Tuhan dengan begitu
gampangnya. Sehingga ucapan “Tuhan” atau seruan “Tuhan” yang keluar dari mulut
seseorang tersebut seakan terucap tanpa sadar (spontan), akibatnya nilai kata “Tuhan” yang
diucapkannya seakan menjadi tidak berharga. Selanjutnya di berbagai ritual ibadah tidak
jarang juga dijumpai orang-orang yang begitu antusias menyebut atau menyerukan Nama
Tuhan, tetapi tindakan tersebut tidak dalam bentuk kesungguh-sungguhan. Tuhan Yesus
ternyata melihat dan menyaksikan pola hidup beriman seperti ini di tengah pelayanan-Nya.
Terutama yang dipraktekkan kaum Farisi dan para ahli taurat kala itu. Kaum Farisi dan ahli-
ahli taurat acapkali mempergunakan dan mangatasnamakan Tuhan dalam rangka
mendapatkan penghormatan dan pujian dari umat dan kahalayak banyak. Padahal, dalam
kenyataannya, mereka tidak taat pada perintah dan ketetapan Tuhan Allah. Hidup seperti
inilah yang menghantar mereka dikelompokkan sebagai orang-orang munafik di Mata Tuhan
Yesus.
Pernyataan Tuhan Yesus sesuai bacaan kita saat ini menegaskan bahwa konsep
beriman kepada-Nya adalah hidup yang berintegritas dalam arti adanya kesesuaian kata
dengan tindakan nyata. Bahwa beriman kepada Tuhan Allah tidak melulu dalam untaian
kata-kata, atau seruan kosong tak bermakna. Tuhan Yesus menegaskan bahwa
sesungguhnya, orang yang layak menikmati Kerajaan Sorga, yakni kehidupan yang penuh
damai sejahtera Allah, kehidupan yang terbebas dari segala perkara yang menyengsarakan
adalah orang yang beriman kepada Tuhannya melalui tindakan aktif melakukan kehendak
Allah Bapa. Berbicara kehendak Allah yang begitu luas, dalam dan tinggi telah
disempurnakan oleh dan di dalam Yesus Kristus dengan satu kesimpulan atau muara
kehidupan, yakni KASIH. Semua kehendak Allah yang dijabarkan dalam berbagai bentuk
hukum, perintah, peraturan dan ketetapan Allah telah disimpulkan Yesus dengan satu
tindakan beriman, yakni mengasihi Tuhan Allah dan mengasihi sesama. Maka jika dikaitkan
dengan pernyataan Tuhan Yesus di atas, maka dapat dimengerti bahwa orang yang layak
menikmati kerajaan Sorga adalah mereka yang mengasihi Tuhannya dan mengasihi
sesamanya dengan tindakan dan perbuatan nyata. Orang yang telah sampai ke titik inilah
yang akan menikmati kehidupan yang penuh damai sejahtera. Walaupun untaian kata tak
dapat dipisahkan dalam aktifitas beriman, akan tetapi untaian kata dan seruan tersebut
harus sesuai dengan tindakan dan perbuatan. Rasul Yohanes mengajak kita sekalian 1
Yohanes 3: 18
“Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi
dengan perbuatan dan dalam kebenaran”
Dengan mengasihi melalui perbuatan dan dalam kebenaran, maka niscaya kita
diperkenankan menikmati kehidupan di kerajaan-Nya, yakni kehidupan yang diwarnai Damai
Sejahtera Allah. Tuhan Yesus memberkati. Amin
Bendrio Sibarani di 01.50
Berbagi
Posting Komentar
‹
›
Beranda
Bendrio Sibarani
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.